Anda di halaman 1dari 14

Makalah Akuntansi Keberlanjutan

“Environmental Global Agenda”

Oleh
Aisyiatul Wahyuni 1610531050
Nisa Multia 1610531021

Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Andalas
2018

Environmental Global Agenda


Secara umum lingkungan hidup adalah bagian mutlak yang tidak terlepas dari
kehidupan manusia. Dengan demikian, jika terjadi kerusakan lingkungan di sekitar kita
secara tidak langsung akan memberikan kontribusi terhadap kerusakan lingkungan secara
global. Hal ini yang mendasari isu lingkungan hidup diangkat sebagai agenda dalam
hubungan internasional yang pertama kalinya dilakukan pada tahun 1970-an dikarenakan
masyarakat sudah mulai menyadari dampak dari kerusakan lingkungan.
Fenomena lingkungan hidup yang saat ini sedang hangat dibicarakan adalah mengenai
Pemanasan Global atau yang dikenal sebagai Global Warming. Isu Global Warming menjadi
salah satu highlight dari isu enviromentalisme yang sedang berkembang belakangan ini
dikarenakan memiliki dampak global. Dampak yang cukup signifikan dari pemanasan global
memang menjadi dasar bagi kita sebagai masyarakat dunia untuk segera melakukan tindakan
agar dapat membatasi pemanasan global dan menimbulkan dampak yang semakin serius
terhadap kehidupan kita. Banyak kerugian baik dari segi sosial ataupun ekonomi dari dampak
yang terasa sekarang ini seperti semakin hangatnya (bahkan cenderung panas) suhu di
permukaan bumi, tingginya permukaan laut sehingga dapat menenggelamkan pulau-pulau,
tingginya kelembaban udara, meluasnya penyakit endemic, gelombang pasang laut yang
mengakibatkan industri pertanian menurun sehingga menghancurkan suplai makanan di
beberapa tempat di dunia, terjadinya badai, tsunami, kerusakan seluruh ekosistem makhluk
hidup dan sebagainya, di mana kesemua hal itu tidak menutup kemungkinan akan
mengancam eksistensi manusia khususnya dan eksistensi dunia pada umumnya. Potensi
kerusakan yang ditimbulkan oleh pemanasan global sangat besar dan membahayakan
kelangsungan hidup umat manusia sehingga ilmuwan-ilmuwan ternama dunia menyerukan
perlunya kerja sama internasional serta reaksi yang cepat untuk mengatasi masalah ini.Pada
dasarnya, pemanasan global merupakan masalah moral yang menjadi tanggung jawab
individu perorangan untuk mengatasinya.

1. Protokol Kyoto

Protokol Kyoto adalah sebuah amendemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB


tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan
global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi
emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama
dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas
tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.
Hubungan internasional kontemporer tidak hanya memperhatikan hubungan politik
antar negara saja tetapi juga sejumlah subjek lainnya seperti interdependensi ekonomi, hak
azasi manusia, perubahan transnasional, organisasi internasional, rezim internasional,
lingkungan hidup dan sebagainya.

Pada dasarnya, pemanasan global merupakan masalah moral yang menjadi tanggung
jawab individu perorangan untuk mengatasinya. Tetapi, mengingat individu adalah bagian
dari ekosistem dunia, maka tidak mungkin kita (individu) mencoba mengatasi masalah ini
tanpa melibatkan kesadaran dan komitmen semua pihak. Selain itu, adanya perbedaan
kebijakan antar negara serta pola pembangunan yang menjadi acuan diberbagai negara
menjadi tonggak berkembangnya isu pemanasan global ini menjadi sebuah masalah politis.
Di mana perlu adanya kesepakatan bersama seluruh masyarakat dunia melalui sebuah
perjanjian internasional (traktat internasional) guna mengurangi emisi karbon dan upaya-
upaya yang dapat dilakukan untuk membatasi meluasnya pemanasan global serta meyakinkan
masyarakat dunia untuk menyatukan kesadaran mereka dalam satu aturan untuk
menyelamatkan Bumi.

Tema efek rumah kaca dan pemanasan global, telah memicu perbedaan antar negara
berpengaruh di dunia sejak hampir tiga dasawarsa terakhir ini. Dalam tema pemanasan
global, dunia terbagi dua kubu yang pro dan kontra penurunan emisi gas rumah kaca terutama
sejak diketahuinya berlubangnya lapisan ozon di atmosfir, serta mencairnya lapisan gletser
dan salju abadi di kutub, tema perlindungan iklim menjadi semakin aktual. Tahun 1979
akademi ilmu pengetahuan nasional AS sudah melaporkan kaitan efek rumah kaca terhadap
perubahan iklim global. Mereka juga memperingatkan politik menunggu dan mengamati
terlebih dahulu, yang akan berarti menunggu sampai semuanya terlambat.

Menanggapi tema yang berkaitan dengan nasib manusia itu, pada tahun 1992, PBB
menggelar konferensi internasional membahas perubahan iklim global, yang diselenggarakan
di Rio de Janeiro-Brazil. Segera setelah Konvensi Kerangka Kerjasama Persatuan Bangsa-
bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC-United Nations Framework Convention on
Climate Change) disetujui pada KTT Bumi (Earth Summit) tahun 1992 di Rio de Janeiro,
Brazil, negara-negara peserta konvensi mulai melakukan negosiasi-negosiasi untuk
membentuk suatu aturan yang lebih detil dalam mengurangi emisi gas rumah kaca
(selanjutnya disebut GRK).
Pada saat pertemuan otoritas tertinggi tahunan dalam UNFCCC ke-3 (Conference of
Parties 3 – COP) diadakan di Kyoto, Jepang, sebuah perangkat peraturan yang bernama
Protokol Kyoto diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi GRK. Kepentingan
protokol tersebut adalah mengatur pengurangan emisi GRK dari semua negara-negara yang
meratifikasi. Protokol Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997, kurang lebih 3 tahun
setelah Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara
peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi GRK mereka. Negara-negara yang
meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran karbon
dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika
mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan
pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi
rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.

Menurut pengertiannya secara umum, protokol adalah seperangkat aturan yang


mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Dalam
sebuah protokol, para anggota jelas terikat secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di
dalamnya dan biasanya dibentuk untuk mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (misalnya
konvensi) menjadi lebih detil dan spesifik.

Sepanjang COP 1 dan COP 2 hampir tidak ada kesepakatan yang berarti dalam upaya
penurunan emisi GRK. COP 3 dapat dipastikan adalah ajang perjuangan negosiasi antara
negara-negara ANNEX I yang lebih dulu mengemisikan GRK sejak revolusi industri dengan
negara-negara berkembang yang rentan terhadap perubahan iklim. Negara-negara maju
memiliki kepentingan bahwa pembangunan di negara mereka tidak dapat lepas dari konsumsi
energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Untuk mengakomodasikan
kepentingan antara kedua pihak tersebut Protokol Kyoto adalah satu-satunya kesepakatan
internasional untuk berkomitmen dalam mengurangi emisi GRK yang mengatur soal
pengurangan emisi tersebut dengan lebih tegas dan terikat secara hukum (legally binding).

Hingga Februari 2005, 141 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk
Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa,
serta Rumania dan Bulgaria. Ada enam negara yang telah menanda tangani namun belum
meratifikasi protokol itu. Tiga di antaranya adalah negara-negara Annex I: Australia (tidak
berminat untuk meratifikasi), Monako, Amerika Serikat (pengeluar terbesar gas rumah kaca,
tidak berminat untuk meratifikasi). Sisanya adalah: Kroasia, Kazakhstan, dan Zambia.

AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu
untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan
lainnya yang bersifat mengekang.

Rusia juga sempat menarik dukungan mereka terhadap Protokol Kyoto. Hal ini
sempat membuat dunia khawatir Protokol Kyoto tidak akan berkekuatan hukum secara
internasional karena tidak memenuhi persyaratannya. Persyaratan Protokol Kyoto yang harus
dipenuhi adalah keharusan bahwa Protokol itu diratifikasi oleh minimal 55 negara dan total
emisi negara maju yang meratifikasi minimal 55% total emisi negara tersebut di tahun 1990.
Tapi akhirnya pada November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto.

A. SIKAP AMERIKA SERIKAT

Amerika Serikat (AS) merupakan salah satu negara yang menolak untuk meratifikasi
Protokol Kyoto.Amerika, negara yang menyebabkan emisi terbesar gas rumah kaca di dunia,
pada tahun 1990 tercatat sebagai juara dunia, dengan memproduksi lebih dari enam milyar
ton gas rumah kaca per tahun mundur dari kesepakatan itu tahun 2001 dan menolak
meratifikasi dengan mengatakan hal itu akan merugikan ekonominya dan protokol tersebut
tidak sempurna karena tidak menerapkan restriksi emisi dari negara-negara yang industrinya
berkembang pesat, seperti China dan India.

Surat tertanggal 13 Maret 2001 yang dilayangkan oleh Presiden AS, George W. Bush
kepada Senat secara terang-terangan menentang Protokol Kyoto karena dianggap merugikan
Amerika dan tidak perlu untuk meratifikasinya. Di samping itu juga belum ada penyelesaian
masalah perubahan iklim global serta tidak ada teknologi yang secara komersial dapat
mengurangi dan menyimpan karbon dioksida, menurutnya sehingga amerika serikat
berkeputusan untuk menarik dukungannya terhadap Protokol Kyoto. Keputusan ini dikecam
oleh rakyat Amerika sendiri dan juga oleh pemimpin negara lain di dunia. Tidak kurang
mantan Presiden Jimmy Carter, Michael Gorbachev, bahkan oleh ilmuwan Stephen Hawking
dan aktor Harrison Ford yang membuat surat terbuka di majalah Time edisi April 2001.
Demi mencegah pemberlakuan Protokol Kyoto yang diangap dapat mengancam
kelancaran dunia industri Amerika, pada tahun 2002 lalu Presiden Bush mencoba
mengusulkan alternatif baru. Akan tetapi usul Bush sama sekali tidak membantu, bahkan
malah mengkaburkan jiwa pokok Protokol Kyoto. Menurutnya, dengan menurunkan pajak
perusahaan dan konsumen, dapat mendorong pengurangan penyebaran gas rumah kaca. Bush
mengatakan, lingkungan hidup baru akan bisa terlindungi, apabila perekonomian berjalan
baik. Usaha ini hanya semata-mata diambil sebagai hadiah terhadap perusahaan-perusahan
Amerika, karena pada pelaksanaannya kebijakan ini tidak menghasilkan manfaat apa-apa
dalam mengurangi kerusakan global.

Bahkan Amerika kini menggandeng Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-
negara berkembang lain untuk bersatu melawan strategi terhadap adanya kemungkinan
Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang.

B. SIKAP UNI EROPA

Sikap Uni Eropa dalam menanggapi Protokol Kyoto sangat bertolak belakang dengan
Amerika Serikat. Bila AS dengan tegas menolak untuk meratifikasi dan mencoba segala cara
untuk mencegah adanya hal serupa Protokol Kyoto yang mengancam eksistensi
perekonomian AS, maka UE bersikap sebaliknya. UE dikenal sebagai pihak yang sangat aktif
dalam memperjuangkan ratifikasi protokol ini. Hal ini dikarenakan kerugian yang sangat
besat bila UE sampai mengabaikan permasalahan ini.

Global Warming bagi UE dapat diartikan sebagai ”End of The Day” karena benua
Eropa akan semakin dingin jika pemanasan global terus berlangsung, hal ini berdasarkan
studi numeric jangka panjang mengenai dampak pemanasan global bagi dunia. Pemanasan
global akan menyebabkan terjadinya pencairan es di kutub. Hal ini menyebabkan
bertambahnya jumlah air, sehingga terjadi pengenceran air laut. Akibatnya, densitas air laut
menjadi berkurang sehingga proses sinking atau downwelling (arus laut yang bergerak ke
kedalaman) pun akan melemah. Melemahnya proses ini akan mengurangi jumlah air hangat
yang masuk dari daerah tropis. Akibat selanjutnya, iklim di lintang menengah dan tinggi
tidak lagi sehangat sebelumnya, dan ini yang akan memicu terjadinya Eropa yang membeku
dalam jangka panjang.
Membekunya eropa merupakan akibat yang akan terjadi di masa akan datang jika
global warming tidak ditanggulangi dengan baik, beberapa hal yang kini telah dirasakan
Negara-negara eropa akibat global warming ini misalnya adalah :

Rich countries, poor water, ini yang sedang dialami Negara-negara yang berbatasan
dengan Atlantik di Eropa.Mereka menderita akibat kekeringan yang kerap terjadi,

Untuk mengurangi 33% GRK pada tahun 2020, UE mencoba untuk menerapkan
segala penghematan, seperti penghematan tingkat permintaan energy, penghematan energy
listrik, penghematan energy bahan bakar baik untuk industry maupun transportasi, serta
pembaharuan suplai energy. Khusus untuk pembaharuan suplai energy, alternarif bahan bakar
biodiesel telah mulai diterapkan di Negara- Negara Uni Eropa untuk mengurangi
ketergantungan pada BBM yang sangat boros pada tingkat emisi gas buang karbondioksida.

Keseriusan UE untuk menanggulangi global warming, juga terbawa pada tingkat


internasional. Dalam pertemuan antar Negara maju KTT G8 yang berlangsung di
Heiligendamm, Jerman 8 Juni 2007, UE memperlihatkan sikap tegasnya terutama dalam
mempengaruhi AS untuk meratifikasi isi perjanjian protokol Kyoto.

Hal yang sangat menarik untuk dikaji, karena baru dalam permaslahan inilah kedua
sekutu dekat tersebut saling berbeda pandangan. Bila AS lebih mementingkan
perekonomiannya tanpa mengkhawaritkan masa depan geografisnya, maka UE sangat
condong untuk melakukan penyelamatan agar daerahnya tak terkena imbas yang jauh lebih
buruk dari global warming ini, yaitu kemungkinan untuk melenyapnya Eropa dari Peta
Dunia.

Uni eropa berkomitmen untuk membatasi pemanasan global agar tetap di bawah dua
derajat selama 1-2 dekade.di bawah ini,diagram yang menunjukkan target yang ingin dicapai
Uni Eropa.
Di Stockholm pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (Human
Environmental) tahun 1972, masyarakat internasional bertemu pertama kalinya untuk
membahas situasi lingkungan hidup secara global. Di konferensi ini ditandatanganilah
Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). UNFCC memiliki tujuan utama berupa
menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada di tingkat aman.
UNFCCC mengatur lebih lanjut ketentuan yang mengikat mengenai perubahan iklim ini.,
desember 1997 di Kyotov

Protokol Kyoto memungkinkan diterapkannya tiga mekanisme fleksibilitas (flexibility


mechanisms) agar negara Annex I dapat tetap memenuhi komitmennya dengan biaya yang
tidak terlalu tinggi.
Ketiga mekanisme tersebut adalah:

• Clean Development Mechanism (CDM), pada dasarnya adalah gabungan dari JI dan IET
yang berlangsung antara negara Annex I dengannegara non-Annex I dengan persyaratan
mendukung pembangunan berkelanjutan di negara non-Annex I. Komoditas yang digunakan
bukanlah ERU melainkan CER (Certified Emission Reduction) yaitu jumlah penurunan emisi
yangtelahdisertifikasi.
• Joint Implementation (JI), kerjasama antara sesama negara Annex I (negara maju) dalam
upaya menurunkan emisi gas rumah kaca; biasanya ini dilakukan dengan investasi asing antar
negara Annex I yang diimbali dengan unit penurunan emisi (Emission Reduction Unit–
ERU);
• International Emission Trading (IET), perdagangan ERU antara Negara Annex I;

2. Carbon Trading

Carbon trading atau perdagangan karbon dapat didefinisikan sebagai menjual


kemampuan pohon yang mampu menyerap karbon dioksida dalam rangka menekan
keberadaan karbon dioksida itu sendiri di atmosfer untuk mengurangi pemanasan global.
Salah satunya asap karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan pabrik-pabrik di Eropa dan AS
sudah terlalu sesak dan memenuhi atmosfer bumi kita, yang berakibat naiknya suhu bumi 
(istilah trendnya “Global Warming”) serta lubang dilapisan ozon yang makin luas. Dengan
semakin gembar-gembornya isu tentang global warming, maka seluruh negara di dunia
terutama negara-negara yang tergolong Annex 1 (negara maju penyumbang emisi terbesar)
berupaya mencari solusi untuk menanggulangi masalah global ini sebelum berubah menjadi
suatu bencana katastrofal. Salah satu upaya yang diajukan adalah dengan mengadakan carbon
trading.
       Carbon trading ini diawali dengan ditandatanganinya Protokol Kyoto yang menegaskan
bahwa negara-negara yang tergolong Annex 1 harus menurunkan tingkat emisi karbonnya
dengan penerapan teknologi tinggi dan juga menyumbang kepada negara-negara berkembang
untuk mengerjakan proyek pengurangan emisi. Proyek-proyek pengurangan emisi ini
biasanya dilakukan dengan menjaga kelestarian hutan dengan melakukan penanaman pada
daerah bukan hutan (afforestasi) maupun penanaman kembali pada hutan yang sudah rusak
(reforestasi).

      Carbon trading juga dikenal dengan istilah emissions trading. Carbon trading merupakan
salah satu rekomendasi Kyoto Protocol 1997, sebuah rencana internasional untuk mengurangi
enam gas rumah kaca utama penyebab perubahan iklim

     The European Union Emission Trading Scheme (EU UTS) diakui sebagai multinasional
carbon trading terbesar di dunia. Bagaimana dengan Australia? Australia merencanakan
pemberlakuan skema carbon trading di tahun 2010. Namun sejak 1998 carbon trading sudah
berlangsung di the State of New South Wales, Australia. Diperkirakan carbon trading akan
menjadi fenomena global di masa datang.

B.     Cap and Trade dalam Carbon Trading.


      Carbon trading menggunakan skema khusus yang disebut sistem 'cap and trade'.
Berdasarkan komitmen Kyoto, sebuah negara dapat mengalokasikan ijin emisi gas rumah
kaca ('cap') kepada perusahaan-perusahaan. Jika sebuah perusahaaan terbukti melakukan
emisi kurang dari batasan yang diberikan, kelebihan ijin yang dimilikinya dapat
diperdagangkan ('trade') kepada perusahaan yang mengeluarkan lebih banyak polusi.
Sebaliknya, jika perusahaan gagal memenuhi target emisi, atau dengan kata lain
mengeluarkan CO2 lebih banyak dari batas yang diijinkan ('cap'), mereka dapat membeli
'carbon credit' dari perusahaan dengan emisi di bawah target. Carbon credit ini biasanya
diperdagangkan di 'over the counter (OTC) market'. Singkatnya, bahwa apa yang
diperdagangkan di 'carbon trading' bukanlah karbon sesungguhnya, tetapi hak untuk emisi
CO2.
    
      Dalam situs resmi departemen perlindungan lingkungan USA, cap and trade didefinisikan
sebagai suatu pendekatan kebijakan untuk mengontrol jumlah emisi dari sejumlah sumber.
Cap yakni jumlah emisi maksimum per periode untuk semua sumber yang telah disepakati.
Cap dipilih agar mendapatkan dampak lingkungan yang diinginkan. Suatu Negara membayar
atas emisi yang ditimbulkan dan kemudian akan mempengaruhi emisi yang dihasilkan dari
berbagai sumber dan total sumbangan emisi dari berbagai sumber tersebut tidak melebihi
perjanjian yang sudah ditandatangani. Pembayaran emisi dari semua sumber emisi yang
disepakati dilakukan diakhir periode. Negara penyedia karbon, menentukan sendiri strategi
untuk menyediakan jasa karbon. Strategi yang disusun tidak harus disepakati oleh pembeli
jasa karbon, namun yang terpenting mampu menyediakan jasa serapan karbon sebagaimana
perjanjian.

Agar program cap and trade bias efektif, terdapat 3 fitur utama yakni
1. cap on emission (menentukan besarnya emisi yang akan diturunkan
2. akuntability
3.   rancangan yang simple tapi jalan/operasional.
Sejarah Carbon Trading
Persoalan tersebut saat ini menjadi perhatian dunia yang direpresentasi dari
kesepakatan sebagian besar masyarakat dunia dalam protokol Kyoto yang ditandatangani
oleh 180 negara pada bulan Desember 1997. Protokol Kyoto melahirkan tiga mekanisme
untuk memperbaiki dan memelihara kelangsungan ekosistem global yang meliputi
International Emission Trading (IET) , Clean Development Mechanism (CDM), dan Joint
Implementation (JI).
Protokol Kyoto di bawah naungan PBB dalam Kerangka-kerja  konvensi perubahan
iklim (Framework Convention on Climate Change, FCCC) pada tahun 1997 telah
menyepakati bahwa negara-negara industri akan mengurangi tingkat emisi rata-rata 5,2%
dibawah level 1990 pada tahun 2008 hingga 2012. Berdasarkan kesepakatan ini, negara-
negara industri harus melakukan berbagai cara untuk mereduksi GHG agar memenuhi
ketentuan tersebut. Persoalan muncul ketika mereka tidak mampu mendapatkan teknologi
yang efektif untuk mereduksi GHG, atau mereka tidak mampu mendapatkan teknologi efisien
untuk mereduksi GHG. Reduksi GHG tidak hanya mengandalkan teknologi yang belum tentu
efektif atau efisien, melainkan juga melalui pemberdayaan sumberdaya alam. Reduksi GHG
melalui pemanfaatan sumberdaya alam merupakan alternatif yang dipandang efektif dan
mungkin juga efisien dibandingkan reduksi emisi melalui bisnis itu sendiri yang mungkin
membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
Persoalan lain muncul bila negara yang bersangkutan tidak memiliki lahan  yang
memadai untuk konservasi sumberdaya alam dalam rangka mereduksi GHG. Akibatnya,
negara industri tersebut akan cenderung mengalami carbon debit, artinya negara atau
perusahaan menghasilkan GHG lebih besar dari reduksi GHG. Bila negara pemegang carbon
debit tidak mampu menetralisir karbon sesuai kesepakatan dalam Protokol Kyoto, maka
mereka akan terkena penalti atau sanksi. Pada sisi lain beberapa negara yang lain mampu
menghasilkan carbon credit, artinya negara atau perusahaan mampu mereduksi GHG lebih
besar dari GHG yang dihasilkan. Mekanisme dalam Protokol Kyoto mengakomodasi
kesulitan negara-negara industri  yang mengalami carbon debit dan kelebihan negara-negara
lainnya yang menghasilkan carbon credit melalui perdagangan karbon internasional atau
International Emission Trading (IET).
Perkembangan di atas membuka peluang bagi negara-negara sedang berkembang
yang memiliki potensi dalam mereduksi greenhouse gas (GHG) atau carbon surplus. Negara
atau perusahaan yang memiliki surplus karbon dapat menjual kelebihannya kepada negara
atau perusahaan yang memililik defisit karbon. Potensi Indonesia cukup besar untuk
memasuki era perdagangan karbon tersebut. Berdasarkan data ADB-GEF-UNDP
menunjukkan bahwa  Indonesia memiliki kapasitas reduksi karbon lebih dari  686 juta ton
yang berasal dari pengelolaan hutan, sedangkan perubahan fungsi hutan menimbulkan emisi
karbon lebih dari 339 juta ton, jadi terdapat surplus karbon sebesar 347 juta ton. Bila
dikurangi dengan penambahan emisi karbon dari aktivitas industri lainnya, Indonesia masih
memiliki surplus karbon lebih dari 8 juta ton. Dengan harga rata-rata per ton karbon saat ini
sebesar US$5, maka Indonesia berpotensi menjual sertifikat surplus karbon senilai US$40
juta atau sekitar Rp.360 milyar.

Jadi perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia yang menghasilkan


emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2)
sebanyak dua kali lipat akan meningkatkan suhu bumi sebesar 1,4-5,8° C. Negara-negara
industri di bagian utara menghasilkan emisi antara 10 – 1.600 juta metrik ton Karbon, jauh
melebihi negara-negara di bagian selatan. Perdagangan karbon (carbon trading) adalah salah
satu mekanisme yang didorong dalam Protokol Kyoto sebagai upaya mengurangi dampak
pemanasan global yang berlangsung saat ini. Dalam skema REDD (Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation) ada 2 (dua) parameter yang digunakan untuk menilai
keberhasilan skema tersebut yaitu perubahan luas tutupan lahan (forest cover change) dan
perubahan stock karbon (carbon stock change). Penelitian ini memaparkan metode
perhitungan luas tutupan hutan dan estimasi stock karbon menggunakan data penginderaan
jauh. Luas tutupan hutan yang didapat akan digunakan untuk menghitung CO2 yang diserap
oleh vegetasi atau dilepaskan ke atmosfer. Dengan mengetahui besarnya stock karbon yang
terdapat pada vegetasi hutan maka akan memperkuat posisi Indonesia dalam proses tawar
menawar di pasar perdagangan karbon global yang berlangsung saat ini.

2. Equator Principles

Equatorial principles adalah prinsip-prinsip yang dianut oleh sektor keuangan dalam
menyalurkan pembiayaan dengan mempertimbangkan bagaimana pinjaman tersebut
digunakan oleh peminjam apakah telah sesuai dengan pengelolaan lingkungan yang baik dan
pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut,
pembiayaan suatu proyek harus menjamin bahwa proyek tersebut tidak merusak lingkungan
dan mempunyai dampak sosial yang positif bagi masyarakat disekitarnya. Dengan
menerapkan prinsip-prinsip tersebut diharapkan memberikan manfaat kepada sektor
pembiayaan, peminjam/ pelaksana proyek dan stakeholder lokal yang berkepentingan.
Prinsip-prinsip tersebut juga menegaskan komitmen sektor pembiayaan terhadap
keberlanjutan (sustainability) dan mendorong pembangunan yang bertanggung jawab secara
sosial dalam praktek bisnis keuangan.

Equator Principles berlaku diseluruh dunia, terhadap semua sektor industri dan
terhadap empat produk finansial yaitu:
1) Jasa Nasihat Pembiayaan Proyek (Project Finance Advisory Services);
2) Proyek Pembiayaan (Project Finance);
3) Pinjaman Perusahaan Terkait Proyek (Project-Related Corporate Loans);
4) Pinjaman Penghubung (Bridge Loans).

Saat ini terdapat 80 Lembaga Keuangan Equator Principles (EPFIs) (80 Equator
Principles Financial Institutions (EPFIs) di 34 negara telah memberlakukan EP, mencakup
lebih dari 70 persen Proyek Pembiayaan utang dalam pasar-pasar berkembang pesat.
LKEP/EPFI berniat menerapkan Prinsip Equator dalam kebijakan, prosedur dan
standar lingkungan dan sosial internal mereka untuk pembiayaan proyek-proyek dan tidak
akan memberikan Pembiayaan Proyek (Project Finance) atau Pinjaman Korporasi Terkait
Proyek (Project-Related Corporate Loans) kepada proyek-proyek dimana klien atau
peminjam tidak akan, atau tidak mampu untuk, mematuhi Prinsip Equator.
Prinsip Equator tidak diniatkan untuk diterapkan berlaku surut, LKEP/EPFI
menerapkan Prinsip Equator terhadap perluasan atau pemutakhiran proyek yang telah ada
dimana perubahan-perubahan dalam skala atau cakupan mungkin menciptakan dampak dan
risiko lingkungan dan sosial yang signifikan atau sangat merubah sifat atau derajat suatu
dampak yang telah ada.
Prinsip Equator telah meningkatkan perhatian dan fokus dalam standar dan tanggung
jawab sosial/masyarakat, termasuk standar yang ketat untuk masyarakat adat, standar buruh,
dan konsultasi dengan masyarakat terkena dampak setempat didalam pasar Proyek
Pembiayaan. Prinsip Equator juga telah menggalakkan konvergensi sekitar standar-standar
umum lingkungan dan sosial. Bank-bank pembangunan multilateral,termasuk European Bank
for Reconstruction & Development, dan badan-badan kredit ekspor melalui OECD Common
Approaches semakinbanyak menggunakan standar yang sama seperti Prinsip Equator.
Prinsip Equator juga telah membantu memacu pengembangan praktek-praktek
pengelolaan lingkungan dan sosial bertanggung jawab lainnya dalam sektor pembiayaan dan
industri perbankan (contoh, Carbon Principles Amerika Serikat, Climate Principles seluruh
dunia) dan telah menyediakan suatu platform keterlibatan luas dengan para pemangku
kepentingan termasuk organisasi non pemerintah (NGO), klien dan badan-badan industri.

Equator Principles atau Prinsip Equator terdiri dari 10 prinsip atau asas yang baru saja
direvisi. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

1: Tinjauan dan Kategorisasi;


2: Penilaian Lingkungan dan Sosial;
3: Standar Lingkungan dan Sosial yang Berlaku;
4: Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Sosial serta Rencana Aksi Equator Principles;
5: Pelibatan Pemangku Kepentingan;
6: Mekanisme Keluhan;
7: Tinjauan Independen;
8: Konvenan;
9: Monitoring dan Pelaporan Independen;
10: Pelaporan dan Transparansi.
Daftar Pustaka

regifauzi.wordpress.com/2011/01/16/tanggapan-dunia-terhadap-protokol-kyoto-
sebagai-suatu-usaha-untuk-menanggulangi-global-warming/

http://mcarmand.blogspot.co.id/2009/03/isi-protokol-kyoto.html

http://www.tuk.or.id/equator-banks-equator-principles/

Anda mungkin juga menyukai