Anda di halaman 1dari 4

AGAMA ISLAM DAN KEBUDAYAAN

TENTANG VISI, TRADISI DAN HEGEMONI BUKAN – MUSLIM: SEBUAH ANALISIS mochtar
pabottinggi

“zaman nanti akan membuktikan,” rama bung karn tahun 1936, bahwa kaum muda yang
tulus dan ikhlas mengabdi pada kebenaran, tulus dan ikhlas mengabdi kepad tuhan.” Itu
dinyatakannya sebagai jawaban untuk reaksi negative yang diterimanya atas penerbitan
surat-suratnya dari ende. Bagi bung karno, ini adalah sebuah keyakinan yang harus terus-
menerus diterjemahkan dan diperbaharui setiap zaman. Ini karena masyarakat “adalah
barang yang tidak bisa diam, tidak tetap, tidak ‘mati’ – tetapi … berubah senantiasa, maju,
berevolusi, dinamis”. Dalam metaforanya yang khas, bung karno hendak menangkap islam
sebagai api, bukan islam sebagai debu, apalagi islam sebagai sontoloyo.

Pertanyaan yang segera mengoda ialah apakah mohammad natsir, yang banyak
melancarkan kritik balasan terhadap bung karno, dan M. Rasjidi yang “mengoreksi” tujuh
belas dari sekian proposisi yang digunakan Nurcholish dalam tulisan kontroversialnya ( dan
yang secara terbuka mengecam mukti ali, yang bukan hanya dekat dengan para pemuda
pembaharu tadi, tapi juga senang berdiskusi dengan atay memberi kesempatan bicara
kepada wakil-wakil yang dipandangnya representative dari agama-agama lain), dapat kita
sebut sebagai tidak memiliki visi? Atau benarkah jika mereka disebut berdiri di sisi tradisi?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak mungkin sederhana karena yang terlibat adalah masalah-
masalah, peafsiran-penafsiran, perangkap-perangkap, dan kekuatan-kekuatan sejarah yang
tidak mungkin disederhanakan.

Untuk jelasnya, kita harus mempersoalkan apakah persisnya yang kita maksud tradisi, yang
diperhadapkan dengan visi dan sebaliknya. Kamus Webster di atas memberikan tiga arti
untuk kata tradisi (tradition): (1) “ the handing down of infoemation, beliefs, and customs by
word or mouth or by example from one generation to another without written instruction”;
(2) “ an inherited pattern of thought or action…...”; dan (3) “cultural continuity in social
attitudes and institutions”. Ketiga pengertian itu memang mencangkup pengertian tradisi
umum. Kita masih perlu menunjukan bahwa kendati visi memang merupakan pengertian
antonym dari tradisi, visi – dalam arti yang sedalam-dalamnya – bukanlah lawan dari tradisi.

Pada tulisan “Warisan Islam Dalam Kesadaran Modern” Marshall Hodgson merumuskan
tradisi dalam kebudayaan bukan sebagai “seperangkat pola perilaku” , melainkan sebagai
“suatu dialog yang hidup dan berakar pada referensi bersama atas peristiwa-peristiwa
kreatif tertentu” dari masa lampau. Ini sejalan dengan argumennya pada tulisan lain bahwa
proses tradisi kebudayaan senantiasa “terdiri dari tiga momen : adanya tindakan kreatif,
adanya komitmen kelompok pada tindakan itu, dan adanya interaksi kumulatif dalam
kelompok tersebut” . begitu tradisi mulai lapuk, begitu is tak lagi berfungsi konstruktif dalam
kehidupan social para warganya akibat perubahan konteks zaman, di situ muncullah
peluang bagi terobosan kreatif baru dalam kebudayaan.

Tradisi, bagi Hodgson, “bukanlah lawan dari kemajuan, melainkan sarana baginya”. Ini
mengingatkan kita akan pernyataan soedjatmoko tiga belas tahun lalu bahwa
“pembangunan tidak bisa lepas dari tradisi”, sebab “modernitas dan tradisi terpaut satu
sama lain dalam suatu hubungan dialektis.” Dengan begitu soedjatmoko meluruskan
pandangan umum para ilmuwan tahun 60-an di barat dengan para pendukungnya di tanah
air yang memperlakukan tradisi sebagai, mengutip Aswab Mahasin, “perumusan sisa,
setelah segala yang baik dirumuskan sebagai modern”. Visi, sumber modernitas itu, dan
tradisi, aktualisasi kumulatif dari visi itu, jadinya adalah suatu continuum yang meloncat-
loncat bagai kijang. Lokus tempat kijang bertumpu untuk mencelat adalah tradisi, dan daya
yang memungkinkan kijang mencelat adalah visi.

Bagi natsir, seperti dituliskannya dalam capita selecta(1995), islam tetap adalah agama yang
“menghormati akal manusia”, mewajibkan orang “menuntut ilmu dan menghormati mereka
yang mempunyai ilmu”, “melarang orang bertaqlid buta”, “menggembirakan pemeluknya
supaya selalu berusaha mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum
ditempuh, membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi anfkah bagi masyarakat”,
dan menganjurkan pemeluknya untuk merantau guna “memperhubungkan silaturrahim
dengan bangsa dan golongan lain” dan saling bertukar pengetahuan, pandangan dan
perasaan.

Pandangan demikian atas islam itu pula yang menjiwai tulisan-tulisan polemic Rasjidi
terhadap Nurcholish, Harun Nasution, dan percikan-percikan pikiran wahib. Sama dengan
Natsir, Rasjidi juga menegaskan bahwa islam adalah agama fitrah, akal, ilmu pengetahuan,
argumentasi, hati-rasa-nurani, kemerdekaan,agama “yang melarang mengikuti nenek
moyang”
WARISAN ISLAM DALAM KESADARAN MODERN Marshall Hodgson

Ketika tradisi islam mulai diperkenalkan, kaum muslimin dijanjikan bahwa mereka akan
menjadi “komunitas paling mulia yang pernah muncu untuk umat manusia.” Dorongan yang
pernah timbul akibat diterimanya ajaran-ajaran Al-Qur’an seperti itu oleh umat yang penuh
ketaatan ternyata berhasil luar biasa. Ini antara lain disebabkan Qur’an sendiri sudah kukuh-
kuat. Selain itu, ajaran-ajaran Al-Qur’an juga ternyata sesuai dengan keadaan social dan
spiritual pada zamannya di kawasan yang membentang dari sungai Niil hingga Oxus, suatu
kawasan yang melainkan peranan penting dalam memperluas himpunan umat yang berciri
agraris. Komunitas yang taat pada ajaran-ajaran Qur’an ini, di samping dialog kebudayaan
yang diembannya, akhirnya membangun peradaban yang paling berpengaruh dan paling
luas jangkauannya di dunia pada abad ke-16. Tapi di abad ke-17 dan terutama abad ke-18,
kekuatan dan kemakmuran umat yang sudah diislamkan terhenti akibat perubahan yang
saat itu terjadi di barat, perubahan-perubahan yang meniadakan kedudukan istimewa
kawasan Niil-Oxus dibelahan bumi tersebut dan yang melemahkan tatanan social dan
ekonomi di seluruh dunia islam (islamdom). Pada abad ke-20, kendati islam tetap dianut
sebagian besar kawasan di mana islam pernah jaya, kawasan ini tidak lagi terdiri dari suatu
masyarakat tunggal dengan tradisi bersama yang masih kokoh, melainkan diungkapkan
secara beragam dalam masyarakat dunia yang lebih luas, yang lembaga-lembaganya sudah
lama berkembang di barat. Tambahan pula, dala, ,asyarakat dunia yang baru ini yang pusat-
pusatnya tidak lagi bersifat agraris, seluruh warisan budaya dari zaman agrarian, bahkan
termasuk warisan barat sendiri, telah dipertanyakan, terlebih-lebih warisan budaya yang
berkaitan dengan islam.
KONSEP DAN DEFINISI KEBUDAYAAN

Kata “kebudayaan”, menurut J. Verkuyl, mulai dipakai kira-kira pada tahun 1930, dan
dengan cepat kata tersebut mendapat tempat yang tetap dan luas dalam khazanah
perbendaharaan Bahasa Indonesia. Verkuyl mengatakan bahwa kata kebudayaan itu
berasal dari Bahasa sansekerta budaya, yakni bentuk jamak dari budi yang berarti roh atau
akal. Istilah kebudayaan menyatakan segala sesuatu yang diciptakan oleh budi manusia.
Sama seperti pendapat Verkuyl, Koentjaraningrat mengatakan bahwa kata kebudayaan itu
berasal dari Bahasa sansekerta budhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal”.

P.J. Zoetmulder dalam bukunya, culture, Oost en West, mengatakan bahwa kata
kebudayaan itu merupakan perkembangan dari kata majemuk “ budi daya” yang berarti
kekuatan budi atau kekuatan akal.

HUBUNGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Kata agama, menurut sebagian sarjana, berasal dari Bahasa sansekerta, yaitu a yang berarti
tidak dan gama yang berarti kacau. Jadi agama berarti tidak kacau (teratur). Dengan
demikian, agama identic dengan peraturan yang mengatur perilaku manusia atau mengenai
sesuatu yang gaib, mengenai budi pekerti dan tata pergaulan hidup bersama. Ada empat
pendapat yang berkembang di kalangan para sarjana tentang hubunga antara agama dan
kebudayaan. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa semua agama merupakan
unsur,elemen, atau bagian dari kebudayaan. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa
agama bukan-wahyu(revealed religions) bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Ketiga,
pendapat yang mengatakan bahwa agama bukan wahyu (non-relevealed religions)
merupakan bagian dari kebudayaan. Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa
agama(islam) merupakan bagian dari ad-din islam.

1.semua agama merupakan bagian dari kebudayaan.

2. agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan.

3. agama non-wahyu merupakan bagian dari kebudayaan.

4. agama islam dan kebudayaan islam merupakan bagian dari din islam.

Anda mungkin juga menyukai