Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ferina

NIM : 03031381722092

DENATURASI PROTEIN PADA YOGHURT AKIBAT PEMANASAN

Yogurt merupakan minuman hasil fermentasi susu segar dengan mikroba


tertentu yaitu bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus.
Bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus akan melakukan
proses hidrolisa gula susu, laktosa, menjadi asam laktat sehingga keasaman susu
naik disertai dengan penurunan pH yang mengakibatkan terkoagulasinya protein
Proses ini akan membentuk curd yang kompak. Prosesnya selain membentuk asam
laktat, terjadinya hidrolisis laktosa oleh kedua spesies bakteri tersebut dapat juga
metabolisme nitrogen dari hidrolisis protein terutama oleh Lactobacillus bulgaricus
menghasilkan senyawa acetaldehyde yang memberikan aroma khas pada yogurt
(Tamine dan Marshall, 1997). Terbentuknya asam laktat dapat menyebabkan yogurt
memiliki rasa asam dan pH antara 3,8-4,6, berbentuk semi solid.
Denaturasi protein dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi yang
terjadi terhadap struktur sekunder, tersier dan juga kuartener molekul protein tanpa
terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Denaturasi protein ini dapat diartikan
suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan
terbukanya lipatan atau wiru molekul protein (Sumardjo, 2008). Denaturasi Protein
adalah proses perubahan struktur lengkap dan karakteristik bentuk protein akibat
dari gangguan interaksi sekunder, tersier, dan kuaterner struktural. Fungsi biokimia
protein tergantung pada tiga dimensi dari sruktur bentuknya atau susunan senyawa
yang terdapat pada asam amino yang tergabung di dalam unsur pembentuknya.
Hasil denaturasi adalah hilangnya aktivitas biokimia yang terjadi didalam
senyawa pada protein itu sendiri. Denaturasi protein juga tidak akan mempengaruhi
kandungan struktur utama bagian protein yaitu C, H, O, dan N. Prosesnya meskipun
beberapa protein mengalami kemungkinan untuk kehilangan kandungan senyawa
mereka karakteristik struktural saat denaturasi. Kebanyakan pada protein tidak akan
mengalami hal tersebut, hanya saja tidak menutup kemungkinan juga protein akan
berubah struktur kecil didalamnya saat proses denaturasi terjadi. Proses perubahan
denaturasi secara umum, prosesnya sama dan tidak dapat diubah. Proses ini dapat
dihindari dengan mengatur suhu sesuai dengan rentang pemanasan (Stoker, 2010).
Susu biasanya dipasteurisasi pada suhu 120oC selama 15 detik. Prosesnya
dengan adanya sedikit perubahan pada kandungan protein susu seperti denaturasi
dan pengendapan jarang terjadi, ketika susu dipasteurisasi pada kondisi tersebut,
tidak diperlukan perlakuan khusus. Protein susu ini terdiri dari dua protein utama
casein 80% dan juga protein whey. Kasein sangat stabil pada pemanasan, sementara
protein whey tidak stabil dengan adanya panas. Protein whey akan dapat mengalami
denaturasi ketika susu dipanaskan selama pasteurisasi. Protein whey terkoagulasi
oleh panas dan membentuk partikel-partikel kecil. Peristiwa karena jumlah partikel-
partikel kecil ini sangat sedikit, pengendapan jarang terjadi. Peristiwa denaturasi
protein whey dapat juga mempengaruhi warna putih susu. Susu menjadi lebih putih
setelah dipasteurisasi. Peningkatan warna putih pada susu ini disebabkan adanya
perubahan indeks bias yang disebabkan oleh denaturasi protein (Buckle dkk, 1987).
Panas dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi
hidrofobik non polar. Proses ini terjadi karena suhu tinggi yang dapat meningkatkan
energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar
sangat cepat sehingga dapat mengacaukan ikatan molekul tersebut. Terdapat juga
beberapa makanan dimasak untuk mendenaturasi protein yang dikandung supaya
memudahkan enzim pencernaan dalam mencerna protein tersebut. Pemanasan akan
membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan dalam mengikat airnya
menurun. Proses ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya
interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan
ikatan kovalennya yang berupa ikatan-ikatan peptida. Proses ini terjadi biasanya
berlangsung pada kisaran rentang suhu yang sempit (Ophart, C.E., 2003).
Kestabilan emulsi dapat dipengaruhi suhu pemanasan. Suhu pemanasan
dapat mempengaruhi tingkat denaturasi proteinnya. Denaturasi protein dibutuhkan
untuk mengeluarkan residu kandungan pada asam amino hidrofobik yang tertimbun
menuju permukaan. Protein kemudian membentuk posisi dengan sendirinya, asam
amino hidrofobik berada di dalam fase minyak dan asam amino hidrofilik berada di
dalam fase air. Asam amino hidrofobik yang terdapat di dalam inti protein harusnya
keluar dan teradsorpsi pada permukaan doplet minyak. Sementara kandungan asam
amino hidrofilik yang berada di dalam fase air berperan sebagai penghalang sterik
untuk melawan coalescence dan flokulasi yang terjadi Proses pemanasan terdapat
dua tipe berdasarkan banyaknya tahapan yaitu pemanasan satu tahap dan dua tahap.
Pemanasan satu tahap dilakukan dalam satu tahap pemanasan hingga mencapai
suhu denaturasi semua jenis protein dalam suatu emulsi, sehingga semua protein
terdenaturasi sekaligus dan juga prosesnya terjadi bersamaan (Winarno, 2008).
Proses pada kasus ini dapat terjadi interaksi antara protein terdenaturasi
yang tidak teradsorpsi pada droplet minyaknya, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan ukuran partikel karena terbentuknya agregat kedua protein
tersebut. Prosesnya selain itu pada agregasi droplet disebabkan interaksi antara
protein yang terdenaturasi dan tidak teradsorpsi. Prosesnya pada fase kontinyu
dengan adanya protein yang teradsorpsi di permukaan droplet minyak. Protein yang
tak teradsorpsi ini berperan sebagai perekat yang mengaitkan droplet emulsi
menjadi agregat besar yang lebih besar pada kandungan susu (Muchtadi, 1989).
Proses pada pemanasan dua tahap, yaitu terjadi pemanasan tahap pertama
dilakukan di dalam suhu denaturasi suatu jenis protein dalam emulsi yang lebih
rendah. Proses selanjutnya pemanasan dilanjutkan dengan suhu yang lebih tinggi
hingga suatu jenis protein satunya terdenaturasi. Proses ini memungkinkan protein
terdenaturasi tidak sekaligus dan waktunya tidak bersamaan. Jenis protein pertama
yang terdenaturasi pertama dapat teradsorpsi pada droplet minyak terlebih dahulu,
sehingga banyaknya protein yang terdenaturasi pada fase kontinyu dapat berkurang.
Proses pemanasan dua tahap dilakukan dengan pemanasan pertama pada
suhu 70, 80, 90, 100ºC dan kemudian dipanaskan pada suhu 115ºC, menghasilkan
presipitat yang lebih sedikit dibandingkan pemanasan dua tahap (3,1-3,3%). Proses
ini menunjukkan bahwa, pemanasan dua tahap memiliki efek yang lebih baik pada
kestabilan emulsi dibandingkan pemanasan satu tahap. Proses pemanasannya pada
suhu yang lebih rendah dibandingkan suhu denaturasi protein dapat mempercepat
pembentukan presipitasi yang menyebabkan adanya endapan (Malaka dkk, 2015).
Proses ketika terjadi unfolding protein, kandunan protein akan membuka
residu asam amino yang menyebabkan peningkatan interaksi antar protein melalui
interaksi hidrofobik. Proses Interaksi tersebut dapat terjadi di antara molekul yang
teradsorpsi pada droplet yang sama proses intradroplet atau di antara protein yang
teradsorpsi di antara droplet yang berbeda atau interdroplet. Interaksi intradroplet
menyebabkan peningkatan viskoelastis lapisan permukaan, sedangkan interaksi
interdroplet menyebabkan peningkatan kecenderungan droplet untuk flokulasi
(McClements dkk, 2007). Pemanasan di sekitar suhu 65-80°C akan terjadi interaksi
interdroplet, namun pada temperatur di atas 80°C terjadi interaksi intradroplet.
Pemanasan satu tahap dapat juga ditingkatkan kestabilan emulsinya dengan
menggunakan kombinasi pengemulsi protein dengan fosfolipid.
Pemanasan satu tahap pada emulsi yang distabilisasi dengan protein whey
saja memiliki ukuran diameter droplet minyak 0,3-0,6 μm yang ukurannya lebih
besar dibandingkan pemanasan satu tahap yang distabilisasi dengan kombinasi
protein whey dengan fosfolipid 0,2-0,3 μm (Malaka dkk, 2015). Proses ini dapat
berhubungan dengan pembentukan kompleks protein dan fosfolipid pada droplet
minyak. Pembentukan kompleks tersebut dapat meningkatkan densitas lapisan
pelindung droplet minyak. Peningkatan pada densitas lapisan droplet minyak dapat
menurunkan resiko agregasi, sehingga kestabilan emulsi dapat ditingkatkan.
Pemanasan dilakukan pada suhu 80-90ᵒC selama 15-30 menit. Pemanasan
pada susu dilakukan untuk mengeliminasi patogen spesifik atau patogen yang
berhubungan dengan produk selain itu juga mengeliminasi mikroorganisme yang
dapat menyebabkan kerusakan atau pembusukan. Proses selagi susu masih panas,
dapat ditambahkan larutan gelatin panas (0,1-0,3%) atau alginat dan agar berfungsi
sebagai stabilizer pada produknya. Menurut Buckle dkk, (1987) yang menyatakan
bahwa menambahkan bahwa pemanasan dapat menyebabkan denaturasi protein
sehingga memberikan konsistensi yang lebih baik dan lebih seragam pada produk
akhir. Proses pemanasan juga bertujuan untuk menguapkan sebagian kadar air susu.
Produk yoghurt yang baik, harus mengandung lebih dari 10% bahan tanpa lemak.
Protein yang berasal dari susu harus didekomposisi terlebih dahulu oleh
bakteri yoghurt agar dapat dimanfaatkan sebagai nutrisi. Dekomposisi protein pada
proses fermentasi yoghurt terjadi melalui dua tahap yaitu hidrolisis protein menjadi
polipeptida dengan menggunakan enzim proteinase dan hidrolisis 18 polipeptida.
Proses ini dilakukan untuk terbentuk menjadi asam amino dengan menggunakan
enzim peptidase yang akan memecah struktur kompleks pada susu (Surono, 2004)
Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) dilakukan dengan cara
menyimpan produk pangan pada lingkungan ekstrim. Proses ini juga menyebabkan
produk pangan yang disimpan cepat rusak, baik pada suhu atau kelembaban ruang
penyimpanan yang lebih tinggi. Keuntungan metode Accelerated Storage Studies
(ASS) atau metode akselerasi ini adalah waktu yang relatif singkat (3-4 bulan),
namun memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Pendekatan metode ASLT ini
dapat dilakukan dengan model kadar air kritis. Model kadar air kritis ini biasanya
digunakan untuk produk yang mudah rusak karena penyerapan air dari lingkungan
selama penyimpanan. Metode lain selain model kadar air kritis, metode ASLT juga
dapat dilakukan dengan model Arrhenius. Model Arrhenius juga banyak digunakan
untuk pendugaan umur simpan bahan pangan yang mudah rusak oleh reaksi kimia,
seperti oksidasi, denaturasi protein, dan sensitif terhadap suhu (Asiah dkk, 2018).
Model Arrhenius banyak digunakan oleh industri pangan karena dapat
memberikan kerusakan produk pangan secara tepat dengan waktu yang relatif
singkat. Model Arrhenius menggunakan teori kinetika yang pada umumnya
menggunakan ordo nol atau satu untuk produk pangan. Model persamaan
matematika pada pendekatan kadar air diturunkan dari hukum difusi Fick
unidireksional. Terdapat empat model matematika yang sering digunakan, yaitu
model Heiss dan Eichner (1971), model Rudolf (1986), model Labuza (1982), dan
model juga menggunakan model metode paruh waktu (Syarief dan Halid, 1993).
Model Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan
kemasan pada suhu penyimpanan ekstrim. Percobaan dengan metode Arrhenius ini
bertujuan untuk menentukan konstanta laju reaksi (k) pada beberapa suhu pada
penyimpanan ekstrim, yang selanjutnya dilakukan ekstrapolasi untuk menghitung
konstanta laju reaksi (k). Perhitungan pada suhu penyimpanan yang diinginkan
melalui persamaan Arrhenius. Persamaan tersebut dapat ditentukan nilai dari k yang
menggambarkan konstanta penurunan mutu pada suhu penyimpanan umur simpan,
kemudian dihitung umur simpan sesuai dengan ordo dari reaksi (Palupi dkk, 2010).
Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu pada
makanan, semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa
kimia di dalam bahan pangan akan dengan waktu yang semakin cepat.
DAFTAR PUSTAKA

Asiah, N., dkk. 2018. Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan. Jakarta: UB.
Press.
Buckle, A. K., dkk. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Malaka, R., dkk. 2015. Karakteristik Dan Mekanisme Gelatinasi Curd Dangke
Melalui Analisis Fisiko Kimia Dan Mikrostruktur. Jurnal Teknik Ilmu
Peternakan. 4(2): 56-62.
McClements, D.J., dkk. 2007. Emulsion Based Delivery Systems for Lipophilic
Bioactive Components. Journal of food science. 72(8) 109-124.
Muchtadi, 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi,
Ophart, C.E., 2003. Virtual Chembook. Illinois: Elmhurst College.
Palupi, N. S., dkk. 2010. Penentuan Umur Simpan dan Pengembangan Model
Diseminasi Dalam Rangka Percepatan Adopsi Teknologi Mi Jagung bagi
UKM. Jurnal Ilmu Teknologi Pangan. 5(1): 42-52.
Sumardjo, D. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran. Jakarta: EGC Emergency Arcan.
Surono. 2004. Yoghurt Untuk Kesehatan. Yogyakarta: Penebar Swadaya.
Stoker, H. 2010. General, Organic, And Biological Chemistry Fifth Edition
Belmont, CA USA: Cengage Learning.
Syarief, R., dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan, Jakarta: Arcan.
Tamine, A.Y., dan Marshall, V.M.E. 1997. Microbiology and technology of
fermented milks. In Microbiology and Biochemistry of Cheese and
Fermented Milk. London: Eds. B. A. Law. Blackie.
Winarno, F. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: MBrio Press

Anda mungkin juga menyukai