Kadar air dalam bahan makanan sangat mempengaruhi kualitas dan daya
simpan dari pangan tersebut. Oleh karena itu, penentuan kadar air dari suatu bahan
pangan sangat penting agar dalam proses pengolahan maupun pendistribusian
mendapat penanganan yang tepat. Penentuan kadar air dalam makanan dapat
dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode pengeringan (dengan oven biasa),
metode destilasi, metode kimia, metode khusus (Anonim,2003).
Kriteria ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan dapat ditinjau dari kadar air,
konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif berimbang dan aktivitas air.
Kandungan air dalam bahan pangan akan berubah-ubah sesuai dengan
lingkungannya, dan hal ini sangat erat hubungannya dengan daya awet bahan
pangan tersebut. Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam pengolahan dan
pengelolaan pasca olah bahan pangan (Purnomo,1995). Selain air, bahan pangan
juga mengandung zat-zat lain yang bermanfaat bagi kesehatan atau biasa disebut
dengan zat-zat gizi. Zat gizi tersebut telah dibuktikan bermanfaat dalam menjaga
atau mengobati satu atau lebih penyakit atau meningkatkan performa fisiologisnya
(Winarno 1990).
Kandungan air dari suatu bahan pangan perlu diketahui terutama untuk menentukan
persentase zat-zat gizi secara keseluruhan. Jumlah kadar air yang terdapat di dalam
suatu bahan pagan sangat berpengaruh atas seluruh susunan persentase zat-zat
gizi secara keseluruhan. Dengan diketahuinya kandungan air dari suatu bahan
pangan, maka dapat diketahui berat kering dari bahan tersebut yang biasanya
konstan
.
Penentuan kadar air suatu bahan pangan bergantung pada sifat bahan pangan itu
sendiri. Penentuan ini terkadang tidak mudah dilakukan karena terdapat bahan yang
mudah menguap pada beberapa jenis bahan pangan, dan adanya air yang terurai
pada bahan pangan, serta oksidasi lemak pada bahan pangan tersebut. Faktor lain
yang mempengaruhi penentuan kadar air yang tepat yaitu air yang ada dalam bahan
pangan terikat secara fisik dan ada yang secara kimia.
Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi
standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan temperature 273,15 K (0ºC). Air
merupaka pelarut yang kuat, melarutkan banyak zat kimia. Zat-zat yang larut dengan
baik dalam air (misalnya garam-garam) disebut sebagai zat-zat “hidrofilik” (pencinta
air), dan zat-zat yang tidak mudah tecampur dengan air (misalnya lemak dan
minyak), disebut sebagai zat-zat “hidrofobik” (takut air) (Wulanriky, 2011).
Meskipun sering diabaikan, air merupakan salah satu unsur penting dalam
makanan. Air sendiri meskipun bukan merupakan sumber nutrien seperti bahan
makanan lain, namun sangat esensial dalam kelangsungan proses biokimia
organisme hidup. Salah satu pertimbangan penting dalam penentuan lokasi pabrik
pengolahan bahan makanan adalah adanya sumber air yang secara kualitatif
memenuhi syarat. Dalam pabrik pengolahan pangan, air diperlukan untuk berbagai
keperluan misalnya : pencucian, pengupasan umbi atau buah, penentuan kualitas
bahan (tenggelam atau mengambang), bahan baku proses, medium pemanasan
atau pendinginan, pembentukan uap, sterilisasi, melarutkan dan mencuci bahan sisa
(Sudarmadji,2003).
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen di
samping ikut sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat ditemukan
sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila
terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan
cara tersebut. Sebenarnya air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem
kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain air kristal dan air yang terikat dalam
sistem dispersi (Purnomo,1995).
Air di dalam bahan pangan ada dalam tiga bentuk, yaitu: (1) air bebas, (2) air terikat
lemah atau air teradsorbsi, dan (3) air terikat kuat. Pada umumnya air bentuk
pertama dan yang kedua dominan, sedangkan air terikat jumlahnya sangat kecil.
Jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme dinyatakan dalam besaran aktivitas air (Aw = water activity).
mikroorganisme memerlukan kecukupan air untuk tumbuh dan berkembang biak.
Seperti halnya pH, mikroba mempunyai niali Aw minimum, maksimum dan optimum
untuk tumbuh dan berkembang biak ( Ahmadi & Estiasih,2009).
Sampai sekarang belum diperoleh sebuah istilah yang tepat untuk air yang terdapat
dalam bahan makanan. Istilah yang umumnya dipakai hingga sekarang ini adalah
“air terikat” (bound water). Walaupun sebenarnya istilah ini kurang tepat, karena
keterikatan air dalam bahan berbeda-beda, bahkan ada yang tidak terikat. Karena
itu, istilah “air terikat” ini dianggap suatu sistem yang mempunyai derajat keterikatan
berbeda-beda dalam bahan (Winarno,1992).
Menurut derajat keterikatan air, air terikat dapat dibagi atas empat tipe.
a. Tipe I adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu
ikatan hidrogen yang berenergi besar. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses
pembekuan, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan
biasa. Air tipe ini terikat kuat dan sering kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya.
b. Tipe II, yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air
lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dengan air minum. Air
ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan mengakibatkan
penurunan Aw (water activity). Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air
bahan akan berkisar 3-7 % dan kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai,
kecuali pada produk-produk yang dapat mengalami oksidasi akibat adanya
kandungan lemak tidak jenuh.
c. Tipe III adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti
membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering kali disebut
dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air tipe ini
diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25 % dengan Aw
(water activity) kira-kira 0,8% tergantung dari jenis bahan dan suhu.
d. Tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni
dengan sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh (Winarno,1992).
B. Kadar Air dalam Bahan Makanan
Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah
dilakukan pemanasan. Setiap bahan bila diletakkan dalam udara terbuka kadar
airnya akan mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara disekitarnya. Kadar
air ini disebut dengan kadar air seimbang. Setiap kelembaban relatif tertentu dapat
menghasilkan kadar air seimbang tertentu pula. Dengan demikian dapat dibuat
hubungan antara kadar air seimbang dengan kelembaban relatif.
Nilai Aw suatu bahan atau produk pangan dinyatakan dalam skala 0 sampai
1. Nilai 0 berarti dalam makanan tersebut tidak terdapat air bebas, sedangkan nilai 1
menunjukkan bahwa bahan pangan tersebut hanya terdiri dari air murni. Kapang,
khamir, dan bakteri ternyata memerlukan nilai Aw yang paling tinggi untuk
pertumbuhannya. Niai Aw terendah dimana bakteri dapat hidup adalah 0,86. Bakteri-
bakteri yang bersifat halofilik atau dapat tumbuh pada kadar garam tinggi dapat
hidup pada nilai Aw yang lebih rendah yaitu 0,75. Sebagian besar makanan segar
mempunyai nilai Aw = 0,99. Pada produk pangan tertentu supaya lebih awet biasa
dilakukan penurunan nilai Aw. Cara menurunkan nilai Aw antara lain dengan
menambahkan suatu senyawa yang dapat mengikat air ( Ahmadi & Estiasih,2009).
Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan
terhadap serangan mikroba yang dinyatakan Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat
digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme
mempunyai Aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri Aw :
0,90 ; khamir Aw : 0,80-0,90 ; kapang Aw : 0,60-0,70. Untuk memperpanjang daya
tahan suatu bahan, sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan beberapa
cara tergantung dari jenis bahan. Umumnya dilakukan pengeringan, baik dengan
penjemuran atau dengan alat pengering buatan (Winarno,1992).
Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu
bahan makanan hewani maupun nabati. Air berperan sebagai pembawa zat-zat
makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi yang menstabilkan
pembentukan boiopolimer, dan sebagainya.
Bahan pangan kita baik yang berupa buah, sayuran, daging, maupun susu, telah
banyak berjasa dalam memenuhi kebutuhan air manusia. Buah mentah yang
menjadi matang selalu bertambah kandungan airnya, misalnya calon buah apel yang
hanya mengandung 10% air akan dapat menghasilkan buah apel yang kadar airnya
80%, nenas mempunyai kadar air 87% dan tomat 95%. Buah yang paling banyak
kandungan airnya adalah semangka dengan kadar air 97%.
Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukanacceptability, kesegaran,
dan daya tahan bahan itu. Selain merupakan bagian dari suatu bahan makanan, air
merupakan pencuci yang baik bagi bahan makanan tersebut atau alat-alat yang
akan digunakan dalam pengolahannya. Sebagian besar dari perubahan-perubahan
bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari
bahan itu sendiri.
Bila badan manusia hidup dianalisis komposisi kimianya, maka akan diketahui
bahwa kandungan airnya rata-rata 65% atau sekitar 47 liter per orang dewasa.
Setiap hari sekitar 2,5 liter harus diganti dengan air yang baru. Diperkirakan dari
sejumlah air yang harus diganti tersebut 1,5 liter berasal dari air minum dan sekitar
1,0 liter berasal dari bahan makanan yang dikomsumsi. Dalam keadaan kesulitan
bahan pangan dan air, manusia mungkin dapat tahan hidup tanpa makanan selama
lebih dari 2 bulan, tetapi tanpa minum akan meninggal dunia dalam waktu kurang
dari satu minggu.
Yang terdapat pada bahan pangan berbeda-beda. Untuk menentukan kadar air pada
bahan pangan tersebut, harus dilakukan dengan uji analisa kandungan air yang
dilakukan dengan suatu metode tertentu. Bentuk fisik bahan pangantidak dapat
dijadikan patokan untuk menentukan kandungan air bahan. Pada tabel berikut ini
dapat dilihat kandungan air beberapa jenis bahan pangan:
Jenis Bahan Pangan KA (%) Jenis Bahan Pangan KA (%)
Tomat 94 Ikan Kering 38
Semangka 93 Daging Sapi 66
Kol 92 Roti 36
Nanas / Nenas 85 Buah kering 28
Kacang Hijau 90 Susu Bubuk 4
Susu Sapi 88 Tepung Terigu 12
Source: F.G. Winarno (1977)
Seperti yang bisa dilihat dari tabel (table) diatas, jika dilihat dari bentuk fisik,
seharusnya kadar air nenas harusnya lebih tinggi dari kol, namun pada
kenyataanya, kadar air Kol lebih tinggi dari nenas bahkan dari susu sapi yang bentuk
fisiknya adalah cair. Karena itu untuk mengetahui kandungan air suatu bahan perlu
dilakukan suatu analisa yang nantinya bukan hanya menentukan jumlah kandungan
air tetapi juga berfungsi untuk mengetahui tipe air dari bahan pangan tersebut.
3. Metode Kimiawi
Ada beberapa cara penentuan kadar air dalam bahan secara kimiawi yaitu antara
lain :
a. Cara Titrasi Karl Fischer (1935)
Cara ini adalah dengan menitrasi sampel dengan larutan iodine dalam
metanol. Reagen lain yang digunakan dalam titrasi ini adalah sulfur dioksida dan
piridin. Metanol dan piridin digunakan untuk melarutkan yodin dan dan sulfur
dioksida agar reaksi dengan air menjadi lebih baik. Selain itu piridin dan methanol
akan mengikat asam sulfat yang terbentuk sehingga akhir titrasi dapat lebih jelas
dan tepat. Selama masih ada air dalam bahan, iodin akan bereaksi tetapi begitu air
habis, maka iodin akan bebas. Titrasi dihentikan pada saat timbul warna iodine
bebas. Untuk memperjelas pewarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan
akhir titrasi akan memberikan warna hijau. I2 dengan mtilen biru akan berubah
warnanya menjadi hijau. Cara titrasi ini telah berhasil dipakai untuk penentuan kadar
air dalam alkohol, ester-ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung gula, madu, dan
bahan makanan yang dikeringkan. Cara ini banyak dipakai karena memberikan
harga yang tepat dan dikerjakan cepat. Tingkat ketelitiannya lebih kurang 0,5 mg
dan dapat ditingkatkan lagi dengan sistem elektroda yaitu dapat mencapai 0,2 mg
(Sudarmadji,2003).
4. Metode Fisis
Ada beberapa cara penentuan kadar air cara secara fisis ini antara lain:
a. Berdasarkan tetapan dieletrikum
b. Berdasarkan konduktivitas listrik (daya hantar listrik) atau resistensi
c. Berdasarkan resonansi nuklir magnetic (NMR = Nuclear Magneti resonance)
(Sudarmadji,2003).