Anda di halaman 1dari 69

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan ilmu yang dapat menumbuhkan kemampuan

penalaran siswa dan sangat dibutuhkan dalam menghadapi situasi dan kondisi

perkembangan teknologi dan informasi masa depan seperti yag dikemukakan oleh

DIKNAS (2001:1) bahwa untuk menghadapi tantangan perkembangan teknologi

informasi dituntut sumber daya manusia yang handal, mempunyai kompetensi yang

unggul, dan siap menghadapi perubahan-perubahan atau perkembangan terbaru,

sehingga diperlukan keterampilan yang melibatkan pemikiran yang kritis,

sistematis, logis, kreatif, dan kemampuan kerja sama yang efektif. Cara seperti ini

dapat dikembangkan melalui pendidikan matematika.

Sayangnya proses pendidikan matematika di Indonesia hingga saat ini

belum memperhatikan keseluruhan komponen tersebut. Proses pembelajaran

matematika di sekolah-sekolah pada umumnya hanya sebatas penyampaian materi

dengan menggunakan strategi yang berpusat pada keaktifan guru, kurang

mengaktifkan kegiatan belajar siswa, kurang dapat merealisasikan pada dunia

nyata. Proses pembelajaran demikian salah satu penyebab siswa merasa kurang

termotivasi untuk belajar matematika sehingga hasil belajar matematika siswa

rendah.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas:2010) Mohammad Nuh

mengatakan, Hasil akhir Ujian Nasional (UN) 2010 menyebutkan angka kelulusan

mencapai 99,04 persen. Siswa yang lulus pada UN ulangan mencapai 138.596

siswa atau 92,15 persen. Sementara yang tidak lulus mencapai 11.814 siswa atau
2

7,85 persen. Peserta UN ulangan sendiri mencapai 150.410 anak didik. Nilai

standar rata-rata UN utama adalah 7,29, tetapi untuk ujian ulangan turun menjadi

6,71. Mata pelajaran yang paling banyak diulang pada jurusan IPA ialah

Matematika (27 persen) dan Fisika (22 persen), pada jurusan IPS adalah Sosiologi

(19,72 persen) dan Ekonomi (17.72 persen), serta jurusan Bahasa adalah

Matematika (30,99 persen) dan Bahasa Indonesia (19,28 persen).

Dari keterangan di atas dapat dilihat mata pelajaran yang paling banyak

diulang adalah pelajaran matematika. Matematika dipandang oleh sebagian besar

siswa merupakan mata pelajaran yang sulit dipelajari. Hal itu tercermin ketika siswa

mengikuti proses belajar mengajar dan menyelesaikan suatu tes matematika

ternyata hasil belajar yang diperoleh siswa kurang menggembirakan bagi setiap

siswa. Rendahnya hasil belajar matematika siswa disebabkan oleh banyak faktor,

antara lain: pendekatan mengajar yang digunakan guru saat ini kurang mampu

mengoptimalkan kemampuan siswa. Karena proses kegiatan pembelajarannya

didominasi oleh kegiatan guru. Guru menjelaskan pengertian suatu konsep dalam

matematika, memberikan contoh konsep, dan memberikan soal latihan. Sementara

siswa hanya memperhatikan penjelasan guru dan mengikuti cara-cara penyelesaian

soal yang dicontohkan oleh guru. Hal itu dapat dilihat dari hasil belajar matematika

siswa selalu lebih rendah dibandingkan dengan hasil belajar siswa pada mata

pelajaran lainnya.

Rendahnya nilai matematika siswa harus ditinjau dari lima aspek

pembelajaran umum matematika yang dirumuskan oleh National Council Of

Teachers of Mathematic (NCTM:2000):


3

Menggariskan peserta didik harus mempelajari matematika melalui


pemahaman dan aktif membangun pengetahuan yang dimiliki
sebenarnya. Untuk mewujudkan hal itu,pembelajaran matematika
dirumuskan lima tujuan umum yaitu: pertama, belajar untuk
berkomunikasi: kedua, belajar untuk bernalar; ketiga, belajar untuk
memecahkan masalah ; keempat, belajar untuk mengaitkan ide; dan
kelima, pembentukan sikap positif terhadap matematika.

Hasil belajar matematika siswa sampai saat ini masih menjadi suatu

permasalahan yang sering dikumandangkan baik oleh orang tua siswa maupun oleh

pakar pendidikan matematika sendiri. Hasil belajar matematika siswa YPI SMP

Hikmatul Fadhilah Medan kelas VIII masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat

dari tabel dibawah ini:

Tabel 1.1 Nilai Ulangan Harian (UH) dan Persentase Jumlah Siswa yang
Tuntas dalam Pembelajaran Matematika (Tuntas: UH ≥ 65)Kelas
VIII TP. 2010/2011 SMP
Nilai Nilai UH-I ≥ 65 Nilai UH-II ≥ 65

Kelas (%) (%)


VIII 9,25% 12,96%
Dari tabel diatas dapat dilihat, ulangan harian pertama hanya 9,25 % yang

mencapai ketuntasan minimal (KKM), begitu juga dengan ulangan harian kedua

hanya 12, 96 % yang mencapai KKM. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) untuk

kelas VIII adalah 65 %.

Siswa mengartikan matematika itu hanya merupakan suatu kumpulan ilmu

pengetahuan yang diurutkan secara logis dengan konsep-konsep abstraknya yang

dibangun berdasarkan fakta-fakta dan aturan-aturan. Hal ini muncul disebabkan dari

kenyataan di lapangan bahwa matematika merupakan pembuktian dan metode-

metode yang standar. Hal senada diungkapkan Rusefendi (1984), pelajaran

matematika di sekolah masih dianggap merupakan pelajaran yang menakutkan bagi

banyak siswa, antara lain karena bagi banyak siswa pelajaran matematika terasa

sukar dan tidak menarik karena siswa belum merasakan manfaat matematika dalam
4

kehidupan sehari-hari. Sehingga banyak siswa menjadi kurang termotivasi dalam

mempelajari matematika. Oleh karena itu, diperlukan perubahan dalam

pembelajaran matematika yang dapat mengarahkan siswa jadi lebih menyenangkan

dan bergairah dalam belajar matematika.

Terkait dengan rasa apriori berlebihan terhadap matematika ditemukan

beberapa penyebab fobia matematika diantaranya sistem pengajaran penekanan

belebihan pada penghafalan semata, penekanan pada kecepatan atau berhitung,

pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses belajar-mengajar matematika,

dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Oleh sebab itu, untuk mengatasi

hal ini, peran guru sangat penting. Karena begitu pentingnya peran guru dalam

mengatasi fobia matematika, maka pengajaran matematika pun harus dirubah. Jika

sebelumnya, pengajaran matematika terfokus pada hitungan aritmetika saja, maka

saat ini, guru-guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dengan

menggunakan logika matematis. Sehingga sikap siswa terhadap matematika

berubah menjadi pelajaran yang menyenangkan.

Dalam setiap pelaksanaan proses pembelajaran, guru tidak memperdulikan

penggunaan berbagai pendekatan atau strategi dan metode mengajar, sehingga hasil

belajar matematika siswa selalu di bawah rata-rata minimal yang dipersyaratkan.

Metode pembelajaran yang dipakai guru adalah metode pembelajaran biasa (Helmi:

2008). Para siswa tidak mampu menggunakan konsep matematika yang telah

dipelajarinya untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Hal ini terkait

dengan kebiasaan siswa yang tidak terbina untuk berpikir pada tingkat yang lebih

tinggi, kritis, kreatif, dan pemecahan masalah, serta tidak mampu melakukan

pengaitan antara konsep yang dipelajari dengan permasalahan yang menggunakan

matematika sebagai alat (tools) pemecahan masalah.


5

Dalam pembelajaran aspek pemahaman suatu konsep dan aplikasinya

merupakan hal yang sangat penting yang harus dimiliki siswa. Jika konsep dasar

diterima siswa secara salah, maka sukar untuk memperbaiki kembali, terutama jika

sudah diterapkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Oleh karena itu, yang

penting adalah bagaimana siswa menggunakan penalaran formal matematika secara

bulat dan utuh, sehingga jika diterapkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika

siswa tidak mengalami kesulitan. Depdiknas (2002:6) menyatakan bahwa

matematika dan penalaran matematika merupakan 2 hal yang tidak dapat

dipisahkan yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran, dipahami dan

dilakukan melalui belajar matematika.

Menurut Bakry (1996 : 1) penalaran atau reasoning merupakan suatu

konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk

sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan

lain yang telah diketahui. Tuti (2001 : 83) mendefinisikan penalaran formal sebagai

kemampuan berpikir benar dalam mencapai kebenaran, dapat membedakan

kenyataan yang diterima dan harapan yang diinginkan. Kemampuan penalaran

formal siswa merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan dalam proses

belajar mengajar, utamanya dalam mata pelajaran matematika (Sunardi, 2002 : 43).

Siswa yang sudah berusia 11 tahun ke atas telah memiliki penalaran formal (Dahar,

1996). Siswa pada usia tersebut telah mampu berpikir simbolik dan berpikir

abstraks terhadap objek yang diamati, sistematis, terarah dan mempunyai tujuan

yang akan dicapai, disamping mampu berpikir induktif, deduktif dan empiris

rasional.

Kebanyakan siswa hanya diajarkan untuk mengingat rumus dan

menggunakannya dalam urutan langkah-langkah yang harus diikuti. Setelah siswa


6

belajar matematika biasanya dilanjutkan mengerjakan soal. Untuk menyelesaikan

soal, siswa berupaya mengikuti langkah-langkah yang telah diajarkan oleh guru.

Berarti nalar siswa dalam mengerjakan soal tidak jalan karena hanya mengikuti apa

yang telah diajarkan. Kalaupun siswa bernalar, siswa tidak bisa melepaskan diri

dari langkah-langkah yang diberikan oleh guru. Akibat yang paling sering siswa

rasakan, kalau mengalami kebuntuan mengerjakan soal maka biasanya kebanyakan

dari siswa menyerah karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak jalannya

nalar siswa juga tercermin saat lupa suatu rumus. Saat terjadi yang biasa siswa

lakukan dengan berusaha mengingat-ingat rumusnya, bukannya berusaha mencoba

memikirkan dan bernalar bagaimana menyelesaikan soal.

Di saat belajar matematika, para siswa akan selalu dihadapkan dengan

proses penalaran. Siswa akan merasa kesulitan menyelesaikan soal jika siswa hanya

terbiasa menyelesaikan masalah dengan satu cara atau dengan rumus yang tersedia

saja. Pembelajaran matematika hanya menekankan mengajarkan rumus dan

langkah cara mengerjakan soal seharusnya diubah ke pembelajaran yang

menekankan pada aspek penalaran siswa. Dengan pembelajaran yang

menghubungkan matematika dengan masalah-masalah kehidupan sehari-hari dan

membebaskan siswa mengajukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri.

Diharapkan dengan pembelajaran seperti ini maka siswa mampu menerapkan

penalaran matematika dalam kehidupannya dan jika mengalami kelupaan pada saat

mengerjakan soal maka nalarnya tetap jalan.

Dilihat dari pelaksanaan pembelajaran tersebut, berarti guru asyik sendiri

menjelaskan apa yang telah disiapkan. Demikian juga siswa asyik sendiri menjadi

penerima informasi yang baik. Akibatnya siswa belajar sesuai dengan contoh yang

diberikan, sehingga dalam memecahakan suatu masalah memungkinkan siswa


7

kurang menggunakan nalarnya, dari penelitian Rudolf (2009) mengungkapkan

bahwa kemampuan penalaran formal siswa masih rendah, permasalahan ini harus

segera ditangani, sehingga kemampuan siswa terhadap kompetensi dasar yang

diinginkan tercapai dalam pelaksanan kurikulum yang berlaku pada saat ini dapat

dipenuhi.

Wahyudin (1991: 191) menyatakan bahwa salah satu kecenderungan yang

menyebabkan siswa gagal menguasai pokok bahasan-pokok bahasan matematika

diakibatkan karena mereka kurang menggunakan nalar yang logis dalam

menyelesaikan soal atau permasalahan matematika yang diberikan. Ini berarti

bahwa kemampuan penalaran sangat diperlukan dalam memcapai hasil yang lebih

baik dalam menyelesaikan suatu permasalahan matematika.

Gambaran permasalahan tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran

matematika perlu diperbaiki guna meningkatkan penalaran formal matematika

siswa dan sikap siswa terhadap matematika. Kemampuan penalaran formal menurut

Piaget Larson (dalam Pangaribuan, 1995) mengidentifikasi linear operasi logis

yaitu: penalaran proporsional, pengontrolan variabel, penalaran probalistik,

penalaran korelasional dan penalaran kombinatorial. Kelima kemampuan penalaran

formal tersebut mempunyai cara kerja yang tidak berbeda dengan penalaran

matematika sekolah yang sering disebut dengan persamaan bersamar atau soal

cerita. Penalaran sering ditemukan, misalnya: Dua minggu lalu, dua bunga yaitu

mawar merah dan mawar putih, masing – masing diukur sebesar 8 inci dan 12 inci.

Hari ini mereka berukuran 11 inci dan 15 inci. Bunga manakah yang

pertumbuhanya lebih panjang? Salah satu jawabannya adalah keduanya tumbuh

dengan kuantitas yang sama, yaitu 3 inci. Respons ini benar didasarkan pada logika

penjumlahan. Cara kedua adalah membandingkan jumlah pertumbuhan dengan


8

tinggi asal bunga. Berdasarkan pandangan perkalian ini ( kali lebih banyak), bunga

mawar merah tumbuh lebih banyak. Kemampuan memahami perbedaan antara

situasi-situasi ini merupakan indikasi dari penalaran proporsional.

Karena itu untuk menumbuhkan penalaran formal pada siswa yaitu dengan

menawarkan suatu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan penalaran siswa.

Salah satu cara untuk mengatasinya yaitu dengan menerapkan metode pembelajaran

menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah karena dengan menggunakan

pembelajaran ini dapat memberikan siswa kesempatan seluas-luasnya untuk

memecahkan masalah matematika dengan strateginya sendiri. Dalam proses

pembelajaran matematika sikap positif siswa sangat diperlukan , dan salah satu

cirinya adalah siswa gemar mengemukakan ide yang baru untuk mempermudah

alur pikir dari suatu problem. Sebaliknya apabila siswa bersikap negatif akan

menimbulkan kebosanan pemberontakan dalam diri siswa, dan salah satu

penyebabnya adalah pengalaman belajar dikelas yang diakibatkan proses

pembelajaran yang kirang menarik dari guru (Fadzar, 2004).

Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan suatu cara penyajian pelajaran

dengan cara siswa dihadapkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan atau

diselesaikan baik secara individu maupun secara kelompok. Penerapan

Pembelajaran Berbasis Masalah ini dalam pembelajaran matematika melibatkan

siswa untuk dapat berperan aktif dan kreatif dengan bimbingan guru, agar

peningkatan kemampuan penalaran formal siswa dalam memahami matematika

dapat terarah lebih baik.

Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa Pembelajaran

Berbasis Masalah merupakan salah satu upaya meningkatkan kemampuan


9

penalaran formal siswa dalam pembelajaran matematika. Dan sikap siswa yang baik

terhadap matematika dapat meningkatkan motivasi belajar matematika siswa.

1.2 Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil belajar matematika YPI SMP Hikmatul Fadhilah Medan kelas VIII

T.A 2010/2011 masih rendah

2. Pembelajaran matematika yang kurang melibatkan aktivitas siswa

3. Penalaran formal siswa yang masih rendah, menjadi kendala dalam proses

pembelajaran matematika.

4. Sikap siswa SMP terhadap pelajaran matematika tidak menyenangkan,

cenderung membencinya.

5. Penggunaan metode pembelajaran adalah biasa

6. Penggunaan Pembelajaran Berbasis Masalah belum dilaksanakan oleh guru

YPI SMP Hikmatul Fadhilah Medan kelas VIII.

1.3 Pembatasan Masalah

Dari hasil identifikasi masalah di atas, didapat banyak faktor yang

mempengaruhi tingkatan hasil belajar siswa, dengan keterkaitannya tinggi

rendahnya penalaran formal dan sikap siswa serta metode atau pendekatan yang

dapat meningkatkan daya nalar dan sikap positif siswa dalam proses pembelajaran

matematika, sehingga perlu pembatasan masalah dalam penelitian ini mengingat

keterbatasan peneliti dan pertimbangan dana dan waktu, maka penelitian ini

dibatasi pada masalah:


10

1. Penalaran formal siswa SMP masih rendah, menjadi kendala dalam

proses pembelajaran matematika.

2. Sikap siswa SMP terhadap pelajaran matematika tidak menyenangkan,

cenderung membencinya

3. Penggunaan Pembelajaran Berbasis Masalah belum dipahami dan

dilaksanakan oleh guru matematika SMP

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan penalaran formal antara siswa yang

proses pembelajarannya menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah,

dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya mengikuti pembelajaran

biasa?

2. Apakah terdapat perbedaan sikap siswa terhadap matematika antara siswa yang

proses pembelajarannya menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah, dengan

siswa yang pembelajarannya mengikuti pembelajaran biasa?

3. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal

matematika siswa terhadap penalaran formal matematika siswa?

4. Bagaimanakah ketuntasan belajar siswa dengan Pembelajaran Berbasis

Masalah?
11

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui:

1. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan penalaran formal siswa yang

mengikuti pembelajaran matematika dengan Pembelajaran Berbasis Masalah

dan siswa yang mengikuti dengan pembelajaran biasa.

2. Untuk mengetahui perbedaan sikap siswa yang mengikuti pembelajaran

matematika dengan Pembelajaran Berbasis Masalah dan siswa yang mengikuti

dengan pembelajaran biasa.

3. Untuk mengetahui interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal

matematika siswa terhadap penalaran formal matematika siswa

4. Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa dengan Pembelajaran Berbasis

Masalah.

1.6 Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini penulis berharap semoga hasilnya bermanfaat untuk:

1. Sebagai masukan bagi guru dalam menentukan metode mengajar yang tepat dan

mengembangkannya yang dapat meningkatkan penalaran formal siswa.

2. Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi siswa berupa variasi

pembelajaran matematika yang dapat mengoptimalkan penalaran formal siswa

dalam menyelesaikan masalah matematika.

3. Hasil penlitian ini bermanfaat untuk pengembangan pendekatan pembelajaran

sesuai dengan tujuan materi pelajaran, karakteristik siswa, saran yang tersedia,

dan dapat tepat dalam membangkitkan minat guru untuk mengenal dan

mempelajari pendekatan – pendekatan pembelajaran terutama yang sesuai

dengan bidang studi yang diasuhnya.


12

1.7 Defenisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap beberapa variabel yang

digunakan dalam penelitian ini sehingga tidak terjadi perbedaan penafsiran maka

akan dijelaskan pengertian dari variabel-variabel itu :

1. Kemampuan penalaran formal adalah kemampuan

mengidentifikasi linear operasi logis yaitu: penalaran proporsional,

pengontrolan variabel, penalaran probalistik, penalalaran korelasional dan

penalaran kombinatorial.

2. Pembelajaran berbasis masalah adalah model

pembelajaran dengan mengacu pada lima langkah pokok, yaitu: (1) orientasi

siswa pada masalah, (2) mengorganisir siswa untuk belajar, (3)

membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, (4)

mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5) menganalisis dan

mengevaluasi proses pemecahan masalah.

3. Pembelajaran biasa adalah pembelajaran yang biasa

dilakukan guru selama ini dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah yang

diawali dengan menyajikan materi menggunakan metode ceramah. Bahan

ajar disajikan dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematik

dan lengkap, sehingga siswa tinggal menyimak dan mencernanya secara

teratur dan tertib, kemudian memberikan contoh soal yang selanjutnya

memberikan latihan sesuai dengan contoh untuk dikerjakan siswa.

4. Sikap siswa pada pelajaran matematika adalah

kecenderungan untuk menerima atau menolak pelajaran matematika,

pemikiran, pendirian, perasaan dan keyakinan seorang siswa terhadap

matematika yang diungkap dengan:1) sikap terhadap mata pelajaran, 2)


13

sikap terhadap guru mata pelajaran, 3) sikap terhadap proses pembelajaran.

Sikap siswa diukur dengan menggunakan Skala Likert.

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1 Hakikat Belajar Matematika

Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan

belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga

perilakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain

adalah hasil dari belajar. Kitapun hidup menurut hidup dan bekerja menurut apa

yang telah kita pelajari. Belajar itu bukan sekedar pengalaman. Gagne (dalam Andri

Setiawan, 2008) Belajar adalah suatu proses, dan bukan suatu hasil. Karena itu

belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan mengemukakan berbagai

bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan.

Mengenai belajar, banyak ahli yang telah mengemukakan definisinya.

Menurut Gagne( dalam Aunurrahman, 2009)., belajar didefinisikan sebagai suatu

proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman.

Skinner (dalam Barlow, 1985) berpendapat bahwa belajar adalah sutu proses

adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.

Berdasarkan eksperimennya, B.F. Skinner percaya bahwa proses adaptasi tersebut

akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforcer).

Skinner adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses conditioning yang

pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku itu disebabkan

adanya hubungan antara stimulus dan respon. Namun definisi yang bersifat
14

behaviorik ini berdasarkan eksperimen dengan menggunakan hewan, sehingga

banyak pakar yang menentangnya.

Mempelajari matematika tidak sama dengan mempelajari bahasa atau ilmu

sosial. Jika mempelajari bahasa atau ilmu sosial mengharuskan kita untuk sering-

sering membaca, berbeda dengan matematika. Ada hal unik dan menarik saat

mempelajari matematika yang tidak ada di pelajaran lainnya. Hal-hal tersebut hanya

bisa dirasakan saat kita benar-benar tahu dan memahami persoalan matematika

yang dapat kita selesaikan. Hal unik dan menarik tersebut adalah:

1. Kepuasan hati dan rasa lega yang tak terhingga

2. Keinginan untuk terus dan terus mempelajari

3. Lebih memahami kehidupan dari sudut pandang matematika

4. Kemampuan nalar dan logika yang luar biasa.

Pada hakikatnya, belajar matematika merupakan proses melatih untuk otak

untuk dapat berpikir logis, teratur, berkesinambungan dan menyatakan bukti-bukti

kuat dalam setiap pernyataan yang diucapkan. Dalam matematika kita tidak dapat

mengatakan sesuai tanpa ada bukti yang kuat.

Gagne( 1985) menyebutkan bahwa matematika dibedakan dalam 2 aspek

yaitu computation (berhitung) pada awalnya mempunyai posisi yang sangat penting

dalam matematika. Tetapi dengan berkembangnya teknologi terutama komputer,

berhitung menjadi kurang penting lagi. Meskipun berhitung tetap menjadi

kebutuhan dan menjadi syarat keterampilan yang harus dimiliki untuk mempelajari

aspek yang lain yaitu understanding (pengertian) lebih lanjut.

Struktur kognitif anak menurut Ausubel (dalam Hamzah, 2008)

berhubungan dengan struktur ingatan yang secara tetap terbentuk dari apa yang
15

sudah dibentuk sebelumnya. Untuk itu , bahan pelajaran matematika yang dipelajari

harus bermakna, artinya bahan pelajaran harus sesuai dengan kemampuan dan

struktur kognitif yang dimiliki siswa. Dengan kata lain, pelajaran matematka yang

baru perlu dkaitkan dengan konsep – konsep yang sudah ada sehingga konsep –

konsep baru tersebut benar – benar terserap dengan baik. Hakikat belajar

matematika seperti ini oleh Ausubel disebut sebagai belajar bermakna. Dikarenakan

matematika sebagai suatu ilmu yang tersusun menurut struktur, maka sajian

matematika hendaknya dilakukan dengan cara yang sitematis, teratur dan logis

sesuai perkembangan intelektual anak. Dalam hal ini siswa pada pendidikan tingkat

dasar, sajiannya bersifat konkret, dan makin tinggi jenjang pendidikan siswa maka

sajian matematika siswa semakin abstrak.

2.2 Pembelajaran Matematika di Sekolah

Pembelajaran menurut Corey (dalam Sagala, 2003) adalah suatu proses

dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia

turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi – kondisi khusus atau

menghasilkan respons terhadap situasi tertentu. Peran guru bukan semata – mata

memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan dan memberi fasilitas belajar

(diregting and facilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai.

Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu

seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru. Proses

pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar

yang dimiliki siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang

akademisnya, latar belakang ekonominya, dan lain sebagainya. Kesiapan guru

untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama


16

penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan

pembelajaran.

Tujuan utama (goal) pengajaran dan belajar matematika disekolah adalah

mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai masalah

kompleks misalnya masalah angka dan lambang, penciptaan pola, dan memaknai

gambar (Wilson, 1993). Dengan kata lain, belajar untuk memecahkan berbagai

masalah merupakan alasan utama mempelajari matematika.

2.3 Kemampuan Penalaran Formal

Kemampuan merupakan kata benda dari kata mampu yang berarti kuasa

(bisa, sanggup), melakukan sesuatu sehingga kemampuan dapat diartikan

kesanggupan/kecakapan. Menurut Shurter dan Pierce (dalam Sumarno, 1987)

memberikan pengertian penalaran adalah sebagai proses pencapaian kesimpulan

logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Daya nalar siswa dalam mata

pelajaran matematika perlu ditumbuh kembangkan.

Kemampuan untuk bernalar menjadikan siswa dapat memecahkan masalah

dalam kehidupannya, di dalam dan di luar sekolah. Kapanpun kita menggunakan

penalaran untuk memvalidasi pemikiran kita, maka kita meningkatkan rasa percaya

diri dengan matematika dan berpikir secara matematik. Adapun aktivitas yang

tercakup di dalam kegiatan penalaran matematik meliputi: menarik kesimpulan

logis; menggunakan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan

hubungan; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola dan

hubungan; untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi;

menyusun dan menguji konjektur; mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas


17

argument; menyusun argument yang valid; menyusun pembuktian langsung, tak

langsung dan menggunakan induksi matematik (Sumarmo, 2003).

Suriasumantri(1990:21) mengatakan bahwa penalaran merupakan proses

berfikir untuk menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Kegiatan berfikir

untuk menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Kegiatan berfikir dalam

penalaran tidak termasuk perasaan. Tidak semua kegiatan menyadarkan diri pada

penalaran, misalnya berintuisi. Penalaran merupakan kegiatan berfikir yang

mempunyai karakteristik tertentu untuk menemukan kebenaran. Yang dimaksud

dengan karakteristik tertentu adalah pola berfikir yang logis dan proses berfikirnya

bersifat analitis. Pola berfikir yang logis dan konsisten, berarti menggunakan satu

logika tertentu. Sebab setiap penalaran masing – masing mempunyai logikanya

tersendiri atau kebenarannya tersendiri. Sedangkan bersifat analitis adalah

merupakan konsekuensi dari pola berfikir tertentu. Gie (1991 :21) mengatakan

bahwa penalaran adalah merupakan kelanjutan runtut dari pernyataan yang lain

yang diketahui. Pernyataan yang diketahui itu sering disebut dengan pangkal pikir

(premis). Sedangkan pernyataan baru yang ditemukan disebut kesimpulan

(conclusion).

Dari uraian di atas, yang dimaksud dengan penalaran dalam tulisan ini adalah

proses kegiatan berfikir logis dengan logika ilmiah untuk menemukan pernyataan

baru dengan diketahuinya pernyataan pangkal yang nilai kebenarannya telah

disepakati. Sedangkan berfikir adalah juga untuk menemukan pernyataan baru,

tetatpi tidak selalu menggunakan logika dan tidak bersifat analitis. Uraian tentang

proses berfikir maupun penalaran seperti di atas belum memperhatikan taraf

perkembangan kognitif manusia. Secara khusus, pada saat mana seoarang mana

seoarang manusia mampu bernalar. Memperhatikan bahwa dalam proses belajar


18

matematika disekolah, bahwa materi – materi matematika yang diajarkan harus

berorientasi pada kepentingan siswa, maka taraf perkembangan kognitif tidak dapat

dilepaskan dari kegiatan proses belajar matematika di sekolah, bahwa materi –

materi matematika yang diajarkan harus berorientasi pada kepentingan siswa, maka

taraf perkembangan kognitif tidak dapat dilepaskan dari kegaiatan proses belajar

mengajar. Piaget (dalam Bell 1981:98-100) mengemukakan teori perkembangan

kognitif manusia. Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu

perkembangan yang bertahap. Piaget mengatakan bahwa anak pada periode operasi

konkrit telah mengembangkan operasi logis. Artinya, telah mengembangkan

pemikiran yang dapat memecahkan masalah konservasi. Anak ini tidak lagi terikat

pada persepsi. Ia sudah melakukan tindakan atau operasi kognitif. Menurut Piaget

operasi adalah hubungan-hubungan logis diantara konsep-konsep atau skema-

skema. Sedangkan operasi konkrit adalah aktivitas mental yang difokuskan pada

objek-objek atau peristiwa-peristiwa nyata atau konkrit dapat diukur.

Pada masa pertengahan dan akhir anak sudah mengembangkan pikiran

logis, ia mulai mampu memahami operasi sejumlah konsep. Dalam upaya

memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang

bersumber dari panca indra, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk

membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya, dan

antara yang bersifat sementara dengan yang bersifat menetap.

Dari operasi logis yang ditemukan Inheler dan piget , Lawson (dalam Tobin

dan Capie, 1984 :5) mengidentifikasi lima operasi logis yang disebut dengan

kemampuan penalaran formal. Operasi logis itu adalah penalaran proporsioanal ,

pengontrolan variabel, penalaran probalistik, penelaran kolerasional, dan penalaran

kombinatorial.
19

Menurut Bakry (1996 : 1) penalaran atau reasoning merupakan suatu

konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk

sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan

lain yang telah diketahui. Tuti (2001 : 83) mendefinisikan penalaran formal sebagai

kemampuan berpikir benar dalam mencapai kebenaran, dapat membedakan

kenyataan yang diterima dan harapan yang diinginkan.

Kemampuan penalaran formal siswa merupakan salah satu unsur yang

sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar, utamanya dalam mata pelajaran

matematika (Sunardi, 2002 : 43). Siswa yang sudah berusia 11 tahun ke atas telah

memiliki penalaran formal (Dahar, 1996). Siswa pada usia tersebut telah mampu

berpikir simbolik dan berpikir abstraks terhadap objek yang diamati, sistematis,

terarah dan mempunyai tujuan yang akan dicapai, disamping mampu berpikir

induktif, deduktif dan empiris rasional. Kemampuan penalaran formal menurut

piaget Larson(dalam Pangaribuan, 1995) mengidentifikasi linear operasi logis yaitu:

penalaran proporsional, pengontrolan variabel, penalaran probalistik, penalalaran

korelasional dan penalaran kombinatorial

1. Penalaran proporsioanal

Piaget (dalam Nur, 1991:13) mendefenisikan penalaran proporsional sebagai

suatu struktur kualitatif yang memungkinkan pemahaman sistem – sistem pisik

kompleks yang mengandung banyak faktor. Sebagai contoh pemahaman sistem

fisik kompleks ini adalah pemahaman yang berkaitan dengan konsep proporsi

dan rasio. Pemahaman tentang situasi-situasi proporsional mencakup

kemampuan dalam membandingkan dua rasio seperti halnya mengidentifikasi

rasio ekuivalen. Contoh Soal : Dua kelompok berkemah pramuka sedang pesta

pizza. Kelompok Beruang memesan cukup banyak sehingga setiap 3 anggotanya


20

mendapatkan 2 pizza. Pimpinan dari kelompok Rakun memesan pizza yang

cukup sehingga setiap 3 pizza dibagikan kepada 5 orang anggotanya. Mana yang

memiliki lebih banyak pizza untuk dimakan, kelompok Beruang atau Rakun?

2. Pengontrolan Variabel

Perkembangan kemampuan mengontrol variabel merupakan indeks

perkembangan intelektual. Menurut Inheler dan Piaget (dalam Nur,1991: 6)

pemikir formal dapat menetapkan dan mengontrol variabel – variabel tertentu

dari suatu masalah. Kemampuan mengontrol variabel merupakan salah satu

ciri penalaran formal. Para pemikir formal menyadari bahwa pada saat

melakukan eksperimen harus dapat mengontrol seluruh faktor yang dapat

mempengaruhi variabel respon untuk mengetahui bagaimana pengaruh

variabel manipulasi itu terhadap variabel respon. Contoh soal : Sebuah

akuarium berbentuk prisma dengan alas berbentuk segitiga siku – siku dengan

panjang rusuk siku – sikunya 60 cm, 80 cm dan tingginya 100 cm. Jika ¾ dari

akuarium tersebut diisi air, hitunglah volume air?. Dalam soal ini siswa

memanivulasi volume prisma sebelum dan sesudah diisi air.

3. Penalaran Probabilistik

Nur(1991:6) mengemukakan bahwa penalaran probalistik terjadi pada saat

seorang menggunakan informasi untuk memutuskan apakah suatu kesimpulan

berkemungkinan benar atau berkemungkinan tidak benar. Perkembangan

penalaran ini dimulai dari perkembangan ide peluang. Konsep probabilitas

sepenuhnya dikuasai anak pada tahap operasi formal. Contoh soal: Sebuah

kotak kue berbentuk prisma, bentuk alasnya persegi dengan rusuk alas 30 cm

dan tinggi 40 cm. Ke dalam kotak hendak disusun kue berbentuk prisma segi

tiga siku –siku dengan rususk siku – sikunya 10 cm dan tinggi sama dengan
21

kotaknya. Hituglah banyaknya kue yang mungkin dapat dimasukkan. Dalam

soal ini siswa menentukkan peluang kue berbentuk prisma segitiga

dimasukkan kedalam kotaknya berbentuk prisma segi empat, dengan tinggi

yang sama.

4. Penalaran Korelasional

Lawson(dalam Nur, 1991:7) Penalaran korelasional didefenisikan sebagai

pola pikir yang digunakan seorang anak untuk menentukan kuatnya hubungan

timbal balik atau hubungan terbalik antara variabel penalaran korelasional

melibatkan pengidentifikasian dan pemverikasian hubungan antar variabel.

Contoh soal :Suatu piramida padat mempunyai tinggi 40 cm dan alas

berbentuk persegi dengan panjang sisi 30 cm diletakkan ke dalam kubus

berukuran 40 cm. kemudian kubus diisi air sampai penuh. Jika piramida

diambil, hitung tinggi air?. Dalam soal ini siswa menghubungkan volume

piramida dengan volume kubus.

5. Penalaran Kombinatorial

Menurut Roadrangka (dalam Nur 1991:7) mengatakan bahwa penalaran

kombinatorial adalah kemampuan untuk mempertimbangkan seluruh

alternatife yang mungkin suatu situasi tertentu. Individu operasional formal

pada saat memecahkan suatu masalah akan menggunakan seluruh kombinasi

atau faktor yang mungkin ada kaitannya dengan masalah tersebut.

Lima kemampuan penalaran formal itu mempunyai cara kerja yang tidak

berbeda dengan penalaran matematika ini telah dipelajari pada matematika sekolah

yang sering disebut dengan persamaan tersamar atau soal cerita. Anak-anak pada

masa konkrit operasional ini telah mampu menyadari konservasi, yaitu kemampuan

anak untuk berhubungan dengan berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda
22

secara serempak. Hal ini karena pada masa ini anak telah mengembangkan tiga

macam proses yang disebut dengan operasi-operasi yaitu negasi, resiprokasi, dan

identitas.

Menurut teori Piaget (1964), setiap individu pada saat tumbuh mulai dari

bayi yang baru di lahirkan sampai mengijak usia dewasa mengalami empat tingkat

perkembangan kognitif. Empat tingkat perkembangan kognitif itu adalah.

1) Sensori motor (usia 0 - 2 tahun)

2) Pra operasional (usia 2 – 7 tahun)

3) Operasional kongkrit (usia 7 – 11 tahun)

4) Operasi formal (usia 11 tahun hingga dewasa).

Berdasarkan tingkat perkembangan kognitif Piaget ini, untuk siswa SLTP

dengan rentang usia 11 – 15 tahun berada pada taraf perkembangan operasi formal.

Pada usia ini yang perlu dipertimbangkan adalah aspek-aspek perkembangan

remaja. Dimana remaja mengalami tahap transisi dari penggunaan operasi kongkrit

kepenerapan operasi formal dalam bernalar. Remaja mulai menyadar keterbatasan-

keterbatasan pemikiran mereka, di mana mereka mulai bergelut dengan konsep-

konsep yang ada di luar pengalaman mereka sendiri.

Piaget menemukan bahwa penggunaan operasi formal bergantung pada

keakraban dengan daerah subyek tertentu. Apabla siswa akrab dengan suatu obyek

tertentu, lebih besar kemungkinannya menggunakan menggunakan operasi formal

(Nur, 2001). Menurut Piaget (dalam Slavin, 1994:145), perkembangan kognitif

sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif

berinteraksi dengan lingkungannya. Berikut ini adalah implikasi penting dalam

pembelajaran matematika dari teori Piaget.


23

1) Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar

pada hasilnya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami

proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.

(Bandingkan dengan teori belajar perilaku yang hanya memusatkan perhatian

kepada hasilnya, kebenaran jawaban, atau perilaku siswa yang dapat diamati).

Pengamatan belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap

kognitif siswa yang mutakhir, dan jika guru penuh perhatian terhadap metode

yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat

dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman sesuai dangan

yang dimaksud.

2) Memperhatikan peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif

dalam kegiatan pembelajaran. Didalam kelas Piaget, penyajikan pengetahuan

jadi (ready-made) tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong

menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan

lingkungannya. Sebab itu guru dituntut mempersiapkan berbagai kegiatan yang

memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.

Menerapkan teori Piaget berarti dalam pembelajaran matematika banyak

menggunakan penyelidikan.

3) Memaklumi akan adanya perbedaan invidual dalam hal kemajuan per-

kembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh

melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu

berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu guru mampu melakukan

upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok kecil dari pada

bentuk kelas yang utuh. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah saat

guru memperkenalkan informasi yang melibatkan siswa menggunakan konsep-


24

konsep, memberikan waktu yang cukup untuk menemukan ide-ide dengan

menggunakan pola-pola berpikir formal.

Penalaran matematika dalam sudut pandang aktivitas dinamik melibatkan

keragaman mode berpikir, dan daya matematika dipandang sebagai komponen

integral dari berpikir matematika. Khususnya berpikir matematika yang melibatkan

keragaman matematika dalam keterampilan berpikir untuk memahami ide-ide,

menemukan hubungan antar ide-ide, dan mendukung gambaran atau kesimpulan

tentang ide-ide dan hubungan-hubungannya, dan memecahkan masalah-masalah

yang melibatkan ide-ide tersebut (O’Daffer dan Thornquist dalam Perissini dan

Webb, 1999).

Penalaran matematika memiliki peran yang amat penting dalam proses

berpikir seseorang. Penalaran matematika meliputi mengumpulkan bukti-bukti,

membuat konjektur-konjektur, menetapkan generalisasi-generalisasi, membangun

argumen-argumen, dan menentukan (dan validasi) kesimpulan-kesimpulan logis

berdasar ide-ide dan hubungan-hubungannya.

2.4 Sikap Siswa Terhadap Matematika

Jika dalam satu kelas terdiri dari berbagai macam kemampuan siswa yaitu

siswa yang berkemampuan tinggi dan kemampuan rendah, maka dapat

memfasilitasinya dengan menggunakan metode yang dapat memperjelas bagi siswa

yang lemah. Selain itu dapat pula dengan cara belajar pendampingan yang

diterapkan pada kelompok lemah dan berusaha membuat pembelajaran yang

menarik dan menyenangkan bagi para siswa semua.


25

Dengan cara menanamkan sikap positif terhadap belajar matematika. Siswa

yang memiliki sikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara lain terlihat

sungguh-sungguh dalam belajar matematika, menyelesaikan tugas dengan baik dan

tepat waktu, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas pekerjaan

rumah dengan tuntas, dan selesai pada waktunya. Dengan demikian, untuk

menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, perlu diperhatikan agar

penyampaian matematika dapat menyenangkan, mudah dipahami, tidak

menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya.

Ruseffendi (1988), mengatakan bahwa anak-anak menyenangi matematika

hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana.

Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya

akan semakin berkurang minatnya. Menurut Begle (1979), siswa yang hampir

mendekati sekolah menengah mempunyai sikap positif terhadap matematika yang

secara perlahan menurun.

Sikap merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau

menolak sesuatu, konsep, kumpulan ide, atau kelompok individu. Matematika dapat

diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan

dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-

beda, mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian, sikap

siswa terhadap matematika adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak

matematika.

Untuk menimbulkan sikap positif siswa terhadap matematika, perlu

diperhatikan agar dalam pembelajaran matematika dapat menyenangkan, mudah

dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak

kegunaannya dalam kehidupan luar. Oleh karena itu, dalam pembelajaran


26

menggunakan pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatan kemampuan

siswa sehingga fobia siswa terhadap matematika dapat hilang.

2.5 Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari Bahasa Inggris Problem-

based Learning dan disingkat PBL pertma kali diperkenalkan oleh Faculty of Helth

siences of McMaster University di Kanada pada tahun 1966 yang menjadi ciri khas

pelaksanaa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan

menyelesaikan suatu masalah, tetapi untuk menyelesaikan masalah itu, siswa

memerlukan pengetahuan baru untuk dapat menyelesaikannya. Pengertian tentang

masalah telah dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan. Pendapat-pendapat para

ahli tersebut secara umum sejalan bahwa yang disebut masalah adalah suatu situasi

yang dihadapi oleh seseorang tetapi dia tidak mempunyai pengetahuan yang cukup

untuk menyelesaikannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Newell & Simon (1972:

287), bahwa masalah adalah suatu situasi di mana individu ingin melakukan sesuatu

tetapi tidak tahu cara dari tindakan yang diperlukan untuk memperoleh apa yang ia

inginkan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa suatu masalah adalah

suatu situasi yang memerlukan penyelesaian dan penyelesaian tersebut tidak dapat

diperoleh secara langsung dengan menggunakan pengetahuan / algoritma yang ada,

tetapi seseorang yang menghadapi masalah itu sadar bahwa situasi tersebut perlu

diselesaikan.

Masalah dapat dibagi atas 2 macam. Menurut Polya (1957) (dalam Dindyal,

2005: 70), masalah dibagi atas dua macam, yaitu masalah rutin dan masalah tidak

rutin. Hal ini sejalan dengan pendapat Sternberg dan Ben-Zeev (1996: 32) bahwa
27

masalah matematika terbagi atas masalah rutin dan masalah tidak rutin. Masalah

rutin adalah suatu masalah yang semata-mata hanya merupakan latihan yang dapat

dipecahkan dengan menggunakan beberapa perintah atau algoritma. Contoh: (54 -

45) + (74 – 65) = ___. Ini Adalah masalah rutin untuk semua siswa sekolah

menengah karena apa yang hendak dilakukan sudah jelas dan secara umum siswa

tahu bagaimana menghitungnya.

Masalah tidak rutin lebih menantang dan diperlukan kemampuan kreativitas

dari pemecah masalah. Menurut Sternberg dan Ben-Zeev (1996: 32), masalah yang

tidak rutin muncul ketika pemecah masalah mempunyai suatu masalah tetapi tidak

segera mengetahui bagaimana memecahkannya. Contoh:Dalam sebuah pesta

rakyat, banyak pengunjung pria dibandingkan pengunjung wanita adalah 5 : 2. Bila

di antara pengunjung pria itu ada 6 orang yang meninggalkan pesta sebelum pesta

usai, maka perbandingan pengunjung pria dan pengunjung wanita menjadi 2 : 1.

Tentukan banyak pengunjung pesta rakyat itu?Soal di atas merupakan soal yang

tidak rutin karena apa yang dilakukan tidak jelas. Siswa dapat saja menyelesaikan

soal ini dengan jelas tapi salah dalam merepresentasikan masalahnya.

Melalui penggunaan masalah-masalah yang tidak rutin, para siswa tidak

hanya terfokus pada bagaimana menyelesaikan masalah dengan berbagai strategi

yang ada, tetapi juga menyadari kekuatan dan kegunaan matematika di dunia sekitar

mereka dan berlatih melakukan penyelidikan dan penerapan berbagai konsep

matematika yang telah mereka pelajari. Karena siswa menerima pengetahuan baru

dalam berbagai situasi pemecahan masalah, maka guru mempunyai peran yang

sangat penting dalam menekankan pemecahan masalah di kelas.

Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu kegiatan untuk mengatasi

kesulitan yang ditemui dengan menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan


28

yang telah diperoleh sebelumnya, dan tidak sebagai suatu keterampilan generik,

agar diperoleh jalan untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Pembelajaran

berbasis masalah menyarankan kepada siswa untuk mencari atau menentukan

sumber – sumber pengetahuan yang relevan. Pembelajaran Berbasis Masalah

memberikan tantangan kepada siswa utuk belajar sendiri. Dalam hal ini siswa lebih

diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit arahan atau bimbingan

guru sementara pada pembelajaran tradisional , siswa lebih diperlakukan sebagai

penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang guru.

Pembelajaran Berbasis Masalah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas

pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi

secara alamiah. Pembelajaran Berbasis Masalah juga mendukung siswa untuk

memperoleh struktur pengetahuan yang terintegrasi dalam masalah dunia nyata,

masalah yang akan dihadapi siswa dalam dunia kerja atau profesi, komunitas dan

kehidupan pribadi(Leli:2010).

Menurut Bound,dkk (1997) Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan suatu

pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan

masalah – masalah praktis, berbentuk ill-structured atau open-ended melalui

stimulus dalam belajar. Pembelajaran Berbasis Masalah dapat pula dimulai dengan

melakukan kerja kelompok antar siswa. Siswa menyelidiki sendiri , menemukan

permasalahan, kemudian menyelesaikan masalahnya di bawah petunjuk fasilitator

(guru). Pembelajaran Berbasis Masalah juga dapat mengubah pola proses belajar

mengajar tradisional di mana sebuah proses yang memberikan topik demi topik

kedapa siswa sehingga mereka terjadi proses asimilasi dan akomodasi bagian demi

bagian pengetahuan untuk membantu siswa sampai ia menjadi profesional dalam

bidang tertentu(Leli :2010).


29

2.6 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah.

Untuk memecahkan masalah dibutuhkan berbagai cara yang tepat. Berbagai

cara pemecahan masalah tersebut digunakan para ilmuwan agar dapat mendesain

penyelidikan, melakukan penyelidikian, dan menginterpretasikan hasil penyelidikan

itu sendiri. Dalam hal ini, seorang pemecah masalah harus memahami masalah

terlebih dahulu. Pemahaman terhadap masalah ini merupakan salah satu proses

yang sangat penting dalam memecahkan masalah terkait dengan representasi

masalah ke dalam model matematika.

Strategi dalam pemecahan masalah berisi seperangkat langkah - langkah

penyelesaian dalam menemukan solusinnya. Menurut Brueckner (1961) langkah –

langkah pemecahan masalah adalah sebagai berikut: (1) menemukan apa yang

menjadi pertanyaan dari permasalahan yang diberikan, (2) menemukan fakta – fakta

dari permasalahan tersebut, (3) mencoba berfikir tentang cara untuk menemukan

jawaban dari pertanyaan permasalahan, (4) melakukan perhitungan, (5) mencek

kembali jawaban untuk melihat kebenaran.

Sementara itu Sumarno (2006) menyatakan bahwa pemecahan masalah

matematik sebagai kegiatan yang meliputi; (1) mengidentifikasi kecukupan data

untuk pemecahan masalah, (2) membuat model matematik dari suatu situasi atau

masalah sehari – hari dan menyelesaikannya, (3) memilih dan menerapkan strategi

untuk menyelesaikan masalah matematika atau diluar matematika, (4)menjelaskan

atau menginterpretasikan hasil suatu masalah asal, serta memeriksa kebenaran hasil

atau jawaban, (5) menerapkan matematika secara bermakna.

Pada penelitian ini kemampuan pemecahan yang digunakan adalah langkah

pemecahan masalah Polya, yang meliputi:


30

a. Memahami Masalah

Memahami masalah adalah kegiatan yang sangat penting dalam

menyelesaikan suatu masalah. Dalam memahami masalah, indikator yang

menyangkut memahami masalah antara lain: (1) Hal – hal apa yang sudah

diketahui?, (2) bagaimana kondisi data?, (3) apakah data yang ada sudah cukup?,

Pada proses memahami masalah ini siswa diharapkan mampu menuliskan semua

data yang diperolehnya.

b. Menyusun rencana

Tahap menyusun renacana ini ditentukan dengan kemampuan siswa dalam

menghubungkan antara hal yang tidak diketahui dengan hal yang diketahuinya.

Berikutnya disusun rencana pemecahan masalahnya dengan memperhatikan: (1)

apakah siswa dapat menyelesaikan permasalahan tersebut? (2) teori mana yang

dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut?, (3) apakah semua data

sudah dapat digunakan? . Pada proses ini siswa mampu melakukan sitematika

langkah – langkah penyelesaian.

c. Melaksanakan rencana

Tahap melaksanakan rencana pemecahan masalah adalah menjalankan

rencana pemecahan yang telah disusun pada tahap kedua. Pada proses ini siswa

mengkaji: (1) Apakah rencana yang disusun tersebut telah sesuai? , (2) bagaimana

membuktikan bahwa langkah – langkah tersebut telah tepat yaitu memperoleh

jawaban yang benar.

d. Memeriksa kembali

Dalam tahap memeriksa kembali ini siswa dituntut untuk mengontrol hasil

pengerjan dari awal sampai akhir kegiatan pemecahan masalah.


31

Ibrahim dan Nur (2003:13) mengemukakan bahwa secara garis besar

pembelajaran berbasis masalah terdiri dalam lima tahapan utama. Kelima langkah

tersebut akan dipaparkan pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Tabel Tahap – tahap Pengembangan Pembelajaran Berbasis


Masalah
Fase Indikator Perilaku guru
1. Orientasi siswa pada Guru menjelaskan tujuan Pembelajaran,
masalah menjelaskan logistik yang dibutuhkan,
memotivasi siswa untuk terlibat pada aktivitas
penyelesaian masalah.
2. Mengorganisasi siswa untuk Guru membantu siswa mendefenisikan dan
belajar mengorganisasi tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah.
3. Membimbing investigasi Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
individual maupun informasi yang sesuai, melaksanakan obsrvasi
kelompok untuk menyelesaikan masalah.
4. Mengembangkan dan Guru membantu siswa dalam merencanakan
menyajikan hasil karya dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan dan membantu mereka untuk berbagi
tugas dengan temannya.
5. Menganalisis dan Guru membantu siswa untuk melakukan
mengevaluasi proses refleksi atau evaluasi terhadap investigasi dan
penyelesaian masalah proses yang mereka lakukan.

2.7 Teori Belajar yang Melandasi Pembelajaran Berbasis Masalah untuk

Meningkatkan Penalaran Formal dan Sikap Positif Siswa

Menurut Ruseffendi (2006: 178), teori belajar mengajar yang dipergunakan

dalam melaksanakan pemecahan masalah adalah campuran: aliran pengaitan itu

dipakai, misalnya untuk menghafalkan simbol, arti sesuatu, nama dan lain-lain;
32

aliran psikologi perkembangan dipakai dalam rangka menumbuhkan kreatif siswa,

bersikap positif kepada pelajarannya, menumbuhkan bakat siswa, menanamkan

pengertian, dan lain-lain; dan aliran tingkah laku juga dipergunakan dalam hal

penguasaan yang diperlukan. Walaupun begitu, mengingat sentral pengajaran

matematikan adalah pemecahan masalah (yang lebih mengutamakan proses

daripada produk), teori belajar mengajar yang akan lebih berperan adalah aliran

psikologi perkembangan dari Piaget, Bruner, dan rekan-rekannya yang sepaham.

Menurut Piaget, perkembangan kognitif intelektual seseorang terjadi dalam

tiga aspek, yaitu struktur (skemata), isi, dan fungsi. Skemata merupakan organisasi

mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu ketika berinteraksi dengan

lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada

responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi

adalah cara yang digunakan seseorang untuk membuat kemajuan-kemajuan

intelektual yang terdiri dari organisasi dan adaptasi.

Organisasi memberikan seseorang kemampuan untuk mengorganisasi

proses-proses fisik atau psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan

berhubungan. Sedangkan adaptasi merupakan kecendeungan seseorang untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka yang berbeda antar setiap individu

yang dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam asimilasi,

seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk

menanggapi masalah yang dihadapi lingkungannya. Sedangkan akomodasi

seseorang diperlukan untuk memodifikasi struktur mental yang ada dalam

mengadakan respon terhadap tantangan lingkungannya. Dengan dihadapkannya

siswa pada suatu masalah yang tak lain informasi kemudian menggunakan

kemampuan yang sudah ada untuk menyusun informasi tersebut dalam pikirannya.
33

Konsekuensi teori Piaget dalam pembelajaran adalah pembelajaran harus

dipusatkan pada proses berpikir atau proses mental, bukan sekedar pada hasilnya.

Siswa juga harus diupayakan berperan secara aktif dan berinisiatif sendiri terlibat

dalam kegiatan pembelajaran. Guru harus memaklumi bahwa ada perbedaan

individual dalam kemajuan perkembangan mental anak. Dalam konteks ini,

pembelajaran berbasis masalah sesuai dengan teori Piaget.

Menurut Bruner, belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan

manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada

dirinya. Proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran

diawali dengan tahap enaktif (menggunakan benda-benda konkret atau situasi

nyata), kemudian ke tahap ikonik (menggunakan modus representasi atau

diwujudkan dalam bentuk bayangan viual (visual imagery), gambar, diagram, yang

menggambarkan kegiatan konkret atau situasi nyata yang terdapat pada tahap

enaktif); dan selanjutnya ke tahap simbolik (pengetahuann direpresentasikan dalam

bentuk simbol-simbol abstrak, baik simbol verbal, lambang-lambang matematika,

maupun lambang-lambang abstrak lainnya).

Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-

prinsip dalam memecahkan masalah dan guru berfungsi sebagai motivator bagi

siswa dalam mendapatkan pengalaman yang memungkinkan mereka menemukan

dan memecahkan masalah.

Ausubel mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna bila informasi

yang dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif siswa. Dengan belajar

bermakna, siswa akan dapat mengingat lebih lama tentang yang ia peajari, proses

transfer belajar menjadi lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, maka pembelajaran

dengan pemecahan masalah sesuai dengan teori Ausubel karena pembelajaran


34

dengan pemecahan masalah mengarahkan siswa untuk menyelesaikan masalah

kontekstual yang membuat siswa dapat membentuk relasi matematis sendiri dan

suasana berpikir siswa harus dapat dibentuk tidak hanya sekedar mentrasnfer apa

yang dipunyai oleh guru kepada siswa.

2.8 Pembelajaran dengan Pendekatan Biasa

Pembelajaran biasa, disebut juga pembelajaran konvensional atau

pembelajaran tradisional. Menurut Ruseffendi (1988: 350) bahwa pembelajaran

biasa ialah pembelajaran yang pada umumnya yang biasa kita lakukan sehari-hari.

Menurut Kennedy dan Tipps (1994: 37) memandang bahwa pembelajaran yang

selama ini sering dilakukan oleh guru pada umumnya disebut pembelajaran

langsung, dimana seorang guru memberikan materi, siswa mendengarkan, guru

memberikan pertanyaan, dan memberikan tes untuk mengetahui sejauh mana siswa

memperoleh pelajaran/materi sehingga pembelajaran ini sangatlah pasif bagi siswa.

Menurut Ujang Sukandi(2009) mendeskripsikan bahwa Pendekatan biasa

ditandai dengan  guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep

bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk

melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak

mendengarkan.  Di sini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud 

adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pen-

transfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.  

Institute of Computer Technology (2006:10) menyebutnya dengan istilah

“Pengajaran tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang

berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan
35

di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pengajaran model ini dipandang efektif,

terutama untuk:

a.   Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.

b.   Menyampaikan informasi dengan cepat.

c.   Membangkitkan minat akan informasi.

d.   Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.

Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai beberapa

kelemahan sebagai berikut:

a.    Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.

b.    Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa

yang dipelajari.

c.   Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis.

d.   Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan

tidak bersifat pribadi.

Menurut Ruseffendi (1988: 290) menyatakan bahwa metode ekspositori

sama dengan cara mengajar yang biasa (tradisional) kita pakai pada pengajaran

matematika. Merujuk pada pendapat tersebut, untuk keperluan dalam penelitian ini

yang dimaksud dengan pembelajaran biasa adalah pembelajaran dengan

menggunakan metode ekspositori secara klasikal. Di sini ditekankan bahwa metode

ekspositori berbeda dengan metode ceramah, mengingat dominasi guru pada

metode ekspositori dikurangi meskipun ceramah dan resitasi (tanya-jawab) masih

digunakan.

Pembelajaran biasa adalah cara penyampaian pelajaran dari seorang guru

kepada siswa di dalam kelas dengan cara berbicara di awal pelajaran, menerangkan

materi dan contoh soal disertai tanya jawab. Dimana siswa tidak hanya mendengar
36

dan membuat catatan. Guru bersama siswa bersam siswa berlatih menyelesaikan

soal latihan dan siswa bertanya kalau belum mengerti. Guru dapat memeriksa

pekerjaan siswa secara individual, menjelaskan lagi secara individual atau klasikal.

Siswa menegrjakan latihan sendiri atau dapat bertanya kepada temannya, atau

disuruh guru untuk mengerjakannya di papan tulis. Walaupun dalam hal

terpusatnya kegiatan pembelajaran masih kepada guru, tetapi dominan guru sudah

banyak berkurang. Dalam penbelajaran ekspositori dibedakan menjadi :

a. Belajar dengan menerima (reception learning), dan

b. Belajar melalui penemuan (discovery learning)

Jika materi yang disajikan kepada siswa lengkap sampai bentuk akhir yang

berupa rumus atau pola bilangan, maka cara belajar siswa dikatakan belajar

menerima. Sedangkan untuk belajar melaui penemuan siswa menemukan bentuk

akhir berupa rumus atau pola bilangan sendiri.

Belajar juga dibedakan pula menjadi:

a. Belajar dengan menghafal (rote learning), dan

b. Belajar dengan pengertian (meaningful learning).

Pada belajar dengan pengertian yang diutamakan adalah prosesnya, hasilnya

hanya nomor dua. Belajar dengan menerima dan melalui penemuan kedua-duanya

bisa menjadi belajar dengan menghafal atau dengan pengertian. Sebagai contoh

kalau anak belajar teorema Pythagoras lengkap hingga rumusnya dengan cara

menerima, selanjutnya rumus itu selalu dikaitkan dengan hubungan antara ukuran

sisi siku-siku dan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar menerima itu menjadi

belajar pengertian. Juga, jika siswa memperoleh teorema Pythagoras itu melalui

penemuan kemudian rumus itu selalu dikaitkan dengan hubungan antara ukuran sisi

siku-siku dan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar dengan penemuan itu
37

menjadi belajar dengan pengertian.

Pembelajaran biasa adalah pembelajaran yang biasa dilakukan guru selama

ini dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah yang diawali dengan menyajikan

materi menggunakan metode ceramah. Bahan ajar disajikan dalam bentuk yang

telah dipersiapkan secara rapi, sistematik dan lengkap, sehingga siswa tinggal

menyimak dan mencernanya secara teratur dan tertib, kemudian memberikan

contoh soal yang selanjutnya memberikan latihan sesuai dengan contoh untuk

dikerjakan siswa.

Beberapa perbedaan antara pembelajaran berbasis masalah dan

pembelajaran biasa adalah:

Tabel 2.2. Perbedaan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Bias


No Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran Biasa
Guru Guru
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, Guru menjelaskan tujuan
1
menjelaskan logistik yang dibutuhkan, pembelajaran, memotivasi
memotivasi siswa. siswa.
Guru membantu siswa mendefinisikan Guru langsung mendefinisikan
2 dan mengorganisir tugas belajar yang materi pada pembelajaran
berhubungan dengan masalah tersebut.
Guru mendorong siswa untuk Guru memberikan contoh
mengumpulkan informasi yang sesuai, aplikasi konsep selanjutnya
3
melaksanakan observasi untuk meminta siswa untuk
menyelesaikan masalah. mengerjakan di papan tulis
Penekanan tidak hanya pada Pengetahuan adalah
penyelesaian tugas tetapi juga penangkapan terhadap
4 interpersonal (hubungan antar pribadi serangkaian fakta, konsep, atau
yang saling menghargai) hukum yang berada di luar diri
manusia.
5 Bahan Ajar Bahan Ajar
Masalah yang diajarkan merupakan Berupa materi yang sudah jadi,
situasi suatu masalah sehari-hari soal-soal yang diberikan yang
38

(kontekstual) yang dituangkan dalam terdapat pada buku.


LAS.

Berdasarkan perbedaan di atas, pembelajaran berbasis masalah memberikan

pembelajaran yang aktif dengan mengaktifkan peserta didik mengkontruktusikan

pengetahuan awal berupa konsep-konsep yang dihubungkan untuk memecahkan

masalah. Pengalaman awal peserta didik dan situasi pengetahuan yang didapat

mereka akan berarti atau bernilai dan nampak sebagai dasar dalam pembelajaran. Di

sini juga terjadi kerjasama antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa.

Sedangkan dalam pembelajaran biasa guru mendominasi pembelajaran dan

terjadi komunikasi satu arah, tidak terjalinnya kerjasama yang baik antara guru

dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa sehingga kurang berkembangnya

proses berpikir siswa. Sikap seperti ini akan membuat siswa menjadi pasif dan

pelajaran matematika pelajaran yang menbosankan, sehingga siswa tidak mengerti

akan hitungan dalam matematika. Disini guru senantiasa segera menjawab

pertanyaan-pertanyaan siswa sehingga tidak menantang siswa untuk berpikr lebih

kritis dan paham akan informasi yang diperoleh yang dapat mendorong mereka

untuk penguasaan matematika.

Pengajaran matematika secara biasa mengakibatkan siswa hanya bekerja

secara prosedural dan memahami matematika tanpa penalaran berorientasi pada

perilaku dan strukturalis, yang lebih menekankan hafalan dan drill merupakan

penyiapan yang kurang baik untuk kerja siswa nantinya, guru mengajar dengan

menggunakan buku paket sebagai “resep”, strategi pembelajaran lebih didominasi

oleh upaya untuk menyelesaikan materi pembelajaran dalam waktu yang tersedia,
39

dan kurang adanya upaya agar terjadi proses dalam diri siswa untuk mencerna

materi secara aktif.

Berdasarkan perbedaan di atas, bahwa pembelajaran berbasis masalah

memiliki karakteristik tersendiri baik dilihat dari proses pelaksanaan maupun

pengelolaannya. Guru harus mampu membuat masalah untuk menggugah motivasi

belajar siswa, bahkan membuat siswa tertantang untuk menyelesaikan masalah

tersebut. Dalam proses pembelajaran biasa malah terlihat lebih monoton.

2.9 Ketuntasan Siswa dengan Pembelajaran Berbasis Masalah

Berdasarkan surat Dirjendikdasmen No.1321/c4/MN/2004 tentang

Pengkajian Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) atau Kriteria Ketuntasan

Minimal (KKM) Kurikulum 2004 dan sesuai dengan pelaksanaan Standar Isi, yang

menyangkut masalah Standar Kopetensi (SK) dan Kopetensi dasar (KD),. maka

sesuai dengan petunjuk dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun

2006, maka dipandang perlu setiap sekolah-sekolah untuk menentukan Standar

Ketuntasan Minimal (KKM)-nya masing-masing sesuai dengan keadaan sekolah

dimana sekolah itu berada, Artinya antara sekolah A dengan sekolah B bisa KKM-

nya berbeda satu sama lainnya.

Dalam penetapam KKM ini masih ada beberapa sekolah atau guru bidang

study yang belum memahaminya. Akibatnya beberapa diantara guru mengalami

kesulitan untuk menetapkam KKM pada Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS) atau

dulu kita kenal dengan Rapor. Sesuai dengan petunjuk yang ditetapkan oleh BSNP

maka ada beberapa rambu-rambu yang harus diamati sebelum ditetapkan KKM di

sekolah. Adapun rambu-rambu yang dimaksud adalah :


40

1. KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran.

2. KKM ditetapkan oleh forum MGMP sekolah.

3. KKM dinyatakan dalam bentuk prosentasi berkisar antara 0-100, atau

rentang nilai yang sudah ditetapkan.

4. Kreteria ditetapkan untuk masing-masing indikator idealnya berkisar 75 %

5. Sekolah dapat menetapkan KKM dibawah kreterian ideal ( sesuai kondisi

sekolah).

6. Dalam menentukan KKM haruslah dengan mempertimbangkan tingkat

kemampuan rata-rata peserta didik, kompleksitas indikator, serta kemampuan

sumber daya pendudkung.

7. KKM dapat dicantumkan dalam LHBS sesuai model yang ditetapkan atau

dipilih sekolah.

8. Dari berbagai rambu-rambu yang ada itu, selanjutnya melalui kegiatan

Musyawarah Guru Bidang Study (MGMP) maka akan dapat diperoleh berapa

KKM dari masing-masing bidang study.

Ketuntasan belajar merupakan pencapaian hasil belajar yang ditetapkan

dengan ukuran atau tingkat pencapaian kompetensi yang memadai dan dapat

dipertanggungjawabkan sebagai prasyarat penguasaan kompetensi lebih lanjut.

Seorang siswa (individual) disebut telah tuntas dalam belajar, bila siswa telah

mencapai skor 65. Sedangkan suatu kelas dikatakan telah tuntas jika 80% siswa

telah mencapai skor 65. Artinya jika belum tercapai ketuntasan maka perlu
41

diadakan diagnostik dan remedial sebelum materi dilanjutkan.

Pendekatan biasa yang selama ini diterapkan guru belum tentu mampu

membuat siswa mencapai ketuntasan belajar. Yang terjadi selama ini guru hanya

menjalani rutinitas menyampaikan materi dan tidak terlalu peduli sejauh mana

penjelasan yang diberikannya mampu diterima dan dipahami siswa. Tak jarang saat

ujian semester barulah guru mengetahui kebanyakan siswanya tidak tuntas dan

secara massal diadakan remidial.

Dengan model pembelajaran berbasis masalah, siswa diberikan masalah dan

menyelesaikan sendiri. Berarti siswa dipaksa untuk tuntas memahami konsep

pelajarannya sehingga mampu bernalar untuk menyelesaikan masalah yang

diberikan. Berarti langkah-langkah belajar dengan pembelajaran berbasis masalah

membuat siswa harus menuntaskan belajarnya. Dengan demikian diprediksi

pembelajaran berbasis masalah membuat hasil belajar siswa tuntas.

2.11 Hasil Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan berkaitan dengan pembelajran berbasis

masalah untuk meningkatkan kemampuan penalaran formal matematis siswa dan

sikap siswa terhadap matematika adalah sebagai berikut : Penelitian dengan

pembelajaran berbasis masalah telah diteliti oleh Leni (2011) dalam penelitiannya

pada siswa MTs Al –Hasyimiyah Tebing Tinggi yang menyatakan hasil belajar

mengalami peningkatan. Dengan rata-rata 6,94 untuk kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa yang dengan pembelajaran berbasis masalah dan 6,08

untuk kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dibelajarkan dengan

pengajaran langsung.
42

Selain itu hasil penelitian Yumira (2011), juga menemukan bahwa nilai rata-

rata kemampuan berpikir kreatif yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah

sebesar 8,24 sedangkan kemampuan berpikir kreatif yang diajar dengan pengajaran

langsung sebesar 5,39. . Hal ini berarti kemampuan berpikir kreatif siswa yang

diajar melalui pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang diajar

melalui pengajaran langsung.

Penerapan model pembelajaran berbasis masalah juga telah diteliti oleh

Patuan (2011) dalam penelitiannya menyatakan pemahaman konsep matematika

siswa dan kemampuan pemecahan masalah mengalami peningkatan. Dari hasil

siklus I terdapat 76,67% dari jumlah siswa yang telah mengikuti tes telah memiliki

tingkat kemampuan memahami konsep berada dalam kategori minimal cukup dan

73,33% telah memiliki tingkat pemecahan masalah berada dalam kategori minimal

cukup . Pada Siklus II terdapat 90,00% dari jumlah siswa yang mengikuti tes telah

memiliki tingkat kemampuan memahami konsep minimal cukup dan 86, 67% telah

memiliki tingkat pemecahan masalah berada dalam kategori minimal cukup.

Mengkaji beberapa temuan penelitian terdahulu, tampak bahwa

pembelajaran berbasis masalah menunjukkan efektivitas yang sangat tinggi bagi

perolehan hasil belajar siswa, baik dilihat dari pengaruhnya terhadap penguasan

materi, pemahaman, ketuntasan belajar, berfikir kreatif bila dibandingkan dengan

menerapkan pembelajaran biasa.

2.12 Kerangka Berpikir

2.12.1 Peningkatan Kemampuan Penalaran Formal Matematika Siswa Yang

Pembelajarannya Menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah


43

(PBM) Lebih Baik Secara Signifikan Dibandingkan Dengan Siswa

Yang Pembelajarannya Menggunakan Pembelajaran Biasa

Peningkatan kemampuan penalaran formal dapat tercapai melalui strategi

pembelajaran, model pembelajaran, metode dan juga pendekatan pembelajaran.

Salah satu pendekatan pembelajaran. Salah satu pendekatan pembelajaran yang

dapat meningkatkan penalaran formal matematika siswa adalah Pembelajaran

Berbasis Masalah. Pembelajaran Berbasis Masalah dikembangkan berdasarkan

situasi/ masalah dengan mengajukan pertanyaan berdasarkan hal – hal yang

diketahui dan tidak diketahui dari situasi / masalah yang dihadapi, merencanakan

penyelesaian masalah melalui cara dan bahasanya sendiri.

Selama ini pembelajaran matematika kurang menjadi perhatian bagi siswa,

karena matematika masih menjadi momok yang menakutkan sehingga dengan

adanya pembelajaran dengan Pembelajaran Berbasis Masalah, matematika bukan

lagi menjadi momok yang menakutkan. Karena di dalam Pembelajaran Berbasis

Masalah, siswa dihadapkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan atau

diselesaikan siswa sendiri sehingga siswa dapat lebih berperan aktif dalam proses

pembelajaran. Di dalam pemecahan masalah juga membutuhkan daya pikir tingkat

tinggi. Siswa harus menguasai konsep yang telah dipelajari sehingga dapat

digunakan siswa menyelesaikan soal atau masalah dengan kehidupan sehari-hari

yang membutuhkan penalaran.

Dalam kegiatan belajar mengajar terjadi hubungan timbal balik antara guru

dengan siswa untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini guru diharapkan

mampu mengkaji dan memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa

melalui pengkajian seksama dan dapat melakukan penilaian terhadap kemampuan


44

penalaran siswa terhadap matematika. Karena matematika bukanlah ilmu yang

berisi hafalan rumus belaka, akan tetapi matematika merupakan ilmu yang cara

berpikirnya menggunakan penalaran. Sehingga siswa mampu berpikir dan

mengutarakan suatu gagasan atau ide tanpa rasa takut yang sesuai dengan

kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pemikiran diatas, siswa yang diajarkan dengan pendekatan

pembejaran berbasis masalah dapat meningkatkan penalaran formal matematika

siswa sedangkan pembelajaran biasa kurang dapat meningkatkan penalaran formal

matematika siswa SMP.

2.12.2 Peningkatan Sikap Positif Siswa Yang Pembelajarannya Menggunakan

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Lebih Baik Secara Signifikan

Dibandingkan Dengan Siswa Yang Pembelajarannya Menggunakan

Pembelajaran Biasa

Sikap siswa dalam pembelajaran memberikan pengaruh langsung terhadap

situasi pembelajaran dalam kelas dan sebagai modal awal untuk melanjutkan proses

pembelajaran. Sikap belajar dapat diartikan sebagi kecenderungan prilaku

seseorang dalam hal – hal yang bersifat akademik. Sikap dalam matematika adalah

persoalan menerima dan tidak menerima terhadap objek matematika. Ukuran suka

dan tidak suka seseorang tentang matematika yaitu kecenderungan seseorang untuk

terikat atau menghindar dari kegiatan matematika siswa yang menerima berarti

sikap positif. Sedangkan yang menolak matematika berarti bersikap negatif.

Dalam proses pembelajaran matematika sikap positif siswa sangat

diperlukan, dan salah satu cirinya adalah siswa gemar mengemukakan ide yang

baru untuk mempermudah alur pikir dari suatu problema. Apabila siswa bersikap
45

negatif akan menimbulkan kebosanan pemberontakan dalam diri siswa, dan salah

satu penyebabnya adalah pengalaman belajar yang kurang menarik dari guru.

Ciri – ciri sikap positif ini dapat dimunculkan dalam pembelajaran berbasis

masalah. Sebaliknya apabila siswa bersikap negatif terhadap mata pelajaran

matematika akan menunjukkan hal – hal diluar dari/ kebalikan dari ciri – ciri siswa

yang bersikap positif. Beberapa sikap negatif adalah sebagian siswa kurang

menyukai matematika. Penggunaan metode biasa yang cenderung digunakan oleh

guru adalah ceramah, diskusi, tanya jawab dan pembelajaran biasa. Pembelajaran

biasa yang diterapkan dalam proses pembelajaran membuat siswa mempunyai sikap

negatif terhadap matematika. Pembelajaran yang bervariasi dapat diidentifikasi

salah satu faktor penyebab terjadinya sikap negatif dari siswa terhadap pelajaran

matematika, hal ini terdapat dalam pembelajaran biasa.

Dari uraian tersebut di atas, maka pembelajaran berbasis masalah dapat

menjadi salah satu pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan sikap siswa

menjadi ke arah yang positif.

2.12.3 Interaksi Antara Pembelajaran dengan Kemampuan Awal Matematika

Siswa Terhadap Penalaran Formal Matematika Siswa

Dalam kegiatan hidup manusia akan selalu dibarengi dengan proses

interaksi, baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi dengan sesamanya,

maupun interaksi dengan Tuhannya, baik disengaja maupun tidak disengaja. Dari
46

berbagai interaksi tersebut di atas, khususnya interaksi yang disengaja, sering

disebut dengan interaksi edukatif. Interaksi edukatif maksudnya adalah interaksi

yang sengaja dilakukan dalam suatu kelompok atau ikatan untuk tujuan tertentu

Dalam pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan penalaran

formal siswa terdapat suatu interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan

kategori kemampuan matematika siswa dengan kategori tinggi, sedang, dan rendah.

Pada pembahasan di latar belakang masalah telah dikemukan bahwa pembelajaran

juga dipengaruhi dengan tingkat kemampuan siswa. Dalam penelitian ini, interaksi

yang dimaksud adalah dalam hal menggunakan pembelajaran berbasis masalah dan

pembelajaran biasa pada setiap kategori kemampuan siswa mana yang lebih baik

digunakan. Biasanya pembelajaran berbasis masalah memberikan efek perbedaan

yang lebih baik pada siswa dengan kategori kemampuan sedang dan rendah

dibandingkan dengan siswa pada kategori kemampuan tinggi.

Untuk siswa dengan kategori kemampuan tinggi, pembelajaran dengan

pembelajaran berbasis masalah tidak memberi pengaruh besar dan dengan

pembelajaran cara biasa mereka mampu memecahkan permasalahan yang

diberikan. Sebaliknya, untuk siswa yang berada pada kategori kemampuan sedang

dan rendah, pembelajaran berbasis masalah membantu untuk mengoptimalkan

pengetahuannya sehingga dengan adanya penggunaan model dalam pembelajaran

yang dilakukan memberikan jalan bagi siswa untuk mengkonstruksi

pengetahuannya dalam berpikir kritis. Tetapi, jika menggunakan pembelajaran

biasa yang dalam prosesnya hanya terpusat pada guru menjadikan siswa pada

kategori kemampuan sedang dan rendah sulit untuk memahami materi ataupun

persoalan yang disajikan guru.


47

Dalam kemampuan penalaran formal matematika, siswa yang berada pada

kategori kemampuan tinggi untuk menyelesaikan permasalahan memiliki perbedaan

dibandingkan dengan siswa yang berada pada kategori kemampuan sedang dan

rendah. Bagi siswa yang berkemampuan tinggi, setiap langkah penyelesaiannya

dalam penalaran formal dapat dengan mudah dilaluinya tanpa kesulitan. Sedangkan

bagi siswa dengan kemampuan sedang dan rendah, kemungkinan menghadapi

kesulitan dalam penalaran formal matematika siswa. Mungkin saja bagi siswa yang

berkemampuan sedang mengalami kesulitan pada tahap mengenal dan memecahkan

masalah. Dengan demikian, dalam penelitian ini diharapkan interaksi antara

pembelajaran dengan kategori kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan

kemampuan penalaran formal matematis siswa memberikan hasil yang optimal

terhadap pendidikan.

2.13 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, maka

hipotesis penelitian ini adalah :


48

1. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran formal siswa melalui

pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang memperoleh pembelajaran

biasa.

2. Terdapat perbedaan sikap siswa melalui pembelajaran berbasis masalah dengan

siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

3. Terdapat interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal matematika

siswa terhadap penalaran formal matematika siswa

Selain itu perlu dikaji secara deskriptif pertanyaan penelitian yang ada di dalam

rumusan masalah yaitu:

4. Bagaimana ketuntasan belajar siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis

masalah?

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian


49

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan

metode eksperimen dalam bentuk kuasi eksperimen. Penelitian ini bertujuan

menelaah tentang peningkatan kemampuan penalaran formal matematika, sikap

siswa terhadap matematika dan pola jawaban siswa yang dipengaruhi oleh

pendekatan pembelajaran yaitu pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran

biasa.

3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di YPI SMP Hikmatul Fadhilah Medan. Adapun

alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena pembelajaran matematika

selama ini masih pembelajaran biasa dengan pembelajaran didominasi oleh guru,

siswa pasif dan selalu menunggu perintah guru, interaksi siswa dengan siswa

maupun guru jarang terjadi.

3.3 Populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel

3.3.1 Populasi Penelitian

Menurut Sugiyono (209: 61), populasi adalah generalisasi yang terdiri atas

subjek atau objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.

Sedangkan menurut Arikunto (2002: 108) populasi adalah keseluruhan subjek

penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII YPI SMP Hikmatul

Fadhilah Medan. Ditetapkan siswa kelas VIII karena siswa kelas VIII merupakan

siswa menengah pada jenjang yang sudah dapat menyesuaikan diri dengan
50

lingkungannya, pada kelas VIII terdapat materi yang dianggap tepat disampaikan

dengan pembelajaran berbasis masalah dan pada kelas VIII siswa telah menerima

cukup banyak materi prasyarat untuk menunjang materi yang dipilih sebagai bahan

ajar penelitian. Sedangkan alasan tidak dipilihnya kelas VII dan IX sebagai subyek

penelitian didasarkan pada pertimbangan: siswa kelas VII merupakan siswa baru

yang berada pada masa transisi dan penyesuaian. Sedangkan siswa kelas IX

merupakan kelas yang sedang secara khusus dipersiapkan untuk menghadapi Ujian

Nasional (UN) sehingga apabila digunakan sebagai subjek penelitian ini akan

menggangu kegiatan yang sudah dijadwalkan.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa YPI SMP Hikmatul

Fadhilah Medan kelas VIII yang terdiri dari 2 kelas dengan jumlah siswa

keseluruhan 80 orang. Sampel yang ada diambil 2 kelompok terdiri dari kelompok

kontrol dan kelompok eksperimen dengan jumlah 80 orang siswa untuk

menentukan perlakuan pada setiap kelompok secara undian dan diperoleh 40 orang

siswa sebagai kelompok perlakuan pembelajaran berbasis masalah dan 40 orang

siswa pada kelompok perlakuan pembelajaran biasa.

3.3.2 Tekhnik Pengambilan Sampel

Sampel merupakan sebahagian dari populasi yang diperoleh secara

representatif, artinya karakteristik populasi tercermin dalam sampel yang diambil

(Sudzana, 1992). Sampel Penelitian ini direncanakan 2 kelas yang diambil dengan

menggunakan teknik acak kelas ( cluster random sampling ). Hal in sesuai dengan

pendapat Russefendi (1998: 78) salah satu cara memilih sampel mewakili

populasinya adalah cara random sederhana, yaitu bila setiap anggota dari populasi

mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih. Lebih lanjut Russefendi

(1998:79) mengatakan salah satu cara memperoleh sampel secara random adalah
51

dengan memberi nomor anggota populasi pada kertas- kertas kecil, kemudian

digulung, dimasukkan ke suatu tempat lalu diundi diambil sebanyak yang

diperlukan. Sehingga pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah dengan

penomoran tiap kelas pada kertas lalu dilakukan undian.

Peneliti tidak mungkin mengambil secara acak untuk membentuk kelas baru

maka peneliti mengambil unit sampling terkecilny adalah kelas. Dilakukan undian

untuk memilih kelompok pembelajaran berbasis masalah yaitu kelas VIII-1, terpilih

kelas pembelajaran biasa yaitu kelas VIII-2. Kelompok yang menggunakan

pembelajaran biasa adalah kelompok kontrol dengan jumlah 40 orang, sedang

kelompok pembelajaran yang menggunkan pembelajaran berbasis masalah adalah

kelompok eksperimen.

3.4 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi-eksperimen)

dengan rancangan kelompok pretest-postest kontrol (Pretes Posttest Control Group

design). Dalam rancangan ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara random

yang dijadikan satu sebagai kelas eksperimen dan satu sebagai kelas kontrol.

Dengan demikian untuk mengetahui perbedaan kemampuan penalaran formal

matematika siswa dan sikap siswa terhadap matematika dilakukan dengan

rancangan penelitian pada tabel 3.1 sebagai berikut:

Tabel 3.1 Desain Penelitian

Kelompok Pretes Perlakuan Posttes


Eksperimen O X O
52

Kontrol O X O

Pada disain ini kelas eksperimen diberi perlakuan pembelajaran dengan

pembelajaran berbasis masalah dan kelas kontrol diberi perlakuan dengan

pembelajaran biasa. Tidak ada perlakuan khusus yang diberikan pada kelas kontrol.

Dan Kedua kelas tersebut diberi pretest dan postest. Adapun tujuan diberikan

pretest untuk melihat kesetaraan antara subjek penelitian, sedangkan postest

diberikan untuk melihat perbedaan kemampuan penalaran formal matematika dan

sikap siswa terhadap matematika. Kemudian keterkaitan antara variabel bebas dan

variabel terikat disajikan dalam model Weiner disajikan pada Tabel 3.2 berikut :

Tabel 3.2 Tabel Weiner tentang Keterkaitan antara Variabel Bebas Terikat
Dan Kontrol
Kemampuan Yang Pendekatan Pembelajaran
diukur PBM(A1) PB (A2)
Penalaran A 1 B1 A2B1 PB1
Formal(B1)
Sikap (B2) A1B2 A2B2 PB2
PA1 PA2

Keterangan:
Contoh: PA1 B1 adalah kemampuan penalaran formal matematika siswa dengan
pendekatan pembelajaran berbasis masalah.

3.5 Variabel penelitian

Variabel penelitian ini terdiri atas dua jenis variabel yaitu variabel bebas dan

variabel terikat. Variabel bebasnya adalah pembelajaran matematika dengan

pendekatan matematika realistik (PMR) sedangkan variabel terikatnya adalah

kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematika siswa.

3.6 Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis instrumen, yaitu tes dan non tes.

Instrumen jenis tes melibatkan seperangkat tes penalaran formal matematis (soal
53

berbentuk tes uraian). Sedangkan instrumen dalam bentuk non tes melibatkan skala

sikap siswa. Masing – masing jenis tes penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

3.6.1 Tes Kemampuan Penalaran Formal Matematika Siswa

Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data

kemampuan penalaran formal matematika siswa adalah tes kemampuan penalaran

formal matematika siswa pada materi pokok Bangun Ruang Kubus dan Balok. Tes

penalaran tersebut disusun berdasarkan pada materi ajar secara langsung. Pemilihan

bentuk tes uraian bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan penalaran formal

matematika siswa secara menyeluruh terhadap materi yang telah disampaikan

setelah dua kelompok memperoleh pembelajaran. Penilaian untuk setiap butir soal

tes penalaran formal.

3.6.2 Skala Sikap

Penggunaan skala sikap bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap siswa

terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran berbasis

masalah, serta untuk mengetahui sikap siswa terhadap soal- soal yang mengukur

kemampuan penalaran. Skala sikap yang dibuat untuk menghitung seberapa besar

persentase sikap siswea terhadap pelajaran matematika. Skala sikap ini diberikan

kepada siswa kelompok kontrol dan eksperimen setelah mereka melaksanakan tes

akhir (postes). Di dalam penelitian ini, penulis hanya ingin mengetahui persentase

sikap siswa (postif dan negatif) terhadap pembelajaran berbasis masalah dan

pembelajaran biasa.

3.7 Uji Coba Instument


54

Sebelum uji coba instrumen penelitian di eksperimenkan maka terlebih

dahulu instrumen diuji cobakan diluar sampel penelitian. Beberapa gambaran hasil

uji coba instrumen penelitian:

3.7.1 Analisa data hasil uji coba tes penalaran formal

Sebelum diujicobakan hasil uji coba dianalisis secara statistik untuk

mengetahui validitas, reabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran setiap butir

soal. Tujuan analisis melihat apakah soal yang diujicobakan valid dan reliabel

untuk menjadi instrumen dalam penelitian ini.

1. Validitas Tes Penalaran Formal

Validitas berkenaan dengan ketepatan alat penilaian terhadap konsep yang

dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai. Menurut Sugiyono

(2010) valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang

seharusnya diukur. Jadi, validitas butir soal dari suatu tes adalah ketepatan

mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir soal tersebut. Sebuah butir soal

dikatakan valid bila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Tahap-

tahap penghitungan koefisien validitas butir soal ini adalah menghitung koefisien

validitas suatu butir soal dengan menggunakan rumus Korelasi Product Moment

Angka Kasar Pearson (Arikunto, 2006) sebagai berikut:

N ( X Y )  ( X )(Y )
rxy 
 N ( X 2
)  ( X ) 2  N ( Y 2 )  ( Y ) 2 

Keterangan :
rxy = koofisien korelasi antara variabel X dan varibel Y, dua variabel yang
dikorelasikan.
X = Skor tiap-tiap item
Y = Skor total
N = Banyaknya siswa peserta tes uji coba
55

Jika instrumen itu valid, maka dilihat kriteria penafsiran mengenai indeks

korelasinya (r) sebagai berikut:

0,80 < rxy  1,00 validitas sangat tinggi (ST)

0,60 < rxy  0,80 validitas tinggi (TG)

0,40 < rxy  0,60 validitas cukup (SD)

0,20 < rxy  0,40 validitas rendah (RD)

0,00 < rxy  0,20 validitas sangat rendah (SR), Sumber Arikunto (2006)

Selanjutnya, pengujian signifikan koefisien korealsi digunakan uji-t (Sudjana:2002)

dengan cara mensubstitusikan nilai rxy masing-masing butir soal ke rumus:

N 2
t hitung  rxy
1  rxy2

Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu butir soal dikatakan valid adalah jika thitung >

ttabel dengan ttabel = t (1 ) ( dk ) untuk dk = N – 2 dan  (taraf signifikansi) dipilih

5%.

2. Reliabilitas Tes Penalaran Formal

Suatu alat ukur memiliki reliabilitas yang baik apabila alat ukur itu

memiliki konsistensi yang handal walaupun dikerjakan siapapun (dalam

level yang sama). Menghitung reliabilitas soal uraian digunakan rumus

alpha-Cronbach (Arikunto:2006) :

 n   i 
2

r11   1  
 n  1   t2 

Keterangan :
r11 = reliabilitas yang dicari
 i = Jumlah varian skor tiap-tiap item
 2

 t2 = Varians total
56

n = banyaknya butir soal


Untuk menginterpretasikan koefisien reliabilitas kriteria sebagai berikut:

r11  0,20 derajat reliabilitas sangat rendah

0,20< r11  0,40 derajat reliabilitas rendah

0,40< r11  0,70 derajat reliabilitas cukup

0,70< r11  0,90 derajat reliabilitas tinggi

0,90< r11  1,00 derajat reliabilitas sangat tinggi, (Purba:2010)

2
( Y )
Y 2 
N = variansi total
 t2 
N

2
( X )
X2 
N = variansi masing-masing butir soal
 i2 
N

  i2   12a   12b  ...   62d = jumlah variansi masing-masing butir soal.

Menentukan thitung dengan mensubstitusikan r11 ke rumus:

N 2
t hitung  r11
1  r112
(Sudjana, 2002).

Menentukan signifikansi koefisien reliabilitas tes. Kriteria yang harus

dipenuhi agar koefisien reliabilitas tes termasuk signifikan adalah jika thitung > ttabel

dengan ttabel = t (1 ) ( dk ) untuk  (taraf signifikansi) yang dipilih 5% dan dk = N –

2.

9. Daya Pembeda Soal

Daya pembeda suatu soal dimaksudkan untuk dapat membedakan antara

siswa yang pandai dan siswa yang kurang pandai. Sebuah soal dikatakan memiliki
57

daya pembeda yang baik apabila siswa yang pandai dapat menjawab soal

dengan baik, dan siswa yang kurang pandai tidak dapat menjawab soal

dengan baik. Di dalam penelitian ini, subyek uji coba adalah 45 siswa.

Pembagian kelompok atas dan bawah dilakukan dengan mengambil 27%

untuk masing-masing kelompok. Perhitungan daya pembeda setiap butir

soal dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

DP = PA –PB (Arikunto, 2009)


BA
PA =
JA
BB
PB =
JB
dimana PA = proporsi siswa kelompok atas yang menjawab benar
PB = proporsi siswa kelompok bawah yang menjawab benar
JA = banyaknya siswa kelompok atas
JB = banyaknya siswa kelompok bawah
BA = banyaknya siswa kelompok atas yang menjawab soal itu dengan
benar
BA = banyaknya siswa kelompok bawah yang menjawab soal itu
dengan benar.
Klasifikasi interpretasi daya pembeda, Suherman (1993: 202) mengemukakan
sebagai berikut:
Dp  0,0 : soal sangat jelek
0,0 < Dp  0,20 : soal jelek
0,20 < Dp  0,40 : soal cukup
0,40 < Dp  0,70 : soal baik
0,70 < Dp  1,0 : soal sangat baik
Untuk nilai Dp < 20%, maka soal hendaknya dibuang, karena tergolong soal buruk

(Ruseffendi, 1994: 15)

3. Tingkat Kesukaran Soal


58

Bermutu atau tidak butir-butir item pada instrumen dapat diketahui dari

derajat kesukaran atau taraf kesulitan yang dimiliki oleh masing-masing butir item

tersebut. Menurut (Arikunto, 2006:250) menentukan tingkat kesukaran soal adalah

dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SA  SB
TK 
N x Skor Maksimal

Keterangan :

TK = Tingkat Kesukaran

= Jumlah skor yang dicapai siswa pada kelompok atas

= Jumlah skor yang dicapai siswa pada kelompok bawah

N = Jumlah siswa pada kelompok atas dan kelompok bawah

Hasil perhitungan tingkat kesukaran diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria

indeks kesukaran butir soal (Arikunto, 2006) sebagai berikut:

TK = 0,00 : terlalu sukar (TS)

0,00 < TK  0,30 : sukar (SK)

0,30 < TK  0,70 : sedang (SD)

0,70 < TK < 1,00 : mudah (MD)

TK = 1,00 : terlalu mudah (TM)

3.8 Prosedur Penelitian

Penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu:

3.8.1 Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan beberapa kegiatan yaitu mengembangkan

perangkat pembelajaran, memvalidasi isi tes penalaran formal, RPPdan juga LAS.
59

3.8.2 Tahap Pelaksanaan

Tahap ini diawali dengan pemberian tes (tentang kemampuan penalaran

formal) sebelum pembelajaran terhadap materi baru diberikan kepada siswa. Pretes

diberikan kepada kelompok eksperimen dan kontrol, dengan tujuan apakah kedua

kelompok tersebutmemiliki kemampuan yang homogen. Setelah mengetahui

kemampuannya maka dilanjutkan dengan kegiatan pembelajaran dikelas sesuai

dengan jadwal yang telah ditetapkan.Dalam penelitian ini penulis berperan sebagai

pengajar pada kelompok eksperimen, sedangkan pada kelas konrol tetap guru yang

masuk pada kelas tersebut. Setelah kegiatan pembelajarn berakhir, dilaksanakan

postes dilanjutkan dengan pengisian skala sikap dan selama kegiatan berlangsung.

Berikut ini tahapan –tahapan prosedur penelitian:


Penyusunan Perangkat
Pembelajaran dan Instrumen Studi
Pendahuluan

Pelaksanaan Pre Tes


Pre Tes

Pembelajaran dengan Pembelajaran Biasa


Pembelajaran Berbasis
Masalah

Post Tes &


Observasi Skala Sikap Observasi

Data

Analisis Data

Hasil Penelitian
60

Laporan Penelitian

3.8.3 Tahap Analisis Data

Data yang diperoleh dari skor kemampuan penalaran formal matematika dan

sikap siswa terhadap matematika dikelompokkan menurut pembelajaran berbasis

masalah dan pembelajaran biasa. Seluruh perhitungan statistik menggunakan

bantuan komputer yakni program Microsoft Excel dan program SPSS 17. Selain

dilakukan analisa kuantitatif, peneliti juga akan melakukan analisa kualitatif

terhadap variasi jawaban siswa. Untuk lebih terarahnya penelitian ini berikut

disajikan tabel keterkaitan antara permasalahan, hipotesis, dan jenis uji statistik

yang digunakan.

Tabel 3.3 Keterkaitan permasalahan, hipótesis dan Jenis uji statistik yang
digunakan
No Permasalahan Penelitian Hipotesis Kelompok Jenis Uji
Data Statistik
1 Perbedaan peningkatan 1 A 1 B1 Uji t
kemampuan penalaran formal A 2 B1
siswa dengan pembelajaran
berbasis masalah dan
pembelajaran biasa ditinjau
dari keseluruhan siswa.
2 Perbedaan sikap positif siswa 2 A 1 B2 Uji t
antara pembelajaran berbasis A 2 B2
masalah dan pembelajaran
biasa ditinjau dari keseluruhan
siswa.
3 Ketuntasan belajar siswa 3 Kualitatif
dengan pembelajaran berbasis
masalah
4 Interaksi antara pembelajaran 4 A 1 B1 Anava dua
dengan kemampuan awal A 2 B1 jalur
matematika siswa terhadap
penalaran formal matematika
siswa.
61

Pada tahap ini, penulis melaksanakan analisis terhadap data pretes

kemampuan penalaran formal, angket skala sikap dan lembar observasi yang telah

dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian berlangsung. Data – data yang

dikumpulkan tersebut dianalisis melalui langkah sebagai berikut:

a. Menghitung rata – rata dan deviasi standar skor pretes

Skor pretes dicari rata – rata dan deviasi standarnya untuk mengetahui

gamabaran tentang kemampuan penalaran formal siswa sesudah diberikan

pembelajaran matematika dengan pembelajaran berbasis masalah dan

pembelajaran biasa.

b. Menghitung rata - rata standar skor postes

Skor postes dicari rata – rata dan deviasi standarnya untuk mengetahui

gamabaran tentang kemampuan penalaran formal siswa yang diberi

pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran biasa sebelum dan

sesudahnya.

c. Menghitung Skor Gain

Data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes untuk kemampuan penalaran

formal matematika dianalisis untuk mengetahui peningkatannya. Skor yang

diperoleh dari hasil tes siswa sebelum dan setelah belajar dengan pembelajaran

biasa dianalisa dengan cara membandingkan dengan skor siswa yang diperoleh

dari hasil tes siswa sebelum dan setelah belajar dengan pembelajaran biasa.

Besarnya peningkatan sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan

rumus gain ternormalisasi (normalized gain), yang dikembangkan oleh Hake

sebagai berikut:
62

post test score - pretest score


gain ternormalisasi 
Maximum possible score - pretest score

Kriteria Indeks Gains (g) adalah:


g > 0,7 : tinggi
g
0,3 < ≤ 0,7 : sedang
≤ 0,3 : rendah

d. Uji Homogenitas varians

Menurut Usman (2006) uji homogenitas varians digunakan untuk menguji

apakah kedua data tersebut homogen yaitu dengan membandingkan kedua

variansnya. Uji homogenitas varians dari kedua kelompok (kelompk data

Pembelajaran berbasis masalah dan Pembelajaran biasa) pada kemampuan

penalaran formal matematika dan sikap siswa terhadap matematika dengan

menggunakan uji varians dua buah peubah bebas dan uji Levene. Dengan

demikian hipotesis yang akan diuji adalah:

Ho : 2t = 2c (Tidak terdapat perbedaan variansi antar kelompok data)

Ha : 2t  2c (Terdapat perbedaan variansi antar kelompok data)

Dimana dk 1 = (n 1 – 1) dan dk 2 = (n 2 – 1)

Uji statistik menggunakan uji-F, dengan rumus :

2
Sbesar Sb2
F= 2
 (Russefendi, 1998)
S kecil S k2

Dengan : F = homogenitas varians

S b2 = Varians terbesar

S k2 = Varianas terkecil
63

Kriteria pengujiannya adalah: terima H 0 jika F Hitung < F 1


 ( n11 1, n2 1) dan
2

tolak H 0 jika mempunyai harga-harga lain.

Pada software SPSS uji homogenitas digunakan uji Levene, dengan kriteria

terima Ho jika taraf signifikansi perhitungan lebih besar dari taraf signifikansi

0,05.

e. Uji Hipotesis

Uji kesamaan dua rata-rata digunakan untuk menguji kesamaan antara dua rata-

rata data, dalam hal ini antara data kelas eksperimen dan kelas kontrol.

H0 :  X   Y

HA :  X   Y

 X adalah rata-rata peningkatan kemampuan penalaran formal matematika siswa

yang mendapat pembelajaran berbasis masalah.

 Y adalah rata-rata peningkatan kemampuan penalaran formal matematika siswa

matematika siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

Jika data yang diperoleh berdistribusi normal dan homogen maka digunakan uji t

dengan rumus:

xe  xk
t hitung 
1 1
S gab 
ne nk (Sudjana, 2002
(n e  1)s  (n k  1)s
2 2
dan S gab  e k

ne  nk  2

Dengan:
x e = nilai rata-rata siswa kelompok eksperimen
x k = nilai rata-rata siswa kelompok kontrol
ne = banyaknya siswa kelompok eksperimen
64

nk = banyaknya siswa kelompok kontrol


s e2 = varians kelompok eksperimen
s 2k = varians kelompok kontrol
Sgab= simpangan gabungan
- Jika data yang diperoleh berdistribusi normal tetapi tidak homogen maka

digunakan uji t' (Sudjana, 2001) dengan rumus:


x 
t'  e

(s 2
e /n e ) 
d eng an x e  n ilai rata -
x k  n ilai rata -
s 2
e  v arian s k el
s 2
k  v arian s k el
n e  ju mlah sisw
n k  ju mlah sisw

Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika t tabel  t ' hitung dan terima H0 untuk
'

kondisi lainnya dengan taraf signifikansi yang telah ditentukan

- Jika data yang diperoleh tidak berdistribusi normal dan tidak homogen, maka

digunakan uji statistik non parametrik yaitu uji Mann-Whitney.

Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika z tabel


 z hitung dan terima H0 untuk

kondisi lainnya dengan taraf signifikansi yang telah ditentukan

- Jika datanya tidak berdistribusi normal tetapi homogen maka uji yang dilakukan

adalah uji Wilcoxon (Russefendi, 1998).

f. Menganalisis dan mendeskripsikan sikap siswa

- Pemberian Skor Skala Sikap

Penentuan skor skala sikap Likert dapat dilakukan secara apriori dan dapat

pula secara aposteriori (Subino dalam Suriadi :2006). Secara apriori skala

yang terarah positif akan mempunyai kemungkinan – kemungkinan skor 5

bagi SS, 4 bagi S, 3 bagi R, 2 bagi TS dan 1 bagi STS, sedangkan bagi skala

yang berarah negative maka kemungkinan skor tersebut menjadi sebaliknya.

Penentuan skor skala sikap dalam penelitian ini dilakukan secara aposteriori,
65

dimana kemungkinan skor bagi setiap kemungkinan jawaban itu didasarkan

atas hasil uji coba.

- Memilih Butir – butir Skala Sikap

Pemilihan butir – butir skala sikap Likert ini didasarkan kepada signifikan

tidaknya Daya Pembeda butir skala yang bersangkutan. Daya pembeda butir-

butir ini dianalisis dengan uji –t.

Kelompok tinggi dan kelompok rendah diambil sekitar 25% atau 30% untuk

N besar (N>100), sedang untuk N yang kecil (N<100) maka seluruh

kelompok dibagi dua sama besar, 50% kelompok atas dan 50% kelompok

bawah. Statistik t dihitung dengan rumus:

xT  xR
t 
ST2 S 2R (Sudjana, 2002)

nT nR

Dengan:
xT = Rata-rata skor kelompok tinggi
xR = Rata-rata skor kelompok rendah
s T2 = Varians kelompok tinggi
s 2R = Varians kelompok rendah
nT = Banyaknya subjek pada kelompok tinggi
nR = Banyaknya subjek pada kelompok rendah

Dengan derajat kebebasan (dk) = (n T  1)  (n R  1)  (20  1)  (20  2)  38 ,


ternyata t hitung sebesar 2,570 itu jauh lebih besar dari pada t tabel pada p <

0,05.
Dengan demikian dapa pula disimpulkan bahwa butir skala sikap tersebut
mempunyai Daya Pembeda yang signifikan, oleh karena itu dapat digunakan.
66

- Analisis Reliabilitas Skala Sikap

Reliabiltas skala sikap dianalisis dengan menggunakan rumus Alpha, setelah

dilakukan seleksi terhadap butir – butir pernyataan yang memiliki daya

pembeda yang signifikan. Rumus dan kriterianya sama dengan perhitungan

reabilitas instrumen tes yaitu:

 n    i 
2

r  1  
 n  1   t2 

dan kriteria reabilitas dari Guilfrod.

- Hasil Pengukuran Sikap Siswa

Hasil pengukuran sikap siswa dihitung rata – ratanya untuk setiap butir

pertanyaan. Kemudian dibandingkan dengan rata – rata netralnya.

Apabila rata – rata skor untuk suatu pernyataan lebih besar dari rata – rata

skor netralnya, maka sikap dan minat siswa dikatakan positif terhadap

pernyataan tersebut.

g. Hasil Observasi Aktivitas Siswa

Data hasil observasi aktivitas siswa dianalisa untuk mengetahui aktivitas siswa

dianalisa untuk mengetahui aktivitas siswa selama proses pembelajaran

berlangsung.
67

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S, (1998). Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:


Rineka Cipta.

Bell, F.H., 1981.Teaching and LearningMathematics (In Secondary School). Lowa.


Wm. C Brown Company Publisher.

Brueckner, L.J. (1961). Develoving Mathematical Understanding. Inggris: Great


Britian and in The British Dominion.

Dahar, R.W. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Dahar, R. W.( 1996). Teori –Teori Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengemebangan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Depdiknas.(2002a). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta:


Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depdiknas – Pusat Kurikulum - Balitbang (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi


Mata Pelajaran Matematika. Jakarta.

Fadjar .S, M.App. Sc, 2004, Penalaran , Pemecahan Masalah, dan Komunikasi
dalam Pembelajaran Matematika.

Gagne. RM, 1985. The Condition Of Learning and Theory of Instruction, Fourth
Edition. New York: Holi,Rineharz and Winston.

Gie, T.L, 1991: Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty.

Hennasari, L.,2010 :Perbedaan Kemampuan Penalaran dan Sikap Terhadap


Matematika Melalui PBM Di SD Budisatrya Medan.Tidak diterbitkan

Kennedy, L.M, dan Tipps, S. 1994. Guiding’s Learning of Mathematics (7th ed).
California: Wadsworth

Manurung, 2009. Meningkatkan Kemampuan Penalaran Formal Dalam


Pembelajaran Matematika SMP Dengan Pendekatan Pembelajaran
Matematika Realistik.Tidak diterbitkan.

National Council of Teacher Mathematics. (2000). Principles and Standards for


School Mathematics. Reston, VA: NCTM

Newell, A. & Simon, H. (1972). Human Problem Solving. Englewood Clifs, NJ:
Prentice Hall.
68

Novitasari, W. (2006). Penerapan Pemecahan Masalah dengan Pendekatan “What’s


Another Way” Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa.
Jakarta: Penerbit Erlangga.

Nur, M. 1991. Pengadaptasian Test Of Logikal Thinking(TOLT) Dalam Setting


Indonesia, Surabaya.

Ruseffendi, E.T. 1988. Pengantar kepada membantu guru mengembangkan


kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA
(Cetakan Kedua). Bandung: Tarsito.Penelitian Pendidikan dan Bidang Non.
Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

(1994). Dasar – Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-


Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

(2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan


Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.

Pangaribuan, F. 1995. Tes Prestasi Belajar Matematika Karakteristik Butir dan


Rehabilitas Tes Kemampuan Penalaran Formal dan Gaya Kognitif
Berdasarkan Responden Siswa Kelas I SMU di Pematangsiantar. Tidak
Diterbitkan.

Sagala, S. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung : Alfabeta.

Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis Dan Komunikasi


Matematik Siswa Pendidikan Dasar Melalui Pendekatan Matematika
Realistik. Disertasi. UPI-Bandung: tidak diterbitkan

Setiawan Andri,2008 Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan


Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika SMP. Tidak
diterbitkan.

Suherman, E dan Kusuma, Y.K. (1990). Petunjuk Praktis Untuk Melaksanakan


Evaluasi Pendidikan Matematika untuk Guru dan Calon Guru Matematika.
Bandung: Wijayakusumah. Bandung: Tidak Diterbitkan.

(2003). Common Textbook: Strategi Pembelajaran


Matematika Kontemporer. Bandung: JICA - Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI).

Sternberg, R.J. & Ben-Zeev, T. (1996). The Nature of Mathematical Thinking.


Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates,Inc

Sumarno, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa


SMA dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa
Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi. Bandung: FPS IKIP Bandung:
Tidak Diterbitkan.
69

(2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk


Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar.
Laporan Hibah Bersaing. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.Unsur Proses
Belajar Mengajar. Disertasi. Bandung: FPS IKIP Bandung:

Suriasumantri, J.S.(1998). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Sinar


Harapan.

Tobin, K. Dan Capie, W., 1984. The Test Of Logikal Thinking. Journal Of Science
and Mathematic Education in Southeast Asia, vol. vii, No. 1. Glugger:
SEAMO-REC-SAM

Wilson, P.S (Editor). 1993. Reserch Ideas For The Classroom. High School
Mathematics. New York. Macmillan Publishing Company.

Anda mungkin juga menyukai