Anda di halaman 1dari 14

Nilai Budaya Tradisi Dieng Culture Festival sebagai Kearifan

Lokal untuk Membangun Karakter Bangsa


Yuni Harmawati, Aim Abdulkarim, dan Rahmat
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Jln. Dr. Setiabudhi, 229 Bandung 40154 Indonesia
Tlp. 082242634246, E-mail: yuniharmawati92@yahoo.co.id
Volume 3 Nomor 2,
Oktober 2016: 82-95 Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai budaya tradisi Dieng Culture Festival
yang berperan sebagai kearifan lokal dalam upaya untuk membangun karakter bangsa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Data
diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) persepsi masyarakat terhadap transformasi
nilai budaya tradisi Dieng Culture Festival secara turun-temurun tanpa mengubah
makna sebenarnya; (2) adanya relevansi antara kearifan lokal terhadap pembangunan
karakter bangsa karena nilai kearifan lokal bukan sebagai hal yang menghambat
pada era globalisasi, melainkan menjadi kekuatan besar dalam membangun karakter
bangsa.
Kata kunci: kearifan lokal, karakter bangsa, Dieng Culture Festival

Abstract
Cultural Value of “Dieng Culture Festival” Tradition as a Local Wisdom for
Building the Nation Character: Case Study at Dieng Plateau. This study aims
to know the value of cultural tradition of Dieng Culture Festival which serves as the
local wisdom in an effort to build the national character. The research is qualitative
with the case study method. The data collection techniques used by researchers include:
observation, interviews and documentation. The analysis technique used in this study
include: triangulation of sources and triangulation techniques. The results show that: (1)
the perception of community about transformation of Dieng Culture Festival without
changing the actual meaning; (2) the relevance of local wisdom with the character of the
nation.
Keywords: local wisdom, national character, Dieng Culture Festival

Pendahuluan yang harus dibangun terlebih dahulu adalah


jiwanya setelah itu beriringan dengan badan atau
Bangsa Indonesia sudah sejak lama mempunyai raganya. Ki Hadjar Dewantara (Suparlan, 2014:
nilai karakter yang tertuang dalam sila pertama 4) menyatakan bahwa untuk membentuk karakter
sampai kelima Pancasila. Pembangunan bangsa dan adalah dengan konsep ngerti, ngroso, lan nglakoni.
karakter harus berjalan beriringan. (Budimansyah, Konsep tersebut dimaksudkan agar
2010: 1) menyatakan bahwa hal tersebut tersirat pembangunan karakter ini melalui tiga tahap,
dalam syair lagu kebangsaan Indonesia, yaitu yaitu ngerti yang berarti mengerti akan bagaimana
“Bangunlah jiwanya bangunlah badannya karakter yang baik sesuai dengan nilai budaya
untuk Indonesia Raya”. Lirik ini berarti dalam bangsa Indonesia. Istilah berikutnya adalah ngroso
membangun bangsa Indonesia yang berkarakter, maksudnya adalah berusaha semaksimal mungkin

82 Naskah diterima: 19 Maret 2016; Revisi akhir: 6 Mei 2016


Journal of Urban Society’s Art | Volume 3 No. 2, Oktober 2016

untuk memahami dan merasakan karakter yang menunjang tercapainya kepentingan masyarakat.
sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia; Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha
kemudian nglakoni adalah mengaplikasikan transformasi budaya dalam kehidupan masyarakat
karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari untuk mempertahankan dan melaksanakan nilai-
secara berkesinambungan. nilai budaya tersebut agar dapat dijadikan dasar
Dieng Culture Festival (DCF) merupakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
suatu festival yang menyajikan berbagai kesenian bernegara. Dpat disimpulkan bahwa transformasi
tradisional antara lain kuda lumping, tari rampak budaya merupakan upaya yang dilakukan untuk
yakso, wayang, dan diakhiri dengan upacara memindahkan nilai-nilai yang terkandung di dalam
ritual pemotongan rambut gimbal. Nilai-nilai budaya agar masyarakat memiliki karakter yang
karakteristik yang terkandung dalam kearifan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
lokal tersebut diharapkan mampu melekat pada dan bernegara.
bangsa Indonesia dan menjadi kekuatan besar
untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi Karakter Bangsa
bangsa yang berkarakter. Bangsa yang berkarakter
adalah bangsa yang mampu melewati dampak Secara umum karakter dimaknai sebagai cara
negatif kedahsyatan globalisasi, yang artinya bangsa berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu
yang tetap kokoh walaupun terjadi perubahan atas untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
globalisasi, tidak terpengaruh adanya dampak lingkungan keluarga, masyarakat, maupun bangsa
negatif globalisasi. Nilai-nilai budaya yang dimiliki dan negara. Samani dan Hariyanto (2012:41)
oleh bangsa Indonesia dalam hal ini belum optimal menyatakan bahwa karakter adalah perilaku yang
untuk membangun karakter bangsa. Melunturnya tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
kejujuran, sopan santun, dan rasa gotong royong bersikap maupun bertindak. Koesoema (2010:79)
merupakan ciri-ciri perilaku manusia yang menuju sementara itu mengartikan karakter sebagai kondisi
ke arah kehancuran suatu bangsa. dinamis struktur antropologis individu, yang tidak
mau sekadar berhenti atas determinasi kodratinya,
Transformasi Budaya tetapi juga berusaha hidup untuk menjadi semakin
integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya
Transformasi merupakan pergeseran suatu sendiri sebagai proses penyempurnaan dirinya
hal ke arah yang baru tanpa mengubah makna terus-menerus.
di dalamnya. Transformasi budaya tidak dapat Secara universal berbagai karakter dirumuskan
direkayasa ataupun dipaksakan. Transformasi sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas
budaya secara pasti dapat mengubah pola pikir pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect),
dari suatu bangsa. Bangsa yang hebat adalah bangsa kerja sama (cooperation), kebebasan (freedom),
yang selalu menjaga nilai tradisinya untuk dijadikan kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty),
kekuatan menuju bangsa yang maju. Suatu bangsa kerendahan hati (humility), kasih sayang (love),
apabila tidak mau kehilangan jati diri, maka harus tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan
diberikan ruang bagi nilai-nilai tradisi untuk tetap (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan
berkembang dalam masyarakat. (unity) (Samani dan Hariyanto, 2012:43). Lickona
Fortes (Tilaar, 1999:54) mengemukakan tiga (2013: 51) menyatakan bahwa karakter memiliki
variabel utama dalam transformasi budaya, yaitu tiga komponen yang memiliki relasi kuat di antara
(1) unsur-unsur yang ditransformasikan, (2) proses ketiganya dalam hubungannya dengan moral
transformasi, dan (3) cara transformasi. antara lain: (1) moral knowing, (2) moral feeling,
Kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat dan (3) moral action.
merupakan suatu bukti yang dapat menyatakan Hal ini dapat disimpulkan bahwa karakter
bahwa di dalam kehidupan masyarakat terdapat merupakan watak yang dapat memengaruhi
budaya yang mengandung nilai-nilai untuk seluruh tindakan orang yang satu dengan yang

83
Yuni Harmawati, dkk., Dieng Culture Festival sebagai Kearifan Lokal

lain. Karakter merupakan identitas atau jati diri terkait oleh kesadaran dan identitas “kesatuan
yang menjadi acuan interaksi antarmanusia yang kebudayaan”. Budaya lokal atau kearifan lokal itu
satu dengan yang lain. Karakter bisa berasal dari lebih khusus berdasarkan golongan etnis, profesi,
pembawaan lahir dan pembiasaan dari individu wilayah, atau daerah. Contohnya, budaya Dieng.
dengan lingkungannya yang dapat dilihat melalui Kearifan lokal dengan demikian terkait semua
proses sosialisasi dengan individu yang lain. mengenai budaya lokal baik suku, adat istiadat,
Karakter berasal dari jati diri dan jati diri bersumber kesenian, maupun pandangan hidup masyarakat
dari kepribadian. setempat dalam berbagai aktivitas masyarakat
Definisi karakter menurut Websters New World lokal dalam memenuhi kebutuhan seluruh aspek
Collage Dictionary (Darahim, 2015: 21) adalah kehidupan masyarakat.
“Character is the pattern of behavior or personality Masa depan peradaban Indonesia yang
found in individual or group; moral constitution; modern harus bertumpu pada peradaban yang
moral strength; self discipline, fortitude, and ect”. berbudi luhur dan berkarakter, yang diharapkan
Karakter merupakan pola hidup, sikap, dan perilaku akan mampu bersaing dengan peradaban dunia
seorang atau kelompok orang yang sudah baku lain. Warisan budaya lokal adalah modal besar
dan dipergunakan dalam berkomunikasi dengan dan potensi untuk membentuk karakter bangsa
orang lain. Karakter yang baik adalah karakter yang yang tangguh. Kearifan lokal ini dapat berupa
dilandasi oleh norma, sikap, dan perilaku yang tradisi, pepatah, semboyan hidup, ataupun makna
kuat. filosofis dari kesenian dan adat istiadat masyarakat
Pembangunan karakter bangsa merupakan hal setempat.
yang penting karena berhubungan dengan proses Menurut Suyatno (2011:83), walaupun ada
membina dan memperbaiki perilaku dan nilai upaya pewarisan kearifan lokal dari generasi ke
luhur yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan generasi, tidak ada jaminan bahwa kearifan lokal
UUD 1945. Dengan demikian, dapat terbentuk akan tetap kokoh menghadapi gempuran globalisasi
warga negara yang tangguh, berakhlak mulia, yang menawarkan gaya hidup yang semakin
berbudi luhur, bergotong royong, yang dilandasi pragmatis dan konsumtif. Faktanya kearifan lokal
oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha yang nyaris tidak terimplementasikan dalam praktik
Esa. Dalam penelitian ini akan difokuskan nilai hidup yang makin pragmatis. Ini artinya bahwa
karakter yang terkandung di dalam tradisi DCF. walaupun bangsa Indonesia mempunyai kearifan
lokal atau budaya lokal yang mengandung nilai-
Kearifan Lokal untuk Membangun Karakter nilai luhur yang sangat baik akan sangat percuma
Bangsa jika bangsa Indonesia tidak mengimplementasikan
nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan sehari-
Kearifan lokal adalah sebuah pengalaman hari. Hal ini karena kearifan lokal tidak melulu
panjang dan tidak lepas dari lingkungan pemiliknya. membicarakan budaya, tetapi juga membicarakan
Kearifan lokal bersifat dinamis menyesuaikan ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karena itu,
dengan zaman. Menurut Suardiman (Wagiran, bangsa Indonesia harus mampu memajukan
2012:334), kearifan lokal identik dengan perilaku perekonomian, masalah sosial, dan politik melalui
manusia berhubungan dengan: (1) Tuhan, (2) kearifan lokal. Pertanyaan yang diajukan adalah
tanda-tanda alam, (3) lingkungan hidup/pertanian, bagaimana bangsa Indonesia menyelesaikan
(4) rumah, (5) pendidikan, (6) upacara perkawinan masalah ekonominya dan mampu bertahan hidup
dan kelahiran, (7) makanan, (8) siklus kehidupan dengan kearifan lokal yang dimilikinya.
manusia dan watak, (9) kesehatan, (10) bencana Pendidikan karakter berbasis kearifan lokal
alam. harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
Koentjaraningrat (Abidin & Beni, 2014: dalam agama, Pancasila, kebudayaan, dan tujuan
168) berpandangan bahwa budaya lokal terkait pendidikan. Masyarakat Indonesia merupakan
dengan suku bangsa, yaitu gologan manusia yang masyarakat yang beragama. Ini artinya bahwa

84
Journal of Urban Society’s Art | Volume 3 No. 2, Oktober 2016

dalam kehidupan masyarakat selalu didasari ajaran lokal DCF dalam pembelajaran, khususnya dalam
agama yang dianutnya dan selanjutnya adalah mata pelajaran PKn. Oleh karena itu, PKn dipelajari
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dalam kehidupan sejak tingkat Sekolah dasar sampai perguruan tinggi
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara haruslah dengan tujuan dan mempunyai tanggung jawab
didasarkan nilai-nilai Pancasila. Karakter itu sendiri sebagai wahana pembentukan dan pembangunan
tidak pernah lepas dari nilai budaya. Nilai budaya karakter bangsa.
mencerminkan karakter masyarakat tersebut. Keterkaitan antara pendidikan karakter
Tujuan pendidikan tercantum dalam Undang- dan pendidikan kewarganegaraan salah satunya
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun adalah pendidikan karakter merupakan bagian
2003 yang merumuskan tujuan pendidikan dari pendidikan kewarganegaraan karena di dalam
nasional yaitu mengembangkan dan membentuk pendidikan kewarganegaraan diajarkan nilai, moral,
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dan karakter atau nilai kebajikan untuk membentuk
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. warga negara yang berkarakter. Dapat disimpulkan
Hal ini dapat disimpulkan bahwa kearifan banwa pendidikan kewarganegaraan merupakan
lokal tidak akan lepas dari kehidupan manusia salah satu konsep pendidikan yang berfungsi
sekaligus menjadi filter pada zaman globalisasi untuk mengembangkan atau membentuk karakter
dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai kearifan siswa untuk menjadi warga negara yang baik.
lokal sangat berperan dalam kemajuan suatu Diharapkan dalam pendidikan kewarganegaraan
bangsa. dapat menanamkan kebiasaan yang baik sehingga
peserta didik mampu bertindak berdasarkan nilai
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Sarana yang sudah menjadi kepribadiannya, tidak hanya
Pembangunan Karakter Bangsa mengajarkan pengetahuan saja tetapi lebih pada
pembentukan sikap yang baik. Keterkaitan antara
Secara umum di setiap negara, pengembangan DCF dengan pendidikan karakter adalah DCF
pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk sebagai wahana untuk menanamkan nilai yang
menjadikan warga negara yang baik (to be good bertujuan untuk membentuk karakter bangsa.
citizen). Warga negara yang baik artinya adalah
warga negara yang memiliki kecerdasan, yaitu Persepsi Masyarakat Dieng terhadap
kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan Transformasi Nilai Budaya Tradisi Dieng
spiritual. Setiap warga negara dituntut untuk dapat Culture Festival
hidup berguna dan bermakna bagi bangsa dan
negaranya. Pendidikan karakter dalam materi PKn Penelitian ini, dilihat dari sudut pandang
merupakan salah satu misi yang harus diwujudkan. pendidikan kewarganegaraan mencoba mengaitkan-
Misi lain adalah pendidikan demokrasi, pendidikan nya dengan pembangunan karakter bangsa melalui
hukum, pendidikan HAM, pendidikan antikorupsi. tradisi DCF. Penelitian sebelumnya membahas dari
PKn dan Agama merupakan mata pelajaran yang sudut pandang ekonomi, pariwisata, psikologis,
mempunyai tujuan utama, yaitu membangun maka kali ini penulis mencoba dari sudut pandang
karakter bangsa. Sesuai dengan pendapat Fusnika pendidikan kewarganegaraan. Penulis mencoba
(2014:51), bahwa PKn merupakan salah satu memaparkan makna simbol-simbol yang ada
instrumen fundamental dalam bingkai pendidikan dalam tradisi DCF. Bermula dari sejarah tradisi
nasional sebagai media bagi pembentukan karakter tersebut hingga akhirnya menemukan nilai-nilai
bangsa di tengah heterogenitas atau pluralisme yang karakter atau nilai kebajikan yang dapat diadopsi
menjadi karakteristik utama bangsa Indonesia. di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seperti halnya kegiatan DCF, kajian makna Nilai-nilai kebajikan ini dirumuskan dari makna
nilai-nilai DCF adalah sebagai upaya pembangunan simbol-simbol dan sejarah tradisi pemotongan
karakter bangsa. Kegiatan lain dalam pendidikan rambut gimbal, tari rampak yakso, dan wayang.
adalah dengan cara mencantumkan nilai kearifan Nilai-nilai tersebut kemudian dapat dijadikan

85
Yuni Harmawati, dkk., Dieng Culture Festival sebagai Kearifan Lokal

sebagai pedoman hidup masyarakat sehingga dapat cabai. Unsur kebudayaan keenam adalah sistem
membangun karakter bangsa. religi. Masyarakat Dieng Kulon sebagian besar
Budaya Dieng tidak diartikan hanya sebagai menganut agama Islam. Masyarakat Dataran
tarian atau yang berkaitan dengan kesenian, tetapi Tinggi Dieng memiliki kepercayaan dan upacara
budaya Dieng meliputi kepercayaan terhadap ritual cukur rambut gimbal. Masyarakat Dataran
tradisi ritual cukur rambut gimbal, pengetahuan Tinggi Dieng memercayai bahwa tujuan dari ritual
tentang asal usul tradisi, norma, dan adat istiadat tersebut adalah untuk menghilangkan balak. Untuk
yang dipelihara oleh masyarakat serta kebiasaan menghilangkan balak tersebut masyarakat Dataran
hidup sebagai petani dalam mencapai kebutuhan Tinggi Dieng memohon keselamatan kepada Tuhan
keluarganya. Hal ini sependapat bahwa dalam Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam kegiatan
kebudayaan terkandung ilmu pengetahuan, sehari-hari masyarakat Dieng Kulon berlandaskan
kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan syariat Islam. Unsur kebudayaan yang ketujuh
kemampuan yang lain serta kebiasaan yang adalah kesenian. Kesenian yang tumbuh dalam
diadaptasi oleh manusia sebagai anggota masyarakat masyarakat Dieng adalah tari rampak yakso, tari
(Sulasman & Gumilar, 2013: 57-59; Yunus, 2014: kuda lumping, tari lengger, dan wayang kulit.
1-4). Fortes (Tilaar, 1999:54) mengemukakan tiga
Unsur-unsur kebudayaan dibagi menjadi variabel utama dalam transformasi budaya, (1)
tujuh: (a) bahasa, (b) sistem pengetahuan, (c) unsur-unsur yang ditransformasikan, (2) proses
organisasi sosial, (d) sistem peralatan hidup dan transformasi, dan (3) cara transformasi. Unsur-
teknologi, (e) sistem mata pencaharian hidup, (f ) unsur yang dapat ditransformasikan berupa
sistem religi, (g) kesenian (Koentjaraningrat, 1990: nilai budaya, adat-istiadat masyarakat, konsep
206-208; Sulasman & Gumilar, 2013: 39-46). kehidupan masyarakat, sikap dalam pergaulan
Berdasarkan temuan penelitian unsur masyarakat, dan cara hidup dalam masyarakat.
kebudayaan yang pertama adalah bahasa. Berdasarkan temuan penelitian unsur-unsur
Masyarakat Dieng Kulon menggunakan bahasa transformasi adalah berupa nilai budaya dan adat
Jawa Banyumas dalam kehidupan sehari-hari. istiadat. Nilai budaya yang terkandung dalam DCF
Unsur kebudayaan yang kedua adalah sistem yang dapat ditranformasikan dalam kehidupan
pengetahuan. Di Dieng Kulon terdapat sekolah bermasyarakat adalah (1) nilai religius: kejujuran,
TK, SD, dan madrasah pengajian yang biasanya keadilan, kebenaran, dan kesholehan yang
digunakan oleh anak-anak Dieng Kulon. Unsur ditampilkan oleh pemangku adat Dieng dalam
kebudayaan yang ketiga adalah organisasi sosial. memimpin upacara ritual. Dalam upacara ritual
Organisasi sosial masyarakat di Dieng Kulon dibacakan doa-doa yang terdapat dalam Alquran.
seperti PKK, Pokdarwis, dan Karang Taruna. Unsur Kegiatan ritual ini bertujuan untuk meminta
kebudayaan yang keempat adalah sistem peralatan keselamatan kepada Allah SWT untuk anak yang
hidup dan teknologi, peralatan dalam pertanian dititipi sakit dengan cara yang berbeda agar sehat
khususnya sudah menggunakan alat penyemprot dan mendapat perlindungan dari Allah. Berbagai
pupuk. Masyarakat Dieng Kulon sudah banyak yang peninggalan masa lampau umat Hindu terdapat di
mengangkut hasil pertanian dengan menggunakan Dieng, antara lain candi, arca, batu tulis, dan situs
motor dan mobil pribadi. Masyarakat Dieng Kulon purbakala lain. Masyarakat Dieng walaupun banyak
dalam teknologi komunikasi sudah banyak yang memiliki peninggalan umat Hindu, masyarakat
memiliki handphone dan telepon rumah. Unsur Dieng hampir semua telah memeluk Islam.
kebudayaan yang kelima adalah sistem mata Masyarakat dengan demikian tetap melestarikan
pencaharian hidup. Mata pencaharian masyarakat dan menjaga tempat ibadah umat Hindu tersebut.
Dieng Kulon adalah sebagai petani, dengan Masyarakat sangat menghormati dan menghargai
komoditas utama kentang dan carica. Masyarakat apa pun peninggalan para leluhur. Ritual cukur
Dieng Kulon selain menanam kentang dan carica, rambut gimbal pun biasanya dilaksanakan di
juga menanam sayuran kol, kubis, terong belanda, kompleks Candi Arjuna.

86
Journal of Urban Society’s Art | Volume 3 No. 2, Oktober 2016

(2) nilai estetika (keindahan): nilai estetika Menurut Wibisono (Nurgiantoro, 2011:20),
ini ditampilkan dalam bentuk karya seni baik untuk menjadi karya agung dunia terdapat enam
itu berupa suara, musik, maupun tarian. Dalam persyaratan yang harus terpenuhi, yaitu: (1) nilai
ritual cukur rambut dari awal sampai ritual selesai, luar biasa sebagai karya agung ciptaan manusia; (2)
diiringi oleh tembang macapat dan gamelan. Pada berakar pada tradisi budaya atau sejarah budaya
saat kirab budaya akan diiringi oleh berbagai tarian masyarakat yang bersangkutan; (3) berperan
seperti tari rampak yakso dan kuda lumping. sebagai sarana pernyataan jati diri bangsa atau
(3) nilai kemanusiaan: nilai kemanusiaan ini suku bangsa yang bersangkutan yang berfungsi
ditampilkan dalam prosesi ngalab berkah, yang sebagai sumber inspirasi pertukaran budaya,
mengajarkan untuk berbagi dan memberikan sebagai sarana membuat rakyat semakin dekat
sebagian rezeki kepada orang lain. Prosesi satu dengan yang lain, dan peran sosialnya masa
pelarungan mengajarkan untuk berbagi rezeki kini dalam masyarakat yang bersangkutan; (4)
kepada makhluk Allah yang lain seperti hewan kegunaan dalam penerapan keterampilan dan sifat
dan tumbuhan. teknik yang diperlihatkan; (5) perannya sebagai
(4) nilai kebersamaan: nilai kebersamaan tradisi budaya yang hidup; (6) risiko budaya yang
ditampilkan dalam keterlibatan masyarakat dalam bersangkutan bisa punah karena kekurangan sarana
ritual cukur rambut gimbal yang dibungkus untuk melestarikan dan melindunginya.
dengan DCF. Gotong royong dilaksanakan untuk Berdasarkan temuan penelitian, wayang
mempersiapkan ritual cukur rambut massal. Cukur merupakan karya agung yang mempunyai moralitas
rambut massal ini adalah untuk meringankan beban tinggi ciptaan manusia, wayang berasal dari sejarah
biaya ritual kepada para orang tua dan sekaligus masyarakat Jawa. Pagelaran wayang adalah wahana
melestarikan dan memperkenalkan budaya lokal untuk membuat rakyat sebagai penonton semakin
Dieng kepada para wisatawan. dekat satu sama lain, dan wayang berperan sebagai
(5) nilai demokratis: nilai demokratis terlihat tradisi yang hidup di dalam masyarakat. Wayang
dalam persiapan menjelang ritual massal cukur merupakan salah satu budaya yang bersifat lisan
rambut gimbal. Berbagai aspirasi ditampung dan dan tak benda yang penting untuk dilestarikan.
dimusyawarahkan agar mencapai keputusan secara Nilai karakter yang terkandung dalam
demokratis dan bertanggung jawab. karakter bangsa adalah nilai-nilai yang berlaku,
(6) nilai kemakmuran: nilai kemakmuran diyakini, dan disepakati untuk dilaksanakan
ini dapat dilihat dari bertambahnya penghasilan oleh setiap masyarakat di suatu negara. Nilai
masyarakat yang dikarenakan oleh DCF. karakter tersebut bisa didapatkan dari wayang.
Bertambahnya penghasilan tersebut dari penjualan Nilai-nilai karakter merupakan nilai-nilai luhur
tiket, penjualan makanan, oleh-oleh, pernak- yang kemudian dijadikan pedoman dalam hidup.
pernik, dan jasa homestay. Menurut Nurgiyantoro (2011: 29), cerita wayang
Dalam DCF terdapat seni pertunjukan wayang dan karakter para tokohnya banyak yang dijadikan
kulit. Wayang merupakan salah satu warisan panutan, prinsip hidup, sumber pencarian nilai-
masyarakat Jawa yang hingga kini masih popular. nilai, atau paling tidak memengaruhi sikap hidup
Wayang telah diakui Unesco sebagai Masterpiece of masyarakat penggemar cerita itu. Berdasarkan
Oral and Intangible Heritage of Humanity (karya- temuan penelitian, wayang bukan saja merupakan
karya agung lisan dan tak benda warisan manusia). suatu bentuk kesenian yang digemari, namun
Wayang ini memiliki nilai tinggi bagi peradaban telah menjadi bagian hidup yang dibutuhkan
manusia dan mengandung penuh ajaran moral masyarakat. Cerita wayang menampilkan dua
yang tinggi sehingga wayang disebut sebagai karya kelompok yang bertentangan: kelompok baik dan
agung. Karya agung dan penuh ajaran moral tinggi kelompok jahat. Kelompok dengan karakter baik
ini dapat mentransformasikan nilai-nilai yang inilah yang dapat dijadikan teladan, inspirasi, dan
ada di dalam wayang untuk upaya pembangunan pembangun karakter bangsa. Tidak sedikit juga
karakter bangsa. para orang tua kadang memberi nama sang anak

87
Yuni Harmawati, dkk., Dieng Culture Festival sebagai Kearifan Lokal

menggunakan nama tokoh baik dalam wayang, tersebut meminta dipotong dan sudah mengajukan
seperti Yudhistira, Bima, Arjuna, Sadewa, dan permintaannya. Bagi masyarakat Dieng, upacara
Kresna. Tokoh baik wayang sangat membekas di ruwatan ini memiliki makna yang sakral. Masyara-
hati masyarakat Indonesia, dalam hal ini masyarakat kat Dieng yakin jika sang anak sudah diruwat dan
Jawa khususnya. Seni wayang mengandung dipotong rambutnya, sang anak telah terbebas dari
banyak nilai dari falsafah hidup spiritual, etika, sukerta (malapetaka) yang dititipkan oleh Mbah
musik, hingga keindahan atau estetika. Nilai Kolodete. Ketenangan hati dapat dirasakan para
yang terkandung dalam wayang antara lain nilai orang tua yang sudah meruwat dan memotong
religius, nilai gotong royong, nilai kerukunan, nilai rambut sang anak yang gimbal.
kedamaian, nilai kepedulian, nilai ketentraman. Kirab budaya ini dimulai dari rumah
Hal ini sejalan dengan pendapat Udasmoro pemangku adat yang berada di Gang Pringgondani.
(1999:39) yang menyatakan bahwa wayang berisi Dalam kirab tersebut diiringi oleh rombongan tetua
pesan-pesan yang disampaikan oleh dan untuk adat, tokoh masyarakat, anak bajang (berambut
masyarakat baik secara sadar (conscious) sebagai gimbal) bersama dengan para orang tuanya, dan
sarana pendidikan maupun secara tidak sadar berbagai kesenian. Di barisan pertama adalah
(unconscious) sebagai sarana filosofis. Oleh karena sesepuh adat dan pemangku adat. Para rombongan
itu dapat disimpulkan bahwa pembangunan pertama tersebut memakai pakaian tradisional Jawa
karakter bangsa tidak lepas dari tradisi nilai luhur lengkap dengan pakaian beskap hitam, kain batik,
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia selama tradisi pelengkap blangkon, dan pusaka yang dipakai di
nilai luhur tersebut mampu mengikuti dan masih belakangnya. Baris yang kedua adalah pembawa
relevan dengan zaman yang semakin modern. sesaji dan barang-barang permintaan anak rambut
Dalam hal ini harus dipercayai bahwa eksistensi gimbal. Barisan ketiga adalah sang anak bajang
bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari nilai- dan para orang tuanya, dan barisan yang terakhir
nilai luhur tradisional yang memiliki sejarah yang adalah rombongan kesenian. Setelah berkeliling
amat panjang dalam mengawal pertumbuhan dan
kemajuan bangsa ini yang salah satunya adalah
wayang. Pertunjukan wayang kulit mengandung
makna filosofi mendalam dan berisi berbagai ajaran
dan nilai-nilai estetika dan etika. Memahami
wayang berarti dapat mengenali kehidupan
sendiri. Lakon-lakon yang ditampilkan seolah-
olah menggambarkan kehidupan manusia sendiri
(Nurgiyantoro, 2011:28-29; Lestari, 2006:1-2).
Masyarakat Dieng memercayai bahwa sang
anak berambut gimbal adalah titisan Mbah Kolo-
dete sehingga harus diruwat. Ada yang menye-
butkan bahwa berambut gimbal itu sebenarnya
merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
dinginnya suhu Dieng, kurangnya menjaga keber-
sihan, dan asupan makanan yang salah. Namun a-
nehnya, jika hal tersebut merupakan suatu penyakit
seharusnya jika diperiksakan ke dokter dan memi-
num obat maka akan sembuh. Akan tetapi, pada
kenyataannya tidak sembuh. Justru rambut gimbal
tersebut tidak akan tumbuh kembali ketika anak
tersebut telah melakukan ruwatan pada waktu yang Gambar 1. Prosesi pemotongan rambut gimbal
tepat. Waktu yang tepat adalah waktu ketika anak (Foto: Yuni 2015)

88
Journal of Urban Society’s Art | Volume 3 No. 2, Oktober 2016

Dieng, rombongan tersebut berhenti di Sendang Proses transformasi ini ada tiga, yaitu imitasi,
Sedayu untuk melakukan ritual jamasan. Ritual identifikasi, dan sosialisasi. Berdasarkan temuan
jamasan ini adalah ritual siraman sang anak bajang. penelitian, proses transformasi melalui proses
Ritual ini diawali dengan pembacaan doa oleh imitasi adalah masyarakat mengaplikasikan atau
tetua adat di depan pintu Sendang Sedayu. Setelah meniru tingkah laku dari lingkungan sekitar. Hal
pembacaan doa, satu per satu sang anak dibasahi yang diimitasi ini adalah unsur-unsur yang berupa
rambutnya. Sang anak kemudian dikawal menuju nilai budaya, adat istiadat, dan pergaulan di dalam
tempat pencukuran di kompleks Candi Arjuna. masyarakat. Adat istiadat ritual cukur rambut
Sesampainya di Candi Arjuna para rombongan gimbal mengandung nilai religius sehingga di dalam
disambut oleh wisatawan dan penonton serta musik kehidupan yang sebenarnya masyarakat bertindak
gamelan. Sebelum memotong rambut gimbal, religius. Bertindak religius seperti halnya taat dan
terlebih dahulu sang pemangku adat membacakan patuh terhadap agama yang dianutnya. Dalam
doa. Setelah membacakan doa, satu per satu sang hal ini menjadikan agama atau kepercayaannya
anak dipotong rambutnya dan rambut tersebut merupakan pedoman hidup atau pegangan hidup.
dibungkus dengan kain dan dimasukkan ke dalam Unsur-unsur tersebut harus diidentifikasikan sesuai
kendi kecil untuk dilarungkan ke Telaga Warna. dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri.
Setelah dicukur, panitia menyerahkan benda yang Nilai dari unsur-unsur tersebut disosialisasikan
diminta oleh sang anak gimbal. dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan
Selesai prosesi pencukuran, ada prosesi ngalab sekolah agar semua warga dalam keluarga, warga
berkah. Ngalab berkah ini adalah memperebutkan dalam masyarakat, dan warga dalam sekolah
sesaji yang terdiri dari tumpeng robyong, ayam memahami dan dapat menjalankan sesuai dengan
ingkung, jajanan pasar, dan buah-buahan. apa yang dicita-citakan tanpa mengubah makna
Masyarakat Dieng memercayai bahwa orang yang dari unsur-unsur tersebut.
mendapatkannya akan mendapat berkah. Setelah Cara untuk mentransformasikan budaya yang
ngalah berkah selesai, maka saatnya pelarungan paling utama adalah dengan cara peran serta. Peran
rambut gimbal yang sudah dipotong dan sebagian serta ini merupakan cara transformasi budaya
sesaji. Pelarungan ini dilakukan di Telaga Warna melalui partisipasi atau peran serta masyarakat
yang nantinya akan mengalir ke Sungai Serayu dan dalam kegiatan sehari-hari. Masyarakat dalam hal
akan bermuara di Laut Selatan. Inilah adat istiadat ini terjun langsung dalam kegiatan tersebut seperti
yang masih dilestarikan oleh masyarakat Dieng. kegiatan cukur rambut gimbal dan ritual lain.
Dalam peristiwa ini terdapat banyak wisatawan Bimbingan dalam hal ini dapat berupa hukuman
yang datang hanya untuk melihat adat istiadat yang dan teguran dalam lingkungan masyarakat. Hal ini
unik ini sehingga dapat menambah penghasilan mungkin lebih tepatnya sebagai pengingat ataupun
masyarakat Dieng. sebagai norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Dalam masyarakat desa yang belum ada pengaruh
globalisasi, terdapat norma-norma yang kental
dan masih dijaga oleh masyarakat. Kondisi ini
juga terjadi di Dieng, di mana masyarakatnya
masih menaati betul norma yang sudah ada sejak
dulu. Masyarakat Dieng secara turun-temurun
mempertahankan dan melestarikannya.
Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpul-
kan bahwa persepsi masyarakat Dieng mengenai
tradisi cukur rambut gimbal memiliki makna
yang sakral dalam kehidupan masyarakat.
Gambar 2. Prosesi perarakan anak bajang Persepsi masyarakat Dieng mengenai tradisi
(Foto: Yuni 2015) DCF adalah mengajarkan sebagai manusia untuk

89
Yuni Harmawati, dkk., Dieng Culture Festival sebagai Kearifan Lokal

menjaga keharmonisan hubungan manusia Dieng dapat memaknai hidup di dunia. DCF
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan mengajarkan untuk selalu bergotong royong dalam
sesama manusia, dan hubungan manusia dengan hal apa pun untuk kepentingan bersama. Dalam
alam sekitar. Secara turun-temurun masyarakat upacara ritual cukur rambut gimbal, dalam hal
Dieng mentransformasikan adat istiadat tersebut ini mengajarkan untuk saling ingat kepada Tuhan
tanpa mengubah makna sebenarnya dari cukur Yang Maha Esa karena selalu diberi kesempatan
rambut gimbal. Tradisi DCF memiliki beberapa untuk hidup serta memiliki kesehatan, kebahagiaan
nilai budaya yang dapat ditransformasikan dan hidup, dan apa pun itu dilakukan hanya karena
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai- Tuhan Sang Mahakuasa. Upacara ritual ini dengan
nilai tersebut adalah nilai religius, nilai kemanusian, demikian memberikan anggapan bahwa masyarakat
nilai estetika, nilai kebersamaan, nilai demokratis, Dieng mendapatkan kekuatan spiritual untuk
nilai kemakmuran, nilai gotong royong, nilai menyelamatkan dan menghindarkan dari segala
kerukunan, nilai kedamaian, nilai kepedulian, macam bencana. Kegiatan upacara ini tidak lepas
dan nilai ketenteraman. Dapat disimpulkan bahwa dari ajaran agama yang mereka anut.
pembangunan karakter bangsa tidak lepas dari nilai Kedua, hakikat kerja atau hakikat dari
luhur yang dimiliki oleh bangsa Indonesia selama karya manusia. Kegiatan DCF mengajarkan
tradisi nilai luhur tersebut mampu mengikuti bahwa meningkatkan nilai kemakmuran dengan
dan masih relevan dengan zaman yang semakin mengembangkan budaya lokal adalah hak asasi
modern. manusia. Para generasi muda melestarikan budaya
dan tradisi masyarakat Dieng sekaligus menambah
Relevansi Nilai Budaya Tradisi Ritual nilai kemakmuran dalam kegiatan DCF. Warga
Pemotongan Rambut Gimbal, Tari Rampak masyarakat yang sehari-hari berprofesi petani
Yakso, Kuda Lumping, dan Wayang dalam dapat berpartisipasi dalam kegiatan kesenian
Tradisi DCF tari dan ritual cukur rambut gimbal serta dapat
mengembangkan usaha produksi oleh-oleh dan
Menurut Kluchkohn (Yunus, 2014: 105), pernak-pernik miniatur wayang ataupun candi.
setiap sistem nilai budaya dalam tiap kebudayaan Ketiga, hakikat waktu. Berjalan dan
mengandung lima masalah dasar dalam kehidupan berputarnya waktu tidak dapat dihindari. Waktu
manusia, yakni hakikat hidup, hakikat kerja, merupakan hal yang tidak dapat diputar kembali
hakikat waktu, hakikat hubungan manusia dengan sehingga jika manusia tidak berhati-hati dalam
sesamanya, dan hakikat hubungan manusia dengan mempergunakan waktu, manusia akan rugi.
alam sekitarnya. Berdasarkan temuan penelitian, Tradisi, begitu juga dari waktu ke waktu lambat
DCF mengandung kelima masalah dasar dalam laun akan terkikis oleh zaman. Oleh karena itu,
kehidupan manusia tersebut. Pertama, hakikat manusia harus melestarikannya. Masyarakat Dieng
makna. Dalam kegiatan DCF, masyarakat sadar bahwa nilai-nilai tradisi semakin lama akan

Gambar 3. Tari kolosal Rampak Yakso diperagakan oleh pemuda dan masyarakat yang sebagian besar berprofesi
sebagai petani (Foto: Yuni 2015)

90
Journal of Urban Society’s Art | Volume 3 No. 2, Oktober 2016

semakin banyak yang ditinggalkan oleh masyarakat. kegiatan upacara ritual cukur rambut gimbal dalam
Oleh karena itu, masyarakat Dieng melestarikan DCF, terlihat masyarakat saling bergotong royong
nilai tradisi tersebut melalui kegiatan DCF karena dalam melaksanakan kegiatan ini. Masyarakat dan
kegiatan tersebut mampu menarik banyak kalangan panitia mengajak peserta untuk bergotong royong
untuk melestarikannya. dalam kebersamaan menjaga lingkungan.
Keempat, hakikat hubungan manusia dengan Kearifan lokal identik dengan perilaku ma-
alam sekitarnya. Melalui DCF, masyarakat Dieng nusia yang berhubungan dengan: (1) Tuhan, (2)
dapat menjaga keseimbangan hubungan manusia tanda-tanda alam, (3) lingkungan hidup/pertani-
dengan alam. Dalam tradisi upacara ritual cukur an, (4) membangun rumah, (5) pendidikan, (6)
rambut gimbal yang dilaksanakan dalam DCF upacara perkawinan dan kelahiran, (7) makanan,
mengajarkan bagaimana menjaga keseimbangan (8) siklus kehidupan manusia dan watak, (9) ke-
dengan alam. Hal ini dapat dilihat saat napak tilas sehatan, (10) bencana alam sehingga kearifan lokal
ke mata air lalu ke Telaga Warna. Saat itulah warga merupakan bagian dari tradisi budaya yang dinamis
masyarakat asli menjaga alam. Napak tilas tersebut dan dapat diciptakan dari kemampuan masyara-
memberi gambaran bahwa sebagai manusia wajib kat untuk menerima pengaruh luar melalui proses
merawat dan bersyukur atas limpahan alam yang kreatif yang melahirkan ciptaan baru yang kreatif
Tuhan berikan. Dalam DCF pun terdapat kegiatan (Wagiran, 2012: 4-7; Dahliani, 2015: 163-165).
penanaman pohon kembali dan pemungutan Berdasarkan temuan penelitian, kearifan lokal
sampah. Kegiatan DCF dengan demikian bukan masyarakat dataran tinggi Dieng dapat dilihat
hanya kegiatan yang hanya melestarikan budaya, berdasarkan kearifan lokal yang berhubungan
tetapi kegiatan untuk melestarikan alam dan dengan Tuhan Yang Maha Esa, kehidupan sehari-
lingkungan. Oleh karena itu, DCF dapat dikatakan hari, selanjutnya dengan berbagai upacara ritual
sebagai kegiatan dalam masyarakat yang berkaitan yang mereka miliki, kemudian kearifan lokal
dengan alam dan lingkungan. Hal ini sependapat dalam menjaga keharmonisan dan kearifan lokal
dengan (Fahrianoor, 2013: 38), yang menyatakan yang berkaitan dengan seni. Dalam masyarakat
bahwa local wisdom is related to activities of the Jawa tertanam konsep tentang menjaga hubungan
community, especially in relation with interaction yang harmonis antara manusia dengan Tuhan,
towards the nature. Kearifan lokal yang berkaitan manusia dengan manusia, dan manusia dengan
dengan kegiatan masyarakat dengan demikian lingkungan. Konsep tersebut bertujuan untuk
menurut Fahrianoor dkk. berkaitan dengan tercapainya hidup yang selaras, serasi, dan
interaksi masyarakat terhadap alam. seimbang. Masyarakat Dieng sangat menjaga
Kelima, hakikat hubungan manusia dengan hubungan baik dengan Tuhan, dan hal ini dapat
manusia lain. Secara umum, manusia membutuhkan dilihat dari cara masyarakat Dieng menjalankan
manusia lain untuk hidup. Hal ini tercermin dalam kewajiban sebagai umat Tuhan yang baik.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Dieng adalah
sebagai petani yang sederhana dan selalu berusaha
untuk meningkatkan baik itu ekonomi maupun
SDM untuk memajukan Desa Dieng. Masyarakat
Dieng mempunyai berbagai upacara ritual, salah
satunya adalah ritual cukur rambut gimbal. Ritual
cukur rambut gimbal merupakan ritual spiritual
yang menciptakan ketenangan hati masyarakat,
yakni ucapan syukur dan meminta keselamatan
kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Upacara ritual
ini bertujuan untuk menjaga ke-seimbangan antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia,
Gambar 4. Persiapan ngalab berkah (Foto: Yuni 2015) dan manusia dengan alam.

91
Yuni Harmawati, dkk., Dieng Culture Festival sebagai Kearifan Lokal

Kearifan lokal masyarakat Dieng dapat delapan, yaitu (1) norma-norma lokal yang
dilihat dari keharmonisan dalam berbagai kegiatan dikembangkan, seperti ‘laku Jawa’, pantangan
yang ada di masyarakat. Setiap hari Jumat selalu dan kewajiban; (2) ritual dan tradisi masyarakat
diadakan bersih desa dengan cara gotongroyong. serta makna di sebaliknya; (3) legenda dan mitos
Gotong royong merupakan budaya bangsa yang yang biasanya mengandung pesan-pesan tertentu
telah lama. Wujud gotong royong ini seperti yang hanya dikenali oleh komunitas lokal; (4)
yang telah masyarakat Dieng lakukan antara lain pengetahuan yang terhimpun pada pemimpin
membersihkan lingkungan, pesta pernikahan, adat; (5) kitab suci yang diyakini kebenarannya
upacara adat, dan saat terjadi bencana alam. oleh masyarakat; (6) cara komunitas lokal dalam
Diharapkan gotong royong menjadi landasan memenuhi kehidupan sehari-hari; (7) alat/bahan
semangat untuk membangun bangsa. Dengan untuk memenuhi kebutuhan tertentu; dan (8)
gotong royong dapat bersatu maju membangun kondisi sumber daya alam yang dimanfaatkan
bangsa. Intisari dari Pancasila adalah gotong royong dalam penghidupan masyarakat sehari-hari.
dengan tujuan untuk mencapai keadilan sosial bagi Berdasarkan temuan penelitian, masyarakat
seluruh rakyat Indonesia. Jawa mempunyai berbagai norma Jawa atau
Sesuai dengan pernyataan Soekarno dalam konsep Jawa yang dipakai dalam menjalankan
pidato 1 Juni 1945: “Gotong royong adalah kehidupannya. Di sekolah diajarkan konsep
pembantingan-tulang bersama, pemerasan- akhlak kang mulya, temuning jati diri iman lan
keringat bersama, pemerasan-keringat bersama, taqwa. Arti dari konsep tersebut adalah karakter
perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua yang mulia ditemukan dalam diri yang iman dan
buat kepentingan semua, keringat semua buat takwa. Para siswa dengan demikian dibiasakan
kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat untuk selalu meningkatkan iman dan takwanya
kepentingan bersama! Itulah gotong royong!” dengan cara memperdalam ilmu agama dan rajin
Dalam kegiatan ini tercipta keharmonisan dalam beribadah menurut ajaran agamanya. Terdapat
masyarakat dengan tujuan bersama yaitu untuk juga konsep karsaningsun memayu hayuning
menjaga lingkungan agar tetap bersih dan sehat. bawana, yang artinya hasrat, keinginan, niat yang
Kearifan masyarakat Dieng dapat dilihat melalui diarahkan untuk kesejahteraan dan keindahan alam
seni, baik itu seni tari maupun seni wayang. Seni untuk memperbaiki keadaan alam, kondisi hidup
tari antara lain berupa seni tari rampak yakso dan manusia, menciptakan perdamaian dan kerja sama
kuda lumping. Cerita dari seni tari dan seni wayang antarsesama hingga tercipta kehidupan yang gemah
ini dapat menjadi teladan bagi masyarakat Dieng. ripah loh jinawi titi tentrem kerto raharjo, yaitu
Hal ini sejalan dengan pendapat Sukirno yang menggambarkan bumi pertiwi Indonesia akan
(2009: 24), yang menyatakan bahwa bagi manusia kekayaan alamnya yang melimpah dan keadaan
Jawa, wayang merupakan pedoman hidup yang tenteram.
yaitu bagaimana masyarakat Jawa bertingkah Kebiasaan masyarakat Dieng adalah ngendong.
laku dengan sesama dan bagaimana menyadari Ngendong mempunyai arti berkumpul di tempat
hakikatnya sebagai manusia serta bagaimana dapat saudara ataupun tetangga sambil mengobrolkan
berhubungan dengan sang penciptanya. Diperkuat suatu hal, atau memusyawarahkan suatu hal dengan
dengan hasil penelitian Sukatno (2003: 15), yang kondisi santai tetapi bermakna. Masyarakat Jawa
menyatakan bahwa aspek-aspek yang terkandung juga mempunyai segudang konsep yang memiliki
di dalam pertunjukan wayang antara lain aspek nilai dan makna yang baik, misalnya becik ketitik
pendidikan, aspek harapan, aspek religius, dan ala ketara, yang artinya baik dan buruk pada
aspek filosofi. Hal ini dapat dilihat baik dari akhirnya akan terlihat. Nilai-nilainkonsep Jawa
simbol, lambang, dan lakon-lakon wayang yang apabila dipahami dengan saksama, nilai-nilai
dipergunakan dalam pertunjukan. konsep Jawa ini mampu menuntun masyarakat
Dikatakan pula oleh Wagiran (2012:6), hidup berdampingan secara harmoni, selaras, dan
lingkup kearifan lokal dapat dibagi menjadi seimbang dengan lingkungan dan kondisi yang

92
Journal of Urban Society’s Art | Volume 3 No. 2, Oktober 2016

terjadi. Kearifan lokal dalam lingkup ini dapat upacara merupakan unsur yang terpenting dalam
membangun karakter bangsa. kehidupan beragama karena melalui upacara
Lingkup kearifan lokal yang kedua adalah ritual manusia dapat menyatakan hubungannya dengan
dan tradisi serta makna di baliknya. Berdasarkan penguasa yang disembah. Upacara dalam hal ini
temuan penelitian, di masyarakat Dieng terdapat selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan
upacara ritual cukur rambut gimbal. Makna di eksistensi dan hubungan masyarakat Dieng dengan
balik upacara ritual cukur rambut gimbal adalah lingkungan tempat mereka berada.
mengucap syukur kepada Tuhan dan memohon Hal selanjutnya adalah pengetahuan yang
keselamatan untuk masyarakat Dieng khususnya terhimpun pada pemimpin adat, bahwa sebagai
dan masyarakat Indonesia umumnya. Nilai yang masyarakat turun-temurun harus tetap melestarikan
dapat diambil dari upacara ritual cukur rambut tradisi peninggalan leluhur. Hal ini dilakukan agar
gimbal adalah menjaga keharmonisan hubungan nilai-nilai tradisi tidak hilang. Berdasarkan temuan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama penelitian, kitab suci yang diyakini kebenarannya
manusia, dan hubungan manusia dengan alam atau oleh masyarakat adalah Alquran dan sebagian
lingkungan sekitar. meyakini Injil. Hal ini dikarenakan sebagian besar
Lingkup kearifan lokal yang ketiga adalah masyarakat memeluk agama Islam dan sebagian
legenda dan mitos yang biasanya mengandung kecil lainnya adalah Kristen.
pesan-pesan tertentu. Berdasarkan temuan peneliti, Berdasarkan temuan penelitian, cara
mitos dan legenda di dataran tinggi Dieng adalah komunitas lokal dalam memenuhi kehidupan
mengenai Mbah Kolodete dan sang anak berambut sehari-hari adalah dengan bertani. Pertanian di
gimbal titisan Mbah Kolodete. Masyarakat dataran dataran tinggi Dieng sangat maju dan menjadi
tinggi Dieng telah memercayai hal tersebut dari andalan bagi masyarakat Dieng. Komoditas
masa lampau. Siring berjalannya waktu sebagian utama yang dihasilkan adalah kentang dan carica
masyarakat memercayai bahwa rambut gimbal (gandul gunung). Berdasarkan temuan penelitian,
adalah suatu keunikan penyakit titipan Allah yang alat/bahan untuk memenuhi kebutuhan tertentu
disebabkan adanya suhu dingin, pola makan, dan adalah alat-alat pertanian seperti penyemprot
kurangnya menjaga kebersihan. Masyarakat dataran pupuk dan cangkul. Kondisi sumber daya alam
tinggi Dieng masih banyak yang memercayai mitos yang dimanfaatkan dalam penghidupan masyarakat
tersebut yaitu mitos dalam pengertian titipan Mbah sehari-hari cukup melimpah. Di dataran tinggi
Kolodete. Pesan yang dapat diambil dalam mitos Dieng banyak terdapat mata air yang dimanfaatkan
tersebut adalah bahwa anak berambut gimbal itu dalam penghidupan masyarakat. Masyarakat
istimewa dan harus diperlakukan secara istimewa Dieng tidak hanya memanfaatkan saja, tetapi juga
dan hati-hati agar tidak terjadi malapetaka. Dalam merawat dan melestarikannya.
menghilangkan balak yang terdapat di dalam diri Berdasarkan temuan penelitian dapat
anak gimbal tersebut, maka harus mengadakan disimpulkan bahwa kearifan lokal masyarakat
upacara ritual cukur rambut gimbal. Masyarakat Dieng mempunyai nilai-nilai budaya yang dapat
dengan demikian, dilarang mencukur sembarangan dijadikan dasar hidup bermasyarakat untuk
tanpa adanya upacara ritual. Berdasarkan hasil membangun karakter bangsa. Nilai-nilai tersebut
wawancara dengan tokoh agama, upacara pantas dijadikan fondamen hidup karena di
pemotongan rambut gimbal tidak bertentangan dalamnya terkandung aspek weruh, eling, dan
dengan agama yang dianut oleh masyarakat Dieng. ening. Weruh mengandung arti tahu tentang
Tahap-tahap upacara dalam hal ini terdapat nilai- jati diri sebagai makhluk Tuhan, yaitu sehebat-
nilai religius yang baik dan cocok dan dapat hebatnya manusia tetap di bawah kendali
dijadikan tuntunan dalam masyarakat, sehingga Tuhan Yang Maha Esa. Eling artinya manusia
kajian agama tidak dapat dilepaskan dari upacara. itu tidak boleh lupa bahwa dirinya kelak akan
Hal ini diperkuat dengan pendapat kembali kepada Tuhan yang telah menciptakan
Rumansara (2003: 212), yang menyatakan bahwa manusia. Ening berarti manusia wajib untuk

93
Yuni Harmawati, dkk., Dieng Culture Festival sebagai Kearifan Lokal

menyempatkan diri mengingat Tuhan dengan Kepustakaan


cara berdoa. Dapat disimpulkan bahwa terdapat
relevansi antara kearifan lokal dan karakter Abidin, Y. Z., & Beni, A. S. 2014. Pengantar Sistem
bangsa. Kearifan lokal dengan demikian dapat Sosial Budaya Di Indonesia. Bandung: CV
membangun karakter bangsa. Hal ini sependapat Pustaka Setia.
dengan Wagiran (2012:329), yang menyatakan Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan
bahwa nilai-nilai kearifan lokal bukanlah Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter
penghambat pada era global, namun menjadi Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
kekuatan yang luar biasa dalam membangun Dahliani. 2015. “Local Wisdom in Built
karakter bangsa. Environment in Globalization Era”.
International Journal of Education and
Simpulan Research, 6(3), 157–166.
Darahim, A. 2015. Membentuk Jati Diri & Karakter
Pembangunan karakter bangsa dan pen- Anak Bangsa. Jakarta: Institut Pembelajaran
didikan memiliki andil untuk memajukan agar Gelar Hidup.
menjadi bangsa yang maju dengan sumber daya Fahrianoor. 2013. “The Practice of Local Wisdom
manusia yang berilmu, berwawasan kebangsaan, of Dayak People in Forest Conservation in
dan berkarakter. Karakter merupakan hal yang South Kalimantan”. Indonesian Journal of
sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan Wetlands Environmental Management, 1(1),
bernegara sehingga hilangnya karakter menye- 37–46.
babkan akan hilangnya generasi penerus bangsa. Gustiningrum, PW dan Idrus Affandi. 2016.
Tujuan pembangunan karakter bangsa adalah un- “Memaknai Nilai Kesenian Kuda Renggong
tuk memperkuat jati diri bangsa, untuk menjaga dalam Upaya Melestarikan Budaya Daerah
keutuhan NKRI, untuk membentuk masyarakat di Kabupten Sumedang “. Journal of Urban
Indonesia yang berakhlak mulia, dan membentuk Society’s Art. 3(1), 20–27
bangsa yang bermartabat. Bangsa yang besar adalah Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.
bangsa yang memiliki karakter berasal dari nilai- Jakarta: PT Rineka Cipta.
nilai budaya masyarakatnya. Lickona, T. 2013. Educating for Character: How Our
Nilai kearifan lokal mempunyai relevansi Schools Can Teach Respect and Responsibility.
dengan pembangunan karakter bangsa. Oleh Jakarta: PT Bumi Aksara.
karena itu, upaya menggali nilai kearifan Nurgiyantoro, B. 2011. “Wayang Dan
lokal merupakan langkah yang strategis dalam Pengembangan Karakter Bangsa”. Jurnal
pembangunan karakter bangsa. Kearifan lokal Pendidikan Karakter, 1(1), 18–34.
merupakan nilai yang berlaku dan diyakini dalam Rumansara, E. H. 2003. “Transformasi Upacara
suatu masyarakat serta menjadi acuan bertingkah Adat Papua: Wor dalam Lingkungan Hidup
laku dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal Orang Biak”. Jurnal Humaniora, 2(15), 212–
dalam masyarakat dapat ditemui dalam semboyan, 223.
konsep, pepatah, nyanyian, kitab-kitab kuno, Sukatno, A. 2003. “Seni Pertunjukan Wayang
tradisi, dan cara masyarakat lokal memenuhi Ruwatan Kajian Fungsi dan Makna”.
kebutuhan hidupnya. Harmonia Jurnal Pengetahuan Dan Pemikiran
Seni, 1(1), 1–16.
Ucapan Terima Kasih Sukirno. 2009. “Hubungan Wayang Kulit dan
Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa”. Brikolase,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada 1(1), 16–32.
Prof. Dr. Sapriya, M.Ed. sebagai Ketua Departemen Sulasman, & Gumilar. 2013. Teori-Teori
Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana Kebudayaan: dari Teori Hingga Aplikasi.
Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

94
Journal of Urban Society’s Art | Volume 3 No. 2, Oktober 2016

Suparlan, H. 2014. Filsafat Pendidikan Ki Wagiran. 2012. “Pengembangan Karakter Berbasis


Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana
Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, 1(25), (Identifikasi Nilai-nilai Karakter Berbasis
1–19. Budaya)”. Jurnal Pendidikan Karakter, 3,
Tampubolon, A dan Cecep Darmawan. 2016. 329–339.
“Fashion Budaya Nasional dalam Konteks Yunus, R. 2014. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local
Wawasan Kebangsaan: Studi Kasus pada Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa
Jember Fashion Carnaval”. Journal of Urban Studi Empiris tentang Huyula. Yogyakarta:
Society’s Art, 3(1), 11–19. Deepublish.

95

Anda mungkin juga menyukai