Sifat dari tata kelolanya berjenjang di Pusat dan daerah memperhatikan otonomi
daerah dan otonomi fungsional di bidang kesehatan. Penerapan sistem
pemerintahan desentralisasi telah memungkinkan inovasi-inovasi dalam sistem
kesehatan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Salah satu inovasi yang
perlu dikembangkan untuk desentralisasi daerah adalah fungsi pembiayaan
pemerintah tentang jaminan kesehatan daerah yang mengalami perubahan
signifikan dengan BPJS. SDM menjadi kendala dalam melaksanakan program
yang membutuhkan sinkronisasi dan keterpaduan dari berbagai intansi terkait.
1. Desentralisasi Kesehatan
Pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia menganut asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Sebagai konsekuensi sebuah negara
kesatuan, diperlukan adanya pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Penyerahan kewenangan kepada Pemerintah Daerah diselenggarakan melalui
desentralisasi. Sedangkan dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak
semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat didistribusikan dengan menggunakan asas
desentralisasi
Tahun 2019, wakil presiden jusuf kalla meminta BPJS Kesehatan untuk menerapkan pola desentralisi
atau membagi beban pembiayaan manfaat dengan pemerintah daerha sebagai salah satu cara
mengatasi defisit anggaran BPJS. Dengan metode desentralisasi maka daerah akan termotivasi
Konsensus umum telah muncul bahwa kemampuan desentralisasi sektor publik untuk
meningkatkan pemberian layanan kesehatan tidak hanya melibatkan masalah wewenang, tetapi
juga yang terkait dengan kapasitas dan akuntabilitas. Desentralisasi sistem kesehatan telah
menjadi agenda kebijakan selama bertahun-tahun. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak yang
berpendapat bahwa desentralisasi akan meningkatkan pemberian layanan hanya ketika tingkat
keleluasaan yang sesuai (sesuatu yang kita sebut ruang keputusan) dikombinasikan dengan
kapasitas kelembagaan yang memadai untuk membuat pilihan konsisten dengan kinerja sektor
kesehatan yang baik dan akuntabilitas pilihan-pilihan tersebut untuk kebutuhan dan prioritas
kesehatan lokal (diwujudkan melalui pertanggungjawaban kepada perwakilan lokal / pejabat
terpilih). Ruang pengambilan keputusan melibatkan penentuan yang rumit tentang seberapa
banyak pilihan atas fungsi yang berbeda dan penggunaan dana pejabat lokal diizinkan /
disediakan dari atas (yaitu, ruang keputusan de jure ), serta kekuasaan yang sebenarnya
digunakan dalam praktik ( ruang keputusan informal de facto ) ( Bossert, 1998 ).
Kapasitas kelembagaan yang memadai untuk melaksanakan ruang keputusan sangat
penting dalam sektor kesehatan. Kapasitas dapat didefinisikan sebagai "kemampuan individu,
organisasi atau sistem untuk melakukan fungsi yang sesuai secara efektif, efisien dan
berkelanjutan" ( UNDP, 1998 ). “Kapasitas institusional” berkaitan dengan kapasitas di
sepanjang sejumlah dimensi — administrasi, teknis, organisasi, keuangan, manusia — dan lintas
berbagai tingkat agregasi — sistem / kelembagaan, organisasi, dan individu ( Boffin,
2002 ). Prud'homme (1995) mengemukakan bahwa sektor-sektor dengan “teknik” tingkat tinggi
—atau kebutuhan manajerial dan keahlian — adalah di antara yang paling sulit untuk
didesentralisasi ( Prud'homme, 1995). Mengingat tingkat teknis yang lebih tinggi di sektor
kesehatan, literatur sebelumnya menunjukkan bahwa kualitas lembaga penting, kendala kapasitas
tingkat lokal berlimpah di negara-negara berkembang dan bahwa pejabat lokal sering membuat
pilihan dengan cara yang kurang informasi atau dieksekusi dengan buruk ( Jeppsson dan
Okuonzi, 2000 , Newell et al., 2005 , Phommasack et al., 2005 , Schweitzer, 2008 ).
Indonesia pada saat ini sedang berada dalam masa transisi menuju cakupan pelayanan kesehatan
semesta. Undang-Undang Nomor No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
( UU SJSN) telah menjawab prinsip dasar UHC dengan mewajibkan setiap penduduk memiliki
akses pelayanan kesehatan komprehensif yang dibutuhkan melalui sistem pra-upaya.
Pengembangan arah sistem pembiayaan kesehatan seperti yang dimaksud UU SJSN, bukan
hanya meliputi peran pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota). Hal ini dapat dilihat dalam pasal 22 Undang-undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah berkewajiban
mengembangkan sistem jaminan sosial yang di dalamnya termaktub sistem jaminan kesehatan.
Peran pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial semakin kuat dengan
dikabulkannya judicial review atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi RI dan untuk menindaklanjuti amanat tersebut, telah ditetapkan kewajiban
daerah dan prioritas belanjanya untuk mengembangkan sistem jaminan sosial berdasarkan Pasal
22 huruf h dan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Upaya mengembangkan sistem jaminan sosial di daerah untuk mewujudkan cakupan
terlindunginya semua penduduk, hendaknya disadari sebagai pelaksanaan kewajiban
konstitusional. Berdasarkan dasar
Sistem perawatan kesehatan adalah serangkaian kegiatan dan pelaku yang tujuan utamanya
adalah meningkatkan kesehatan melalui penyediaan layanan medis publik dan swasta [ 1 ]. Sejak
laporan WHO 2000, pemikiran sistem telah muncul kembali sebagai landasan untuk hasil
kesehatan yang lebih baik, dan perubahan paradigma konsekuen dalam pembuatan kebijakan dari
inisiatif khusus penyakit ke penguatan sistem kesehatan. Salah satu faktor utama di balik
perubahan ini adalah kesadaran di antara para pembuat kebijakan bahwa sistem kesehatan yang
kronis akan mengancam pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDG) [ 2 ]. Selama
bertahun-tahun, lembaga kesehatan publik global utama juga menggemakan pandangan
organisasi kesehatan dunia (WHO) dan mulai berinvestasi dalam sistem kesehatan [ 3 - 5].
WHO (2007) secara eksplisit mengakui tata kelola sebagai pilar utama kerangka pembangunan
kerangka sistem kesehatan. Pentingnya tata kelola desentralisasi sistem kesehatan untuk
meningkatkan pengambilan keputusan di tingkat lokal di berbagai tingkatan pemberian layanan
kesehatan terus tumbuh. Di India, ini memiliki kepentingan khusus bagi pemerintah, pembuat
kebijakan dan administrator layanan kesehatan mengingat luasnya geografis dan keragaman
sosio-ekonomi di satu sisi, dan kebutuhan kesehatan yang terus meningkat serta harapan populasi
di sisi lain. Lebih lanjut, ada sedikit bukti empiris yang meneliti dampak desentralisasi terhadap
kinerja sistem kesehatan, khususnya pada efisiensi dan kualitas layanan perawatan
kesehatan. Oleh karena itu, perdebatan mengenai apakah desentralisasi meningkatkan kesetaraan,
efisiensi, akuntabilitas dan kualitas layanan terus menimbulkan keingintahuan di antara para
sarjana dan pembuat kebijakan. Penilaian kinerja sistem kesehatan melalui indikator tingkat
makro di tingkat nasional hanya memiliki nilai terbatas; informasi yang jauh lebih berguna bagi
para pembuat kebijakan dapat berasal dari penilaian kinerja tingkat sub-regional (kabupaten /
lembaga), khususnya di negara yang beragam seperti India [6–8].
Alasan untuk melakukan tinjauan terfokus semacam itu diinformasikan oleh beberapa
pertimbangan. Pertama, berbagai teori pembangunan, dan kebijakan yang muncul di dalamnya,
kesehatan maju sebagai tujuan pembangunan dan juga menciptakan lingkungan untuk
penyebaran kebijakan alternatif. Kedua, setelah deklarasi 'Alma-Ata' 1978, pemerintah
bersumpah untuk memastikan partisipasi masyarakat menuju pencapaian kesehatan untuk
semua. Di India, setelah peluncuran misi kesehatan pedesaan nasional (NRHM), banyak
perhatian diberikan pada 'komunikasi' melalui pengambilan keputusan lokal; tetapi apa dan
bagaimana proses ini membutuhkan pemahaman yang jauh lebih baik [ 9] Ketiga, pemerintah
negara bagian bergulat dengan masalah buruknya retensi sumber daya manusia, disiplin fiskal
yang merugikan, prosedur pengadaan dan kontrak yang terlalu terpusat, pasokan obat-obatan dan
logistik yang tidak menentu, dan rendahnya kepatuhan terhadap titik-titik pemberian layanan
kesehatan dengan standar nasional yang telah ditentukan sebelumnya. Terakhir, banyak
pemerintah daerah semakin menghadapi tekanan untuk memperkenalkan reformasi, sebagian
besar seputar proses tata kelola.
Dalam tulisan ini, menerapkan kerangka input-proses-output, kami menganggap pemberian
layanan sebagai fungsi 'eksistensial' dari sistem kesehatan, dan input, proses dan output sebagai
'domain operasi' yang dalam argumen kami berinteraksi secara dinamis satu sama lain dan
menentukan sifat dan lanskap kesehatan individu dan populasi. Kami berusaha i) untuk
memeriksa dimensi (definisi, fungsi dan instrumen; efisiensi; kualitas; hasil kesehatan;
pendekatan konseptual; mengukur kinerja; dan alat untuk pengukuran) dan faktor penentu
(fasilitas kesehatan; agen pengambilan keputusan lokal; dan pengguna akhir) kinerja sistem
kesehatan; ii) mendiskusikan tantangan metodologis dalam menangani pengukuran kinerja; dan
iii) mengusulkan turunan dalam bentuk kerangka kerja konseptual yang holistik dalam
pendekatan dan spesifik untuk konteks India.
One indicator measured decision space with regard to strategic planning. Decision space was wide
during the first wave, because the law permitted local governments to formulate the strategic planning
themselves and did not impose further constraints. During the second wave, a government regulation
added restrictions. It mandated that the strategic planning in local government had to be in line with the
strategic planning at the national level. Since local governments still had the discretion to determine
their own strategic planning, we classify the decision space during the second wave as moderate
4 Ribot JC. (2002). African Decentralization: Local Actors, Powers and Accountability. Democracy,
Governance and Human Rights Paper No 8. United Nations Research Institute for Social Development 5
Devas, N. (1997). Indonesia: What Do We Mean By Decentralization? Public Administration and
Development, 17, 351-67. 3
Sistem Kesehatan
Desentralisasi Kesehatan:
Secara umum desentralisasi dapat didefinisikan sebagai pemindahan tanggung jawab dalam
perencanaan, pengambilan keputusan, pembangkitan serta pemanfaatan sumber daya dan kewenangan
administratif dari pemerintah pusat ke: 1) unit-unit teritorial dari pemerintah pusat atau kementerian, 2)
tingkat pemerintahan yang lebih rendah, 3) organisasi semi otonom, 4) badan otoritas regional, 5)
organisasi non pemerintah atau organisasi yang bersifat sukarela. Desentralisasi ini dimaksudkan untuk
meningkatkan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan sehingga dapat menyediakan pelayanan
yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setempat, mengakomodasi perbedaan sosial, ekonomi dan
lingkungan, serta meningkatkan pemerataan dalam penggunaan sumber daya publik.
-
-
- Rondinelli 1983
- 4
-
- Desentralisasi kesehatan di Indonesia dilaksanakan sejak awal tahun 2001 dan merupakan
konsekuensi dari desentralisasi secara politik yang menjadi inti Undang-Undang (UU)
No.22/1999. Di berbagai negara, kebijakan tentang desentralisasi kesehatan telah dilaksanakan
selama dua dekade terakhir. Uganda, Filipina, dan Vietnam adalah negara–negara lain yang
telah lama melaksanakan desentralisasi. Berbagai dampak desentralisasi kesehatan merupakan
pengalaman menarik untuk dibahas. Apakah mampu meningkatkan kapasitas kelembagaan,
perundang-undangan, keuangan atau peran pemerintah daerah (pemda)? Apakah desentralisasi
mampu memperbaiki efisiensi dan pemerataan pelayanan kesehatan? dan pertanyaan akhirnya:
Apakah desentralisasi kesehatan mampu memperbaiki status kesehatan masyarakat?
Jawabannya memang menarik: kebijakan desentralisasi belum memberikan hasil pada
peningkatan kinerja pembangunan kesehatan yang diukur dengan perbaikan status kesehatan
masyarakat.
-
-
- Apakah memang desentralisasi kesehatan merupakan kebijakan yang salah ataukah kebijakan
yang baik namun gagal dalam pelaksanaannya?
-
- Kebijakan desentralisasi yang diluncurkan sejak Januari 2001 membawa
konsekuensi strategis terhadap sektor kesehatan antara lain pengambilan
keputusan program kesehatan harus benar-benar berdasarkan data, fakta dan
informasi yang sahih, akurat dan tersedia tepat waktu. Karena itu kelangkaan
data, fakta dan informasi dari daerah harus segera dipecahkan dengan langkah
yang tepat dan didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu isu
global harus dipadukan dengan spesifik local agar bermanfaat sebanyak-
banyaknya bagi kesejahteraan masyarakat.
Sistem Kesehatan
Desentralisasi Kesehatan:
Kebijakan desentralisasi di Indonesia dilaksanakan sejak awal tahun 2001 membawa konsekuensi
strategis terhadap sektor kesehatan yaitu pengambilan keputusan program kesehatan harus benar-
benar berdasarkan data, fakta dan informasi yang sahih, akurat dan tersedia tepat waktu.
-
-
- Rondinelli 1983
- 4
-
- Desentralisasi kesehatan di Indonesia dilaksanakan sejak awal tahun 2001 dan merupakan
konsekuensi dari desentralisasi secara politik yang menjadi inti Undang-Undang (UU)
No.22/1999. Di berbagai negara, kebijakan tentang desentralisasi kesehatan telah dilaksanakan
selama dua dekade terakhir. Uganda, Filipina, dan Vietnam adalah negara–negara lain yang
telah lama melaksanakan desentralisasi. Berbagai dampak desentralisasi kesehatan merupakan
pengalaman menarik untuk dibahas. Apakah mampu meningkatkan kapasitas kelembagaan,
perundang-undangan, keuangan atau peran pemerintah daerah (pemda)? Apakah desentralisasi
mampu memperbaiki efisiensi dan pemerataan pelayanan kesehatan? dan pertanyaan akhirnya:
Apakah desentralisasi kesehatan mampu memperbaiki status kesehatan masyarakat?
Jawabannya memang menarik: kebijakan desentralisasi belum memberikan hasil pada
peningkatan kinerja pembangunan kesehatan yang diukur dengan perbaikan status kesehatan
masyarakat.
-
-
- Apakah memang desentralisasi kesehatan merupakan kebijakan yang salah ataukah kebijakan
yang baik namun gagal dalam pelaksanaannya?
-
- Kebijakan desentralisasi yang diluncurkan sejak Januari 2001 membawa
konsekuensi strategis terhadap sektor kesehatan antara lain pengambilan
keputusan program kesehatan harus benar-benar berdasarkan data, fakta dan
informasi yang sahih, akurat dan tersedia tepat waktu. Karena itu kelangkaan
data, fakta dan informasi dari daerah harus segera dipecahkan dengan langkah
yang tepat dan didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu isu
global harus dipadukan dengan spesifik local agar bermanfaat sebanyak-
banyaknya bagi kesejahteraan masyarakat.