Anda di halaman 1dari 19

RESUME KARDIOVASKULER

“ Resume Penyakit RSD( RHEUMATIC HEART DISEASE) dan


Penyakit CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE) “

Disusun oleh

FADIA SUKMA JAAS

183110212

II.B

Dosen Pembimbing

Tisnawati,S.St.M.Kes

D-III KEPERAWATAN PADANG


POLTEKKES KEMENKES PADANG
TAHUN 2019 / 2020
RHD ( RHEUMATIC HEART DISEASE)

A. Pengertian RHD ( Rheumatic Heart Disease)

Penyakit jantung reumatik merupakan proses imun sistemik sebagai reaksi


terhadap infeksi streptokokus hemolitikus di faring (Brunner & Suddarth, 2001).
Penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang
merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup
A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengansatu atau lebih gejala
mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Koreaminor, Nodul subkutan dan
Eritema marginatum (Lawrence M. Tierney, 2002).

Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada
katup jantung akibat serangan karditis rematik akut yang berulang kali
(Arif Mansjoer, 2002). Penyakit jantung rematik (RHD) adalah suatu proses
peradangan yang mengenai jaringan-jaringan penyokong tubuh, terutama persendian,
jantung dan pembuluh darah oleh organisme streptococcus hemolitic-β grup A
(Sunoto Pratanu, 2000) Penyakit jantung rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya
rheumatic heart disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada
katup jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral
sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam rematik.

B. Etiologi RHD

Faktor-faktor pada individu :


1. Faktor genetik

Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam
rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan
antibodi monoklonal dengan status reumatikus.

2. Jenis kelamin

Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak
laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis
kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu
jenis kelamin.

3. Golongan etnik dan ras

Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang


demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan
orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai
faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau
bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.

4. Umur

Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam


reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur
antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada
anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau
setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi
streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita
infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.

5. Keadaan gizi dan lain-lain

Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah
merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.

6. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding
sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin
ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.

7. Serangan demam rematik sebelumnya.

Serangan ulang demam rematik sesudah adanya reinfeksi dengan Streptococcus


beta-hemolyticus grup A adalah sering pada anak yang sebelumnya pernah mendapat
demam rematik.

Faktor-faktor lingkungan :

1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk

Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi


untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang
sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial
ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni
padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang
menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk
perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor
yang memudahkan timbulnya demam reumatik.

2. Iklim dan geografi

Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan


didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah
tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula.
Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi
daripada didataran rendah.

3. Cuaca

Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran


nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.
C. Patofisiologi

Penyakit ini disebabkan karena infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus


Grup A.Bakteri ini akan menginfeksi saluran epitel pernapasan atas yaitu tenggorokan
yang nantinya akan menyebabkan peradangan dan infeksi pada tenggorokan sehingga
menyebabkan terjadinya faringitis dan tonsillitis. Akibat peradangan atau infeksi ini,
merangsang terbentuknya antibodi sehingga bereaksi dengan antigen streptokokus
yang mengakibatkan terjadinya reaksi antigen-antibodi.Akibat terjadinya reaksi
imunologis ini menyebabkan terjadinya demam reumatik. Demam reumatik bisa
bersifat menetap dan reversible.Demam reumatik dapat mengakibatkan gejala sisa
(sequele), sehingga dalam serum penderita terdapat antibodi anti otot jantung. Hal ini
menyebabkan terjadinya peradangan pada katup jantung dan dapat pula disertai
dengan gejala –gejala seperti karditis (kriteria mayor dan kriteria minor). Bila terdapat
2 kriteria mayor /1 kriteria mayor disertai dengan 2 kriteria minor akan
mengakibatkan terjadinya pnyakit jantung reumatik (RHD).
D. Woc
Srtepcococcus Hemoliticus b grup a (Melepaskan
endotoksin Dipharing dan tonsil)

Pharingitis dan
thonsilitis

Tubuh mengeluarkan antybody


berlebihan dan tidak dapat
membedakan antybody dan
antygen
Respon imunologi dan
autoimun

RHD

SSP
Jantung Persendian Kulit

Peradangan Peradangan Gerakan involu ter ,


Peradangan
katup mitral Kulit dan irreguler cepat dan
subkutan kelemahan otot

Peningkatan sel Membran


plasma da limfosit senovial Bercak merah
atau eritemia
menginatum
Resiko Cidera

Polyartritis arthralgia

Jaringan
Parut
Kerusakan
integritas
Sindrom kurang dari Intoleran
kulit
perawatan diri Aktivitas

Stenosis katup Nyeri


mitral Akut
Penurunan
Curah jantung

Beresptor
meningkat Vol &
TD

Merangsang
medula
Oblongata

Kompensasi saraf
simpatis

Jantung Pembuluh darah Gl Track

Pengisian atrium kanan Vasokontriksi Kerja lambung

Sindrom kurang
perawatan diri
Penumpukan darah diparu Penurunan metabolisme HCL

Gangguan fungsi alveoli terutama perifer mual, anoreksia


Resiko gangguan Perfusi jaringan Ketidakseimbangan
pertukaran gas perifer tak nutrisi kurang dari
efektif kebutuhan

E. Haemodinamik RHD

DEMAM REMATIK YG TDK DITANGANI DG ADEKUAT


BERPOTENSI SEKALI U/ MENGALAMI PJR

KUMAN GABHS, MENYEBABKAN DEMAM REMATIK, DIAWALI DG


PERADANGAN PD TENGGOROKAN

KELUAR RACUN/TOKSIN KUMAN GABHS MENYEBAR MELALUI


SIRKULASI DRH

MENGAKIBATKAN PERADANGAN KATUP JANTUNG

DAUN KATUP MENGALAMI PERLENGKETAN DAN MENYEMPIT ATAU


MENEBAL DAN MENGKERUT

KALAU MENUTUP TDK SEMPURNA LAGI DAN TERJADI KEBOCORAN


F. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR)


diantaranya adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh
bagian jantung), pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada
paru, kelainan katup jantung, dan infark (kematian sel jantung).

1. Dekompensasi Cordis

Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan terdapatnya


sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi keperluan metabolic
termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja otot jantung yang berlebihan,
biasanya karena kelainan struktur jantung, kelainan otot jantung sendiri seperti proses
inflamasi atau gabungan kedua faktor tersebut.

Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik yaitu dengan
digitalis dan obat-obat diuretika. Tujuan pengobatan ialah menghilangkan gejala
(simptomatik) dan yang paling penting mengobati penyakit primer.

2. Pericarditis

Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi
radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard

G. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan demam reumatik aktif atau reaktivasi kembali diantaranya


adalah :

1. Tirah baring dan mobilisasi (kembali keaktivitas normal) secara bertahap


2. Pemberantasan terhadap kuman streptokokkus dengan pemberian antibiotic
penisilin atau eritromisin. Untuk profilaksis atau pencegahan dapat diberikan
antibiotic penisilin benzatin atau sulfadiazine
3. Antiinflamasi (antiperadangan). Antiperadangan seperti salisilat dapat dipakai
pada demam reumatik tanpa karditis (peradangan pada jantung)

CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE)

A. Defenisi CHF ( Congestive Heart Failure)

Penyakit Gagal Jantung yang dalam istilah medisnya disebut dengan "Heart
Failure atau Cardiac Failure", merupakan suatu keadaan darurat medis dimana jumlah
darah yang dipompa oleh jantung seseorang setiap menitnya {curah jantung (cardiac
output)} tidak mampu memenuhi kebutuhan normal metabolisme tubuh. Dampak dari
gagal jantung secara cepat berpengaruh terhadap kekurangan penyediaan darah,
sehingga menyebabkan kematian sel akibat kekurangan oksigen yand dibawa dalam
darah itu sendiri. Kurangnya suplay oksigen ke otak (Cerebral Hypoxia),
menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran dan berhenti bernafas dengan tiba-tiba
yang berujung pada kematian.

Gagal jantung kongestif pada bayi dan anak merupakan kegawatdaruratan yang
sangat sering dijumpai oleh petugas kesehatan dimanapun berada. Keluhan dan gejala
sangat bervariasi sehingga sering sulit dibedakan dengan akibat penyakit lain di luar
jantung.

B. Etiologi

Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu :

1) Gangguan mekanik ; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal
atau bersamaan yaitu :
a) Beban tekanan
b) Beban volume
c) Tamponade jantung atau konstriski perikard (jantung tidak dapat diastole).
d) Obstruksi pengisian bilik
e) Aneurisma bilik
f) Disinergi bilik
g) Restriksi endokardial atau miokardial

2) Abnormalitas otot jantung

a) Primer : kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal kronik,


anemia) toksin atau sitostatika.
b) Sekunder: Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif, korpulmonal

3) Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi

Di samping itu penyebab gagal jantung berbeda-beda menurut kelompok umur,


yakni pada masa neonatus, bayi dan anak.

a) Periode Neonatus

Disfungsi miokardium relatif jarang terjadi pada masa neonatus, dan bila ada biasanya
berhubungan dengan asfiksia lahir, kelainan elektrolit atau gangguan metabolik
lainnya. Lesi jantung kiri seperti sindrom hipoplasia jantung kiri, koarktasio aorta,
atau stenosis aorta berat adalah penyebab penting gagal jantung pada 1 atau 2 minggu
pertama.

b) Periode Bayi

Antara usia 1 bulan sampai 1 tahun penyebab tersering ialah kelainan struktural
termasuk defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten atau defek septum
atrioventrikularis. Gagal jantung pada lesi yang lebih kompleks seperti transposisi,
ventrikel kanan dengan jalan keluar ganda, atresia tricuspid atau trunkus arteriosus
biasanya juga terjadi pada periode ini.
c) Periode Anak

Gagal jantung pada penyakit jantung bawaan jarang dimulai setelah usia 1 tahun. Di
negara maju, karena sebagian besar pasien dengan penyakit jantung bawaan yang
berat sudah dioperasi, maka praktis gagal jantung bukan menjadi masalah pada pasien
penyakit jantung bawaan setelah usia 1 tahun.

C. Manifestasi klinis Gagal Jantung (CHF)

Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien,


beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat,
apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan
jantung.

Pada bayi, gejala Gagal jantung biasanya berpusat pada keluhan orang tuanya
bahwa bayinya tidak kuat minum, lekas lelah, bernapas cepat, banyak berkeringat dan
berat badannya sulit naik. Pasien defek septum bilik atau duktus arteriosus persisten
yang besar seringkali tidak menunjukkan gejala pada hari-hari pertama, karena pirau
yang terjadi masih minimal akibat tekanan bilik kanan dan arteri pulmonalis yang
masih tinggi setelah beberapa minggu (2-12 minggu), biasanya pada bulan kedua atau
ketiga, gejala gagal jantung baru nyata. Anak yang lebih besar dapat mengeluh lekas
lelah dan tampak kurang aktif, toleransi berkurang, batuk, mengidap sesak napas dari
yang ringan (setelah aktivitas fisik tertentu) sampai sangat berat (sesak napas pada
waktu istirahat).

Pasien dengan kelainan jantung yang dalam kompensasi karena pemberian obat
gagal jantung, dapat menunjukkan gejala akut gagal jantung bila dihadapkan kepada
stress, misalnya penyakit infeksi akut. Pada gagal jantung kiri atau gagal jantung
ventrikel kiri yang terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel
kiri, biasanya ditemukan keluhan berupa perasaan badan lemah, berdebar-debar,
sesak, batuk, anoreksia, keringat dingin.

Tanda obyektif yang tampak berupa takikardi, dispnea, ronki basah paru di
bagian basal, bunyi jantung III (diastolic gallop)atau terdengar bising apabila terjadi
dilatasi bilik, pulsus alternan. Pada gagal jantung kanan yang dapat terjadi karena
gangguan atau hambatan daya pompa bilik kanan sehingga isi bilik kanan menurun,
tanpa didahului oleh adanya Gagal jantung kiri, biasanya gejala yang ditemukan
berupa edema tumit dan tungkai bawah, hepatomegali, lunak dan nyeri bila ditekan;
edema pada vena perifer (vena jugularis), gangguan gastrointestinal dan asites.
Keluhan yang timbul berat badan bertambah akibat penambahan cairan badan, kaki
bengkak, perut membuncit, perasaan tidak enak di epigastrium.

Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :

a) Gejala paru berupa : dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.


b) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites,
hepatomegali, dan edema perifer.
c) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai
delirium.

Pada kasus akut, gejala yang khas ialah gejala edema paru yang meliputi :
dyspnea, orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadang-kadang
hemoptisis, ditambah gejala low output seperti : takikardi, hipotensi dan oliguri beserta
gejala-gejala penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti keluhan angina pectoris
pada infark miokard akut. Apabila telah terjadi gangguan fungsi bilik jantung yang berat,
maka dapat ditemukan pulsus alternan. Pada keadaan yang sangat berat dapat terjadi syok
kardiogenik.

D. Patofisiologi

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan


kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal.
Dapat dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung (CO:
Cardiac output) adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) x Volume
Sekuncup (SV: Stroke Volume).

Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah jantung
berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah
yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.

Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi,
yang tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim dengan Hukum
Starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung
berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan
serabut jantung); (2) Kontraktilitas (mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi
yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut
jantung dan kadar kalsium); (3) Afterload (mengacu pada besarnya tekanan ventrikel
yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang
ditimbulkan oleh tekanan arteriole).

Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik
pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang
akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume
dan tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Hal
ini akan meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan
menyebabkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka
akan terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa berfungsi
dengan baik tapi peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama (kronik) akan
dijalarkan ke kedua atrium, sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya
tekanan kapiler akan meningkat yang akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul
edema paru atau edema sistemik.

Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan tekanan


arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf dan
humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi
miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena; yang akan meningkatkan volume
darah sentral yang selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun adaptasi-adaptasi ini
dirancang untuk meningkatkan cardiac output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu
tubuh. Oleh karena itu, takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat
memacu terjadinya iskemia pada pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya
dan peningkatan preload dapat memperburuk kongesti pulmoner.

Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer.


Adaptasi ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital, tetapi jika
aktivasi ini sangat meningkat malah akan menurunkan aliran ke ginjal dan jaringan.
Salah satu efek penting penurunan cardiac output adalah penurunan aliran darah
ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan menimbulkan retensi
sodium dan cairan. Sitem rennin-angiotensin-aldosteron juga akan teraktivasi,
menimbulkan peningkatan resistensi vaskuler perifer selanjutnya dan penigkatan
afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi sodium dan cairan.

Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin vasopresin


dalam sirkulasi, yang juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi cairan.
Pada gagal jantung terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial akibat peningkatan
tekanan atrium, yang menunjukan bahwa disini terjadi resistensi terhadap efek
natriuretik dan vasodilator.

E. WOC CHF
F. Penatalaksanaan
a) Menghilangkan factor pencetus
b) Mengendalikan gagal jantung dengan memperbaiki pompa jantung,
mengurangi beban jantung dengan diet renda garam, diuretic dan fasodilator.
c) Menghilangkan penyakit yang mendasarnya baik medis atau bedah.
d) Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen, diusahakan agar
PaCO2 sekitar 60-100 mmHg (saturasi O2 90-98%) dan menurunkan
konsumsi oksigen melalui istirahat/pembatasan aktifitas.
e) Pemberian obat-obatan sesuai program, seperti morfin diberikan untuk
menurunkan afterload dan preload, furosemide untuk mengurangi
edema/dieresis, aminofilin untuk merangsang miokardium, obat inotropik
(digitalis glikosida, dopamine HCL, phosphodiesterase inhibitor)
meningkatkan kontraktilitas miokardium, ACE inhibitor menurunkan
afterload dan meningkatkan kapasitas fisik, nitrogliserin untuk menurunkan
hipertensi vena paru.
f) Bila perlu monitoring menggunakan central venous pressure atau dengan
swan ghanz chateter.

G. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan photo thorax
b) Mengidentifikasi kardiomegali, infiltrate prekordial kedua paru dan effuse
pleura.
c) ECG
d) Mengidentifikasi penyakit yang mendasari seperti infrak miokart atau
aritmia.
e) Pemeriksaan lain seperti Hb, leukosit, ekokardiografi, angiografi, fungsi
ginjal dan fungsi tiroid dilakukan atas indikasi.

Anda mungkin juga menyukai