Anda di halaman 1dari 82

KONSEP PENGEMBANGAN

MINAWISATA PULAU-PULAU KECIL

DIREKTORAT PENDAYAGUNAAN PULAU-PULAU KECIL


DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DIREKTORAT PENDAYAGUNAAN PULAU-PULAU KECIL
DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

Jl. MEDAN MERDEKA TIMUR NO. 16


GEDUNG MINA BAHARI III, LT.10 JAKARTA PUSAT
TELP/FAX : 021-3522058
KONSEP PENGEMBANGAN MINAWISATA
PULAU-PULAU KECIL

Pengarah :
Dr. Sudirman Saad, SH, M.Hum
(Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil)

Ir. Agus Dermawan, M.Si


(Direktur Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil)

Penanggung Jawab :
Asrul, A.Pi, M.Si

Penyusun :
Drs. Jaelani, M.Si
Nurlian Ilyas, SE, M.Si
Arif Miftahul Azis, S.Pi, M.Si, M.Sc
Suwardi, ST, M.Si
Fahrizal Ari Iwari, S.St.Pi
Ahmad Irdan, S.Pi
Nisaul Makhmudah, ST

Narasumber :
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc

Diterbitkan oleh:
Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil

Jl. Medan Merdeka Timur No. 16


Gedung Mina Bahari III, Lt. 10 Jakarta Pusat 10110
Tel/fax : 021-3522058
www.kkp.go.id
SAMBUTAN

Pulau-pulau kecil di Indonesia yang jumlahnya mencapai 13.400 pulau beserta


segenap sumberdaya yang terkandung di dalamnya merupakan potensi pembangunan
yang sangat besar jika dikelola dengan baik. Sementara disisi lain, masyarakat pulau-
pulau kecil merupakan entitas yang belum banyak tersentuh pembangunan. Hal ini
terlihat dari masih tingginya tingkat kemiskinan penduduk, rendahnya tingkat
pendidikan dan kesehatan, serta terbatasnya infrastruktur. Kompleksnya permasalahan
dalam pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut mengharuskan adanya terobosan
program yang dapat menggerakkan potensi ekonomi pulau-pulau kecil, membuka
lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, serta berkelanjutan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka kebijakan pengelolaan pulau-pulau
kecil, hendaknya berdasarkan azas keterpaduan pengelolaan sumberdaya dan jasa
lingkungan yang berbasis ekosistem dan masyarakat. Salah satu potensi kelautan dan
jasa lingkungan yang menonjol di pulau-pulau kecil adalah perikanan dan pariwisata.
Untuk memperoleh manfaat optimal pendayagunaan sumberdaya kelautan, maka
pembangunan perikanan dan kepariwisataan bahari perlu diterjemahkan menjadi
berbagai kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk meningkatkan perolehan devisa,
pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan serta pemberdayaan masyarakat,
namun tetap menjaga kelestarian ekosistem laut baik sebagai sumberdaya alam
maupun sebagai lingkungan.
Minawisata adalah pemanfaatan kawasan wisata dengan pengembangan
produksi perikanan untuk mencapai ketertarikan masyarakat pengguna akan
pengembangan perikanan pada kawasan wisata tersebut. Dengan kata lain, Minawisata
adalah pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat dan wilayah yang berbasis
pada pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan, perikanan dan pariwisata secara
terintegrasi pada suatu wilayah tertentu.
Konsep Pengembangan Minawisata Pulau-pulau Kecil merupakan salah satu
upaya untuk memberikan gambaran utuh mengenai minawisata pulau-pulau kecil.
Untuk itu kami berharap agar konsep ini dapat memberikan perspektif dalam
pengembangan minawisata di kawasan pulau-pulau kecil secara terpadu yang dapat
mensejahterakan masyarakat lokal dan meningkatkan perekonomian daerah.

Direktur Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil,

Ir. Agus Dermawan, M.Si


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas ridho dan
kehendak-Nya kegiatan penyusunan “Konsep Pengembangan Minawisata Pulau-pulau
Kecil” ini dapat diselesaikan dengan baik. Konsep pengembangan minawisata pulau-
pulau kecil ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perspektif dalam
pengembangan minawisata di kawasan pulau-pulau kecil secara terpadu yang dapat
mensejahterakan masyarakat lokal dan meningkatkan perekonomian daerah.
Pulau-pulau kecil yang memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya
alam hayati pesisir dan laut yang tinggi, sangat potensial bagi pengembangan jasa
kelautan, terutama pariwisata bahari. Oleh sebab itu berdasarkan strategi
pembangunan kelautan yang berkelanjutan, pengelolaan pulau-pulau kecil seyogyanya
menempatkan minawisata (perikanan dan pariwisata) bahari yang berbasis ekosistem
dan masyarakat sebagai dasar kebijakan strategis pembangunan kelautan.
Minawisata adalah salah satu program pemberdayaan masyarakat pulau-pulau
kecil melalui pendayagunaan potensi sumberdaya perikanan dan pariwisata
berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip tersebut
antara lain; emisi karbon yang rendah, ramah lingkungan, sesuai daya dukung,
konservasi (penggunaan sumberdaya secara efisien) dan berbasis sumberdaya lokal.
Atas terlaksananya kegiatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada
narasumber dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, serta
semua pihak yang telah membantu dalam persiapan maupun pelaksanaan kegiatan ini.
Akhirnya kami berharap Konsep Pengembangan Minawisata Pulau-pulau Kecil ini dapat
bermanfaat sebagai salah satu acuan dalam penyusunan strategi, kebijakan, program
dan kegiatan dalam rangka pengembangan minawisata pulau-pulau kecil di Indonesia.

Jakarta, Agustus 2012

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

SAMBUTAN ......................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................... iii
DAFTAR TABEL .................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................. vi

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................. 1–1
1.2. Tujuan ............................................................ 1–3
1.3. Sasaran ........................................................... 1–3
1.4. Manfaat .......................................................... 1–3
1.5. Alur Pikir Konsep ................................................ 1–3
1.6. Ruang Lingkup .................................................... 1–5

II. POTENSI PENGEMBANGAN PULAU-PULAU KECIL


2.1. Gambaran Umum Pulau-Pulau Kecil .......................... 2–1
2.1.1. Arti Penting dan Isu Strategis Pulau-Pulau Kecil ... 2–1
2.1.2. Tipologi Pulau dan Potensi Sumberdaya Alam
Pulau-Pulau Kecil ....................................... 2–5
2.1.3. Karakteristik Pulau-Pulau Kecil ...................... 2 – 10
2.1.4. Permasalahan Kerusakan Ekosistem dan Akar
Permasalahannya ....................................... 2 – 13
2.1.5. Tantangan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil .......... 2 – 15
2.2. Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi dan
Ekonomi .......................................................... 2 – 18
2.2.1. Kebijakan dan Arah Pengembangan ................. 2 – 18
2.2.2. Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan ... 2 – 20
2.2.3. Keseimbangan Ekonomi – Ekologi – Konservasi
dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ............... 2 – 26
2.2.4. Bidang-Bidang Pengembangan yang Potensial ..... 2 – 28
III. KONSEPSI MINAWISATA PULAU-PULAU KECIL
3.1. Pengertian (Definisi) dan Batasan ........................... 3–1
3.2. Urgensi Minawisata Pulau-Pulau Kecil Berbasis Konservasi
Sumberdaya Alam ............................................... 3–4
3.3. Tujuan dan Sasaran Minawisata Pulau-Pulau Kecil ......... 3–5
3.4. Prinsip Minawisata Pulau-Pulau Kecil ....................... 3–6
3.5. Strategi Pengembangan Minawisata Pulau-Pulau Kecil .... 3–9
3.6. Keterlibatan dan Peran Stakeholders dalam Minawisata
Pulau-Pulau Kecil ............................................... 3 – 11
3.7. Pengembangan Konsep Minawisata ........................... 3 – 12
3.7.1. Perencanaan ............................................ 3 – 12
3.7.2. Pelaksanaan ............................................. 3 – 13
3.7.3. Monitoring dan Evaluasi ............................... 3 – 13
3.8. Arahan Kegiatan Minawisata Pulau-Pulau Kecil ............ 3 – 15
3.9. Persyaratan Lokasi Pengembangan ........................... 3 – 16

IV. TILIK PETIK PENGEMBANGAN MINAWISATA PULAU-PULAU KECIL


4.1. Pulau Dullah, Kota Tual ........................... ............ 4–1
4.2. Pulau Yamdena dan Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara
Barat............................................................... 4–2
4.3. Pulau Seram, Kabupaten Seram Bagian Barat .............. 4–3

V. PENUTUP
DAFTAR ISTILAH (GLOSSARY)
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

Tabel 2-1. Tipe Pulau dan Implikasi terhadap Bahaya Gangguan Alam 2–7

Tabel 2-2. Hubungan Tipe Pulau dengan Ekosistem Pesisir ............. 2–8

Tabel 3-1. Prinsip dan Kriteria Ekowisata ................................. 3–7

Tabel 3-2. Matrik Fungsi dan Wewenang dari Masing-Masing Lembaga/


Instansi yang Terlibat dalam Pengembangan Minawisata di
Kawasan Pulau-Pulau Kecil ..................................... 3 – 12

Tabel 3-3. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Bahari


Pancing ............................................................ 3 – 16

Tabel 3-4. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Bahari


Karamba Pembesaran Ikan ..................................... 3 – 17

Tabel 3-5. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Pantai ........ 3 – 18

Tabel 3-6. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Bahari Selam 3 – 19

Tabel 3-7. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Bahari


Mangrove .......................................................... 3 – 20

Tabel 3-8. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Snorkeling .... 3 – 21


DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

Gambar 1 – 1. Kerangka Alur Pikir Pengembangan Minawisata ........... 1–5

Gambar 2 – 1. Diagram Pembangunan Wilayah Berkelanjutan


(Goenarsyah, 2005) ........................................... 2 – 22

Gambar 2 – 2. Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan ............ 2 – 27

Gambar 4 – 1. Skema Ilustratif Pengembangan Minawisata Terpadu


di Pulau Dullah ................................................ 4–1

Gambar 4 – 2. Skema Ilustratif Pengembangan Minawisata Terpadu


di Pulau Yamdena dan Selaru ............................... 4–2

Gambar 4 – 3. Skema Ilustratif Pengembangan Minawisata Terpadu


di Pulau Seram Bagian Barat ................................ 4-3
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki sekitar 13.466


pulau yang tersebar di sepanjang garis khatulistiwa dengan garis pantai sepanjang
95.181 km2. Negara ini terbentang pada wilayah laut teritorial seluas 3,1 juta km2
(63% dari total wilayah teritorial Indonesia) ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif
seluas 2,7 juta km2, serta dipengaruhi oleh ekosistem flora dan fauna Benua Asia dan
Australia. Menilik jumlah dan letak geografisnya, Kepulauan Indonesia yang dikenal
dengan Kepulauan Nusantara sangat kaya dengan keragaman biologi, bentuk pulau
serta budaya masyarakat yang mendiaminya. Selain itu, dengan letak geografis yang
merupakan perlintasan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta berada di antara
Benua Asia dan Australia, Kepulauan Nusantara memiliki potensi sumberdaya ikan dan
keanekaragaman hayati laut yang luar biasa besar sebagai aset bagi pengembangan
minawisata, khususnya di kawasan pulau-pulau kecil yang tersebar di Nusantara.
Pulau-pulau kecil merupakan salah satu sumberdaya kelautan yang memiliki
potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang produktif, misalnya ekosistem
mangrove, terumbu karang dan ekosistem lamun beserta biota yang hidup di dalamnya
yang merupakan sumber bahan makanan, kawasan rekreasi, pariwisata, konservasi dan
jenis pemanfaatan lainnya. Dengan demikian, kawasan pulau-pulau kecil mengandung
potensi pengembangan yang prospektif yang dapat menyumbangkan pendapatan bagi
daerah dan membantu dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun
demikian, potensi kelautan, perikanan dan pariwisata di kawasan pulau-pulau kecil ini
belum dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat di wilayah ini.
Berbagai permasalahan yang ada seperti permasalahan lingkungan fisik perairan
yang disebabkan berbagai bentuk pencemaran, permasalahan ekonomi masyarakat,
permasalahan sosial dan budaya yang berimplikasi kepada aktivitas yang bersifat
mengganggu kelestarian sumberdaya serta terbatasnya sarana dan prasarana
penunjang merupakan faktor yang menghambat pengembangan aktivitas perekonomian
di wilayah ini. Permasalahan-permasalahan tersebut harus dipecahkan secara terpadu,
bersifat lintas sektoral dan menyertakan masyarakat sebagai subyek pembangunan
sehingga nantinya akan dihasilkan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat.
Kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang demikian tinggi
yang terkandung dalam beragam ekosistem pesisir dan laut di kawasan pulau-pulau
kecil, menjadikan kawasan ini sangat potensial bagi pengembangan jasa kelautan,
terutama pariwisata bahari. Pengembangan pariwisata bahari di kawasan pulau-pulau
kecil nusantara secara nyata memiliki prospek menjanjikan sebagai daerah tujuan
wisata bahari terbesar di dunia. Oleh sebab itu berdasarkan strategi pembangunan
kelautan yang berkelanjutan, pengelolaan pulau-pulau kecil seyogyanya menempatkan
minawisata (perikanan dan pariwisata) bahari yang berbasis ekosistem dan masyarakat
sebagai dasar pijak kebijakan strategis pembangunan kelautan.
Sebagai entitas dengan karakteristik kelautan yang menonjol, pembangunan
pulau-pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan pembangunan wilayah
pulau besar (mainland). Dalam konteks pembangunan pulau-pulau kecil, penentuan
kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil merupakan hal yang paling utama, karena
dengan keberadaan pulau-pulau kecil inilah maka keberadaan (eksistensi) sumberdaya
kelautan menjadi strategis. Dengan demikian, penting untuk dipahami seberapa besar
dukungan keberadaan pulau-pulau kecil terhadap keberlangsungan sumberdaya
kelautan secara umum. Oleh karena itu kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil,
hendaknya berdasarkan azas keterpaduan pengelolaan sumberdaya dan jasa
lingkungan yang berbasis ekosistem dan masyarakat. Azas keterpaduan ini diharapkan
dapat menjadi faktor pendukung pembangunan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan.
Untuk memperoleh manfaat optimal pendayagunaan sumberdaya kelautan,
maka pembangunan perikanan dan kepariwisataan bahari sebagai bagian integral dari
pembangunan kelautan perlu diterjemahkan menjadi berbagai kegiatan ekonomi yang
ditujukan untuk meningkatkan perolehan devisa, pemerataan kesempatan kerja dan
pendapatan, serta pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, untuk menjaga
keberlanjutan pendayagunaan sumberdaya kelautan bagi tujuan di atas, maka
kelestarian ekosistem laut baik sebagai sumberdaya alam maupun sebagai lingkungan
hidup perlu diperhatikan agar mampu memberikan sumbangan yang besar bukan saja
bagi keberlanjutan pembangunan perikanan dan pariwisata bahari, tetapi juga bagi
pembangunan kelautan pada umumnya. Dalam upaya pengembangan minawisata
pulau-pulau kecil yang terarah dan berkelanjutan dibutuhkan sebuah Konsep
Pengembangan Minawisata Pulau-Pulau Kecil.

1.2. Tujuan
Dokumen ini diharapkan dapat memberikan perspektif dalam pengembangan
minawisata di kawasan pulau-pulau kecil secara terpadu yang dapat menyejahterakan
masyarakat lokal dan meningkatkan perekonomian daerah.

1.3. Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dari penyusunan Konsep Pengembangan Minawisata
Pulau-Pulau Kecil ini adalah:
 Mendayagunakan potensi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya kelautan,
perikanan dan pariwisata (minawisata) dalam membangun dan menjadikan
masyarakat pulau-pulau kecil yang mandiri, berpendidikan, maju, dan sejahtera
dalam kemajuan Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia.

 Menjadikan wilayah pulau-pulau kecil sebagai wilayah yang menarik, aman dan
tentram serta berdaya saing tinggi sebagai tujuan investasi terutama bidang
kelautan, perikanan dan pariwisata (minawisata) yang prospektif dalam lingkup
kehidupan sosial-budaya dan politik yang demokratis dan bermartabat, serta
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

1.4. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penyusunan Konsep Pengembangan Minawisata
Pulau-Pulau Kecil ini adalah untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dan acuan
dalam perumusan kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia secara terpadu
dan berkelanjutan terutama untuk pengembangan minawisata.

1.5. Alur Pikir Konsep


Upaya perumusan konsep sistem pengelolaan minawisata pulau-pulau kecil
haruslah melibatkan setiap unsur stakeholders. Stakeholders, khususnya unsur
masyarakat harus mengetahui benar tujuan dan manfaat dari upaya pengelolaan
minawisata pulau-pulau kecil, sehingga diharapkan masyarakat akan sadar dengan
sendirinya terhadap pentingnya usaha tersebut. Pengelolaan sumberdaya pada
hakikatnya tidak terlepas dari pengembangan kelembagaan masyarakat yang
merupakan suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya. Dipandang dari
sudut individu, kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dan kelompok
individu dalam membuat keputusan dan pelaksanaan aktivitasnya. Pengelolaan
sumberdaya berbeda untuk tiap lokasi mengingat perbedaan situasi dan kondisi
sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada.
Oleh karenanya, sebelum ditetapkannya sistem pengelolaan minawisata, tahap-
tahap yang dilakukan adalah identifikasi kondisi fisik wilayah, identifikasi potensi
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, kondisi sumberdaya alam termasuk
permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Pengumpulan data dilakukan
dengan: (1) metode desk study dengan memaksimalkan pengumpulan data sekunder
(termasuk hasil studi-studi terdahulu), (2) penggalian data primer (pengamatan
lapangan) dengan menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA). Gambaran alur
pikir konsep dapat dilihat pada Gambar 1-1.
Kawasan Pulau-Pulau Kecil

Kondisi Fisik Potensi SDA dan Jasa Kondisi Sumberdaya


Wilayah Lingkungan Manusia

Peraturan : Permasalahan:
Aspirasi Pemerintah - Lingkungan
Aspirasi Masyarakat - Pengelolaan

Penilaian Kesesuaian dan Daya Dukung


Kawasan Minawisata

Penyusunan Rencana Pengelolaan


Minawisata
Minawisata

Pelaksanaan dan Pengendalian


Pengelolaan Minawisata
Berbasis Zonasi

Kebijakan Pengembangan
Minawisata

Gambar 1-1. Kerangka Alur Pikir Pengembangan Minawisata

1.6. Ruang Lingkup


Ruang lingkup pengembangan minawisata pulau-pulau kecil ini mencakup:
1. Kegiatan usaha perikanan dan pariwisata berbasis ekosistem dan pemberdayaan
masyarakat.
2. Kegiatan terkait peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama yang terkait
dengan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang perikanan dan
pariwisata.
3. Penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana lingkungan terkait usaha
perikanan dan pariwisata serta sosial ekonomi masyarakat lainnya.
4. Manajemen destinasi minawisata yang mencakup perencanaan, pelaksanaan serta
monitoring dan evaluasi.
II. POTENSI PENGEMBANGAN PULAU-PULAU KECIL

2.1 Gambaran Umum Pulau-Pulau Kecil

2.1.1 Arti Penting dan Isu Strategis Pulau-Pulau Kecil

Rona dan letak geografis negara kepulauan Indonesia mengandung faktor-faktor


penentu strategis yang relatif permanen. Keberadaan Laut Nusantara beserta selat-
selat, teluk-teluk, laut teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen dan
wilayah perbatasan yang belum berkembang, merupakan suatu realitas yang relatif
tetap.
Merupakan hal yang tidak terbantahkan bahwa sebagai negara kepulauan
dengan konfigurasi dominan oleh lebih dari 10.000 pulau-pulau kecil (berukuran lebih
kecil atau sama dengan 2000 km2), Indonesia memiliki potensi kelautan yang sangat
besar yang sebagian besar merupakan kontribusi dari mosaik ribuan pulau-pulau kecil
tersebut. Potensi sumberdaya dan jasa lingkungan kelautan yang terdapat di pulau-
pulau kecil akan tergantung pada proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak
pulau tersebut, sehingga secara geologis pulau-pulau tersebut memiliki formasi
struktur yang berbeda, dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan
memiliki kondisi lingkungan dan sumberdaya yang spesifik serta keanekaragaman
hayati yang unik.
Secara umum, sumberdaya alam pesisir dan laut yang terdapat di kawasan
pulau-pulau kecil terdiri atas sumberdaya dapat pulih (renewable resources),
sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa lingkungan
(environmental services). Sumberdaya dapat pulih terdiri atas berbagai sumberdaya
ikan, mamalia laut, mangrove, lamun (seagrass), dan terumbu karang (coral reef).
Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan
tambang/galian seperti bijih besi, pasir, timah, bauksit, serta bahan tambang lainnya.
Adapun yang termasuk jasa lingkungan, diantaranya pariwisata bahari, budidaya laut,
dan perhubungan laut (Bengen dan Retraubun, 2006).
Selama ini potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan laut yang terdapat di
kawasan pulau-pulau kecil belum banyak digarap secara optimal. Hal ini karena
selama ini upaya kita lebih banyak terkuras untuk mengelola sumberdaya yang ada di
daratan yang mempunyai luas hanya sepertiga dari luas negeri ini.
Pulau-pulau kecil memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir dan laut yang
mengandung sumberdaya alam alam hayati yang sangat potensial. Ekosistem-
ekosistem alami utama yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, diantaranya
terumbu karang (coral reefs), mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai
berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), dan laguna. Ekosistem-
ekosistem ini berperan penting sebagai penyedia sumberdaya alam hayati karena
dijadikan habitat bagi beragam jenis flora dan fauna pesisir dan laut baik secara
langsung maupun tidak langsung, seperti tempat memijah (spawning ground), tempat
tumbuh besar (nursery ground) dan tempat mencari makanan (feeding ground),
disamping juga menjadi tempat persinggahan bagi berbagai jenis burung migran
(Bengen dan Retraubun, 2006).
Sumberdaya ikan sebagai sumberdaya hayati laut dominan di kawasan pulau-
pulau kecil bernilai sangat tinggi, baik dari sisi ekologis (jumlah dan keanekaragaman
jenis, serta jenis-jenis endemik) maupun ekonomis (harganya yang tinggi). Hal ini
didukung oleh ekosistem pesisir dan laut yang kompleks dan sangat beragam, terutama
yang didominasi oleh ekosistem terumbu karang ekosistem padang lamun dan juga
ekosistem mangrove.
Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem yang unik dan produktif di
kawasan pulau-pulau kecil memiliki peran: pertama, sebagai pelindung garis pantai
dari hantaman ombak/gelombang laut, sehingga dapat melindungi garis pantai dari
kemungkinan abrasi; kedua, sebagai habitat bagi beragam jenis ikan, sehingga
memberikan dampak pada tingginya produktivitas perikanan (ikan-ikan karang) yang
bernilai ekonomis tinggi; ketiga, sebagai aset yang berharga bagi kegiatan pariwisata
bahari karena memiliki beraneka ragam biota dan panorama yang sangat indah.
Kawasan pulau-pulau kecil, terutama yang didominasi oleh ekosistem terumbu
karang, merupakan habitat yang produktif bagi sumberdaya rumput laut. Rumput laut
merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersial tinggi. Sumberdaya ini
banyak dibudidayakan oleh penduduk pulau sebagai mata pencahariannya.
Ekosistem mangrove yang juga merupakan salah satu ekosistem utama pulau-
pulau kecil, sangat berperan bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut maupun bagi
masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan
bagi ikan, tempat memijah, dan tempat tumbuh besar. Ekosistem mangrove juga
dapat berfungsi sebagai penahan abrasi yang disebabkan oleh ombak dan gelombang.
Selain itu ekosistem mangrove secara ekonomi dapat dimanfaatkan sebagai alat
tangkap ikan dan bahan baku kebutuhan rumah tangga (Bengen dan Dutton, 2004).
Selain terumbu karang dan mangrove yang memberikan dukungan bagi
produktivitas perikanan di pulau-pulau kecil, ekosistem padang lamun juga memiliki
fungsi ekologis yang cukup besar dan penting. Ekosistem padang lamun dihuni oleh
berbagai jenis ikan dan udang, baik yang menetap maupun yang bermigrasi ke padang
lamun tersebut untuk mencari makan atau berlindung. Oleh karena itu, keberadaan
padang lamun ini dapat menjadi salah satu indikator potensi sumberdaya ikan di
kawasan pulau-pulau kecil.
Dengan demikian, dukungan pulau-pulau kecil pada ketersediaan sumberdaya
ikan lebih besar pada ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Secara agregat dapat
dikatakan bahwa nilai output perikanan laut nasional sebagian besar (70-80 %)
dihasilkan oleh kawasan pulau-pulau kecil yang ada di Nusantara ini. Kekayaan dan
keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang demikian tinggi yang terkandung dalam
beragam ekosistem pesisir dan laut di kawasan pulau-pulau kecil, menjadikan kawasan
ini sangat potensial bagi pengembangan jasa kelautan, terutama pariwisata bahari.
Pengembangan pariwisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil Nusantara
secara nyata memiliki prospek menjanjikan sebagai daerah tujuan wisata bahari
terbesar di dunia. Luasnya ekosistem pesisir dan laut di kawasan ribuan pulau-pulau
kecil Indonesia berdampak pada tersedianya berjuta hektar taman laut yang memiliki
flora dan fauna yang sangat khas dan tak dimiliki oleh negara lain. Dengan kata lain
keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia merupakan pendukung utama bagi
berkembangnya pariwisata bahari.
Selain segenap potensi sumberdaya alam hayati dan jasa kelautan di atas,
beragam ekosistem di kawasan pulau–pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang
sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi
juga bagi kelangsungan hidup manusia. Salah satu fungsi dan peran utama ekosistem
pesisir dan laut di kawasan pulau–pulau kecil adalah sebagai pengatur iklim global
(termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah,
sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan.
Secara konseptual urgensi pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
di Indonesia didasari pada tiga alasan utama yaitu:
Pertama, adanya fakta fisik bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di
dunia yang terdiri atas 17.480 pulau, dengan garis pantai sepanjang 95.181 km,
terpanjang kedua di dunia setelah Canada. Selain itu, luas territorial Indonesia
sebagian besar berupa laut yakni sekitar 5,8 juta km2 atau 75% dari total wilayah
Indonesia, dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 242 juta jiwa diantaranya
tinggal di kawasan pesisir yang merupakan lokasi kota-kota besar dan kawasan
industri. Dengan kondisi alamiah seperti di atas, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
sebagai bagian yang integral dari dimensi negara kepulauan, dikaruniai pula dengan
kekayaan sumberdaya alam yang besar dan beragam baik sumberdaya alam yang dapat
pulih (seperti sumberdaya perikanan, hutan mangrove, rumput laut dan terumbu
karang) maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih. Sebagai gambaran adalah
terdapat luasan terumbu karang ± 25.000 km2, serta kehidupan biota laut yang
mencapai 80 genera dan 450 spesies terumbu karang, 2.500 spesies moluska, 1.512
spesies krustacea, 850 spesies sponge, 2.334 spesies ikan laut, 30 spesies mamalia laut
dan 38 spesies reptilian (Moosa dan Nontji, 2000), serta jasa-jasa lingkungan pesisir.
Kedua, dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk
yang diperkirakan mencapai lebih dari 242 juta jiwa, serta ditunjang oleh kenyataan
semakin menipisnya kandungan sumberdaya alam di wilayah darat (upland), maka
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru
sekaligus menjadi tumpuan harapan bangsa Indonesia bagi kesinambungan
pembangunan nasional di masa datang.
Ketiga, adalah terjadinya pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global, dari poros
Eropa-Atlantik menjadi poros Asia-Afrika. Perubahan konsentrasi ini sudah barang
tentu akan membawa konsekuensi yang tidak ringan bagi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil di Indonesia.
Upaya pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan upaya
yang sangat strategis dalam meningkatkan pembangunan nasional secara menyeluruh,
hal tersebut terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan dalam:
1. Meningkatkan penataan dan pemanfaatan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil,
dan penerapan prijinan pemanfaatan perairan pesisir.
2. Meningkatkan pendayagunaan sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil
secara lestari berbasis masyarakat.

3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan di wilayah pesisir


dan pulau-pulau kecil.

4. Meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi laut dan sumberdaya ikan.

5. Mengembangkan dan menerapkan mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim


di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

6. Memperkuat kapasitas instrumen pendukung pembangunan kelautan yang meliputi


ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya manusia, kelembagaan dan
peraturan perundangan.

7. Menggiatkan kemitraan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat, Perguruan


Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan swasta dalam pengelolaan sumberdaya
laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.

2.1.2 Tipologi Pulau dan Potensi Sumberdaya Alam Pulau-Pulau Kecil

Pulau-pulau kecil yang ada di dunia dapat dikelompokkan berdasarkan


beberapa kategori, misalnya berdasarkan tipe dan asal pembentukan pulau atau
berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut (Bengen dan Retraubun 2006).
Berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut, pulau kecil dibagi menjadi pulau
datar dan pulau berbukit, sebagai berikut:
1. Pulau Dataran
Pulau datar adalah pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut rendah.
Pulau ini berasal dari pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini
merupakan pulau yang paling rawan terhadap bencana alam, seperti taufan dan
tsunami. Mengingat bahwa pulau tersebut relatif datar dan rendah, maka massa air
dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh ke tengah pulau.
Jenis-jenis pulau datar adalah sebagai berikut:
a. Pulau Atol: Pulau atol adalah pulau karang yang berbentuk cincin. Umumnya pulau
ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang membentuk
fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef dan terakhir berubah
menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh adanya gerakan
ke bawah (subsidence) dari pulau vulkanik dan adanya pertumbuhan vertikal dari
terumbu karang. Contoh pulau atol yang cukup terkenal di Indonesia adalah pulau-
pulau yang terdapat di gugus pulau di Takabone Rate.

b. Pulau Karang: Pulau karang adalah pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik
berumur kuarter. Banyak pulau-pulau di Indonesia yang memiliki ekosistem
terumbu karang. Pulau koral/karang atau pulau teras terangkat umumnya sangat
subur dan hijau, karena mempunyai daya kapilaritas yang tinggi, sehingga memiliki
sumber air tawar yang banyak bagi kehidupan habitat dan manusia. Contoh-contoh
pulau karang terdapat di wilayah Maluku.

c. Pulau Aluvium: Pulau aluvium terbentuk karena proses pengendapan yang biasanya
terjadi di sekitar muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi
dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut. Pulau-pulau di pantai
timur Sumatera dan pulau-pulau di delta-delta di Kalimantan merupakan tipe pulau
endapan atau pulau aluvium.

2. Pulau Berbukit
Pulau berbukit adalah pulau dataran tinggi yang memiliki ketinggian di atas
muka laut yang relatif tinggi. Umumnya pulau ini memiliki ketinggian lebih dari 10 m
di atas pemukaan laut. Pulau-pulau yang tergolong pulau berbukit adalah pulau
tektonik, pulau vulkanik, pulau teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis
campuran.
a. Pulau Tektonik: Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik,
terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulau Nias, Pulau Siberut
dan Pulau Enggano. Sumberdaya air di pulau tektonik lebih banyak dijumpai
sebagai aliran sungai, dan sangat sedikit air tanah.
b. Pulau Vulkanik: Pulau vulkanik adalah pulau yang sepenuhnya terbentuk dari
kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke
permukaan. Pulau jenis ini bukan merupakan bagian dari daratan benua, dan
terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-
lempeng tersebut saling menjauh. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica
(kadar rendah). Ada pula pulau vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan
titik gunung api dan terdapat di bagian tengah lempeng benua (continental plate).
c. Pulau Karang Timbul: Pulau karang timbul adalah pulau yang terbentuk oleh
terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke
atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses
geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan, terumbu karang
mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik.
Setelah berada di atas permukaan air laut, terumbu karang akan mati dan
menyisakan terumbu dan terbentuk pulau karang timbul. Jika proses ini
berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya
karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di
pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-
vulkanik. Pulau karang timbul ini banyak dijumpai di perairan timur Indonesia,
seperti di Laut Seram, Sulu, Banda.
d. Pulau Petabah: Pulau petabah adalah pulau yang terbentuk di daerah yang stabil
secara tektonik. Pulau seperti ini antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi
pembentukan pulau petabah sering terdiri atas batuan ubahan, intrusi, dan sedimen
yang terlipat dan berumur tua, seperti Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau
Belitung.
e. Pulau Genesis Campuran: Pulau genesis campuran adalah pulau yang terbentuk
dari gabungan dua atau lebih genesis pulau-pulau tersebut di atas. Potensi air di
pulau genesis campuran tergantung pada genesis pulau yang bergabung, dan dapat
berupa sumber air yang mengalir sepanjang tahun maupun aliran air permukaan
dengan jumlah yang biasanya terbatas. Pulau-pulau seperti Pulau Haruku, Pulau
Nusa Laut, Pulau Kisar dan Pulau Rote adalah contoh pulau genesis campuran.
Salah satu kawasan di dunia yang memiliki banyak hamparan pulau-pulau kecil
adalah kawasan Pasifik. Campbell (2006) mengelompokkan pulau-pulau kecil di
kawasan pasifik menjadi 4 (empat) tipe pulau, yaitu pulau kontinental, pulau vulkanik,
pulau atol dan pulau karang terangkat. Keempat tipe pulau tersebut memiliki
implikasi yang berbeda terhadap gangguan alam, seperti gangguan dari bencana alam,
ketersingkapan dan sebagainya. Hubungan antara tipe pulau dengan implikasi
terhadap bahaya gangguan alam di kawasan Pasifik disajikan pada Tabel 2-1.
Tabel 2-1. Tipe Pulau dan Implikasi terhadap Bahaya Gangguan Alam

Implikasi Terhadap Bahaya


No. Tipe Pulau
Gangguan Alam
1. Pulau Kontinental  Berada pada daerah subduksi dan
 Sangat luas mudah mendapatkan pengaruh
dari gempa bumi dan aktivitas
 Memiliki elevasi tinggi
vulkanik
 Keanekaragaman tinggi
 Masalah banjir merupakan
 Ketersediaan tanah yang cukup masalah yang utama di pulau ini
untuk kegiatan pertanian

 Sistem aliran sungai dataran

2. Pulau Vulkanik  Sungai-sungai kecil dapat


 Memiliki slope yang curam menyebabkan banjir

 Ada penghalang karang  Karena ukurannya besar pulau ini


tidak terekspose terhadap badai
 Daratan lebih kecil dibandingkan
trofis
pulau kontinental

 Memiliki sistem aliran sungai


dataran yang lebih kecil
dibandingkan kontinental

3. Pulau Atol  Terekspose terhadap badai,


 Lahan daratan sangat terbatas pasang dan gelombang

 Elevasi sangat rendah  Sangat terbatas sumberdaya alam

 Tidak tersedia air permukaan  Air permukaan merupakan


masalah utama

4. Pulau Karang Terangkat  Sangat tergantung pada


 Slope outer curam ketinggian, ekspose terhadap
badai
 Pesisir dataran sempit
 Air permukaan terbatas
 Tidak ada air permukaan

 Tidak ada atau sangat minim


tanah pertanian

Sumber: Campbell (2006).


Kajian karakteristik pulau-pulau kecil di Indonesia dilakukan oleh Asriningrum
(2009). Kajian yang dilakukan adalah melihat keterkaitan atau hubungan antara
karakteristik pulau kecil dengan pertumbuhan atau perkembangan ekosistem pesisir.
Kajian dilakukan pada tiga tipe pulau, yaitu pulau tektonik, pulau vulkanik dan pulau
karang dengan kemungkinan keberadaan atau pertumbuhan ekosistem mangrove,
terumbu karang dan lamun pada ketiga pulau tersebut. Hasil kajiannya pada beberapa
pulau kecil di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara pulau tektonik, vulkanik
dan pulau karang sebagaimana disajikan pada Tabel 2-2.

Tabel 2-2. Hubungan Tipe Pulau dengan Ekosistem Pesisir

Tipe Pulau Kecil


Ekosistem Laut
Tektonik Vulkanik Karang
Mangrove Tumbuh lebih baik Tumbuh pada sisi Sulit tumbuh
pada pantai landai pulau yang datar
dan datar yang lebih dan terlindung
terlindung
Terumbu Tumbuh lebih baik Aktivitas vulkanik Tumbuh lebih
Karang pada pantai terjal semakin rendah baik pada posisi
berbatu yang terumbu karang perairan laut yang
menghadap laut semakin baik lebih terbuka
lepas
Lamun Tumbuh lebih baik Tumbuh pada sisi Sulit tumbuh
pada daerah yang pulau yang
lebih terlindung terlindung
Sumber : Asriningrum (2009)

Secara umum, sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil


terdiri atas sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tidak
dapat pulih (nonrenewable resources) dan jasa-jasa lingkungan (environmental
services). Sumberdaya yang dapat pulih terdiri atas berbagai jenis ikan, plankton,
bentos, moluska, mamalia laut, rumput laut (seaweed), lamun (seagrass), mangrove,
terumbu karang dan krustasea. Sumberdaya yang tidak dapat pulih meliputi minyak
bumi dan gas, mineral, bahan tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit
serta bahan tambang lainnya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan adalah
pariwisata dan perhubungan laut (Dahuri, 1998).
Dahuri (1998) menjelaskan bahwa pulau-pulau kecil memiliki satu atau lebih
ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem tersebut dapat bersifat alamiah ataupun
buatan. Ekosistem alami yang biasanya dijumpai di pulau-pulau kecil antara lain
adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai
berbatu, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta.
Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan
budidaya (mariculture), dan kawasan pemukiman.
Selanjutnya dijelaskan bahwa potensi sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau
kecil terkenal sangat tinggi, hal ini didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat
beragam. Perairan karang merupakan ekosistem yang subur dan banyak dihuni oleh
beraneka ragam sumberdaya hayati. Selain itu, ekosistem terumbu karang dengan
keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata bahari.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat
berperan bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya maupun bagi
masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan
bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat memelihara
anak. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi yang
disebabkan oleh gelombang dan arus, selain itu ekosistem ini juga secara ekonomi
dapat dimanfaatkan sebagai bahan kayu bakar dan bahan membuat rumah (Dahuri,
1998).
Sumberdaya rumput laut banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena
kebanyakan wilayah pesisir di kawasan ini mempunyai perairan yang subur dan dangkal
serta memiliki ombak yang relatif kecil. Rumput laut merupakan sumberdaya alam
yang memiliki nilai komersial yang tinggi disamping sumberdaya perikanan.
Sumberdaya ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata
pencaharian mereka.
Dahuri (1998) menjelaskan bahwa potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di
kawasan pulau-pulau kecil seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut merupakan
potensi yang memiliki nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar
maupun pendapatan nasional. Keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di
pulau-pulau kecil tersebut merupakan daya tarik tersendiri di dalam pengembangan
pariwisata.
2.1.3 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil

Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2001) menyatakan


bahwa terdapat 4 (empat) karakteristik pulau-pulau kecil, yaitu: (1) secara ekologis
terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan
terisolasi dari habitat pulau induk sehingga bersifat terisolir; (2) memiliki proporsi
spesies endemik lebih besar daripada yang terdapat di pulau induk; (3) daerah
tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air
permukaan dan sedimen masuk ke laut, akibatnya pulau kecil selalu peka terhadap
kekeringan dan kekurangan air; dan (4) dari segi sosial ekonomi budaya, masyarakat
pulau-pulau kecil bersifat khas.
Sementara itu bagi pulau-pulau yang berpenghuni, jelas akan memiliki
karakteristik sosial budaya tersendiri, sebagai konsekuensi dari proses evolusi budaya
yang terjadi dalam suatu proses rangkaian interaksi manusia dan lingkungannya.
Interaksi manusia dengan lingkungan terjadi dalam suatu bentuk pola-pola tingkah laku
yang terlembagakan, kemudian menghasilkan sistem adaptasi yang terpola dan
merupakan bagian dari sistem yang lebih luas, yakni kebudayaan. Selanjutnya
kebudayaan yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan adaptasi manusia
terhadap lingkungan adalah aspek-aspek kebudayaan yang berupa sistem teknologi
mata pencaharian dan pola pemukiman, yang keduanya disebut juga sebagai cultural
core. Oleh karenanya karakteristik inipun menjadi spesifik pada tempat atau lokasi
yang berbeda. Sehingga penanganan sistem sosial bagi pengembangan pulau-pulau
kecil pun akan memiliki strategi yang berbeda pula pada setiap tempat.
Dengan demikian keberadaan pulau-pulau kecil sebagai suatu ruang wilayah,
bagi masyarakat mempunyai fungsi sosial tertentu, terutama berkaitan dengan
penguasaan sumberdaya yang bersifat terbuka (open acces) bagi pemenuhan
kebutuhan hidup suatu kelompok masyarakat atau suatu sistem sosial. Disamping itu
juga terdapat pulau-pulau yang telah menjadi milik suatu komunitas tertentu
(common acces) maupun telah menjadi milik suatu private. Fungsi-fungsi tersebut
dapat berupa fungsi ekonomi secara langsung maupun tidak langsung, yang sudah
menjadi tradisi atau kebiasaan bagi masyarakat. Fungsi-fungsi langsung dapat berupa
pemanfaatan berbagai sumberdaya pada ekosistem pulau, sedangkan fungsi tidak
langsung dapat berupa pemanfaatan pulau-pulau sebagai tempat perlindungan atau
persinggahan sementara dari kondisi cuaca yang tidak bersahabat, bagi para nelayan
penangkap ikan tradisional maupun bagi kelompok etnis atau suku-suku tertentu yang
memiliki kehidupan di laut seperti Suku Laut di perairan Kepulauan Riau.
Mobilitas penduduk pulau-pulau kecil biasanya relatif rendah. Mobilitas utama
dilakukan ke pulau-pulau besar atau pulau utama di sekitarnya untuk menjual hasil
perikanan dan pertanian. Mobilitas lain dilakukan ke wilayah lain di pulau-pulau kecil
tetangga terutama untuk menangkap ikan. Kedua mobilitas ini dapat dikategorikan
sebagai mobilitas komuter.
Rendahnya mobilitas ini disebabkan oleh rendahnya tingkat penyediaan sarana
dan prasarana transportasi laut, rendahnya frekuensi jasa transportasi yang
menghubungkan antar kawasan kepulauan, sehingga biaya transportasi menjadi sangat
mahal. Keterbatasan ini diperkirakan mendorong proses kulturisasi/asimilasi
masyarakat pulau-pulau kecil yang terdiri atas berbagai etnis berjalan lebih baik, tidak
seperti masyarakat wilayah pesisir lain yang lebih berkelompok menurut etnis masing-
masing. Proses kulturisasi biasanya membentuk masyarakat yang mereka sebut
sebagai “Orang Pulau”.
Kulturisasi ini terjadi karena potensi sumberdaya ekonomi kawasan kepulauan
memberi prospek ekonomi yang memadai untuk menjaga kehidupan mereka, sehingga
semua etnis yang ada di pulau-pulau kecil mempunyai ikatan emosional yang kuat
dengan daerah tersebut. Disamping itu, mobilitas penduduk yang berkaitan dengan
usaha perdagangan dengan wilayah lain dilakukan seefisien mungkin, hal ini
disebabkan oleh mahalnya biaya transportasi. Ini berarti juga pembelian dan
penjualan barang dari dan ke pulau-pulau kecil harus dilakukan dalam jumlah yang
relatif banyak agar dapat menghemat biaya transportasi.
Sumberdaya alam dan lingkungan hidup masyarakat pulau-pulau kecil pada
dasarnya mengikuti hukum adat dan hak ulayat yang diakui masyarakat. Dalam hal
masyarakat suatu pulau terbentuk dari sekelompok pendatang dari daratan utama,
maka hak-hak adat dan ulayat atas sumberdaya alam dan lingkungan pada pulau
tersebut akan mengikuti hak-hak adat dan ulayat yang berlaku pada daratan utama.
Kecenderungan kuat terjadi bahwa hak-hak adat dan ulayat tersebut mengikuti sistem
adat dan ulayat pada suku bangsa yang dominan.
Pada pulau-pulau kecil yang penduduknya jarang, seringkali masyarakatnya
terdiri dari keturunan dari tokoh yang melakukan perintisan dan pertama kali menetap
di pulau tersebut. Dalam hal ini terjadilah masyarakat genealogis, yaitu masyarakat
yang berasal dari keturunan seorang cikal-bakal tertentu. Seorang perintis biasanya
mempunyai beberapa pengikut, yang kemudian membentuk keluarga pula sehingga
terbentuklah beberapa kelompok kerabat yang merupakan generasi perintis yang
pertama. Kelompok kerabat inilah yang kemudian menentukan nilai-nilai dan norma-
norma yang di kemudian hari dikenal sebagai hukum adat yang berlaku di pulau
tersebut. Sehubungan dengan asal kedatangan generasi perintis ini telah membawa
adat dari daerah asal masing-masing, maka terjadilah akulturasi dan asimilasi nilai
budaya, yang kemudian melahirkan tatanan hukum adat baru yang merupakan variasi
dari hukum adat dari daerah asal disesuaikan dengan kondisi lokal. Perbedaan-
perbedaan yang seringkali dapat terlihat jelas antara lain dalam hal dialek, cara
berpakaian, etika pergaulan dan upacara-upacara ritual dalam keagamaan dan
perkawinan.
Sehubungan dengan tujuan kedatangan kelompok masyarakat tertentu di suatu
pulau, dikenali adanya hubungan sosial atas dasar maksud dan upaya untuk
memanfaatkan suatu sumberdaya alam tertentu. Masyarakat dari berbagai daerah asal
yang kemudian secara bersama-sama menetap untuk mengelola sumberdaya tertentu
di pulau tersebut disebut sebagai masyarakat yang terbentuk atas dasar territorial
atau "hubungan tinggal dekat". Bila hubungan antara kelompok masyarakat yang
berbeda suku bangsa dan daerah asal tersebut kemudian meningkat menjadi suatu
perkawinan (amalgamasi) maka ikatan hubungan territorial kemudian berbaur dengan
ikatan hubungan genealogis.
Masyarakat yang telah mengalami proses asimilasi tersebut, mempunyai sistem
kekerabatan yang sangat erat, dengan semangat kegotongroyongan dan solidaritas
yang tinggi. Karakter yang demikian terbentuk karena kehidupan sosial budaya
mereka menghadapi suatu kendala sosial dan ekonomi yang relatif seragam. Kendala-
kendala tersebut adalah seperti sarana dan prasarana kehidupan, lapangan kerja,
termasuk distribusi kebutuhan pokok harian. Oleh sebab itu, dalam masyarakat yang
demikian peranan tokoh informal sangat menonjol dibandingkan dengan tokoh formal
di dalam berbagai segi kehidupan. Tokoh-tokoh informal tersebut umumnya dijadikan
Ketua Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) oleh penduduk setempat dalam
rangka menjalankan pemerintahan.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa kenyataan alam dan kehidupan
mengajarkan adanya berbagai bentuk keteraturan yang dapat dipahami dan dapat
dijadikan dasar untuk merencanakan pengembangan suatu wilayah. Keteraturan-
keteratuan inilah yang umumnya disebut sebagai hukum atau konsep yang menjadi
pemandu pembangunan wilayah. Hukum-hukum atau konsep-konsep tersebut dapat
berwujud pola keteraturan fisik dan lingkungan maupun pola keteraturan sosial
ekonomi masyarakat yang lahir akibat interaksi antara masyarakat dengan sumberdaya
alam dan lingkungan. Hukum keteraturan ini teramati secara temporal maupun
spasial. Hukum keteraturan inilah yang menjadi penentu pola sebaran dan konsentrasi
berbagai aktivitas masyarakat pesisir secara spasial dan kultural.
Karakteristik lain adalah bahwa pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap
bencana alam (natural disasters) seperti angin topan, gempa bumi dan banjir
(Briguglio, 1995; Adrianto and Matsuda, 2002). Dalam kacamata ekonomi, dampak
bencana alam terhadap ekonomi pulau-pulau kecil tidak jarang sangat besar, sehingga
menyebabkan tingkat resiko di pulau-pulau kecil menjadi tinggi pula.

2.1.4 Permasalahan Kerusakan Ekosistem dan Akar Permasalahannya

Berdasarkan aspek kerawanan wilayah, Indonesia mengalami degradasi


ekosistem dan sumberdaya dimana 42 % terumbu karang mengalami kerusakan berat,
29 % rusak, 23% kondisi baik dan hanya 6% ekosistem terumbu karang dalam kondisi
sangat baik. Ekosistem mangrove juga mengalami kerusakan sebesar 40% yang
tentunya juga berdampak kepada menurunnya stok sumberdaya perikanan. Selain itu,
wilayah Indonesia juga sering mengalami bencana baik oleh alam maupun akibat
aktivitas manusia. Wilayah pesisir yang menjadi daerah pemukiman sering mengalami
bencana alam diantaranya erosi, abrasi, tsunami, banjir, ROB maupun dampak-dampak
lain akibat adanya perubahan iklim global. Meningkatnya pemukiman dan industri di
wilayah pesisir juga menambah beban daya dukung lingkungan pesisir dengan adanya
pencemaran baik diakibatkan limbah domestik rumah tangga maupun limbah-limbah
buangan industri yang tidak dikelola secara baik tetapi langsung dibuang melalui
sungai maupun langsung ke lautan.
Disisi lain, semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya
kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, bagi berbagai peruntukan (pemukiman,
perikanan, pelabuhan, obyek wisata dan lain-lain), maka tekanan ekologis terhadap
ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut semakin meningkat. Meningkatnya tekanan
ini tentunya akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan
sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya.
Kecenderungan kerusakan lingkungan pesisir dan lautan lebih disebabkan
paradigma dan praktek pembangunan selama ini diterapkan belum sesuai dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan
cenderung bersifat ekstraktif serta dominasi kepentingan makro-ekonomi dari pada
ekonomi masyarakat setempat/lokal (pesisir). Pembangunan berkelanjutan harus
bersifat partisipatif, transparan, dapat dipertanggungjawabkan, efektif dan efisien,
pemerataan serta mendukung supremasi hukum.
Adrianto (2004) menyatakan bahwa dalam konteks faktor lingkungan, Hall
(1999) membagi persoalan lingkungan di pulau-pulau kecil menjadi dua kategori yaitu :
(1) persoalan lingkungan secara umum (common environmental problems), dan (2)
persoalan lingkungan lokal (local environmental problems). Persoalan lingkungan
secara umum didefinisikan sebagai persoalan yang terjadi di hampir seluruh pulau-
pulau kecil di dunia (commons). Persoalan ini mencakup limbah lokal, persoalan
perikanan, kehutanan, penggunaan lahan dan persoalan hak ulayat pulau. Persoalan
limbah terutama dihasilkan dari kegiatan manusia yang menjadi penduduk pulau kecil,
sementara untuk persoalan yang menyangkut kegiatan perikanan, penangkapan ikan
berlebih dan merusak telah menjadi indikasi umum dari terjadinya kerusakan kualitas
sumberdaya perikanan dan lingkungan laut di pulau-pulau kecil. Banyak terjadi
ekosistem pulau-pulau kecil seperti terumbu karang rusak karena kegiatan konstruksi,
penggalian (dredging), polusi yang disebabkan oleh kegiatan pembangunan di pulau-
pulau kecil atau karena aktifitas penangkapan ikan merusak seperti pemboman dan
peracunan ikan. Sumberdaya lahan daratan seperti hutan juga merupakan persoalan
lingkungan yang secara luas terjadi di pulau-pulau kecil. Penebangan pohon yang
tidak terkendali, kebakaran hutan dan beberapa dampak turunan seperti erosi dan
hilangnya keanekaragaman hayati hutan merupakan salah satu karakteristik persoalan
ini. Selain itu, persoalan tata guna lahan dan hak ulayat juga tergolong dalam
persoalan lingkungan yang secara luas terjadi di pulau-pulau kecil. Pengaturan
penggunaan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukannya
merupakan prasyarat utama bagi pengelolaan lahan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan.
Kategori persoalan lingkungan yang kedua di pulau-pulau kecil adalah persoalan
lokal (local environmental problems) yang terdiri atas hilangnya tanah (soil loss) baik
secara fisik maupun kualitas, kekurangan air (water shortage), limbah padat dan
bahan kimia beracun, dan problem spesies langka. Kehilangan tanah baik dalam arti
fisik maupun kualitas (kesuburan) terjadi karena erosi lahan yang juga terjadi di
berbagai wilayah lainnya. Demikian juga dengan persoalan air bersih, banyak pulau-
pulau kecil yang tidak memiliki cadangan air bersih yang cukup sehingga dalam
beberapa hal perlu dilakukan teknik desalinisasi dari air laut ke air tawar. Limbah
padat khususnya yang terkait dengan konsumsi penduduk pulau juga menjadi salah
satu persoalan umum di pulau-pulau kecil (Hall, 1999 dalam Adrianto, 2004).

2.1.5 Tantangan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Beberapa karakteristik ekosistem pulau-pulau kecil yang dapat merupakan


kendala bagi pembangunan adalah:
1. Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan sarana dan prasarana
menjadi sangat mahal dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka.

2. Kesukaran dan ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan
menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi turut
menghambat pembangunan di hampir semua pulau-pulau kecil di dunia
(Brookfield, 1990; Hein, 1990; Dahuri, 1998).

3. Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar,


vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan
daya dukung suatu sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia dan
segenap kegiatan pembangunan.

4. Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di setiap


unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti
ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait erat satu sama lain
(Mc. Elroy et al, 1990; Dahuri, 1998).
5. Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.

Berdasarkan beberapa kendala tersebut, bukan berarti pulau-pulau kecil tidak


dapat dibangun atau dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti
kaidah-kaidah ekologis, khususnya adalah bahwa tingkat pembangunan secara
keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung suatu pulau, dampak negatif
pembangunan hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan
ekosistem pulau. Selain itu, setiap kegiatan pembangunan yang akan dikembangkan di
suatu pulau seyogyanya memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan
serta sesuai dengan budaya lokal (Dahuri, 1998).
Beberapa hal yang menjadi permasalahan dan kendala utama yang harus
mendapatkan perhatian dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
antara lain:
1. Adanya perbedaan kepentingan yang cenderung menjurus ke konflik kepentingan
antar sektoral dan stakeholders lainnya. Konflik kepentingan ini tidak hanya
terjadi antar sektoral dalam pemerintahan tetapi juga dengan masyarakat
setempat dan pihak swasta. Konflik pemanfaatan ruang dan kewenangan di
wilayah pesisir antar berbagai pengguna/stakeholders, belum serasinya penataan
ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil potensial menimbulkan konflik.
2. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM) belum diterapkan.

3. Otonomi daerah : konflik horizontal dan vertikal dalam pelaksanaan kewenangan


pengelolaan wilayah laut di daerah.

4. Tingginya masyarakat miskin di wilayah pesisir, ± 80% masyarakat pesisir tergolong


miskin, dengan tingkat pendidikan rendah, dan pertumbuhan penduduk tinggi.

5. Lemahnya kerangka hukum dalam hal pengaturan sumberdaya pesisir dan lautan,
serta perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih banyaknya
pemanfaatan sumberdaya ini yang tidak terkendali. Juga tidak adanya kekuatan
hukum dan pengakuan terhadap sistem-sistem tradisional serta wilayah ulayat laut
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

6. Potensi sumberdaya pulau-pulau kecil belum dikelola secara optimal, akibatnya


investasi menjadi tidak menarik karena belum adanya kepastian hukum untuk
penyelenggaraan investasi usaha di perairan pesisir (lokasi usaha tidak ada jaminan
kepastian/perlindungan hukum karena tidak jelas zonasinya/peruntukannya), tidak
jelas hak-hak dan kewenangan pengusaha dalam menggunakan ruang perairan laut.

7. Eksploitasi sumberdaya laut tidak memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan.


Degradasi ekosistem: ± 42% terumbu karang berada dalam konsisi sangat buruk, ±
29% rusak, dan hanya ± 23% dan ± 6% berada dalam kondisi baik dan sangat baik,
dan ± 40% mangrove rusak.

8. Masih minimnya keikutsertaan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumberdaya


pesisir dan lautan. Tidak mengherankan apabila masyarakat tidak mempunyai rasa
memiliki terhadap pesisir dan lautan yang lestari serta pemahaman tentang
pentingnya nilai ekonomis dan non-ekonomis dari keberadaan pesisir dan lautan
yang perlu dijaga.

9. Pencemaran wilayah pesisir dan laut .

10. Penurunan populasi ikan dan punahnya beberapa spesies perikanan.

11. Kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana di wilayah pesisir, seperti:


tsunami, erosi, tropical low, gelombang pasang (sea level rise), perubahan iklim,
dan lain-lain. Kebijakan mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim terhadap
ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil belum diterapkan.

12. Konservasi laut belum berkembang secara memadai.

13. Kurang memadainya peraturan perundangan yang berakibat pada lambannya


pengembangan investasi.

14. Pendayagunaan pulau-pulau kecil termasuk pulau-pulau kecil terluar belum


dikelola dan didayagunakan secara optimal .

15. Sumberdaya kelautan non-konvensional belum dikelola secara optimal.

16. Peraturan perundangan belum cukup memadai.

Disamping kendala dan permasalahan tersebut di atas, yang tidak kalah penting
adalah sektor kelautan dan perikanan belum menjadi suatu sektor yang berdiri sendiri
karena di dalam pelaksanaan program dan kegiatan pembangunannya masih berada di
bawah fungsi ekonomi, fungsi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, fungsi pelayan
umum dan fungsi pendidikan, sehingga di dalam prioritas kegiatan pembangunannya
baru dapat dilakukan setelah fungsi-fungsi di atasnya berjalan.

2.2 Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi dan Ekonomi

2.2.1 Kebijakan dan Arah Pengembangan

Sain (1993) dalam Adrianto (2004) mengemukakan bahwa strategi pengelolaan


lingkungan di pulau-pulau kecil sudah sejak lama dilakukan secara parsial dan
individualistis. Strategi pengelolaan seperti ini gagal memahami bahwa seluruh
komponen kegiatan di pulau-pulau kecil terkait satu sama lain dan bahwa interaksi dan
hasil dari seluruh kegiatan di pulau-pulau kecil dapat menciptakan reaksi ganda
sekaligus berantai dari persoalan dan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di
pulau-pulau kecil. Selanjutnya dikatakan bahwa seluruh kegiatan sosial ekonomi
masyarakat di pulau-pulau kecil memiliki dampak langsung terhadap lingkungan
daratan dan laut. Selain itu, pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap bencana alam
seperti angin topan, gempa bumi dan kenaikan permukaan laut.
Dalam konteks ini, maka Cambers (1992) dalam Adrianto (2004) menganjurkan
bahwa strategi pengelolaan pulau-pulau kecil harus dapat mengaitkan seluruh kegiatan
dan stakeholders yang ada di pulau-pulau kecil dengan menggunakan pendekatan
terkoordinasi. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pulau-pulau kecil paling
tidak terdapat 5 (lima) proses, yaitu: (1) proses alam, (2) proses sosial, (3) proses
ekonomi, (4) perubahan iklim dan proses pertemuan antara daratan dan laut yang
masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 (tiga) komponen pulau-
pulau kecil yaitu (1) sistem lingkungan daratan, (2) sistem lingkungan laut, dan (3)
sistem aktivitas manusia, sehingga harus dikelola secara terpadu. Dalam konteks
keterpaduan, maka pendekatan berbasis keberlanjutan sistem wilayah pesisir di pulau-
pulau kecil menjadi sebuah syarat mutlak.
Pengelolaan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan pesisir secara
terpadu. Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses yang dinamis dan kontinyu
untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya dan pembangunan secara berkelanjutan,
perlindungan sumberdaya dan wilayah pesisir dan laut (Cicin-Sain dan Knecht, 1998).
Pengelolaan pesisir terpadu ini adalah sebuah proses yang memperhatikan
karakteristik dari wilayah pesisir. Aspek keterpaduan dari pengelolaan pesisir terpadu
adalah keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar pemerintah (lokal-nasional),
keterpaduan wilayah/spasial, keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen,
dan keterpaduan internasional. Sementara itu, Dahuri et al. (2001) mendefinisikan
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan
wilayah pesisir yang melibatkan lebih dari satu ekosistem, sumberdaya dan kegiatan
pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah
pesisir secara berkelanjutan.
Jika merujuk pada definisi wilayah pesisir yang dianut oleh Indonesia dimana
wilayah pesisir dibatasi dengan wilayah kecamatan pesisir ke arah darat dan sejauh 12
mil ke arah laut, maka hampir seluruh wilayah pulau-pulau kecil merupakan wilayah
pesisir (Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007). Namun jika pengertian wilayah pesisir
merujuk pada batasan yang menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah
peralihan yang ke arah daratnya dibatasi oleh wilayah yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses di laut (intrusi air laut) dan ke arah laut sejauh wilayah yang masih
dipengaruhi oleh proses di darat (sedimentasi), maka batas wilayah pesisir di pulau-
pulau kecil sangat ditentukan oleh geomorfologi pulau kecil. Karakteristik pulau
(termasuk pulau kecil) yang dikelilingi perairan/lautan, luasannya (wilayah
daratannya) yang kecil, jarak dari daratan besar yang sangat jauh menyebabkan pulau
kecil sebagai sebuah sistem tertutup (Calado et. al., 2007), hal ini memiliki implikasi
yang sangat besar terkait dengan proses perencanaan dan pengelolaan spasial pulau-
pulau kecil. Karena sifatnya yang remotness, terisolasi, sangat kecil dan merupakan
sistem tertutup, membuat perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil memiliki
tantangan yang lebih besar baik ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan maupun
kebutuhan teknologi. Calado et. al. (2007) menjelaskan bahwa dalam kaitannya
dengan strategi pengelolaan pesisir terpadu untuk pulau-pulau kecil, penyusunan
strategi pengelolaan pesisir terpadu merupakan sebuah pemikiran positif untuk
memulai proses inisiasi dialog, peningkatan partisipasi publik dalam pengambilan
keputusan, peningkatan kesadaran terhadap permasalahan pesisir. Towle (1985)
menekankan bahwa karena karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, maka dalam
mengimplementasikan pengelolaan terpadu harus menghindari bias kontinental pada
saat merancang program pengelolaan pulau-pulau kecil.
Bengen (2002) menyatakan bahwa pentingnya pengelolaan pulau-pulau kecil
secara terpadu karena: (1) ukuran pulau kecil yang terbatas, sehingga pulau kecil tidak
berdiri sendiri tetapi memiliki keterkaitan fungsional sebagai gugus pulau; (2) adanya
keterkaitan ekologis antar ekosistem pesisir; (3) pemanfaatan sumberdaya pesisir yang
beragam (dapat menimbulkan berbagai konflik); (4) pulau-pulau kecil dihuni oleh
berbagai kelompok masyarakat dengan preferensi yang berbeda; dan (5) adanya sifat
common property dari sumberdaya pesisir. Lebih lanjut dikatakan bahwa pengelolaan
terpadu adalah pengelolaan secara komprehensif dengan memperhatikan secara
mendalam dan menyeluruh sumberdaya alam yang unik; mengoptimalkan pemanfaatan
serbaneka ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut; mengintegrasikan aspek
ekologis, sosial, ekonomi dan budaya dalam pengelolaan; serta meningkatkan
pendekatan interdisiplin dan koordinasi antar sektor dalam masalah pesisir.
Sedangkan target pengelolaan pulau-pulau kecil adalah untuk mempertahankan dan
memperbaiki kualitas sumberdaya dan lingkungan pesisir serta meningkatkan kualitas
sosial dan ekonomi masyarakat pesisir.
Dalam kaitannya dengan program pemanfaatan pulau-pulau kecil di Indonesia,
maka yang diperlukan adalah beberapa aspek normatif, akurat dan data baru.
Berdasarkan kondisi, potensi dan peluang dalam optimasi sumberdaya, maka Hidayat
(1998) mengusulkan beberapa bahan pertimbangan sebagai berikut: (1) keterpaduan
dan keberlanjutan; (2) pemberian nilai ekonomi lingkungan; (3) penataan ruang; (4)
pengamanan fungsi lindung; (5) pemberdayaan masyarakat setempat; (6) peningkatan
pendapatan masyarakat; (7) pengendalian pencemaran dan kualitas air; dan (8)
pembangunan kawasan pemukiman.
Dalam konteks arahan pengelolaan pulau-pulau kecil, kegiatan pemanfaatannya
hanya diperuntukan bagi kegiatan berbasis konservasi. Artinya, pemanfaatan untuk
berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif – destruktif tidak disarankan untuk
dilaksanakan. Hal ini mengingat bahwa pulau-pulau kecil memiliki sejumlah kendala
dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau-pulau besar
(mainland). Atas dasar karakteristik pulau-pulau kecil, maka arahan peruntukan dan
pemanfaatannya hanya beberapa kegiatan yang dapat memanfaatkan potensi
sumberdaya pulau-pulau kecil, antara lain perikanan tangkap, perikanan budidaya laut
dan pariwisata (Bengen, 2002; Fauzi dan Anna, 2005).
2.2.2 Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan

Realitas negara kepulauan Indonesia yang ditaburi ribuan pulau-pulau kecil


memiliki segenap potensi sumberdaya alam dan jasa kelautan yang sangat besar
sebagaimana diuraikan di atas. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana potensi
yang besar ini dapat menjadi lokomotif pembangunan pulau-pulau kecil Indonesia
secara berkelanjutan? Jawabannya tentu saja terpulang kepada komitmen bangsa dan
segenap pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mendayagunakan dan
memberdayakan potensi ini secara terpadu dan berkesinambungan.
Dalam perspektif pembangunan pulau-pulau kecil berkelanjutan, seyogyanya
pendayagunaan dan pemberdayaan potensi sumberdaya dan jasa kelautan pulau-pulau
kecil diarahkan pada pembangunan perikanan dan pariwisata berbasis ekosistem dan
masyarakat. Hal ini didasarkan pada 2 (dua) alasan utama: pertama, secara
biogeofisik, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari separuhnya
adalah pulau-pulau kecil, Indonesia memiliki wilayah yang lebih dari 60% adalah laut
teritorial yang didominasi oleh ekosistem terumbu karang, padang lamun dan
mangrove, sehingga sangat kaya akan sumberdaya ikan dan memiliki keanekaragaman
hayati yang sangat tinggi; kedua, secara sosial-budaya dan ekonomi, sebagian besar
penduduk pulau-pulau kecil bermatapencaharian serta memiliki aktivitas yang terkait
erat dengan laut (sebagai nelayan, pembudidaya, pedagang dan lain-lain).
Karena itu bila ditilik dari strategi pembangunan kelautan berkelanjutan,
pembangunan pulau-pulau kecil seyogyanya menempatkan minawisata (perikanan dan
pariwisata) bahari yang berbasis ekosistem dan masyarakat sebagai dasar pijak
kebijakan strategis pembangunan.
Untuk mendukung pengelolaan perikanan dan pariwisata (minawisata) bahari
pulau-pulau kecil, perlu melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan proses
pengelolaan dengan pendekatan ko-manajemen. Pomeroy dan Williams (1994)
mengatakan bahwa konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak
kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya
adalah konsep Cooperative management atau disingkat dengan Ko-manajemen (Co-
management).
Ko-manajemen didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan
wewenang antara pemerintah dengan pengguna sumberdaya alam lokal (masyarakat)
dalam pengelolaan sumberdaya alam seperti perikanan, terumbu karang, mangrove
dan lain sebagainya. Dalam Ko-manajemen ini, pihak masyarakat dan pemerintah
harus saling berinteraksi baik berupa konsultasi maupun penjajakan awal, misalnya
bilamana pemerintah akan menetapkan peraturan pengelolaan sumberdaya pesisir dan
laut.
Dalam konteks ini masyarakat (community) didefinisikan sebagai kelompok
orang-orang yang memiliki fungsi moral tertentu seperti kebaikan, pekerjaan,
tempat tinggal, agama dan nilai-nilai (Renard, 1991 dalam White et al, 1994).
Dalam konsep Ko-manajemen, masyarakat lokal merupakan mitra (partner)
penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholders lainnya dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di suatu kawasan pulau-pulau kecil.
Dengan pendekatan ko-manajemen dalam pengelolaan berbasis masyarakat,
diharapkan manfaat pengelolaan sebesar-besarnya dirasakan oleh masyarakat dan
terjadi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara berkelanjutan,
yang pada akhirnya keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil dapat
dipertahankan.
Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (integrated coastal
management/ICM) merupakan salah satu syarat untuk mencapai pembangunan yang
optimal dan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi
pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya
untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Secara garis
besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki lima dimensi : (1) ekologis, (2)
sosial-ekonomi-budaya, (3) sosial politik, (4) hukum dan kelembagaan, dan (5) spasial.
Gambar 2.1. Diagram Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Goenarsyah, 2005)

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa untuk menuju pembangunan


wilayah yang berkelanjutan, maka diperlukan adanya saling keterkaitan yang
bersinergi antar Dimensi Ekologis, Dimensi Sosial-Ekonomi-Budaya, Dimensi Sosial-
Politik, Dimensi Hukum-Kelembagaan, serta Dimensi Spasial (Keruangan).
(1). Dimensi Ekologis
Berdasarkan dimensi ekologis, pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara
berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang
terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir, agar total
dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah,
termasuk ekosistem pesisir, memiliki 4 (empat) fungsi pokok bagi kehidupan manusia:
(1) jasa-jasa pendukung kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3) penyedia
sumberdaya alam, dan (4) penerima limbah.
Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup berbagai hal
yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara dan air bersih serta
ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa-jasa kenyamanan (amenity
services) yang disediakan oleh ekosistem alamiah adalah berupa suatu lokasi beserta
atributnya yang indah dan menyenangkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi
serta pemulihan kedamaian jiwa. Ekosistem alamiah menyediakan sumberdaya alam
yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi.
Sedangkan fungsi penerima limbah dari suatu ekosistem adalah kemampuannya dalam
menyerap limbah dari kegiatan manusia, hingga menjadi suatu kondisi yang aman.
Berdasarkan keempat fungsi ekosistem alamiah tersebut, dapatlah dimengerti
bahwa kemampuan dua fungsi yang pertama sangat bergantung pada dua fungsi yang
terakhir. Ini berarti bahwa jika kemampuan dua fungsi terakhir dari suatu ekosistem
alamiah tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsinya sebagai pendukung
kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan dapat diharapkan tetap terpelihara.
Secara ekologis terdapat 3 (tiga) persyaratan yang dapat menjamin tercapainya
pembangunan berkelanjutan, yaitu : (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi,
dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial (spatial suitability)
mensyaratkan, bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, seperti Pantai Timur
Kalimantan, Pulau Batam, dan Pantai Utara Jawa Barat, hendaknya tidak seluruhnya
diperuntukkan sebagai zona pemanfaatan, tetapi harus pula dialokasikan untuk zona
preservasi dan konservasi. Contoh daerah preservasi adalah daerah pemijahan ikan
(spawning ground) dan jalur hijau pantai. Dalam zona preservasi ini tidak
diperkenankan adanya kegiatan pembangunan, kecuali penelitian. Sementara itu,
beberapa kegiatan pembangunan, seperti pariwisata alam, pemanfaatan hutan man-
grove dan perikanan secara berkelanjutan dapat berlangsung dalam zona konservasi.
Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu wilayah pembangunan
sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus
hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah, dan sumber
keanekaragaman hayati. Bergantung pada kondisi alamnya, luas zona preservasi dan
konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan sebaiknya antara 30 - 50 %
dari luas totalnya.
Selanjutnya, setiap kegiatan pembangunan (industri, pertanian, budidaya
perikanan, pemukiman dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan
pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mosaik yang
harmonis. Misalnya, penempatan kegiatan budidaya tambak udang pada lahan pesisir
sangat masam, atau berdekatan dengan kawasan industri biasanya akan menemui
kegagalan.
Sementara itu, bila kita menganggap wilayah pesisir sebagai penyedia
sumberdaya alam, maka kriteria pemanfaatan untuk sumberdaya yang dapat pulih
(renewable resources) adalah bahwa laju ekstraksinya tidak boleh melebihi
kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu, sedangkan
pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih (non-renewable resources) harus
dilakukan dengan cermat, sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya.
Ketika kita memanfaatkan wilayah (ekosistem) pesisir sebagai tempat untuk
pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut
tidak boleh melebihi kapasitas asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini,
yang dimaksud dengan kapasitas asimilasi adalah kemampuan sesuatu ekosistem pesisir
untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya
kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Krom, 1986).
(2). Dimensi Sosial-Ekonomi-Budaya
Dimensi ekologis seperti diuraikan di atas pada dasarnya menyajikan informasi
tentang daya dukung sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan
pembangunan dan kehidupan manusia. Dengan demikian, agar pembangunan wilayah
pesisir dapat berkelanjutan, maka pola dan laju pembangunan harus dikelola
sedemikian rupa, sehingga total permintaan (demand) terhadap sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan tidak melampaui daya dukung tersebut.
Kualitas dan jumlah permintaan tersebut ditentukan oleh jumlah penduduk dan
standar/kualitas kehidupannya. Oleh karena itu, selain mengendalikan jumlah
penduduk, kebijakan yang mendesak untuk dilakukan adalah mengurangi kesenjangan
antara kaya dan miskin.
Secara sosial-ekonomi-budaya konsep pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan
suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan (proyek) tersebut, terutama
mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi
wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip ini sangat
mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pesisir misalnya penambangan batu
karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan
dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat
pengetahuan yang rendah dari para pelakunya. Keberhasilan Pemerintah Daerah
Tingkat I Provinsi Bali dalam menanggulangi kasus penambangan batu karang, dengan
menyediakan usaha budidaya rumput laut sebagai alternatif mata pencaharian bagi
para pelakunya, adalah merupakan salah satu contoh betapa relevannya prinsip ini
bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia.
(3). Dimensi Sosial Politik
Pada umumnya permasalahan (kerusakan) lingkungan bersifat eksternalitas.
Artinya pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah si pembuat
kerusakan, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin dan lemah.
Misalnya, pendangkalan bendungan dan saluran irigasi serta peningkatan frekuensi dan
magnitude banjir suatu sungai akibat penebangan hutan yang kurang bertanggung
jawab di daerah hulu. Demikian juga dampak pemanasan global akibat peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang sebagian besar disebabkan oleh negara-
negara industri.
Mengingat karakteristik permasalahan lingkungan tersebut, maka pembangunan
berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang
demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam ini, niscaya laju kerusakan
lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan
penanggulangannya.
(4). Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan
pengendalian diri dari setiap warga masyarakat untuk tidak merusak lingkungan. Bagi
kelompok yang lebih mampu secara ekonomi hendaknya dapat berbagi kemampuan
dan rasa dengan saudaranya yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya,
sembari mengurangi budaya konsumerismenya. Persyaratan yang bersifat personal ini
dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang
berwibawa dan konsisten, serta diiringi dengan penanaman etika pembangunan
berkelanjutan pada setiap warga masyarakat. Di sinilah sentuhan nilai-nilai etika dan
moral akan sangat berperan.
(5). Dimensi Spasial
Aktifitas manusia sebagai makhluk yang memanfaatkan sumberdaya alam
memiliki kecenderungan-kecenderungan yang berpola dan terstruktur secara spasial.
Sebagai hasil naluri alamiah dan hasil pengalaman "belajar" yang panjang, terdapat
pola-pola spasial yang khas di dalam mengatur tata letak tempat tinggal, pekarangan,
ladang, sawah dan sebagainya. Keteraturan konfigurasi spasial aktifitas-aktifitas
sosial-ekonomi masyarakat selalu ditemukan di setiap kehidupan masyarakat di dalam
mempertahankan hidupnya, menyesuaikan dengan lingkungannya, mengoptimalkan
upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya alam, mengoptimalkan interaksi sosial, maupun
sebagai bentuk-bentuk ekspresi budaya. Berbagai bentuk interaksi, baik antara
sesama manusia maupun antara manusia dengan sumberdaya-sumberdaya yang
dikelolanya atau juga keterkaitan antar sumberdaya-sumberdaya itu sendiri menuntut
manusia untuk menyediakan berbagai prasarana dan sarana untuk mempermudah
mengakses dan mengelola sumberdaya.

2.2.3 Keseimbangan Ekonomi – Ekologi - Konservasi dalam Pengelolaan


Pulau-Pulau Kecil

Untuk dapat memahami makna dari pemanfaatan berkelanjutan, perlu mengenali


lebih dahulu konsep (paradigma) pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Sejak awal 1980-an bertepatan dengan dikeluarkannya dokumen Strategi
Konservasi Bumi (World Conservation Strategy) oleh IUCN (International Union for the
Conservation of Nature), telah banyak dimunculkan berbagai definisi tentang
pembangunan berkelanjutan oleh para pakar maupun organisasi keilmuan. Namun,
definisi yang secara umum diterima oleh masyarakat internasional adalah definisi yang
disusun oleh Brundtland Commission, yakni: "Pembangunan Berkelanjutan adalah
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa menurunkan atau merusak
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya" (WCED, 1987).
Definisi di atas tidak melarang aktivitas pembangunan ekonomi, tetapi
menganjurkannya dengan persyaratan bahwa laju (tingkat) kegiatan pembangunan
tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam. Dengan demikian,
generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
(environmental services) yang sama, atau kalau dapat lebih baik daripada generasi
yang hidup sekarang.
Untuk membumikan (mengoperasionalkan) paradigma Pembangunan
Berkelanjutan, Bank Dunia telah melakukan beberapa prakarsa. Sebagai langkah
pertama, Bank Dunia telah menjabarkan konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam
bentuk kerangka segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Environmentally Sustainable
Development Triangle) seperti disajikan pada Gambar 2-1 (Serageldin dan Steer,
1994).
A. EKONOMI

 Pertumbuhan yang berkesinambungan


 Efisiensi modal (capital)

C. SOSIAL
B. EKOLOGI
 Pemerataan
 Mobilitas sosial  Integritas ekosistem
 Partisipasi  Sumberdaya alam
 Pemberdayaan  Keanekaragaman hayati
 Daya dukung lingkungan

Gambar 2-2. Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Menurut kerangka tersebut, bahwa suatu kegiatan pembangunan (termasuk


pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut dengan berbagai dimensinya) dinyatakan
berkelanjutan, jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat
berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan
pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital
(capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien.
Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan termaksud harus dapat
mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan
konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga
diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkesinambungan. Sementara itu,
keberlanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan
hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial,
kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan
pengembangan kelembagaan.
Dengan demikian, berdasarkan kerangka di atas, paling tidak ada 4 (empat)
komponen keberlanjutan pesisir dan laut yang harus diperhatikan secara sama dan
seimbang yaitu keberlanjutan secara ekologi, keberlanjutan secara sosial ekonomi,
keberlanjutan komunitas dan keberlanjutan institusi sebagai payung untuk ketiga jenis
keberlanjutan sebelumnya. Keberlanjutan secara institusi mencakup kualitas
keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung
ketiga faktor penyusun keberlanjutan pembangunan di wilayah pesisir dan laut
lainnya.

2.2.4 Bidang-Bidang Pengembangan yang Potensial

Pengembangan minawisata pulau-pulau kecil membutuhkan dukungan investasi,


karena investasi merupakan salah satu alat penggerak pembangunan dan indikator
penentu dalam mempercepat laju pertumbuhan suatu wilayah, khususnya ekonomi
wilayah. Pengembangan investasi di wilayah perencanaan ini dimaksudkan mencakup
juga investasi publik, swasta (investor) dan pemerintah, seperti penyediaan prasarana
dan sarana dasar. Selain itu, juga dalam rangka pengembangan sektor-sektor
potensial yang mendukung upaya perwujudan peran wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil di Indonesia. Dengan meningkatnya investasi, maka akan mendorong pergerakan
sektor-sektor potensial dan secara langsung maupun tidak langsung dapat menciptakan
multiflier effect.

Dengan telah tersedianya konsep minawisata, kawasan pulau-pulau kecil akan


semakin kondusif, dimana salah satunya terdapat kepastian dalam pemanfaatan ruang
untuk tujuan investasi. Investasi juga dapat digerakkan karena potensi investasi sudah
teridentifikasi.
Berdasarkan atas potensi sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang
dimiliki oleh Indonesi, maka rencana pengembangan investasi yang akan dikembangkan
dan dibangun oleh pemerintah maupun swasta khususnya investasi yang berbasis
sumberdaya kelautan, perikanan dan pariwisata adalah sebagai berikut:

1. Peluang Investasi di Bidang Usaha Perikanan Tangkap

Salah satu potensi unggulan di kawasan pulau-pulau kecil adalah sektor


perikanan dan kelautan yaitu untuk perikanan tangkap. Kegiatan perikanan tangkap di
kawasan ini hampir seluruhnya dilakukan oleh masyarakat yang berprofesi sebagai
nelayan. Skala usaha tergolong kecil (small scale fisheries) yang terlihat dari
kepemilikan sarana perikanan dan penguasaan modal/kapital.
Wilayah laut Indonesia merupakan fishing ground ikan-ikan demersal dan
pelagis kecil bernilai ekonomis penting. Investasi masyarakat melalui
peningkatan/modernisasi sarana penangkapan ikan (kapal/perahu), mesin penggerak,
alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan pada jalur penangkapan ikan
perairan kawasan pulau-pulau kecil. Prioritas utamanya adalah pada modernisasi
tenaga penggerak perahu dengan menggunakan mesin maksimal 5 GT.

2. Peluang Investasi di Bidang Usaha Perikanan Budidaya Laut

Investasi di bidang perikanan budidaya laut di kawasan pulau-pulau kecil sangat


potensial dikembangkan baik investasi usaha masyarakat maupun swasta yaitu:
- Investasi di bidang usaha budidaya rumput laut diarahkan untuk membangkitkan
usaha berbasis masyarakat karena bersifat padat karya. Investasi untuk budidaya
rumput laut dilakukan melalui investasi masyarakat maupun investasi swasta atau
dalam bentuk kemitraan usaha masyarakat – swasta.

- Investasi di bidang usaha budidaya ikan pada Karamba Jaring Apung (KJA), tambak
dan kolam. Investasi ini dapat berupa investasi masyarakat maupun investasi
swasta atau dalam bentuk kemitraan usaha masyarakat – swasta.

3. Peluang Investasi di Bidang Usaha Wisata Bahari

Investasi di bidang usaha wisata bahari dapat diarahkan untuk obyek wisata
berupa ekowisata dengan klasifikasi sebagai berikut :
- Investasi di bidang usaha pada kawasan pantai berpasir putih dan memiliki
terumbu karang, baik investasi swasta maupun investasi masyarakat diarahkan
untuk menggerakkan pengembangan wisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil.

Potensi yang cukup besar tersebut sayangnya kurang didukung oleh fasilitas
prasarana dan sarana, seperti penginapan, hotel dan sebagainya. Oleh karena itu,
peluang yang dimiliki bagi pengembang obyek wisata tersebut adalah pembangunan
penginapan, hotel dan pengelolaan tempat wisata itu sendiri.
4. Peluang Investasi di Bidang Permodalan
Pengembangan investasi yang cukup potensial selain hal di atas adalah
pengembangan sektor permodalan. Sebab ketika sektor-sektor tersebut di atas
berkembang, maka dengan sendirinya dibutuhkan sektor permodalan maupun
perbankan. Sektor ini bermanfaat bagi pelaku usaha dalam permohonan kredit usaha
maupun penyimpanan uang. Di tingkat usaha kecil dan menengah, pendirian koperasi
maupun lembaga permodalan mikro menjadi solusi yang tepat. Sehingga para pelaku
usaha dapat mengembangkan usaha dengan penuh kepastian.
III. KONSEPSI MINAWISATA PULAU-PULAU KECIL

3.1. Pengertian (Definisi) dan Batasan


Pulau dapat didefinisikan dan dikategorikan dalam berbagai cara, dan masing-
masing memiliki tujuan yang sangat bermanfaat, namun tidak tersedia satu definisi
tunggal atau kategori tunggal yang mengakomodir seluruh kebutuhan pendefinisian
pulau. Definisi yang paling banyak tersedia tentang pulau cenderung kepada masalah
ukuran pulau (Granger, 1993). Ada beberapa kriteria tambahan yang menjadi
pembatas dalam penentuan definisi pulau seperti remoteness, morfologi, ukuran
populasi/jumlah penduduk dan pendapatan domestik bruto. Pulau-pulau juga dapat
dikategorikan berdasarkan aspek fisik seperti posisinya terhadap katulistiwa (lintang)
(seperti pulau tropis, temperate atau artik), berdasarkan proses geologi atau struktur
pulau (pulau kontinental dan oseanik), berdasarkan hidrologi (daerah run-off),
berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (pulau dataran rendah atau pulau
berbukit).
Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982, Bab
VIII Pasal 121 ayat 1) Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami,
dikelilingi oleh air dan selalu berada atau muncul di atas permukaan air pada saat
pasang tertinggi (United Nations, 1983). Berdasarkan definisi tersebut, selanjutnya
dapat kita lihat lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pulau kecil.
Towle (1979) dalam Debance (1999) menggunakan definisi pulau kecil menurut
The Commenwealth Secretary yaitu pulau yang memiliki luas kurang dari 10.000 km2
dan penduduk kurang dari 500.000 jiwa. Selanjutnya dengan berlandaskan pada
kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar) ditetapkan batasan tentang pulau kecil
oleh para ilmuwan. Menurut para ilmuwan, yang dimaksud dengan Pulau Kecil adalah
pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Namun
demikian, ternyata banyak pulau yang berukuran antara 1.000 – 2.000 km2 memiliki
karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari
1.000 km2, sehingga diputuskan oleh UNESCO (1991) bahwa batasan pulau kecil adalah
pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Hal ini sejalan
dengan batasan pulau kecil yang ditetapkan kemudian dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pulau Kecil adalah pulau
dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
Definisi tentang batasan pulau kecil ini kemudian dipertegas lagi dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dimana dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Dari uraian di atas, selanjutnya yang
dimaksud dengan Pulau-Pulau Kecil atau Gugusan Pulau-Pulau Kecil adalah kumpulan
pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi,
sosial dan budaya (Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2001).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, disebutkan bahwa Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam
suatu sistem bisnis perikanan.
Dalam sistem bisnis perikanan, seringkali digunakan kata Mina untuk
menggantikan kata Perikanan yang pada hakekatnya mengandung pengertian yang
sama dengan kata perikanan itu sendiri. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, terutama masyarakat nelayan dan juga masyarakat lainnya yang hidup di
wilayah pesisir. Oleh karena itu dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan,
kelestarian sumberdaya harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai
kesejahteraan dimaksud. Dengan demikian, pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan diharapkan tidak menyebabkan rusaknya daerah penangkapan
(fishing ground), daerah pamijahan (spawning ground), daerah mencari ikan (feeding
ground), maupun daerah asuhan (nursery ground) ikan. Selain itu, tidak pula merusak
ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun yang memiliki
keterkaitan ekologis dengan sumberdaya ikan.
Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang
mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Menurut Fandeli (2000), META
(2002) berdasarkan konsep pemanfaatannya, wisata dapat diklasifikasikan alam 3
(tiga) bentuk yaitu :
1. Wisata Alam (Nature Tourism)

Merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman tehadap kondisi alam
atau daya tarik panoramannya.
2. Wisata Budaya (Cultural Tourism)

Merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan


penekanan pada aspek pendidikan.
3. Ekowisata (Ecotourism, Green Tourism, Altenatif Tourism)

Merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani


kepentingan perlindungan sumberdaya alam atau lingkungan dan industri
kepariwisataan.
Khusus untuk ekowisata, dalam ekowisata terdapat suatu bentuk kegiatan
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan oleh manusia yang dikenal
dengan nama ekowisata bahari.
Ekowisata Bahari merupakan kegiatan wisata yang memanfaatkan karakter
sumberdaya pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut.
Pengelolaan ekowisata bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang
memprioritaskan kelestarian dan memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya
masyarakat. Yang menjadi obyek ekowisata bahari dalam konsep ini adalah
sumberdaya bawah laut dan dinamika air lautnya, ekosistem hidup di sekitarnya.
Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu wisata pantai dan wisata laut (bahari). Wisata
pantai lebih mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat sedangkan
wisata laut (bahari) lebih mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air
lautnya (Yulianda, 2007).
Menurut Kamal (2005) Minawisata adalah pemanfaatan kawasan wisata dengan
pengembangan produksi perikanan untuk mencapai ketertarikan masyarakat pengguna
akan pengembangan perikanan pada kawasan wisata tersebut. Sedangkan
Minaindustri adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan secara umum bagi keperluan
industri, baik industri skala rumah tangga maupun industri skala besar. Selanjutnya
dikatakan bahwa kalau dikemas dengan baik, maka minawisata akan menjadi peluang
yang menjanjikan bagi peningkatan kunjungan wisata lokal, nasional dan internasional.
Disamping itu, kalau suatu kawasan perikanan secara umum termasuk kampung-
kampung nelayan dan industri kapal rakyat dikemas dengan baik, juga akan menjadi
daya tarik bagi masyarakat sehingga minaindustri akan menjadi paket tersendiri pula.
Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku (2007), Minawisata adalah bentuk
pemanfaatan sumberdaya kelautan, perikanan dan pariwisata yang ada di suatu
wilayah tertentu secara terintegrasi untuk meningkatkan nilai ekonomi dari
sumberdaya tersebut, atau dengan kata lain Minawisata adalah pengembangan
kegiatan perekonomian masyarakat dan wilayah yang berbasis pada pemanfaatan
potensi sumberdaya kelautan, perikanan dan pariwisata secara terintegrasi pada suatu
wilayah tertentu.

3.2. Urgensi Minawisata PPK Berbasis Konservasi Sumberdaya Alam


Semakin meningkatnya pembangunan ekonomi di kawasan pulau-pulau kecil
akan semakin meningkatkan pula ancaman terhadap degradasi ekosistem dan
sumberdaya alam pulau-pulau kecil, seperti eksploitasi lebih, degradasi habitat, dan
penurunan keanekaragaman hayati. Padahal ekosistem dan sumberdaya alam pesisir
dan laut di kawasan pulau-pulau kecil menjadi tumpuan pembangunan kelautan secara
berkelanjutan. Karena itu, untuk dapat mempertahankan dan melindungi keberadaan
dan kualitas ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut di kawasan pulau-pulau
kecil yang bernilai ekologis dan ekonomis penting, diperlukan suatu pengelolaan yang
terpadu berbasis ekosistem.
Salah satu wujud implementasi pengelolaan pulau-pulau kecil terpadu berbasis
ekosistem adalah dengan menetapkan dan mengembangkan kawasan konservasi laut
pulau-pulau kecil. Kawasan konservasi laut yang dimaksudkan disini adalah suatu
kawasan pesisir dan laut pulau-pulau kecil yang mencakup beragam ekosistem di
daerah intertidal, subtidal dan kolom air di atasnya, dengan beragam flora dan fauna
yang berasosiasi di dalamnya serta memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial dan
budaya.
Kawasan konservasi laut pulau-pulau kecil memiliki peran utama sebagai
berikut (Agardy, 1997; Barr et. al, 1997) :
a. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas
ekosistem. Kawasan konservasi dapat berkontribusi untuk mempertahankan
keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trofik dari ekosistem, melindungi
hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem.
b. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah
pemijahan, pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas
reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

c. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat


menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai
ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi
kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal,
tempat berjangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan
dan keragaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir
pulau-pulau kecil.

d. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan


konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap
ekosistem pesisir dan laut pulau-pulau kecil; menyediakan tempat yang relatif
tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan
penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut
dan dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut.

e. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan konservasi


dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonominya
melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan
berkelanjutan.

Dengan demikian dalam perspektif strategi, pengembangan minawisata sebagai


perwujudan pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan berazas konservasi,
tentu saja dapat menjadi pilar pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Karena itu sasaran utama kawasan konservasi laut pulau-pulau kecil adalah untuk
mengonservasi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologis di suatu
ekosistem dapat terus berlangsung dan dapat dipertahankannya pemanfaatan
sumberdaya ikan dan jasa lingkungan pulau-pulau kecil bagi kepentingan perikanan
dan pariwisata secara berkelanjutan.
Kita bangsa Indonesia ini mau tidak mau memang harus
membangun/mengembangkan/memberdayakan pulau-pulau kecil. Hal ini karena
negara kita ini memang terdiri dari pulau-pulau kecil (ditambah beberapa pulau
besar). Potensi terbesar, yang tidak akan dapat dikalahkan oleh tempat lain, dari
pulau kecil adalah keindahan dan keunikan ekosistemnya. Oleh karena itu
pengembangan yang paling sesuai di pulau kecil adalah pariwisata. Sebagaimana telah
diterangkan di atas bahwa pulau kecil adalah bagian dari sumberdaya kelautan, dan
sumberdaya kelautan yang akrab dengan masyarakat adalah perikanan. Oleh karena itu
integrasi usaha pariwisata dan perikanan atau dikenal dengan sebutan minawisata
merupakan strategi pembangunan yang paling sesuai di pulau kecil.

3.3. Tujuan dan Sasaran Minawisata Pulau-Pulau Kecil


Tujuan yang ingin dicapai dari pengembangan minawisata pulau-pulau kecil
adalah:
1. Menganalisis kelayakan keterpaduan secara ekologi dan ekonomi dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut pulau-pulau kecil untuk perikanan dan
wisata bahari.

2. Merancang/menyusun model pengelolaan pulau-pulau kecil dengan konsep


Minawisata berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan yang
mengintegrasikan kegiatan perikanan dan wisata bahari dalam satu model
pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan.
Sasaran yang ingin dicapai dari pengembangan minawisata pulau-pulau kecil
adalah:
1. Teranalisisnya kelayakan keterpaduan secara ekologi dan ekonomi dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut pulau-pulau kecil untuk perikanan dan
wisata bahari.

2. Terancangnya/tersusunnya model pengelolaan pulau-pulau kecil dengan konsep


Minawisata berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan yang
mengintegrasikan kegiatan perikanan dan wisata bahari dalam satu model
pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan.

3.4. Prinsip Minawisata Pulau-Pulau Kecil


Secara konseptual, prinsip pengembangan minawisata pulau-pulau kecil
mengikuti prinsip pengembangan ekowisata. Menurut Yulianda (2007), konsep
pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai
tujuan: (1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung
sistem kehidupan, (2) Melindungi keanekaragaman hayati, (3) Menjamin kelestarian
dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan (4) Memberikan kontribusi kepada
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian suatu konsep pengembangan minawisata
hendaknya dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi:
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan
budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter
alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan; Mendidik pengunjung dan masyarakat akan


pentingnya konservasi.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan; Restribusi atau pajak konservasi


(conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; Merangsang masyarakat agar terlibat


dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.

5. Penghasilan bagi masyarakat; Masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga


terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam; Kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap


mempertahankan keserasian dan keaslian alam.

7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; Daya tampung dan pengembangan


fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

8. Kontribusi pendapatan bagi Negara (pemerintah daerah dan pusat).

Secara konseptul ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep


pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-
upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada
masyarakat setempat. Sementara ditinjau dari segi pengelolaanya, ekowisata dapat
didifinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di
tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam
dan secara ekonomi berkelanjutan yang mendukung upaya-upaya pelestarian
lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Dalam pengembangan ekowisata perlu memperhatikan prinsip dan kriteria ekowisata
(Direktorat Jenderal Pariwisata, Seni dan Budaya, 1999):

Tabel 3-1. Prinsip dan Kriteria Ekowisata

PRINSIP EKOWISATA KRITERIA EKOWISATA

1. Memiliki kepedulian, tanggung  Memperhatikan kualitas daya dukung


jawab dan komitmen terhadap lingkungan kawasan tujuan, melalui
pelestarian lingkungan alam dan pelaksanaan sistem pemintakatan (zonasi).
budaya, melaksanakan kaidah-
kaidah usaha yang bertanggung  Mengelola jumlah pengunjung, sarana dan
jawab dan ekonomi fasilitas sesuai dengan daya dukung
berkelanjutan. lingkungan daerah tujuan.

 Meningkatkan kesadaran dan apresiasi para


pelaku terhadap lingkungan alam dan
budaya.

 Memanfaatkan sumberdaya lokal secara


lestari dalam penyelenggaraan kegiatan
ekowisata.

 Meminimumkan dampak negatif yang


ditimbulkan, dan bersifat ramah lingkungan.

 Mengelola usaha secara sehat.

 Menekan tingkat kebocoran pendapatan


(leakage) serendah-rendahnya.

 Meningkatkan pendapatan masyarakat


setempat.

2. Pengembangan harus mengikuti  Melakukan penelitian dan perencanaan


kaidah-kaidah ekologis dan atas terpadu dalam pengembangan ekowisata.
dasar musyawarah dan
pemufakatan masyarakat  Membangun hubungan kemitraan dengan
setempat. masyarakat setempat dalam proses
perencanaan dan pengelolaan ekowisata.
PRINSIP EKOWISATA KRITERIA EKOWISATA

 Menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat


setempat untuk pengembangan ekowisata.

 Memberi kebebasan kepada masyarakat untuk


bisa menerima atau menolak pengembangan
ekowisata.

 Menginformasikan secara jelas dan benar


konsep dan tujuan pengembangan kawasan
tersebut kepada masyarakat setempat.

 Membuka kesempatan untuk melakukan dialog


dengan seluruh pihak yang terlibat (multi-
stakeholders) dalam proses perencanaan dan
pengelolaan ekowisata.

3. Memberikan manfaat kepada  Membuka kesempatan kepada masyarakat


masyarakat setempat. setempat untuk membuka usaha ekowisata
dan menjadi pelaku-pelaku ekonomi kegiatan
ekowisata baik secara aktif maupun pasif.

 Memberdayakan masyarakat dalam upaya


peningkatan usaha ekowisata untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk
setempat.

 Meningkatkan keterampilan masyarakat


setempat dalam bidang-bidang yang berkaitan
dan menunjang pengembangan ekowisata.

 Menekan tingkat kebocoran pendapatan


(leakage) serendah-rendahnya.

4. Peka dan menghormati nilai-  Menetapkan kode etik ekowisata bagi


nilai sosial budaya dan tradisi wisatawan, pengelola dan pelaku usaha
keagamaan masyarakat ekowisata.
setempat.
 Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-
pihak lainya (multi-stakeholders) dalam
penyusunan kode etik wisatawan, pengelola
dan pelaku usaha ekowisata.
PRINSIP EKOWISATA KRITERIA EKOWISATA

 Melakukan pendekatan, meminta saran-saran


dan mencari masukan dari tokoh/pemuka
masyarakat setempat pada tingkat paling awal
sebelum memulai langkah-langkah dalam
proses pengembangan ekowisata.

 Melakukan penelitian dan pengenalan aspek-


aspek sosial budaya masyarakat setempat
sebagai bagian terpadu dalam proses
perencanaan dan pengelolaan ekowisata.

5. Memperhatikan perjanjian,  Memperhatikan dan melaksanakan secara


peraturan, perundang-undangan konsisten: Dokumen-dokumen Internasional
baik di tingkat nasional maupun yang mengikat (Agenda 21, Habitat Agenda,
internasional. Sustainable Tourism, Bali Declaration dan
lain-lain.). GBHN Pariwisata Berkelanjutan,
Undang-undang dan peraturan-peraturan yang
berlaku.

 Menyusun peraturan-peraturan baru yang


diperlukan serta memperbaiki dan
menyempurnakan peraturan-peraturan
lainnya yang telah ada sehingga secara
keseluruhan membentuk sistem perundang-
undangan dan sistem hukum yang konsisten.

 Memberlakukan peraturan yang berlaku dan


memberikan sanksi atas pelanggarannya
secara konsekuen sesuai dengan ketentuan
yang berlaku (law enforcement).

 Membentuk kerjasama dengan masyarakat


setempat untuk melakukan pengawasan dan
pencegahan terhadap dilanggarnya peraturan
yang berlaku.
3.5. Strategi Pengembangan Minawisata Pulau-Pulau Kecil
A. Sosial
 Mengembangkan pendidikan “life skill” menuju kemandirian masyarakat dalam
pengelolaan perikanan dan pariwisata bahari.

 Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui berbagai jenjang


pendidikan formal.

 Meningkatkan pelayanan dan akses informasi bagi semua pemangku


kepentingan dalam rangka meningkatkan investasi dalam bidang perikanan dan
pariwisata bahari.

 Membangun infrastruktur dasar bagi kepentingan pembangunan perikanan dan


pariwisata bahari.

 Mewujudkan pencapaian tujuan pembangunan milenia 2015.

 Mengembangkan ekonomi berbasis masyarakat.

B. Ekonomi
 Mengembangkan ekonomi kerakyatan dengan menerapkan pola produksi
terpadu di bidang perikanan dan kelautan.

 Mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan iklim investasi yang


kondusif.

 Mengutamakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis


masyarakat sebagai komoditi andalan melalui teknologi penangkapan dan
budidaya, serta pariwisata bahari.

 Mengembangkan infrastruktur dan kelembagaan ekonomi dalam dunia usaha


kemitraan yang sehat untuk berperan dalam dunia usaha berskala ekspor.

 Mewujudkan pemanfaatan wilayah laut lepas untuk pembangunan ekonomi


dengan pemanfaatan teknologi industri perikanan melalui kerja sama dengan
pemerintah daerah kabupaten/kota dan provinsi lainnya, maupun dengan
pemerintah pusat.

C. Infrastruktur
 Membangun infrastruktur atas dasar manfaat ekonomi di kawasan pulau-pulau
kecil, terutama untuk mendukung pusat-pusat ekonomi wilayah dalam jaringan
hubungan berdasarkan tata ruang wilayah pengembangan.

 Mendorong pengadaan sarana transportasi dan komunikasi untuk mendukung


dinamika pertumbuhan ekonomi masyarakat.

 Memfasilitasi pembangunan infrastruktur sosial dan ekonomi di pusat-pusat


pertumbuhan untuk mendorong peningkatan kegiatan industri perikanan dan
pariwisata bahari, sekaligus memberikan kemudahan dalam peningkatan
kerjasama ekonomi.

D. Pengembangan Wilayah
 Menetapkan satuan-satuan pengembangan wilayah atas dasar keuggulan
sumberdaya potensial bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat.

 Menata ruang wilayah menurut peruntukannya dan menjadikan kawasan-


kawasan konservasi laut daerah, serta peningkatan kinerja pengelolaan
sebagai indikator keberhasilan pembangunan.

 Memberdayakan kecamatan dan desa dalam pelayanan di pusat-pusat


pertumbuhan.

E. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup


 Menata kawasan pesisir dan laut dengan mengutamakan status konservasi dan
pemanfaatan secara berkelanjutan di seluruh wilayah pulau-pulau kecil.

 Mewujudkan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan kelautan secara


lestari bagi generasi penerus.
 Mewujudkan wilayah gugus - gugus pulau dengan potensi sumberdaya alam
pesisir dan lautnya untuk prioritas pembangunan sosial-ekonomi masyarakat,
dengan pengelolaan oleh masyarakat sendiri melalui prinsip konservasi dan
pemanfaatan secara berkelanjutan, sehingga dapat menjamin manfaat ekologi,
sosial dan ekonomi secara berkelanjutan.

3.6. Keterlibatan dan Peran Stakeholders dalam Minawisata Pulau-Pulau


Kecil

Mengelola sumberdaya tanah dan air secara bijaksana melalui pengelolaan


kawasan pulau-pulau kecil tidak hanya mencakup masalah fisik, sosial ekonomi, tetapi
juga tidak kalah pentingnya adalah aspek hukum dan kelembagaan. Peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan aspek kelembagaan dalam penataan ruang di
kawasan pulau-pulau kecil, antara lain tentang konservasi, kepariwisataan, perikanan,
pelayaran, dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan penataan ruang.
Berbagai kepentingan dan wewenang instansi tersebut akan bermuara di
daerah. Dalam kenyataannya di lapangan seringkali ditemukan ketidakjelasan tugas
dan wewenang antara beberapa lembaga/instansi dalam hubungan satu dengan lain
sehingga sering memicu pada konflik kelembagaan. Keadaan ini dapat terjadi karena
aturan yang bersangkutan memberi tugas dan wewenang suatu lembaga/instansi,
sedang aturan yang lain memberi wewenang pula yang tidak tegas batas-batasnya
kepada lembaga/instansi lain. Penyelesaian secara hukum biasanya dilakukan dengan
pengaturan hukum antar wewenang yang berwujud Surat Keputusan bersama (SKB)
antar lembaga/instansi dan membentuk lembaga khusus untuk melakukan koordinasi.
Tabel 3-2 berikut ini menyajikan secara singkat dengan menggunakan matrik untuk
melihat keterkaitan fungsi dan wewenang kelembagaan dalam berbagai kegiatan
pengembangan minawisata di kawasan pulau-pulau kecil.
Tabel 3-2. Matrik Fungsi dan Wewenang dari Masing-masing Lembaga/Instansi yang
Terlibat dalam Pengembangan Minawisata di Kawasan Pulau-Pulau Kecil

Kegiatan/ Fungsi Manajemen


Sektor Pemberian Monitoring/ Pengawasan/
Perencanaan Implementasi
Pembangunan Ijin Evaluasi Pengendalian
BKSDA, BAPPEDA,
Ditjen PKA, POLHUT, TNI -
Konservasi Ditjen PKA Dishut, Dishut, Biro
BAPPEDA AL, POLRI
Masyarakat BPP, BAPEDALDA
Ditjen
Ditjen BAPPEDA, TNI - AL, POLRI,
Pariwisata, Diparda,
Pariwisata Pariwisata, Diparda, Biro Inspektorat
DIPARDA Swasta
DIPARDA BPP, BAPEDALDA Prop.
BAPPEDA
Ditjen BAPPEDA,
Ditjenkan, TNI - AL, POLRI,
Perikanan Perikanan, Diskan,Swsata Diskan, Biro
Diskan BAPPEDA BPKP
Diskan BPP, BAPEDALDA
BAPPEDA, Ditjen
Ditjen Perla, Kanwilhub,
Perhubungan Ditjen Perla, Perla, Depkop, TNI - AL, POLRI,
Kanwilhub PELNI, ASDP,
dan Pelabuhan Kanwilhub Biro BPP, BPKP
BAPPEDA Koperasi
BAPEDALDA
Perumahan dan BAPPEDA, DPU, BPKP,
Bupati/Pemda
Prasarana DPU, BAPPEDA DPU Biro BPP, BPN, Inspektorat
, BPN, DPU
Wilayah BAPEDALDA POLRI
Pertahanan dan TNI - AL, TNI - AL,
TNI - AL, POLRI TNI - AL, POLRI TNI - AL, POLRI
Keamanan POLRI POLRI
Sumber : Data Diolah dari Berbagai Pustaka

3.7. Pengembangan Konsep Minawisata


3.7.1. Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap awal yang harus dilakukan sebelum
melaksanakan suatu kegiatan tertentu. Jenis kegiatan yang termasuk dalam tahap
perencanaan adalah survei, analisis data.
Kegiatan survei bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang
kondisi biofisik dan sosial ekonomi budaya di wilayah studi dengan cara mengumpulkan
data-data sekunder/literatur dari berbagai instansi terkait dan data primer (sampel)
dari lokasi pengamatan. Dari kegiatan ini diharapkan data biofisik dan sosial ekonomi
budaya yang diperlukan dapat terakomodasi sehingga data tersebut dapat digunakan
untuk pembuatan laporan. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan lapangan dan wawancara
dengan responden, baik secara perorangan dengan metode wawancara tatap muka
maupun dengan kelompok masyarakat dengan metode diskusi kelompok terarah
(foccused discussion group). Pemilihan responden antara lain dapat dilakukan secara
purposive sampling, snowballing sampling dan accidental sampling. Data sekunder
berasal dari studi pustaka, kajian-kajian sebelumnya, laporan dinas terkait, seperti
data atau laporan dari Badan Pusat Statistik, Bappeda, Dinas Keluatan dan Perikanan
Provinsi dan Kabupaten/Kota serta instansi terkait lainnya.
Kegiatan analisis data bertujuan untuk mengolah berbagai peta, data dan
informasi (sekunder dan primer) yang sudah diperoleh di lapangan (biofisik, sosial
ekonomi dan lain-lain) kemudian masing-masing tenaga ahli menganalisisnya sesuai
dengan bidang keahliannya masing-masing. Jenis analisis yang dilakukan meliputi
analisis kesesuaian lahan, daya dukung, ekonomi dan analisis pengembangan wilayah
(Strength Weakness, Opportunity Threat/SWOT, AHP dan SWOT/AWOT, dan Multi
Criteria Decision Making/MCDM).

3.7.2. Pelaksanaan
Pelaksanaan pengembangan minawisata di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang dimaksud disini adalah implementasi dari perencanaan pengembangan
minawisata wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan secara sistematik
dan berkesinambungan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, peningkatan
kesejahteraan masyarakat, pemerataan dan keberlanjutan.
Dalam pelaksanaan pengembangan minawisata wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil harus mengacu pada hasil-hasil perencanaan yang telah disusun baik oleh
pelaksana pembangunan di tingkat pusat maupun daerah sesuai kewenangannya.
Kegiatan yang termasuk dalam aspek pelaksanaan adalah penyusunan masterplan,
rancang bangun dan manajemen.

3.7.3. Monitoring dan Evaluasi


Dalam pelaksanaan program minawisata pulau-pulau kecil, monitoring meliputi
kegiatan pengawasan dan pengendalian, sedangkan evaluasi merupakan proses
pengukuran dari hasil-hasil pekerjaan yang seharusnya dicapai sesuai dengan
perencanaan program yang telah ditetapkan.
Monitoring yang dimaksud disini adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara
berulang dan terus menerus dilakukan untuk mengawasi atau memantau proses dan
pengembangan pelaksanaan program minawisata pulau-pulau kecil. Secara khusus
monitoring dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara perencanaan dan
pelaksanaan program, jika terjadi ketidaksesuaian, informasi tersebut dapat segera
digunakan sebagai masukan dalam pengambilan keputusan. Informasi dan kesimpulan
hasil monitoring diharapkan dapat digunakan untuk mengambil keputusan tentang apa
yang perlu dilakukan untuk membuat agar program berhasil seperti yang diharapkan.
Pengendalian yang dimaksud disini adalah proses untuk menjamin tertib
pelaksanaan program minawisata pulau-pulau kecil yang meliputi tertib pelaporan,
sumberdaya manusia yang tepat, informasi yang benar dan aktual serta tepat waktu,
yang dilaksanakan oleh internal dari pelaksana program.
Pengawasan yang dimaksud disini adalah proses pengamatan dari pelaksanaan
seluruh kegiatan program minawisata pulau-pulau kecil untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan sebelumnya,
sehingga efisiensi dan efektifitas dapat tercapai yang dilaksanakan oleh internal
maupun eksternal dari pelaksana program.
Evaluasi yang dimaksud disini adalah suatu proses sistematis dalam
mengumpulkan, menganalisis, dan menginterprestasikan informasi untuk mengetahui
tingkat keberhasilan pelaksanaan program sesuai dengan kriteria tertentu untuk
mengambil keputusan dalam pengembangan minawisata pulau-pulau kecil.
Selanjutnya dengan hasil evaluasi diharapkan dapat digunakan dalam menilai
keberhasilan program dan dipakai sebagai dasar untuk menentukan kelanjutan
program atau pengembangan program yang lain. Informasi dan kesimpulan hasil
evaluasi diharapkan dapat digunakan untuk mengambil keputusan tentang program
secara utuh, mulai dari kesesuaian kebutuhan masyarakat dan tuntutan masa depan
(konteks, input, proses, output yang ditargetkan maupun outcome yang diharapkan).
Evaluasi dapat dibedakan menjadi tiga tahap yaitu:
- Pra Evaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat program belum
berjalan/beroperasi pada tahap perencanaan. Evaluasi pada tahap ini lebih
difokuskan pada masalah-masalah persiapan dari suatu kegiatan atau didasarkan
pada hasil-hasil pelaksanaan kegiatan sebelumnya, yang secara substansial
memiliki keterkaitan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.
- Evaluasi pada saat program telah berjalan, yaitu evaluasi yang lebih difokuskan
pada penilaian dari setiap hasil kegiatan yang sudah dilaksanakan walaupun belum
bisa dilakukan penilaian terhadap keseluruhan proses pelaksanaan program. Dalam
pelaksanaannya evaluasi ini berbentuk evaluasi terhadap laporan triwulan,
semester atau tahunan.
- Evaluasi setelah program dilaksanakan, yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap
seluruh tahapan program yang dikaitkan dengan tingkat keberhasilannya sesuai
dengan indikator yang ditetapkan dalam rumusan sasaran atau tujuan program.
Evaluasi ini lebih ditekankan pada dampak program (outcome).
Agar dalam Pengembangan Minawisata Pulau-Pulau Kecil tersebut dapat
mencapai tujuan dan sasaran sesuai dengan yang telah direncanakan serta akan
menjadi pembelajaran untuk perbaikan kedepan apabila mengalami kegagalan, maka
monitoring dan evaluasi yang dilakukan bukan hanya kepada hasil akhir pelaksanaan
kegiatan/keproyekan tersebut tetapi juga dilakukan monitoring dan evaluasi yang
berorientasi kepada keberhasilan dan kegagalan di dalam pembangunan tersebut.
Ruang lingkup kegiatan monitoring dan evaluasi:
- Mencari informasi tentang keberhasilan dan penyimpangan pengelolaan program di
lingkup institusi terkait.
- Menganalisis hasil monitoring dan evaluasi semua program dalam rangka
memberikan gambaran umum maupun khusus tentang keberhasilan dan kelemahan
pengelolaan program.
- Menyampaikan rekomendasi kepada bagian atau sub bagian di dalam institusi
terkait yang mengalami ketidakberhasilan/penyimpangan akibat tidak mengikuti
prosedur aturan baku, tentang langkah-langkah terintegrasi yang bisa diambil
untuk meningkatkan kualitas kinerja pengelolaan program saat ini, serta
memberikan rekomendasi untuk perbaikan perencanana program di masa
mendatang.

3.8. Arahan Kegiatan Minawisata Pulau-Pulau Kecil


Arahan kegiatan pemanfaatan kegiatan minawisata di kawasan pulau-pulau
kecil didasarkan pada hasil analisis kesesuaian lahan, daya dukung dan analisis
prioritas. Beberapa arahan kegiatan untuk minawisata di kawasan pulau-pulau kecil
adalah:
1. Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil berbasis konservasi.
2. Pengembangan minawisata pancing.
3. Pengembangan minawisata karamba pembesaran ikan.
4. Pengembangan minawisata pantai.
5. Pengembangan minawisata selam.
6. Pengembangan minawisata snorkeling, selancar, jetsky, surfing.
7. Pengembangan minawisata mangrove.
8. Pengembangan minawisata rumput laut.
9. Pengembangan minawisata kuliner dan kerajinan tangan berbasis perikanan.

3.9. Persyaratan Lokasi Pengembangan


Lokasi pengembangan minawisata didasarkan pada analisis kesesuaian lahan
kawasan pulau-pulau kecil dengan menggunakan matriks kesesuaian untuk
pemanfaatan minawisata (antara lain minawisata pancing, karamba pembesaran ikan,
pengumpulan kerang, selam dan minabahari mangrove). Matriks kesesuaian untuk
pemanfaatan lahan disajikan pada Tabel 3-3 sampai 3-8.

Tabel 3-3. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Pancing

Kelas Kesesuaian dan Skor


No. Parameter Sumber Bobot
S Skor SB Skor TS Skor
1. Kelompok jenis Madduppa, 5 Ikan Target, 3 Ikan Target, 2 Ikan 1
ikan 2009. Ikan Ikan Indikator,
Indikator, Indikator, Ikan Mayor
Ikan Mayor
2. Kecepatan arus Polanunu, 1998 5 < 20 3 20 - 100 2 > 100 1
(cm/det)
3. Tinggi Sugiarti, 2000 5 < 50 3 50 - 100 2 > 100 1
gelombang (cm)
4. Kecerahan Sugiarti, 2000. 3 <8 3 8 - 10 2 > 10 1
perairan (m)
5. Suhu perairan Nybakken, 1988 3 25 – 30 3 > 30 - 32 2 < 25 1
(oC) Mulyanto, 1992 > 32
6. Salinitas (o/oo) Nontji, 2003. 3 20 - 32 3 > 32 - 36 2 < 20 1
Romimohtarto > 36
dan Juwana,
1999
7. Kedalaman Sugiarti, 2000. 1 < 10 3 10 - 15 2 > 15 1
perairan (m)
8. Jarak dari alur Bengen, 2008. 1 > 500 3 300 - 500 2 < 300 1
pelayaran dan
kawasan lainnya
(m)
9. Dermaga kecil Haris, 2011 2 Ada 3 Ada (bahan 2 Tidak 1
(jetty) (bahan beton) ada
kayu)
10. Perahu (boat) Haris, 2011 2 Ada 3 Ada (bahan 2 Tidak 1
(bahan kayu, ada
kayu, tanpa (bermotor)
motor)
Sumber: Haris (2012)
Nilai maksimum ( Bobot x Skor ) = 108
Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian :
IKMB = Σ( Ni/Nmax ) x 100%
IKMB = Indeks Kesesuaian Minawisata
Ni = Nilai parameter ke – i (bobot x skor)
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata
Evaluasi Kelayakan :
76 % - 100 % : Sesuai
51 % - 75 % : Sesuai Bersyarat
< 50 % : Tidak Sesuai

Tabel 3-4. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Karamba Pembesaran Ikan

Kelas Kesesuaian dan Skor


No. Parameter Sumber Bobot
S Skor SB Skor TS Skor
1. Suhu perairan Nybakken, 5 29 - 30 3 26 - < 29 2 < 26 1
(oC) 1988. Mulyanto, > 30
1992. LP
Undana, 2006.
2. Salinitas (o/oo) Nontji, 2003. 5 25 - 30 3 > 30 - 33 2 < 25 1
Romimohtarto > 33
dan Juwana,
1999. LP
Undana, 2006.
3. Kecepatan DKP-RI, 2002. 4 < 0,75 3 0,76 - 2 > 1,0 1
arus (m/det) 1,0
4. Tinggi DKP-RI, 2002. 4 < 0,5 3 > 0,5 – 2 > 1,0 1
gelombang 1,0
(m)
5. Kedalaman air DKP-RI, 2002. 4 4,0 – 7,0 3 7,1 – 2 < 4,0 1
dari dasar 10,0 > 10,0
jaring (m)
6. Oksigen LP Undana, 3 >6 3 3–<6 2 <3 1
terlarut (mg/l) 2006.
7. pH perairan LP Undana, 3 6,6 – 8,0 3 6,0 – 6,5 2 < 6,0 1
2006. > 8,0
8. Nitrat (mg/l) Tiensongrusmee 2 < 0,1 3 0,1 – 0,9 2 > 0,9 1
et al, 1986.
9. Phospat (mg/l) Tiensongrusmee 2 < 0,1 3 0,1 – 0,9 2 > 0,9 1
et al, 1986.
10. Jarak dari alur Bengen, 2008. 2 > 500 3 300 - 2 < 300 1
- pelayaran 500
dan kawasan
lainnya (m)
Sumber: Haris (2012)
Nilai maksimum ( Bobot x Skor ) = 102
Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian :
IKMB = Σ( Ni/Nmax ) x 100%
IKMB = Indeks Kesesuaian Minawisata
Ni = Nilai parameter ke – i (bobot x skor)
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata Evaluasi Kelayakan
:
76 % - 100 % : Sesuai
51 % - 75 % : Sesuai Bersyarat
< 50 % : Tidak Sesuai

Tabel 3-5. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Pantai

No. Parameter Bobot Kategori Skor


0-3 3
> 3-6 2
1. Kedalaman perairan (m) 5
>6 - 10 1
> 10 0
Pasir putih 3
Pasir putih, sedikit karang 2
2. Tipe pantai 5
Pasir hitam, berkarang, sedikit terjal 1
Lumpur, berbatu, terjal 0
> 15 3
10_-15 2
3. Lebar pantai (m) 5
3 - < 10 1
<3 0
Pasir 3
Karang berpasir 2
4. Material dasar perairan 3
Pasir berlumpur 1
Lumpur 0
0-0,17 3
0,17-0,34 2
5. Kecepatan arus (m/dt) 3
0,34-0,51 1
>0,51 0
< 10 3
10_-25 2
6. Kemiringan pantai (0) 3
> 25 - 45 1
> 45 0
>80 3
> 50-80 2
7. Kecerahan perairan (%) 1
20-50 1
<20 0
Kelapa, lahan terbuka 3
Semak, belukar, rendah, savana 2
8. Penutupan lahan pantai 1
Belukar tinggi 1
Hutan bakau, pemukiman, pelbh 0
Tidak ada 3
Bulu babi 2
9. Biota berbahaya 1
Bulu babi, ikan pari 1
Bulu babi, ikan pari, lepu, hiu 0
<0.5 (km) 3
Ketersediaan air tawar >0.5-1 (km) 2
10. 1
(jarak/km) > 1-2 1
>2 0
Sumber: Yulianda (2011)

Nilai Maksimum = 90
Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian :
IKMB = ∑ [ Ni / Nmaks ] X 100 %
IKMB = Indeks Kesesuaian Minawisata
Ni = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata pantai
Evaluasi Kelayakan :
76 % - 100 % : Sesuai
51 % - 75 % : Sesuai Bersyarat
< 50 % : Tidak Sesuai

Tabel 3-6. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Selam

Kelas Kesesuaian dan Skor


No. Parameter Sumber Bobot
S Skor SB Skor TS Skor
1. Suhu perairan Nybakken, 5 23 - 25 3 26 - 36 2 < 23 1
(oC) 1988. > 36
Mulyanto,
1992. Hubbard,
1990. Tamrin,
2006.
2. Salinitas Nontji, 2003. 5 30 - 36 3 28 - 30 2 < 28 1
(o/oo) Kinsman, 2004. > 36
3. Kecerahan Suharsono dan 5 > 65 3 20 - 65 2 < 20 1
perairan (%) Yosephine,
1994.
4. Kecepatan Jokiel dan 5 0 - 25 3 26 - 50 2 > 50 1
arus (cm/det) Morrissey,
1993.
5. Tutupan Gomes dan 4 > 65 3 25 - 65 2 < 25 1
komunitas Yap, 1998.
karang (%)
Kelas Kesesuaian dan Skor
No. Parameter Sumber Bobot
S Skor SB Skor TS Skor
6. Jenis life- Yulianda, 4 > 10 3 4 - 10 2 <4 1
form (sp) 2007.
7. Jenis ikan Yulianda, 3 > 75 3 20 - 75 2 < 20 1
karang (sp) 2007.
8. Kedalaman Nybakken, 3 3 - 20 3 21 - 30 2 <3 1
ter. karang 1988. > 30
(m)
9. Perahu (boat) Haris, 2011 2 Ada 3 Ada 2 Tidak 1
(bahan (bahan ada
kayu, tanpa kayu,
motor) (bermotor
)
10. Peralatan Haris, 2011 2 Ada 3 Ada 2 Tidak 1
selam (scuba (lengkap) (tidak ada
diving) lengkap)
11. Pemandu Haris, 2011 2 Ada 3 Ada 2 Tidak 1
selam (memiliki (tidak ada
(buddies) lisensi) memiliki
lisensi)
Sumber: Haris (2012)

Nilai Maksimum = 126


Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian :
IKMB = ∑ [ Ni / Nmaks ] X 100 %
IKMB = Indeks Kesesuaian Minawisata Selam
Ni = Nilai parameter ke-i ( Bobot x Skor )
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata selam
Evaluasi Kelayakan :
76 % - 100 % : Sesuai
51 % - 75 % : Sesuai Bersyarat
< 50 % : Tidak Sesuai

Tabel 3-7. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Mangrove

Kelas Kesesuaian dan Skor


No. Parameter Sumber Bobot
S Skor SB Skor TS Skor
1. Ketebalan Yulianda, 5 > 300 3 50 - 300 2 < 50 1
mangrove (m) 2007.
2. Kerapatan Yulianda, 5 > 10 - 25 3 5 – 10 2 <5 1
mangrove 2007. > 25
(100 m2)
3. Jenis MERDI dalam 4 >3 3 1-3 2 0 1
mangrove DPK 2006a.
(sp)
4. Jenis biota Bengen, 2000. 4 Ikan, 3 Ikan, 2 Salah satu 1
Kelas Kesesuaian dan Skor
No. Parameter Sumber Bobot
S Skor SB Skor TS Skor
MERDI dalam Udang, Moluska biota air
DPK 2006a. Kepiting,
Moluska,
Reptil,
Burung.
5. Tinggi Pasut Yulianda, 3 0- <2 3 2-5 2 >5 1
(m) 2007.
6. Jarak dari Yulianda, 3 > 500 3 300 - 500 2 < 300 1
kawasan 2007.
lainnya (m)
7. Jembatan Haris, 2011 2 Ada 3 Ada 2 Tidak 1
kayu (trail) (memadai) (tidak ada
memadai
)
8. Anjungan Haris, 2011 2 Ada 3 Ada 2 Tidak 1
(hut) (memadai) (tidak ada
memadai
)
9. Pondok Haris, 2011 2 Ada 3 Ada 2 Tidak 1
peristirahatan (memadai) (tidak ada
memadai
)
10. Menara Haris, 2011 1 Ada 3 Ada 2 Tidak 1
pengamatan (dari bahan (dari ada
burung kayu) bahan
besi)
11. Pemandu Haris, 2011 1 Ada 3 Ada 2 Tidak 1
jejak (ilmuan (hanya ada
sekaligus praktisi)
praktisi)
Sumber: Haris (2012)

Nilai Maksimum = 96
Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian :
IKMB = ∑ [ Ni / Nmaks ] X 100 %
IKMB = Indeks Kesesuaian Minawisata Mangrove
Ni = Nilai parameter ke-i ( Bobot x Skor )
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata mangrove
Evaluasi Kelayakan :
76 % - 100 % : Sesuai
51 % - 75 % : Sesuai Bersyarat
< 50 % : Tidak Sesuai
Tabel 3-8. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Snorkeling

No. Parameter Bobot Kategori Skor


100 3
80 - <100 2
1. Kecerahan perairan (%) 5
20 - <80% 1
< 20 0
>75 3
> 50-75 2
2. Tutupan komunitas karang (%) 5
25-50 1
<25 0
> 12 3
< 7 - 12 2
3. Jenis life form 3
7_-4 1
<4 0
>50 3
30 - 50 2
4. Jenis ikan karang 3
10 - < 30 1
< 10 0
0-15 3
>15 - 30 2
5. Kecepatan arus (cm/dt) 1
>30 - 50 1
> 50 0
1_-3 3
>3-6 2
6. Kedalaman terumbu karang (m) 1
> 6 – 10 1
>10 ; < 1 0
> 500 3
> 100-500 2
7. Lebar hamparan datar karang (m) 1
20 - 100 1
< 20 0
Sumber: Yulianda (2011)

Keterangan: Nilai maksimum = 57


Rumus untuk menghitung Indeks Kesesuaian :
IKMB = ∑ [ Ni / Nmaks ] X 100 %
IKMB = Indeks Kesesuaian Minawisata Snorkeling
Ni = Nilai parameter ke-i ( Bobot x Skor )
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori aktivitas minawisata snorkeling
Evaluasi Kelayakan :
76 % - 100 % : Sesuai
51 % - 75 % : Sesuai Bersyarat
< 50 % : Tidak Sesuai
IV. TILIK PETIK MINAWISATA PULAU-PULAU KECIL

4.1. Pulau Dullah, Kota Tual


Pulau Dullah merupakan pulau yang memiliki kesesuaian yang tinggi bagi
pengembangan kelautan, perikanan dan pariwisata (minawisata) secara terpadu.
Pulau Dullah adalah satu pulau dari gugus pulau yang terdapat di Kota Tual. Pada sisi
Utara pulau ini terdapat sebuah teluk yang memiliki keindahan pantai dan ekosistem
terumbu karang yang masih bagus kualitasnya. Kawasan ini sangat sesuai sebagai
lokasi pengembangan ekowisata bahari. Bagian Barat dari Pulau Dullah, merupakan
pantai yang terlindung oleh beberapa pulau-pulau kecil di depannya. Sepanjang
pantai pada sisi barat ini sangat sesuai bagi pengembangan pelabuhan dan industri
perikanan, karena selain terlindung dari ombak dan gelombang besar, juga karena
lokasi ini memiliki kedalaman perairan yang sesuai bagi pengembangan pelabuhan.
Bagian Selatan Pulau Dullah, merupakan selat dengan beberapa bagian memiliki teluk
dengan kondisi perairan yang tenang dan kualitas perairan yang masih sangat baik.
Pemilihan lokasi untuk kegiatan budidaya laut di kawasan ini sangat sesuai, karena
faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha budidaya sangat mendukung di lokasi
ini. Secara illustratif konsep pengembangan pembangunan kelautan, perikanan dan
pariwisata (minawisata) secara terpadu di Pulau Dullah dapat dilihat pada Gambar 4-1.

Zona pengembangan
Pelabuhan dan Perikanan
Terpadu

Zona pengembangan
Wisata Bahari

Zona pengembangan
Budidaya Laut

Gambar 4-1. Skema Ilustratif Pengembangan Minawisata Terpadu di Pulau Dullah


4.2. Pulau Yamdena dan Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat
Kawasan pulau kecil di Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang sangat sesuai
dipilih sebagai kawasan pengembangan kelautan dan perikanan terpadu adalah Pulau
Yamdena dan Pulau Selaru. Kawasan yang sangat sesuai bagi lokasi pelabuhan dan
industri perikanan terdapat pada pantai bagian Selatan dari Pulau Yamdena. Di lokasi
ini terdapat sebuah teluk dengan kondisi perairan yang tenang dan terlindung dengan
kedalaman yang sesuai bagi pengembangan pelabuhan. Sementara bagian lainnya dari
pantai di Selatan Pulau Yamdena sangat mendukung bagi pengembangan industri
perikanan. Sisi Barat dan Timur dari Pulau Yamdena sangat cocok dikembangkan
sebagai kawasan ekowisata bahari karena keindahan pantai dan keberadaan ekosistem
terumbu karang yang baik di kawasan ini. Di depan Pulau Yamdena, terdapat Pulau
Selaru, yang selama ini telah dikembangkan oleh masyarakat sebagai lokasi budidaya
laut. Pulau ini sangat sesuai dikembangkan sebagai lokasi budidaya laut, khususnya
budidaya rumput laut dan kerapu. Ilustrasi pengembangan ekowisata bahari dan
perikanan secara terpadu di Pulau Yamdena dan Pulau Selaru disajikan pada Gambar
4-2.

Gambar 4-2. Ilustrasi Pengembangan Minawisata Terpadu di Pulau Yamdena dan


Pulau Selaru
4.3. Pulau Seram, Kabupaten Seram Bagian Barat
Seperti halnya kawasan pulau-pulau kecil di Kabupaten Maluku Tenggara dan
Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Pulau Seram
Bagian Barat juga sangat sesuai dan mendukung bagi pengembangan perikanan dan
kelautan secara terpadu, khususnya pada bagian Selatan dan Barat pulau ini. Pada
bagian Selatan-Barat pulau ini terdapat sebuah teluk yang cukup besar, yang secara
fisik sangat sesuai bagi pemilihan lokasi untuk pengembangan pelabuhan dan industri
perikanan. Di sebelah Barat dari teluk tersebut terdapat tanjung yang sesuai bagi
pengembangan ekowisata bahari. Di sebelah Barat Pulau Seram Barat terdapat
beberapa pulau-pulau kecil yang secara potensial sangat cocok dikembangkan sebagai
kawasan ekowisata bahari. Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Boana, Pulau Kelang,
dan Pulau Maripa. Pulau-pulau ini selain memiliki kesesuaian untuk kegiatan
ekowisata bahari, beberapa bagian dari pulau juga dapat dikembangkan sebagai
kawasan budidaya laut. Ilustrasi pengembangan ekowisata bahari dan perikanan
terpadu di Pulau Seram Bagian Barat dapat dilihat pada Gambar 4-3.

Gambar 4-3. Ilustrasi Pengembangan Minawisata Terpadu di Pulau Seram Bagian


Barat
V. PENUTUP

Pemanfaatan pulau-pulau kecil terpadu bagi kepentingan perikanan dan


pariwisata (minawisata) secara berkelanjutan, bukan semata-mata ditujukan untuk
kepentingan kelestarian sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada itu sendiri
atau keuntungan ekonomi semata, tapi lebih dari itu adalah untuk keberlanjutan
masyarakat di kawasan pulau-pulau kecil.
Dengan memperhatikan aspek “kemasyarakatan” maka secara simultan
keberlanjutan minawisata pulau-pulau kecil secara ekologi maupun ekonomi akan
dapat dicapai, karena keduanya merupakan bagian dari sebuah sistem ekologis dan
sosial yang penting.
Pengelolaan minawisata pulau-pulau kecil secara berkelanjutan memerlukan
perencanaan yang terpadu dan partisipatif. Karena itu diperlukan berbagai kebijakan
dan strategi baik di tingkat nasional maupun daerah dalam pengelolaan minawisata
pulau-pulau kecil yang berbasis ekosistem dan masyarakat.
DAFTAR ISTILAH

1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses


perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir
dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
mengandung sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut.
3. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2
(dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
4. Pulau-Pulau kecil adalah kumpulan beberapa pulau kecil yang membentuk
kesatuan ekosistem dengan perairan di sekitarnya.
5. Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati,
sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber
daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota
laut lain; sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut;
sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan
perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar
laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta
energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.
6. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan
sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa
payau, dan laguna.
7. Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki
fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi,
sosial, dan ekonomi.
8. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan
non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
9. Minawisata adalah pemanfaatan kawasan wisata dengan pengembangan produksi
perikanan untuk mencapai ketertarikan masyarakat pengguna akan
pengembangan perikanan pada kawasan wisata tersebut.
10. Daya Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kemampuan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain.
11. Pembangunan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dimaksud disini
adalah pembangunan yang berdasarkan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil terpadu melalui perencanaan, pemanfaatan, pengendalian
dan pengawasan serta monitoring dan evaluasi.
12. Perencanaan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
dimaksud disini adalah perencanaan yang mengintegrasikan berbagai perencanaan
yang disusun oleh sector dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling
penguatan dalam pemanfatannya yang meliputi penyusunan profil sumberdaya
pesisir dan pulau-pulau kecil, penyusunan Renstra PWP3K, penyusunan Rencana
Zonasi PWP3K, penyusunan rencana pengelolaan PWP3K, penyusunan rencana
aksi.
13. Pelaksanaan Pembangunan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
dimaksud disini adalah hasil implementasi dari perencanaan pembangunan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan secara sistematik dan
berkesinambungan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, peningkatan
kesejahteraan masyarakat, pemerataan dan keberlanjutan.
14. Pengendalian yang dimaksud disini adalah proses untuk menjamin tertib
pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi
tertib pelaporan, sumber daya manusia yang tepat, informasi yang benar dan
aktual serta tepat waktu, yang dilaksanakan oleh internal dari pelaksana
pembangunan.
15. Pengawasan yang dimaksud disini adalah proses pengamatan dari pelaksanaan
seluruh kegiatan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk
menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang
ditetapkan sebelumnya, sehingga efisiensi dan efektifitas dapat tercapai yang
dilaksanakan oleh internal maupun eksternal dari pelaksana pembangunan.
16. Monitoring yang dimaksud disini adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara
berulang dan terus menerus dilakukan untuk mengawasi atau memantau proses
dan pengembangan pelaksanaan program pembangunan di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
17. Evaluasi yang dimaksud disini adalah suatu proses sistematis dalam
mengumpulkan, menganalisis, dan menginterprestasikan informasi untuk
mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program sesuai dengan criteria
tertentu untuk mengambil keputusan dalam pembangunan di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, L. 2004. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang


Berkelanjutan (Sustainable Small Islands Development and Management).
Working Paper 22 September 2004. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan – Institut Pertanian Bogor (PKSPL – IPB). Bogor.

Adrianto, L. and Y. Matsuda. 2002. Developing Economic Vulnerability Indices of


Environmental Disasters in Small Island Regions. Environmental Impact
Assessment Review 22 : 393 – 414 pp.

Agardy, T.S. 1997. Marine Protected Areas and Ocean Conservation. Academic Press.
Inc., San Diego, California.

Asriningrum, W. 2009. Pengelompokan Pulau Kecil dan Ekosistemnya Berbasis


Geomorfologi di Indonesia. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Barr, J., B. Henwood and K. Lewis. 1997. A Marine Protected Areas Strategy for the
Pacific Coast of Canada. In : Munro, N.W.P. and J.H.M. Willison (Eds.).
Linking Protected Areas With Working Landscapes Conserving
Biodiversity.Proceeding of the Third International Conference on Science
and Management of Protected Areas. Halifax, Nova Scotia, 12-16 May 1997.

Bengen, D.G. 2002. Potensi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Makalah Disampaikan


dalam Seminar Sehari “Peluang Pengembangan Investasi Pulau-Pulau Kecil di
Indonesia”. Hotel Indonesia, Jakarta 10 Oktober 2002.

Bengen D.G. 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung dalam Pengelolaan


Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Laporan Akhir. Kerjasama Kantor Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem


Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Bengen, D.G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir Laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bengen, D.G. dan A. Retraubun. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan
Berbasis Eko-sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan
Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor.

Bengen, D.G. and I.M. Dutton. 2004. Interactions : Mangroves, Fisheries and Forestry
Management in Indonesia. In Northcote, T. and G. Hartman (Eds) : Fishes and
Forestry-Worldwide Watershed Interactions and Management. Blackwell Sci.
Publ., London, UK.
Briguglio, L. 1995. Small Island Developing States and Their Economic Vulnerabilities.
World Development, 23 (9) : 1615 – 1632 pp.

Brookfield, H.C. 1990. An Approach to Island in Bell. Sustainable Development and


Evironmental Management of Small Island. UNESCO. New York.

Calado, H., A. Quentela, J. Porteiro. 2007. Integrated Coastal Zone Management


Strategies on Small Islands. Journal of Coastal Research, Special Issue 50:125-
129.

Champbell, J. 2006. Traditional Disaster Reduction in Pacific Island Communities.


GNS Science Report No. 38.

Cicin-Sain B, R.W Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts
and Practices: Island Press. Washington D.C. Covelo, California.

Dahuri, R. 1998. Pendekatan Ekonomi – Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil


Berkelanjutan. Makalah. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-
Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7 – 10 Desember 1998. Kerjasama
DEPDAGRI, TPSA, BPPT, CRMP, PKSPL – IPB. Jakarta.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Llautan secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Debance, K.S. 1999. The Challenges of Sustainable Management for Small Island
(Online). Available Online at http://www.insula.org/islands/small-islands.html.

Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2001. Pedoman Umum


Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia. Jakarta.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. 2007. Model Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil Berbasis Minawisata di Kabupaten Maluku Tenggara. Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Maluku. Ambon.

Direktorat Jenderal Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya. 1999. Garis Besar
Pedoman Pengembangan Ekowisata Indonesia. Direktorat Jenderal Departemen
Pariwisata, Seni dan Budaya. Jakarta.

Fandeli, C. 2000. Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata dalam Pengusahaan


Ekowisata. Pustaka Pelajar, Universitas Gajah Mada, Unit Konservasi
Sumberdaya Alam. Yogyakarta.

Fauzi, A. dan Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk
Analisis Kebijakan: Model Dinamik Optimasi ”Multiple Use” Sumberdaya Pulau-
Pulau Kecil. Gramedia. Jakarta.
Granger, O. E. 1993. Geography of Small Tropical Islands: Implication for Sustainable
Development in a Changing World. In: Small Island: Marine Science and
Sustainable Development. Maul GA (ed.). Coastal and Marine Studies.
American Geophysical Union. Washington D.C.

Haris, A. 2012. Rancang Bangun Pengelolaan Minawisata Bahari Pulau Kecil Berbasis
Konservasi: Kasus Pulau Dullah, Kota Tual-Provinsi Maluku. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hein, P.L. 1990. Economic Problems and Prospects of Small Islands in Bell.
Sustainable Development and Evironmental Management of Small Island.
UNESCO. New York.

Hidayat, S. 1998. Beberapa Aspek Pertimbangan untuk Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil


di Indonesia. Makalah dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7 – 10 Desember 1998. Kerjasama
DEPDAGRI, TPSA, BPPT, CRMP, PKSPL-IPB. Jakarta.

Kamal, E. 2005. Minawisata dan Minaindustri. Informasi Kampus. Universitas Bung


Hatta. Padang.

Mc. Elroy, J.L., Potter B., Towle E. 1990. Challenges for Sustainable Development in
Small Caribbean in Bell. Sustainable Development and Evironmental
Management of Small Island. UNESCO. New York.

META. 2002. Planning for Marine Ecotourism in the UE Atlantic Area. University of
the West England. Bristol.

Pomeroy, R.S. and M.J. Williams. 1994. Fisheries Co-Management and Small Scale
Fisheries: A Policy Brief. ICLARM. Manila.

United Nations. 1983. The Law of the Sea. Official Text of the United Nations
Convention on the Law of the Sea with Annexes and Index. United Nations
Publication No. E 83 V 5. New York.

WCED, 1987. Our Common Future. Oxford university Press. New York.

White, A.T., L.Z. Hale, Y. Renard and L. Cortesi. 1994. Collaborative and Community
Based Management of Coral Reefs: Lessons from Experience. Kumarian Press,
Inc. USA.

Yulianda, F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya


Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah pada Seminar Sains, 21 Februari 2007 pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yulianda, F. 2007. Pengembangan Ekowisata Mendukung Kawasan Konservasi


Terumbu Karang. Makalah Disajikan pada Pelatihan Pengelolaan dan Konservasi
Terumbu Karang Terpadu. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai