Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

PATOLOGI / PTOFISIOLOGI

SINDROME NEFROTIK DAN NEFRITIS

OLEH :

NAMA ` : SARINI

NIM : 15.01.333

KELAS : TRANSFER B 2015

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI

MAKASSAR

2015
SINDROME NEFROTIK DAN NEFRITIS

SINDROME NEFRITIK

DEFINIS / KLASIFIKASI

Sindrome Nefrotik merupakan keadaan klinis dengan adanya


proteinurea massif (3,5 g/ hari) Hipoalbuminemia, edema, dan
hiperlipedemia. Kadar BUN biasanya normal. Sindrome nefrotik di sertai
beberapa penyakit glomerulus (iodopatik) primer, atau mungkin berkaitan
dengan berbagai gangguan sistemik dengan ginjal yang terserang secara
sekunder. Contoh peyakit ginjal primer yang di sebabkan oleh sidrome
nefrotik adalah GN perubahan minimal, GN membranosa,
glomerosklerosis fokal, GN proliferatif mesangial, dan GN
membranoproliferatif. (Price S. A dan Wilson L. M, 2006)

Contoh penyakit sistemik dan zat-zat yang berhubungan dengan


sindrom nefrotik adalah diabetes glomerulo-sklerosis; SLE; amiloidosis;
purpura Henoch-Schonlein; obat-obatan (missal, Au, captopril, heroin
jalanan); penyakit kompleks-imun lain yang disebabkan oleh infeksi kronis
(misalnya Hepatitis B, endokarditis, infeksi pirau); dan sindrom
imunodefisiensi di dapat (AIDS) anak-anak dan dewasa berbeda dalam
prevalensi etiologi sindrom nefrotik. Syndrome nefrotik pada anak-anak
lebih sering di sebabkan oleh penyakit glomerolus primer, sedangkan
pada orang dewasa paling sering di sebabkan oleh gangguan sistemik.
(Price S. A dan Wilson L. M 006)

ETIOLOGI

Penyebab sindroma nefrotik ini belum diketahui, namun akhir-akhir


ini dianggap sebagai penyakit autoimun, yaitu reaksi antigen-antibodi.
Dimana 80% anak dengan sindroma nefrotik yang dilakukan biopsi ginjal
menunjukkan hanya sedikit keabnormalannya, sementara sisanya 20 %
biopsi ginjal menunjukkan keabnormalan seperti glomerulonefritis (Novak
& Broom, 1999). Patogenesis mungkin karena gangguan metabolisme,
biokimia dan fisiokimia yang menyebabkan permeabilitas membran
glomerulus meningkat terhadap protein (Whalley and Wong, 1998).
Sedangkan menurut Behrman (2001), kebanyakan (90%) anak yang
menderita nefrosis mempunyai beberapa bentuk sindroma nefrotik
idiopatik, penyakit lesi minimal ditemukan pada sekitar 85%. Sindroma
nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk
glomerulonefritis (infeksi pada glomerulus). . (siburian A, 2013)

MANIFESTASI KLINIS DAN KOMPLIKASI SINDROME


NEFROTIK
Adapun manifestasi klinis menurut Betz & Sowden (2002) adalah
proteinuria, retensi cairan dan edema yang menambah berat badan,
edema periorbital, edema dependen, pembengkakan genitelia eksterna,
edema fasial, asites dan distensi abdomen, penurunan jumlah urine,
hematuria, anorexia, diare, pucat dan gagal tumbuh dan pelisutan (jangka
panjang). Sedangkan menurut Dona L. Wong (2004) adalah penambahan
berat badan, edema, wajah sembab, Pembengkakan abdomen (asites),
kesulitan pernafasan (efusi pleura), pembengkakan labial atau scrota.
Menurut Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol. 2 (2002), manifestasi klinis dari
sindrom nefrotik adalah edema, malese, sakit kepala, iritabilitas dan
keletihan. Komplikasi sindrom nefrotik mencakup infeksi akibat defisiensi
respon imun, tromboembolisme (terutama vena renal), embnoli pulmoner,
dan peningkatan terjadinya aterosklerosis.(Smeltzer, SC, Bare BG, 2002:
1442).
Adapun komplikasi secara umum dari sindrom nefrotik adalah :
 Penurunan volume intravaskuler (syok hipovolemik)
 Kemampuan koagulasi yang berlebihan (trombosit vena)
 Perburukan nafas (berhubungan dengan retensi cairan).
 Kerusakan kulit.
 Infeksi
 Efek samping steroid yang tidak diinginkan.
(siburian A, 2013)

PATOFISIOLOGIS
Kelainan yang terjadi pada sindroma nefrotik yang paling utama
adalah proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi
sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait
dengan hilangnya muatan negatif gliko protein dalam dinding kapiler.
Pada sindroma nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin
dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein di dalam tubulus terlalu
banyak akibat dari kebocoran glomerulus dan akhirnya dieskresikan
dalam urin.
Pada sindroma nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram per-hari
yang terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia,
pada umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun di bawah
2,5 gram/dl. Hipoalbumin menyebabkan penurunan tekanan osmotik
plasma yang memungkinkan transudasi cairan dari ekstravaskuler ke
ruang interstisial. Penurunan volume ekstravaskuler menurunkan tekanan
perfusi ginjal, mengaktifkan system renin angiotensin aldosteron yang
merangsang reabsorbsi atrium di tubulus distal. Penurunan volume
intravaskuler juga merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang
mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan
osmotic plasma berkurang, natrium dan air yang telah diabsorbsi masuk
ke ruang interstisial, memperberat edema. Adanya faktor-faktor lain yang
juga memainkan peran pada pembentukan edema dapat ditunjukkan
melalui observasi bahwa beberapa penderita sindroma nefrotik
mempunyai volume intravaskuler yang normal/meningkat dan kadar renin
serta aldosteron plasma normal/ meningkat dan kadar renin serta
aldosteron plasma normal atau menurun Penjelasan secara hipotesis
meliputi defek intrarenal dalam ekskresi natrium dan air atau adanya agen
dalam sirkulasi yang menaikkan permeabilitas dinding kapiler di seluruh
tubuh serta dalam ginjal.
Pada status nefrosis hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserida) dan lipoprotein serum meningkat. Hipoproteinemia
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein
dan katabolisme lemak menurun,karena penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma. Sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
Apakah lipoprotein plasma keluar melalui urin belum jelas (Behrman,
2000). Sindrom nefrotik dapat terjadi disetiap penyakit renal intrinsic atau
sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum
penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga
terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Penyebab mencakup
glomerulonefrotis kronik, diabetes mellitus disertai glomerulosklerosis
intrakapiler, amilodosis ginjal, penyakit lupus eritematosus sistemik dan
trombosis vena renal. . (siburian A, 2013)

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medis
Adapun penatalaksanaan medis untuk sindroma nefrotik mencakup
komponen berikut ini :
 Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan
darah sistemik dan glomerular serta proteinuria. Obat ini mungkin
memicu hiperkalemia pada pasien dengan insufisiensi ginjal
moderat sampai berat. Restriksi protein tidak lagi
direkomendasikan karena tidak memberikan progres yang baik.
 Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak
dapat diberikan pada Sindrom Nefrotik yang disertai dengan diare,
muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat
memperburuk gejala tersebut. Pada edema sedang atau edema
persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per
hari. Pemberian spironolakton dapat ditambahkan bila pemberian
furosemid telah lebih dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1-2
mg/kg per hari. Bila edema menetap dengan pemberian diuretik,
dapat diberikan kombinasi diuretik dengan infus albumin.
Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian furosemid 1-2
mg/kg intravena. Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk
menjamin pergeseran cairan ke dalam vaskuler dan untuk
mencegah kelebihan cairan (overload). Penderita yang mendapat
infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal
jantung.
 Dietetik
Jenis diet yang direkomendasikan adalah diet seimbang
dengan protein dan kalori yang adekuat. Kebutuhan protein anak
ialah 1,5 – 2 g/kg, namun anak-anak dengan proteinuria persisten
yang seringkali mudah mengalami malnutrisi diberikan protein 2 –
2,25 g/kg per hari. Maksimum 30% kalori berasal dari lemak.
Karbohidrat diberikan dalam bentuk kompleks seperti zat tepung
dan maltodekstrin.
 Infeksi
Penderita Sindrom Nefrotik sangat rentan terhadap infeksi,
yang paling sering adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini
disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B
dan D di urin, disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu
sendiri. Pemakaian imunosupresif menambah risiko terjadinya
infeksi. Pemeriksaan fisik untuk mendeteksi adanya infeksi perlu
dilakukan. Selulitis umumnya disebabkan oleh kuman stafilokokus,
sedang sepsis pada SN sering disebabkan oleh kuman Gram
negatif. Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh kuman Gram-
negatif dan Streptococcus pneumoniae sehingga perlu diterapi
dengan penisilin parenteral dikombinasikan dengan sefalosporin
generasi ke-tiga, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 10-14
hari.
 Hipertensi
Hipertensi pada Sindrom Nefrotik dapat ditemukan sejak
awal pada 10-15% kasus, atau terjadi sebagai akibat efek samping
steroid. Pengobatan hipertensi pada Sindrom Nefrotik dengan
golongan inhibitor enzim angiotensin konvertase, calcium channel
blockers, atau beta adrenergic lockers.
 Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat
pemakaian diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang
disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda
hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi
buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada
beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen. Hipovalemia
diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak
15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan.
 Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh
karena keadaan hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh
penurunan volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini
dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara
lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh
penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin.
Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar
albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar
antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan
komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian
asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila
telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan
dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena.
 Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada Sindrom Nefrotik meliputi peningkatan
kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir
selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid
tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding
terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria.
Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan
tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang
hepar untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu
katabolisme lipid pada Sindrom Nefrotik juga menurun. Pengaruh
hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat kelainan
kardiovaskuler pada anak penderita Sindrom Nefrotik masih belum
jelas. Sedangkan manfaat pemberian obat-obat penurun lipid
seperti kolesteramin, derivate asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA
reduktase (statin) masih diperdebatkan. (siburian A, 2013)

SINDROME NEFRITIS

DEFINISI / KLASIFIKASI
Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi
dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis. Istilah
glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk grup yang besar dari dari
glomerulonefritis akut sebagai akibat dari bermacam-macam agen infeksi.
Pada glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi dalam
glomerulus yang dipicu oleh adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya
menyebabkan aktifasi lokal dari sistem komplemen dan kaskade
koagulasi. Kompleks imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in situ pada
membrane basalis glomerulus.
Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di
negara berkembang adalah setelah infeksi bakteri streptokokus beta
hemolitikus grup A, yaitu Glomerulonefritis Akut Pasca infeksi
Streptokokus (GNAPS). Manifestasi klinis yang paling sering dari GNAPS
berupa sindrom nefritik akut, manifestasi klinis lainnya dapat berupa
sindrom nefrotik, atau glomerulonefritis progresif cepat. Sindrom nefritis
akut merupakan kumpulan gejala klinis akibat penurunan secara tiba-tiba
dari laju filtrasi glomerulus dengan disertai retensi air dan garam, pada
analisis urin ditemukan eritrosit, cast eritrosit dan albumin. Meskipun
penyebab umum (80%) dari sindrom nefris akut adalah GNAPS, tetapi
karena penyebabnya beragam, maka perlu difikirkan diagnosa diferensial
yang lain. Pada penderita sindrom nefritik akut yang mempunyai
gambaran klinis klasik GNAPS harus dibedakan dengan penderita yang
mempunyai gambaran klinis unusual GNAPS Gambaran klinis unusual
tersebut adalah: riwayat keluarga dengan glomerulonefritis, umur < 4
tahun dan > 15 tahun, mempunyai riwayat gejala yang sama sebelumnya,
ditemukan penyakit ekstrarenal (seperti arthritis, rash, kelainan
hematologi), ditemukan bukti bukan infeksi kuman streptokokus dan
adanya gejala klinis yang mengarah ke penyakit ginjal kronis/CKD
(anemia, perawakan pendek, osteodistrofi, ginjal yang mengecil, atau
hipertrofi ventrikel kiri). (Rachmadi D, 2010)

ETIOLOGI
Organisme penyebab infeksi pada saluran kemih yang tersaring
adalah Escherichia coli, yang menjadi penyebab lebih dari 80 % kasus. E.
coli merupakan penghuni local pada kolon. Organism lain yang juga dapat
menimbulkan infeksi adalah golongan proteus, klebsiella, Enterobacter,
dan Pseudomonas. Organism gram positif kurang berperan dalam UTI
kecuali Staphylococcus Saprophyticus, yang menyebabkan 10 % hingga
15 % UTI pada perempuan muda. Pada kebanyakan kasus, organism
tersebut dapat mencapai vesika urinaria melalui uretra. Infeksi di mulai
sebagai sistitis, dapat terbatas di vesika urinaria saja atau dapat pula
merambat ke atas melalui ureter sampai ke ginjal. Organisme juga dapat
sampai di ginjal melalui aliran darah atau aliran getah bening tetapi cara
ini di anggap jarang terjadi. Vesika urineria dan bagian atas uretra
biasanya steril, meskipun bakteri dapat di temukan di bagian bawah
uretra. Tekanan dari aliran urine menyebabkan saluran kemih normal
mengeluarkan bakteri yang ada sebelum bakteri tersebut menyerang
mukosa. Mekanisme pertahanan lainnya adalah kerja anti bakteri yang
dimiliki oleh mukosa uretra, sifat bakterisidal dari cairan prospat pada laki-
laki, dan sifat fagositik epitel vesika urinaria. Meskipun terdapat
mekanisme pertahanan seperti ini, infeksi tetap mungkin terjadi dan
kemungkinan ini berkaitan dengan faktor predisposisi dalam
perkembangan infeksi traktus urinarius dan pielonefritis kronik :
 Obstruksi liran urine ( missal; batu, penyakit prospat)
 Jenis kelamin perempuan
 Umur yang lebih tua
 Kahamilan
 Refliks vesikoureter
 Peralatan kedokteran (terutama kateter menetap)
 Vesika urineria neurogenik
 Penyalahgunaan analgesic secara kronik
 Penyakit ginjal
 Penyakit metaboliK ( diabetes, gout, batu urine)
. (Price S. A dan Wilson L. M, 2006)

MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis GNAPS terjadi secara tiba-tiba, 7–14 hari setelah


infeksi saluran nafas (faringitis), atau 3-6 minggu setelah infeksi kulit
(piodermi). Gambaran klinis GNAPS sangat bervariasi, kadang-kadang
gejala ringan atau tanpa gejala sama sekali, kelainan pada urin ditemukan
secara kebetulan pada pemeriksaan rutin. Pada anak yang menunjukkan
gejala berat, tampak sakit parah dengan manifestasi oliguria, edema,
hipertensi, dan uremia dengan proteinuria, hematuria dan ditemukan cast.
Kerusakan pada dinding kapiler gromelurus mengakibatkan
hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria., Gejala
overload cairan berupa sembab (85%), sedangkan di Indonesia 76.3%
kasus menunjukkan gejala sembab orbita dan kadang-kadang didapatkan
tanda-tanda sembab paru (14%), atau gagal jantung kongestif (2%).
Hematuria mikroskopik ditemukan pada hampir semua pasien (di
Indonesia 99.3%). Hematuria gros (di Indonesia 53.6%) terlihat sebagai
urin berwarna merah kecoklatan seperti warna coca-cola. Penderita
tampak pucat karena anemia akibat hemodilusi. Penurunan laju filtrasi
glomerulus biasanya ringan sampai sedang dengan meningkatnya kadar
kreatinin (45%). Takhipnea dan dispnea yang disebabkan kongesti paru
dengan efusi pleura sering ditemukan pada penderita glomerulonefritis
akut. Takikardia, kongesti hepar dan irama gallop timbul bila terjadi gagal
jantung kongesti. Proteinuria (di Indonesia 98.5%) biasanya bukan tipe
proteinuria nefrotik. Gejala sindrom nefrotik dapat terjadi pada kurang dari
5% pasien. Hipertensi ringan sampai sedang terlihat pada 60-80% pasien
( di Indonesia 61.8%) yang biasanya sudah muncul sejak awal penyakit.
Tingkat hipertensi beragam dan tidak proporsional dengan hebatnya
sembab. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah
akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila
keadaan penyakitnya menjadi kronis. Hipertensi selalu terjadi meskipun
peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang. Hipertensi terjadi
akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme
masih belum diketahui dengan jelas. Kadang-kadang terjadi krisis
hipertensi yaitu tekanan darah mendadak meningkat tinggi dengan
tekanan sistolik > 200 mm Hg, dan tekanan diastolik > 120 mmHg. Sekitar
5% pasien rawat inap mengalami ensefalopati hipertensi (di Indonesia
9.2%), dengan keluhan sakit kepala hebat, perubahan mental, koma dan
kejang. Patogenesis hipertensi tidak diketahui, mungkin multifaktorial dan
berkaitan dengan ekspansi volume cairan ekstraseluler. Ensefalopati
hipertensi meskipun jarang namun memerlukan tindakan yang cepat dan
tepat untuk menyelamatkan nyawa pasien. Kadang kadang terdapat
gejala-gejala neurologi karena vaskulitis serebral, berupa sakit kepala dan
kejang yang bukan disebabkan karena ensefalopati hipertensi. Adanya
anuria, proteinuria nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal yang lebih parah,
mungkin suatu glomerulonefritis progresif cepat yang terjadi pada 1%
kasus GNAPS. Gejala-gejala GNAPS biasanya akan mulai menghilang
secara spontan dalam 1-2 minggu. Kelainan urin mikroskopik termasuk
proteinuria dan hematuria akan menetap lebih lama sekitar beberapa
bulan sampai 1 tahun atau bahkan lebih lama lagi. Suhu badan tidak
beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Gejala
gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare
tidak jarang menyertai penderita GNA. ). (Rachmadi D, 2010)

PATOFISIOLOGIS
Kasus klasik GN akut terjadi setelah infeksi steptokokus pada
tenggorokan atau kadang-kadang pada kulit sesudah masa laten 1
sampai 2 minggu. Organism penyebab lazim adalah streptokokus beta
hemolitikus group A tipe 12 atau 4 dan 1; jarang oleh penyebab lainnya.
Namun sebenarnya bukan streptokokus yang menyebabkan kerusakan
pada ginjal. Diduga terdapat suatu anti bodi yang di tujukan terhadap
antigen khusus yang merupakan unsure membran plasma streptokokal-
spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi dalam darah dan
bersikulasi ke dalam glomerolus tempat kompleks tersebut secara
mekanis terperangkap dalam membrane basalis. Selanjutnya komplemen
akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit
polimerfonuklar (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan
pelepasan enzim lilosom juga merukak endotel dan membrane basalis
glomerulus (GMB). Sebagai respons terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya
sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapitel glomerolus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine
yang sedang di bentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan
hematuria. . (Price S. A dan Wilson L. M, 2006)

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien GNAPS meliputi eradikasi kuman dan
pengobatan terhadap gagal ginjal akut dan akibatnya.
 Antibiotik
Pengobatan antibiotik untuk infeksi kuman streptokokus
yang menyerang tenggorokan atau kulit sebelumnya, tidak
mempengaruhi perjalanan atau beratnya penyakit. Meskipun
demikian, pengobatan antibiotik dapat mencegah penyebaran
kuman di masyarakat sehingga akan mengurangi kejadian GNAPS
dan mencegah wabah. Pemberian penisilin pada fase akut
dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis
yang lama tidak dianjurkan. Secara teoritis seorang anak dapat
terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini
sangat kecil sekali. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti
dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis selama 10
hari.1,2,5 Beberapa klinisi memberikan antibiotik hanya bila terbukti
ada infeksi yang masih aktif, namun sebagian ahli lainnya tetap
menyarankan pemberian antibiotik untuk menghindarkan terjadinya
penularan dan wabah yang meluas. Pemberian terapi penisilin 10
hari sekarang sudah bukan merupakan terapi baku emas lagi,
sebab resistensi yang makin meningkat, dan sebaiknya digantikan
oleh antibiotik golongan sefalosporin yang lebih sensitif dengan
lama terapi yang lebih singkat.
 Suportif
Tidak ada pengobatan spesifik untuk GNAPS, pengobatan
hanya merupakan simptomatik. Pada kasus ringan, dapat dilakukan
tirah baring, mengatasi sembab kalau perlu dengan diuretik, atau
mengatasi hipertensi yang timbul dengan vasodilator atau obat-
obat anti hipertensi yang sesuai. Pada gagal ginjal akut harus
dilakukan restriksi cairan, pengaturan nutrisi dengan pemberian diet
yang mengandung kalori yang adekuat, rendah protein, rendah
natrium, serta restriksi kalium dan fosfat. Kontrol tekanan darah
dengan hidralazin, calcium channel blocker, beta blocker, atau
diuretik. Pada keadaan sembab paru atau gagal jantung kongestif
akibat overload cairan perlu dilakukan restriksi cairan, diuretik,
kalau perlu dilakukan dialisis akut atau terapi pengganti ginjal.
Pembatasan aktivitas dilakukan selama fase awal, terutama bila
ada hipertensi. Tirah baring dapat menurunkan derajat dan durasi
hematuria gross, tetapi tidak mempengaruhi perjalanan penyakit
atau prognosis jangka panjang.
 Edukasi penderita
Penderita dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai
perjalanan dan prognosis penyakitnya. Keluarga perlu memahami
bahwa meskipun kesembuhan yang sempurna diharapkan (95%),
masih ada kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang menetap
dan bahkan memburuk (5%). Perlu dielaskan rencana pemantauan
selanjutnya, pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan urine
untuk protein dan hematuria dilakukan dengan interval 4-6 minggu
untuk 6 bulan pertama, kemudian tiap 3-6 bulan sampai hematuria
dan proteinuria menghilang dan tekanan darah normal untuk
selama 1 tahun. Kadar C3 yang telah kembali normal setelah 8-10
minggu menggambarkan prognosis yang baik. ). (Rachmadi D,
2010)
DAFTAR PUSTAKA

Price S. A dan Wilson L. M, 2006, Patofisiologi volume 2 konsep klinis


Proses-Proses Penyakit Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Rachmadi D, 2010, Diagnosis Dan Penatalaksaan Glomerulonefritis Akut,


Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. UNPAD-RS. Dr. Hasan Sadikin
Bandung Disampaikan pada Simposium Nasional II IDAI cabang
Lampung, 24-25 April 2010 Bandar Lampung

Siburian A, 2013, Analisis Praktik Klinik Keperawatan Anak Kesehatan


Perkotaan pada Pasien Sindrom Nefrotik di Lantai 3 Selatan RSUP
Fatmawati, Fakultas Ilmu Keperawatan Program Sarjana Reguler, Depok,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai