Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
Rahmi 17215080
FAKULTAS SYARI’AH
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dimungkinkan
banyak dari anggota masyarakat yang mengunakan sistem hukum Islam. Tetapi seiring
dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan dan teknologi prinsip-
prinsip dalam hukum Islam terus mengalami kemajuan yang pesat dan selalu mengikuti
perubahan zaman guna untuk kemaslahatan umat di dunia. Tanpa membedakan baik laki-
laki maupun perempuan. Dari uraian pembahasan tersebut di atas dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa Hukum Waris Islam telah mengakomodir prinsip hukum yang
berkeailan gender.
Hukum Islam sebagai salah satu pranata sosial memiliki dua fungsi, fungsi
pertama sebagai kontrol sosial, yaitu hukum Islam diletakkan sebagai hukum Tuhan,
yang selain sebagai kontrol sosial sekaligus sebagai social engineering terhadap
keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sedang kontrol yang kedua adalah sebagai nilai
dalam proses perubahan sosial yaitu hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam
batasbatas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial,
budaya, dan politik. Sehingga dalam konteks ini hukum Islam dituntut untuk akomodatif
terhadap persoalan umat tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.
Begitu juga dalam mensikapi perkembangan zaman kelompok Madzhab al-Hadits
cenderung mempertahankan idealitas wahyu tanpa memberikan ruang bagi pemikiran
lain. Artinya apa yang tersurat dalam kalam wahyu Illahi adalah sakral dan final serta
tidak dapat dirubah disebabkan karena apapun dan dalam kondisi yang bagaimanapun.
Madzhab ini masih dianut untuk sebagian besar oleh umat Islam di Indonesia. Sehingga
dalam melihat fikih pun masih diidentikkan dengan hukum Islam, sedang hukum Islam
identik dengan hukum Allah. Sehingga konsekuensinya hukum fikih dipandang sebagai
aturan yang paling benar. Dengan demikian kitab-kitab fikih tersebut bukan hanya
disebut sebagai produk keagamaan, tetapi sebagai buku agama itu sendiri. Sehingga fikih
dipandang sebagai bagian dari agama dan bukan dari produk dari pemikiran keagamaan.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II
PEMBAHASAN
“Jika anak yang terlahir itu menangis maka dia mendapat waris” (HR. Abu Daud).
Kata istahalla pada hadits diatas diartikan dengan menangis, bersin, tangan atau
kakinya bergerak, dan semisalnya, yang memungkinkan bagi kita untuk mengatakan
bahwa anak ini lahir dengan selamat.
Dalam hal boleh atau tidaknya harta warisan itu dibagi saat anak tersebut masih
dalam kandungan, maka ulama berbeda pendapat dan kemudian pendapat tersebut terbagi
menjadi dua, yaitu :
1. Tidak boleh dibagi. Ini merupakan pendapat dari Imam Syafi’I dan Imam
Malik, alasannya sangat sederhana karena anak dalam kandungan tersebut
tidak diketahui kejelasan kedepannya, apakah anak itu terlahir dalam keadaan
selamat atau tidak, apakah anak itu perempuan atau laki-laki, apakah anak itu
kembar laki-laki, kembar perempuan, atau kembar pengantin. Dan pendapat
ini lumayan kuat ditengah ulama.
2
Eman Suparman. HukumWaris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW. (Bandung: PT RefikaAditama,
2007), hal. 13.
2. Boleh dibagi. Ini merupakan pendapat ulama mazhab Hambali dan ulama
mazhab Hanafi, Dalam kondisi tertentu mungkin ahli waris yang sudah ada ini
sangat memerlukan sejumlah harta untuk kebutuhan hidup mereka, apalagi
misalnya ada diantara mereka yang yang sudah ditagih hutangnya, dan sudah
diancam jika dalam waktu tertentu hutangnya belum dilunasi, sehingga tidak
ada jalur lain kecuali dengan jalur warisan.
Kondisi seperti ini dan semisalnya membuat para ulama dalam mazhab ini
berpendapat bahwa sah-sah saja harta warisan itu dibagi walaupun bayi
tersebut masih dalam kandungan.
Contoh soal : Seorang meninggal dunia, ahli warisnya adalah ayah, ibu, isteri
yang hamil. Harta wrisannya Rp480.000.000,- Berapakah bagian masing-masing ahli
waris?
catatan : Maka sebenarnya harus dengan beberapa kai percobaan, yaitu : anak
perempuan tunggal, anak laki-laki tunggal, anak perempuan kembar, anak laki-laki
kembar, atau anak kembar pengantin. Namun kali ini kita mencoba dengan dua perkiraan
saja.
Jawab :
1 1
Ibu : x 24 = 4 (4 x 480.000.000) : 24 = 80.000.000
6 6
1 1
Ayah : + ‘Abn (5 x 480.000.000) : 24 = 100.000.000
6 6
1 1
Isteri : x 24 = 3 (3 x 480.000.000) : 24 = 60.000.000
8 8
1 1
Anak pr : x 24 = 12 (12 x 480.000.000) : 24 = 240.000.000
2 2
1 1
Ayah : x 24 = 4 (4 x 480.000.000) : 24 = 80.000.000
6 6
1 1
Isteri : x 24 = 3 (3 x 480.000.000) : 24 = 60.000.000.
8 8
1. anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan
nafaqah (nafkah) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya;
2. anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafaqah dengan
ibunya dan keluarga ibunya;
Dalam warisan, anak hasil perzinahan tidak mendapatkan warisan, karena tidak
terhubung kepada laki-laki yang menghamili perempuan yang melahirkan anak tersebut,
tetapi ia tetap dapat mendapatkan harta warisan dari ibunya,
Dalam mazhab syafi’i, seorang anak dikatakan sebagai anak zina apabila jarak
dari dilangsungkan nya pernikahan kedua orang tuanya dan kelahiran anak tersebut
kurang dari 6 bulan. Apabila dibawah dari 6 bulan, maka anak tersebut pun tidak berhak
ats nasab ayahnya, tidak berhak atas waris ayahnya, dan tidak berhak atas walinya saat ia
melaksanakan pernikahan. Namun, apabila jarak dari pernikahan kedua orang tuanya dan
kelahiran anak tersebut lebih dari 6 bulan, maka anak tersebut berhak atas ayahnya
sebagaimana hal lainnya yang sesuai dengan hukum dan syara’.
2. Mafqud dianggap sudah wafat, sehingga dengan demikian dia bukan sebagai
ahli waris.
Dalam menentukan seseorang mafqud itu dinyatakan hidup atau mati maka harus
ditempuh dengan du acara, yaitu mencari data otentik dan melihat perkiraan umurnya.
Bukti otentik dapat didapatkan dari orang yang memang adil yang misalnya dia
menyaksikan sendiri bahwa si fulan meninggal dunia atau si fulan masih hidup. Apabila
tidak adanya data otentik maka dengan perkiraan umur dan waktu, dalam hal ini ulama
berbeda pendapat, diantaranya:
Cara mengetahui seorang khuntsa musykil adalah dengan dua cara, yaitu :
Contoh soal : seorang meninggal dunia, ahli warisnya ibu, ayah, anak perempuan,
anak yang berstatus khuntsa musykil. Harta warisannya Rp720.000.000,- Berapa bagian
masing-masing ahli waris?
Jawab :
*perkiraan perempuan*
1 1
Ibu : x6=1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6
2 2
Anak pr : x6=4 (4 x 720.000.000) : 6 = 480.000.000
3 3
1 1
Ayah : + ‘Abn (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6
Anak K.M : apabila anak khuntsa musykil adalah seorang perempuan maka :
1
x 480.000.000 = 240.000.000 . Anak perempuan = Anak K.M perkiraan perempuan,
2
sama-sama mendapat bagian 240.000.000.
*perkiraan laki-laki*
1 1
Ibu : x6=1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6
1 1
Ayah : x6=1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6
Maka,
6. KEWARISAN GHARRAWAIN
Gharrawain secara Bahasa berasal dari kata gharra yang memiliki rti menipu
menurut Abd al-Rahim, karena masuk dalam masalah gharrawain tersebut terjadi
‘penipuan’ kepada ahli waris ibu. Ulama lain mengatakan, bahwa gharrawain adalah
bentuk ganda (tasniyah) dari kata ghair yang arinya cemerlang, seperti bintang. Disebut
demikian karena masalah ini cemerlang bagaikan bintang.
Dalam kewarisan kontemporer, gharrawain dapat terjadi apabila dalam
pembagian warisan, ahli warisnya hanya terdiri dari :
1. Suami, ibu, ayah.
2. Isteri, ibu, ayah.
3. Dan tidak terdapat ahli waris yang lain.
apabila terjadi dua kasus pembagian warisan di mana ahli warisnya terdiri dari
suami, ibu dan bapak atau terdiri dari istri, ibu dan bapak, maka sang ibu mendapat
bagian 1/3 sisa dari asal masalah yang sebelumnya telah diambil lebih dahulu oleh suami
atau istri. Kedua kasus seperti inilah yang disebut dengan masalah gharawain.
Sebagaimana diketahui bahwa seorang ibu apabila tidak bersama dengan anak
atau cucunya si mayit ia bisa mendapatkan bagian 1/3 dari harta warisan yang ada.
Bagian 1/3 ini diambil langsung oleh ibu dari asal masalah yang ada. Namun demikian
bila terjadi dua kasus sebagaimana di atas maka ibu tidak diberi bagian 1/3 langsung dari
asal masalah namun 1/3 dari sisa asal masalah setelah diambil oleh suami atau istri.
Contoh soal : seorang meninggal dunia, ahli warisnya adalah suami, ibu, dan
ayah. Harta warisannya Rp720.000.000,- Berapakah bagian masing-masing ahli waris?
Jawab:
1 1
Suami : x6=3 (3 x 720.000.000) : 6 = 360.000.000
2 2
1 1
Ibu : x6=2 (2 x 720.000.000) : 6 = 240.000.000
3 3
*penyelesaian seharusnya*
1 1
Suami : x6=3 (3 x 720.000.000) : 6 = 360.000.000
2 2
1 1
Ibu : sisa x 6-3 = 1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
3 3
7. KEWARISAN MUSYARAKAH
Musyarakah secara Bahasa artinya berserikat, maksudnya adalah serikat antara
dua orang atau lebih dalam suatu hal atau urusan. Dalam konteks ini, yang dimaksud
dengan musyarakah adalah apabila didalam pembagian warisan terdapat suatu kejadian
bahwa saudara sekandung (tunggal atau jamak) sebagai ahli waris ashabah tidak
mndapatkan bagian harta sedikitpun, karena dihabiskan oleh ahli waris ashabul furudh
yang diantaranya adalah saudara seibu (tunggal atau jamak).
Sejarahnya pertama kali persoalan ini muncul pada masa Khalifah Umar Ibn
Khattab ra. Pada awalnya umar memutuskan sesuai apa adanya sebagaimana di dalam
Alqur’an. Yakni saudara laki-laki sekandung tidak mendapat bagian, karena habis tidak
ada sisa harta. Namun, ketika masalah itu diajukan kembali kepadanya, sebagian sahabat
memberikan perumpamaan akan ketidak adilan penyelesaian dengan cara demikian.
Ungkapan tersebut sebagai berikut:
ْ َه ُْب اِنْ اَبَانَا َكانَ َح َج ًرا ُم ْل ٰقى فِى ا ْليَ ِّم اَل
سنَا ِمنْ اُ ِّم َوا ِح َد ٍة
Contoh soal : Seorang meninggal dunia, ahli warisnya adalah suami, ibu, 2
saudara seibu, 2 saudara sekandung. Harta warisannya Rp720.000.000,- Berapakah
bagian masong-masing ahli waris?
Jawab:
1 1
Suami : x6=3 (3 x 720.000.000) : 6 = 360.000.000
2 2
1 1
Ibu : x6=1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6
1 1
2sdr seibu : x6=2 (2 x 720.000.000) : 6 = 240.000.000
3 3
*penyelesaian seharusnya*
1 1
Suami : x6=3 (3 x 720.000.000) : 6 = 360.000.000
2 2
1 1
Ibu : x6=1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6
1 1
2sdr seibu : x6=2 (2 x 720.000.000) : 6 = 240.000.000
3 3
2sdr sekdg : masing-masing saudara seibu maupun sekandung dapat bagian yang
sama dari 240.000.000.
1
Jadi, x 240.000.000 = 60.000.000 .
4
Jadi tiap saudara baik seibu maupun sekandung, masing-masing mendapatkan warisan
sebesar 60.000.000.
BAB III
PENUTUP