Disusun oleh:
Aam Amelia
4006190047
Pembimbing Akademik
( )
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS)
I. DEFINISI
Sindrom Guillain-Bare (GBS) adalah sindrom klinik yang penyebabnya
tidak diketahui secara pasti yang menyangkut saraf perifer dan cranial (Brunner
dan Suddart, 2013).
Sindrom Guillain-Bare (GBS) adalah suatu kelainan system saraf akut dan
difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,
dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis da saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya
yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita
mengalami baal atau mati rasa (Japardi, 2009).
Sindrom Guillain-Bare (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga
merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat
dipastikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi
diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah
kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah ke
atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bias berjalan atau gangguan berjalan.
Sebaliknya penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah sehingga
bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Kimberly, 2011).
II. ETIOLOGI
Penyebab pasti dari Sindrom Guillain-Bare (GBS) sampai saat ini masih
belum dapat diketahui dan masih jadi bahan perdebatan. Tetapi ada banyak kasus,
penyakit ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi
saluran pernapasan dan saluran pecernaan. Virus yang paling sering menyebabkan
penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV dan Herpes Simplex Virus.
Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni.
Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat
disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.
Beberapa keadaan atau penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain :
A. Infeksi
B. Vaksinasi
C. Pembedahan
D. Diare
E. Peradangan saluran nafas atas
F. Kelelahan
G. Demam
H. Lupus
IV. PATOFISIOLOGI
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut
demylinisasi. Demylinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut
menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan
destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut
juga Acut Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah
bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu
penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Infeksi, baik yang disebabkan
oleh bakteri maupun virus dan antigen lain memasuki sel dari saraf dan kemudian
mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. sel limfosit T ini
mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi
spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama
adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel saraf sehingga sistem imun tubuh
mengenalinya sebagai benda asing.
Pada GBS, terbentuk atibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan secret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada
waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibody tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motoric, sensorik dan otonom akan diserang, transmisi sinyal
melambat, terblok atau terganggu sehingga mempengaruhi tubuh pederita. Hal ini
akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas serta kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.
V. PATHWAY
VI. PENATALAKSANAAN
A. Pengobatan imunosupresan:
1. Immunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin interavena lebih
menguntungkan dibandingan plasma paresis karena efek samping atau
komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0,4 gr/kg BB/hari selama 3
hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0,4 gr/kg BB/hari tiap 15
hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
a. 6 merkaptopurin (6-MP)
b. Azathioprine
c. Cyclophosphamide
Efek samping dari obat-obatan ini adalah alopesia, mual,
muntah dan sakit kepala.
B. Plasmaparesis
Untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang besar, terutama
untuk kasus yang akut. Dengan cara ini plasma sejumlah 200-250 ml/kgbb
dalam 4-6 kali pemberian selang waktu sehari diganti dengan cairan yang
berisi kombinasi garam dan 5% albumin. Plasmaparesis bertujuan untuk
mengeluarkan faktor auto antibodi yang beredar.
C. Perawatan umum dan fisioterapi (saluran pernafasan dan pencernaan)
D. Roboransia saraf (perangsang nafsu makan).
Terdapat
retraksi otot B1 : Breathing
dada
Gangguan saraf perifer
Insufisiensi pernafasan
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan 1. Pantau frekuensi, kedalaman, 1. Peningkatan distress
nafas b.d paralisis otot tindakan keperawatan dan kesimetrisan pernafasan. pernafasan menandakan
pernafasan selama 3x24 jam, Catat kerja nafas dan adanya keelahan pada otot
diharapkan pola nafas observasi warna kulit dan pernafasan.
klien adekuat dengan membran mukosa.
kriteria hasil : 2. Catat adanya kelemahan 2. Indikator yang baik
a. Tidak ada distress pernafasan selama berbicara terhadap gangguan fungsi
pernafasan nafas, menurunnya
b. RR klien dalam batas kapasitas vital paru.
normal (20x/menit) 3. Tinggikan kepalatempat tidur 3. Meningkatkan ekspansi
c. Tidak ada retraksi (semifowler) paru dan usaha batuk,
otot dada. menurunkan kerja
pernafasan
4. Evaluasi refleks batuk 4. Evaluasi dilakukan untuk
mencegah aspirasi, infeksi
pulmonia dan gagal nafas
5. Lakukan kolaborasi dengan 5. Mengatasi hipoksia.
dokter dalam pemberian
terapi oksigen sesuai
indikasi.
2. Hambatan mobilitas Setelah dilakukan 1. Kaji kekuatan motorik 1. Menentukan intervensi
fisik b.d kerusakan tindakan keperawatan dengan menggunakan skala selanjutnya.
neuromuskular selama 3x24 jam, klien 0-5.
diharapkan mampu 2. Berikan posisi yang 2. Menurunkan kelelahan,
mempertahankan memberikan kenyamanan meningkatkan relaksasi,
mobilitas fisik tanpa ada pada klien dan lakukan menurunkan rsiko
komplikasi dengan perubahan posisi dengan terjadinya
kriteria hasil : jadwal yang teratur sesuai iskemia/kerusakan pada
a. Tidak ada laporan kebutuhan individu. kulit.
kontraktur, decubitus 3. Lakukan latihan gerak 3. Menstimulasi sirkulasi,
b. Meningkatkan positif, hindari latihan aktif meningkatkan tonus otot
kekuatan otot dan selama fase aktif. dan mobilisasi sendi.
fungsi bagian yang 4. Berikan waktu istirahat saat 4. Penggunaan otot secara
sakit latihan gerak. berlebihan dapat
c. Mendemonstrasikan meningkatkan waktu yang
teknik/perilaku yang diperlukan untuk
diinginkan sesuai remielinisasi karena dapat
kemampuannya. memperpanjang waktu
penyembuhan.
5. Anjurkan untuk melatih 5. Meningkatkan fungsi
gerak secara bertahap. organ normal dan
memiliki efek psikologis
positif.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
volume 2. Jakarta.: EGC.
Wijaya A.S & Putri. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah (keperawatan
dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.