Perubahan iklim atau climate change merupakan masalah serius yang nyata dihadapi oleh
umat manusia. Laporan Khusus tentang Pemanasan Global 1,5 Derajat Celsius dengan nama
lengkap Global Warming of 1.5°C, an IPCC special report on the impacts of global warming
of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in
the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable
development, and efforts to eradicate poverty telah disetujui oleh Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim pada Sabtu, 06
Oktober 2019 di Incheon, Korea Selatan. IPCC adalah suatu panel ilmiah yang terdiri dari
para ilmuwan dari seluruh dunia bentukan PBB. Laporan tersebut Laporan perubahan cuaca
dan pemanasan global PBB mengungkap 2019 menjadi tahun 'terpanas' dalam periode lima
tahun terakhir. Laporan PBB tersebut menuliskan rata-rata suhu global pada 2015-2019
berada dalam jalur 'terpanas'. Empat tahun terakhir ini sudah menjadi terpanas sejak
pencatatan iklim dan cuaca dimulai pada 1850.
Aktivitas manusia hingga saat ini diperkirakan telah menyebabkan kenaikan suhu global
sekitar 1,0 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri (1850-1900) berkisar di antara 0,8
hingga 1,2 derajat Celsius. Dan jika terus dibiarkan, pemanasan global akan mencapai 1,5
derajat Celsius pada 2030, di mana kiamat karena iklim (bencana katrastopik) yang berupa
panas ektrim, kekeringan, dan banjir, akan mulai mengancam nyawa ratusan juta manusia.
Ketua IPCC, Heosung Lee mengatakan bahwa dengan lebih dari 6.000 referensi ilmiah dan
sumbangan khusus dari ribuan ahli dan pakar pemerintah di seluruh dunia, laporan penting ini
memberi kesaksian tentang relevansi dan luasnya kebijakan IPCC.
Terdapat banyak bencana iklim yang menjadi bukti terhadap dampak perubahan iklim yang
terjadi di seluruh dunia seperti puncak musim panas di Eropa yang jauh lebih ekstrem dari
sebelum-sebelumnya, angin topan dahsyat di AS, kekeringan di Cape Town, kebakaran
hutan di Arktik, naiknya permukaan air laut, dan melelehnya es laut Arktik.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya komentar negatif yang diberikan pada aktivis
perubahan iklim, Greta Thunberg yang memberikan pidatonya di hadapan para pemimpin
dunia pada pertemuan PBB 24 September 2019 lalu. Ia menyampaikan bahwa kegagalan
para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan mengatasi perubahan iklim telah memicu
kemarahan jutaan anak-anak dan remaja di seluruh dunia. Kemarahan tersebut muncul
karena kaum muda menganggap bahwa mereka dan generasi selanjutnya lah yang akan
menghadapi dampak dari perubahan iklim di masa depan jika tidak ada pengambilan
tindakan serius pada masa sekarang untuk mencegah hal itu terjadi.
Selain para skeptik atau climate deniers, terdapat kurangnya kesadaran tentang keberadaan
masalah perubahan iklim di kalangan masyarakat. Dampak dari perubahan iklim sudah
banyak mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang mengeluh saat hari
terlalu panas, tanpa menyadari bahwa itu adalah salah satu dampak perubahan iklim.
Padahal mungkin saja jika mereka memiliki pengetahuan mengenai masalah perubahan
iklim, mereka juga akan turut berpartisipasi dalam mengambil tindakan untuk
mengatasinya.
Kesadaran mengenai masalah perubahan iklim harus ditingkatkan, hal ini dapat diwujudkan
dengan menyediakan sumber pengetahuan yang menjelaskan masalah tersebut. Oleh karena
itu, karya tulis ini dibuat dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran pembaca
mengenai perubahan iklim.
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
Mendorong manusia untuk perduli dan bertindak untuk mengatasi perubahan iklim
Penyebab tidak percaya
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Tasmania dan diterbitkan dalam jurnal Perubahan
Lingkungan Global, yang melakukan survei terhadap hampir 20 ribu orang di 14 negara-
negara industri termasuk Australia, Kanada, Perancis, Jerman dan Inggris dan didasarkan
pada data yang dikumpulkan melalui Survei Sosial Program Internasional pada 2010 dan
2011 menemukan bahwa Sebanyak 17 persen warga Australia tidak percaya pada perubahan
iklim, diikuti oleh 15 persen warga di Norwegia, 13 persen di Selandia Baru dan 12 persen
orang Amerika Serikat, menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Tasmania.
Dikutip dari artikel Vice Indonesia, sosiolog kehutanan Niken Sakuntaladewi, yang bekerja
untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan sebetulnya masyarakat
mengalami langsung dampak perubahan iklim. Namun umumnya mereka tak memahami
konsep perubahan iklim tersebut atau pemanasan global. Manajer kampanye iklim dari
Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), Yuyun Harmono mengatakan bahwa penyebab
skeptisme tersebut adalah minimnya pendidikan seputar isu lingkungan di sekolah.
Penduduk dan pemerintah Indonesia relatif tidak memiliki kesiapan sama sekali mengenai
masalah perubahan iklim. Isu besar yang lebih sering disorot media adalah perkataan
politikus dan isu agama dibandingkan dengan persoalan lingkungan. Isu agama adalah isu
terpenting bagi mayoritas penduduk Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang tidak
pernah mendengar tentang perubahan iklim, pemanasan global ataupun emisi karbon. Istilah-
istilah tersebut tidak pernah diajarkan di sekolah sehingga masih dianggap asing oleh
masyarakat Indonesia.
Dalam sebuah studi yang terbit di jurnal Global Environmental Change pada 2017
menunjukkan bahwa responden lebih menyukai isu seperti rasialisme dan gender ketimbang
lingkungan. Alasannya, isu lingkungan dianggap terlalu politis dan gampang dipolitisir.
Selain minimnya pendidikan mengenai isu lingkungan, penyebab skeptisisme lain adalah
kepentingan manufaktur dan industri. Dimana manufaktur dan industri adalah penyumbang
emisi karbon yang dapat menyebabkan pemanasan global. Sehingga untuk mengatasi
perubahan iklim, aktivitas indrustri harus dikurangi atau dibatasi. Oleh karena itu, banyak
pemimpin-pemimpin dunia yang menyangkal masalah perubahan iklim untuk melindungi
aktivitas industri di negara mereka. Beberapa diantaranya adalah presiden Amerika Serikat,
Donald Trump, perdana menteri Australia, Tony Abbott, dan presiden Filipina, Rodrigo
Duterte. Donald Trump mengatakan bahwa pemanasan global hanya rekayasa Cina untuk
membuat manufaktur AS tak lagi kompetitif. Menurut Tony Abbott, isu perubahan iklim
sangat membahayakan bagi perkembangan manufaktur Australia yang dapat memperburuk
situasi sulit yang dihadapi jutaan rumah tangga. Sedangkan Rodrigo Duterte menolak
kesepakatan pengurangan emisi karbon karena industri di Filipina masih bergantung pada
energi batu bara dan bahan bakar fosil lainnya. Ia belum bisa bergantung pada skema sumber
energi terbarukan dan energi bersih.
Penyebab ketidaksadaran
Perubahan iklim telah dibuktikan secara ilmiah adalah disebabkan oleh apa yang dikenal
sebagai pemanasan global (global warming) yang merupakan akibat terjadinya efek rumah
kaca pada atmosfer kita. Efek rumah kaca terjadi akibat adanya gas-gas rumah kaca (GRK)
yang memerangkap panas radiasi matahari yang dipantulkan kembali ke angkasa oleh
permukaan bumi. Emisi GRK berasal dari alam dan kegiatan manusia (anthropogenic).
Adapaun GRK yang disepakati hingga 2012 ada 6 (enam) jenis yakni karbon dioksida (CO2),
dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorkarbon (PFC5), dan
hidrofluorokarbon (HFC5). Berdasarkan data yang terangkum dalam laporan IPCC tahun
2007, keseluruhan GRK terus mengalami peningkatan konsentrasi di atmosfer.Peningkatan
konsentrasi GRK ini diikuti pula meningkatnya suhu atmosfer bumi.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengubah pandangan para skeptis mengenai perubahan
iklim adalah menunjukkan bukti-bukti penelitian saintifik dan dampak yang disebabkan oleh
perubahan iklim.
Dampak:
Laporan dari Stern Review (2006) memperingatkan kita bahwa jika pada akhir abad ini tidak
ada upaya serius untuk mengendalikan emisi GRK, maka suhu atmosfer diprediksi
mengalami kenaikan 6°C, padahal dampak suhu naik 3°C saja berakibat pada turunnya hasil
panen di Afrika dan Timur Tengah sebesar 35%. Ini artinya sekitar 550 juta orang terancam
kelaparan. Jika kenaikan suhu diskenariokan naik 2°C, maka diramalkan 40% spesies dunia
akan punah, 4 miliar orang menderita kekurangan air. Di bagian lain 200 juta orang akan
terkena kelaparan dan 60 juta orang Afrika bakal terpapar malaria.
Perubahan iklim akan membawa dampak pada berbagai sektor pembangunan. Dampak paling
serius adalah pada sektor ketahanan pangan akibat berubahnya atau bergesernya waktu tanam
dan waktu panen, meningkatnya serangan hama baru serta kelangkaan dan berlebihnya air
yang menyebabkan genangan (banjir).
Perubahan iklim mengakibatkan pola hujan menjadi sulit untuk diprediksi, kondisi cuaca
ekstrem, intensitas hujan tinggi dengan periode waktu yang singkat serta musim kemarau
yang panjang.
Salah satu sektor yang secara langsung terancam terhadap bahaya kenaikan muka air laut
akibat perubahan iklim adalah sektor pesisir dan laut. Manusia dan ekosisitem wilayah pesisir
dan laut menghadapi bahaya akibat kenaikan muka air laut serta perubahan parameter-
parameter laut lainnya seperti badai pasut (rob), gelombang badai, ENSO terhadap wilayah
pesisir, yang dapat menyebabkan perubahan lingkungan berupa (KLH, GTZ & WWF, 2007).
Meningkatnya suhu lingkungan menjadi media yang baik bagi mikroba non patogen dalam
saluran cerna, sehingga mikroba ini dapat berkembang biak dengan baik. Contoh mikroba
tersebut antara lain bakteri E. Coli yang berkembang dengan cepat sebagai penyebab
penyakit diare. Suhu lingkungan yang meningkat, berarti juga meningkatnya suhu di wilayah-
wilayah yang tadinya tidak layak untuk vektor penyakit. Berbagai penelitian tentang
pengaruh perubahan iklim terhadap kesehatan pada tahun 2000, ditemukan terjadi 150.000
kematian prematur di seluruh dunia karena perubahan iklim.
Berdasarkan data kejadian bencana yang dicatat dalam OFDA/CRED International Disaster
Database (2007), sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode
waktu antara 1907 dan 2007 terjadi setelah tahun 1990-an dan sebagian besar merupakan
bencana yang terkait dengan iklim, khususnya banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan
ledakan penyakit (RAN PI, 2007).
Itu lebih banyak dari emisi mobil, kapal, pesawat dan bentuk
transportasi lainnya di seluruh dunia jika digabungkan. Dari emisi
tersebut, 41 persennya disebabkan oleh produksi daging sapi;
produksi susu membentuk 19 persen lagi.
Limbah makanan menjadi jejak karbon dari 3,3 miliar metrik ton
karbon dioksida (CO2), menurut PBB - yang jumlahnya lebih besar
dari emisi tahunan India.
5. Kurangi konsumsi
6. Aksi kolektif
Cambridge. UK.
Ini berkisar dari "Roman Warm Period", yang berlangsung dari 250 M
hingga 400 M, dan memperlihatkan cuaca hangat yang tidak biasa
di Eropa, ke era Little Ice Age yang terkenal, yang memperlihatkan
suhu turun selama berabad-abad dari tahun 1300-an.
Mereka memastikan bahwa tidak satu pun dari peristiwa iklim ini
terjadi dalam skala global.
Image captionGelombang panas di Eropa bisa jadi disebabkan oleh perubahan iklim, kata para ilmuwan
Apa yang para peneliti lihat adalah bahwa sebelum era industri
modern, pengaruh paling signifikan terhadap iklim adalah gunung
berapi. Mereka tidak menemukan indikasi bahwa variasi radiasi
matahari berdampak pada suhu global.
"Mereka telah melakukan ini di seluruh dunia dengan lebih dari 700
catatan selama 2.000 tahun terakhir; mereka menggunakan karang,
sampel danau dan juga data instrumental," kata Prof Daniela
Schmidt dari University of Bristol, Inggris, yang tidak terlibat
dengan penelitian tersebut.