BAB I
PENDAHULUAN
penalaran siswa dan sangat dibutuhkan dalam menghadapi situasi dan kondisi
perkembangan teknologi dan informasi masa depan seperti yag dikemukakan oleh
informasi dituntut sumber daya manusia yang handal, mempunyai kompetensi yang
sistematis, logis, kreatif, dan kemampuan kerja sama yang efektif. Cara seperti ini
nyata. Proses pembelajaran demikian salah satu penyebab siswa merasa kurang
rendah.
mengatakan, Hasil akhir Ujian Nasional (UN) 2010 menyebutkan angka kelulusan
mencapai 99,04 persen. Siswa yang lulus pada UN ulangan mencapai 138.596
siswa atau 92,15 persen. Sementara yang tidak lulus mencapai 11.814 siswa atau
2
7,85 persen. Peserta UN ulangan sendiri mencapai 150.410 anak didik. Nilai
standar rata-rata UN utama adalah 7,29, tetapi untuk ujian ulangan turun menjadi
6,71. Mata pelajaran yang paling banyak diulang pada jurusan IPA ialah
Matematika (27 persen) dan Fisika (22 persen), pada jurusan IPS adalah Sosiologi
(19,72 persen) dan Ekonomi (17.72 persen), serta jurusan Bahasa adalah
Dari keterangan di atas dapat dilihat mata pelajaran yang paling banyak
siswa merupakan mata pelajaran yang sulit dipelajari. Hal itu tercermin ketika siswa
ternyata hasil belajar yang diperoleh siswa kurang menggembirakan bagi setiap
siswa. Rendahnya hasil belajar matematika siswa disebabkan oleh banyak faktor,
antara lain: pendekatan mengajar yang digunakan guru saat ini kurang mampu
didominasi oleh kegiatan guru. Guru menjelaskan pengertian suatu konsep dalam
soal yang dicontohkan oleh guru. Hal itu dapat dilihat dari hasil belajar matematika
siswa selalu lebih rendah dibandingkan dengan hasil belajar siswa pada mata
pelajaran lainnya.
Hasil belajar matematika siswa sampai saat ini masih menjadi suatu
permasalahan yang sering dikumandangkan baik oleh orang tua siswa maupun oleh
pakar pendidikan matematika sendiri. Hasil belajar matematika siswa YPI SMP
Hikmatul Fadhilah Medan kelas VIII masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat
Tabel 1.1 Nilai Ulangan Harian (UH) dan Persentase Jumlah Siswa yang
Tuntas dalam Pembelajaran Matematika (Tuntas: UH ≥ 65)Kelas
VIII TP. 2010/2011 SMP
Nilai Nilai UH-I ≥ 65 Nilai UH-II ≥ 65
mencapai ketuntasan minimal (KKM), begitu juga dengan ulangan harian kedua
hanya 12, 96 % yang mencapai KKM. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) untuk
dibangun berdasarkan fakta-fakta dan aturan-aturan. Hal ini muncul disebabkan dari
banyak siswa, antara lain karena bagi banyak siswa pelajaran matematika terasa
sukar dan tidak menarik karena siswa belum merasakan manfaat matematika dalam
4
dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Oleh sebab itu, untuk mengatasi
hal ini, peran guru sangat penting. Karena begitu pentingnya peran guru dalam
mengatasi fobia matematika, maka pengajaran matematika pun harus dirubah. Jika
saat ini, guru-guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dengan
penggunaan berbagai pendekatan atau strategi dan metode mengajar, sehingga hasil
Metode pembelajaran yang dipakai guru adalah metode pembelajaran biasa (Helmi:
2008). Para siswa tidak mampu menggunakan konsep matematika yang telah
dengan kebiasaan siswa yang tidak terbina untuk berpikir pada tingkat yang lebih
tinggi, kritis, kreatif, dan pemecahan masalah, serta tidak mampu melakukan
merupakan hal yang sangat penting yang harus dimiliki siswa. Jika konsep dasar
diterima siswa secara salah, maka sukar untuk memperbaiki kembali, terutama jika
sudah diterapkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Oleh karena itu, yang
bulat dan utuh, sehingga jika diterapkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika
konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk
sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan
lain yang telah diketahui. Tuti (2001 : 83) mendefinisikan penalaran formal sebagai
formal siswa merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan dalam proses
belajar mengajar, utamanya dalam mata pelajaran matematika (Sunardi, 2002 : 43).
Siswa yang sudah berusia 11 tahun ke atas telah memiliki penalaran formal (Dahar,
1996). Siswa pada usia tersebut telah mampu berpikir simbolik dan berpikir
abstraks terhadap objek yang diamati, sistematis, terarah dan mempunyai tujuan
yang akan dicapai, disamping mampu berpikir induktif, deduktif dan empiris
rasional.
soal, siswa berupaya mengikuti langkah-langkah yang telah diajarkan oleh guru.
Berarti nalar siswa dalam mengerjakan soal tidak jalan karena hanya mengikuti apa
yang telah diajarkan. Kalaupun siswa bernalar, siswa tidak bisa melepaskan diri
dari langkah-langkah yang diberikan oleh guru. Akibat yang paling sering siswa
dari siswa menyerah karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak jalannya
nalar siswa juga tercermin saat lupa suatu rumus. Saat terjadi yang biasa siswa
proses penalaran. Siswa akan merasa kesulitan menyelesaikan soal jika siswa hanya
terbiasa menyelesaikan masalah dengan satu cara atau dengan rumus yang tersedia
penalaran matematika dalam kehidupannya dan jika mengalami kelupaan pada saat
menjelaskan apa yang telah disiapkan. Demikian juga siswa asyik sendiri menjadi
penerima informasi yang baik. Akibatnya siswa belajar sesuai dengan contoh yang
bahwa kemampuan penalaran formal siswa masih rendah, permasalahan ini harus
diinginkan tercapai dalam pelaksanan kurikulum yang berlaku pada saat ini dapat
dipenuhi.
bahwa kemampuan penalaran sangat diperlukan dalam memcapai hasil yang lebih
siswa dan sikap siswa terhadap matematika. Kemampuan penalaran formal menurut
formal tersebut mempunyai cara kerja yang tidak berbeda dengan penalaran
matematika sekolah yang sering disebut dengan persamaan bersamar atau soal
cerita. Penalaran sering ditemukan, misalnya: Dua minggu lalu, dua bunga yaitu
mawar merah dan mawar putih, masing – masing diukur sebesar 8 inci dan 12 inci.
Hari ini mereka berukuran 11 inci dan 15 inci. Bunga manakah yang
dengan kuantitas yang sama, yaitu 3 inci. Respons ini benar didasarkan pada logika
tinggi asal bunga. Berdasarkan pandangan perkalian ini ( kali lebih banyak), bunga
Karena itu untuk menumbuhkan penalaran formal pada siswa yaitu dengan
Salah satu cara untuk mengatasinya yaitu dengan menerapkan metode pembelajaran
pembelajaran matematika sikap positif siswa sangat diperlukan , dan salah satu
cirinya adalah siswa gemar mengemukakan ide yang baru untuk mempermudah
alur pikir dari suatu problem. Sebaliknya apabila siswa bersikap negatif akan
dengan cara siswa dihadapkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan atau
siswa untuk dapat berperan aktif dan kreatif dengan bimbingan guru, agar
penalaran formal siswa dalam pembelajaran matematika. Dan sikap siswa yang baik
1. Hasil belajar matematika YPI SMP Hikmatul Fadhilah Medan kelas VIII
3. Penalaran formal siswa yang masih rendah, menjadi kendala dalam proses
pembelajaran matematika.
cenderung membencinya.
rendahnya penalaran formal dan sikap siswa serta metode atau pendekatan yang
dapat meningkatkan daya nalar dan sikap positif siswa dalam proses pembelajaran
keterbatasan peneliti dan pertimbangan dana dan waktu, maka penelitian ini
cenderung membencinya
biasa?
2. Apakah terdapat perbedaan sikap siswa terhadap matematika antara siswa yang
Masalah?
11
Masalah.
1. Sebagai masukan bagi guru dalam menentukan metode mengajar yang tepat dan
sesuai dengan tujuan materi pelajaran, karakteristik siswa, saran yang tersedia,
dan dapat tepat dalam membangkitkan minat guru untuk mengenal dan
digunakan dalam penelitian ini sehingga tidak terjadi perbedaan penafsiran maka
penalaran kombinatorial.
pembelajaran dengan mengacu pada lima langkah pokok, yaitu: (1) orientasi
dilakukan guru selama ini dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah yang
ajar disajikan dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematik
BAB II
KAJIAN TEORITIS
perilakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain
adalah hasil dari belajar. Kitapun hidup menurut hidup dan bekerja menurut apa
yang telah kita pelajari. Belajar itu bukan sekedar pengalaman. Gagne (dalam Andri
Setiawan, 2008) Belajar adalah suatu proses, dan bukan suatu hasil. Karena itu
Skinner (dalam Barlow, 1985) berpendapat bahwa belajar adalah sutu proses
Skinner adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses conditioning yang
pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku itu disebabkan
adanya hubungan antara stimulus dan respon. Namun definisi yang bersifat
14
sosial. Jika mempelajari bahasa atau ilmu sosial mengharuskan kita untuk sering-
sering membaca, berbeda dengan matematika. Ada hal unik dan menarik saat
mempelajari matematika yang tidak ada di pelajaran lainnya. Hal-hal tersebut hanya
bisa dirasakan saat kita benar-benar tahu dan memahami persoalan matematika
yang dapat kita selesaikan. Hal unik dan menarik tersebut adalah:
kuat dalam setiap pernyataan yang diucapkan. Dalam matematika kita tidak dapat
yaitu computation (berhitung) pada awalnya mempunyai posisi yang sangat penting
kebutuhan dan menjadi syarat keterampilan yang harus dimiliki untuk mempelajari
berhubungan dengan struktur ingatan yang secara tetap terbentuk dari apa yang
15
sudah dibentuk sebelumnya. Untuk itu , bahan pelajaran matematika yang dipelajari
harus bermakna, artinya bahan pelajaran harus sesuai dengan kemampuan dan
struktur kognitif yang dimiliki siswa. Dengan kata lain, pelajaran matematka yang
baru perlu dkaitkan dengan konsep – konsep yang sudah ada sehingga konsep –
konsep baru tersebut benar – benar terserap dengan baik. Hakikat belajar
matematika seperti ini oleh Ausubel disebut sebagai belajar bermakna. Dikarenakan
matematika sebagai suatu ilmu yang tersusun menurut struktur, maka sajian
matematika hendaknya dilakukan dengan cara yang sitematis, teratur dan logis
sesuai perkembangan intelektual anak. Dalam hal ini siswa pada pendidikan tingkat
dasar, sajiannya bersifat konkret, dan makin tinggi jenjang pendidikan siswa maka
turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi – kondisi khusus atau
menghasilkan respons terhadap situasi tertentu. Peran guru bukan semata – mata
(diregting and facilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai.
seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru. Proses
pembelajaran.
kompleks misalnya masalah angka dan lambang, penciptaan pola, dan memaknai
gambar (Wilson, 1993). Dengan kata lain, belajar untuk memecahkan berbagai
Kemampuan merupakan kata benda dari kata mampu yang berarti kuasa
logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Daya nalar siswa dalam mata
penalaran untuk memvalidasi pemikiran kita, maka kita meningkatkan rasa percaya
diri dengan matematika dan berpikir secara matematik. Adapun aktivitas yang
penalaran tidak termasuk perasaan. Tidak semua kegiatan menyadarkan diri pada
dengan karakteristik tertentu adalah pola berfikir yang logis dan proses berfikirnya
bersifat analitis. Pola berfikir yang logis dan konsisten, berarti menggunakan satu
merupakan konsekuensi dari pola berfikir tertentu. Gie (1991 :21) mengatakan
bahwa penalaran adalah merupakan kelanjutan runtut dari pernyataan yang lain
yang diketahui. Pernyataan yang diketahui itu sering disebut dengan pangkal pikir
(conclusion).
Dari uraian di atas, yang dimaksud dengan penalaran dalam tulisan ini adalah
proses kegiatan berfikir logis dengan logika ilmiah untuk menemukan pernyataan
tetatpi tidak selalu menggunakan logika dan tidak bersifat analitis. Uraian tentang
perkembangan kognitif manusia. Secara khusus, pada saat mana seoarang mana
berorientasi pada kepentingan siswa, maka taraf perkembangan kognitif tidak dapat
materi matematika yang diajarkan harus berorientasi pada kepentingan siswa, maka
taraf perkembangan kognitif tidak dapat dilepaskan dari kegaiatan proses belajar
kognitif manusia. Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu
perkembangan yang bertahap. Piaget mengatakan bahwa anak pada periode operasi
pemikiran yang dapat memecahkan masalah konservasi. Anak ini tidak lagi terikat
pada persepsi. Ia sudah melakukan tindakan atau operasi kognitif. Menurut Piaget
skema. Sedangkan operasi konkrit adalah aktivitas mental yang difokuskan pada
memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang
membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya, dan
Dari operasi logis yang ditemukan Inheler dan piget , Lawson (dalam Tobin
dan Capie, 1984 :5) mengidentifikasi lima operasi logis yang disebut dengan
kombinatorial.
19
konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk
sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan
lain yang telah diketahui. Tuti (2001 : 83) mendefinisikan penalaran formal sebagai
sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar, utamanya dalam mata pelajaran
matematika (Sunardi, 2002 : 43). Siswa yang sudah berusia 11 tahun ke atas telah
memiliki penalaran formal (Dahar, 1996). Siswa pada usia tersebut telah mampu
berpikir simbolik dan berpikir abstraks terhadap objek yang diamati, sistematis,
terarah dan mempunyai tujuan yang akan dicapai, disamping mampu berpikir
1. Penalaran proporsioanal
fisik kompleks ini adalah pemahaman yang berkaitan dengan konsep proporsi
rasio ekuivalen. Contoh Soal : Dua kelompok berkemah pramuka sedang pesta
cukup sehingga setiap 3 pizza dibagikan kepada 5 orang anggotanya. Mana yang
memiliki lebih banyak pizza untuk dimakan, kelompok Beruang atau Rakun?
2. Pengontrolan Variabel
ciri penalaran formal. Para pemikir formal menyadari bahwa pada saat
akuarium berbentuk prisma dengan alas berbentuk segitiga siku – siku dengan
panjang rusuk siku – sikunya 60 cm, 80 cm dan tingginya 100 cm. Jika ¾ dari
akuarium tersebut diisi air, hitunglah volume air?. Dalam soal ini siswa
3. Penalaran Probabilistik
sepenuhnya dikuasai anak pada tahap operasi formal. Contoh soal: Sebuah
kotak kue berbentuk prisma, bentuk alasnya persegi dengan rusuk alas 30 cm
dan tinggi 40 cm. Ke dalam kotak hendak disusun kue berbentuk prisma segi
tiga siku –siku dengan rususk siku – sikunya 10 cm dan tinggi sama dengan
21
yang sama.
4. Penalaran Korelasional
pola pikir yang digunakan seorang anak untuk menentukan kuatnya hubungan
berukuran 40 cm. kemudian kubus diisi air sampai penuh. Jika piramida
diambil, hitung tinggi air?. Dalam soal ini siswa menghubungkan volume
5. Penalaran Kombinatorial
Lima kemampuan penalaran formal itu mempunyai cara kerja yang tidak
berbeda dengan penalaran matematika ini telah dipelajari pada matematika sekolah
yang sering disebut dengan persamaan tersamar atau soal cerita. Anak-anak pada
masa konkrit operasional ini telah mampu menyadari konservasi, yaitu kemampuan
anak untuk berhubungan dengan berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda
22
secara serempak. Hal ini karena pada masa ini anak telah mengembangkan tiga
macam proses yang disebut dengan operasi-operasi yaitu negasi, resiprokasi, dan
identitas.
Menurut teori Piaget (1964), setiap individu pada saat tumbuh mulai dari
bayi yang baru di lahirkan sampai mengijak usia dewasa mengalami empat tingkat
dengan rentang usia 11 – 15 tahun berada pada taraf perkembangan operasi formal.
remaja. Dimana remaja mengalami tahap transisi dari penggunaan operasi kongkrit
keakraban dengan daerah subyek tertentu. Apabla siswa akrab dengan suatu obyek
sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif
1) Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar
kepada hasilnya, kebenaran jawaban, atau perilaku siswa yang dapat diamati).
kognitif siswa yang mutakhir, dan jika guru penuh perhatian terhadap metode
yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat
yang dimaksud.
menggunakan penyelidikan.
berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu guru mampu melakukan
upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok kecil dari pada
bentuk kelas yang utuh. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah saat
yang melibatkan ide-ide tersebut (O’Daffer dan Thornquist dalam Perissini dan
Webb, 1999).
Jika dalam satu kelas terdiri dari berbagai macam kemampuan siswa yaitu
yang lemah. Selain itu dapat pula dengan cara belajar pendampingan yang
yang memiliki sikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara lain terlihat
rumah dengan tuntas, dan selesai pada waktunya. Dengan demikian, untuk
Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya
akan semakin berkurang minatnya. Menurut Begle (1979), siswa yang hampir
menolak sesuatu, konsep, kumpulan ide, atau kelompok individu. Matematika dapat
diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan
dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-
beda, mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian, sikap
matematika.
based Learning dan disingkat PBL pertma kali diperkenalkan oleh Faculty of Helth
siences of McMaster University di Kanada pada tahun 1966 yang menjadi ciri khas
ahli tersebut secara umum sejalan bahwa yang disebut masalah adalah suatu situasi
yang dihadapi oleh seseorang tetapi dia tidak mempunyai pengetahuan yang cukup
untuk menyelesaikannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Newell & Simon (1972:
287), bahwa masalah adalah suatu situasi di mana individu ingin melakukan sesuatu
tetapi tidak tahu cara dari tindakan yang diperlukan untuk memperoleh apa yang ia
inginkan.
suatu situasi yang memerlukan penyelesaian dan penyelesaian tersebut tidak dapat
tetapi seseorang yang menghadapi masalah itu sadar bahwa situasi tersebut perlu
diselesaikan.
Masalah dapat dibagi atas 2 macam. Menurut Polya (1957) (dalam Dindyal,
2005: 70), masalah dibagi atas dua macam, yaitu masalah rutin dan masalah tidak
rutin. Hal ini sejalan dengan pendapat Sternberg dan Ben-Zeev (1996: 32) bahwa
27
masalah matematika terbagi atas masalah rutin dan masalah tidak rutin. Masalah
rutin adalah suatu masalah yang semata-mata hanya merupakan latihan yang dapat
45) + (74 – 65) = ___. Ini Adalah masalah rutin untuk semua siswa sekolah
menengah karena apa yang hendak dilakukan sudah jelas dan secara umum siswa
dari pemecah masalah. Menurut Sternberg dan Ben-Zeev (1996: 32), masalah yang
tidak rutin muncul ketika pemecah masalah mempunyai suatu masalah tetapi tidak
di antara pengunjung pria itu ada 6 orang yang meninggalkan pesta sebelum pesta
Tentukan banyak pengunjung pesta rakyat itu?Soal di atas merupakan soal yang
tidak rutin karena apa yang dilakukan tidak jelas. Siswa dapat saja menyelesaikan
yang ada, tetapi juga menyadari kekuatan dan kegunaan matematika di dunia sekitar
matematika yang telah mereka pelajari. Karena siswa menerima pengetahuan baru
dalam berbagai situasi pemecahan masalah, maka guru mempunyai peran yang
yang telah diperoleh sebelumnya, dan tidak sebagai suatu keterampilan generik,
agar diperoleh jalan untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Pembelajaran
memberikan tantangan kepada siswa utuk belajar sendiri. Dalam hal ini siswa lebih
diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit arahan atau bimbingan
masalah yang akan dihadapi siswa dalam dunia kerja atau profesi, komunitas dan
kehidupan pribadi(Leli:2010).
stimulus dalam belajar. Pembelajaran Berbasis Masalah dapat pula dimulai dengan
(guru). Pembelajaran Berbasis Masalah juga dapat mengubah pola proses belajar
mengajar tradisional di mana sebuah proses yang memberikan topik demi topik
kedapa siswa sehingga mereka terjadi proses asimilasi dan akomodasi bagian demi
cara pemecahan masalah tersebut digunakan para ilmuwan agar dapat mendesain
itu sendiri. Dalam hal ini, seorang pemecah masalah harus memahami masalah
terlebih dahulu. Pemahaman terhadap masalah ini merupakan salah satu proses
langkah pemecahan masalah adalah sebagai berikut: (1) menemukan apa yang
menjadi pertanyaan dari permasalahan yang diberikan, (2) menemukan fakta – fakta
dari permasalahan tersebut, (3) mencoba berfikir tentang cara untuk menemukan
untuk pemecahan masalah, (2) membuat model matematik dari suatu situasi atau
masalah sehari – hari dan menyelesaikannya, (3) memilih dan menerapkan strategi
atau menginterpretasikan hasil suatu masalah asal, serta memeriksa kebenaran hasil
a. Memahami Masalah
menyangkut memahami masalah antara lain: (1) Hal – hal apa yang sudah
diketahui?, (2) bagaimana kondisi data?, (3) apakah data yang ada sudah cukup?,
Pada proses memahami masalah ini siswa diharapkan mampu menuliskan semua
b. Menyusun rencana
menghubungkan antara hal yang tidak diketahui dengan hal yang diketahuinya.
apakah siswa dapat menyelesaikan permasalahan tersebut? (2) teori mana yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut?, (3) apakah semua data
sudah dapat digunakan? . Pada proses ini siswa mampu melakukan sitematika
c. Melaksanakan rencana
rencana pemecahan yang telah disusun pada tahap kedua. Pada proses ini siswa
mengkaji: (1) Apakah rencana yang disusun tersebut telah sesuai? , (2) bagaimana
d. Memeriksa kembali
Dalam tahap memeriksa kembali ini siswa dituntut untuk mengontrol hasil
pembelajaran berbasis masalah terdiri dalam lima tahapan utama. Kelima langkah
dipakai, misalnya untuk menghafalkan simbol, arti sesuatu, nama dan lain-lain;
32
pengertian, dan lain-lain; dan aliran tingkah laku juga dipergunakan dalam hal
daripada produk), teori belajar mengajar yang akan lebih berperan adalah aliran
tiga aspek, yaitu struktur (skemata), isi, dan fungsi. Skemata merupakan organisasi
mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu ketika berinteraksi dengan
lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada
responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi
menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka yang berbeda antar setiap individu
yang dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam asimilasi,
siswa pada suatu masalah yang tak lain informasi kemudian menggunakan
kemampuan yang sudah ada untuk menyusun informasi tersebut dalam pikirannya.
33
dipusatkan pada proses berpikir atau proses mental, bukan sekedar pada hasilnya.
Siswa juga harus diupayakan berperan secara aktif dan berinisiatif sendiri terlibat
manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada
dirinya. Proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran
diwujudkan dalam bentuk bayangan viual (visual imagery), gambar, diagram, yang
menggambarkan kegiatan konkret atau situasi nyata yang terdapat pada tahap
prinsip dalam memecahkan masalah dan guru berfungsi sebagai motivator bagi
yang dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif siswa. Dengan belajar
bermakna, siswa akan dapat mengingat lebih lama tentang yang ia peajari, proses
transfer belajar menjadi lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, maka pembelajaran
kontekstual yang membuat siswa dapat membentuk relasi matematis sendiri dan
suasana berpikir siswa harus dapat dibentuk tidak hanya sekedar mentrasnfer apa
biasa ialah pembelajaran yang pada umumnya yang biasa kita lakukan sehari-hari.
Menurut Kennedy dan Tipps (1994: 37) memandang bahwa pembelajaran yang
selama ini sering dilakukan oleh guru pada umumnya disebut pembelajaran
memberikan pertanyaan, dan memberikan tes untuk mengetahui sejauh mana siswa
bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk
melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak
adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pen-
berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan
35
terutama untuk:
b. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa
yang dipelajari.
d. Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan
sama dengan cara mengajar yang biasa (tradisional) kita pakai pada pengajaran
matematika. Merujuk pada pendapat tersebut, untuk keperluan dalam penelitian ini
digunakan.
kepada siswa di dalam kelas dengan cara berbicara di awal pelajaran, menerangkan
materi dan contoh soal disertai tanya jawab. Dimana siswa tidak hanya mendengar
36
dan membuat catatan. Guru bersama siswa bersam siswa berlatih menyelesaikan
soal latihan dan siswa bertanya kalau belum mengerti. Guru dapat memeriksa
pekerjaan siswa secara individual, menjelaskan lagi secara individual atau klasikal.
Siswa menegrjakan latihan sendiri atau dapat bertanya kepada temannya, atau
terpusatnya kegiatan pembelajaran masih kepada guru, tetapi dominan guru sudah
Jika materi yang disajikan kepada siswa lengkap sampai bentuk akhir yang
berupa rumus atau pola bilangan, maka cara belajar siswa dikatakan belajar
hanya nomor dua. Belajar dengan menerima dan melalui penemuan kedua-duanya
bisa menjadi belajar dengan menghafal atau dengan pengertian. Sebagai contoh
kalau anak belajar teorema Pythagoras lengkap hingga rumusnya dengan cara
menerima, selanjutnya rumus itu selalu dikaitkan dengan hubungan antara ukuran
sisi siku-siku dan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar menerima itu menjadi
belajar pengertian. Juga, jika siswa memperoleh teorema Pythagoras itu melalui
penemuan kemudian rumus itu selalu dikaitkan dengan hubungan antara ukuran sisi
siku-siku dan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar dengan penemuan itu
37
ini dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah yang diawali dengan menyajikan
materi menggunakan metode ceramah. Bahan ajar disajikan dalam bentuk yang
telah dipersiapkan secara rapi, sistematik dan lengkap, sehingga siswa tinggal
contoh soal yang selanjutnya memberikan latihan sesuai dengan contoh untuk
dikerjakan siswa.
masalah. Pengalaman awal peserta didik dan situasi pengetahuan yang didapat
mereka akan berarti atau bernilai dan nampak sebagai dasar dalam pembelajaran. Di
sini juga terjadi kerjasama antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa.
terjadi komunikasi satu arah, tidak terjalinnya kerjasama yang baik antara guru
dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa sehingga kurang berkembangnya
proses berpikir siswa. Sikap seperti ini akan membuat siswa menjadi pasif dan
kritis dan paham akan informasi yang diperoleh yang dapat mendorong mereka
perilaku dan strukturalis, yang lebih menekankan hafalan dan drill merupakan
penyiapan yang kurang baik untuk kerja siswa nantinya, guru mengajar dengan
oleh upaya untuk menyelesaikan materi pembelajaran dalam waktu yang tersedia,
39
dan kurang adanya upaya agar terjadi proses dalam diri siswa untuk mencerna
Minimal (KKM) Kurikulum 2004 dan sesuai dengan pelaksanaan Standar Isi, yang
menyangkut masalah Standar Kopetensi (SK) dan Kopetensi dasar (KD),. maka
sesuai dengan petunjuk dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun
dimana sekolah itu berada, Artinya antara sekolah A dengan sekolah B bisa KKM-
Dalam penetapam KKM ini masih ada beberapa sekolah atau guru bidang
kesulitan untuk menetapkam KKM pada Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS) atau
dulu kita kenal dengan Rapor. Sesuai dengan petunjuk yang ditetapkan oleh BSNP
maka ada beberapa rambu-rambu yang harus diamati sebelum ditetapkan KKM di
sekolah).
7. KKM dapat dicantumkan dalam LHBS sesuai model yang ditetapkan atau
dipilih sekolah.
Musyawarah Guru Bidang Study (MGMP) maka akan dapat diperoleh berapa
dengan ukuran atau tingkat pencapaian kompetensi yang memadai dan dapat
Seorang siswa (individual) disebut telah tuntas dalam belajar, bila siswa telah
mencapai skor 65. Sedangkan suatu kelas dikatakan telah tuntas jika 80% siswa
telah mencapai skor 65. Artinya jika belum tercapai ketuntasan maka perlu
41
Pendekatan biasa yang selama ini diterapkan guru belum tentu mampu
membuat siswa mencapai ketuntasan belajar. Yang terjadi selama ini guru hanya
menjalani rutinitas menyampaikan materi dan tidak terlalu peduli sejauh mana
penjelasan yang diberikannya mampu diterima dan dipahami siswa. Tak jarang saat
ujian semester barulah guru mengetahui kebanyakan siswanya tidak tuntas dan
pembelajaran berbasis masalah telah diteliti oleh Leni (2011) dalam penelitiannya
pada siswa MTs Al –Hasyimiyah Tebing Tinggi yang menyatakan hasil belajar
masalah matematika siswa yang dengan pembelajaran berbasis masalah dan 6,08
pengajaran langsung.
42
Selain itu hasil penelitian Yumira (2011), juga menemukan bahwa nilai rata-
rata kemampuan berpikir kreatif yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah
sebesar 8,24 sedangkan kemampuan berpikir kreatif yang diajar dengan pengajaran
langsung sebesar 5,39. . Hal ini berarti kemampuan berpikir kreatif siswa yang
diajar melalui pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang diajar
siklus I terdapat 76,67% dari jumlah siswa yang telah mengikuti tes telah memiliki
tingkat kemampuan memahami konsep berada dalam kategori minimal cukup dan
73,33% telah memiliki tingkat pemecahan masalah berada dalam kategori minimal
cukup . Pada Siklus II terdapat 90,00% dari jumlah siswa yang mengikuti tes telah
memiliki tingkat kemampuan memahami konsep minimal cukup dan 86, 67% telah
perolehan hasil belajar siswa, baik dilihat dari pengaruhnya terhadap penguasan
diketahui dan tidak diketahui dari situasi / masalah yang dihadapi, merencanakan
Masalah, siswa dihadapkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan atau
diselesaikan siswa sendiri sehingga siswa dapat lebih berperan aktif dalam proses
tinggi. Siswa harus menguasai konsep yang telah dipelajari sehingga dapat
Dalam kegiatan belajar mengajar terjadi hubungan timbal balik antara guru
dengan siswa untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini guru diharapkan
mampu mengkaji dan memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa
berisi hafalan rumus belaka, akan tetapi matematika merupakan ilmu yang cara
mengutarakan suatu gagasan atau ide tanpa rasa takut yang sesuai dengan
kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Biasa
situasi pembelajaran dalam kelas dan sebagai modal awal untuk melanjutkan proses
seseorang dalam hal – hal yang bersifat akademik. Sikap dalam matematika adalah
persoalan menerima dan tidak menerima terhadap objek matematika. Ukuran suka
dan tidak suka seseorang tentang matematika yaitu kecenderungan seseorang untuk
terikat atau menghindar dari kegiatan matematika siswa yang menerima berarti
diperlukan, dan salah satu cirinya adalah siswa gemar mengemukakan ide yang
baru untuk mempermudah alur pikir dari suatu problema. Apabila siswa bersikap
45
negatif akan menimbulkan kebosanan pemberontakan dalam diri siswa, dan salah
satu penyebabnya adalah pengalaman belajar yang kurang menarik dari guru.
Ciri – ciri sikap positif ini dapat dimunculkan dalam pembelajaran berbasis
matematika akan menunjukkan hal – hal diluar dari/ kebalikan dari ciri – ciri siswa
yang bersikap positif. Beberapa sikap negatif adalah sebagian siswa kurang
guru adalah ceramah, diskusi, tanya jawab dan pembelajaran biasa. Pembelajaran
biasa yang diterapkan dalam proses pembelajaran membuat siswa mempunyai sikap
salah satu faktor penyebab terjadinya sikap negatif dari siswa terhadap pelajaran
menjadi salah satu pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan sikap siswa
maupun interaksi dengan Tuhannya, baik disengaja maupun tidak disengaja. Dari
46
yang sengaja dilakukan dalam suatu kelompok atau ikatan untuk tujuan tertentu
kategori kemampuan matematika siswa dengan kategori tinggi, sedang, dan rendah.
juga dipengaruhi dengan tingkat kemampuan siswa. Dalam penelitian ini, interaksi
yang dimaksud adalah dalam hal menggunakan pembelajaran berbasis masalah dan
pembelajaran biasa pada setiap kategori kemampuan siswa mana yang lebih baik
yang lebih baik pada siswa dengan kategori kemampuan sedang dan rendah
diberikan. Sebaliknya, untuk siswa yang berada pada kategori kemampuan sedang
biasa yang dalam prosesnya hanya terpusat pada guru menjadikan siswa pada
kategori kemampuan sedang dan rendah sulit untuk memahami materi ataupun
dibandingkan dengan siswa yang berada pada kategori kemampuan sedang dan
dalam penalaran formal dapat dengan mudah dilaluinya tanpa kesulitan. Sedangkan
kesulitan dalam penalaran formal matematika siswa. Mungkin saja bagi siswa yang
terhadap pendidikan.
biasa.
Selain itu perlu dikaji secara deskriptif pertanyaan penelitian yang ada di dalam
masalah?
BAB III
METODE PENELITIAN
siswa terhadap matematika dan pola jawaban siswa yang dipengaruhi oleh
biasa.
selama ini masih pembelajaran biasa dengan pembelajaran didominasi oleh guru,
siswa pasif dan selalu menunggu perintah guru, interaksi siswa dengan siswa
Menurut Sugiyono (209: 61), populasi adalah generalisasi yang terdiri atas
subjek atau objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
penelitian.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII YPI SMP Hikmatul
Fadhilah Medan. Ditetapkan siswa kelas VIII karena siswa kelas VIII merupakan
siswa menengah pada jenjang yang sudah dapat menyesuaikan diri dengan
50
lingkungannya, pada kelas VIII terdapat materi yang dianggap tepat disampaikan
dengan pembelajaran berbasis masalah dan pada kelas VIII siswa telah menerima
cukup banyak materi prasyarat untuk menunjang materi yang dipilih sebagai bahan
ajar penelitian. Sedangkan alasan tidak dipilihnya kelas VII dan IX sebagai subyek
penelitian didasarkan pada pertimbangan: siswa kelas VII merupakan siswa baru
yang berada pada masa transisi dan penyesuaian. Sedangkan siswa kelas IX
merupakan kelas yang sedang secara khusus dipersiapkan untuk menghadapi Ujian
Nasional (UN) sehingga apabila digunakan sebagai subjek penelitian ini akan
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa YPI SMP Hikmatul
Fadhilah Medan kelas VIII yang terdiri dari 2 kelas dengan jumlah siswa
keseluruhan 80 orang. Sampel yang ada diambil 2 kelompok terdiri dari kelompok
menentukan perlakuan pada setiap kelompok secara undian dan diperoleh 40 orang
(Sudzana, 1992). Sampel Penelitian ini direncanakan 2 kelas yang diambil dengan
menggunakan teknik acak kelas ( cluster random sampling ). Hal in sesuai dengan
pendapat Russefendi (1998: 78) salah satu cara memilih sampel mewakili
populasinya adalah cara random sederhana, yaitu bila setiap anggota dari populasi
(1998:79) mengatakan salah satu cara memperoleh sampel secara random adalah
51
dengan memberi nomor anggota populasi pada kertas- kertas kecil, kemudian
Peneliti tidak mungkin mengambil secara acak untuk membentuk kelas baru
maka peneliti mengambil unit sampling terkecilny adalah kelas. Dilakukan undian
untuk memilih kelompok pembelajaran berbasis masalah yaitu kelas VIII-1, terpilih
kelompok eksperimen.
design). Dalam rancangan ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara random
yang dijadikan satu sebagai kelas eksperimen dan satu sebagai kelas kontrol.
Kontrol O X O
pembelajaran biasa. Tidak ada perlakuan khusus yang diberikan pada kelas kontrol.
Dan Kedua kelas tersebut diberi pretest dan postest. Adapun tujuan diberikan
sikap siswa terhadap matematika. Kemudian keterkaitan antara variabel bebas dan
variabel terikat disajikan dalam model Weiner disajikan pada Tabel 3.2 berikut :
Tabel 3.2 Tabel Weiner tentang Keterkaitan antara Variabel Bebas Terikat
Dan Kontrol
Kemampuan Yang Pendekatan Pembelajaran
diukur PBM(A1) PB (A2)
Penalaran A 1 B1 A2B1 PB1
Formal(B1)
Sikap (B2) A1B2 A2B2 PB2
PA1 PA2
Keterangan:
Contoh: PA1 B1 adalah kemampuan penalaran formal matematika siswa dengan
pendekatan pembelajaran berbasis masalah.
Variabel penelitian ini terdiri atas dua jenis variabel yaitu variabel bebas dan
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis instrumen, yaitu tes dan non tes.
Instrumen jenis tes melibatkan seperangkat tes penalaran formal matematis (soal
53
berbentuk tes uraian). Sedangkan instrumen dalam bentuk non tes melibatkan skala
sikap siswa. Masing – masing jenis tes penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
formal matematika siswa pada materi pokok Bangun Ruang Kubus dan Balok. Tes
penalaran tersebut disusun berdasarkan pada materi ajar secara langsung. Pemilihan
setelah dua kelompok memperoleh pembelajaran. Penilaian untuk setiap butir soal
masalah, serta untuk mengetahui sikap siswa terhadap soal- soal yang mengukur
kemampuan penalaran. Skala sikap yang dibuat untuk menghitung seberapa besar
persentase sikap siswea terhadap pelajaran matematika. Skala sikap ini diberikan
kepada siswa kelompok kontrol dan eksperimen setelah mereka melaksanakan tes
akhir (postes). Di dalam penelitian ini, penulis hanya ingin mengetahui persentase
sikap siswa (postif dan negatif) terhadap pembelajaran berbasis masalah dan
pembelajaran biasa.
dahulu instrumen diuji cobakan diluar sampel penelitian. Beberapa gambaran hasil
mengetahui validitas, reabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran setiap butir
soal. Tujuan analisis melihat apakah soal yang diujicobakan valid dan reliabel
dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai. Menurut Sugiyono
(2010) valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang
seharusnya diukur. Jadi, validitas butir soal dari suatu tes adalah ketepatan
mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir soal tersebut. Sebuah butir soal
dikatakan valid bila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Tahap-
tahap penghitungan koefisien validitas butir soal ini adalah menghitung koefisien
validitas suatu butir soal dengan menggunakan rumus Korelasi Product Moment
N ( X Y ) ( X )(Y )
rxy
N ( X 2
) ( X ) 2 N ( Y 2 ) ( Y ) 2
Keterangan :
rxy = koofisien korelasi antara variabel X dan varibel Y, dua variabel yang
dikorelasikan.
X = Skor tiap-tiap item
Y = Skor total
N = Banyaknya siswa peserta tes uji coba
55
Jika instrumen itu valid, maka dilihat kriteria penafsiran mengenai indeks
0,00 < rxy 0,20 validitas sangat rendah (SR), Sumber Arikunto (2006)
N 2
t hitung rxy
1 rxy2
Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu butir soal dikatakan valid adalah jika thitung >
5%.
Suatu alat ukur memiliki reliabilitas yang baik apabila alat ukur itu
alpha-Cronbach (Arikunto:2006) :
n i
2
r11 1
n 1 t2
Keterangan :
r11 = reliabilitas yang dicari
i = Jumlah varian skor tiap-tiap item
2
t2 = Varians total
56
2
( Y )
Y 2
N = variansi total
t2
N
2
( X )
X2
N = variansi masing-masing butir soal
i2
N
N 2
t hitung r11
1 r112
(Sudjana, 2002).
dipenuhi agar koefisien reliabilitas tes termasuk signifikan adalah jika thitung > ttabel
2.
siswa yang pandai dan siswa yang kurang pandai. Sebuah soal dikatakan memiliki
57
daya pembeda yang baik apabila siswa yang pandai dapat menjawab soal
dengan baik, dan siswa yang kurang pandai tidak dapat menjawab soal
dengan baik. Di dalam penelitian ini, subyek uji coba adalah 45 siswa.
Bermutu atau tidak butir-butir item pada instrumen dapat diketahui dari
derajat kesukaran atau taraf kesulitan yang dimiliki oleh masing-masing butir item
SA SB
TK
N x Skor Maksimal
Keterangan :
TK = Tingkat Kesukaran
perangkat pembelajaran, memvalidasi isi tes penalaran formal, RPPdan juga LAS.
59
formal) sebelum pembelajaran terhadap materi baru diberikan kepada siswa. Pretes
diberikan kepada kelompok eksperimen dan kontrol, dengan tujuan apakah kedua
dengan jadwal yang telah ditetapkan.Dalam penelitian ini penulis berperan sebagai
pengajar pada kelompok eksperimen, sedangkan pada kelas konrol tetap guru yang
postes dilanjutkan dengan pengisian skala sikap dan selama kegiatan berlangsung.
Data
Analisis Data
Hasil Penelitian
60
Laporan Penelitian
Data yang diperoleh dari skor kemampuan penalaran formal matematika dan
bantuan komputer yakni program Microsoft Excel dan program SPSS 17. Selain
terhadap variasi jawaban siswa. Untuk lebih terarahnya penelitian ini berikut
disajikan tabel keterkaitan antara permasalahan, hipotesis, dan jenis uji statistik
yang digunakan.
Tabel 3.3 Keterkaitan permasalahan, hipótesis dan Jenis uji statistik yang
digunakan
No Permasalahan Penelitian Hipotesis Kelompok Jenis Uji
Data Statistik
1 Perbedaan peningkatan 1 A 1 B1 Uji t
kemampuan penalaran formal A 2 B1
siswa dengan pembelajaran
berbasis masalah dan
pembelajaran biasa ditinjau
dari keseluruhan siswa.
2 Perbedaan sikap positif siswa 2 A 1 B2 Uji t
antara pembelajaran berbasis A 2 B2
masalah dan pembelajaran
biasa ditinjau dari keseluruhan
siswa.
3 Ketuntasan belajar siswa 3 Kualitatif
dengan pembelajaran berbasis
masalah
4 Interaksi antara pembelajaran 4 A 1 B1 Anava dua
dengan kemampuan awal A 2 B1 jalur
matematika siswa terhadap
penalaran formal matematika
siswa.
61
kemampuan penalaran formal, angket skala sikap dan lembar observasi yang telah
Skor pretes dicari rata – rata dan deviasi standarnya untuk mengetahui
pembelajaran biasa.
Skor postes dicari rata – rata dan deviasi standarnya untuk mengetahui
sesudahnya.
Data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes untuk kemampuan penalaran
diperoleh dari hasil tes siswa sebelum dan setelah belajar dengan pembelajaran
biasa dianalisa dengan cara membandingkan dengan skor siswa yang diperoleh
dari hasil tes siswa sebelum dan setelah belajar dengan pembelajaran biasa.
sebagai berikut:
62
menggunakan uji varians dua buah peubah bebas dan uji Levene. Dengan
Dimana dk 1 = (n 1 – 1) dan dk 2 = (n 2 – 1)
2
Sbesar Sb2
F= 2
(Russefendi, 1998)
S kecil S k2
S b2 = Varians terbesar
S k2 = Varianas terkecil
63
Pada software SPSS uji homogenitas digunakan uji Levene, dengan kriteria
terima Ho jika taraf signifikansi perhitungan lebih besar dari taraf signifikansi
0,05.
e. Uji Hipotesis
Uji kesamaan dua rata-rata digunakan untuk menguji kesamaan antara dua rata-
rata data, dalam hal ini antara data kelas eksperimen dan kelas kontrol.
H0 : X Y
HA : X Y
Jika data yang diperoleh berdistribusi normal dan homogen maka digunakan uji t
dengan rumus:
xe xk
t hitung
1 1
S gab
ne nk (Sudjana, 2002
(n e 1)s (n k 1)s
2 2
dan S gab e k
ne nk 2
Dengan:
x e = nilai rata-rata siswa kelompok eksperimen
x k = nilai rata-rata siswa kelompok kontrol
ne = banyaknya siswa kelompok eksperimen
64
(s 2
e /n e )
d eng an x e n ilai rata -
x k n ilai rata -
s 2
e v arian s k el
s 2
k v arian s k el
n e ju mlah sisw
n k ju mlah sisw
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika t tabel t ' hitung dan terima H0 untuk
'
- Jika data yang diperoleh tidak berdistribusi normal dan tidak homogen, maka
- Jika datanya tidak berdistribusi normal tetapi homogen maka uji yang dilakukan
Penentuan skor skala sikap Likert dapat dilakukan secara apriori dan dapat
pula secara aposteriori (Subino dalam Suriadi :2006). Secara apriori skala
bagi SS, 4 bagi S, 3 bagi R, 2 bagi TS dan 1 bagi STS, sedangkan bagi skala
Penentuan skor skala sikap dalam penelitian ini dilakukan secara aposteriori,
65
Pemilihan butir – butir skala sikap Likert ini didasarkan kepada signifikan
tidaknya Daya Pembeda butir skala yang bersangkutan. Daya pembeda butir-
Kelompok tinggi dan kelompok rendah diambil sekitar 25% atau 30% untuk
kelompok dibagi dua sama besar, 50% kelompok atas dan 50% kelompok
xT xR
t
ST2 S 2R (Sudjana, 2002)
nT nR
Dengan:
xT = Rata-rata skor kelompok tinggi
xR = Rata-rata skor kelompok rendah
s T2 = Varians kelompok tinggi
s 2R = Varians kelompok rendah
nT = Banyaknya subjek pada kelompok tinggi
nR = Banyaknya subjek pada kelompok rendah
0,05.
Dengan demikian dapa pula disimpulkan bahwa butir skala sikap tersebut
mempunyai Daya Pembeda yang signifikan, oleh karena itu dapat digunakan.
66
n i
2
r 1
n 1 t2
Hasil pengukuran sikap siswa dihitung rata – ratanya untuk setiap butir
Apabila rata – rata skor untuk suatu pernyataan lebih besar dari rata – rata
skor netralnya, maka sikap dan minat siswa dikatakan positif terhadap
pernyataan tersebut.
Data hasil observasi aktivitas siswa dianalisa untuk mengetahui aktivitas siswa
berlangsung.
67
DAFTAR PUSTAKA
Dahar, R. W.( 1996). Teori –Teori Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengemebangan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Fadjar .S, M.App. Sc, 2004, Penalaran , Pemecahan Masalah, dan Komunikasi
dalam Pembelajaran Matematika.
Gagne. RM, 1985. The Condition Of Learning and Theory of Instruction, Fourth
Edition. New York: Holi,Rineharz and Winston.
Kennedy, L.M, dan Tipps, S. 1994. Guiding’s Learning of Mathematics (7th ed).
California: Wadsworth
Newell, A. & Simon, H. (1972). Human Problem Solving. Englewood Clifs, NJ:
Prentice Hall.
68
Tobin, K. Dan Capie, W., 1984. The Test Of Logikal Thinking. Journal Of Science
and Mathematic Education in Southeast Asia, vol. vii, No. 1. Glugger:
SEAMO-REC-SAM
Wilson, P.S (Editor). 1993. Reserch Ideas For The Classroom. High School
Mathematics. New York. Macmillan Publishing Company.