Anda di halaman 1dari 29

KERTAS KEBIJAKAN

TRANSFER FISKAL
BERBASIS EKOLOGI
DI INDONESIA
Dana Insentif Daerah (DID),
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
dan Dana Desa (DD)
KERTAS KEBIJAKAN

TRANSFER FISKAL
BERBASIS EKOLOGI
DI INDONESIA
Dana Insentif Daerah (DID),
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
dan Dana Desa (DD)

Wiko Saputra
Alin Halimatussadiah
Joko Tri Haryanto
Fitri Nurfatriani
Mimi Salminah

Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia


Jl. Taman Margasatwa No. 26C, Ragunan - Pasar Minggu,
Jakarta Selatan, Indonesia
Telp. (021) 22780580
Fax. (021) 7812325
http://www.kemitraan.or.id

Di dukung Oleh

USAID Bangun Indonesia untuk Jaga Alam Demi Keberlanjutan (BIJAK)


AIA Central, level 41, Jl. Jend. Sudirman Kav 48-A Karet Semanggi
Jakarta Selatan 12930, DKI Jakarta – Indonesia.
Telp (021) 2253 5830

Jakarta, Agustus 2020

Ilustrasi sampul : Darusman

Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan
tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
UCAPAN TERIMA KASIH

D
okumen ini memberikan panduan kebijakan bagi pemerintah dalam
pengembangan kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi (ecological fiscal
transfer) di Indonesia. Kami menawarkan beberapa konsep, yaitu Dana Insentif
Daerah (DID), Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan
Dana Desa (DD).

Dokumen ini dikerjakan secara kolaboratif dengan melibatkan multidisiplin ilmu dan
multipihak. Kolaborasi tersebut terdiri dari aktivis NGO, peneliti, akademisi dan birokrasi.
Dengan kerja kolaborasi ini, rekomendasi yang ditawarkan bisa aplikatif dan mudah
dipahami oleh pengambil kebijakan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan
dokumen ini, seperti USAID-BIJAK, Kemitraan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB-UI), Badan
Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian
Keuangan, Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
(PPMD) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Terima kasih juga kepada para reviewer yang telah memberikan masukan terhadap
dokumen ini, seperti Prof Ahmad Erani Yustika (Universitas Brawijaya), Riatu Mariatul
Qibthiyyah, Phd (Kepala LPEM FEB-UI), dan Khoirunurrofik Phd (Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI). Serta semua pihak yang telah memberikan masukannya dalam konsultasi publik,
yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.

Semoga dokumen ini memberikan kontribusi terhadap kebijakan pemerintah,


terutama dalam tata kelola pembangunan rendah karbon dan pencapaian target SDGs.
Kami juga berharap, dokumen ini menambah wacana pengembangan keilmuan dalam
bidang transfer fiskal berbasis ekologi, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di mancanegara.

ii
DAFTAR ISI

KERTAS KEBIJAKAN TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI DI INDONESIA ............................ 1


1. Latar Belakang......................................................................................................................................................................................... 1
2. Tujuan Penyusunan Kertas Kebijakan ................................................................................................................................. 3
3. Konsep Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi .................................................................................................. 3
4. Pentingnya Transfer Fiskal Berbasis Ekologi .................................................................................................................. 5
5. Skema Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi.................................................................................................... 7
6. Arah Pengembangan Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi .............................................................. 12
6.1. Memperkuat Kapasitas Dan Kapabilitas Daerah Dalam Pelestarian
Keanekaragaman Hayati Dan Lingkungan Hidup ........................................................................................ 12
6.2. Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi Menjadi Pondasi Dalam Membangun
Mekanisme Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah
Daerah Dalam Pelestarian Keanekaragaman Hayati Dan Lingkungan Hidup .................... 13
6.3. Mendukung Agenda Internasional Dan Nasional Dalam Penanggulangan
Perubahan Iklim Dan Pencapaian Target SDGs ............................................................................................. 14
6.4. Mengurangi Ketimpangan Alokasi Dan Kapasitas Fiskal Antar Daerah..................................... 14
6.5. Mendukung Program Pemerintah Dalam Penanggulangan Kemiskinan
Dan Ketimpangan .................................................................................................................................................................... 15
7. Strategi Pengembangan Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi ...................................................... 15
7.1. Memperkuat Regulasi Terkait Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi
Sebagai Dasar Dalam Merumuskan Kebijakan Dan Pelaksanaannya ......................................... 15
7.2. Mengintegrasikan Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi Dalam Mekanisme
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah ........................... 16
7.3. Mengembangkan Indikator-Indikator Ekologi Yang Relevan Dijadikan Instrumen
Dalam Reformulasi Transfer Fiskal Berbasis Ekologi, Yang Responsif Terhadap
Kebutuhan Daerah................................................................................................................................................................... 16
7.4. Membangun Sistem Dan Tata Laksana Dari Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis
Ekologi Agar Dalam Implementasinya Bisa Lebih Kredibel, Efektif, Akuntabel
Dan Tepat Sasaran .................................................................................................................................................................... 17
8. Kebijakan Transfer Fiskal Fiskal Berbasis Ekologi ....................................................................................................... 18
8.1. Kebijakan Umum ...................................................................................................................................................................... 18
8.2. Kebijakan Khusus ...................................................................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................................. 21

iii
KERTAS KEBIJAKAN

TRANSFER FISKAL
BERBASIS EKOLOGI
DI INDONESIA
Dana Insentif Daerah (DID), Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Dana Desa (DD)

1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara dengan mega biodiversitas memiliki tantangan dalam
menjaga dan melestarikan sumber keanekaragaman hayati, termasuk sumber daya
alamnya. Oleh karena itu, diperlukan desain pembangunan yang mampu memanfaatkan
nilai tambah sumber daya alam (SDA), sekaligus menjaga kelestarian sumber
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Bila hal tersebut tidak dilakukan, Indonesia
berisiko mengalami jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap),
karena tidak mampu mengelola sumber daya alamnya dengan baik untuk kesejahteraan.

Dampak penurunan kualitas keanekaragaman hayati, deplesi SDA dan lingkungan


hidup akibat dari eksploitasi berlebihan dari sektor ekonomi menjadi risiko yang bisa
menghambat keberlanjutan pembangunan di Indonesia. Biaya yang ditanggung akibat
kerusakan keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup lebih besar dari manfaat ekonomi
dari pemanfaatan sumber daya alam itu sendiri (Saputra, 2019). Sehingga, kekayaan
keanekaragaman hayati dan SDA yang seharusnya menjadi modal pembangunan, justru
menjadi bencana, atau dalam istilah pembangunan disebut “kutukan sumber daya alam”
atau “natural resources-course”. Faktanya, negara yang sumber daya alamnya melimpah,
memiliki kinerja pembangunan ekonomi yang rendah dibanding negara yang sumber
daya alamnya minim (Venables, 2016).

Perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup harus


menjadi agenda utama pembangunan. Apalagi, di tengah ancaman perubahan iklim,
Indonesia merupakan salah satu negara yang berisiko tinggi terhadap ancaman tersebut.
Dampak perubahan iklim menyebabkan kepunahan dari terumbu karang (Yao & Somero,
2014; Hoegh-Guldberg et al, 2014), terjadinya krisis pangan (Mendelsohn, 2009), intensitas
bencana alam semakin tinggi (Ghazali et al, 2018; Philips et al, 2015), dan ancaman terhadap
risiko kesehatan masyarakat tinggi (Wirawan, 2010; Kurane, 2010; Mirski, Bartoszcze & Drozd,
2012; Smith et al. 2014). Semua itu, berisiko mengancam negara kepulauan tropis seperti
Indonesia.

Tantangan pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup tersebut


adalah pembiayaan. Kita masih menganut pradigma, pembiayaan untuk pelestarian

1
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup diangap sebagai beban, bukan
investasi. Paradigma tersebut salah, pembiayaan pelestarian keanekaragaman hayati
dan lingkungan adalah investasi yang mendatangkan manfaat (benefit) ekonomi baik
langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect), seperti peningkatan kesejahteraan
masyarakat, mengatasi persoalan emisi, menguranggi bencana alam, ketahanan pangan
dan sebagainya.

Dalam hal kebijakan pembangunan, inisiasi pembiayaan untuk pelestarian


keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup sudah mulai berkembang. Bahkan,
pemerintah sudah menginisiasi pembangunan rendah karbon dan instrumen ekonomi
lingkungan hidup (Nurfitriani, 2016). Beragam skema program dan pembiayaan sudah
dilakukan, baik berasal dari anggaran pemerintah, swasta maupun donor. Pemerintah
juga sudah membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang salah
satu tugasnya adalah mengelola dana untuk pelestarian lingkungan hidup.

Meski demikian, banyak instrumen pembiayaan yang sifatnya temporer dan


belum menjawab persoalan pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
secara berkelanjutan. Padahal, dengan berbagai persoalan keanekaragaman hayati dan
lingkungan hidup yang terjadi saat ini, Indonesia membutuhkan sumber pembiayaan yang
berkelanjutan dan tepat sasaran. Pemerintah punya kemampuan itu lewat kebijakan fiskal.

Kebijakan fiskal merupakan instrumen yang paling efektif dalam mendorong


pembiayaan pembangunan, termasuk untuk pelestarian keanekaragaman hayati dan
lingkungan hidup. Karena, setiap tahun, anggarannya ada dan kapasitasnya besar.
Selain itu, kebijakan fiskal tidak hanya berorientasi pada pembiayaan langsung, tapi
bisa digunakan untuk instrumen pengendalian kelestarian keanekaragaman hayati dan
lingkungan hidup lewat mekanisme insentif dan disinsentif. Misalnya, kebijakan pajak
terhadap emisi (carbon tax), pajak lingkungan (green tax), cukai plastik dan berbagai
instrumen lainnya.

Sejak 2001, Indonesia menganut sistem desentralisasi fiskal, yaitu model transfer
keuangan antar pemerintah (pemerintah pusat ke pemerintah daerah) dengan formulasi
yang disepakati. Konsep desentralisasi fiskal merupakan wujud dari money follow
function, yaitu pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah diiringi
dengan pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan atau pendanaan
(expenditure assignment, revenue assignment) (Bahl, 1998; Lewis, 2014; Lewis, 2015). Salah
satu kewenangan itu adalah dalam pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan
hidup.

Persoalannya, hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah


daerah belum berorientasi pada fungsi ekologi (pelestarian keanekaragaman hayati dan
lingkungan hidup). Skema kebijakan dan formulasi transfer fiskal antara pemerintah pusat
dan daerah belum banyak mengadopsi indikator ekologi. Malahan, cenderung bersifat
eksploitatif terhadap ekologi dan kurangnya prinsip keadilan dalam distribusi terhadap
daerah yang kaya fungsi ekologinya (Mumbunan, Ring & Lenk, 2012; Pradiptyo, Saputra et

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


2 DI INDONESIA
al, 2020). Sehingga, kerusakan ekologi semakin masif terjadi, meski tata kelolanya sudah
dekat pada objek persoalan, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah desa.

Perlu perbaikan dalam mekanisme kebijakan transfer fiskal. Kebutuhan kebijakan


transfer fiskal berbasis ekologi (ecological fiskal transfer) diperlukan dalam memperbaiki
sistem tata kelola ekologi dan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah termasuk pemerintah desa dalam pengelolaan keanekaragaman
hayati dan lingkungan hidup. Orientasinya, daerah yang kaya fungsi ekologi seharusnya
mendapatkan insentif berupa kapasitas fiskal yang memadai untuk mengelola dengan
baik fungsi ekologi tersebut dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, transfer fiskal
berbasis ekologi dibutuhkan menjadi instrumen penting dalam perbaikan tata kelola
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup.

2. Tujuan Penyusunan Kertas Kebijakan


Tujuan utama penyusunan kertas kebijakan ini adalah merancang cetak biru kebijakan
transfer fiskal berbasis ekologi di Indonesia. Sedangkan, tujuan khususnya adalah (1)
menganalisis skema kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi di Indonesia, (2) melakukan
reformulasi terhadap tiga instrumen transfer fiskal, yaitu Dana Insentif Daerah, Dana Alokasi
Khusus (DAK) Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dana Desa, (3) merancang
arah dan strategi kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi di Indonesia.

3. Konsep Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi


Dalam konsep sistem fiskal di negara federal atau yang menganut sistem desentralisasi,
pemerintah terus berupaya untuk mendekatkan sistem pelayanan publik pada level paling
rendah, yaitu kota/desa (municipal/villages) agar pelayanan publik tersebut lebih responsif
terhadap kebutuhan yang diinginkan masyarakat di tingkat kota/desa tersebut (Shah et
al, 2007; Ring, et al, 2011). Oleh karena itu, transfer fiskal antar daerah menjadi instrumen
penting untuk mendukung optimalisasi pelayanan publik (Oates, 1999). Selain itu, untuk
mendorong perbaikan dan keberlanjutan sistem pelayanan publik, diperlukan mekanisme
insentif bagi daerah yang mampu melakukan pelayanan publik yang lebih baik (Andersson
& Ostrom, 2008).

Saat ini, kerusakan keanekaragaman hayati menjadi isu yang menarik perhatian
publik. Ini dampak dari perubahan iklim yang berlangsung akibat pembangunan global
yang tidak terkendali dan eksploitatif. Sedangkan, di level nasional, banyak pendekatan
pembangunan, seperti kebijakan pembiayaan yang tidak efektif memberikan perlindungan
terhadap keanekaragaman hayati.

Seringkali pembiayaan untuk keanekaragaman hayati atau ekologi, termasuk


pelestarian hutan dirancang di level pemerintah pusat (Loft, Gebera dan Wong, 2016).
Kelemahan dari model ini adalah seringkali program dan pembiayaannya tidak sesuai
target yang diinginkan karena ada persoalan ketidakpahaman perumus program dan
pembiayaan dalam melihat masalah di tingkat tapak atau daerah.

KERTAS KEBIJAKAN 3
Sedangkan, di tingkat daerah, ruang pembiayaan yang terbatas dan orientasi
kebijakan yang bias terhadap keanekaragaman hayati, telah menimbulkan masalah
ekologi. Misalnya, sebuah daerah dengan luas kawasan konservasi yang luas justru
minim menerima transfer fiskal dari pemerintah pusat. Padahal, sumber pembiayaan
pembangunan terbesar di daerah tersebut adalah berasal dari pemerintah pusat. Oleh
karena itu, mereka sulit membagi alokasi anggaran untuk pembiayaan keanekaragaman
hayati tersebut (Irawan & Tacconi, 2016).

Kebutuhan yang besar terhadap pembiayaan keanekaragaman hayati di daerah—


terjadi karena eskalasi persoalan ekologis berada di tingkat tapak—seharusnya, diatasi
dengan melakukan sistem transfer fiskal oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah
berdasarkan pendekatan ekologis atau dikenal dengan transfer fiskal berbasis ekologis
(ecological fiskal transfer/EFT) (Loft, Gebera & Wong, 2016).

Transfer fiskal berbasis ekologi merupakan salah satu instrumen yang dapat
menghentikan hilangnya sumber keanekaragaman hayati (Droste, 2018). Instrumen ini juga
bisa menjadi insentif bagi kegiatan konservasi alam dengan skala yang besar jika banyak
negara menerapkannya (Grieg-Gran, 2000; Louireiro, 2002; May et al, 2002; Ring, 2008;
Young, 2005). Kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi harus di desain secara berkelanjutan
dengan mempertimbangkan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial dalam hubungan fiskal
antar pemerintah (Ring, 2002).

Pada prinsipnya, fiskal transfer berbasis ekologi adalah pengembangan dari fiskal
transfer yang lazim dilakukan oleh beberapa negara, terutama yang menganut sistem
federal dan desentralisasi (Ring, 2008). Fungsinya adalah bagaimana fungsi pelayanan
publik terhadap daerah-daerah yang memiliki fungsi ekologi yang baik dapat dilakukan
dengan optimal. Misalnya, pelayanan publik terhadap kawasan konservasi harus dilakukan
dengan baik agar fungsinya sebagai perlindungan keanekaragaman hayati bisa optimal
dan berkelanjutan serta meminimalkan eksternalitas. Sehingga, diperlukan formulasi dan
indikator ekologi dalam kebijakan transfer fiskal.

Transfer fiskal berbasis ekologi merupakan pengembangan dari skema transfer


fiskal antar pemerintah—pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dengan menambah
indikator ekologis dalam formulasi yang disepakati. Tujuannya adalah memberikan insentif
bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatan pelestarian keankeragaman
hayati, termasuk pelestarian hutan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar
kawasan hutan (Irawan, Tacconi & Ring, 2014; Ring, 2008).

Bila transfer fiskal pada umumnya hanya mengacu kepada indikator yang bersifat
umum, seperti luas wilayah dan jumlah penduduk, maka dalam EFT ditambahkan indikator
yang berbasis ekologis, seperti luas kawasan hutan, perlindungan terhadap lingkungan
dan sebagainya. Dengan indikator ini, daerah yang memiliki kawasan hutan yang luas atau
mampu memberikan perlindungan terhadap lingkungan akan mendapatkan insentif
dalam bentuk alokasi transfer fiskal yang lebih besar (Santos et al, 2015). Secara sederhana
model EFT dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


4 DI INDONESIA
Pelestarian
Kawasan Hutan
Indikator
Ekologis
Indikator Sosial Konservasi
Ekonomi Daerah Aliran
Ekologis Sungai
Indikator Sosial
Transfer Fiskal
Ekonomi
Berbasis
Ekologis
Indikator
Berdasarkan Luas Wilayah
Yurisdiksi

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Transfer Fiskal Berbasis Ekologis

4. Pentingnya Transfer Fiskal Berbasis Ekologi


Pertama, memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam pelestarian fungsi
ekologi dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan yang ada
saat ini, belum memberikan ruang yang besar bagi pemerintah daerah dalam mengelola
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup dengan baik. Ini implikasi dari minimnya
anggaran yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang kaya fungsi ekologi. Padahal, untuk
mengelola fungsi ekologi yang baik, dibutuhkan sumber pembiayaan dan insentif yang
tepat guna bagi kegiatan-kegiatan pelestarian ekologi. Oleh karena itu, transfer fiskal
berbasis ekologi penting dalam upaya meningkatkan kapasitas fiskal bagi pemerintah
daerah yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup yang baik,
yang bila dikelola dengan akuntabel dan transparan akan mampu meningkatkan
kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan pelestarian keanekaragaman hayati dan
lingkungan hidup tersebut.

Gambar 1. Luas Tutupan Hutan dan Transfer Keuangan ke


Daerah menurut Kabupaten/Kota di Indonesia, 2019
(Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2019 dan Analisis CSRT SPOT 2018)

KERTAS KEBIJAKAN 5
Kedua, mendukung program strategis pemerintah, yaitu pembangunan rendah
karbon, dampak perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Saat ini, pemerintah telah menyusun konsep pembangunan rendah
karbon. Ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah dalam mengatasi dampak dari
perubahan iklim. Saat ini, implementasinya masih terkendala, terutama soal pembiayaan.
Transfer fiskal berbasis ekologi dapat menjadi instrumen pembiayaan yang efektif untuk
mendukung pembangunan rendah karbon dan pengendalian dampak perubahan iklim,
terutama di tingkat daerah.

Ketiga, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam


kawasan hutan, yang selama ini termarginalkan oleh pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan dan eksploitasi hutan dan lahan. Faktanya, ada sekitar 10 juta penduduk
miskin berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Mereka minim terhadap akses sumber
daya ekonomi, karena sebagian besar lahannya sudah diokupasi oleh perusahaan ekstraktif,
seperti perkebunan sawit, kehutanan, dan pertambangan. Selain itu, untuk melakukan
aktivitas ekonomi di dalam kawasan hutan dilarang oleh regulasi. Ruang penghidupan
mereka yang semakin terbatas, menyebabkan sebagian mereka kehilangan mata
pencaharian tetap (Saputra, 2018). Degradasi lahan akibat eksploitasi juga menyebabkan
sebagian sumber mata pencaharian mereka berkurang. Jalan yang dilakukan untuk
bertahan hidup adalah merambah kawasan hutan (Bakhtiar et al, 2019). Untuk mengatasi
kemiskinan tersebut dibutuhkan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Transfer
fiskal berbasis ekologi bisa menjadi salah satu alternatif dalam mengembangkan program-
program tersebut, terutama dalam mendukung pembiayaan program.

Gambar 2. Luas Tutupan Hutan dan Angka Kemiskinan


menurut Kabupaten/Kota di Indonesia, 2019
(Sumber: BPS, 2019 dan Analisis CSRT SPOT, 2018)

Keempat, memperkuat fungsi kebijakan dan tata kelola fiskal yang berorientasi
pada pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Desentralisasi yang

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


6 DI INDONESIA
mereformasi sistem tata kelola kebijakan fiskal di Indonesia, telah membuka ruang yang
besar bagi transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Malahan, sejak
2018, alokasi transfer ke daerah lebih besar dari belanja pemerintah pusat. Meski demikian,
kapasitas fiskal yang besar tersebut belum berorientasi pada pelestarian fungsi ekologi.
Dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),
dan Dana Bagi Hasil (DBH) justru kontraproduktif terhadap pelestarian fungsi ekologi.
Faktanya, semakin besar alokasi DBH yang diterima oleh pemerintah daerah berkorelasi
terhadap meningkatnya laju deforestasi. Oleh karena itu, kebijakan transfer fiskal berbasis
ekologi bisa menjadi alternatif dalam memperkuat fungsi kebijakan fiskal dan tata kelola
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup.

45,00
40,00
35,00
30,00 R² = 0,361

25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
- 50.000,0 100.000,0 150.000,0 200.000,0 250.000,0 300.000,0

Keterangan: angka vertikal adalah persentase DBH SDA terhadap pendapatan daerah (%)
angka horizontal adalah angka deforestasi (hektare)

Gambar 3. Hubungan antara Persentase DBH SDA terhadap Pendapatan


Daerah dan Angka Deforestasi menurut Provinsi di Indonesia, 2015
(Sumber: Pradiptyo, Saputra et al. 2020)

5. Skema Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi


Ada tiga instrumen fiskal yang dapat dikembangkan berbasis ekologi, yaitu DID,
DAK Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dana Desa. Dengan menambahkan
indikator ekologi dalam formulasi ketiga instrumen ini, ternyata memberikan dampak
perbaikan, tidak hanya dalam meningkatkan kapasitas fiskal bagi daerah yang kaya fungsi
ekologi, tapi juga memperkuat arah kebijakan transfer fiskal ke daerah.

Ada beberapa dampak dari transfer fiskal berbasis ekologi yang dapat memperbaiki
tata kelola pembangunan dan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, seperti (1) meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam pelestarian
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup, (2) memperkuat kapasitas fiskal pemerintah
daerah dalam pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup, (3) memperkuat
tata laksana pengelolaan data ekologi di tingkat daerah dan nasional karena menjadi basis
data penilaian kinerja, (4) menciptakan perubahan paradigma pengelolaan lingkungan
hidup dan kehutanan dari cost center menjadi revenue generating, (5) menurunkan angka

KERTAS KEBIJAKAN 7
kemiskinan, dan (6) memperkuat sinergi pembangunan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam mencapai target dan prioritas pembangunan nasional.

Oleh karena itu, reformulasi dari DID, DAK Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dan Dana Desa sangat penting dilakukan, dengan memasukan indikator-indikator ekologi
ke dalam reformulasi. Indikator IKLH bisa menjadi salah satu indikator dalam formulasi
DID. IKLH dapat mengukur kinerja dari pemerintah daerah dalam mencapai target
pembangunan di sektor lingkungan hidup. DAK Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
bisa memasukan indikator luas kawasan konservasi dan hutan lindung dalam formulasinya.
Indikator ini sangat penting untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah dalam mencapai
target dan program prioritas nasional, yaitu penanggulangan kemiskinan, kebencanaan
dan ketahanan pangan. Sedangkan, Dana Desa dapat memasukan luas tutupan hutan
sebagai indikator ekologi dalam alokasi formula. Dengan memasukan indikator ekologi
ini, fungsi Dana Desa untuk pengentasan kemiskinan bisa tercapai dan ini sesuai dengan
tujuan dari Undang-undang Desa.

Tabel 1. Peluang Penerapan Transfer Fiskal berbasis Ekologi di Indonesia

Dana Alokasi Khusus


Dana Insentif
Uraian (DAK) Lingkungan Dana Desa
Daerah
Hidup dan Kehutanan
Tujuan Insentif dalam Mendanai kegiatan Mendanai
meningkatkan khusus yang pelaksanaan
kualitas merupakan urusan pembangunan dan
pengelolaan daerah dan sesuai pemberdayaan
keuangan daerah, dengan prioritas masyarakat desa
layanan dasar, nasional
dan pengentasan
kemiskinan

Karakteristik Sesuai kebutuhuan Kegiatan bidang Pelayanan publik,


Kegiatan dan prioritas daerah reguler, penugasan, pengentasan
dan afirmasi kemiskinan,
memajukan
pembangunan
desa, dan mengatasi
kesenjangan.

Variabel dalam Pengelolaan Kriteria teknis bidang Variabel kewilayahan


formula alokasi sampah lingkungan hidup dan
yang terkait kehutanan
aspek ekologi
saat ini

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


8 DI INDONESIA
Dana Alokasi Khusus
Dana Insentif
Uraian (DAK) Lingkungan Dana Desa
Daerah
Hidup dan Kehutanan
Mekanisme Terukur, ditetapkan Terukur, sebagai Terukur, sebagai
pengawasan dalam RKPD dan dasar mekanisme dasar mekanisme
kinerja atas APBD penyaluran dan penyaluran dan
penggunaan penyerapan dana penyerapan dana
dana
Peluang • Tujuanya sesuai • Proposal based • Tujuannya sesuai
menjadi dengan prinsip bukan bentuk dengan prinsip
transfer fiskal transfer fiskal insentif; transfer fiskal
berbasis berbasis ekologi; • Berbasis berbasis ekologi;
ekologis • Dananya programatik • Banyak penduduk
meningkat tiap miskin berada
tahun; di sekitar dan di
• Motivasi dalam kawasan
berbasis kinerja, hutan;
sehingga bisa • Bisa dibangun
dikembangkan sebagai skema co-
sebagai skema benefit
insentif
Formula awal A. Kategori utama: A. Kriteria umum Alokasi Dasar (72%
• Opini BPK atas • Kemampuan porsinya dibagi rata),
LKPD minimal keuangan daerah Alokasi Formula
WTP; (25%) dibagi atas
• Penetapan B. Kriteria khusus Jumlah penduduk
Perda APBD • Indeks fiskal dan desa (10% dari AF),
tepat waktu; wilayah Jumlah penduduk
• Penggunaan Alokasi Dasar (72%
e-government C. Kriteria teknis: porsinya dibagi rata),
/e-procurement. • Indeks fiskal Alokasi Formula
wilayah dan teknis (25%) dibagi atas
B. Kelompok input: Jumlah penduduk
• Pengelolaan Catatan: untuk desa (10% dari AF),
keuangan tahun anggaran Jumlah penduduk
2021, mekanisme
C. Kelompok proses: pengalokasian DAK
• Pelayanan Fisik Penugasan
pemerintahan mengalami
umum perubahan. Penentuan
lokasi dan kegiatan
yang akan didanai

KERTAS KEBIJAKAN 9
Dana Alokasi Khusus
Dana Insentif
Uraian (DAK) Lingkungan Dana Desa
Daerah
Hidup dan Kehutanan
D. Kelompok output: programatik yang
• Pelayanan mendukung
dasar publik pelaksanaan RPJMN,
yaitu (1) penurunan
E. Kelompok kematian ibu
outcome: dan stunting, (2)
• Kesejahteraan penanggulangan
kemiskinan dan
Catatan: hanya ketahanan pangan,
ada satu indikator (3) penyediaan
ekologi dalam infrastruktur ekonomi
kelompok output, berkelanjutan.
yaitu pengelolaan
sampah, masuk
pada tahun 2019.
Reformulasi • Menambahkan Formula I: Formula I:
dengan indikator A. Daerah yang Alokasi Dasar (69%),
indikator lingkungan hidup memiliki lahan Alokasi Formula
ekologi dan kehutanan sangat kritis dan (28%) dibagi atas non
dalam kriteria kritis/Luas RHL: ekologi (25%) dan
kinerja • Kurang dari ekologi (3%), serta
100.000 hektare Alokasi Afirmasi (3%).
• Menambahkan
(10%)
usulan indikator
• 100.000 – 500.000 Formula II:
keberlanjutan
hektare (17%) Alokasi Dasar (62%),
dalam kategori
• 500.000 – Alokasi Afirmasi
proses
1.000.000 hektare (35%) dibagi atas non
• Indikator ekologi (20%) ekologi (25%) dan
terdiri dari • Besar dari ekologi (10%), serta
Indeks Kualitas 1.000.000 hektare Alokasi Afirmasi (3%).
Lingkungan (23%)
Hidup (IKLH), Indikator ekologi
penurunan B. Memiliki kawasan yang digunakan
konflik lahan, konservasi atau adalah luas tutupan
dokumen lindung lebih dari hutan alam
Rencana Aksi atau sama dengan
Daerah tentang 30% dari luas
Penurunan Gas daerahnya (30%)
Rumah Kaca

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


10 DI INDONESIA
Dana Alokasi Khusus
Dana Insentif
Uraian (DAK) Lingkungan Dana Desa
Daerah
Hidup dan Kehutanan
C. Daerah yang
memiliki
kelembagaan
Kesatuan
Pengelolaan Hutan
dan Kelompok Tani
Hutan dengan
kriteria madya (0,1%)

D. Daerah yang
memiliki kelompok
usaha perhutanan
sosial dengan kriteria
silver dan/atau gold
(0,1%)

Formula II:
BD = 0.2 IFW + 0.6 IT +
0.2 IKK
BD (Bobot DAK)
IFW (Indeks Fiskal
Wilayah)
IT (Indeks Teknis)
IKK (Indeks Kemahalan
Konstruksi)
Dampak • Meningkatkan • Memperkuat • Memperkuat
kinerja basis penentuan kapasitas fiskal
pemerintah daerah-daerah yang bagi desa-desa
daerah dalam menjadi prioritas yang kaya fungsi
pelestarian dalam pencapaian ekologi;
keanekaragaman target dan program
• Memperkuat
hayati dan prioritas nasional;
kualitas pelayanan
lingkungan hidup
• Indikator ekologi publik bagi desa-
karena adanya
memberikan desa yang kaya
mekanisme
manfaat bagi fungsi ekologi;
insentif;
peningkatan kinerja
• Menurunkan
• Memperkuat daerah dalam
angka kemiskinan
kapasitas fiskal penanggulangan
tidak hanya di

KERTAS KEBIJAKAN 11
Dana Alokasi Khusus
Dana Insentif
Uraian (DAK) Lingkungan Dana Desa
Daerah
Hidup dan Kehutanan
pemerintah kemiskinan dan desa yang kaya
daerah dalam ketahanan pangan; fungsi ekologi, tapi
pelestarian juga di desa-desa
keanekaragaman lainnya;
hayati dan
• Memperkuat
lingkungan
kapasitas desa
hidup;
dalam pelestarian
• Memperkuat keanekaragaman
tata laksana hayati dan
pengelolaan data lingkungan hidup;
ekologi di tingkat
daerah dan
nasional karena
menjadi basis
data penilaian
kinerja;
• Menciptakan • Memperkuat • Memperkuat basis
perubahan kapasitas fiskal data ekologi di
paradigma pemerintah daerah desa yang bisa
pengelolaan dalam memperbaiki menjadi database
lingkungan hidup kelestarian ekologi nasional dalam
dan kehutanan dan sekaligus merumuskan
dari cost center mencapai target dan kebijakan
menjadi revenue program prioritas
generating nasiolan, seperti
penanggulangan
kemiskinan dan
ketahanan pangan.

6. Arah Pengembangan Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi

6.1. Memperkuat Kapasitas Dan Kapabilitas Daerah Dalam Pelestarian


Keanekaragaman Hayati Dan Lingkungan Hidup
Desentralisasi memperkuat pengelolaan pembangunan di level daerah, termasuk
tata kelola keanekaragaman hayati dan pelestarian lingkungan hidup. Peranan daerah
sangat penting, mulai dari proses perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi
dalam tata kelola keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlu
penguatan kapasitas dan kapabilitas daerah dalam pelestarian keanekaragaman hayati
dan lingkungan hidup.

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


12 DI INDONESIA
Meski demikian, faktanya, kedua aspek ini seringkali terabaikan dalam proses
pembangunan di daerah. Daerah-daerah yang kaya keanekaragaman hayati dan
lingkungan hidup mengalami eksploitasi terhadap keanekaragaman hayati dan degradasi
lingkungan, seperti Riau, Kalimantan Timur dan Papua. Sedangkan, daerah yang mampu
menjaga keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup memiliki kapasitas dan kapabilitas
rendah dalam pengelolaan, karena tidak didukung dengan sumber daya manusia yang
memadai dan alokasi anggaran yang relatif kecil.

Kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi diarahkan untuk mengatasi persoalan


tersebut. Instrumen fiskal ini dapat memperkuat kemampuan daerah dalam mengelola
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Daya dukung fiskal yang meningkat
dengan sistem tata kelola yang baik, diharapkan pemerintah daerah mampu memperkuat
kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia. Selain itu, peningkatan kapasitas fiskal
mendorong proses perencanaan program, penganggarannya, implementasi, pengawasan
dan evaluasi terhadap tata kelola keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup semakin
baik. Sehingga, eksploitasi terhadap keanekaragaman hayati dan degradasi lingkungan
hidup bisa diatasi lewat tata kelola pembangunan di tingkat daerah.

6.2. Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi Menjadi Pondasi Dalam


Membangun Mekanisme Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
Dan Pemerintah Daerah Dalam Pelestarian Keanekaragaman Hayati Dan
Lingkungan Hidup
Desentralisasi fiskal bertujuan memperkuat hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan pembangunan dan pelayanan
publik. Sejak pelaksanaan desentralisasi, telah banyak kemajuan dalam hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, terutama di sektor-sektor strategis,
seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Meski demikian, khusus untuk pelestarian
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup, masih banyak persoalan terkait hubungan
keuangan tersebut.

Faktanya, tidak terjadi sinkronisasi dari aspek perencanaan dan penganggaran


terkait pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup antar pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Misalnya, banyak program yang saling tumpang tindih dan
banyak program daerah (provinsi) yang tidak sinergi dengan program pemerintah pusat
(Integritas & Auriga, 2018). Hal ini menyebabkan efektifitas program menjadi bermasalah.

Kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi diarahkan untuk memperkuat


hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelestarian
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Dengan instrumen ini, proses perencanaan
dan penganggaran program lebih terstruktur antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, serta tata kelolanya lebih akuntabel dan kredibel. Selain itu, memperkuat sinergi
dan sinkronisasi dalam pendanaan pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan
hidup, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi di masing-masing institusi vertikal. Sehingga,
efektifitas pendanaan program lebih baik dan berkelanjutan.

KERTAS KEBIJAKAN 13
6.3. Mendukung Agenda Internasional Dan Nasional Dalam Penanggulangan
Perubahan Iklim Dan Pencapaian Target SDGs
Indonesia secara domestik dan internasional memiliki agenda dalam
penanggulangan perubahan iklim dan pencapaian target SDGs. Dalam aspek
penanggulangan perubahan iklim, pemerintah telah menyapaikan komitmennya kepada
dunia internasional untuk terlibat dalam aksi global menurunkan emisi gas rumah kaca.
Sedangkan, dalam aspek SDGs, Indonesia aktif sebagai inisiator menggalang dukungan
internasional untuk membangun komitmen bersama dalam mencapai target SDGs pada
2030.

Dalam mencapai kedua aspek tersebut, pemerintah merancang kerangka rencana


aksi nasional dan daerah dalam penanggulangan perubahan iklim dan pencapaian target
SDGs. Bahkan, rencana aksi ini telah masuk ke dalam agenda pembangunan nasional dan
daerah. Oleh karena itu, diperlukan dukungan yang kuat dalam aspek pendanaannya.

Kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi merupakan instrumen yang tepat


dilakukan untuk mendukung upaya tersebut. Dengan instrumen ini, besar peluang bagi
pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas pendanaan program yang terkait
dengan perubahan iklim dan pencapaian target SDGs. Instrumen ini bisa menjadi
sumber pendanaan yang berkelanjutan, karena didesain dalam kerangka kebijakan fiskal
pemerintah setiap tahunnya.

6.4. Mengurangi Ketimpangan Alokasi Dan Kapasitas Fiskal Antar Daerah


Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, terjadi ketimpangan alokasi
dan kapasitas fiskal antara daerah yang kaya fungsi ekologi dan daerah yang lebih
mengeksploitasi kekayaan ekologinya. Hal ini menyebabkan, daerah yang mampu menjaga
kekayaan ekologi dengan baik, yaitu melestarikan keanekaragaman hayati dan lingkungan
hidup memiliki keterbatasan dalam aspek pendanaan pembangunan.

Bahkan, daerah-daerah tersebut cenderung memiliki angka kemiskinan yang


tinggi, terutama yang memiliki kawasan konservasi yang luas. Sedangkan, di sisi lain, daerah
yang terus mengeksploitasi keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup mendapatkan
alokasi dan kapasitas fiskal yang lebih besar. Akibatnya, semakin banyak daerah yang
berlomba-lomba untuk mengeksploitasi keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
untuk meningkatkan alokasi dan kapasitas fiskal dari pemerintah pusat.

Model tata kelola transfer fiskal di atas, tidak bagus dalam upaya melestarikan
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Sehingga, perlu keseimbangan dalam
model transfer fiskal. Kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi merupakan instrumen yang
tepat dalam memperbaiki keseimbangan fiskal tersebut. Instrumen ini dapat menjadi
insentif bagi daerah-daerah yang memiliki kinerja yang baik dalam upaya pelestarian
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Sehingga, kapasitas fiskalnya meningkat
dan kemampuan daerah dalam pendanaan program juga lebih baik.

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


14 DI INDONESIA
6.5. Mendukung Program Pemerintah Dalam Penanggulangan Kemiskinan Dan
Ketimpangan
Saat ini, Indonesia memiliki dua isu utama yang menjadi tantangan dalam
pembangunan nasional, yaitu persoalan kemiskinan dan ketimpangan. Sehingga,
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dua
agenda ini menjadi fokus dari program pemerintah. Faktanya, persoalan kemiskinan dan
ketimpangan tersebut banyak terjadi di daerah yang kaya fungsi ekologi, seperti daerah
yang kawasan hutannya luas. Salah satu persoalannya adalah kemampuan pemerintah
dalam penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan terbatas, karena terbatasnya
sumber pendanaan lewat anggaran daerah.

Kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi bisa menjadi terobosan dalam


penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pada daerah-daerah yang kaya fungsi
ekologi. Dengan indikator yang tepat, maka upaya mendorong peningkatan kapasitas
fiskal bagi daerah tersebut bisa dilakukan dan bisa digunakan untuk pelaksanaan program
terkait peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan distribusi pendapatan di
daerah. Ini terbukti dari hasil simulasi terhadap Dana Desa, dengan menambah indikator
ekologi dalam formulasi Dana Desa, berdampak terhadap perbaikan angka kemiskinan
dan ketimpangan di daerah. Dengan demikian, instrumen fiskal ini tidak hanya berorientasi
pada pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup, tapi juga meningkatkan
pencapaian social ekonomi masyarakat.

7. Strategi Pengembangan Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi

7.1. Memperkuat Regulasi Terkait Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi


Sebagai Dasar Dalam Merumuskan Kebijakan Dan Pelaksanaannya
Kebijakan fiskal berbasis ekologi secara regulasi belum diatur di dalam Undang-
undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Agar implementasi kebijakan ini bisa berjalan optimal, maka
perlu memasukan instrumen ini dalam peraturan perundang-undangan.

Saat ini, pemerintah sudah memasukan revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun


2004 dalam program regislasi nasional. Dan pemerintah sedang merumuskan kerangka
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Ini momentum untuk memasukan instrumen kebijakan
fiskal berbasis ekologi ke dalam kerangka kebijakan transfer fiskal ke daerah. Peluang
pengaturannya bisa dilakukan lewat perbaikan kebijakan DAK dan DID dalam RUU
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam hal merumuskan Dana Desa berbasis ekologi, pengaturannya bisa melalui
revisi Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. Revisinya
memasukan indikator ekologi dalam formulasi Dana Desa. Temuan dalam kajian ini
menyebutkan, dengan memasukan indikator ekologi dalam alokasi formula dapat
menurunkan kemiskinan di daerah. Dan arahnya sudah sesuai dengan tujuan Dana Desa,

KERTAS KEBIJAKAN 15
yaitu memperbaiki kualitas pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
pemerataan distribusi pendapatan dan pembangunan antar desa. Sehingga, instrumen
Dana Desa berbasis ekologi dapat memperkuat implementasi dari Undang-undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa.

Selain itu, dibutuhkan peraturan teknis lainnya yang mengatur tata laksana dari
transfer fiskal berbasis ekologi terutama dalam menentukan menu-menu penggunaannya
dan program-program yang menjadi prioritas penggunaan dana. Hal ini bertujuan agar
penggunaan dari dana transfer fiskal berbasis ekologi tersebut sesuai dengan tujuannya,
yaitu pelestarian keanekaragaman hayati, pelestarian lingkungan hidup, peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pemertaan distribusi pendapatan dan pembangunan
antar daerah.

7.2. Mengintegrasikan Kebijakan Transfer Fiskal Berbasis Ekologi Dalam


Mekanisme Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintah Daerah
Transfer fiskal berbasis ekologi dapat memperkuat mekanisme dan tata laksana
dari hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. DID, DAK
dan Dana Desa berbasis ekologi mendorong perbaikan dalam orientasi dari target
pembangunan nasional yang dikerjakan oleh pemerintah daerah. Misalnya, dengan
adanya DID yang mengunakan indikator ekologi, pemerintah pusat dapat melakukan
penilaian kinerja pemerintah daerah dalam mewujudkan dan mengimplementasikan
pembangunan rendah karbon dan pembangunan berkelanjutan di daerah. Sehingga,
setiap tahun, capaian-capaiannya bisa diukur di setiap daerah.

Hal yang sama juga bisa dicapai oleh penerapan DAK Bidang Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Dengan merumuskan formula ekologi, dapat meningkatkan kapasitas
fiskal bagi daerah yang kaya ekologi untuk mengimplementasikan tujuan dan prioritas
pembangunan nasional, yaitu penanggulangan kemiskinan dan ketahanan pangan.
Dana Desa berbasis ekologi juga memperkuat hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah desa untuk mencapai program-program nasional yang diberikan
kewenangannya ke pemerintah desa, seperti penguataan kualitas pelayanan publik,
penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan. Oleh karena itu, kebijakan transfer fiskal
berbasis ekologi harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah agar mekanisme dan tata
laksana hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi
lebih baik.

7.3. Mengembangkan Indikator-Indikator Ekologi Yang Relevan Dijadikan


Instrumen Dalam Reformulasi Transfer Fiskal Berbasis Ekologi, Yang
Responsif Terhadap Kebutuhan Daerah
Indonesia kaya dengan fungsi ekologi. Oleh karena itu, beberapa indikator ekologi
bisa dikembangkan dalam menyusun reformulasi transfer fiskal berbasis ekologi. Meski
dalam kertas kebijakan ini, beberapa indikator sudah masuk ke dalam reformulasi, seperti
IKLH, luas kawasan konservasi dan hutan lindung serta luas tutupan hutan alam, tapi tidak

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


16 DI INDONESIA
menutup kemungkinan adanya indikator ekologi lainnya yang bisa digunakan sebagai
indikator dalam reformulasi.

Belajar dari beberapa negara lain yang sudah lama mengimplementasikan kebijakan
transfer fiskal berbasis ekologi, seperti Brasil. Awalnya mereka hanya menggunakan satu
indikator ekologi, yaitu luas kawasan konservasi dan hutan lindung, tapi mereka terus
mengembangkan berbagai indikator lainnya. Sehingga, saat ini sangat banyak indikator
ekologi yang mereka gunakan untuk menyusun formulasi transfer fiskal berbasis
ekologi, seperti pengelolaan sampah, tanah adat, rencana pembangunan berkelanjutan,
pendidikan lingkungan hidup, pengurangan deforestasi, pengurangan kebakaran hutan,
perlindungan DAS dan lainnya. Semakin banyak indikator ekologi yang digunakan semakin
optimal untuk mencapai tujuan dari pelaksanaan transfer fiskal berbasis ekologi.

Meski demikian, dalam konteks indikator, pemerintah perlu memperhatikan


persyaratan untuk memasukan indikator tersebut sebagai formulasi transfer fiskal berbasis
ekologi. Prinsipnya adalah indikator tersebut mewakili semua aspek ekologi yang ada di
masing-masing daerah di Indonesia, datanya harus seragam dan tersedia dengan baik
setiap tahunnya oleh kementerian/lembaga pemerintahan yang diberikan wewenang
sebagai wali data. Ini menjadi kelemahan dan sekaligus tantangan bahwa tidak banyak
indikator ekologi yang memenuhi kriteria di atas. Oleh karena itu, pemerintah perlu
membangunan database ekologi yang baik dan hal tersebut dapat di mulai dengan
transfer fiskal berbasis ekologi. Di awal hanya menggunakan satu indikator, tapi seiring
hal tersebut, indikator lainnya perlu dikembangkan.

7.4. Membangun Sistem Dan Tata Laksana Dari Kebijakan Transfer Fiskal
Berbasis Ekologi Agar Dalam Implementasinya Bisa Lebih Kredibel, Efektif,
Akuntabel Dan Tepat Sasaran
Kita menyadari bahwa sistem dan tata laksana transfer fiskal di Indonesia saat ini
semakin berkembang dan dinamis. Hal tersebut merupakan konsekwensi bahwa sistem
desentralisasi fiskal yang dibangun secara cepat akibat dari proses reformasi tata kelola
pemerintahan pada 1999 masih memiliki beberapa kelemahannya.

Perubahan-perubahan kebijakan tersebut semakin memperbaiki sistem dan tata


laksana transfer fiskal di Indonesia. Meski demikian, saat ini, sebagai negara yang kaya
fungsi ekologi dan menjadi modal utama dalam pembangunan, ternyata kebijakan fiskal
kita belum menyasar pada aspek kelestarian ekologi. Oleh karena itu, kita membutuhkan
sistem dan tata laksana kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi agar kekayaan ekologi
yang menjadi modal pembangunan pembangunan bisa berkontribusi lebih baik dan
berkelanjutan.

Hal yang penting dalam sistem dan tata laksana kebijakan adalah kredibilitas,
efektifitas, akuntabel dan tepat sasaran. Reformulasi yang direkomendasikan dalam kertas
kebijakan ini harus mencangkup empat aspek tersebut. Pemerintah perlu membangun
kredibilitas dengan memperkuat database indikator ekologi yang bisa digunakan dalam

KERTAS KEBIJAKAN 17
formulasi transfer fiskal berbasis ekologi. Indikatornya harus memenuhi prinsip kesetaraan
dan keadilan antar daerah sehingga tidak bias pada daerah tertentu.

Aspek efektifitas harus berorientasi kepada tujuan dari masing-masing kebijakan.


Misalnya, DAK Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak bisa berbasis insentif,
karena prinsipnya adalah untuk mencapai target dan prioritas dari program pemerintah
pusat yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Artinya, menu-menu penggunaan
dana harus dirancang sesuai dengan target dan prioritas tersebut. Formulasi berbasis
ekologi hanya digunakan sebagai benchmark pengalokasiaannya. Hal tersebut berbeda
dengan DID yang basisnya adalah insentif. Desainnya akan lebih efektif bila indikator
ekologi tersebut dibangun berdasarkan kinerja dari pemerintah daerah. Mereka yang
memiliki kinerja yang baik dalam aspek ekologi akan mendapatkan insentif.

Akuntabilitas dibangun lewat sistem transparansi data dan hasil perhitungannya.


Keterbukaan informasi inilah yang menjadi kunci keberhasilan Brasil membangun tata
kelola kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi. Semua data yang menyangkut perhitungan
harus di buka askesnya ke publik, sehingga publik bisa melakukan pengawasan terhadap
implementasi kebijakan. Selanjutnya, penggunaan dana harus tepat sasaran. Karena
fungsinya adalah ekologi, maka penggunaan dana harus mendukung prinsip kelestarian
ekologi.

8. Kebijakan Transfer Fiskal Fiskal Berbasis Ekologi

8.1. Kebijakan Umum

„ Pemerintah Pusat memasukkan agenda insentif berupa transfer fiskal berbasis


ekologi ke dalam mekanisme revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah khususnya terkait dengan formulasi kebijakan DID dan DAK secara
nasional;

„ Pemerintah Pusat melakukan exercise terkait kebijakan transfer fiskal berbasis


ekologi, sehingga ke depannya dihasilkan sebuah indikator dan mekanisme
penghitungan yang valid dan robust;

„ Pemerintah Daerah memasukkan agenda transfer fiskal berbasis ekologi ke


dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah di Daerah
(RPJMD).

8.2. Kebijakan Khusus

A. Kebijakan Dana Insentif Daerah (DID) Berbasis Ekologi

„ Menambahkan usulan indikator lingkungan hidup dan kehutanan


dalam kriteria kinerja dari alokasi DID dan menambahkan usulan
indikator keberlanjutan dalam kategori proses. Dengan memperhatikan
persyaratan sebuah indikator terpilih, maka IKLH menjadi usulan yang

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


18 DI INDONESIA
paling memungkinkan bagi opsi yang pertama. Dari hasil penggabungan
kinerja APBD dan IKLH seluruh provinsi tahun 207-2018, terlihat bahwa
banyak daerah yang memiliki IKLH baik, justu belum memiliki kemandirian
daerah yang tinggi. Fakta inilah yang menjadikan pentingnya aspek
pengelolaan insentif berbasis kinerja ke depannya demi menciptakan
perubahan paradigma pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan
dari cost center menjadi revenue generating.

B. Kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Lingkungan Hidup Dan


Kehutanan Berbasis Ekologi

„ Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkoordinasi


dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk menyusun
program khusus atau major project pembangunan lingkungan hidup
dan kehutanan yang akan didanai oleh DAK dengan lintas bidang,
yaitu program lingkungan hidup dan kehutanan serta ketahanan
bencana. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa salah satu
agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020-2024, adalah Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan
Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim. Di samping itu, perlu juga
dikoordinasikan agar DAK Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi
masyarakat sekitar kawasan lindung dan konservasi;

„ Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan alokasi


DAK non fisik untuk peningkatan kapasitas masyarakat sekitar
hutan serta penambahan alokasi DAK Bidang Lingkungan Hidup
dan Kehutanan kepada Kementerian Keuangan, agar kegiatan yang
didanai memiliki tingkat manfaat yang signifikan.

C. Kebijakan Dana Desa Berbasis Ekologi

„ Penguataan aspek regulasi terkait Dana Desa. Kertas kebijakan ini


mendorong pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor
60 Tahun 2014 tentang Dana Desa dengan memasukan indikator
ekologi, seperti luas tutupan hutan sebagai basis perhitungan alokasi
Dana Desa dan penggunaannya. Revisi ini bertujuan untuk memperkuat
peranan Dana Desa dalam meningkatkan pelayanan publik, mengurangi
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan, terutama pada
desa-desa yang memiliki fungsi ekologi. Indikator ekologi ini menjadi
insentif bagi desa yang mampu menjaga fungsi ekologi dengan baik.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah hasil revisi ini menjadi dasar hukum
bagi produk hukum turunannya terkait Dana Desa.

KERTAS KEBIJAKAN 19
„ Melakukan reformulasi terkait alokasi Dana Desa dengan memasukan
indikator ekologi. Masuknya indikator ekologi dalam Peraturan tentang
Dana Desa akan mengubah formula alokasi Dana Desa. Penelitian ini
mengajukan dua simulasi perhitungan alokasi Dana Desa yang terbukti
memberikan dampak terhadap penurunan angka kemiskinan dan
ketimpangan di daerah. Formula pertama adalah Alokasi Dasar (69%),
Alokasi Formula (28%) dibagi atas non ekologi (25%) dan ekologi (3%), serta
Alokasi Afirmasi (3%). Sedangkan, formula kedua adalah Alokasi Dasar
(62%), Alokasi Afirmasi (35%) dibagi atas non ekologi (25%) dan ekologi
(10%), serta Alokasi Afirmasi (3%).

„ Memasukan program berbasis ekologi dalam prioritas penggunaan


Dana Desa. Dengan memasukan indikator ekologi dalam alokasi Dana
Desa maka pemerintah perlu mengatur penggunaan Dana Desa untuk
fungsi ekologi. Oleh karena itu, program berbasis ekologi harus menjadi
prioritas penggunaan Dana Desa, terutama pada desa yang kaya fungsi
ekologi, agar terjadi kesinambungan pembangunan antara aspek
ekonomi, sosial dan ekologi. Beberapa program bisa menjadi prioritas
penggunaannya, seperti program perhutanan sosial, program kemitraan
konservasi, program penyedian air bersih, program pemberdayaan
ekonomi masyarakat berbasis sumber daya hutan, program pengelolaan
sampah, program pengembangan energi terbarukan, program mitigasi
kebakaran hutan dan lahan serta berbagai program lainnya yang berbasis
ekologi.

„ Membangun sistem monitoring dan evaluasi Dana Desa. Dana Desa


berbasis ekologi membutuhkan data yang akurat terutama perhitungan
indikator kinerja (0utcomes) sebagai basis perhitungan besaran Dana
Desa. Sistem monitoring yang baik, cost-effective dan bottom-up perlu
dibangun untuk mendukung evaluasi yang berkelanjutan terhadap
program Dana Desa.

„ Memperbaiki mekanisme penyaluran Dana Desa. Kertas kebijakan ini


merekomendasikan agar basis perhitungan Dana Desa diturunkan pada
tingkat desa, begitu juga dengan penyalurannya, langsung ke desa. Hal
ini bertujuan agar Dana Desa dapat merespon langsung persoalan di
tingkat desa dan juga memperkuat basis data di tingkat desa. Dengan
formulanya langsung pada level desa maka data-data pendukung untuk
formula tersebut harus tersedia pada level desa tersebut. Artinya, ini
memperkuat basis data desa yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan pembangunan nasional.

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


20 DI INDONESIA
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar I, Suradiredja D, Santoso H, Saputra W. 2019. Palm Inside: Resolving the Oil Palm
Invasion inside Forest Zone. Jakarta: Yayasan Kehati.
Borie, M. et al., 2014. Exploring the Contribution of Fiscal Transfers to Protected Area Policy.
Ecology and Society, 19(1).
Boadway R & Shah A. 2009. Fiscal federalism: Principles and practices of multiorder
governance. Cambridge: Cambridge University Press.
Busch, J. (2018). “Monitoring and Evaluating the Payment-for-Performance Premise
of REDD+: The Case of India’s Ecological Fiscal Transfers.” Ecosystem Health and
Sustainability. 4(7):169-175.
Ghazali DA, Guericolas M, Thys F, et al. 2018. Climate change impact on disaster and
emergency medicine focusing on mitigation disruptive effects: An international
perspective. Int J Environ Res Public Health. Juli; 15(7): 1379. doi: 10.3390/ijerph15071379.
Hoegh-Guldberg O, Cai R, Poloczanska ES et al. 2014. The ocean. In: Climate change 2014:
Impact, adaptation and vulnerability. Part A: Global and sectoral aspect. Contribution
of working group II to the fifth assessment report of the Intergovernmental Panel on
Cliate Change [Field CB, Barros VR, Dokken DJ et al (eds)]. Cambridge University Press,
Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. pp. 1655-1731.
Intergovernmental Panel on Climate Change. 2018. Special report on global warming of
1.5oC. Switzeland. IPCC.
Irawan S & Tacconi L. 2016. Intergovermental fiscal transfers, forest conservation and climate
change. Cheltenham: Edward Edgar.
Irawan S, Tacconi L & Ring I. 2014. Designing intergovernmental fiscal transfers for
conservation: The case of REDD+ revenur distribution to local governments in
Indonesia. Land Use Policy, 36. pp. 47-59.
Lewis B. 2014. Twelve years of fiscal decentralization: a balance sheet. In Regional Dynamics
in a Decentralized Indonesia, Hill H (ed). Institute of South East Asia Studies: Singapore;
135–155.
Lewis B. 2015. Is central government intervention bad for local outcomes? Mixed messages
from Indonesia. Journal of Development Studies. DOI: 10.1080/00220388.2015.1068293.
Loft L, Gebera MF and Wong GY. 2016. The experience of ecological fiscal transfers: lessons
for redd+ benefit sharing. Occosional Paper 154. Bogor, Indonesia: CIFOR.
Kementerian Keuangan. 2018. Buku saku Dana Desa. Dapat diakses dari: https://www.
kemenkeu.go.id/media/6750/buku-saku-dana-desa.pdf
Kettunen M, Illes A, Rayment M et al. 2017. Integration approach to EU biodiversity financing:
Evaluation of results and analysis of option for the future. Final report for the European
Commission (DG ENV) (Project ENV.B.3/ETU/2015/0014). Institutefor European Policy
(IEEP). Brussel/London.

KERTAS KEBIJAKAN 21
Kettunen, M. and Illes, A. (eds.). (2017) Opportunities for innovative biodiversity financing:
ecological fiscal transfers (EFT), tax reliefs, marketed products, and fees and charges.
A compilation of cases studies developed in the context of a project for the European
Commission (DG ENV) (Project ENV.B.3/ETU/2015/0014). Brussels, London: Institute
for European Policy (IEEP).
Kitchen, H., McMillan, M., Shah, A. (2019). Local Public Finance and Economics. An
International Perspective. Palgrave macmillan. Springer. https://doi.org/10.1007/978-
3-030-21986-4
Kumar & Managi. (2009); Compensation for environmental services and intergovernmental
fiscal transfers: The case of India. Ecological Economics 68: 3052–3059.
Kurane I. 2010. The effect of global warming on infectious diseases. Osong Public Health
Research Perspective. December 1(1): 4-9. Doi: 10.1016/j.phrp.2010.12.004.
Köllner, T., Schelske, O., & Seidl, I., (2002). Integrating biodiversity into intergovernmental
fiscal transfers based on cantonal benchmarking: a Swiss case study. Basic and Applied
Ecology 3, 381–391.
Martak YF, Maulana SJ, Santoso. 2018. Dampak Dana Desa terhadap kesejahteraan dan
ketimpangan: Preliminary Assessment. Working Papers. Jakarta: Article 33.
May PH et al. 2002. Using fiscal instruments to encourage conservation: Municipal responses
to the ecoligical value-added tax in Parana and Minas Gerais, Brazil. In: Pagiola S,
Bishop J & Landell-Mills N (eds). Selling forest environmental service: Market-based
mechanisms for conservation and development. London: Earthscan, pp. 173-199.
May PH et al. 2012. Assesment of the role of economic and regulatory instruments in the
conservation policy mix for the Brazilian Amazon: A coarse grain analysis. Available
at: http://policymix.nina.no/Portals/policymix/Documents/Casestudies/POLICYMIX_
Portugal_Coarse_Grain rev 2013_km.pdf.
Mendelsohn, R. 2009. The impact of climate change on agriculture in developing countries.
Journal of Natural Resources Policy Research, 1:1, 5-9. doi: 10.1080/19390450802495882.
Mirski T, Bartoszcze M & Drozd AB. 2012. Impact of climate change on infectious diseases.
Pol. J. Environ. Stud. Volume 21, Number 3: 525-532.
Mumbunan S, Ring I & Lenk T. 2012. Ecological fiscal transfer at the province level in
Indonesia. UFZ-Diskussionspapiere, No. 06/2012. Available at: http://hdl.handle.
net/10419/55837
Nurfatriani F. (2016). Formulasi Kerangka dan Strategi Implementasi Kebijakan Fiskal
Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Kehutanan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Oates, W.E. (2002). Fiscal and Regulatory Competition: Theory and Evidence. Perspektiven
der Wirtschafts politik. Vol 3 (4), 377-390.
Philips MCK, Cinderich AB, Burrell JL et al. 2015. The effect of climate change on natural
disasters: A college student perspective. Weather, Climate and Society, January. doi:
10.1175/WCAS-D-13-000381.1.
Ring I. 2008. Integrating local ecological service into intergovernmental fiscal transfer: the
case of the ecological icms in Brasil. Land Use Policy 25:485-497.

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


22 DI INDONESIA
Ring I et al. 2011. Ecological fiscal transfer. In: Ring I & Shlaack CS (eds). Instrument mixes
for biodiversity policies. POLICYMIX Report No. 2/2011. Leipzig: Helmholtz Centre for
Environmental Research-UFZ, pp. 98-118. Available at: http://policymix.nina.no
Ring I. 2008. Compensating municipalities for protected areas: Fisca transfer for biodiversity
conservation in Saxony, Germany. GAIA, 17(S1), pp. 143-151.
Ring I. 2008. Integrating local ecological services into intergovernmental fiscal transfer:
The case of the ecological ICMS in Brazil. Land Use Policy, 25(4), pp. 485-497.
Santos R et al. 2012. Fiscal transfer for biodiversity conservation: The Portuguese local
finances law. Land Use Policy, 29(2), pp. 261-273.
Santos R et al. 2015. Engaging local private and public actors in biodiversity conservation:
The role of agri-environmental schemes and ecological fiscal transfer. Environmental
Policy and Governance, 25(2), pp. 83-96. doi: 10.1002/eet.1661.
Saputra W. 2018. Efektivitas kebijakan fiskal dalam pengelolaan komoditas kelapa sawit
untuk upaya perlindungan lingkungan hidup. Dipresentasikan dalam “Environmental
Outlook 2018” di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 15-19 Januari 2018.
Saputra W. 2018. Defisit Ruang Desa. Dapat diakses pada: https://kolom.tempo.co/
read/1094039/defisit-ruang-desa
Schroter-Schlaack C et al. 2014. Intergovernmental fiscal transfer to support local
conservation action in europe. The German Journal of Economic Geography 58:98-114.
Smith KR, Woodward A, Campbell-Lendrum D et al. 2014. Human health: Impact, adaptation
and co-benefits. In: Climate change 2014: Impact, adaptation and vulnerability. Part A:
Global and sectoral aspect. Contribution of working group II to the fifth assessment
report of the Intergovernmental Panel on Cliate Change [Field CB, Barros VR, Dokken
DJ et al (eds)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New
York, NY, USA. pp. 709-754.
Spahn, P.B. 2012. Conditioning Intergovermental Transfers and Modes of Interagency
Cooperation for Greater Effectiveness of Multilevel Government in OECD Countries.
OECD ConfWorkshop on Effective Public Investment at Sub-National Level in Times
of Fiscal Constraints: Meeting the Co-ordination and Capacity Challenges.
Venables, A.J.,2016, Using Natural Resources for Development: Why Has It Proven So
Difficult?, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 30, No. 1 (Winter 2016), pp. 161-
183 American Economic Association. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/43710015
Accessed: 29-11-2017 20:27 UTC.
Watts, J., Tacconi, L., Irawan, S., & Wijaya, A.H. (2019). Village transfers for the environment:
Lessons from community-based development programs and the village fund. Forest
Policy and Economics. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2019.01.008.
Wijaya A, Chrysolite H, Ge M et al. 2017. How can Indonesia achieve its climate change
mitigation goal? An analysis of potential emissions reduction from energy and land
use policies. Working Paper. Jakarta: World Resources Institute.
Wirawan IMA. 2010. Public health response to climate change health impact in Indonesia.
Asia-Pacific Journal of Public Health. Volume 22 Number 1, January: 25-31. doi:
10.1177/1010539509350912.

KERTAS KEBIJAKAN 23
World Bank. 2010. Laporan Penelitian Dana Transfer Pusat ke Daerah. Desentralization
Support Facility.
Yao CL & Somero GN. 2014. The impact of ocean warming on marine organism. Chin Sci.
Bull. 59(5-6):468-479. doi: 10.1007/s11434-014-0113-0.

TRANSFER FISKAL BERBASIS EKOLOGI


24 DI INDONESIA
Bangun Indonesia untuk Jaga AlamDemi Keberlanjutan (BIJAK) Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia
AIA Central, level 41, Jl. Jend. Sudirman Kav 48-A Jl. Taman Margasatwa No. 26C
Karet Semanggi Jakarta Selatan 12930, Ragunan - Pasar Minggu, Jakarta Selatan
DKI Jakarta - Indonesia DKI Jakarta - Indonesia
Telp (021) 2253 5830 Telp. (021) 22780580 | Fax. (021) 7812325
http://www.kemitraan.or.id

Anda mungkin juga menyukai