Anda di halaman 1dari 108

PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS

TAFSIR AYAT-AYAT HUKUM)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Fitrah Permana Putra
NIM: 11140340000073

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah subḥānahu wa ta‘ālā yang telah memberikan berkah
kasih sayang dan magfirah-Nya, sehingga penulis skripsi dengan judul “Pengaruh
Corak Pada Penafsiran (Studi Kasus Tafsir Ayat-Ayat Hukum)” dapat terselesaikan
meskipun masih banyak kekurangan. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi
Muhammad ṣallallāh ‘alaih wa sallām, ysng diberi berkah, untuk menerima kitab
yang diberkati yaitu al-Qurān, agar bisa menjadi petunjuk dan peringatan bagi umat
yang diberkati.
Penulis merasa berhutang budi dari kebaikan pada banyak pihak, karena tanpa
adanya bantuan informasi, tenaga, dana, kesempatan baik secara langsung maupun
tidak langsung, skripsi ini tidak mungkin bisa terwujud. Kepada mereka, penulis
haturkan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya, semoga Allah
memberikan balasan yang sebesar-besarnya dan menghitung sebagai amal jariyah
yang tetap mengalir hingga di Akhirat kelak.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-
Qurān dan Tafsir dan ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris
Program Studi Ilmu Al-Qurān dan Tafsir. Tak lupa juga Kak Hanif, S. Thi.,
selaku asisten dari ibu Banun.
4. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu
bijaksana dan sabar memberikan bimbingan, nasihat, kepercayaan serta
waktunya selama penulisan skripsi ini berlangsung sehingga penulisan skripsi
ini berjalan dengan lancar. Mudah-mudahan beliau selalu dirahmati Allah
subḥānahu wa ta‘ālā.
5. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA., selaku dosen pembimbing akademik
yang telah memberikan inspirasi dan arahan dalam pembuatan judul terhadap
penulis.

iii
6. Segenap jajaran dosen dan civitas academica Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu tanpa
mengurangi rasa hormat, khususnya pada program studi Ilmu al-Qurān dan
Tafsir yang ikhlas dan sabar untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang
cerdas, berkualitas dan berintelektual. Pimpinan dan seluruh Staff
Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, yang turut
memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kedua orang tua penulis yaitu, Ayahanda Kamaludin dan Ibunda Ulyanah
tercinta, beserta seluruh keluarga besar yang selalu setia memberikan
dukungan kepada penulis baik secara moril ataupun materil, serta kasih sayang
yang besar sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini dengan baik dan
lancar.
8. Guru kami, Ust. Nurul Fahmi Yusuf, S.Thi., yang selalu sabar dan ikhlas
mendidik, mendoakan, mencurahkan ilmunya yang luas, menjadi suri teladan
bagi penulis. Semoga beliau selalu dirahmati Allah Swt., serta diberikan
kesehatan untuk selalu bisa mengajar murid-muridnya. Tak lupa guru-guru lain
yang ada di Yayasan Yusufi Belendung.
9. Seseorang yang telah setia menemani, memberikan semangat, dukungan
kepada penulis dari mulai proses awal perkuliahan sampai selesai
menyelesaikan skripsi ini, yaitu Rahmie Dzuraida.
10. Teman-teman seperjuangan Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah
angkatan 2014, khususnya kepada teman-teman TH B, kepada Sandi teman
seperjuangan bimbingan, dan teman-teman lainnya yang telah banyak
berkontribusi agar terwujudnya skripsi ini.
11. Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan
pengalaman dan cerita hidup. Semoga segala proker dan kegiatan yang telah
kita kerjakan menjadi amal kebaikan yang diridhoi oleh Allah Swt.
Akhirnya, hanya kepada Allah subḥānahu wa ta‘ālā penulis menghambakan
diri dan memohon pertolongan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita
semua khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Apabila ada yang benar
dalam penulisan ini adalah semata-mata datangnya dari Allah SWT dan apabila
terdapat suatu kesalahan, maka itu kekhilafan diri penulis sebagai seorang hamba

iv
Allah yang daif, mudah-mudahan maksud dan tujuan penulis dapat tercapai dengan
apa yang penulis harapkan dan cita-citakan Amin.

Jakarta, Oktober 2018

Fitrah Permana Putra

NIM: 11140340000073

v
ABSTRAK

Fitrah Permana Putra


Pengaruh Corak Pada Penafsiran (Studi Kasus Tafsir Ayat-Ayat Hukum)
Skripsi ini ingin menguji pertanyaan “Bagaimana koherensi penafsiran ulama
tafsir dengan corak yang beragam terhadap ayat-ayat hukum?” Penelitian terkait
corak tafsir, sebagian besar memfokuskan pada permasalahan apa corak yang ada
pada mufasir yang satu dan mufasir yang lain, seperti yang dilakukan oleh
Muhammad Solahuddin, meneliti corak yang terdapat pada tafsir al-Zamakhsyarī.
Karena tidak adanya kejelasan apakah corak dan latar belakang itu dapat
mempengaruhi model penafsiran atau tidak sama sekali, jika tidak berpengaruh,
apakah hanya pada ayat-ayat tertentu. Maka dari itu menurut penulis, penelitian ini
menjadi penting dibahas untuk membuktikan apakah corak itu dapat mempengaruhi
ayat-ayat hukum atau tidak. Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif
mengenai permasalahan pengaruh corak tafsir.
Data tersebut didekati dengan pendekatan kualitatif, dan menggunakan teknik
pengumpulan data Library Research. Sedangkan metode yang digunakan penulis
adalah metode komparatif, yaitu membandingkan corak yang dimiliki oleh mufasir,
nama lainnya adalah metode muqāran, yaitu membandingkan ayat-ayat al-Qurān
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah
atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah
atau kasus yang sama atau diduga sama.
Melalui beberapa tahap pada penelitian ini, maka dapat menunjukkan bahwa
koherensi penafsiran ulama tafsir dengan corak yang beragam atas ayat hukum,
yaitu pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24)
ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130, itu tidak mempengaruhi hasil penafsiran yang
disajikan pada masing-masing penafsirannya. Ketika mufasir dengan ragam corak
yang dimilikinya menafsirkan ayat hukum, maka penafsirannya akan selalu terkait
dengan hukum.
Corak tafsir yang ada pada mufasir itu akan berpengaruh, jika ayat yang
ditafsirkan oleh tiap-tiap mufasir memiliki tema yang sesuai dengan coraknya
masing-masing.

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama
(SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158
Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/u/1987.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat
dilihat pada halaman berikut:
No Arab Latin

1 ‫ا‬ Tidak Dilambangkan

2 ‫ب‬ B

3 ‫ت‬ T

4 ‫ث‬ ṡ

5 ‫ج‬ J

6 ‫ح‬ ḥ

7 ‫خ‬ Kh

8 ‫د‬ D

9 ‫ذ‬ Ż

10 ‫ر‬ R

11 ‫ز‬ Z

vii
12 ‫س‬ S

13 ‫ش‬ Sy

14 ‫ص‬ ṣ

15 ‫ض‬ ḍ

16 ‫ط‬ ṭ

17 ‫ظ‬ ẓ

18 ‫ع‬ ‘

19 ‫غ‬ G

20 ‫ف‬ F

21 ‫ق‬ Q

22 ‫ك‬ K

23 ‫ل‬ L

24 ‫م‬ M

25 ‫ن‬ N

26 ‫و‬ W

viii
27 ‫ه‬ H

28 ‫ء‬ ′

29 ‫ي‬ Y

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi


tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).

2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama

َ‫ا‬ Fatḥah A A

َ‫ا‬ Kasrah I I

َ‫ا‬ Ḍammah U U

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ‫ىي‬ ai A dan I

َ‫ىو‬ au A dan U

Contoh:

‫ف‬
َ ‫ َك ْي‬: Kaifa ‫ يَ ْو َم‬: Yauma

ix
3. Vokal Panjang
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ َا‬atau ‫َى‬ ā a dengan garis lurus di atas

‫َو‬ ū u dengan garis lurus di atas

‫َي‬ ī i dengan garis lurus di atas

Contoh:

‫ات‬ َ ‫ َم‬: Māta


‫ َر َمى‬: Ramā
‫ قِ ْي َل‬: Qīla
ُ‫ يَ ُم ْوت‬: Yamūtu

4. Ta marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang hidup atau
mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t].
Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah [h].
Jika pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta
marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara


1 َ
‫ط ِر ْيقَة‬ ṭarīqah

2 ‫األسالمية‬
ِ ‫الجامعة‬ al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah

3 ُ ُ ‫َوحْ دَة‬
‫الو ُجود‬ Waḥdat al-Wujud

x
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah (Tasydīd) yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydīd (ّ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan
huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh:

Kata Alih aksara

‫َربَّنَا‬ Rabbanā

‫ن َِجنَا‬ Najjinā

‫ال َحق‬ Al-Ḥaqq

‫عد ُو‬
َ ‘Aduwwun

Jika huruf ‫ ى‬ber-tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah (‫) ِّى‬, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī). Contoh:

‫ع ِلي‬
َ : ‘Alī (bukan ‘Alyy atau ‘Aly)
‫ع َر ِبي‬
َ : ‘Arabī (bukan ‘Arabyy atau ‘Araby)

6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (alif lam
ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti
biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah. Kata
sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang
ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis
mendatar (-). Contohnya:
No Kata Alih Aksara

1 ‫َمس‬
ُ ‫الش‬ al- Syamsu bukan as-syamsu

2 ‫الزَ ْلزَ لَه‬ al- Zalzalah bukan az-zalzalah

3 َ ْ ‫الفَا‬
‫سفَه‬ al- Falsafah

4 ‫ال ِب َالد‬ al-Bilād

xi
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal
kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. Contohnya:

َ‫ تَأ ْ ُم ُر ْون‬: ta’murūna


‫ الن َْو ُء‬: al-nau’
‫ش ْيء‬ َ : syai’un

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia


Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau
kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat
yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau
sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara
transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur’an (dari al-Qur’ān), Sunnah, khusus dan
umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks
Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:
Fī Ẓilāl al-Qur’ān
Al-Sunnah qabl al-tadwīn
Al-‘Ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab

9. Lafẓ al-Jalālah (‫)هللا‬


Kata‚ Allah yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau
berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), ditransli-terasi tanpa huruf
hamzah. Contoh:

ِ‫ِدي ُْن للا‬ : dīnullāhi


ِ‫ِبا لل‬ : billāhi
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada Lafẓ al-Jalālah,
ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:
ِ‫ُه ْم فِي َر ْح َم ِة للا‬ : hum fī raḥmatillāh

xii
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf
kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang,
tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului
oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal
kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-
). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang
didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam
catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:
Wa mā Muḥammadun illā rasūl
Inna awwala baitin wuḍi‘a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan
`Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur’ān
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī
Abū Naṣr al-Farābī
Al-Gazālī

xiii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... iii


ABSTRAK............................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITRASI.............................................................. vii
DAFTAR ISI......................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................. 9
C. Batasan Masalah.....................................................................10
D. Rumusan Masalah ................................................................. 10
E. Tujuan ....................................................................................10
F. Manfaat ..................................................................................10
G. Metode Penelitian .................................................................. 11
H. Kajian Pustaka ....................................................................... 13
I. Sistematika Penulisan ............................................................ 17
BAB II KAJIAN CORAK TAFSIR
A. Gambaran Tentang Corak Penafsiran.................................... 18
B. Macam-macam Corak Tafsir ..................................... ........... 22
1. Tafsīr al-ṣufiyah............................................................... 23
2. Tasīr al-falāsifah.................................................. ........... 24
3. Tafsīr al-fuqahāi.............................................................. 25
4. Tafsīr al-adabī al-ijtimā‘ī............................................... 26
5. Tafsīr Balagī atau Lugawī................................................26
6. Tafsīr Ḥarakī........................................................ ........... 27
BAB III RAGAM MUFASIR DAN CORAK TAFSIRNYA
A. Kelompok Pertama.................................................................29
1. Corak Fikih al-Qurṭubī.....................................................29
2. Corak al-Adabi al-Ijtimā‘ī M. Quraish Shihab ................33
3. Corak Lugawī al-Zamakhsyarī.........................................38
4. Corak Ḥarakī Sayyid Quṭb...............................................42
B. Kelompok Kedua...................................................................46
1. Corak Tasawuf al-Alūsī...................................................46
2. Corak Tasawuf al-Jīlānī...................................................50
3. Corak Tasawuf Ibn ‘Ajībah..............................................53
4. Corak Tasawuf al-Qusyairī..............................................58
BAB IV RELASI CORAK DENGAN TAFSIRAN
A. Penafsiran Ayat-Ayat Hukum................................................61
B. Relasi Kesesuaian Penafsiran Dengan Corak Tafsir..............65
C. Implikasi Klasifikasi Corak Tafsir.........................................78
D.

xiv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................81
B. Saran .....................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................82

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kajian pada corak tafsir, sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti muslim.
Pencarian yang peneliti temukan, ada beberapa penelitian yang terkait dengan corak
penafsiran, seperti penelitian yang dilakukan oleh Hujair AH Sanaky1, mengatakan
bahwa corak penafsiran al-Qurān tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan,
inters, motivasi mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan ke dalaman dan
ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan
kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran
yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode
yang berbeda-beda, dan kesimpulan yang berbeda pula.
Selain Hujair, ada penelitian yang ditulis oleh Malik Ibrahim2, yang
menyatakan bahwa penafsiran al-Qurān tidak terlepas dari metode yang digunakan
oleh mufasir. Tidak dijelaskan masalah apa yang terdapat pada penelitian itu, Malik
Ibrahim langsung menjelaskan pembagian-pembagian metode tafsir. Menurut
penulis, kedua penelitian ini masih memiliki kekurangan, yaitu masing-masing dari
kedua penelitian tersebut tidak menjelaskan apakah corak dapat memengaruhi
semua model penafsiran dalam semua ayat al-Qurān, atau corak hanya
mempengaruhi pada ayat-ayat tertentu.
Pembahasan dalam ruang lingkup yang lebih sempit, mengenai corak
penafsiran terkait ayat hukum, ditemukan dari penelitian yang ditulis oleh
Muhammad Makmun Abha3, yang menjelaskan seorang tokoh pemikir
Kontemporer yang menafsirkan ayat dengan berlatar belakang corak fikih, yaitu

1
Hujai AH Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau
Corak Mufasirin),” Al-Mawarid Edisi XVII (2008): h. 263-284.
2
Malik Ibrahim, “Corak dan Pendekatan Tafsir al-Qurān,” SOSIO RELIGIA, vol. 9, no. 3,
(Mei 2010): h. 641-654.
3
Muhammad Makmun Abha, “Pola Baru Dalam Tafsir Fikih (Telaah Atas Pemikiran Tafsir
Al-Na‘īm),” Jurnal Syahdah¸ vol. 2, no. 1 (April 2014): h. 67.

1
2

‘Abdullāh Aḥmad al-Na‘īm yang mengatakan bahwa di dalam menafsirkan ayat


hukum, ada yang namanya naskh wa al-mansūkh, dan naskh itu bukan berarti
“penghapusan total atau permanen”. Namun hanya merupakan penundaan atau
penangguhan pelaksanaan hukum dengan melihat kondisi yang tepat di masa yang
akan datang.
Penelitian-penelitian terkait corak, kebanyakan hanya membandingkan antara
satu mufasir dengan mufasir yang lain, dan dari penelitian yang telah penulis
telusuri, ada beberapa akademisi yang meneliti corak tafsir dengan membandingkan
mufasir, yaitu skripsi yang ditulis oleh Siti Khomsiatun4, yang membandingkan
antara corak penafsiran al-Zamakhsyarī dan Amina Wadūd terkait dengan nusyūz.
Siti mengatakan bahwa hasil yang disajikan oleh kedua mufasir dalam menafsirkan
ayat nuysūz dengan corak kedua mufasir yang berbeda menimbulkan perbedaan
yang signifikan, bahwa Zamakhsyarī menafsirkan secara tekstualis, dan Amina
Wadūd menafsirkan secara kontekstualis.
Selain itu ada penelitian yang serupa, akan tetapi dengan hasil tafsiran yang
sama, dilakukan oleh Ni’mah5 yang membandingkan antara penafsiran M.Quraish
Shihab dan Sayyid Quṭb tentang Q.S. al-Nisā (4) ayat 34. Bahwa dari corak kedua
mufasir yang berbeda ini menimbulkan hasil penafsiran tentang nusyūz itu tidak
jauh berbeda. M.Quraish Shihab menafsirkan kata faḍribūhunna dengan
memaknainya sebagai pukulan yang tidak boleh menyakitkan agar tidak
menciderainya, namun harus tetap menunjukkan sikap tegas. Sayyid Quṭb juga
menafsirkan hal yang serupa, bahwa pemukulan yang dilakukan bukanlah
pemukulan yang menyakiti, menyiksa, dan memuaskan diri. Pemukulan yang
dilakukan haruslah dalam rangka mendidik, yang harus disertai dengan rasa kasih
sayang seorang pendidik.
Permasalahan jenjang waktu penelitian corak tafsir, jika ditelusuri dengan
teliti, maka penulis menemukan penelitian yang membahas pertama kali dan
penelitian yang membahas terakhir kali. Seperti Penelitian yang pertama kali

4
Siti Khomsiatun, “Nusyūz Dalam Pandangan Zamakhsyarī Dalam Kitab Al-Kassyāf Dan
Amina Wadud Dalam Qurān And Woman (Study Komparatif),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2013), h. 107.
5
Ni’mah, “Tafsir Q.S. Al-Nisā (4) ayat 34 Menurut Tafsir Al-Misbah Dan Tafsir Fī Ẓilal
al-Qurān,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Pekalongan, 2011), h. 65.
3

membahas corak adalah penelitian yang dilakukan oleh Abu Sujak6 dengan
pembahasan mengenai corak dari penafsiran Ibn ‘Arabī yang dikaitkan dengan
dakwah islam menggunakan tarekat Naqsyabandiyyah akan menimbulkan akhlak
yang terpuji. Dan penelitian terakhir yang membahas corak adalah penelitian yang
ditulis oleh Siti Wahidah dan Muhammad Najib7. Artikel ini hanya menjelaskan
para tokoh-tokoh mufasir dari Malaysia dan corak penafsirannya.
Pembahasan yang ada di dalam Ilmu tafsir menjelaskan bahwa manhāj seorang
mufasir dapat dikelompokkan menjadi8; segi sumber, yang dikenal dengan bentuk
penafsiran yang terdiri dari tafsīr bi al-ma’ṡur dan tafsīr bi al-ra’yi, dan segi materi,
kecenderungan atau yang dikenal dengan corak tafsir, yaitu antara lain; tafsīr al-
balagi9, tafsīr al- falsafi, tafsīr al-‘ilmi, tafsīr al-fiqih, tafsīr al-tasawuf.
Penafsiran al-Qurān jika dikaitkan dengan zaman sekarang ini, menurut
Syahrur, al-Qurān perlu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi
oleh umat Islam dan umat manusia. Pemeliharaan dilakukan dengan pengkajian
yang menyentuh realitas dan mencoba menyapa realitas lebih sensitif dan
memfungsikannya dalam memahami realitas-realitas yang ada dengan interpretasi
yang baru sesuai dengan keadaan setempat.10

6
Abu Sujak, “Metode dan Corak Tafsir al-Qur-anul Karim Karya Mahyuddin Ibn ‘Arabi,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1989).
7
Siti Wahidah dan Muhammad Najib, “Corak Penulisan Tafsir di Malaysia Abad Ke-21
(2001-2015),” Jurnal al-Turath, vol. 2, no. 1 (2017): h. 5.
8
Jani Arni, “Kelemahan-Kelemahan Dalam Manhaj al-Mufasirin,” Jurnal Ushuluddin,
vol.XVIII, no. 2 (Juli 2012): h.167.
9
A. Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang-orang non-Arab yang
memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra,
sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan
kedalaman arti kandungan al-Qurān. B. Corak filsafat dan teologi, akibatnya penerjemahan kitab
filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke
dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan
lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam
penafsiran mereka. C. Corak penafsiran ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha
penafsiran untuk memahami ayat-ayat al-Qurān sejalan dengan perkembangan ilmu. D. Corak fiqih
atau hukum: akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap
golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiaran-penafsiran
mereka terhadap ayat-ayat hukum. E. Corak tasawuf: akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai
reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap
kelemahan yang dirasakan. F. Bermula pada masa Syaikh Muhammad ‘Abduh (1849-1905), corak-
corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya
kemasyarakatan. Dikutip dari, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: al-Mizan, 2003), h.72-73
10
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qu’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 88.
4

Menurut Siti Musda Mulia, bahwa al-Qurān adalah suatu teks yang dibaca
dengan mempertimbangkan aspek kontekstualitasnya, yaitu dengan memahami
konteks sosio-historis dan sosio-politis ketika al-Qurān diturunkan. Membaca al-
Qurān, khususnya ayat-ayat tentang relasi gender secara tekstual dan kontekstual
akan membawa kepada penghayatan terhadap pesan-pesan moral islam universal
seperti keadilan, kemaslahatan, kedamaian, pemenuhan hak, penghormatan
terhadap kemanusiaan, cinta kasih, solidaritas, dan kebebasan.11
Dilihat dari sudut isi kandungan, al-Qurān mencakup seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Al-Qurān tidak hanya membahas soal akidah, melainkan juga soal
hukum. Al-Qurān bukan hanya mengupas sejarah umat terdahulu, melainkan juga
etika dan akhlak. Al-Qurān membahas nilai etis dalam bidang ekonomi, politik,
sosial dan kebudayaan. Oleh karenanya, dari situ sebagian orang berkesimpulan
bahwa al-Qurān tak sistematis. Padahal ketiadaan sistematika al-Qurān itu, menurut
Quraish Shihab, dimaksudkan untuk memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran al-
Qurān dan hukum-hukum yang tercakup di dalamnya merupakan satu kesatuan
yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada
pemisah antara satu ayat dengan ayat lain12.
Pembahasan pada penelitian yang membahas masalah hukum, maka sudah
pasti pembahasannya akan terkait dengan ayat hukum. Menurut Dr. Abdul Moqsith
Ghazali dan Lilik Ummi Kaltsum, jumlah ayat hukum tidak banyak, ayat-ayat
hukum di dalam al-Qurān mencakup pada seluruh tema-tema hukum yang
diperlukan bukan hanya untuk zaman itu melainkan untuk zaman yang jauh
setelahnya juga. Jika dikategorisasikan, ayat hukum dalam al-Qurān mencakup 4
tema pokok, pertama, ayat-ayat ibadah, kedua, ayat-ayat hukum keluarga, ketiga,
ayat-ayat terkait keperdataan secara umum, keempat, ayat ayat yang terkait dengan
soal pidana.13 Bermacam-macam ayat hukum yang ada di dalam al-Qurān, maka
ada beberapa ayat hukum yang penulis kutip dan dijadikan sebagai fokus dari
penelitian ini di antaranya adalah pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5)
ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130.

11
Jaya Suprana, Kelirumologi genderisme ( Jakarta: PT. Elex Komputindo, 2014), h. xvii.
12
Lilik Ummu Kulsum dan Abd. Muqsith Ghazali, Tafsir Ahkam ( Ciputat : UIN Pres,
2015), h. 12.
13
Lilik Ummu Kulsum dan Abd. Muqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, h. 22
5

Pembahasan Q.S. al-Nisā ayat 34 terkait dengan nusyūz, nusyūz sendiri


memiliki arti durhaka terhadap suami, seperti meninggalkan rumah tanpa restu
suami.14 Menurut ‘Alī al-Ṣabuni, ia berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
nusyūz adalah “kedurhakaan dan kecongkangan seorang istri dari mentaati
suami”.15 Tidak hanya berhenti di sini, al-Qurān memberikan solusi untuk
permasalahan nusyūz, yaitu akan penulis kutip pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34.
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan
karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka
perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyūz hendaklah kamu beri
nasihat kepada mereka tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan
(kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkanya, sungguh Allah Maha Tinggi
Maha Besar. “16

Ayat selanjutnya adalah Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, pada ayat ini membahas
tentang hukuman yang akan diterima oleh pelaku pencurian. Ayat ketiga adalah
Q.S. al-Nūr (24) ayat 2 yang membahas tentang permasalahan hukuman bagi pelaku
zina. Sedangkan ayat terakhir adalah Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130 yang membahas
tetang larangan memakan harta riba.
Penafsiran terkait ayat-ayat ini, sangat bermacam-macam. Sesuai dengan latar
belakang mufasir itu sendiri, maka bisa jadi penafsiran yang disuguhkan akan
berbeda-beda, atau tidak sama sekali. Penulis akan mengkaji beberapa mufasir
yang berlatar belakang berbeda dalam menafsirkan al-Qurān. Karena corak tafsir
selama ini dipengaruhi oleh latar belakang mufasir. Dari latar belakang yang
berbeda-beda itu, penulis ingin membuktikan apakah corak dapat mempengaruhi
kesimpulan penafsiran dari Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38,
Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130 ini. Maka dari itu penulis
memiliki beberapa mufasir yang memiliki corak penafsiran berbeda. Dengan

14
Kementrian Agama RI, Al-Qurān Dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 108-109.
15
Dudung Abdul Rahman, Mengembangkan Etika Berumah Tangga Moralitas Bangsa
Menurut Pandangan al-Qurān (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), h. 94.
16
Terjemahan al-Qurān Departemen Agama RI QS. al-Nisa ayat 34
6

mengacu pada penafsiran al-Qurṭubī17 yang membuat kitab tafsir dengan judul al-
Jāmi’ Li Ahkām al-Qurān18 adalah kitab tafsir yang bercorak fikih.19 Selanjutnya
adalah al-Alūsī,20 pengarang dari kitab tafsir Rūh al-Ma’anī yang dinilai oleh
sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyārī,21 ada pula yang mengatakan
bahwa tafsir ini bercorak sufistik.22 Mufasir selanjutnya adalah al-Zamakhsyarī23,
beliau adalah pengarang kitab tafsir al-Kassyāf yang bersumber al-ra’yi, dan lebih
menekankan corak kebahasaan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qurān dengan
merujuk pada balagah al-Qurān dan bertujuan untuk membuktikan keindahan
setiap ayat sebagai aspek kemukjizatan al-Qurān24. Corak selanjutnya adalah,
penafsiran yang bercorak Ḥarakī, mufasir yang menggunakan corak ini adalah
Sayyid Quṭub, dengan karya tafsirnya adalah Fī Zilāl al-Qurān. Kemudian yang
terakhir adalah M. Quraish Shihab, yang mengarang kitab Tafsir al-Misbah: Pesan,
Kesan dan Keserasian al-Qur’an, menurut sebagian peneliti, kitab ini adalah kitab
yang bercorak al-Adabi al-Ijtimā‘i25.
Selain itu, penulis menambahkan 3 mufasir yang bercorak tasawuf murni,
karena corak yang dimiliki oleh al-Alūsī hanya sedikit sekali nuansa tasawufnya.
Agar dapat menjadi perbandingan yang lebih baik, maka dari itu corak tasawuf pada
mufasir-mufasir tersebut apakah dapat berpengaruh jika dihadapkan dengan ayat
hukum, atau tidak sama sekali. Berikut adalah Tafsīr al-Jīlānī karya ‘Abd al-Qādir

17
Nama aslinya adalah ‘Abd al-Jalīl bin Mūsa bin ‘Abd Jalīl Abu Muhammad al-Anshāri
al-Andalūsi al-Qurṭubī (W 608 H).
18
Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān (Beirut:
al-Resalah, 2008).
19
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, Juz II (Cairo: Maktabah
Wahbah, 2000), h. 226-342.
20
Nama lengkapnya adalah Mahmūd bin ‘Abdillāh bin Muhammad bin Darwisy al-Husainī
al-Alūsī Syihāb al-Dīn al-Shana’
21
al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, Juz 1, h. 308
22
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 75.
23
Nama aslinya adalah Abū al-Qāsim Mahmud bin Muhammad al-Khawarizmi
24
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 49
25
Atik Wartini, “Corak Penafsiran M.Quraish Shihab dalam Kitab al-Misbah,” Hunafa:
Jurnal Studi Islamika, vol. 11, no. 1 (Juni 2014): h. 109-126.
7

al-Jīlānī26, Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd karya Ibn ‘Ajībah27,
dan yang terakhir adalah Laṭā’if al-Isyārāt karya al-Qusyairī.28
Sebagai gambaran untuk penelitian ini, penulis ingin memaparkan satu ayat
hukum yang ditafsirkan oleh beberapa mufasir yang berlatar belakang berbeda-beda
dalam menafsirkan ayat al-Qurān, yaitu ayat terkait nikah beda agama. Maksud dari
nikah beda agama di pembahasan ini adalah pernikahan yang salah satu dari suami
atau istrinya adalah non-Muslim. Ayat tentang nikah beda keyakinan terdapat pada
Q.S. Al-Baqarah/2: 221.
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
supaya mereka mengambil pelajaran.”29
Penelitian yang ditulis oleh Dedi Irawan30. Dengan judul skripsi Pernikahan
Beda Keyakinan Dalam al-Qurān (Analisi Penafsiran al-Marāgī atar QS. Al-
Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat 5), menyatakan bahwa al-Marāgī adalah

Tafsīr al-Jīlānī muncul pada awal tahun 2009. Kemunculannya menggemparkan dunia
26

Islam karena karya klasik yang memperkaya khazanah tafsir al-Qurān merupakan karya yang ditulis
seorang Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, tidak pelak kemunculnya menimbulkan kontroversi
sehingga wacana orisinilitas karya ini sempat menjadi isi perdebatan yang hangat. Adalah Markaz
al-Jailānī li al-Buḥūṡ al-‘Ilmiyah, Istanbul, Turki, yang berinsiatif menerbitkan karya langka dan
penting ini sehingga menjadi karya Tafsīr al-Jīlānī, masuk dalam jajaran mufasir yang
diperhitungkan dalam tafsir sufistik. Lembaga ini mengklaim bahwa penerbitan tafsir tersebut
merupakan penerbitan perdana sepanjang sejarah pengetahuan Islam. Ironinya, manuskirip tafsir ini
ditemukan sebagian besarnya di Vatikan Italia, disamping sebagiannya merupakan koleksi
Perpustakaan Qadiriyyah Baghdad serta manuskrip lainnya di Negara India. Tafsīr al-Jīlānī ini
terdiri dari enam volume (VI juz), dengan ketebalan sekitar 550 halaman untuk masing-masing
volume. Lihat lilik Ummi Kaltsum, “Hak-Hak Perempuan dalam Pernikahan Perspektif Tafsir
Sufistik: Analisis terhadap Penafsiran Al-Alūsi dan ‘Abd al-Qādir al-Jilāni.” Journal of Qur’ān and
Hadīth Studies, Vol. 2, no.2. (2013): h. 170.
27
Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 1 (al-hirah:
Thaba’a ‘alā Nafaqahu Min ‘Abbās Zaki, 1999), h. i
28
Muḥammad Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm Al-Qusyairī, Laṭā’if al-Isyārāt, jilid 1
(Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), h. i.
  
  
   
 
    
 
  
   
 
   
        
     
        
   
    
  
 
   
 
    
 
  
  29

                   

       

30
Mahasiswa fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8

mufasir yang menafsirkan al-Qurān dengan corak al-Adabi al-Ijtimā’i. Saat


menafsirkan ayat ini al-Marāgī berpendapat bahwa laki-laki muslim tidak boleh
menikahi wanita musyrik, wanita muslimah tidak boleh menikahi laki-laki musyrik,
laki-laki muslim boleh menikahi wanita dari kalangan ahlu kitab dengan catatan
wanita itu berpegang teguh dengan kitab yang ia percayai31.
Selanjutnya adalah penelitian yang ditulis oleh Ruslan32, dengan judul skripsi
Studi Atas Penafsiran al-Qurṭubī Terhadap Ayat-Ayat Tentang Nikah Beda Agama
Dalam Kitab al-Jami’ Li Ahkam al-Qurān. Al-Qurṭubī adalah mufasir yang
menafsirkan al-Qurān dengan bercorak Fikih, sehingga kesimpulan dari penafsiran
al-Qurṭubī tekait ayat nikah beda keyakinan adalah wanita Ahl al-Kitāb tidak
termasuk al-Musyrikīn, sehingga ia boleh dinikahi oleh laki-laki muslim33.
Penafsiran selanjutnya datang dari tokoh mufasir yang menafsirkan ayat-ayat
al-Qurān dengan menggunakan corak al-adabi al- Ijtimā’i dan Fikih. Yaitu Wahbah
Zuhaili, dengan berpijak pada penelitian M.Joko Subiyanto 34, yaitu skripsi yang
berjudul Pernikahan Lintas Agama (Studi Atas Pemikiran Hukum Wahbah Zuḥailī
Tentang Perempuan Ahl al-Kitāb). Pada skripsi ini, dijelaskan bahwa Wahbah
Zuḥailī dalam menafsirkan ayat pernikahan terkait nikah lintas agama
membolehkan adanya pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan Ahl
al-Kitāb, dengan alasan wanita yang Ahl al-Kitāb mengerti dan percaya dengan apa
yang dipercayai oleh orang muslim35.
Mufasir dengan corak ḥarāki, penulis memilih berpijak pada penelitian Annisa
Zahra Aini36, dengan judul skripsi Pernikahan Beda Agama Menurut Sayyid Quṭb
(Telaah Penafsiran Ayat-ayat Nikah Beda Agama dalam Kitab Tafsir Fī zilāl al-
Qurān. Di dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Sayyid Quṭb menafsirkan ayat-ayat
nikah beda agama dengan kesimpulan, nikah beda agama itu dilarang hukumnya.

31
Dedi Irawan, ”Pernikahan Beda Keyakinan Dalam al-Qurān ( Analisi Penafsiran al-
Maraghi atar QS. Al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat 5),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 75.
32
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
33
Ruslan, “Studi Atas Penafsiran al-Qurthubi Terhadap Ayat-Ayat Tentang Nikah Beda
Agama Dalam Kitab al-Jami’ Li Ahkam al-Qurān,” ( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga, 2009), h. 39.
34
Joko adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah dan Hukum
35
M. Joko Subiyanto, “Pernikahan Lintas Agama (Studi Atas Pemikiran Hukum Wahbah
Zuḥaili Tentang Perempuan Ahl al-Kitāb),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), h. 99.
36
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
9

Baik antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik, antara wanita muslimah
dengan laki-laki non-muslim dan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-
Kitab.37
Buku yang ditulis oleh Syamruddin Nasution, dengan judul buku Pernikahan
Beda Agama Dalam al-Qurān: Kajian Tentang Pro dan Kontra. Menjelaskan
tentang penafsiran M.Quraish Shihab, Hamka, Ibn Kaṡīr dan Sayyid Quṭb bahwa
semua tokoh mufasir yang sama sekali corak tafsirnya bukan fikih, melarang
pernikahan antara laki-laki muslim dan perempuan muslim menikah dengan orang
musyrik. Akan tetapi laki-laki muslim boleh menikahi Ahl al-kitāb dengan alasan
pintu darurat38.
Beberapa penelitian yang sudah dikemukakan, penulis merasa bahwa masih
ada yang kurang terkait dengan corak tafsir, karena tidak dijelaskan secara jelas,
apakah corak dan latar belakang itu memiliki koherensi39 dengan model penafsiran
atau tidak sama sekali, jika tidak berpengaruh, apakah hanya pada ayat-ayat
tertentu. Karena dari itu menurut penulis, penelitian ini menjadi penting dibahas
untuk membuktikan apakah corak itu dapat mempengaruhi ayat-ayat aḥkam atau
tidak. Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai permasalahan
pengaruh corak tafsir.
Dengan latar belakang pemikiran diatas maka masalah pokok yang akan
dibahas adalah PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS
TAFSIR AYAT-AYAT HUKUM).
B. Identifikasi Masalah
Latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Kajian-kajian seputar corak tafsir baik itu dalam al-Qurān ataupun secara
umum, masih berkisar pada studi komparatif antara satu mufasir dan mufasir

37
Anissa Zahra Aini, “Pernikahan Beda Agama Menurut Sayyid Quthub (Telaah
Penafsiran Ayat-ayat Nikah Beda Agama dalam Kitab Tafsir Fī zilāl al-Qurān,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin UIN Suan Ampel Surabaya, 2017), h. 80.
38
Syamruddin Nasution, Pernikahan Beda Agama Dalam al-Qurān: Kajian Tentang Pro
dan Kontra (Riau: Yayasan Pustaka Riau, 2011), h. 322.
39
Koherensi adalah tersusunya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagianya berkaitan
satu dengan yang lain, lihat. Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), h. 712.
10

lain. Sementara itu masih ada satu hal yang luput dari kajian mereka yakni
pengaruh corak tafsir pada model penafsiran.
2. Ayat-ayat hukum memiliki pemaknaan yang cukup luas. Para mufasir
memaknainya dengan cara yang berbeda-beda, dan corak dari para mufasir
itulah yang menimbulkan penafsiran yang beda.

C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian skripsi ini akan dibatasi
pada masalah bagaimana Pengaruh Corak Pada Penafsiran (Studi Kasus Tafsir
Ayat-Ayat Hukum). Oleh karena itu kitab tafsir yang menjadi rujukan penelitian ini
adalah kitab tafsir al-Jāmi’ Li Aḥkām al-Qurān karya al-Qurṭubi, Yang selanjutnya
adalah kitab tafsir Rūh al-Ma’anī karya al-Alusi, kemudian kitab tafsir al-Kassyāf
yang dikarang oleh Imam al-Zamakhsyarī, selanjutnya adalah kitab tafsir Fī zilāl
al-Qurān karya Sayyid Quṭub, kitab Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian
al-Qurān karya M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Jīlānī karya ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī,
Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd karya Ibn ‘Ajībah, dan yang
terakhir adalah Laṭā’if al-Isyārāt karya al-Qusyairī.

D. Rumusan Masalah
Kemudian agar pembahasannya tidak menyimpang dan lebih terarah kepada
tema yang diangkat, maka penulis mengambil rumusan masalah:
Bagaimana koherensi penafsiran ulama tafsir dengan corak yang beragam
terhadap ayat-ayat hukum?

E. Tujuan Dan Manfaat


Berdasarkan masalah yang telah ditetapkan, maka penelitian ini bertujuan
untuk memberikan sebuah pemahaman yang utuh tentang pengaruh corak pada
penafsiran, menurut pandangan ulama-ulama tafsir pada ayat-ayat hukum dan
untuk menguji apakah latar belakang mufasir dapat mempengaruhi hasil penafsiran
terkait ayat hukum.
11

Di antara tujuan penelitian, adalah sebagai berikut:


1. Untuk menganalisis corak penafsiran mufasir terkait ayat hukum yaitu pada
permasalahan nusyūz, hukum potong tangan, hukum pelaku zina, dan riba.
2. Untuk mengetahui apakah ada pergeseran makna dalam memahami ayat-ayat
hukum oleh masing-masing mufasir.
3. Untuk menemukan apakah corak tafsir dapat mendasari terjadinya perbedaan
penafsiran.
Adapun manfaat penelitian ini terlihat dari segi teoritis dan praktisnya:
1. Dalam Aspek Teoritis
a. Memberikan wawasan tambahan mengenai corak mufasir yang berbeda
dalam menafsirkan ayat hukum.
b. Memberikan wawasan terkait persoalan ayat-ayat hukum di dalam al-Qurān.
c. Memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan corak tafsir
ketika menafsirkan al-Qurān.
2. Dalam aspek praktis.
a. Karya ilmiah ini akan berguna bagi mahasiswa yang hendak menambah
keilmuannya dan menjadi referensi dalam memberikan proses belajar-
mengajar di Fakultas masing-masing. Penelitian ini dapat memberikan
sedikit pemahaman terkait persoalan corak tafsir yang ditafsirkan oleh
mufasir dengan corak yang berbeda-beda.
b. Sebagai karya ilmiah, tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan
pengetahuan di bidang pendidikan al-Qurān dan Tafsir khususnya yang
berkaitan dengan ayat-ayat hukum dan corak tafsir di dalam al-Qurān
sehingga mahasiswa-mahasiswi IQTAF dapat menjawab tantangan
permasalahan secara global.

F. Metode Penelitian
Data yang digunakan dari skripsi ini adalah kitab Tafsīr al-Jāmi’ Li Ahkām al-
Qurān karya al-Qurṭubi, kitab Tafsīr Rūh al-Ma’anī karya al-Alusi, selanjutnya
adalah kitab Tafsīr al-Kassyāf yang dikarang oleh al-Zamakhsyarī, kemudian kitab
tafsīr Fī Zilāl al-Qurān karya Sayyid Quṭb, dan yang terakhir adalah kitab Tafsir
al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an karya M.Quraish Shihab.
12

Tafsīr al-Jīlānī karya ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-
Qurān al-Majīd karya Ibn ‘Ajībah, dan yang terakhir adalah Laṭā’if al-Isyārāt karya
al-Qusyairī. Beberapa kitab tafsir tersebut menjadi data premier di dalam penelitian
ini.
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak
langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya40. Dalam penelitian ini
penulis lebih mengarahkan pada data-data pendukung dan alat-alat tambahan yang
dalam hal ini berupa buku-buku terkait dengan corak tafsir dan ayay-ayat terkait.
Semua itu dilakukan melalui proses pengumpulan data-data, pendapat para ahli Al-
Qurān dan Tafsir untuk kemudian dijadikan analisis kesimpulan akhir pada
penelitian ini.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kepustakaan (Library research), Library research adalah suatu
penelitian penyelidikan terhadap buku-buku, majalah dan bahan-bahan yang
berkaitan dengan penelitian yang akan dibahas. Kemudian dari bacaan tersebut
penulis mengklasifikasikan materi dan kemudian dituangkan dalam bentuk
tulisan41.
Fase selanjutnya penulis menggunakan metode muqāran, metode tafsir
muqāran adalah membandingkan ayat-ayat al-Qurān yang memiliki persamaan
atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda,
dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau
diduga sama42. Penulis ingin membandingkan penafsiran para ulama tafsir dengan
corak yang berbeda terhadap Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38,
Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130.
Selanjutnya metode pemaparan hasil perbandingan akan dideskripsikan dan
kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analitis dalam
penelitian ini dimaksudkan sebagai metode penelitian yang sumber-sumbernya
didata, dikumpulkan, dianalisis dan kemudian diinterpretasikan secara kritis

40
Saifudi Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 91.
41
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),
h. 2.
42
Mula Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Sleman: Teras, 2005), h. 85.
13

sebelum dituangkan dan diimplementasikan dalam sebuah gagasan.43 Oleh karena


itu, dalam hal seperti ini diharapkan dapat memahami dan memberikan gambaran
yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan isi penelitian ini. Demikian
juga agar penulis dapat menyusun dalam bentuk yang sistematis sehingga nantinya
dapat mengena pada inti permasalahan dan dapat memperoleh hasil penelitian yang
benar.
Sumber data primer adalah data pokok yang berkaitan dan diperoleh secara
langsung dari objek penelitian. Sementara sumber data primer adalah sumber data
yang dapat memberikan data penelitian secara langsung.44
Sementara itu, pada bagian teknis penulisan, penulis menggunakan buku
panduan Pedoman Penulisan Karya ilmiah45, dan buku pedoman penulisan
skripsi46. Kecuali transliterasi dan penamaan sūrah, penulis menggunakan pedoman
transliterasi Arab latin keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
nomor 158 tahun 1987.

G. Kajian Pustaka
Dalam beberapa literatur yang penulis baca, sudah banyak pembahasan terkait
dengan corak tafsir, tetapi dari sekian banyak itu penulis ingin membahas dari sudut
pandang yang lain dari masalah ini, yaitu masalah yang terkait dengan penafsiran
mufasir dengan corak yang berbeda pada ayat-ayat hukum. Salah satunya adalah
yang dikutip dari Q.S. al-Nisā ayat (4) 34. Sebelum penulis, sudah ada yang
mengulas tentang masalah ini dalam kajian tafsir. Dari beberapa penelusuran,
penulis menemukan beberapa tema yang terkait dengan penelitian ini. Yaitu:
Penelitian yang ditulis oleh Andi Miswar dalam artikelnya yang berjudul
Corak Pemikiran Tafsir Pada Perkembangan Awal Tradisi Tafsir Di Nusantara

43
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik, Cet. Ke-7,
(Bandung: Tarsito, 1982), h. 139.
44
Joko P Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), h. 87
45
Hamid Nasuhi, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi) (Jakarta:
CEQDA, 2007), h. 1-71.
46
Masri Mansoer, Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin Uin Syarif
Hidayatullah, t.t.), h. 1-55.
14

(Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Abd Rauf al- Singkel)47. Fokus
pada penelitian ini tentu saja pada kajian corak penafsiran para ulama Nusantara.
Penelitian ini hanya menjelaskan dari masing-masing tokoh ulama Nusantara yaitu
Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Abd Rauf al- Singkel dan corak
penafsirannya. Maka penulis belum menemukan masalah yang ada di dalam
penelitian ini.
Penelitian yang kedua dilakukan oleh Malik Ibrahim, dengan judul artikel
Corak Dan Pendekatan Tafsir al-Qurān48, fokus kajian ini yaitu pada permasalahan
metode yang digunakan oleh mufasir bukan mengenai corak. Penelitian ini
dijelaskan pembagian metode tafsir dari mulai metode Taḥlilī, Ijmālī, Mauḍū‘ī dan
Muqarran. Tidak ada masalah yang ditemukan di dalam penelitian, maka menurut
penulis penelitian ini memiliki kekurangan.
Penelitian selanjutnya yaitu pada penelitian yang ditulis oleh Amina Rahmi
Hati, dengan judul skripsi Metode Dan Corak Penafsiran Imam al-Alusi Terhadap
al-Qurān (Analisa Terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani)49. Penelitian ini berfokus pada
kajian tentang tafsir Rūh al-Ma’āni yang menurut penelitian ini adalah secara garis
besar corak penafsiran Imam al-Alusi dalam tafsirnya Rūh al-Ma’āni ada tiga
corak, yaitu corak Fiqh, Isyari dan corak lughawi. Menurut penulis masih ada
kekurangan tentang penelitian ini yaitu hanya membahas seputar tentang tafsir ini,
tidak ada masalah yang ditimbulkan dari penelitian ini.
Penelitian dengan judul skripsi Penafsiran Q.S. Al-Nisā (4): 34 Menurut Ibn
‘Āsyūr dan Muhammad Quraish Shihab karya Alfi Nur’aini, menjelaskan tentang
pemahaman Q.S. al-Nisā (4) ayat 34 dari 2 tokoh mufasir, yaitu Ibn ‘Āsyūr dan
Muhammad Quraish Shihab. Skripsi tersebut menjelaskan secara keseluruhan dari
ayat 34 ini. Lalu dari kesimpulan skripsi tersebut, Alfi Nur’aini menjelaskan
perbedaan dan persamaan, bentuk penyajian dalam tafsirnya, dan metode yang

47
Andi Miswar, “Corak Pemikiran Tafsir Pada Perkembangan Awal Tradisi Tafsir Di
Nusantara ( Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Abd Rauf al- Singkel),” Jurnal
Rihlah, vol. IV, no. 1, (2014): h. 115-129.
48
Malik Ibrahim, “Corak dan Pendekatan Tafsir al-Qurān,” SOSIO RELIGIA, vol. 9, no. 3
(Mei 2010): h. 642-658.
49
Aminah Rahmi Hati, “Metode Dan Corak Penafsiran Imam al-Alusi Terhadap al-Qurān
(Analisa Terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani),” (Skripsi S1 fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Sultan Kasyim ( Riau 2013), h.1-74.
15

dipakai dari kedua mufasir yang telah disebutkan. Sehingga permasalahan tentang
nusyūz dalam hal ini tidak terlalu ditekankan oleh penulis.50
Kemudian skripsi dengan judul Tindakan Suami Terhadap Istri Yang Nusyūz
Dalam QS. al-Nisa’ ayat 34 (Studi atas Penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab),
dijelaskan oleh penulis tentang bagaimana penafsiran kedua tokoh mufasir yang
sama-sama berasal dari Indonesia. Sehingga menurut penulis ini memudahkan
untuk mengkaji Q.S. al-Nisā’ (4) ayat 34, dan bagaimana seharusnya tindakan
suami terhadap istri yang melakukan nusyūz. Kemudian pada kesimpulannya
penulis menjelaskan bahwa kedua mufasir tersebut sama sama menjelaskan solusi
yang harus dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu menasihati, meninggalkan
atau menjauhi tempat tidurnya, memukulnya (pukulan yang tidak menyakitkan,
tidak di wajah, tidak di satu tempat dan tidak boleh memakai alat-alat). Sehingga
dari skripsi ini tidak terjadi perbedaan antara pemaknaan kata ḍorbun dari kedua
mufasir baik itu Hamka dan M.Quraish Shihab. Tetapi setelah itu Heri Susanto
berpendapat bahwa M.Quraish Shihab lebih relevan penafsirannya dari pada
Hamka, karena menurutnya penafsiran Quraish Shihab lebih komprehensif
ketimbang Hamka.51
Penelitian selanjutnya berupa sebuah artikel, karya Muhammad Solahuddin
dengan judul Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Dalam Tafsir al-Kasyāf.
Bahwa dalam penelitian ini doktrin-doktrin Mu'tazilah mempengaruhi al-
Zamakhsyarī dalam tafsirannya:
1. Al-Zamakhsyarī menta’wilkan ayat-ayat Al-Qurān sesuai dengan mazhab
Hanafi dan akidah Mu’tazilah yang dianutnya, dengan cara yang hanya
diketahui oleh orang yang ahli dan menamakan kaum Mu’tazilah sebagai
“Saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil”;
2. Al-Zamakhsharī berusaha memagari ayat-ayat agar sesuai dengan paham
Mu’tazilah, di antaranya; (1) Merubah makna ayat ke dalam makna lain; dan
(2) Al-Zamakhsyarī mendahulukan dan menerapkan prinsip-prinsip
mu’tazilah. Dalam menafsirkan al-Qurān, terlihat ketika posisinya sebagai

50
Alfi Nur’aini, “Penafsiran QS. Al-Nisā (4) : 34 Menurut Ibn ‘Āsyūr dan Muhammad
Quraish Shihab,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 1-79
51
Heri Susanto, “Tindakan Suami Terhadap Istri Yang Nusyuz Dalam QS. al-Nisa’ ayat 34
(Studi atas Penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab),” ( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta), h. 1-80
16

mufasir, memandang Al-Qurān secara umum, ia menjadikan ayat-ayat yang


jelas mendukung mazhabnya mu’tazilah sebagai muhkamat, sebaliknya jika ia
menemukan ayat-ayat yang jelas bertentangan, maka dianggapnya sebagai
mutashābihāt; dan (3) Al-Zamakhsharī menafsirkan ayat-ayat Alquran
berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama yang berkenaan dengan lima
prinsip, yaitu: tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat,
dan Amar ma’rūf nahī al-munkar.52
Artikel karya Lenni Lestari, dengan judul jurnal Epistimologi Corak Tafsir
Sufstik. Penelitian ini menjelaskan tentang konsep dan perkembangan tafsir
bercorak tasawuf. Kemudian dijelaskan bahwa Sumber penafsiran corak tafsir sufi
adalah intuisi dan filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah takwil. Metode yang
digunakan adalah taḥlili. Sedangkan validitas penafsiran cenderung pada penguasa
yang ada saat itu dan teori keilmuan mufasir. Menurut Lenni tidak semua ayat-ayat
al-Quran ditafsirkan oleh mufasirnya dalam nuansa tasawuf. Maka dari itu saya
ingin membuktikan penafsiran ayat ahkam yang ditafsirkan dengan corak sufi53.
Penelitian tentang nusyūz, dengan judul skripsi Pendapat Muhammad Nawawi
al-Bantani Mengenai Hukum Suami Memukul Istri Dalam Kitab Uqud al-Lujain
Dan Relevansinya Dalam Tindak Pidana KDRT, berisi tentang kesimpulan seorang
Mufasir asal Indonesia ini yang menafsirkan Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, bahwa
Pendapat Muhammad Nawawi al-Bantani mengenai kebolehan suami memukul
istri didasarkan pada penafsiran Q.S. al-Nisā (4) ayat 34. Isi dalam kitab Uqud al-
Lujain juga dijelaskan bahwa laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dari perempuan. Ke sewenang-wenangan laki-laki digambarkan sedemikian besar,
sedangkan perempuan digambarkan sedemikian rendah, tidak berdaya, dan wajib
tunduk pada suami54.
Sejauh ini dari beberapa penelitian yang sudah dikemukakan, penulis
berkesimpulan, sedikit sekali yang membahas pengaruh corak tafsir, pada

52
Muhammad Solahuddin, “Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Dalam Tafsir al-
Kassyāf,” Jurnal Ilmiah : Agama dan Sosial Budaya, vol.1, no. 1 (Januari 2016): h.1-20
53
Lenni Lestari, ” Epistimologi Corak Tafsir Sufstik,” Junal syahadah, vol.2, no.1 (April
2014): h. 26.
54
Ilma Rofiudn, “Pendapat Muhammad Nawawi al-Bantani Mengenai Hukum Suami
Memukul Istri Dalam Kitab Uqud al-Lujayyn Dan Relevansinya Dalam Tindak Pidana KDRT,”
(Skripsi S1Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo semarang, 2011), h. 1-75.
17

penafsiran ayat-ayat terkait hukum atau bukan hukum. Maka dari itu penulis ingin
membahas hal-hal tersebut agar bisa melengkapi penelitian-penelitian terdahulu.

H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara besar dan seluruh permasalahan yang
dibahas terarah, serta memudahkan pembaca dalam menelaahnya, maka penulis
membagi skripsi ini pada lima bab, sebagai berikut:
Bab pertama, berupa pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub-bab yaitu:
latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, kajian pustaka, dan metode penelitian serta sistematika
penulisan. Bab ini ditujukan untuk memberikan gambaran dari keseluruhan
permasalahan yang akan dibahas secara rinci dan detail pada bab-bab berikutnya.
Bab kedua, gambaran umum tentang corak penafsiran terhadap ayat-ayat
hukum. Berisi tentang penjelasan dari corak-corak tafsir dan ayat-ayat hukum,
ditunjukan untuk memberikan pemaparan terkait dengan corak tafsir secara umum.
Bab ketiga, berisi tentang pemaparan latar belakang mufasir dan penafsiranya
terkait dengan ayat-ayat hukum, berfungsi untuk dijadikan sumber data.
Bab keempat, berisikan tentang kerangka pemahaman serta analisis dari
corak-corak mufasir, dan hasil temuan terhadap kajian Q.S. al-Nisā (4) ayat 34.
Selain ditujukan untuk mengungkap persamaan dan perbedaan penafsiran yang
dihasilkan dari corak tafsir yang berbeda. Kajian pada bab ini juga ditujukan untuk
mengungkap latar belakang pemaknaan yang berbeda-beda dari ayat tersebut.
Penelitian ini diakhiri dengan bab kelima yang merupakan penutup, yaitu
berisi kesimpulan-kesimpulan dari data yang diperoleh serta saran-saran. Bab ini
akan menerangkan kesimpulan dari penelitian ini serta akan mengungkapkan
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini dan memberikan saran-
saran agar para peneliti selanjutnya bisa dengan mudah mencari kekurangan dalam
kajian ini
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG CORAK TAFSIR DAN AYAT HUKUM

A. Gambaran tentang Corak Penafsiran


Corak penafsiran dalam literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan dalam
bahasa Arab yaitu al-laun yang memiliki arti “dasarnya warna”.1 Sebelum berbicara
tentang corak, penulis ingin mencoba menjelaskan dasar dari munculnya penafsiran
yang berbeda ketika memahami teks. Artikel yang ditulis oleh A. Baijuri Khotib,
sedikit menyinggung masalah tersebut, ia mengatakan bahwa pemaknaan antara
pengarang- teks- pembaca seolah membentuk opini adanya perdebatan pemaknaan
di antara pemerhati makna. Perdebatan tersebut mengisyaratkan bahwa makna teks
dalam karya bersifat relatif, atau makna tidak lagi absolut.2
Karena teks itu bersifat relatif, maka pendapat ini dikuatkan lagi oleh
pendapatnya Roland Barthes, yang mengatakan bahwa ada jarak yang jauh antara
pengarang dan pembaca dalam memberikan makna, sehingga ia menitikberatkan
pemahaman suatu teks hanya pada pembaca, termasuk di dalamnya penafsir dalam
memberikan makna. Kemudian, ia menekankan bahwa pembaca atau penafsir
pastinya dipengaruhi oleh mitos, logika, kepercayaan dan situasi historis sehingga
teks dapat ditafsirkan atau diberikan makna sesuai dengan kondisi pembaca atau
penafsirannya.3
Al-Qurān itu tidak berubah dan selamanya yang disebut dengan tafsīr al-Qurān
memang selalu berubah dan berbeda. Hal ini didasari oleh perkataan ‘Alī ibn Abī
Ṭālib, “Al-Qurān tidak bisa bicara apa-apa tetapi yang berbicara adalah manusia”4.
Maka dari itu penafsir dari zaman klasik sampai modern, saat menelaah teks suci
dipengaruhi oleh situasi historis yang tentunya dapat berimbas pada corak, model,
makna atau pemahaman terhadap teks itu sendiri5.

1
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2011), h. 199
2
A. Baijuri Khotib, “Corak Penafsiran al-Qurān (Periode Klasik- Modern),” Jurnal
Hikamuna, edisi 1, vol. 1, no. 1 (2016): h. 115.
3
Roland Barthes, Image, Music, Text and Translated by Stephen Heath (New York: Hill
and Wang, 1977), h. 142.
4
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir. Penerjemah Alaika Salamullah. Syaifuddin Zuhri.
Badrus Syamsul Fata (Yogyakarta: eLSAQ press, 2006), h. xii.
5
Baijuri Khotib, “Corak Penafsiran al-Qurān (Periode Klasik- Modern),” h. 116.

18
19

Pemaknaan kata corak pun masih menjadi perdebatan. Penulis merasa bahwa
penjelasan ini menjadi penting, sebab dalam beberapa buku ‘Ulūm al-Qurān,
seringkali ditemukan kerancuan atas penggunaan kata corak dalam
mengidentifikasi jenis-jenis atau ragam penafsiran. Sebagian ada yang
menyamakan kata corak dengan metode. Sebagian lagi menyamakan corak dengan
pendekatan atau sifat penafsiran, seperti yang ditulis oleh Muhammad Ḥusain al-
Żahabī6.
Rasanya sulit untuk melacak siapa pertama kali yang menggunakan kata corak
dalam menjelaskan ragam penafsiran. Seandainya bisa dilacak, pasti akan
ditemukan jawaban dari maksud kata corak tersebut. Meskipun begitu, sebetulnya
bisa juga dilacak maksud istilah corak penafsiran dari sejumlah buku-buku ‘Ulūm
al-Qurān yang ada.
Penelitian yang membahas masalah corak, sebagian besar hanya membahas
satu tokoh mufasir dan karyanya, yang kemudian diteliti apa corak dan metode
tafsirnya, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Idris7, penelitian ini secara
keseluruhan membahas tentang tafsīr al-Bayḍāwī baik dari segi metode tafsirnya
atau corak tafsirnya, tetapi pada pembahasan corak, Idris menyebutkan bahwa kata
lain dari corak adalah kecenderungan atau Ittijāh / naz‘ah, kemudian yang menjadi
perhatian penulis adalah bahwa Idris di kalimat selanjutnya menjelaskan bahwa
setiap mufasir memiliki kecenderungan berbeda di setiap tafsirnya, sentuhan
berbeda akan berdampak pada produk-produk penafsiran nya. Sehinga pembaca
buku tafsir akan merasakan aroma kecenderungan mufasir dalam karya tafsirnya.
Kecenderungan-kecenderungan itu dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya,
faktor ideologis, spesialisasi ilmu dan kecenderungan mazhab fikih, dan selainnya.
Penelitian serupa dilakukan oleh Dony Burhan, yang membahas tentang corak
sastra dalam kitab tafsir yang dikarang oleh ‘Āisyah ‘Abd al-Raḥmān (Bint Al-
Syāṭī). Dony menjelaskan dalam artikelnya bahwa kitab tafsir bercorak sastra yang
dikarang oleh Bint Al-Syāṭī banyak dipengaruhi oleh Amin al-Khullī, kemudian

6
Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 1 (al-Qāhirah: Maktabah
Wahbah, 1978), h. 136-148.
7
Idirs, “Tafsīr al-Bayḍāwī (Analisis metode dan corak kitab Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-
Ta’wīl,” Al-Tsiqoh: Islamic Economy and Da’wa Journal, vol. 1, no. 2 (2016): h. 53-73.
20

dipaparkan metode sastra yang digunakan dalam tafsir tersebut dan disertai dengan
contoh penafsirannya8.
Penelusuran corak tafsir yang pernah dibahas oleh sebagian tokoh di dalam
bukunya, yaitu di antaranya: M. Quraish Shihab, yang menggunakan kata corak
untuk menyebut metode, yaitu corak bi al-ma’ṡūr9. Kemudian Nashruddin Baidan
juga mencoba untuk mengidentifikasi tafsir-tafsir Indonesia periode klasik,
pertengahan, pra-modern dan modern, ke dalam kategori bentuk, metode dan corak
tafsir. Kategori bentuk yang dimaksud adalah tafsir dengan bentuk bi al-ma’ṡūr dan
bi al-ra’yi. Sedangkan metode yang dimaksud adalah metode ijmalī, taḥlilī,
muqāran atau mauḍu‘ī. Terkait dengan corak, Nashruddin Baidan tidak
menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah corak tafsir itu sendiri. Meski
demikian ia pernah menyebut corak-corak tafsir adalah seperti corak fikih, tasawuf,
filsafat dan al-adābi al-Ijtima‘ī, Lugawī, dan lain-lain10.
Sedangkan ada seorang tokoh yang berbeda pendapat, mengenai permasalahan
corak, yaitu Abdul Mustaqim. Beliau menjelaskan bahwa corak tafsir adalah nuansa
khusus atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri terhadap sebuah
penafsiran, seperti nuansa kebahasaan, teologi, sosial-kemasyarakatan, psikologis
dan lain-lain11. Istilah nuansa tafsir juga dipakai oleh M. Nurdin Zuhdi yang turut
melanjutkan penelitian Islam Gusmian tentang nuansa tafsir Indonesia 1990-2000
dengan melanjutkan mengidentifikasi tafsir Indonesia tahun 2000-2010, seperti
berdasarkan nuansa kebahasaan, nuansa sosial kemasyarakatan, nuansa teologis,
nuansa sufistik, dan nuansa psikologis12.

8
Dony Burhan Noor Hasan, “Corak Sastra Tafsir al-Qurān ‘Āisyah ‘Abd al-Raḥmān “Bint
Al-Syāṭī”,” The Learning University, h. 121-129.
9
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurān, cet. Ke-3. (Bandung: Mizan, 1993), h. 83.
10
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qurān di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai,
2003), h. 37, 54, 68, 92, 105.
11
Abdul Mustaqim, Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qurān Periode
Klasih hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), h. 81.
12
M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi hingga
Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba, 2014), h. 1-320.
21

Dilihat dari kitab-kitab asing, seperti kitab berbahasa Arab yang dikarang oleh
Amīn al-Khūlī (1895-1966 M)13 dan Muhammad Alī Iyāzī14 menggunakan kata laun
dalam buku mereka. Al-Khūlī mengatakan bahwa setiap orang yang menafsirkan
teks pasti memberikan warna (yulawwinu) terhadap teks tersebut, tak terkecuali teks
sastra dengan penafsiran dan pemahamannya.
Orang yang memahami suatu ungkapan sebenarnya dialah melalui
kepribadiannya (syakhsiyyah) yang menentukan taraf pemikiran ungkapan tersebut.
Dialah yang menentukan seberapa jauh cakrawala intelektualitas dari makna dan
tujuan ungkapan itu. Cakrawala intelektualitas dari kepribadian seorang mufasir ini
bisa mewarnai penafsiran nya. Pewarnaan tersebut dipengaruhi oleh ilmu-ilmu
pengetahuan yang dipakai mufasir untuk menangani teks dan digunakan untuk
mengungkapkan makna15.
Terkait apakah corak itu dapat mempengaruhi hasil suatu penafsiran,
khususnya pada ayat-ayat hukum, sedikit artikel yang membahas tentang hal
tersebut, setelah di telusuri kembali, kebanyakan artikel membahas tentang corak
tafsir itu sendiri, dan perbandingan antara mufasir yang satu dengan yang lain.
Artikel yang ditulis oleh Abdul Syukur, menjelaskan tentang pengertian dan
pembagian corak tafsir, dan pada kesimpulannya ia berpendapat bahwa yang perlu
diperhatikan adalah apakah kecenderungan tersebut menjadi senjata bagi
penafsirannya untuk mendukung pendapatnya, sehingga terjebak pada pengalihan
makna al-Qurān sesuai dengan keinginannya, atau kecenderungan tersebut hanya
sebatas kecenderungan yang tidak memiliki motif tersembunyi untuk
memutarbalikkan makna al-Qurān, dan tetap menjadikan al-Qurān di atas

Nama lengkap dari Amīn al-Khūlī adalah Amīn Ibnu Ibrāhīm ‘Abd al-Bāqī Ibn ‘Āmir Ibn
13

Ismā‘īl Ibn Yūsuf al-Khūlī. Dia lahir di Syūsyai pada tanggal 1 mei 1895. sebuah kota kecil di Mesir.
Ia berasal dari keluarga petani gandum yang berpegang ketat pada tradisi keagamaan al-Azhar. Dia
memiliki wacana yang luas terhadap peradaban Barat dengan metodologi pengkajiannya. Ia
menempuh pendidikan formal di Sekolah Tinggi Hakim Agama pada tahun 1920, kemudian di
Eropa menjadi imam ekspedisi ilmiah dan Atase Agama Kedutaan Besar Mesir di Roma dan Berlin,
Jerman. Sepulang dari Eropa, ia ditunjuk menjadi dosen di universitas Mesir dan mengajar ilmu
Balaghah, Tafsir, dan Sastra Mesir. Di Al-Azhar, ia menjadi guru besar Filsafat dan Perbandingan
Agama pada Fakultas Ushuluddin, Lihat. Kāmil Sa’fān, Amīn al-Khūlī (Kairo: al-Hay’ah al-
Misriyah al-Āmma Li al-Kitāb, 1982), h. 5-13.
14
Muhammad ‘Alī Iyāzī, al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa manhajuhum (Teheran: Muassasah
al-Ṭiba’ah Wa al-Nasyr Wizarāt al-Syaqafah Wa al-Irsyād al-Islamī, 1313 H), h.33.
15
Amin Al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, penerjemah Khairon
Nahdiyyin (Yogyakarta: Adabpress, 2004), h. 65.
22

pendapatnya, dan bukan malah sebaliknya, al-Qurān dijadikan alat untuk


menjustifikasi pendapatnya16.
Penelitian serupa ditulis oleh Asy’ari, yang mencoba untuk memaparkan
sejauh mana perkembangan bentuk, metode dan corak penafsiran pada saat itu.
Asy’ari membagi bentuk penafsiran pada dua macam yaitu al-Tafsīr bi al-ma’ṡūr
dan al-Tafsīr bi al-ra’yi, sedangkan corak, ia membaginya pada corak sufi, fikih,
‘ilmi, falsafi, dan adabī. Kemudian pada bagian metode ia membaginya pada
metode taḥlilī, mauḍū‘ī, dan muqāran17. Penulis tidak menemukan masalah pada
penelitian yang ditulis oleh Asy’ari, maka dari itu perlu bagi penulis untuk
melanjutkan apa yang sudah diteliti oleh penulis-penulis sebelumnya.
Kemudian tidak sedikit juga kritik dari para sarjanawan muslim, terkait corak
tersebut, seperti yang dilakukan oleh Taufiq Adnan Amal dan Samsu Rizal,
terutama pada corak-corak teologis, sufistik dan ilmi. Penafsiran teologis umumnya
telah mendekati al-Qurān secara atomistik dan parsial serta terlepas dari konteks
kesejarahan dan kesusastraan dalam membela sudut pandang tertentu18.

B. Macam-Macam Corak Tafsir


Pembagian corak tafsir telah banyak ditulis oleh pemikir-pemikir muslim,
salah satunya yang disebutkan oleh seorang cendikiawan muslim di dalam kitabnya,
yaitu Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, bahwa beliau mengatakan19, ada
kecenderungan dari mereka untuk memaksakan bahwa corak-corak yang menjadi
kecenderungan mufasir hanya ada dalam metode tafsir al-Taḥlilī. Padahal, jika
memang corak itu kecenderungan yang menjadi arah tujuan dalam penafsiran, dan
ini menjadi kebiasaan yang sangat dipengaruhi pula oleh kemampuan dan keilmuan
mufasir, maka tidak menutup kemungkinan munculnya corak-corak penafsiran
dalam berbagai metode tafsir.

16
Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir al-Qurān,” Elfurqonia, v.1, no.1 (Agustus 2015):
h. 84-104.
17
Asy’ari, “Studi Tentang Bentuk Corak Dan Metode Tafsir,” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 1999), h. 43-94.
18
Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qurān:
Sebuah Kerangka Konseptual (Bandung: Mizan, 1989), h. 17.
19
Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 1 (al-Qāhirah: Maktabah
Wahbah, 1978), h. 136-148.
23

Terkait macam-macamnya, menimbulkan juga perbedaan-perbedaan


dikalangan pemikir-pemikir muslim maupun non-muslim, terhadap satu karya
tafsir. Sebut saja ‘Abdullah Sa‘īd, beliau menggolongkan kitab tafsir Fī Ẓilāl al-
Qurān karya Sayyid Quṭb ke dalam corak penafsiran sosial-politis (Sosio-political
exegesis).20 Sedangkan Mossimo Campannini menggolongkan kitab tafsir tersebut
ke dalam corak penafsiran yang radikal (Islamic Radical Exegesis).21
Selanjutnya penulis akan mengutip pendapat Imām al-Żahabī, yang tidak
membedakan antara corak dan metode, dalam kitabnya beliau menggabungkan
antara keduanya, yaitu antara lain22: al-Tafsīr bi al-ma’ṡūr, al-Tafsīr bi al-ra’yi,
Tafsīr al-ṣufiyah, Tasīr al-falāsifah, Tafsīr al-fuqahāi, al-Tafsīr al-‘ilmī, al-Laun
al-mażhabī, al-Laun al-ilhādī, al-Laun al-adabī al-ijtimā‘ī.
1. Tafsīr al-ṣufiyah
Tafsir bercorak sufi, biasanya tafsir dengan kecenderungan men-takwil-kan al-
Qurān selain dari apa yang tersirat, dengan berdasar pada isyarat-isyarat yang
nampak pada ahli ibadah.23 Tafsir corak seperti ini disebut juga dengan tafsīr
isyārī24, yaitu menakwilkan al-Qurān dengan makna yang bukan makna
lahiriyahnya karena adanya isyarat yang samar dan diketahui oleh para penempuh
jalan spiritual dan tasawuf dan mampu memadukan antara makna-makna itu dengan
makna lahiriah yang juga dikehendaki oleh ayat yang bersangkutan25
Penelitian terkait dengan corak sufi, sudah ada beberapa yang pernah
membahas. Di antaranya adalah penelitian yang ditulis oleh Abdul Moqsith
Ghazali26, di dalam penelitianya tersebut membahas tentang corak sufi dari Imām
al-Gazāli. Peneliti juga menyebutkan bahwa orang pertama yang mendapat julukan
sufi adalah Jābir ibn Ḥayyān ibn ‘Abdillah al-Kūfi al-Azdi (w. 161 H.)27. Dan tiga

Abdullah Saeed, The Qur’an an Introduction (London and New York: Routledge, 2008),
20

h.211.
Massimo Campanini, The Basic The Qur’an (English: Routledge, 2007), h. 116.
21

Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 2, h. 418.


22
23
Abdul Kholid, Kuliah Madzahib al-Tafsir (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas
Ushuluddin, 2003), h. 56.
24
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur, 2011), h. 88.
25
Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qurān, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007), h.9-12.
26
Abd Moqsith Ghazali, “Corak Tasawuf al-Gazāli Dan Relevansinya Dalam Konteks
sekarang,” Al-Tahrir, v. 13, no. 1 (Mei 2013): h. 61 – 85.
27
R.A Nicholson, Fi al-Tasāwwuf al-Islamī wa Tarīkhihi (Kairo: Lajnah al-Ta’līf wa al-
Tarjamah wa al-Nashr, 1969), h. 3.
24

orang lainya yang disebutkan yaitu ‘Abdullah al-Kūfi al-Azdi (w. 161 H.), Abū
Haṣim al-Kūfi, ‘Abdu al-ṣufi (w. 210)28. Kemudian selain itu peneliti juga
menjelaskan pokok-pokok taṣawwuf yang dimiliki oleh Gazāli, dan setelah itu
barulah menganalisa ke relevanya dengan masa sekarang ini, sehingga
berkesimpulan bahwa sejauh yang bisa dilihat dari karya-karyanya al- Gazāli,
diketahui bahwa corak taṣawwuf al- Gazāli lebih dekat kepada taṣawwuf khuluqi-
‘amali dari pada taṣawwuf falsafī29.
Penelitian serupa dilakukan oleh Masrur30, dengan penelitian yang membahas
corak sufi dari kitab tafsir al-Azhar. Bahwa taṣawwuf modern Hamka sebenarnya
adalah taṣawwuf sunni atau akhlāqi. Kemudian penelitian yang tulis oleh Habibi al-
Amin31 yang membahas tentang corak sufi yang terdapat di dalam kitab Tafsīr Ṣufi
Laṭā‘if al-Isyārāt, ada sesuatu yang berbeda dari kitab ini, yaitu ada corak yang
serupa dengan corak sufi, yaitu corak psikologi, dari segi objeknya yakni sama-
sama membedah kejiwaan.
Lebih jauh lagi al-Żahabī menjelaskan tentang perkembangan dan keberadaan
tafsir sufi isyari, ia mengatakan bahwa tidak terdengar ada seorang yang mengarang
kitab tertentu tentang tafsir sufi yang menafsirkan ayat demi ayat dalam al-Qurān
seperti dalam tafsīr isyārī. Maka yang ditemukan adalah keterangan-keterangan
yang terpencar-pencar yang termuat dalam penafsiran yang disandarkan kepada Ibn
‘Arabi dan kitab Al-Futūḥāt al-Makiyyah, karangan beliau, sebagaimana sebagian
yang lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak
penafsirannya berbeda-beda32.
2. Tasīr al-falāsifah
Artikel terkait corak atau tafsir ini, telah banyak dibahas oleh peneliti-peneliti
yang ada di Indonesia, penelitian yang ditulis oleh Syafieh, membahas tentang
perkembangan tafsir Falsafi dalam pemikiran islam kini telah dikaitkan oleh ilmu

28
Kāmill Muṣṭafā al-Syaybi, al-ṣilah bayn al-Taṣawwuf wa al-Tashayyu’ (Mesir: Dār al-
Ma’ārif, tt.), h. 265-266.
29
Abd Moqsith Ghazali, “Corak Tasawuf al-Gazāli Dan Relevansinya Dalam Konteks
sekarang,” h. 83.
30
Masrur, “Pemikiran Dan Corak Tasawwuf Hamka Dalam Tafsir al-Azhar,” Medina-Te,
Jurnal Studi Islam, v. 14, no. 1 (Juni 2016): h. 17-24.
31
Habibi al-Amin, “Tafsīr Ṣufi Laṭā‘if al-Isyārāt Karya al-Qusyairī Perspektif Tasawwuf
dan Psikologi,” Ṣuḥuf, v. 9, no. 1 (Juni 2016): h. 59-78.
32
Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 2, h. 377.
25

hermeneutik, bahwa peneliti mengatakan Tasīr al-falāsifah, yakni menafsirkan


ayat-ayat al-Qurān berdasarkan pemikiran atau pandangan filsafat, seperti tafsīr bi
al-Ra’yi. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang
ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. seperti tafsir yang dilakukan al-
Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al- Ṣafa. Menurut al-Żahabī, tafsir mereka ini ditolak
dan di anggap merusak agama dari dalam33.
Penelitian serupa membahas tentang Tasīr al-Ṣufi al-Falsafi prespektif Ibn
‘Arabī terkait dengan perempuan di dalam al-Qurān. Bahwa pada penelitian itu
peneliti mengatakan Tasīr al-falāsifah adalah tafsir yang di dalamnya mengandung
unsur-unsur filsafat dalam menafsirkan setiap ayat-ayat al-Qurān34.
Perkembangan corak ini, telah dibahas oleh Miftachur Rosyidah. Menulis
sebuah artikel tentang perbandingan corak atau tafsir falsafi, dengan menjelaskan
latar belakang munculnya, dan aspek-aspek pendukung corak tafsir falsafi, seperti
Tafsīr al-‘Ilm, Tafsīr Isyārī dan Tafsīr Bāṭinī. Sehingga peneliti berkesimpulan
munculnya Tafsir Falsafi dangan segala tantangan dan dukungan yang ada
merupakan fenomena kemajuan umat Islam dalam pola pemikiran filosofis yang
pada gilirannya akan mampu memberikan konstribusi positif bagi kemajuan umat
Islam.35
3. Tafsīr al-fuqahāi
Pembaharuan corak fikih telah coba dilakukan oleh seorang cendikiawan
muslim, yaitu ‘Abdullah Aḥmad al-Na‘im. Melalui artikel yang terkait dengan
‘Abdullah Aḥmad al-Na‘im, penulis mengutip penelitian yang ditulis oleh
Muhammad Makmun Abha, yang mengatakan bahwa Prof. Dr. ‘Abdullah Aḥmad
al-Na‘īm lahir dengan sejumlah pemikirannya yang ingin melakukan perombakan
terhadap metode dan rumusan para ‘Ulamā fikih klasik. Salah satu konsepnya yang
terkenal liberal yakni konsep nāskh mansūkh dimana ia berpendapat bahwa ayat al-

33
Syafieh, “Perkembangan Tafsir Falsafi Dalam Ranah Pemikiran Islam,” Jurnal At-
Tibyan, v. 2, no. 2 (Juli-Desember 2017): h. 4.
34
Layliati Sa’adah, “Tafsir Ṣūfī Falsafī Ibn ‘Arabi Tentang Perempuan Dalam al-Qurān,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h.
16.
35
Miftachur Rosyidah, “Tafsir Falsafi: Sebuah Telaah Perbandingan,” Tribakti, v. 14,
no.1 (Januari 2005): h. 1-11.
26

Qurān yang awal me- nāskh ayat yang turun kemudian (dalam hal ini hukum ayat
Makkah mengganti hukum ayat yang turun di Madinah).36
Lebih jauh lagi artikel yang ditulis oleh Sofyan, membahas tentang corak fikih
Literalistik-Tekstualistik, peneliti mencoba menjelaskan ada corak fikih yang
secara literal artinya mendedikasi hukum dari al-Qurān dan Ḥadīṡ secara tekstual.
Kemudian menurutnya Kecendrungan tekstualisme ini sebenarnya mulai
diperlihatkan oleh Imam Syāfi‘ī bahkan mungkin bisa dikatakan beliau adalah
peletak dasar paradigma literalisme.37
4. Tafsīr al-adabī al-ijtimā‘ī
Corak ini berupaya menyingkap keindahan bahasa al-Qurān dan mukjizatnya;
menjelaskan makna dan maksudnya; memperhatikan aturan-aturan al-Qurān
tentang kemasyarakatan; mengatasi persoalan yang dihadapi umat islam secara
khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum. Semua itu diuraikan dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk al-Qurān yang menuntun jalan bagi kebahagiaan
dunia dan akhirat. Selain itu corak tafsir ini berupaya menghilangkan keraguan
mengenai al-Qurān dengan mengemukakan argumentasi yang kuat.38
Pembahasan tentang contoh tafsir sosial ini atau disebut al-ijtimā‘ī telah
dilakukan oleh sarjanawan muslin, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Choirul mahfud yang membahas tentang kontekstualitas tafsir sosial dalam
ibadah qurban, bahwa menurutnya di sinilah, tafsir sosial atau tafsir yang bercorak
al-ijtimā‘ī kontekstual juga memiliki dimensi kemanfaatan dan kemaslahatan
sosial yang luas bagi masyarakat.39
5. Tafsīr Balagī atau Lugawī
Corak tafsir bercorak Lugawī adalah sebuah tafsir yang cenderung mengaitkan
tafsirnya pada bidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi i’rab, harakat, bacaan,
pembentukan kata, susunan kalimat dan kesusastraannya. Tafsir semacam ini

36
Muhammad Makmun Abha, “Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih (Telaah atas Pemikiran
Tafsir ‘Abdullah Aḥmad al-Na‘im),” Jurnal Syahadah, v. 2, no. 1 (April 2014): h. 52-68.
37
Sofyan, “Corak Fikih Literalistik-Tekstualistik,” Jurnal Al- Ulum, v. 10, no. 2 (Desember
2010): h. 291-308.
38
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), h. 174.
39
Choirul Mahfud, “Tafsir Sosial Kontekstual Ibadah Kurban Dalam Islam,” Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), h. 1-16.
27

selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat Al-Quran juga menjelaskan segi-


segi kemukjizatannya.40
Hal yang mendasari munculnya corak ini adalah salah satunya seperti muncul
akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam. Akibat kurang
memahami bahasa Arab, mereka tidak mampu menyelami keindahan bahasa al-
Qurān.41
Penafsiran dengan model corak kebahasaan merupakan ragam penafsiran al-
Qurān pada periode awal. Yang dimaksud dengan kebahasaan di sini adalah
berfokus pada kajian filologi dan ilmu-ilmu gramatikal. Tafsir dengan corak bahasa
(Tafsīr al-Lugawī), yang menonjol atau mendominasi biasanya adalah pembahasan
tentang ṡaraf, istiqāq, naḥwu, argumen-argumen dari bahasa Arab (seperti Syair),
dan uslub-uslub bahasa Arab.42
6. Tafsīr Ḥarakī
Penelitian yang dilakukan oleh Abu Sufyan, membahas tentang manhaj ḥarakī,
bahwa ia mengatakan hanya sedikit saja yang melakukan penelitian terhadap istilah
baru ini. Karena istilah ini baru muncul di awal abad 20 M, Seperti ‘Abd al-Fattāḥ
al-Khālidī melalui dua karyanya, yaitu Ta’rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufasirīn,
dan al-Manhaj al-Ḥarakī fī Zilāl al-Qurān. Akan tetapi, dalam karyanya ini tidak
memberikan penjelasan secara komperhensif pada istilah ini. Begitu pula
kurangnya pembahasan ilmiyah yang menyangkut perjalanan sejarah dan
berkembangnya manhaj ḥarakī43.
Sejauh pencarian penulis, pembahasan tentang corak ini lebih tertuju pada
kitabnya Sayyid Quṭb. Karena pada penafsiran Sayyid Quṭb di dalam kitabnya,
memiliki corak ḥarakī, yang mana menurut sebagian cendekiawan hal ini
dipengaruhi akibat mendekamnya Sayyid Quṭb terlalu lama di penjara sehingga

40
Abd. Kholid, Madzahib al-Tafsir (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003), h. 61.
41
Saiful Amin Ghafur, Profil ParaMufassir (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008),
h.14-15.
42
Musa‘ad Ibn Sulaimān ibn Nasīr al-Ṭayyār, Al-Tafsīr al-Lugawī li al-Qurān al-Karīm
(t.Tp: Dār Ibn Al-Jauzi, 1422 M), h.120
43
Abu Sufyan, “Deradikalisasi Penafsiran Mufassir Manhaj Ḥarakī Terhadap Ayat-ayat
Qitāl (Analisis Penafsiran Sayyid Quṭb dengan Teori Naskh Maḥmūd Muḥammad Ṭaha),” (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018), h. 1-
128.
28

penghayatan terhadap al-Qurān, Islam, kehidupan dan perjuangannya menjadi


berkembang.44

44
Ṣalāḥ ‘Abd Fattāḥ, Ta’rīf al-Darisin bi Manāhij al-Mufassirīn (Damaskus: Dār al-Qalam,
2002), h. 605-606.
BAB III

RAGAM MUFASIR DAN CORAK TAFSIRNYA

Pembahasan pada bab ini, akan menguras latar belakang mufasir dan
penafsiranya terkait dengan ayat-ayat yang sudah penulis sebutkan pada bab-bab
sebelumnya. Penulis membagi pada bab ini, menjadi dua bagian, yaitu kelompok
pertama adalah mufasir yang penafsirannya bercorak fikih, lugawī, al-adabī al-
ijtimā‘ī, dan ḥarakī. Sedangkan kelompok kedua, adalah mufasir yang
penafsirannya bercorak tasawuf. Guna menemukan hasil yang sesuai dari ayat-ayat
yang dikaji pada penelitian ini.

A. Kelompok Pertama
Mufasir dengan corak yang berbeda, di antaranya adalah al-Qurṭubī, M.
Quraish Shihab, Al-Zamakhsyarī, dan Sayyid Quṭb.
1. Corak Fikih al-Qurṭubī
Ulama yang disebut memiliki corak fikih pada penafsirannya salah-satunya
adalah al-Qurṭubī, berikut penulis akan memaparkan tulisan terkait dengan al-
Qurṭubī1. Ia dilahirkan di Cordoba (Spanyol) tahun 486 H/1093 M dan wafat pada
bulan Syawal tahun 671 H/1172 M2, ia lahir di lingkungan keluarga petani di
Cordoba pada masa kekuasaan Bani Muwāḥiddūn3. Setelah tinggal di Cordoba,
kemudian ia pindah ke Mesir dan menetap di sana, hingga menghembuskan napas
terakhir. Ia meninggal dunia di Mesir pada malam senin tanggal 9 syawal tahun 671
H. Makam ia berada di kota Elemennya sebelah timur sungai Nil, sampai sekarang
makam ia sering diziarahi oleh banyak orang.4 Sehingga pada tahun 1971 M di sana
dibangun sebuah masjid sekaligus diabadikan nama Imam al-Qurṭubī pada masjid,

1
Nama aslinya Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr bin Farḥ al-Anṣārī al-
Khazrajī al-Andalusī al-Qurṭubī. Lihat. Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr bin
Farḥ al-Anṣārī al-Khazrajī al-Andalusī al-Qurṭubī, al-Jami’ Li Aḥkām al-Qurān, Juz I (Beirut:
Muassasah al-Risālah, 2006), h 37.
2
Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid V (t.k: Universitas Sriwijaya,
2011), h. 71.
3
Sayyid Muḥammad ‘Alī Iyyazi, al-Mufasirūn: Ḥayatuhum Wa Manḥajuhum ( Teheran:
Mu‘assasah al-Ṭibā‘ah Wa al-Nasyr, 1414H), h. 408.
4
al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān, Juz. 1 (Beirut : Muassasah al-Risalah, 2006), h.
6.

29
30

yang diberi nama Masjid al-Qurṭubī.5 Kemudian jika Imam al-Qurṭubī wafat pada
tahun 671H / 1172 M, maka ia hidup sampai berusia lebih dari 79 tahun menurut
kalender masehi, atau kurang lebih 81 tahun berdasarkan kalender hijriah.6
Al-Qurṭubī juga seorang yang haus akan ilmu pengetahuan7, pendidikan yang
dijalaninya sudah dimulai sejak ia kecil.8 Aktivitas dalam mencari ilmu ia jalani
dengan serius di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu, diantaranya
adalah al-Syeikh Abū al-‘Abbas Ibn ‘Umar al-Qurṭubī dan Abū ‘Alī al-Ḥasan Ibn
Muḥammad al-Bakr.9
Begitu juga Paham Mazhab dan Teologi yang dianut oleh al-Qurṭubī10 adalah
ahl al-sunnah wa al-jamā‘ah. Ia tidak membiarkan serangan-serangan Muktazilah
terhadap pemikiran Sunni baik dalam persoalan hukum maupun akidah. Begitupun

5
al-Qashabi Maḥmūd zalaṭ, al-Qurṭubī Wa Manḥājuhum fī Tafsīr (Kuwait: Dār al-Qalam,
1981), h. 6 dan 30.
6
Muhammad Aris Imroni, “Corak Tafsir Ayat Ahkam al-Qurṭubī,” (Desertasi S3 Fakultas
Ushuluddin, Pasca Sarjana Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 54.
7
Al-Qurṭubī dikenal memiliki semangat kuat dalam menuntut ilmu. Ketika Perancis
menguasai Cordoba pada tahun 633 H/1234 M, ia pergi meninggalkan Cordoba untuk mencari ilmu
ke negeri-negeri lain yang ada di wilayah timur. Al-Qurṭubī kemudian riḥlah ṭalab al-‘ilmi menulis
dan belajar dengan ulama-ulama yang ada di Negara Mesir, Iskandariyah, Manṣurah, al-Fayyun,
Kairo, dan wilayah-wilayah lainnya. Lihat. Heri Siswanto, “Konsep Penerimaan Amal Dalam al-
Qurān Karya Muḥammad Bin Aḥmad Bin Abī Bakr Bin Farḥ al-Qurṭubī Tafsīr al-Jami’ Li Ahkam
al-Qurān Wa al-Mubayyin Limā Tahammanahu Min al-Sunnah Wa ayyi al-Furqān,” (Tesis S2
Fakultas Ushuluddin, Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016), h. 24.
8
Al-Qurṭubī sejak kecil telah mempelajari berbagai disiplin ilmu ke beberapa guru, dan
setelah dewasa ia baru berkelana ke berbagai kota yang telah disebutkan sebelumnya. Ia sangat luas
dalam mengkaji ayat-ayat hukum, dari mengemukakan masalah-masalah khilafiyah, menengahkan
dalil bagi setiap pendapat dan mengomentarinya serta tidak memihak pada mazhab. Ketika sedang
berargumen, ia selalu santun dalam berdebat dengan lawannya karena ia memiliki penguasaan ilmu
tafsir dan ilmu syari‘at yang tidak diragukan lagi. Lihat. Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an . Penerjemah Mudzakir AS ( Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), h. 520.
9
Ibn Farhun, al-Dībāj al-Mażhab Fī Ma’rifah A’yān ‘Ulamā al-Mażhab (Beirut: Dār al-
Fikr, t.th.), h. 317.
10
Al-Qurṭubī dalam perjalanan intelektualnya ternyata dibarengi dengan pemahaman
teologi dan mazhab sebagai bagian dari cara berpikirnya dalam menuangkan kitab tafsirnya. Pada
beberapa literatur disebutkan bahwa al-Qurṭubī adalah seorang penganut Sunni al-‘Asy‘ārī dimana
ia membela dan mempertahankan ahlu sunnah. lihat. Sayyid Muḥammad ‘Alī Iyyazi, al-Mufasirūn:
Ḥayatuhum Wa Manḥajuhum, h. 411.
31

mazhab fikihnya adalah Mazhab Mālikī.11 Metode yang digunakan dalam


penafsirannya adalah metode taḥlilī .12
Penafsiran al-Qurṭubī, Penafsiran tentang Q.S al-Nisā ayat 34, Imam al-
Qurṭubī membaginya pada 13 masalah13, di antara 13 masalah penulis hanya
memasukan sebagian masalah yang menurut penulis ini penting untuk dibahas,
diantaranya:
Pertama, kata al-Rijālu qawwāmūna ‘alā al-nisā memiliki arti laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita. Maksudnya adalah memberikan nafkah dan
membela mereka, juga karena laki-laki itu ada yang menjadi hakim, pemimpin dan
orang yang suka berperang, sedangkan wanita tidak ada, sering disebut juga
Qawwam dan Qayyim. Kemudian pada permasalahan pertama ini, beberapa hadis
dijelaskan oleh al-Qurṭubī untuk menunjukkan sebab turunnya ayat ini. Yaitu
berkenaan dengan Sa‘ad bin Rābi’ dimana istrinya Ḥabībah bint Zaid bin Khārijah
yang durhaka kepadanya lalu ia menampar nya, kemudian Ḥabībah dan bapaknya
mendatangi Nabi, dan berkata “Wahai Rasulullah apakah aku harus
memisahkannya karena ia telah menamparnya?,” lalu Nabi Muḥammad bersabda
“Hendaknya istrinya membalas hal serupa kepada suaminya.” Istrinya pun pergi
dengan ayahnya untuk membalasnya, belum sempat mereka pergi jauh Nabi
Muhammad bersabda “kembalilah karena Jibril telah mendatangi ku, Allah

11
Dalam persoalan mazhab, ia adalah seorang Malikiyah (penganut mazhab Imam Mālik).
Dan hal ini dapat dilihat dari penafsirannya mengenai persoalan hukum atau fikih. Sebagaimana
yang terdapat pada Q.S al-Māidah ayat 6: “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. Imam al-Qurṭubī
dalam memahami kata fagsilū wujūhakum (maka basuhlah mukamu), Allah menyebutkan 4 anggota
tubuh: pertama, wajah; yang diwajibkan untuknya membasuh (nya). Kedua, kedua tangan; yang
diwajibkan untuk keduanya adalah membasuh keduanya. Ketiga, kepala; yang diwajibkan untuknya
adalah menyapu (nya). Keempat, kedua kaki; terjadi silang pendapat terhadap apa yang diwajibkan
untuk keduanya. Lebih lanjut ia memaparkan bahwa saat membasuh wajah air harus dipindahkan ke
wajah dan tanganpun harus diusapkan kepadanya, inilah hakikat membasuh menurut mazhab
Maliki. Lihat. Al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān, Juz. 1, h. 327.
12
Menurut Amīn al-Khūlī dalam bukunya Manāhij Tajdīd bahwa dalam penulisan kitab
tafsir dikenal beberapa sistematika penulisan, yaitu muṣhāfī, nuzūlī, dan mawḍū‘ī. Jika dilihat dari
penafsiran al-Qurṭubī, ia menafsirkan ayat sesuai dengan urutan muṣhāf, maka berdasarkan
kategorisasi metode tafsir, maka dapat dikatakan bahwa tafsir al-Qurṭubī ini memakai mmetode
taḥlilī. Hal ini dapat dilihat dalam tafsirnya ketika secara panjang lebar dan mendalam ia
menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai aspek secara runtut dengan langkah-langkah
penafsiran sesuai dengan metode tafsir taḥlilī. Lihat. Heri Siswanto, “Konsep Penerimaan Amal
Dalam al-Qurān Karya Muḥammad Bin Aḥmad Bin Abī Bakr Bin Farḥ al-Qurṭubī Tafsīr al-Jami’
Li Ahkam al-Qurān Wa al-Mubayyin Limā Tahammanahu Min al-Sunnah Wa ayyi al-Furqān,” h.
34.
13
Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz 6
(Beirut: al-Resalah, 2008), h. 278
32

menurunkan ayat ini.” Nabi bersabda lagi “Kami menginginkan satu perkara, tapi
Allah menginginkan yang lain.”14
Kedua, firman Allah SWT “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyūznya.” Al-Nusyūz adalah durhaka, terambil dari kata al-nasyz, yaitu sesuatu
yang tinggi di permukaan bumi. Maka ayat ini bermakna jika kamu takut atau
khawatir akan kedurhakaan dan kesombongan mereka terhadap apa yang
diwajibkan Allah kepada mereka yaitu mentaati para suami. Abū Manṣūr al-Lugawī
berkata, “nusyūz adalah bencinya salah seorang dari dua pasangan terhadap
pasangannya.”15
Ketiga, Firman Allah fa‘iẓūhunna (maka nasihatilah mereka), nasihatilah
mereka apa saja yang Allah wajibkan kepada mereka berupa pergaulan yang baik
terhadap suami, dan pengakuan akan kedudukannya terhadap istri. Kemudian al-
Qurṭubī memaparkan beberapa hadis, seperti hadis “Jika aku dibolehkan
memerintahkan untuk sujud kepada yang lain, pastilah aku perintahkan istri untuk
sujud kepada suami” dan hadis “Wanita manapun yang bermalam dengan
memisahkan diri dari ranjang suaminya (menolak hubungan intim) maka Malaikat
akan melaknat nya sampai pagi.”16
Keempat, Firman Allah Wahjurūhunna fī al-maḍāji’ (dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka), menurut al-Qurṭubī apabila suami berpaling dari ranjang
istrinya (tidak menggaulinya), maka jika si istri itu mencintai suaminya, hal itu akan
membuat dia susah sehingga ia akan kembali untuk kebaikan. Dan jika ia
membencinya maka akan muncul penentangan dari istri, sehingga terlihat bahwa
penentangan tampak dari pihak istri. Jika dilihat dari beberapa hadis tersebut,
makna kalimat ini adalah memisahkan, dan menurut jumhūr al-‘ulamā batasan
memisahkan diri dari istri itu adalah satu bulan sebagaimana yang dilakukan Nabi
SAW, ketika Nabi bercerita kepada Ḥafṣah lalu ia menyebarkannya kepada ‘Āisyah
lalu keduanya berdemonstrasi kepada ia, dan tidak sampai pada waktu 4 bulan yang

14
Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz
6, h. 279.
15
Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz
6, h. 282.
16
Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz
6, h. 283.
33

Allah jadikan batas untuk orang yang melakukan li‘an (sumpah untuk tidak
bersetubuh dengan istri).17
Kelima, Firman Allah Waḍribū hunna (dan pukulah mereka), Allah
memerintahkan untuk memulainya dengan nasihat dahulu kemudian pisah ranjang,
bila belum berhasil maka pukulah, karena itulah yang dapat memperbaikinya dan
yang dapat mendorongnya untuk memenuhi hak suaminya. Sedangkan pukulan di
sini adalah pukulan pendidikan bukan pukulan yang menyakitkan, tidak
mematahkan tulang dan tidak menyebabkan luka seperti meninju dan yang
semisalnya, karena tujuannya untuk memperbaiki bukan yang lain. Seperti sabda
Nabi “Pukulah para istri itu apabila mereka menentang kalian dalam kebaikan
dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” ‘Aṭa’ berkata: Aku berkata kepada Ibn
‘Abbās, “Apa itu pukulan yang tidak menyakitkan?” ia menjawab, “dengan kayu
siwak atau yang semisalnya.”18
Keenam, Apabila ini telah ditetapkan maka ketahuilah bahwa Allah tidak
memerintahkan sesuatu dalam kitab-Nya untuk memukul dengan tegas kecuali
dengan hukum ḥadd yang besar. Allah menyamakan kemaksiatan istri kepada
suami dengan dosa-dosa besar. Dan suami tidak wajib menafkahkan istri apabila ia
durhaka kepadanya.19

2. Corak al-Adabi al-Ijtimā‘ī M. Quraish Shihab


Mufasir yang termasyhur di Indonesia yang sangat produktif dalam
menghasilkan karya-karya berkenaan dengan tafsir dan Alquran. Salah satu
karyanya yang monumental adalah Tafsir al-Misbah yaitu M. Quraish shihab,
dengan bercorak al-adabī al-ijtimā‘ī.20

17
Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz
6, h. 284.
18
Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz
6, h. 285.
19
Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz
6, h. 297.
Abdurahamn Rusli Tanjung, “Ananlisis Terhadap Corak Tafsir al-adabī al-ijtimā‘ī,”
20

Analytica Islamica, vol. 3, no. 1 (2014): h. 162-177.


34

Biografi singkat M. Quraish Shihab M21, beliau besar di keluarga yang senang
dengan ilmu.22 Begitu juga latar belakang pendidikannya mulai dari sekolah dasar
hingga menggapai Gelar Doktor, ia lalui dengan nilai diatas rata-rata.23
Corak dan Metode Tafsir, telah banyak penelitian terkait corak dan metode
yang ada pada tafsir M. Quraish Shihab, semua sepakat dengan menggolongkannya
sebagai satu corak24 dan metode yang sama. 25
Akan tetapi menurut Gusmian, Tafsir Al-Misbah ini digolongkan sebagai karya
tafsir yang menggunakan metode tematik modern. Yaitu, model penyajian tematik

21
M. Quraish Shihab dilahirkan pada 16 Februari di Kabupaten Sidenreng Rappang,
Sulawesi Selatan sekitar 190 Km dari kota Ujung Pandang. Ia berasal dari keturunan Arab terpelajar.
Shihab merupakan nama keluarganya (ayahnya) seperti lazimnya yang digunakan di wilayah Timur
(anak benua india termasuk Indonesia). Lihat. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an
(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 236.
22
Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat, pada usia sembilan tahun, ia
sudah terbiasa mengikuti ayahnya ketika mengajar. Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986)
merupakan sosok yang banyak membentuk kepribadian bahkan keilmuannya kelak. Ia menamatkan
pendidikannya di Jam’iyyah al-Khair Jakarta, yaitu sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia. Ayahnya seorang Guru besar di bidang Tafsir dan pernah menjabat sebagai rektor IAIN
Alaudin Ujung Pandang dan juga sebagai pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung
Pandang. Lihat. Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan,
1999), h. 5.
23
Memulai pendidikan di Kampung halamannya di Ujung Pandang, dan melanjutkan
pendidikan menengahnya di Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dār al- Hadīṡ al-Fiqhiyyah.
Kemudian pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo Mesir untuk meneruskan pendidikannya di al-
Azhar dan diterima di kelas II ṡanawiyyah. Selanjutnya pada Tahun 1967 dia meraih gelar Lc. (S1)
pada Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsīr Ḥadīṡ Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan
pendidikannya di fakultas yang sama, sehingga tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk spesialis Tafsīr
al-Qurān dengan judul al- I’jāz al-Tasyri’ li al-Qurān al-Karī Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab
kembali melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhar, dan menulis disertasi yang berjudul
Naẓm al-Durar li al-Baqā‘i Taḥqīq wa Dirāsah, sehingga pada tahun 1982 berhasil meraih gelar
doktor dalam studi ilmu-ilmu al-Qurān dengan yudisium Summa Cumlaude, yang disertai dengan
penghargaan tingkat 1 (Mumtaz Ma‘a Martabat al-syaraf al-‘Ula). Dengan demikian ia tercatat
sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut. Lihat. M. Quraish Shihab,
Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 6.
24
Corak tafsir yang dimiliki oleh M. Quraish Shihab dapat dikategorikan sebagai al-Adabi
al-Ijtimā‘ī, dikarenakan tema-tema yang dipilih mengandung uraian yang berkaitan dengan
kehidupan kemasyarakatan atau dalam istilahnya sosial-kultural. Di samping menjelaskan makna-
makna dan sasaran yang dituju oleh al-Qurān, mengungkapkan tatanan-tatanan kemasyarakatan
yang dikandungnya, sekaligus mampu memecahkan problematika umat Islam pada khususnya dan
umat manusia pada umumnya. Lihat. Ali Aljufri, “Corak Dan Metodelogi Tafsir Indonesia
“Wawasan al-Qurān” Karya Muhammad Quraish Shihab,” Rausyan Fikr, v. 11, no. 1 (Januari-Juni
2015): h. 144-145.
25
Adapun metode penafsiran yang digunakannya dalam tafsirnya adalah metode mauḍū‘i
(tematik, dapat diketahui dari kata pengantar yang disampaikan pada kitab tafsirnya, bahwa ia
mengatakan : “para pakar al-Qurān telah berhasil melahirkan sekian banyak metode dan cara
menghidangkan, pesan-pesan al-Qurān. Salah satunya adalah metode mauḍū‘i. Metode ini dinilai
dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qurān secara mendalam dan menyeluruh
menyangkut tema-tema yang dibicarakan.” Lihat. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan,
Kesan dan Keserasian al-Qurān, jilid 1 (Jakarta: Lentera hati, 2011), h. xi.
35

di mana di dalam satu karya tafsir terdapat banyak tema penting yang menjadi objek
kajian, dan disajikan berurutan sesuai dengan tartīb muṣḥafī.26
Penafsiran M. Quraish Shihab, terkait dengan Q.S. al-Nisā (4) ayat 34 bahwa
ia menyatakan: para lelaki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami adalah
Qawwāmūn, pemimpin dan penanggung jawab atas wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki)
secara umum telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar
mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Karena tidak semua istri taat
kepada Allah demikian juga suami maka ayat ini memberi tuntunan kepada suami,
bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku terhadap istri yang membangkang.
Jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut, dan jangan sampai juga sikap
suami berlebihan sehingga mengakibatkan runtuhnya kehidupan rumah tangga.27
Petunjuk Allah adalah: Wanita-wanita yang kamu khawatirkan yakni sebelum
terjadi nusyūz mereka, yaitu pembangkangan terhadap hak-hak yang dianugerahkan
oleh Allah kepada kamu, wahai para suami maka nasihatilah mereka pada saat yang
tepat dan dengan kata-kata yang menyentuh, tidak menimbulkan kejengkelan, jika
masih membangkang, maka tinggalkanlah mereka bukan dengan keluar dari rumah,
tetapi ditempat pembaringan kamu berdua, dengan memalingkan wajah dan
membelakangi mereka. Kalau perlu tidak mengajak berbincang paling lama tiga
hari berturut-turut untuk menunjukkan rasa kesal dan ketidak butuhanmu terhadap
mereka.
Jika sikap mereka berlanjut dan kalau inipun belum mempan, maka demi
memelihara kelanjutan rumah tanggamu maka pukulah merek, tetapi pukulan yang
tidak menyakitkan agar tidak menciderainya namun menujukan sikap tegas. Lalu
jika mereka telah mentaati kamu, baik sejak awal nasihat atau setelah
meninggalkannya ditempat tidur, atau saat memukulnya, maka janganlah kamu
menyusahkannya, dengan menyebut dan mengecam pembangkangan yang lalu.

26
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta:
Teraju, 2003), h. 129.
27
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.403.
36

Tetapi tutuplah lembaran yang lama, dan membuka lembaran baru dengan
bermusyawarah dalam segala persoalan rumah tangga.28
Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan ada 3 langkah yang
dianjurkan untuk ditempuh suami ketika istrinya nusyūz yang didasarkan pada Q.S.
al-Nisā (4) ayat 34, ketiga langkah tersebut adalah:
Pertama fa‘iẓūhunna, Suami ketika melihat tanda-tanda bahwa istri yang nusyūz
adalah dengan cara menasihatinya, dengan kata-kata menyentuh dan pada saat yang
tepat. Sehingga tidak menimbulkan masalah baru. Hal ini tentu saja harus dilakukan
dalam rangka memperbaiki kejiwaan dan tatanan kehidupan rumah tangga, bukan
untuk menambah rusaknya hati.29
Kedua wahjurūhunna fī al-maḍāji’, Firman-Nya Wahjurūhunna yang
diterjemahkan dengan “dan tinggalkanlah mereka” adalah perintah kepada suami
untuk meninggalkan istri, didorong oleh rasa tidak senang pada kelakuannya. Ini
dipahami dari kata “hajar” yang berarti meninggalkan tempat, atau keadaan yang
tidak baik, atau tidak disenangi menuju ke tempat dan atau keadaan yang baik atau
lebih baik. Kata ini tidak digunakan untuk sekedar meninggalkan sesuatu, tetapi di
samping itu juga mengandung dua hal lain. Yang pertama, bahwa sesuatu yang
ditinggalkan itu buruk atau tidak disenangi, ke dua, ia ditinggalkan untuk menuju
ke tempat dan keadaan yang lebih baik.30
Kata fī al-maḍāji’ yang diterjemahkan “dengan di tempat pembaringan”, di
samping menunjukkan bahwa suami tidak meninggalkan mereka di rumah, bahkan
tidak juga di kamar, tetapi di tempat tidur, bukan kata “min” yang berarti dari, yang
berarti meninggalkan dari tempat tidur. Jika demikian, suami hendaknya jangan
meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar yang biasanya tidur.
Kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalahpahaman dapat memperlebar
jurang perselisihan. Perselisihan hendaknya tidak diketahui oleh orang lain, bahkan

28
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,
h.403.
29
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,
h.408.
30
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,
h.409.
37

anak-anak dan anggota keluarga di rumah sekalipun. Karena semakin banyak yang
mengetahui, semakin sulit memperbaiki.31
Kalaupun kemudian ada keinginan untuk meluruskan benang kusut, boleh jadi
harga diri di hadapan mereka yang mengetahuinya akan menjadi aral penghalang.
Keberadaan di kamar membatasi perselisihan itu, dan karena keberadaan dalam
kamar adalah untuk menunjukkan ketidak senangan suami atas kelakuan istrinya,
maka yang ditinggalkan adalah hal yang menunjukkan ketidaksenangan suami itu.
Kalaupun seorang suami berada di dalam kamar dan tidur bersama, tidak ada kata-
kata manis, tidak ada hubungan seks, maka itu telah menunjukkan bahwa istri tidak
lagi berkenan di hati suami. Ketika itu wanita akan merasakan bahwa senjata ampuh
yang dimilikinya, yaitu daya tarik kecantikannya, tidak lagi mempan untuk
membangkitkan gairah suami.
Ketiga waḍribū hunna, M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kata waḍribū
hunna artinya pukulan ini tidak boleh menyakitkan agar tidak menciderainya
namun harus tetap menunjukkan sikap tegas. Waḍribū hunna yang diterjemahkan
dengan pukulah mereka terambil dari kata ḍaraba, yang mempunyai banyak arti.
Bahasa, ketika menggunakan dalam arti memukul, tidak selalu dipahami dalam arti
menyakiti atau melakukan suatu tindakan keras dan kasar32. Sebenarnya kata
ḍaraba, yang diterjemahkan memukul, digunakan al-Qur’an untuk pukulan yang
keras maupun lemah lembut.33
Kalau ketiga langkah yang diajarkan itu, belum juga berhasil, maka habis sudah
upaya yang dapat dilakukan suami, ketika itu, sudah sangat sulit membatasi
perselisihan mereka terbatas dalam kamar atau rumah. Kepada yang melihat atau
mengetahui adanya pertengkaran rumah tangga, baik keluarga, penguasa atau
orang-orang yang dipercaya mengurus kesejahteraan rumah tangga hendaknya
mengindahkan tuntunan ayat: Jika kamu wahai orang-orang yang bijak dan
bertakwa, khususnya penguasa, khawatir akan terjadi persengketaan antara

31
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,
h.410.
32
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,
h.410.
33
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,
h.411.
38

keduanya, yakni menjadikan suami dan istri masing-masing mengambil arah


berbeda dengan arah pasangannya sehingga terjadi perceraian, maka utuslah kepada
keduanya seorang ḥakam, yakni juru damai yang bijaksana untuk menyelesaikan
kemelut mereka dengan baik.34

3. Corak Lugawī al-Zamakhsyarī


Tokoh yang memiliki corak ini pada kitab tafsirnya, salah satunya adalah al-
Zamakhsyarī, dengan kitab tafsirnya al-Kassyāf, adalah kitab tafsir yang bersifat
al-ra’yi, tentunya akan lebih menekankan pada corak kebahasaan dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qurān dengan menunjuk pada balagah al-Qurān.35
Riwayat hidup Al-Zamakhsyarī, nama lengkapnya Abū al-Qasim Maḥmūd Ibn
Muḥammad al-Khawarizmī yang diberi gelar dengan sebutan jār al-Allah36. Gelar
ini ia dapatkan karena pernah pergi ke Mekkah dan tinggal beberapa lama disana37.
Ia lahir di salah satu desa khawarizim yang bernama zamakhsyar pada bulan Rajab
tahun 467 H. Dari nama desa itulah nama ia dinisbahkan dengan sebutan al-
Zamakhsyarī38. Ia dikenal begitu cerdas dan sangat mobilitan terhadap ilmu
pengetahuan, selalu menanamkan dalam dirinya pikiran-pikiran progresif bahkan
ia termasuk tokoh islam banyak dikritisi karena dengan kitab tafsirnya
menginterpretasikan ayat-ayat al-Qurān dengan secara rasional dan liberal.39
Mencari ilmu agama ia lalui dengan cara riḥlah dai satu kota ke kota lain,40
Sehingga banyak mengahsilkan karya dalam hidupnya.41 Pendek kata, dalam

34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,
h.413.
35
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h.49.
36
Muḥammad Ḥusain al-Żahabi, al-Tafsīr wa al-Mufasirūn (Kairo: Daār al-Ḥadīṡ, T.tb), h.
362.
37
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 39.
38
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
T.tb), h. 224
39
Sya’ban Muḥammad Ismā‘īl, al-Madkhal li Dirasah al-Qurān wa al-Sunnah wa al-‘Ulum
al-Islamiyyah, Juz II (Kairo: Dār al-Anshar, t.t.), h. 252.
40
Al-Zamaksyarī pada perkembangan intelektualitasnya tidak terlepas dari karakter ia yang
sangat gigih dalam melakukan perjalanan itu, ia sangat sering berpindah-pindah tempat, bepergian
dari satu tempat ke tempat yang lain hanya untuk menambah dan mencari keilmuanya, dan seringkali
bepergian ke Bagdād, Khurasān dan Quds (Palestina), bahkan di sinilah awal mula lahirnya kitab
al-Kassyāf . Lihat. Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsi, h. 224.
41
Dilihat secara rinci maka perjalanan ia dalam mencari ilmu agama, sudah dimulai sejak
masih berusia dini, mengingat sang ayah adalah seorang tokoh agama terkenal pada saat itu. Setelah
ia menamatkan pendidikan dasar, Ia meninggalkan desanya untuk menuntut ilmu ke Bukhara. Pada
39

perjalanan ia yang produktif dengan sentuhan penanya yang signifikan, yang


sampai saat ini banyak dipakai oleh para pelajar maupun pengajar sebagai bajan
rujukan. Setelah banyak berkontribusi untuk agama islam, pada tahun 538 H. Al-
Zamakhsyarī meninggal dunia di Jarjaniyah, sebuah daerah di Khawarizm.42
Paham Teologi43 dan Mazhab Fikih44. Melihat paham teologi dan mazhab yang
dianut oleh al-Zamakhsyarī karena adanya faktor lingkungan yang menjembatani
atau melatarbelakangi itu semua, diketahui bahwa pusat pemikiran Mu’tazilah
adalah bertempat di Khawarizm. Oleh karena itu konsekuensi dari pemikirannya
inilah yang mewarnai dalam kitab tafsirnya yang banyak menuai kontroversi dan
kritikan dari ulama lain.45 Selain itu corak dan paradigma pemikiran al-
Zamakhsyarī tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan, akan tetapi juga
dipengaruhi oleh guru-guru al-Zamakhsyarī yang berperan penting dalam
perjalanan intelektualitasnya.46
Adapun corak penafsirannya adalah termasuk corak lugawī.47Melanjutkan
pernyataan al-Żahabī bahwa kitab tafsir ini adalah kitab yang bersifat al-Ra’yi,

masa itu, Bukhara terkenal sebagai pusat pendidikan terkemuka di bawah dinasti Sāmānīd pada
waktu itu. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan aktivitasnya dalam berkarya yang
ditulisnya, mendorong untuk selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Sehingga
menyebabkan ia membujang seumur hidupnya. Lihat. Siti Khomsiatun, “Nusyuz Dalam Pandangan
Zamakhsyari Dalam Kitab al-Kassyyaf dan Amina Wadud dalam al-Qur’an And Woman (Study
Komparatif),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Instritut Agama Islam Negeri WaliSongo
Semarang, 2013), h. 46.
42
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 41.
43
Al-Zamakhsyarī dalam perkembangan intelektualitasnya banyak menganut paham yang
lebih berpijak pada rasionalitas yaitu Mu’tazilah. Oleh karena itu dalam tafsirnya cenderung liberal
dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Qurān, bahkan menurut sebagian rivalnya, ia terkesan
membela secara total ideologi Mu’tazilah dengan menggunakan segala macam argumen yang dapat
diajukan untuk kepentingan tersebut. Lihat. Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-
Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-Kasyyāf (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2009), h. 5-24.
44
Mazhab fikih yang dianut oleh ia adalah mazhab Imām Abū Ḥanīfah. Tidak menutup
kemungkinan bahwa paham teologi dan mazhab yang dianut oleh al-Zamakhsyarī sangat relevan,
karena Abū Ḥanīfah adalah seorang ulama yang dikenal dengan cara berfikir dalam hal hukum yang
transparantif dan rasional, yang tidak terlepas dari sumber-sumber islam. Namun Abū Ḥanīfah juga
dikenal dengan ulama yang sering melakukan Ijtihad dalam mengambil hukum. Lihat. Ahmad al-
Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab (Jakarta: Amzah, 2009), h. 19.
45
Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu al-Qurān, penerjemah Muzakir AS, h. 532.
46
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 43.
47
Pembahasan mengenai corak tafsir telah dibahas pada pembahasan sebelumnya, akan
tetapi pada pembahasan ini penulis lebih menekankan pada corak tafsir yang terdapat pada kitab
tafsir al-Kassyāf. Al-Zamakhsyarī terkenal sebagai orang yang ahli dalam bidang bahasa Arab, yang
meliputi sastranya, balagahnya, naḥwunya atau gramatika nya. Oleh karena itu, tidak mengherankan
kalau bidang-bidang keahliannya itu juga sangat mewarnai hasil penafsirannya. Al-Żahabī misalnya,
menyatakan bahwa penafsiran al-Zamakhsyarī lebih banyak berorientasi pada aspek balagah, untuk
menyingkap keindahan dan rahasia yang terkandung dalam al-Qurān. Lihat. Subḥ Ṣāliḥ, Membahas
Ilmu-Ilmu al-Qurān, penerjemah Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1996), h. 390.
40

tentunya akan lebih menekankan pada corak kebahasaan, dengan tujuan untuk
membuktikan keindahan sebagian aspek kemukjizatan al-Qurān.48
Penafsiran Al-Zamakhsyarī, terhadap Q.S. al-Nisā (4) ayat 34 dalam kitab al-
Kassyāf:
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),
dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka
perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah)
dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan Nusyūz
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka tinggalkanlah mereka di tempat
tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika mereka
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkanya,
sungguh Allah Maha Tinggi Maha Besar.”49

Ayat ini ditafsirkan oleh al-Zamakhsyarī dengan penafsiran kata perkata, pada
awal tafsir ayat ini, ia menafsirkan kata qawwāmūna ‘alā al-nisā yaitu bahwa laki-
laki itu adalah pemimpin para perempuan. Selanjutnya, qānitāt, diartikan dengan
“taat kepada suaminya”, dan jika mereka (istri) tidak ta’at kepada suaminya maka
mereka wajib dan berhak dihukum. Hal yang harus diketahui dari penafsiran ayat
tersebut bahwa laki-laki merupakan pemimpin perempuan dengan alasan kelebihan
laki-laki atas perempuan, laki-laki membayar mahar dan memberikan nafkah
keluarga.50
Al-Zamakhsyarī menafsirkan fa al-ṣāliḥāt dalam lanjutan ayat ini adalah
perempuan-perempuan yang taat (qānitāt) melaksanakan kewajibannya kepada
suami, dan menjaga kehormatan diri serta menjaga kehormatan keluarga serta
menjaga rumah tangga dan harta benda milik suami, maupun ketika dalam keadaan
ḥāfiẓat li al-gaib ketika suaminya tidak ada, serta menjaga rahasia suaminya51.
Menambah penjelasan dari tafsirnya Al-Zamakhsyarī memasukan sebuah hadis
yang diriwayatkan dari Abū Hurairah yaitu: “Sebaik-baik istri adalah perempuan
yang apabila engkau memandangnya menggembirakanmu, apabila engkau

48
Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, jilid 4 (al-Qāhirah: Maktabah
Wahbah, 1978), h. 9.
49
Kementerian Agama RI, Al-Qurān Dan Terjemahannya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 108-109.
50
Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-
Kasyyāf, h. 234.
51
Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-
Kasyyāf, h. 235.
41

memerintahkannya dia patuh padamu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya dia
akan menjaga dirinya dan harta benda mu.”52.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai nusyūz, bahwa menurutnya nusyūz
memiliki arti “bangkit”, ”menonjolkan”, atau ”mengeluarkan”. Pengertian itu bisa
berimbas pada arti “melawan”. Al-Zamakhsyarī memberikan satu perincian
terhadap kata nusyūz berarti “menentang suaminya dan berbuat dosa kepadanya”
atau dalam bahasa tafsirnya an ta’ṡā zaujahā. Dia juga meluaskan artinya dengan
“berbalik melawan suaminya dengan rasa kebencian dan memalingkan wajahnya
dari suaminya”. Karena dalam arti bahasa, nusyūz diartikannya sebagai
“penonjolan” atau “kebangkitan”.53
Kata fa ‘iẓūhunna, ditafsirkan oleh al-Zamakhsyarī memberi nasihat kepada
istri. Ini adalah tindakan pertama yang dilakukan oleh pemimpin atau kepala rumah
tangga, yaitu melakukan tindakan pendidikan. Kata selanjutnya al-Zamakhsyarī
menyebut fī al-maḍāji’ dengan arti tempat tidur. Yaitu jika seorang istri berlaku
nusyūz kepada suaminya maka cara yang selanjutnya adalah menjauhinya dari
tempat tidurnya, al-Zamakhsyarī menegaskan lagi kata ini juga berarti tidak
melakukan hubungan badan dengan seorang istri, bahkan ia menafsirkan kata ini
untuk tidak memasuki selimut yang sama dengan istrinya. Dikatakan bahwa kata fī
al-maḍāji’ juga memiliki arti rumah-rumah yang ditempati oleh seorang istri,
artinya tidak tinggal satu rumah dengannya.54
Kemudian adalah kata wa ḍribūhunna, Al-Zamakhsyarī memberikan tafsiran
bahwa pukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghair
mubarriḥ) yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak
merusak wajah. Pukulan yang tidak boleh melukai dan tidak boleh menyebabkan
luka, atau merusak tulang apapun, dan tidak menyentuh wajah. Ia juga menekankan
bahwa ketika istri tunduk maka kamu (suami) tidak boleh mengganggunya, dan
menafsirkan kata “Allah Maha Tinggi dan Besar” dengan arti bahwa kekuasaan

52
Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-
Kasyyāf, h. 235.
53
Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-
Kasyyāf, h. 235.
54
Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-
Kasyyāf, h. 236.
42

Allah terhadap kamu adalah lebih besar daripada kekuasaan kamu terhadap mereka
yang dibawah kamu.55

4. Corak Ḥarakī Sayyid Quṭb


Telah dibahas pembahasan tentang corak tafsir ini pada bab sebelumnya, maka
pada bab ini penulis ini menjelaskan tokoh dan penafsiranya terhadap ayat-ayat al-
Qurān dengan menggunakan corak ḥarakī. Mufasir yang dikenal menggunakan
corak ḥarakī pada pnafsiranya yaitu adalah Sayyid Quṭb.
Biografi singkat mufasir56 Latar belakang pemikiran Sayyid Quṭb , menurut
‘Abd al-Fatāḥ tidak terlepas dari pendidikan dan lingkungan yang diajarkan oleh ayahnya,
hal inilah yang membuat Sayyid Quṭb menjadi terkenal, dan ahli dalam bidang sosial,
politik, bahasa maupun pendidikan.57 Berbicara tentang politik, bahwa bapaknya
yang bernama al-Ḥajj Quṭb Ibrāhīm juga terlibat dalam gerakan politik dengan
menyertai Ḥizb al-Waṭanī (Partai Nasionalis) pimpinan Muṣṭafa Kāmil, sekaligus
pengelola majalah al-Liwā, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu di
mana ia adalah anggota lajnah pertai tersebut. Kemudian ayahnya meninggal dunia
setelah Sayyid Quṭb belajar di Kahirah.58
Latar belakang pendidikan Sayyid Quṭb,59 berawal dari pendidikan yang
dikasih orang tuanya. Selain pengaruh yang besar dari kedua orang tuanya, ternyata

55
Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-
Kasyyāf, h. 236.
56
Seorang pengarang kitab tafsir dengan nama asli Sayyid Quṭb Ibrāhīm ḥusain al-Syāżilī,
ia dilahirkan pada 9 Oktober 1906 di Kampung Mūsyā, daerah Asūṭ Mesir, dalam satu keluarga
yang kuat mematuhi ajaran agama dan mempunyai kedudukan yang terhormat di kampung itu.
Lihat. Abdul Mustaqim dan Syahiron, Studi Al-Qurān Kontemporer (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana: 2002), h. 111.
57
Ṣalah ‘Abd al-Fatāḥ, Sayyid Quṭb, al-Sayyid al-Ḥayyi (Jeddah: Daar al-Mannarah, 1981),
h. 56.
58
Jazilatun Nafsiah, “Kepemimpinan ‘Ulamā Dalam Al-Qurān Perspektif Qurash shihab
Dan Sayyid Quṭb,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya, 2015), h. 39.
59
Memulai jenjang pendidikannya mulai dari lingkungan rumahnya sendiri, setelah itu
barulah ia mendapatkan pendidikan formal di daerahnya sendiri sampai ia taman ibtidaiyah (sekolah
dasar), tahun 1912 ia masuk dan tamat pada tahun 1918 di Kota Kuttab, selain itu ia juga mampu
menghafal al-Qurān ketika umurnya masih 10 tahun. Pada tahun selanjutnya Sayyid Quṭb berangkat
dari kampungnya menuju ke Kairo Mesir, untuk menempuh pendidikan ṡanawiyyah (SMP), dan
‘Āliyah (SMA). Setelah lulus sekolah, sekitar tahun 1930 ia melanjutkan pendidikanya di Unversitas
Dār al-‘Ulūm tepatnya Fakultas Adab, dan lulus pada tahun 1933 di Universitas tersebut dengan
meraih gelar Lc (Lecience) pada bidang sastra dan diploma pada bidang tarbiyah. Lihat. Faizah Ali
Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 132.
43

Sayyid Quṭb juga memiliki guru yang mempengaruhinya.60 Setelah ia berhasil


menyelesaikan studinya, ia banyak menjabat di berbagai organisasi.61
Sekitar tahun 1954, setelah kembali dari Amerika Serikat, ia langsung
bergabung dengan Jamā‘ah Ikhwān al-Muslimīn.62 Maka di sinilah Sayyid Quṭb
menyerap pemikiran-pemikiran Ḥasan al-Bannā’ (1906-1949) dan al-Maudūdī.63
Samapai pada akhir karir yang ia jalani, ia akhiri di dalam penjara.64

60
Gurunya memiliki peranan penting dalam membentuk pemikiran ia, Secara Umum
Sayyid Quṭb belajar langsung dari kedua orang tuanya, kemudian setelah beranjak dewasa ia belajar
kepada pamannya dari pihak ibu, bernama Aḥmad Ḥusain ‘Uṡmān seorang wartawan Azhar, Ṭāha
Ḥusain, penasihat utama Kementrian Pendidikan. ‘Abbās Maḥmūd al-‘Aqqād dan Aḥmad al-Zayyāt.
Inilah para tokoh modernist sastrawan yang mempunyai engaruh besar terhadapnya. Menjadikan
Sayyid Quṭb salah satu anggota delegasi dari Departemen Pendidikan Mesir yang kementeriannya
dijabat oleh Ṭāha. Lihat. ḤusainHayyul, “Studi Atas Penafsiran Surah al-Ikhlāṣ Menurut Sayyid
Quṭb Dalam Kitab Tafsīr Fī ẓilāl al-Qurān,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar, 2010), h. 29.
61
Berhasil menyelesaikan pendidikan kuliahnya, Sayyid Quṭb diangkat menjadi guru di
kementerian pendidikan Mesir Dār al-Ma‘ārif. Setelah bertahun-tahun lamanya, pada tahun 1948 ia
diberikan kesempatan mendapatkan tugas belajar ke Amerika Serikat, yaitu kuliah di Wilson‘s
Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikan.
Ia tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California
untuk memperdalam pengetahuannya di bidang pendidikan. Pengalaman yang diperoleh selama
belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Quṭb.
Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan.
Keberangkatan itu juga yang telah mengubah dari bidang sastra ke bidang reformasi dan pendidikan
berdasarkan pandangan islam. Sejak itulah ia banyak menulis buku, mengadakan seminar-seminar
dan ikut dalam berbagai aktivitas sosial, politik dan ekonomi sampai pecahnya revolusi di Mesir di
bawah pimpinan Jamāl ‘Abd al-Naṣr. Lihat. Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas
Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 133.
62
Adalah organisasi Islam terbesar di dunia yang bergerak di bidang dakwah Islamyang
beraliran sunni di Mesir dan Arab. Para pendiri organisasi ini antara lain Ḥāfiẓ ‘Abd Ḥāmid, Aḥmad
al-Miṣrī, Fū‘ad Ibrāhīm, ‘Abd al-Raḥmān Ḥasbullāh, Ismā‘il ‘Izz, dan Ḥasan al-Bannā’. lihat
Mausu‘ah al- Ḥarakah wa Mażāhib al-Islamiyah fī al-‘Alam, terj. Muhtarom dan Tim Grafido,
Esiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan gerakan Islam Seluruh dunia (Cet.
II; Jakarta: Grafido Khasah Ilmu, 2009), h. 22.
63
Abdul Mustakim dan Sahiron Syamsuddin, Studi al-Qurān Kontemporer Wacana Baru
Berbagai Metodologi Tafsir (Yokyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 111.
64
Akan tetapi baru dua bulan usianya, harian ini ditutup oleh pemerintah Mesir atas perintah
kolonel Gamel ‘Abd al-Naṣr karena tulisan-tulisan Sayyid Quṭb bisa mengancam perjanjian Mesir-
Inggris. Dan pada tahun berikutnya yaitu sekitar 1955 Sayyid Quṭb adalah salah seorang pemimpin
Jamā‘ah Ikhwān al-Muslimīn yang ditahan setelah organisasinya dilarang oleh presiden ‘Abd al-
Naṣr, dan dijatuhkan hukuman lima tahun kerja berat. Sekitar tahun 1964 ia lalu dibebaskan atas
permintaan presiden Irak, ‘Abd al-Salam ‘Arif. Namun tidak lama kemudian, ia ditahan kembali
dengan tuduhan yang sama. Bahkan ia dituduh ingin menumbangkan pemerintahan Mesir dengan
kekerasan, hal ini terjadi pada tahun 1965. Pada hari senin tanggal 29 Agustus tahun 1966 ia
menghadapi hukuman mati bersama para pembesar Ikhwān al-Muslimīn lainya, seperti ‘Abd al-
Fattāḥ Ismā‘īl dan Muḥammad Yūsuf Ḥawasyi. Lihat. Lembaga Pengkajian dan Penelitian
Wamy,Gerakan Keagamaan dan Pemikiran Akar Ideologi dan Penyebarannya (Jakarta: al-Tishon
Cahaya Umat, 2002), h. 9.
44

Penafsiran Sayyid Quṭb Q.S. al-Nisā (4) ayat 34:

          
           
      
            
 
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah memaafkan sebahagian dari
harta mereka….”

Keluarga sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya, adalah institusi


pertama dalam kehidupan manusia. Dikatakan pertama karena ia merupakan titik
awal yang mempengaruhi semua fase perjalanan. Pertama, karena ia merupakan
pembangunan pertama, pembangunan unsur manusia yang merupakan unsur alam
yang paling penting dalam persepsi islam. Allah menciptakan manusia terdiri dari
laki-laki dan perempuan yang berpasang-pasangan berdasarkan prinsip umum
dalam membangun alam ini. Allah menentukan tugas perempuan antara lain
mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara hasil hubungannya dengan
lelaki.65 Lelaki tidak boleh membebankan wanita supaya mengandung, melahirkan
menyusui dan menjaga anak, kemudian pada saat yang sama dia juga harus disuruh
bekerja, berusaha payah dan begadang untuk menjaga diri dan anaknya! Adalah
adil bila lelaki diberi kekhususan dalam struktur organ tubuh, syaraf pikiran dan
kejiwaan sehingga membantunya dalam melaksanakan tugas.
Kepemimpinan laki-laki terhadap wanita tidak harus menghapus
kepribadian dari seorang wanita itu sendiri dalam rumah tangga dan di tengah
masyarakat. Juga tidak harus menghapuskan status sosialnya. Sebab kepemimpinan
itu hanyalah sebatas peranan dalam lingkup keluarga untuk mengelola, menjaga
dan melindungi institusi yang sangat vital ini. Adanya seorang pemimpin dalam
institusi manapun, tidak bisa menghapuskan eksistensi, kepribadian dan hak para
mitra orang-orang yang bekerja di dalamnya sesuai dengan fungsinya masing-
masing. Islam telah menetapkan di tempat lain sifat kepemimpinan seorang lelaki

65
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST (Jakarta: Robbani
Press, 2011), h. 75.
45

dan apa yang harus menyertainya berupa perasaan belas kasih, pemeliharaan,
penjagaan, perlindungan, kewajiban terhadap diri dan hartanya serta etika
berperilaku terhadap istri dan anggota keluarganya.66
Potongan dari Q.S. al-Nisā ayat (4) 34:

        


“Wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka”

Kata fa al-ṣāliḥāt , dijelaskan oleh Sayyid Quṭb bahwa wanita yang salihah
itu adalah wanita yang qānitāt yaitu ketaatan yang dilandasi kemauan, konsentrasi,
kesukaan dan kesenangan, bukan karena terpaksa, dipaksa kesal atau dongkol. Al-
Qurān menggunakan kata qānitāt bukan ṭāi‘āt karena kata qānitāt mengandung
makna kejiwaan; memiliki bayangan perasaan yang menyenangkan dan
menyejukan, kondisi semacam ini memungkinkan bagi terwujudnya ketenangan,
kasih sayang, saling menutupi dan menjaga antara kedua jenis anak manusia di
dalam rumah tangga yang memelihara dan membentuk anak-anaknya dalam
suasana yang indah ini.67
Adapun wanita yang tidak salihah menurut Sayyid Quṭb adalah wanita yang
melakukan nusyūz (durhaka terhadap suaminya). Nusyūz dalam bahasa Arab berarti
berdiri di tempat yang agak tinggi dari permukaan bumi. Disimpulkan bahwa orang
yang nusyūz adalah orang yang menonjolkan diri, merasa lebih tinggi dari
melakukan kedurhakaan dan pembangkangan.68 Karena sejatinya islam itu tidak
menunggu sampai terjadi nusyūz, dan istri mengibarkan bendera pembangkangan,
sehingga merontokkan wibawa kepemimpinan dan memecah institusi rumah tangga
menjadi dua kubu.
Jika benar-benar terjadi hal- hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga,
maka Sayyid Quṭb memberikan penjelas di kalimat selanjutnya yaitu:
“.....Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyūz
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka tinggalkanlah mereka di
tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika

66
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3 (Jakarta:
Robbani Press, 2011), h. 78.
67
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3, h. 78.
68
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3, h. 78.
46

mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk


menyusahkanya, sungguh Allah Maha Tinggi Maha Besar”

Bahwa ada sebuah hukuman bagi pelaku nusyūz dimana hukuman itu
dijalankan oleh seorang suami dan bukan bertujuan untuk balas dendam dan
sebagainya, melainkan bertujuan untuk ijra‘āt ta’dibiyah, yaitu tindakan pemberian
pelajaran. Selain itu, tujuan lainnya juga untuk segera memperbaiki diri dan situasi
sebagai langkah yang preventif, bukan untuk merusak perasaan dan memenuhinya
dengan kemarahan dan kekesalan atau untuk menghina dan membungkamnya.69
fa ‘iẓūhunna dalam arti maka nasihatilah mereka, Sayyid Quṭb tidak banyak
menafsirkan langkah ini, karena menurutnya biasanya langkah ini tidak efektif, dan
jika tidak efektif maka akan diambil langkah kedua, apabila istri merasa dirinya
lebih tinggi dari suaminya karena faktor kecantikan, daya tarik dan nilai-nilai lain
yang membuatnya merasa lebih hebat dari suaminya. Maka langkah selanjutnya
adalah wah jurūhunna fī al-maḍāji’, yaitu pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka. Artinya memisahkan istri hanya ditempat tidur, tidak boleh
memisahkannya secara terang-terangan di luar tempat peraduan suami istri, tidak
boleh memisahkannya di hadapan anak-anak, tidak boleh di hadapan orang asing
yang merendahkan istri atau yang mengusik harga dirinya70. Terakhir tindakan yang
harus diambil oleh seorang suami jika kedua tindakan itu tidak efektif adalah wa
ḍribūhunna yaitu pukulah mereka.

B. Kelompok kedua
Penulis mengelompokkan mufasir pada kelompok yang kedua ini, berdasarkan
dengan corak yang dianggap tidak berkaitan dengan hukum, yaitu corak tasawuf.
Ada beberapa mufasir yang penulis jadikan sebagai sumber data dari penelitian ini,
di antaranya:
1. Corak Tasawuf al-Alūsī
Biografi al-Alūsī 71 Nama al-Alūsī disandarkan pada sebuah daerah yang biasa
disebut dengan Alūs, terletak di dekat sungai Efrat antara Syam dan Bagdād.72 Garis

69
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3, h. 80.
70
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3, h. 82.
71
Muḥammad Syafiq girbāl, al-Mausū‘ah al-‘Arabiyyah al-Muyassarah ( T.tp.: Dār al-
Sya‘ab, 1965), h. 665.
72
Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, jilid 1, h. 250.
47

darah keturunan Syihāb al-Dīn terbilang sangat mulia, dari pihak ayah silsilah ia
sampai pada Sayyidinā al-Ḥusain, sedangkan dari pihak ibu sampai kepada
Sayyidinā al-Ḥasan.73 Ia juga tidak terlepas dari menuntut ilmu.74
Pada hari jum'at tanggal 25 żū al-Qa’dah tahun 1270 H/ 1852 M al-Alūsī
meninggal dunia. Saat itu al-Alūsī berumur 53 tahun. Ia dimakamkan di
pemakaman Syaikh Ma‘ruf al-Karkhī di Karḥ, Bagdād.75
Masalah akidah dan mazhab al-Alūsī menganut keyakinan salaf (Salafi
I’tiqādi), sedang untuk fikih ia berpijak pada mazhab Ḥanafi. Hanya saja, dia setia
mengikuti mazhab Syāfi’ī dalam ruang lingkup ibadah.76
Corak dan Metode Tafsir al-Alūsī, Sementara mengenai corak yang digunakan
dalam tafsir Rūh al-Ma‘ānī ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang
bercorak isyārī, dan ada juga mengatakan tafsir ini bercorak sufistik.77 Penjelasan
lebih lanjut mengenai corak ini dikatakan bahwa corak ini ingin melihat makna lain
dari al-Qurān78.

73
Mufasir ini adalah Seorang tokoh yang ahli dalam bidang agama, baik yang bersifat uṣulī
atau furū‘ī. Di sebuah kota dekat Bagdād yang bernama Karḥ pada hari jumat tanggal 14 Sya’bān
1217 H/ 1802 M ia dilahirkan. Ia lahir dengan nama lengkap Mahmūd bin ‘Abdillāh bin Muhammad
bin Darwisy al-Husainī al-Alūsī Syihāb al-Dīn al-Shana’. Semasa hidupnya, ia terkenal dengan
kepiawaiannya dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga dipercaya memangku jabatan mufti. Di
samping itu, karena tingkat pengetahuannya, banyak sanjungan yang dinisbatkan kepada ia, baik
dari golongan pemikir, sastrawan, maupun penguasa. Di antara sanjungan tersebut adalah Syaikh
‘Ulamā al-Irāq, al-Mufarrid fī Jamī al-‘Ulūm bi al-Ittifāq, Āyat Allāh al-Kubrā, Nādirah al-Zamān,
Baḥr al-Zamān al-Zāhir, Sibawaih al-‘Arabiyyah, Sa‘du Zamānih, Khātimah al-Mufasirīn, al-Syihāb
al-ṡāqib. Lihat. Muḥsin ‘Abd Ḥhmīd, al-Alūsi Mufasiran ( Bagdād: Muṭba‘ah al-Ma‘ārif, 1968), h.
40-41.
74
Al-Alūsī banyak berguru kepada ulama yang ahli di bidangnya masing-masing, di
antaranya orang tuanya sendiri, yaitu Sayyid ‘Abdullah Ibn Maḥmūd al-Ḥusainī, Syaikh ‘Alī
Suwaidī, Syaikh Khālid al-Kurdī al-Mujaddidī al-Naqsyabandī. Guru yang terakhir ini sangat
mempengaruhi dan mewarnai pola pikir dan kehidupan al-Alūsi, khususnya dalam spiritual, al-Alūsi
sangat menghormatinya, sehingga ia menyebut Syaikh Khālid al-Kurdī al-Mujaddidī al-
Naqsyabandī sebagai sosok sufi yang meraih dua mutiara, yakni ilmu dan amal, serta keutamaan
lahir dan batin yang menjadi sumber rujukan. Lihat. Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-
Mufasirūn, jilid 1, h. 250.
75
Ahmad Muhaimin, “Konsep Hidayah Dalam al-Qurān (Studi Tafsir Rūh al-Ma’anī karya
al-Alūsī dan Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Ibn ‘Āsyūr,” (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016), h. 29
76
Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir al-Qurān (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), h. 122.
77
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 75.
78
Yaitu suatu tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasarkan isyarat atau
ilham dan takwil sufi. Tafsir sūfi– isyārī ini di samping mengarahkan sasaran penafsirannya pada
pengungkapan makna ayat-ayat al-Qur’an yang tersirat juga berusaha menelusuri daya cakup makna
al-Qur’an, yang tersusun dari makna eksoterisnya secara transparan dan menjadikan pendekatan
tafsirnya sebagai dua koin mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Usaha menelusuri maknanya
yang tersirat, didasarkan pada asumsi bahwa, makna yang tersirat bukanlah satu-satunya yang
48

Penafsiran al-Alūsī, penafsiran Q.S al-Nisā ayat 34 yaitu:


“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),
dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka
perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah)
dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan Nusyūz
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka tinggalkanlah mereka di tempat
tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika mereka
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkanya,
sungguh Allah Maha Tinggi Maha Besar79

Pertama menafsirkan kata al-rijāl qawwāmūna ‘alā al-nisā yaitu bahwa


seorang suami itu adalah pemegang kuasa atas seorang istri. Digambarkan oleh al-
Alūsī bahwa pemegang kendali suami terhadap istri seperti pemegang kendalinya
pemimpin terhadap rakyatnya. Dilanjutkan lagi alasan kenapa suami yang
memegang kendali, karena ada kata setelahnya menyatakan bimā faḍal al-Allah
ba’ḍahum ‘alā ba‘ḍ , karena Allah telah memberikan sesuatu kepada suami yang
tidak diberikan kepada istri.80
Selanjutnya kata wa bimā anfaqū min amwālihim (dan kerena mereka (laki-
laki) telah memberikan nafkah dan hartanya), mengutip perkataan Mujāhid bahwa
maksudnya adalah mahar. Kemudian al-Alūsī memaparkan sebuah hadis riwayat
Muqātil, bahwa ayat ini turun kepada Sa‘īd bin Rabī’ ibn ‘Amrun dan kepada
istrinya Habībah bint Zaid, bahwa istrinya Sa‘īd telah berbuat nusyūz kepadanya,
lalu Sa‘īd menampar istrinya yang membuat bapaknya Habībah membawa Habībah
ke Rasulullah, kemudian Nabi memerintahkan untuk membalas yang setimpal
kepada suaminya Habībah. Tidak lama setelah itu datanglah malaikat Jibril untuk
menurunkan ayat ini yaitu Q.S al-Nisā ayat 34, kemudian Nabi berkata bahwa kita
menginginkan suatu urusan, dan Allah juga menginginkan suatu urusan, dan yang
dikehendaki Allah yang lebih baik.81

dikehendaki oleh ayat, akan tetapi lebih merupakan perluasan makna dari maknanya yang tersurat.
Lihat. Yeni Setianingsih, “Melacak Pemikiran al-Alūsī dalam Tafsir Rūh al-Ma‘ānī,” Kontemplasi,
Vol. 5, no. 1 (Agustus 2017): h. 236-257.
79
Kementerian Agama RI, Al-Qurān Dan Terjemahannya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 108-109.
80
Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5 (Beirut:
Idārah al-ṭibā‘ah, t.t.), h. 23.
81
Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 23.
49

Membahas tentang kata fa al-ṣāliḥāt dan qānitāt bahwa al-Alūsī menafsirkan


kata ini dengan arti perempuan-perempuan yang taat kepada Allah dan taat kepada
suami mereka. Kemudian disambung dengan kalimat ḥāfiẓat li al-gaib yang
ditafsirkan dengan arti perempuan yang menjaga dirinya, kehormatannya dalam
keadaan tidak dengan suaminya, lalu mengutip perkataan al-Ṡaurī dan Qatādah
bahwa makna dari kata ini adalah seorang istri wajib menjaga dirinya dan hartanya
ketika suaminya sedang tidak bersamanya. Dikatakan juga bahwa yang dimaksud
dengan kata ḥāfiẓat adalah rahasianya suami-siami mereka yang terjadi di antara
mereka ketika sedang berkhalwah.82
Kalimat nusyūzahunna, diartikan oleh al-Alūsī sikap tingginya istri dari
ketaatan suami dan durhakanya istri kepada suami.83 Sebagaimana yang tertulis di
dalam al-Qurān setelah penjelasan nusyūz, maka ada beberapa tahapan yang harus
dilakukan oleh seorang suami di dalam menanggapi istri yang nusyūz. Pertama
yaitu fa ‘iẓūhunna, yaitu menasihati istri dengan mengucapkan “takutlah engkau
kepada Allah, dan kembalilah kamu dari perbuatan nusyūz”. Dan nasihat yang
diucapkan oleh suami itu harus menunjukan kepada istri tentang jalan yang benar.84
Kedua dengan cara wahjurūhunna fī al-maḍāji’, yaitu meninggalkan mereka
sendiri di tempat tidur mereka dan tidak mencampurinya (berhubungan badan).
Kemudian mengutip pendapat dari ‘Ikrimah, bahwa maknanya adalah mengeraskan
ucapan atau perkataan kepada istri, dan sebagian lain berpendapat maknanya adalah
memakruhkan berhubungan badan kepada istri.85
Ketiga adalah kalimat wa ḍribūhunna, al-Alūsī mengartikannya dengan
pukulan yang tidak menyakitkan yaitu ghair mubarriḥ yang berlandasan dari hadis
yang riwayatkan oleh Ibn Jarīr dari Ḥajāj dari Rasulullah. Dan dijelaskan bahwa
makna ghair mubarriḥ adalah tidak membuat bekas dan tidak mematahkan tulang.
Selanjutnya mengutip perkataan Ibn ‘Abbās bahwa memukulnya dengan
menggunakan siwak dan yang serupa dengannya. Maka inilah urutan-urutan yang
harus dilakukan oleh suami ketika menghadapi istri yang nusyūz. 86

82
Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 24.
83
Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 24.
84
Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 25.
85
Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 25.
86
Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 25.
50

Sebagai pengikut Imām Ḥanifah, al-Alūsī memperjelas bahwa ada 4 alasan


diperbolehkannya suami memukul istri. Pertama, tidak mau berhias (berdandan)
padahal suami menginginkan; kedua, mengabaikan ajakan suami ke tempat tidur;
ketiga, meninggalkan sholat; keempat, keluar rumah kecuali ‘użur syar‘ī.87

2. Corak Tasawuf ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī


‘Abd al-Qādir al-Jīlānī sebagai tokoh yang banyak dikenal dalam dunia tarekat
juga memiliki tafsir yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kesufiannya. Menurut
penelitian Anis Masduki, Tafsīr al-Jīlānī adalah kelanjutan dari sufisme al-Gazālī.
Sufisme al-Jīlānī berdiri di atas ilmu yang didorong oleh ketajaman akal dan amal
yang dilandaskan pada kejernihan batin. Batin menjadi suci ketika sesuai dengan
lahir dan mampu meluruskan aktivitas lahir sehingga terhiasi dengan akhlak batin
yang telah menyucikan diri dan bertobat dari segala dosa dan maksiat. 88
Penafsiran Q.S. al-Maidah (5) ayat 38:

            

 
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha
Bijaksana.”
Kata al-sāriq dan al-sāriqah diartikan sebagai orang-orang yang melewati
batasan-batasan yang sudah ditentukan oleh Allah. Maka bagi mereka potonglah
kalian para hakim, tangan-tangan mereka yaitu tangan kanannya ketika barang yang
dicuri itu sampai pada batasan yang memang harus dipotong. Maka dari penafsiran
awal ini, telah diketahui bahwa ada ketentuan-ketentuan yang dijelaskan oleh
mufasir ketika ada suatu kasus pencurian, maka tindakan yang harus diberikan
adalah potong tangan kanannya, karena itu adalah sebagai hukuman bagi pencuri.
Mereka dihukum karena mereka telah melewati batas mencuri harta orang lain89.

Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 26.
87

Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī (Yogyakarta: STIQ
88

al-Nur, 2010), h. 80.

Muḥy al-Dīn ‘Abd Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 1 (Pakistan: Maktabah al-
89

Ma’rūfah, 2010), h. 442.


51

Penafsiran yang kedua yaitu permasalahan hukum terkait dengan zina, pada
Q.S. al-Nūr (24) ayat 2:

             

            

 
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari
keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian; dab hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang beriman”

Penafsiran pada ayat ini, pelaku zina perempuan dan laki-laki yaitu hukuman
keduanya dan batasan keduanya, telah ditetapkan dan dibacakan di dalam ayat ini,
yaitu hukuman dera. Didahulukan oleh Allah kata al-Zāniah karena terjadinya
perzinahan menurut umumnya itu dari sisi mereka perempuan dan dari tujuannya
diri mereka, dan zinanya kaum perempuan terhadap laki-laki. Dan apabila para
hakim itu mendengar persoalan terkait dengan zina, maka deralah mereka.
Hukuman bagi pezina ini ada dua macam, menurut kesepakatan ijmā’ pertama
adalah jika kedua pelaku zinanya adalah gair muḥṣan, maka hukumannya adalah
didera, dan jika kedua pelaku zinanya adalah muḥṣan maka hukumannya adalah
dengan cara dirajam. Jika satunya muḥṣan dan satunya lagi gair muḥṣan maka
hukumannya tetap sesuai dengan keadaan masing-masing, yaitu didera dan
dirajam.90
Dijelaskan lagi bahwa yang disebut dengan muḥṣan adalah seorang muslim
yang merdeka yang berakal yang balig yang sudah menikah dengan sah. Penjelasan
kalimat kullu wāḥid miata jaldah maksudnya adalah masing-masing dari keduanya
dicambuk dengan 100 kali pukulan yang menyakitkan. Sedangkan lafaz jaldah
merupakan ganti dari perbuatan zina yang sudah dilakukan.91 Al-Jīlānī
menambahkan dalam tafsirnya pendapat Imām al-Syāfi‘ī, yaitu setelah mereka
diberi hukuman dera, maka mereka akan diasingkan selama satu tahun.

90
al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 3, h. 280.
91
al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 3, h. 280.
52

Potongan ayat selanjutnya, yaitu “dan janganlah rasa belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian; dab hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sebagian orang beriman,” ditafsirkan bahwa janganlah
bagi seorang hakim untuk memberikan waktu istirahat bagi pelaku zina, dan jangan
juga bagi hakim untuk memberikan belas kasihannya kepada pelaku zina, ketika
seorang hakim tidak memberikan belas kasihnya maka ia sudah melestarikan dan
menjaga hukum Allah. Sehingga ia dianggap orang yang beriman karena telah
menjalankan perintah dan larangan Allah, dan semua ketetapan yang sudah
ditetapkan.92
Bagi hakim maka seharusnya hukuman yang diberikan kepada pelaku zina
hendaklah disaksikan, dihadirkan dan diperlihatkan di hadapan orang banyak, agar
orang-orang tersebut yang menyaksikan dapat mengambil pelajaran dari apa yang
sudah dilakukan oleh pelaku zina tersebut.
Ayat selanjutnya adalah Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130:

           

 
“Wahai orang-orang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”

Penafsiran terkait ayat riba, al-Jīlānī hanya sedikit menafsirkan permasalahan


ini, ia menyatakan bahwa ayat ini turun untuk orang-orang yang beriman karena hal
ini berkaitan dengan keteguhan hati orang-orang beriman terhadap jalan ketauhidan
dari perangai yang baik. Kalimat Wahai orang-orang beriman diartikan oleh
mufasir adalah orang-orang yang tetap pada keimanannya kepada Allah dan Rasul-
Nya, maka janganlah orang-orang beriman itu memakan harta ribā artinya adalah
harga yang ditawar-tawar sehingga lebih tinggi dari harga normalnya. Seperti
mengambil uang dari orang yang memiliki hutang, akan tetapi dengan cara berlipat
ganda.93

92
al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 3, h. 281.
93
al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 1, h. 306.
53

3. Corak Tasawuf Ibn ‘Ajībah


Menurut Nassarudin Baidan corak penafsiran sebuah tafsir dipengaruhi dan
selaras dengan latar belakang, pendidikan, dan kecenderungan mufasirnya. Maka,
apabila diperhatikan, dengan melihat sosok Ibnu ‘Ajībah berdasarkan riwayat
hidupnya dan berbagai macam karyanya, ada beberapa peneliti mengklaim bahwa
tafsir ini mempunyai corak kombinasi antara corak lughawī dan corak al-ṣufī.
Corak lughawī terlihat dominan ketika Ibnu ‘Ajībah memaparkan makna lahiriyah
ayat, dan corak al-ṣufī pada makna isyārīnya.94
Ditambahkan oleh Muhammad Azwar yang menyatakan bahwa jika ditelusuri
lebih jauh maka dapat dikatakan corak penafsiran Ibnu ‘Ajībah lebih dominan pada
corak sufistiknya. ini terbukti dari intensitas Ibn ‘Ajībah menguraikan makna isyārī
di setiap penafsirannya.95 Maka dari itu agar lebih jelas, penulis akan memaparkan
penafsiran Ibn ‘Ajībah terkait ayat-ayat hukum.
Penafsiran Ibn ‘Ajībah Q.S. al-Maidah (5) ayat 38:

            

 
““Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha
Bijaksana.”
Ibn ‘Ajībah pada awal menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa ayat ini
adalah bagian dari sesuatu yang telah dibacakan kepada orang-orang mukmin
tentang hukum pencuri, kemudian dilanjutkan lagi tentang apa hikmah dari
didahulukannya kata al-sāriq dengan kata al- sāriqah dan kata al-zāniah
dengan al-zānī, menurutnya kebanyakan pencurian itu dilakukan oleh laki-laki,
sedangkan perzinahan datangnya dari perempuan.
Kata faqṭa‘ū aidiyahumā yang dimaksud adalah pemotongan tangan itu,
dan yang dipotong adalah tangan kanan pelaku di bagian pergelangan.
Sedangkan hukum potong tangan itu memiliki beberapa syarat: pertama,

94
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru ilmu Tafsir (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2005), h.
388.
Muhammad Azwar Hairul, Mengkaji Tafsir Sufi Karya Ibn ‘Ajībah (Tangerang: YPM,
95

2017), h. 90.
54

mengutip pendapat Imam Malik bahwa pencurian yang dilakukan bukan


karena kelaparan yang sangat pada pencuri, kedua, jika yang mencuri bapak
atau budak dari orang yang memiliki barang maka tidak dikenakan hukuman
ini, ketiga, jika orang yang mencuri itu adalah orang mengelola barangnya
ketika barang tersebut telah hilang lama, dan keempat, pemotongan tangan itu
jika pencuriannya mencapai 1 nisab atau ¼ dīnār.96 Sedangkan Imam Hanifah
menambahkan tidak ada pemotongan jika pencuriannya dibawah 10 dirhām.
Hikmah adanya hukuman ini menurut mufasir untuk memberikan efek
jera, dan denda yang diberikan bagi pelaku pencurian adalah lebih besar dari
nisab jumlah minimal potong tangan, karena untuk menghinakan orang-orang
yang mencuri.
Kalimat ‫ فمن تاب من بعد ظلمه وأصلح‬ketika pencuri tersebut bertobat
kepada Allah setelah pencurian yang ia lakukan, maka hendaklah ia
memperbaiki perbuatannya dengan cara mengembalikan apa yang telah ia curi,
dan ia memurnikan dirinya dari hal-hal yang buruk sesuai dengan
kemampuannya, setelah itu ia berniat untuk tidak melakukannya lagi. Jika ia
sudah melakukan hal itu maka menurut mufasir tobatnya sudah diterima oleh
Allah.97
Pada akhir tafsirnya ia menyimpulkan dengan mengutip pendapat imam
mazhab, terkait masalah apakah hukuman potong tangan bisa dibatalkan.
Pendapat Imām al-Syāfi‘ī adalah bisa jadi hukum ini menjadi batal apabila
melihat zahirnya ayat, sedangkan menurut Imām Mālik hukum ini tidak bisa
gugur, dengan cara bertaubat karena Allah telah menentukan batasan-batasan-
Nya, kecuali itu adalah hak Allah.98

Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 2 (al-hirah:
96

Thaba’a ‘alā Nafaqahu Min ‘Abbās Zaki, 1999), h. 38.


97
Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 2, h. 39.
98
Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 2, h. 39.
55

Penafsiran yang kedua adalah Q.S. al-Nūr (24) ayat 2:

            

             

 

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari


keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian; dab hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang beriman”

Pezina yang dikenakan hukum dera, jika keduanya adalah orang yang
merdeka, balig, dan gair muḥṣanain, dan ketika melakukan perzinahan itu diantara
mereka tidak ada paksaan. Setelah itu ada hadis yang menasakh ayat ini yaitu:
‫الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارمجومها ألبتة نكاال من هللا و هللا عزيز حكيم‬
“Orang yang tua (laki-laki) dan orang yang tua (perempuan) apabila mereka
berdua berzina maka rajamlah keduanya pada saat itu juga, sebagai balasan dari
Allah yang Maha Kuat dan Adil99”

Sedangkan syarat-syarat muḥṣan adalah berakal, merdeka, islam, balig, dan


ia sudah menikah dengan pernikahan yang sah, dan ia sudah pernah menggauli
istrinya. Selanjutnya mufasir menjelaskan makna yang dipilih dalam ayat tersebut
dengan menggunakan kata al-jild bukan al-ḍarb, maksudnya adalah hukuman
tersebut tidak sampai menusuk ke dalam bagian dalam tubuh yaitu daging, akan
tetapi deraan tersebut diringankan sampai terasa sakit pada bagian luar saja. Ayat
ini juga diperuntukkan untuk para pemimpin atau hakim untuk menggunakan
hukum Allah dalam menjatuhkan hukuman, kecuali sudah tidak memungkinkan
hukum itu ditetapkan oleh satu orang imam, maka berkumpullah untuk membuat
kesepakatan. Mengutip pendapat Imām al-Syāfi‘ī dan Imām Mālik yang
mengatakan bahwa setelah dihukum, maka pelaku zina tersebut harus diasingkan
selama satu tahun.100

99
Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 4, h. 6.
100
Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 4, h. 7.
56

             

Dilanjutkan lagi oleh Ibn ‘Ajībah dalam menafsirkan kalimat ini, bahwa tidak
seharusnya memberikan rasa belas kasih terhadap pelaku zina dalam menentukan
suatu hukum seperti menolak apa yang dibencinya dan mengasihi apa yang
disenanginya, dan wajib bagi orang-orang beriman itu untuk menjalankan batasan-
batasan yang Allah berikan kepadanya. Berkaitan dengan disebutkanya beriman
kepada hari akhir menandakan bahwa akan ada hukuman bagi orang yang melewati
batas, baik dari pelakunya atau orang terlalu toleran terhadap pelaku zina, artinya
jika beriman, maka deralah. Kemudian ia mengutip hadis terkait dengan Ibn ‘Umar
yang mendera pembantunya, lalu Ibn ‘Umar berkata kepada orang yang akan
mendera pembantunya, “Deralah punggungnya, kakinya dan telapak kakinya,
ringankanlah pukulanmu,” kemudian Ibn ‘Umar dibantah oleh orang yang akan
mendera, dengan mengatakan potongan ayat dan janganlah rasa belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, lalu
Ibn ‘Umar berkata lagi “Apakah aku membunuhnya? Karena aku diperintahkan
oleh Allah untuk memukulnya dan mendidiknya bukan untuk membunuhnya.”101

     

Potongan ayat selanjutnya, jika hukuman dera itu terlihat pada bagian auratnya,
maka harus ditutupi hukuman tersebut. Hukuman tersebut juga harus disaksikan
oleh segolongan orang-orang yang beriman, sebagai tambahan siksaan secara
sosial, karena sesungguhnya membuka hukuman mereka di depan umum,
merupakan lebih baik dari pada menyandera. Sebaiknya hukuman itu dilaksanakan
oleh para hakim, bukan oleh orang yang tidak mengerti hukum, karena mencegah
terjadinya perbuatan semena-mena.
Sesungguhnya darah dan kehormatan seorang muslim itu adalah sesuatu yang
agung, maka wajib untuk dijaga. Tidak boleh juga bagi hakim untuk menambahkan
hukuman atau mengurangi hukuman tersebut. Terkait dengan alat yang dipakai
untuk mendera adalah harus dengan sesuatu yang lurus, tidak boleh yang lentur

Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 4, h. 7.


101
57

sekali dan keras sekali, dalam pemukulan juga ditegaskan oleh mufasir, tidak boleh
memukul yang keras sekali sampai kelihatan ketiaknya atau lemah sekali artinya
sedang. Hukuman tersebut bisa dilakukan seperti adanya pergelaran di antara
segolongan orang, banyak pendapat mengenai berapa batasan paling sedikit orang
yang harus ada dalam menyaksikan hukuman tersebut, ada yang mengatakan 3, 4
dan 10 orang.102
Selanjutnya mufasir dalam akhir tafsirnya mengutip beberapa hadis, pertama,
“Aku tidak pernah meninggalkan setelah sepeninggalanku paling mudarat antara
laki-laki dari pada perempuan”, ke dua, hadis riwayat Ḥużaifah “Wahai manusia,
takutlah kalian kepada zina, karena di dalam zina terdapat 6 perkara, 3 di dunia, 3
di akhirat. Perkara yang di dunia adalah, ia akan kehilangan wibawa, mendapatkan
kefakiran, dan mendapatkan pendeknya umur (tidak adanya keberkatan).
Sedangkan 3 yang di akhirat adalah, murkanya Allah, jeleknya hisab, dan kekal di
neraka (lamanya diam di neraka).” Hadis ke tiga, “sesungguhnya penduduk neraka
akan merasa jijik dengan baunya kemaluan orang yang berzina.” 103
Penafsiran yang ketiga adalah Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130:

           

 

“Wahai orang-orang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat


ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”

Riba itu artinya adalah menambah-nambahkan sesuatu, kalimat dengan


berlipat ganda, memiliki makna mengkhususkan pada kondisi tertentu, misalnya
jika ada seorang yang berhutang kepada si fulan, kemudian telah jatuh tempo, lalu
orang yang yang mengutangi itu seharusnya berkata “jika bayar sekarang boleh,
bayar nanti pun juga boleh,” ditegaskan lagi oleh mufasir, sebaiknya janganlah bagi
orang memberikan hutang itu menambah-nambahkan hutangnya, sampai
tenggelam harta orang yang hutang. Berkata juga al-Wartajibī, makna isyarat ayat
ini adalah bahwa neraka itu tidak disediakan untuk orang-orang beriman, melainkan

102
Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 4, h. 8.
103
Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 4, h. 8
58

tujuan Allah adalah untuk menakut-nakuti orang beriman dan juga sebagai
peringatan, diumpamakan seperti seorang bapak yang menakuti anaknya dengan
macam dan pedang104.

4. Corak Tasawuf al-Qusyairī


Al-Qusyairī sebagai mufasir sufi menjadikan media takwil sebagai ide kreatif
dalam mempertemukan gagasan tasawuf dan psikologi dalam satu rumah, yaitu
tafsir sufi melalui simbol-simbol bahasa sastra. Penafsiran al-Qusyairī dalam
Laṭā’if al-Isyārāt membuka cakrawala gagasan simbiosis psikologi, tasawuf, dan
sastra dalam satu rumah besar, yaitu tafsir sufi. Melalui bahasa sastra yang sarat
kondisi jiwa, al-Qusyairī menafsirkan Al- Qur’an dengan pendekatan tasawuf. Dia
mencoba mengaplikasikan konsep- konsep tasawuf yang tersebar dalam berbagai
karyanya untuk menjadi model penafsiran ayat Al-Qur’an. Konsep maqāmāt dan
aḥwāl (keadaan) menjadi inti penafsirannya dalam mengungkap pengalaman
kejiwaan sufistik105.
Berikut penafsiran al-Qusyairī Q.S. al-Maidah (5) ayat 38:

            

 
““Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha
Bijaksana.”

Tidak banyak penafsiran yang dituangkan oleh al-Qusyairī dalam


menafsirkan ayat ini, yaitu jika ada orang tua mencuri nisab dari tikus, dan
menemukan hak dari potong tersebut, batasan tersebut didirikan pada batasan
seperti yang diadakan pada korban, dan tidak mengurangi batas untuk
kemaslahatannya. Dan isyaratnya adalah perintah raja dapat diterima untuk
menghormatinya, tetapi semua dari sesuatu yang tertinggi maka ia
meningkatkannya lebih sempurna atau lebih tersembunyi, dan tuntutan atasnya

Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 1, h. 406.
104

Habibi al-Amin, “Tafsir Sufi Laṭā’if al-Isyārāt Karya Al-QusyairĪ Perspektif Tasawuf
105

dan Psikologi,” Ṣuḥuf, Vol. 9, No. 1 (Juni 2016): h. 59-78.


59

lebih banyak. Dan janganlah bagi seseorang itu merasa takut kepada seorang
imam sekalipun.106
Penafsiran kedua Q.S al-Nūr ayat 2:

            

             

 

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari


keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang beriman”

Ayat ini merupakan hukuman yang sangat berat dan kuat bagi orang yang
melakukan zina dan Allah menjadikan tetapnya perintah ini, dan pengulangan
suatu hukum, karena banyaknya manusia itu hanya menginginkan kemudahan.
Karena tidak diterima kesaksiannya seseorang sampai ia berkata “aku melihat
perzinahan dari dia (laki-laki) dan dari dia (perempuan),” maka yang demikian
itulah perkara yang tidak mudah, kemuliaan hukuman terbesar untuk tindakan
itu tidak senonoh, kemudian ditetapkannya hukuman tersebut untuk
membuktikannya dengan pasti!.107
Kalimat selanjutnya adalah

            

Allah berfirman: “Dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya


mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian,” apa yang diperintahkan oleh Allah
itu adalah sebuah kebenaran dan wajib untuk menerimanya dengan
mendengarkannya dan taat. Raḥmah itu adalah sesuatu yang terpuji, dan

106
Al-Qusyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 1 (al-Qāhirah: Dār al-Kutub, 2007), h. 296.
107
Al-Qusyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 3, h. 446.
60

dilarang mengatas namakan raḥmah untuk menenggelamkan syariat,


meninggalkannya, dan buruknya etika, dan berdiri dalam pelanggaran warga
negara. Dikatakan larangan kami untuk belas kasihan terhadap mereka, artinya
bahwa raḥmah tidak menghapus perbuatan kotor merek. Rasulullah SAW
bersabda: “Tidaklah berzina oleh orang yang berzina sedang ia dalam keadaan
beriman.”108
Allah berfiman “dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
oleh sebagian orang beriman.” Artinya, untuk menjadi lebih keras bagi mereka,
untuk menakut-nakuti para pelaku tindakan tersebut, maka hak mereka yang
bersaksi di tempat itu akan mengingat bahwa anugerah Allah yang luar biasa ada
pada mereka bahwa mereka tidak melakukan hal yang sama, dan bagaimana mereka
telah tidak taat. Dan jika ada di antara mereka yang disebutkan, mereka akan
menyebutkan rahmat Allah yang besar kepada mereka. Jika dia menutupi mereka,
dan dia tidak mengekspos mereka, maka mereka lupa bahwa hukum Allah ada
ditempat ini.109

Penafsiran al-Qusyairī Q.S. . Āli ‘Imrān (3) ayat 130:

           

 
“Wahai orang-orang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”

Ia menafsirkan ayat ini, langsung menyatakan bahwa Allah


mengharamkan riba kepada hambanya, contohnya adalah ketika ada seseorang
meminta satu pinjaman berupa 200, dan kemudian si peminjaman tersebut
memintanya mengembalikan menjadi tujuh ratus hingga tak terbatas,
isyaratnya adalah bahwa kemuliaan itu tidak cocok untuk seorang ciptaan,
karena itu adalah milik Allah.110

108
Al-Qusyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 3, h. 446.
109
Al-Q.usyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 3, h. 446.
110
Al-Qusyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 1, h. 190.
BAB IV

RELASI CORAK DENGAN TAFSIRAN

Penafsiran terkait ayat-ayat hukum yang telah dibahas pada bab


sebelumnya, memiliki berbagai kesimpulan. Kesimpulan itu, akan penulis coba
tuangkan melalui beberapa pemaparan pada bab ini. Pembahasan pertama adalah
analisis penafsiran terhadap ayat-ayat hukum tersebut, pembahasan kedua terkait
dengan tabel yang bersisi relasi kesesuaian corak dengan tafsiranya. Pembahasan
ketiga merupakan penjelasan tentang relasi-relasi dan implikasi dari kajian corak
tafsir yang sudah dipaparkan.

A. Penafsiran Ayat-ayat Hukum Ditinjau dari Berbagai Corak Tafsir


Setelah melewati beberapa pencarian data-data terkait corak tafsir, penulis
berhasil mengumpulkan beberapa data yang menurut penulis penting untuk
dijadikan sebagai sumber dari penelitian ini. Data-data tersebut berupa profil, latar
belakang, penafsirannya dan kitab tafsir dari para mufasir yang penulis pilih dalam
penelitian ini.
Mereka di antaranya adalah Imām al-Qurṭubī, dengan kitab tafsirnya adalah
al-Jami’ Li Aḥkām al-Qurān1, al-Alūsī dengan kitab tafsirnya adalah Rūḥ al-
Ma‘ānī2, M. Quraish Shihab dengan karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-
Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian3, al-Zamakhsyarī dengan kitab tafsir yang
berjudul Tafsīr al-Kassyāf4, Sayyid Quṭb dengan judul tafsirnya Tafsīr Fī Ẓilāl al-
Qurān 5, ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī dengan kitab tafsirnya Tafsīr al-Jīlānī, Ibn ‘Ajībah
dengan kitab tafsirnya Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd dan
terakhir al-Qusyairī dengan kitab tafsirnya Laṭā’if al-Isyārāt.

1
Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr bin Farḥ al-Anṣārī al-Khazrajī al-
Andalusī al-Qurṭubī, al-Jami’ Li Aḥkām al-Qurān, Juz I (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), h 30.
2
Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 1 (Beirut: Idārah
al-ṭibā‘ah, T.tb), h. 2.
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qurān, jilid 1
(Jakarta: Lentera hati, 2011), h. xi.
4
Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-
Kasyyāf (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2009), h. 2.
5
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Jilid 1 (Beirut: Dār al-Syurūq, t.t.), h. 1.

61
62

Berikut adalah tabel terkait dengan corak mufasir dan penafsirannya dalam
Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S.
Āli ‘Imrān (3) ayat 130.
Tabel 4.1
Relasi Ragam Corak Dengan Ayat Hukum
Corak Mufasir Penafsiran Ayat
Fikih Al-Qurṭubī Terkait Hukum
Al-adabī al-ijtimā‘ī M. Quraish Shihab Terkait Hukum
Lugawī Al-Zamakhsyarī Terkait Hukum
Ḥarakī Sayyid Quṭb Terkait Hukum
Tasawuf Al-Alūsī Terkait Hukum
Tasawuf Al-Jīlānī Terkait Hukum
Tasawuf Ibn ‘Ajībah Terkait Hukum
Tasawuf al-Qusyairī Terkait Hukum

Tiap-tiap corak dari mufasir ketika di hadapkan dengan ayat hukum, khususnya
pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat 2,
Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130, maka penafsirannya diarahkan ke dalam masalah
fikih. Al-Qurṭubī dengan corak yang terdapat di dalam tafsirnya yaitu corak hukum,
ketika menafsirkan ayat tersebut, sudah pasti bahwa ia menafsirkannya dengan
menggunakan corak fikihnya. Salah satu kutipan dari penafsirannya adalah Apabila
masalah nusyūz telah ditetapkan bahwa Allah tidak memerintahkan sesuatu dalam
kitab-Nya untuk memukul dengan tegas kecuali dengan hukum ḥadd yang besar.
Allah menyamakan kemaksiatan istri kepada suami dengan dosa-dosa besar.
Suamipun tidak wajib lagi menafkahi istri yang nusyūz.6
Al-Alūsī menafsirkan ayat tersebut tidak terlepas dengan hukum, walaupun
corak yang dimiliki olehnya adalah corak tasawuf, seperti penafsirannya yaitu pada
kata ḥāfiẓat li al-gaib yang ditafsirkan dengan arti perempuan yang menjaga
dirinya, kehormatannya dalam keadaan tidak dengan suaminya, selain itu seorang

Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz 6,
6

h. 297.
63

istri wajib menjaga dirinya dan hartanya ketika suaminya sedang tidak
bersamanya7.
Mufasir selanjutnya adalah M. Quraish Shihab, seperti data yang ada pada
tabel, beliau juga menafsirkan ayat ini, menggunakan cara fikih. Misalnya pada ayat
ini telah dijelaskan 3 langkah ketika mendapati istri yang nusyūz, maka jika masih
belum kembali, haruslah bagi keduanya mengutus kedua hakam, yakni juru damai
yang bijaksana untuk menyelesaikan kemelut mereka dengan baik8.
Corak lugawī yang ada pada al-Zamakhsyarī, ketika menafsirkan ayat hukum,
tidak semua penafsirannya difokuskan pada kebahasaan, melainkan juga ada corak
fikihnya. Seperti kata wa ḍribūhunna, al-Zamakhsyarī memberikan tafsiran bahwa
pukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghair mubarriḥ)
yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak
wajah9.
Sayyid Quṭb pun juga sama, tafsiran terhadap ayat ini disajikan juga dengan
tafsiran yang bercorak fikih, misalnya adalah kata wah jurūhunna fī al-maḍāji’,
yaitu pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka. Artinya memisahkan istri hanya
ditempat tidur, tidak boleh memisahkannya secara terang-terangan di luar tempat
peraduan suami istri, tidak boleh memisahkannnya di hadapan anak-anak, tidak
boleh di hadapan orang asing yang merendahkan istri atau yang mengusik harga
dirinya.10
Selanjutnya adalah beberapa mufasir dengan corak tasawuf, yaitu Al-Alūsī,
Al-Jīlānī, Ibn ‘Ajībah, al-Qusyairī, pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa ketika
mufasir dengan corak tasawuf sekalipun akan tetap menafsirkan ayat hukum,
dengan penafsiran yang terkait dengan hukum, seperti al-Alūsī menafsirkan ayat
tersebut tidak terlepas dengan hukum, walaupun corak yang dimiliki olehnya adalah
corak tasawuf, seperti penafsirannya yaitu pada kata ḥāfiẓat li al-gaib yang
ditafsirkan dengan arti perempuan yang menjaga dirinya, kehormatannya dalam

Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 24.
7
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,
h.413.

Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-
9

Kasyyāf, h. 236.
10
Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3, h. 82.
64

keadaan tidak dengan suaminya, selain itu seorang istri wajib menjaga dirinya dan
hartanya ketika suaminya sedang tidak bersamanya.11
Mufasir dengan corak tasawuf selanjutnya adalah ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī,
penafsirannya terhadap Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, terkait dengan hukuman bagi
pencuri, ia menafsirkanya sesuai dengan makna zahir dari ayat tersebut, yaitu maka
bagi mereka potonglah kalian para hakim, tangan-tangan mereka yaitu tangan
kanannya ketika barang yang dicuri itu sampai pada batasan yang memang harus
dipotong.12 Begitu juga ketia ia menafsirkan ayat terkait dengan hukuman bagi
pelaku zina, yaitu pada Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, hukuman bagi pezina ini ada dua
macam, menurut kesepakatan ijmā’ pertama adalah jika kedua pelaku zinanya
adalah gair muḥṣan, maka hukumannya adalah didera, dan jika kedua pelaku
zinanya adalah muḥṣan maka hukumannya adalah dengan cara dirajam. Jika
satunya muḥṣan dan satunya lagi gair muḥṣan maka hukumannya tetap sesuai
dengan keadaan masing-masing, yaitu didera dan dirajam.13
Ketika melihat kepada mufasir yang berbeda dengan corak yang sama yaitu
corak tasawuf, seperti yang dilakukan oleh Ibn ‘Ajībah, hal serupa pun demikian,
ia menafsirkan ayat terkait dengan hukuman bagi pelaku zina maupun ayat terkait
dengan hukuman bagi pencuri tidak terlepas dari persoalan hukum. Seperti
penafsiran terhadap potongan ayat Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Kata faqṭa‘ū
aidiyahumā yang dimaksud adalah pemotongan tangan itu, dan yang dipotong
adalah tangan kanan pelaku di bagian pergelangan. Sedangkan hukum potong
tangan itu memiliki beberapa syarat: pertama, mengutip pendapat Imam Malik
bahwa pencurian yang dilakukan bukan karena kelaparan yang sangat pada pencuri,
kedua, jika yang mencuri bapak atau budak dari orang yang memiliki barang maka
tidak dikenakan hukuman ini, ketiga, jika orang yang mencuri itu adalah orang
mengelola barangnya ketika barang tersebut telah hilang lama, dan keempat,
pemotongan tangan itu jika pencuriannya mencapai 1 nisab atau ¼ dīnār.14

Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 24.
11

Muḥy al-Dīn ‘Abd Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 1 (Pakistan: Maktabah al-
12

Ma’rūfah, 2010), h. 442.


13
al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 3, h. 280.
14
Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 2 (al-hirah:
Thaba’a ‘alā Nafaqahu Min ‘Abbās Zaki, 1999), h. 38.
65

Untuk menjadi hasil yang lebih relevan, maka penulis measukan mufasir
dengan corak tasawuf yang terakhir, yaitu al-Qusyairī. Ternyata penafsirannya
terkait ayat hukum juga masih sama seperti mufasir sebelumnya, contohnya seperti
jika ada seorang pemimpin sekalipun jika ia mencuri walupun hanya nisabnya dari
tikutm maka potonglah tanganya.15 Walau tidak dijelaskan secara mendalam, dari
sedikit penafsirannya ini sudah bisa disimpulkan bahwa ia tetap saja menggunakan
hukum dalam menafsirkan ayat hukum.
Mufasir-mufasir tersebut masing-masing memiliki corak tafsir yang berbeda-
beda. Seperti yang telah penulis jelaskan di bab sebelumnya. Ternyata setelah
dikumpulkan data dari masing-masing mufasir tersebut penulis menemukan
sesuatu, yang seharusnya penafsiran itu dipengaruhi oleh corak yang melatar
belakngi penafsirannya, tetapi pada kenyataannya corak itu tidak mempengaruhi
penafsiran para mufasir itu, terutama pada ayat yang berkaitan dengan hukum, dan
hasilnya adalah semua mufasir menafsirkan dengan nuansa hukum.

B. Relasi Kesesuaian Penafsiran dengan Corak Tafsir


Setelah diteliti dari penafsiran para mufasir, corak yang disebut-sebut melekat
pada penafsiran mufasir ternyata tidak berpengaruh pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34,
Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130.
Maka dari itu pada pembahasan yang kedua ini , penulis akan mencoba menyajikan
dari sudut mana seorang mufasir bisa menafsirkan ayat al-Qurān sesuai dengan
coraknya masing-masing, dan pada ayat seperti apa.
Tabel 4.2
Relasi Kesesuaian Ragam Corak dengan Penafsiran

Corak Mufasir Tema Ayat Tafsiran


Nikah Beda Hukumnya
Fikih Al-Qurṭubī
Agama Haram
Cinta haruslah
Maḥabbah selalu
Tasawuf Al-Alūsī
kepada Allah dikaitkan
kepada Allah
Jihad bukan
Al-adabī al-ijtimā‘ī M. Quraish Shihab Jihad hanya
berperang

Al-Qusyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 1 (al-Qāhirah: Dār al-Kutub, 2007), h. 296.


15
66

Makna dari
objek yang
diletakan di
Lugawī Al-Zamakhsyarī Balagah awal kalimat
lebih dalam
dari pada di
akhir kalimat
Setiap orang
harus memiliki
sifat ini, untuk
mencegah
Ḥarakī Sayyid Quṭb iṣlāḥ dirinya
ataupun
masyarakat
dari kelaliman
di dunia.

Melihat tabel di atas, penulis akan mencoba jelaskan maksud dari penafsiran
yang sesuai dengan coraknya masing-masing. Dapat dilihat bahwa tiap-tiap mufasir
itu akan condong kepada coraknya jika tema ayat yang ditafsirkan adalah tema-
tema tertentu. Berikut adalah penjelasannya.
1. Al-Qurṭubī
Hal yang terlihat pada penafsiran al-Qurṭubī yang bercorak fikih adalah ketika
beliau menafsirkan ayat terkait hukum, seperti penelitian yang ditulis oleh Budy
Prestiawan, ia menjelaskan bahwa penafsiran al-Qurṭubī, terkait dengan hukum
nikah beda agama16. Firman Allah dengan penggalan ayat Q.S. al-Baqarah (2) ayat
221 “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman”, diartikan bahwa wanita musyrik adalah wanita penyembah berhala dan
yang beragama Majusi, hal ini dinukil dari pendapat Imam Mālik, al-Syāfi‘ī, Abū
Ḥanīfah, al-Auza’i, yang melarang menikah dengan wanita Majusi, sedangkan Ibn
Ḥanbal berkata, “Hal itu tidak menarik untukku”. Diriwayatkan bahwa Ḥuzaifah

16
Budy Prestiawan, “Menikahi Orang Musyrik Prespektif al-Jaṣaṣ dan Al- Qurṭubī (Analisa
Terhadap Surat al-Baqarah: 221 Dalam Tafsir Aḥkam al-Qurān dan Jāmi’ li Aḥkam al-Qurān),”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014), h. 1-70.
67

bin al-Yaman pernah menikahi seorang wanita Majusi, lalu ‘Umar berkata
kepadanya, “Ceraikan dia!”17.
Al-Qurṭubī menjelaskan bahwa alasan pengharaman tersebut telah diterangkan
Allah dalam ayat setelahnya, yaitu: “Mereka mengajak ke neraka” dimana ajakan
ke neraka dijadikan sebagai alasan hukum diharamkan menikahi mereka, maka
jawaban dari hal tersebut (mengajak ke neraka) merupakan jawaban untuk firman
Allah: “Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik”, sebab orang yang musyrik itu mengajak ke neraka. Alasan hukum ini
berlaku pula untuk orang-orang kafir18.
Setelah beberapa pemaparan yang disajikan oleh al-Qurṭubī dapat dilihat
bahwa dalam tafsirnya itu, beliau selain menggunakan nuansa hukum, tentunya
harus berdasarkan riwayat-riwayat. Ia berkesimpulan bahwa menikahi wanita
musyrik adalah hukumnya haram, dan lebih baik menikahi wanita budak dari pada
wanita musyrik19.
Contoh ayat aḥkām lain adalah ketika al-Qurṭubī memberikan penjelasan
panjang lebar mengenai persoalan-persoalan fikih pada Q.S. al-Baqarah (2) ayat 43:

       

“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku‘lah beserta orang-orang


yang ruku'.
Pembahasan pada ayat ini al-Qurṭubī membaginya menjadi 34 masalah.
Salah satu pembahasan yang menarik adalah pada masalah ke 16, yaitu al-Qurṭubī
mendiskusikan berbagai pendapat tentang hukum anak kecil yang menjadi imam
salat20.
Kasus lain yang masih terkait dengan hukum adalah pada penafsiran Q.S. al-
Baqarah (2) ayat 185:

17
Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr bin Farḥ al-Anṣārī al-Khazrajī al-
Andalusī al-Qurṭubī, al-Jami’ Li Ahkam al-Qurān, Juz I (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), h.
151.
18
al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān, Juz. 1, h. 146.
19
Budy Prestiawan, “Menikahi Orang Musyrik Prespektif al-Jaṣaṣ dan Al- Qurṭubī
(Analisa Terhadap Surat al-Baqarah: 221 Dalam Tafsir Aḥkam al-Qurān dan Jāmi’ li Aḥkam al-
Qurān)”, h. 37-38.
20
al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān, Juz. 1, h. 70-72.
68

          

             

            

        



“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qurān,


sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk-petunjuk
itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu
barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka
(wajib) menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-
hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu agar kamu bersyukur21”.
Al-Qurṭubī dalam menafsirkan ayat ini, membagi permasalahan ayat ini pada
21 masalah, pembahasan yang penulis ambil adalah Ketika memasuki pembahasan
ke 17, yaitu beliau mendiskusikan persoalan idul fitri yang dilaksanakan hari ke 2.
Kemudian al-Qurṭubī berpendapat bahwa tetap boleh dilaksanakannya idul fitri,
dengan dasar hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasāī22 bahwa ada suatu kaum
yang melihat hilal, lalu mereka menemui Rasulullah SAW, maka Beliau
memerintahkan mereka untuk berbuka setelah matahari sudah tinggi dan hendaknya
mereka keluar untuk melakukan solah hari raya keesokan harinya. Namun pendapat
ini berbeda dengan pendapat Imam Malik, dan sebagian Imam Mazhab yang tak
membolehkan23.
Penelitian selanjutnya masih terkait dengan corak fikihnya al-Qurṭubī, tetapi
dengan menafsirkan ayat yang tidak terkait dengan hukum, seperti penelitian yang

21
Kementerian Agama RI, Al-Qurān Dan Terjemahannya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 28.
22
Abī ‘Abd al-Raḥmāan Aḥmad bin Syu‘aib Bin ‘Alī al-Syuhair (Al-Nasāī), Sunan al-
Nasāī , Kitab 19, bab 2, no. 1557 (Riyāḍ: Maktabah al-Ma‘ārif, t.t.), h. 257.
23
al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān, Juz. 3, h. 149-170.
69

dilakukan oleh Abdul Rouf, membahas tentang makna al-Magḍūb dan al-Ḍallīn
Q.S. al-Fātihah (1) Ayat 7 Penafsiran al-Qurṭubī dalam kitab tafsir al-Jāmi‘ li
aḥkām al-Qurān24. Bahwa di dalam penelitian ini dikatakan, al-Qurṭubī
menjelaskan Q.S. al-Fātihah (1) Ayat 7 dengan mengutip beberapa pendapat para
‘Ulamā dan berbeda pendapat tentang siapakah orang-orang yang dimurkai oleh
Allah dan siapa pula orang-orang yang sesat. Mayoritas ‘Ulamā berpendapat bahwa
orang-orang yang dimurkai adalah umat Yahudi dan orang-orang yang sesat adalah
umat Nasrani25.
Melihat penafsiran yang telah penulis sajikan dapat disimpulkan bahwa corak
yang dimiliki oleh al-Qurṭubī yaitu corak fikih, terlihat dari penilitian yang
dilakukan oleh Abdul Rouf. Bahwa penafsiran bercorak fikih tidak berlaku pada
semua ayat, melihat penafsiran Q.S. al-fātihah (1) ayat 7, sama sekali beliau tidak
membahas masalah-masalah fikih dalam menafsirkan ayat tersebut. Akan tetapi
sangat kental sekali corak fikihnya ketika dihadapkan dengan ayat yang terkait
dengan hukum.
2. Al- Alūsī
Penafsiran yang disajikan oleh al-Alūsī pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, yang
menjadi bahasan dalam penelitian ini, ternyata tidak dipengaruhi oleh corak yang
dimiliki oleh al-Alūsī. Maka dari itu peneliti mencoba mencari letak corak sufi yang
dimiliki oleh al-Alūsī akan berpengaruh pada ayat seperti apa. Karena Secara garis
besar corak penafsiran Imām al-Alūsī dalam tafsirnya Rūḥ al-Ma‘anī ada tiga
corak, yaitu corak Fiqh, Isyāri26 atau ṣūfi dan corak lugawī27.

24
Abdul Rouf, “Makna al-Magḍūb dan al-Ḍallīn Q.S. al-Fātihah Ayat 7 Penafsiran al-
Qurṭubī Dalam Kitab Tafsir al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Kudus, 2017), h. 1-66
25
Abdul Rouf, “Makna al-Magḍūb dan al-Ḍallīn Q.S. al-Fātihah Ayat 7 Penafsiran al-
Qurṭubī Dalam Kitab Tafsir al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān”, h. 52.
26
penafsiran yang dilakukan oleh para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan
mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang Sufi yang
menghayati ajaran tasawuf. Ṣubḥi Ṣāliḥ mendefinisikan pengertian tafsir ini dengan tafsir yang
menta’wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara ayat yang
jelas dan yang tersembunyi. Lihat, St. Aminah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang:
CV Assyifa’, 1999), h. 324.
27
Aminah Rahmi, “Metode dan Corak Penafsiran Imām al- Alūsī terhadap al-Qurān
(Analisa Terhadap Tafsir Rūḥ al-Ma‘anī),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri sultan Syarif Kasim Riau, 2013), h. 59.
70

Penelitian yang ditulis oleh Aminah Rahmi mencoba untuk menganalisis tafsir
yang dikarang oleh Imām al-Alūsī, salah satunya adalah ia memaparkan corak
Isyāri atau ṣūfi dari tafsir Rūḥ al-Ma‘anī. Yaitu pada Q.S. Ṭaha (20) ayat 48:

          

“Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas
orang-orang yang mendustakan dan berpaling”.
Menurutnya bahwa al-Alūsī menafsirkan ayat tersebut Selain pada makna
aslinya, ayat ini juga mengandung pesan yang tidak diungkapkan, bahwa orang
yang mendustakan dan berpaling dari petunjuk Allah akan mendapatkan azab.
Yaitu azab di dunia dan di akhirat28.
Ayat lain yang ditafsirkan oleh al-Alūsī, yang diambil dari penelitian Abu
Hasan29, adalah Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 31:

            

  

“Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya


Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”

Menurutnya, cinta adalah penyesuaian diri orang yang mencintai dan orang
yang dicintai, tetapi cinta tersebut harus berlandaskan dengan Allah S.W.T. dengan
mengutip ucapan al-Alūsī:
‫ب فَ ََل ُيُْ أكن أَ ْن تَت علَّ َق أِب ّأ‬
‫ب َو املَ ْحبُ ْو أ‬ ‫ضي اجلأْن أسيَّةَ ب ْ أ‬
‫َن املَحبَّةَ تَ ْقتَ أ‬
‫الل تَ َعاىل‬ ََ ُ ّ‫ْي املُح أ‬
ََ َ َّ ‫أِب‬
“Sesungguhnya Maḥabbah adalah penyatuan dua ikatan (orang yang
mencintai dan orang yang di cintai) dengan harus berlandaskan kepada
Allah”.
Pada kesimpulannya ia mengatakan bahwa menurut al-Alūsī, bahwa cinta
merupakan kuasa Allah yang diberikan kepada Manusia yang dikhususkan untuk

28
Aminah Rahmi, “Metode dan Corak Penafsiran Imām al- Alūsī terhadap al-Qurān
(Analisa Terhadap Tafsir Rūḥ al-Ma‘anī),” h. 69.
29
Abu Hasan, “Konsep Cinta Kepada Allah Dalam al-Qurān (Telaah Atas Pemikiran Al-
Alūsī Dalam Kitab Rūḥ al-Ma‘anī),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel surabaya, 2016), h. 61-89.
71

beribadah kepada Allah. Artinya dalam hal ini cinta merupakan kekuasaan Tuhan
yang diberikan kepada manusia dengan tujuan untuk beribadah, seperti diberikan
keleluasaan untuk mencintai seseorang dengan tujuan untuk beribadah.
Terminologi ḥabl min al-nās yang diterapkan oleh al-Alūsī harus benar benar
menyatu dengan Allah30.
Ditambah lagi dengan penjelasannya bahwa maksud dari kalimat yuḥibbūnahu
adalah mereka selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan mentaati
segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sebagai sebuah perasaan yang
terkait dengan zat Tuhan dan semestinya seorang pencinta mencintai Tuhan karena
zat-Nya bukan karena pahala-Nya atau kebaikan-Nya karena cinta menempati
derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan cinta karena Zat-Nya31.

Permulaan ayat pada Q.S. al-Syūrā juga ditafsirkan oleh al-Alūsī dengan
menyingkap makna yang terkandung di dalamnya, yaitu kalimat (‫ )حم عسق‬ditafsirkan
dengan penafsiran bahwa al-Alūsī mengemukakan riwayat ‘Izz bin ‘Abd al-Salām
bahwa khalīfah ‘Alī R.A memutuskan untuk memerangi Mu‘awiyah berdasarkan
makna isyarī dari ayat tersebut, akan tetapi menurut pendapat Reza dalam
penelitiannya ini tidak ada penjelasan lebih detail tentang hal tersebut32.
Ayat-ayat terkait zuhud juga banyak ditafsirkan oleh al-Alūsī salah satunya
penulis mengutip beberapa penafsiran al-Alūsī dengan mengambil dari penelitian
yang dilakukan oleh Reza, bahwa dalam Q.S. Ibrāhīm (14) ayat 3, al-Alūsī
menjelaskan tidak seharusnya mengaitkan hati manusia kepada dunia, dan
seharusnya hidup di dunia dijadikan kesempatan untuk berbuat baik. Berbuat baik
juga harus dilandaskan untuk mendapatkan riḍa Allah, bukan untuk mendapatkan
pujian33.
Q.S. Yūsuf (12) ayat 20 yaitu:

         

30
Abu Hasan, “Konsep Cinta Kepada Allah Dalam al-Qurān (Telaah Atas Pemikiran Al-
Alūsī Dalam Kitab Rūḥ al-Ma‘anī),” h. 66.
31
Abu Hasan, “Konsep Cinta Kepada Allah Dalam al-Qurān (Telaah Atas Pemikiran Al-
Alūsī Dalam Kitab Rūḥ al-Ma‘anī),” h. 81.
32
Reza Permana Aditya, “Zuhud Dalam Tafsīr Rūḥ al-Ma‘anī Karya al-Alūsī,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017), h. 34
33
Reza Permana Aditya, “Zuhud Dalam Tafsīr Rūḥ al-Ma‘anī Karya al-Alūsī,” h. 64.
72

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa
dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf”
Al-Alūsī menyatakan, zuhud dalam ayat ini mempunyai arti ragiba ‘anh
(membenci). Sedangkan kata ‫ كَانُوا‬dalam ayat ini kembalinya pada saudara-saudara
Nabi Yusuf, terbukti bahwa jika saudara Nabi Yusuf tidak benci kepada Nabi
Yusuf maka tidak mungkin mereka menyembunyikan identitas Nabi Yusuf yang
sebenarnya. Dilanjutkan oleh al-Alūsī bahwa kata al-zāhidīn adalah orang-orang
yang di dalam hatinya terdapat rasa benci dengan hal-hal yang bersifat duniawi34.
3. M. Quraish Shihab
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan bahwa mufasir asal Indonesia ini
memiliki corak dalam penafsirannya, yaitu yang disebut dengan corak al-Adabi al-
Ijtimā‘ī. Adapun penafsiran yang menunjukkan bahwa Tafsir al-Misbah ini adalah
tafsir yang bercorak al-Adabi al-Ijtimā‘ī, adalah sebagai berikut.
Pertama, penafsiran Quraish shihab yang menyepakati penafsiran Ibn Qayyim
atas Q.S. al-Furqān (25) ayat 30. Menurut Atik Wartini dalam artikelnya bahwa
penafsiran ini sesuai dengan corak yang dimiliki oleh Quraish Shihab35.
Menjelaskan bahwa di hari kemudian kelak Rasulullah SAW. Akan mengadu
kepada Allah SWT, beliau berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya
kaumku/umatku menjadikan al-Qurān sebagai sesuatu yang mahjūra. Kata
mahjūra, dalam ayat tersebut bermakna; Tidak tekun mendengarkannya, tidak
mengindahkan halal dan haramnya walau dipercaya dan dibaca, tidak menjadikan
rujukan dalam menetapkan hukum menyangkut Ushul al-Dīn (prinsip-prinsip
ajaran agama) dan rinciannya, tidak berupaya memikirkan dan memahami apa yang
dikehendaki oleh Allah yang menurunkannya, Tidak menjadikannya sebagai obat
bagi semua penyakit-penyakit kejiwaan36.
Kedua, penafsiran Quraish Shihab terkait dengan ayat-ayat jihad, yang penulis
temukan dalam artikel berjudul relevansi pemikiran tafsir jihad M. Quraish Shihab
dalam Tafsir al-Misbah37. Penulis Penelitian tersebut mengatakan, bahwa Quraish

34
Reza Permana Aditya, “Zuhud Dalam Tafsīr Rūḥ al-Ma‘anī Karya al-Alūsī,” h. 62.
35
Atik wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah,” Hunafa:
Jurnal Studia Islamika, vol. 11, no. 1 (Juni 2014): h. 109-126.
36
Atik wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah,” h. 118.
37
M. Cholil, “Relevansi Pemikiran Tafsir Jihad M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-
Misbah,” Marāji‘: Jurnal Studi Keislaman, vol. 1, no. 2 (Maret 2015): h. 538-566.
73

Shihab memaknai Jihad dengan makna ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang
yang membutuhkan kesabaran dan ketabahan. Jihad juga mengandung arti
kemampuan yang menuntut sang mujāhid mengeluarkan segala daya dan
kemampuannya demi mencapai tujuan. Meskipun demikian, Shihab tidak
menafikan bahwa jihad di sebagian ayat bermakna perang. Bagi Shihab jihad bukan
hanya memiliki makna perang akan tetapi juga memiliki makna kesungguhan, kerja
keras, dan keteguhan. Ia yang membagi jihad menjadi tiga macam, antara lain jihad
menghadapi musuh yang nyata, menghadapi setan, dan menghadapi nafsu yang
terdapat dalam diri masing-masing38.
Ketiga, pembahasan tentang konteks perubahan masyarakat (sosial), di dalam
al-Qurān terdapat paling tidak ada dua ayat, yaitu Q.S. al-Ra’d (13) ayat 11:

              

                

      

“Bagi manusia ada Malaikat-Malaikat yang selalu mengikutinya


bergiliran, di depan dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain
dia”.
Ayat kedua adalah Q.S. al-Anfāl (8) ayat 53:

             

     


“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali
tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka
sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”

38
M. Cholil, “Relevansi Pemikiran Tafsir Jihad M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-
Misbah,” h. 565.
74

Ditafsirkan oleh Qurasih Shihab, ayat-ayat ini mengandung makna perubahan.


Yaitu perubahan dari segala aspek kehidupan, sedangkan ayat kedua berbicara
tentang perubahan nikmat39.
Dikutip dari kitab Tafsir Al-Misbah, ada beberapa hal penting yang ditafsirkan
oleh Quraish Shihab terkait dua ayat tersebut. Yaitu: Ayat-ayat tersebut berbicara
tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Ini dipahami dari kata qaum
(masyarakat) pada kedua ayat tersebut. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh perindividu saja. Bisa juga bermula
dari pemikiran yang dilontarkan oleh satu individu kemudian disebarkan kepada
masyarakat, maka akan menjadi perubahan yang bersifat kemasyarakatan40.
Selanjutnya, kata qaum pada ayat tersebut bermakna umum, tidak untuk satu
ras, bangsa atau lainnya. Karena ayat tersebut berbicara tentang qaum, ini berarti
sunnatullāh yang dibicarakan berkaitan dengan kehidupan dunia, bukan kehidupan
akhirat41. Perubahan yang terjadi pada qaum tersebut tidak terlepas dari dua pihak,
yaitu Allah yang memiliki kekuasaan untuk membuat masyarakat itu menjadi yang
diinginkannya, dan juga manusia yang berperan untuk mengatur dirinya sendiri.
Penjelasan terakhir tentang kedua ayat tersebut juga menekankan bahwa
perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang
dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa perubahan ini
maka rasanya sulit akan terjadi perubahan sosial. Karena itu boleh saja terjadi
perubahan penguasa atau bahkan sistem, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak
berubah, keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sediakala. Jika demikian, maka
sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam pandangan al-Qurān yang paling pokok
guna perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam manusia karena sisi inilah yang
melahirkan aktivitas, baik positif maupun negatif, dan bentuk, sifat, serta corak
aktivitas itulah yang mewarnai keadaan masyarakat42.

39
Saifuddin, “Revolusi Mental Prespektif al-Qurān: Studi Penafsiran Quraish Shihab,”
Maghza, vol. 1, no. 2 (Juli-Desember 2016): h. 62.
40
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qurān, jilid 6
(Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 232.
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qurān, jilid 6,
h. 233.
42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qurān, jilid 6,
h. 233.
75

4. Al-Zamakhsyarī
Telah dibahas pembahasan terkait corak tafsir Zamakhsyarī, yaitu tafsir yang
penafsirannya bersumber dari al-ra’yi dan tafsir yang coraknya bertujuan untuk
membuktikan keindahan sebagian aspek kemukjizatan al-Qurān. Dikenal dengan
corak balāgah atau lugawī43.
Berikut penulis akan mencoba menyajikan contoh penafsiran Zamakhsyarī
yang menunjukkan perhatiannya pada aspek balāghah. Dalam penafsiran Q.S. al-
Fātihah (1) ayat 5:

    


“Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon
pertolongan”

Akan tetapi diterjemahkan sekaligus ditafsirkan oleh Zamakhsyarī dengan


menjadi “Kami mengkhususkanMu dalam beribadah dan kami pun
mengkhususkanMu dalam memohon pertolongan atau hanya kepadaMu lah kami
menyembah dan hanya kepadaMu lah kami memohon pertolongan.’’ Dalam
penjelasan tafsir ayat ini, Zamakhsyarī memberikan contoh pengkhususan
kedudukan objek dengan cara meletakkannya di awal atau sebelum kata kerja,
seperti pada Q.S. al-Zumar (39) ayat 64:

       

“Katakanlah: maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain


Allah? Hai orang-orang yang tidak berpengetahuan”
Lalu ia membandingkan kedua ayat di atas dan menjelaskan kedua susunan
kalimat tersebut dalam cara pengkhususan nya. Ia menjelaskan pada Q.S. al-Fātihah
(1) ayat 5, bahwa dengan adanya pengkhususan yang digunakan di dalamnya
mengandung makna yang lebih, serta seni bahasa yang indah. Zamakhsyarī juga
menambahkan penjelasan terkait dengan pengalihan kata ganti yang terdapat dalam

43
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h.49.
76

Q.S. al-Fātihah (1), dikatakan bahwa hal ini terdapat pada judul al-Iltifāt44 dalam
pembahasan balāghah45.
Al-Zamakhsyarī, selain menggunakan balāgah ia juga mencoba menjelaskan
ayat dilihat dari segi ilmu naḥwunya. Bertujuan untuk menjaga bahasa Arab dan
untuk menunjukkan keahliannya dalam bidang bahasa. Berikut beberapa contoh
penafsiran Zamakhsyarī yang menunjukkan perhatiannya akan ilmu naḥwu dalam
memahami ayat-ayat al-Qurān46. Dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 21:

          


“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan
orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”
Al-Zamakhsyarī menafsirkan ayat tersebut secara rinci, seperti pada huruf (‫)يا‬,
dimaknai huruf ini adalah suara yang terdengar dan digunakan untuk memanggil
objek yang berjarak jauh. Adapun huruf yang digunakan untuk memanggil objek
yang berjarak dekat adalah (‫ أ‬,‫)أي‬. Kemudian ia menambah penjelasannya bahwa
huruf (‫ )يا‬yang digunakan untuk memanggil objek berjarak jauh juga dapat
digunakan untuk memanggil objek yang berjarak dekat, disebabkan objek tersebut
dianggap lengah atau lupa sehingga diibaratkan ia berada di tempat yang jauh47.
Ayat lain yang ditafsirkan oleh al-Zamakhsyarī terkait dengan penafsiranya
dengan menyajikan permasalahan naḥwu, di dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 23:

            

       

44
al-Iltifāt adalah pengalihan format kata, dari kata ganti orang pertama ke kata ganti orang
kedua ataupun ketiga dan sebaliknya atau artinya menoleh, berbelok atau beralih, dalam ilmu
balagah pun al-Iltifāt yaitu mengalihkan uslub (gaya bicara) dari satu arah ke arah yang lain. Lihat,
‘Abd al-Ḥākim Ḥasan, Al-mannar fī ‘Ulūm Al-balāgah (kairo: Maktab Al-jāmi’ah Al-Azhariyah,
t.t.), h. 143.
45
Muḥammad Abū Mūsā, al-Balāghah al-Qurāniyah fī Tafsīr al-Zamakhsyarī wa Aṡaruhā
fī al-Dirasah al-Balagiyah, cet. II (Kairo: Maktabah Wahbah, 1988), h. 94.
46
‘Abd al-Fataḥ ‘Abd al-Ghāni Muḥammad Ibrāhīm al-Awarī, Rauḍat al-Ṭālibīn fî Manāhij
al-Mufassirīn, jilid II (Kairo: Maktabah al-Iman, 2015), hal. 242.
47
Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr
al-Kasyyāf (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2009), h. 56.
77

“Dan jika kamu meragukan al-Qurān yang kami turunkan kepada hamba
kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
benar”
Diambil dari penelitian yang ditulis oleh Ahmad Husnul48, bahwa menurut
Zamakhsyarī, kembalinya ḍamīr (kata ganti) hi pada kata miṡlihi adalah pada kata
mā anzalnā atau pada kata ‘abdinā. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah
ḍamīr itu kembali pada kata mā anzalnā sesuai dengan maksud ayat tersebut, sebab
yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-Qurān, bukan nabi Muḥammad49.
5. Sayyid Quṭb
Penelitian terkait penafsiran mufasir kali ini, telah banyak dilakukan oleh para
pemikir-pemikir muslim. Salah satunya adalah penelitian Wulandari, yang
membahas tentang iṣlāḥ50. Menurut Sayyid Quṭb dalam Al-Qurān iṣlāḥ mempunyai
makna yang lebih luas dari sekedar memisahkan atau mendamaikan orang-orang
yang bermusuhan, tetapi mempunyai makna yang lebih luas yaitu bagaimana
manusia selalu memperbaiki diri dan menciptakan suasana perdamaian antara
sesama manusia baik dalam ruang lingkup keluarga, sosial kemasyarakatan51.
Menurutnya juga bahwa iṣlāḥ dapat mewujudkan kalimatullah sebagai
kenyataan di muka bumi, antara lain; keadilan, kemerdekaan, dan keamanan bagi
semua umat manusia baik individu ataupun masyarakat. Bukan hanya sekedar
mencegah terjadinya peperangan dengan segala resikonya, tetapi mencegah
kelaliman serta kerusakan di muka bumi. Karena itu, menurut Sayyid Quṭb “Islam
memulai upaya perdamaian atau perbaikan (iṣlāḥ) pertama-tama di dalam
perasaan setiap individu, kemudian meluas ke semua anggota keluarga lalu ke
masyarakat52.”

48
Ahmad husnul Qowwim, “Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Penciptaan Dan Kemampuan
Jin (Studi Komparatif Penafsiran Zamakhsyarī Dalam Tafsīr al-Kasyyāf dan Fakhr Al-Rāzi Dalam
Tafsir Mafātīḥ Al-Gaib),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam negeri Walisongo
semarang, 2012), h. 75.
49
Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-
Kasyyāf, h. 242.
50
Wulandari, “Penafsiran Sayyid Quṭb Tentang Ayat-Ayat Iṣlāḥ (Studi Tafsīr FĪ żiāL Al-
Qurān),” Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, vol.2, no. 1 (Juni 2017): h. 78-83.
51
Wulandari, “Penafsiran Sayyid Quṭb Tentang Ayat-Ayat Iṣlāḥ (Studi Tafsīr FĪ żiāL Al-
Qurān),” h. 82.
52
Sayyid Quṭb, Tafsīr FĪ żilāl Al-Qurān di Bawah Naungan Al-Qurān, Jilid 7,
Diterjemahkan oleh As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 108.
78

Selain itu, ditambah lagi penjelasan tentang iṣlāḥ serta ditegaskan bahwa Islam
tidak mengenal batas-batas negara. Kelaliman yang terjadi di suatu negara, maka
umat muslim wajib untuk menghilangkannya. Karena itu di dalam Islam tidak ada
tempat bagi pemikiran yang memandang suci negara atau bangsa, sehingga
menghalalkan perbuatan haram dan membolehkan perbuatan yang mungkar
(tercela)53.
Penelitian selanjutnya yaitu artikel yang membahas tentang ukhuwah islamiyah
yang ditafsirkan oleh Sayyid Quṭb, dalam Q.S. al-Hujurat (49) ayat 13, dijelaskan
ukhuwwah yang dimaksud oleh Quṭb adalah persaudaraan yang tidak
mengorbankan segi akidah karena menurutnya sesungguhnya akidah Islam tidak
bias toleransi sedikitpun prihal syirk (persekutuan) dalam hati. Jadi, hanya ada satu
pilihan yang menjadikan hati itu murni, yakni hanya dengan akidah Islam atau
memilih untuk berlepas diri darinya sama sekali. Namun, bukanlah yang dituntut
agar setiap Muslim memutuskan segala hubungan dengan keluarga, kerabat,
pasangan, anak, harta benda, perhiasan dan kenikmatan. Bukan pula melakukan
rahbānīyah “kependetaan dan mengurung diri dalam biara tidak makan dan beristri
dan lain-lain” bukan pula bersikap zuhd dalam kenikmatan-kenikmatan hidup54.

C. Implikasi Klasifikasi Corak Tafsir


Pembahasan terakhir ini, akan menjelaskan tentang hasil dari dua tabel yang
sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Yaitu corak tafsir akan
dipengaruhi oleh ayat tersebut atau tidak, dilihat dari tema ayat yang ditafsirkan
oleh mufasir. Untuk mempermudah penjelasan kali ini, maka penulis juga
menggunakan tabel yang dapat dilihat pada berikut ini:
Tabel 4.3.
Klasifikasi Corak Tafsir
Latar Mufasir Ayat Tafsiran
Q.S. al-Baqarah Terkait Fikih
Fikih Al-Qurṭubī
(2) ayat 185
Q.S. Āli ‘Imrān Terkait
Tasawuf Al-Alūsī
(3) ayat 31 Tasawuf

53
Wulandari, “Penafsiran Sayyid Quṭb Tentang Ayat-Ayat Iṣlāḥ (Studi Tafsīr FĪ żiāL Al-
Qurān),” h. 83.
54
Arsyad Sobby Kusuma, “RE-Interpretasi Pemikiran Ukhuwwah Sayyid Quṭb”, Miqot,
vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni 2018): h. 79-104.
79

Q.S. al-Anfāl Terkait


Al-adabī al-ijtimā‘ī M. Quraish Shihab
(8) ayat 53 kemasyarakatan
Q.S. al-Fātihah Terkait balagah
Lugawī Al-Zamakhsyarī
(1) ayat 5
Q.S. al-Hujurat Terkait
Ḥarakī Sayyid Quṭb (49) ayat 13 Pergerakan
(Ḥarakī)

Klasifikasi corak tafsir, dengan ayat-ayat terkait hukum atau bukan hukum,
maka memiliki hasil yang berbeda-beda. Masing-masing mufasir dengan latar
belakang yang berbeda-beda jika dihadapkan dengan ayat hukum, maka hasil
penafsirannya akan terkait dengan hukum, seperti yang ada pada tabel 4.1. Akan
tetapi jika dihadapkan dengan ayat yang memiliki tema sesuai dengan coraknya,
maka corak itu akan memiliki peran dalam penafsirannya, seperti yang terdapat
pada tabel 4.3. Sehingga pada akhir bab ini, ada dua kesimpulan yang dapat penulis
jelaskan yaitu:
1. Relasi Latar Belakang Mufasir dengan Corak Tafsirnya
Melihat pembahasan sebelumnya, penulis berasumsi bahwa tiap-tiap mufasir
itu, memiliki relasi antara latar belakang mufasir dengan corak yang dimilikinya,
yang terdapat di dalam kitab tafsirnya. Seperti pembahasan pada bab sebelumnya
telah dipaparkan hal-hal terkait dengan profil singkat dan latar belakang mufasir,
bahwa corak yang dimilikinya itu sangat berkaitan dengan latar belakang kehidupan
masing-masing mufasir, seperti diambil contoh pada Sayyid Quṭb, seorang mufasir
yang awalnya memiliki corak ijtimā‘ī kemudian berubah menjadi corak ḥarakī,
karena pada saat itu beliau melanjutkan menulis tafsirnya di dalam jeruji besi55.

2. Relasi Corak Tafsir dengan Ayat Hukum


Setelah disajikan penafsiran-penafsiran mufasir Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S.
al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130, yang
dikategorikan sebagai ayat hukum. Hasil penafsiran tersebut ternyata tidak
dipengaruhi oleh corak tafsir yang dimiliki oleh para mufasir. Bahkan para mufasir,
cenderung mengarahkan tafsirannya ke masalah hukum. Sebut saja al-Alūsī, yang

55
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.
138.
80

memiliki corak isyārī, ketika dihadapkan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan
hukum, tetap saja corak yang dimilikinya tidak berpengaruh dalam menafsirkan
ayat hukum.
Corak itu akan berpengaruh pada ayat-ayat seperti yang telah penulis paparkan
diatas. Dan penafsiran-penafsirannya juga sesuai dengan corak dimiliki oleh
mufasir tersebut.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka
jawaban atas rumusan masalah dari skripsi ini adalah:
Bahwa koherensi penafsiran ulama tafsir dengan corak yang beragam atas ayat
hukum, yaitu pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr
(24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130, itu tidak mempengaruhi hasil penafsiran
yang disajikan pada masing-masing penafsirannya. Ketika mufasir dengan ragam
corak yang dimilikinya menafsirkan ayat hukum, maka penafsirannya akan selalu
terkait dengan hukum.
Corak tafsir yang ada pada mufasir itu akan berpengaruh, jika ayat yang
ditafsirkan oleh tiap-tiap mufasir memiliki tema yang sesuai dengan kecendrungan
umuma dari corak mufasir tersebut.
B. Rekomendasi dan Saran
Merujuk pada hasil temuan penelitian di atas, maka ada hal yang bisa menjadi
rekomendasi atau saran untuk peneliti yang akan melakukan kajian terkait dengan
corak tafsir, yaitu apa yang telah penulis kaji masih belum sempurna, dan masih
banyak kekurangan. Seperti penafsiran yang dikaji pada penelitian ini hanya
berfokus Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat
2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130. Oleh karenanya bagi mereka yang ingin
meneruskan penelitian ini bisa juga melebarkan objek kajian pada ayat-ayat yang
lebih bervarian, dan mufasir-mufasir yang memiliki corak baru pada zaman modern
ini. Disebabkan karena mufasir yang penulis kutip pada penelitian ini adalah
mufasir pada masa klasik, kecuali M. Quraish Shihab. Sehingga penafsiran yang
lebih beragam dari mufasir yang lain, akan menimbulkan hasil yang berbeda juga.
Maka dari itu apakah jika mufasirnya diganti dengan mufasir modern atau
mufasir lain yang memiliki pemikiran dan pembaharuan baru dalam ilmu atau corak
tafsir, mungkin akan menjadi penelitian yang lebih baik dari penelitian ini.

81
DAFTAR PUSTAKA

Abha, Muhammad Makmun. “Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih (Telaah
atas Pemikiran Tafsir ‘Abdullah Aḥmad al-Na‘im).” Jurnal
Syahadah, v. 2, no. 1 (April 2014): h. 52-68.
Abidu, Yunus Hasan. Tafsir al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para
Mufassir. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Abu Sujak. “Metode dan Corak Tafsir al-Qur-anul Karim Karya Mahyuddin
Ibn ‘Arabi.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 1989.
Aditya, Reza Permana. “Zuhud Dalam Tafsīr Rūḥ al-Ma‘anī Karya al-Alūsī.”
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017.
Aḥmad, Abī ‘Abd al-Raḥmāan (Al-Nasāī). Sunan al-Nasāī , Kitab 19, bab 2,
no. 1557. Riyāḍ: Maktabah al-Ma‘ārif, t.t.
AH Sanaky, Hujai. “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna atau Corak Mufassirin).” Al-Mawarid Edisi XVII (2008): h.
263-284.
Aljufri, Ali. “Corak Dan Metodelogi Tafsir Indonesia “Wawasan al-Qurān”
Karya Muhammad Quraish Shihab.” Rausyan Fikr, v. 11, no. 1
(Januari-Juni 2015): h. 144-145.
‘Alī Iyāzī, Muḥammad. al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa manhajuhum. Teheran:
Muassasah al-Ṭiba’ah Wa al-Nasyr Wizarāt al-Syaqafah Wa al-
Irsyād al-Islamī, 1313 H.
Amal, Taufiq Adnan dan Panggabean, Syamsu Rizal. Tafsir Kontekstual Al-
Qur’an: Sebuah Kerangka Konseptual. Bandung: Mizan, 1989.

Al-Amin, Habibi. “Tafsīr Ṣufi Laṭā‘if al-Isyārāt Karya al-Qusyairī Perspektif


Tasawwuf dan Psikologi.” Ṣuḥuf, v. 9, no. 1 (Juni 2016): h. 59-78.
Aminah, St. Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: CV Assyifa’,
1999.

82
83

Anissa, Zahra Aini. “Pernikahan Beda Agama Menurut Sayyid Quthub (Telaah
Penafsiran Ayat-ayat Nikah Beda Agama dalam Kitab Tafsir Fī zilāl
al-Qurān.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Suan Ampel
Surabaya, 2017.
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.
Arni, Jani. “Kelemahan-Kelemahan Dalam Manhaj al-Mufassirin.” Jurnal
Ushuluddin vol.XVIII, no. 2 (Juli 2012): h.167.
Al-‘Ard, ‘Alī Ḥasan. Sejarah Dan Metodologi Tafsir. Penerjemah Ahmad
Akram. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Asy’ari. “Studi Tentang Bentuk Corak Dan Metode Tafsir.” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 1999.
Asy-Syurbasi, Ahmad. Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab. Jakarta: Amzah,
2009.

Azwar, Saifudin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.


Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir al-Qurān di Indonesia. Solo: Tiga
Serangkai, 2003.
Barthes, Roland. Image, Music, Text and Translated by Stephen Heath. New
York: Hill and Wang, 1977.
Campanini, Massimo. The Basic The Qur’an. English: Routledge, 2007.
Cholil, Muhammad. “Relevansi Pemikiran Tafsir Jihad M. Quraish Shihab
Dalam Tafsir Al-Misbah.” Marāji‘: Jurnal Studi Keislaman, vol. 1,
no. 2 (Maret 2015): h. 538-566.
Effendy, Mochtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid V. t.k: Universitas
Sriwijaya, 201.
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. Ciputat : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah,
2011.
Farhun, Ibn. al-Dībāj al-Mażhab Fī Ma’rifah A’yān ‘Ulamā al-Mażhab.
Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
Al-Farmāwī, ‘Abd al-Ḥay. al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mauḍū‘i: Dirasah
Manhajiyyah Mauḍū‘iyyah. Kairo: Al-Azhar, 1977.
84

Fattāḥ, Ṣalāḥ ‘Abd. Ta’rīf al-Darisin bi Manāhij al-Mufassirīn. Damaskus: Dār


al-Qalam, 2002.
Ghafur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
Ghazali, Abd Moqsith. “Corak Tasawuf al-Gazāli Dan Relevansinya Dalam
Konteks sekarang,” Al-Tahrir, v. 13, no. 1 (Mei 2013): h. 61 – 85.
Girbāl, Muḥammad Syafiq. al-Mausū‘ah al-‘Arabiyyah al-Muyassarah. t.tp.:
Dār al-Sya‘ab, 1965.
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir. Penerjemah Alaika Salamullah, Syaifuddin
Zuhri dan Badrus Syamsul Fata. Yogyakarta: eLSAQ press, 2006.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003.
Ḥamīd, Muḥsin ‘Abd. Al-Alūsi Mufassiran. Bagdād: Muṭba‘ah al-Ma‘ārif,
1968.
Halim Mahmud, Mani’ Abdul. Metodologi Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, T.tb.
Hasan, Abu. “Konsep Cinta Kepada Allah Dalam al-Qurān (Telaah Atas
Pemikiran Al- Alūsī Dalam Kitab Rūḥ al-Ma‘anī).” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel surabaya, 2016.
Ḥasan, ‘Abd al-Ḥākim. Al-mannar fī ‘Ulūm Al-balāgah. kairo: Maktab Al-
jāmi’ah Al-Azhariyah, t.t.
Hayyul. “Studi Atas Penafsiran Surah al-Ikhlāṣ Menurut Sayyid Quṭb Dalam
Kitab Tafsīr Fī ẓilāl al-Qurān.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar, 2010.
Ḥusain al-Żahabi, Muḥammad. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz II. Cairo:
Maktabah Wahbah, 2000.
Ibn Nasīr al-Ṭayyār, Musa‘ad Ibn Sulaimān. Al-Tafsīr al-Lugawī li al-Qurān
al-Karīm. t.tp: Dār Ibn Al-Jauzi, 1900.
Ibrahim, Malik. “Corak dan Pendekatan Tafsir al-Qurān.” Sosio Religia, vol.
9, no. 3 (Mei 2010): h. 641-654.
85

Idirs. “Tafsīr al-Bayḍāwī (Analisis metode dan corak kitab Anwār al-Tanzīl wa
Asrār al-Ta’wīl.” Al-Tsiqoh: Islamic Economy and Da’wa Journal,
vol. 1, no. 2 (2016): h. 53-73.
Imroni, Muhammad Aris. “Corak Tafsir Ayat Ahkam al-Qurṭubī,” Desertasi
S3 Fakultas Ushuluddin, Pasca Sarjana Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.
Irawan, Dedi. ”Pernikahan Beda Keyakinan Dalam al-Qurān ( Analisi
Penafsiran al-Maraghi atar QS. Al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah
ayat 5).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.
Ismā‘īl, Sya’ban Muḥammad. al-Madkhal li Dirasah al-Qurān wa al-Sunnah
wa al-‘Ulum al-Islamiyyah, Juz II. Kairo: Dār al-Anshar, T.tb.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur. 2011.

Jarir al-Tabari, Abū Ja‘far Muhammad. Terjemah Tafsir Ath-Thabari. jilid 6.


Jakarta: Pustaka Azam. 2008.
Jaya Suprana, Kelirumologi genderisme. Jakarta: PT Elex Komputindo, 2014.
Joko P Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, 2004.
Kaltsum, Lilik Ummi dan Abdul Muqsith Ghazali. Tafsir Ahkam. Ciputat : UIN
Pres. 2015.

−−− −−− −−− . “Hak-Hak Perempuan dalam Pernikahan Perspektif Tafsir


Sufistik: Analisis terhadap Penafsiran Al-Alūsi dan ‘Abd al-Qādir
al-Jilāni.” Journal of Qur’ān and Hadīth Studies, Vol. 2, no.2.
(2013): h. 167-188.
Kasmantoni. “Lafadz Kalam dalam Tafsir al-Misbah Quraish Shihab Studi
Analisa Semantik.” Tesis S2 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Kementerian Agama RI. Al-Qurān Dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Sinergi
Pustaka Indonesia, 2012.
Khomsiatun, Siti. “Nusyūz Dalam Pandangan Zamakhsyarī Dalam Kitab al-
Kassyāf Dan Aminah Wadud Dalam Kitab Al-Qurān And Woman
86

(Study Komparatif).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut


Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2013.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul fiqih, tej. Mohammad Zuhri. Semarang :
Dina Utama, 1994.
Kholid, Abdul. Madzahib al-Tafsir. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003.
Khomsiatun, Siti. “Nusyuz Dalam Pandangan Zamakhsyari Dalam Kitab al-
Kassyyaf dan Amina Wadud dalam al-Qur’an And Woman (Study
Komparatif).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Instritut Agama
Islam Negeri WaliSongo Semarang, 2013.
Khotib, A. Baijuri. “Corak Penafsiran al-Qur’an (Periode Klasik- Modern).”
Jurnal Hikamuna, edisi 1, vol. 1, no. 1 (2016): h. 115.

Al-Khuli, Amin dan Abu Zayd, Nashr Hamid. Metode Tafsir Sastra.
Penterjemah Khairon NahdiyyinYogyakarta: Adabpress, 2004.
Kusuma, Arsyad Sobby. “RE-Interpretasi Pemikiran Ukhuwwah Sayyid
Quṭb.” Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni 2018): h. 79-104.

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qurān. Tafsir Ringkas. Jakarta : Lajnah


Pentashihan Mushaf al-Qurān. 2016.
Mahmud, Abdul Halim. Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Maḥmūd, Abī al-Qāsim Jār al-Allah bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-
Khawārizmī. Tafsīr al-Kasyyāf. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2009.
Makmun Abha, Muhammad. “Pola Baru Dalam Tafsir Fikih (Telaah Atas
Pemikiran Tafsir Al-Na’im).” Jurnal Syahdah¸ vol. 2, no. 1 (April
2014): h. 67.
Masrur. “Pemikiran Dan Corak Tasawwuf Hamka Dalam Tafsir al-Azhar.”
Medina-Te, Jurnal Studi Islam, v. 14, no. 1 (Juni 2016): h. 17-24.
Muhaimin, Ahmad. “Konsep Hidayah Dalam al-Qurān (Studi Tafsir Rūh al-
Ma’anī karya al-Alūsī dan Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Ibn
‘Āsyūr.” Tesis S2 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya, 2016.
87

Muḥammad Ibrāhīm al-Awarī, ‘Abd al-Fataḥ ‘Abd al-Ghāni. Rauḍat al-


Ṭālibīn fî Manāhij al-Mufassirīn, jilid II. Kairo: Maktabah al-Iman,
2015.
Muḥammad bin Aḥmad, Abī Bakr al-Qurṭubī. Al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān.
Beirut: al-Resalah, 2008.
Mulia, Musdah. Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Bisma Optima.
2014.
Mūsā, Muḥammad Abū. al-Balāghah al-Qurāniyah fī Tafsīr al-Zamakhsyarī
wa Aṡaruhā fī al-Dirasah al-Balagiyah, cet. II. Kairo: Maktabah
Wahbah, 1988.
Mustaqim, Abdul. Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an
Periode Klasih hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka,
2003.
−− −− −− −− dan Syahiron. Studi Al-Qurān Kontemporer. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana: 2002.
Nafsiah, Jazilatun. “Kepemimpinan ‘Ulamā Dalam Al-Qurān Perspektif
Qurash shihab Dan Sayyid Quṭb.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
2015.
Nasuhi, Hamid. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Desertasi). Jakarta: CEQDA, 2007.
Nasution, Syamruddin. Pernikahan Beda Agama Dalam al-Qurān: Kajian
Tentang Pro dan Kontra. Riau: Yayasan Pustaka Riau, 2011.
Nicholson, R.A. Fī al-Tasāwwuf al-Islamī wa Tarīkhihi. Kairo: Lajnah al-
Ta’līf wa al-Tarjamah wa al-Nashr, 1969.
Ni’mah. “Tafsir Q.S. Al-Nisā ayat 34 Menurut Tafsir Al-Misbah Dan Tafsir Fī
Ẓilal al-Qurān.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Pekalongan,
2011.
Prestiawan, Budy. “Menikahi Orang Musyrik Prespektif al-Jaṣaṣ dan Al-
Qurṭubī (Analisa Terhadap Surat al-Baqarah: 221 Dalam Tafsir
Aḥkam al-Qurān dan Jāmi’ li Aḥkam al-Qurān).” Skripsi S1
88

Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif


Hidayatullah Jakarta, 2014.
P Subagyo, Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta, 2004.
Al-Qaṭṭān, Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an . Penerjemah Mudzakir
AS. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2013.
Quṭb, Sayyid. Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Jilid 1. Beirut: Dār al-Syurūq, t.t.
Qowwim, Ahmad husnul. “Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Penciptaan Dan
Kemampuan Jin (Studi Komparatif Penafsiran Zamakhsyarī Dalam
Tafsīr al-Kasyyāf dan Fakhr Al-Rāzi Dalam Tafsir Mafātīḥ Al-
Gaib).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam negeri
Walisongo semarang, 2012.
Rahman, Dudung Abdu. Mengembangkan Etika Berumah Tangga Moralitas
Bangsa Menurut Pandangan al-Qurān. Bandung: Nuansa Aulia.
2006.
Rahmi, Aminah. “Metode dan Corak Penafsiran Imām al- Alūsī terhadap al-
Qurān (Analisa Terhadap Tafsir Rūḥ al-Ma‘anī.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri sultan Syarif Kasim Riau,
2013.
Razi, Muhammad. 50 Ilmuwan Muslim Populer. Jakarta: Qultummedia, 2005.
Rouf, Abdul. “Makna al-Magḍūb dan al-Ḍallīn Q.S. al-Fātihah Ayat 7
Penafsiran al-Qurṭubī Dalam Kitab Tafsir al-Jāmi‘ li aḥkām al-
Qurān.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Kudus, 2017.
Rosyidah, Miftachur. “Tafsir Falsafi: Sebuah Telaah Perbandingan.” Tribakti,
v. 14, no.1 (Januari 2005): h. 1-11.
Ruslan. “Studi Atas Penafsiran al-Qurthubi Terhadap Ayat-Ayat Tentang
Nikah Beda Agama Dalam Kitab al-Jami’ Li Ahkam al-Qurān,”
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009.
Sa’adah, Layliati. “Tafsir Ṣūfī Falsafī Ibn ‘Arabi Tentang Perempuan Dalam
al-Qurān.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
89

Saeed, Abdullah. The Qur’an an Introduction. London and New York:


Routledge, 2008.
Sa’fān, Kāmil. Amīn al-Khūlī. Kairo: al-Hay’ah al-Misriyah al-Āmma Li al-
Kitāb, 1982.
Saifuddin. “Revolusi Mental Prespektif al-Qurān: Studi Penafsiran Quraish
Shihab.” Maghza, vol. 1, no. 2 (Juli-Desember 2016): h. 62.
Ṣāliḥ, Subḥ. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qurān, Terj. Tim Pustaka Firdaus.
Jakarta: Pustaka Firdaus. 1996.
Setianingsih, Yeni. “Melacak Pemikiran al-Alūsī dalam Tafsir Rūh al-Ma‘ānī.”
Kontemplasi, Vol. 5, no. 1 (Agustus 2017): h. 236-257.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam Beragama (Bandung:
Mizan, 1999.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qurān.
Jakarta: Lentera Hati, 2012.
−−− −−− −−−. Membumikan al-Qur’an, cet. Ke-3. Bandung: Mizan, 1993.
Shihāb al-Dīn, Abī al-Faḍl al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī. Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5.
Beirut: Idārah al-ṭibā‘ah, T.tb.
Siswanto, Heri. “Konsep Penerimaan Amal Dalam al-Qurān Karya
Muḥammad Bin Aḥmad Bin Abī Bakr Bin Farḥ al-Qurṭubī Tafsīr al-
Jami’ Li Ahkam al-Qurān Wa al-Mubayyin Limā Tahammanahu
Min al-Sunnah Wa ayyi al-Furqān.” Tesis S2 Fakultas Ushuluddin,
Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
2016.
Sofyan. “Corak Fikih Literalistik-Tekstualistik.” Jurnal Al- Ulum, v. 10, no. 2
(Desember 2010): h. 291-308.
Subiyanto, M. Joko. “Pernikahan Lintas Agama (Studi Atas Pemikiran Hukum
Wahbah Zuḥaili Tentang Perempuan Ahl al-Kitāb).” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2012.
Sufyan, Abu. “Deradikalisasi Penafsiran Mufassir Manhaj Ḥarakī Terhadap
Ayat-ayat Qitāl (Analisis Penafsiran Sayyid Quṭb dengan Teori
Naskh Maḥmūd Muḥammad Ṭaha).” Skripsi S1 Fakultas
90

Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel


Surabaya, 2018.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik.
Cet. Ke-7. Bandung: Tarsito, 1982.
Suryadilaga, M. Alfatih. dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: TERAS,
2005.
Syafieh. “Perkembangan Tafsir Falsafi Dalam Ranah Pemikiran Islam.”
Jurnal At-Tibyan, v. 2, no. 2 (Juli-Desember 2017): h. 4.
Syaughi al-Ghadri. Nusyuz. Jakarta : Gema Insani. 2006.
Al-Syaybi, Kāmill Muṣṭafā. Al-ṣilah bayn al-Taṣawwuf wa al-Tashayyu’ .
Mesir: Dār al-Ma’ārif, t.t.
Syukur, Abdul. “Mengenal Corak Tafsir al-Qurān”, Elfurqonia, v.1, no.1
(Agustus 2015): h. 84-104.
Tanjung, Abdurahamn Rusli. “Ananlisis Terhadap Corak Tafsir al-adabī al-
ijtimā‘ī,” Analytica Islamica, vol. 3, no. 1 (2014): h. 162-177.
Wahidah dan Najib, Muhammad. “Corak Penulisan Tafsir di Malaysia Abad
Ke-21 (2001-2015).” Jurnal al-Turath. vol. 2, no. 1 (2017): 27-36.
Wartini, Atik. “Corak Penafsiran M.Quraish Shihab Dalam Kitab al-Misbah.”
Hunafa: Jurnal Studi Islamika. vol. 11, no. 1 (Juni 2014): h. 109-
126.
Wulandari. “Penafsiran Sayyid Quṭb Tentang Ayat-Ayat Iṣlāḥ (Studi Tafsīr FĪ
żiāL Al-Qurān).” Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir,
vol.2, no. 1 (Juni 2017): h. 78-83.
Al-Żahabī, Muhammad Ḥusain. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 1. al-Qāhirah:
Maktabah Wahbah, 1978.

Zalaṭ, al-Qashabi Maḥmūd. al-Qurṭubī Wa Manḥājuhum fī Tafsīr. Kuwait: Dār


al-Qalam, 1981.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
Al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-
Manhaj. Damaskus: Dar al-Fikr, 2009.
91

Zuhdi, M. Nurdin. Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi


hingga Kontekstualisasi. Yogyakarta: Kaukaba, 2014.

Anda mungkin juga menyukai