Anda di halaman 1dari 12

DUNIA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

DI TENGAH PANGGUNG INDONESIA 4.0

Patrisius Istiarto Djiwandono


Universitas Ma Chung
patrisius.istiarto@machung.ac.id

(This paper is presented at SELASAR 3, 27 April 2019, at Faculty of Letters,


Universitas Negeri Malang)

ABSTRAK

Kemajuan teknologi digital telah merambah ke berbagai bidang kehidupan, termasuk


pendidikan. Sementara itu, pemerintah Indonesia telah mencanangkan peta jalan besar
“Making Indonesia 4.0” yang pada intinya akan membawa bangsa ini berkiprah aktif dalam
panggung Revolusi Industri 4.0. Pengamatan terhadap dunia pendidikan, khususnya
pembelajaran bahasa dan sastra, menyiratkan bahwa tanggapan terhadap berbagai fasilitas
teknologi digital belum sepenuhnya positif. Makalah ini mengupas bagaimana kaum
akademisi bersikap dalam penggunaan kemajuan teknologi digital. Sikap ragu, tidak tahu,
dan sikap kurang terpuji ternyata relatif masih dominan di kalangan mereka. Untuk
menghindarinya, insan pendidik dan peserta didik perlu menanamkan kepada dirinya sikap
mental yang tepat untuk menanggapi kemajuan pesat ini. Ketrampilan komunikasi, berpikir
kritis, bekerja sama, berpikir kreatif, dan sikap terbuka serta mau senantiasa belajar hal baru
merupakan tanggapan yang dipandang sesuai untuk ikut berperan serta dalam gerakan
Indonesia 4.0

Kata kunci: teknologi digital, literasi, Making Indonesia 4.0, pendidikan bahasa, sastra

1. LATAR BELAKANG

Ada yang agak janggal dengan frasa “Making Indonesia 4.0”. Kalau ada Indonesia
versi 4, seharusnya tentu ada Indonesia versi 1.0 sampai 3.0 atau bahkan 3.9 sebelum sampai
ke Indonesia 4.0. Tapi barangkali orang tidak akan pusing mencari jawabannya karena waktu
terbang begitu pesat. Sebelum ketinggalan, memang sebaiknya kita mulai membahas
bagaimana dunia pembelajaran bahasa dan sastra memberikan tanggapan terhadap Indonesia
versi 4.0 ini.

Making Indonesia 4.0 adalah sebuah peta jalan pembangunan yang dicanangkan oleh
Presiden Jokowi untuk menyambut revolusi industri 4.0. Peta jalan ini berfokus pada industri
makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronik dan kimia (Jadikan Making Indonesia
4.0 sebagai Agenda Nasional, 2018). Sementara itu, Revolusi Industri 4.0 membawa serta
setidaknya 5 hal penting: IoT (Internet of Things), kecerdasan buatan, 3D printing, antarmuka
(interface) manusia dengan mesin, robot dan sensor (Schwab, 2016).

Hal yang relevan dengan dunia pendidikan bahasa dan sastra tercermin melalui
pertanyaan: seberapa jauh pembelajar dan pendidik bahasa bisa mengambil manfaat dari
Revolusi Industri 4.0 ini? Lebih tepatnya, bagaimana semua kemajuan teknologi ini membuat
pembelajar dan penggiat bahasa mampu berkontribusi banyak kepada perkembangan dunia,
khususnya perkembangan pembelajaran bahasa?

Di bidang pembelajaran bahasa, teknologi digital membuat beberapa aspek


pembelajaran menjadi jauh lebih cepat dan efisien. Salah satu contoh situs web seperti ini
adalah https://ttsreader.com yang mampu membaca secara lisan sebuah teks berbahasa
Inggris yang diumpankan kepadanya. Untuk pembelajaran membaca, ada lingro.com yang
mampu mengartikan setiap kata dari sebuah artikel daring yang diklik oleh pembacanya. Ini
mirip dengan aplikasi Moon Reader di gawai Android yang dilengkapi dengan fasilitas
kamus daring. Untuk kemampuan menyimak dan pembelajaran budaya, sejarah, dan konsep-
konsep dasar bahasa ada Youtube yang mempunyai berbagai saluran yang relevan dengan
berbagai disiplin ilmu. Untuk keperluan mencari informasi, kecepatan dan keakuratan Google
sudah tidak diragukan lagi. Pencarian informasi yang bisa memakan waktu sampai hitungan
jam di dekade 1980 an sudah dengan sangat drastis menyusut menjadi beberapa detik saja
oleh Google di zaman sekarang. Untuk kegiatan yang lebih interaktif, ada aplikasi Skype atau
Zoom yang memungkinkan pembelajar bahasa bercakap-cakap dengan orang-orang dari luar
negeri. Apakah dengan demikian terjadi perubahan besar-besaran di kalangan para
pembelajar dan pengajar bahasa? Ternyata tidak juga. Jika pun ada perubahan, yang jelas
beberapa kebiasaan lama masih tampak sulit untuk ditinggalkan. Pada beberapa kasus, yang
juga nampak adalah kegagapan kaum akademis dalam menyikapi kemajuan yang sangat
cepat ini.

Ibarat ombak yang bergulung mendekati pantai, gelombang kemajuan teknologi maju
melibas semua sektor kehidupan dengan sangat cepat. Apakah kita lebih memilih menjadi
orang yang tergulung gelombang itu dan menjadi kocar-kacir, atau menjadi seperti seorang
peselancar yang dengan tangkas berdiri di atas papannya lalu dengan elok meliuk-liuk
mengendarai gelombang menyuguhkan tarian air yang memikat? Makalah ini akan mengupas
peran pendidikan bahasa dan sastra dalam panggung Indonesia 4.0 ini dan mengajukan
beberapa saran untuk menghadapi perubahan dunia yang pesat ini.

2. Guru Digital?

Beberapa situs dan aplikasi yang disebut di bagian sebelumnya seolah membuka
cakrawala pembelajaran baru. Kebaruan ini dicirikan oleh semakin berkurangnya
ketergantungan murid kepada gurunya yang berwujud manusia. Teknologi digital sekarang
menyediakan guru mesin yang bersenjatakan algoritma dari kecerdasan buatan untuk
mengajarkan pengucapan, makna kata, tata bahasa, bahkan menulis. Beberapa aplikasi
seperti Duolingo dan Memrise pun mampu mengajar bahasa asing dengan tingkat
kecanggihan yang makin baik. Perkembangan termutakhir adalah munculnya APL (Adaptive
Learning Program), yaitu suatu program pembelajaran digital yang mampu menyesuaikan
penyajian materi dan tindak instruksional lainnya sesuai dengan kecepatan belajar, gaya
belajar, dan kecenderungan psikologis seorang murid (Bennett, 2018). Maka tidak sulit
untuk membayangkan seorang murid mempelajari bahasa asing sendirian di kamarnya. Dia
hanya berbekal Google Translate, Youtube, aplikasi Memrise atau Duolingo, ditambah
dengan situs dari Grammarly dan beberapa situs lainnya untuk membantunya menulis esai.
Jika ingin melatih kemahiran berbicara, dia menyalakan Skypenya dan mulai berbincang
dengan penutur asli lewat sarana tersebut.

Apakah lalu para murid beramai-ramai meninggalkan kelas untuk belajar bahasa
secara mandiri melalui bantuan aplikasi di gawainya? Sebuah survai kecil yang saya lakukan
di kampus tempat saya bekerja barangkali sedikit memberikan gambaran. Ternyata, sebagian
besar generasi milenial ini (jumlahnya lebih dari 50%) tidak tahu situs atau aplikasi apa yang
tepat untuk belajar bahasa. Mereka mempelajari bahasa asing dengan menggunakan cara
yang selama ini mereka ketahui dan mereka lakukan sejak duduk di bangku sekolah. Yang
terakhir ini rasanya banyak dipengaruhi oleh guru mereka melalui tugas-tugas dan instruksi-
intsruksinya. Dengan kata lain, kebiasaan yang membentuk perilaku belajar mereka banyak
dipengaruhi budaya belajar yang sudah tertanam erat di dalam benaknya, sekalipun ia mulai
terkikis oleh ciri-ciri yang mengedepankan keluwesan dan efisiensi yang ditawarkan oleh
kemajuan teknologi digital.

Maka tidak heran generasi milenial yang konon sangat lekat dengan dunia maya ini
ternyata masih gagap ketika harus menemukan informasi ilmiah lewat Google untuk skripsi
atau tugas akademik lainnya. Mereka boleh sangat tahu tentang bermacam-macam game
daring, situs film dan musik, dan berbagai koneksi digital yang memungkinkan mereka
mengunjungi tempat-tempat wisata atau kuliner dengan paket diskon, tapi langsung terkesan
kikuk ketika diminta untuk mencari artikel di jurnal ilmiah. Sebagai tanggapan atas gejala ini,
beberapa dosen tidak segan mengajarkan bagaimana mendayagunakan Google untuk
menemukan informasi ilmiah terbaru di jurnal-jurnal akademik.

Pada saat yang sama, para pendidik ternyata juga harus waspada terhadap
kenyamanan berlebih yang ditawarkan teknologi digital yang potensial menyuburkan mental
jalan pintas. Beberapa tahun yang lalu, pernah ada sebuah situs yang bisa membuat sendiri
sebuah karya ilmiah ketika sang pengguna mengetikkan apapun di atas keyboard laptopnya.
Situs yang lain bisa membuat ringkasan dan parafrase dari tulisan-tulisan panjang lebar yang
diumpankan kepadanya. Jika hal seperti ini luput dari pengawasan para pendidik, terkikislah
pendidikan karakter yang diperjuangkan dengan susah payah. Alih-alih melahirkan generasi
muda yang mandiri, kreatif, dan tangguh, pendidikan akan melahirkan generasi copas yang
“cerdik” berkomplot dengan teknologi digital untuk keuntungan pribadinya.

3. Literasi di Zaman Digital


Kebiasaaan membaca tidak diragukan lagi adalah kebiasaan yang sangat bermanfaat
untuk banyak hal. Perkembangan wawasan, penambahan penguasaan kata, sampai pada
penyerapan gaya menulis bisa didapatkan secara langsung maupun tidak langsung dari
kebiasaan membaca. Namun seiring dengan perubahan zaman dan makin meruyaknya
teknologi digital, berubah pula kecenderungan membaca di kalangan masyarakat. Beberapa
dekade silam, orang-orang membaca novel atau cerpen secara intens. Mereka tidak segan
membaca novel atau buku teks ratusan halaman selama berhari-hari atau berminggu-minggu.
Di zaman sekarang, kebiasaan itu mulai berubah. Generasi milenial sudah jarang membaca
surat kabar, novel, atau buku-buku teks yang tebal-tebal. Mereka memang masih membaca,
namun bacaan-bacaannya sebagian besar berasal dari gawainya. Bacaan mereka juga bukan
lagi novel atau buku elektronik, tapi dari situs-situs semacam LINE News, kaskus.co.id, atau
detik.com. Setidaknya, gejala ini telah ditangkap sebagai sesuatu yang makin lama makin
masif. Gierzynski (2013) menyimpulkan bahwa generasi muda sekarang membaca jauh lebih
sedikit naskah fiksi daripada generasi sebelumnya. Ketika mereka membaca pun, perhatian
mereka terbagi ke beberapa bacaan sekaligus sehingga berdampak pada pemahaman mereka,
satu hal yang juga didukung oleh Baron (2016).

Apakah ada perbedaan antara kebiasaan membaca zaman dulu dengan sekarang?
Untuk menjawab pertanyaan ini, berikut disajikan satu screen shot dari situs kaskus. Kita
akan melihat betapa “berlimpahnya” informasi yang disajikan hanya oleh satu halaman saja:
Gambar 1. Contoh Bacaan Digital

Maksud hati adalah membaca tentang tsunami di Selat Sunda, apa daya kita akan langsung
mengalami godaan dari seribu satu judul artikel lain dan visualisasi yang memikat mata dan
perhatian kita pada halaman yang sama. Akibatnya jelas: generasi masa kini tidak lagi bisa
membaca satu hal secara mendalam karena perhatiannya terpecah-belah ke berbagai hal
sensasional lainnya. Kalaupun membaca satu topik, mereka tidak bisa menyerap
informasinya secara mendalam karena harus terburu-buru berpindah ke topik lainnya yang
tak henti mengusik mata lewat foto atau video klip yang memikat. Mungkin ada benarnya
pendapat yang mengatakan bahwa generasi milenial cenderung luas (mengetahui banyak hal)
tapi dangkal sementara generasi pendahulunya lebih sempit (mengetahui satu atau sedikit hal)
tetapi dalam.

Di era modern ini, semakin banyak orang menyukai hiburan yang disajikan secara
multimodal. Dulu kakek dan nenek kita membaca buku, menonton wayang, atau
mendengarkan drama favoritnya dari radio. Hari ini, cucu-cucu mereka tidak lagi puas jika
hanya membaca cerita tertulis atau hanya mendengarkan saja. Mereka lebih menggemari
cerita yang disajikan lewat kombinasi antara elemen bahasa dengan visual (gambar) dan
bahkan dengan unsur suara (audio). Maka literasi multimodal menjadi satu lagi kecakapan
yang hendaknya diajarkan kepada generasi muda. Pengajaran literasi tidak hanya terbatas
pada bagaimana memahami teks tertulis atau menuliskan gagasan dengan elemen verbal tapi
juga mengajarkan bagaimana memahami informasi yang disajikan secara multimodal dan
akhirnya bagaimana memproduksi informasi yang bersifat multimodal (Serafini, 2014). Salah
satu contohnya adalah tren menjelaskan suatu hal yang rumit dengan infografik. Di bidang
kewirausahaan, generasi milenial yang sedang merintis startup (usaha rintisan) pasti tahu
betapa promosi multimodal di kanal Youtube, Facebook, atau Instagram akan jauh lebih
efektif memikat target pasar daripada yang sekedar tulisan di spanduk atau poster, apalagi
brosur.

3.1 Sastra Digital

Sepanjang yang saya bisa amati, di zaman modern ini semakin terbuka kesempatan
untuk menerbitkan tulisan fiksi atau non fiksi dalam bentuk prosa atau puisi bahkan lagu di
dunia digital. Situs storial.co, tagar fiksimini di Twitter, dan aplikasi Wattpad adalah
beberapa contohnya. Berbeda dengan jaman dulu, sekarang ini seorang penulis bisa langsung
memajang cerpen atau novelnya di situs tersebut tanpa melalui penyuntingan ketat dewan
redaksi. Semuanya dengan gamblang langsung terpapar begitu saja untuk dinikmati warganet
yang lain. Namun kehadiran sastra “ringan dan cepat” ini tak pelak lagi mengundang
perdebatan di antara kaum pemerhati sastra konvensional dengan generasi lebih muda yang
mengusung kebebasan berekspresi untuk mengangkat kehidupan dan pergumulan batin
sehari-hari menjadi suatu karya tulis. Sebagaimana dikatakan oleh Supriatin (2012),
generasi lebih tua menganggap bahwa karya sastra digital tidak akan menggerus sastra
konvensional karena sifatnya yang hanya cepat datang dan cepat pula pergi. Menurut Hari
(2016), sastra digital dapat berfungsi sebagai proses pembelajaran, dan perluasan apresiasi
sastra dari lebih banyak kalangan.Sastra digital bisa saja lebih bermutu daripada sastra
konvensional, atau sebaliknya. Diperlukan telaah sastra yang kini meluas ke sastra dengan
medium baru ini.

3.2 Dunia tanpa Kertas?

Beberapa tahun yang lalu gencar disuarakan himbauan untuk membuat urusan
administratif menjadi paperless sehingga penggunaan kertas menjadi berkurang. Harapannya,
selain menghemat, tindakan ini juga dinilai lebih ramah lingkungan. Pada praktiknya,
ternyata masih banyak pihak di lingkungan akademis yang menghendaki materi cetak.
Sebagian dosen menyuruh mahasiswanya mencetak naskah laporan atau naskah skripsinya
alih-alih menggunakan fasilitas Google Drive atau Microsoft Word untuk memeriksa dan
mengeditnya. Di bidang membaca, sekalipun makin banyak orang mulai membaca novel atau
buku eletronik, masih banyak juga yang merasa lebih nyaman menggumuli lembar demi
lembar kertas novel atau buku bacaannya.
4. Masa Depan seperti Apa?

Di zaman dulu, orang tua bisa dengan relatif mudah mengarahkan putra-putrinya
tentang karir impian yang selayaknya menjadi cita-cita. Profesi insinyur, pilot, dokter, dosen
atau tentara dengan mudah terucap dari generasi zaman dulu dan bisa dengan relatif mantap
dirintis dan dijalani. Namun di zaman milenium kedua sekarang, orang menjadi makin
gamang ketika ditanya tentang pilihan karir. Ini karena seperti yang dikatakan Harari (2018),
sesungguhnya kita tidak memiliki gambaran yang pasti tentang masa depan. Seiring dengan
makin derasnya serbuan kecerdasan buatan dan robot berbasis sensor, apakah profesi-profesi
yang disebut di atas tadi masih akan ada? Seandainya ada profesi-profesi baru seperti market
influencer, Youtuber, data scientists, data analysts, bagaimana menyiapkan generasi muda
untuk menekuninya? Lebih penting lagi, sudah siapkah dunia pendidikan mengajarkan ilmu-
ilmu baru tersebut? Bayangkan betapa memelasnya kita yang saat ini menghimbau para
murid untuk belajar coding atau ilmu penerjemahan ternyata mendapati mereka menganggur
di masa depan karena kedua pekerjaan itu sudah diambil alih oleh robot.

5. Peran Para Akademisi di Bidang Bahasa dalam Indonesia 4.0

Sejauh ini, makalah ini sepertinya hanya menyajikan beberapa pertanyaan yang
berujung pada kecemasan akan tren masa kini dan kegelisahan akan masa depan. Lebih
penting daripada itu adalah menjawab bagaimana para akademisi di bidang bahasa dan sastra
bisa ikut berperan dalam Indonesia 4.0.

Ketika membaca konseptualisasi Making Indonesia 4.0 yang menyatakan bahwa


fokusnya ditekankan pada bidang industri makanan dan minuman, tekstil, otomotif,
elektronik dan kimia, kita di bidang pendidikan bahasa dan sastra mungkin merasa kurang
nyaman. Di mana perhatian terhadap ilmu bahasa dan sastra? Kalau Indonesia 4.0 diibaratkan
seperti sebuah panggung, bidang-bidang ilmu lain seperti teknik informatika, bisnis, dan
manajemen sudah lincah menari-nari di atasnya, sementara bidang bahasa, pendidikan
bahasa, dan sastra masih tertegun-tegun berpikir hendak menyajikan atraksi apa.

Barangkali jawabannya tidak bisa dengan serta merta langsung bersumber dari
kemampuan berbahasa dan mencipta karya sastra sendiri. Upaya menanggapi peta jalan itu
harus dikaitkan dengan kecakapan yang dipandang penting di masa depan, (yang konon tidak
akan bisa diambil alih oleh kecerdasan buatan), yaitu komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis,
dan kreativitas (Bhudai dan Thaddei, 2015). Para guru bahasa harus mulai mengasah
kemampuan mahasiswanya untuk tidak saja berbicara dan menulis secara lancar tapi juga
untuk berkomunikasi dengan efektif dan tepat. Mereka juga harus menanamkan dimensi
kolaboratif di dalam kegiatan pembelajarannya. Pada saat yang sama, mereka juga harus
melatih para muridnya untuk senantiasa berpikir kritis sehingga tidak mudah terperdaya oleh
derasnya informasi yang sebagian mungkin berupa berita palsu atau hoaks. Akhirnya, mereka
juga harus mengasah kreativitas untuk bisa menelurkan karya-karya uniknya di berbagai
media atau menyelesaikan masalah dengan pendekatan yang belum pernah dilakukan
sebelumnya.
Tersirat dari formulasi Making Indonesia 4.0 adalah pentingnya kerja sama antar
berbagai disiplin ilmu. Sementara disiplin ilmu di berbagai lembaga pendidikan mulai dari
SD sampai perguruan tinggi masih terasa tersekat-sekat, masalah-masalah kehidupan di luar
lingkungan sekolah ternyata sudah memerlukan pendekatan interdisipliner untuk
mengupayakan solusinya. Bukan itu saja, namun lahan baru yang timbul dari kencangnya
kemajuan teknologi informasi juga membuka peluang lebih lebar untuk pendekatan dari
berbagai bidang ilmu. Bukan hal yang aneh mendapati seorang sarjana seni dan sastra
menjadi Youtuber, vlogger, atau mempunyai usaha EO (Event Organizer), menjadi penulis
digital content untuk sebuah blog atau situs sebuah perusahaan, bahkan menjadi pekerja
sosial di daerah-daerah yang rawan konflik atau yang banyak penduduknya mengalami
gangguan kesehatan mental. Beberapa bidang pekerjaan yang mengandung elemen
interdisipliner bagi para lulusan bahasa dan sastra adalah pemasaran, perbankan, humas,
jurnalis, manajer logistik, dan manajer pariwisata (What can I do with modern languages
degree, 2019; Coleman dan Klapper, 2005)

6. Sudah Siapkah Mental Kita?

Perubahan besar dalam skala global pastilah menimbulkan reaksi mental tersendiri
dari kita semua. Ketika peradaban manusia mengalami perubahan dari gaya hidup komunal
yang hidup dari berburu ke cara hidup agraris yang memicu kepemilikan pribadi, makin
menguatlah sikap egois dan eksklusif manusia. Di zaman sekarang, ketika banyak hal telah
direduksi menjadi logika algoritma di piranti-piranti digital kita, sebagian dari kita
menyikapinya dengan sikap mental yang kurang terpuji: bagaimana mengakali peraturan atau
ketentuan melalui teknologi digital untuk keuntungan pribadi.

Maka timbullah kecenderungan copy paste di kalangan pembelajar untuk memoles


karya ilmiah mereka. Para dosennya pun tidak mau ketinggalan. Ketika rekam jejak karya
ilmiah para dosen dikelola oleh Google Scholar dengan h-indeks sebagai indikator
popularitas, beberapa dosen beramai-ramai memaksa para mahasiswanya untuk mengutip
karya ilmiahnya sehingga jumlah sitasinya di Google Scholar pun terdongkrak. Ada pula
upaya untuk mengutip sendiri karya ilmiah mereka dengan tujuan yang sama. Di bidang
penerbitan, beberapa orang berkomplot untuk mendirikan jurnal-jurnal predator yang
memangsa dosen-dosen yang pintar tapi lugu menjadi korbannya. Beberapa orang yang cakap
di bidang teknologi informasi bahkan tidak segan mencari cara untuk meretas sistem digital
lembaga-lembaga pendidikan, perbankan, hukum, dan lembaga-lembaga vital lainnya.
Pendek kata, kemajuan teknologi digital ternyata memicu sikap mental potong kompas dan
tipu-tipu yang jelas tidak positif.

Masih terkait dengan penulisan karya ilmiah, kita mengamati makin banyak sumber
pustaka yang berasal dari Internet. Para pendidik pun terkaget-kaget melihat semakin
banyaknya mahasiswa mereka mencantumkan situs web sebagai acuan pustakanya, termasuk
ensiklopedi populer Wikipedia. Apakah kita akan serta merta melarang tindakan ini? Tapi
sebelum melarangnya, siapa bisa menjamin bahwa materi cetak lebih terpercaya dan
berkualitas daripada materi digital? Patut dicatat bahwa materi cetak berbentuk buku itu
menjalani proses seleksi dan pengeditan yang bisa memakan waktu beberapa tahun.
Sementara itu, materi digital bisa muncul lebih cepat mengabarkan muatan terbaru dari
perkembangan setiap disiplin ilmu. Setelah lebih dari 20 tahun memasuki Indonesia, Internet
pun menyajikan makin banyak blog dan situs web yang bermutu dan terpercaya. Maka, para
guru pun harus makin bijaksana untuk menyikapi kecenderungan mahasiswa mengutip situs
web untuk makalah atau tesisnya. Tindakan melatih mereka untuk menyaring sumber digital
mana yang layak kutip dan mana yang layak diabaikan akan menjadi hal yang membantu
generasi muda mengarungi lautan informasi ini tanpa tenggelam.

Satu hal lagi tentang pembelajaran yang perlu membuat kita para pendidik harus
mengambil kuda-kuda: belajar informal, atau disebut juga DIY (Do It Yourself). Kemajuan
teknologi informasi membuat kelas di sekolah formal bisa digantikan oleh gaya pembelajaran
yang jauh lebih luwes tidak tersekat batas tembok dan terikat jadwal ketat, bahkan tidak
terikat biaya. Makin banyak orang yang mendapatkan ketrampilan tertentu lewat belajar
sendiri dari Khan Academy, Udemy, Coursera, yang semuanya berbasis MOOC (Massive
Open Online Course), bahkan Youtube, atau aplikasi seperti Memrise, Duolingo, dan seribu
satu lagi. Bahkan ada beberapa kasus para murid ini belajar bahasa melalui game daring.
Berkaitan dengan hal yang disebut terakhir ini, studi terbaru oleh Vanderwal (2015)
menunnjukkan bahwa permainan game digital harus dipadukan dengan teknik pembelajaran
tradisional sehingga tidak kehilangan fokus. Setidaknya, studinya telah merintis dasar untuk
meyakini bahwa permainan digital pun menyimpan potensi untuk mendukung pembelajaran
bahasa.

Maka dari semua perubahan itu, ada satu pertanyaan yang menggelitik: bagaimana
sikap para pendidik ketika ada beberapa mahasiswa yang jarang mengikuti kelas formal
namun diam-diam belajar sendiri dari Internet lalu tiba-tiba muncul, mengerjakan ujian, dan
ternyata jawabannya benar semua? Barangkali dengan cepat kita akan mengatakan murid
seperti itu tidak bakal bisa lulus karena kehadirannya kurang. Namun, menurut hemat saya,
sikap defensif seperti ini tidak banyak membantu dalam menghadapi ‘disrupsi’ teknologi
yang makin terasa mencengkeram dan memaksa mengubah fondasi kita berpikir dan bekerja
sehari-hari. Yang diperlukan adalah mempertimbangkan untuk mengubah cara pandang dan
kalau perlu menyesuaikan dengan kecenderungan baru tanpa mengorbankan beberapa nilai
yang esensial. Pembelajaran blended learning dan flipped classroom adalah salah satu contoh
respons yang positif terhadap kecenderungan ini. Yang pertama memadukan sesi tatap muka
di kelas dengan sesi daring dimana para murid belajar secara mandiri dan luwes, dan yang
kedua menyajikan ceramah dan tugas dalam bentuk video lalu membuat para murid
berinteraksi di sesi tatap muka di kelas.

Pada titik ini perlu untuk mengulang kembali apa yang saya ajukan sebagai
pertanyaan di awal makalah ini: seberapa jauh pembelajar dan pendidik bahasa bisa
mengambil manfaat dari Revolusi Industri 4.0 ini? Lebih tepatnya, bagaimana semua
kemajuan teknologi ini membuat pembelajar dan penggiat bahasa mampu berkontribusi
banyak kepada perkembangan dunia, khususnya perkembangan pembelajaran bahasa?
Pertanyaan pertama menemukan jawabannya pada berbagai situs dan apps yang membuat
pembelajaran bahasa lebih fleksibel, lebih variatif, dan lebih efisien sehingga ujung-ujungnya
menjadi lebih menyenangkan. Model integrasi teknologi digital ke dalam pembelajaran
seperti SAMR (Substitution Augmentation Modification Redefinition) yang diusulkan oleh
Puentedura (2006) patut dikaji dan dipertimbangkan untuk segera diterapkan. Model
pengembangan kecakapan guru seperti TPACK (Technological Pedagogical Content
Knowledge) dari Niess (2017) juga perlu diterapkan untuk membuat guru semakin mahir
dalam pembelajaran berbasis teknologi. Lalu, pertanyaan kedua harus dijawab dalam bentuk
rencana dan tekad untuk merintis penelitian yang bertujuan menggali potensi dari semua
sarana digital untuk mengembangkan ilmu kebahasaan dan pembelajarannya menjadi lebih
efektif. Tapi, harus diingat bahwa sebelum melangkah melakukan hal-hal tersebut, kita harus
memeriksa kesiapan mental dan sikap kita terlebih dulu.

Jadi, tanggapan pertama terhadap Making Indonesia 4.0 bukanlah serta merta bersiap
untuk menyambut dan berkiprah di dalamnya, tapi memeriksa dulu kesiapan mental kita.
Seberapa siap kita menyesuaikan mental kita sehingga sikap yang kemudian kita tunjukkan
bukanlah yang skeptis, manipulatif dan licik tetapi tetap antusias, jujur, kreatif, dan
responsif? Kalau kita sudah mampu menyingkirkan godaan-godaan untuk berbuat curang
melalui teknologi digital, maka secara mental kita pun sudah siap untuk mendayagunakan
kemajuan teknologi yang pesat itu untuk berkontribusi secara positif kepada bangsa dan
negara.

Dari uraian sejauh ini, bisa ditarik beberapa saran yang mencakup sikap dan tindakan
yang nampaknya akan baik dipertimbangkan dalam upaya kita menyongsong Making
Indonesia 4.0. Pertama, berpikiran terbuka terhadap kemajuan dan perubahan yang
ditimbulkannya. Dengan berpikiran terbuka, wawasan akan bertambah dan kemampuan
untuk menyesuaikan diri menjadi lebih mudah. Pikiran yang terbuka dengan benar juga akan
memunculkan sikap kritis sehingga tidak begitu saja menerima informasi yang tersebar di
dunia digital. Kedua, berpikir inovatif dan kreatif dengan memanfaatkan kemudahan
konektivitas dengan sesama manusia lain dari berbagai belahan dunia dan berbagai bidang.
Sikap ini juga akan meluruhkan sekat-sekat antar disiplin ilmu sehingga manusia modern
belajar memandang persoalan secara lebih holistik, tidak fragmentaris. Ketiga, sikap mau
belajar mengarungi jagad dunia maya yang sangat luas dan berpotensi menyesatkan untuk
mereka yang tidak tahu bagaimana caranya mengemudikan perahu perambannya. Disini, guru
dan murid bisa saling mengajari satu sama lain bagaimana melakukan navigasi ini dengan
tepat untuk berbagai keperluan, akademis maupun non-akademis. Ketiga cara pandang ini,
menurut hemat penulis, membekali kita semua, terutama generasi penerus, untuk berpijak
kokoh pada landasan cara pikir dan cara bertindak yang kondusif untuk selanjutnya
mengepakkan sayap menyongsong dan terbang bersama Making Indonesia 4.0.

7. Kesimpulan

Makalah ini menyajikan pengamatan luas tentang bagaimana teknologi digital telah
banyak memasuki dunia pendidikan, dan bagaimana dunia pendidikan bahasa dan sastra
menanggapinya. Hal ini terkait dengan aspirasi Indonesia 4.0 yang telah dicanangkan
pemerintah Indonesia untuk mulai dirintis di berbagai sektor. Pertanyaan yang tercetus
kemudian adalah bagaimana pembelajaran bahasa dan sastra mengambil manfaat dari
kemajuan teknologi digital, dan bagaimana para pendidik maupun pelaku didiknya
berkontribusi kepada perkembangan peradaban.

Diuraikan gejala-gejala baru yang dibawa oleh kemajuan teknologi digital. Ternyata
tidak semuanya bisa ditanggapi dengan serta merta secara positif oleh dunia pendidikan kita.
Reaksi yang muncul justru berupa kecenderungan memanfaatkan teknologi digital secara
tidak bijaksana. Generasi milenial juga terkesan gagap memanfaatkan berbagai fasilitas
belajar yang membuat pembelajaran menjadi lebih cepat dan lebih menyenangkan tanpa
mengorbankan nilai-nilai akademis yang penting. Sementara itu waktu terus berjalan dan
kemajuan teknologi membawa perubahan gaya hidup dan gaya belajar yang tak jarang terasa
membingungkan. Hal yang bisa disarankan kepada para pendidik adalah menanamkan
ketrampilan berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis, dan berkarya kreatif. Ketrampilan
ini sebaiknya juga dilengkapi dengan sikap terbuka dan senantiasa bersedia untuk
mempelajari hal-hal baru. Kesiapan mental dan sikap yang baik akan membawa pada
kesiapan untuk berperan serta aktif dalam Making Indonesia 4.0

DAFTAR RUJUKAN

Baron, N. (2016). Do students lose depth in reading? Diunduh dari


http://theconversation.com/do-students-lose-depth-in-digital-reading-61897

Bennett, J. (2018). Personalizing training with adaptive learning systems. Instructional


Design, 35(1805).

Budhai, S. S., & Taddei, L. M. (2015). Teaching the 4Cs with technology: How do I use 21 st
century tools to teach 21st century skills. Arias.

Coleman, J. A., & Klapper, J. (2005). Effective learning and teaching in modern languages.
London: Routledge.

Gierzynski, A. (2013). Harry Potter and the millennials: Research methods and the politics
of the Muggle generation. Maryland: The John Hopkins University Press.

Harari, Y. N. (2018). 21st lessons for the 21st century. London: Spiegel & Grau.
Hari, C. S. (2016). Sastra digital dan penyebaran sastra Indonesia melalui industri kreatif.
Diunduh dari http://www.mantagibaru.com/2016/01/sastra-digital-dan-penyebaran-
sastra.html.

Jadikan Making Indonesia 4.0 sebagai agenda nasional. (2018, 4 April). Diunduh dari
http://presidenri.go.id/berita-aktual/jadikan-making-indonesia-4-0-sebagai-agenda-
nasional.html

Niess, M. L. (2017). Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) framework


for K-12 teacher preparation: Emerging research and opportunities. Hershey: IGI
Global.

Puentedura, R. (2006). Transformation, technology, and education. [Blog post]. Diunduh 12


November 2018 dari http://hipassus.com/resources/tte

Schwab, K. (2016). The fourth industrial revolution. Switzerland: World Economic Forum.

Serafini, F. (2014). Reading the visual: An introduction to teaching multimodal literacy. New
York: Teachers College Press.

Vanderwal, S. (2015). Language acquisition through digital games. Mount Royal


Undergraduate Education Review, 1(3), 1 – 9.

What can I do with modern languages degree. (2019). Diunduh dari


https://targetjobs.co.uk/careers-advice/degree-subjects-your-options/301040-what-can-
i-do-with-a-modern-languages-degree.

Anda mungkin juga menyukai