Anda di halaman 1dari 59

Louis o.

Kattsoff
Pengantar Filsafat

Perenungan dalam filsafat


Orang mengatakan bahwa fisafat ‘tidak membuat roti’. filsafat tidak memberi
petunjuk – petunjuk untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi, juga tidak
melukiskan teknik – teknik baru untuk membuat bom atom, sebenarnya jika di dalam
filsafat anda mencari jawaban yang terakhir terhadap persoalan yang anda hadapi,
yakni jawaban yang disepakati oleh semua filsuf sebagai hal yang benar, maka anda
akan kecewa dan bersedih hati. Setelah lama mempelajarinya anda dapat mulai
menyusun suatu sistem filsafat yang didalamnya anda dapat menempatkan
persoalan-persoalan yang anda hadapi memberikan jawaban – jawaban yang
kiranya sah. Filsafat membawa kita kepada pemehaman dan tindakan. Secara
sederhana tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak
mungkin, dan menerbitkan serta mengatur semua itu didalam bentuk yang
sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa
kita kepada tindakan yang lebih layak. Keinginan filsafat ialah pemikiran secara
ketat, filsafat merupakan suatu analisa secara hati-hati terhadap penalaran
mengenai suatu masalah dan penyusunan secara sengaja serta sistematis atas
suatu sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan, san hendaknya diingat
bahwa kegiatan yang kita namakan kegiatan filsafat itu sesungguhnya merupakan
perenungan atau pemikiran. Pemikiran jenis ini berupa meragu
mmnkan segala suseuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang
satu dengan yang lainya, menayakan ‘mengapa’ mencari jawaban yang lebih baik
dibandingkan dengan jawaban yang tersedia pada pandangan pertama. Filsafat
sebagai perenungan mengusahakan kejelasan, keruntutan , dan keadaan memadai
pengetahuan, agar kita dapat memperoleh pemahaman. Seorang filsuf dianggap
sebagai memandang segala sesuatu dari sudut keabadian dan karenanya
menemukan ketiadaan sifat pentingnya segala sesuatu atau dianggap sebgai orang
yang memandang manusia sebagai sesuatu yang tidak bearti, dan karenanya
bersikap acuh tak acuh terhadap segala hal. Maka ada gambaran bahwa sorang
filsuf merupakan mesin yang berpikir tanpa suatu perasaan apapun, apapun yang
dilupakan ialah, bahwa mereka yang memandang seoarang filsuf dalam hubungan

1
yang demikian ini dan karenanya memandang filsafat sebagai sesuatu yang
membawa orang kepada sikap yang demikian itu, sesungguhnya tidaklah berbicara
tentang filsafat, melainkan tentang filsafat khusus. Ada filsafat yagn cendrung
memuja akal. Ada sistem filsafat yang didasarkan pada pandangan yang
mengutamakan kehendak. dan dewasa ini ada sistem filsafat yang menegaskan
bahwa pengetahuan yang mendalam dalam arti yang sebenarnya diperoleh melalui
perasaan. Dengan cara yang sama, banyak filsuf memberikan tekanan pada
ketiadaan sifat pentingnya manusia, tetapi para filsuf membrikan tekanan pada
ketiadaan sifat pentingnya manusia, tetapi para filsuf yang lain mengaskan tentang
keunggulan manusia. Filasafat merupakan pemikiran secara sistematis. Kegiatan
filasafat ialah merenung tetapi merenung bukanlah melamun juga bukan berpikir
secara kebetulan yang bersifat untung-untungan. Perenungan filsafat ialah
percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional yang memadai
untuk memahami diri kita sendiri. Perenungan filsafat dapat merupakan karya satu
orang yang dikerjakannya sendiri ketika ia dengan pikiranya berusaha keras
menemukan alasan dan penjelasan dengan cara semacam bertanya kepada diri
sendiri atau perenungan itu dapat pula dilakukan oleh dua atau lebih dari dalam
suatu percakapan ketika mereka menghubungkan pikiran mereka secara timbal
balik. Sesungguhnya tidak ada filsafat yang disusun dari ketiadaan dan tanpa hal –
hal yang mendahuluinya yang telah dipelajari, dan oleh rekan – rekan semasa
hidupnya yang mengajukan kritik terhadapnya. Sejumlah karya filsafat yang besar
terulis dialog yakni dalam bentuk percakapan diantara dua orang atau lebih yang
memiliki penyelesaian yang berupa alternatif dan yang dengan pembicaraan secara
rasional berusaha memperoleh kesimpulan yang memuaskan. Perenungan filsafat
ialah sejenis percakapan yang dilakukan dengan diri sendiri atau dengan orang lain
dalam hal ini berupa intropeksi diri ketika mengalami suatu kejadian yang tanpa
sadar melibatkan kita dan terjerumus kedalam suati permasalahan yang membuat
kita begitu kalut dan tertekan maka ada dimana suatu titik kita berpikir ulang atau
merefresh apakah benar yang saya lakukan ini dan memikirkan apa sebab akibat
mengapa semua ini bisa terjadi, itulah sebabnya mengapa sorang filsuf tampak
selalu berhubungan dengan polemik dan tampak lebih menaruh perhatian kepada
usaha merusak dan menetang dibandingkan dengan usaha membangun. Dalam arti
lain perenungan dapat dipandang sebagai pertentangan diantara alternatif yang
masing – masing berpegangan pada unsur atau segi yang penting dan kemudian
2
mencoba untuk mengujinya pada pengalamanya kenyataan empirik dan akal.
Banyak filsuf sudah puas dengan sekedar mengerjakan karya – karya rintisan bagi
orang lain, mereka sudah puas dengan menunjukan kesalahan – kesalahan dan hal
– hal yang tidak runtut dan menyerahkan pekerjaan untuk menciptakan sistem –
sistem seperti hegel kepada orang lain. Sebenarnya, memang lebih mudah untuk
bersikap destruktif secara kritis, ketimbang bersikap kontrukstif secara koheren.
Perenungan filsafat berusaha untuk menyusun suatu bagan konsepsional. Konsepsi
merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal – hal serta
proses – proses dalam hubungan yang umum. Filsafat merupakan hasil menjadi –
sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi – kritisnya
manusia terhadap diri sendiri sebagai pemikir didalam dunia yang dipikirkanya.
Sebagai konsekuensinya seorang filsuf tidak hanya membicarakan dunia yang ada
dalam dirinya sendiri melainkan juga mebicarakan perbuatan berpikir itu sendiri. Ia
tidak hanya ingin mengetahui hakekat kenyataan dan ukuran – ukuran untuk
mengenai segala sesuatu melainkan ia berusaha menemukan kaidah – kaidah
berpikir itu sendiri. Saling hubungan antar jawaban filsafat kesukaran yang
menyangkut pertanyaan yang membutuhkan pemikiran tentang proses pemikiran
akan segera muncul setelah seseorang berusaha menjawab salah satu diantaranya,
sebab usaha untuk menjawab petanyaan yang satu bersangkutan dengan
pertanyaan yang lain dalam usaha mengetakan apakah yang dinamakan kebenaran
orang harus berusaha menemukan apakh yang dinamakan kenyataan. Perenungan
filsafat mencari atau menyusun suatu bagan yang koheren dan konsepsional yang
bersifat runtut. Suatu perenungan filsafat tidak boleh mengandung pernyataan yang
saling bertentangan. Jika orang mulai menyukai perenungan filsafat maka ia akan
bertanya, mengapa tidak boleh? Filsuf berusaha memperoleh penyelesaian atau
jawaban terhadap pertanyaan yang terbukti benar, atau yang terbukti kebenaranya
daripada kenyataan. Munculnya kotradiksi merupakan tanda yang pasti tentang
kelemahan yang terkandung di dalam suatu sistem kefilsafatan karena itu
perenungan filsafat berusaha untuk menghindari kotradiksi – kontradiksi dan
menyusun suatu sistem pengetahuan yang koheren. Dalam perenungan filsafat kita
berusaha mencari dasar – dasar bagi kepercayaan kita dengan mengingat ciri – ciri
perenungan filsafat mudahlah bagi kita untuk memberikan definisi pertama tentang
filsafat. Filsafat merupakan hasil perenungan yang tidak berusaha menemukan fakta
– fakta. Tetapi filsafat selalu menunjukan fakta – fakta untuk mengkaji apakah
3
penjelasanya sudah memadai. Seorang filsuf tidak pernah menerima suatu fakta
secara dangkal, bahkan seorang ilmuwan yang baik tidak hanya berbicara mengenai
fakta-fakta, ia juga mempunya pandangan dunia dan dalam hubunganya dengan
pandanganya itu ia memandang fakta-fakta yang dimilikinya. Filsafat spekulatif
sebagai penyusun sistem, bagi filsafat spekulatif tidak ada bahaya yang lebih besar
ketimbang tidak diketahuinya lapangan – lapangan pengetahuan manusia tertentu
sintesa ialah untuk mencari kesatuan dalam keragaman itu.
Dalam perenungan filasafat mempunyai beberapa tahap untuk seorang filsuf
menganalisis suatu permasalahan agar permasalahn tersebut dapat dipahami dan
disepakati oleh filsuf lain adapaun tahapannyua sebagai berikut:
Perenungan filsafat ialah menyadari adanya masalah. Masalah yang kita hadapi
mungkin seluas masalah mengenai adanya kebenaran atau sesempit kesadaran
manusia bahwa suatu istilah yang diajukan memerlukan penjelasan. Apa yang lebih
menggocangkan hati seorang filsuf adalah ia mendapatkan sejumlah hal yang telah
diajukan kepadanya agar diterima sebagai hal yang benar pada masa mudanya,
namun ternyata secara rasional tidak ada dasarnya. Banyak diantara hal – hal yang
dipercayainya dikemudian hari dibentuk atas dasar hal – hal yang dipercayaisebgai
hal yang meragukan bagi para filsuf, bagaimana caranya agar ia dapat menjelaskan
fari hal – hal yang dipercayainya sesat dan dapat diterima sebagai hal yang benar
berdasarka suatu dasar pemikiran yang tidak dapat diragukan?
1. Menguji prinsip – prinsipnya yang medasari hal – hal semula dipercayainya,
yang demikian ini akan memberikan petunjuk kepadanya apa yang harus
diwaspadai.
2. Menentukan sesuatu yang tak dapat diragukan kebenaranya dan darinya,
menyimpulkan kebenaran yang lain.
Setelah merumuskan masalah yang dihadapi seorang filsuf harus menguji
pengetahuan itu yang diperoleh dari inderanya, dari kesadaran mulai menguji
pengetahuan yang diperoleh dari tidur, dan bahkan akal. Ia menemukan alasan –
alasan untuk meragukan segala sesuatu disekitarnya, perlu diingat jika seoraang
filsuf meragukan maka yang demikian ini bukan sekedar untuk meragukan belaka,
melalui keraguanya itu ia berusaha memperoleh suatu yang benar. Bagi seorang
filsuf memberikan alasan untuk menolak bahan bukti, sama perlunya dengan
memberikan alasan untuk menerima bahan bukti yang lain. Hendaknya diingat
bahwa seorang filsuf sangat berhati – hati dalam menemukan alasan – alasan yang
4
baik bagi keraguanya. Keraguan tersebut bukan sekedar keraguan belaka, bahkan
berusaha menentukan barang sesuatu yang tunggal yang pasti dan yang tidak
diragukan. Selanjutnya seorang filsuf harus memeriksa penyelesaianya yang
terdahulu agar menjadi dasar dalam keraguan sehingga memunculkan argumen
baru yang dapat diruluskan oleh para filsuf. Selajutnya setelah meneliti masalah
yang dihadapi dengan segala keraguan dan berbagai macam argumen maka
seorang filsuf memulai pertanyaan tersebut dengan mengajukan hipotesis, dengan
hipotesis kita bisa meninjau kembali masalah apa yang kita hadapi dan siap
mengusulkan suatu permasalahan yang disarankan bagi filsuf itu sendiri. Perbuatan
yang meragukan bahwa saya pikir pasti memperkuat kembali pernyataan “saya
berpikir” sebab jika tidak demikian bagaimana saya dapat meragukan atau bahkan
saaya sangat meragukan? Selajutnya setelah seorang filsuf memberikan hipotesis
maka dia harus memverifikasi terhadap hasil – hasil penjabaran yang telah
dilakukan, karena filsafat berusaha memahami, maka tugas pokok filsafat pada
hakikatnya ialah memperoleh pengetahuan. Maka verivikasi merupakan hal penting
bagi seorang filsuf dalam menghadapi masalah dan menjelaskan mengapa masalah
itu terjadi. Verifikasi dapat berupa pengamatan yang semakin banyak perbandingan
lanjutan dan kemampuan untuk mengatasi kritik yang dapat ditujukan untuk
menentang hipotesayang disarankan.ditinjau dari sudut ini maka seorang filsuf tidak
harus mengadakan verifikasi terhadap hasil – hasil penjabaran secara langsung,
seperti melakukan pengamatan, melainkan ia juga harus mengadakan verifikasi
terhadap hasil – hasil penjabaran yang tidak diverifikasi secara langsung, yakni
sejumlah metode tidak langsung. Ia harus mampu memehami dan menangkis
semua atau sebagian besar keberatan yang dapat diajukan untuk menentang, baik
hasil penjabaran maupun hipotesa yang disarankan. Langkah selanjutnya bagi
seorang filsuf adalah menarik kesimpulan dimana kesimpulan itu sebuah langkah
terakhir untuk menunjukan bukti bahwa masalah tersebut dapat diteliti dalam suatu
penyelidikan. Perenungan filsafat merupakan usaha untuk memperoleh
pengetahuan dan demikian usaha ini hanya berakhir apabila telah ditemukan
jawaban terhadap masalah yang telah diteliti. Kesimpulan dapat bermacam –
macam bentuknya, mungkin masalah tersebut merupakan masalah yang tidak
bermakna, masalah kemungkinan mengandung makna namun tidak terjawab oleh
pemikiran manusia misalnya tentang ketuhanan yang menciptakan manusia dari
tanah. Walaupun dijelaskan dalam kitab suci alquran telah dijelaskan tapi tetap saja
5
kita bingung tanah yang bagaimana yang dapat diajadikan manusia??apakah betul
hanya dari tanah manusia bisa terbentuk? Selanjutnya manusia terbuat dari air mani
laki – laki yang dipertemukan dalam sebuah sel telur perempuan sehingga terbentik
manusia, walaupun secara kedokteran suadah dijelaskan tapi tetap saja kita belum
bisa menemukan jawaban yang pasti mengapa bisa terjadi seperti itu? Yang bisa
kita lakukan adalah kita menemukan jawaban secara akal tetapi secara pengamatan
itu adalah hal yang biasa. Selanjutnya masalahnya mungkin dijawab secara
mengiayakan atau bahkan mengingkari, selajutnya mungkin dijawab dengan
menerima hipotesa sementara, dan yang terakhir masalah tesebut dapat dijawab
secara deskriptif, yakni dengan menggambarkan situasi atau proses yang
bersangkutan.

Filsafat dan bahasa


Sebenarnya dalam arti tertentu suatu sistem filsafat dapat dipandang sebagai suatu
bahasa dan perenungan kefilsafatan atau bahkan sebagai penyusunan bahasa
tersebut. Bagaimanapun juga alat terpokok dari semua filsafat adalah bahasa, tanpa
bahasa saya tidak dapat mengatakan sesuatu tentang filsafat kepada seseorang.
Bahasa ini kalo menurut orang awam yaitu agumen, manusia pandai menciptakan
argumen karena terdorong dari ketidak puasanya manusia dalam menemukan inti
pokok permasalahannya dan dengan argumen juga kita sepakat dalam pemecahan
masalah tersebut. Fakta menunjukan bahwa ungkapan pikiran dan hasil – hasil
perenungan kefilsafatan tidak dapat dilakukan tanpa bantuan bahasa. Maka untuk
bekerja selanjutnya dalam usaha memahami filsafat fan tugas seorang filsuf, kita
akan mempelajari bahasa yang digunakan dalam uraian kefilsafatan ini akan
memperkenalkan kita dengan banyak masalah yang terdapat didalamnya dan juga
mengenai filsafat, disamping itu kita juga akan menjumpai istilah – istilah pokok yang
terdapat di dalam filsafat. Masalah yang terkandung didalamnya untuk sampai
kepada makna yang dikandung oleh istilah – istilah serta pernyataan tersebut.
Berbicara filsafat merupakan suatu cabang filsafat, banyak orang
memandangnya sebagai logika kerena dengan menggunaka logika maka akan
tercipata penemuan – penemuan baru dan dapat diterima oleh akal. Orang dapat
membicarakan hubungan antara filsafat dengan yang lain kerena filsafat sebagai
mother of sainc tapi terkadang filasafat ini mulai hilang karena terlalu banyak ilmu
yang baru sehingga filsafat sendiri kehilangan nama dan orang – orang pun
6
menganggap filsafat itu sebagai sesuatu yang sangat mengerikan padahal setiap
hari apa yang terjadi, apa yng mereka lakukan tanpa sadar mereka sudah berfilsafat
seperti contoh merenung akan nasib. Mengapa nasib saya sial? tidak punya kerja?
orang yang berpikir secara logika tentu mereka akan mangambil kesimpulan bahwa
saya harus kerja dan harus hati – hati, secara tidak sadar logika merupakan cabang
filsafat dan mereka berpikir secara filsafat dan hal itu banyak dilupakan oleh banyak
orang. hakikat bahasa dalam filsafat yaitu bahasa tersusun dari perangkat –
perangkat tanda yang digabungkan dengan cara – cara tertentu. Ada tanda satu
demi satu – satu, seperti yang ditunjukan oleh huruf abjad. Bila digabungkan dengan
cara tertentu maka sejumlah darinya menimbulkan apa yang dinamakan kata – kata
atau “ istilah – istilah dasar”. Perkataan dalam bahasa kefilasafatan merupakan
perkataan yang telah memperoleh makna khusus. Banyak diantaranya akan
dijumpai Dictionary of fhilosophy dalam kebahasaan filsafat yang penting adalah
hendaknya kita jangan merasa sudah puas dalam hal makna yang dikandung oleh
suatu istilah, janganlah kita beranggapan telah mengetahui sepenuhnya makna yang
terkandung oleh susatu istilah. Bahkan kita tidak mengetahui maknanya. Barang
sesuatu yang ditunjuk oleh suatu tanda atau prkataan dinamakan yang diacunya
(refrent) atau makna objektif serin sangat sukar menentukan apa yang diacu oleh
suatu perkataan dengan kata lain suatu perkataan dapat menimbulkan berbagai
gagasan atau emosi dalam jiwa seorang yang mendengarnya yang dapat
menyebabkan melakukan tindakan dengan cara yang khusus. Sebaiknya kita
menamakannya segi pragmatik bagi perkataan sedangkan makna perkataan kita
namakan segi semantiknya. Harus kita ingat bahwa tanda yang sama dapat
menunjukan perkataan – perkataan yang secara semantik dan prahmatik dalam
keadaan yang berbeda. Kata – kata kefilsafatan mengandung makna secara
semantik meskipun sebagian filsuf memandang perkataan – perkataan tersebut
hanya bersifat mengungkapkan perasaan, dan kerenanya secara pragmatik
mengandung makna namun secara semantik tidak bermakna. diantara kalimat –
kalimat dalam suatu bahasa, ada suatu kalimat yang disebut kalimat berita. Kalimat
berita adalah kalimat yang menyatakan bahwa sesuatu keadaan itulah yang
merupakan kejadian yang dilihat atau dialami seseorang untuk disampaikan kepada
orang lain agar berita tersebut sampai kepada orang yang dituju. Kefilsafatan sangat
berkaitan dengan usaha menyusun pernyataan – pernyataan yang mengandung
makna dan yang sebenarnya. Pernyataan – pernyataan ini dapat mengenai berbagai
7
masalah. Unsur yang hakiki adalah bahwa filsafat berusaha memuat pengetahuan.
Bahwa pernyataan kefilsafatan juga memberi kesenangan kepada sebagian orang
atau melukai hari orang, hal itu merupakan soal lain terhadap penggunaanya yang
utama. Ini tidak berarti bahwa suatu pernyataan yang diucapkan oleh seorang filsuf
ipso fakto mengandung makna. Mahasiswa harus selalu siap menanyakan makna
suatu pernyataan seperti halnya ia juga selalu siap mempertanyakan istilah – istilah.
Aturan–aturan pokok suatu bahasa yang digunakan dalam uraian filsafat
terdiri dari seperangkat istilah dan seperangkat pernyataan yang dibentuk dari
istilah–istilah tadi ditambahkan dengan istilah lain dalam makna yang lazim yang
diambilkan dari bahasa yang digunakan oleh sang filsuf. Suatu bahasa yang lengkap
terdiri dari seperangkat istilah dan tiga seperangkat aturan. Perangkat aturan
pertama dibuat semantik yaitu aturan untuk menerangkan hubungan antara
ungkapan–ungkapan bahasa dengan hal–hal yang ditunjukan. Yang ke dua
pragmatis yaitu aturan yang menerangkan latar istilah atau pernyataan yang bersifat
kejiwaan, emosional, geografik dan sebagainya. Dan yang terakhir bersifat sintaksis
yaitu aturan–aturan yang menerangkan cara–cara menyimpulkan ungkapan
berdasarkan ungkapan yang lain dengan jalan perubahan bentuk. Adapun berbagai
macam istilah–istilah yang digunakan dalam kefilsafatan yaitu:
Yang–ada ( being ) sesuatu yang bereksistensi yang memiliki sifat ada sebelum
dapat dinyatakan ada. Dengan kata lain yang – ada merupakan predikat yang paling
umum serta paling sederhana diantara semua predikat dan hal ini juga merupakan
predikat universal dalam arti predikat yang satuan yang mungkin ada. Yang – ada
merupakan istilah yang tidak mengandung makna, dan tidak menunjuk apapun.
Memikirkan istilah ‘yang –tiada’ memberikan sifat yang-tiada, tetapi tidak
memberikan sifat yang-ada kepada sesuatu yang dianggap oleh istilah tersebut.
Kenyataan (reality) segala sesuatu mempunyai sifat yang – ada namun tidak semua
hal bersifat nyata atau merupakan kenyataan. Kenyataan juga dapat didefinisikan
sebagai sesuatu yang ditangkap dalam tangkapan yang dapat dipercaya, yang
dilawankan degan apa yang ditangkap dalam impian atau khayalan. Istilah
kenyataan seperti tidak bisa disandingkan dengan eksistensi meskipun ada orang
yang seperti itu, kita dapat mengubah istilah kita dan mengatakan bahwa yang nyata
ialah sesuatu yang benar-benar ada. Yang-nyata mempunyai sifat yang ada, tetapi
sesuatu yang mempunyai sifat yang-ada tidak harus bersifat nyata.

8
Eksistensi (existence) merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu
apapun yang bereksistensi itu nya, tetapi sebaliknya sesuatu hal dikatakan
bereksistensi jika hal itu adalah sesuatu yang bersifat publik, artinya objek itu sendiri
harus dialami atau dapat dialami oleh banyak orang yang melakukan pengamatan.
Yang dimaksud dengan pengalaman adalah pengalaman melaui panca indra seperti
melihat, merasakan, dan mendengar. Hal – hal yang bereksistensi merupakan
himpunan bawahan yang nyata tetapi tidak sebaliknya. Yang nyata merupakan
kategori yang lebih luas dari pada eksistensi tersebut.
Substansi (substance) hubunga antara subtansi dan esensi adalah sama dengan
hubungan antara eksistensi dan kenyataan. Setiap substansi mengandung
pengertian esensi, tetapi tidak setiap esensi mengandung arti substansi. Substansi
dipandang sebagai sesuatu yang adanya terdapat didalam dirinya sendiri. Subtansi
sendiri dapat diartikan sesuatu yang mendasari atau mengandung kualitas-kualitas
serta sifat-sifat kebetulan yang mempunyai barang tertentu.lawan dari substasi
adalah aksidensi yaitu sesuatu yang termasuk dalam sifat barang tetapi bukan
substansi dari barang tersebut. Misalnya sifat substansi hal-hal yang bersifat
material, yakni bahwa hal-hal tersebut bereksistensi yaitu menempati ruang khusus
apakah yang ditempatinya tiulah yang dinamakan aksidensi. Bila substansi
dalawankan dengan aksidensi maka substansi sering dipakai searti esensi, tetapi
haru s diingat bahwa esensi sangat erat hubungannya dengan sesuatu yang
menjadikanya sesuatu tertentu.
Materi (matter) materi dapat dilihat dari cara seseorang memandang sesuatu
terkadang kita bicara materi barang sesuatu dan secara sederhana yang kita
masudkan adalah substansinya. Materi adalah perkataan yang digunakan sebagai
nama jenis substansi yang mendasar dalam fisik. Materi merupakan satu macam
subtansi, meskipun pengikut materialisme berpendirian bahwa materi itulah yang
merupakan satu-satunya macam subtansi.
Bentuk (form) perkataan bentuk mempunyai sejumlah makna. Salah satunya
diantaranya dapat kita jumpai dalam barang misalnya meja kayu. Esensi yang
terwujud dalam materi akan mempunyai bentuk yang khusus dan bentuk itu dapat
dicontoh. Perkataan bentuk terkadang dapat diartikan sebagai pola barang.
Perubahan (change) perubahan sebagai suatu proses yang dapat kita definisikan
perubahan sebagai apa yang tejadi bila sesuatu hal menjadi hal yang lain dari hal itu
sendiri. Dengan kata lain, perubahan adalah peralihan sesuatu hal yang dari
9
keadaanya menjadi bukan keadaanya dan dari bukan keadaanya menjadi
keadaanya yang sekarang. Jadi perubahan adalah proses dari keadaan potensial
menjadi keadaan aktual dan dari keadaan aktual menjadi keadaan potensial.
Sebab – akibat (causality) sebab akibat sebagai keadaan yang berhubungan. Ini
salah satu diantara istilah – istilah yang paling sulit dalam kamus kefilsafatan. Suatu
sebab sering dikira sebagai suatu perantara yang mengadakan perubahan atau
mencegah perubahan. Aristotales mendefinisikan 4 macam sebab yaitu (1) causa
materialis, misalnya kayu merupakan sebab bagi adanya meja, (2) causa formalis,
misalnya pola meja merupakan sebab adanya meja, (3) causa efficiens, sesuatu
yang mengawali gerakan, misalnya tukang kayu merupakan causa efficiens bagi
adanya meja, (4) causa finalis, misalnya tujuan pembuatan meja merupakan sebab
bagi adanya meja. Sesuatu yang dihasilkan sebab dinamakan akibat. Determinisme
adalah suatu ajaran yang berpandangan bahwa segala hal yang terjadi semata –
mata merupakan akibat dari suatu sebab dan mau tidak mau pasti terjadi.
Hubungan (relation) istilah ini merupakan salah satu diantara pengertian –
pengertian terdalam, yang terhadapnya kita hanya dapat menunjukan unsur – unsur
tertentu tanpa mencoba untuk memberikan suatu definisi yang cermat. Saat ini
sedang berkembang dua buah teori umum perihal antara hal – hal. Teori yang satu
berpendirian bahwa semua relasi berasal dari luar hal – hal yang berhubungan. Ini
berarati bahwa ada hal – hal dan ada hubungan diantara keduanya. Teori yang lain
mengatakan bahwa semua hubungan berasal dari dalam, yakni hubungan –
hubungan kita terdapat didalam (intrinsic) objeknya dan karena itu menghubungkan
dua hal berarti merubah kedua hal tersebut. Yang mendasari diri pada hubungan
dari luar ini adalah pengikut realisme, sedangkan hubungan – hubungan yang
berasal dari dalam didukung oleh para pengikut idealisme. Maka jelaslah
pengetahuan kita tentang barang sesuatu akan mengubah barang sesuatu itu jika
hubunganya berasal dari dalam tetapi tidak mengubahnya, jika hubunganya berasal
dari luar.
Banyak tempat telah disediakan bagi pembicaraan tentang bahasa yang digunakan
dalam uraian kefilsafatan. Filsafat memang merupakan hal yang sukar sebagaimana
talah diuraikan namun filsafat juga sangat banyak mendatangkan keuntungan, tetapi
jika memiliki getaran hati yang mengiringi penalaran yang ketat serta pembuktian
yang ketat serta pembuktian yang logis maka akan terbukti bagi anda bahwa uraian
kefilsafatan sangat menyenangkan. Penalaran yang mendalam mungkin tidak selalu
10
membawa kepada suatu jawaban, namun bagaimanapun juga penalaran terbukti
dapat membantu untuk sampai pada suatu jawaban. Filsafat mempunyai makna
yang banyak jumlahnya bagi pelbagai orang dan pelbagai masa didalam sejarah
manusia. Telah banyak definisi yang dicoba untuk dibuat dan banyak pula yang
telah mencoba membatasi corak – corak pertanyaan yang diajukan oleh seorang
filsuf. Mulai dari sikap pribadi orang terhadap dunia disekitarnya sampai dengan
seluruh jumlah pengetahuan manusia.dalam hal ini memberika kepada gambaran
mengenai filsafat sebagai suatu percobaan. Usaha yang sudah lama dan selalu
baru, untuk menyesuaikan sebagian terbesar tradisi yang membentuk akal pikiran
manusia yang sesungguhnya dengan kecendrungan – kecendrungan ilmiah, serta
hasrat politik yang baru dan tidak cocok dengan otoritas – otoritas yang telah
diterima. Kefilsafatan sendiri merupakan perjuangan yang berlangsung secara terus
menerus untuk menyusaikan yang lama dengan yang baru didalam suatu
kebudayaan. Dewey mengartikan filsafat itu bahwa filsafat ialah suatu percobaan
untuk mengadakan penyesuaian terhadap fakta – fakta perubahan kebudayaan.
Dalam arti lain filsafat merupakan hasil yang berasal dari hasrat atau lebih tepat
disebut tuntutan yang menginginkan bahwa hidup itu mengandung makna. Karena
tanpa tuntutan tersebut kita akan binasa. Menrut dewey dilsafat mempunyai dua segi
yaitu filsafat melihat kemasa lampau tetapi juga melihat kemasa yang akan datang.
Seorang filsuf juga mencoba untuk menetapkan pola – pola yang harus diikuti dalam
pikirannya serta tindakan di masa yang akan datang. Ditinjau dari sudut pandang ini
filsaft merupakan suatu perabot yang harus digunakan untuk mengubah eksistensi
dan buka hanya untuk memahaminya.
Jacques maritain mengatakan dalam bukunya “filsafat bukanlah suatu
kebijaksanaan mengenai tingkah laku atau kehidupan praktik yang berupa
perbuatan yang baik. Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan sifatnya pada
hakikatnya berupa usaha mengetahui. Mengetahui dalam arti yang paling penuh
serta paling tegas, artinya mengetahui berdasarkan sebab – sebabnya.
Dalam catatan yang dibuat oleh dewey filsafat tidak berbeda dengan perenungan
kefilsafatan itu sendiri. Sedangkan ducasse dalam bukunya menulis filsafat adalah
suatu usaha mencari pengetahuan dan pengatahuan yang dicarinya adalah
mengenai fakta–fakta yang dinamakan penilaian. Penilaian terjadi jika kita
menggunakan kata–kata sifat, seperti baik dan buruk, susila dan tidak susila, sehat
dan khilaf dan sebagainya dan pertanyaan yang mendasar adalah penyifatan
11
apakah yang kita berikan kepada suatu pernyataan bila kita menilainya sebagai
pernyataan yang sehat? Dengan kata lain ducasse memandang filsafat sebagai
suatu usaha mencari makna yang kita berikan bila kita membuat penilaian tersebut.
Menurut russel dalam bukunya yang berjudul filsafat mendefinisikan filsafat
berbeda–beda sesuai dengan filsafat yang kita terima. Satu–satunya hal yang dapat
kita katakan untuk memulainya adalah bahwa ada masalah–masalah tertentu yang
setidak–tidaknya menarik perhatian orang tertentu termasuk dalam suatu ilmu
pengetahuan yang khusus. Masalah–masalah ini semuanya sedemikian rupa
keadaanya sehingga menimbulkan keraguan terhadap apa yang lazimnya dianggap
sebagai pengetahuan. Dan jika keraguan ini terus diberi jawaban maka hanya dapat
dilakukan dengan mengadakan penyelidikan yang khusus yang diberi nama filsafat.
Karena itu langkah yang pertama dalam membuat definisi tentang filsafat adalah
menunjukan masalah–masalah serta keragu–raguan tersebut yang juga langkah
pertama dalam penyelidikan yang sesungguhnya tentang filsafat. Filsafat timbul dari
usaha yang luar biasa gighnya untuk mencapai pengetahuan yang nyata. Jawaban
tehadap penyataan tadi merupakan suatu kajian terhadap penyelidikan filsafat
ditinjau dari sudut pandang pelbagai lapangan yang diliputinya dan masalah–
masalah yang timbul didalamnya. Ini tidak hanya mengharuskan penyelidikan yang
sistematis mengenai lapangan–lapangan filsafat melainkan juga suatu penyelidikan
mengenai sejarah filsafat untuk menentukan lapangan–lapangan tersebut. Filsafat
dimanapun dijalankan dan oleh siappun diusahakan mempunyai definisi yang selalu
sama. Kiranya dapat dibayangkan bahwa sukar sekali memberi jawaban apakah
filsafat itu? Sampai kita mengetahui apakah yang ingin diketahui oleh si penanya.
Cabang–cabang filsafat
Hanya ada satu mata pelajaran mengenai alat dalam filsafat dan mata pelajaran
tersebut dinamakan LOGIKA. Logika adalah istilah yang dibentuk dari bahasa
Yunani logikos yang berasal dari kata benda logos, artinya sesuatu yang diutarakan,
suatu pertimbangan akal pikiran, kata, percakapan  dan bahasa. atau yang yang
berkenaan dengan bahasa. Jadi secara etimologi logika berarti suatu pertimbangan
akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Dengan
demikian bahwa logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berfikir lurus
(tepat). Dari definis yang diungkapkan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa logika
adalah cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan, dan membahas asas-
asas, aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif serta kriteria yang sahih
12
bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Logika merupakan suatu percobaan untuk
memberi jawaban terhadap pertanyaan: “apakah yang dimaksud dengan pendapat
yang benar ?, apakah yang membedakan antara argumentasi yang benar denga
yang keliru ? atau apakah yang dapat digunakan untuk meneliti kekeliruan
pendapat ? Memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersebut, Popkin dan Stroll
berkesimpulan bahwa logika merupakan salah satu cabang filsafat yang tergolong
penting sekali. Semua bagian atau cabang filsafat tidak dapat lepas pada
penggunaan pikiran atau cara berfikir, apakah pikiran itu benar atau keliru akan
tergantung pada penyesuaiannya dengan asa-asas logika. Di situlah letak logika di
perlukan sebagai dasar penggunaan pikiran. Logika itu terbagi kepada beberapa
macam, antara lain logika naturalis, logika ilmiah, logika artificialis atau
tradisional serta logika formal dan logika material. Logika naturalis (alamiah) adalah
bahwa manusia berfikir menurut kudrat atau fitrahnya scara alamiah. Umur logika itu
sama usianya dengan umur manusia, akrena sejak kelahirannya dia sudah
dilengkapi oelh Tuhan dengan akal / ratio, yang berarti sejak itu logika telah ada
dalam bentuknya yang sederhana, alamiah dan belum dikembangakan secara
ilmiah. Misalnya, manusia dapat berpikir secar praktis bahwa si A tidak sama
dengan si B, makan tidak sama dengan tidur dan lain sebagainya. Jadi kecakapan
berfikir logis manusia adalah anugrah dari Tuhan yang tidak dimiliki oleh makhluk
seperti  hewan. Sedangkan logika ilmiah (scientific) adalah kelanjutan dari logika
alamiah (natural), yaitu apabila manusia diberikan bimbingan secara sistematis
untuk dapat menguasai pola-pola pikir secara teratur sesuai dengan hukum-hukum
ketetapan atau kebenaran berfikir. Adapun logika artificialis yang disebut juga logika
tradisional (logika Aristoteles), yang kelahirannya sebagai logika tradisi kuno sejak
Aristoteles berhasil membukukannya dalam ‘Organon’ sebagai buku logika pertama.
Menurut tradisi, Aristoteleslah yang berhasil merumuskan ilmu tentang kaidah
berfikir benar secara sistematis. Menurutnya, logika adalah sebagai organon (alat
dan instrumen) untuk berpikir benar dan menemukan kebenaran. Setelah
pengetahaun logika ini membudaya di kalangan umat manusia, maka logia artifisialis
ini dikembangkan secara ilmiah menjadi dua bagian, yaitu logika formal dan logika
material. Logika formal (logic) atau logika minor, mempelajari asas-asas, kaidah,
aturan atau hukum berfikir yang harus ditaati, agar manusia dapat berfikir dengan
tepat dan benar serta mencapai kebenaran. Jadi bagaimana seharusnya manusia
13
berfikir dengan baik sesuai aturan tersebut. Sedangkan logika material atau kritik
(mayor), mempersoalkan isi atau materi pengetahuan dan bagaimana caranya
mempertanggungjawabkan isi pengetahuan itu. Dengan demikain logika ini
mempelajari tentang : sumber dan asal pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses
terjadinya pengetahuan, kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas penjelasan
pengetahuan, metode ilmiah pengetahaun dan kebenaran serta kekeliruan dan
sebagainya. Logika material inilah sebagai wadah timbulnya filsafat mengenal
(kennisleer) dan filsafat ilmu pengetahuan (wetenschapleer). logika membicarakan
teknik–teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu.
Kadang–kadang logika diberi definisi sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan
kesimpulan, dan logika dibagi menjadi dua cabang yaitu logika induktif dan logika
deduktif. Logika deduktif berusaha menemukan aturan–aturan yang dapat
digunakan untuk menarik kesimpulan–kesimpulan yang bersifat keharusan dari satu
premis tertentu atau lebih. Memperoleh kesimpulan yang bersifat suatu keharusan
yang paling mudah adalah bila didasarkan atas susunan proposisi – proposisi dan
akan lebih sulit bila yang diperhatikan ialah isi dari proposisi – proposisi tersebut.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu
logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus,
tepat, dan teratur.Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui
dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan
pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga
diartikan dengan masuk akal. Pikiran manusia pada hakikatnya selalu mencari dan
berusaha untuk memperoleh kebenaran. Karena itu pikiran merupakan suatu
proses. Dalam proses tersebut haruslah diperhatikan kebenaran bentuk dapat
berpikir logis. Kebenaran ini hanya menyatakan serta mengandaikan adanya jalan,
cara, teknik, serta hukum-hukum yang perlu diikuti. Semua hal ini diselidiki serta
dirumuskan dalam logika.
Secara singkat logika dapat dikataka sebagai ilmu pengetahuan dan kemampuian
untuk berpikir lurus. Ilmu pengetahuan sendiri adalah kumpulan pengetahuan
tentang pokok tertentu. Kumpulan ini merupakan suatu kesatuan yang sistematis
serta memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan ini
terjadi dengan menunjukkan sebab musababnya.
Logika juga termasuk dalam ilmu pengetahuan yang dijelaskan diatas. Kajian ilmu
logika adalah azas-azas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat.
14
Agar dapat berpikir seperti itu, logika menyelidiki, merumuskan, serta menerapkan
hukum-hukum yang harus ditepati. Hal ini menunjukkan bahwa logika bukanlah
sebatas teori, tapi juga merupakan suatu keterampilan untuk menerapkan hukum-
hukum pemikiran dalam praktek. Ini sebabnya logika disebut filsafat yang praktis.
Objek material logika adalah berfikir. Yang dimaksud berfikir disini adalah kegiatan
pikiran, akal budi manusia. Dengan berfkir, manusia mengolah dan mengerjakan
pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya ia
dapat memperoleh kebenaran. Pengolahan dan pegearjaan ini terjadi dengan
mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan, serta menghubungkan
pengertian satu dengan pengertian lainnya.
Tetapi bukan sembarangan berfikir yang diselidiki dalam logika. Dalam logika berfikir
dipandang dari sudut kelurusan dan ketepatannya. Karena berfikir lurus dan tepat
merupakan objek formal logika. Suatu pemikiran disebut lurus dan tepat, apabila
pemikirn itu sesuai dengan hukum-hukum serta aturan-aturan yang sudah
ditetapkan dalam logika.
Dengan demikian kebenaran juga dapat diperoleh dengan lebih mudah dan aman.
Semua ini menunjukkan bahwa logika merupakan suatu pegangan atau pedoman
untuk pemikiran. Dalam kenyataannya banyak filsuf berpendirian bahwa tidak
mungkin kita memperoleh kesimpulan yang bersifat keharusan dari proposisi
berdasarkan atas isinya. Sedangkan logika induktif mencoba menarik kesimpulan
tidak dari penyusunan proposisi – proposisi melainkan dari sifat – sifat seperangkat
bahan yang diamati. Bagi logika deduktif ada perangkat yang dapat diterapkan
hampir – hampir secara otomatis. Sedangkan bagi logika induktif tidak ada aturan –
aturan yang demikian itu kecuali hukum probablilitas. Ada mata pelajaran mengenai
alat yang lain yang termasuk dalam juduk logika yaitu metedologi. Sebenarnya
induksi dapat dipandang sebagai salah satu cabang metodologi. Metodologi adalah
ilmu pengetahuan atau mata pelajaran tentang metode, khususnya tentang metode
ilmiah, tetapi metodologi dapat membahas metode – metode yang lain misalnya
metode yang sering dipakai dalam sejarah. Semua metode yang berharga dalam
menemukan pengetahuan mempunyai garis – garis besar umum yang sama.
Metodologi membicarakan hal – hal bersifat observasi, hipotesa, hukum, teori,
susunan eksperimen dan lain – lain.

15
Cabang lain dari filsafat adalah metafisika,

sejarah mencatat istilah metafisika dipergunakan di yunani untuk menunjukan karya


– karya tertentu Aristotales. Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu meta ta
physika yang berarti hal – hal yang terdapat sesudah fisika. Aristotales
mendefinisikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang – ada sebagai yang-ada
yang dilawankan misalnya dengan yang-ada sebagai yang digerakan atau yang-ada
sebagai yang jumlahkan. Dewasa ini metafisika dipergunakan baik untuk
menunjukan filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Metafisika
juga seringkali dijumpai khususnya bagi mereka yang ingin menolaknya dengan
salah satu bagianya yaitu ontologi. Adapun selain itu metafisika dapat didefinisikan
sebagai suatu bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan
mengenai yang-ada yang terdalam. Dalam artian metefisika terlihat sangat erat
hubunganya dengan ilmu – ilmu alam dan saling mempengaruhi terhadap ilmu –
ilmu tersebut. Didalam metafisika dibagi menjadi dua cabang yaitu kosmologi dan
ontologi. Perkataan kosmologi berasal dari perkataan yunani yaitu cosmos dan logos
yang masing – masing berarti alam semesta yang teratur dan penyelidikan tentang
atau lebih tepatnya asas-asas rasional dari. Sedangkan perkataan ontologi berasal
dari yunani yaitu yang-ada dan sekali lagi, logos. Ontologi membicarakan asas-asas
rasional dari yang-ada sedangkan kosmologi membicarakan asas-asas rasional dari
yang-ada yang teratur. Ontologi berusaha untuk mengetahui esensi terdalam dari
yang-ada, sedangkan kosmologi berusaha mengetahui ketertibanya serta
susunannya. Materialisme adalah ajaran-ajaran ontologi yang mengatakan bahwa
yang-ada yang terdalam bersifat material. Evolusi sebagai teori kefilsafatan
merupakan teori kosmologi karena teori ini memberitahukan kepada kita bagaimana
timbulnya ketertiban yang ada sekarang ini. Selanjutnya dalam cabang filsafat
terdapat ilmu epistemologi yang berati menyelidiki asal mula, susunan metode-
metode dan sahnya pengetahuan. Kadang-kadang seorang ahli metafisika secara
ironi didefinisikan sebagai orang buta didalam kamar yang gelap yang sedang
mencari seekor kucing yang tidak ada didalam kamar itu. Istilah Epistemologi
banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang dipakai di negeri-
negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman menyebutnya
Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan masalah-
masalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan logika,

16
tetapi pada umumnya epistemology itu hanya membicarakan tentang teori
pengetahuan dan kebenaran saja. Epistemologi atau Filsafat pengetahuan
merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat
pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud
dalam hal ini adalah ilmun pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak
memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan. Beberapa pakar lainnya
juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder menuturkan, epistemologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya
dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan, epistemology adalah
pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki tentang
pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang pengetahuan
kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang lain. Pendek kata
Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui pengetahuan kita. Abbas
Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemology adalah bagian
filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan
mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu.
Dari beberapa definisi yang tampak di atas bahwa semuanya hamper memiliki
pemahaman yang sama. Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang
membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek
material dari epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat
pengetahuan itu. Sehubungan dengan hal itu seorang ahli epistemologi merupakan
orang yang ingin mengetahui bagaimana caranya agar orang tersebut dapat
menemukan kucing tersebut. epistemologi erat hubungannya dengan kosmologi
karena epistemologi mencari tahu atau mengembangkan pengetahuan orang dalam
mencari suatu makna, jika tidak hati-hati dapat terjadi kita akan menyimpulkan fari
bagaimana cara kita mengetahui bukan hanya apa yang kita ketahui melainkan juga
menyimpulkan apaka kenyataan itu. Inilah kesalahan yang sering dilakukan oleh
mereka yang menunjukan bahwa satu-satunya hal yang kita ketahui ialah ide-ide
dan karena itu kenyataan sendiri terdiri dari ide-ide. Selanjutnya dalam cabang ilmu
filsafat ada ilmu biologi kefilsafatan. Biologi kefilsafatan membicaran persoalan-
persoalan mengenai biologi. Biologi kefilsafatan mencoba untuk menganalisa
pengertian-pengertian hakiki dalam biologi dengan cara yang hampir sama
sebagaimana fisika kefilsafatan menganalisa pengertian-pengertian dalam fisika.
17
Seorang filsuf tidak dapat menentukan sebelumnya apakah evolusi biologis terjadi
atau tidak. Tetapi ia dapat memberikan bantuan dalam analisa mengenai
pengertian-pengertian hidup, adaptasi, teleologi, evolusi, dan penurunan sifat-sifat.
Soarang filsuf juga dapat menolong ahli biologi untuk bersifat kritis bukan hanya
terhadap istilah-istilahnya melainkan juga terhadap metode-metode dan teorinya.
Biologi kefilsafatan membicarakan metode-metode yang digunakan oleh para
ilmuwan biologi dan membicarakan makna bahan-bahan yang mereka temukan
maka biologi kefilsafatan merupakan bantuan dalam filsafat spekulatif dan arena
gambaran yang kita buat mengenai kenyataan tidak boleh bertentangan dengan
fakta-fakta biologi yang sudah ditetapkan dengan baik.
Selanjutnya didalam cabang filsafat terdapat ilmu psikologi filsafat, Kemajuan ilmu
jiwa (psikologi) dan ilmu kedokteran dewasa ini menunjukkan bahwa jiwa
berpengaruh terhadap raga. Proses-proses kejiwaan mempengaruhi proses yang
semata-mata bersifat ragawi. Begitulah emosi berpengaruh terhadap pencernaan
makanan dan amarah menimbulkan kegiatan-kegiatan kelenjar. Suara musik dapat
menggerakkan emosi; sementara itu kurang makan yang berkepanjangan akan
mengakibatkan mundurnya hasrat seksual. Juga telah diketahui bahwa derajat
kesembuhan dalam sejumlah penyakit tertentu dapat dipengaruhi oleh sikap
kejiwaan dari mereka yang sakit. Bahkan ada bukti yang menunjukkan bahwa
derajat pertumbuhan ragawi seorang anak tergantung pada suasana emosional di
mana ia hidup. Penyelidikan juga banyak dilakukan dalam upaya menarik suatu
hubungan antara kualitas fisik dengan sifat kejiwaan seseorang. Kita juga
mengetahui bahwa ada hubungan yang sangat erat antara gangguan-gangguan
pada kelenjar dengan pertumbuhan seseorang. Penyelidikan mengenai hubungan
antara jiwa dengan raga itu dalam istilah ilmuan modern disebut “Psikosomatika”.
Dengan demikian cukup jelas bahwa jiwa dan raga memang bertautan dalam batas-
batas tertentu. seorang filsuf dalam renunganya mencari tahu apakah manusia itu?
Apakah prilaku manusia itu sudah benar? Bagaimana membedakan manusia
dengan hewan? Pertanyaan ini sering diajukan oleh seorang filsuf. Dan didalamnya
terdapat menggunakan istilah-istilah yang dipergunakan dari pelbagai ilmu. Apa
yang merupakan praanggapanya seorang ilmuwan mengenai masalah yang
diselidikinya? Apa yang digunakan sebagai istilah terpokok yang tidak diberikan
batasanya bertepatan dengan hal-hal yang menarik perhatian seorang filsuf.
Didalam lapangan psikologi seorang filsuf mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
18
bersifat hakiki. Dan apa yang ketika dahulu semuanya bagain dari filsafat. Psikologi
sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu psikologi sebagai ilmu dan psikologi
kefilsafatan. Kedua hal ini tidak pernah terpisah melainkan hanya merupakan segi-
segi yang berbeda dari masalah yang sama.
Antropologi sebagai cabang filsafat yang mencari sebab mengapa manusia itu ada?
Pertanyaan ini telah lama menjadi pertanyaan yang belum terjawab dalam kitab injil
yang akibatnya dapat membuat kita gelisah. Pada abad V SM setelah melalui
penyelidikan yang lama yang pada pokoknya bersifat ontologis dan kosmologis,
scorates tampil kedepan dengan semboyang “kenalilah diri sendiri”. Antropologi
kefilsafatan juga membicarakn tentang makna sejarah manusia. Apakah sejarah itu
dan kemanakah arah kecendrunganya? Filsafat antropologi adalah bagian
metafisika khusus yang mempersoalkan apakah manusia itu?, apakah hakikat
manusia? dan bagaimana hubungan dengan alam dan sesamanya?. Maka filsafat
antropologi berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut sebagaimana
adanya, baik menyangkut esensi, eksistensi, status maupun relasi-relasinya.
Sebenarnya sejak zaman purba manusia dipersoalkan secara falsafati. Sejarah
manusia ditinjau dalam hubunganya dengan ilmu-ilmu alam, atau dalam
hubunganya dengan nafsu-nafsu atau dogma keagamaan, atau perjuangan untuk
kelangsungan hidup.
Cabang ilmu filsafat yang lainya adalah etika. Etika adalah ilmu yang membahas
perbuatan manusia baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami
oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak atau disebut pula moral. Apabila
disebut “akhlaq” berasal dari bahasa Arab. Apabila disebut moral berarti adat
kebiasaan. Istilah moral berasal dari bahsa Latin Mores. Tujuan mempelajari etika
adalah untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk
bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya disebut ilmu
pengetahuan normatif sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia
dengan penggunaan norma tentang baik dan buruk. Etika secara etimologi berasal
dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminology
etika adalah cabang filsafat yang membicararkan tingkah laku atau perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruknya
adalah sikap manusia yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan,
kata-kata dan sebagainya. Adapun motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai.
Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat
19
nilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika
normatife. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa
adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya
berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun etika normatif sudah memberikan
penialaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikrjakan dan yang tidak harus
dikerjakan. Etika Normatif dapat dibagi menjadi dua yaitu etika umum dan etika
khusus. Etika Umum membicarakan  prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai,
motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika Khusus adalah
pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan,
dan sebagainya. Didalam filsafat, etika juga dapat diartikan sebagai cabang ilmu
yang dapat menentukan tanggapan-tanggapan mengenai tingkah laku manusia yang
baik dan mempergunakan sebutan-sebutan tersebut banyak sekali masalah yang
timbul. Pada dasarnya etika berbeda dengan ontologi. Didalam ontologi kita
berusaha memperoleh pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fakta sedangkan etika
kita berusaha memperoleh kesimpulan-kesimpulan yang bersifat norma. Tujuan
pokok etika adalah menemukan norma-norma untuk hidup dengan baik, sedangkan
dalam ontologi adalah memperoleh pengetahuan.
Estetika adalah cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan, dan peranan
keindahan khususnya dalam seni. Estetika adalah cabang filsafat yang
membicarakan masalah seni (art) dan keindahan (beauty). Istilah ini berasal dari
bahasa Yunani, aisthesis yang berarti penyerapan inderawi, pemahaman intelektual
atau bisa juga berarti pengamatan spritual. Dengan kata lain, estetika merupakan
studi filsafat yang mempersoalkan atau mengkaji hal-ihwal nilai keindahan.
Keindahan mengandung arti bahwa di dalam diri segala sesuatu terdapat unsur-
unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang
utuh dan menyeluruh. Bagi ilmu pengetahuan yang beraneka ragam itu, filsafat
berfungsi sebagai pengikat ke arah keseragaman dan kesatuan. Keanekaragaman
ilmu pengetahuan yang berada secara terpisah-pisah antara satu dengan yang lain
itu terjadi seragam, tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan
hubungan yang utuh menyeluruh di dalam obyek, metode dan teori kebenaran
filsafat .
Estetika dapat dibagi menjadi dua, yaitu estetika deskriptif yang menguraikan dan
melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan, dan estetika normatif yang
20
mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan.
Ada pula yang membagi estetika kepada filsafat seni dan filsafat keindahan. Filsafat
seni mempersoalkan status ontologis dari karya seni dan mempertanyakan
pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan
oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Sedangkan filsafat
keindahan membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai indah itu obyektif atau
subyektif. Menurut Plato seni atau art adalah keterampilan untuk mereproduksi
sesuatu, baginya apa yang disebut hasil seni tidak lain dari tiruan (imitation). Contoh,
seseorang yang melukis panorama alam yang indah sesungguhnya hanya meniru
panorma alam yang pernah dilihatnya. Jadi karya-karya seni hanyalah tiruan dari
meja, burung, kucing dan sebagainya dimana benda semua itu juga merupakan
tiruan dari bentuk ideal yang ada dalam alam ide. Aristoteles sependapat dengan
Plato tentang seni sebagai tiruan dari berbagai hal yang ada. Contoh yang dibuat
oleh Aristoteles adalah puisi. Dia mengatakan bahwa puisi merupakan tiruan dari
tindakan dan perbuatan manusia yang dinyatakan lewat kata-kata. Apabila Plato
menganggap seni tidak begitu penting, Aristoteles justru menganggap seni itu
penting karena memiliki pengaruh yang besar bagi manusia. Aristoteles mengatakan
bahwa puisi lebih filosofis daripada sejarah. Pada abad pertengahan, estetika tidak
begitu mendapat perhatian dari para filsuf, karena gereja Kristen semula bersikap
memusuhi seni dengan alasan hal itu bersifat duniawi dan merupakan produk
bangsa kafir Yunani dan Romawi. Namun Augustinus (354-430) memiliki minat
cukup besar terhadap seni, dengan mengembangkan suatu filsafat Platonisme
Kristen yang mengajarkan bentuk-bentuk Platonis. Dia mengatakan bahwa bentuk-
bentuk Platonis juga berada dalam pemikiran Tuhan. Menurutnya keindahan
merupakan salah satu bentuk yang ada dalam pemikiran Tuhan, oleh karenanya
keindahan dalam seni dan alam haruslah memiliki pertalian yang erat dengan
agama. Kendatipun mengikuti pendapat Plato tentang keindahan, namun dia
membantah pendapatnya yang mengatakan bahwa seni itu tiruan. Menurut
Augustinus, hewan juga meniru tapi tidak dapat menghsilkan karya seni. Kemudian
David Hume mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kualitas obyektif yang
terletak di dalam obyek-obyek itu sendiri, melainkan berada di dalam pikiran.
Manusia tertarik pada suatu bentuk dan struktur tertentu lalu menyebutnya indah.
Dia mengatakan bahwa apa yang dianggap indah oleh manusia sesungguhnya amat
ditentukan oleh sifat alami manusia, yang dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan
21
preferensi individual. Senada dengan Hume, Immanuel Kant berpendapat bahwa
keindahan itu merupakan penilaian estetis yang semata-mata subyektif. Menurutnya
bahwa pertimbangan estetis memberikan fokus yang amat dibutuhkan untuk
menjembatani segi-segi teori dan praktek dari sifat dasar manusia. Dia menganggap
bahwa kesadaran estetis sebagai unsur yang penting dalam pengalaman manusia
pada umumnya. Seorang filsuf Amerika, George Santayana (1863-1952)
mengembangkan estetika naturalistis. Sama dengan Hume dan Kant, dia menolak
obyektivitas keindahan. Menurut dia keindahan identik dengan kesenangan yang
dialami manusia ketika ia mangamati obyek-obyek tertentu. Filsuf Itali, Benedetto
Croce (1866-1952) mengembangkan teori estetika lewat alam pikiran filsafat
idealisme. Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan intuisi itu sendiri adalah
gambar yang berada dalam alam pikiran. Dengan demikian, seni berada di alam
pikiran seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik sesungguhnya bukan seni,
melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong penciptaan kembali seni yang
sebenarnya berada di alam pikiran seniman. Dia juga menyamakan intuisi dengan
ekspresi. Karena seni sama dengan intuisi dan intuisi sama dengan ekspresi, maka
seni sama dengan ekspresi. Apa yang diekspresikan itu tidak lain dari perasaan si
seniman. Dalam estetika sering menggunakan istilah kebenaran dan kebaikan.
Kebenaran merupakan tujuan yang hendak dicapai denga menggunaka
epistemologi dan metodologi, sedangkan Kebaikan merupakan masalah yang
diselidiki dalam etika. Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam seorang
filsuf adalah apakah keindahan itu? Apakah hubungan antara yang indah dan yang
baik? Apakah fungsi keindahan dalam kehidupan kita? Hal ini sering dihubungkan
dengan karya-karya seni, tetapi masalah kefilsafatan itu lebih luas, dan untuk
menjawab pertanyaan tersebut harus dilakukan secara empiris mengenai seni yang
merupakan langkah petama yang harus dilakukan adalah mencari tahu pengertian
seni itu sendiri.
Selanjutnya cabang filsafat yang terakhir adalah filsafat agama, Filsafat agama
bukanlah cabang theologi, karenanya bukan merupakan pembelaan filosofis
terhadap dogma, ajaran teologis tertentu dan keyakinan religius. Filsafat agama
adalah cabang filsafat yang baru muncul pada abad ke 18. Filsafat agama ini sering
kali dikacaukan dengan theologi natural – istilah yang telah dikenal sejak abad
pertengahan – namun permasalahannya telah dipersoalkan sejak zaman Yunani
kuno. Teologi natural merupakan upaya rasional untuk menjawab pertanyaan
22
tentang Tuhan, yakni apakah Tuhan itu benar-benar ada ? Jika benar ada,
bagaimana keberadaannya itu, bagaimana sifat-sifatnya dan bagaimana
hubungannya dengan manusia dan alam ?. Sebagai contoh dalam hal ini
Xenophanes (570-475 SM) mengatakan bahwa Tuhan itu benar ada dan satu
adanya, Dia tidak diciptakan, tidak bergerak dan tidak berubah. Dia mengisi seluruh
alam, mendengar dan melihat semua serta memimpin alam dengan kekuatan
pikiranNya. Aristoteles mengatakan bahwa Tuhan adalah substansi yang sempurna,
Dia bersifat imaterial, Dia penggerak pertama dan penggerak yang tidak digerakkan.
Dengan demikian, teologi natural dapat dikakatakan sebagai puncak metafisika.
Dalam filsafat agama sesungguhnya berarti pemikiran filosofis atau pemikiran kritis
analisis tentang agama. Yang hendak dianalisis oleh filsafat agama adalah hakikat
agama itu sendiri, yakni pengalaman-pengalaman religius manusia. Jadi filsafat
agama tidak menganalisis isi kepercayaan iman, melainkan mempertanyakan
apakah hakikat iman an sich, di samping Selain itu filsafat agama juga menganalisis
berupaya menjelaskan fenomena agama, terutama hakikat hubungan manusia
dengan Tuhannya. Lalu apa hakikat agama?. Agama adalah suatu keyakinan akan
adanya suatu kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan
menentukan, sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah manusia. Oleh
karena itu agama merupakan suatu misteri yang tidak terpecahkan oleh akal budi
manusia. Pengalaman religius adalah suatu hubungan pribadi antar manusia dan
Tuhan. Hubungan itu menggoncangkan, tetapi juga memberi kedamaian. R. Otto
mengatakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan membuat manusia gemetar,
segan dan takut. Ungkapan Otto yang terkenal adalah : “Mysterium Tremendum et
Fascinosum”, maksudnya adalah Yang Kudus yang membuat manusia gemetar,
segan dan takut itu juga membuat manusia tertarik dan terdorong untuk menyatukan
diri denganNya. Pengalaman manusia dalam hibingannya dengan Tuhan sangat
berbeda dengan pengalaman biasa. Hubungan dengan Tuhan mendorong manusia
untuk mengambil sikap tertentu, antara lain senantiasa berkomuniaksi denganNya
lewat beriman, ibadah, berdo’a, menyerahkan diri, taat, mengasihi dan bergantung
kepadaNya.
Ilmu dan filsafat
Bertrand russell mengatakan seseorang tidak mesti menjadi filsuf yang lebih baik
dengan jalan mengetahui fakta-fakta ilmiah yang lebih banyak. Asas-asas serta
metode-metode dan pengertian-pengertian yang umumlah yang harus ia pelajari dari
23
ilmu jika ia tertarik kepada filsafat. Seseorang akan menjadi filsuf yang menyedihkan
belaka jika tidak mengekui asas-asas, metode-metode dan pengertian-pengertian
yang bersifat umum dari ilmu pada masa hidupnya.
Hakikat materi
Jika ada sesuatu yang tampaknya pasti, padat dan kita kenal, hal itulah yang kita
namakan materi. Namun cukup aneh bahwa awal pikiran filsafatdari dunia barat
mengungkapkan adanya para filsuf alam yang mempersoalkan hakikat terdalam dari
hal-hal yang bersifat material san segala sesuatu yang bereksistensi tetapi
pemikiran mereka berbeda jauh antara yang satu dengan yang lain. Ilmu kemudian
kembali menangani masalah ini dan hingga kini masih tetap asyik
mempersoalkannya. Sampai dengan abad XX teori atom memandang materi
tersusun dari partikel-partikel terdalam, tidak dapat rusak, kecil, bulat, keras yang
kemudian dinamakan atom. Atom tersebut bukan hanya tidak dapat dirusak
melainkan juga tidak pernah menjadi atom-atom yang baru. Ini berarti bahwa semua
bentuk materi hanyalah sebagai pengelompokan baru dari atom-atom tadi,
sebagaimana yang semula diyakinkan baru dari atom-atom tadi sebagaimana yang
semula diyakini kebenaranya dalam hukum kelestarian materi. Materi pun dapat
dibagi kedalam molekul-molekul. Molekul adalah partikel terkecil dari suatu
substansi yang dapat bereksistensi atas kekuatanyasendiri dan masih menunjukan
sifat-sifat substansi tersebut. molekul dapat dipecah kedalam bagian-bagian yang
menyusunya yang pada masa sekarang ini disebut atom. Semula diasumsikan tidak
atom tidak dapat dipotong lagi. Atom dipandang hanya sebagai partikel yang sedang
bergerak, karena atom tidak mempunyai warna, bau, panas dan lain-lain. Yang
dipunyainya adalah massa, eksistensi, besar dan bangun. Ternyata atom bukan
merupakan partikel yang terdalam, karena atom masih dapat dipecah-pecah menjadi
partikel-partikel yang jauh lebih kecil yang dikenal dengan nama subatomik. Atom
juga juga tidak bersifat abadi dan bukanya tidak dapat berubah, melainkan
senantiasa bergerak dan dalam proses tranformasi. Atom dikenal sebagai satuan
yang luar biasa rumitnyayang tersusun dari berbagai macam partikel. Hal ini dapat
ditunjukan dengan ditemukan berbagai macam jenis radiasiyang berasal dari atom
tersebut. partikel ini ini disebut elektron, proton, neutron, positron, dan lain-lain.
Materialisme dialektis adalah nama sistem kefilsafatan yang dibangun oleh Karl
marx dan merupakan landasan teorotis dari masyarakat komunis. Orang mungkin
belum pernah mendengar nama tersebut, tetapi sangat boleh jadi ia sudah
24
mengenal perkataan komunis meskipun pemahamanya mengenai maknanya agak
kabur.

RASIONALISME

Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme


menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum
rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza,
leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat
ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.
Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar
oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat
tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak
dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-
prinsip ini.

Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang
tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang
tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:

1. Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus
diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
2. Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya
mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide
itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
3. Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi,
sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.

Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu
dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur
realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam  adalah perwujudan
dunia yang matematis. Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan
dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak dapat melakukan penyelidikan
ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu
kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran pengalaman. Atas

25
dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis
pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran
abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua;pengetahuan yang didasari oleh observasi atau
pengamatan, hasilnya disebut dengan “kebenaran fakta”. Paham Rasionalisme ini
beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses
perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari
rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan. 
Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk
pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan.
Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang
didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan
tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan
manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi. Namun
demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga
proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia
nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti
yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan
seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan
dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempunaan.

Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu
“Kualitas rasio manusia ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang
memungkinkan berkembangnya rasio kearah yang memedai untuk menelaah
berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan” Dalam
hal ini penulis memahami yang dimaksud penyedian kondisi diatas ialah
menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia terangsang
untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia
menuju penyempunaan dan kemajuan diri. Karena pengembangan rasionalitas
manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal unsur ruhaniah individu
yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang lebih mendalam sebagai
proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya manuia menurut aliran
rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola
dan sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi
sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang

26
ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju
pengambilan kesimpulan yang baik pula.

EMPIRISME

Secara epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang
artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley,
dan yang terpenting adalah David Hume. Berbeda dengan rasionalisme yang
memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme
memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah
maupun pengalaman batiniyah. Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman
inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain
dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang
sama, dengan cara yang berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang
merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa
hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes
merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.

Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke,
penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan,
langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori emperisme
seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme
Descartes. Penggabungan ini justru menguntungkan empirisme. Ia menentang teori
rasionalisme yang mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang
sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari
pengalaman dan tidak lebih dari itu. Menurutnya akal manusia adalah pasif pada
saat pengetahuan itu didapat. Akal tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya
sendiri. Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah
menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan
antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya objek
pengetahuan adalah ide-ide yang timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan
karena pengalaman bathiniyah. Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-
hal yang berada di luar kita. Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-
hal yang ada dalam diri/psikis manusia itu sendiri. Sementara menuru David Hume
bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah
27
“persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu: kesan-kesan dan
gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung,
sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang berisi gambaran
kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari kesan.
Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang
apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat
itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi
gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel”
atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika
seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta
dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan
gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.

Kenyataan dan kenampakan


Kiranya masih ada yang perlu diterangkan mengenai makna yang dikandung oleh
perkataan nyata. Apapun yang bersifat antara, pasti ada tetapi sesuatu yang masih
dalam kemungkinan ada, kiranya sulit untuk dikatakan nyata. Namun kadang-
kadang kita cendrung mengatakan bahwa yang mungkin itu bersifat ada, untuk
membedakanya dengan yang nampak nyata ada bersifat tidak nyata. Kenampakan
adalah bersifat nyata sedangkan barangnya sendiri yang tampak demikian itulah
yang tidak nyata.
Ontologi
Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain
merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu
berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan
objek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris,
karena objeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman
manuskia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca
indera manusia. Berlainan dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang
lain, ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian yang empiris, selalu
berorientasi terhadap dunia empiris. Dilihat dari landasan ontologi, maka ilmu akan
berlainan dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Ilmu yang mengkaji problem-
problem yang telah diketahui atau yang ingin diketahui yang tidak terselesaikan

28
dalam pengetahuan sehari-hari. Masalah yang dihadapi adalah masalah nyata. Ilmu
menjelaskan berbagai fenomena yang memungkinkan manusia melakukan tindakan
untuk menguasai fenomena tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Ilmu dimulai
dari kesangsian atau keragu-raguan bukan dimulai dari kepastian, sehingga berbeda
dengan agama yang dimulai kepastian. Ilmu memulai dari keragu-raguan akan objek
yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek pengenalan ilmu
mencakup kejadian-kejadian atau seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
pengalaman manusia. Jadi ontologi ilmu adalah ciri-ciri yang essensial dari objek
ilmu yang berlaku umum, artinya dapat berlaku juga bagi cabang-cabang ilmu yang
lain. Ilmu berdasar beberapa asumsi dasar untuk mendapatkan pengetahuan
tentang fenomena yang menampak. Asumsi dasar ialah anggapan yang merupakan
dasar dan titik tolak bagi kegiatan setiap cabang ilmu pengetahuan.
Naturalisme
Willian R. Dennes seorang penganut naturalisme dewasa ini mengatakan
naturalisme modern ketika berpendirian bahwa apa yang dinamakan kenyataan
pasti bersifat kealaman-beranggapan bahwa kategori pokok untuk memberikan
keterangan mengenai kenyataan ialah kejadian. Kejadian dalam ruang dan waktu
merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada dan senantiasa dapat
dialami oleh manusia biasa. Jika naturarlisme modern mengatakan bahwa kejadian
merupakan hakekat terdalam dari kenyataan dengan menggunakan istilah-istilah kita
yang demikian sama dengan mengatakan bahwa apapun yang bersifat nyata pasti
termasuk dalam kategori alam. Artinya apapun yang bersifat nyata pasti merupakan
sesuatu yang terdapat dalam ruang dan waktu tertentu. Ada satu hal yang harus
diingat yaitu apabila penganut paham naturalisme menggunakan istilah kenyataan
maksudnya adalah apa saja yang ada. Bila mereka menggunakan istilah alam
maksudnya adalah bukanlah jenis kesatuan yang menyeluruh melainkan sekedar
istilah umum yang berfungsi sebagai kata sifat. Segala hal yang nyata ada
merupakan bagian dari alam. Artinya, apa saja yang yang nyata ada pasti
bereksistensi dengan ruang dan waktu. Sesuatu yang tidak bereksistensi namun
mungkin akan bereksistensi dapat pula dinamakan kenyataan, meskipun kalau perlu
disebut kenyataan dalam gambaran pikiran. Sesuatu yang pada dasarnya tidak
dapat bereksistensi tidak dapat dinamakan kenyataan.paham naturalisme
mengatakan bahwa fktor-faktor penyusun segenap kejadian adalah proses, kualitas
dan proses.
29
Materialisme
Seorang naturalisme mendasarkan ajaran pada pengertian alam. Berusaha
melampui pengertian alamdan mendasarkan diri pada semacam substansi atau
kenyataan terdalam yang dinamakan materi. Kaum materialisme pada masa lampau
memandang alam semesta tersusun dari zat-zat renik yang terdalam tersebut dan
memandang alam semesta dapat diterangkan berdasarkan hukum-hukum dinamika.
Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari
pada materi (benda). Materialisme merupakan faham dalam filsafat yang
mengatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada
dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua kejadian yang terjadi di alam ini
merupakan hasil dari interaksi material.Materialisme tidak mengakui identitas yang
bersifat nonmaterial seperti : roh, hantu, setan, dan malaikat, hal ini berarti para
pelaku immaterial itu tidak ada. Tidak ada allah atau dunia  supranatural/adikodrati.
Materialisme adalah paham filsafat yang meyakini bahwa esensi kenyataan,
termasuk esensi manusia bersifat material atau fisik. Ciri utama dari kenyataan fisik
atau material adalah bahwa ia menempati ruang dan waktu, memiliki keluasan (res
extensa), dan bersifat objektif. Karena menempati ruang dan waktu serta bersifat
objektif, maka ia bisa diukur, dihitung, dan diobserfasi. Alam spiritual atau jiwa, yang
tidak menempati ruang, tidak bisa disebut esensi kenyataan, dan oleh karena itu
ditolak keberadaannya. Para materialis percaya bahwa tidak ada kekuatan apa pun
yang bersifat spiritual di balik gejala atau peristiwa yang bersifat material itu. Kalau
ada peristiwa yang masih belum diketahui, atau belum bisa dipecahkan oleh
manusia, maka hal itu bukan berarti ada kekuatan yang bersifat spiritual di belakang
peristiwa itu, melainkan karena pengetahuan dan akal kita saja yang belum dapat
memahaminya. Nama lain dari Materialisme adalah Naturalisme. Materialisme atau
Naturalisme percaya bahwa setiap gejala, setiap gerak, bisa dijelaskan berdasarkan
hukum kausalitas, hukum sebab akibat, atau hukum stimulus-respons. Gejala yang
kita amati tidak bergerak dengan sendirinya, melainkan karena ada sebab eksternal
yang mendahului atau menggerakannya. Misalnya bergeraknya bola bilyard, karena
ada bola lain yang menabraknya, atau karena ada orang yang menyodokan tongkat
bilyrdnya. Tindakan agresif yang diakukan manusia tidak terjadi begitu saja,
melainkan karena respons dari bagian-bagian tertentu didalam system syaraf pusat
manusia terhadap stimulus tertentu, sehingga tanpa dibendung, ia mampu
melakukan tindakan agresif. Ketika faham ini muncul pertama kali tidak ada orang
30
yang menanggapinya secara serius hal ini disebabkan banyaka ahli filsafat yang
menganggap faham ini aneh dan mustahil. Namun sekitar abad 19
faham Materialisme ini tumbuh subur di barat karena sudah banyak filosof yang
menganut faham tersebut. Kaum Materialisme menyangkal adanya jiwa atau roh,
mereka menganggapnya hanya sebagai pancaran materi saja. Bahkan Ludwig
Feueurbach (1804-1872) yang dinggap sebagai pengikut dari Hegel mengatakan
bahwa baik pengetahuan maupun tindakan berlaku adagium, artinya terimalah dunia
yang ada, bila menolak agama/metafisika. Karl Max pun mengatakan bahwa tugas
seorang filosof itu bukan untuk menerangkan dunia, tetapi untuk mengubahnya.
Materialisme Mekanik adalah aliran filsafat yang pandangannya materialis
sedangkan metodenya mekanis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu selalu
dalam keadaan bergerak dan berubah, gerakannya itu adalah gerakan yang
mekanis artinya, gerak yang tetap selamnya atau gerak yang berulang-ulang
(endless loop) seperti mesin tanpa perkembangan atau peningkatan secara
kualitatif. Materialisme mekanik tersistem ketika ilmu tentang mekanik mulai
berkembang dengan pesat, tokoh-tkoh yang terkenal sebagai
pendukung Materialisme pada waktu itu adalah Demokritus (460-370 SM),
Heraklitus (500 SM) kedua pemikir yunani ini berpendapat bahwa aktivitas psikis
hanya merupakan gerakan atom-atom yang sangat lembut dan mudah bergerak.
Mulai abad ke-4 SM pandangan Materialisme primitive ini mulai menurun
pengaruhnya digantikan dengan pandangan idealisme yang diusung oleh Plato dan
Aristoteles sejak, sejak itulah selama 1700 tahun lamanya dunia filsafat dikuasai
olehfilsafat Ideaisme. Baru pada akhir zaman feodal, sekitar abad ke-17 ketika kaum
borjuis sebagai kelas baru dengan produksinya yang baru, Materialisme mekanik
muncul dalam bentuk yang lebih modern karena ilmu pengetahuan telah maju
dengan pesatnya. Pada waktu itu ilmuMaterialisme ini menjadi senjata moril/idiologi
bagi perjuangan kelas borjuis melawan kelas feudal yang masih berkuasa ketika itu.
Perkembangan Materialisme ini meluas dengan adanya revolusi industry di negeri-
negeri eropa. Wakil-wakil dari filsafatmaterialis pada abad ke-17 adalah Thomas
Hobbes (1588-1679), Benedictus  Spinoza (1632-1677).
Aliran filsafat Materialisme mekanik mencapai titik puncaknya ketika terjadi Revolusi 
Prancis pada abad ke-18 yang diwakili oleh Paul de Holbach (1723-1789 M),
Lamettrie (1709-1751 M) yang disebut juga Materialisme perancis.
Materialisme Perancis dengan tegas mengatakan meteri adalah primer dan ide
31
adalah sekunder, Holbach mengatakan : “Materi adalah sesuatu yang selalu dengan
cara-cara tertentu menyentuh panca indera kita, sedang sifat-sifat yang kita kenal
dari bermacam hal-ichwal itu adalah hasil dari bermacam impresi atau berbagai
macam perubahan yang terjadi di alam pikiran kita terhadap hal-ichwal
itu”. Materialismeperancis menyangkal pandangan religius tentang penciptaan
penciptaan dunia (Demiurge), yang sebelum itu menguasai alam fikiran manusia.
Bahkan secara terang-terangan Holbach mengatakan “Nampaknya agama itu
diadakannya untuk memperbudak rakyat dan supaya mereka tunduk dibawah
kekuasaan raja lalim”. Asal manusia merasa dirinya didalam dunia ini sangan
celaka, maka ada orang yang datang mengancam mereka dengan kemarahan
tuhan, memaksa mereka diam dan mengarahkan pandangan mereka kelangit,
dengan demikian mereka tidak lagi dapat melihat sebab sesungguhnya dari pada
kemalangan itu. Perancis adalah pandangan yang menganggap segala macam
gerak atau gejala-gejala yang terjadi dialam itu dikuasai oleh gerakan mekanika,
yaitu pergerakan tempat dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia dan segala
aktivitetnya pun dipandang seperti mesin yang bergeraka secara mekanik.
1. Materialisme Metafisik
Materialisme metafisik mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan diam,
tetap atau statis selamanya seandainya materi itu berubah maka perubahan tersebut
terjadi karena factor luar atau kekuatan dai luar. Gerak materi itu disebut gerak
ekstern atau gerak luar. Selanjutnya materi itu dalam keadaan terpisah-pisah atau
tidak mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Matrialisme metafisik diwakili oleh Ludwig Feurbach, pandangan Materialisme ini
mengakui bahwa adanya “ide absolut” Pra-Dunia dari Hegel, adanya terlebih dahulu
“kategori-kategori logis” sebelum dunia ada, adalah tidak lain sisa-sisa khayalan dari
kepercayaan tentang adanya pencipta diluar dunia, bahwa dunia materiil yang dapat
dirasakan oleh panca indera kita adalah satu-satunya realitet.
Tetapi Materialismemetafisik melihat segala sesuatu tidak secara keseluruhan, tidak
dari hubungnnya atau segala sesuatu itu berdiri sendiri dan segala sesuatu yang
rela itu tidak bergeraka, diam.
1. Materialisme Dialektis
Materialisme dialektis adalah aliran filsafat yang bersandar pada matter (benda) dan
metodenya dialektis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu mempunyai
keterhubungan satu dengan lainnya, saling mempengaruhi dan saling bergantung
32
satu dengan lainnya. Gerak materi itu adalah gerakan yang dialektis yaitu
pergerakan atau perubahan menuju bentuk yang lebih tinggi atau lebih maju seperti
spiral. Tokoh-tokoh pencetus filsafat ini adalah karl Marx (1818-1883 M), Friedrich
Engels (1820-1895 M). Gerakan materi itu adalah gerakan intern, yaitu bererak atau
berubah karena dorongan dari faktor dalamnya (motive force-nya). Yang disebut
“diam” itu hanya tampaknya atau bentuknya, sebab hakikat dari gejala yang
tampaknya atau bentuknya “diam” itu isinya tetap gerak, jadi “diam” itu juga suatu
bentuk gerak. Metode  yang dipakai adalah dialektika Hegel, Marx mengakui bahwa
orang yunani-lah yang pertam kali menentukan metode dialektika, tetapi Hegel-lah
yang mensistemastikan metode tersebut. Tetapi oleh Marx dijungkir balikan dengan
besandarkan Materialisme. Marx dan temannya Engels
mengambil MaterialismeFeurbach dan membuang metodenya yang metafisis
sebagai dasar dari filsafatnya. Dan memakai dialektika sebagai metode dan
membuang pandangan idealis Hegel. Dialektika Hegel menentang dan
menggulingkan metode metafisis yang selama berabad-abad menguasai
lapangan filsafat. Hegel mengatakan “Yang penting dalam filsafat adalah metode
bukan kesimpulan-kesimpulan mengenai ini dan itu”. Ia menunjukan kelamahan-
kelamahan matafisika :
1. Kaum metafisis memandang sesuatu bukan dari keseluruhannya, tidak dari
saling hubungannya, tetapi dipandangnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri,
sedangkan Hegel memandang dunia sebagai badan kesatuan, segala sesuatu
didalamnya terdapat saling hubungan organic
2. Kaum metafisis melihat segala sesuatu tidak dari geraknya, melainkan
sebagai yang diam, mati dan tidak berubah-ubah, sedang Hegel melihat segala
sesuatu dari perkembangannya, dan perkembangannya itu disebabkan
kontradiksi internal, kaum metafisik berpendapat bahwa “ Segala yang
bertentangan adalah irasional”. Mereka tidak tahu akal (reason) itu sendiri
adalah pertentangan
3. Sumbangan Hegel yang terpenting adalah kritiknya tentang evolusi vulgar,
yang pada ketika itu sangat merajalela, dengan mengemukakan teorinya
tentang “Lompatan” dalam proses perkembangannya. Sebelum Hegel sudah
banyak filsuf yang mengakui bahwa ini berkembang, dan meninjau  sesuatu
dari proses perkembangannya, tetapi perkembangannya hanya terbatas pada
perubahan yang berangsur-angsur saja. Sedang Hegel berpendapat dalam
33
proses perlembangan itu pertentangan intern makin mendalam dan meruncing
dan pada suatu tingkat tertentu perubahan berangsur-angsur terhenti dan
terjadilah “Lompatan”. Setelah “lompatan” itu terjadi, maka kwalitas sesuatu itu
mengalami perubahan.
Akan tetapi dialektika Hegel diselimutu dengan kulit mistik, reaksioner, yaitu
pandangan idealismenya sehingga dia memutar balikan keadaan sebenarnya.
Hukum tentang dialektika yaitu hukum tentang saling hubungan dan perkembangan
gejala-gejala yang berlaku didunia ini dipandangnnya bukan sebagai suatu hal yang
objektif, yang primer melainkan perwujudan dari “Ide absolut”. Kulitnya yang
reaksioner inilah yang kemudian dibuang oleh karl marx dan isinya yang  “Rasionil”
diambil serta ditempatkan pada kedudukan yang benar. Sedangkan jembatan antara
Marx dan Hegel adalah Feurbach, Materialismedijadikan sebagai dasar filsafatnya
tetapi Feurbach melihat gerak dari penjuru idealisme yang membuat ia berhenti dan
membuang dialektika Hegel. Membuat hasil pemeriksaannya terpisah dan abstrak,
Marx membuang metode metafisisnya dan menggantinya dengan dialektika
sehingga menghasilakan sebuah system filsafat baru  yang lebih kaya dan lebih
sempurna dari pendahulunya. Materialisme memandang bahwa benda itu primer
sedangkan ide ditempatkan di sekundernya. Sebab materi ada terlebih dahulu baru
ada ide. Pandangan ini berdasakan atas kenyataan menurut proses waktu dan zat.
Dewasa ini pandangan yang dianut materialisme baru tersebut terdapat dalam buku
philosophy for the future (filsafat untuk masa depan) dalam kata pengantar buku
tersebut berisi

Materialisme modern sebagaimana yang kita pahami mengatakan sebagai


berikut: pola anorganis materi ada lebih dahulu daripada organisme yang
hidup, berjiwa serta berarah tujuan. Yang belakangan ini muncul secara
perlahan-lahan dan hanya sebagai akibat suatu perkembangan secara
evolusioner yang berliku-liku. Prinsip fisika dan kimia pasti dapat diterapkan
meskipun secara tidak memadai. Pada tingkatan makhluk hidup. Hal-hal
bersifat anorganis dan organis merupakan satuan penyusun pada tingkatan
yang berbeda yang dapat dikatakan tingkat-tingkat yang lebih rendah dan
yang lebih tinggi. Dalam arti bahwa sistem material organis tersusun secara

34
tinggi dan lebih berliku-liku yang menunjukan tanda-tanda gerak-gerik yang
baru....materi tersusun semacam itu membuka jalan bagi tindakan-tindakan
susunan yang secara keseluruhan merupakan kebulatan yang ciri
pengenalnya ialah keadaannya yang diatur oleh hukum-hukum yang berbeda.

Mengenai masalah hakikat materi seorang materialis sebagai filsuf tidak dapat
menambahkan bahkan keterangan apapun terhadap penjelasan yang diberikan oleh
ilmuwan. Meskipun seorang ilmuwan kadang-kadang menggunakan istilah materi
dalam arti terbatas kaum materialis berpendirian bahwa filsuf tidak dapat menambah
dalam arti memperbaiki pengertian mengenai materi deskriptip yang diberikan oleh
ilmuwan yang sedang bekerja pada masa hidupnya. Perbedaan antara kaum
materialisme kuno dan materialisme modern adalah terletak pada kemajuan ilmu.
Meningkatnya kedalam prinsip-prinsip yang umum dan menerimanya sebagai
prinsip-prinsip kefilsafatan yang dianutnya. Maka bahan penopang bagi materialisme
adalah hasil-hasil ilmu modern. Materialisme adalah paham dalam filsafat yang
menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada
dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi
material. Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Materi dapat dipahami
sebagai bahan benda segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah pandangan
hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di
dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu
yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi
kepada materi disebut sebagai materialis. Orang-orang ini adalah para pengusung
paham materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata .
Materialisme adalah salah satu paham filsafat yang banyak dianut oleh para filosof,
seperti Demokritus, Thales, Anaximanoros dan Horaklitos. Paham ini menganggap
bahwa materi berada di atas segala-galanya dan biasanya paham ini dihubung-
hubungkan dengan teori atomistik yang berpendapat bahwa benda-benda tersusun
dari sejumlah unsur. Ketika paham ini pertama muncul, paham tersebut tidak
mendapat banyak perhatian karena banyak ahli filsafat yang menganggap bahwa
paham ini aneh dan mustahil. Namun pada sekitar abad 19 paham materialisme ini
tumbuh subur di Barat karena sudah banyak para filosof yang menganut paham
tersebut. Walaupun teori sudah banyak dianut para filosof, teori ini masih banyak
ditentang oleh para tokoh agama karena paham ini dianggap tidak mengakui adanya

35
Tuhan dan dianggap tidak dapat melukiskan kenyataan. Materialisme seringkali
diartikan sebagai suatu aliran filsafat yang meyakini bahwa tidak ada sesuatu selain
materi yang sedang bergerak. Pikiran, roh, kesadaran dan jiwa tidak lain hanyalah
materi yang sedang bergerak. Menurut mereka, pikiran memang ada tetapi tak lain
disebabkan dan sangat tergantung pada perubahan-perubahan material. Istilah
pokok yang melandasi ajaran matrialisme adalah ‘meteri’ melukiskan proses
perkembangan yang disebut ‘evolusi’. Materialisme modern menolak pengertian
mengenai atom-atom yang bersifat keras. Sebagai penggantinya digunakan istilah-
istilah seperti relasi, pola dan tingkatan. Pada hakikatnya evolusi merupakan
permulaan kembali suatu penyusunan yang baru dan yang lebih beliku-liku dari
materi. Kenyataan adalah satu jua adanya, artinya dalam babak terakhir segala
sesuatu berasal dari materi yaitu sesuatu yang terdalam dan yang mendasari
segala-galanya. Kenyataan senantias bereksistensi karena segala hal ada hal yang
bersifat material senantiasa menempati ruang tertentu dan dengan demikian juga
bersangkutan dengan waktu. Selain itu sifat temporal memang secara intirinsik
melekat pada penggambaran yang demikian karena orang tidak akan dapat
mempunyai pendirian mengenai materi kecuali sebagai satuan berkesinambungan
yang dinamis, yang mengalami proses serta perubahan. Suatu proses tanpa
pengertian waktu merupakan suatu pengertian tentang hal-hal yang bersifat material
yang boleh dikatakan tidak dapat dimengerti. Positivisme dan evolusionisme pada
prinsipnya mengingkari jiwa, hidup dan mati manusia itu tidak berbeda,
sebagaimana evolusionisme gerak atau perkembangan menghasilkan sesuatu
dengan sendirinya. Dari keterangan bahwa semua gerak dan perkembangan tidak
ada yang menyebabkan, maka aliran ini disebutmaterialisme. Materialisme
berpendirian bahwa pada hakikatnya segala seautu adalah bahan belaka.
Pandangan ini menemukan kejayaannya pada abad ke 19 dan di Eropa sangat
terasa pengaruhnya, misalnya di Prancis yang dipelopori oleh Lamettrie (1709-
1751). Menurut Lamettrie manusia adalah mesin belaka dan sama dengan
benatang. Prinsip hidup pada umumnya diingkari dengan menunjukkan bukti bahwa
“tanpa jiwa badan dapat hidup”, tetapi jiwa tanpa badan tidak dapat hidup.
Contohnya jantung katak yang dikeluarkan dari tubuhnya masih dapat berdenyut
beberap detik, namun sebaliknya tidak mungkin ada katak tanpa badan.
Materialisme ini meluas sampai ke Jerman dengan tokoh-tokohnya yang terkenal
Feuebach (1804-1872), Buchner dan Molenschot. Menurut Feuebach alam adalah
36
satu-satunya realitas, sehingga dikatakan bahwa manusia pun benda-benda alam.
Pengetahuan memperoleh sumbernya pada pengalaman. Tujuan hidup diarahkan
pada alam ini, dan apa yang ada di luar alam ditolak. Kebahagiaan terletak pada
kepuasan hidup alamiah. Kesusilaan hanyalah sebagai usaha untuk mencapai
kebahagiaan alamiah tersebut. Namun demikian, kebahagiaan tidak berdasar pada
egoisme melainkan pada sosialitas. Susila adalah suatu tindakan yang tearah
menuju kebahagiaan bersama. Hubungan aku dan kau merupakan inti
kemanusiaan, maka kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu dalam arti milik
bersama. Jadi dasar kebahagiaan adalah pengalaman sedangkan dasar kesusilaan
sebagai alat untuk mencpai kebahagia-an juga dari pengalaman. Dari pengalaman
kita tahu bahwa usaha mencari kebahagiaan itu harus mengindahkan kebahagiaan
orang lain. Meskipun Feuebach menitikberatkan pada alam sebagai terminologi,
akan tetapi dia adalah seorang materialis yang menghargai dan mengakui hidup
bahkan baginya hidup adalah dasar yang utama, namun hidup yang berada dalam
alam belaka. Tokoh materialisme yang lain adalah Karl Marx (1818-1883) dengan
paham yang lebih runcing dan ekstrim. Dia terpengaruh oleh Hegel dan Feuebach.
Dari Hegel diterima ajaran dialektika dan pendapat lain tentang hubungan rapat
antara filsafat, sejarah dan masyarakat. Dari Feuerbach diterima ajaran tentang
kecenderungan terhadap keruhanian yang dapat dikembalikan pada jasmani dan
pengarahan minat kepada manusia yang hidup di dalam masyarakat. Marx
menghubungkan rapat-rapat antara filsafat dan ekonomi. Yang terutama baginya
adalah bertindak, bukan hanya kehendak dan tahu saja. Sedangkan tugas akhir bagi
ahli pikir adalah mengubah dunia, bukan menerangkan tentang dunia. Dikatakan
selanjutnya bahwa hidup manusia ditentukan oleh keadaan-keadaan ekonomi.
Segala hasil tindakannya (ilmu, seni, agama, kesusilaan, hukum dan politik)
merupakan endapan dari keadaan ekonomi, dan keadaan ekonomi itu sendiri
ditentukan sepenuhnya oleh sejarah. Masyarakat pada mulanya tidak mengenal
pertentangan-pertentangan dalam tingakatannya, kemudian oleh karena
adanya keahlian dalam pekerjaan dan karena adanya milik maka muncullah
tingkatan atau kelas dalam masyarakat. Karena itu lahirlah golongan berada dan
golongan miskin yang masing-masing disebut sebagai golongan kapitalis dan
golongan proletariat. Kadua golongan ini selalu bertentangan dan semakin besar
juga pengaruhnya, sehingga meletuslah revolusi. Kaum proletar kemudian
mengambil alih kekuasaan dari kaum kapitalis. Bila demikian, makamuncullah suatu
37
masyarakat tanpa kelas yang berarti kepemilikan ada pada masyarakat atau negara.
Dan negara itu tidak nasional melainkan internasional dan inilah akhir sejarah.
Adapun manusia, kata Marx, ditentukan oleh alam di atas kodratnya yang dipandang
dari sudut kemasyarakatannya. Jadi manusia individu tidak bermakna, dan dianggap
manusia sejauh ia bermasyarkat. Selanjutnya masyarakat itu harus berkembang,
dan perkembangannya itu disebut sejarah. Perkembangan sejarah harus didorong
oleh kekuatan-kekuatan untuk menghasilkan. Jadi ada identitas antara
perkembangan masyarakat dengan perkembangan materi. Ditambahkan bahwa
yang nyata dari perkembangan masyarakat adalah dorongan untuk hidup, yaitu
makan, minum, pakaian dan lain-lain yang hal ini diusahakan oleh manusia sendiri.
Dan untuk mengusahakannya diperlukan alat-alat yang kesemuanya adalah materi
belaka, sementara yang diusahakan juga materi. Karena itulah keseluruhan
perkembangan ditentukan oleh materi. Paham ini selanjutnya disebut materialisme
historis. Lain daripada itu, untuk mewujudkan cita-cita maka golongan tak bermilik
haruslah menghapus kaum bermilik (kapitalis yang merupakan lawan). Menurut
analisis Marx, satu-satunya senjata kaum kapitalis adalah agama yang oleh dia
dianggap sebagai racun bagi rakyat. Oleh karena itu agama harus dihapus, sebab
hal itu tidak berguna sama sekali bagi kaum proletar dan tidak perlu ada
kebahagiaan di kemudian hari. Proletariat tidak beragama tapi berfilsafat, dengan
filsafat dialektik dan berpolitik dengan partai komunis, sedangkan isi ilmu, seni dan
kesusilaan ditentukan oleh kaum miskin. Meskipun tampak dalam sejarah bahwa
materialisme mempunyai pengaruh yang besar, namun pada saat itu pula ada
perlawanan yang hebat dari aliran idealisme yang juga besar pengaruhnya. Gerakan
idealisme ini menganjurkan ajaran Kant agar para filsuf kembali kepada filsafat.
Gerakan ini didukung oleh murid-murid Kant dan dinamakan “Neo-Kantianisme”
dengan tokohnya antara lain H. Cohen dan Paul Natorp (1854-1924) yang keduanya
termasuk penganut aliran Marburg.
Idealis
Idealis merupakan suatu ajaran kefilsafatan yang berusaha menunjukan agar kita
memahami materi atau tatanan kejadian-kejadian yang terdapat dalam ruang dan
waktu sampai pada hakikatnya yang terdalam. Maka bila ditinjau dengan logika kita
harus membayangkan adanya jiwa atau roh yang menyertainya dan yang dalam
hubungan tertentu bersifat mendasari hal-hal tersebut. Hendaknya diperhatikan
bahwa yang menjadi bahan bukti bagi kaum pendiri idealis bukanlah bahan
38
keterangan yang bersifat indrawi serta hasil-hasil ilmu yang begitu saja diterima
tanpa direnugnkan lebih lanjut. Namun ini tidak berarti bahwa kaum idealis
menganggap bahan-bahan keterangan yang bersifat indrawi atau yang bersifat
ilmiah sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan atau merupakan ilusi.
Seoarang idealis mengatakan bahwa pada hakikatnya untuk dapat menjelaskan
terhadap kenyataan kita memerlukan istilah-istilah seperti jiwa, nilai, dan makna
sebagai tambahan terhadap yang mendahului istilah-istilah yang lain seperti alam,
kualitas, ruang, dan waktu, dan lain-lain. Sejumlah kaum idealis berpendirian bahwa
semua kenyataan merupakan jiwa. Ajaran semacam ini disebut ‘pan-psikisme.
Barangkali yang paling tepat adalah dengan menggunakan istilah-istilah pada
semacam eklektisisme, yaitu dengan menggunakan istilah yang berasal dari
bahasa-bahasa yang dipakai para penganut ajaran naturalisme maupun idealisme.
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah
pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang
murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang
merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini
hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu.
Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan
alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan
menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang
masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di masa abad pertengahan
malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar
idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti
Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan
kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting
daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan
kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka
tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada
masa abad ke-18 dan 19 ketika periode Idealisme.
hakikat hidup. Dunia ini banyak terisi hal-hal aneh dan menakjubkan salah satu
diantaranya ialah satuan yang susunanya rumit yang dinamakan mahluk hidup
dimana kita sendiri termasuk didalamya. Ketidakpuasan terhadap paham Immanuel
Kant (kritisisme) justru muncul dari murid-muridnya sendiri. Yang menjadi sumber
39
ketidakpuasan mereka adalah ungkapan Kant bahwa “akal manusia tidak akan
sampai pada realitas yang terdalam dan hanya akan sampai pada pengetahuan
tentang fenomena atau gejala-gejalan saja”. Para murid Kant yang setia bahkan
berbalik menyerangnya dan mereka akan bermetafisika mencari suatu dasar
perenungan mereka. Dari dasar itulah akan di bangun suatu sistem metafisika.
Mereka sangat memperhatikan kesadaran dan pengalaman yang dicari dan didapat
pada dasar tindakan. Hal itu adalah “aku” yang merupakan subyek yang se-konkret-
kongkretnya. Dari suatu dasar menelurkan kesimpulan dan kemudian memberi
keterangan tentang keseluruhan yang ada. Yang ada itulah yang disebut dengan
liran idealisme. Karena aliran ini berdasarkan subyek, maka ada yang menyebutnya
idealisme subyektif. Tokohnya paling terkenal adalah J.O. Fichte (1762-1814), FWJ.
Schelling (1775-1854) dan GWF. Hegel (1770-1830). Fichte mengakui dan
memberikan prioritas yang tinggi kepada aku sehingga dikatakan bahwa aku adalah
satu-satunya realitas. Hal ini dapat dimengerti karenaaku  yang otomon dan
merdeka menempatkan diri menjadi sadar akan obyek yang dihadapi dan diatasi.
Perkembangannya terletak sepenuhnya pada hasil pengatasan obyek (bukan aku).
Oleh karena itu nampaklah bahwa aku ini sebagai titik tolak pandangannya dan
merupakan kriteria terakhir dari kebenaran pengetahuan. Maka idealisme Fichte ini
nampak sangat subyektif. Pandangan yang lebih jauh dan luas tentang hal ini adalah
sebagaimana dikemukakan oleh Schelling, yang mengakui bahwa obyek
(bukan aku) itu sungguh-sungguh ada. Kalau Fichte mengatakan bahwa adanya
obyek itu tergantung aku (subyek) atau obyek (bukan aku) itu muncul dari subyek
(aku), maka schelling tidak demikian. Dia mengatakan bahwa aku (subyek) itu
muncul dari alam (obyek / bukan aku) yang sungguh-sungguh ada. Akan tetapi
munculnyaaku dari alam adalah yang telah sadar. Jadi, nampak ada keserasian
dengan pandangan Fichte. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kedudukan budi dan
alam adalah sederajat, yaitu berhadapan sebagai subyek dan obyek. Sebenarnya
keduanya muncul dari Tuhan sebagai identitas yang mutlak. Alam yang muncul dari
Tuhan semakin tinggi derajatnya, dan budi yang juga muncul dari Tuhan akan
menyadari dirinya lalu menjelmakan ilmu, moral, sejarah, negara dan sebagainya.
Oleh karena Schelling mengakui adanya obyek sebagai realitas, maka idealismenya
disebut idealisme obyektif. Sementara itu idealisme Hegel dikatakan sangat
konsekuen, dan corak umum filsafatnya dikenal dengan “dialektika”, yaitu tesis yang
menimbulkan antitesis dan membentuk sintetsis, dan sintesis ini sekaligus
40
merupakan tesis baru yang menimbulkan antitesis dan membentuk sitesis-sintesis
baru, dan begitu seterusnya. Filsafat Hegel mencari yang mutlak dan yang tidak
mutlak. Yang mutlak adalah ruh (jiwa), tetapi ruh itu menjelma pada alam, dan
dengan demikian sadarlah akan dirinya. Ruh adalah idea, yang artinya pikiran.
Dalam sejarah kemanusiaan sadarlah ruh itu akan dirinya dan kemanusiaan
merupakan bagian dari idea yang mutlak, yakni Tuhan sendiri. Dikatakan
selanjutnya bahwa idea yang berfikir itu sebenarnya adalah gerak yang
menimbulkan gerak yang lain. Gerak ini mewujudkan suatu tesis yang dengan
sendirinya menimbulkan gerak yang berlawanan, yaitu antitesis. Dengan tesis gerak
yang mutlak kemudian muncul antitesis pada akhirnya menimbulkan sintesis yang
sekaligus merupakan tesis baru dan menimbulkan pula antitesis dan sintetis baru,
dan begitulah seterunya. Jadi dari filsafat Hegel ini memberikan suatu kesimpulan
bahwa pada hakikatnya yang mutlak adalah gerak, bukannya sesuatu yang tetap
dan tidak berubah yang melatarbelakangi sesuatu hal. Proses gerak secara dialektik
itu dapat berlaku pada segala kejadian dan menurut hukum budi. Karena itulah
Hegel datang pada kriterianya bahwa semua yang masuk akal itu sunguh-sungguh
ada dan apa yang sungguh-sungguh ada itu dapat dipahami. Menurut rangkaian
pemikiran Hegel, ada tiga cabang filsafat, yaitu :
a) logika atau filsafat tentang idea,
b) filsafat alam (idea yang menjelma pada alam) dan
c) filsafat ruh (idea yang kembali pada diri sendiri).

Kekasih mekanis
Kiranya akan menarik apabila kita mulai dengan mengambil contoh tentang kekasih
mekanis. Misalnya anda dapat membuat kekasih mekanis yang tingkah lakunya
dalam segala hal sama memuaskanya dengan apa yang diharapkan dari seorang
kekasih yang hidup, sejauh menyangkut pola-pola perbuatan tidak tidak akan ada
perbedaan yang dapat dilihat antara kedua hal tersebut.
Istilah-istilah
Sekurang-kurangnya terdapat empat makna yang berbeda-beda dari istilah
mekanisme yang perlu dibedakan secara hati-hati. Mekanisme mungkin mengacu
kepada sebuah penjelasan mekanis, seperti yang dimaksud newton yang mungkin
mengacu kepada penjelasan fisiko-kimiawi, yang menunjukan kepada teori mesin
atau akhirnya menunjukan sebuah penjelasan kausal, semua itu adalah hal-hal yang
41
lazim terdapat pada mekanisme ontologis, artinya penjelasan-penjelasan atau teori
tersebut bermaksud menjelaskan kepada kita tentang hakikat terdalam dalam hidup.
Berlawanan dengan itu ada mekanisme metodologis yang hanya menerima salah
satu diantara pengertian-pengertian tentang mekanisme sebagai suatu prinsip untuk
mengarahkan penelitian. Lawan mekanisme ontologis ialah vitalisme sedangkan
pendirian yang berlawanan dengan mekanisme metodologis tidak mempunyai nama
tunggal, namun kita dapat menyebutnya holisme sebagai salah satu corak. Gejala
yang berkenan dengan yang hidup tiada lain adalah gejala partikel-partikel yang
bergerak dan dapat dijelaskan dengan hukum-hukum yang sama dengan gerakan.
Hal ini jelas merupakan suatu bentuk mekanisme ontologis karena paham ini
bermaksud menjelaskan kepada kita tentang hakikat yang terdalam dari hidup ini.
Mekanisme murni jelas sekali merupakan ajaran yang minostis. Fisika dewasa ini
mengatakan bahwa semua hukum fisika bersifat statistik. Berhubungan dengan itu
Erwin Schroedinger, seorang ahli fisika terkemuka dalam buku kecilnya yang
berjudul what is life? Mengatakan bahwa pada dasarnya organisme berjalan sesuai
dengan hukum-hukum fisika, tetapi yang berbeda dengan hukum-hukum yang
sampai kini dikenal. Barangkali yang lebih bersifat mewakil diantara pandangan-
pandangan fisika-kimiawi ialah pendapat yang diucapakan oleh sir Charles
Sherrington seorang ahli biokimiawi yang mengatakan,
Sebagaimana kita lihat usaha mempertahankan hidup yang konkret
merupakan persoalan kimia serta fisika, begitu juga terjadi organisme hidup.
Embriologi dewasa ini mengatakan kepada kita bahwa kimia dan fisika
merupakan penyelesaian bagi persoalan yang dihadapinya.
Makna kausal mekanisme dimaksudkan sebagai suatu prinsip metodologis. Dengan
demikian paham ini mengatakan bahwa kita mempelajari ilmu hayat, maka hukum
sebab akibat harus diperhatikan sekurang-kurangnya sebagai suatu prinsip kerja.
Sherrington menggunakan munculnya makhluk-makhluk yang cacat sebagai
petunjuk bahwa proses kimiawi berjalan salah. Driesch menggunakan fakta yang
sama itu sebagai bukti adanya gangguan terhadap kegiatan entelektia. Pada
pokoknya penganutnya vitalisme menunjuk pada keteraturan perkembangan yang
normal sebagai sesuatu yang perlu memperoleh sekedar penjelasan. Penganut
vitalisme mengakui, memang bahan reaksi kimiawi dapat diterangkan secara
kimiawi, tetapi terarahnya, teraturnya dan terkendali reaksi-reaksi ini kiranya tidak
dapat dijelaskan secara kimiawi. Teori mekanisme tentang hidup termasuk paham
42
monisme. Teori ini mengatakan bahwa segi proses-proses hidup yang berarah
tujuan sesungguhnya merupakan suatu ilusi belaka, atau jika tidak demikian. Tiada
lain sekedar cara berfungsinya mekanisme-mekanisme tertentu yang dapat
diterangkan secara fisiko-kimiawi. Sementara itu seorang penganut vitalisme pada
dasarnya menganut paham dualisme. Prinsip yang diajarkan merupakan sesuatu
yang khas, yang tidak bisa dijelaskan secara mekanika, bahkan tidak mungkin
diamati secara indrawi. Tapi dapat kita ketahui, bahwa prinsip tersebut memang
diperlukan untuk dapat menerangkan mengapa prilaku organisme itu mempunyai
watak yang bearah tujuan. Teori yang saya namakan teori psikofisik juga mengakui
adanya watak yang demikian itu bahkan memberikan titik berat kepadanya.
Organisme-organisme hidup berbeda dengan materi yang tidak bernyawa. Keadaan
serba tidak pasti yang terdapat pada organisme-organisme secara keseluruhan.
Organisme hidup merupakan ciri organisme secara keseluruhan. Sedangkan materi
yang tidak bernyawa secara keseluruhan bersifat serba pasti, dan hanya unsur-
unsur atomnya yang tidak serba pasti. Dengan kata lain, organisme hidup sebagai
keseluruhanya kiranya dapat memilih arahnya sebagai keseluruhanya nasibnya
tergantung pada kekuatanya-kekuatan yang mempengaruhi. Sebagaimana
diketahui, prinsip serba tidak pasti yang diajukan oleh Heisenberg memperkuat sifat
statistik prediksi tingkat sub-atom. Lille mengatakan bahwa hal ini merupakan ciri
khas segenap organisasi yang tidak hidup. Hanya pada organisasi yang hidup
terdapat keadaan serba tidak pasti pada keseluruhan unsur-unsurnya. Ciri pengenal
lain yang perlu dikemukakan ialah fakta bahwa perkembangan yang dialami oleh
sesuatu yang hidup merupakan proses yang bersifat membulatkan dan bukanya
proses yang bersifat sepotong-sepotong. Pada segi fisiknya, kegiatan-kegiatan
organisme harus hidup dipandang sebagaimana yang dikatakan oleh para penganut
mekanisme, yaitu sebagai suatu sistem fisiko-kimiawi yang harus diselidiki dengan
metode-metode yang dipakai oleh fisika-kimiawi. Biofisika dan biokimia merupakan
ilmu-ilmu yang penting untuk memahami organisme-organisme hidup.
Masalah jiwa
Segenap teori ilmiah mengenai masalah hakekat hidup jelas bersifat nauralistis,
bahkan penganut vitalisme mengatakan bahwa prinsip hidup yang mereka tunjuk
dapat diselidiki dengan metode-metode yang secara umum yang dipakai oleh
segenap ilmu. Suatu perincian yang didasarkan atas perbedaan pendirian dalam
bidang epistemologi dan ontologi tidak senantiasa tepat untuk diterapkan pada
43
bidang biologi kefilsafatan dan psikologi kefilasafatan khususnya pembedaan paham
dalam bidang epistemologi. Alasan apa untuk dapat mengetahui hakekat jiwa harus
senantiasa fihuubungkan dengan proses-proses tertentu salah satunya karena yang
dinamakan jiwa itu adalah sesuatu yang orang tidak dapat menunjuknya. Tidak
seorangpun pernah atau dapat melihat jiwa kecuali bila jiwa diberi arti sama dengan
benak atau proses-proses. Adapun macam-macam klasifikasi yang paling tepat bagi
teori-teori mengenai jiwa sebagai berikut:
Ada tiga klasifikasi yang tepat tentang teori jiwa (mind), yaitu :
1)    Teori yang memandang jiwa sebagai substansi yang berjenis khusus, yakni
yang dilawankan dengan material. Teori ini dikembangkan oleh Sigmund Frued, dia
mengatakan bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bidang, yaitu id, egodan superego.
Id adalah nafsu yang terdapat jauh di bawah sadar (nafsu bawaan dan nafsu
seksual (kelamin/libido)). Sedangka ego atau aku adalah jenis jiwa semacam
perantara yang terdapat di antara nafsu-nafsu di dalam id dengan dunia luar yang
terdiri dari material serta kemasyarakatan. Ego ini juga meliputi proses-proses akali
jiwa manusia yang memilih sarana-sarana yang dapat digunakan untuk
menjelmakan nafsu-nafsu tersebut. Adapun superego adalah jiwa yang setelah
mengalami kemajuan dalam kehidupan, ia tidak hanya berhasil mengembangkan
cara-cara untuk menghadapi kenyataan, melainkan melalui masyarakat ia juga telah
menetapkan seperangkat kaidah dan cita-cita yang merupakan bagian dari segi
kehidupan kejiwaan manusia
2)    Teori yang memandang jiwa sebagai sejenis kemampuan; semacam pelaku
atau pengaruh dalam berbagai kegiatan. Menurut Joseph A. Leihton jiwa itu bersifat
trans-spasila (mengatasi segenap ruang), dalam arti bahwa jiwa merupakan
pemersatu yang sadar dan pusat ketegangan pengalaman ragawi. Untuk
menjelaskan hal ini dapat dilihat dari sejumlah proses kejiwaan berikut. Rasa sakit
itu bertempat pada bagian raga dan dapat meliputi suatu lingkungan yang lebih
besar atau lebih kecil. Bagi seorang ahli ilmu jiwa sesungguhnya rasa sakit tidak
terdapat di tempat yang dirasakan sakit, melainkan terdapat pada jiwa. Tentu saja
yang dimaksudkan adalah rangsangan tadi melalui syaraf yang kemudian
dilanjutkan ke jiwa sebagai penerima rangsangan terakhir yang membuahkan rasa
sakit. Dapat juga dipahami bahwa jiwa seakan-akan mengembang ke bagian raga
yang terasa sakit, sehingga rasa sakit itu dikatakan terdapat di situ karena jiwa juga
terdapat di situ. Tafsiran inilah yang dimaksudkan oleh Leigton bahwa jiwa manusia
44
dapat mengembang dan merembisi bagian-bagian lain. Leighton selanjutnya
mengatkan bahwa jiwa manusia merupakan pusat hubungan-hubungan dan
mempunyai kemampuan mengendalikan, merembisi, mempersatukan dan
mengarahkan kembali ketegangan-ketegangan spasial (ruang dan waktu) yang
terdapat dalam lingkungan fisiknya. Kemampuan yang dipakai sabagai sarana
melakukan hal tersebut merupakan tenaga khas yang terjadi dalam berkehendak
yang sifatnya refleksi dapat menentukan pilihan. Di samping itu terdapat kegiatan
jiwa yang lain yaitu mengingat kembali. Melalui kegiatan ini seseorang dapat
mengendalikan hari depan dengan memanfaatkan hal-hal yang terdapat pada masa
silam. Dalam hal ini jiwa mengadakan pilihan yang sifatnya menyaring, mengadakan
analisa, sintesa dan mengingat kembali sehingga dapat membebaskan dirinya dari
keadaan yang semata-mata ditentukan oleh benda-benda jasmaniyah. Inilah fungsi
tertinggi yang dimiliki oleh jiwa.“Sesungguhnya jiwa merupakan kesadaran
organisme mengenai hubungan antara dirinya dengan hal-hal lain yang sebenarnya
atau yang bersifat kemungkinan di dalam kerangka suatu sistem kenyataan yang
dinamis”Demikian menurut Leighton. Jika tindakan yang dilakukan seseorang
berdasarkan pertimbangan akal, maka berarti dia mengingat kembali masa lampau,
meramalkan masa depan dan menyadari keterlibatannya dalam akibat-akibat
tindakan itu, akhirnya memilih untuk melakukan sesuatu. Inilah fungsi-fungsi yang
dimiliki oleh jiwa. Dengan demikian pendirian Leighton adalah bahwa Jiwa tidak
sama dengan raga, meskipun yang satu tidak terpisahkan dengan yang lain. Jiwa
merupakan sesuatu yang hakiki untuk kehidupan dan kebahagiaan manusia.
3)    Teori yang memandang jiwa semata-mata sebagai sejenis proses yang tampak
pada organisme-organisme hidup. Teori ini dimunculkan oleh James B. Pratt. Dalam
bukunya berjudul Matter and Sprit Pratt menyebutkan bahwa untuk menggambarkan
ciri-ciri jiwa adalah dengan jalan melukiskan kegiatan apa yang dilakukan oleh jiwa
itu sendiri. Menurutnya jiwa adalah sesuatu yang mempunyai cita-cita dan tujuan,
berkehendak, menderita, berusaha dan mengetahui. Jiwa menurutnya memiliki
empat kemampuan, yaitu
(1) kemampuan menghasilkn kualitas-kualitas penginderaan,
(2) kemampuan menghasilkan makna-makna yang berasal dari penginderaan
khusus,
(3) kemampuan memberikan tanggapan terhadap hasil peng-inderaan dan makna-
makna dengan jalan merasakan, berkehendak atau berusaha, dan
45
(4) kemampuan memberikan tanggapan terhadap proses-proses tang terjadi dalam
benak untuk mengubah haluannya. Dan selain itu tidak ada suatu hal pun yang
mempunyai sifat seperti jiwa, yakni dapat mengingat, berkecenderungan,
merasakan, bertujuan dan bercita-cita.
Dalam hal ini Pratt menggunakan dua macam ungkapan yang berbeda, yaitu “jiwa
adalah apa yang dikerjakannya”, yang berarti jiwa adalah suatu proses dan “jiwa
menggunakan raga sebagai alat" maksudnya adalah merupakan semacam
kemampan. Dia mengakui bawa hubungan-hubungan yang terdapat antara jiwa dan
raga sangat berliku-liku, sehingga sulit untuk mengtakan apakah jiwa atau raga.
Tetapi kegiatan jiwa dapat diselidiki hanya melalui pernyataan-pernyataan ragawi. Ini
bermakna bahwa pada manusia ada jiwa ada raga atau ada proses kejiwaan dan
proses ragawi, dan dengan suatu cara tertentu proses kejiwaan menggunakan
proses ragawi sebagai alatnya. Di sini jelas, Pratt bahwa penganut dualisme. Akan
tetapi Partt juga mengatakan bahwa jiwa sebagai proses tidak sama dengan raga
sebagai proses. Proses kejiwaan seperti ingatan, kehendak, pemikiran, dan
sebagainya (proses konatif dan kognitif) sama sekali berbeda dengan proses ragawi
seperti keceatan, dampak, gaya berat, dan sebagainya, namun sekaligus menjadi
petunjuk yang jelas adanya keadaan saling mempengaruhi antara jiwa dan raga.
Selanjutnya dia mengatakan bahwa cara untuk menyelidiki proses-proses kejiwaan
adalah melalui penjelmaan ragawi. Ini berarti dengan suatu cara tertentu proses
ragawi sesungguhnya merupakan penjelmaan proses kejiwaan.
4)    Teori yang menumbuhkan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku.
Seorang ahli ilmu jiwa Amerika bernama John Watson merumuskan sebuah teori
yang disebut behaviorisme. Pendirian ini mengatakan bahwa yang namanya jiwa
atau bahkan kesadaran itu sesungguhnya tidak ada, dan dia senantiasa
menggunakan istilah-istilah tersebut untuk menunjuk suatu macam tingkah laku.
Sementara itu Y.H. Krikorian yang menganut naturalisme mengembangkan
teori jiwa sebagai tingkah laku. Menurut Krikorian bahwa apabila seseorang
mengatakan sesuatu yang di dalamnya terdapat kata “jiwa”, maka yang ditunjuk
adalah suatu jenis tingkah laku. Karena pada dasarnya setiap pengamatan tentang
jiwa seseorang senantiasa memperhatikan tingkah laku orang yang bersangkutan.
Sehubungan satu-satunya pendekatan tentang hal itu adalah penelitian mengenai
tingkah laku, maka menurut Krikorian, pasti dapat dipahami bahwa jiwa didefinisikan
sebagai sejenis respon. Akan tetapi tidak setiap respon bersifat kejiwaan, seperti
46
misalnya bernafas responnya adalah berupa oksidasi. Jelas ini bukan merupakan
respon kejiwaan, meskipun seandainya pernafasan itu terjadi di bawah
pengendalian pusat-pusat otak manusia. Begitu pula dengan gerakan refleks tidak
ada yang bersifat kejiwaan, karena respon yang terjadi tidak sampai pada tingkatan
jiwa, melainkan tetap bersifat mekanis atau kimiawi. Krikorian selanjutnya
mengatakan bahwa jika ada respon yang dikatakan bersifat kejiwaan, maka terdapat
suatu reaksi yang bukan hanya ditujukan terhadap rangsangan sebagai obyeknya,
melainkan juga kepada makna rangsangan tersebut. Respon terhadap akibat-akibat
yang sudah diramalkan sebelumnya berbeda dengan respon yang diakibatkan
misalnya ketukan pada lutut. Dalam kaitan ini sesungguhnya jiwa ialah respon yang
telah diramalkan sebelumnya. Menurut Krikorian ada tiga matra (fungsi atau corak
kegiatan) respon yang telah diramalkan sebelumnya:
(1) kemampuan menggunakan sarana dalam mencapai tujuan, yaitu daya
pemahaman atau kemampuan memperoleh pengetahuan,
(2) kemampuan mengejar tujuan yang telah dibayangkan, yakni kemampuan
berkehendak atau menaruh perhatian, dan
(3) kemampuan memperoleh pengetahuan mengenai jiwa, yaitu kesadaran.
jiwa sebagai sesuatu yang khusus atau merupakan sesuatu proses atau yang
lainnya. Namun demikian, apapun hakikat jiwa itu, sudah pasti ada kaitannya
dengan jenis-jenis proses tertentu, sebab yang dinamakan jiwa itu ialah sesuatu
yang orang lain tidak dapat menunjukkannya. Tidak ada seorangpun yang pernah
atau dapat melihat jiwa, kecuali apabila jiwa itu diberi arti sama dengan benak atau
daya fikir dan sebagainya. Selanjutnya Kattsoff mengatakan bahwa ada dua proses
kejiwaan, yaitu proses konatif dan proses kognitif. Proses-proses konatif meliputi
proses yang bersumber pada perasaan, kehendak dan dorongan hati (proses yang
dapat menggerakkan seseorang). Para ahli ilmu pada umumnya mengatakan bahwa
proses-proses tersebut erat hubungannya dan sederajat dengan proses kimiawi
dalam tubuh manusia. Adapun proses kognitif proses kejiwaan yang berhubungan
dengan cara memperoleh pengetahuan, seperti berfikir, mgningat-ingat, serta
melakukan penalaran dan pencerapan (perhatian).

Kegiatan konatif dan kegiatan kognitif itu berbeda, namun umumnya dapat dikatakan
bahwa keduanya saling berhubungan. Umpamanya, pengaruh emosi terhadap
masalah pengetahuan jelas nampak pada kesaksian-kesaksian yang diberikan
47
seorang saksi. Seorang hakim secara pribadi terlihat dalam suatu perkara yang
harus diputuskannya tidak layak untuk bertindak sebagai hakim. Sebaliknya bisa
saja terjadi bahwa pengetahuan dapat mempengaruhi perasaan, seperti seorang
yang mempunyai pengetahuan bahwa kemarahan dapat mengganggu proses
pencernaan makanan tidak akan membiarkan dirinya menjadi marah.  Seseorang
yang mengetahui bahwa prajurit yang tidak bringas akan bertempur dengan lebih
mahir, dapat menjadikan dia sendiri akan berusaha keras untuk tetap tenang dalam
suatu peperangan.

Dalam membicarakan masalah hubungan antara jiwa dan raga, ada beberapa hal
menonjol dari uraian tersebut, terdapat persoalan yang harus diselesaikan, yaitu
apakah jiwa merupakan fungsi raga atau raga merupakan fingsi jiwa, atau apakah
jiwa dan raga merupakan bagian dari suatu jenis ketiga ?. Di antara kemungkinan
yang pertama dianut oleh idealisme, yang kedua dianut oleh materalisme dan yang
ketiga dianut oleh monisme netral. Ada sejumlah istilah yang acap kali dihubungkan
dengan penyelesaian masalah hubungan jiwa dan raga tersebut, yaitu :
a)    Epifenomnalisme. Paham ini mengatakan bahwa satu-satunya unsure yang
didapati apabila menyelidiki proses kejiwaan ialah syaraf. Kesadaran manusia
sekedar merupakan hasil dari proses syaraf. Hal itu diibaratkan seperti hubungan
nyala cahaya dngan panasnya pijat bola lampu listrik. Kalimat jiwa merupakan
proses-proses syaraf dengan jiwa merupakan hasil sampingan dari proses
syaraf berbeda makna. Ini sama dengan bedanya kalimat cahaya itu
listrik dan cahaya merupakan akibat dari arus listrik.
b)    Interaksionisme. Paham ini mengatakan bahwa jiwa dan raga memang
berbeda, namun yang satu mempengaruhi yang lain secara timbal baik. Teori yang
mendasarkan diri atas akal sehat, sebagian besar menyetujui paham ini. Descartes
beranggapan bahwa hakikat jiwa adalah pemikiran sedangkan hakikat materi
adalah eksistensi. Walaupun yang satu berbeda dengan yang lain tapi keduanya
saling mempengaruhi.
c)    Paralelisme Psikofisik, yang mengatakan bahwa ada dua macam sistem
kejadian, yang bersifat ragawi dan yang bersifat kejiwaan. Sistem kejadian ragawi
terdapat pada alam sedangkan kejadian kejiwaan terdapat pada jiwa manusia.
Kedua sistem kejadian ini tidak ada hubungan kausalitas. Menurut ajaran Spinoza
dalam bukunya Etika bahwa antara kejadian yang terdapat dalam kedua sistem itu
48
nampak saling hubungan, sederajat dan berpasang-pasangan, maka tanmpaknya
terjadi suatu interaksi dari keduanya. Bagaaimana cara terjadinya paralelisme
tersebut, menurutnya adalah memang sudah dibuat oleh Tuhan.
Psikosomatika Kemajuan ilmu jiwa (psikologi) dan ilmu kedokteran dewasa ini
menunjukkan bahwa jiwa berpengaruh terhadap raga. Proses-proses kejiwaan
mempengaruhi proses yang semata-mata bersifat ragawi. Begitulah emosi
berpengaruh terhadap pencernaan makanan dan amarah menimbulkan kegiatan-
kegiatan kelenjar. Suara musik dapat menggerakkan emosi; sementara itu kurang
makan yang berkepanjangan akan mengakibatkan mundurnya hasrat seksual. Juga
telah diketahui bahwa derajat kesembuhan dalam sejumlah penyakit tertentu dapat
dipengaruhi oleh sikap kejiwaan dari mereka yang sakit. Bahkan ada bukti yang
menunjukkan bahwa derajat pertumbuhan ragawi seorang anak tergantung pada
suasana emosional di mana ia hidup. Penyelidikan juga banyak dilakukan dalam
upaya menarik suatu hubungan antara kualitas fisik dengan sifat kejiwaan
seseorang. Kita juga mengetahui bahwa ada hubungan yang sangat erat antara
gangguan-gangguan pada kelenjar dengan pertumbuhan seseorang. Penyelidikan
mengenai hubungan antara jiwa dengan raga itu dalam istilah ilmuan modern
disebut “Psikosomatika”. Dengan demikian cukup jelas bahwa jiwa dan raga
memang bertautan dalam batas-batas tertentu. Berkaitan dengan hal-hal diatas
agaknya ada dua segi yang terlibat. Segi yang satu terdiri dari pikiran-pikiran hasrat-
hasrat serta perasaan-perasaan yang disadarinya. Yang demikian ini dinamakan
‘yang-sadar’. Segi yang kedua terdiri dari dorongan-dorongan, nafsu-nafsu dan
bahkan hasrat-hasrat serta pikiran-pikiran yang agaknya berpengaruh juga terhadap
tingkah laku seseorang, namun hal tersebut pada tingkatan yang berbeda sama
sekali yang demikian ini dinamakan ‘yang bawah sadar’. Segenap gejala yang
dinamakan ‘posthypnotic suggestion’ (saran-saran untuk melakukan tindakan-
tindakan sesudah keadaan hipnosa) mustahil dapat diterangkan tanpa anggapan
bahwa orang dapat memperoleh pengetahuan dibawah sadar. Adanya yang-bawah
sadar kiranya bener-bener telah diyakini orang namun hakekatnya memang tetap
kabur dan masih merupakan tanda tanya. Keyakinan orang akan adanya yang-
bawah sadar bagaikan keyakinan terhadap kebenaran hipotesa, artinya keberadaan
anggapan yang-bawah sadar itu akan membantu orang untuk menjelaskan
mengenai banyak hal, yang tanpa adanya anggapan itu menyebabkan hal-hal
tersebut tetap merupakan masalah. Tidak satupun orang pernah dapat menunjukan
49
apakah yang bawah sadar itu, meskipun para penganut paham psikoanalisa
meyakini segenap penyakit syaraf merupakan penjelmaan belaka dari sengketa-
sengketa yang terdapat dalam yang-bawah sadar.
ID dan Nafsu-nafsunya merupakan lapisan paling bawah jiwa manusia yang terdiri
dari nafsu-nafsu bawaan dua diantaranya mempunyai peranan yang penting sekali
yaitu libido atau nafsu nafsu kelamin dan nafsu agresif. Nafsu-nafsu tersebut
terdapat jauh didalam yang-bawah sadar dan merupakan bagian jiwa yang oleh
Freud disebut “id” sesungguhnya apa yang dinamakan libido atau nafsu kelamin
hendaknya diberi arti yang terlalu sempit. Freud mengatakan anak kecil pun
melakukan hal-hal yang bersifat seksual, tetapi tidak seperti yang dilakukan oleh
orang dewasa. Id merupakan tempat kedudukan nafsu-nafsu tersebut yang selalu
berusaha menyembul kepermukaan tingkat kesadaran sehingga dapat terjelma.
Nafsu-nafsu tersebut bersifat mengebu-gebu, tidak runtut, dan saling bertentangan,
dan seandainya semua terjelma dan dapat dipuaskan namun akan menyababkan
seseorang senantiasa berada dalam kesulitan berhubungan dengan orang-orang
lain, masyarakat, dan bahkan diri sendiri.
Ego memegang peranan penting dalam menyalurkan serta menjaring nafsu-nafsu.
Sesungguhnya ego tersebut merupakan hasil terjadinya pertentangan antara prinsip-
prinsip dengan kenyataan yang terdapat dalam suatu ruang dan waktu. Ego meliputi
hampir segenap kesadaran manusia dan bertugas melakukan penyaringan terhadap
nafsu-nafsu yang diijinkan muncul dari id, dan juga bertugas menekan kembali
nafsu-nafsu yang bersifat merusak. Ego juga meliputi proses akal jiwa manusia yang
memilih-milih sarana yang dapat digunakan untuk menjelmakan nafsu-nafsu
tersebut. superego merupakan sejenis perantara yang menghubungkan id dengan
perangkat cita-cita yang dipunyai seseorang. Jika pada dasarnya nafsu-nafsu
tersebut bersifat kejiwaan dan sekurang-kurangnya bukan tenaga material maka hal
ini kita berhubungan dengan sejenis dualisme yang diajarkan Descartes. Jika nafsu-
nafsu itu timbul suatu masalah yang sangat sukar untuk diatasi. sebab dapat terjadi
bahwa suatu dorongan tenaga kehilangan kekuatanya manakala seseorang menjadi
sadar akan adanya dorongan. Salah satu alasan pembuktian bahwa jiwa merupakan
sesuatu yang terdalam ialah terdapatnya makna dan nilai dialam semesta,
sedangkan makna dan nilai tersebut dianggap senantiasa diperuntukan bagi jiwa.
Banyak orang cendrung mengira penganut idealime pasti merupakan penganut
panpsikisme. Tetapi karena menurut kebanyakan orang panpsikisme merupakan
50
ajaran yang tidak didasarkan atas kekanyataan. Tempat rasa sakit terdapat pada
suatu bagian raga kita dan dapat meliputi suatu lingkungan yang lebih besar atau
lebih kecil. Sudah tentu yang dimaksudkan adalah ransangan tadi melalui susunan
syaraf kemudian dilanjutkan kejiwa sebagai penerima rangsangan terakhir yang
membuahkan rasa sakit. Berhubungan dengan itu kiranya dapat dikatakan jiwa
manusia bersifat transpasial, dalam arti bahwa jiwa tersebut merupakan “pemersatu
yang sadar serta pusat ketegangan pengalaman ragawi” sebagai pemersatu
pengalaman-pengalaman ragawi, jiwa tersebut bertindak melalui ruang namun
menembus ruang serta mempersatukan pengalaman-pengalaman ragawi kedalam
suatu kesatuan bersifat sistematis yang sesungguhnya jiwa itu merupakan suatu
kemampuan. Leighton mengatakan jika manusia merupakan pusat hubungan-
hubungan dan mempunyai kemampuan mengendalikan, merembesi,
mempersatukan serta mengarahkan kembali ketegangan-ketegangan spasial yang
terdapat dalam lingkungan fisiknya maka kemampuan yang dipakai sebagai sarana
melakukan hal-hal tersebut merupakan tenaga khas yang terjadi dalam berkehendak
yang sifatnya reflektif dan dapat menentukan pilihan. Jiwa manusia dengan jalan
mengadakan pilihan yang besifat menyaring, mangadakan analisa, sintesa dan
mengingat-ingat dapat membebaskan dirinya dari keadaan yang semata-mata
ditentukan oleh benda-benda kejasmanian dan itulah fungsi tertinggi yang dipunyai
oleh jiwa. Jiwa dapat memperoleh keinsyafan mengenai hubungan-hubungan yang
ada antara masa lampau, masa kini dan masa depan. Begitu pula mengenai
hubungan-hubungan yang terdapat antara dirinya sendiri dengan hal-hal dan
manusia yang lain yang terdapat disekitarnya. Menurut Leighton “ sesungguhnya
jiwa merupakan kesadaran organisme mengenai hubungan antara dirinya dengan
hal-hal lain yang sesungguhnya maupun yang besifat kemungkinan didalam
kerangka suatu sistem kenyataan yang dinamis”. Setiap manusia mempunyai raga
yang dapat dipakai oleh jiwa sebagai sarana menyadari hubungan yang ada
diantara dirinya dan sekitarnya dan yang juga dipakai untuk melaksanakan hasil-
hasil pilihanya. Kiranya jiwa dan raga tidak mungkin sepenuhnya sama dan hal itu
memang berbeda sama sekali. Satu-satunya yang dapat kita katakan,
bagaimanapun jiwa dan raga yang dianggap berlawanan tersebut sesungguhnya
merupakan kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Jika jiwa dipandang sebagai
suatu hipotesa maka probabilitas hipotesa tersebut akan semakin tinggi bila akibat
hipotesa tersebut ternyata dapat dibenarkan. Tetapi bila akibat hipotesa tersebut
51
ternyata tidak diperlukan untuk memberikan penjelasan mengenai tingkah laku
manusia maka masalah adanya jiwa tersebut menjadi tidak relavan dan bahkan
dapat dikesampingkan. Pada pokonya setiap pengamatan tentang jiwa seseorang
senantiasa memperhatikan tingkah laku orang yang bersangkutan. Berhubung satu-
satunya pendekatan tentang itu adalah penelitian mengenai tingkah laku, menurut
Krikorian pasti dapat dipahami bahwa jiwa dapat didefinisikan sebagai sejenis
respon. Sudah pasti tidak setiap jenis respon bersifat kejiwaan misalkan bernapas
reponya berupa oksidasi jelas ini buka merupakan respon kejiwaan meskipun
seandainya pernapasan tersebut terjadi dibawah pengendalian pusat otak manusia.
Menurut Krikorian jika ada respon yang dikatakan bersifat kejiwaan maka terdapat
suatu reaksi yang bukan hanya ditujukan terhadap rangsangan sebagai objeknya
melainkan juga terhadap makna rangsangan tersebut. nampak ada keterangan yang
pragmatis dalam teori ini karena ‘makna’ senantiasa didefinisikan dalam
hubungannya dengan akibat-akibat. Sebagai kemampuan memperoleh pengetahuan
jiwa merupakan ramalan tentang akibat yang ditimbulkan oleh rangsangan baik
dalam kaitanya dengan pengalaman-pengalaman hasil pencerapan maupun dalam
hubungannya dengan simbol bahasa atau sebagai bagian suaatu sistem. Jiwa juga
merupakan respon terhadap akibat-akibat tersebut merupakan rangsangan masa
kini dan dengan demikian dapat mengendalikan tingkah laku. Akhirnya jiwa sebagai
kemampuan memperoleh pengetahuan menggambarkan suatu kesiapan melakukan
perbuatan dalam hubunganya dengan suatu hasil yang sudah diharapkan. Jiwa
sebagai kesadaran hendaknya ditafsirkan dalam hubunganya dengan pengetahuan
yang dapat dimiliki secara bersama-sama dan dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu
kesadaran diri dan kesadara akan pihak lain. Sadar diri berarti mengetahui adanya
pengalaman, kesadaran senantiasa merupakan kesadaran akan sesuatu.
Kesadaran itu bersifat mengarah kedalam dan mangerah kebelakang dan dengan
demikian meliputi juga ingatan.
Masalah Nilai dan Etika
Etika merupakan cabang aksiologi yang membicarakan masalah predikat-predikat
nilai betul (right) dan salah (wrong). Sebagai pokok bahasan khusus etika
membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bajik.
Kualitas dan atribut ini dinamakan kebajikan( virtues) yang dilawankan dengan
kejahatan (vices) yang berarti sifat-sifat yang mennjukan bahwa yang mempunyai
dikatakan sebagai orang yang tidak susila. Etika (dalam Islam dikenal akhlaq)
52
adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh
yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata, ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak dan kebiasaan,
sedangkan ethikos berarti susila, keadaban atau perbuatan dan kelakuan yang baik.
Adapun istilah moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mores merupakan bentuk
jamak dari mos, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat
dan cara hidup. Mempelajari etika bertujuan untuk mendapatkan konsep yang sama
mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu
tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan normatif, sebab etika menetapkan
ukuran bagi perbuatan manusia dengan penggunaan norma tentang baik dan buruk.
Etika merupakan cabang filsafat yang amat berpengaruh sejak zaman Socrates
(470-399 SM). Etika membahas baik dan buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan
tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika
tidak mempersoalkan apa atau siap manusia itu, tetapi bagaimana manusia
seharusnya berbuat dan bertindak.
Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menujelaskan kesadaran dan pengamalan moral
secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa ada fenomena
moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah, seperti yang dapat
dilakukan terhadap fenomena spritual lainnya, misalnya religi dan seni. Oleh karena
itu, etika deskriptif digolongkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan
berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungan dengan sosiologi, etika
deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan
pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. Etika deskriptif dapat dibagi dua,
yaitu pertama sejarah moral yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma
moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan
suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa
bangsa, kedua fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna
moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada. Fenomenologi moral tidak
bermaksud menyediakan petunjuk-petunjuk atau patokan moral yang perlu dipegang
oleh manusia. Karena itu fenomenologi moral tidak mempermasalahkan apa yang
benar dan apa yang salah.
Etika Normatif

53
Etika normatif disebut juga filsafat moral atau etika filsafat. Etika normatif dapat
dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori nilai dan teori keharusan. Teori nilai
mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku.
Ada pula yang membaginya kepada dua golonang atau
paham :konsekuensealis (teleologikal) dan nonkonsekuensealis (deantologikal).
Konsekuensealis (teleologikal) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan
ditentukan oleh konsekuensinya, sedang nonkonsekuensialis berpendapat bahwa
moralitas suatu tindakan ditegntukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari
tindakan itu atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu. Baik teleologikal
maupun deontologikal dapat dimasukkan ke dalam teori keharusan. Salah  satu
aliran yang terkenal dalam teori keharusan yang teleologikal adalah aliran egoisme.
Di antara versi egoisme mengajarkan bahwa tolok ukur bagi penilaian benar
salahnya suatu tindakan adalah dengan memperhatikan untung ruginya tindakan itu
bagi pelakunya sendiri. Egoisme menegaskan bahwa manusia memiliki hak untuk
berbuat apa saja dianggap menguntungkan dirinya. Sedangkan dalam teori
keharusan yang deontologikal, tampillah aliran formalisme. Para pemikir formalis
mengatakan bahwa akibat (konsekuensi) bukan hanya tidak mampu, melainkan juga
tidak relevan untuk menilai suatu tindakan atau perbuatan. Bagi mereka, yang paling
penting dan menentukan adalah motivasi. Motivasi yang baik akan membuat
tindakan atau perbuatan itu benar kendati akibat dari perbuatan itu ternyata buruk.
Metaetika merupakan suatu studi analisis terhadap disiplin etika. Metaetika baru
muncul pada abad 20, yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta
makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis
yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Istilah-istilah normatif yang
sering mendapat perhatian khusus antara lain, keharusan, baik dan buruk, benar
dan salah, yang terpuji dan yang tidak terpuji, yang adil, yang semestinya dan
sebagainya. Ada beberapa teori yang disodorkan oleh aliran-aliran yang terkenal,
yaitu :
Teori naturalistis, yang mengatakan bahwa istilah-istilah moral sesungguhnya
menamai hal-hal atau fakta-fakta yang pelik dan rumit. Istilah normatif etis, seperti
baik dan benar dapat disamakan dengan istilah deskriptif, yang dikehendaki Tuhan,
yang diidamkan atau yang biasa. Teori naturalistis juga berpendapat bahwa

54
pertimbangan-pertimbangan moral dapat dilakukan lewat penyelidikan dan penelitian
ilmiah.
Teori kognitivis, mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu
benar, sewaktu-waktu bisa keliru. Itu berarti putusan moral bisa benar dan bisa
salah. Selain itu, pada prinsipnya pertimbangan-pertimbangan moral dapat menjadi
subyek pengetahuan atau kognisi. Teori ini dapat bersifat naturalistis dan dapat juga
bersifat non-naturalistis.
Teori intuitif, berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang
salah diperoleh secara intuitif. Teori ini menolak kemungkinan untuk memberi
batasan-batasan non-normatif terhadap istilah-istilah normatif etis. Bagi teori ini
pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah itu jelas dengan sendirinya
karena manusia dapat merasa dan mengetahui secara langsung apakah nilai hakiki
suatu hal itu baik atau buruk, atau benar tidaknya suatu tindakan.
Teori subyektif, menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral
sesungguhnya hanya dapat mengungkapkan fakta-fakta subyektif tentang sikap dan
tingkah laku manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral itu tidak mungkin dapat
mengungkapkan fakta-fakta obyektif, karena itu, apabila seseorang mengatakan
bahwa sesuatu itu benar berarti dia menyetuji sesuatu itu benar demikian.
Sebaliknya apabila dia mengatakan sesuatu itu salah berarti dia hanya
mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap apa yang dikatakan salah itu
Teori emotif, menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak
mengungkapkan sesuatu apapun yagn dapat disebut selah atau benar kendati
hanya secara subyektif. Pertimbangan-pertimangan moral tidak lebih dari suatu
ungkapan emosi samata-mata. Menurut teori ini istilah-istilah etis tidak memiliki
makna apapun kecuali hanya sebagai tanda dari luapan perasaan dan, dalam hal
ini, sama saja seperti rintihan, seruan dan umpatan.  
Teori imperatif, berpendapat bahwa pertimbanga-pertimbangan moral
sesungguhnya bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat dinilai salah atau benar.
Dengan demikian, tak satupun istilah moral yang dapat memuat sesuatu yang boleh
disebut salah atau benar. Teori ini mengatakan bahwa istilah-istilah moral itu
sesungguhnya hanya merupakan istilah samaran dari keharusan-keharusan ataupun
perintah-perintah. Jadi, apabila dikatakan “kebohongan itu tidak baik”, yang
dimaksudkan adalah “jangan berbohong” dan jika dikatakan “kebaikan itu terpuji dan
benar”, yang dimaksudkan adalah “lakukanlah kebaikan”.
55
Teori skeptis, yang mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada kebenaran moral;
moralitas tidak memiliki dasar rasional; yang mengemukakan bahwa prinsip-prinsip
moral tidak dapat dibuktikan kebenarannya; yang berpendapat bahwa salah
benarnya suatu hal itu hanyalah semata-mata soal adat, kebiasaan atau selera;
yang mengatakan bahwa norma-norma etis tidak mutlak; yang menganggap bahwa
norma-norma etis itu bersifat relatif dan hanya benar dan berlaku dalam suatu
lingkungan budaya tertentu dalam kurun waktu tertentu pula. Dalam filsafat nilai juga
disebut sebagai Aksiologi. Sebagai cabang filsafat yang memperlajari nilai estetika
dan etika terhadap hasil dari pengetahuan. Aksiologi ini juga merupakan ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai terhadap persoalan kefilsafatan, nilai
yang dimaksud adalah nilai guna, nilai fungsi dan nilai manfaat. Berbica hubungan
filsafat dengan nilai merupakan sesuatu yang tak bisa di pisahkan, karena nilai
merupakan bagian dari filsafat atau cabang dari filsafat yang membahas mengenai
nilai-nilai yang ada dalam filsafat itu sendiri yaitu nilai etika,etiket, norma dan nilai
estetika yang keduanya membutuh pemikiran secara mendalam untuk mendapatkan
hakikat dari nilai-nilai itu.
1.      Etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral
2.      Estetika, juga biasa disebut dengan filsafat keindahan. Dimana membahas
mengenai norma atau nilai indah dan tidak indah. Objelk dari estetika adalah
pengalaman akan keindahan. Dalam estetika yang dicari adalah hakekat dari
keindahan, bentuk-bentuk pengalaman keindahan (seperti keindahan jasmani dan
keindahan rohani, keindahan alam dan keindahan seni). Etika berkaitan dengan
kebiasaan hidup yang baik. Baik pada diri seseorang maupun pada saat suatu
masyarakat atau kelompok masyarakat. Yang berarti etika berkaitan dengan nilai-
nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik,dan segala kebiasaan yang
dianut diwariskan dari satu orang ke orang lain. Dengan kata lain, etika adalah nilai-
nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau sekelompok dalam
mangatur tingka lakunya. Sedangkan filsafat merupakan nilai dimana filsafat
mencoba memberikan pemahaman secara mendalam tentang sesuatu yang dia
anggap atau dinilai bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jadi jelas hubungan antara
nilai dengan filsafat tidak bisa terpisahkan. Filsafat nilai adalah cabang yang
membahas nilai secara filosof atau kefilsafatan, mendasar, menyeluruh, sistematis
sampai pada hakekat nilai itu sendiri untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan
56
kenyataan. Selain itu ada juga masalah relatif dan Absolut. Nilai relative terganutng
pada yang menilai nilai menjadui penting dalam  kehidupan manusia, menjadi
pegangan dan prinsip hidup, sehingga dapat mempengaruhi tindakannya. nilai dapat
dimengerti sebagai norma atau pegangan yang mengarahkan manusia pada
perbuatan-perbuatanyang terpuji. Perbuatan manusia tersebut mengarah pada
kebahagiaan bagi dirinya. Sedangkan nilai absolut tidak bisa diubah atau diganggu
gugat, ada pada dirinya sendiri. Tidak ada yang mengungguli, sifatnya tetap.
Misalnya tuhan maha adil, maha pengasih.[8] Dengan nilai absolut tersebut maka
sesungguhnya nilai-nilai itu menjadisuatu hakekat universal yang kita jadikan
sebagai standar untuk menilai berbagai hal sesuai dengan porsi hakekat, kebaikan
dan keindahan wujudnya, baik dalam jiwa atau dalam realitas nyata. Selain
kaitannya dengan nilai etika dan estetika, aksiologi berorintasi kepada asas manfaat
atau tujuan, yaitu bagaimana filsafat  nilai mampu memberi pemecahan terhadap
persoalan-persoalan baik dalam kaitannya dengan persoalan kehidupan manusia,
maupun asan manfaat bagi pengembangan interdisipliner dalam filsafat nilai. Ada
yang beranggapan bahwa tujuan ilmu pengetahuan sebagai upaya para peneliti
menjadikan alat untuk menambah kehidupan kesenangan manusia dalam kehidupan
yang terbatas dimuka bumi. Sebagai lagi diorientasikan sebagai alat untuk
meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan
baik bersifat objektif maupun subjektif. Sesungguhnya nilai-nilai ada dalam
kenyataan namun tidaklah bereksistensi berhubung dengan nilai-nilai tersebut, dan
haruslah bersifat esensi yang terkandung dalam suatu barang tersebut. nilai dapat
dikatakan mendasari suatu barang dan bersifat tetap. Jika orang mengatakan
perdamaian merupakan sesuatu yang bernilai maka ia memahami bahwa didalam
hakikat perdamaian itu terdapat nilai yang mendasarinya.
Masalah Nilai – Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang membicarakan masalah seni (art) dan
keindahan (beauty). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, aisthesis yang berarti
penyerapan inderawi, pemahaman intelektual atau bisa juga berarti pengamatan
spritual. Dengan kata lain, estetika merupakan studi filsafat yang mempersoalkan
atau mengkaji hal-ihwal nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa di
dalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan
harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh dan menyeluruh. Bagi ilmu
pengetahuan yang beraneka ragam itu, filsafat berfungsi sebagai pengikat ke arah
57
keseragaman dan kesatuan. Keanekaragaman ilmu pengetahuan yang berada
secara terpisah-pisah antara satu dengan yang lain itu terjadi seragam, tertata
secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh di
dalam obyek, metode dan teori kebenaran filsafat. Estetika dapat dibagi menjadi
dua, yaitu estetika deskriptif yang menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena
pengalaman keindahan, dan estetika normatifyang mempersoalkan dan menyelidiki
hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Ada pula yang membagi estetika
kepada filsafat seni dan filsafat keindahan. Filsafat seni mempersoalkan status
ontologis dari karya seni dan mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan
oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan
manusia dengan realitas. Sedangkan filsafat keindahan membahas apakah
keindahan itu dan apakah nilai indah itu obyektif atau subyektif. Menurut Plato seni
atau art adalah keterampilan untuk mereproduksi sesuatu, baginya apa yang disebut
hasil seni tidak lain dari tiruan (imitation). Contoh, seseorang yang melukis
panorama alam yang indah sesungguhnya hanya meniru panorma alam yang
pernah dilihatnya. Jadi karya-karya seni hanyalah tiruan dari meja, burung, kucing
dan sebagainya dimana benda semua itu juga merupakan tiruan dari bentuk ideal
yang ada dalam alam ide. Aristoteles sependapat dengan Plato tentang seni sebagai
tiruan dari berbagai hal yang ada. Contoh yang dibuat oleh Aristoteles adalah puisi.
Dia mengatakan bahwa puisi merupakan tiruan dari tindakan dan perbuatan
manusia yang dinyatakan lewat kata-kata. Apabila Plato menganggap seni tidak
begitu penting, Aristoteles justru menganggap seni itu penting karena memiliki
pengaruh yang besar bagi manusia. Aristoteles mengatakan bahwa puisi lebih
filosofis daripada sejarah. Pada abad pertengahan, estetika tidak begitu mendapat
perhatian dari para filsuf, karena gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni
dengan alasan hal itu bersifat duniawi dan merupakan produk bangsa kafir Yunani
dan Romawi. Namun Augustinus (354-430) memiliki minat cukup besar terhadap
seni, dengan mengembangkan suatu filsafat Platonisme Kristen yang mengajarkan
bentuk-bentuk Platonis. Dia mengatakan bahwa bentuk-bentuk Platonis juga berada
dalam pemikiran Tuhan. Menurutnya keindahan merupakan salah satu bentuk yang
ada dalam pemikiran Tuhan, oleh karenanya keindahan dalam seni dan alam
haruslah memiliki pertalian yang erat dengan agama. Kendatipun mengikuti
pendapat Plato tentang keindahan, namun dia membantah pendapatnya yang
mengatakan bahwa seni itu tiruan. Menurut Augustinus, hewan juga meniru tapi
58
tidak dapat menghsilkan karya seni. Kemudian David Hume mengatakan bahwa
keindahan bukanlah suatu kualitas obyektif yang terletak di dalam obyek-obyek itu
sendiri, melainkan berada di dalam pikiran. Manusia tertarik pada suatu bentuk dan
struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Dia mengatakan bahwa apa yang
dianggap indah oleh manusia sesungguhnya amat ditentukan oleh sifat alami
manusia, yang dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan preferensi individual. Senada
dengan Hume, Immanuel Kant berpendapat bahwa keindahan itu merupakan
penilaian estetis yang semata-mata subyektif. Menurutnya bahwa pertimbangan
estetis memberikan fokus yang amat dibutuhkan untuk menjembatani segi-segi teori
dan praktek dari sifat dasar manusia. Dia menganggap bahwa kesadaran estetis
sebagai unsur yang penting dalam pengalaman manusia pada umumnya. Seorang
filsuf Amerika, George Santayana (1863-1952) mengembangkan estetika
naturalistis. Sama dengan Hume dan Kant, dia menolak obyektivitas keindahan.
Menurut dia keindahan identik dengan kesenangan yang dialami manusia ketika ia
mangamati obyek-obyek tertentu. Filsuf Itali, Benedetto Croce (1866-1952)
mengembangkan teori estetika lewat alam pikiran filsafat idealisme. Croce
menyamakan seni dengan intuisi, dan intuisi itu sendiri adalah gambar yang berada
dalam alam pikiran. Dengan demikian, seni berada di alam pikiran seniman. Karya
seniman dalam bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat
bantu untuk menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada di alam
pikiran seniman. Dia juga menyamakan intuisi dengan ekspresi. Karena seni sama
dengan intuisi dan intuisi sama dengan ekspresi, maka seni sama dengan ekspresi.
Apa yang diekspresikan itu tidak lain dari perasaan si seniman .

59

Anda mungkin juga menyukai