Anda di halaman 1dari 7

Tokoh Politik Islam : Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun

Nama : Niken Kesuma Wardani

NIM : 11140150000032

Kelas : 7B

Daftar Rujukan :

1. Iqbal, Muhammad, dan Amin husen nasution. Pemikiran politik islam. Jakarta :
Kencan. 2010

A. Ibnu Taimiyah
Setting Sosial Politik Ibnu Taimiyah
Tidak jauh berbeda dengan al- Mawardi dan al-Ghazali, Taqiyuddin ibn Halim
Ibn Taimiyah hidup pada titik nadir disintegrasi politik umat islam. Ia dilahirkan di
Harran,1 dekat Damaskus, pada tahun 661 H / 1263 M. Lima tahun sebelum
kelahirannya, 1258, tentara Khulagu Khan dari Mongol menyerang dan membumi
hanguskan Bani Abbas yang memah sudah lama lemah akhibat perpecahan internal.
Mereka tidak kuasa menahan laju serangan Mongol terhadap kota Baghdad. Ibn
Taimiyah sendiri, ketika berusia enam tahun, dibawa oleh ayahnya , seorang ulama
mazhab Hambali yang sangat disegani, mengungsi ke Damaskus untuk menghindari
kekejaman tentara Mongol yang mulai bergerak menyerang kota kelahirannya.

1
Pada masa lalu, Harran terkenal sebagai salah satu pusat Hellenisme yang penduduknya menyebah bintang
(sabi’un). Penduduk kota ini pernah mengusir Nabi Ibrahim a. s dalam pelariannya dari kota Ur (Kaldan). Pada
masa Bani Abbas, kaum Hellenis yang masih menyembah bintang dilindungi oleh para khalifah, karena masih
dianggap sebagai ahl al kitab. Namun Ibn Taimiyah menganggap mereka orang musyrik. Menurut Nurcholis
Madjid, kota kelahiran Ibn Taimiyah sendiri melambangkan sebuah kontroversi, yang kelak mewarnai penampilan
Ibn Taimiyah yang polemis dan blak-blakan dalam menyampaikan pendapatnya. (lihat Nurcholis Madjid,
“Kontroversi di sekitar Ketokohan Ibn Taimiyah” Makalah disampaikan dalam klub kajian agama (KKA)
paramadina, Jakarta. 1993, h. 2-3)
Damaskus dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Penduduknya tidak hanya
umat Islam yang berasal dari berbagai Mazhab, tetapi juga umat agama lain. Suku bangsa
masyarakatnya juga sangat beragam, dalam masyarakat yang multi etnik dan
multikultural tersebut intrik-intrik dan ketegangan tidak jarang terjadi. Karenanya,
stabilitas sosial dan politik pun sulit sekali tercipta, karena berbagai kepentingan yang
berbeda. Disisi lain, tentara Mongol juga berusaha menjarah dan menguasai Damaskus,
setelah mereka berhasil memporak-porandakan Baghdad.
Ibn taimiyah sendiri, sebagaimana ayahnya, adalah ulama Mazhab Hanbali yang
konsisten. Tidak jarang ia terlibat dalam intrik-intrik dan perbedaan pendapat. Berkali-
kali ia masuk penjara akibat, perbedaan baik dengan ulama-ulama mazhab lain maupun
dengan penguasa. Bahkan ia meninggal di penjara pada 6 September 1326 H dalam usia
67 Tahun. Namun, karena rasa patriotismenya, Ibn Taimiyah juga terjun langsung ke
gelanggang perang Saqhab (1302-1305) memimpin pasukan melawan tentara Mongol
yang ingin menguasai Damaskus. Pasukan Ibn Taimiyah berhasil mengalahkan dan
menggagalkan penaklukan Mongol atas Damaskus. 2

Pemikiran Politik

Ibnu taimiyah berpendapat bahwa mengatur urusan umat memang bagian dari
kewajiban agama yang terpenting, tetapi hal ini tidak berarti pula bahwa agama tidak
dapat hidup tanpa negara.3 Karenanya Ibn Taimiyah menolak Ijma’ sebagai landasan
kewajiban tersebut. berbeda dengan al Mawardi, Ibn Taimiyah menggunakan pendekatan
sosiologis. Menurutnya kesejahteraan manusia tidak dapat tercipta kecuali hanya dalam
satu tatanan sosial dimana setiap orang saling bergantung pada yang lain. Oleh sebab itu
dibutuhkan seorang pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut.4

2
Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Government according to Ibn Taimiyah, terjemahan masrohin Teori Politik
Islam menurut Ibn Taimiyah (Surabaya : Risalah Gusti. 1995) hal. 21-22. Lihat Nurcholis madjid “Kontroversi”,
hal. 4. Qamaruddin Khan melukiskan kepribadian Ibn Taimiyah sebagai seorang yang gagah berani dipadukan
dengan kesabaran dan ketabahan. Ia tidak hanya mengajar di masjid atau berdiskusi tentang agama. Ia juga
bertempur di medan laga saat eksistensi umat Islam terancam. Lihat Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn
Taimiyah. (Bandung : pustaka, 1995) hal. 30
3
Ibn Taimiyah. Al-Syiyasah al-Syar’iyah fi ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah. (Mesir :Daar al-Kitab al-‘Arabi, 1969)
hal. 161
4
Ibn Taimiyah. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah. (Riyadh : Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. T.th), juz 1 hal. 23
Jadi, bagi Ibn Taimiyah, penegakkan Imamah bukanlah merupakan salah satu asas
atau dasar agama, melainkan hanya kebutuhan praktis saja. Namun demikian, Ibn
Taimiyah juga menekankan fungsi negara untuk membantu agama. Berdasarkan
pandangannya, Ibn Taimiyah menolak kekuasaan Bani Umaiyah dan Bani Abas sebagai
dasar filsafat politik Islam. Ia tidak membenarkan khalifah-khalifah Bani Abbas yang
hanya dijadikan boneka oleh sekelompok elite. Selain itu, berbeda dengan al mawardi
yang selalu menggunakan term “imamah” atau pemikir sunni lainnya yang menggunakan
kata “khilafah“ untuk kenegaraan ini, Ibn Taimiyah menggunakan kata “Imarah”.

Berbed dengan al Mawardi, prosedur pemilihan kepala negara tidak terlalu


menyita perhatian Ibn Taimiyah. Ini wajar, karena Ibn Taimiyah menolak teori khilafah
Sunni tentang pengangkatan kepala negara oleh ahl al hall wal aqd, seperti di elaborasi al
Mawardi dan konsep Bay’ah oleh segelintir ulama. Ia bahkan menolak ahl al hall wal
aqd.5 Pandangannya ini sejalan pula dengan penolakan terhadap praktik politik yang
terjadi pada masa Bani Abbas. Keberadaan ahl al hall wal aqd tidak lebih hanya sekedar
alat legitimasi ambisi politik penguasa atas tindak tanduk mereka. Lagi pula, dalam
sejarahnya ahl al hall wal aqd menurut Ibn Taimiyah tidak pernah mencerminkan diri
sebagai representasi suara rakyat. Bagaimana mungkin ahl al hall wal aqd menjadi wakil
rakyat kalau yang menentukan keberadaannya adalah kepala negara. Istilah ahl al hall
wal aqd menurut Qamaruddin Khan, tidak pernah dikenal dalam sejarah awal umat Islam
dan hanya menjadi populer setelah Bani Abbas berkuasa.

Ibn Taimiyah mengkhawatirkan bahwa konsep ini akan menciptakan semacam


lembaga kependetaan seperti dalam Syi’ah dan ajaran Kristen serta menghilangkan hak-
hak rakyat untuk memilih imam (kepala negara). Apalagi, Ibn Taimiyah berkaca pada
sejarah, pengambil alihan kekuasaan yang dilakukan oleh petualang-petualang politik
sering mendapat justifikasi dari ahl al hall wal aqd.6

Sebagai alternatif, Ibn Taimiyah mengembangkan konsepsi al syawkah dalam


teori politiknya. Menurutnya ahl al syawkah adalah orang-orang yang berasal dari
berbagai kalangan dan kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. ahl al

5
6
Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah II. Hal. 209
syawkah inilah yang memilih kepala negara dan melakukan sumpah setia (bay’ah) untuk
kemudian diikuti oleh rakyat. Seseorang tidak dapat menjadi kepala negara tanpa
didukung oleh ahl al syawkah.

Ibn Taimiyah mencontohkan , pengangkatan Abu Bakar bukan karena Bay’ah


Umar Ibn al Khattab di Tsaqifah Bani Sa’idah dan pengangkatan khalifah umar bukan
karena wasiat Abu Bakar. Mereka naik ke tampuk kekuasaan karena sumpah setia orang-
orang yang memiliki kekuatan (ahl al syawkah), kemudian diikuti oleh umat Islam.
Seandainya umat Islam saat itu tidak menyetujui Abu Bakar maupun Umar, maka mereka
berdua tidak berhak menjadi kepala negara. 7

Ibn Taimiyah juga menolak Kualifikasi yang harus dipenuuhi kepala negara
seperti dalam teori al Mawardi. Ia hanya menetapkan syarat kejujuran (amanah) dan
kewibawaan atau kekuatan (al quwwah) bagi kandidat kepala negara dan tidak
memutlakkan suku Quraisy.

Namun demikian, Ibn Taimiyah juga mengakui bahwa sedikit sekali pemimpin
yang memiliki dua kualifikasi tersebut sekaligus. Karena itu, bila terdapat dua orang
kandidat yang hanya memiliki salah satu syarat tersebut. Maka yang lebih diutamakan
adalah kandidat yang kuat dan berwibawa.

Kelanjutan dari pendapatnya adalah penekanannya terhadap kepatuhan rakyat


kepada kepala negara. Ibn Taimiyah tidak memperbolehkan rakyat memberontak kepada
kepala negara, walaupun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak
memerintahkan rakyat berbuat maksiat kepada Allah.

B. Ibn Khaldun
Setting Sosial Politik Kehidupan Ibn Khaldun
Wali al Din ‘Abd al Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr
Muhammad al Hasan Ibn Khaldun, demikian nama lengkapnya, lahir di Tunis pada 1
Ramadhan 723 H (7 Mei 1332 M)8 ia berasal dari suku Arabia Selatan. Nenek

7
Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah I. Hal. 23
8
Ibn Khaldun, Al Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatuh Gharban wa Syirqan, (Kairo : Lajnah al Thai’if wa al
Tarjamah, 1951) hal. 15
moyangnya Bani Khaldun, sejak abad ke-8 telah melakukan Hijrah ke spanyol dan
menyaksikan perkembangan Islam di Barat.
Ibnu khaldun hidup pada saat Dunia Islam mengalami masa kemunduran pertama
(ketika dunia Islam menghadapi keganasan tentara Mongol). Perjalanan kehidupan Ibn
Khaldun dapat dibagi kepada tiga fase : yaitu fase 20 tahun pertama ketika masa kanak-
kanak, fase kedua selama 23 tahun, ketika ia melanjutkan studi dan terlibat dalam
petualangan politik, dan fase ketiga selama 31 tahun hidupnya. Pada masa ini ia menjadi
sarjana, hakim, dan guru.

Pemikiran Tentang Negara

Diantara ulam dan pemikir politik klasik dan pertengahan, Ibn Khaldun dapat dikatakan
sebagai tokoh yang paling banyak berkecimpung di dalam dunia politik praktis. Ini
merupakan salah satu kelebihan Ibn Khaldun dibandingkan dengan ulama-ulama
sebelumnya. Kekuatan gagasan-gagasan kenegaraan Ibn Khaldun sebagaimana akan
terlihat nanti terletak pada teori-teorinya yang mengakar pada realitas politik.

Erwin IJ Rosenthal, penulis barat yang menerjemahkan bukunya Muqaddimah,


menegaskan bahwa keseluruhan teori politik Ibn Khaldun berbasis pada pembedaan yang
fundamental antara kehidupan badawa (Kehidupan Nomaden) dan Hadhara (kehidupan
kota yang secara bertahap mengalami perkembangan menuju bentuk yang mapan dalam
sebuah peradaban). Pada awal pembahasannya dalam Muqaddimah, Ibn Khaldun
menegaskan empat perbedaan mendasar antara manusia dan makhluk lainnya. Manusia
adalah makhluk berpikir yang dengannya menghasilkan ilmu pengetahuan ; mahkluk
politik yang memerlukan pengaturan dan pengendalian oleh kekuasaan ; makhluk
ekonomi yang ingin mencari penghidupan dengan berbagai cara dan profesi ; dan
makhluk berperadaban.9 Berdasarkan karakteristik diatas, Ibn Khaldun menyatakan
bahwa organisasi kemasyarakatan adalah suatu keharusan.

Ibn Khaldun memberi beberapa kualifikasi orang yang akan menjabat sebagai
imam (khalifah). Pertama, memiliki pengetahuan. Kedua, adil. Ketiga, memiliki skill.
Keempat, sehat panca indera. Kelima, keturunan Quraisy.

9
Ibn Khaldun, Muqaddimah. (Beirut : Dar al Kitab al- ‘ilmiyah, 2006), hal. 31
Dalam masalah diatas, Ibn Khaldun mengembangkan teori baru tentang
‘ashabiyah (solidaritas kelompok). Teori ini dianggap orisinil milik Ibn Khaldun.
Menurutnya, karena memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan, maka
seorang pemimpin harus mempunyai solidaritas kelompok yang kuat. Tanpa solidaritas
kelompok, pemimpin akan sulit memperoleh legitimasi dan tidak akan dapat bertahan
memimpin kelompok tersebut.10

Lebih lanjut, Ibn Khaldun mengemukakan bahwa dalam kenyataannya terdapat


dua bentuk pemerintahan. Yaitu yang berdasarkan pada agama (siyasah diniyah) dan
yang berdasarkan oleh pemikiran manusia (siyasah aqliyah). Model yang pertama
menjalankan pemerintahannya berdasarkan bingkai agama yang dibawa oleh Nabi-Nya;
sedangkan model yang kedua merupakan hasil rumusan para pemikir negara tersebut.

Sejalan dengan pandangannya diatas, Ibn Khaldun juga keterkaitan agama bagi
jatuh bangunnya suatu dinasti. Menurutnya ada lima fase perkembangan suatu negara
dari awal kebangkitan hingga kehancurannya. Fase pertama,tahap sukses menggulingkan
lawan-lawan politiknya. Fase kedua, tahap penguasa mulai berlaku sewenang-wenang
terhadap rakyatnya dan bertindak otoriter. Fase ketiga,tahap hidup sentosa dan menikmati
kesenangan. Fase keempat, tahap kepuasan hati. Fase kelima, tahap hidup boros dan
berlebih-lebihan. Pada tahap ini, penguasa merusak capaian-capaian para pendahulunya.
Ia lebih mementingkan kesenangan dan hawa nafsu. Ia juga lebih mengutamakan orang-
orang yang tidak memiliki ketulusan. Sebaliknya, orang-orang yang bersikap kritis
dipenjarakan dan dimusuhi. Akhirnya, dasar-dasar yang telah dibangun oleh
pendahulunya hancur dan dinasti tersebut mengalami kehancuran pula. 11

Rosenthal mencatat mengapa pemikiran Ibn Khaldun tidak hanya penting pada
masa hidupnya hingga abad ke 18 saja, tetapi juga pada abad-abad belakangan. Ada 8
point pemikiran Ibn Khaldun yang sangat fundamental dan penting, karena memiliki
nilai-nilai yang permanen yaitu :

1. Pembedaannya antara kehidupan rural dan urban dan keharusan kehidupan urban
(hadhara) bagi terbentuknya suatu peradaban manusia

10
Ibn Khaldun, Muqaddimah. (Beirut : Dar al Kitab al- ‘ilmiyah, 2006), hal. 104
11
Ibid, hal. 138-136
2. Postulatnya tentang ‘ashabiyah sebagai kekuatan pengendali yang penting bagi
suatu aktifitas politik
3. Pandangannya yang menyatakan bahwa Islam adalah kekuatan perdaban manusia
yang universal yang mengendalikan kemanusiaan lebih luas
4. Pandangannya yang realistis tentang hubungan kausalitas antara faktor-faktor
kehidupan sosial.
5. Konsepnya tentang siyasah dinayah dan siyasah ‘aqliyah dan pandangannya
bahwa kecenderungan seseorang yang terlalu berkuasa untuk mendominasi
6. Berkaitan dengan yang kelima, Ibn Khaldun juga melihat perkembangan dinasti-
dinasti Islam merupakan kombinasi dari susunan pemerintahan yang didasarkan
pada syariat dan pertimbangan rasional akal manusia.
7. Pandangannya bahwa agama memainkan peranan yang penting dalam kehidupan
politik, khususnya bila ini ditransformasikan kedalam konsep ‘ashabiyah nya.
8. Postulatnya tentang hukum sebab akibat siklus kehidupan suatu dinasti, dari
munculnya dinasti tersebut, tumbuh berkembang, menikmati kemakmuran, lemah,
dan akhirnya hancur.12

12
Rosenthal. Political Tough in Medieval Islam. Hal. 106

Anda mungkin juga menyukai