Anda di halaman 1dari 14

Lata Belakang Masalah

Perubahan iklim atau climate change merupakan masalah serius yang nyata dihadapi oleh
umat manusia. Laporan Khusus tentang Pemanasan Global 1,5 Derajat Celsius dengan nama
lengkap Global Warming of 1.5°C, an IPCC special report on the impacts of global warming
of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in
the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable
development, and efforts to eradicate poverty telah disetujui oleh Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim pada Sabtu, 06
Oktober 2019 di Incheon, Korea Selatan. IPCC adalah suatu panel ilmiah yang terdiri dari
para ilmuwan dari seluruh dunia bentukan PBB. Laporan tersebut Laporan perubahan cuaca
dan pemanasan global PBB mengungkap 2019 menjadi tahun 'terpanas' dalam periode lima
tahun terakhir. Laporan PBB tersebut menuliskan rata-rata suhu global pada 2015-2019
berada dalam jalur 'terpanas'. Empat tahun terakhir ini sudah menjadi terpanas sejak
pencatatan iklim dan cuaca dimulai pada 1850.

Aktivitas manusia hingga saat ini diperkirakan telah menyebabkan kenaikan suhu global
sekitar 1,0 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri (1850-1900) berkisar di antara 0,8
hingga 1,2 derajat Celsius. Dan jika terus dibiarkan, pemanasan global akan mencapai 1,5
derajat Celsius pada 2030, di mana kiamat karena iklim (bencana katrastopik) yang berupa
panas ektrim, kekeringan, dan banjir, akan mulai mengancam nyawa ratusan juta manusia.
Ketua IPCC, Heosung Lee mengatakan bahwa dengan lebih dari 6.000 referensi ilmiah dan
sumbangan khusus dari ribuan ahli dan pakar pemerintah di seluruh dunia, laporan penting ini
memberi kesaksian tentang relevansi dan luasnya kebijakan IPCC.

Terdapat banyak bencana iklim yang menjadi bukti terhadap dampak perubahan iklim yang
terjadi di seluruh dunia seperti puncak musim panas di Eropa yang jauh lebih ekstrem dari
sebelum-sebelumnya, angin topan dahsyat di AS, kekeringan di Cape Town, kebakaran
hutan di Arktik, naiknya permukaan air laut, dan melelehnya es laut Arktik.

Meskipun telah banyak penelitian-penelitian ilmiah dan peristiwa-peristiwa yang menjadi


bukti keseriusan masalah perubahan iklim, masih banyak orang yang menentang dan
menolak kebenarannya. Mereka disebut dengan climate deniers, yaitu orang yang
menganggap bahwa perubahan iklim itu tidak nyata.

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya komentar negatif yang diberikan pada aktivis
perubahan iklim, Greta Thunberg yang memberikan pidatonya di hadapan para pemimpin
dunia pada pertemuan PBB 24 September 2019 lalu. Ia menyampaikan bahwa kegagalan
para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan mengatasi perubahan iklim telah memicu
kemarahan jutaan anak-anak dan remaja di seluruh dunia. Kemarahan tersebut muncul
karena kaum muda menganggap bahwa mereka dan generasi selanjutnya lah yang akan
menghadapi dampak dari perubahan iklim di masa depan jika tidak ada pengambilan
tindakan serius pada masa sekarang untuk mencegah hal itu terjadi.

Selain para skeptik atau climate deniers, terdapat kurangnya kesadaran tentang keberadaan
masalah perubahan iklim di kalangan masyarakat. Dampak dari perubahan iklim sudah
banyak mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang mengeluh saat hari
terlalu panas, tanpa menyadari bahwa itu adalah salah satu dampak perubahan iklim.
Padahal mungkin saja jika mereka memiliki pengetahuan mengenai masalah perubahan
iklim, mereka juga akan turut berpartisipasi dalam mengambil tindakan untuk
mengatasinya.

Kesadaran mengenai masalah perubahan iklim harus ditingkatkan, hal ini dapat diwujudkan
dengan menyediakan sumber pengetahuan yang menjelaskan masalah tersebut. Oleh karena
itu, karya tulis ini dibuat dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran pembaca
mengenai perubahan iklim.

Rumusan Masalah

Apa saja alasan yang melatarbelakangi ketidakpercayaan dan ketidaksadaran manusia


mengenai perubahan iklim?

Bagaimana cara meningkatkan kesadaran manusia mengenai perubahan iklim?

Apa.saja tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim?

Tujuan Penulisan

Menciptakan kesadaran mengenai perubahan iklim pada diri manusia

Memberikan pengetahuan mengenai tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk


mengatasi perubahan iklim

Mendorong manusia untuk perduli dan bertindak untuk mengatasi perubahan iklim
Penyebab tidak percaya

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Tasmania dan diterbitkan dalam jurnal Perubahan
Lingkungan Global, yang melakukan survei terhadap hampir 20 ribu orang di 14 negara-
negara industri termasuk Australia, Kanada, Perancis, Jerman dan Inggris dan didasarkan
pada data yang dikumpulkan melalui Survei Sosial Program Internasional pada 2010 dan
2011 menemukan bahwa Sebanyak 17 persen warga Australia tidak percaya pada perubahan
iklim, diikuti oleh 15 persen warga di Norwegia, 13 persen di Selandia Baru dan 12 persen
orang Amerika Serikat, menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Tasmania.

Sedangkan di Indonesia, lembaga riset dan analisis YouGov-Cambridge Globalism


Project menyatakan 18 persen orang Indonesia yang mereka survei tidak percaya bila
tindakan manusia adalah penyebab terjadinya perubahan iklim. Survei tersebut melibatkan
25.000 orang dari berbagai negara di Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika. Indonesia
menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan jumlah orang yang tak percaya
perubahan iklim terbanyak. Posisi kedua diduduki Arab Saudi, diikuti Amerika Serikat.

Dikutip dari artikel Vice Indonesia, sosiolog kehutanan Niken Sakuntaladewi, yang bekerja
untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan sebetulnya masyarakat
mengalami langsung dampak perubahan iklim. Namun umumnya mereka tak memahami
konsep perubahan iklim tersebut atau pemanasan global. Manajer kampanye iklim dari
Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), Yuyun Harmono mengatakan bahwa penyebab
skeptisme tersebut adalah minimnya pendidikan seputar isu lingkungan di sekolah.

Penduduk dan pemerintah Indonesia relatif tidak memiliki kesiapan sama sekali mengenai
masalah perubahan iklim. Isu besar yang lebih sering disorot media adalah perkataan
politikus dan isu agama dibandingkan dengan persoalan lingkungan. Isu agama adalah isu
terpenting bagi mayoritas penduduk Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang tidak
pernah mendengar tentang perubahan iklim, pemanasan global ataupun emisi karbon. Istilah-
istilah tersebut tidak pernah diajarkan di sekolah sehingga masih dianggap asing oleh
masyarakat Indonesia.

Dalam sebuah studi yang terbit di jurnal Global Environmental Change  pada 2017
menunjukkan bahwa responden lebih menyukai isu seperti rasialisme dan gender ketimbang
lingkungan. Alasannya, isu lingkungan dianggap terlalu politis dan gampang dipolitisir.
Selain minimnya pendidikan mengenai isu lingkungan, penyebab skeptisisme lain adalah
kepentingan manufaktur dan industri. Dimana manufaktur dan industri adalah penyumbang
emisi karbon yang dapat menyebabkan pemanasan global. Sehingga untuk mengatasi
perubahan iklim, aktivitas indrustri harus dikurangi atau dibatasi. Oleh karena itu, banyak
pemimpin-pemimpin dunia yang menyangkal masalah perubahan iklim untuk melindungi
aktivitas industri di negara mereka. Beberapa diantaranya adalah presiden Amerika Serikat,
Donald Trump, perdana menteri Australia, Tony Abbott, dan presiden Filipina, Rodrigo
Duterte. Donald Trump mengatakan bahwa pemanasan global hanya rekayasa Cina untuk
membuat manufaktur AS tak lagi kompetitif. Menurut Tony Abbott, isu perubahan iklim
sangat membahayakan bagi perkembangan manufaktur Australia yang dapat memperburuk
situasi sulit yang dihadapi jutaan rumah tangga. Sedangkan Rodrigo Duterte menolak
kesepakatan pengurangan emisi karbon karena industri di Filipina masih bergantung pada
energi batu bara dan bahan bakar fosil lainnya. Ia belum bisa bergantung pada skema sumber
energi terbarukan dan energi bersih.

Matthew Hornsey, seorang profesor psikologi dari University of Queensland melakukan


penelitian untuk mengetahui penyebab orang tidak mempercayai sains. Meskipun telah
banyak penelitian-penelitian saintifik yang membuktikan perubahan iklim, masih banyak
orang yang menolak untuk mempercayai masalah ini. Kalangan skeptisisme banyak yang
memiliki edukasi tinggi. Hornsey mengatakan, edukasi justru memberi individu kemampuan
dan bahan untuk memilih-milih dan mengkurasi pandangan realitanya. Dengan demikian,
pandangan realita tersebut akan sejalan dengan opini dan ideologi individu. Itu artinya jika
ada informasi yang tidak sejalan dengan opini dan ideologi, mereka tidak akan bisa
menerimanya meskipun informasi tersebut disertai oleh data dan fakta.

Penyebab ketidaksadaran

Sosiolog kehutanan Niken Sakuntaladewi, mengatakan bahwa masyarakat mengalami


langsung dampak perubahan iklim. Namun umumnya mereka tak memahami konsep
perubahan iklim tersebut atau pemanasan global. Dengan begitu, kurangnya edukasi
mengenai masalah perubahan iklim menjadi salah satu penyebab ketidaksadaran manusia
terhadap masalah ini. Masyarakat masih minim diajarkan mengenai perubahan iklim. Para
siswa di sekolah tidak banyak mempelajari tentang pemanasan global sehingga mereka masih
asing dengan istilah-istilah seperti perubahan iklim, pemanasan global, efek rumah kaca
ataupun emisi karbon. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan hendaknya memberikan
pengetahuan mengenai masalah perubahan iklim kepada para siswa. Pemerintah juga
seharusnya mengadakan pelatihan, seminar atau workshop yang membahas mengenai
masalah perubahan iklim kepada masyarakat. Dengan memiliki pengetahuan mengenai
perubahan iklim, masyarakat akan memiliki kesadaran dan dapat mengambil tindakan untuk
mengatasi masalah tersebut.

Perubahan iklim telah dibuktikan secara ilmiah adalah disebabkan oleh apa yang dikenal
sebagai pemanasan global (global warming) yang merupakan akibat terjadinya efek rumah
kaca pada atmosfer kita. Efek rumah kaca terjadi akibat adanya gas-gas rumah kaca (GRK)
yang memerangkap panas radiasi matahari yang dipantulkan kembali ke angkasa oleh
permukaan bumi. Emisi GRK berasal dari alam dan kegiatan manusia (anthropogenic).
Adapaun GRK yang disepakati hingga 2012 ada 6 (enam) jenis yakni karbon dioksida (CO2),
dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorkarbon (PFC5), dan
hidrofluorokarbon (HFC5). Berdasarkan data yang terangkum dalam laporan IPCC tahun
2007, keseluruhan GRK terus mengalami peningkatan konsentrasi di atmosfer.Peningkatan
konsentrasi GRK ini diikuti pula meningkatnya suhu atmosfer bumi.

Penyebab lain yang melatarbelakangi skeptisisme terhadap perubahan iklim adalah


kepentingan manufaktur dan industri. Banyak pemilik industri yang menggunakan energi
bahan bakar fosil pada proses produksinya menolak isu perubahan iklim. Mereka juga
menolak mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) demi mempertahankan pertumbuhan
industri mereka. Para pemilik industri ini sebaiknya beralih menggunakan teknologi produksi
bersih yang dapat menekan emisi gas-gas polutan. Meskipun akan memakan waktu yang
cukup lama untuk beralih dan mengembangkan industri yang menggunakan sumber energi
bersih, tindakan ini perlu diambil untuk menjaga lingkungan. Para pemilik industri harus
menurunkan ego mereka dan mulai memikirkan tentang lingkungan dan kelangsungan anak
cucu mereka dan makhluk hidup lain yang ada di bumi. Industri yang menggunakan sumber
energi bersih juga memiliki potensi untuk maju dan menyediakan banyak lapangan pekerjaan
sama seperti industri bersumber energi fosil.

Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengubah pandangan para skeptis mengenai perubahan
iklim adalah menunjukkan bukti-bukti penelitian saintifik dan dampak yang disebabkan oleh
perubahan iklim.

Dampak:
Laporan dari Stern Review (2006) memperingatkan kita bahwa jika pada akhir abad ini tidak
ada upaya serius untuk mengendalikan emisi GRK, maka suhu atmosfer diprediksi
mengalami kenaikan 6°C, padahal dampak suhu naik 3°C saja berakibat pada turunnya hasil
panen di Afrika dan Timur Tengah sebesar 35%. Ini artinya sekitar 550 juta orang terancam
kelaparan. Jika kenaikan suhu diskenariokan naik 2°C, maka diramalkan 40% spesies dunia
akan punah, 4 miliar orang menderita kekurangan air. Di bagian lain 200 juta orang akan
terkena kelaparan dan 60 juta orang Afrika bakal terpapar malaria.

Perubahan iklim akan membawa dampak pada berbagai sektor pembangunan. Dampak paling
serius adalah pada sektor ketahanan pangan akibat berubahnya atau bergesernya waktu tanam
dan waktu panen, meningkatnya serangan hama baru serta kelangkaan dan berlebihnya air
yang menyebabkan genangan (banjir).

Perubahan iklim mengakibatkan pola hujan menjadi sulit untuk diprediksi, kondisi cuaca
ekstrem, intensitas hujan tinggi dengan periode waktu yang singkat serta musim kemarau
yang panjang.

Salah satu sektor yang secara langsung terancam terhadap bahaya kenaikan muka air laut
akibat perubahan iklim adalah sektor pesisir dan laut. Manusia dan ekosisitem wilayah pesisir
dan laut menghadapi bahaya akibat kenaikan muka air laut serta perubahan parameter-
parameter laut lainnya seperti badai pasut (rob), gelombang badai, ENSO terhadap wilayah
pesisir, yang dapat menyebabkan perubahan lingkungan berupa (KLH, GTZ & WWF, 2007).

Meningkatnya suhu lingkungan menjadi media yang baik bagi mikroba non patogen dalam
saluran cerna, sehingga mikroba ini dapat berkembang biak dengan baik. Contoh mikroba
tersebut antara lain bakteri E. Coli yang berkembang dengan cepat sebagai penyebab
penyakit diare. Suhu lingkungan yang meningkat, berarti juga meningkatnya suhu di wilayah-
wilayah yang tadinya tidak layak untuk vektor penyakit. Berbagai penelitian tentang
pengaruh perubahan iklim terhadap kesehatan pada tahun 2000, ditemukan terjadi 150.000
kematian prematur di seluruh dunia karena perubahan iklim.

Berdasarkan data kejadian bencana yang dicatat dalam OFDA/CRED International Disaster
Database (2007), sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode
waktu antara 1907 dan 2007 terjadi setelah tahun 1990-an dan sebagian besar merupakan
bencana yang terkait dengan iklim, khususnya banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan
ledakan penyakit (RAN PI, 2007).

1. Ganti penyedia energi Anda

Sebagian besar gas rumah kaca di atmosfer berasal dari


pembakaran batu bara, minyak, dan gas alam.

Di Jerman, batubaracoklat (atau lignit) bertanggung jawab atas


seperlima emisi CO2 di negara itu.

Jadi langkah besar untuk mengurangi gas rumah kaca adalah


mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan.

Di banyak negara, Anda dapat memilih penyedia energi Anda.


Pertimbangkan beralih ke salah satu yang menyediakan energi dari
energi terbarukan seperti angin, matahari, tenaga air atau bioenergi
berkelanjutan - periksa terlebih dahulu untuk memastikan
perusahaan energi dan sumber terbarukan disertifikasi secara
independen.

2. Makan lebih sedikit daging

Dalam laporan 2013, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO)


menemukan bahwa 14,5 persen dari semua emisi gas rumah kaca
yang disebabkan manusia berasal dari sektor peternakan.

Itu lebih banyak dari emisi mobil, kapal, pesawat dan bentuk
transportasi lainnya di seluruh dunia jika digabungkan. Dari emisi
tersebut, 41 persennya disebabkan oleh produksi daging sapi;
produksi susu membentuk 19 persen lagi.

Menghindari daging dan produk susu adalah satu-satunya cara


paling sederhana untuk mengurangi dampak lingkungan Anda
terhadap planet ini, demikian saran sebuah penelitian yang dirilis
tahun ini dalam jurnal Science.

Mendapatkan protein Anda dari daging sapi sebagai pengganti


tanaman menghasilkan sedikitnya enam kali lebih banyak gas
rumah kaca dan menggunakan 36 kali lebih banyak lahan.

Studi ini juga mengungkapkan pentingnya cara makanan diproduksi.


Misalnya, daging sapi yang dibesarkan di lahan yang terdeforestasi
menghasilkan 12 kali lebih banyak gas rumah kaca daripada yang
merumput di padang rumput yang ada.

Jadi jika Anda makan daging, usahakan memperolehnya dari


pertanian organik lokal.

3. Kurangi limbah makanan

Pertanian menyumbang seperempat emisi gas rumah kaca, tetapi


sekitar sepertiga dari semua makanan yang ditanam di planet ini
tidak pernah benar-benar dimakan.

Tentu saja, tidak semua ini masuk ke tempat sampah. Parlemen


Eropa memperkirakan sekitar setengah dari limbah makanan Uni
Eropa terjadi di rumah, sisanya hilang di sepanjang rantai pasokan
atau tidak pernah dipanen dari ladang - tetapi rumah adalah titik
awal yang sederhana. .

Limbah makanan menjadi jejak karbon dari 3,3 miliar metrik ton
karbon dioksida (CO2), menurut PBB - yang jumlahnya lebih besar
dari emisi tahunan India.

Solusi mudah: Beli lebih sedikit dan pastikan semuanya dimakan.

4. Pilih naik kereta

Banyak estimasi yang menempatkan pangsa penerbangan dari emisi


CO2 global hanya di atas 2 persen - tetapi emisi penerbangan
lainnya seperti nitrogen oksida (NOx), uap air, partikulat, jejak
kondensasi dan perubahan awan sirus berkontribusi terhadap efek
pemanasan tambahan.

Dengan mengurangi satu perjalanan pulang pergi dengan pesawat


Anda dapat menghemat 700 hingga 2.800 kilogram CO2, tergantung
pada jarak yang ditempuh, efisiensi bahan bakar pesawat dan
kondisi cuaca.

Menurut Eurostat, rata-rata orang Eropa memancarkan sekitar 900


kilogram CO2 per tahun.

5. Kurangi konsumsi

Sebagian besar negara di dunia dalam setahun menggunakan lebih


banyak sumber daya alam daripada yang bisa diregenerasi oleh
planet. Di Jerman saja dibutuhkan 1,7 planet per tahun untuk
mendukung tingkat konsumsi warganya.
Tetapi tidak semua negara harus disalahkan karena melampaui
anggaran alam. Negara-negara berpenghasilan tinggi menggunakan
sumber daya yang jauh lebih banyak per tahun daripada negara-
negara berpenghasilan rendah.

Di seluruh dunia, bahan bakar fosil adalah penyebab utama yang


bertanggung jawab atas emisi CO2 yang tinggi. Agar dapat hidup
sesuai dengan sarana planet, perlu memikirkan kembali pola
konsumsi kita.

Apakah Anda benar-benar membutuhkan telepon pintar baru, atau


pakaian karena lagi diskon?

Mengurangi jejak lingkungan berarti membeli lebih sedikit produk,


membeli produk yang bertahan lebih lama, mendaur ulang kapan
pun memungkinkan dan menggunakan kembali sebanyak yang kita
bisa.

6. Aksi kolektif

Banyak yang percaya bahwa hal terpenting yang dapat dilakukan


oleh seorang individu adalah membentuk kelompok dan mengambil
tindakan kolektif.

Jadi untuk benar-benar membuat perbedaan, orang harus bergabung


bersama dengan orang lain dalam gerakan yang besar dan cukup
luas untuk benar-benar mengubah kebijakan pemerintah.

IPCC 2007: Climate change 2007: Mitigation. Contribution of


Working Group III to the

Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on


Climate Change

[B.Metz, O. R. Davison, P. R. Bosch, R. Dave, and L. A. Meyer (eds)],

Cambridge: Cambridge University Press.

IPCC. 2007. Impacts, Adaptation and Vulnerability. Working Group II


IPCC,

Cambridge University Press.


IPCC. 2001. Climate Change 2001 : The Scientific Basis.
Contribution of Working

Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental


Panel on

Climate Change. Edited by Houghton, J.T. et al. Cambridge


University Press.

Cambridge. UK.

IPCC. 2007. Climate Change 2007 : The Physical Science Basis.


Contribution of

Working Group I to the Fourth Assessment Report of the


Intergovernmental Panel

on Climate Change. Edited by Alley, R. et al. IPCC Secretariat.


Switzerland.

IUCN. 2006. The Future of Sustainability: Re-thinking Environment


and Development

Ketika para ilmuwan mensurvei sejarah iklim dunia kita selama


berabad-abad terakhir, sejumlah era penting tampak menonjol.

Ini berkisar dari "Roman Warm Period", yang berlangsung dari 250 M
hingga 400 M, dan memperlihatkan cuaca hangat yang tidak biasa
di Eropa, ke era Little Ice Age  yang terkenal, yang memperlihatkan
suhu turun selama berabad-abad dari tahun 1300-an.

Peristiwa-peristiwa itu dilihat oleh beberapa orang sebagai bukti


bahwa dunia telah menghangat dan mendingin berkali-kali selama
berabad-abad dan bahwa pemanasan yang terjadi di dunia sejak
masa revolusi industri adalah bagian dari pola itu dan karenanya
tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Namun, tiga makalah penelitian baru menunjukkan bahwa argumen


itu mudah dipatahkan.

Image copyrightUNIVERSITY OF BERN

Sejumlah tim ilmuwan merekonstruksi kondisi iklim yang terjadi


selama 2.000 tahun terakhir menggunakan 700 catatan rekaman
perubahan suhu, termasuk dari batang pohon, karang dan sedimen
danau.

Mereka memastikan bahwa tidak satu pun dari peristiwa iklim ini
terjadi dalam skala global.

Para peneliti mengatakan bahwa, misalnya, dampak perubahan


iklim pada Little Ice Age  , atau disebut zaman es kecil, yang
terkuat di Samudra Pasifik pada abad ke-15, sedangkan di Eropa
adalah abad ke-17.

Secara umum, setiap puncak atau palung dalam perubahan suhu


jangka panjang dapat dideteksi di tidak lebih dari setengah bola
dunia pada satu waktu.

"Medieval Warm Period", yang berlangsung antara tahun 950 M dan


1250 M hanya memperlihatkan suhu yang signifikan naik di 40%
permukaan bumi.

Sebaliknya, pemanasan hari ini berdampak pada sebagian besar


dunia.

"Kami menemukan bahwa periode terhangat selama dua milenium


terakhir terjadi selama abad ke-20 untuk lebih dari 98% dunia," tulis
penelitian tersebut.

"Ini memberikan bukti kuat bahwa pemanasan global antropogenik


(yang disebabkan oleh manusia) tidak hanya tak tertandingi dalam
hal suhu absolut, tetapi juga belum pernah terjadi sebelumnya
dalam konsistensi spasial dalam konteks 2.000 tahun terakhir."
Image copyrightGETTY IMAGES

Image captionGelombang panas di Eropa bisa jadi disebabkan oleh perubahan iklim, kata para ilmuwan

Apa yang para peneliti lihat adalah bahwa sebelum era industri
modern, pengaruh paling signifikan terhadap iklim adalah gunung
berapi. Mereka tidak menemukan indikasi bahwa variasi radiasi
matahari berdampak pada suhu global.

Periode saat ini, kata penulis, secara signifikan melebihi variabilitas


alami.

"Kami melihat dari data instrumental dan juga dari rekonstruksi


kami bahwa di masa lalu tingkat pemanasan jelas melebihi tingkat
pemanasan alami yang kami hitung - itu pandangan lain untuk
melihat sifat luar biasa dari pemanasan saat ini," kata Dr Raphael
Neukom, dari University of Bern, Swiss.
Sementara para peneliti belum menguji apakah manusia adalah
penyebab utama terciptanya iklim saat ini, temuan mereka
menunjukkan dengan jelas bahwa ini adalah masalahnya.

"Kami tidak fokus untuk melihat apa yang menyebabkan pemanasan


terbaru karena ini telah dilakukan berkali-kali dan bukti yang ada
selalu menunjukkan bahwa penyebabnya adalah faktor
antropogenik," kata Dr Neukom.

"Kami tidak secara eksplisit menguji ini; kami hanya dapat


menunjukkan bahwa penyebab alami tidak cukup dari data kami
untuk benar-benar menjadi penyebab pola spasial dan laju
pemanasan yang kita amati sekarang."

Ilmuwan lain terkesan dengan kualitas penelitian baru ini.

Image copyrightGETTY IMAGES


Image captionBerseluncur di atas es di Eropa ketika musim dingin selama berabad-abad lalu adalah peristiwa
umum selama Zaman Es Kecil

"Mereka telah melakukan ini di seluruh dunia dengan lebih dari 700
catatan selama 2.000 tahun terakhir; mereka menggunakan karang,
sampel danau dan juga data instrumental," kata Prof Daniela
Schmidt dari University of Bristol, Inggris, yang tidak terlibat
dengan penelitian tersebut.

"Dan mereka sangat berhati-hati dalam menilai data dan bias


inheren yang dimiliki data apa pun, sehingga kualitas data dan
cakupan data ini adalah kemajuan besar yang nyata di sini; ini luar
biasa."

Banyak ahli mengatakan bahwa penelitian baru ini membantah


banyak klaim yang dibuat oleh orang-orang yang skeptis dengan
perubahan iklim selama beberapa dekade terakhir.

"Laporan penelitian ini pada akhirnya seharusnya bisa


menghentikan penolakan perubahan iklim yang mengklaim bahwa
pemanasan global koheren yang diamati baru-baru ini adalah bagian
dari siklus iklim alami," kata Prof Mark Maslin, dari University
College London, Inggris, yang juga tidak terlibat dalam penelitian.

"Penelitian ini menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok


antara perubahan iklim regional dan lokal di masa lalu dan efek
global yang sebenarnya dari emisi rumah kaca antropogenik."

Anda mungkin juga menyukai