Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI

INFEKSI DAN TUMOR

“HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)”

DOSEN PENGAMPU:
Inaratul RH, M.Sc.,Apt

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK : 5 (LIMA) / KELOMPOK C


ANGGOTA : 1. AFIFAH MIFTA AULIA R. ( 18123460 A )
2. AYU PRACILIA SISKA ( 18123462 A )
3. DEWI LARASWATI ( 18123463 A )
4. RINI PRAMUATI ( 18123464 A )
5. LAILA TASBICHA ( 18123465 A )

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2015
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)

I. PENDAHULUAN
1.1 Epidemiologi
Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan
penyakit HIV dan AIDS pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV
yaitu para pekerja seks komersial dan penyalahgunaan NAPZA suntikan di beberapa
provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur, sehingga provinsi
tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated
level of epidemic). Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang dengan HIV
positif.
Pada tahun 2008, diseluruh dunia, diperkirakan 33 juta orang hidup dengan HIV.
Setiap harinya terdapat 7.400 infeksi baru HIV 96% dari jumlah tersebut berada di
negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Daerah subsahara di Afrika merupakan
daerah dengan prevalensi HIV terbesar, mencakup 67% dari jumlah keseluruhan orang
yang hidup dengan HIV. Daerah Asia Tenggara, termasuk didalamnya Asia Selatan,
merupakan daerah nomor dua terbanyak kasus HIV dengan jumlah penderita 3,6 juta
orang, 37% dari jumlah tersebut merupakan wanita. Indonesia merupakan satu dari lima
negara dengan jumlah penderita HIV yang besar selain Thailand, Myanmar, Nepal, dan
India.

1.2 Klasifikasi
1.3 Faktor Resiko
- Senggama vaginal / anal tanpa kondom.
- Fellatio dengan ejakulasi.
- Cunilingus waktu menstruasi.
- Kontak oral-anal.
- Pria homoseksual.
- Pecandu obat bius iv.
- Penerima transfusi darah.
- Wanita & pria tuna susila.
- Pria & wanita dengan banyak mitra seksual.

II. PATOFISIOLOGI
2.1 Patogenesis
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki
reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein envelope virus, yakni
gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4 +, sehingga gp41 dapat
memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan
limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4 +. Setelah
nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai
tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian
bermigrasi ke dalam nukleus CD4+dan berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV
integrase.
Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus dan memicu
transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein struktural
dan enzim virus. RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan
bergabung dengan protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein
virus menjadi segmen- segmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus
akan dibungkus oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk
(virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4 +lainnya,
monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik (pada
mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan berbagai
jaringan tubuh.
Sel limfosit CD4+(T helper) berperan sebagai pengatur utama respon imun,
terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel
B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk
meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel
CD4+berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel
Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi
antibodi dan gangguan pada sel-sel imun lainnya.
Pada awal infeksi, dalam beberapa hari dan minggu, sistem imun belum
terganggu. Sama seperti infeksi virus lainnya, akan terjadi peningkatan jumlah
selsitotoksik (CD8+) dan antibodi. Pada masa ini penderita masih berada dalam kondisi
seronegatif dan sehat untuk jangka waktu yang lama. Pada tahap lebih lanjut, semakin
banyak sel CD4+yang rusak. Akibatnya fungsi sel-sel imun lainnya akan terganggu
dan menyebabkan penurunan imunitas yang progresif. Pertanda dari progresifitas
penyakit dapat dilihat dari gejala klinis dan penurunan jumlah sel CD4+.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+berkisar dari 600sampai 1200/
µl darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+ turun di bawah kadar
normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudianmeningkat tetapi kadarnya sedikit di
bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadipenurunan kadar CD4 +secara perlahan,
berkorelasi dengan perjalanan klinispenyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada
kadar CD4+dibawah 300sel/µl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/µl
mengalami imunosupresiyang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi
oportunistik.

2.2 Etiologi
Penyebab HIV adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada
tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun
1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam
bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Limfosit T,
karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD4. Didalam sel
Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup
lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh
pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan
bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein.
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus
(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap
pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan
berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya,
tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam
darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan
dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.

2.3 Gejala

2.4 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinik infeksi HIV primer bervariasi, tetapi pasien sering mengalami
gejala viral atau mononucleosis like illness seperti demam, faringitis, dan adenopati.
Pada HIV terdapat 4 fase stadium klinik dengan masing-masing stadium klinik
memiliki tanda dan gejala yang berbeda. Sebagian besar anak lahir dengan HIV tanpa
gejala. Pada pemeriksaan fisik sering menunjukkan tanda-tanda yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya seperti, gangguan kelenjar limpa, pembesaran hati, pembesaran
limpa, perkembangan terganggu dan kehilangan berat badan atau lahir dengan berat
yang kurang, hipermaglobulinemia, fungsi sel monokleus berubah, dan perubahan rasio
sel T.

II.5 Diagnosis
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis
WHO dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans
epidemiologi dibuat bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya
didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.

Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui
stadium klinis pada orang dewasa serta klasifikasi klinis dan CD4 dari CDC.
Metode umum untuk menetapkan HIV adalah Enzyme Linked Immunosorbent
Assay (ELISA), yang mendeteksi antibodi terhadap HIV-1 dengan sensitivitas dan
spesifitas yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi pada perempuan yang telah melahirkan
beberapa kali, pada yang baru mendapatkan vaksin hepatitis B, HIV, influenza, atau
rabies, penerima tranfusi darah berulang, dan penderita gagal ginjal atau hati,atau
sedang menjalani hemodialisa kronik. Negatif palsu dapat terjadi bila pasien baru
terinfeksi, dan tes dilakukan sebelum pembentukan antibodi yang adekuat. Waktu
minimum untuk terbentuknya antibodi 3-4 minggu dari awal terpapar. ELISA positif
diulang dan bila salah satu atau keduanya reaktif, test konfirmasi dilakukan untuk
diagnosa akhir. Uji Western blotadalah yang paling umum dilakukan untuk test
konfirmasi.
Test beban virus menghitung viremia dengan mengukur jumlah virus RNA.
Beberapa cara yang bisa digunakan yaitu Reverse Transcriptase Coupled Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR), branched DNA (bDNA), dan Transcription Mediated
Amplification. Setiap pengujian mempunyai batas terendah sensitivitas masing-masing
dan hasilnya dapat bervariasi dari satu cara ke cara lain, sehingga direkomendasikan
untuk menggunakan cara yang sama pada satu pasien. Beban virus dapat digunakan
sebagai faktor prognosa untuk memonitor perkembangan penyakit dan efek terapi.
Jumlah limfosit CD4 dalam darah adalah tanda pengganti perkembangan penyakit,
normal CD4 berkisar antara 500-1600 sel/mikroliter atau 40-70% dari seluruh limfosit.

III. SASARAN TERAPI


- Mencapai efek penekanan maksimum replikasi virus HIV.
- Peningkatan limfosit CD4

IV. TUJUAN TERAPI


- Memperbaiki kualitas hidup.
- Mencegah infeksi opurtunistik.
- Mencegah progresi penyakit.
- Mengurani transmisi kepada yang lain.
- Penurunan mortalitas dan morbiditas
V. STRATEGI TERAPI
Tata LaksanaTerapi
- Farmakologi : Obat antiretroviral (ARV).
- Non Farmakologi : Kontak seksual sebaiknya memakai kondom; Tidak
melakukan ganti-ganti pasangan; Memberikan asupan gizi yang baik untuk
meningkatkan imunitas penderita; Tidak memakai alat suntik secara bersama-
sama; serta rutin melakukan monitoring imunologi dan virologi.

5.1 Guideline Terapi


a) Guideline Terapi HIV
Anjuran Pemilihan Obat ARV lini pertama yang ditetapkan oleh pemerintah
adalah : 2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang


belum pernah mendapat terapi ARV.
b) Guideline Terapi Candidiasis

c) Guideline Terapi Toxoplasmosis Cerebral


d) Guideline Terapi CMV Retinitis

e) Guideline Terapi Hipertensi

5.2 Terapi Non-Farmakologi


- Menggunakan kondom untuk menghindari tertular kembali dengan tipe HIV
yang berbeda
- Gunakan air bersih. Simpan air dengan benar agar tidak tercemar (jangan
memasukkan tangan, gunakan gayung untuk mengambil air). Air yang kotor
dapat menyebabkan diare dan penyakit lainnya.
- Memasak makanan dengan benar. Masak makanan sampai matang dan
panaskan air sampai mendidih untuk membunuh kuman. Jangan menyimpan
makanan lebih dari 24 jam.
- Gunakan antiseptik. Bersihkan luka terlebih dahulu sebelum diberikan
antiseptik.
- Gunakan kelambu untuk menghindari malaria.
- Berolahraga secara teratur agar tubuh lebih sehat dan menjaga kesehatan
otot.
- Mengkonsumsi makanan yang dapat menambah berat badan dengan cara
mengkonsumsi makanan yang berprotein tinggi, mengandung karbohidrat
dan lemak. Hindari gula dan makanan yang manis, karena dapat
membahayakan kesehatan gigi dan mulut.

5.3 Terapi Farmakologi


Terapi dengan kombinasi ARV menghambat replikasi virus adalah strategi yang
sukses pada terapi HIV. Ada tiga golongan obat ARV, yaitu:
1. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
a. NRTI
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat
menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
Ko-infeksi TB/HIV terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin, Ibu hamil
terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV, serta Hepatitis terkait
dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI.
Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah
AZT+3TC +TDF. Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan
lamanya, setelah itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini
pertama karena supresi virologisnya kurang kuat.
AZT dapat menyebabkan anemia dan intoleransi gastrointestinal, Indeks
Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4 yang rendah
merupakan faktor prediksi terjadinya anemia oleh penggunaan AZT. Perlu
diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemia,yaitu antara lain
malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut. TDF dapat
menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensinefrotoksisitas dilaporkan antara 1%
sampai 4% dan angkaSindroma Fanconi sebesar 0.5% sampai 2%. TDF tidak
boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dansedikit data tentang
keamanannya pada kehamilan. TDF juga tersedia dalam sediaan FDC
(TDF+FTC) denganpemberian satu kali sehari yang lebih mudah diterima
ODHA.
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan
telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun
waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan
data laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat
terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi
ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi
didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen
yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan neuropati perifer yang
menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menyebabkan kematian.
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama
penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan
timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006
merekomendasikan untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun dan
dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010
merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T
dengan Tenofovir (TDF).

b. NNRTI
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14
hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF +
3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200
mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan
dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi
NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga
mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang
muncul dini. Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan
selama lebih dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal
yang rendah tersebut.

2. HIV Protease Inhibitor (PI)


Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) tidak dianjurkan untuk terapi
Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini
Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan
NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak
menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat sumber daya
yang masih terbatas

3. Fusion Inhibitor. Bekerja dengan menghambat fusi membran. Contohnya


Enfuvitride.

A. Pemilihan obat ARV lini pertama (2 NRTI + 1 NNRTI)

B. Terapi ARV untuk ibu hamil


C. Terapi ARV untuk ko-infeksi hepatitis B
Gunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap HBV dan
HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk peningkatan respon VL HBV dan penurunan
perkembangan HBV yang resistensi obat. Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi
hepatitis B perlu diwaspadai munculnya hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare
khas sebagai kenaikan tidak terduga dari SGPT/SGOT dan munculnya gejala klinis
hepatitis (lemah, mual, nyeri abdomen, dan ikterus) dalam 6-12 minggu pemberian
ART. Flares sulit dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ARV atau
obat hepatotoksik lainnya seperti kotrimoksasol, OAT, atau sindrom pulih imun
hepatitis B. Obat anti Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang diduga
flares terjadi. Bila tidak dapat membedakan antara kekambuhan hepatitis B yang berat
dengan gejala toksisitas ARV derajat 4, maka terapi ARV perlu dihentikan hingga
pasien dapat distabilkan. Penghentian TDF, 3TC, atau FTC juga dapat menyebabkan
hepatic flare.

D. Terapi ARV untuk ko-infeksi hepatitis C


E. Terapi ARV untuk ko-infeksi Tuberkulosis

F. Terapi HIV dengan Infeksi Oportunistik


VI. PENYELESAIAN KASUS
A. Kasus
Bapak TN 40 tahun, BB 55 kg, TB 170 cm. Sudah didiagnosa menderita HIV sejak 5
tahun yang lalu, gejala saat ini adalah dia mengalami komplikasi candidiasis,
toksoplasmosis cerebral, CMV retinitis. Kondisi fisiknya memburuk sejak 1 minggu yang
lalu. Pada saat dibawa kerumah sakit TD 140/80 mmHg, lemas, pusing, mual muntah dan
demam.
Pertanyaan :
1. Kembangkan kasus berikut, mulai gejala klinis, parameter laboratorium yang
mendukung men urut kelompok anda.
2. Analisis kasus tersebut serta tentukan farmakoterapinya.

B. Analisis Kasus
1. Analisis kasus secara SOAP :
- SUBYEKTIF
Nama : Bapak TN.
Umur : 40 tah un.
Komplikasi : Candidiasis, toksoplasmosis cerebral, CMV retinitis.
Keluhan : Lemas, pusing, mual muntah dan demam.
- OBYEKTIF
TB : 170 cm.
BB : 55 kg.
Hasil Pemeriksaan
Nilai Normal Keterangan
Laboratorium

Meningkat (Hipertensi
BP : 140/80 mmHg 120/80 mmHg
Stage 1)

Suhu : 38°C 36,5 - 37,5 °C Meningkat (Demam)

Imunosupresi berat dan


CD4+ : < 200 sel/µl 600 – 1200 sel/µl berisiko terjangkit
infeksi oportunistik.

- ASSESMENT
1. Pasien menderita HIV sejak 5 tahun yang lalu dan mengalami beberapa
komplikasi.
2. Pasien mengalami penurunan kondisi fisik pada 1 minggu terakhir dengan
keluhan lemas, pusing, mual muntah dan demam.
3. Pasien mengalami hipertensi stage 1.

- PLANNING
1. Memberikan terapi terhadap penyakit HIV pasien berupa terapi ARV
secara kombinasi agar lebih poten.
2. Memberikan terapi yang sesuai dengan indikasi terhadap komplikasi dan
keluhan yang dialami pasien.
3. Memulihkan keadaan fisik pasien yang lemah.
4. Memberikan terapi antihipertensi untuk pasien.
5. Melakukan terapi farmakologi dan non-farmakologi untuk pasien yang
didiagnosa HIV disertai komplikasi.
6. Memberikan edukasi dalam penggunaan obat terhadap pasien

C. Sasaran Terapi
1. Mencapai efek penekanan maksimum replikasi virus HIV.
2. Peningkatan limfosit CD4.

D. Tujuan Terapi
1. Penurunan mortalitas dan morbiditas.
2. Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik.
3. Memperbaiki kualitas hidup.
4. Mencegah progresi penyakit.
5. Mengurani transmisi kepada yang lain.

E. Strategi Terapi
- Farmakologi : Obat antiretroviral (ARV).
- Non Farmakologi : Kontak seksual sebaiknya memakai kondom; Tidak
melakukan ganti-ganti pasangan; Memberikan asupan gizi yang baik untuk
meningkatkan imunitas penderita; Tidak memakai alat suntik secara bersama-
sama; serta rutin melakukan monitoring imunologi dan virologi.

F. Tata Laksana Terapi


1) Guideline Terapi HIV
Anjuran Pemilihan Obat ARV lini pertama yang ditetapkan oleh pemerintah
adalah : 2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV.
2) Guideline Terapi Candidiasis

3) Guideline Terapi Toxoplasmosis Cerebral


4) Guideline Terapi CMV Retinitis

5) Guideline Terapi Hipertensi

Terapi Non-Farmakologi
- Menggunakan kondom untuk menghindari tertular kembali dengan tipe HIV yang
berbeda
- Gunakan air bersih. Simpan air dengan benar agar tidak tercemar (jangan memasukkan
tangan, gunakan gayung untuk mengambil air). Air yang kotor dapat menyebabkan
diare dan penyakit lainnya.
- Memasak makanan dengan benar. Masak makanan sampai matang dan panaskan air
sampai mendidih untuk membunuh kuman. Jangan menyimpan makanan lebih dari 24
jam.
- Gunakan antiseptik. Bersihkan luka terlebih dahulu sebelum diberikan antiseptik.
- Gunakan kelambu untuk menghindari malaria.
- Berolahraga secara teratur agar tubuh lebih sehat dan menjaga kesehatan otot.
Berolahraga juga dapat mengurangi rasa stres.
- Mengkonsumsi makanan yang dapat menambah berat badan dengan cara
mengkonsumsi makanan yang berprotein tinggi, mengandung karbohidrat dan lemak.
Hindari gula dan makanan yang manis, karena dapat membahayakan kesehatan gigi dan
mulut.

Terapi Farmakologi

Tabel 1. Terapi Antiretroviral (ARV)

Dengan
Nama Jenis Efek
Petunjuk Penggunaan Obat Dosis /tanpa
Obat Obat Samping
Makanan
Diminum
Mual, - Mulai dengan dosis kecil sebelum
muntah, sakit lalu dinaikkan selama 2 makan,
2-3
AZT NRTI kepala, susah minggu. bila mual
kali/hari
tidur, nyeri - Jangan minum obat larut minum
otot malam sesudah
makan
Luka di
Dapat
Mulut,
diminum
Kelainan 3
DdC NRTI Tidak ada dengan/tan
saraf tepi, kali/hari
pa
radang
makanan
pancreas
Ddi NRTI Mencret, Harus minum sewaktu perut 2 Harus
radang kosong kali/hari diminum
pankreas. sewaktu
perut
kosong
Dapat
diminum
Sakit kepala, 2
D4T NRTI Tidak ada dangan/
diare, panas. kali/hari
tanpa
makanan
Dapat
Sakit Kepala,
diminum
lesu, sulit 2
3TC NRTI Tidak ada dengan/
tidur, kali/hari
tanpa
neutropenia
makanan.
Paling
Kelainan
baik
Nevir NNR hati, bercak Bercak merah dapat diobati 2
diminum
apine TI merah pada dengan antihistamin kali/hari
waktu
kulit.
makan
Lesu, mual, - Bercak merah dapat
 
Harus
diare, diobati dengan
diminum
Delav NNR kelainan hati, antihistamin dengan 3
sewaktu
irdine TI bercak merah pengawasan dokter. kali/hari
perut
pada kulit, - Hindari makanan
kosong.
panas. berlemak.
Harus
diminum
- Minum sewaktu makan
sewaktu
untuk meningkatkan
makan,
absorbsi.
terutama
- Pertimbangkan obat lain
Saqui Diare dan 2-3 saat
PI bila diare.
nivir Mual kali/hari mengkoms
- Jangan minum
umsui
antihistamin kecuali
makanan
dengan pengawasan
tinggi
dokter.
protein
dan lemak.
Riton PI Mual, diare, idak ada 2 Harus
ovir lemah, kali/hari diminum
muntah, sewaktu
gangguan makan,
rasa kurang terutama
nafsu makan, saat
mengomsu
msi
mati rasa,
makanan
atau geli
tinggi
sekitar mulut.
protein
dan lemak.
     Jangan makan 1 jam
sebelum dan 2 jam sesudah
minum obat
     Banyak minum air Harus
Mual, sepanjang hari untuk mencegah diminum
Indini 3
PI kelainan hati, batu ginjal. sewaktu
vir kali/hari
batu ginjal. perut
kosong.

Keterangan :
AZT : Zidovudine D4T : Stavudine
DdC : Zalcitabine 3Tc : Lamivudine
Ddi : Didanosine NRTI : Nucleosid reverse transcriptase inhibitor
PI : Protease Inhibitor NNRTI : Non-nucleosid reverse transcriptase inhibitor

G. Evaluasi Obat Terpilih


1) Duviral 450 mg ( 2 x sehari )
Komposisi obat Zidovudine 300 mg, Lamivudine 150 mg.
Indikasi Infeksi HIV progresif atau lanjut dalam kombinasi dengan ARV
yang lain.
Dosis 450 mg diminum 2 kali sehari (pagi dan malam).
Interaksi Obat -
Efek Samping Pankreatitis, Neuropati perifer, hiperurisemia, reaksi
hipersensitivitas, mual, muntah, sakit kepala, susah
tidur, nyeri otot.
Alasan Pemilihan Merupakan ARV lini pertama pada terapi HIV dan
Obat digunakan dalam kombinasi dengan AR yang lain

2) Neviral 200 mg ( 1 x sehari )


Komposisi obat Nevirapine 200 mg.
Indikasi Infeksi HIV progresif atau lanjut dalam kombinasi
dengan ARV yang lain.
Dosis Lead in dose : untuk 14 hari = 200 mg 1 x sehari.
Setelah 14 hari dan tidak ada ruam kulit = 200 mg 2 x sehari.
Interaksi Obat -
Efek Samping Ruam kulit dan hepatotoksisitas.
Alasan Pemilihan Merupakan ARV lini pertama pada terapi HIV dan
Obat digunakan dalam kombinasi dengan ARV yang lain
yaitu Duviral.

3) Nystatin 100.000 IU drop


Indikasi Mengobati candidiasis pada rongga mulut.
Dosis 4 x sehari 1 – 6 mL diteteskan kedalam rongga mulut
dan ditahan beberapa waktu sebelum ditelan.
Lama terapi : 7-14 hari.
Kontraindikasi Hipersensitif.
Interaksi Obat -
Efek Samping Kadang-kadang dijumpai diare, mual, muntah dan
gangguan GI.
Harga Obat Botol 12 mL susp. Rp 26.930,-
Alasan Pemilihan Nystatin efektif dalam pengobatan candidiasis yang
Obat disebabkan oleh fungi.

4) Pyrimethamine 200 mg
Indikasi Terapi malaria, terapi toksoplasmosis cerebral.
Dosis - Pyrimethamin 200 mg dosis pertama selama 5 hari.
Jika keadaan membaik terapi dilanjutkan selama 6
minggu dengan dosis 50 mg/hari secara oral.
Kontraindikasi Hipersensitivitas.
Perhatian Hati-hati pada pendertita anemia, gangguan fungsi
ginjal dan hati, ibu hami dan menyusui.
Interaksi Obat -
Efek Samping Kelelahan, gangguan GI, reaksi kulit, dan
agranulositosis.
Alasan Pemilihan Karena merupakan terapi lini pertama untuk infeksi
Obat toksoplasmosis serebral pada pasien HIV yang
dikombinasi dengan sulfadiazin dan leucovorin.
5) Sulfadiazin 1500 mg
Indikasi Terapi malaria, terapi toksoplasmosis cerebral.
Dosis Sulfadiazin 1500 mg 4 x sehari selama 6 minggu
Kontraindikasi Ibu hamil trimester akhir, gangguan hati dan ginjal.
Perhatian Selama terapi harus banyak minum air putih agar tidak
mengganggu pemeriksaan lab diagnostik.
Interaksi Obat -
Efek Samping Pusing, sakit kepala, letargi, diare, anoreksia, mual,
ruam kulit, demam.
Alasan Pemilihan Karena merupakan antibiotik golongan sulfonamid
Obat yang bekerja sebagai bakteriostatik dan merupakan
terapi kombinasi dengan pyrimethamine dan
leucovorin untuk mengatasi infeksi toksoplasmosis
cerebral pada pasien HIV.

6) Leucovorin 20 mg ( 1 x sehari )
Indikasi Menetralkan efek toksik antagonis asam folat.
Dosis Dosis oral 20 mg 1 x sehari selama 6 minggu.
Kontraindikasi Anemia pernisiosa, defisiensi vitamin B12.
Perhatian Ibu hamil dan menyusui.
Interaksi Obat -
Efek Samping Reaksi alergi.
Alasan Pemilihan Sebagai terapi kombinasi dengan pyrimethamine dan
Obat sulfadiazin untuk mengatasi infeksi toksoplasmosis
cerebral pada pasien HIV.

7) Injeksi Ganciklovir 5 mg/kgBB ( 2 x sehari)


Indikasi Pengobatan induksi dan perawatan dari
sitomegalovirus retinitis pada pasien AIDS;
pencegahan penyakit sitomegalovirus yang disebabkan
transplantasi organ padat dari donor yang positif
menderita sitomegalovirus
Dosis Diberikan secara intravena dengan dosis 5 mg/kgBB
2 x sehari.
Kontraindikasi Hipersensitif, ibu menyusui.
Interaksi Obat -
Efek Samping Sakit tenggorokan, demam, anemia, perdarahan atau
memar yang tidak biasa.
Alasan Pemilihan Sebagai lini pertama dalam pengobatan CMV retinitis.
Obat

8) Parasetamol infus 1000 mg/100 mL


Indikasi Terapi jangka pendek untuk demam dan nyeri derajat
ringan-sedang.
Dosis Infus intravena selama 15 menit. Dewasa BB >50
kg: 1000 mg/pemberian, interval minimal 4 jam, dosis
maksimal 4 g/hari.
Kontraindikasi Hipersensitif, gangguan ginjal dan hati.
Perhatian Hati-hati pada penderita yang ketergantungan alkohol.
Interaksi Obat -
Efek Samping Malaise, kenaikan kadar transaminase, ruam, reaksi
hipersensitif, hepatotoksik (overdosis)
Alasan Pemilihan Sebagai terapi analgetik dan antipireik sesuai dengan keluhan
pasien
Obat

9) Infus Ringer Laktat 300 mL/jam


Komposisi obat Na = 130-140, k = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110, basa =
28-30 mEq/L
Kemasan : 500, 1000 mL.
Indikasi Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada
dehidrasi dan syok hipovolemik.
Dosis Dewasa : 300-500 mL/jam (kira-kira 75-125
tetes/menit).
Kontraindikasi Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati,
asidosis laktat.
Perhatian Hati-hati pada pasien dengan trauma kepala.
Interaksi Obat -
Efek Samping Panas, infeksi pda tempat penyuntikan, trombosis vena
atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan,
ekstravasasi.
Harga obat 1 botol @500 mL Rp 4.800,-
Alasan Pemilihan Untuk mengembalikan keadaan pasien agar tidak
Obat lemas dan sebagai terapi penggantian cairan tubuh atau
cairan elektrolit dalam tubuh.

10) Injeksi Metoklopramid 5 mg/mL


Jumlah Sediaan Tablet metoklopramid 10 mg; injeksi 5 mg/mL.
Indikasi Gangguan GI, mabuk perjalanan, mual pada pagi hari,
meredakan gejala gastroparesis diabetik akut dan
rekuren.
Dosis 5 mg/mL.
Kontraindikasi Obstruksi gastrointestinal, hemmoragi.
Perhatian Gangguan fungsi ginjal lansia, anak.
Interaksi Obat -
Efek Samping Mengantuk, gelisah, kelelahan, diare, konstipasi.
Harga Obat Rp 15.500,-
Alasan Pemilihan Untuk mengatasi mual muntah pada pasien.
Obat

H. KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)


1. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat untuk keberhasilan
terapi ARV dan juga agar dapat menghindari intoleransi maupun resistensi.
2. Pasien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi,
kemungkinan timbulnya efek samping dan konsekuensi ketidakpatuhan.
Perlu diberikan informasi yang mengutamakan aspek positif dari pengobatan
sehingga dapat membangkitkan komitmen kepatuhan berobat.
3. Mengingatkan pasien agar berkunjung dan mengambil obat secara teratur
sesuai dengan kondisi pasien.
4. Menganjurkan keluarga pasien untuk dapat memeberikan suport dan
dukungan moril kepada pasien agar pasien tidak merasa dikucilkan dari
lingkungannya.
5. Mengingatkan pasien bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya.
6. Memberikan penjelaskan bahwa waktu minum obat adalah sangat penting,
yaitu kalau dikatakan dua kali sehari berarti harus ditelan setiap 12 jam.
7. Tekankan bahwa meskipun sudah menjalani terapi ARV harus tetap
menggunakan kondom ketika melakukan aktifitas seksual atau menggunakan
alat suntik steril.
8. Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan obat
ARV yang diminumnya.
9. Rutin melakukan monitoring imunologi dan virologi.

I. Monitoring dan Evaluasi


1. Lakukan pemantauan setiap bulan dengan melakukan pemeriksaan imunologi
(jumlah CD4), virologi (HIV, RNA) dan penilaian klinis lainnya.
2. Monitoring tekanan darah hingga mencapai target normal.
3. Monitoring timbulnya gejala infeksi oportunistik baru.
4. Monitoring kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat ARV.
5. Monitoring secara berkala hasil pemeriksaan laboratorium dan hasil
pemeriksaan fisik pasien.

VII. PERTANYAAN DAN JAWABAN SAAT DISKUSI


1. Ditanyakan oleh : Ridha Nurul Qumariyah ( 18123438 A )
Pertanyaan : Mengapa pengobatan toxoplasmosis cerebral memakai terapi
kombinasi ?
Jawaban : Karena disesuaikan dengan guideline terapinya yaitu memang
menggunakan terapi kombinasi antara pirimetamin + sulfadiazin + leucovorin dan
durasi pengobatannya dilakukan selama 6 minggu.

2. Ditanyakan oleh : Priscila Wahyu Christiana ( 18123459 A )


Pertanyaan : Berapa prosentase keberhasilan terapi ARV ?
Dari evaluasi obat terpilih yang telah disebutkan, apakah tidak
terjadi polifarmasi ?
Jawaban : Keberhasilan terapi ARV disini tergantung dari kondisi fisik
pasien dan juga kepatuhan pasien dalam meminum obat ARV tersebut. Apabila
pasien tersebut patuh minum obat maka prosentase keberhasilan terapi akan lebih
besar, begitu pula sebaliknya.
Dari obat yang telah disebutkan, pasien tidak mengalami polifarmasi karena
pengobatan yang diberikan itu sudah sesuai dengan indikasi pasien. Dikatakan
polifarmasi apabila pasien meminum obat lebih dari dua obat dengan indikasi
yang sama.
3. Ditanyakan oleh : Ichiani Harlin ( 18123441 A )
Pertanyaan : Obat herbal apa yang dapat berinteraksi dengan ARV ?
Jawaban : Bawang putih dapat berinteraksi dengan saquinavir karena
dapat menurunkan efektivitas obat ARV. Echinacea purpurae dapat berinteraksi
dengan obat ARV golongan protease inhibitor dan obat HIV lainnya karena dapat
meningkatkan kadar obat ARV tersebut sehingga akan meningkatkan efek
samping. Hypericum perforatum dapat berinteraksi dengan obat ARV golongan
PI, NNRTI karena dapat mempengaruhi meabolisme obat-obatan tersebut.

VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien telah lama menderita
infeksi HIV hingga timbul beberapa gejala oportunistik penyerta. Pasien telah mendapatkan
terapi ARV secara kombinasi yaitu AZT (Zidovudine) + 3TC (Lamivudine)+ NVP
(Nevirapine) untuk infeksi HIV. Pasien mendapatkan beberapa terapi pengobatan yang lain
sesuai dengan indikasi gejala dan komplikasinya. Pasien mendapatkan terapi farmakologi dan
non-farmakologi untuk mencapai keberhasilan terapi.

IX. DAFTAR PUSTAKA


DiPiro, J.T. 2005. Pharm acotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7e. Joseph T.
DiPiro, New York: McGraw-Hill
Bakti Husada. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Ying Shi1,. Hongzhou Lu,. Taiwen He,. Yalin Yang,. Li Liu1,. Renfang Zhang1,.
Yufang Zheng,. Yinzhong Shen,. Yunzhi Zhang,. and Zhiyong Zhang. 2011.
Prevalence And Clinical Management Of Cytomegalovirus Retinitis In AIDS
Patients In Shanghai, China. BioMed Central.
Suriya Jayawardena,. Shantnu Singh,. Olga Burzyantseva,. Hillary Clarke. 2008.
Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV Infection. Hospital
Physician.
Carla Garcia-Cuesta,. Maria-Gracia Sarrion-Pérez,. Jose V. Bagán. 2014. Current
treatment of oral candidiasis: A literature review. Journal section: Oral
Medicine and Pathology.
Kusnandar., Adji Pryitno Setiadi., I Ketut Adnyana., Joseph I Sigit., Retnosari
Andrajati., Elin Yulinah Sukandar. 2008. ISO Farmakoterapi Buku 1. Isfi
penerbitan. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai