PENDAHULUAN
1
2
merupakan faktor terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel
(FKUI, 2005).
Daya penularan dari seorang penderita di tentukan banyaknya kuman yang
di keluarkan dari parunya. Dalam BTA positif pada penderita TB semakin tinggi
derajat positif hasil pemeriksaan dahak maka semakin infeksius penderita
tersebut, begitu pula dengan sebaliknya. Droplet yang mengandung kuman
dapat bertahan dalam beberapa jam di udara dengan suhu kamar (Manalu,
2010; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan sinar
matahari dan sinar ultraviolet. Ada dua macam mikobakterium tuberculosis yaitu
tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang
menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak
ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang
rentan terinfeksi TBC ini bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah
terinfeksi melalui udara. Bakteri juga dapat masuk ke sistem pencernaan
manusia melalui benda/bahan makanan yang terkontaminasi oleh bakteri.
Sehingga dapat menimbulkan asam lambung meningkat dan dapat menjadikan
infeksi lambung. (Wim de Jong, 2005).
1.1.3 Patofisiologi
Menurut Somantri (2008), infeksi diawali karena seseorang menghirup basil
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju
alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan
Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari
paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke
bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru
(lobus atas). Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan respons dengan
melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis
(menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan
(melisiskan) basil dan jaringan normal. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu
2-10 minggu setelah terpapar bakteri.Interaksi antara Mycobacterium
tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membentuk
sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma terdiri atas
gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding.
Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian
3
tengah dari massa tersebut 8 disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas
makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi
yang berbentuk seperti keju (necrotizing caseosa).Hal ini akan menjadi klasifikasi
dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif.
Menurut Widagdo (2011), setelah infeksi awaljika respons sistem imun
tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah
dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali
menjadi aktif, Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga
menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkus.Tuberkel yang ulserasi
selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut.Paru-paru yang
terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia,
membentuk tuberkel, dan seterusnya.Pneumonia seluler ini dapat sembuh
dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi
lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami
nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan
memberikan respons berbeda kemudian pada akhirnya membentuk suatu kapsul
yang dikelilingi oleh tuberkel.
1.1.4 Manifestasi klinis /Gejala
Gejala klinik tuberkulosis pada anak tidak spesifik. Hal ini merupakan
hambatan di dalam deteksi dini penyakit ini sehingga pemeriksaan pembantu
seperti: uji tuberkulin, darah rutin, dan rontgen dada mempunyai arti penting
dalam diagnosis tuberkulosis pada anak (Hartoyo dan Roni, 2002).
Pada anak-anak gejala TBC terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala
khusus. Gejala umum, meliputi:
a. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.
b. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria,
atau infeksi saluran napas akut) dapat disertai dengan keringat malam
c. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering di
daerah leher, ketiak, dan lipatan paha.
d. Gejala dari saluran napas, misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah
disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
4
e. Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda
cairan dalam abdomen.
Gejala khusus, sesuai dengan bagian tubuh yang diserang, misalnya:
a. TBC kulit atau skrofultoderma
b. TBC tulang dan sendi
c. TBC otak dan saraf
d. Gejala mata
1.1.5 Cara Penularan
Penyakit TBC ditularkan dari orang ke orang, terutama melalui saluran
napas dengan menghisap atau menelan tetes-tetes ludah/dahak (droplet
infection) yang mengandung basil dan dibatukkan oleh penderita TBC terbuka.
Atau juga karena adanya kontak antara tetes ludah/dahak tersebut dan luka di
kulit. Untuk membatasi penyebaran perlu sekali discreen semua anggota
keluarga dekat yang erat hubungannya dengan penderita (Tjay dan Rahardja,
2007).
Penularan terjadi melalui inhalasi partikel menular di udara yang bertebaran
sebagai aerosol. Lama kontak antara sumber dan calon kasus baru
meningkatkan resiko penularan karena semakin lama periode pemajanan,
semakin besar resiko inhalasi. Mikobakteri memiliki dinding berminyak yang kuat.
Dapat terjadi infeksi tuberkulosis (primer) dengan atau tanpa manifestasi penuh
penyakit (infeksi pascaprimer atau sekunder) (Gould dan Brooker, 2003).
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Selama kuman TBC masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar
dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem
saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular (Zulkoni, 2010). Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di
5
4. Etambutol
Derivat etilendiamin berkhasiat spesifik terhadap M. tuberculosis dan M.
atipis’ tetapi pada dosis terapi kurang efektif dibanding obat-obat primer. Dengan
mekanisme kerjanya adalah penghambatan sintesa RNA pada kuman yang
sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding
sel (Tjay dan Rahardja, 2007).
Indikasi dari etambutanol adalah tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat
lain, sedangkan kontraindikasinya anak di bawah 6 tahun, neuritis optic,
gangguan visual. Efek samping dari etambutanol adalah neuritis optik, buta
warna merah/hijau, neuritis primer (Anonim, 2002). Dosis yang diberikan untuk
etambutol adalah oral sehari pakai 20- 25mg/kg/hari selalu dalam kombinasi
dengan INH, intravena 1 dd 15mg/kg dalam 2 jam (Anonim, 2000). Resistensi
etambutol timbul apabila digunakan secara tunggal tidak dengan kombinasi
dengan antibiotik lain. Etambutol dapat berinteraksi dengan sulfinpirazon di mana
efek urikosurik dari sufinpirazon dapat tidak timbul karena pengaruh etambutol
(Wattimena dkk, 1999).
5. Setreptomisin
Saat ini sudah jarang digunakan kecuali untuk kasus resistensi, kadar
obatnya dalam plasma harus diukur terutama pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Aminoglikosida ini bersifat bakterosida dan tidak diserap melalui
saluran cerna sehingga harus diberikan secara parentral. Toksisitasnya
merupakan keberatan besar karena dapat merusak saraf otak yang melalui
organ keseimbangan dan pendengaran Tjay dan Raharja, 2007).
Obat-obat sekunder Obat-obat sekunder diberikan untuk tuberkulosis yang
disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek
samping yang tidak dapat ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah
kapreomisin, sikloserin, 11 makrolide generasi baru (asotromisin dan
klaritromisin), quinolon dan protionamid (Anonim, 2000).
1.1.7 Jenis Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Apabila dilakukan pemeriksaan pada awal perkembangan penyakit
biasanya sulit atau tidak ditemukan kelainan.. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior ,
8
serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
kelainan dengan mendengarkan suara nafas dengan menggunakan stetoskop,
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,
ronki basah, dan pada tanda lain adalah penarikan paru, diafragma &
mediastinum (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
b. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen
dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-
pagi-sewaktu (SPS) (Kementrian Kesehatan RI, 2012).
c. Pemeriksaan Bakteriologik
Laboratorium Mikroskopis merupakan penunjang utama untuk tata laksana
pasien Tuberkulosis. Ketersediaan perangkat laboratorium mikroskopis tidak
dapat dipisahkan dalam memberikan pelayanan tata laksana pasien TB selain
obat anti tuberkulosis (OAT). Faktor-faktor yang mempengaruhi pemeriksaan
dahak mikroskopis TB adalah faktor di dalam laboratorium (pembuatan sediaan,
pembacaan sediaan, pencatatan dan pelaporan) dan faktor di luar laboratorium
(pasien, petugas kesehatan, pengambilan sampel, pengadaan logistik, pengelola
program)
d. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CTScan. Pada kasus dimana pada
pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada
beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila :
1. Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura, pneumotoraks).
2. Hemoptisis berulang atau berat.
3. Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +.
Interpretasi hasil foto toraks yang diduga TB aktif :
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
9
4. Efusi Pleura.
Interpretasi hasil foto toraks yang diduga TB inaktif :
1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah.
2. Kalsifikasi & penebalan pleura.
1.1.8 Komplikasi Tuberkulosis
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut.
1. Komplikasi dini: pleurutis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncet’s
arthropathy.
2. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas -> SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat -> SOPT/fibrosis paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa
(ARDS), sering terjadi pada TBC milier dan kavitas TBC (Sudoyo, 2007).
Komplikasi penderita stadium lanjut adalah hemoptisis berat (perdarahan dari
saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok,
kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru, penyebaran infeksi ke organ
lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya (Zulkoni, 2010).
1.1.9 Penangan Nutrisi
1. Tujuan Diet
a. Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk
mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh.
b. Menambah berat badan hingga menjadi normal (Almatsier, 2010).
2. Prinsip Diet
a. Energi tinggi
b. Protein tinggi
c. Lemak cukup
d. Karbohidrat cukup
e. Vitamin dan mineral cukup
f. Makanan diberikan mudah cerna
3. Syarat Diet
a. Energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg BB.
b. Protein tinggi, yaitu 2,0-2,5 g/kg BB.
10
.
BAB II
ASSESMEN
1.1 Anamnesis
a. Identitas Pasien
Tabel 2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Murliyadi No RM : 440432
Umur : 53 tahun Ruang : Jamrud E
Sex : laki-laki Tgl masuk : 2 Januari 2020
Pekerjaan : - Tgl kasus : 3 Januari 2020
Pendidikan : Smp Alamat : Jln. Kuin selatan
Agama : Islam Diagnose medis : Tuberculosis Paru
11
12
Perhitungan Nutrisurvey :
Energi : 777,2 Kkal
Protein : 55,3 gram
Lemak : 19,2 gram
Karbohidrat : 112 gram
Kesimpulan :
Pasien perempuan berumur 53 tahun, masuk rumah sakit dengan
keluhan utama batuk berdahak, nyeri pada dada, tidak nafsu makan, susah BAB
Berdasarkan pola makan yang dibandingkan AKG 2013 diperoleh asupan energi
sebesar 33,42 %, Protein sebesar 84,92 %, lemak sebesar 29,53 % karbohidrat
sebesar 32,09 %. Menurut Kementerian Kesehatan RI, 2013 asupan energi,
karbohidrat dan lemak tergolong defisit atau kurang (<70%) protein cukup (80-
99%). Berdasarkan diagnosa medis pasien menderita tuberculosis paru.
2.2 Antropometri
Tabel 2.6 Antropometri
13
IMT = BB/TB
= 45/163
= 45/1632
= 45/2,65
= 16,98 Kg/m2 (sangat kurus)
BBI = (TB-100)-10% (TB-100)
= (163-100)-10% (163-100)
= 56,7 kg
Kesimpulan :
Dilihat dari hasil perhitungan diperoleh IMT (Indeks Massa Tubuh) sebesar
16,98 Kg/m2, maka status gizi pasien tersebut adalah sangat kurus, sedangkan
berat badan ideal pasien yaitu 56,7 kg.
2.3 Pemeriksaan Biokimia
Tabel 2.8 Pemeriksaan Biokimia
Dari data di atas dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan yang tidak
normal atau dalam kategori tinggi yang dimana pasien di diagnosa oleh dokter
yaitu tuberculosis paru, hasil nilai laboraturium yang bermasalah adalah eritrosit,
lymposit, granula, trombosit, SGPT, SGOT dan bilirubin direct.
2.4 Pemeriksaan Fisik Klinik
a. Kesan Umum : sedang
b. Vital Sign :
Tabel 2.9 Vital Sign
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil recall 1x24 jam yang dibandingkan dengan
perhitungan kebutuhan didapat hasil, asupan energi sebesar 38,87 %, protein
sebesar 51,20 %, lemak sebesar 34,59 %, karbohidrat sebesar 41,97 %.
Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI 2013, asupan energi, protein, lemak
dan karbohidrat tergolong defisit/kurang (<70%). Hal ini dikarenakan nafsu
makan pasien berkurang sebelum masuk rumah sakit.
2.6 Terapi Medis
Tabel 2.12 Terapi Medis
16
BAB IV
INTERVENSI GIZI
4.1 Planning
1. Terapi Diet
a. Jenis Diet : NL TKTP 1500 Kkal RG, DH
b. Bentuk makanan : Lunak
c. Cara pemberian : Oral
2. Tujuan Diet
a. Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah
dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh.
b. Meningkatkan regenerasi jaringan hati dan mencegah kerusakan lebih
lanjut.
c. Menambah berat badan pasien hingga mencapai nilai normal.
d. Mencapai kadar eritrosit, lymposit, granula, trombosit, SGPT, SGOT dan
bilirubin direct hingga menjadi normal.
3. Prinsip Diet
a. Energi tinggi
b. Protein tinggi
c. Lemak cukup
d. Karbohidrat cukup
e. Mineral natrium rendah
4. Syarat Diet
a. Energi tinggi yaitu sebesar 1.999 kkal untuk mencegah pemecahan
protein, yang diberikan bertahap sesuai dengan kemampuan pasien.
b. Protein tinggi yaitu 2,0 g/kg BB sebesar 108 gram.
c. Lemak cukup, yaitu 20% dari kebutuhan total 44,4 gram.
d. Karbohidrat cukup yaitu 291,8 gram sisa dari kebutuhan total.
e. Mineral natrium diberikan rendah pada bahan makanan tidak ditambahkan
garam pada masakan (Almatsier, 2010).
5. Perhitungan Kebutuhan Energi dan Zat gizi
Estimasi energi dengan rumus Mifflin – Stjeor :
Esimasi Kebutuhan Energi = (10 x BBI) + (6,25 x TB) – (5 x U) + 5
= (10 x 54) + (6,25 x 146) – (5 x 53) + 5
17
18
4.2 Implementasi
1. Kajian Terapi Diet di Rumah Sakit
20
Siang :
Siang :
75 gr Nasi lunak 150 gr
Nasi lunak
50 gr Lauk Hewani 40 gr
L.Hewani
100 gr Sayur 100 gr
Sayur
100 gr Buah 100 gr
Buah
5 gr Minyak 10 gr
Minyak
100 cc Susu Proten 100 cc
Susu Proten
Jam 16.00 : Jam 16.00 :
Buah 100 gr Buah 50 gr
Sore : Sore:
50 gr 150 gr
Nasi lunak 50 gr Nasi lunak 30 gr
21
23
Kurang Klinik :
Menjadikan
tekanan darah
NB 1.7 hingga normal
Pemilihan 130/90 mmHg,
Bahan Makanan Respirasi Rate
(RR), nadi dan
suhu mencapai
normal
Asupan :
Terjadi penurunan
dari hasil recall 24
jam.
Tindak lanjut:
Pasien diberikan
NL TKTP RG DH
dan pasien
diberikan motivasi
untuk
menghabiskan
makanan yang
diberikan oleh
ruma sakit.
4/01/ Tuberkulosis BB : 45 kg - Fisik: -Energi = NI 2.1 Antropometri :
2020 paru TB : Kesadaran : 42,38 % Kekurangn Status gizi pasien
163 cm sedang, lemah -Protein= Intake Makanan mencapai normal .
IMT : 16,98 28,38 % Dan Minuman Biokimia :
kg/m2 (sangat Klinik: -Lemak= Oral Tidak terdapat
kurus) TD : 37,43 % pemeriksaan.
LLA : - 160/100 mmHg KH = NI 5.1
RR : 25 x/mnt 50,80 % Peningkatan Fisik :
Kebutuhan Zat Kesadaran
24
Nadi :110 x/ mnt Gizi Energi dan sedang dan lemah
Suhu : 36,5 0C Protein
NC 3.1 Klinik :
Berat Badan Menjadikan
Kurang tekanan darah
hingga normal
NB 1.7 130/90 mmHg,
Pemilihan Respirasi Rate
Bahan Makanan (RR), nadi dan
suhu mencapai
normal
Asupan :
Terjadi
peningkatan
asupan
sebelumnya
Tindak lanjut:
Pasien diberikan
NL TKTP RG DH
Pasien diberikan
edukasi mengenai
TKTP RG DH,
dan makanan
yang seimbang.
5/01/ Tuberkulosis BB : 45 kg - Fisik: -Energi = NI 2.1 Antropometri :
2020 paru TB : 163 cm Kesadaran 39,65 % Kekurangn Status gizi pasien
IMT : 16,98 sedang, lemah Protein = Intake Makanan mencapai normal .
kg/m2 (sangat 28,82 % Dan Minuman
kurus) Klinik: Lemak = Oral Biokimia :
LLA : - TD : 130/90 mmHg 59,53 % Tidak terdapat
KH = NI 5.1 pemeriksaan.
25
RR : 21 x/mnt 38,04 % Peningkatan
Nadi : 107x/ mnt Kebutuhan Zat
Suhu : 36,4 oC Gizi energi dan
protein Fisik :
Kesadaran
NC 3.1 sedang dan lemah
Berat Badan
Kurang Klinik :
Tekanan darah
NB 1.7 normal Respirasi
Pemilihan Rate, nadi dan
Bahan Makanan suhu tetap
normal.
Asupan :
Terjadi
peningkatan
asupan pada
pasien tetapi
masih dalam
kategori kurang
karena nafsu
makan pasien
masih belum ada.
Tindak lanjut:
Pasien diberikan
NL TKTP RG DH.
agar pasien dapat
menjaga pola
makan sesuai
dengan apa yang
telah dianjurkan.
26
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.2 Kesimpulan
1. Berdasarkan pengukuran antropometri pada akhir kasus yakni berat badan
45 kg dan tinggi badan 163 cm diperoleh IMT (Indeks Massa Tubuh) sebesar
16,98 kg/m2, maka status gizi pasien tersebut adalah sangat kurus.
2. Berdasarkan pemeriksaan biokimia awal kasus rumah sakit, pemeriksaan
dalam kategori yang bermasalah yaitu eritrosit, lymposit, granula, trombosit,
SGPT, SGOT dan bilirubin direct.
3. Berdasarkan pemeriksaan fisik pada akhir kasus kesadaran pasien sedang.
Pada pemeriksaan klinik tekanan darah normal pada hari ketiga, Respirasi
Rate (RR) normal, nadi dan suhu tetap normal.
4. Dietary (asupan) dilihat dari hasil monitoring evaluasi recall 1x 24 jam pasien
selama 3 hari monitoring, dirata-ratakan hasilnya untuk energi sebesar 39,16
%, protein sebesar 29,98 %, lemak sebesar 42,12 %, karbohidrat sebesar
43,37 %. Menurut KEMENKES RI 2013 , asupan energi, protein, lemak,
karbohidrat termasuk kategori masih kurang karena <70 % dikarenakan
pasien tidak nafsu makan.
6.2 Saran
1. Sebaiknya pasien memperhatikan asupan mengikuti anjuran diet yang
diberikan untuk mencegah penyakit menjadi semakin parah.
2. Diharapkan kepada keluarga pasien untuk tidak membawa makanan dari luar
guna mempercepat proses penyembuhan.
3. Diharapkan kepada keluarga untuk mendukung pasien agar bisa
memonitoring diri dalam mengkonsumsi makanan dengan menu yang
seimbang dan sehat.
27
28
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S., 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anonim, 2000, Informasi Obat Nasional Indonesia, Direk Jendral Pengawasan Obat
dan Makanan, hal 47, Depkes RI, Indonesia.
Aziza, G Icksan dan Reny, Luhur. 2008. Radilologi Toraks Tuberkulosis Paru.
Jakarta: CV. Sagugn Seto.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Depkes
RI Jakarta.
Gould, D. dan Brooker, C., 2003, Mikrobiologi Terapan Untuk Perawat, EGC,
Jakarta.
Rani, A., Soegondo, S., Nasir, A., Wijaya, I., dan Nafrialdi, Mansjoer, A., 2006,
Panduan Pelayanan Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Saputra, L., 2010, Intisari Ilmu Penyakit Dalam, Binarupa Aksara Publisher, Jakarta
Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC
Widagdo. (2011). Masalah dan Tatatlaksana Penyakit Infeksi pada Anak. Jakarta :
Sagung Seto.
Hartoyo, E., dan Roni, N., 2002, Tuberkulosis Milier dengan Hepatitis Tipe
Kolestasis, Berkala Ilmu Kedokteran, Vol.34, No.2, 117-118..
Tjay, T.H & Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-
Efek Sampingya, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI