Anda di halaman 1dari 25

Antara Agama dan Budaya

Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama
bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama adalah
“karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan demikian, agama
bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari agama. Ini tidak
berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan saling berhubungan erat
satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah Sang
Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia, alam
semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran
Allah, yang disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh
manusia-manusia yang memeluknya.

Di tengah masyarakat, kita melihat praktek-praktek keberagamaan yang bagi


sebagian orang tidak terlalu jelas apakah ia merupakan bagian dari agama atau
budaya. Ambil contoh tradisi tahlilan. Tidak sedikit di kalangan umat Islam yang
beranggapan bahwa upacara tahlilan adalah kewajiban agama, yang harus mereka
selenggarakan meskipun untuk itu harus berhutang. Mereka merasa berdosa kalau
tidak mengadakan tahlilan ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia.
Padahal yang diperintahkan oleh agama berkaitan dengan kematian adalah
“memandikan, mengkafani, menyalatkan, mengantar ke makan, memakamkan, dan
mendoakan”. Sangat simple dan hampir tidak memerlukan biaya. Ini berarti bahwa
upacara tahlilan pada dasarnya adalah tradisi, bagian dari budaya bangsa, yang
mungkin telah ada sebelum datangnya Islam, yaitu tradisi kumpul-kumpul di rumah
duka, yang kemudian diislamkan atau diberi corak Islam. Yang perlu dilakukan dalam
hal ini adalah membenahi pemahaman dan penyikapan umat terhadap praktek-
praktek keberagamaan seperti itu secara proporsional.

Sekedar perbandingan bisa dikemukakan di sini kewajiban agama yang bernama


qurban (sekali setahun) dan aqiqah (sekali seumur hidup). Qurban dan Aqiqah adalah
perintah agama meskipun kedudukan hukum fikihnya hanya sunnah mu`akkadah.
Tapi di tengah masyarakat muslim secara umum, qurban dan aqiqah ini kalah pamor
dibandingkan dengan tahlilan. Apakah ini berarti umat Islam lebih peduli terhadap
urusan kematian daripada urusan kehidupan? Wallahu ’alam. Yang pasti bahwa
“sanksi sosial” yang dijatuhkan kepada orang yang tidak mengadakan tahlilan lebih
keras dibandingkan dengan orang yang tidak melaksanakan qurban dan aqiqah.

Adalagi produk budaya yang disalahpahami sebagai bagian dari agama sehingga
dianggap sebagai bid’ah. Misalnya kesenian yang bercorak Islam. Banyak puisi
madah nabawi (pujian kepada Nabi) ditulis dalam bahasa Arab, kemudian dilagukan
dan diiringi dengan musik. Lagu dan musik semacam ini di Indonesia disebut lagu
atau musik shalawat. Karena shalawat itu bagian dari ibadah dan kalimat-kalimatnya
sudah diajarkan oleh Nabi SAW, maka puisi madah nabawi (yang kalimatnya berbeda
dengan yang diajarkan oleh Nabi), apalagi lagu dan musiknya, serta merta dinilai
sebagai bid’ah. Anehnya, puji-pujian kepada Nabi yang ditulis dalam bahasa
Indonesia, yang kemudian dilagukan dan diiringi musik, tidak dimasukkan dalam
katagori bid’ah. Puisi-puisi pujian untuk Nabi (termasuk yang ditulis dalam bahasa
Arab) adalah produk budaya dengan muatan cinta kepada Rasulullah SAW dan doa
kepada Allah SWT.

Pada prinsipnya, Islam datang ke suatu daerah (termasuk ke jazirah Arabia sebagai
tempat kelahirannya) tidak untuk menghapuskan semua produk budaya termasuk
tradisi yang sudah hidup di tengah masyarakat. Ada tradisi Arab (masa jahiliah) yang
dilarang, ada yang dibiarkan, ada yang dikembangkan, dan ada yang diislamkan dan
dijadikan bagian dari ajaran Islam. Pertanyaan pokok, dalam menghadapi beragam
budaya dan tradisi di tengah masyarakat, adalah apakah budaya dan tradisi itu tidak
bertentangan dengan pokok-pokok akidah, syariah dan akhlak Islam?

SEBARAN

0
BACA SELANJUTNYA

Sabilus Salikin (94): Cara Mursyid Mentalqin Masuk Tarekat Khalwatiyah

Dalam kehidupan sehari-hari, agama identik dengan


kebudayaan. Karena kedua-duanya merupakan pedoman
bertindak, sebagai petunjuk dalam kehidupan. Bahkan para
antropolog menempatkan agama sebagai bagian dari
kebudayaan. Bedanya, Agama diyakini berasal dari wahyu
Tuhan yang kebenarannya mutlak, sementara kebudayaan
berasal dari kesepakatan manusia.
Agama bersifat sakral (suci) dan kebudayaan bersifat profan
(“manusawi”). Tetapi ketika keduanya dipraktikkan dalam
kehidupan bermasyarakat, maka tidak akan bisa dipisah-pisahkan.

Ketika Islam datang pada masyarakat, masyarakat ketika itu sudah


lebih dahulu memiliki petunjuk-petunjuk yang mereka gunakan
sebagai pedoman yang sifatnya masih lokal. Mereka hidup dengan
pedoman yang telah mereka miliki tersebut. Datangnya Islam
identik dengan datangnya kebudayaan baru yang akan berinteraksi
dengan kebudayaan lama dan mengubah unsur-unsur kebudayaan
lama.

Agama-agama besar, termasuk Islam, selalu mengalami proses


domestikasi, yaitu pemahaman dan pelaksanaan agama disesuaikan
dengan konteks dan kemampuan masyarakat lokal. Agama akan
mudah diterima masyarakat apabila ajaran agama tersebut memiliki
kesamaan dengan kebudayaan masyarakat, sebaliknya agama akan
sulit diterima masyarakat apabila kebudayaan masyarakat berbeda
dengan ajaran agama.

Sebagai contoh Islam mudah diterima oleh masyarakat Jawa karena


banyak unsur yang sama antara keduanya terutama dalam ajaran-
ajaran sufismenya.

Tapi Islam sulit berkembang di Papua Karena Islam mengharamkan


babi, sementara masyarakat papua menganggap babi sebagai
bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan mereka, baik
dalam kehidupan ekonomi, sosial maupun politik lokal.

Baca juga:  75 Tahun Gus Mus: Hidup dalam Tiga Aksara

Islam sebagai ajaran yang normatif dari Tuhan diakomodasi ke


dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan
identitasnya masing-masing.

Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an melontarkan gagasan


tentang Pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam telah menjadikan
agama dan budaya tidak saling menyalahkan, melainkan berwujud
dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya
yang autentik dari agama, serta berusaha mempertemukan
jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagaman
(Islam) yang sesuai dengan konteks lokal, dalam wujud “Islam
Pribumi” sebagai jawaban dari “Islam Autentik” atau “Islam Murni”
yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas
Islam di seluruh penjuru dunia. “Islam Pribumi” justru memberi
keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama
(Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda.

Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal,


melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di
Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar. Islam
bersifat universalis. Keuniversalan Islam berawal dari pandangan
teologi umat Islam, bahwa Alquran itu salihun li kulli zaman wa
makan, Alquran selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat.

Pandangan teologi tersebut, lantas mengharuskan umat Islam untuk


selalu mendialogkan antara Alquran sebagai teks (nas) yang
terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang
dihadapi umat Islam di tuntut untuk selalu menafsirkan Alquran
sesuai dengan konteks sosial historis yang di hadapinya dan selalu
berubah.

Baca juga:  Masjid Agung Taipei, Warisan Chiang Kai-shek yang Jadi


Monumen

Alquran dan hadis sebagai sumber Hukum Islam utama juga


menjelaskan tentang hubungan antara Islam dan budaya. Di
antaranya adalah surat al-A’raf ayat 199 , yang artinya: “Jadilah
Engkau Pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.

Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa kata ‫ العر ف‬sama dengan ‫معر‬


‫ وف‬yakni sesuatu yang dikenal dan dibenarkan di masyarakat,
dengan kata lain adat istiadat yang didukung oleh nalar yang sehat
serta tidak bertentangan dengan ajaran agama.
BACA JUGA

TRADISI
Warisan Kuliner Istana Prawoto: Membaca Berita dalam Serat Centhini
Alquran membuka pintu yang cukup lebar guna menampung
perubahan nilai akibat perkembangan positif masyarakat. Hal ini
agaknya ditempuh karena ide/nilai yang dipaksakan atau yang tidak
sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat tidak akan dapat
diterapkan. Konsep “ma’ruf” hanya membuka pintu bagi
perkembangan positif masyarakat, bukan perkembangan
negatifnya.

Sedangkan hadis Nabi saw yang menjelaskan tentang Islam dan


budaya diantaranya adalah :
‫ض‬ِ ْ‫ث أَ َح ًدا مِنْ أَصْ َح ِاب ِه فِيْ َبع‬
َ ‫صلىَّ هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َب َع‬ َ ‫َعنْ أَ ِبيْ م ُْو َسى ْاألَ ْش َع ِريِّ رضي هللا عنه َقا َل َك‬
َ ُّ‫ان ال َّن ِبي‬
‫ رواه مسلم‬.»‫ ويسِّروا وال ُت َعسِّروا‬، ‫ وال ُت َن ِّفرُوا‬، ‫ «ب ِّشروا‬: ‫ َقا َل‬، ‫أَمْ ِر ِه‬.

Artinya : Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari
sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan berpesan:
“Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci
(kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR.
Muslim [1732])

Baca juga:  Ihwal Sarung: dari Mulai untuk Berdoa, Bergaya, hingga


Bercinta

Hadis ini memberikan pesan bahwa Islam itu agama yang


memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain
membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain
dengan menerima system dari luar Islam yang mengajak pada
kebaikan. Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat
untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan lama. Menolak
tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka.
Dari penjelasan kedua sumber hukum Islam utama di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa, Islam adalah agama yang selalu sesuai
dengan zaman dan tempat di mana pun keberadaannya, dalam
konteks inilah, Islam menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan
identitas normatif Islam sendiri.

Islam selalu mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang


ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran
agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai
wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan
demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang
ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini
menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.

PRINSIP-PRINSIP KEBUDAYAAN ISLAM

Kebudayaan Islam berdasarkan pada beberapa prinsip:

1. Tuhan dalam Islam hanya Allah.

Maka semua perintah Allah diperlakukan bagi seluruh manusia dimanapun mereka
berada, hal tersebut melingkupi seluruh manusia baik sebagai subjek (melaksanakan
perintah-perintah Allah) dan juga sebagai objek (semua perintah Allah dilaksanakan
manusia). Sebelum adanya Islam, umat manusia hidup secara berkelompok, hal ini
berlandaskan pada ras atau budaya bahkan keduanya. Islam memberi fondamen baru
bagi kelompok-kelompok tersebut, yaitu yang dikenal dengan ummah. Ummah adalah
suatu kesepakatan yang meliputi beberapa hal yaitu wawasan, kehendak dan perbuatan
secara bersama-sama yang dilakukan oleh umat Islam.

Persaudaraan universal yang disebabkan oleh tauhid (mengesakan Allah dan meyakini
bahwa Rasulullah saw adalah utusan Allah) memerlukan suatu formasi baru, sebab
umat Islam adalah suatu masyarakat baru yang dikelompokkan bukan berlandaskan
pada suku atau ras, namun pada agama, maka bagi orang-orang nonmuslim diharapkan
dapat membuka diri dengan cara menghindari garis keturunan dan kesukuan serta
melaksanakan koordinasi yang berlandaskan agama. Agama bukan memberikan
gambaran keterbelakangan dan prinsip pengorganisasian yang statis, banyak
purbasangka, dipenuhi hal-hal yang eksklusif, seperti yang dibayangkan oleh orang-
orang barat. Agama mewujudkan segi kehidupan manusia yang terpenting di dunia
karena mengarah kepada tujuan tertinggi yang dapat diraih oleh manusia (Al Faruqi,
1988: 190). 

Ikatan persaudaraan secara universal di dalam Islam, dapat ditunjukkan pada zaman
Nabi Muhammad saw sebelum hijrah dari Makkah ke Madinah, yaitu pada bulan Juli 622
M mengadakan suatu piagam perjanjian antara orang-orang Yahudi dengan umat
Islam. 

2. Dunia baru Islam merupakan pranata perdamaian. 

Penjajahan, perseteruan di antara bangsa-bangsa di dunia harus dihapuskan.


Mewujudkan suatu perdamaian harus bersifat umum dan transparan bagi seluruh
manusia, perseorangan maupun kelompok. Peraturan perdamaian harus diberikan
kepada semua orang tanpa pandang bulu, diharapkan secara keseluruhan diterima
dengan sepenuh hati tanpa adanya paksaan. Pranata perdamaian harus diberikan
kepada semua orang tanpa perkecualian, dan diharapkan semuanya dapat menerima
dan ikut berpartisipasi serta masuk sebagai anggota, seandainya terjadi tawaran
perdamaian tersebut ditolak, maka hal ini berarti yang menolak tidak menghendaki
terwujudnya suatu perdamaian, sehingga terjadi peperangan. Perdamaian di dunia
sebenarnya selalu dinanti-nantikan kehadirannya oleh siapa saja, tinggal manusianya
mau berupaya untuk dapat mewujudkan perdamaian tersebut atau bahkan menolaknya,
maka yang akan terjadi adalah kerusuhan, keributan dan kerusakan dunia, yang tidak
lain merupakan perbuatan manusia sendiri (Al Faruqi, 1982: 194-195).

3. Hukum Islam terkait hubungan bangsa dan negara.

Penawaran perdamaian yang diberikan oleh negara Islam kepada negara-negara di


seluruh dunia diterima dengan baik, hal itu berarti telah terwujud suatu Pax Islamica
(Pranata Dunia Baru), maka semua negara yang ada didalamnya berhak memperoleh
privilege, sehingga tata aturan yang meliputi berbagai macam bidang, seperti politik,
ekonomi, sosial, budaya, agama,  pertahanan dan keamanan akan mendapatkan
perlindungan dari negara Islam yang sudah terbentuk. orang-orang nonmuslim dan
bukan warganegara Islam, dapat dan boleh mengajukan tuntutan kepada pengadilan
Islam. 

Hukum Internasional Islam mengakui hak-hak yang dimiliki negara dan juga para
individu, hal ini merupakan suatu kelebihan hukum Islam, karena bertujuan memperoleh
keadilan terutama bagi orang per orang, sedang hukum Internasional barat bertujuan
mewujudkan akomodasi bagi negara-negara yang berdaulat, dengan melupakan
kebutuhan individu, bahkan yang terjadi kebutuhan individu diabaikan demi kebutuhan
para penguasa. Hukum Internasional Islam berupaya untuk mengembalikan nama baik
para tawanan perang agar dapat meraih kebebasan, lewat usaha atas kehendaknya
sendiri; ataupun dengan pertolongan kawan-kawan dan handai tolan, baik mengenai
harta maupun yang lainnya.

Hukum Islam mengajak seluruh umat Islam untuk menyisihkan 1/7 dari dana zakat untuk
menebus tawanan perang, baik muslim maupun nonmuslim; hal ini merupakan
perbuatan yang demikian mulia, karena membebaskan tawanan dapat menjadi penebus
dosa besar (Al Faruqi, 1982: 197-198).

Jual beli dalam negara Islam yang berkaitan dengan orang, barang, dana melalui
daerahnya dapat menjadi inti perjanjian antara negara Islam dengan orang asing yang
bersangkutan, hal ini disebut isti’man. Hukum Internasional Islam lebih mengutamakan
keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, kesejahteraan, kebutuhan, dan kemakmuran
yang menjadi milik perorangan (individu) daripada hukum internasional barat yang lebih
mengutamakan kebutuhan kelompok.

4. Hukum yang terkait dengan perang.

Timbal balik dari seluruh hak yang dimiliki oleh setiap orang dan kelompok dalam Pax
Islamica hanyalah berupa satu kewajiban yaitu pajak setahun sekali yang berasal dari
orang-orang non muslim, yang dinamakan jizyah. Pajak ini lebih kecil, dibanding zakat
yang harus dibayar oleh setiap orang Islam. Hukum Islam memutuskan bahwa negara
Islam harus mengembalikan jizyah kepada orang-orang Nasrani dan Yahudi yang sudah
diambil dari mereka bagi tahun berikutnya, apabila ini tidak dapat melindungi desa-desa
perbatasan mereka dari serangan tentara Byzantium atau musuh yang tidak dikenal.

Hukum Islam dalam menyatakan perang tidak berada pada lembaga eksekutif, namun
pada Mahkamah Agung yang akan membuktikan serangan atau ketidakadilan yang
dilakukan negara Islam dan warga negaranya (AlFaruqi, 1982: 199). Mahkamah Agung
dapat menerapkan hukuman baik yang berasal dari pengadilan maupun Allah bagi
seseorang yang membunuh, merusak harta benda, menyerang pendeta, wanita dan
anak-anak, kecuali apabila mereka secara langsung ikut dalam peperangan.

SEJARAH PEMIKIRAN KEFILSAFATAN DALAM ISLAM

Teori yang ditumbuhkembangkan oleh Harun Nasution, sejarah intelektual Islam


dikelompokkan dalam tiga periode:

1. Periode Klasik; tahun 650-1250 M.


2. Periode Pertengahan; tahun 1250-1800 M.
3. Periode Modern; tahun 1800-sekarang.

Zaman periode klasik, terdapat beberapa mazhab, seperti Imam Hanafi, Imam Hambali,
Imam Syafi’i, dan Imam Maliki. Selaras dengan hal itu timbul beberapa filosof muslim,
seperti Al Kindi yang lahir pada tahun 801 M yang dikenal sebagai seorang filosof Islam,
berasal dari Arab (Kufah). Salah satu pemikiran Al Kindi, menyatakan bahwa filsafat
merupakan bagian dari kebudayaan Islam, maka filsafat Islam dikatakan filsafat religius
spiritual, karena:

1. Filsafat Islam meneliti problematika yang satu dan yang banyak.


2. Filsafat Islam membahas tentang hubungan antara Allah dengan makhluk.
3. Filsafat Islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, akidah dengan
hikmah, agama dengan filsafat.
4. Filsafat Islam berupaya menerangkan bahwa:

a) Wahyu tidak bertentangan dengan akal.


b) Akidah apabila diterangi dengan sinar filsafat akan menetap dalam jiwa dan tangguh
dihadapan            lawan.
c) Agama apabila bersaudara dengan filsafat akan menjadi filosofis, seperti halnya
filsafat akan     menjadi religius (Madkour, 1988: 7-8).

Pada abad yang sama, lahir juga seorang filosof Islam yang memiliki nama besar, yaitu
Muhammad Zakaria Al-Razi, lahir pada tahun 865 M/251 H di Rayy (Teheran), ia dikenal
sebagai seorang dokter yang memimpin sebuah rumah sakit di Rayy. Al-Razi kemudian
pindah dari Rayy ke Baghdad yaitu pada masa Khalifah Muktafi (289 H/ 901 M – 295 H /
908 M), dan di Baghdad Al-Razi juga menjadi pemimpin sebuah rumah sakit. Al-Razi
adalah seorang yang baik hati, dekat kepada para pasiennya, suka berderma kepada
orang-orang fakir miskin, dan ia memberikan perawatan sepenuhnya dengan gratis dan
mengikhlaskan hasil kerja kerasnya kepada mereka (Syarif, 1985: 32-22). Al Razi dapat
digolongkan sebagai seorang filosof yang berfaham rasionalis, karena hanya meyakini
kebenaran akal saja, di bidang kedokteran, studi klinis yang dilaksanakannya sudah
menghasilkan metode yang demikian kuat mengenai penelitian yang berdasarkan pada
observasi dan eksperimen (Syarif, 1985: 37-38).

Pada tahun 870 M, lahir seorang filosof besar Islam yaitu Al Farabi yang mendapat gelar
Al Mu’alim as-tsani (Guru Kedua setelah Aristoteles). Al Farabi berpendapat bahwa
kebenaran filsafat hanyalah satu, sebab filsafat menurut Plato dan Aristoteles tidak
dapat dibedakan. Perbedaan yang dapat dilihat yaitu pada hal-hal yang sifatnya lahiriah
saja, sedang hakikatnya sama. Al Farabi menulis buku berjudul: Al-jam’u Baina Ra’yai
Al-Hakimain” (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof Plato dan Aristoteles) (Basyir,
1989: 33).

Abad selanjutnya, diteruskan oleh seorang filosof Islam yaitu Ibnu Miskawaih yang
mendapat gelar Bapak Etika Islam, lahir pada tahun 932M. Ibnu Miskawaih di samping
dikenal sebagai seorang filosof, tabib, ahli ilmu pengetahuan dan pujanggawan,
bersama dengan hal itu Ibnu Miskawaih merasa demikian prihatin melihat situasi
masyarakat banyak terjadi kerusakan moral, sehingga dengan segenap perasaannya, ia
menyempatkan diri menulis beberapa buku yang berkaitan dengan masalah moral (Etika
Islam), di antara buku-buku tersebut, antara lain: Fauz Al Akbar, Tartib Al Sa’adah, Al
Siyar, Tahdzib Al Akhlaq,dan Jawidan Khirad. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa
setiap yang ada itu dapat berubah menjadi baik, jika ia memiliki keinginan untuk
merubahnya dan hal tersebut didasari dengan harkat dan martabat kemanusiaannya
(Widyastini, 2004: 52-53).Pada tahun 1037 M, lahir seorang filosof Islam yaitu Ibnu Sina,
Ibnu Bajjah tahun 1138, Ibnu Thufail tahun 1147 M, Ibnu Rusyd tahun 1126 M.

Pada periode pertengahan tahun 1250-1800 M, menurut sejarah pemikiran Islam dinilai
mengalami kemunduran, sebab filsafat mulai ditinggalkan oleh umat Islam, sehingga
terdapat usaha untuk mempertentangkan antara akal dengan wahyu, iman dengan ilmu,
dunia dengan akhirat. Pengaruh tersebut masih dapat dirasakan sampai saat ini dan hal
ini dibuktikan dengan tidak ada daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Islam yang
secara utuh melingkupi beberapa kerajaan Islam, di antaranya Kerajaan Usmani, Safawi
dan Mogul dan pada periode pertengahan ini perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi demikian terbatas.

Pada periode modern, umat Islam bangkit kembali, maka periode ini dikatakan sebagai
Masa Kebangkitan Islam, dan hal ini ditandai dengan adanya kesadaran umat Islam
terhadap kelemahan-kelemahannya, sehingga ada kehendak membangkitkan kembali
ilmu pengetahuan dan teknologi; maka kemudian lahirlah para tokoh pembaharu dan
para filosof Islam dari berbagai negara Islam di dunia ini (Tim Penulis Ensiklopedi Islam,
1997: 258). Pembaharuan dalam Islam pada prinsipnya merupakan usaha untuk
memberi penafsiran kembali terhadap ajaran-ajaran Islam yang sudah tidak sesuai lagi
dengan situasi dan kondisi perkembangan zaman, sebagai akibat timbulnya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengajak umat Islam melepaskan diri
dari ikatan kejahiliyahan menuju kepada perkembangan dan kemajuan.

MASJID SEBAGAI PUSAT PERADABAN ISLAM

Masjid biasanya dipahami oleh sebagian besar masyarakat merupakan rumah ibadah,
terutama untuk shalat, padahal sebenarnya masjid memiliki fungsi yang demikian luas
daripada sekedar untuk shalat. Masjid pada awal berdirinya belum berpindah dari fungsi
yang utama yaitu untuk melakukan shalat, namun perlu diketahui bahwa masjid pada
zaman Rasulullah saw dimanfaatkan sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Islam.
Nabi Muhammad saw menumbuhkembangkan agama Islam termasuk didalamnya
mengajarkan Al Qur’an, Al Hadits, bermusyawarah untuk mufakat dalam usaha
menyelesaikan berbagai macam persoalan umat Islam, membina sikap dasar umat
Islam kepada orang-orang nonmuslim, sehingga segala macam ikhtiar untuk
mengembangkan kesejahteraan umat Islam justru berasal dari masjid.
Masjid merupakan ajang untuk mengumumkan hal-hal penting terutama berkaitan
dengan hidup dan kehidupan umat Islam. Persoalan suka dan duka, peristiwa-peristiwa
yang terjadi di sekitar masjid diberitahukan kepada masyarakat melalui masjid. Masjid
juga berfungsi dalam hal pendidikan dan penerangan untuk masyarakat serta
merupakan tempat belajar bagi semua orang yang akan belajar dan mendalami agama.
Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, semua pertanyaan yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan, agama maupun masalah hukum langsung dilontarkan dan
dicarikan jawabannya secara langsung oleh beliau, maka ketika itu belum diperlukan
kepustakaan Islam.

Asas Islam didalamnya mengandung kepustakaan, hal ini dapat dilihat pada waktu
turunnya wahyu yang pertama yaitu surat Al Alaq ayat 1-5, artinya:

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang
mengajar manusia dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya” (Departemen Agama, 1989: 1079). 

Ayat tersebut mengandung makna bahwa tempat bersandar kepustakaan adalah


membaca dan menulis, tanpa menulis maupun membaca buku-buku tidak pernah ada.
Membaca dan menulis merupakan pertanda bagi lahirnya kepustakaan Islam sesudah
nabi wafat. Kitab yang pertama dan utama dalam Islam adalah kitab suci Al Qur’an.
Kitab yang kedua adalah As Sunnah (Al Hadits). Kitab-kitab yang ditulis setelah Al
Qur’an dan As Sunnah memiliki sifat menjelaskan, membahas, memberi penafsiran,
mengolah, menumbuhkembangkan, dan meneruskan kedua kitab tersebut. 
Kepustakaan Islam adalah pusat pendidikan, pengajaran, dan dakwah Islam. Pada
waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, perpustakaan belum tersedia, tetapi secara
keseluruhan berdasarkan pada wahyu pertama sebagaimana termaktub dalam Al
Qur’an. Mereka yang berkeinginan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
memperdalam ilmu, maka masjid merupakan perpustakaan sekaligus sebagai gudang
ilmu (Gazalba, 1975: 119).

Masjid berfungsi sebagai tempat sosial, yang dipergunakan seperti hotel bagi seseorang
sedang mengadakan perjalanan (musafir), hal itu juga pernah dialami oleh seorang
budak wanita yang baru dibebaskan, karena tidak memiliki rumah kemudian ia
mendirikan kemah di halaman masjid (Gazalba, 1975: 121). Orang-orang di dalam
masjid mengumandangkan ayat-ayat Al Qur’an dengan suara merdu, juga
diperdengarkan lagu-lagu yang berciri khas Islami.

Masjid berasal dari istilah sajada, yasjudu yang mengandung arti bersujud atau
bersembahyang. Masjid merupakan rumah Allah (Baitullah), sehingga orang yang
masuk ke masjid diperintahkan shalat sunnah tahiyatul masjid (menghargai masjid)
sebanyak dua rakaat.

Masjid pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad saw di Madinah, yaitu pada tahun
622 bulan Rabiulawal tahun I Hijriyah, bertepatan dengan awal mula Nabi Muhammad
saw bertempat tinggal di Madinah, masjid tersebut adalah masjid Madinah (Masjid
Nabawi), adalah masjid utama ketiga sesudah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa.

Sejarah pertumbuhan bangunan masjid berkaitan erat dengan perkembangan daerah


Islam dan timbulnya kota-kota baru. Pada waktu awal tumbuh kembangnya Islam ke
berbagai negara, umat Islam bertempat tinggal di tempat yang baru, dengan
menggunakan sarana masjid sebagai ajang untuk kepentingan sosial. Masjid adalah
hasil budaya umat Islam dalam bidang teknologi konstruksi yang sudah diawali
semenjak awal mula dan merupakan corak khas negara atau Kota Islam (Tim Penulis
Ensiklopedi Islam, 1997: 169-171). 

Masjid juga salah satu bentuk pengejawantahan tumbuhnya kebudayaan Islam yang
demikian penting. Bentuk bangunan masjid juga menggambarkan Allah (Sang Pencipta)
serta merupakan pertanda tingkat tumbuhkembangnya kebudayaan Islam. Konstruksi
masjid yang indah dan mempesonakan dapat ditemukan di Spanyol, India, Suria, Kairo,
Baghdad serta beberapa daerah di Afrika juga merupakan pertanda sejarah monumen
umat Islam yang pernah mengalami zaman keemasan pada bidang teknologi konstruksi,
seni dan ekonomi. Seni arsitektur yang demikian indah kelihatan dalam berbagai masjid
berada di seantero dunia tidak timbul secara mendadak, namun melalui proses
pertumbuhan secara tahap demi tahap. Diawali dari konstruksi bangunan yang
sederhana sampai pada bentuk bangunan yang sempurna, terjadi dari satu generasi ke
generasi berikutnya.

Seni arsitektur masjid tidak terlepas dari pengaruh seni arsitektur Arab, Persia,
Byzantium, India, Mesir, dan Gothik. Bangunan dan ciri khas arsitektur masjid, semenjak
zaman para khalifah sampai saat ini terdapat perbedaan antara satu dengan yang
lainnya, tetapi secara keseluruhan dilandasi adanya jiwa ketauhidan dan perwujudan
rasa cinta dan kasih sayang kepada Allah SWT.

ISLAM DALAM BUDAYA INDONESIA

Dakwah Islam ke Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaannya, maka Islam tidak
lepas dari budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam di Indonesia, dirasakan
demikian sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaan antara ajaran Islam dengan
kebudayaan Arab. Tumbuh kembangnya Islam di Indonesia diolah sedemikian rupa oleh
para juru dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun
budaya seperti halnya dilakukan oleh para wali Allah di Pulau Jawa. Para wali Allah
tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan melalui
bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak sengaja dapat
memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas dan berubah menjadi
adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari dan secara langsung merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia, misalnya:

setiap diadakan upacara-upacara adat banyak menggunakan bahasa Arab (Al Qur’an),
yang sudah secara langsung masuk ke dalam bahasa daerah dan Indonesia, hal
tersebut tidak disadari bahwa sebenarnya yang dilaksanakan tidak lain adalah ajaran-
ajaran Islam. Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga
dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada
awalnya sebenarnya dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat Islam
dimanapun mereka berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia bahwa
segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang agama dan
keyakinannya secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu
bulan penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari nilai-nilai
ajaran Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara sesama handai tolan
dengan cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana akrab
dalam keluarga.
Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat
dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak
bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari
masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun, misal: masjidmasjid yang dibangun oleh
Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan bentuk
joglo yang berseni budaya Jawa.

Perkembangan budaya Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata dapat
ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua yang kemudian diperbaiki dengan ditambah
konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai
batu dengan ubin dan dinding sekat dengan tembok kayu. Hal tersebut dapat
dicontohkan beberapa masjid yang menambah bangunan, yaitu Masjid Agung Banten
(bangunan menara dan madrasah), Masjid Menara Kudus (bangunan bagian depan
berujud pintu gerbang dan kubah dengan gaya arsitektur kayu Indonesia), Masjid Agung
Surakarta (bangunan pintu gerbang dan tembok keliling yang berlubang tiga pintu
dengan lengkung runcing dan menara tempel yang memiliki mahkota kubah, merupakan
hasil modifikasi pintu gerbang masjid-masjid di India. Masjid Sumenep Madura
(bangunan pintu gerbang bergaya arsitektur Eropa), Masjid Jami’ Padang Panjang,
Tanah Datar, Masjid Sarik (Bukittinggi), Masjid Sumatera Barat (pembangunan puncak
tumbang dengan mahkota kubah).

Beberapa masjid di Indonesia yang mengedepankan corak yang demikian baru


(modern), misal: Masjid Raya Medan, Masjid Baiturrahman Banda Aceh yang
mencontoh gaya arsitektur masjid di India (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 172-
173). Bangsa Indonesia setelah meraih kemerdekaan juga banyak berdiri masjid-masjid
model baru, yaitu : Masjid Raya Makassar (Ujung Pandang), Masjid Syuhada
(Yogyakarta), Masjid Agung Al Azhar (Jakarta), Masjid Istiqlal (Jakarta), Masjid Salman
ITB (Bandung). Masjid mempunyai sejumlah komponen yaitu kubah, menara, mihrab,
dan mimbar; komponen masjid yang berciri khas Indonesia adalah beduk. Beduk
terbesar di Indonesia terdapat di dalam masjid Jami’ Purworejo, dibuat oleh orang
Indonesia dengan dirancang sesuai dengan njlai-nilai yang berciri khas Islami dan
berbudaya Indonesia.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin dapat dilihat dalam segala aspek kehidupan
masyarakat di Indonesia, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan agama
sehingga nilai-nilai Islam, terutama yang terdapat dalam kebudayaan Indonesia secara
keseluruhan tidak dapat dihindari, dan sudah menjadi kebudayaan hidup berbangsa dan
bernegara di Indonesia.

2. Tentu merupakan perkara yang disepakati ditengah seluruh kaum muslimin


bahwa agama yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah agama yang sempurna. Karena
apabila ada seorang muslim mengatakan agama Islam agama yang belum sempurna
atau kurang, masih membutuhkan syariat baru, membutuhkan kitab baru selain
kitab Al-Qur’an, membutuhkan Nabi baru selain Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam untuk menyempurnakan syariat, maka keyakinan ini keyakinan
kufur dan dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pada kesempatan yang lalu, telah dibahas tentang lima keistimewaan dari agama ini.
Yaitu,

1. Agama ini sempurna


2. Agama ini umum untuk seluruh manusia bahkan jin. Tidak terbatas untuk
satu kaum saja
3. Langgeng sampai hari kiamat
4. Mudah
5. Sangat jelas.

Baca Juga:
Hak-Hak Baitullah Al-Haram - Tabshiratul Anam bil Huquqi fil Islam
(Ustadz Abu Ya'la Kurnaedi, Lc.)

Agama Islam sudah sempurna. Tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban
umat Islam adalah mengikuti agama Islam yang sempurna ini. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:

‫يت لَ ُك ُم‬ُ ‫ض‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬


ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ ُ ‫ْاليَ ْو َم أَ ْك َم ْل‬
‫ف إِّل ِ ْث ٍم ۙ فَإِ َّن‬ َ ‫اإْل ِ ْساَل َم ِدينًا ۚ فَ َم ِن اضْ طُ َّر فِي َم ْخ َم‬
ٍ ِ‫ص ٍة َغ ْي َر ُمتَ َجان‬
﴾٣﴿ ‫َّحي ٌم‬ ِ ‫اللَّـهَ َغفُو ٌر ر‬
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Ma’idah [5]:3)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala menjelaskan bahwa ini adalah nikmat
Allah yang sangat besar yang diberikan kepada umat ini. Tatkala Allah Subhanahu
wa Ta’ala menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak butuh agama
yang lain selain agama mereka dan nabi lain selain nabi mereka yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan
mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga tidak ada yang halal kecuali
yang beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam halalkan dan tidak ada yang haram kecuali
yang beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam haramkan. Tidak ada agama kecuali yang
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam syariatkan. Semua yang dikabarkan adalah haq
dan tidak ada kebohongan serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana
Allah berfirman:

Baca Juga:
Al-Qowa'idul Mutsla - Bagian ke-3 (Ustadz Firanda Andirja, M.A.)
‫ص ْدقًا َو َع ْداًل‬
ِ ‫ك‬ ْ ‫َوتَ َّم‬
ُ ‫ت َكلِ َم‬
َ ِّ‫ت َرب‬
“Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar
dan adil …” (Q.S Al-An’aam [6]: 115)

A.Islam agama Samawi

Islam adalah agama samawi yaitu agama yang turunnya karena wahyu dari Allah S.W.T.
bukan agama yang muncul karena karangan manusia yang hanya karena ilmunya dan diikuti
oleh umatnya maka ia menciptakan agama. Agama Islam mempercayai bahwa hanya ada satu
Tuhan yang patut disembah yaitu Allah S.W.T. Agama Islam memiiliki kitab suci yaitu Al
Quran yang merupakan kumpulan dari segala macamIlmu pengetahuan yang ada di jagad
raya dan peraturan bagi umat manusia, termasuk didalam Al Quran terdapat tujuan mengapa
manusia terlahir didunia. Berbicara mengenai Islam memang sangat luas, namun disini
sejarah Islam mengkisahkan mengapa Agama Islam yang paling benar. Diterangkan didalam
Al Quran Surat Ali Imran yang artinya :

“sesungguhnya agama yang diridhoi oleh Allah adalah Islam. Tiada berselisih orang-
orangyang telah diberi Al Kitab kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) diantara mereka. Barang siapa yang khafir terhadap ayat-ayat Allah
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya ” (Ali Imran ayat 19)

Jika dilihat dari ayat tersebut sungguh terlihat bahwa agama Islam adalah agama satu-satunya
agama yang disetujui oleh Allah, dan sebenarna munculnya berbagai agama selain Islam
adalah karena munculnya kepandaian karena pengetahuan manusia yang tinggi. Pengetahuan
ini menyebabkan Interpretasi yang berbeda-beda dan menyebabkan konflik.

Dalam sejarah Islam dikisahkan mengapa Allah dan Islam yang dipilih. Disini kita ambil saja
kisahtentang Nabi Ibrahim A.S. dalam usahanya mencari Tuhan. Nabi Ibrahim adalah anak
dari azar seorang pembuat berhala untuk disembah. Tentunya agamanya bukan Islam.
Padasaat itu raja yang berkuasa alah raja Namrud yang mengeluarkan peraturan sangat
kejiyaitu setiap anak laki-laki yang lahir di zaman itu harus dibunuh.Untuk itu orang tua
Ibrahim membuang Nabi Ibrahim ke dalam gua di tengah hutan alasannya agar tidak
mengetahui kematiannya. Namun keajaiban datang ternyata Nabi Ibrahim tetap hidup, saat
kecil Ia hanya memakan madu yang keluar dari jari-jari tangannya.Saat menginjak remaja ke
dewasa NabiIbrahim mulai bertanya siapa yang menciptakannya kepada bapaknya maka
dijawab bapaknyalah yang menciptakan Ibrahim,lalu Ia kembali bertanya lantas siapa yang
menciptakan orang tuanya< kakek nenek jawab orang tuanya. Dari sini Nabi Ibrahim
memikirkan lalu siapa yang menciptakan Manusia Untuk pertama kalinya. Dia kira
bintanglah Tuhan yng menciptakan, lalu dia melihat bulan sinarnya lebih terangmaka ia
berfikir bulanlah Tuhan, namun saat pagi dia mendapati bulan tekah tiada dan melihat
matahari yang lebihbesar, Ia berfikir mataharilah tuhannya ternyata sore hari matahari
terbenam juga, lantas Nabi Ibrahim menyimpulkan bahwa Tuhan adalah yang menciptakan
manusia dan Jagad raya yaitu Allah S.W.T. Nabi Ibrahim memang dikarunia kecerdasan yang
luar biasa.

Pada saat itu orang tua Ibrahim menyembah berhala seperti masyarakat lainnya di zaman
Namrud. Namun Ibrahim tidak mau menyembah karena alasannya patung adalah butan
manusia dan patung tidak bisa apa-apa. Sampailah Ibrahim di puncak kegeramannya melihat
masayarakat melnyembah berhala,suatu ketika Ia mendatangi tempat berhala untuk
peribadahan dan ia hancurkan berhala-berhala itu dengan kapak sampai hanya menyisakan
satu yang paling besar,dan diletakkan kapak tadi di berhala yng paling besar. Raja Namrud
marah bukan main melihat Tuhan-tuhannya dihancurkan, dipanggillah Ibrahim Untuk
menghadap. Disidang dihadapat masayrakat kafir, Ibrahim menjawab bukan dia yang
menghancurkan berhala, tanyalah pada barhala yang paling besar, dia yang memegang kapak
dia pasti yang menghancurkan jawab Ibrahim. Mereka menolaknya mana mungkin patung
bisa bergerak dan menghancurkan patung lainnya . Ibrahim berkata , bahkan kalian
mengetahui bahwa tuhan kalian tidak bisa apa-apa,lalu mengapa kalian masih
menyembahnya? Masih ada kekuatan yang menciptakan kita semua. Mendengar itu Namrud
murka dan membakar Ibrahim hidup-hidup namun tetap tidak apa-apa karena mukjizat
Alllah.

Sungguh Islam merupakan agama yang turun dari Allah buktinya Ibrahim yang anak seorang
kafir pembuat berhala dia mencari Tuhan sendiri karna tak percaya dengan ayahnya
sendiri.Dalam Al Quran surat Al Ikhlas ayat (1-4) dijelaskan yang artinya:

“katakanlah : Allah Yang Maha Esa. Allah adalah tuhan tempat memnta . Allah tidakberanak
dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada satupun yang setara dengan Allah”

Dari surat diatas jelas bahwa perenungan Nabi Ibrahim sangat tepat jika mencoba mencari
Tuhantidak serta merta ikut dengan kedua Orang tuanya. Islam memang menghargai adanya
perbedaan namun tetap menganggap bahwa Islam adalah yhang terbenar.

Pandangan Islam kepada pemeluk agama non Islam

Memang sebelum Turunnya wahyu Al Quran Islam masih besifat periodeisasi dari era Nabi-
Nabi terdahulu, namun Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W memang
berfungsi sebagai kitap yang maha lengkap sehingga tidak muncul lagu kitab setelahnya.
Perbedaan dihargai tinggi oleh Islam. Dalam surat Al Kafifun ayat (1-6) dijelaskan bahwa
umat islam menerima adanya agama lain, dan menganggap bagimu agamamu dan bagiku
agamaku tidak usah saling mencampuri. Untuk ,asing-masing agama masing-masing. Jadi
ajaran Islam mengajarkan perdamaian dalam menyampaikan kebenaran, tanpa ada kekerasan,
jadi teroris itu justru bukan mengamalkan ajaran Islam, atau mereka bukan Islam. Karena
dalam islam tidak pernahdiajarkan memaksa.
B.Pengertian Agama Islam

Aganma islam adalah salah satu agama yang dianut semua umat yang mengakui Allohadalah
Tuhan Yang Maha Esa, dan Muhammad bin abdulloh adalah RosulNYa. Nama agama islam
berasal dari wahyu Al quran yang menyatakan

“Pada hari ini telah Ku sempurnakan agamu dan telah Ku cukupkan nikmatKu dan telah Ku
ridhoi islam sebagai agama bagimu”(Q.S Al-maidah :5)

Islam berasal dari bahasa Arab “aslama” dari kata dasar “salima” yang artinya sejahtera, tidak
tercela, tidak bercacat, dan selanjutnnya di Indonesia menjadi kata “selamat” atau “salm:”
dan silm yang berarti kedamaian, kepatuhan, penyerahan diri kepada Tuhan. Sehingga islam
berarti”agama sejahtera”, “agama perdamaian”

C.Latar Belakang Sejarah

Kota Makkah adalah kota suci bagi umat islam yang berada di sebelah timur kota pelabuhan,
Jeddah.Kota ini berada di lembah yang dikelilingi pegunungan batu. Kota ini telah terkenal
menjadi kota tempat persinggahan dan hingga akhirnya menjadi kota lalu lintas perdagangan
darat

Di dalam kota ini terdapat bangunan kokoh yang disebut ka’bah yang dimuliakan oleh suku
bangsa Arab. Ka’bah ini ada semenjak zaman nabi Ibrohim dan anaknya yaitu Ismail

Ketika bendungan Arab selatan pecah, penduduknya lari ke utara di bawah pimpinan harits
bin ‘Amir dan kemudian menaklukkan pemerintahan, sehingga banyak suku asli
meninggalkan Mekah kecuali suku Quraisy. Sekitar abad 5 masehi kekuasaan Mekah direbut
olehQuashi dari suku Quraisy. Di tangannya, Mekah menjadi lebih baik, mulai dari
pemerintahan,ataupun yang lainnya. Lambat laun banyak suku asing yang datang khususnya
bulan haji untuk memuliakan ka’bah. Tetapi kemudian ibadah itu tidak sesuai ajaran nabi
ibrahim, oleh karena itu, di dalam dan di sekitar ka’bah ada berbagai macam pahala
sesembahan mereka

D.Pendiri Dan Pembawa Agama Islam

Pada 12 Rabbiul awwal atau 20 April 571 M lahir seorang anak yang bapaknya bernama
Abdullah telah meninggal dan dari seoranng ibu, siti Aminah. Dia disambut oleh kakeknya
Abdul Muttalib yaitu penguasa waktu itu. Dia membawa bayi itu ke ka’bah dan memberikan
nama “Muhammad”

Pada saat kelahiran nabi, Abrahah, gubernur dari Yaman mencoba menghancurkan ka’bah
dengan kendaraan gajah, akan tetapi belum sempat menghancurkan, pasukan tersebut
diserang burung ababil yang mampu memporak-porandakan mereka
Sesuai adat kebiasaan orang Arab, anak bayi yanng terhormat dititipkan dan dipersusukan
kepada wanita di luar desa Mekah, dan Halimah Sa’diyah adalah ibu susuan Muhammad. Ia
diasuh Halimah hingga usianya 5tahun,lalu dikembalikan kepada ibunya, yaitu siti Aminah

Ketika berumur 6 tahun, muhammad diajak ziarah ke makamnya dan akan dikenalkan kepada
keluarga neneknya Bani Najjar di madinah dan tinggal disana selama 1bulan. Ketika kembali
ke Mekah, di perjalanan kampung Abwa’ ibunya sakit dan wafat lalu dia diasuh kakeknya
selama 2tahun dan setelah itu kakeknya wafat dan dia dititipkan ke pamannya, Abu Thalib

1.Masa Muda Muhammad

Ketika usia muhammad 12 tahun, dia dibawa pamannya untuk membawa barang
dagangannya ke Syiria. Belum sampai di Syiria, mereka bertemu Buhaira(seorang pendeta
nasrani). Pendeta itu memperhatikan Muhammaddan meyakini ada tanda-tanda kenabian, dan
menyuruh mereka kembali ke Mekah dengan tujuan mencegah orang Yahudi melukai
Muhammad.

Setelah nabi dewasa, ia bekerja membantu membantu seorang pengusaha wanita janda dan
kaya. Muhammad mampu memperoleh laba tinggi dan hingga akhirnya kodijah meminta
paman muhamad untuk menikah dengannya, dn hadijah pun menjadi istri yang taat.
Muhammad juga meemperoleh sebutan Al”amin yaitu yang dapat dipercaya

2.Muhammad Menjadi Rosul

Pengalaman hidup nya ia selalu berada di lingkungan berhala,dan itu membuatnya


menyendiri di gua Hira” diatas jabal nur. Pada suatu malam di 17 ramadhan Muhammad
didatangi malaikay jibril dan membawa perintah untuk membacanya yaitu surat

3.Penyampaian Islam

Sejak turunnya wahyu pertama, nabi masih suka menyendiri di gua Hira, lalu setelah 2,5
tahun disana tidak mendapatkan apa-apa.di suatu ketika, rosul didatangi wahyu kedua
yaitudalam Q.S 74:1-4 yang mana isinya adalah tugas nabi Muhammad untuk menyampaikan
ajaran Tuhan kepadanya. Sasaran pertama dalah orang terdekat dan keluarga. Orang pertama
yang mengikuti ajaran Rosul adalah hadija, ali bin abi thalib( anak pamannya), dan Zaid bin
Haritsah(budak) lalu disusul abu bakar. Setelah itu turun ayat 94 surat ke 94

4.Berbagai tantangan

Mendengar dan melihat semakin banyak pengikut nabi Muhammad, timbul berbagai
ancaman dari para pemuka Quraisy terhadap kaum muslimin. Meskipun begitu, nabi
Muhammad tidak pernah gentar untuk menyebarkan agama islam. Para pengikut nabi banyak
yang dianiaya dan diancam, maka mereka disuruh rosul untukhijrah ke Habsyah(Abessinia).
Orang-oranng Quraisy semakin gusar ketika duaorang dari mereka yang gagah dan
menentaang islam, berpindah memeluk islam, yaitu Umar bin khotob dan Hamzah bin Abdul
Muttalib. Dalam menyampaikan risalah beliau nabi Muhammad tetap sabar meskipun beliau
dianiaya, dicaci maki, ditambah lagi beliau harus kehilangan 2 orang yang mendukungnya,
yaitu pamannya abu thalib dan siti khodijah istrinya.

5.Hijrah ke yatrib

Pada 27 rajab tahun ke-11, Rosul menunaikan tugasnya yaitu isra mi’raj yaitu dari baitul
maqdis(palestina) lalu naik ke langit yang ke 7 dan sampai di sidratul muntaha(singgasana
Alloh) untuk menerima perintah sholat 5 waktu. Sejak kejadian yang di luar akal manusia itu,
terjadi perubahan suasana. Pada masa haji 6 orang yatrib menyatajan masuk islam dan tahun
berikutnya datang lagi . orang-orang yatrib tidak hanya pengikut agama rosul saja, mereka
menawarkan rosul untuk tinggal di Yatrib. Kemudian nabi hijrah ke Yatrib dan menegakkan
agama islam di Yatrib.

6.Pembinaan Mayarakat islam

Sebelum terjadinya hijrahadalah masa perjuangan rosulullah selama 13 tahun, menyampaikan


konsep ketuhanan yang maha esa. Masyarakatnya maih bersifat homogen, politeis. Ajaran
yang kental berupa kepercayaan umum, oleh karena itu mereka masih gelap terhadap ajaran
islam.

Masa sesuda hijrah nabi muhammad adalah masa pembinaan muslim dalam masyarakat yang
bersifat heterogen , yang sudah mengenal ajaran monotheis. Penduduk Madinah disebut
sebagai kaum yang tinggal(kaum anshar) dan orang pendatang(kaum muhajjirin)

Islam Adalah Agama Yang Sempurna

Kesepuluh
ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan


dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫يت لَ ُك ُم اإْل ِ ْساَل َم ِدينًا‬


ُ ‫ض‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ ُ ‫ْاليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu,
dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku
ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H)


menjelaskan, “Ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla
terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah
menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak
memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi
mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai
penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia
dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau
halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya,
dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua
yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada
kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

‫ص ْدقًا َو َع ْداًل‬
ِ ‫ك‬ ْ ‫َوتَ َّم‬
ُ ‫ت َكلِ َم‬
َ ِّ‫ت َرب‬

“Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai


kalimat) yang benar dan adil …” [Al-An’aam: 115]

Maksudnya benar dalam kabar yang disampaikan, dan adil


dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama
disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang
diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla
berfirman:

‫يت لَ ُك ُم اإْل ِ ْساَل َم ِدينًا‬


ُ ‫ض‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ ُ ‫ْاليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬

“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu,


dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku
ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]

Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia merupakan


agama yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla.
Karenanya Allah mengutus Rasul yang paling utama dan
karenanya pula Allah menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-
Qur-an).

ُ ‫“ اَ ْليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬Pada hari ini telah Ku-


Mengenai firman-Nya : ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم‬
sempurnakan untukmu agamamu.” ‘Ali bin Abi Thalhah
berkata, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Maksudnya
adalah Islam. Allah telah mengabarkan Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman bahwa Allah
telah menyempurnakan keimanan kepada mereka, sehingga
mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan
Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga
Allah tidak akan pernah menguranginya, bahkan Allah telah
meridhainya, sehingga Allah tidak akan memurkainya,
selamanya.”

Asbath mengatakan, dari as-Suddi, “Ayat ini turun pada hari


‘Arafah, dan setelah itu tidak ada lagi ayat yang turun, yang
menyangkut halal dan haram. Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kembali dan setelah itu beliau wafat.”

Ibnu Jarir dan beberapa ulama lainnya mengatakan,


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia
setelah hari ‘Arafah, yaitu setelah 81 hari.” Keduanya telah
diriwayatkan Ibnu Jarir. Selanjutnya ia menceritakan, Sufyan
bin Waki’ menceritakan kepada kami, Ibnu Fudhail
menceritakan kepada kami, dari Harun bin Antarah, dari
ُ ‫“ اَ ْليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬Pada hari
ayahnya, ia berkata, “Ketika turun ayat: ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم‬
ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” Yaitu pada haji
akbar (besar), maka ‘Umar Radhiyallahu anhu menangis, lalu
Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa salalm bertanya, “Apa yang
menyebabkan engkau menangis?” ‘Umar Radhiyallahu anhu
menjawab, “Aku menangis disebabkan selama ini kita berada
dalam penambahan agama kita. Tetapi jika telah sempurna,
maka tidak ada sesuatu yang sempurna melainkan akan
berkurang.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Engkau benar.”

Pengertian tersebut diperkuat oleh sebuah hadits yang


menegaskan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ فَطُوبَى لِ ْل ُغ َربَا ِء‬،‫َر ْيبًا‬
ِ ‫ َو َسيَعُوْ ُد َك َما بَدَأَ غ‬،‫َر ْيبًا‬
ِ ‫بَدَأَ ْا ِإل ْسالَ ُم غ‬.

“Sesungguhnya Islam bermula dalam keadaan asing dan akan


kembali menjadi asing sebagaimana permulaannya, maka
berbahagialah orang-orang yang asing.” [1]

Dari Thariq bin Syihab, ia berkata, “Ada seorang Yahudi yang


datang kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu
berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian
membaca sebuah ayat dalam kitab kalian. Jika ayat tersebut
diturunkan kepada kami, orang-orang Yahudi, niscaya kami
akan menjadikan hari itu (hari turunnya ayat itu) sebagai Hari
Raya.’ ‘Ayat yang mana?’ tanya ‘Umar Radhiyallahu anhu.
Orang Yahudi itu berkata, ‘Yaitu firman-Nya:

‫يت لَ ُك ُم اإْل ِ ْساَل َم ِدينًا‬


ُ ‫ض‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ ُ ‫ْاليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬

‘… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu,


dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku
ridhai Islam sebagai agama bagimu …’ [Al-Maa-idah: 3]

Maka ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, ‘Sesungguhnya aku


telah mengetahui hari dan tempat ketika ayat itu turun kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diturunkannya ayat
itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu di
‘Arafah pada hari Jum’at.’”[2]

Demikianlah akhir dari penjelasan Imam Ibnu Katsir.[3]

A. Allah Azza wa Jalla Telah Menjelaskan Ushul dan Furu’


Agama Dalam al-Qur-an [4]
Anda tentu tahu bahwa Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan
dalam Al-Qur-an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu’
(cabang-cabang) agama Islam. Allah Azza wa Jalla telah
menjelaskan tentang tauhid dengan segala macam-macamnya,
sampai tentang bergaul dengan sesama manusia seperti adab
(tata krama) pertemuan, tata cara minta izin dan lain
sebagainya. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
‫ح هَّللا ُ لَ ُك ْم‬ ِ ِ‫يل لَ ُك ْم تَفَ َّسحُوا فِي ْال َم َجال‬
ِ ‫س فَا ْف َسحُوا يَ ْف َس‬ َ ِ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا ق‬

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan


kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu…” [Al-Mujaadilah: 11]

Dan firman-Nya :

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَ ْد ُخلُوا بُيُوتًا َغي َْر بُيُوتِ ُك ْم َحتَّ ٰى تَ ْستَأْنِسُوا َوتُ َسلِّ ُموا َعلَ ٰى أَ ْهلِهَا ۚ ٰ َذلِ ُك ْم خَ ْي ٌر لَّ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُونَ فَإِن‬
‫يل لَ ُك ُم ارْ ِجعُوا فَارْ ِجعُوا ۖ هُ َو أَ ْز َك ٰى لَ ُك ْم ۚ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم‬ َ ِ‫لَّ ْم ت َِجدُوا فِيهَا أَ َحدًا فَاَل تَ ْد ُخلُوهَا َحتَّ ٰى ي ُْؤ َذنَ لَ ُك ْم ۖ َوإِن ق‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki


rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih
baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Dan jika kamu tidak
menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu
masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan
kepadamu, ‘’Kembalilah !’ Maka (hendaklah) kamu kembali. Itu
lebih suci bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” [An-Nuur: 27-28]

Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan pula kepada kita dalam


Al-Qur-an tentang kewajiban wanita muslimah untuk memakai
jilbab (busana muslimah) yang sesuai dengan syari’at.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ِ‫اجكَ َوبَنَاتِكَ َونِ َسا ِء ْال ُم ْؤ ِمنِينَ يُ ْدنِينَ َعلَ ْي ِه َّن ِمن َجاَل بِيبِ ِه َّن ۚ ٰ َذل‬
َ‫ك أَ ْدن َٰى أَن يُع َْر ْفنَ فَاَل ي ُْؤ َذ ْينَ ۗ َو َكان‬ ِ ‫يَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي قُل أِّل َ ْز َو‬
ِ ‫هَّللا ُ َغفُورًا ر‬
‫َّحي ًما‬

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak


perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah
mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang
demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali,
sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzaab: 59]

Juga firman-Nya:
‫َواَل يَضْ ِر ْبنَ بِأَرْ ُجلِ ِه َّن لِيُ ْعلَ َم َما ي ُْخفِينَ ِمن ِزينَتِ ِه َّن‬

“… Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar


diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan …” [An-Nuur :
31]

Allah juga telah menjelaskan kepada kita tentang adab masuk


rumah, sebagaimana firman-Nya:

ۗ ‫ُورهَا َو ٰلَ ِك َّن ْالبِ َّر َم ِن اتَّقَ ٰى ۗ َو ْأتُوا ْالبُيُوتَ ِم ْن أَب َْوابِهَا‬ ْ
ِ ‫ْس ْالبِرُّ بِأَن تَأتُوا ْالبُيُوتَ ِمن ظُه‬
َ ‫َولَي‬

“… Dan bukanlah suatu kebajikan itu memasuki rumah-rumah


dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan)
orang yang bertakwa, dan masukilah rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya …” [Al-Baqarah: 189]

Dan masih banyak lagi ayat seperti ini. Dengan demikian


jelaslah bahwa Islam adalah agama yang sempurna, mencakup
segala aspek kehidupan, tidak boleh ditambahi dan tidak boleh
dikurangi. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla tentang al-
Qur-an:

َ ‫َونَ َّز ْلنَا َعلَ ْيكَ ْال ِكت‬


‫َاب تِ ْبيَانًا لِّ ُك ِّل َش ْي ٍء‬

“… Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur-an) untuk


menjelaskan segala sesuatu …” [An-Nahl: 89]

Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh


manusia baik yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat
maupun masalah kehidupan di dunia, kecuali telah dijelaskan
Allah Azza wa Jalla di dalam Al-Qur-an secara tegas atau
dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.

Adapun firman Allah Azza wa Jalla :

ْ ‫َاح ْي ِه إِاَّل أُ َم ٌم أَ ْمثَالُ ُكم ۚ َّما فَر‬


ِ ‫َّطنَا فِي ْال ِكتَا‬
‫ب ِمن َش ْي ٍء ۚ ثُ َّم إِلَ ٰى َربِّ ِه ْم‬ ِ ْ‫َو َما ِمن دَابَّ ٍة فِي اأْل َر‬
َ ‫ض َواَل طَائِ ٍر يَ ِطي ُر بِ َجن‬
َ‫يُحْ َشرُون‬
“Dan tidak ada seekor binatangpun yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti
kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Al-
Kitab. Kemudian kepada Rabb-lah mereka dikumpulkan.” [Al-
An’aam: 38]

Ada yang menafsirkan “Al-Kitab” di sini adalah Al-Qur-an,


padahal sebenarnya yang dimaksud yaitu “Lauh Mahfuzh”.
Karena apa yang dinyatakan oleh Allah Azza wa Jalla tentang
al-Qur-an dalam firman-Nya: “Dan Kami turunkan kepadamu
kitab (Al-Qur-an) untuk menjelaskan segala sesuatu,” lebih
tegas daripada yang dinyatakan dalam firman-Nya: “Tidaklah
Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab”.

Mungkin ada orang yang bertanya: “Adakah ayat di dalam Al-


Qur-an yang menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut
bilangan raka’at tiap-tiap shalat? Bagaimanakah dengan firman
Allah Azza wa jalla yang menjelaskan bahwa Al-Qur-an
diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal kita
tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka’at tiap-
tiap shalat ?”

Jawabnya: Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan di dalam Al-


Qur-an bahwasanya kita diwajibkan mengambil dan mengikuti
segala apa yang telah disabdakan dan dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan
firman Allah Azza wa Jalla:

َ ‫َّمن ي ُِط ِع ال َّرسُو َل فَقَ ْد أَطَا َع هَّللا‬

“Barangsiapa yang mentaati Rasul (Muhammad) maka


sesungguhnya ia telah mentaati Allah…” [An-Nisaa’: 80]

Juga firman-Nya:

‫َو َما آتَا ُك ُم ال َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَانتَهُوا‬


“… Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah …” [Al-
Hasyr: 7]

Maka segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh Sunnah


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya al-Qur-
an telah menunjukkannya pula. Karena Sunnah termasuk juga
wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah Azza wa Jalla
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya:

َ‫َاب َو ْال ِح ْك َمة‬


َ ‫نزَل هَّللا ُ َعلَ ْيكَ ْال ِكت‬
َ َ‫َوأ‬

“… Dan (juga karena) Allah telah menurunkan al-Kitab (Al-Qur-


an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) kepadamu …” [An-Nisaa’: 113]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫َاب َو ِم ْثلَهُ َم َعه‬ ُ ‫…أَالَ إِنِّي أُوْ تِي‬


َ ‫ْت ْال ِكت‬

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an)


dan yang sepertinya (yaitu As-Sunnah) bersamanya.” [5]

Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam Sunnah, maka


sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur-an.

Anda mungkin juga menyukai