Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH MUAMALLAH DAN ISLAM DISIPLIN ILMU

Perkawinan Beda Agama Dalam Islam

“Dalam Rangka Memenuhi Tugas Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Muamalah dengan

Dosen Pengampu Busahdiar”

Disusun oleh :

1. Reza Maulana (2018320176)

2. Fikri Amrullah Achmad (2018320163)

3. Moh Shoffan Shidqi (2018320174)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PRODI AKUNTASI 2020


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di
Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang
majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan
antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya
pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM,
lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang
berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria
yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nasrani, yahudi, atau agama
lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim.
Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat
mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang
terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan
kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal
menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar
mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami
mencoba untuk menjelas sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda
agama, menurut agama Islam itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama?
2. Bagaimana hukum perkawinan lintas agama menurut Islam?
3. Bagaimana Dasar dan Proses Pernikahan Beda Agama Di Indonesia?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian perkawinan lintas agama?
2. Untuk mengetahui hukum perkawinan lintas agama menurut Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perkawinan Lintas Agama


1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan yang istilah agama disebut “nikah” secara bahasa bermakna
penyatuan, perkumpulan, atau dapat diartikan sebagai akad atau hubungan badan.
Adapun menurut istilah syara’, nikah ialah akad yang membolehkan seorang laki-
laki berhubungan kelamin dengan perempuan.[[1]]
Jadi yang dimaksud dengan nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian
untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan
hubungan kelamin antar kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan
kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang
diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang di ridhai oleh
Allah SWT.
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam
pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan adalah sebagai ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga (3)
karakter yang khusus, yaitu :[[2]]
a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah
pihak.
b. Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling
mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan
yang sudah ada hukum-hukumnya.
c. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
2. Pengertian Perkawinan Lintas Agama
Perkawinan lintas agama ialah perkawinan antar orang yang berlainan
agama. Yang dimaksud dengan “perkawinan antar orang yang berlainan agama”
disini ialah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam
(pria/wanita).[[3]]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkawinan lintas agama adalahikatan lahir
dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena berbeda agama
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat
dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-
masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

B. Hukum Perkawinan Lintas Agama Menurut Islam


Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan
agama, musyrik adalah siapa saja yang menyembah selain Allah
(mempersekutukan Allah). Orang kristen yang percaya tentang trinitas adalah
musyrik menurut sudut pandang di atas, termasuk di dalamnya Ahlul Kitab.
Adapun menurut pandangan para pakar al-Quran,
katamusyrik atau musyrikin dan musyrikat digunakan al-Quran untuk kelompok
tertentu, yaitu para penyembah berhala. Dengan demikian, istilah al-Quran berbeda
dengan istilah keagamaan di atas. Walaupun penganut agama kristen mempercayai
trinitas, al-Quran tidak menamai mereka musyrik, tetapi menamai mereka Ahlu
Kitab. Perhatikan firman Allah berikut:
)1 :‫ب َو ْال ُم ْش ِر ِكينَ ُم ْنفَ ِّكينَ َحتَّى تَأْتِيَهُ ُم ْالبَيِّنَةُ (البينة‬
ِ ‫لَ ْم يَ ُك ِن الَّ ِذينَ َكفَرُوا ِم ْن أَ ْه ِل ْال ِكتَا‬
Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum
datang kepada mereka bukti yang nyata” (QS. al-Bayyinah: 1)

Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa orang kafir ada dua macam, yakni Ahlul
Kitab dan Musyrik. Itulah istilah yang digunakan al-Quran untuk satu substansi
yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama yang berbeda, yakni Ahlul kitab dan
orang-orang musyrik.[[4]]
1. Perempuan Muslim dengan Laki-laki Non-Muslim
Hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan
seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur
ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak
sah. Pengharaman tersebut didasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 221, yang
berbunyi: [[5]]
َ‫ ِر ِكين‬i ‫ ْال ُم ْش‬i‫وا‬ii‫وْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم َوال تُ ْن ِك ُح‬iiَ‫ت َحتَّى ي ُْؤ ِم َّن َوأل َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ خَ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َول‬ ِ ‫َوال تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا‬
......‫ك َولَوْ أَ ْع َجبَ ُك ْم‬iٍ ‫د ُم ْؤ ِم ٌن خَ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر‬iٌ ‫َحتَّى ي ُْؤ ِمنُوا َولَ َع ْب‬
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik
hatimu.” (QS. al-Baqarah: 221)
Selain didasarkan pada QS. al-Baqarah ayat 221, larangan perkawinan antara
perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim juga didasarkan pada QS. Al-
Mumtahanah ayat 10.
‫وه َُّن‬ii‫إِ ْن َعلِ ْمتُ ُم‬i َ‫انِ ِه َّن ف‬ii‫ا ْمت َِحنُوه َُّن هَّللا ُ أَ ْعلَ ُم بِإِي َم‬iiَ‫ت ف‬ٍ ‫ا ِج َرا‬iiَ‫ات ُمه‬iُ iَ‫ ا َء ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬i‫وا إِ َذا َج‬iiُ‫ا الَّ ِذينَ آ َمن‬iiَ‫ا أَيُّه‬iiَ‫ي‬
‫ار ال ه َُّن ِح ٌّل لَهُ ْم َوال هُ ْم يَ ِحلُّونَ لَه َُّن‬ ِ َّ‫ت فَال تَرْ ِجعُوه َُّن إِلَى ْال ُكف‬ ٍ ‫ُم ْؤ ِمنَا‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-
perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah
lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-
orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. al-
Mumtahanah: 10)
Ayat ini, walaupun tidak menyebut Ahlul kitab, istilah yang digunakannya
adalah “orang-orang kafir”, dan Ahlul kitab adalah salah satu dari kelompok
orang-orang kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak menyebut Ahlul
kitab, ketidak-halalan tersebut tercakup dalam kata “orang-orang kafir”.[[6]]
Ada beberapa argumen tentang sebab diharamkannya perempuan muslim
kawin dengan laki-laki non-muslim, yakni sebagai berikut:[[7]]
a. Laki-laki kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS. An-Nisa
{4}: 141: ... dan Allah takkan memberi jalan orang kafir itu mengalahkan
orang mukmin
b. Laki-laki kafir dan Ahli Kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya yang
muslimah, malah sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari ajaran
nabinya. Sedangkan apabila laki-laki muslim kawin dengan perempuan Ahli
Kitab maka dia akan mau mengerti agama, mengimani kitab, dan nabi dari
istrinya sebagai bagian dari keimanannya karena tidak akan sempurna
keimanan seseorang tanpa mengimani kitab dan nabi-nabi terdahulu.
c. Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami isteri tidak mungkin bisa
bertahan tinggal dan hidup (bersama) karena perbedaan yang jauh.
2. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik
Islam melarang terjadinya ikatan perkawinan yang berakibat hancurnya
keyakinan agama. Allah melarang perkawinan orang Islam dengan orang musyrik
karena orang musyrik telah berbuat dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah
yaitu syirik, karena mengajak ke neraka (QS. al-Nisa’: 116), sedang Allah dengan
aturannya mengajak kepada kedamaian/kebahagiaan dan mendapat ampunan
Ilahi (QS. al-Baqarah: 221).[[8]]
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan
wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram. Madzhab Hambali juga
berpendapat demikian, bahwa haram hukumnya menikahi wanita-wanita
musyrik. Masjfuk menegaskan bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang
pria Muslim dengan wanita musyrik. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 221: [[9]]
(221:‫ (البقرة‬... ‫ى ي ُْؤ ِم َّن َوألَ َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ خَ ْي ٌر ِّم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم‬ ِ َ ‫ ْال ُم ْش ِركا‬i‫َوالَ تَ ْن ِكحُوْ ا‬
َّ ‫ت َحت‬

“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu”
Jumhur ulama juga sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan
perempuan musyrik. Perempuan musyrik di sini mencakup perempuan penyembah
berhala (al-watsaniyyah), zindiqiyyah (ateis), penyembah api, dan penganut aliran
libertin (al-ibahah), seperti pahamwujudiyah.[[10]]
Hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan
orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang
Islam dengan orang musyrik/kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of
life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya
kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci,
malaikat dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada
umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan
khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah
beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti
“kepercayaan/ideologi” mereka.[[11]]
3. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab
Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan (halal) mengawini perempuan
Ahli Kitab berdasar pengkhususan QS. Al-Maidah ayat 5.
َ iَ‫وا ْال ِكت‬iiُ‫م الَّ ِذينَ أُوت‬iُ ‫ا‬ii‫ات َوطَ َع‬i
َ ْ‫ لٌّ لَهُ ْم َو ْال ُمح‬i‫م ِح‬iْ ‫ا ُم ُك‬ii‫ ٌّل لَ ُك ْم َوطَ َع‬i‫اب ِح‬i
iُ ‫ن‬i ‫ص‬
َ‫َات ِمن‬ ُ iَ‫ َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬i‫وْ َم أُ ِح‬iiَ‫ْالي‬
‫ َر‬iiْ‫نِينَ َغي‬ii‫ص‬ َ ‫وه َُّن أُج‬ii‫اب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم إِ َذا آتَ ْيتُ ُم‬iiَ
ِ ْ‫وره َُّن ُمح‬iiُ َ ‫وا ْال ِكت‬iiُ‫َات ِمنَ الَّ ِذينَ أُوت‬ ُ ‫ن‬ii‫ص‬ َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬ ِ ‫ا‬iiَ‫ْال ُم ْؤ ِمن‬
ِ ‫اآلخ َر ِة ِمنَ ْال‬
َ‫خَاس ِرين‬ ِ ‫ُم َسافِ ِحينَ َوال ُمتَّ ِخ ِذي أَ ْخدَا ٍن َو َم ْن يَ ْكفُرْ بِاإلي َما ِن فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُهُ َوهُ َو فِي‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah:
5)
Di antara ulama’ ada yang berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud
wanita kitabi, kitabiyah, atau wanita Ahli Kitab. Syekh Ali Ahmad Jarjawi
berpendapat bahwa Ahlul Kitab adalah orang-orang yang berpegang kepada agama
dan mempunyai kitab samawi yang diturunkan dari Allah Swt.
Madzhab Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah berpendapat bahwa Ahlul
kitab adalah mereka yang menganut aliran sebagai berikut:
a) iman dan percaya kepada Allah
b) iman dan percaya kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an yang telah
diturunkan oleh Allah Swt kepada rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Saw
c) iman dan percaya kepada salah seorang rasul selain Nabi Muhammad Saw.
Mahmuddin Sudin berpendapat bahwa sekarang ini tidak ada lagi Ahli Kitab
sebagai yang dimaksudkan oleh QS. al-Maidah ayat 5; mereka
dikategorikan musyrik.[[12]]
Satu hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan
Ahli Kitab, menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak
memiliki agama yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah,
memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan
pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran kemusyrikan, yakni khurafat dan spekulasi
(teologis) atau lamunan dan bayangan yang dibisikkan syetan. Inilah yang bisa
menyebabkan ia mengkhianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya.
Sementara antara perempuan Ahli Kitab dan laki-laki mukmin tidak terdapat
distansi yang jauh. Perempuan Ahli Kitab mengimani Allah dan menyembahNya,
beriman kepada para nabi, hari akhirat (eskatologis) beserta pembalasannya, dan
menganut agama yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran.
Distansi yang esensial hanyalah mengenai keimanan terhadap kenabian
Muhammad. Padahal orang yang beriman kepada kenabian universal tidak akan
mempunyai halangan mengimani nabi penutup (khatam al-anbiya), yakni
Muhammad, kecuali karena kebodohannya. Sehingga perempuan (Ahli Kitab)
yang bergaul dengan suami yang menganut agama dan syari’at yang baik maka
sangat terbuka peluang baginya untuk mengikuti agama suaminya. Dan apa yang
dikuatkan oleh Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas niscaya akan
mengantarkan kepada kesempurnaan keimanan dan keislaman.[[13]]
Pengertian Ahli Kitab di sini mengacu pada dua agama besar sebelum Islam,
yakni Yahudi dan Nasrani. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa para ulama sepakat
akan kehalalan mengawini perempuan Ahli Kitab dengan syarat ia merdeka (bukan
budak), sedangkan mengenai perempuan Ahli Kitab yang dalam status tawanan (bi
al-milk) para ulama berbeda pendapat.[[14]]
Ibnu Munzhir berkata: Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan (laki-laki
muslim mengawini perempuan Ahli Kitab). Qurthubi dan Nu’as mengatakan: Di
antara sahabat yang menghalalkan antara lain: Utsman, Talhah, Ibnu Abbas, Jabir,
dan Hudzaifah. Sedangkan dari golongan tabi’in yang menghalalkan: Sa’id bin
Mutsayyab, Sa’id bin Jabir, al-Hasan, Mujahid, Thaawus, Ikrimah, Sya’bi, Zhahak,
dan lain-lain. As-Sayyid Sabiq menyatakan bahwa hanya ada satu sahabat yang
mengharamkan, yakni Ibnu Umar. Di antara sahabat ada yang mempunyai
pengalaman mengawini perempuan Ahli Kitab. Utsman r.a. kawin dengan Nailah
binti Quraqishah Kalbiyyah yang beragama Nasrani, meskipun kemudian masuk
Islam, Hudzaifah mengawini perempuan Yahudi dari penduduk Madain, Jabir dan
Sa’ad bin Abu Waqas pernah kawin dengan perempuan Yahudi dan Nasrani pada
masa penaklukan kota Makah (fathul Makah).[[15]]
Adapun pendapat fuqaha empat madzab Sunni tentang laki-laki muslim
mengawini perempuan Ahli Kitab adalah sebagai berikut:
a. Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah membolehkan mengawini wanita ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani), sekalipun ahli kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka
yang terpenting adalah ahli kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab
ini yang dimaksud dengan ahli kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang
Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang
percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada
nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut madzhab ini mengawini wanita ahli kitab dzimmi atau
wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut
mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi
hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung
mafasid yang besar, yakni seorang suami muslim yang kawin dengan perempuan
ahli kitab dikhawatirkan akan patuh terhadap istrinya yang berjuang
memperbolehkan anaknya beragama dengan selain agamanya. Sedangkan
perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan
mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak
dan menghalalkan daging babi.[[16]]
b. Madzhab Maliki
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan dengan Ahli Kitab ini mempunyai
dua pendapat yaitu :
pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah
( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada
hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih
besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan
mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya
haram.
Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara
mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Saddu al-
Dzari’ah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan
yang akan muncul dalam perkawinan beda agama adalah kemafsadatan, maka
diharamkan.[[17]]
c. Madzhab Syafi’i
Demikian halnya dengan madzhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh
menikahi wanita Ahli kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahli kitab
menurut madzhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan
orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk
penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan madzhab ini adalah :
1) Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan
bukan bangsa lainnya.
2) Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5
menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa
Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita
yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus
menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-
orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak
termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan
bunyi ayat min qoblikum tersebut.
Para fuqaha madzab Syafi’i memandang makruh mengawini perempuan Ahli
Kitab yang berdomisili di Daru al-Islam, dan sangat dimakruhkan (tasydid al-
Karahah) bagi yang berada di Daru al-Harb, sebagaimana pendapat fuqaha
Malikiyah. Ulama Syafi’iyah memandang kemakruhan tersebut apabila terjadi
dalam peristiwa berikut:[[18]]
1) Tidak terbesit oleh calon mempelai laki-laki muslim untuk mengajak
perempuan Ahli Kitab tersebut masuk Islam.
2) Masih ada perempuan muslimah yang shalikhah
3) Apabila tidak mengawini perempuan Ahli Kitab tersebut ia bisa terperosok ke
dalam perbuatan zina.
d. Madzhab Hambali
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama
ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek
menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah
perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam
Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahli kitab adalah Yahudi dan
Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi menyatakan bahwa semua wanita-wanita
yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus
menjadi Rasul, baik dari bangsa Israel maupun tidak.[[19]]
4. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Shabi’ah, Majusi, dan Lainnya
Selain menyebut Yahudi dan Nasrani, Al-Qur’an juga beberapa kali
menyebutkan pemeluk agama Shabi’ah (QS. AL-Baqarah {2}: 62, QS. AL-Maidah
{5}:69, al-Hajj {22}: 17); Majusi (QS. Al-Hajj {22}: 17); serta orang-orang yang
berpegang pada shuhuf (lembaran kitab suci) Nabi Ibrahim-yang bernama Syit dan
shuhuf Nabi Musa yang bernama Taurat (QS. Al-A’la [87]: 19), dan kitab Zabur
yang diturunkan kepada Nabi Dawud.
Penyebutan agama-agama ini mungkin sangat terkait dengan agama-agama
yang pernah berkembang dan dikenal masyarakat Arab pada saat itu. Mengenai
perempuan shabi’ah, para fuqaha madzhab Hanafi berpendapat bahwa mereka
sebenarnya termasuk Ahli-kitab, hanya saja kitabnya sudah disimpangkan dan
palsu. Mereka dipersamakan dengan pemeluk yahudi dan nasrani, sehingga laki-
laki mukmin boleh mengawininya. Sedangkan para fuqaha’ Syafi’iyah dan
Hanabilah membedakan antara Ahli Kitab dan penganut agama Shabi’ah. Menurut
mereka, orang-orang yahudi dan nasrani sependapat dengan islam dalam hal-hal
pokok agama (ushul ad-din) membenarkan rasul-rasul dan mengimani kitab-kitab.
Barang siapa yang berbeda darinya dalam hal pokok-pokok agama (termasuk
shabi’ah) maka ia bukanlah termasuk golonganya. Oleh karena itu, hukum
mengawininya juga seperti mengawini penyembah berhala, yakni Haram.[[20]]
Seorang muslim dilarang menikahi wanita Majusi. Sebab, orang Majusi
bukan dari golongan Ahli Kitab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Karena Ahli
Kitab adalah mereka yang beragama Yahudi maupun Nasrani. Kitab Taurat
diturunkan kepada kaum Yahudi dan Nabi mereka adalah Musa AS. Sedangkan
kitab Injil diturunkan kepada kaum Nasrani, dan Nabi mereka adalah Isa bin
Maryam AS. Namun Madzhab Zhahiriah membolehkan seorang muslim menikah
dengan wanita majusi dengan hujjah mereka termasuk golongan Ahli kitab.
Abu Tsaur mengatakan: “Boleh menikahi wanita Majusi berdasarkan sabda
Rasulullah SAW. yang artinya.“Berbuatlah kalian kepada mereka (orang-orang
Majusi,-pent) sebagaimana berbuat kepada golongan Ahli Kitab”
Alasan lain, karena diriwayatkan dalam sebuah riwayat bahwa Hudzaifah
Radhiyallahu‘anhu pernah menikahi wanita Majusi dan karena mereka masih
ditetapkan membayar jizyah (pajak), sehingga status mereka mirip dengan orang-
orang Yahudi dan Nasrani”
Namun, kebanyakan yang dijadikan pedoman adalah pendapat mayoritas
ulama. Pasalnya, orang-orang Majusi bukan termasuk golongan Ahli Kitab. Allah
SWT berfirman yang artinya (Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak)
mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada 2 golongan saja
sebelum kami (Yahudi dan Nasrani)” (Al-An'am: 156).
Ini adalah sebuah bukti bahwa mereka tak memiliki kitab. Sesungguhnya
yang dimaksudkan dari hadits tersebut adalah dalam rangka melindungi darah
mereka dan masih ditetapkan membayar jizyah, bukan yang lain. Sedangkan
mengenai riwayat bahwa Hudzaifah  pernah menikahi wanita Majusi, setelah
diteliti,  riwayat ini tak shahih dan Imam Ahmad telah mendha'ifkan (melemahkan)
orang yang meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa beliau pernah menikahi wanita
Majusi. Abu Wa'il menyatakan: “(Orang yang meriwayatkan bahwa) beliau pernah
menikahi wanita Yahudi itu lebih kuat daripada orang yang meriwayatkan dari
beliau bahwa beliau pernah menikahi wanita Majusi”. Sementara Ibnu Sirin
mengatakan: “Konon, istri Hudzaifah beragama Nasrani” [[21]]
Sementara mengawini perempuan yang berkitab di luar Yahudi, Nasrani,
Majusi, dan Shabi’ah juga ada dua pendapat. Ulama madzhab Hanafi menyatakan:
barangsiapa memeluk agama samawi, dan baginya suatu kitab suci
seperti shuhuf Ibrahim dan Dawud maka adalah sah mengawini mereka selagi
tidak syirik. Karena mereka berpegang pada semua kitab Allah maka dipersamakan
dengan orang Yahudi dan Nasrani. Sedangkan ulama madzhab Syafi’i dan
Hambali tidak membolehkan. Alasannya karena kitab-kitab tersebut hanya berisi
nasehat-nasehat dan perumpamaan-perumpamaan, serta sama sekali tidak memuat
hukum.[[22]]

C. Analisis Penalaran Hukum Perkawinan Lintas Agama


Jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa hukum perkawinan antara seorang
perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-Islam dan
sebaliknya (laki-laki muslim dengan perempuan non-Islam), baik Ahlul kitab
ataupun musyrik adalah haram, tidak sah. Pengharaman tersebut didasarkan pada
QS. Al-Baqarah ayat 221, yang berbunyi:[[23]]
‫ ِر ِكينَ َحتَّى‬i ‫ ْال ُم ْش‬i‫وا‬ii‫ت َحتَّى ي ُْؤ ِم َّن َوأل َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم َوال تُ ْن ِك ُح‬ِ ‫ال تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا‬
.....‫ك َولَوْ أَ ْع َجبَ ُك ْم‬
ٍ ‫ي ُْؤ ِمنُوا َولَ َع ْب ٌد ُم ْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر‬
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik
hatimu..” (QS. al-Baqarah: 221)
Penggalan ayat tersebut menunjukkan arti larangan mutlak oleh Allah kepada
Umat Islam, dimana ‫ال‬ pada lafadz ‫وال تُ ْن ِك ُحوا‬ adalah Lam َ Nahi (yang menunjukkan
arti larangan). Dan ‫ا ْل‬ pada lafadz  ‫ت‬ ِ ‫ش????? ِر َكا‬ ْ ‫ا ْل ُم‬  dan   َ‫ش????? ِر ِكين‬ ْ ‫ا ْل ُم‬  adalah Al Ta’rif
(Ma’rifat) yang menunjukkan arti umum, yakni mencakup semua lelaki musyrik
tanpa terkecuali. Dalam Tafsir al-Mishbah dijelaskan bahwa menurut kaca mata
agama, yang dimaksud dengan  ‫ت‬ ِ ‫ش ِر َكا‬ ْ ‫ا ْل ُم‬  atau   َ‫ش ِر ِكين‬ ْ ‫ا ْل ُم‬   dalam ayat tersebut adalah
siapa saja yang mempersekutukan Allah, termasuk di dalamnya Ahlul kitab.
Larangan perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-
muslim juga didasarkan pada keumuman QS. Al-Mumtahanah ayat 10.[[24]]
‫ت‬ٍ ‫ا‬iiَ‫وه َُّن ُم ْؤ ِمن‬ii‫إِ ْن َعلِ ْمتُ ُم‬iَ‫انِ ِه َّن ف‬ii‫ت فَا ْمتَ ِحنُوه َُّن هَّللا ُ أَ ْعلَ ُم بِإِي َم‬ ٍ ‫َات ُمهَا ِج َرا‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا َجا َء ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬
‫ار ال ه َُّن ِح ٌّل لَهُ ْم َوال هُ ْم يَ ِحلُّونَ لَه َُّن‬ ِ َّ‫فَال تَرْ ِجعُوه َُّن إِلَى ْال ُكف‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-
perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah
lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-
orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. al-
Mumtahanah: 10)
Namun, kedua ayat tersebut masih bersifat umum atau dalam ilmu Ushul
Fiqih diistilahkan dengan “Lafadz ‘Am (‫”)لفظ العام‬. Menurut jumhur ulama’,dalalah
'am bersifat dhanni sehingga diperlukan takhshish. Adapun madzhab Hanafi
berpendapat bahwa dalalah 'Am merupakan dalalah qath'iyah sehingga tidak
diperlukan takhshish.[[25]]
Mengenai perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita Ahlul kitab, para
ulama’ masih berbeda pendapat. Mereka yang membolehkan mengacu pada
pengkhususan QS. al-Maidah aya 5:[[26]]
ِ ‫ا‬iiَ‫َات ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمن‬
‫ت‬ iُ ‫ن‬i‫ص‬ َ ْ‫ لٌّ لَهُ ْم َو ْال ُمح‬i‫م ِح‬iْ ‫ا ُم ُك‬ii‫َاب ِح ٌّل لَ ُك ْم َوطَ َع‬ َ ‫ات َوطَ َعا ُم الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬ ُ َ‫ْاليَوْ َم أُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬
‫ ِذي‬i‫صنِينَ َغي َْر ُم َسافِ ِحينَ َوال ُمتَّ ِخ‬ ِ ْ‫ُوره َُّن ُمح‬ َ ‫َاب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم إِ َذا آتَ ْيتُ ُموه َُّن أُج‬ َ ‫َات ِمنَ الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬ iُ ‫صن‬ َ ْ‫َو ْال ُمح‬
َ‫َاس ِرين‬ ِ ‫اآلخ َر ِة ِمنَ ْالخ‬ ِ ‫ان فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُهُ َوه َُو فِي‬ ِ ‫َان َو َم ْن يَ ْكفُرْ بِاإلي َم‬ ٍ ‫أَ ْخد‬

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)


orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula
bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang
siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS.
al-Maidah: 5)
Jika dilihat dari segi kaidah ushul fiqih, ayat 5 surat al-Maidah ini
bersifat khusus (‫)لفظ الخاص‬,
yakni sebagai mukhoshish (pengkhusus) munfashil dari QS. al-Baqarah ayat
221 dan QS. al-Mumtahanah ayat 10 yang masih bersifat ‘Am (Umum).
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa keharaman menikahi non-Muslim,
baik laki-laki maupun perempuan, baik musyrik ataupun Ahlul Kitab, telah
ditakhshish oleh QS. al-Maidah ayat 5 yang menjelaskan bahwa dihalalkan
mengawini wanita-wanita Ahlul Kitab. Oleh sebab itu, hukum menikahi wanita
Ahlul Kitab adalah halal menurut pendapat jumhur. Adapun menikahi
wanita/lelaki musyrik tetap dihukumi haram.
Dan didahulukannya penyebutan wanita-wanita mukminah pada ayat tersebut
memberi isyarat bahwa mereka yang seharusnya didahulukan, karena
bagaimanapun persamaan agama dan pandangan hidup sangat membantu
melahirkan ketenangan, bahkan sangat menentukan kelanggengan rumah tangga.
[[27]]
 Di antara imam madzhab fiqih yang membolehkan perkawinan lelaki muslim
dengan wanita Ahlul kitab adalah madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, Namun
Ahlul kitab yang dimaksud masih berada dalam batas definisi dan pemahaman
mereka masing-masing.
Adapun bagi mereka yang menghukumi makruh atau haram, seperti madzhab
Maliki, mereka beralasan karena adanya kekhawatiran bahwa si isteri yang
kitabiyah ini akan mempengaruhi aqidah anak-anaknya, sekaligus suaminya. Jika
dilihat dari segi kaidah Ushul Fiqih, metodologi berpikir mazhab Maliki ini
َّ ‫س ُّد‬
menggunakan pendektan Saddu al-Dzari’ah (‫الذ ِر ْي َع ِة‬ َ ), yakni menutup jalan yang
mengarah kepada kemafsadatan. Yang dimaksud adalah jika dikhawatirkan yang
akan muncul dalam perkawinan beda agama tersebut adalah kemafsadatan (sumber
kerusakan), maka diharamkan.
Mengenai perkawinan lelaki Muslim dengan perempuan Shabi’ah, para
fuqaha madzhab Hanafi berpendapat bahwa mereka sebenarnya termasuk Ahli-
kitab, hanya saja kitabnya sudah disimpangkan dan palsu.[[28]] Ulama’ madzhab
Hanafi ini meng-Qiyaskan perempuan Shabi’ah dengan perempuan Ahlul Kitab
(Yahudi dan Nasrani), dengan adanya Illat “sama-sama memperoleh
kitab Samawi”, sehingga laki-laki muslim dibolehkan mengawininya.
Sedangkan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah membedakan antara Ahli
Kitab dengan penganut agama Shabi’ah. Menurut mereka, Ahlul kitab sependapat
dengan islam dalam hal-hal pokok agama (ushul ad-din), adapun perempuan
Shabi’ah tidak.[[29]] Dalam hal ini perempuan Shabi’ah di-Qiyas-kan dengan
perempuan penyembah berhala (Musyrik). Oleh sebab itu hukum mengawininya
adalah haram.
Mengenai penganut agama Majusi, Jumhur ulama’ berpendapat bahwa
perempuan majusi ini disamakan dengan perempuan Shabi’ah, yang mana mereka
berbeda dengan Ahlul Kitab. Sehingga Jumhur ulama’ melarang untuk
mengawininya.[[30]].
Sementara mengawini perempuan yang berkitab di luar Yahudi, Nasrani,
Majusi, dan Shabi’ah, ulama madzhab Hanafi membolehkan, karena di-Qiyasikan
dengan pemeluk agama yahudi dan Nasrani (Ahlul Kitab). Adapun ulama madzhab
Syafi’i dan Hambali tidak membolehkan. Alasannya karena kitab-kitab tersebut
hanya berisi nasehat-nasehat dan perumpamaan-perumpamaan, serta sama sekali
tidak memuat hukum.[[31]]

Pernikahan Beda Agama Di Indonesia

Pernikahan beda agama yang dimaksud adalah pernikahan yang dilakukan


antara seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan orang
non-Muslim, baik yang dikategorikan sebagai orang musyrik maupun ahli kitab.
Masalah pernikahan lintas agama ini selalu menjadi bahan perdebatan dikalangan
ulama. Hal ini karena perbedaan perspektif dalam memahami ayat-ayat atau teks-
teks agama yang melarang pernikahan orang Muslim dengan orang musyrik.

Meskipun sebenarnya pernikahan beda agama ini tidak diperbolehkan oleh


ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya KHI, namun fenomena
semacam ini terus berkembang. Kita bisa melihat baik dair media masa maupun
media elektronik, banyak sekali selebritis yang melangsungkan pernikahan dengan
pasangan yang tidak seagama.
Umumnya, selain undang- undang yang berlaku di Indonesia , ajaran agama
ternyata sedikit banyaknya juga menjadi "penghalang" pernikahan. Sehingga di
antara mereka sebagian besar berinisiatif melakukan perkawinan di luar negeri,
atau cara lain yaitu mengadakan perkawinan menurut agama kedua belah pihak.
Selain itu, banyak juga pasangan yang melaksanakan akad perkawinan beda agama
di Kantor Catatan Sipil. Namun pihak-pihak yang akan melaksanakan akad harus
membawa surat dispensasi dari Pegawai Pencatat Nikah atau dari Departemen
Agama Cara-cara ini dilakukan karena undang-undang negara kita tidak
memperbolehkan pernikahan lintas agama.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa


Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu. Dan Bab VI KHI tentang larangan kawin, pasal 40 ayat
(c).Pasal itu berbunyi bahwa “seorang laki-laki muslim tidak diperbolehkakn
mengawini perempuan yang tidak beragama Islam”. Sebagai penguat pasal
tersebut, fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 menyatakan bahwa
perkawinan lintas agama adalah tidak sah. Pada dasarnya peraturan-peraturan ini
dan juga fatwa MUI tidak dapat mencegah atau menjawab realitas yang
berkembang di masyarakat, apalagi dengan kenyataan pluralitas dan kemajemukan
masyarakat Indonesia. Buktinya, fenomena pernikahan lintas agama semakin
banyak ditemukan.

Dasar Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam

Pernikahan beda agama diatur dalam Surat Al-Baqarah :221

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Selain itu didalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 terdapat adanya larangan
mengembalikan wanita Islam yang hijrah dari makkah ke madinah kepada suami
mereka di makkah dan meneruskan hubungan rumah tangga dengan perempuan
kafir. Meski secara tegas dalam Islam terdapat pelarangan pernikahan beda agama
dalam teori, namun dalam terdapat teori yang memunculkan adanya kesempatan
untuk terjadinya pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara umat Islam dengan
wanita ahli kitab, pembolehan pernikahan dengan ahli kitab ini dimuat dalam surat
Al-Maidah ayat 5 yang menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan
wanita ahli kitab bagi kaum muslim.
FATWA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.

2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab,


menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.

Ditetapkan : Jakarta, Jumadil Akhir 1426 H

28 Juli 2005 M

MUSYAWARAH NASIONAL VII

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa

Ketua Sekretaris

ttd ttd

K.H. Ma’ruf Amin Drs. H. Hasanuddin, M.Ag


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan sbb:
1.      Dalam perjalanan historisnya, persoalan perkawinan beda agama selalu menjadi
kontroversi di kalangan umat Islam sampai saat sekarang ini. hal itu dikarenakan
adanya pihak yang menganggap perkawinan beda agama merupakan sesuatu yang
sudah final dan sangat tabu, sementara di sisi lain pihak-pihak yang ingin
melakukan rasionalisasi masalah tersebut sesuai dengan perkembangan zaman.
2.      Untuk menentukan status hukum perkawinan beda agama perlu dilakukan
pembacaan ulang terhadap teks-teks yang berpotensi memperkuat dan
memperkaya keputusan yang akan diambil dengan menggunakan pendekatan
komprehensif, kontekstual dan multi analisis.
Disamping memperhatikan hail-hasil penelitian terhadap pasangan beda
agama, sehingga keputusan itu dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang
multikultural tanpa menafikan dokterin-doktrin dan kebenaran agama serta
kearifan lokal yang ada
DAFTAR PUSTAKA

Khairul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II (Bandung: CV Pustaka Setia,


2001),.
Ichtiyanto, Perkawinan,
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Juz
3 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
Sayyid Sabiq, Fiqh,. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan; Hukum Kewarisan 
Ibid.
Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:
Logos, 1995), h. 147.
http://nengberbagi.blogspot.co.id/2014/06/perkawinan-lintas-agama-masil-
fiqhiyah.html

Anda mungkin juga menyukai