Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN DAN PERILAKU

KESEHATAN GIGI DAN MULUT TERHADAP ORAL

HYGINE PADA SISWA SISWI SEKESAL

PRG JAKARTA PUSAT

PROPOSAL SKRIPSI

1
2

Oleh :

REVLITA ROSADI

NIM. 10614028

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA

KEDIRI

2020
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan gigi dan mulut merupakan hal yang sering diabaikan oleh banyak

orang, padahal gigi dan mulut merupakan “pintu masuk” bagi bakteri dan kuman

yang dapat mengganggu organ tubuh lainnya. Kesehatan gigi dan mulut

merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan oleh kesehatan secara

umum. Organisasi Kesehatan Dunia / World Health Organization (WHO) pada

tahun 2012 mendefinisikan kesehatan gigi dan mulut sebagai keadaan bebas dari

penyakit mulut dan wajah dan kanker tenggorokan, infeksi dan luka pada mulut,

penyakit gusi dan jaringan periodontal, dan gangguan yang membatasi kapasitas

seorang individu dalam mengunyah, menggigit, tersenyum, berbicara dan

kesejahteraan psiko-sosial. Hal ini menunjukkan pentingnya kebersihan mulut,

bukan hanya untuk mencegah penyakit mulut namun sebagai pendorong

kepercayaan diri seorang individu. Kesehatan gigi dan mulut tidak semata-mata

mengenai gigi, tetapi juga berhubungan dengan gusi dan tulang pendukung dan

jaringan lunak pada mulut, lidah dan bibir. Tiga kelompok utama penyakit gigi

dan mulut adalah karies, penyakit gusi (atau dikenal sebagai penyakit periodontal)

dan kanker mulut.

Penyakit gigi dan mulut di Indonesia, merupakan kelompok penyakit yang

paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat dengan angka prevalensi 61%

penduduk, dan persentase tertinggi pada golongan umur lebih dari 55 tahun (92%)
4

berdasarkan hasil studi morbiditas SKRT-Surkesnas 2010. Persentase penduduk

Indonesia yang mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut berdasarkan

Riskesdas tahun 2013 adalah 25,9%. Jumlah ini meningkat 2,5% dibandingkan

Riskesdas tahun 2007 sebelumnya yaitu sebanyak 23,4%. Provinsi yang memiliki

masalah dengan gigi dan mulut yang cukup tinggi adalah Gorontalo, Aceh,

Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan

Selatan dan tertinggi berada di Provinsi Sulawesi Selatan dengan prevalensi

36,2%. Berdasarkan penelitian, hanya 41% penduduk Eropa yang memiliki semua

gigi permanen yang alami bahkan 13% responden mengaku hanya memiliki 9 gigi

alami yang tersisa. Berdasarkan penelitian Deyu Hu yang dikutip oleh

Bangramian dkk (2009) di China pada tahun 2008, sebanyak 350.000 responden

yang berumur 5-74 tahun memiliki prevalensi karies 100%. Hal ini menyebabkan

masalah kesehatan gigi dan mulut masih menjadi masalah yang besar dihadapi

oleh dunia saat ini karena oral hygiene adalah salah satu faktor penyebab masalah

kesehatan gigi dan mulut yang harus di tangani secara serius karna dapat

berpangaruh dengan kesehatan anggota tubuh lain nya yang berkesinambungan.

Kebersihan gigi dan mulut yang baik menunjukkan kontribusi yang besar

dalam mencegah penyakit mulut. Menurut WHO, prevalensi karies gigi di seluruh

dunia sebesar 60-90% pada anak-anak dan hampir mendekati 100% pada orang

dewasa. Kebersihan gigi dan mulut yang buruk merupakan penyebab munculnya

karies gigi dan menyebabkan kehilangan gigi khususnya pada gigi permanen.

Menurut WHO (2004) dan Magdarina (2009), penyakit periodontal bersama


5

dengan penyakit karies gigi, kehilangan gigi secara dini, kanker mulut dan faring

serta penyakit dalam rongga mulut yang berhubungan dengan HIV/AIDS

merupakan salah satu beban global di berbagai negara. Seperti diketahui penyebab

utama gingivitis atau keradangan gusi adalah plak. Plak bila dibiarkan akan

menyebabkan kerusakan yang lebih lanjut hingga tanggalnya gigi.

Plak yang tidak dibersihkan dari lapisan luar gigi akan menjadi tempat

berkumpulnya mikroorganisme. Mikroorganisme normal yang terdapat di dalam

mulut, hidup harmonis bersama-sama dengan jaringan sebagai host, untuk

mempertahankan keadaan sehat. Mikroorganisme ini penting artinya sebagai

pelindung dari serangan mikroorganisme patogen. Streptococcus Sanguissalah

satu mikroorganisme yang berfungsi melindungi kolonisasi pada permukaan gigi

terhadap serangan Actinobacillus Actinomycetemcomitans (A A). Komposisi

mikroorganisme yang berasal dari gusi yang sehat hampir sama dengan komposisi

plak supragingiva terutama terdiri dari mikroorganisme fakultatif anaerob, kokus

dan rod gram positif serta sedikit negatif anaerob. Pada jaringan periodonsium

yang sehat pada daerah supragingiva, kuman-kuman terdiri dari kokus gram

positif, yaitu Streptococcus Sanguis, Streptococcus Mitis, Streptococcus

Salivariusdan Lactobacillus. Kuman-kuman ini mampu membentuk zat nutrisi

dan lingkungan baru yang memacu pertumbuhan kuman lain, kuman gram negatif

dan bentuk filamen akan bertambah (Carranza 2003, 2006). Tingginya

penggunaan oksigen oleh kuman-kuman fakultatif akan menurunkan oksigen,

akibatnya pertumbuhan kuman anaerob akan terpacu. Bila kuman-kuman

supragingiva terus tumbuh dan maturasi, maka akan terjadi gingivitis.Di samping
6

itu, mikroorganisme mendukung perubahan plak yang tidak dibersihkan sehingga

menjadi karang gigi atau kalkulus. (Carranza, 2003, 2006).

Untuk menilai kebersihan gigi-mulut menurut WHO, digunakan indeks

OHIS (Oral Hygiene Indeks Simplified) (Carranza, 2003, 2006).Tujuan

penggunaan OHIS ini adalah mengembangkan suatu teknik pengukuran yang

dapat dipergunakan untuk mempelajari epidemiologi dari penyakit periodontal

dan kalkulus, untuk menilai hasil dari cara sikat gigi, menilai kegiatan kesehatan

gigi dari masyarakat, serta menilai efek segera dan jangka panjang dari program

pendidikan kesehatan gigi. Menurut Profil Kesehatan Gigi (1999), 61,5%

penduduk Indonesia tidak mengetahui cara menyikat gigi yang baik, yaitu setelah

makan pagi atau sarapan pagi dan sebelum tidur malam. Pada penelitian di

Finlandia tahun 2006 dan Amerika tahun 2005, menyatakan bahwa perilaku

berpengaruh terhadap frekuensi menyikat gigi, kebersihan gigi-mulut, dan

periodontitis, namun dengan pendidikan yang baik, faktor psikososial tersebut

bisa dikendalikan (Bornell et al., 2004 dan Mettovaara et al., 2006). Pada

pemeriksaan klinis, adanya gingivitis terlihat warna kemerahan pada gusi,

perdarahan saat probing dan biasanya tanpa adanya rasa sakit. Penyebab

gingivitisdan penyakit periodontal adalah diabaikannya kebersihan mulut,

sehingga terjadilah akumulasi plak yang mengandung berbagai macam bakteri.

Selain itu, suasana lingkungan akan menunjang terjadinya plak sub gingiva

(Glickmann, 1983). Gingivitis apabila dibiarkan dapat berlanjut menjadi

Periodontitis (Carranza, 2003, 2006). Untuk mengukur daerah permukaan gigi

yang tertutup oleh oral debris dan kalkulus digunakan Indeks OHIS. OHISi adalah
7

keadaan kebersihan mulut dari responden yang dinilai dari adanya sisa makanan

yang menempel di gigi atau debris dan kalkulus (karang gigi) pada permukaan

gigi dengan menggunakan indeks Oral Hygiene Index Simplified dari Green and

Vermillion(1964) yang merupakan jumlah indeks debris (DI) dan indeks kalkulus

(CI). (Carranza, 2003, 2006).

Skor OHIS: DI + CI Derajat kebersihan mulut secara klinik dihubungkan

dengan skor OHI-S dengan skor penilaian sebagai berikut. Skor Baik 0,0–1,2,

skor sedang 1,3–3,0, skor buruk 3,1–6,0

Menurut Green & Vermillion, 1964, menentukan enam permukaan gigi pilihan

yang dapat mewakili semua segmen anterior dan posterior mulut berdasarkan

pemeriksaan yang dilakukan pada seluruh mulut. Untuk pemeriksaan OHI-Sini

digunakan kaca mulut, sonde yang bengkok tanpa disclosing solution (Carranza,

2003, 2006). Keenam gigi yang diperiksa pada OHI-Sadalah permukaan fasial

atau buccaldari gigi 6 1 6dan permukaan lingualdari gigi 6 1 6. Tiap permukaan

gigi dibagi secara horizontal menjadi tiga bagian:1/3 gingival, 1/3 bagian tengah

dan 1/3 incisal. Untuk pemeriksaan DI-S (debris indeks) dan CI-S digunakan

sonde yang diletakkan pada 1/3 incisaldan digerakkan ke 1/3 gingival sesuai

dengan kriteria bila

0 : tidak ada debris/tidak ada kalkulus

1 : debris lunak/kalkulus supragingival menutupi tidak

lebih dari 1/3 permukaan gigi,

2 : debris lunak/kalkulus supragingival menutupi lebih

dari 1/3 permukaan, tetapi tidak lebih dari 2/3


8

permukaan gigi

3 : debris lunak/kalkulus supragingival menutupi lebih

dari 2/3 permukaan gigi.

Skor dari debris indeks/kalkulus per orang diperoleh dengan cara

menjumlahkan skor debris/kalkulus tiap permukaan gigi dan dibagi oleh jumlah

dari permukaan gigi yang diperiksa.

Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Remaja

dibatasi secara luas sebagai individu dengan rentang usia 10-18 tahun. Pada masa

ini terjadi banyak pembahan, baik hormonal, fisik, psikologis hingga lingkungan

sosial. Menurut Akademi Pediatri Amerika (American Academy of Pediatric

Dentistry / AAPD), remaja memiliki kebutuhan yang berbeda disebabkan: (1)

memiliki potensi karies yang tinggi, (2) terjadi peningkatan risiko luka trauma dan

penyakit periodontal, (3) memiliki kecenderungan gizi yang buruk, (4)

meningkatnya keinginan dalam estetika dan kesadaran, (5) gabungan

kompleksitas antara perawatan ortodontik dan restoratif, (6) fobia terhadap

perawatan gigi, (7) berpotensi untuk menggunakan tembakau, alkohol dan obat-

obatan lainnya, (8) berpotensi hamil, (9) gangguan makan, dan (10) memiliki

kebutuhan sosial dan psikologis yang unik. Di Indonesia, persentase remaja usia

12, 15 dan 18 tahun yang mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut berturut-

turut ialah 24,8%, 23,1% dan 24,0%. Masalah kesehatan gigi dan mulut dapat

berdampak pada pengunyahan, kegiatan di sekolah, kepercayaan diri dan

perkembangan sosial di kalangan remaja.


9

Salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut adalah

tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan mengenai kesehatan gigi

dan mulut diperoleh melalui proses kognitif yang kompleks. Penelitian

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan pengetahuan

mengenai kesehatan mulut dan status kesehatan mulut yang lebih baik. Sikap

merupakan suatu pengetahuan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai

dengan pengetahuan itu. Tindakan adalah tingkat pengetahuan yang berbaur

dengan sikap dan dimiliki oleh kontrol pribadi seseorang. Hal ini sejalan dengan

penelitian Rosdewati (2005) pada siswa SMU di Kabupaten Langkat yang

mengatakan bahwa pengetahuan siswa yang cenderung baik kurang memotivasi

siswa untuk bersikap dan melakukan tindakan pemeliharaan kesehatan gigi dan

mulut yang baik pula, sehingga status kesehatan gigi dan mulut relatif rendah.

Sekolah Menengah Kejuruan merupakan salah satu jawaban terhadap

problem Nasional berupa penggangguran, sebab para siswa di didik selama 3

(tiga) tahun dengan kurikulum berbasis kompetensi yang di siapkan untuk

memasuki dunia kerja dan sekaligus di formulasikan untuk melanjutkan ke

jenjang pendidikan tinggi. SMK PRG Sekesal Jakarta salah satu institusi yang

berpengalam dalam mendidik calon tenaga kerja kesehatan jenjang menengah

telah menghasilkan tenaga kesehatan yang terampil.

tetapi sampai dengan hari ini belum ada penelitian yang di lakukan di

sekolah ini untuk melihat status kesehatan gigi dan mulut siswa-siswi yang

bersekolah di SMK kejuruan yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut.
10

Pelajaran yang di jalani saat siswa-siswi memasuki kelas 10 (sepuluh)

mereka akan diajarkan ilmu kesehatan gigi dan mulut, strerilasi alat, melakukan

praktek dental anatomi dengan pelajaran carving, determinasi alat dan determinasi

gigi, diajarkan tentang komunikasi terapeutik. Pada saat memasuki kelas 11

(sebelas) siswa-siswi mulai memasuki dunia praktek yang sekarang yaitu

melakukan praktikum Dental Assistant dengan target pasien yang sudah

ditentukan dengan beberapa bidang yaitu praktek SP (Spesific Protection) ada

scalling dan flour, bidang OD (Oral Diagnostic), Exodontia gigi sulung, dan

Konservasi serta DHE (Dental Head Education) pada saat kelas 12 (dua belas)

melakukan praktek yang sama, hanya ada tambahan praktek kerja di Ladokgi RE

Martadinata serta melakukan praktek kerja lapangan di beberapa puskesmas di

Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh tingkat pengetahuan dan perilaku kesehatan gigi dan

mulut terhadap oral hygiene pada siswa-siswi di Sekesal PRG Jakarta Pusat.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh tingkat

pengetahuan dan perilaku kesehatan gigi dan mulut terhadap oral hygiene pada

siswa-siswi di Sekesal PRG Jakarta Pusat.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Masyarakat
11

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi

kepada masyarakat mengenai pengaruh tingkat pengetahuan dan perilaku

kesehatan gigi dan mulut terhadap oral hygiene pada siswa-siswi di

Sekesal PRG Jakarta Pusat, sehingga pihak sekolah maupun masyarakat

secara luas dapat meningkatkan pengawasan terhadap oral hygiene

2. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi

kepada pemerintah mengenai perlunya peningkatan perlunya peningkatan

derajat kesehatan gigi dan mulut dalam lingkup pendidikan dan sebuah

populasi

3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

pengaruh tingkat pengetahuan dan perilaku kesehatan gigi dan mulut

terhadap oral hygiene pada siswa-siswi di Sekesal PRG Jakarta Pusat

sehingga dapat di jadikan sebagai bahan penambah gagasan serta bahan

pertimbangan dalam pengembangan penelitian lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai