DOSEN PENGAMPU:
Inaratul RH, M.Sc.,Apt
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2015
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)
I. PENDAHULUAN
1.1 Epidemiologi
Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan
penyakit HIV dan AIDS pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV
yaitu para pekerja seks komersial dan penyalahgunaan NAPZA suntikan di beberapa
provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur, sehingga provinsi
tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated
level of epidemic). Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang dengan HIV
positif.
Pada tahun 2008, diseluruh dunia, diperkirakan 33 juta orang hidup dengan HIV.
Setiap harinya terdapat 7.400 infeksi baru HIV 96% dari jumlah tersebut berada di
negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Daerah subsahara di Afrika merupakan
daerah dengan prevalensi HIV terbesar, mencakup 67% dari jumlah keseluruhan orang
yang hidup dengan HIV. Daerah Asia Tenggara, termasuk didalamnya Asia Selatan,
merupakan daerah nomor dua terbanyak kasus HIV dengan jumlah penderita 3,6 juta
orang, 37% dari jumlah tersebut merupakan wanita. Indonesia merupakan satu dari lima
negara dengan jumlah penderita HIV yang besar selain Thailand, Myanmar, Nepal, dan
India.
1.2 Klasifikasi
1.3 Faktor Resiko
- Senggama vaginal / anal tanpa kondom.
- Fellatio dengan ejakulasi.
- Cunilingus waktu menstruasi.
- Kontak oral-anal.
- Pria homoseksual.
- Pecandu obat bius iv.
- Penerima transfusi darah.
- Wanita & pria tuna susila.
- Pria & wanita dengan banyak mitra seksual.
II. PATOFISIOLOGI
2.1 Patogenesis
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki
reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein envelope virus, yakni
gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4 +, sehingga gp41 dapat
memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan
limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4 +. Setelah
nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai
tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian
bermigrasi ke dalam nukleus CD4+dan berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV
integrase.
Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus dan memicu
transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein struktural
dan enzim virus. RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan
bergabung dengan protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein
virus menjadi segmen- segmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus
akan dibungkus oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk
(virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4 +lainnya,
monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik (pada
mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan berbagai
jaringan tubuh.
Sel limfosit CD4+(T helper) berperan sebagai pengatur utama respon imun,
terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel
B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk
meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel
CD4+berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel
Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi
antibodi dan gangguan pada sel-sel imun lainnya.
Pada awal infeksi, dalam beberapa hari dan minggu, sistem imun belum
terganggu. Sama seperti infeksi virus lainnya, akan terjadi peningkatan jumlah
selsitotoksik (CD8+) dan antibodi. Pada masa ini penderita masih berada dalam kondisi
seronegatif dan sehat untuk jangka waktu yang lama. Pada tahap lebih lanjut, semakin
banyak sel CD4+yang rusak. Akibatnya fungsi sel-sel imun lainnya akan terganggu
dan menyebabkan penurunan imunitas yang progresif. Pertanda dari progresifitas
penyakit dapat dilihat dari gejala klinis dan penurunan jumlah sel CD4+.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+berkisar dari 600sampai 1200/
µl darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+ turun di bawah kadar
normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudianmeningkat tetapi kadarnya sedikit di
bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadipenurunan kadar CD4 +secara perlahan,
berkorelasi dengan perjalanan klinispenyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada
kadar CD4+dibawah 300sel/µl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/µl
mengalami imunosupresiyang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi
oportunistik.
2.2 Etiologi
Penyebab HIV adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada
tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun
1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam
bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Limfosit T,
karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD4. Didalam sel
Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup
lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh
pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan
bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein.
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus
(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap
pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan
berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya,
tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam
darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan
dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.
2.3 Gejala
II.5 Diagnosis
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis
WHO dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans
epidemiologi dibuat bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya
didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.
Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui
stadium klinis pada orang dewasa serta klasifikasi klinis dan CD4 dari CDC.
Metode umum untuk menetapkan HIV adalah Enzyme Linked Immunosorbent
Assay (ELISA), yang mendeteksi antibodi terhadap HIV-1 dengan sensitivitas dan
spesifitas yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi pada perempuan yang telah melahirkan
beberapa kali, pada yang baru mendapatkan vaksin hepatitis B, HIV, influenza, atau
rabies, penerima tranfusi darah berulang, dan penderita gagal ginjal atau hati,atau
sedang menjalani hemodialisa kronik. Negatif palsu dapat terjadi bila pasien baru
terinfeksi, dan tes dilakukan sebelum pembentukan antibodi yang adekuat. Waktu
minimum untuk terbentuknya antibodi 3-4 minggu dari awal terpapar. ELISA positif
diulang dan bila salah satu atau keduanya reaktif, test konfirmasi dilakukan untuk
diagnosa akhir. Uji Western blotadalah yang paling umum dilakukan untuk test
konfirmasi.
Test beban virus menghitung viremia dengan mengukur jumlah virus RNA.
Beberapa cara yang bisa digunakan yaitu Reverse Transcriptase Coupled Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR), branched DNA (bDNA), dan Transcription Mediated
Amplification. Setiap pengujian mempunyai batas terendah sensitivitas masing-masing
dan hasilnya dapat bervariasi dari satu cara ke cara lain, sehingga direkomendasikan
untuk menggunakan cara yang sama pada satu pasien. Beban virus dapat digunakan
sebagai faktor prognosa untuk memonitor perkembangan penyakit dan efek terapi.
Jumlah limfosit CD4 dalam darah adalah tanda pengganti perkembangan penyakit,
normal CD4 berkisar antara 500-1600 sel/mikroliter atau 40-70% dari seluruh limfosit.
b. NNRTI
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14
hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF +
3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200
mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan
dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi
NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga
mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang
muncul dini. Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan
selama lebih dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal
yang rendah tersebut.
B. Analisis Kasus
1. Analisis kasus secara SOAP :
- SUBYEKTIF
Nama : Bapak TN.
Umur : 40 tah un.
Komplikasi : Candidiasis, toksoplasmosis cerebral, CMV retinitis.
Keluhan : Lemas, pusing, mual muntah dan demam.
- OBYEKTIF
TB : 170 cm.
BB : 55 kg.
Hasil Pemeriksaan
Nilai Normal Keterangan
Laboratorium
Meningkat (Hipertensi
BP : 140/80 mmHg 120/80 mmHg
Stage 1)
- ASSESMENT
1. Pasien menderita HIV sejak 5 tahun yang lalu dan mengalami beberapa
komplikasi.
2. Pasien mengalami penurunan kondisi fisik pada 1 minggu terakhir dengan
keluhan lemas, pusing, mual muntah dan demam.
3. Pasien mengalami hipertensi stage 1.
- PLANNING
1. Memberikan terapi terhadap penyakit HIV pasien berupa terapi ARV
secara kombinasi agar lebih poten.
2. Memberikan terapi yang sesuai dengan indikasi terhadap komplikasi dan
keluhan yang dialami pasien.
3. Memulihkan keadaan fisik pasien yang lemah.
4. Memberikan terapi antihipertensi untuk pasien.
5. Melakukan terapi farmakologi dan non-farmakologi untuk pasien yang
didiagnosa HIV disertai komplikasi.
6. Memberikan edukasi dalam penggunaan obat terhadap pasien
C. Sasaran Terapi
1. Mencapai efek penekanan maksimum replikasi virus HIV.
2. Peningkatan limfosit CD4.
D. Tujuan Terapi
1. Penurunan mortalitas dan morbiditas.
2. Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik.
3. Memperbaiki kualitas hidup.
4. Mencegah progresi penyakit.
5. Mengurani transmisi kepada yang lain.
E. Strategi Terapi
- Farmakologi : Obat antiretroviral (ARV).
- Non Farmakologi : Kontak seksual sebaiknya memakai kondom; Tidak
melakukan ganti-ganti pasangan; Memberikan asupan gizi yang baik untuk
meningkatkan imunitas penderita; Tidak memakai alat suntik secara bersama-
sama; serta rutin melakukan monitoring imunologi dan virologi.
Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV.
2) Guideline Terapi Candidiasis
Terapi Non-Farmakologi
- Menggunakan kondom untuk menghindari tertular kembali dengan tipe HIV yang
berbeda
- Gunakan air bersih. Simpan air dengan benar agar tidak tercemar (jangan memasukkan
tangan, gunakan gayung untuk mengambil air). Air yang kotor dapat menyebabkan
diare dan penyakit lainnya.
- Memasak makanan dengan benar. Masak makanan sampai matang dan panaskan air
sampai mendidih untuk membunuh kuman. Jangan menyimpan makanan lebih dari 24
jam.
- Gunakan antiseptik. Bersihkan luka terlebih dahulu sebelum diberikan antiseptik.
- Gunakan kelambu untuk menghindari malaria.
- Berolahraga secara teratur agar tubuh lebih sehat dan menjaga kesehatan otot.
Berolahraga juga dapat mengurangi rasa stres.
- Mengkonsumsi makanan yang dapat menambah berat badan dengan cara
mengkonsumsi makanan yang berprotein tinggi, mengandung karbohidrat dan lemak.
Hindari gula dan makanan yang manis, karena dapat membahayakan kesehatan gigi dan
mulut.
Terapi Farmakologi
Dengan
Nama Jenis Efek
Petunjuk Penggunaan Obat Dosis /tanpa
Obat Obat Samping
Makanan
Diminum
Mual, - Mulai dengan dosis kecil sebelum
muntah, sakit lalu dinaikkan selama 2 makan,
2-3
AZT NRTI kepala, susah minggu. bila mual
kali/hari
tidur, nyeri - Jangan minum obat larut minum
otot malam sesudah
makan
Luka di
Dapat
Mulut,
diminum
Kelainan 3
DdC NRTI Tidak ada dengan/tan
saraf tepi, kali/hari
pa
radang
makanan
pancreas
Ddi NRTI Mencret, Harus minum sewaktu perut 2 Harus
radang kosong kali/hari diminum
pankreas. sewaktu
perut
kosong
Dapat
diminum
Sakit kepala, 2
D4T NRTI Tidak ada dangan/
diare, panas. kali/hari
tanpa
makanan
Dapat
Sakit Kepala,
diminum
lesu, sulit 2
3TC NRTI Tidak ada dengan/
tidur, kali/hari
tanpa
neutropenia
makanan.
Paling
Kelainan
baik
Nevir NNR hati, bercak Bercak merah dapat diobati 2
diminum
apine TI merah pada dengan antihistamin kali/hari
waktu
kulit.
makan
Lesu, mual, - Bercak merah dapat
Harus
diare, diobati dengan
diminum
Delav NNR kelainan hati, antihistamin dengan 3
sewaktu
irdine TI bercak merah pengawasan dokter. kali/hari
perut
pada kulit, - Hindari makanan
kosong.
panas. berlemak.
Harus
diminum
- Minum sewaktu makan
sewaktu
untuk meningkatkan
makan,
absorbsi.
terutama
- Pertimbangkan obat lain
Saqui Diare dan 2-3 saat
PI bila diare.
nivir Mual kali/hari mengkoms
- Jangan minum
umsui
antihistamin kecuali
makanan
dengan pengawasan
tinggi
dokter.
protein
dan lemak.
Riton PI Mual, diare, idak ada 2 Harus
ovir lemah, kali/hari diminum
muntah, sewaktu
gangguan makan,
rasa kurang terutama
nafsu makan, saat
mengomsu
msi
mati rasa,
makanan
atau geli
tinggi
sekitar mulut.
protein
dan lemak.
Jangan makan 1 jam
sebelum dan 2 jam sesudah
minum obat
Banyak minum air Harus
Mual, sepanjang hari untuk mencegah diminum
Indini 3
PI kelainan hati, batu ginjal. sewaktu
vir kali/hari
batu ginjal. perut
kosong.
Keterangan :
AZT : Zidovudine D4T : Stavudine
DdC : Zalcitabine 3Tc : Lamivudine
Ddi : Didanosine NRTI : Nucleosid reverse transcriptase inhibitor
PI : Protease Inhibitor NNRTI : Non-nucleosid reverse transcriptase inhibitor
4) Pyrimethamine 200 mg
Indikasi Terapi malaria, terapi toksoplasmosis cerebral.
Dosis - Pyrimethamin 200 mg dosis pertama selama 5 hari.
Jika keadaan membaik terapi dilanjutkan selama 6
minggu dengan dosis 50 mg/hari secara oral.
Kontraindikasi Hipersensitivitas.
Perhatian Hati-hati pada pendertita anemia, gangguan fungsi
ginjal dan hati, ibu hami dan menyusui.
Interaksi Obat -
Efek Samping Kelelahan, gangguan GI, reaksi kulit, dan
agranulositosis.
Alasan Pemilihan Karena merupakan terapi lini pertama untuk infeksi
Obat toksoplasmosis serebral pada pasien HIV yang
dikombinasi dengan sulfadiazin dan leucovorin.
5) Sulfadiazin 1500 mg
Indikasi Terapi malaria, terapi toksoplasmosis cerebral.
Dosis Sulfadiazin 1500 mg 4 x sehari selama 6 minggu
Kontraindikasi Ibu hamil trimester akhir, gangguan hati dan ginjal.
Perhatian Selama terapi harus banyak minum air putih agar tidak
mengganggu pemeriksaan lab diagnostik.
Interaksi Obat -
Efek Samping Pusing, sakit kepala, letargi, diare, anoreksia, mual,
ruam kulit, demam.
Alasan Pemilihan Karena merupakan antibiotik golongan sulfonamid
Obat yang bekerja sebagai bakteriostatik dan merupakan
terapi kombinasi dengan pyrimethamine dan
leucovorin untuk mengatasi infeksi toksoplasmosis
cerebral pada pasien HIV.
6) Leucovorin 20 mg ( 1 x sehari )
Indikasi Menetralkan efek toksik antagonis asam folat.
Dosis Dosis oral 20 mg 1 x sehari selama 6 minggu.
Kontraindikasi Anemia pernisiosa, defisiensi vitamin B12.
Perhatian Ibu hamil dan menyusui.
Interaksi Obat -
Efek Samping Reaksi alergi.
Alasan Pemilihan Sebagai terapi kombinasi dengan pyrimethamine dan
Obat sulfadiazin untuk mengatasi infeksi toksoplasmosis
cerebral pada pasien HIV.
VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien telah lama menderita
infeksi HIV hingga timbul beberapa gejala oportunistik penyerta. Pasien telah mendapatkan
terapi ARV secara kombinasi yaitu AZT (Zidovudine) + 3TC (Lamivudine)+ NVP
(Nevirapine) untuk infeksi HIV. Pasien mendapatkan beberapa terapi pengobatan yang lain
sesuai dengan indikasi gejala dan komplikasinya. Pasien mendapatkan terapi farmakologi dan
non-farmakologi untuk mencapai keberhasilan terapi.