Anda di halaman 1dari 13

Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

Dialektika Rasio dan Moral:


Refleksi Kritis Terhadap
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
A. Pendahuluan
Oleh : Irwandra
Apa yang tidak bisa kita ketahui?.
Pertanyaan seperti ini memang tidak lazim Rasio, sebagai sebuah kekuatan dan alat
dilontarkan dalam filsafat tentang ilmu. Yang bagi perkembangan ilmu pengetahuan
sering dikemukakan biasanya apa yang dapat telah menghadirkan wajah-wajah yang
kita ketahui, bagaimana kita bisa mengetahui, dan “menawan” bagi kehidupan saat ini. Namun
lain sebagainya. Padahal pertanyaan di atas dibalik itu, tersimpan luka yang semakin
tidak sekedar bermuatan ontologis dan kronis yang dapat menular dan
epistimologis, tapi juga bersifat aksiologis, menggerogoti sendi-sendi kemanusiaan
yakni mempertanyakan kembali batas yang dan keber-ada-an kita sebagai makhluk
bisa kita raih dengan pengetahuan dan yang unik dan memiliki keunggulan dari
bagaimana implementasinya dalam realitas makhluk lainnya. Moral-spiritual, itulah yang
kesejarahan dan kemanusiaan. menjadi pertaruhan kita saat ini di tengah
Apa yang dapat diketahui manusia menguatnya bangunan ilmu yang dipandu
hingga saat ini setidak-tidaknya telah banyak oleh nahkoda rasionalitas.
disingkap. Dilengkapi dengan metode yang
kian hari kian disempurnakan, kekuatan Key word : Rasio, Moral, Ilmu
rasio kita –dengan kecepatan yang sulit
dibayangkan– telah menelanjangi hampir
semua busana yang dikenakan alam, bumi mengetahuinya?.
dan langit, bahkan Tuhan. Kelahiran ilmu Kita tidak sedang menyuarakan
pengetahuan yang dibidani oleh filsafat telah keputusasaan dengan pertanyaan-
membengkak menjadi bayi raksasa yang pertanyaan di atas. Dalam keinginan untuk
dibesarkan oleh air susu rasionalitas mempertanyakan, tersimpan tidak hanya
manusia. Sebuah ironi jika akhirnya ia juga keraguan, tapi juga cinta. Keraguan dan cinta:
melahap wilayah kerja filsafat sampai yang dua hal yang meresahkan dan oleh karena
tersisa dari ladang ilmu hanya analisis bahasa. itu kurang disukai dan harus ditepiskan.
Di penghujung abad ini, filsafat menjadi Mengapa demikian?.
terlalu renta untuk berpacu dengan anak Kita hidup di tengah peradaban di mana
asuhnya sendiri. segala sesuatu harus ditentukan,
Jika demikian halnya, setelah apa-apa dirumuskan, didefenisikan dan akhirnya
yang dapat kita ketahui dengan kekuatan dikotak-kotakkan. Ilmu pengetahuan
rasio,1 apa lagi yang belum atau masih akan dengan teknologi sebagai anak kandungnya
kita ketahui?. Sampai kapan dan dimana kita telah menjadi pilar utama zaman modern ini.
tidak lagi merasa perlu mengetahui Produk-produk yang di ramu di
“sesuatu”?. Apakah “sesuatu” yang tidak laboratorium ilmu membuat hidup jadi
akan dapat diketahui itu?. Bisakah kita mudah. Dunia terasa sempit dan kecil, jarak

178 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

dan waktu terjembatani. kesadaran terdalam manusia. Amat sulit


Apa yang disodorkan ilmu untuk kita menemukan dimensinya jika pandangan
adalah barang jadi yang harus kita terima rasionalitas kita terbiasa ditujukan pada
untuk kemudian diyakini. Ilmu pengetahuan simbol-simbol konkrit, sementara nilai tidak
menjawab segala keraguan dan persoalan. terbiasa bicara dengan menggunakan
Maka sikap mempertanyakan hanya akan simbol.4 Ia ingin tampil apa adanya.
meruntuhkan jerih payah manusia yang Kejengahan ilmu pengetahuan modern
berabad-abad lamanya membangun untuk mengurai simbol-simbol itu membuat
konstruksi ilmu pengetahuan yang wilayah nilai semakin dianaktirikan sampai
bertumpu sepenuhnya pada kekuatan rasio. akhirnya meranggas. Akibatnya ilmu
Maka dalam percepatan pertumbuhannya, semakin eksklusif dengan struktur dan
ilmu menyisakan sedikit sekali waktu dan spesifikasinya sendiri dan membiarkan
ruang untuk kita sejenak meragukan. wilayah itu digarap oleh para pemerhati nilai
Dengan ilmu pengetahuan pula, manusia yang bersuntuk untuk menjadi penafsir
menciptakan sistem dan mekanisme dalam simbol nilai sekaligus pemberi makna. Sifat
kehidupannya di mana pada akhirnya kita eksklusifitas ilmu bukan saja dikarenakan
hanya menjadi satu sekrup kecil saja dari oleh keniscayaan rasio untuk menyentuh
mesin raksasa itu. Bukan kita lagi yang realitas nilai, tapi juga dikarenakan saratnya
memegang kendali mesin yang kini sedang muatan konflik yang dikandung realitas itu
menggelinding kencang, melainkan kitalah dalam dirinya sendiri, 5 sementara para
yang akhirnya terserimpung lalu terpuruk penafsirnya pun tidak punya kesepakatan
dalam kubangannya. Manusia tidak lagi yang jelas dan tepat tentang ukuran yang
membuat pengetahuan, tapi justru ilmu akan mereka kenakan. Contoh yang paling
pengetahuanlah yang telah menciptakan acap di angkat adalah tentang nilai
skenario bagi pola dan perjalanan kebebasan. Tidak seorangpun punya cukup
kehidupan, dan yang pada gilirannya keberanian untuk menjamin kebebasan
mencetak sosok-sosok makhluk yang orang lain karena ia juga tidak mampu
bernama manusia. menjamin nilai kebebasannya sendiri.
Ilustrasi di atas mengandaikan kepada Persoalan yang sama juga dihadapi ketika
kita sesuatu yang lain yang luput dari orang mencoba menerjemahkan nilai
jamahan rasio. Ada satu wilayah dalam ruang keadilan.6
kemanusiaan yang jarang dibicarakan, yaitu Lalu apa salahnya jika kemudian ilmu
realitas nilai 2 (baca: moral). Realitas ini membatasi diri untuk tidak terbebani oleh
sebenarnya hadir bersamaan (simultan) hal-hal yang dalam kacamata rasio dianggap
ketika ilmu berhadapan dengan obyek-obyek kurang jelas. Penegasan garis demarkasi
kajiannya. Denga kata lain, pada segala untuk wilayah kajian masing-masing adalah
sesuatu yang menjadi obyek ilmu, di sana salah satu upaya pragmatis yang semakin
pula nilai bermukim. Dalam bahasa mengukuhkan otonomi ilmu dalam
ontologi, sebuah obyek inderawi menyelesaikan persoalan-persoalannya
mengandung substansi sekaligus esensi.3 sendiri. Ilmu menentukan sendiri kriteria
Cuma sayangnya ia tidak tampil dalam kebenaran yang ia aplikasikan dalam
substansi-substansi yang jelas dan terukur keluasannya, demikian juga nilai. Apa-apa
sehingga layak untuk dirumuskan, yang diasumsikan oleh ilmu sebagai
melainkan penampakkannya hadir di selaput kebenaran diujikan dalam kriteria tersebut

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010 179


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

sebagai sesuatu yang memadai dalam situasi ilmu di satu pihak dan nilai di pihak lain
dan kondisi tertentu. Perubahan-perubahan menjadi saling “tarik-menarik”, apalagi
yang diberlakukan dalam kriteria itupun ketika disusupi oleh dan untuk kepentingan-
dimungkinkan sejauh hal itu dilakukan atas kepentingan yang sama sekali berada di luar
dasar kebenaran yang diakui ilmu itu sendiri. konteks keilmuan (epistemologi). Lebih
Dengan demikian ilmu pengetahuan lanjut, manusia sebagai pelaku utama berada
memiliki otoritas yang tidak ditentukan pada posisi di persimpangan jalan: arah
faktor di luar dirinya, termasuk nilai. mana yang harus diikuti? Problem ini dari
Dengan pendirian di atas, ilmu waktu ke waktu akan terus “menggelinding”
pengetahuan dapat membentangkan sayap dan menjadi kompleks serta pelik, ibarat
seluas-luasnya dalam kehidupan manusia. bola salju yang semakin lama semakin
Keputusan-keputusan yang harus dibuat membesar dan siap menabrak dan
manusia dalam rangka menyelesaikan soal- menggoyahkan apa saja yang dilewatinya.
soal yang muncul dalam kehidupannya akan
lebih efektif jika manusia melibatkan peran B Moral : Milik Siapa ?
serta nilai. Dengan nilai pula manusia bisa Manusia memiliki keistimewaan apabila
membuat prediksi dari pilihan-pilihan yang dibandingkan dengan makhluk lainnya. Ia
disodorkan kepadanya serta konsekuensi- mempunyai dimensi jasmaniah dan dimensi
konsekuensi yang timbul dari setiap rohaniah. Yang pertama bersifat imanen dan
keputusan. Kekeliruan- kekeliruan yang yang kedua bersifat transenden. Keduanya
mungkin muncul, juga dapat diperkecil jika merupakan kesatuan dalam menggerakkan
manusia berpedoman pada arah yang dan merealisasikan potensi-potensi dirinya:
digariskan ilmu dan perangkat kerjanya. berada sebagai manusia berarti
Tapi, sebagaimana telah kita paparkan memperistiwakan diri sendiri dalam alam
di atas, bahwa kelayakan-kelayakan yang jasmani, sehingga peristiwa manusia selamanya
dapat dinikmati manusia dari produk ilmu juga berupa peristiwa alam jasmani.8
yang diusahakannya malah memanjakan Kualitas-kualitas yang dimiliki manusia
manusia untuk mencari sesuatu yang belum ini kemudian melahirkan dinamika yang
diketahuinya. Kebenaran menjadi liang secara terus menerus berubah dan
kubur terakhir yang digali manusia untuk cenderung meningkat dan berkembang, atau
dirinya sendiri. Padahal dalam konteks dalam ungkapan yang lain, karena manusia
tertentu, kebenaran ilmiah pada dasarnya berpengetahuan, yang dengan itu ia
juga adalah sebuah interpretasi atas makna. bertanggung jawab menyingkap realitas
Lalu mengapa kebenaran ilmiah enggan hidupnya baik dalam gagasan, kesadaran dan
untuk bersentuhan dengan nilai?.7 Apakah tindakan. Dengan pengetahuannya manusia
karena keterlibatan, kegiatan ilmiah khawatir melakukan transendensi terhadap realitas,
kehilangan obyektifitasnya?, atau karena membuka pintu yang menutup kebenaran
persoalan-persoalan nilai tidak sekedar realitas: disini, ilmu pengetahuan merupakan
pilihan atas baik atau buruk (etika) tetapi juga upaya manusia yang secara khusus dengan
menyoal keterlibatan manusia dalam segala objek tertentu, terstruktur, sistematis,
proses pengetahuannya dan itu berarti rasional dan dengan menggunakan metode
mempertanyakan falsafah dasar dari sifat tertentu, menyingkap tabir yang menutup
subyektif manusia. realitas. Ilmu pengetahuan memungkinkan
Kondisi ini kemudian membuat posisi manusia berkomunikasi dan dengan

180 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

demikian meningkatkan martabat manusia, moral tidak dengan serta merta menjadi
karena dengan menemukan kebenaran maka sesuatu yang siap saji dan instan, ia beranjak
kualitas manusia menjadi teruji. secara bertahap seiring dengan
Ditengah-tengah usaha manusia dalam perkembangan yang terjadi pada diri
mengaktivisasikan, membentuk dan manusia, dari tahapan pra-moral ke moral.
membangun diri dan realitasnya, secara Pada tahap pra-moral, manusia belum
bersamaan ia di hadapkan pada berbagai mampu menjalankan kemanusiaannya.
pilihan-pilihan9 dan putusan yang harus di Hanya dengan lambat laun dia bertumbuh,
ambil dan diterima. Bahkan terkadang ia kemudian dia bisa berfikir dan
menjelma dalam bentuk konflik diri yang berkehendak.14 Dalam pandangan Abu A’la
mendalam. Tidak sedikit dari konflik diri al-Maududi, moral merupakan pembawaan
yang terjadi memasuki wilayah etika-moral. manusia sejak lahir dan lambat laun akan
Sehingga dapat dikatakan bahwa problem semakin bertambah melalui faktor usia
moral adalah problem manusia yang dari sebagai bahan standar umum lainnya dari
waktu ke waktu terus berubah dan tingkah laku moral, dimana ada sifat-sifat
berkembang. Oleh karenanya, ketika yang dapat diterima dan ada juga yang
memperbincangkan persoalan moral, tidak.15
sesungguhnya kita sedang membicarakan Dalam proses yang berlangsung ini yang
diri sendiri sebagai makhluk yang bebas. Di terjadi adalah dialektika moral antara
dalam persoalan moral, antara fakta, manusia sebagai pelaku moral dengan
pertimbangan dan pilihan (keputusan) realitasnya. Ia berhubungan dengan sesuatu
adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. yang sangat fundamental bagi terbentuknya
Dengan demikian, moralitas adalah suatu pribadi yang insan kamil. Moral tidak
masalah bagi pelaku-pelaku moral, makhluk- menampakkan dirinya (bereksistensi), tetapi
makhluk yang bertindak, yang melakukan ia adalah sebuah esensi (baca: potensi) yang
pilihan dan yang melakukan sesuatu secara terdapat dalam diri manusia. Moralitas
sadar. 10 Moralitas merupakan suatu timbul dari hidup itu sendiri dan merupakan
fenomena manusiawi yang universal, ia khas suatu usaha untuk menemukan dan
manusiawi.11 Moral juga bertindak sebagai menghayati kehidupan yang baik –cara ber-
hukum bagi makhluk rasional.12 ”ada” dan meng-”ada”; yakni kehidupan
Dalam perjalanan ilmu filsafat, masalah yang sehat, bahagia, berfaedah untuk
moralitas (etika) mendapat tempat kajian masyarakat dan berkembang sepenuhnya.16
yang sangat terhormat. Sejak zaman Yunani Dan disini pulalah salah satu letak keunikan
Kuno, Renaisance, sampai dengan eranya manusia dengan makhluk lainnya. Dan oleh
Erich Fromm.13 Etika dan moralitas selalu karena itu, sesungguhnya, “ketika kita belajar
menjadi kajian utama yang tidak pernah tentang etika (khususnya akhlak),17 maka kita
tuntas menuju arah penyelesaian, namun sedang belajar untuk menjadi manusia.
selalu muncul dengan pengejawantahan Secara filosofis, Adelbert Snijders
permasalahan moral yang baru, kompleks, mengungkapkan bahwa :
dan multi dimensional (sebagai contoh Dalam metafisika-”ada” tingkat
adalah masalah euthanasia, klonning, dan lain keunikan ditentukan oleh tingkat-ada. Dasar
sebagainya). kesamaan dalam hal “ada” bukan horizontal
Sekalipun diusianya yang semakin tua, melainkan vertikal. Setiap “keunikan” di
etika yang mewujud dalam bentuk kesadaran dunia ini bersifat contingens, berarti berada

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010 181


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

tetapi juga dapat tidak berada, yaitu tidak hidup manusia. Persoalan moral bukan
mempunyai dasar-berada pada dirinya sekedar persoalan moral, akan tetapi juga
sendiri. Setiap hal yang contingens hanya ber- merupakan persoalan pribadi, sosial,
ada karena relasi yang dasariah dan vertikal. ekonomi, politik dan internasional: 19
Segala keunikan di dunia ini bersifat kesatuan (dimensi jasmani dan rohani;
“diciptakan”. Sang Pencipta hadir di penulis) yang lebih sempurna barulah
dalamnya sebagai “Dasar Cukup”. Segala dicapai jika hidup manusia diharmoniskan,
keunikan di dunia ini adalah “anugerah”. disatukan dan diintegrasikan oleh dan dalam
Dasar Cukup itu sendiri tidak membutuhkan kepribadian,20 yang susila.21
dasar di luar diri-Nya. Dia identik dengan Jika demikian halnya, maka
dasar-Nya, tidak ada awal dan akhir, kekal sesungguhnya apapun yang dihasilkan atau
abadi. “Dia adalah Tuhan”. Keunikan ada merupakan produk dari pemikiran dan
pada kita sebagai anugerah dan sesuai perilaku manusia harus selalu didasari dari
dengan tingkatan-ada, yaitu ada keunikan dan oleh kodrat manusia itu sendiri, yaitu
yang rendah dan ada yang lebih tinggi. Relasi sebagai makhluk yang ber-akalbudi,22 dan
vertikal dalam diri manusia bersifat personal. diarahkan pada sebuah kondisi yang mampu
Manusia terbuka untuk mengetahui dan mengangkat citra manusia, sebagai makhluk
menyadari relasi vertikal tersebut. Kesadaran yang melakukan pilihan-pilihan moral.
inilah membuat manusia bersujud dan
menyembah. Cinta Allah mendapat respons c. Ilmu: Menuju Manusia yang
dalam diri saya. Manusia juga terbuka untuk Tercerahkan
sesama dan untuk segala kenyataan yang Sebagai makhluk yang menjasmani –
menyatakan diri dengan cara yang berbeda menurut Drijarkara– atau makhluk yang
dan sesuai dengan tingkatan-tingkatan terdiri dari matra manusia, di samping matra
keunikan masing-masing. Keterbukaan malaikat –menurut Ibnu Khaldun– manusia
manusia “seluas segala kenyataan”. Relasi melakukan interaksi yang relasional-
vertikal dalam segala ada-an merupakan konstruktif bagi dan terhadap dirinya.
dasar kesamaan dan dasar keunikan. Manusia, dengan segenap potensi23 yang ia
Keunikan adalah anugerah yang berasal dari miliki mencoba keluar dari dirinya. Dalam
sumber yang sama. Dalam segala keunikan, hal ini Louis Leahy mengatakan bahwa
hadir “relasi kepada Sang Pencipta”. Refleksi manusia diperlengkapi dengan jiwa –yang
metafisis atas keunikan dan kesamaan tak dapat direduksikan kepada dimensi
sekaligus menjadi argumen ketuhanan.18 badaniah, yang dengan itu ia menjadi suatu
Dengan demikian, manusia sebagai mahkluk yang khas dan unggul. Lebih lanjut
makhluk yang berkesadaran, atau memiliki Leahy menjelaskan, bahwa jiwa manusia
hati nurani (unik) –yang merupakan mempunyai fungsi, yang di antaranya adalah
perangkat dari moral– harus menampilkan pikiran (1) sebagai daya pelampauan. Dengan
keunikannya, yang dengan itu identitasnya daya ini manusia mampu membuat
sebagai makhluk yang unik bernilai bagi dan lompatan-lompatan yang menggagumkan
dalam perjalanan eksistensinya. Disinilah dalam kehidupan; (2) sebagai daya unifikasi
masalah moral mendapat pijakan, sehingga yang bersifat menyeluruh, berhubung
ia merupakan sesuatu yang menyatu dengan dengan segala macam data yang dimilikinya.
kehidupan itu sendiri. Ia bukan merupakan Melalui daya ini pula manusia menghimpun
bagian tertentu dari bidang dan tingkat data-data dari pengalamannya. Disini,

182 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

manusia bukan saja memikirkan dunia, tapi cara mempunyai. Untuk itu, ia tidak berupa
ia juga “menciptakan” dunia-dunia. Dengan penyitaan atau pemilikan benda-benda;
demikian, daya (pikiran) mewujudkan suatu sebaliknya berupa keterbukaan terhadap
transendensi otentik terhadap materi; (3) mereka. Tidak berupa penggunaan mereka,
sebagai daya refleksi yang dengan ini justru tetapi berupa penyadaran tentang eksistensi
menunjukkan ketidaktergantungannya dan kodrat mereka. Ia suatu kesempurnaan
terhadap materi dengan cara refleksi atas yang mengembangkan eksistensinya.30
dirinya sendiri; dan (4) kehendak sebagai daya Dalam tradisi pemikiran Islam,
kebebasan. Daya inilah memungkinkan pengetahuan yang digambarkan di atas,
semua menjadi berwujud.24 tercermin dari pemakaian dan
Penjelasan di atas, menyiratkan bahwa operasionalisasi dari makna yang terkandung
dalam konteks pengetahuan ia merupakan dalam kata ‘aql. Dari segi arti, ‘aql sama dengan
ciri dari ber-”ada” dan yang meng-”ada”nya al-hijr atau an-nuhâ yang berarti “kecerdasan”.
manusia. Malaikat dan hewan memiliki Dalam bentuk kata kerja ‘aqala ia bermakna
pengetahuan, namun pengetahuannya habasa yang memiliki arti “mengikat” atau
berbeda dengan manusia.25 Pada manusia, “menawan”.31 Dari pengertian ini berarti
pengetahuan sesungguhnya mengandung bahwa akal mampu mencegah (mengikat)
suatu nilai yang ada pada dirinya sendiri, manusia dari perbuatan-perbuatan yang dapat
sehingga ada semacam korelasi antara merendahkan dan menghinakan martabat
pengetahuan dan “ada”, antara tingkat kemanusiaannya. Dengan dan melalui
pengetahuan suatu “pengada” dan tingkat akalnya, manusia tampil sebagai seorang yang
kepenuhan yang dapat diberikannya kepada menarik dan memikat, sehingga orang yang
eksistensinya. Pengetahuan menjadikan berada di sekitarnya pun merasa aman dan
manusia berhubungan dan mengerti dengan nyaman. Bahkan, kehadirannya menjadi
orang lain dan dengan apa yang ada di sesuatu yang membawa dan memberikan
sekitar. 26 Oleh karenanya, pengetahuan manfaat bagi banyak orang. Hal ini sejalan
dapat dipahami sebagai sebuah usaha dan dengan hadits Nabi : “sebaik-baik manusia
upaya manusia untuk melakukan imanensi27 adalah yang memberikan manfaat kepada
yang sekaligus juga bertransendensi.28 manusia lainnya”.
Kebenaran dan kepastian pengetahuan, Lebih rinci, Imam Al-Ghazali
sesungguhnya hanya terjadi di dalam mengatakan bahwa akal mempunyai banyak
pengalaman eksistensial manusia. Bukan pengertian. Ia dapat berarti potensi yang
kebenaran yang jadi, tapi kebenaran yang terus membedakan manusia dari binatang dan
“menjadi”, bukan pula kebenaran ril yang statis, yang menjadikan manusia mampu menerima
tetapi kebenaran yang “merealisasi” dan berbagai pengetahuan teoritis. Akal juga
“mentransformasi” diri di dalam eksistensi dan berarti pengetahuan yang dicerna oleh
koeksistensi yang menyejarah. Sikap ini seorang anak yang telah mendekati usia
sekaligus merupakan reaksi penolakan dewasa, dimana –misalnya-– ia dapat
terhadap sikap rasa “keserbatahuan”, serta mengetahui bahwa sesuatu tidak mungkin
menekankan pada sikap kerendahan hati, ada pada sesuatu yang pada saat yang sama
kesabaran dan asketis intelektual dalam rangka ia tidak ada juga di tempat itu, atau dua itu
pengembangan epistemologi.29 lebih banyak dari satu. Makna ketiga dari
Dengan demikian, pengetahuan lebih akal, menurut al-Ghazali adalah
merupakan suatu cara berada daripada suatu pengetahuan yang diperoleh seseorang

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010 183


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

berdasar pengalaman yang dilaluinya dan maupun praktis, pertimbangan-


yang pada gilirannya memperhalus budinya. pertimbangan nilai yang disodorkan secara
Menurut kebiasaan, orang yang demikian ini interpretatif oleh etika sebagai suatu
dinamai “orang berakal”, sedang orang yang falsafah, hendaknya mendasari kegiatan
kasar budinya dinamai “tidak berakal”. tersebut.
Makna keempat dari akal adalah kekuatan Mengapa demikian? Manusia, sebagai
insting yang menjadikan seseorang makhluk yang memiliki kebebasan –yang
mengetahui dampak semua persoalan yang dengan itu ia berkemampuan untuk
dihadapinya, lalu mampu menekan hawa melakukan eksplorasi dan bereksperimen–
nafsunya serta mengatasinya agar tidak harus pula dibarengi dengan adanya sebuah
terbawa larut olehnya.32 pertanggungjawaban atas apa yang ia
Nashiruddin al-Tusi (w. 1274) juga perbuat dengan kebebasan yang dimilikinya.
menyatakan bahwa akal sebagai Kebebasan sebagai bagian dari kajian etika
kesempurnaan (kamâliyah/entelechy) manusia, (filsafat moral), memberikan keleluasaan
yang di atasnya tergantung harkat dan esensi bagi manusia dalam menentukan sendiri
manusia. Akal mempunyai kecakapan tindakannya, dan oleh karenanya ia dapat
kognitif, sehingga mampu menyerap entitas- dimintai pertanggungjawaban. Tanpa
entitas ma’qûlât (rohani), membedakan tanggung jawab, etika tidak akan berguna.36
antara yang baik dan yang buruk, antara yang Disini, antara kebebasan dan tanggung
terpuji dan yang tercela, dan antara yang jawab memiliki hubungan yang timbal balik,
benar dan salah. Selain memiliki fungsi yang satu dengan lainnya saling berimplikasi
kognitif, akal juga memiliki fungsi mengatur pada : kebebasan-mempertanggung-
(managing principle). 33 Hal senada juga jawabkan; tanggung jawab-bebas untuk
diungkapkan oleh ‘Abas Mahmud al-‘Aqad, memilih37: manusia tidak mungkin menyadari
bahwa akal merupakan petunjuk yang kebebasannya jika ia tidak melakukan sesuatu,
membedakan hidayah dan kesesatan, ia adalah jika ia tidak menjelmakan kemungkinan
kesadaran batin dan penglihatan batin yang kebebasannya ke dalam aktus-aktus yang
berdaya tembus melebihi penglihatan mata.34 konkret. Manusia mengenal dirinya sendiri
Pemahaman atas konsepsi akal di atas, di dalam pertemuan dan pergaulan dengan
melahirkan suatu rancang-bangun yang dunia dan orang-orang lain. Begitu pula
bercorak khas bagi tumbuh dan manusia hanya dapat menyadari
berkembangnya ilmu pengetahuan dalam kebebasannya kalau ia dapat mewujudkan
dunia Islam. Aktivitas keilmuan tidak bisa kebebasannya itu dalam perbuatan-
dipahami secara satu sisi dalam kehidupan perbuatan yang bersifat “menguasai dunia”
di alam semesta ini, ia tidak hanya dibatasi dan “menaklukkan bumi”.38
pada wilayah defenisi35 semata, melainkan Namun, jika yang terjadi sebaliknya,
ia merupakan wujud dari pemahaman rasio merasa bebas39 untuk berbuat apa saja,
manusia secara total terhadap keber-ada- maka pertanyaan baru pun akan muncul ke
annya. Tepat pada saat manusia hadapan kita, apakah moral hanya milik
mengaktifkan potensi rasionalitasnya untuk orang-orang tertentu saja?, apakah moral
membuat pilihan-pilihan dengan pijakan (nilai) merupakan sesuatu yang asing dan
ilmu pengetahuan yang ia miliki, ketika itu tabu bila diikutsertakan dalam ranah
juga nilai (moral) harus diperansertakan. keilmuan? Atau apakah moral hanya
Dalam kegiatan keilmuan, baik teoritis merupakan faktor x yang keberadaannya

184 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

sudah tidak lagi menarik (relevan) bagi manusia menjadi “Tuan atas nasib dirinya
kehidupan sekarang? sendiri” (master of his own destiny), yang
Untuk itulah, sejak awal, Islam tidak mengakibatkan terputus dari tali
membedakan antara urusan duniawi dengan spiritualitasnya. Inilah akar dari segala krisis
urusan ukhrawi, demikian pula halnya dalam peradaban modern. 42 Dalam nada yang
masalah ilmu: “barang siapa yang menginginkan relatif sama, manusia modern mencoba
dunia, maka raihlah dengan ilmu. Dan barang hidup dengan roti semata (live by bread alone);
siapa yang menginginkan akhirat, maka raihlah mereka bahkan berupaya “membunuh”
dengan ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan Tuhan dan menyatakan kebebasan dari
keduanya, maka raihlah dengan ilmu” (hadits kehidupan akhirat.43
Nabi). Bahkan, kedudukan orang-orang Kehilangan makna sakral lanjut Nasr,
yang berilmu menjadi salah satu kriteria bagi digambarkan sebagai sesuatu dalam keadaan
diangkatnya derajat seseorang.40 fana, tidak permanen dan menjadi budak
Kondisi di atas sangat berbeda dengan dari alam rendahnya sendiri, menyerah
apa yang terjadi pada peradaban modern saat kepada apa yang dianggap sebagai
ini. Corak berpikir rasionalisme dan kebebasan. Dia secara pasif mengikuti aliran
empirisme telah melahirkan sebuah yang menuju ke bawah siklus sejarah
bangunan keilmuan yang tidak utuh, atau manusia, yang dibang gakan dengan
dalam istilah Seyyed Hossein Nasr, fragmented mengklaim bahwa dalam melakukan
knowledge. Cara pandang yang rasionalistik, demikian dia menciptakan nasibnya
empiristik dan kuantitatif dalam sistem dan sendiri.44
metode pengetahuan mengakibatkan Dalam perspektif lain, Syed M. Naquib
manusia modern dilanda kehampaan al-Attas memandang bahwa apa yang terjadi
spiritual. Hal ini menurut Nasr, yang dalam sekarang ini adalah akibat dari ketiadaan adab
beberapa tulisannya lebih sering dalam segala aspek kehidupan. Baginya, ilmu
menggunakan istilah dan atau pendekatan dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang
tradisi,41 berakar dari tradisi filsafat Barat sangat prinsipil. Pendidikan tidak hanya
modern yang dilandasi wacana ontology berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-
dualisme Cartesian tentang jasmani dan tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus
rohani, yang menggantikan pembagian tak juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan
terpisahkan antara tubuh, jiwa dan roh spiritual manusia. Hal ini tidak berarti bahwa
(corpus, anima, spiritus) dari tradisi Hermetik aspek-aspek sosial-ekonomi dan politik tidak
yang kemudian diungkapkan kembali dalam penting, tetapi kedudukannya lebih rendah
tradisi Isyraqiyyah Islam. Dengan landasan dan lebih difungsikan sebagai pendukung
semacam itu, muncullah paham manusia aspek-aspek spiritual. Konsekuensinya, kita
yang tidak total. Lebih lanjut, berimplikasi perlu mendefenisikan ilmu dalam kaitannya
terhadap upaya penolakan atas hakikat dengan realitas spiritual manusia.45
spiritualitas dan penyingkiran maknawiyah Sampai disini, pengetahuan,
secara gradual dalam pemikiran filsafat Barat sebagaimana yang diungkapkan di atas,
modern. Untuk selanjutnya, manusia adalah lebih kepada cara berada manusia. Ini
modern membebaskan diri dari Tatanan berarti bahwa, cara pandang tentang alam
Ilahi (Divine Order) dan membangun tatanan sebagai sesuatu yang mesti dikaji dan
antropomorphisme –tatanan yang semata- ditelaah secara kuantitatif, ditaklukkan,
mata berpusat pada manusia. Hingga dikendalikan, dimanipulasi dan akhirnya

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010 185


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

diperkosa dan dipermak dengan sangat buas membinasakan. Boleh jadi, pada abad ke-
harus ditolak. Karena, jika cara pandang 19 yang lalu, seorang Nietzsche (1844-1900),
tersebut masih terus menjadi bagian dari berteriak lalu berkata: “Tuhan telah mati”.
pemahaman kita terhadap ilmu Pada abad sekarang ini, bisa jadi kita
pengetahuan, maka akan mengakibatkan berteriak dan berkata: “ke-Manusia-an telah
munculnya berbagai krisis baik terhadap mati”. “Ketegangan” antara rasio dan moral
eksistensi manusia itu sendiri maupun yang selama ini kita rasakan, nikmati dan
lingkungannya.46 jalani, serta sama-sama persaksikan sejak
Dengan demikian, rasio sebagai salah lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan
satu sumber dari ilmu harus mencirikan sampai hari ini, adalah sebagai akibat dari
keber-ada-an manusia sebagai makhluk yang kebingungan sudut pandang dan
bermoral, makhluk yang memiliki dimensi keterbelengguan atas jerat-jerat rasionalitas.
rohani, di samping dimensi jasmani. Dua hal Padahal, hemat penulis, sesungguhnya, ilmu
ini menyatu-padu dalam sebuah bangunan tidak hanya untuk mencerdaskan, melainkan
keilmuan. Ia saling berkait-berkelindan, juga harus mencerahkan manusia atas ber-
saling menopang dan mengukuhkan satu ”ada” dan meng-”ada”-nya.
sama lain. Tidak ada yang memposisikan diri Pada akhirnya, kita harus berkata: “Kita
sebagai superior dan yang lain inferior. sangat peduli dengan Barat, karena kita
Sejalan dengan ini, Fakhruddin ar-Razi menemukan diri kita berhadapan
secara apik mengungkapkan: “akhir dari dengannya. Tapi kita harus bertanya juga:
kesung guhan akal manusia adalah Bisakah kita menghadapi Barat dan
keterbelengguan, dan kebanyakan usaha mengumumkan, pengetahuan mana yang
manusia menuju kesesatan; Kita tidak baik dan yang buruk; juga apa yang cocok
memperoleh sepanjang usia pencarian kita, dan yang tidak –tanpa sebelumnya
kecuali mengumpul bahwa menurut si A mengetahui diri kita sendiri?”.
begitu, dan menurut si B begini”.47
Rasio dan moral, adalah dua hal yang WaLlâhu yahdi man yasyâ’ ilâ sabîlih
melekat pada diri manusia. Oleh karenanya,
kedua hal tersebut harus dirangsang dan
ditumbuh-kembangkan menjadi sebuah Endnotes
kekuatan sekaligus keunikan yang membuat
manusia tampil sebagai makhluk yang ber-
1
Rasio merupakan kemampuan untuk melakukan
abstraksi, memahami, merefleksikan, memperhatikan
”ada” dan meng-”ada” dalam arti yang
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Ia
sesungguhnya. Dengan dan melalui kedua juga mer upakan kemampuan untuk
hal inilah bangunan ilmu dan peradaban menyimpulkan. Biasanya, rasio dianggap sebagai
menjadi bermarwah dan menghantarkan ciri khas manusia yang membedakannya dengan
manusia kepada suatu titik kesempurnaan, makhluk-makhluk yang lebih rendah. Ia dibedakan
dari iman, wahyu, intuisi, emosi atau perasaan,
atau dalam terminologi Islam, makhluk yang pencerapan, persepsi, pengalaman.Dalam
kâffah, insan kamil. hubungannya dengan intelek, dalam pengertiannya
yang luas, rasio sama dengan intelek. Dalam arti
d. Penutup ini rasio adalah daya tahu rohani manusia yang
berbeda dari daya indera. Sedangkan dalam arti
Dominasi rasio atas moral merupakan
sempit, rasio tidak sama dengan intelek. Secara
sesuatu yang sangat merugikan, bahkan umum, intelek terutama mengacu pada kegiatan
sampai pada titik tertentu ia justru dapat mengabstraksikan, membandingkan dan

186 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

menganalisis pemikiran. Sementara rasio menunjuk perkembangan ilmu pengetahuan dirasakan sangat
pada kegiatan-kegiatan pikiran yang lebih tinggi memberikan efek besar bagi terbentuknya corak
yang mencari keteraturan dan kesatuan positif ilmu pengetahuan dewasa ini. Semakin meluasnya
dalam pikiran dan tindakan.Pengertian di atas jarak pemisah antara ilmu di satu sisi dan nilai pada
berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh sisi lain adalah problem yang sampai hari ini belum
Immanuel Kant. Baginya, intelek adalah daya untuk menemui kata final. Kalaupun masih tersisa unsur-
membentuk konsep dan penilaian atau putusan. unsur nilai (moral) pada “diri” ilmu, itu tidak lebih
Sedangkan rasio dalam arti sempit merupakan daya dari apa yang disebut oleh Harold H. Titus sebagai
untuk menarik kesimpulan dan karenanya mencari nilai subyektif. Nilai dalam hal ini selalu merupakan
yang tidak bersyarat di dalam bersyarat. Oleh pengalaman, bukannya benda atau obyek. Apa yang
karenanya, rasio mengalami kesesatan atau ada di sekeliling kita boleh (mungkin) berharga,
kekeliruan, dan oleh sebab itu pulalah rasio lebih akan tetapi ia bukan merupakan suatu nilai. Nilai
rendah daripada intelek dalam nilai selalu bergantung kepada hubungan antara seorang
pengetahuannya. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, penganut dan hal yang dinilai. Harold H. Titus,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. Op.cit., hlm. 123-124. K. Bertens mengungkapkan,
925-28. Lihat juga hlm. 356-57. paling tidak, nilai memiliki 3 ciri, yaitu (1) nilai
2
Masalah nilai dalam kajian filsafat dikenal dengan berkaitan dengan subyek; (2) nilai tampil dalam
istilah aksiologi, yang memiliki pengertian “analisis suatu konteks praktis, dan (3) nilai-nilai
terhadap nilai-nilai”. Analisis yang dimaksud adalah menyangkut sifat-sifat yang di”tambah” oleh
membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria, dan status subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek.
epistemologis dari nilai-nilai tersebut. Jadi ia K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
merupakan studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Utama, 1993), hlm. 141
Op.cit, Lorens Bagus, hlm. 33. Dalam konteks 6
Problem ini terlihat jelas ketika pembahasan
tulisan ini, persoalan nilai lebih ditekankan pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti
aspek nilai-nilai moral (etika), atau disebut juga Pornografi dan Pornoaksi beberapa waktu lalu,
dengan filsafat moral, yang merupakan bagian dari dimana muncul pertentangan antara dua pihak,
kajian aksiologi. Lihat Harold H. Titus, et.al., yaitu yang pro dengan RUU APP dan yang kontra.
Persoalan-persoalan Filsafat, diterjemahkan oleh M. Masalah kebebasan –yang merupakan salah satu
Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 120, kajian dalam filsafat moral— berkesenian dan
dan Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, berekspresi menjadi salah satu isu utama dalam
diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, kasus di atas. Demikian pula dengan persoalan yang
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), hlm. 327 menyangkut penegakkan keadilan. Keadilan selalu
3
Louis O. Kattsoff, Ibid., hlm. 345 tampil dengan wajah yang menakutkan bagi orang
4
Nilai tidaklah memberi atau menambah eksistensi, atau pihak yang tidak beruntung (baca: kelas
seperti yang terdapat pada batu sebelum dipahat, menengah ke bawah atau masyarakat miskin). Ia
sebelum ia diubah bentuknya menjadi sesuatu yang cenderung untuk berpihak kepada sekelompok
baik. Kualitas dasar yang tanpa itu obyek tidak orang yang memiliki kekuasaan. Kasus seorang
dapat menjadi ada disebut “kualitas primer”. Di nenek tua “Minah” yang ketahuan mencuri 3 buah
samping itu terdapat “kualitas sekunder”, atau kakao di Banyumas, Jawa Tengah dan kemudian
kualitas yang dapat ditangkap oleh panca indera divonis selama 1,5 bulan. Begitu pula dengan Basar
(misal: warna, rasa, bau, dan sebagainya), yang dapat dan Kholil dari Kec. Mojoroto, Kota Blitar yang
dibedakan dengan yang “primer”, yang terpengaruh dimejahijaukan gara-gara mencuri buah semangka.
oleh besar kecilnya tingkat subjektifitas. Oleh Kasus ini bertolak belakang dengan apa dilakukan
karenanya, akan lebih tepat dikatakan bahwa nilai oleh Anggodo Widjojo, Gayus dan yang lainnya
itu merupakan “kualitas yang tidak riel”. Nilai tidak yang diduga telah merugikan negara sampai
menambah realitas atau substansi pada obyek, miliaran rupiah.
melainkan hanya nilai. Nilai bukan merupakan 7
Kehidupan selalu saja menghadirkan berbagai
benda atau unsur dari benda, melainkan sifat, pilihan sekaligus memaksa kita untuk mengadakan
kualitas, sui generis, yang dimiliki objek tertentu yang pilihan, mengukur benda dari segi lebih baik atau
dikatakan baik. Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat lebih jelek dan untuk memberi formulasi tentang
Nilai, diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya, ukuran nilai. Individu dalam hal ini, mempunyai
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 8-9 perasaan tentang nilai dan tak pernah terdapat suatu
5
Pengaruh yang diberikan oleh aliran rasionalisme masyarakat tanpa sistem nilai. Jika kita tidak
dan empirisme dalam perjalanan dan melakukan pilihan kita sendiri, maka waktu atau

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010 187


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

teman-teman kita atau kekuatan-kekuatan luar etika, yang di antaranya adalah etika profesi yang
lainnya akan menetapkan pilihan itu untuk kita, mewujud dalam kode etik profesi. Di sini, etika
dan ini berarti penetapan kita juga. Oleh karena lebih dimaknai sebagai sebuah kajian yang filosofis
itu maka soalnya bukan apakah kita harus atau tidak untuk kepentingan praktis. Sementara akhlak, dari
perlu mempunyai ukuran, keyakinan, kesetiaan atau segi makna, sebagaimana yang diungkapkan oleh
idealisme yang atas dasar-dasarnya kita mengatur Ibn Miskawaih maupun al-Ghazali merupakan
kehidupan. Soalnya adalah apakah ukuran-ukuran suatu keadaan atau perbuatan yang lahir dan
tersebut harus konsisten atau tidak konsisten, harus dinyatakan tanpa terlebih dahulu memerlukan
mengembangkan kehidupan atau merusaknya. unsur pemikiran dan pertimbangan. Ia lahir secara
Menganggap sepi peran nilai berarti mempunyai spontan, tanpa membutuhkan ini dan itu, ia hadir
gambaran yang keliru atau dari satu segi tentang bersamaan dengan “ada”nya kita: “ketika kita
manusia dan alam. Harold H. Titus, et.al., Op.cit, membuat minuman susu dalam sebuah wadah
hlm. 119-120 ceret, kemudian menuangkannya ke dalam gelas,
8
N. Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT. maka dapat dipastikan yang keluar adalah air susu.
Pembangunan, 1989), hlm. 9 Sebaliknya, ketika minuman kopi yang dibuat, maka
9
Lihat Albert Camus, Krisis Kebebasan, diterjemahkan tentunya air kopi pula yang akan keluar. Secara
oleh Edhi Martono, (Jakarta: Yayasan Obor logika, suatu kemustahilan jika yang kita buat air
Indonesia, 1990), hlm. 38 kopi, kemudian dituangkan dan keluar air susu.”
10
Harold H. Titus, et. al., Op.cit., hlm. 142. Lihat juga Demikian pula halnya dengan akhlak, ia selalu
dalam Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), tampil apa adanya: apa yang ada di dalam (dzahir),
diterjemahkan oleh Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan maka itu pula yang ada di luar (lahir). Selanjutnya,
Bintang, 1993), hlm. 5 akhlak senantiasa melandasi dirinya dengan dua
11
K. Bertens, Op.cit., hlm. 12 pijakan dan pedoman, yaitu al-Qur’an dan as-
12
Immanuel Kant, Dasar-dasar Metafisika Moral, Sunnah as-Shahihah. Konsekuensinya, kapan dan
diterjemahkan oleh Robby H. Abror, (Yogyakarta: dimanapun akhlak selalu berlaku, ia tidak mengenal
Insight Reference, 2004), hlm. 110 ruang dan waktu. Kalaupun ada sesuatu yang
13
Ulasan tentang sejarah dan perkembangan etika dianggap tidak sesuai dengan dua pedoman di atas,
dapat dilihat dalam Sayid Qutub, Evolusi Moral, maka sesungguhnya akal kita lah yang belum
diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dan mampu untuk menyelami dan memahami secara
Marwan, (Surabaya: Al-Ihkals, 1993). Lihat juga baik tentang apa yang menjadi persoalan kita.
dalam Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak 18
Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah
Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta: Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
Kanisius, 1997), dan bukunya yang lain 13 Model hlm. 271-272
Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks Etika dari 19
Pernyataan ini memberikan sebuah gambaran
Plato sampai dengan Nietzsche, (Yogyakarta: Kanisius, bahwa persoalan moral berlaku universal, tanpa
1997). mengenal sekat-sekat budaya, agama, suku dan
14
N. Drijarkara, Op.cit., hlm. 13-14. Penjelasan yang bangsa. Moral melingkupi setiap aspek kehidupan
lebih rinci tentang perkembangan moral dapat manusia, baik secara individual maupun kolektif.
dibaca dalam Sayid Qutub, Op.cit. 20
Kepribadian yang dimaksud disini adalah ketika
15
Abu A’la al-Maududi, Islamic Way of Life, (Lahore: manusia sudah mencapai tahapan moral dari yang
Islamic Publication Ltd., 1967), hlm. 25) sebelumnya tahapan pra-moral. N. Drijarkara,
16
Harold H. Titus, Op.cit., hlm. 145 Filasafat Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.
17
Menurut hemat penulis, ada perbedaan yang sangat 63-64. Lihat juga dalam N. Drijarkara, Percikan ….,
mendasar antara etika dan akhlak. Etika dalam Op.cit., hlm. 12-16
sejarahnya, merupakan pergulatan pemikiran 21
N. Drijarkara, Filsafat …., Op.cit., hlm. 64. Secara
manusia tentang bagaimana seharusnya bertingkah- lebih khusus John Stuart Mill mengatakan bahwa
laku: baik-buruk dan benar-salah dari segi etika dasar moralitas yang pokok adalah perasaan-
(berdasarkan perenungan pemikiran manusia). perasaan social manusia. Alex Lanur, “Pengantar”
Dalam perkembangan selanjutnya, di tengah dalam John Stuart Mill, On Liberty (Perihal
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, etika Kebebasan), diterjemahkan oleh Alex Lanur, (Jakarta:
semakin memiliki arti penting dan dibutuhkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. xvi
banyak pihak dalam mengatur dan memberikan 22
Menurut pengertian Aristotelian, akalbudi dapat
arahan bagi kehidupan manusia secara universal. dibedakan menjadi dua, yaitu akalbudi teoritis dan
Kondisi ini melahirkan berbagai macam bentuk akalbudi praktis. Akalbudi teoritis (kadang-

188 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

kadang disebut kontemplasi) berarti (1) penalaran Pustaka Utama, 1993), hlm. 225-229.
atau pemikiran untuk mencapai pengetahuan: (a) 25
Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 30-33
tentang apa itu persoalan, (b) tentang apa yang 26
Louis Leahy, Op.cit., hlm. 71
harus menjadi persoalan secara tak terelakkan atau 27
Imanen berarti secara aktual sungguh-sungguh
secara niscaya, dan (c) tentang apa yang mungkin hadir dalam sesuatu. Ia dapat pula diartikan sebagai
menjadi persoalan jika kondisi-kondisi tertentu segi “batin” dari suatu obyek, fenomen atau gejala.
terjadi. Tindakan ini menghasilkan suatu Imanen juga berarti berada atau terdapat di dalam
kesimpulan (pernyataan, pengetahuan, tindakan) yang terjadi dalam, atau selama, suatu proses.
dari suatu hal. (2) kemampuan dengannya Dalam konteks epistemologi, imanensi berarti
penalaran atau pemikiran mencapai pengetahuan ketergantungan pada kesadaran. Karena itu obyek
dilakukan. Sedangkan Akalbudi praktis berarti(1) tidak merupakan sesuatu yang independen yang
kemampuan yang memungkinkan kita mengamati: mentransendir atau mengatasi tindakan
(a) cara-cara mana yang tersedia bagi kita untuk mengetahui. Sebaliknya, obyek ditegaskan oleh
mencapai tujuan, (b) yang mana dalam cara-cara tindakan mengetahui. Obyek senantiasa berada
ini paling efisien dan/atau paling dekat/sesuai, dan dalam bidang tindakan mengetahui sedemikian
(c) bagaimana menggunakan cara-cara ini dalam rupa sehingga satu-satunya eksistensi ialah
perilaku aktual. (2) pertimbangan yang mendalam eksistensi pikiran. Imanen dilawankan dengan
atau penalaran, pemikiran tentang (a) apa yang akan transenden. Lorens Bagus, Op.cit., hlm. 232-324.
kita buat dan (b) apa yang tidak kita buat, yang 28
Transenden berarti melampaui, apa yang ada dalam
menghasilkan suatu keputusan (pilihan, tindakan, pengalaman kita; menyeberang. Istilah ini menduduki
resolusi). (3) akal/pikiran merupakan kekuatan atau posisi penting dalam filsafat Kant. Kant
fungsi tertinggi dari jiwa (psyche) manusia. Dalam mempertahankan bahwa pengetahuan manusia
pandangan I. Kant akalbudi teoritis berarti tidak mampu menerobos ke dalam dunia yang
akalbudi yang membentuk pengetahuan intelektual transeden, dunia dari yang “ada-di-dalam-dirinya-
, seperti pengetahuan ilmiah. Sementara akalbudi sendiri”. Tetapi di pihak lain, tingkah laku manusia
praktis berarti (1) akalbudi yang merupakan asal diarahkan oleh standar-standar transenden
pengetahuan tentang perilaku moral (dan juga (kehendak bebas, jiwa yang tidak dapat mati,
merupakan sumber perasaan-perasaan dan intusi Tuhan). Ibid., hlm. 1118-1119
religius), (2) akalbudi yang merenung tentang 29
Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan:
kemungkinan-kemungkinan yang diberikan kepada Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural,
kita oleh kebebasan kehendak. Di samping itu, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 116
Kant juga menambahkan akalbudi murni yang 30
Louis Leahy, Op.cit., hlm. 75-76
berfungsi pada dirinya sendiri tanpa hubungan 31
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Mesir: Dar al-Misriyah
dengan kemampuan kesadaran yang lain seperti li at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1968), jilid 13, hlm. 485
kehendak atau kemauan (selera). Akalbudi ini 32
M. Quraish Shihab, Logika Agama: Kedudukan Wahyu
berlawanan dengan akalbudi teoritis dan parktis. dan Batas-batas Akal dalam Islam, (Jakarta: Lentera
Perlu dibedakan pula antara akalbudi dengan akal Hati, 2005), hlm. 86-88.
sehat. Akal sehat adalah (1) keyakinan-keyakinan 33
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami
“alamiah yang dimiliki oleh individu-individu Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, (Jakarta: Penerbit
“awam”, individu-individu “sederhana”, atau Erlangga, 2007), hlm. 48
penilaian umum individu-individu. (2) gagasan- 34
Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
gagasan yang secara niscaya digunakan dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat
kegiatan praktis, atau (3) suatu kepercayaan umum Islam, 1992), hlm. 99. Lihat pula dalam Mulyadhi
terhadap pengertian dan pengetahuan biasa yang Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Pendekatan
mengatasi argumentasi. Kebenaran-kebenaran akal Holistik, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hlm.
sehat secara langsung diamati, dan tidak diperlukan 107-110.
bukti untuk mendukungnya. Lorens Bagus, Op.cit., 35
Pembatasan lingkup ilmu oleh ilmuwan-ilmuwan
hlm.28-30. Barat modern hanya pada obyek-obyek indrawi,
23
Potensi yang dimaksud disini adalah sesuatu yang pada awalnya, mungkin merupakan pembagian
membuat manusia istimewa dan memiliki kapling antara “akal” dan “agama”. Tetapi lambat
keunggulan dari makhluk-makhluk lainnya, seperti laun pembatasan ini ternyata telah menjadi
indera, akal (rasio), intuisi (hati). pembatasan atau defenisi dari realitas itu sendiri.
24
Louis Leahy, Manusia sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Pembatasan lingkup ilmu itu sendiri ternyata telah
tentang Makhluk Paradoksal, (Jakarta: PT. Gramedia mendorong banyak ilmuwan Barat memandang

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010 189


Irwandra : Dialektika Rasio dan Moral

dunia indrawi sebagai satu-satunya realitas yang 42


Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia
ada, seperti tercermin dari paham materialisme, Modern, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin,
sekularisme dan positivisme, yakni pandangan- (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 12.
pandangan filosofis yang biasanya berakhir dengan 43
Seyyed Hossein Nasr, “Islam dan Krisis Lingkungan”,
penolakan terhadap realitas metafisik atau alam diterjemahkan oleh Ihsan Ali-Fauzi, dalam Jurnal
ghaib. Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Islamika, No. 3, Januari-Maret 1994, hlm. 10.
Sebuah Respon terhadap Modernitas, (Jakarta: Penerbit 44
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian,
Erlangga, 2007), hlm. 9. diterjemahkan oleh Suharsono, et.al., (Yogyakarta:
36
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 187.
RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 39 45
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik
37
K. Bertens, Op.cit., hlm. 91. Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, diterjemahkan
38
Nico Syukur, Filsafat Kebebasan, (Yogyakarta: oleh Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail dan Iskandar
Kanisius, 1991), hlm. 17 Arnel, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 114.
39
“Merasa bebas” tidak bisa disamakan dengan 46
Seyyed Hossein Nasr, “Sains Islam, Sains Barat:
kebebasan, atau merasa dilepaskan dari segala Warisan Bersama, Nasib Berbeda”, dalam Jurnal
macam ikatan sosial dan moral. “Merasa bebas” Studi-studi Islam Al-Hikmah, No. 14, Vol. VI/Thn.
sama artinya kita sedang melakukan dan mengalami 1995, hlm. 98. Dalam tulisannya yang lain, Nasr
kebebasan semu. Bebas dalam arti sesungguhnya juga mengungkapkan bahwa dari cara pandang
tidak berarti “lepas dari segala keterikatan”. yang demikian itulah yang menyebabkan
Sebaliknya, “kebebasan sejati” mengandaikan masyarakat modern berada di wilayah pinggiran
keterikatan oleh norma-norma. Jadi, norma-norma eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat,
tidak menghambat adanya kebebasan, tapi justru baik yang menyangkut dirinya sendiri maupun
memungkinkan tingkah laku bebas. K. Bertens, dalam lingkungan kosmisnya. Lihat juga dalam
Op.cit., hlm. 100-102 Islam dan Nestapa ...., Op.cit., hlm. 3-6.
40
Lihat QS. Al-Mujâdilah [58]: 11 47
M. Quraish Shihab, Op.cit., hlm. 95
41
Tradisi menyiratkan sesuatu yang sakral, seperti
disampaikan kepada manusia melalui wahyu
maupun pengungkapan dan pengembangan peran
sakral itu dalam sejarah kemanusiaan tertentu Tentang Penulis
untuk mana ia dimaksudkan, dalam satu cara yang
mengimplikasikan baik kesinambungan horizontal Irwandra, menyelesaikan S1 di IAIN Sunan
dengan Sumber maupun mata-rantai vertikal yang Kalijaga Yogyakarta pada jurusan Aqidah
menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi Filsafat. Kemudian melanjutkan S2 di PPs UIN
yang sedang diperbincangkan dengan Realitas
Sultan Syarif Kasim Riau. Saat ini tercatat
Transenden metahistorikal. Seyyed Hossein Nasr,
Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, sebagai dosen di Fakultas Ushuluddin UIN
diterjemahkan oleh Luqman Hakim, (Bandung Suska Riau dengan mengampu mata kuliah
Pustaka, 1994), hlm. 3. Filsafat Akhlak (Etika) dan Filsafat Manusia.

190 JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010

Anda mungkin juga menyukai