Anda di halaman 1dari 35

NAMA : TASYA VIRRISYA TANIA

NPM : 195139048

KELAS : PED 13 EKSTENSI KEPERAWATAN

ASKEP DEMAM THYPOID

A. PENGERTIAN
Demam Thyphoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna,
dengan gejala demam kurang lebih 1 minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan
kesadaran. Penyakit infeksi dari salmonella ialah segolongan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh sejumlah besar spesies yang tergolong dalam geneus salmonella,
biasanya mengenai saluran pencernaan. (Hasan & Alatas, 1991, dikutip Sodikin,2011: hal
240).

Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh
faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. (bruner and Sudart,2004).

Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman


salmonellaThypi (Arief Maeyer,2006).

Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
thypi dan salmonella para thypi A,B,C. Sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan
paratyphoidabdominalis, ( Syaifullah Noer,2011).

Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever,
enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (Seoparman,2007).
 
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik
yangdisebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara
pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M 2011).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah
suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A.B dan C yang
dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.

B.ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini adalah jenis salmonella thyposa, kuman ini memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora.
2. Memiliki paling sedikit 3 macam antigen o (somalitik yang terdiri atas zat kompleks
lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan antigen V. Berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium pasien, biasanya terdapat zat antigen (agluitin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut.
3. Masa inkubasi 10-20 hari.
Salmonella terdiri atas beratus-ratus spesies, namun memiliki susunan antigen yang
serupa, yaitu sekurang- kurangnya antigen O (somatik), dan antigen H (flagella).
Perbedaan diantara spesises tersebut disebabkan oleh faktor antigen dan sifat
biokimia.
Etilogi thypoid adalah salmonella para typhi A, B, C, ada dua sumber penularan
salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier.
Carier adalah orang yang sembuh dari demam thypoid dan masih terus mengekresi
salmonellatyphi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
Salmonella typhi, basil gram negative, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora,
mempunyai sekurang-kurangnya empat macam antigen yaitu: antigen O (somatik), H
(Flagella), Vi dan protein membrane hialin. (Mansjoer, 2004).

C.PATOFISIOLOGI
1. Proses perjalanan penyakit
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers (jari tangan/kuku), fomitus (muntah),
fly(lalat), dan melalui feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi
kepada orang lain. kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana
lalatakan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila
orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan
makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat
melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal
dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang
biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan
menimbulkan bakterimia, kumanselanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung
empedu. Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan
olehendotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bah)
aendotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid.
endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi
lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang.
Kuman salmonella masuk melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam
lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus yang melepaskan
zat pirogen dan menimbulkan infeksi. Infeksi ini bisa merangsang pusat mual dan
muntah dimedulla oblongata dan akan mensekresi asam lambung berlebih sehingga
mengakibatkan mual dan timbul nafsu makan berkurang. Apabila nafsu makan
berkurang maka terjadi intake nutrisi tidak adekuat dan terjadi perubahan nutrisi.
Selain itu juga kuman yang masih hidup akan masuk ke jaringan limfoid dan
berkembang biak menyerang vili usushalus kemudian kuman masuk ke peredaran
darah (bakterimia primer), dan menuju sel-sel retikuloendotelial, hati, limfa
dan organ-organ lainnya (Suriadi,2006:254).
Basil kemudian masuk kedalam peredaran darah melalui pembuluh limpe sampai
diorgan-organ terutama hati dan limpa. hasil yang masuk ke peredaran darah akan
mengeluarkan endotoksin sehingga menimbulkan demam dan terjadi gangguan
termoregulasi tubuh. Dari demam tadi akan menimbulkan diaporesis sehingga
terjadi proses kehilangan cairan berlebih. Kehilangan cairan juga dapat
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi peningkatan absorbsi usus dan
merangsang peningkatan motilitas usus. Basil yang tidak dihancurkan juga akan
berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar
disertai nyeri pada perabaan. kemudian basil akan kembali masuk kedalam darah dan
menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus,
menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak peyer, tukak tersebut
dapat mengakibatkan resiko komplikasi perdarahan, perforasi usus dan
nekrosis jaringan. Keadaan tersebut mengharuskan klien untuk bedrest total sehingga
ADL dibantu agar terpenuhi personal hygiene klien dan gangguan aktivitas. Selain itu
juga kondisi sakit akan menimbulkan efek hospitalisasi dan mengakibatkan rasa
cemas pada klien dan keluarga. (Ngastiyah,2005).
Typhus dapat bersifat intermitten (sementara), remiten (kambuh), dan continue (terus-
menerus) tergantung dari periode terjadinya demam. Demam seringkali
menyebabkan perasaan tidak nyaman dan meniggalkan kehilangan cairan yang
berlebihan lewat keringat serta udara yang ikut dalam udara ekspirasi, disamping itu
pula terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan menurunnya
absorbsi usus sehingga tekanan koloid ekstra sel meningkat, akibatnya cairan
berpindah dari intra sel keekstra sel. Peningkatan cairan dapat merangsang
peningkatan motilitas untuk mengeluarkan kelebihan cairan dan akhirnya timbulah
diare. Timbulnya diare akan mengakibatkan gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. disamping menimbulkan gejala diare, salah satu gejala typhoid adalah
timbulnya obstipasi. Hal ini terjadi endoktosin bekerja menghambat saraf enterik
sehingga motilitas usus terhambat.

2. Maniofestasi klinis
Masa tunas typhoid 10-14 hari.
a. Minngu I
pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari.
Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan
mual, batuk, epitaksis, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut. 
b. Minggu II
 pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang
khas (putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan
kesadaran.

c . M i n g g u I I I
Demam tinggi, nyeri perut, feces bercampur darah (melena).
d. Minggu IV
penyembuhan ulkus
3. Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perporasi usus
3) Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis.
2) Komplikasi darah: anemia hemolotik, trobositopenia, dan syndrome uremia
hemolitik.
3) Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu: hepatitis, kolesistisis.
5) Komplikasi ginjal: glomerulus nefritis, pyelonephritis dan perinepritis.
6) Komplikasi pada tulang: osteomyelitis, osteoporosis, spondylitis dan arthritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningiusmus, meningitis, polyneuritis
perifer, sindroma guillainn bare dan sindroma katatonia. (Ngastiyah,
2005:237).
D. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Perawatan
1). Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam turun atau 14 hari untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus,
2). Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya transfuse bila ada
komplikasi perdarahan (Syaifullah, 2005: 439).
b. Diet
1). Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein.
2). Pada penderita yang akut dapat di beri bubur saring.
3). Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
4). Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari
(Ngastiyah, 2005: 239).
c. obat- obatan
1. kloramfenikol
Merupakan obat antimikroba yang dapat menurunkan demam lebih cepat. Dosis
untuk anak-anak 100mg/kgBB/hari, diberikan: 4 kali sehari peroral atau IV atau IM
2.Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam thypoid sama dengan kloramfeenikol
3.Kontrimossasol
Ekfetifitas kontrimossasol kurang lebih sama dengan kloramfenikol
4.Ampisilin dan Amoksilin
Efektivitas Ampisilin dan Amoksilin lebih kecil dibandingkan kloramfenikol
5.Vitamin B kompleks dan vitamin C
Sangat diperlukan untuk menjaga kesegaran dan kekuatan badan serta menjaga
kesetabilan metabolisme tubuh
6. K a r t i k o s t e r o i
Diberikan bagi penderita toksemia berat atau gejala berkepanjangan (Rampengan,
2008 : 58-62).
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium,
yang terdiri dari:
a) Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia
dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid. 
b) Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
c)Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor:
1) Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain,
hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan.
Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu
pada saat bakteremia berlangsung.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan
darah dapat positif kembali.
3) Vaksinasi di masa lampau
vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga
biakan darah negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
B ila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan
mungkin negatif.
e . u j i w i d a l
uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh
salmonella thypi, klien membuat antibodi atauaglutinin yaitu:
1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari
tubuh kuman).
2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari
flagel kuman).
3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal:
a.Faktor yang berhubungan dengan klien:
1 . keadaan umum: gizi buruk dapat menghambat pembentukan
antibodi.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru
dijumpai dalam darah setelah klien sakit & minggu dan mencapai
puncaknya pada minggu ke-5atau ke-6.
3. Penyakit-penyakit tertentu: ada beberapa penyakit yang dapat
menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan
antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
4. Pengobatan dini dengan antibiotika: pengobatan dini dengan
obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
 
5.Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid: obat-obat
tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena
supresi sistem retikuloendotelial.
6.Vaksinasi dengan kotipa atau tipa: seseorang yang divaksinasi
dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat.
Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun,
sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2
tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi
kurang mempunyai nilai diagnostik.
7.Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella
sebelumnya:
keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun
dengan hasil titer yang rendah.
8.Reaksi anamnesa: keadaan dimana terjadi peningkatan titer
aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan
demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella
di masa lalu.
 b. Faktor-faktor Teknis
1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung
antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies
dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
2. Konsentrasi suspensi antigen: konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil
uji widal.

3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian


yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain
salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.(Suriadi, 2006:
283, Ngastiyah, 2005: 238, T. H. Rampengan 2007: 54).

E.Pengkajian Keperawatan.
1. Identitas : Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku bangsa,
agama,status pekawinan, tangga masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik.
2. Keluhan utama: Keluhan utama Typoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun,
nyeri perut, pusing kepala, mual, anoreksia, diare, serta penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang: Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman
salmonellatyphi ke dalam tubuh.
4. Riwayat penyakit dahulu: Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
5. Riwayat psikososial dan spiritual: Biasanya klien cemas, bagaimana koping
mekanisme yang digunakan. Gangguan dalam beribadat karena klien tirah baring total
dan lemah.
6. Pola-pola fungsi kesehatan:
a)Pola nutrisi dan metabolism
klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat
makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali. 
b) Pola eliminasi
eliminasi alvi. klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring
lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine
menjadi kuning kecoklatan. klien dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh
yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan
kebutuhan cairan tubuh.

c) Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi
komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.

d) Pola tidur dan istirahat

Pola istirahat dan tidur terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.


e) Pola persepsi dan konsep diri
biasanya terjadinya kecemasan terhadap keadaan penyakitnya dan ketakutan
merupakan dampak psikologi klien.
f) Pola sensori dan kognitif
pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan pengelihatan umumnya tidak
mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada klien.

g)Pola hubungan dan peran


Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah sakit dan
klien harus bed rest total.
h)Pola reproduksi dan seksual
Gangguan pola ini terjadi pada klien yang sudah menikah karena harus dirawat
dirumah sakit sedangkan yang belum menikah tidak mengalami gangguan.
i) Pola penanggulangan stress
Biasanya klien sering melamun dan merasa sedih karena keadaan sakitnya. 
j) Pola tatanilai dan kepercayaan
Dalam hal beribadah biasanya terganggu karena bedrest total dan tidak
bolehmelakukan aktivitas karena penyakit yang dideritanya saat ini.

7. Pemeriksaan fisik 
a) Keadaan umum
didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38-41 derajat C, muka
kemerahan. 
b) Tingkat kesadaran dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis)
c) Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran
seperti bronchitis.
d) Sistem kardivaskuler 
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
e) Sistem integument
kulit kering, turgor kulit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam
f) Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual,
muntah,anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik
usus meningkat.
g) Sistem musculoskeletal
klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
h) Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta
nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada
auskultasi peristaltik usus meningkat.
8. Pemeriksaan penunjang
a)Pemeriksaan darah tepi
Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas, terjadi gangguan
absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan penghancuran sel darah
merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan jumlah lekosit antara3000-
4000/mm3 ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit
oleh endotoksin. Ancosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari darah
tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu pertama.
Limfositosis umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju
endap darah meningkat. 

1. Pemeriksaan urine
didapatkan proteinuria ringan ( <2gr/liter) juga didapatkan peningkatan lekosit dalam
urine.
c ) P e m e r i k s a a n   t i n j a didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai
akan bahaya perdarahan usus dan perforasi.
d)Pemeriksaan bakteriologis
Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella dan biakan darah
tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.
e)Pemeriksaan serologis
Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ). Adapun antibodi yang
dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman salmonella adalah antobodi O dan H. Apabila
titer antibodi O adalah 1:20 atau lebih pada minggu pertama atau terjadi peningkatan
titer antibodi yang progresif (lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1atau 2
minggu kemudian menunjukkan diagnosa positif dari infeksi Salmonellatyphi.
f)Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat demam
tifoid.
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertemia (00007) berhubungan dengan penyakit
2. Nyeri akut (00132) berhubungan dengan agen- agens penyebab cedera
3. Ketidak seimbangan nutrisi (00002): kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
hilang nafsu makan,mual dan muntah .

Pathway
ASKEP KOLELITIASI

A. PENGERTIAN
Batu empedu adalah penyakit dengan keadaan dimana terdapat atau terbentuk batu
empedu, bisa terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam
duktus choledochus  (choledocholithiasis). (Patrick C. D. Gagola, dkk. 2015).
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. (Jojorita Herlianna, dkk.
2011).
Kolelitiasis (kalkulus/kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam kandung
empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu; batu empedu memiliki
ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. (Brunner and Suddarth.2013).
Jadi, batu empedu atau kolelitiasis merupakan keadaan terdapat batu empedu dari
unsur – unsur padat yang membentuk cairan empedu, ditemukan didalam kandung
empedu atau dalam duktus koledokus. Kandung empedu merupakan kantong berongga
berbentuk bulat lonjong seperti buah advokat yang terletak tepat di bawah lobus kanan
hati. Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu.

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya, akan tetapi, tampaknya
faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolism yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi empedu, statis empedu dan infeksi kandung empedu. Ada teori
yang menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi empedu di kandung
empedu. setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi menjadi
mengkristal dan membentuk batu. (Williams.2003)
Beberapa faktor risiko yang sering ditemui pada kolelitiasis dikenal dengan “6F” (Fat,
Female, Forty, Fair, Fertile, Family history). Beberapa studi menunjukkan bahwa
prevalensi meningkat seiring bertambahnya usia. Perempuan memiliki risioko lebih besar
daripada laki-laki, dimana didapatkan angka kejadian yang lebih tinggi pada perempuan.
Faktor risiko lain adalah obesitas, diabetes, riwayat keluarga, paritas, merokok dan
alcohol.(Suzanna, dkk. 2014)

C. KLASIFIKASI
Berdasarkan komposisi kimia yang terkandung dalam batu. (David, dkk. 2015)
1. Batu kolesterol (mengandung kolesterol >50%)
Kandungan: minimal 70% kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium
palmitit, dan kalsium bilirubinat.
Bentuk:  lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen.
Karakteristik: Terbentuk hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa soliter
atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri, dan ada yang
seperti buah murbei.
Penyebab : Batu Kolesterol terjadi kerena konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu
tinggi. Ini akibat dari kolesterol di dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam
kantong empedu tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu.
Penyebab lain adalah pengosongan cairan empedu di dalam kantong empedu kurang
sempurna, masih adanya sisa-sisa cairan empedu di dalam kantong setelah proses
pemompaan empedu sehingga terjadi pengendapan.
2.Batu campuran (mengandung kolesterol 20-50%)
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%) dan terdiri atas kolesterol,
pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium. Biasanya berganda dan sedikit
mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.
3.Batu pigmen (mengandung kolesterol <20%)
Bentuk: tidak banyak bervariasi.
Karakteristik: Sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecilkecil, dapat berjumlah
banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk
seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Warna kehitaman menunjukkan adanya kandungan
kalsium bilirubinat.
Penyebab: Batu pigmen terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di saluran empedu
(yangsukar larut dalam air), pengendapan garam bilirubin kalsium dan akibat penyakit
infeksi

Secara Makroskopik :
a.   Batu Kolesterol : soliter, berbentuk oval, permukaan bergranulasi, berwarna putih
kekuningan, dan bila dipotong berbentuk kristal.
b.    Batu pigmen : multipel, kecil, berwarna hitam, berbentuk seperti mulberry, dan bila
dipotong lunak dan hitam.
c.     Batu campuran : multipel, bersudut banyak, ukuran bervariasi, serta bila dipotong
terdapat lapisan pigmen gelap dan lapisan putih pucat.
d.     Batu kombinasi : soliter, besar dan licin, serta bila dipotong terdapat inti sentral dari batu
dengan campuran pada cangkang luarnya.

D.   MANIFESTASI KLINIK
Penyakit batu empedu dapat terjadi simtomatik dan asimtomatik. Batu empedu bisa
terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala
gastrointestinal yang ringan. Batu tersebut mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat
dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang
tidak berhubungan sama sekali. Keluhan klinis yang sering ditemukan adalah nyeri pada perut
kanan atas, nyeri epigastrum, demam, ikterus, mual dan muntah.
Menurut Buku Ajar Keperawatan Medika L Bedah Brunner & Suddarth, manifestasi
klinik kolelitiasis :
a.    Nyeri dan Kolik Biler
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami
distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa
padat pada abdomen.
b.   Ikterus
Ikterus dapat dijumpai di antara penderita penyakit kandung empedu dengan presentase
yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
c.   Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat empedu oleh ginjal akan membuat
urin berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan
tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “ clay-colored “.

d.  Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi vitamin A, D, E dan K yang larut
lemak. Karena itu, pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini
jika obstruksi bilier berjalan lama. Difisensi vitamin K dapat mengganggu
pembentukan darah yang normal.
E. KOMPLIKASI
1) Kolesistisis
Kolesistisis adalah peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat
oleh batu empedu.
2) Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang
menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran -saluran menjadi
terhalang oleh sebuah batu empedu.
3) Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hydrops kandung empedu.
Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya.
Hydrops biasanya disebabkan oleh obstruksi ductus sistikus sehingga tidak dapat diisi
lagi empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
4) Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat membahayakan
jiwa dan membutuhkan kolesistektomi cyto.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.  USG
Merupakan pemeriksaan standar untuk menegakkan diagnosa cholelithiasis. Pemeriksan
USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang
mengalami dilatasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien
sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan
distensi. Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung
empedu telah menebal. 

  Kolesistografi

Kolesistografi digunakan bila hasil USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan
untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral
kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan
media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi.
Pemeriksaan Laboratorium
· Kenaikan serum kolesterol
· Kenaikan fosfolipid
· Penurunan ester kolesterol
· Kenaikan protrombin serum time
· Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal< 0,4mg/dl)
· Penurunan urobilirubin
· Peningkatan sel darah putih(Normal : 5000 - 10.000/iu)
· Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di duktus utama
(Normal: 17 - 115 unit/100ml).
2. CT SCAN : Metode ini juga merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya, batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis.
3. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
Yaitu sebuah kanul yang dimasukkan kedalam duktus koledukus dan ductus
pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam ductus tersebut. Fungsi
ERCP ini memudahkan visualisasi langsung struktur bilier dan memudahkan akses ke
dalam ductus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP
berfungsi untuk membedakan icterus yang disebabkan oleh obstruksi bilier dan juga
dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien -pasien yang
kandung empedunya sudah diangkat.
H. PENATALAKSANAAN
1. PENATALAKSANAAN NON BEDAH
a.  Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien – pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik. Intervensi
bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smelzer, SC dan Bare, BG. 2002).
Manajemen terapi :
1.      Diet rendah lemak, tinggi protein.
2.      Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
3.      Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign.
4.      Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
5.      Pemberian antibiotic sistemik dan vitamin K (antikoagulopati).
b. Disolusi Medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghacuran batu dengan pemberian obat-obatan
oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan
daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada
penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare,
peningkatan aminotransferase dan hiperkolestrolemia.
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien
dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih
kurang 10%, terjadi dalam 305 tahun setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus
memenuhi kriteria terpi nonoperatif daintaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm,
batu duktus sistik paten. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-
anak dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.

c. Disolusi Kontak
Terapi contac dissolution adalah cara untuk menghancurkan batu kolesterol dengan
memasukkan sautu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter
perkutaneus  melalui hepar atau alternative lain melalui kateter nasobilier. Larutan
yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat
khusus ke dalam kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu kolesterol
yang radiolusen. Larutan yang digunakan bersifat iritan terhadap mukosa, dapat terjadi
sedasi ringan dan kekambuhan terbentuknya batu empedu dikemudian hari.
d.  Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock
Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus
koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa fragmen.
(Smeltzer, SC dan Bare, BG. 2002)
2.    PENATALAKSANAAN BEDAH
1.   Kolisitektomi terbuka
Operasi ini merupakan salah satu cara penanganan pasien dengan kolelitiasis
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut
2.     Kolisistektomi Laparaskopi
Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di
dinding perut. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka
operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal. Indikasi pembedahan
adalah:
·         Simptomatik
·         Keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat. atau
·         Diameter batu > 2 cm.

I. PENGKAJIAN
a. Identities : Kolelitiasis merupakan batu pada kandung empedu yang banyak terjadi pada
individu yang berusia di atas 50 tahun dan semakin meningkat pada usia 35 tahun.
wanita mempunyairesiko 2 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria
b. Riwayat kesehatan :
1. Keluhan utama : biasanyakeluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen
pada kuadran kanan atas, dan mual muntah
2. Riwayat penyakit dahulu
3. Riwayat kesehatan keluarga
4. Riwayat psikososial
5. Riwayat lingkungan
c. Pemeriksaan fisik
d. Pola Aktifitas

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut berhubungan dnegan agen pencedera fisiologis


2. Defisit Nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan
3. Gangguan citra tubuh
4. Risiko kerusakan integritas kulit
ASUHAN KEPERAWATAN HIPERPIUTARY
A. PENGERTIAN
Hiperpituitary adalah suatu kondisi patologis yang terjadi akibat tumor atau
hiperplasi hipofisisme sehingga menyebabkan peningkatkan sekresi salah satu hormone
hipofise atau lebih.
Hormon – hormon hipofisis lainnya sering dikeluarkan dalam kadar yang lebih rendah.
(Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Kelenjar Hipofise) (Hotma Rumahardo,
2000 : 36).
Hiperpituitary adalah suatu keadaan dimana terjadi sekresi yang berlebihan satu
atau lebih hormone- hormone yang disekresikan oleh kelenjar pituitary{ hipofise}
biasanya berupa hormone- hormone hipofise anterior.
(http://www.askep.hiperpituitaryi.com/2008).
B. ETILOGI
Hiperpituitari dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar hipofisis atau hipotalamus,
penyebab mencakup :
a. Adenoma primer salah satu jenis sel penghasil hormone, biasanya sel penghasil GH,
ACTH atau prolakter.
b. Tidak ada umpan balik kelenjar sasaran, misalnya peningkatan kadar TSH terjadi
apabila sekresi HT dan kelenjar tiroid menurun atau tidak ada.
(Buku Saku Patofisiologis, Elisabeth, Endah P. 2000. Jakarta : EGC)
C. PATOFISIOLOGIS
Hiperfungsi hipofisis dapat terjadi dalam beberapa bentuk bergantung pada sel mana
dari kelima sel-sel hipofisis yang mengalami hiperfungsi. Kelenjar biasanya mengalami
perbesaran, disebut adenoma makroskopik bila diameternya lebih dari 10 mm atau
adenoma mikroskopik bila diameternya kurang dari 10 mm, yang terjadi atas satu jenis
sel atau beberapa jenis sel. Kebanyakan adalah tumor yang terdiri atas sel-sel laktotropik
(prolaktinomas). Tumor yang kurang umum terjadi adalah adenoma somatotropik dan
kortikotropik.
Tumor yang terdiri atas sel-sel pensekresi TSH-, LH- atau FSH- sangat jarang terjadi.
Prolaktinoma (adenoma laktropin) biasanya adalah tumor kecil, jinak yang terdiri atas
sel-sel pensekresi prolaktin.
Gejala yang khas pada kondisi ini sangat jelas pada wanita usia reproduktif dan
dimana terjadi (tidak menstruasi, yang bersifat primer dan sekunder), galaktorea (sekresi
ASI tidak spontan yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan), dan infertilitas.
Adenoma somatotropik terdiri atas sel-sel yang mensekresi hormone pertumbuhan.
Gejala klinik hipersekresi hormone pertumbuhan bergantung pada usia klien saat terjadi
kondisi ini.
Misalnya saja pada klien prepubertas, dimana lempeng epifise tulang panjang belum
menutup, mengakibatkan pertumbuhan tulang-tulang memanjang sehingga
mengakibatkan gigantisme. Pada klien postpubertas, adenoma somatotropik
mengakibatkan akromegali, yang di tandai dengan pembesaran ekstremitas (jari, tangan,
kaki), lidah, rahang, dan hidung.
Organ-organ dalam juga turut membesar (kardiomegali). Kelebihan hormone
pertumbuhan menyebabkan gangguan metabolic, Seperti hiperglikemia dan
hiperkalsemia. Pengangkatan tumor dengan pembedahan merupakan pengobatan pilihan.
Gejala metabolic dengan tindakan ini dapat mengalami perbaikan, namun perubahan
tulang tidak mengalami regrasi. Adenoma kortikotropik terdiri atas sel-sel pensekresi
ACTH. Kebanyakan tumor ini adalah mikroadenoma dan secara klinis dikenal dengan
tanda khas penyakit cushing’s. Hiperfungsi hipofise dapat terjadi dalam beberapa bentuk
bergantung pada klien. dimana salah satu sel – sel hipofisis yang mengalami hiperfungsi
kelenjar biasanya mengalami perbesaran, disebut adenoma makrokospik (diameter > 10
mm) atau adenoma mikrokospik(diameter ).
D. MANIFESTASI KLINIS
a. Perubahan bentuk dan ukuran tubuh serta organ – organ
b. dalam (seperti tangan, kaki, jari – jari tangan, lidah, rahang,
c. Impotensi
d. Visus berkurang
e. Nyeri kepala
f. Perubahan siklus menstruasi (pada klien wanita), infertilitas
g. Libido seksual menurun
h. Kelemahan otot, kelelahan dan letargi (Hotman Rumahardo, 2000 : 39).
 
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Kadar prolaktin serum ; ACTH, GH
b. CT – Scan / MRI
c. Pengukuran lapang pandang
d. Pemeriksaan hormon
e. Angiografi
f. Tes toleransi glukosa
g. Tes supresi dengan dexamethason
(Hotman Rumahardo, 2000 : 39).

F. PENATALAKSANAAN
a. Hipofisektomi melalui nasal atau jalur transkranial (pembedahan)
b. Kolaborasi pemberian obat – obatan seperti bromokriptin (parlodel)
c. Observasi efek samping pemberian bromokriptin
d. Kolaborasi pemberian terapi radiasi
e. Awal efek samping terapi radiasi. (Nelson, 2000 : 227)
G. TERAPI
Dikenal 2 macam terapi, yaitu:
a.    Terapi pembedahan
Tindakan pembedahan adalah cara pengobatan utama. Dikenal dua macam
pembedahan tergantung dari besarnya tumor yaitu : bedah makro dengan melakukan
pembedahan pada batok kepala (TC atau trans kranial) dan bedah mikro (TESH atau
trans ethmoid sphenoid hypophysectomy). Cara terakhir ini (TESH) dilakukan dengan
cara pembedahan melalui sudut antara celah infra orbita dan jembatan hidung antara
kedua mata, untuk mencapai tumor hipofisis. Hasil yang didapat cukup memuaskan
dengan keberhasilan mencapai kadar HP yang diinginkan tercapai pada 70 – 90%
kasus. Keberhasilan tersebut juga sangat ditentukan oleh besarnya tumor.
Efek samping operasi dapat terjadi pada 6 – 20% kasus, namun pada umumnya
dapat diatasi. Komplikasi pasca operasi dapat berupa kebocoran cairan serebro spinal
(CSF leak), fistula oro nasal, epistaksis, sinusitis dan infeksi pada luka operasi.
Keberhasilan terapi ditandai dengan menurunnya kadar GH di bawah 5 µg/l. Dengan
kriteria ini keberhasilan terapi dicapai pada 50 – 60% kasus, yang terdiri dari 80%
kasus mikroadenoma, dan 20 % makroadenoma.
b.   Terapi radiasi
Indikasi radiasi adalah sebagai terapi pilihan secara tunggal, kalau tindakan
operasi tidak memungkinkan, dan menyertai tindakan pembedahan kalau masih
terdapat gejala akut setelah terapi pembedahan dilaksanakan.
Radiasi memberikan manfaat pengecilan tumor, menurunkan kadar GH , tetapi
dapat pula mempengaruhi fungsi hipofisis. Penurunan kadar GH umumnya
mempunyai korelasi dengan lamanya radiasi dilaksanakan. Eastment dkk
menyebutkan bahwa, terjadi penurunan GH 50% dari kadar sebelum disinar (base line
level), setelah penyinaran dalam kurun waktu 2 tahun, dan 75% setelah 5 tahun
penyinaran.

H. PENGKAJIAN
a. Riwayat Penyakit; manifestasi klinis tumor hipofise berfariasi tergantung pada
hormon mana yang di sekresi berlebihan. Tanyakan manifestasi klinis dari
peningkatan prolaktin, GH dan ACTH mulai dirasakan.
b. Kaji usia, jenis kelamin dan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.
c. Keluhan utama mencakup:
1. Perubahan ukuran dan bentuk tubuh serta organ-organ tubuh seperti jari-jari,
tangan, dsb.
2. Perubahan tingkat energi, kelelahan dan lateragi.
3. Nyeri pada punggung dan perasaan tidak nyaman. Dispaneuria dan pada pria
disertai dengan impotensia.
4. Nyeri kepala, kaji P, Q, R, S, T. Gangguan penglihatan seperti menurunnya
ketajaman penglihatan, penglihatan ganda, dsb.
5. Kesulitan dalam hubungan seksual. h. Perubahan siklus menstruasi (pada klien
wanita) mencakup keteraturan, kesulitan hamil.
6. Libido seksual menurun.
d. Pemeriksaan fisik mencakup :
1) amati bentuk wajah, khas pada hipersekresi GH seperti bibir dan hidung besar,
tulang supraorbita menjolok.
2) Kepala, tangan/lengan dan kaki juga bertambah besar, dagu menjorok kedepan.
3) Amati adanya kesulitan mengunyah dan geligi yang tidak tumbuh dengan baik.
4) Pemeriksaan ketajaman penglihatan akibat kompresi saraf optikus, akan
dijumpai penurunan visus.
5) Amati perubahan pada persendian dimana klien mengeluh nyeri dan sulit
bergerak. Pada pemeriksaan ditemukan mobilitas terbatas.
6) Peningkatan perspirasi pada kulit menyebabkan kulit basah karena berkeringat.
7) Suara membesar karena hipertropi laring.
8) Pada palpasi abdomen, didapat hepatomegali dan splenomegali. i. Hipertensi.
9) Disfagia akibat lidah membesar.
10) Pada perkusi dada dijumpai jantung membesar.
e. Pemeriksaan diagnostik mencakup:
 kadar prolaktin serum: ACTH, GH.
 Foto tengkorak.
 CT dan skan otak.
 Angiografi.
 Tes supresi dengan Dexametason
 Tes toleransi glukosa
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan utama yang dapat dijumpai dengan klien gangguan
hiperpituitarisme adalah:
a.    Disfungsi seksual yang berhubungan dengan penurunan libido ; infertilitas
b.   Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan jaringan oleh tumor.
c.    Perubahan sensori perseptual (penglihatan) yang berhubungan dengan gangguan
transmisi impuls akibat kompresi tumor pada nervus optikus

ASKEP DIABETES GASTESIONAL

A. PENGERTIAN
Diabetes Mellitus Gestasional adalah intoleransi karbohidrat dengan berbagai
tingkat keparahan, yang awitannya atau pertama kali dikenali selama masa kehamilan
(ADA,1990).
Diabetes Melitus pada kehamilan atau sering disebut Diabetes Melitus
Gestasional, merupakan penyakit diabetes yang terjadi pada ibu yang sedang hamil.
B. ETIOLOGI
• Diabetes mellitus dapat merupakan kelainan herediter dengan cara insufisiensi
atau absennya insulin dalam sirkulasi darah, konsentrasi gula darah tinggi.
Berkurangnya glikogenesis.
• Diabetes dalam kehamilan menimbulkan banyak kesulitan, penyakit ini akan
menyebabkan perubahan-perubahan metabolik dan hormonal pada penderita yang
juga dipengaruhi oleh kehamilan.
C. Risiko Tinggi DM Gestasional:
• Umur lebih dari 30 tahun
• Obesitas dengan indeks massa tubuh 30 kg/m2
• Riwayat DM pada keluarga (ibu atau ayah)
• Pernah menderita DM gestasional sebelumnya
• Pernah melahirkan anak besar > 4.000 gram
• Adanya glucosuria
D.  KLASIFIKASI
Pada Diabetes Mellitus Gestasional, ada 2 kemungkinan yang dialami oleh si Ibu:
 Ibu tersebut memang telah menderita DM sejak sebelum hamil
 Si ibu mengalami/menderita DM saat hamil
Klasifikasi DM dengan Kehamilan menurut Pyke:
• Klas I : Gestasional diabetes, yaitu diabetes yang timbul pada waktu hamil dan
menghilang setelah melahirkan.
• Klas II : Pregestasional diabetes, yaitu diabetes mulai sejak sebelum hamil dan
berlanjut setelah hamil.
• Klas III : Pregestasional diabetes yang disertai dengan komplikasi penyakit
pembuluh darah seperti retinopati, nefropati, penyakit pemburuh darah panggul
dan pembuluh darah perifer, 90% dari wanita hamil yang menderita Diabetes
termasuk ke dalam kategori DM Gestasional (Tipe II).
E. MANIFESTASI KLINIS

• Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui
daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana
gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak
kencing. Poliuri (banyak kencing)
• Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak
karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum. Polidipsi
(banyak minum)
• Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi
(lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun
klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada
pembuluh darah. Polipagi (banyak makan)
MANIFESTASI KLINIS Penurunan berat badan
• Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka
tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu
lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya
akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di
jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan
tetap kurus. Kesemutan Gatal Pandangan kabur Pruritus vulvae pada wanita
Lemas Lekas lelah, tenaga kurang.

PATWHAY

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Gejala klasik DM + gula darah sewaktu ≤ 200 mg/dl. Gula darah sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu
makan terakhir.
b. Kadar gula darah puasa 126 mg/dl.Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
tambahan sedikitnya 8 jam.
c. Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan Standard
WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang
dilarutkan dalam air.
 Reduksi Urine:
d. Pemeriksaan reduksi urine merupakan bagian dari pemeriksaan urine rutin yang
selalu dilakukan di klinik. Hasil yang (+) menunjukkan adanyaglukosuria.
Pengaruh Diabetes Melitus Terhadap Kehamilan Pengaruh kehamilan, persalinan dan
nifas terhadap DM Kehamilan dapat menyebabkan status pre diabetik menjadi manifes
(diabetik). DM akan menjadi lebih berat karena kehamilan Pengaruh diabetes gestasional
terhadap kehamilan Abortus dan partus prematurus Hidronion Pre-eklamasi Insufisiensi
plasenta Pengaruh penyakit terhadap persalinan Gangguan kontraksi otot rahim (partus
lama / terlantar). Janin besar sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Gangguan
pembuluh darah plasenta sehingga terjadi asfiksia sampai dengan lahir mati Pengaruh
DM terhadap kala nifas Mudah terjadi infeksi post partum Kesembuhan luka terlambat
dan cenderung infeksi mudah menyebar Pengaruh DM terhadap bayi Abortus, prematur,
> usia kandungan 36 minggu Janin besar (makrosomia) Dapat terjadi cacat bawaan,
potensial penyakit saraf dan jiwa

F. PENATALAKSANAAN
Terapi Diet
Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan diabetes mellitus adalah untuk
mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi akut dan kronik. Jika klien
berhasil mengatasi diabetes yang dideritanya, ia akan terhindar dari hyperglikemia atau
hypoglikemia.

Terapi Insulin
Menurut Prawirohardjo, (2002) yaitu sebagai berikut : Daya tahan terhadap
insulin meningkat dengan makin tuanya kehamilan, yang dibebaskan oleh kegiatan
antiinsulin plasenta. Penderita yang sebelum kehamilan sudah memerlukan insulin diberi
insulin dosis yang sama dengan dosis diluar kehamilan sampai ada tanda-tanda bahwa
dosis perlu ditambah atau dikurangi.

Olahraga
Kecuali kontraindikasi, aktivitas fisik yang sesuai direkomendasikan untuk
memperbaiki sensitivitas insulin dan kemungkinan memperbaiki toleransi glukosa.
Olahraga juga dapat membantu menaikkan berat badan yang hilang dan memelihara berat
badan yang ideal ketika dikombinasi dengan pembatasan intake kalori.
G.  KOMPLIKASI
a. Hipoglikemia, terjadi pada enam bulan pertama kehamilan, Hiperglikemia, terjadi
pada kehamilan 20-30 minggu akibat resistensi insulin, Infeksi saluran kemih,
Preeklampsi, Hidramnion, Retinopati, Trauma persalinan akibat bayi besar
Komplikasi pada Ibu
b. Abortus, Kelainan kongenital spt sacral agenesis, neural tube defek, Respiratory
distress, Neonatal hiperglikemia, Makrosomia, Hipocalcemia, Kematian perinatal
akibat diabetic ketoasidosis, Hiperbilirubinemia Masalah pada anak :
c. Makrovaskular: stroke, penyakit jantung koroner,ulkus/ gangren.
d. Mikrovaskular: retina (retinopati) dan ginjal (gagal ginjal kronik), syaraf
(stroke,neuropati).
e. Koma: hiperglikemi, hipoglikemi, stroke Tanda terjadi komplikasi pada DM
gestasional
H. PENGKAJIAN
Identitas
a. Usia : perlu diketahui kapan ibu dan berapa tahun ibu menderita Diabetes melitus,
karena semakin lama ibu menderita DM semakin berat komplikasi yang muncul.
Seperti yang dijelaskan pada klasifikasi DM. Keluhan Utama
b. Biasanya ibu hamil dengan DM mengeluh Mual, muntah, penambahan berat badan
berlebihan atau tidak adekuat, polipdipsi, poliphagi, poluri, nyeri tekan abdomen
dan retinopati. Riwayat Penyakit Keluarga Perlu dikaji apakah ada keluarga yang
menderita DM, karena DM bersifat keturunan.
c. Riwayat Kehamilan sekarang
▫ Hamil muda, keluhan selama hamil muda
▫ Hamil tua, keluhan selama hamil tua, peningkatan berat badan, tinggi badan,
suhu, nadi, pernafasan, peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual,
keluhan lain.
• Riwayat antenatal care meliputi : Dimana tempat pelayanan, beberapa kali,
perawatan serta pengobatannya yang didapat. Pada saat antenatalcare perlu
diobservasi secara ketat juga kepatuhan ibu dalam menjalani diet, kadar gula
darah dan perawatan yang diberikan.
Pola Aktivitas Sehari-hari :
d. Pola Nutrisi Frekuensi makan : pasien dengan DM biasanya mengeluh sering lapar
dan haus.
e. Pola eliminasi BAK : pasien dengan DM memiliki gejala yaitu poliuri atau sering
berkemih. BAB : biasanya tidak ada gangguan.
f. Pola personal hygiene Pola atau frekuensi mandi, menggosok gigi, keramas.
g. Pola istirahat tidur Gangguan pola tidur karena perubahan peran dan melaporkan
kelelahan yang berlebihan.
h. Pola aktifitas dan latihan Aktivitas yang berlebih pada keadaan hipoglikemi dapat
menyebabkan rasa lapar meningkat, pusing, nyeri kepala, berkeringat, letih, lemah,
pernapasan dangkal dan pandangan kabur. Jika ini terjadi maka ibu akan rentan
terhadap cedera dan jika rasa lapar berlebih ini akan menyebabkan ketidakpatuhan
diet ibu.
PEMERIKSAAN FISIK
i. Keadaan umum jika dalam keadaan hipoglikemi ibu bisa merasa lemah dan letih
j. TD ibu dengan DM perlu diobservasi tekanan darahnya karena komplikasi dari ibu
dengan DM adalah preeklamsia dan eklamsia.
k. Nadi pada keadaan hiperlikemi biasanya nadi lemah dan cepat.
l. Respirasi pada keadaan hiperglikemi atau diabetik ketoasidosis biasanya RR
meningkat dan napas bau keton.
m. Suhu tidak ada gangguan, tetapi biasanya kulit pasien lembab pada kondisi
hipoglikemi. • Berat badan ibu dengan DM biasanya memiliki berat badan berlebih,
dan terjadi peningkatan berat badan waktu hamil yang berlebih.
n. Kepala & rambut : Tidak gangguan
o. Wajah : Pasien pada keadaan hipoglekmia biasanya terlihat pucat.
p. Mata : Pada keadaan hipoglikemi pasien akan mengeluh pandangan kabur atau
ganda dan pada keadaan hiperglikemi pasien akan mengeluh pandangan redup.
q. Hidung : Pasien dengan hiperglikemia pernapasana cepat dan dangkal, napas bau
keton.
r. Keadaan mulut : Tidak ada gangguan.
s. Telinga : Tidak ada gangguan.
t. Leher : Tidak ada gangguan.
u. Dada dan payudara:
▫ Dada : Pasien dengan hiperglikemia pernapasana cepat dan dangkal, napas bau
keton.
▫ Sirkulasi jantung : Perlu dikaji peningkatan tekanan darah dan nadi pasien.
▫ Payudara : Pada umumnya tidak gangguan.
v. Ekstremitas dan kulit Pada keadaan hipoglikemia pasien akan berkeringat dan kulit
pasien lembab.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna dan menggunakan nutrisi kurang tepat.
2. Resiko tinggi terhadap cedera maternal berhubungan dengan perubahan kontrol diabetik,
profil darah abnormal atau anemia, hipoksia jaringan dan perubahan respon imun.
3. Kurang pengetahuan mengenai kondisi diabetes, prognosis dan kebutuhan tindakan
berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan informasi dan tidak mengenal sumber
informasi.
4. Resiko tinggi terhadap trauma, gangguan pertukaran gas pada janin berhubungan dengan
ketidakadekuatan kontrol diabetik maternal, makrosomnia atau retardasi pertumbuhan
intra uterin.
5. Gangguan psikologis: ansietas berhubungan dengan situasi krisis atau mengancam pada
status kesehatan (maternal atau janin).

Anda mungkin juga menyukai