Anda di halaman 1dari 5

HOME
 EKBIS
 KEUANGAN
 GLOBAL
 LIFESTYLE
 ZISWAF
 HAJI UMRAH
 FOKUS
 INSPIRASI
 LAINNYA 

Home / Q&A / Hukum Gadai Emas Syariah

Hukum Gadai Emas Syariah


Jumat, 7 September 2018 01:09

       
FOTO | Dok.

Gadai Emas Syariah bisa jadi alternatif pemenuhan kebutuhan pendanaan


bagi kaum muslimin. Namun, ada saja yang meragukan kehalalannya dengan
berbagai alasan. Seperti apa sebenarnya hukum fiqih gadai emas itu, halal
atau haramkah? Simak jawabannya di sini!
Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yang terhormat, Ustadz Ahmad Ifham Sholihin.
Ada Ustadz yang menyatakan bahwa Gadai Syariah adalah haram dan
Fatwa DSN MUI tentang Gadai Syariah itu keliru karena ada pinjaman
bercampur dengan jual beli, karena biaya gadai ditanggung pemilik barang,
dan karena ada multiakad yang dilarang. Sebenarnya, bagaimana hukum
Gadai Syariah itu?
Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi, wabarakatuh.
Rully, tinggal di Bekasi.
 
Jawab :
Sdr. Rully yang dicintai Allah, semoga kita semua selalu berlimpah barakah
dari Allah agar kita bisa konsisten bertransaksi keuangan di Lembaga
Keuangan Syariah saja. Amin.
Gadai Syariah merupakan skema fitur produk gadai yang dijalankan sesuai
prinsip syariah. Beberapa Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
mengeluarkan produk gadai syariah ini seperti Bank Syariah, Pegadaian
Syariah, BPRS, dan lain-lain.
Mekanisme gadai emas syariah ini sederhana. Nasabah datang ke LKS
membawa emas yang akan digadaikan, kemudian LKS melakukan
penaksiran nilai emas. Berdasarkan taksiran emas tersebut, nasabah
dikenakan biaya pemeliharaan, penjagaan dan sewa tempat gadai dengan
jumlah tertentu.
Selanjutnya Nasabah memperoleh pinjaman dari LKS. Dengan demikian
ada dua aspek angsuran Nasabah yakni biaya pemeliharaan gadai dan
pinjaman.
Fatwa tentang Gadai Syariah dan Gadai Emas Syariah sebenarnya sudah
ada sejak tahun 2002, namun sebagian masyarakat belum mengetahui
keberadaan Fatwa tersebut.
Bagaimana sejatinya hukum pegadaian emas syariah yang saat ini
dijalankan oleh LKS? Berikut ini akan kita kupas mengenai hukum Gadai
Emas Syariah dari sudut pandang syariah Islam.
Landasan hukum tertinggi atas transaksi gadai (rahn) adalah Alquran. Allah
berfirman, “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-
Baqarah: 283). Ayat ini mempertegas kebolehan Gadai Syariah.
Terkait dengan ayat tersebut, Tafsir Jalalain menyatakan, “jika kamu dalam
perjalanan, kemudian mengadakan utang-piutang, sedangkan kamu tidak
beroleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan (rahn) ada
yang membaca 'ruhunun' bentuk jamak dari rahnun (yang dipegang) yang
diperkuat dengan kepercayaanmu. Sunnah menyatakan diperbolehkannya
jaminan itu di waktu mukim dan adanya penulis. Terkait dengan jaminan,
karena kepercayaan terhadapnya (pihak yang bermuamalah) menjadi lebih
kuat, sedangkan firman-Nya, "dan jaminan yang dipegang", hal ini
menunjukkan bahwa jaminan (rahn) disyaratkan harus dipegang dan
dianggap memadai walaupun si peminjam atau wakilnya tidak hadir.”
[Tafsir Jalalain, Juz 1 halaman 63].
Dalil berikutnya yang memperkuat kebolehan rahn adalah Hadits.
Rasulullah SAW pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, dari Aisyah ra, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah
membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi
menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.” [Kitab Shahih Bukhari, Juz 3,
halaman 142, Hadits No. 2326]. Hadits ini semakin mempertegas kehalalan
Gadai Syariah.
Sejatinya, tanpa adanya dalil yang memperbolehkannya, gadai syariah
terkriteria hukum halal, jika tidak ada dalil yang melarangnya. Hal ini sesuai
dengan kaidah fikih, “Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.” Namun,
ternyata ada dalil penguatnya. Ini sangat bagus.
Sementara itu, sebagian masyarakat berpendapat bahwa gadai syariah itu
hukumnya haram karena adanya pengambilan keuntungan atau kelebihan
pengembalian pada transaksi pinjaman. Kelebihan atas pinjaman yang
dimaksud adalah transaksi biaya sewa yang tidak bisa dipisahkan dari
pinjaman yang diperoleh Nasabah.
Ada lagi yang mengkritik adanya multiakad di Gadai Syariah sehingga
dikatakan haram. Ada juga yang mengkritik bahwa Gadai Syariah itu tidak
sesuai Syariah karena biaya sewa tempat ditanggung pemilik barang.
Akad pada gadai syariah
Untuk menentukan hukumnya secara akurat, mari kita rinci akad yang
terjadi pada transaksi pegadaian emas syariah.
Pertama, akad gadai. Pada praktiknya, nasabah datang ke LKS yang
melayani transaksi gadai, dengan terlebih dulu menggadaikan emasnya.
Ketika emas ditaksir, maka muncullah angka taksiran yang biasanya tidak
sampai 100 persen dari nilai emas, misalnya di angka 80 persen.
Setelah ketemu taksiran nilai emas atau nilai barang, kemudian ditentukan
besaran biaya sewa tempat dan pemeliharaan barang yang harus
ditanggung oleh pemilik barang. Ingat, bahwa Nasabah adalah pemilik
manfaat barang. LKS tidak memanfaatkan barang, sehingga Nasabah
wajib menafkahi barang yang ia gadaikan dalam bentuk membayar biaya
sewa tersebut.
Kewajiban Nasabah menanggung nafkah atas barang miliknya yang ia
gadaikan ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW riwayat al-Syafi'i, al-
Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.”
[Kitab Sunan Ibnu Majah, Juz 2 halaman 816].
Kedua, akad pinjaman. Setelah ketemu nilai taksiran, maka Nasabah
ditawarkan apakah akan meminjam uang sebesar nilai taksiran, atau
kurang dari nilai taksiran. Ketika Nasabah menyepakati sejumlah uang
yang dipinjam, itulah jumlah uang yang harus dikembalikan kepada
pegadaian syariah, tidak boleh ada kelebihan dalam pinjaman.
Ketiga, terkait biaya sewa tempat dan pemeliharaan barang gadai, ada
yang menyebutnya sebagai transaksi jual beli manfaat. Bahasa lain dari
jual beli manfaat adalah al ijaarah. Oleh karena ada skema jual beli, maka
sah bagi para pihak yang berakad untuk mengambil profit (keuntungan).
Profit bagi penjual adalah memperoleh bayaran atau fee atau ujrah,
sedangkan profit bagi pembeli adalah memperoleh manfaat.
Maksud jual beli manfaat
Jual beli manfaat yang dimaksud adalah jual beli manfaat sewa tempat
gadai dan pemeliharaan barang yang digadaikan agar tetap terjaga. Jika
barang gadai hilang, maka pegadaian harus mengganti barang gadai
tersebut. Dengan demikian, sah diberlakukan jual beli manfaat yang
biayanya ditanggung oleh pemilik barang.
Pada Hadits Rasulullah SAW riwayat Jama'ah, kecuali Muslim dan al
Nasa'i, Rasulullah SAW bersabda, "Tunggangan (kendaraan) yang
digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang
ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung
biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib
menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan." [Kitab Shahih Bukhari
Juz 3 halaman 143, Hadits No. 2329].
Hadits ini mempertegas logika bahwa orang yang menerima manfaat,
harus membayar atas keberadaan manfaat itu. Perlu dipertegas bahwa
LKS tidak memanfaatkan barang gadai, sehingga biaya pemeliharaan
barang tetap ditanggung oleh Nasabah.
Cara penentuan biaya gadai
Sementara itu, hal yang terkadang juga dipermasalahkan oleh sebagian
kalangan masyarakat adalah tentang cara penentuan harga atau biaya
gadai. Pada skema pegadaian konvensional, penentuan kelebihan bayar
atas pinjaman diwujudkan dengan skema pinjaman berbunga (sekian
persen) dari pinjaman. Ini jelas merupakan skema transaksi Riba.
Sedangkan di pegadaian syariah, penentuan harga sewa menggunakan
skema harga yang sudah dipastikan nominal rupiahnya ketika berakad.
Fatwa DSN MUI Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas
mengatur bahwa penentuan ongkos dan biaya penyimpanan barang
(marhun) ditanggung oleh penggadai yang besarnya didasarkan pada
pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
Pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan dalam pegadaian syariah adalah
biaya penyimpanan yang meliputi biaya sewa tempat, pemeliharaan dan
penjagaan atas barang gadai.
Biaya penyimpanan emas 10 gram tentu saja berbeda dengan biaya
penyimpanan emas 1000 gram. Meskipun tidak secara langsung,
penentuan harga ini juga terkait dengan risiko yang juga berbeda.
Kewajiban menanggung ganti rugi juga nominalnya berbeda, sehingga
wajar jika emas yang gramnya lebih berat, akan menyebabkan taksiran
pinjaman yang juga lebih tinggi, dan akan menyebabkan biaya
penyimpanan yang juga lebih mahal.
Sejatinya, dalam jual beli itu boleh melakukan tawar menawar harga.
Murah mahalnya harga tidak jadi masalah asalkan rukun dan syaratnya
terpenuhi, semua pihak rela sama rela dan tidak zhalim. Jadi, ketika harga
sewa sudah ditetapkan nominal rupiahnya, maka hal ini sudah memenuhi
transaksi jual beli (manfaat) yang sah.
Tidak ada transaksi yang zhalim
Terkait dengan adanya transaksi jual beli manfaat yang satu paket dengan
transaksi pinjaman, hal ini tidak masalah karena tidak ada transaksi yang
zhalim dan tidak ada gharar (memastikan transaksi yang seharusnya tidak
pasti atau sebaliknya).
Selain rukun dan syarat akad sudah terpenuhi, pihak Nasabah melakukan
transaksi sesuai dengan apa yang dibutuhkan. LKS juga menjalankan
transaksi sesuai dengan porsi dan kewajibannya.
Selain itu, inti akad Gadai Syariah adalah Gadai (Rahn) yang
menghadirkan biaya nafkah atas barang yang digadai, bukan pada akad
pinjaman. Pada skema Gadai Syariah juga tidak ada skema pinjaman
bersyarat manfaat (jual beli). Dengan demikian, tidak menabrak larangan
multiakad kategori salaf wa bay’ (pinjaman dan jual beli).
Berdasarkan uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa transaksi Gadai
Syariah sudah sesuai Syariah, tanpa keraguan sedikitpun.

Anda mungkin juga menyukai