Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario LBM 3


Berdasarkan scenario didapatkan beberapa permasalahan mengenai
istilah-istilah ilmiah yang perlu diperjelas artinya seperti kejang, kaku,
tengkuk dan badan melenting. Selain istilah-istilah ilmiah, dalam skenario
dijabarkan anamnesis dari pasien yang mana terdapat pertanyaan-pertanyaan
muncul mengenai mengapa itu terjadi atau lain sebagainya. Beberapa
pertanyaan yang muncul di antaranya sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan dari riwayat tertusuk paku dengan gejala pada
skenario?
2. Bagaimana mekanisme kejang?
3. Kenapa bias terjadi kuduk kaku, badan melenting, perut keras dan
sulit membuka mulut?
4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan tanda vital pada skenario?
5. Bagaimana tatalaksana awal pada pasien diskenario?
6. Apa saja diagnosis differential dari skenario?

1|Badanku Kaku
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembahasan Sekenario


Pada kasus di skenario diketahui bahwa seorang pasien bernama pak
Maksun usia 45 tahun dibawa ke UGD setempat karena mengalami kejang
kaku 15 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang pada seluruh badan dan
pasien sadar. Terdapat keluhan lain juga seperti kaku tengkuk, beberapa hari
sebelumnya mulut pak Maksun susah dibuka, diketahui juga sebelumnya pak
Maksun memiliki riwayat tertusuk paku pada telapak kaki.
Seorang yang tertusuk paku beresiko mengalami penyakit tetanus
apalagi jika kondisi paku yang sudah berkarat dan juga juga dilihat dari
pekerjaan pak Maksun yang seorang petani sehingga meningkatkan luka pada
telapak kaki pak Maksun terkontaminasi oleh bakteri khususnya Clostridium
Tetani. Tetanus adalah infeksi serius yang disebabkan oleh spora bakteri
Clostridium tetani, bakteri ini banyak ditemukan di tanah yang
terkontaminasi, debu, dan kotoran hewan. Ketika masuk ke tubuh, bakteri
penyebab tetanus akan menghasilkan racun yang menyebar pada saraf dan
tulang belakang dan menyebabkan kerusakan pada system saraf yang
mengendalikan gerak otot. Hal ini yang menyebabkan pak maksun
mengalami gejala – gejala seperti susah membuka mulut, kuduk kaku, badan
melenting dan perut keras.
Ketika bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh melalui luka, bakteri
akan mengeluarkan racun kuat bernama tetanospasmin, yang mempengaruhi
saraf yang mengontrol otot. Racun tersebut dapat menyebabkan kaku di
bagian otot dan kejang-kejang. Gejala awal bermula dari trismus (kesulitan
membuka mulut) diikuti spasme leher, kesulitan menelan, dan rigiditas otot
abdominal (perut papan). Tungkai biasanya sedikit terpengaruh, jika terdapat
opistotonus penuh (badan melenting), akan muncul fleksi lengan dan ekstensi

2|Badanku Kaku
kaki seperti posisi dekortikasi. Gejala lain meliputi peningkatan suhu,
berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan takikardia episodik. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan dramatis adrenalin dan noradrenalin yang dapat
berujung pada nekrosis miokardial. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4
minggu. Toksin tetanus dapat menyerang saraf sensorik yang menyebabkan
perubahan sensasi seperti nyeri dan alodinia. Toksin tidak dapat
menyeberangi ganglia sensorik spinal, sehingga efek sensorik seharusnya
terjadi di perifer. Akan tetapi, pelepasan neurotransmitter dari saraf sensorik
terjadi sentral di medula spinalis atau batang otak. Paradoks ini merefleksikan
bahwa perubahan sensasi dapat terlihat di daerah kepala seperti daerah saraf
trigeminus.
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan di skenario didapatkan
tekanan darah pak Maksun 130/80 mmHg dimana terjadi sedikit peningkatan
pada tekanan darah yang normalnya 100 sampai kurang dari 120/80 mmHg,
frekuensi nadi 98 kali /menit masih dalam batas normal, frekuensi nafas
didapatkan sebanyak 20 kali/menit masih dalam batas normal dan suhu aksila
sekitar 37˚C masih dalam batas normal.
Berdasarkan gejala yang ada pada skenario kelompok kami
mendapatkan 4 buah diagnosis differential yaitu tetanus, meningitis bacterial,
epilepsy dan ensefalitis. Penatalaksanaan awal yang bisa dilakukan pada
scenario secara garis besar terdiri atas tatalaksana umum dan khusus. Pada
penatalaksanaan umum, hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut:
a. Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi.
b. Menjaga saluran napas agar tetap bebas.
c. Penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan pertama.
d. Mencari port d’entree.
Penatalaksanaan khusus pada pasien si skenario terdiri dari pemberian
ATS atau Human tetanus Imunoglobulin (HTIG) dan antibiotika. Tujuan

3|Badanku Kaku
pemberian ATS dan HTIG adalah untuk menetralisasi toksin yang beredar di
dalam darah dan dapat juga diberikan sebagai profilaksis Berdasarkan gejala
yang didapatkan dari skenario kelompok kami.
2.2 Diagnosis Differential
2.2.1 TETANUS
a. Definisi
Tetanus dapat didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut
atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada
rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa
penyebab lain, serta terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan
sebelumnya.
b. Etiologi
C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan
di tanah dan kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan
memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik
drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini bisa tahan beberapa
bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan bakteri yang
motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya,
dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin yang sama.
Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen
desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani
dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (meski
hancur dengan autoclave pada suhu 121 ° C selama 15-20 menit).
Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan
benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu
mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.

4|Badanku Kaku
Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas
“drumstick” pada bagian bakteri yang berbentuk bulat tersebut
spora dari Clostridium tetani dibentuk. (dengan pembesaran
mikroskop 3000x).
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka.
Ketika menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan
berkembang dan melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi
sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus
(dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg).
c. Epideminologi
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan
masalah kesehatan publik yang sangat besar. Dilaporkan terdapat 1
juta kasus per tahun di seluruh dunia, dengan angka kejadian
18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian 300.000-
500.000 per tahun. Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 %
di negara berkembang, dengan penyebab kematian terbanyak
karena mengalami kegagalan pernapasan akut. Angka mortalitas
menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan ventilator),
membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli
sangat berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus.
Penelitian oleh Thwaites et al pada tahun 2006 mengemukakan
bahwa Case Fatality Rate (CFR) dari pasien tetanus berkisar antara
12-53%.

5|Badanku Kaku
d. Faktor Resiko
 Kurangnya imunisasi dan juga imunisasi tidak pada tetanus
 Cedera penetrasi yang bisa memproduksi spora tetanus yang
dikenalkan oleh situs luka
 Kehadiran dari bakteri infeksi lain
 Cidera jaringan
 Sebuah benda asing atau juga pecahan dari beling dan paku
 Pembengkakan yang terjadi pada sekitar daerah cedera
e. Patofisiologi
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui
luka yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk.
Cara masuknya spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara
lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi
gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang
luka tersebut hampir tak terlihat.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut
menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan
nekrotis, leukosit yang mati, benda–benda asing maka spora
berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini
tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan
eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin, tidak
berhubungan dengan pathogenesis penyakit.
Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin tetanus,
adalah neurotoksin yang mengakibatkan manifestasi dari penyakit
tersebut. Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot
dimana terdapat suasana anaerobik yang memungkinkan
Clostridium tetani untuk hidup dan memproduksi toksin. Lalu
setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan

6|Badanku Kaku
ditransportasikan secara retrograde menuju saraf presinaptik,
dimana toksin tersebut bekerja.
Toksin tersebut akan menghambat pelepasan neurotransmitter
inhibisi dan secara efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron.
Tetapi khususnya toksin tersebut menghambat pengeluaran Gamma
Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik menginhibisi neuron
motorik. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi
dari sistem saraf motorik.
Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada
kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa
hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan
meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urin. Hal ini dapat
menyebabkan komplikasi kardiovaskuler. Tetanospamin yang
terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh
antitoksin tetanus.
f. Manifestasi Klinis
 Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau
lebih lama 3 atau beberapa minggu ).
 Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap
selama 5 -7 hari.
 Setelah 10 hari kejang mulai berkurang.
 Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
 Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada
rahang dan leher.
 Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw)
karena spasme otot masetter.
 Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus, nuchal
rigidity).

7|Badanku Kaku
 Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran
alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah,
bibir tertekan kuat .
 Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan
opistotonus, tungkai Ekstensi, lengan kaku dengan mengepal.
 Kesadaran tetap baik.
 Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia
dan sianosis, retensi urin, bahkan fraktur collumna vertebralis
(pada anak).
2.2.2 EPILEPSI
a. Definisi
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
pedisposisi secara terus menerus untuk terjadinya suatu bangkitan
epileptik dan juga ditandai oleh adanya faktor neurolobiologis,
kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial akibat kondisi tersebut.
Bangkitan epilepsi adalah tanda dan/atau gejala yang timbul
sepintas akibat aktivitas neuron di otak yang berlebihan dan
abnormal serta sinkron.
b. Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam 3 kategori, sebagai
berikut:
 Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit
neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan
umumnya berhubungan dengan usia.
 Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum
diketahui. Termasuk disini sindrom West, sindrom Lennox-
Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan
ensefalopati difus.

8|Badanku Kaku
 Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/ lesi
struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP,
kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.
c. Epideminologi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua yang
ditemukan pada semua umur yang dapat menyebabkan kecacatan
serta kematian. Diperkirakan terdapat 50 juta orang di seluruh dunia
yang menderita epilepsi (WHO 2012). Populasi epilepsi aktif
(terjadi bangkitan terus menerus dan memerlukan pengobatan)
diperkirakan antara 4-10 per 1000 penduduk. Namun angka ini jauh
lebih tinggi di negara  dengan pendapatan perkapita menengah dan
rendah yaitu  antara 7-14 per 1000 penduduk. Secara umum
diperkirakan terdapat 2,4 juta pasien yang didiagnosis epilepsi
setiap tahunnya.

9|Badanku Kaku
d. Faktor Resiko
Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi
saat epilepsi, dapat terjadi saat :

Prenatal Natal Postnatal


 Umur ibu saat hamil  Asfiksia  Kejang demam
terlalu muda (<20 tahun)  Bayi dengan berat badan  Trauma kepala
atau terlalu tua (>35 lahir rendah (<2500  Infeksi SSP
tahun) gram)  Gangguan
 Kehamilan dengan  Kelahiran prematur atau metabolik
eklamsia dan hipertensi postmatur
 Kehamilan primipara atau  Partus lama
multipara  Persalinan dengan alat
 Pemakaian bahan toksik

e. Patofisiologi
Mekanisme bangkitan epilepsi terjadi karena adanya gangguan
pada membran sel neuron, membran sel neuron bergantung pada
permeabilitas sel terhadap ion natrium dan kalium. Membran
neuron sangat permeabel terhadap ion kalium dan kurang
permeabel terhadap ion natrium sehingga didapatkan konsentrasi
ion kalium yang tinggi dan konsentrasi ion natrium yang rendah
didalam sel dalam keadaan normal. Sifat permeabel membran sel
dapat berubah sehingga terjadi perubahan kadar ion dan perubahan
potensial aksi. Perubahan potensial aksi pada membran sel tersebut
akan menjadi stimulus yang efektif pada membran sel dan
menyebar sepanjang akson, sehingga terjadilah kejang. Mekanisme
lain kejang berhubungan dengan inhibisi presinap dan pascasinap.

10 | B a d a n k u K a k u
Sel neuron berhubungan satu sama lain melalui sinap-sinap.
Potensial aksi yang terjadi di satu neuron dihantarkan melalui
neural akson yang kemudian melepaskan neurotransmitter pada
sinap, zat tersebut dapat mengeksitasi atau menginhibisi membran
pascasinap. Neurotransmitter eksitasi (asetilkolin, glutamic acid,
aspartat, norepinephrin, histamin, purin, peptida) mengakibatkan
depolarisasi, sedangkan neurotransmitter inhibisi (gamma-amino
butyric acid (GABA), glisin, dopamin) menyebabkan
hiperpolarisasi neuron sehingga terjadi inhibisi pada transmisi
sinap. Kegagalan mekanisme inhibisi akan menimbulkan lepasnya
muatan listrik yang berlebihan dan gangguan sintesis GABA
sehingga terjadi perubahan keseimbangan eksitasiinhibisi, aktifitas
eksitasi lebih dominan dibandingkan aktifitas inhibisi sehingga
muncul bangkitan epilepsy.
f. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi
dari epilepsi, yaitu :
 Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari
sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang
terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya masih baik.
o Kejang parsial sederhana Gejala yang timbul berupa
kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosional 17 kompleks. Pada kejang
parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
o Kejang parsial kompleks Gejala bervariasi dan hampir
sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang

11 | B a d a n k u K a k u
paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
 Kejang umum Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal
dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum.
Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya menurun.
o Kejang Absans Hilangnya kesadaran sessat (beberapa
detik) dan mendadak disertai amnesia. Serangan
tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
o Kejang Atonik Hilangnya tonus mendadak dan
biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan
badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih
lama.
o Kejang Mioklonik Ditandai dengan kontraksi otot
bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang
terjadi dapat tunggal atau berulang.
o Kejang Tonik-Klonik Sering disebut dengan kejang
grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total
disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot.
Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik
yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik,
tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti
dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan
denyut jantung.

12 | B a d a n k u K a k u
o Kejang Klonik Gejala yang terjadi hampir sama dengan
kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi
berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
o Kejang Tonik Ditandai dengan kaku dan tegang pada
otot. Penderita sering mengalami jatuh akibat hilangnya
keseimbangan.
2.2.3 MENINGITIS BAKTERIAL
a. Definisi
Meningitis bakteri adalah suatu peradangan pada selaput otak
yang mengenai lapisan piamater dan ruang subaraknoid termasuk
CSS yang dapat disebabkan oleh bakteri yang menyebar masuk ke
dalam ruang subaraknoid.
b. Etiologi
Bakteri yang dapat menimbulkan meningitis adalah bakteri
yang mampu melewati perlindungan yang dibuat oleh tubuh dan
memiliki virulensi poten. Faktor host yang rentan dan lingkungan
yang mendukung memiliki peranan besar dalam patogenesis
infeksi. Pada individu dewasa yang imunokompeten, S. pneumonia
dan N. meningitides adalah patogen utama penyebab meningitis
bakteri, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan
kolonisasi nasofaring dan menembus SDO. Basil gram negatif
seperti E. coli, S. aureus, S. epidermidis, Klebsiella spp dan
Pseudomonas spp biasanya merupakan penyebab meningitis bakteri
nosokomial, yang lebih mudah terjadi pada pasien kraniotomi,
kateterisasi ventrikel internal ataupun eksternal, dan trauma kepala
(Roper dan Brown, 2005; Clarke et al., 2009).Sedangkan bakteri
gram positif berbentuk kokus yang juga merupakan penyebab
meningitis bakteri (meningitis suis) adalah S. suis. S.suis

13 | B a d a n k u K a k u
merupakan penyebab meningitis paling sering pada usia 47-55
tahun dan tidak pernah ditemukan pada anak-anak.
c. Epideminologi
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2
bulan-2 tahun. Pada anak-anak, distrofik yang tahan lama.
Insidens meningitis bakterialis pada neonatus adalah sekitar 0,5
kasus per 1000 kelahiran hidup. Insidens meningitis pada bayi
berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi dibandingkan bayi berat
lahir normal. Streptococcus grup B dan Ecoli merupakan penyebab
utama meningitis bakterial pada neonatus. Penyakit ini
menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir
40 masalah yang tersisa merupakan gangguan pendengaran dan
defisit neurologis.
d. Faktor Resiko
Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi individu atau
host yaitu : usia, demografi/faktor sosial ekonomi, paparan kuman,
dan status imun yang rendah.Usia dan demografi Meningitis dapat
terjadi pada semua usia dan pada individu yang sebelumnya sehat.
Pasien lanjut usia (>60 tahun) dan pasien anak (<5 tahun, terutama
bayi / neonatus) memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap
insiden meningitis , Sedangkan yang termasuk faktor demografi dan
sosial ekonomi meliputi: jenis kelamin laki-laki, ras Afrika
Amerika, status sosial ekonomi yang rendah dan komunitas yang
hidup di asrama atau kamp militer. Pasien dengan status imun
rendah Terdapat hubungan antara imunosupresi dan peningkatan
risiko terjadinya meningitis bakteri. Yang termasuk kondisi
imunosupresi : diabetes, alkoholik, sirosis / penyakit hati,
spelenektomi, gangguan hematologi (misalnya, penyakit sel sabit,
talasemia mayor), keganasan, gangguan imunologi (defisiensi

14 | B a d a n k u K a k u
komplemen, defisiensi immunoglobulin), Human
Immunedeficiency Virus (HIV), dan terapi obat imunosupresi.
e. Patofisiologi
Infeksi bakteri dapat mencapai selaput otak melalui aliran
darah (hematogen) atau perluasan langsung dari infeksi yang
disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak
dan sinus kavernosus. Bakteri penyebab meningitis pada umumnya
berkolonisasi di saluran pernapasan bagian atas dengan melekatkan
diri pada epitel mukosa nasofaring host. Selanjutnya
setelah terhindar dari sistem komplemen host dan berhasil
menginvasi ke dalam ruang intravaskular, bakteri kemudian
melewati SDO dan masuk ke dalam CSS lalu memperbanyak diri
karena mekanisme pertahanan CSS yang rendah. Dalam upaya
untuk mempertahankan diri terhadap invasi bakteri maka kaskade
inflamasi akan teraktivasi sebagai mekanisme pertahanan tubuh.
Bakteri penyebab meningitis memiliki sifat yang dapat
meningkatkan virulensi kuman itu sendiri. Bakteri H. influenzae, N.
meningitidis dan S. pneumonia menghasilkan imunoglobulin
A protease. Bakteri-bakteri ini menginaktifkan immunoglobulin A
host dengan menghancurkan antibodi sehingga memungkinkan
terjadinya perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring dan
terjadinya kolonisasi. Perlekatan pada mukosa epitel nasofaring
host oleh N. meningitidis terjadi melalui fimbria atau silia.
Dikatakan kerusakan silia ini akibat adanya infeksi saluran
pernapasan bagian atas dan juga kebiasaan merokok dapat
mengurangi kemampuan fimbria atau silia dalam
mencegah perlekatan bakteri pada mukosa nasofaring. Bakteri
kemudian akan memasuki ruang intravaskular melalui berbagai
mekanisme. Bakteri meningokokus memasuki ruang intravaskular

15 | B a d a n k u K a k u
melalui proses endositosis melintasi endotelium di jaringan
ikatvakuola. Sedangkan bakteri H. influenzae memisahkan tight
junction apikal antara sel epitel untuk menginvasi mukosa dan
mendapatkan akses ke ruang intravascular.
Bakteri berkapsul (S. pneumonia, H. influenzae dan N.
meningitidis) mencegah kerusakan oleh host setelah berada dalam
aliran darah,karena kapsul polisakarida bakteri menghambat
fagositosis dan aktivitas komplemen bakterisida. Setelah bakteri
berada dalam aliran darah, bakteri akan beradhesi ke SDO
tergantung kualitas struktural dari bakteri seperti fimbria
pada beberapa strain E. coli, dan silia dan fimbria pada N.
meningitides.
Sistem pertahanan CSS host yang rendah menyebabkan bakteri
akan cepat berkembang biak setelah memasuki CSS. Beberapa
faktor host yang berpengaruh terhadap mekanisme
pertahanan dalam CSS yang rendah adalah : kadar komplemen yang
rendah, tingkat immunoglobulin rendah, dan penurunan aktivitas
opsonic, dimana menyebabkan ketidakmampuan host dalam
menghancurkan bakteri melalui mekanisme fagositosis. Di dalam
subarakhnoid, komponen bakteri dalam CSS akan memicu kaskade
inflamasi pada host. Komponen sitokin proinflamasi seperti
interleukin 1 (IL 1), Tumor NecrosisFacto r(TNF) dan berbagai sel
lainnya termasuk makrofag, mikroglia, sel meningeal, dan sel-sel
endotel. Sitokin mengaktivasi migrasi neutrofil ke CSS melalui
beberapa mekanisme. Sitokin meningkatkan afinitas pengikatan
leukosit sel endotel, dan menginduksi adhesi molekul yang
berinteraksi dengan reseptor leukosit.
Selain itu neutrofil CSS melepaskan substansi prostaglandin,
metabolit toksin oksigen, matrix metalloproteinases (MMP) yang

16 | B a d a n k u K a k u
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan secara langsung
dapat juga menyebabkan neurotoksisitas. Kaskade inflamasi ini
menyebabkan kelainan pada aliran darah otak (ADO) dan terjadi
edema serebral. Edema serebral yang timbul dapat berupa
edema vasogenik akibat dari peningkatan permeabilitas SDO atau
edema sitotoksik yang disebabkan oleh peningkatan cairan
intraseluler diikuti perubahan dari membran sel dan hilangnya
homeostasis seluler. Sekresi hormon antidiuretik turut berkontribusi
pada terjadinya edema sitotoksik dengan membuat cairan ekstrasel
hipotonik dan meningkatkan permeabilitas otak. Edema interstitial
disebabkan oleh meningkatnya volume CSS, baik oleh karena
peningkatan produksi CSS melalui meningkatnya aliran darah pada
pleksus koroid atau menurunnya reabsorpsi sehingga terjadi
peningkatan resistensi aliran CSS. Selain itu peradangan pembuluh
darah local atau trombosis dapat menyebabkan hipoperfusi serebral
fokal sehingga mengganggu autoregulasi aliran darah, dimana dapat
terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang dapat
menyebabkan herniasi otak dan kematian.
f. Manifestasi Klinis
Gejala klasik meningitis bakteri berupa demam, sakit kepala,
kaku kuduk dan tanda-tanda disfungsi otak (penurunan kesadaran
mulai dari apatis sampai koma). Meskipun demikian dilaporkan
hanya 44-75% pasien memiliki tiga gejala yaitu demam,
kaku kuduk dan perubahan status mental, setidaknya semua pasien
mengalami salah satu gejala di atas dan 95% memiliki dua dari
empat gejala (sakit kepala, demam, kaku kuduk dan perubahan
status mental Kaku kuduk dapat disertai tanda Kernig atau
Brudzinski atau keduanya. Tidak adanya tanda tersebut tidak
mengesampingkan diagnosis meningitis bakteri. Pada suatu studi

17 | B a d a n k u K a k u
prospektif menunjukkan sensitivitas tanda Kernig sebesar 5%, tanda
Brudzinski 5% dan kaku kuduk 30%. Hal ini menunjukkan bahwa
tanda-tanda ini tidak akurat dalam mendiagnosa pasien meningitis .
Kelumpuhan saraf kranial (III, IV, VI dan VII) dan gejala fokal
lainnya terjadi pada 10-20% kasus. Sekitar 30% pasien mengalami
kejang. Peradangan dan trombosis pembuluh darah, sering terjadi
dalam ruang subaraknoid, menyebabkan terjadinya iskemik daerah
kortikal dan subkortikal yang dapat mengakibatkan kejang dan
defisit neurologis fokal. Dengan memburuknya penyakit, tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial dapat terjadi termasuk
koma, hipertensi, bradikardi dan kelumpuhan nervus III.
2.2.4 ENSEFALITIS
a. Definisi
Radang otak atau ensefalitis adalah peradangan yang terjadi pada
jaringan otak yang dapat menyebabkan gejala gangguan saraf. Gejala
gangguan saraf yang ditimbulkan dapat berupa penurunan kesadaran,
kejang, atau gangguan dalam bergerak.
b. Etiologi
Sebagian besar radang otak disebabkan oleh infeksi virus.
Infeksi virus dapat langsung menyerang otak atau disebut radang
otak primer, namun juga dapat berasal dari organ tubuh lain lalu
menyerang otak atau disebut radang otak sekunder. Jenis virus yang
dapat menyebabkan radang otak antara lain:
 Virus herpes simpleks, penyebab penyakit herpes di mulut
dan herpes genital.
 Virus Varicella zoster, penyebab cacar air dan herpes zoster.
 Virus Epstein-Barr, penyebab penyakit mononukleosis.

18 | B a d a n k u K a k u
 Virus penyebab penyakit campak (measles), gondongan
(mumps), dan rubela.
 Virus dari hewan, seperti rabies.
Infeksi virus ini dapat menular, tetapi penyakit ensefalitis
sendiri tidak menular. Selain virus, radang otak juga dapat
disebabkan oleh bakteri atau jamur. Radang otak atau ensefalitis
lebih rentan terjadi pada seseorang dengan sistem kekebalan tubuh
yang lemah, seperti penderita HIV atau orang yang
mengonsumsi obat imunosupresif.
c. Epideminologi
Ensefalitis merupakan peradangan pada jaringan otak,
epidemiologi ensefalitis sangat bervariasi sesuai dengan faktor yang
mempengaruhi masing - masing individu.Penyebab ensefalitis
sendiri sangat banyak, mulai dari virus, bakteri, jamur, sampai
denganyang penyebabnya tidak diketahui secara pasti. Namun
berdasarkan penelitian yangdilakukan, penyebab ensefalitis
terbanyak di indonesia yaitu virus Japanese B
encephalitis.Sebagaimana telah dilaporkan pada tahun 1998 hingga
1999 wabah ensefalitis pada manusiatelah terjadi di malaysia. Hasil
identifikasi CDC menunjukkan bahwa kasus ensefalitis
inidisebabkan oleh Japanese B encephalitis. Di indonesia, kasus
telah banyak dilaporkan, tetapi penyebab ensefalitis tersebut masih 
belum banyak terungkapkarena sulitnya diagnosis dan keterbatasan
perangkat diagnostik yang dapat mendiagnosaantigen dan antibodi
virus yang menyebabkan ensefalitis pada manusia. Sementara
itu, penyakit ensefalitis di indonesia sangat dikaitkan erat dengan in
feksi virus Japanese Bencephalitis. Di indonesia Japanese B
encephalitis telah banyak dilaporkan, baik secara klinis,

19 | B a d a n k u K a k u
serologis,maupun isolasi virus. Gejala ensefalitis tidak dipengaruhi
oleh jenis kuman penyebab, karenasemua manifestasi penyakit yang
ditimbulkan oleh berbagai kuman adalah sama. Hanyadapat
dibedakan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan.Terapi ensefalitis sendiri dilakukan secara suportif dan
didasarkan atas hasil pemeriksaanlaboratorium yang dilakukan.
Enam puluh persen penyebab ensefalitis tidak diketahui,
dari penyebab yang diketahui tersebut kirakira 67 persen berhubung
an dengan penyakit infeksi pada anak. Ensefalitis mempunyai
komplikasi yang sangat kompleks dapat berupa retardasi
mental,iritabel, emosi tidak stabil, halusinasi bahkan epilepsi.
Komplikasi yang terjadi tidak dapatdiketahui dengan pasti kapan
akan bermanifestasi.
d. Patofisiologi
 Ensefalitis bermanifestasi cepat begitu terjadi infeksi virus atau
baru berkembang ketika virus yang semula dorman menjadi
reaktif, virus sangat sederhana namun memiliki kemampuan
menginfeksi yang kuat.
 Virus meninfeksi sel hospes dengan mempenetrasi membran sel
lalu memasukan material genetiknya ke dalam sel (DNA dan
RNA virus
 DNA/RNA virus mengambil alih kontrol berbagai proses dalam
sel untuk produksi lebih banyak virus
 Sel lalu ruptur terlepaslah partikel-partikel virus baru yang akan
menginfeksi sel lain
 Mekanisme virus menginfeksi otak:

20 | B a d a n k u K a k u
 Invasi secara perlahan: virus dibawa ke aliran darah  sel saraf
otak  berkumpul dan menggandakan diri  menyebar secara
luas di dalam otak  ensefalitis difusa
 Virus menginfeksi jaringan lain lalu invasi ke sel otak  infeksi
fokal  kerusakan berat area kecil di otak
 HSV1: transmisi virus dari seseorang terinfeksi ke orang lain
melalui kontak personal melalui mukosa /kulit terkelupas,
infeksi primer di mukosa orofaring  HSV1 ditransportasikan
ke SSP melalui aliran retrograde akson n.trigeminus, infeksi
laaten virus di ganglion trigeminal  reaktivasi infeksi laten
ganglion disertai repilkasi virus ensefalitis, infeksi pada
korteks temporal, struktur limbic
 Atau infeksi primer: inokulasi virus intranasal  invasi bulbus
olfaktorius, menyebar via alur olfaktorius  orbitofrontal dan
lobus temporal
 Arbovirus diinokulasi ke dalam hospes secara subkutan melalui
gigitan nyamuk/kutu, replikasi lokal di kulit  viremia 
inokulasi virus cukup luas  invasi dan infeksi SSP
 Infeksi awal sel endotel kapiler serebral  infeksi neuron,
pleksus khoroid  CSS intraventrikular dan infeksi sel ependim
ventrikular  jaringan subependimal periventrikular otak
 Virus menyebar sepanjang dendrit/prosesus akson
 Lokasi lesi arbovirus: korteks gray matter, batang otak, nukleus
talamikus
 Ensefalitis japanese virus, West Nile Virus, Eastern Equine di
basal ganglia.

21 | B a d a n k u K a k u
e. Manifestasi Klinis
Gejala mirip flu yaitu demam, mengantuk, malaise dan
mialgia, nyeri kepala, muntah, perubahan tingkat kesadaran,
fotofobia, bingung, kadang kejang, gangguan bicara, pergerakan
dan perubahan tingkah laku (kepribadian), hemiparesis, hilang
ingatan. Pemeriksaan fisik akan ditemukan : kesadaran menurun,
demam, perubahan keperibadian, kejang, dapat didapatkan kaku
kuduk ataupun defisit neurologis fokal.
2.3 Diagnosis skenario

Manisfestasi Klinis Tetanus Meningitis Bakterial Epilepsi Ensefalitis


Kejang kaku + + +/- +/-
Kejang seluruh badan + + + +
Kesadaran baik + - - -
Kaku tengkuk + + + +/-
Sulit membuka mulut + - - -
Kuduk kaku + + - -
Perut keras seperti papan + - - -
Riwayat luka + +/- - +/-
Tidak ada riwayat kejang + + - -
Diagnosis Kerja yang kami dapatkan berdasarkan hasil diskusi ialah
tetanus, karena manifestasi klinis tetanus mendekati keluhan yang ada pada
kasus di skenario. Akan tetapi untuk diagnosis banding yang lainnya
memungkinkan juga untuk menjadi diagnosis utama pada skenario,
dikarenakan keterbatasan data hasil pemeriksaan penunjang lainnya di
scenario yang berguna untuk membuktikan secara jelas dan pasti terkait
dengan diagnosisnya.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani
pada hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus

22 | B a d a n k u K a k u
diingat bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien
akan atau telah menderita tetanus. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan serebrospinal normal tetapi tekanan
dapat meningkat akibat kontraksi otot. Setelah diagnosis tetanus dibuat harus
ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus
dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan
Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu
prognosis.
2.5 Tatalaksana
2.5.1 Umum
 Tujuan: mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran
toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan
sampai pulih.
 Tindakan:
o Merawat dan membersihkan luka/debridement dan injeksi ATS.
o Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus à diet
personde atau parenteral.
o Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, sinar yang
dapat memicu kejang.
o Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu.
Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit

2.5.2 Obat- obatan


 Antibiotika :

23 | B a d a n k u K a k u
o Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/hari selama 10 hari,
IM.
o Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif C.
tetani bukan untuk toksin yang dihasilkannya.
 Antitoksin
o Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin
(TIG) dengan dosis 3000-6000 IU, satu kali pemberian saja
(IM).
o Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus
antitoksin yang berasal dari hewan, dengan dosis:
 Hari pertama 40.000 IU,
 Hari kedua 40.000 IU,
 Hari ketiga 20.000 IU.
 Waspadai reaksi allergi.
2.6 Komplikasi
 Hambatan jalan napas, sehingga pada tetanus yang berat terkadang
memerlukan bantuan ventilator.
 Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur
dari tulang spinal dan tulang panjang, serta rhabdominalis yang sering
diikuti oleh gagal ginjal akut.
 Komplikasi yang agak sulit ditangani adalah gangguan otonom, kerena
pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonomnya
meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi
dan bradikardia.

2.7 Prognosis

24 | B a d a n k u K a k u
Perjalanan penyakit tetanus yang cepat, menandakan prognosa yang
jelek. Selain itu umur dan tand – tanda vital juga menunjukan prognosis dari
penyakit tetanus. (dubia ed malam).

25 | B a d a n k u K a k u
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan dari keluhan - keluhan dan pemeriksaan fisik yang ada, penyakit
tetanus adalah diagnose yang paling sesuai bagi kelompok kami. Adanya riwayat
penyakit sebelumnya terkena trauma paku dan adanya gejala-gejala spasme otot
wajah yang merupakan gejala – gejala dari tetanus adalah salah satu penguat dari
diagnosis kelompok kami. Seperti yang diketahui, tetanus dapat didefinisikan sebagai
keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada
rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain,.
Meskipun demikian, pemeriksaan penunjang tetap perlu dilakukan untuk dapat lebih
menegakkan dari diagnose ini.

26 | B a d a n k u K a k u
DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization. Epilepsy: fact sheet. WHO (serial online) 2016.
(diunduh 14 Agustus 2018) Tersedia dari: WHO media Centre.

Octaviana F, Budikayanti A, Wiratman W, Indrawati LA, Syeban Z.


Bangkitan Epilepsi. Buku Ajar Neurologi Buku 1 Departemen Neurologi FKUI.
2017:75-95.

Ngoerah, IGNG. 2017. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Denpasar: Udayana


university press.hal 348-394

Perdossi. 2016. PPK Neurologi.hal 181-192

Dahlan, Z. PPOK. Dalam: Setiati, S., et al., editor. (2015). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, Edisi ke-VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I,, Simadibrata, M., Setiati, S. 2017.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.

Surya, R. (2016). Skoring Prognosis Tetanus Generalisata pada Pasien


Dewasa. CDK-238, 43(3).

World Health Organization. 2011. Progress towards the global elimination of


neonatal tetanus. Wkly Epidemiol Rec. 74:73-80.

27 | B a d a n k u K a k u

Anda mungkin juga menyukai