Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak

serius terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM), salah satu

permasalahan gizi yang menjadi perhatian utama adalah tingginya kejadian

anak balita yang mengalami stunting.1 Indonesia menduduki peringkat kelima

dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting dimana lebih dari sepertiga

anak berusia dibawah lima tahun tingginya berada dibawah rata-rata.2

Masalah stunting pada balita kini menjadi tantangan semua pihak dan

petugas pelayanan kesehatan. Diperkirakan sekitar 26% balita seluruh dunia

mengalami stunting.3 Menurut WHO pada tahun 2017 dalam data statistik

kesehatan dunia menunjukkan bahwa angka kejadian balita stunting tertinggi

di dunia yaitu 22,2% atau sekitar 150,8 juta Balita berasal dari Asia 55%

sedangkan lebih dari sepertiganya 39% tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita

stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan 58,7% dan

proporsi paling sedikit di Asia Tengah 0,9%.4

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang masih

mengalami permasalahan mengenai stunting.3 Prevalensi stunting di

Indonesia cukup tinggi yaitu 30%-39% dan Indonesia menempati peringkat

ke-5 dunia dengan jumlah anak pendek terbanyak.5

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018

mencatat prevalensi stunting pada balita di Indonesia secara nasional sebesar

30,8% yang terdiri dari 11,5% sangat pendek dan 19,3% pendek. Hal ini
2

memperlihatkan terjadi penurunan prevalensi stunting dibandingkan dengan

tahun 2013 yakni sebesar 37,2% yang terdiri dari 18,0% sangat pendek dan

19,2% pendek dan pada tahun 2007 sebesar 36,8% yang terdiri dari 18,8%

sangat pendek dan 18,0% pendek.6

Provinsi Aceh termasuk salah satu provinsi yang menyumbang kasus

stunting terbanyak di bandingkan provinsi lain yaitu pada tahun 2017

sebanyak 35,7% Balita mengalami stunting. Hal ini terjadi peningkatan

sebesar 8,9% dari tahun sebelumnya. Sementara pada tahun 2018 jumlah

anak balita di Aceh yang mengalami stunting sebesar 30,8%.7 Hal ini

menunjukkan bahwa persentasi kejadian stunting baik di Indonesia, maupun

di Aceh, melebihi toleransi yang ditetapkan WHO yaitu maksimal 20%.8

Kabupaten Aceh Besar sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi

Aceh dengan prevalensi kejadian stunting sebanyak 31,2%,7 dan salah satu

Kecamatan yang memiliki jumlah balita stunting terbanyak adalah

kecamatan Ingin Jaya yaitu sebesar 123 orang.9 Selain itu, kejadian stunting

menggambarkan adanya masalah gizi kronis yang dipengaruhi oleh kondisi

ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi atau balita, termasuk penyakit yang

diderita selama masa balita serta masalah lainnya yang secara tidak langsung

mempengaruhi kesehatan.10

Berdasarkan hasil penelitian dibeberapa daerah juga menunjukkan

masih tingginya prevalensi kejadian stunting. Penelitian Novita (2018) di

Kabupaten Klaten yaitu sebanyak 21,07%. 11 Pada tahun 2018 hasil penelitian

Mira, menunjukkan prevalensi stunting di puskesmas Bojongmanik


3

Kabupaten Lebak tahun 2015 sebesar 37,5%. Dari beberapa hasil penelitian

tersebut didapatkan beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian

stunting yaitu keragaman konsumsi pangan, pola asuh makan pada balita. 12

Keadaan kesehatan gizi masyarakat tergantung pada tingkat

konsumsi yang ditentukan oleh kualitas pangan. Kualitas pangan

menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam

susunan hidangan dan perbandingannya antara satu dengan yang lain.

Kualitas gizi menekankan terhadap keanekaragaman pangan. Semakin

beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin

baik kualitas gizinya, karena pada hakikatnya tidak ada satupun jenis

pangan yang mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan cukup baik

dalam jumlah maupun jenisnya.13

Masalah stunting yang terjadi di Indonesia dan termasuk di Aceh saat

ini tidak terlepas dari perilaku keluarga sadar gizi (KADARZI), yaitu dimana

keluarga harus membiasakan konsumsi makanan beranekaragam, selalu

memantau pertumbuhan, menggunakan garam beryodium, memberi atau

mendukung ASI eksklusif, dan minum suplemen sesuai yang dianjurkan.14

Salah satu indikator KADARZI yang sangat berpengaruh terhadap

kejadian stunting pada balita adalah keragaman pangan yang dikonsumsi

keluarga. Mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam akan menjamin

terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.

Keanekaragaman makanan dalam hidangan sehari–hari yang dikonsumsi,

minimal harus berasal dari satu jenis makanan sumber zat tenaga, satu jenis
4

makanan sumber zat pembangun dan satu jenis makanan sumber zat

pengatur.15 Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk

Menganalisis Keragaman Konsumsi Pangan Terhadap Kejadian Stunting

Pada Balita 37-60 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Keragaman Konsumsi Pangan pada Anak usia 37-60

Bulan dan kaitannya dengan kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas

Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar pada Tahun 2019?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Keragaman Konsumsi Pangan Terhadap Kejadian

Stunting Pada Anak usia 37-60 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Ingin

Jaya Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2019.

2. Tujuan Khusus

a) Untuk mengidentifikasi karakteristik responden.

b) Untuk mengetahui keragaman konsumsi pangan pada balita stunting.

c) Untuk mengetahui hubungan keragaman konsumsi pangan terhadap

kejadian stunting pada balita.

D. Manfaat penelitian

1. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

masukan kepada masyarakat khususnya ibu-ibu yang memiliki balita agar

memperhatikan status gizi balitanya, sehingga balita dapat tumbuh dengan


5

baik dan optimal. Serta dapat dijadikan salah satu pedoman dalam

pencegahan dan penanggulangan masalah stunting yang terjadi di

masyarakat.

2. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi awal dan bahan

untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi peneliti lain yang hendak

melakukan penelitian tentang kejadian stunting selanjutnya.

3. Bagi Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

para tenaga kesehatan dalam mengusahakan pencegahan kejadian

stunting dan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik.

4. Bagi Dinas Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan informasi

dalam menyusun kebijakan strategi program kesehatan untuk

menanggulangi masalah stunting terutama dari sektor konsumsi pangan

pada Balita.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian mengenai “Analisis

Keragaman Konsumsi Pangan Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia

37-60 Bulan” yaitu :


6

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

N
Penelitian sebelumnya Persamaan Perbedaan
o
1. Novita Nining Widyaningsih (2018) dengan judul Sama-sama - Metode
“Keragaman pangan, Pola Asuh Makan dan melihat penelitian
Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan” bagaimana merupakan
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan keragaman survey
keragaman pangan dan pola asuh makan dengan konsumsi analitik
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di pangan pada dengan desain
Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Metode balita. case control
penelitian ini menggunakan cross-sectional study. dan bersifat
Subjek penelitian ini adalah balita usia 24-59 bulan retrospektif
berjumlah 100 balita dengan teknik sampling simple - Jumlah
random sampling. Data yang diperoleh dari hasil sampel yang
penelitian menunjukkan bahwa 41% balita usia 24- akan diambil
59 bulan mengalami stunting. Uji chi square - Tempat
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dilakukannya
panjang badan lahir, pola asuh makan dan penelitian
keragaman pangan dengan stunting (p<0,05). Hasil
analisis multivariate menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara keragaman pangan dengan stunting
(p=0,029, OR=3,213, 95% CI:1,123-9,189) maka
dapat disimpulkan terdapat hubungan antara panjang
badan lahir, pola asuh makan dan keragaman pangan
dengan stunting dan faktor resiko kejadian stunting
yang paling dominan adalah keragaman pangan.
2. Mira Wantina (2017) yang berjudul “ Keragaman Sama-sama - Metode
Konsumsi Pangan Sebagai Faktor Risiko Stunting melihat penelitian
pada Balita Usia 6-24 Bulan” penelitian ini bagaimana merupakan
bertujuan untuk mengetahui hubungan keragaman survey
Keragaman konsumsi pangan sebagai faktor risiko konsumsi analitik
stunting pada balita usia 6-24 bulan Metode pangan pada dengan desain
penelitian ini menggunakan cross-sectional . Subjek balita. case control
dalam penelitian ini berjumlah 82 balita yang dan bersifat
berusia 6-24 bulan dengan pengambilan data subjek retrospektif
probbability sampling jenis proportional random - Jumlah
sampling teknik pengambilan subjek terpilih dari sampel yang
setiap posyandu secara acek. Hasil analisis uji chi akan diambil
square menunjukkan bahwa ada hubungan antara - Tempat
keragaman konsumsi pangan dengan stunting pada dilakukannya
balita usia 6-24 bulan (p<0,05). Maka dapat penelitian.
disimpulkan semakin beragam konsumsi pangan
maka status gizi semakin baik.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka

1. Konsep Balita

a. Pengertian Balita

Balita adalah masa anak mulai berjalan dan merupakan masa

yang paling hebat dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 1 sampai 5

tahun. Masa ini merupakan masa yang penting terhadap

perkembangan kepandaian dan pertumbuhan intelektual.16

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh

kembang. Pertumbuhan dan perkembangan di masa ini menjadi

penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan diperiode

selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia dini merupakan masa yang

berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang.17

b. Penilaian Status Gizi Balita

Penilaian status gizi perlu dilakukan untuk mengidentifikasi

penyakit-penyakit yang erat kaitanya dengan asupan gizi.18 Penilaian

status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung

(antropometri, klinis, biokimia dan biofisik) dan penilaian secara tidak

langsung survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor

ekologi).19
8

Penilaian status gizi balita yang paling sering digunakan adalah

antropometri gizi. Antropometri gizi adalah penilaian status gizi

berdasarkan pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari

berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh

antara lain yaitu, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan

tebal lemak dibawah kulit. Terdapat beberapa indeks antropometri

yang sering digunakan untuk menentukan status gizi balita yaitu Berat

Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U),

Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) dan Indeks Massa

Tubuh menurut Umur (IMT/U).19

Balita dikatakan pendek menurut Panjang Badan menurut

Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) jika hasilnya

dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek

dibandingkan balita seumurnya. Balita pendek (stunted) dan sangat

pendek (severely stunted) akan memiliki tingkat kecerdasan tidak

maksimal, menjadi lebih rentan terhadap penyakit, dan di masa depan

dapat berisiko menurunnya tingkat produktivitas.20

Tabel 2.1 Penilaian Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks 21

Ambang Batas (Z-


Indeks Kategori Status Gizi
Scroe)
Panjang Badan Sangat Pendek <-3 SD
Menurut Umur (PB/U) Pendek -3 SD s/d <-2SD
Atau Tinggi Badan Normal -2 SD s/d 2 SD
Menurut Umur (TB/U) <2 SD
Anak Umur 0-60 Tinggi
9

c. Gizi Balita

Status gizi balita berpengaruh sangat besar dalam mewujudkan

sumber daya manusia yang berkualitas dimasa yang akan datang. Gizi

kurang pada balita tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik

tetapi juga mempengaruhi kualitas kecerdasan dan perkembangan

anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia dini tergantung pada

asupan zat gizi yang diterima. Semakin rendah asupan zat gizi yang

diterima, semakin rendah pula status gizi dan kesehatan anak, gizi

kurang pada balita juga mempengaruhi pertumbuhan fisik.22

Masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting

dan perlu perhatian serius. Pada masa ini berlangsung proses tumbuh

kembang yang sangat pesat yaitu pertumbuhan fisik dan

perkembangan psikomotorik, mental dan sosial. Stimulasi psikososial

harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya

perkembangan psikososial yang optimal. Untuk mendukung

pertumbuhan fisik balita perlu petunjuk praktis makanan dengan gizi

seimbang sebagai berikut: Makanlah aneka ragam makanan, makanlah

makanan untuk memenuhi kecukupan energi, makanlah makanan

sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi, batasi konsumsi

lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi,

gunakanlah garam beryodium, makanlah makanan sumber zat besi,

berikan asi saja kepada bayi sampai umur enam bulan, biasakan
10

makan pagi, minumlah air bersih aman yang cukup jumlahnya, dan

makanlah makanan yang aman bagi kesehatan.22

1) Kebutuhan Gizi Balita

Usia 0 sampai 2 tahun merupakan periode emas yaitu

puncak perkembangan fungsi melihat, mendengar, berbahasa, dan

fungsi kognitif yang lebih tinggi. Saat lahir bayi memiliki besar

otak 25% dari besar otak dewasa dan selanjutnya berkembang

pesat hingga usia 2 tahun yaitu mencapai 70% dari berat otak

orang dewasa. Tidak hanya itu, pertambahan panjang badan juga

terbilang pesat. Dalam setahun bisa mencapai 23-25 cm, sehingga

rata-rata anak berumur setahun sudah mencapai panjang badan 71

cm, bahkan ada yang bisa mencapai 75 cm. Setelah itu,

pertambahan panjang badan sekitar 5 cm dalam setahun. Tinggi

badan anak usia dua tahun sangat berhubungan dengan tinggi saat

dewasa.23

Kegagalan pencapaian tumbuh kembang dan kecerdasan

pada usia 0-2 tahun akan bersifat permanen. Dampak jangka

pendek adalah terjadinya gangguan pertumbuhan, perkembangan

otak, dan metabolisme sedangkan jangka panjang adalah stunting

(pendek), kemampuan kognitif rendah dan beresiko tinggi

menderita penyakit tidak menular (hipertensi, diabetes, obesitas,


11

penyakit jantung koroner, dan stroke) yaitu suatu penyakit yang

tidak bisa disembuhkan.23

Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi dan

masalah psikososial, diperlukan adanya perilaku penunjang dari

para orang tua, ibu atau pengasuh dalam keluarganya untuk selalu

memberikan makanan dengan gizi seimbang kepada balitanya.

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan gizi seimbang

adalah makanan yang dikonsumsi balita dalam satu hari yang

beraneka ragam dan mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan

zat pengatur sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Keadaan ini

tecermin dari derajat kesehatan dan tumbuh kembang balita yang

optimal.22

Makanan balita harus berpedoman pada gizi yang lengkap

dan seimbang serta memenuhi standar kecukupan gizi balita. Gizi

seimbang merupakan keadaan yang menjamin tubuh memperoleh

makanan yang cukup dan mengandung zat gizi dalam jumlah

yang dibutuhkan. Melalui gizi lengkap dan seimbang, proses

tumbuh kembang balita akan lebih optimal. Selain itu, tubuh

mereka juga tidak mudah terserang penyakit karena daya tahan

tubuhnya baik.24

Makanan yang dihidangkan untuk balita harus

mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, baik dari segi kualitas

maupun kuantitasnya. Tentunya, bahan makanan yang dipilih


12

harus disesuaikan dengan daya beli keluarga tetap memperhatikan

komposisi gizi makanan. Selain itu, susunan makanan seimbang

untuk tumbuh kembang balita harus terdiri atas tiga golongan

besar bahan makanan ini dikenal dengan istilah “triguna

makanan” yang meliputi: 24

a. Zat gizi penghasil energi (karbohidrat dan lemak)

b. Zat gizi pembangun sel (terutama diperoleh dari protein)

c. Zat gizi pengatur (vitamin dan mineral)

2) Cara Pemberian Makanan pada Balita

a) Makanan Anak Usia 1-3 Tahun (Balita)24

Makanan anak batita (bawah tiga tahun) belum banyak

perbedaannya dengan tahun-tahun pertama. Umumnya,

makanan masih dalam bentuk lunak. Pada usia ini, anak mulai

dikenalkan dengan makanan yang dapat dipegang (finger food)

seperti kue, potongan buah atau sayur, dan biskuit.

Anak sudah dapat makan seperti anggota keluarga

lainnya dengan frekuensi yang sama yaitu pagi, siang dan

malam. Selain itu, susu masih merupakan asupan ideal bagi

anak. Pada usia ini pula, anak sudah bisa minum dari gelas dan

makan dengan menggunakan sendok.

Menjelang tahun ketiga, makanan padat lebih banyak

diberikan. Terutama yang mengandung sumber protein hewani

dan nabati. Di samping itu, anak diberikan zat-zat gizi lain


13

yang mengandung vitamin dan mineral seperti sayuran dan

buah-buahan segar.

b) Makanan Anak Usia 3-5 Tahun24

Pada usia ini, makanan anak masih sama dengan

makanan pada usia sebelumnya. Pemberian makanan

diusahakan yang mengandung sumber protein, sebesar

sepertiganya berasal dari hewani. Selain itu, anak juga harus

lebih banyak mengenal makanan keluarga.

Kebiasaan makan yang baik perlu ditanamkan, terutama

memakan sayuran, karena anak agak sulit jika harus makan

sayuran. Pemberian makanan selingan juga harus diperhatikan.

Jangan memberikan porsi terlalu besar karena akan

menganggu nafsu makan anak.

3) Menyusun Menu Balita

Penyusunan menu makanan balita, selain memperhatikan

komposisi zat gizi juga harus memperhatikan variasi menu

makanan agar anak tidak bosan. Sebaiknya, dibuat siklus menu

tujuh hari atau sepuluh hari. Hal ini akan memudahkan ibu untuk

mengatur menu balita. Selain itu, penyajian makanan juga harus

diperhatikan, karena dapat memengaruhi selera makan anak, baik

dari penampilan, tekstur, warna, aroma, besar porsi dan pemilihan

alat makan yang menarik.


14

Di dalam menyusun menu, jadwal makan balita juga

harus diperhatikan. Penerapan jadwal makan yang teratur sangat

penting karena hal tersebut akan membuat tubuh anak mengalami

penyesuaian, kapan perut harus diisi dan kapan tidak. Jika disiplin

ini sudah tertanam pada diri dan ritme tubuh si anak, ketika jam

makan tiba mereka tidak akan lagi menolak makan. Sebaliknya

jika jam makan sesukannya, tidak jarang anak akan malas-

malasan mengisi perutnya. Sementara itu, membiasakan anak

makan sesuai jadwal akan membuat pencernaan lebih siap dalam

mengeluarkan hormon dan enzim yang dibutuhkan untuk

mencerna makanan yang masuk. Idealnya, pemberian makan

balita adalah tiga kali makan utama yaitu sarapan, makan siang,

dan makan malam. Lalu, ditambah dua kali makanan selingan.

a) Menu Sarapan Pagi

Biasakan anak untuk sarapan pagi karena penting untuk

persediaan energi dalam melakukan aktivitas sepanjang hari.

Menu sarapan pagi tidak harus komplit susunan hidangannya

(tidak selengkap hidangan makan siang atau malam).

Porsinya pun juga lebih sedikit, cukup dengan satu hidangan

terpadu untuk menu sarapan pagi, misalnya dengan omelet

sayur, mie goreng, nasi goreng, roti bakar ditambah susu atau

jus buah. Hal yang perlu diingat adalah kalorinya telah

memenuhi kebutuhan gizi tubuh.


15

b) Menu Makan Siang atau Malam

Susunan menu makan siang atau malam biasanya

lengkap komposisinya. Terdiri atas makanan pokok, lauk

hewani, lauk nabati, sayuran dan buah, sedangkan untuk

makan malam tidak harus ada buah. Pengaturan ini sesuai

dengan triguna makanan (susunan makanan seimbang untuk

tumbuh kembang balita yang harus terdiri atas tiga golongan

besar bahan makanan). Besarnya porsi makanan untuk balita

harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan

makannya. Selain itu, perhatikan juga cara penyajiannya

untuk menggugah selera makan anak.

c) Menu Makanan Selingan

Anak perlu makanan selingan atau di sela-sela

makanan utamanya. Penting diketahui, bahwa pemberian

makanan selingan adalah untuk melengkapi komposisi gizi

seimbang dalam sehari yang mungkin belum terpenuhi lewat

menu makan utama. Oleh karena itu, yang ditekankan bukan

kandungan kalorinya, tapi zat gizi lain seperti protein,

mineral dan vitamin. Makanan selingan ini dapat berupa kue,

biskuit, atau jus buah.

4) Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan25

Angka kecukupan gizi (AKG) merupakan suatu

kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang


16

menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktifitas

tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Pedoman gizi seimbang pada dasarnya merupakan

rangkaian upaya untuk menyeimbangkan antara gizi yang keluar

dan zat gizi yang masuk dengan memonitor berat badan secara

teratur. Prinsipnya terdiri dari 4 pilar yang biasa disebut tumpeng

gizi seimbang, yaitu mengonsumsi makanan beragam,

membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik,

dan mempertahankan berat badan normal.

Konsumsi keanekaragaman pangan merupakan salah satu

anjuran penting dalam mewujudkan gizi seimbang. Kelima

kelompok pangan adalah makanan pokok, lauk-pauk, sayuran,

buah-buahan dan minuman. Mengonsumsi lebih dari satu jenis

untuk setiap kelompok makanan (makanan pokok, lauk-pauk,

sayuran, dan buah-buahan) setiap kali makan akan lebih baik.

Tabel 3.1 Anjuran Porsi Menurut Kecukupan Energi untuk


Kelompok Umur 1-3 tahun

Anak Usia 1-3 tahun Anak Usia 4-6


Bahan makanan 1600 kkal
1125 kkal
Nasi 3 porsi 4 porsi
Sayuran 1,5 porsi 2 porsi
Buah 3 porsi 3 porsi
Tempe 1 porsi 2 porsi
Daging 1 porsi 2 porsi
ASI Dilanjutkan hingga 2 -
tahun
Susu 1 porsi 1 porsi
Minyak 3 porsi 4 porsi
Gula 2 porsi 2 porsi
17

2. Stunting

a. Pengertian Stunting

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang

diakibatkan kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek

untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan

dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting

baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. 26

Stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks

BB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status

gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-

Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/stunted) dan <-3 SD

(sangat pendek/severely stunted).27

b. Penyebab Stunting

Menurut Almatsier (2009) stunting disebabkan oleh faktor

multidimensi, di antaranya praktik pengasuhan gizi yang kurang baik,

termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan


18

kebutuhan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu

melahirkan.20

Stunting yang dialami anak dapat disebabkan oleh tidak

terpaparnya periode 1000 hari pertama kehidupan mendapat perhatian

khusus karena menjadi penentu tingkat pertumbuhan fisik,

kecerdasan, dan produktivitas seseorang di masa depan. Stunting

dapat pula disebabkan tidak melewati periode emas yang dimulai

1000 hari pertama kehidupan yang merupakan pembentukan tumbuh

kembang anak pada 1000 hari pertama. Pada masa tersebut nutrisi

yang diterima bayi saat didalam kandungan dan menerima ASI

memiliki dampak jangka panjang terhadap kehidupan saat dewasa.

Hal ini dapat terlampau maka akan terhindar dari terjadinya stunting

pada anak-anak dan status gizi yang kurang. 26

Salah satu masalah gizi utama di negara-negara berkembang

adalah kurangnya keragaman makanan, terutama terdiri dari sumber

makanan nabati, serta buah dan sayuran yang terbatas. 11

a) Pengertian Keragaman Konsumsi Pangan28

Konsumsi pangan terkait dengan ketersedian pangan namun

tidak berarti jika ketersediaan pagan tercukupi setiap orang akan

mengkonsumsi makanan yang dikonsumsinya. Apabila anak

balita konsumsi pangannya tidak tercukupi, maka daya tahan

tubuhnya akan menurun sehingga akan mengalami kekurangan

gizi dan mudah terserang penyakit infeksi.


19

Keragaman konsumsi pangan merupakan jumlah jenis

makanan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode tertentu

yang ditetapkan. Keragaman konsumsi pangan adalah indikator

yang baik untuk alasan sebagai berikut:

1) Konsumsi pangan yang lebih beragam berhubungan dengan

peningkatan hasil pada berat kelahiran, status antroprometrik

anak, dan peningkatan konsentrasi hemoglobin.

2) Konsumsi pangan yang lebih beragam berkaitan erat dengan

faktor seperti: kecukupan energi dan protein, presentase

protein hewani (protein kualitas tinggi) dan pendapatan

rumah tangga.

c. Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya

disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil

maupun anak balita. Secara lebih detail, beberapa faktor yang

mempengaruhi kejadian stunting dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Faktor langsung 29

a) Faktor Ibu

Faktor ibu dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama

prekonsepsi, kehamilan,dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi

perawakan ibu seperti usia ibu terlalu muda atau terlalu tua,

pendek, infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa, BBLR,


20

IUGR dan persalinan prematur, dan jarak persalinan yang

dekat.

b) Asupan Makanan

Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas

micronutrient yang buruk, kurangnya keragaman dan asupan

pangan yang bersumber dari pangan hewani, kandungan tidak

bergizi, dan rendahnya kandungan energi pada complementary

foods. Pratik pemberian makanan yang tidak memadai,

meliputi pemberian makan yang jarang, pemberian makan

yang tidak adekut selama dan setelah sakit, konsistensi pangan

terlalu ringan, kuantitas pangan yang tidak mencukupi,

pemberian makan yang tidak berespon. Bukti menunjukkan

keragaman diet yang lebih bervariasi/ beragam dan konsumsi

makanan dari sumber hewani terkait dengan pertumbuhan

linear. Analisis terbaru menunjukkan bahwa rumah tangga

yang menerapkan diet yang beragam, termasuk diet yang

diperkaya nutrisi pelengkap, akan meningkatkan asupan

gizi dan mengurangi risiko stunting.

c) Pemberian ASI Eksklusif

Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI

tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini

konsumsi ASI. ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian

ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik


21

berupa air putih, jus, ataupun susu selain ASI. Ikatan

Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan

pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk

mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi

mendapat makanan pendamping yang adekuat sedangkan ASI

dilanjutkan sampai usia 24 bulan. Menyusui yang

berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi

signifikan terhadap asupan nutrisi penting pada bayi.

Penelitian yang dilakukan oleh Indrawati pada tahun

2016 dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian

stunting dipengaruhi oleh tidak adanya pemberian ASI

Eksklusif. ASI merupakan asupan gizi yang sesuai dengan

kebutuhan akan membantu pertumbuhan dan perkembangan

anak. Bayi yang tidak mendapatkan ASI dengan cukup berarti

memiliki asupan gizi yang kurang baik dan dapat

menyebabkan kekurangan gizi salah satunya dapat

menyebabkan stunting.30

d) Penyakit Infeksi 31

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab

langsung stunting. Kaitan antara penyakit infeksi dengan

pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit

infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan

asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah
22

terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan terhadap penyakit

infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan

gizi dengan diimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan

kebutuhan anak balita.

Penyakit infeksi yang diderita balita seperti cacingan,

infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya

sangat erat hubungannya dengan status mutu pelayanan

kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup

dan perilaku sehat.

2) Faktor tidak langsung 26

a) Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan mempengaruhi pola konsumsi makan

melalui cara pemilihan bahan makanan dalam hal kualitas dan

kuatintas. Pendidikan orang tua terutama ayah memiliki

hubungan timbal balik dengan pekerjaan. Pendidikan ayah

merupakan faktor yang mempengaruhi harta rumah tangga dan

komoditi pasar yang dikonsumsi karena dapat mempengaruhi

sikap dan kecenderungan dalam memilih bahan-bahan konsumsi.

Sedangkan pendidikan ibu mempengaruhi status gizi anak,

dimana semakin tinggi pendidikan ibu maka akan semakin baik

pula status gizi anak. Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan

pengetahuan gizi yang dimiliki, dimana semakin tinggi


23

pendidikan ibu maka semakin baik pula pemahaman memilih

bahan makanan.

b) Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan orang tua mempunyai andil yang besar dalam

masalah gizi. Pekerjaan orang tua berkaitan erat dengan

penghasilan keluarga yang mempengaruhi daya beli keluarga.

Keluarga dengan pendapatan yang terbatas, besar kemungkinan

kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya secara kualitas

dan kuantitas. Peningkatan pendapatan keluarga dapat

berpengaruh pada susunan makanan. Pengeluaran yang lebih

banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya

konsumsi pangan seseorang. Pendapatan keluarga yang memadai

akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat

menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun

sekunder.

c) Faktor lingkungan

Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan

aktivitas yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk,

ketidakamanan pangan, alokasi pangan yang tidak tepat,

rendahnya edukasi pengasuh. Anak-anak yang berasal dari

rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas air dan sanitasi yang

baik berisiko mengalami stunting.32

d. Dampak Stunting 26
24

Stunting dapat mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ),

sehingga prestasi belajar menjadi rendah dan tidak dapat melanjutkan

sekolah. Anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada

fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan,

produktivitas dan prestasinya kelak setelah dewasa. Gagal tumbuh

yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan

berakibat buruk pada kehidupan berikutnya dan sulit diperbaiki.

Masalah stunting menunjukkan ketidakcukupan gizi dalam jangka

waktu panjang yaitu kurang energi dan protein, juga beberapa zat gizi

mikro.

Kekurangan gizi pada anak berdampak secara akut dan

kronis. Anak-anak yang mengalami kekurangan gizi akut akan

terlihat lemah secara fisik. Anak yang mengalami kekurangan gizi

dalam jangka waktu yang lama atau kronis, terutama yang terjadi

sebelum usia dua tahun, akan terhambat pertumbuhan fisiknya

sehingga menjadi pendek (Stunted).


25

B. Kerangka Teori

Berdasarkan teori-teori di atas, maka dapat dibuat kerangka

teori tentang Analisis keragaman konsumsi pangan terhadap kejadian

stunting pada Anak usia 37-60 bulan pada gambar berikut:

Faktor yang berhubungan dengan


kejadian stunting
1. Faktor Langsung
a. Faktor Ibu
b. Asupan Makanan
c. Pemberian ASI Eksklusif
d. Faktor Infeksi
2. Faktor Tidak Langsung
a. Pendidikan orang tua
b. Pekerjaan orang tua
c. Faktor lingkungan

Kejadian Stunting

Andriani (2012), Widyaningsih


(2018), Wantina (2017)

Konsumsi keragaman makanan.


26

Gambar 2.1 Kerangka Teori

C. Kerangka Konsep

Salah satu masalah gizi utama di negara-negara berkembang

adalah kurangnya keragaman makanan, terutama terdiri dari sumber

makanan nabati, serta buah dan sayuran yang terbatas.

Keragaman Konsumsi Kejadian Stunting


pada BALITA
Pangan

Keterangan :

: Variabel Independent

: Variabel Dependent

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian 11


27

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan survey

analitik dengan desain case control dan bersifat retrospektifdengan subjek

penelitian ini adalah balita stunting di wilayah kerja Puskesmas Ingin Jaya

Kabupaten Aceh Besar.

Kelompok kasus pada penelitian ini yaitu kelompok yang mengalami

stunting dan kelompok kontrol yaitu tidak mengalami stunting.

Resiko (+)
Case
(Stunting)
Resiko (-)

Resiko (+)
Control
(Tidak Stunting)
Resiko (-)
28

Gambar 2.3 Skema Penelitian

B. Definisi Operasional
Tabel 4.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur

a. Independent
Keragaman Mengonsumsi lebih Wawancara Kuesioner a. 1-2 sering Nominal
konsumsi dari satu jenis b. 3-4 jarang
pangan makanan setiap hari c. Tidak pernah
makan (makanan (Khomsan,
pokok, lauk-pauk, 2006)
sayuran, dan buah-
buahan) selama
enam bulan
kebelakang.

b. Dependent
Kejadian Status gizi yang Wawancara Data stunting a. Sangat Pendek Ordinal
stunting didasarkan pada dari (<-3SD)
Pada Balita indeks TB/U. EPPGBM b. Pendek (-3SD
Puskesmas s/d <-2 SD)
Ingin Jaya c. Normal(-2 SD
s/d 2 SD)

C. Hipotesa Penelitian
29

Ada hubungan antara keragaman konsumsi pangan dengan kejadian

stunting pada balita.

D. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini di rencanakandi Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya

Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh besar.

E. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi yang akan digunakan dalampenelitian ini adalah Balita

stuntingusia 37-60 bulan berjumlah 44 orang di Wilayah Kerja Puskesmas

Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar.

2. Sampel

Sampel pada penelitian ini terdiri dari:

a. Kelompok kasus

Balita usia 37-60 bulan yang mengalami stunting. Usia Balita

dihitung dari tahun kelahiran sampai akhir Desember 2019. Sampel

dalam penelitian ini adalah balita stunting yang tercatat di EPPGBM

dari Puskesmas Ingin Jaya. Teknik pengambilan sampel pada

kelompok kasus menggunakan teknik total sampling, dimana semua

populasi dijadikan sampel yaitu berjumlah 44 orang.


30

b. Kelompok Kontrol

Balisa usia 37-60 bulan yang tidak mengalami stunting dengan

Tinggi badan berdasarkan usia yaitu 99,5-109 cm sebanyak 44 balita.

Teknik pengambilan sampel pada kelompok kontrol menggunakan

teknik Random Sampling yaitu subjek yang dipilih memberi peluang

yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Jumlah

keseluruhan sampel adalah 88 balita (1:1)

Kriteria pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah

1) Kriteria Inklusi

a) Ibu yang mempunyai Balita usia 37-60 bulan.

b) Tidak ada penyakit infeksi

c) Anak balita yang diasuh oleh ibu kandung.

d) Ibu dan balita sehat jasmani dan rohani.

2) Kriteria Eklusi

a) Balita sakit kronis.

b) Balita lahir Cacat.

c) Riwayat lahir BBLR, Prematur

F. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan

data sekunder:

1. Data Primer
31

Data primer yang dikumpulkan meliputi, Identitas responden dan

tentang keragaman konsumsi pangan pada balita dan data ini diambil

dengan wawancara menggunakan kuesioner.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan

peneliti dari Dinas Kesehatan Aceh Besar dan Puskesmas Ingin Jaya

Kabupaten Aceh Besar.

G. Instrumen dan Bahan Penelitian

Instrument dan bahan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan

menggunakan lembar kuesioner. Kuesioner yang digunakan yaitu Food

Frequency Questionare (FFQ) bentuk pertanyaan dalam kuesioner ini adalah

tertutup.

H. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah yang digunakan sebagai

alat untuk mengumpulkan data dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam

penelitian. Langkah-langkah yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Permohonan izin penelitian dari akademik D-IV Kebidanan.

2. Permohonan izin penelitian dari Dinas Kesehatan Jantho.

3. Pengambilan data di Puskesmas Ingin Jaya.

4. Memberikan informed consent kepada responden.

5. Menjelaskan prosedur penelitian dan cara pengisian kuesioner.


32

6. Memberikan kuesioner kepada responden.

I. Pengolahan dan Analisis data

1. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, maka langkah yang dilakukan berikutnya

adalah pengolahan data. Proses pengolahan data adalah:

a. Editing

Melakukan pengecekan kelengkapan data hasil jawaban dari

kuesioner yang telah diberikan kepada responden dan kemudian

dilakukan koreksi apakah telah terjawab dengan lengkap, editing

dilakukan dilapangan sehingga bila terjadi kekurangan atau tidak

sesuai dapat segera dilengkapi.

b. Coding

Kegiatan ini dilakukan dengan memberi kode angka pada

kuesioner terhadap tahap-tahap dari jawaban responden agar lebih

mudah dalam pengolahan data selanjutnya.

c. Entry data

Entry data dilakukan dengan memasukan data karakteristik

sampel dan skor nilai tentang keragaman konsumsi pangan pada anak

usia 37-60 bulan.

d. Cleaning

Cleaning dilakukan dengan cara melihat kelengkapan data dan

kebenaran data mengenai keragaman konsumsi pangan pada anak usia

37-60 bulan.
33

e. Tabulating

Membuat tabel hasil penelitian yaitu hasil skor dan kategori

keragaman konsumsi pangan pada anak usia 37-60 bulandan status

gizi balita. Dan begitupula data karakteristik sampel yang telah di

entry dan diteliti kebenarannya dan siap dianalisis.

2. Analisa Data

a. Analisa Univariat

Untuk mengetahui distribusi frekuensi dan rata-rata. Hasil dari

analisa ini berupa distribusi frekuensi dan presentase dari variabel.

Selanjutnya analisa ini akan ditampilkan distribusi frekuensi dalam

bentuk tabel. Untuk data demografi atau kriteria sampel dilakukan

perhitungan presentase.

f
P= x 100 %
n

Keterangan :

P = Presentase

f = Jumlah frekuensi

n = Jumlah responden

Kemudian peneliti akan menghitung distribusi frekuensi dan

mencari presentase pada setiap variabel dengan menggunakan

komputer program SPSS 20.

b. Analisa Bivariat
34

Analisa ini yang digunakan untuk menguji hipotesis yang telah

ditetapkan yaitu mempelajari hubungan antar variabel dengan

menggunakan uji chi-square. Uji ini digunakan untuk melihat derajat

hubungan antara variabel independent dan dependent. Penelitian ini

menggunakan derajat kepercayaan 95% sehingga, Jika nilai p ≤ 0,05

berarti hasil perhitungan statistik bermakna atau menunjukkan adanya

hubungan antara variabel independent dan dependent, dan apabila

nilai p > 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau

tidak ada hubungan antara variabel independent dan dependent.33

J. Etika Penelitian

Pada penelitian ini, tetap menjujung tinggi kebebasan dan hak dari

setiap orang dalam memberikan masukan, pendapat serta jawaban dari

kuesioner yang ada. Pengisian data primer oleh responden dilakukan setelah

diberikan Informed Consentsebagai persetujuan dari responden. Responden

dipilih dengan tidak membeda-bedakan suku, ras, dan agamanya. Responden

bebas memilih untuk bersedia atau tidak menjadi responden dan peneliti

menjamin kerahasiaan identitas data dengan menggunakan nama inisial.


35

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes. GIZI, Investasi Masa Depan Bangsa. War Kesmas. 2017;2:5.

www.kesmas.kemkes.go.id.

2. Indonesia MCA. Stunting dan Masa Depan Indonesia. Millenn Chall Acc-

Indones. 2013;2010:2-5.

3. Sari EM, Juffrie M, Nurani N, Sitaresmi MN. Asupan protein, kalsium dan

fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan. J Gizi Klin

Indones. 2016;12(4):152. doi:10.22146/ijcn.23111

4. Satriani Sakti E, Dkk. Situasi Balita Pendek (Stunting) Di Indonesia. Bul

Jendela Data dan Infomasi Kesehat. October 2018:56.

5. Trihono, Atmarita, Tjandrarini DH, et al. Pendek (Stunting) Di Indonesia,

Masalah Dan Solusinya.; 2015.


36

6. Balitbang kemenkes R. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta; 2018.

7. Poltekkes Kemenkes Aceh. Laporan Survey Pemantauan Status Gizi

Provinsi Aceh. Has Status Masal Gizi Balita Aceh. 2017:36.

http://dinkes.acehprov.go.id.

8. Dani S. Aceh Peringkat Tiga Stunting - Serambi Indonesia.

https://aceh.tribunnews.com/2019/03/04/aceh-peringkat-tiga-stunting.

Published 2019. Accessed January 11, 2020.

9. Pukermas Ingin Jaya. Laporan Data Balita Stunting 2019. Aceh Besar;

2019.

10. Indonesia KKR. Pusat data dan informasi: situasi dan analisis gizi. Jakarta

Kementeri Kesehat Republik Indones. 2015:2.

11. Widyaningsih NN, Kusnandar K, Anantanyu S. Keragaman pangan, pola

asuh makan dan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. J Gizi

Indones. 2018;7:22-29.

12. Wantina M, Rahayu LS, Yuliana I. Keragaman Konsumsi Pangan Sebagai

Faktor Risiko Stunting Pada Balita Usia 6-24 Bulan. J UHAMKA.

2017;2(2):89-96.

13. Rusydi azrur. » Keanekaragaman Pangan untuk Antisipasi Kekurangan

Pangan. bitra.co.id. http://bitra.or.id/2012/2010/10/15/keanekaragaman-

pangan-untuk-antisipasi-kekurangan-pangan/. Published 2010. Accessed

January 11, 2020.


37

14. Ulya Z, Ridwan MRM, Islamiyati I. Hubungan pengetahuan dan sikap ibu

dengan perilaku keluarga sadar gizi (KADARZI) di Kelurahan Gunung

Sari Bandar Lampung tahun 2011. J Kesehat METRO SAI WAWAI.

2017;4(1):45-52.

15. Alhamda S, Sriani Y. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta:

Deepublish; 2015.

16. Mitayani SW. Buku saku ilmu gizi. Jakarta Trans Info Media. 2010.

17. Winarsih. Pengantar Ilmu Gizi Dalam Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka

Baru Press; 2019.

18. Soetardjo S, Soekatri M, Almatsier S. Gizi seimbang dalam daur

kehidupan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2011.

19. Simbolon D. Pencegahan Stunting Melalui Intervensi Gizi Spesifik Pada

Ibu Menyusui Anak Usia 0 Sampai 24 Bulan. Surabaya: Media Sahabat

Cendekia; 2019.

20. Sunita A. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

2009:51-75.

21. Kementrian Kesehatan RI. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi

Anak. Standar Antropometri Penilai Status Gizi Anak. 2010.

22. Adriani M, Wirjatmadi B. Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group; 2012.


38

23. Ramayulis R. 100 Menu Untuk Optimalkan Pertumbuhan Dan Kecerdasan

Bayi. Jakarta: gramedia pustaka utama; 2016.

24. Febry AB, Marendra Z. Buku pintar menu balita. PT WahyuMedia. 2008.

25. Kementrian Kesehatan RI. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Untuk

Masyarakat Indonesia. Angka Kecukupan gizi. 2019:3-27.

26. Yuliana W, ST S, Keb M, Hakim BN. Darurat Stunting Dengan

Melibatkan Keluarga. Sulawesi Selatan: Yayasan Ahmar Cendekia

Indonesia; 2019.

27. Ramayulis R, Dkk. Stop Stunting Dengan Konseling Gizi. Jakarta: Penebar

plus+; 2018.

28. suhaimi A. Pangan , Gizi Dan Kesehatan. Yogyakarta: Deepublish; 2019.

29. Fikawati S, Dkk. Gizi Anak Dan Remaja. Jakarta: Rajawali Pers; 2017.

30. Indrawati S. HUBUNGAN PEMBERIAN ASI ESKLUSIF DENGAN

KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA 2-3 TAHUN DI DESA

KARANGREJEK WONOSARI GUNUNGKIDUL. 2017.

31. Astari LD, Nasoetion A, Dwiriani CM. Hubungan karakteristik keluarga,

pola pengasuhan dan kejadian stunting anak usia 6-12 bulan. Media Gizi

dan Kel. 2005;29(2):40-46.

32. Putri DS, Sukandar D. Keadaan rumah, kebiasaan makan, status gizi, dan

status kesehatan balita di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. J Gizi


39

dan Pangan. 2012;7(3):163-168.

33. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku

Manusia. Yogyakarta Nuha Med. 2010.

Anda mungkin juga menyukai