BAB 1
PENDAHULUAN
sakit TB Paru juga akan menurun, sehingga akan berpengaruh terhadap pedapatan
keluarga.
Berdasarkan hasil survey tahun 2008, di Jawa Barat angka Prevalensi TB Paru
sebesar 960 per 100.000 penduduk, Sedangkan Jumlah pasien TB Paru di
Kabupaten Bekasi terus meningkat setiap tahunnya. Sejak awal 2014 hingga
Desember jumlah pasien TB Paru diperkirakan mencapai 2.246 orang. Jumlah
tersebut akan terus bertambah jika tidak ditangani dengan benar. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan belum optimalnya program penanggulangan TB Paru
adalah banyak di pengaruhi beberapa faktor dianntaranya faktor predisposisi
(sikap, keyakinan, motivasi, pendidikan pengetahuan), ada juga faktor
pendukkung (jarak antara rumah dan fasiliatas kesehatan, ketersediaan
transportasi, waktu pelayanan kesehatan), juga faktor penguat ( peran PMO,
dukungan keluarga, dan juga peran tenaga kesehatan ) (DepKes Jabar, 2009)
Salah satu masalah besar yang berkontribusi pada kegagalan pengobatan TB Paru
adalah masalah kepatuhan pasien. Secara umum kepatuhan (adherence)
didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan,
mengikuti diet, dan atau melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan
rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (Joniyansah, 2007). Kepatuhan pasien
terhadap rekomendasi dan perawatan dari pemberi pelayanan kesehatan adalah
penting untuk kesuksesan suatu intervensi. Sayangnya, ketidakpatuhan menjadi
masalah yang besar terutama pada pasien yang menjalani pengobatan
3
sebanyak 64 orang, dengan kasus baru 10 orang (19%). Dengan melihat data
tersebut di atas, pasien yang menjalanii pengobatan TB Paru pada tahun 2013
ke tahun 2014 mengalami penurunan, tetapi dari tahun 2014 ke tahun 2015
mengalami peningkatan (Laporan BP TB Puskesmas Sukaindah ).
Berdasarkan data tersebut di atas jelas bahwa yang menjadi masalah dalam
program pemberantasan penyakit TB Paru adalah masih adanya pengobatan pada
penderita TB Paru yang belum sesuai dengan standar pelayanan minimal bidang
kesehatan, yaitu angka kepatuhana maksimal adalah 5% (Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Barat, 2015). Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik
untuk meneliti tentang “Faktor – Faktor yang Berhungan dengan Kepatuhan
Pengobatan TB Paru di Puskesmas Sukaindah”.
Mengidentifikasi :
1.3.2.1 Gambaran karakteristik responden (umur, pendidikan, jenis kelamin)
dengan kepatuhan pengobatan pada penderita TB Paru di Puskesmas
Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi.
1.3.2.2 Hubungan Peran Petugas Kesehatan dengan kepatuhan pengobatan pada
penderita TB Paru di Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya
Kabupaten Bekasi.
1.3.2.3 Hubungan Efek Samping Obat dengan kepatuhan pengobatan pada
penderita TB Paru di Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya
Kabupaten Bekasi.
1.3.2.4 Hubungan Sikap dengan kepatuhan pengobatan pada penderita TB Paru
di Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi.
1.3.2.5 Hubungan PMO dengan kepatuhan pengobatan pada penderita TB Paru
di Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi.
BAB 2
LANDASAN TEORI
°
pada pemanasan 60 C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-
30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang
lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau
aliran udara (Depkes RI, 2008).
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak), sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama (DepKes RI, 2009).
Penularan terjadi bila orang menghirup kuman TB yang dapat menyerang siapa
saja (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya) terutama yang tinggal di
dalam rumah yang gelap, lembab dan ventilasi udara tidak baik (misnadiarly
2006). Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan serta patogenesitas kuman yang bersangkutan. Serta
lamanya seseorang menghirup udara yang mengandung kuman tersebut
(Misnadiarly, 2006).
darah, batuk darah, sesak nafas dan nyeri pada dada, badan lemah, nafsu
makan menurun, berkeringan malam walaupun tanpa berkegiatan (Depkes RI,
2008)
Gejala Sistemik
Secara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam. Demam
berlangsung pada waktu sore dan malam hari, disertai keringat dingin
meskipun tanpa kegiatan, kemudian kadang hilang. Gejala ini akan timbul lagi
beberapa bulan seperti demam influenza biasa dan kemudian juga seolah-olah
“sembuh” tidak ada demam.
Gejala lain adalah malaise (seperti perasaan lesu) bersifat berkepanjangan kronik,
disertai rasa tidak fit tidak enak badan, lemah lesu, pegal-pegal, nafsu makan
berkurang, badan semakin kurus, pusing, serta mudah lelah. Gejala sistemik ini
terdapat baik pada TBC paru maupun TBC yang menyerang orang lain.
(Komala, 2006).
Gejala Respiratorik
Adapun gejala respiratorik atau gejala saluran pernafasan adalah batuk. Batuk
biasa berlangsung terus nenerus selama 3 minggu atau lebih. Hal ini terjadi
apabila sudah melibatkan bronchus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk
produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak atau
sputum. Kadang gejala ini ditandai dengan batuk darah. Hal ini disebabkan karena
pembuluh darah pecah, akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Apabila
kerusakan sudah meluas, timbul sesak nafas dan apabila pleura sudah terkena,
maka disertai pula rasa nyeri dada (Achmadi, 2006).
Diagnosis
Penyebab TBC adalah Mycobacterium tuberculosis, basil atau kuman yang
berbentuk batang, dan mempunyai sifat tahan terhadap penghilangan warna yang
bersifat asam dan alkohol (kuman tetap berwarna kemerahan). Karena itu
disebut basil tahan asam (BTA). Menemukan kuman BTA ini, menjadi dasar
10
negatif dan gambaran radiologi positif dibagi berdasar tingkat keparahan, bila
menunjukkan keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat.
Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang.
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh.
Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal pada
saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis,
dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi
kuman kebal obat (resisten). Pengobatan dilakukan dengan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO), untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat (Depkes RI,
2007: 34).
15
Menurut Saifudin Azwar (2008), jenis kelamin merupakan salah satu variabel
yang penting dalam hubungannya dengan perilaku mencari bantuan. Dalam hal
ini wanita lebih banyak patuh daripada laki-laki dan menurut penelitian Taylor
(1991) para wanita cenderung mengikuti anjuran dokter.
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan. (4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke
Unit Pelayanan Kesehatan.
d) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya.
1. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.
2. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
3. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
m encegahannya.
4. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
5. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
6. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK.
(Depkes RI, 2007)
Bedasarkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keteraturan minum obat
di daerah kerja Puskesmas Sukaindah, bahwa keteraturan minum obat pada
penderita TBC Paru dengan keberadaan PMO dapat dikatakan bagaikan murid
dengan gurunya. Kelompok penderita TBC paru yang mempunyai PMO
memiliki kemungkinan lebih besar untuk menjadi teratur dibandingkan dengan
penderita yang tidak memiliki PMO.
b) Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit
serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan
penderita harus segera dirujuk ke UPK spesialistik.
tidak. Banyaknya obat yang harus diminum dan toksisitas serta efek samping
obat dapat merupakan faktor penghambat dalam menyelesaikan terapi pasien.
(BPOM RI, 2009).
2.2.5 Sikap penderita
Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2009).
Kerangka Teori
Karakteristik pasien :
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan
Peran Petugas
Kesehatan
Sikap Penderita
21
BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESA, DAN DEFINISI OPERASIONAL
Variabel Bebas :
Variabel Terikat :
1. Dukungan PMO
Kepatuhan
2. Efek Samping Obat
Pengobatan TB
3. Sikap Penderita
Paru
4. Peran Petugas Kesehatan
Karakteristik Responden :
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Pendidikan
3.2 Hipotesa
22
Hipotesa adalah suatu asumsi sementara tentang hubungan antara dua atau lebih
variabel yang diharapkan bisa memberikan jawaban sementara atas suatu
pertanyaan dalam suatu penelitian (Sugiono, 2011).
1. ≤ 30 th
2. > 30 th
2 Usia Karakteristik Ordinal
Responden ; Umur Kuesione
r
1. Pendidikan
rendah < 12
tahun
3 Variabel Pendidikan 2. Pendidikan Ordinal
bebas: berprogram tinggi > 12
Pendidikan terstruktur dan Kuesione tahun.
berlangsung di r
persekolahan yang
di tempuh
responden sampai
kelas terakhir
dalam tahun
1. Laki – laki
2. Perempuan
4 Jenis Nomin
kelamin Identitas sex al
responden Kategori hasil
Kuesione cut at point
r mean
24
1.Rendah jika
5 skor < 3
Dukungan Seseorang yang 2.Tinggi jika Ordinal
pengawas mempunyai tugas skor > 3
minum obat untuk mengawasi
( PMO ) pasien dengan Kuesione
meminum obat r
anti Tb serta di
kenal, di percaya
dan disetujui, baik
Kategori hasil
oleh petugas
cut at point
kesehatan maupun
mean
pasien
1. Ringan jika
skor < 3
6
2.Berat jika
Efek Ordinal
skor > 3
samping Efek samping yang
obat dapat
menyebabkan
sedikit perasaan Kuesione
Kategori hasil
yang tidak enak, r
cut at point
tetapi dapat juga
mean
menjadi sakit serius
1. Rendah jika
skor < 2
7
2.Tinggi jika
Ordinal
skor > 2
Sikap
penderita Kehendak untuk
melakukan
Kategori hasil
pengobatan secara
cut at point
teratur Kuesione
mean
r
1. Kurang jika
8
skor < 4
Ordinal
2.Baik jika
Peran
skor > 4
Petugas Seseorang dari
Kesehatan tenaga kesehatan
yang memastikan
penderita TB
mengambil dan
meminum obat Kuesione
secara teratur r
sesuai jadwal, serta
tinjau langsung ke
rumah penderita
TB.
25
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode penelitian atau cara yang akan digunakan
dalam penelitian berupa langkah-langkah teknis dan operasional pada penelitian
yang akan dilaksanakan. Metode penelitian tersebut meliputi desain penelitian,
populasi dan sampel, tempat dan waktu penelitian, etika penelitian, alat
pengumpulan data, uji validitas dan reliabilitas instrument, pengumpulan data, dan
analisa data.
2. Sampel
Sampel adalah sub unit populasi survey atau populasi survey itu sendiri, yang oleh
peneliti dipandang mewakili populasi target (Sugiono, 2011).
Dalam penelitian ini, Pengambilan sampel adalah secara sampel jenuh yaitu
sampel yang digunakan adalah seluruh populasi, dimana seluruh pasien TB Paru
yang ada di Puskesmas Sukaindah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
a. Penderita TB Paru yang sedang pengobatan
b. Kesadaran compos mentis
c. Mampu berkomunikasi
d. Mampu membaca dan menulis
e. Bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent.
Sedangkan yang termasuk dalam kriteria eksklusi yaitu :
a. Pasien TB Paru yang menolak untuk dijadikan responden.
b. Pasien TB Paru dengan penyakit penyerta lainnya.
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur
dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Soekidjo Notoatmojo, 2009). Ini berarti
menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukuran itu tetap konsisten bila
dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan
menggunakan alat ukur yang sama. Uji reliabilitas instrumen dilakukan setelah
uji validitasnya. Uji reliabilitas instrument untuk pertanyaan yang valid diuji
dengan rumus Alpha dengan bantuan komputer SPSS windows 12,00.
28
c. Entry
Data yang telah dikode kemudian dimasukkan dalam program komputer
untuk selanjutnya akan diolah.
d. Cleaning
Proses pembersihan data untuk megetahui ada tidaknya data yang hilang dalam
program komputer ketika proses entry data
b) Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full
disclosure).
Peneliti memberikan penjelasan secara rinci serta bertanggung jawab jika ada
sesuatu yang terjadi kepada responden. Sebelum penelitian dilakukan, responden
mendapat penjelasan secara lengkap meliputi tujuan, prosedur, ketidaknyamanan
yang mungkin terjadi dan dijelaskan bahwa dalam penelitian ini tidak ada resiko
apapun yang akan terjadi pada responden.
2
Analisis bivariat dilaksanakan dengan menggunakan uji chi square (x ), apabila
tidak memenuhi syarat uji Chi square maka digunakan uji alternatifnya yaitu
uji Fisher’s Exact, dengan menggunakan α =0,05 dan Confidence Interval (CI)
sebesar 95 %. Estimasi besar sampel dihitung dengan menggunakan odd
32
ratio (OR). Dalam penelitian ini, uji chi square digunakan sebagai uji dependensi
untuk menguji hipotesis, mengenai ada atau tidaknya hubungan antara variabel
2
bebas dengan variabel terikat. Rumus yang digunakan dalam uji chi square (x )
adalah sebagai berikut:
Rumus
n
2
x = ∫∑ (∫ O−∫ h ) : n
i
Untuk mengetahui estimasi risiko relatif dihitung odd ratio (OR) dengan tabel
2x2. OR menunjukkan besarnya peran faktor risiko yang diteliti terhadap
penyakit (efek) dengan rumus sebagai berlikut:
a / ( a + c ) b / (b + d ) ad
OR = c /(a + c) d /(b + d ) = bc
Keterangan:
OR = odd rasio
a = subjek dengan faktor risiko yang mengalami efek
b = subjek dengan faktor risiko yang tidak mengalami efek
c = subjek tanpa faktor risiko yang mengalami efek
d = s ubjek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek
3. Bila nilai Odd Rasio (OR) = 1 berarti variabel yang diduga sebagai
faktor risiko tersebut tidak ada pengaruhnya untuk terjadinya efek, atau
dengan kata lain bersifat netral.
Dasar pengambilan keputusan yang dipakai adalah berdasarkan
probabilitas. Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. Ini berarti kedua
variabel “Ada Hubungan”. Akan tetapi jika Ho diterima, yaitu probabilitas
> 0,05, ini berarti kedua variabel “Tidak Ada Hubungan”.
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Bab ini peneliti akan menjabarkan gambaran distribusi frekuensi dari responden
yang dibahas dengan menggunakan analisis unuvariat dan bivariat.
Tabel diatas menunjukan selisih 8 (12,5 %) dari umur responden dengan rentang
tertinggi yaitu < 30 tahun dengan jumlah 36 responden (56,2 %), dan > 30 tahun
dengan jumlah 28 responden (43,8 %) .
5.2.1.2 Pendidikan
Pada penelitian ini peneliti membagi tingkat pendidikan responden yaitu
Pendidikan Rendah < 12 th masa pendidikan (SD – SMP) dan Pendidikan Tinggi
> 12 th masa pendidikan (SMA – Perguruan Tinggi) Tabel 5.2.1.2 menunjukan
distribusi frekuensi responden menurut tingkat pendidikannya.
Tinggi 10 16,6 %
Total 64 100 %
Tabel 5.2.1.5 menunjukan selisih 60 (93,7%) data yang diperoleh dari kuisioner
pernyataan PMO responden terhadap penderita TB Paru, dapat dilihat bahwa
mayoritas responden memiliki PMO yang yang aktif yaitu sebanyak 64 responden
(96,9 %) dan responden dengan PMO yang kurang aktif sebanyak 2 responden
(3,1 %) .
Tabel 5.2.1.6 menunjukan selisih 52 (81,2%) data yang diperoleh dari kuisioner
pernyataan sikap responden terhadap penyakit TB Paru untuk melakukan
pengobatan secara teratur, dapat dilihat bahwa mayoritas responden mempunyai
sikap baik yaitu sebanyak 58 responden (90,6%) dilanjutkan dengan sikapkurang
baik sebanyak 6 responden (9,4%) .
Tabel 5.2.1.8 merupakan data yang diperoleh dari hasil keseluruhan kuisioner
pernyataan tentang kepatuhan terhadap penderita TB Paru dapat dilihat bahwa
yang patuh sangat tinggi sebanyak 58 responden (90,6%) , selanjutnya sebanyak
6 responden (9,4%) termasuk dalam kategori tidak patuh.
CI
Kepatuhan P OR
Total 95 %
Pendidi
Value
kan Tidak Patuh
Lo Up
n % n % n %
38
α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.1 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan pendidikan rendah dengan kepatuhan sebanyak 48
(75,0%) responden dan responden dengan pendidikan tinggi dan dengan
kepatuhan yaitu 10 (15,6%) responden selanjutnya dengan responden dengan
pendidikan rendah dan tidak patuh sebanyak 5 (9,4%) responden, selanjutnya
dengan pendidikan tinggi dengan tidak patuh sebanyak 0 ( 0 %) responden. Hasil
uji statistik diperoleh nilai p = 0,578 artinya p > alpha (0,05) sehingga dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan
kejadian kepatuhan pada pengobatan pasien TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 0,889 < 1 dan CI 0,809
-0,977. Hal ini berarti bahwa responden dengan pendidikan rendah t i d a k
mempunyai risiko terjadinya drop out pada pengobatan TB Paru.
CI
Kepatuhan P OR
Total 95 %
Umur Value
Tidak Patuh
Lo Up
n % n % n %
α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.2 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan usia < 30 tahun dengan kepatuhan sebanyak 31
39
(48,4%) responden dan responden dengan usia > 30 tahun dengan kepatuhan
baik yaitu 27 (42,2%) responden selanjutnya dengan responden usia < 30 tahun
dengan tidak patuh sebanyak 5 (7,8%) responden, selanjutnya dengan usia > 30
tahun dengan tidak patuh sebanyak 1 (1,6 %) responden. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,219 artinya p > alpha (0,05) sehingga dapat disimpulkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian kepatuhan pada
pengobatan pasien TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 4,355 > 1 dan CI 0,479
-39,624. Hal ini berarti bahwa responden dengan usia < 30 tahun mempunyai
risiko 4,355 kali untuk tidak patuh pada pengobatan Tb Paru dibandingkan
responden dengan usia > 30 tahun. Nilai OR > 1 menunjukkan bahwa jenis
kelamin dapat mempertinggi risiko terhadap kejadian drop out pengobatan TB
Paru.
CI
Kepatuhan
P OR 95 %
Jenis Total
Value
Kelami
Tidak Patuh
n Lo Up
.
n % n % n %
Laki2 4 6,2 21 32,8 25 39,1
α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.3 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan jenis kelamin perempuan dengan kepatuhan sebanyak
37 (57,8%) responden dan responden dengan jenis kelamin laki-laki dengan
kepatuhan yaitu 21 (32,8 %) responden selanjutnya responden dengan jenis
40
CI
Kepatuhan
P OR 95 %
Total
Value
ESO
Tidak Patuh
Lo Up
.
n % n % n %
Ringan 0 0 6 9,4 6 9,4
α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.4 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan ESO berat dengan kepatuhan sebanyak 52 (81,2%)
responden dan responden dengan ESO ringan dengan kepatuhan yaitu 6 (9,4%)
responden selanjutnya responden dengan ESO berat dengan tidak patuh sebanyak
6 (9,4 %) responden, selanjutnya disusul dengan ESO ringan dengan tidak patuh
41
(0%) responden. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 1,000 artinya p > alpha
(0,05) sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
Efek Samping Obat (ESO) dengan kejadian Kepatuhan pada pengobatan pasien
TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 1,115 > 1 dan CI 1,022
-1,217. Hal ini berarti bahwa responden dengan efek samping obat berat
mempunyai risiko 1,115 kali untuk drop out pada pengobatan Tb Paru
dibandingkan responden dengan efek samping obat ringan. Nilai OR > 1
menunjukkan bahwa efek samping obat dapat mempertinggi risiko terhadap
kejadian ketidak patuhan pengobatan TB Paru.
CI
Kepatuhan
P OR 95 %
Total
Value
PMO
Tidak Patuh
Lo Up
.
n % n % n %
Kurang 0 0 2 3,1 2 3,1
α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.5 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan PMO tinggi dengan kepatuhan sebanyak 56 (87,5%)
responden dan responden dengan PMO tinggi dan tidak patuh yaitu 6 (9,4%)
selanjutnya responden dengan PMO kurang aktif dan patuh sebanyak 2 (3,1%)
responden, selanjutnya disusul dengan PMO rendah dengan tidak patuh 0 (0%)
responden. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 1,000 artinya p > alpha (0,05)
42
sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara Pengawas
Minum Obat ( PMO ) dengan kejadian Kepatuha pada pengobatan pasien TB
Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 1,107 > 1 dan CI 1,021
-1,201. Hal ini berarti bahwa responden dengan PMO tidak aktif mempunyai
risiko 1,107 kali untuk tidak patuh pada pengobatan Tb Paru dibandingkan
responden dengan PMO aktif. Nilai OR > 1 menunjukkan bahwa p e r a n
PMO dapat mempengaruhikepatuhan pada pengobatan TB Paru.
5.3.6 Hubungan antara Sikap Penderita dengan Kepatuhan Pengobatan
TB Paru
CI
Kepatuhan P OR 95 %
Total
Value
Sikap
Tidak Patuh
Lo Up
.
n % n % n %
Kurang 0 0 6 9,4 6 9,4
1,115 1,022 1,217
Baik 6 9,4 52 81,2 58 90,6 1,000
α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.6 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan sikap baik dengan patuh sebanyak 52 (81,2%)
responden dan responden dengan sikap kurang dengan patuh yaitu 6 (9,4%)
responden selanjutnya disusul dengan responden dengan sikap baik dengan tidak
patuh sebanyak 6 (9,4%) responden, selanjutnya disusul dengan sikap kurang
dengan tidak patuh sebanyak 0 (0%) responden. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p = 1,000 artinya p > alpha (0,05) sehingga dapat disimpulkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara Sikap Penderita dengan kejadian Drop Out pada
pengobatan pasien TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 1,115 > 1 dan CI 1,022
-1,217. Hal ini berarti bahwa responden dengan sikap penderita kurang baik
43
mempunyai risiko 1,115 kali untuk tidak patuh pada pengobatan TB Paru
dibandingkan responden dengan sikap penderita baik dalam pengobatan.
Pengobatan TB Paru
Tabel 5.3.7 Hubungan Peran Petugas Kesehatan dengan Drop Out Pengobatan
pada Pasien Penderita TB Paru
CI
Kepatuhan
P OR 95 %
Total
Peran Value
petugas Tidak Patuh
Lo Up
n % n % n %
Kurang 1 1,6 1 1,6 2 3,1
11,40 211,08
Baik 5 7,8 57 89,1 62 96,9 0,616
0,04 0 9
α = 0,05
Hasil yang diperoleh dari tabel 5.3.7 dapat dilihat bahwa responden terbanyak
adalah responden dengan peran petugas baik dengan kepatuhan sebanyak 57
(89,1%) responden dan responden dengan peran petugas baik dan tidak patuh
yaitu 5 (7,8%) responden selanjutnya responden dengan peran petugas kurang
baik dan patuh sebanyak 1 (1,6%) responden, selanjutnya peran petugas kurang
baik dengan patuh sebanyak 1 (1,6%) responden. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p = 0,04 artinya p < alpha (0,05) sehingga dapat disimpulkan ada
hubungan yang bermakna antara peran petugas kesehatan dengan kejadian
kepatuhan pada pengobatan pasien TB Paru.
Perhitungan Risk Estimate di dapatkan Odds Ratio 11,400 > 1 dan CI 0,616
-211,089. Hal ini berarti bahwa responden dengan peran petugas k u r a n g b a i k
d e n g a n k e p a t u h a n mempunyai risiko 11,400 kali untuk tidak patuh pada
44
BAB 6
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sauki (2011),
menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan
dengan kepatuhan pengobatan pada pasien TB Paru. Seseorang dengan
pendidikan rendah dapat menjalani pengobatan TB Paru sama baiknya dengan
mereka yang berpendidikan tinggi dalam kepatuhan pengobatab Tb Paru.
Hasil yang sejalan juga ditujukan oleh penelitian Rafi’i (2010), hasil peneltian
menunjukan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan
dengan kepatuhan pengobatan pada pasien TB Paru. Responden yang
berpendidikan dasar pun masih patuh dalam menjalani pengobatan TB Paru
dengan patuh. Hal ini disebabkan karena responden sering mendapatkan informasi
45
Hal ini yang bisa menyebabkan tidak adanya hubungan antara pendidikan dengan
kepatuhan pengobatan pada pasien Tb Paru karena tingkat aktifitas atau kesibukan
seseorang. Seseorang yang berpendidikan tinggi namun memiliki tingkat aktifitas
yang tinggi sering kali lupa untuk meminum obat yang seharusnya di minum rutin
sesuai aturan. Selani itu, jenis atau spesifikasi pendidikan tinggi tapi tidak dalam
bidang kesehatan sehingga tidak menyebabkan hubungan antara pendidikan
dengan tindakan pencegahan.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Rafi,i (2010), menunjukan
bahwa kasus kepatuhan pengobatan pada pasien TB Paru yang tertinggi pada jenis
kelamin laki-laki sedangkan yang terendah pada jenis kelamin perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa jenis kelamin
responden dengan distribusi terbanyak adalah laki-laki dan distribusi terendah
46
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Rafi’i (2010),
menunjukkan bahwa ada hubungan secara bermakna antara umur dengan
kepatuhan pengobatan pada pasien Tb Paru. Umur merupakan variabel yang
secara bermakna berpengaruh terhadap pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tua umur maka akan semakin besar perannya dalam berpikir untuk patuh
dalam pengobatan.
47
Hasil yang tidak sejalan juga ditunjukkan oleh penelitian Ahmad Sauki (2011),
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
umur dengan kepatuhan pengobatan pada pasien TB Paru di Puskesmas Paringin
Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan.
Menurut Budioro ( 2007) menjelaskan bahwa umur merupakan salah satu
presdisposing faktor terjadi perubahan prilaku seseorang . Hal ini dapat
disimpulkan bahwa perbedaan usia seseorang dapat mempengaruhi seseorang
dalam melakukan pengobatan pada penderita TB Paru.
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang
tahun. Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan
kedewasaan seseorang. Semakin bertambah usia maka tingkat perkembangan akan
berkembang sesuai dengan pengetahuan yang pernah didapatkan dan juga dari
pengalaman sendiri. Semakin cukup umur, tingkat kemampuan dan kematangan
seseorang akan lebih tinggi dalam berpikir dan menerima informasi
(Notoatmodjo, 2009). Kematangan berpikir seseorang mempengaruhi seseorang
untuk bertindak lebih baik terhadap kesehatan diri dan lingkungannya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Marzuki (2006) di Kota Jambi. Hasil
penelitian menunjukkan hubungan yang bermakna antara efek samping obat
dengan tingkat keteraturan minum obat responden. Tingkat kemaknaan yang
diperoleh pada penelitian ini ialah dengan adanya efek samping obat
memberikan resiko lebih besar untuk keteraturan penderita TB Paru dalam
meminum obat.
Banyaknya responden yang mengalami efek samping obat, baik ringan maupun
48
berat, dan kurangnya pengetahuan responden tentang efek samping obat yang
normal, mengakibatkan responden merasa takut untuk melanjutkan konsumsi
obat TB Paru secara berkala, sehingga berdampak pada kejadian kepatuhan
pengobatan TB Paru dan responden merasa takut untuk melanjutkan
mengkonsumsi obat.
Masih adanya angka ketidak patuhan karena efek samping obat, maka untuk
mengatasi masalah itu, sebaiknya penderita diberikan penyuluhan tentang gejala,
pencegahan, penularan, pengobatan dan efek samping pengobatannya sebelum
melakukan pengobatan, supaya setelah mengalami efek samping segera
menyampaikan keluhannya sehingga dapat segera diperiksa dan diberi obat untuk
meredakan keluhan tersebut. ( Depkes RI, 2008)
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Lembah (2009) di Kota Jakarta. Hasil uji
statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara keteraturan minum obat
pada penderita TB Paru yang ada PMO dibandingkan dengan yang tidak ada
PMO. Keteraturan minum obat pada penderita TB Paru dengan keberadaan PMO
dapat dikatakan bagaikan murid dengan gurunya. Kelompok penderita TB Paru
yang mempunyai PMO memiliki kemungkinan lebih besar untuk menjadi teratur
minum OAT dibandingkan dengan penderita yang tidak mempunyai PMO.
tersebut yaitu dengan memilih PMO yang tinggal satu rumah dengan penderita
dan telah menyepakati di depan petugas kesehatan tentang kesanggupan menjadi
PMO dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan baik oleh PMO maupun
penderita. Jadi PMO dan penderita harus diberi penyuluhan tentang penyakit
TB Paru.
Pengobatan TB Paru
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian
kepatuhan pengobatan pada penderita TB Paru di Puskesmas Sukaindah
Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi dapat disimpulkan sebagai berikut:
7.1.1 Gambaran karakteristik pasien TB Paru di Puskesmas Sukaindah yang
menjadi responden dalam penelitian ini yaitu : jenis klamin antara laki-laki
dan perempuan masing-masing sebesaar 39,1 % dan 60,9%, umur
berkisar antara < 30 tahun sebanyak 56,2 %, dan yang umurnya > 30
tahun 43,8%, dan presentase pendidikan rendah sebanyak 84,4% di ikuti
dengan responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 15,6% ,
dikarenakan nilai p value lebih besar dari nilai α = 0,05
7.1.2 Tidak ada hubungan efek samping obat, sikap penderita, dukungan
pengawas minum obat dengan kepatuhan pengobatan TB Paru di
Puskesmas Sukaindah Kecamatan Sukakarya kabupaten Bekasi.
dikarenakan nilai p value lebih besar dari nilai α = 0,05
7.1.3 Ada hubungan peran petugas kesehatan dengan kepatuhan pengobatan TB
Paru di Puskesmas Sukaindah, diperoleh nilai p = 0,04 artinya p < alpha
(0,05), Odds Ratio 11,400 > 1 dan CI 0,616 -211,089. Hal ini berarti
bahwa responden dengan peran petugas k u r a n g baik dengan
k e p a t u h a n mempunyai risiko 11,400 kali untuk tidak patuh pada
pengobatan Tb Paru.
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Puskesmas Sukaindah
Diharapkan untuk meningkatkan penyuluhan secara rutin untuk
meningkatkan pengetahuan bagi penderita TB Paru, PMO dan tokoh
masyarakat mengenai Penyakit TB Paru dan cara penularaanya.
7.2.2 Bagi penderita dan keluarga
Diharapkan agar teratur berobat sesuai petunjuk pengobatan serta
53
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2009, Kepatuhan Pasien: Faktor Penting
dalam Keberhasilan Terapi, Volume 7, No. 5, September 2009.
Misnadiarly, 2006, Penyakit Infeksi TB Paru dan Ekstrak Paru, Jakarta: Pustaka
Populer Obor.
Niven Neil, 2006, Psikologi kesehatan: Pengantar untuk Perawat & Profesional
Kesehatan Lain, Jakarta: EGC