Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MEMAHAMI HUKUM PERIKATAN


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Perdata yang
diampu oleh :
Muhammad Norhadi, S.Th.I,

DISUSUN OLEH KELOMPOK II


MUHAMMAD IMRONSYAH 1902130025
Rio Saputra 1902130027

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARIAH.
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH KELAS B
TAHUN 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
kami kemampuan dalam menyelesaikan makalah ini, sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah memberikan pengetahuan
kepada pembaca mengenai “Tasawuf Akhlaki”.
Makalah ini pasti memiliki kekurangan didalamnya. Adapun harapan penulis
agar pembaca dapat memberikan saran dan kritiknya pada makalah ini, karena hasil
tulisan penulis tidak terlepas dari kesalahan, seperti kesalahan dalam penulisan
ataupun yang lainnya. Untuk itu penulis memohon maaf jika terjadi kesalahan dalam
penulisan ataupun kesalahan lainnya, karena penulis adalah manusia biasa yang
memiliki keterbatasan kemampuan.

Palangkara, 16 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................... i


KATA PENGANTAR ....................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 1
C. Tujuan Penilisan ..................................................................... 1
D. Manfaat Penulisan .................................................................. 2
E. Metode Penulisan ................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Akhlaki .................................................... 3
B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki ............................................... 4
1. Hasan Al-Bashri ................................................................. 4
2. Al-Muhasibi ....................................................................... 6
3. Al-Qusyairi ........................................................................ 9
4. Al-Ghazali .......................................................................... 12
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Dalam mendekatkan diri kepada Allah, diperlukan akhlak-akhlak terpuji
terlebih dahulu karena ilmu tasawuf adalah cara untuk mendekatkan diri kepada
Allah sedekat mungkin. Namun kebanyakan sekarang ini banyak sekali penulis
melihat orang yang berakhlak mazmumah (tercela). Jadi, untuk itu hal utama yang
harus dilakukan adalah dengan memperbaiki akhlaknya terlebih dahulu, melalui
beberapa tahapan-tahapan.
Akhlak menurut bahasa berarti tingkah laku, perangai atau tabi’at. Sedangkan
menurut istilah adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang baik dan buruk.
Mengatur pergaulan manusia, dan menentukan tujuan akhir usaha dan pekerjaan.
Sedangkan tasawuf ialah berasal dari bahasa arab yaitu : shufa-yashufa-shafa
artinya mempunyai bulu banyak. Kemudian kata itu terjadi perubahan kata kepada
mazid (tambahan) 2 huruf “Ta” dan tasdid waw, sehingga menjadi : tashufa-
yashufa-tashufa. Yang artinya menjadi sufi.
Secara umum tasawuf akhlaqi ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan
cara membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan menghiasi diri
dengan perbuatan terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tasawuf
seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. 1
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Tasawuf Akhlaki ?


2. Siapa Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki ?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan Pengertian Tasawuf Akhlaki.
2. Menjelaskan Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki

1
Muzakkir, Studi Tasawuf, Bandung, Cipta Pustaka, 2009, Hlm.56

1
D. Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan
pengetahuan kepada pembaca mengenai Tasawuf Akhlaki.

E. Metode Penelitian
Metode Pendekatan, Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum
normatif yang dilakukan dengan dengan cara meneliti bahan pustaka dan disebut
juga penelitian hukum kepustakaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Akhlaqi
Taswuf akhlaki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak.
Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf bentuk ini
berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela
(Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam
diri para sufi.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap
mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah.
Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang
diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya
adalah menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan
bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali. Oleh karena itu dalam tasawuf
akhlaqi mempunyai tahap, sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang
sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela.
Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek
antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan
diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum
sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan
menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun
internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang
bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dan lain-lain. Dan adapun yang
bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan

3
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase
tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata
tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa
dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan
sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang,
maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan
dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan
sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya. 2

B. Tokoh – Tokoh Tasawuf Akhlaqi


1. Hasan Al-Bashri (21-110 H)
a. Biografi Singkat
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al Hasan bin Yasar,
adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan di
Madinah pada tahun 21 H. (632 M.) dan wafat pada hari kamis bulan rajab
tanggal 10 tahun 110 H (728 M.). Ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah
Umar bin Khaththab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat
yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.
Dialah mula-mula menyediakan waktu untuk memperbincangkan ilmu-
ilmu kebatinan, kemurnian akhlaq, dan usaha menyucikan jiwa di Mesjid
Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada
sunnah Nabi. Sahabat-sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun
mengakui kebesarannya. Bahkan, ketika ada orang datang kepada Anas bin
Malik, sahabat Nabi yang utama untuk menanyakan persoalan agama, Anas
memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan
Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “bergurulah kepada Syekh ini. Saya
sudah saksikan sendiri keistimewaannya. Tidak ada seorang tabiin pun
menyerupai sahabat Nabi selainnya.

2
Muzakkir, Studi Tasawuf, Bandung, Cipta Pustaka, 2009, Hlm.84-86

4
Karier pendidikan Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang
sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di Bashrah secara khusus
dan daerah-daerah lainnya secara umum. Tak heran pula kalau ceramah-
ceramahnya dihadiri seluruh kelompok masyarakat. Di samping dikenal
sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam
memperjuangkan kebenaran. Di antara karya tulisnya berisi kecaman
terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir Al-Quran.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf
Abu Na’im Al-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan
Al-Bashri sebagai berikut, ”Sahabat takut (khauf) dan pengharapan (raja’)
tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang
karena selalu mengingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah
anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau
tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh
larangan-Nya.
Lebih jauh lagi, Hamka telah mengemukakan sebagian ajaran-ajaran
tasawuf Hasan Al-Basri berikut ini:
1. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik daripada
rasa tenteram yang menimbulkan perasaan takut.
2. Dunia adalah negeri tempat beramal.
3. Tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya.
Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita mengulanginya lagi.
Sesuatu yang fana’ betapa pun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu
yang baqa’ betapa pun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang
baqa’ betapa pun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat
datang dan pergi serta penuh tipuan
4. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan berapa kali
ditinggalkan mati suaminya.

5
5. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari
karena berada di antara dua perasaan takut : Takut mengenang dosa yang
telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya
yang akan mengancam.
6. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, akan kiamat yang akan menagih janjinya.
7. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh.

Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa,


guru besar filsafat Islam, menyatakan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri
didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, lanjutnya,
setelah kami teliti, ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang
mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan
kelalian dirinya yang mendasari tasawufnya itu.
Di antara ajarn tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah bibir
kaum sufi adalah :
“Anak Adam!
Dirimu, diriku!
Dirimu hanya satu,
Kalau ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolong mu.
Tiap-tiap nikmat yang bukan surga adalah hina.
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka adalah mudah.3

2. Al–Muhasibi (165–243 H)
a. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al–Harits bin Asad Al–Bashri
Al–Baghdadi Al–Muhasibi. Tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al–
Muhasibi. Tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al–Muhasibi. Ia

3
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2011,Hlm.133-134

6
dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H/781 M. Dan meninggal di negara
yang sama pada tahun 243 H/857 M. Ia adalah sufi dan ulama besar yang
menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadis, dan fiqh. Ia
merupakan figur sufi yang dikenal senang tiada menjaga dan mawas diri
terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintrospeksi diri menurut
amal yang dilakukannya.
Al–Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari
keraguan yang dihadapinya. Tatkala menghadapi madzhab–madzhab yang
dianut umat Islam, Al–Muhasibi menemukan kelompok–kelompk. Di antara
mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan. Namun
jumlah mereka sangat sedikit.
Al–Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat di
tempuh melalui ketakwaan terhadap Allah, melaksanakan kewajiban–
kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. Tatkala sudah melaksanakan
hal–hal di atas, menurut Al–Muhasibi, seseorang akan diberi petunjuk oleh
Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani
Rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
b. Ajaran – Ajaran Tasawuf
1. Makrifat
Al–Muhasibi menjelaskan tahapan–tahapan makrifat sebagai berikut:
a. Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Taat merupakan
wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah
hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar
pengungkapan ungkapan-ungkapan kecintaan semata sebagaimana
dilakukan sebagian orang. Di antara implementasi kecintaan kepada
Allah memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada
lidah dan anggota tubuh yang lain.
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang
memenuhi hati merupakan tahap makrifat selanjutnya.

7
c. Pada tahad ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah–khazanah
keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh
kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang
selama ini disimpan oleh Allah.
d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sebagian sufi dengan
fana’ yang menyebabkan baqa’.

2. Khauf dan Raja’


Dalam pandangan Al–Muhasibi, khauf(rasa takut) dan
raja’(pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang
membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat itu dengan etika–
etika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati pula dengan dua sifat di
atas, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat–sifat lainnya.
Pangkal wara’, menurutnya, adalah ketakwaan, pangkal ketakwaan,
pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (muhasabat an-nafs), pangkal
introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah
pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal
pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia
terkesan pula mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan dengan janji
serta ancaman Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-
Quran jelas berbicara tentang pembalasan pahala dan siksaan. Ajakan-
ajakan Al-Quran pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (sugesti)
dan tarhib (ancaman). Al-Quran jelas pula berbicara tentang surga dan
neraka.
Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal
saleh, seseorang berhak mengharap pahala dari Allah. Inilah yang

8
dilakukan oleh mukmin sejati dan para sahabat Nabi sebagaimana
digambarkan oleh ayat:4
ٰٰۤ ُ
‫ّللا سبِ ْي ِل فِ ْي وجاهد ُْوا هاج ُر ْوا وال ِذيْن ٰامنُ ْوا ال ِذيْن اِن‬
ِ ٰ ۙ ‫ول ِٕىك‬ ‫ّللا ر ْحمت ي ْر ُج ْون ا‬ ۗ ٰ ‫رحِ يْم رْْغفُو و‬
ِ ٰ ُ ‫ّللا‬

Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah
dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Baqarah: 218)

3. Al-Qusairy
a. Biografi Singkat
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima
Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya
tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni pada abad ketiga dan keempat
Hijriyah, membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa
itu, baik dari segi teoritis maupun praktis.
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir
tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan
pada masanya. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq,
seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri majelis gurunya, dan
dari gurunya itulah, Al-Qusyairi menempuh jalan tasawuf. Sang guru
menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu,
Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqh pada seorang faqih, Abu Bakr
Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), dan mempelajari
ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr bin Farauk (wafat tahun 406 H).
Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayni (wafat tahun 418 H)
dan menelaah banyak karya Al-Baqillani. Dari situlah, Al-Qusyairi berhasil
menguasai doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Al-
Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh aliran

4
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2011,Hlm.134-136

9
tersebut dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah,
Mujassamah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat serangan
keras dan dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Tughul Bek karena
hasutan seorang menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rafidhah.
Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula tahun 445 H, diuraikannya
dalam karyanya, Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut Ibnu Khalikan, Al-
Qusyairi adalah seorang yang mampu “mengompromikan syariat dengan
hakikat,” Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf
1. Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunah
Seandainya karta Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji
secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung
mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah,
sebagaimana pernyataannya.
“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina
prinsip-prinsip tawawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga
terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka
lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak
tertandingi serta mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan
bisa mewujudkan sifat sesuatu diadakan ketiadaaanya. Karena itu, tokoh
aliran ini, Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang
lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun
didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan seperti
dikatakan Abu Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa tidak
mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat
tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.”
2. Kesehatan Batin
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya,
karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin,

10
sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan
pakaian mereka ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang
teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian
lahiriah. Sebagaimana perkataannya,
“Duhai, saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah
maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab,
ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak
keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian. Setiap tasawuf
yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari
maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang
batin itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya
yang batin. Dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-Quran maupun
As-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap
pengenalan terhadap Allah (makrifat) yang tidak dibarengi kerendah
hatian maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan
terhadap Allah.”
3. Penyimpangan Para Sufi
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan pedas, Al-Qusyairi
mengemukakan suatu penyimpangan lain dari para sufi abad kelima
Hijriyah.
“Kebanyakan para sufi menempuh jalan kebenaran dari kelompok
tersebut telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari
kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka.” Kemah itu hanya
serupa kemah mereka. Kaum wanita itu, kulihat, bukan mereka.”
Pendapat Al-Qusyairi di atas barangkali terlalu berlebihan. Namun,
apa pun masalahnya, paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf
pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama,
baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.5

5
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2011,Hlm.136-138

11
4. Al-Ghazali
a. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Tusi al-Syafi’I; dan lebih dikenal
dengan nama al-Ghazali. Dia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di suatu
kampung yang bernama Gazalah, di daerah Tus yang terletak di wilayah
Khurasan.
Ayahnya, Muhammad adalah seorang penenun dan mempunyai toko
tenun di kampungnya. Karena penghasilannya yang kecil, maka ia tidak
dapat menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Sungguhpun hidup sangat
miskin, ayahnya itu seorang pecinta ilmu yang bercita-cita tinggi. Ia selalu
berdoa, semoga Tuhan memberinya putra-putra yang berpengetahuan luas
dan mempunyai ilmu yang banyak. Dan ia adalah seorang muslim yang
saleh yang taat menjalankan agama. Tetapi sayang, ajalnya tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk menyaksikan segala keinginan dan doanya
tercapai. Ia meninggal sewaktu Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, masih
kecil.
Selagi masih kecil, mereka dititipkan kepada seorang sufi, teman ayahnya
agar bisa dididik. Karena ayahnya yang tidak berkecukupan, dan karenanya
harta warisan yang ditinggalkannya untuk kedua anaknya itu tidak banyak
jumlahnya, maka tidak berapa lama penerima titipan yang sufi itu lalu
menyerahkan mereka ke sebuah madrasah yang menyediakan biaya hidup
bagi para muridnya. Guru al-Ghazali yang utama di madrasah ini adalah
Yusuf al-Nassaj, seorang sufi terkenal.
Pada masa kecilnya, al-Ghazali juga belajar pada salah seorang faqih di
kota kelahirannya, yaitu Ahmad bin Muhammad al-Razakani. Lalu dia pergi
ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nasr al-Isma’ili. Setelah itu kemballi
ke Tus dan terus pergi ke Nisapur. Di sini dia belajar pada salah seorang
teolog aliran Asy’ariyah yang terkenal, Abu al-Ma’ali al-Juwaini, yang
bergelar Imam al-Haramain. Tidak hanya ilmu agama yang dia pelajari di

12
sini, tetapi juga filsafat, sehingga dia diakui dapat mengimbangi keahlian
gurunya yang dihormatinya itu. Dengan tidak ragu Imam al-Haramain
mengangkatnya sebagai dosen fakultas pada Universitas Nizamiyah. Bahkan
dia sering menggantikan gurunya di kala gurunya berhalangan, baik untuk
mewakilinya dalam memimpin maupun untuk menggantikannya dalam
mengajar.
Setelah gurunya, Imam al-Haramain meninggal (478H/1085 M), al-
Ghazali pindah ke Mu’askar dan menetap di sana selama kurang lebih lima
tahun. Dikatakan, pindahnya al-Ghazali ke sana adalah atas permintaan
Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang sangat tertarik kepadanya. Dia
diminta untuk memberikan pengajian tetap sekali dua minggu di hadapan
para pembesar dan para pakar, di samping kedudukannya sebagai penasihat
Perdana Menteri.
Dalam kesempatan al-Ghazali berada di Mu’askar, dia sering menghadiri
pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana Perdana Menteri
Nizam al-Mulk. Melalui pertemuan-pertemuan itulah, agaknya, al-Ghazali
mulai muncul sebagai ulama yang berpengetahuan luas dan dalam, sehingga
pada tahun 484 H/1091 M ia diangkat oleh Nizam al-Mulk menjadi Guru
Besar di Universitas Nizamiyah Baghdad. Tetapi kedudukannya ini tidak
lama dipegangnya meskipun dari sana keharuman namanya tersebar ke
mana-mana melalui tulisan-tulisannya, baik dalam ilmu fiqh-bidang keahlian
pokoknya maupun melalui tulisan-tulisannya di bidang filsafat, teologi dan
lain sebagainya.
Selama periode Baghdad, al-Ghazali menderita keguncangan batin
sebagai akibat dari sikap keragu-raguannya. Dalam puncak keragu-
raguannya sewaktu berada di Baghdad itu, pertanyaan yang selalu
membentur di hatinya adalah apakah pengetahuan yang hakiki itu, apakah ia
diperoleh melalui indera atau melalui akal, ataukah dengan jalan lain.
pertanyaan-pertanyaan inilah yang pada akhirnya memaksanya untuk
menyelidiki kebenaran pengetahuan manusia. Pertama-tama, dia meragukan

13
semua pengetahuan yang telah dicapai manusia pada masanya. Keraguan ini
seperti diceritakannya sendiri di dalam kitabnya Al-Munqiz min al-Dalal,
hampir dua bulan lamanya dan selama itu, katanya, hampir seperti kaum
filosof. Tetapi untunglah akhirnya Allah SWT berkenan menyembuhkan
penyakit keraguan itu. Ini terjadi, demikian pengakuan al-Ghazali, tidak
dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, tetapi dengan nur yang
diberikan Allah ke dalam kalbunya.
Al-Ghazali meninjau kembali jalan hidup yang selama ini dilaluinya.
Menurutnya, dia telah tenggelam dalam samudera godaan dan rintangan.
Segala pekerjaannya, termasuk mengajar yang dipandang mulia, dia tinjau
sedalam-dalamnya. Jelas, katanya, dia sedang berada di jalan yang salah, dia
perhatikan berbagai ilmu ynag ridak bermanfaat untuk perjalanan ke akhirat.
Niat dan tujuan dalam mendidik dan mengajar, menurutnya, tidak
sebenarnya ikhlas karena Allah, tetapi dicampuri oleh motivasi ingin
kedudukan dan kemasyhuran. Dia, katanya, sedang berdiri di pinggir jurang
yang curam, di atas tebing yang terjal, dan hampir jatuh atau jelasnya, dia
nyaris jatuh ke dalam neraka dan akan segera tercampak ke dalamnya, jika
tidak mau mengubah sikap.
Di antara karya al-Ghazali yang populer, yaitu; al-Munqiz min al-Dalal;
Tahafut al-Falasifah; al-Iqtishad fi al-I’tiqad; al-Wajiz; Ihya’ ‘ulum ad-Din;
Minhaj al-Anwar; ar-Risalah al-Lauduniyah; Bidayah al-Hidayah; al-Adab
di ad-Din, Raudah at-Talibin wa Umdah as-Salikin san Kitab Arbain.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang
berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin
Ahlussunnah wal Jamah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua
kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte
Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia
menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi

14
dan penyatuan, sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-
benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang
mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karya
nya seperti Ihya Ulum Ad-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah
Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan tasawuf baru dapat dicapai dengan
mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral
yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain
Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah. Ia pun berpendapat bahwa
sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan hidup
mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan
moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka,
baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya
kenabian di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi
penerangan.
1. Makrifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution,
makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-
peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat
bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun Nasution juga
menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa
qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya
Tuhan, qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi
cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir,
qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah
ketiganya akan menerima illuminasi dari Allah. Pada waktu itu pulalah,
Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat
sang sufi hanyalah Allah. Disini, sampailah ia ke tingkat makrifat.
Di dalam kitab Ihya’Ulum Ad-Din, Al-Ghazali membedakan jalan
pengetahuan sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama dan orang

15
arif(sufi). Untuk itu, ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa
si Fulan ada di dalam rumah. Keyakinan orang awam dibangun atas dasar
taklid dengan hanya mengikuti perkataan orang bahwa si Fulan ada di
rumah, tanpa diselidiki lagi. Bagi ‘ulama, keyakinan adanya si Fulan di
rumah dibangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang
terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Adapun orang arif tidak
hanya melihat tanda-tandanya melalui suara dibalik dinding. Lebih jauh
dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata
kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam rumah.
Makrifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si
Fulan ada di dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya,
makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam
maupun menurut ulama mutakallim, tetapi makrifat sufi yang dibangun
atas dasar dzauq ruhani dan kasyf ilahi. Makrifat semacam ini dapat
dicapai oleh para khawash auliya’ tanpa melalui perantara, langsung dari
Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan
walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi
mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali
mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh
ilmu dari Allah.
2. As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi
adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kita Kimiya’ As-Sa’adah, ia
menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak
(tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya.
Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah.
Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu.
Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai
kenikmatan tersendiri.

16
Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat terletak ketika
melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang
tiada taranya karena makrifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena
itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan yang lain.
Sebagaimana perasaan dapat bertemu presiden akan lebih bangga dan
senang daripada perasaan bertemu menteri. Hal ini dapat dianalogikan
dengan perasaan kalau dapat berhubungan dengan Allah, Tuhan penguasa
alam ini, seseorang tentunya akan lebih senang dan bangga. Inilah
kesenangan dan kebahagiaan sejati yang tiada taranya.
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan
hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan
melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun
manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya
bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang. 6

6
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2011, Hlm.138-141

17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tasawuf akhlaki adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan menghiasi diri
dengan perbuatan terpuji.
2. Dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak yaitu tahap
Takhalli, tahap Tahalli, dan tahap Tajalli.
3. Tokoh-tokoh dari tasawuf akhlaki ini adalah Hasan Al-Bashri, Al–Muhasibi,
Al-Qusairy dan Al-Ghazali.
4. Pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, ”Sahabat takut (khauf) dan
pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan; tidak
pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.”
5. Al–Muhasibi terkesan mengaitkan sifat khauf dan raja’ itu dengan etika–etika
keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati pula dengan dua sifat di atas,
seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat–sifat lainnya. Pangkal
wara’, menurutnya, adalah ketakwaan, pangkal ketakwaan, pangkal ketakwaan
adalah introspeksi diri (muhasabat an-nafs), pangkal introspeksi diri adalah
khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan
ancaman Allah, sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah
perenungan.
6. Tasawuf pada masa Al-Qusairy mulai menyimpang dari perkembangannya yang
pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.
7. Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah
Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamah. Dari paham
tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang
memengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-
Shafa,dan,lain-lainnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Jamil, Akhlak Tasawuf, Ciputat, referensi, 2013.

M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2011.

Muzakkir, Studi Tasawuf, Bandung, Cipta Pustaka, 2009.

19

Anda mungkin juga menyukai