Anda di halaman 1dari 18

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Dosen Pengampu: Aulia Rachman, M.H

Disusun Oleh:

Santri Ayu : 1721508040

Yohana Mega Nanda : 1721508049

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia Nya sehingga kami diberikan waktu dan kesempatan untuk

menyelesaikan makalah HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA dengan judul

“Kewenangan Peradilan Agama”

Kami menulis makalah ini untuk membantu mahasiswa supaya lebih

memahami mata kuliah khususnya mengenai Kewenangan Peradilan Agama.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak termasuk teman-teman yang

telah berpartisipasi dalam mencari bahan-bahan untuk menyusun tugas ini

sehingga memungkinkan terselesaikan makalah ini, meskipun banyak terdapat

kekurangan.

Kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan sumbangan

pikiran dan bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca. kami

menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan

kemampuan dan pengetahuan kami.Oleh karena itu dengan terbuka dan senang

hati kami menerima kritik dan saran dari semua pihak.

Samarinda, 17 Februari 2020

Penyusun

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................i

Daftar isi....................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................................2

C. Tujuan................................................................................................................2

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Kewenangan Peradilan Agama........................................................3

B. Kewenangan Relatif...........................................................................................4

C. Kewenangan Absolut.........................................................................................8

D. Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang Yang Lain

..........................................................................................................................11

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................................13

B. Daftar Pustaka..................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan Agama adalah peradilan khusus bagi orang-orang yang

beragama Islam dan mengadili perkara-perkara tertentu. Pengertian peradilan

agama ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 tentang Peradilan Agama

pasal 2. Jelas bahwa peradilan agama disini mengurusi perkara-perkara

masyarakat muslim dengan berdasar undang-undang yang berlaku dan

syariah Islam.

Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh

Pengadilan Agama yang berkedudukan di Kotamadya atau di Ibukota

kabupaten dan daerah hukumnya dan merupakan pengadilan tingkat pertama

dalam kekuasaan kehakimannya. Serta Pengadilan Tinggi Agama yang

berkedudukan di Ibukota povinsi dan daerah hukumnya, dan merupakan

Pengadilan Tingkat Banding.

Dalam setiap peradilan memiliki kekuasaan dan kewenangannya sendiri,

termasuk pula peradilan agama yang pada hakikatnya peradilan khusus bagi

orang-orang Islam dan mengadili perkara-perkara tertentu. Di mana perkara-

perkara tertentu tersebut masuk ke dalam kewenangan pada peradilan agama.

Yang dimaksud dengan kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama di

sini adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perrkara di tingkat

1
pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang perkawinan ,

kewarisan, wasia, hibah, wakaf, dan sadaqah berdasarkan hukum Islam.1

Kewenangan tersebut adalah kewenangan relatif dan kewenangan absolut

yang merupakan kewenangan wilayah hukum antar pengadilan agama serta

kewenangan jenis perkara. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih dalam

mengenai kewenangan peradilan agama, penulis menyusun makalah dengan

judul “KEWENANGAN PERADILAN AGAMA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalahnya adalah:

1. Apa pengertian dari kewenangan Peradilan Agama?

2. Bagaimana ruang lingkup kewenangan relatif dalam Peradilan Agama?

3. Bagaimana ruang lingkup kewenangan absolut dalam Peradilan Agama?

4. Bagaimana penerapan kewenangan Peradilan Agama dalam hal para pihak

yang memiliki perbedaan hukum?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuannya adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian kewenangan Peradilan Agama.

2. Untuk mengetahui kewenangan relatif di Peradilan Agama.

3. Untuk mengetahui kewenangan absolut di Peradilan Agama.

4. Untuk mengetahui penerapan kewenangan Peradilan Agama dalam hal

para pihak yang memiliki perbedaan hukum.

1
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia,( Yogjakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h.55.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kewenangan Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” yang sering disebut juga dengan “kompetensi” yang

berasal dari bahasa Belanda, yaitu ”competentie”, yang kadang kala juga

diterjemahkan sebagai “kewenangan” dan kadang pula sebagai “kekuasaan”

untuk memutuskan atau melegalkan sesuatu.2 Kekuasaan atau kewenangan

peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara yang merupakan ruang

lingkup dari kekuasaan kehakiman yang diberikan oleh undangundang

terhadap lingkungan peradilan agama yang tercantum dalam Bab III Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi Pasal 49 sampai dengan Pasal

53.

Maka dalam hal kewenangan (kompetensi) Peradilan Agama ini telah

termaktub dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UndangUndang Nomor 7

tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Yang kemudian wewenang tersebut

terdiri atas wewenang relatif (relative competentie) dan wewenang absolut

(absolute competentie). Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada

Pasal 118 HIR atau Pasal 142 R.Bg. jo. Pasal 66 dan Pasal 73 UndangUndang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, sedangkan wewenang

absolut Peradilan Agama ini berdasarkan Pasal 49 Ayat (1) UndangUndang

Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7

Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.


2
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka.
1996), h.516.

3
Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang

terdapat dalam lingkungan Peradilan Agama, yaitu:3

1. Fungsi kewenangan dalam mengadili,

2. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam

kepada instansi pemerintahan,

3. Kewenangan lain yang diatur atau berdasarkan undangundang,

4. Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat

banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif,

5. Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.

B. Kewenangan Relatif

Yang dimaksud dengan kewenangan relatif (relative competentie) adalah

kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam

lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan

wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama.

Oleh sebab itu maka, landasan hukum untuk menentukan kewenangan

relatif pengadilan agama ini merujuk pada ketentuan Pasal 118 HIR atau

Pasal 142 R.Bg. jo. Pasal 66 dan Pasal 73 UndangUndang Nomor 7 Tahun

1989.28 Dan dalam Pasal 118 Ayat (1) HIR/Pasal 142 Ayat (5) R.Bg.

menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan ditempat kediaman

tergugat, dan asas ini dalam bahasa latin disebut “actor sequitor forum rei”.29

Namun ada beberapa pengecualian yaitu yang tercantum dalam Pasal 118

Ayat (2) dan Ayat (4), diantaranya:

3
M. Yahya Harahap. (I). Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang
No.7 Tahun 1989). (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h.133.

4
a. Kewenangan relatif perkara gugatan

Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah

hukumnya meliputi:4

1) Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan

kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah

satu kediaman tergugat.

2) Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat

tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak

diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah

hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.

3) Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat

diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak

benda tidak bergerak.

4) Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan,

gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.

b. Kewenangan relatif perkara permohonan

Dalam pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan

relatif dalam perkara-perkara tertentu dalam UU No. 7 Tahun 1989,

sebagai berikut:5

1) Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang

wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. (Pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)


4
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat dalam
Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, (Bandung :Mandar Maju, 2018), h.33.
5
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia. . . .h.88.

5
2) Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang

belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16

tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang

bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya

meliputi kediaman pemohon. (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974).

3) Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama

yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan

(Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)

4) Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan

Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya

pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri. (Pasal 28 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974).

c. Pengecualian kewenangan relatif terhadap perkara gugatan

Kewenangan relatif perkara gugatan pada Pengadilan Agama

terdapat beberapa pengecualian, sebagai berikut:6

6
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-Surat dalam
Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. . . ., h.34.

6
1) Permohonan cerai talak

Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan

memutuskan perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66

ayat (22) UU No. 7 Tahun 1989, sebagai berikut:

a) Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai

talak maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan

Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman

istri/termohon;

b) Suami/pemohon dapat mengajukan permohonancerai talak ke

Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman

suami/pemohon apabila istri/termohon secara sengaja

meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.

c) Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka

yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi

kediaman suami/pemohon.

d) Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar

negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah

hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau

Pengadilan Agama Jakarta Pusat

2) Perkara cerai gugat

Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili dan

memutuskan perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 UU No. 7

Tahun 1989, sebagai berikut:

7
a) Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai

gugat adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya

meliputi kediaman istri/penggugat.

b) Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat

kediaman tanpa izin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke

Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman

suami/tergugat.

c) Apabila istri/penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka

yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi

kediaman suami/tergugat.

d) Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar

negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah

hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau

Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

C. Kewenangan Absolut

Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari

keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang

beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk

melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.7

Perkara-perkara tertentu yang diselesaikan oleh Peradilan Agama itulah

yang disebut dengan kometensi absolut atau kewenangan absolut atau

7
Abdullah Tri Wahyudi, , “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa
Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2016, h.286.

8
kekuasaan absolut.8 Kewenangan absolut (absolute cometentie) adalah

kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan

pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan

golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan

absolut Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989.9

Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang beragama Islam di bidang:

a. Perkawinan 17) Pernyataan tentang sahnya

1) Izin beristri lebih dari seorang Perkawinan yang terjadi

2) Izin melangsungkan sebelum UU No. 1 Tahun

perkawinan bagi yang belum 1974 tentang Perkawinan

berusia 21 (dua uluh satu) dan dijalankan menurut

tahun dalam hal orang tua atau peraturan lain.

wali atau keluarga dalam garis 18) Penetapan wali hakim dalam

lurus ada perbedaan pendapat. hal terjadi Wali Adlal

3) Dispensasi kawin 19) Penggantian mahar yang

4) Pencegahan perkawinan hilang sebelum diserahkan

5) Penolakan perkawinan oleh b. Warisan

Pegawai Pencatat Nikah c. Wasiat

8
Abdullah Tri Wahyudi, , “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa
Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia,. . . h. 287.
9
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia . . ., h.91.

9
6) Pembatalan perkawinan d. Hibah

7) Gugatan kelalaian atas e. Wakaf

kewajiban suami atau istri f. Zakat

8) Perceraian karena talak dan g. Infaq

gugatan perceraian h. Shodaqoh

9) Penyelesaian harta bersama i. Ekonomi syariah, meliputi:

10) Penguasaan anak/hadlanah 1) Bank syariah

11) Ibu dapat memikul biaya 2) Lembaga keuangan syariah

pemeliharaan dan pendidikan 3) Asuransi syariah

bila mana bapak yang 4) Reasuransi syariah

seharusnya bertanggung jawab 5) Reksa dana syariah

tidak dapat memenuhi 6) Obligasi syariah dan surat

12) Putusan tentang sah tidaknya berharga jangka menengah

seorang anak syariah

13) Putusan tentang pencabutan 7) Sekuritas syariah

kekuasaan orang tua 8) Pembiayaan syariah

14) Perwalian 9) Pegadaian syariah

15) Penetapan asal-usul anak 10) Dana pensiun lembaga

16) Putusan tentang hal penolakan keuangan syariah

pemberian keterangan untuk 11) Bisnis syariah

melakukan perkawinan

campuran
Mengenai perkara Ekonomi Syariah ini merupakan Revisi Undang-

Undang Peradilan Agama. Pasal 49 huruf (i) Revisi UUPA menyatakan

10
bahwa PA bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syariah.10

D. Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang Yang

Lain

Dalam Pasal 52 Ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989

disebutkan bahwa peradilan agama juga diberikan tugas dan kewenangan

lain, yaitu dalam hal memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat

tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya,

apabila diminta. Akan tetapi, pemberian keterangan, pertimbangan, dan

nasihat tentang hukum Islam tersebut tidak dibenarkan dalam hal-hal yang

berhubungan dengan perkara yang sedang atau akan diperiksa di pengadilan.11

Dalam ketentuan yang baru, yaitu UndangUndang Nomor 3 tahun 2006,

pengadilan agama juga berwenang memberikan itsbat kesaksian rukyatul hilal

dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah, yang regulasinya terdapat

dalam Pasal 52 A. Dalam penjelasannya, Pasal 52 A menyatakan bahwa

pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan

(itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal.

Setiap menyaksikan bulan Ramadhan dan bulan Syawal tahun Hijriah,

Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara rasional untuk penetapan 1

Ramadhan dan 1 Syawal. Selain itu, pengadilan agama dapat memberikan

10
Rifyal Ka’bah, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru
Peradilan Agama”, Al-Mawarid, Edisi XVII Tahun 2007, h. 37.
11
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih. “Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia”, Cet. I.
(Bandung: Pustaka Setia, 2017)h. 141-143.

11
keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan

penentuan waktu shalat.

Selanjutnya, dalam Pasal 56 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989

ditegaskan sebagai berikut:

1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara

yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan

wajib memeriksa dan memutusnya;

2. Ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1) tidak menutup

kemungkinan untuk menyelesaikan perkara secara damai, yang dapat

dimungkinkan secara luas mengenai persoalan perkara (sengketa) di

bidang kesusilaan Islam dan kemasyarakatan lainnya.

Di Indonesia sejak tahun 1993 telah dibentuk suatu badan yang disebut

dengan Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang namanya

diganti menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS).

Lembaga ini bertugas menyelesaikan sengketa ataupun perselisihan yang

bekerja layaknya sebagai wasit (arbitrase) yaitu melalui mediasi

(musyawarah), dan putusannya bersifat final dan mengikat/binding.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kata “kekuasaan” yang sering disebut juga dengan “kompetensi” yang

berasal dari bahasa Belanda, yaitu ”competentie”, yang kadang kala juga

diterjemahkan sebagai “kewenangan” dan kadang pula sebagai

“kekuasaan” untuk memutuskan atau melegalkan sesuatu.

2. Kewenangan relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan

antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang

yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam

lingkungan Peradilan Agama. Di mana pada dasarnya dalam perkara

gugatan yang memiliki wewenang adalah Pengadilan Agama yang wilayah

hukumnya meliputi kediaman tergugat dan dalam perkara permohonan

meliputi kediaman pemohon, kecuali ada peraturan lain yang

mengaturnya.

3. Kewenangan absolut adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis

perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Dalam hal ini kewenangan

yang dimaksud diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

4. Dalam ketentuan yang baru, yaitu UndangUndang Nomor 3 tahun 2006,

pengadilan agama juga berwenang yang regulasinya terdapat dalam Pasal

52 A. Dalam penjelasannya, Pasal 52 A menyatakan bahwa pengadilan

agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat)

13
terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal.

Setiap menyaksikan bulan Ramadhan dan bulan Syawal tahun Hijriah,

Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara rasional untuk penetapan

1 Ramadhan dan 1 Syawal. Selain itu, pengadilan agama dapat

memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah

kiblat dan penentuan waktu shalat.

14
DAFTAR PUSTAKA

Wahyudi Abdullah Tri, Peradilan Agama di Indonesia, Yogjakarta: Pustaka


Pelajar, 2004.
Harahap M. Yahya . (I). Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
(Undang-Undang No.7 Tahun 1989) ,Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.
Wahyudi Abdullah Tri , Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh
Surat-Surat dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung
:Mandar Maju, 2018.
Wahyudi Abdullah Tri, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia
Pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia,
Vol. 7, No. 2, Desember 2016.
Ka’bah Rifyal, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah
Kewenangan Baru Peradilan Agama”, Al-Mawarid, Edisi XVII Tahun
2007.
Zulkarnaen dan Mayaningsih Dewi, “Hukum Acara Peradilan Agama Di
Indonesia”, Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 2017.

15

Anda mungkin juga menyukai