Anda di halaman 1dari 24

STRES DAN KOPING

A. PENGERTIAN STRES
Menurut KBBI stress adalah gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang
disebabkan oleh faktor luar yang menyebabkan ketegangan. Stress adalah reaksi individu
terhadap situasi yang menimbulkan tekanan/ ancaman, reaksi non spesifik dari tubuh
terhadap tuntutan kebutuhan dan adanya stressor yang mengganggu keseimbangan dan
mengganggu kehidupan sehari-hari (Azizah, Zainuri, & Akbar, 2016).
Stres adalah keadaan disekuilibrium yang terjadi saat ada ketidakharmonisan antara
tuntutan yang terjadi dalam lingkungan internal atau eksternal individu dan kemampuan
individu untuk mengatasi tuntutan tersebut (Townsend, 2008).
Ketegangan/ stress diperlukan sebagai alarm tubuh. Stress adalah tanggapan atau reaksi
tubuh terhadap berbagai tuntutan atau beban yang bersifat non spesifik, yang mengharuskan
seorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Potter& Perry, 2005).
Dapat disimpulkan stress adalah suatu keadaan yang tidak meyenangkan, yang
dipersepsikan sebagai suatu ancaman atau tantangan yang perlu penyelesaian yang dapat
menimbulkan akibat yang kurang menyenangkan agar individu dapat menyesuaikan dengan
tuntutan tersebut.
B. GEJALA STRESS
Stress sifatnya universality yaitu umum semua orang pasti dapat merasakannya, tetapi
cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan karakteristik individu
maka respon seseorang terhadap stress berbeda-beda. Seseorang yang mengalami stress
mengalami perubahan – perubahan yang terjadi. Gejala stress dapat berupa tanda-tanda
berikut ini:
1. Fisik yaitu nafas tersengal-sengal. Mulut dan tenggorokan kering, tangan lembab,
merasa panas, otot-otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit, letih yang tidak
beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.
2. Perilaku yaitu perasaan bingung, cemas. Sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya,
gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, susah konsentrasi dan
sabagainnya
3. Watak dan keperibadian yaitu sikap hati-hati yang berlebihan menjadi lekas panic,
kurang percaya diri, penjengkel.
Selanjutnya menurut Abraham(dalam Anto,2015) gejala stress dapat berupa :

1. Fisik yaitu sulit tidur atau tidak tertur, sakit kepala, sulit buang air besar.
2. Emosional yaitu marah-marah, mudah tersinggung, terlalu sensitive, gelisah dan cemas,
suasana hati mudah berubah-ybah, terlalu senditif, gelisah dan cemas, suasana hati mudah
berubah-ubag, sedih, mudah menagis
3. Intelektual yaitu mudah lupa kacau pikirannya, daya ingat enurun, sulit berkonsentrasi,
suka melamun, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja
4. Interpersonal yaitu acuh, kurang percaya kepada orang lain, sering mengingkaari janji,
suka mencari kesalahan orang lain,menutup diri, mudah menyalahkan orang lain.

Gejala stress antara lain:

1. Gejala Emosional meliputi:


a. Menjadi mudah gelisah, frustrasi, dan murung
b. Merasa kewalahan, seperti kehilangan kendali atau perlu mengambil kendali
c. Kesulitan menenangkan dan menenangkan pikiran
d. Merasa buruk tentang diri sendiri (rendah diri), kesepian, tidak berharga, dan
tertekan
e. Menghindari orang lain
2. Gejala fisik meliputi:
a. Kurang ber energy/ kurang bersemangat
b. Sakit kepala, gangguan perut, termasuk diare, sembelit, dan mual
c. Nyeri dan otot tegang
d. Nyeri dada dan detak jantung yang cepat
e. Insomnia
f. Sering masuk angin dan infeksi
g. Hilangnya hasrat dan / atau kemampuan seksual
h. Gangguan saraf dan gemetar, berdenging di telinga, tangan dan kaki dingin atau
berkeringat
i. Mulut kering dan kesulitan menelan
j. Gigi dan rahang yang terkatup rapat
3. Gejala stres kognitif meliputi:
a. Selalu khawatir
b. Berpikir cepat
c. Pelupa dan disorganisasi
d. Ketidakmampuan untuk focus
e. Penilaian yang buruk
f. Menjadi pesimis atau hanya melihat sisi negatifnya
C. SUMBER STRES
Faktor pemicu stres dapat berasal dari berbagai sumber, yang dapat diklasifikasikan
sebagaimana berikut ini.
1. Stressor Fisik-Biologis
Stressor fisik-biologis adalah faktor peicu stres yang berasal dari kondisi fisik-biologis
yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapan individu. Misalnya; penyakit yang sulit
disembuhkan, cacat fisik atau kurang berfungsinya salah satu anggota tubuh, wajah yang
tidak cantik/ganteng, dan postur tubuh yang di persepsi tidak ideal (seperti terlalu kecil,
kurus, pendek, atau gemuk).
2. Stressor Psikologis
Stressor psikologis merupakan faktor penyebab stres yang berasal dari kondisi kejiwaan
(psikologis) yang tidak mampu menyesuaikan diri dan atau tidak dapat menerima
kenyataan. Misalnya; negative thingking atau berburuk sangka, frustasi (kekecewaan
karena gagal memperoleh sesuatu yang diinginkan), hasad (iri hati atau dendam), dengki,
sikap permusuhan, perasaan cemburu, konflik pribadi, dan keinginan yang diluar
kemampuan.
3. Stressor Sosial
Stressor Sosial adalah faktor pemicu stres yang berasal dari kondisi lingkungan dan atau
interaksi sosial.
a. Iklim kehidupan keluarga; hubungan antaranggota keluarga yang tidak harmonis
(broken home), perceraian, suami atau istri selingkuh, suami atau istri meninggal, anak
yang nakal (seperti : suka melawan kepada orang tua, sering membolos dari sekolah,
mengkonsumsi minuman keras, dan menyalah gunakan obat-obatanterlarang), sikap dan
perlakuan orang tua yang keras, salah seorang anggota keluarga, mengidap gangguan
jiwa, dan kesulitan ekonomi keluarga.
b. Faktor pekerjaan; kesulitan mencari pekerjaan, pengangguran, kena PHK
(Pemutusan Hubungan Kerja), perselisihan dengan atasan, jenis pekerjaan yang
ridak sesuai dengan minat dan kemampuan, dan penghasilan tidak sesuai dengan tuntutan
kebutuhan sehari-hari.
c. Iklim lingkungan; maraknya kriminalitas, tawuran antar pelajar, hargakebutuhan
pokok yang mahal, kurang tersedia fasilitas air bersih yang memadai, kemarau panjang,
udara yang sangat panas/dingin, suara bising, polusis udara, lingkungan yang kotor atau
kondisi perumahan yang buruk, kemacetan lalu lintas, bertempat tinggal didaerah banjir
atau rentan tanah longsor, serta situasi kehidupan politik dan ekonomi yang tidak stabil.

Keterkaitan antara Stressor, respons dan dampak stress dapat dilihat pada skema berikut:
                                                  →        RESPONS EMOSI
                                                               Marah, cemas, takut,
                                                               Kehilangan semangat,
                                                               Duka cita

STRESSOR → PERSEPSI      →       RESPONS FISIK


                                                              Perubahan biokimia tubuh,
                                                              Fluktuasi hormonal

                                                 →       RESPONS PERILAKU
                                                             Mencari pertolongan dan
                                                             Memecahkan masalah, atau
                                                             Berperilaku negatif
D. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRES
1. Faktor Dalam (Internal)
a. Faktor Biologis
1)  Faktor Genetika
Predisposisi biologis yang menyebabkan stres adalah faktor-faktor yang berkembang
sebelum kelahiran atau komposisi genetika. Dalam kenyataan semua karakteristik
biologis maupun mental setiap individu, trmasuk kekuatan dan kelemahannya dikontrol
oleh instruksi-instruksi kode genetika tertentu dalam dirinya. Faktor predisposisi lainnya
yang menyebabkan stres adalah proses perkembangan dalam kandungan. Apabila seorang
ibu yang sedang mengandung suka mengkonsumsi alkohol, obat-obatan (narkoba), racun,
atau makanan yang menyebabkan alergi maka itu semua akan merusak perkembangan
bayi yang sedang dikandungnya. Kerusakan perkembangan itu antara lain seperti;
kelemahan tubuh, ketidakberfungsian organ, dan tingkah laku abnormal.
2) Pengalaman Hidup
Setiap individu pasti memiliki sejarah kehidupan atau pengalaman hidup. Pengalaman
hidup merupakan proses transisi kehidupan individu mulai dari masa anak sampai masa
dewasa. Masa transisi ini melahirkan suasana krisis atau stress pada diri individu.
Contoh; suasana yang menimbulkan stress diantaranya : 1. Pada masa anak : sakit
demam, kecelakaan dan patah tulang, dan 2. Pada masa remaja: masalah penyesuaian
terhadap perkembangan perasaan independen dan fenomena kematangan organ seksual.
3) Tidur
Setiap orang memiliki kebutuhan untuk tidur. Oleh karena itu, apabila ia mengalami
kurangtidur atau tidurnya kurang nyenyak maka akan berakibat kurang baik bagi dirinya,
seperti; tidak dapat berkonsentrasi, kurang semangat untuk melakukan suatu kegiatan,
mudah tersinggung, mengalami gangguan halusinasi.
4) Diet
Diet dalah makanan (foods), atau vitamin sebagai nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Dalam
hidupnya, setiap individu membutuhkan nutrisi yang seimbang yaitu: karbohidrat,
protein, vitamin, mineral, dan air. Kekurangan atau kelebihan nutrisi cenderung
mempengaruhi proses metabolisme tubuh dan mengganggu kadar gula darah yang normal
sehingga menimbulkan stress pada diri individu karena mengganggu mekanisme
homeostatis tubuh. Diet yang melebihi batas, baik yang mengurangi atau berlebihan
sangat berkontribusi terhadap penyakit tertentu, seperti sakit hati (lever), kanker,
kegemukan, dan sakit jantung (stroke).
5) Postur Tubuh
Postur tubuh merupakan fungsi dari kerangka dan perototan tubuh secara keseluruhan.
Postur tubuh yang kurang sempurna atau tidak normal dapat merintangi keberfungsian
sistem organ-organ tubuh. Selain itu, postur yang tidak sempurna ini mempunyai
pengaruh yang kurang baik terhadap suasana psikologis individu dan kemampuan
berhubungan sosialnya dengan orang lain. Seringkali postur tubuh ini dipandang sebagai
refleksi atau ekspresi dari sikap-sikap emosional tertentu, seperti : postur tubuh yang baik
merefleksikan sikap percaya diri dan ekstroversi, sedangkan postur yang kurang baik
merefleksikan sikap kurang percaya diri atau introversi.
6) Kelelahan (fatigue)
Kelelahan merupakan suatu kondisi di mana reseptor sensoris atau motor kehilangan
kemampuan atau kekuatan untuk merespons stimulus. Kelelahan dapat disebabkan antara
lain oleh faktor-faktor; merokok dan minuman keras yang berlebihan, istirahat kurang,
ketegangan otot yang terus menerus, anemia, sakit jantung, atau penyakit tuberculosis.
Kelelahan yang terus menerus dapat menyebabkan gangguan tidur, ketegangan otot,
kurang nafsu makan, dan berkurangnya fungsi postur untuk melakukan suatu kegiatan.
7) Penyakit (Disease)
Penyakit merupakan suatu gangguan fungsi atau struktur tubuh yang menyebabkan
kegagalan dalam mencegah datangnya stressor. Kemampuan organisme untuk menolak
penyakit didasarkan pada sejumlah kegiatan penyeimbang yang kompleks, yaitu proses
homeostatis ata stabilisasi dinamis yang melibatkan berbagai bagian tubuh dalam bekerja
sama satu sama lain. Apabila mekanisme homeostatis mengalami gangguan, maka tubuh
akan lebih mudah terpengaruh oleh stressor seperti mikroba-mikroba yang menyebabkan
infeksi. Dalam pandangan modern, penyakit bukan kondisi yang hanya disebabkan oleh
satu penyebab (stressor), tetapi juga oleh lebih dari satu penyebab. Semua penyakit
mengganggu ritme biologis yang normal dan cenderung melahirkan kelelahan, pola tidur
yang tidak teratur, ketegangan otot dan gangguan lainnya.
8) Adaptasi yang Abnormal
Kemampuan beradaptasi merupakan suatu ciri dari sistem organisme. Adaptasi
merupakan modifikasi sendiri untuk memperoleh yang diperlukan bagi kelangsungan
hidup dengan cara mengatasi kondisi-kondisi lingkungan
b. Faktor Psikologis
1) Persepsi
Perasaan dan Emosi
Emosi merupakan aspek psikologis yang kompleks dari keadaan homeostatik
yang normal (normal homeostatik) yang berawal dari suatu stimulus psikologis.
Kemampuan untuk menerima dan membedakan setiap perasaan dan emosi bukanlah
bawaan sejak lahir, melainkan hasil dari interaksi selama proses pendewasaan secara
normal dan pengalaman yang diperoleh secara bertahap. Tujuh macam emosi yang
paling berkaitan dengan stres adalah; kecemasan (keggelisahan), rasa bersalah,
kekhawatiran (ketakutan), kemarahan, kecemburuan, kesedihan dan kedukaan.
2) Situasi
Situasi adalah sebuah konsepsi individual tentang suatu kejadian atau kondisi di
mana individu berada pada suatu waktu. Situasi tidak harus selalu berhubungan
dengan kenyataan yang ada, tetapi biasanya merupakan hasil dari pengenalan
(cognition) dan penilaian (appraisal) yang sangat bergantung kepada setiap individu.
Suatu kombinasi dari sensasi, perasaan, atau emosi tertentu dapat dirasakan sebagai
situasi yang menimbulkan stres oleh seseorang tetapi tidak demikian bagi orang lain.
Empat tipe situasi yang dapat menimbulkan stres adalah ancaman, fenomena rindu di
saat dekat, frustrasi, dan konflik.
3) Pengalaman Hidup
Pengalaman hidup meliputi keseluruhan peristiwa psikologis seorang individu
selama hidupnya. Setiap peristiwa memiliki implikasi psikologis dan mungkin
beberapa kejadian dapat menimbulkan stres. Pengalaman hidup dapat dibagi ke dalam
tiga kategori; perubahan hidup, masa transisi kehidupan (life passages), dan krisis
kehidupan (life crises). Untuk menganalisis hubungannya dengan stres, peristiwa
traumatis akan lebih ditekankan.
5) Keputusan Hidup
Keputusan hidup yang dimaksud di sini adalah keputusan hidup yang memiliki
konsekuensi psikologis yang lama yang akan menentukan jalan hidup dan kesehatan
mental individu.
Teori analisis transaksional menyatakan bahwa dalam menjalani kehidupan setiap
orang akan berada pada salah satu dari posisi kehidupan sebagai berikut:
I’m not OK        -         You’re OK
I’m not OK        -         You’re not OK
I’m OK                -        You’re not OK
I’m OK                -        You’re OK (Harris, 1967 dalam Satori: 2007
6) Perilaku (Behavior)
Perilaku secara umum didefinisikan sebagai semua output dari semua tingkatan
hierarki dari sistem saraf seperti sensasi, perasaan, emosi, kesadaran, penilaian, dan
sebagainya. Lebih jauh lagi, setiap perilaku dapat menyebabkan stress dan dapat juga
merupakan akibat stress.
7) Respons Perlawanan (Fight) dan Respons Melepaskan/Melarikan Diri (Flight)
Kategori perilaku yang digambarkan dengan garis di atas meliputi perilaku
agnostic (agnostic behaviour), suatu istilah utnuk sikap bermusuhan (hostile
behavior). Perilaku agnostik adalah aktivitas penyesuaian diri terhadap suatu
penderitaan atau ancaman bahaya, baik yang berasal dari lingkungan sekitar,
pemangsa, atau anggota spesies yang sama. Sikap menghindari bahaya merupakan
perilaku bawaan yang ditemukan dalam semua jenis hewan, yang mungkin
merupakan sifat dasar untuk kelangsungan hidupnya.

2. Faktor Lingkungan/Luar (Eksternal)


Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, biotik, dan sosial. Masing-masing
lingkungan tersebut dapat dijelaskan sebagaimana berikut ini.
a. Lingkungan Fisik
b. Lingkungan Biotik
c. Lingkungan Sosial

E. TEORI RESPON STRES


Stres dapat dibagi menjadi dua kategori: fisik dan psikologis. Stresor fisik meliputi
kondisi lingkungan (mis., Trauma dan dingin atau panas berlebihan) serta kondisi fisik
(mis. Infeksi, pendarahan, kelaparan, dan rasa sakit). Stres psikologis meliputi hal-hal
seperti perceraian, kehilangan pekerjaan, hutang yang tidak terkendali, kematian orang
yang dicintai, pensiun, dan ketakutan akan serangan teroris serta perubahan yang
mungkin kita anggap positif, seperti pernikahan, kedatangan bayi baru. , atau kesuksesan
tak terduga
Teori Penelitian paling awal terhadap respons stres dimulai sebagai hasil dari
pengamatan bahwa stres menyebabkan gangguan fisik atau membuat kondisi yang ada
menjadi lebih buruk. Stresor adalah rangsangan psikologis atau fisik yang tidak sesuai
dengan fungsi saat ini dan membutuhkan adaptasi. Walter Cannon (1871–1945) dalam
Halter (2014) secara sistematis menyelidiki sistem saraf simpatik sebagai jalur respons
terhadap stres, yang lebih dikenal sebagai fight or flight respon. Respons fight or flight
adalah cara tubuh mempersiapkan situasi yang dirasakan individu sebagai ancaman
terhadap kelangsungan hidup. Respons ini menghasilkan peningkatan tekanan darah,
detak jantung, dan curah jantung.
Penelitian baru menunjukkan bahwa wanita mungkin memiliki respons fisiologis
yang unik terhadap stres. Secara fisik, wanita memiliki poros hipotalamus-hipofisis-
adrenal yang lebih rendah dan respons otonom yang lebih rendah terhadap stres pada
segala usia, terutama selama kehamilan, dan para peneliti berhipotesis bahwa paparan
estrogen dapat mengatur respons stres (Kajantie & Phillips, 2006) dalam Halter (2014).
Pria dan wanita juga memiliki respons saraf yang berbeda terhadap stres. Sementara pria
mengalami perubahan aliran darah prefrontal dan peningkatan kortisol sebagai respons
terhadap stres, wanita mengalami peningkatan aktivitas limbik (emosional) dan
perubahan kortisol yang kurang signifikan (Wang et al., 2007 dalam Halter 2014).
Hans Selye (1907–1982) dalam Halter (2014) memperluas teori stres Cannon pada tahun
1956 dalam perumusannya tentang General Adaptation Syndrome (GAS). GAS terjadi
dalam tiga tahap:
1. Tahap alarm atau waspada (stres akut) adalah respons awal, singkat, dan adaptif
(melawan atau lari) ke stresor. Selama tahap alarm, ada tiga prinsip.
• Sympathetic / Bersimpati.
Korteks dan hipotalamus otak memberi sinyal kelenjar adrenalin untuk melepaskan
adrenalin katekolamin. Ini meningkatkan aktivitas sistem simpatis (mis., Peningkatan
detak jantung, pernapasan, dan tekanan darah) untuk meningkatkan kekuatan dan
kecepatan. Pupil membesar karena pandangan yang luas terhadap lingkungan, dan darah
dikeluarkan dari saluran pencernaan (mengakibatkan mulut kering) dan ginjal ke organ
yang lebih penting.
• Kortikosteroid
Hipotalamus juga mengirim pesan ke korteks adrenal. Korteks adrenal menghasilkan
kortikosteroid untuk membantu meningkatkan daya tahan otot dan stamina sedangkan
fungsi tidak penting lainnya (mis., pencernaan) menurun. Sayangnya, kortikosteroid juga
menghambat fungsi seperti reproduksi, pertumbuhan, dan imunitas.
• Endorfin.
Endorfin dilepaskan untuk mengurangi sensitivitas terhadap rasa sakit dan cedera.
Polipeptida ini berinteraksi dengan reseptor opioid di otak untuk membatasi persepsi
nyeri. Tahap alarm sangat intens, dan tidak ada organisme yang bisa mempertahankan
tingkat reaktivitas dan kegembiraan ini dalam waktu lama. Jika organisme bertahan,
tahap resistensi mengikuti.
2. Tahap resistensi juga bisa disebut tahap adaptasi karena selama ini berlangsung
ketahanan yang optimal terhadap stresor yang terjadi. Biasanya, stresor berhasil diatasi;
Namun, jika tidak, organisme mungkin mengalami tahap kelelahan akhir
3. Tahap kelelahan terjadi ketika upaya untuk melawan stresor terbukti sia-sia. Pada titik
ini, sumber daya berkurang, dan stres dapat menjadi kronis, menghasilkan beragam
respons psikologis dan fisiologis dan bahkan kematian. Salah satu konsep terpenting dari
teori ini adalah bahwa terlepas dari ancamannya, tubuh merespons yang sama secara
fisiologis. Ini adalah masalah persepsi individu. Ancamannya mungkin nyata atau hanya
dirasakan. Tidak masalah jika ancamannya fisik, psikologis, atau sosial tetapi respons
fisiologisnya sama.
GAS Selye tetap menjadi teori yang populer, tetapi telah diperluas dan ditafsirkan
kembali sejak tahun 1950-an. Beberapa peneliti mempertanyakan gagasan "respons
nonspesifik" dan percaya bahwa berbagai jenis stres menimbulkan pola respons yang
berbeda, dan bahwa tingkat stres itulah yang penting (Koolhaas et al., 2011 dalam Halter
2014). Stres tampaknya ditandai dengan berkurangnya pemulihan. Besarnya respons stres
ditentukan oleh ketidakpastian atau tidak terkendalinya reaksi neuroendokrin.
Selain itu, GAS paling akurat dalam deskripsi menggambarkan tentang bagaimana pria
merespons ketika mengalami ancaman. Wanita biasanya tidak menanggapi stres dengan
berperang atau melarikan diri, tetapi dengan merawat dan berteman, strategi bertahan
hidup yang menekankan perlindungan kaum muda dan ketergantungan pada jaringan
sosial untuk memperoleh dukungan. Wanita lebih rentan terhadap gangguan terkait stres.
Hal ini mungkin disebabkan oleh wanita yang lebih sensitif terhadap faktor pelepas
kortikotropin (CRF) yang rendah, suatu hormon peptida yang dilepaskan dari
hipotalamus sebagai respons terhadap stres. Selain itu, perempuan tampaknya kurang
mampu beradaptasi dengan CRF tingkat tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Bangasser
et al., 2010 dalam Jordan 2014).
Respons Stres Neurotransmitter
Serotonin adalah katekolamin otak yang memainkan peran penting dalam suasana
hati, tidur, seksualitas, nafsu makan, dan metabolisme. Ini adalah salah satu
neurotransmiter utama yang terlibat dalam depresi, dan banyak obat yang digunakan
untuk mengobati depresi dengan meningkatkan ketersediaan serotonin. Selama masa
stres, sintesis serotonin menjadi lebih aktif. Pergantian serotonin yang diaktifkan oleh
stres ini setidaknya dimediasi sebagian oleh kortikosteroid, dan para peneliti percaya
aktivasi ini dapat merusak (merusak) situs reseptor serotonin dan kemampuan otak untuk
menggunakan serotonin.
F. RESPON IMUN TERHADAP STRES
Psikoneuroimunologi adalah suatu ilmu yang dapat menjelaskan modulasi sistem imun
yang mengalami stres sebagai respons terhadap adanya perubahan perilaku (Ader, 2007).
Konsep ini merupakan gabungan antara psiko-neuro dan imunologi, sehingga terdapat
interaksi antara susunan saraf pusat dan sistem imun yang diperantarai oleh aksis HPA
(Hipotalamus-pituitary-adrenal) (Black PH, 1995). Ader juga menyatakan bahwa
psikoneuroimunologi merupakan ilmu yang mempelajari interaksi antara perilaku
(behavior), fungsi neuroendokrin dan proses sistem imun (Putra, 2005).

Pada penelitian yang berdasar pada konsep psikoneuroimunologi ini, istilah stres
digunakan untuk menggambarkan kondisi psikologik yang tercermin dalam perubahan
biologik, seperti biokimia, seluler dan jaringan, yang berkaitan dengan rangsangan
emosional dari korteks adrenal melalui pelepasan hormone ACTH (Putra, 1993). Konsep
psikoneuroimunologi bukan merupakan penyatuan atas tiga hal (psiko, neuro dan imun),
tetapi merupakan komplementasi ketiga disiplin ilmu yang menetapkan sistem saraf
sebagai pusat titik tangkap. Atas dasar itu, maka setiap rangsangan terhadap sistem saraf
pusat yang menyebabkan respons sekresi neurohormon akan memberikan perubahan
aktivitas pada sel tubuh. Beberapa neurohormonal yang diketahui adalah ACTH, kortisol,
katekolamin, endorphin, enkepalin dan somatostatin (Setyawan, 1995; Siswantoyo,
2005). Model ini membantu menjelaskan apa yang diyakini dan disaksikan oleh banyak
peneliti dan dokter selama berabad-abad: Ada hubungan di antara stres (biopsikososial),
sistem kekebalan, dan penyakit hubungan pikiran-tubuh yang jelas yang dapat mengubah
hasil kesehatan. Stres dapat menyebabkan kegagalan fungsi pada sistem imun yang
berimplikasi pada gangguan autoimun, defisiensi imun, dan hipersensitivitas.

Stress memengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan beberapa cara kompleks. Stres dapat
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mempersiapkan tubuh untuk merespons
cedera dengan melawan infeksi dan menyembuhkan luka. Sel imun biasanya melepaskan
sitokin, yang merupakan protein dan glikoprotein yang digunakan untuk komunikasi
antar sel, ketika patogen terdeteksi; mereka berfungsi untuk mengaktifkan dan merekrut
sel-sel kekebalan lainnya. Selama masa-masa stres, sitokin ini dilepaskan, dan imunitas
diaktifkan sangat dalam, tetapi aktivasi terbatas karena sitokin merangsang pelepasan
kortikosteroid lebih lanjut, yang menghambat sistem kekebalan tubuh. Respon imun dan
aktivitas sitokin yang dihasilkan di otak menimbulkan pertanyaan mengenai
hubungannya dengan keadaan psikologis dan kognitif seperti depresi. Para peneliti telah
menemukan konsentrasi sitokin yang menyebabkan peradangan sistemik, terutama tumor
necrosis factor (TNF) -a dan interleukin-6, secara signifikan lebih tinggi pada subyek
depresi dibandingkan dengan subyek kontrol (Dowlati et al., 2010).

Stres dan sistem imun menerima berbagai input, termasuk stresor yang akan
mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleus paraventricular hypothalamus
(mpPVN). Neuron tersebut akan mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan
arginine vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis
anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensintesis
adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC (propiomelanocortin)
serta mengsekresikannya. Selanjutnya ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan
melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal, berupa kortisol. Steroid tersebut
memiliki banyak fungsi yang diperantarai reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi
gen dan regulasi tubuh secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik
yang diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stresor.
G. MANAJEMEN STRES DALAM KEPERAWATAN
1. Mengukur Stress
Pada tahun 1967, Holmes dan Rahe menerbitkan Skala Penilaian Penyesuaian Sosial.
Skala perubahan hidup ini mengukur tingkat peristiwa kehidupan yang positif atau
negatif selama periode 1 tahun. Tingkat, atau unit yang mengubah hidup, dari setiap
peristiwa diberi skor berdasarkan tingkat keparahan dan / atau gangguan.
2. Menilai koping
Orang mengatasi stresor kehidupan dengan berbagai cara, dan sejumlah faktor dapat
bertindak sebagai mediator yang efektif untuk mengurangi stres dalam hidup kita.
Rahe (1995) mengidentifikasi empat (gaya koping) yang dapat dikembangkan orang
untuk membantu mengelola stres:
a. Kebiasaan mempertahankan kesehatan (misalnya, kepatuhan medis, diet yang
tepat, relaksasi, mengatur energi seseorang)
b. Kepuasan hidup (misalnya, pekerjaan , keluarga, hobi, humor, pelipur lara
spiritual, seni, alam)
c. Dukungan sosial
d. Respons yang efektif dan sehat terhadap stres Memeriksa empat kategori
penanganan ini dapat membantu perawat mengidentifikasi area yang akan
ditargetkan untuk meningkatkan respons pasien terhadap stres.
3. Mengelola Stres melalui Teknik Relaksasi
Penatalaksanaan stres yang buruk telah dikaitkan dengan peningkatan insiden
sejumlah kondisi fisik dan emosional, seperti penyakit jantung, kontrol diabetes yang
buruk, nyeri kronis, dan tekanan emosional yang signifikan.
Psychoneuroimmunology menyediakan dasar untuk beberapa terapi integratif, juga
disebut sebagai terapi pikiran-tubuh.

4. Latihan Pernapasan Dalam


Menurut Survei Wawancara Kesehatan Nasional (2007), teknik relaksasi yang paling
umum digunakan di Amerika Serikat adalah latihan pernapasan dalam. Hampir 13%
responden menggunakan teknik ini sebagai andalan atau perbaikan cepat untuk
menenangkan diri. Teknik ini sederhana dan mudah diingat, bahkan ketika kecemasan
mulai meningkat. Satu latihan pernapasan yang terbukti bermanfaat bagi banyak
orang yang mengatasi kecemasan dan gangguan kecemasan
5. Relaksasi Otot Progresif
Pada tahun 1938, Edmund Jacobson, seorang dokter berpendidikan Harvard,
mengembangkan prosedur yang agak sederhana yang menimbulkan respons relaksasi,
yang ia ciptakan relaksasi otot progresif (PMR). Teknik ini dapat dilakukan tanpa
pengukur eksternal atau umpan balik dan dapat dilakukan hampir di mana saja oleh
siapa saja. Alasan di balik PMR adalah bahwa karena kecemasan mengakibatkan otot
tegang, salah satu cara untuk mengurangi kecemasan adalah dengan hampir
menghilangkan kontraksi otot. Ini dilakukan dengan secara sengaja menegangkan
kelompok otot (dimulai dengan kaki dan berakhir dengan wajah, atau sebaliknya)
sekencang mungkin selama sekitar 8 detik dan kemudian melepaskan ketegangan
yang telah Anda buat.
6. Meditasi
Meditasi dapat digunakan untuk membantu orang mencapai sumber daya batin
mereka yang dalam untuk penyembuhan, menenangkan pikiran mereka, dan
membantu mereka beroperasi lebih efisien di dunia. Ini dapat membantu orang
mengembangkan strategi untuk mengatasi stres, membuat pilihan adaptif yang masuk
akal di bawah tekanan, dan merasa lebih terlibat dalam kehidupan. Meditasi
memunculkan respons relaksasi dengan menciptakan keadaan hipometabolik untuk
menenangkan sistem saraf simpatik.
7. Latihan Fisik
Latihan fisik dapat menyebabkan perlindungan dari efek berbahaya stres pada kondisi
fisik dan mental. Blumenthal dan rekan (2007) menemukan bahwa pasien yang
memiliki 4 bulan pengobatan dengan antidepresan inhibitor serotonin reuptake
selektif atau dengan latihan aerobik memiliki penyembuhan depresi yang serupa.
Yoga, suatu bentuk latihan kuno, telah terbukti membantu depresi ketika digunakan
bersama dengan obat-obatan (Shapiro et al., 2007) Bentuk latihan populer lainnya
yang dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan adalah berjalan, tai chi,
menari, bersepeda, aerobik, dan olahraga air.
8. Menulis Jurnal
Dalam jurnal (penjurnalan) adalah metode yang sangat berguna dan mengejutkan
untuk mengidentifikasi penyebab stres. Ini adalah teknik yang dapat mengurangi
kekhawatiran dan obsesi, membantu mengidentifikasi harapan dan ketakutan,
meningkatkan tingkat energi dan kepercayaan diri, dan memfasilitasi proses berduka.
Menuliskan pikiran dan perasaan sangat membantu tidak hanya dalam menghadapi
stres dan peristiwa yang menegangkan tetapi juga dalam penyembuhan baik secara
fisik maupun emosional.
9. Humor
Penggunaan humor sebagai pendekatan kognitif adalah contoh yang baik tentang
bagaimana situasi stres dapat "terbalik" Intensitas yang melekat pada pikiran atau
situasi yang membuat stres dapat dihilangkan ketika ia dibuat tampak absurd atau
lucu. Pada dasarnya, lebah kehilangan sengatannya.

H. JENIS STRES, DAMPAK STRES DAN TINGKATAN STRES

Ada dua jenis stress menurut Lazarus dan rekannya (1980)

1. Eustress atau stress positif. Disebut positif Karena dapat memotivasi individu
untuk melakukan sesuatu tindakan. Disebut juga stress jangka pendek yang memberikan
kekuatan. Eustress meningkatkan antusiasme, kreatifitas, motivasi, dan aktivitas fisik.
energi positif, bermanfaat yang memotivasi dan menghasilkan perasaan kebahagiaan, dan
harapan. Contoh eustress adalah liburan yang sangat dibutuhkan, bermain olahraga
favorit, kelahiran bayi, atau tantangan pekerjaan baru. Karena respons fisiologis yang
sama berperan dalam stres dan eustress, eustress masih dapat membebani sistem, dan
down-time penting.
2. Distress atau stress negative. Distress terjadi jika tingkat stress cukup tinggi atau
cukup rendah dan tubuh bereaksi secara negative terhadap penyebab stress tersebut.
Dipadang terlalu sulit dan berat untuk diatasi. Contohnya adalah tekanan pada pekerjaan,
rumah tangga dimana individu yang stress ini merasa terperangkap ke situasi yang tudak
bisa diubah.

Dampak Stres

Stress yang berat akan menyebabkan perilaku kita tidak efisien dan tidak efektif,
tidak berhasil dalam menggali sumber-sumber yang adaptif. Bahkan dalam kasus ekstrim,
stress bisa membebani atau mempengaruhi kepribadian dan kemudian megalami
deterioration mental.

Penyakit-penyakit akibat stress

1. Gangguan Reproduksi Akibat Stress


2. Penyakit pada kardiovaskuler

3. Kanker
4. Demensia (Kemerosotan Daya Ingat)
5. Obesitas
6. Insomnia.
Tingkatan Stres

Menurut Amberg, gangguan stress biasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan
mulainya dan sering kali tidak menyadari. Berikut adalah keenam tingkatan stress :

1. Stress tingkat 1
Tahapan ini merupakan tingkat stress yang paling ringan dan biasanya disertai dengan
perasaan-perasaan sebagai berikut :
Semangat besar
Penglihatan tajam tidak sebagaimana mestinya
Energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya.
2. Stress tingkat 2
Dalam tingkatan ini dampak stress yang menyenangkan mulai menghilang dan timbul
keluhan-keluhan dikarenakan cadangan energy tidak lagi cukup sepanjang hari. Keluhan
yang sering timbul : merasa letih ketikam bangun pagi, merasa lelah sesudah makan
siang, merasa lelah sepanjang sore, terkadang gangguan sistem pencernaan (gangguan
usus, perut kembung), kadang-kadang pula jantung berdebar, perasaan tegang pada otot-
otot punggung dan tengkuk perasaan tidak bisa santai
3. Stress tingkat 3
Pada tingkat ini keluhan keletihan Nampak disertai dengan gejala-gejala : gangguan usus
lebih terasa, otot terasa lebih tegang, perasaan tegang yang semakin meningkat, gangguan
tidur, badan terasa oyong.
4. Stress tingkat 4
Tingkatan ini sudah menunjukkan keadaan yng lebih buruk,yang ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut : untuk bisa bertahan bertahan sepanjang hari terasa sulit, kegiatan-
kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit, kehilangan kemampuan untuk
menanggapi situasi, pergaulan social dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat,
tidur semakin sukar, perasaan negatif, kemampuan konsentrasi menurun tajam, perasaan
takut yang tidak dapat dijelaskan.
5. Stress tingkat 5
Tingkat ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tingkatan empat diatas.
Keletihan yang mandalam, untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang
mampu, gangguan system pencernaan.
6. Stress tingkat 6
Tingkatan ini merupakan tingkatan puncka yang merupakan keadaan gangguan darurat.
Gejalanya antara lain : debaran jantung terasa amat keras, nafas sesak, badan gemetar.
Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pinsan, atau kolap.
I. MEKANISME KOPING DAN STRATEGI KOPING
Menurut kamus psikologi koping adalah (tingkah laku atau tindakan

penanggulangan) sembarang perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi

dengan lingkungan sekitarnya. Dengan tujuan menyelsaikan sesuatu (Chaplin, 2009).

Dan bagaimana cara ia memecahkan suatu masalah (problem solving), yaitu proses yang

tercakup dalam usaha menemukan urutan yang benar dan alternative-alternatif jawaban,

mengarah pada suatu jawaban, mengarah pada satu sasaran atau kearah pemecahan yang

ideal (Zainun,2003).

Strategi Koping

1) Problem Solving Focused Coping

Adalah merupakan mekanisme seseorang individu yang secara aktif mencari

penyelsaian dari masalah untuk menghilangkan kodisi atau situasi yang

menimbulkan stres.

2) Emotion Focused Coping

Yaitu individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka

menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan. Hasil penelitian

membutikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi


berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-

hari.(Zainun, 2003).

Hampir senada dengan penggolongan jenis koping seperti dikemukakan diatas,

dalam literatur tentang koping juga dikenal dua strategi, yaitu:

1. Active Coping Strategy

Yaitu strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang indiidu terhadap

sumber stres. Diantaranya yaitu:

a. Lebih berorientasi pada penyelsaian masalah

b. Meminta dukungan pada individu lain

c. Melihat sesuatu dari segi positifnya d. Menyusun rencana yang akan dilakukan

untuk menyelsaikan masalah

e. Cendrung realistik

2. Avodiant Coping Strategy

Yaitu merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari

sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu

kegiatan atau situasi yang berpotensi meimbulkan stres. Yang biasanya ditandai

dengan:

a. Menjauhi permasalahan dengan cara menyibukkan diri pada aktivitas lain

b. Menarik diri ( whit drawl)

c. Cendrung bersifat emosional

d. Suka berkhayal dan berangan-angan

e. Makan berlebihan
f. Menggunakan obat penenang

J. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRATEGI DAN MEKANISME KOPING

Sumberdaya individu adalah salah satu cara seseorang untuk menghadapi situasi yang
mengandung tekanan, contohnya:

1. Kesehatan fisik
Merupakan hal yang penting karena dalam hal mengatasi stress individu dituntut
menggunakan energi yang lebih besar.
2. Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting yang akan mengarahkan
individu pada ketidakberdayaan yang akan menurunkan kemampuan strategi koping.
3. Keterampilan memecahkan masalah
Ketrampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi,
mengidentifikasi masalah, dengan tujuan untuk alternatif tindakan.
4. Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan berkomunikasi dan bertingkah laku sesuai norma
sosial di masyarakat
5. Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional serta pengaruh
dari orang lain( teman, keluarga, guru, petugas kesehatan, dll)
6. Materi atau Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan sesorang memperoleh pengalaman dan
pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
7. Umur
Umur mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah umur
akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan
yang diperoleh semakin membaik
8. Jenis kelamin
Bahwa jenis kelamin adalah faktor penting dalam perkembangan koping seseorang.
9. Pendidikan
Bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah
cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pada umumnya makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah menerima informasi (Jordan, 2014)

Macam-Macam Mekanisme Pertahanan Diri (Defense Mechanism Atau Pembelaan


Ego)

1. Fantasi

Memuaskan keinginan yang terhalang dengan prestasi dan khayalan.

2. Penyangkalan
Melindungi diri sendiri terhadap kenyataan yang tak menyenangkan, dengan menolak
menghadapi hal itu, sering dengan melarikan diri seperti menjadi sakit atau kesibukan
dengan hal-hal lain.
3. Rasionalisasi
Berusaha membuktikan bahwa perilakunya itu masuk akal dan dapat dibenarkan
sehingga dapat di setujui oleh diri sendiri dan masyarakat.
4. Identifikasi
Menambah rasa harga diri, dengan menyamakan dirinya dengan orang atau institusi
yang mempunyai nama
5. Introyeksi
Menyatukan nilai dan norma luar dengan stuktur egonya sehingga individu tidak
tergantung pada belas kasihan, hal-hal itu yang dirasakn sebagai ancaman luar.
6. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau berbahaya masuk ke alam sadar.
7. Regresi
Mundur ke tingkat perkembangan yang lebih rendah, dengan respon yang kurang
matang dan biasanya dengan aspirasi yang kurang.
8. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik.
9. Penyusunan reaksi
Mencegah keinginan yang berbahaya, bila di ekspresikan dengan melebih-lebihkan
sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan.
10. Sublimasi
Mencari pemuasan atau menghilangkan keinginan sexual dalam kegiatan non sexual
11. Kompensasi
Menutupi kelemahan, dengan menonjolkan sifat yang dinginkan atau pemuasan secara
berlebihan dalam suatu bidang karena mengalami frustasi dalam bidang lain.
12. Salah pindah
Melepaskan perasaan yang terkekang, biasanya permusuhan, pada obyek yang tidak
begitu berbahaya seperti yang pada mulanya membangkitkan emosi itu.
13. Pelepasan
Menebus dan dengan demikian meniadakan keinginan atau tindakan yang tak
bermoral.
14. Penyekatan emosional
Mengurangi keterlibatan ego dan menarik diri menjadi pasif untuk melindungi diri
sendiri dari kesakitan.
15. Isolasi
Memutuskan pelepasan afektif karena keadaan yang menyakitkan atau memisahkan
sikap-sikap yang bertentangan, dengan tembok-tembok yang tahan logika.
16. Simpatisme
Berusaha memperoleh simpati dari orang lain dan demikian menyokong rasa harga
diri, meskipun gagal.
17. Pemeranan
Menurangi kecemasan yang dibangkitkan oleh keinginan yang terlarang, dengan
membiarkan ekspresinya. (Gail W. Stuart, 2013)
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, M. lilik, Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa Teori
dan Aplikasi Praktik Klinik. In Indomedia Pustaka.

Carlson, N. R. Psychology the Science of Behavior, six edition. 2007. USA : Pearson Education

Inc.

Gail W. Stuart. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (Tenth). China:
ELSEVIER.

Greenber, M. (2016). The Stress Proof-Brain. Canada : New Harbinger Publication

Jordan, M. (2014). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing (Seventh). USA: Elsevier.

Rasmun. Stres, Coping dan Adaptasi, Teori dan Pohon Masalah Keperawatan. 2004. Jakarta :

Sagung Seto

Townsend, M. C. (2008). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing:Concepts of Care in


Evidence-Based Practice. Philadelphia: F.A Davis Company.

https://www.webmd.com/balance/stress-management/stress-symptoms-effects_of-stress-on-the-
body#2 diakses pada tanggal 21 Februari 2020

Anda mungkin juga menyukai