Anda di halaman 1dari 26

14 YEARS LATER

“And After Fourteen Years…I Still Want To Marry My Bestfriend”

“Hei, Kangdan! Jangan marah lagi.”

“Apa pedulimu? Aku tidak marah.”

“Tapi mukamu merah.”

“Aku tidak marah!”

“Dan kau berteriak, itu berarti kau masih marah.”

Sudah tiga puluh menit kami seperti ini—berada dalam posisi tidur di lantai penuh mainan—
sementara Daniel ada di ranjang tingkat dua, tidak mau melihatku sama sekali.

Katakanlah kami sedang bertengkar. Aku merusak Mr. Hong Hong si robot favorit Daniel .
Karena, sejak ada Mr. Hong Hong, Daniel jadi lebih sering bermain dengannya daripadaku.
Bagi anak berumur sembilan tahun, tentu itu sangat menyebalkan, maka dengan sangat
menyesal aku berpura-pura tidak sengaja menginjak lengannya sampai patah.

“Aku kan tidak sengaja menginjak tangan Mr. Hong Hong,” kataku untuk yang keduapuluh
kali, dan Daniel tetap tak mau mendengarkan. “Lagipula dia jelek,” lanjutku berbisik pelan.

“Aku dengar kau bilang dia jelek.” Ups, maaf

Aku pun menghela napas lelah. Kalau dibiarkan terus menerus, bisa-bisa seharian ini kami
tidak jadi bermain dan ibu akan muncul untuk menyuruhku tidur siang. Oke, itu tidak bisa
terjadi. (kau tahu kan, anak kecil benci tidur siang).
Maka, aku pun beranjak dari lantai, memanjat tangga untuk mencapai ranjang tingkat dua di
mana si gendut itu berada. Aku mengintip sedikit dan mendapati Daniel sedang berbaring
menatap plafon kamarnya, lalu dia menoleh padaku dan segera berbalik membelakangiku.

“Tuh ‘kan, kau masih marah.”

Diam sejenak.

“Kangdan?” Aku mencolek punggungnya dan dia bergerak sedikit. Setelah itu, aku tahu
Daniel menangis. Itu terdengar dalam suaranya yang bergetar. Dia terisak.

“Mr. Hong Hong…”

Aku memutar kedua bola mataku sebal. Apa bagusnya robot warna hijau itu? Dia hanya bisa
berbicara dua kalimat berulang-ulang kali, namun Daniel menyukainya. Aku bisa
mengucapkan beribu-ribu kalimat kalau dia mau dan sekarang Daniel tak mau berteman
denganku lagi.

“Daniel …” Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Oke, kuakui aku menyesal mematahkan
lengan Mr. Hong Hong. “Maaf, tapi aku tidak bisa memperbaiki Mr. Hong Hong.” Hei, aku
jadi mau menangis kalau begini caranya!

Daniel menggelengkan kepalanya, masih tidak mau berbicara apa-apa, kecuali terisak,
menyedot ingus, batuk-batuk dan menangis lagi.

Aku pun memutar otak untuk ini dan aku punya ide yang…entahlah, aku pernah melihatnya
di drama yang kakakku tonton. Semoga cara ini berhasil membuat Daniel berhenti menangisi
Mr. Hong Hong. Karena, aku lebih rela Daniel menangisi tanaman toge di kelas kami yang
layu.

“Baiklah, aku akan menawarkan satu hal sebagai permintaan maafku,” kataku cukup serius.

Daniel pun membalikkan badannya, kini dia menatapku dengan kedua matanya yang berair.
“Apa itu?”
“Ini bukan makanan, oke?”

“Oke.” Daniel mengangguk.

Aku menarik napas dan bilang, “Menikahlah denganku.”

Daniel menaikkan alisnya. Oh, tidak! Ini buruk. Aku seharusnya tidak berkata ini, karena
sebentar lagi Daniel akan mendorongku ke belakang dan membiarkanku jatuh ke lantai, lalu
aku akan bernasib sama dengan Mr. Hong Hong.

“Menikah?”

“Iya, menikah denganku,” ujarku enteng.

Daniel berpikir sejenak, menggaruk pipinya sambil mengerutkan dahi. Ah, dia pasti akan
menolakku.

“Memangnya…menikah itu apa?”

Oh.

Apa ya?

Selagi pertanyaan itu menggantung di udara, aku pun ikut berpikir. Membayangkan potongan
adegan di drama itu. Umm…yang kuingat hanyalah si pria meminta si wanita untuk menikah
dengannya, lalu dia menyematkan cincin di jemarinya, dan mereka saling—eh, tunggu!
Tidak! Ini salah. Yang mengajak menikah itu prianya, bukan wanitanya. Dan aku
PEREMPUAN!!

Tapi…

Sudahlah.
“Menikah itu…” Mataku bergerilya mencari sesuatu yang mirip cincin, tapi yang kutemukan
hanyalah karet di sisi tempat tidur.

“Menikah itu…seperti ini. Pinjam tanganmu!” Aku mengambil tangan Daniel , dan
mengikatkan karet di jempolnya yang gendut. “Tada! Kita menikah!!”

Pada awalnya, Daniel bingung setengah mati. Lalu setelah beberapa detik, senyuman
merekah di wajahnya dan dia tertawa gembira. “Kita menikah!Yeay!”

“Iya, kita menikah! Horeee!!”

Yeah, kami menikah walaupun tidak tahu apa artinya saat itu. Lalu karena saking senangnya,
aku melepas tanganku dari tangga dan jatuh ke belakang. Aww, itu rasanya sakit sekali, kau
harus tahu. Aku kehilangan kesadaranku saat merasakan kepalaku terantuk sesuatu yang
ternyata Mr. Hong Hong (wow, Mr. Hong Hong, kau sangat membenciku)

Tapi, tak mengapa.

Aku dibawa ke rumah sakit hari itu dan orang pertama yang kulihat adalah Daniel saat
membuka mata.

“Cherry, kau tidak apa-apa?”

“Yeah, aku pusing.”

Daniel mendekatkan wajahnya padaku, dia berbisik. “Cherry, kata ibu, kita tidak boleh
menikah di umur sembilan tahun ini. Kita masih anak-anak. Tapi, tenang saja, aku tetap
sahabatmu.”

Kau tahu, saat itu tanganku sakit karena ada jarum infus yang menusuk dagingku, kepalaku
sakit bukan main, rasanya ada planet mars sedang duduk di atas kepalaku. Namun, melihat
Daniel tersenyum dan dia mau berbicara lagi denganku, aku merasa kepalaku ringan dan
Daniel adalah teman terbaik yang kumiliki
.

14 tahun kemudian…

“Hei, Cherry! Jangan marah lagi.”

“Apa pedulimu? Aku tidak marah.”

“Tapi kau tidak mau berbicara denganku sedari tadi.”

“Aku tidak marah!”

“Dan kau berteriak, itu berarti kau masih marah.”

Empat belas tahun berlalu dan kami bukanlah anak kecil yang suka bermain rumah-rumahan
di kamar Daniel . Kenyataan menunjukkan bahwa kami sudah berumur 23 tahun dan Daniel
pulang dari Amerika setelah menyelesaikan kuliahnya di sana.

Aku merindukannya, tentu. Aku hidup sekitar empat tahun tanpa seorang sahabat dan
sesungguhnya kau pasti berpikir mengapa saat dia kembali, aku malah marah-marah
dengannya. Biar kujelaskan alasannya di bulan Desember yang dingin ini.

Bagaimana rasanya saat kau merindukan sahabatmu dan ketika dia pulang, dia membawa
berita yang tidak enak terdengar di telingamu? Sangat, sangat, sangat, super duper sangat
TIDAK MENYENANGKAN!

“Tentu aku marah!” pekikku dengan nada tinggi. “Kau mau menikah dan kau baru
memberitahuku saat sampai di sini?! Kau bisa menghubungiku lewat telepon atau…atau
email. Kau—“ aku kehilangan kata-kata. “—menyebalkan.”

Daniel tersenyum padaku. Kami sedang berada di trotoar dalam cuaca dingin bulan
Desember. Konyol adalah saat dia masih bisa tersenyum di udara sedingin ini, lalu dia
memberitahu berita itu…rasanya, ada komet yang jatuh di kepalaku.
“Aku mau memberitahumu.”

“Lalu?”

Pria berumur 23 tahun itu menghembuskan napas. “Tapi aku merasa tidak siap.”

Aku mendengus, memutar kedua bola mataku karena dibuat kesal oleh tingkahnya. “Kau
konyol, Kangdan! Apanya yang membuatmu tidak siap memberitahuku? Aku sahabatmu!
Kau bahkan menceritakan rahasia-paling-rahasia di hidupmu. Kau pernah pup di celana dan
kau menceritakannya padaku. Kau pernah pipis di kamar mandi wanita dan kau
menceritakannya padaku. Bahkan sampai mimpi—“

Daniel menutup mulutku untuk tidak membuka aibnya yang terdalam. Kini semua orang
melihati kami.

“Kau berisik sekali, Nona Cherry.” Daniel tertawa.

“Biar saja! Aku marah karena kau idiot.”

“Aku memberitahumu, pada akhirnya.”

Pada akhirnya, yeah.

Aku mengambil satu langkah menjauh darinya, tidak berbicara padanya selama sekitar dua
menit.

Tidak ada satu sel di otakku yang mengerti apa yang dipikirkan Daniel . Well,sesungguhnya,
aku jauh lebih tidak mengerti mengapa setelah bertahun-tahun aku tidak bisa mengusir
perasaan ini. Perasaan yang membuat jantungku berdetak kencang saat Daniel berada di
sampingku, yang menciptakan rona merah merayapi kulit wajahku, yang membuatku tidak
bisa tidur hampir setiap malam dan aku merasakannya sejak kami duduk di bangku SMA.
Aku…

Jatuh cinta pada sahabatku sendiri.


Yeah.

Saat dia pergi ke Amerika, seluruh saraf di tubuhku bersorak kegirangan. Aku pikir empat
tahun tanpanya akan membuatku pergi mencari pacar dan jatuh cinta pada orang lain.
Namun, aku salah.

Empat tahun tanpa Daniel adalah masa-masa terburuk dalam hidupku dan aku tak mau
merasakannya lagi. Tapi setelah kepulangannya, berita itu, well,aku tidak tahu bagaimana
hidupku setelah ini.

“Cherry, apa ini bagus?” Daniel membuyarkan lamunanku. Dia menunjuk sebuah kaus kaki
bermotif rusa warna abu-abu di etalase toko. “Kau mau membeli kaus kaki? Buat apa?
Bukankah kau punya banyak di rumah?” kataku penasaran.

“Untuk pernikahanku.”

“Pfftt.” Aku menyemburkan tawaku. “Apa kau bercanda? Kau mau memakai benda itu ke
pernikahanmu?! Daniel , please.”

Matanya menelusuri kaus kaki itu. “Apanya yang buruk dari kaus kaki ini?”

Aku langsung menyambarnya dan mengambilkan kaus kaki berwarna hitam dengan motif
sederhana. “Ini baru bagus. Kau payah.”

“Kau selalu tahu seleraku.” Dia tersenyum. Ugh, aku benci setiap kali dia melakukannya!
“Hei, Cherry. Bagaimana kalau kau menemaniku berbelanja kebutuhan pernikahanku hari ini.
Ah, aku baru memesan jas dan…” Dia menghela napas. “Aku tidak tahu yang lainnya.”

Oh, kenapa kau tidak meminta calon istrimu untuk menemanimu dan tinggalkan saja
sahabatmu yang satu ini? Ya, tinggalkan saja.

Aku tidak yakin apakah ini yang kuinginkan, karena…seharusnya aku merusak rencana itu.
Aku ingin merusak rencana pernikahannya agar Daniel tidak jadi menikah, tapi entahlah, aku
melihat Daniel tersenyum senang dan hatiku tak tega menghapus senyuman itu dari
wajahnya. Jadi…

“Oke,” gumamku melihat ke arah lain. Aku tahu aku akan menyesali ini semua nantinya.

“Kau mau menemaniku?”

Aku mengangguk.

“Thank you,” ujarnya seraya merangkulku dan kami berjalan lagi.

Kami berjalan dan berjalan, membeli jajanan di pinggir jalan. Lalu kami memasuki toko
kemeja. Aku memilihkan kemeja putih untuknya, mengunyah kenyataan bahwa Daniel
begitu tampan saat memakainya. Dia pernah memakai kemeja putih saat prom night, tapi saat
itu dia hanyalah seorang remaja tambun yang kikuk dan aku tetap menyukainya.

Kemudian kami pergi ke toko sepatu. Aku memilihkan sepatu pantofel hitam yang
mengkilap.

“Nomor 42,” ujar Daniel pada sang pelayan toko.

“Nomor 41 setengah,” koreksiku. Aku menatapnya yang kebingungan. “Nomor 42 selalu


kebesaran untukmu, nomor 41 terlalu sempit untukmu.”

Kata-kataku terbukti benar saat Daniel mencoba kedua sepatu itu. Dia tersenyum senang
padaku. “Kau tahu yang terbaik untukku.”

Hanya bisa bersedekap tangan, aku berujar. “Tentu.” Ya, tentu. Aku mengenalmu sepanjang
hidupku. Bagaimana tidak?

Lalu kami membeli beberapa dasi. Kuakui Daniel punya selera fashion yang cukup parah.
Dia tidak tahu bagaimana memadukan motif yang satu dengan yang lainnya. Semuanya
bertabrakan dan beruntunglah, Kangdan, kau punya sahabat sepertiku. Aku segera
mengambil beberapa dasi dengan corak garis-garis dan kotak-kota, lalu aku menarik dasi
bermotif rusa dari tangannya.

“Tapi—“

“Nope, Daniel .” Aku bersikeras. “Ada apa dengan motif rusa, huh?”

Daniel mengangkat bahu dan kami membayar dasi itu di kasir.

Tujuan terakhir kami adalah toko jas pernikahan Daniel . Seseorang bernama Byun
Baekhyun—perancangnya—datang menyambut kami di pintu. “Tuan Daniel . Yang
memesan jas hitam untuk pernikahannya. Am I right?”

“Ya, itu aku.” Daniel membalas dengan senyuman mengembang di wajah.

“Come, come, come here, “ senandung Baekhyun memanggil kami untuk masuk ke dalam
toko.

Sejauh mataku memandang, yang kutemui hanyalah jas, jas, jas, jas, dan jas. Dimulai dari jas
kasual, jas formal, jas bermotif macan (apa?), jas bermotif bunga-bunga (ugh, ya ampun), jas
berhiaskan manik-manik, sampai di ujung etalase aku menemukan jas yang penuh lampu
natal. Oh my God.

Aku rasa, aku terlalu asyik melihati koleksi jas butik Ha Seungwoonsampai aku tidak sadar
bahwa sedari tadi, Daniel tidak bersamaku dan di menit berikutnya, aku menemukan dia
berdiri di tengah-tengah tangga, memanggil namaku hingga aku menoleh padanya.

“Cherry, lihat aku!”

Aku memalingkan pandanganku dari jas ‘uang dollar’ dan melihat sosok itu.

Wow.
Mataku mengerjap beberapa kali. Bukan karena ada debu yang masuk, tapi…pria ini—
well, sahabatku ini…

“Bagaimana?”

Tidak ada yang spesial dari jas itu. Potongannya biasa saja. Warnanya hitam polos, begitu pas
di tubuh Daniel yang tidak lagi gempal. Dengan kemeja putih yang kupilihkan tadi, dasi
kupu-kupu, dipadu padankan dengan celana dari bahan sutera warna hitam yang melekat di
kedua kakinya terlihat begitu sempurna.

Tanpa kusadari, aku menaiki anak tangga satu persatu—menghampirinya.

Tanganku perlahan terulur membetulkan dasinya yang miring. Tangan ini otomatis meluncur
ke lehernya, mendarat di dadanya sembari merapikan kerutan di sana dan aku bertanya dalam
hati, mengapa kau tidak jatuh cinta padaku? Mengapa, Kangdan? Mengapa?

“Aku memakai kaus kakinya juga.”

“A-apa?”

Daniel nyengir dengan sangat lebar dan menarik celana panjangnya untuk menunjukkan kaus
kaki pilihanku yang tadi kami beli. “Oh, ya.” Aku tertawa kecil. “Apa kubilang, kaus kaki itu
bagus bukan?”

“Yeah, thanks, Cherry. You’re the best.”

Aku yang terbaik? Mengapa kau tidak bisa menjadikanku yang terbaik di hidupmu juga?
Mengapa dia?

“Umm…apa kau calon istrinya?” sebuah suara masuk ke dalam pembicaraan kami. Aku
berbalik, Ha Seungwoon sedang berdiri dengan tangan di pinggang dan dia tersenyum ramah
pada kami.
Aku baru saja ingin menjawab pertanyaan itu, namun Daniel lebih cepat, “Bukan. Dia…”
Daniel berhenti untuk menatapku. Lalu dia merangkulku erat. “Dia sahabatku. Sahabat
terbaik di dunia.”

Jika kami masih berumur 12 tahun, mungkin kalimat tadi bisa membuatku terbang ke lapisan
langit paling atas, namun kali ini…kalimat itu terdengar bagai angin lalu—tidak lagi
mempan.

Karena…

Aku tidak ingin menjadi sekedar sahabat baginya.

“Tapi kalian cocok, kau tahu itu?”

Oh, andaikan begitu kenyataannya, Ha Seungwoon

***

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat hari Sabtu, lagi-lagi aku mengatakan ‘oke’ untuk
kesekian kalinya atas permintaan Daniel .

Ada apa denganmu, Cherry? Mengapa kau begini?!!

Aku protes pada diriku sendiri, mempertanyakan mengapa aku harus bingung
memilih dress di tempat tidurku. Aku sudah berdiri di depan cermin sekitar satu jam setelah
mendapatkan telepon dari Daniel . Ini bukan kencan, ini bukan kencan.

“Aku ingin memperkenalkanmu dengan Cathlyn. Bagaimana jika kita bertiga makan siang
bersama?”

“Oke.”
Bisa tolong jelaskan mengapa aku harus berkata ‘oke’ semudah itu? Hatiku tidak
menginginkannya. Aku belum siap menerima kenyataan bahwa sebentar lagi Daniel akan
menghabiskan sepanjang hidupnya bersama wanita ini.

Oh, ini benar-benar menyakiti hatiku.

Aku juga tidak paham bagaimana bisa aku duduk di sana—restoran perancis, menatap kedua
orang itu saling memandang satu sama lain dengan tangan bertautan. Senyuman manis tidak
pernah luntur dari wajah Daniel , begitu juga dengan Cathlyn—si wanita berambut
merah burgundy. Ugh.

Aku pikir, aku tidak akan pernah bertemu Mr. Hong Hong ‘kedua’ di kehidupanku
selanjutnya setelah aku memberinya sedikit pelajaran. Bagaimana aku benci pada robot itu,
dan sekarang ada ‘kembarannya’! Yang satu ini bedanya bisa berbicara lebih banyak, bisa
berdandan, jenis kelaminnya wanita, dan Daniel jatuh cinta padanya setengah mati.

Dan yang terparah adalah…aku tidak bisa menginjak tangannya hingga patah.Sial.

“Kau Cherry, teman Dan—“

“Sahabat,” koreksiku cepat. “Sahabat terbaik yang Daniel miliki di dunia,” lanjutku lagi
sambil menyesap cocktail.

“Ah, ya. Sahabat terbaik.” Dia tersenyum, kemudian bersandar di bahu Daniel . “Dan aku
Cathlyn, wanita paling beruntung di dunia karena aku memiliki Daniel . Iya kan, honey?”

‘Honey’?? Panggilan ‘Kangdan’ku lebih baik dari itu!!

Aku benci wanita ini. Aku benci bagaimana dia bermanja-manja pada Daniel , bergelayutan
di lengannya bagai monyet kecil yang meminta diberi perhatian. Oke, kuakui Mr. Hong Hong
lebih baik darinya, 100 persen lebih baik!

Tak lama kemudian, pelayan datang dan memberikan kami menu makanan. Entah apa yang
merasukiku, tiba-tiba aku merasa kelaparan dan memesan begitu banyak makanan. Aku
bahkan tidak peduli jika aku hanya membawa beberapa lembar uang di dompetku. Aku tidak
peduli!

“Kau mau makan apa, honey?”

“Umm…entahlah, terlalu banyak makanan di sini.” Daniel menggumam pelan. “Aku


bingung.”

Lalu dengan tidak sopannya, Mr. Hong Hong versi wanita ini merebut buku menu dari tangan
Daniel dan membalik halamannya cepat. “Bagaimana dengan…umm…kepiting—“

“Tidak.”

“Tidak!”

Aku dan Daniel bersamaan menolaknya. Wanita itu pun menatap kami bingung.
“Umm…kenapa tidak?”

“Daniel alergi kepiting. Dia tidak bisa makan apa pun yang mengandung daging kepiting,”
jelasku.

Cathlyn membulatkan mulutnya dan mengangguk. Dia membalik halaman buku menu lagi,
menunjuk satu gambar piring penuh escargot. “Pesan yang ini saja—“

“Tidak.”

“Tidak!”

Aku bisa melihat wajah Cathlyn cemberut akan pernyataan kami yang lagi-lagi menolak
pilihannya. “Apa lagi sekarang?”

“Daniel punya kenangan buruk memakan benda itu. Dia trauma. Hei…” aku menyadari
sesuatu. “Apa kau tahu apa saja yang boleh Daniel makan dan yang tidak?”
“Ya, tentu saja,” balas Cathlyn mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Aku calon istrinya. Aku
tentu tahu apa yang terbaik untuk Daniel .” Oh, benarkah kau tahu, Nona Hong Hong?!

“Apa kau tahu apa minuman soda kesukaan Daniel ?” tanyaku menantangnya.

“Umm…coca cola!”

“Salah!”

“Apa? Semua orang minum coca cola!”

“Daniel suka pepsi. Kau saja yang tidak tahu! Apa kau tahu rasa es krim favorit Daniel ?”

“Cokelat?”

“Salah! Mint.”

“A-apa?? Tapi—“

“Apa kau tahu bagaimana cara Daniel makan wafer?”

“Hahaha…apa kau berusaha membodohiku? Tentu saja dengan mengigitnya!”

“Salah! Daniel selalu membuka lapis per lapisan, lalu memakannya satu persatu. Ha-ha-ha!”

“Jawaban macam apa itu?! Kau mengada-ada, Cherry!”

“Tidak, itu memang benar!”

“Girls, girls!!” Daniel menaruh buku menu di antara wajah kami, tidak sadar kami telah
berteriak kencang-kencang, dan semua orang kini menatap kami seakan dua wanita ini benar-
benar sudah kehilangan akal sehatnya.
“Girls…” Daniel menatap kami tidak percaya dengan kedua matanya. “Hentikan, oke?” dia
bertanya dengan sangat perlahan-lahan hingga keadaan mulai membaik, aku menyandarkan
tubuhku ke belakang, begitu juga dengan Cathlyn.

Daniel menghela napas lega. “Aku pesan croissant keju saja, terima kasih.”

Aku membuang wajah setelah itu. Aku sedikit terluka setelah menemukan kenyataan ini.

Wanita ini tidak tahu apa-apa tentang Daniel .

Nothing. She knows nothing!

Delapan bulan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan belasan tahun! Aku telah
mengenal Kangdan-ku selama berbelas-belas tahun dan dia—wanita—ini tahu apa?

“Buka mulutmu, honey. Aaaa…” Daniel melahap potongan croissant keju yang diberikan
Cathlyn dengan senang.

Kau tahu apa tentang Daniel ? Aku lebih mengenalnya.

(Lalu aku berakhir pergi ke kamar mandi hari itu dan pulang dengan perut yang sakit luar
biasa. Aku tidak akan pernah makan sebanyak itu lagi. Never.)

***

“Halo.”

“Ya?”

“Kau tidak mau membiarkanku masuk?”

“Tidak.”
“Cherry, buka jendelanya.”

“Tidak mau.”

“Oh ayolah, aku kedinginan.”

Daniel terkadang bisa juga menjadi peganggu nomor satu di hidupku. Dia datang di saat
yang paling tidak tepat kali ini (yeah, datang di saat aku sedang memikirkan rencana untuk
menggagalkan pernikahannya dua hari lagi).

Daniel mengetuk kacaku beberapa kali dan akhirnya aku bergerak dari tempat tidur dengan
geraman. “Apa yang kau inginkan?” tanyaku galak setelah membuka jendela.

“Fiuh…akhirnya kau mau membukakan jendelamu. Kau tahu di luar sini sangat dingin!”
“Siapa suruh datang? Demi Tuhan, ini pukul satu dini hari, Kangdan.”

“Kau pernah datang ke rumahku pukul tiga dini hari dan aku tidak protes,”ugh, sial. Kenapa
kau mengingatnya? “Kenapa kau jadi galak seperti ini?” ujar Daniel seraya kami duduk
di tepi jendela. Sinar rembulan menempa kulitnya yang putih, aku ingin
menyentuhnya. Astaga, apa yang kupikirkan?!

Dia menelengkan kepalanya, mata penuh tanya. “Cherry?”

“Apa kau ingat saat ibumu memperkenalkan kita di taman waktu itu?”

“Oh.” Daniel pasti tidak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulutku. Percayalah, aku
juga tidak tahu apa yang sedang kubicarakan. Dia tertawa. “Ya, tentu saja. Kita berumur
enam tahun dan kau memberikanku permen, lalu saat ibuku datang dari toilet, kau menangis.
Kau bilang aku mengambil permenmu dan kau minta dibelikan es krim sebagai gantinya.”

“Oh yeah, aku ingat kejadian itu. Aku cukup pintar, bukan?”

“Kau culas, oke?” kata Daniel setengah tertawa, mendorong kepalaku menggunakan
telunjuknya. “Aku selalu jadi korban.”
“Kau juga pernah menjepit tanganku di pintu,” tudingku.

“Itu tidak sengaja.”

Kudorong kepalanya sebagai balasan. “Siapa yang tahu itu sengaja atau tidak. Kau hanya
bocah ingusan berumur tujuh tahun.”

“Apa kau meragukanku?” Daniel merengkuh pinggangku agar mendekat ke arahnya, agar
dia bisa menggelitiki leherku dan beberapa titik lainnya yang membuatku mati kutu di
tangannya. “Katakan lagi, Cherry! Katakan kau meragukanku.”

“Tolong, tolong, hentikan. Oke, oke! Aku tidak meragukanmu—“ aku menjauhkan tangannya
dari tubuhku dan kami berdua tertawa hingga kehabisan napas. Hei, kapan terakhir kali kami
seperti ini? Merasa senang, tertawa lepas, kami…kami bahagia. Iya, bahagia.

Mata Daniel memancarkan kebahagiaan yang telah lama tidak kulihat. Tidak terlihat bahkan
ketika bersama Cathlyn. Katakan aku salah, katakan aku salahlihat.

Tiga puluh menit ke depannya, kami berdua bercerita tentang masa kecil kami. Bernostalgia
tentang donat, tentang mainan roller coaster, tentang perosotan, tentang es krim yang kami
buat dari tanah (dan Daniel dengan polosnya menjilat es krim itu, kami pun kena marah),
sampai pada topik Mr. Hong Hong si robot hijau itu.

“Apa kau ingat Mr. Hong Hong?”

“Ha! Mana mungkin aku melupakannya. Dia meninggalkan tujuh jahitan di kepalaku,”
kataku seraya mengusap bagian belakang kepalaku. Memori menyakitkan itu menghantamku
kembali.

“Oh ya, kau jatuh dari tempat tidur dan menimpa Mr. Hong Hong. Itu karena kau jahat
padanya. Coba, aku lihat.” Dia memutar tubuhku hingga membelakanginya, lalu Daniel
mencari bekas jahitan itu.

“Aku tidak jahat padanya,” sanggahku. “Aku…tidak sengaja menginjaknya.”


“Oh ya? Benarkah?”

Tentu saja tidak benar! “Benar.”

Daniel menggumam sesuatu tak jelas di belakangku dan aku tahu, mungkin ini waktunya aku
jujur padanya.

“Baiklah, aku sengaja menginjak tangannya,” aku mengakui setelah bertahun-tahun. “Aku
sebal kau selalu bermain dengannya, sementara kau membiarkanku bermain sendirian. Setiap
ada mainan baru, kau selalu seperti itu.”

“Aku? Seperti itu?”

“Yeah, kau tidak menyadarinya ‘kan?” kataku jengkel. “Padahal apa bagusnya robot itu? Dia
tidak punya kemampuan khusus. Warnanya hanya itu-itu saja. Oh oke, baiklah, dia mungkin
bagus, hebat. Tapi apa yang dia ketahui tentangmu? Dia tidak tahu kau alergi apa, dia tidak
tahu makanan apa yang boleh kau makan atau tidak boleh kau makan, dia tidak tahu
minuman kesukaanmu, es krim favoritmu, caramu makan wafer. Apa yang dia tahu? Kenapa
kau menyukainya? Ah ya, dia cantik. Rambutnya panjang dan dia bisa berdandan—“

“Cherry?”

“Ya?”

Aku berbalik menghadapnya kembali. Kulihat alis Daniel terangkat tinggi, wajahnya penuh
tanda tanya kasat mata.

“Mr. Hong Hong…cantik? Rambut panjang…bisa berdandan—“

Lalu aku tidak mengijinkan Daniel berbicara lebih banyak lagi, maka aku menarik wajahnya
mendekat ke arahku dan menciumnya.
Rasanya ada jutaan kembang api meledak di balik pelupuk mataku, rasanya
ada smoothies stroberi menari-nari di lidahku—memberikan sebuah sensasi luar biasa yang
tak pernah kurasakan sebelumnya.

Rasanya sakit, rasanya senang, rasanya bahagia, rasanya sedih. Aku tidak mengerti saat
mencium Daniel mungkin adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku, namun juga
meninggalkan jejak luka mendalam di dada. Air mataku turun saat bibirnya bergerak dan dia
menciumku balik.

He kisses me back.

Dia menciumku balik, dia memegang tengkukku dan memiringkan kepalanya agar
mendapatkan angle yang baik untuk menciumku lebih dalam, lebih manis, lebih dapat
dikenang.

Aku mencintaimu.

Aku mencintaimu.

Aku mencintaimu.

“Aku mencintaimu…” bibirku menggumamkan kalimat itu. Detik itu juga kami kembali ke
kenyataan dan napas Daniel menerpa wajahku. Matanya setengah terbuka, bibirnya begitu
dekat denganku.

“Aku…Cherry, aku…”

“Aku mencintaimu, Kangdan.”

Dia menggelengkan kepalanya, berbisik, “Aku akan menikah, Cherry.”

Lalu kenapa kau berbalik menciumku? Apa artinya, Kangdan? Apa?


Dengan sentuhan bibirnya di dahiku, aku memejamkan mata dan membukanya beberapa
detik kemudian.

Daniel telah menghilang.

***

Hari ini…

Ya, hari ini.

Aku akan kehilangan sahabat sekaligus cinta dalam hidupku untuk selamanya.

Bukan karena Daniel akan pergi perang dan semua orang tahu dia akan pulang dengan luka
tembak di mana-mana, dan nyawanya telah pergi entah ke mana.

Namun, lebih tepatnya hari ini Daniel akan menikahi Cathlyn dan pergi selamanya dari
hidupku. Aku berharap aku dapat menghapusnya semudah aku menghapus goresan pensil di
kertas. Andai semudah itu, mungkin aku sudah melupakannya dari dulu.

Mungkin kami tidak perlu berciuman di malam itu dan hati ini semakin berat melepasnya.

Pagi itu aku datang ke rumah Daniel . Aku tahu tak ada cara untuk membatalkan
pernikahannya, kecuali jika aku cukup sadis dengan menculik dan membunuh si pengantin
wanitanya. Well, aku tidak sesadis itu.

Aku menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua, kulihat pintu kamarnya sedikit terbuka
dan aku menarik napas sebelum masuk.

“Kangdan?” panggilku pelan.


“Cherry?” Daniel muncul dari balik pintu lemarinya. Rambutnya sangat berantakan
walaupun jas dan segala macamnya telah melekat di tubuh itu. “Cherry, kau…”

Aku tersenyum tipis. “Aku hanya ingin melihat sahabatku untuk yang terakhir kalinya. Boleh
aku masuk?”

Daniel memutar bola matanya. “Aku hanya akan menikah, aku tidak mati, oke? Masuklah,
Cherry.”

Kau memang tidak mati, tapi hatiku yang mati.

Aku melangkahkan kaki ke sana. Tidak yakin dengan suasana kamarnya yang begitu
berantakan. Ada beberapa kemeja di tempat tidur, celana panjang, jas, kaus, bahkan pakaian
dalam dan odol ada di sana.

“Daniel , apa kau baik-baik saja?” tanyaku menatapnya bolak-balik masuk kamar mandi dan
keluar lagi. Dia terlihat linglung.

“Apa? Ya, ya, ya, aku baik-baik saja.”

“Tapi kau terlihat tidak baik-baik saja.”

“Oh ya? Tapi…aku merasa sangat baik.”

Aku menggelengkan kepala. “Aku tahu dirimu. Aku mengenalmu, kau berbohong padaku.”

Daniel berhenti di tempatnya, menatapku tak percaya. “Apa katamu?”

“Jangan bohong padaku, Bao—“

“Berhenti bicara seperti semua ini terasa salah, Cherry! Ini hari pentingku, hari pernikahanku!
Jangan merusaknya!”
Aku pun beranjak dari tempat tidur dan mendekatinya. “Aku tidak berusaha merusaknya, tapi
aku tahu kau tidak merasa baik dengan semua ini!”

“Kau selalu sok tahu, seolah kau tahu semua tentangku. Maaf, Cherry, kau memang selalu
tahu bagaimana perasaanku, tapi kali ini kau salah.” Daniel menunjuk dadanya sendiri. “Aku
bahagia. Aku akan menikahi Cathlyn dan aku bahagia. Ini adalah hari yang kutunggu.”

“Bullshit!” teriakku di depan wajahnya. “Jangan coba-coba berbohong padaku, Daniel !


Dan—“ aku berhenti bicara. Aku melihat kemejanya, dasi itu, sepatunya, kaus kakinya.
Bukan yang kemarin kupilihkan untuknya. “—kau bahkan tidak memakai kemeja yang
kemarin kita beli…”

“Tentu saja. Ini pilihan Cathlyn dan aku memakainya, karena dia calon istriku!”

“AKU BENCI PADAMU!” dengan itu kudorong tubuhnya dan berlari keluar kamar.

Aku tidak peduli ada beberapa orang yang melihatiku, mungkin riasan wajahku sudah luntur,
rambutku berantakan, air mata ada di mana-mana. Aku tidak peduli! Hatiku lebih hancur,
hancur berkeping-keping dan tebak siapa yang membuatnya jadi begini.

Daniel .

Ya, dia.

“Cherry, Cherry!” kudengar suaranya memanggilku dari belakang. Aku berjalan cepat di
pekarangan luas milik Daniel . Agak sedikit susah dengandress ini dan sepatu hak tinggi,
memudahkan Daniel dengan cepat menggapai tanganku. “Berhenti!”

“Apa maumu?!” jeritku menghempaskan tangannya. “Apa maumu, hah? Kau akan menikah
dan oke, aku membiarkannya! Dan aku membencimu!”

“Kau tidak bisa membenciku!”


“Apa? Apa alasannya, hah?” kini aku berkacak pinggang di hadapannya. “Aku boleh
membencimu seumur hidupku. Itu terserah padaku!”

“Kau sahabatku! Kau tidak bisa membenciku!” balas Daniel .

Sahabat? Sahabat tidak boleh saling membenci? Dia yang membuatku seperti ini! Tidak
sadarkah dia bahwa tingkahnya, keputusannya membuatku jengah dan aku membencinya
hingga aku mati?! “Aku bukan sahabatmu lagi. Kalau kau sahabatku, kau pasti akan memakai
kemeja, dasi, kaus kaki yang aku pilihkan untukmu.” Konyol, konyol. Cherry, ini konyol.

Lalu Daniel tiba-tiba membuka jasnya, membuka dasinya, membuangnya ke tanah,


membuka kancing kemeja abu-abu super jelek itu, meninggalkannya dengan kaus oblong
yang melekat di tubuh. Dia membuka sepatunya, melepaskan kaus kaki warna merah pilihan
Cathlyn.

“Aku melepaskan semuanya. Lihat? Kau tidak bisa membenciku—“

“Aku tetap membencimu.”

“Shit, Cherry!! Apa maumu sekarang?”

Aku melihat Cathlyn berdiri tak jauh dari tempat kami berada dan aku menggelengkan
kepala. Sudah. Semuanya sudah berakhir, Cherry.

“Lupakan, Kangdan.” Aku berbalik dan kembali berjalan menjauh darinya.

“Kau marah padaku?” tanya Daniel setengah berteriak. Aku melambaikan tangan padanya,
satu tangan menekan mulutku untuk tidak menangis lebih kencang.

“Cherry, berhenti di sana!” aku pun berhenti. Dasar bodoh, jalan! “Aku akan menawarkan
satu hal padamu.”
Hei, aku pernah dengar kalimat itu sebelumnya.

14 tahun yang lalu…

Aku melihatnya di drama yang kakakku tonton.

“Menikahlah denganku.”

Kurasa dia mengatakannya terlalu keras, aku bisa melihat semua petugas beserta keluarga
Daniel berhenti di tempatnya, bahkan tak jauh dari sana ada Cathlyn yang menjatuhkan
gelas champagne-nya.

Apa?

Menikah?

Aku berbalik padanya dan Daniel berdiri di sana dengan mata berkaca-kaca.

“Aku jatuh cinta padamu. Ya, aku berbohong, aku berbohong dan sial, bagaimana bisa kau
mengetahuinya, Cherry?”
Dia mengambil satu langkah mendekatiku.

“Aku jatuh cinta padamu dari dulu, tapi kau tidak pernah menyadarinya. Aku pikir ini sedikit
ironis bagaimana aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri dan mengira kau hanya
menganggapku sebatas itu saja.”

Satu langkah lagi dia ambil.

“Kau kira aku ingin pergi ke Amerika? Tidak, Cherry. Aku tidak pernah menginginkannya.
Tapi, menghabiskan hari bersamamu, bersamamu yang tidak bisa kumiliki…buat apa? Itu
membuatku semakin sedih dan kukira empat tahun cukup untuk membuatku melupakanmu.
Tapi…aku tidak bisa. Damn,Cherry. Kau sulit dilupakan.”

Sekali lagi dia melangkahkan kakinya.

“Aku pikir ini jalan terbaik, Cherry. Aku menikah dengan orang lain dan kuharap hatiku bisa
berhenti tersakiti.”

Satu langkah dan dia sampai di depanku. Dia menangkup wajahku yang basah akan air mata,
menyapukan ciuman kedua kami dan berbisik, “Aku baru saja hendak memulai lembaran
baru dalam hidupku, Cherry. Lalu kau bilang kau mencintaiku…”

“Ya, aku mencintaimu,” isakku pelan. “Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.”

Ini ciuman ketiga sepanjang yang kuingat. Well, mungkin lebih, karena Daniel tidak berhenti
melakukannya sampai kami merasa dunia berhenti berputar dan mengosongkan isinya hanya
untuk kami berdua.

“Kau pernah memintaku untuk menikah waktu umur kita sembilan tahun. Kini…biarkan aku
yang memintanya. Cherry…” Daniel meraih tanganku, dan menyematkan cincin yang
seharusnya teruntuk Cathlyn.

“Maukah kau menikah denganku?”


.

Dan setelah empat belas tahun berlalu…aku tetap ingin menikahi sahabatku sendiri.

“Ya.”

-THE END-

Anda mungkin juga menyukai