Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan gawat bayi yang berupa


kegagalan untuk bernafas sacara sepontan dan teratur setelah lahir, sehingga
menimbulkan depresi pernafasan dan komplikasi yang mempengaruhi seluruh
metabolisme tubuh dan dapat menyebabkan kematian (Wiknjosastro, 2007).
Komplikasi akibat asfiksia neonatorum jangka pendek berupa disfungsi multiorgan
yang dapat berlanjut kematian, serta komplikasi jangka panjang adalah kelainan
neurologi dan keterlambatan perkembangan. Komplikasi ini dapat terjadi karena ada
gangguan pertukaran gas dan pengangkutan oksigen selama persalinan yang dapat
mempengaruhi fungsi sel organ organ vital terutama otak yang dapat mengakibatkan
kematian atau kecacatan yang ireversibel (Wantania, 2013).

Permasalahan pada neonatus biasanya timbul akibat yang spesifik terjadi pada
masa neonatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian, tetapi juga penyebab
kecatatan. Masalah ini timbul sebagai akibat dari buruknya kesehatan ibu, perawatan
kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan bersih,
serta kurangnya perawatan akses dan kualitas pelayanan terhadap bayi baru lahir
menjadi prioritas utama(Dinas Kesehatan Aceh, 2018).

Berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO), diseluruh dunia


terdapat kematian bayi khususnya neonatus mencapai 11 per 1.000 kelahiran
hidup(WHO, 2019).Laporan WHO juga menyebutkan bahwa AKB kawasan Asia
Tenggara merupakan kedua yang paling tinggi yaitu sebesar 142 per 1.000 setelah
kawasan Afrika. Di tahun 2015, Indonesia merupakan negara dengan AKB tertinggi
kelima untuk negara ASEAN yaitu 35 per 1.000, dimana Myanmar 48 per 1000, Laos
dan Timor Leste 46 per 1.000, Kamboja 36 per 1.000 (Syaiful dan Khudzaifah, 2016).

Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah bayi yang meninggal sebelum
mencapai usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang
sama.Dari data yang bersumber pada dinas kesehatan kabupaten/ kota, diketahui
jumlah kematian bayi di Aceh tahun 2018 sebanyak 936 kasus, serta lahir hidup
101.296 jiwa, maka AKB di Aceh tahun 2018 sebesar 9 per 1.000 lahir hidup. Angka
2

ini menurun dari tahun sebelumnya yaitu 12 per 1.000 kelahiran hidup (Dinas
Kesehatan Aceh, 2018).

Angka Kematian Bayi (AKB) tertinggi di tahun 2018 terdapat di Kabupaten


Aceh Singkil sebesar 20 per 1.000 lahir hidup, di ikuti Simeulue 19 per 1.000 lahir
hidup, terendah di Kota Banda Aceh sebesar 1 per 1.000 lahir hidup.Beberapa
penyebab kematian bayi di Aceh, diantaranya adalah asfiksia (242 kasus), BBLR
(232kasus), cacat kongenital (70 kasus), demam (3 kasus), gangguan saluran cerna (7
kasus), diare (12 kasus), pneumonia (24 kasus), sepsis (29 kasus), penyakit lain (159
kasus) (Dinas Kesehatan Aceh, 2018).

Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan suplai oksigen ke tubuh


menjadi terhambat, jika terlalu lama dapat membuat bayi menjadi koma, walaupun
sadar dari koma bayi akan mengalami cacat otak (Indriani & Rustina, 2015).
Kejadian asfiksia jika berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan perdarahan
otak, kerusakan otak dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang. Keadaan
hipoksia dan iskemia yang terjadi akibat asfiksia akan menimbulkan gangguan pada
berbagai fungsi organ. Proses terjadinya gangguan bergantung pada berat dan
lamanya hipoksia terjadi dan berkaitan dengan proses reoksigenisasi jaringan
setelah proses hipoksia tersebut berlangsung.

Faktor risiko terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir terdiri dari faktor ibu,
faktor janin dan faktor persalinan/kelahiran. Hal ini penting, karena dengan
pengenalan faktor risiko tersebut maka persiapan resusitasi bayi dapat dilakukan.
Beberapa organ tubuh yang akan mengalami disfungsi akibat asfiksia perinatal
adalah otak, paru-paru, hati, ginjal, saluran cerna dan sistem darah. Dampak jangka
panjang bayi yang mengalami asfiksia berat antara lain ensefalopati hipoksik -
iskemik, iskemia miokardial transien, insufisiensi trikuspid, nekrosis miokardium,
gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut, enterokolitis, SIADH (syndrome
inappropriate anti diuretic hormone) kerusakan hati, Koagulasi intra- vaskular
diseminata (KID), perdarahan dan edem paru, penyakit membran hialin HMD
sekunder dan aspirasi mekonium (Manoe & Indriani, 2015).

Faktor-faktor yang menyebabkan asfiksia antara lain factor ibu, faktor


plasenta, faktor persalinan, dan faktor bayi. Faktor ibu terdiri dari umur ibu, tingkat
pendidikan ibu, pendarahan antepartum, status gravida, dan penyakit ibu saat hamil
3

seperti hipertensi dalam kehamilan (preeklamsia dan eklamsia), diabetes mellitus,


diabetes gestasional dan penyakit jantung. Factor persalinan terdiri dari jenis
persalinan, penolong persalinan, tempat persalinan, partus lama/macet, dan ketuban
pecah dini (KPD). Faktor bayi terdiri dari usia gestasi, berat badan lahir, kelainan
letak (letak sunsang dan letak lintang), air ketuban bercampur meconium, dan gawat
janin (Mutmainnah, 2017).

Beberapa penelitian menurut Gilang & Rakhmawatie (2009), mengatakan


bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan asfiksia neonatorum antara lain umur
ibu, perdarahan antepartum, berat badan lahir rendah (BBLR), pertolongan persalinan
letak sungsang perabdominam dan pervaginam, partus lama atau macet dan Ketuban
Pecah Dini (KPD). Maka dari itu kelompok tertarik untuk membuat laporan mengenai
Asuhan Kebidanan Pada Bayi Baru lahir dengan Asfiksia Sedang.

B. Tujuan
1. Tujuan umum

Mampu memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan


asfiksia sedang di ruang NicuRumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh.

2. Tujuan khusus
Dapat melaksanakan pengkajian data subjektif pada bayi Ny. J dengan asfiksia
sedang di ruang Nicu Rumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh.
a. Agar dapat melakukan pengumpulan data subjektif pada bayi Ny. F dengan
asfiksia sedang.
b. Agar dapat melakukan pengumpulan data objektif pada bayi Ny. F dengan
asfiksia sedang.
c. Agar dapat menegakkan analisa pada bayi Ny. F dengan asfiksia sedang.
d. Agar dapat memberikan penatalaksanaan pada bayi Ny. F dengan asfiksia
sedang.
4

C. Manfaat
1. Bagi mahasiswa

Dapat memperoleh pengalaman dan pengetahuan dalam menerapkan


asuhan kebidanan pada bayi Ny. F dengan asfiksia sedang.

2. Bagi Pasien dan Keluarga

Dapat memperoleh asuhan kebidanan sesuai kebutuhan bayi baru lahir


dengan asfiksia sedang.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami
asfiksia sesudah persalinan (Depkes RI, 2010)
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan tidak teratur
segera setelah lahir (JNPK-KR, 2017). Asfiksia neonatrum merupakan sautu kejadian
kegawatdaruratan yang berupa kegagalan bernafas secara spontan segera lahir dan sangat
berarti dan sangat berisiko untuk terjadinya kematian dimana keadaan janin tidak
spontan bernafas dan teratur sehingga dapat menurunkan oksigen dan makin
meningkatkan karbondioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam keidupan berlanjut
(Manuaba, 2010).
Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013). Asfiksia juga suatu keadaan yang
disebabkan oleh kurangnya O2 pada udara respirasi, yang ditandai dengan:
1. Asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis.
2. Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetep 0-3
3. Manifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksikiskemia ensefalopati)
4. Gangguan multiorgan sistem (Prambudi, 2013).

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila
proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian.
Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. Pada bayi yang mengalami
kekurangan oksigenakan terjadi pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernapasan akan berhenti, denyut jantung juga mulai
menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara berangsur-angsur dan bayi
memasuki periode apnea yang dikenal sebagai apnea primer. Perlu dketahui bahwa
kondisi pernapasan megap-megap dan tonus otot yang turun juga dapat terjadi akibat
obat-obat yang diberikan kepada ibunya. Biasaya pemberian perangsangan dan oksigen
selama periode apnea primer dapat merangsang terjadinya pernapasan spontan. Apabila
asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukkan pernapasan megap-megap yang dalam, denyut
6

jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat
lemas (flaccid). Pernapasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode
apnea yang disebut apnea sekunder (Saifuddin, 2009).

Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir,
umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya
dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang
mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan.

B. Patofisiologi
Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi pada
saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong. Hal ini diikuti
oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat.
1. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk
mengembangkan paru, tetapi bila aru mengembang saat kepala dijalan lahir atau bila
paru tidak megembang karena suatu hal, aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti
nafas komplityang disebut apnea primer.
2. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dala situasi klinis karena dilakukan
tindakan resusitasi yang sesuai-usaha bernafas otomatis dimulai. Hal ini hanya akan
membantu dalam waktu singkat, kemudia jika paru tidak mengembang, secara
bertahap terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan. Selanjutnya bayi
akan memasuki periode apnea terminal. Kecuali jika dilakukan resusitasi yang tepat,
pemulihan dari keadaan terminal ini tidal akan terjadi.
3. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun dibawah 100
x/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat saat bayi bernafas terengah-
engah tetapi bersama dengan menurun dan hentinya nafas terengah-engah bayi,
frekuensi jantung terus berkurang. Keadaan asam-basa semakin memburuk,
metabolisme selular gagal, jantung pun berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam
waktu cukup lama.
4. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan pelepasan
ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walaupun demikian, tekanan darah yang
terkait erat dengan frekuensi jantung, mengalami penurunan tajam selama apnea
terminal.
7

5. Terjadi penurunan pH yang hampir linier sejak awitan asfiksia. Apnea primer dan
apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada umumnya bradikardi
berat dan kondisi syok memburuk apnea terminal.(Prambudi, 2013).
C. Etiologi
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi
darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayimenjadi berkurang. Hipoksia bayi
di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia
bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya
asfiksia pada bayi baru lahir, diantara:
1. Faktor ibu
a. Usia ibu <20 tahun atau >35 tahun
a. Preeklampsia dan eklampsia
b. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c. Partus lama atau partus macet
d. Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
e. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
b. Faktor Tali Pusat
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat.
c. Faktor bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, ekstraksi forsep)
c. Kelainan bawaan (kongenital)
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) (Noorbaya dan Johan,
2019).
Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi
untuk menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor resiko tersebut maka
hal itu harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang keungkinan perlunya
tindakan resusitasi. Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit dikenali
(sepengetahuan penolong) tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena
8

itu, penolong harus siap melakukan resusitasi bayi pada setiap pertolongan
persalinan.

D. Perubahan Patologis dan Gambaran Klinis


Pernapasan spontan pada BBL tergantung pada kondisi janin pada masa
kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O 2
selama kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini
akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian
asfiksia yang terjadi dimulai suatu periode apnu disertai dengan penurunan frekuensi.
Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada
dalam periode apnue kedua. Pada tingkat ini terjadi bradikardi dan penuruanan TD.
Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan
asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama terjadi asidosis respioratorik. Bila
berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme an aerobic yang berupa
glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan
berkurang. Pada selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh
beberapa keadaan diantara:
1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung
2. Terjadi asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan kelemahan otot
jantung
3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap tingginya
resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan ke sistem
sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan (Noorbaya dan Johan, 2019).
E. Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari
anoksia/hipoksia janin. Diagnosis anoksia/hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinana
dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian,
yaitu:
1. Denyut Jantung Janin (DJJ)
Peningkatan kecepatan pada denyut jantung umumnya tidak banyak artinya,
akan tetapi apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his,
dan lebih-lebih jadi tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
9

2. Mekonium dalam air ketuban


Mekonium pada presentasi sunsang tidak ada artinya, akan tetapi pada
presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan harus
diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan
mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat
sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini
diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun
di bawah7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin sertai
asfiksia (Meihartati, dkk. 2018).
F. Penilaian Asfiksia
Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi,
menentuka tindakan yang aka dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan resusitasi.
Upaya resusitasi yang efisien dan efektif berlangsung melalui rangkaian tindakan yang
menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan. Penilaian untuk melakukan
resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting, yaitu: pernafasan, denyut
jantung, warna kulit. Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai
resusitasi atau membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian
pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus
segera ditentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan
tekanan positif (VTP) (Meihartati, dkk. 2018).
G. Penanganan Asfiksia
1. Persiapan Alat Resusitasi
Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga alat-alat
resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu: 2 helai kain/handuk. Bahan ganjal bahu
bayi dapat berupa kain, kaos, selendang, handuk kecil digulung setinggi 5 cm dan
mudah disesuaikan untuk mengatur posisi kepala bayi.
a. Alat penghisap lendir de lee atau bola karet
b. Tabung dang sungkup atau balon dan sungkup neonatal
c. Kotak alat resusitasi
d. Jam atau pencatat waktu.
10

2. Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir


Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal
sebagai ABC resusitasi, yaitu:
a. Memastikan saluran terbuka
b. Selimuti bayi dengan kain tersebut, dada perut ibu terbuka, potong tali pusat
c. Pindahkan bayi diatas kain tempat resusitasi.
Atur posisi bayi
a. Baringkan bayi terlentang dengan kepala didekat penolong
b. Ganjal bahu agar kepala bayi sedikit ekstensi
c. Isap lendir, gunakan alat alat penghisap de lee dengan cara: isap lendir mulai dari
mulut dulu, kemudian dari hidung. Lakukan penghisapan saat alat penghisap
ditarik keluar, tidak pada waktu memasukkan. Jangan melakukan penghisapan
terlalu dalam (jangan lebih dari 5 cm ke dalam mulut, dan jangan lebih dari 3 cm
ke dalam hidung). Hal itu dapat menyebabkan denyut jantung bayi menjadi
lambat dan bayi tiba-tiba berhenti bernafas.
d. Keringkan dan rangsang bayi. keringkan bayi dari mulai dari muka, kepala dan
bagian tubuh lainnya dengan sedikit tekanan. Rangsang ini dapat membantu bayi
mulai dari bernafas. Lakukan rangsang taktil dengan cara menepuk atau
menyentil telapak kaki atau menggosok punggung, perut, dada, tungkai bayi, dan
telapak tangan.
e. Atur kembali posisi kepala bayi dan selimuti bayi.
f. Ganti kain yang basah dengan kain yang kerong dibawahnya.
g. Selimuti bayi dengan kain kering tersebut, jangan menutupi muka dan dada agar
bisa memantau pernafasan bayi.
h. Atur kembali posis bayi sehingga kepala sedikit ekstensi
i. Lakukan penilaian apakah bayi bernafas normal, tidak bernafas atau megap-
megap.
j. Bila bayi bernafas normal lakukan asuhan pasca resusitasi
k. Bila bayi megap-megap atau tidak bernafas lakukan ventilasi bayi.
3. Tahap II Ventilasi
Ventilasi adalah tahapan tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah
volume udara ke dalam paru-paru dengan tekanan positif untuk membuka alveoli
paru agar bayi bisa bernafas spontan dan teratur. Langkah-langkahnya:
11

a. Pasang sungkup
b. Pasang dan pegang sunkup agar menutupi mulut, hidung dan dagu bayi
c. Ventilasi 2 kali
d. Lakukan tiupan atau pemompaan dengan tekanan 30 cm air.
Tiupan awal tabung dan sungkup atau pemompaan awal balon sunkup sangat
penting untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa bernafas dan menguji apakah
jalan nafas bayi terbuka.
e. Lihat apakah dada bayi mengembang
Saat melakukan pemompaan perhatikan apakah dada bayi mengembang. Bila
tidak mengembang, periksa posisi sunkup pastikan tidak ada udara yang bocor,
periksa posisi kepala pastikan posisi sudah sedikit ekstensi, periksa cairan atau
lendir dimulut bila masih terdapat lendir lakukan penghisapan, lakukan
pemompaan 2 kali, jika dada mengembang lakukan tahap selnjutnya.
f. Ventilasi 20 kali dalam 30 detik
g. Lakukan tiupan dengan tabung dan sunkup sebanyak 20 kali dalam 30 detik
dengan tekanan 20 cm air
h. Pastikan dada mengembang saat dilakukan pemompaan, setelah 30 detik lakukan
penilaian ulang nafas
i. Jika bayi mulai bernafas spontan, hentikan ventilasi bertahap dan lakukan asuhan
pasca resusitasi
j. Jika bayi megap-megap atau tidak bernafas lakukan ventilasi
k. Ventilasi, setiap 30 detik hentikan dan lakukan penilaian ulang nafas
l. Lakukan ventilasi 20 kali dalam 30 detik
m. Lakukan penilaian bayi apakah bernafas, tidak bernafas atau megap-megap
n. Jika bayi mulai bernafas spontan, hentikan ventilasi bertahap dan lakukan asuhan
pasca resusitasi
o. Jika bayi megap-megap atau tidak bernafas, teruskan ventilasi 20 kali dalam 30
detik kemudian lakukan penilaian ulang nafas setiap 30 detik. Siapkan rujukan
jika bayi belum bernafas selama 2 menit resusitasi
p. Mintalah keluarga untuk mempersiapkan rujukan
q. Teruskan resusitasi sambil menyiapkan untuk rujukan
r. Lakukan ventilasi sambil memeriksa denyut jantung bayi
s. Bila dipastikan denyut jantung bayi tidak terdengar lanjutkan ventilasi selama 10
menit
12

t. Hentikan resusitasi bila denyut jantung tetap tidak terdengar, jelaskan kepada ibu
dan berikan dukungan kepadanya serta lakukan pencatatan
u. Bayi yang mengalami asitol 10 menit kemungkinan besar mengalami kerusakan
otak yang permanen.
4. Prinsip-Prinsip Resusitasi yang Efektif
a. Tenaga kesehatan yang siap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus
merupakan tim yang hadir pada setiap persalinan
b. Tenaga kesehatan dikamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang harus
dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efisien
c. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerja sama sebagai
suatu tim yang terkoordinasi
d. Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan berikutnya
ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien
e. Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia dan siap
pakai (Meihartati, dkk. 2018).
H. Pengkajian klinis
Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal
(2009) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk melakukan resusitasi semata-mata
ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu :
1. Pernafasan
Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan
auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan dada
asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya adekuat
(frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau tidak sama
sekali.
2. Denyut jantung
Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau merasakan
denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka ini
merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang
signifikan.
3. Warna
Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis
perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan
13

hari. Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi
berwarna merah muda, biru, atau pucat.
Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua
komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan
depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan
kelainan neuromuscular yang tidak berhubungan.
Tabel Skor Apgar
Skor 0 1 2
Frekuensi jantung Tidak ada <100 x/menit >100 x/menit
Tidak teratur,
Usaha pernafasan Tidak ada Teratu, menangis
lambat
Beberapa
Tonus otot Lemah Semua tungkai fleksi
tungkai reflek
Iritabilitas reflek Tidak ada Menyeringai Batuk/menangis
Warna kulit Pucat biru Merah muda
Klasifikasi APGAR skor:

1. Asfiksia berat : 0-3


a. Frekuensi jantung kecil, yaitu < 40x/i
b. Tidak ada usaha nafas
c. Tonus otot lemah bahkan hampir tidak ada.
d. Bayi tidak dapat memberikan reaksi jika diberikan rangsangan.
e. Bayi tampak pucat bahkan sampai berwarna kelabu.
f. Terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum atau sesudah
persalinan.
2. Asfiksia sedang : Skor 4-6
a. Frekuensi jantung menurun 60-80 x/i
b. Usaha nafas lambat
c. Tonus otot biasanya dalam keadaan baik
d. Bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan
e. Bayi tampak sianosis
f. Tidak terjadi kekurangan oksigen yang bermakna selama proses
persalinan

3. Asfiksia ringan : 7-10


a. Takipnea dengan nafas lebih dari 60x/i
14

b. Bayi tampak sianosis


c. Adanya retraksi sela iga
d. Bayi merintih
e. Adanya pernafasan cuping idung
f. Bayi kurang aktivitas.

Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit sesudah bayi
lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi
memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna
bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan
sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan
akan membahayakan terutama pada bayi yang mengalami depresi berat.
Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal
resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian
efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit.
Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu tiap 5
menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih
(Saifuddin, 2009).

Anda mungkin juga menyukai