TRANSFER FISKAL
BERBASIS EKOLOGI
DI INDONESIA
Dana Insentif Daerah (DID),
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
dan Dana Desa (DD)
KERTAS KEBIJAKAN
TRANSFER FISKAL
BERBASIS EKOLOGI
DI INDONESIA
Dana Insentif Daerah (DID),
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
dan Dana Desa (DD)
Wiko Saputra
Alin Halimatussadiah
Joko Tri Haryanto
Fitri Nurfatriani
Mimi Salminah
Di dukung Oleh
Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan
tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
UCAPAN TERIMA KASIH
D
okumen ini memberikan panduan kebijakan bagi pemerintah dalam
pengembangan kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi (ecological fiscal
transfer) di Indonesia. Kami menawarkan beberapa konsep, yaitu Dana Insentif
Daerah (DID), Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan
Dana Desa (DD).
Dokumen ini dikerjakan secara kolaboratif dengan melibatkan multidisiplin ilmu dan
multipihak. Kolaborasi tersebut terdiri dari aktivis NGO, peneliti, akademisi dan birokrasi.
Dengan kerja kolaborasi ini, rekomendasi yang ditawarkan bisa aplikatif dan mudah
dipahami oleh pengambil kebijakan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan
dokumen ini, seperti USAID-BIJAK, Kemitraan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB-UI), Badan
Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian
Keuangan, Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
(PPMD) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Terima kasih juga kepada para reviewer yang telah memberikan masukan terhadap
dokumen ini, seperti Prof Ahmad Erani Yustika (Universitas Brawijaya), Riatu Mariatul
Qibthiyyah, Phd (Kepala LPEM FEB-UI), dan Khoirunurrofik Phd (Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI). Serta semua pihak yang telah memberikan masukannya dalam konsultasi publik,
yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................................. 21
iii
KERTAS KEBIJAKAN
TRANSFER FISKAL
BERBASIS EKOLOGI
DI INDONESIA
Dana Insentif Daerah (DID), Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Dana Desa (DD)
1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara dengan mega biodiversitas memiliki tantangan dalam
menjaga dan melestarikan sumber keanekaragaman hayati, termasuk sumber daya
alamnya. Oleh karena itu, diperlukan desain pembangunan yang mampu memanfaatkan
nilai tambah sumber daya alam (SDA), sekaligus menjaga kelestarian sumber
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Bila hal tersebut tidak dilakukan, Indonesia
berisiko mengalami jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap),
karena tidak mampu mengelola sumber daya alamnya dengan baik untuk kesejahteraan.
1
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup diangap sebagai beban, bukan
investasi. Paradigma tersebut salah, pembiayaan pelestarian keanekaragaman hayati
dan lingkungan adalah investasi yang mendatangkan manfaat (benefit) ekonomi baik
langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect), seperti peningkatan kesejahteraan
masyarakat, mengatasi persoalan emisi, menguranggi bencana alam, ketahanan pangan
dan sebagainya.
Sejak 2001, Indonesia menganut sistem desentralisasi fiskal, yaitu model transfer
keuangan antar pemerintah (pemerintah pusat ke pemerintah daerah) dengan formulasi
yang disepakati. Konsep desentralisasi fiskal merupakan wujud dari money follow
function, yaitu pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah diiringi
dengan pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan atau pendanaan
(expenditure assignment, revenue assignment) (Bahl, 1998; Lewis, 2014; Lewis, 2015). Salah
satu kewenangan itu adalah dalam pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan
hidup.
Saat ini, kerusakan keanekaragaman hayati menjadi isu yang menarik perhatian
publik. Ini dampak dari perubahan iklim yang berlangsung akibat pembangunan global
yang tidak terkendali dan eksploitatif. Sedangkan, di level nasional, banyak pendekatan
pembangunan, seperti kebijakan pembiayaan yang tidak efektif memberikan perlindungan
terhadap keanekaragaman hayati.
KERTAS KEBIJAKAN 3
Sedangkan, di tingkat daerah, ruang pembiayaan yang terbatas dan orientasi
kebijakan yang bias terhadap keanekaragaman hayati, telah menimbulkan masalah
ekologi. Misalnya, sebuah daerah dengan luas kawasan konservasi yang luas justru
minim menerima transfer fiskal dari pemerintah pusat. Padahal, sumber pembiayaan
pembangunan terbesar di daerah tersebut adalah berasal dari pemerintah pusat. Oleh
karena itu, mereka sulit membagi alokasi anggaran untuk pembiayaan keanekaragaman
hayati tersebut (Irawan & Tacconi, 2016).
Transfer fiskal berbasis ekologi merupakan salah satu instrumen yang dapat
menghentikan hilangnya sumber keanekaragaman hayati (Droste, 2018). Instrumen ini juga
bisa menjadi insentif bagi kegiatan konservasi alam dengan skala yang besar jika banyak
negara menerapkannya (Grieg-Gran, 2000; Louireiro, 2002; May et al, 2002; Ring, 2008;
Young, 2005). Kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi harus di desain secara berkelanjutan
dengan mempertimbangkan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial dalam hubungan fiskal
antar pemerintah (Ring, 2002).
Pada prinsipnya, fiskal transfer berbasis ekologi adalah pengembangan dari fiskal
transfer yang lazim dilakukan oleh beberapa negara, terutama yang menganut sistem
federal dan desentralisasi (Ring, 2008). Fungsinya adalah bagaimana fungsi pelayanan
publik terhadap daerah-daerah yang memiliki fungsi ekologi yang baik dapat dilakukan
dengan optimal. Misalnya, pelayanan publik terhadap kawasan konservasi harus dilakukan
dengan baik agar fungsinya sebagai perlindungan keanekaragaman hayati bisa optimal
dan berkelanjutan serta meminimalkan eksternalitas. Sehingga, diperlukan formulasi dan
indikator ekologi dalam kebijakan transfer fiskal.
Bila transfer fiskal pada umumnya hanya mengacu kepada indikator yang bersifat
umum, seperti luas wilayah dan jumlah penduduk, maka dalam EFT ditambahkan indikator
yang berbasis ekologis, seperti luas kawasan hutan, perlindungan terhadap lingkungan
dan sebagainya. Dengan indikator ini, daerah yang memiliki kawasan hutan yang luas atau
mampu memberikan perlindungan terhadap lingkungan akan mendapatkan insentif
dalam bentuk alokasi transfer fiskal yang lebih besar (Santos et al, 2015). Secara sederhana
model EFT dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
KERTAS KEBIJAKAN 5
Kedua, mendukung program strategis pemerintah, yaitu pembangunan rendah
karbon, dampak perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Saat ini, pemerintah telah menyusun konsep pembangunan rendah
karbon. Ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah dalam mengatasi dampak dari
perubahan iklim. Saat ini, implementasinya masih terkendala, terutama soal pembiayaan.
Transfer fiskal berbasis ekologi dapat menjadi instrumen pembiayaan yang efektif untuk
mendukung pembangunan rendah karbon dan pengendalian dampak perubahan iklim,
terutama di tingkat daerah.
Keempat, memperkuat fungsi kebijakan dan tata kelola fiskal yang berorientasi
pada pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Desentralisasi yang
45,00
40,00
35,00
30,00 R² = 0,361
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
- 50.000,0 100.000,0 150.000,0 200.000,0 250.000,0 300.000,0
Keterangan: angka vertikal adalah persentase DBH SDA terhadap pendapatan daerah (%)
angka horizontal adalah angka deforestasi (hektare)
Ada beberapa dampak dari transfer fiskal berbasis ekologi yang dapat memperbaiki
tata kelola pembangunan dan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, seperti (1) meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam pelestarian
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup, (2) memperkuat kapasitas fiskal pemerintah
daerah dalam pelestarian keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup, (3) memperkuat
tata laksana pengelolaan data ekologi di tingkat daerah dan nasional karena menjadi basis
data penilaian kinerja, (4) menciptakan perubahan paradigma pengelolaan lingkungan
hidup dan kehutanan dari cost center menjadi revenue generating, (5) menurunkan angka
KERTAS KEBIJAKAN 7
kemiskinan, dan (6) memperkuat sinergi pembangunan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam mencapai target dan prioritas pembangunan nasional.
Oleh karena itu, reformulasi dari DID, DAK Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dan Dana Desa sangat penting dilakukan, dengan memasukan indikator-indikator ekologi
ke dalam reformulasi. Indikator IKLH bisa menjadi salah satu indikator dalam formulasi
DID. IKLH dapat mengukur kinerja dari pemerintah daerah dalam mencapai target
pembangunan di sektor lingkungan hidup. DAK Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
bisa memasukan indikator luas kawasan konservasi dan hutan lindung dalam formulasinya.
Indikator ini sangat penting untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah dalam mencapai
target dan program prioritas nasional, yaitu penanggulangan kemiskinan, kebencanaan
dan ketahanan pangan. Sedangkan, Dana Desa dapat memasukan luas tutupan hutan
sebagai indikator ekologi dalam alokasi formula. Dengan memasukan indikator ekologi
ini, fungsi Dana Desa untuk pengentasan kemiskinan bisa tercapai dan ini sesuai dengan
tujuan dari Undang-undang Desa.
KERTAS KEBIJAKAN 9
Dana Alokasi Khusus
Dana Insentif
Uraian (DAK) Lingkungan Dana Desa
Daerah
Hidup dan Kehutanan
D. Kelompok output: programatik yang
• Pelayanan mendukung
dasar publik pelaksanaan RPJMN,
yaitu (1) penurunan
E. Kelompok kematian ibu
outcome: dan stunting, (2)
• Kesejahteraan penanggulangan
kemiskinan dan
Catatan: hanya ketahanan pangan,
ada satu indikator (3) penyediaan
ekologi dalam infrastruktur ekonomi
kelompok output, berkelanjutan.
yaitu pengelolaan
sampah, masuk
pada tahun 2019.
Reformulasi • Menambahkan Formula I: Formula I:
dengan indikator A. Daerah yang Alokasi Dasar (69%),
indikator lingkungan hidup memiliki lahan Alokasi Formula
ekologi dan kehutanan sangat kritis dan (28%) dibagi atas non
dalam kriteria kritis/Luas RHL: ekologi (25%) dan
kinerja • Kurang dari ekologi (3%), serta
100.000 hektare Alokasi Afirmasi (3%).
• Menambahkan
(10%)
usulan indikator
• 100.000 – 500.000 Formula II:
keberlanjutan
hektare (17%) Alokasi Dasar (62%),
dalam kategori
• 500.000 – Alokasi Afirmasi
proses
1.000.000 hektare (35%) dibagi atas non
• Indikator ekologi (20%) ekologi (25%) dan
terdiri dari • Besar dari ekologi (10%), serta
Indeks Kualitas 1.000.000 hektare Alokasi Afirmasi (3%).
Lingkungan (23%)
Hidup (IKLH), Indikator ekologi
penurunan B. Memiliki kawasan yang digunakan
konflik lahan, konservasi atau adalah luas tutupan
dokumen lindung lebih dari hutan alam
Rencana Aksi atau sama dengan
Daerah tentang 30% dari luas
Penurunan Gas daerahnya (30%)
Rumah Kaca
D. Daerah yang
memiliki kelompok
usaha perhutanan
sosial dengan kriteria
silver dan/atau gold
(0,1%)
Formula II:
BD = 0.2 IFW + 0.6 IT +
0.2 IKK
BD (Bobot DAK)
IFW (Indeks Fiskal
Wilayah)
IT (Indeks Teknis)
IKK (Indeks Kemahalan
Konstruksi)
Dampak • Meningkatkan • Memperkuat • Memperkuat
kinerja basis penentuan kapasitas fiskal
pemerintah daerah-daerah yang bagi desa-desa
daerah dalam menjadi prioritas yang kaya fungsi
pelestarian dalam pencapaian ekologi;
keanekaragaman target dan program
• Memperkuat
hayati dan prioritas nasional;
kualitas pelayanan
lingkungan hidup
• Indikator ekologi publik bagi desa-
karena adanya
memberikan desa yang kaya
mekanisme
manfaat bagi fungsi ekologi;
insentif;
peningkatan kinerja
• Menurunkan
• Memperkuat daerah dalam
angka kemiskinan
kapasitas fiskal penanggulangan
tidak hanya di
KERTAS KEBIJAKAN 11
Dana Alokasi Khusus
Dana Insentif
Uraian (DAK) Lingkungan Dana Desa
Daerah
Hidup dan Kehutanan
pemerintah kemiskinan dan desa yang kaya
daerah dalam ketahanan pangan; fungsi ekologi, tapi
pelestarian juga di desa-desa
keanekaragaman lainnya;
hayati dan
• Memperkuat
lingkungan
kapasitas desa
hidup;
dalam pelestarian
• Memperkuat keanekaragaman
tata laksana hayati dan
pengelolaan data lingkungan hidup;
ekologi di tingkat
daerah dan
nasional karena
menjadi basis
data penilaian
kinerja;
• Menciptakan • Memperkuat • Memperkuat basis
perubahan kapasitas fiskal data ekologi di
paradigma pemerintah daerah desa yang bisa
pengelolaan dalam memperbaiki menjadi database
lingkungan hidup kelestarian ekologi nasional dalam
dan kehutanan dan sekaligus merumuskan
dari cost center mencapai target dan kebijakan
menjadi revenue program prioritas
generating nasiolan, seperti
penanggulangan
kemiskinan dan
ketahanan pangan.
KERTAS KEBIJAKAN 13
6.3. Mendukung Agenda Internasional Dan Nasional Dalam Penanggulangan
Perubahan Iklim Dan Pencapaian Target SDGs
Indonesia secara domestik dan internasional memiliki agenda dalam
penanggulangan perubahan iklim dan pencapaian target SDGs. Dalam aspek
penanggulangan perubahan iklim, pemerintah telah menyapaikan komitmennya kepada
dunia internasional untuk terlibat dalam aksi global menurunkan emisi gas rumah kaca.
Sedangkan, dalam aspek SDGs, Indonesia aktif sebagai inisiator menggalang dukungan
internasional untuk membangun komitmen bersama dalam mencapai target SDGs pada
2030.
Model tata kelola transfer fiskal di atas, tidak bagus dalam upaya melestarikan
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Sehingga, perlu keseimbangan dalam
model transfer fiskal. Kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi merupakan instrumen yang
tepat dalam memperbaiki keseimbangan fiskal tersebut. Instrumen ini dapat menjadi
insentif bagi daerah-daerah yang memiliki kinerja yang baik dalam upaya pelestarian
keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Sehingga, kapasitas fiskalnya meningkat
dan kemampuan daerah dalam pendanaan program juga lebih baik.
Dalam hal merumuskan Dana Desa berbasis ekologi, pengaturannya bisa melalui
revisi Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. Revisinya
memasukan indikator ekologi dalam formulasi Dana Desa. Temuan dalam kajian ini
menyebutkan, dengan memasukan indikator ekologi dalam alokasi formula dapat
menurunkan kemiskinan di daerah. Dan arahnya sudah sesuai dengan tujuan Dana Desa,
KERTAS KEBIJAKAN 15
yaitu memperbaiki kualitas pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
pemerataan distribusi pendapatan dan pembangunan antar desa. Sehingga, instrumen
Dana Desa berbasis ekologi dapat memperkuat implementasi dari Undang-undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa.
Selain itu, dibutuhkan peraturan teknis lainnya yang mengatur tata laksana dari
transfer fiskal berbasis ekologi terutama dalam menentukan menu-menu penggunaannya
dan program-program yang menjadi prioritas penggunaan dana. Hal ini bertujuan agar
penggunaan dari dana transfer fiskal berbasis ekologi tersebut sesuai dengan tujuannya,
yaitu pelestarian keanekaragaman hayati, pelestarian lingkungan hidup, peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pemertaan distribusi pendapatan dan pembangunan
antar daerah.
Hal yang sama juga bisa dicapai oleh penerapan DAK Bidang Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Dengan merumuskan formula ekologi, dapat meningkatkan kapasitas
fiskal bagi daerah yang kaya ekologi untuk mengimplementasikan tujuan dan prioritas
pembangunan nasional, yaitu penanggulangan kemiskinan dan ketahanan pangan.
Dana Desa berbasis ekologi juga memperkuat hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah desa untuk mencapai program-program nasional yang diberikan
kewenangannya ke pemerintah desa, seperti penguataan kualitas pelayanan publik,
penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan. Oleh karena itu, kebijakan transfer fiskal
berbasis ekologi harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah agar mekanisme dan tata
laksana hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi
lebih baik.
Belajar dari beberapa negara lain yang sudah lama mengimplementasikan kebijakan
transfer fiskal berbasis ekologi, seperti Brasil. Awalnya mereka hanya menggunakan satu
indikator ekologi, yaitu luas kawasan konservasi dan hutan lindung, tapi mereka terus
mengembangkan berbagai indikator lainnya. Sehingga, saat ini sangat banyak indikator
ekologi yang mereka gunakan untuk menyusun formulasi transfer fiskal berbasis
ekologi, seperti pengelolaan sampah, tanah adat, rencana pembangunan berkelanjutan,
pendidikan lingkungan hidup, pengurangan deforestasi, pengurangan kebakaran hutan,
perlindungan DAS dan lainnya. Semakin banyak indikator ekologi yang digunakan semakin
optimal untuk mencapai tujuan dari pelaksanaan transfer fiskal berbasis ekologi.
7.4. Membangun Sistem Dan Tata Laksana Dari Kebijakan Transfer Fiskal
Berbasis Ekologi Agar Dalam Implementasinya Bisa Lebih Kredibel, Efektif,
Akuntabel Dan Tepat Sasaran
Kita menyadari bahwa sistem dan tata laksana transfer fiskal di Indonesia saat ini
semakin berkembang dan dinamis. Hal tersebut merupakan konsekwensi bahwa sistem
desentralisasi fiskal yang dibangun secara cepat akibat dari proses reformasi tata kelola
pemerintahan pada 1999 masih memiliki beberapa kelemahannya.
Hal yang penting dalam sistem dan tata laksana kebijakan adalah kredibilitas,
efektifitas, akuntabel dan tepat sasaran. Reformulasi yang direkomendasikan dalam kertas
kebijakan ini harus mencangkup empat aspek tersebut. Pemerintah perlu membangun
kredibilitas dengan memperkuat database indikator ekologi yang bisa digunakan dalam
KERTAS KEBIJAKAN 17
formulasi transfer fiskal berbasis ekologi. Indikatornya harus memenuhi prinsip kesetaraan
dan keadilan antar daerah sehingga tidak bias pada daerah tertentu.
KERTAS KEBIJAKAN 19
Melakukan reformulasi terkait alokasi Dana Desa dengan memasukan
indikator ekologi. Masuknya indikator ekologi dalam Peraturan tentang
Dana Desa akan mengubah formula alokasi Dana Desa. Penelitian ini
mengajukan dua simulasi perhitungan alokasi Dana Desa yang terbukti
memberikan dampak terhadap penurunan angka kemiskinan dan
ketimpangan di daerah. Formula pertama adalah Alokasi Dasar (69%),
Alokasi Formula (28%) dibagi atas non ekologi (25%) dan ekologi (3%), serta
Alokasi Afirmasi (3%). Sedangkan, formula kedua adalah Alokasi Dasar
(62%), Alokasi Afirmasi (35%) dibagi atas non ekologi (25%) dan ekologi
(10%), serta Alokasi Afirmasi (3%).
Bakhtiar I, Suradiredja D, Santoso H, Saputra W. 2019. Palm Inside: Resolving the Oil Palm
Invasion inside Forest Zone. Jakarta: Yayasan Kehati.
Borie, M. et al., 2014. Exploring the Contribution of Fiscal Transfers to Protected Area Policy.
Ecology and Society, 19(1).
Boadway R & Shah A. 2009. Fiscal federalism: Principles and practices of multiorder
governance. Cambridge: Cambridge University Press.
Busch, J. (2018). “Monitoring and Evaluating the Payment-for-Performance Premise
of REDD+: The Case of India’s Ecological Fiscal Transfers.” Ecosystem Health and
Sustainability. 4(7):169-175.
Ghazali DA, Guericolas M, Thys F, et al. 2018. Climate change impact on disaster and
emergency medicine focusing on mitigation disruptive effects: An international
perspective. Int J Environ Res Public Health. Juli; 15(7): 1379. doi: 10.3390/ijerph15071379.
Hoegh-Guldberg O, Cai R, Poloczanska ES et al. 2014. The ocean. In: Climate change 2014:
Impact, adaptation and vulnerability. Part A: Global and sectoral aspect. Contribution
of working group II to the fifth assessment report of the Intergovernmental Panel on
Cliate Change [Field CB, Barros VR, Dokken DJ et al (eds)]. Cambridge University Press,
Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. pp. 1655-1731.
Intergovernmental Panel on Climate Change. 2018. Special report on global warming of
1.5oC. Switzeland. IPCC.
Irawan S & Tacconi L. 2016. Intergovermental fiscal transfers, forest conservation and climate
change. Cheltenham: Edward Edgar.
Irawan S, Tacconi L & Ring I. 2014. Designing intergovernmental fiscal transfers for
conservation: The case of REDD+ revenur distribution to local governments in
Indonesia. Land Use Policy, 36. pp. 47-59.
Lewis B. 2014. Twelve years of fiscal decentralization: a balance sheet. In Regional Dynamics
in a Decentralized Indonesia, Hill H (ed). Institute of South East Asia Studies: Singapore;
135–155.
Lewis B. 2015. Is central government intervention bad for local outcomes? Mixed messages
from Indonesia. Journal of Development Studies. DOI: 10.1080/00220388.2015.1068293.
Loft L, Gebera MF and Wong GY. 2016. The experience of ecological fiscal transfers: lessons
for redd+ benefit sharing. Occosional Paper 154. Bogor, Indonesia: CIFOR.
Kementerian Keuangan. 2018. Buku saku Dana Desa. Dapat diakses dari: https://www.
kemenkeu.go.id/media/6750/buku-saku-dana-desa.pdf
Kettunen M, Illes A, Rayment M et al. 2017. Integration approach to EU biodiversity financing:
Evaluation of results and analysis of option for the future. Final report for the European
Commission (DG ENV) (Project ENV.B.3/ETU/2015/0014). Institutefor European Policy
(IEEP). Brussel/London.
KERTAS KEBIJAKAN 21
Kettunen, M. and Illes, A. (eds.). (2017) Opportunities for innovative biodiversity financing:
ecological fiscal transfers (EFT), tax reliefs, marketed products, and fees and charges.
A compilation of cases studies developed in the context of a project for the European
Commission (DG ENV) (Project ENV.B.3/ETU/2015/0014). Brussels, London: Institute
for European Policy (IEEP).
Kitchen, H., McMillan, M., Shah, A. (2019). Local Public Finance and Economics. An
International Perspective. Palgrave macmillan. Springer. https://doi.org/10.1007/978-
3-030-21986-4
Kumar & Managi. (2009); Compensation for environmental services and intergovernmental
fiscal transfers: The case of India. Ecological Economics 68: 3052–3059.
Kurane I. 2010. The effect of global warming on infectious diseases. Osong Public Health
Research Perspective. December 1(1): 4-9. Doi: 10.1016/j.phrp.2010.12.004.
Köllner, T., Schelske, O., & Seidl, I., (2002). Integrating biodiversity into intergovernmental
fiscal transfers based on cantonal benchmarking: a Swiss case study. Basic and Applied
Ecology 3, 381–391.
Martak YF, Maulana SJ, Santoso. 2018. Dampak Dana Desa terhadap kesejahteraan dan
ketimpangan: Preliminary Assessment. Working Papers. Jakarta: Article 33.
May PH et al. 2002. Using fiscal instruments to encourage conservation: Municipal responses
to the ecoligical value-added tax in Parana and Minas Gerais, Brazil. In: Pagiola S,
Bishop J & Landell-Mills N (eds). Selling forest environmental service: Market-based
mechanisms for conservation and development. London: Earthscan, pp. 173-199.
May PH et al. 2012. Assesment of the role of economic and regulatory instruments in the
conservation policy mix for the Brazilian Amazon: A coarse grain analysis. Available
at: http://policymix.nina.no/Portals/policymix/Documents/Casestudies/POLICYMIX_
Portugal_Coarse_Grain rev 2013_km.pdf.
Mendelsohn, R. 2009. The impact of climate change on agriculture in developing countries.
Journal of Natural Resources Policy Research, 1:1, 5-9. doi: 10.1080/19390450802495882.
Mirski T, Bartoszcze M & Drozd AB. 2012. Impact of climate change on infectious diseases.
Pol. J. Environ. Stud. Volume 21, Number 3: 525-532.
Mumbunan S, Ring I & Lenk T. 2012. Ecological fiscal transfer at the province level in
Indonesia. UFZ-Diskussionspapiere, No. 06/2012. Available at: http://hdl.handle.
net/10419/55837
Nurfatriani F. (2016). Formulasi Kerangka dan Strategi Implementasi Kebijakan Fiskal
Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Kehutanan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Oates, W.E. (2002). Fiscal and Regulatory Competition: Theory and Evidence. Perspektiven
der Wirtschafts politik. Vol 3 (4), 377-390.
Philips MCK, Cinderich AB, Burrell JL et al. 2015. The effect of climate change on natural
disasters: A college student perspective. Weather, Climate and Society, January. doi:
10.1175/WCAS-D-13-000381.1.
Ring I. 2008. Integrating local ecological service into intergovernmental fiscal transfer: the
case of the ecological icms in Brasil. Land Use Policy 25:485-497.
KERTAS KEBIJAKAN 23
World Bank. 2010. Laporan Penelitian Dana Transfer Pusat ke Daerah. Desentralization
Support Facility.
Yao CL & Somero GN. 2014. The impact of ocean warming on marine organism. Chin Sci.
Bull. 59(5-6):468-479. doi: 10.1007/s11434-014-0113-0.