Anda di halaman 1dari 24

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah

HADITS AHKAM

Dosen Pengampu: Muhammad Idzhar, Lc.,M.H.

Disusun Oleh:

Nida Ulhaq : 1721508010

Santri Ayu : 1721508040

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA


2020

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia Nya sehingga kami diberikan waktu dan kesempatan untuk

menyelesaikan makalah HADITS AHKAM dengan judul “Hak dan Kewajiban

Suami Istri”

Kami menulis makalah ini untuk membantu mahasiswa supaya lebih

memahami mata kuliah khususnya mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak termasuk teman-teman yang

telah berpartisipasi dalam mencari bahan-bahan untuk menyusun tugas ini

sehingga memungkinkan terselesaikan makalah ini, meskipun banyak terdapat

kekurangan.

Kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan sumbangan

pikiran dan bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca. kami

menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan

kemampuan dan pengetahuan kami.Oleh karena itu dengan terbuka dan senang

hati kami menerima kritik dan saran dari semua pihak.

Samarinda, 05 Maret 2020

Penyusun

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................i

Daftar isi....................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................................2

C. Tujuan................................................................................................................2

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Istri.......................................................3

B. Kewajiban suami (hak istri)...............................................................................3

C. kewajiban istri (hak suami)..............................................................................13

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................................18

B. Daftar Pustaka..................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga yang harmonis dan mengikuti aturan rumah tangga ataupun

mengikuti sesuai dengan ADRT adalah hal yang sangat penting untuk

melanggengkan ikatan rumah tangga tersebut. sehingga harus bisa menjaga

dan memelihara setiap individunya untuk bisa memberikan yang terbaik

kepada suami ataupun istri. Hal itu dikaji dalam ilmu Fikih Munakahat yang

menjelaskan tentang bagaimana hak dan kewajiban suami istri dalam rumah

tangga.

Rotasi waktu banyak memberikan perubahan dalam realita kehidupan

sehari-hari. Perubahan mengharuskan adanya adaptasi dan perubahan pola

pikir. Seiring dengan adanya perubahan itu, tak sedikit yang bermindset

bahwa semua perkembangan dan perubahan harus diikuti dan diterapkan.

Padahal mindset mereka salah besar. Perubahan merupakan suatu tantangan

bagi proses pendewasaan pola pikir, yakni mampu memilah dan memilih

mana yang bernilai positif dan negatif. Kesalahan dalam mindset, sehingga

mengabaikan hak dan ataupun kewajiban, Na’udzubillahi min dzalik.

Hal tersebut misalnya tercermin dalam sikap seorang suami atas istrinya,

pada pemenuhan hak dan kewajibannya yang lebih mengedepankan salah

satunya, tidak seimbang antara keduanya. Problematika muncul dari perilaku

tersebut. Berawal dari percekcokan kecil, pisah ranjang, kekerasan dalam

rumah tangga, dan berakhir pada jatuhnya thalak.

iii
Bertolak dari wacana di atas, kami mencoba mengemas dan memaparkan

secara rinci tentang hak dan kewajiban suami atas istri yang semestinya, dari

berbagai sudut pandang. Bertujuan agar tidak ada pihak yang merasa

dirugikan karena tidak terpenuhinya salah satu dari hak dan kewajibannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hak dan kewajiban suami istri?

2. Apa saja yang termasuk kewajiban suami (hak istri)?

3. Apa saja yang termasuk kewajiban istri (hak suami)?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian hak dan kewajiban suami istri.

2. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kewajiban suami (hak istri).

3. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kewajiban istri (hak suami).

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Istri

Perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk

menempuh kehidupan rumah tangga. Sejak mengadakan perjanjian melalui

akad, kedua belah pihak telah terikat dan sejak itulah mereka mempunyai

kewajiban dan hak, yang tidak mereka miliki sebelumnya.1

Yang dimaksud dengan hak di sini adalah apa-apa yang diterima oleh

seseorang dari orang lain, sedangkan kewajiban adalah apa yang mesti

dilakukan seseorang terhadap orang lain. Kewajiban timbul karena hak yang

melekat pada subyek hukum.2

Sesudah pernikahan dilangsungkan, kedua belah pihak suami isteri harus

memahami hak dan kewajiban masing-masing. Hak bagi isteri menjadi

kewajiban bagi suami. Begitu pula, kewajiban suami menjadi hak bagi isteri.

Suatu hak belum pantas diterima sebelum kewajiban dilaksanakan.3

B. Kewajiban Suami (Hak Istri)

Dalam suatu pernikahan ada hak-hak yang harus diterima oleh seorang

istri, disamping kewajibannya yang harus ia penuhi. Hak-hak tersebut bisa

bersifat non materi seperti halnya diperlakukan dengan baik, ada pula yang

1
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010), h.11.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007),h.159.
3
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 313.

v
bersifat materi seperti mahar dan juga nafkah.4Adapun yang menjadi hak-hak

dari seorang istri antara lain sebagai berikut:

1. Mahar

Konsep mengenai mahar merupakan bagian yang penting dalam

pernikahan. Tanpa adanya mahar maka pernikahan yang terjadi dinyatakan

tidak terjadi dengan benar. Mahar harus ditetapkan sebelum pernikahan

dilaksanakan.

Mahar itu sendiri merupakan hak eksklusif seorang perempuan sehingga

seorang perempuan berhak untuk menentukan jumlahnya dan itu akan

menjadi harta pribadi dari seorang istri. Sebagaimana yang telah dijelaskan

dalam firman Allah Q.S.an-Nisa:4

‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَإ ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيئًا َم ِريئًا‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬

Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu

nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka

menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,

maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi

baik akibatnya.

Perintah untuk membayar mahar kepada seorang perempuan yang

hendak dinikahi selain terdapat dalam al-Qur’an juga terdapat dalam hadits-

hadits rosul. Nabi tidak membolehkan terjadinya pernikahan tanpa adanya

mahar sama sekali. Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam hadits Sahl

4
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, ( Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. IX, 2001), hlm.
40

vi
bin Sa’d tentang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah n,

namun beliau tidak menginginkan wanita tersebut. Hingga ada salah seorang

lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya

dengan wanita tersebut. Rasulullah dan bertanya:

َ ‫ فَ َذه‬.‫ فَا ْنظُرْ هَلْ تَ ِج ُد َش ْيئًا‬،َ‫ ْاذهَبْ إِلَى أَ ْهلِك‬:‫ فَقا َل‬.ِ‫ يَا َرسُوْ َل هللا‬،ِ‫ الَ َوهللا‬:‫ك ِم ْن َش ْي ٍء؟ قَا َل‬
‫َب ثُ َّم َر َج َع‬ َ ‫هَلْ ِع ْن َد‬

َ ‫• فَ َذه‬.‫ا ْنظُرْ َولَوْ خَاتَما ً ِم ْن َح ِد ْي ٍد‬


ُ ‫ َما َو َج ْد‬،ِ‫ الَ َوهللا‬:‫ فَقَا َل‬n: ‫ يَا‬،ِ‫ الَ َوهللا‬:‫ فَقَا َل‬،‫َب ثُ َّم َر َج َع‬
ِ‫ فَقَا َل َرسُوْ ُل هللا‬.‫ت َش ْيئًا‬

ِ‫ فَقا َ َل َرسُوْ ُل هللا‬.ُ‫ َما لَهُ ِردَا ٌء– فَلَهَا نِصْ فُه‬:ٌ‫ال َس ْهل‬ ِ َ‫• َولَ ِك ْن هَ َذا إِز‬،‫ َوالَ خَاتَما ً ِم ْن َح ِد ْي ٍد‬،ِ‫ َرسُوْ َل هللا‬n: ‫َما‬
َ َ‫اري – ق‬

َ َ‫ فَ َجل‬.‫ك ِم ْنهُ َش ْي ٌء‬


‫س ال َّر ُج ُل َحتَّى إِ َذا‬ َ ‫ َوإِ ْن لَبِ َس ْتهُ لَ ْم يَ ُك ْن َعلَ ْي‬،‫ إِ ْن لَبِ ْستَهُ لَ ْم يَ ُك ْن َعلَ ْيهَا ِم ْنهُ َش ْي ٌء‬، َ‫ارك‬
ِ ‫تَصْ نَ ُع بِإ ِ َز‬

ِ ْ‫ك ِمنَ ْالقُر‬


ِ‫ فَ َرآهُ َرسُوْ ُل هلل‬،‫ طَا َل َمجْ لِ َسهُ قَا َم‬n ‫ َم ِع ْي‬:‫آن؟ قال‬ َ ‫ َما َذا َم َع‬:‫ فَلَ َّما َجا َء قَا َل‬،‫ُم َوالِيًا فَأ َ َم َر بِ ِه فَد ُِع َي‬

َ‫ فَقَ ْد َملَّ ْكتُ َكهَا بِ َما َم َعك‬، ْ‫ ْاذهَب‬:‫ قَا َل‬.‫ نَ َع ْم‬:‫ال‬ َ ِ‫ظه ِْر قَ ْلب‬
َ َ ‫ك؟ ق‬ َ ‫ تَ ْق َر ُؤه َُّن ع َْن‬:‫ فَقا َ َل‬-‫سُوْ َرةُ َك َذا َوسُوْ َرة َك َذا – َع َّد َدهَا‬

‫ِمنَ ْالقُرْ آ ِن‬

Artinya :“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?”

“Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah ke keluargamu,

lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” kata Rasulullah n. Laki-laki

itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak

mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah n bersabda: “Lihatlah lagi

dan carilah walaupun hanya berupa cincin dari besi.” Laki-laki itu pergi

lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah!

Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini izar (sarung)

saya –kata Sahl, “Laki-laki itu tidak memiliki rida (kain penutup tubuh

bagian atas)”– setengahnya untuk wanita yang ingin kuperistri itu.” Kata

Rasulullah n, “Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau

vii
memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut pada istrimu. Jika ia

memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut padamu.” Laki-laki

itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah

nmelihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk

memanggil laki-laki tersebut. Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah n,

beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?” “Saya hafal surah

ini dan surah itu,” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya di dalam

hatimu?” tegas Rasulullah n. “Iya,” jawabnya. “Bila demikian, pergilah,

sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar

berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah. (HR.

Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)

2. Nafkah

Mengenai tanggung jawab seorang suami untuk menafkahi istrinya

dijelaskan dalam firman Allah dalam hadits rosul yang artinya “dari Jabir

bin Abdullah, dia berkata bahwa rosulullah bersabda: kalian wajib member

mereka makan dan pakaian meneurut yang patut.5

Selain itu seorang suami wajib hukumnya memberikan nafkah kepada

istri dan anak-anakya sekalipun ia dalam keadaan sulit atau miskin karena

masing-masing dituntut sesuai kemampuannya. Dan hal itu dijelaskan dengan

sangat jelas dalam QS.At thalaq: 7

5
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahriru Mar-ah fi ‘Ashir Risalah, Ter. Chairul Halim, Kebebasan
Wanita, ( Jakarta : Gema Insani Press, Cet. III, 2000), h. 416

viii
          
            
    
Artinya: “hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi

nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan

beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan

kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

3. Mendapat keadilan dalam poligami

Berbicara mengenai keadilan, Agama Islam menekankan pada prinsip

adil dan pentingnya keadilan bagi semua aspek.Keadilan menjadi syarat

mutlak dalam hubungan antar manusia, baik dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Keadilan merupakan tuntutan normatif, dan

tuntutan tersebut muncul pada semua aspek dalam kehidupan sosial. Dan

poligami merupakan salah satu aspek sosial yang didalamnya menuntut

keadilan.6 Dalam hal keadilan dalam poligami atau memilik stri lebih dari

satu itu bukanlah hal yang baru dalam masyarakat Islam. Prinsip-prinsip

dalam berpoligami telah diatur dalam QS. an-Nisa :3

‫سا ِء َم ْثنَى َوثُاَل َث‬ ِ ‫َوإِنْ ِخ ْفتُ ْم أَاَّل تُ ْق‬


َ َ‫سطُوا فِي ا ْليَتَا َمى فَان ِك ُحوا َما ط‬
َ ِّ‫اب لَ ُكم ِّمنَ الن‬

‫َو ُربَا َع فَإِنْ ِخ ْفتُ ْم أَاَّل تَ ْع ِدلُوا فَ َوا ِح َدةً أَ ْو َما َملَ َكتْ أَ ْي َمانُ ُك ْم َذلِ َك أَ ْدنَى أَاَّل تَ ُعولُوا‬

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap hak-

hak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah

6
Azwar Fajri, “Keadilan Berpoligami Dalam Perspektif Psikologi”, dalam Jurnal Substantia, Vol.
13, No. 2, 2011, h.161

ix
wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika

kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau

budak-budak yang kamu miliki”

Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Dalam ayat ini dijelaskan tentang kondisi yang melatar belakangi pengaturan,

syarat adil dan batas maksimal poligami dengan empat istri.

Adil yang dimaksudkan adalah seperti adil dalam membagi tempat,

waktu bersama mereka, kenyamanan, dan juga adil dalam memberikan

nafkah. Kebanyakan orang cenderung memahami keadilan dalam arti

kuantitatif yang bisa di ukur dengan angka-angka. Dengankata lain keadilan

pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Sedangkan perlu diketahui

bahwasannya keadilan itu tidak hanya terbatas pada keadilan yang bersifat

materi yang memungkinkan untuk dapat dihitung jumlahnya saja tapi juga

keadilan dalam hal lain seperti perhatian yang tak Nampak dan tak dapat

dihitung jumlahnya. Sebagaimana yang telah ditekankan oleh Muhammad

Abduh yang mana ia menekankan keadilan pada keadilan yang kualitatif dan

hakiki; seperti perasaan sayang, cinta dan kasih yang semuanya ini tidak

dapat diukur dengan angka-angka.

Hal ini sesuai dengan makna yang dikandung dalam istilah yang di-

gunakan oleh al Qur`an, yaitu kalimat `adalah, yang memang memiliki makna

yang lebih kualitatif.7 Memang tidak dapat dipungkiri bahwasannya keadilan

dalam hal cinta merupaan suatu hal yang mustahil dilakukan karena hal

7
Ali Imron HS,“Menimbang Poligami Dalam HukumPerkawinan”, dalam jurnal Ilmiah Ilmu
Hukum,Vol. 6, No. 1 , 2012, h. 9

x
tersebut diluar kemampuan manusia. Sedangkan mengenai batas keadilan

yang diminta adalah keadilan yang masih dalam batas kemampuan, karena

Allah tidak pernah mewajibkan keadilan yang tidak sesuai dengan

kemampuan hambanya. Akan tetapi yang harus dilakukan oleh seorang suami

adalah harus melakukan pembagian materi secara merata sehingga tidak

timbul rasa iri begitu juga dalam hal memberikan perhatian.8

4. Diperlakukan dengan baik

Seorang suami wajib untuk menjaga istrinya dari segala hal yang

menghilangkan kehormatannya atau mengotori kehormatannya karena dicela

dan dihina.9 Dan seorang suami yang mulia adalah seorang suami yang tidak

akan memaki istrinya. Seorang suami memiliki kewajiban untuk

memperlakukan da bergal dengan istrinya dengan baik sebagaimana firman

Allah dalam QS. An-Nisa : 19“..... Dan bergaullah dengan mereka secara

patut, kemudian apabila kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah.

Mungkin kamu tidak menykai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya

kebajikan yang banyak.”( QS. An-Nisa : 19)

‫ُوا َش ْيئًا َويَجْ َع َل هّللا ُ فِي ِه خَ ْيرًا‬


ْ ‫ُوف فَإِن َك ِر ْهتُ ُموه َُّن فَ َع َسى أَن تَ ْك َره‬
ِ ‫َوعَا ِشرُوه َُّن بِ ْال َم ْعر‬

‫َكثِيرًا‬

8
M.Mutawalli As-Sya’rawi, Fiqh Al Mar’a Al Mslimah, Ter. Yessi HM Basyaruddin, Fiqih
Perempuan Muslimah : Busana Dan Perhiasan, Penghormatan Atas Perempuan Sampai Wanita
Karir,( Tt: AMZAH, Cet. II, 2005), h. 189-190 Lihat Juga Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan,( Jakarta :
Kencana, 2006), h. 178
9
Abdul Aziz Mhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, al-Usrotu Wa Ahkamuha Fi
Tasyri’I al-Islam, Ter. Abdul Majid Khon, Fiqh Munakahat, ( Jakarta : Amzah, Cet. III, 2014), h.
217

xi
Artinya: “..... Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian

apabila kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah. Mungkin kamu

tidak menykai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebajikan yang

banyak.” ( QS. An-Nisa : 19)

Ayat ini memerintahkan kepada para suami agar mampu untuk berlapang

dada menerima fitrah manusiawi seorang perempuan. Seorang suami

hendaknya berbicara pada istrinya dengan cara yang baik, janga sampai

berbicara kasar hingga melukai hatinya.10 Kenapa seorang istri harus

diperlakukan dengan baik, alasannya adalah karena sepanang hari seorang

istri telah bekerja hanya demi memenuhi kewajiban sebagai seorang istri.

Sepanang hari seorang istri melakukan pekerjaan rumah tangga yang tentya

itu merupakan pekerjaan yang cukup melelahkan, seperti mencuci baju,

piring, masak makanan untuk suaminya dari bekerja dengan harapan akan

mendengar kata-kata yang indah dari mulut suaminya. Oleh karena itu

janganlah seorang suami menambah keletihan istri dengan seorang istri.

Seorang suami hendaknya memperlakukan istrinya dengan cara lemah lembut

agar cahaya kebahagiaan senantiasa menerangi keluarga.11

Selain itu seorang suami jangan sampai membenci istrinya hanya karena

sfat-sifatnya yang dirasakan kurang menyenangkan. Seorang suami

hendaknya senantiasa ingat bahwa disamping adanya sifat yang dirasakan

tidak menyenagkan itu seorang istri masib mempunyai sifat-sifat lain yang

10
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perawinan Islam,( Yogyakarta : UII Press, Cet. XIII, 2014), h. 58-
59
11
Ibrahim Amini, Niz{am al-Hayat Azzawjyah, Ter. Jawad Muammar, Hak-hak Suami dan Istri,
( Jakarta : Cahaya, Cet. III, 2005), h. 170

xii
justru menyenagkan suaminya. Jangan sampai seorang istri diperlakukan

dengan tidak pantas hanya karena istri mempnyai sifat-sifat yang kurang

berkenan dihati suaminya.

5. Mendapatkan hak waris

Secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan

kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang

lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.

Dengan demikian maka seorang istri berhak untuk mendapatkan warisan dari

suaminya ketika suaminya telah meninggal dunia . Sebagaimana yang telah

dijelaskan dalam QS.an-Nisa : 12

‫ك أَ ْز َوا ُج ُك ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَه َُّن َولَ ٌد ۚ فَإِ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما‬
َ ‫َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما تَ َر‬

‫صينَ بِهَا أَوْ َد ْي ٍن ۚ َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ْكتُ ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد ۚ فَإِ ْن‬ ِ ‫تَ َر ْكنَ ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬

‫صيَّ ٍة تُوصُونَ بِهَا أَوْ َد ْي ٍن ۗ َوإِ ْن َكانَ َر ُج ٌل‬


ِ ‫َكانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُمنُ ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬

َ ِ‫ت فَلِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ۚ فَإِ ْن َكانُوا أَ ْكثَ َر ِم ْن ٰ َذل‬
‫ك‬ ٌ ‫ث كَاَل لَةً أَ ِو ا ْم َرأَةٌ َولَهُ أَ ٌخ أَوْ أُ ْخ‬
ُ ‫يُو َر‬

ُ ‫صيَّةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا‬ َ ‫ص ٰى بِهَا أَوْ َدي ٍْن َغ ْي َر ُم‬


ِ ‫ضارٍّ ۚ َو‬ ِ ُ‫فَهُ ْم ُش َر َكا ُء فِي الثُّل‬
ِ ‫ث ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
َ ‫صيَّ ٍة يُو‬

‫َعلِي ٌم َحلِي ٌم‬

Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika

isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari

harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau

(dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta

xiii
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu

mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta

yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)

sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki

maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan

anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang

saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis

saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih

dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah

dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya

dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan

yang demikian itu sebagai) syari ́at yang benar-benar dari Allah, dan Allah

Maha Mengetahui lagi Maha PenyantunAyat ini menjelaskan tentang hak

dari seorang istri untuk mendapatkan harta warisan dari harta yang telah

ditinggalkan oleh suaminya. karena status hukum janda terhadap warisan

yang di tinggalkan oleh almarhum suaminya sama dengan status hukum

seorang anak yang sah, maka kosenkuensinya apabila ternyata almarhum

suami janda tersebut meninggalkan anak berarti janda yang bersangkutan

merupakan satu-satunya ahli waris yang menerima seluruh warisan pewaris,

karena keberadaan janda akan menjadi penghalang bagi ahli waris pada

golongan kedua dan seterusnya untuk tampil menerima warisan.

Ayat ini menjelaskan tentang hak dari seorang istri untuk mendapatkan

harta warisan dari harta yang telah ditinggalkan oleh suaminya. karena status

xiv
hukum janda terhadap warisan yang di tinggalkan oleh almarhum suaminya

sama dengan status hukum seorang anak yang sah, maka kosenkuensinya

apabila ternyata almarhum suami janda tersebut meninggalkan anak berarti

janda yang bersangkutan merupakan satu-satunya ahli waris yang menerima

seluruh warisan pewaris, karena keberadaan janda akan menjadi penghalang

bagi ahli waris pada golongan kedua dan seterusnya untuk tampil menerima

warisan.12

C. Kewajiban Istri (Hak Suami)

Hak suami tercermin dalam ketaatannya, menghormati keinginannya, dan

mewujudkan kehidupan yang tenang dan nikmat sebagaimana yang

diinginkan.

Hak-hak yang tercermin dalam kebahagiaannya dengan makna

pernikahan dan perasaan istri. Jauh dari kecelakaan dan kebencian.

Menjauhkannya akibat permusuhan dan keterpaksaan sehingga rumah tidak

menjadi tumbuh bagai di depan neraka jahim, sulit dalam pekerjaan,

menghabiskan segenap usaha, kemudian tidak terdapat kebahagiaan dan

ketenangan didalamnya.

Hak-hak suami terhadap istrinya yang diwajibkan oleh Islam

memungkinkan perempuan melaksanakan tanggung jawabnya yang pokok

dalam rumah dan masyarakat. Memberi kemampuan bagi laki-laki untuk

12
Fitirana, “perbandingan pembagian warisan untuk janda menurut kitab undang-undang hokum
perdata dan hokum waris islam”, dalam Jurnal ilmu hokum legal opinion, edisi,3, Vol. 1, 2013, h.
4

xv
membangun rumahnya dan keluarganya. Diantara hak-hak suami terhadap

istri adalah sebagai berikut:13

1. Mematuhi perintah suami

Diriwayatkan dari Hushain bin Mihshan dari bibinya, ia pernah bercerita,

“Aku pernah menghadap Rasulullah saw dan beliau bertanya, ‘Apakah kamu

sudah bersuami?’ Aku menjawab, ‘Sudah.’ Beliau bertanya, ‘Di mana

posisimu darinya?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak pernah menentangnya, kecuali

pada sesuatu yang tidak mampu aku lakukan.’

Ketaatan istri terhadap suami tidaklah bersifat mutlak. Ia disertai syarat

hendaknya ketaatan itu tidak mengandung unsur maksiat kepada Allah. Jika

suami memerintahkannya untuk berbuat maksiat, seperti melepas jilbab,

meniggalkan shalat, menyenggamainya pada waktu haid atau melalui jalan

belakang (duburnya), sang istri wajib tidak menaatinya. Nabi saw bersabda,

ِ ‫صيَ ٍة إِنَّ َما الطَّا َعةُ فِي ْال َم ْعر‬


‫ُوف‬ ِ ‫اَل طَا َعةَ فِي َم ْع‬
Artinya: “Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah,

sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal kebajikan.” (HR Bukhari, no. 7257

dan Muslim, no. 1840)

2. Tidak keluar kecuali dengan izinnya

Hendaknya seorang istri tidak keluar rumah kecuali seizin suami. Jika ia

nekad keluar tanpa seizinnya, ia berarti telah melakukan nusyuz, bermaksiat

kepada Allah dan Rasul-Nya, serta layak mendapatkan hukuman

Dr. Ali Yusuf As-Subki, FIQH KELUARGA Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta:
13

AMZAH,2010) , h. 143-144.

xvi
        

Artinya: “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu

berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”

(Q.S. Al-Ahzab 33;33).

3. Tidak menolak diajak berhubungan badan

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw pernah bersabda:

‫ت أَ ْن تَ ِجى َء لَ َعنَ ْتهَا ْال َمالَئِ َكةُ َحتَّى تُصْ بِ َح‬


ْ َ‫إِ َذا َدعَا ال َّر ُج ُل ا ْم َرأَتَهُ إِلَى فِ َرا ِش ِه فَأَب‬

“Jika suami mengajak istrinya ke ranjang (untuk berhubungan intim),

tetapi ia enggan datang maka malaikat terus mengutuknya hingga pagi

menjelang.” (HR Bukhari, no. 5193 dan Muslim, no. 1436)

4. Tidak mengizinkan seorang pun masuk ke rumah (suaminya) kecuali

dengan seizinnya14

Rasulullah saw bersabda:

ُ‫َولَ ُك ْم َعلَ ْي ِه َّن أَ ْن الَ يُو ِط ْئنَ فُ ُر َش ُك ْم أَ َحدًا تَ ْك َرهُونَه‬

“...Sesungguhnya hak kalian atas mereka (para istri) adalah hendaknya

mereka tidak memasukkan seorangpun yang tidak kalian sukai ke tempat

tidur kalian.” (Shahih Muslim, no. 1218)

Beliau juga bersabda:

‫الَ تَأْ َذ ْن فِ ْي بَ ْيتِ ِه َوه َُو َشا ِه ٌد إِالَّ بِإِ ْذنِ ِه‬

Drs. Ahmad Haikal, M.A. & Abu Zahwa, Buku Pintar Keluarga Sakinah, (Jakarta Selatan; PT
14

AgroMedia Pustaka, 2010) h. 97-100.

xvii
“Hendaklah seorang istri tidak memberi izin masuk (kepada siapapun)

ke dalam rumah suaminya saat suami berada di rumah kecuali atas

izinnya.” (Shahih Muslim, no. 1026)

5. Harus Berhias Dan Mempercantik Diri Untuk Suami15

Isteri Harus Berhias Dan Mempercantik Diri Untuk Suami, Selalu

Tersenyum Dan Tidak Bermuka Masam Di Hadapan Suaminya, Juga Jangan

Sampai Ia Memperlihatkan Keadaan Yang Tidak Disukai oleh Suaminya.

Seorang isteri tidak boleh meremehkan kebersihan dirinya, sebab kebersihan

merupakan bagian dari iman. Dia harus selalu mengikuti sunnah, seperti

membersihkan dirinya, mandi, memakai minyak wangi dan merawat dirinya

agar ia selalu berpenampilan bersih dan harum di hadapan suaminya, hal ini

menyebabkan terus berseminya cinta kasih di antara keduanya dan kehidupan

ini akan terasa nikmat.

Berhias untuk suami adalah dianjurkan selagi dalam batas-batas yang

tidak dilarang oleh syari’at, seperti mencukur alis, menyambung rambut,

mentato tubuhnya dan lainnya.

Seorang isteri ideal selalu nampak ceria, lemah lembut dan

menyenangkan suami. Jika suami pulang ke rumah setelah seharian bekerja,

maka ia mendapatkan sesuatu yang dapat menenangkan dan menghibur

hatinya. Jika suami mendapati isteri yang bersolek dan ceria menyambut

kedatangannya, maka ia telah mendapatkan ketenangan yang hakiki dari

isterinya.

15
https://almanhaj.or.id/1445-isteri-harus-berhias-dan-mempercantik-diri-untuk-suami-seorang-
istri-tidak-boleh-menyakiti-suami.html, diakses pada 04 Maret 2020, pukul: 19.00.

xviii
Allah Ta’ala berfirman:

‫ت لِقَوْ ٍم‬ َ ِ‫ق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ إِ َّن فِي ٰ َذل‬
ٍ ‫ك آَل يَا‬ َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن َخل‬

َ‫يَتَفَ َّكرُون‬

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia

menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di

antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-

benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”

(Q.S. Ar-Ruum : 21)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ َ‫ َوتَحْ فَظُ َغ ْيبَت‬، َ‫ُك إِ َذا أَ َمرْ ت‬


َ‫ك فِ ْي نَ ْف ِسهَا َو َمالِك‬ َ ‫ك إِ َذا أَ ْب‬
•َ ‫ َوتُ ِط ْيع‬، َ‫صرْ ت‬ َ ُّ‫َخ ْي ُر النِّ َسا ِء َم ْن تَسُر‬

Artinya: “Sebaik-baik isteri adalah yang menyenangkan jika engkau

melihatnya, taat jika engkau menyuruhnya, serta menjaga dirinya dan

hartamu di saat engkau pergi.” (H.R. ath-Thabrani, dari ‘Abdullah bin Salam.

Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 3299).

xix
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain,

sedangkan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang

terhadap orang lain. Kewajiban timbul karena hak yang melekat pada

subyek hukum.

2. Kewajiban Suami (hak istri) antara lain:

1) Mahar

2) Nafkah

3) Mendapatkan keadilan dalam poligami

4) Diperlakukan dengan baik

5) Mendapatkan warisan

3. Kewajiban Istri (hak suami) antara lain:

1) Mematuhi perintah suami

2) Tidak keluar rumah tanpa izin suami

3) Tidak menolak diajak berhubungan badan

4) Tidak mengizinkan seorang pun masuk ke rumah (suaminya) kecuali

dengan seizinnya

5) Harus Berhias Dan Mempercantik Diri Untuk Suami

xx
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Beni Saebani, Fiqh Munakahat 2, 2010, Bandung : CV Pustaka

Setia.

Syarifuddin Amir , Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 2007,

Jakarta: Prenada Media.

Mas’ud Ibnu dan Abidin Zainal , Fiqih Madzhab Syafi’i,2007, Bandung:

Pustaka Setia.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 2001,Cet. ke IX Jakarta: PT. Ichtiar

Baru Van Hoeve.

Halim Abdul Abu Syuqqah, dkk, Kebebasan Wanita, 2000, Cet. III,

Jakarta : Gema Insani Press.

Fajri Azwar , “Keadilan Berpoligami Dalam Perspektif Psikologi”,

2011, dalam Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2.

Imron Ali HS,“Menimbang Poligami Dalam HukumPerkawinan”, 2012,

dalam jurnal Ilmiah Ilmu Hukum,Vol.6,No.1.

Mutawalli M. As-Sya’rawi, dkk, Fiqih Perempuan Muslimah : Busana

Dan Perhiasan, Penghormatan Atas Perempuan Sampai Wanita Karir,2005, Cet

II, Tt: AMZAH. Lihat Juga Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di

Indonesia : Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, 2006,

Jakarta : Kencana.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perawinan Islam,2014, Cet. XIII,

Yogyakarta : UII Press.

xxi
Aziz Abdul Mhammad Azzam dan Wahab Abdul Sayyed Hawwas, al-

Usrotu Wa Ahkamuha Fi Tasyri’I al-Islam, Ter. Abdul Majid Khon, Fiqh

Munakahat, 2014, Cet. III, Jakarta : Amzah.

xxii

Anda mungkin juga menyukai