Anda di halaman 1dari 49

Latar Belakang Masalah

Dalam pembangunan ekonomi yang terjadi selama ini partisipasi


perempuan masih rendah, di samping masih adanya berbagai bentuk
praktik diskriminasi terhadap perempuan. Kesetaraan gender muncul
karena sebagian masyarakat berpendapat bahwa perempuan selalu
diposisikan sebagai kelas dua. Hal ini kemungkinan diakibatkan karena
tingkat pendidikan perempuan yang masih lebih rendah dibandingkan
dengan kaum laki-laki.
Tabel 1. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas menurut Jenis
Kelamin dan Jenjang Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2016-
2018

Pendidikan
2016 2017 2018 2016 2017 2018
Tertinggi
Tidak 2.50 2.91 2.79 5,29 6.31 5.97
PernahSekolah
Belum Tamat 10.87 11.43 12.50 13,66 13.34 14.77
SD
Tamat SD 33.23 27.83 25.47 32,92 28.24 25.79
Tamat SMP 16.34 21.84 21.53 16,63 21.59 20.94
Tamat SMA 29.14 27.97 29.18 23,58 22.25 23.54
Perguruan 7.92 8.04 8.52 7,92 8.27 8.99
Tinggi
Sumber : BPS-RI, SUSENAS 2016 – 2018

Dari data pada tabel 1. menunjukan bahwa rata-rata persentase perempuan


di Indonesia pada tahun 2016 sampai 2018 yang tidak pernah sekolah di
bandingkan laki-laki lebih banyak sebesar 4,59%, pada pendidikan belum tamat
SD pada tahun 2016 sampai 2018 rata-rata 1,8% lebih banyak perempuan
dibandingkan laki-laki, dan pendidikan tamat SD pada tahun 2016 sampai 2018
rata-rata lebih banyak perempuan sebesar 0,03% dibandingkan laki-laki.
Sedangkan, pada pendidikan tamat SMP pada tahun 2016 sampai 2018 rata-rata
1,15% lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan, pendidikan tamat SMA

1
pada tahun 2016 sampai 2018 rata-rata 5,63% lebih banyak laki-laki dibandingkan
perempuan, dan Perguruan Tinggi rata-rata persentase lebih banyak perempuan
dibandingkan laki-laki sebesar 0,04% tetapi dengan persentase yang sangat
sedikit. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan laki-laki lebih diutamakan
dibandingkan perempuan.

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat


mempengaruhi seorang perempuan untuk bekerja. Menurut Simanjuntak (2001)
yang menyatakan bahwa semakin tingginya pendidikan seseorang, nilai waktunya
menjadi lebih berharga sehingga cenderung menggantikan waktu senggangnya
untuk bekerja. Hubungan pendidikan dengan produktivitas kerja dapat tercermin
dalam penghasilan. Pendidikan yang lebih tinggi mengakibatkan produktivitas
kerja yang lebih tinggi dan memungkinkan penghasilan yang tinggi juga.
Sehingga menunjukkan perbedaan upah atau pendapatan yang diterima. Namun
dalam kenyataannya tingkat pendidikan tenaga kerja perempuan lebih rendah
dibandingkan tenaga kerja laki-laki.

Keterbatasan perempuan dalam pendidikan menyebabkan perempuan mau


bekerja pada semua jenis pekerjaan dan umumnya bekerja di sektor informal.
Pekerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja
sektor informal dengan menerima upah dan atau imbalan (Undang-Undang
Ketenagakerjaan, 2003). Rendahnya kualitas SDM, membuat perempuan lebih
banyak memilih bekerja dan berusaha disektor informal. Sektor informal menjadi
salah satu alternatif ketika negara tidak bisa menciptakan lapagan pekerjaan,
sektor informal diharapkan dapat menampung jumlah tenaga kerja yang
tidakterserap di sektor formal. Salah satu sektor informal yang dipilih oleh
perempuan untuk bekerja yaitu di sektor Perdagangan.

Dipilihnya sektor informal perdagangan oleh tenaga kerja perempuan


dikarenakan sektor ini mudah untuk dimasuki dan juga sektor ini tidak
memerlukan latar belakang pendidikan formal, sebagaimana yang dikatakan oleh

2
Hidayat dalam Effendi (1998), ciri-ciri sektor informal di Indonesia adalah
sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik.

2. Pada umumnya, unit usaha tidak mempunyai izin usaha.

3. Pola kegiatan usaha tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.

4. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub sektor ke lain sub sektor dan

Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional.

5. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga

relatif kecil.

6. Tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan

diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.

7. Pada umumnya, usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri

usahanya dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga.

8. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri

atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi.

9. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi kota atau desa yang

berpenghasilan rendah, tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.

Salah satu kabupaten yang menarik di teliti mengenai ketenagakerjaan

perempuan adalah Bantul. Karena di kabupaten Bantul sektor perdagangan

banyak menyerap tenaga kerja perempuan. Bantul merupakan salah satu

3
kebupaten yang ada di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah penduduk

kabupaten Bantul pada tahun 2018 adalah 939.718 jiwa yang tersebar di 75 Desa

dan 17 Kecamatan. Dari jumlah tersebut, 468.135 jiwa adalah laki-laki dan

471.583 adalah perempuan, (Kabupaten Bantul Dalam Angka, 2018). Penduduk

kabupaten Bantul bekerja di sektor pertanian, indutri pengolahan, perdagangan,

hotel dan restauran, jasa-jasa dan lainya.

Tabel 2. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut


Lapangan Usaha di Kabupaten Bantul Tahun 2016 -2018

Jenis kegiatan 2016 2017 2018


utama
L P L P L P
Pertanian
Industri
pengolahan
Perdagangan
hotel &
restaurant
Jasa-jasa
Lainnya
Total
Sumber: Sakernas, BPS Kabupaten Bantul tahun 2014-2016

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat di lihat, bahwa lapangan usaha di


Kabupaten Bantul sektor perdagangan banyak menyerap tenaga kerja. Pada tahun
2013 menyerap tenaga kerja sebesar 22,43% penduduk laki-laki dan 31,81%
penduduk perempuan. Pada tahun 2014 menyerap tenaga kerja sebesar
22,45%penduduk laki-laki dan 35,04% penduduk perempuan. Pada tahun 2015
menyerap tenaga kerja sebesar 22,69% penduduk laki-laki dan 39,63% penduduk

perempuan. Sehingga sektor perdagangan dapat menampung tenaga kerja yang


tidak dapat terserap di sektor formal. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa di
sektor perdagangan banyak menyerap tenaga kerja perempuan dibandingkan

4
lakilaki di mana pada tahun 2013 sebesar 9,38% lebih banyak tenaga kerja
perempuan, pada tahun 2014 sebesar 12,59% lebih banyak tenaga kerja
perempuan dan pada tahun 2015 sebesar 16,94% lebih banyak tenaga kerja
perempuan. Dari data tersebut menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun
penyerapan tenaga kerja perempuan mengalami peningkatan di sektor
perdagangan.

Pasar Barongan merupakan salah satu pasar di kabupaten Bantul.

Keberadaan pasar Barongan sebagai pasar tradisional diharapkan mampu

membuka peluang kerja di sektor informal khususnya terhadap pedagang. Pasar

Barongan merupakan pasar tradisional yang terletak di Pedukuhan Barongan,

Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Pasar yang

pelaksanaannya bersifat tradisional tempat bertemunya penjual dan pembeli, serta

terjadinya kesepakatan harga dan transaksi setelah adanya tawar menawar harga.

Pasar yang menyediakan berbagai macam bahan pokok keperluan rumah tangga.

Pasar Barongan berlokasi di tempat terbuka, dengan luas 10345m2 terdapat 290

pedagang. Dari hasil wawancara dengan bapak Mukhtarin selaku lurah pasar pada

tanggal 13 Februari 2017 umumnya pedagang pasar Barongan Bantul di dominasi

oleh pedagang perempuan sebanyak 270 orang atau 93,15 % dan pedagang

lakilaki sebanyak 20 orang atau 6,89%. Dari data tersebut banyak

pedagangperempuan dibandingkan laki-laki. Pedagang perempuan pasar

Barongan banyak yang sudah menikah dari seluruh pedagang yang belum

menikah hanya 7 orang, sisanya 263 orang sudah menikah. Hal ini menyebabkan

pedagang harus membagi waktu antara berdagang dan mengurus rumah tangga.

5
Selain itu pedagang pasar Barongan Bantul banyak yang sudah memasuki usia

pensiun hal ini ditunjukkan dengan data dibawah ini:

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Umur Pedagang Pasar Barongan Bantul

No umur Pedagang Persentase


1 10-30 18 6,67

2 31-40 33 12,22
3 41-50 29 10,74
4 51-60 47 17,41
5 61-70 73 27,04
6 71-80 44 16,30
7 ≥ 80 26 9,63
Total 270 100
Sumber : Data primer diolah 2017

Dari tabel 3 menunjukkan bahwa pedagang perempuan pasar Barongan

yang berusia lanjut sebanyak 143 pedagang atau 52,96%. Banyaknya pedagang

yang memasuki usia pensiun menyebabkan barang dagangan yang dijual relative

sama dan pembeli tidak mempunyai banyak pilihan. Jam buka pasar barongan

yang relative siang yaitu jam 07.00 untuk pedagang sayuran yang di los dan jam

08.00 untuk pedagang sembako yang berada di kios menyebabkan pembeli yang

ingin belanja pagi tidak bisa. Hal itu menyebabkan kondisi pasar Barongan yang

tidak banyak pengunjung. Sedikitnya pengunjung pasar Barongan menyebabkan

pendapatan pedagang pasar barongan rendah. Keikutsertaan perempuan dalam

bekerja agar dapat menciptakan kemandirian bagi perempuan serta

untukmeningkatkan penghasilan dan kesejahteraan tetapi jika pendapatan rendah

maka kesejahteraan juga rendah. Kesejahteraan seorang pedagang dapat diukur

dari penghasilannya, oleh karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan

6
pedagang seperti modal, umur, jam kerja dan pendidikan harus diperhatikan

supaya pendapatan pedagang stabil dan kesejahteraannya meningkat sehingga

kegiatan jual-beli di pasar tetap berjalan lancar, jumlah pedagang yang ada akan

tetap bertahan dan semakin bertambah.

Dalam memulai sebuah usaha berdagang, salah satu hal paling penting

yang dibutuhkan adalah modal. Modal merupakan hal yang sangat penting dalam

melakukan usaha, termasuk berdagang. Modal adalah semua bentuk kekayaan

yang dapat digunakan langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi

untuk menambah output. Modal untuk berdagang dapat bersumber dari internal

pedagang dan sumber lain selain dari pedagang, baik itu berupa pinjaman dari

bank dan lembaga non bank. Pedagang Pasar Barongan Bantul banyak yang

mengeluhkan susahnya mendapatkan permodalan, untuk mendapatkan pinjaman

modal harus ada agunan yang mereka serahkan sebagai jaminan atas pinjaman.

Namun banyak dari para pedagang yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, dan

tingginya bunga yang harus dibayar menjadikan permasalahan tersendiri. Inilah

permasalahan terkait permodalan dari para pedagang Perempuan Pasar Barongan

Bantul.

Faktor lain yang mempengaruhi pendapatan pedagang perempuan adalah

umur. Semakin bertambahnya umur seseorang akan berpengaruh terhadap

pendapatan yang akan dicapainya. Semakin dewasa seseorang maka ketrampilan

dalam bidang tertentu pada umumnya akan semakin meningkat, kekuatan fisik

juga meningkat sehingga akan meningkatkan pendapatan yang diterimanya.

7
Sumarsono (2009) menjelaskan bahwa perilaku tingkat partisipasi angkatan kerja

(TPAK) bervariasi menurut kelompok umur. TPAK umur muda biasanya sangat

rendah karena mereka belum stabil dan keterkaitannya dengan pasar tenaga kerja

masih belum erat. Pertama-tama pada umur ini masih terbuka alternatif lain dalam

alokasi waktu mereka yaitu sekolah. Keadaan ini sangat berbeda dengan

kelompok TPAK umur prima, karena pada umur ini seseorang harus bekerja

karena tuntutan tanggung jawab keluarga akibatnya TPAK nya tinggi dan stabil.

Sedangkan untuk umur 60 tahun ke atas bagi sementara orang merupakan masa

pengunduran diri dari pasar tenaga kerja. Pedagang perempuan pasar Barongan

Bantul banyak yang berumur 60 tahun ke atas padahal untuk umur 60 tahun ke

atas merupakan masa pengunduran diri dari pasar tenaga kerja.

Selain modal dan umur yang mempengaruhi pendapatan pedagang

perempuan adalah jam kerja. Semakin banyak jam kerja yang dilakukan pedagang

perempuan untuk berdagang, semakin besar peluang memperoleh pendapatan

yang akan di terima pedagang. Tetapi pedagang perempuan pasar Barongan

banyak yang sudah menikah sehingga harus membagi waktunya untuk berdagang

dan mengurus keluarga. Hal ini menyebabkan pedagang pasar Barongan banyak

yang buka untuk berjualan lebih siang dari jam buka pasar sehingga jam kerja

pedagang untuk berdagang tidak maksimal

Terakhir faktor lain yang mempengaruhi pendapatan pedagang perempuan

adalah pendidikan. Produktivitas pedagang perempuan merupakan fungsi dari

pendidikan, teknologi, dan keterampilan. Semakin tinggi pendidikan atau

8
keterampilan pedagang maka semakin meningkat produktivitas pedagang.

Pedagang perempuan pasar Barongan banyak yang tidak tamat SD dan lulusan SD

sehingga strategi maupun cara yang digunakan untuk berdagang masih tradisional.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “

Pengaruh Modal, Umur, Jam Kerja, dan Pendidikan terhadap Pendapatan

Pedagang Perempuan Pasar Barongan Bantul”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka dapat dikemukakan beberapa

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapatan pedagang perempuan di pasar Barongan Bantul?

2. Bagaimana pengaruh modal terhadap pendapatan pedagang perempuan di

pasar Barongan Bantul?

3. Bagaimana pengaruh umur terhadap pendapatan pedagang perempuan di

pasar Barongan Bantul?

4. Bagaimana pengaruh jam kerja terhadap pendapatan pedagang perempuan

di pasar Barongan Bantul?

5. Bagaimana pengaruh variabel pendidikan terhadap pendapatan pedagang

perempuan di pasar Barongan Bantul?

6. Bagaimana pengaruh variabel modal, umur, jam kerja dan pendidikan

9
secara bersama-sama terhadap pendapatan pedagang perempuan di pasar

Barongan Bantul?

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pendapatan pedagang perempuan di pasar Barongan Bantul

2. Mengetahui pengaruh modal terhadap pendapatan pedagang perempuan

di pasar Barongan Bantul

3. Mengetahui pengaruh umur terhadap pendapatan pedagang perempuan

di pasar Barongan Bantul

4. Mengetahui pengaruh jam kerja terhadap pendapatan pedagang

perempuan di pasar Barongan Bantul

5. Mengetahui pengaruh variabel pendidikan terhadap pendapatan

pedagang perempuan di pasar Barongan Bantul

6. Mengetahui pengaruh variabel modal, umur, jam kerja dan pendidikan

secara bersama-sama terhadap pendapatan pedagang perempuan di pasar

Barongan Bantul

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Toeritis

Sebagai bahan informasi, referensi, literatur penelitian lebih lanjut bagi

mahasiswa ataupun pihak lain yang tertarik pada penelitian tentang pengaruh

10
modal, umur, jam kerja, dan pendidikan terhadap pendapatan pedagang

perempuan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengalaman dan

pengetahuan, di samping untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

memperoleh derajat sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri

Yogyakarta.

b. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan bahan

pertimbangan dalam menyusun kebijakan di masa yang akan datang,

terutama dalam pengembangan pasar tradisional dan peningkatan

kesejahteraan tenaga kerja khususnya tenaga kerja perempuan.

c. Bagi Pedagang

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi pedagang Pasar

Barongan Bantul dalam mengembangkan usahanya dalam rangka

meningkatkan pendapatan yang diperoleh.

11
BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

1. Pedagang

12
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pedagang adalah orang yang

mencari nafkah dengan berdagang. Pedagang dapat dikategorikan menjadi:

a. Pedagang Grosir, beroperasi dalam rantai distribusi antara produsen dan

pedagang eceran.

b. Pedagang eceran, disebut juga pengecer produk komuditas langsung kepada

konsumen.

Menurut Hentiani (2012), dalam pasar tradisional pedagang

dibedakan menjadi dua, yaitu pedagang kios dan pedagang non kios.

a. Pedagang Kios adalah pedagang yang menempati bangunan kios di pasar.

b. Pedagang non kios adalah pedagang yang menempati tempat selain kios,

yaitu dalam los, luar los, dasaran dan palyon.

Dalam penelitian ini definisi pedagang adalah pedagang grosir, pedagang

eceran dan pedagang kios pasar Barongan Bantul.

3. Pasar

a. Pengertian pasar

13
Pasar merupakan suatu tempat pertemuan penjual dan pembeli

untuk melakukan transaksi jual beli barang dan jasa. Menurut Peraturan

Menteri Perdagangan RI nomor: 70/M-DAG/PER/12/2013 tentang

Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tardisional, Pusat Perbelanjaan

dan Toko Modern bahwa pasar adalah tempat bertemunya penjual yang

mempunyai kemampuan untuk menjual barang/jasa dan pembeli yang

mempunyai uang untuk membeli barang dengan harga tertentu.

Dalam penelitian ini definisi pasar adalah suatu tempat bertemunya

penjual yang memiliki kemampuan untuk menjual barang dagangannya,

dan pembeli yang mempunyai keinginan untuk membeli suatu barang atau

jasa untuk memenuhi kebutuhannya dan terjadilah transaksi diantaranya

proses tawar-menawar karena Pasar Barongan Bantul termasuk jenis pasar

tradisional.

b. Jenis pasar menurut transaksinya

Jenis pasar menurut cara transaksinya dapat dibedakan menjadi 2

jenis yaitu:

1) Pasar Tradisional

Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh

Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,

Pemerintah Desa, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan/atau

Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta

berupa tempat usaha yang berbentuk toko, kios, los, dan tenda yang

dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, koperasi dengan

14
usaha skala kecil, modal kecil dan melalui proses jual beli barang

dagangan dengan tawar-menawar (Peraturan Mentri Perdagangan

RI nomor: 70/M-DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan

dan Pembinaan Pasar Tardisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko

Modern).

2) Pasar Modern

Pasar modern disebut juga dengan toko modern, yaitu pasar atau

toko dengan system pembayaran secara mandiri, penjual dan

pembeli tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli

melakukan pelayanan secara mandiri, menjual berbagai jenis

barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket,

Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk

perkulakan (Peraturan Mentri Perdagangan RI nomor: 70/M-

DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan

Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern).

Sesuai dengan jenisnya Pasar Barongan adalah jenis pasar

tradisional yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten

Bantul. Dalam transaksinya Pasar Barongan masih menggunakan

proses tawar menawar untuk menentukan harga kesepakatan antara

penjual dengan pembeli.

c. Fungsi pasar

15
Menurut Soeratno (2003), Pasar berperan sangat penting dalam

suatu sistem ekonomi. Terdapat 5 fungsi utama pasar dan setiap

fungsi mengandung pertanyaan yang harus dijawab oleh sistem

ekonomi. Fungsi pasar tersebut adalah:

1) Pasar menentukan harga barang

Pada sistem ekonomi pasar, harga merupakan ukuran nilai barang.

Jika suatu barang permintaannya meningkat, berarti masyarakat

membutuhkan lebih banyak. Dalam jangka yang relative singkat

perusahaan tidak bisa menambah jumlah barang yang ditawarkan

secara seketika. Akibatnya harga barang tersebut naik. Kenaikan

harga suatu barang akan mendorong produsen memproduksi

barang tersebut (jawaban masalah what).

2) Pasar dapat mengorganisasi produksi

Harga barang di pasar menjadi acuan perusahaan dalam

menentukan metode produksi yang paling efisien (jawaban

masalah how).

3) Pasar mendistribusikan barang dan jasa yang dihasilkan

perusahaan (jawaban masalah for whom).

4) Pasar melakukan penjatahan

Konsumsi saat ini dibatasi oleh jumlah barang dan jasa yang dapat

dihasilkan saat ini.

5) Pasar menyediakan barang dan jasa untuk masa yang akan

datang Tabungan dan investasi yang terjadi di pasar merupakan

16
usaha untuk memelihara system dan memberikan kemajuan

aktivitas ekonomi.

4. Pendapatan

a. Pengertian Pendapatan

Pendapatan adalah hasil dari penjualan barang atau jasa yang

dimiliki para pedagang pasar. Pendapatan (income) pedagang

ditentukan oleh faktor penjualan barang yang diproduksi dan harga

per unit dari masing-masing faktor produksi. Harga-harga ini

ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan antara penjual

dan pembeli di pasar. Pendapatan pedagang dalam penelitian ini

disebut juga Total Revenue (TR) yang merupakan jumlah

pendapatan yang diterima pedagang sebagai hasil dari total

penjualan. Pendapatan dirumuskan sebagai hasil kali antara jumlah

unit yang terjual dengan harga per unit (Mankiw, 2011).

Jenis pendapatan menurut cara perolehannya:

1) Pendapatan kotor adalah pendapatan yang diperoleh sebelum

dikurangi pengeluaran dan biaya lain

2) Pendapatan bersih adalah pendapatan yang diperoleh setelah

dikurangi pengeluaran dan biaya lain (Raharja, 2002).

Jenis pendapatan dalam penelitian ini adalah pendapatan bersih

dari pedagang perempuan pasar Barongan Bantul

b. Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan

17
Menurut Sukirno (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi

pendapatan yaitu perbedaan corak permintaan dan penawaran

dalam berbagai jenis pekerjaan, perbedaan jenis pekerjaan,

kemampuan, keahlian, pendidikan, pertimbangan bukan uang,

mobilitas tenaga kerja, dan beberapa faktor geografis dan

institusional

Menurut Swastha (2008), terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhi

pendapatan dari kegiatan penjualan antara lain:

1) Kondisi dan kemampuan pedagang

Kemampuan pedagang dalam transaksi jual beli yaitu mampu

meyakinkan para pembeli untuk membeli dagangannya dan

sekaligus

memperoleh pendapatan yang diinginkan.

2) Kondisi pasar

Kondisi pasar berkaitan dengan keadaan pasar tersebut, jenis pasar,

kelompok pembeli yang ada dalam pasar tersebut, lokasi

berdagang, frekuensi pembeli dan selera pembeli dalam pasar

tersebut.

3) Modal

Setiap usaha membutuhkan untuk operasional usaha yang

bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Dalam

kegiatan penjualan semakin banyak produk yang dijual berakibat pada

18
kenaikan keuntungan. Untuk meningkatkan produk yang dijual suatu

usaha harus membeli jumlah barang dagangan dalam jumlah besar. Untuk

itu dibutuhkan tambahan modal untuk membeli barang dagangan atau

membayar biaya operasional agar tujuan meningkatkan keuntungan

sehingga pendapatan dapat meningkat.

digerakkan oleh kebutuhan untuk memperoleh reward dan

mengeliminasi sesuatu yang tidak disukai (Klingle, 1996 dalam Caesar

Marga Putri, 2015). Hasil penelitian Widya Wahyuningsih (2016)

19
membuktikan reward tidak berpengaruh positif terhadap niat untuk

melakukan tindakan whistleblowing.

Meskipun penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi niat

mahasiswa melakukan tindakan whistleblowing telah banyak dilakukan,

namun penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan hasil

yang berbeda antara satu peneliti dengan peneliti yang lain. Sehingga

penelitian dibidang ini masih menjadi masalah yang menarik. Berdasarkan

ketidaksamaan hasil penelitian terdahulu, maka variabel yang

mempengaruhi niat mahasiswa melakukan tindakan whistleblowing yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sikap, norma-norma subyektif,

kontrol perilaku persepsian, dan reward.

Penelitian ini merupakan terinspirasi dari penelitian yang

dilakukan oleh Ristiyana (2014). Perbedaan penelitian Ristiyana (2014)

dengan penelitian ini adalah variabel independen yang diteliti. Pada

penelitian ini variabel independen ditambah dengan variabel reward,

dengan alasan adanyareward akan memotivasi seseorang untuk melakukan

pengungkapan kecurangan (Dworkin, 2007 dan Dyck et al, 2007 dalam

Caesar Marga Putri, 2015).

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan

sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

20
rendahnya niatan mahasiswa untuk melakukan tindakan whistleblowing

didalam lingkungan universitas, maka pertanyaan yang diajukan dalam

rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah sikap berpengaruh positif terhadap niat mahasiswa melakukan

tindakan whistleblowing?

2. Apakah norma-norma subyektif berpengaruh positif terhadap niat

mahasiswa melakukan tindakan whistleblowing?

3. Apakah kontrol perilaku persepsian berpengaruh positif terhadap niat

mahasiswa melakukan tindakan whistleblowing?

4. Apakah reward berpengaruh positif terhadap niat mahasiswa

melakukan tindakan whistleblowing?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk membuktikan pengaruh sikap terhadap niat mahasiswa

melakukan tindakan whistleblowing.

2. Untuk membuktikan pengaruh norma-norma subyektif terhadap niat

mahasiswa melakukan tindakan whistleblowing.

3. Untuk membuktikan pengaruh kontrol perilaku persepsian terhadap

niat mahasiswa melakukan tindakan whistleblowing.

4. Untuk membuktikan pengaruh reward terhadap niat mahasiswa

melakukan tindakan whistleblowing.

21
D. Batasan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan, untuk

menghindari terjadinya pembahasan yang terlalu luas, maka penulis

memfokuskan penelitian atau membatasi masalah. Maka peneliti

membatasi penelitian pada faktor-faktor yang mempengaruhi niat

melakukan tindakan whistleblowingpada mahasiswa jurusan akuntansi

UPN “Veteran” Yogyakarta.

E. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut :

1. Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai

pengetahuan yang dapat memotivasi mahasiswa untuk melakukan

tindakan whistleblowing.

2. Bagi universitas, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan

pertimbangan dalam menyikapi kecurangan akademik yang terjadi

dilingkungan universitas dan sebagai bahan pertimbangan evaluasi

kebijakan yang akan diberikan kepada mahasiswa yang berani

melakukan tindakan whistleblowing.

F. Tinjauan Teori

Mahasiswa Akuntansi

22
Mahasiswa akuntansi adalah sebutan bagi orang yang sedang

menempuh pendidikan tinggi akuntansi disebuah perguruan tinggi yang

terdiri atas sekolah tinggi, akademi, dan yang paling umum adalah

universitas (Wikipedia. Org). menurut Budi Santoso (2012) mahasiswa

adalah seorang agen pembawa perubahan, keberadaan dan segala

perbuatannya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, tetapi juga

harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Ni Putu Ika Parianti dkk (2016) berpendapat bahwa mahasiswa

akuntansi merupakan calon pelaku bisnis dan calon akuntan di Indonesia,

adanya mahasiswa akuntansi diharapkan kelak mereka dapat memajukan

perekonomian di Indonesia.

Niat (Intention)

Niat atau intensi adalah keinginan kuat untuk melakukan sesuatu

yang muncul dari dalam diri setiap individu (Destriana Kurnia Krehastuti,

2014). Niat sebagai disposisi tingkah laku yang hingga terdapat waktu dan

kesempatan yang tepat akan diwujudkan dalam bentuk tindakan. Niat juga

diartikan rencana atau resolusi individu untuk melaksanakan tingkah laku

yang sesuai dengan sikap mereka (Ajzen dan Fishbein, 1975 dalam

Amaliah, 2008).

Sikap (Attitude)

23
sikap merupakan jumlah dari afeksi (perasaan) yang dirasakan

seseorang untuk menerima atau menolak suatu obyek atau perilaku dan

diukur dengan suatu prosedur yang menempatkan individual pada skala

evaluatif dua kutub, misalnya baik atau jelek,setuju atau menolak, dan

lainnya (Ajzen dan Fishbein, 1975 dalam Jogianto, 2007).

Anis Chariri (2016) berpendapat bahwa sikap merupakan faktor

personal seseorang yaitu adanya keyakinan bahwa perilaku yang

dipikirkannya memiliki dampak yang menguntungkan atau merugikan

dirinya, kemudian terjadi proses pertimbangan evaluasi atau penilaian

konsekuensi yang dihasilkan dari perilaku tersebut. Apabila penilaian

tersebut positif, maka orang akan cenderung memiliki niat melakukan

perilaku yang dipikirkannya. Dapat disimpulkan bahwa sikap adalah

perilaku seseorang yang didasarkan dari proses pertimbangan yang

dihasilkan dari perilaku tersebut.

Norma-Norma Subyektif

Norma-norma subyektif adalah persepsi atau pandangan seseorang

terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi

niat untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang sedang

dipertimbangkannya. Dalam norma-norma subyektif, kepercayaan-

kepercayaan orang lain yang berbeda dapat dibobot berdasarkan

kepentingannya sesuai dengan persepsi individu apakah kepercayaan

24
orang lain tersebut dapat mempengaruhi niat pelakunya (Jogiyanto, 2007

dalam Ratu Chatarine Fajri, 2017).

Menurut Ajzen (1991) dalam Jogiyanto (2007) norma-norma

subyektif adalah faktor diluar individu yang menunjukkan persepsi

seseorang mengenai perilaku yang dilaksanakan. Ajzen (1991) dalam

Jogianto (2007) juga menambahkan bahwa norma-norma subyektif

sebagai tekanan yang dirasakan seseorang untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu perilaku.

Norma-norma subyektif mengacu pada keyakinan seseorang bahwa

individu/ kelompok tertentu akan menyetujui atau menolak suatu perilaku

yang dilakukan seseorang (Bobek dan Hatfield, 2003 dalam Ni Putu Ika

Parianti dkk, 2016). Dari definisi-definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa

norma-norma subyektif adalah faktor diluar individu yang berupa

pandangan yang mengacu pada keyakinan seseorang bahwa individu/

kelompok tertentu akan menyetujui atau menolak suatu perilaku yang

dilakukan seseorang.

Kontrol Perilaku Persepsian

Kontrol perilaku persepsian adalah kemudahan atau kesulitan

persepsian untuk melakukan perilaku. Kontrol perilaku persepsian adalah

bagaimana seseorang mengerti bahwa perilaku yang ditunjukkannya

merupakan hasil pengendalian yang dilakukan oleh dirinya (Jogiyanto,

2007 dalam Mellisa Fitri Dwi Handika, 2017).

25
Ajzen (2005) dalam Jogiyanto (2007) berpendapat bahwa kontrol

perilaku persepsian adalah perasaan seseorang mengenai mudah atau

sulitnya mewujudkan suatu perilaku tertentu. Pusat kendali kontrol

perilaku persepsian berkaitan dengan keyakinan seseorang yang relatif

stabil dalam segala situasi.

Kontrol perilaku persepsian dapat berubah tergantung situasi dan

jenis perilaku yang akan dilakukan. Keyakinan individu berkaitan dengan

keberhasilannya melakukan segala sesuatu tergantung pada usahanya

sendiri (Rotter’s, 1966 dalam Ali Maskur dkk, 2014). Dari definisi-definisi

tersebut dapat dijelaskan bahwa kontrol perilaku persepsian adalah

keyakinan seseorang mengenai mudah atau sulitnya mewujudkan suatu

perilaku tertentu.

Reward

Reward adalah ganjaran, hadiah, atau biasa dikatakan sebagai

pemberian berupa penghargaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Caesar

(2015) berpendapat bahwa reward merupakan suatu mekanisme dimana

sebuah organisasi menerapkan penghargaan bagi individu dalam

organisasi yang melakukan tindakan sejalan dengan tujuan organisasi.

Reward diberikan atas dasar jasa atau prestasi yang telah diraihnya.

Dapat disimpulkan bahwa reward adalah ganjaran, hadiah, atau berupa

26
penghargaan yang diberikan atas dasar jasa atau prestasi yang telah diraih

oleh anggota dalam sebuah organisasi.

Review Penelitian Sebelumnya

Tabel 1

Review Penelitian Sebelumnya

No Nama Judul Sampel Variabel Hasil


Penelitian Penelitian Penelitian Independe Penelitian
n

1. Akmal Persepsi Mahasiswa Norma Berpengaruh


Sulistomo Mahasiswa Akuntansi Subyektif positif
(2012) Akuntansi UNDIP
Terhadap dan UGM Sikap Berpengaruh
Pengungkapan positif
kecurangan Kontrol
Perilaku Berpengaruh
positif

2 Anis Sikap, Norma Seluruh Sikap Tidak


Chariri Subyektif, dan Pegawai Berpengaruh
(2016) Intensi Negeri
Pegawai Sipil yang Berpengaruh
Negeri Sipil Bekerja Norma Positif
Untuk pada Perilaku
Mengadukan Lembaga
Pelanggaran Negara
(Whistle- Pemerintah
Blowing) Pusat

3 Ilham Pengaruh Tenaga Sikap Berpengaruh


Maulana Sikap dan Kependidi PositifTidak

27
Saud Persepsi kan UMY Kontrol Berpengaruh
(2016) Kontrol yang Perilaku
Perilaku memiliki Persepsi
terhadap Niat Budaya dukungan
Whistle- Organisasi organisasi
blowing Berbeda memoderasi
Internal- dengan Kontrol
Eksternal Perguruan Perilaku
dengan Tinggi atau terhadap niat
Persepsi Instansi Whistleblow
Dukungan Lainnya ing internal-
Organisasi eksternal
Sebagai
Variabel Persepsi
Pemoderasi dukungan
organisasi
memoderasi
Sikap
terhadap niat
Whistleblow
ing internal-
eksternal

4 Ni Putu Faktor-Faktor Mahasiswa Sikap Berpengaruh


Ika yang Magister Kearah Positif
Parianti, I Mempengaruh Akuntansi Perilaku
wayan i Niat dan dan Berpengaruh
Suartana, Perilaku Mahasiswa Norma Positif
dan I Whistle- PPAK Subyektif
Dewa blowing Universitas Berpengaruh
Nyoman Mahasiswa Udayana Persepsi Positif
Badera Akuntansi Kontrol
(2016) Perilaku

5 Widya Pengaruh Seluruh Reward Tidak


Wahyunin Pemberian Karyawan Berpengaruh
gsih (2016) Reward, PT. PLN Komitmen Berpengaruh
Komitmen (Persero) Organisasi Positif
Organisasi, Wilayah
Gender, dan Sumatera Gender Tidak
Masa Kerja Barat Berpengaruh
terhadap Masa Berpengaruh
Whistle- Kerja Positif
blowing

6 Kadek Pengaruh Mahasiswa Norma Berpengaruh


Shintya Norma Akuntansi Subyektif Positif
Rahayu Subyektif, Program
Dewi Sikap pada S1 dan Sikap pada Berpengaruh
Damayant Perilaku, Program Perilaku Positif
hi, Edy Persepsi D3

28
Sujana, Kontrol Universitas Persepsi Berpengaruh
dan Perilaku Pendidikan Kontrol Positif
Nyoman terhadap Niat Ganesha Perilaku
Trisna Melakukan
Herawati Pengungkapan
(2017) Kecurangan
(Whistle-
blowing)

7 Mellisa Analisis Mahasiswa Sikap Berpengaruh


Fitri Dwi Faktor yang Akuntansi PositifBerpe
Handika Mempengaruh STIE Norma ngaruh
(2017) i Niat ASIA Subyektif Positif
Mahasiswa MALANG
Melakukan Kontrol Berpengaruh
Tindakan Perilaku Positif
Whistle- Persepsian
blowing

G. Kerangka Konseptual dan Pernyataan Hipotesis

Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel independen

dan variabel dependen. Variabel independen meliputi sikap, norma-norma

subyektif, kontrol perilaku persepsian, dan reward. Variabel dependennya

adalah niat mahasiswa untuk melakukan tindakan whistleblowing.

Whistleblowing merupakan pengungkapan praktik ilegal, tidak

bermoral, atau melanggar hukum yang dilakukan oleh anggota organisasi

(baik mantan anggota atau anggota yang masih aktif dalam organisasi)

yang terjadi didalam organisasi. Pengungkapan dilakukan kepada seorang

atau organisasi lain sehingga memungkinkan dilakukan suatu tindakan.

Whistleblowing system memungkinkan pelanggaran dapat dengan

cepat diidentifikasi dan dikoreksi sehingga dapat meningkatkan efisiensi,

29
meningkatkan moral anggota organisasi, menghindari tuntutan hukum, dan

menghindari citra negatif.

Namun saat ini niat mahasiswa melakukan tindakan

whistleblowing masih rendah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi

niat mahasiswa sehingga mahasiswa tersebut akan mengambil keputusan

untuk melakukan atau tidak melakukan whistleblowing.

Beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi niat mahasiswa

melakukan tindakan whistleblowing dalam penelitian ini meliputi : sikap,

norma-norma subyektif, kontrol perilaku persepsian, dan reward.

Pengaruh Sikap Terhadap Niat Mahasiswa Melakukan Tindakan

Whistleblowing

Sikap merupakan faktor personal seseorang yaitu adanya

keyakinan bahwa perilaku yang dipikirkannya memiliki dampak yang

menguntungkan atau merugikan dirinya, kemudian terjadi proses

pertimbangan evaluasi atau penilaian konsekuensi yang dihasilkan dari

perilaku tersebut (Ajzen dan Fishbein, 1975 dalam Anis Chariri, 2016).

Kadek Shintya Rahayu Dewi Damayanti dkk (2017) berpendapat

bahwa secara umum seseorang akan melakukan suatu perilaku tertentu

yang diyakini dapat memberikan hasil positif (sikap yang

menguntungkan), dibandingkan melakukan perilaku yang diyakini dapat

memberikan hasil negatif (sikap yang tidak menguntungkan).

30
Dalam penelitian yang dilakukan Ni Putu Ika Parianti dkk (2016)

dan Akmal Sulistomo (2012), membuktikan bahwa variabel sikap

berpengaruh positif terhadap niat melakukan tindakan whistleblowing.

Penelitian ini didukung juga dengan penelitian Ilham Maulana Saud

(2016) dan Kadek Shintya Rahayu Dewi Damayanthi dkk (2017) yang

membuktikan bahwa variabel sikap berpengaruh positif terhadap niat

melakukan tindakan whistleblowing. Hal ini dikarenakan secara umum

whistleblowingmempunyai tujuan yang positif, yakni ingin melaporkan

kecurangan-kecurangan yang ada di suatu organisasi. Jadi semakin

seorang individu tersebut memiliki pemikiran bahwa suatu tingkah laku

akan memberikan efek positif maka individu tersebut akan cenderung

bersikap favorable pada suatu perilaku, begitu juga sebaliknya, semakin

individu mempunyai pemikiran bahwa suatu perilaku akan memberikan

efek negatif maka seorang individu akan cenderung bersikap unfavorable

terhadap perilaku tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Anis Chariri (2016) dan

Mellisa Fitri Dwi Handika (2017) membuktikan bahwa variabel sikap

tidak berpengaruh terhadap niat melakukan tindakan whistleblowing. Hal

ini dikarenakan seseorang kurang mengetahui bagaimana sikapnya dan

baru terbentuk sikap setelah mengamati perilakunya sendiri terhadap suatu

objek sikap. Seseorang yang belum pernah mengalami dan menghadapi

suatu praktek kecurangan, akan merasa kurang memahami m anfaat

whistleblowing baik bagi dirinya pribadi maupun bagi suatu organisasi.

31
Sehingga mereka kurang memahami apakah perilaku tersebut akan

memberikan dampak yang negatif atau positif.

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan semakin tinggi

penilaian dampak positif (sikap yang menguntungkan) dari tindakan

whistleblowing maka semakin tinggi pula niat seseorang untuk melakukan

tindakan whistleblowing,sehingga dapat disusun hipotesis sebagai berikut :

H1 : Sikap berpengaruh positif terhadap niat mahasiswa melakukan

tindakan whistleblowing.

Pengaruh Norma-Norma Subyektif Terhadap Niat Mahasiswa

Melakukan Tindakan Whistleblowing

Norma-norma subyektif adalah persepsi atau pandangan seseorang

terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi

niat untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang sedang

dipertimbangkan (Jogiyanto, 2007 dalam Mellisa Fitri Dwi Handika,

2017).

Bobek dan Hatfield (2003) dalam Ni Putu Ika Parianti dkk (2016)

menyatakan bahwa norma-norma subyektif mengacu pada keyakinan

seseorang bahwa individu/ kelompok tertentu akan menyetujui atau

menolak suatu perilaku yang dilakukan seseorang.

32
Norma-norma subyektif bisa mempengaruhi dengan kuat, tujuan

berperilaku adalah bagaimana pendapat orang lain terhadap perilaku yang

akan dilakukannya atau tidak dilakukannya.

Seseorang individu akan melakukan suatu perilaku tertentu jika

perilkunya dapat diterima oleh orang-orang yang dianggapnya penting

dalam kehidupannya dapat menerima apa yang akan dilakukannya.

Hasil penelitian Anis Chariri (2016) dan Kadek Shintya Rahayu

Dewi Damayanthi dkk (2017) membuktikan bahwa variabel norma-norma

subyektif berpengaruh positif terhadap niat melakukan tindakan

whistleblowing. Hal ini dikarenakan seseorang akan melakukan suatu

perilaku tertentu jika perilakunya dapat diterima oleh orang-orang yang

dianggapnya penting dalam kehidupannya.

Hasil penelitian Ni Putu Ika Parianti dkk (2016) dan Mellisa Fitri

Dwi Handika (2017) juga membuktikan bahwa variabel norma-norma

subyektif berpengaruh positif terhadap niat melakukan tindakan

whistleblowing. Hal ini dikarenakan bahwa norma-norma subyektif

diasumsikan sebagai fungsi dari suatu keyakinan, yaitu keyakinan

seseorang atas orang lain atau sekelompok orang lain yang memandang

bahwa dirinya harus melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan

perilaku. Sehingga seseorang akan cenderung mengikuti pendapat orang-

orang yang dianggapnya penting ketika mereka ingin melakukan suatu

tindakan perilaku.

33
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan semakin

banyak orang yang dapat menerima tindakan whistleblowing, maka

semakin besar niatan seseorang untuk melakukan tindakan whistleblowing,

sehingga dapat disusun hipotesis sebagai berikut :

H2 : Norma-norma subyektif berpengaruh positif terhadap niat mahasiswa

melakukan tindakan whistleblowing.

Pengaruh Kontrol Perilaku Persepsian Terhadap Niat Mahasiswa

Melakukan Tindakan Whistleblowing

Kontrol perilaku persepsian adalah suatu persepsi seseorang

terhadap suatu perilaku yang dilakukan, dimana orang tersebut yakin

bahwa persepsi yang dimilikinya merupakan hasil dari kontrol dirinya

sendiri mengenai persepsi perilaku tersebut (Akmal Sulistomo, 2012).

Seseorang akan memiliki niat untuk melakukan suatu perilaku

ketika mereka memiliki persepsi bahwa perilaku tersebut mudah mudah

untuk ditunjukkan atau dilakukan (Kadek Shintya Rahayu Dewi

Damayanthi dkk, 2017).

Hasil penelitian Mellisa Fitri Dwi Handika (2017) dan Kadek

Shintya Rahayu Dewi Damayanthi (2017) membuktikan bahwa variabel

kontrol perilaku persepsian berpengaruh positif terhadap niat melakukan

tindakan whistleblowing. Penelitian ini didukung juga dengan penelitian

Ni Putu Ika Parianti dkk (2016) dan Akmal Sulistomo (2012) yang

membuktikan variabel kontrol perilaku persepsian berpengaruh positif

34
terhadap niat melakukan tindakan whistleblowing. Hal ini dikarenakan

individu akan memiliki niat melakukan suatu perilaku pada saat individu

tersebut mempunyai persepsi suatu perilaku mudah dilakukan karena

adanya hal-hal yang mendukung perilaku tersebut. Adanya perlindungan

terhadap whistleblower dapat menjadi faktor pendukung bagi individu

sehingga mereka merasa memiliki kesempatan dan merasa mudah untuk

melakukan whistleblowing.

Namun penelitian yang dilakukan oleh Ilham Maulana Saud (2016)

membuktikan bahwa variabel kontrol perilaku persepsian tidak

berpengaruh terhadap niat melakukan tindakan whistleblowing. Hal ini

dikarenakan seseorang meyakini bahwa tidak ada hambatan dan memiliki

kesempatan besar untuk melaporkan tindakan kecurangan.

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan semakin baik

kontrol perilaku persepsian, maka niat melakukan pengungkapan

kecurangan (whistleblowing) juga akan meningkat, sehingga dapat disusun

hipotesis sebagai berikut :

H3 : Kontrol perilaku persepsian berpengaruh positif terhadap niat

mahasiswa melakukan tindakan whistleblowing.

Pengaruh Reward Terhadap Niat Mahasiswa Melakukan Tindakan

Whistleblowing

35
Reward merupakan suatu mekanisme dimana organisasi

menerapkan penghargaan bagi individu yang melakukan tindakan yang

sejalan dengan tujuan organisasi (Caesar Marga Putri, 2015).

Pemberian reward merupakan pemberian penghargaan kepada

anggota organisasi, penghargaan tersebut dapat berupa penghargaan

meteril maupun penghargaan non materil atas kejujuran ataupun prestasi

yang dilakukan oleh anggota dalam suatu organisasi (Widya

Wahyuningsih, 2016).

Reward atau imbalan bertujuan untuk dapat memotivasi anggota

dalam suatu organisasi agar mampu mencapai tujuan organisasi dengan

baik.

Menurut pendapat Klingle (1996) dalam Caesar Marga Putri

(2015) perilaku manusia digerakkan oleh kebutuhan untuk memperoleh

reward.

Hasil penelitian Widya Wahyuningsih (2016) membuktikan bahwa

variabel reward tidak berpengaruh terhadap niat melakukan tindakan

whistleblowing. Hal ini dikarenakan pandangan seseorang yang lebih

mengutamakan kepentingan dan keselamatan organisasi tanpa memandang

reward apa yang akan diterima jika melaporkan tindakan kecurangan atau

pelanggaran yang terjadi tersebut.

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan adanya

penawaran reward yang optimal akan memotivasi seseorang untuk

36
melakukan tindakan whistleblowing, sehingga dapat disusun hipotesis

sebagai berikut :

H4 :Reward berpengaruh positif terhadap niat mahasiswa melakukan

tindakan whistleblowing.

Berdasarkan uraian sebelumnya, dibuat model penelitian sebagai

berikut :

Gambar 1

Model Penelitian

Sikap
(X1)
H1 (+)

Norma-norma Subjektif H2 (+)


(X2)
Niat whistleblowing
H3 (+)
Kontrol Perilaku Persepsian
(X3) H4(+)

Reward
(X4)

37
Sumber : Data Primer yang diolah, 2019.

H. Metode Penelitian

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini terdiri dari dua

macam variabel, yaitu variabel dependen (Y) dan variabel independen (X).

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan

sebagai berikut :

Variabel Dependen (Y)

Variabel dependennya adalah niat mahasiswa melakukan tindakan

whistleblowing. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, niat adalah suatu

keadaan dimana seseorang ingin melakukan suatu perilaku. Sedangkan

whistleblowing adalah pelaporan oleh anggota dari suatu organisasi

(sekarang atau terdahulu) terhadap praktek ilegal, imoral, dan haram

(Elias, 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa niat melakukan tindakan

whistleblowing adalah keinginan seseorang untuk melakukan tindakan

pelaporan praktek kecurangan. Adapun parameter niat mahasiswa

melakukan tindakan whistleblowing yaitu: tingkat niat mahasiswa menjadi

whistleblower, rencana mahasiswa menjadi whistleblower, dan usaha

mahasiswa menjadi whistleblower (Akmal Sulistomo, 2012). Variabel ini

diukur dengan kuesioner yang dikembangkan oleh Akmal Sulistomo

(2012), terdiri dari 3 pertanyaan dengan 3 poin skala likert.

38
Variabel Inpenden (X)

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel

dependen, variabel independen dalam penelitian ini adalah :

Sikap (X1)

Menurut Ajzen dan Fishbein (1975) sikap adalah faktor personal

seseorang yaitu adanya keyakinan bahwa perilaku yang dipikirkannya

memiliki dampak yang menguntungkan atau merugikan dirinya, kemudian

terjadi proses pertimbangan evaluasi atau penilaian konsekuensi yang

dihasilkan dari perilaku tersebut. Adapun parameter sikap yaitu : tingkat

penerimaan terhadap whistleblowing system, tingkat penerimaan terhadap

seorang whistleblower, dukungan terhadap whistleblowing system,

dukungan terhadap seorang whistleblower, dan manfaat whistleblowing

system (Ratu Chatarine Fajri, 2017). Variabel ini diukur dengan kuesioner

yang dikembangkan oleh Ratu Chaterine Fajri (2017), terdiri dari 5

pertanyaan dengan 5 poin skala interval.

Norma-Norma Subyektif (X2)

Menurut Jogiyanto (2007) dalam Mellisa Fitri Dwi Handika dkk

(2017) norma-norma subyektif adalah persepsi atau pandangan seseorang

terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi

niat untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang sedang

dipertimbangkan. Seorang individu akan melakukan suatu perilaku tertentu

39
jika perilakunya dapat diterima oleh orang-orang yang dianggapnya

penting dalam kehidupannya dapat menerima apa yang akan dilakukannya.

Adapun parameter norma-norma subyektif yaitu : persepsi pandangan

orang yang penting bagi mahasiswa terhadap whistleblowing, persepsi

pandangan keluarga yang penting bagi mahasiswa terhadap

whistleblowing,dan persepsi lingkungan pergaulan mahasiswa terhadap

whistleblowing (Akmal Sulistomo, 2012). Variabel ini diukur dengan

kuesioner yang dikembangkan oleh Akmal Sulistomo (2012), terdiri dari 3

pertanyaan dengan 3 poin skala likert.

Kontrol Perilaku Persepsian (X3)

Menurut Akmal Sulistomo (2012) kontrol perilaku persepsian

adalah suatu persepsi seseorang terhadap suatu perilaku yang dilakukan,

dimana orang tersebut yakin bahwa persepsi yang dimilikinya merupakan

hasil dari kontrol dirinya sendiri mengenai persepsi perilaku tersebut.

Seseorang akan memiliki niat untuk melakukan suatu perilaku ketika

mereka memiliki persepsi bahwa perilaku tersebut mudah untuk

ditunjukkan atau dilakukan (Kadek Shintya Rahayu Dewi Damayanthi

dkk, 2017). Adapun parameter kontrol perilaku persepsian yaitu :

kesempatan untuk menjadi whistleblower, kemudahan untuk menjadi

seorang whistleblower, dan manfaat yang dapat diperoleh jika menjadi

seorang whistleblower ( Ratu Chaterine Fajri, 2017). Variabel ini diukur

40
dengan kuesioner yang dikembangkan oleh Ratu Chaterine Fajri (2017),

terdiri dari 3 pertanyaan dengan 3 poin skala interval.

Reward (X4)

Menurut Widya Wahyuningsih (2016) reward merupakan

pemberian penghargaan kepada anggota organisasi, penghargaan tersebut

dapat berupa penghargaan materil maupun penghargaan non materil atas

kejujuran ataupun prestasi yang diraih oleh anggota organisasi. Klingle

(1996) dalam Caesar Marga Putri (2015) berpendapat bahwa perilaku

manusia digerakkan oleh kebutuhan untuk memperoleh reward. Adapun

parameter reward yaitu : adanya kompensasi finansial, adanya kesempatan

promosi, adanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, dan adanya

pemberian piagam penghargaan (Ratu Chaterine Fajri, 2017). Variabel ini

diukur dengan kuesioner yang dikembangkan oleh Ratu Chaterine Fajri

(2017), terdiri dari 4 pertanyaan dengan 4 poin skala interval.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa akuntansiUPN

“Veteran” Yogyakarta. Tujuan pengambilan populasi ini karena

mahasiswa akuntansi adalah seorang calaon pelaku bisnis dan calon

akuntan, mahasiswa akuntansi diharapkan mempunyai keberanian untuk

menjadi seorang whistleblower atau pengungkap kecurangan. Metode

41
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive

sampling yaitu sampel dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu sesuai

dengan tujuan penelitian (Kholidiah dan Siti Asiah Murni, 2014). Kriteria

penentuan sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa akuntansi yang

masih aktif mengikuti perkuliahan. Tujuan kriteria penentuan sampel

adalah untuk memudahkan mendatangi secara langsung ketika

menyebarkan kuesioner. Untuk menjaga kerahasiaan responden maka

identitas diri yang dicantumkan akan dijamin kerahasiaannya. Penjelasan

petunjuk pengisian kuesioner dibuat sederhana dan sejelas mungkin untuk

memudahkan pengisian jawaban sesungguhnya dengan lengkap.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

kualitatif. Data kualitatif dapat dijelaskan melalui penghitungan jumlah

setiap kategori yang diamati (Indriantoro dan Supomo, 2012:115). Data

kualitatif dalam penelitian ini berupa pendapat responden yang diperoleh

dengan menyebarkan kuesioner, yang dikuantitatifkan agar dapat diproses

menggunakan statistik.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dengan

menggunakan angket (kuesioner) dengan cara mendatangi responden

secara langsung diharapkan tingkat response rate akan tinggi.

42
Teknik Analisis Data

1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran atau

deskripsi variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini. Uji

deskriptif yang digunakan antara lain rata-rata (mean), standar deviasi,

maksimum dan minimum. Statistik deskriptif menyajikan ukuran-ukuran

numerik yang sangat penting bagi data sampel, sehingga secara kontektual

dapat lebih mudah dimengerti oleh pembaca (Imam Ghozali, 2011).

2. Uji Kualitas Data

a. Uji Validitas

Uji validitas digunakanuntuk mengukur sah atau valid tidaknya

suatu kuesioner dinyatakan valid jika pertanyaan kuesioner tersebut

mengungkapkan Sesuatu yang diukur oleh kuesioner tersebut. Uji

validitas yang digunakan adalah menghitung korelasi antara skor

masing-masing butir pertanyaan dengan total skor konstruknya (Imam

Ghozali, 2011). Pengujian ini menggunakan Pearson Correlation.

b. Uji Reliabilitas

Suatu kuesioner dinyatakan reliabel atau handal jika jawaban

seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu

ke waktu (Imam Ghozali, 2011). Pengujian reliabilitas menggunakan

teknik Cronbach Alpha (α). Menurut Nunnaly (1997) dalam Imam

43
Ghozali (2011), suatu variabel dinyatakan reliabel atau handal jika

memiliki nilai Cronbach Alpha >0,6.

3. Uji Asumsi Klasik

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah analisis

antara variabel dependen dan variabel independen mempunyai

distribusi normal. Model regresi yang baik adalah distribusi datanya

normal atau mendekati normal. Untuk menguji apakah distribusi

normal dilakukan dengan cara menggunakan uji kolmogorov-smirnov.

Dasar pengambilan keputusan adalah jika probabilitas signifikannya

diatas kepercayaan 5% maka model regresi memenuhi asumsi

normalitas (Imam Ghozali, 2011).

b. Uji Multikolonieritas

Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model

regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen).

Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara

variabel independen. Untuk melihat ada atau tidaknya

multikolonieritas maka dilakukan dengan melihat nilai tolerance

lawannya variance inflation factor (VIF). Apabila nilai VIF < 10 dan

nilai tolerance > 0,1 maka tidak terjadi multikolonieritas antar

variabel independennya (Imam Ghozali, 2011).

c. Uji Heterokedastisitas

44
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam

model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu

pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dari residual satu

pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas

dan jika berbeda maka disebut heterokedastisitas. Model regresi yang

baik adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi

heterokedastisitas. Untuk melakukan pengujian terhadap asumsi ini

dilakukan dengan metode Glejser. Uji heterokedastisitas dengan

metode Glejser dilakukan dengan meregresikan semua variabel bebas

terhadap nilai mutlak residualnya. Jika terdapat pengaruh variabel

bebas yang signifikan terhadap nilai residualnya maka dalam model

terdapat masalah heterokedastisitas.

|ui| = α + βXi+ δi

Keterangan:

|ui| = Nilai residual mutlak

Xi= Variabel bebas

Jika β signifikan maka terdapat pengaruh variabel bebas

terhadap nilai residual mutlak sehingga dinyatakan bahwa terdapat

gejala heterokedastisitas. Demikian pula sebaliknya (Suliyanto, 2011).

4. Uji Hipotesis

Model yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam

penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda.

Persamaanya adalah sebagai berikut :

45
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + e

Keterangan :

Y : Niat melakukan tindakanwhistleblowing.

α : Nilai konstan

β : Koefisien Regresi

X1 : Sikap

X2 : Norma-norma subyektif

X3 : Kontrol perilaku persepsian

X4 : Reward

e : error

Jika koefisien regresi (β1,β2,β3,β4) signifikan dan positif, berarti

bahwa sikap, norma-norma subyektif, kontrol perilaku, dan reward

memiliki pengaruh positif terhadap niat mahasiswa melakukan

tindakan whistleblowing.

Pengujian hipotesis dengan menggunakan tingkat signifikan

0,05. Jika tingkat signifikan > 0,05 maka hipotesis ditolak, sebaliknya

jika tingkat signifikan < 0,05 maka hipotesis diterima (Imam Ghozali,

2011).

I. Rencana Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian rencananya akan dilaksanakan pada bulan

Agustus 2019 dan untuk tempat penelitiannya di Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta beralamat di Jl. SWK No.

46
104, Ngropoh, Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman,

Daerah Istimewa Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. 1991. The theory of planned behaviour. Organizational Behaviour and


Human Decision Processes, 50 (2), 179–211.
Banda, F. L. 2012. Pengaruh Penalaran Moral, Sikap, Normatif Subyektif dan
Persepsi Kontrol Perilaku Terhadap Whistleblowing Intention. Tesis.
Univerasitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Chariri, Anis. 2016. Sikap, Norma Subjektif, dan Intensi Pegawai Negeri Sipil
Untuk Mengadukan Pelanggaran (Whistleblowing). Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Indonesia. Vol 13(01): 1-15.
Damayanthi, Kadek Shintya Rahayu Dewi., Edi Sujana & Nyoman Trisna
Herawati. Pengaruh Norma Subyektif, Sikap Pada Perilaku, Persepsi
Kontrol Perilaku Terhadap Niat Melakukan Pengunkapa Kecurangan
(Whistleblowing).E-jurnal S1 AK Universitas Pendidikan
Ganesha.VOL8(2):2017.
Fajri, Ratu Chaterine. 2017. Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, Perceived
Behavior Control, Reward dan Locus of Control Terhadap intensi
Perilaku Whistleblower.Tesis. Universitas Lampung: Bandar Lampung.

47
Handika, Melisa Fitri Dwi. 2017. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Niat
Mahasiswa Melakukan Tidakan Whistleblowing(Studi pada mahasiswa
akuntansi STIE Asia Malang). Jibeka. VOL 11(01): 56-63.
Nurharjanti,Nashirotun Nisa. 2017.Persepsi Mahasiswa Dalam Mengurangi
Fraud Akademik: Whistleblowing Sistem.Jurnal Akuntansi dan Bisnis.
Vol. 17 No. 1: 1-12.
Parianti, Ni Putu Ika., Suartana, I Wayan & Badera, I dewa Nyoman. 2016.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Niat dan Perilaku Whistleblowing
Mahasiswa Akuntansi. E-jurnal ekonomi dan bisnis Universitas Udayana.
VOL 5(12).
Putri, Caesar Marga. 2015. Pengujian Keefektifan Jalur Pelaporan Pada Structural
Model Dan Reward Dalam Mendorong Whistleblowing: Pendekatan
Eksperimen. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Hal: 1-24.
Saud, Ilham Maulana. 2016. Pengaruh Sikap dan Persepsi Kontrol Perilaku
Terhadap Niat WhistleblowingInternal-Eksternal dengan Persepsi Duknan
organisasi Sebagai Variable Pemoderasi. Jurnal Akuntansi dan investasi.
VOL 17(2): 209-219.
Sekaran, Umma & Roger Bougle. 2017. Metode Penelitian Untuk Bisnis. Jakarta
Selatan: Salemba Empat.
Sulistomo, Akmal & Prastiwi, Andri. 2012. Persepsi Mahasiswa Akuntansi
Terhadap PengungkapanKecurangan (Studi empiris pada mahasiswa
akuntansi UNDIP dan UGM). Hal: 1-28.
Wahyuningsih, Widya, 2016. Pengaruh Pemberian Reward, Komitmen Organisasi,
Gender, dan Masa Kerja Terhadap Whistlblowing (Studi Empiris Pada
Kantor PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Barat). Hal: 1-22.
http://www.suaramerdeka.com
www.kompas.com, diakses 30 Januari 2018.

48
49

Anda mungkin juga menyukai