Anda di halaman 1dari 58

TUGAS KEPERAWATAN DASAR 2

“JURNAL/ARTIKEL MENGENAI TERAPI KOMPLEMENTER DALAM


MENGATASI NYERI (TERAPI NON FARMAKOLOGI)”

Dosen Pengajar:
Ns. Septiyanti, S.Kep., M.Pd

Nama : Friska Oktavia


Nim : P0 5120219 014
Kelas :1A

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PRODI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
MUSIK KERONCONG MENURUNKAN NYERI PASCAOPERASI DI RUANG
PERAWATAN KRITIS

Jurnal Keperawatan dan Pemikiran Ilmiah Vitani, R (2016). Musik Keroncong Menurunkan
Nyeri Pascaoperasi di Ruang Perawatan Kritis. Nursecope. Jurnal Keperawatan dan Pemikiran
Ilmiah. (4). 1-10

Raimonda Amayu Ida Vitani1, Andrew Johan2, Nana Rochana3

1
Mahasiswa Magister Keperawatan, Universitas Diponegoro; Dosen Stikes St Elisabeth Semarang, Jl.
Kawi 11 Semarang 50231

2
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto, Kampus Undip Tembalang, Semarang
50239, Indonesia

3
Dosen Departemen Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto,
Kampus Undip Tembalang, Semarang 50239, Indonesia

ABSTRAK

Pendahuluan: Nyeri pasien perawatan kritis dapat memperburuk kondisi pasien. Upaya
meredakan nyeri tersebut telah banyak dilakukan, salah satunya menggunakan terapi musik.
Namun, peneliti belum pernah menemukan penelitian tentang nyeri dengan menggunakan
terapi musik keroncong sebagai musik klasik tradisional asli Indonesia. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan mengetahui pengaruh intervensi musik keroncong terhadap tingkat nyeri pasien
pascaoperasi di ruang perawatan kritis.

Metode: Metode yang digunakan adalah quasi experiment dengan desain pre-post
nonequivalent control group pada 32 pasien pascaoperasi. Musik keroncong diberikan dengan
dosis 2x20 menit pada pasien pascaoperasi hari kedua. Nyeri pasien diukur menggunakan
Visual Analogue Scale (VAS). Hasil: Nyeri pascaoperasi pasien kelompok intervensi (22,94 ±
14,63) menurun secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (2,06 ± 21,90)
dengan p = 0,003 dan selisih rerata penurunan nyeri 20,88 mm. Kesimpulan: Intervensi
musik keroncong memberikan pengaruh terhadap penurunan nyeri dan kecemasan
pascaoperasi. Intervensi musik keroncong dapat direkomendasikan sebagai intervensi
keperawatan mandiri komplementer untuk menurunkan nyeri dan kecemasan pasien
pascaoperasi di ruang perawatan kritis dengan memperhatikan syarat musik keroncong
sebagai musik terapi.
Kata kunci: Terapi musik; Nyeri; Pascaoperasi; Keroncong

ABSTRACT

Background: Pain that has been experienced by patients in intensive care can lead them into
worse condition. The efforts relieving the pain have been done a lot. One of them is to use
music therapy. Nevertheless, the researcher has not found the the research of keroncong music
therapy as original Indonesian classical traditional music for pain. Purpose: The aims of this
study was to know the effect of keroncong music for pain level of the postoperative patients in
intensive care. Method: This research used quasy experimental with pre-post nonequivalent
control group design on 32 postoperative patients in critical care rooms. Keroncong music
therapy has been implemented to the second day postoperative patients, it has been given
twice a day and each implementation the patients listened keroncong music for 20 minutes.
The pain level was measured using Visual Analogue Scale (VAS). Result: Postoperative pain
level in intervention group (22,94 ± 14,63) significantly decreased than control group (2,06 ±
21,90) with p = 0,003, with a difference of mean 20.88 mm decrease in pain.

Conclusion: Keroncong music therapy had effect on the decreasing of pain level of
postoperative patients. Keroncong music therapy can be recommended to be independent
complementary nursing intervention to decrease the pain level of postoperative patients in
intensive care unit.

Keywords: Music therapy; Pain; Postoperative, Keroncong.

PENDAHULUAN
Nyeri merupakan keluhan yang umum disampaikan oleh pasien pascaoperasi terutama
pada hari pertama sampai ketiga pascaoperasi. Hasil studi Departemen kesehatan Amerika
menemukan bahwa lebih dari 80% pasien dalam prosedur operasi mengungkapkan
pengalamannya mengalami nyeri pascaoperasi dari sedang sampai berat (Tse, Chan, &
Benzie, 2005). Karakteristik nyeri akut pascaoperasi umumnya meningkat pada 24 jam setelah
operasi dan mengalami penurunan pada hari ketiga (Vashisht, 2015). Pemberian analgetik
tersebut bagi pasien pascaoperasi dapat menyebabkan timbulnya efek samping seperti mual
dan konstipasi (Buvanendran & Kroin, 2009). Selain itu, pemberian terapi farmakologi
umumnya hanya memberikan efek terapi selama 2 jam. Oleh sebab itu diperlukan terapi
tambahan dalam bentuk terapi nonfarmakologis, salah satunya adalah terapi komplementer
dalam bentuk terapi musik. Terapi musik merupakan terapi yang sederhana, mudah, dan tidak
menimbulkan efek samping. Hasil penelitian menyebutkan bahwa terapi musik terbukti
mampu menurunkan nyeri, kecemasan, tekanan darah, denyut jantung, frekuensi pernafasan,
dan meningkatkan saturasi oksigen (Bally, Campbell, & Chesnick, 2003; Ebneshahidi &
Mohseni, 2008; Evans, 2002; Kemper & Danhauer, 2005; Ulrica Nilsson, Rawal, & Unosson,
2003; Tse et al., 2005). Indonesia mengenal musik keroncong sebagai peleburan berbagai
ragam musik elemen barat dan non barat dengan memadukan berbagai alat musik. Musik
keroncong merupakan musik klasik tradisional asli Indonesia. Musik keroncong memiliki
tangga nada diatonis yang lembut, tanda tempo adante yang perlahan-lahan dan mendayu-
dayu (Totok, 2010). Penelitian tentang pengaruh musik keroncong terhadap kesehatan pernah
dilakukan. Namun, peneliti belum pernah menemukan penelitian tentang terapi musik
keroncong untuk menurunkan nyeri pada pasien pascaoperasi di ruang perawatan kritis. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan studi tentang pemberian intervensi musik keroncong terhadap nyeri
pasien pascaoperasi di ruang perawatan kritis dengan harapan musik keroncong menjadi
pilihan intervensi nonfarmakologis yang dapat diberikan. Penelitian ini bertujuan
menganalisis efek intervensi musik keroncong dalam menurunkan nyeri pascaoperasi di ruang
perawatan kritis.

METODE

Peneliti menggunakan desain quasi eksperiment dengan pretest and posttest


nonequivalent control group. Pasien pada kelompok kontrol mendapatkan terapi standar dari
rumah sakit, sedangkan pasien kelompok intervensi mendapatkan tambahan intervensi musik
keroncong. Penelitian ini menggunakan semua pasien dewasa pada kondisi pascaoperasi di
ruang perawatan kritis RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sampel penelitian diperoleh dengan
consecutive sampling dengan kriteria inklusi yaitu, pasien pascaoperasi dewasa dengan
rentang usia 20-55 tahun, pascaoperasi hari ke-2 (24 jam pascaoperasi), di rawat di ruang
perawatan kritis minimal 2 hari, bersedia mendengarkan musik keroncong, dan sudah
mendapatkan penjelasan tentang prosedur operasi sebelumnya. Adapun kriteria eksklusinya
adalah pasien tidak mengalami gangguan pendengaran dan tidak mengalami penurunan
kesadaran (GCS < 15). Penelitian ini telah mendapatkan ijin ethical clearance dari Komisi
Etik Kedokteran UNDIP dan RS Dr. Kariadi Semarang dengan No. 388/EC/FK-RSDK/2016
pada tanggal 5 April 2016. Peneliti juga telah mendapatkan surat ijin melaksanakan penelitian
dari RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan No. DL.00.02/I.II/1616/2016 pada tanggal 28 April
2016. Pasien kelompok intervensi diberikan intervensi musik keroncong 2x20 menit pada jam
07.00-11.00 dan jam 13.00-17.00 yang diberikan 2 jam setelah pemberian analgetik. Jarak
pemberian pertama dan kedua minimal 4 jam. Pasien pada kelompok kontrol hanya
mendapatkan analgetik dari rumah sakit. Pasien yang menjadi sampel penelitian diukur
nyerinya menggunakan Visual Analogue Scale for Pain (VAS-P) 100 mm. Angka 0 mm
mengindikasikan tidak nyeri dan 100 mm sangat nyeri (Deloach, Stiff, & Caplan, 1998;
Hawker, Mian, Kendzerska, & French, 2011). Pengukuran nyeri pada penelitian ini dilakukan
3 kali, yaitu baseline test, istirahat 30 menit, pre test, dan pada saat post test. Hasil penilaian
nyeri menggunakan VAS-P dievaluasi menggunakan uji statistik. Nilai negatif menunjukkan
adanya penurunan. Analisis univariat melakukan perhitungan distribusi frekuensi masing-
masing variabel, menghitung mean (standar deviasi) dan median, menganalisis kondisi
baseline, pretest dan posttest kedua kelompok. Analisis bivariatnya dilakukan dalam dua
tahap yaitu menggunakan uji t berpasangan dan uji alternatif Wilcoxon untuk mengetahui
perbedaan tingkat nyeri sebelum dan tingkat nyeri sesudah pemberian intervensi musik,
kemudian dilakukan uji t tidak berpasangan untuk melihat efek intervensi musik antarkedua
kelompok. Nilai p-value yang diharapkan signifikan adalah kurang dari 0,05. Sebelum
dilakukan uji hipotesis, masing-masing variabel diuji normalitas menggunakan uji Shapiro-
Wilk.

HASIL
Karakteristik demografi responden ditunjukkan dalam tabel 1. Responden
diidentifikasi dalam hal jenis kelamin, rentang usia, berat badan, jenis operasi, dan jenis
analgetik yang diperoleh.

Tabel 1. Karakteristik demografi responden (N=32)


Kelompok Kelompo Total (32)
Variabel intervensi k kontrol
(16) (16)
f % f % F %
Jenis kelamin
Laki-laki 9 56,3 3 18,8 12 37,5
Perempuan 7 43,8 13 81,3 20 62,5
Rentang usia
20-30 tahun 15 93,8 13 81,3 28 87,5
31-55 tahun 1 6,3 3 18,8 4 12,5
Berat badan
31-50 kg 6 37,5 9 56,3 15 46,9
51- 70 kg 9 56,3 7 43,8 16 50

> 71 kg 1 6,3 0 0 1 3,1


Jenis operasi
Laparotomi 7 43,8 6 37,5 13 40,6
Thorakotomi 2 12,5 1 6,3 3 9,4
Bedah Jantung 3 18,8 3 18,8 6 18,8
Sternotomi 1 6,3 0 0 1 3,1
Tiroidektomi 1 6,3 1 6,3 2 6,3
SC 0 0 3 18,8 3 9,4
Histerektomi 0 0 1 6,3 1 3,1
Kraniotomi 2 12,5 1 6,3 3 9,4
Jenis analgetik
Tramadol 5 31,3 5 31,3 10 31,3
Ketorolac 0 0 1 6,3 1 3,1
Paracetamol 3 18,8 3 18,8 6 18,8
Multimodal 8 50 7 43,8 15 46,9

Karakteristik responden menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki sebanyak 62,5%, lebih
banyak daripada perempuan. Baik kelompok intervensi dan kelompok kontrol, usia responden
keduanya paling banyak pada rentang usia 20-30 tahun. Berat badan responden dalam
penelitian ini paling banyak 51-70 kg sebanyak 50%. Jenis operasi yang paling banyak adalah
laparotomi (40,6%), dan jenis analgetik yang paling banyak adalah analgetik multimodal
(46,9%). Hasil pengukuran nyeri baseline dan pretest pada responden masing-masing
kelompok adalah sama. Pengukuran baseline ini dilakukan untuk mengetahui kecenderungan
nilai nyeri responden awal.
Tabel 2. Hasil perbandingan nilai nyeri sebelum dan sesudah diberikan intervensi pada
kedua kelompok
Mean ± SD P value
Nyeri atau Paired t- Uji

Median test Wilcoxo

(min-max) n
Kelompok Pretest 45,75 ±
intervensi 20,09
Posttest 22,81 ± 0,000 -

19,02
Kelompok Pretest 36 (2-52)
kontrol Posttest 29 (0-70) - 0,002

Hasil uji perbandingan nilai nyeri pada kedua kelompok menunjukkan bahwa ada perbedaan
sebelum dan sesudah diberikan intervensi musik keroncong dengan hasil nilai p berturut-turut
adalah p = 0,000 (p < 0,05) dan p = 0,002 (p < 0,05).

Perubahan Nyeri
40
30
20
10
0
-10
-20 Intervensi
-30 123456789 10 11 12 13 14 15 16
Kontrol
-40
-50
-60

Gambar 1. Perubahan nilai nyeri posttest terhadap baseline/ pretest antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol
Hasil selisih antara baseline/ pretest dan posttest nilai nyeri pada kelompok intervensi
menunjukkan bahwa 15 responden mengalami penurunan nyeri dan 1 responden mengalami
peningkatan nyeri sedangkan pada kelompok kontrol, sebanyak 6 responden mengalami
penurunan nyeri dan masing-masing 5 responden mengalami kenaikan nyeri dan nyeri tetap.

Tabel 3. Hasil perbandingan delta nyeri antara kedua kelompok

P value Perbedaan
rerata
Nyeri (mean ± SD) Independent
(IK 95%)
t-test
Kelompok intervensi 22,94 ± 14,63
Kelompok kontrol 2,06 ± 21,90 0,003 20,88(7,43-34,32)

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai p = 0,003 (p < 0,05), ada perbedaan bermakna nilai
nyeri antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan selisih rerata minimal 20,88
mm.

PEMBAHASAN
Penelitian ini mengevaluasi pengaruh intervensi musik keroncong dalam menurunkan
nyeri pasien pascaoperasi di ruang perawatan kritis. Mendengarkan musik keroncong pada
hari kedua pascaoperasi (setelah 24 jam pascaoperasi) dapat menurunkan nyeri pasien
pascaoperasi yang dirawat di ruang perawatan kritis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sebanyak 32 responden yang dilakukan pengukuran nyeri pascaoperasi menggunakan VAS-P
mengalami nyeri yang sama pada saat baseline dan pretest. Nilai nyeri kelompok intervensi
baseline/ pretest rata-rata 45,75±20,09, sedangkan pada kelompok kontrol nilai nyeri
baseline/ pretest pada median 36(2-52). Nilai tersebut menunjukkan bahwa nyeri responden
tersebar pada rentang ringan sampai berat. Hasil studi Susanne, Patricia, Sharon, et al (2011)
pada pasien pascaoperasi jantung hari kedua menunjukkan adanya nyeri ringan pada kondisi
baseline (≤40mm) (Olney et al., 2011). Hasil tersebut sama seperti yang ditemukan dalam
penelitian ini. Penelitian ini dilakukan pada hari kedua pascaoperasi dimana responden sudah
mendapatkan terapi analgetik (morfin). Hal ini memungkinkan sensitifitas nyeri responden
sudah berkurang. Hal tersebut berbeda dengan studi Departemen kesehatan Amerika yang
menemukan bahwa lebih dari 80% pasien dalam prosedur operasi mengungkapkan
pengalamannya mengalami nyeri pascaoperasi dari sedang sampai berat (Tse et al., 2005).
Nyeri yang dialami responden dapat berbeda-beda. Hal ini dapat dipengaruhi karena
perbedaan karakteristik responden. Responden laki-laki lebih banyak daripada perempuan
yaitu 62,5%. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Roger, Christopher, Margarete, et al
(2009) menjelaskan bahwa sensitifitas nyeri lebih besar pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki. Perbedaan sensitifitas nyeri tersebut juga dapat dipengaruhi oleh hormonal,
opioid endogen, jenis analgetik, mekanisme psikososial, variabel kognitif dan afektif, dan
mekanisme koping(Fillingim, King, Ribeiro- dasilva, Rahim-, & Iii, 2009). Penelitian lain
juga menyebutkan bahwa ambang rasa sakit lebih rendah pada perempuan karena respon
mereka terhadap rangsangan yang menyakitkan berbeda dari laki- laki. Hal ini karena
perempuan lebih vokal ketika merasakan nyeri daripada laki-laki. (Ochroch EA, Gottschalk
A, Troxel AB, 2006). Karakteristik lainnya yang dapat dipertimbangkan yaitu usia, obesitas,
jenis operasi, dan jenis analgetik (Corke, 2013). Usia responden pada penelitian ini
terdistribusi paling banyak pada usia 20- 30 tahun yaitu 87,5 %. Penelitian yang dilakukan
oleh Helme & Gibson (1999) menjelaskan bahwa orangtua memiliki ambang nyeri lebih
tinggi. Hal ini berkaitan dengan pengalamannya terhadap nyeri. Selain itu dapat dikaitkan
dengan perubahan fungsi jalur nociceptive yang bisa menyebabkan sensitifitas nyeri
berkurang selama penuaan. Penelitian Peters, Sommer, Rijke, & Kleef (2008) menemukan
bahwa nyeri pasien usia 15-39 tahun lebih tinggi dibandingkan pasien usia 61-69 tahun pada
24 jam pertama pascaoperasi. Selain faktor usia, berat badan responden juga perlu
dipertimbangkan. Distribusi berat badan responden dalam penelitian ini paling banyak 51-70
kg sebanyak 50% dimana ada 1 responden (3,1%) yang berat badannya > 70 kg. Hasil survei
yang dilakukan di Amerika terhadap >1 juta orang menunjukkan bahwa rata-rata nyeri lebih
tinggi pada individu dengan kondisi obesitas dibandingkan dengan orang normal (Bonakdar,
2013). Namun, menjadi kekurangan peneliti dalam penelitian ini karena peneliti tidak
menghitung Body Mass Index (BMI) untuk menentukan tingkat obesitas responden. Pada
penelitian ini jenis analgetik yang diterima pasien juga berbeda-beda. Jenis analgetik yang
diperoleh responden paling banyak adalah analgetik multimodal yaitu sebanyak 15 responden
(46,9%). Penelitian Cursino et al. (2009) menemukan bahwa penggunaan analgetik
multimodal menyebabkan prevalensi nyeri akut lebih rendah pada pasien pascaoperasi.
Berbagai perbedaan karakteristik responden tersebut mungkin berpengaruh terhadap
perbedaan nyeri dari ringan sampai berat pada kondisi baseline/ pretest penelitian ini. Selain
karakteristik responden, beberapa faktor penyebab nyeri dapat mempengaruhi nyeri
pascaoperasi. Penyebab nyeri pascaoperasi antara lain nyeri praoperasi, tekanan psikologis
(takut pembedahan), dan jenis operasi (Corke, 2013). Penelitian Peters et al. (2008)
menemukan bahwa pasien berisiko mengalami nyeri sedang atau berat pascaoperasi jika
pasien menderita nyeri sebelum operasi >40mm. Hasil lain dari penelitian ini menjelaskan
bahwa ketakutan jangka panjang terhadap pembedahan meningkatkan nyeri pascaoperasi.
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan populasi semua pasien pascaoperasi di ruang
perawatan kritis dimana jenis operasi responden beragam dengan operasi paling banyak
adalah laparotomi yaitu 13 responden (40,6%), lainnya seperti pada pasien bedah jantung,
thorakotomi, SC, kraniotomi, tiroidektomi, histerektomi, sternocotomi. Peneliti belum
menemukan referensi yang menjelaskan keterkaitan jenis operasi dengan nyeri pascaoperasi.
Namun, hal tersebut mungkin dapat dianalisis dengan memperhatikan keluasan luka operasi,
proses inflamasi, dan proses penyembuhan luka. Hasil penelitian ini membuktikan terdapat
perbedaan nyeri pascaoperasi sebelum dan setelah pemberian intervensi musik keroncong,
baik pada kelompok intervensi (p = 0,000) maupun pada kelompok kontrol (p = 0,002). Hal
ini berarti setelah pemberian intervensi musik keroncong dan/ atau terapi analgetik standar
dari rumah sakit, nyeri pasien mengalami perubahan. Nilai nyeri pada kelompok intervensi
pada penelitian ini berbeda dengan kelompok kontrol, dimana penurunan nilai nyeri kelompok
intervensi (p = 0,003) rata-rata 22,94 ± 14,63 jika dibandingkan dengan kelompok kontrol
2,06 ± 21,90. Penurunan nyeri tersebut lebih besar dari penurunan nyeri pada penelitian yang
dilakukan oleh Olney et al. (2011) dimana kombinasi musik dan suara alam yang diberikan
2x20 menit pada hari kedua sampai keempat pascaoperasi pada pasien operasi jantung
ternyata mampu mengurangi nyeri 14 ± 14 setelah dua kali dosis pada hari kedua
pascaoperasi. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan penurunan lebih besar dari
penelitian yang pernah dilakukan oleh U Nilsson, Rawal, Enqvist, & Unosson (2003) yang
menyebutkan bahwa mendengarkan musik klasik di ICU dan diulang selama 1-2 hari
pascaoperasi terbukti efektif menurunkan nyeri pascaoperasi pada hari pertama dan kedua
pascaoperasi (immediate postoperative period) dengan penurunan mencapai 21 ± 14. Selisih
nilai nyeri antara kedua kelompok mencapai 20,88 mm. Penelitian sebelumnya menjelaskan
bahwa pengukuran nyeri menggunakan VAS memiliki selisih rerata minimal yang dianggap
bermakna adalah 13,7 mm (Deloach et al., 1998; Hawker et al., 2011). Hal tersebut
menunjukkan bahwa perubahan nilai nyeri pada penelitian ini tidak hanya bermakna secara
statistik tetapi juga dapat bermakna secara klinis. Jika dianalisis lebih lanjut, penelitian ini
menunjukkan bahwa penurunan nilai nyeri kelompok intervensi ternyata lebih besar daripada
kelompok control, dimana terdapat 15 responden kelompok intervensi yang mengalami
penurunan nyeri. Hal tersebut disebabkan karena responden pada kelompok intervensi
mendapatkan dua intervensi peredaan nyeri, yaitu terapi analgetik standar rumah sakit dan
intervensi musik keroncong sedangkan kelompok kontrol hanya mendapatkan terapi analgetik
standar dari rumah sakit. Di lain pihak, penelitian ini menemukan terdapat 1 responden yang
mengalami peningkatan nilai nyeri (4 mm) setelah intervensi pemberian musik keroncong.
Peningkatan nilai nyeri tersebut disebabkan karena pada waktu pengukuran VAS setelah
prosedur intervensi musik keroncong, pasien mengalami batuk. Responden tersebut adalah
responden dengan operasi laparotomi. Teori menyebutkan bahwa peningkatan tekanan
intraabdominal secara tiba-tiba salah satunya karena batuk dapat menyebabkan peningkatan
nyeri pada luka di abdomen (Smeltzer, 2010). Kondisi tersebut perlu menjadi pertimbangan
peneliti selanjutnya. Sebagai pembanding, 16 responden pada kelompok kontrol terdapat 6
responden yang mengalami penurunan nyeri, 5 responden yang mengalami peningkatan nyeri,
dan ada 5 responden yang nyerinya tetap. Penurunan nyeri yang terjadi pada responden
kelompok kontrol dapat disebabkan karena responden tetap mendapatkan terapi analgetik.
Peningkatan nyeri yang terjadi pada 5 responden mungkin disebabkan karena adanya aktivitas
tiba-tiba yang meningkatkan nyeri seperti batuk atau mengejan. Di sisi lain, ada 5 responden
yang nilai nyerinya tetap. Hal ini mungkin pengaruh terapi analgetik yang diberikan masih
kurang efektif dalam meredakan nyeri pasien. Mekanisme terjadinya penurunan atau
peningkatan nyeri yang terjadi pada pasien pascaoperasi dapat dijelaskan melalui teori “gate
control”. Adanya trauma jaringan pascaoperasi akan merangsang nocioceptive dan timbulnya
reaksi inflamasi. Proses tersebut menyadarkan jalur nyeri, pada tingkat perifer ada
pengurangan ambang aferen nocioceptive dan pada tingkat pusat ada peningkatan rangsangan
neuron spinal yang terlibat dalam transmisi nyeri. Mekanisme pengaturan nyeri tersebut
adalah dengan cara membloking pesan nyeri yang disampaikan ke otak melalui jalur eferen di
medula spinalis (Rao, 2006). Penggunaan musik keroncong sebagai musik terapi bertujuan
mengangkat budaya asli Indonesia. Musik keroncong dapat memberikan perasaan tenang dan
rileks karena musik tersebut alunannnya mendayu-dayu dan dapat mempengaruhi kerja dari
sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Ketika musik keroncong diberikan kepada pasien
pascaoperasi, maka alunan musik keroncong tersebut mempengaruhi sistem saraf parasimpatis
yang menyebabkan perangsangan terhadap gelombang alfa. Gelombang alfa menandakan
bahwa pasien berada pada kondisi nyaman. Kondisi nyaman tersebut secara otomatis
merangsang pengeluaran endorfin dan serotonin. Kedua zat tersebut secara fisiologis
menurunkan nyeri dan kecemasan pasien (American Music Therapy Association, 2001;
Frazier et al., 2003; Setyawan, 2014). Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa musik
keroncong dapat mempengaruhi gelombang otak melalui mekanisme FFR (Frequency
Following Response) yang diyakini mampu menyehatkan 5%-10% sel saraf (Gondasari, 2010;
Ispriantari, 2010; Purbowinoto & Kartinah, 2013). Penelitian ini membuktikan musik
keroncong menurunkan nyeri pasien pasca operasi di ruang perawatan kritis. Peneliti telah
mengontrol beberapa kemungkinan bias pada sampel penelitian. Namun, masih ada
keterbatasan penelitian yaitu pertama, karakteristik demografi, jenis operasi, dan jenis
analgetik responden masih beragam. Kedua, ada kemungkinan pasien mendapatkan terapi
komplementer lain selain terapi musik yang diberikan seperti relaksasi nafas dalam yang
diperoleh pasien dari keluarga atau tenaga kesehatan lain selama menjadi sampel penelitian.
Ketiga, kondisi lingkungan ruang perawatan kritis yang berbeda dapat mempengaruhi
kenyamanan pasien selama mendengarkan musik, walaupun peneliti telah berusaha
mengendalikan dengan menutup tirai/ pintu dan memasang peringatan “mohon jangan
diganggu!”.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN

Terapi musik keroncong dapat menjadi pilihan sebagai terapi nonfarmakologi dalam
bentuk terapi komplementer untuk mengurangi nyeri pasien pasca operasi di ruang perawatan
kritis. Penelitian ini adalah penelitian pertama yang mencoba membuktikan bahwa musik
tradisional asli Indonesia yaitu musik keroncong dapat direkomendasikan untuk menjadi
bagian dari standar operasional prosedur managemen nyeri pasien pascaoperasi di ruang
perawatan kritis sesuai prosedur dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan terapi musik ini
sederhana dan mudah untuk dilakukan di ruang perawatan kritis. Hasil penelitian ini
direkomendasikan untuk penelitian lanjutan dengan jenis musik yang sama namun jumlah
responden yang lebih besar. Penelitian selanjutnya juga perlu lebih mempertimbangkan
karakteristik demografi responden, jenis operasi, dan jenis analgetik yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
American Music Therapy Association. (2001). Music therapy and music based interventions
in the treatment and management of pain: selected references and key findings, 22(301), 1–4.
Bally, K., Campbell, D., & Chesnick, K. (2003). Effects of patient-controlled music therapy
during coronary angiography on procedural pain and anxiety distress syndrome. Critical Care
Nurse, 23(APRIL).
Bonakdar, R. A. (2013). Targeting systemic inflammation in patients with obesity-related
pain.
Supplement to the Journal of Family Practice, 62(9), S22–S28.

Buvanendran, A., & Kroin, J. S. (2009). Multimodal analgesia for controlling acute
postoperative pain. Current Opinionin Anaesthesiology, 22, 588–
593. http://doi.org/10.1097/ACO.0b013e328330373a
Corke, P. (2013). Postoperative pain management, 36(6), 202–205.
Cursino, T., Couceiro, D. M., Valença, M. M., Lima, L. C., Menezes, T. C. De, Cristina, M.,
& Raposo, F. (2009). Prevalence and influence of gender , age , and type of surgery on
postoperative pain. Revista Brasileira de Anestesiologia, 59(3), 314–320.
Deloach, L. J., Stiff, J. L., & Caplan, A. B. (1998). The Visual Analog Scale in the immediate
postoperative period: intrasubject variability and correlation with a numeric scale. Anesth
Analg, 86, 102–106. (7), 827–31. http://doi.org/10.1089/acm.2007.0752
Evans, D. (2002). The effectiveness of music as an intervention for hospital patients : a
systematic review. Journal of Advanced Nursing, 37(1), 8–18.
Narrative Review: Terapi Komplementer Alternatif 249

NARRATIVE REVIEW: TERAPI KOMPLEMENTER ALTERNATIF AKUPRESUR


DALAM MENURUNKAN TINGKAT NYERI

(COMPLEMENTARY AND ALTERNATIVE MEDICINE ACUPRESSURE IN REDUCING


PAIN INTENSITY: A NARRATIVE REVIEW)

Enggal Hadi Kurniyawan


Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Jember Jl. Kalimantan 37 Jember 68121
e-mail: enggalhadi.psik@unej.ac.id
ABSTRAK
Terapi farmakologi yang digunakan dalam menurunkan tingkat nyeri biasanya menggunakan analgetik yang
memiliki beberapa efek samping. Akupresur merupakan suatu terapi komplementer dan terapi alternatif yang
tidak memiliki efek samping dan dapat digunakan untuk menurunkan tingkat nyeri akut maupun nyeri kronis.
Narrative review ini menjelaskan beberapa teknik terapi akupresur yang digunakan sebagai terapi alternatif
dalam menurunkan tingkat nyeri pasien dengan berbagai penyakit akut maupun kronik. Narrative review ini
mengambil 25 jurnal elektronik internasional antara tahun 2006 sampai 2016 dengan menggunakan mesin pencari
google scholar. Kata kunci yang digunakan untuk mencari jurnal pada narrative review ini yaitu acupressure
dan pain. Hampir semua jurnal yang digunakan dalam narrative review ini menyimpulkan bahwa terapi
akupresur sangat efektif sekali dalam menurunkan tingkat nyeri akut maupun nyeri kronis dalam berbagai
macam penyakit yang diderita oleh pasien. Terapi akupresur memiliki banyak fungsi bagi kesehatan tubuh salah
satunya adalah menurunkan nyeri akut maupun kronis. Nyeri terjadi karena adanya ketidakseimbangan aliran
energi qi di dalam tubuh. Akupresur akan menyeimbangkan aliran energi qi tubuh sehingga akan menghilangkan
rasa nyeri sekaligus menyembuhkan penyakit yang diderita. Aliran energi qi tubuh yang seimbang akan
meningkatkan vitalitas dan kesehatan tubuh sehingga terhindar dari berbagai penyakit.

ABSTRACT
Medications used to treat or reduce the symptoms of pain usually have side effect. Acupressure is a
complementary and alternative medicine that can be used to re- duce pain intensity and has no side effect.
This narrative review described acupressure as an alternative therapy in reducing acute pain and
chronic pain intensity. This narrative review took 25 international electronic journals between 2006 and
2016 by using google scholar search engine. Keywords used to find this journals were acupressure and pain.
Most of journal used in this narrative review concluded that acupressure effectively reduces acute pain
and chronic pain inten- sity in the several kinds of diseases. Acupressure has many functions for the body's
health especially to reduce acute pain and chronic pain intensity. Pain occurs be- cause of an imbalance in
the flow of qi energy in the body. Acupressure will bal- ance the flow of qi energy body that will reduce pain
intensity and cure the illness. The balance of qi energy will improve the vitality and body health thus
protects from various diseases.
Narrative Review: Terapi Komplementer Alternatif 250

PENDAHULUAN
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri timbul sebagai bentuk respon sensori setelah menerima
rangsangan nyeri. Nyeri dapat disebabkan karena adanya kerusakan jaringan dalam tubuh sebagai akibat dari
adanya cedera, kecelakaan, maupun tindakan medis seperti operasi (Ratnasari, 2013). Nyeri merupakan
masalah yang besar bagi kesehatan dunia, dimana diperkirakan 1 dari 5 orang dewasa menderita nyeri dan 1 dari
10 orang dewasa didiagnosa dengan nyeri kronis tiap tahunnya. Empat penyebab utama nyeri adalah kanker,
osteo dan reumatoid artritis, operasi dan trauma, serta masalah spinal (Goldberg & McGee, 2011)
Penggunaan yang tepat dari analgesik saja atau dengan kombinasinya merupakan kunci untuk
menurunkan intensitas nyeri. Sayangnya, tidak semua nyeri dapat diintervensi dengan analgetik sistemik bahkan
beberapa penelitian menunjukkan stigma yang kurang baik ditujukan pada penggunaan obat-obat penurun rasa
nyeri (Brown, 2014). Ketakutan akan terjadinya adiksi, toleransi, depresi pernapasan, dan ketergantungan
menyebabkan klien menghentikan penggunaan analgesia. Tramadol yang merupakan opioid sintetis memiliki
efek samping mual, muntah, konstipasi, dan konfusi pada lansia. Obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) dapat
menyebabkan dispepsia, perdarahan lambung, ulkus peptikum, perdarahan ab- normal, kerusakan saluran cerna,
dan nefritis ginjal akut (Kneale & Davis, 2011). Sehingga penatalaksanaan non-farmakologis dapat
diterapkan sebagai pengganti intervensi atau kombinasi dalam menurunkan intensitas nyeri.
Akupresur merupakan salah satu teknik pengobatan tradisional Cina yang dapat digunakan untuk
menurunkan nyeri, mengobati penyakit dan cidera. Akupresur dilakukan dengan memberikan tekanan fisik
pada beberapa titik pada permukaaan tubuh yang merupakan tempat sirkulasi energi dan keseimbangan pada
kasus gejala nyeri. Teknik akupresur ini tidak invasif, aman, dan efektif. Akupresur terbukti dapat
mengurangi nyeri punggung, kepala, osteoarthritis, otot, leher, nyeri pre-operasi dan postoperasi, mual muntah
dan masalah tidur (Yurdanur, 2012).
Narrative Review: Terapi Komplementer Alternatif 251

METODE
Strategi pencarian jurnal elektronik internasional yaitu menggunakan mesin pencari google scholar
dengan kata kunci acupressure dan pain. Jurnal elektronik yang didapatkan dari mesin pencari google
mencapai 451.000, hal ini terjadi dikarenakan adanya kemiripan antara jurnal akupresur dengan jurnal
akupunktur. Jurnal kemudian dipilah sesuai dengan topik sehingga terkumpul 25 jurnal yang dianggap dapat
mewakili dari keseluruhan jurnal tentang akupresur dalam menurunkan nyeri. Kriteria inklusi yang
digunakan yaitu elektronik jurnal internasional yang terbit antara tahun 2006-2016, menggunakan bahasa
inggris, desain penelitian eksperimental, menggunakan terapi akupresur untuk menurunkan nyeri. Kriteria
ekslusi yang digunakan yaitu terapi akupunktur dengan menggunakan jarum. Ada beberapa teknik akupresur
yang digunakan dalam menurunkan nyeri pada kelompok intervensi yaitu sebagian besar akupresur dilakukan
secara manual pada titik akupunktur tertentu yaitu LI4 dan SP6 dimana kedua titik ini memiliki efek yang
sangat besar dan sistemik jika dibandingkan dengan titik akupunktur lainnya, beberapa jurnal spesifik
menggunakan auricular point acupressure (APA), collateral meridian acupressure therapy (CMAT) dan ada
jurnal yang menggunakan alat bantu seperti acupressure femi-band (gelang akupresur). Dari ke empat teknik
akupresur di atas semuanya memiliki prinsip dasar yang sama yaitu pemberian tekanan pada titik-titik
akupunktur yang ada dipermukaan tubuh. Beberapa jurnal membandingkan akupresur dengan teknik penurun
nyeri yang lain yaitu ice massage. Sedangkan untuk kelompok kontrol menggunakan terapi standar yang
biasa dilakukan atau plasebo.
Lama tindakan akupresur berdurasi antara 2 menit sampai 30 menit.
Sampel yang digunakan dalam penelitian jurnal berkisar antara 16 responden sampai 212
responden. Sebagian besar jurnal akupresur
menggunakan metode randomized controlled trial dan beberapa jurnal menggunakan quasi eksperimental
study. Alat untuk mengukur tingkat nyeri hampir semua jurnal akupresur menggunakan visual analogue scale
(VAS).

HASIL

Dari 25 jurnal dalam literature review ini, terdapat 13 jurnal yang meneliti akupresur dalam
menurunkan nyeri pada saat proses persalinan. Penelitian Dabiri & Shahi (2014) menjelaskan akupresur
pada titik LI4 dapat menurunkan nyeri persalinan tapi belum dapat mempercepat durasi lama kala I tersebut.
Berbeda dengan Akbarzadeh et al. (2014) dalam penelitiannya menyatakan gabungan akupresur dan dukungan
ibu hamil dapat menurunkan nyeri dan mempercepat proses persalinan, sejalan dengan Salehian et al. (2010)
bahwa akupresur pada titik SP6 menurunkan nyeri pada pembukaan 4, 6, dan 8 serta mempercepat lama waktu
persalinan. Hjelmstedt. et al (2009) dan Tigga & Thapa (2016) menyatakan akupresur menurunkan nyeri
persalinan, begitupula samadi et al. (2010) menjelaskan bahwa penurunan nyeri persalinan didapatkan 2 menit
setelah terapi akupresur pada titik SP6. Nani et al. (2015) dalam penelitiannya menyebutkan adanya penurunan
nyeri pada saat awal post partum dengan terapi akupresur pada titik HT6 dan LI4 selama 20 menit. Hajiamini
et al. (2012) dan Afefy (2015) dalam penelitiannya membandingkan keefektifan akupresur dengan kompres es
dalam menurunkan nyeri dan menyimpulkan bahwa baik akupresur maupun kompres es dapat menurunkan
Narrative Review: Terapi Komplementer Alternatif 252

nyeri persalinan, bahkan tampaknya kompres es mempunyai efek yang lebih kuat.
Akupresur dapat digunakan untuk menurunkan nyeri dismenorea seperti dalam penelitian yang
dilakukan oleh Zafari, et al (2011) dan Jothirajan (2016) serta Aghamiri, et al (2006). Mohamed (2015) juga
menyatakan akupresur dengan menggunakan femi-band pada titik SP6 secara efektif dapat menurunkan nyeri
dismenorrea. Hsieh et al. (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa akupresur dapat menurunkan nyeri
kronis punggung bagian bawah. Hsieh et al. (2010) dalam penelitian lainnya juga menyatakan 1 bulan terapi
akupresur lebih efektif dalam menurunkan sakit kepala kronis jika dibandingkan dengan terapi 1 bulan relaksasi
otot. Tse & Au (2010) juga menjelaskan bahwa akupresur dapat menurunkan nyeri lutut kronis dan tingkat
depresi serta meningkatkan mobilitas dan aktivitas sehari-hari. Ardakani et al. (2012)

menyatakan akupresur selama 20 menit dapat menurunkan nyeri artritis.


Yeh et al. (2015) menggunakan teknik akupresur pada telinga selama 7 hari sehingga dapat
menurunkan nyeri, kelelahan, dan gejala lainnya pada pasien kanker payudara. Auricular acupressure selama
2 menit dalam penelitian Santoro et al. (2015) dapat meningkatkan ambang batas nyeri. Wong et al. (2012)
menggunakan collateral meridian acupressure therapy (CMAT) untuk mendapatkan efek analgesik pada
nyeri leher. Alavi et al. (2008) menggunakan akupresur pada titik UB31 untuk menurunkan nyeri dan
menjelaskan bahwa akupresur lebih efektif dilakukan pada laki-laki daripada perempuan.
Hasil penelitian berbeda didapatkan oleh Kwan & Li (2013) yang menyatakan bahwa akupresur
pada telinga belum dapat mengurangi nyeri perineal pada ibu dengan kehamilan diatas 37 minggu. Sejalan
dengan penelitian tersebut, Aghdam et al. (2012) menyatakan akupresur pada titik BL32 dan GB21 belum
dapat menurunkan nyeri persalinan. Penelitian Heidari, et al (2008) juga mendapatkan hasil yang sama yaitu
akupresur pada titik SP6 belum dapat menurunkan nyeri persalinan sehingga harus digabungkan dengan
metode analgetik noninvasif lainnya.

PEMBAHASAN

Terapi komplementer alternatif akupresur tidak dapat dipisahkan dengan filosofi pengobatan tradisional Cina
yaitu teori yin-yang, teori energi vital (qi), teori lima unsur dan teori meridian. Teknik akupresur yang
dilakukan sebagai terapi harus berdasarkan filosofi pengobatan tradisional Cina, jika tidak akan menyebabkan
akupresur salah dalam terapi sehingga efek yang diinginkan tidak terjadi. Kesalahan dalam teknik akupresur
inilah kemungkinan yang menyebabkan penelitian yang dilakukan Kwan & Li (2013), Aghdam et al. (2012),
dan haidari belum dapat memberikan efek yang diinginkan yaitu penurunan tingkat nyeri.
Akupresur bila dilakukan sesuai dengan filosofi pengobatan tradisional Cina oleh seorang yang terampil akan
dapat menurunkan tingkat nyeri akut maupun kronik. Pomeranz & Stux (1989) dalam Chernyak & Sessler
2005 menjelaskan mekanisme akupunktur analgesia secara komprehensif. Dasar dari teorinya adalah tiga
mekanisme yang berkontribusi terhadap akupunktur analgesia: 1) Akupunktur menstimulasi saraf afferen
tipe I dan tipe II atau serat A-delta di otot yang akan mengirim impuls

Tabel 1. Originalitas Penelitian Terdahulu

No Author & Title Aim Study Participa Methods Main Results


Design nts
1 - Afefy, NAF. 2015 Membandingka Randomized 300 -Lembar -Ada penurunan
-“Effect of Ice Cold n efek masase es controlled Wanita pengkajian tingkat nyeri yang
Massage and dingin dan trial Yang persalinan signifikan pada grup
Acupressure on akupresur dalam melahirk (partograph) masase es dan
Labor Pain and menurunkan An - Visual Akupresur
Labor Duration: A tingkat nyeri Analogue dibandingkan dengan
Randomized persalinan dan Scale (VAS) kelompok kontrol
Narrative Review: Terapi Komplementer Alternatif 253
Controlled Trial” lama persalinan untuk -Ada penurunan lama
pada wanita mengukur persalinan pada kala I
primigravida tingkat nyeri dan kala II
2 -Aghamiri, Z.B, Mengetahui Targeted 100 - V.A.S -Ada penurunan
Vigeh, M., efek akupresur sampling Siswa (Visual tingkat nyeri
Latifnezhead, R., & dalam Yang Analgesic dismenorrhea setelah
Nabavi, S. 2006 menurunkan menderit Scale) untuk terapi akupresur
-Study of effect of nyeri a mengukur
acupressure methods dismenorrhea dismenor nyeri
on pain in primary primer Rhea
dysmenorrhea Primer
3 -Aghdam, N.S. , Menentukan A single 130 -Non Akupresur pada titik
Vakilian, K., & efek akupresur blind clinical Wanita randomized BL32 and GB21
Masoomeh, DA. dalam trial tetapi tidak efektif dalam
2012 menurunkan sampel menurunkan tingkat
-Effect of BL32 and nyeri persalinan dipisah nyeri pada persalinan
GB21 acupressure on pada persalinan secara
labor pain in the first kala I random
stage of labor kedalam dua
kelompok
-Tingkat
nyeri diukur
dengan VAS
4 -Akbarzadeh, M., Membandingka Randomized 150 -Intensitas Supportive care pada
Masoudi, Z., n efek Clinical Wanita nyeri diukur ibu hamil dan
Hadianfard, MJ., supportive care Trial Hamil dengan akupresur selama
Kasraeian, M., & dengan Visual persalinan efektif
Zare, N. 2014 akupresur pada Analogue menurunkan nyeri
-Comparison of the tingkat nyeri Scale (VAS) dan meningkatkan
Effects of Maternal wanita hamil -Descriptive rasio persalinan
Supportive Care and dan cara and normal dibandingkan
Acupressure (BL32 persalinan inferential dengan sesar.
Acupoint) on (normal atau statistics
Pregnant Women’s sesar)
Pain Intensity and
Delivery Outcome
5 -Alavi, NM. 2007. Mengetahui A crossover 64 pasien -Random Akupresur dapat
-Effectiveness of keefektifan single blind -Persepsi menurunkan nyeri
acupressure to reduce akupresur untuk experimental nyeri diukur pada injeksi
pain in intramuscular menurunkan design visual intramuscular
injections nyeri pada analogue
injeksi scale
intramuskular

menuju traktus anterolateral di medula spinalis. Di menstimulasi struktur otak tengah dengan
medula spinalis, nyeri dihambat pada presinaptik mengaktivasi sel-sel di periaqueductal gray matter
oleh pelepasan enkephalin dan dynorphin, mencegah dan inti raphe. Kemudian akan dikirim sinyal
pesan nyeri menaiki traktus spinothalamik. 2) menurun melewati traktus dorsolateral, yang
Akupunktur menyebabkan
Narrative Review: Terapi Komplementer Alternatif 250

6 - Ardakani, HM., Menentukan A clinical 40 pasien -Stratified -Akupresur efektif


Kaji, MA., Abotalabi, efek akupresur trial dengan sampling menurunkan nyeri
G., Mohamannazhad, terhadap nyeri sendi -tingkat punggung bawah
A., & GHaforifard, punggung artritis nyeri diukur
M. 2012 bawah pada visual
- Effect of pasien dengan analog scale
Acupressure On Low sendi artritis dan
Back Pain In Patients numerical
With rating scale
Spondylarthritis.
7 -Dabiri, F & Shahi, Mengevaluasi Single- 149 -Tingkat -Akupresur efektif
A. 2014 efek akupresur blinded, Wanita nyeri diukur menurunkan nyeri
-The Effect of LI4 LI4 pada nyeri randomized, Pada dengan Persalinan
Acupressure on persalinan dan clinical trial faseaktif visual -Akupresur tidak
Labor Pain Intensity lama kala I persalina analog scale berpengaruh pada
and Duration of n normal lama kala I persalinan
Labor: A
Randomized
Controlled Trial
8 -Hajiamini, Z., Membandingka A quasi- 90 wanita -Random Masase es dan
Masoud, SN., Ebadi, n efek masase experimental Hamil -Tingkat akupresur efektif
A., Mahboubh, A., & es, akupresur, study nyeri dikaji menurunkan nyeri
Matin, AA. 2012 dan plasebo dengan persalinan. Masase es
-Comparing The dalam visual lebih tahan lama
Effects Of Ice menurunkan analogue dalam menurunkan
Massage And intensitas nyeri scale (VAS) Nyeri
Acupressure On persalinan
Labor Pain Reduction
9 -Heidari, P., Mojdeh, Menentukan Double- 128 -Visual Akupresur pada titik
F., Mazloom, R., efek akupresur blind Wanita analogue SP6 tidak efektif
Tanbakoi, K., & pada nyeri randomized melahirk scale menurunkan nyeri
Judaki, K. 2008 persalinan clinical trial An digunakan persalinan sehingga
-Effect of untuk harus ditambah
Acupressure On mengukur metode lain
Labor Pain Intensity nyeri
10 -Hjelmstedt, A., Mengevaluasi Randomized 212 Nyeri Akupresur efektif
Shenoy, S., Stener- efek akupresur controlled Wanita persalinan menurunkan nyeri
Victorin, E., selama aktif trial Hamil dikaji selama fase aktif
Lekander, M., Bhat, fase persalinan dengan persalinan.
M., Leena, KKb., & pada nyeri visual
Waldenström, U. persalinan analog scale
2010
-Acupressure to
Reduce Labour Pain:
A Randomized
Controlled Trial
11 -Hsieh, LLC., Kuo, Mengevaluasi Randomised 129 -Pain visual Akupresur efektif
CH., Lee, LH., Yen, keefektifan controlled Pasien scale dalam menurunkan
AMF., Chien, KL., & akupresur pada trial dengan - modified nyeri punggung
Chen, THH disabilitas, Nyeri Oswestry bawah dan disabilitas
-Treatment Of Low nyeri, dan status punggun disability
Back Pain By fungsional g bawah questionnair
Acupressure And kronis e
Physical Therapy:
Randomised
Controlled Trial
Narrative Review: Terapi Komplementer Alternatif 251

12 -Hsieh, LLC., Liou, Mengevaluasi A 28 pasien Visual Akupresur lebih


HH., Lee, LH., Chen, keefektifan randomized menderit analogue efektif dalam
THH., & Yen, AMF akupresur controlled a sakit scale (VAS) menurunkan sakit
-Effect of dibanfingkan clinical trial kepala kepala kronis
Acupressure and dengan obat Kronis dibandingkan dengan
Trigger Points in relaksan otot obat relaksan otot
Treating Headache: pada penderita
A Randomized sakit kepala
Controlled Trial kronis
13 -Jothirajan, D Mengevaluasi A 30 Numeric Akupresur efektif
-Effectiveness of keefektifan quantitative perempu pain rating dalam menurunkan
Acupressure on akupresur pada pre An scale nyeri dismenorrhea
Dysmenorrhea dismenorrhea experimental dysmeno
among Girls (18-23 Rrhea
year) In Sangrur,
Punjab
14 -Kwan, WSC & Li, Mengetahui A 258 Verbal Berdasarkan data
WWH efek akupresur Randomised perempu Descriptive statistik, akupresur
-Effect of Ear telinga dalam Controlled An Pain Scale telinga tidak dapat
Acupressure On menurunkan Study and the menurunkan nyeri
Acute Postpartum nyeri perineal Visual perineal setelah
Perineal Pain: A 48 jam setelah Analogue persalinan
Randomised persalinan Scale
Controlled Study
15 -Mohamed, HES., Mengetahui Randomized 150 siswi Visual Femi-band
Salem, SM., & Al- efek controlled Analogue akupresure efektif
Agamy, ZA Femi-band trial Scale menurunkan
-Effect of Using akupresur pada Nyeri dysmenorrhea
Femi-Band dysmenorrhea After
Acupressure On primer
Primary
Dysmenorrhea:
Randomized
Controlled Trial
16 -Nani, D., Maryati, Mengidentifikas A single 7 wanita Visual Akupresur
S., & Rahmaharyanti, i efek akupresur blind Analogue menurunkan nyeri
R pada nyeri randomized Scale for post partum setelah
-Effect of sectio cesarea clinical trial pain. sectio cesarea
Acupressure Therapy
Point HT6 and LI4
on Post Cesarean
Sectio’s Pain
17 -Salehian, T., Mengevaluasi A 60 wanita visual- Ada penurunan nyeri
Dehcheshmehi, FS., efek akupresur randomized nullipara analogue pada pembukaan 4,6,
Alavi, A., & pada nyeri clinical trial scale (VAS) dan 8.
Madiseh, MR persalinan dan study Ada penurunan lama
-Effects of waktu persalinan pada fase
Acupressure at the persalinan Aktif
Sanyinjiao Point
(SP6) on Labor Pain
& Delivery Time In
Nulliparous Women
18 -Samadi, P., Mengevaluasi A single 131 Random Akupresur efektif
Lamiyan, M., efek akupresur blind, wanita menurunkan nyeri
Heshmat, R., & pada nyeri clinical trial Hamil setelah 2 menit terapi.
Faghihzadeh, S persalinan dan Tidak ada perbedaan
-Effect of tipe persalinan dalam tipe persalinan
acupressure at SP6 diantara kelompok
point on labor pain
intensity
Narrative Review: Terapi Komplementer Alternatif 252

19 -Santoro, A., Nori, Mengetahui Pre 16 Orang Ambang Ambang batas nyeri
SL., Lorusso, L., efek akupresur Experimenta Sehat batas nyeri meningkat setelah 24
Secondulfo, C., telinga dalam l diukur jam pemberian terapi
Monda, M., & meningkatkan dengan akupresur telinga
Viggiano, A ambang batas autoalgomet
-Auricular nyeri er
Acupressure Can
Modulate Pain
Threshold
20 - Sehhatie-Shafaie, Mengidentifikas A 84 wanita Visual scale Akupresur dapat
F., kazemzadeh, R., i efek akupresur randomized nulipara of pain menurunkan nyeri
Amani, F., & pada nyeri controlled assessment Persalinan
Heshmat, R. persalinan clinical trial
-The Effect of
Acupressure on
Sanyinjiao and Hugo
Points on Labor Pain
in Nulliparous
Women: A
Randomized Clinical
Trial
21 - Tigga, R & Thapa, Mengevaluasi quasi 60 visual- Akupresur efektif
R keefektifan experimental partisipa analogue dalam menurunkan
- Effectiveness of akupresur pada - Non- N scale (VAS) nyeri persalinan dan
Acupressure on Level nyeri dan lama equivalent Lama persalinan
of Pain and Duration persalinan control
of Labour Among group
Primigravida Mothers posttest
During First Stage of design
Labour
22 -Tse, M & Au, J Mengeksplorasi A quasi- 62 Random Akupresur efektif
-The Effects of keefektifan experimental partisipa dalam menurunkan
Acupressure in Older akupresur dalam pre- and n yang nyeri lutut kronis dan
Adults with Chronic menurunkan post- menderit depresi serta
test
Knee Pain: nyeri lutut control a nyeri Meningkatkan
Depression, Pain, kronis dan group design lutut mobilitas dan
Activities of Daily depresi serta kronis aktivitas sehari-hari
Living and Mobility meningkatkan
mobilitas dan
aktivitas sehari-
hari
23 -Wong, K., Yap, B., Mengetahui Randomised 60 pasien Random Akupresur
& Fung, BKP efek akupresur blind trial dengan menyebabkan efek
-Treatment of Neck pada nyeri leher nyeri analgesik pada nyeri
Pain with Collateral leher dan Leher
Meridian restriksi
Acupressure pergerak
Therapy: A an leher
Randomised, Sham-
Intervention
Controlled Trial

pelepasan monoamin noreepineprin dan serotonin di beta-endorfin kedalam aliran darah dari kelenjar
medula spinalis. Neurotransmiter ini akan pituitari. Pelepasan beta-endorfin di sertai dengan
menghambat nyeri pada presinaptik dan pelepasan hormon adrenokortikotropik.
postsinaptik dengan menurunkan transmisi sinyal Proses penurunan nyeri dengan intervensi
melewati traktus spinothalamic. 3) Stimulasi pada akupresur juga dapat dijelaskan menggunakan teori
kompleks pituitari- hypotalamik menyebabkan holistik. Akupresur baik stimulasi maupun sedasi
pelepasan sistemik dari
24 -Yeh, CH., Chien, Mengetahui An open- 31 pasien -MDASI Akupresur telinga
LC., Glick, RM., keefektifan pilot trial, dengan digunakan efeektif dalam
Londen, GV., & akupresur with kanker untuk menurunkan
nyeri,
Bovbjerg, DH telinga dalam repeated payudara mengkaji kelelahan, tidur,
dan
-Auricular Point menanggulangi observationa berat gejala gejala lainnya
Acupressure (APA) nyeri, kelelahan, l research penyakit amount
to Manage a dan gangguan design -ECOG PS)
Symptom Cluster of tidur digunakan
Pain, Fatigue, and untuk
Disturbed Sleep in mengkaji
Breast Cancer status
Patients: A Pilot fungsional
Study pasien

25 -Zafari, M., Tofighi, Membandingka A random 196 Tingkat Akupresur,


kapsul
M., n keefektifan clinical test Siswa nyeri diukur minyak ikan,
Aghamohammady, akupresur, dengan dan iboprofen
memiliki
A., Behmanesh, F., & kapsul minyak the grading efek yang sama
Rakhshaee, Z ikan, dan system of dalam mangatasi
-Comparison Of The ibuprofen dalam multi- dysmenorrhea.
Effect Of menanggulangi dimensional
Acupressure, Fish Oil Dysmenorrhea speech
Capsules and primer
ibuprofen on
treatment of primary
Dysmenorrheal

tergantung keadaan yin dan yang pasien. Akupresur pada titik akupunktur akan memberikan efek lokal yaitu
penurunan rasa nyeri pada daerah sekitar titik penekanan. Energi akupresur pada titik akupunktur akan
mengalir melalui aliran meridian menuju target organ. Stimulasi maupun sedasi target organ akan
memberikan efek perubahan biokimia, fisiologis, dan persepsi/rasa. Perubahan biokimia dapat berupa
peningkatan kadar endorfin, perubahan fisiologis dapat berupa aktivitas aliran darah dan oksigen,
sedangkan perubahan persepsi/ rasa dapat berupa penurunan tingkat nyeri (Adikara 2015).
Teori akupunktur analgesia diatas telah menjelaskan mekanisme akupresur dalam
menurunkan tingkat nyeri akut maupun kronik. Akupresur dapat menurunkan nyeri pada proses
persalinan sekaligus mempercepat prosesnya. Akupresur juga menurunkan nyeri pada saat haid, nyeri
punggung, nyeri kepala, nyeri lutut, nyeri artritis, nyeri leher dan nyeri kanker payudara. Hajiamini et al.
(2012) dan Afefy (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kompres es lebih kuat dalam
menurunkan nyeri daripada akupresur, sayangnya efek lain dari akupresur tidak dijelaskan seperti
mempercepat durasi lama persalinan yang terdapat pada penelitian Akbarzadeh et al. (2014) dan Salehian et
al. (2010). Akupresur akan menyeimbangkan aliran energi qi tubuh, sehingga proses persalinan menjadi
optimal dan gejala-gejala yang muncul dari
ketidakseimbangan aliran energi qi akan menurun atau menghilang.

SIMPULAN

Akupresur merupakan terapi komplementer alternatif yang efektif dalam menurunkan tingkat nyeri
akut maupun kronis sehingga dapat mengurangi penggunaan obat-obat farmakologi yang mempunyai efek
samping. Akupresur juga efektif dalam menghilangkan berbagai gejala yang menyertai penyakit
dengan cara menyeimbangkan aliran energi qi tubuh.

SARAN

Perawat diharapkan dapat memperdalam konsep dasar ilmu akupresur karena terapi
komplementer alternatif tersebut sangat berguna dan bermanfaat dalam mengatasi berbagai macam gejala-
gejala yang muncul dari penyakit sehingga dapat digunakan sebagai terapi alternatif atau terapi
tambahan bersama dengan terapi farmakologi. Penelitian dan publikasi lebih banyak tentang
akupresur diharapkan dapat memperkenalkan masyarakat terhadap terapi komplementer alternatif ini
sebagai pendamping pengobatan konvensional sehingga hasil pengobatan yang maksimal dapat tercapai.
KEPUSTAKAAN
Adikara, RTS. 2015. Pelatihan Terapi Komplementer Alternatif & Akupreser untuk Dokter, Perawat,
Bidan dan Umum. Asosiasi Chiro- practor dan Akupreser Seluruh Indonesia (ACASI) Cabang Bondowoso.
Afefy, NAF. 2015. Effect of Ice Cold Massage and Acupressure on Labor Pain and Labor Du- ration: A
Randomized Controlled Trial. Jour- nal of Natural Sciences Research. 5(22). [Online].
http://www.iiste.org/Journals/ index.php/JNSR/article/viewFile/27143/ 27826. Diakses 30 November
2016.
Aghamiri, Z.B., Vigeh, M., Latifnezhead, R., & Nabavi, S. 2006. Study Of Effect Of Acupressure
Methods On Pain In Primary Dysmenorrhea. Journal of Hayat. 11(4 and 3), 19-28. [Online].
http://hayat.tums.ac.ir/ browse.php?a_id=222&sid=1&slc_lang=en. Diakses 4 Desember 2016.
Aghdam, NS., vakilian, K., & Masoomeh, DA. 2012. Effect of BL32 and GB21 Acupressure On Labor Pain
In The First Stage Of Labor. Complementary Medicine Journal of faculty of Nursing & Midwifery. 2(1),
104-110. [Online]. http://cmja.arakmu.ac.ir/ browse.php?a_id=89&sid=1&slc_lang=en. Diakses 6
Desember 2016.
Akbarzadeh, M., Masoudi, Z., Hadianfard, MJ., Kasraeian, M., & Zare, N. 2014. Compari- son of the
Effects of Maternal Supportive Care and Acupressure (BL32 Acupoint) on Pregnant Women's Pain Intensity
and De- livery Outcome. Journal of Pregnancy. Hindawi Publishing Corporation. Volume 2014, Article
ID 129208, 7 pages. [Online]. https://www.hindawi.com/journals/jp/2014/ 129208/. Diakses 1 Desember
2016.
Alavi, NM., 2007. Effectiveness of acupressure to reduce pain in intramuscular injections. Acute Pain.
Elsevier. Volume 9, Issue 4, Pages 201- 205 [Online]. http://www.sciencedirect.com/
science/article/pii/S1366007107001684. Diakses 9 Desember 2016.
Ardakani, HM., Kaji, MA., Abotalabi, G., Mohamannazhad, A., & GHaforifard, M. 2012. Effect of
Acupressure On Low Back Pain In Patients With Spondylarthritis. Jour- nal Urmia Nurs Midwifery Fac.
10(2). [Online].http://unmf.umsu.ac.ir/article-1- 831-en.html. Diakses 4 Desember 2016.
Brown, A. 2014. Strategies To Reduce Or EliminateWound Pain. Nursing Times. 110(15), 12-15. [Online].
http://www.nursingtimes.net/Jour- nals/2014/04/04/h/k/k/Strategies-to-reduce- or-eliminate-wound-pain-
090414.pdf. Diakses 18 Oktober 2015.
Chernyak, GV & Sessler, DI. 2005. 'Perioperative Acupuncture and Related Techniques, An- esthesiology'.
The Journal of The American Society of Anesthesiologist. 102(5), 1031-1049. [Online]. http:// a
n e s t h e s i o l o g y. p u b s . a s a h q . o r g / Article.aspx?articleid=1942166. Diakses 5 Februari 2016.
Dabiri, F & Shahi, A. 2014. The Effect of LI4 Acupressure on Labor Pain Intensity and Duration of
Labor: ARandomized Controlled Trial. Oman Medical Journal. 29(6), 425-429. [Online].
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/PMC4289495/. Diakses 29 Septem- ber 2016.
Goldberg, DS & McGee, SJ. 2011. Pain as a Global Public Health Priority. BMJ Public Health. 11(770).
[Online].http:// bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/ 10.1186/1471-2458-11-770. Diakses 4
Desember 2016.
Hajiamini, Z., Masoud, SN., Ebadi, A., Mahboubh, A., & Matin, AA. 2012. Comparing The Ef- fects Of
Ice Massage And Acupressure On Labor Pain Reduction. Complementary Therapies in Clinical Practice.
Elsevier. 18 (3), 169-172. [Online]. https:// www. r esear chgate. net/ pu blicat ion/
229080857_Comparing_the_effects_of_ice_massag- e_and_acupressure_on_labor_pain_reduction. Diakses 25
November 2016.
Heidari, P., Mojdeh, F., Mazloom, R., Tanbakoi, K., & Judaki, K. 2008. Effect of Acupressure On Labor
Pain Intensity. Hakim Research Journal. 11(2), 39- 46. [Online]. http:// h a k i m . h b i . i
r / browse. php? a_ id= 442 & slc_ lang= e- n&sid=1&ftxt=1. Diakses 6 Desember 2016.
Hjelmstedt, A., Shenoy, S., Stener-Victorin, E., Lekander, M., Bhat, M., Leena, KKb., & Waldenström, U.
2010. Acupressure to Re- duce Labour Pain: A Randomized Controlled Trial. Acta Obstetricia et
Gynecologica Scandinavica. Vol 89. Issue 11. Page 1453-1459.
[Online]. http:// onlinelibrary. wiley. com/ doi/ 10. 3109/00016349.2010.514323/abstract. Diakses 7
Desember 2016.

Hsieh, LLC., Kuo, CH., Lee, LH., Yen, AMF., Chien, KL., & Chen, THH. 2006. Treatment Of Low Back
Pain By Acupressure And Physi- cal Therapy: Randomised Controlled Trial. BMJ. 332(696).
[Online].http:// www.bmj.com/content /332/7543/696. Diakses 27 November 2016.
Hsieh, LLC., Liou, HH., Lee, LH., Chen, THH., & Yen, AMF. 2010. Effect of Acupressure and Trigger
Points in Treating Headache: A Ran- domized Controlled Trial. The American Jour- nal of Chinese Medicine.
38(01). [Online]. http://www.worldscientific.com/doi/abs/ 10.1142/S0192415X10007634. Diakses
6Desember 2016.
Jothirajan, D. 2016. Effectiveness of Acupressure on Dysmenorrhea among Girls (18-23 year) In Sangrur,
Punjab.Imperial Journal of Inter- disciplinary Research. 2(11).
[Online].http://www.onlinejournal.in/IJIRV2I11/054.pdf. Diakses 9 desember 2016.
Kneale, JD & Davis, PS. 2011. Keperawatan Ortopedik dan Trauma. Edisi 2. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.
Kwan, WSC & Li, WWH. 2013. Effect of Ear Acupressure On Acute Postpartum Perineal Pain: A
Randomised Controlled Study. Jour- nal of Clinical Nursing. 23(7-8), 1153-1164. [Online].
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/ 10.1111/jocn.12281/full. Diakses 5 Desember 2016.
Mohamed, HES., Salem, SM., & Al-Agamy, ZA. 2015. Effect of Using Femi-Band Acupressure On
Primary Dysmenorrhea: Randomized Controlled Trial. Journal of Nursing Education and Practice. 5(12).
[Online]. http://www.sciedu.ca/journal/ index.php/jnep/article/viewFile/7584/4730. Diakses 4 Desember
2016.
Nani, D., Maryati, S., & Rahmaharyanti, R. 2015. Effect of Acupressure Therapy Point HT6 and LI4 on
Post Cesarean Sectio's Pain. In- ternational Journal of Research in Medical Sciences. 3(1), S119-S122.
[Online]. http:// www. scopemed. org/? jf t= 93 & f t= 93 - 1443074585. Diakses 3 Desember 2016.
atnasari, NMD, Ratna, W & Judha, M. 2013. Pengaruh Pemberian Guided Imagery Terhadap Nyeri
Pada Pasien Post Operasi Fraktur Di RSUD Panembahan Senopati Bantul. [Online].
http://journal.respati.ac.id/ index.php/medika/article/viewFile/21/17. Diakses 16 Oktober 2015.

Salehian, T., Dehcheshmehi, FS., Alavi, A., & Madiseh, MR. 2010. Effects of Acupressure at the
Sanyinjiao Point (SP6) on Labor Pain And Delivery Time In Nulliparous Women. Journal of Shahrekord
University of Medi- cal Sciences. 12(4). [Online]. http:// j o u r n a l . s k u m s . a c . i r / b
r o w s e . p h p ? a _ i d = 3 9 1 & s l c _ l - ang=en&sid=1&ftxt=1. Diakses 3 Desember 2016.
Samadi, P., Lamiyan, M., Heshmat, R., & Faghihzadeh, S. 2010. Effect of acupressure at SP6 point
on labor pain intensity. Hormozgan Medical Journal. 14(1), 55-64. [Online]http://hmj.hums.ac.ir/
browse.php?a_id=141&sid=1&slc_lang=en. Diakses 2 Desember 2016.
Santoro, A., Nori, SL., Lorusso, L., Secondulfo, C., Monda, M., & Viggiano, A. 2015. Auricular
Acupressure Can Modulate Pain Threshold. Evidence-Based Complementary and Alter- native Medicine.
Hindawi Publishing Corpo- ration. Volume 2015, Article ID 457390, 7 pages. [Online].
https://www.hindawi.com/ journals/ecam/2015/457390/. Diakses 25 Nopember 2016.
Sehhatie-Shafaie, F., kazemzadeh, R., Amani, F., & Heshmat, R. 2013. The Effect of Acupressure on
Sanyinjiao and Hugo Points on Labor Pain in Nulliparous Women: ARan- domized Clinical Trial. Journal of
Caring Sci- ences. 2(2): 123-129. [Online]. h t t p s : / / www. ncbi. nlm. nih. gov/ pmc/ a r t icles
PMC4161094/. Diakses 24 November 2016.
Tigga, R & Thapa, R. 2016. Effectiveness of Acupressure on Level of Pain and Duration of Labour
Among Primigravida Mothers During First Stage of Labour. Indian Journal of Applied Research. 6(6), 131-
133. [Online]. https://www.worldwidejournals.com/indian- journal-of- applied-research-(IJAR)/
file.php?val=June_2016_1464767396 43.pdf. Diakses 8 Desember 2016.
Tse, M & Au, J. 2010. The Effects of Acupressure in Older Adults with Chronic Knee Pain: De- pression,
Pain, Activities of Daily Living and Mobility. Journal of Pain Management. 3(4). [Online].
https://www.novapublishers.com/ c a t a l o g / product_info.php?products_id=24309. Diakses 27
November 2016.
Wong, K., Yap, B., & Fung, BKP., 2012. Treatment of Neck Pain with Collateral Meridian

Acupressure Therapy: A

Randomised,Sham-Intervention Controlled
Trial. Austra- lian Journal of Acupuncture and
Chinese Medicine. 7(1), 10-15. [Online].
http://
www.ajacm.com.au/Portals/0/AJACMFiles/ P D F
s / Vo l % 2 0 7 % 2 0 I s s % 2 0 1 / AJACM
%202012%207%201%20Treament%20Neck
%20Pain.pdf. Diakses 3 Desember 2016.
Yeh, CH., Chien, LC., Glick, RM., Londen, GV.,
& Bovbjerg, DH. 2015. Auricular Point
Acupressure (APA) to Manage a Symptom
Cluster of Pain, Fatigue, and Disturbed Sleep in
Breast Cancer Patients: A Pilot Study. Journal
Pain Relief. 4(5), [Online]. http://
www.omicsgroup.org/journals/auricular-
point-acupressure-apa-to-manage-a-symp- tom-
cluster-of-pain-fatigue-and-disturbed- sleep-in-
breast-cancer-patients-a-pilot- study-2167-
0846-1000199.pdf. Diakses 28 November 2016.
Yurdanur, D. 2012. Non-Pharmacological
Therapies in Pain Management, Pain
Management - Current Issues and Opinions. Dr.
Gabor Racz (Ed.). InTech. [Online]. http://
cdn.intechopen.com/pdfs-wm/26152.pdf.
Diakses 19 Oktober2015Zafari, M., Tofighi,
M., Aghamohammady,A., Behmanesh, F., &
Rakhshaee, Z. 2011. Com- parison Of The Effect
Of Acupressure, Fish Oil Capsules and
ibuprofen on treatment of primary
Dysmenorrheal. African Journal of Pharmacy
and Pharmacology. 5(8), 1115-
1119.[Online].http://
www.academicjournals.org/journal/AJPP/
article-full-text-pdf/A709A2433071. Diakses 7
Desember 2016.
PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH
PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI SISTOLIK TERISOLASI
DI PANTI SOSIAL BUDI AGUNG KUPANG

Petrus Kanisius Siga Tage


Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C
Mulyorejo Surabaya 60115 Telp(031)5913752 ,5913754 ,Fax. (031)5913257
Email: petru.stage@yahoo.com

ABSTRACT
Laughter therapy which is given for about 30 to 40 minutes can reduce the high blood pressure
and every 5 mmHg reduction in blood pressure for elderly hypertension patients is expected to
decrease mortality from about 14 % due to stroke and coronary heart disease due to 7%. This study
is aimed to understand the changes of blood pressure in patients with Isolated Systolic
Hypertension before and after being given the laugh therapy.
This research is classified as Quasy research experiments which uses a one-group pre- test and
post- test design without a control group. The samples are 19 persons in the working area of Panti
Sosial Budi Agung Kupang. The effectiveness of giving the therapy which is to lower the blood
pressure in hypertensive patients are analyzed by using t-test static test.
The results showed that there were the changes in blood pressure values in each elderly
respondent in the range of changes of systolic blood pressure values between 3-24 mm Hg and
diastolic blood pressure changes between 2-24 mmHg. The results of Paired Sample t - Test
showed that 0,000 worth less than the standard error ( α ) with a significance of 0,05 or 95%, so
the hypothesis of the influence of giving laughter therapy in lowering blood pressure can be
accepted.
PENDAHULUAN

Hipertensi adalah tekanan darah atau denyut jantung yang lebih tinggi dari normal yang
disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah atau karena gangguan lain (Dorland, 2005).
Hipertensi sistolik terisolasi adalah bila tekanan sistolik ≥160 mmHg dan tekanan diastolik <90
mm Hg (PERGEMI, 2004). Hipertensi merupakan faktor penyebab kematian dini terbesar ketiga
di Indonesia. Hipertensi juga mengakibatkan terjadinya gagal jantung kongestif dan penyakit
cerebrovascular (Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI,
2006). Laporan dari ACCF/AHA Expert Consensus Document on Hypertension in the Elderly
mengungkapkan bahwa jumlah pasien hipertensi dengan hipertensi sistolik terisolasi yang berusia
60-69 tahun sebanyak 65% dan yang berusia di atas 70 tahun lebih dari 90% (Arifin et al, 2012).
Angka penderita hipertensi kian hari semakin mengkhawatirkan dengan angka yang terus
meningkat tajam. WHO memprediksikan pada tahun 2025 nanti, sekitar 29% orang dewasa di
seluruh dunia menderita Hipertensi (DEPKES, 2006). Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS)
Balitbangkes tahun 2007 menunjukkan adanya prevalensi hipertensi secara nasional mencapai
31,17%. Hipertensi sistolik terisolasi di derita oleh 10-20% pasien usia tua yang menjadi tipe
hipertensi predominan (mendekati 60%) pada pasien usia lanjut yang diterapi maupun yang tidak
mendapat terapi (Handajani, 2005). Penelitian di Indonesia yang meliputi 5 Pulau Besar dan
Pulau Maluku tentang jumlah penderita hipertensi sistolik terisolasi telah dilakukan, dan
ditemukan bahwa dari 4.436 orang penderita hipertensi, 7,12% dari mereka ternyata menderita
hipertensi sistolik terisolasi (Soeyono, 2001). Di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2008,
jumlah penderita hipertensi sebesar 28,1% (Litbangkes, 2008). Pada survei awal yang dilakukan
oleh peneliti di tempat penelitian, terdapat 86 orang lansia yang tercatat sebagai penghuni Panti
Sosial Budi Agung Kupang. Dari 86 orang lansia tersebut, ditemukan jumlah penderita hipertensi
sebanyak 46 orang (53,48%) dengan jumlah lansia yang menderita hipertensi sistolik terisolasi
sebanyak 18 orang (39,13%). Para lansia yang berada dalam Panti Sosial Budi Agung Kupang
masih menggunakan terapi farmakologis yang dapat menimbulkan ketergantungan yang membuat
biaya pengobatan menjadi mahal. Selain penggunaan terapi farmakologis diperlukan juga terapi
komplementer untuk membantu menurunkan tekanan darah pada lansia. Hal tersebut dapat
mempengaruhi penurunan dosis obat yang dikonsumsi sehingga biaya pengobatannya menjadi
lebih murah. Penggunaan terapi farmakologis anti hipertensi telah terbukti dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas, serta menurunkan risiko untuk terjadinya komplikasi pada pasien
lansia hipertensi sitolik (Aronow, 2011). Dalam laporan Duthie dan Katz, (dalam Arifin et al,
2012) menjelaskan bahwa penggunaan tersebut, dapat menimbulkan beberapa kerugian, antara
lain efek samping, efek ketergantungan, tingginya biaya dan masalah lainnya yang semakin
memperberat pasien lansia.
Chobanian et al (2003) menjelaskan bahwa kontrol terhadap hipertensi sistolik bisa
menurunkan mortalitas global akibat kardiovaskuler, stroke, dan kejadian gagal jantung yang
dicetuskan oleh hipertensi sistolik terisolasi karena penurunan tekanan darah sistolik paling sedikit
20 mmHg pada satu tingkat dibawah 160 mmHg akan mengurangi peningkatan terhadap risiko-
risiko tersebut. Darmojo dan Martono (2004) menjelaskan penatalaksanaan hipertensi yang
dianjurkan bagi lansia adalah terapi nonfarmakologis, salah satunya yaitu dengan latihan fisik
aerobik. Tertawa 20 menit setara dengan berolahraga ringan selama 2 jam karena dengan tertawa
peredaran darah dalam tubuh lancar, kadar oksigen dalam darah meningkat, dan tekanan darah
akan normal. Tertawa sama dengan efek latihan fisik yang membantu meningkatkan suasana hati,
menurunkan hormon stres, meningkatkan aktivitas kekebalan tubuh, menurunkan kolesterol jahat
dan tekanan darah sistolik serta meningkatkan kolesterol baik (Berk et al, 1996). Lansia tidak
mampu melakukan banyak latihan fisik karena masalah otot lemah dan radang persendian, oleh
karena itu tawa merupakan latihan ideal bagi mereka yang mempunyai keterbatasan fisik (Kataria,
2004). Mengingat terapi tertawa bisa dilakukan oleh siapa saja dan orang yang akan menjadi tutor
hanya perlu sedikit latihan maka terapi tertawa ini layak diterapkan. Berdasarkan uraian di atas
maka peneliti tertarik utuk meneliti tentang “Pengaruh terapi tertawa terhadap perubahan tekanan
darah pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi di Panti Sosial Budi Agung Kupang”.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini menggunakan desain Quasy-Experiment. dengan rancangan one group design
pre-test and post-test design yang mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan melibatkan satu
kelompok subjek. Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia yang menderita hipertensi sistolik
tersisolasi sebanyak 20 orang ada di Panti Sosial Budi Agung Kupang Pengambilan sampel
dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara
memilih sampel diantara populasi sesuai dengan kehendak peneliti (tujuan atau masalahdalam
penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik
populasi yang telah dikenal sebelumnya. Pengambilan sampel dengan memenuhi kriteria sebagai
berikut Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah
a) Lansia hipertensi dengan tekanan darah ≥ 160/ <90 mmHg
1. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
1) Lansia dengan penyakit wasir
2) Lansia dengan penyakit hernia
3) Lansia dengan penyakit jantung yang tidak toleran
4) Lansia dengan sesak nafas
5) Lansia dengan penyakit TBC
6) Lansia dengan penyakit influenza
7) Lansia dengan glaukoma
8) Lansia yang pikun
9) Lansia yang mengalami penurunan pendengaran

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan rumus (Nursalam, 2003) sebagai sebagai berikut :
N
n=
1 + N (d 2 )

Keterangan:
n : Besar sampel
N : Besar populasi
d : Tingkat kepercayaan atau ketepatan (0,05)

20

n= 1+20(0,05²)

20
n=
1 +0,05
n= 20

1,05

n= 19,04

Jadi sampel yang dibutuhkan sebanyak 19 responden.


Variabel independen dalam penelitian ini adalah terapi tertawa sedangkan terapi dependen
adalah tekanan darah sistolik dan diastolik. Alat ukur untuk terapi tertawa berupa SOP terapi
tertawa dan tensimeter digital terapi tertawa diberikan selam 3 minggu dengan jumlahnya 2 kali
seminggu yaitu di hari Selasa dan Jumat Total waktu terapi tertawa adalah 30- 40menit.
Pengukuran tekanan darah diukur sebelum dan sesudah perlakuan sampai hari keenam, tetapi yang
dianalisa menjadi data pre adalah pengukuran di awal sebelum terapi hari pertama dan yang
menjadi data post adalah hasil pengukuran terakhir di hari keenam paska pemberian terapi tertawa.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan uji statistik Paired t-test dengan tingkat
kemaknaan α<0,05. Artinya, bila uji t berpasangan menghasilakan P≤0,05, maka Ho ditolak dan
hipotesis diterima hal ini berarti ada perubahan tekanan darah sebelum dan sesudah intervensi
terapi tertawa selama 3 minggu.
HASIL

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tekanan darah sistolik sebelum
diberikan terapi tertawa dari 19 responden yang tertinggi adalah 192 mmHg dan tekanan
darah sistolik terendah adalah 163 mmHg. Sedangkan tekanan darah sistolik sesudah
diberikan terapi tertawa dari 19 responden yang tertinggi adalah 184 mmHg dan tekanan darah
sistolik terendah adalah 149 mmHg. Berdasarkan tekanan darah diastolic 19 responden sebelum
diberikan terapi diketahui bahwa tekanan yang tertinggi adalah 88 mmHg dan tekanan darah
terendah adalah 74 mmHg sedangkan sesudah diberikan terapi tekanan yang tertinggi adalah
83 mmHg dan yang terendah adalah 58 mmHg.
Beradasarkan hasil uji statistik dengan Paired T-test yang tertera dalam tabel menunjukan
bahwa tingkat signifikansi p= 0.000 artinya terdapat pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap
penurunan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata tekanan darah lansia dengan hipertensi
sistolik terisolasi sebelum dilakukan terapi tertawa sebagai berikut: tekanan darah sistoliknya 175
dan tekanan darah diastoliknya adalah 80. Sistol dan diastol merupakan dua periode yang
menyusun satu siklus jantung. Diastole adalah kondisi relaksasi, yakni saat jantung terisi oleh
darah yang kemudian diikuti oleh periode kontraksi atau sistole. Satu siklus jantung tersusun atas
empat fase (Saladin, 2003) Peningkatan curah jantung dan tahanan perifer dapat terjadi akibat dari
berbagai faktor seperti genetik, aktivitas saraf simpatis, asupan garam, dan metabolisme natrium
dalam ginjal dan faktor endotel mempunyai peran dalam peningkatan tekanan darah pada hipertensi
(Sidabutar & Prodjosujadi, 1990). Berdasarkan hasil penelitian dari semua responden mengalami
hipertensi sisitolik terisolasi dimana tekanan darah sistolik responden ≥160 mmHg tekanan
diastolik responden <90 mmHg. Pada data hasil pengukuran awal terlihat bahwa tekanan darah
hipertensi sistolik terisolasi berada pada tekanan 192/74 mmHg dan ini dialami oleh reponden
nomor 5 dan tekanan darah terendah pada responden nomor 1 dengan tekanan 163/86 mmHg.
Tekanan darah yang tinggi pada responden nomor 5 dipengaruhi oleh usia responden yang sudah
mencapai 64 tahun dimana pada usia ini terjadi penurunan fungsi organ tubuh terutama elastisitas
pembuluh darah sehingga ketika terapi tertawa diberikan dan menghasilkan endorphin, endorphin
tersebut tidak bisa secara cepat membuat pembuluh darah responden mengalami vasodiltasi. Selain
karena faktor usia terlihat juga faktor kebiasaan hidup responden dimana berdasarkan data
demografi terlihat bahwa responden sudah lama mengkonsumsi kopi yang mengandung cafein
yakni >20 tahun. Kafein yang ada di dalam kopi dapat meningkatkan denyut jantung. Selain kopi
responden juga mengkonsumsi lemak hewani yang banyak mengandung lemak jenuh yang
beresiko meningkatkan kolesterol dalam pembuluh darah. Responden juga jarang berolahraga
dimana dalam seminggu responden hanya berolahraga sekali. Olahrga disini bermanfaat untuk
membakar kolesterol dalam pembuluh darah.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata tekanan darah lansia dengan hipertensi
sistolik terisolasi sesudah dilakukan terapi tertawa adalah adalah 163,79 untuk tekanan sisitolik
dan 69,21 untuk tekanan diastolic Aliran darah dalam jaringan terutama diatur oleh mekanisme
auotoregulasi lokal. Autoregulasi berarti penyesuaian otomatik dari aliran darah dalam setiap
jaringan terhadap kebutuhan dari jaringan bersangkutan. Pada umumnya kebutuhan kebutuhan
jaringan adalah berupa nutrisi. Namun dalam beberapa keadaan autoregulasi diperlukan seperti
untuk regulasi pembuangan zat sisa metabolisme dan elektrolit, dimana zat-zat tersebut dalam
darah memainkan peranan penting dalam mengatur aliran darah ginjal. Di dalam otak autoregulasi
untuk regulasi kadar karbondioksida, dimana zat tersebut mempengaruhi kecepatan aliran darah ke
jaringan tersebut. Pada jaringan lain umumnya kebutuhan akan oksigen merupakan rangsangan
yang paling kuat memunculkan autoregulasi (Guyton, 2008). Tekanan darah dari suatu tempat
peredaran darah ditentukan oleh tiga macam faktor yaitu (1) jumlah darah yang ada di dalam
peredaran yang dapat membesarkan pembuluh darah; (2) aktivitas memompa jantung, yaitu
mendorong darah sepanjang pembuluh darah; (3) tahanan perifer terhadap aliran darah.
Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi tahanan perifer yaitu viskositas darah, tahanan
pembuluh darah (jenis pembuluh darah, panjang, dan diameter), serta turbulence (kecepatan aliran
darah, penyempitan pembuluh darah, dan keutuhan jaringan) (Suprayog, 2004).
Terapi tertawa yang dapat merelaksasi tubuh yang bertujuan melepaskan endorphin ke
dalam pembuluh darah sehingga apabila terjadi relaksasi maka pembuluh darah dapat mengalami
vasodilatasi sehingga tekanan darah dapat turun (Kataria, 2004). Berdasarkan hasil penelitian
terlihat bahwa tekanan darah tertinggi adalah 184/72 mmHg yang dialami oleh responden nomor
16 dan tekanan darah terendah adalah 148/72 mmHg yang dialami oleh responden nomor 12.
Tekanan darah yang tinggi pada responden no 16. Jika merujuk pada data demografi terlihat
bahwa responden nomor 16 telah berusia 48 tahun dan mengkonsumsi lemak hewani dimana
lemak hewani mengandung lemak jenuh yang berpotensi meningkatkan kolesterol dalam
pembuluh darah. Pada responden nomor 12 berusia 46 tahun, tidak merokok, tidak minum alkohol,
tidak minum kopi, rajin berolahraga, dan mengkonsumsi garam sesuai diet. Hasil penelitian yang
telah dilakukan menunjukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pemberian terapi tertawa
terhadap penurunan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi di Panti Sosial
Budi Agung Kupang. Tekanan darah dalam tubuh dikontrol oleh otak sebagai pusat, sistem saraf
otonom, ginjal, beberapa kelenjar endokrin, arteri dan jantung. Serabut saraf adalah bagian sistem
saraf otonom yang membawa isyarat dari semua bagian tubuh untuk menginformasikan kepada
otak perihal tekanan darah, volume darah dan kebutuhan khusus semua organ. Semua informasi
ini diproses oleh otak dan keputusan dikirim melalui saraf menuju organ-organ tubuh termasuk
pembuluh darah, isyaratnya ditandai dengan mengempis atau mengembangnya pembuluh darah.
Saraf-saraf ini dapat berfungsi secara otomatis (Hayens, 2003). Menurut Hayens (2003), tekanan
darah timbul ketika bersikulasi di dalam pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah berperan
penting dalam proses ini dimana jantung sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk
menggerakkan darah, dan pembuluh darah yang memiliki dinding yang elastis dan ketahanan yang
kuat. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori pengembangan Haruyama Shigeo dimana bahwa
dengan berelaksasi yang bisa didapatkan melalui meditasi dan tertawa tubuh akan melepaskan
hormone endorphin yang dapat membantu menurunkan tekanan darah (Haruyama, 2011).
Sambriong (2012) dalam penelitian tentang pengaruh terapi tertawa yang hanya melihat penurunan
tekanan darah sitolik pada pasien dengan hipertensi sistolik terisolasi memaparkan bahwa terdapat
pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan tekanan darah sistolik. Terapi tertawa merupakan
terapi komplementer yang dapat membantu menurunkan tekanan darah pada pasien yang
mengalami hipertensi sistolik terisolasi. Pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan tekanan darah
dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Panti Sosial Budi Agung Kupang.
Peneliti menemukan bahwa ada 100% perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik pada lansia
penderita hipertensi sebelum dan sesudah diberikan terapi tertawa dimana perubahan tekanan
darah sistolik berada dalam rentangan 3 mmHg-24 mmHg dan perubahan tekanan
diastolik berada dalam rentangan 2 mmHg-24 mmHg. Perubahan tekanan darah sistolik tertinggi
berada pada responden nomor 12 yaitu 24 mmHg dan perubahan tekanan darah sistolik terendah
berada pada responden nomor 10 dan 11 yakni 3 mmHg. Perubahan tekanan darah sistolik pada
angka 24 mmHg pada responden nomor 12 bukan hanya dipengaruhi oleh terapi tertawa yang
diberikan oleh peneliti tetapi ada faktor lain yang turut mempengaruhi perubahan tekanan darah
dengan angka yang tinggi pada responden ini. Jika merujuk pada data demografi terlihat bahwa
ada faktor usia dimana usia responden termasuk dalam usia lanjut pertengahan yakni usia 46
tahun, dimana pengaruh usia terhadap tekanan darah dapat dilihat dari aspek pembuluh darah
yaitu semakin bertambah usia akan menurunkan elastisitas pembuluh darah arteri perifer
sehingga meningkatkan resistensi atau tahanan pembuluh darah perifer. Peningkatan tahanan
perifer akan meningkatkan tekanan darah (Guyton, 2001). Pada usia 46 ada kemungkinan besar
belum terjadi penurunan fungsi organ secara ekstrim oleh karena itu pada pasien dengan usia 46
tahun elastisitas pembuluh darahnya masih bagus memungkinkan pembuluh darah akan lebih
cepat mengalami vasodilatasi bila merasa rileks akibat pemberian terapi tertawa sehingga
tekanan darah responden akan cepat turun. Setelah faktor usia di dalam data demografi terlihat
bahwa kebiasaan hidup responden juga baik dimana responden tidak merokok. Selain tidak
merokok responden juga tidak meminum kopi, meminum alkohol, serta berolahraga rajin seperti
jalan santai 3 kali seminggu. Disini olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan
hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan
menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi.
Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika
asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi (Potter & Perry, 1997).
Meski pada responden ini mengkonsumsi garam dan lemak tetapi tidak dalam jumlah harian yang
berlebih. Jenis lemak yang dikonsumsi responden adalah lemak nabati dimana lemak nabati
banyak tersusun oleh asam lemak tak jenuh sehingga tidak berbahaya dibandingkan dengan
lemak jenuh dari lemak hewani. Lemak jenuh mempunyai rantai panjang cenderung
meningkatkan kadar kolesterol darah dan penebalan dinding pembuluh arteri karena timbunan
kolesterol sehingga memicu terjadinya peningkatan tekanan darah (Yundini, 2006). Selain faktor
yang terdapat dalam data demografi responden, peneliti meyakini ada faktor lain yang turut
mempengaruhi penurunan tekanan darah responden secara ekstrim. Pertama keadaan psikis
responden selama terapi dimana responden mengungkapkan bahwa responden pasien merasa
senang dengan terapi yang diberikan oleh peneliti dan menganggap ini hal yang baru sehingga
responden menjadi antusias ketika responden menjadi senang dan antusias maka terapi dapat
berjalan maksimal dan keadaan rileks bisa tercapai. Kedua adalah keadaan responden dalam
lingkungan wisma tempat tinggalnya dimana responden menikmati keadaannya di wisma
mengenai hubungannya dengan teman-teman lansianya, maupun hubungannya dengan pengasuh,
aktivitas hariannya ini berpengaruh ketika selesai waktu terapi responden pulang ke wismanya
responden akan tetap merasa senang dan bahagia. Selain melihat penurunan tekanan darah
sistolik pada angka tertinggi 24 mmHg yang cukup tinggi terlihat juga ada penurunan tekanan
darah sistolik pada angka yang rendah yakni hanya 3 mmHg pada responden 10 dan responden
11. Pada 2 responden ini jika merujuk pada data demografi respondennya mereka mengalami
penurunan tekanan darah yang rendah memiliki masalah dengan usia dimana usia responden
sudah mencapai usia 69 (Responden 10) dan 72 (Responden 11) tahun dimana pada usia ini besar
kemungkinan terjadi penurunan fungsi organ sehingga pembuluh darah tidak mudah untuk
bervasodilatasi secara cepat paska diberikan terapi tertawa. Selain faktor usia ada faktor
demografi lainnya seperti kebiasaan hidup meski tidak merokok, tidak minum minuman
beralkohol dan cukup sering berolahraga tetapi pada responden 10 mengkonsumsi kopi, dimana
meski hanya satu kali sehari tetapi ini telah berlangsung bertahun- tahun sehingga kafein yang
ada di dalam kopi dapat meningkatkan denyut jantung dan berisiko terhadap penumpukan
kolesterol yang berpotensi mendorong peningkatan tekanan darah (Yundini, 2006). Selain
mengkonsumsi kopi responden juga mengkonsumsi garam serta makanan berlemak lemak
hewani. Ketika mengkonsumsi garam bisa terjadi peningkatan tekanan pada pembuluh darah
sehingga tekanan darah menjadi tinggi ini karena ginjal yang bertugas untuk mengolah garam
akan menahan cairan lebih banyak daripada yang seharusnya di dalam tubuh. Banyaknya cairan
yang tertahan menyebabkan peningkatan pada volume darah seseorang atau dengan kata lain
pembuluh darah membawa lebih banyak cairan. Beban ekstra yang dibawa oleh pembuluh darah
inilah yang menyebabkan pembuluh darah bekerja ekstra yakni adanya peningkatan tekanan
darah (Yundini, 2006). Adapun garam yang dikonsumsi responden telah melebihi diet harian
hipertensi DASH (The Dietary Approaches to Stop Hypertension) dimana untuk penderita
hipertensi derajat berat dengan tekanan darah sistolik >160 dan tekanan darah diastolik >90
jumlah konsumsi garamnya harus kurang dari 1,25 gr garam dapur per hari atau kuarang dari ½
sendok teh per hari. Dari kebiasaan mengkonsumsi lemak hewani oleh responden juga sangat
berpengaruh dimana lemak hewani mengandung lemak jenuh yang merangsang peningkatan
kolesterol dalam pembuluh darah. Pada responden 11 memiliki masalah yang sama dimana
responden 11 tidak merokok, tidak meminum minuman beralkohol, tidak meminum kopi namun
masih mengkonsumsi garam dan lemak hewani. Setelah melihat perubahan tekanan darah sistolik
pada responden sekarang masuk pada tekanan darah diastolik dimana pada tekanan darah
diastolik terjadi penurunan dalam rentang 2 mmHg (Responden 6 dan Responden 19) - 24
mmHg (Responden 14). Pada responden dengan penurunan 2 mmHg tekanan darah diastolik
berdasarkan data demografi responden 6 meski tidak merokok, dan minum alkohol namun
responden mengkonsumsi kopi, garam, makanan berlemak hewani, jarang berolahraga dan usia
responden adalah 55 sehingga penurunan tekanan darah diastolik hanya 2 mmHg setelah diberi
terapi 6 kali. Pada responden 19 meski tidak merokok, minum kopi, minum minuman beralkohol
serta cukup rajin berolahraga namun responden mengkonsumsi lemak hewani, mengkonsumsi
garam dan usia responden sudah mencapai 75 tahun. Berbanding terbalik dengan responden 6
dan 19 responden 14 mengalami penurunan tekanan darah yang signifikan setelah diberikan
terapi tertawa sebanyak 6 kali yakni mencapai 24 mmHg jika merujuk pada data responden
terlihat bahwa responden no 14 berusia 63 tahun lebih tua dari responden 6 yang usianya 55
tahun namun mempunya kebiasaan hidup yang baik dengan tidak mengkonsumsi garam, koko,
kopi, alkohol, rajin berolahraga dan responden hanya mengkonsumsi lemak

peneliti tetapi juga dipengaruhi oleh usia dan kebiasaan hidup responden seperti mengkonsumsi,
alkohol,kopi, makanan berlemak, rokok, garam serta olahraga diamana meski terapi tertawa
mampu menurunkan tekanan darah tetapi untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan juga
kebiasaan hidup yang baik dari responden.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Rata-rata tekanan darah lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi sebelum dilakukan terapi
tertawa sebagai berikut: tekanan darah sistoliknya 175 dan tekanan darah diastoliknya 80
2. Rata-rata tekanan darah lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi sesudah dilakukan terapi
tertawa sebagai berikut: tekanan darah sistoliknya 163,79 dan tekanan darah diastoliknya 69,21
3. Ada pengaruh antara pemberian terapi tertawa terhadap penurunan tekanan darah pada lansia
dengan hipertensi sistolik terisolasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas maka saran yang dapat berikan oleh peneliti
sebagai berikut
1. Bagi Pantai Sosial Budi Agung Kupang di rekomendasikan dapat menggunakan terapi
tertawa sebagai terapi komplementer dalam menurunkan tekanan darah pada lansia dengan
hipertensi sistolik terisolasi dan terapi ini bisa diberikan tiap hari
2. Bagi panti sosial disarankan untuk mengontrol asupan makanan dan diet bagi lansiayang
mengidap hipertensi
3. Bagi penelitian selanjutnya disarankan mempertimbangkan variable: diet, usia, aktivitas, dan
obesitas
DAFTAR PUSTAKA
Amaki et al. 2007. A case of Neurally Mediated Syncope Induced by Laughter Successfully
Treated With Combination of Propanolol and Midodrine. (Int Heart J 2007; 48: 123-127).
Jepang. Diakses: (13 Maret 2012)

Andol. 2009. Terapi Tertawa. Diakses pada tanggal 13 Maret 2012 dari
http://m.epochtimes.co.id.
Anggun, R. P. dan Nurtjahjanti. H. 2001. Pengaruh Penerapan Terapi Tawa Terhadap
Penurunan Tingkat Stres Kerja Pada Pegawai Kereta Api, Jurnal Psikologi Undip Vol. 10,
No.2, Oktober 2011. Fakultas Psikologi UNDIP. Semarang

Arif, M. 2001, Kapita Selekta Kedokteran. EGC. Jakarta

Arifin et al. 2012. Jurnal Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga: Perbedaan


Communication Back Massage dan Back Massage dalam Menurunkan Tekanan Darah Pada
Klien dengan Lansia dengan Hipertensi. Fakultas KeperawatanUniversitas Airlangga Surabaya.
Surabaya

Ariana, D. 2006. Terapi Humor untuk Menurunkan Tingkat Stres pada Mahasiswa Baru. Skripsi.
Fakultas Psikologi UNAIR. Surabaya. Tidak dipublikasikan.

Astawan, B. 2002. Hubungan pengetahuan dan sikap keluarga terhadap praktek


perawatan penderita hipertensi di RS Wira Bakti Tamtama. Skripsi. Stikes Karya Husada.
Semarang

Ayu, A . 2005. Terapi Tertawa Untuk Hidup lebih Sehat, Bahagia dan Ceria. Pustaka Larasati.
Yogyakarta
Corwin, E. J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta Darmodjo dan Martono. 2000. Buku
Ajar Geriatri, Edisi 2. Balai Penerbit FK UI. Jakarta
PENGARUH TERAPI AKUPUNKTUR TERHADAP
INTENSITASNYERI PADA KLIEN DENGAN NYERI KEPALA
PRIMER

1
I Putu Pande Eka Krisna Yoga, 2Ni Luh Pt. Eva Yanti, 3I Wayan Suardana
1,2
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

3
Politeknik Kesehatan Denpasar Email:
krishnayouga@yahoo.com

ABSTRACT
Primary headache is a headache which is not yet clearly an anatomical abnormalities, structural abnormalities or
others precipitation. The factor that can trigger primary headaches such as stress, physical exercise, diet, alcohol,
and hormones. Primary headache can be treated with acupuncture therapy. Acupuncture therapy is a therapeutic
insertion of needles in the head and acupoints in the body. The aim of this study determines the therapeutic effect
of acupuncture pain intensity on clients with primary headaches. This study is a pre-experimental studies (one-
group pre-test post-test design). The technical sampling use incidental sampling and there are chosen 35
respondents. Data collected by using a sheet instrument to get demographic data and pain scale. The research
find before acupuncture therapy, 28 respondents with moderate pain, 6 respondents with severe pain and 1
respondents with mild pain. The pain scale after a there are decreasing pain scale. The 16 respondents with
moderate pain and 19 respondents with mild pain. The results obtained by Wilcoxon test, there are therapeutic
effect of acupuncture on pain intensity in patients with primary headache. Based on these results suggested nurse
to use acupuncture therapy besides pharmacological therapy.

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Nyeri merupakan alasan yang paling umum orang mencari atau datang ke pelayanan
kesehatan. International Association for the Studi of Pain (1979) dalam Potter dan Perry (2006)
mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang
dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan. Salah satu upaya untuk
menghilangkan nyeri yaitu dengan mencari pengobatan dan perawatan kesehatan (Potter dan
Perry, 2006). Berdasarkan penyebabnya, nyeri kepala digolongkan menjadi dua yaitu nyeri
kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer tidak berkaitan dengan suatu
abnormalitas struktur muskuloskeletal ataupun organik.
Prevalensi nyeri kepala primer secara global atau di seluruh dunia pada tahun

2007 adalah 47% (Oshinaike, Ojo, Okubadejo, Ojelabi, dan Dada, 2014). Data penderita nyeri
kepala primer yang diperoleh dari lima rumah sakit besar di Indonesia pada tahun 2004 adalah
67.5% (Primadila, 2014). Prevalensi penderita nyeri kepala primer di daerah Bali adalah 90%
dari 100% keseluruhan kasus nyeri pada kepala (Bali Post, 2009).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di klinik praktik perawat mandiri Latu
Usadha yang merupakan salah satu tempat yang mengedepankan terapi komplementer sebagai
pendukung terapi konvensional dan terdiri dari akupunktur serta terapi bekam kering
didapatkan data dalam empat bulan terakhir (2014), terdapat 48% klien datang dengan keluhan
nyeri, dan 20% diantaranya datang dengan keluhan nyeri kepala primer. Hasil wawancara
dengan pemilik praktik perawat dikatakan bahwa satu sampai dua orang datang dengan
keluhan nyeri kepala primer per harinya.

Tindakan untuk mengatasi nyeri kepala primer dengan menggunakan terapi farmakologi
dan non-farmakologi. Tindakan untuk penanganan non- farmakologi dan tanpa efek samping
yang merugikan dapat berupa terapi komplementer. Salah satu terapi komplementer tersebut
adalah terapi akupunktur. Akupunktur merupakan teknik yang sederhana, hanya menggunakan
jarum khusus serta dapat menunjukkan efek positif dalam waktu yang relatif singkat. Jarum
yang ditusukkan akan merangsang hipotalamus pituitary untuk melepaskan beta-endorfin yang
berefek dalam mengurangi nyeri (Kiswojo, Widya, dan Lestari, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Keristianto, Suardana dan Sumarni (2014) dengan judul
pengaruh terapi akupunktur terhadap penurunan nyeri lutut pada klien dengan osteoarthritis di
prakik perawat mandiri Latu Usadha Abiansemal dengan hasil terdapat penurunan skala nyeri
setelah diberikan terapi akupunktur. Skala nyeri responden sebelum diberikan akupunktur
didapatkan rerata skor nyeri sebesar 5,37 berdasarkan kategori termasuk nyeri sedang (4-6).
Setelah diberikan terapi akupunktur didapatkan rerata skor nyeri sebesar 2,48 yang termasuk
kategori nyeri ringan (1-3), dapat disimpulkan bahwa terapi akupunktur efektif dalam
menurunkan nyeri.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh
terapi akupunktur terhadap intensitas nyeri pada klien dengan nyeri kepala primer di klinik
praktik perawat mandiri Latu Usadha Abiansemal.

Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh terapi akupunktur terhadap intensitas nyeri pada klien dengan nyeri
kepala primer di praktik perawat mandiri Latu Usadha Abiansemal.
Tujuan Khusus

Untuk mengetahui intensitas nyeri sebelum dan setelah diberikan terapi akupunktur serta
untuk mengetahui perbedaan intensitas nyeri klien dengan nyeri kepala primer di praktik
perawat mandiri Lau Usadha Abiansemal.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah pre- experimental dengan rancangan penelitian menggunakan
one-group pre test-post test design. Dalam penelitian ini dilakukan pretest intensitas nyeri
sebelum diberikan terapi akupunktur dan post-test setelah diberikan terapi akupunktur.

Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah rerata jumlah kunjungan klien dengan nyeri kepala
primer yang datang ke Praktik Perawat Mandiri Latu Usadha antara bulan Agustus-Desember
2014 yaitu sebesar 71. Jumlah seluruh sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 35
orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik konsekutif sampling.

Instrument Penelitian
Data yang dikumpulkan adalah jenis data primer, yaitu hasil pengukuran intensitas
nyeri dengan menggunakan Numerical Rating Scale terhadap intensitas nyeri pada klien dengan
nyeri kepala primer dengan menggunkan terapi akupunktur.

Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data

Penetapan klien yang akan menjadi sampel dalam penelitian sesuai dengan kriteria
inklusi seperti klien yang mengeluh nyeri kepala primer, berusia ≥12 tahun dan

≤65 tahun, tidak mendapatkan terapi farmakologi sebelumnya, responden yang

kooperatif, bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent, serta dapat
mengenal angka-angka dan mampu membaca angka. Sebelum klien menjadi sampel, diberikan
penjelasan atau informed consent tentang penelitian yang akan dilakukan.

Peneliti memberikan lembar instrumen kepada responden untuk pengambilan data


tentang identitas responden (usia, jenis kelamin) tipe dari nyeri kepala primer yang dialami dan
intensitas nyeri responden sebelum diberikan terapi akupunktur. Peneliti menyiapkan alat dan
bahan yang diperlukan dalam penelitian, setelah peneliti dan responden siap, atur posisi klien
sesuai kebutuhan, kemudian terapis

akan memberikan terapi akupunktur selama 20 menit pada titik-titik akupunktur yang sudah
ditentukan. Setelah pemberian terapi selesai, selanjutnya peneliti kembali memberikan lembar
instrument kepada responden untuk pengambilan data intensitas nyeri klien setelah diberikan
terapi akupunktur.

Data dari hasil pengukuran intensitas nyeri kepala primer sebelum dan setelah diberikan
terapi akupunktur terkumpul, maka akan dilakukan analisis data perbandingan intensitas nyeri
pada klien dengan nyeri kepala primer pretest dan post-test menggunakan uji Wilcoxon Signed
Rank Test dengan tingkat kepercayaan 95% (p<0,05).
HASIL PENELITIAN

Karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, klasifikasi nyeri kepala primer
dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian


Karakteristik Frekuensi Persentase
Usia Remaja (12-25) 4 11,4%
Dewasa (26-45) 20 57,2%
Lanjut Usia (46-65) 11 31,4%
Jenis Kelamin Laki-laki 18 51,4%
Perempuan 17 48,6%
Klasifikasi nyeri Nyeri kepala klaster 1 2,9%
kepala primer Nyeri kepala migraine 14 40%
Nyeri kepala tipe tegang 20 57,1%
Berdasarkan tabel 1 tersebut, karakteristik responden yang mengalami nyeri kepala
primer berdasarkan usia didapatkan 20 responden (57,2%) berada pada rentang usia 26-45 tahun,
karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, didapatkan sebagian besar responden yang
menderita nyeri kepala primer berjenis kelamin laki-laki sebanyak

18 responden (51,4%) dan karakteristik responden berdasarkan tipe atau klasifikasi

nyeri kepala primer, sebagian besar responden mengalami nyeri kepala tipe tegang sebanyak 20
responden (57,1%).

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebelum diberikan terapi akupunktur sebagian besar intensitas
nyeri klien dalam kategori nyeri sedang sebanyak 28 responden (80%), dan setelah diberikan
terapi akupunktur menunjukkan bahwa sebagian besar intensitas nyeri klien dalam kategori
nyeri ringan sebanyak 19 responden (54,3%).

Tabel 2. Intensitas nyeri sebelum, setelah dan hasil uji


Kategori nyeri Sebelum terapi Setelah terapi
Ringan (1-3) 1 19
Sedang (4-6) 28 16
Berat (7-9) 6
Shapiro Wilk 0,005 0,028
Wilcoxon Signed Rank Test p value= 0,000 α=0,05

Berdasarkan tabel 2 hasil dari uji Shapiro Wilk didapatkan kesimpulan bahwa intensitas
nyeri sebelum dan setelah diberikan terapi akupunktur merupakan data yang tidak berdistribusi
normal dengan nilai p sebelum diberikan terapi akupunktur sebesar 0,005 dan nilai p setelah
diberikan terapi akupunktur sebesar 0,028. Selanjutnya dilakukan uji non parametrik yaitu
Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil analisis data dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank
Test dengan α=0,05 mendapatkan nilai z sebesar -5,353. Nilai z bernilai negative (-) yang berarti
menunjukkan penurunan intensitas nyeri setelah diberikan terapi akupunktur dan didapatkan
hasil dengan nilai signifikan (p) yaitu 0,000 yang artinya p<0,05 dengan tingkat kemaknaan atau
kesalahan 5%. Maka Ha diterima dan H0 ditolak yang artinya ada pengaruh terapi akupunktur
terhadap intensitas nyeri pada klien dengan nyeri kepala primer. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa 95% diyakini setelah pemberian terapi akupunktur dapat mempengaruhi intensitas nyeri
kepala primer.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat penurunan intensitas nyeri


setelah diberikan terapi akupunktur. Intensitas nyeri responden sebelum diberikan terapi
akupunktur didapatkan rerata skala nyeri sebesar 5,29

berdasarkan kategori nyeri maka sebagian besar responden sebelum diberikan terapi
akupunktur mengalami nyeri sedang (4-6). Setelah diberikan terapi akupunktur didapatkan
rerata skala nyeri sebesar 3,40 berdasarkan kategori nyeri maka sebagain besar responden
setelah diberikan terapi akupunktur mengalami nyeri ringan (1-3).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi akupunktur efektif dalam
menurunkan nyeri. Nyeri kepala primer merupakan suatu nyeri kepala yang belum jelas
terdapat kelainan anatomi, kelainan struktur atau sejenisnya. Faktor pencetus yang dapat
menimbulkan nyeri kepala primer seperti stres, latihan fisik, diet, alkohol, dan hormone. Nyeri
kepala primer dapat ditangani dengan menggunakan terapi akupunktur. Terapi akupunktur
merupakan terapi penusukan jarum di daerah kepala yang mengalami nyeri dan titik-titik di
daerah tubuh yang mempengaruhi nyeri kepala primer.

Rangsangan dari penusukan jarum akupunktur akan diteruskan ke Peri Aqueductal Grey matter
di otak tengah, kemudian melalui jalur nucleus raphe magnus yang bersifat serotoninergik
merangsang stalked cell mengeluarkan enkafalin yang akan menghambat substansia gelatinosa
untuk menyalurkan hantaran nyeri. Nucleus par melalui locus cereleus menghambat nyeri.
Penjaruman juga akan mengaktifkan nucleus arcuatus di hipotalamus sehingga melepaskan beta-
endorfin yang akan menghambat impuls nyeri melalui jalur periaqueductal grey, selain itu beta-
endorfin juga masuk sirkulasi darah dan cairan serebrospinal sehingga menyebabkan analgesia
fisiologik. Sel marginal akan memberi cabang ke subnucleus reticularis dorsalis di medula
oblongata, yang akan menghambat impuls nyeri (Kartika, 2011).
Terapi akupunktur akan menstimulasi serabut-A akan mengakibatkan
modulasi sensori pada bagian ujung dorsal di tingkat segmental yang saling terkait melalui
pelepasan met-enkefalin. Pemberian stimulus nyeri seperti jarum terhadap kontrol inhibitor
nyeri yang difus akan mengakibatkan efek analgetik yang sifatnya heterosegmental. Jalur
spinotalamus dan spinoretikular juga distimulasi pada bagian ujung dorsal melalui otak bagian
tengah, bersinap di dalam periquaduktal abu-abu, selanjutnya menstimulasi serabut inhibitor
desenden yang mempengaruhi proses aferen. Efek analgetik heterosgmental (pada masing-
masing tingkatan di seluruh tubuh) dapat dicapai. Noradrenalin dan serotonin merupakan
neurotransmitter kunci yang bertanggung jawab terhadap modulasi nyeri. Adanya pelepasan
zat enkefalin, dinorfin dan beta-endorfin, yang memberikan stimulus reseptor opioid. Regulasi
produksi opioid endogen terhadap pengalaman sensasi perasaan nyaman dapat menciptakan
suatu mekanisme untuk menghasilkan efek yang terus-menerus atau secara permanen (Jevuska,
2012).agigantocellularis di medula oblongata yang bersifat noradrenergik

KESIMPULAN DAN SARAN


Tindakan pemberian terapi akupunktur efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pada
klien dengan nyeri kepala primer, dengan rerata skala nyeri sebelum diberikan terapi
akupunktur adalah 5,29 dan setelah diberikan terapi akupunktur dengan rerata skala nyeri 3,40.
Hasil analisa data dengan menggunakan uji Wilcoxon Test didapatkan hasil dengan nilai
signifikan

(p) yaitu 0,000 yang artinya p<α(0,05). Dapat disimpulkan bahwa terapi akupunktur dapat
meurunkan intensitas nyeri pada klien dengan nyeri kepala primer di praktik perawat mandiri
Latu Usadha Abiansemal.

Saran bagi perawat, mengingat bahwa penerapan terapi akupunktur efektif untuk nyeri
kepala primer, maka diharapkan kepada perawat agar dapat melaksanakan terapi akupunktur
dengan efektif serta dapat mengaplikasikan ke seluruh masyarakat terutama yang mengalami
nyeri kepala primer. Saran bagi masyarakat diharapkan untuk masyarakat umum dapat
mencari pengobatan bukan hanya terapi farmakologi atau dengan obat tetapi juga dapat
memanfaatkan terapi akupunktur ini khususnya pada nyeri kepala primer yang nantinya dapat
mengurangi efek samping dari penggunaan obat-obatan.

Peneliti selanjutnya diharapkan untuk menggunakan desain dan jenis penelitian yang
berbeda terutama menggunakan desain penelitian yang memiliki kelompok kontrol guna
membandingkan terapi akupunktur dengan kelompok kontrol yang menggunakan terapi
farmakologis seperti penggunaan obat analgesik atau membandingkan terapi akupunktur
dengan terapi nonfarmakoligis lainnya.

Peneliti selanjutnya disarankan untuk menganalisis factor-faktor yang dapat


mempengaruhi penurunan intensitas nyeri seperti keletihan, stres dan lain-lain. Peneliti
selanjutnya juga dapat mempertimbangkan untuk meneliti efek jangka panjang dari terapi
akupunktur terhadap klien dengan nyeri kepala primer.
DAFTAR PUSTAKA

Bali Post. (2009). Waspadai Nyeri pada Kepala, (online)

(http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detail beritaminggu&kid=24&id=2567 7,

diakses 15 Januari 2015).Jevuska.(2012).Akupunktur Bagian Anestesi online


http://www.jevuska.com/2012/1 1/17/ mekanisme-kerja-teknik- akupuntur-tusuk-jarum/
diakses

tanggal 10 Juni 2015)

Kartika D. (2011). Akupunktur Sebagai Terapi Pada Frozen Shoulder. Bagian


Akupunktur/Biologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha. 11 (1) : 1411-9641

Keristianto D. Suardana I W. Sumarni M. (2014). Pengaruh Terapi Akupunktur Terhadap

Penurunan Nyeri Lutut Pada Pasien Dengan Osteoartritis Di Praktik Perawat Mandiri Latu

Usadha, Abiansemal. 2 (3) : 4

Kiswojo, Widya D.K. Lestari A.S. (2009). Akupunktur medik dan perkembangannya. Jakarta:
Kolegium Akupunktur Indonesia

Oshinaike, Ojo, Okubadejo, Ojelabi, and Dada. (2014). Primary Headache Disorders at a
Tertiary Health Facility in Lagos, Nigeria: Prevalence and Consultation Patterns

Potter dan Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.Primadila.
(2014).(Online) (http://www.panadol.com/id/info rmasi-kesehatan/nyeri- dewasa/perbedaan-
penyebab- sakit-kepala-pria-dan- wanita.html diakses tanggal 21 Desember 2014)

HIPNOTERAPI MENGURANGI NYERI PASCA PEMBEDAHAN


PADA ANAK USIA SEKOLAH

Imelda Yanti, Yeni Rustina, Kuntarti


Email: yanti.imelda@rocketmail.com
Keperawatan Anak, Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta
Departemen Keperawatan Anak, Fakultas Ilmu Keperawatan universitas Indonesia
Abstrak
Anak mempunyai keterbatasan dalam mengekspresikan nyeri pasca pembedahan yang
dialaminya, sehingga pengelolaan nyeri pada anak kurang mendapat perhatian. Hipnoterapi
telah dikembangkan menjadi terapi komplementer dan alternatif yang dapat mengurangi nyeri
dengan memberdayakan alam bawah sadar. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh hipnoterapi terhadap perubahan skor nyeri pasca pembedahan pada anak usia
sekolah, menggunakan desain quasy eksperimen dengan rancangan one group pretest-postest.
Penelitian ini dilakukan pada 14 anak usia sekolah yang telah menjalani pembedahan yang
dipilih dengan consecutive sampling, menggunakan uji statistik paired t test. Hasil penelitian
menunjukkan hipnoterapi menurunkan skor nyeri sebesar 5,071 (p<0,001, t=25,992, CI 95%
4,650-5,493). Hipnoterapi dapat direkomendasikan menjadi intervensi nonfarmakologi dalam
menurunkan intensitas nyeri.
Kata kunci : hipnoterapi, nyeri, pasca pembedahan, anak usia sekolah
Abstract
Children have limitation in expressing pain sensation, so pediatric pain management gets less
attention. Hypnotherapy was developed to be a complementary and alternative therapy for
reducing pain by empowering the subconscious. The purpose of this study was to determine
effect of hypnotherapy to the changes of operative pain score in school-aged children with quasy
experiment design with one group pretest-posttest design. Sample size of 14 post operative
school-aged children were selected by consecuyive sampling technique. The results of paired t
test analysis, hypnotherapy significantly decreased pain by 5,071 (p<0,001,t=25,992, CI
95%=4,650-5,493). Thus, hypnotherapy can be recommended as a non pharmacological
intervention to reduce pain.
Keywords: hypnotherapy; pain; post operative; school-age children

PENDAHULUAN
Anak yang mengalami pembedahan akan terus menerus mengalami nyeri, dengan skala
nyeri sedang sampai berat. Mereka seringkali mendapatkan pengobatan nyeri di bawah standar,
khususnya pasca pembedahan, karena anak dianggap tidak bisa merasakan nyeri, dan tidak dapat
mentoleransi nyeri dengan lebih baik dibandingkan pada orang dewasa. Sesungguhnya anak
dapat menunjukkan perilaku nyeri dan memiliki toleransi terhadap nyeri sejalan dengan
pertambahan usia. Untuk itu, diperlukan ketelitian perawat dalam melakukan pengkajian nyeri.
Berdasarkan pengamatan pasien anak pasca pembedahan yang dirawat di rumah sakit akan
diberikan analgetik secara otomatis berdasarkan program medis sesuai interval yang disarankan.
Tidak jarang anak merasakan nyeri setelah beberapa jam pemberian analgetik, sebelum masa
pemberian analgetik berikutnya. Pada kondisi tersebut anak akan mendapatkan analgetik
tambahan selain yang diberikan secara rutin, kemudian dilakukan observasi selama dua jam, bila
masih nyeri tentunya akan mendapatkan tambahan anagetik sampai akhirnya dikonsulkan kepada
tim manajemen nyeri yang mayoritas juga menggunakan terapi farmakologi. Peran perawat
dalam melakukan pengkajian nyeri yang tepat merupakan langkah awal dalam manajemen nyeri
yang sangat penting, karena dengan pengkajian yang tepat, maka anak akan mendapatkan terapi
yang adekuat dan terbebas dari rasa nyeri. Bebasnya seorang anak terhadap nyeri merupakan hak
anak dan kebutuhan yang paling mendasar, karena nyeri merupakan sumber stress bagi anak dan
menimbulkan trauma. Hipnoterapi merupakan suatu intervensi psikologis. Hipnoterapi
mengkondisikan seseorang untuk relaksasi sehingga lebih mudah menerima saran dari therapist.
Hipnoterapi sengaja memanfaatkan kondisi trance atau kondisi berkhayal untuk menghasilkan
perubahan baik pada alam sadar maupun alam bawah sadar pasien. Dengan demikian hipnoterapi
memanfaatkan kondisi psikologis pasien untuk mengubah persepsi rasa sakit termasuk nyeri
menjadi perasaan yang lebih nyaman. Hipnosis telah terbukti dapat menurunkan nyeri pada anak
dan remaja yang menderita kanker, pada anak yang akan diberikan tindakan invasif, dan pada
pasien dewasa pascabedah. Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui apakah dengan diberikan
hipnoterapi pada anak usia sekolah dapat mengurangi nyeri akibat pembedahan, sehingga dapat
mengurangi penggunaan analgetik melebihi yang diprogramkan secara rutin.

METODE
Penelitian ini adalah quasy eksperiment dengan desain one group pretest-posttest atau desain pre
and posttest without control untuk menguji intervensi hipnoterapi pada sekelompok anak usia
sekolah pascabedah tanpa kelompok pembanding. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 14
orang, dengan kriteria inklusi pasca pembedahan hari pertama, anak dan orang tua menyatakan
kesediaan menjadi responden. Sementara kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah anak yang
mengalami gangguan dalam berkomunikasi, anak yang telah mendapatkan analgetik, dan anak
pasca pembedahan yang mengalami distres pernafasan dan kegawatan lainnya.

HASIL
Total responden penelitian ini sebanyak 14 pasien anak pasca pembedahan. Hasil Penelitian ini
menunjukkan rerata usia anak yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 9,29 (2,46)
tahun. Usia anak minimal 6 tahun dan maksimal 12 tahun, berdasarkan estimasi interval diyakini
bahwa 95% rerata usia anak berada diantara 7,86 sampai 10,71 tahun. Karakteristik responden
berdasarkan jenis kelamin didapatkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dengan presentase
sebesar 8 orang (57,1 %), sementara perempuan sebanyak 6 orang (42,9%).

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia Di RSUP Fatmawati (n=14)


Variabel Rerata SD Min-Maks CI 95%
Usia Anak 9,29 2,46 6-12 7,85-10,71

Hasil penelitian skor nyeri pascabedah responden sebelum dan sesudah diberikan intervensi
hipnoterapi ditunjukkan dalam table berikut:
Tabel 2. Rerata Skor Nyeri Sebelum dan Sesudah
Hipnoterapi (n=14)
Skor Mean Media SD Min- 95% CI lower-
Nyeri Mak upper
Sebelu 6,36 6,50 0,745 5-7 5,93-6,79
m
Sesudah 1,29 1,00 0,825 0-3 0,81-1,76
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa rerata skor nyeri sebelum hipnoterapi adalah 6,36 (0,745).
Diyakini bahwa rerata skor nyeri sebelum diberikan hipnoterapi berada pada 5,93-6,79 dengan
derajat kepercayaan 95%. Sementara rerata skor nyeri sesudah hipnoterapi adalah 1,29 (0,825).
Diyakini bahwa rerata skor nyeri sesudah diberikan hipnoterapi berada pada 0,81-1,76 dengan
derajat kepercayaan sebesar 95%.

Tabel 3. Gambaran Skor Nyeri Sebelum dan Sesudah Hipnoterapi Berdasarkan


Karakteristik di RSUP
Fatmawati (n=14)
Karakteristik Skor Nyeri: Mean (SD) Perubahan
Skor Nyeri
Sebelum Sesudah
Jenis Kelamin
Laki-Laki 6,37 (0,77) 1,25 (0,7) -5,12 (0,64)
Perempuan 6,33 (1,54) 1,33 (1,03) -5 (1,5)
Usia
>9,29 Tahun 6,25 (1,52) 1,5 (0,69) -4,75 (1,46)
<9,29 Tahun 6,25 (0,53) 1 (0,75) -6,25 (0,48)

Skor nyeri pada jenis kelamin laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, tetapi setelah diberikan
hipnoterapi terdapat perubahan skor nyeri yang lebih besar yaitu berkurang hingga rerata 5,12.
Skor nyeri pada rerata usia lebih besar dari 9,29 tahun sama pada usia kurang dari 9,29 tahun.
Tetapi setelah diberikan hipnoterapi terdapat perubahan nyeri yang lebih besar pada usia anak
yang berusia kurang dari 9,29 tahun. Pada uji normalitas dengan menggunakan skewness,
didapatkan bahwa data berdistribusi normal, yaitu berada antara -2 sampai dengan 2. Uji statisik
yang digunakan adalah paired t test.

Tabel 4. Perbedaan Rerata Skor Nyeri Pascabedah Sebelum dan Sesudah Hipnoterapi di
RSUP Fatmawati, Juli 2013 (n=14)
95 % CI
Skor Mean SD SE Upper Lower T P
Nyeri difference
s
Sebelum 5,071 0,7 0,1 4,6 5,4 25,9 0,00
Intervensi
Sesudah 30 95 50 93 92 0*
Intervensi
*bermakna pada α=0,05
Hasil analisis pada tabel 4 menunjukkan terjadi penurunan skor nyeri pascabedah sebesar 5,07
(0,730) setelah dilakukan hipnoterapi. Analisis lebih lanjut didapatkan ada perbedaan skor nyeri
sebelum dan sesudah hipnoterapi (p<0,001). Dengan demikian ada pengaruh hipnoterapi
terhadap perubahan skor nyeri pascabedah.

PEMBAHASAN/DISKUSI
Pada penelitian ini didapatkan bahwa penggunaan hipnoterapi dapat menurunkan skor
nyeri sebesar 5,07 (p<0,001) pada anak usia sekolah yang menjalani pembedahan, dengan skor
nyeri sebelum intervensi sebesar 6,32 (SD: 0,745), dan sesudah intervensi sebesar 1,29 (SD:
0,825), hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan Hastuti (2009) yang menunjukkan
bahwa hipnoterapi dapat menurunkan skor nyeri sebesar 3,56. Hipnoterapi merupakan suatu
bentuk terapi non farmakologi yang saat ini dikembangkan menjadi terapi komplementer dan
alternatif yang dapat mengobati nyeri dengan memberdayakan alam bawah sadar. Hipnoterapi
menstimulasi otak untuk melepaskan neurotransmitter, zat kimia yang terdapat di otak, yaitu
endorphin yang berfungsi untuk meningkatkan mood sehingga dapat merubah penerimaan
individu terhadap sakit atau gejala fisik lainnya. Pada saat rileks aliran darah akan lancar,
neurotransmitter penenang akan dilepaskan dan sistem saraf bekerja dengan baik. Pada saat
kondisi relaksasi tercapai, maka secara alamiah gerbang pikiran bawah sadar akan terbuka
sehingga mudah menerima sugesti terapi yang diberikan. Pada kondisi tersebut gerbang nyeri
yang disebut substansia gelatinosa pada kornu dorsalis medulla spinalis tertutup, kemudian
impuls nyeri yang ditransmisikan ke otak berkurang sehingga persepsi nyeri menjadi berkurang
atau hilang. Hipnoterapi akan mempengaruhi kerja otak baik aspek kognitif maupun emosi yang
menghasilkan relaksasi dan persepsi positif. Hipnoterapi yang dilakukan dengan memanfaatkan
kondisi psikologis pasien untuk mengubah persepsi rasa sakit termasuk nyeri menjadi perasaan
yang lebih nyaman. Lama efek dari hipnoterapi ini dapat bertahan sampai 8 jam. Hasil penelitian
ini juga menunjukkan bahwa efek dari hipnoterapi dapat bertahan hingga 6-8 jam, sehingga
dapat memberikan jarak interval yang sesuai dengan rasional interval analgetik yang diberikan
pada umumnya. Kolcaba (2003) menyatakan bahwa kebutuhan rasa nyaman dalam konteks
pengalaman secara fisik, dapat diperoleh dengan terbebasnya individu dari rasa nyeri dengan
melakukan intervensi. Hipnoterapi dapat menjadi pilihan utama dalam memenuhi kebutuhan rasa
nyaman tersebut, karena baik pada tahapan ease, relief, maupun transcendence teknik
hipnoterapi dapat memfasilitasi dalam mendapatkan, meningkatkan serta mempertahankan rasa
nyaman melalui anchor yang dapat dilakukan terus menerus sepanjang hidup individu.
Kebutuhan akan rasa nyaman secara fisik menurut Kolcaba (2003) dapat diperoleh dengan
terbebasnya individu dari rasa nyeri dengan melakukan intervensi. Anak yang mengalami nyeri
pasca pembedahan membutuhkan intervensi segera dalam upaya menurunkan atau
menghilangkan rasa nyerinya. Intervensi yang diberikan dapat berupa farmakologi maupun non
farmakologi. Selain teknik relaksasi nafas dalam dan distraksi, hipnoterapi dapat menjadi pilihan
terapi non farmakologi yang diberikan pada anak yang dilakukan pembedahan. Hipnoterapi
merupakan suatu intervensi yang dapat membantu anak menghilangkan nyeri akibat prosedur
medik.

KESIMPULAN
Penggunaan hipnoterapi terbukti efektif menurunkun skor nyeri pada anak usia sekolah
yang mengalami pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Twycross, A., & Finley, G. A. (2013). Children and parent’s perception of postoperative pain
management: A mixed methods study. Diperoleh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23651327 pada Maret 2012
2. Hockenberry, M., & Wilson, D. (2009). Wong’s essential of pediatric nursing. 8th edition. St
Louis: Mosby Elsevier.
3. RSUP Fatmawati. (2012). Buku saku panduan JCI. RSUP Fatmawati go to JCI 2013. Jakarta:
Author.
4. Rogovix, A.L., & Goldman, R.D. (2007). Hypnosis for treatment of pain in children. J.
Canadian Family Physician, 53 (5), 823-825.
5. Cawthorn, A., & Mackereth, P. A. (2010). Integrative hypnotherapy. Complementary
approaches in clinical case. London : Churchill Livingstone
6. Hastuti, N. P. (2011). Pengaruh hipnoterapi terhadap perubahan skala nyeri pasien fraktur
ektremitas di
ruang bedah RSU Muntilan. Diperoleh dari http://jurnal.unismus.ac.id/index.php/psn?
2012010/article/view/344/380pada Februari 2013.
7. Rankin- Box, D., & Williamson, E.M. (2006). Complementary medicine: A guide for
pharmacists. London: Churchill Livingstone.
8. Potter, P.A., & Perry A.G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan
praktik. Edisi 4. Vol 1. (Yasmin Asih, dkk, penerjemah). Jakarta: EGC.
9. Kolcaba, K. (2003). Comfort theory and practice: A vision for holistic health care and
research. New York: Springer Publishing Company.
10. Kolcaba, K., & DiMarco, M. (2005). Comfort theory and its application to pediatric nursing.
A Pediatric Nursing, 31 (3), 187-94.
11. Wiroorpanich, W. (2006)., Hypnosis in children undergoing painful medical procedures.
Songkla Medicine Journal, 24 (2), 133-140. Diperoleh dari www. Medinfo.psu.ac.th/ smj2/ smj
24_2/pdf24-2/08vantanne.pdf pada Maret 2013.

Anda mungkin juga menyukai