Anda di halaman 1dari 95

PROPOSAL DISERTASI

MODEL SINERGITAS PENGELOLAAN PARIWISATA


DI KOTA JAYAPURA
(Studi Kasus Pengelolaan Pariwisata di Kawasan Teluk Youtefa)

Oleh:

SARIATY H. Y. BEI
NIM. 20141011016015

PROGRAM DOKTOR ILMU SOSIAL


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2021

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL........................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah................................................................... 13
C. Rumusan Masalah...................................................................... 15
D. Tujuan Penelitian....................................................................... 15
E. Kegunaan Penelitian.................................................................. 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu.................................................................. 17
B. Kajian Teori............................................................................... 21
1. Teori Administrasi Publik.................................................... 21
2. Konsep Kolaborasi............................................................... 21
3. Konsep Pengelolaan............................................................. 30
4. Konsep Kepariwisataan........................................................ 34
5. Manajemen Kepariwisataan.................................................
49
6. Pelaku Pariwisata.................................................................
57
7. Manajemen Kelembagaan....................................................
63
8. Peran Serta Masyarakat Lokal.............................................
66
9. Stakeholder...........................................................................
70
10. Konsep Sinergi.....................................................................
72
C. Kerangka Pemikiran................................................................... 75
BAB III METODE PENELITIAN

ii
A. Pendekatan Penelitian Kualitatif................................................ 79
B. Fokus Penelitian......................................................................... 79
C. Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................... 79
D. Fenomena Pengamatan.............................................................. 80
E. Jenis dan Sumber Data............................................................... 81
F. Pemilihan Informan.................................................................... 81
G. Instrumen Penelitian.................................................................. 82
H. Teknik Analisis Data.................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 71

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 PAD Kota Jayapura Periode 2017-2020...................................... 4


Tabel 1.2 Pajak Pariwisata Kota Jayapura Tahun 2017-2020..................... 5
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu.................................................................... 17
Tabel 3.1 Waktu Penelitian ......................................................................... 80

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem Kepariwisataan............................................................. 44


Gambar 2.2 Komponen Sistem Pengembangan Pariwisata......................... 45
Gambar 2.3 Sistem Pariwisata..................................................................... 48
Gambar 2.4 Sektor Pariwisata dalam Tiga Pilar.......................................... 49
Gambar 2.5 Destinasi Pariwisata................................................................. 52
Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran................................................................. 78
Gambar 3.1 Siklus Proses Analisis Data...................................................... 70

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pariwisata merupakan salah satu sektor utama yang memiliki peran

penting dalam pembangunan nasional, baik dalam aspek ekonomi, sosial dan

lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor pariwisata memberi kontribusi

terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah dan Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) beserta komponen-komponennya. Dalam aspek sosial,

pariwisata berperan dalam penyerapan tenaga kerja, apresiasi seni, tradisi dan

budaya bangsa, dan peningkatan jati diri bangsa. Dalam aspek lingkungan,

dapat mengangkat produk dan jasa wisata seperti kekayaan dan keunikan alam

dan laut, dan alat yang efektif bagi pelestarian lingkungan alam dan seni

budaya tradisional. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Undang - undang

Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pasal 2, disebutkan bahwa :

“Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas yang


diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan
kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman,keunikan dan
kekhasan budaya alam,serta keutuhan manusia untuk berwisata”.

Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya

alam yang melimpah dan beraneka ragam etnik budaya daerah yang khas,

sangat mendukung pengembangan sektor pariwisata. Pariwisata diharapkan

mampu untuk berperan sebagai penentu dan katalisator mengembangkan

pembangunan sektor lainnya secara bertahap Yoeti (dalam Farah,2017).

Industri pariwisata di Indonesia harus mendapat perhatian secara khusus dari

pemerintah baik pusat maupun daerah dalam mengembangkan pariwisatanya.

1
Potensi pariwisata didaerah sangat banyak,oleh karena itu pemerintah, swasta

dan masyarakat daerah harus saling membantu dalam pengelolaannya sehingga

dapat mengangkat segi ekonomi, budaya dan pendidikan daerah tersebut.

Pariwisata sangatlah mampu dalam mengatasi masalah kesejahteraan bila

dikembangkan secara profesional.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional bahwa komponen

dalam pengembangan pariwisata yang disajikan menggambarkan bahwa betapa

kekuatan dan potensi pariwisata Indonesia bertumpu di berbagai daerah,

sehingga dibutuhkan sinergitas yang koordinasi antar Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah dan industri pariwisata serta stakeholder lainnya.

Pengembangan pariwisata suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah

daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Ini merupakan

kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan

kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah.

Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan

kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah bebas berkreasi dan

berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak

melanggar ketentuan hukum yaitu perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

pasal 7 disebutkan bahwa mengelola kepariwisataan menyangkut 4 (empat)

aspek yaitu industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran dan

kelembagaan pariwisata. Terkait penelitian ini maka kelembagaan pariwisata

bila dilihat dari sisi kelembagaannya merupakan sebuah organisasi yang

2
dibentuk sebagai upaya manusia untuk memfasilitasi upaya pemenuhan

kebutuhan rekreasinya. Juga dapat berarti semua aturan, kebijakan maupun

kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk mendukung pengembangan pariwisata.

Implementasi kebijakan pemerintah akan dapat dilakukan didaerah, bila

diadakan penguatan organisasi kepariwisataan dengan membentuk organisasi-

organisasi pariwisata daerah yang ditujukan untuk menangani segala

permasalahan pariwisata daerah. Oleh karena itu pengembangan dan penguatan

lembaga pariwisata lokal perlu dipertimbangkan dalam penyusunan

perencanaan pariwisata. Selain lembaga formal kepariwisataan yang

dibutuhkan juga didalam masyarakat saat ini juga berkembang lembaga

kepariwisataan yang dibentuk oleh masyarakat seperti Kelompok Sadar

Wisata,Kelompok Pecinta Wisata,desa wisata dll.

Sektor pariwisata merupakan sektor yang potensial untuk

dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Program

pengembangan dan pendayagunaan sumber daya dan potensi pariwisata daerah

diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi.

Kedatangan wisatawan pada suatu Daerah Tujuan Wisata (DTW) telah

memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk setempat. Seperti

halnya dengan sektor lainnya, pariwisata juga berpengaruh terhadap

perekonomian di suatu daerah tujuan wisata.

Majunya industri pariwisata suatu daerah sangat bergantung kepada

jumlah wisatawan yang datang, karena itu harus ditunjang dengan peningkatan

pemanfaatan Daerah Tujuan Wisata (DTW) sehingga industri pariwisata akan

berkembang dengan baik. Unsur terpenting dalam kepariwisataan selain obyek

3
wisata yang menjadi tujuan utama wisatawan adalah sarana pendukung

pariwisata. Sebagai akibat dari perkembangan kunjungan wisatawan, berbagai

sarana penunjang tumbuh dengan pesat di pusat hunian wisata ataupun di

kawasan obyek wisata seperti misalnya restoran, art shop, pasar seni, sarana

hiburan, dan rekreasi. Banyaknya usaha sarana pendukung pariwisata yang

berkembang merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah Kota Jayapura.

Dalam hal ini pariwisata menyumbang penerimaan kepada daerah dalam

bentuk pajak dan retribusi. Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan

dari pungutan pajak daerah, retribusi daerah, hasil dari perusahaan daerah,

penerimaan dari dinas-dinas dan penerimaan lainnya yang termasuk dalam

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersangkutan, dan merupakan pendapatan

daerah yang sah. Semakin tinggi peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

dalam pendapatan daerah merupakan cermin keberhasilan usaha-usaha atau

tingkat kemampuan daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan.

Tabel 1.1
PAD Kota Jayapura Periode 2017-2020

Tahun Target Realisasi


2017 170,247,695,314 173,932,075,773
2018 189,759,986,678 195,734,645,374
2019 200,500,000,000 210,002,868,714
2020 130,018,313,571 150,836,093,407
Sumber: Dispenda Kota Jayapura, 2021

Berdasarkan tabel 1.1 di atas, diketahui bahwa selama 4 tahun terakhir

Pendapatan Asli Daerah Kota Jayapura mengalami peningkatan yang

signifikan. Namun demikian, pada tahun 2020 Pendapatan Asli Kota Jayapura

mengalami penurunan yang sangat tajam, hal ini disebabkan adanya pandemi

4
Covid-19 sehingga menyebabkan Pendapatan Asli Daerah Kota Jayapura

mengalami penurunan.

Tabel 1.2
Pajak Pariwisata Kota Jayapura Tahun 2017-2020

Tahun Penerimaan Peningkatan


2017 3.246.463.296 22,2
2018 5.633.663.121 24,3
2019 7.907.638.616 31,4
2020 10.934.208.455 20,5
Sumber: Dinas Priwisata Kota Jayapura, 2021

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa, Pajak Pariwisata setiap

tahunnya dari tahun 2017- 2020 mengalami kenaikan. Hal ini mengindikasikan

bahwa sektor pariwisata di Kota Jayapura mampu mendongkrak peningkatan

Pendapatan Asli Daerah Kota Jayapura. Pemerintah Kota Jayapura sama

halnya dengan pemerintah pusat, mempunyai kepentingan yang sama dalam

menyelenggarakan urusan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya.

Pemerintah daerah Kota Jayapura membutuhkan dana dan biaya untuk

membangun daerahnya dalam menyelenggarakan otonomi daerah sesuai

dengan undang-undang yang telah ditetapkan. Berdasarkan hal itu, penulis

telah melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Pajak Pariwisata di Kota

Jayapura.

Dalam perkembangannya Kota Jayapura sebagai ibu kota Provinsi

Papua memiliki potensi wisata yang cukup bervariasi, mulai dari wisata alam,

wisata budaya sampai dengan wisata bahari yang ditunjang oleh beberapa

faktor antara lain a) keadaan topografis; b) keadaan geografis; c) keadaan

sosial budaya; d) iklim, fauna dan kekayaan alam. Kondisi wisata yang

menarik ini mendapatkan perhatian wisatawan lokal dan nasional. Wisata

5
bahari merupakan wisata yang sangat diminati oleh masyarakat Kota Jayapura

manakala saat akhir pekan. Padatnya aktivitas, dan tuntutan hidup serta tingkat

stres membuat kebutuhan masyarakat akan rekreasi dan hiburan semakin

meningkat. Seiring dengan itu terjadi perubahan perilaku dan cara pandang

masyarakat yang mendorong kegiatan berekreasi tidak lagi di anggap sekedar

sebagai pemenuhan kebutuhan semata, tetapi sudah menjadi bagian dari gaya

hidup. Rekreasi erat kaitannya dengan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

sebagai kegiatan perekonomian telah menjadi andalan potensial dan prioritas

pengembangan bagi Kota Jayapura yang memiliki potensi wilayah yang luas

dengan daya tarik wisata yang cukup besar, banyaknya keindahan alam, aneka

warisan sejarah budaya, dan kehidupan masyarakat.

Objek destinasi wisata di Kota Jayapura khususnya kawasan pantai

merupakan alternatif pertama yang sering dikunjungi karena mempunyai

kondisi alam yang eksotis dan masih alami sehingga banyak dicari wisatawan.

Macam-macam objek wisata yang ada di Kota Jayapura antara lain Pantai

Hamadi, Pantai Base G, Pantai Holtekamp, dan Teluk Skyland. Dalam konteks

pengembangan kawasan pariwisata Kota Jayapura saat ini, maka wisata bahari

memiliki daya saing yang cukup signifikan bagi daerah. Pemerintah daerah

dapat mengembangkan potensi wisata ini karena dapat diandalkan untuk

menghasilkan pendapatan daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa

perkembangan pariwisata bahari di Kota Jayapura sangat pesat dan menjadi

sektor yang potensial untuk pengembangan daerah. Namun, sinergi dari

berbagai elemen atau unsur tidak menjadi prioritas utama. Program

kepariwisataan cenderung dijalankan oleh pemerintah, masyarakat dan swasta/

6
pelaku usaha pariwisata yang berjalan secara sendiri-sendiri. Sinergitas dalam

pengelolaan pariwisata perlu dibangun diantara pemerintah, swasta dan

masayarakat karena keterlibatan stakeholder yang belum maksimal.

Pengembangan pariwisata Kota Jayapura telah di atur dalam Rencana

Induk Pengembangan Obyek Wisata (RIPOW) Kota Jayapura yang merupakan

amanat dari Peraturan Daerah (PERDA) Kota Jayapura Nomor 8 Tahun 2012

tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPPDA) Kota Jayapura.

Adapun salah satu rencana pemanfaatan ruang untuk pengembangan pariwisata

di Kota Jayapura adalah obyek wisata pantai yang meliputi kawasan pantai

Base-G, kawasan pesisir pantai di sebelah selatan Kelapa Dua yaitu Taman

Wisata Youtefa, Wisata pantai Hamadi, Holtekamp dan Skouw. Juga telah

diatur dalam RIPOW tentang kebijakan dan strategi pengembangan kawasan

wisata unggulan yaitu kawasan wisata teluk Youtefa yang didalamnya terdapat

daya tarik wisata antara lain pantai Hamadi dan pantai Holtekamp. Rencana

pengembangan kawasan pariwisata unggulan Kota Jayapura ini tentunya harus

didukung oleh pengelolaan yang dilakukan secara bersinergi antara

pemerintah, swasta dan masyarakat yang merupakan stakeholder pariwisata.

Pariwisata digadang sebagai salah satu kebutuhan primer karena

terdapat kebutuhan pangan dan papan, artinya pariwisata adalah industri jasa

yang menyedikan kebutuhan wisatawan seperti kebutuhan akan tempat tinggal,

makan, keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan pada saat disuatu

destinasi/daya tarik wisata. Apabila suatu destinasi ataupun daya tarik wisata

memiliki potensi wisata dengan keunikan tersendiri, namun disisi lainya

fasilitas pariwisata dan kondisi sosial budaya belum optimal, seperti keamanan

7
dan kenyamanan wisatawan terancam, kebersihan lingkungan tidak terjaga,

tarif yang dikenakan terlalu mahal atau harga yang ditentapkan tidak sesuai

dengan kondisi daya tarik wisata, terjadi pungutan liar, pelayanan dan

keramahan kurang maksimal maka akan mengancam keberadaan daya tarik

wisata tersebut. Daya Tarik wisata pantai di Kota Jayapura terutama di Teluk

Youtefa, memiliki potensi wisata sangat baik. Tetapi masih minim fasilitas dan

kendala hospitalitas pariwisata yang harus ditingkatkan. Salah satu contoh,

pantai Hamadi dan Holtekamp ramai dikunjungi pada hari libur, namun

ketersediaan fasilitas pariwisata masih dirasa belum memadai, pantai Hamadi

dan Holtekamp ini sepenuhnya dikelola oleh masyarakat lokal mendukung

kegiatan leisure, tetapi banyak fasilitas yang perlu dibenahi dan juga

disediakan bagi pengunjung maupun wisatawan. Sehingga penting untuk

mengetahui penilaian dan kebutuhan penunjung terhadap fasilitas pariwisata di

daya tarik wisata.

Dari pengamatan dan survei awal penulis, ditemukan bahwa

permasalahan yang terjadi dalam konteks pengelolaan Daerah Tujuan Wisata

(DTW) kawasan Teluk Youtefa dalam hal ini Pantai Hamadi dan Pantai

Holtekamp, yaitu tidak nampak sinergitas diantara stakeholder. Masyarakat

pemilik hak ulayat mengelola lokasi pariwisata dengan caranya sendiri-sendiri

berdasarkan hak ulayat masing-masing. Belum ada struktur lembaga pengelola.

Hal ini dapat dilihat pada fakta bahwa ada lokasi wisata yang dikelola oleh

pemilik hak ulayat secara pribadi dengan keluarganya namun ada pula lokasi

wisata yang disewakan kepada pelaku usaha/swasta. Sewa lokasi wisata oleh

pemilik hak ulayat dengan pelaku usaha dilakukan atas dasar kesepakatan

8
bersama, baik tentang jangka waktu maupun harga sewa. Setelah lokasi wisata

tersebut dibangun oleh pelaku usaha dengan fasilitas wisata berupa cafe-cafe

dan pondok-pondok wisata serta fasilitas wisata lainya, maka pemungutan

retribusi parkir dikelola oleh pemilik usaha dan atau pemilik hak ulayat

dengan standar harga parkir sesuai keinginan mereka.

Kebijakan pembangunan pariwisata mengacu pada beberapa dokumen

perencanaan daerah seperti RPJMD, RTRW dan RIPPDA. Dalam dokumen ini

perencanaan pariwasata biasanya masih sektoral. Pemerintah Daerah yang

sudah sukses dalam pengembangan wisatanya sangat menyadari karakter

sektor pariwisata yang multidimensional, sehingga pendekatan perencanaan

pariwisata dilakukan secara multi sektor juga. Seperti yang dilakukan

Pemerintah Kota Jayapura, dalam pembangunan daerahnya selalu melalui

pendekatan TematikHolistik. Tematik adalah jika akan mengadakan rapat

koordinasi selalu mengangkat satu tem yang mendukung pengembangan

pariwisata, kemudian dibahas secara bersama atau menyeluruh dari setiap

SKPD. Melalui pola ini, maka pariwisata akan menjadi “roh” pembangunan di

setiap SKPD, dengan kata lain pariwisata menjadi bagian yang terpadu

(integral) dalam pembangunan daerah secara keseluruhan.

Sementara itu, seringkali pembangunan pariwisata daerah belum

berbasis rencana jangka panjang, masih sangat tergantung kebijakan politik

‘sesaat’ sesuai selera pimpinan saat itu. Dokumen perencanaan pembangunan

bidang pariwisata seperti: RIPPDA/Perda Pariwisata belum dijadikan acuan

utama dalam pembangunan pariwisata daerah. Berbagai kendala seperti

kualitas dokumen perencanaan yang rendah serta lemahnya komitmen

9
stakeholders terkait dalam membangun kesepakatan bersama. Hal ini

menyebabkan berbagai kebijakan pembangunan daerah di bidang pariwisata

masih lemah, seperti: lemahnya koordinasi antar sektor, tidak jaminan bagi

swasta atau inivestor tentang arah pembangunan pariwisata daerah dan

sebagainya. Bentuk/pola dan mekanisme pengelolaan destinasi pariwisata

masih parsial, belum melibatkan banyak pihak, sehingga tidak mendukung

karakter pariwisata yang unik yaitu multidimensional.

Pembangunan kepariwisataan menyangkut banyak pihak dalam

pemerintahan maupun sektor swasta, selain organisasi kepariwisataan

pemerintah dan swasta sekarang yang bersifat horisontal dan vertikal, juga

diperlukan organisasi kepariwisataan yang bersifat horisontal dan vertikal, juga

diperlukan organisasi kepariwisataan yang bersifat diagonal. Di lingkungan

pengusaha, diperlukan organisasi yang mencakup berbagai jenis usaha.

Organisasi lain yang diperlukan adalah organisasi kemasyarakatan yang dapat

menjadi ujung tombak untuk mengefektifkan upaya pemberdayaan dan juga

berfungsi sebagai pengendali sosial.

Di lingkungan pemerintahan, kelembagaan yang berbentuk Dinas

Pariwisata masih sulit mengembangkan pariwisata daerah, apalagi

kelembagaan yang mempunyai nomenklatur yang panjang. Di samping itu

untuk organisasi yang berebentuk badan atau kantor juga masih memiliki

kewenangan terbatas. Kelembagaan di pemerintahan ini juga sangat tergantung

siapa yang ada di belakangnya (man behind the gun), oleh sebab itu peran

Kepala Dinas sangat berpengaruh dalam menggerakkan pariwisata tingkatan

satuan kerja. Di masa yang akan datang mungkin juga perlu ada semacam

10
“sertifikat” kepala Dinas Pariwisata artinya kalau pariwisata akan menjadi

sektor yang dipilih atau diinginkan pengembangannya, maka dianggap krusial

untuk menyiapkan seorang Kepala Dinas Pariwisata untuk dibekali dengan

pemahaman kepariwisataan yang mendasar. Hal ini, mengingat tingginya

dinamika pergantian pejabat kepala dinas yang menjadikan pariwisata juga

sebagai salah satu sektor yang diperhitungkan. Sejalan dengan Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, maka

Provinsi Lampung sudah harus berbenah untuk menyiapkan semua perangkat

kelembagaan yang sesuai dengan Undang-Undang tersebut. Kelembagaan yang

dimaksud adalah Badan Pomosi Pariwisata Daerah (BPPD) Kota Jayapura.

Diharapkan BPPD ini nanti yang akan aktif dalam melakukan promosi yang

efisien dan efektif untuk Pariwisata Kota Jayapura.

Perhatian pengembangan kepariwisataan selama ini terfokus pada

pengembangan sektor-persektor-industri/swasta, pemerintah, masyarakat dan

perkomponen produk pariwisata, pelayanan pendukung, dan lain-lain. Padahal

untuk menyediakan kualitas pengalaman yang terbaik dan menciptakan nilai

yang tinggi bagi pengunjung, pengembangan sektor-sektor dan

komponenkomponen tersebut harus bersinergi dalam satu rangkaian di sebuah

destinasi, jadi tidak dapat berdiri sendiri. Perencanaan pariwisata sebagai

perencanaan yang multi sektor dan multi aspek serta multi wilayah, maka

dibutuhkan perencanaan kolaboratif sebagai proses menuju perencanaan yang

terintegratif baik secara hirarki (Provinsi, Kabupaten, Kota) maupun secara

sektor (berbagai kelembagaan/ kementrian). Perencanaan kolaboratif sebagai

proses menuju perencanaan yang terintegratif baik secara hirarki (Provinsi,

11
Kabupaten, Kota) maupun secara sektor (berbagai kelembagaan/ kementrian).

Agar perencanaan kolaboratif (collaborative planning) dapat diwujudkan maka

yang harus diperhatikan adalah: (a) Semua pihak yang terlibat bersedia

membuka diri, sehingga muncul “trust” atau saling percaya di antara berbagai

pihak yang akan berkolaborasi. Semua pihak harus terbuka, jujur, saling

menghormati dan menghargai, sehingga tidak muncul konflik. (b)

Pendekatannya harus kerja sama atau bersinergi, bkan berarti tidak ada

kompetisi, kompetsi boleh ada tapi hars dijaga sebagai usaha untuk daya

dorong mencapai tujuan bersama.(c) Setiap pihak memposisikan dirinya sama

atau ada kesederajatan jadi tidak ada yang tinggi atau rendah, tetapi berbeda

dalam peran, misal: pemerintah sebagai mediator, fasilitator dan legislator.

Sedangkan swasta sebagai praktisi dan investor.

Dalam pariwisata masing-masing stakeholder ini mempunyai peran

yang berbeda, walaupun mungkin dalam beberapa hal ada yang bersinggungan.

Pemerintah berperan menyiapkan prasarana dan sarana dasar yang mendukung

pengembangan pariwisata, menyiapkan berbagai peraturan berkaitan dengan

pariwisata, memfasilitasi kemudahan berwisata dan berusaha dan melakukan

kegiatan promosi dan pemasaran destinasi, Business (swasta/ dunia usaha)

berperan sebagai penyelenggara bisnis pariwisata sesuai etika bisnis,

profesional, bertanggung jawab dan berkelanjutan, Community di dalamnya

masyarakat dan komunitas-komunitas (NGO/ LSM); masyarakat berperan

mendukung sapta pesona/darwis plus dan menyediakan jasa pariwisata/

ekonomi kreatif, Akademisi berperan melakukan berbagai riset dan pengabdian

masyarakat berkaitan pengembangan pariwisata, agar pembangunan pariwisata

12
berbasis penelitian, Media terutama media on line saat ini menjadi kekuatan

informasi dan andalan dalam promosi pariwisata. Promosi dan pemasaran

pariwisata sekarang dapat dilakukan dengan cepat dengan memanfaatkan

media sosial.

Bentuk kolaborasi di pemerintahan yaitu sebagai wadah antar lembaga

adalah Koordinasi Lintas Sektoral. Di tingkat pemerintah pusat, sudah ada

wadah yang mempertemukan berbagai kementerian dan lembaga untuk

mendukung pengembangan pariwisata yaitu Koordinasi Strategis Lintas Sektor

Penyelenggaran Kepariwisataan yang diketuai Wakil Presiden, di tingkat

Provinsi diketuai Wakil Gubernur dan di Kabupaten/ Kota seharusnya diketuai

Wakil Bupati atau Wakil Walikota. Dari uraian diatas, sangat diperlukan

sinergitas pengelolaan pariwisata di Kawasan Teluk Youtefa dari stakeholder

yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat pemilik hak ulayat yang diwujudkan

dalam lembaga pengelola pariwisata kawasan Teluk Youtefa, sehingga

pariwisata Kawasan Teluk Youtefa yang merupakan salah satu asset daerah

Kota Jayapura dapat dikembangkan dengan baik lalu kemudian dapat

mendatangkan PAD. Dalam pengelolaannya pemerintah daerah sebagai

penguasa wilayah dapat menjembatani dan menyeimbangkan antara keinginan

pelaku usaha dan kepentingan masyarakat pemilik hak ulayat agar tidak

menimbulkan konflik didalam pengelolaan pariwisata. Dalam hal ini,

diperlukan struktur lembaga pengelola.

B. Identifikasi Masalah

Sejalan dengan permasalahan mengenai pengelolaan pariwisata di

Kota Jayapura, hubungan atau sinergitas yang terbangun antara berbagai

13
kelompok masyarakat dalam konteks sinergitas pengelolaan pariwisata masih

rendah. Kerjasama antara masyarakat mungkin saja terbangun secara informal

di destinasi wisata, namun keterkaitan antar elemen masyarakat, pemerintah

dan swasta perlu dikaji untuk melihat kemampuan setiap unsur yang terlibat

dalam mengoptimalkan potensi pariwisata sebagai asset wisata daerah. Penulis

memandang bahwa sinergitas dalam kepariwisataan adalah hal penting dalam

mengembangkan potensi pariwisata suatu destinasi. Model sinergitas menjadi

suatu kebutuhan untuk menuntun stakeholder pariwisata dalam membangun

destinasi. Sesuai dengan penjabaran masalah yang telah diuraikan pada latar

belakang di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah penelitian sebagai

berikut:

1. Pihak Pemerintah Daerah telah melakukan perencanaan mengenai

pariwisata yang ada di Pantai Hamadi dan Pantai Holtekamp, namun hal

itu belum berjalan dengan baik karena tidak adanya sinergitas

stakeholders.

2. Destinasi objek wisata di kawasan Teluk Youtefa dalam hal ini Pantai

Hamadi dan Pantai Holtekamp tidak sinergi karena masih dikelola secara

sendiri-sendiri oleh pemilik hak ulayat. Hal ini nampak dalam sewa lokasi

wisata yang dilakukan oleh pemilik hak ulayat dengan pelaku

usaha/swasta,ketika pembangunan lokasi wisata selesai dan digunakan

maka seluruh kegiatan pengelolaan dilakukan sendiri oleh pelaku usaha

dan atau pemilik hak ulayat termasuk pungutan parkir kendaraan dan

kegiatan lainnya.

14
3. Belum adanya model sinergitas pengelolaan pariwisata dalam rangka

manajemen destinasi wisata di Kota Jayapura khususnya di Pantai Hamadi

dan Pantai Holtekamp.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan bahasan pada latar belakang penelitian, maka

dapat diketahui rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengelolaan pariwisata di Kawasan Teluk Youtefa-Kota

Jayapura?

2. Bagaimana sinergitas stakeholder dalam pengelolaan pariwisata di

Kawasan Teluk Youtefa-Kota Jayapura?

3. Bagaimana model sinergitas pengelolaan pariwisata di Kawasan Teluk

Youtefa-Kota Jayapura?

D. Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada uraian yang tercantum dalam latar belakang

penelitian dan rumusan masalah, dapat ditentukan penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui dan menganalisis pengelolaan pariwisata di Kawasan Teluk

Youtefa-Kota Jayapura.

2. Mengetahui dan menganalisis sinergitas stakeholder dalam pengelolaan

pariwisata di Kawasan Teluk Youtefa-Kota Jayapura.

3. Mengetahui dan menganalisis model sinergitas pengelolaan pariwisata di

Kawasan Teluk Youtefa-Kota Jayapura.

E. Kegunaan Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberi

manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

15
1. Kegunaan teoritis

a. Sebagai bahan masukan di dalam pengembangan pariwisata dan

menambah ilmu pengetahuan khususnya tentang pariwisata di Kota

Jayapura.

b. Menambah konsep baru sebagai bahan masukan dan rujukan bagi

penelitian selanjutnya.

c. Sebagai penerapan dari teori yang diperoleh dengan penerapannya di

lapangan, khususnya pengembangan pariwisata di Kota Jayapura.

2. Sebagai bahan masukan dan rekomendasi bagi pemerintah Kota Jayapura

khususnya dan Provinsi Papua pada umumnya dalam upaya

pengembangan pariwisata.

3. Referensi bagi pihak lain untuk masalah yang relevan.

16
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai beberapa konsep yang

mengacu pada judul yang diangkat dalam penelitian ini, selain beberapa

konsep yang akan diuraikan dalam bagian ini juga terdapat beberapa

penelitian terdahulu. Penelitian-penelitian sebelumnya sebagai bahan

pertimbangan maupun bahan yang akan mendukung dalam penulisan

penelitian ini. Pada bagian ini juga akan diuraikan landasan teori yang

digunakan untuk menganalisa hasil penelitian di lapangan yang sesuai judul

yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu yang penulis

gunakan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

N Nama Judul Penelitian Temuan Relevansi


o Peneliti
1 Citra Persada Kolaborasi Dan Provinsi Lampung memiliki Tulisan ini menganalisis
(2016) Sinergitas Dalam hampir semua persyaratan pendekatan perencanaan
Pembangunan sebagai destinasi unggulan, pembangunan pariwisata dan
Pariwisata Lampung tetapi sampai saat ini kelembagaan yang sesuai
Menuju Destinasi pengembangan pariwisata di untuk pengembangan
Unggulan Provinsi ini masih belum pariwisata di Provinsi
menjadi pilihan utama Lampung. Perumusan
wisatawan. Posisi geostrategis perencanaan pembangunan
Provinsi Lampung belum secara dengan pendekatan tematik-
maksimal membawa pengaruh holistik kiranya sangat tepat
kepada kedatangan wisatawan, untuk sektor parwisata. Dari
karena dari aspek aksesibilitas sisi pengembangan
obyek wisata di Provinsi kelembagaan, maka
Lampung relatif masih “sulit” pendekatan kolaborasi dan
dicapai. Walaupun selalu terjadi sinergitas antara
peningkatan jumlah wisatawan stakeholders (pengusaha,
yang berkunjung ke Lampung, pemerintah, masyarakat,
tetapi jumlah tersebut masih media) sangat dibutuhkan
sangat sedikit dibanding yang dalam membangun
datang ke Indonesia. Dari aspek pariwisata Lampung.
atraksi dan amenitas, Provinsi
Lampung memiliki daya tarik

17
wisata yang lengkap yaitu
obyek wisata alam, budaya dan
buatan manusia, tetapi belum
semua obyek wisata tersebut
didukung prasarana dan sarana
pariwisata yang memadai.
Produk wisata yang dikenal
dengan 3 A (aksesibilitas,
atraksi dan amenitas)
merupakan suatu sistem, dimana
satu sama lain saling berkaitan,
sehingga dibutuhkan
pengelolaan yang terpadu antar
produk tersebut. Sebagai suatu
sistem yang kompleks, maka,
pariwisata adalah industri jasa
yang mempunyai karakteristik
unik multidimensional (multi
sektor, multi aktor, multi region
dan multi aspek). Karakter
pariwisata yang
multidimensional tersebut
menyebabkan sektor ini sangat
tergantung pada keteraduan
pengelolaan agar
terselenggaranya tujuan
pembangunan pariwisata yang
diinginkan.
2 Ridolof W. Pengembangan Salah satu potensi wisata yang Penelitian ini bertujuan
Batilmurik Model Ekonomi terdapat di Kabupaten Kupang untuk mendapatkan model
dan Hans A. Kreatif Bagi adalah wisata bahari. Namun pengembangan ekonomi
Lao (2016) Masyarakat Di pada kenyataannya potensi kreatif yang tepat sehingga
Daerah Objek Wisata objek wisata bahari tersebut dapat diterapkan oleh
Bahari Kabupaten belum dikelola secara tepat oleh Pemerintah Kabupaten
Kupang Nusa pemerintah maupun masyarakat Kupang dan pihak terkait
Tenggara Timur setempat. Pengelolaan potensi- untuk meningkatkan
potensi objek wisata bahari kunjungan wisawatan serta
diharapkan mampu ekonomi masyarakat. Selain
berkontribusi bagi peningkatan itu diharapkan model
pendapatan asli daerah maupun pengembangan ini
untuk kesejahteraan masyarakat, diterapkan melalui 2 tahap;
khususnya di sekitar objek (1) pembuatan model
wisata bahari. Persoalan yang pengembangan ekonomi
dihadapi adalah belum adanya kreatif dan (2) uji coba
model pengembangan objek pengembangan model.
wisata bahari secara tepat oleh Penelitian selanjutnya
pemerintah daerah maupun menggunakan tahapan
masyarakat. Berawal dari analisis yang sama terkait
observasi dan wawancara yang model sinergitas pengelolaan
dilakukan pelaku usaha dengan pariwisata, hanya saja model
Kadin UMKM dan Koperasi dan lokasi penelitian
serta Kadin Pariwisata dan berbeda.
Kebudayaan Kabupaten Kupang
ditemui berbagai persoalan,
diantaranya: kurangnya modal
usaha, kualitas sumber daya
manusia masyarakat serta tidak
adanya kerja sama dengan pihak

18
perbankan dan investor menjadi
kendala dalam pengembangan
ekonomi kreatif bagi
peningkatan ekonomi
masyarakat setempat.
3 Rina Yulianti, Sinergitas Antara Sinergitas yang terjalin antara Penelitian ini bertujuan
(2015) Pemerintah Daerah, pemerintah daerah, pelaku untuk mendeskripsikan dan
Pelaku Usaha Dan usaha dan masyarakat akan menganalisis Sinergitas
Masyarakat Di Dalam membuat pariwisata di Provinsi Antara Pemerintah Daerah,
Pengembangan Banten akan semakin maju, baik Pelaku Usaha Dan
Pariwisata Di dari segi ekonomi dapat Masyarakat Di Dalam
Provinsi Banten mengangkat kesejahteraan Pengembangan Pariwisata.
masyarakat di sekitar objek Penelitian yang akan
wisata, dan terpeliharanya objek dilakukan mengacu pada
wisata tersebut. Pemerintah model sinergitas yang
daerah dalam hal ini dilakukan untuk mengelola
berkepentingandi dalam pariwisata di Kota Jayapura.
kebijakan yang berkaitan
pariwisata, dimana pengelolaan
dan pengembangan pariwisata
dapat dilakukan pemerintah
daerah dengan mengajak pelaku
usaha agar dapat berinvestasi di
dalam pengembangan
pariwisata. Sedangkan
masyarakat dapat melakukan
berbagai usaha ekonomi di
sekitar objek wisata, dengan
demikian masyarakat juga dapat
diberdayakan dengan membuka
usaha dan dapat membantu
perekonomian masyarakat
tersebut. Selain itu pemerintah
daerah juga dapat melengkapi
sarana dan prasarana agar
wisatawan yang datang merasa
nyaman, sedangkan tugas
pelaku usaha dengan melakukan
promosi ke seluruh Indonesia
dan dunia melalui semua media,
dan masyarakat sekitar harus
bisa menjaga agar semua sarana
dan prasarana yang ada tidak
rusak serta keamanan dan
kenyamanan wisatawan yang
datang tetap terjaga.
4 Edison Bebari Penguatan Kerjasama Pemerintah akan menghadapi Penelitian ini bertujuan
(2014) Pola Kemitraan masyarakat yang semakin untuk mendeskripsikan dan
Antara Pemerintah cerdas dan masyarakat yang menganalisis kerja sama
Daerah, Swasta Dan banyak menuntut akan pola kemitraan antara
Masyarakat Dalam pelayanan publik yang baik. Di pemuda, swasta dan
Pengembangan dalam masyarakat heterogen, masyarakat dalam
Sektor Pariwisata Di peran pemerintah akan semakin mengembangkan industri
Kabupaten menyempit serta tidak lagi pariwisata dan memahami
Manokwari Provinsi mendominasi dan monopoli peran dari masing-masing
Papua Barat. tetapi lebih kepada pelaku serta
memberdayakan peran serta mengidentifikasi faktor-

19
masyarakat terutama dalam faktor yang mempengaruhi
menggerakkan sektor ekonomi. pola kemitraan.
Peranan pemerintah daerah
sebagai regulator, stabilisator
dan fasilitator juga sangat
diperlukan sebagai penguasa
wilayah untuk menjembatani
dan
menyeimbangkan antara pelaku
bisnis dan kepentingan
masyarakat. Industri pariwisata
sebagai salah satu mata rantai
perekonomian dalam
pengelolaannya tidak akan
terlepas dari ketiga aktor
tersebut, namun dalam
menjalankan perannya tidak
akan terlepas dari kondisi sosial
budaya didaerah.
5 Muhammad Kerja Sama Antara Hasil dari penelitian ini Penelitian yang digunakan
Chusnul Pemerintah Daerah, Pemerintah daerah Kabupaten dalam penelitian ini adalah
Khitam. Swasta dan Lamongan dengan PT. Bunga penelitian deskriptif dengan
(2012) Masyarakat Dalam Wangsa Sejati mampu pendekatan kualitatif,
Pengembangan menjadikan sebuah kawasan dengan lokasi penelitian di
Pariwisata. wisata yang dahulu minim akan Kabupaten Lamongan.
sebuah fasilitas dijadikan Sedangkan penelitian
sebuah kawasan wisata yang selanjutnya menggunakan
bertaraf internasional, jenis penelitian dan
perubahan pengembangan pendekatan yang sama,
kawasan wisata ini menjadikan hanya lokasi penelitian yang
masyarakat disekitar berbeda. Lokasi penelitian
daerah tersebut mampu ikut ini akan
bekerja sama dalam menjaga, dilakukan di Kota Jayapura.
maupun membangun kawasan
itu. kerjasama yang baik akan
menjadikan masyarakat,
pemerintah daerah dan swasta
akan mendapatkan hasil yang
maksimal. Pembangunan-
pembangunan infrastruktur yang
selama ini kurang mendapatkan
perhatian dari pemerintah
daerah mampu ditutupi oleh
pihak swasta, hal seperti ini
diharapkan bisa menjadikan
sebuah kerjasama yang sinergi
dan kooperatif.

20
B. Kajian Teori

1. Teori Administrasi Publik

Istilah Administrasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin

(Yunani) yang terdiri atas dua kata yaitu “ad” dan “ ministrate” yang

berarti “to serve” yang dalam Bahasa Indonesia berarti melayani atau

memenuhi. Sedangkan pendapat Keban (2008:2) "administrasi diartikan

sebagai arahan, pemerintahan, kegiatan implementasi, kegiatan

pengarahan, penciptaan prinsip-prinsip implementasi kebijakan publik,

kegiatan melakukan analisis, menyeimbangkan dan mempresentasikan

keputusan, pertimbangan-pertimbangan kebijakan, sebagai pekerjaan

individual dan kelompok dalam menghasilkan barang dan jasa publik, dan

sebagai arena bidang kerja akademik dan teoritik.

Pengertian Publik adalah sejumlah manusia yang memiliki

kesamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan

baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki (Pasolong, 2011:6).

Administrasi publik, menurut Chandler dan Plano dalam Keban (2008:4)

adalah proses dimana sumber daya dan personel publik diorganisir dan

dikoordinasikan untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan

mengelola keputusan-keputusan dalam kebijakan publik. Selain itu, Keban

juga menyatakan bahwa istilah Administrasi Publik menunjukkan

bagaimana pemerintah berperan sebagai agen tunggal yang berkuasa atau

sebagai regulator, yang aktif dan selalu berinisiatif dalam mengatur atau

mengambil langkah dan prakarsa, yang menurut mereka penting atau baik

untuk masyarakat karena diasumsikan bahwa masyarakat adalah pihak

21
yang pasif, kurang mampu, dan harus tunduk dan menerima apa saja yang

diatur pemerintah (Keban, 2008:4). Teori Administrasi menjelaskan

upaya-upaya untuk mendefinisikan fungsi universal yang dilakukan oleh

pimpinan dan asas-asas yang menyusun praktik kepemimpinan yang baik.

Henry Fayol (1841-1925) menggunakan pendekatan atas

manajemen administrasi, yaitu suatu pendekatan dari pimpinan atas

sampai pada tingkat pimpinan terbawah. Fayol melahirkan tiga sumbangan

besar bagi administrasi dan manajemen yaitu (1) aktivitas organisasi, (2)

fungsi atau tugas pimpinan, (3) prinsip-prinsip administrasi atau

manajemen. Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan dari

keputusankeputusanyang telah diambil dan diselenggarakan oleh dua

orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya

(Siagian, 2009:4).

Pasalong (2011:3) mendefinisikan administrasi adalah rangkaian

kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam bekerjasama untuk

mencapa itu juanatas dasar efektif, efesien dan rasional. Selanjutnya ia

menyatakan administrasi mempunyai dua dimensi yaitu dimensikara

kteristikd andimensi unsur-unsur. Dimensi karakteristik yang melekat pada

administrasi yaitu efesien, efektif dan rasional sedangkan dimensi unsur-

unsur administrasi yaitu:

a. Adanya tujuan atau sasaran yang ditentukan sebelum melaksanakan

suatu pekerjaan

b. Adanya kerjasama baik sekelompok orang atau lembaga pemerintah

maupun lembaga swasta

22
c. Adanya sarana yang digunakan oleh sekelompok atau lembaga dalam

melaksanakan tujuan yang hendak dicapai.

Perkembangan peradaban, pemikiran dan dinamika masyarakat

berdampak pada perkembangan ilmu pengethuan termask ilmu

administrasi public. Sabaruddin (2015:16) membagi perkembangan ilmu

administrasi Publik pada tiga paradigm besar, yaitu:

a. Paradigma Administrasi Publik Klasik (Old Public Administration)

1887-1987

Konsep Old Public Administration dalam perkembangannya

menurut Sabaruddin (2015:16) memunculkan konsep-konsep baru

yaitu: Pertama, model rasional pandangan Herbert A Simon yang

mengungkapkan bahwa preferensi individu dan kelompok seringkali

berpengaruh pada berbagai urusan manusia. Organisasi pada dasarnya

tidak berkenaan dengan standar tunggal efisiensi, tetapi juga dengan

standar lainnya, konsep utama yang ditampilkan Simon adalah

Rasionalitas. Kedua, public choice (pilihan public), pandangan ini

didasarkan pada tiga asumsi kunci yaitu:

1) Teori ini memusatkan perhatian pada individu dengan asumsi

bahwa pengambil keputusan perorangan adalah rasional,

mementingkan diri sendiri dan berusaha memanfaatkan orang lain.

2) Teori ini memusatkan perhatian pada barang public sebagai output

dari badan-badan public.

23
3) Teori ini berdasarkan asumsi bahwa situasi keputusan berbeda

akan menghasilkan pendekatan yang berbeda dalam penentuan

pilhan.

Sabaruddin (2015:17) menjelaskan pandangan old public

administration yaitu:

1) Titik perhatian pemerintah adalah pada jasa pelayanan yang

diberikan langsung oleh instansi yang berwenang

2) Public policy dan administasi berkaitan dengan merancang dan

melaksanakan kebijakan untuk mencapai tujuan politik

3) Administrasi publik mempunyai peranan terbatas dalam pembuatan

kebijakan dan lebih banyak dibebani dengan fungsi implementasi

kebijakan public.

4) Pemberian pelayanan public harus dilaksanakan oleh administrator

yang bertanggung jawab kepada pejabat atau birokrat politik.

5) Administrasi negara bertanggung jawab secara demokratis kepada

pejabat politik.

6) Program publik dilaksanakan melalui organisasi hirarkis, dengan

manajer menjalankan puncak organisasi.

7) Peranan administrator publik dirumuskan sebagai fungsi planning,

organizing, staffing, directing, coordinating, reporting and

budgeting.

Berdasarkan pandangan tersebut maka perspektif administrasi

publik klasik menempatkan organisasi tertutup sehingga keterlibatan

masyarakat dan pemerintahan dinilai tidak penting.

24
b. Paradigma New Public Management (Manajemen Publik Baru)

1990- 2000

Lahirnya konsep new public management (NPM) pada awal

tahun 1990-an merupakan reaksi terhadap lemahnya birokrasi

tradisional dalam paradigm administrasi public klasik. Sabaruddin

(2015:21) menjelaskan perspektif new public management semua

pimpinan/manajer didorong untuk menemukan cara baru dan inovatif

untuk memcapai hasil maksimal atau melakukan privatisasi terhadap

fungsi-fungsi pemerintahan. NPM berkehendak meningkatkan

efisiensi, efektivitas, dan produktivitas sehingga kurang

memperhatikan keadilan social. Nilai-nilai ekonomis (bisnis) yang

dianut NPM seringkali bertentangan dengan demokrasi dan

kepentingan public. Pengelolaan pelayanan public yang diserahkan

kepada sector swasta pada satu sisi meningkatkan kinerja pelayanan

public, namun cenderung dinikmati orang-orang yang memiliki

kekuasaan dan kekayaan.

c. Paradigma New Public Service (Pelayanan Publik Baru)

Menurut Sabaruddin (2015:21) perspektif NPS mengawali

pandangannya dari pengakuan atas warga negara dan posisinya sangat

penting bagi pemerintahan demokratis. Jati diri warga negara tidak

hanya dipandang semata sebagai kepentingan pribadi namun juga

melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain.

Dalam pendekatan NPS, administrasi publik tidak bisa dijalankan

seperti perusahaan swasta seperti dikehendaki NPM karena

25
administrasi Negara harus mampu menciptakan suasana demokratis

dalam keseluruhan proses kebijakan public, yaitu dengan

memperhatikan kepentingan dan nilai yang hidup dalam masyarakat.

Pegawai pemerintah tidak melayani pelanggan tetapi memberikan

pelayanan untuk kepentingan demokrasi Syafri (2012:196). Sementara

itu istilah collaborative governance merupakan cara pengelolaan

pemerintahan yang melibatkan secara langsung stakeholder diluar

negara, berorientasi consensus, dan musyawarah dalam proses

pengambilan keputusan kolektif, yang bertujuan membuat atau

melaksanakan kebijakan publik serta program-program publik (Syafri

2012:198).

2. Konsep Kolaborasi

Kolaborasi dipahami sebagai kerjasama antar actor, antar

organisasi atau antar institusi dalam rangka pencapaian tujuan yang bisa

dicapai atau dilakukan secara independent. Dalam bahasa Indonesia,

istilah kerjasama dan kolaborasi masih digunakan secara bergantian dan

belum ada upaya untuk menunjukkan perbedaan dan kedalaman makna

dari istilah kolaborasi tersebut. Sabarudin (2015:36) mendefinisikan

kolaborasi adalah proses dimana para actor otonom atau semi otonom

berinteraksi melalui negosiasi formal maupun informal, secara bersama-

sama menciptakan aturan dan struktur yang mengatur hubungan mereka

dan cara-cara untuk bertindak atau memutuskan masalah yang membuat

mereka bekerjasama.

26
Menurut Sabarudin (2015:39) kolaborasi berarti bekerjasama atau

bekerjasama dengan pihak lain. Kata Collaboration dikembangkan pada

abad ke -19 akibat dari berkembangnya industrialisasi, organisasi yang

semakin kompleks dan pembagian kerja atau tugas yang meningkat.

Hogue (2003:6-8) dalam Sabaruddin (2015) menjelaskan sebagai bentuk

relasi dan kerjasama antar organisasi, collaboration berbeda dengan

coordination dan cooperation. Perbedaannya terletak pada sifat tujan

kerjasama dan betuk ketergantungannya. Coordination dan cooperation

merupakan upaya organisasi dari pihak yang berbeda untuk mencapai

tujuan bersama dengan tujuan yang bersifat statis.Hubungan antar

organisasi dalam coordination dan cooperation bersifat independen.

Agranoff dan McGuire (2003:4) dalam Sabaruddin (2015) mendefinisikan

kolaborasi adalah proses yang mendorong organisasi untuk bekerjasama,

tujuannya adalah untuk meningkatkan potensi organisasi tungal.

Kolaborasi ini juga termasuk mencari alternative inovatif untuk mengatasi

keterbatasan pengetahuan yang ada seperti waktu, anggaran dan

persaingan. Rilley (2003:21) Dalam Sabaruddin (2015) mendefinisikan

kolaborasi adalah relasi dalam bentuk spesifik yang menempatkan relasi

organisasi non pemerintah (yang concern dalam isu-isu lingkungan dan

sumber daya alam) dengan organisasi pemerintah. Menurut Rilley

(2003:14-15) dalam relasi tersebut keduanya bertindak bersama-sama

dalam desain dan implementasi pengembangan program. Bentuk interaksi

keduanya tidak sekedar perjanjian dua organisasi yang terlibat untuk

27
bekerjasama antara non government organization (NGO) dan lembaga

pemerintah, tetapi saling mengakui dan berpartisipasi secara aktif.

Dalam kerjasama kolaboratif menurut Dwiyanto (2010:260)

masing-masing pihak diikat oleh adanya kepentingan bersama untuk

mencari solusi terhadap masalah atau isu tertentu, yang dirasakan oleh

pihak ketiga sangat menggangu kepentingannya. Kemauan untuk

melakukan kerjasama muncul karena adanya keinginan untuk mencari

solusi terhadap masalah yang dirasakan bersama oleh suatu organisasi

public dengan mitranya dari organisasi di sector privat. Maka, menurut

Gray dan Wood (1991) yang dikutip Dwiyanto (2010:60-61) kerjasama

antara organisasi public dan lembaga non pemerintah yang bersifat

kolaboratif memiliki beberapa karakteristik antara lain:

a. Kerjasama secara sukarela

b. Pihak terlibat memiliki kedudukan setara

c. Pihak terlibat memiliki otonom dan kekuasaan mengambil keputusan

secara independen

O’Learu dan Vij (2012:11-17) dalam Sabaruddin (2015)

mengidentifikasikan beberapa factor penting yang mempengaruhi

kolaborasi yaitu:

a. Konteks Kolaborasi: semua kolaborasi yang berlangsung dalam

konteks politik dan perilaku kolaborator yang dipengaruhi oleh

konteks.

b. Tujuan atau misi organisasi: kolaborasi melayani berbagai macam

kepentingan, kepentingan kolaborator mungkin saja bertentangan satu

28
sama lain, tetapi kolaborator harus sepakat pada kepentingan

keseluruhan kolaborasi untuk bekerjasama.

c. Pemilihan anggota dan peningkatan kapasitas: pihak yang

berkolaborasi memberikan kemampuan khusus seperti sumberdaya,

keahlian, pengalaman, perspektif, pengetahuan, latar belakang

pendidikan dan budaya yang beragam serta nilai-nilai untuk upaya

kolaboratif.

d. Motivasi dan komitmen kolaborasi: individu serta organisasi

berkumpul dengan berbagai macam alasan termasuk ekonomi, social,

organisasi, politik, yang dimaksudkan untuk mengatasi kegagalan

antar sector, pengaruh sumber daya dan pengetahuan untuk

memberikan pelayananan lebih untuk mencari visibilitas atau

legitimasi dan untuk mencapai hubungan kolaboratif.

e. Struktur dan pemerintahan kolaboratif: struktur mencakup penetapan

garis batas wewenang dan tanggung jawab dalam kolaborasi.

f. Kekuasaan dalam kolaborasi: ketidakseimbangan kekuatan dalam

kolaborasi dapat mengakibatkan konflik dan kooptasi dan dapat

memengaruhi keberhasilan kolaborasi.

g. Akuntabilitas, dalam kolaborasi akuntabilitas didefinisikan sebagai

upaya untuk memastikan apakah kolaborator bekerja sesuai maksud

dari para pemilih dan pejabat publik.

h. Komunikasi: pertukaran informasi, dialog, ide, pengungkapan

pendapat, mengartikulasikan dan menyatakan pandangan, negosiasi,

29
tawar menawar, musyawarah, pemecahan masalah dan resolution

conflik yang sangat penting dalam kolaborasi.

i. Persepsi Legitimasi: legitimasi adalah persepsi bahwa tindakan suatu

badan yang berkolaborasi sangat diinginkan, tepat atau dalam beberapa

sistem norma, kepercayaan dan definisi.

j. Kepercayaan: Cummings dan bromiley (1996) dalam O’Leary and Vij

(2012:11-17) menjelaskan bahwa rasa percaya sebagai komitmen

melakukan negosiasi secara jujur dan tidak mengambil keuntungan

berlebihan dari individu atau kelompok.

k. Teknologi Informasi: beberapa kolaborasi telah melanggar batasan

geografis dan menjadi organisasi virtual serta jaringan hampir tanpa

batas dengan skala, lingkup dan struktur mereka. Jaringan informasi

yang terpadu menghubungkan semua komponen utama dari organisasi,

sistem informasi manajemen, sistem informasi geografis dan internet.

3. Konsep Pengelolaan

a. Tata Kelola

Menurut Afifudin (2014), manajemen dalam Bahasa Inggris

dikenal dengan kata manage yang berarti mengurus, mengatur,

melaksanakan dan mengelola. Hal yang tidak berbeda jauh dalam

penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), manajemen

diartikan sebagai cara mengelola suatu perusahaan. Pengelolaan atau

pengaturan dilaksanakan oleh seorang manajer berdasarkan urutan

manajemen. Manajemen atau tata kelola ini adalah suatu

proses,seni,atau ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan melalui

30
pengoptimalan sumberdaya secara efisien dan efektif dengan

menggunakan orang lain.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa

manajemen adalah suatu strategi untuk menjalankan suatu usaha

sehingga usaha tersebut dapat terlaksana sesuai dengan tujuan yang

diinginkan secara efisien dan efektif. Dalam pariwisata, manajemen

atau pengelolaan adalah suatu upaya yang dilakukan oleh pelaku

wisata dalam mengatur destinasi agar dapat berkembang, sehingga

dapat memberdayakan pihak – pihak yang berkepentingan.

b. Teori Pengelolaan

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia mendefenisikan

pengelolaan berarti proses, cara, perbuatan pengelola, proses

melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain,

proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan

organisasi, proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang

terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Pengelolaan menurut Leiper (dalam Pitana dan Diarta, 2009),

merujuk kepada seperangkat peranan yang dilakukan oleh seseorang

atau sekelompok orang, atau bisa juga merujuk kepada fungsi – fungsi

yang melekat pada peran tersebut, diantaranya Planning, Directing,

Organizing dan Controlling. Yang paling sederhana dikemukakan oleh

George R. Terry melalui rumusnya dikenal dengan akronim berbunyi

POAC sebagai singkatan dari Planning, Organizing, Actuating and

Controlling.

31
Menurut Afifudin (2014), Planning adalah suatu penetapan apa

yang harus dicapai, siapa yang bertanggungjawab dan mengapa

penetapan harus dicapai. Organizing merupakan pengelompokkan

kegiatan yang diperlukan yakni penetapan suatu organisasi serta tugas

dan fungsi-fungsi dari setiap unit yang ada. Actuating merupakan

tindakan pelaksanaan dari rencana yang dibuat. Dan selanjutnya,

Controlling adalah pengawasan atau pengendalian terhadap

pelaksanaan dari rencana yang telah dibuat.

1) Planning

Menurut Afifudin (2014) rencana adalah produk perencanaan,

sedangkan perencanaan adalah proses penentuan rencana.

Perencanaan merupakan hal yang penting, dibuat untuk mencapai

tujuan dari wisata tersebut.Jadi perencanaan adalah suatu kegiatan

yang dilakukan dalam merencanakan suatu kegiatan agar dapat

berjalan dengan baik. Perencanaan dalam pariwisata merupakan

hal yang dapat menentukan berhasil tidaknya suatu wisata tersebut

dalam mencapai tujuannya.

2) Organizing

Pengorganisasian merupakan penentuan pekerjaan yang harus

dilakukan, pengelompokan tugas – tugas dan membagi-bagikan

pekerjaan kepada setiap karyawan, penetapan departemen serta

penentuan hubungan – hubungan kerjanya. Pengorganisasian

adalah hal yang harus dilakukan untuk mengatur berbagai aktivitas

dalam wisata, menempatkan orang-orang yang tepat sesuai

32
bidangnya agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai (Afifudin,

2014). Berdasarkan pernyataan Afifudin tersebut, dapat

disimpulkan bahwa Organizing adalah tindakan untuk mengatur

kegiatan – kegiatan yang harus dilakukan dalam suatu pengelolaan

pariwisata agar tujuan dapat tercapai dengan baik.

3) Actuating

Menurut G.R. Terry yang dikutip dari Afifudin (2014), pengarahan

atau actuating adalah kegiatan untuk membuat semua anggota

kelompok agar mau bekerjasama dan bekerja secara ikhlas dan

bergairah untuk mencapai tujuan sesuai dengan perencanaan dan

usaha-usaha pengorganisasian. Jadi actuating adalah suatu

aktualisasi dari rencana yang telah dibuat. Dalam pariwisata,

actuating adalah pergerakan untuk melakukan suatu usaha Wisata

atas rencana dan organisasi yang telah disusun. Kesimpulannya,

actuating adalah suatu tindakan untuk menjalankan apa yang telah

menjadi rencana dalam suatu usaha wisata sehingga proses

pariwisata dapat berjalan seperti apa yang diharapkan oleh pihak –

pihak yang berkepentingan.

4) Controlling

Menurut Afifudin (2014), pengendalian atau controlling adalah

fungsi terakhir dari proses pelaksanaan manajemen. Pengendalian

adalah proses penentuan atau pengukuran apa yang harus dicapai

dan apa yang sedang dilaksanakan. Pengendalian adalah suatu

pengukuran atau perbaikan terhadap suatu pelaksanaan pekerjaan

33
agar rencana yang telah dibuat untuk mencapai tujuan dapat

dilaksanakan dengan baik. Controlling atau pengawasan

merupakan suatu kegiatan untuk mengendalikan atau mengawasai

proses-proses yang dilakukan dalam menjalankan pariwisata,

sehingga dapat diperoleh penilaian mengenai apa yang telah

dicapai dalam suatu pariwisata.

4. Konsep Kepariwisataan

a. Pengertian Kepariwisataan

Menurut (Koswara, 2008) wisata adalah perjalanan yang

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, yang dilakukan

secara sukarela dengan tujuan berlibur, atau tujuan lain selain mencari

nafkah, bersifat sementara, mengunjungi tempat tertentu untuk

keperluan pribadinya (keluarga, belanja, kesehatan, atau tempat

hiburan dan tempat untuk bersantai lainnya). Menurut UU No. 9 Tahun

2010 tentang Kepariwisataan, pariwisata adalah kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi

tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau

mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka

waktu sementara. Beberapa contoh penggunaan kata wisata yang

dikaitkan dengan subyek tertentu antara lain: Wisata petualangan

(adventure tourism), Wisata Agro (Agro tourism), Wisata Ekologi

(Eco tourism), Wisata Bisnis (Business Tourism), Wisata Minat

Khusus (Special Interest Tourism).

34
Sedangkan Pariwisata mempunyai makna berbagai macam

kegiatan dan atau perjalanan wisata yang dilakukan oleh wisatawan

selama bepergian dan tinggal di lingkungan di luar lingkungan

kesehariannya untuk sementara, memenuhi berbagai keperluan:

liburan, bisnis, kesehatan, religi dll; serta berbagai fasilitas dan

pelayanan yang diciptakan oleh pemerintah, pengusaha dan

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan berwisata (Koswara, 2008).

Pariwisata juga merujuk pada berbagai macam kegiatan wisata dan

didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh

masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Beberapa

contoh penggunaan kata Pariwisata pada penggunaan sehari-hari antara

lain: Produk Pariwisata (Tourism Product), Destinasi Pariwisata

(Tourism Destination), Industri Pariwisata (Tourism Industry),

Pariwisata Perkotaan (Urban Tourism), Pariwisata Berkelanjutan

(Sustainable Tourism), Atraksi Pariwisata (Tourism Attraction)

(Koswara, 2008).

Kepariwisataan, merupakan keseluruhan upaya yang dilakukan

pemerintah, pengusaha dan masyarakat dalam membangun pariwisata

dengan didasarkan pada nilai-nilai agama, pelestarian sumber daya

alam, budaya; serta memperhatikan kepentingan politik, ekonomi,

sosial dan budaya dan pertahanan keamanan (Koswara, 2008).

Kepariwisataan bersifat lebih kompleks lagi karena menyangkut

berbagai sektor lain, sehingga ada yang mengatakan sebagai suatu

sistem. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait

35
dengan pariwisata dan bersifat multi dimensi serta multi disiplin yang

muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta

interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama

wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Beberapa

contoh penggunaan kata kepariwisataan dalam berbagai literatur antara

lain Sistem Kepariwisataan (Tourism System), Perencanaan

Kepariwisataan (Tourism Planning), Analisis Kepariwisataan

(Tourism Analysis), Manajemen Kepariwisataan (Tourism

Management), pembangunan kepariwisataan (Tourism Development).

Meskipun dalam bahasa asing penggunaan kata wisata,

pariwisata dan kepariwisataan cukup dipakai dengan satu kata

“tourism” namun di dalam bahasa Indonesia mempunyai makna yang

berbeda-beda dan penggunaan yang tidak sama. Namun dari semua itu

sebenarnya wisata mempunyai hakekat: keunikan, kekhasan,

perbedaan, orisinalitas, keaneka ragaman, dan ke-lokalan sehingga

menarik orang untuk melakukan kegiatan wisata. Sebagai suatu

aktivitas yang begitu besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia,

pariwisata telah banyak menarik minat para akademisi dari berbagai

disiplin ilmu untuk mengkajinya.

Menurut Pitana (2005) bahkan mengusulkan agar kajian

tentang pariwisata dikembangkan sebagai suatu disiplin tersendiri,

yang disebut Tourismology. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa

pariwisata sebagai suatu fenomena yang kompleks tidak dapat

dipahami secara komprehensif dengan menggunakan berbagai

36
perspektif disiplin keilmuan yang ada sekarang. Cukup banyak kajian

yang dilakukan terhadap pariwisata, baik secara empiris maupun

teoritis. Pariwisata mempunyai sejarah dan literatur, mempunyai

struktur internal dengan prinsip-prinsip operasinya dan sangat sensitif

terhadap pengaruh eksternal, baik dari kejadian alam maupun budaya,

semua ini dapat dianalisis secara ekonomi maupun sosial. Atas

pengkajian terhadap berbagai aspek kepariwisataan, berkembang

kemudian berbagai disiplin ilmu yang sudah mapan menekuni

pariwisata, seperti Ekonomi Pariwisata yang termasuk di dalamnya

Manajemen Priwisata.

Jafari (1977 dalam Pitana, 2005:44) menyebutkan bahwa studi

pariwisata adalah studi tentang manusia yang berwisata dengan

berbagai implikasinya. Seirama dengan pengertian tersebut, menurut

Murphy (1985), pariwisata adalah keseluruhan dari elemen-elemen

terkait (wisatawan, daerah tujuan wisata, perjalanan, industri, dan lain-

lain) yang merupakan akibat dari perjalanan wisata ke daerah tujuan

wisata, sepanjang perjalanan tersebut tidak permanen. Hal ini juga

mirip dengan batasan yang dikemukakan oleh Fennel (1999:4) yang

mengemukakan bahwa pariwisata adalah sistem interaksi yang

termasuk di dalamnya asosiasi pelayanan yang menyediakan fasilitas

atraksi, transportasi, akomodasi untuk orang-orang yang melakukan

perjalanan wisata.

Berbagai batasan tentang pariwisata, sebagaimana juga halnya

dengan berbagai subjek lain, memang sering tidak dapat menghasilkan

37
satu batasan yang memuaskan untuk berbagai kepentingan. Meskipun

ada variasi batasan mengenai pariwisata, WTO (dalam Pitana, 2005)

memberikan rumusan beberapa komponen pokok yang secara umum

disepakati di dalam memberikan batasan mengenai pariwisata, yaitu:

1) Traveler, yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau

lebih lokalitas.

2) Visitor, yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang

bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan

tujuan perjalanannya bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk

mencari nafkah, pendapatan atau penghidupan di tempat tujuan.

3) Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling

tidak satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi.

Sementara itu Richardson and Fluker (2004:5) mengemukakan

tentang ciri pokok dari pariwisata, yaitu:

1) Adanya unsur travel (perjalanan) yaitu pergerakan manusia dari

satu tempat ke tempat lainnya;

2) Adanya unsur tinggal sementara di tempat yang bukan merupakan

tempat tinggal biasanya; dan

3) Tujuan utama dari pergerakan manusia tersebut bukan untuk

mencari pendapatan atau pekerjaan di tempat yang dituju.

Selanjutnya Mathieson dan Wall (1982) mengatakan bahwa

pariwisata mencakup tiga elemen utama, yaitu:

1) Adynamic element, yaitu trevel ke suatu tempat tujuan wisata,

2) Astatic element, yaitu singgah di derah tujuan wisata, dan

38
3) Aconsequential element, akibat dari dua hal di atas (khususnya

pada masyarakat lokal), yang meliputi dampak ekonomi, sosial dan

fisik dari adanya kontak dengan wisatawan.

Dari beberapa batasan dan ciri yang dikemukakan oleh

beberapa ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan

pariwisata harus mencakup perencanaan, pengelolaan dan

pengembangan dalam bidang transportasi wisata, tempat singgah

dengan segala fasilitas pendukungnya, dan dampak dari kegiatan

wisatawan.

b. Sistem Kepariwisataan

Pariwisata merupakan sesuatu yang bersifat kompleks dan

membentuk suatu sistem yang di dalamnya ada sub-sub sistem.

Pariwisata meliputi pergerakan manusia, barang, dan jasa yang terkait

dengan organisasi, hubungan-hubungan kelembagaan, dan individu,

kebutuhan layanan, penyediaan kebutuhan layanan dll. Unsur-unsur itu

merupakan subsistem yang saling terkait dalam sebuah kaitan

fungsional yang membentuk sebuah sistem. Dengan demikian sistem

pariwisata terdiri dan beberapa sub sistem. Sub sistem yang dimaksud

adalah subsistem: permintaan, penawaran, dan Lingkungan atau

konfigurasi (Tjokrowinoto, 1999).

Menurut (Kusworo, 2008) Sub-sistem penawaran merupakan

reaksi dari permintaan orang akan kebutuhan pariwisata yang disebut

sebagai wisatawan. Permintaan wisatawan muncul karena mereka

mempunyai motivasi, preferensi dan ekspektasi pada daya tarik wisata

39
tertentu. Motivasi wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata

biasanya disebabkan keinginan akan keluar dari rutinitas mencari

sesuatu yang tidak bisa didapatkan di sekelilingnya, disamping itu juga

untuk mencari pengalaman baru, suasana baru dan menghilangkan

kepenatan setelah sekian lama bekerja. Dari motivasi itulah wisatawan

mencari tempat-tempat yang cocok sesuai dengan apa yang menjadi

tujuannya bisa memilih destinasi wisata alam, budaya, buatan atau

minat khusus. Dari berbagai preferensi yang ada tersebut maka

wisatawan akan mempunyai ekspektasi tertentu untuk memuaskan

perjalanan wisatanya, ekspektasi dapat berupa pelayanan, fasilitas, dan

tentu saja eksotisme dari destinasi wisata yang dituju. Permintaan

wisata, unsur pokoknya adalah wisatawan dan masyarakat sebagai

pelaku pariwisata. Lebih jauh dari sisi permintaan dapat

dikelompokkan menjadi:

1) Wisatawan Nusantara (wisnus) yang terbagi lagi menjadi berbagai

sub-kategori, kunjungan sehari dalam radius 90 km dan dalam

radius 90-200 km; dalam transit (lewat dalam perjalanan ke tujuan

lain); menginap 1-2 malam; menginap lebih dari 2 malam;

2) Wisatawan Mancanegara (wisman) sama halnya dengan wisnus,

wisman dapat terbagi lagi menjadi sub-kategori; disamping

lamanya kunjungan dan jauhnya jarak perjalanan, juga dibagi atas

dasar lokasi geografi, negara asal (tempat tinggal) dan

kebangsaannya;

40
3) Motivasi (maksud kunjungan) merupakan salah satu indikasi

mengenai produk yang diinginkan wisatawan, seperti pesiar

dengan motivasi alam, budaya, kesehatan, kunjungan keluarga,

keagamaan; bisnis, konferensi, penelitian, studi (belajar),

kunjungan resmi (kenegaraan);

4) Kelompok demografis, laki-laki, perempuan, kelompok usia,

kelompok pekerjaan/ profesi, kelompok penghasilan dan

sebagainya.

5) Kelompok Psychografis gaya hidup, yang antara lain merinci status

dalam masyarakat, pandangan hidup, selera dan sebagainya.

Dari permintaan yang berupa motivasi, preferensi dan

ekspektasi tersebut maka terjadilah hukum ekonomi berupa

tersedianya penawaran wisata. Penawaran wisata, yaitu produk wisata

yang berupa barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan

keinginan wisatawan. Penawaran yang berupa produk wisata biasanya

menyangkut atraksi wisata, amenitas/akomodasi dan aksesibilitas.

Atraksi wisata merupakan pertunjukan atau atraksi yang unik dan

menjadi preferensi dari para wisatawan dan akhirnya bisa memuaskan

apa yang diinginkan oleh wisatawan tersebut, sedangkan amenitas

merupakan sarana pendukung untuk terselenggaranya atraksi wisata

dan bisa dalam bentuk sarana wisata, dan aksesibilitas adalah

bagaimana cara untuk bisa mencapai tujuan dari destinasi wisata.

Kelompok atraksi, bisa berupa atraksi alam, budaya maupun karya

manusia, yang terdiri dari site attraction (obyek wisata) yang pada

41
dasarnya bersifat statis dan “tangible” dan event attraction (peristiwa

wisata) bersifat dinamis (tidak terikat tempat) dan “intangible”;

kelompok aksesibilitas, yang tercermin dalam berbagai fasilitas antara

lain angkutan (darat, laut, udara, danau, sungai), izin-izin berkunjung

(kebijakan visa, izin masuk daerah yang dilindungi-protected area-

seperti suaka alam, suaka margasatwa, suaka budaya, situs sejarah, dan

sebagainya.) Kelompok Akomodasi, yang menawarkan tempat

berteduh, tempat tinggal, sarana konferensi dan pameran, sarana

ibadah, sarana hidangan (restoran, cafe, bar dan sejenisnya) (Kusworo,

2008).

Dengan adanya transaksi antara permintaan dan penawaran

perlu dikelola dengan baik agar terjadi keseimbangan antara

permintaan dan penawaran, keseimbangan atau tidak terjadinya

kesenjangan antara permintaan dan penawaran akan terwujudnya

kepuasan wisatawan dan meningkatkan daya saing serta nilai jual.

Keseimbangan itu tidak mudah untuk diwujudkan kalau tidak ada

strategi yang tepat untuk mengelolanya. Subsistem berikutnya untuk

mengelola keseimbangan tersebut adalah sistem perencanaan strategis,

dimana dalam sistem ini mengacu pada konsep kepariwisataan yang

jelas dan ditindaklanjuti oleh program-program yang menyeluruh dan

mengena seluruh stakeholders kepariwisataan.

Disamping ketiga subsistem tersebut ada dua subsistem lagi

yaitu pasar & kelembagaan pariwisata dan pelaku pariwisata

(Damanik, 2013). Pasar dan kelembagaan pariwisata yang

42
memfasilitasi berlangsungnya/ terlaksananya kegiatan pariwisata

sedangkan pelaku pariwisata yang menggerakkan ketiga unsur tadi,

yakni wisatawan, industri pariwisata, pemerintah dan lembaga swasta

yang mendukung terjadinya kegiatan pariwisata. Dari segi

kelembagaan ini dapat dikelompokkan menjadi: pemerintah selaku

penentu, pengatur, pembina dan penyelenggara kebijakan umum

(public policy) yang memberikan jasa/layanan kebutuhan umum

(public services), termasuk layanan keperluan penyelenggaraan

pariwisata, pelayanan informasi pariwisata; penyelenggara usaha

pariwisata, yang menyediakan jasa/ layanan khusus kebutuhan

wisatawan (traveler-orang yang bepergian atau berada dalam

perjalanan) termasuk layanan informasi perjalanan; Masyarakat pada

umumnya, berupa sikap dan perilaku masyarakat, termasuk para

pengusaha barang dan jasa kebutuhan masyarakat secara umum, dalam

menerima dan melayani wisatawan, termasuk juga layanan informasi

umum (Kusworo, 2008).

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pariwisata

merupakan sebuah sistem yang sangat komplek dan cakupannya sangat

luas, banyak aspek terkait sehingga menjadi kegiatan yang bersifat

multi sektoral. Oleh karena itu supaya diperoleh hasil yang optimal,

maka pengembangannya memerlukan perencanaan yang matang dan

cermat serta pemikiran yang luas mencakup unsur-unsur yang

berbentuk fisik dan institusional.

43
Gambar 2.1
Sistem Kepariwisataan

Sumber: Kusworo, 2008

Ada beberapa komponen dasar yang harus dipertimbangkan

dalam penyusunan rencana pariwisata supaya dihasilkan rumusan

rencana pariwisata yang komprehensif, sesuai dengan kondisi

lingkungan setempat dan sesuai dengan sasaran yang akan dituju,

sehingga dapat direalisasikan pembangunan pariwisata yang

berkelanjutan dan bermanfaat secara optimal.

Berdasarkan gambar tersebut diatas dapat diketahui akan

kompleksitas permasalahan pariwisata, dari kompleksitas pariwisata

itu sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi wisatawan, aksesibilitas,

fasilitas dan daya tarik wisata atau destinasi wisata. Keterkaitan

diantara keempat komponen tersebut membentuk suatu sistem

kepariwisataan. Sistem kepariwisataan tersebut tentu saja tidak terjadi

dalam ruang yang hampa, ada lingkungan yang mempengaruhi sistem

44
tersebut antara lain politik, ekonomi, sosial dan teknologi.

Perkembangan lebih lanjut dari sistem kepariwisataan dikonsepsikan

semakin meluas, interaksi antar komponen dalam sistem

kepariwisataan tidak hanya menyangkut 4 (empat) aspek saja, karena

kompleksitas kepariwisataan maka melibatkan juga subsistem yang

lain secara lebih luas digambarkan bahwa sistem kepariwisataan yang

pada intinya adalah sistem lingkungan dan sosial-ekonomi yang dapat

dinikmati bersama antara wisatawan dan masyarakat lokal, namun

untuk terjadinya interaksi perlu adanya subsistem transportasi,

infrastruktur, kelembagaan, fasilitas pelayanan, akomodasi dan daya

tarik wisata itu sendiri, dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.2
Komponen Sistem Pengembangan Pariwisata

Sumber: Kusworo, 2008

Pariwisata adalah suatu aktivitas yang kompleks, yang dapat

dipandang sebagai suatu sistem yang besar, yang mempunyai berbagai

komponen, seperti ekonomi, ekologi, politik, sosial, budaya, dan

seterusnya. Melihat pariwisata sebagai sebuah sistem, berarti analisis

45
mengenai berbagai aspek kepariwisataan tidak bisa dilepaskan dan

subsistem yang lain, seperti politik, ekonomi, budaya, dan seterusnya,

dalam hubungan saling ketergantungan dan saling terkait

(interconnectedness). Sebagai sebuah sistem, antar komponen dalam

sistem tersebut terjadi hubungan interdependensi, yang berarti bahwa

perubahan pada salah satu subsistem juga akan menyebabkan

terjadinya perubahan pada subsistem yang lain, sampai akhimya

kembali ditemukan harmoni yang baru.

Sebagaimana dikatakan oleh Mill and Morrison (1985:xix),

pariwisata adalah sistem dan berbagai elemen yang tersusun seperti

sarang laba-laba: “like a spider’s web-touch one part of it and

reverberations will be felt throughout” (dikutip dari Fennel, 1999:4).

Pariwisata sebagai suatu sistem juga dijelaskan oleh Fennel (1999),

yang memandang pariwisata sebagai: …the interrelated system that

includes tourists and the associated services that are provided and

utilised (facilities, attractions, transportation, and acconuno-dation) to

aid in their movement (1999: 4).

Dilihat dengan perspektif teori dependensi atau teori konflik,

sistem pariwisata ini merambah secara internasional melalui korporasi

internasional (airline, usaha BPW, rantai hotel), pemerintah dan

lembaga non pemerintah (PATA, IATA, IUOTO). Struktur seperti ini

merupakan pengulangan dan struktur industri yang mengandalkan

penanaman modal asing di Dunia Ketiga, melalui MNCS (Multi

National Corporations), yang pada akhirnya akan menghasilkan

46
hubungan dominant-dependent dalam teori dependensi. Perspektif

teori konsensus (struktural fungsional), sistem pariwisata dunia

merupakan suatu bentuk hubungan yang saling terkait, yang

merupakan wahana distribusi pendapatan dan peningkatan hubungan

antar bangsa.

Meskipun sama-sama memandang pariwisata sebagai suatu

sistem yang besar, ada perbedaan di antara para ahli mengenai elemen-

elemen utama yang menyusun sistem tersebut. Model sistem

pariwisata secara sederhana diusulkan oleh Leiper (1979), yang

menyebutkan bahwa sistem pariwisata terdiri atas tiga komponen

utama, yaitu:

1) Daerah asal (origin)

2) Daerah tujuan (destination), dan

3) Daerah antara (routes perjalanan)

Model sistem pariwisata yang komprehensif. Dengan melihat

proses dan dampak dan pariwisata, tetapi dengan penekanan pada

daerah tujuan wisata, dikembangkan oleh Burns dan Holden (1995),

seperti pada Gambar berikut:

47
Gambar 2.3
Sistem Pariwisata

Sumber: Burns & Holden (1985)

Dalam sistem pariwisata, ada banyak aktor yang berperan

dalam menggerakkan sistem. Aktor tersebut adalah insan-insan

pariwisata yang ada pada berbagai sektor. Secara umum, insan

pariwisata dikelompokkan dalam tiga pilar utama, yaitu: (1)

masyarakat. (2) swasta, dan (3) pemerintah. Yang termasuk

masyarakat adalah masyarakat umum yang ada pada destinasi, sebagai

pemilik sah dan berbagai sumberdaya yang merupakan modal

pariwisata, seperti kebudayaan. Dimasukkan ke dalam kelompok

masyarakat ini juga tokoh-tokoh masyarakat, intelektual, LSM, dan

media masa. Selanjutnya dalam kelompok swasta adalah asosiasi usaha

pariwisata dan para pengusaha, sedangkan kelompok pemerintah

adalah pada berbagai wilayah administrasi, mulai dan pemerintah

pusat, negara bagian, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan seterusnya.

48
Hal ini dapat dilihat dalam gambar Sektor Pariwisata dalam tiga pilar

oleh Pitana (2005).

Gambar 2.4
Sektor Pariwisata dalam Tiga Pilar

Sumber: Pitana 2005

5. Manajemen Kepariwisataan

Umumnya dapat diketahui bahwa manajemen itu meliputi unsur-

unsur perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pelaporan dan

evaluasi. Dalam pemahaman ini maka manajemen lebih banyak

penekanannya pada segi perencanaan dan manajemen diberi pengertian

yang lebih umum sebagai pengelolaan. Sesuai dengan Undang-undang

Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan khususnya pada pasal 7

disebutkan bahwa mengelola kepariwisataan menyangkut 4 Empat) aspek

yaitu industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran dan kelembagaan

pariwisata. Industri pariwisata menyangkut produk dan jasa yang

dihasilkan oleh penyedia wisata untuk memenuhi kebutuhan para

49
wisatawan, destinasi wisata menunjuk pada obyek dan daya tarik wisata

yang menjadi tujuan dari wisatawan, pemasaran menyangkut bagaimana

menawarkan obyek dan daya tarik wisata kepada calon wisatawan, dan

kelembagaan pariwisata berhubungan dengan organisasi pendukung

kepariwisataan yang meliputi pemerintah, masyarakat dan stakeholders

lainnya.

a. Industri Pariwisata

Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang menyediakan jasa

akomodsi, transportasi, makanan, rekreasi serta jasa-jasa lainnya yang

terkait. Perdagangan jasa pariwisata melibatkan berbagai aspek, antara

lain aspek ekonomi, terkait dengan aspek ekonomi inilah pariwisata

dapat dikatakan sebagai suatu industri (Gelgel, 2006), bahkan kegiatan

pariwisata dikatakan sebagai suatu kegiatan bisnis yang berorientasi

dalam penyediaan jasa yang dibutuhkan wisatawan. Industri pariwisata

diharapkan berdaya saing, kredibel, menggerakkan kemitraan usaha,

dan bertanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial-budaya

(PP No.50/2011).

Sebagai suatu industri, tentu ada produk pariwisata, konsumen,

permintaan, dan penawaran. Dalam bisnis pariwisata konsumennya

adalah wisatawan, kebutuhan dan permintaan wisatawanlah yang

harus dipenuhi oleh produsen. Produsen dalam industri pariwisata

ditangani oleh bermacam-macam badan, baik pemerintah, swasta,

maupun perorangan. Produk dari pariwisata adalah segala sesuatu yang

dibutuhkan oleh wisatawan.

50
Industri pariwisata adalah industri yang menghasilkan produk

dan jasa yang ditujukan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan

wisatawan. Industri ini memainkan peran sangat penting dalam

pengembangan pariwisata. Mereka dapat berperan sebagai pelaku

pariwisata, yakni sebagai pihak yang berperan untuk menghasilkan

barang/ jasa bagi untuk memenuhi kebutuhan dan harapan wisatawan.

Sebagai pelaku wisata, industri pariwisata dapat

dikelompokkan menjadi dua, yakni sebagai pelaku langsung dan

pelaku tidak langsung. Disebut pelaku langsung manakala produk yang

dihasilkan oleh industri itu secara langsung dibutuhkan oleh wisatawan

pada saat melaksanakan kegiatan wisata. Sebagai contoh: hotel,

restoran, biro perjalanan, pusat informasi wisata, atraksi, dan lain-lain.

Disebut sebagai pelaku tidak langsung jika produk yang dihasilkan

tidak secara langsung dibutuhkan oleh wisatawan, tetapi produknya

memang ditujukan untuk mendukung kegiatan pariwisata. Misalnya:

pengusaha kerajinan, pembuat souvenir, penjual oleh-oleh dan

sebagainya.

b. Destinasi Pariwisata

Pada umum wisata atau dulu disebut Obyek dan Daya Tarik

Wisata (ODTW) dan kalau menurut UU No. 9 Tahun 2010 disebut

dengan Istilah Destinasi Wisata (DW), dapat dikelompokkan menjadi

alam, budaya dan buatan, diantara ketiga wisata tersebut ada satu lagi

yang memerlukan intervensi khusus dan keberanian khusus, yaitu

51
disebut dengan minat khusus. Sebagaimana terlihat pada gambar

berikut:

Gambar 2.5
Destinasi Pariwisata

Sumber: Edward Inskep, dalam Kusworo, 2008

Wisata alam merupakan obyek dan daya tarik wisata yang

merupakan karunia Tuhan, keindahan dan kanekaragaman alam yang

berbeda dengan tempat lain sebagai akibat dari dinamika alam dan

diciptakan oleh Tuhan, manusia tinggal mengelolanya, keberadaan

wisata alam tergantung juga oleh manusia tetapi sebatas memberi

pelayanan bagi wisatawan. Wisata alam dapat berupa iklim, keindahan

alam, pantai, flora dan fauna, karakter khas lingkungan, taman dan

kawasan konservasi, serta wisata kesehatan.

Daya tarik budaya merupakan hasil dari budi dan daya manusia

yang unik dan khas merupakan peninggalan masa lalu, tidak ditemui di

sembarang tempat, hanya ada di lokasi itu. Daya tarik budaya dapat

52
berupa bangunan arsitektur, lansekap, benda cagar budaya, benda

peninggalan sejarah, kesenian, tradisi, upacara keagamaan, adat

istiadat, dan seni budaya yang diwariskan secara turun temurun.

Sedangkan daya tarik buatan adalah hasil dari inovasi dan kreasi

manusia jaman sekarang yang mempunyai perbedaan dengan di tempat

lain dan bersifat kelokalan hanya di daerah itu. Beberapa bentuk daya

tarik wisata buatan antara lain: theme parks, wisata kota, resor kota,

fasilitas pertemuan, pertokoan, fasilitas olahraga, hiburan, water boom,

dan sebagainya. Diantara ketiga daya tarik wisata yang ada, terdapat

satu lagi daya tarik wisata yang disebut wisata minat khusus. Sesuai

dengan namanya wisata ini diperlukan prasyarat tertentu dan tidak

semua orang tertarik atau bisa melakukan wisata minat khusus ini.

Wisata minat khusus ini biasanya berbentuk petualangan (adventure)

dan menguji nyali atau keberanian dari setiap wisatawan. Beberapa

daya tarik minat khusus ini antara lain: penyusuran sungai bawah

tanah, arung jeram, lompat dari ketinggian, dan sebagainya.

Destinasi pariwisata yang baik diharapkan mempunyai

karakteristik yang aman, nyaman, menarik, mudah dicapai,

berwawasan lingkungan, meningkatkan pendapatan nasional daerah

dan masyarakat (PP No. 50/2011).

c. Kelembagaan

Pariwisata memiliki dua aspek, yakni aspek kelembagaan dan

aspek substansial sebagai aktivitas manusia (Kuntowijoyo, 1991).

Dilihat dan sisi kelembagaannya, pariwisata merupakan sebuah

53
organisasi yang dibentuk sebagai upaya manusia untuk memfasilitasi

upaya pemenuhan kebutuhan rekreatifnya. Kelembagaan pariwisata

dapat juga berarti semua aturan, kebijakan maupun kegiatan-kegiatan

yang ditujukan untuk mendukung pengembangan pariwisata.

Kebijakan yang dimaksud mencakup politik pembangunan pariwisata

yang digagas oleh pemerintah, misalnya: kebijakan tentang pemasaran

pariwisata, kebijakan mengenai jaminan keamanan, kebijakan

mengenai pembebasan visa, dukungan terhadap event-event budaya,

standarisasi produk dan jasa wisata, sertifikasi kompetensi sumberdaya

manusia pengelola usaha jasa pariwisata (Damanik dan Weber, 2006).

Menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin dinamis,

ditandai dengan perubahan yang terjadi demikian cepat, baik internal

maupun eksternal, sektor pariwisata perlu secara terus menerus

dikembangkan kelembagaannya. Perubahan internal berupa: volume

kegiatan yang bertambah banyak, perluasan wilayah kegiatan, skill

atau perubahan perilaku pelaku pariwisata.

Perubahan eksternal terjadi karena beberapa hal, misalnya:

adanya peraturan baru, adanya perubahan kebijakan organisasi

kepariwisataan yang lebih tinggi, perubahan selera masyarakat,

globalisasi. Lebih lanjut Damanik dan Weber (2006) menyatakan

bahwa pengembangan kelembagaan pada sektor pariwisata dapat

memiliki empat arti, yakni: a. merupakan jawaban terhadap perubahan

dan berkelanjutan; b. usaha penyesuaian dengan hal-hal baru; c. harus

54
menjadi usaha bersama; d. untuk menyempurnakan tujuan

pengembangan kepariwisataan.

Dalam pengembangan pariwisata, sering terjadi adanya

permasalahan-permasalahan yang akan bisa diselesaikan hanya jika

diatur oleh kebijakan negara, misalnya hal-hal yang terkait dengan

transportasi, keamanan, keimigrasian. Oleh karena itu, supaya

pengembangan pariwisata dapat berlangsung secara berkelanjutan, dan

hasilnya optimal, pemerintah yang memiliki otoritas dan sebagai

pembuat kebijakan, harus merencanakannya dengan seksama. Selain

itu bisa juga terjadi, implementasi kebijakan pemerintah akan menjadi

lebih lancar jika di tingkat daerah/lokal diadakan penguatan organisasi

kepariwisataan dengan membentuk organisasi-organisasi pariwisata

daerah yang ditujukan untuk menangani segala permasalahan

pariwisata daerah. Oleh karena itu pengembangan dan penguatan

lembaga pariwisata lokal perlu dipertimbangkan dalam penyusunan

perencanaan pariwisata.

Beberapa tahun terakhir, tampak terjadi perkembangan dalam

masalah kelembagaan pariwisata atau telah terjadi penguatan

kelembagaan pariwisata. Selain lembaga formal kepariwisataan yang

selama ini telah berkembang, kini muncul lembaga-lembaga

kepariwisataan lain yang dikembangkan oleh masyarakat maupun

kelompok profesi pariwisata, antara lain: desa wisata, kelompok

pecinta pariwisata, kelompok sadar wisata dll. Munculnya lembaga

pariwisata itu sangat penting dalam perkembangan pariwisata daerah

55
ini menunjukkan bahwa kini telah terjadi perkembangan pemikiran

yang mendorong terjadinya berbagai perubahan kelembagaan

pariwisata. Tampaknya kini telah berkembang pandangan bahwa untuk

mengembangkan pariwisata daerah diperlukan sebuah lembaga yang

memiliki kewenangan khusus untuk menangani pariwisata. Lembaga

ini pada umumnya dibentuk dengan tujuan untuk membantu

memberdayakan sumberdaya lokal supaya dapat berperan lebih

signifikan dalam pengembangan pariwisata di daerahnya. Tujuan

lainnya pada umumnya adalah menjaga kelestarian alam dan budaya

masyarakat supaya tidak rusak karena berkembangnya pariwisata.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan betapa pentingnya peran

lembaga dalam pengembangan pariwisata. Sebagaimana dinyatakan

oleh Damanik dan Weber (2006), menghadapi masa depan di saat

kompetisi antar daerah maupun negara dalam menarik wisatawan

untuk berkunjung ke daerahnya semakin ketat, maka pembangunan

kelembagaan pariwisata menjadi semakin penting karena enam alasan

berikut: a. obyek dan daya tarik wisata yang potensial untuk

dikembangkan semakin beragam, sehingga memerlukan penanganan

yang lebih baik dan pengelolaan secara lebih inovatif; b. globalisasi

ekonomi dan informasi yang sekarang ini semakin nyata pengaruhnya,

memberi peluang kepada semua pihak untuk investasi, promosi dan

kerjasama dalam mengembangkan pariwisata; c. leisure (hiburan)

sudah menjadi kebutuhan manusia untuk menjaga keseimbangan

individu/masyarakat karena kompleksitas masalah sosial yang dihadapi

56
oleh setiap orang atau sebagai bagian dan masyarakat; d. pariwisata

merupakan pekerjaan yang multi sektor sehingga sangat diperlukan

adanya pengakuan bahwa pariwisata merupakan tugas dan kebutuhan

bersama; e. infrastruktur belum menjadi fokus dalam pembangunan

pariwisata sehingga beberapa point dan event yang terjadi tidak sesuai

dengan perkembangan dan tuntutan wisatawan; f. persaingan tidak

seharusnya dianggap sebagai ancaman bagi pengembangan pariwisata,

tetapi justru dapat menjadi awal dan perubahan.

6. Pelaku Pariwisata

Pelaku pariwisata terdiri dan dua pihak, yakni pihak yang secara

langsung melakukan kegiatan pariwisata sebagai sebuah kegiatan rekreatif

dan pihak yang mengembangkan pariwisata, yakni sebagai lembaga yang

keberadaannya bertujuan untuk memfasilitasi wisatawan pada saat

melaksanakan kegiatan rekreatifnya. Janianton Damanik dan Helmut

Weber (2006) menyatakan bahwa pihak-pihak yang dapat berperan

sebagai pelaku wisata adalah sebagai berikut:

a. Wisatawan

Wisatawan adalah pelaku kegiatan “pariwisata”. Tujuan

wisatawan melakukan aktivitas ini adalah untuk memperoleh

kesenangan hidup dengan cara menikmati atau mengerjakan sesuatu

yang ada di tempat yang dikunjunginya yang membuatnya senang

tanpa memikirkan imbalan atau bersifat sukarela. Untuk kepentingan

tersebut, wisatawan meninggalkan tempat tinggalnya menuju tempat

lain dalam waktu sementara. Dalam kaitannya dengan tempat asal ini,

57
wisatawan dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: wisatawan yang

berasal dan negeri setempat, disebut wisatawan nusantara, dan

wisatawan yang berasal dan negara lain disebut wisatawan manca

negara.

Dikemukakan oleh Oka A Yoeti (2017), ada beberapa faktor

yang mempengaruhi wisatawan dalam membuat keputusan melakukan

perjalanan wisata, yakni: pendapatan wisatawan, harga produk wisata

yang ditawarkan maupun harga kebutuhan hidup lainnya, kualitas

produk wisata, hubungan politik antar negara/daerah, kondisi ekonomi

negara, dan kondisi sosial-budaya antara dua negara, perubahan iklim,

kebijakan mengenai hari libur, peraturan pemerintah, dan teknologi

transportasi. Dengan demikian maka supaya pengembangan pariwisata

berhasil/mampu mendatangkan wisatawan ke daerah tersebut, maka

pengembang harus memperhatikan faktor-faktor tersebut dalam

menyusun perencanaan pariwisata juga dalam pembuatan kebijakan

pariwisata.

b. Pendukung Jasa Wisata

Kedatangan wisatawan di suatu daerah tujuan wisata

memerlukan berbagai kebutuhan, ada yang merupakan kebutuhan

pokok yang akan dipenuhi oleh industri pariwisata dan ada yang

merupakan kebutuhan pendukung yang bisa dipenuhi oleh industri/

penyedia jasa pendukung. Pendukung jasa wisata adalah usaha yang

memproduksi barang/jasa yang bukan secara khusus ditujukan untuk

wisatawan, tetapi dapat digunakan untuk mendukung pelayanan

58
kepada wisatawan sehingga wisatawan mendapatkan layanan yang

berkualitas dan sesuai dengan apa yang dibutuhkannya.

Jika dibanding dengan industri pariwisata, peran industri

pendukung pariwisata dalam pengembangan pariwisata tidak terlalu

besar. Namun demikian dalam penyusunan rencana pariwisata perlu

diperhatikan karena keberadaan industri ini akan dapat memberikan

peningkatan kualitas pelayanan kepada wisatawan. Pihak yang

dimaksud adalah: operator perjalanan, operator wisata, pemandu

wisata, pelayanan informasi bagi wisatawan, penyedia jasa fotografi,

penyedia jasa kecantikan, penjual keperluan olahraga, penyedia jasa

makanan, penyedia jasa penukaran uang, penyedia jasa kesehatan,

industri dan toko cinderamata, pusat kebudayaan, usaha jasa laundry,

teater, night club, tempat casino, perpustakaan.

c. Pemerintah

Pemerintah sebagai pemilik otoritas kewilayahan suatu

daerah/negara, memiliki peran sangat penting dan strategis dalam

pengembangan pariwisata, yakni sebagai pihak yang memiliki

kewenangan dalam masalah pembuatan kebijakan-kebijakan yang

terkait dengan pengembangan pariwisata, misalnya dalam hal

pengaturan penggunaan lahan dan penyediaan berbagai infrastruktur

yang digunakan untuk mendukung pengembangan pariwisata.

Pemerintah juga sangat berperan dan bertanggungjawab dalam

menentukan berbagai kebijakan: politik, ekonomi, sosial, dan budaya

yang ditujukan untuk mendukung pengembangan pariwisata supaya

59
arah perkembangan pariwisata dapat sejalan dengan perkembangan

ekonomi negara dan bermanfaat bagi masyarakat dan stakeholders

lainnya yang terlibat dalam pengembangan pariwisata. Damanik dan

Weber (2006) menyatakan bahwa dalam hal pengembangan

pariwisata, pemerintah dapat memainkan peran/bahkan memiliki

tanggung jawab dalam hal berikut:

1) Peraturan Tata Guna Lahan Pengembangan Kawasan Pariwisata.

Pembangunan pariwisata sangat terkait erat dengan

pemanfaatan lahan sebagai tempat pengembangan pariwisata. Oleh

karena itu perlu adanya pengaturan mengenai penggunaan lahan ini

supaya dalam pengembangan pariwisata tidak terjadi masalah

sosial. Sebagai pemilik Otoritas kewilayahan, pemerintah

mempunyai kewenangan dalam hal mengatur penggunaan wilayah

negara yang digunakan sebagai lahan untuk pengembangan

pariwisata.

Kejelasan aturan mengenai tata guna lahan akan sangat

berpengaruh pada keberhasilan pengembangan obyek/daya tarik

wisata, terutama sebagai langkah untuk mengantisipasi terjadinya

konflik kepentingan antara pihak-pihak yang terkait dalam

pengembangan pariwisata di suatu daerah. Misalnya: ketentuan

mengenai penggunaan lahan secara tepat yang disesuaikan dengan

keadaan alam sekitar, apakah lahan itu cocok dengan daya tarik

yang akan dikembangkan, apakah pengembangan kawasan wisata

60
tidak merugikan masyarakat setempat, apakah pengembangan

pariwisata itu berada di lokasi yang memadai.

2) Perlindungan Terhadap Lingkungan Alam Dan Budaya

Salah satu dan ukuran keberhasilan pengembangan

pariwisata adalah terjaminnya kelestarian sumberdaya yang

menjadi daya tarik wisata. Terkait dengan upaya pengembangan

pariwisata berkelanjutan, maka kelestarian lingkungan alam dan

budaya yang menjadi sumberdaya pariwisata harus menjadi

prioritas. Hal ini sangat tergantung pada kebijakan pemerintah.

Pemerintah memiliki otoritas dalam membuat kebijakan politik

yang tujuannya untuk memberikan perlindungan terhadap alam dan

benda-benda cagar budaya, misalnya melalui berbagai undang-.

undang, peraturan daerah maupun peraturan lainnya yang secara

langsung maupun tidak langsung terkait dengan pengembangan

pariwisata.

3) Penyediaan Infrastruktur Pariwisata

Pemerintah juga memiliki kewenangan dan tanggung jawab

dalam hal penyediaan infrastruktur pariwisata, karena masalah ini

juga memiliki keterkaitan dengan wilayah/daerah. Oleh karena itu,

penyusunan rencana pariwisata perlu mempertimbangkan

kemampuan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur misalnya

tergantung dan kemampuan pendanaan untuk pelaksanaan proyek

pengembangan infrastruktur misalnya ketentuan mengenai

infrastruktur transportasi nasional maupun regional yang pada

61
umumnya difokuskan pada bandara dan pelabuhan laut, ketentuan

mengenai infrastruktur umum dan pendukung pelayanan kepada

wisatawan, seperti air, listrik, komunikasi dan keselamatan

4) Kebijakan Fasilitas Fiskal, Pajak, Kredit Dan Ijin Usaha

Negara memiliki hak untuk merumuskan kebijakan terkait

dengan semua masalah tersebut yang mempunyai dampak sangat

luas. Masalah tersebut memang hanya dapat diselesaikan dengan

kebijakan politik ekonomi pemerintah. Oleh karena itu peran

negara ini perlu dirumuskan dalam penyusunan rencana pariwisata

supaya dalam pengembangannya tidak menghadapi kendala yang

bersifat politis. Misalnya penciptaan kerangka aturan mengenai:

visa perjalanan, hukum perburuhan, investasi asing, perlindungan

terhadap konsumen, perencanaan dan pembangunan gedung,

mengenai finansial dan insentif fiskal meliputi pajak, tarif energi,

bantuan, pinjaman lunak.

5) Keamanan Dan Kenyamanan Berwisata

Pada dasarnya tujuan wisatawan mengunjungi obyek wisata

adalah untuk mendapatkan kesenangan dan kenyamanan. Para

pengembang pariwisata harus memperhatikan kedua aspek itu

secara seksama supaya wisatawan yang berkunjung mempunyai

kesan yang baik terhadap produk wisata yang dinikmatinya, atau

terkesan pada kegiatan pariwisata yang dilakukannya. Terkait

dengan hal ini salah satu hal pokok yang dapat menjadi pendorong

masuknya wisatawan, terutama wisatawan manca negara adalah

62
masalah keamanan. Oleh karena itu pemerintah harus dapat

memberikan jaminan keamanan ini pada masyarakat maupun

wisatawan yang datang.

6) Jaminan Kesehatan

Masalah kesehatan sangat penting dalam wacana pariwisata

internasional. Segala isu mengenai kesehatan/ wabah yang

berkembang di suatu daerah tujuan wisata akan menjadi perhatian

besar dan calon wisatawan yang akan datang. Isu mengenai

kesehatan ini sangat besar pengaruhnya terhadap pembuatan

keputusan oleh wisatawan, terutama wisatawan manca negara

untuk berkunjung ke suatu daerah sehingga pengembang harus

dapat menjaga supaya tidak terjadi isu-isu negatif mengenai

kesehatan, misalnya isu-isu mengenai wabah penyakit yang

berkembang di daerah tempat pengembangan pariwisata.

7. Manajemen Kelembagaan

Pembahasan tentang manajemen kepariwisataan yang paling utama

dalam konteks perencanaan strategis adalah menyangkut penguatan

kelembagaan dan pembuat regulasi pengembangan pariwisata. Sebagai

salah satu pelaku pariwisata, pemerintah mempunyai peran yang sangat

signifikan dalam penyusunan regulasi tersebut. Dalam pengembangan

pariwisata pemerintah tentu saja tidak bisa melakukannya sendiri,

partisipasi dari masyarakat juga menentukan kesuksesan pengembangan

pariwisata.

63
a. Penguatan Kelembagaan Pariwisata

Karena luasnya cakupan pariwisata, maka pengembangan

pariwisata tidak akan bisa dilaksanakan secara sendiri oleh

pengembang pariwisata tanpa melibatkan pihak lain. Supaya

pengembangan pariwisata dapat berlangsung dengan efektif,

pengembang memerlukan keterlibatan dan berbagai pihak/lembaga

yang terkait. Sinergi dan berbagai lembaga itu akan dapat menjadi

jaminan terhadap kesuksesan pengembangan pariwisata. Untuk

mempercepat terjadinya sinergi berbagai unsur itu, pemerintah sebagai

pemilik otoritas wilayah, dapat berperan lebih progresif, antara lain

dengan melaksanakan pemberdayaan lembaga-lembaga pariwisata

yang telah berkembang di masyarakat. Dengan begitu, lembaga

pariwisata ini dapat berperan lebih besar pada pengembangan

pariwisata di daerahnya.

b. Pendampingan Dan Promosi Pariwisata

Keberhasilan pengembangan pariwisata akan ditentukan oleh

sampainya wisatawan sebagai pembeli produk wisata pada daerah

tujuan wisata untuk menikmati daya tarik wisata yang ditawarkan.

Oleh karena itu promosi sebagai upaya pengenalan produk menjadi

faktor yang penting untuk menjadi perhatian semua pihak yang terkait.

Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam memperkenalkan produk

wisata pada negara lain. Pelaksanaannya daya tarik wisata di

daerahnya. Masyarakat setempat sebagai pihak yang bisa dilakukan

64
sendiri oleh pemerintah maupun bekerja sama pihak pengusaha

pariwisata.

c. Regulasi Persaingan Usaha

Pengembangan usaha pariwisata akan senantiasa melibatkan

banyak pengusaha industri untuk menghasilkan produk wisata yang

beragam jenisnya. Keterlibatan banyak pihak itu seringkali

menyebabkan terjadinya kompetisi/persaingan usaha antara satu usaha

dengan lainnya. Dalam suasana persaingan itu sering pula terjadi

persaingan usaha yang tidak sehat. Jika hal ini terjadi maka

perkembangan pariwisata menjadi tidak baik/tidak bisa berlangsung

secara berkelanjutan. Oleh karena itu supaya terjamin adanya

persaingan yang baik, maka diperlukan suatu regulasi. Regulasi inilah

yang menjadi kewenangan pemerintah untuk membuatnya.

d. Pengembangan Sumberdaya Manusia

Supaya pelaksanaan pembangunan pariwisata dapat

berlangsung dengan baik, efektif dan dapat direalisasikan pariwisata

yang berkelanjutan, maka untuk pengembangannya pariwisata

diperlukan sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi di bidang

pariwisata. Penyiapan sumberdaya manusia merupakan tanggung

jawab negara, tetapi masyarakat juga bisa berpartisipasi dalam hal ini,

misalnya dengan mendirikan lembaga pendidikan dan pelatihan

pariwisata. Pemerintah punya peran yang sangat penting dalam hal ini,

misalnya dalam membuat aturan mengenai tata cara pendidikan yang

harus dilaksanakan oleh lembaga pendidikan khusus pariwisata.

65
8. Peran Serta Masyarakat Lokal

Peran masyarakat dalam pembangunan di Indonesia mulai

berkembang sejak terjadinya krisis ekonomi yang disusul dengan

maraknya reformasi di berbagai bidang pada tahun 1997-1998. Sejak saat

itu terjadi proses desentralisasi yang ditandai dengan terbitnya UU No. 22

tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang

perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Masyarakat lokal sebagai pihak yang menerima kedatangan wisatawan,

perlu dilibatkan dalam proses pengembangan pariwisata, supaya

keberhasilannya lebih terjamin. Kegagalan pengembangan pariwisata

daerah yang tidak melibatkan masyarakat pada umumnya disebabkan

perencana/pengembang kurang dapat memahami konteks ekonomi, sosial

dan politik yang berkembang.

Dengan tidak melibatkan masyarakat, pengembang akan memiliki

keterbatasan untuk memahami permasalahan kolektif yang terjadi di

masyarakat. Kondisi seperti itu menyebabkan masyarakat tidak memiliki

rasa tanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung suatu produk

perencanaan. Dengan begitu, pelibatan masyarakat menjadi sebuah hal

yang sangat penting. Masyarakat dapat memainkan peran yang strategis,

misalnya: mereka dapat berperan: sebagai pelaku usaha pariwisata, sebagai

pengelola usaha pariwisata maupun sebagai penyedia jasa pariwisata.

Partisipasi aktif masyarakat setempat sangat penting untuk menciptakan

situasi yang kondusif bagi wisatawan sehingga kedatangannya benar-benar

berkesan.

66
Partisipasi masyarakat akan timbul jika masyarakat memiliki

kesadaran akan pentingnya pariwisata pada kehidupan mereka. Untuk

menyadarkan masyarakat, memang tanggung jawab ada pada pemerintah,

tetapi pihak-pihak lain dapat juga berperan, misalnya pihak industri, LSM,

atau pun perguruan tinggi. Berbagai peran dapat dilaksanakan oleh

masyarakat setempat dalam pengembangan pariwisata di daerahnya. Peran

yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Menjadi Pemandu Wisata

Sebagai tuan rumah, masyarakat setempat sebagai pihak yang

memahami daerahnya dengan baik dan mendalam, dapat menjadi

pemandu bagi wisatawan yang datang. Untuk dapat menjadi pemandu

yang baik, selain mereka harus menguasai teknik memandu, juga harus

paham betul informasi apa saja yang dibutuhkan oleh wisatawan pada

saat menikmati daya tarik wisata di daerahnya. Masyarakat setempat

sebagai pihak yang menjadi tuan rumah tentunya mengenal secara

lebih mendalam mengenai obyek yang ditawarkan pada wisatawan.

Sebagai contoh, ketika menjelaskan suatu obyek wisata pada

wisatawan, masyarakat dapat menginformasikan hal-hal yang tidak

sekedar terlihat pada saat itu, tetapi juga informasi mengenai hal-hal

yang terkait dengan obyek itu, misalnya mengenai sejarahnya, maupun

hal-hal lain yang melatarbelakanginya.

Dengan begitu, wisatawan dapat lebih memberikan apresiasi terhadap

obyek wisata yang dikunjunginya.

67
b. Menjadi Pelaku Usaha Pariwisata

Untuk memenuhi kebutuhan pokok wisatawan yang datang

untuk berlibur di daerahnya, diperlukan berbagai jasa pelayanan.

Kebutuhan akan jasa pelayanan ini sejalan dengan perkembangan

jumlah wisatawan yang berkunjung. Semakin banyak wisatawan yang

datang akan makin banyak pula kebutuhan jasa pelayanan. Jasa

pelayanan ini dapat dipenuhi oleh masyarakat setempat, misalnya

dengan cara mendirikan usaha jasa pariwisata, diantaranya: usaha jasa

akomodasi, transportasi, rumah makan, dll. Selain itu masyarakat

setempat dapat juga mengembangkan usaha lainnya yang tujuannya

untuk memenuhi kebutuhan tambahan dan wisatawan, misalnya

dengan mendirikan usaha jasa yang secara khusus ditujukan untuk

mendukung pariwisata.

c. Mengaktualisasikan Budaya Masa Lampau

Kegiatan keseharian dan kegiatan seni budaya, baik yang masih

berlangsung maupun seni budaya masa lampau yang pernah

dilaksanakan oleh nenek moyang mereka dan sekarang sudah tidak ada

di masyarakat, dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan. Semua itu

dapat dijadikan produk wisata yang dapat ditawarkan pada wisatawan

yang datang dengan minat khusus. Hal ini sejalan dengan

perkembangan mutakhir mengenai kecenderungan wisatawan

internasional yang telah mengalami perubahan preferensi terhadap

obyek dan daya tarik wisata. Kini wisatawan lebih menyukai daya

tarik wisata yang bersifat khusus dan di situ wisatawan selain dapat

68
menikmati, sekaligus mereka melaksanakan kegiatan dan memberikan

apresiasi. Untuk dapat mewujudkan hal itu, masyarakat perlu

menggalinya dan selanjutnya membinanya supaya dapat dilaksanakan

seperti sebelumnya, kemudian dijadikan produk wisata.

d. Mengembangkan Lembaga Pariwisata

Masyarakat dapat berperan dalam pengembangan sebuah

lembaga yang ditujukan untuk mendukung pengembangan pariwisata

di daerahnya. Pelaksanaannya bisa sendiri oleh masyarakat maupun

bekerjasama dengan pemerintah atau pihak lainnya yang terkait.

Pengembangan lembaga yang dimaksud misalnya pembentukan

kelompok sadar wisata maupun desa wisata. Dalam pengembangan

desa wisata, masyarakat dapat menawarkan potensi desa yang

dimilikinya atau yang ada di sekitarnya untuk ditawarkan kepada

wisatawan yang datang. Banyak hal dalam kehidupan masyarakat yang

dapat dikembangkan menjadi daya tarik bagi wisatawan, misalnya:

jenis dan tata cara makan makanan tradisional, jenis dan tata cara

berpakaian tradisional, kegiatan masyarakat keseharian dalam

berkesenian, bertani, atau dalam mencari kehidupan lainnya.

Semua hal di atas menunjukkan bahwa masyarakat berperan aktif,

bahkan cenderung formal, tetapi jika mereka tidak memiliki kesempatan

untuk berbuat aktif dalam pengembangan pariwisata, masyarakat dapat

melakukan peran yang paling minimal dalam pengembangan pariwisata di

daerahnya, yakni mereka dapat bertindak sebagai tuan rumah yang

mendukung dengan tidak memandang negatif, atau bahkan menolak

69
kedatangan wisatawan yang akan menikmati daya tarik wisata yang ada di

daerah tersebut. Sebagai contoh, mereka dapat menunjukkan sikap ramah,

sopan dan bersahabat pada wisatawan, serta tidak memandang wisatawan

sebagai pihak yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya.

9. Stakeholder

Berdasarkan pendapat Freeman dalam Selviyanna (2010:42)

stakeholder dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan

terhadap eksistensi perusahaan. Definisi sempitnya stakeholder dapat

diartikan sebagai suatu kelompok dan individu kepada siapa sebuah

organisasi bergantung untuk mempertahankan keberadaannya. Sedangkan

dalam definisi luas, stakeholder didefinisikan sebagai kelompok individu

yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian suatu tujuan.

Yau dkk dalam Selviyanna (2010:43) berpendapat bahwa: ”Stakeholder is

a group or an individual who can effect, or be affected by, the success or

failure of an organization”. (Stakeholder adalah semua pihak, baik

internal ataupun eksternal yang memiliki hubungan mempengaruhi

maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh suatu

perusahaan).

Pendapat lain tentang stakeholder menurut Jalal dalam selviyanna

(2010:43) bahwa stakeholder adalah orang-orang atau kelompok yang

secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh suatu hal, serta

mereka yang mungkin memiliki kepentingan dalam proyek dan atau

kemampuan untuk mempengaruhi hasil, baik positif atau negatif. Menurut

Jones dalam Selviyanna (2010:44) stakeholder dapat diklarifikasi kedalam

70
dua kategori, yaitu: a) inside Stakeholder, terdiri dari pihak yang memiliki

kepentingan dan tuntutan terhadap sumberdaya perusahaan secara berada

didalam organisasi perusahaan, seperti pemegang saham (stakeholder),

para manager, dan karyawan; b) outside Stakeholder, terdiri dari orang-

orang atau pihak-pihak yang bukan pemilik perusahaan, bukan pemimpin

perusahaan, dan bukan pula karyawan perusahaan tetapi memiliki

kepentingan terhadap perusahaan dan dipengaruhi oleh keputusan atau

tindakan yang dilakukan oleh perusahaan, seperti pelanggan, costumers,

pemasok, pemerintah (govenment), masyarakat lokal, dan masyarakat

secara umum (general public).

Menggunakan sudut pandang yang berbeda, Post Et. Al dalam

Selviyanna (2010:42) membagi stakeholder (pemangku kepentingan)

kedalam dua kategori, yaitu:

a. Primary Stakeholder (pemangku kepentingan utama), adalah berbagai

pihak yang berinteraksi langsung dalam aktivitas bisnis perusahaan

serta mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melaksanakan

tujuan utamanya, meliputi : para pemegang saham, para karyawan,

para pemasok (suplier), para kreditur (creditors), para pelanggan

(customers), para pedagang besar dan eceran (whole sellers and

retailers).

b. Secondary Stakeholder (Pemangku kepentingan sekunder, adalah

orang-orang atau kelompok didalam masyarakat yang dipengaruhi

secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai aktivitas atau

keputusan utama perusahaan, meliputi: masyarakat secara umum

71
(general public), komunitas lokal (local comunity), pemerintah pusat

dan daerah (federal state and local government), para pemerintah asing

(foreign government), kelompok aktivitas sosial (social aktivist

groups), dan berbagai kelompok pendukung bisnis (bussiness support

group).

c. Berdasarkan konsep diatas, stakeholder dapat diartikan sebagai pihak

eksternal maupun internal yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik

secara langsung maupun tidak langsung atas aktifitas kebijakan yang

diambil oleh suatu perusahaan. Para stakeholder yang terkait harus

membentuk hubungan yang baik dan saling mendukung yang biasa

disebut dengan kerjasama multi pihak (multi stakeholder).

10. Konsep Sinergitas

Para pakar sinergitas menjelaskan sinergitas merupakan sebuah

interaksi dari dua pihak atau lebih yang saling berinteraksi dan menjalin

hubungan yang bersifat dinamis guna mencapai tujuan bersama. Sinergitas

akan tumbuh dari suatu hubungan yang berasal dari dua pihak atau lebih

yang sering berkomunikasi dan membentuk kerjasama yang dapat berubah

sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan dari semua pihak

(Pamudji 1985). Kerjasama adalah suatu bentuk proses sosial dimana

didalamnya terdapat aktivitas tertentu yang ditujukan untuk mencapai

tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami terhadap

aktivitas masing – masing (Abdul Syari 2012). Sinergitas dapat berjalan

dengan baik jika dijalankan sesuai dengan tujuan dan tidak merugikan satu

dengan yang lainnya,sebab merugikan satu dan yang lainnya akan merusak

72
sistem dalam kerjasama, suatu sinergi dapat dikatakan maksimal apabila

sinergi tersebut terpusat,terpadu, berkesinambungan dan menggunakan

pendekatan multi instansional. Adanya interaksi antar ketiga stakeholders

selain itu juga diperlukan adanya sinergi antar ketiga pemangku

kepentingan tersebut. Najiyati dan Rahmat (2011), mengartikan sinergi

sebagai kombinasi atau paduan unsur atau bagian yang dapat

menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar. Jadi sinergi dapat

dipahami sebagai operasi gabungan atau perpaduan unsur untuk

menghasilkan output yang lebih baik. Sinergitas dapat terbangun melalui

dua cara yaitu antara lain komunikasi dan koordinasi, sebagai berikut :

a. Komunikasi

Sofyandi dan Garniwa (2007), pengertian komunikasi dapat

dibedakan atas dua bagian, yaitu: 1) Pengertian komunikasi yang

berorientasi pada sumber menyatakan bahwa, komunikasi adalah

kegiatan dengan mana seseorang (sumber) secara sungguh-sungguh

memindahkan stimuli guna mendapatkan tanggapan; 2) Pengertian

komunikasi yang berorientasi pada penerima memandang bahwa,

komunikasi sebagai semua kegiatan di mana seseorang (penerima)

menanggapi stimulus atau rangsangan.

Sesuai dengan teori sinergitas, komunikasi yang terjalin

tersebut dihadapkan dengan elemen kerjasama dan kepercayaan.

Begitu juga dalam penelitian ini,indikator yang digunakan adalah

bagaimana tingkat kerjasama dan kepercayaan didalamnya. Didalam

73
kerjasama itu sendiri masih dibagi menjadi saling berkontribusi,dan

pengerahan kemampuan secara maksimal.

b. Koordinasi

Di samping adanya komunikasi dalam menciptakan sinergitas

juga memerlukan koordinasi. Komunikasi tidak dapat berdiri sendiri

tanpa adanya koordinasi seperti yang dinyatakan oleh Hasan (2005:18)

bahwasanya dalam komunikasi dibutuhkan koordinasi. Silalahi

(2011:217) koordinasi adalah integrasi dari kegiatan-kegiatan

individual dan unit-unit ke dalam satu usaha bersama yaitu bekerja ke

arah tujuan bersama. Moekijat (1994:39) menyebutkan ada 9

(sembilan) syarat untuk mewujudkan koordinasi yang efektif, yaitu: 1)

hubungan langsung, bahwa koordinasi dapat lebih mudah dicapai

melalui hubungan pribadi langsung; 2) kesempatan awal, koordinasi

dapat dicapai lebih mudah dalam tingkat-tingkat awal perencanaan dan

pembuatan kebijaksanaan; 3) kontinuitas, koordinasi merupakan suatu

proses yang kontinu dan harus berlangsung pada semua waktu mulai

dari tahap perencanaan; 4) dinamisme, koordinasi harus secara terus-

menerus diubah mengingat perubahan lingkungan baik intern maupun

ekstern; 5) tujuan yang jelas, tujuan yang jelas itu penting untuk

memperoleh koordinasi yang efektif; 6) organisasi yang sederhana,

struktur organisasi yang sederhana memudahkan koordinasi yang

efektif; 7) perumusan wewenang dan tanggung jawab yang jelas,

wewenang yang jelas tidak hanya mengurangi pertentangan di antara

pegawai-pegawai yang berlainan, tetapi juga membantu mereka dalam

74
pekerjaan dengan kesatuan tujuan; 8) komunikasi yang efektif,

komunikasi yang efektif merupakan salah satu persyaratan untuk

koordinasi yang baik; dan 9) kepemimpinan supervisi yang efektif,

kepemimpinan yang efektif menjamin koordinasi kegiatan orang-

orang, baik pada tingkat perencanaan maupun pada tingkat

pelaksanaan.

C. Kerangka Pemikiran

Pengembangan pariwisata suatu destinasi perlu melibatkan berbagai

elemen atau kelompok masyarakat yang ada di suatu destinasi (Haugland, et

al. 2011:269). Pengelolaan daya tarik wisata misalnya, tidak dapat

dikembangkan jika hanya dikelola oleh satu kelompok masyarakat saja.

Dalam hal ini, diperlukan kerjasama yang aktif dan efektif dari berbagai

elemen masyarakat mengingat potensi alam dan budaya yang dikelola sebagai

aset wisata tergantung kerjasama yang baik dari stakeholder tersebut

(Presenza dan Cipollina, 2010:18).

Pariwisata Kawasan Teluk Youtefa yang meliputi pantai Hamadi dan

Pantai Holtekamp semakin dilirik oleh para pelaku untuk menanamkan

modalnya.Hal ini dapat dilihat dengan dibangunnya cafe – cafe,rumah

makan,ruang santai dan tempat bermain boat di sepanjang

pantai.Pembangunan fasilitas rekreasi ini dilakukan oleh pelaku usaha atas ijin

pemilik hak ulayat.Sewa lokasi pembangunan fasilitas rekreasi yang terjadi

hanya dilakukan oleh pelaku usaha dan pemilik hak ulayat secara sendiri

-sendiri baik dari sisi penetapan harga sewa dan lama waktu sewa. Pada

kondisi ini peran pemerintah daerah sebagai stabilisator dan fasilitator sangat

75
dibutuhkan untuk menjembatani dan menyeimbangkan antara keinginan

pelaku usaha dan kepentingan masyarakat pemilik hak ulayat agar tidak

menimbulkan konflik didalam pengelolaan pariwisata.Seperti diketahui bahwa

industri pariwisata sebagai salah satu mata rantai perekonomian dalam

pengelolaannya tidak akan terlepas dari ketiga stakeholder pariwisata yaitu

pemerintah,pelaku usaha dan masyarakat dan juga tidak bisa terlepas dari

kondisi sosial budaya daerah wisata tersebut.

Kenyataannya, belum terdapat data empiris yang menjelaskan hubungan atau

sinergitas yang terbangun antara berbagai kelompok masyarakat dalam

pengelolaan pariwisata khususnya di Pantai Hamadi dan Pantai Holtekamp -

Kota Jayapura. Kerjasama antara masyarakat dan pemerintah mungkin saja

terbangun secara informal di destinasi wisata, namun keterkaitan elemen

tersebut perlu dikaji. Kerjasama yang dimaksud adalah kemampuan setiap

unsur pariwisata untuk terlibat dalam mengoptimalkan potensi daerah untuk

dikembangkan sebagai aset wisata. Penelitian ini memandang bahwa sinergitas

stakeholder tersebut dapat menjadi data empiris mengenai kerjasama yang

terbangun antara berbagai unsur. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan

menganalisis pengelolaan pariwisata, sinergitas stakeholder dalam pengelolaan

pariwisata di Kawasan Teluk Youtefa – Kota Jayapura secara khusus daerah

tujuan wisata pantai Hamadi dan Pantai Holtekamp.

Langkah-langkah ini berkaitan dengan model sinergitas pengelolaan

pariwisata dalam rangka manajemen destinasi wisata di Pantai Hamadi dan

Pantai Holtekamp - Kota Jayapura. Sinergi dalam kepariwisataan adalah hal

penting dalam mengembangkan potensi pariwisata suatu destinasi. Model

76
sinergi menjadi suatu kebutuhan untuk menuntun stakeholder pariwisata

dalam membangun destinasi. Sinergi pengelolaan Pantai Hamadi dan Pantai

Holtekamp - Kota Jayapura perlu dibangun dengan dua alasan utama, pertama

pemerintah daerah memerlukan petunjuk bagaimana mengelola potensi daerah

tanpa mengabaikan kepentingan dan harapan para stakeholder pariwisata.

Kedua, pemerintah daerah perlu melibatkan para stakeholder dalam

mengembangkan potensi pariwisata daerah.

Sinergi atau sinergitas adalah dua istilah yang memiliki makna yang

sama, yang berarti kombinasi atau keterpaduan dari berbagai unsur (misalnya

unsur pemangku kepentingan) untuk menghasilkan sesuatu yang positif.

Dalam pengembangan suatu destinasi, sinergi dapat diartikan sebagai

keterpaduan berbagai elemen atau kelompok masyarakat untuk menghasilkan

keluaran (output) yang lebih besar. Pemahaman akan tugas dan tanggung

jawab masing-masing perlu diwujudkan dengan kerja nyata setiap unsur yang

terlibat. Sinergi dapat juga diartikan sebagai upaya mencapai sasaran usaha

atau organisasi dalam memenangkan persaingan dengan prinsip kebersamaan

(togetherness). Sinergi berkaitan juga dengan istilah kolaborasi atau

kemitraan. Dengan demikian, sinergi, kolaborasi ataupun kemitraan dapat

menjadi wadah untuk mencapai tujuan suatu organisasi (Jamal dan Getz,

1995).

Teori atau konsep stakeholder memandang atau memfokuskan

pentingnya hubungan antara sesama kelompok stakeholder dalam pengelolaan

daya tarik wisata atau destinasi wisata (Tuohina dan Konu, 2014:204).

Stakeholder adalah mereka yang memiliki ketertarikan (interest) terhadap

77
pengembangan pariwisata suatu daerah. Stakeholder juga dapat diartikan

sebagai mereka yang mendapatkan dampak (effect) dari pelaksanaan suatu

kebijakan kepariwisataan dalam suatu lingkup daerah wisata atau destinasi

wisata. Sinergitas atau kemitraan telah menjadi salah satu strategi dalam

melibatkan berbagai kelompok masyarakat dalam kegiatan kepariwisataan.

Shaw (2007:190) memberi contoh bagaimana sinergitas dan kemitraan antara

pemerintah, masyarakat (khususnya kelompok minoritas) dan pengusaha

bidang pariwisata (business) bekerja bersama membangun pariwisata di

Inggris dan Canada. Menurut Shaw, pelaksanaan festival dan pembuatan

perkampungan kelompok masyarakat dilaksanakan melalui keterlibatan

berbagai elemen masyarakat.

Gambaran kajian teoritis penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.6 berikut:
Gambar 2.6
Kerangka Pemikiran

Daerah Tujuan
Wisata (DTW)

Pantai Hamadi
Pantai Holtekamp
UU No. 10 Tahun SINERGITAS :
2009 Model
PP No. 56 Tahun Komunikasi Sinergitas
2011 Pengelolaan
Perda Kota Jayapura Koordinasi Pariwisata
No. 8 Tahun 2012 PENGELOLA Kawasan Teluk
PARIWISATA:
Youtefa
Pemerintah Kota
Jayapura
Swasta / Pelaku Usaha
Masyarakat Pemilik
Hak Ulayat

Sumber: Kerangka Pikir Penulis, 2020

78
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif

(qualitatif research) yang berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami

maknanya, sehingga sangat memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas.

Penekanan penelitian kualitatif dimaksudkan untuk meneliti kondisi subjek,

dengan mencari dan menemukan informasi melalui pengkajian kasus yang

terbatas namun mendalam dengan penggambaran secara holistik. Pendekatan

kualitatif mencirikan makna kualitas yang menunjuk pada segi alamiah dan

tidak menggambarkan perhitungan (Moleong, 2004).

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam penulisan ini mengacu pada sinergitas

pengelolaan pariwisata di kawasan Teluk Youtefa - Kota Jayapura untuk

mendapatkan model sinergitas pengelolaan pariwisata Pantai Hamadi dan

Pantai Holtekamp.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Pantai Hamadi dan Pantai Holtekamp

yang merupakan pantai destinasi wisata yang ada di Kota Jayapura.

Kemudian waktu penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan, dengan

penjabaran dijelaskan pada tabel dibawah ini :

79
Tabel 3.1
Waktu Penelitian

Bulan
No Kegiatan
4 5 6 7 8 9 10 11
1 Penulisan Proposal
2 Ujian Proposal
3 Pengumpulan Data Lapangan
4 Penulisan Laporan Penelitian
5 Ujian Seminar Hasil
6 Revisi Disertasi
7 Ujian Tertutup
8 Revisi Disertasi
9 Ujian Promosi

D. Fenomena Pengamatan

Penelitian ini memanfaatkan data primer dan sekunder. Data yang

diperoleh dari hasil wawancara (interview) dan observasi partisipatori

(participant observation) merupakan data primer penelitian ini. Selanjutnya,

data sekunder adalah dokumen atau arsip baik yang diterbitkan oleh

pemerintah maupun swasta serta publikasi ilmiah yang berkaitan dengan topik

penelitian. Informasi yang diperoleh dari website atau internet juga menjadi

bahan penting dalam penulisan hasil penelitian. Participant observation ini

dilakukan dengan berkunjung ke lokasi penelitian dan berperan sebagai

wisatawan. Participant observation ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan

mengetahui secara langsung kondisi faktual khususnya yang menyangkut

model senergitas pengelolaan pariwisata di Pantai Hamadi dan pantai

Holtekamp - Kota Jayapura. Penentuan informan dalam wawancara

memanfaatkan teknik purposive sampling mengingat informan diharapkan

dapat memberikan informasi sesuai konteks penelitian (Altinay dan

Paraskevas, 2008:101). Data yang telah diperoleh dianalisis dengan

80
menerapkan prinsip analisis data kualitatif yang terdiri dari fase reduksi data,

pengorganisasian dan interpretasi dengan melihat tema-tema (thematic) yang

muncul Miles dan Huberman (Gunawan, 2013).

E. Jenis dan Sumber Data

Dalam Penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan adalah data primer

dan data sekunder yang bersifat kualitatif. Data primer merupakan data yang

diperoleh langsung, sedangkan untuk data sekunder diperoleh melalui data

yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian ini.

F. Pemilihan Informan

Informan dalam penelitian adalah orang atau pelaku yang benar-benar

tahu dan menguasai masalah, serta terlibat langsung dengan masalah

penelitian. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, maka peneliti

sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual, jadi dalam hal ini

sampling dijaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber. Maksud

kedua dari informan adalah untuk menggali informasi yang menjadi dasar dan

rancangan teori yang dibangun. Pemilihan informan sebagai sumber data

dalam penelitian ini adalah berdasarkan pada asas subjek yang menguasai

permasalahan, memiliki data, dan bersedia memberikan informasi lengkap dan

akurat. Informan yang bertindak sebagai sumber data dan informasi harus

memenuhi syarat, yang akan menjadi informan nara sumber (key informan)

dalam penelitian ini adalah pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata Kota

Jayapura, masyarakat pemilik hak ulayat Pantai Hamadi dan pantai

Holtekamp, pelaku usaha yang mendirikan usaha di sekitar Pantai Hamadi dan

81
pantai Holtekamp serta masyarakat yang berkunjung di Pantai Hamadi dan

pantai Holtekamp. Penelitian kualitatif tidak dipersoalkan jumlah informan,

tetapi bisa tergantung dari tepat tidaknya pemilihan informan kunci, dan

kompleksitas dari keragaman fenomena sosial yang diteliti. Dengan demikian,

informan ditentukan dengan teknik snowball sampling, yakni proses

penentuan informan berdasarkan informan sebelumnya tanpa menentukan

jumlahnya secara pasti dengan menggali informasi terkait topik penelitian

yang diperlukan. Pencarian informan akan dihentikan setelah informasi

penelitian dianggap sudah memadai.

Adapun kriteria-kriteria penentuan Informan Kunci (key informan) yang

tepat, dalam pemberian informasi dan data yang tepat dan akurat mengenai

model sinergitas pengelolaan pariwisata di Pantai Hamadi dan pantai

Holtekamp - Kota Jayapura, adalah sebagai berikut:

1. Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura.

2. Masyarakat pemilik hak ulayat di Pantai Hamadi dan Pantai Holtekamp.

3. Pelaku usaha yang mendirikan usaha di sekitar Pantai Hamadi dan Pantai

Holtekamp.

4. Pengunjung yang melakukan wisata/kunjungan ke Pantai Hamadi dan

Pantai Holtekamp.

G. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian

adalah peneliti sendiri (Sugiyono, 2014:59). Instrumen penelitian dalam

penelitian ini adalah peneliti sendiri, namun karena fokus penelitian sudah

jelas yaitu mengenai model sinergitas pengelolaan pariwisata di Pantai

82
Hamadi dan pantai Holtekamp - Kota Jayapura, maka dikembangkan

instrumen penelitian yaitu:

a. Observasi

Dalam hal ini yang dimaksudkan observasi adalah cara pengumpulan data

melalui indera mata mengenai suatu gejala atau kenyataan dari apa yang

dapat dilihat, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah yang

diteliti. Dalam hal ini, peneliti mengamati tentang sinergitas pengelolaan

pariwisata di Kawasan Teluk Youtefa. Karena keterbatasan daya

pengamatan peneliti, maka pada saat melakukan observasi, peneliti

membawa alat bantu berupa alat kamera dan tape recorder. Dalam hal ini,

kamera adalah alat bantu pengamatan untuk mengabdikan peristiwa-

peristiwa atau kenyataan-kenyataan agar kemudian dapat dipelajari dengan

seksama. Tape recorder dipakai membantu pengamatan dalam menangkap

suara suatu kegiatan penyuluhan atau pembinaan yang umumnya sukar

dilaporkan dengan kata-kata.

b. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam merupakan suatu cara untuk memperoleh

keterangan secara lisan, yakni berinteraksi dengan seorang informan sesuai

dengan permasalahan penelitian, kemudian dilakukan pencatatan secara

sistematik. Wawancara mendalam dipakai untuk memperdalam informasi

dengan melakukan cross check antar informan untuk mendapatkan

verifikasi agar valid dan reliable. Wawancara mendalam dalam penelitian

ini dilakukan dalam rangka menggali, memahami, dan mengkaji fenomena

tentang model sinergitas pengelolaan pariwisata di Pantai Hamadi dan

83
Pantai Holtekamp - Kota Jayapura. Ada dua alasan pokok yang mendasari

peneliti melakukan wawancara mendalam sewaktu mengumpulkan data.

Pertama, wawancara mendalam memungkinkan peneliti untuk menggali

fenomena tentang model sinergitas yang diterapkan. Kedua, dengan

wawancara mendalam peneliti dapat menanyakan kepada informan hal-hal

yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan model sinergitas

pengelolaan pariwisata antara pemerintah daerah, masyarakat, pemilik hak

ulayat dan pengusaha. Dalam kaitan ini instrumen wawancara mendalam

menggunakan pedoman wawancara (interview guide).

c. Studi Kepustakaan (Library Research), berupa kegiatan mempelajari dan

mengkaji sejumlah literatur seperti buku-buku, jurnal, artikel serta majalah

yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Hal ini diharapkan dapat

memberikan data serta informasi yang bersifat teoritis mengenai model

sinergitas pengelolaan pariwisata yang nantinya akan digunakan sebagai

landasan teori dalam menunjang pelaksanaan penelitian.

H. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan bagian sangat penting dalam penelitian karena

dari analisis ini akan diperoleh temuan, baik temuan substantif maupun

formal. Selain itu, analisis data kualitatif sangat sulit karena tidak ada

pedoman baku, tidak berproses secara linier, dan tidak ada aturan-aturan yang

sistematis (Gunawan, 2013:209). Pada hakikatnya, analisis data adalah sebuah

kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi

kode/tanda, dan mengategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan

berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Melalui serangkaian

84
aktivitas tersebut, data kualitatif yang biasanya berserakan dan bertumpuk-

tumpuk bisa disederhanakan untuk akhirnya bisa dipahami dengan mudah.

Miles & Huberman (Gunawan, 2013:210) mengemukakan tiga tahapan

yang harus dikerjakan dalam menganalisis data penelitian kualitatif, yaitu (1)

reduksi data (data reduction); (2) paparan data (data display); dan (3)

penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/verifying). Analisis

data kualitatif dilakukan secara bersamaan dengan proses pengumpulan data

berlangsung, artinya kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan juga selama dan

sesudah pengumpulan data.

1. Tahapan Analisis Data

a. Reduksi Data

Mereduksi data merupakan kegiatan merangkum, memilih hal-

hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan mencari tema

dan polanya (Gunawan, 2013:211). Data yang telah direduksi akan

memberikan gambaran lebih jelas dan memudahkan untuk melakukan

pengumpulan data. Temuan yang dipandang asing, tidak dikenal, dan

belum memiliki pola, maka hal itulah yang dijadikan perhatian karena

penelitian kualitatif bertujuan mencari pola dan makna yang

tersembunyi dibalik pola dan data yang tampak. Selanjutnya data yang

sudah direduksi akan dipaparkan.

Hasil penelitian yang diperoleh dari pengumpulan data di

lapangan akan dilakukan pemilahan sesuai dengan tujuan dari

penelitian ini, yaitu dengan cara mengelompokkan sesuai dengan data

observasi, dokumentasi dan wawancara.

85
b. Pemaparan Data (Display Data)

Pemaparan data sebagai sekumpulan informasi tersusun, dan

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan (Gunawan, 2013:211). Penyajian data digunakan untuk lebih

meningkatkan pemahaman kasus dan sebagai acuan mengambil

tindakan berdasarkan pemahaman dan analisis sajian data. Data

penelitian ini disajikan dalam bentuk uraian yang didukung dengan

matriks jaringan kerja.

Pemaparan data hasil penelitian yang akan dilakukan adalah

dengan cara mendeskripsikan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini,

sehingga diperoleh gambaran yang jelas.

c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi

Penarikan kesimpulan sebagai dari satu kegiatan dari

konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama

penelitian berlangsung. Verifikasi merupakan tinjauan ulang pada

catatan-catatan lapangan dengan peninjauan kembali sebagai upaya

untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang

lain. Singkatnya, makna-makna yang muncul dari data harus diuji

kebenaranya, kekokohannya dan kecocokannya yakni yang merupakan

validitasnya.

86
Gambar 3.1
Siklus Proses Analisis Data

Data Data
collection display

Data Verifiying
Reduction

Sumber: Miles dan Huberman (Gunawan, 2013)

2. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari

konsep kesahihan data (validitas) dan keandalan (realibilitas) menurut

aliran “postivisme” dalam Pandangan aliran naturalistic tidak

menggunakan istilah tersebut akan tetapi Lincon dan Guba (Sugiyono,

2010) menyatakan bahwa dasar kepercayaan yang berbeda mengarah pada

tuntutan pengetahuan (knowledge) dan kriteria yang berbeda.

87
DAFTAR PUSTAKA

Altinay L. & Paraskevas A. 2008. Planning Research in Hospitality and Tourism.


1st ed .Oxford: Elsevier Ltd.
Afifudin.2014.Dasar-dasar Manajemen,Bandung: Alfabeta
Buchari Alma, 1993, Pengantar Bisnis, Bandung, AlfaBeta.

Burns, Peter M and A. Holden, 1985, Tourism, a New Perspective, Englewood


Clifts : Prentice Hall.

Damanik, Janianton. 2013. Pariwisata Indonesia Antara Peluang dan Tantangan.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Damanik, Janianton, Hendrie Adji Kusworo dan Destha T. Raharjana. 2005,


Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata, Pusat Studi Pariwisata
UGM, Yogyakarta.

Damanik, Janianton dan Helmut F.Weber, 2006, Perencanaan Ekowisata, Dari


Teori Ke Aplikasi, Andi Offset, Yogyakarta.

Djoni Haryadi Setiabudi, Alex Surya Rahardjo. 2002. Aplikasi Ecommerce


www.komputeronline.com Dengan Menggunakan MySQL dan PHP4. Jurnal
Informatika Vol.3, No.2.

Fennel. D.A. 1999. Ecotourism Policy and Planning. London: CABI Publishing.

Gelgel, I Putu, 2006, Industri Pariwisata Indonesia, Dalam Globalisasi


Perdagangan Jasa (GATS-WTO) Implikasi Hukum Dan Antisipasinya,
Refika Aditama, Bandung.

Gunawan, Imam. 2013. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik Jakarta:
PT Bumi Aksara.

Hasan, Erliana. 2005. Komunikasi Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.

Haugland, S.A. 2011. Development of Tourism Destinations: An Integrated


Multilevel Perspective. Annals of Tourism Research. 38, (1), 268-290.
doi:10.1016/j.annals.2010.08.008.

Jafari. 1977. Perencanaan Pariwisata. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

Koswara, I.H. 2008. Karakteristik Dan Potensi Wisata Jawa Barat. Makalah
Disajikan Dalam Forum Koordinasi Pengembangan Wisata Agro Jawa
Barat. Bandung.

88
Kuntowijoyo, 1991, Tinjauan Historis Pembangunan Pariwisata Di Indonesia,
naskah dalam Seminar Nasional Dampak Sosial Pengembangan Pariwisata
Di Indonesia, 16-17 Desember.
Leiper N, 1979, The Framework of Tourism: Towards a Definition of Tourism,
Tourist, and Tourism Industry”, Annals of Tourism Research: 390-407.

Madura Jeff, 2001, Pengantar Bisnis, Edisi Pertama, Jakarta : Salemba Empat.

Mathieson, Alister and Geoffrey Wall. 1982. Tourism: Economic, Physical and
Social Impact. New York. Longman Scientific and Technical.

Mill, Robert and Morrison, Alistair, 1985, The Tourist System, New Jersey :
Prentice Hall International.

Moekijat. 1994. Koordinasi (Suatu Tinjauan Teoritis). Bandung: Mandar Maju.

Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Mulyarto, Tjokrowinoto, 1999. Konsep Pembangunan Nasional, Liberty,


Yogyakarta.

Murphy, P.E. 1985. Tourism A Community Approach. London and New York.

Musselman, Vernon A. and Eugene H. Hughes. 1964. Introduction to Modern


Business. New Jersey: Prentice Hall. Inc. Englewoods.

Najiyati, Sri dan S.R. Topo Susilo. 2011. Sinergitas Instansi Pemerintah Dalam
Pembangunan Kota Terpadu Mandiri (The Synergy of Goverment
Institutions in The Transmigration Urban Development). Jurnal
Ketransmigrasian [Internet], 28 (2) Desember, pp.113-124.

Peraturan Pemerintah nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk


Pembangunan Kepariwisataan Nasional.

Peraturan Daerah Kota jayapura Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Kota Jayapura.

Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri, (2005), Sosiologi Pariwisata, Andi Offset,
Yogyakarta.

Poon, Auliana, 1993, Tourism, Technology, and Competitive Strategies, CAB


International, Welington.

Presenza, A. & Cipollina, M. 2010. Analysing Tourism Stakeholders Networks.


Tourism Review, 65, (4), 17-30. DOI 10.1108/16605371011093845.

89
Ricardson, J. and M Fluker. 2004. Understanding and Managing Tourism. Sydney
:Pearson Hospitality Press.

Santosa, Pandji, 2008, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance,
Bandung: Refika Aditama.

Shaw, S. 2007. Ethnic quarters in the cosmopolitancreative city. Dalam Richards,


G., dan Wilson, J. Editor. Tourism, creativity and development. New York:
Routledge. 189-200.

Silalahi, Ulbert. 2011. Asas-asas Manajemen. Bandung: Refika Aditama.

Sofyandi, Herman dan Iwa Garniwa. 2007. Perilaku Organisasional, Edisi


pertama, cetakan pertama Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Tuohino, A. & Konu, H. 2014. Local Stakeholders’ View About Destination


Management: Who are Leading Tourism Development? Tourism Review.
69, (3), 202-215. http://dx.doi.org/10.1108/TR-06-2013-0033.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat


Dan Daerah.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 disebut dengan Istilah Destinasi Wisata


(DW).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Yoeti, Oka A, 2017, Perencanaan Dan Pengembangan Pariwisata, Pradnya


Paramita, Jakarta.

90

Anda mungkin juga menyukai