Anda di halaman 1dari 78

MENEROPONG

PEMBANGUNAN
HIJAU
DI INDONESIA: Tim Green
Development
KESENJANGAN DALAM
Kemitraan/
PERENCANAAN NASIONAL
Partnership
DAN DAERAH

2019
(Studi Kasus:
Provinsi Jambi dan
Provinsi Kalimantan Timur)
Meneropong Pembangunan Hijau di Indonesia:
Kesenjangan dalam Perencanaan Nasional dan Daerah
(Studi Kasus: Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Jambi)

THE PARTNERSHIP
FOR GOVERNANCE REFORM

Tim Green Development:

Hery Sulistio
Nila Ardhyarini H. Pratiwi
Eka Melisa
Suci Maisyarah
Binbin Mariana
Abimanyu S. Aji
Fika Triandini
Kemitraan/Partnership, Indonesia

Terimakasih kepada Hariadi Kartodiharjo, Mubariq Ahmad, Agus Setyarso, Alamsyah Saragih, Fabby Tumiwa,
Taswin Munir, Asep Sofyan yang telah memberikan kritik dan saran terhadap laporan ini. Terima kasih kepada
Hasbi Berliani dan Monica Tanuhandaru yang telah memberikan dukungan terhadap laporan ini. Terima kasih untuk
koalisi CSO: Auriga, Madani Berkelanjutan, Kaoem Telapak, Publish What You Pay, TUK Indonesia, Walhi yang sudah
membantu dalam menyelesaikan laporan ini hingga tahap akhir. Jika terdapat kesalahan di laporan ini adalah
tanggung jawab tim peneliti
Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

KATA PENGANTAR

Transformasi dari ekonomi berbasis sumber daya alam menuju


ekonomi berbasis industri manufaktur telah lama dicita-citakan
Indonesia. Hal ini juga menjadi salah satu program prioritas
Pemerintahan Jokowi-Ma’aruf 2019-2024. Faktanya, tenaga kerja
pada sektor pertanian, perkebunan dan pertambangan berjumlah
41 juta orang atau sekitar 40% dari tenaga kerja di Indonesia (BPS,
2017). Data Kementerian Pertanian (2018) memperlihatkan bahwa
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 29,20 persen
dari total serapan tenaga kerja pada tahun 2017, sementara di
sektor industri berkisar 14,51 persen (Kementerian Perindustrian,
2018). Kondisi ini menunjukkan kontribusi signifikan terhadap
struktur perekonomian Indonesia berasal dari sektor berbasis lahan
(pertanian, kehutanan, perkebunan dan pertambangan).
Struktur perekonomian yang berbasis pada sumber daya alam
seperti ini menempatkan lahan atau tanah menjadi determinan
penting. Pemilihan pengembangan komoditas ekonomi berbasis
lahan memiliki dampak terhadap keberlanjutan pembangunan.
Dalam konteks global, Indonesia telah berkomitmen kepada dunia
untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dari skenario business as usual dengan upaya
sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030 sebagaimana tertuang dalam NDC, memposisikan
Indonesia untuk segera memastikan berjalannya pembangunan hijau, sebagai pendekatan pembangunan yang
mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi namun tetap memperhatikan bagaimana menjaga keseimbangan antara
aspek sosial, ekonomi, kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Hasil identifikasi utama Tim Kemitraan menunjukkan adanya komitmen yang lebih tinggi terhadap
pembangunan hijau dalam kebijakan perencanaan pembangunan saat ini dibandingkan periode sebelumnya.
Komitmen pembangunan hijau di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Jambi yang tertuang dalam dokumen
perencanaan (RPJPD, RPJMD dan RTRW) menunjukkan bahwa pembangunan hijau dapat direplikasi dalam
perencanaan pembangunan daerah di seluruh Indonesia. Kajian ini diharapkan menjadi perbaikan tata kelola
lingkungan baik di tingkat nasional dan daerah yang terintegrasi dalam perencanaan pembangunan dan tata
ruang.

Jakarta, November 2019

Monica Tanuhandaru
Direktur Eksekutif Kemitraan

i
Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

ii
Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada nama-nama berikut yang telah
memberikan kontribusi dalam penulisan kajian pembangunan hijau ini. Alamsyah Saragih, S.E dari OMBUDSMAN,
Prof. Hariadi Kartodihardjo dari Institut Pertanian Bogor, Dr. Agus Setyarso dari Forica Instiper Yogyakarta, Fabby
Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform, Dr. Asep Sofyan dari Institut Teknologi Bandung, Dr. Mubariq
Ahmad dari Conservation Strategy Fund dan Taswin Munir, S.Pi, M.Envt.Std dari Global Green Growth Institute. Dan
khususnya teman-teman dari koalisi Civil Society Organization (CSO) yaitu AURIGA NUSANTARA, PUBLISH WHAT
YOU PAY, WALHI, TUK Indonesia, KAOEM TELAPAK, MADANI BERKELANJUTAN yang telah terlibat dari awal projek
ini dimulai hingga tahap penulisan laporan akhir. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih atas dukungan
dari Badan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan CSO di Provinsi Kalimantan
Timur dan Provinsi Jambi. Beserta tenaga ahli di bidangnya yang berasal dari universitas, lembaga masyarakat
dan lembaga nasional yang juga memberikan kritik dan saran yang bersifat sangat membangun untuk hasil
kajian yang lebih baik. Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada tim yang saya banggakan, teman-teman
KEMITRAAN/ PARTNERSHIP For Governance Reform yang juga mendukung laporan hasil kajian ini menjadi lebih baik
dan layak untuk dipublikasikan.

Kami mengucapkan terima kasih yang besar kepada seluruh pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu
atas kontribusinya dalam memberikan ide-ide serta saran yang sangat berguna dalam penyelesaian laporan hasil
kajian ini sehingga dapat disusun dengan baik untuk dipublikasikan ke masyarakat luas. Kami berharap laporan
ini dapat menambah informasi yang lebih baik bagi pembaca. Namun terlepas dari itu, laporan ini masih jauh dari
kata sempurna sehingga kami mengharapkan kritik serta saran yang lebih membangun terhadap laporan ini.

iii
Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................................................. iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................................... vi
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................................................ vii
1. PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
1.1 Indonesia dan Praktik Pembangunan Ekonomi ................................................................... 2
1.2 Metodologi Kajian ................................................................................................................ 5
2. FAKTOR PENDORONG (DRIVER) PEMBANGUNAN HIJAU ......................................................... 9
2.1 Sektor Kehutanan ................................................................................................................ 9
2.2 Sektor Perkebunan ............................................................................................................ 10
2.3 Sektor Pertanian ................................................................................................................ 13
2.4 Sektor Energi ...................................................................................................................... 14
2.5 Lahan dan Pembangunan Hijau di Indonesia ..................................................................... 16
3. DINAMIKA PEMBANGUNAN HIJAU DI INDONESIA ................................................................. 18
3.1 Perencanaan Pembangunan dalam Pembangunan Hijau .................................................. 18
3.1.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional ................................................ 18
3.1.2 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional .............................. 19
3.1.3 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ................................................................. 22
3.2 Kebijakan Sektoral dalam Pembangunan Hijau ................................................................. 23
3.2.1 Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ................................. 23
3.2.2 Reforma Agraria .................................................................................................... 24
3.3 Instrumen Kebijakan dalam Pembangunan Hijau .............................................................. 25
3.3.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis ........................................................................ 25
3.3.2 Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup ................................................................. 27
3.3.3 Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca ............................................ 28
3.3.4 Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ............................... 29
3.3.5 Mekanisme Pendanaan Pertumbuhan Hijau ........................................................ 29
3.4 Dinamika Institusional dalam Pembangunan Hijau di Indonesia ....................................... 30
4. PENGELOLAAN PEMBANGUNAN HIJAU DI INDONESIA ........................................................... 37
4.1 Pengelolaan Pembangunan Hijau di Provinsi Kalimantan Timur ....................................... 38
4.1.1 Kebijakan dan Dinamika Pembangunan Hijau Provinsi Kalimantan Timur ........... 38
4.1.2 Tantangan Pembangunan Hijau Provinsi Kalimantan Timur ................................. 43
4.2 Pengelolaan Pembangunan Hijau di Provinsi Jambi .......................................................... 46
4.2.1 Kebijakan dan Dinamika Pembangunan Hijau Provinsi Jambi .............................. 47
4.2.2 Tantangan Pembangunan Hijau Provinsi Jambi .................................................... 55
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ......................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 62

iv iv

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

DAFTAR TABEL


Tabel 1 Status Kawasan Hutan di Indonesia Tahun 2015 dan 2017 ...................................................... 9
Tabel 2 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Nasional tahun 2014-2018 .............................. 13
Tabel 3 Luas Konsesi Hutan di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur ............................... 17
Tabel 4 Arah Kebijakan Pembangunan di Indonesia dalam RPJMN .................................................... 20
Tabel 5 Perubahan Luas Tutupan Hutan di atas Lahan Gambut .......................................................... 34

v
v

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

DAFTAR GAMBAR


Gambar 1 Konsep Green Development Pada Kajian Ini ..................................................................... 5
Gambar 2 Kerangka Analisis Kajian Green Development ................................................................... 6
Gambar 3 Total Export Kelapa Sawit Terhadap Total Nilai Export ................................................... 10
Gambar 4 Tutupan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Pulau Sumatera ......................................... 11
Gambar 5 Tutupan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Pulau Kalimantan ...................................... 12
Gambar 6 Produksi Batubara di Indonesia Tahun 2014-2019 ......................................................... 15
Gambar 7 Tujuh Agenda Pembangunan RPJMN IV Tahun 2020-2024 ............................................. 20
Gambar 8 Sasaran Makro Pembangunan 2020-2024 ...................................................................... 21
Gambar 9 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi per Pulau di Indonesia Tahun 2020-2024 ................... 23
Gambar 10 Perbedaan Permen LHK No. P.69 Tahun 2017 dan Permendagri No. 7 Tahun 2018
Untuk Penyusunan KLHS ................................................................................................. 27
Gambar 11 Dinamika Pembangunan Hijau di Indonesia .................................................................... 31
Gambar 12 Hasil Penyelidikan dan Penyidikan Kasus Korupsi Sektor Sumber Daya Alam ................ 33
Gambar 13 Proyeksi Penurunan Tutupan Hutan Primer di Indonesia ............................................... 34
Gambar 14 Besaran Tingkat Emisi dan Intensitas Emisi yang Diperbolehkan ................................... 35
Gambar 15 Dinamika Pembangunan Hijau di Daerah ........................................................................ 37
Gambar 16 Peta Status Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur ................................................. 40
Gambar 17 Pola Kemitraan dalam Mengusung Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi
Kalimantan Timur ............................................................................................................ 41
Gambar 18 Kontribusi Sektor Perekonomian terhadap PDRB dengan Migas .................................... 42
Gambar 19 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Kalimantan Timur .............................................. 42
Gambar 20 Timeframe Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Kalimantan Timur ......................... 43
Gambar 21 Persentase Penduduk Miskin dan Tingkat Pengangguran Terbuka Kalimantan Timur ... 46
Gambar 22 Indikator Ketimpangan Antar Wilayah dan Penduduk Provinsi Kalimantan Timur ......... 46
Gambar 23 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 2012-2017 .............................................. 47
Gambar 24 Proporsi Tutupan Hutan Provinsi Jambi Tahun 2000, 2010, dan 2017 ........................... 50
Gambar 25 Tutupan Lahan Provinsi Jambi Tahun 2000 ..................................................................... 50
Gambar 26 Tutupan Lahan Provinsi Jambi Tahun 2010 ..................................................................... 51
Gambar 27 Tutupan Lahan Provinsi Jambi Tahun 2017 ..................................................................... 52
Gambar 28 Timeframe Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Jambi ............................................ 54
Gambar 29 Pola Kemitraan dalam Mengusung Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Jambi ...... 54
Gambar 30 Tumpang Tindih Izin Lahan di Provinsi Jambi .................................................................. 55
Gambar 31 Persentase Penduduk Miskin Perkotaan dan Pedesaan Provinsi Jambi Tahun 2012-
2016 ................................................................................................................................ 57
Gambar 32 Indeks Gini Provinsi Jambi Tahun 2012-2016 .................................................................. 59

vi
vi

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

DAFTAR ISTILAH

Boom Commodity
Naik turunnya harga komoditas fisik (seperti makanan, minyak, logam, bahan kimia, bahan bakar,
dan sejenisnya) selama awal abad ke-21 (2000-2014)

Biofuels
Setiap bahan bakar baik padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organic

Current Account Deficit
Kondisi keuangan negara di mana angka pertumbuhan impor lebih tinggi dibandingkan angka
pertumbuhan ekspor

Continuum
Rangkaian kesatuan

Enviromental Support Program
Kerja sama pembangunan di bidang pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi antara
pemerintah Denmark dengan Indonesia

Green Growth Compact
Alat bantu untuk mempersatukan komitmen para pihak dalam pembangunan hijau di Kalimantan
Timur

Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap
Upaya Pemerintah dalam menurunkan emisi GRK , Perubahan iklim dan Mitigasi yang memuat
strategi sembilan sektor, yaitu kehutanan, energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, kelautan
dan perikanan, sumber daya air, dan kesehatan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim
hingga tahun 2030 ke depan

Land Reform
Perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana sesuai dengan
kemampuan

Low Carbon Development
Pembangunan Nasional Rendah Karbon

Methane Capture
Instalasi pembangkit biogas dengan teknologi yang menggunakan bahan baku organik

National Determined Contribution
Merupakan komitmen setiap negara terhadap persetujuan paris tahun 2015 tentang penurunan
emisi GRK dan mencapai tujuan pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim

vii vii

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

Open Goverment Partnership


Negara dalam upaya mereka untuk meningkatkan transparansi, keterlibatan, dan akuntabilitas
pemerintah yang dapat memulihkan kepercayaan warga negara serta mendorong pertumbuhan
inklusif

Rules in Use
Bentuk kebijakan atau intrumen pemerintah yang berjalan di lapangan

Rules In Form
Bentuk kebijakan atau instrumen yang tertulis

World Commision on Environment and Development
Sebuah komisi sedunia yang bergerak tentang lingkungan hidup dan pembangunan dan memberikan
sumbangan besar pada pengertian tentang hubungan antara pembangunan dan lingkungan hidup

viii viii

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

1. PENDAHULUAN
1. Pendahuluan

“Pembangunan hijau menjadi arah transformasi keberlanjutan pembangunan Indonesia yang
memiliki tujuan melebihi target pertumbuhan ekonomi. Pembangunan hijau bertujuan
mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat,
peningkatan kualitas ekologi, melalui penatakelolaan penyelenggaraan kehidupan bernegara yang
baik.”

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi komitmen negara-negara sejak
dipublikasikannya laporan Our Common Future yang disusun oleh World Commission on
Environment and Development (WCED) pada tahun 1987. Pembangunan berkelanjutan diartikan
sebagai suatu proses pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sumber daya dasar saat ini secara
adil dan merata tanpa mengorbankan kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar untuk generasi
mendatang (WCED, 1987). Indonesia turut berkomitmen untuk melaksanakan pembangunan dengan
menggunakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Berbagai inisiatif telah dilakukan di
tingkat nasional dan lokal sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, namun
dampaknya dalam membentuk Our Common Future secara lebih berkelanjutan tampaknya menjadi
minim jika dibandingkan dengan besarnya tantangan lingkungan yang ada seperti deforestasi,
kerusakan daerah aliran sungai, kebakaran hutan dan lahan, banjir dan kekeringan, serta perubahan
iklim.
Upaya perwujudan pembangunan berkelanjutan memerlukan pergeseran penekanan kebijakan dari
yang berorientasi pada pertumbuhan (growth) menjadi berkelanjutan (sustainability) agar tantangan
lingkungan dapat ditangani secara memadai (Ekins, 1993). Terkait dengan hal tersebut, pada dua
dokumen perencanaan di Indonesia (perencanaan pembangunan dan perencanaan tata ruang) telah
mengadopsi pembangunan berkelanjutan dalam menentukan arah kebijakan. Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004
menyebutkan bahwa pembangunan nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan
prinsip-prinsip salah satunya adalah berkelanjutan, dan bertujuan antara lain untuk menjamin
tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Di
samping itu, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa penyelenggaraan
penataan ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi, maupun sebagai sumber daya perlu dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan. Dengan
demikian, pelaksanaan pembangunan di Indonesia sudah seharusnya mengikuti kaidah-kaidah
pembangunan sesuai dengan peraturan perundangan tersebut.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dalam agenda global pada 2030 untuk mencapai
Sustainable Development Goals (SDGs) dan menangani perubahan iklim dengan target penurunan
emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri sebagaimana tercantum dalam National
Determined Contribution (NDC). Pelaksanaan pencapaian SDGs diatur dalam Peraturan Presiden
(Perpres) No. 59 Tahun 2017 yang bertujuan untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi
masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat,
menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola
yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam hal penanganan perubahan iklim, komitmen Indonesia untuk melaksanakan NDC diserukan
dalam UU No. 16 tahun 2016 Tentang Ratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang merupakan
upaya global menjaga kenaikan suhu rata-rata global tetap di bawah 2°C dan mendorong upaya
untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5°C.
Pemerintah Indonesia juga berkomitmen dalam inisiatif Open Government yang merupakan bagian
dari inisiatif global Open Government Partnership (OGP) dimana Indonesia turut menjadi salah satu

1 1

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

negara dari delapan negara pendiri inisiatif OGP. Open Government Indonesia merupakan inisiatif
keterbukaan pemerintah yang bertujuan untuk mendorong Pemerintah Indonesia agar semakin
inovatif, partisipatif, akuntabel, dan transparan. Open Government Indonesia mendukung tata kelola
pemerintahan dengan mengutamakan partisipasi publik, reformasi birokrasi, inovasi pelayanan
publik, dan akses informasi publik. Inisiatif ini tentunya dapat mendukung tata kelola pelaksanaan
SDGs dan NDC di Indonesia.
Beragam kebijakan dan komitmen Indonesia dalam kerangka pembangunan berkelanjutan tersebut
memerlukan sebuah konsep pembangunan yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi
dengan tetap menjamin pemerataan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kelestarian
lingkungan (ekologi) yang didukung oleh tata kelola dan kemitraan. Kajian ini mengusung
pembangunan hijau sebagai konsep pembangunan yang dapat menjawab kebutuhan pelaksanaan
pembangunan di Indonesia. Elaborasi kesenjangan praktik pembangunan hijau di tingkat nasional
dan daerah yang ditekankan pada kajian ini selanjutnya akan menghasilkan rekomendasi yang dapat
menjadi masukan baru untuk mendukung inisiatif-inisiatif pemerintah yang sedang dijalankan.

1.1 Indonesia dan Praktik Pembangunan Ekonomi
Tren pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk menjamin keberlanjutan pembangunan di Indonesia.
Indonesia masih bertumpu pada sektor ekonomi berbasis lahan yang belum mampu secara optimal
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat (Kemitraan, 2017) serta kualitas kelestarian
lingkungan hidup. Selama periode boom commodity (2006-2014) terjadi penurunan kualitas
lingkungan hidup dan kesenjangan pendapatan.
Bahkan sampai dengan saat ini, meskipun indeks kualitas lingkungan hidup Indonesia naik, namun
indeks kualitas air (58,68) dan indeks kualitas tutupan lahan (56,88) Indonesia justru menunjukkan
tren menurun. Schwab (2019) menegaskan bahwa saat ini pemerintah harus menempatkan
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan sebagai tujuan maksimasi perekonomian yang
sejajar dengan pencapaian target pertumbuhan ekonomi. Membangun tidak dapat lagi dilakukan
dengan cara-cara lama, tujuan pembangunan harus melampaui target tradisional yaitu pertumbuhan
ekonomi. Oleh karena itu, pembangunan Indonesia harus mampu menjamin tercapainya target
pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan secara berimbang.
Indonesia memiliki modal dasar berupa momentum pertumbuhan ekonomi yang kuat. Studi
Bappenas (2018) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode tahun 2000-
2018 mencapai 5,6% yang disumbangkan oleh stabilitas inflasi, keuangan publik/ Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan neraca pembayaran yang terjaga selama periode
tersebut. Meskipun perekonomian Indonesia sepanjang empat tahun pertama pelaksanaan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2018 hanya tumbuh rata-rata 5,0%
per tahun, namun kinerja ini masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi
negara berkembang dunia sebesar 4,5% per tahun.1
Periode RPJMN 2014-2019 memiliki kekuatan tersendiri karena didukung oleh komitmen
pemerintah dalam menjaga lingkungan hidup dengan menempatkan pengelolaan SDA berkelanjutan
sebagai batasan pembangunan ekonomi. Pada periode 2014-2018, sektor-sektor yang dinilai
memberikan dukungan tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah industri pengolahan tumbuh
sebesar rata-rata 4,3% per tahun, industri pertanian rata-rata 3,7% per tahun (antara lain perbaikan
infrastruktur pertanian untuk memacu produktivitas), industri transportasi rata rata 8,8% per tahun,
dan industri pergudangan sebesar 7,4% per tahun. Industri jasa juga dinilai mampu menjadi motor
pertumbuhan ekonomi, diantaranya industri jasa informasi dan komunikasi.


1
Data: Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 (Bappenas, 2019)
2 2

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Sampai dengan periode 2014-2019, data menunjukkan bahwa semenjak proklamasi kemerdekaan di
tahun 1945, Indonesia belum dapat ‘naik kelas’ dari pembangunan ekonomi berbasis ekstraksi
sumber daya alam (resource-based economy). Sektor berbasis lahan (pertanian, kehutanan,
perkebunan dan pertambangan) memiliki kontribusi signifikan pada perekonomian khususnya dalam
penyerapan tenaga kerja. Data BPS (2017) menunjukkan bahwa tenaga kerja pada sektor pertanian
dan pertambangan berjumlah 41 juta orang. Salah satu komoditas unggulan pada sektor ekonomi
berbasis lahan adalah kelapa sawit. Ekspansi kelapa sawit pada periode boom commodity (2006-
2014) berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan. Terdapat degradasi hutan di Pulau
Sumatera selama periode tahun 2000-2010 sebesar 678.688 Ha akibat eskpansi sektor perkebunan
utamanya komoditas kelapa sawit (Lee et al., 2014). Sementara itu, pengembangan perkebunan di
Pulau Kalimantan berkontribusi terhadap pengurangan luas tutupan hutan sebesar 2.113.815 Ha
(Gaveau et al., 2017).
Penelitian Kemitraan bertajuk Satu Indonesia (2018) menunjukan bahwa narasi dan proses
pembangunan cenderung menempatkan ekonomi sebagai arus utama. Namun pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di level makro ternyata tidak serta merta menciptakan pemerataan
kesejahteraan di tingkat mikro. Sinkronisasi antara indikator di level mikro dengan level makro masih
lemah. Di sisi lain, ternyata strategi pembangunan di Indonesia berdampak buruk terhadap kualitas
lingkungan hidup. Tren kualitas air dan udara di Indonesia yang menurun2 menunjukkan bahwa
perekonomian Indonesia dibangun tanpa mempertimbangkan keseimbangan antara aspek sosial,
ekonomi dan lingkungan (ekologi) dalam pemilihan kebijakan.
Meskipun sebagian besar upaya untuk mendorong keberlanjutan pembangunan tetap didasarkan
pada pengembangan sektor manufaktur, namun saat ini, arah pengembangan sektor tersebut juga
telah mencakup aspek kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial. Uni Eropa menggunakan
terminologi “high-roads strategies” untuk menjelaskan arah pembangunan yang tidak hanya sekedar
mencapai target pertumbuhan ekonomi (Aiginger, 2014). Konsep tersebut sejalan dengan konsep
pembangunan hijau yang merupakan pembangunan yang mampu menghadirkan keseimbangan
antara aspek sosial, pelestarian ekologi dalam peningkatan kesejahteraan manusia (ekonomi).
Konsep pembangunan hijau bertujuan untuk menjembatani pelestarian lingkungan dengan
pembangunan ekonomi (Adams, 2009). Salah satu aplikasi konsep ini diterjemahkan menjadi
paradigma pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan,
berkelanjutan serta inklusif secara sosial (GGGI, 2017). Inklusifitas dalam pembangunan hijau
penting untuk memastikan pertumbuhan ekonomi selain dapat mengurangi kesenjangan (inequality)
pendapatan juga memperhatikan kesetaraan gender (IMF, 2017).
Pembangunan hijau lahir sebagai perluasan konsep pembangunan berkelanjutan yang dikembangan
oleh WCED pada tahun 1987, dengan tujuan untuk mendorong seluruh upaya dan praktik
pembangunan agar mampu menjaga keseimbangan antara kelestarian lingkungan dan kesejahteraan
masyarakat yang bersifat inklusif bagi seluruh masyarakat. Hal ini lebih luas dan lebih menyeluruh
jika dibandingkan dengan pembangunan berkelanjutan yang terbatas hanya pada kelestarian
lingkungan biofisik dalam pembangunan agar upaya pemenuhan kebutuhan saat ini dapat menjamin
generasi mendatang dalam mencukupi kebutuhannya (Adams, 2003). Pembangunan berkelanjutan
memiliki irisan utama hanya terhadap isu pembangunan ekonomi dan kelestarian biofisik
lingkungan.
Praktik-praktik pembangunan masyarakat industri modern dalam mengeksploitasi sumber daya alam
serta mengelola sektor ekstraktif berdampak pada kelestarian lingkungan biofisik karena
pengaruhnya terhadap perubahan iklim. Beberapa skema investasi dalam upaya untuk mendorong
pembangunan, justru kontraproduktif terhadap upaya pelestarian biofisik karena menghasilkan


2
Laporan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (2010-2018)
3
3

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

emisi karbon tinggi. Merujuk pada urgensi keberlanjutan pembangunan utamanya kelestarian
biofisik, Nordhaus (1994) kemudian menempatkan lingkungan biofisik sebagai barang publik global.
Upaya untuk menjaga keberlanjutan pembangunan melalui pelestarian biofisik dilakukan dengan
memastikan kelestarian ekologi yang antara lain ditindaklanjuti dengan komitmen melestarikan
keanekaragaman hayati. Beberapa inisiatif internasional untuk menjaga lingkungan telah diratifikasi
oleh Indonesia dalam undang-undang. Ratifikasi terhadap konvensi ketahanan hayati serta
Kesepakatan Paris adalah contoh beberapa inisiatif yang telah diratifikasi menjadi undang-undang di
Indonesia.
Tantangan terbesar dalam upaya untuk melestarikan lingkungan terletak pada konsekuensi besar
upaya tersebut terhadap pengelolaan ekonomi termasuk praktik-praktik pembangunan di Indonesia
(Opschoor, 1992)3. Beberapa parameter yang menjelaskan aspek-aspek pembangunan seperti
investasi, perkembangan teknologi dan kualitas sumber daya manusia tidak sepenuhnya dapat
dijelaskan oleh pertumbuhan ekonomi (Easterly, 2002). Rodrik et al. (2002) menemukan bahwa
kualitas institusi menjadi faktor utama yang menjelaskan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu,
pembangunan ekonomi hijau (Green Economic Development) menjadi pendekatan strategis dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang inklusif.
Aspek institusi berkontribusi penting terhadap kualitas pembangunan suatu negara. Perbandingan
Acemoglu dan Robinson (2012) terhadap Korea Selatan dan Korea Utara menunjukkan bahwa
kualitas pembangunan ditentukan oleh konstruksi institusi suatu negara. Di Indonesia, institusi
merupakan salah satu tantangan mendasar dalam pengelolaan pembangunan hijau. Hal ini antara
lain dapat diketahui pada persoalan konflik agraria tidak hanya sekedar memperlihatkan perluasan
lahan atau penerbitan izin baru perkebunan yang melanggar hak warga atas tanah, tetapi juga
persoalan tumpang tindih hak warga atas tanah dengan perusahaan milik negara yang telah
berlangsung sejak lama. Tumpang tindih hak atas tanah tersebut kemudian menimbulkan
ketegangan konflik muncul kembali pada tahun 2018 yang disebabkan oleh pemerintah saat ini
melalui upaya-upaya baru terhadap ijin lama, seperti memperpanjang ijin baru GHU bagi
perusahaan.
Sektor perkebunan menempati posisi tertinggi sebagai penyumbang konflik agraria yaitu 144
ledakan konflik, dimana sepanjang tahun telah terjadi 83 kasus (sekitar 60%) pada perkebunan
komoditas kelapa sawit (KPA, 2018). Konflik lahan yang melibatkan masyarakat dengan pemerintah
dan/atau perusahaan tidak terlepas dari sejumlah permasalahan dalam tata kelola sektor agraria di
Indonesia (Krihsna et al., 2017). Duke (2004) menegaskan bahwa konflik lahan menggambarkan
belum terselesaikannya prasyarat dasar dalam institusi ekonomi yaitu kejelasan tentang hak
kepemilikan (property rights).
Upaya Indonesia untuk mendorong transformasi perekonomian, meskipun tetap memprioritaskan
pada pengembangan sektor manufaktur dalam memastikan keberlanjutan perekonomian, namun
pembangunan harus mampu mendorong seluruh upaya dan praktik pembangunan untuk
mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang
inklusif secara berimbang yang disertai tata kelola penyelenggaraan kehidupan bernegara dan
kemitraan multi-pihak (lihat Gambar 1).

Dalam kajian ini, inisiatif pembangunan hijau yang didorong Kemitraan akan melengkapi aspek
institusi dari inisiatif-inisiatif sebelumnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, basis analisis kajian
pembangunan hijau (Green Development) adalah kebijakan arah pembangunan Indonesia dengan
menggunakan pendekatan teknokratik dan non-teknokratik RPJMN. Identifikasi sejumlah isu institusi


3
Sustainable development, the economic process and economic analysis. In Environment, economy and
sustainable development, edited by J.B. Opschoor, 25-52. Groningen: Wolters-Noordhoff

4 4

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

yang mempengaruhi pembangunan hijau secara komprehensif dilakukan dengan menelaah


dokumen RPJMN.

Kajian pembangunan hijau ini juga akan dilengkapi dengan penjelasan tentang dinamika praktik
upaya pemerintah dalam perencanaan pembangunan hijau di tingkat provinsi. Pembelajaran dari
praktik-praktik tersebut digunakan untuk memberikan masukan kepada pemerintah pusat atas
keberhasilan pemerintah daerah, sebagai garda depan pelaksana praktik pembangunan, dalam
menerapkan konsep dan pembangunan hijau.
Gambar 1 Konsep Green Development Pada Kajian Ini


Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019

1.2 Metodologi Kajian


Kajian pembangunan hijau menggunakan kerangka analisis ekonomi politik pada kebijakan publik
yang dikembangkan oleh Ethan Bueno de Mesquita (2016). Kerangka analisis tersebut digunakan
untuk menganalisis praktik pembangunan hijau di Indonesia. Pembangunan hijau dalam kajian ini
didefinisikan sebagai perubahan dan kemajuan yang menempatkan pemerataan kesejahteraan sosial
dan peningkatan kualitas ekosistem sebagai tujuan optimalisasi pembangunan sejajar dengan upaya
pencapaian target pertumbuhan ekonomi.
Analisis mengenai praktik pembangunan hijau di Indonesia ini mencermati aspek-aspek yang sejalan
dengan lima aspek pembangunan rendah karbon sebagaimana dideskripsikan oleh pemerintah yaitu
(1) pertumbuhan ekonomi berkelanjutan; (2) pertumbuhan inklusif dan merata; (3) ketahanan
ekonomi, sosial dan lingkungan; (4) ekosistem yang sehat dan produktif dalam memberikan jasa
lingkungan; dan (5) pengurangan emisi gas rumah kaca. Praktik pembangunan hijau ditinjau
berdasarkan dinamika institusi/pranata formal berupa kebijakan pembangunan yang tertuang dalam
dokumen perencanaan pembangunan. Selain itu, sejumlah aturan dan perencanaan sektoral yang
berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan juga menjadi bagian yang dikaji. Kajian ini juga

5
5

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

dilengkapi analisis terhadap instrumen dan Inisiatif Kementerian/Lembaga (K/L) yang mendukung
kebijakan pembangunan di Indonesia.
Dalam kajian ini, konsep pembangunan hijau yang mencakup aspek pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, pemerataan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan, dikaji praktik
pelembagaannya dalam kebijakan pembangunan di Indonesia. Praktik pelembagaan ini selanjutnya
berinteraksi dengan sejumlah sektor ekonomi berbasis lahan yang berperan sebagai faktor
pendorong (drivers) dalam mempengaruhi lansekap aspek pembangunan hijau. Oleh karena itu,
batasan lingkup kajian pada inisiatif ini fokus pada sektor berbasis lahan yaitu sektor pertanian,
perkebunan, kehutanan, serta sektor energi. Dilema antara upaya untuk melembagakan
pembangunan hijau dan pengelolaan sektor ekonomi berbasis lahan menjadi fokus dalam kajian ini.
Praktik pembangunan hijau yang dikaji pada kajian ini antara lain mencakup kebijakan, rencana dan
program (KRP), instrumen kebijakan serta inisiatif yang terkait dengan sektor-sektor berbasis lahan.
Analisis tersebut kemudian diintegrasi dengan dinamika institusi dalam pembangunan hijau. Analisis
insititsuional digunakan karena signifikansinya dalam mempengaruhi dinamika pengelolaan sektor-
sektor ekonomi berbasis lahan baik melalui konten, model dan preskripsi untuk digunakan sebagai
solusi terhadap tata kelola (governance) (Ahrens, 2001; Rodrik, 2007). Dampak intervensi proses
pembangunan hijau kemudian dianalisis dampaknya terhadap kelima aspek pembangunan hijau
sebagaimana dideskripsikan oleh pemerintah.

Analisis ini dilakukan secara komprehensif terhadap beberapa dokumen kebijakan dan instrumennya

serta sejumlah inisiatif yang mempengaruhi kondisi pengelolaan sektor-sektor berbasis lahan.
Pendalaman terhadap dinamika tata kelola serta isu pada KRP di setiap sektor tersebut kemudian
dianalisis potensi keterkaitannya dengan aspek pembangunan hijau pada kajian ini sekaligus
mengidentifikasi beberapa alternatif implementasi kebijakan, instrumen dan inisiatif pembangunan
hijau di Indonesia. Detail kerangka kajian ini ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Kerangka Analisis Kajian Green Development
Dinamika Pembangunan Hijau di Tingkat Provinsi

Aspek Normatif
Kebijakan Praktik Pembangunan Hijau Dilema Kebijakan Mengelola Driver

Governance Arrangements Driver


Rules in Form

Pembangunan Struktur Perekonomian Kemandirian dan


Hijau Penyerapan Tenaga Ketahanan Energi
Inisiatif Kebijakan (LCDI) Kerja
Inisiatif Bappenas Efektif Kaidah Pembangunan
mendorong Pest Peraturan Sektoral dan
Keterlambatan Management Program Antar Wilayah
Pertumbuhan Perkebunan Pertambangan
(Resosudarmo, 2012)

Pemerataan
Kesejahteraan Sosial
Perencanaan Penggunaan Lahan
Pembangunan
(RPJPN, RPJMN,
RTRW)
Peningkatan Kualitas Pertanian
Ekologi

Instrumen Kebijakan,
sebagai Kontrol
Ketahanan
(Howlett, 1991) Regulatif
Pangan
(KLHS); Ekonomi (PP IELH
dan FIskal)

Kualitas Pembangunan Hijau (Ekonomi, Sosial, Ekologi)



Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019
Selain menggunakan cakupan analisis di tingkat nasional, kajian ini menggunakan dua studi kasus
untuk menangkap pembelajaran penerapan pembangunan hijau berbasis kewenangan di tingkat
6 provinsi yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir. Kriteria yang digunakan dalam pemilihan
6
studi kasus ini meliputi: (1) provinsi yang mempunyai komitmen politik dan non-politik dalam
merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan hijau; (2) provinsi yang termasuk sebagai
prioritas 11 daerah kehutanan; dan (3) provinsi yang sedang dalam proses penyusunan RPJMD dan
KLHS. Berdasarkan kriteria tersebut, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Jambi menjadi daerah
Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019

Selain menggunakan cakupan analisis di tingkat nasional, kajian ini menggunakan dua studi kasus
untuk menangkap pembelajaran penerapan pembangunan hijau berbasis kewenangan di tingkat
provinsi yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir. Kriteria yang digunakan dalam pemilihan
studi kasus ini meliputi: (1) provinsi yang mempunyai komitmen politik dan non-politik dalam
merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan hijau; (2) provinsi yang termasuk sebagai
prioritas 11 daerah kehutanan; dan (3) provinsi yang sedang dalam proses penyusunan RPJMD dan
KLHS. Berdasarkan kriteria tersebut, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Jambi menjadi daerah
yang digunakan sebagai studi kasus pada kajian ini.
Kajian ini menggunakan pelibatan konsultatif dan partisipatif4 dalam mengumpulkan serta
menganalisis data yang dilakukan dengan teknik wawancara, studi literatur, serta diskusi kelompok
terfokus dengan narasumber dari berbagai pemangku kebijakan dan kepentingan di tingkat nasional
maupun daerah. Pendayagunaan teknik pengumpulan dan analisis data serta penggunaan
pendekatan ekonomi politik kebijakan publik sebagai kerangka kajian yang dilakukan pada studi
kasus yang kemudian ditarik sintesis secara komprehensif untuk dapat digunakan sebagai
rekomendasi dalam mendukung efektivitas skema kebijakan pembangunan hijau yang telah diinisiasi
dalam RPJMN 2020-2024. Secara konseptual, beberapa aspek kebijakan seperti RPJM dan instrumen
penyusunan dan evaluasi KRP seperti KLHS, berperan sebagai penyangga daya dukung lingkungan
hidup untuk memastikan ketersediaan sumber daya alam secara berkelanjutan dalam mendukung
pembangunan.


4
Choong et al. (2016)

7


Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019
Selain menggunakan cakupan analisis di tingkat nasional, kajian ini menggunakan dua studi kasus
untuk menangkap pembelajaran penerapan pembangunan hijau berbasis kewenangan di tingkat
provinsi yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir. Kriteria yang digunakan dalam pemilihan
studi kasus ini meliputi: (1) provinsi yang mempunyai komitmen politik dan non-politik dalam
merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan hijau; (2) provinsi yang termasuk sebagai
prioritas 11 daerah kehutanan; dan (3) provinsi yang sedang dalam proses penyusunan RPJMD dan
KLHS. Berdasarkan kriteria tersebut, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Jambi menjadi daerah
yang digunakan sebagai studi kasus pada kajian ini.
Kajian ini menggunakan pelibatan konsultatif dan partisipatif4 dalam mengumpulkan serta
menganalisis data yang dilakukan dengan teknik wawancara, studi literatur, serta diskusi kelompok
terfokus dengan narasumber dari berbagai pemangku kebijakan dan kepentingan di tingkat nasional
maupun daerah. Pendayagunaan teknik pengumpulan dan analisis data serta penggunaan
pendekatan ekonomi politik kebijakan publik sebagai kerangka kajian yang dilakukan pada studi
kasus yang kemudian ditarik sintesis secara komprehensif untuk dapat digunakan sebagai
rekomendasi dalam mendukung efektivitas skema kebijakan pembangunan hijau yang telah diinisiasi
dalam RPJMN 2020-2024. Secara konseptual, beberapa aspek kebijakan seperti RPJM dan instrumen
penyusunan dan evaluasi KRP seperti KLHS, berperan sebagai penyangga daya dukung lingkungan
hidup untuk memastikan ketersediaan sumber daya alam secara berkelanjutan dalam mendukung
pembangunan.


4
Choong et al. (2016) 7
7

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

8 8

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

2. FAKTOR PENDORONG (DRIVER) PEMBANGUNAN HIJAU


2. Faktor Pendorong (Driver) Pembangunan Hijau

2.1 Sektor Kehutanan


Kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian setidaknya teridentifikasi dalam dua skema
yaitu kontribusi hasil hutan kayu dan bukan kayu serta wisata alam melalui keindahan alam.
Meskipun demikian, sektor kehutanan juga berkontribusi penting dalam menyediakan jasa
lingkungan berupa oksigen dan air. Merujuk pada kondisi tersebut, pemanfaatan kawasan hutan di
Indonesia kemudian dibedakan dalam jenis hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi
terbatas, hutan produksi tetap serta hutan produksi yang dapat dikonversi. Hutan konservasi dan
hutan lindung merupakan jenis hutan yang diperuntukan sebagai penyedia jasa lingkungan
sementara jenis hutan lainnya merupakan jenis-jenis hutan yang diarahkan untuk berkontribusi
terhadap perekonomian nasional dalam bentuk hasil hutan kayu dan bukan kayu serta wisata alam
melalui keindahan alam. Luas alokasi kawasan hutan berdasarkan jenis hutan ditunjukkan sebagai
berikut.
Tabel 1 Status Kawasan Hutan di Indonesia Tahun 2015 dan 2017
%
Kawasan Hutan (Juta Ha)

Penutupan HK HL HPT HP Total HPK Total APL Jumlah


Lahan
1 2 3 4 5= 1+2+3+4) 6 (7=5+6) 8 (9=7+8)

2015 2017 2015 2017 2015 2017 2015 2017 2015 2017 2015 2017 2015 2017 2015 2017 2015 2017 2015 2017

A. Hutan 17,5 17,3 24 23,9 21,8 21,3 17,3 17 80,81 79,6 7.5 6,3 88,3 85,8 8,1 8,1 96,4 93,9 51,3 50
10,
Hutan Primer 12,5 12,5 14,69 15,2 01 9,7 4,5 4,7 41,7 42,2 2.9 2,5 44,7 44,7 1,3 1,5 46 46,1 24,5 24,6

Hutan 11,3 10,0


Sekunder 4,9 4,7 9,1 8,4 7 11,3 3 9,7 35,3 34 4.4 3,8 39,8 37,8 5,5 5,4 45,3 43,1 24,5 23
Hutan
Tanaman* 0,1 0,1 0,3 0,3 0,4 0,3 2,7 2,7 3,6 3,4 0,0 0 3,7 3,4 5,5 1,3 5 4,7 2,7 2,5

B. Non Hutan 4,4 4,8 5,8 5,8 5,8 5,5 11,5 12,2 27,6 28,2 8,01 6,5 35,6 34,7 55,7 59,3 91,4 94 48,7 50
Total Luas 120, 187,
Daratan 21.,9 22,1 29,9 29,7 27,6 79,4 28,8 29,2 108,5 107,8 15,5 12,8 124 6 63,8 12 9 188 100 100

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2018


Secara umum terdapat kemajuan dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Dengan
menggunakan data tahun 2014 sebagai pembanding, terdapat peningkatan luas kawasan hutan
tetap untuk konversi dan lindung. Luas areal hutan pada kawasan hutan lindung pada periode 2014-
2017 hanya menurun sekitar 0,1 juta Ha, sementara itu pada kawasan hutan konservasi hanya
menurun sekitar 0,22 juta Ha. Meskipun demikian terdapat catatan khusus terhadap areal hutan
yang dapat dikonversi (HPK) yang menurun cukup signfikan sebesar 2,7 juta Ha. Hal ini diikuti
dengan peningkatan luasan areal untuk penggunaan lainnya yang mencapai 67,4 juta Ha pada tahun
2017 dibandingkan tahun 2014 yang hanya mencapai 63,8 juta Ha.
Meskipun areal lahan hutan yang dikontribusikan untuk pengembangan perekonomian cukup besar,
namun kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian belum cukup signifikan. Luas lahan
hutan yang diaolokasikan untuk hutan produksi mencapai 56 juta Ha. Berdasarkan data BPS,
kontribusi sektor kehutanan dan penebangan kayu rata-rata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
tahun 2014-2018 hanya mencapai 0,69% dengan kecenderungan menurun. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa produktivitas sektor kehutanan sangat rendah dalam berkontribusi terhadap
perekonomian nasional. Kondisi ini terjadi antara lain karena berkurangnya luas hutan produksi,
padahal berperan sebagai kontributor utama nilai tambah sektor kehutanan.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa upaya untuk mendorong kontribusi sektor kehutanan dalam
perekonomian telah mencapai titik maksimal. Komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan yang
dijalankan pemerintah terbukti efektif menghambat penurunan luasan hutan konservasi dan

9 9

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

lindung. Sementara itu, luasan hutan produksi yang tidak bertambah, bahkan cenderung menurun,
menjadi faktor utama kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB menjadi rendah. Peluang untuk
menambah jumlah luasan hutan produksi yang berasal dari konversi hutan lindung dan konservasi
tentunya tidak dapat dilakukan karena tidak diperbolehkan dan melanggar hukum. Di sisi lain, hutan
produksi yang dapat dikonversi memiliki kecenderungan dialihfungsikan untuk menunjang sektor
non-hutan atau areal penggunaan lain.
Saat ini sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang telah melewati periode puncak sebagai
sektor yang berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Hal ini menyebabkan upaya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tidak dapat lagi mengandalkan sektor
kehutanan. Meskipun demikian, peran sektor kehutanan dapat diarahkan selain sebagai sektor yang
memberikan jasa lingkungan, juga berfungsi sebagai sektor yang berperan dalam menyediakan
pemerataan ekonomi serta ketahanan sosial bagi masyarakat. Salah satu pendekatan di sektor
kehutanan yang dapat berkontribusi terhadap pemerataan ekonomi dan ketahanan sosial
masyarakat adalah program perhutanan sosial. Sektor kehutanan juga memiliki peran besar dalam
perubahan iklim karena kontribusinya dalam menurunkan emisi karbon. Pelestarian dan restorasi
lahan gambut menjadi salah satu kontribusi utama sektor ini dalam upaya penurunan emisi gas
rumah kaca (GRK). Merujuk pada kondisi-kondisi tersebut, meskipun sektor kehutanan bukan
menjadi sektor yang berperan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi, namun menjadi sektor yang
berperan sebagai penyangga ekosistem, pemerataan ekonomi, ketahanan sosial masyarakat serta
penurunan emisi GRK sebagai kontribusi dalam perubahan iklim.

2.2 Sektor Perkebunan
Comodity boom merupakan faktor utama yang mendorong ekspansi sektor perkebunan pada
perekonomian Indonesia. Bank Dunia (2014) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi dunia yang
tinggi selama periode tahun 2000-an menjadi faktor utama tingginya permintaan dunia terhadap
produk biofuels seiring dengan tingginya harga komoditas pada sektor energi. Di Indonesia, seiring
dengan stagnasi sektor manufaktur terhadap perekonomian, sektor perkebunan menjadi kontributor
utama dalam ekspor non-migas di Indonesia. Komoditas kelapa sawit menjadi salah satu komoditas
unggulan karena kontribusinya yang signifikan terhadap ekspor Indonesia.
Gambar 3 Total Export Kelapa Sawit Terhadap Total Nilai Export

100%

80%

60%

40%

20%

0%
2014 2015 2016 2017 2018
Total Export Kelapa Sawit (Ton) Total Nilai Export (Ton)

Sumber: BPS Statistik Export Indonesia, 2018

10 10

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia dibandingkan dengan negara
produsen kelapa sawit lainnya seperti Malaysia, Thailand, Kolombia dan Nigeria. Komoditas kelapa
sawit menjadi andalan bagi pendapatan nasional dan devisa negara Indonesia dengan kontribusi
terhadap perekonomian nasional yang semakin meningkat. Kementerian Pertanian menyebutkan
bahwa secara keseluruhan sektor perkebunan menyumbang Rp. 429 triliun bagi PDB pada tahun
2016 dengan Rp. 260 triliun berasal dari subsektor kelapa sawit.5 Selain itu, pengembangan kelapa
sawit juga dinilai dapat mendorong pertumbuhan wilayah sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan karena adanya serapan tenaga kerja yang
tinggi.
Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Maraknya
investasi berbasis lahan perkebunan kelapa sawit di daerah terjadi sejak tahun 2000, baik
perkebunan swasta (private), perkebunan negara (government), dan perkebunan rakyat
(smallholder). Tutupan lahan perkebunan kelapa sawit saat ini di Indonesia mencapai 16,8 juta Ha
dengan tutupan sawit terluas terdapat di Pulau Sumatera sebesar 10,5 juta hektar (62,5% dari
seluruh tutupan sawit nasional) dan Pulau Kalimantan sebesar 5,7 juta Ha (34,1% dari seluruh
tutupan sawit nasional) (Kementerian Pertanian, BIG, LAPAN, KPK, 2019). Di Pulau Sumatera, wilayah
yang memiliki tutupan sawit terluas yaitu Provinsi Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan (lihat
Gambar 4), sedangkan tutupan sawit terluas di Pulau Kalimantan terdapat di wilayah Provinsi
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur (lihat Gambar 5).
Gambar 4 Tutupan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Pulau Sumatera


Sumber: Kementerian Pertanian, BIG, LAPAN, KPK, 2019




5
https://www.bpdp.or.id/en/berita/sawit-kontributor-utama-pdb-indonesia/

11 11

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019


Gambar 5 Tutupan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Pulau Kalimantan


Sumber: Kementerian Pertanian, BIG, LAPAN, KPK, 2019
Pada sektor perkebunan, pengembangan perkebunan kelapa sawit perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan pembangunan hijau. Secara ekonomi, komoditas kelapa sawit memberikan kontribusi
pertumbuhan ekonomi yang sangat besar. Di sisi lain, ekspansi lahan perkebunan monokultur
seperti kelapa sawit ini mengakibatkan dampak negatif pada kelestarian lingkungan hidup dan
mengancam ruang hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Pada periode tahun 2000-2010,
degradasi hutan di Pulau Sumatera mencapai 678.688 Ha dengan mayoritas alih fungsi lahan ke
perkebunan kelapa sawit (Lee et al., 2014). Hal serupa terjadi di Pulau Kalimantan dimana terjadi
pengurangan luas tutupan hutan sebesar 2.113.815 Ha (Gaveau et al., 2017). Dalam Rancangan
Teknokratik RPJMN Tahun 2020-2024 disebutkan bahwa luas habitat ideal satwa langka terancam
punah di empat pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi) diperkirakan menyusut dari
80,3% di tahun 2000 menjadi 49,7% di tahun 2045 karena peningkatan luas perkebunan kelapa sawit
yang semakin menekan tutupan hutan dan dapat mengakibatkan peningkatan kehilangan
keanekaragaman hayati.
Tata kelola perkebunan kelapa sawit juga menghadapi tantangan yang cukup berat karena
banyaknya status lahan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan. Respon kebijakan untuk
menangani tantangan tersebut antara lain melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018
tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.
Pemerintah menegaskan penghentian sementara ini dilakukan selama tiga tahun untuk
mengevaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang bersifat “keterlanjuran”. Dalam rangka
meningkatkan produktivitas kelapa sawit, pemerintah menyelenggarakan peremajaan kelapa sawit
di beberapa daerah. Pengesahan Inpres ini diharapkan dapat meningkatkan tata kelola perkebunan
kelapa sawit berkelanjutan, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan
emisi GRK.

12 12


Studi
Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019



Box 1 Best Practices: Moratorium Sawit di Provinsi Kalimantan Tengah
Luas lahan perkebunan di Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 647.775, 53 Ha, didominasi oleh
perkebunan sawit. Sektor perkebunan memiliki kontribusi PDRB yang tinggi terhadap pertumbuhan
ekonomi di provinsi ini. Pemerintah daerah tidak mudah untuk dapat menerapkan moratorium sawit
(Inpres No. 8 tahun 2018) karena adanya perbedaan pedoman tata ruang pada saat daerah
menerapakan perizinan yang masih menggunakan Perda No. 8 Tahun 2003 sehingga masih banyak
perusahaan sawit berada di areal kehutanan. Selain itu, belum semua perusahaan sawit melakukan
penyesuaian dokumen perizinan. Melalui upaya yang baik, Provinsi Kalimantan Tengah mampu
mewujudkan moratorium sawit seperti tidak memberikan rekomendasi/pertimbangan teknis atas
permohonan yang berada dalam kawasan hutan dan lahan gambut serta adanya evaluasi terhadap
perizinan yang belum operasional.

2.3 Sektor Pertanian
Komitmen terhadap ketahanan pangan diimplementasikan dalam pemenuhan kebutuhan pangan di
Indonesia, khususnya beras. Beras masih menjadi pangan utama untuk pemenuhan kebutuhan
pangan di Indonesia (Warr, 2011). Pada tabel di bawah ini dapat dilihat komoditas padi di Indonesia
mengalami peningkatan, baik produksi, produktivitas serta luas lahan.
Tabel 2 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Nasional tahun 2014-2018
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas Ku/Ha
2014 13.797.307 70.846.465 51,35
2015 14.116.638 75.397.841 53,41
2016 15.156.166 79.354.767 52,36
2017 15.712.015 81.148.594 51,65
2018* 15.994.512 83.037.150 51,92
Sumber: Statistik Pertanian, 2019
Pada tabel diatas terlihat bahwa luas panen, produksi dan produktivitas padi nasional tetap
meningkat, namun peningkatan yang terjadi tidak signifikan setiap tahun. Peningkatan produksi padi
berkolerasi dengan ketersediaan lahan pangan. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019
menyebutkan bahwa terdapat 95,81 juta Ha potensial untuk pertanian dengan 70,59 juta Ha tedapat
di lahan kering, 5,23 juta Ha lahan berada di lahan basah dan 19,99 juta Ha berada di lahan rawa.
Dari luas lahan potensial sudah dimanfaatkan untuk pertanian, lahan cadangan yaitu sebesar 34,7
juta Ha, yang berada di kawasan budidaya (APL) sebesar 7,45 juta Ha, HPK sebesar 6,79 juta Ha dan
20,46 Ha di kawasan hutan produksi.
Dalam wawancara bersama CNN Indonesia (2018), BPS menyampaikan bahwa luas lahan pertanian
mulai meningkat hingga tahun 2017 yaitu sebesar 7,75 juta Ha tetapi kembali menurun pada tahun
2018 sebesar 0,65 juta Ha dan menjadi 7,1 juta Ha. Peningkatan lahan pangan sebelum tahun 2017
didorong dengan adanya beberapa permasalahan yang berpotensi muncul di masa depan. Adapun
permasalahan yang muncul terkait lahan pangan yaitu: (1) kerusakan lingkungan dan perubahan
iklim; (2) infrastruktur; (3) sarana dan prasarana; (4) lahan dan air; dan (5) kepemilikan lahan. Semua
permasalahan tersebut dapat menimbulkan konversi lahan yang tidak terkendali. Pada tahun 2013,
tercatat bahwa laju konversi lahan mencapai 100 ribu Ha per tahun sedangkan kemampuan
mencetak sawah baru adalah 40 ribu Ha per tahun (Kementerian Pertanian, 2014). Lebih lanjut,
Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2014-2019 juga memuat informasi bahwa hampir 80%
konversi lahan terjadi di wilayah sentra produksi pangan nasional. Kondisi tersebut tentunya

13

13
Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

berdampak pada terganggunya ketahanan pangan. Peran pemerintah menjadi penting untuk
mendorong ketersediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan melalui pemberian insentif dan
perlindungan atau melarang konversi lahan pertanian produksi.
Adanya UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B)
mendorong pengurangan konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. Kawasan pertanian
pangan berkelanjutan tersebut ditujukan untuk pelestarian tanah dan air. Oleh karena itu, UU
tersebut mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan konservasi tanah dan air yang meliputi: (1) perlindungan sumber daya lahan dan air; (2)
pelestarian sumber daya lahan dan air; (3) pengelolaan kualitas lahan dan air; dan (4) pengendalian
pencemaran sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan yang berkewajiban memanfaatkan tanah
sesuai peruntukan dan mencegah kerusakan irigasi.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2009 ini, pemerintah memberikan insentif
bagi pihak yang melaksanakan perlindungan terhadap lahan pertanian yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Insentif yang dimaksud adalah penghargaan kepada petani yang mempertahankan
dan tidak mengalihfungsikan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Box 2 Pertanian Pangan Berkelanjutan di Jambi dan Kalimantan Timur
Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan di Indonesia, Kementerian Pertanian
memiliki program Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang disampaikan dalam PP No. 12
Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No. 30 Tahun
2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan
Menteri Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis, Kriteria dan
Persayaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Program ini
berjalan sudah cukup lama di Provinsi Jambi dan Kalimantan Timur, namun belum dapat
memberikan insentif yang baik untuk petani karena program ini masih dianggap sebagai check list
dari peraturan yang ada sementara petani belum dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa indikator kinerja kunci dalam pelaksanaan program masih
berbasis output, belum berbasis outcome, sehingga manfaat dari program tersebut belum dapat
dirasakan langsung oleh petani.

Pengelolaan pertanian diharapkan dapat memasok bahan baku yang berkualitas untuk diolah
menjadi produk bernilai tambah tinggi, namun pemanfaatannya sampai saat ini belum optimal. Hal
ini ditunjukkan oleh lemahnya keterkaitan hulu-hilir pertanian dan defisit perdagangan komoditas
pertanian yang disebabkan ekspor pertanian yang masih bertumpu pada kelapa sawit, serta adanya
permasalahan terkait keterbatasan kesempatan kerja di pedesaan, menurunnya minat petani muda,
dan masih tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian.

2.4 Sektor Energi
Kemandirian dan ketahanan energi merupakan semangat dasar dalam pengelolaan sektor energi di
Indonesia. Kedua konsep tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi implementasi pembangunan
berkelanjutan. Basis upaya untuk mendorong kemandirian dan ketahanan energi menjadi kunci
bagaimana komitmen dasar sektor energi terimplementasi.
Merujuk pada kedua konsep tersebut, akses terhadap sumber energi sedapat mungkin diupayakan
untuk dipenuhi oleh sumber-sumber energi nasional. Meskipun demikian, pilihan pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan energi tersebut menjadi faktor kunci dalam memastikan pemenuhan target
pembangunan hijau. Upaya untuk memenuhi komitmen kemandirian dan ketahanan energi tidak
hanya ditunjukkan melalui transisi untuk mengurangi ketergantungan energi Indonesia dari
14 14

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

komoditas minyak dan gas bumi yang sebagian besar diimpor oleh Indonesia. Apalagi upaya
pemenuhan tersebut dilakukan hanya berbasis salah satu sumber daya lokal untuk dapat memenuhi
kebutuhan energi nasional khususnya komoditas batu bara.
Pada sektor energi, penambangan batu bara menjadi drivers yang mempengaruhi pembangunan
hijau. Penambangan batubara di beberapa daerah banyak menimbulkan masalah antara lain konflik
sosial dan keruangan, degradasi lahan, pencemaran air akibat limbah dari pencucian batu bara,
polusi udara yang berasal dari partikel debu batu bara, dan lubang tambang yang belum direklamasi.
Wilayah penambangan batu bara di Indonesia tersebar di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Sumatera
Selatan, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Produksi batubara Indonesia cenderung mengalami penurunan yang cukup signifikan, khususnya
terjadi pada tahun 2016. Selain dipengaruhi oleh permintaan dalam negeri, produksi batu bara
Indonesia juga dipengaruhi oleh permintaan dunia. Namun, saat ini Indonesia sedang mengalami
ketidakpastian global terhadap harga komoditas batu bara yang menurun sehingga dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Gambar 6 Produksi Batubara di Indonesia Tahun 2014-2019


Sumber: Kementerian ESDM, 2019
Batubara memiliki peran signifikan dalam penyediaan energi di Indonesia utamanya pada sub sektor
ketenagalistrikan. Rancangan Teknokratik RPJMN Tahun 2020-2024 menyebutkan bahwa rasio
elektrifikasi di Indonesia telah mencapai 98,3% pada tahun 2018. Capaian ini didukung perluasan
jaringan distribusi listrik, serta pengembangan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT)
termasuk melalui pembangunan EBT skala kecil, penerapan smartgrid, dan pemanfaatan bahan
bakar nabati. Jika dilihat dari rasio elektrifikasi tersebut, kondisi kualitas hidup masyarakat semakin
tinggi. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan energi nasional masih perlu ditingkatkan. Pada
Rancangan Teknokratik RPJMN Tahun 2020-2024 diuraikan bahwa konsumsi listrik nasional hanya
mencapai 1.064 kWh per kapita pada tahun 2018, atau jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-
rata konsumsi listrik negara maju yang mencapai 4.000 kWh per kapita.
Dalam pemenuhan kebutuhan energi, saat ini Indonesia menghadapi tantangan menipisnya
cadangan energi fosil, baik minyak, gas dan juga batu bara. Kondisi ini antara lain direspon dengan
pengembangan bahan bakar nabati (BBN) yang secara langsung beririsan dengan drivers sektor
ekonomi berbasis lahan, terutama sektor perkebunan dan energi. Sektor perkebunan kelapa sawit
yang masih memiliki banyak tunggakan masalah dihadapkan pada hilirisasi produk turunannya yaitu
biodiesel. Biodiesel secara umum memiliki nilai emisi yang lebih rendah daripada bahan bakar fosil

15
15

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

dan sangat berkontribusi terhadap ketahanan energi. Berdasarkan riset emisi biodiesel dari Traction
Energi Asia, produk biodiesel yang berasal dari kebun di lahan gambut ataupun yang berasal dari
pembukaan lahan secara langsung memiliki nilai jejak karbon yang justru lebih tinggi ketimbang dari
bahan bakar fosil (Septiani, 2019). Pemanfaatan methane capture menjadi energi listrik dapat
mendorong pengurangan hingga separuh dari total emisi yang dihasilkan biodiesel. Di beberapa
kesempatan, Presiden Indonesia memaparkan target ambisiusnya untuk terus meningkatkan nilai
blending biodiesel hingga B50 pada akhir tahun 2020. Implementasi B30 di awal tahun 2020 akan
meningkatkan tingkat konsumsi dalam negeri hingga 9-10 juta Ton crude palm oil (CPO) atau minyak
kelapa sawit. Tantangan ke depan untuk inisiatif ini adalah bagaimana pengembangan BBN ini juga
dapat menyeimbangkan dengan aspek sosial yaitu kesejahteraan petani agar tidak terpinggirkan
serta aspek lingkungan yaitu kelestarian ekosistem.
Selain pengembangan BBN, tren penggunaan energi di masa depan akan beralih ke baterai sebagai
sumber energi kendaraan bermotor listrik (KBL). Pengembangan baterai ini akan menjadi salah satu
alternatif energi terbarukan yang ada di Indonesia. Sementara ini, potensi baterai yang ada di
Indonesia yaitu nikel, kobalt dan mangan. Namun, seiring meningkatnya produksi KBL, permintaan
lithium sebagai sumber energi KBL diprediksi akan semakin meningkat dan harga lithium pun juga
akan meningkat. Pada kesempatan ini, pemerintah menargetkan Indonesia mampu menghasilkan
baterai lithium secara mandiri pada tahun 2022. Terkait dengan hal tersebut, pengembangan baterai
lithium ini berpotensi akan mempengaruhi alokasi penggunaan lahan dalam pola ruang wilayah di
Indonesia melalui pertambangan terhadap mineral ini serta menimbulkan dampak atau risiko
terhadap lingkungan hidup. Pengembangan KBL juga akan berpengaruh pada besaran jejak karbon
Indonesia apabila sumber listrik untuk mengisi baterai masih berasal dari pembangkit tenaga listrik
berbasis energi fosil.

2.5 Lahan dan Pembangunan Hijau di Indonesia
Lahan merupakan faktor produksi penting bagi pembangunan di Indonesia. Serupa dengan beberapa
negara berkembang lainnya yang menggantungkan perekonomiannya pada sektor-sektor berbasis
lahan, kombinasi antara faktor produksi lahan dan tenaga kerja merupakan dua faktor yang paling
dominan mempengaruhi produktivitas perekonomian suatu negara. Pilihan alokasi lahan menjadi
determinan penting dalam mempengaruhi pembangunan suatu negara (Adamopoulus, 2008).
Sementara itu, pilihan alokasi lahan tidak terlepas dari dorongan kebutuhan akan pengembangan
komoditas di sektor ekonomi yang menggunakan lahan sebagai faktor produksinya (Stephenne dan
Lambin, 2001). Di sisi lain, alokasi lahan yang digunakan untuk pengembangan komoditas ekonomi
berbasis lahan berdampak terhadap keberlanjutan pembangunan (Saputra dan Lee, 2019).
Di Indonesia, kelapa sawit merupakan komoditas yang berperan besar dalam penentuan alokasi
lahan. Pengembangan komoditas kelapa sawit dalam perekonomian nasional tidak dapat dilepaskan
dari peran pentingnya sebagai salah satu sumber energi primer di Indonesia serta komoditas ekspor
non-migas unggulan. Konsep ketahanan dan kemandirian energi yang akan dipenuhi dari bahan
bakar nabati menggunakan komoditas kelapa sawit sebagai bahan bakunya merupakan faktor
pendorong peningkatan kebutuhan akan lahan dari sektor energi. Sementara itu, peran signifikan
komoditas kelapa sawit terhadap perekonomian nasional ditunjukkan oleh rata-rata kontribusi nilai
ekspor kelapa sawit terhadap total nilai ekspor nasional pada tahun 2014-2018 mencapai 10,17%.
Kebutuhan lahan dari sektor energi didorong oleh permintaan sumber energi primer dari komoditas
pertambangan seperti batu bara serta minyak dan gas. Kebutuhan lahan untuk pertambangan batu
bara merupakan dampak dari target pemenuhan energi sekunder khususnya penyediaan listrik.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerintah menargetkan penyediaan energi listrik
sebesar 35 Giga Watt. Komoditas batu bara sebagai sumber energi primer diperoleh dari sektor
pertambangan dari hasil konversi lahan khususnya kawasan hutan. KPK mencatat bahwa sebagian
besar kawasan pertambangan berada dalam Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) (KPK, 2018).

16 16

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Sektor energi, perkebunan dan pertanian cenderung menjadi pendorong laju penurunan tutupan
hutan, sehingga berdampak pada sektor kehutanan. Berdasarkan laporan KLHK tahun 2015-2018,
sepanjang periode tersebut terdapat pengurangan luas hutan konservasi sebesar 243.000 Ha dan
hutan lindung sebesar 900.000 Ha. Terdapat catatan menarik terkait dengan upaya pemenuhan
ketahanan pangan oleh pemerintah. Pemenuhan ketahanan pangan juga berdampak terhadap
luasan panen tanaman pangan, baik komoditas padi maupun jagung. Pada tahun 2014, luas panen
padi mencapai 13,8 juta Ha dan jagung 3,8 juta Ha. Luas panen jagung dan padi meningkat masing-
masing menjadi 2 juta hektar selama periode tahun 2014-2018.
Permasalahan pengelolaan lahan tidak lepas dari tata kelola lahan yang buruk. Hasil temuan
Kemitraan dalam Seeing the Unseen Narrative for Rural Economic Development (2017) menegaskan
bahwa tata kelola lahan yang buruk berdampak terhadap alokasi sumber daya khususnya lahan. Di
Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat terjadi penguasaan lahan yang dominan oleh
korporasi, khususnya komoditas kelapa sawit dan pertambangan. Namun, kondisi tersebut tidak
berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, bahkan jumlah
penduduk pedesaan miskin yang tidak memiliki lahan semakin meningkat. Dengan demikian,
kepemilikian lahan sebagai salah satu faktor produksi oleh masyarakat desa menjadi terbatas.
Tabel 3 Luas Konsesi Hutan di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur
Provinsi Konsesi Luas (Ha) Proporsi dari Luas Wilayah
Kalimantan Barat Hutan 3.700. 502 24,85 %
Kebun 200.451 1,35%
Tambang 4.390.032 29,48%
Total Luas konsesi 55,67 %
Kalimantan Timur Hutan 5.717.062 43,11%
Kebun 931.307 7,02%
Tambang 5.132.340 38,70%
Total Luas Konsesi 88,84%
Sumber: Kemitraan, 2017

Tantangan pembangunan Indonesia sangat kompleks, pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi di sisi lain
terjadi ketimpangan multidimensi yaitu ketimpangan pendapatan, ketimpangan kepemilikan lahan
dan ketimpangan pembangunan antar daerah. Selain itu, peningkatan alih fungsi lahan hutan dan
peningkatan produksi perkebunan dan pertambangan berbanding lurus dengan peningkatan konflik
lahan. Permasalahan institusional juga semakin buruk akibat maraknya tindakan illegal dan tingginya
kejahatan terorganisir seperti korupsi, pembalakan liar, pembakaran hutan, penyelundupan,
perampasan lahan dan pencurian hasil sumber daya alam. Menurut KPK (2018b), telah terjadi
korupsi di dua sektor besar yaitu kehutanan dan pertambangan. Temuan korupsi yang terjadi di
sektor kehutanan terkait perizinan terdapat uang suap sebesar 688 juta sampai 22,6 milyar rupiah
per tahun. Sementara itu, korupsi pada sektor pertambangan ditemukan pada kurangnya
pembayaran pajak tambang di kawasan hutan sebesar 15,9 triliun rupiah per tahun. Tunggakan
masalah tersebut selalu menjadi tantangan pembangunan Indonesia dari tahun ke tahun dan belum
tuntas penyelesaiannya. Hal ini karena walaupun strategi pembangunan yang digunakan selama ini
menggunakan pendekatan multidisiplin, antara lain sosial, ekonomi dan lingkungan, namun
ketiganya dijalankan secara terpisah dan belum terkait satu dengan lain (Kemitraan, 2018).

17
17
Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

3. DINAMIKA PEMBANGUNAN HIJAU DI INDONESIA


3.
Dinamika Pembangunan Hijau di Indonesia
3.1 Perencanaan Pembangunan dalam Pembangunan Hijau
Perencanan pembangunan merupakan panduan dan arahan aksi bagi setiap aktor yang terlibat
dalam pembangunan. Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sebagai salah satu
output dari reformasi, menempatkan publik untuk berperan aktif dalam seluruh tahapan
pembangunan termasuk dalam perencanaan. Meskipun masih terdapat kesenjangan dalam
implementasinya, namun komitmen untuk melibatkan publik telah terinstitusionalisasi dalam
mekanisme musyawarah pembangunan dari tingkat desa sampai tingkat nasional.
Pelibatan para pemangku kepentingan secara aktif dalam proses perencanaan menunjukkan
kontribusi mereka dalam penentuan arah pembangunan. Dengan kata lain, perencanaan
pembangunan merupakan bentuk konkret kontribusi setiap aktor. Dalam penyusunan dokumen
perencanaan yang partisipatif, KRP seharusnya telah mengakomodasi perhatian dan kepentingan
setiap aktor dalam pembangunan.
Meskipun titik berat dokumen perencanaan pembangunan terdapat pada visi dan misi pimpinan
negara (presiden di tingkat nasional, gubernur di tingkat provinsi, serta bupati/walikota di
kabupaten/kota), dokumen-dokumen perencanaan tetap telah mempertimbangkan perhatian,
kepentingan dan keterlibatan para aktor dalam pembangunan. Sebagai acuan yang bersifat teknis,
dokumen perencanaan pembangunan dapat memberi gambaran tentang dampaknya terhadap
pencapaian pembangunan hijau yang diharapakan dapat mengoptimalkan pembangunan ekonomi,
kesejahteraan sosial serta kelestarian lingkungan secara seimbang. Beberapa dokumen perencanaan
pembangunan antara lain Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang (RPJM dan RPJP)
yang mengacu pada UU No. 25 Tahun 2004 serta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang
mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007.
Di sisi lain, dari perspektif insititusi dokumen perencanaan pembangunan yang ditetapkan dalam
undang-undang memiliki dasar hukum yang kuat untuk diacu oleh seluruh pemangku kepentingan
dalam terlibat dalam pembangunan. Oleh karena itu, penting dalam kajian ini untuk menyajikan
potensi dampak dari arah pembangunan yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan dapat
mempengaruhi pencapaian tujuan pembangunan hijau.

3.1.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang disahkan dalam UU No. 17
Tahun 2007, masih menitikberatkan pada industri dan pertambangan, akibatnya pembangunan
ekonomi harus disertai analisis bagaimana kemampuan daya dukung dan daya tampung
lingkungannya. Kebijakan penataan ruang yang mengalokasikan peruntukkan sumber daya alam di
Indonesia juga harus menjadi pertimbangan. Pembangunan tidak boleh merugikan negara dalam
segala aspek, tidak hanya kerugian ekonomi, tetapi juga sosial dan lingkungan dengan tidak
menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat lokal serta dapat menjunjung kearifan lokal yang ada
untuk tetap menjaga keseimbangan lingkungan. RPJPN 2005-2025 menegaskan beberapa target
pembangunan sebagai berikut:
a. Mewujudkan masyarakat yang tertib, maju, damai dan berkeadilan sosial
b. Populasi yang kompetitif dan inovatif
c. Demokrasi yang adil
d. Perkembangan sosial dan kesetaraan antara semua orang dan daerah
e. Menjadi kekuatan ekonomi dan diplomatik yang berpengaruh diskala global

18 18

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Secara garis besar, RPJPN 2005-2025 menargetkan pendapatan perkapita Indonesia yang setara
dengan tingkat kesejahteraan negara-negara berpenghasilan menengah atas (upper-middle income
country/ upper MIC) yang memiliki infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, layanan publik dan
kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Aspek kelestarian ekologi merupakan isu yang belum
mendapatkan penekanan oleh pemerintah. Meskipun demikian, aspek pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan sosial merupakan dua aspek dalam pembangunan hijau yang telah mendapatkan
perhatian. Namun, penekanan dalam RPJPN 2005-2025 belum memadai untuk mencapai tujuan
pembangunan hijau secara baik.
Arahan pelestarian lingkungan yang tidak tersedia sebagai jangkar dalam pembangunan jangka
panjang mempengaruhi cara pandang dalam mengelola pembangunan ekonomi di Indonesia.
Struktur perekonomian Indonesia yang masih menitikberatkan pada sektor-sektor berbasis sumber
daya alam yang cenderung ekspansif selama periode 20 tahun terakhir merupakan dampak atas
tidak tersedianya komitmen untuk menjaga kelestarian dalam dokumen rencana pembangunan
jangka panjang. Merujuk pada situasi tersebut, penting bagi pemerintah untuk mengintegrasikan
konsep pembangunan hijau yang bertujuan mengoptimalkan pembangunan ekonomi, kesejahteraan
sosial dan kelestarian secara seimbang dalam dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang
yang akan datang. Ketersediaan arahan kongkrit dalam dokumen perencanaan selanjutnya menjadi
acuan dalam pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah.

3.1.2 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional
Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) merupakan dokumen penerjemahan visi dan
misi presiden beserta kebijakan dan program pembangunan dengan periode lima tahun yang
mengacu pada dokumen RPJPN. Sejak periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai
dengan periode kedua Presiden Joko Widodo, dokumen RPJMN telah menerapkan aspek
pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial secara konsisten sebagai agenda pembangunan.
Khusus komitmen kelestarian ekologi, terdapat variasi pada setiap dokumen RPJMN (lihat Tabel 4).
Sejauh ini, benang merah dokumen RPJMN untuk isu lingkungan adalah penempatan komitmen
pada kelestarian ekologi sebagai batasan (constraint) dalam optimasi pencapaian target
pembangunan ekonomi khususnya pertumbuhan ekonomi.
Kajian ini lebih lanjut menelaah Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024. Dokumen ini secara
signifikan memasukkan komitmen pengelolaan lingkungan termasuk kelestarian ekologi sebagai
salah satu agenda pembangunan yang sejajar dengan agenda pembangunan lainnya. RPJMN 2020-
2024 bertujuan untuk mewujudkan “Indonesia berpenghasilan menengah-tinggi yang sejahtera, adil,
dan berkesinmbungan”, dengan mengusung tiga aspek yang menjadi landasan pembangunan lima
tahun ke depan yaitu pertumbuhan ekonomi, keseimbangan sosial, dan pengendalian dampak
lingkungan hidup. RPJMN 2020-2024 memiliki empat pilar pembangunan, yaitu: (1) kelembagaan
politik dan hukum yang mantab; (2) kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat; (3) struktur
ekonomi yang semakin maju dan kokoh; dan (4) terwujudnya keanekaragaman hayati yang terjaga.
Pilar pembangunan keempat tersebut menjadi komitmen pemerintah untuk tetap menjaga
keseimbangan ekosistem dalam pelaksanaan pembangunan agar tidak mengancam keanekaragaman
hayati di seluruh wilayah Indonesia.

19 19

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

Tabel 4 Arah Kebijakan Pembangunan di Indonesia dalam RPJMN


Agenda Pembangunan Agenda Pembangunan
Arah Kebijakan RPJMN Agenda Pembangunan
Nasional tahun 2004- Nasional tahun 2009-
2015-2019 RPJMN 2020-2025
2009 2014
1. Agenda 1. Pembangunan 1. Meningkatkan 1. Memperkuat ketahanan
menciptakan ekonomi dan kualitas sumber daya ekonomi untuk
Indonesia yang peningkatan manusia dan pertumbuhan yang
aman dan damai kesejahteraan rakyat kesejahteraan rakyat berkualitas
2. Agenda 2. Perbaikan tata kelola yang berkeadilan 2. Mengembangkan wilayah
menciptakan Pemerintahan 2. Pertumbuhan untuk mengurangi
Indonesia yang adil 3. Penegakan Pilar ekonomi yang inklusif kesenjangan
dan demokratis demokrasi dan berkelanjutan 3. Meningkatkan sumber
3. Agenda 4. Penegakan hukum 3. Penyiapan landasan daya manusia yang
Meningkatkan dan pemberantasan pembangunan yang berkualitas dan berdaya
kesejahteraan korupsi kokoh saing
rakyat 5. Pembangunan yang 4. Mengembangkan dan 4. Revolusi mental dan
4. Kerangka ekonomi inklusif dan memeratakan pembangunan
makro dan berkeadilan pembangunan kebudayaan
pembiayaan 5. Mempercepat 5. Memperkuat infrastruktur
pembangunan pembangunan untuk mendukung
infrastruktur untuk pengembangan ekonomi
pertumbuhan dan dan pelayanan dasar
pemarataan 6. Membangun lingkungan
6. Meningkatkan hidup, meningkatkan
pengelolaan dan nilai ketahanan bencana dan
tambah sumber daya perubahan iklim
alam yang 7. Memperkuat stabilitas
berkelanjutan Polhukhankam dan
7. Mitigasi bencana alam transformasi pelayanan
dan perubahan iklim Publik
Sumber: Bappenas, 2019

Gambar 7 Tujuh Agenda Pembangunan RPJMN IV Tahun 2020-2024


Sumber: Bappenas, 2019

20
20

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Empat pilar pembangunan yang telah ditetapkan selanjutnya diterjemahkan ke dalam tujuh agenda
pembangunan (lihat Gambar 7). RPJMN 2020-2024 dapat dilihat sebagai rencana pembangunan
nasional pertama yang secara terbuka mengakui perubahan iklim sebagai salah satu elemen utama
yang dipertimbangkan dalam menyusun opsi dan skenario pembangunan. Meskipun dari ketujuh
agenda pembangunan, baru sebagian kecil dari instrumen perubahan iklim yang disasar, menimbang
fokusnya lebih pada ‘meningkatkan daya tahan terhadap kerentanan perubahan iklim’. Perlu dikaji
lebih lanjut apakah ‘penyempitan’ fokus ini memang merupakan pilihan yang disengaja, mengingat
pada pertimbangan pelaku ekonomi yang konservatif perubahan iklim lebih sering dinilai sebagai
‘tantangan’ dibandingkan ‘kesempatan’. Penggolongan lingkungan hidup, peningkatan ketahanan
bencana dan perubahan iklim menjadi agenda bersama dalam pembangunan juga perlu disiasati
agar keterkaitannya dengan agenda pembangunan lainnya dapat dirajut dengan baik dan tidak saling
meniadakan. Pentingnya mengaitkan ketiga hal tersebut dengan berbagai unsur ekonomi dan sosial
yang menjadi dasar agenda pertumbuhan lainnya menjadi pekerjaan rumah yang paling besar dalam
menerapkan RPJMN ini agar tujuan pembangunan hijau benar benar dapat tercapai.
Berbeda dengan RPJMN sebelum-sebelumnya, RPJMN 2020-2024 mengangkat secara khusus isu
perubahan iklim, walaupun masih sebatas keterkaitannya dengan penurunan daya dukung
lingkungan yang dapat berdampak negatif terhadap pencapaian target pertumbuhan ekonomi.
Dalam RPJMN ini juga dikedepankan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi,
target penurunan dan intensitas emisi serta kapasitas daya dukung sumber daya alam dan daya
tampung lingkungan hidup saat ini dan di masa depan.
RPJMN 2020-2024 mengharapkan terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata
5,4-6,0 persen per tahun dan pertumbuhan PDB per kapita sebesar 4,0 +/- 1 persen, dengan
mendorong peningkatan produktivitas, investasi yang berkelanjutan, perbaikan pasar tenaga kerja,
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Target pertumbuhan ekonomi tertinggi terdapat di
Pulau Papua yang mengindikasikan pembangunan ke wilayah timur Indonesia menjadi perhatian
agar tidak terjadi ketimpangan pembangunan. Sementara itu, tingkat inflasi diharapkan dapat
dipertahankan pada level 3,0 +/- 1 persen sepanjang periode 2020-2024. Hal ini untuk memastikan
peningkatan perbaikan kualitas pertumbuhan, serta penurunan tingkat kemiskinan dan
pengangguran menjadi 6,5-7,0 persen dan 4,0 -4,6 persen pada tahun 2024, dengan penurunan gini
ratio menjadi 0,370-0,374 dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi 75,54.
Asumsi yang digunakan mengandalkan transformasi struktural yang didorong utamanya melalui
revitalisasi industri pengolahan dan pengembangan modernisasi pertanian, hilirisasi pertambahan,
pembangunan infrastruktur berkelanjutan dan transformasi sektor jasa.
Gambar 8 Sasaran Makro Pembangunan 2020-2024


Sumber: Bappenas, 2019

21
21

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

Meskipun RPJMN 2020-2024 secara eskplisit telah mengamanatkan pembangunan lingkungan hidup
sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional, namun potensi deviasi praktik pembangunan
terhadap dokumen perencanaan relatif besar. Potensi kesenjangan tersebut teridentifikasi dalam
sejumlah perhatian Presiden yang menempatkan investasi sektor ekonomi berbasis lahan sebagai
prioritas utama. Data BKPM (2017) menunjukkan bahwa selama periode tahun 2014-2016 rata-rata
nilai penanaman modal asing (PMA) pada sektor berbasis lahan mencapai 20% dari total PMA
nasional. Oleh karena itu, memastikan investasi agar tetap mampu berkontribusi terhadap upaya
menjaga kelestarian ekologi menjadi tantangan terbesar dalam implementasi RPJMN 2020-2024.

3.1.3 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Perencanaan spasial menjadi dasar pengalokasian sumber daya pada ruang-ruang geografis suatu
negara. Alokasi sumber daya berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi khususnya dalam
menentukan fokus sektoral dan area dalam perekonomian (Chenery dan Kretschmer, 1956).
Pembangunan hijau yang mendorong keseimbangan pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan
dan kesejahteraan masyarakat sangat dipengaruhi oleh prioritas alokasi sumber daya. KTT Bumi di
Rio de Janeiro tahun 1992 mencatat dua aktivitas ekonomi yang mempengaruhi lansekap spasial
yaitu pemanfaatan lahan untuk tempat tinggal dan sumber daya alam untuk pembangunan.
Kelestarian lingkungan termasuk ekologi ditentukan oleh rencana pemanfaatan sumber daya
berbasis spasial (Robinson, 1993). Oleh karena itu, perencanaan spasial berperan penting dalam
pengelolaan pembangunan hijau.
Di Indonesia, dokumen perencanaan spasial adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Rencana
tata ruang adalah salah satu dokumen induk dari proses pembangunan yang menguraikan visi
alokasi ruang untuk pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang. Berdasarkan UU No. 26
Tahun 2007, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan: (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b)
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia; dan (c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional,
penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota yang dilakukan
secara berjenjang dan komplementer. Arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah
negara diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan telah ditetapkan dalam PP
No. 13 tahun 2008. Aspek lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan RTRWN adalah
keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup; RPJPN; rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan RTRW
provinsi dan RTRW kabupaten/kota.
Pada tahun 2017, RTRWN telah dilakukan peninjauan kembali yang hasilnya berujung pada
diperlukannya revisi RTRWN. Perubahan RTRWN selanjutnya diatur dalam PP No. 13 Tahun 2017
tentang perubahan atas PP No. 26 Tahun 2008. Perubahan RTRWN ini disebabkan oleh adanya
pertimbangan perubahan kebijakan nasional dan dinamika pembangunan nasional yang telah
mempengaruhi penataan ruang wilayah nasional. Perubahan RTRWN diperlukan untuk
mengakomodasi proyek strategis nasional (PSN) yang direncanakan pada periode 2015-2019. Daftar
baru PSN tentunya memungkinkan belum tercantum pada RTRW Provinsi ataupun RTRW
Kabupaten/Kota. Dengan demikian, pada tingkat peraturan perundangan, pembangunan proyek-
proyek tersebut akan mengacu pada PP RTRWN ini, meskipun belum terakomodasi pada Perda
RTRW Provinsi ataupun RTRW Kabupaten/Kota. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/ WALHI (2019)
dalam catatan kebijakannya memberi catatan khusus pada proses revisi RTRWN bahwa proses
memasukkan sejumlah PSN dalam RTRWN tidak dilakukan secara paritispatif. Perubahan RTRWN
22 22

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

dengan menampung tambahan PSN ini mengindikasikan bahwa adanya praktik perencanaan yang
top down dari pusat ke daerah. Selain itu juga tidak adanya keselarasan antara perencanaan di
tingkat pusat dan daerah.
Pendetailan strategi pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup khususnya
kawasan lindung menjadi faktor strategis yang berkaitan dengan pengelolaan pembangunan hijau di
Indonesia. Dalam Pasal 7 PP No. 13 Tahun 2017, alokasi areal untuk kawasan berfungsi lindung tidak
lagi ditentukan dengan batas minimal 30% dari wilayah seluruh pulau di Indonesia. Persentase
alokasi kawasan berfungsi lindung setiap pulau ditentukan sesuai dengan kondisi, karakter, dan
fungsi ekosistemnya. Pengaturan ini menunjukkan komitmen baik dari pemerintah yang sejalan
dengan konsep pengelolaan pembangunan hijau di Indonesia. Luasan kawasan berfungsi lindung
minimal 30% hanya terdapat pada Pulau Jawa-Bali, Maluku dan Nusa Tenggara. Di sisi lain, terdapat
alokasi kawasan berfungsi lindung yang lebih besar pada pulau-pulau lainnya. Pulau Papua
merupakan pulau dengan alokasi kawasan lindung terbesar yaitu mencapai 70% dari luas
wilayahnya. Meskipun demikian, jika melihat target pertumbuhan ekonomi Pulau Papua pada
RPJMN 2020-2025, Pulau Papua mempunyai target pertumbuhan ekonomi tertinggi dibandingkan
dengan pulau lainnya yaitu sebesar 7,69% pada tahun 2024 (lihat Gambar 9). Dengan demikian,
pembangunan hijau di Pulau Papua juga perlu menjadi perhatian agar eksploitasi sumber daya alam
dan lingkungan tidak berlebihan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut.
Gambar 9 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi per Pulau di Indonesia Tahun 2020-2024


Sumber: Bappenas, 2019

3.2 Kebijakan Sektoral dalam Pembangunan Hijau


3.2.1 Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam mengakibatkan kualitas lingkungan hidup
semakin menurun dan mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Di
samping itu, pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Kondisi ini disadari oleh Pemerintah Indonesia
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh
dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

23
23
Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

selanjutnya diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Berdasarkan UU tersebut, pemerintah pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) harus
menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya
perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. Penyusunan RPPLH memperhatikan
keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam,
kearifan lokal, aspirasi masyarakat, dan perubahan iklim. Muatan rencana yang terdapat dalam
RPPLH meliputi (1) pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam; (2) pemeliharaan dan
perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; (3) pengendalian, pemantauan, serta
pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan (4) adaptasi dan mitigasi terhadap
perubahan iklim. Adanya kebijakan penyusunan RPPLH mengindikasikan bahwa pemerintah
menyadari bahwa lingkungan hidup merupakan modal pembangunan, tidak hanya berfungsi sebagai
penyedia sumber daya alam dan penyedia jasa ekosistem, tetapi juga berfungsi sebagai pelindung
dari bencana. Oleh sebab itu, pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan hal yang sangat
penting dan mendasar dalam pelaksanaan pembangunan.
Penyusunan RPPLH berdasarkan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan ekoregion, daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup. RPPLH yang disahkan dengan Peraturan Pemerintah untuk
RPPLH Nasional, Peraturan Daerah Provinsi untuk RPPLH Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota untuk RPPLH Kabupaten/Kota, selanjutnya menjadi dasar penyusunan dan dimuat
dalam: (1) RPJP dan RPJM; (2) Rencana sector; (3) Rencana Tata Ruang Wilayah; (4) Dokumen Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan; (5) Dokumen Penyusunan KLHS; dan (6) Penerapan instrumen
pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

3.2.2 Reforma Agraria


Reforma Agraria (land reform) merupakan salah satu program prioritas pemerintahan Presiden Joko
Widodo pada periode pertama. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dan
memperluas pemerataan penguasaan atas lahan kepada masyarakat. Program ini merupakan upaya
untuk mendistribusikan faktor produksi secara merata kepada seluruh rakyat. Program ini bertujuan
untuk dapat mewujudkan pemerataan ekonomi sebagai perbaikan atas kebijakan sebelumnya yaitu
hak pengelolaan atas lahan dan sumberdaya alam melalui pemberian izin-izin usaha skala besar.
Namun kegiatan ini menyebabkan munculnya berbagai masalah yaitu adanya ketimpangan
penguasaan lahan, konflik-konflik agraria, serta kerusakan lingkungan.
Dalam menjalankan program reforma agraria tersebut, pemerintah memiliki dua jalur yaitu:
1) Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)
Merupakan pengembalian hak atas tanah kepada rakyat, yang terbagi atas legalisasi aset
sebanyak 4,5 juta Ha dan redistribusi lahan sebesar 4,5 juta Ha. Sebagian besar dari lahan yang
merupakan obyek program adalah hutan negara dan tanah negara yang berasal dari tanah
terlantar. Penerima TORA umumnya adalah komunitas dimana tanah tersebut berada,
termasuk nelayan, petani dan penduduk miskin.
2) Perhutanan Sosial
Merupakan pemberian hak pengelolaan kawasan hutan negara kepada komunitas masyarakat
setempat, termasuk masyarakat hukum adat. Pemerintah menargetkan lahan negara seluas
12,7 juta Ha untuk perhutanan sosial.
Sampai dengan tahun 2018, capaian akses kelola perhutanan sosial seluas 2.504.197,92 Ha dengan
jumlah Kepala Keluarga sebanyak 586.793 KK dan jumlah SK yang keluar sebanyak 5.198 unit. Di sisi
lain, pelaksanaan TORA mengalami hambatan karena dinilai dapat menimbulkan konflik keruangan

24 24

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

dan konflik sosial. Salah satu hal yang juga masih memerlukan kesepakatan dan kajian adalah apakah
hutan adat merupakan bagian TORA atau Perhutanan Sosial.

Box 3 Pro dan Kontra TORA di Jambi dan Kalimantan Timur
Kehadiran TORA di beberapa wilayah di Indonesia tidak selalu menjadi solusi yang diterima positif
oleh masyarakat setempat dan pemerintah daerah karena masih ada perbedaan persepsi terkait hak
atas tanah dan hak atas pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Kawasan hutan di Provinsi Jambi
saat ini kurang dari 30% dari luas provinsi Jambi dengan konsensi terbesar untuk HTI, perkebunan
dan pertambangan. Tanpa perencanaan tata ruang yang baik dan terkoordinasi, dikhawatirkan akan
terjadi pelepasan kawasan hutan pada lokasi TORA yang tersebar (scattered) di Provinsi Jambi
sehingga berpotensi mengurangi kawasan hutan. Ditambah lagi, potensi konflik keruangan dan sosial
sebagai dampak TORA tidak dapat dihindari. Hal yang sama juga dapat terjadi di Provinsi Kalimantan
Timur yang mempunyai target luasan tutupan hutan 65,98%. Pemberian TORA yang tidak
direncanakan dengan baik akan berpotensi menimbulkan pembukaan lahan hutan untuk kegunaan
lain oleh masyarakat atau adanya perubahan status kepemilikan lahan dari perorangan menjadi milik
perusahaan yang juga dapat mengakibatkan konflik keruangan atau sosial.


3.3 Instrumen Kebijakan dalam Pembangunan Hijau
Instrumen kebijakan merupakan alat kebijakan yang digunakan untuk memastikan pencapaian
tujuan kebijakan. Instrumen kebijakan juga dapat dimanfaatkan dalam pencapaian tujuan
pembangunan hijau sebagai alat manajemen bagi pemerintah dalam mengoptimalkan alokasi
sumber daya. Melalui instrumen kebijakan, tujuan pembangunan hijau tercapai secara efektif dan
efisien.
Saat ini di Indonesia tercatat setidaknya terdapat sejumlah instrumen kebijakan dengan pendekatan
“continuum” atau saling mempengaruhi yang merujuk pada konsep pendekatan instrumen kebijakan
yang dibangun oleh Howlett (1991). Implementasi pendekatan ini ditunjukkan oleh rentang pilihan
dari instrumen regulatif hingga instrumen berbasis pasar. Instrumen yang bersifat regulatif
menggunakan unsur koersif baik berupa hukuman maupun denda. Sementara itu, instrumen
berbasis pasar menggunakan skema pemberian insentif bagi para pihak yang berkontribusi terhadap
capaian tujuan pembangunan hijau.
Beberapa instrumen yang bersifat regulatif mencakup instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS). Penetapan KLHS sebagai prasyarat penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau
program (KRP) dalam dokumen perencanaan seperti RTRW dan RPJM menggambarkan bagaimana
pendekatan koersif digunakan sebagai instrumen kebijakan. Sementara itu, pengesahan instrumen
ekonomi lingkungan hidup dan implementasi mekanisme pendanaan pertumbuhan hijau oleh
Kementerian Keuangan menunjukkan bagaimana pemerintah memberi penghargaan sebagai
kompensasi terhadap pemilihan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup.

3.3.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis


Berdasarkan UU No 32 Tahun 2009, KLHS merupakan salah satu instrumen untuk mencegah
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh terlaksananya suatu
kebijakan, rencana dan/atau program. Adapun yang dimaksud dengan KLHS adalah rangkaian
analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. UU tersebut mengamanatkan bahwa

25
25

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS dalam proses penyusunan maupun
evaluasi KRP.
KLHS menjadi instrumen baru dalam proses penyusunan maupun evaluasi KRP di Indonesia. KLHS
mempunyai peran penting dan urgensi yang tinggi untuk menilai KRP yang dapat menimbulkan risiko
lingkungan hidup sehingga terdapat peluang untuk memperbaiki KRP tersebut agar sesuai dengan
prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, upaya penyempurnaan peraturan
perundangan terkait penyusunan KLHS ini terus dilakukan oleh pemerintah sebagai pedoman bagi
seluruh pemangku kepentingan.
Pemerintah telah mengesahkan PP No. 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS.
Peraturan ini selanjutnya menjadi pedoman umum bagi seluruh pemangku kepentingan untuk
menyusun KLHS dalam proses penyusunan maupun evaluasi KRP. Berdasarkan PP tersebut,
beberapa KRP yang harus disertai penyusunan KLHS yaitu:
a. RTRW beserta rencana rincinya
b. RPJPN, RPJPD, RPJMN, dan RPJMD
c. RZWP3K beserta rencana rincinya
d. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional tertentu untuk pulau-pulau kecil terluar
e. Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan
f. Kebijakan, Rencana dan/atau Program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko
lingkungan hidup
Adapun yang dimaksud dengan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh
KRP, meliputi (1) perubahan iklim; (2) kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan
keanekaragaman hayati; (3) peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor,
kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan; (4) penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya
alam; (5) peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan; (6) peningkatan jumlah penduduk
miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau (7)
peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. Dampak dan risiko tersebut tidak
hanya mencakup permasalahan pada aspek lingkungan, tetapi juga aspek sosial-ekonomi
masyarakat. Dengan demikian, KLHS dapat menjadi instrumen proses penyusunan dan evaluasi KRP
yang cukup komprehensif dalam menganalisis KRP yang berpotensi menimbulkan berbagai dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup.
Menurut UU No. 32 Tahun 2009 dan PP No. 46 Tahun 2016, KLHS memuat kajian antara lain: (1)
kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; (2) perkiraan
mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; (3) kinerja layanan atau jasa ekosistem; (4) efisiensi
pemanfaatan sumber daya alam; (5) tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim; dan (6) tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Hasil kajian dari KLHS menjadi
dasar bagi KRP pembangunan pada suatu wilayah, dimana daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup menjadi salah satu parameter penting dalam KLHS. Peraturan perundangan
tersebut menegaskan apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah
terlampaui, maka KRP pembangunan wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala
usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
tidak diperbolehkan lagi. Dengan demikian, seharusnya KRP pembangunan yang sudah dikaji dengan
KLHS tidak menimbulkan dampak dan risiko yang besar terhadap keberlanjutan lingkungan hidup.
Kualitas dokumen KLHS merupakan penentu dalam penyempurnaan KRP di berbagai daerah. Terkait
dengan hal ini, kualifikasi penyusun KLHS masih menjadi tantangan. Kualifikasi penyusun KLHS atau
standar kompetensi dalam PP No. 46 Tahun 2016 masih bersifat umum yaitu ketepatan keahlian
pada isu yang dikaji dan pengalaman di bidang penyusunan KLHS atau kajian lingkungan hidup yang
sejenis. Selain itu, adanya perbedaan pendekatan dan kerangka berpikir yang digunakan pada KLHS
untuk KRP tertentu juga menjadi tantangan pada kualitas dokumen KLHS. Setelah diterbitkannya PP
No. 46 Tahun 2016, sudah ada dua Peraturan Menteri yang mengatur penyusunan KLHS lebih rinci
26
26

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

agar mudah dipahami dan dimanfaatkan seluruh pemangku kepentingan yaitu (1) Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.69 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan PP No. 46 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS, dan (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun
2018 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan RPJMD. Pendekatan yang
digunakan PermenLHK adalah KLHS Ex-Poste yaitu KLHS yang dilakukan setelah KRP ada, sedangkan
Permendagri menggunakan pendekatan KLHS Ex-Ante yaitu KLHS yang dilakukan sebelum KRP ada.
Dasar kerangka berpikir dalam Permen LHK lebih melihat isu pembangunan berkelanjutan dan
berfokus pada dampak dan resiko lingkungan dari KRP yang telah ada, sedangkan Permendagri lebih
melihat capaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Gambar 10 Perbedaan Permen LHK No. P.69 Tahun 2017 dan Permendagri No. 7 Tahun 2018
Untuk Penyusunan KLHS

Perbedaan PermenLHK dan Permendagri


terkait penyusunan KLHS

PermenLHK No. P.69 Permendagri No. 7


Tahun 2017 Tahun 2018
Ex-Poste, yaitu penyusunan KLHS Pendekatan Ex-Ante, yaitu penyusunan KLHS
dilakukan setelah KRP ada dilakukan sebelum KRP ada

Isu KRP yang memiliki dampak Isu Strategis Isu Sustainable Development Goals
lingkungan hidup

Lingkungan hidup Fokus Pencapaian target SDGs

Isu lingkungan hidup, ekonomi dan Isu yang • SDGs: Lingkungan hidup,
sosial terakomodir ekonomi, sosial, hukum dan tata kelola
• Integrasi berbagai kebijakan strategis
pembangunan nasional


3.3.2 Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Pada bulan November 2017, Pemerintah menerbitkan PP No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen
Ekonomi Lingkungan Hidup (PP IELH) yang merupakan mandat dari UU No. 32 Tahun 2009, dimana
pada Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa: “dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan menerapkan Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup”. Adapun instrumen ekonomi lingkungan hidup yang diatur dalam PP IELH,
adalah:
a. Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. Instrumen pendanaan lingkungan hidup; dan
c. Instrumen insentif dan/atau disinsentif.
Penerapan dan pengelolaan instrumen insentif dan/atau disinsentif dilakukan melaui pembentukan
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dijelaskan dalam Perpres No. 77 Tahun 2018
yaitu bahwa adanya dana pengelolaan lingkungan hidup juga dapat memperkuat sistem kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup. Pengelolaan eksternalitas dari kegiatan ekonomi menjadi

27
27

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

pertimbangan penting dalam pengelolaan instrumen ini yang menekankan adanya keuntungan
ekonomi bagi penanggung jawab usaha bila menaati persyaratan lingkungan hidup karena antara
lain akan terhindar dari membayar pinalti atau mendapat hukuman, efisiensi kinerja yang dapat
menghemat pengeluaran, dan mendapatkan insentif apabila kegiatan usahanya memberikan
dampak positif pada upaya pencegahan kerusakan dan pelestarian lingkungan hidup. Instrumen
pendanaan lingkungan hidup dapat menjadi mekanisme penerapan instrumen perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi dan/atau instrumen insentif dan/atau disinsentif.
Berdasarkan mandat PP IELH, pengelolaan pendanaan lingkungan hidup yang diatur dalam Perpres
No. 77 Tahun 2018 adalah yang berasal dari: (1) dana penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan (2) dana amanah/bantuan konservasi. Kedua dana
ini dikelola melalui BPDLH yang baru saja di launching pada bulan November 2019. Tujuan dari
pembentukan organisasi ini adalah untuk menyediakan sistem mekanisme pendanaan yang
mendukung implementasi pembangunan berkelanjutan dan mewujudkan pembangunan hijau
dimana organisasi pengelola dana ini dirancang menggunakan pola pengelolaan badan layanan
umum serta memiliki mekanisme yang sederhana akan tetapi kredibel dan kelembagaan yang kuat
serta memenuhi standar tata kelola internasional. Pembangunan BPDLH merupakan suatu inovasi
pendanaan yang diharapkan dapat meningkatkan pendanaan dari berbagai sumber dan
mendistribusikannya ke berbagai pihak dengan efektif dan efisien.
Kegiatan pengelolaan dana yang dilakukan BPDLH meliputi kegiatan: (1) penghimpunan dana; (2)
pemupukan dana; dan (3) penyaluran dana. Penghimpunan dana dapat bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah dan sumber dana lainnya
yang sah, dimana sumber dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara dapat berasal dari
pajak dan retribusi lingkungan hidup. Kegiatan penyaluran dana yang dilakukan BPDLH dapat melalui
mekanisme perdagangan karbon, pinjaman, subsidi, hibah, penjaminan dan/atau mekanisme lainnya
sesuai dengan peraturan dimana pelaksana kegiatan adalah Kementerian/Lembaga (K/L),
pemerintah daerah, NGO, masyarakat maupun pelaku swasta. Dengan demikian, baik pemerintah
pusat maupun daerah dapat memanfaatkan BPDLH sebagai salah satu mekanisme pendanaan dalam
implementasi rencana pembangunan hijau.

3.3.3 Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca


Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) disusun berdasarkan program dan
kegiatan dari K/L dalam RPJMN 2010-2014 dan RPJPN 2005-2025 yang kemudian dibahas antar K/L.
Keseluruhan rencana aksi tersebut diupayakan untuk menurunkan emisi GRK nasional sebesar 26%
pada tahun 2020 dari skenario business as usual (BAU). Selain itu, RAN-GRK juga mengacu pada
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR atau Peta Jalan Perubahan Iklim Sektoral
Indonesia) yang di luncurkan sebelumnya oleh Bappenas pada tahun 2010. RAN-GRK juga
merupakan tindak lanjut komitmen pemerintah dalam kerangka NDC untuk menurunkan emisi
sebesar 26% dengan usaha sendiri atau 41% dengan dukungan internasional pada 2020.
Target ini kemudian diratifikasi pada 2016 menjadi 29% atau 41% dengan kondisi yang sama untuk
dicapai pada tahun 2030. Dalam pencapaian target penurunan emisi di sub-nasional, pemerintah
provinsi bertanggung jawab untuk menyusun RAD-GRK dengan koordinasi dari Kementerian Dalam
Negeri. Untuk itu, penyusunan RAD-GRK wajib melibatkan dinas terkait serta didukung oleh
Peraturan Gubernur masing-masing sesuai dengan prioritas pembangunan daerahnya dan mengacu
pada kemampuan APBD serta masyarakatnya.
Mengutip dari dokumen Pedoman Pelaksanaan Aksi Penurunan GRK yang dikeluarkan oleh
Bappenas pada tahun 2011, penyusunan RAN-GRK merupakan bagian dari RPJP dan RPJM dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan untuk menanggulangi dampak perubahan iklim, khususnya

28 28

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

untuk menurunkan emisi GRK yang dihasilkan alam dari berbagai kegiatan pembangunan, terutama
di bidang kehutanan, lahan gambut, limbah, pertanian, transportasi, industri dan energi. RAN-GRK
disusun berdasarkan konsep yang terukur, dapat dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable,
verifiable), sehingga hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara nasional dan sesuai dengan
prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC).

3.3.4 Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan Indonesia saat ini mengarah pada pembangunan untuk mencapai SDGs pada tahun
2030. Indonesia turut berkomitmen pada agenda SDGs yang ditunjukkan dengan disahkannya
Perpres No. 59 Tahun 2017 tentang tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan. Pemerintah membagi SDGs yang terdiri atas 17 goals dan 169 target menjadi empat
pilar, meliputi: (1) pilar pembangunan sosial yang bertujuan untuk tercapainya pemenuhan hak
dasar manusia yang berkualitas baik secara adil dan setara untuk meningkatkan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat; (2) pilar pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk tercapainya
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas melalui keberlanjutan peluang kerja dan usaha serta
inovasi, industri inklusif, infrastruktur memadai, energi bersih yang terjangkau dan di dukung
kemitraan; (3) pilar pembangunan lingkungan yaitu terwujudnya pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan yang berkelanjutan sebagai penyangga kehidupan; dan (4) pilar pembangunan hukum
dan tata kelola yaitu terwujudnya kepastian hukum dan tata kelola yang efektif, transparan,
akuntabel dan partisipatif untuk menciptakan negara berdasarkan hukum. Empat pilar SDGs
diharapkan dapat mendorong perubahan-perubahan ke arah pembangunan yang berkelanjutan
yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial,
ekonomi dan lingkungan.
Perpres No. 59 Tahun 2017 memandatkan pemerintah pusat untuk menyusun dan menetapkan Peta
Jalan Nasional dan Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, serta Rencana Aksi
Daerah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan bagi pemerintah provinsi. Pelaksanaan pencapaian
SDGs ini dilakukan bersama secara inklusif dengan melibatkan empat platform yang terdiri atas
unsur pemerintah, filantropi dan pelaku usaha, organisasi kemasyarakatan serta akademisi dan
pakar.

3.3.5 Mekanisme Pendanaan Pertumbuhan Hijau


Target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, terkonsentrasi
pada pemanfaatan sumber daya alam berdampak pada kerentanan kondisi lingkungan hidup
terhadap risiko dan dampak perubahan iklim. Degradasi dan kerusakan sumber daya alam sebagai
akibat perubahan iklim justru dapat berdampak pada terhambatnya capaian ekonomi dalam jangka
panjang.
Untuk itu, dalam penyusunan RPJMN 2020-2024 ini, pemerintah mewacanakan pertumbuhan
ekonomi yang didasarkan pada konsep pembangunan hijau (green development) yang lebih
mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi dalam pelaksanaannya. Dalam mendukung
terlaksananya pembangunan hijau yang berkelanjutan ini, pemerintah pusat memberi dukungan
dalam bentuk insentif kepada pemerintah daerah. Sejumlah instrumen pendanaan diberikan sebagai
bentuk dukungan strategi perencanaan dan penganggaran yang matang. Rasionalitas pada
kebutuhan terhadap instrumen kebijakan dalam bentuk dukungan insentif dari pemerintah pusat
dalam mendorong pembangunan hijau dan rendah karbon adalah upaya untuk mengkompensasi
biaya kesempatan (opportunity cost) daerah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa

29 29

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

melakukan praktek-praktek konvensional dalam pemanfaatan sumber daya alam yang


mengorbankan kelestarian lingkungan dan jasa ekosistem.
Dalam Strategi Perencanaan dan Penganggaran Pertumbuhan Hijau (P3H) yang disusun pada tahun
2013 oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (https://bit.ly/2FIWPsg), terdapat
dua skema penganggaran yang diidentifikasi dalam indikasi awal sumber insentif yang dapat
digunakan dalam pendanaan pertumbuhan hijau, yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK), terutama DAK Kehutanan dan DAK Pertanian. Kedua hal terakhir terutama mengingat
bahwa pembangunan hijau sangat berkaitan erat dengan sektor pertanian dan sektor kehutanan.
Seiring dengan berkembangnya skema pembangunan hijau dan juga komitmen pemerintah pusat
untuk mengembangkan dan menyusun RPJMN Hijau pada periode pemerintahan 2020-2024, maka
bertambah pula pos-pos anggaran yang dipertimbangkan untuk digunakan sebagai sumber
pendanaan pembangunan hijau, seperti Dana Insentif Daerah (DID) dan Pendapatan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Namun demikian, informasi terakhir menunjukkan bahwa Kementerian Keuangan
melalui BKF masih dalam proses mambangun konsep terkait transfer fiskal berbasis ekologis
(ecological fiscal transfer).
Selain itu, berkembang pula sistem penandaan anggaran hijau (green budget tagging) untuk
memudahkan alokasi anggaran yang digunakan dalam mendanai pertumbuhan hijau di daerah (salah
satunya yang difasilitasi oleh WWF-Indonesia di Jambi dan Kalimantan Barat). Penandaan anggaran
hijau ini mengacu pada Strategi P3H yang disusun oleh BKF. Kemitraan sendiri pada saat ini terlibat
dalam pembahasan Dana Bagi Hasil (DBH) di Kabupaten Bintuni, Provinsi Papua Barat.

3.4 Dinamika Institusional dalam Pembangunan Hijau di Indonesia
Dengan menggunakan perspektif analisis pembangunan institusional (Institutional Analysis
Development) yang dikembangkan oleh Olstrom (1995) dengan cara mengidentifikasi interaksi antar
aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Interaksi antar aktor
menunjukkan bagaimana realitas implementasi kebijakan di lapangan. Analisis terhadap kebijakan
yang digunakan dalam analisis ini didasarkan pada perspektif kebijakan publik yang dituliskan oleh
Dunn (2000). Terdapat tiga cakupan kebijakan yang efektif yaitu level kebijakan, organisasi dan
operasional sebuah kebijakan.
Konsep pembangunan hijau telah terintegrasi dalam perencanaan pembangunan di Indonesia, hal
tersebut ditunjukkan dalam dokumen RPJMN 2020-2024. Hal yang paling menonjol terdapat pada
upaya menempatkan pembangunan lingkungan hidup sebagai salah satu tujuan pembangunan.
Prioritas pada aspek lingkungan hidup juga terdapat dalam salah satu misi Presiden Joko Widodo
dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Hal ini berpotensi menjadi faktor utama yang dapat mendukung
implementasi konsep pembanguna hijau di Indonesia.




Box 4 Best Practice: Keberhasilan Pest Management Program dalam Implementasi
Kebijakan Lingkungan Hidup di Indonesia (Resosudarmo, 2012)
Program pengelolaan hama merupakan salah satu kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang
efektif di Indonesia. Dalam studi yang dilakukan oleh Resosudarmo tercatat bahwa beberapa faktor
penunjang keseuksesan pelaksanaan program ini yaitu: (1) dukungan riset domestik yang terhubung
erat dengan riset internasional; (2) dukungan politik pemerintah khususnya presiden; (3) inisatif
kelembagaan yang dilakukan melalui Bappenas; (4) dukungan internasional dalam bentuk asistensi

30 30

dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Hal ini berpotensi menjadi faktor utama yang dapat mendukung
implementasi konsep pembanguna hijau di Indonesia.
Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur

2019



Box 4 Best Practice: Keberhasilan Pest Management Program dalam Implementasi
Kebijakan Lingkungan Hidup di Indonesia (Resosudarmo, 2012)
Program pengelolaan hama merupakan salah satu kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang
efektif di Indonesia. Dalam studi yang dilakukan oleh Resosudarmo tercatat bahwa beberapa faktor
penunjang keseuksesan pelaksanaan program ini yaitu: (1) dukungan riset domestik yang terhubung
erat dengan riset internasional; (2) dukungan politik pemerintah khususnya presiden; (3) inisatif
kelembagaan yang dilakukan melalui Bappenas; (4) dukungan internasional dalam bentuk asistensi
maupun
maupun
pendananaan;
pendananaan; dan dan
(5) pelembagaan
(5) pelembagaan mekanisme
mekanisme kerja
kerja
dan dan
koordinasi
koordinasi
yang yang
tepat
tepat
dimana
dimana
penerima
penerima
manfaat
manfaat
dapat
dapat
terjangkau
terjangkau
melalui
melalui
kebijakan
30 kebijakan
tersebut.
tersebut.
Pengelolaan
Pengelolaan
skema
skema
program
program
sejak
sejak
berbentuk
berbentuk
inisiatif
inisiatif
kebijakan
kebijakan
sampai
sampai
dengan
dengan
proses
proses
institusionalisasi
institusionalisasi
menunjukkan
menunjukkan bahwa
bahwa
terdapat
terdapat
potensi
potensi
baik baik
untuk
untuk
mendorong
mendorong efektifitas
efektifitas
pembangunan
pembangunan hijau
hijau
yang
yang
sejalan
sejalan
dengan
dengan
inisiatif
inisiatif
pembangunan
pembangunan rendah
rendah
karbon
karbon
oleh oleh
Bappenas.
Bappenas. Replikasi
Replikasi
skema
skema
kebijakan
kebijakan
seperti
seperti
kasus
kasus
di atas
di atas
memberi harapan terhadap pengelolaan kebijakan lingkungan hidup di Indonesia.
memberi harapan terhadap pengelolaan kebijakan lingkungan hidup di Indonesia.

Meskipun demikian, tantangan utama implementasi pembangunan hijau terdapat pada inskonsisten
Meskipun demikian, tantangan utama implementasi pembangunan hijau terdapat pada inskonsisten
peraturan.
peraturan. Hasil
Hasil kajian
kajian Auriga
Auriga (2018)
(2018) menunjukkan
menunjukkan adanya
adanya inkonsistensi
inkonsistensi peraturan
peraturan dalam
dalam
pengelolaan sektor energi. Inkonsistensi kebijakan dalam penyediaan listrik telah terjadi sejak Fast-
pengelolaan sektor energi. Inkonsistensi kebijakan dalam penyediaan listrik telah terjadi sejak Fast-
Track Program (FTP) pertama dan kedua sampai dengan program listrik 35 GW. Pada program listrik
Track Program (FTP) pertama dan kedua sampai dengan program listrik 35 GW. Pada program listrik
35 35
GW GW misalnya,
misalnya, terdapat
terdapat sejumlah
sejumlah peraturan
peraturan yang
yang tidak
tidak sejalan
sejalan dengan
dengan peraturan-peraturan
peraturan-peraturan
sebelumnya.
sebelumnya.
Untuk
Untuk mencapai
mencapai target
target tersebut,
tersebut, pemerintah
pemerintah melonggarkan
melonggarkan beberapa
beberapa ketentuan
ketentuan pinjam
pinjam pakai
pakai
kawasan
kawasan hutan.
hutan. Misalnya,
Misalnya, dalam
dalam Perpres
Perpres No. No. 4 Tahun
4 Tahun 2016 2016 jo No.
jo No. 1 Tahun
1 Tahun 2017
2017 Pembangunan
Pembangunan
Infrastruktur
Infrastruktur Ketenagalistrikan
Ketenagalistrikan (PIK)
(PIK) telah
telah mengatur
mengatur kepemilikan
kepemilikan izin izin pinjam
pinjam pakai
pakai kawasan
kawasan hutan,
hutan,
namun Peraturan Menteri KLHK No. 50 Tahun 2016 justru mengecualikan beberapa kewajiban yang
namun Peraturan Menteri KLHK No. 50 Tahun 2016 justru mengecualikan beberapa kewajiban yang
harus dipenuhi oleh investor ketika melakukan PIK. Seperti disebutkan pada Pasal 19 yang mengatur
harus dipenuhi oleh investor ketika melakukan PIK. Seperti disebutkan pada Pasal 19 yang mengatur
pemegang
pemegang izin izin pinjam
pinjam pakai
pakai kawasan
kawasan hutan
hutan memiliki
memiliki kewajiban-kewajiban
kewajiban-kewajiban yang
yang harus
harus dipenuhi.
dipenuhi.
Namun
Namun Pasal
Pasal 21 21 justru
justru dapat
dapat melakukan
melakukan kegiatan
kegiatan di areal
di areal izin izin pinjam
pinjam pakai
pakai kawasan,
kawasan, sebelum
sebelum
menyelesaikan kewajiban sebagaimana di maksud dalam pasal 19.
menyelesaikan kewajiban sebagaimana di maksud dalam pasal 19.
Selain
Selain kasus
kasus di atas,
di atas, inkonsistensi
inkonsistensi peraturan
peraturan juga
juga terdapat
terdapat dalam
dalam proses
proses penetapan
penetapan PSN PSN dalam
dalam
dokumen
dokumen RTRWN.
RTRWN. Proses
Proses perubahan
perubahan RTRWN
RTRWN berdasarkan
berdasarkan PP PP
No. No.
13 13 Tahun
Tahun 2017
2017 tidak
tidak disusun
disusun
sesuai
sesuai dengan
dengan UU UU
No. No.
26 26 Tahun
Tahun 2007
2007 tentang
tentang Penataan
Penataan Ruang
Ruang yang
yang mengamanatkan
mengamanatkan RTRWN
RTRWN
dilakukan secara bottom-up dari tingkat kabupaten/kota hingga ke nasional. Hal ini disebabkan oleh
dilakukan secara bottom-up dari tingkat kabupaten/kota hingga ke nasional. Hal ini disebabkan oleh
proses
proses memasukkan
memasukkan sejumlah
sejumlah PSN PSN dalam
dalam dokumen
dokumen RTRWN
RTRWN dilakukan
dilakukan tanpa
tanpa melibatkan
melibatkan partisipasi
partisipasi
aktif pemerintah daerah dan masyarakat sebagai stakeholder.
aktif pemerintah daerah dan masyarakat sebagai stakeholder.










Gambar 11 Dinamika Pembangunan Hijau di Indonesia
Gambar 11 Dinamika Pembangunan Hijau di Indonesia 31


Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019




Gambar 11 Dinamika Pembangunan Hijau di Indonesia
Dinamika Pembangunan Hijau di Indonesia

GOVERNANCE ARRANGEMENTS GOVERNANCE ARRANGEMENTS


RULES IN FORM RULES IN USE
Struktur Perekonomian Kemandirian dan
Penyerapan Tenaga Ketahanan Energi
Inkonsistensi Kerja
Peraturan

Perkebunan Pertambangan
31
Kaidah
Pembangunan Kelapa
Batubara
Peraturan Sektoral Sawit
dan Antar Wilayah
Perencanaan Temuan GNP SDA
Pembangunan Perilaku Koruptif dan
Penggunaan Lahan
(RPJPN, RPJMN, Oportunistik dalam
RTRW) Pengelolaan SDA
Inisiatif Kebijakan (LCDI)
Inisiatif Bappenas Efektif Penambahan Luas Tanaman
mendorong Pest Lahan Panen Jagung
dan Padi Pangan
Management Program
(Resosudarmo, 2012)
Kualitas
Instrumen Kebijakan, Pembangunan Hijau
Pertanian
sebagai Kontrol (Ekonomi, Sosial,
(Howlett, 1991) Ekologi)
Regulatif (KLHS); Ekonomi
(PP IELH dan Fiskal)
Ketahanan
Pangan


Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019
Inkonsistensi peraturan berdampak pada potensi deviasi praktik pembangunan hijau di lapangan.
Dampak ketidaksesuaian antara tujuan normatif penetapan kebijakan baik perencanaan
pembangunan maupun kebijakan pendukungnya meskipun telah dilengkapi oleh sejumlah
instrumen kebijakan, dengan praktik di lapangan berdampak terhadap perilaku koruptif dan
oportunistik dalam pengelolaan sumber daya alam (ICW, 2017). Terdapat sejumlah kepala daerah
yang terlibat kasus korupsi di sektor sumber daya alam (ACCH, 2018), berdasarkan tipologinya kasus
yang besar adalah kasus penyuapan yang melibatkan pejabat publik. Gambar 12 menunjukkan rata-
rata tindak koruptif yang tinggi adalah kasus penyuapan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah,
anggota dewan dan pihak swasta dan terdapat 12 kasus korupsi di sektor sumber daya alam disektor
kehutanan seperti dalam penyalahgunaan wewenang.




32
32

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Gambar 12 Hasil Penyelidikan dan Penyidikan Kasus Korupsi Sektor Sumber Daya Alam

Sumber: https://acch.kpk.go.id/gn-sda
Praktik-praktik tersebut juga berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup di
Indonesia. Lee et al. (2014) menemukan bahwa terdapat pengurangan luas hutan sebesar 678.688
ha pada periode tahun 2000-2010. Eskpansi sektor perkebunan utamanya komoditas kelapa sawit
menjadi penyebab utamanya. Kondisi serupa juga terjadi di Pulau Kalimantan. Gaveau et al. (2017)
menunjukkan bahwa luas tutupan hutan berkurang sebesar 2.113.815 Ha akibat pengembangan
perkebunan di Pulau Kalimantan.
Kesenjangan antara norma kebijakan, interaksi antar organisasi serta operasional di lapangan hanya
menempatkan perubahan iklim dan kualitas lingkungan hidup lebih dilihat sebagai batasan
pengembangan (development constrains) sumber daya alam atau kondisi keterbatasan
pemberdayagunaan sumber daya alam. Sudut pandang ini juga yang menjadikan sedikit banyak
perbedaan dalam menganalisis KLHS berbasis perspektif SDGs (berdasarkan Permendagri) dengan
KLHS yang disusun berbasis perspektif dampak dan risiko lingkungan hidup (berdasarkan
PermenLHK). Beberapa parameter sumber daya alam yang dipertimbangkan sebagai batasan dari
pencapaian tujuan pembangunan ekonomi khususnya pertumbuhan ekonomi antara lain: (a) Hutan
Primer, (b) Hutan di atas Lahan Gambut, (c) Habitat Spesies Langka, (e) Kawasan Rawan Bencana, (f)
Ketersediaan Air, (g) Ketersediaan Energi, (h) Tingkat Emisi, dan (i) Intensitas Emisi Gas Rumah Kaca.
Terkait dengan analisis gap yang dilakukan kajian pembangunan hijau ini, maka ada beberapa hal
yang perlu dilihat lebih jauh dari hasil analisis KLHS versi Bappenas untuk RPJMN 2020-2025,
khususnya pada parameter di bawah ini.
1) Tutupan Hutan Primer
Menarik untuk dicatat bahwa draft RPJMN ternyata mempertanyakan keefektifan kebijakan
moratorium hutan primer dan validasi dari penurunan tren laju deforestasi yang terjadi akhir-
akhir ini. KLHS-RPJMN memperkirakan dengan laju deforestasi di hutan primer dapat
menyisakan hanya 18,4% hutan primer dari total 189,6 juta Ha luas lahan nasional di tahun
2045. Berdasarkan analisis tutupan lahan KLHS-RPJMN, setidaknya tiga juta Ha hutan alam
primer dan lahan gambut telah habis dikonversi untuk area penggunaan lain. Ribuan titik api
juga ditengarai menjadi penyebab berkurangnya secara signifikan luas hutan primer. Agar tren
penurunan luas hutan primer tidak berlanjut maka luas tutupan hutan primer harus
dipertahankan pada luas minimal 43 juta Ha (kondisi tahun 2019). Bagaimana menyusun
perencanaan pembangunan yang mendukung kebijakan moratorium hutan primer dan lahan
gambut secara optimal menjadi sangat penting.

33
33

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

Gambar 13 Proyeksi Penurunan Tutupan Hutan Primer di Indonesia


Sumber: Bappenas, 2019
2) Tutupan Hutan di atas Lahan Gambut
Kajian Tim KLHS-RPJMN menemukan bahwa luas tutupan hutan primer dan sekunder yang
terletak di atas lahan gambut semakin menurun. Moratorium dipandang kurang efektif
mencegah laju deforestasi di lahan gambut. Restorasi lahan gambut masih menjadi prioritas ke
depan karena luas minimal tutupan hutan di atas lahan gambut perlu dikembalikan ke kondisi di
tahun 2000 yaitu minimal 9,2 juta Ha.
Tabel 5 Perubahan Luas Tutupan Hutan di atas Lahan Gambut

Luas lahan Hutan di Lahan Gambut


Luas Lahan
Pulau 2000 2015
Gambut
Ha % Ha %
Sumatera 4.120.325 1.789.500 43,43 837.675 20,33
Kalimantan 4.694.625 2.545.300 45,22 1.871.800 39,87
Papua 6.376.975 4.896.300 76,78 4.817.275 75,45
Total Nasional 15.191.925 9.231.100 60,76 7.526.750 49,54

Sumber: Bappenas, 2019


3) Ketersediaan Air
Kajian Tim KLHS-RPJMN juga menemukan salah satu pemicu kelangkaan air baku adalah
kerusakan tutupan hutan, khususnya pada pulau dengan tutupan hutan sangat rendah seperti
Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Kelangkaan yang terjadi di beberapa wilayah berhutan lebih
rapat, seperti Sumatera Selatan, NTB dan Sulawesi dianggap sebagai dampak dari perubahan
iklim. Krisis air diprediksi akan meningkat dari 6% di tahun 2000 menjadi 9,6% di tahun 2045
dengan luas daerah yang semakin besar. Luas minimal wilayah aman air adalah 175,5 juta Ha
(93% dari luas wilayah Indonesia) dengan ketersediaan air minimal 1.000 m3/kapita/tahun.
Reforestasi hutan dan lahan kritis menjadi salah satu prioritas dalam rancangan pembangunan.
4) Ketersediaan Energi
Menurut Tim KLHS-RPJMN pemenuhan energi ke depan menjadi semakin berat karena
cadangan sumber energi fosil (minyak, gas, dan batubara) akan semakin menipis sementara
pengembangan energi terbarukan dinilai belum signifikan untuk mengisi kesenjangan
persediaan. Suplai energi domestik diperkirakan hanya mampu memenuhi 75% permintaan
energi nasional pada tahun 2030 dan terus menurun menjadi 28% di tahun 2045 apabila tren
pemakaian energi masih sama dengan saat ini. Berkurangnya kemampuan produksi energi
34
34

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

domestik diperkirakan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Defisit transaksi berjalan


(Current Account Deficit) yang diprediksi terjadi akibat pembelian sumber energi dari luar
(impor) dapat berdampak pada kestabilan kurs Rupiah. Oleh karena itu, Tim Kajian KLHS-RPJMN
merekomendasikan peningkatan pos di energi baru terbarukan menjadi minimal 20% dari
bauran energi nasional di tahun 2024. Namun, disisi lain, Tim ini juga menyarankan peningkatan
eksploitasi sumber cadangan gas alam dan batubara.
Menarik untuk dicatat bahwa nuansa pengembangan energi baru terbarukan dalam RPJMN ini
masih menggunakan sudut pandang energi alternatif bukan energi utama sebagaimana
seharusnya satu rancangan pembangunan hijau perlu disusun. Hal ini semakin jelas dengan
disarankannya lebih banyak eksploitasi sumber energi fosil dibanding upaya diversifikasi atau
konservasi energi.
5) Tingkat Emisi dan Intensitas Emisi GRK
Dari hasil kajian Tim RPJMN terlihat bahwa emisi GRK semakin meningkat sementara intensitas
emisi cenderung positif. Namun, hal ini menyebabkan belum cukupnya upaya penurunan emisi
sesuai dengan komitmen Pemerintah sebesar 29% dari BAU di tahun 2030 dengan upaya sendiri
dan 41% dengan bantuan internasional. Tim RPJMN menyusun beberapa skenario
pembangunan rendah karbon dengan target penurunan emisi yang berbeda-beda. Pada
skenario fair/minimal yang ditunjukkan pada Gambar 14, penurunan emisi adalah sebesar 29%
dari BAU dimana tingkat emisi GRK harus dipertahankan di bawah 1.825.374,5 Giga gr
CO₂/tahun dan intensitas emisi GRK dibawah 261,1 ton CO₂/milyar rupiah pada tahun 2030
(33% dibawah baseline intensitas emisi pada BAU).
Gambar 14 Besaran Tingkat Emisi dan Intensitas Emisi yang Diperbolehkan


Sumber: Bappenas, 2019

35
35

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

Perlu dicatat bahwa berbeda dengan NDC Indonesia yang disampaikan ke UNFCCC pada tahun
2016 yang menggunakan angka absolut pada penurunan emisi GRK sebesar 29% dari BAU,
RPJMN menggunakan intensitas emisi GRK dimana berarti bisa saja penurunan emisi tidak
terjadi secara signifikan, namun biaya yang ditanggung atau beban sektor lebih rendah dari
BAU/baseline. Angka intensitas emisi lebih disukai oleh para perencana pembangunan karena
memungkinkan untuk menggunakan skenario yang lebih bervariasi, selama angka agregat
menunjukkan pengurangan. Namun, hal ini berarti kesempatan untuk tetap menggunakan
bahan bakar fosil misalnya tetap tinggi dan upaya mitigasi tidak benar benar dilakukan.

Secara umum, RPJMN 2020-2024 masih menggunakan sudut pandang dimana keterbatasan sumber
daya alam dinilai sebagai tantangan/hambatan pembangunan dan bukan sebagai kesempatan untuk
membangun perencanaan yang lebih hijau/rendah karbon. RPJMN secara khusus menegaskan
pentingnya keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam, pencapaian target pembangunan dan
arahan fungsi ruang dalam pembangunan kewilayahan.

36
36

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

4. PENGELOLAAN PEMBANGUNAN HIJAU DI INDONESIA


4. Pengelolaan Pembangunan di Indonesia

Studi kasus yang digunakan dalam kajian ini berhasil mengidentifikasi pola pengelolaan
pembangunan hijau di Indonesia yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur dan Jambi. Berbeda
dengan dinamika di tingkat pusat, pembangunan hijau di tinggkat provinsi menunjukkan bahwa
terdapat hambatan institusional dalam pengaturan tata kelola (governance arrangements)
pembangunan hijau di tingkat provinsi (Kalimantan Timur dan Jambi). Inkonsistensi dalam
perencanaan pembangunan merupakan tantangan utama implementasi pembangunan hijau di
tingkat Provinsi.
Secara umum, pengambilan keputusan oleh pemerintah pusat berdampak terhadap inkonsistensi
antar dokumen perencanaan di tingkat daerah. Di Provinsi Kalimantan Timur penetapan izin usaha
pertambangan oleh pemerintah pusat menjadi hambatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
dalam penyusunan RTRW Provinsi. Sementara itu, di Provinsi Jambi, PSN menjadi tantangan dalam
pelaksanaan komitmen untuk mengembangkan luasan kawasan lindung minimum 30% dari luas
wilayah Provinsi Jambi (amanat RTRW Provinsi Jambi).
Kesenjangan dalam pengaturan tata kelola (governance arrangements), berdampak terhadap deviasi
praktik pembangunan hijau di tingkat provinsi. Temuan GNPSDA yang dipublikasi oleh ICW (2017)
menunjukkan bahwa terdapat celah perilaku koruptif dan oportunistik dalam pengelolaan sektor
berbasis lahan. Berdasarkan temuan tersebut, celah korupsi di Provinsi Kalimantan Timur terdapat
dalam aspek perizinan pada sektor pertambangan mineral dan batu bara.
Gambar 15 Dinamika Pembangunan Hijau di Daerah
Dinamika Pembangunan Hijau di Tingkat Provinsi

GOVERNANCE
Governance Arrangements ARRANGEMENTS GOVERNANCE ARRANGEMENTS
Governance Arrangements
Rules in Form Rules in Use

RULES IN FORM RULES IN USE


Pergeseran Struktur Kemandirian dan
Perekonomian Pasca Ketahanan Energi
Pembangunan Hijau (Pusat)
Inkonsistensi Pergeseran Struktur Kemandirian dan
antara dokumen Perekonomian Pasca Ketahanan Energi
Inkonsistensi
Pembangunan Hijau (Pusat)
Perencanaan
antara dokumen
Perencanaan Perkebunan Pertambangan

Perkebunan Pertambangan
VS
Kaidah Pembangunan Kelapa Sawit
Batubara
Peraturan
KaidahSektoral
Pembangunan (Kaltim,
(Kaltim)
(Kewenangan Provinsi)
Peraturan Sektoral Jambi) Kelapa Batubara
Sawit (Kaltim,
(Kewenangan Perencanaan Jambi) (Kaltim)
Provinsi) Pembangunan Temuan GNP SDA
Hijau (RPJPD,
Perencanaan Penggunaan Lahan Perilaku
Temuan Koruptif
GNP SDA dan
Inisiatif Kebijakan RPJMD, RTRW)
Pembangunan Hijau Oportunistik dalam
Perilaku Koruptif dan
(Pertumbuhan Ekonomi Penggunaan Lahan
(RPJPD, RPJMD, Pengelolaan SDA
Oportunistik dalam
Hijau) Inisiatif Bappeda RTRW) Pengelolaan SDA
Sesuai Kewenangan Daerah
Inisiatif Kebijakan
Tidak ada Pertambahan Tanaman
(Pertumbuhan Ekonomi Tidak ada
Hijau) Inisiatif Bappeda Lahan secara Pertambahan
Signifikan Lahan
Pangan
Tanaman
Sesuai Kewenangan Instrumen Kebijakan secara Signifikan Pangan Kualitas Pembangunan
Daerah sebagai kontrol Hijau (Ekonomi, Sosial,
Regulatif (KLHS Kualitas
Ekologi)
RPJMN,
Instrumen RPJMD);
Kebijakan, Pertanian Pembangunan Hijau
Pertanian
sebagai
Ekonomi Kontrol
(Berbasis (Ekonomi, Sosial,
Regulatif (KLHS RPJMN,
Donor) Ekologi)
RPJMD); Ekonomi (Berbasis
Donor)
Ketahanan Ketahanan
Pangan
Pangan


Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019
Kesenjangan antara tujuan normatif pembangunan hijau dalam dokumen kebijakan serta praktik
implementasinya berdampak terhadap kualitas pengelolaan pembangunan hijau di tingkat provinsi.
Hasilnya, pergeseran struktur perekonomian di Provinsi Kalimantan Timur menuju konsep
pembangunan hijau berkorelasi dengan tren pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,
meski dalam pola yang berbeda. Kajian ini menunjukkan, pada periode awal transformasi menuju

37 37

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

pembangunan yang lebih hijau melalui upaya peningkatan kualitas ekosistem, khususnya menjaga
luas tutupan pada kawasan hutan lindung dan konservasi berdampak buruk dalam bentuk
penurunan pertumbuhan ekonomi. Namun, selanjutnya berdampak positif terhadap pemeretaan
kesejahteraan sosial, khususnya pengurangan kesenjangan ekonomi dan penduduk miskin di
Indonesia. Dinamika pembangunan hijau di tingkat daerah ditunjukkan pada Gambar 15.

4.1 Pengelolaan Pembangunan Hijau di Provinsi Kalimantan Timur
Pengelolaan pembangunan hijau tidak terlepas dari arah pembangunan ekonomi Provinsi
Kalimantan Timur yang mengutamakan keseimbangan antara pencapaian tingkat kesejahteraan
masyarakat dan kelestarian lingkungan berbasis Komitmen Kaltim Hijau. Komitmen tersebut berjalan
sangat progresif. Secara konsisten Provinsi Kalimantan Timur melakukan transformasi sektor
perekonomian dengan tantangan pengelolaan pembangunan yang cukup berat. Pertumbuhan
negatif di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2015 dan 2016 terjadi pada saat provinsi ini telah
mengintegrasikan Komitmen Kaltim Hijau dalam dokumen perencanaan dan penganggaran
pembangunan. Di saat bersamaan terjadi gejolak eksternal yang mempengaruhi kinerja
perekonomian Provinsi Kalimantan Timur. Guncangan eksternal yang dihadapi oleh perekonomian
Provinsi Kalimantan Timur tidak terlepas dari karakteristik struktur perekonomiannya yang berbasis
pada sumber daya alam dan berorientasi ekspor sehingga rentan terhadap gejolak perekonomian
global.
Struktur perekonomian Provinsi Kalimantan Timur juga dipengaruhi agenda nasional yang
menargetkan sumber daya alam di provinsi ini sebagai salah satu sumber daya pembangunan
ekonomi nasional. Selain agenda nasional, aspek penataan ruang nasional dan daerah menjadi
determinan penting dalam pengelolaan pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur. Guna
memastikan bahwa seluruh upaya pembangunan secara konsisten menjaga kelestarian lingkungan
dan keberlanjutan pembangunan, KLHS digunakan untuk menjamin pnrinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan khususnya komitmen Kaltim Hijau yang diintegrasikan dalam KRP pembangunan di
Provinsi Kalimantan Timur.

4.1.1 Kebijakan dan Dinamika Pembangunan Hijau Provinsi Kalimantan Timur
Tantangan pengelolaan pembangunan hijau di Provinsi Kalimantan Timur terdapat pada pengelolaan
sektor primer berbasis lahan dan sektor energi. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya kebutuhan
untuk penyediaan pangan yang memadai bagi seluruh penduduk Provinsi Kalimantan Timur serta
energi bagi kepentingan nasional. Di sisi lain, salah satu isu strategis yang teridentifikasi dalam
dokumen KLHS RPJMD 2019-2023 adalah ketersediaan air bersih.
Merujuk pada kondisi tersebut, upaya untuk memenuhi ketersediaan pangan dalam perspektif
kedaulatan pangan di Provinsi Kalimantan Timur tidak bisa diterjemahkan secara langsung hanya
melalui upaya alih fungsi lahan. Data RPJMD Kalimantan Timur 2019-2023 menunjukkan bahwa
tutupan lahan pertanian untuk jenis tanaman pangan dan holtikultura hanya mencapai 494.2933 Ha.
Di sisi lain, saat ini sebagian besar tutupan lahan digunakan untuk pengembangan sektor
perkebunan yang mencapai 1,33 juta Ha. Luas tutupan lahan ini masih akan terus bertambah karena
terdapat sekitar 2,76 juta Ha luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur telah termasuk delineasi
wilayah izin perkebunan. Sementara itu, isu penyediaan air bersih di Provinsi Kalimantan Timur
terkait erat dengan kemampuan lingkungan hidup untuk menyediakan daya dukung terhadap
pembangunan. Oleh karena itu, upaya untuk mengoptimalkan sumber daya lahan dengan tetap
menjaga luasan kawasan lindung menjadi aspek penting dalam pengelolaan pembangunan hijau di
Provinsi Kalimantan Timur.

38 38

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Berdasarkan hasil identifikasi dalam dokumen KLHS RPJMD Provinsi Kalimantan Timur 2019-2023,
terdapat potensi kontribusi emisi GRK yang tinggi di Provinsi Kalimantan Timur yang disebabkan oleh
pembakaran bahan bakar hidrokarbon pada penambangan batu bara dan produksi listrik serta
adanya alih fungsi lahan untuk perkebunan. Merujuk pada kontributor utama emisi GRK tersebut,
upaya penurunan emisi GRK di Provinsi Kalimantan Timur juga difokuskan pada dua sektor yaitu
sektor energi dan sektor ekstraktif berbasis lahan. Kegiatan mitigasi pengurangan emisi GRK tersebut
difokuskan pada: (1) konservatif energi pada kegiatan tambang batubara; (2) pengembangan kebun
ramah iklim; (3) perlindungan hutan alam; (4) perbaikan ketepatan penggunaan pupuk N di
perkebunan dan sawah; dan (5) pengurangan emisi gas metana dan dalam POME.

Box 5 Best Practice: Desa Manamang Kiri Sebagai Desa Proklim
Program Kampung Iklim (Proklim) menjadi misi utama Forest Carbon Partnership Facility-Carbon
Fund (FCPF-CF) diharapkan mampu menurunkan emisi karbon dan meningkatkan oksigen di dunia,
termasuk Kalimantan Timur. Penurunan emisi karbon menjadi visi RPJMD Provinsi Kalimantan Timur
2018-2023. Tim Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Kalimantan Timur
dan Biro Humas Provinsi Provinsi Kalimantan Timur melakukan monitoring dan evaluasi program
kampung iklim di Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara, tepatnya di Desa Manamang Kiri.
Desa Manamang Kiri dianggap berpotensi untuk menjadi kandidat Proklim karena terdiri dari lahan
permukiman warga, perkebunan kelapa sawit dan area hutan industri dan sebagian lahan warga.
Untuk memenuhi syarat proklim, kegiatan yang dilakukan adalah penanaman pohon-pohon di
bantaran Sungai Mahakam. Harapannya, penanaman pohon ini akan menurunkan emisi karbon dan
meningkatkan oksigen di kampung Manamang Kiri serta ikan-ikan menjadi kembali banyak.

Saat ini luas kawasan hutan yang ada di Provinsi Kalimantan Timur mencapai 8.242.492 dari luas
total sumber daya lahan 12.638.931 Ha. Luas kawasan hutan tersebut mencakup kawasan lindung
seluas 2.222.861 Ha yang terdiri dari Hutan Lindung sebesar 1.785.806 Ha dan 437.054 Ha.
Sementara itu, luas kawasan budidaya hutan mencapai 6.019.631 yang terdiri dari: (1) Hutan
Produksi Tetap sebesar 2.876.521 Ha; (2) Hutan Produksi Konversi sebesar 120.521 Ha; dan (3)
Hutan Produksi terbatas sebesar 1.785.806 Ha. Total kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Timur
saat ini mencapai 65,22%. Meskipun saat ini luasan kawasan hutan masih di bawah ketentuan
nasional yang disyaratkan pemerintah pusat (65,85%), namun Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
berupaya meningkatkan proporsi kawasan hutan seperti yang tercantum dalam RTRW Provinsi
Kalimantan Timur 2016-2036. Luas kawasan hutan dalam dokumen tersebut diarahkan mencapai
8.339.153 atau mencapai 65,98% dari total sumber daya lahan di Provinsi Kalimantan Timur. Upaya
untuk mengalihfungsikan lahan non-hutan menjadi hutan merupakan salah satu komitmen Provinsi
Kalimantan Timur dalam mencapai target tersebut. Data yang dipublikasi oleh Pusat Pengendalian
Pembangunan Ekoregion Kalimantan (P3EK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
tahun 2018 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 250.000 Ha kawasan non-hutan yang
dialihfungsikan menjadi kawasan hutan.
Ketersediaan lahan produktif yang sangat terbatas menjadi tantangan dalam pengelolaan
pembangunan hijau di Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan data dari RPJMD Provinsi Kalimantan
Timur 2019-2023, tutupan lahan yang dimiliki saat ini sebesar 176 ribu Ha dan lahan kritis sebesar
820 ribu Ha. Merujuk pada kondisi tersebut, target pertumbuhan ekonomi region Kalimantan
ditetapkan pada tingkat yang cukup tinggi sebesar adalah 5%, sementara kemampuan Provinsi
Kalimantan Timur untuk mengakomodir pertumbuhan ekonomi tidak mencapai angka tersebut.
Pemenuhan target pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan berpotensi menimbulkan dampak terhadap keseimbangan lingkungan hidup di
Provinsi Kalimantan Timur di masa depan.

39
39

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

Pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur sedang berada dalam proses transformasi
untuk mencapai keseimbangan baru, meskipun struktur perekonomian Provinsi Kalimantan Timur
masih ditopang oleh sektor ekonomi berbasis lahan khususnya sektor pertambangan dan penggalian
serta sektor pertanian, kehutanan dan perkebunan. Proses transformasi perekonomian ditunjukkan
oleh adanya tren penurunan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian dengan semakin
meningkatnya kontribusi sektor jasa dan perdagangan dalam struktur perekonomian Provinsi
Kalimantan Timur pada periode 2013-2017.
Gambar 16 Peta Status Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur


Sumber: KLHS RPJMD Provinsi Kalimantan Timur 2018-2023
Momentum pergeseran struktur perekonomian Provinsi Kalimantan Timur berkorespondensi dengan
tren pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat meski dalam pola yang berbeda.
Pergeseran struktur perekonomian yang ditunjukkan tren penurunan kontribusi sektor
pertambangan berkorelasi dengan penurunan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran
memberikan indikasi hubungan antara transformasi ekonomi dengan kualitas tingkat kesejahteraan
masyarakat yang lebih baik. Tren akselerasi IPM juga mengkonfirmasi bahwa transformasi
perekonomian di Provinsi Kalimantan Timur berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Hingga saat ini struktur perekonomian Provinsi Kalimantan Timur masih didominasi oleh sektor
pertambangan dan penggalian. Upaya mentransformasi struktur perekonomian seperti yang telah
tercantum dalam RPJPD Provinsi Kalimantan Timur 2005-2025 masih menghadapi tantangan yang
berat. Dengan menggunakan tahun referensi 2005 sebagai basis ekstrapolasi data, Gambar 18
menunjukkan tren penurunan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian serta peningkatan
kontribusi sektor jasa dan perdagangan serta sektor pertanian, kehutanan dan perkebunan dalam
perekonomian. Momentum pergeseran struktur perekonomian terjadi pasca Deklarasi Kaltim Hijau
dilakukan pada tahun 2010 di Kota Samarinda.
Deklarasi Kaltim Hijau memiliki makna kondisi Provinsi Kalimantan Timur yang mempunyai
perangkat kebijakan, tata kelola pemerintahan serta program-program pembangunan yang
memberikan perlindungan sosial dan ekologis terhadap masyarakat Kalimantan Timur, serta
40
40

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

memberikan jaminan jangka panjang terhadap keselamatan dan kesejahteraan masyarakat serta
keberlanjutan lingkungan hidup. Deklarasi tersebut selanjutnya diperkuat dengan Peraturan
Gubernur (Pergub) Kalimantan Timur No. 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaltim
Hijau. Selain itu juga dibentuk Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) melalui Pergub Kalimantan
Timur No. 2 Tahun 2011 untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim
dan memperkuat posisi Kalimantan Timur di forum nasional maupun internasional dalam
pengendalian perubahan iklim. Komitmen Kaltim Hijau juga dipertegas dengan turutnya pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur dalam Deklarasi Kesepakatan Pertumbuhan Hijau (Green Growth
Compact) tahun 2017 di Kota Balikpapan. Komitmen tersebut telah diintegrasi dalam dokumen
perencanaan pembangunan yang mulai dilakukan pada RPJM) tahun 2013-2018.
Pola kemitraan yang kuat di antara para pemangku kepentingan/stakeholder dalam proses
pengambilan keputusan menjadi kekuatan dalam mengusung pertumbuhan ekonomi hijau di
Provinsi Kalimantan Timur. Kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dan stakeholder lainnya
menjadi kunci dalam pengelolaan sektor lahan di Provinsi Kalimantan Timur. Koordinasi antar
stakeholder dalam peran yang berbeda-beda dilakukan melalui DDPI Provinsi Kalimantan Timur.
DDPI mampu menjadi jangkar jangkar koordinasi antar stakeholder dalam pengelolaan
pembangunan hijau yang secara alamiah memiliki karakter lintas sektor. Oleh karena itu, seluruh
stakeholder bersama-sama mengupayakan agar terjadi pengarusutamaan program-program yang
mendukung Kaltim Hijau ke dalam RPJMD Provinsi Kalimantan Timur.
Gambar 17 Pola Kemitraan dalam Mengusung Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Kalimantan
Timur


Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019
Meskipun demikian, komitmen Kaltim Hijau belum memadai untuk memastikan pertumbuhan
ekonomi berada dalam kondisi yanng cukup kuat untuk menopang pembangunan hijau. Landasan
tersebut merupakan perspektif yang digunakan oleh pemerintah pusat dalam mendorong konsep
pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan dengan konsep Low Carbon Development
(Bappenas, 2009). Faktor eksternal khususnya pelemahan harga komoditas berbasis sumber daya
alam di tahun 2015 diperkirakan mempengaruhi proses transformasi ekonomi Provinsi Kalimantan
Timur.
Hasil analis Bank Indonesia (2017) menunjukkan bahwa pelemahan harga komoditas berdampak
terhadap kontraksi sektor perekonomian berbasis lahan sumber daya alam di Kalimantan Timur
(Bank Indonesia, 2017). Penurunan kinerja pada sektor perekonomian tersebut menjadi faktor
utama tren penurunan pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Timur. Sensitivitas perekonomian

41 41


Kesenjangan
Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

terhadap pelemahan harga komoditas menunjukkan kerentanan perekonomian Provinsi Kalimantan

Timur terhadap guncangan eksternal. Dalam konteks ini, struktur ekonomi yang mengandalkan
komoditas sumber daya alam sebagai basis lebih rentan terhadap guncangan eskternal.
terhadap pelemahan harga komoditas menunjukkan kerentanan perekonomian Provinsi Kalimantan
Timur terhadap guncangan eksternal. Dalam konteks ini, struktur ekonomi yang mengandalkan
komoditas sumber daya alam sebagai basis lebih rentan terhadap guncangan eskternal.


Gambar 18 Kontribusi Sektor Perekonomian terhadap PDRB dengan Migas

Gambar 18 Kontribusi Sektor Perekonomian terhadap PDRB dengan Migas


Sumber: BPS (Diolah), 2019

Tren pemulihan 2017 telah
perekonomian di Provinsi Kalimantan Timur yang terjadi pada tahun
menghasilkan struktur perekonomian Sumber: BPS (Diolah), 2019
yang berbeda dengan tahun 2014. Berdasarkan PDRB harga
konstan tahun 2010, struktur perekonomian yang menghasilkan
Tren pemulihan perekonomian di Provinsi Kalimantan output
Timur yang perekonomian
terjadi pada tahun tahun 2017
2017 telah
sebesar 452.847.479,45 juta rupiah tersusun oleh struktur perekonomian dengan kontribusi sektor
menghasilkan struktur perekonomian yang berbeda dengan tahun 2014. Berdasarkan PDRB harga
pertambangan yang struktur
konstan tahun 2010, lebih rendah dibandingkan
perekonomian yang dengan perekonomian
menghasilkan tahun 2014 yang
output perekonomian tahun hanya
2017
menghasilkan 446.029.048,8 juta rupiah. Hal ini mengindikasikan saat ini perekonomian di
sebesar 452.847.479,45 juta rupiah tersusun oleh struktur perekonomian dengan kontribusi sektor Provinsi
Kalimantan Timur telah bertransformasi dalam struktur perekonomian yang baru dimana kontribusi
pertambangan yang lebih rendah dibandingkan dengan perekonomian tahun 2014 yang hanya
sektor pertambangan dan penggalian menurun dibandingkan tahun 2014.
menghasilkan 446.029.048,8 juta rupiah. Hal ini mengindikasikan saat ini perekonomian di Provinsi
Kalimantan Timur telah bertransformasi dalam struktur perekonomian yang baru dimana kontribusi
Gambar 19 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Kalimantan Timur
sektor pertambangan dan penggalian menurun dibandingkan tahun 2014.
Gambar 19 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Kalimantan Timur


Sumber: BPS (Diolah), 2019
Konsistensi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terhadap komitmen Kaltim Hijau menjadi contoh
Sumber: BPS (Diolah), 2019
baik untuk diapresiasi. Perjalanan komitmen ini dapat dilihat pada Gambar 20. Meskipun Provinsi
Kalimantan Timur sedang menghadapi tantangan perekonomian yang tidak menggunakan
Konsistensi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terhadap komitmen Kaltim Hijau menjadi contoh
baik untuk diapresiasi. Perjalanan komitmen ini dapat dilihat pada Gambar 20. Meskipun Provinsi
Kalimantan Timur sedang menghadapi tantangan 42 perekonomian yang tidak menggunakan

42
42

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

pendekatan ekspansif guna mendorong pertumbuhan ekonomi (Bank Indonesia, 2018). Dalam
perspektif, anggaran pemerintah berperan sebagai instrumen yang menjadi buffer dalam menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur.
Time Frame Pembangunan Hijau di Kalimantan Timur
pendekatan
ekspansif guna mendorong pertumbuhan
Time Frame Pembangunan ekonomi
Hijau di Kalimantan Timur(Bank Indonesia, 2018). Dalam
perspektif, anggaran pemerintah berperan sebagai instrumen yang menjadi buffer dalam menjaga
REDD+
momentum pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur.
Deklarasi
Gambar 20 Timeframe Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Kalimantan Timur
Kalimantan Integrasi
REDD+
Timur Green
Deklarasi
yang dikuatkan
program
REDD+
Kalimantan Integrasi
dengan Kalimantan
Timur Green program
penerbitan
yang dikuatkan
Peraturan
dengan
Timur
REDD+
RPJMD
ke dalam
Kalimantan Masuknya
Penyusunan
Masterplan
Gubernur
penerbitan Kalimantan
Timur ke dalam Green Growth Pembangunan
Penyusunan
Gambar 20 Timeframe Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Kalimantan Timur
Kalimantan
Peraturan
Timur No. 22
Gubernur
Timur
RPJMDTahun
2013-2018
Kalimantandan
Compact di
Masuknya
Kalimantan
Green Growth
Hijau di
Masterplan
Kalimantan
Pembangunan
Tahun 2011
Kalimantan Renstra OPD
Timur Tahun Timur di
Compact Timur
Hijau di
Timur No. 22 2013-2018 dan Kalimantan Kalimantan
Tahun 2011 Renstra OPD Timur Timur
2008 2010 2011 2013 2015 2016 2017 2018 2019

2008 2010 2011 2013 2015 2016 2017 2018 2019

Gagasan awal Transformasi ekonomi Pertumbuhan Deklarasi Peresmian


pembangunan dari non-renewable ekonomi pengembangan Kawasan
Gagasan awal Transformasi ekonomi Pertumbuhan Deklarasi Peresmian
hijaupembangunan
tercantum natural resources ke
dari non-renewable
Kalimantan
ekonomi
perkebunan
pengembangan
Ekonomi
Kawasan
dalam RPJMD
hijau tercantum renewable natural ke
natural resources TImur menurun
Kalimantan berkelanjutan
perkebunan Khusus Maloy
Ekonomi
Kalimantan
dalam RPJMD resources
renewablemelalui
natural menjadi -1,2%
TImur menurun berkelanjutan Batuta
Khusus Trans
Maloy
TimurKalimantan
Tahun agroindustri dan
resources melalui antara
menjadilain
-1,2% Dinas Perkebunan Kalimantan
Batuta Trans di
2008-2012
Timur Tahun membangun
agroindustriKawasan
dan karena
antara lain Kalimantan
Dinas Timur
Perkebunan Kabupaten
Kalimantan di
2008-2012 Ekonomi Khusus
membangun Kawasan penurunan
karena menambah
Kalimantan satu
Timur Kutai
Kabupaten Timur
Maloy
Ekonomi Khusus harga batubara
penurunan bidang dalam
menambah satu Kutai Timur
Maloy harga batubara struktur organisasi,
bidang dalam
Pembentukan Dewan struktur organisasi,
yaitu Bidang
Pembentukan
Daerah Perubahan Dewan yaitu Bidang
Perkebunan


Daerah
Iklim untukPerubahan Perkebunan
Berkelanjutan
Iklim untuk
meningkatkan Berkelanjutan
meningkatkan
koordinasi
Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019
koordinasi
pelaksanaan
pelaksanaan
pengendalian
pengendalian
perubahan iklim
Gambaran perekonomian di Provinsi Kalimantan Timur mengkonfirmasi temuan serupa yaitu
perubahan iklim

terdapat hubungan antara perlambatan bahkan resesi ekonomi dengan peningkatan indikator
Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019
kualitas pembangunan berkelanjutan (Anbumozhi dan Bauer, 2010). Kajian ini menunjukkan bahwa
resesi ekonomi tahun
Gambaran perekonomian 2009
di berdampak terhadap Timur
Provinsi Kalimantan peningkatan kualitas lingkungan
mengkonfirmasi hidup yaitu
temuan serupa yang
menjadi indikator utama dalam pengelolaan pembangunan berkelanjutan.
terdapat hubungan antara perlambatan bahkan resesi ekonomi dengan peningkatan indikator
kualitas pembangunan berkelanjutan (Anbumozhi dan Bauer, 2010). Kajian ini menunjukkan bahwa
resesi ekonomi tahun 2009 berdampak terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup yang
4.1.2 Tantangan Pembangunan Hijau Provinsi Kalimantan Timur
menjadi indikator utama dalam pengelolaan pembangunan berkelanjutan.
A.
Aspek Pembangunan Hijau dalam Kelestarian Ekologi
Tantangan dalam pengelolaan ekologi dalam mencapai target perlindungan ekosistem dan
4.1.2 Tantangan Pembangunan Hijau Provinsi Kalimantan Timur
pengurangan dampak perubahan iklim sesuai dengan tujuan pembangunan hijau di Kalimantan
A. Aspek Pembangunan Hijau dalam Kelestarian Ekologi
Timur khususnya terdapat pada konsistensi pengelolaan lahan sesuai RTRW yang mengamanatkan
untuk menjaga
Tantangan luasan
dalam kawasan hutan
pengelolaan minimal
ekologi dalam 65,85% dari total
mencapai target luasan lahan. Saat
perlindungan ini tantangan
ekosistem dan
terbesar terletak
pengurangan pada perubahan
dampak besarnya konsesi lahan untuk
iklim sesuai pertambangan
dengan dan perkebunan
tujuan pembangunan kelapa
hijau di sawit.
Kalimantan
Bahkan
Timur terdapat terdapat
khususnya tumpang pada tindih antara kedua
konsistensi lahan lahan
pengelolaan konsesi tersebut.
sesuai RTRW Tumpang tindih lahan
yang mengamanatkan
tersebut antara lain terjadi di Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten
untuk menjaga luasan kawasan hutan minimal 65,85% dari total luasan lahan. Saat ini Kutai Timur,
tantangan
Kabupaten
terbesar Kutai pada
terletak Kartanegara,
besarnya Kabupaten Mahakam
konsesi lahan Ulu, Kabupaten
untuk pertambangan Paser,
dan Kabupaten
perkebunan kelapa Penajam
sawit.
Paser Utara, dan Kota Samarinda, dengan luasan lebih dari 245.000 Ha.
Bahkan terdapat tumpang tindih antara kedua lahan konsesi tersebut. Tumpang tindih lahan
tersebut antara lain terjadi di Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur,
Dalam dokumen KLHS RPJMD, khususnya pada pembahasan multiperspektif tentang ekonomi hijau
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam
tercatat bahwa selain RPJMD, dokumen RTRW merupakan komponen kunci terhadap implementasi
Paser Utara, dan Kota Samarinda, dengan luasan lebih dari 245.000 Ha.
konsep ini dalam pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur. Dokumen ini sekaligus
mendokumentasi tentang beberapa faktor penyebab potensi inkonsistensi antara dokumen RTRW
Dalam dokumen KLHS RPJMD, khususnya pada pembahasan multiperspektif tentang ekonomi hijau
dengan implementasi di lapangan. Beberapa sebab tersebut antara lain yaitu inkonsistensi antara
tercatat bahwa selain RPJMD, dokumen RTRW merupakan komponen kunci terhadap implementasi
pemberian izin lahan yang mengacu pada RTRW terkait alokasi ruangnya, khususnya tambang batu
konsep ini dalam pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur. Dokumen ini sekaligus
bara yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, dalam dokumen KLHS RPJMD 2019-
mendokumentasi tentang beberapa faktor penyebab potensi inkonsistensi antara dokumen RTRW
2023 terdapat beberapa izin yang diberikan oleh pemerintah di atas ekosistem penting atau esensial.
dengan implementasi di lapangan. Beberapa sebab tersebut antara lain yaitu inkonsistensi antara
Oleh karena itu, penyusunan dokumen RPJMD dan RTRW yang dilengkapi dengan KLHS perlu
pemberian izin lahan yang mengacu pada RTRW terkait alokasi ruangnya, khususnya tambang batu
bara yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, dalam dokumen KLHS RPJMD 2019-
2023 terdapat beberapa izin yang diberikan oleh pemerintah di atas ekosistem penting atau esensial.
Oleh karena itu, penyusunan dokumen RPJMD 43 dan RTRW yang dilengkapi dengan KLHS perlu 43

43
Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

menjadi perhatian penting secara konsisten dalam pengelolaan pembangunan ekonomi hijau di
Provinsi Kalimantan Timur.
Inkonsistensi peraturan tata ruang juga ditemukan pada arahan pola ruang Provinsi Kalimantan
Timur, khususnya pada besaran alokasi kawasan budidaya. Dalam Pasal 29 Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Timur No. 1 Tahun 2016 tentang RTRW Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016-
2036 tercatat bahwa luas total kawasan budidaya hanya mencapai 10.451.331 Ha. Total luasan
kawasan tersebut seharusnya telah mencakup peruntukan hutan produksi seluas 6.055.793 Ha dan
kawasan budidaya non-hutan yang mencakup pertanian dan perkebunan, permukiman, pariwisata,
kawasan industri dan perikanan yang mencapai 4.419.825 Ha. Namun, luas alokasi kawasan ini
belum termasuk alokasi kawasan peruntukan pertambangan yang mencapai 5.227.136 Ha. Jika
dijumlahkan, total luas kawasan budidaya melebihi luas total yang dialokasikan dalam RTRW Provinsi
Kalimantan Timur. Kondisi menunjukkan bahwa terdapat potensi tumpang tindih penggunaan
kawasan peruntukan tambang dengan kawasan budidaya yang lain. Hal ini menjadi faktor yang harus
dicermati dalam pengelolaan pembangunan hijau di Provinsi Kalimantan Timur.
B. Aspek Pembangunan Hijau dalam Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi yang bertransformasi dari ekonomi berbasis pertambangan merupakan
jangkar dalam kerangka pembangunan hijau di Provinsi Kalimantan Timur. Seluruh upaya ini telah
didukung melalui beberapa dokumen perencanaan spasial maupun perencanaan sektoral. Komitmen
tersebut telah dilakukan oleh Provinsi Kalimantan Timur dengan mengalokasikan sekitar 3.681.657
Ha peruntukan pertanian tanaman pangan dan holtikultur serta perkebunan. Tantangan terbesar
saat ini adalah produktivitas sektor pertanian dan perkebunan. Utilisasi lahan yang telah dilakukan
yang mencapai sekitar 1,1 juta Ha lahan perkebunan dan 400 ribu Ha lahan pertanian tanaman
pangan, produktivitas sektor ini hanya meningkat sekitar 1%. Oleh karena itu, penting bagi
pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk mendorong peningkatan produktivitas sektor pertanian
dan perkebunan.
Untuk memantapkan keberlanjutan ekonomi, pemerintah Provinsi Kalimantan Timur juga
memperkuat sektor industri pengolahan. Meskipun demikian, faktor penggerak industri pengolahan
sebagian besar masih berasal dari pemerintah pusat. Terdapat kendala tumpang tindih kewenangan
nasional dan provinsi dalam pengembangan sektor industri pengolahan di Provinsi Kalimantan Timur
khususnya berkaitan dengan aspek perizinan. Hal ini terjadi pada pengembangan sektor industri di
Kawasan Industri Kariangau. Dampak lingkungan hidup dan ekosistem akibat pengembangan industri
kawasan ini menjadi kendala dalam perizinan untuk mengembangkan kawasan ini.
Merujuk pada hal tersebut, untuk memastikan bahwa kondisi serupa tidak terulang pada
pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Maloy, diperlukan perencanaan yang cermat dalam
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan Timur. Momentum ini harus dijaga karena
rencana ini sudah sejalan dengan rencana sektoral pemerintah pusat. Untuk itu, pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur harus menjamin bahwa perencanaan pembangunan KEK ini tidak mengganggu
areal konservasi laut di Provinsi Kalimantan Timur.
Contoh lain terjadi di sektor perkebunan, pengembangan perkebunan yang berkelanjutan melalui
konsep zero waste di Kalimantan Timur tidak dapat berjalan secara maksimal karena bersifat multi-
sektor yang sebagian kewenangannya berada di tingkat pusat. Pengembangan pembangkit listrik
POME yang menjadi bagian dari konsep pembangunan hijau berada di tingkat daerah tidak sejalan
dengan agenda pusat khususnya dalam penyediaan energi tenaga listrik.

Box 6 Best Practice: Kemandirian Ekonomi dengan Bank Tigor
Untuk meningkatan perkonomian masyarakat Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul Provinsi D.I.
Yogyakarta, masyarakat membentuk bank minyak jelantah yang dinamakan Bank Tigor (Tilas
Gorengan atau Bekas Menggoreng), minyak jelantah ini diolah dan dijadikan untuk biodiesel. Saat ini
44 44

Contoh lain terjadi di sektor perkebunan, pengembangan perkebunan yang berkelanjutan melalui
konsep zero waste di Kalimantan Timur tidak dapat berjalan secara maksimal karena bersifat multi-
Studisektor
Kasus:yang sebagian kewenangannya
Provinsi berada di Kalimantan
Jambi dan Provinsi tingkat pusat. Pengembangan
Timur pembangkit listrik
2019
POME yang menjadi bagian dari konsep pembangunan hijau berada di tingkat daerah tidak sejalan
dengan agenda pusat khususnya dalam penyediaan energi tenaga listrik.

Box 6 Best Practice: Kemandirian Ekonomi dengan Bank Tigor
Untuk meningkatan perkonomian masyarakat Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul Provinsi D.I.
Yogyakarta, masyarakat membentuk bank minyak jelantah yang dinamakan Bank Tigor (Tilas
Gorengan atau Bekas Menggoreng), minyak jelantah ini diolah dan dijadikan untuk biodiesel. Saat ini
Desa Panggungharjo sudah mampu menyediakan biodiesel untuk perusahaan multinasional Danone.
Penjualan kepada PT Danone adalah sebesar 4.000/bulan dengan harga 7.500/liter. Dengan adanya
44
Bank Tigor ini dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat desa dan juga dapat
menjaga desa dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh limbah minyak goreng bekas yang
tidak terpakai. Adapun untuk memastikan keberlanjutan, harga minyak jelantah perlu dikaji agar
tidak terlalu mahal sehingga bisa berkompetisi dengan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku
biodiesel di dalam negeri.

Di sisi lain, pengembangan sektor ekstraktif di Kalimantan Timur menyisakan permasalahan dalam
pembangunan, karena tidak memadainya skema pengelolaan eksternalitas. Hal ini tidak terlepas dari
skema pembagian hasil minyak dan gas (migas) serta mineral dan batubara (minerba) yang tidak
memberi ruang yang leluasa bagi pemerintah daerah dalam mengelola eksternalitas. Di sektor
migas, skema pembagian Dana Bagi Hasil (DBH), sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, tidak memadai bagi pemerintah
daerah (provinsi dan kabupaten) di wilayah Provinsi Kalimantan Timur dalam mengelola
eksternalitas sektor ini.
Saat ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah berusaha mengelola eksternalitas dari
pertambangan di Kalimantan Timur khususnya pada sektor pertambangan yang menjadi
kewenangan pemerintah provinsi. Melalui Perda Provinsi Kalimantan Timur No. 8 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Reklamasi Pasca Tambang, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah
berusaha mendorong pengelolaan pertambangan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan. Hal
ini dilakukan pada sektor pengelolaan minerba khususnya berkaitan dengan pengelolaan jaminan
reklamasi pasca tambang sebagai bagian dari pengelolaan eksternalitas oleh pemerintah.
Merujuk pada kondisi tersebut untuk memastikan pengelolaan pembangunan hijau yang juga
mencakup pengelolaan eksternalitas dari pengembangan sektor ekonomi di Kalimantan Timur,
diperlukan suatu neraca sumber daya alam yang mampu memayungi konsep pembangunan
ekonomi hijau. Melalui basis neraca sumber daya alam yang baik, dapat terbangun Green
Development Budget, sebagai mekanisme kontrol dan pengendalian ekonomi yang sekaligus akan
mencakup penilaian performa khususnya sisi “performa hijau”.
Ketidaktersediaan mekanisme perhitungan biaya lingkungan mendorong dampak ekologi tidak dapat
tertutupi dengan baik. Kerugian ekologis pada ekonomi diperparah oleh mekanisme penghasilan dan
DBH yang tidak adil antara nasional dan daerah. Di Provinsi Kalimantan Timur, ketidakadilan DBH
disebabkan oleh hasil utama lebih banyak diterima oleh penerimaan pusat, namun kerugian ekologis
yang berimbas pada produktivitas ekonomi harus dibiayai oleh pemerintah daerah. Maka dari itu,
perlu adanya neraca keseimbangan dan sebuah mekanisme insentif untuk praktik baik/inovasi
terhadap inisiatif mandiri pembangunan yang ramah lingkungan.
C. Aspek Pembangunan Hijau dalam Kesejahteraan Sosial
Proses transformasi struktural perekonomian di Provinsi Kalimantan Timur berdampak positif
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Struktur perekonomian Kalimantan Timur pasca
recovery di tahun 2017 dengan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian yang lebih rendah
mampu menekan tingkat angka kemiskinan pada level yang lebih rendah dibandingkan dengan
tahun 2014. Data ini menunjukkan bahwa pergeseran struktur ekonomi di Kalimantan Timur mampu
menghasilkan pembangunan yang lebih berkualitas dengan kesejahteraan masyarakat yang semakin
meningkat. Kondisi serupa terjadi pada indikator pengangguran di Provinsi Kalimantan Timur.
Proses transformasi struktur perekonomian Kalimantan Timur juga berpengaruh terhadap tingkat
pemerataan ekonomi. Pada tahun 2015 dan 2016, saat pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren
45
menurun, secara konsisten tingkat ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur
menunjukkan tingkat pemerataan yang lebih baik. Pemerataan pendapatan penduduk di Provinsi
Kalimantan Timur juga menunjukkan tren serupa. Indeks Gini di Provinsi Kalimantan Timur
recovery di tahun 2017 dengan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian yang lebih rendah
mampu menekan tingkat angka kemiskinan pada level yang lebih rendah dibandingkan dengan
Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah
tahun 2014. Data ini menunjukkan bahwa pergeseran struktur ekonomi di Kalimantan Timur mampu
2019
menghasilkan pembangunan yang lebih berkualitas dengan kesejahteraan masyarakat yang semakin
meningkat. Kondisi serupa terjadi pada indikator pengangguran di Provinsi Kalimantan Timur.
Proses transformasi struktur perekonomian Kalimantan Timur juga berpengaruh terhadap tingkat
menunjukkan angka yang rendah. Selama berjalannya proses transformasi struktural perekonomian
pemerataan ekonomi. Pada tahun 2015 dan 2016, saat pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren
Kalimantan Timur telah terjadi koreksi terhadap kemerataan pembangunan baik antar wilayah
menurun, secara konsisten tingkat ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur
maupun antar penduduk.
menunjukkan tingkat pemerataan yang lebih baik. Pemerataan pendapatan penduduk di Provinsi
Kalimantan Timur juga menunjukkan tren serupa. Indeks Gini di Provinsi Kalimantan Timur
menunjukkan angka yang rendah. Selama berjalannya proses transformasi struktural perekonomian
45 kemerataan pembangunan baik antar wilayah
Kalimantan Timur telah terjadi koreksi terhadap
maupun antar penduduk.


Gambar 21 Persentase Penduduk Miskin dan Tingkat Pengangguran Terbuka Kalimantan Timur


Gambar 21 Persentase Penduduk Miskin dan Tingkat Pengangguran Terbuka Kalimantan Timur


Sumber: BPS (Diolah), 2019

Gambar 22 Indikator Ketimpangan Antar Wilayah dan Penduduk Provinsi Kalimantan Timur

Sumber: BPS (Diolah), 2019

Gambar 22 Indikator Ketimpangan Antar Wilayah dan Penduduk Provinsi Kalimantan Timur


Sumber: BPS (Diolah), 2019

4.2 Pengelolaan Pembangunan Hijau di Provinsi Jambi
Sumber: BPS (Diolah), 2019
Pembangunan di Provinsi Jambi bertumpu pada kekayaan sumber daya alam. Pertanian,
perkebunan, kehutanan dan pertambangan adalah sektor berbasis lahan yang menjadi basis
pembangunan ekonomi di wilayah ini. Ekspansi pemanfaatan lahan untuk pengembangan sektor-
4.2
sektor Pengelolaan Pembangunan Hijau di Provinsi Jambi
tersebut berkontribusi mendongkrak perekonomian Provinsi Jambi, namun di sisi lain
memiliki potensi dampak terhadap lingkungan dan sosial. Pemerintah Provinsi Jambi menyadari dua
Pembangunan di Provinsi Jambi bertumpu pada kekayaan sumber daya alam. Pertanian,
46 perkebunan, kehutanan dan pertambangan adalah sektor berbasis lahan yang menjadi basis
pembangunan ekonomi di wilayah ini. Ekspansi 46
pemanfaatan lahan untuk pengembangan sektor-
sektor
tersebut berkontribusi mendongkrak perekonomian Provinsi Jambi, namun di sisi lain
memiliki potensi dampak terhadap lingkungan dan sosial. Pemerintah Provinsi Jambi menyadari dua
Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

mata sisi pembangunan ini dan berkomitmen untuk melakukan perencanaan pembangunan
ekonomi hijau yang mendorong pertumbuhan pendapatan dan lapangan kerja sekaligus mengurangi
risiko dan kerusakan lingkungan serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Paradigma
pembangunan ini juga mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan.


4.2.1 Kebijakan dan Dinamika Pembangunan Hijau Provinsi Jambi
Pemerintah Provinsi Jambi telah melakukan Deklarasi Pertumbuhan Ekonomi Hijau pada tahun 2017.
Deklarasi ini didasari oleh kesadaran para pemangku kepentingan bahwa tingkat kerusakan
lingkungan dan hutan di Provinsi Jambi sangat memprihatinkan, terutama pasca terjadinya
kebakaran hutan dan lahan hingga mencapai 115.634 Ha
(http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran) dan disertai kabut asap pada tahun 2015. Di
tahun yang sama, Provinsi Jambi yang perekonomiannya ditopang antara lain oleh sektor
pertambangan terkena dampak pasar dunia, yaitu menurunnya harga minyak dan batu bara.
Guncangan alam dan ekonomi tersebut telah mempengaruhi menurunnya pertumbuhan ekonomi
Provinsi Jambi. Penurunan pertumbuhan ekonomi dari 7,93% (tahun 2014) menjadi 4,21% (tahun
2015) merupakan momentum bagi Pemerintah Provinsi Jambi untuk melakukan transformasi
pembangunan daerah melalui pertumbuhan ekonomi hijau.
Gambar 23 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi Tahun 2012-2017


Sumber: BPS (Diolah), 2017
Sebelum Deklarasi Pertumbuhan Ekonomi Hijau, Pemerintah Provinsi Jambi telah mengupayakan
untuk mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam penyusunan KRP, seperti pada
RPJPD Provinsi Jambi Tahun 2005-2025 (Perda Provinsi Jambi No. 6 Tahun 2009), RTRW Provinsi
Jambi Tahun 2013-2033 (Perda Provinsi Jambi No. 10 Tahun 2013), dan RPJMD Provinsi Jambi Tahun
2016-2021 (Perda Provinsi Jambi No. 7 Tahun 2016 dan Perda Provinsi Jambi No. 3 Tahun 2018)
sehingga dapat sejalan dengan pembangunan hijau. Setidaknya tiga dokumen tersebut adalah KRP
umum yang harus menjadi acuan kebijakan lainnya pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota di
Provinsi Jambi.
RPJPD Provinsi Jambi menekankan pembangunan sosial-ekonomi yang antara lain dapat diukur
melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dari akses pendidikan dan kesehatan serta
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dengan PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Meskipun
demikian, RPJPD Provinsi Jambi mengamanahkan untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan dengan pembangunan yang (1) menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan
keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup; (2) menjaga fungsi, daya dukung dan
kenyamanan dalam kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang, melalui pemanfaatan ruang

47
47

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial dan ekonomi, dan upaya
konservasi; (3) pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan berkesinambungan; (4)
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan,
memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan; dan (5) pemeliharaan dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan.
RPJPD Provinsi Jambi selanjutnya menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan penataan ruang yang
jangka waktunya juga 20 tahun. Kebijakan dan strategi penataan ruang dalam RTRW Provinsi Jambi
yang mengutamakan prinsip pembangunan berkelanjutan sangat terkait dengan pembangunan
ekonomi hijau yang ditunjukkan dengan adanya keseimbangan antara pembangunan sosial-ekonomi
dengan pembangunan lingkungan. Arah kebijakan dan strategi penataan ruang tersebut
mengakomodir kebutuhan-kebutuhan ruang untuk kawasan lindung dan juga kawasan budidaya
secara harmonis. Bahkan, kegiatan sosial-ekonomi yang terdapat di kawasan budidaya harus tetap
mempertahankan ekosistem, tidak mengganggu kawasan lindung, serta tidak melampaui kapasitas
dan daya dukung lingkungan. Di samping itu, kebijakan penataan ruang juga ingin meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan mengurangi kesenjangan pembangunan dan wilayah. Beberapa
kebijakan dan strategi penataan ruang tersebut, jika diimplementasikan dengan konsisten tanpa ada
keberpihakan pada kelompok tertentu yang memberikan risiko lingkungan hidup, maka
pembangunan ekonomi hijau di Provinsi Jambi dapat berjalan dan mendukung terwujudnya
pembangunan berkelanjutan.
Dalam rencana pola ruang, terdapat upaya untuk mempertahankan kawasan hutan Provinsi Jambi.
Hal ini diuraikan dalam Pasal 23 pada RTRW Provinsi Jambi yang mengamanatkan bahwa untuk
kepentingan dan keberlakuan dinamika pembangunan sosial, ekonomi, budaya, agama, dan
pertahanan keamanan maka beberapa wilayah yang berada dalam kawasan hutan ditindaklanjuti
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun jika tidak dan/atau tidak dapat
ditindaklanjuti maka kawasan tersebut tetap merupakan kawasan hutan sebagaimana ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan ini perlu diapresiasi dan memberikan
peluang bagi Pemerintah Provinsi Jambi untuk mempertahankan dan meningkatkan kawasan hutan.
Dengan demikian, Pemerintah Provinsi Jambi dapat mengeluarkan pengambilan keputusan untuk
menghutankan kembali lahan-lahan konsesi yang sudah habis masa izinnya sesuai dengan skema-
skema yang sudah ada tanpa melanggar peraturan perundangan yang berlaku.
Pembelajaran lain yang dapat dipetik dari RTRW Provinsi Jambi adalah pada proses penyusunan
KLHS-nya. Inisiatif Pemerintah Provinsi Jambi untuk menyusun KLHS RTRW Provinsi Jambi perlu
diapresiasi karena merupakan KLHS pertama yang pernah dilakukan di Provinsi Jambi dan proses
yang berjalan sangat inklusif dan komprehensif. Penyusunan KLHS ini difasilitasi oleh Ditjen Bina
Bangda Kementerian Dalam Negeri dan DANIDA melalui Environmental Support Program (ESP-2)
pada tahun 2011. Dalam proses pelaksanaannya, penyusunan KLHS telah melibatkan semua
pemangku kepentingan. Pendekatan proses KLHS RTRW Provinsi Jambi yang digunakan adalah
pendekatan terpadu, terpisah dan ex-post, yaitu proses KLHS dilakukan secara terpisah dari proses
penyusunan RTRW, namun secara substansi merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Pendekatan
ex-post digunakan karena pelaksanaan KLHS dilakukan setelah RTRW telah menjadi rancangan Perda
(bagian akhir proses).
RPJPD Provinsi Jambi dan RTRW Provinsi Jambi tentunya menjadi acuan dalam penyusunan RPJMD
Provinsi Jambi. Pembangunan ekonomi hijau pada RPJMD Provinsi Jambi tergambar pada makna
kemandirian ekonomi masyarakat yang mampu bertahan terhadap guncangan ekonomi global dan
mampu bersaing secara global, berkembangnya IPTEKIN (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi),
pembangunan yang berwawasan lingkungan, serta mewujudkan pembangunan yang adil dan
merata. Optimalisasi pembangunan ekonomi kerakyatan yang didukung oleh penerapan IPTEKIN
berwawasan lingkungan dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing daerah. Harapannya,
masyarakat dapat meningkatkan nilai tambah produk-produk unggulan daerah dengan
memanfaatkan IPTEKIN tanpa menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.

48 48

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Implementasi RPJMD Provinsi Jambi 2016-2021 menghadapi dinamika politik yang cukup berat
hingga terjadi penggantian Gubernur dan reshuffle ratusan pejabat eselon III dan IV di lingkup
Pemerintah Provinsi Jambi, mengindikasikan adanya praktik tidak berkelanjutan dalam tata kelola
pemerintahan di Provinsi Jambi. Hal ini tentunya berdampak pada pelaksanaan pembangunan
daerah di Provinsi Jambi, bahkan komitmen dari Deklarasi Pertumbuhan Ekonomi Hijau pun belum
didukung dengan kebijakan daerah yang dikuatkan dengan legal. Oleh karena itu, prinsip dan
strategi Pertumbuhan Ekonomi Hijau belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam RPJMD Provinsi
Jambi yang seharusnya dapat menjamin pelaksanaan pembangunan yang diinginkan karena menjadi
acuan Rencana Strategis (Renstra) Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) yang mencakup KRP sektoral
dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang menjabarkan program tahunan untuk
selanjutnya masuk ke dalam proses penganggaran. Dengan demikian, program-program
pembangunan yang mendukung pertumbuhan ekonomi hijau dapat terlaksana oleh seluruh OPD.

Box 7 Best Practices: Kelangkaan Menciptakan Ekonomi yang Inklusif
Faktor kelangkaan sumber daya sangat disadari oleh Pemerintah Sigi hingga tertuang ke dalam
RPJMD. Hal lain yang membuat program-program di Sigi berjalan dengan baik dan bersinergis
dikarenakan proses pembuatan RPJMD yang dilakukan pada Agustus tahun 2016 bersifat multipihak
dan inklusif dengan melibatkan perguruan tinggi, LSM dan Pemerintah Daerah. Berbagai pihak sudah
mengenal program-program yang dicanangkan dikarenakan formulasinya dilakukan bersama.
Indikator capaian RPJMD Kabupaten Sigi didasarkan pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan
pengurangan masyarakat rumah tangga miskin. Pendekatan RPJMD Kabupaten Sigi menekankan
bahwa pertumbuhan ekonomi bersifat inklusif dengan mencari solusi-solusi dari permasalahan
dengan mempertimbangkan keterbatasan-keterbatasan yang ada.

Pemerintah Provinsi Jambi berinisiatif mengajukan evaluasi RPJMD Tahun 2016-2021 pada tahun
2018 dan disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri. Pelaksanaan evaluasi dan perubahan RPJMD ini
berlandaskan pada UU No. 23 Tahun 2014 dan Permendagri No. 86 Tahun 2017. Melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri No. 188.34-6130 Tahun 2018, perubahan RPJMD Provinsi Jambi diarahkan
untuk melengkapi muatan RPJMD yang disesuaikan dengan kebijakan pembangunan dalam RPJMN
dan RPJPD Provinsi Jambi, serta mengintegrasikan hasil KLHS RPJMD. Pelaksanaan KLHS RPJMD
Provinsi Jambi dilakukan dengan mengacu pada Permendagri No. 7 Tahun 2018 sehingga tahapan
yang dilakukan berbeda dengan KLHS RTRW Provinsi Jambi pada tahun 2011. Pelaksanaan KLHS
RPJMD ini menggunakan pendekatan ex-ante yaitu KLHS dilakukan sebelum KRP ada. Isu strategis
yang dikaji adalah isu SDGs sehingga KLHS ini sangat fokus pada pencapaian SDGs. Akibatnya,
penekanan potensi dampak dan risiko lingkungan hidup yang ditimbulkan dari KRP menjadi sangat
terbatas.
Dinamika kebijakan pembangunan di Provinsi Jambi dari masa lalu hingga saat ini erat kaitannya
dengan isu berbasis lahan. Pengelolaan sumber daya alam yang belum optimal dan kurang
mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup menjadi salah satu isu strategis pembangunan di
Provinsi Jambi. Selain itu, emisi gas rumah kaca juga mengalami peningkatan, khususnya pada sektor
berbasis lahan. Hasil KLHS RPJMD Provinsi Jambi (2018) menunjukan bahwa emisi gas rumah kaca di
tahun 2010 sebesar 65,92 juta tCO₂eq/tahun, kemudian meningkat menjadi 108,80 juta
tCO₂eq/tahun pada tahun 2015, dan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 140.27 tCO₂eq/tahun.
Kondisi sektor berbasis lahan secara makro dapat dilihat dari tren tutupan lahan Provinsi Jambi (lihat
Gambar 24). Berdasarkan tutupan lahan tersebut, Provinsi Jambi didominasi oleh lahan pertanian
dan hutan. Provinsi Jambi mengalami deforestasi dari tahun ke tahun karena alih fungsi lahan. Hasil
KLHS RTRW Provinsi Jambi (2011) memperlihatkan bahwa tutupan lahan (vegetasi) berupa hutan
masih dominan di Provinsi Jambi pada tahun 1990-an, yaitu hampir 50% dari luas wilayah Provinsi
Jambi. Pada tahun 2000, luas kawasan hutan menurun menjadi 37,79% dari luas wilayah Provinsi

49
49

Jambi, kemudian semakin menurun menjadi 26,80% pada tahun 2010 dan di tahun 2017 tersisa
21,46% dari luas wilayah Provinsi Jambi. Penurunan kawasan hutan disebabkan adanya konversi ke
Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019
penggunaan lain, khususnya untuk kawasan budidaya seperti hutan tanaman industri (HTI),

perkebunan dan pertambangan.


Jambi, kemudian semakin menurun menjadi 26,80% pada tahun 2010 dan di tahun 2017 tersisa
21,46% dari luas wilayah Provinsi Jambi. Penurunan kawasan hutan disebabkan adanya konversi ke
penggunaan
lain, khususnya untuk kawasan budidaya seperti hutan tanaman industri (HTI),
perkebunan dan pertambangan.


Gambar 24 Proporsi Tutupan Hutan Provinsi Jambi Tahun 2000, 2010, dan 2017



Gambar 24 Proporsi Tutupan Hutan Provinsi Jambi Tahun 2000, 2010, dan 2017


Sumber: Kementerian LHK (Diolah), 2019

Gambar 25 Tutupan Lahan Provinsi Jambi Tahun 2000

Sumber: Kementerian LHK (Diolah), 2019

Gambar 25 Tutupan Lahan Provinsi Jambi Tahun 2000

50

50
50

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019
Sumber: Kementerian LHK (Diolah), 2019


Gambar 25 Tutupan Lahan Provinsi Jambi Tahun 2000

50


Sumber: Kementerian LHK (Diolah), 2019

Gambar 26 Tutupan Lahan Provinsi Jambi Tahun 2010

51

51

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

Sumber: Kementerian LHK (Diolah), 2019


Gambar 27 Tutupan Lahan Provinsi Jambi Tahun 2017


Sumber: Kementerian LHK (Diolah), 2019
Kecenderungan berkurangnya tutupan hutan berkolerasi dengan maraknya industri pengolahan
kayu. Wilayah konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) semakin meluas di Provinsi Jambi. Akibatnya,
kawasan hutan telah beralih fungsi menjadi perkebunan kayu monokultur skala besar yang ditanami
pohon-pohon seperti Eucalyptus dan Akasia untuk dijadikan bahan baku pabrik kertas dan lainnya.
Jenis pohon ini ditanam melebihi batas produktivitas alami dengan kecepatan tumbuh yang tinggi.
Berubahnya hutan hujan tropis dengan keanekaragaman hayati tinggi menjadi hutan monokultur
berdampak pada kondisi lingkungan diantaranya meningkatnya emisi gas rumah kaca dan degradasi
lahan. Selain itu juga berdampak pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat seperti berubahnya mata
pencaharian dan budaya masyarakat yang bergantung pada hutan.
Penggunaan lahan lainnya yang mengalami peningkatan signifikan dalam kurun waktu yang sama
adalah perkebunan, khususnya komoditas kelapa sawit. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspansi
lahan perkebunan kelapa sawit sangat tinggi di Provinsi Jambi. Bahkan, kelapa sawit telah
menggeser karet sebagai komoditi utama yang dahulu menjadi andalan dan identik dengan daerah
Jambi. Ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit dinilai banyak menimbulkan risiko lingkungan dan
ekonomi-sosial. Perluasan perkebunan kelapa sawit memberikan dampak pada peningkatan
deforestasi dan emisi gas rumah kaca. Selain itu, pola tanam monokultur seperti kelapa sawit ini
akan meningkatkan laju erosi dan menekan biodiversity. Dampak lainnya adalah terjadi penurunan
luasan lahan pertanian di pedesaan karena banyak penduduk kota yang membeli lahan di pedesaan
untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit dalam skala yang lebih luas. Akibatnya, pola
kepemilikan lahan seperti ini justru meningkatkan kemiskinan di pedesaan karena penduduk desa
yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani menjadi kehilangan aset lahan
pertaniannya.

52
52

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019


Box 8 Best Practice: Reforma Agraria Untuk Peningkatan Sosial Masyarakat
Pengelolaan lahan tidak hanya dapat dilalukan oleh masyarakat yang memiliki lahan saja tetapi dapat
dilakukan oleh masyarakat petani lain yang memiliki ekonomi rendah atau masyarakat miskin.
Masyarakat Desa Ngandangan mengembalikan status lahan pribadi ke sumber daya umum dengan
menggunakan hukum adat setempat melalui program reforma agraria. Masyarakat membentuk bank
tanah yang dikelola oleh desa dan digunakan untuk tujuan sosial dan memberikan hak garap kepada
warga desa miskin yang tidak memiliki. Sawah yang diperoleh dari hasil penyisihan ini disebut sawah
buruhan. Terdapat sekitar 170 unit sawah buruhan yang dikelola desa untuk jaminan sosial bagi
warga desa yang miskin. Dilihat sebagai inovasin pertanian hal ini menciptakan inovasi atas batas
minimum penguasaan lahan yang realistis dan sesuai dengan kondisi lokal.

Sektor ekstraktif lainnya yang mengalami peningkatan adalah pertambangan untuk pemenuhan
kebutuhan energi karena Provinsi Jambi menjadi salah satu daerah lumbung energi nasional dengan
simpul batu bara. Di samping itu, sumber daya yang telah dimanfaatkan untuk memenuhi energi
listrik Provinsi Jambi antara lain berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan
baku batu bara seperti yang ada di Kabupaten Sarolangun dan Bungo.
Berbagai tunggakan masalah pada sektor berbasis lahan disadari oleh Pemerintah Provinsi Jambi dan
juga stakeholder lainnya. Saat ini, Pemerintah Provinsi Jambi berupaya untuk memulai transformasi
menuju pertumbuhan ekonomi hijau dengan tetap melindungi dan memulihkan hutan, serta lahan
gambut, meskipun tetap melakukan peningkatan produksi di sektor pertanian dan kehutanan untuk
kesejahteraan masyarakat dan sumber daya lestari. Transformasi pertumbuhan ekonomi ini telah
terlihat pada perubahan struktur perekonomian Provinsi Jambi sejak tahun 2016, dimana kontribusi
terbesar PDRB yang sebelumnya didominasi pada sektor pertambangan dan penggalian menjadi
sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Hal ini terlihat pada kontribusi sektor pertambangan
dan penggalian dalam PDRB Jambi mengalami penurunan yang signifikan sebesar 5,48% pada tahun
2015, dimana pada tahun 2014 kontribusinya sebesar 24,48% menjadi 19% (BPS, 2017). Di sisi lain,
pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada tahun yang sama mengalami
peningkatan sebesar 2% (dari 26,22% menjadi 28,22%) (BPS, 2017).
Pemerintah Provinsi Jambi telah membentuk sebuah forum sekretariat bersama multi-pihak yang
dikoordinasikan oleh Dinas Kehutanan, sebagai wadah koordinasi berbagai inisiatif dari organisasi
masyarakat sipil (CSO), pemerintah, akademisi dan sektor swasta. Selain itu, perhutanan sosial juga
menjadi program prioritas yang dijalankan untuk memastikan akses masyarakat kepada hutan
melalui pembentukan kelompok kerja percepatan perhutanan sosial melalui multi-stakeholders
approach.
Pada produk hukum, terdapat banyak peraturan yang disahkan sebagai bentuk nyata komitmen
daerah terhadap pelestarian ekosistem. Misalnya, Peraturan Gubernur terkait penghentian
perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI), sebagai bentuk political will kepala daerah dalam menjaga
pelestarian lingkungan dan memastikan pengendalian deforestasi hutan yang disebabkan oleh
sektor industri. Selain itu, terdapat Perda Provinsi Jambi No. 2 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan
Pengendalian Karhutla, serta Pergub Jambi No. 31 Tahun 2016 tentang Juklak Perda No. 2 Tahun
2016 dalam rangka mencegah dan menangani kebakaran hutan/lahan yang rentan terjadi.
Komitmen terhadap penurunan emisi gas rumah kaca ditunjukan melalui Pergub Jambi No. 36 Tahun
2012 mengenai Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca (RAD-GRK), dan pembentukan
Kelompok Kerja serta Strategi Rencana Aksi REDD+.
Pemerintah Provinsi Jambi memandang ekonomi hijau sebagai paradigma ekonomi baru yang
mendorong pertumbuhan pendapatan dan lapangan kerja, sekaligus mengurangi risiko dan
kelangkaan lingkungan. Saat ini, Pemerintah Provinsi Jambi sedang menyusun Roadmap dan
Masterplan Pertumbuhan Ekonomi Hijau (Green Growth Plan) serta menerima BioCarbon Fund

53 53

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019



untuk menurunkan emisi GRK melalui pelestarian hutan. Harapannya, Green Growth Plan tersebut
untuk menurunkan
selanjutnya emisi GRK
dapat menjadi melalui
arahan pelestarian hutan.
pembangunan jangka Harapannya, Green Growth
panjang di Provinsi Plan kegiatan
Jambi agar tersebut
selanjutnya dapat menjadi arahan pembangunan jangka panjang di Provinsi Jambi
pembangunan yang mendorong pertumbuhan ekonomi tidak memberikan dampak negatif ataupun agar kegiatan
pembangunan yang mendorong pertumbuhan ekonomi tidak memberikan dampak negatif ataupun
risiko terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
risiko terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
Gambar 28 Timeframe Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Jambi
Gambar 28 Timeframe Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Jambi
Time Frame Pembangunan Hijau di Jambi

3,72%
Penyusunan RTRW Pertumbuhan
Provinsi Jambi ekonomi Provinsi Deklarasi Penyusunan Roadmap
disertai dengan KLHS Jambi menurun Pertumbuhan dan Masterplan
untuk menurunkan emisi GRK melalui pelestarian hutan. Harapannya, Green Growth Plan tersebut
3,72% Ekonomi Hijau Pembangunan Ekonomi
Provinsi Jambi
selanjutnya KLHS
Jambi
RTRW Provinsi
dapat menjadi arahan
menggunakan pembangunan
Harga minyak dan jangka panjang di Provinsi Jambi agar kegiatan
yang didorong
Hijau Provinsi Jambi

pembangunan yang mendorong pertumbuhan ekonomi tidak memberikan dampak negatif ataupun
pendekatan terpadu,
terpisah dan ex-post,
batubara anjlok adanya kesadaran
Menerima BioCarbon
terhadap tingginya
Fund untuk
risiko terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
serta dilakukan Kebakaran hutan kerusakanmenurunkan emisi GRK
secara inklusif dan dan lahan mencapai lingkungan dan melalui pelestarian
Gambar 28 Timeframe Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Jambi
komprehensif 115.000 Ha hutan
hutan

2011 2013 2015 2016 2017 2018 2019



Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019
Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019
Pengesahan RTRW Rencana Perubahan RPJMD
Kemitraan multi-stakeholder mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pertumbuhan ekonomi
Provinsi Jambi, pembangunan daerah disertai penyusunan
Kemitraan multi-stakeholder mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pertumbuhan ekonomi
hijau di Provinsi Jambi. berisikan
Berbagai
tujuan, insiatif menuju
telah dilakukan
kemandirian oleh Pemerintah
KLHS dengan Provinsi Jambi melalui
kebijakan, dan ekonomi melalui pendekatan ex-ante
hijau di Provinsi Jambi.
program pembangunan strategi Berbagai
daerah insiatif
yang tetap
penataan telah dilakukan oleh
menjaga keseimbangan
pembangunan Pemerintah
antara
dan fokus Provinsi Jambi ekonomi
pada pembangunan melalui
program pembangunan daerah yang tetap menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi
ruang yang ekonomi kerakyatan pencapaian SDGs
dan sosial dengan kelestarian lingkungan. Stakeholder non-pemerintah, seperti perguruan tinggi dan
menyeimbangkan untuk meningkatkan
dan sosial dengan kelestarian lingkungan. Stakeholder non-pemerintah, seperti perguruan tinggi dan
CSO, juga turut berpartisipasi melalui inisiatif-inisiatif, baik berupa
antara pembangunan
sosial-ekonomi
daya saing daerah
RPJMDadvokasi untuk kebijakan
CSO, juga turut berpartisipasi melalui inisiatif-inisiatif, baik berupa advokasi untuk kebijakan
pemerintah maupun aksi-aksi yang langsung dilakukan di tingkat tapak. Koordinasi multi-stakeholder
dengan
KLHS
pemerintah maupun aksi-aksi yang langsung dilakukan di tingkat tapak. Koordinasi multi-stakeholder
pembangunan
terjalin dalam rangka lingkungan
pelaksanaan program pemerintah daerah dan inisiatif stakeholder non-
terjalin dalam rangka pelaksanaan program pemerintah daerah dan inisiatif stakeholder non-
pemerintah. Terkait dengan hal tersebut, pola kemitraan yang terbentuk di Provinsi Jambi memiliki
pemerintah. Terkait dengan hal tersebut, pola kemitraan yang terbentuk di Provinsi Jambi memiliki
kekuatan dalam hal saling mendukung dan saling mendampingi antara pemerintah daerah dan
kekuatan dalam hal saling mendukung dan saling mendampingi antara pemerintah daerah dan
multi-stakeholder untuk mengusung pertumbuhan ekonomi hijau di Provinsi Jambi.
multi-stakeholder untuk mengusung pertumbuhan ekonomi hijau di Provinsi Jambi.
Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019


Kemitraan multi-stakeholder mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pertumbuhan ekonomi

hijau
di Provinsi Jambi. Berbagai insiatif telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jambi melalui

program pembangunan daerah yang tetap menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi

dan sosial dengan kelestarian lingkungan. Stakeholder non-pemerintah, seperti perguruan tinggi dan

CSO,
juga turut berpartisipasi melalui inisiatif-inisiatif, baik berupa advokasi untuk kebijakan

pemerintah maupun aksi-aksi yang langsung dilakukan di tingkat tapak. Koordinasi multi-stakeholder

terjalin
dalam rangka pelaksanaan program pemerintah daerah dan inisiatif stakeholder non-
pemerintah. Terkait dengan hal tersebut, pola kemitraan yang terbentuk di Provinsi Jambi memiliki

kekuatan dalam hal saling mendukung dan saling mendampingi antara pemerintah daerah dan

multi-stakeholder untuk mengusung pertumbuhan ekonomi hijau di Provinsi Jambi.










Gambar 29 Pola Kemitraan dalam Mengusung Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Jambi
Gambar 29 Pola Kemitraan dalam Mengusung Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Jambi

54
54
54



Studi
Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019



Gambar 29 Pola Kemitraan dalam Mengusung Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Provinsi Jambi

54


Sumber: Hasil Analisis Tim Green Development Kemitraan, 2019

4.2.2 Tantangan Pembangunan Hijau Provinsi Jambi
A. Aspek Pembangunan Hijau dalam Kelestarian Ekologi
Pada aspek ekologi, masalah krusial yang dihadapi Provinsi Jambi adalah perluasan investasi berbasis
lahan yang ekspansif dan adanya tumpang tindih izin lahan. Potensi sumber daya alam Provinsi
Jambi yang melimpah membuat daerah ini menjadi salah satu sasaran untuk investasi berbasis
lahan. Akibatnya, sebagian wilayah Provinsi Jambi sudah dimiliki oleh sektor swasta untuk
dieksploitasi sumber daya alamnya. Penguasaan lahan sebagian besar untuk Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI), konsesi perkebunan kelapa sawit,
serta konsesi pertambangan dan migas. Berdasarkan hasil analisis spasial, Gambar 30 menunjukan
terdapat dua atau tiga konsesi lahan yang tumpang tindih. Dua konsesi yang tumpang tindih
sebagian besar terjadi pada wilayah konsesi pertambangan dan migas, dimana tumpang tindih
dengan konsesi perkebunan kelapa sawit sekitar 200 ribu Ha dan dengan IUPHHK-HTI sekitar 340
ribu Ha. Sementara itu, luasan tumpang tindih lahan antara IUPHHK-HTI, konsesi kelapa sawit dan
konsesi pertambangan dan migas sekitar 3.000 Ha. Risiko lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan
berbasis lahan tersebut merupakan tantangan bagi Pemerintah Provinsi Jambi dalam pelaksanaan
pembangunan ekonomi hijau.
Penguasaan lahan oleh sektor swasta tersebut diantaranya dapat memberikan dampak bagi
penyediaan pangan di Provinsi Jambi. Berdasarkan hasil KLHS RPJMD Provinsi Jambi (2018), daya
dukung lahan untuk penyediaan pangan tinggi diantaranya terletak di Kabupaten Batang Hari,
Sarolangun, Tanjung Jabung Barat, Tebo, Merangin, dan Muaro Jambi. Hasil pemetaan
memperlihatkan sebagian kategori wilayah tersebut terletak pada lahan konsesi. Keberadaan lahan
konsesi pada wilayah dengan daya dukung lahan untuk penyediaan pangan tinggi menyebabkan
wilayah ini tidak dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pangan Provinsi
Jambi. Lahan yang berpotensi untuk ditanami berbagai jenis tanaman pangan tidak dapat
dimanfaatkan karena telah ditanami tanaman monokultur yaitu kelapa sawit dan akasia, serta
terdapat kegiatan pengerukan tambang.
Gambar 30 Tumpang Tindih Izin Lahan di Provinsi Jambi 55

55
konsesi pada wilayah dengan daya dukung lahan untuk penyediaan pangan tinggi menyebabkan
wilayah ini tidak
Kesenjangan dapat dimanfaatkan
Dalam Perencanaan secara optimal untuk
Nasional Danmemenuhi
Daerah kebutuhan pangan Provinsi
2019
Jambi. Lahan yang berpotensi untuk ditanami berbagai jenis tanaman pangan tidak dapat
dimanfaatkan karena telah ditanami tanaman monokultur yaitu kelapa sawit dan akasia, serta
terdapat kegiatan pengerukan tambang.

Gambar 30 Tumpang Tindih Izin Lahan di Provinsi Jambi

55


Sumber: Kementerian LHK, 2018; GFW, 2019; RTRW Provinsi Jambi 2033 (Diolah), 2019
Daya dukung lahan untuk penyediaan air Provinsi Jambi didominasi dengan kategori rendah dan
sangat rendah. Berdasarkan hasil KLHS RPJMD Provinsi Jambi (2018), daya dukung lahan untuk
penyediaan air dengan kategori tersebut antara lain terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur,
Tanjung Jabung Barat, Sarolangun, Muaro Jambi dan Kota Jambi. Kegiatan konsesi di wilayah ini
semakin mengurangi kapasitas atau kemampuan lahan untuk penyediaan air dari tanah (termasuk
kapasitas penyimpanannya) dan penyediaan air dari sumber permukaan. Potensi dampak yang dapat
terjadi dalam jangka panjang adalah terjadinya krisis air bersih di Provinsi Jambi. Oleh karena itu,
pelaksanaan pembangunan ekonomi hijau di Provinsi Jambi harus disertai dengan peningkatan
daerah resapan air guna memperbaiki kualitas daya dukung lahan untuk penyediaan air.
Tantangan ekologi lainnya yang harus dihadapi Pemerintah Provinsi Jambi adalah komitmen dalam
memperjuangkan lahan-lahan yang potensial untuk dijadikan kawasan hutan. Tutupan hutan yang
tersisa saat ini sekitar 21,46% dari luas wilayah Provinsi Jambi. Oleh karena itu, political will dan
komitmen yang kuat dari pemimpin daerah sangat diperlukan dalam peningkatan tutupan hutan
untuk kelestarian ekologi di Provinsi Jambi. Hal ini dapat memberikan dampak positif terhadap
keseimbangan ekosistem yang dapat mendukung perwujudan pembangunan berkelanjutan.
Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang juga terjadi di Provinsi Jambi. Jambi Integrated City, sebuah
kota mandiri berbasis industri seluas 2.000 Ha di daerah Kemingking (Kabupaten Muaro Jambi),
sedang dikembangkan untuk mendukung hilirisasi industri yang di dalamnya saling terintegrasi
antara industri, pergudangan, perumahan, dan pelabuhan. Kawasan ini dikelola oleh PT Jambi
Kemingking Ecopark yang telah menerima Nomor Induk Berusaha (NIB) serta izin lokasi, izin
lingkungan, komersial/operasional, dan izin usaha kawasan industri melalui sistem perizinan Online
Single Submission (OSS) pada tahun 2018. Meskipun demikian, lokasi kawasan ini tidak sesuai
peruntukan tata ruang, baik berdasarkan RTRW Provinsi Jambi maupun RTRW Kabupaten Muaro
Jambi. Selain melanggar tata ruang, hal ini juga mengindikasikan bahwa pengembangan kawasan
tersebut tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Pemerintah daerah dan
pusat perlu saling berkoordinasi untuk menindaklanjuti ketidaksesuaian pemanfaatan ruang ini.
B. Aspek Pembangunan Hijau dalam Pembangunan Ekonomi
56
56


Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur
2019
Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan dalam RPJMN untuk menargetkan pertumbuhan
ekonomi di setiap provinsi. Tingginya potensi sumber daya alam pada sektor berbasis lahan dan
ekstraktif di Provinsi Jambi membuat target pertumbuhan ekonomi di daerah ini cukup tinggi yaitu
hampir mencapai 9% pada tahun 2019. Target pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini tidak disertai
dengan alternatif kebijakan untuk menghadapi guncangan yang dapat mengancam perekonomian
Provinsi Jambi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi menurun signifikan karena adanya
guncangan ekonomi dan alam di tahun 2015.
Di sisi lain, target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah pusat juga belum
mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan di Provinsi Jambi. Hal ini dapat
terlihat dari eksploitasi sektor berbasis lahan dan ekstraktif yang diandalkan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jambi mengakibatkan banyaknya masalah lingkungan yang pada
akhirnya mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Pemerintah pusat perlu memetik
pembelajaran dari pelaksanaan dan pemenuhan target RPJMN sebelumnya, sehingga pada RPJMN
periode 2020-2024 seharusnya tidak lagi terjadi penetapan target pertumbuhan ekonomi yang tidak
memperhatikan kondisi daerah.
Pembangunan ekonomi yang diarahkan dalam RPJMN menjadi tantangan Pemerintah Provinsi Jambi
dalam pelaksanaan pertumbuhan ekonomi hijau. Pemerintah Provinsi Jambi perlu mendefinisikan
secara detail pertumbuhan ekonomi hijau dan mendapatkan dukungan dari para pemangku
kepentingan. Pengembangan secara lebih lanjut terkait prinsip dan strategi pertumbuhan ekonomi
hijau yang sesuai dengan karakteristik Provinsi Jambi menjadi sangat penting untuk dilakukan
Pemerintah Provinsi Jambi.
C. Aspek Pembangunan Hijau dalam Kesejahteraan Sosial
Berdasarkan temuan dalam kajian ini, tantangan pengelolaan pembangunan hijau pada aspek sosial
merupakan dampak turunan dari masalah lingkungan dan ekonomi yang ditimbulkan oleh sektor
andalan Provinsi Jambi. Jika dilihat dari struktur perekonomian Provinsi Jambi tahun 2017, kontribusi
sektor pertanian (termasuk perkebunan), kehutanan, dan perikanan sebesar 29,41%, sedangkan
sektor pertambangan dan penggalian sebesar 17,66% (BPS, 2018). Penguasaan atau kepemilikan
lahan untuk dimanfaatkan sektor-sektor ekstraktif tersebut juga semakin ekspansif. Namun,
pertumbuhan ekonomi yang didorong dari sektor-sektor ekstraktif tersebut apakah sepadan dengan
penurunan kemiskinan menjadi penting untuk dicermati. Pada periode 2012-2016, persentase
penduduk miskin di perkotaan lebih besar daripada pedesaan, namun jika dilihat dari jumlahnya
maka penduduk miskin di pedesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan.









Gambar 31 Persentase Penduduk Miskin Perkotaan dan Pedesaan Provinsi Jambi Tahun 2012-2016

57
57


Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019


Gambar 31 Persentase Penduduk Miskin Perkotaan dan Pedesaan Provinsi Jambi Tahun 2012-2016

57


Sumber: BPS, 2017
Sumber: BPS, 2017
Kabupaten/kota
Kabupaten/kota yang
yang tingkat
tingkat kemiskinannya
kemiskinannya di
di atas
atas tingkat
tingkat kemiskinan
kemiskinan Provinsi
Provinsi Jambi
Jambi adalah
adalah
Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten
Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten
Tanjung Jabung Barat dan Kota Jambi selama tahun 2012-2016 (BPS, 2017). Kondisi kemiskinan pada
Tanjung Jabung Barat dan Kota Jambi selama tahun 2012-2016 (BPS, 2017). Kondisi kemiskinan pada
kabupaten-kabupaten tersebut berhubungan dengan nilai tukar petani yang masih rendah sehingga
kabupaten-kabupaten tersebut berhubungan dengan nilai tukar petani yang masih rendah sehingga
kesejahteraan petani belum membaik. Sedangkan untuk wilayah Kota Jambi, kondisi kemiskinan ini
kesejahteraan petani belum membaik. Sedangkan untuk wilayah Kota Jambi, kondisi kemiskinan ini
berhubungan dengan harga sejumlah komoditas dan inflasi.
berhubungan dengan harga sejumlah komoditas dan inflasi.
Masalah sosial lainnya akibat ekspansi lahan sektor-sektor ekstraktif adalah banyak aset lahan petani
Masalah sosial lainnya akibat ekspansi lahan sektor-sektor ekstraktif adalah banyak aset lahan petani
yang
yang beralih
beralih fungsi
fungsi untuk
untuk dijadikan
dijadikan perkebunan
perkebunan skala
skala besar
besar sehingga
sehingga mengakibatkan
mengakibatkan petani
petani
kehilangan mata pencahariannya dan di masa depan budaya bertani akan semakin menurun. Kondisi
kehilangan mata pencahariannya dan di masa depan budaya bertani akan semakin menurun. Kondisi
tersebut juga mengancam ruang hidup masyarakat adat di kawasan hutan adat sehingga seringkali
tersebut juga mengancam ruang hidup masyarakat adat di kawasan hutan adat sehingga seringkali
terjadi konflik keruangan dan sosial. Di sisi lain, masalah lingkungan yang muncul dari sektor-sektor
terjadi konflik keruangan dan sosial. Di sisi lain, masalah lingkungan yang muncul dari sektor-sektor
ekstraktif juga dapat mempengaruhi penurunan kesehatan masyarakat, sedangkan biaya sosial dari
ekstraktif juga dapat mempengaruhi penurunan kesehatan masyarakat, sedangkan biaya sosial dari
masalah ini ditanggung oleh masyarakat.
masalah ini ditanggung oleh masyarakat.

Box
Box 9
9 Best Practice: SK
Best Practice: SK Bupati
Bupati Merangin
Merangin dan
dan Bupati
Bupati Bungo
Bungo di
di Provinsi
Provinsi Jambi
Jambi tentang
tentang
Pengakuan Hutan Adat
Pengakuan Hutan Adat
Sebelum dikeluarkannya keputusan MK No. 35 Tahun 2012 mengenai Hukum Adat, Warsi bersama
Sebelum dikeluarkannya keputusan MK No. 35 Tahun 2012 mengenai Hukum Adat, Warsi bersama
dengan pemerintah dearah telah memiliki program yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan
dengan pemerintah dearah telah memiliki program yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan
hutan adat dan pengelolaan hutan adat yang lebih baik. Pengelolaan hutan adat di Jambi dilakukan
hutan adat dan pengelolaan hutan adat yang lebih baik. Pengelolaan hutan adat di Jambi dilakukan
berdasarkan nilai-nilai kearifan adat. Saat itu kewenangan pengelolaan kawasan hutan belum diakui
berdasarkan nilai-nilai kearifan adat. Saat itu kewenangan pengelolaan kawasan hutan belum diakui
oleh negara. Melalui pendampingan Warsi, dikeluarkanlah SK Bupati yang bertujuan untuk menjaga
oleh negara. Melalui pendampingan Warsi, dikeluarkanlah SK Bupati yang bertujuan untuk menjaga
hutan adat antara lain: (1) SK Bupati Bungo No. 1249 Tahun 2002 Tentang Hutan Adat Dusun Batu
hutan adat antara lain: (1) SK Bupati Bungo No. 1249 Tahun 2002 Tentang Hutan Adat Dusun Batu
Kerbau; (2) SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 Tentang Hutan Adat Desa Guguk; dan (3) SK
Kerbau; (2) SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 Tentang Hutan Adat Desa Guguk; dan (3) SK
Bupati Merangin No. 36 Tahun 2006 Tentang Pengakuan Hutan Adat Desa Batang Kibul. Program ini
Bupati Merangin No. 36 Tahun 2006 Tentang Pengakuan Hutan Adat Desa Batang Kibul. Program ini
mendorong pemerintah dalam menghasilkan kebijakan yang memberi ruang partisipasi pada
mendorong pemerintah dalam menghasilkan kebijakan yang memberi ruang partisipasi pada
masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan SDA secara berkelanjutan, berkeadilan dan
masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan SDA secara berkelanjutan, berkeadilan dan
mensejahterakan masyarakat lokal.
mensejahterakan masyarakat lokal.










58

58
58
Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Ketimpangan pendapatan sebagai pengaruh dari pembangunan ekonomi juga perlu diperhatikan
pemerintah, dan kondisi ini dapat dilihat dari indeks gini. Nilai indeks gini Provinsi Jambi selama
periode 2012-2016 relatif rendah dengan rata-rata 0,34 per tahun dan selalu di bawah nilai indeks
gini nasional (lihat Gambar 32). Meskipun termasuk kategori ketimpangan rendah, seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jambi, Pemerintah Provinsi Jambi perlu terus
berupaya untuk menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan tersebut. Pada tahun 2015, nilai
indeks gini meningkat dari tahun sebelumnya. Artinya, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi yang
mengalami penurunan drastis berpengaruh pada meningkatnya ketimpangan pendapatan.
Gambar 32 Indeks Gini Provinsi Jambi Tahun 2012-2016


Sumber: BPS (Diolah), 2017

















59
59

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019



5. Kesimpulan dan Rekomendasi
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kajian ini menemukan bahwa dokumen RPJMN 2020-2024 dapat dianggap sebagai momentum atas
komitmen negara untuk mengimplementasikan pengelolaan pembangunan hijau di Indonesia,
dengan menetapkan pembangunan lingkungan hidup sebagai salah satu tujuan pembangunan.
Upaya ini semakin kuat dengan adanya komitmen untuk mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca
sebagaimana disampaikan melalui ratifikasi Perjanjian Paris, NDC Indonesia, serta komitmen untuk
pencapaian TPB.
Guna memastikan implementasi pembangunan berkelanjutan untuk memastikan pertumbuhan
ekonomi dan pemeretaan kesejahteraan sosial dapat berjalan seimbang, maka pemerintah
sebaiknya perlu mendorong beberapa hal sebagai berikut:
1. Pembangunan Hijau dapat direplikasikan dalam setiap perencanaan pembangunan daerah di
seluruh Indonesia.
Dokumen RPJMN 2020-2024 merupakan terobosan penting dalam implementasi pembangunan
hijau di Indonesia. RPJMN 2020-2024 merupakan modal dasar dalam mendorong pembangunan
hijau di Indonesia karena menempatkan upaya untuk membangun lingkungan hidup,
meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim sebagai salah satu tujuan
pembangunan nasional. Replikasi komitmen pembangunan hijau di tingkat daerah akan
memberikan dampak lebih luas terhadap pengelolaan keberlanjutan pembangunan yang
berkualitas di Indonesia. Berikut ini adalah rekomendasi untuk pemerintah pusat dan daerah:
a. Pemerintah Pusat
i. Kementerian Dalam Negeri memberikan bimbingan teknis kepada daerah untuk
penyusunan dokumen perencanaan pembangunan yang berbasiskan pembangunan
hijau.
ii. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menyusun pedoman teknis
dokumen perencanaan pembangunan di daerah yang berbasis pembangunan hijau
sesuai dengan RPJMN 2020 – 2024.
b. Pemerintah Daerah
i. Bagi pemerintah daerah yang telah melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah untuk
periode tahun 2019-2023 agar menyesuaikan dokumen perencanaannya dengan
RPJMN 2020-2024.
ii. Bagi pemerintah daerah yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah untuk
periode 2021-2025 agar menyusun dokumen perencanaan yang sejalan dengan
RPJMN 2020-2024.
2. Peningkatan dan penguatan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi para aktor
pembangunan dalam perencanaan pembangunan.
Terkait dengan hal ini, perlu dipastikan partisipasi dan keterlibatan pemangku kepentingan
dalam setiap proses perencanaan dan penyusunan instrumen kebijakan. Praktik saat ini lebih
banyak melakukan konsultasi publik di akhir kegiatan dengan semangat sosialisasi dan bukan
untuk mendapatkan masukan dalam proses dan substansi kebijakan. Dalam konteks penetapan
PSN pada dokumen RTRWN, harus tetap mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 dengan
mendorong keterlibatan stakeholder secara bottom-up (kabupaten/kota, provinsi hingga
nasional).
a. Pemerintah Pusat mendorong proses penetapan PSN dalam periode RPJMN 2020-2024
secara bottom-up dengan mengakomodir kepentingan daerah yang tertuang dalam RTRW
Daerah.

60

60

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

i. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menyusun Petunjuk


Pelaksanaan dan Teknis pedoman penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi,
kabupaten dan kota yang mendorong sinergi dengan penetapan PSN dari pusat.
ii. Kementerian Dalam Negeri memfasilitasi pendampingan teknis perubahan RTRW
untuk mendorong sinkronisasi penetapan PSN dari pusat dengan kebutuhan daerah.
b. Pemerintah Daerah memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyusunan
RTRW dan/atau perubahannya, serta memastikan peningkatan kapasitas perangkat daerah
dalam menyusun RTRW.
3. Proses koordinasi antara Kementerian dan Lembaga dalam pertimbangan dan pemberian izin
investasi berbasis lahan harus lebih ditingkatkan.
Proses pemberian izin pada sektor sumber daya alam memicu celah manipulasi yang
memungkinkan adanya praktik-praktik koruptif dan oportunistik. Oleh karena itu, Pemerintah
Pusat perlu:
a. Memperkuat koordinasi antar lintas sektor terkait untuk menghindari tumpang tindih
perizinan.
b. Merealisasikan penggunaan satu data dan satu peta yang terintegrasi dalam pemberian
izin investasi berbasis lahan.
4. Mendorong efektifitas KLHS sebagai instrumen pengendali kelestarian ekologi dengan
menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan
Saat ini, regulasi terkait KLHS untuk penyusunan dan evaluasi KRP ada dalam Peraturan Menteri
LHK No. 69/2017 dan Permendagri No. 7/2018. Pada praktiknya, penyusunan KLHS RPJMD yang
dilakukan pemerintah daerah lebih mengacu pada Permendagri No. 7/2018 sehingga peran
muatan kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam menganalisis dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup yang ditimbulkan KRP menjadi terbatas karena lebih fokus
pada pencapaian TPB. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat perlu:
a. Melakukan peninjauan kembali terhadap kedua regulasi terkait penyusunan KLHS.
b. Menyusun regulasi bersama yang mengintegrasikan pencapaian TPB serta menjaga daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
penerapan KLHS di daerah.
5. Mendorong kehadiran variasi skema instrumen kebijakan berbasis fiskal maupun non-fiskal
melalui:
a. Kementerian Keuangan agar dapat memperluas skema pemberian insentif kepada
daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa yang memiliki kinerja baik dalam pengelolaan
ekologi (Ecological Fiscal Transfer/EFT). Perluasan skema ini dapat dilakukan dengan
melibatkan setiap tingkatan Pemerintah Daerah (Provinsi pada Kabupaten/Kota dan
Kabupaten/Kota pada Desa/Kelurahan).
b. Kementerian Koordinator Perekonomian dalam jangka pendek agar dapat mendorong
optimalisasi BPDLH melalui pembangunan beberapa jendela baru untuk memperluas
inisiatif maupun cakupan sektor dalam menjalankan mandat BPDLH dalam
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan pemulihan
lingkungan hidup.

61
61

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

62
Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

DAFTAR PUSTAKA


Acemoglu, D., & Robinson, J. A. 2012. Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and
Poverty. New York: Crown.
Adamopoulus, T. 2008. Land Inequality and the Transition to Modern Growth. Review of Economic
Dynamics, 11 (2), 257-282.
Ahrens, J. 2002. Governance and Economic Development: A Comparative Institutional Approach.
Cheltenham: Edward Elgar Publishing
Adams, W. M. 2009. Green Development: Environment and Sustainability in a Developing World. 3rd
Edition, Routledge, London.
Aiginger, K. 2014. Industrial Policy for A Sustainable Growth Path. WIFO Working Papers.
Anbumozhi, V., & Bauer, A. 2010. Impact of Global Recession on Sustainable and Poverty Linkages.
ADBI Working Paper 227. Tokyo: Asian Development Bank.
Anti Corruption Clearing House. 2018. Gerakan Nasional Penyelamatan SDA Indonesia Sektor
Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. https://acch.kpk.go.id/gn-sda
Bappeda Provinsi Jambi. 2011. Kajian Lingkungan Hidup Strategis RTRW Provinsi Jambi Tahun 2011-
2031. Jambi: Bappeda Provinsi Jambi.
Bappeda Provinsi Jambi. 2018. Kajian Lingkungan Hidup Strategis RPJMD Provinsi Jambi Tahun 2016-
2021. Jambi: Bappeda Provinsi Jambi.
Bappeda Provinsi Kalimantan Timur. 2019. Kajian Lingkungan Hidup Strategis RPJMD Provinsi
Kalimantan Timur Tahun 2018-2023. Samarinda: Bappeda Provinsi Kalimantan Timur.
Bappenas. 2019. Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-
2024. Jakarta: BAPPENAS.
Bank Indonesia, 2018. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Timur Februari
2018. www.bi.go.id
Bueno de Mesquita, E., 2016. Political Economy for Public Policy. Princeton University Press.
BPS. 2016. Statistik Pertambangan Non Minyak & Gas Bumi. Jakarta: BPS.
Choong, J., K. Abeysuriya, L. Hidayat, H. Sulistio, J.R. Willetts. 2016. Strengthening Local Governance
Arrangements for Sanitation: Case Studies of Small Cities in Indonesia. Aquatic Prcedia, 6, 64-
73.
CNN Indonesia. 2018. BPS Sebut Luas Lahan Pertanian kian Menurun. www.cnnindonesia.com .
diakses pada 28 Oktober 2019.
Duke, J. M. 2004. Participation in agricultural land preservation programs: parcel quality and a
complex policy environment. Agricultural and Resource Economics Review, 33 (1), 34-49.
Dunn, W. N. 2000. Pengantar Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Easterly, W. 2002. What did Structural Adjustment Adjust? The Association of Policies and Growth
with Repeated IMF and World Bank Adjustment Loans. Working Papers 11, Center for Global
Development.
Ekins, P. 1993. Limits to growth and sustainable development: Grappling with ecological realities.
Ecological Economics, 8, 269-288.

62 63

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

Gaveau, D. L. A. et.al. 2017. Rapid Conversions and Avoided Deforestation: Examining four Decades
of Industrial Plantation Expansion in Borneo. Scientific Reports. Doi: 10.1038/srep32017.
Howlett, M. 1991. Policy Instruments, Policy Styles, and Policy Implementation: National Approaches
to Theories of Instrument Choices. Policy Studies Journal, 19(2), 1-21.
IICTF. 2019. Tentang Low Carbon Development Indonesia (LCDI). Jakarta
Kemitraan. 2017. Seeing the Unseen Narrative for Rural Economic Development. Jakarta: The
Partnership for Governance Reform.
Kemitraan. 2018. Satu Indonesia: Strategi Pembangunan Berkelanjutan, Adil, dan Mandiri. Jakarta:
The Partnership for Governance Reform.
Kemitraan. 2019. Memberikan Harga Pada Karbon: catatan ringkas tentang potensi pasar karbon
domestik. Jakarta: The Partnership for Governance Reform.
Kementerian Pertanian, BIG, LAPAN & KPK LAPAN (2019). Tutupan Sawit di Indonesia: Analisis Citra
Satelit 2014-2016.
Kementerian Pertanian. 2018. Rancangan Strategis Pertanian tahun 2015 -2019. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Indeks Kualitas Lingkugan Hidup Indonesia
2017. Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Kementerian Sumber Daya Alam dan Energi. 2019. Produksi Batu Bara Indonesia Tahun 2014- 2018.
Jakarta
KPK. 2018a. Presentasi KPK: Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan. Direktorat Penelitian dan
Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta.
KPK. 2018b. Nota Sintesis: Evaluasi Gerakan Nasional Penyelematan Sumber Daya Alam. Jakarta:
Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK.
Krishna, V., Euler, M., Siregar, H., & Qaim, M. 2017. Differential livelihood impacts of oil palm
expansion in Indonesia. Agricultural Economics, 48 (5), 639-653.
Kolstad, Charles D. & Toman, Michael. 2005. The Economics of Climate Policy. Handbook of
Environmental Economics. (3), 1561-1618.
Lee, J. S. H., Abood, S., Ghazoul, J., Barus, B., Obidzinsky, K., & Koh, L. P. 2014. Environmental
Impacts of Large scale Oil-Palm Enterprises Exceed that of Smallholding in Indonesia.
Conservation Letter, 7 (11), 25-33.
Nordhaus, W. 1994. Policy games: Coordination and Independece in Monetary and Fiscal Policies.
Brookings Papers on Economic Activity, 25 (2), 139-216.
Olstrom, E., Gardner, R., & Walker, J. 1994. Rules, Games, and Common-Pool Resources. Ann Arbor,
MI: University of Michigan Press.
Resosudarmo, B. 2012. Implementing a National Environmental Policy: Understanding the ‘Success’
of the 1989-1999 Integrated Pest Management Programme in Indonesia. Singapore Journal of
Tropical Geography, Vol 33, 365-380.
Rodrik, D., Subramanian, A., & Trebbi, F. 2002. Institutions Rule: The Primacy of Institutions Over
Integration and Geography in Economic Development. IMF Working Papers.
Saputra, M. H., & Lee, H. S. 2019. Prediction of Land Use and Land Cover Changes for North
Sumatera, Indonesia, Using an Artificial-Neural-Network-Based Cellular Automaton.
Sustainability, 11, 1-16.
Schwab, K. 2019. Ending Short Termism By Keeping Score. https://www.project-
syndicate.org/commentary/scorecard-to-end-short-termism-by-klaus-schwab-2019-10.
64
63

Studi Kasus: Provinsi Jambi dan Provinsi Kalimantan Timur 2019

Septiani, M. 2019. Emisi Gas Rumah Kaca dari Produksi Biodiesel. Diakses di:
https://tractionenergy.asia/emisi-gas-rumah-kaca/ (pada 6 November 2019).
Warr, P. 2011. Food Security vs. Food Self-Sufficiency: The Indonesian Case. Working Papers in Trade
and Development, No. 2011/04.
WCED. (1987). Our common future. London: Oxford University Press.

Peraturan Perundangan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 Tentang Ratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan.
Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria.
Instruksi Presiden Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta
Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2012 Tentang Pedoman Teknis,
Kriteria dan Persayaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.69/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2017
Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pembuatan dan Pelaksanaan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah.
Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah Provinsi Jambi 2005-2025.

64
65

Kesenjangan Dalam Perencanaan Nasional Dan Daerah 2019

Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jambi Tahun 2013-2033.
Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Provinsi Jambi Tahun 2016-2021.
Peraturan Daerah Provinsi Jambi No. 3 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah
Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Provinsi Jambi Tahun 2016-2021.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 15 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2005-2025.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 01 Tahun 2016 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016-2036.

66
65

© 2019

Partnership for Governance Reform


Jl. Taman Margasatwa 26C Ragunan, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12550

+62 21 2278 0580


info@kemitraan.or.id
KemitraanID
@kemitraan_ind
@kemitraan_ind
www.kemitraan.or.id

Anda mungkin juga menyukai