Anda di halaman 1dari 56

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indoseia sehat (2015-2025) adalah


meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi,
pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan budaya sosial.

Penyakit TB Paru adalah penyakit yang harus ditanggulangi dengan serius,


karena menyebabkan hampir dua juta kematian, dan diperkirakan saat ini sekitar
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB, yang mungkin akan
berkembang menjadi penyakit TB di masa datang. Selain jumlah kematian dan
infeksi TB yang amat besar, pertambahan kasus baru TB pun amat signifikan,
mencapai jumlah sembilan juta kasus baru setiap tahunnya. Bila tak dikendalikan,
dalam 20 tahun mendatang TB akan membunuh 35 juta orang. Melihat kondisi
tersebut, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan TB sebagai kedaruratan
global sejak tahun 1993 (WHO, 2008).

Tuberkulosis Paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia.


Jumlah pasien TB Paru di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah
India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB
didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan
kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000
penduduk (DepKes, 2008).

Berdasarkan data diatas sangat jelas bahwa TB Paru dapat menurunkan


produktivitas individu, keluarga, masyarakat, karena jika seorang individu
menderita TB Paru, akan menularkan kepada anggota keluarga yang lain jika
tidak ditangani dengan baik, Selain menularkan, produktivitas kerja individu yang
2

sakit TB Paru juga akan menurun, sehingga akan berpengaruh terhadap pedapatan
keluarga.

Berdasarkan hasil survey tahun 2008, di Jawa Barat angka Prevalensi TB Paru
sebesar  960 per 100.000 penduduk, Sedangkan Jumlah pasien TB Paru di
Kabupaten Bekasi terus meningkat setiap tahunnya. Sejak awal 2014 hingga
Desember jumlah pasien TB Paru diperkirakan mencapai 2.246 orang. Jumlah
tersebut akan terus bertambah jika tidak ditangani dengan benar. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan belum optimalnya program penanggulangan TB Paru
adalah banyak di pengaruhi beberapa faktor dianntaranya faktor predisposisi
(sikap, keyakinan, motivasi, pendidikan pengetahuan), ada juga faktor
pendukkung (jarak antara rumah dan fasiliatas kesehatan, ketersediaan
transportasi, waktu pelayanan kesehatan), juga faktor penguat ( peran PMO,
dukungan keluarga, dan juga peran tenaga kesehatan ) (DepKes Jabar, 2009)

WHO telah merekomendasikan strategi Directly Observed Treatment Short


Course (DOTS) sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995.
Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan
yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat
dianjurkan demi efisiensi dan efektivitasnya (DepKes RI, 2007). dengan tujuan
menemukan dan menyembuhkan pasien, terutama pasien tipe menular (Depkes
RI, 2008).

Salah satu masalah besar yang berkontribusi pada kegagalan pengobatan TB Paru
adalah masalah kepatuhan pasien. Secara umum kepatuhan (adherence)
didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan,
mengikuti diet, dan atau melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan
rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (Joniyansah, 2007). Kepatuhan pasien
terhadap rekomendasi dan perawatan dari pemberi pelayanan kesehatan adalah
penting untuk kesuksesan suatu intervensi. Sayangnya, ketidakpatuhan menjadi
masalah yang besar terutama pada pasien yang menjalani pengobatan
3

Tuberculosis. Dampak pada berbagai aspek perawatan pasien, termasuk


konsistensi kunjungan dan regimen pengobatan.

Ketidakpatuhan terhadap obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan dapat


meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien
TB Paru maupun pada masyarakat luas. Diagnosa yang tepat, pemilihan obat serta
pemberian obat yang benar dari tenaga kesehatan ternyata belum cukup untuk
menjamin keberhasilan suatu terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien
TB Paru dalam mengkonsumsi obatnya (Joniyansyah, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian Sulistyowati (2008), faktor yang berhubungan


dengan kepatuhan pengobatan TB paru adalah faktor pengetahuan, praktik,
tingkat pendapatan, sikap 15 % efek samping obat 40 % dan pengawas minum
obat 45%, sedangkan faktor jarak tidak mempunyai hubungan terhadap kepatuhan
pengobatan TB Paru.

Penelitian yang dilakukan oleh Rafi’i (2010), menunjukkan karakteristik


penderita yang menjalani pengobatan Tb Paru yaitu umur (15-29 tahun), jenis
kelamin (laki-laki), pendidikan (SD), pekerjaan (bekerja secara rutin) dan
pengetahuan (berpengetahuan rendah), sikap 5 % efek samping obat 50 % dan
pengawas minum obat 25%.

Penelitian yang dilakukan oleh Sauki (2011), menunjukkan karakteristik


penderita TB Paru yang menjalani pengobatan yaitu umur (16-32 tahun), jenis
kelamin (laki-laki), pekerjaan (bekerja secara rutin) dan pengetahuan
(berpengetahuan rendah). sikap 15 % efek samping obat 30 % dan pengawas
minum obat 60 %.

Di Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi pada tahun


2013 terdaftar jumlah penderita sebanyak 44 orang, dengan kasus pasien yang
menjalani pengobatan lengkap. Pada tahun 2014 terdaftar jumlah penderita
sebanyak 63 orang. Sedangkan pada tahun 2015 terdaftar jumlah penderita
4

sebanyak 64 orang, dengan kasus baru 10 orang (19%). Dengan melihat data
tersebut di atas, pasien yang menjalanii pengobatan TB Paru pada tahun 2013
ke tahun 2014 mengalami penurunan, tetapi dari tahun 2014 ke tahun 2015
mengalami peningkatan (Laporan BP TB Puskesmas Sukaindah ).

Berdasarkan data tersebut di atas jelas bahwa yang menjadi masalah dalam
program pemberantasan penyakit TB Paru adalah masih adanya pengobatan pada
penderita TB Paru yang belum sesuai dengan standar pelayanan minimal bidang
kesehatan, yaitu angka kepatuhana maksimal adalah 5% (Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Barat, 2015). Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik
untuk meneliti tentang “Faktor – Faktor yang Berhungan dengan Kepatuhan
Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sukaindah”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan data di atas ada beberapa faktor yang menyebabkan belum
optimalnya program penanggulangan TB Paru adalah banyak di pengaruhi
beberapa faktor diantaranya faktor predisposisi, faktor pendukkung, faktor
penguat. Di setiap fasilitas kesehatan yang ada di Kabupaten Bekasi telah
menjalankan strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) , dan di
Puskesmas Sukaindah sendiri telah menjalankan strategi tersebut namun angka
penyakit TB Paru masih terbilang tinggi dan angka drop out juga masih tinggi
karena itu penulis ingin mengetahui “ Faktor-Faktor apa yang berhubungan
dengan kepatuhan pengobatan pada penderita TB Paru di Puskesmas Sukaindah
kec. Sukakarya Kab. Bekasi ?.”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui adanya faktor - faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
pengobatan pada penderita TB Paru.
5

1.3.2 Tujuan Khusus

Mengidentifikasi :
1.3.2.1 Gambaran karakteristik responden (umur, pendidikan, jenis kelamin)
dengan kepatuhan pengobatan pada penderita TB Paru di Puskesmas
Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi.
1.3.2.2 Hubungan Peran Petugas Kesehatan dengan kepatuhan pengobatan pada
penderita TB Paru di Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya
Kabupaten Bekasi.
1.3.2.3 Hubungan Efek Samping Obat dengan kepatuhan pengobatan pada
penderita TB Paru di Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya
Kabupaten Bekasi.
1.3.2.4 Hubungan Sikap dengan kepatuhan pengobatan pada penderita TB Paru
di Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi.
1.3.2.5 Hubungan PMO dengan kepatuhan pengobatan pada penderita TB Paru
di Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian


1.5.1 Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam merancang dan
melaksanakan penelitian ilmiah.
1.5.2 Bagi Jurusan Ilmu Pendidikan Kesehatan
Sebagai tambahan kepustakaan dalam pengembangan jurusan Ilmu
Kesehatan, mengenai penyakit TB Paru yang berhubungan dengan
pengobatannya.
1.5.3 Bagi masyarakat
Menambah pengetahuan masyarakat mengenai pengobatan TB Paru,
sehingga dapat mendukung penderita TB Paru untuk menyelesaikan
pengobatan secara teratur.
1.5.4 Bagi Instansi
Sebagai tambahan masukan bagi instansi untuk meningkatkan
pelayanan tentang pengobatan TB Paru, misalnya dengan memberikan
penyuluhan- penyuluhan kepada masyarakat.
6

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


1.6.1 Ruang Lingkup Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Sukaindah kec. Sukakarya Kab.
Bekasi.
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2015.
7

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Definisi dan penyebab penyakit TB Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ lainnya. ( Depkes RI 2008: 4).

Kuman mycobacterium tuberculosis tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x


0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok,
bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar
tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat) (Widoyono, 2008: 15).
Kuman ini hanya dapat dilihat dengan mikroskop dengan pewarna pada metode
khusus. Berwarna merah, berbentuk batang, tahan asam disebut sebagai Basil
Tahan Asam (BTA) (Misnadiarly 2006).
°
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100 C selama 5-10 menit atau

°
pada pemanasan 60 C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-
30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang
lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau
aliran udara (Depkes RI, 2008).

2.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis


Negara industri di seluruh dunia, angka kesakitan dan kematian akibat penyakit
TBC menunjukkan penurunan. Tetapi sejak tahun 1980-an grafik menetap dan
meningkat di daerah dengan prevalensi HIV tinggi. Morbiditas tinggi biasanya
terdapat pada kelompok masyarakat dengan social ekonomi rendah dan
prevalensinya lebih tinggi pada daerah perkotaan dari pada pedesaan.

Mycobacterium tuberculosis menyebabkan TB Paru dan merupakan patogen


manusia yang sangat penting . Kuman ini non motil, tidak berspora, berbentuk
batang yang tidak berkapsul dan tidak memproduksi toksin. Sebagian besar
8

dinding kuman terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan.


Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol)
sehingga bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan
kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan
dingin, hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Sifat dormant
inilah yang dapat menyebabkan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.
( Komala, 1996)

2.1.3 Cara Penularan Penyakit TB Paru


Penyakit tuberkulosis paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien TBC
batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang
lain saat bernafas. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan
dengan orang lain, basil tuberculosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang
sehat. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2009: 15).

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak), sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama (DepKes RI, 2009).

Penularan terjadi bila orang menghirup kuman TB yang dapat menyerang siapa
saja (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya) terutama yang tinggal di
dalam rumah yang gelap, lembab dan ventilasi udara tidak baik (misnadiarly
2006). Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan serta patogenesitas kuman yang bersangkutan. Serta
lamanya seseorang menghirup udara yang mengandung kuman tersebut
(Misnadiarly, 2006).

2.1.4 Gambaran Klinik


Gejala umum penyakit TB Paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
3 minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai adalah dahak bercampur
9

darah, batuk darah, sesak nafas dan nyeri pada dada, badan lemah, nafsu
makan menurun, berkeringan malam walaupun tanpa berkegiatan (Depkes RI,
2008)

Gejala Sistemik
Secara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam. Demam
berlangsung pada waktu sore dan malam hari, disertai keringat dingin
meskipun tanpa kegiatan, kemudian kadang hilang. Gejala ini akan timbul lagi
beberapa bulan seperti demam influenza biasa dan kemudian juga seolah-olah
“sembuh” tidak ada demam.

Gejala lain adalah malaise (seperti perasaan lesu) bersifat berkepanjangan kronik,
disertai rasa tidak fit tidak enak badan, lemah lesu, pegal-pegal, nafsu makan
berkurang, badan semakin kurus, pusing, serta mudah lelah. Gejala sistemik ini
terdapat baik pada TBC paru maupun TBC yang menyerang orang lain.
(Komala, 2006).

Gejala Respiratorik
Adapun gejala respiratorik atau gejala saluran pernafasan adalah batuk. Batuk
biasa berlangsung terus nenerus selama 3 minggu atau lebih. Hal ini terjadi
apabila sudah melibatkan bronchus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk
produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak atau
sputum. Kadang gejala ini ditandai dengan batuk darah. Hal ini disebabkan karena
pembuluh darah pecah, akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Apabila
kerusakan sudah meluas, timbul sesak nafas dan apabila pleura sudah terkena,
maka disertai pula rasa nyeri dada (Achmadi, 2006).

Diagnosis
Penyebab TBC adalah Mycobacterium tuberculosis, basil atau kuman yang
berbentuk batang, dan mempunyai sifat tahan terhadap penghilangan warna yang
bersifat asam dan alkohol (kuman tetap berwarna kemerahan). Karena itu
disebut basil tahan asam (BTA). Menemukan kuman BTA ini, menjadi dasar
10

penting dalam penegakkan diagnosis (Hidayat, 2007).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman


TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang sesuai
dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes RI 2007:14).

Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis dinyatakan positif apabila


sedikitnya 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (sewaktu pagi sewaktu) BTA
hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan
lebih lanjut, yaitu roentgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau
dalam pemeriksaan radiologi, dada menunjukkan adanya tanda-tanda yang
mengarah kepada TBC maka yang bersangkutan dianggap positif penderita TBC.
Kalau hasil radiologi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda TBC, maka
pemeriksaan dahak SPS harus diulang. Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau
kuman TBC, hanya dilakukan apabila sarana mendukung untuk itu (Achmadi :
2008).

2.1.5 Klasifikasi Tuberkulosis Paru


2.1.5.1 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan
Berdasarkan pemeriksaan, TB Paru dapat diklasifikasikan menjadi:
TBC Paru BTA positif
Disebut sebagai TBC paru BTA positif apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1 spesimen
dahak SPS positif disertai pemeriksaan radiologi paru menunjukkan gambaran
TBC aktif.
TBC Paru BTA negatif
Apabila dalam pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS BTA negatif dan foto
radiologi dada menunjukkan gambaran TBC aktif. TBC paru dengan BTA
11

negatif dan gambaran radiologi positif dibagi berdasar tingkat keparahan, bila
menunjukkan keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat.

Tuberkulosis ekstra paru


Tuberkulosis yang menyerang anggota tubuh di luar paru, termasuk pleura yakni
yang menyelimuti paru, serta organ lain seperti selaput otak, selaput jantung
pericarditis, kelenjar limpa, kulit, persendian, ginjal, saluran kencing, dan lain-
lain. (Achmadi, 2008)

2.1.5.2 Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :


Menurut Depkes RI (2009) terbagi menjadi dua yaitu : Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
Tuberkulosis Ekstrak Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Berdasarkan Departemen Kesehatan RI ( 2009) klasifikasi riwayat pengobatan
sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tubercklosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali denga BTA positif.
Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
12

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.


kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang.

2.1.5.3 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.


Berdasarkan Depkes RI (2009) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

Kasus kambuh (Relaps)


Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tubercklosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali denga BTA positif.

Kasus setelah putus berobat (Default)


Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.

Kasus setelah gagal (Failure)


Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

kasus Pindahan (Transfer In)


Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
13

Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang.

2.1.6 Pengobatan TB Paru


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI 2007:20).
Pengobatan TB menggunakan obat antituberkulosis (OAT) dengan metode
Direcly Observed Treatment Shortcourse (DOTS).
1. Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC baru.
2. Kategori II (2 HRZES/HRZE/5 H3R3E3) untuk pasien ulangan (pasien
yang pengobatan kategori I-nya gagal atau pasien yang kambuh).
3. Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+).
4. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan
akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II
ditemukan BTA (+). Obat diminum sekaligus 1 jam sebelum makan.
(Widoyono, 2008:18)

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu:


1. Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan perlu pengawasan
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menukar
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien
TB BTA positif menjadi BTA negative dalam 2 bulan (Departemen Kesehatan
RI 2007:21). Fase ini bertujuan untuk membunuh kuman sebanyak- banyaknya
dan secepat-cepatnya, karenanya digunakan 4-5 obat sekaligus.(Aditama,
2008).
14

Tahap permulaan diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE):


a. INH (H) : 300 mg – 1 tablet
b. Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet
c. Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 kaplet @ 500 mg
d. Etambutol (E) : 750mg – 3 kaplet @ 250 mg
Obat tersebut diminum setiap hari secara intensif sebanyak 60 kali (BPOM,
2009).
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Departemen Kesehatan RI
2007:21). Pada fase ini bertujuan menghilangkan sisa-sisa kuman yang ada, untuk
mencegah kekambuhan (Aditama, 2008).
Tahap lanjutan diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4
H3R3):
a. INH (H) : 600 mg – 2 tablet @ 300mg
b. Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet
Obat tersebut diminum 3 kali dalam seminggu sebanyak 54 kali (Depkes Ri,
2008:19).

Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh.
Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal pada
saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis,
dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi
kuman kebal obat (resisten). Pengobatan dilakukan dengan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO), untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat (Depkes RI,
2007: 34).
15

2.1.7 Kepatuhan pengobatan TB Paru


Kepatuhan pengobatan adalah keadaan yang menunjukan penderita TB yang
melaksanakan terapi obat sampai selesai (Direktorat Bina Farmasi,
2008:103).
Masa pengobatan TB Paru yang relatif panjang, menyebabkan ketidakpatuhan
pasien dalam berobat secara rutin. Padahal dampak yang ditimbulkan dari
ketidakpatuhan secara fisiologi adalah setengahnya kematian dan setengah yang
lain berbagi antara kronis tidak bisa sembuh karena resistensi obat dan
sembuh karena kekebalan tubuh yang baik. Namun yang lebih berbahaya
kondisi psikologis yang semakin komplek karena kambuhnya penyakit TB Paru
(Sulistyowati, 2008).

2.2 Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan TB Paru


2.2.1 Pendidikan Penderita
Pendidikan adalah suatu proses perubahan perilaku menuju kepada
kedewasaan dan penyempurnaan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan
suatu kegiatan atau usaha manusia untuk meningkatkan epribadiannya dengan
jalan membina potensi pribadinya, yang berupa rohani dan jasmani.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi keteraturan minum obat pada
penderita TBC Paru bahwa terdapat hubungan yang berdasarkan tingkat
pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan mempengaruhi
keteraturan minum obat pada penderita. Semakin tinggi tingkat pendidikan
responden, maka semakin baik penerimaan informasi tentang pengobatan
penyakitnya sehingga akan semakin teratur proses pengobatan dan
penyembuhan. (Budioro, 2007: 16).

2.2.2 Jenis Kelamin Penderita


TB membunuh satu juta perempuan di dunia setiap tahun. Di Indonesia, tahun
2007 ditemukan 94.614 pasien laki-laki dan 65.642 pasien TB perempuan
dengan BTA (+). Untuk pasien dengan BTA (-) jumlah yang ditemukan tahun
2007 56.758 pasien laki-laki dan 45.572 pasien perempuan. TB menyerang
sebagian besar perempuan pada usia produktif.(Aditama, 2008:62)
16

Menurut Saifudin Azwar (2008), jenis kelamin merupakan salah satu variabel
yang penting dalam hubungannya dengan perilaku mencari bantuan. Dalam hal
ini wanita lebih banyak patuh daripada laki-laki dan menurut penelitian Taylor
(1991) para wanita cenderung mengikuti anjuran dokter.

2.2.3 Dukungan Pengawas Minum Obat (PMO)


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO (Depkes RI, 2007: 27).
Kegagalan pengobatan dan kurang kedisiplinan bagi penderita TB Paru sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah peran PMO. Kolaborasi
petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk mendampingi ketika
penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan
tingkat keberhasilannya (Purwanta, 2008).
a) Persyaratan PMO
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien.
(Depkes RI, 2007)
b) Pengawas Minum Obat (PMO)
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
c) Tugas seorang PMO
Menurut Departemen kesehatan RI, (2007) bahwa tugas PMO yaitu
(1). Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan. (2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. (3)
17

Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan. (4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke
Unit Pelayanan Kesehatan.
d) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya.
1. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.
2. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
3. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
m encegahannya.
4. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
5. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
6. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK.
(Depkes RI, 2007)
Bedasarkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keteraturan minum obat
di daerah kerja Puskesmas Sukaindah, bahwa keteraturan minum obat pada
penderita TBC Paru dengan keberadaan PMO dapat dikatakan bagaikan murid
dengan gurunya. Kelompok penderita TBC paru yang mempunyai PMO
memiliki kemungkinan lebih besar untuk menjadi teratur dibandingkan dengan
penderita yang tidak memiliki PMO.

2.2.4 Efek Samping Obat


Berdasarkan derajat keseriusannya, efek samping OAT dibagi menjadi:
a) Efek samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang
tidak enak.
18

Tabel 2.1 Efek samping ringan OAT


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, Rifampisin Semua obat OAT
mual, sakit perut. diminum malam
sbelum tidur.
Nyeri sendi Pirasinamid Beri analgetik
Kesemutan s/d rasa INH Beri Vitamin B6
terbakar di kaki 100 mg perhari.
Warna kemerahan pada Rifampisin Tidak perlu diberi apa-
air seni apa, tetapi perlu
penjelasan kepada
pasien.
(Depkes RI, 2007:34)

b) Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit
serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan
penderita harus segera dirujuk ke UPK spesialistik.

c) Tabel 2.2 Efek samping berat OAT


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Streptomisin
kulit dihentikan, ganti
Etambutol
Tuli Streptomisin Streptomisin
dihentikan, ganti
Etambutol
Gangguan Streptomisin Streptomisin
Keseimbangan dihentikan, ganti
etambutol
Ikterus tanpa penyebab Hampir semua OAT Hentikan semua OAT
lain sampai ikterus
menghilang
Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT,
muntah (permulaan OAT segera lakukan
ikterus karena obat) tes fungsi hati

Gangguan Gangguan penglihatan Hentikan Etambutol


penglihatan
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan
(syok) Rifampisin
(Depkes RI, 2007:34)

Pengetahuan mengenai penyakit TB dan keyakinan terhadap efikasi obatnya


akan mempengaruhi keputusan pasien untuk menyelesaikan terapinya atau
19

tidak. Banyaknya obat yang harus diminum dan toksisitas serta efek samping
obat dapat merupakan faktor penghambat dalam menyelesaikan terapi pasien.
(BPOM RI, 2009).
2.2.5 Sikap penderita
Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2009).

Menyatakan sikap seseorang adalah komponen yang sangat penting dalam


perilaku kesehatannya, yang kemudian diasumsikan bahwa adanya hubungan
langsung antara sikap dan perilaku seseorang. Sikap positif seseorang terhadap
kesehatan kemungkinan tidak otomatis berdampak pada perilaku seseorang
menjadi positif, tetapi sikap yang negatif terhadap kesehatan hampir pasti
dapat berdampak negatif pada perilakunya (Niven, 2006: 40).

Selain faktor medis, faktor sikap terhadap penyakit sangat mempengaruhi


keberhasilan dalam penanggulangan penyakit. Sikap dari penderita tersebut tidak
perlu merasa rendah diri atau hina karena TB Paru adalah penyakit infeksi biasa
dan dapat disembuhkan bila berobat denagn benar, serta penderita harus
mempunyai kesadaran dan tekad untuk sembuh (Mendrofa, 2009).

2.2.6 Peran Petugas Kesehatan


Peran petugas kesehatan pada pengobatan TB Paru adalah yang sangat penting
karna sembuh atau tidaknya penderita TB Paru adalah tergantung peran dari
petugas kesehatan tersebut, peran petugas kesehatan adalah meneyediakan obat TB
Paru yang di butuhkan penderita TB Paru, memberikan penyuluhan kesehatan,
kunjungan ke rumah penderita TB Paru khususnya bagi penderita yang tidak patuh
untuk meminum obat, dan mendokumentasikan jadwal pengobatan penderita TB
Paru . (Masniari, 2007).
20

Kerangka Teori

Karakteristik pasien :
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan

Sumber : Soekidjo Notoatmodjo, 2009,


Hidayat, 2007,

Dukungan PMO Kepatuhan Pengobatatan TB


Paru

Sumber: WHO (2013)


Depkes RI (2008) Sumber: Soekidjo
Notoatmodjo, 2009,
Aditama, 2008,

Peran Petugas
Kesehatan

Sumber :WHO (2013)


Depkes RI (2008)

Efek Samping Obat


( ESO )

Sumber : WHO (2008)


Depkes RI (2009)

Sikap Penderita
21

Sumber : Budioro, 2007,


Neil Niven, 2006.

BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESA, DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep merupakan kerangka yang menghubungkan beberapa konsep
yang akan diteiliti, digunakan sebagai kerangka berfikir dalam penelitian dan
merupakan pengembangan dari beberapa teori yang telah dibahas (Nursalam,
2011). Kerangka konsep juga merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian
yang dilakukan dan memberi landasan terhadap topik yang dipilih dalam
penelitian (Hidayat, 2007).
Skema 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Bebas :
Variabel Terikat :
1. Dukungan PMO
Kepatuhan
2. Efek Samping Obat
Pengobatan TB
3. Sikap Penderita
Paru
4. Peran Petugas Kesehatan

Karakteristik Responden :
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Pendidikan

3.2 Hipotesa
22

Hipotesa adalah suatu asumsi sementara tentang hubungan antara dua atau lebih
variabel yang diharapkan bisa memberikan jawaban sementara atas suatu
pertanyaan dalam suatu penelitian (Sugiono, 2011).

Hipotesa dalam penelitian ini adalah :


3.2.1 Ada hubungan antara karakteristtik responden (umur, pendidikan, jenis
klamin) dengan kepatuhan pengobatan pada penderita TB Paru.
3.2.2 Ada hubungan antara karakter penderita TB Paru dengan kepatuhan
pengobatan pada penderita TB Paru.
3.3.3 Ada hubungan antara Efek Samping Obat dengan kepatuhan pengobatan
pada penderita TB Paru.
3.2.4 Ada hubungan antara Sikap dengan kepatuhan pengobatan pada penderita
TB Paru.
3.2.5 Ada hubungan antara PMO dengan kepatuhan pengobatan pada penderita
TB Paru.
3.2.6 Ada hubungan antara Petugas Kesehatan dengan kepatuhan pengobatan
pada penderita TB Paru.

3.3 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan batasan ruang lingkup suatu variabel yang


diamati atau di ukur. Definisi operasional ini berguna untuk mengarahkan kepada
pengukuran dan pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta
pengembangan instrument. Peneliti perlu membuat definisi operasional karena
sangat penting untuk mengumpulkan informasi. Selain itu melalui definisi
operasional, variabel-vaiabel yang berbeda akan sangat mudah dioperasionalkan
atau diukur (Sugiono, 2011). Definisi operasional dari variabel-variabel dalam
penelitian ini dijelaskan dalam tabel 3.2.
23

3.1 Definisi Oprasionl


No Variabel Definisi Oprasionl Alat Kategori Skala
Ukur Penguk
uran
1 Variabel Penderita yang Kuesione Kategori hasil Ordinal
terikat : secara rutin r cut at point
kepatuhan menjalankan masa mean
Pengobatan pengobatannya 1. Tidak patuh
TB Paru sampai selesai. skor < 2
2. Patuh jika
skor > 2

1. ≤ 30 th
2. > 30 th
2 Usia Karakteristik Ordinal
Responden ; Umur Kuesione
r
1. Pendidikan
rendah < 12
tahun
3 Variabel Pendidikan 2. Pendidikan Ordinal
bebas: berprogram tinggi > 12
Pendidikan terstruktur dan Kuesione tahun.
berlangsung di r
persekolahan yang
di tempuh
responden sampai
kelas terakhir
dalam tahun
1. Laki – laki
2. Perempuan

4 Jenis Nomin
kelamin Identitas sex al
responden Kategori hasil
Kuesione cut at point
r mean
24

1.Rendah jika
5 skor < 3
Dukungan Seseorang yang 2.Tinggi jika Ordinal
pengawas mempunyai tugas skor > 3
minum obat untuk mengawasi
( PMO ) pasien dengan Kuesione
meminum obat r
anti Tb serta di
kenal, di percaya
dan disetujui, baik
Kategori hasil
oleh petugas
cut at point
kesehatan maupun
mean
pasien
1. Ringan jika
skor < 3
6
2.Berat jika
Efek Ordinal
skor > 3
samping Efek samping yang
obat dapat
menyebabkan
sedikit perasaan Kuesione
Kategori hasil
yang tidak enak, r
cut at point
tetapi dapat juga
mean
menjadi sakit serius
1. Rendah jika
skor < 2
7
2.Tinggi jika
Ordinal
skor > 2
Sikap
penderita Kehendak untuk
melakukan
Kategori hasil
pengobatan secara
cut at point
teratur Kuesione
mean
r
1. Kurang jika
8
skor < 4
Ordinal
2.Baik jika
Peran
skor > 4
Petugas Seseorang dari
Kesehatan tenaga kesehatan
yang memastikan
penderita TB
mengambil dan
meminum obat Kuesione
secara teratur r
sesuai jadwal, serta
tinjau langsung ke
rumah penderita
TB.
25

BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode penelitian atau cara yang akan digunakan
dalam penelitian berupa langkah-langkah teknis dan operasional pada penelitian
yang akan dilaksanakan. Metode penelitian tersebut meliputi desain penelitian,
populasi dan sampel, tempat dan waktu penelitian, etika penelitian, alat
pengumpulan data, uji validitas dan reliabilitas instrument, pengumpulan data, dan
analisa data.

4.1 Desain Penelitian


Desain penelitian ini menggunakan pendekatan potong lintang (Cross Sectional)
yaitu penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan
dalam suatu komunitas dan selanjutnya menjelaskan suatu keadaan tersebut
melalui pengumpulan atau pengukuran variabel korelasi yang terjadi pada obyek
penelitian secara simultan dan dalam waktu yang bersamaan (Azwar, 2008).

4.2 Populasi Dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien TB Paru di Puskesmas Sukaindah
tahun 2015 sebanyak 64 orang.
26

2. Sampel
Sampel adalah sub unit populasi survey atau populasi survey itu sendiri, yang oleh
peneliti dipandang mewakili populasi target (Sugiono, 2011).
Dalam penelitian ini, Pengambilan sampel adalah secara sampel jenuh yaitu
sampel yang digunakan adalah seluruh populasi, dimana seluruh pasien TB Paru
yang ada di Puskesmas Sukaindah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
a. Penderita TB Paru yang sedang pengobatan
b. Kesadaran compos mentis
c. Mampu berkomunikasi
d. Mampu membaca dan menulis
e. Bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent.
Sedangkan yang termasuk dalam kriteria eksklusi yaitu :
a. Pasien TB Paru yang menolak untuk dijadikan responden.
b. Pasien TB Paru dengan penyakit penyerta lainnya.

4.3 Tempat Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaindah dengan
pertimbangan bahwa :
1. Lokasi penelitian memberikan kemudahan bagi peneliti karena peneliti
bekerja di salah satu tempat penelitian; dan
2. Dilokasi ini juga belum pernah ada penelitian terkait dengan Hubungan Faktor
– faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Pengobatan pada Pasien TB paru
di Puskesmas Sukaindah.
3. Terdapat 64 kasus TB Paru di Puskesmas Sukaindah.

4.4 Jenis Data Yang Di Pergunakan Dalam Penelitian


Sumber penelitian ini berasal dari data primer yaitu kuesioner dan data
sekunder yaitu rekam medik dari Puskesmas Sukaindah.

4.5 Alat Ukur


Instrumen Penelitian yang Digunakan
27

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data.


Sedangkan menurut Soekidjo Notoatmodjo (2009), instrumen adalah
perangkat yang digunakan untuk mengungkap data. Instrumen yang digunakan
dalam penelitia ini adalah kuesioner. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan
tersusun dengan baik dimana responden hanya memberikan jawaban saja.
Kuesioner ini digunakan untuk mendapatkan informasi tentang faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan penderita pasien TB Paru yaitu mengenai
pendidikan, jenis kelamin, jarak, motivasi penderita, motivasi keluarga, dukungan
PMO, efek samping obat dan sikap penderita.

Uji Instrumen Penelitian


Untuk menyempurnakan penelitian, maka instrumen penelitian tersebut perlu
diuji cobakan, dengan tujuan untuk diketahui apakah instrumen penelitian
tersebut dapat digunakan untuk pengambilan data atau tidak.
Instrumen yang baik adalah instrumen yang dapat terpenuhinya syarat validitas
dan reabilitas yang baik. Uji instrument tersebut adalah sebagai berikut:

Uji Validitas dan Relibilitas


Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui instrumen yang valid atau sahih
kuesioner diuji validitasnya menggunakan uji product moment. Suatu instrumen
dikatakan valid apabila korelasi tiap butir memiliki nilai positif dan nilai r hitung
> r table (Soekidjo Notoatmojo, 2009).

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur
dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Soekidjo Notoatmojo, 2009). Ini berarti
menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukuran itu tetap konsisten bila
dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan
menggunakan alat ukur yang sama. Uji reliabilitas instrumen dilakukan setelah
uji validitasnya. Uji reliabilitas instrument untuk pertanyaan yang valid diuji
dengan rumus Alpha dengan bantuan komputer SPSS windows 12,00.
28

Penelitian di lakukan pada tanggal 15-16 Oktober 2015 di Balai Pengobatan TB


Paru Puskesmas Sukaindah dengan menyebar kuesioner sebanyak 46 pertanyaan
kepada 64 responden, dari hasil uji validitas dan relibilitas kuesioner di dapat
esponden ( N ) = 64, α = 0,05 dan nilar r tabel = 0,2461. Dari 46 kuesioner di
dapat 8 kuesioner yang di katakan valid. Kuesioner tersebut mewakili dari
beberapa faktor yang sedang di teliti, dan di dapat nilai mean dari masing-masing
pertanyaan yaitu :
1. pertanyaan efek samping obat di dapat nilai mean = 3,08
2. pertanyaan sikap penderita di dapat nilai mean = 1,91
3. pertanyaan pengawas minum obat di dapat nilai mean = 3,11
4. pertanyaan peran petugas obat di dapat nilai mean = 3,80
5. pertanyaan kepatuhan pengobatan di dapat nilai mean = 1,91
4.6 Teknik Pengambilan Data
Pada penelitian ini pengambilan data dengan teknik wawancara, yaitu suatu
teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab
secara langsung maupun tidak langsung. Dalam penelitian ini wawancara
dengan kuesioner yaitu merupakan sejumlah pertanyaaan tertulis yang digunakan
untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya
atau hal yang diketahui (Sugiono, 2011). Dalam penelitian ini kuesioner untuk
memperoleh data tentang pendidikan, jenis kelamin, jarak, motivasi penderita,
motivasi keluarga, dukungan pengawas minum obat, efek samping obat dan
sikap penderita.

4.7 Alur Penelitian


Adapun tahap-tahap dalam mengaolah data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Editing
Data yang terkumpul kemudian diedit dilapangan artinya semua jawaban
responden sudah sesuai dengan maksud pertanyaan yang diajukan.
b. Coding
Memberi kode pada masing-masing jawaban untuk memudahkan mengolah
data.
29

c. Entry
Data yang telah dikode kemudian dimasukkan dalam program komputer
untuk selanjutnya akan diolah.
d. Cleaning
Proses pembersihan data untuk megetahui ada tidaknya data yang hilang dalam
program komputer ketika proses entry data

4.8 Etika Penelitian


Penelitian ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Program Studi S1
keperawatan Sekolah Tinggi Kesehatan Banisaleh, rekomendasi dari kedua
pembimbing proposal dan izin dari Kepala Puskesmas Sukaindah Kabupaten
Bekasi.
Etika penelitian yang diterapkan pada penelitian ini adalah prinsip manfaat
(beneficence), menghargai hak asasi manusia (respect for human dignity), dan
mendapatkan prinsip keadilan (right to justice) (Notoatmojo, 2009).

1. Prinsip manfaat (beneficence)


a). Bebas dari penderitaan
Penelitian yang dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan kepada
responden, baik fisik maupun psikis. Responden diberikan kuesioner dan diminta
untuk mengisinya. Pada saat pengisian kuesioner tidak ada responden yang
mengeluh kelelahan atau merasa tidak nyaman. Pengisian kuesioner dapat
dilakukan pada saat pasien menunggu antrian pengobatan dipuskesmas, yang pada
umumnya memakan waktu 15 samapai 20 menit, dengan kesediaan pasien secara
sukarela.

b). Bebas dari eksploitasi


Partisipasi responden dalam penelitian, dihindarkan dari keadaan yang tidak
menguntungkan. Responden diyakinkan bahwa partisipasinya dalam penelitian
atau informasi yang telah diberikan tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang
dapat merugikan responden dalam hal apapun.
30

c). Resiko (benefit ratio)


Peneliti mempertimbangkan resiko dan keuntungan yang akan berakibat kepada
responden. Penelitian ini tidak ada resiko apapun karena responden tidak
diberikan perlakuan/ tindakan tertentu. Peneliti memberikan informasi kepada
responden bahwa responden tidak mendapatkan keuntungan secara langsung dari
penelitian ini, namun informasi yang diberikan akan sangat bermanfaat bagi
upaya-upaya menurunkan angka TB Paru.

2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect for human dignity)


a) Hak untuk terlibat atau tidak terlibat dalam penelitian (right to self
determination)
Responden diperlakukan secara manusiawi. Responden mempunyai hak
memutuskan apakah mereka bersedia menjadi responden atau tidak, tanpa adanya
sangsi apapun atau akan berakibat bagi kesembuhannya, artinya responden tetap
mendapatkan pelayanan baik medis maupun perawatan seperti biasa sesuai
dengan prosedur yang ada.

b) Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full
disclosure).
Peneliti memberikan penjelasan secara rinci serta bertanggung jawab jika ada
sesuatu yang terjadi kepada responden. Sebelum penelitian dilakukan, responden
mendapat penjelasan secara lengkap meliputi tujuan, prosedur, ketidaknyamanan
yang mungkin terjadi dan dijelaskan bahwa dalam penelitian ini tidak ada resiko
apapun yang akan terjadi pada responden.

c). Informed consent


Responden mendapat informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian yang
akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau menolak
menjadi responden. Kesediaan responden telah dibuktikan dengan
penandatanganan informed consent.

3. Prinsip keadilan (right justice)


31

a) Hak untuk mendapatkan penatalaksanaan yang adil (right to fair treatment)


Responden berhak mendapatkan perlakuan yang adil baik sebelum, selama, dan
setelah berpartisipasi dalam penelitian, tanpa adanya diskriminasi. Saat pengisian
kuesioner, responden yang ditemui tidak ada yang menolak untuk berpartisipasi
dalam penelitian dan tidak ada diskriminasi apapun terhadap responden.

b) Hak dijaga kerahasiaannya (right privace)


Responden mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus
dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan bersifat rahasia
(confidentiality). Semua data yang dikumpulkan selama penelitian disimpan dan
dijaga kerahasiannya, dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Identitas responden berupa nama diganti dengan inisial, alamat dan nomor telepon
dicantumkan atas kesepakatan bersama.

4.9 Analisa data


Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik sebagai berikut:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan tiap-tiap variabel yaitu
variabel pendidikan, jarak,motivasi penderita, motivasi keluarga, pengawas
minum obat, efek samping obat dan sikap penderita yang disajikan dalam bentuk
distribusi frekuensi.
2. Analisi Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan dan
berkorelasi (Soekodjo Notoatmodjo, 2009:102). Pada analisia bivariat,
dilakukan dengan membuat tabel silang antara variabel terikat dan bebas yaitu
untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan masing-masing faktor dengan
kejadian drop out pengobatan pada penderita TB Paru di Puskesmas Sukaindah.

2
Analisis bivariat dilaksanakan dengan menggunakan uji chi square (x ), apabila
tidak memenuhi syarat uji Chi square maka digunakan uji alternatifnya yaitu
uji Fisher’s Exact, dengan menggunakan α =0,05 dan Confidence Interval (CI)
sebesar 95 %. Estimasi besar sampel dihitung dengan menggunakan odd
32

ratio (OR). Dalam penelitian ini, uji chi square digunakan sebagai uji dependensi
untuk menguji hipotesis, mengenai ada atau tidaknya hubungan antara variabel

2
bebas dengan variabel terikat. Rumus yang digunakan dalam uji chi square (x )
adalah sebagai berikut:

Rumus
n
2
x = ∫∑ (∫ O−∫ h ) : n
i

Untuk mengetahui estimasi risiko relatif dihitung odd ratio (OR) dengan tabel
2x2. OR menunjukkan besarnya peran faktor risiko yang diteliti terhadap
penyakit (efek) dengan rumus sebagai berlikut:

Tabel 3.2 Tabel 2x2 Penentuan Odd Rasio (OR)


Efek
Faktor Risiko Total
Ya (+) A B a+b
Tidak (-) C D c+d
Total a+c b+d
a+b+c+d

a / ( a + c ) b / (b + d ) ad
OR = c /(a + c) d /(b + d ) = bc

Keterangan:
OR = odd rasio
a = subjek dengan faktor risiko yang mengalami efek
b = subjek dengan faktor risiko yang tidak mengalami efek
c = subjek tanpa faktor risiko yang mengalami efek
d = s ubjek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek

Intepretasi hasil perhitungan Odd Rasio (OR) sebagai berikut:


1. Bila nilai Odd Rasio (OR) > 1 berarti variabel yang diduga merupakan
faktor risiko untuk timbulnya penyakit tertentu
2. Bila nilai Odd Rasio (OR) < 1 berarti variabel yang diduga merupakan
faktor protektif, dengan kata lain faktor yang diteliti tersebut
mengurangi kejadian penyakit
33

3. Bila nilai Odd Rasio (OR) = 1 berarti variabel yang diduga sebagai
faktor risiko tersebut tidak ada pengaruhnya untuk terjadinya efek, atau
dengan kata lain bersifat netral.
Dasar pengambilan keputusan yang dipakai adalah berdasarkan
probabilitas. Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. Ini berarti kedua
variabel “Ada Hubungan”. Akan tetapi jika Ho diterima, yaitu probabilitas
> 0,05, ini berarti kedua variabel “Tidak Ada Hubungan”.

BAB 5
HASIL PENELITIAN

Bab ini peneliti akan menjabarkan gambaran distribusi frekuensi dari responden
yang dibahas dengan menggunakan analisis unuvariat dan bivariat.

5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian


Wilayah kerja Puskesmas Sukaindah mempunyai jumlah Desa sebanyak 7 Desa
binaan yang terdiri dari Desa Sukaindah, Desa Sukamurni, Desa Sukakarya, Desa
Sukakarsa, Desa Sukalaksana, Desa Sukajadi dan Desa Sukamakmur. Jumlah
seluruh penduduk sebanyak 45.356 jiwa. Jumlah penderita TB Paru di wilayah
kerja Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi pada tahun
2013 terdaftar jumlah penderita sebanyak 44 orang, Pada tahun 2014 terdaftar
jumlah penderita sebanyak 63 orang, dan pada tahun 2015 terdaftar jumlah
penderita sebanyak 64 orang,

5.2 Analisa Univariat


5.2.1 Karakteristik Responden
5.2.1.1 Umur
Data umur responden disajiakan dalam bentuk tabel
34

Tabel 5.2.1.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur Penderita TB


Paru di Wilayah Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten
Bekasi, tahun 2015

Usia Frekuensi Presentase


< 30 36 56,2 %
>30 28 43,8 %
Total 64 100 %

Tabel diatas menunjukan selisih 8 (12,5 %) dari umur responden dengan rentang
tertinggi yaitu < 30 tahun dengan jumlah 36 responden (56,2 %), dan > 30 tahun
dengan jumlah 28 responden (43,8 %) .
5.2.1.2 Pendidikan
Pada penelitian ini peneliti membagi tingkat pendidikan responden yaitu
Pendidikan Rendah < 12 th masa pendidikan (SD – SMP) dan Pendidikan Tinggi
> 12 th masa pendidikan (SMA – Perguruan Tinggi) Tabel 5.2.1.2 menunjukan
distribusi frekuensi responden menurut tingkat pendidikannya.

Tabel 5.2.1.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan


Penderita TB Paru di Wilayah Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya
Kabupaten Bekasi, tahun 2015
Tingkat Pendidikan Frekuensi Presentase
Rendah 54 84,4 %

Tinggi 10 16,6 %

Total 64 100 %

Tabel 5.2.1.2 menunjukan selisih 44 (68,7%) sebagian besar responden


mempunyai tingkat pendidikan rendah yaitu jumlah 54 responden (84,4%) dan
hanya responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu sejumlah 10
responden ( 16,6 %).

5.2.1.3 Jenis Kelamin


35

Pengelompokan data responden berdasarkan kategori jenis kelamin digambarkan


pada tabel5.3.1.3
Tabel 5.2.1.3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin
Penderita TB Paru di Wilayah Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya
Kabupaten Bekasi, tahun 2015

Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase %


Laki-Laki 25 39,1 %
Perempuan 39 64,0 %
Total 64 100 %
Tabel 5.2.1.3 menunjukan selisih 14 (21,8%) hasil dari 64 responden, mayoritas
responden berjenis kelamin perempuan, yaitu berjumlah 39 responden (64,0%)
sedangkan laki-laki berjumlah 25 responden (39,1%).

5.2.1.4 Efek Samping Obat ( ESO )


Pengelompokan data responden berdasarkan pekerjaan digambarkan pada tabel
5.3.1.4
Tabel 5.2.1.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Efek Samping Obat
(ESO) Penderita TB Paru di Wilayah Puskesmas Sukaindah Kecamatan
Sukakarya Kabupaten Bekasi, tahun 2015

ESO Frekuensi Prosentase %


Ringan 6 9,4%
Berat 58 90,6%
Total 64 100 %

Tabel 5.2.1.4 menunjukan selisih 52 (81,2%) hasil dari 64 responden, Efek


Saming Obat (ESO) yaitu mayorita berat dengan 58 responden (90,6%) dan yang
Efek Samping Obatnya ringan hanya berjumlah 6 responden (9,4%).

5.2.1.5 Pengawas Minum Obat ( PMO )


36

Pengelompokan responden berdasarkan kategori PMO bisa dilihat pada tabel


5.2.1.5
Tabel 5.2.1.5 Distribusi Frekuensi Responden Menurut PMO Penderita TB
Paru di Wilayah Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten
Bekasi, tahun 2015
PMO Frekuensi Prosentase %
Kurang Aktif 2 3,1 %
Aktif 62 96,9 %
Total 64 100 %

Tabel 5.2.1.5 menunjukan selisih 60 (93,7%) data yang diperoleh dari kuisioner
pernyataan PMO responden terhadap penderita TB Paru, dapat dilihat bahwa
mayoritas responden memiliki PMO yang yang aktif yaitu sebanyak 64 responden
(96,9 %) dan responden dengan PMO yang kurang aktif sebanyak 2 responden
(3,1 %) .

5.2.1.6 Sikap Penderita


Pengelompokan responden berdasarkan kategori sikap penderita bisa dilihat pada
tabel 5.2.1.6
Tabel 5.2.1.6 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Sikap Penderita TB
Paru di Wilayah Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten
Bekasi, tahun 2015
Sikap Frekuensi Prosentase %
Kurang baik 6 9,4 %
Baik 58 90,6 %
Total 64 100 %

Tabel 5.2.1.6 menunjukan selisih 52 (81,2%) data yang diperoleh dari kuisioner
pernyataan sikap responden terhadap penyakit TB Paru untuk melakukan
pengobatan secara teratur, dapat dilihat bahwa mayoritas responden mempunyai
sikap baik yaitu sebanyak 58 responden (90,6%) dilanjutkan dengan sikapkurang
baik sebanyak 6 responden (9,4%) .

5.2.1.7 Peran Petugas Kesehatan


37

Tabel 5.2.1.6 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Peran Petugas


terhadap Penderita TB Paru di Wilayah Puskesmas Sukaindah Kecamatan
Sukakarya Kabupaten Bekasi, tahun 2015
Peran Petugas Frekuensi Prosentase %
Kurang 2 3,1%
Baik 62 96,9%
Total 64 100%
Tabel 5.2.1.7 merupakan data yang diperoleh dari hasil keseluruhan kuisioner
pernyataan tentang peran petugas kesehahatan terhadap penderita TB Paru dapat
dilihat bahwa peran petugas sangat baik sebanyak 62 responden (96,9%) ,
selanjutnya sebanyak 2 responden (3,1 %) termasuk dalam kategori kurang baik.
5.2.1.8 Kepatuhan

Tabel 5.2.1.8 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kepatuhan


terhadap Penderita TB Paru di Wilayah Puskesmas Sukaindah Kecamatan
Sukakarya Kabupaten Bekasi, tahun 2015
Kepatuhan Frekuensi Prosentase %
Patuh 58 90,6%
Tidak patuh 6 9,4%
Total 64 100%

Tabel 5.2.1.8 merupakan data yang diperoleh dari hasil keseluruhan kuisioner
pernyataan tentang kepatuhan terhadap penderita TB Paru dapat dilihat bahwa
yang patuh sangat tinggi sebanyak 58 responden (90,6%) , selanjutnya sebanyak
6 responden (9,4%) termasuk dalam kategori tidak patuh.

5.3 Analisis Bivariat

5.3.1 Hubungan antara Pendidikan dengan Kepatuhan Pengobatan TB


Paru
Tabel 5.3.1 Hubungan Pendidikan responden dengan Kepatuhan Pengobatan
pada Pasien Penderita TB Paru

CI
Kepatuhan P OR
Total 95 %
Pendidi
Value
kan Tidak Patuh
Lo Up

n % n % n %
38

Rendah 5 9,4 48 75,0 54 84,4


Tinggi 0 0 10 15,6 10 15,6 0,889 0,809 0,977
0,578
Total 5 9,6 58 80,6 64 100

α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.1 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan pendidikan rendah dengan kepatuhan sebanyak 48
(75,0%) responden dan responden dengan pendidikan tinggi dan dengan
kepatuhan yaitu 10 (15,6%) responden selanjutnya dengan responden dengan
pendidikan rendah dan tidak patuh sebanyak 5 (9,4%) responden, selanjutnya
dengan pendidikan tinggi dengan tidak patuh sebanyak 0 ( 0 %) responden. Hasil
uji statistik diperoleh nilai p = 0,578 artinya p > alpha (0,05) sehingga dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan
kejadian kepatuhan pada pengobatan pasien TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 0,889 < 1 dan CI 0,809
-0,977. Hal ini berarti bahwa responden dengan pendidikan rendah t i d a k
mempunyai risiko terjadinya drop out pada pengobatan TB Paru.

5.3.2 Hubungan antara Usia dengan Kepatuhan Pengobatan TB Paru

Tabel 5.3.2 Hubungan Usia responden dengan Kepatuhan Pengobatan pada


Pasien Penderita TB Paru

CI
Kepatuhan P OR
Total 95 %
Umur Value
Tidak Patuh
Lo Up

n % n % n %

<30 5 7,8 31 48,4 36 56,2

>30 1 1,6 27 42,2 28 43,8 4,355 0,479 39,624


0,219

Total 6 9,4 59 90,6 64 100

α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.2 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan usia < 30 tahun dengan kepatuhan sebanyak 31
39

(48,4%) responden dan responden dengan usia > 30 tahun dengan kepatuhan
baik yaitu 27 (42,2%) responden selanjutnya dengan responden usia < 30 tahun
dengan tidak patuh sebanyak 5 (7,8%) responden, selanjutnya dengan usia > 30
tahun dengan tidak patuh sebanyak 1 (1,6 %) responden. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,219 artinya p > alpha (0,05) sehingga dapat disimpulkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian kepatuhan pada
pengobatan pasien TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 4,355 > 1 dan CI 0,479
-39,624. Hal ini berarti bahwa responden dengan usia < 30 tahun mempunyai
risiko 4,355 kali untuk tidak patuh pada pengobatan Tb Paru dibandingkan
responden dengan usia > 30 tahun. Nilai OR > 1 menunjukkan bahwa jenis
kelamin dapat mempertinggi risiko terhadap kejadian drop out pengobatan TB
Paru.

5.3.3 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kepatuhan Pengobatan TB


Paru

Tabel 5.3.3 Hubungan Jenis Kelamin responden dengan Kepatuhan Pengobatan


pada Pasien Penderita TB Paru

CI
Kepatuhan
P OR 95 %
Jenis Total
Value
Kelami
Tidak Patuh
n Lo Up
.
n % n % n %
Laki2 4 6,2 21 32,8 25 39,1

Prm 2 3,1 37 57,8 39 60,9 3,524 0,594 20,892


0,199

Total 5 9,6 58 80,6 64 100

α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.3 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan jenis kelamin perempuan dengan kepatuhan sebanyak
37 (57,8%) responden dan responden dengan jenis kelamin laki-laki dengan
kepatuhan yaitu 21 (32,8 %) responden selanjutnya responden dengan jenis
40

kelamin laki-laki dengan tidak patuh sebanyak 4 (6,2%) responden, selanjutnya


disusul dengan jenis kelamin perempuan dengan tidak patuh sebanyak 2 (3,1%)
responden. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,199 artinya p > alpha (0,05)
sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara Jenis
Kelamin dengan kejadian Kepatuhan pada pengobatan pasien TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 3,524 > 1 dan CI 0,594
-20,892. Hal ini berarti bahwa responden dengan jenis kelamin perempuan
mempunyai risiko 3,524 kali untuk kepatuhan pada pengobatan Tb Paru
dibandingkan responden dengan jenis kelamin laki-laki. Nilai OR > 1
menunjukkan bahwa jenis kelamin dapat mempertinggi risiko terhadap kejadian
kepatuhan pengobatan TB Paru.

5.3.4 Hubungan antara Efek Samping Obat dengan Kepatuhan


Pengobatan TB Paru

Tabel 5.3.4 Hubungan ESO responden dengan Kepatuhan Pengobatan pada


Pasien Penderita TB Paru

CI
Kepatuhan
P OR 95 %
Total
Value
ESO
Tidak Patuh
Lo Up
.
n % n % n %
Ringan 0 0 6 9,4 6 9,4

Berat 6 9,4 52 81,2 58 90,6 1,115 1,022 1,217


1,000

Total 6 9,4 58 90,6 64 100

α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.4 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan ESO berat dengan kepatuhan sebanyak 52 (81,2%)
responden dan responden dengan ESO ringan dengan kepatuhan yaitu 6 (9,4%)
responden selanjutnya responden dengan ESO berat dengan tidak patuh sebanyak
6 (9,4 %) responden, selanjutnya disusul dengan ESO ringan dengan tidak patuh
41

(0%) responden. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 1,000 artinya p > alpha
(0,05) sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
Efek Samping Obat (ESO) dengan kejadian Kepatuhan pada pengobatan pasien
TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 1,115 > 1 dan CI 1,022
-1,217. Hal ini berarti bahwa responden dengan efek samping obat berat
mempunyai risiko 1,115 kali untuk drop out pada pengobatan Tb Paru
dibandingkan responden dengan efek samping obat ringan. Nilai OR > 1
menunjukkan bahwa efek samping obat dapat mempertinggi risiko terhadap
kejadian ketidak patuhan pengobatan TB Paru.

5.3.5 Hubungan antara Dukungan Pengawas Minum Obat dengan


Kepatuhan Pengobatan TB Paru

Tabel 5.3.5 Hubungan PMO responden dengan Kepatuahan Pengobatan pada


Pasien Penderita TB Paru

CI
Kepatuhan
P OR 95 %
Total
Value
PMO
Tidak Patuh
Lo Up
.
n % n % n %
Kurang 0 0 2 3,1 2 3,1

Aktif 6 9,4 56 87,5 62 96,6 1,107 1,021 1,201


1,000

Total 6 9,4 58 96,9 64 100

α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.5 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan PMO tinggi dengan kepatuhan sebanyak 56 (87,5%)
responden dan responden dengan PMO tinggi dan tidak patuh yaitu 6 (9,4%)
selanjutnya responden dengan PMO kurang aktif dan patuh sebanyak 2 (3,1%)
responden, selanjutnya disusul dengan PMO rendah dengan tidak patuh 0 (0%)
responden. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 1,000 artinya p > alpha (0,05)
42

sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara Pengawas
Minum Obat ( PMO ) dengan kejadian Kepatuha pada pengobatan pasien TB
Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 1,107 > 1 dan CI 1,021
-1,201. Hal ini berarti bahwa responden dengan PMO tidak aktif mempunyai
risiko 1,107 kali untuk tidak patuh pada pengobatan Tb Paru dibandingkan
responden dengan PMO aktif. Nilai OR > 1 menunjukkan bahwa p e r a n
PMO dapat mempengaruhikepatuhan pada pengobatan TB Paru.
5.3.6 Hubungan antara Sikap Penderita dengan Kepatuhan Pengobatan
TB Paru

Tabel 5.3.6 Hubungan Sikap Penderita responden dengan Kepatuhan


Pengobatan pada Pasien Penderita TB Paru

CI
Kepatuhan P OR 95 %
Total
Value
Sikap
Tidak Patuh
Lo Up
.
n % n % n %
Kurang 0 0 6 9,4 6 9,4
1,115 1,022 1,217
Baik 6 9,4 52 81,2 58 90,6 1,000

Total 6 9,4 58 90,6 64 100

α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.6 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan sikap baik dengan patuh sebanyak 52 (81,2%)
responden dan responden dengan sikap kurang dengan patuh yaitu 6 (9,4%)
responden selanjutnya disusul dengan responden dengan sikap baik dengan tidak
patuh sebanyak 6 (9,4%) responden, selanjutnya disusul dengan sikap kurang
dengan tidak patuh sebanyak 0 (0%) responden. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p = 1,000 artinya p > alpha (0,05) sehingga dapat disimpulkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara Sikap Penderita dengan kejadian Drop Out pada
pengobatan pasien TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 1,115 > 1 dan CI 1,022
-1,217. Hal ini berarti bahwa responden dengan sikap penderita kurang baik
43

mempunyai risiko 1,115 kali untuk tidak patuh pada pengobatan TB Paru
dibandingkan responden dengan sikap penderita baik dalam pengobatan.

5.3.7 Hubungan antara Peran Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan

Pengobatan TB Paru

Tabel 5.3.7 Hubungan Peran Petugas Kesehatan dengan Drop Out Pengobatan
pada Pasien Penderita TB Paru

CI
Kepatuhan
P OR 95 %
Total
Peran Value
petugas Tidak Patuh
Lo Up

n % n % n %
Kurang 1 1,6 1 1,6 2 3,1

11,40 211,08
Baik 5 7,8 57 89,1 62 96,9 0,616
0,04 0 9

Total 6 9,4 58 90,6 64 100

α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.7 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan peran petugas baik dengan kepatuhan sebanyak 57
(89,1%) responden dan responden dengan peran petugas baik dan tidak patuh
yaitu 5 (7,8%) responden selanjutnya responden dengan peran petugas kurang
baik dan patuh sebanyak 1 (1,6%) responden, selanjutnya peran petugas kurang
baik dengan patuh sebanyak 1 (1,6%) responden. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p = 0,04 artinya p < alpha (0,05) sehingga dapat disimpulkan ada
hubungan yang bermakna antara peran petugas kesehatan dengan kejadian
kepatuhan pada pengobatan pasien TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 11,400 > 1 dan CI 0,616
-211,089. Hal ini berarti bahwa responden dengan peran petugas k u r a n g b a i k
d e n g a n k e p a t u h a n mempunyai risiko 11,400 kali untuk tidak patuh pada
44

pengobatan Tb Paru. Nilai OR > 1 menunjukkan bahwa p e r a n p e t u g a s


k e s e h a t a n dapat mempengaruhi risiko terhadap kepatuhan pengobatan TB
Paru.

BAB 6
PEMBAHASAN

Bab ini akan menjelaskan interprestasi hasil penelitian dan keterbatasan


penelitian. Interprestasi hasil akan membahas terkait hasil penelitian yang di
kaitkan dengan teori yang ada tinjauan pustaka, sedangkan keterbatasan penelitian
akan menjabarkan keterebatasan yang terjadi selama pelaksanaan penelitian.

6.1 Hubungan antara Pendidikan dengan Kepatuhan Pengobatan TB Paru


Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
pendidikan dengan kepatuhan pengobatan TB Paru di Puskesmas Sukaindah.
Hasil penelitian menunjukkan 84,4% responden memiliki pendidikan rendah
dan 15,6% responden memiliki pendidikan tinggi. Hal tersebut dapat
memepengaruhi pengetahuan atau informasi yang didapatkan pada tingkat
pendidikan formal mengenai TB Paru masih tergolong rendah dan kurang
spesifik, pada pendidikan formal lebih menekankan pada pengetahuan secara
umum.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sauki (2011),
menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan
dengan kepatuhan pengobatan pada pasien TB Paru. Seseorang dengan
pendidikan rendah dapat menjalani pengobatan TB Paru sama baiknya dengan
mereka yang berpendidikan tinggi dalam kepatuhan pengobatab Tb Paru.

Hasil yang sejalan juga ditujukan oleh penelitian Rafi’i (2010), hasil peneltian
menunjukan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan
dengan kepatuhan pengobatan pada pasien TB Paru. Responden yang
berpendidikan dasar pun masih patuh dalam menjalani pengobatan TB Paru
dengan patuh. Hal ini disebabkan karena responden sering mendapatkan informasi
45

tentang penyakit TB Paru, penularannya dan cara pengobatannya melalui petugas


kesehatan, lealet, brosur, media cetak televisi dan radio.

Hal ini yang bisa menyebabkan tidak adanya hubungan antara pendidikan dengan
kepatuhan pengobatan pada pasien Tb Paru karena tingkat aktifitas atau kesibukan
seseorang. Seseorang yang berpendidikan tinggi namun memiliki tingkat aktifitas
yang tinggi sering kali lupa untuk meminum obat yang seharusnya di minum rutin
sesuai aturan. Selani itu, jenis atau spesifikasi pendidikan tinggi tapi tidak dalam
bidang kesehatan sehingga tidak menyebabkan hubungan antara pendidikan
dengan tindakan pencegahan.

Hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan TB Paru yaitu


dengan meningkatkan frekuensi penyuluhan oleh petugas kesehatan TB Paru pada
tingkat pendidikan formal maupun non formal. Kemudian untuk mengurangi
risiko terjadinya ketidak patuhan pengobatan pada penderita TB Paru dapat
dilakukan dengan cara penyuluhan atau pemberian informasi yang mendalam
tentang TB Paru ketika penderita pertama kali mengikuti pengobatan awal.

6.2 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kepatuhan Pengobatan TB


Paru

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara


jenis kelamin dengan kepatuhan pengobatan TB Paru di Puskesmas Sukaindah.
Hasil penelitian menunjukan dengan jenis kelamin perempuan dengan kepatuhan
57,8% dan responden dengan jenis kelamin laki-laki dengan kepatuhan 32,8 %
responden selanjutnya responden dengan jenis kelamin laki-laki dengan tidak
patuh sebanyak 6,2% responden,

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Rafi,i (2010), menunjukan
bahwa kasus kepatuhan pengobatan pada pasien TB Paru yang tertinggi pada jenis
kelamin laki-laki sedangkan yang terendah pada jenis kelamin perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa jenis kelamin
responden dengan distribusi terbanyak adalah laki-laki dan distribusi terendah
46

adalah perempuan. Meskipun laki-laki lebih banyak terserang di bandingkan


perempuan namun perbedaanya tidak terlalu mencolok. Walaupun keduanya
mempunyai peluang yang sama terpapar penyakit TB Paru namun pada
perempuan resiko terpapar lebih tinggi karena perempuan lebih banyak
beraktifitas didalam rumah. (Sulityowati, 2008), karena pada saat ini tidak
hanya laki-laki saja yang memiliki kesibukan dan peluang untuk bekerja, tetapi
perempuan juga memiliki kesibukan dan peluang kerja tersebut, bahkan saat ini
laki-laki ataupun perempuan cenderung mementingkan pekerjaan daripada
kesehatan masing-masing. Oleh karena tingkat kesibukan dan aktivitas kerja
tersebut, responden tidak memiliki waktu untuk melanjutkan pengobatan TB
Paru secara rutin dan bahkan berhenti berobat sebelum selesai pada waktu yang
telah ditentukan.
Langkah yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya ketidak patuhan TB
Paru pada responden dan masyarakat yaitu dengan memberikan pengertian
kepada penderita TB Paru mengenai pentingnya berobat secara rutin. ( Achmadi,
2006)

6.3 Hubungan antara Usia dengan Kepatuhan Pengobatan TB Paru

Hasil penelitaian menunjukan bahwa sebagian besar umur responden dengan


rentang tertinggi yaitu < 30 tahun dengan jumlah 36 responden (56,2%), dan > 30
tahun dengan jumlah 28 responden (43,8%), hal ini menunjukan bahwa
perbedaan usia akan memepengaruhi dan berisiko terjadinya kepatuhan pada
pengobatan Tb Paru .

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Rafi’i (2010),
menunjukkan bahwa ada hubungan secara bermakna antara umur dengan
kepatuhan pengobatan pada pasien Tb Paru. Umur merupakan variabel yang
secara bermakna berpengaruh terhadap pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tua umur maka akan semakin besar perannya dalam berpikir untuk patuh
dalam pengobatan.
47

Hasil yang tidak sejalan juga ditunjukkan oleh penelitian Ahmad Sauki (2011),
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
umur dengan kepatuhan pengobatan pada pasien TB Paru di Puskesmas Paringin
Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan.
Menurut Budioro ( 2007) menjelaskan bahwa umur merupakan salah satu
presdisposing faktor terjadi perubahan prilaku seseorang . Hal ini dapat
disimpulkan bahwa perbedaan usia seseorang dapat mempengaruhi seseorang
dalam melakukan pengobatan pada penderita TB Paru.

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang
tahun. Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan
kedewasaan seseorang. Semakin bertambah usia maka tingkat perkembangan akan
berkembang sesuai dengan pengetahuan yang pernah didapatkan dan juga dari
pengalaman sendiri. Semakin cukup umur, tingkat kemampuan dan kematangan
seseorang akan lebih tinggi dalam berpikir dan menerima informasi
(Notoatmodjo, 2009). Kematangan berpikir seseorang mempengaruhi seseorang
untuk bertindak lebih baik terhadap kesehatan diri dan lingkungannya.

6.4 Hubungan antara Efek Samping Obat dengan Kepatuhan Pengobatan


TB Paru
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa t i d a k ada hubungan antara
efek samping obat dengan kepatuhan pengobatan TB Paru di Puskesmas
Sukaindah. Hasil penelitian terdapat 58 (90,6%) responden mengalami efek
samping berat dan 6 (9,4%) responden mengalami efek samping ringan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Marzuki (2006) di Kota Jambi. Hasil
penelitian menunjukkan hubungan yang bermakna antara efek samping obat
dengan tingkat keteraturan minum obat responden. Tingkat kemaknaan yang
diperoleh pada penelitian ini ialah dengan adanya efek samping obat
memberikan resiko lebih besar untuk keteraturan penderita TB Paru dalam
meminum obat.
Banyaknya responden yang mengalami efek samping obat, baik ringan maupun
48

berat, dan kurangnya pengetahuan responden tentang efek samping obat yang
normal, mengakibatkan responden merasa takut untuk melanjutkan konsumsi
obat TB Paru secara berkala, sehingga berdampak pada kejadian kepatuhan
pengobatan TB Paru dan responden merasa takut untuk melanjutkan
mengkonsumsi obat.

Masih adanya angka ketidak patuhan karena efek samping obat, maka untuk
mengatasi masalah itu, sebaiknya penderita diberikan penyuluhan tentang gejala,
pencegahan, penularan, pengobatan dan efek samping pengobatannya sebelum
melakukan pengobatan, supaya setelah mengalami efek samping segera
menyampaikan keluhannya sehingga dapat segera diperiksa dan diberi obat untuk
meredakan keluhan tersebut. ( Depkes RI, 2008)

6.5 Hubungan antara Dukungan Pengawas Minum Obat dengan


Kepatuhan Pengobatan TB Paru

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa t i d a k ada hubungan antara


dukungan pengawas minum obat (PMO) dengan kepatuhan pengobatan TB Paru
di Puskesmas Sukaindah. Hasil penelitian terdapat 62 (96,9%) responden masih
mempunyai tingkat dukungan PMO tinggi dan 2 (3,1%) responden mempunyai
tingkat dukungan PMO rendah.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Lembah (2009) di Kota Jakarta. Hasil uji
statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara keteraturan minum obat
pada penderita TB Paru yang ada PMO dibandingkan dengan yang tidak ada
PMO. Keteraturan minum obat pada penderita TB Paru dengan keberadaan PMO
dapat dikatakan bagaikan murid dengan gurunya. Kelompok penderita TB Paru
yang mempunyai PMO memiliki kemungkinan lebih besar untuk menjadi teratur
minum OAT dibandingkan dengan penderita yang tidak mempunyai PMO.

Dukungan PMO yang maksimal dan bertanggung jawab terhadap tugasnya


dalam pengobatan TB Paru, peningkatan dukungan PMO yang dapat berdampak
pada menurunnya penderita TB Paru. Usaha untuk meningkatkan dukungan
49

tersebut yaitu dengan memilih PMO yang tinggal satu rumah dengan penderita
dan telah menyepakati di depan petugas kesehatan tentang kesanggupan menjadi
PMO dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan baik oleh PMO maupun
penderita. Jadi PMO dan penderita harus diberi penyuluhan tentang penyakit
TB Paru.

Menurut Litbang Depkes dalam pengobatan TB Paru di Puskesmas salah satu


penentu yaitu ada tidaknya Pengawasan Menelan Obat (PMO) yang dapat
mengawasi penderita minum seluruh obatnya. Keberadaan PMO ini juga
memastikan bahwa penderita betul minum obatnya dan bisa diharapkan akan
sembuh pada masa akhir pengobatannya. PMO haruslah orang yang dikenal dan
dipercaya oleh penderita maupun oleh petugas kesehatan. Mereka bisa petugas
kesehatan sendiri, keluarga, tokoh masyarakat maupun tokoh agama (Depkes
RI, 2009).

6.6 Hubungan antara Sikap Penderita dengan Kepatuhan Pengobatan


TB Paru
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa t i d a k ada hubungan antara
motivasi penderita dengan kepatuhan pengobatan TB Paru di Puskesmas
Sukaindah, yaitu sebanyak 58 responden (90,6%) mempunyai motivasi yang
baik untuk melakukan pengobatan TB Paru. Motivasi tersebut karena adanya
keinginan responden untuk sembuh dari penyakit TB Paru , d a n 6 ( 9 , 4 % )
r e s p o n d e n d e n g a n s i k a p p e n d e r i t a y a n g k u r a n g . Ketaatan pasien
dalam melakukan pengobatan merupakan salah satu faktor penentu dalam
keberhasilan pengobatan TB Paru.

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh Lembah (2009) menunjukkan


bahwa tidak ada hubungan antara motivasi penderita dengan kepatuhan
pengobatan TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Salatiga. Hasil
penelitian terdapat 24 (80%) responden memiliki sikap positif terhadap
pengobatan yang merupakan komponen yang sangat penting dalam perilaku
kesehatannya, sedangkan yang memiliki sikap negatif terhadap pengobatan
50

sebanyak 6 (20%) responden.

Sikap seseorang adalah komponen yang sangat penting dalam perilaku


kesehatannya, yang kemudian diasumsikan bahwa adanya hubungan langsung
antara sikap dan perilaku seseorang. Sikap positif seseorang terhadap kesehatan
kemungkinan tidak otomatis berdampak pada perilaku seseorang menjadi positif,
tetapi sikap yang negatif terhadap kesehatan hampir pasti dapat berdampak negatif
pada perilakunya (Niven, 2006).

Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa sikap responden terhadap


pengobatan TB Paru sudah cukup baik, responden mengerti bahwa TB Paru dapat
menular pada orang lain, responden juga mengerti bahwa pengobatan TB Paru
harus dilakukan secara berkala dan apabila berhenti harus mengulanginya dari
awal.

Dalam meningkatkan penerapan dan pelaksanakan pengobatan TB Paru, maka


perlu adanya kesinambungan antara sikap yang positif dengan perilaku yang
positif juga. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya penerapan serta pelaksanaan
pengobatan TB Paru yang teratur pada responden, yaitu dengan cara pemberian
motivasi dan informasi dalam pelaksanaannya sehingga kelangsungan sikap dan
kenyataannya tersebut dapat berjalan dan berkesinambungan.

6.7 Hubungan antara Peran Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan

Pengobatan TB Paru

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran


petugas kesehatan dengan kepatuhan pengobatan TB Paru di Puskesmas
Sukaindah. Hasil penelitian terdapat 62 (96,9%) responden menilai peran petugas
kesehatan baik yang berpengaruh terhadap kepatuhan berobat, sedangkan yang
menilai peran petugas kesehatan yang kurang baiknya sebanyak 2 (3,1%)
responden, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sulistyowati (2008), bahwa faktor
pelayanan kesehatan mempunyai pengaruh terhadap tingkat kepatuhan berobat pada
51

pasien TB Paru. Pada penelitian tersebut faktor pelayanan kesehatan meliputi


penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah, ketersediaan obat TB Paru, ketersediaan
sarana transfortasi dan jarak ke fasilitas kesehatan. Menurut hasil penelitian
tersebut, penderita mendapat penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan
mempunyai kemungkinan 4,19 kali untuk teratur atau patuh berobat.

Menurut Depkes ( 2009 ) dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan


langsung perorang sangat penting, artinya untuk menetukan keberhasilan
pengobatan penderita. Cara penyuluhan langsung perorang lebih besar
kemungkinan untuk berhasil di banding dengan penyuluhan dengan melaui media.
Dalam penyuluhan langsung per orangan unsur terpenting yang harus di perhatikan
adalah membina hubungan yang baik antara petugas kesehatan dengan penderita.
Penyuluhan ini dapat dilakukan di rumah, Puskesmas, Posyandu, dan tempat yang
memungkinakan untuk penyuluhan.

6.8 Kelemahan dan Keterbatasan Peneliti


Kelemahan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah pada saat penelitian harus
mencari alamat responden dan mendatangi responden satu persatu sehingga
membutuhkan waktu yang lama, dan responden mengisi kuesioner tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya ( tidak objektif).

Keterbatasan peneliti, peneliti sendiri adalah pemula yang belum mempunyai


pengalaman dalam meneliti serta pengetahuan biostatistik dan riset ilmu kesehatan
masyarakat yang masih sangat kurang sehingga tak jarang peneliti mendapatkan
kesulitan dalam melakukan analisa data sehingga dapat menimbulkan adanya bias
pengukuran dalam pengambilan data penelitian.
52

BAB 7
PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian
kepatuhan pengobatan pada penderita TB Paru di Puskesmas Sukaindah
Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi dapat disimpulkan sebagai berikut:
7.1.1 Gambaran karakteristik pasien TB Paru di Puskesmas Sukaindah yang
menjadi responden dalam penelitian ini yaitu : jenis klamin antara laki-laki
dan perempuan masing-masing sebesaar 39,1 % dan 60,9%, umur
berkisar antara < 30 tahun sebanyak 56,2 %, dan yang umurnya > 30
tahun 43,8%, dan presentase pendidikan rendah sebanyak 84,4% di ikuti
dengan responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 15,6% ,
dikarenakan nilai p value lebih besar dari nilai α = 0,05

7.1.2 Tidak ada hubungan efek samping obat, sikap penderita, dukungan
pengawas minum obat dengan kepatuhan pengobatan TB Paru di
Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya kabupaten Bekasi.
dikarenakan nilai p value lebih besar dari nilai α = 0,05
7.1.3 Ada hubungan peran petugas kesehatan dengan kepatuhan pengobatan TB
Paru di Puskesmas Sukaindah, diperoleh nilai p = 0,04 artinya p < alpha
(0,05), Odds Ratio 11,400 > 1 dan CI 0,616 -211,089. Hal ini berarti
bahwa responden dengan peran petugas k u r a n g baik dengan
k e p a t u h a n mempunyai risiko 11,400 kali untuk tidak patuh pada
pengobatan Tb Paru.

7.2 Saran
7.2.1 Bagi Puskesmas Sukaindah
Diharapkan untuk meningkatkan penyuluhan secara rutin untuk
meningkatkan pengetahuan bagi penderita TB Paru, PMO dan tokoh
masyarakat mengenai Penyakit TB Paru dan cara penularaanya.
7.2.2 Bagi penderita dan keluarga
Diharapkan agar teratur berobat sesuai petunjuk pengobatan serta
53

menyelesaikan pengobatan sampai tuntas. Keluarga diharapkan untuk


berperan aktifdalam mengawasi dan mendukung penderita dalam
menyelesaikan pengobatan.
54

DAFTAR PUSTAKA

Amira Permatasari, 2007, Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS,


FK Universitas Sumatra Utara.

Ahmad Sauki, 2011, Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Drop out Pengobatan TB Paru di Puskesmas Paringin Kabupaten Hulu
Sungai Utara Kalimantan Selatan, Skripsi.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2009, Kepatuhan Pasien: Faktor Penting
dalam Keberhasilan Terapi, Volume 7, No. 5, September 2009.

Budioro B, 2007, Pengantar Pendidikan (Penyuluhan) Kesehatan Masyarakat,


Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.

Daud, Ishak. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat


Pasien Rawat Jalan di Poliklinik Paru RSUD Dr.. Ahamad Muchtar
Bukit Tinggi Tahun 2005. Jakarta : FKM UI. 2007

Depkes RI, 2007. Pedoman Nasional Penggulangan Tuberkulosis. J akarta

Depkes RI, 2008. Pedoman Pengobatan Pasien Tuberkulosis. Jakarta

Depkes RI, 2008, Perawatan Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

Depkes RI., 2009, Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2, Jakarta.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina


Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI 2008, Pharmaceutical Care
untuk Penyakit Tuberkulosis, Jakarta.

Joniyansah, 2007, Kepatuhan Minu m Obat pada Penderita TB Paru. Jakarta


55

Lembah, Laela Fauza. Skripsi. Persepsi Penderita TB Paru yang Sudah


Menyelesaikan Pengobatan di Klinik Jakarta Respiratory Center tentang
Strategi Program. Jakarta: Skripsi FKM UMJ. 2009.

Machfoedz, Irham dan Suryani, Eko. Pendidikan Kesehatan Bagian dari


Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya. 2007.

Marzuki. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Berobat


penderita TB paru di Puskesmas dalam Wilayah Propinsi DI Aceh Tahun
1998. Jakarta: Tesis FKM UI. 2006

Masniari, Linda et al. Jurnal Respirology Indonesia. Faktor−Faktor yang


Mempengaruhi Penderita TB Paru. Vol. 27. No. 3. Juli 2007.
Jakarta : FKUI. 2007

Mendrofa, Fery Agusman Motuho. Kajian Keperawatan Komunitas pada


Tuberkulosis Paru. Artikel diakses pada 4 Mei 2009

Misnadiarly, 2006, Penyakit Infeksi TB Paru dan Ekstrak Paru, Jakarta: Pustaka
Populer Obor.

M.Hariwijaya dan Sutanto, 2007, Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Kronis,


Jakarta: EDSA Mahkota.

Niven Neil, 2006, Psikologi kesehatan: Pengantar untuk Perawat & Profesional
Kesehatan Lain, Jakarta: EGC

Purwanta, 2008, Ciri-Ciri Pengawas Minum Obat yang Diharapkan oleh


Penderita Tuberkulosis Paru di Daerah Urban dan Rural di Yogyakarta

Saifudin Azwar, 2008, Penyusunan Skala Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Belajar


56

Soekidjo Notoatmodjo, 2009, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta.

Soekidjo Notoatmodjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta: PT Rineka


Cipta.

Sugiarto Komala, 2006, Pengobatan Tuberkulosis, Jakarta:


Hipokrates.

Sugiono, 2011, Statistika untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta

Tanti Indah Sulistyowati, 2008, Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan


Kejadian Drop Out Pengobatan TB Paru Positif BTA Positif di Balai
Pengobatan Penyakit Paru Tegal, Skripsi

Rafi’I, 2010, Kajian Penderita yang Mengalami Drop out di Puskesmas


Tirto Kabupaten Pekalongan, Skripsi.

Tjandra Yoga Aditama, 2008, Tuberkulosis, masalah dan perkembangannya, No.


57, Thn VI, November 2008, hlm. 61-72.

Umar Fahmi Achmadi, 2008, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta:PT


Kompas Media Nusantara.

WHO, 2008. Global tuberculosis control : surveillance, planning, financing.


Switzerland

Anda mungkin juga menyukai