Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

SOSIOLOGI JENDER

OLEH :

NAMA : OKTAVIANUS RANDU

NIM : 1803030146

KELAS : C/SOSIOLOGI

SEMESTER : IV

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020
1.1 Latar belakang

Jender adalah perbedaan antara laki laki dan perempuan dalam peran,hak,tanggung jawab
dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial,budaya dan adat istiadat .seringkali orang
mencampur adukan ciri ciri manusia yang brsifat koadrati dengan yang bersifat non koadrati
yang bisa berubah dan diubah. Peran jender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh
perbedaan klamin. Oleh karena itu,pembagian peran antara pria dan wanita dapat berbeda
diantara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainya sesuai dengan lingkungan.

Di ngara kita ini kerap terjadi ketidak adilan terhadap jender mulai dari segi
pendidikan,ekonomo maupu politik. Tentu ini adalah suatu masalah yang begitu besar bagi
seseorang individu yang merasa ketidak adilan jender,tentu dia merasah tidak nyaman dan
penuh dengan ketekanan yang sangat luar biasa terutama dalam berkehidupan sosial dan adat
istiadat dalam masyarakat.

Dengan problematika tersebut tentu pihak pemerintah tidak d iam diri dalam mengatasi
masalah ini,pemerintah punya hak dan kewajiban dalam mengatasi ketidak adilan jender
yang ada di dalam masyarakkat terutama dalam masyarakat indonesia,erbagai upaya yang
dilakukan oleh pemerintah diantaranya pemerintah mengeluarkan begitu banyak aturan dan
norma yang berbau jender,

Seperti yang kita ketahui dalam masyarakat yang kerap sekali mendapatkan ketidak adilan
jender itu perempuan,ini diakibatkan karena masyarakat kita masih kenal dengan budaya
budaya yang ditemurunkan oleh nenek moyangnya yang diaman dalam budaya itu menomor
duakan perempuan,ini masih meekat pada masyarakkat kita sampe sekaran terutama dalam
bidang ekonomo dan politik.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksudkan dengan jender.

2. Kedudukan antara laki laki dan perempuan di indonesia

3. Upaya pemerintah dalam memperoleh keadilan jender di indonsia.

4. Apa pengaruh ketidak adilan jender terhadap representasi perempuan dalam politik?

1.3 TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makaah ini adalah untuk mengetahui apa itu jender yang
sebenarnya,untuk mengetahui kedudukan antara laki laki dan perempuan di idndonesia,dengan
makalah ini juga kita dapat mengetahui upaya dari pemerintah dalam memperoleh keadilan
jender di indonesia, dan yang terakir dari makalah ini untuk mengetahui pengaruh kdari ketidak
adilan jender terhadap reprensentasi perempuan dalam politik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan antara laki-laki dan perempuan di indonesia

Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki – laki berbeda.  Namun, gender
bukanlah jenis kelamin laki – laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Gender lebih
ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Oleh
karena itu, gender penting di pahami dan dianalisa untuk melihat apakah perbedaan tersebut
menimbulkan diskriminasi dalam artian perbedaan yang membawa kerugian dan penderitaan
terhadap pihak perempuan.

Sebenarnya, kita telah mempunyai basis legal yang menjamin hak  - hak dan kesempatan bagi
laki – laki dan perempuan. Hal tersebut terlihat dari Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan yang di buat oleh PBB pada tahun 1993. Namun, deklarasi tersebut tidak begitu
dikenal oleh masyarakat di Indonesia, sehingga jarang di buat sebagai acuan dalam kegiatan
penyelesaian masalah yang berbasis gender (Sunanti Zalbawi, 2004).

Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir – akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan
masih berusaha terus di perjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Hal tersebut
seperti yang diutarakan oleh Imam Prasodjo dalam Kompas 29 Juli 2010, menyatakan bahwa
permasalahan perspektif gender yang paling substantif juga terlihat di eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Permasalahan tersebut mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan berspektif
gender itu sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus dibarengi dengan adanya
keterwakilan perempuan – perempuan dalam lembaga – lembaga negara, terutama lembaga
pembuat kebijakan. Mengingat perempuan masih saja mengalami ketimpangan di bidang
pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena perkembangan pengetahuan masyarakat
Indonesia tentang gender itu sendiri masih sangat lambat.

 .Konsep gender dalam kehidupan masyarakat Indonesia

-Lingkungan keluarga
Posisi perempuan dalam keluarga pada umumnya dan di masyarakat Indonesia pada khususnya,
masihlah berada di bawah laki – laki. Seperti kasus istri yang bekerja di luar rumah harus
mendapat persetujuan dari suami, namun pada umumnya meskipun istri bekerja, haruslah tidak
boleh memiliki  penghasilan dan posisi lebih tinggi dari suaminya. Meskipun perempuan sudah
bekerja di luar rumah, mereka juga harus memperhitungkan segala kegiatan yang ada di rumah,
mulai dari memasak hingga mengurus anak.

- Lingkungan pendidikan

Di bidang pendidikan, perempuan menjadi pilihan terakhir untuk mendapatkan akses. Oleh
karena itu, tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia juga masih didominasi oleh kaum perempuan
(kompas, 29 Juli 2010).

-Lingkungan pekerjaan

Perempuan yang memiliki akses pendidikan yang tinggi pada umumnya bisa mendapatkan
pekerjaan yang layak. namun, pemilihan pekerjaan tersebut masih berbasis gender. Perempuan
dianggap kaum yang lemah, pasif dan dependen. Pekerjaan seputar bidang pelayanan jasa seperti
bidang administrasi, perawat, atau pelayan toko dan pekerjaan dengan sedikit ketrampilan seperti
pegawai administrasi dan hanya sedikit saja yang menduduki jabatan manajer atau pengambil
keputusan (Abbott dan Sapsford, 1987).

 .Gender dan kesehatan di Indonesia

GBHN membuat permasalahan gender semakin pelik, dalam penjabarannya intinya


menyebutkan bahwa perempuan indonesia berfungsi sebagai istri pengatur rumah tangga,
sebagai tenaga kerja di segala bidang dan sebagai pendidik pada bagi anak – anaknya. Konsep
tersebut semakin membingungkan perempuan di Indonesia untuk memilih antara terjun dalam
kegiatan di luar rumah dan menjadi istri sertai bu yang baik (Retno Suhapti, 1995).

Konsep ini sangat berat bagi perempuan, dikarenakan proporsional beban tersebut mampu
membuat perempuan retan akan stress. Selain itu, permasalahan ada pada keputusan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Contohnya pada kasus ibu hamil yang menunggu keputusan
suaminya untuk pergi berobat ke dokter. Pada akhirnya, ibu hamil terlambat mendapatkan
penanganan yang dapat berakibat fatal bagi kesehatan janin dan ibu itu sendiri. Hal tersebut
nampak permasalah gender di Indonesia mengakar sejak dahulu yang diawali dengan kebijakan
pemerintah yang berlaku saat itu.

Berdasarkan permasalahan yang terjadi, sudah waktunya perempuan dan laki – laki di Indonesia
sama – sama berfungsi sebagai pengatur rumaha tangga pada khususnya dan pengatur beberapa
kebijakan negara pada umumnya. Dengan tercapainya kondisi ini, dapat terjalin dengan
harmonis bagi perempuan dan laki – laki di Indonesia. Perempuan juga harus mendapatkan
kesempatan yang sama memilih dan meraih posisi yang sejajar dengan laki laki di masyarakat.

Untuk mewujudkan kondisi ini, mau tidak mau, kaum perempuan Indonesia harus sadar bahwa
selama ini konsep yang berlaku adalah konsep yang berorientasi gender yang membuat
membedakan peran antara perempuan dan laki – laki di Indonesia, menghambat kesempatan
mereka. Kesadaran perempuan lah yang sangat di butuhkan untuk dapat meningkatkan
kondisinya sendiri di bidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dll. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan cara melakukan perubahan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus di bebani konsep
gender

B. UPAYA PEMERINTAH DALAM MEMBENTUK KEADILAN JENDER

Ada berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah indonesia dalam upaya untuk mencapai dan
menerapkan kesetaraan jender atau juga keadilan jender di indonesia diantaranya kita merayakan
reformasi. Apa refleksi kritis makna reformasi bagi pemberdayaan perempuan dan perjuangan untuk
kesetaraan dan keadilan gender? Ketika reformasi pecah pada 1998, dalam memori yang berserak,
ingatan akan kembali pada tragedi pemerkosaan perempuan Tionghoa di tengah kerusuhan yang terjadi
pada Mei. Barangkali dalam benak kita juga muncul kisah pilu hilangnya susu bayi dari pasaran, harga-
harga yang melonjak, dan antre panjang di banyak tempat untuk mendapatkan barang kebutuhan pokok
sehari-hari.Krisis ekonomi ketika itu memang menghantam Indonesia sangat keras. Kemarahan rakyat
yang kehilangan pekerjaan dan menurun standar hidupnya bertemu dengan kemarah-an mahasiswa
militan yang tidak puas dengan kondisi negeri. Itulah momentum reformasi 20 tahun lalu yang berhasil
menjatuhkan Presiden Soeharto pada 21 Mei 2018. Ada banyak isu yang menjadi keprihatinan gerakan
perempuan pada masa itu. Selain isu ekonomi yang memburuk dan mahalnya sembako, susu bayi yang
sulit didapat, angka kematian ibu dan bayi yang tinggi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, juga
terdapat isu-isu yang tidak kalah pelik seperti putus sekolah anak perempuan serta masalah sosial dan
politik lainnya. Hari ini 20 tahun setelah reformasi, apakah telah terjadi perbaikan dalam isu-isu
tersebut? Sayangnya impian untuk perbaikan substantif atas kondisi empiris yang dihadapi 20 tahun lalu
belum sepenuhnya dapat semua teratasi.

Gerakan perempuan Indonesia sesungguhnya cukup banyak memikirkan, mendiskusikan, dan


keluar dengan banyak rekomendasi kebijakan dalam merespons persoalan persoalan tersebut.
Gerakan perempuan jika diamati sepanjang 20 tahun terakhir menggunakan beragam strategi
bekerja dari dalam sistem dan di luar sistem melalui jaringan yang sifatnya baik formal maupun
informal.

.      Telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin semua warga
negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di muka hukum, menjadi
acuan pokok bagi pergerakan wanita untuk memperbaiki nasib dan
meningkatkan kedudukannya. Organisasi-organisasi wanita sedari dulu telah
mempersoalkan nasib wanita dalam keluarga dengan adanya poligami dan
perlakuan sewenang-wenang oleh suami. Organisasi-organisasi wanita
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui KOWANI mengadakan
desakan kepada pemerintah agar membentuk undang-undang perkawinan
itu. KOWANI sejak tahun 1930-an mengemukakan pentingnya undang-
undang perkawinan yang lebih menjamin kesejahteraan keluarga. Ini juga
dilakukan oleh Musyawarah Nasional untuk pekerjaan sosial tahun 1960,
oleh Musyawarah Nasional Kesejahteraan Keluarga tahun 1960, oleh
Konferensi Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perkawinan (BP4)
Pusat tahun 1962 dan oleh Seminar Hukum Nasional tahun 1993. Setelah
diperjuangkan bertahun-tahun di DPR, baru Undang-undang Perkawinan
dapat disahkan pada akhir tahun 1973 dan menjadi UUP No. 1 tahun 1974.
Kendati demikian, masih banyak terjadi perlakuan oleh suami yang
menyebabkan penderitaan istri. Menurut hasil penelitian, masih terjadi
diskriminasi terhadap wanita di segala bidang kehidupan, terutama dalam
keluarga.
Di bidang perburuhan, organisasi-organisasi wanita telah
memperjuangkan nasib buruh wanita sejak tahun 1930-an. Pemerintah
memberi perhatian terhadap masalah ini sejak Undang-undang Kerja tahun
1948 yang secara rinci memberi perlindungan kepada tenaga kerja wanita.
Akan tetapi, dalam kenyataanya juga masih banyak kejadian yang
mengabaikan peraturan.
Kepedulian pemerintah terhadap tuntutan-tuntutan pergerakan wanita
dibuktikan dengan disediakannya jabatan Menteri Muda Urusan Peranan
Wanita pada 1978 yang kemudian ditingkatkan menjadi Menteri Negara
Urusan Peranan Wanita. Juga dalam GBHN tahun 1978 dicantumkan bahwa
wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria
untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembanngunan. Dengan
adanya kerja sama antara Menteri Negara UPW dengan depertemen-
departemen lain seperti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Departemen Pekerjaan Umum dan lain-lain yang masing-masing memiliki
seksi Peningkatan Peran Wanita (P2W), dapat diharapkan kepentingan
wanita dalam bidang pembangunan benar-benar dapat diperhatikan.
Kepedulian pemerintah terhadap pergerakan wanita juga nampak
dalam pemberian subsidi secara rutin atau pada kegiatan-kegiatan wanita,
misalnya kepada KOWANI. Kemudian pada 5 Agustus 1974 menggabungkan
semua organisasi istri karyawan lembaga-lembaga pemerintahan dari pusat
sampai ke daerah-daerah ke dalam satu organisasi besar yang dinamakan
Dharma Wanita. Ini dilakukan untuk mendukunng perjuanngan dan
menyukseskan pegawai Republik Indonesia sebagai Aparatur Negara dan
Abdi Masyarakat dalam mengemban tugasnya untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan meleksanakan pembangunan sebagaimana tercantum
dalam pembukaan Anggaran Dasarnya. Juga dimaksudkan agar
pengintegrasian kegiatan organisasi istri pegawai searah dengan
pelaksanaan tugas pegawai Republik Indonesia.

C. Repreesentasi Perempuan dalam Politik.

               Representasi politik perempuan merupakan satu elemen penting jika kita ingin
menempatkan konteks demokratisasi Indonesia dalam perspektif demokrasi yang ramah jender
Berbeda dengan para politisi laki-laki yang lebih asyik dengan “narasi-narasi politik besar”,
kalangan aktivis perempuan tampaknya lebih fokus dan konsisten untuk memperjuangkan kuota
30 persen representasi politik perempuan sebagai agenda perjuangan bersama. Setidaknya, dalam
satu dekade ini, kita menyaksikan sebuah geliat kuat dari hampir seluruh organ dan elemen
perjuangan perempuan baik dari kalangan politisi, aktivis LSM, ormas, akademisi, jurnalis
perempuan, bahkan para artis dan selebritis yang mengarahkan hampir seluruh energi politiknya
ke satu titik: mengupayakan representasi politik perempuan yang lebih proporsional, adil, dan
setara. Tak berlebihan, jika banyak pengamat dan aktivis mengatakan, wacana representasi
politik perempuan kian nyaring dan menggema sejalan dengan bergulirnya era liberalisasi politik
hasil reformasi politik 1998. Sebab, semasa Orde Baru, wacana representasi politik perempuan
dalam narasi besar demokratisasi dus implementasi hak asasi manusia, hak sipil dan politik,
termasuk hak ekonomi, sosial, dan budaya perempuan hampir tak mendapat tempat untuk
besemai. Wacana representasi politik perempuan dalam kerangka demokratisasi, praktis
tenggelam dalam gerusan narasi besar developmentalisme, sebuah program pembangunan yang
pragmatis dan represif yang bersumber dari ideologi pertumbuhan dan pengendalian stabilitas
politik ketat, yang demikian intens digenjot oleh rezim Soeharto ketika itu. Padahal, jika kita
menyimak dengan seksama catatan sejarah perjalanan politik perempuan negeri ini, secara
kualitatif, nilai dan semangat perjuangan perempuan Indonesia di masa awal revolusi terlihat
lebih substantif dan membumi tidak artifisial seperti terekam dalam wacana politik Indonesia
kontemporer.. Kini, seiring dengan perjalanan waktu, peran, posisi, dan aktualisasi perempuan
dalam kancah kehidupan sosial-politik kian menyusut.

Di era Demokrasi Terpimpin, peran sosial-politik perempuan cenderung terfragmentasi sebagai


konsekuensi dinamika politik saat itu yang cenderung konfliktual. Kendati posisi politik
perempuan saat itu relatif kuat, dalam praktiknya mereka tetap berada pada posisi subordinat dan
kerap digunakan sebagai instrumen politik negara. Di era Orde Baru, kendati pemerintah
Soeharto memiliki political will membentuk kementerian yang khusus menangani masalah
perempuan, akan tetapi orientasi politik negara korporatik yang menyuburkan pola politik
patron-client dan kultur hegemoni “politik lelaki” tetap saja menjadi struktur atas dari bangunan
budaya politik rezim ini. Perempuan diperbolehkan melakukan peran sosial-politiknya, akan
tetapi sebatas fungsi normatifnya, di bawah kendali ketat negara korporatik. Memasuki era
reformasi, para Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (terutama di era kepemimpinan
Khofifah Indar Parawansa), secara gigih terus mengangkat isu kesetaraan jender sebagai
mainstream. Namun, kerja keras para menteri perempuan, para aktivis, dan berbagai organisasi
perempuan di Tanah Air untuk mewujudkan persamaan hak terus saja terbentur oleh kultur
patriarki dan praktik politik anti partisipasi. Salah satu penyebab penting yang mendasari, dalam
struktur masyarakat patriarkis, konstruksi sosial-budaya perempuan kerap digunakan sebagai alat
legitimasi kekuasaan.

Anda mungkin juga menyukai