PENDAHULUAN
Profesi farmasi hingga kini masih belum dikenal luas oleh masyarakat. Padahal
sebenarnya farmasi juga memiliki peran yang sangat penting dalam kesehatan
masyarakat. Hal ini karena yang paling kompeten tentang obat-obatan adalah
orang-orang farmasi atau disebut dengan farmasis. Keterkaitan farmasis dalam
fungsi kesehatan masyarakat terutama dalam menyusun kebijakan kesehatan baik
organisasi local, regional, nasional maupun internasional.
PEMBAHASAN
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
praktik kefarmasian oleh Apoteker.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi,
kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai
peraturan yang berlaku.
5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan
kosmetika.
6. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi
yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi untuk manusia.
7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan
yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit,
merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
8. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan
untuk penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar produknya
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
9. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker
dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
10. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu
apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
Menengah farmasi/ Asisten Apoteker.
11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian
Kesehatan yang bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat
kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan
untuk:
a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian
b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang
tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
1. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar :
a. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai
b. Pelayanan farmasi klinik.
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. Perencanaan
b. Pengadaan
c. Penerimaan
d. Penyimpanan
e. Pemusnahan
f. Pengendalian
g. Pencatatan dan pelaporan.
3. Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi :
a. Pengkajian Resep
b. Dispensing
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
d. Konseling
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care)
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan
farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
1. Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus
didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien.
2. Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Sumber daya manusia
b. Sarana dan prasarana.
Pasal 5
1. Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek, harus
dilakukan evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu Pelayananan
Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 6
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus menjamin
ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.
Pasal 7
Penyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian di Apotek wajib mengikuti
Standar Pelayanan Kefarmasian sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri ini.
Pasal 8
Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara
berjenjang kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi, dan Kementerian Kesehatan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 9
1. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan
Menteri ini dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.
2. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi profesi.
Pasal 10
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Apotek dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1162) diubah sebagai
berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 ditambahkan dua angka yaitu angka 12 dan
angka 13, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
12) Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya
disingkat Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah
Non Kementerian yang mempunyai tugas untuk melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
13) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 9A
1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat
(1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan farmasi dalam
pengelolaan sediaan farmasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan juga oleh Kepala BPOM
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala BPOM dapat melakukan pemantauan, pemberian
bimbingan, dan pembinaan terhadap kegiatan instansi
pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan sediaan
farmasi.
Pasal 9B
1) Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi
dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala
BPOM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
paling sedikit sekali dalam setahun.
Pasal 9C
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai
sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal II
a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan
pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan
masyarakat.
b. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka
pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga
yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang
diterima.
d. Penyimpanan
a) Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari
pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi
dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya
kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada
wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama
obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
b) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang
sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
c) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan
bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara
alfabetis.
d) Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First
Out) dan FIFO (First In First Out)
e. Pemusnahan
a) Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai
dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat
kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau
psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat selain
narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Tenaga Kefarmasian lain yang memiliki
surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan
dibuktikan dengan berita acara pemusnahan menggunakan
Formulir 1 sebagaimana terlampir.
b) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima)
tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan
oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas
lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan
lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan
Resep menggunakan Formulir 2 sebagaimana terlampir dan
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota.
f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan
jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui
pengaturan sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan
pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa,
kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian
persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan
cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurangkurangnya
memuat nama Obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan,
jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
g. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan
(kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk
kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan
laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika
(menggunakan Formulir 3 sebagaimana terlampir),
psikotropika (menggunakan Formulir 4 sebagaimana terlampir)
dan pelaporan lainnya.
b. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal
sebagai berikut:
a) Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep :
1) menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan
Resep
2) mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak
penyimpanan dengan memperhatikan nama Obat,
tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik Obat.
b) Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
c) Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
1) warna putih untuk Obat dalam/oral;
2) warna biru untuk Obat luar dan suntik;
3) menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan
bentuk suspensi atau emulsi.
d) Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah
untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan
menghindari penggunaan obat yang salah
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket,
cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat (kesesuaian antara
penulisan etiket dengan Resep);
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;
5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang
terkait dengan Obat
6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan baik
7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau
keluarganya;
8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh
Apoteker (apabila diperlukan);
9. Menyimpan resep pada tempatnya
10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan
menggunakan Formulir 5 sebagaimana terlampir.
d. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan
Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, Apoteker menggunakan three prime
questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu
dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami
Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB,
DM, AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Kriteria pasien :
a. Anak-anak dan lanjut usia
b. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis
c. Adanya multidiagnosis
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati
e. Menerima obat dengan indeks terapi sempit
f. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang
merugikan.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien.
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan
dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.
5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
6. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk
manusia.
7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang
tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit,
memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan
memperbaiki fungsi tubuh.
8. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk
penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
9. Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang
menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah
Sakit.
10. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
11. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam
menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
13. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal pada Kementerian Kesehatan
yang bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk :
a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian
b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
1. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar :
a. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
b. Pelayanan farmasi klinik.
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. Pemilihan
b. Perencanaan kebutuhan
c. Pengadaan
d. Penerimaan
e. Penyimpanan
f. Pendistribusian
g. Pemusnahan dan penarikan
h. Pengendalian
i. Administrasi.
3. Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. Pengkajian dan pelayanan Resep
b. Penelusuran riwayat penggunaan Obat
c. Rekonsiliasi Obat
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
e. Konseling
f. Visite
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
j. dispensing sediaan steril
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
4. Pelayanan farmasi klinik berupa dispensing sediaan steril sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf j hanya dapat dilakukan oleh Rumah Sakit yang
mempunyai sarana untuk melakukan produksi sediaan steril.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
1. Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus
didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional.
2. Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Sumber daya manusia
b. Sarana dan peralatan.
3. Pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan
uraian tugas, fungsi, dan tanggung jawab serta hubungan koordinasi di dalam
maupun di luar Pelayanan Kefarmasian yang ditetapkan oleh pimpinan Rumah
Sakit.
4. Standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh pimpinan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya kefarmasian dan
pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 5
1. Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, harus
dilakukan Pengendalian Mutu Pelayananan Kefarmasian yang meliputi:
a. Monitoring
b. Evaluasi
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengendalian Mutu Pelayananan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
Pasal 8
Rumah Sakit wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara
berjenjang kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi,
dan Kementerian Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 9
1. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini
dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
2. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melibatkan organisasi profesi.
Pasal 10
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah
Sakit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pengelolaan sedian farmasi, aat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir, dan menggunakan proses
yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Dalam ketentuan
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
menyatakan bahwa pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan medis
habis pakai di rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu
pintu. Alat kesehatan yang dikelola oleh instalasi farmasi sistem satu pintu berupa
alat medis habis pakai/ peralatan non elektromedik, antara lain alat kontrsepsi
(IUD), alat pacu jantung, implan, dan stent.
a. Obat yang terlihat mirip dan kedengerannya mirip (nama obat rupa dan
ucapan mirip/ NORUM, atau Look Alike Sound Alike/ LASA)
b. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ ml atau dan
magnesium sulfat = 50% atau lebih pekat)
c. Obat-obat sitostatik
2. Perencanaan kebutuhan
Perencanaan kwbutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan
jumlah dan periode pengadaansediaan farmasi, alat kesehatan, bahan
medis habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk
menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu
dan efesien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-
dasar perencanaaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi dan
epidemiologi dan disesuikan dengan anggaran yang tersedia.
Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:
a. Anggaran yan tersedia
b. Penetapan proirias
c. Sisa persediaan
d. Data pemakaian periode yang lalu
e. Waktu tunggu pemesanan
f. Rencana pengembangan
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus
menjamin ketersediaan. Pengadaan yang efektif harus menjamin
ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang
terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan
yang berkesinambunngan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah
yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan
metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak,
pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran.
a. Pembelian
Untuk rumah sakit pemerintah pembelian sediaan farmasi, alat
kesehatan, bahan medis habis pakaiharus sesuai dengan ketentuan
pengadaan barang dan jasa yang berlaku.
8. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis
pakai. Pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai dapat dilakukan oleh instalasi farmasi
harus bersama dengan tim TFT di rumah sakit.
Tujuan pengendalian persediaan sediaan frmasi, alat kesehatan,
dana bahan medis habis pakaiadalah untuk:
a. Penggunaan obat sesuai dengan formularium rumah sakit
b. Pengunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi
c. Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/ kekosongan, dan bahan medis habis
pakai
Pedoman teknis mengenai pelayanan informasi obat akan di atur lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal.
5. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktifitas pemberian nasehat atau saran terkait
terapi obat dari Apoteker kepada pasien dan / atau keluarganya.
Secara khusus konseling obat di tujukan untuk ;
a. Meningkatkan hubungan kepercayaan anatara Apoteker dan pasien;
b. Menujukan perhatian dan kepedulian kepada pasien;
c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat;
d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunan obat
dengan penyakit nya;
e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;
f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;
g. Meningkatakan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal
terapi;
h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan ;dan
i. Memimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat
mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.
Pedoman teknis mengenai konseling akan atur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal.
6. Visite
Visite adalah kegiatan kunjungan kepada pasien rawat inap yang di lakukan
Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
kondisi klinis pasien secara laangsung,dan mengkaji masalah terkait
oabt,memantau terapi obat,dan reaksi obat yang tidak di
kehendaki,meningkatkan terapi obat yang rasional dan menyajikan informasi
obat kepada dokter,pasien serta propesional kesehatan lain nya.
Pedoman teknis mengenai visite akan di atur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal.
PENGORGANISASIAN
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yangd imaksud dengan:
1. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah
unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung
jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien.
4. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
5. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk
manusia.
6. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk
penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
7. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
8. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker
dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi.
9. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disebut
Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian
yang mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan.
10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
1. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. perencanaan kebutuhan;
b. permintaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan:
e. pendistribusian;
f. pengendalian;
g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
3. Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pelayanan farmasi
klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
1. Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus
didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Pasal 5
1. Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, harus dilakukan
pengendalian mutu Pelayananan Kefarmasian meliputi:
a. monitoring; dan
b. evaluasi.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian mutu Pelayananan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
1. Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan pada unit
pelayanan berupa ruang farmasi.
2. Ruang farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang
Apoteker sebagai penanggung jawab.
Pasal 7
Setiap Apoteker dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang menyelenggarakan
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas wajib mengikuti Standar Pelayanan
Kefarmasian sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 8
1. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini
dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
2. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melibatkan organisasi profesi.
Pasal 9
1. Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi
dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan Sediaan Farmasi dalam
pengelolaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf a dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi
masing-masing.
2. Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala BPOM dapat
melakukan pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap
pengelolaan sediaan farmasi di instansi pemerintah dan masyarakat di bidang
pengawasan obat.
Pasal 10
1. Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan pengawasan yang
dilakukan oleh Kepala BPOM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 11
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
1. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, bagi Puskesmas yang belum
memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab, penyelenggaraan Pelayanan
Kefarmasian secara terbatas dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian atau
tenaga kesehatan lain yang ditugaskan oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.
2. Pelayanan Kefarmasian secara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan resep berupa peracikan Obat, penyerahan Obat, dan pemberian
informasi Obat.
3. Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berada di bawah pembinaan dan pengawasan Apoteker
yang ditunjuk oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
4. Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyesuaikan dengan
ketentuan Peraturan Menteri ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun
sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.
Pasal 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 906) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 1170), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi:
Pengendalian sediaan farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu
kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan
strategi dan program yang telah di tetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Tujuannya dalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan obat di unit
pelayanan kesehatan dasar.
1. Pengendalian persediaan;
2. Pengendalian penggunaan;dan
3. Penanganan sediaan farmasi hilang,rusak,dan kadaluwarsa.
H. Administrasi
BAB IV
C. Konseling
Kegiatan:
1. Kriteria pasien:
a. Pasien rujukan dokter.
b. Pasien dengan penyakit kronis.
c. Pasien dengan Obat yang berindeks terapetik sempit dan poli farmasi.
d. Pasien geriatrik.
e. Pasien pediatrik.
f. Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.
D. Ronde/Visite Pasien
Kegiatan:
Kriteria pasien:
Tujuan:
BAB V
Tujuan Umum:
Tujuan Khusus:
BAB VII
Terdapat 2 macam audit, yaitu: a. Audit Klinis Audit Klinis yaitu analisis kritis
sistematis terhadap pelayanan kefarmasian, meliputi prosedur yang digunakan
untuk pelayanan, penggunaan sumber daya, hasil yang didapat dan kualitas hidup
pasien. Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan berbasis bukti. b. Audit
Profesional Audit Profesional yaitu analisis kritis pelayanan kefarmasian oleh
seluruh tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian sasaran yang disepakati,
penggunaan sumber daya dan hasil yang diperoleh. Contoh: audit pelaksanaan
sistem manajemen mutu.
Terdapat 2 macam audit, yaitu: a. Audit Klinis Audit Klinis yaitu analisis kritis
sistematis terhadap pelayanan kefarmasian, meliputi prosedur yang digunakan
untuk pelayanan, penggunaan sumber daya, hasil yang didapat dan kualitas hidup
pasien. Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan berbasis bukti. b. Audit
Profesional Audit Profesional yaitu analisis kritis pelayanan kefarmasian oleh
seluruh tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian sasaran yang disepakati,
penggunaan sumber daya dan hasil yang diperoleh. Contoh: audit pelaksanaan
sistem manajemen mutu.
Terdapat 2 macam audit, yaitu: a. Audit Klinis Audit Klinis yaitu analisis kritis
sistematis terhadap pelayanan kefarmasian, meliputi prosedur yang digunakan
untuk pelayanan, penggunaan sumber daya, hasil yang didapat dan kualitas hidup
pasien. Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan berbasis bukti. b. Audit
Profesional Audit Profesional yaitu analisis kritis pelayanan kefarmasian oleh
seluruh tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian sasaran yang disepakati,
penggunaan sumber daya dan hasil yang diperoleh. Contoh: audit pelaksanaan
sistem manajemen mutu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Standar Pelayanan Kefarmasian tentang peraturan
perundang-undangan terdiri dari :
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas.
3.2 Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya pengetahuan
dan kekurangnnya rujukan atau referensi yang ada hubungnnya
dengan makalah ini.
Penulis berharap para pembaca memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya
makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan berikut.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya
juga para pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://ikatanapotekerindonesia.net/library/pelayanan
http://ikatanapotekerindonesia.net/library/pelayanan/permenkes-
no74-tahn-2016-ttg-standar-pelayanan-kefarmasian-di-puskesmas
http://ikatanapotekerindonesia.net/library/pelayanan/15-permenkes-
no58-thn-2014-ttg-standar-pelayanan-kefarmasian-di-rumah-sakit
http://ikatanapotekerindonesia.net/library/pelayanan/14-permenkes-
no35-thn-2014-standar-pelayanan-kefarmasian-di-apotek
http://ikatanapotekerindonesia.net/library/pelayanan/permenkes-
no35-thn-2016-ttg-perubahan-pmk-no-35-thn-2014-ttg-standar-
pelayanan-keframsian-di-apotek
http://ikatanapotekerindonesia.net/library/pelayanan/13-permenkes-
no30-thn-2014-ttg-standar-pelayanan-kefarmasian-di-puskesmas