Anda di halaman 1dari 15

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah HADIST AHKAM

Dosen Pengampu :

Disusun oleh :

Nada Ramadhana 1721508017

Rahmi 17215080

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dimungkinkan
banyak dari anggota masyarakat yang mengunakan sistem hukum Islam. Tetapi seiring
dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan dan teknologi prinsip-
prinsip dalam hukum Islam terus mengalami kemajuan yang pesat dan selalu mengikuti
perubahan zaman guna untuk kemaslahatan umat di dunia. Tanpa membedakan baik laki-
laki maupun perempuan. Dari uraian pembahasan tersebut di atas dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa Hukum Waris Islam telah mengakomodir prinsip hukum yang
berkeailan gender.
Hukum Islam sebagai salah satu pranata sosial memiliki dua fungsi, fungsi
pertama sebagai kontrol sosial, yaitu hukum Islam diletakkan sebagai hukum Tuhan,
yang selain sebagai kontrol sosial sekaligus sebagai social engineering terhadap
keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sedang kontrol yang kedua adalah sebagai nilai
dalam proses perubahan sosial yaitu hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam
batasbatas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial,
budaya, dan politik. Sehingga dalam konteks ini hukum Islam dituntut untuk akomodatif
terhadap persoalan umat tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.
Begitu juga dalam mensikapi perkembangan zaman kelompok Madzhab al-Hadits
cenderung mempertahankan idealitas wahyu tanpa memberikan ruang bagi pemikiran
lain. Artinya apa yang tersurat dalam kalam wahyu Illahi adalah sakral dan final serta
tidak dapat dirubah disebabkan karena apapun dan dalam kondisi yang bagaimanapun.
Madzhab ini masih dianut untuk sebagian besar oleh umat Islam di Indonesia. Sehingga
dalam melihat fikih pun masih diidentikkan dengan hukum Islam, sedang hukum Islam
identik dengan hukum Allah. Sehingga konsekuensinya hukum fikih dipandang sebagai
aturan yang paling benar. Dengan demikian kitab-kitab fikih tersebut bukan hanya
disebut sebagai produk keagamaan, tetapi sebagai buku agama itu sendiri. Sehingga fikih
dipandang sebagai bagian dari agama dan bukan dari produk dari pemikiran keagamaan.

B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN

BAB II

PEMBAHASAN

A. KEWARISAN DALAM ISLAM


Dalam literatur hukum arab akan ditemukan penggunaaan kata Mawaris, bentuk
kata jamak dari Miras. Namun banyak dalam kitab fikih tidak menggunakan kata
mawaris sedang kata yang digunakan adalah faraid lebih dahulu daripada kata mawaris.
Rasullulah SAW menggunakan kata faraid dan tidak menggunnakan kata mawaris. Hadis
riwayat Ibnu Abas Ma’ud berbunyi: dari Ibnu Abas dia berkata, Rasullulah bersabda:
Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah pada orang lain. Pelajari pula faraid dan ajarkan
kepada orang-orang (HR Ahmad).1
Pada dasarnya hukum kewarisan dalam Islam berlaku untuk seluruh umat Islam di
seluruh dunia. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan di negara
atau daerah tersebut memberi pengaruh berbeda atas hukum kewarisan, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: Pertama: meskipun pada dasarnya Islam
telah mengatur dasar hukum kewarisan secara terperinci dalam Al-Qur’an, jika terdapat
kemuskilan pengertian telah dijelaskan oleh Nabi. Namun demikian, dalam hal
pelaksanaan praktis terdapat masalah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan belum sempat
dijelaskan oleh Nabi, sehingga hukum menjadi terbuka. Kedua: bahwa ilmu hukum
termasuk hukum Islam, di mana hukum waris ada di dalamnya, adalah tergolong ilmu
sosial dan bukan ilmu eksakta. Oleh karena itu, hukum waris tempat kemungkinan
terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat di antara para ahli hukum itu sendiri, terutama
mengenai ayat-ayat yang memungkinkan adanya penafsira lebih dari itu.
Berikut ini adalah istilah-istilah yang dipergunakan dalam kewarisan perdata:
Pewaris: Adalah orang yang meninggal dunia yang meninggaalkan harta kekayaan. Ahli
Waris: Adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan
kedudukan Pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya Pewaris.
Hukum Waris: Adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan
harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, mengatur peralihan harta kekayaan
yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal, serta akibat-akibatnya bagi para ahli
1
Suhardi K Lubis, Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis. Jakarta : Sinar Grafika. 1995. Hal. 37
waris. Harta Warisan: Adalah kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang
ditinggalkan Pewaris dan berpindah kepada para ahli waris. Keseluruhan kekayaan yang
berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama ahli waris disebut Boedel.2
1. KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN
Kewarisan anak dalam kandungan adalah kewarisan dimana salah satu ahli
warisnya masih berada dalam kandungan, sedangkan ahli waris yang lain sudah
menginginkan agar warisan dapat dibagi sesuai dengan bagiannya masing-masing. Dalam
hal ini, anak dalam kandungan dianggap ada dan mendapat bagian warisan apabila
memenuhi syarat, yaitu :
1. Sudah berwujud dalam Rahim, ketika yang memiliki harta atau si pewaris
telah meninggal dunia.
2. Lahir dalam keadaan hidup.
Jika dua syarat ini terpenuhi maka meskipun bayi ini masih belum mengerti apa-
apa, tetap saja haknya tidak boleh diambil. Landasan dari permasalahan ini adalah sabda
Rasulullah SAW berikut:
‫ثور دالمولو استهل إذا‬ 

“Jika anak yang terlahir itu menangis maka dia mendapat waris” (HR. Abu Daud).
Kata istahalla pada hadits diatas diartikan dengan menangis, bersin, tangan atau
kakinya bergerak, dan semisalnya, yang memungkinkan bagi kita untuk mengatakan
bahwa anak ini lahir dengan selamat.

Dalam hal boleh atau tidaknya harta warisan itu dibagi saat anak tersebut masih
dalam kandungan, maka ulama berbeda pendapat dan kemudian pendapat tersebut terbagi
menjadi dua, yaitu :

1. Tidak boleh dibagi. Ini merupakan pendapat dari Imam Syafi’I dan Imam
Malik, alasannya sangat sederhana karena anak dalam kandungan tersebut
tidak diketahui kejelasan kedepannya, apakah anak itu terlahir dalam keadaan
selamat atau tidak, apakah anak itu perempuan atau laki-laki, apakah anak itu
kembar laki-laki, kembar perempuan, atau kembar pengantin. Dan pendapat
ini lumayan kuat ditengah ulama.
2
Eman Suparman. HukumWaris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW. (Bandung: PT RefikaAditama,
2007), hal. 13.
2. Boleh dibagi. Ini merupakan pendapat ulama mazhab Hambali dan ulama
mazhab Hanafi, Dalam kondisi tertentu mungkin ahli waris yang sudah ada ini
sangat memerlukan sejumlah harta untuk kebutuhan hidup mereka, apalagi
misalnya ada diantara mereka yang yang sudah ditagih hutangnya, dan sudah
diancam jika dalam waktu tertentu hutangnya belum dilunasi, sehingga tidak
ada jalur lain kecuali dengan jalur warisan.
Kondisi seperti ini dan semisalnya membuat para ulama dalam mazhab ini
berpendapat bahwa sah-sah saja harta warisan itu dibagi walaupun bayi
tersebut masih dalam kandungan.

Contoh soal : Seorang meninggal dunia, ahli warisnya adalah ayah, ibu, isteri
yang hamil. Harta wrisannya Rp480.000.000,- Berapakah bagian masing-masing ahli
waris?

catatan : Maka sebenarnya harus dengan beberapa kai percobaan, yaitu : anak
perempuan tunggal, anak laki-laki tunggal, anak perempuan kembar, anak laki-laki
kembar, atau anak kembar pengantin. Namun kali ini kita mencoba dengan dua perkiraan
saja.

Jawab :

*perkiraan anak perempuan tunggal*

1 1
Ibu : x 24 = 4 (4 x 480.000.000) : 24 = 80.000.000
6 6

1 1
Ayah : + ‘Abn (5 x 480.000.000) : 24 = 100.000.000
6 6

1 1
Isteri : x 24 = 3 (3 x 480.000.000) : 24 = 60.000.000
8 8

1 1
Anak pr : x 24 = 12 (12 x 480.000.000) : 24 = 240.000.000
2 2

*perkiraan anak laki-laki tunggal*


1 1
Ibu : x 24 = 4 (4 x 480.000.000) : 24 = 80.000.000
6 6

1 1
Ayah : x 24 = 4 (4 x 480.000.000) : 24 = 80.000.000
6 6

1 1
Isteri : x 24 = 3 (3 x 480.000.000) : 24 = 60.000.000.
8 8

Anak lk-lk : ‘Abn 24 – 11 = 13 (13 x 480.000.000) : 24 = 260.000.000

2. KEAWRISAN ANAK ZINA


Anak hasil zina, bukan termasuk anak nasab. Karena zina adalah sebab bathil,
sehingga tidak memiliki hubungan nasab maupun pewarisan. Dari Abdullah bin Amr bin
Ash, beliau mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa anak
dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita
merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR.
Ahmad 7042, Abu Daud 2267, dihasankan Syuaib Al-Arnauth).
Sedangkan dilihat dari Hukum Islam mengenai anak zina, sebagaimana dikatakan
dalam artikel Fatwa MUI Juga Melindungi Anak Hasil Perzinaan, berdasarkan fatwa
Majelis Ulama Indonesia yang dibuat pada 10 Maret 2012, setidaknya ada 6 (enam) poin
ketentuan hukum yang ditelurkan oleh Komisi Fatwa MUI yang dipimpin oleh Prof.
Hasanuddin AF ini. Beberapa di antaranya adalah:

1.    anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan
nafaqah (nafkah) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya;

2.    anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafaqah dengan
ibunya dan keluarga ibunya;

3.    pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir (jenis dan hukuman


yang diberikan oleh pihak yang berwenang) terhadap lelaki pezina yang
mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:

a.    mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;


b.    memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah

Jadi, dalam Hukum Islam, anak zina bisa mendapatkan wasiat wajibah.

Dalam warisan, anak hasil perzinahan tidak mendapatkan warisan, karena tidak
terhubung kepada laki-laki yang menghamili perempuan yang melahirkan anak tersebut,
tetapi ia tetap dapat mendapatkan harta warisan dari ibunya,
Dalam mazhab syafi’i, seorang anak dikatakan sebagai anak zina apabila jarak
dari dilangsungkan nya pernikahan kedua orang tuanya dan kelahiran anak tersebut
kurang dari 6 bulan. Apabila dibawah dari 6 bulan, maka anak tersebut pun tidak berhak
ats nasab ayahnya, tidak berhak atas waris ayahnya, dan tidak berhak atas walinya saat ia
melaksanakan pernikahan. Namun, apabila jarak dari pernikahan kedua orang tuanya dan
kelahiran anak tersebut lebih dari 6 bulan, maka anak tersebut berhak atas ayahnya
sebagaimana hal lainnya yang sesuai dengan hukum dan syara’.

3. KEWARISAN ANAK LI’AN


Li’an secara Bahasa berarti kutukan. Sedangkan menurut syara’ ialah
persumpahan bagi suami menstabitkan tuduhan zina kepada isterinya manakala isteri juga
bersumpah untuk menafikan tuduhan tersebut. Selain itu li’an juga berarti suami tidak
mengakui janin yang terdapat dalam rahim isterinya. Dalam konsep nasab, anak li’an
hanya mempunyai ikatan nasab degan ibunya, hal ini sama dengan anak zinah, dimana
nasabnya hanya kepada ibunya tidak kepada ayahnya. Dalam pernikahan pun, ayah dari
anak l’an tidak berhak menjadi wali nikahnya.
Dalam kitab Ahkamul Mawaarits fil-Fiqhil-Islami, disebutkan bahwa anak li’an
adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami dan isteri yang sah, namun sang suami
tidak mengakui anak tersebut sebagai keturunannya, dan Qadhi (hakim syar’i)
memutuskan bahwa anak itu bukanlah anak dari sang suami, setelah suami dan isteri itu
diambil sumpahnya.
Dalam permasalahan waris, ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan anak
lian, pendapat itu terbagi menjadi 2 pendapat, yaitu :
1. Pendapat pertama. Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i berpendapat
bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibunya dan kerabat ibunya, serta
kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah-kaidah
waris yang sudah diketahui.
2. Pendapat kedua. Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak lian dapat
diwarisi denga cara menjadi ashabah, ashabahnya adalah mereka yang
menjadi ashabah ibunya atau mereka yang mewarisi ibunya.

4. KEWARISAN ORANG HILANG


Kewarisan orang hilang disebut juga kewarisan mafqud, yaitu Mafqud dalam
bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang. Menurut para Faradhiyun
Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat
tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya.
Selain itu, ada yang mengartikan Mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan
tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudan meninggal.

Mengenai pembagaian warisan mafqud menurut fikh, Muhammad Abul ’Ula


Kholifah mengatakan bahwa ada suatu prinsip dalam pembagian warisan mafqud, yaitu
jika dikaitan dengan harta pribadinya, dia dianggap sebagai hidup sampai diketahui atau
dinyatakan kematiannya. Jika dikaitkan dengan harta orang lain, dia dianggap wafat,
sehingga dengan demikian dia tidak termasuk ahli waris, sampai ada kejelasan statusnya,
sudah wafatkah dia atau masih hidup. Atas dasar prinsip tersebut, maka teknis pembagian
waris mafqud harus ditempuh melalui dua cara, yaitu:

1. Mafqud dianggap masih hidup, sehingga bagiannya sementara ditunda sampai


ada kejelasan statusnya;

2. Mafqud dianggap sudah wafat, sehingga dengan demikian dia bukan sebagai
ahli waris.

Dalam menentukan seseorang mafqud itu dinyatakan hidup atau mati maka harus
ditempuh dengan du acara, yaitu mencari data otentik dan melihat perkiraan umurnya.
Bukti otentik dapat didapatkan dari orang yang memang adil yang misalnya dia
menyaksikan sendiri bahwa si fulan meninggal dunia atau si fulan masih hidup. Apabila
tidak adanya data otentik maka dengan perkiraan umur dan waktu, dalam hal ini ulama
berbeda pendapat, diantaranya:

1. Menurut Umar bin Khattab, seorang dapat dikatakan meninggal apabila


selama 4 tahun 4 bulan 10 hari tidak terdapat kabarnya.
2. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, seorang dapat dikatakan
meninggal dengan cara melihat keadaan dan keberadaan kawan-kawannya.
Apabila kawannya masih banak yang hidup maka, sifulan bisa dianggap
hidup. Begitu pula apabila kawannya sudah banyak yang meningeal, maka
sifulan dianggap telah meninggal juga.
3. Menurut Abdul Malik Majsyun, seorang dapat dikatakan meninggal apabila
telah diketahui umurnya sudah melebihi 90 tahun.
4. Menurut Ibn Abdil Hakam, seorang dapat dikatakan meninggal apabila telah
diketahui umurnya sudah melebihi 70 tahun.
5. Menurut Imam Ahmad bin Hambal, seorang dapat dikatakan meninggal
dengan cara melihat kemana tujuan perginya, apabila diketahui ia diketahui
pergi berperang maka dapat dikatakan bahwa ia sudah meninggal.
6. Namun, semua putusan tetap bergantung pada putusan hakim yang
berwenang.

5. KEWARISAN KHUNTSA MUSYKIL


Khuntsa musykil adalah seseorang yang memiliki dua alat kelamin atau tidak
memiliki alat kelamin sama sekali (tidak ada tanda-tanda sebagai laki-laki atau
perempuan).

Cara mengetahui seorang khuntsa musykil adalah dengan dua cara, yaitu :

1. Apabila terlahir dengan dua alat kelamin, maka dilihat darimana ia


mengeluarkan air kencingnya. Apabila menggunakan alat kelamin laki-laki,
maka ia seorang laki-laki. Begitupun sebaliknya, apabila menggunakan alat
kelamin perempuan, maka ia seorang perempuan.
2. Apabila terlahir dengan tidak ditemuinya alat kelamin, maka saat beranjak
tumbuh dewasa diihat kepribadian manakah yang lebih mencolok pada
dirinya. Apabila kepribadian laki-laki, maka ia seorang laki-laki. Begitupun
sebaliknya, apabila kepribadian perempuan, maka ia seorang perempuan.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan waris tidak disebutkan bahwa
khuntsa dikecualikan dalam pembagian warisan. Bahkan, kebanyakan ahli fiqih
berpendapat bahwa khuntsa, bayi dalam kandungan, orang hilang, tawanan perang, dan
orang-orang yang mati bersamaan dalam suatu musibah atau kecelakaan, mendapat
tempat khusus dalam pembahasan ilmu faraidh. 8 Berarti bahwa orangorang ini memiliki
hak yang sama dengan ahli waris lain dalam keadaan normal dan tidak dapat diabaikan
begitu saja.

Contoh soal : seorang meninggal dunia, ahli warisnya ibu, ayah, anak perempuan,
anak yang berstatus khuntsa musykil. Harta warisannya Rp720.000.000,- Berapa bagian
masing-masing ahli waris?

Jawab :

*perkiraan perempuan*

1 1
Ibu : x6=1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6

2 2
Anak pr : x6=4 (4 x 720.000.000) : 6 = 480.000.000
3 3

1 1
Ayah : + ‘Abn (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6

Anak K.M : apabila anak khuntsa musykil adalah seorang perempuan maka :

1
x 480.000.000 = 240.000.000 . Anak perempuan = Anak K.M perkiraan perempuan,
2
sama-sama mendapat bagian 240.000.000.

*perkiraan laki-laki*
1 1
Ibu : x6=1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6

1 1
Ayah : x6=1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6

Anak pr : Abg 6 – 2 = 4 (4 x 720.000.000) : 6 = 480.000.000

Maka,

Anak laki2 :1x2 =2 2x1=2 (2 x 480.000.000) : 3 = 320.000.000

Anak pr :1x1=1 1x1=1 (1 x 480.000.000) : 3 = 160.000.000


--+
3

6. KEWARISAN GHARRAWAIN
Gharrawain secara Bahasa berasal dari kata gharra yang memiliki rti menipu
menurut Abd al-Rahim, karena masuk dalam masalah gharrawain tersebut terjadi
‘penipuan’ kepada ahli waris ibu. Ulama lain mengatakan, bahwa gharrawain adalah
bentuk ganda (tasniyah) dari kata ghair yang arinya cemerlang, seperti bintang. Disebut
demikian karena masalah ini cemerlang bagaikan bintang.
Dalam kewarisan kontemporer, gharrawain dapat terjadi apabila dalam
pembagian warisan, ahli warisnya hanya terdiri dari :
1. Suami, ibu, ayah.
2. Isteri, ibu, ayah.
3. Dan tidak terdapat ahli waris yang lain.

apabila terjadi dua kasus pembagian warisan di mana ahli warisnya terdiri dari
suami, ibu dan bapak atau terdiri dari istri, ibu dan bapak, maka sang ibu mendapat
bagian 1/3 sisa dari asal masalah  yang sebelumnya telah diambil lebih dahulu oleh suami
atau istri. Kedua kasus seperti inilah yang disebut dengan masalah gharawain.

Sebagaimana diketahui bahwa seorang ibu apabila tidak bersama dengan anak
atau cucunya si mayit ia bisa mendapatkan bagian 1/3 dari harta warisan yang ada.
Bagian 1/3 ini diambil langsung oleh ibu dari asal masalah yang ada. Namun demikian
bila terjadi dua kasus sebagaimana di atas maka ibu tidak diberi bagian 1/3 langsung dari
asal masalah namun 1/3 dari sisa asal masalah setelah diambil oleh suami atau istri.

Contoh soal : seorang meninggal dunia, ahli warisnya adalah suami, ibu, dan
ayah. Harta warisannya Rp720.000.000,- Berapakah bagian masing-masing ahli waris?

Jawab:

*penyelesaian pada umumnya*

1 1
Suami : x6=3 (3 x 720.000.000) : 6 = 360.000.000
2 2

1 1
Ibu : x6=2 (2 x 720.000.000) : 6 = 240.000.000
3 3

Ayah : ‘Abn 6-5 = 1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000

*penyelesaian seharusnya*

1 1
Suami : x6=3 (3 x 720.000.000) : 6 = 360.000.000
2 2

1 1
Ibu : sisa x 6-3 = 1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
3 3

Ayah : ‘Abn 6-4 = 2 (2 x 720.000.000) : 6 = 240.000.000

7. KEWARISAN MUSYARAKAH
Musyarakah secara Bahasa artinya berserikat, maksudnya adalah serikat antara
dua orang atau lebih dalam suatu hal atau urusan. Dalam konteks ini, yang dimaksud
dengan musyarakah adalah apabila didalam pembagian warisan terdapat suatu kejadian
bahwa saudara sekandung (tunggal atau jamak) sebagai ahli waris ashabah tidak
mndapatkan bagian harta sedikitpun, karena dihabiskan oleh ahli waris ashabul furudh
yang diantaranya adalah saudara seibu (tunggal atau jamak).
Sejarahnya pertama kali persoalan ini muncul pada masa Khalifah Umar Ibn
Khattab ra. Pada awalnya umar memutuskan sesuai apa adanya sebagaimana di dalam
Alqur’an. Yakni saudara laki-laki sekandung tidak mendapat bagian, karena habis tidak
ada sisa harta. Namun, ketika masalah itu diajukan kembali kepadanya, sebagian sahabat
memberikan perumpamaan akan ketidak adilan penyelesaian dengan cara demikian.
Ungkapan tersebut sebagai berikut: 

ْ َ‫ه ُْب اِنْ اَبَانَا َكانَ َح َج ًرا ُم ْل ٰقى فِى ا ْليَ ِّم اَل‬ 
‫سنَا ِمنْ اُ ِّم َوا ِح َد ٍة‬

Artinya : “Taruhlah, andaikan ayah kami adalah sebongkah batu yang


dilemparkan ke laut, bukankah kami ini berasal dari ibu yang satu juga?”

Umar pun memutuskan bahwa mereka sama-sama mendapatkan bagian sepertiga


dari harta waris. Baik laki-laki maupun perempuan. Pendapat ini disepakati oleh Zaid bin
Tsabit dan sebagian besar sahabat. Selain itu Syafi’iyyah dan Malikiyyah juga mengambil
pendapat ini.
Namun, segolongan ulama lain tetap menyelesaikan permasalahan ini sesuai teks
Alqur’an. Yakni saudara laki-laki sekandung tidak mendapat bagian. Ulama ini di
antaranya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, kemudian diikuti juga oleh Abu
Hanifah dan Ahmad bin Hanbal.

Contoh soal : Seorang meninggal dunia, ahli warisnya adalah suami, ibu, 2
saudara seibu, 2 saudara sekandung. Harta warisannya Rp720.000.000,- Berapakah
bagian masong-masing ahli waris?

Jawab:

*penyelesaian pada umumnya*

1 1
Suami : x6=3 (3 x 720.000.000) : 6 = 360.000.000
2 2

1 1
Ibu : x6=1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6
1 1
2sdr seibu : x6=2 (2 x 720.000.000) : 6 = 240.000.000
3 3

2sdr sekdg : ‘Ashbh 6-6 = 0 (0 x 720.000.000) : 6 =0

*penyelesaian seharusnya*

1 1
Suami : x6=3 (3 x 720.000.000) : 6 = 360.000.000
2 2

1 1
Ibu : x6=1 (1 x 720.000.000) : 6 = 120.000.000
6 6

1 1
2sdr seibu : x6=2 (2 x 720.000.000) : 6 = 240.000.000
3 3

2sdr sekdg : masing-masing saudara seibu maupun sekandung dapat bagian yang
sama dari 240.000.000.

1
Jadi, x 240.000.000 = 60.000.000 .
4

Jadi tiap saudara baik seibu maupun sekandung, masing-masing mendapatkan warisan
sebesar 60.000.000.
BAB III

PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai