Anda di halaman 1dari 10

Nama : Nanda Tia Losi

NIM : 8196171010
Kelas : Dikmat A / 1
Matkul : Filsafat Ilmu

Perkembangan Filsafat Modern: Tokoh dan Pendapatnya

A. Sejarah Filsafat Modern


Peralihan dari Abad Pertengahan ke Masa Modern ditandai oleh gerakan Renaissance.
Kata Renaissance berarti kelahiran kembali. Renaissance merupakan usaha menghidupkan
kembali kebudayaan klasik (Yunani-Romawi) yang dipandang sebagai sesuatu yang bernilai
pada dirinya. Para pelopor gerakan ini, tidak menyangkal eksistensi Tuhan atau menolak
agama, melainkan menghendaki suatu emansipasi kultural, yakni dunia tidak saja berarti
karena ada wahyu ilahi yang menyempurnakan, melainkan juga karena secara intrinsik dunia
memang bermakna. Renaissance bercita-cita menjadikan dunia suatu hunian yang bermakna
bagi manusia. Unsur-unsur agama yang telah meresapi kesusasteraan, seni, dan gaya berpikir,
hendaknya direduksi agar otentisitas manusia dan dunia dapat ditemukan kembali. Karena
alasan itulah, Renaissance sering kali disebut sebagai gerakan Humanisme.
Dalam konteks sejarah filsafat, masa modern dimulai oleh Rene Descartes yang
memelopori gagasan-gagasan filosofis yang menekankan pada otonomi akal budi manusia.
Dua aliran yang tampil perdana dalam masa modern yakni rasionalisme dan empirisme.
Konflik dari dua pandangan itu membuahkan pijaran baru dalam masa Pencerahan.
Sepanjang abad ke -18 dan 19 kemudian, muncullah pandangan-pandangan baru: idealisme,
positivisme, materialisme, dan eksistensialisme. Nanti kemudian masuk pada awal abad ke
-20 dan 21 (filsafat kontemporer), kemudian muncullah aliran-aliran yang kelak melengkapi
pandangan-pandangan sebelumnya atau merupakan bentuk baru dari aliran-aliran
sebelumnya, seperti neo kantianisme, neo hegelianisme, bentuk lengkap dari eksistensialisme
(Jaspers, Heidegger, Sartre, Marcel, dan Merleau-Ponty), fenomenologi (Husserl), filsafat
analitis, strukturalisme (Levi Straus), post strukturalisme (Lacan, Derrida, dan Foucault),
pragmatisme (Peirce, James, Dewey), dan filsafat proses (Whitehead).
Dengan demikian, sejarah filsafat modern berada di tengah lintasan sejarah filsafat
barat, dan merupakan masa di mana, filsafat menemukan otonominya. Inilah kharakteristik
utama dari filsafat modern. Oleh karena itu, titik pusat diskusi sejarah filsafat modern yakni
transformasi otonomi rasionalitas manusia. Otonomi rasionalitas itu memungkinkan
perkembangan bebas dan pesat dari ilmu pengetahuan, lepas dari intervensi teologi dan
kewibawaan gereja yang secara ketat pernah membantasinya sepanjang masa abad
pertengahan. Sebab, dalam abad pertengahan, filsafat mempunyai pertalian erat dengan
teologi. Konsekuensinya, filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya sulit meloloskan diri
dari pengaruh-pengaruh teologis. Jika dalam abad pertengahan para filsuf sekaligus
merupakan teolog, namun pada masa modern, para filsuf tidak serentak merupakan teolog.
Sebagai contoh Descartes dan Leibniz yang merupakan penganut agama kristen, namun
dalam pandangan-pandangan mereka, iman tidak menjadi tolak ukur dalam berfilsafat.
Konsekuensi lain pula yakni ilmu pengetahuan semakin berkembang dan mendapatkan
tempatnya sendiri, terlepas dari filsafat maupun pandangan teologi. Berbagai riset atau
penelitian-penelitian empiris mulai banyak berkembang meskipun hasilnya tidak sejalan
dengan pandangan atau keyakinan iman gereja yang telah lama berakar dan tidak dapat
diganggu-gugat. Pemikir-pemikir yang terkemuka di antaranya: Nicolaus Copernicus (1473-
1543), Galileo Galilei (1564-1643), di bidang seni dan sastra seperti: Michelangelo (1475-
1564), Leonardo da Vinci (1452-1519), dan kelak di bidang iman gereja, seperti Martin
Luther yang memproklamasi reformasi yang radikal.

B. Rasionalisme
Istilah rasionalisme berasal dari kata ratio, yang dalam hubungan ini berarti budi atau
akal manusia. Apakah yang dituju oleh rasionalisme? Rasionalisme adalah pendirian dalam
cara berpikir yang menjunjung tinggi rasio atau akal dengan cara yang sedemikian rupa
sehingga akal menjadi hakim yang mutlak atas segala sesuatu.5 Dengan demikian, menurut
aliran ini, segala sesuatu mendapatkan tolak ukurnya melalui rasio. Segala sesuatu harus
dimengerti dengan sejelas-jelasnya. Lantas bagaimana dengan sesuatu yang tidak dapat
dipikirkan atau dianalisa dengan jelas? Sesuatu itupun harus disepelehkan, ditiadakan dan
tidak dianggap sebagai realitas yang sejati. Sebab, ketika sesuatu itu irasional, tidak lolos
melalui rasionalitas, maka dipandang sebagai sesuatu yang bukan merupakan kebenaran atau
realitas sejati.
1. Rene Descartes (1559-1650)
Descartes dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1956. Pada tahun 1637 ketika ia berusia 41
tahun, ia telah melatakkan dasar pemikiran bagaimana pikiran manusia berkaitan erat dengan
tubuh manusia, sebagai sebuah teka-teki yang membingungkan filsafat modern dan sejak
munculnya ilmu pengetahuan.6 Descartes adalah orang yang merasa kurang puas dengan
pendidikan yang didapatkannya. Hal ini tentu tidak disebabkan karena mutu sekolahnya
kurang memenuhi syarat. Ia dididik di College La Fleche, salah satu sekolah termasyur pada
waktu itu.7 Dengan sifat alami yang tidak cepat puas terhadap apa yang telah mentradisi,
kemudian membentuk kharakter seorang Descartes untuk menciptakan dunia baru dalam
filsafat pada zamannya.
Menurut Descartes, kita harus meragukan segala sesuatu yang kita tangkap dengan
pancaindra kita sampai kita akhirnya tidak bisa lagi meragukan hal itu.8 Semua yang
diragukan disingkirkan dan trus-menerus begitu sampai kita mengetahui sesuatu secara pasti
tanpa bisa diragukan lagi. Dengan kata lain, untuk bisa sampai pada kebenaran kita perlu
meragukan segala hal, termasuk pendapat dan pengalamaan kita sendiri. Ini kita lakukan
dengan mengandalkan akal budi, dengan berpikir. Namun, keraguan metodis ini, bukalah
tujuan yang harus dicapai. Keraguan ini hanyalah merupakan sarana untuk bisa menemukan
segala sesuatu yang bisa kita ketahui secara pasti. Inilah yang disebut dengan dubium
metodicum atau metode keragu-raguan sebagaimana yang telah populer sejak zaman Yunani
kuno oleh kaum skeptis. Dengan cara ini, menurut Descartes, kita dapat mencapai pada
kebenaran tertentu yang tidak bisa lagi diragukan, dan ini memberi landasan yang kokoh bagi
pengetahuan kita.
Dengan demikian, hal ini mau menegaskan bahwa, berpikir atau akal budi, adalah unsur
paling pokok dari manusia, sekaligus juga bagi pengetahuan manusia. Hal itu berarti bahwa
hanya yang lolos dari seleksi akal budilah yang dapat diterima sebagai pengetahuan yang
benar. Lantas, pertanyaan kemudian dapat muncul, apakah yang mendasari pengetahuan yang
berasal dari akal budi itu merupakan kebenaran atau pengetahuan sejati? Dalam menjawab
pertanyaan ini, Descartes menyatakan bahwa, budi kita dapat dipercaya karna budi manusia
berasal dari Tuhan. Maka pengetahuan tersebut diperoleh secara secara sistematis, matematis,
dan deduktif.
2. Baruch de Spinoza (1632-167)
Spinoza adalah orang Yahudi yang melarikan diri dari Spanyol ke Amsderdam akibat
terjadinya konflik keagamaan di sana. Pada usian 18 tahun, ia sempat menimbulkan
kemarahan komunitas Yahudi dan keluarganya karena meragukan Kitab Suci sebagai wahyu
Tuhan, mengecam posisi para imam Yahudi, dan mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi
sebagai “umat pilihan Tuhan”. Akibat ulahnya ini, ia dikutuk dan dikucilkan dari
kalangannya. Ia kemudian melanjutkan hidupnya sebagai seorang guru yang memberikan les
prifat kepada beberapa orang. Keadaan awal masa hidupnya inipun telah membentuk
kharakter filsafatnya yang kemudian mengkaji tentang Tuhan atau sebagai substansi yang
melahirkan segala sesuatu.
Menurut Spinoza, Tuhan adalah satu-satunya substansi. Substansi dalam pengertian
Spinoza adalah ‘sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri,
artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya’.
Karena Tuhan adalah satu-satunya substansi, hal itu berarti segala sesuatu yang ada, pernah,
dan akan ada, berasal dari pada-Nya. Dengan demikian, semua gejala plural yang bersifat
jasmaniah (mausia, flora, fauna, dsb) maupun yang bersifat rohaniah (pemikiran, perasaan,
kehendak) bukanlah hal-hal yang berdiri sendiri, melainkan ada-nya tergantung secara mutlak
pada Tuhan. Konsekuensinya, secara substansial tidak ada jiwa dan tubuh individual pada diri
manusia, sebab manusia hanyalah modus Tuhan. Dengan demikian, individualitas, jiwa,
kebebasan manusia tergantung sepenuhnya pada Tuhan.
Dengan demikian, bagi Spinoza, untuk maju secara moral, kita harus maju dalam
pengertian. Kita harus membentuk idea-idea yang sesuai dengan realitas yang jelas, agar
pandangan kita menjadi benar. Sebaliknya, ketika pengertian dangkal dan emosi-emosi pasif
mencegah kita dari menjadi diri kita sendiri. Kebenaran berarti kita mempunyai idea-idea
yang benar, termasuk tentang diri kita sendiri. Akhirnya, pengertian yang luhur yang
dengannya akal budi kita mencapai fungsinya yang tertinggi adalah mengerti Tuhan karena
tak ada pengertian yang lebih luas daripada pengertian akan Tuhan. Semkin kita mengerti
Tuhan, semakin kita mencintaiNya.
3. Gottfried Wilhem Leibniz (1646-1716)
Leibniz adalah seorang pribadi yang luar biasa jenius. Ia adalah anak seorang profesor
filsafat moral di universitas Lepzig. Sebagai seorang mahasiswa, ia begitu menojol sampai
sudah diberi tawaran jabatan profesor pada usia 21 tahun.13 Iapun adalah tipe orang yang
tekun dalam belajar, dan telah menghasilkan sejumlah pengajaran filsafat, kendatipun sering
tidak terstruktur dan teratur sebagaimana para filsuf rasionalis sebelumnya.
Dalam konteks substansi, Leibniz mengungkapkan sebuah pluralitas. Menurut Leibniz,
terdapat banyak sekali substansi, jumlahnyapun tak terhingga. Tiap substansi disebutnya
sebagai monade, (Yunani: monas) berarti kesatuan. Sebagai substansi non material, monade
bersifat abadi, tidak bisa dihasilkan ataupun dimusnahkan, tidak bisa dibagi, dan tidak
berjendela, mewujudkan kesatuan yang tertutup sehingga mampu bekerja berkat daya aktif
dari dalam dirinya sendiri. Setiap monade memiliki kerja dari dan oleh dirinya sendiri yang
terdiri dari kegiatan mengamati (perceptio) dan menginginkan (appetitions). Iapun
mendefinisikan monade sebagai ‘atom-atom sejati dari alam’ maka monade itu akan menjadi
‘prinsip kehidupan’ (lebensprinzipien).
Dalam pengamatan indrawi, pengetahuan ini masih agak kabur sebab baru
menghasilkan suatu gagasan ang masih sedikit kejelasannya. Namun, kemudian pengetahuan
dalam pengalaman ini secara perlahan menjadi semakin jelas, hingga akhirnya muncul dalam
gagasan atau ide yang jelas sebagai suatu pemahaman. Dengan demikian, bagi Leibniz
pengalaman hanyalah proses awal dari usaha mendapatkan pengetahuan. Dalam prosesnya
untuk mendapatkan pengetahuan dalam bentuk pemahaman, rasio atau daya berpikir
berusaha menambah isi pengetahuan dari pengalaman hingga menjadi pengetahuan yang jelas
dan disadari.

C. Empirisme
Bertentangan dengan rasionalisme yang mengutamakan rasio sebagai sumber utama
pengenalan atau cara memperoleh pengetahuan, maka sesudah rasionalisme, di Inggris
muncullah suatu aliran baru yang dinamakan empirisme. Empirisme berasal dari kata empiri
(pengalaman)15 atau dari kata empeiria (Yunani) yang berarti “pengalaman indrawi”.16
Menurut paham empirisme dalam upaya untuk memperoleh pengetahuan, didasarkan pada
pengalaman yang bersifat empiris. Adapun arti dari empiris yaitu pengalaman indera
manusia. Menurut John Locke sebagai Bapak Emprisme berkata: “waktu manusia dilahirkan,
akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong, dan di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pengalaman indera”.17 Oleh sebab itu, metode untuk memperoleh pengetahuan
bagi penganut empirisme adalah berdasarkan pengalaman indrawi atau pengalaman yang bisa
ditangkap oleh panca indera manusia.
1. Thomas Hobbes (1588-1679)
Hobbes menganggap pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengetahuan.
Pengenalan intelektual tidak lain daripada semacam kalkulus atau perhitungan, yaitu
penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara yang berlain-lainan. Tentang dunia
dan manusia ia menganut suatu pendapat materialistis. Karena itu ajaran Hobbes merupakan
sistem materialistis yang pertama dalam sejarah filsafat modern. Menurut Hobbes, seluruh
dunia, termasuk juga manusia merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-
hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja.
2. John Locke (1632-1704)
Menurut Locke, apa yang kita alami secara langsung adalah berbagai macam isi
kesadaran kita – cinta indrawi, pikiran, perasaan, ingatan, dan sebagainya, dalam jumlah yang
luar biasa banyak. Berbagai macam isi kesadaran itu oleh Locke dinamai “ide-ide”, entah isi
itu bersifat intelektual, indrawi, emosional, atau apa pun. Yang dimaksudkan oleh Locke
sebagai ide adalah segala sesuatu yang ada secara langsung dalam kesadaran kita.21
Mengenai pengetahuan kita tentang dunia luar, Locke berpendapat bahwa data mentah,
masukan dasar, datang kepada kita melalui indra-indra kita. Terus-menerus kita menerima
kesan-kesan spesifik mengenai terang dan gelap, merah dan kuning, dsb. Lama-lama kita
akan belajar dan perlahan-lahan terbiasa bahkan mulai berusaha untuk menamai objek atau
sesuatu yang masuk dalam kesadaran kita.
3. David Hume (1711-1776)
Hume mulai menghancurkan budi sebagai suatu prinsip. Budi, katanya tidak lebih
daripada kebiasaan adat. Bila saya menerapkan budi saya pada dunia dan memutuskan
sesuatu demikian, dasarya adalah bahwa hal itu telah berjalan seperti itu. Tetapi, hal itu tidak
harus demikian dan tidak perlu dilanjutkan. Menurut Hume, pengetahuan manusia itu
terbagai 2: impresi, yaitu apa yang kita terima dari indra. Kemudian, ide-ide yakni ingatan
atau gambaran samar dari impresi yang kita gabungkan di dalam pikiran dan penalaran.23
Karena ide-ide terutama ditarik dari impresi, pengetahuan kita terbatas. Imajinasi kita
mungkin tampak tanpa batas, tetapi bahkan sesuatu sehebat centaur tidak lebih dari suatu
kombinasi dari impresi. Dengan begitu, seluruh kemampuan kreatif budi ini tidak lebih
daripada kemampuan untuk memindah, menambah, atau mengurangi bahan-bahan yang
sampai kepada kita melalui panca indera dan pengalaman.

D. Sintesis Immanuel Kant


Kant (1724-1804) lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur. Dalam
universitas di kota asalnya, ia menekuni hampir semua mata pelajaran yang diberikan dan
akhirnya menjadi profesor di sana. Dalam bidang filsafat, Kant dididik dalam suasana
rasionalisme ang pada waktu itu merajalela di universitas-universitas Jerman. Kant tidak
kawin dan selalu hidup tertib, sehingga ia dapat mencuahkan seluruh waktu dan tenaga
kepada karya-karya filosofinya.
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk memperdamaikan
rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori dalam
pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman (seperti “idea-idea
bawaan”). Emprisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal
dari pengalaman. Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat
sebelah.24 Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau
sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan
peranan bentuk dan unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur
aposteriori memainkan peranan materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada
taraf indera. Ia berpendapat bahwa dalam pengenalan inderawi selalu ada dua bentuk apriori,
yaitu ruang dan waktu. Jadi, ruang tidak merupakan ruang kosong, di mana benda-benda
diletakkan; ruang tidak merupakan “ruang pada dirinya” (ruang an sich). Dan waktu tidak
merupakan suatu arus tetap, di mana penginderaan-penginderaan bisa ditmpatkan. Kedua-
duanya merupakan bentuk apriori dari pengenalan inderawi. Atau dengan kata lain, kedua-
duanya berakar pada struktur subjek sendiri.

E. Idealisme Hegel
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) lahir di Stuttgart. Salah satu teman
sesamanya mahasiswa di universitas Tubingen adalah Schelling. Sementara Schelling sudah
menunjukkan kecemerlangan intelektual sejak usia mudanya, maka Hegel adalah orang yang
lebih ‘lambat panas’. Hegel pernah menjadi guru privat, editor surat kabar, kepalah sekolah,
dan akhirnya profesor filsafat pertama di universitas Heidelberg dan di Berlin. Ia sangat
produktif, dan sampai menjelang wafatnya, ia masih menjadi tokoh intelektual yang dominan
di Jerman.
Bagi Hegel, keseluruhan proses sejarah terjadi pada sesuatu yang olehnya disebut geist.
Yang dimaksud dengan geist adalah suatu titik tengah antara roh dan pikiran, lebih bersifat
mental daripada spirit dan lebih bersifat spiritual dari pada mind. Bagi Hegel, geist, adalah
hal yang paling mendasar dari eksistensi, yakni esensi terpenting dari keberadaan. Seluruh
proses sejarah yang membetuk realitas merupakan perkembangan dari geist menuju
kesadaran dirinya sendiri dan ke pengetahuan akan dirinya sendiri. Bila keadaan ini tercapai,
segala yang ada akan menjadi satu dengan dirinya sendiri secara harmonis. Hegel menyebut
kesatuan yang sadar diri tentang segala sesuatu ini dengan istilah ‘yang Absolut’ karena ia
memandang hal yang hakiki dari apa yang sebagai sesuatu yang bersifat non material, maka
filsafatnya disebut sebagai ‘idealisme Absolut’. Hegel mengkombinasikan filsafat ini dengan
kepercayaan kristen, namun sebagian pengikutnya lebih menganggapnya sebagai suatu
bentuk panteisme. Sementara kalangan lain lagi memandangnya sebagai agama tanpa Tuhan.
Yang paling radikal dari semua pengikutnya adalah Karl Marx yang mengambil alih sebagian
besar ide Hegel, namun kemudian menjungkir-balikkannyya dengan menyatakan bahwa
subjek dari seluruh proses historis ini sama sekali tidak bersifat mental ataupun spiritual,
melainkan material belaka.
F. Materialisme Karl Marx
Materialisme dapat dijelaskan secara singkat sebagai “the doctrine that all real
existence is ultimately of something material”. Bila ditelusuri ke akar sejarahnya,
materialisme telah muncul sejak masa Yunani kuno, sebagaimana ungkapan Zeno: “jiwa
adalah benda padat, tidak lebih, seperti meja misalnya.28 Paham ini hendak mengetengahkan
bahwa kenyataan yang sesungguhnya adalah benda atau materi, dan kenyataan ini diacukan
untuk menjawab sejumlah soal yang berhubungan dengan sifat dan wujud dari keberadaan.
Karena itu persoalan roh atau jiwa dalam aliran ini dianggap bukan sebagai substansi yang
berdiri sendiri, tetapi dirumuskan sebagai akibat dari proses materi. Dengan kata lain, aspek
rohani manusia dipandang sebagai produk sampingan jasmani. Malahan dunia juga bagi
paham ini dipandang sebagai sesuatu yang tiada lain terdiri dan tergantung pada benda
materi. Dengan demikian, seluruh realitas, seluruh kejadian dapat dijabarkan kepada materi
dan proses material.
Materialisme mencapai puncaknya pada Karl Marx (1818-1883). Marx memulai
pendidikannya di Bonn dan kemudian di Berlin. Di Berlin ia terpikat oleh filsafat Hegel yang
kelak menentang pandangan-pandangannya. Karya pokok Marx adalah Das Kapital, atau
“Kapital”, yang ditulis pada tahun 1867. Pangkal pemikiran Marx adalah ajaran Hegel.
Ajaran Hegel ini kemudian digabungkan dengan filsafat Feuerbach teori revolusioner
Peranis, yakni terutama gagasan-gagasan para sosialis utopis, dan juga pandangan ekonomi
negara Inggris klasik.

G. Positivisme Auguste Comte


Sesudah menilik situasi filsafat Jerman abad ke- 19, sekarang kita mengalihkan
perhatian ke Prancis pada zaman yang sama. Situasi intelektual di Prancis abad ke- 19 sangat
berbeda dari situasi Pencerahan abad ke-18. Kalau pada zaman Pencerahan terdapat
kecenderungan yang kuat untuk melawan agama, di abad ke-19 para filsuf Prancis mulai
menghargai kembali peranan dimensi rohani manusia. Dalam hal ini mereka banyak
menyerap pengaruh cita-cita spiritual idealisme Jerman yang berkembang pada abad yang
sama. Sebuah aliran terpenting yang paling berpengaruh pada abad ini adalah positivisme
yang mencapai puncaknya pada Auguste Comte. Matrialisme menjadi cikal bakal
perkembangan ilmu pengetahuan tentang masyarakat atau sosiologi. Sekilas, akan tampak
mencolok perbedaan antara idealisme dan positivisme. Idealisme mendukung metafisika
sedangkan positivisme menolak metafisika, namun kalau dipelajari lebih lanjut yang
membedakannya hanyalah ideologis masing-masing aliran.
Dalam konteks pemikirannya, Comte menjelaskan menyangkut tiga tahap
perkembangan sejarah manusia. Tahap-tahap tersebut yakni, tahap teologis, tahap metafisis,
dan tahap positif. Ketiga tahap ini dipahami oleh Comte sebagai tahap-tahap perkembangan
mental umat manisia sebagai suatu keseluruhan, dan berkesesuaian dengan tahap-tahap
perkembangan individu dari masa kanak-kanak, melalui masa remaja, ke masa dewasa. Pada
tahap teologis, menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang
peristiwa-peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi.
Kekuatan-kekuatan ini, entah disebut dewa-dewa atau Allah, dibayangkan memiliki
kehendak atau rasio yang melampaui manusia. Pada tahap kedua, tahap di mana kejadian-
kejadian di alam dijelaskan dari konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak spekulatif filsafat.
Pada tahap ketiga dan terakhir para ilmuwan mengamati secara ilmiah bagaimana gejala
alami yang satu berkaitan dengan gejala lain-lain. Itulah metode positif.

H. Eksistensi Awal
Eksistensialisme dipersiapkan dalam abad ke- 19 oleh Kierkegaard dan Nietzsche.34
Eksistensialisme merupakan nama untuk macam-macam jenis filsafat. Eksistensialisme
berasal dari kata “eks” yang berarti keluar dan “sistensi” dari kata “eksistere” yang berarti
tampil, menempatkan diri, berdiri, ialah cara manusia berada di dnia ini.35 Semua jenis ini
mempunyai inti yang sama, yaitu keyakinan bahwa filsafat harus berpangkal pada adanya
(eksistensi) manusia yang konkret, dan tiak pada hakikat (esensi) manusia pada umumnya.
Manusia pada umumnya sama sekali tidak ada menurut para eksistensialis. Yang ada hanya
orang ini dan itu. Esensi seseorang ditentukan selama eksistensinya di dunia ini.
1. Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855)
Menurut Kierkegaard, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih
dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus
dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan
soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebesan sebagai corak
bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas
yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan
konkrit.
2. Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1889)
Bagi Nietzsche, kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang membuat manusia-
manusianya maju dan menjadi unggul. Sedangkan kebudayaan yang menganjurkan sikap
durschnittlich (tengah-tangah/rata-rata) hanya akan menghilangkan bakat-bakat individu dan
menjadikannya kawanan. Manusia atas adalah suatu proses terus menerus dan belum pernah
ada yang bisa mencapainya. Kawanan ini adalah kerumunan massa. Mereka adalah sarana
untuk mencapai tujuan bukan tujuan itu sendiri. Manusia adalah sarana untuk mencapai
manusia atas. Perubahan kepada manusia atas harus didahului oleh sikap manusia yang kritis
dan mengadakan transvaluasi, penjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada sampai akhirnya
manusia itu mampu menentukan nilai-nilainya sendiri. Manusia atas selalu mengakui dirinya
sendiri sebagai der Wille-zur-Macht dan tidak menutupinya dengan kedok.

Sumber:
Bertens, K. 2005. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: PT. Mizan Publika.
Hamersma, Harry. 2008. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 2007.Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta:
Kanisius.
Magee, Bryan. 2008. The Story of Philosophy, terj. Markus Widodo & Hardono Hadi.
Yogyakarta: Kanisius.
Muharto. 2012. Fitrahlogi: Akar Perdamaian dan Konflik Sosial. Yogyakarta: deepublish.
Ramly, Andi Muawiyah. 2009. Peta Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta: LkiS.
Sudiarja, A. dkk. (Penyunting). 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir
Yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sudibyo, Lies dkk. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: deepublish.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2007. Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai
Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.
Toenlioe, Anselmus JE. 2016. Teori dan Filsafat Pendidikan. Malang: Gunung Samudera.

Anda mungkin juga menyukai