Dosen Pembina
Prof. Dr. H. Prayitno, M.sc., Ed.
Dr. Syahniar, M.Pd., Kons.
Netrawati, S. Pd., M.Pd.
Oleh
SUCIANA FITRIANI
19151050
B. Struktur Kepribadian
Rogers membentuk teori kepribadian berdasarkan tiga komponen
pokok yaitu organisme, lapangan phenomenal dan self.
1. Organisme
Istilah organisme menjelaskan individu secara totalitas. Organisme
adalah sebuah sistem yang diorganisir secara total dimana apabila salah satu
bagian sistem berubah maka akan mengakibatkan pula perubahan bagian
yang lainnya”. Maka disini organisme menjelaskan bahwa seseorang itu
tercermin dari cara berpikir, cara bertingkah laku dan wujud fisik. Menurut
Rogers organisme bereaksi secara menyeluruh terhadap lapangan
phenomenal dan reaksi tersebut merupakan upaya untuk kebutuhan dasar,
aktualisasi diri, dan sebagai simbol reaksi terhadap pengalaman yang
dihadapi.
2. Lapangan Phenomenal
Lapangan phenomenal adalah keseluruhan pengalaman yang pernah
dialami seseorang. Setiap individu dalam kehidupannya secara terus
menerus mengalami perubahan pengalaman hidup dimana dia sendiri adalah
pusat dari kejadian itu. Melalui lapangan phenomenal individu selalu
mengalami perubahan terus menerus meliputi kejadian-kejadian eksternal
dan internal dari individu tersebut. Sebagian kejadian disadari (diterima
secara sadar) dan sebagian lagi diterima secara tidak sadar. Namun yang
terpenting adalah apa yang dia terima dari pengalaman yang dialaminya
yaitu hal-hal yang dipersepsi dan yang dianggapnya penting.
3. Self
Menurut Rogers self berbeda dari lapangan phenomenal yang terdiri
dari berbagai persepsi dan nilai-nilai ”I” dan “me”. Menurut Rogers dalam
konsep struktur kepribadian, self adalah pusat dari struktur. Self
menggerakkan organisme untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Begitu
dia berinteraksi akan menimbulkan dua kemungkinan, bisa berinteraksi baik
dengan lingkungan atau malah mendistorsi nilai-nilai yang sudah dimiliki
oleh orang lain. Maka disini self berupaya menjaga konsisten perilaku
organisme dan perilaku dirinya sendiri. Pengalaman yang konsisten dengan
konsep self dapat disebut berintegrasi, sedangkan yang tidak maka akan
diterima sebagai ancaman atau kendala. Sentral menurut konsep self adalah
segala sesuatu yang selalu berproses, bertumbuh dan berubah sebagai akibat
dari interaksi berkesinambungan dengan lapangan phenomenal.
C. Perkembangan Kepribadian
Semua perilaku manusia dimotivasi oleh self-
actualization. Kepribadian merupakan produk interaksi yang terus menerus
antara organisme, lapangan fenomena dan self. Karenanya kepribadian itu
tidak statis, tetapi terus berkembang.
1. Organismic Valuing Process ( OVP)
Pengalaman yang diperoleh seorang bayi saat dia gagal memenuhi
kebutuhannya akan memberikan pesepsi tentang nilai-nilai negatif
sedangkan pengalaman dimana ia dapat memenuhi kebutuhannya akan
memberikan nilai-nilai positif, proses mendapatkan nilai-nilai positif dan
negatif itulah yang dinamakan OVP. Dalam OVP nilai-nilai tidak pernah
bertahan tetap pada diri seseorang, karena nilai-nilai tersebut secara
berkesinambungan akan mengalami perubahan sesuai dengan pengalaman
yang tersimbolisasi secara akurat.
2. Positive Regard From Others (PRO)
Positive Regard From Others adalah kondisi dimana individu
memulai menerima nilai-nilai dari orang lain dibandingkan dengan nilai-
nilai yang ia miliki, inilah yang akhirnya membentuk evaluasi cara
berfikirnya berdasarkan perilaku yang dinilai orang lain.
3. Self Regard (SRG)
Seorang mulai membangun penghargaan untuk dirinya sendiri
berdasarkan persepsinya terhadap penghargaan yang ia terima dari orang
lain. Seseorang mulai mengendalikan perilakunya baik atau buruk karena
memperhatikan penilaian orang lain, tanpa peduli apakah menurut diri
sendiri tingkah laku itu baik atau buruk. Dengan kata lain memaksakan
nilai-nilai dari orang lain terhadap diri sendiri.
4. Condition Of Worth (COW)
Individu berada dalam kondisi yang menunjukkan bahwa ia tidak
dapat menilai diri sendiri dengan ‘kaca mata’ positif tetapi dengan nilai-nilai
yang dipaksakan. Seperti halnya individu memberikan nilai-nilai positif
terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan dan dia dapat pula
memberikan nilai-nilai negatif terhadap pengalaman yang menyenangkan.
F. Tujuan
Tujuan secara umum adalah pertama, klien sendiri yang menentukan
tujuan konseling, kedua membantu klien menjadi lebih matang dan kembali
melakukan self-actualization (SA) dengan menghilangkan hambatan-
hambatannya.
Secara lebih khusus tujuan teori ini adalah membebaskan klien dari
lingkungan tingkah laku (yang dipelajarinya) selama ini, yang semuanya itu
membuat dirinya palsu dan terganggu dalam SA-nya .
G. Proses Konseling
1. Kondisi-Kondisi Penting dalam Proses Konseling
a. Kontak psikologis dengan klien
b. Meminimalisasikan tingkat kecemasan klien
c. Konselor harus tampil apa adanya
d. Konselor memberikan penghargaan yang tulus
e. Konselor harus empati dan mengerti keadaan klien
f. Konselor mampu merubah persepsi klien
2. Proses Konseling
a. Dalam proses konseling konselor harus berupaya agar klien bebas
mengekspresikan perasaannya.
b. Klaien merasa nyaman berada bersama konselor karena konselor tidak
pernah merespon negatif.
c. Klien didorong sebanyak mungkin menggunakan kata ganti saya
d. Klien didorong untuk melihat pengalaman-pengalamannya dari sudut
yang realistik.
e. Klien didorong untuk kembali menjadi dirinya sendiri.
H. Teknik
1. Kondisi yang diperlukan untuk proses konseling:
a. Psychological contact (secara minimum harus ada).
b. Minimum state of anxiety (MSA) : Apabila klien merasa tidak enak
dengan keadaannya sekarang maka ia cenderung berkehendak untuk
mengubah dirinya.
c. Conselor genuiness : Jujur, tulus, tanpa pamrih.
d. Unconditioned positive regard and respect : Penghargaan yang tulus
kepada klien (KTPS).
e. Emphatic understanding : Konselor benar-benar memahami kondisi
internal klien, merasakan jika seandainya konselor sendiri yang menjadi
klien.
f. Client perception : Klien perlu merasakan bahwa kondisi-kondisi diatas
memang ada.
g. Concretness, immediacy, and confrontation : Ini merupakan teknik-
teknik khusus dalam proses konseling.
2. Pendekatan “jika-maka” (PJM)
a. Jika konselor mampu menciptakan kondisi-kondisi di atas,maka proses
konseling dapat terjadi
b. Jika proses konseling dapat terjadi, maka suatu hal nyata (yaitu
perubahan pada diri klien) akan dapat diraih. Hasil ini mengacu pada
kembalinya klien ke jalan menuju SA.
3. Penerapan
a. Konselor menjadi alter ego bagi klien.
b. Tanggung jawab dalam hubugan konseling diletakkan pada klien, bukan
pada konselor.
c. Waktu perlu dibatasi, hal ini disampaikan kepada klien.
d. Fokus kegiatan konseling adalah terhadap individu klien, bukan terhadap
masalah.
e. Menekankan asas kekinian: disini dan sekarang.
f. Diagnosis oleh konselor tidak perlu, klien mendiagnosis diri sendiri.
g. Lebih menekankan aspek-aspek emosional dari pada intelektual.
h. Konselor tidak perlu memberikan berbagai informasi kepada klien.
i. Tes dipergunakan dengan amat sangat terbatas.
SUMBER RUJUKAN