Anda di halaman 1dari 836

PROSIDING

Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan


UIN Syarif Hidayatullah

“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk


Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

FITK Press

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta

“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan


Hidup Abad 21”
Copyright © 2018
ISSN : 2622-0121
Edisi: Juni 2018

Pimpinan Redaksi:
Nida Husna

Editor:
Fidrayani,
Meiry Noor Fadilah
Tanenji
Azkia Muharom Albantani
Yazid Hady
Fatkhul Arifin,

Reviewer :
Muhamad Zuhdi
Ahmad Sofyan
Fauzan, MA

Diterbitkan Oleh:
FITK PRESS
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda no.95 Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Telepon/fax. (021) 7443328
Website: www.fitk-uinjkt.ac.id
@2018

Hak cipta dilindungi undang-undang dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang
telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku Prosiding Seminar Nasional Literasi
Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21 yang
dilaksanakan pada tanggal 9 Mei 2018 di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Buku Prosiding ini memuat sejumlah artikel hasil penelitian dan kajian literatur yang
berkaitan dengan:
1) Integrasi ilmu dan keislaman berbasis media
2) Budaya dan literasi digital
3) Kemampuan komunikatif di era literasi digital
4) Kreativitas literasi digital
5) Integrase sains dalam literasi digital
6) Pengembangan pembelajaran berbasis media
7) Peran literasi digital/media dalam proses perkembangan anak.
Dalam kesempatan ini kami sampaiakan terimakasih kepada:
1) Pimpinan Fakultas yang telah memfasilitasi semua kegiatan seminar nasional ini
2) Bapak/Ibu panitia seminar nasional yang telah meluangkan waktu, tenaga dan
pemikirannya demi suksesnya kegiatan ini
3) Bapak/Ibu dosen, guru, dan mahasiswa penyumbang artikel hasil penelitian dalam
kegiatan ini
Semoga buku prosiding ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, untuk kepentingan
peningkatan profesionalisme dan kecakaoan guru di abad 21. Disamping itu, diharapkan
juga dapat menjadi referensi bagi upaya pembangunan bangsa dan negara. Saran dan kritik
membangun tetap kami tunggu demi kesempurnaan buku prosiding ini.

Tim Penyusun

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1-7 PEMANFAATAN TEKNOLOGI BERBASIS APLIKASI ANDROID
“EKOPESANTREN PRO” SEBAGAI MEDIA SOSIALISASI EKOPESANTREN
Ade Gunawan, Rihlah Nur Aulia
Universitas Negeri Jakarta

8-19 ANALISIS KETERAMPILAN GENERIK SAINS SISWA PADA MATERI LAJU REAKSI DENGAN MODEL
PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING
Aini Nadhokhotani Herpi, Tonih Feronika, Dedi Irwandi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

20-25 POTENSI TEKNOLOGI DIGITAL


DALAM PROMOSI WISATA RELIGI
Alfiyanti Rohmah, Sari Narulita, Rihlah Nur Aulia
Universitas Negeri Jakarta

26-35 PENGARUH PEMBELAJARAN INTERLOCKED PROBLEM POSING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF
MATEMATIS SISWA
Ana Matofani, Gelar Dwirahayu, Eva Musyrifah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

36-47 MODEL PEMBELAJARAN PAI MULTIKULTURAL BERBASIS NILAI KEARIFAN LOKAL MELALUI
PEMBELAJARAN WEB CENTRIC COURSE DI PTU
Andy Hadiyanto, Abdul Fadhil, Ahmad Hakam, Amaliyah, Dewi Anggraeni
Universitas Negeri Jakarta

48-56 LITERASI DIGITAL DAN PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK DALAM DIMENSI FRAUD TRIANGLE
Anissa Windarti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

57-62 PERAN MEDIA SOSIAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER PEMUDA MELALUI PROGRAM WISATA RELIGI
Arip Suprasetio, Sari Narulita, Rihlah Nur Aulia
Universitas Negeri Jakarta

63-75 LITERASI GURU KELAS TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR
MI/SD
Asep Ediana Latip
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

76-82 ANALISIS KEMAMPUAN BERINKUIRI MAHASISWA CALON GURU SEKOLAH DASAR MELALUI PRAKTIKUM
BERBASIS INKUIRI
Astri Sutisnawati, Din Azwar Uswatun
Universitas Muhammadiyah Sukabumi

83-93 PENGEMBANGAN GAME EDUKASI BERBASIS ANDROID PADA MATERI PENGENALAN ALJABAR
Aziz Muhtasyam, Tita Khalis Maryati, Gusni Satriawati
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

94-102 PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS MEDIA SOSIAL PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI
SMA/MA
Baiq Hana Susanti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

103-112 PREMIUM MEMBER SEBAGAI IDENTITAS TOKO DAN STRATEGI PENJUALAN E-COMMERCE PADA
MARKETPLACE
Bibit Sudarsono, Ali Haidir
AMIK BSI Karawang

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

113-125 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) BERBANTUAN
MEDIA KOKAMI TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP FLUIDA STATIS
Devi Solehat, Fathiah Alatas, Reni Oktora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

126-132 ANALISIS MODEL PEMBELAJARAN ETNOSAINS BERBASIS LITERASI DIGITAL DALAM PEMBELAJARAN KIMIA
Dewiantika Azizah, Mutiara Dwi Cahyani,
Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC).

133-139 KREATIVASI LITERASI DIGITAL DALAM PENDIDIKAN LINGKUNGAN BERBASIS PESANTREN: DIGITREND
ENVIROTION (DIGITAL PESANTREN-BASED ENVIRONMENTAL EDUCATION)
Dian Elvira Nanda Isnaini, Izzatul Mardhiah, Rihlah Nur Aulia
Universitas Negeri Jakarta

140-148 E-COMIC PEMANASAN GLOBAL SEBAGAI SUPLEMEN BAHAN AJAR SEBAGAI UPAYA UNTUK
MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR DAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA
Effiatul Fajriyah
Universitas Negeri Semarang

149-155 PENGEMBANGAN MEDIA ANIMASI BERBASIS ADOBE FLASH PADA MATERI SISTEM PENCERNAAN
Eka Ariyati, Icha Monika, Kartono
Universitas Tanjungpura

156-162 PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA AUTOPLAY TERHADAP LITERASI MATEMATIS SISWA


Fery Muhamad Firdaus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

164-171 DIGITAL CLASS ROOM SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN DI SD ISLAM AL AZHAR 1 JAKARTA
Fidrayani, Intan Sriayu Wulandari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

172-176 LITERASI DIGITAL DAN BUDAYA DAMAI BERBASIS TASAWUF: SEBUAH IMPLEMENTASI LITERASI DIGITAL
Firdaus Wajdi
Universitas Negeri Jakarta

177-189 PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN MEDIA WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN


REPRESENTASI VISUAL SISWA
Gelar Dwirahayu, Lava Himawan, Dedek Kustiawati
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

190-200 PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN HYPERMEDIA UNTUK MENINGKATKAN HIGH ORDER THINKING
SKILLS PADA MATERI ALAT OPTIK SMA
Habsi Frasidik, Iwan Permana Suwarna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

201-206 PENGARUH MODEL CHALLENGE BASED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN KREATIF
MATEMATIS SISWA
Hanna Ramadhana Widuri, Gelar Dwirahayu, Eva Musyrifah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

207-227 PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DAN KREATIVITAS BELAJAR SISWA TERHADAP PENGUASAAN
KONSEP IPA DI MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI
Haryati, Rosyanti, Suningsih
MTsN 6 Jakarta Timur, Kementerian Agama

228-237 KONSUMSI TANDA PADA KOMUNITAS AKSARA MUDA MELALUI MEDIA SOSIAL WHATSAAP
Herza, Ignes Novirensi
Universitas Gadjah Mada

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ii
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

238-246 FREKUENSI DIKSI BIOLOGI DAN PESAN DALAM DUA NOVEL


Hindun
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

247-264 MOBILE LEGENDS: CYBERBULLYING DAN PERILAKU ANAK


Intan Sari Yuniati, Hilda Rahmah
Universtas Gadjah Mada

265-274 THE EFFECT OF SCREENCAST O-MATIC APPLICATION ON STUDENTS’ SPEAKING ABILITY


Ismalianing Eviyuliwati, Putra Sudharma
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

275-283 DUALISME DUNIA VIRTUAL:


INTERAKSI ANAK DAN INTERNET DI INDONESIA
Istiqoma, Retno Wahyuningtyas
Universitas Gadjah Mada

284-292 KAJIAN OTORITAS IBN HAJAR Al-ASQALANI


TENGTANG KRITIK SANAD DALAM KITAB TAHDZIB AL-TAHDZIB
MELALUI LITERASI DIGITAL
Khairil Ikhsan Siregar
Universitas Negeri Jakarta

293-308 PENGARUH PENUGASAN DIGITAL MELALUI SOCRATIVE DAN EDMODO TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA
SMA PADA KONSEP HUKUM NEWTON TENTANG GERAK
Maria Ulfah, Iwan Permana Suwarna, Devi Solehat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

309-317 PENINGKATAN KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA DENGAN VIDEO PEMBELAJARAN BERBASIS STAD PADA
KONSEP OPTIK GEOMETRI
Merydhila Hapsari, Erina Hertanti, Ai Nurlaela
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

318-327 ALAT PERAGA IPA “EKSIS” (EKOSISTEM DAN SIKLUS HIDROLOGI) SEBAGAI MEDIA INTERAKTIF UNTUK
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA SMP
Meta Ikke Lisnawati, Nurdiasih Pertiwi, Fidia Fibriana
Universitas Negeri Semarang

328-335 STIMULASI EMERGENT LITERACY ANAK USIA DINI MELALUI KEGIATAN ISLAMIC PRACTICAL LIFE
Miratul Hayati1, Ahmad Syaikhu2
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Universitas Negeri Jakarta

336-345 MINAT MAHASISWA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN TERHADAP RUMPUN MATA KULIAH
PEMBELAJARAN
Mu’arif Sam dan Nurfani M.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

346-352 PENGARUH PENDEKATAN SAINTIFIK BERBANTUAN VIDEO STOP MOTION TERHADAP KEMAMPUAN
KOGNITIF FISIKA SISWA PADA KONSEP ENERGI DAN USAHA
Muhammad Reza Syachputra, Ai Nurlaela, Hasian Pohan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

353-361 PENGARUH VIDEO PEMBELAJARAN BERBASIS MODEL CREATIVE PROBLEM SOLVING (CPS)
TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA PADA KONSEP TEORI KINETIK GAS
N.Azizah, E.Hertanti , A.Nurlaela
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

iii
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

362-369 PENGGUNAAN KOMIK ONLINE


SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN MI/SD ABAD 21
Naifatul Musyarrofah, Muhamad Firdaus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

370-379 PENGGUNAAN MEDIA KOMIK ONLINE UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PADA KONSEP
MONERA
Nengsih Juanengsih, Ainul Hidayati, Baiq Hana Susanti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

380-393 POTENSI VIRTUAL LABORATORY SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN
MOTIVASI BELAJAR DAN KEMAMPUAN PENGUASAAN KONSEP IPA TERPADU
Nurdiasih Pertiwi, Meta Ikke Lisnawati, Muhamad Taufiq
Universitas Negeri Semarang

394-403 PERAN LITERASI MEDIA UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI SISWA SD
Nurhasanah1, Saman2
1
Integrated Islamic Elementary School Nurul Iman I Tanah Baru Depok
2
Universitas Muhammadiyah Jakarta

404-410 NSTAGRAM-BOOK REVIEW: UPAYA MENDUKUNG GERAKAN LITERASI SEKOLAH (GLS) PADA JENJANG SMA
SEDERAJAT
Nurlaili Irias Putri, Rahmatika Rizqi Utami, Rahman Saleh Alfarisi,
Fahrudin Bustomi, Ardian Yogi Tri Prasetyo
Universitas Negeri Semarang

411-419 PELEMBAGAAN PEMBELAJARAN BERBASIS MEDIA DIGITAL UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI


MAHASISWA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
Nurochim
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

420-421 KEMAMPUAN MENGKRITISI BACAAN


DALAM LITERASI DIGITAL
Nurul Huriyah
SDN Kelapa Dua Wetan 01 Pagi

422-434 PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL SEBAGAI SARANA IMPLEMENTASI LITERASI DIGITAL


Prima Rafika, Denisya Awaliyah
SMA IT Nurul Fikri

435-445 PENINGKATAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS MELALUI MODEL PROBLEM SOLVING
LABORATORY PADA KONSEP GERAK HARMONIK SEDERHANA SMA NEGERI
Qorina Nofa Fadlillah1, Fathiah Alatas1, Daryono2
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
SMA Negeri 5 Tangerang Selatan

446-452 PERAN LITERASI DIGITAL DALAM MENGIDENTIFIKASI URGENSI WISATA RELIGI


R. Siti Nurlela, Sari Narulita, Firdaus Wajdi
Universitas Negeri Jakarta

453-461 BUKU CERITA ANAK DWIBAHASA BERMUATAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI BAHAN LITERASI MEDIA
Rahmatika Rizqi Utami, Nurlaili Irias Putri, Cintia Nugraha
Universitas Negeri Semarang

462-472 PENERAPAN LESSON STUDY SEBAGAI PENUNJANG KESADARAN MERAWAT ORGAN TUBUH ANAK USIA
DINI DI SEKOLAH
Reni Marlina1, Dian Miranda1, Marmawi1, Chindi Yadhystha2
1
Universitas Tanjungpura
2
Sekolah PAUD Khulafaur Rasyidin

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

iv
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

473-479 PEMANFAATAN LITERASI DIGITAL BAGI ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI LEMBAGA PEMBINAAN
KHUSUS ANAK
Retno Wahyuningtyas, Istiqoma
Universitas Gadjah Mada

480-489 PENGARUH PENDEKATAN OPEN-ENDED TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR INTUITIF MATEMATIS SISWA
Rini, Lia Kurniawati, Afidah Mas’ud
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

490-494 KONSEP LITERASI DIGITAL BAGI ANAK USIA PRAREMAJA DAN REMAJA
Santi Pratiwi Tri Utami, Qurrota Ayu Neina, Rahmatika Rizqy Utami
Universitas Negeri Semarang

495-507 PENEREPAN METODE TAULIFIYYAH DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PERMULAAN


BAHASA ARAB
Siti Masyithoh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

508-520 PROFIL PEMBELAJARAN LINGKUNGAN DI SMUN SE-KOTA TANGERANG SELATAN


Sujiyo Miranto, Sa’datul Ummah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

521-537 DIGITALISASI DALAM PENGAJARAN BAHASA ARAB


Wati Susiawati
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

532-537 PENANAMAN NILAI EDUKATIF PADA ANAK USIA DINI MELALUI DONGENG MENGGUNAKAN MEDIA VIDEO
SCRIBE
Winda Dwi Hudhana, Ariyana
Universitas Muhammadiyah Tangerang

538-546 THE INFLUENCE OF ACTIVE LEARNING STRATEGY TYPE OF GIVING QUESTION AND GETTING ANSWER OF
IPA LEARNING RESULT STUDENT OF ELEMENTARY SCHOOL
Mufida Awalia Putri, Syifa Alinda Muthia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

547-557 PERAN LITERASI MEDIA DALAM MEMBENTUK KARAKTER REMAJA


Amilda
UIN Raden Fatah Palembang

558-571 PERAN LITERASI DIGITAL/MEDIA DALAM PROSES PERKEMBANGAN EMOSIONAL DAN SOSIAL ANAK
Nafia Wafiqni, Siti Nurani
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

572-584 STRATEGI RUMAH BACA KOMUNITAS UNTUK MEWUJUDKAN GERAKAN LITERASI DI ERA DIGITAL LITERACY
Darto Wahidin
Ketahanan Nasional SPs UGM

585-589 TELAAH LITERASI DIGITAL DALAM MENGIDENTIFIKASI MINAT MASYARAKAT TERHADAP WISATA RELIGI DI
JAKARTA
Meri Oktaviani, Rihlah Nur Aulia, Sari Narulita
Universitas Negeri Jakarta

590-601 PEMANFAATAN GOOGLE MAPS API DALAM RANCANGAN SISTEM APLIKASI KENDARAAN LOGISTIK
BERBASIS WEB MENGGUNAKAN METODE RAPID APPLICATION DEVELOPMENT (RAD)
Maisyaroh1, Zulfi Asyhari2
1
AMIK BSI Tasikmalaya
2
STMIK Nusa Mandiri Jakarta

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

v
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

602-613 PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DI INSTITUSI PENDIDIKAN


Zahruddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

614-629 POSISI PENGGUNA TEKNOLOGI DI ERA LITERASI DIGITAL


Sumarjo, Sinta Maysila
Universitas Gadjah Mada

630-647 HYPERMEDIA 3D FLIPBOOK BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK UNTUK MENINGKATKAN HIGH ORDER
THINKING SKILL
SISWA SMA
Ali Fikri Abdillah, Iwan Permana Suwarna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

648-656 PENERAPAN METODE BLENDED LEARNING BERBASIS INKUIRI BERBANTUAN LKS MATERI GETARAN DAN
GELOMBANG TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA
Atika Khanifah, Fellia Febriyanti
Universitas Negeri Semarang

657-669 UPAYA PENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP ALAT-ALAT OPTIK MENGGUNAKAN MODEL
PEMBELAJARAN PROBLEM POSING TYPE POST SOLUTION POSING DI SMA NEGERI 9 TANGERANG SELATAN
Ika Shepti Indriani1, Fathiah Alatas1, Rias Fitria2
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
SMA Negeri 9 Tangerang Selatan

670-684 PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MOBILE GAME ANDROID PADA KONSEP IKATAN KIMIA
Prayoga Hadi Putra, Dedi Irwandi, Salamah Agung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

685-698 PENERAPAN LOKERDIFA UNTUK PARA PENCARI LOWONGAN KERJA UNTUK DIFABLE BERBASIS MEDIA WEB
DENGAN METODE WATERFALL
Suhar Janti, Muhamad Fadillah
AMIK BSI Jakarta

699-711 MENINGKATKAN MUTU INSTRUMEN UH FISIKA MELALUI ANALISIS ITEM


Intan Irawati
MAN 15 Jakarta

712-723 PENILAIAN AUTENTIK DENGAN TES MULTIREPRESENTASI DALAM PEMBELAJARAN FISIKA


Murtono
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

724-735 PENGARUH MEDIA KUIS INTERAKTIF BERBANTUAN KOMPUTER TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA SISWA
PADA KONSEP SUHU DAN KALOR
Siti Sopiyah, Iwan Permana Suwarna, Erina Hertanti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

736-747 PENGARUH GAME DIGITAL RESCUE ROBOTICS TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP FLUIDA
DINAMIS
Prita Rabbani Suherman, Iwan Permana Suwarna, Dwi Nanto
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

748-756 PENGARUH PENUGASAN MELALUI LEARNING PLATFORM


TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA
KONSEP OPTIK DAN ALAT OPTIK KELAS X SMA
Raden Manzilah Mubarokah Fahra, Iwan Permana Suwarna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

vi
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

757-765 ANALISIS ASPEK KETERAMPILAN GENERIK SAINS (KGS) PADA EVALUASI BAHAN AJAR FISIKA KELAS XI
(Penelitian deskriptif di SMA Muhammadiyah 8 Ciputat)
Faramudita Dwi Iriyani, Diah Mulhayatiah1, Yesma Aini2
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Guru Fisika SMA Muhammadiyah 8 Ciputat

766-774 IDENTIFIKASI MISKONSEPSI PADA KONSEP TEORI KINETIK GAS


MENGGUNAKAN THREE-TIER TEST
Dendy Siti Kamilah, Rovi Afriana, Fathiah Alatas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

775-785 PENGARUH HYPERMEDIA TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA


PADA KONSEP DUALISME GELOMBANG-PARTIKEL
Anugrah Azhar, Iwan Permana Suwarna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

786-796 IDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA SMA KELAS X PADA KONSEP SUHU, KALOR DAN PERPINDAHAN KALOR
DENGAN MENGGUNAKAN INSTRUMEN THREE-TIER TEST
Nur Noviana, Umi Sultra, Fathiah Alatas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

797-814 ANALISIS KUALITAS PEMBINAAN, KESIAPAN, DAN PRESTASI


SISWA-SISWI MADRASAH DALAM KOMPETISI SAINS MADRASAH (KSM)
Teguh Gumilar1, Endah Kurnia Yuningsih1, Vita Oktaviani1,, Diah Mulhayatiah2
1
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

815-825 PENGARUH MODEL LEARNING CYCLE 7E TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP ELASTISITAS
Devi Solehat, Asria Mawarda, Hasian Pohan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

vii
Ade Gunawan, Rihlah Nur Aulia
Universitas Negeri Jakarta
e-mail: adegunawan_iai15@mahasiswa.unj.ac.id; rihlah-nuraulia@unj.ac.id
Abstract. The focus of this article is the creation of android application with the name Ekopesantren Pro as a
medium of socialization of environmental poverty model (ekopesantren). This application is very helpful for
all citizens of pesantren and surrounding communities in getting information about the program that has been
launched by the Ministry of Environment RI in 2008 this. The features in this environment consist of up-to-
date information on the environment, boarding data suitable for scope, environmental model space and
environmental education, to facilities that support eco-tourism. The method in this study consists of the stages
of application implementation starting from the stage and stage of analysis, assignment, implementation, and
execution of tasks. This application aims to: firstly, introduce the ekopesantren model to pesantren and global
citizens quickly and easily accessed using the Android operating system. Second, it provides problem-solving
solutions on environmental education and environmental management models. Third, provides concrete data
on pesantren that covers the criteria of ekopesantren.

Keywords: android apps, ekopesantren pro, pesantren, environment

Abstrak. Fokus artikel ini adalah rancangan pembuatan aplikasi berbasis android dengan nama Ekopesantren
Pro sebagai media sosialisasi model pengelolaan pesantren berbasis lingkungan (ekopesantren). Aplikasi ini
yang sangat membantu bagi seluruh warga pesantren khususnya dan masyarakat sekitar umumnya dalam
mendapatkan informasi mengenai program yang sudah diluncurkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI
pada tahun 2008 ini. Fitur dalam ekopesantren pro terdiri dari informasi terkini mengenai pesantren berbasis
lingkungan, data pesantren yang memenuhi kriteria ekopesantren, ruang model pengelolaan lingkungan dan
pendidikan lingkungan, hingga penghargaan terhadap pesantren yang menerapkan ekopesantren. Metode dalam
penelitian ini terdiri dari tahapan-tahapan rekayasa aplikasi yang dimulai dari tahapan perumusan masalah dan
perencanaan tahap analisa, tahap disain, tahap implementasi, dan tahap pengujian Aplikasi ini bertujuan untuk
: pertama, mengenalkan model ekopesantren kepada warga pesantren dan masyarakat global dengan cepat dan
mudah diakses yang dibuat menggunakan sistem operasi Android. Kedua, memberikan solusi pemecahan
masalah mengenai pendidikan lingkungan dan model pengelolaan lingkungan. Ketiga, memberikan data yang
kongkrit mengenai pesantren yang mencakup ke dalam kriteria ekopesantren.

Kata Kunci: aplikasi android, Ekopesantren pro, pesantren, lingkungan

Pendahuluan
Pada era milenial ini bangsa-bangsa di dunia, hampir percaya sepenuhnya kepada
kekuatan pendidikan dalam memajukan suatu bangsa dan negara. Jepang, sebagai bangsa yang
saat in menguasai perekonomian dunia pada hampir seluruh sektor kehidupan manusia

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

misalnya, terjadi setelah ia memperbaki mutu pendidikannya. Salah satu bidangnya yaitu
pendidikan lingkungan. Pendidikan lingkungan merupakan program pendidikan yang
bertujuan untuk mengubah sikap dan prilaku manusia agar bereproduksi secara rasional,
memelihara lingkungan hidup, serta bertanggung jawab terhadap kualitas kehidupan saat ini
dan masa yang akan datang melalui proses pendidikan (Fachruddin 2016). Dapat
disimpulkan bahwa misi dari pendidikan lingkungan adalah mewujudkan sikap dan perilaku
manusia yang peduli lingkungan dan menemukan solusi dari permasalahan lingkungan global.
Lingkungan dalam istilah bahasa kita sering disebut “lingkungan hidup” mempunyai
pengertian sebagai suatu keadaan atau kondisi alam yang terdiri atas benda-benda (makhluk)
hidup dan benda-benda tak hidup yang berada dibumi atau bagian dari bumi secara alami dan
saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Maka dari itu, perlu adanya pengelolaan yang
baik terhadap lingkungan di Indonesia dan tentunya hubungan yang baik juga antara
makhluk hidup yang mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan yang salah satunya
melalui Lembaga Pendidikan Islam tertua di Indonesai yang dinamakan “pesantren”.
Pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada
juga yang mengartikan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang
bersifat Tradisional untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya
sebagai pedoman hidup keseharian.
Menurut Kementerian Agama (2009) di seluruh Indonesia terdapat 21.521 Pondok
Pesantren dengan jumlah santri secara keseluruhan 3.818.469 yang terdiri dari 2.063.954
(65%) santri laki-laki dan sisanya 1.754.515 (45%) adalah santri Perempuan. Hal ini
merupakan modal strategis berupa jejaring dan sumber daya kompetitif untuk program
pemberdayaan pesantren.
Maka dari itu, pesantren mempunyai potensi yang besar dalam pengembangan yang
berkelanjutan di Indonesia dalam aspek lingkungan melalui model yang dinamakan
“ekopesantren”.
Konsep Eco-Pesantren berasal dari dua kata, yaitu Eco dan Pesantren. Eco diambil
dari kata ecologi yang merupakan terminology yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Sedangkan pesantren adalah definisi yang dipahami dan digunakan untuk sebuah institusi
pendidikan khas Indonesia yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Maka eco-pesantren
diartikan sebagai sebuah institusi pendidikan Islam yang mempunyai kepedulian terhadap
lingkungan hidup dan melakukan aktivitas-aktivitas untuk pelestarian dan perlindungan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Pada tahun 2008 Kementrian Lingkungan Hidup RI telah meluncurkan program Eco-
Pesantren sebagai salah satu program yang melibatkan setiap warga pondok pesantren untuk
berperan aktif dalam kegiatan mewujudkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Peluncuran program Eco-Pesantren, tanggal 5-6 maret 2008 di Asrama Haji Pondok Gede
yang dihadiri oleh 500 kyai dan santri perwakilan dari 125 pondok pesantren di jawa dan
luar jawa dengan beberapa indikator seperti; Pertama, Kebijakan Berwawasan lingkungan
Kedua, Pengembangan kurikulum lingkungan berbasis Islam Ketiga, kegiatan lingkungan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berbasis partisipatif Keempat, Pengembangan sarana dan prasarana pendukung pondok


pesantren.

Model Ekopesantren merupakan salah satu model yang efektif dalam mengatasi
permasalahan lingkungan di Indonesia. Pengelolaan lingkungan berbasis pesantren
menawarkan pengelolaan lingkungan yang langsung dipraktekkan oleh sebuah institusi
pendidikan Islam dan melakukan aktivitas-aktivitas untuk pelestarian dan perlindungan
sumber daya alam dan lingkungan hidup (Sudirman 2012)
Sejalan dengan potensi tersebut. Maka kami membuat “ekopesantren pro” sebagai
sosialisasi ekopesantren pada Era sekarang ini yang merupakan era digital.
Aplikasi berbasis android “ekopesantren pro” dinilai dapat meningkatkan minat
seseorang dalam bidang literasi. Beberapa faktor seperti kemudahan akses terhadap materi
pembelajaran, pengguna, pengajar, kontrol terhadap waktu, dan biaya dapat mempengaruhi
persepsi individu terhadap pendidikan berbasis web (distance learning) (Jati 2006) Dengan
kata lain, ekopesantren akan lebih mampu dijangkau oleh pihak-pihak yang terkait dalam
pesantren dan masyarakat sekitar jika dikemas dalam aplikasi berbasis android yang
dinamakan Ekopesantren pro

Metode
Penelitian ini dilakukan melalui tahapan-tahapan rekayasa aplikasi yang dimulai dari
tahapan perumusan masalah dan perencanaan tahap analisa, tahap disain, tahap implementasi,
dan tahap pengujian (Jati 2006)
Tahapan perumusan masalah dan perencanaan dilakukan dengan mengumpulkan data
mengenai permasalahan lingkungan serta solusi penyelesaian masalah oleh pendidikan
lingkungan hidup berbasis pesantren dengan studi literatur, penyebaran angket, observasi
serta wawancara. Setelah data primer dan sukender tersebut terkumpul, kemudian dilakukan
perencanaan mengenai konten yang akan dimuat dalam situs.
Tahap analisa dalam penelitian ini yaitu menganalisa konten yang telah direncanakan
dengan keadaan saat ini. Tahap ini menganalisa apakah konten yang akan dimasukan telah
memenuhi kebutuhan global dalam memberikan solusi permasalahan lingkungan. Selain itu,
pada tahap ini juga menganalisa fitur-fitur yang akan dimuculkan dalam aplikasi yang sesuai
dengan tujuan penelitian ini.
Tahap disain dilakukan dengan membuat aplikasi dinamis dengan konten dan fitur
yang sesuai dengan keinginan dan tujuan dalam penelitian ini.
Setelah aplikasi selesai dibuat kemudian dilakukan tahap implementasi dan tahap
pengujian. Pada kedua tahap ini, aplikasi telah dapat digunakan secara global kemudian
diamati penggunaannya. Hal yang diamati adalah pengaruh informasi pendidkan lingkungan
berbasis pesantren terhadap perubahan pola pikir dan perilaku pengguna aplikasi dalam
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pemeliharaan lingkungan dalam literasi digital.

Hasil dan Pembahasan


Perwujudan Ekopesantren
Dalam mewujudkan program ekopesanten diperlukan beberapa indikator atau kriteria
di dalamnya, penulis telah menyimpulkan dari beberapa hal yang ditemukan dari pustaka
penulis, indikator atau kriteria ekopesantren yaitu ; Pertama, Kebijakan Berwawasan
lingkungan. Kebijakan yang telah memiliki wawasan lingkungan merupakan kebijakan yang
mencerminkan bahwa sebuah pondok pesantren ini peduli terhadap lingkungannya dan
memfasilitasi santri nya dalam menyelenggarakan ketertiban lingkungan hidup secara
administratif. Menurut Muhjiddin Mawardi , untuk mewujudkan pembangunan lingkungan
hidup yang komprehensif dan integralistik yang berkesinambungan maka perlu dilihat dari
kebijakan dari pengelola lembaga yang bersangkutan. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan
yang berwawasan lingkungan merupakan pilar utama dalam melakukan pengelolaan
lingkungan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat berupa visi misi yang berwawasan
lingkungan, kebijakan pondok pesantren dalam mengembangkan pembelajaran lingkungan
hidup, meningkatkan sumber daya manusia santri mengenai lingkungan hidup, dan beberapa
kebijakan lainnya yang bertujuan untuk menjadikan lingkungan pondok pesantren itu bersih
dan sehat sebagai implementasi pembelajaran akan wawasan terhadap lingkungan hidup.
Kedua, Pengembangan kurikulum lingkungan berbasis Islam. Penyampaian materi
lingkungan hidup kepada santri-santrinya dapat dilakukan melalui kurikulum yang secara
terintegrasi dan terpadu, ataupun mata pelajaran tersendiri. Model pembelajaran bervariasi
dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada santri-santri tentang lingkungan hidup
yang dikaitkan dengan rutinitas sehari-hari, agar pemahaman mengenai lingkungan hidup itu
dapat refleks diterapkan oleh para santri di lingkungan pondok pesantren dan dapat
mrmbiaskan hal-hal baik tersebut ke lingkungan di luar pesantren. Sesuai dengan isi dari UU
Nomer 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup (PPLH)
pada pasal 65 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan
lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi dan akses keadilan. Salah satu hal yang
dapat dilakukan dalam kurikulum yang berbasis Islam adalah pengembangan model
pembelajaran yang terintegrasi, maksudnya. Setiap mata pelajaran yang ada di pondok
pesantren dapat dikaitkan dengan pembelajaran tentang lingkungan hidup, hal ini tidak sulit
untuk dilakukan, karena pada dasarnya ajaran agama Islam sangat berhubungan baik dengan
lingkungan hidup. Selain itu, dapat pula menyisipkan berbagai pengembangan dan persoalan
lingkungan yang terjadi di masyarakat, agar materi-materi yang didapatkan oleh santri dapat
bermanfaat di masyarakat.
Ketiga, kegiatan lingkungan berbasis partisipatif, misalnya dengan ikut dalam kegiatan
menanam pohon di lingkungan pondok pesantren tersebut berada, dan mengikuti program
padam satu jam dalam kampanye “earth hour” yang diadakan oleh WWF. Ada juga hal yang
dapat dilakukan yaitu dengan mengadakan kegiatan ekstrakulikuler berbasis lingkungan,
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pengenalan sumber daya alam (hutan ,flora,fauna ,ekosistem) dan manfaatnya bagi
kehidupan, seperti jenis kayu ,satwa,fungsi hutan, dll. Serta pengenalan fungsinya untuk
menjaga keseimbangan alam. dan lain sebagainya kegiatan yang bersifat partisifatif.
Keempat, Pengembangan sarana dan prasarana pendukung pondok pesantren.
Pengembangan sarana dan prasarana pendukung ponpes yang ada khususnya untuk
pendidikan lingkungan hidup, selain itu, Peningkatan kualitas pengelolaan lingkungan
didalam dan diluar kawasan ponpes juga perlu dilakukan. Hal negatif yang sering terjadi di
pondok pesantren adalah kurang baiknya dalam pemanfaatan sumber daya alam, keadaan
pondok yang kumuh dan lain sebagainya. Maka dalam indikator ekopesantren ini perlu
ditekankan terhadap penghematan sumber daya alam, Peningkatan kualitas pelayanan
makanan halal,sehat dan bersih, pengembangan sistem pengelolaan sampah dan juga
penggunaan energy alternatif guna menjadikan lingkungan pondok yang asri, bersih, nyaman
dan tentunya ramah lingkungan. Itulah beberapa indikator atau kriteria yang ada dalam
model ekopesantren.

Ekopesantren sebagai solusi Permasalahan Lingkungan


Isu lingkungan atau degradasi lingkungan dapat diartikan sebagai penurunan kualitas
lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan yang dicirikan oleh tidak
berfungsinya secara baik komponen-komponen lingkungan sebagaimana mestinya (Aulia,
Firdaus, et al. 2017)
Akibatnya, terjadi perubahan besar yang mengganggu fungsi ekologi alam terhadap
kesejahteraan manusia, baik secara nyata maupun secara potensial (Otto 1992). Menjawab
degradasi lingkungan diperlukan adanya konsep ekologi yang mampu menyelesaikan masalah
degradasi lingkungan dengan konsep dasarnya adalah mengubah pola pikir manusia terhadap
lingkungannya (Aulia, Firdaus, et al. 2017)
Ekopesantren merupakan solusi yang tepat dalam menjawab degradasi lingkungan.
Pendidikan lingkungan yang diberikan oleh pesantren terhadap santrinya berdampak
langsung dalam mengubah pola pikir dan perilaku santri secara langsung. Pertama,
Meningkatkan kesadaran bahwa ajaran Islam menjadi pedoman yang sangat penting dalam
berperilaku ramah lingkungan. Kedua, Penerapan ajaran Islam dalam kegiatan sehari-hari,
Ketiga Sosialisasi materi lingkungan hidup dalam aktifitas pondok pesantren. Keempat,
Mewujudkan kawasan pondok pesantren yang baik, bersih, dan sehat. Kelima,
Memberdayakan komunitas pondok pesantren untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang
Islami, berdasarkan Al-Quran dan As-sunnah. Keenam, Meningkatkan aktifitas yang
mempunyai nilai tambah, baik secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Ketujuh Menjadikan
pondok pesantren sebagai pusat pembelajaran (central of excellence) yang berwawasan
lingkungan bagi komunitas pesantren dan masyarakat sekitarnya.
Bagi Indonesia, pengembangan program eco-pesantren memiliki nilai yang sangat
strategis. Sebagai Negara yang berpenduduk muslim terbesar dunia yakni mencapai 200 juta,
Indonesia memiliki peran strategis untuk mensinergikan komunitas Islam dunia dalam upaya
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mengatasi permasalahan deteriorasi dan pencemaran lingkungan hidup

Ekopesantren pro
Ekopesantren Pro merupakan nama dari sebuah aplikasi android yang memuat konten
informasi pendidikan lingkungan berbasis pesantren atau ekopesantren
Ekopesantren Pro direncanakan memiliki fitur yang menunjang kelengkapan informasi
pendidikan lingkungan yang disediakan kepada masyarakat global. Fitur dalam ekopesantren
pro terdiri dari informasi terkini mengenai pesantren berbasis lingkungan, data pesantren
yang memenuhi kriteria ekopesantren, ruang model pengelolaan lingkungan dan pendidikan
lingkungan, hingga penghargaan terhadap pesantren yang menerapkan ekopesantren.
Melalui aplikasi yang direncanakan ini, warga pesantren dan masyarakat global dapat
menggunakan situs ini untuk mengakses pengetahuan pendidikan lingkungan berbasis
pesantren melalui informasi dalam aplikasi yang dapat diakses secara bebas. Selain itu, warga
pesantren dan masyarakat global juga dapat mengakses contoh model pendidikan dan
pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan keadaan lingkungan masing-masing.
Selain itu, warga pesantren dan masyarakat global dapat membuat akun dalam aplikasi
ini dengan mudah. Kemudian para pengguna akun dapat melakukan diskusi secara online
mengenai pengalaman mereka tentang lingkungan.
Dalam situs aplikasi juga bersifat up-to-date yaitu pembaruan secara berkala mengenai
informasi terkini isu lingkungan. Seperti berita kerusakan lingkungan, penghargaan
lingkungan dan lain sebagainya.

Penutup
Simpulan
Ekopesantren pro merupakan sebuah aplikasi android dinamis yang dapat diakses
secara global dan memuat konten informasi pendidikan lingkungan berbasis pesantren.
Konten yang dimuat adalah konsep teori serta praktek pendidikan lingkungan. Selain itu,
terdapat informasi isu lingkungan terkini. Fitur dalam ekopesantren pro terdiri dari informasi
terkini mengenai pesantren berbasis lingkungan, data pesantren yang memenuhi kriteria
ekopesantren, ruang model pengelolaan lingkungan dan pendidikan lingkungan, hingga
penghargaan terhadap pesantren yang menerapkan ekopesantren. Aplikasi berbasis android
Ekopessantren pro ini bertujuan untuk : pertama, mengenalkan model ekopesantren kepada
warga pesantren dan masyarakat global dengan cepat dan mudah diakses yang dibuat
menggunakan sistem operasi Android. Kedua, memberikan solusi pemecahan masalah
mengenai pendidikan lingkungan dan model pengelolaan lingkungan. Ketiga, memberikan
data yang kongkrit mengenai pesantren yang mencakup ke dalam kriteria ekopesantren.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menganalisis peran aplikasi berbasis android
mengenai pendidikan lingkungan dengan perubahan pola pikir dan perilaku msayarakat yang
telah mengakses literasi digital tersebut.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dikti yang telah mendanai dan LPPPM
UNJ yang telah memfasilitasi penelitian ini.

Daftar Pustaka

Aulia, Rihlah Nur, Dian Elvira Nanda Isnaini, dan Umi Khumairoh. “Pengelolaan Lingkungan
Berbasis Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Nurul Hakim Lombok NTB).”
Hayula: Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies , 2017: 119-134.
Aulia, Rihlah Nur, Moh Firdaus, Ade Gunawan, dan Dian Elvira. “Konsep Ecopesantren dalam
Menjawab Degradasi Lingkungan.” Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis ke-53
UNJ. Jakarta : Laboratorium Sosial Politik Press UNJ, 2017. 551-560.
Fachruddin, Suaedi. Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup. Bogor: IPB Press, 2016.
Firdaus, Moh. Skripsi: Pengolaan Lingkungan di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining
Kabupaten Bogor. Jakarta: UNJ, 2017.
Jati, Handaru. “Penerapan Web Dinamis untuk Media pembelajaran Distance Learning.” Jurnal
Penelitian Saintek, 2006: 151-169.
Otto, Soemarwoto. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta: Gramedia, 1992.
Sudirman, Abbas Ahmad. Panduan Eco-Pesantren. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup RI,
2012.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

7
Aini Nadhokhotani Herpi, Tonih Feronika, Dedi Irwandi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: aininadhokhotani@mhs.uinjkt.ac.id
Abstract. Chemistry learning which actually have to form students’ logic mostly given in explaining method.
This study aims to analyze students’ generik science skills in reactions rate and to find out the differences of
students’ generik science skills in upper group, moderate group and lower group student as a result of
implementation of guided inquiry. This study was conducted in MAN 1 Kabupaten Sukabumi. The subject of
this study were consisted of 30 students on second grade. The method used in this study was descriptive
qualitative. This study carried out five stages: orientation, formulate some problems, propose some hypotesis,
collecting data and propose some conclutions. The instruments of this study was an essay test and helped by
students’ worksheet and observation paper. The result of the analysis from essay test showed that students’
generic science skills in general have achieved well. Indicators of generik skill of students who achieved the
most in upper group is logical frame, while in the moderate group and lower group students is direct
observation which included into middle category.

Keywords: generik science skill, essay test, guided inquiry

Abstrak. Pembelajaran kimia yang seharusnya membentuk logika siswa ternyata banyak diberikan dalam
pembelajaran bersifat ceramah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keterampilan generik sains dan
mengetahui perbedaan keterampilan generik sains pada kelompok tinggi, sedang dan rendah setelah diterapkan
model pembelajaran inkuiri terbimbing. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap di kelas XI IPA 3.
Sampel penelitian sebanyak 30 siswa kelas XI. Metode penelitian yang digunakan ialah deskriptif kualitatif.
Penelitian ini terdiri dari 6 tahapan yaitu orientasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis,
mengumpulkan data, menguji hipotesis dan mengajukan kesimpulan. Instrumen utama pada penelitian ini
adalah soal tes dibantu dengan LKS dan lembar observasi. Hasil dari analisis data tes menunjukkan bahwa
secara umum pencapaian keterampilan generik sains siswa termasuk ke dalam kategori tinggi. Indikator
keterampilan generik sains siswa yang paling dominan pada kelompok tinggi adalah logical frame yang
termasuk dengan kategori tinggi, pada kelompok sedang dan kelompok rendah adalah pengamatan langsung
yang termasuk kedalam kategori sedang.

Kata Kunci: keterampilan generik sains, soal tes essay, inkuiri terbimbing

Pendahuluan
Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan pribadi secara
optimal agar dapat memainkan peranannya sebagai warga dalam berbagai lingkungan hidup
dan kelompok sosial (Mudyahaedjo, 2012). Adanya kemampuan tersebut diharapkan dapat

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mengubah pola pikir serta keterampilan manusia menjadi lebih baik (Fathurrohman dkk,
2007). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 tentang
Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah menyebutkan salah satu prinsip
pembelajaran yang digunakan adalah peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan
fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills).
Paradigma pembelajaran menuntut guru untuk dapat memanfaatkan hubungan antara
materi yang diajarkan dengan pengalaman siswa untuk membuat pembelajaran bermakna
karena jika siswa terbawa dalam situasi pembelajaran maka pembelajaran tersebut akan lebih
teringat daripada pembelajaran kognitif (Rosebrough dkk, 2011).
Namun faktanya pembelajaran kimia belum menunjukkan hasil yang menggembirakan
karena pembelajaran kimia yang seharusnya membentuk logika siswa untuk berfikir
sistematis, objektif, kreatif melalui keterampilan proses sains ternyata banyak diberikan dalam
pembelajaran bersifat ceramah dan kegiatan praktikum dilakukan hanya untuk membuktikan
teori (Sudarmin, 2012).
Nurhadi (2013) dalam tulisannya yang berjudul Strategi Pendidikan dan Pembelajaran
di Indonesia menyebutkan bahwa pada proses pembelajaran di Indonesia, guru lebih aktif
daripada siswa serta interaksi antara siswa dan guru sangat sedikit sehingga belum mampu
menumbuhkan rasa ingin tahu pada siswa. Saat ini pembelajaran masih bersifat transfer of
knowledge dan mementingkan jawaban baku yang dianggap benar sehingga pengetahuan
siswa kurang berkembang, hal tersebut menyebabkan hasil belajar siswa hanya terpaku pada
hasil kognitif saja.
Salah satu keberhasilan pembelajaran ialah jika siswa yang diajar merasa senang dan
memerlukan materi ajar, oleh karena itu salah satu cara untuk memotivasi siswa senang belajar
kimia adalah dengan cara tidak memberikan hafalan rumus kimia, hukum-hukum kimia atau
perhitungan kimia yang rumit bahkan jika memungkinkan rumus kimia dan perhitungan
kimia diperoleh dari hasil analisis data (Moewarni, 2001). Diperlukan sebuah model
pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk mengumpulkan dan menganalisis data
agar siswa termotivasi untuk mempelajari kimia. Menurut Sadia (2014) model pembelajaran
inkuiri bertujuan untuk melatih kemampuan siswa untuk melakukan penelitian, menjelaskan
fenomena, menemukan inti dan makna dari suatu permasalahan dan memecahkan
permasalahan melalui prosedur ilmiah yang dilakukan oleh siswa itu sendiri.
Salah satu kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa ialah materi laju reaksi.
Inkuiri sebagai model pembelajaran menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran yang
berarti bahwa peran siswa sangatlah besar dalam menentukan suasana dan model
pembelajaran (Anam, 2016).
Hal ini selaras dengan materi laju reaksi yang berisi mengenai konsep yang harus
dipahami oleh siswa. Cara yang harus digunakan oleh guru agar laju rekasi, orde reaksi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi selalu diingat dan dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari adalah dengan mengarahkan siswa untuk mencari sendiri apa yang
dimaksud dengan teori tumbukan, laju rekasi, orde reaksi dan apa saja faktor-faktor yang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

9
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mempengaruhi laju reaksi. Model pembelajaran inkuiri berlandaskan pada filosofi bahwa
siswa akan termotivasi untuk belajar jika mereka terlibat secara langsung dalam pembelajaran
dengan landasan prinsip pembelajaran learning by doing (Sadia, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Triani (2013) mendapatkan hasil bahwa model
pembelajaran inkuiri terbimbing berpengaruh secara signifikan untuk meningkatkan
keterampilan generik sains siswa. Berdasarkan paparan diatas maka peneliti menggunakan
model pembelajaran inkuiri terbimbing untuk melatih keterampilan generik sains siswa.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode desktriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
kualitatif digunakan karena peneliti mendeskripsikan bagaimana siswa belajar dengan
keterampilan gnerik sains yang dimiliki oleh siswa pada saat pembelajaran berlangsung.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 8 – 21 Maret 2017. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh kelas XI IPA di MAN 1 Kabupaten Sukabumi. Sampel
penelitian adalah siswa kelas XI IPA 3 pada semester genap. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah tes dengan instrumen utama soal tes yang digunakan untuk
mengukur keterampilan generik sains siswa setelah pembelajaran dilaksanakan dan dibantu
dengan lembar observasi yang digunakan untuk mengamati keterampilan pengamatan
langsung dan kesadaran skala peserta didik pada saat kegiatan praktikum serta LKS berbasis
inkuiri terbimbing yang menjadi panduan bagi siswa dalam melaksanakan kegiatan
praktikum.
Data yang dihasilkan adalah data hasil observasi, data aktivitas siswa serta data
keterampilan generik sains siswa. Adapun cara pengolahan data adalah sebagai berikut: guru
memberikan skor untuk lembar kerja siswa dan soal tes essay yang telah diisi oleh siswa
sedangkan untuk lembar observasi observer memberikan ceklis pada lembar observasi,
mencari persentase dari masing-masing indikator yang muncul kemudian data yang telah
diperoleh diinterpretasikan secara deskriptif setiap indikator keterampilan generik sains yang
muncul. Berikut ini kriteria skor menurut Nurkancana & Sunartana: 90-100% (sangat
tinggi), 75-89% (tinggi), 55-74% (sedang), 31-54% (rendah) dan 0-30% (sangat rendah).
Implementasi pembelajaran diawali dengan tahapan orientasi yaitu dengan memberikan
informasi kepada siswa mengenai tujuan pembelajaran pada hari ini dan bagaimana
pembelajaran yang akan dilakukan pada hari ini. Selanjutnya pembelajaran mengikuti tahapan
model pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu merumuskan masalah, mengajukan hipotesis,
mengumpulkan data, menguji hipotesis dan menarik kesimpulan dimana siswa dibagi menjadi
6 kelompok.

Hasil dan Pembahasan


Hasil

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

10
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hasil keterampilan generik sains siswa diperoleh dari instrumen tes. Berikut disajikan
data hasil tes untuk setiap indikator keterampilan generik sains pada tabel 1.
Tabel 1. Persentase Keterampilan Generik Sains
No KGS (%) Kategori
1. Pengamatan Langsung 90,7 Sangat tinggi
2. Pengamatan Tak Langsung 76,7 Tinggi
3. Kesadaran Skala 65,8 Sedang
4. Bahasa Simbolik 80,8 Tinggi
5. Logical Frame 86,7 Tinggi
6. Konsistensi Logis 71,3 Sedang
7. Hukum Sebab Akibat 82,7 Tinggi
8. Pemodelan 74,0 Sedang
9. Inferensi Logika 82,7 Tinggi
10. Abstraksi 73,3 Sedang
Rata-rata 80,1 Tinggi
Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa persentase tertinggi terdapat pada indikator
pengamatan langsung yang termasuk kedalam kategori tinggi. Sedangkan persentase
keterampilan generik sains siswa setiap kelompo disajikan pada tabel 2 berikut.

Tabel 2. Persentase Keterampilan Generik Sains Setiap Kelompok


% Kel.
No KGS %Kel. Tinggi % Kel. Rendah
Sedang
1. Pengamatan langsung 95,0 91,4 85,0
2. Pengamatan tidak 79,2 78,6 70,8
langsung
3. Kesadaran tentang 87,5 69,6 40,6
skala
4. Bahasa simbolik 93,8 89,3 53,1
5. Logical frame 100 89,3 65,6
6. Konsistensi logis 87,5 71,4 55,0
7. Hukum sebab akibat 97,5 85,7 62,5
8. Pemodelan 87,5 80,0 52,5
9. Inferensi logika 88,3 88,8 66,3
10. Abstraksi 87,5 72,9 60,0
Rata-rata 90,4 81,7 61,1

Pembahasan
Penelitian ini menganalisis keterampilan generik sains siswa dengan melihat persentase
dari masing-masing indikator. Tabel 1 menunjukkan bahwa keterampilan generik sains yang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

11
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

memiliki persentae tertinggi adalah indikator pengamatan langsung dengan nilai 90,7% yang
termasuk kedalam kategori sangat tinggi. Persentase terrendah terdapat pada indikator
kesadaran skala dengan persentase sebesar 65,8% dan termasuk kedalam kategori sedang.
Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan rata-rata persentase untuk seluruh indikator
keterampilan generik sains mendapatkan nilai 80,1% dengan kategori tinggi.

Indikator Pengamatan Langsung


Model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih dapat meningkatkan aspek pengamatan
langsung karena melalui model pembelajaran inkuiri terbimbing siswa merancang sendiri
percobaan eksperimen, sehingga pada tahap eksperimen siswa lebih dapat mengembangkan
keterampilan generik sains indikator pengamatan langsung (Octafiana, 2015). Indikator
pengamatan langsung mendapatkan pencapaian yang paling tinggi diantara semua indikator
karena siswa dapat dengan baik mengamati perubahan warna yang terjadi pada kegiatan
praktikum dan karena untuk mengasah keterampilan pengamatan langsung tidak diperlukan
alat apapun, maka semua siswa dalam satu kelompok dapat mengamati perubahan warna yang
terjadi dan menuliskan hasil pengamatannya pada lembar kerja siswa.
Hasil pencapaian keterampilan generik sains siswa indikator pengamatan langsung
pada Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase pada kelompok tinggi adalah sebesar 95,0%,
kelompok sedang mendapatkan persentase 91,4% dan kelompok rendah dengan persentase
sebesar 85,0%. Berdasarkan persentase yang didapat, kelompok tinggi dan kelompok sedang
memiliki keterampilan generik dengan kriteria sangat tinggi sedangkan pada kelompok
rendah keterampilan generik sains indikator pengamatan langsung termasuk dalam kategori
tinggi. Brotosiswoyo (dalam Sudarmin, 2012) mengungkapkan bahwa keterampilan
pengamatan langsung dan tidak langsung termasuk pada indikator yang mudah untuk
dikuasai. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menunjukkan bahwa keterampilan generik
sains siswa pada indikator pengamatan langsung mendapatkan persentase tertinggi diantara
indikator yang lain (Zulfiani, 2015).

Indikator Pengamatan Tidak Langsung


Pembelajaran yang dilakukan dikelas dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri
terbimbing, pengamatan tak langsung siswa dilatih melalui kegiatan praktikum. Guru
mengarahkan siswa untuk melihat bagaimana pengaruh katalis terhadap suatu reaksi.
Percobaan ini menggunakan FeCl3 sebagai katalis untuk reaksi penguraian H2O2. Setelah
siswa meneteskan FeCl3 dalam larutan H2O2, siswa menutup tabung reaksi dengan
menggunakan balon untuk melihat seberapa banyak reaksi tersebut menghasilkan gas H 2.
Keterampilan generik sains pengamatan tak langsung memiliki persentase sebesar
76,7% dengan kategori tinggi. Persentase pengamatan tak langsung pada kelompok tinggi
adalah sebesar 79,2% dan termasuk kategori tinggi. Pengamatan tak langsung pada kelompok
sedang mendapatkan persentase sebesar 78,6% dan juga termasuk kategori tinggi, namun

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

12
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pada kelompok rendah siswa mendapatkan persentase 70,8% dengan kategori sedang.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan bahwa dalam kegiatan eksperimen pada model
pembelajaran inkuri terbimbing, penggunaan alat bantu indera sangat berperan dalam
menghasilkan data dan fakta eksperimen, menyebabkan kegiatan eksperimen berbasis inkuiri
terbimbing berjalan dengan baik sehingga setelah melalui proses pembelajaran ini siswa dapat
memahami konsep yang dipelajarinya dan berimplikasi langsung pada peningkatan indikator
pengamatan tak langsung (Darmawan, 2013).

Indikator Kesadaran tentang Skala


Indikator kesadaran skala merupakan keterampilan untuk memilki kepekaan yang
tinggi terhadap skala numerik sebagai besaran/ukuran skala mikroskopis maupun
makroskopisnya (Sudarmin, 2012).
Keterampilan generik sains indikator kesadaran skala dilatih melalui kegiatan
mengukur volume larutan yang dibutuhkan. Siswa melakukan kegiatan mengukur 10 ml HCl
dengan miniskus yang tepat dimana kegiatan tersebut dapat mengembangkan keterampilan
generik sains indikator pengamatan kesadaran skala. Alat yang digunakan dalam
mengembangkan keterampilan generik sains kesadaran skala pada praktikum yang digunakan
adalah gelas ukur. Siswa dilatih untuk menggunakan alat yang sesuai dengan kebutuhan,
dalam hal ini yaitu gelas ukur.
Keterampilan generik sains indikator kesadaran tentang skala memiliki persentase
sebesar 65,8% yang termasuk kedalam kategori sedang. Jika dilihat lebih detail, pada
kelompok tinggi siswa mendapatkan persentase sebesar 87,5% yang termasuk kedalam
kategori tinggi, kelompok sedang mendapatkan persentase sebesar 69,6% yang termasuk
kedalam kategori sedang dan kelompok rendah mendapatkan persentase sebesar 40,6% yang
termasuk kedalam kategori rendah. Siswa kelompok rendah mendapatkan persentase yang
termasuk kedalam kategori rendah karena kurangnya kontrol dari guru untuk membagi
kegiatan mengukur volume larutan secara merata.

Indikator Bahasa Simbolik


Keterampilan generik sains bahasa simbolik berarti menggunakan aturan matematis
untuk memecahkan masalah kimia/ fenomena gejala alam (Sudarmin, 2012).
Sebelum siswa melakukan praktikum pengaruh luas permukaan terhadap laju reaksi,
siswa diberikan wacana yang berhubungan dengan luas permukaan. Tahapan ini melatih
keterampilan siswa dalam menggunakan aturan matematis, sehingga siswa dapat melihat dan
membuktikan kubus yang seperti apa yang memiliki luas permukaan lebih besar.
Trianto (2009) menyatakan bahwa salah satu tahapan pembelajaran inkuiri terbimbing
adalah menganalisis data dimana siswa bertanggung jawab untuk menguji hipotesis yang telah
dirumuskan dan menganalisis data yang telah diperoleh. Oleh karena itu pembelajaran dengan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

13
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing yang dilakukan lebih menekankan pada
pembelajaran bermakna sehingga keterampilan bahasa simbolik yang dikembangkan bukan
hanya sekedar menghafal tetapi juga memaknai arti dari simbol maupun istilah kimia.
Dalam pembelajaran kimia, bahasa simbolik yang diterapkan oleh guru hendaknya
dijelaskan makna fisis dan asumsi sebagai pendekatan (Sudarmin, 2012). Hal ini
menunjukkan bahwa siswa telah mempunyai keterampilan generik bahasa simbolik yang baik
(Yulianti, 2016).

Indikator Logical Frame


Keterampilan generik sains indikator logical frame dilatih melalui kegiatan
merumuskan masalah yang merupakan salah satu tahapan pembelajaran inkuiri terbimbing.
Selain wacana, untuk memaksimalkan stimulus pada siswa, peneliti juga menayangkan video
untuk setiap subbahasan yang akan dibahas sehingga ketika siswa memasuki tahapan
merumuskan masalah, siswa dapat mengembangkan keterampilan logical frame secara
maksimal.
Keterampilan generik sains siswa indikator logical frame pada kelompok tinggi
mendapatkan persentase dengan kategori sangat tinggi, pada kelompok sedang mendapatkan
kategori tinggi dan pada kelompok rendah mendapatkan kategori sedang, sehingga
keterampilan generik sains siswa indikator logical frame mendapatkan persentase rata-rata
sebesar 86,7% yang termasuk kedalam kategori tinggi. Keterampilan generik logical frame
penting untuk dikembangkan untuk melatih kemampuan pemecahan masalah secara
sistematis pada proses pembelajaran dan diterapkan dalam permasalahan yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari (Brotosiswoyo, 2011).
Keterampilan ini akan membantu siswa untuk berpikir sistematis dalam pemecahan
masalah pada pembelajaran yang terjadi selama proses pembelajaran di kelas dan
permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajamemiliki tahapan
merumuskan masalah yaitu langkah yang membawa siswa pada suatu persoalan yang
mengandung teka-teki (Sanjaya, 2006). Sebelum siswa merumuskan masalah, guru
memberikan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sebagai stimulus bagi
siswa untuk merumuskan masalah yang akan dijawab pada tahapan model pembelajaran
inkuiri terbimbing berikutnya.

Indikator Konsistensi Logis


Pengumpulan data melalui pengamatan suatu percobaan merupakan langkah awal yang
sangat penting dalam penentuan keterampilan konsistensi logis (Sudarmin, 2012). Hasil
analisis keterampilan generik sains indikator konsistensi logis memiliki persentase rata-rata
yang termasuk kedalam kategori sedang yaitu sebesar 71,33%. Konsistensi logis
dikembangkan melalui proses menguji hipotesis. Siswa diarahkan untuk menjawab pernyataan
pada lembar kerja siswa dimana pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan untuk mengarahkan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

14
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

siswa agar dapat menarik kesimpulan secara induktif setelah percobaan kimia. Sebelum
menguji hipotesis, siswa melakukan praktikum terlebih dahulu yang dilakukan untuk
mengumpulkan data.
Tahapan mengumpulkan data yang merupakan aktivitas menjaring informasi yang
dibutuhkan untuk menguji hipotesis. Keterampilan konsistensi logis dapat dikembangkan
dalam model pembelajaran inkuiri terbimbing melalui tahapan menguji hipotesis karena
tahap ini adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data yang
diperoleh berdasarkan pengumpulan data, tahapan ini juga dapat mengembangkan
kemampuan berpikir rasional (Sanjaya, 2006).
Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarita (2014) bahwa
pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan keterampilan generik sains siswa sebab
pembelajaran inkuiri terbimbing membuat suasana kelas menjadi saling bekerjasama dan
berinteraksi, memadukan ide dan saling berbagi pendapat, berdiskusi dan berargumentasi.

Indikator Hukum Sebab Akibat


Keterampilan generik hukum sebab akibat ini muncul sebagai akibat adanya keyakinan
bahwa gejala-gejala alam saling berkaitan dalam suatu pola sebab akibat yang dapat dipahami
dengan penalaran (Sudarmin, 2012). Keterampilan generik sains indikator hukum sebab
akibat dilakukan pada tahapan mengajukan hipotesis yang merupakan salah satu tahapan
yang terdapat pada model pembelajaran inkuiri terbimbing.
Lembar kerja siswa yang digunakan pada penelitian yang dilakukan meminta siswa
untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada suatu reaksi kimia yang belum dilakukan.
Tingginya persentase keterampilan generik sains indikator hukum sebab akibat disebabkan
karena pada proses pembelajaran terdapat 4 praktikum yang dilakukan oleh siswa yaitu
pengaruh suhu terhadap laju reaksi, pengaruh luas permukaan terhadap laju reaksi, pengaruh
katalis terhadap laju reaksi serta pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi.
Persentase yang termasuk kedalam kategori tinggi menunjukkan bahwa pembelajaran
menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat melatih keterampian generik
sains indikator hukum sebab akibat. Keterlibatan siswa secara aktif dalam proses inkuiri
menstimulasi potensi siswa yang pada akhirnya siswa akan memperoleh pemahaman tentang
dirinya sendiri sehingga siswa dapat membangun konsep diri (Sadia, 2014).
Keterampilan generik sains hukum sebab akibat munculsebagai akibat adanya
keyakinan bahwa gejala-gejala alam saling berkaitandalam suatu pola sebab akibat yang dapat
dipahami dengan penalaran (Sudarmin, 2012). Hal ini sesuai yang dikatakan Brown & Abell
(2007) menyatakan pendekatan siklus belajar membantu siswa memahami ide- ide ilmiah,
meningkatkan penalaran ilmiah, dan keterlibatan siswa di dalam kelas.

Indikator Pemodelan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

15
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Keterampilan generik sains indikator pemodelan adalah imitasi penyederhanaan


tentang sesuatu yang diharapkan dapat membantu memahaminya secara baik yang dapat
berupa gambar, animasi, persamaan, program komputer, atau gambaran mental (Sudarmin,
2012). Penelitian yang dilakukan ini mengembangkan keterampilan generik sains siswa
indikator pemodelan pada tahap menguji hipotesis. Setelah siswa mengumpulkan data
melalui praktikum, data yang telah didapatkan diolah agar siswa dapat mengambil
kesimpulan dari praktikum yang telah dilakukan.
Indikator pemodelan mendapatkan persentase yang termasuk kategori tinggi pada
kelompok tinggi dan kelompok sedang dengan perbedaan persentase sebesar 7,5% sedangkan
kelompok rendah mendapatkan persentase dengan kategori rendah. Rata-rata keterampilan
generik sains siswa indikator pemodelan mendapatkan persentase dengan kategori sedang.
Persentase keterampilan generik sains indikator pemodelan 74% yang termasuk kedalam
kategori sedang. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing
dapat meningkatkan keterampilan generik sains indikator pemodelan (Saptorini, 2008).

Indikator Inferensi Logika


Keterampilan generik sains indikator inferensi logika adalah keterampilan generik
untuk dapat mengambil kesimpulan baru sebagai akibat logis dari hukum-hukum terdahulu
tanpa harus melakukan percobaan baru. Hasil penelitian yang dilakukan mendapatkan
persentase dengan kategori tinggi pada kelompok tinggi dan sedang, sedangkan pada
kelompok rendah mendapatkan persentase yang termasuk dalam kategori sedang. Setelah di
rata-ratakan persentase keterampilan generik sains siswa indikator inferensi logika
mendapatkan persentase sebesar 82.7% yang termasuk ke dalam kategori tinggi.
Indikator inferensi logika ini dilatih melalui pembelajaran dengan model pembelajaran
inkuiri terbimbing pada tahapan mengambil kesimpulan. Setelah melakukan praktikum
pengaruh suhu terhadap laju reaksi, siswa diminta untuk menyimpulkan apa yang diakibatkan
oleh tumbukan antar reaktan yang bereaksi, tanpa melakukan kembali praktikum mengenai
teori tumbukkan terlebih dahulu. Tahapan ini melatih keterampilan generik sains siswa
indikator inferensi logika.
Kelas yang menerapkan model pembelajaran inkuiri terbimbing melatih siswa untuk
berfikir secara analisis dan sistematis dalam memberikan kesimpulan (inferensi logika)
berdasarkan teori, prinsip, maupun hukum yang mendasari hasil setiap praktikum yang
dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa model inkuiri terbimbing dapat melatih keterampilan
inferensi logika siswa dengan kategori tinggi. Inkuiri tidak hanya mengembangkan
kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional
dari suatu proses yang bermula dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis,
mengumpulkan data, menganalisis data dan membuat kesimpulan (Trianto, 2007).

Indikator Abstraksi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

16
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Keterampilan generik sains indikator abstraksi merupakan merupakan kemampuan


siswa untuk menggambarkan hal-hal yang abstrak ke dalam bentuk nyata (Sudarmin, 2012).
Keterampilan generik sains indikator abstraksi dilatih melalui kegiatan menguji hipotesis.
Setelah melatih keterampilan bahasa simbolik, siswa diminta untuk menghubungkan hal yang
abstrak mengenai luas permukaan tersebut dengan luas permukaan pada reaktan yang
digunakan untuk praktikum. Lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing juga
memberikan kolom yang harus diisi oleh siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut sehingga
keterampilan generik sains siswa indikator abstraksi dilatih. Selain itu sebelum pada tahapan
merumuskan masalah, siswa diberikan video animasi yang menggambarkan mengenai luas
permukaan.
Keterampilan generik sains indikator abstraksi mendapatkan persentase dengan
kategori tinggi pada siswa yang termasuk kelompok tinggi dan mendapatkan persentase
dengan kategori sedang pada siswa yang termasuk kelompok rendah dan sedang. Setelah
dirata-ratakan, hasil tes indikator abstraksi memiliki persentase dengan kategori sedang. Hal
ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing
mengembangkan keterampilan generik sains siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Samiana
dkk (2012) bahwa siswa mendapatkan keterampilan generik sains abstraksi yang lebih baik
karena dalam proses pembelajaran siswa dituntut aktif melakukan penyelidikan terhadap
permasalahan yang diberikan untuk selanjutnya dianalisis yang merupakan kegiatan untuk
melatih keterampilan abstraksi. Penelitian ini juga menayangkan video bagaimana suhu, luas
permukaan, katalis dan konsentrasi dapat mempengaruhi laju reaksi sebelum pembelajaran
dimulai. Keterampilan abstraksi dapat dilatih melalui program animasi simulasi berbantuan
komputer (Sudarmin, 2012).
Paparan mengenai perbandingan antara hasil analisis persentase keterampilan generik
sains siswa menunjukkan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing mampu melatih
keterampilan generik sains siswa pada materi laju reaksi karena model pembelajaran inkuiri
terbimbing membantu siswa dengan mengaitkan konsep dan membantu siswa meningkatkan
kemampuan konseptual pada proses diskusi (Bilgin, 2009).
Pembelajaran yang diterapkan di kelas juga menyediakan LKS berbasis inkuiri
terbimbing yang befungsi sebagai petunjuk praktikum, memberikan stimulus pada siswa
dengan membaca wacana pada LKS agar siswa dapat merumuskan masalah, serta
membimbing siswa untuk melakukan pengujian hipotesis untuk menemukan konsep yang
diharapkan dapat menigkatkan keterampilan generik sains. Proses pembelajaran dibantu
dengan lembar kerja siswa yang agak rinci dimana setiap tahapan ada petunjuk atau pedoman
berupa pertanyaan-pertanyaan atau langkah yang menuntun siswa untuk menemukan konsep
yang akan dipelajari (Sadia, 2014).
Hasil analisis persentase keterampilan generik sains secara keseluruhan termasuk
kedalam kategori tinggi. Penyebab tingginya hasil persentase mengenai indikator keterampilan
generik sains adalah karena siswa diberikan kesempatan untuk menentukan sendiri rumusan
masalah yang akan dipelajarinya sehingga minat siswa menyelidiki dan mencari tahu melalui
kegiatan praktikum lebih tinggi. Model inkuiri terbimbing memberikan kesempatan bagi
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

17
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

siswa untuk mengemukakan ide dan dapat menjadi ajang untuk meningkatkan mental siswa
dalam pembelajaran kimia (Villagonzalo, 2014).

Penutup
Simpulan
Secara keseluruhan keterampilan generik sains siswa pada kelompok tinggi, kelompok
sedang, dan kelompok rendah tergolong tinggi dan dapat dikembangkan secara optimal. Hal
ini terlihat dari persentase rata-rata hasil pencapaian keterampilan generik sains siswa dari
kelompok tinggi sebesar 90.4% yang termasuk dalam kategori sangat tinggi, kelompok
sedang 81.7% termasuk ke dalam kategori tinggi, dan kelompok rendah sebesar 61.1%
termasuk ke dalam kategori sedang. Rata-rata keterampilan generik sains siswa secara
keseluruhan ialah 80.1% yang termasuk ke dalam kategori tinggi.
Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka saran yang dapat diberikan yaitu 1)
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing disarankan untuk
digunakan dalam proses pembelajaran karena dapat melatih keterampilan generik sains siswa.
2) Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuri terbimbing disarankan
untuk menggunakan lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing agar siswa memiliki acuan
dalam proses pembelajaran.

Daftar Pustaka

Anam, K. (2016). Pembelajaran Berbasis Inkuiri: Metode dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bilgin, I. (2009). The effect of guided inquiry instruction incorporating a cooprative learning
approach on university students’ achievement of acid and bases concepts and attitude
toward guided inquiry instruction. Scientific Research And Essay, 4(10): 1038-1046.
Brotosiswoyo, B, S. (2001). Hakikat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran matematika di
Perguruan Tinggi Cet. I. Jakarta: PAU-PPAI Universitas Terbuka.
Darmawan, J., Halim, A., & Nur, S. (2013). Metode Pembelajaran Eksperimen Berbasis Inkuiri
Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Generik Sains Siswa SMA.
Jurnal Pendidikan Sains Indonesia, 2(8): 22-33.
Fathurrohman, P., & Sutikno, M, S. (2007). Strategi Belajar dan Mengajar melalui Penanaman
Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung: PT Refika Aditama.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

18
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Moewarni. (2001). Hakikat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Kimia di Perguruan Tinggi .
Jakarta: PAU-PPAI-UT.
Mudyahardjo, R. (2001). Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Octafiana, H., Zulfiani, Miranto, S. (2015). Perbedaan Keterampilan Generik Sains Siswa Yang
Menggunakan Model Pembelajaran Inkuiri Terstruktur Dengan Siswa Yang
Menggunakan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Pada Konsep Sel. Edusains, 7(2):
185-190.
Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun
2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Mendikbud. Jakarta
Rosebrough, T, R., & Leverett, R, G. (2011). Transformational Teaching in the Information Age:
Making Why and How We Teach Relevant to Students. USA: ASCD.
Sadia, I, W. (2014). Model-model Pembelajaran Sains Konstruktivistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sanjaya, W. (2013). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan . Jakarta: Kencana.
Samiana, K., Binadja, A., & Saptorini. (2012). Pengaruh Pembelajaran Kimia Berbasis Masalah
Bervisi SETS terhadap Keterampilan Generik Sains. Chem in Edu, 2(1): 36-42.
Saptorini. (2008). Peningkatan Keterampilan Generik Sains Bagi Mahasiswa melalui Perkuliahan
praktiku Kimia Analisis Instrumen Berbasis Inkuiri. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia,
2(1): 190-198.
Sudarmin. (2012). Keterampilan Generik Sains dan Penerapannya dalam Pembelajaran Kimia
Organik. Semarang: Unnes Press.
Triani, M., Yolida, B., & Marpaung, R, R, T. (2013). Pengaruh Model Inkuiri Terbimbing
Terhadap Hasil Belajar dan Keterampilan Generik Sains Siswa. Jurnal Pendidikan FKIP
UNILA, 3(2): 1-9.
Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenda Media
Group.
Villagonzalo, E, C. (2014). Process Oriented Guided Inquiry Learning: An Effective Approach in
Enchancing Students’ Academic Performance. DLSU Research Congress, 1(007): 1-6.
Yuniarita, F. (2014). Penerapan Pembelajaran Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan
Keterampilan Generik Sains Siswa SMP. Jurnal Pengajaran MIPA, 19(1): 111-116.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

19
Alfiyanti Rohmah, Sari Narulita, Rihlah Nur Aulia
Universitas Negeri Jakarta
e-mail: alfiyanti.rohmah98@gmail.com, sari-narulita@unj.ac.id, rihlah-nuraulia@unj.ac.id

Abstract. Recent research data from the Ministry of Tourism revealed that the interest of religious
tourism visits in Indonesia reached 12%. This data shows the high potential of religious tourism in
Indonesia, moreover, the area of religious tourism that can be known very limited. In this case,
digital technology can be very instrumental in revealing the locations of religious tourism in
Indonesia, especially in DKI Jakarta. This article attempts to examine the potential of digital
technology as a promotional media for religious tourism, especially in DKI Jakarta. In addition to
descriptive data, this article enriched with interviews and observations with blessing seekers who
explore religious tourism sites, especially pilgrimage tours in Jakarta.

Keywords: Digital Technology, Religious Tourism Promotion, Pilgrimage Tour

Abstrak. Data kajian Kementerian Pariwisata terbaru mengungkapkan bahwa ketertarikan kunjungan
wisata religi di Indonesia mencapai angka 12%. Hal ini menunjukkan tingginya potensi wisata religi
di Indonesia, terlebih lagi, kawasan wisata religi yang bisa diketahui sangat terbatas. Dalam hal ini,
teknologi digital bisa sangat berperan mengungkapkan lokasi-lokasi wisata religi yang bisa
dikunjungi mengingat Indonesia tercatat sebagai negara yang sangat religius. Artikel ini mencoba
mengkaji potensi teknologi digital sebagai media promosi wisata religi khususnya di DKI Jakarta.
Selain data deskriptif, artikel ini pun diperkaya dengan wawancara dan observasi dengan para pencari
berkah yang mengeksplorasi situs wisata religi, khususnya wisata ziarah yang ada di DKI Jakarta.

Kata Kunci: Teknologi Digital, Promosi Wisata Religi, Wisata Ziarah

Pendahuluan
Data kajian Kementerian Pariwisata terbaru mengungkapkan bahwa ketertarikan
kunjungan wisata religi di Indonesia mencapai angka 12% (https://validnews.co , diakses
pada 27 April 2018). Hal ini menunjukkan tingginya potensi wisata religi di Indonesia.
Banyak bangunan atau tempat bersejarah yang memiliki arti khusus bagi masyarakat serta
dianggap suci dan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan ibadah harian
masyarakat. Namun, kawasan wisata religi di Indonesia yang bisa diketahui sangatlah terbatas.
Tingginya potensi wisata religi di Indonesia tersebut kenyataannya tidak berbanding lurus
dengan tingginya informasi yang wisatawan dapatkan mengenai wisata religi yang pernah
dikunjungi. Wisatawan hanya mengetahui sebatas apa yang pernah wisatawan dengar dan
lihat, sehingga informasi yang dimiliki terbatas.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sebetulnya, cara untuk mendapatkan informasi dalam era digital seperti saat ini, sangatlah
mudah. Semua informasi sudah dapat diakses melalui teknologi digital salah satunya yaitu
melalui media sosial yang dapat diakses melalui handphone tanpa harus datang ke lokasi
wisata religi.
Ada hal baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat yaitu ada sebagian masyarakat
yang telah mendapatkan informasi yang cukup mengenai wisata religi, namun belum tentu
langsung mengunjungi tempat tersebut. Namun di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang
juga merupakan wisatawan tapi mengunjungi wisata religi tanpa perlu menggali informasi
yang tertera dalam teknologi digital, artinya mereka datang dengan sendirinya tanpa
mengakses informasi terlebih dahulu. Maka dari itu, perlu dikaji mengenai berpotensi atau
tidaknya teknologi digital terhadap promosi wisata religi.
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui potensi teknologi digital
sebagai penunjang promosi wisata religi.
Tinjauan pustaka di awali dengan teknologi digital yang menjadi media saat promosi
wisata religi. Teknologi digital adalah teknologi yang secara penglihatan mata tidak lagi
banyak menggunakan tenaga manusia, tetapi lebih cenderung pada lebih cenderung
mengoperasikan system secara otomatis dengan system komputeralisasi yang dapat dibaca
oleh komputer.
Memasuki abad 21 ini, perkembangan teknologi sudah semakin pesat sebab selalu
diadakannya pembaharuan dari tiap produk-produk yang ada. Kini alat-alat canggih sudah
dapat dinikmati dan lebih mudah digunakan. Seperti contohnya, sekarang sudah ada laptop
yang merupakan adaptasi dari komputer, sekarang menjadi komputer yang bisa dibawa
kemanapun tanpa harus disambungkan ke arus listrik saat digunakan. Atau ada juga telepon
genggam (handphone) yang merupakan adaptasi dari telepon kabel yang penggunaannya
mengharuskan terhubung dengan arus listrik.
Menurut KBBI, promosi adalah perkenalan dalam rangka memajukan usaha, dagang, dan
sebagainya (https://kbbi.kemdikbud.go.id , diakses pada 30 April 2018). Promosi juga
dapat dikatakan sebagai kegiatan mengajak pelanggan dengan memperkenalkan barang atau
jasa agar tertarik untuk membeli produk, menggunakan jasa, dan lain-lain. Ajakannya dapat
berupa lisan, tulisan (seperti brosur, pamflet, poster digital, dan lain sebagainya), maupun
berupa iklan.
Sedangkan wisata religi dimaknai sebagai kegiatan wisata ke tempat yang memiliki makna
khusus bagi umat beragama, biasanya berupa tempat atau bangunan bersejarah, tempat
ibadah, atau bisa jadi berupa makam para tokoh pemuka agama.
Wisata religi juga banyak dihubungkan kaitannya dengan niat atau hasrat wisatawan untuk
memperoleh restu, kekuatan batin, keteguhan iman, dan tidak jarang pula untuk memperoleh
berkah dan kekayaan melimpah setelah berkunjung dari tempat wisata tersebut (Dyah Ivana
Sari, 2010).
Indonesia memiliki potensi wisata religi yang sangat besar, khususnya di DKI Jakarta. Hal
tersebut dikarenakan banyaknya bangunan atau tempat bersejarah yang dinilai memiliki nilai
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

21
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

religious dan makna khusus bagi umat beragama yang ada di DKI Jakarta salah satu
contohnya adalah Habib Abdurrahman Bin Abdullah Al Habsyi (Habib Cikini). Selain itu
Indonesia juga termasuk Negara beragama sehingga dapat mempengaruhi tingginya potensi
wisata religi.
Wisata religi banyak macamnya, salah satunya adalah ziarah makam. Ziarah makam boleh
dikatakan sebuah fenomena yang selalu ada pada setiap umat manusia sepanjang sejarahnya.
Budaya ziarah tidak hanya dilakukan oleh komunitas muslim; juga dilakukan oleh umat
beragama lainnya. Wisata ziarah merupakan bagian dari wisata religi yang dimaknai sebagai
kegiatan wisata untuk mengunjungi tempat yang oleh pandangan umum masyarakat
(peziarah) biasanya diyakini mengandung unsur-unsur sakral, keramat, dan suci. Objek paling
umum yang dijadikan tujuan adalah wali, para syuhada, pendiri ordo Sufi, raja, dan tokoh-
tokoh masyarakat (Fikria Najitama, 2013).

Metode
Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan fenomenologi dan kajian pustaka,
sehingga berkonsentrasi pada eksplorasi pengalaman hidup masyarakat dan mengkaji secara
mendalam isu sentral dari struktur utama objek kajian serta mengkaji dari berbagai literature
yang ada.

Hasil dan Pembahasan


Pemanfaatan teknologi sangat berpengaruh dalam pertumbuhan dunia pariwisata dan
penyebaran informasi. Salah satu bentuk pemanfaatannya ialah mempromosikan tempat
wisata religi khususnya wisata ziarah dengan menggunakan media sosial.
Media sosial adalah sebuah media berbasis online dengan para penggunanya bisa dengan
mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum,
dan dunia virtual. Media sosial digunakan sebagai alat promosi karena memiliki respon secara
langsung dengan penggunanya (Zahrotul Umami, 2015). Hal ini dinilai efektif, karena pihak
pengelola bisa berinteraksi langsung melalui media sosial dengan wisatawan dan calon
wisatawan tanpa perlu tatap muka. Media sosial juga bisa digunakan untuk menunjukkan
eksistensi digital wisata religi itu sendiri.
Konten yang dapat dimuat dalam akun media sosial pun dapat berupa perkenalkan
mengenai wisata ziarah tersebut, hal menarik apa yang terdapat dalam wisata tersebut, kapan
tempat itu ramai dikunjungi, berapa harga tiket masuk, siapa pengelola tempat wisata tersebut
yang bisa dihubungi (contact person), bagaimana cara ziarah yang baik dan benar sesuai
syariat, dan yang paling penting adalah dimana lokasi tersebut berada atau di era digital
seperti ini, biasanya dilengkapi dengan peta digital yang akrab disebut Google Maps
(Gmaps).
Media sosial yang tersedia ada banyak macamnya, misalnya Instagram, Facebook, Twitter,
Blog, LinkedIn, Ask.fm, Path, Snapchat, dan lain sebagainya. Saat ini media sosial sudah
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

22
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

sangat mendukung keberlangsungan promosi di bidang pariwisata dengan berbagai fiturnya,


salah satunya adalah Facebook Page yang sangat membantu dalam mem-branding objek
wisata yang dipromosikan. Selain itu, Facebook Page tersebut bisa terindex oleh mesin
pencari seperti Google, Internet Explorer, Mozilla Firewfox, dan sebagainya, sehingga calon
wisatawan akan semakin mudah untuk mengakses media sosial yang berkaitan dengan wisata
ziarah.
Sisi lain dari keuntungan promosi melalui media sosial adalah pengguna media sosial
dapat saling memberi informasi tentang tempat ziarah dengan cara re-posting dari akun
media sosial tempat ziarah atau chek-in di tempat tersebut, sehingga promosi tidak harus
dilakukan oleh pihak pengelola (Zahrotul Umami, 2015). Media sosial pun saat ini mulai
memberlakukan algoritma timeline. Algoritma timeline merupakan sebuah algoritma yang
disusun oleh media sosial sehingga ketika pertama kali membuka media sosial, yang muncul
pertama kali berdasarkan apa yang menjadi kesukaan media sosial dan dengan siapa pengguna
sering melakukan interaksi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan apa saja yang pengguna like,
share, dan comment dalam aktivitas di media sosialnya. Maka hal ini mendukung untuk
secara otomatis menampilkan gambar atau video dari akun yang sering berinteraksi dengan
pengguna. Akun yang baru diikuti atau di-follow pun akan mendapatkan prioritas sehingga
mendorong konten lainnya menjadi semakin jauh ke bawah timeline
(https://m.cnnindonesia.com/teknologi , diakses pada 30 April 2018). Sehingga, target
promosi menjadi luas dan sebagian besar pengguna media sosial dapat mengakses atau
mendapatkan informasi dengan cepat dan akurat dari jaringan pertemanan mereka di media
sosial.
Dalam mengelola media sosial untuk promosi wisata religi khususnya ziarah, pengelola
harus selalu update atau melakukan pembaharuan informasi mengenai tempat wisata ziarah
tersebut. Hal ini akan semakin membuat wisatawan tertarik dan penasaran terhadap wisata
tersebut dan akan menaikkan eksistensi dari akun media sosial itu sendiri. Pengelola juga
harus responsive terhadap tanggapan, kritik, saran, dan pertanyaan yang diajukan oleh
wisatawan maupun calon wisatawan.
Mengingat wisatawan yang hadir bukan hanya wisatawan lokal, maka media sosial dapat
menjadi panduan yang tepat bagi para wisatawan yang sebelumnya belum pernah berkunjung
atau belum mengenal tempat wisata tersebut. Bagi wisatawan yang sering atau pernah
berkunjung ke wisata ziarah namun belum pernah mengakses media sosial wisata ziarah,
pihak pengelola wisata ziarah bisa mengarahkan wisatawan agar mengikuti perkembangan
dari media sosial wisata ziarah ketika wisatawan berada di lokasi. Maka media sosial akan
menjadi referensi tambahan bagi wisatawan sehingga pengetahuan wisatawan menjadi luas
dan mendalam. Dan media sosial juga dapat menjadi sarana untuk mengecek kebenaran data
yang sebelumnya pernah wisatawan dapatkan berdasarkan apa yang pernah wisatawan dengar
maupun lihat.
Dengan informasi yang telah didapat, selain bisa mengenal lokasi wisata religi, diharapkan
wisatawan juga mampu mendapatkan pengalaman spiritual sehingga membuat wisatawan mau

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

23
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

untuk datang kembali lagi ke wisata ziarah tersebut sebagaimana wisatawan yang terbiasa
berkunjung ke wisata ziarah.

Penutup
Simpulan
Indonesia memiliki potensi wisata religi yang tinggi, terbukti adanya data dari kajian
Kementerian Pariwisata terbaru mengungkapkan bahwa ketertarikan kunjungan wisata religi
di Indonesia mencapai angka 12%.
Wisata religi yang cenderung dilakukan oleh masyarakat Indonesia khususnya Jakarta ialah
wisata ziarah. Hal ini dikarenakan banyaknya bangunan atau tempat bersejarah yang dinilai
memiliki nilai religious dan makna khusus bagi umat beragama yang ada di DKI Jakarta salah
satu contohnya adalah Habib Abdurrahman Bin Abdullah Al Habsyi (Habib Cikini).
Dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin pesat, maka hal ini perlu
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Pemanfaatan teknologi dapat digunakan untuk menunjang
pertumbuhan dunia pariwisata, salah satu bentuk pemanfaatannya ialah mempromosikan
tempat wisata religi khususnya wisata ziarah dengan menggunakan media sosial. Hal ini
dinilai efektif, karena pihak pengelola bisa berinteraksi langsung melalui media sosial dengan
wisatawan dan calon wisatawan tanpa perlu tatap muka.
Media sosial akan menjadi panduan bagi para wisatawan yang belum pernah berkunjung
atau belum mengenal wisata ziarah; juga bermanfaat sebagai pengetahuan tambahan bagi para
wisatawan yang pernah berkunjung ke tempat tersebut. Dengan informasi yang cukup, selain
bisa mengenal lokasi wisata religi, diharapkan pengunjung juga mampu mendapatkan
pengalaman spiritual sebagaimana yang dialami oleh banyak pengunjung yang terbiasa
melakukannya.

Saran
Keberadaan teknologi digital sebagai media promosi wisata religi harus tepat sasaran.
Sehingga dengan adanya teknologi digital ini, semakin memperkaya wawasan wisatawan yang
telah berkunjung ke wisata religi dan juga menjadi referensi serta panduan bagi calon
wisatawan. Penguatan konten dan pembaharuan konten harus senantiasa dilakukan agar
informasi yang diberikan selalu menjadi yang terbaru dan sesuai dengan kebutuhan.

Daftar Pustaka
Dyah Ivana Sari. 2010. Objek Wisata Religi Makam Sunan Muria . Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

24
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Fikria Najitama. 2013. Ziarah Suci dan Ziarah Resmi (Makna Ziarah pada Makam Santri
dan Makam Priyayi), Jurnal Kebudayaan Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul
Ulama (STAINU) Kebumen
Sari, N., Wajdi, F., & Narulita, S. (2018, January 1). Peningkatan Spiritualitas melalui
Wisata Religi di Makam Keramat Kwitang Jakarta. Jurnal Studi Al-Qur’an, 14(1), 44 -
58. https://doi.org/https://doi.org/10.21009/JSQ.014.1.04
Zahrotul Umami. 2015. Social Strategy Pada Media Sosial Untuk Promosi Pariwisata
Daerah Istimewa Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Diponegoro
https://validnews.co , diakses pada 27 April 2018
https://kbbi.kemdikbud.go.id , diakses pada 30 April 2018
https://m.cnnindonesia.com/teknologi , diakses pada 30 April 2018

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

25
Ana Matofani, Gelar Dwirahayu, Eva Musyrifah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: ana.matofani13@mhs.uinjkt.ac.id, gelar.dwirahayu@uinjkt.ac.id,
eva.musyrifah@uinjkt.ac.id
Abstract. The aim of this research is to analyze the effect of Interlocked Problem Posing Instruction
on Student’s Mathematical Creative Thinking. This research was conducted at MTsN 1 Tangerang
Selatan on academic year of 2017/2018. The indicators of mathematical creative thinking that
measured are, (a) fluency and (b) flexibility. A quasi experiment with two group randomized post-
test only control group design method was used. Sample consisted of two groups with experiment
group of 31 student and control group of 30 students selected by cluster random sampling
technique. The research instrument was the ability test of mathematical creative thinking in the form
of essay. The results showed that the average score of students mathematical creative thinking at
experiment group was 74 and control group was 60,33. Futhermore, using the t test, obtained t
count value 3,632 and sig. (2-tailed) = 0,001 < 0,05, then H0 was rejected. So it can be concluded
that student’s mathematical creative thinking who taught by interlocked problem posing instruction
is higher than that of students taught by conventional learning.

Keywords: Interlocked Problem Posing, Mathematical Creative Thinking

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pembelajaran interlocked problem
posing terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Penelitian dilakukan di MTs Negeri 1
Tangerang Selatan tahun ajaran 2017/2018. Indikator kemampuan berpikir kreatif matematis yang
diukur dalam penelitian ini yaitu: (a) berpikir lancar dan (b) berpikir fleksibel. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan desain randomized control group
posttest only. Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Sampel terdiri
dari dua kelas yaitu 31 siswa kelas eksperimen dan 30 siswa kelas kontrol. Instrumen yang
digunakan pada penelitian ini yaitu tes kemampuan berpikir kreatif matematis berbentuk essay. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa
kelas eksperimen sebesar 74 dan kelas kontrol sebesar 60,33. Selanjutnya dengan menggunakan uji t,
diperoleh harga t hitung 3,632 dan sig.(2-tailed) = 0,001 < 0,05, maka H0 ditolak. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajarkan dengan
pembelajaran interlocked problem posing lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diajarkan
dengan pembelajaran konvensional.

Kata Kunci: Berpikir Kreatif Matematis, Interlocked Problem Posing.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Pendidikan selalu mendukung seseorang untuk mengalami perubahan pikiran dan
kepribadian. Perubahan pikiran dan kepribadian dalam bidang pendidikan meliputi berbagai
komponen yang terlibat di dalamnya, salah satu di antaranya adalah mutu pendidikan itu
sendiri. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika menurut UU. Nomor 20
Tahun 2003 yang menekankan pengembangkan potensi diri siswa untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU. Nomor 20
Tahun 2003).
Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang paling dasar dalam mempengaruhi
perkembangan teknologi dan berperan penting dalam berbagai disiplin ilmu. Pada
Kurikulum 2013 mengupayakan peningkatan mutu pendidikan untuk menghasilkan lulusan
yang kreatif, mandiri, mampu bekerja sama, solidaritas, memiliki jiwa kepemimpinan,
empati, toleransi dan mampu menghadapi kehidupan pada masa yang akan datang
(Permendikbud, 2013). Berdasarkan tujuan tersebut terlihat bahwa kemampuan berpikir
kreatif merupakan salah satu poin penting dalam pelaksanaan pembelajaran matematika.
Kemampuan berpikir kreatif merupakan hal penting yang harus dimiliki semua orang.
Seseorang yang mempunyai kemampuan berpikir kreatif akan lebih mudah dalam
menghadapi suatu permasalahan yang ia hadapi dengan tepat dan benar. Selain itu,
kemampuan berpikir kreatif juga mampu menciptakan sesuatu yang baru sepeti ide, gagasan,
maupun produk, tidak hanya dalam pembelajaran tetapi juga dalam bermasyarakat.
Menurut Johnson, berpikir kreatif adalah berpikir yang mengisyaratkan ketekunan,
disiplin pribadi dan perhatian melibatkan aktivitas-aktivitas mental seperti mengajukan
pertanyaan, mempertimbangkan informasi-informasi baru dan ide-ide yang tidak biasa,
membuat keterkaitan, khususnya antara sesuatu yang serupa, mengaitkan satu dengan yang
lainnya secara bebas, menerapkan imajinasi pada setiap situasi yang membangkitkan ide baru
dan berbeda, serta memperhatikan intuisi (Siswono, 2008).
Olson mengatakan bahwa produk berpikir kreatif terdiri ada dua unsur, yaitu kefasihan
dan keluwesan (Siswono, 2008). Munandar (1999) mengkarakteristikan berpikir kreatif
siswa dibagi empat yaitu fluency, flexibility, originality, dan elaboration. Parnes
menyebutkan proses kreatif memacu pada lima macam perilaku kreatif, yaitu: fluency,
flexibility, originality, elaboration, dan sensitivity (Rahmawati dan Kurniati, 2010).
Menurut Haylock, berpikir kreatif ada tiga kriteria yaitu, kefasihan, fleksibilitas, dan
keaslian (Siswono, 2008). Silver menilai kemampuan berpikir kreatif dibagi menjadi tiga,
yaitu fluency, flexibility, dan novelty (Siswono, 2008).
Utari (2015) menyebutkan, bila masalah matematik yang diajukan kurang baik, lebih
bersifat prosedural, atau kurang mendorong siswa berpikir lebih lanjut maka siswa hanya
akan memiliki pengetahuan yang prosedural atau mekanikal saja dan kurang peluang untuk
memiliki kemampuan matematik tingkat tinggi (high order mathematical thinking).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

27
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan salah satu tujuan pendidikan. Namun
hasil skor Programme for International Student Assessment (PISA, 2015) siswa Indonesia
masih dibawah rata-rata negara Organisation for Economic Cooperation dan Development
(OECD) meskipun mengalami peningkatan 21 poin dari tahun 2012 dengan nilai rata-rata
untuk kemampuan matematika secara umum adalah 386, kemampuan berpikir kreatif
matematis terindifikasi dalam kemampuan siswa pada level 5 dan 6. Pada level 5 dan 6 siswa
Indonesia hanya dapat menyelesaikan 10%. Ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa di Indonesia masih tergolong rendah. Fardah (2012) menjelaskan
bahwa kemampuan matematis siswa tingkat sekolah dasar dan menengah masih dalam
kategori rendah yaitu sebesar 46,67%.
Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti di salah
satu sekolah di Tangerang Selatan, yaitu MTs Negeri 1 Kota Tangerang Selatan. Peneliti
mengajukan instrumen tes kemampuan berpikir kreatif matematis pada kelas VIII. Hasil
yang didapat yaitu kemampuan berpikir kreatif matematis siswa tergolong rendah.
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengenai penyempurnaan
pola pikir pada kurikulum 2013 menyebutkan bahwa pola pembelajaran haruslah aktif,
berpusat pada peserta didik, serta guru hanyalah sebagai fasilitator. Sementara itu, prinsip
pembelajaran menurut NCTM yaitu para siswa harus belajar matematika dengan
pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan
sebelumnya (Suyono, 2008). Hal ini sesuai dengan prinsip kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa bahwa siswa dituntut untuk aktif agar dapat menunjukkan banyak ide dan
daya imajinatifnya untuk mengerjakan soal yang berbeda dengan membangun pemahaman
baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Maka dari itu, dibutuhkan
pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, salah
satunya adalah pembelajaran interlocked problem posing.
Menurut Osman Cankoy (2013), pembelajaran interlocked problem posing (IPP)
merupakan suatu pendekatan pembelajaran problem posing (pengajuan masalah) dimana
siswa diberikan keluasan untuk belajar secara aktif dan mandiri dengan merumuskan dan
menyelesaikan masalah/soal sendiri yang telah diajukan secara berdiskusi dengan temannya
dan guru hanya berperan memberikan impuls dan sebagai fasilitator. Osman Cankoy
melakukan penelitian komparasi antara pembelajaran interlocked problem posing (IPP)
dengan traditional problem posing (TPP). Hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa
pembelajaran dengan treatment IPP yaitu siswa membuat soal yang bersifat reasonable
(logis), solvable (dapat dipecahkan), dan berkurangnya result-unknown problem (masalah
yang tidak diketahui hasilnya). Selain itu, pembelajaran IPP dianggap lebih efektif untuk
fokus dan tertarik belajar.
Terdapat perbedaan interlocked problem posing dan problem posing. Jika problem
posing, siswa memberikan pertanyaan sebanyak-banyaknya, sedangkan interlocked problem
posing yaitu siswa memberikan pertanyaan secara berkesinambungan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

28
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tahapan pembelajaran interlocked problem posing yang digunakan pada penelitian ini
mengikuti tahapan pembelajaran yang diungkapkan oleh Osman Cankoy (2013). Tahapan
pembelajaran ini dapat dilihat pada penjelasan sebagai berikut:
1. Ignition
Pada tahap ignition, guru memberikan suatu impuls sebagai pemicu awal agar
siswa dapat mengajukan masalah yang berpotensial untuk diselesaikan. Kegiatan
pembelajaran pada tahap ignition, yaitu:
a) Guru memberikan impuls berupa video animasi
b) Siswa mengamati video animasi yang diberikan oleh guru.
c) Siswa mengidentifikasi situasi masalah dari video animasi yang ditampilkan.
d) Siswa mengajukan masalah sesuai dengan video animasi yang ditampilkan.
2. Construction
Setelah siswa diberikan suatu impuls pada tahap ignition, selanjutnya siswa
membangun konsep ke dalam struktur kognitifnya sesuai dengan cara guru
menyajikannya. Pada tahap construction, siswa melakukan berbagai kegiatan yaitu:
a) Mengungkapkan ide dengan melengkapi soal/masalah yang guru berikan.
b) Membangun konsep dari impuls yang diberikan guru dengan membuat kesimpulan.
3. Discussion
Pada tahap discussion, siswa berdiskusi dengan temannya untuk
menyelesaikan/memberikan jawaban terkait soal pada tahap construction. Pada tahap
ini, siswa memerlukan bimbingan guru dalam memantau diskusi di tiap kelompok.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap diskusi yaitu:
a) Mendiskusikan penyelesaikan terkait soal yang telah diberikan.
b) Mempresentasikan jawaban yang telah diselesaikan.
c) Memeriksa dan menemukan kesalahan dari penyelesaian soal yang dibuat oleh teman
atau kelompok lain.
4. Development
Melanjutkan kegiatan discussion, tahap development yaitu siswa mengembangkan
model soal dari soal-soal pada tahap sebelumnya. Pada tahap development, kegiatan
yang dilakukan adalah guru memberikan soal dengan model soal yang telah
dikembangkan dari tahap sebelumnya.
5. Solution
Pada tahap ini, siswa menyelesaikan soal-soal matematika yang diberikan guru
secara individu.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin mengetahui pengaruh pembelajaran
interlocked problem posing terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

Metode
Penelitian ini dilaksanakan di MTs Negeri 1 Kota Tangerang Selatan pada semester
genap tahun ajaran 2017/2018 yaitu pada bulan Januari 2018. Metode penelitian yang
digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitian Randomized Control Group

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

29
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Post Test Only. Sampel penelitian yang digunakan adalah yang akan menjadi kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Seluruh siswa diberikan post-test dengan instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan berpikir kreatif matematis pada
pokok bahasan aritmatika sosial.
Tabel 2. Tabel Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa

Dimensi
No.
Berpikir Indikator Berpikir Kreatif Pada Soal Aritmatika Sosial
Soal
Kreatif
Berpikir Menentukan beragam saran jenis tabungan yang dipilih 1
Lancar bersadarkan suku bunga dan potongan administrasi.
Menentukan gagasan/ide memilih sistem pembayaran 3
berdasarkan uang muka, angsuran perbulan dan lama
angsuran.
Berpikir Menghasilkan gambar situasi yang beragam berdasarkan luas 2a
Flexibel tanah, dan letak geografis tanah.
Menghasilkan harga penjualan dengan sudut pandang yang 2b
berbeda berdasarkan gambar situasi.
Menghasilkan permasalahan lain yang beragam berdasarkan 4
keuntungan yang sama.

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa di kelas eksperimen dan
kelas kontrol disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 3. Statistik Deskriptif Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa


Statistik Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Jumlah 30 30
siswa
Skor ideal 100 100
Rata-rata 74 60,33
Standar 12,41 16,44
Deviasi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

30
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dari Tabel 3 terlihat bahwa siswa kelas eksperimen berjumlah 30 orang dan kelas
kontrol berjumlah 30 orang. Skor maksimum yang diperoleh siswa jika menjawab seluruh
soal dengan benar yaitu 100. Hasil rata-rata posttest menunjukan bahwa kelas eksperimen
memiliki nilai yang lebih besar yaitu 74 dan simpangan baku sebesar 12,41 dibandingkan
dengan kelas kontrol sebesar 60,33 dan simpangan baku sebesar 16,44. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelas kontrol lebih
beragam dibandingkan kelas eksperimen.
Peneliti juga menganalisis kemampuan berpikir kreatif matematis siswa berdasarkan
dua indikator, yaitu berpikir lancar dan berpikir fleksibel. Berikut hasil kemampuan berpikir
kreatif matematis yang disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Batang Persentase Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Berdasarkan Gambar 1, menunjukkan bahwa kedua indikator kemampuan berpikir


kreatif matematis yang diukur, siswa kelas eksperimen lebih baik daripada siswa kelas
kontrol. Rata-rata tertinggi baik siswa kelas eksperimen maupun siswa kelas kontrol
terdapat pada aspek berpikir lancar.
Selanjutnya, untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata antara kelas
eksperimen dengan kelas kontrol dilakukan uji perbedaan rata-rata skor penalaran kreatif
matematis dengan menggunakan uji-t. Ringkasan hasil uji perbedaan rata-rata sebagaimana
yang dimaksud disajikan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas dan Uji Hipotesis Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

31
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hipotesis Statistik :
H0 : μ1 ≤ μ 2
H1 : μ 1 > μ 2

Dari Tabel 4 terlihat bahwa hasil uji kesamaan dua rata-rata kelas eksperimen dan
kontrol menunjukkan nilai t = 3,632 dan sig. (2-tailed) = 0,001 < 0,05. Hal ini
menunjukkan penolakan H0 dan penerimaan H1. H1 menyatakan bahwa rata-rata
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelas eksperimen dengan menggunakan
pembelajaran interlocked problem posing lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa kelas kontrol yang diajarkan dengan pembelajaran
konvensional.
Penulis mengidentifikasi kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dapat meningkat
pada tahap ignition, construction, discussion, development, dan solution. Pada tahap
ignition, guru memberikan impuls berupa video animasi mengenai topik yang akan
dipelajari. Penggunaan video animasi pada tahap ini diharapkan dapat lebih menarik minat
siswa sehingga dapat teroptimalisasi tujuan pembelajaran. Tahap ini dilaksanakan melalui
diskusi kelompok, siswa mengidentifikasi informasi dari video animasi dan membuat tiga
pertanyaan setiap pertemuan. Jumlah video yang digunakan peneliti yaitu 5 video dan setiap
pertemuan peneliti menggunakan satu video yang sesuai dengan subbab yang dipelajari pada
pertemuan itu. Berikut cuplikan salah satu video yang digunakan dalam Gambar 2:

Gambar 2. Cuplikan Video Animasi Pembelajaran

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

32
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pada tahap ini siswa dilatih untuk mengidentifikasi informasi dan membuat pertanyaan
dari impuls berupa video animasi yang diberikan oleh guru. Cerita yang digunakan dalam
pembuatan video animasi berupa cerita yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini memungkinkan siswa dapat memahami makna dari video tersebut, sehingga siswa tidak
terlalu kesulitan dalam mengolah informasi dan mengajukan pertanyaan.
Pada tahap construction, siswa mulai membangun konsep melalui pertanyaan-
pertanyaan yang ada di LKS berdasarkan video animasi. Pada tahap ini siswa dilatih agar
dapat mengungkapkan ide-ide dan siswa dapat membangun konsep dari impuls yang
diberikan oleh guru.
Pada tahap discussion, siswa berdiskusi untuk menyelesaikan masalah terkait dengan
soal yang telah diberikan pada lembar LKS yang selanjutnya siswa diminta untuk
mempersentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Masalah yang ada pada tahap ini dibuat
secara berkesinambungan yang bertujuan agar siswa dapat membentuk konsep materi itu
sendiri. Pada saat perwakilan siswa mempersentasikan hasil diskusinya, siswa yang lain
memeriksa jawaban yang telah mereka kerjaan untuk mengetahui ada/tidaknya kesalahan
penyelesaian soal yang telah dikerjakan oleh kelompok lain. Pada tahap ini siswa dilatih
berdiskusi untuk menyelesaikan soal yang diberikan oleh guru, siswa dapat memeriksa serta
menemukan kesalahan dari penyelesaian soal yang dibuat oleh teman atau kelompok lainnya.
Selain itu, siswa berinteraksi dengan siswa lainnya dan dilatih untuk menumbuhkan rasa
percaya diri dengan mempersentasikan hasil diskusinya, serta dalam mengajukan
pendapatnya.
Tahap development, secara individu siswa diberikan masalah aritmatika sosial yang
lebih tinggi dari masalah yang ada pada tahap discussion. Tahap ini bertujuan agar peneliti
dapat mengetahui sejauh mana konsep yang telah didapat dari tiap individu. Pada tahapan
ini siswa juga dilatih agar dapat menyelesaikan masalah yang lebih tinggi dengan
menerapkan pemahaman konsep yang telah didapatkan dari tahap sebelumnya dan mampu
mengubah cara pemikirannya.
Pada tahap terakhir yaitu solution, siswa diminta untuk menyelesaikan masalah
aritmatika sosial secara individu. Hal ini bertujuan agar peneliti dapat mengetahui sejauh
mana konsep yang telah didapat dari tiap individu dan dilatih untuk dapat mencetuskan
penyelesaian masalah serta mampu menerapkan konsep yang telah didapatkan pada tahap
sebelumnya.
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa tahapan-tahapan pada proses pembelajaran
dengan pembelajaran interlocked problem posing ini mendorong siswa untuk merumuskan
masalah berdasarkan situasi, dapat menemukan ide-ide dan konsep materi yang diberikan,
serta mendorong siswa untuk mempresentasikan hasil dari ide tersebut.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

33
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan ditunjukkan bahwa kemampuan berpikir
kreatif matematis yang diajarkan menggunakan pembelajaran interlocked problem posing
lebih tinggi dibanding kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajarkan dengan
menggunakan pembelajaran konvensional.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh selama penelitian ada beberapa saran
terkait penelitian ini, yaitu diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan
untuk mengadakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan interlocked problem
posing atau kemampuan berpikir kreatif matematis dan pembelajaran ini dapat dijadikan
sebagai salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas.

Daftar Pustaka
De Walle, John A. Van (penerjemah: Suyono). Sekolah Dasar dan Menengah Matematika
Pengembangan dan Pengajaran Jilid 1 Edisi ke 6. Jakarta: Erlangga, 2008.
Cankoy, Osman. Interlocked Problem Posing and Children’s Problem Posing Performance
In Free Structured Situation. Jurnal Internasional Pendidikan Sains dan Matematika.
National Science Council: Taiwan, 2013.
Fardah, Dini Kinanti. Analisis Proses dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dalam
Matematika Melalui Open-Ended, Jurnal KREANO FMIPA UNNES, vol 3, No. 2,
2012.
Munandar, Utami. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah . Jakarta:
Gramedia, 1999.
PERMENDIKBUD Nomor 81A Tahun 2013, http://luk.staff.ugm.ac.id, diakses tanggal
28 September 2017 pukul 13.00 WIB.
PISA 2015 Results Excellence and Equity in education volume 1, OECD Publishing, 2016.
(http://dx.doi.org/10.1787/9789264266490-en), diunduh tanggal 14 Juli 2017
pada pukul 16.00 WIB.
Rachmawati, Yeni dan Kurniati, Euis. Strategi Pengembangan Kreativitas Pada Usia Taman
Kanak-kanak. Jakarta: Kencana, 2010.
Siswono, Tatag Eko Yuli. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan
Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya:
Unesa University.Press,2008.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

34
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Utari-Sumarmo. Mathematical Problem Posing, Rasional, Pengertian, Pembelajaran dan


Pengukurannya. Bandung: Pascasarjana STKIP Siliwangi Bandung dan Pascasarjana
UPI. 2015.
UU. Nomor 20 Tahun 2003, http://www.pendis.kemenag.go.id , diakses tanggal 23 Mei
2017 pukul. 20.00 WIB.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

35
Andy Hadiyanto, Abdul Fadhil, Ahmad Hakam, Amaliyah, Dewi Anggraeni
Universitas Negeri Jakarta
e-mail: Andy-hadiyanto@unj.ac.id, Abdul_fadhil@unj.ac.id, Ahmad-Hakam@unj.ac.id,
ikhwanshafa@ymail.com, dewianggraeni@unj.ac.id

Abstract. Islamic Religious Education at PTU has a very strategic role to strengthen NKRI and national
culture. Strengthening the Unitary Republic of Indonesia can be achieved by integrating the concept of
multiculturalism in learning PAI, while the strengthening of national culture by adopting local wisdom. A
multicultural approach based on local wisdom provides students with the competence to analyze and provide
ideas or solutions from different cultural and religious conflicts, which can be developed through digital
literacy. The method used in this research is research and development. The results of this research are; The
web-centric course learning model encourages students to not only read and write but encourages to access,
manage, and analyze various solutions of problems or cultural and religious conflicts through ICT media. The
web-centric course learning model is adopted from blended learning that combines traditional learning and
online learning. Design of learning with web-centric course students interact with lecturers or experts related to
the material studied without time constraints and places for internet access is available, students continue to
conduct face-to-face activities with lecturers to get directions and discuss issues or topics to be studied,
students publish results of thought or findings in digital form.

Keywords: PAI learning model, multicultural value, local wisdom value, learning resource, digital literacy

Abstrak. Pendidikan Agama Islam di PTU memiliki peran yang sangat strategis untuk memperkuat NKRI
dan budaya nasional. Penguatan NKRI dapat dicapai dengan mengintegrasikan konsep multikulturalisme
dalam pembelajaran PAI,sedangkan penguatan budaya nasional dapat dilakuakan dengan mengadopsi kearifan
lokal. Pendekatan multikultural berbasis kearifan lokal memberikan kompetensi kepada mahasiswa untuk
menganalisis dan memberikan ide atau solusi dari berbagai konflik budaya dan agama, yang dapat
dikembangkan melalui literasi digital. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah reseach dan
development. Hasil penelitian ini berupa; Model pembelajaran web centric course mendorong mahasiswa
bukan hanya membaca dan menulis, tetapi mendorong untuk mengakses, mengelola, menganalisis dan
menginfomarsikan berbagai solusi dari problematika atau konflik budaya dan agama melalui media ICT.
Model pembelajaran web centric course diadopsi dari blended learning yang memadukan pembelajaran
tradisional dan pembelajaran online. Desain pembelajaran dengan web centric course mahasiswa berinteraksi
dengan dosen atau pakar terkait dengan materi yang dipelajari tanpa batasan waktu dan tempat selama akses
internet tersedia, mahasiswa tetap melakukan kegiatan tatap muka dengan dosen untuk mendapat pengarahan
serta berdiskusi tentang masalah atau topik yang akan dikaji, mahasiswa mempublikasikan hasil pemikiran
atau temuan dalam bentuk digital.
Kata Kunci: model pembelajaran PAI, nilai multikultural, nilai kearifan lokal, sumber belajar, literasi digital.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
PAI di PTU sebagai pendidikan yang berorientasi pada pengembangan kepribadian dan
karakter mahasiswa berupaya untuk mewujudkan mahasiswa yang memahami, meyakini, dan
menghayati nilai-nilai Islam, serta memiliki komitmen untuk bersikap dan bertindak
konsisten dengan nilai-nilai tersebut, dalam kehidupan sebagai pribadi, anggota keluarga,
anggota komunitas sosial dan profesi, warga negara, dan warga dunia. Oleh karenanya,
pembelajaran PAI di PTU sangat erat kaitannya dengan aspek keagamaan dengan realitas
sosial.
Pendidikan Agama Islam di PTU memiliki peran yang sangat strategis untuk
memperkuat NKRI dan budaya nasional. Penguatan NKRI dapat dicapai dengan
mengintegrasikan konsep multikulturalisme dalam pembelajaran PAI,sedangkan penguatan
budaya nasional dapat dilakuakan dengan mengadopsi kearifan lokal. Pendekatan
multikultural berbasis kearifan lokal memberikan kompetensi kepada mahasiswa untuk
menganalisis dan memberikan ide atau solusi dari berbagai konflik budaya dan agama, yang
dapat dikembangkan melalui literasi digital.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara mengembangkan model
pembelajaran PAI multikultural berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan
pembelajaran web centric course di PTU. Wawasan dan rencana pemecahan masalah dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan studi pustaka dan penelitian empiris atau studi
lapangan.
Tujuan penelitian adalah (1) menghasilkan model pembelajaran PAI multikultural
berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric course, (2)
mahasiswa mampu mengakses hasil temuan dalam bentuk digital, (3) mencipatakan
keutuhan NKRI melalui pembelajaran PAI multikultural berbasis nilai kearifan lokal.
Harapan dari manfaat penelitian ini, model pembelajaran PAI multikultural berbasis nilai
kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric course dapat menumbuhkan
rasa kepedulian terhadap permasalahan sosial dan menumbuhkan kreatifitas dan inovasi
mahasaiswa pada media digital.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses
dan cara mendidik.Multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai
konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini
mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami
sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan
multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap
harkat dan martabat manusia. (erlan, 2012)

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

37
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasar pengertian pendidikan multikultural secara etimlogi dan terminilogi, maka


pembelajaran PAI multikultural adalah sebuah proses pengimplementasian nilai
multikultural yang terintegrasi dalam PAI yang dilakukan secara sistematis dan logis dalam
pembelajaran di PTU.
Dalam mengimplementasikan nilai-nilai multikultural dalam pemeblajaran PAI, tidak
dapat dipisahkan dengan budaya lolal sebagai sebuah local wisdom. Menurut Deny kearifan
lokal adalah tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan
keterampilan masyarakat di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama yang
diwariskan secara turun temurun. Kearifan lokal merupakan modal sosial yang
dikembangkan masyarakat untuk menciptakan keteraturan, keseimbangan antara kehidupan
sosial budaya masyarakat dengan kelestarian sumber daya alam disekitarnya (Deny, 2016).
Lebih jauh Deny menambahkan bentuk kearifan lokal meliputi: pengetahun, gagasan, nilai,
ketermpilan, pengalaman dan tingkahlaku serta kebaisaan adat yang dilakukan oleh
masyarakat diwilayah tertentu.
Berdasar pengertian kearifan lokal maka dapat dinyatakan bahwa kaerifan lokal
merupakan suatu peoman atau suatu laboratorium kehidupan, yang dapat diambil sebagai
refensi, contoh menyelesaikan masalah kehidupan di masyarakat.
Seringin dengan perkembngan zaman dan era globalisasi maka pembelajaran PAI
disinergikan dengan kemajuan zaman. pembelajaran PAI multikultural dengan berbasis
kearifan lokal dapat diintegrasikan dengan literasi digital. Istilah literasi digital
dikemukakan pertama kali oleh Paul Gilster (1997) sebagai kemampuan memahami dan
menggunakan informasi dari berbagai sumber digital. Ia mengemukakan bahwa literasi
digital merupakan kemampuan menggunakan teknologi dan informasi dari piranti digital
secara efektif dan efisien dalam berbagai konteks, seperti aka demik, karier, dan kehidupan
sehari-hari (Indah, 2017)
Model blended learning merupakan model pembelajaran yang fleksibel karena
mengkombinasikan setting pembelajaran synchronous dan asynchronous secara tepat guna
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Beberapa keuntungan menggunakan model ini adalah
dapat mengakomodasi karakteristik matakuliah Multimedia Pembelajaran sehingga daya
tarik instruksional perkuliahan menjadi tinggi, dan dapat mengembangkan berbagai
keterampilan dan sikap, dalam hal ini kemandirian belajar (Ismiati.Ch, 2015)

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini jenis penelitian dan pengembangan
(research and development). Tujuan penggunaan jenis penelitian ini untuk menghasilakan
sebuah produk yang memenuhi kelayakan atau terstandar secara uji validasi pakar materi dan
media.
Lokasi dan populasi serta sampel penelitian, lokasi penelitian adalah di Universitas
Negeri Jakarta, populasinya adalah mahasiswa prodi PAI UNJ, sampelnya adalah beberapa
mahasiswa prodi PAI UNJ.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

38
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Teknik pengambilan data, dalam penelitian ini data diambil memalui kajian pustaka dan
studi lapangan. Teknik pengambilan data studi lapangan menggunakan kuesioner yang
dibrikan kepada ahli materi PAI, ahli media IT dan beberapa mahasiswa prodi PAI UNJ.
Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitataif yakni data
dianalisis secara narasi.
Model penelitian pengembangan ini menggunakan model penegembangan Borg and Gall.
Adapun langkah penelitian pengembangan untuk menghasilakan sebuah produk ada
beberapa langkah, yakni: Pertama, analisis kebutuhan, antara lain meliputi pengumpulan
data tentang pembelajaran PAI, kebijakan pemerintah tentang pembelajaran PAI, kebutuhan
pengguna lulusan PAI, kompetensi lulusan PAI dan kompetensi dosen PAI. Kedua,
perencanaan penelirian meliputi desain penelitian, desain produk, instrument
penelitian.Ketiga, pengembangan draft produk, mengemabangkan RPS, bahan ajar, sumber
pembelajaran dan media pembelajaran. Keempat, uji validasi pada pakar materi PAI, uji
validasi dilkukan dua tahap, yakni validasi tahap 1 direvisi lalu hasil revisi di berikan lagi
kepada pakar materi untuk dijadikan validasi tahap 2 kepada pakar materi PAI. Kelima, uji
validasi pada pakar media IT, uji validasi dilkukan dua tahap, yakni validasi tahap 1 direvisi
lalu hasil revisi di berikan lagi kepada pakar media untuk dijadikan validasi tahap 2 kepada
pakar media IT. Keenam, uji coba keterbacaan produk kelompok kecil kepada 5 mahasiswa,
lalu di revisi. Ketujuh, uji coba keterbacaan produk kelompok sedang kepada 10 mahasiswa,
lalu di revisi. Kedelapan, uji coba keterbacaan produk kelompok besar kepada 20 mahasiswa,
lalu di revisi. Kesembilan, Revisi produk dari uji validasi pakar materi, media dan uji
keterbacaan produk pada kelompok kecil, sedang, dan besar. Kesepuluh, hasil produk akhir
yang layak digunakan. Adapun spesikasi alat yang digunakan pada model pembelajaran PAI
multikultural berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric
course di PTU adalah menggunakan cms wordpress, aplikasi ini memeliki beberapa fitur
yang menarik dan sesuai kebutuhan pembelajaran saat ini, selain itu pengguna aplikasi ini
dapat mengakses web pembelajaran serta efektif dan efisien.

Hasil dan Pembahasan


Hasil Pengembangan Produk
Produk yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran PAI
multikultural berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric
course di PTU. Langkah awal penelitian adalah analisis kebutuhan yang dilakukan dengan
studi pustaka serta studi lapangan kepada mahasiswa. Data studi pustaka menyatakaan
bahwa pembelajaran web centric course dengan menggunakan model pembelajaran blended
learning dapat memudahkan mahasiswa untuk berinteraksi dan menambah wawasan
pengetahuan tanpa batas waktu, dengan kata lain mahasiswa tidah hanya berinteraksi dengan
dosen di kelas akan tetapi mahasiswa juga dapat memperoleh pengetahuan PAI selain dari
dosen juga dapat diperoleh dari pakar PAI lainnya. Selain itu mahasiswa juga dapat
mengunggah berbagai problematika dan solusi yang terjadi di lingkungan masyarakat ke
dalam web centric course. Data yang diperoleh dari hasil studi lapangan ditemukan bahwa
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

39
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mahasiswa cenderung kurang memanfaatkan media ICT,untuk kegiatan pembelajaran, akan


tetapi kecendrungan mahasiswa sangat besar untuk memanfaatkan media ICT sebagai sarana
hiburan dan kesenangan pribadi.
Perencanaan dan pengembangan produk model pembelajaran PAI Multikultural berbasis
nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric course diawali dengan
pengembangan RPS yang memuat konten PAI multicultural dan nilai kearifan lokal sebagai
contoh penyelesaian konflik multikuktural. Pengembangan RPS digunakan sebagai
pedoaman pelaksanaan pembelajaran di kelas. Langkah-langkah pengembangan RPS yaitu
menentukan kompetensi yang akan dimiliki oleh mahasiswa, kemudian mengembangkan
materi pembelajaran, mengembangankan strategi dan metode pembelajaran serta
mengembangakan media pembelajaran dan instrument penilaian.
Berdasarkan RPS kemudian produk model pembelajaran PAI Multikultural berbasis nilai
kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric course di kembangkan,
melipupti: penentuan software untuk mengembangakan pembelajaran web, menetapakan
desain pembelajaran web, menetapkan isi pembelajaran web, mengumpulkan bahan
pendukung seperti video, power point dan lain-lain dan langkah terakhir adalah membuat
model pembelajaran PAI Multikultural berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan
pembelajaran web centric course.

Hasil Validasi Ahli dan Uji Keterbacaan Produk


Data Validasi Ahli Materi
Validasi ahli materi pengembangan produk model pembelajaran PAI Multikultural
berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric course, validasi
ahli materi dilakukan oleh dosen PAI UNJ. Hasil validasi materi penilaiannya dalam
bentuk narasi kualitatif. Hasil penilaian ahli materi dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1. Hasil Validasi Ahli Materi
No Indikator Kategori Keterangan
1 Materi memuat nilai multikultural B Baik
2 Materi sesuai dengan kompetensi, indikator dan tujuan B Baik
pembelajaran
3 Materi sesuai dengan karakteristik PAI multicultural B Baik
4 Materi memuat contoh kasus/konflik disekitar masyarakat C Cukup
5 Materi memuat nilai kearifan lokal B Baik
6 Materi memudahkan mahasiswa untuk belajar sendiri B Baik
7 Materi disajikan secara sistematis dan logis B Baik
8 Materi memotivasi mahasiswa untuk berfikir kritis dan kreatif C Cukup
9 Materi yang disajikan aktual B Baik
10 Materi disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami B Baik
mahasiswa

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

40
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasar hasil validasi ahli materi tahap 1, ada beberapa bagian yang mendapat penilaian
kategori cukup, maka dilakukan revisi, selain itu pakar materi memberikan saran untuk
mendorong mahasiswa mengamati dan menemukan solusi dari berbagai konflik yang terjadi
dimasyarakat Indonesia. Hasil validasi ahli materi tahap 2 dapat dilihat pada table 2 di
bawah ini:
Tabel 2. Hasil Validasi Ahli Materi Tahap 2
No Indikator Kategori Keterangan
1 Materi memuat nilai multikultural B Baik
2 Materi sesuai dengan kompetensi, indikator dan tujuan B Baik
pembelajaran
3 Materi sesuai dengan karakteristik PAI multicultural B Baik
4 Materi memuat contoh kasus/konflik disekitar B Baik
masyarakat
5 Materi memuat nilai kearifan lokal B Baik
6 Materi memudahkan mahasiswa untuk belajar sendiri B Baik
7 Materi disajikan secara sistematis dan logis B Baik
8 Materi memotivasi mahasiswa untuk berfikir kritis dan B Baik
kreatif
9 Materi yang disajikan aktual B Baik
10 Materi disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami B Baik
mahasiswa
11 Materi memotivasi mahasiswa untuk megamatidan B Baik
menemukan solusi dari berbagai konflik yang terjadi

Berdasar hasil validasi ahli materi tahap 2, maka diketahui bahawa seluruh komponen
penilaian mendapat kategori Baik. Selain itu saran pakar materi juga telah dilakukan, yakni
menambahkan materi yang dapat memotivasi mahasiswa untuk mengamati dan menemukan
solusi dari berbagai konflik yang terjadi pada masyarakat Indonesia.

Hasil Analisis Uji Validasi Ahli Materi pada Tahap 1 dan Tahap 2
Hasil analisis validasi tahap 1 dan validasi tahap 2 kepada ahli materi PAI, maka dapat
dinyatakan bahwa pengembangan produk model pembelajaran PAI multikultural berbasis
nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric course, pada komponen
materi atau konten telah memenuhi kriteria penilaian ahli materi PAI, dengan demikian
model pembelajaran PAI multikultural berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

41
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pembelajaran web centric course telah memenuhi syarat pengembangan produk yakni telah
melakukan uji validasi pakar atau ahli materi PAI.

Data Hasil Uji validasi Ahli Media


Validasi ahli media pengembangan produk model pembelajaran PAI Multikultural
berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric course,
dilakukan untuk memenuhi syarat pengembangan produk dan memenuhi kelayakan media
yang digunakan.
Hasil validasi tahap 1 pada ahli media dilakukan oleh ahli IT UNJ, adapun hasil validasi
media pada tahap 1, dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini:
Tabel 3 Hasil Validasi Tahap 1 Ahli Media

No Indikator Kategori Keterangan


1 Web pembelajaran mudah diakses oleh mahasiswa B Baik
2 Terdapat fitur online chat untuk melakukan Tanya jawab B Baik
secara langsung
3 Terdapat fitur untuk mengupload hasil pengamatan B Baik
mahasiswa
4 Terdapat fitur untuk mengupload hasil penemuan/solusi B Baik
yang didapat mahasiswa
5 Terdapat fitur untuk mengupload video/gambar hasil C Cukup
penemuan mahasiswa
6 Terdapat fitur penjelasan materi dari pakar lain/diluar dosen B Baik
sendiri
7 Terdapat fitur pencarian untuk memudahkan pencarian B Baik
konten
8 Terdapat fitur komentar B Baik
9 Terdapat fitur profil pengelola web pembelajaran C Cukup

Berdasarkan hasil uji validasi tahap 1 kepada pakar media, menyatakan bahwa ada
beberapa komponen fitur yang harus disempurnakan, karena masih memprroleh nilai
Cukup. Selain itu juga ada saran dari pakar media untuk memperbaiki tampilan beranda,
dan menambahkan fitur keaman web. Hasil validasi tahap1 direvisi, kemudian dilanjutkan
untuk melakukan uji validasi tahap 2 ahli media. Adapun hasil uji validasi ahli media tahap
2 dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

42
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 4 Hasil Validasi Tahap 2 Ahli Media


No Indikator Kategori Keterangan
1 Web pembelajaran mudah diakses oleh mahasiswa B Baik
2 Terdapat fitur online chat untuk melakukan Tanya jawab secara B Baik
langsung
3 Terdapat fitur untuk mengupload hasil pengamatan mahasiswa B Baik
4 Terdapat fitur untuk mengupload hasil penemuan/solusi yang B Baik
didapat mahasiswa
5 Terdapat fitur untuk mengupload video/gambar hasil penemuan B Baik
mahasiswa
6 Terdapat fitur penjelasan materi dari pakar lain/diluar dosen B Baik
sendiri
7 Terdapat fitur pencarian untuk memudahkan pencarian konten B Baik
8 Terdapat fitur komentar B Baik
9 Terdapat fitur profil pengelola web pembelajaran B Baik
10 Terdapat fitur keamanan web B Baik

Berdasar hasil validasi ahli media tahap 2, maka diketahui bahawa seluruh komponen
penilaian mendapat kategori Baik. Selain itu saran pakar media juga telah dilakukan, yakni
memeperbaiki halaman profile dan beranda web, serta menambahkan fitur keamanan web.
Dengan demikian hasil uji validasi kepada ahli media telah terpenuhi dengan kategori
penialian Baik.

Hasil Analisis Uji Validasi Ahli Media Tahap 1 dan Tahap 2


Hasil analisis validasi tahap 1 dan validasi tahap 2 kepada ahli media IT, maka dapat
dinyatakan bahwa pengembangan produk model pembelajaran PAI multikultural berbasis
nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric course, pada komponen
media telah memenuhi kriteria penilaian ahli media, dengan demikian model pembelajaran
PAI multikultural berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web
centric course telah memenuhi syarat pengembangan produk yakni telah memenuhi kriteria
penilaian uji validasi pakar media IT. Dengan demikian model pembelajaran PAI
multikultural berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric
course layak digunakan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

43
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Data Hasil Uji Coba Keterbacaan


Hasil uji coba keterbacaan diperoleh dari tiga kali uji coba kepada mahasiswa PAI UNJ.
Uji coba pertma yakni uji coba pada kelompok kecil sampelnya sebanyak 5 orang mahasiswa
PAI UNJ, kemudia uji coba kedua yakni pada kelompok sedang, sampel sebanyak 10
mahasiswa PAI UNJ. Uji coba ketiga yakni pada kelompok besar, sampelnya sebanyak 20
mahasiswa PAI UNJ. Tujuan uji coba keterbacaan untuk mengetahui kelayakan produk
model pembelajaran PAI multikultural berbasis nilai kearifan lokal dengan menggunakan
pembelajaran web centric course. Adapun hasil uji coba kepada mahasiswa pada tahap 1,
tahap 2 dan tahap 3 dapat dilihat pada tabel. 5, tabel 6, dan tabel 7, dibawah ini:
Tabel. 5 Hasil Uji Coba Kelompok Kecil
No Indikator Kategori Keterangan
1 Materi pembelajaran web memotivasi untuk berfikir kritis dan Terpenuhi Memuaskan
kreatif
2 Materi bersifat aktual dan kontektual Terpenuhi Memuaskan
3 Bahasa dalam penyajian materi mudah dipahami Terpenuhi Memuaskan
4 Materi disajikan secara logis dan sistematis Terpenuhi Memuaskan
5 Materi dapat dipahami secara mandiri Terpenuhi Memuaskan
6 Web pembelajaran mudah diakses Terpenuhi Memuaskan
7 Fitur online chat mudah digunakan dan menarik Terpenuhi Memuaskan
8 Fitur untuk mengupload mudah digunakan dan menarik Terpenuhi Memuaskan
9 Fitur untuk mengupload hasil penemuan/solusi yang didapat Terpenuhi Memuaskan
mudah digunakan dan menarik
10 Fitur untuk mengupload video/gambar hasil penemuan Terpenuhi Memuaskan
mudah digunakan dan menarik
11 Fitur penjelasan materi dari pakar lain/diluar dosen sendiri Terpenuhi Memuaskan
mudah digunakan dan menarik
12 Fitur pencarian untuk memudahkan pencarian konten mudah Terpenuhi Memuaskan
digunakan dan menarik
13 Fitur komentar mudah digunakan dan menarik Terpenuhi Memuaskan
14 Fitur profil pengelola web pembelajaran tampilan menarik Terpenuhi Memuaskan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

44
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel. 6 Hasil Uji Coba Kelompok Sedang


No Indikator Kategori Keterangan
1 Materi pembelajaran web memotivasi untuk berfikir kritis dan Terpenuhi Memuaskan
kreatif
2 Materi bersifat aktual dan kontektual Terpenuhi Memuaskan
3 Bahasa dalam penyajian materi mudah dipahami Terpenuhi Memuaskan
4 Materi disajikan secara logis dan sistematis Terpenuhi Memuaskan
5 Materi dapat dipahami secara mandiri Terpenuhi Memuaskan
6 Web pembelajaran mudah diakses Terpenuhi Memuaskan
7 Fitur online chat mudah digunakan dan menarik Terpenuhi Memuaskan
8 Fitur untuk mengupload mudah digunakan dan menarik Terpenuhi Memuaskan
9 Fitur untuk mengupload hasil penemuan/solusi yang didapat Terpenuhi Memuaskan
mudah digunakan dan menarik
10 Fitur untuk mengupload video/gambar hasil penemuan mudah Terpenuhi Memuaskan
digunakan dan menarik
11 Fitur penjelasan materi dari pakar lain/diluar dosen sendiri Terpenuhi Memuaskan
mudah digunakan dan menarik
12 Fitur pencarian untuk memudahkan pencarian konten mudah Terpenuhi Memuaskan
digunakan dan menarik
13 Fitur komentar mudah digunakan dan menarik Terpenuhi Memuaskan
14 Fitur profil pengelola web pembelajaran tampilan menarik Terpenuhi Memuaskan

Tabel. 7 Hasil Uji Coba Kelompok Besar


No Indikator Kategori Keterangan
1 Materi pembelajaran web memotivasi untuk berfikir kritis dan Terpenuhi Memuaskan
kreatif
2 Materi bersifat aktual dan kontektual Terpenuhi Memuaskan
3 Bahasa dalam penyajian materi mudah dipahami Terpenuhi Memuaskan
4 Materi disajikan secara logis dan sistematis Terpenuhi Memuaskan
5 Materi dapat dipahami secara mandiri Terpenuhi Memuaskan
6 Web pembelajaran mudah diakses Terpenuhi Memuaskan
7 Fitur online chat mudah digunakan dan menarik Terpenuhi Memuaskan
8 Fitur untuk mengupload mudah digunakan dan menarik Terpenuhi Memuaskan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

45
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

9 Fitur untuk mengupload hasil penemuan/solusi yang didapat Terpenuhi Memuaskan


mudah digunakan dan menarik
10 Fitur untuk mengupload video/gambar hasil penemuan mudah Terpenuhi Memuaskan
digunakan dan menarik
11 Fitur penjelasan materi dari pakar lain/diluar dosen sendiri Terpenuhi Memuaskan
mudah digunakan dan menarik
12 Fitur pencarian untuk memudahkan pencarian konten mudah Terpenuhi Memuaskan
digunakan dan menarik
13 Fitur komentar mudah digunakan dan menarik Terpenuhi Memuaskan
14 Fitur profil pengelola web pembelajaran tampilan menarik Terpenuhi Memuaskan

Berdasar data dari hasil uji coba kecil, sedang dan besar, maka dapat dinyatakan bahwa
uji coba keterbacan pengembangan produk model pembelajaran PAI multikultural berbasis
nilai kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric course telah memperoleh
kategori penialian Terpenuhi dari aspek materi maupun media.

Hasil Analisis Uji Keterbacaan Kelompok kecil, Sedang dan Besar


Hasil analisis pada uji coba kelompok kecil, sedang dan besar, secara umum bahwa
komponen materi dan media telah layak digunakan karena telah dapat dipahami, memotivasi
dan menarik untuk mahasiswa melakukan riset, resolusi konflik dengan basis nilai kearifan
lokal pada aspek multikultural. Hal lain yang perlu ditegaskan bahwa uji coba kecil, sedang
dan besar tiudak mengalami perbaikan atau revsisi produk, karena saran dari pakar materi
dan media telah diperbaiki secara optimal.

Spesisifikasi Hasil Produk Pengembangan


Produk yang dikembangkan adalah model pembelajaran PAI multikultural berbasis nilai
kearifan lokal dengan menggunakan pembelajaran web centric course, produk ini berbeda
dengan produk yang sudah ada, yakni perbedaannya adalah pada konten dan penyajian serta
metode pembelajaran yang mengkombinasikan berbagai metode pembelajaran, seperti
problem based learning, learning by doing, CTL, Inkuiri dan mobile learning, dan lain-lain
yang dipakai dalam model pembelajaran PAI multikultural berbasis nilai kearifan lokal
dengan menggunakan pembelajaran web centric course. Konten yang diapakai atau materi
dan sumber pembelajaran adalah nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat Indonesia,
selain itu nilai-nilai tersebut dijadikan contoh untuk menyelesaikan berbagai konflik
multikultural yang berada di masyarakat Indonesia. Adapun untuk web pembelajaran pada
umumnya sama dengan web pembelajaran yang digunakan, hanya tampilan dari fitur-fitur
dibuat berbeda dengan web pembelahjaran yang sudah ada supaya menraik dan tidak
membosankan. Web pembelajaran ini menggunakan aplikasi cms wordpress.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

46
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penutup
Berdasarkan hasil uji coba dan validasi ahli, materi dan media ICT serta uji keterbacaan
produk dengan pendekatan penelitian pengengembangan R&D terkait Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Multikultural Berbasis Kearifan Lokal maka dapat disimpulkan
bahwa
Model pembelajaran PAI multukultural berbasis nilai kearifan lokal menggunakan
pembelajaran web centri course dengan menggunakan model pembelajaran blended learning
serta memadukan berbagai metode pembelajaran seperti; inkuiri, contektual teaching
learning, problem baded learning. Penggunaan model pembelajaran PAI multikultural
berbasis nilai kearifan lokal diharapkan dapat memotivasi mahasiswa untuk mempunyai
kemandirian belajar, krreativitas dan inovasi dalam pembljran digital serta pemecahan
konfllik multikultural.

Daftar Pustaka
Deny, H. (2016). Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat. Kependudukan Indonesia
, 11 (1).
Deny, H. (2016). Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat. Kependudukan Indonesia
, 11 (1).
Erlan, m. (Ed.). (2012). Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis
Multikultural di Sekolah. jurnal pendidikan islam , 1 (1).
Indah, K. (2017). Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi Digital bagi Tenaga
Perpustakaan Sekolah dan Guru di Wilayah Jakarta Pusat Melalui Pelatihan LAiterasi
Informasi. jurnal pengabdian kepada masyarakat , 3 (1).
Ismiati.Ch. (2015). model belended learning untuk meningkatkan kemandirian. jurnal
penelitian ilmu pendidikan , 8 (2), 21.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

47
LITERASI DIGITAL DAN PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK DALAM
DIMENSI FRAUD TRIANGLE

Anissa Windarti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: anissa.windarti@uinjkt.ac.id

Abstrak. Literasi digital merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi oleh
kalangan akademisi dalam era perkembangan teknologi dan komunikasi yang super cepat ini.
Pergeseran penggunaan referensi dari bentuk fisik ke digital memudahkan akademisi dalam menulis
atau pun menyusun penelitian. Namun, resiko adanya kecurangan akademik seperti plagiarisme akan
meningkat seiring dengan segala kemudahan teknologi tersebut. Dalam fraud triangle disebutkan
bahwa faktor pertama penyebab kecurangan adalah adanya tekanan (incentive) yang muncul dari
dalam diri sendiri maupun dari orang lain. Bagi mahasiswa, tekanan untuk mendapatkan IPK yang
tinggi, maupun tuntutan dari orang tua dan dosen untuk memenuhi tugas perkuliahan, akan
menyebabkan tindakan kecurangan. Sedangkan bagi seorang dosen, tuntutan untuk melakukan
publikasi internasional menjadikan tekanan tersendiri untuk melakukan kecurangan. Kecurangan
akademik juga dipicu oleh adanya peluang (opportunity) berupa kemudahan teknologi informasi
untuk mendapatkan sumber referensi dalam menulis. Peluang ini bertambah besar ketika tidak ada
upaya untuk mengecek plagiarisme dalam penulisan. Faktor ketiga yaitu rasionalisasi
(rationalization) bahwa tindakan kecurangan tersebut dinilai benar ketika lingkungan di sekitarnya
juga melakukan tindakan yang sama tanpa ada sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
Kata kunci: literasi digital, kecurangan akademik, fraud triangle

Pendahuluan
Buku adalah jendela dunia. Dengan membaca buku maka akan bertambah wawasan dan
pengetahuan seseorang, mengingat buku merupakan sumber ilmu pengetahuan. Buku sebagai
sumber bacaan saat ini tidak hanya dalam bentuk cetakan tetapi telah dikemas dalam bentuk
digital berupa e-book. Berbagai macam sumber bacaan baik buku, surat kabar, jurnal dapat
dengan mudah kita peroleh dari dunia maya. Keberadaan buku elektronik ini tentu saja
memberikan fleksibilitas dalam membaca, kapan dan di mana pun buku elektronik dapat
diakses melalui telepon genggam.
Kita dapat merasakan adanya arus informasi yang semakin tinggi pada era digital saat
ini. Di kalangan akademisi, berbagai macam sumber dapat dengan mudah ditemukan untuk
dijadikan sebagai referensi dalam menulis. Kemudahan ini memberikan dampak positif bagi
penulis baik mahasiswa maupun dosen karena akan memperkaya referensi tulisan. Selain itu,
para akademisi juga akan mudah mempublikasikan hasil pemikirannya kepada publik
melalui artikel yang telah disusun. Namun, seiring dengan kemudahan yang diperoleh dalam
mencari sumber referensi, resiko terjadinya plagiarisme juga akan semakin meningkat.
Tindakan plagiarisme di kalangan akademisi dapat terjadi jika mengabaikan tatacara
pengutipan sumber referensi.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Bentuk kecurangan akademik dapat ditemui pada beberapa tulisan mahasiswa untuk
memenuhi tugas perkuliahan maupun tugas akhir skripsi. Berdasarkan pengamatan,
mahasiswa sering mengutip pendapat atau hasil pemikiran orang lain tanpa mencantumkan
penulis aslinya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebiasaan copy paste dengan tidak diiringi
dengan tatacara pengutipan akan menghasilkan karya yang tidak original. Adanya fenomena
ini menunjukkan bahwa ada pergeseran sumber referensi dari materi cetak ke materi virtual
(Djiwandono, 2017). Tindakan plagiarisme merupakan tindakan tidak beretika secara
akademik. Adanya kecurangan ini muncul tidak hanya dipicu karena satu faktor saja, tetapi
ada faktor tekanan, kesempatan dan rasionalisasi yang merupakan dimensi dari fraud
triangle.
Pelanggaran akademik tidak hanya ditemui di kalangan mahasiswa saja. Dosen sebagai
pendidik juga ada yang melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Pada beberapa universitas
di negara ini ditemukan kasus plagiarisme pada tulisan dosen. Berita tersebut sempat
menjadi trending topic di media-media nasional pada tahun lalu. Untuk mengurangi
kecurangan ini, sebenarnya sudah ada piranti yang berfungsi untuk menguji keorisinalitas
sebuah karya seperti Turnitin. Bahkan pihak universitas memberikan layanan pengujian
plagiarisme ini melalui perpustakaan fakultas. Dengan batas ambang tertentu, originalitas
sebuah karya menjadi syarat bagi mahasiswa untuk melakukan sidang skripsi.
Kebutuhan untuk menggunakan mesin pendeteksi plagiarisme menjadi penting untuk
dipenuhi oleh akademisi. Tentu saja akan memerlukan waktu dan biaya untuk bisa
mengoperasionalkan mesin tersebut. Bagi orang yang bukan generasi native dalam teknologi
akan membutuhkan effort yang lebih untuk dapat memahaminya. Upaya mengurangi
plagiarisme hendaknya juga dilakukan dari pihak penulis. Salah satu tindakannya yaitu
dengan mendaftarkan hak cipta atas karyanya. Penulis juga dapat menggunakan Google
schoolar untuk mempublikasikan karyanya sehingga ketika ada pengutipan akan dapat
dengan mudah ditelusuri.
Penggunaan piranti seperti Turnitin, Google Schoolar, Google Translate merupakan
sebagian dari beragamnya teknologi yang harus dipahami para akademisi. Saat ini para
akademisi dituntut untuk memiliki literasi digital dalam kegiatan akademiknya. Pemahaman
akan penggunaan mesin digital merupakan bentuk dari literasi agar tidak gagap dalam
menghadapi pesatnya perkembangan teknologi. Artikel ini akan mencoba menganalisis
adanya kecurangan akademik dengan menggunakan fraud triangle untuk membuka mata kita
dalam literasi digital.

Konsep Literasi
Literasi memiliki konsep awal sebagai kemampuan membaca dan menulis atau lebih
sering disebut sebagai kemelekhurufan. Namun seiring perkembangan jaman dan tuntutan
kebutuhan, makna literasi terus berkembang tidak hanya sebatas mampu membaca dan
menulis tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan dengan sesama manusia dalam

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

49
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

upaya memahami peradaban yang semakin kompleks (Djiwandodo, 2017). Menurut


Donald (1991) perubahan evolusi manusia dipengaruhi oleh literasi.
Komponen literasi dalam Suragangga (2017) terdiri atas enam unsur, yaitu:
1. Literasi Dini (Early Literacy), yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa
lisan dan berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang dibentuk oleh pengalamannya
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya di rumah.
2. Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara,
membaca, menulis dan menghitung berkaitan dengan kemampuan analisis untuk
memperhitungkan, mempersepsikan informasi, mengomunikasikan serta
menggambarkan informasi berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan
pribadi.
3. Literasi Perpustakaan (Library Literacy), antara lain memberikan pemahaman cara
membedakan bacaan fiksi dan non fiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan
periodikal, hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang
menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan atau mengatasi masalah.
4. Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk
media yang berbeda dan memahami tujuan penggunaannya.
5. Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan
yang mengikuti kelengkapan teknologi seperti peranti keras, peranti lunak serta etika
dan etiket dalam memanfaatkan teknologi.
6. Literasi Visual (Visual Literacy), yaitu pemahaman tingkat lanjut antara literasi media
dan literasi teknologi yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan
memanfaatkan materi visual dan audio visual secara kritis dan bermartabat.
Sebagai seorang akademisi yang sering terlibat dalam kegiatan penulisan karya baik itu
penelitian, penulisan buku maupun materi bahan ajar, komponen literasi perpustakaan akan
sangat diperlukan. Berbagai macam referensi yang dapat digunakan dalam koleksi pustaka
sudah tersedia secara cetak maupun online. Bahkan sumber yang dulu diragukan
kredibilitasnya sekarang ini banyak dijadikan referensi oleh mahasiswa. Sumber tersebut
antara lain Wikipedia ataupun blog yang tersedia banyak di dunia maya. Namun, para
profesional saat ini juga menjadi penulis blog sehingga tidak dapat digeneralisir bahwa
seluruh tulisan yang bersumber dari blog memiliki kualitas rendah. Terdapat pergeseran
media untuk membuat sebuah karya tulisan, dari media cetak ke media online.
Dari komponen literasi di atas, dapat dikatakan bahwa literasi digital merupakan bagian
dari literasi teknologi. Digitalisasi merupakan salah satu dari hasil perkembangan teknologi.
Adanya pergeseran karya dari bentuk fisik menjadi ke bentuk digital yang mudah dibawa
dan didapatkan, saat ini sangat mudah ditemui. Bahkan ketika akan mengirimkan artikel
untuk jurnal sekarang ini sudah berbasis online. Begitu pula ketika mengurus kepangkatan,
mendaftar untuk seminar dan konferensi, mengisi data BKD, mengisi KRS mahasiswa,
menginput nilai mahasiswa telah beralih dari manual ke digital. Sehingga mau tidak mau
kebutuhan akan literasi digital ini menjadi kebutuhan mendesak bagi akademisi.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

50
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kecurangan Akademik
Kecurangan akademik adalah perilaku tidak etis yang dilakukan mahasiswa meliputi
pelanggaran terhadap aturan yang berlaku dalam penyelesaian tugas maupun ujian dengan
cara yang tidak jujur (Fitriana dan Baridwan, 2012). Kecurangan akademik merupakan
pelanggaran etika akademik dan tindakan tidak etis di kalangan akademisi. Tindakan curang
seperti menyontek pada saat ujian, meng-copy paste tulisan orang lain dalam menulis
makalah adalah beberapa contoh kecurangan akademik. Fenomena ini sering ditemui dalam
kehidupan di kampus atau sekolah tidak hanya di kalangan mahasiswa tetapi juga dosen.
King (2009) menyebutkan bahwa dengan adanya internet akan menjadi tantangan bagi
akademisi karena akan mudah sekali untuk mengakui hasil karya orang lain tanpa
menuliskan sumber kutipan. Secara tidak sadar telah terjadi penurunan etika sekaligus moral
di kalangan akademisi. Teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih
menjadikan peluang/kesempatan seseorang dapat dengan mudah meng-copy dan paste
informasi-informasi yang tersedia tanpa memberi tanda bahwa itu merupakan kutipan
(Forgas dan Negre, 2010).
Perilaku kecurangan di kalangan mahasiswa dapat diketahui dengan tiga indikator
berikut ini. Indikator pertama yaitu kecurangan yang dilakukan untuk menyelesaikan tugas.
Indikator kedua yaitu kecurangan dalam pengerjaan tugas berkelompok dan indikator ketiga
adalah kecurangan dalam ujian (Fitriana dan Baridwan, 2012). Penelitian tersebut
menganalisis perilaku kecurangan di kalangan mahasiswa dalam hal penugasan baik secara
individu maupun kelompok serta kecurangan pada saat ujian.
Secara umum, kecurangan akademik berupa tindakan plagiarisme dapat dideteksi
dengan piranti lunak atau aplikasi. Beberapa piranti lunak seperti Turnitin menyediakan
layanan untuk mendeteksi sebuah tulisan dengan tingkat originalitas dalam bentuk
prosentase. Jika ditemukan ada kesamaan dalam kalimat tanpa mencantumkan sumber
kutipan maka otomatis mesin akan mendeteksinya sebagai plagiarisme, sehingga tingkat
originalitas dari sebuah karya akan menurun. Masalah yang sering muncul adalah penulisan
kutipan tidak sesuai dengan aturan metode/gaya penulisan yang benar. Meskipun kutipan
sudah ditulis, mesin akan mendeteksi adanya plagiarisme jika salah dalam menulis kutipan.
Oleh sebab itu untuk menghindari plagiarisme sebuah karya diperlukan keterampilan
dalam menggunakan piranti lunak seperti Turnitin ini. Kecanggihan teknologi dan informasi
menuntut akademisi untuk melek dalam literasi digital. Tantangan dalam menghadapi
kecurangan plagiarisme harus dihadapi pula dengan keterampilan dalam menggunakan
teknologi. Beberapa aplikasi plagiarism checker yang bisa dimanfaatkan antara lain (Hasna
Wijayanti, 2017):
1. plagiarism checker dari SmallSEOtools
Aplikasi plagiarism checker dari SmallSEOtools ini sangat mudah penggunaannya
dan tidak dipungut biaya. Dalam sekali pendeteksian bisa meletakkan hingga 5000
karakter sekaligus. Aplikasi ini cukup populer di kalangan blogger karena bisa
berkali-kali digunakan secara gratis.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

51
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2. Unicheck
Keunggulan dari Unicheck selain mudah digunakan, aplikasi ini mampu memindai
teks-teks dari format yang berbeda secara bersamaan dan hanya dalam waktu 4
detik. Laporan plagiat berupa prosentase dan hyperlink menuju sumber aslinya akan
diberikan setiap kali selesai memindai. Untuk bisa mendapatkan layanan ini harus
berlangganan dengan biaya US$5.
3. Duplichecker
Aplikasi Duplichecker bisa diperoleh dengan berlangganan, tetapi terdapat layanan
gratis tanpa registrasi yang bisa digunakan satu kali saja dalam sehari untuk
maksimal 1500 kata.
4. Writecheck
Writecheck merupakan aplikasi cek plagiarisme yang berbayar dengan keunggulan
mampu mendeteksi kesalahan tata bahasa dan ejaan dalam tulisan.
5. Copyscape
Aplikasi Copyscape menyediakan layanan gratis dan berbayar. Layanan dari
Copyscape juga memberikan perlindungan situs agar situs bisa dipantau dari tindak
plagiasi.
6. Plagscan
Hampir sama dengan aplikasi cek plagiarisme yang lain, Plagscan menampilkan
persentase kemiripan tulisan dengan tulisan lain yang tersedia di dunia maya.
7. Viper anti-plagiarism scanner
Aplikasi ini dapat diinstal di komputer. Terdapat 10 miliar sumber yang tersedia
untuk diperbandingkan dengan tulisan kita.
8. Plagtracker
Aplikasi Plagtracker akan mendeteksi plagiarisme dalam tulisan dan juga mendeteksi
penggunaan tata bahasa dalam jumlah yang tidak terbatas untuk teks yang diupload.
9. PlagiarismChecker.com
Aplikasi ini bisa digunakan secara gratis dan mesin pencari Google dan yahoo yang
akan mencari ke berbagai tulisan.
10. Dustball
Fasilitas cek plagiarisme secara gratis diberikan oleh aplikasi Dustball ini.

Fraud Triangle Theory


Kecurangan (fraud) disebabkan oleh banyak faktor. McCabe dan Trevino (2001)
menyebutkan bahwa faktor personal (faktor moral) dan faktor situasional mempengaruhi
intensitas seorang individu untuk melakukan kecurangan. Faktor situasional ini meliputi
kebiasaan dan perilaku teman dan lingkungan sekitar untuk melakukan kecurangan. Bolin
(2004) merangkum faktor penyebab kecurangan ini menjadi fraud triangle yang meliputi
incentive, opportunity dan rationalization.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

52
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

1. Incentive
Insentif diartikan sebagai pressure atau tekanan. Dalam beberapa penelitian tentang
kecurangan akademik, tekanan dapat berasal dari keinginan dari diri sendiri agar terlihat
lebih sukses dalam akademiknya dan terlihat lebih bertanggungjawab dalam perkuliahan,
tekanan untuk mendapat IPK tinggi. Indikator mahasiswa memiliki tekanan yang tinggi
dapat dilihat pada aspek (Fitriana dan Baridwan, 2012):
a. Tugas di dalam kelas yang dinilai terlalu sulit dan terlalu banyak.
b. Mahasiswa merasa mereka tidak dapat memenuhi standar kelulusan yang ditetapkan
tanpa melakukan kecurangan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
c. Ujian yang diberikan dirasa terlalu sulit
d. Mahasiswa tidak dapat me-manage waktu dengan baik dikarenakan kegiatan yang
ditekuni di luar perkuliahan
Faktor tekanan bagi seorang dosen sehingga melakukan tindakan plagiasi bisa
disebabkan karena aspek tuntutan dari institusi tentang kinerja dosen yang dianggap terlalu
sulit. Dalam Permenristekdikti No.20/tahun 2017 pasal 4 menyebutkan bahwa seorang
dosen dengan pangkat Lektor Kepala harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah
yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi atau satu karya ilmiah yang diterbitkan
jurnal internasional. Mengingat beratnya syarat tersebut, dosen yang berposisi Lektor Kepala
dan Guru Besar “berniat” turun ke Lektor yang tidak memiliki kewajiban berat (Asyari,
2017). Persoalan muncul ketika untuk menembus jurnal bereputasi internasional
dibutuhkan kerja keras, waktu dan biaya yang tidak sedikit terutama untuk mengirim artikel
ke jurnal yang berbayar. Tekanan ini akan mempengaruhi dosen dalam menghasilkan
penelitian yang berkualitas sehingga akan meningkatkan potensi terjadinya kecurangan
akademik.
2. Opportunity
Peluang (Opportunity) merupakan suatu situasi ketika seseorang merasa memiliki
kombinasi situasi dan kondisi yang memungkinkan dalam melakukan kecurangan dan
kecurangan tidak terdeteksi (Albrecht, 2003). Peluang kecurangan pada mahasiswa muncul
ketika dosen mengabaikan kecurangan selama ujian dan tidak membuat perjanjian tentang
plagiarisme (Fitriana dan Baridwan, 2012). Dalam hal tindakan plagiarisme, adanya
kecanggihan teknologi dan informasi memudahkan mahasiswa untuk meng-copy paste
kutipan orang lain tanpa menyebutkan sumbernya (Forgas dan Negre, 2010).
Peluang untuk melakukan kecurangan pada mahasiswa terjadi ketika dosen tidak
melakukan pengecekan terhadap plagiarisme, dosen tidak mengubah pola tugas-tugas
maupun ujian yang diberikan kepada kelompok mahasiswa yang berbeda, mahasiswa
mengamati lingkungannya juga melakukan kecurangan dan dosen tidak melakukan
pencegahan terhadap tindak kecurangan (Fitriana dan Baridwan, 2012).
Demikian halnya ketika dosen mengirimkan artikelnya ke jurnal untuk kenaikan
pangkat dibutuhkan tes untuk menguji orisinalitas tulisan. Saat ini banyak jurnal sudah
menggunakan aplikasi pendeteksi plagiarisme dalam menyaring tulisan-tulisan yang masuk
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

53
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

ke meja redaksi sebelum tulisan tersebut direview oleh mitra bebestari. Panitia penyelenggara
kegiatan seminar maupun konferensi juga memberlakukan syarat originalitas tulisan untuk
dapat masuk dalam prosiding yang akan diterbitkan. Tindakan ini menjadi awal yang baik
untuk mencegah plagiarisme sehingga ketika dosen mengajukan karyanya untuk keperluan
kepangkatan maka tulisan-tulisan mereka bisa dipastikan telah lolos uji originalitas.
3. Rationalization
Rasionalisasi adalah pembenaran terhadap diri sendiri atau terhadap alasan yang salah
untuk suatu perilaku yang salah (Albrecht, 2003). Rasionalisasi ini muncul disebabkan
karena dosen tidak memberikan penjelasan yang cukup mengenai aturan atas perilaku
ketidakujuran dalam perkuliahan. Selain itu tidak adanya sanksi yang tegas atas tindak
kecurangan ini mengakibatkan mahasiswa merasa tindakannya adalah benar. Kecurangan ini
akan semakin meningkat jika fakultas tidak memberikan sanksi yang tegas (Fitriana dan
Baridwan, 2012). Dalam hal plagiarisme, institusi akan memberikan sanksi berupa
pencopotan gelar akademik untuk kecurangan tugas akhir skripsi, tesis maupun disertasi.
Sedangkan dalam hal kenaikan pangkat, dosen akan diturunkan kepangkatannya dan dicabut
tunjangan sertifikasinya jika ditemukan unsur plagiarisme dalam karyanya. Aturan tersebut
hendaknya disertai dengan tindakan yang tegas. Ketika sebuah kasus plagiarisme dibiarkan
saja maka dikhawatirkan akan menjadi hal yang biasa dalam kehidupan akademik sehingga
menjadi sebuah pembenaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraud triangle mempengaruhi tindak kecurangan
akademik mahasiswa (Fitriana dan Baridwan, 2012), (Apriani, Sujana dan Sulindawati,
2017). Pada penelitian Primasari, Suhendro dan Masitoh (2017) menghasilkan kesimpulan
yang berbeda karena hanya faktor peluang dan kemampuan individu yang mempengaruhi
kecurangan akademik, sedangkan faktor tekanan dan rasionalitas tidak menunjukkan
pengaruh secara statistik.

Penutup
Literasi digital merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi oleh
kalangan akademisi dalam era perkembangan teknologi dan komunikasi yang super cepat ini.
Terdapat pergeseran penggunaan referensi dari bentuk fisik ke digital melalui berbagai
aplikasi piranti keras dan piranti lunak yang dapat diperoleh dengan mudah melalui gadget.
Berbagai macam referensi jurnal online, e-book, wikipedia, google schoolar, dsb
memudahkan akademisi dalam menulis atau pun menyusun penelitian. Segala kemudahan
teknologi tersebut juga menambah resiko adanya kecurangan seperti plagiarisme.
Faktor penyebab kecurangan yang pertama dalam fraud triangle menyebutkan bahwa
adanya tekanan (incentive) dari dalam diri sendiri untuk mendapatkan IPK yang baik,
maupun tuntutan dari orang tua dan dosen untuk memenuhi tugas perkuliahan. Sedangkan
bagi seorang dosen, tuntutan untuk melakukan publikasi internasional menjadikan tekanan
tersendiri. Kecurangan akademik juga dipicu oleh adanya peluang ( opportunity) berupa
kemudahan teknologi informasi untuk mendapatkan sumber referensi dalam menulis.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

54
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Peluang ini bertambah besar ketika tidak ada upaya untuk mengecek plagiarisme dalam
penulisan. Faktor ketiga yaitu rasionalisasi (rationalization) bahwa tindakan kecurangan
tersebut dinilai benar ketika lingkungan di sekitarnya juga melakukan tindakan yang sama
tanpa ada sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
Tulisan ini memberi implikasi bahwa pentingnya akademisi untuk memiliki literasi
digital dalam menghadapi pesatnya perkembangan teknologi saat ini. Canggihnya teknologi
dapat memperbesar peluang terjadinya kecurangan plagiarisme, namun dengan adanya
aplikasi plagiarism checker akan memperkecil peluang tersebut. Bagi pengambil kebijakan,
artikel ini dapat menjadi masukan pentingnya penegakan sanksi pelanggaran akademik.

Daftar Pustaka
Albrecht, W.S. 2003. Fraud Examination. Thomson South-Western. USA.
Apriani, Nidya., Sujana, Edy., dan Sulindawati, I Gede Erni., Pengaruh Pressure,
Opportunity dan Rationalization terhadap Kecurangan Akademik (Studi Empirik:
Mahasiswa Akuntansi Program S1 Universitas Pendidikan Ganesha. E-jurnal S1 Ak
Vol. 7 (1) tahun 2017
Asyari. 2017. Analisis Ekonomi Efek Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017.
kampus.iainbukittinggi.ac.id/index.php/component/k2/item/305-analisis-
ekonomi-efek-permenristekdikti-no20-tahun-2017 dikunjungi 25 April 2018
Bolin, A.U. 2004. Self Control, Perceived Opportunity, and Attitudes as Predictors of
Academic Dishonesty. The Journal of Psychology 132(2). H.101- 114.
Djiwandono, Patrisius Istiarto. 2017. Literasi Dunia Maya dan Kegagapan Akademik.
Disajikan di Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa dan Sastra (SELASAR 2) di
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, 20 April 2017
Donald, M. 1991. Origins of the modern mind: three stages in the evolution of culture and
cognition. Cambridge MA: Harvard University Press.
Fitriana, Annisa dan Baridwan, Zaki. 2012. Perilaku Kecurangan Akademik Mahasiswa
Akuntansi: Dimensi Fraud Triangle. Jurnal Akuntani Multiparadigma. Vol. 3 (2), h.
242-254.
Forgas dan Negre. 2010. Academic Explanatory Factors from Students. Journal Academic
Ethics 8. H.217-232.
King, C. 2009. Online Exams and Cheating : An Empirical Analysis in Business Students’
Views. Journal of Educators Online, Vol.6 (1) January
McCabe dan Trevino. 2001. Cheating in Academic Instituions: A Decade of Research.
Ethics and Behavior, 11(3) h. 219-232.
Primasari, Dyah Noviana., Suhendro., Masitoh, Endang W,. Perilaku Kecurangan Akademik
Mahasiswa Akuntansi dengan Menggunakan Dimensi Fraud Diamond. Jurnal
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

55
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Akuntansi dan Sistem Teknologi Informasi, Vol 13, Edisi Khusus April 2017, h.
118-126.
Suragangga, I Made Ngurah, 2017, Mendidik Lewat Literasi untuk Pendidikan Berkualitas,
Jurnal Penjaminan Mutu LPM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Vol. 3 (2),
h. 154-163.
Wijayanti, Hasna. 2017. Cara Cek Plagiarisme: Daftar Aplikasi Cek Plagiat yang Bisa Anda
Coba! https//portal-ilmu.com/cara-cek-plagiarisme/ dikunjungi 25 April 2018

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

56
Arip Suprasetio, Sari Narulita, Rihlah Nur Aulia
Universitas Negeri Jakarta
e-mail: aripsuprasetio_IAI15@mahasiswaunj.ac.id, sari-narulita@unj.ac.id, rihlah-
nuraulia@unj.ac.id

Abstract. Today's youth are potentially affected by westernization, which is influenced by western
culture; but unfortunately, the culture in question is not a positive culture. Therefore, many found
youth easy to do things beyond the limit such as free sex, brawl, drinking, and others. Interestingly,
the youth of the desired character adapted from the information they found in the various social
media they possessed. This article aims to provide information on the concept of character
formation through religious tourism programs in social media; especially from various studies, this
program can increase the spirituality of youth and make it away from the frenetic life.

Keywords: Youth, Social Media, Religious Tourism

Abstrak. Pemuda masa kini sangat berpotensi terpengaruh dengan westernisasi, yakni terpengaruh
dengan budaya barat; namun sayangnya budaya yang dimaksud bukanlah budaya yang positif.
Karenanya, banyak ditemukan pemuda mudah k melakukan hal-hal yang diluar batas seperti
melakukan seks bebas, tawuran, minum-minuman keras dan yang lainnya. Menariknya, jauhnya
pemuda dari karakter yang diinginkan tersebut justru mengadopsi dari informasi yang mereka
temukan di berbagai sosial media yang mereka miliki. Artikel ini bertujuan memberikan informasi
akan konsep pembentukan karakter melalui program wisata religi di media sosial; terlebih dari
berbagai penelitian, program ini mampu meningkatkan spiritualitas pemuda dan membuatnya
menjauh dari hingar bingar kehidupan.

Kata Kunci : Pemuda, Media Sosial, Wisata Religi.

Pendahuluan
Pemuda merupakan aset bangsa yang sangat berharga. Keberadaannya merupakan penerus
pemimpin bangsa. Untuk mampu menjadi pemimpin yang memperjuangkan keadilan dan
kedamaian bagi sesama, pemuda harus memilik karakter yang baik; dan bukanlah sesuatu
yang mudah untuk memilikinya, khususnya dikala sebagian pemuda lebih cenderung suka
bersenang-senang dan hura-hura semata.
Di zaman milenial, yang mana media sosial mendominasi kegiatan khususnya di kalangan
pemuda, beragam informasi positif dan negatif menjadi sangat mudah diakses. Namun
sayangnya kebanyakan pemuda lebih cenderung mempergunakan media sosial untuk hal-hal
yang negatif karena besarnya pengaruh westernisasi. Istilah westernisasi ini merupakan sebuah
istilah yang bermakna kebarat-baratan, paham yang menitikberatkan pada kebebasan, dan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

karenanya berdampak pada kebiasaan melakukan hal-hal yang diluar batas etika masayarakat
setempatnya seperti melakukan seks bebas, tawuran, minum-minuman keras dan yang lainnya.
Menariknya, salah satu hal yang ditawarkan mampu meningkatkan karakter pemuda
dalam dunia yang penuh glamour dan kebebasan tanpa batas adalah satu kegiatan yang
dianggap kolot. Program wisata religi banyak ditawarkan agar mampu mendalami makna
kehidupan dengan baik. Namun realitasnya, banyak pemuda belum mampu mendapatkan
manfaat optimalnya dan hal ini dikarenakan mereka hanya sekedar datang dengan ketergesaan
tanpa mampu melakukan dengan penuh penghayatan saat melakukan wisata religi.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, optimal dalam melakukan wisata religi bisa dilakukan
dengan cara saling berbagi pengalaman di media sosial. Sehingga artikel ini bertujuan
memberikan informasi akan konsep pembentukan karakter melalui program wisata religi
dengan baik di media sosial sehingga mampu membentuk karekter pemuda; terlebih dari
berbagai penelitian, program ini mampu meningkatkan spiritualitas pemuda dan membuatnya
menjauh dari hingar bingar kehidupan.
Peran media sosial sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter pemuda; karena
tidak bisa dipungkiri bahwa semua arus informasi masuk ke dalam media sosial; dan
konsumen terbesar dari berkembangnya media sosial yaitu para pemuda. Data yang di lansir
asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia (APJJI) dari hasil survei melaporkan bahwa
256.2 juta orang di Indonesia menggunakan internet dari setengahnya yaitu 132.7 juta jiwa,
sedangkan untuk usia remaja 23,8 juta jiwa. Dengan angka yang cukup fantastis ini membuat
Indonesia berada dalam cekaman media sosial, karena setengah dari penduduknya
mengunakan jasa media sosial dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi (Tawaulu,
2017).
Data di atas menunjukkan pengguna media sosial untuk kalangan pemuda tak kalah
besarnya, dengan angka 23,8 juta jiwa atau 18% persen dari penduduk Indonesia, apalagi
diwilayah ibu kota Jakarta hampir setiap pemuda mempunyai media sosial, ini membuktikan
bahwa media sosial turut mengambil peran dalam membentuk karakter generasi muda, di
tambah dengan dampak yang begitu signifikan di lihat dari sisi positif maupun negatifnya.
Dampak positif tampak dari kemampuan pemuda dalam belajar meningkatkan dan
mengembangkan keterampilan teknis dan sosial yang memang sangat di butuhkan dalam
zaman digital sekarang ini. Namun dampak negatif media sosial bisa didapatkan saat
pemuda cenderung menonton video porno dan mengkonsumsi berita-berita hoax.
Wisata religi dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat peninggalan sejarah Islam
ataupun berziarah ke makam-makan para ulama, kyai ataupun tokoh-tokoh masyarakat.
Potensi wisata ziarah atau wisata religi di Negara Indonesia sangatlah besar. Hal ini
dikarenakan sejak dulu Indonesia dikenal sebagai Negara religius. Banyak bangunan atau
tempat bersejarah yang memiliki arti khusus bagi umat beragama, merupakan sebuah potensi
tersendiri bagi berkembangnya wisata religi (Ulung, 2002).
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

58
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Jadi menurut peneliti wisata religi di bagi menjadi dua yaitu pertama wisata religi masjid
seperti Masjid Istiqlal, Masjid Sunda Kelapa, Masjid At Tin, dan lain-lain. Kedua wisata
religi ziarah kubur yaitu makam para ulama seperti Makam Keramat Luar Batang, Makam
Keramat Mbah Priuk, Makam Habib Kwitang, dan yang lainnya.
Terkait dengan ziarah ini Seh Sulhawi el-Gamel dalam bukunya menjelaskan bahwa
dalam pelaksanaan ziarah sesungguhnya terkandung misi lain, yaitu sebuah bentuk ajakan
kepada umat Islam dan umat beragama lainnya, bahwa alam barzah akan menjadi satu
destinasi setelah kehidupan. Dengan demikian, mengingat kematian dan menyiapkan
bekalnya menjadi satu kebutuhan hingga tidak mudah lengah dan terpedaya dalam hidup
yang terkesan serba indah dan penuh kemewahan. Hal tersebut didukung dengan
dibolehkannya ziarah kubur oleh Nabi Muhammad SAW dengan tujuan untuk mengingat
mati dan mendoakan arwah yang sudah ada di alam barzah (el-Gamel, 2008). Wisata religi
ziarah dapat mengintropeksi diri bahwa setiap yang bernyawa pasti meninggal. Sehingga
setiap pemuda ketika ziarah kubur akan terus mengintropeksi dirinya dan manjadi baik serta
membentuk karakter yang baik.

Metode
Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian deskriptif kualitatif dimana peneliti
berusaha menggali informasi sebanyak mungkin tentang persoalan yang menjadi topik
penelitian dengan mengutamakan data-data verbal. Penelitian ini menggunakan pendekatan
fenomenologis. Penelitian dengan pendekatan fenomenologi berusaha untuk memahami
makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasinya yang khusus. Bogdan
& Biklen, 1982 (Sutopo, 2002) menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologis menekankan
pada berbagai aspek subjektif dari perilaku manusia supaya dapat memahami tentang
bagaimana dan apa makna yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa dalam kehidupan
mereka sehari-hari.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih sampel beberapa pengurus organisasi keagamaan
seperti MATAN (Mahasiswa Ahlith Thoriqoh al Mu’tabaroh an Nahdliyah), PMII
(pergerekan Mahasiswa Islam Indonesia), LDK (Lembaga Dakwah Kampus), Majelis Ta’lim,
dan pengunjung wisata religi. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan metode
wawancara, dokumentasi dan observasi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian
ini adalah purposive sampling.

Hasil dan Pembahasan


Bagian ini akan mendeskripsikan temuan penelitian mengenai peran media sosial dalam
membentuk karakter pemuda melalui program wisata religi. Pemuda yang dimaksud adalah
pemuda yang berada di wilayah DKI Jakarta dan wisata religi yang dimaksud yaitu yang
berada di DKI Jakarta.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

59
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pemuda yang melakukan wisata religi dalam penelitian ini, umumnya baru dalam taraf
mengikuti kebiasaan yang ada saja sehingga terkesan hanya melihat-lihat dan tidak
mengetahui apa yang harus dilakukannya. Karenanya, wisata religi yang dilakukan tidak
berdampak sedikit pun pada karakter dan kepribadiannya selain meninggalkan rasa lelah dan
capek. Idealnya, bila ia mampu mengoptimalkan kunjungan wisata religi dengan baik dan
berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan masjid ataupun
mengetahui/memahami tata cara wisata religi ziarah kubur, maka tentunya ia akan mampu
merasakan pengalaman terbaik dan berimbas pada peningkatan karakter dalam dirinya
sebagaimana diungkapkan dalam suatu penelitian yang menyatakan bahwa wisata religi
dianggap mampu meningkatkan karakter religiusitas; dengan gambaran sebagai berikut
(Narulita Dkk, 2017),
1. Peran wisata religi dalam meningkatkan religious practice
Kegiatan yang dilakukan selama wisata religi umumnya didominasi dengan ritual
ibadah baik itu shalat ataupun membaca al-Qur’an. Karenanya, keterlibatan seseorang
dalam kegiatan wisata religi akan membuatnya terbiasa melakukan banyak ritual dan
ibadah
2. Peran wisata religi dalam meningkatkan religious belief
Orang yang melakukan wisata religi umumnya adalah yang memiliki keyakinan
kepada Allah; dan semakin kuat di kala ia melihat banyak orang melakukan hal yang
sama bahkan lebih. Di kala ia melihat betapa banyak khalayak umum yang rela
bermalam untuk bermunajat, maka disaat itulah keyakinannya makin kuat
3. Peran wisata religi dalam meningkatkan religious knowledge
Seseorang yang melakukan wisata religi pun umumnya terlibat dalam kajian
keagamaan yang dibawakan oleh ustadz yang ditugaskan. Karenanya, dengan semakin
sering melakukan wisata religi, maka semakin banyak kajian dan wawasan keagamaan
yang didapatkannya.
4. Peran wisata religi dalam meningkatkan religious feeling
Para responden yang terbiasa melakukan wisata religi dan bahkan terkadang sangat
terlibat dalam kegiatan yang ada, maka akan memiliki ikatan rasa yang kuat dengan
agamanya. Dikala malam hari, di kala ia bermunajat, maka keterikatan akan agamanya
menjadi semakin terasa. Disaat itulah, ia akan merasakan ketenangan dan kedamaian
dikala ia berdoa dengan khusu’nya disaat kebanyakan orang tertidur pulas di malam
hari.
5. Peran wisata religi dalam meningkatkan religious effect
Para responden yang terbiasa melakukan wisata religi umumnya menjadi lebih mampu
berinteraksi dengan baik dengan sesamanya. Hal ini selaras dengan penelitian Umi
Khumaeroh yang menggambarkan bahwa para responden dalam penelitiannya

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

60
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

merasakan perubahan sikapnya kepada sesama setelah banyak melakukan kunjungan


wisata religi (Khumaeroh Dkk, 2017).
Peningkatan karakter religius diatas dalam wisata religi hanya bisa didapatkan bila wisata
yang dimaksud tidak sekedar hanya melihat-lihat semata. Namun juga disertai dengan
keterlibatan dan partisipasi aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Masjid.
Bahkan terkadang, religious feeling akan lebih dirasakan dikeheningan malam, dikala
melakukan munajat dan shalat malam. Beberapa masjid yang senantiasa memfasilitasi
pengunjungnya dengan kegiatan malam adalah Masjid Luar Batang dan juga Masjid Sunda
Kelapa. (Narulita Dkk, 2017)
Dalam penjelasan tersebut bahwa wisata religi dapat membentuk karakter yang baik.
Namun kenyataannya ketika pemuda melakukan wisata religi tidak ada perubahan yang ada
pada dirinya. Itu semua disebabkan karena melakukanya belum optimal.
Sehingga peneliti menggunakan wadah media sosial untuk mengajak dan mengajarkan tata
cara wisata religi dengan baik dan benar. Hal ini dikarenakan media sosial berjasa besar
sebagai penyambung komunikasi antar kelompok yang secara fisik dan geografis berjauhan,
bahkan hingga ribuan kilometer. Teknologi internet dan akses mudah media sosial melipat
jarak secara fleksibel, dengan pesan teks, audio dan audio visual yang semakin canggih
(Chabibie, 2017)
Langkah awal yaitu mengajak para pemuda yang telah melakukan wisata religi dengan
baik dan benar untuk membagikan pengalamannya dan hal-hal yang ia alami ketika telah
melakukan wisata religi ke media sosial. Agar memotivasi pemuda yang lainnya untuk
melakukan hal yang serupa. Selanjutnya mengajak pemuda yang ingin wisata religi
memanfaatkan media sosial dengan hal-hal yang bermanfaat seperti bergabung ke grup
whatsApp, telegram, line, dan media sosial online lainnya yang membahas manfaat wisata
religi, hikmah wisata religi, anjuran wisata religi, dan tata cara wisata religi.
Peneliti menganjurkan ketika ingin melakukan wisata religi ziarah kubur sebaiknya
pahami terlebih dahulu hal apa saja yang perlu dilakukan. Para penziarah bisa memanfaatkan
website yang membahas hal tersebut seperti web,
http://www.santrius.com/2016/05/ziarah-kubur.html, http://www.aktual.com/tata-cara-
melakukan-ziarah-kubur/, https://dalamislam.com/info-islami/tata-cara-ziarah-kubur,
http://rukun-islam.com/doa-ziarah-kubur/.
Inilah beberapa web yang dapat diakses untuk mengetahui/memahami ketika ingin
melakukan wisata religi ziarah kubur. Sehingga wisata religi yang dilakukannya akan berubah
yang tadinya hanya melihat-lihat, ikut-ikutan, dan tidak berperan aktif. Setalah mengetahui
dan memahami informasi tentang wisata religi dengan baik yang didapatkannya melalui
media sosial. Hal tersebut berdampak postif bagi pemuda yang akhirnya memberikan
manfaat bagi dirinya dan orang lain dalam membentuk karakter yang lebih baik.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

61
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Jadi ketika pemuda tersebut telah melakukan wisata religi sesuai dengan petunjuk lalu
membagikannya dampak positif dari wisata religi yaitu pembentukan karakter ke media sosial
untuk diikuti oleh pemuda yang lainnya. Ini menjadi amal kebaikan yang tiada hentinya.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan data dan pembahasan mengenai peran media sosial dalam membentuk
karakter pemuda melalui media sosial menyimpulkan bahwa membentuk karakter pemuda
bukanlah hal yang mudah namun dibutuhkan proses serta kreatifitas untuk sampai ke arah
tersebut. Peneliti menggabungkan komponen wisata religi dan media sosial agar mudah
dipahami oleh pemuda untuk membentuk karakter yang baik.

Saran
Dibutuhkan kemauan dan kesediaan bagi mereka yang telah mendapatkan
pengalaman positif dari kunjungan wisata religinya untuk dapat berbagi akan pengalamannya
tersebut sehingga harapan untuk dapat meningkatkan karakter pemuda melalui wisata religi
akan dapat dipenuhi.

Daftar Pustaka
el-Gamel, S. S. (2008). Kebajikan dan Kebijakan Emha Sheh Harto,. Sidoarjo: Garisi.
Chabibie, M.Hasan. (2017). Literasi Digital : Inspirasi Media Digital untuk Transformasi
Pendidikan. Jakarta : Pustekkom Kemdikbud dan Penerbit NusantaraPro
Sari, N., Wajdi, F., & Narulita, S. (2018, January 1). Peningkatan Spiritualitas melalui
Wisata Religi di Makam Keramat Kwitang Jakarta. Jurnal Studi Al-Qur’an, 14(1), 44 -
58. https://doi.org/https://doi.org/10.21009/JSQ.014.1.04
Sari Narulita, Rihlah Nur Aulia, Firdaus Wajdi & Umi Khumaeroh. (2017). Pembentukan
Karakter Religius Melalui Wisata Religi . Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Vol. 1 No. 1, 166.
Sutopo, HB. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press
Tawaulu, A. (2017, September 13). kompasiana. Retrieved Mei 5, 2017, from kompasiana:
https://www.kompasiana.com/pojokjalan/59b81bc6830de00acf4b98f2/peranan-
media-sosial-dalam-membentuk-karakter-generasi-muda
Ulung, G. (2002). Wisata Religi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Umi Khumaeroh, Sari Narulita & Rihlah Nur Aulia. (2017). The Improvement of
Intrapersonal Communication Through Religious Tourism. UUM Malaysia:
Proceedings International Conference on Media Studies, 419 - 425.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

62
Asep Ediana Latip
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-maill: asep.ediana@uinjkt.ac.id
Abstract: In general, every human being is a dynamic individual, every time has the probability to
change optimally or vice versa, including MI / SD aged children who are psychologically in a critical
development phase which each stage becomes the hope and support for optimal change. Optimal
development of primary education age in order to realize social expectation or taks of development
can be done effectively if deep understanding of the characteristics of its development.
Characteristics of the development of students of MI / SD age children can be understood by
mengklasifikasinya on physical and psychological entity or consists of several aspects of development
include the characteristics of cognitive development, affective, physical-motor, intelligence, creativity,
independence, religion, moral, social, and others etc. Each characteristic of these developments
illustrates the skills possessed by learners at the primary level of education so that it can make it
easier for the educator, parents and for the child to develop and provide scaffolding for the
development and achievement of the various skills contained in each aspect its development.

Key word: literacy, Development of Learners, and Primary Education

Pendahuluan
Guru kelas hendaknya mengembangkan kemampuan literatifnya terutama terhadap peserta
didik karena tugas utama professional guru kelas adalah mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar
MI/SD. Untuk dapat menjalankan tugas professional tersebut, seorang guru kelas
disyaratkan untuk dapat memiliki kompetensi. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi standard yang sejatinya dimiliki oleh guru
kelas terdiri dari pedagogic, professional, kepribadian dan social.
Kompetensi Pedagogik dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3)
butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan
dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian dalam Standar Nasional Pendidikan, yang tercantum dalam Pasal
28 ayat (3) butir b, dikemukakan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
Kompetensi profesional dalam Standar Nasional Pendidikan, yang tercantum dalam Pasal
28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud kompetensi rofesional adalah
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan membimbing pesrta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan
dalam Standar Nasional Pendidikan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kompetensi sosial dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir d
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru
sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar.
Dalam proses pembelajaran, kompetensi tersebtu sejatinya terealisasi secara holistic sebagai
seorang guru kelas. Namun pada kenyataannya banyak guru yang belum memiliki seutuhnya
kompetensi. Dalam kompetensi pedagogic, guru sedikit sekali yang memahami karakteristik
peserta didik sebagai subjek belajarnya. Padahal ruh keberhasilan pembelajaran adalah
tentang pemahaman guru terhadap karakteristik peserta didik. Dari pemahaman inilah, guru
dapat mentapkan strategi pembelajaran, kedalaman dan keluasan materi ajar dan media
pembelajaran yang akan digunakan. Sangat penting untuk memahami karakteristik
perkembangan peserta didik pada jenjang pendidikan dasar MI/SD. Bagaikamanakah
karakteristik perkembangan anak pada jenjang pendidikan dasar MI/SD?

Pembahasan
Makna Perkembangan Anak Usia MI/SD
Istilah perkembangan dalam konteks psikologi perkembangan bermakna perubahan
progresif dan simultan sepanjang rentang kehidupan. Progresif berarti orientasi
perkembangan setiap manusia adalah kematangan (maturation). Kematangan dijelaskan oleh
Chaplin (Desmita, 2009: 6) sebagai 1. Perkembangan, proses mencapai kemasakan/usia
masak, 2. Proses perkembangan, yang dianggap berasal dari keturunan, atau merupakan
tingkah laku khusus spesies (jenis, rumpun). Simultan berarti orientasi perkembangan setiap
manusia ibarat mata rantai tali temali tidak terputus sepanjang rentang kehidupan menuju
perkembangan yang optimal. Perkembangan yang optimal artinya adanya harmoni yang
terjadi secara linear dari entitas fisik dan psikis sehingga semua terkoordinasi dalam prilaku
yang terarah dan bertujuan. Konsep perkembangan yang diilustrasikan di atas sebetulnya
mengakar pada definisi yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang psikologi
perkembangan di antaranya:
1. Hurlock (1980: 2) mendefinisikan perkembangan adalah serangkaian perubahan
progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.
2. Santrock (2007: 7) mendefinisikan perkembangan adalah pola perubahan yang dimulai
sejak pembuahan, yang berlanjut sepanjang rentang hidup.
3. Cahplin (Desmita, 2009: 4) mendefinisikan perkembangan sebagai a. perubahan
organisme, dari lahir sampai mati, b. pertumbuhan, c. perubahan dalam bentuk dan
dalam integrasi dari bagian-bagian jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional, d.
kedewasaan atau kemunculan pola-pola asasi dari tingkah laku yang tidak pelajari.
4. F.J. Monks, dkk. (Desmita, 2009: 4) menjelaskan makna perkembangan sebagai suatu
proses kearah yang lebih sempurna dan tidak dapat diulang kembali.
Definisi di atas menggambarkan peran, waktu, karakteristik dan pola dalam proses
perkembangan manusia yang sifatnya dinamis. Yang berperan dalam proses perkembangan
adalah kematangan dan pengalaman. Kematangan dan pengalaman dua sisi yang tidak bisa

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

64
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dipisahkan dalam memainkan perannya dalam proses optimalsiasi perkembangan, karena itu
melahirkan hubungan fungsi phylognetik dan fungsi ontogenetic. Hurlock (1980: 6)
menjelaskan bahwa fungsi phylogenetik adalah fungsi kematangan yang lahir dari sifat-sifat
bawaan seperti merangkak, duduk, dan berjalan. Ontogenetic merupakan proses
perkembangan yang lahir dari pengalaman atau belajar. Belajar biasanya diwujudkan dalam
bentuk usaha dan latihan pada setiap individu seperti menulis, mengemudi, dan berenang.
Waktu terjadinya proses perkembangan dimulai dari sejak pembuahan dan sepanjang
rentang kehidupan, hal ini tergambar dalam teorinya Piaget (Desmita, 2009: 130) yang
menjelaskan tahapan perkembangan kognitif dari masa praoperasional sampai usia
operasional formal.
Karakteristik yang mengiringi terjadinya proses perkembangan pada manusia adalah
berlangsung secara bertahap dan terintegrasi. Bertahap artinya perkembangan mengalami
proses equilibrium dan disequilibrium. Tahapan perkembangan equilibrium adalah tahapan
perkembangan individu yang mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan dan
akhirnya, berhasil mengadakan penyesuaian pribadi dan social yang baik. Tahapan
disequlibrium adalah tahapan kesulitan dalam penyesuaian pribadi dan social yang
memperburuk proses perkembangan.
Pola dalam proses perkembangan manusia adalah perubahan menuju kesempurnaan.
Kesempurnaan dalam perkembangan mengikuti pola perkembangan yang disebut dengan
hukum arah perkembangan. Hukum arah perkembangan terdiri dari hukum chepalochaudal
dan hukum proximoditsal. Hukum chepalochaudal adalah proses perkembangan yang
menyebar ke seluruh tubuh dari kepala ke kaki dan hukum proximoditsal adalah proses
perkembangan menyebar keluar dari titik poros sentral tubuh ke anggota-anggota tubuh
(Hurlock, 1998: 7).

Karakteristik Perkembangan Anak Usia MI/SD


Peserta didik sebagai bagian integral dalam proses pembelajaran yang menjadi subjek
pembelajar harus difahami secara mendalam oleh pendidik untuk mendukung dan
mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggungjawab (UUSPN No. 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 3).
Berdasarkan pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas pendidik sejatinya
memahami karakteristik perkembangan moral peserta didik, perkembangan agama peserta
didik, perkembangan fisik peserta didik, perkembangan intelegensi peserta didik,
perkembangan kreativitas peserta didik, perkembangan kemandirian peserta didik,
perkembangan kepribadian peserta didik, perkembangan bakat peserta didik dan
perkembangan social peserta didik.
Dalam konteks hasil belajar atau tujuan instruksional (instructional obejective), selain
mencapai tujuan pendidikan nasional di atas, pendidik harus berupaya mefasilitasi peserta
didik untuk mengembangkan hasil belajar pada upaya pencapaian kompetensi (competency
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

65
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

achievement) atau proses pembelajaran yang berbasis pada kompetensi (competency based
learning) yang dikenal dalam kurikulum 2004 sebagai kurikulum berbasis kompetensi
(competency based curriculum). Kompetensi adalah perpaduan dari pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak
(Mulyasa, 2002: 37). McAshan (1981: Mulyasa, 2002: 38) menjelaskan bahwa kompetensi
… is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become
part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive,
affective, and psychomotor behavior. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi
bagian dari dirinya, sehingga dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan
psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, karakteristik peserta didik yang perlu difahami oleh pendidik
dalam konteks upaya pencapaian kebutuhan pendidikan saat ini (education needs
achievement) adalah perkembangan kognitif, afektif, fisik-motorik, moral, intelegensi,
kreativitas, kemandirian, kepribadian, social, dan agama. Karkateristik pada setiap aspek
perkembangan peserta didik ini, akan diidentifikasi berdasarkan teori yang melandasinya,
yaitu sebagai berikut:

Karakteristik Perkembangan Kognitif


Menurut teori perkembangan kognitif Piaget (Santrock, 2007: 255), kemampuan
kognitif peserta didik anak usia MI/SD bermuara pada kemampuan berpikir operasional
konkrit. Karakteristik kemampuan kognitif pada tahapan berpikir operasional konkrit
adalah
a. Berkembangnya nalar logis, misalnya jika rajin belajar, maka hasil belajar meningkat.
b. Berkemangnya tindakan mental dua arah (reversible) atau berpikir paradoksal (paradox
of understanding/mafhum mukhalafah)
c. Berkembangnya kemampuan berpikir konservasi (volume, berat, isi, jumlah, massa)
d. Berkembangnya kemampuan berpikir klasifikasi atau mengumpulkan berdasarkan
kesamaan ciri-ciri dari objek yang dikumpulkan
e. Berkembangnya kemampuan berpikir seriasi (seriation) atau mengurutkan dari pendek
sampai yang terpanjang atau sebaliknya
f. Berkembanganya kemampuan berpikir transitivity atau keterhubungan logis atau relasi
gabungan secara logis, jika ada A tongkat terpanjang, B tongkat lebih pendek, dan C
Paling pendek, maka A lebih panjang dari C.
Karakteristik kognitif anak usia MI/SD yang berada pada fase operasional konkrit,
tidak serta merta memiliki kemampuan di atas, tetapi memiliki kemungkinan besar untuk
mencapainya atau peserta didik akan menemukan kesulitan untuk mencapainya. Kondisi ini
disebut oleh Vigotsky (Santrock, 2007: 264) berada pada zona perkembangan proksimal
(Zona of Proximal Develoment/ZPD). Untuk melewati zona tersebut, Vigotsky (Santrock,
2007: 265) menawarkan konsep layanan untuk keluar dari zona sulit tersebut yaitu dengan
memberikan dukungan komunikatif yang variatif atau disebut dengan scaffolding.
Scaffolding dapat dilakukan dengan proses dialog, inner speech (berbicara secara mental),
dan private speech (berbicara pada diri sendiri).
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

66
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Karakteristik Perkembangan Afektif


Perkembangan afektif ini sejalan dan sejalin dengan perkembangan emosi. Seperti
klasifikasi perkembangan afektif menurut Sunarto (2008: 147) yang terdiri dari
perkembangan emosi, nilai, moral, dan sikap. Oleh karena itu salah satu karakteristik
perkembangan afektif ini akan didasarkan pada teori perkembangan emosi. Perkembangan
emosi seseorang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasannya sehingga disebut dengan kecerdasan
emosi (Emotional Question/EQ). Kecerdasan emosi yang dikembangkan oleh Daniel
Goleman (1995, Desmita, 2009: 170) yaitu terdiri dari lima karakteristik kemampaun
penting, yaitu:
a. Mengenali emosi diri – kesadaran diri (knowing one’s emotions – self-awarness)
b. Mengelola emosi (managing emotions)
c. Motivasi diri (Motivating oneself)
d. Mengenali emosi orang lain (recognizing emotions in other)
e. Memibina hubungan (handling relationship)
Perkembangan afektif yang didalamnya terdapat perkembangan emosi dalam
pandangan kontemporer, memiliki kontribusi signifikan terhadap kesuksesan hidup
seseorang tidak hanya peran kecerdasan intelektual (Intelegence Quetiont/IQ). Seperti yang
disimpulkan oleh Goleman (1995, Desmita, 2009: 170) bahwa setiap manusia memiliki dua
potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan
oleh kemampuan intelektual atau yang popular dengan sebutan Integence Questiont (IQ),
sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh emosi yang dikenal dengan istilah Emotional
Questiont (EQ).

Karakteristik Perkembangan Fisik-Motorik


Perkembangan fisik-motorik merupakan dua entitas yang perubahannya berlangsung
secara simultan karena kematangan perkembangan fisik mendasari optimalisasi
perkembangan motorik. Karakteristik perkembangan keduanya menjadi satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan. Karakteristik fisik-motorik untuk anak usia MI/SD dijelaskan oleh
Desmita (2009: 95. 98, 128, 155) yaitu:
a. Bertambahnya myelination, yaitu suatu proses sel-sel urat saraf otak yang dilapisi sel-sel
lemak yang mendasari pematangan kemampuan motorik anak.
b. Menguatnya otot-otot besar lengan, kaki, dan batang tubuh yang mendasari
berkembangnya keterampilan motorik kasar (gross motor skill)
c. Matangnya otot-otot kecil yang ada di seluruh tubuh yang mendasari berkembangnya
motorik halus (fine motor skill)
d. Terkendalinya reflex moro (moro reflex) adalah suatu respons tiba-tiba sejak bayi sebagai
akibat adanya suara atau gertakan yang mengejutknnya. Bagi sebagian anak usia MI/SD
reflek moro ini mulai terkendali sebagai akibat dari kematangan system saraf.
e. Proses perkembangannya berprinsip pada proses chephalocaudal (dari kepala ke ekor)
artinya urutan perkembangan dimulai dari bagian atas badan lebih dahulu berfungsi dan
terampil digunakan sebelum bagian yang lebih rendah.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

67
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

f. Proses perkembangannya berpinsip pada proses proximoditstal (dari dekat ke jauh),


artinya perkembangan motorik terjadi mulai dari bagian tengah badan lebih dahulu
terampil sebelum bagian-bagian di seklilingnya atau bagian yang lebih jauh.
g. Berkembangnya koordinasi visio-motorik (koordinasi mata dan tangan) yang harmonis
h. Optimalnya system sensorik yang terdiri dari reseptor (sel penerima/detektor) dan sense
(alat indera) dan sensasi (penginderaan) yang mendasari berkembangnya persepesi
(Schneirla, 1957. Desmita, 2009: 100)

Karakteristik Perkembangan Moral


Pada dasarnya manusia tercipta sebagai makhluk social. Dalam interaksi social
manusia membutuhkan dasar moral agar tercipta kehidupan yang harmonis. Seperti
dijelaskan oleh Santrock (1995: Desmita, 2009: 149) bahwa perkembangan moral berkaitan
dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain. Oleh karena itu prilaku bermoral pada setiap individu dapat
dikembangkan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan yang dapat mendukung
optimalisasi perkembangan moral sejatinya memahami karakteristik perkembangan moral
peserta didik. Karakteristik perkembangan moral peserta didik untuk anak usia MI/SD
adalah …
a. Berkembangnya superego (conscience/kata hati) yang mengimbangi konflik Oedipus
(kecemasan, dan kekhawatiran, ketakutan) yang terjadi pada setiap individu (Freud:
Desmita, 2009: 149)
b. Berkembangnya heteronomous morality atau morality of constraint yaitu keyakinan atas
aturan yang bersifat immanen yaitu suatu konsep yang mendasari keyakinan bahwa suatu
aturan dilanggar, hukuman akan dijatuhkan (Teori Piaget; dalam Siefefert & Hoffnung,
1994; Desmita, 2009: 150)
c. Berkembangnya autonomus morality atau moralitiy of cooperation, yaitu kesadaran atas
fungsi aturan dan hukuman yang sifatnya tidak mengikat sehingga apabila tidak nyaman
dengan aturan dan hukuman yang tidak berakibat merusak keamanannya anak bisa saja
membandel dan melepaskan diri dari otoritas (Teori Piaget; dalam Siefefert &
Hoffnung, 1994; Desmita, 2009: 151).
Disamping itu, karakterisik perkembangan moral pada peserta didik dijelaskan juga
secara bertahap oleh Kohlberg (Desmita, 2009: 152) berdasarkan pada orientasi dari
perilaku moral tersebut yaitu:
a. Berkembangnya moral atas orientasi kepatuhan dan hukuman
b. Berkembangnya moral atas orientasi hedonistic-instrumental (bermoral apabila dapat
memenuhi kebutuhan)
c. Berkembangnya moral atas orientasi konvensional (menjadi anak baik apabila
menyenangkan yang lain)
d. Berkembangnya moral atas orientasi keteraturan dan otoritas
e. Berkembangnya moral atas orientasi kontrol social-legalistik
f. Berkembangnya moral atas orientasi keyakinan kata hati

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

68
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Karakteristik Perkembangan Intelegensi


Intelegensi atau kecerdasan adalah keterampilan berpikir dan kemampuan untuk
beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari (Santrock, 2007: 317).
Berdasarkan pengertian ini, intelegensi atau kecerdasan berperan dalam semua konteks
kehidupan yang dinamis sehingga setiap individu pasti memiliki kecerdasan yang mendasari
lingkungan kehidupannya. Oleh karena itu Gardner (Santrock, 2007: 323) mengakui bahwa
setiap individu memiliki kecerdasan ganda. Karakteristik kecerdasan ganda (multiple
intelegence) tersebut terletak pada kepemilikan keahlian sebagai berikut:
a. Memiliki keahlian verbal-linguistik (verbal-linguistic intelegence)
b. Memiliki keahlian logis matematis (logical-mathematical intelegence)
c. Memiliki keahlian visual-spasial (visual-spatial intelegence)
d. Memiliki keahlian kinesntietik-fisik (bodily-kinesthetic intelegence)
e. Memiliki keahlian musical (rytmic intelegence)
f. Memiliki keahlian inter-personal (interpersonal intelegence)
g. Memiliki keahlian intra-personal (intra personal intelegence)
h. Memiliki keahlian natural (naturalistic intelegence)
Selain keahlian di atas, Stenrberg (Santrock, 2007: 323) menambahkan bahwa
kecerdasan anak usia MI/SD khususnya, umumnya setiap individu memiliki karakteristik
kecerdasan yang disebut dengan triarki kecerdasan yaitu kemampuan analisis, kemampuan
kreativitas, dan kemampuan praktis. Kemampuan analisis peserta didik direfleskikan dalam
kemampuan menyimpan informasi, mentransfer informasi, merencanakan dan membuat
keputusan, serta menerjemahkan pemikiran-pemikiran tersebut menjadi perbuatan.
Kemampuan kreativitas direfleksikan pada kemampuan menyelesaikan masalah baru dengan
cepat, dan menangani masalah rutin secara otomatis. Kemampuan praktis direfleksikan
dengan kepandaiannya dalam pergaulan, dan dalam mengatasi persoalan dan kemampuan
membina hubungan dengan baik dengan setiap orang.

Karakteristik Perkembangan Kreativitas


Hasil dari suatu kreativitas ditandai dengan adanya produk yang sifatnya baru
(creation), produk yang sifatnya modifikatif, produk yang sifatnya inovatif (pembaharuan)
dan evolutif (pengembangan) (Nashori & Mucharam; Desmita, 2009: 176). Secara
potensial setiap individu dapat melakukan suatu kreativitas dalam sepanjang hidupnya.
Potensi kreaktivitas peserta didik anak usia MI/SD ditandai dengan karakteristik sebagai
berikut:
a. Berkembangnya potensi berpikir konvergen (convergent thinking) seperti berpikir kritis
(Guilford; Desmita, 2009: 179)
b. Berkembangnya potensi berpikir divergen (divergent thinking) seperti berpikir
imaginatif (Santrock; Desmita, 2009: 179)
c. Berkembangnya kebebasan berpikir (Munandar; Desmita, 2009: 177)
d. Berkembangnya perdisposisi genetis (genetic predisposition), misalnya orang yang
system sensorisnya peka terhadap warna lebih mudah kreatif dalam bidang melukis, dan
orang yang peka terhadap nada lebih mudah kreatif dalam bidang music

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

69
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

e. Berkembangnya kemampuan penyesuaian diri (self adjustment). Kemampuan ini


mempermudah pengembangan kreativitas karena membuka kesempatan berkomunikasi
dan berinteraksi dengan bentuk kreativitas yang dimiliki oleh para ahli (acces to a field)

Karakteristik Perkembangan Kemandirian


Kemandirian atau disebut dengan autonomy (Ali & Asrori, 2009: 110) berarti peduli
terhadap pemenuhan diri (Self fulfillment) (Lovinger; Ali & Arsori, 2009: 116). Pemenuhan
kebutuhan diri dalam konteks kemandirian menurut Maslow (1971; Ali & Asrori, 2009:
111) dibedakan menjadi dua, yaitu kemandirian aman (secure autonomy) dan kemandirian
tidak aman (insecure autonomy). Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan
cinta kasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggungjawab bersama, dan
tumbuh rasa percaya terhadap kehidupan. Sedangkan kemandirian tak aman adalah kekuatan
kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku menentang dunia atau disebut dengan selfish
autonomy atau kemandirian mementingkan diri sendiri. Secara umum karakteristik
kemandirian tergambar dalam istilah yang makna dasarnya relevan dengan “diri”, seperti
yang diinventarisir oleh Kartadinata (1988; Ali & Asrori, 2009: 109) yaitu kepemilikan atas
sikap sebagai berikut:
a. Berkembangnya sikap self determinism (memiliki keputusan sendiri) (Emile Durkheim)
b. Berkembangnya sikap autonomous morality (memiliki otoritas moral sendiri) (Jean
Piaget)
c. Berkembangnya sikap ego integrity (sikap egois) Erick E. Erickson)
d. Berkembangnya sikap the creative self (memiliki daya kreatif sendiri) Alfred Adler)
e. Berkembangnya sikap self-actualitzation (sikap pembuktian diri) Abraham Maslow)
f. Berkembangnya sikap self System (sikap mengatur diri sendiri) (Harry Stack Sullivan)
g. Berkembangnya sikap real self (bertindak berdasarkan kemampuan sendiri) (Caren
Horney)
h. Berkembangnya sikap self efficay (menjunjung harga diri) (Albert Bandura)
Untuk menjadi seorang yang mandiri, Lovinger menjelaskan secara hirarkial
(Kartadinta; Ali & Asrori, 2009: 114-116) yaitu tingkatan ilmpulsif (cara bepikir
oportunistik dan hedonistik), tingkatan konformistik (bepikir stereotytpe dan klise),
tingkatan sadar diri (bepikir alternative), tingkatan concienctious (sadar tanggungjawab),
tingkat individualistis (eksistensi diri), dan tingkat mandiri (self fulfillment/pemenuhan
diri).

Karakteristik Perkembangan Kepribadian


Perkembangan kepribadian setali dengan perkembangan manusia, pada hakikatnya
pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan kepribadian berarti bertanya tentang seorang
manusia. Dalam konteks psikologi kepribadian, kepribadian adalah kekuatan-kekuatan
psikologis yang membuat masing-masing individu unik (Friedman & Scustack, 2008: 2).
Menurut Frideman & Scustack (2008: 2-3) keunikan setiap individu dapat diketahui
melalui delapan aspek kunci karakteristik kepribadian seseorang, yaitu:
a. Berkembangnya aspek ketidaksadaran, yaitu kemungkinan kita melakukan dan
mengatakan hal yang sama seperti yang dilakukan dan dikatan orang tua terhadap kitan,
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

70
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dan tanpa sadar bahwa kita didorong oleh keinginan untuk serupa dengan orang tua
kita.
b. Berkembangnya aspek kekuatan ego (self), yaitu rasa identitas yang menjaga rasa
penguasaan dan konsistensi dalam berprilaku.
c. Berkembangnya aspek biologis, yaitu setiap individu memiliki system biologis yang unik
d. Berkembangnya aspek pengaruh lingkungan (seperti: pengkondisian dan pembentukan)
e. Berkembangnya aspek kognitif, yaitu berpikir mengenai dunia di sekitar dan secara aktif
mencoba mengartikannya secara beragam.
f. Berkembangnya aspek trait, kemampuan dan kecenderungan yang spesifik
g. Berkembangnya aspek spiritual, yaitu memungkinkan dan mendorong setiap orang
mempertanyakan arti keberadaannya.
h. Berkembangnya aspek interaktif, yaitu tentang cara interaksi dengan lingkungannya.

Delapan kunci karakteristik kepribadian di atas, perkembangannya didasarkan pada


teori tipologi kepribadian, seperti tipologi kepribadian yang dikembangkan oleh
Hippocrates (Littaurer, 1996: 11) yaitu orang dengan pribadi popular, antusias, dan suka
bersenang-senang disebut sanguine; orang dengan pribadi serius, dan perfectionist yang
mengejar kesempurnaan dalam segala hal disebut melankolis; orang dengan pribadi
berpikiran maju, kuat dan tegas dan memiliki bakat pemimpin disebut korelis, dan orang
dengan pribadi yang damai, easy going, dan rileks disebut dengan phlegmatic. Sementara itu,
tipologi kepribadian yang menggambarkan sikap terbuka, sosialis, dan humoris disebut
dengan ekstrovert, tipologi kepribadian yang menggambarkan sikap tertutup, menyendiri,
dan anti sosial disebut dengan introvert, dan tiopologi kepribadian yang menggambarkan
sikap temperamental, panik, dan tergesa-gesa disebut dengan neurosis.

Karakteristik Perkembangan Sosial


Perkembangan social berarti pencapaian kematangan dalam hubungan social
(Budiamin, dkk., 2006: 132). Dalam mencapai kematangan jalinan hubungan social atau
hubungan interpersonal akan didasarkan pada pemahaman social (social cognition),
kelompok social (social community), dan prilaku social (prosocial behavior). Oleh karena
itu karakteristik perkembangan social pada anak usia MI/SD didasarkan pada asas
perkembangan sosialnya. Karakteristik perkembangan social berdasarkan pemahaman social
(social cognition) menurut Ormrod (2008: 119) yaitu:
a. Berkembangnya kemampuan memahami perspektif orang lain (perspective taking), yaitu
kemampuan melihat suatu situasi dari sudut pandang orang lain artinya memahami
berbagai tindakan serta membantu merespons yang memungkinkan tercapainya hasil
yang diinginkan dan terpeliharanya hubungan interpersonal yang positif.
b. Berkembangnya kemampuan mengembangkan teori pikiran (theory of mind), yaitu
pemahaman umum mengenai kondisi mental dan psikologis diri sendiri dan orang lain
(pikiran, perasaan, motivasi, keyakinan, dan sebagainya sehingga memungkinkan anak
menafsirkan dan memprediksi prilaku orang-orang yang penting dalam kehidupan
mereka, dan sebagai hasilnya, mampu berinteraksi secara efektif dengan orang-orang
yang penting tersebut.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

71
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

c. Berkembangnya kesadaran social (social awareness)


d. Berkembangnya pemikiran rekursif (recursive thinking) pemikiran mengeani apa yang
mungkin dipikirkan orang lain mengenai diri sendiri yang mungkin melalui iterasi atau
pernyataan berulang-ulang (kamu pikir bahwa aku memikirkan bahwa kamu
memikirkan…).
e. Berkembanganya kemampuan meniru dan mencontoh (imitation and modeling)
(Bandura; Santrock, 2007: 53)
Karakteristik perkembangan social berdasarkan pada prilaku social (sosial behavior)
dijelaskan juga oleh Ormrod (2008: 125 & 132) terdiri dari
a. Berkembangnya prilaku prosocial (prosocial behavior), yaitu perilaku yang ditunjukan
untuk peningkatan kebaikan orang lain dan untuk memberi manfaat bagi orang lain.
Prilaku social ditambah dengan trait kejujuran, keadialan, dan penghormatan terhadap
hak-hak dan kebutuhan orang lain masuk dalam ranah moralitas (morality).
b. Berkembangnya prilaku kontrasocial (contrasocial behavior), tindakan yang secara
sengaja dilaksanakan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik, ataupun psikologis
yang disebut dengan prilaku agresi (aggression behavior). Yusuf (Budiamin, 2006:133)
mengidentifikasi bentuk prilaku kontra social yang berkembang pada anak usia MI/SD
yaitu pembangkangan/melawan (negativisme), menyerang (aggression), bertengkar
(quarreling), mencemooh (teasing), persaingan (rivally), dan mementingkan diri sendiri
(selfishness)

Karakteristik perkembangan social berdasarkan kelompok social (social community)


dapat diidentifikasi sebagai berikut
a. Meluasnya hubungan pertemanan/pergaulan teman sebaya ( friendships). Gottman, dkk.
(Ormrod, 2008:113) pertemanan yang terbentuk pada umumnya berusia dan berjenis
kelamin sama, namun beberapa anak dan remaja memiliki sahabat berjenis kelamin
berbeda. Persahabatan juga dapat terjalin dengan ras yang sama, persahabatan lintas-ras
lebih lazim terjadi saat jumlah teman yang ada relative lebih sedikit (Halliman, dkk.;
Ormrod, 2008: 113)
b. Terbentuknya karakter siswa popular (popular student),siswa ditolak (rejected student),
dan diabaikan (neglected student). Popular student yaitu siswa yang disukai banyak
rekannya dan yang dianggap baik dan tipercaya. Rejected student yaitu siswa yang tidak
dikehendaki banyak rekannya sebagai partner social. Neglected student yaitu siswa yang
tidak mendapatkan perhatian atau perasaan yang kuat dari rekannya, baik secara positif
maupun negative (Ormrod, 2008: 117). Senada dengan Santrock (1995: 54) bahwa
pertemanan dapat melahirkan karakteristik anak popularitas, neglected children, dan
rejected children
c. Berkembangnya sikap loyal pada kelompok social kohesif (geng). Ormrod (2008: 114)
menjelaskan bahwa geng adalah suatu kelompok social kohesif yang dicirikan oleh ritus
inisiasi, penggunaan symbol-simbol dan warna-warna yang khas, kepemilikan terhadap
teritori yang spesifik, dan permusuhan dengan satu atau lebih kelompok. Jumlah
kelompok dapat terdiri dari tiga hingga sepuluh ( Cliques), atau berjumlah lebih besar
yang disebut dengan Crowds (kerumunan)
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

72
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

d. Berkembangnya pertemanan yang didasarkan pada hubungan romantik. Menurut


Gottman & Metteral (Ormrod, 2008: 119) hubungan romantic seringkali eksis di
angan-angan siswa alih-alih di kehidupan nyata. Hal ini sejalin dengan perubahan-
perubahan biologis yang tidak jarang disertai oleh munculnya perasaan dan hasrat
seksual yang seringkali menimbulkan perasaan tidak nyaman.

Karakteristik Perkembangan Agama


Dimensi agama sangatlah luas seluas dimensi kehidupan. Namun luasnya dimensi
agama bermuara pada pemahaman keagamaan. Oleh karena itu memahami karakteristik
perkembangan agama dalam konteks psikologi perkembangan erat hubungannya dengan
perkembangan kognitif sebagai sumber pemahaman seperti dijelaskan oleh Seifert &
Hoffnung (Desmita, 2009: 208) … cognitive development affect both specific religious
beliefs and overall religious orientation. Dalam konteks yang umum agama merupakan
kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya.
Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan
untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman,
terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya. (Adams & Gullotta; Desmita,
2009: 208). Dan bahkan agama dapat membantu kestabilan keyakinan tentang kebenaran
dari prilaku moral, serta kesadaran tentang pemikiran ( metacognitif). Metakognitif adalah
knowledge and awareness about cognitive processes – or our thought obout thinking.
Pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognisi atau kesadara kita tentang pemikiran
(Margaret, 1994; Desmita, 2009: 137)
Oleh karena itu, maksud dari karakteristik perkembangan agama didasarkan pada
karakteristik pemahaman atau keyakinan pada ajaran agama. Karakteristik pemahaman atau
keyakinan beragama dijelaskan dalam theory of faith dari James Fowler (Desmita, 2009:
209). Teori ini secara kualitas, menjelaskan bahwa pemahaman keagamaan pada anak,
remaja dan dewasa terjadi secara bertahap, bertingkat dan berlanjut, yaitu:
a. Tahap I berkembangnya intuitive-projective faith (keyakinan/pemahaman pada
kebaikan dan kejahatan yang bersifat intuitif)
b. Tahap II berkembangnya mythical-literal faith (keyakinan/pemahaman pada eksistensi
Tuhan diinterpretasikan secara literal (harfiah) yang digambarkan seperti figure orang
tua)
c. Tahap III berkembangnya synthetic-conventional faith (keyakinan/pemahaman
keagamaan yang didasarkan pada pola meniru keyakinan agama orang lain yang
didasarkan secara standar rasional)
d. Tahap IV berkembangnya individuative-reflective faith (keyakinan/pemahaman diri
sendiri yang diproses secara reflective/perenungan mendalam)
e. Tahap V berkembangnya conjuctive faith (keyakinan/pemahaman yang lahir dari
kesadaran pentingnya nilai-nilai agama dalam kehidupan)
f. Tahap VI berkembangnya universalizing faith (keyakinan/pemahaman keagamaan yang
bersifat menetap dan transendetal serta full faith)

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

73
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penutup
Studi perkembangan peserta didik adalah keniscayaan bagi seorang pendidik.
Dengan memahami perkembangan peserta didik, seorang pendidik dipastikan memiliki salah
satu keterampilan dari kompetensi yang disyaratkan terhdap guru yaitu kompetensi
pedagogic. Dalam kompetensi pedagogic memuat pemahaman atas karakteristik peserta
didik dalam melaksanakan proses pembelajaran baik itu desainnya dan bahkan
pelaksanaannya. Disamping itu, pemahaman atas perkembangan peserta didik merupakan
amanah Undang-undang sisdiknas No 20 tahun 2003 bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Oleh karena itu Karakteristik perkembangan peserta didik yang dapat dipahami oleh
pendidik yang dapat menunjang pencapaian hasil belajar optimal (learning achievement)
lebih jauh adalah mencapai cita-cita pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam
Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 diantaranya adalah perkembangan kognitif,
afektif, fisik-motorik, intelegensi, kreativitas, kemandirian, agama, moral, dan social.

Daftar Pustaka
Ali & Asrori, 2009. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara
Budiamin, dkk. 2006 Perkembangan Peserta Didik, Bandung: UPI Press
Desmita. 2009. Psikologi perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarta
Friedman & Schustack. 2008. Personality Classic Theories and Modern Research. Alih
Bahasa Ikarini, dkk., Jakarta: Erlangga
Hasan, Aliah B. Purwakania. 2006. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan, terjemahan; Meitasari Tjandrasa, Jakarta,
Penerbit Erlangga.
-------------------. 1992. Perkembangan Anak, Terj. Tjadrasa, Jakarta: Erlangga
Jamaris. 2010. Orientasi baru dalam psikologi pendidikan. Jakarta: Penamas Murni
Koesoema, Doni, A. 2010. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo
Littaurer, Florence. 1996. Personality Plus. Alih Bahasa: Adiwiyoto. Jakarta: Binarupa
Aksara
Nadlir, dkk., 2009. Psikologi Belajar. Surabaya: Amanah Pustaka & Lappis PGMI
Ormrod. 2008. Educational Psychology Developing Learners. Alih Bahasa: Indianti, Dkk.,
Jakarta: Elangga
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

74
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Santrock, W., John. 2007. Child Development, Elevent Edition. Alih Bahasa, Rahmawati:
Prekembangan Anak, Jakarta: Erlangga.
Sunarto & Hartono. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta
Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo
Thohirin, 2006. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan
Kompetensi). Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

75
Astri Sutisnawati, Din Azwar Uswatun
Universitas Muhammadiyah Sukabumi
e-mail: astri212@ummi.ac.id, dinazwar@ummi.ac.id

Abstract. The lesson learned in the 2013 curriculum is directed at the scientific process, so that
inquiry process becomes one of the standard process in science teaching Elementary School. NRC
(2006) argues that inquiry must be standard in the teaching of science, from which it is known that
inquiry itself plays an important role in the teaching of science. Teachers must create an inquiry
learning experience for their students. The purpose of this study is to determine the inquiry skill of
students through the worksheet inquiry. The type of this research is descriptive quantitative, research
sample is 50 students. The result of the ability study showed that there are students who have the
criteria of good criteria with percentage, 1). 62% of students can formulationof the problem 2).
46% of students can formulate hypotheses. 3). 54% of students can plan and carry out
investigations, 4). 67% of students can use math to calculate / classify. 5). 54% of students can use
data to draw conclusions, and 6). 56% of students can communicate investigation steps.

Keywords: ability inquiry, inquiry-based lab.

Abstrak. Pembelajaran pada kurikulum 2013 diarahkan pada proses saintifik, sehingga proses inkuiri
menjadi salah satu standar proses dalam pembelajaran IPA Sekoah Dasar. NRC (2006) menyatakan
bahwa inkuiri harus menjadi standar dalam pengajaran sains, dari penjelasan tersebut diketahui
bahwa inkuiri memegang peranan yang penting dalam pengajaran sains. Guru harus menciptakan
pengalaman belajar inkuiri bagi siswanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kemampuan berinkuiri mahasiswa melalui lembar kerja inkuiri. Jenis penelitian ini adalah deskriptif
kuantitatif, sampel penelitian yaitu 50 orang mahasiswa. Hasil penelitian kemampuan berinkuiri
menunjukkan bahwa terdapat mahasiswa yang memiliki kriteria penialaian baik dengan persentase
esebagai berikut: 1). 62% mahasiswa dapat menyusun rumusan masalah. 2). 46% mahasiswa dapat
memformulasikan hipotesis. 3). 54% mahasiswa dapat merencanakan dan melaksanakan
penyelidikan, 4). 67% mahasiswa dapat menggunakan matematika untuk
menghitung/menggolongkan. 5). 54% mahasiswa dapat menggunakan data untuk menyusun
kesimpulan, dan 6). 56% mahasiswa dapat mengkomunikasikan langkah penyelidikan.
Kata Kunci: kemampuan berinkuiri, praktikum berbasis inkuiri.

Pendahuluan
Pembelajaran sains bukan hanya belajar tentang pengetahuan melainkan juga
merupakan suatu proses pemberian pengalaman belajar untuk memperoleh pengetahuan
(how to know). Oleh karena itu, kegiatan di laboratorium atau kerja praktik merupakan
kegiatan esensial dan menjadi bagian integral dari pembelajaran sains (Millar & Abraham
2009).Pembelajaran secara praktik memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berinteraksi dengan objek kajian IPA. Mahasiswa memiliki kesempatan melakukan observasi
langsung, melakukan eksplorasi dan memahami objek kajian IPA tersebut, sehingga melalui
kegiatan praktikum juga dapat memadukan kegiatan hands-on dengan proses berpikir.
Berasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di salah satu LPTK di Kota
Sukabumi yang memiliki program studi PGSD ditemukan beberapa kendala diantaranya: 1)
Proses perkuliahan praktikum belum menggambarkan dan melatihkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi seperti tuntutan kompetensi pada KKNI (Kerangka Kulifikasi Nasional
Indonesia), 2) Rendahnya variasi kegiatan praktikum, kegiatan praktikum didominasi oleh
kegiatan mengamati, menggambar dan menjawab pertanyaan saja, sehingga pengalaman
belajar praktikum kurang memberikan pengalaman belajar yang bermakna 3) kemampuan
berinkuiri mahasiswa masih tergolong rendah. Pembelajaran praktikum merupakan strategi
pembelajaran untuk memfasilitasi mahasiswa berinkuiri. Wenning (2011) menyatakan
bahwa pembelajaran inkuiri memiliki beberapa level salah satunya adalah Inkuiri. Praktikum
berbasis Inkuiri merupakan hal yang penting dalam pembelajaran sains. Penerapan
pembelajaran Inkuiri memiliki banyak manfaat dan relevansi dengan berbagai keterampilan
yang harus dimiliki oleh mahasiswa calon guru IPA SD.
Masalah utama dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pengaruh praktikum berbasis
inkuiri terhadap kemampuan berinkuiri mahasiswa calon guru IPA SD. Berdasarkan
rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
implementasi praktikum berbasis inkuiri terhadap kemampuan berinkuiri mahasiswa.
De Jong and van Joolingen (1998), we define inquiry learning as a process of
discoveringnew relations, with the learner formulati ng hypotheses and then testing them by
conducting exper iments and/or making observations. NSTA (2004) dalam Wenning
(2007) mendefinisikan inkuiri sebagai cara yang kuat dalam pemahaman konten sains.
Inkuiri juga merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berfokus pada proses dan
keterampilan, yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian.
Kemampuan berinkuiri merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh
seorang guru. Salah satu standar dalam pengajaran sains adalah inkuiri, inkuiri harus menjadi
salah satu pengalaman belajar yang harus guru selenggarakan dalam pembelajaran sains di
SD. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berinkuiri merupakan
kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru. NRC (2000) mengungkapkan
pembelajaran inkuiri merupakan pembelajaran yang paling efektif untuk membantu siswa
dalam membangun pemahaman intelektualnya, melatih keterampilan proses sains,
membantu siswa menguasai konsep, dari pernyataan tersebut NRC menyimpulkan bahwa
guru sains harus merancang pembelajaran (pengalaman belajar sains) melalui inkuiri. NRC
juga menyatakan bahwa pengembangan kemampuan guru hendaknya melalui kegiatan
berinkuiri yang berkelanjutan dalam mengembangkan keterampilan pembelajaran sains.
Yakar dan Baykara (2014) menyatakan bahwa Scientific Process Skills, kemampuan berpikir
kreatif serta sikap terhadap sains menjadi elemen dasar/elemen penting dalam pelatihan
guru sains.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

77
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pembelajaran praktikum dapat menciptakan pengalaman belajar bagi mahasiswa


untuk mengembangkan minat mahasiswa, mengembangkan kemampuan inkuiri ilmiah
(scientific inquiry skills), meningkatkan pemahaman siswa dan meningkatkan kemampuan
mengaplikasikan konsep-konsep ilmiah (Wu, 2013). NRC (2000) menyatakan bahwa
kemampuan berinkuiri meliputi beberapa aspek diantaranya: membuat rumusan masalah,
memformulasi hipotesis, merencanakan / melaksanakan penyelidikan, menggunakan
matematika untuk menghitung/menggolongkan, menggunakan data untuk membuat
kesimpulan, dan mengkomunikasikan langkah dan hasil penyelidikan. Kemampuan-
kemampuan ini harus dimiliki oleh mahasiswa calon guru SD agar mereka dapat
menyelenggarakan pengalaman belajar inkuiri bagi siswanya ketika mereka menjadi guru
sains di SD.

Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yang
bertujuan untuk mengetahui kemampun inkuiri mahasiswa. Sedangkan jenis penelitiannya
menggunakan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah 50 orang mahasiswa program studi
Pendidikan Guru Seklolah Dasar di Universitas Kota Sukabumi. Jenis instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi Kemampuan Berinkuiri (KB) untuk
mengetahui dan mengevaluasi kemampuan berinkuiri setelah implementasi praktikum
Berbasis Inkuiri.
Analisis data yang digunakan peneliti adalah sebagai berikut: 1). Editing, yaitu mengecek
terhadap pengisian lembar observasi yang terdiri dari kelengkapan tahapan kemampuan
inkuiri, kejelasan langkah-langkah penelitian serta kebenaran dalam mengisi lembar observasi.
2). Skoring, dimaksudkan untuk memberi skor terhadap pernyataan butir, 3). Tabulating,
dimaksudkan untuk melakukan penghitungan terhadap data yang terkumpul, 4). Persentase,
digunakan untuk mengetahui besar kecilnya kemampuan inkuiri mahasiswa.

Hasil dan Pembahasan


NRC (2000) menyatakan bahwa kemampuan berinkuiri meliputi beberapa aspek
diantaranya: membuat rumusan masalah, memformulasi hipotesis, merencanakan /
melaksanakan penyelidikan, menggunakan matematika untuk menghitung /
menggolongkan, menggunakan data untuk membuat kesimpulan, dan mengkomunikasikan
langkah dan hasil penyelidikan. Kemampuan-kemampuan ini harus dimiliki oleh mahasiswa
calon guru SD agar mereka dapat menyelenggarakan pengalaman belajar inkuiri bagi
siswanya ketika mereka menjadi guru sains di SD. Dalam mengukur kemampuan berinkuiri
mahaisswa, penulis menggunakan Lembar kegiatan mahasiswa. Prastowo (2011)
mengemukakan bahwa tujuan penyusunan LKM adalah untuk memudahkan mahasiswa
ketika mempelajari materi, dapat menyajikantugas untuk meningkatkan penguasaan konsep
terhadap materi materi yang disampikan, melatih mahasiswa untuk belajar secara mandiri.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

78
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan hasil penelitian menggunakan Lembar Kegiatan Mahasiswa dalam praktikum


berbasis inkuiri didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 1 Data Kemampuan Berinkuiri Mahasiswa Berdasarkan Rerata
Rerata Kriteria Penilaian (%)
NO Kemampuan Berinkuiri
1 2 3 4
1 Menyusun rumusan masalah 4 18 62 16
2 Memformulasi hipotesis 4 16 46 34
3 Merencanakan/ melaksanakan penyelidikan 1,3 10 54 34,7
Menggunakan matematika untuk menghitung/
4 0 17 67 16
menggolongkan
5 Menggunakan data untuk membuat kesimpulan 2 21 54 22,3
Mengkomunikasikan langkah dan hasil
6
penyelidikan 1,3 14,7 56 27

Keterangan
4 = Sangat Baik
3 = Baik
2 = Cukup Baik
1 = Kurang Baik

1. Menyusun rumusan masalah, terdiri dari orientasi dan mengidentifikasi masalah yang
terdapat pada LKM. Ketika orientasi, mahasiswa diberikan informasi untuk memecahkan
masalah yang akan diselesaikan ketika praktikum. Sebesar 14% mahasiswa memiliki
kemampuan orientasi dengan sangat baik dan 72% berada dalam kriteria baik, 12%
cukup baik, dan 2% kurang baik. Orientasi merupakan tahapan awal yang harus diikuti
oleh mahasiswa dimana kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
berfikir mahasiswa, setelah mahasiswa dapat menemukan ide, diharpakan mahasiswa
dapat mengidentifikasi masalah dari setiap judul LKM yang dikerjakan. Pada awal
penerapan kegiatan praktikum menggunakan LKM ini, mahasiswa masih kebingungan
dalam menentukan identifikasi masalah. Tetapi setelah diberikan stimulus, pengarahan
dan motivasi oleh Dosen, mahasiswa dapat mengikuti kegiatan orientasi dengan baik
dilihat dari hasil data yang telah disajikan. Tahapan ini sangat tergantung kepada
kemauan mahasiswa dalam memecahkan masalah.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

79
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2. Memformulasi hipotesis, meliputi Mahasiswa dapat merumuskan berbagai pertanyaan


yang merupakan perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji
dan Mahasiswa dapat menuliskan hipotesis. Sebesar 30% dalam kategori sangat baik dan
54% kategori baik, 10% cukup baik, dan 6% kurang baik dalam kemampuan mahasiswa
dapat merumuskan berbagai pertanyaan yang merupakan perkiraan kemungkinan
jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji. Sementara itu sebesar 38% dalam kategori
sangat baik dan baik, 22% cukup baik, dan 2% kurang baik dalam kemampuan
mahasiswa menuliskan hipotesis. Kegiatan ini megarahkan mahasiswa untuk mencari dan
menemukan jawaban sementara dari penyelidikan yang akan dibuktikan. Selaras dengan
apa yang dikemukakan oleh (Sanjaya, 2007), bahwa cirri utama inkuri adalah Seluruh
aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri
dari suatu yang dipertanyakan, Strategi inkuiri ini menempatkan guru sebagai fasilitator
dan motivator, bukan sebagai sumber belajar yang menjelaskan saja
3. Merencanakan/ melaksanakan penyelidikan, terdiri dari a).kemampuan mahasiswa dalam
menentukan alat dan bahan unuk merencanakan penyelidikan dengan hasil 42% kategori
sangat baik, 50% baik, 6% cukup baik dan 2% kurang baik. b). kemampuan mahasiswa
dapat menentukan cara kerja (prosedur kerja) dalam melaksnakan penyelidikan
didapatkan data 26% kategori sangat baik, 62% baik, 10% cukup baik, dan 2% kurang
baik. c).kemampuan mahasiswa mampu mengumpulkan data dan informasi dari suatu
penyelidikan dengan hasil 36% sangat baik, 50% baik, 14% cukup baik dan tidak ada
mahasiswa yang memiliki kategori kurang baik. Kegiatan merencanakan/melaksanakan
penyelidikan merupakan kegiatan utama dalam kemampuan berinkuiri, karena
mengembangkan kegiatan ini dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara
sistematis, logis dan kritis atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian
proses mental (Sanjaya, 2007). Ketika kegiatan praktikum berlangsung, mahasiswa sudah
bisa menentukan alat dan bahan, cara kerja dan mengumpulkan data berdasarkan hasil
penyelidikan. Tahapan ini merupakan proses mental yang sangat penting dalam
pengembangan intelektual. Sehingga dalam proses penyelidikan dosen berupaya untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menumbuhkan rasa ingin tahu mahasiswa
untuk berpikir mencari informasi yang dibutuhkan.
4. Menggunakan matematika untuk menghitung/ menggolongkan, terdiri dari a).
mahasiswa melakukan pengamatan berkaitan dengan masalah yang diajukan didapatkan
data 26% sangat baik, 64% baik, 10% cukup baik dan tidak ada mahasiswa yang
memiliki kategori kurang baik. b). mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menghitung
data secara akurat didapatkan data 6% dalam kategori sangat baik, 70% baik, 24%
cukup baik dan 0% kurang baik. Tujuan dari tahapan ini tidak hanya mahasiswa dapat
melakukan pengamatan dan menghitung data secara akurat, tetapi yang utama adalah
mahasiswa dapat membiasakan diri berperilaku seperti saintis (jujur, objektif, kreatif, dan
dapat menghargai orang lain).
5. Menggunakan data untuk membuat kesimpulan terdiri dari a).mahasiswa dapat
menyusun kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dari penyelidikan diperoleh data
30 sangat baik, 50% baik,16% cukup baik, dan 4% kurang baik. b). mahasiswa dapat
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

80
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil penyelidikan didapatkan data


14% kategori sangat baik, 58% baik, 26 % cukup baik. Menggunakan data untuk
mendapatkan kesimpulan akan melatih mahasiswa untuk mengembangkan pemahaman
mahasiswa kea rah pengetahuan ilmiah. Mahasiswa diharapkan dapat membuktikan
setiap Hipotesis yang diajukan dengan cara memecahkan masalah berdasarkan data
sehingga dapat mengembangkan kemampuan berfikir logis dan kritis untuk mengambil
suatu kesimpulan.
6. Mengkomunikasikan langkah dan hasil penyelidikan, terdiri dari kegiatan a). mahasiswa
dapat mengerjakan soal-soal yang terdapat pada lembar kegiatan mahasiswa didaptakan
data 22% kategori sangat baik, 58% baik, 18% cukup baik. b). Data hasil mahasiswa
dapat menciptakan produk/ karya dari penyelidikan yang telah dilakukan adalah 24%
kategori sangat baik, 56% baik, 20% cukup baik. c). Mahasiswa dapat menuliskan
laporan hasil penyelidikan di lembar kegiatan mahasiswa didapatkan data 36% sangat
baik, 54% baik, 6% cukup baik, dan 4% kurang baik. Dalam tahapan ini, selain
mahasiswa dapat mengkomunikasin langkah dan hasil dari kegiatan penyelidikan,
mahasiswa juga dituntut untuk dapat menjawab soal-soal yang ada di dalam LKM yang
bersifat hands on. Dari kegiatan menciptakan produk/karya, baru seebagian besar
mahasiswa yang dapat menciptkan produk dengan baik berdasarkan dari tujuan LKM.
Hal ini menjadi fokus peneliti, untuk meningkatkan kembali kemauan dan kemampuan
mahasiswa dalam mengukur kemampuan tingkatan kognitif menciptakan.

Penutup
Simpulan
Hasil penelitian kemampuan berinkuiri mahasiswa calon guru SD dengan
menggunakan praktikum inkuiri menunjukkan bahwa 1). kemampuan menyusun rumusan
masalah dengan kriteria penilaian baik sebesar 62% dan 16% sangat baik, sisanya cukup dan
kurang baik. 2). mahasiswa dapat memformulasikan hipotesis dengan kriteria penilaian baik
sebesar 46% dan 36% sangat baik, sisanya cukup dan kurang baik. 3). mahasiswa dapat
merencanakan dan melaksanakan penyelidikan dengan kategori baik sebesar 54%, 34,7%
sangat baik, sisanya cukup dan kurang baik. 4). mahasiswa dapat menggunakan matematika
untuk menghitung/menggolongkan dengan kategori baik sebesar 67%, 16% sangat baik,
17% cukup baik. 5). mahasiswa dapat menggunakan data untuk menyusun kesimpulan
dengan kriteria penilain baik sebanyak 54% dan 22,3% ,sangat baik.6). 56% mahasiswa
dapat mengkomunikasikan langkah penyelidikan dengan kategori baik.

Saran
Dalam penelitian praktikum berbasis inkuiri untuk mengetahui kemampuan inkuiri
mahasiswa diperlukan pembiasan mahasiswa dalam melaksanakan praktikum, tanpa
pembiasaan kegiatan praktikum mahasiswa akan kesulitan dalam menentukan langkah-
langkah praktikum berbasis inkuiri.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

81
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka
Dahar, R.W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Fisher, R. (1995). Teaching Children to Think. London: Stanley Thornes Ltd.
Fraenkel, J.R. & Norman E.W. (1993). How to Design and Evaluate Research in
Education. New York. McGraw Hill Inc.
Gray C. et. al. (2015) Known Structure, unknown function: an inquiry-based undergraduate
biochemistry laboratory course. Biochemistry and Molecular Biology Education
Published Online: wileyonlinelibrary.com.
Guilford, J.P. (1988). Some Change in the Structure of intellect Model. Education and
Psychologycal Measurement Journals, 48, 1-4
Haris, R. (1995). Introduction to Creative Thinking. [online].
Tersedia: http://www.virtualsalt.com/itdt.htm.
Kudish, P. et.al. (2015). An inquiry-infused introductorybiology laboratory that integrates
mendel’s pea phenotypes with molecular mechanisms. Bioscene. 41(1). 10-15
LTSIN (2004).Learning teaching. Scotland: Learning and Teaching Scotland.
Milar, R & Abrahams, I. (2009). Practical Work:Making it more effective. SSR. 91(344)
National Research Council (1996). National science education standards. Washington, DC:
National Academy Press.
National Research Council (2000). Inquiry and the national science education standards.
Washington, DC: National Academy Press
Prastowo A. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: DIVA
PRESS
Sanjaya. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana
Wenning, C.J. (2004). Level of inquiry: Hierarchies of pedagogical practices and inquiry
processes. Tchr. Educ. Online. 6, (2).
Wenning, C.J. (2007). Assessing inquiry skills as a component of scientific literacy. J.Phys.
Tchr. Educ. Online. 4, (2).
Wu, J. (2013). Mutation Based Learning to Improve Student Autonomy and Scientific
Inquiry Skills in a large Genetic Laboratory Course. CBE-Life Science Education. 12.
460-470
Yakar, Z dan Baykara, H. (2014). Inquiry-Based Laboratory Practices in a Science Teacher
Training Program. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education,
2014, 10(2), 173-18

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

82
Aziz Muhtasyam, Tita Khalis Maryati, Gusni Satriawati
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: azizmuhtasyam@rocketmail.com, tita.khalis@uinjkt.ac.id, gusni@uinjkt.ac.id

Abstract. Indonesia as one of the country, most smartphone users in the World, especially android
smartphone is considered necessary to utilize android smartphone technology in learning, especially
learning mathematics. This research develops android-based educational game on algebra material
for class VII SMP / MTs. Development of educational games assisted by software Construct 2.
Development conducted focused on several criteria, namely the quality of content and objectives,
instructional quality, and technical quality. The method used in this research is developing research
with ADDIE development model (Analysis, Design, Development, Implementation, and
Evaluation). Test subjects in this study, namely media experts, material experts, teachers, and
students android smartphone users. The results showed that the developed educational game
received a positive response with good criteria.

Keywords: educational games, android, smartphone, algebra, ADDIE model.

Abstrak. Indonesia sebagai salah satu negara pengguna smartphone terbanyak di Dunia khususnya
smartphone android dianggap perlu melakukan pemanfaatan teknologi smartphone android dalam
pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika. Penelitian ini mengembangkan game edukasi
berbasis android pada materi aljabar untuk kelas VII SMP/MTs. Pengembangan game edukasi
dibantu dengan software Construct 2. Pengembangan yang dilakukan terfokus pada beberapa kriteria,
yaitu kualitas isi dan tujuan, kualitas instruksional, dan kualitas teknis. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian pengembangan dengan model pengembangan ADDIE ( Analysis,
Design, Development, Implementation, and Evaluation). Subjek uji dalam penelitian ini, yaitu ahli
media, ahli materi, guru, dan siswa pengguna smartphone android. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa game edukasi yang dikembangkan mendapat respon positif dengan kriteria baik.

Kata Kunci: game edukasi, smartphone, android, materi aljabar, model ADDIE.

Pendahuluan
Aljabar menjadi salah satu materi pokok yang harus dikuasai oleh siswa dalam
mempelajari matematika. Topik aljabar baru diperkenalkan kepada siswa SMP/MTs kelas
VII dengan didahului oleh materi bilangan bulat dan bilangan pecahan. Siswa dituntut
memiliki pemikiran kreatif dan teliti dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan
bentuk aljabar, serta siswa diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah yang berkaitan
dengan bentuk aljabar. Namun, hal tersebut belum tercapai bila dilihat dari rendahnya hasil
belajar siswa pada materi aljabar.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Rendahnya hasil belajar siswa dapat disebabkan oleh banyak faktor, Irham dan Novan
(2016) mengatakan bahwa faktor penyebab siswa merasa kesulitan dalam belajar ada dua,
yaitu faktor internal yang berasal dari dalam siswa itu sendiri dan faktor eksternal yang
berasal dari luar siswa. Faktor internal yang menyebabkan kesulitan belajar siswa salah
satunya adalah rendahnya minat belajar serta motivasi dalam diri siswa itu sendiri. Adapun
faktor eksternal diantaranya adalah penggunaan media pembelajaran dan metode
pembelajaran yang kurang baik oleh guru sehingga informasi pembelajaran tidak
tersampaikan dengan baik kepada siswa. Menurut Winarno (2009) kurangnya krativitas dan
inovasi para pendidik dalam mengembangkan dan menciptakan media pembelajaran
membuat proses pembelajaran di kelas membosankan bagi siswa. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan pengembangan dalam hal media pembelajaran.
Indonesia berada di peringkat lima besar dalam daftar pengguna smartphone terbesar di
dunia pada tahun 2014. Perangkat smartphone yang paling laris dipasaran adalah perangkat
yang bersistem operasi Android. Namun pemanfaatan smartphone dalam pembelajaran masih
sedikit, khususnya pembelajaran matematika. Kebanyakan siswa memanfaatkan smartphone
sebatas hanya untuk telepon, SMS, memutar lagu/video, mengakses media sosial, chatting,
serta bermain game. Menurut Chuzaimah dan Fereshti (2010), Smartphone merupakan
kombinasi dari PDA dan ponsel yang lebih terfokus pada bagian fungsi ponselnya. Android
adalah salah satu sistem operasi pada smartphone yang banyak digunakan. Dalam
perjalanannya android mengalami perbaikan dan pengembangan, beberapa versi android dan
penamaannya yang telah beredar hingga hari ini adalah android versi 1.1, android versi 1.5
(Cupcake), android versi 1.6 (Donut), android versi 2.0/2.1 (Éclair), android versi 2.2
(Froyo: Frozen Yoghurt), android versi 2.3 (Gingerbread), android versi 3.0/3.1/3.2
(Honeycomb), android versi 4.0 (Ice Cream Sandwich), android versi 4.1 (Jelly Bean),
android versi 4.4 (Kitkat), android versi 5.0 (Lollypop), dan android versi 6.0 (Marsmellow).
Adapun Safaat (2012) menyatakan Android secara terbuka memberikan kesempatan bagi
para pengembang guna merancang aplikasi mereka sendiri melalui platform yang sengaja
disediakan. Salah satu pengembangan aplikasi android yang dilakukan dalam bidang
pendidikan adalah pengembangan media pembelajaran berbentuk aplikasi android dan modul
pembelajaran augmented reality pada materi dimensi tiga yang mendapatkan respon baik dari
para pengguna (Faris dkk, 2017). Selain itu, banyak aplikasi berbasis android yang
dikembangkan dan kebanyakan pengembangan yang dilakukan berupa game.
Semiawan dalam Sutopo (2012), mengatakan bahwa beberapa game dapat dibuat dengan
maksud memfalisitasi anak dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan-
kemampuan tertentu sesuai pengalaman belajar yang diperolehnya. Game yang dibuat dengan
tujuan memberikan kesenangan sekaligus alat penyampai pendidikan disebut game edukasi
(Ismail, 2006). Ada beberapa macam jenis game, Prensky dalam Jasson (2009)
menggolongkannya sebagai berikut action games, advanture games, fighting games, puzzle
games, role playing games (RPG), simulation games, sport games, dan strategy games.
Beberapa software dapat dijadikan alat bantu untuk merancang atau mengembangkan sebuah
game, salah satunya adalah software Construct 2. Construct 2 merupakan software canggih

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

84
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dengan fitur HTML5 game creator yang dirancang khusus untuk membuat game 2D (2-
dimension). Hal ini memungkinkan siapapun membuat game tanpa menggunakan koding.
Game edukasi dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran, khususnya media
pembelajaran matematika. Dalam proses belajar mengajar, pemanfaatan media pembelajaran
mampu membangkitkan minat belajar dan meningkatkan motivasi belajar (Arsyad, 2014).
Selain itu, Sadiman (2007) menambahkan bahwa media pembelajaran dapat memperjelas dan
mempermudah penyampaian pesan pembelajaran, serta sebagai upaya menangani keterbatasan
ruang dan waktu. Kualitas dan kelayakkan media pembelajaran dapat dilihat dari beberapa
kriteria, Walker dan Hess dalam Arsyad (2014) menyebutkan beberapa kriteria kualitas
tersebut, yaitu kualitas isi dan tujuan, kualitas instruksional, dan kualitas teknis. Adapun
kriteria lain dimana media pembelajaran dapat dikatakan baik seperti dikemukakan oleh
Alessi dan Trolip, yaitu media pembelajaran harus memuat subject matter, auxiliary
information, interface, navigation, pedagogy, supplementary materials, dan roubutness.
Dari uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan game edukasi
berbasis android pada materi aljabar untuk kelas VII SMP/MTs.

Metode
Penelitian ini termasuk dalam penelitian dan pengembangan (Research and
Development). Model pengembangan yang digunakan adalah model ADDIE (Analysis,
Design, Development, and Evaluation). Penelitian dilaksanakan di MTs Daarul Maarif
Jakarta pada siswa kelas VII. Subjek uji coba dari penelitian ini adalah ahli materi, ahli media,
guru, dan 40 siswa pengguna smartphone android.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket yang mengukur kualitas
kelayakkan game edukasi yang dikembangkan. Teknik analisis data yang digunakan yaitu
perhitungan dengan skala pengukuran rating scale dan skala likert. Dimana skala interpretasi
yang digunakan menurut Sugiyono (2016) untuk mengiterpretasikan hasil perhitungan
dengan pengukuran rating scale dan skala likert dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Skala Interpretasi
Skor Persentase (%) Interpretasi
0 ≤ skor ≤ 25 Tidak Layak
25 < skor ≤ 50 Kurang Layak
50 < skor ≤ 75 Cukup Layak
75 < skor ≤ 100 Layak

Pengembangan atau perancangan game dibantu dengan software construct 2 yang dapat
dioperasikan pada laptop atau PC dengan rekomendasi spesifikasi sebagai berikut: (1) Sistem

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

85
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

operasi Windows 7 atau yang lebih baru; (2) RAM 2 GB; (3) Processor
2 GHz dual-core; (4) Kartu grafis nVidia atau AMD.

Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan penjelasan pada bagian metode penelitian, model pengembangan yang
digunakan dalam pengembangan game edukasi ini adalah model pengembangan ADDIE.
Berikut ini adalah hasil pengembangan game edukasi berbasis Android yang dituliskan
berdasarkan model pengembangan ADDIE.

Analisis (Analysis)
Analisis yang dilakukan adalah analisis studi lapangan, analisis literatur, dan analisis
perkembangan teknologi. Analisis dilakukan dengan memberikan angket survey kepada siswa
dan wawancara kepada guru.
Berdasarkan hasil survey kepada 40 siswa, 34 siswa pernah menggunakan aplikasi
pembelajaran pada smartphone, namun belum satu pun yang menyatakan pernah
menggunakan aplikasi pembelajaran matematika. Aplikasi pembelajaran yang digunakan siswa
dapat dijalankan pada smartphone dengan sistem operasi android. Oleh karena itu, dipilih
game edukasi berbasis android yang dikembangkan menggunakan software Construct 2.
Construct 2 dipilih karena penggunaanya yang mudah, sehingga pemula dapat
mengembangkan game-nya sendiri. Kemudahan tersebut dikarenakan pembuat game dapat
langsung membuat atau merancang game tanpa harus mempelajari bahasa pemrograman yang
biasanya digunakan dalam software pembuat game lainnya, seperti Android Studio, Eclipse,
atau Unity 3D.

Desain (Design)
Tahap perencanaan terbagi menjadi tiga, yaitu perancangan naskah pembelajaran,
perancangan skenario game, dan penyusunan instrumen penilaian.
Perancangan naskah pembelajaran dimaksudkan untuk menyiapkan materi pembelajaran
yang disajikan dalam game edukasi yang dikembangkan. Materi yang disajikan merupakan
unsur-unsur dan operasi pada bentuk aljabar.
Perancangan skenario game merupakan kegiatan untuk mempersiapkan alur pembelajaran
dan alur berjalannya game edukasi. Game edukasi yang dibuat bergenre game advanture
dimana pengguna memainkan karakter pemain yang akan menyelesaikan permainan dengan
melewati tantangan yang ada dalam permainan. Selain itu, karakter yang dimainkan akan
bertemu karakter lain yang memberikan informasi atau pengalaman belajar matematika.
Setelah karakter pemain menyelesaikan permainan, pemain dihadapkan dengan sajian materi
aljabar yang bertujuan menambah pengalaman belajar yang telah didapatkan dari permainan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

86
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Selanjutnya, pemain diminta untuk menjawab latihan soal yang memiliki skor 200 pada tiap-
tiap soal. Pemain diharuskan mendapatkan skor latihan soal minimal 800 dari 1000 skor
penuh agar dapat melanjutkan game ke level berikutnya.
Penyusunan instrumen penilaian bertujuan sebagai alat untuk mengevaluasi kualitas dari
game edukasi yang dikembangkan. Instrumen penilaian yang disusun antara lain angket
validasi oleh ahli, angket evaluasi oleh praktisi lapangan, angket uji kelompok kecil, dan
angket uji coba lapangan. Instrumen yang dibuat terfokus pada 3 indikator, yaitu: (1) kualitas
isi dan tujuan, yang meliputi aspek kesesuaian, aspek ketepatan, aspek kelengkapan;
(2) kualitas instruksional, yang meliputi aspek sistematika penyajian, aspek redaksi
instruksional, aspek interaksi instruksional, aspek motivasi, aspek dampak bagi siswa; (3)
kualitas teknis, yang meliputi aspek kualitas tampilan, aspek navigasi, aspek pengelolaan
program.
Pengembangan (Development)

Pengembangan dilakukan dengan mengacu pada hasil dari tahap analisis dan tahap
perencanaan. Dalam tahap pengembangan juga dilakukan penilaian, diantaranya validasi oleh
ahli dan evaluasi praktisi lapangan guna menghasilkan prototip game edukasi yang
berkualitas.
Pengembangan game edukasi diawali dengan membuat beberapa tampilan yang digunakan
mulai tampilan judul dan tampilan menu utama hingga tampilan pembelajaran. Selanjutnya
dilakukan validasi oleh ahli serta revisi dilanjutkan dengan evaluasi oleh praktisi lapangan.
Berikut ini adalah beberapa tampilan yang terdapat pada game edukasi yang
dikembangkan. Tampilan menu utama berisikan tombol bermain, tombol petunjuk, tombol
tentang, dan tombol keluar. Tampilan menu utama dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tampilan menu utama

Tampilan menu petunjuk dapat diakses ketika pengguna memilih tombol petunjuk pada
tampilan menu utama. Tampilan menu petunjuk berisi tentang informasi karakter pemain,

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

87
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

informasi kontrol permainan, dan informasi bantuan. Tampilan menu petunjuk dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Tampilan menu petunjuk

Tampilan menu tentang, berisi informasi tentang game edukasi dan tujuan pembelajaran
yang terdapat dalam game edukasi. Tampilan menu tentang dapat diakses dengan memilih
tombol tentang pada tampilan menu utama. Tampilan menu tentang dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3. Tampilan menu tentang


Selanjutnya adalah tampilan game yang dapat diakses dengan menekan tombol level pada
tampilan menu bermain. Tampilan game berisi karakter pemain, karakter musuh, skor
permainan, dan lain-lain. Dalam tampilan game juga berisi tampilan percakapan yang memuat
pengalaman belajar untuk pengguna. Tampilan percakapan dapat diakses ketika karakter
pemain dalam tampilan game menyentuh karakter teman. Tampilan game dan percakapan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

88
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dapat dilihat pada Gambar 4.


Gambar 4. Tampilan game dan percakapan

Di akhir permainan, pengguna akan disajikan tampilan materi pembelajaran. Tampilan


materi pembelajaran berisikan informasi pembelajaran untuk pengguna. Tampilan materi
pembelajaran dapat diakses ketika pengguna telah menyelesaikan game pada level tertentu.
Tampilan materi pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Tampilan materi pembelajaran


Setelah tampilan materi pembelajaran selesai, tampilan latihan soal akan muncul dengan
cara menekan tombol soal pada akhir tampilan materi pembelajaran. Tampilan latihan soal
berisi tentang latihan soal yang sesuai dengan topik materi pembelajaran yang telah dibahas.

Tampilan latihan soal dapat dilihat pada Gambar 6.


Gambar 6. Tampilan latihan soal

Setelah pengembangan game edukasi selesai dilakukan, selanjutnya adalah memberikan


penilaian dengan cara memberikan angket validasi kepada ahli dan angket evaluasi kepada
praktisi lapangan atau guru. Berikut adalah hasil validasi oleh ahli.
Tabel 2. Hasil Validasi oleh Ahli

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

89
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Persentase Kriteria
No. Indikator
Perolehan Skor (%)
1. Kualitas Isi dan Tujuan 95,00 Layak
2. Kualitas Instruksional 82,50 Layak
73,33 Cukup
3. Kualitas Teknis Layak
Penilaian Keseluruhan 80,50 Layak

Berdasarkan hasil validasi oleh ahli pada Tabel 2, game edukasi yang dikembangkan masih
perlu direvisi sebab dari segi kualitas teknis mendapat kriteria cukup layak. Beberapa hal yang
menyebabkannya adalah sajian materi pembelajaran yang masih menyulitkan pengguna untuk
memahami isinya, sehingga disarankan untuk merevisi sajian atau tampilan materi
pembelajaran.
Setelah dilakukan revisi yang sesuai dengan arahan ahli, pengembangan dilanjutkan dengan
evaluasi oleh praktisi lapangan atau guru matematika di sekolah. Hasil evaluasi oleh praktisi
lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Evaluasi oleh Praktisi Lapangan


Persentase Kriteria
No. Indikator
Perolehan Skor (%)
1. Kualitas Isi dan Tujuan 90,00 Layak
2. Kualitas Instruksional 87,50 Layak
3. Kualitas Teknis 95,31 Layak
Penilaian Keseluruhan 91,25 Layak

Berdasarkan hasil evaluasi oleh praktisi lapangan, game edukasi yang dikembangkan telah
dinyatakan layak, sehingga dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Implementasi (Implementation)
Implementasi dilakukan pada siswa pengguna smartphone android. Proses implementasi
diawali dengan penyebaran prototip game edukasi pada perangkat smartphone android siswa
dilanjutkan dengan penggunaan game edukasi oleh siswa.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

90
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pada tahap implementasi juga dilakukan evaluasi oleh siswa kelompok kecil yang terfokus
hanya pada kualitas teknis, dengan bertujuan untuk mengetahui kesalahan-kesalahan kecil
yang masih ada pada game edukasi. Berikut adalah hasil uji kelompok kecil.

Hasil Uji Kelompok Kecil


100
80
60
40
20
0

Navigasi
Kemudahan

Tampilan
Keterbacaan

Pengelolaan
Kualitas

Program
Skor Perolehan (%)

Gambar 7. Hasil uji kelompok kecil

Berdasarkan hasil uji kelompok kecil pada kualitas teknis pada Gambar 7, game edukasi
yang dikembangkan telah dinyatakan layak, sehingga dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi telah dilakukan sejak tahap pengembangan, guna menghasilkan game edukasi
yang berkualitas. Namun evaluasi di tahap akhir ini bertujuan untuk melihat respon siswa
atau pengguna terhadap game edukasi yang dikembangkan.
Setelah dilakukan uji coba lapangan, didapat bahwa respon yang diberikan siswa terhadap
game edukasi yang dikembangkan adalah positif dengan kriteria baik. Hasil uji coba lapangan
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil uji coba lapangan
Persentase
Total Skor Total Skor Kriteria
Perolehan
Perolehan Kriterium
Skor (%)
2403 2880 83,43 Baik

Melalui wawancara informal yang dilakukan penulis, siswa juga berpendapat bahwa
tantangan dalam game edukasi yang dikembangkan terlalu banyak sehingga siswa belum
dapat menyelesaikan seluruh permainan sesuai dengan waktu yang diberikan. Namun siswa
tetap merasa senang terhadap game edukasi tersebut yang digunakan sebagai alat bantu
pembelajaran materi dasar aljabar. Hali ini sesuai dengan pernyataan Ismail (2006), bahwa
game edukasi dapat memberikan kesenangan dan juga pengalaman belajar.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

91
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Produk akhir dari penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
dari game edukasi yang telah dikembangkan antara lain: (1) game edukasi berbasis android
yang dikembangkan dapat digunakan dimanapun dan kapanpun dengan perangkat
smartphone android, (2) dan game edukasi ini menyajikan materi berupa teks pembelajaran
dan latihan soal yang terlebih dahulu mengharuskan pengguna menyelesaikan permainan di
dalamnya. Adapun kekurangan dari game edukasi yang dikembangkan adalah contoh soal dan
latihan soal pada game edukasi masih terbatas dan tidak dapat diacak.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa game edukasi berbasis
android yang dikembangkan layak dan mendapatkan respon positif dari siswa dengan kriteria
baik. Sehingga game edukasi ini dapat digunakan sebagai alat bantu dalam pembelajaran
matematika pada materi Aljabar.

Saran
Penelitian yang dilakukan menghasilkan game edukasi yang layak dan termasuk dalam
kriteria baik. Namun belum sampai kepada efektivitas game tersebut, sehingga peneliti
selanjutnya dapat membuat atau mengembangkan kembali game edukasi hingga uji efektivitas
game edukasi tersebut.

Daftar Pustaka
Arsyad, Azhar. 2014. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Chuzaimah, Mabruroh, dan Fereshti Nurdiana Dihan. 2010. Smartphone: Antara
Kebutuhan dan E-Lifestyle. Makalah disampaikan pada seminar nasional informatika
(semnasIF) UPN Veteran Yogyakarta.
Faris Fathan, Tita K. Maryati, Dindin Sobiruddin. 2017. Pengembangan Media Augmented
Reality Berbasis Android untuk Pembelajaran Tiga Dimensi. Prosiding SNM 2017:
785-796.
Irham, Muhammad dan Novan Ardy Wiyani. 2016. Psikologi Pendidikan: Teori dan
Aplikasi dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ismail, Andang. 2006. Education Games. Yogyakarta: Pilar Media.
Jasson. 2009. Role Playing Game (RPG) Maker. Yogyakarta: ANDI Publisher.
Sadiman, Arif S. 2007. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

92
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Safaat, Nazaruddin. 2012. Pemrograman Aplikasi Mobile Smartphone dan Tablet PC


Berbasis Android. Bandung: Informatika Bandung.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sutopo, Ariesto Hadi. 2012. Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan .
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Winarno. 2009. Teknik Evaluasi Multimedia Pembelajaran. Jakarta: Genius Prima Media.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

93
Baiq Hana Susanti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1). Menghasilkan media pembelajaran berbasis media
sosial pada mata pelajaran biologi SMA/MA. (2) Mengetahui tingkat kemampuan mahasiswa
mengembangkan media pembelajaran berbasis media sosial pada mata pelajaran Biologi SMA/MA.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian riset dan pengembangan. Prosedur pengembangan
media dilakukan melalui : (1). Tahap studi pendahuluan dilakukan dengan melakukan studi
literatur. (2). Tahap pengembangan di mulai dengan penyusunan materi, pembuatan peta program,
menyiapkan story board dan uploading materi di masing masing media sosial. (3). Tahap evaluasi
meliputi penilaian masing masing konsep di masing masing media sosial. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa media pembelajaran yang tersusun terdiri dari 15 (lima belas) konsep biologi
yaitu: animalia, protista, virus, jamur, bakteri, keanekaragaman hayati, dunia tumbuhan, sistem
pernapasan, sistem pencernaan, sistem syaraf, sistem reproduksi, sistem eksresi, sistem imunitas,
sistem gerak dan sistem peredaran darah. Media sosial yang digunakan adalah: Instagram,
Facebook, Blog dan Twitter. Seluruh media pembelajaran tersebut mendapatkan penilaian yang
berada dalam katagori baik.
Kata Kunci: media, pembelajaran, media sosial, instagram, facebook, twitter, blog, animalia, protista,
virus, jamur, bakteri, keanekaragaman hayati, dunia tumbuhan, sistem pernapasan,
sistem pencernaan, sistem syaraf, sistem reproduksi, sistem eksresi, sistem imunitas,
sistem gerak dan sistem peredaran darah

Pendahuluan
Dewasa ini perkembangan teknologi semakin pesat. Dengan perkembangan teknologi saat
ini, banyak hal yang dapat dikerjakan dengan mudah. Salah satunya dalam hal berkomunikasi. Jika
dahulu kala orang berkomunikasi dengan bertatap muka secara langsung agar pesan yang
disampaikan dapat diterima dengan baik, namun sekarang orang tidak harus bertatap muka secara
langsung agar dapat berkomunikasi. Sehingga komunikasi dapat berlangsung lebih mudah dengan
adanya teknologi.
Berbagai teknologi telah dikembangkan para ilmuwan agar memudahkan manusia dalam
berkomunikasi. Mulai dari radio, telepon, televisi, hingga internet. Bahkan dengan kemajuan
teknologi sekarang ini, orang dapat berkomunikasi dengan orang lain pada tiap detik. Baik itu
dengan orang yang dikenal hingga orang yang tidak dikenal. Komunikasi tersebut bisa terjadi dengan
dua arah maupun satu arah. Teknologi mulai dari radio hingga internet memungkinkan komunikasi
yang sulit dilakukan menjadi bisa dilakukan. Salah satu dari sekian banyak temuan para ahli, yang
fenomenal adalah media internet.
Semakin berkembangnya tehnologi internet membuka wawasan bahwa informasi yang
dibutuhkan dengan mudah dan cepat kita dapatkan. Dengan internet dapat dilakukan melampaui
ruang dan waktu. Internet juga menyediakan fasilitas transaksi produk, tranformasi ilmu dan life
style. Bahkan umurpun tidak membatasinya, yang tua bahkan yang belia dapat menembus
keterbatasan di dunia ini.
Media sosial merupakan media yang meningkat dengan pesat, seiring dengan perkembangan
internet tersebut. Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, forum dan dunia
virtual. Dalam dunia pendidikan media sosial pun ikut berperan penting dalam peningkatan kualitas
pembelajaran. Perkembangan media sosial ini didukung dengan mudahnya mengakses internet
melalui ponsel. Kini untuk mengakses facebook atau twitter misalnya, bisa dilakukan dimana saja
dan kapan saja hanya dengan menggunakan sebuah ponsel
Dengan semakin populernya media sosial di kehidupan kalangan pelajar dan remaja, maka
media-media sosial ini juga berpeluang untuk dapat dimanfaatkan bagi dunia pendidikan.
Penggunaan media sosial dalam dunia pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap jalannya proses
belajar mengajar. Baik guru maupun peserta didik akan mampu mengembangkan kemampuan teknis
dan sosial mereka dalam menghadapi era digital saat ini. Sifat media sosial yang imperatif membuat
peserta didik dan pendidik akan menemukan cara tersendiri untuk beradaptasi dengan teknologi
yang ada. Media sosial dengan berbagai kelebihannya juga berpeluang untuk membuka ruang
bersosialisasi seseorang dengan orang lain, sehingga penggunanya mampu mengelola jejaring
pertemanan mereka sendiri
Karakteristik media-media sosial yang berkembang saat ini membawa beberapa peluang
perubahan dalam pembelajaran. Hal-hal yang dapat dikembangkan kaitannya dengan pola
pembelajaran di era media-media sosial adalah melalui (1) peer based learning/pembelajaran
berdasarkan rekan sebaya; (2) kolaborasi; (3) kreativitas; (4) kegiatan berdasarkan minat; (5)
kegiatan berdasarkan persahabatan.
Oleh karena itu, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai salah satu LPTK, berkewajiban untuk mempersiapkan calon guru berkewajiban untuk
mempersiapkan mahasiswanya agar siap menjadi guru yang sesuai dengan tuntutan jaman. Salah satu
kecakapan yang wajib dimiliki oleh guru pada era milenial ini adalah kecakapan dalam
memanfaatkan ICT sebagai sarana atau media pembelajaran. Dengan melihat kondisi siswa yang
sebagian besar tidak bisa lepas dari media sosial, maka sudah seharusnya calon guru di persiapkan
untuk dapat mengembangkan media pembelajaran dengan menggunakan media sosial. Berdasarkan
beberapa alasan diatas, maka penulis sebagi salah satu staf pengajar media pembelajaran di Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Pengembangan
Media Pembelajaran Berbasis Media Sosial pada Mata Pelajaran Biologi SMA/MA

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Biologi, FITK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. sebagai tempat pengambilan data, analisis data dan interpretasi data. Penelitian ini
memerlukan waktu sekitar 1 semester tahun ajaran 2017/2018.
Subjek penelitian ini adalah semua mahasiswa program studi pendidikan Biologi di salah satu
LPTK di Jakarta, yang pada saat implementasi perkuliahan ini mereka mengambil mata kuliah
Media dan Teknologi Pembelajaran Biologi. Subjek berjumlah 47 mahasiswa.
Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan Media dan Teknologi Pembelajaran Biologi,
berkewajiban membuat media pembelajaran Biologi yang sesuai untuk siswa sekolah menengah atas
(SMA/MA). Mahasiswa dibagi kedalam 15 kelompok, yang terdiri dari 2 (dua) atau 3 (tiga) orang.
Media yang sudah disusun oleh mahasiswa kemudian dinilai oleh 2 (dua) orang evaluator
Penelitian ini menggunakan metode Research and Development (R&D). Borg and Gall
(1989) menyatakan "educational research and development is a process used to develop and validate
educational product". Yang berarti bahwa penelitian pengembangan pendidikan (R&D) merupakan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

95
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

sebuah proses yang dipakai untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Hasil dari
penelitian pengembangan ini tidak hanya untuk pengembangan sebuah produk yang sudah ada saja,
melainkan juga untuk menemukan suatu pengetahuan atau jawaban atas permasalahan praktis.
Sugiyono (2009) menyampaikan bahwa Research and Development adalah metode penelitian yang
digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan metode tersebut.
Sejalan dengan hal ini, Sukmadinata (2011) menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan
(R&D) adalah suatu pendekatan penelitian untuk menghasilkan suatu produk baru atau
menyempurnakan produk yang sudah ada. Produk yang dihasilkan dapat berbentuk hardware
maupun software.
Berdasarkan penjelasan Borg & Gall (2003), Bogdan & Biklen (1982), dan Sukmadinata
(2011), secara esensial penelitian pengembangan memiliki tiga tahapan pokok, yaitu studi
pendahuluan, pengembangan, dan pengujian.
Selanjutnya, karena penelitian ini berkaitan dengan proses pembelajaran, maka esensi tiga tahap
pengembangan tersebut (studi pendahuluan, pengembangan, dan pengujian) dilaksanakan dengan
bertumpu pada prinsip dan langkah-langkah pengembangan rancangan pembelajaran model ADDIE
seperti yang dikemukakan oleh MCGriff (2003) dan Prawiradilaga (2007).

Hasil dan Pembahasan


Dalam pelaksanaan penelitian di laksanakan dengan 3 tahap utama yaitu:
1. Tahap Studi Pendahuluan
Pada tahap ini terdiri dari 2 bagian antara lain : studi literatur dan studi lapangan. Studi
literatur dilakukan dengan mencari referensi maupun pustaka yang terkait dengan mata pelajaran
Biologi di SMA/MA. Sedangkan studi lapangan dengan menggali informasi, menggali
permasalahan dan mengidentifikasi masalah dalam pembelajaran biologi.
2. Tahap Pengembangan
Pada tahap ini terdiri dari beberapa tahap yaitu:
a. Penyusunan draft dan desain
Data yang didapat dari studi literatur dan studi lapangan ditunjang dengan dasar-dasar teori
dan hasil kepustakaan selanjutnya dilakukan penyusunan draft media yang terdiri dari:
1) Penyusunan draft materi
Berdasarkan hasil studi literatur, di simpulkan bahwa ada beberapa materi esensial pada
mata pelajaran biologi di SAM/MA, materi materi tersebut antara lain adalah: Animalia, protista,
jamur, bakteri, virus, kenaeka ragaman hayati, dunia tumbuhan, sistem pernapasan, sistem
pencernaan, sistem syaraf, sistem reproduksi, sistem eksresi dan sistem peredaran darah.
2) Penyusunan peta program (program mapping)
Setelah materi didapat, selanjutnya dilakukan penyusunan peta program. Penyusunan peta program
dilakukan untuk memudahkan dalam pengembangan media pembelajaran. Pembuatan peta program
ini disesuaikan dengan materi yang akan di kembangkan.
Contoh peta program yang dikembangkan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

96
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 1. Contoh Isian Peta Program


No Konsep/Sub Learning Point Alokasi
Visualisasi Sumber Belajar
Waktu

3) Drafting dan uoloading materi


Berikut disajikan materi biologi dan jenis media sosial yang digunakan:

Tabel 2. Media Pembelajaran yang dikembangkan Mahasiswa Menggunakan Blog


No Materi Blog
1 Animalia Anymalia.blogspot.co.id
2 Protista Protista2.blogspot.co.id
3 Virus Virusbiologi4a. blogspot.co.id
4 Jamur mimikio.blogspot.co.id
5 Bakteri bakteribacteria.blogspot.co.id
6 Keanekaraga Wowbiodiversity..blogspot.co.i
man hayati d
7 Dunia duniaplantae.blogspot.co.id
Tumbuhan
8 Sistem biorespirasi.blogspot.com
Pernapasan
9 Sistem sistempencernaanoke.blogspot.
Pencernaan com
10 Sistem ocahuzarere.blogspot.com
Syaraf
11 Sistem ruangbioku.blogspot.com
Reproduksi
12 Sistem sistemeksresipbiouinjkt.blogsp
Eksresi ot.com
13 Sistem Imun gengimun.blogspot.com

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

97
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

14 Sistem biologger.blogspot.com
Gerak
15 Sistem Pembelajaran59.blogspot.com
Peredaran

Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa seluruh kelompok mahasiswa yang menjadi sampel
penelitian telah mampu mengembangkan media pembelajaran dengan menggunakan media sosial
blog.
Tabel 3. Media Pembelajaran yang dikembangkan Mahasiswa Menggunakan Facebook
No Materi Alamat Facebook
1 Animalia Seputar Kingdom Animalia
2 Protista Kingdom Protista
3 Virus Seputar Virus
4 Jamur Mikologi UIN
5 Bakteri Bacteri (Bacteri O Fact)
6 Keanekaraga Kenaekaragaman Hayati
man hayati
7 Dunia Kingdom Plantae
Tumbuhan
8 Sistem 08998188186
Pernapasan
9 Sistem Bio Digestion
Pencernaan
10 Sistem Brains Fact
Syaraf
11 Sistem Sitianissa.fauzi
Reproduksi
12 Sistem Sistem eksresi
Eksresi
13 Sistem Imun sistemimoen
15 Sistem Biologi Edukasi
Peredaran
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa seluruh kelompok mahasiswa yang menjadi sampel
penelitian telah mampu mengembangkan media pembelajaran dengan menggunakan media sosial
facebook.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

98
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 4. Media Pembelajaran yang dikembangkan Mahasiswa Menggunakan Twitter


No Materi Twitter
1 Animalia @animaliakingdomI
2 Protista @Protista_4
3 Virus @4avirus
4 Jamur @mikology_bio
5 Bakteri @bacteribacteria
6 Keanekaraga @WowBiodiversity
man hayati
7 Dunia @duniatumbuhan123
Tumbuhan
8 Sistem @biorespirasi
Pernapasan
9 Sistem @bio_digestion
Pencernaan
10 Sistem @brainfact
Syaraf
11 Sistem @s_reproduksi
Reproduksi
12 Sistem @excretionsystem
Eksresi
13 Sistem Imun @sistemimoen
14 Sistem @biologger16
Gerak

Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa 14 kelompok (93%) telah mampu mengembangkan media
pembelajaran dengan menggunakan media sosial twitter.

Tabel 5. Media Pembelajaran yang dikembangkan Mahasiswa Menggunakan Instagram


No Materi Instagram
1 Animalia @animaliakingdomI
2 Protista @Protista_4a
3 Virus @virology_4a
4 Jamur @mikology_bio

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

99
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

5 Bakteri @bacteribacteria
6 Keanekaraga @Wow_Biodiversity
man hayati
7 Dunia @duniatumbuhan
Tumbuhan
8 Sistem @biorespirasi
Pernapasan
9 Sistem @bio_digestion
Pencernaan
10 Sistem @brainfact
Syaraf
11 Sistem @s_reproduction_system
Reproduksi
12 Sistem @excretionsystem
Eksresi
13 Sistem Imun @sistemimoen
14 Sistem @biologger16
Gerak
15 Sistem @bioeduac
Peredaran
Darah
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa seluruh kelompok mahasiswa yang menjadi sampel
penelitian telah mampu mengembangkan media pembelajaran dengan menggunakan media sosial
instagram.

3. Tahap Penilaian
Pada penelitian ini penialian dilakukan oleh dosen pengampu matakuliah media dan
teknologi pembelajaran biologi. Beberapa hal yang dinilai adalah kelayakan isi, kebahasaaan,
penyajian, penggunaan, struktur navigasi, desain grafis, kemampuan akses, kecepatan akses, fungsi,
maintenabilitas, reusability, dan sharebility. Instrumen penilaian merupakan skala likert dengan
rentang nilai 1 sampai 5. Hasil penilaian dari evaluator memperlihatkan hasil bahwa untuk aspek
kelayakan isi dinilai baik oleh evaluator dengan nilai rata rata sebesar 3,21. Untuk aspek kebahasaan
memperoleh nilai rata rata sebesar 3,15 (baik), penyajian 3,18 (baik), penggunaan 3,07 (baik),
struktur navigasi 3,24 (baik), desain grafis 3,22 (baik), kemampuan akses 3,65 (baik), kecepatan
akses 3,6 (baik), fungsi 3,34 (baik), maintanibility 3,32 (baik), reusability 3,35 (baik) dan aspek
sharebility sebesar 3,42 (baik).
Apabila dilihat pada data diatas, terlihat bahwa kemampuan akses menjadi aspek yang
mendapatkan nilai yang tertinggi, sementara aspek penggunaan mendapatkan nilai terrendah.
Namun demikian tidak ada satupun aspek yang mendapatkan nilai kurang dari 3 (katagori baik).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

100
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dapat disimpulkan bahwa seluruh aspek yang dinilai oleh evaluator mendapatkan nilai
dalam katagori baik dan media yang dikembangkan dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran
Biologi di SMA/MA.
Selanjutnya, apabila dibandingkan antar konsep, didapatkan hasil sebagai berikut: untuk
konsep sistem reproduksi didapatkan nilai rata rata sebesar 3,27 (baik), sistem eksresi 3,59 (baik),
keanekaragaman hayati 2,82 (baik), virus 3,37 (baik), plantae 3,6 (baik) sistem peredaran darah 3,45
(baik), animalia 2,9 (baik), protista 3,25 (baik), sistem pencernaan 3,66 (baik), sistem syaraf 3,32
(baik), sistem pernapasan 3,24 (baik), sistem gerak 3,6 (baik) dan sistem imun 3,22 (baik).
Dari data diatas, terlihat bahwa konsep sistem pencernaan mendapatkan nilai tetinggi
(3,66) dan konsep Animalia mendapatkan nilai terendah (2,9). Hal ini disebabkan karena Animalia
memiliki cakupan materi yang luas dan memerlukan banyak ragam animasi untuk menyajikannya.
Sehingga mahasiswa memiliki keterbatasan untuk menyajikannya dengan baik. Untuk konsep sistem
pencernaan, aspek tertinggi didapatkan pada aspek penyajian, kemampuan akses, kecepatan akses,
reusability dan sharebility dengan nilai masing masing 4 (sangat baik). Sedangkan untuk konsep
Animalia nilai tertinggi didapatkan pada aspek kecepatan akses dengan nilai 3,5 dan nilai terendah
pada aspek Reusability sebesar 2,5.
Pengembangan media pembelajaran biologi tidak terlepas dari karakterisstik konsep yang
ada dalam tiap tiap konsep. Untuk menyajikan dalam media pembelajaran dibutuhkan multimedia
yang dapat menghasilkan suatu informasi berupa gambar, suara, dan animasi sehingga peran
multimedia sangat membantu dalam mengalirkan informasi.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Macam media sosial yang dipakai oleh mahasiswa dalam mengembangkan media
pembelajaran adalah : Instagram, Facebook, Blog dan Twitter
b. Konsep biologi yang dikembangkan mahasiswa terdiri dari 15 (lima belas) konsep biologi
yaitu: animalia, protista, virus, jamur, bakteri, keanekaragaman hayati, dunia tumbuhan,
sistem pernapasan, sistem pencernaan, sistem syaraf, sistem reproduksi, sistem eksresi,
sistem imunitas, sistem gerak dan sistem peredaran darah.
c. Kemampuan mengembangkan media pembelajaran mahasiswa termasuk dalam kategori
baik.
1) Produk akhir penelitian masih ada kekurangan, bagi peneliti yang ingin
mengembangkan media pembelajaran berbasis video tutorial dengan menggunakan
berbagai software yang ada
2) Perkuliahan dengan media sosial diharapkan dapat digunakan dalam mata kuliah
lainnya.
3) Media pembelajaran yang dikembangkan diharapkan lebih bervariasi, dengan
menggunakan teknologi terkini antara lain menggunakan audio book dan video book.

Daftar Pustaka
Ariesto Hadi Sutopo (2012), Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan. Yogyakarta.
Graha Ilmu.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

101
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Azhar Arsyad (2003), Media Pembelajaran. Jakarta PT.Raja Grafindo Persada.


Bambang Warsita (2008). Tekhnologi Pembelajaran. Jakarta PT. Rineka Cipta.
Basyiruddin Usman, Asnawir, 2002, Media Pembelajaran, Jakarta : Ciputat Pers.
Borg and Gall (1983), Educational Reseach, An Introduction. New York and London, Longman
Inc.
Chaeruman. (2008). Mengembangkan Sistem Pembelajaran dengan Model ADDIE. Jakarta: PT
Remaja Rosdakarya
Gay, L.R. (1991). Educational Evaluation and Measurement: Competencies for Analysis and
Application. Second edition. New York: Macmillan Publishing Company.
Horton, W. (2012). E-Learning by Design. USA: Pfeiffer
Lukman, E. (2015, January 21). The latest numbers on web, mobile, and social media in Indonesia
(INFOGRAPHIC) . Retrieved from TECHINASIA:
https://www.techinasia.com/indonesia-web-mobile-data-start-2015
Oemar Hamalik, 1989, Media Pendidikan, Bandung : Citra Aditya
Rusman,dkk., Pembelajaran Berbasis TIK (2012). Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Sugiyono, (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D . Bandung: Alfabeta
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

102
Bibit Sudarsono, Ali Haidir
AMIK BSI Karawang
e-mail: bibit.bbs@bsi.ac.id, ali.alh@bsi.ac.id

Abstract. The development of the internet brings a very significant impact on the sale and purchase
transactions conducted by both the seller and buyer, one of them is the method of spending built
with systems that are inter-related to each other in the transaction process. This method can change
the behavior of shopping that is conventional to the digital or so-called e-commerce. E-commerce
provides an opportunity for sellers to open new business through online store. Currently, many
marketplaces provide various facilities which make sellers easier to manage and conduct business
competition in online stores. One of the facilities provided by the marketplace in order to facilitate
the seller to optimize the transaction activity is the use of premium member facilities with various
levels that can be categorized into bronze, silver, and gold member. The impact of the use of these
facilities are different from each other stages, from store performance to service providers given
marketplace to online store owners. Thus, the use of premium member facilities can be used as a
reference for online store owners in determining the right business strategy for maximum
achievement gained.

Keywords:Premium member, e-commerce, marketplace, toko online.

Abstrak. Perkembangan internet membawa dampak yang sangat signifikan terhadap transaksi jual
beli yang dilakukan baik oleh penjual maupun pembeli, salah satunya metode pembelanjaan
dibangun dengan sistem yang terintergasi satu sama lain dalam proses transaksinya. Kemudahan
tersebut dapat merubah perilaku berbelanja yang bersifat konvensional ke arah digital atau biasa
disebut e-commerce. Dengan adanya e-commerce memberikan kesempatan kepada penjual membuka
peluang usaha baru melaui toko online. Saat ini banyak marketplace yang memberikan berbagai
fasilitas kemudahan penjual dalam melakukan persaingan usaha dalam toko online yang dikelolanya.
Salah satu fasilitas yang disediakan marketplace guna mempermudah penjual mengoptimalkan
kegiatan transaksinya adalah penggunaan fasilitas premium member dengan berbagai tingkatan yang
dapat dianalogikan seperti bronze, silver dan gold. Dampak dari penggunaan fasilitas tersebut
berbeda disetiap tingkatannya, mulai dari performa toko sampai pada pelayanan yang diberikan
penyedia marketplace terhadap pemilik toko online. Dengan demikian penggunaan fasilitas premium
member dapat dijadikan sebagai acuan bagi pemilik toko online dalam menentukan strategi bisnis
yang tepat agar pencapaian yang didapat semakin maksimal.

Kata Kunci: Premium member, e-commerce, marketplace, toko online.

Pendahuluan
Dalam perkembangan teknologi informasi secara global, banyak terjadi pergeseran pada
sistem jual beli yang salah satunya memiliki pengaruh kepada transaksi baik penjualan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

maupun pembelian. Terlebih lagi dengan semakin berkembangnya internet membawa


dampak yang sangat signifikan terhadap transaksi jual beli yang dilakukan baik oleh penjual
maupun pembeli. Internet memberikan perbedaan tersendiri melalui cara-cara yang baru
dalam dunia perdagangan sehingga membawa kemudahan dalam berbagai hal, salah satunya
metode pembelanjaan dibangun dengan sistem yang terintergasi mulai dari pemesanan,
metode pembayaran, pengiriman hingga penerimaan barang dimana pada saat penerimaan
barang terdapat fasilitas lain berupa retur barang atau komplain.
Kemudahan berbelanja merupakan hal yang dicari oleh calon pembeli (konsumen),
dimana kemudahan tersebut dapat merubah perilaku berbelanja yang bersifat konvensional
kearah digital atau biasa disebut e-commerce. Terjadinya pergeseran dalam sistem jual beli
atau perdagangan, dimana internet (website) telah banyak melakukan perubahan dalam
sebuah aplikasi bisnis. (Farki dkk, 2016), Pertumbuhan e-commerce di Indonesia meningkat
didukung oleh janji pemerintah dengan melakukan pembangunan infrastruktur, logistik,
financing instution serta aspek yang mendukung secara berkelanjutan.
Saat persaingan dalam e-commerce muncul, maka penjual (seller) mengambil peluang
dengan memanfaatkan marketplace yang ada, walaupun demikian marketplace mempunyai
pangsa pasar yang berbeda-beda dalam menarik calon pembeli. Pada dasarnya marketplace
yang ada membutuhkan penjual untuk menjual barangnya dengan harga bersaing. Dengan
harga yang diberikan, secara langsung konsumen akan memilih dengan berbagai faktor dan
keuntungan yang diperoleh dengan membeli pada marketplace yang telah disediakan
Beberapa marketplace memberikan pelayanan secara terbuka terhadap penjual mulai dari
member gratis hingga berbayar. Dalam sebuah jual beli secara online dibutuhkan sebuah
kepercayaan konsumen dalam melakukan transaksi, mulai dari identitas penjual, kredibilitas
toko, pelayanan, dan cara pengajuan komplain terhadap barang yang sudah dibeli. Sebuah
bisnis online membutuhkan sebuah skill dan modal guna meningkatkan omset penjualan,
sehingga sebuah identitas seperti premium member sangat dibutuhkan.
Lebih lanjut menurut (Nugroho, 2017; Saputri 2015), e-commerce memiliki beberapa
model seperti, model classified advertising dimana suatu media atau pasar online,yang para
penjualnya bertindak sebagai pembuat iklan produk yang terdiri dari foto disertai deksripsi
produk dimana harus diunggah secara real secara online. Setelah ini, jika calon pembeli
(konsumen) tertarik pada sebuah produk yang ditawarkan atau dijual, dapat mengirimkan
notifikasi kepada penjual atau dapat melakukan transaksi langsung yang mana penjual akan
menerima notifikasi operator sistem dari situs jual beli online tersebut. Maka dalam dunia
bisnis online, beberapa layanan seperti service quality, emotional factor, dan kemudahan
merupakan hal yang penting dalam mencapai sebuah kepuasan.
Di Indonesia pertumbuhan belanja online yang semakin meningkat tiap tahunnya,
menyebabkan banyak bermunculan para pelaku e-commerce untuk kemudian mencari
peluang serta keuntungan dari minat pelanggan dalam berbelanja. Beberapa pelaku
marketplace yang sudah memiliki pengunjung yang sangat besar dalam jual beli diantaranya
Tokopedia dan Bukalapak sebagai contoh pada penelitian ini, dimana para penjual (seller)
dapat menjual produknya dalam jumlah yang bervariasi serta harga yang bersaing.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

104
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh CNN Indonesia, walau ada beberapa
marketplace yang didominasi oleh merchant-merchant besar. (Rahman dan Mawardi 2017).

Sumber :Susetyo Dwi Prihadi, CNN Indonesia (2017)


Gambar 1. Jumlahpengunjung 10 situs e-Commerce di Indonesia

Berdasarkan (Adiwiharja 2016), e-commerece sendiri memiliki lima konsep dasar yang
menjadi pedoman dalam jual beli secara online diantaranya automation yang pada dasarnya
merupakan otomasi bisnis proses dimana pengganti proses manual (konsep
berdasarkan“enterprise resource planning”, lalu streamlining / integration sebuah proses
terintegrasi guna mencapaian hasil efisien serta efektif berdasarkan konsep just in time, serta
publishing sebuah proses yang memudahkan untuk berkomunikasi dan berpromosi terhadap
sebuah produk dan jasa yang dijual belikan yaitu electronic cataloging, berikutnya interaction
dimana merupakan pertukaran sebuah informasi/data sesama pelaku bisnis dengan
mengurangi dampak human error yaitu electronic data interchange”, dan terakhir transaksi
merupakan kesepakatan antar pelaku bisnis dalam bertransaksi dengan bekerjasama pihak
ketiga sebagai fungsi pembayaran dalam hal ini electronic payment.

Metode
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, penulis menganalisis dampak premium
member yang telah dijalankan oleh para penjual (seller) sebagai identitas toko yang berfungsi
sebagai strategi penjualan dalam e-commerce pada marketplace dengan menggambarkan
situasi atau kejadian yang sebenarnya. Dengan demikian kerja penelitian ini tidak hanya
memberikan gambaran mengenai fenomena dalam dunia e-commerce melainkan membuat
prediksi serta membuat kesimpulan atas penggunaan fasilitas premium member.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

105
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hasil dan Pembahasan


Premium Member
Jual beli online yang terdapat di Indonesia ada dua jenis yaitu gratis dan berbayar.
Layanan berbayar disebut dengan premium member yang memiliki kelebihan dari berbagai
fasilitas yang diberikan oleh marketplace. Pada premium member yang disediakan oleh
marketplace e-commerce memiliki berbagai macam layanan yang dibagi secara global
identitas seperti dasar, profesinal dan platinum. Premium member memberikan berbagai
fasilitas yang berfungsi bagi penjual untuk meningkatkan omset penjualan, beberapa fasilitas
yang diberikan secara global seperti, performa toko, logo identitas, statistik penjualan,
pengaturan promo, cash back penjual, produk unggulan atau barang terlaris dan berbagai
keuntungan fasilitas yang lain.

Sumber : Hasil penelitian (2018)


Gambar 2. Premium member Bukalapak

Sumber : Hasilpenelitian (2018)


Gambar3. Premium member Tokopedia
.
Konsep Dasar Strategi Penjualan
Strategi merupakan hal penting dalam sebuah penjualan, dimana strategi merupakan pola
keputusan dalam sebuah perusahaan yang akan menentukan dan menjelaskan sebuah sasaran,
point utama dalam tujuan yang menghasilkan sebuah kebijakan utama guna pencapaian

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

106
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tujuan serta merinci jangkauan bisnis yang ditentuakan awal oleh sebuah perusahaan. (Lupi
dan Nurdin 2016).
Pada dasarnya ada sembilan strategi yang dapat digunakan dalam sebuah persaingan usaha
jual beli, diantaranya kualitas tinggi dan harga tinggi atau kualitas tinggi dan harga
menengah/sedang maupun kualitas tinggi dan harga murah, serta kualitas menengah dan
harga tinggi, ditambah dengan kualitas menengah dan harga menengah/sedang, atau pun
kualitas menengah dan harga murah, juga kualitas rendah dan harga tinggi, terakhir kualitas
rendah dan harga menengah/sedang, atau pun kualitas rendah dan hargamurah.
Penjualan merupakan sebuah proses transaksi jual beli dimana sebagai pelengkap
pembelian, untuk memungkinkan sebuah transaksi yang sedang berlangsung baik barang atau
pun jasa. Sehingga proses penjualan seperti halnya dengan pembelian, terdiri dari berbagai
kegiatan meliputi penciptaan permintaan, menemukan calon pembeli, penawaran harga, dan
beberapa syarat-syarat pembayaran yang telah disepakati/digunakan..

Fitur-fitur Premium Member


Sebagai penjual tentunya mengharapkan produk yang dijual dapat ditemukan dengan
mudah oleh konsumen dan toko juga dikenal. Jika ada penjual di marketplace mengeluhkan
bahwa penjualan produk tidak sesuai yang diharapkan serta toko tidak mudah ditemukan,
meskipun telah menggunakan berbagai cara strategi dalam membangun maka ada beberapa
faktor penyebabnya, salah satunya dari kendala tersebut adalah, belum mendaftar menjadi
premium member. Beberapa fitur-fitur yang ada dalam premium member secara global pada
marketplace yang telah disediakan, seperti :
a. Badge Member
Merupakan simbol emblem yang diberikan kepada marketplace ketika terdaftar pada
premium member yang berfungsi sebagai identitas toko online serta simbol yang memiliki
reputasi. Badge member ini, tidak diberikan berdasarkan berapa lama penjual terdaftar pada
marketplace, melainkan sudah berapa banyak produk yang dijual dan kepuasaan konsumen
terhadap pelayanan dari penjual.

Sumber : Hasil penelitian (2018)


Gambar 4. Perbedaan Premium Member dan Non Member

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

107
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

b. Performa Toko
Merupakan indikator penjualan yang diberikan agar penjual dapat melihat transaksi yang
telah dilakukan seperti, berapa banyak proses penjualan dan pembatalan, pendapatan kotor,
tingkat komplain yang dilakukan pembeli, respon toko dalam memberikan pelayanan, hingga
kuliatas dan akurasi produk yang ditawarkan. Selain itu masih ada beberapa indikator
pendukung yang lain, agar penjual dapat selalu berbenah terhadap tokonya.
c. Statistik
Pada statistik terdapat dua indikator yang berperan penting dalam informasi yang
diberikan oleh marketplace yaitu data penjualan dan data produk. Data penjualan yang terdiri
dari penjualan kotor/bersih, ongkos kirim, biaya topads yang terpakai dalam promosi, dan
total transaksi yang telah dilakukan. Data produk sendiri, terdiri berapa kali produk dilihat,
produk terjual, tingkat konversi yang telah dilakukan dalam melakukan promo, produk
terlaris hingga produk yang diminati oleh konsumen.
d. Cash back
Cash back merupakan reward yang diberikan kepada penjual ketika premium member
diperpanjang. Bentuk yang diberikan berbagai macam, mulai dari cash back tunai hingga yang
diberikan dengan memberikan potongan terhadap promo yang dilakukan merketplace.
e. Peluang
Merupakan fitur yang diberikan kepada penjual, jika ada penjual yang tidak dapat
memenuhi pesanan konsumen, penjual tersebut dapat mengambil alih pesanan konsumen
tanpa harus konfirmasi dengan penjual awal. Untuk keuntungan yang diperoleh tergantung
dari penjual, karena pada fitur ini, marketplace memberikan point dalam bentuk reputasi.

Metode Pembayaran
Pada marketplace yang ada, berbagai cara pembayaran diberikan dengan bekerjasama pada
pihak ketiga untuk mempermudah dalam bertransaksi. Penjual dan pembeli diberikan sebuah
sistem, dimana untuk mengantisipasi sebuah penipuan. Jika pembeli ingin bayar diberikan
berbagai pilihan metode pembayaran, sehingga dana yang telah dikeluarkan pembeli akan
masuk ke rekening bersama dalam sebuah sistem yang disediakan marketplace, jika sebuah
transaksi penjualan selesai.
Beberapa metode pembayaran yang berikan diantaranya :
a. Saldo Marketplace
Saldo yang dimiliki oleh penjual dan pembeli dimana telah memiliki akun pada
marketplace . Saldo tersebut merupakan deposit dalam marketplace, dimana bisa digunakan
dalam bertransaksi baik yang akan maupun transaksi batal dalam penjualan dan pembelian.
b. Transfer Bank

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

108
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Transfer bank merupakan sarana pembayaran yang dapat dilakukan oleh pembeli ketika
ingin melakukan transaksi pembayaran ketika barang selesai di checkout. Dalam transfer bank
ini, pembayaran tidak otomatis terdeteksi, sehingga harus melakukan konfirmasi kembali
terhadap marketplace yang digunakan.
c. Kartu Kredit
Jenis pembayaran yang telah disediakan oleh marketplace, dimana pembeli langsung
melakukan pembayaran secara online tanpa perlu melakukan penggesekan kartu. Pada kartu
kredit ini, pembeli cukup menginputkan nomor kartu kredit sebagai transaksi.
d. Internet Banking
Internet banking merupakan pembayaran yang menggunakan layanan bank, dimana
sekarang jaringan internet dan nirkabel telah merambah ke dunia smartphone. Sehingga
transaksi dapat dilakukan kapan dan dimana saja.
e. Gerai/Kios
Merupakan tempat yang telah ditunjuk untuk melakukan kerjasama sebagai tempat
pembayaran dalam bertransaksi marketplace.

Sumber : Hasil penelitian (2018)


Gambar5. Metode Pembayaran Tokopedia
Keamanan Bertransaksi
Adapun beberapa keamanan dalam bertransaksi yang dilakukan untuk e-commerce,
diantaranya (Khairunisa, 2013):
1) Public Key Infrastructure (PKI), memungkinkan para pemakai yang pada dasarnya
tidak aman didalam jaringan, dalam hal ini seperti internet, maka dengan public key
infrastructure akan memiliki sebuah keamanan dan secara pribadi proses pertukaran
transaksi keuangan dan data melalui penggunaan layanan publik. Infrastruktur kunci
publik menyediakan suatu sertifikat digital yang dapat mengidentifikasi perorangan atau
suatu direktori jasa dan organisasi yang dapat menyimpan dan, manakala diperlukan
untuk menarik kembali sertifikat tersebut. Pada point 2) Public Key Encryption, sebuah
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

109
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

proses dari pengkodeaan data mentah, menjadi sebuah data yang terselubung yang
dikirimkan oleh pengirim yang dapat disampaikan oleh penerima dengan aman dengan
teknik pemetaan tertentu. Kriteria keamanan yang dipergunakan pemetaan tertentu.
Kriteria keamanan yang dipergunakan dalam kriptographi adalah: a.
kerahasiaan (confidentiality), b. otensitas (authenticity), c. integritas (integrity), d. tidak
dapat disangkal. Setelah point tersebut, 3) DigitalSignature, tanda tangan digitalmerupakan
tanda tangan yang dibuat secara elektronik, dengan jaminan yang lebih terhadap
keamanan data dan keaslian data, baik jaminan tentang indentitas pengirim dan
kebenaran dari data atau paket indentitas pengirim dan kebenaran dari data atau
paket data terebut. Setelah Public Key Encryption, 4) Certificate Digital, sertifikat otoritas
yang merupakan sertikat kemanan dari pihak ketiga yang bisa dipercaya (Trust Thrid Party
/TTP). Sertifikat Otoritas yang akan menghubungkan kunci dengan pemiliknya. TTP ini
akan menerbitkan sertifikat yang berisi identitas seseorang dan juga kunci privat dari orang
tersebut. Ditambah dengan, 5) Secure Electronic Transaction (SET), merupakan suatu
proses dimana pemegang kartu kredit akan melakukan pembayaran belanjaan pada situs
yang dimiliki oleh merchant, pemegang kartu akan memasukkan “surat perintah
pembayaran” dan informasi kartu kreditnya ke dalam sebuah amplop digital yang hanya bisa
dibuka oleh payment gateway. Amplop tersebut beserta “surat pemesanan barang “ dikirim
ke merchant. Merchant akan melakukan sebuah kegiatan dimana transaksi dari pemesanan
barang tersebut, lalu mengirimkan sampul surat digital tersebut kepada paymentgateway
yang akan melakukan otorisasi. Payment gateway melakukan otorisasi dan jika
disetujui akan mengirimkan kode otorisasi kepada merchant. Merchant kemudian
mengirimkan barang tersebut kepada pemegang kartu kredit. Lalu, 6) Protokol
cryptographic atau yang lebih dikenal dengan Transport Layer Security (TLS) dimana
menyediakan keamanan komunikasi pada internet seperti e-mail, internetfaxing, dan
perpindahan data lain. Terakhir, 7) Secure Socket Layer (SSL), merupakan suatu
protokol yang membuat sebuah jalur pelindung antara browsercardholder dengan
merchant, serta pembajak atau cardholder dengan merchant, yang pada akhirnya
pembajak atau penyerang tidak dapat menyadap atau membajak informasi yang
mengalir pada jalur tersebut. Pada penggunaannya SSL digunakan bersaman dengan
protokol lain, seperti HTTP (HyperText Transfer Protocol ) dan Sertificate Autority.
Protokol ini memfasilitasi dalam penggunaan enkripsi untuk sebuah data yang rahasia dan
membantu guna menjamin integritas informasi yang dipertukarkan antara website dan web
browser yang digunakan.
(Damanik, 2012), SSL berjalan diantara protokol komunikasi TCP/IP (Transmission
Control Protocol/Internet Protocol) dan aplikasi (Gambar 6). SSL itu sendiri bisa
dikategorikan sebagai lapisan (layer) baru diantara lapisan Transport (TCP) dan lapisan
aplikasi. TCP/IP merupakan standard protokol yang digunakan dalam menghubungkan
komputer dan jaringan, dimana jaringan yang digunakan merupakan sebuah dari jaringan
yang lebih besar, yaitu internet.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

110
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sumber : Erikson (2018)


Gambar 6.Lapisan dan Protol untuk Brwosing dengan SSL

Penutup
Simpulan
Marketplace atau e-commerce memudahkan para penjual dalam memasarkan produk yang
dimiliki dalam jumlah yang sangat banyak tanpa harus menyewa sebuah tempat secara fisik,
karena dengan adanya marketplace pula para pembeli dapat melakukan pembelian barang
yang diinginkan dengan mencari kata (keyword) yang diinginkan.
Berdasarkan analisis terhadap strategi pemasaran dan penjualan banyak merchant-
merchant besar bergabung dalam marketplace, baik secara individu maupun pemilik usaha
karena pengelolaan toko online yang mudah, efektif dan efisien.
Pada dasarnya marketplace menyediakan fasilitas gratis menjadi anggota, dalam usaha
penjualan atau pemasaran sebuah produk. Tapi, perlu diperhatikan untuk mencapai sebuah
target yang diharapkan diperlukan sebuah modal agar toko yang kita miliki dapat bersaing
dengan toko lainnya yaitu dengan menjadi premium member.
Dalam kualitas informasi, kualitas sistem, serta kualitas layanan setelah di analisis,
premium member terbukti memiliki pengaruh terhadap kepuasaan pelanggan.
Pada marketplace atau e-commerce tidak hanya sebuah web/portal belanja melainkan juga
sebuah wadah pasar virtual dimana sebagai konsep sebuah pasar virtual yang menyajikan
informasi sebeuah produk baru atau review dan konsultasi produk yang dijual oleh penjual
berdasarkan penilaian dari konsumen yang telah melakukan transaksi pembelian.

Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan penulisan, dalam sebuah bisnis atau usaha yang
dilakukan pada dunia online jangan berharap lebih jika penjual (seller), tidak mengantisipasi
dengan promo yang dilakukan oleh marketplace. Dalam hal ini, jangan selalu berharap

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

111
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dengan yang gratis walaupun diberikan oleh marketplace yang telah memiliki reputasi yang
baik.
Mencoba untuk menjadi premium member tidak akan membebankan keuangan yang
dimiliki penjual karena dalam premium member dibagi dalam beberapa kategori yang
memiliki keunggulan berbeda disetiap tingkatannya. Meningkatkan pelayanan penjualan dan
respect terhadap diskusi maupun komunikasi lainnya merupakan salah satu cara lain yang
dapat digunakan untuk meningkatkan reputasi yang dimiliki oleh penjual.
Dengan adanya penulisan ini, penulis berharap akan ada pembahasan lebih lanjut dan
lebih detail mengenai marketplace sebagai media bisnis secara online.

Daftar Pustaka
Adiwihardja, Cep. 2016. E-commerce Sebagai Model Inovasi Teknologi Strategi
Enterpreneur Menurut Preferensi Pengguna Pada Jakartanotebook.Com . Bina Insani
ICT Journal, p 154 – 163
Damanik, Erikson. 2012. Perancangan Sistem Informasi Pembayaran Online Menggunakan
Payment Gateway. JSM STMIK Mikroskil. p 63-71
Farki, Ahmad. Baihaqi, Imam. Wibawa, Berto Mulia Wibawa. 2016. Pengaruh Online
Customer Review Dan Rating Terhadap Kepercayaan Dan Minat Pembelian Pada
Online Marketplace Di Indonesia. Jurnal Teknik ITS : A614-A619
Khairunisa I. 2013. Sistem Penjualan Produk Handmade Berbasis Ecommerce.
Lupi, Fadel Retzen. Nurdin. 2016. Analisis Strategi Pemasaran Dan Penjualan E-Commerce
Pada Tokopedia.Com. Jurnal Elektronik Sistem Informasi Dan Komputer. Bina Mulia. p
20-29
Nugroho, Anif Kurniawan. Sari, Puspita Kencana. 2016. Analisis Pengaruh Kualitas
Website Tokopedia Terhadap Kepuasan Pengguna Menggunakan Metode WebQual 4.0
. E-Proceeding Of Management. Fak. Ekonomi Bisnis. Universitas Telkom. p 2930-
2937
Rahman, Fadhlir. Mawardi, M. Kholid. 2017. Strategi Umkm Dalam Membangun Brand
Toko Online Di Marketplace (Studi Pada Komunitas Tokopedia Di Kota Bekasi).
Jurnal Administrasi Bisnis. Univ. Brawijaya p 39-48
Sidharta, Iwan. Suzanto, Boy. 2015. Pengaruh Kepuasaan Transaksi Online Shopping dan
Kepercayaan Konsumen Terhadap Sikap Serta Perilaku Konsumen Pada E-Commerce.
Jurnal Computech dan Bisnis. p 23-36
.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

112
Devi Solehat, Fathiah Alatas, Reni Oktora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: devi.sholehat@uinjkt.ac.id
Abstrak. Team Games Tournament (TGT) merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam
menelaah dan memahami materi dengan bermain dan berkompetisi. Dalam penelitian ini, tahapan games TGT
dimodifikasi dengan media kokami. Media kokami merupakan gabungan antara media dan permainan yang
mampu menarik minat siswa untuk ikut aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran TGT berbantuan media kokami terhadap hasil belajar siswa.
Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain nonequivalent control group design
dan penentuan sampel dalam penelitian ini berdasarkan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan
adalah instrumen tes berupa tes objektif pilihan ganda dan instrumen nontes berupa angket respon siswa.
Berdasarkan analisis data tes, disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran TGT berbantuan
media kokami terhadap hasil belajar siswa pada konsep fluida statis. Pembelajaran menggunakan model
pembelajaran Kooperatif TGT berbantuan media kokami unggul pada jenjang kognitif C1 (mengingat), C2
(memahami), C3 (menerapkan), C4 (menganalisis). Respon siswa terhadap model pembelajaran Kooperatif
Teams Games Tournament (TGT) berbantuan media kokami berada
dalam kategori baik.

Kata Kunci: Model TGT, media kokami, hasil belajar, fluida statis

Pendahuluan
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan siswa
yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar siswa
dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien, pembelajaran dapat
dipandang dari dua sudut, yakni sebagai suatu sistem dan sebagai suatu proses (Kokom,
2013). Sehingga sistem pembelajaran sangat diperlukan oleh siswa agar proses pembelajaran
pun dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan.
Berdasarkan penelitian pendahuluan di salah satu SMAN Kota Tangerang Selatan
mengalami permasalahan yaitu pada proses pembelajaran fisika dimana siswa cenderung tidak
aktif dan siswa kurang terlibat dalam proses pembelajaran seperti guru menjelaskan siswa
hanya mendengarkan saja. Selain itu dalam pembelajaran siswa lebih banyak belajar secara
individualis, siswa yang pintar saja aktif dalam pembelajaran sedangkan siswa yang kurang
pintar hanya diam, sehingga sebagian besar siswa nyaman mengobrol saat Kegitan Belajar
Mengajar (KBM). Hal itu membuat siswa dalam kelas belum aktif dan komunikatif secara
keseluruhan dalam proses pembelajaran, akibatnya hasil belajar fisika siswa pun masih rendah.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Mengatasi permasalahan di atas, agar siswa tidak individual dan siswa menjadi aktif
serta ada komunikatif dalam pembelajaran maka diperlukan model pembelajaran kooperatif.
Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dimana KBM dilakukan
oleh siswa dalam kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam sistem
belajar yang kooperatif siswa memiliki dua tanggung jawab yaitu mereka belajar untuk dirinya
sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar memperoleh keberhasilan
(Rusman, 2011). Model pembelajaran kooperatif ini terdiri dari beberapa tipe, salah satu
diantaranya yakni model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament (TGT).
TGT merupakan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran kooperatif, dimana
para siswa dikelompokkan sebanyak 4-6 orang perkelompok secara heterogen berdasarkan
jenis kelamin, agama, etnis atau suku (Zulfiani dkk, 2009) . TGT merupakan model
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam menelaah dan memahami materi dengan bermain
dan bertanding. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran
kooperatif TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan
rasa tanggung jawab, kerja sama, persaingan yang sehat dan keterlibatan belajar (Rahmawati
dan Sunarti, 2016) .
Setiap model pembelajaran tentu memiliki kelemahan masing-masing, begitu pula
dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Hasil penelitian dari Wahyu Nur Musyafa
yang menerapkan model pembelajaran TGT ditemukan kelemahan pada model tersebut yaitu
menggabungkan tahapan games dengan tournament dan kurang menariknya media pada
pembelajaran TGT (Wahyu, 2015).
Media juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar
demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran disekolah pada
khususnya (Azhar, 2010). Pemilihan media yang tepat akan menarik perhatian siswa sehingga
dapat menghidupkan aktivitas siswa di kelas (Febriana dkk, 2016). Oleh karena itu
diperlukan media yang mampu menarik perhatian siswa dan dapat menghidupkan aktivitas
siswa. Salah satu solusinya memodifikasi tahapan games TGT dengan media pembelajaran
kreatif dan menarik minat belajar siswa. Salah satu jenis media pembelajaran yang digunakan
dan dipadukan dengan model pembelajaran TGT adalah media kokami.
Media kokami gabungan antara media dan permainan yang mampu menarik minat
siswa untuk ikut aktif terlibat dalam proses pembelajaran (Siska dan Murtiani, 2015).
Dikatakan kokami karena terdiri dari suatu kotak dan kartu misterius, dikatakan misterius
sebab kartu dimasukkan kedalam amplop, kemudian amplop diletakkan didalam suatu kotak
sehingga isi dari kartu tidak diketahui. Permainan kokami dapat merangsang daya pikir siswa
sehingga mereka mampu memahami pesan atau materi yang diberikan dan memacu siswa
untuk mencapai tujuan kelompok dengan menjawab permasalahan yang ada pada kartu pesan
(Febriana dkk, 2016). Media kokami juga mampu merangsang minat siswa dan perhatian
siswa sehingga dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa (Neneng dan Siska, 2014).
Konsep yang dapat diambil pada penelitian ini mengenai konsep fluida statis, bahwa
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

114
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pada konsep fluida statis rata-rata nilai kognitif siswa di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) yaitu rata-rata 63, dimana nilai KKM yaitu 75. Konsep fluida statis pada
pembelajaran fisika merupakan salah satu konsep yang sangat dekat aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari (Nurfatima dkk, 2015). Namun masih banyak siswa yang mengalami
kesulitan memahami konsep fluida statis. Penyampaian materi pada konsep fluida statis
selama ini dirasa sangat monoton dan kurang melibatkan siswa dalam pembelajaran. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil belajar siswa pada materi fluida statis sangat kurang. Oleh karena
itu diperlukan model yang dapat membuat siswa aktif dalam pembelajaran fisika.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode eksperimen semu ( quasi
eksperiment). Eksperimen semu merupakan metode yang mempunyai kelompok kontrol,
tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang
mempengaruhi eksperimen. Pemilihan metode ini dikarenakan pada kenyataannya sulit
mendapatkan kelompok kontrol yang digunakan untuk penelitian (Sugiyono, 2010). Usaha
yang dilakukan untuk mengontrol variabel-variabel luar dalam penelitian ini yaitu dengan
pengambilan sampel yang dilakukan memilih sampel yang memiliki kemampuan hampir
sama.
Pada penelitian ini desain atau rancangan penelitian yang digunakan adalah
nonequivalent control group design. Desain ini dilakukan pada dua kelompok yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang tidak dipilih secara random(Sugiyono,
2010). Kedua kelompok dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu agar kedua kelompok
memiliki homogenitas yang relatif sama. Desain penelitian ini dapat dinyatakan pada Tabel 1
sebagai berikut:
Tabel 1. Desain Penelitian

Kelompok Pretest Treatment Posttest


Eksperimen O1 XEksperimen O2
Kontrol O1 Xkontrol O2

Keterangan:
Xeksperimen = Perlakuan yang diberikan kepada kelas eksperimen menggunakan
model pembelajaran koopertif Teams Games Tournament (TGT)
berbantuan media kokami.
Xkontrol = Perlakuan yang diberikan kepada kelas kontrol berupa
pembelajaran konvensional
O1 = Pretest diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol sebelum diberikan perlakuan.
O2 = Posttest diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol setelah diberikan perlakuan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

115
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hasil dan Pembahasan


Hasil
Berdasarkan hasil perhitungan pretest dan posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen
yang terdiri dari 30 siswa, rekapitulasi data dilihat pada Tabel 2. sebagai berikut:

Tabel 2. Rekapitulasi Data Hasil Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan Kelas
Eksperimen
Penyebaran dan Kelas
Pemusatan Data Pretest Posttest
Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen
Nilai Terendah 16 16 76 84
Nilai Tertinggi 52 48 36 40
Rata-rata 36,32 31,70 51,08 64,07
Modus 43,50 29,00 48,05 58,35
Median 38,22 30,50 49,70 61,50
Standar Deviasi 11,68 9,60 11,57 13,75

Berdasarkan Tabel 2. terlihat bahwa terdapat peningkatan nilai rata-rata pada kelas
kontrol maupun kelas eksperimen. Nilai rata-rata kelas kontrol mengalami kenaikan sebesar
14,76, sedangkan nilai rata-rata kelas eksperimen mengalami kenaikan sebesar 32,37. Hal ini
menunjukkan kelas eksperimen lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar siswa
dibandingkan kelas kontrol.

Kemampuan kognitif siswa pada materi fluida statis dapat dilihat pada Tabel 3.
berikut:
Tabel 3. Nilai Rata-rata Pretest dan Posttest Berdasarkan Jenjang Kognitif Kelas
Kontrol dan Kelas Eksperimen

Jenjang Kelas Kontrol Kelas Eksperimen


Kognitif
Pretest Posttest Pretest Posttest
C1 50,% 51% 52% 53%
C2 47% 54% 46% 56%
C3 29% 53% 18% 62%
C4 24% 59% 17% 73%

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

116
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 3 menunjukkan bahwa adanya peningkatan hasil belajar siswa pada setiap ranah
jenjang kognitif di kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Berdasarkan hasil pretest,
persentase siswa di kelas kontrol yang menjawab dengan benar soal-soal jenjang kognitif C1
(mengingat) sebesar 50%, C2 (memahami) sebesar 47%, C3 (menerapkan) sebesar 29%, C4
(menganalisis) sebesar 24%. Pada saat posttest, persentase siswa di kelas kontrol yang
menjawab dengan benar soal-soal jenjang kognitif C1 (mengingat) sebesar 51%, C2
(memahami) sebesar 54%, C3 (menerapkan) sebesar 53%, C4 (menganalisis) sebesar 59%.
Hasil pretest di kelas eksperimen menunjukkan bahwa persentase siswa yang menjawab
benar soal-soal jenjang kognitif C1 (mengingat) sebesar 52%, C2 (memahami) sebesar 46%,
C3 (menerapan) sebesar 18%, C4 (menganalisis) sebesar 17%. Pada saat posttest, persentase
siswa di kelas eksperimen yang menjawab dengan benar soal-soal jenjang kognitif C1
(mengingat) sebesar 53%, C2 (memahami) sebesar 56%, C3 (menerapkan) sebesar 62%, C4
(menganalisis) sebesar 73%.
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data pretest dan posttest kelas
kontrol maupun kelas eksperimen berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas kedua data
menggunakan uji Kolmogorov Smirnov. Penelitian menggunakan software SPSS 22 dalam
melakukan uji normalitas.
Hasil perhitungan uji normalitas pretest dan posttest kedua sampel penelitian dapat
dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Data Pretest-Posttest Kelas Kontrol dan Kelas
Eksperimen
Statistik Pretest Posttest
Kelas Kontrol Kelas Kelas Kontrol Kelas
Eksperimen Eksperimen
Kolmogorov 0,200 0,041 0,052 0,009
Smirnov
0,05 0,05 0,05 0,05
Keputusan Normal Tidak normal Normal Tidak normal

Berdasarkan Tabel 4 nilai sig kelas kontrol pada pretest 0,200 dan posttest sebesar
0,052. Nilai sig kelas kontrol pada saat pretest maupun posttest lebih besar dari taraf
signifikansi, sehingga kedua data berdistribusi normal. Nilai sig kelas eksperimen pada pretest
0,041 dan posttest sebesar 0,009. Nilai sig kelas eksperimen pada saat pretest maupun
posttest lebih kecil dari taraf signifikansi, sehingga kedua data berdistribusi tidak normal
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah kedua data kelompok sampel
mempunyai varians yang sama (homogen) atau tidak. Uji homogenitas dilakukan pada data
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

117
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pretest dan posttest kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Uji homogenitas yang
digunakan adalah uji Fisher menggunakan Pengujian homogenitas software SPSS 22 dengan
Test of Homogenity of Variance digunakan pada saat pretest maupun posttest. Berikut
merupakan hasil yang diperoleh dari uji homogenitas Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Uji Homogenitas Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan Kelas
Eksperimen
Statistik Pretest Posttest
Kelas Kontrol Kelas Kelas Kontrol Kelas
Eksperimen Eksperimen
Uji Fisher 0,357 0,315
0,05 0,05
Keputusan Homogen Homogen

Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa data pretest dan posttest kedua data
homogen. Pada saat pretest nilai sig ( ) 0,357 lebih besar dari taraf signifikansinya. Pada saat
posttest nilai sig ( ) 0,315 lebih besar dari taraf signifikansinya. Hal ini menunjukkan kedua
data homogen.
Pengujian hipotesis dilakukan setelah uji normalitas dan uji homogenitas pada data
pretest dan data posttest dari kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pada uji normalitas kelas
kontrol data pretest dan data posttest berdistribusi normal sedangkan pada kelas eksperimen
data pretest dan data posttest berdistribusi tidak normal. Kemudian uji homogenitas pada
data pretest dan data posttest, kedua data homogen. Oleh karena itu uji hipotesis
menggunakan uji Mann Whiteney Test taraf signifikansi α = 0,05 menggunakan software
SPSS 22. Hasil pengujian uji Mann Whiteney dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6 Hasil Uji Mann Whiteney Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Statistik Pretest Posttest
Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen
N 35 35 35 35
36,32 31,70 55,20 64,07
SD 11,68 9,60 12,60 13,75
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

118
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sig (2-tailed) 0,073 0,031


Taraf Signifikansi (α) 0,05
Keputusan H1 ditolak H1 diterima

Pengambilan keputusan hipotesis diambil berdasarkan pada kriteria pengujian, yaitu


jika nilai Sig (2-tailed) < α, maka H0 ditolak dan H1 diterima, sedangkan jika nilai Sig (2-
tailed) > α, maka H0 diterima dan H1 ditolak. Berdasarkan Tabel 4.7, terlihat bahwa Sig (2-
tailed) hasil pretest sebesar 0,073 lebih besar dibandingkan dengan taraf signifikansi (α)
0,05, sehingga hipotesis nol (H0)diterima dan hipotesis alternatif (H1) ditolak. Sehingga
dapat disimpulkan tidak terdapat pengaruh antara hasil pretest kelas kontrol maupun kelas
eksperimen. Untuk hasil posttest, nilai Sig (2-tailed) sebesar 0,031 lebih kecil dibandingkan
dengan taraf signifikansi (α) 0,05, sehingga hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif
diterima. Dapat disimpulkan terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif Teams
Games Tournament (TGT) berbantuan media kokami terhadap hasil belajar siswa.

Analisis data nontes yang digunakan berupa angket respon siswa untuk mengetahui
respon siswa terhadap model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament (TGT)
berbantuan media kokami yang diperoleh dari kelas eksperimen.

Angket Respon Siswa


Hasil data angket respon siswa direkapitulasi dan dijumlahkan skor masing-masing
untuk setiap indikator. Skor yang diperoleh kemudian dihitung persentasenya dan dikonversi
menjadi data kualitatif. Hasil perhitungan data angket respon siswa dapat dilihat pada Tabel
7.
Tabel 7 Hasil Angket Respon Siswa terhadap Media Kokami Pada Konsep Fluida Statis

Indikator Angket Kelas Eksperimen


Persentase Kesimpulan
Respon siswa dalam pembelajaran menggunakan 76% Baik
Media Kokami
Desain Media Kokami 72% Baik
Penyajian konsep materi pada Media Kokami 74% Baik
Rata-rata 74% Baik

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran fisika


menggunakan media kokami pada materi fluida statis rata-rata persentase angket respon siswa
74% dalam kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan media
kokami dapat membuat siswa lebih memahami konsep fluida statis, sehingga dalam proses
pembelajaran menjadi lebih menarik tidak membosankan serta dapat menarik perhatian siswa.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

119
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Lembar Observasi Aktivitas Siswa


Tujuan dari lembar observasi aktifitas siswa untuk mengetahui keterlibatan siswa
dalam terlaksananya pembelajaran apakah baik atau buruk. Berikut merupakan hasil observasi
aktivitas belajar guru dan siswa kelas eksperimen pada Tabel 8:

Tabel 8. Hasil Observasi Aktivitas Siswa menggunakan Teams Games Tournament (TGT)
Berbantuan Media Kokami
Teams Games Tournament Pertemuan Pertemuan Pertemuan Rata-rata
1 2 3
Pemberian Materi 82% 84% 86% 84%
(sangat baik)
Tim Belajar 84% 77% 84% 82%
(sangat baik)
Menjalankan Games Kokami 86% 88% 91% 88%
(sangat baik)
Menjalankan Turnamen 77% 79% 82% 80%
(sangat baik)
Penghargaan Kelompok 82% 82% 84% 83%
(sangat baik)
Penutup 75% 82% 84% 80%
(sangat baik)

Keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran dengan model pembelajaran Teams


Games Tournament bisa dilihat pada Tabel 8. Setiap tahapan model pembelajaran Teams
Games Tournament dan setiap pertemuannya sangat baik.

Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMAN 10 Kota Tangerang Selatan,
didapatkan hasil yang berbeda pada kedua kelas setelah diberi perlakuan yang berbeda, kelas
XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen yang dalam proses pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament (TGT) dan kelas kontrol yang proses
pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional. Pada kelas kontrol rata-rata nilai
pretest sebesar 35,54 dan kelas eksperimen sebesar 30,74. Dari hasil pretest diketahui bahwa
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

120
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

hasil belajar siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen sangat rendah. Hal tersebut
dikarenakan kelas kontrol dan kelas eksperimen belum diberikan perlakuan. Namun, setelah
diberikan perlakuan yang berbeda, didapatkan perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata
kelas kontrol dengan nilai rata-rata kelas eksperimen.
Hasil uji Mann-Whitney pada saat posttest sebesar Sig (2-tailed) 0,031 bisa dilihat
pada Tabel 4.7 lebih kecil dibandingkan dengan taraf signifikan sebesar 0,05 maka terdapat
pengaruh model Kooperatif Teams Games Tournament (TGT) berbantuan media kokami
terhadap hasil belajar siswa. Pengaruh model Kooperatif Teams Games Tournament (TGT)
berbantuan media kokami juga ditunjukkan pada hasil posttest kedua kelas, rata-rata hasil
belajar kelas eksperimen yang dibelajarkan menggunakan model Kooperatif Teams Games
Tournament (TGT) berbantuan media kokami sebesar 63,40 lebih besar dibandingkan
dengan kelas kontrol yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran konvensional sebesar
54,51. Hal ini didukung oleh penelitian Micheal van Wyk dimana terjadi peningkatan
siginifikan terhadap hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran TGT
(Michael Van Wyk, 2011). Dari hasil penelitian Nancy juga menyatakan bahwa model
pembelajaran TGT modifikasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa (Nancy, 2012).
Berdasarkan hasil angket respon siswa dalam penggunaan media kokami didapatkan
nilai rata-rata sebesar 74% sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model
pembelajaran Kooperatif Teams Games Tournament (TGT) berbantuan media kokami
terhadap hasil belajar siswa pada konsep fluida statis. Pada penelitian Nurul dkk
mengemukakan bahwa motivasi belajar siswa tinggi cenderung memiliki prestasi lebih baik
dari siswa yang cenderung motivasi rendah, motivasi dapat dilihat dari respon siswa terhadap
pembelajaran yang menarik. Karena seorang guru berperan sebagai fasilitator dan motivator
dengan mengembangkan melalui penerapan metode – metode pembelajaran yang inovatif dan
sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan hasil belajar siswa (Nurul dkk, 2013).
Perbedaan peningkatan hasil belajar pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
dikarenakan pada kelas eksperimen diterapkannya model Kooperatif Teams Games
Tournament (TGT) berbantuan media kokami, yang mana setiap pertemuan diterapkan
tahap–tahap TGT dengan berbantuan games soal yang berada dikartu soal kokami,
sedangkan pada kelas kontrol dibelajarkan dengan pembelajaran biasa dengan metode
ceramah dan latihan soal. Sehingga rata-rata hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi di
bandingkan kelas kontrol. Sehingga model pembelajaran Kooperatif Teams Games
Tournament (TGT) berbantuan media kokami yang berupa kartu soal dapat meningkatkan
hasil belajar siswa baik secara kognitif dan dapat menimbulkan respon positif. Pertanyaan ini
didukung oleh penelitian Rachmawati dan Sunarti menyatakan bahwa model Teams Games
Tournament (TGT) berbantuan kokami yang berupa kartu akan mengajak siswa untuk ikut
secara aktif dalam pembelajaran, selain dalam kegiatan belajar diskusi kelompok dalam
pengerjaan dapat membantu siswa bekerjasama dalam memecahkan kesulitan dalam belajar
sehingga terbentuk kerjasama yang baik antar siswa. Siswa yang pandai dapat menjelaskan
kepada temannya yang kurang pandai, kegiatan belajar juga menjadikan siswa lebih aktif
sehingga suasana kelas menjadi lebih asyik dan tidak membosankan, kegiatan belajar

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

121
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menggunakan model Kooperatif Teams Games Tournament (TGT) berbantuan media


kokami menjadikan siswa memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap pembelajaran tidak
cuma secara individu tapi juga secara kelompok karena mereka memiliki tanggung jawab
untuk menjadikan kelompoknya menjadi kelompok yang terbaik dalam games dan
tournament (Rahmawari dan Sunarti, 2016).
Peningkatan hasil belajar pada kelas kontrol dan kelas eksperimen juga bisa dilihat dari
persentase nilai rata-rata pretest dan posttest berdasarkan jenjang kognitif pada Tabel 4.4.
Jika dilihat dari persentase nilai rata-rata pada saat posstest yaitu kelas kontrol siswa yang
menjawab benar pada jenjang kognitif C1 sebesar 51% jenjang kognitif C2 sebesar 54%,
jenjang kognitif C3 sebesar 53% dan jenjang kognitif C4 sebesar 59%. Sedangkan pada kelas
eksperimen siswa yang menjawab benar pada jenjang kognitif C1 sebesar 53%, jenjang
kognitif C2 sebesar 56%, jenjang kognitif C3 sebesar 62% dan jenjang kognitif C4 sebesar
73%. Namun pada jenjang Jika dibandingkan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen,
kelas eksperimen unggul pada kemampuan memahami (C2), dan menerapkan (C3) dan
menganalisis (C4), sedangkan pada kelas kontrol yang unggul hanya pada kemampuan
mengingat (C1) saja karena pada kelas kontrol hanya diberikan metode konvensial dan tidak
diberikan soal-soal.
Pada jenjang kognitif C1 (mengingat) siswa pada kelas eksperimen juga lebih unggul
1% dibandingkan kelas kontrol. Hal ini disebabkan karena pada games media kokami
terdapat visualisasi berupa gambar yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang
terkait konsep fluida statis. Arsyad mengatakan bahwa media gambar (visual) dapat
mempelajari pemahaman (misalnya melalui elaborasi struktur dan organisasi) dan
memperkuat ingatan (Azhar, 2010). Oleh karena itu dari gambar dapat membantu siswa
dalam menafsirkan dan memahami maksud dari pertanyaan yang diajukan.
Jenjang kognitif C2 (memahami) di kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan kelas
kontrol, hal ini terjadi karena model Teams Games Tournament (TGT) berbantuan kokami
yang menstimulus siswa untuk menghubungkan pengetahuan lama dan pengetahuan baru
dengan cara berdiskusi kelompok untuk memecahkan masalah pada tahapan TGT yaitu
tahapan tim belajar. Sementara di kelas kontrol siswa hanya mendapatkan penjelasan dari
guru secara konvensional. Hal ini sejalan dengan penelitian Febriana Istiqomah, Arif
Widiyatmoko, Indah Urwatin Wusqo mengatakan bahwa kegiatan diskusi memancing siswa
untuk mengemukakan gagasannya dan dapat menghubungkan pengetahuan lama dengan
pengetahuan baru yang diperolehnya (Febriana dkk, 2016).
Media kokami dapat meningkatkan kemampuan siswa pada jenjang kognitif C3
(menerapkan). Peningkatan kemampuan siswa pada jenjang ini disebabkan karena latihan soal
yang terdapat pada media kokami dikemas dalam bentuk kartu soal atau games akademik.
Sesuai dengan penelitian Miftahul dan Rahayu bahwa mendiskusikan soal yang melibatkan
siswa dalam games akademik atau perlombaan dapat meningkatkan penguasaan materi dan
mempermudah siswa menelaah materi soal dengan bermain dan berlomba (Miftahul dan
Rahayu, 2017). Demikian siswa pada kelas eksperimen lebih terbantu dalam kemampuan C3
(menerapkan) siswa.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

122
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Jenjang kognitif C4 (menganalisis), kelas eksperimen memperoleh persentase yang


lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan media kokami pada kartu soal
menekankan pada partisipasi aktif untuk pemecahan masalah dalam soal, sehingga sebelum
menemukan suatu masalah siswa harus menganalisis terlebih dahulu soal tersebut agar
jawaban soal dikatakan benar. Hal ini juga di dukung oleh Suryadi menyatakan bahwa media
kokami dapat meningkatkan pemecahan masalah karena dalam pemecahan masalah
merupakan bentuk dari berpikir dengan menganalisis atau mendifinisikan masalah,
menemukan alternatif masalah, mengevaluasi alternatif pemecahan masalah, menerapkan
solusi (Suryadi, 2013). Demikian siswa pada kelas eksperimen lebih terbantu dalam
meningkatkan kemampuan analisis siswa.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat diambil
dari penelitian ini adalah:
1. Model pembelajaran Kooperatif Teams Games Tournament (TGT) berbantuan media
kokami berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada konsep fluida statis.. Data
posttest memiliki nilai Sig (2-tailed) sebesar 0,031 lebih kecil dibandingkan dengan
taraf signifikansi (α) 0,05 sehingga hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif
diterima. Nilai rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan
hasil belajar siswa pada kelas kontrol. Hasil belajar siswa yang menggunakan model
pembelajaran Kooperatif Teams Games Tournament (TGT) berbantuan media kokami
mengalami peningkatan kemampuan kognitif C1 (mengingat), C2 (memahami), C3
(menerapkan), C4 (menganalisis), dan C5 (mengevaluasi).
2. Hasil angket respon siswa terhadap model pembelajaran Kooperatif Teams Games
Tournament (TGT) berbantuan media kokami menunjukkan bahwa pembelajaran
menggunakan media kokami dalam proses pembelajaran fisika pada konsep fluida statis
secara keseluruhan memperoleh hasil sebesar 74% dalam kategori baik.

Saran
Saran yang dapat diajukan peneliti sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, Siswa
hendaknya mengikuti pembelajaran Kooperatif TGT berbantuan media kokami dengan
sungguh – sungguh karena pembelajaran Kooperatif TGT mempunyai keunggulan
diantaranya menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri siswa bukan hanya dalam diri
sendiri namun juga mampu bertanggung jawab pada kelompoknya. Dan Pengelolaan waktu
di dalam kelas lebih banyak pada saat pembelajaran Kooperatif Teams Games Tournament
(TGT) sehingga semua latihan yang terdapat pada lembar kegiatan siswa dapat diselesaikan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

123
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka

Arsyad, Azhar. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Febriana Istiqomah, Arif Widyatmoko, Indah. 2016. Pengaruh Media Kokami terhadap
Keterampilan Berpikir Kreatif dan Aktivitas Belajar Tema Bahan Kimia”, Unnes Science
Education Journal,Vol. 5
Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT Refika
Aditama.
M, Micheal Van Wyk. 2011. The Effect of Team Games Tournaments on Achievment, Retention,
and Attitudes of Economics Education Students. Journal Social Science University of
Free State South Africa.
Miftahul, Rahayu. 2017. Pengaruh Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT)
Berbantuan Media Kartu UNO terhadap Peningkatan Motivasi Belajar dan Hasil Belajar
peserta didik SMA”, Jurnal Pendidikan fisika Vol. 6, No. 3
Nancy, 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament)
Modifikasi Pada Mata Pelajaran Kimia Dalam Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa,
Jurnal, Universitas Maritim Raja Ali.
Neneng Paisah, Siska Desy. 2014. Penerapan Media Kotak dan Kartu Misterius (Kokami) untuk
Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 25
Purworejo”, Jurnal Radiasi Vol. 3, No.1
Nurfatima, Swandi, Subaer. 2015. Pengaruh Metode Pembelajaran Berbasis Riset pada Materi
Fluida Statis terhadap Hasil Belajar Fisika Kelas XI Madrasah Aliyah Madani Alauddin”,
Prosiding pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & Yogyakarta ,ISSN 0853-0833.
Nurul R, Sri Yamtiah, Suryadi. 2013. Pengaruh Penggunaan Metode Teams Games Tournament
Berbantuan Media Teka-teki Silang dan Ular Tangga Dengan Motivasi Belajar Terhadap
Prestasi Belajar Pada Materi Koloid Kelas XI SMA Negeri 1 Simo Tahun Ajaran
2011/2012, Jurnal Pendidikan Kimia, Universitas Sebelas Maret
Rachamawati, Sunarti. 2016. Penerapan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT)
berbantuan kartu soal untuk meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa pada materi
hidrokarbon di kelas X-5 SMAN Banjarmasin”,Quantum, Jurnal Inovasi Pendidikan
Sains Vol. 6, No. 2

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

124
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.
Siska Alwi, Murtiani. 2015. Penerapan Metode Permainan KOKAMI Berdasarkan LKPD Saintifik
Dalam Model Quantum Learning Terhadap Kompetensi IPA Peserta Didik Kelas VII
SMPN 31 Padang. Journal Pillar of Physics Education, Vol 6.
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suryadi. 2013. Pengaruh Pembelajaran Berbabasis Masalah berbantuan Media Kokami terhadap
Prestasi Belajar fiska Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah ”, Jurnal Pendidikan
Sains Vol. 1, No. 4
Wahyu Nur. 2015. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament
(TGT) Terhadap Prestasi Belajar Mata Pelajran Teknik Penggelasan SMK Negeri 3
Purbalingga”, Skripsi, UNY Yogyakarta
Zulfiani, dkk. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

125
Dewiantika Azizah, Mutiara Dwi Cahyani,
Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC).
e-mail: antika.unique@gmail.com, mutiaradwicahyani92@gmail.com
Abstrak. Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan Pancasila ber-Bhineka Tunggal Ika dengan
34 provinsi, yang terdiri dari beberapa suku bangsa dengan kharakteristik budaya yang berbeda. Hal
tersebut melatarbelakangi pentingnya kebudayaan dalam pendidikan khususnya pembelajaran kimia.
Untuk lebih memperkenalkan kebudayaan daerah dalam pembelajaran kimia maka diperlukan
kemampuan literasi digital peserta didik sesuai dengan perkembangan abad Millenial. Metode
penelitian ini adalah studi literature jurnal – jurnal pembelajaran IPA yang didalamnya terdapat
materi Kimia berbasis etnosains dan jurnal pendidikan literasi digital. Kesimpulan dalam penelitian
ini adalah : (1) Proses pembelajaran Kimia berbasis etnosains dapat memperkenalkan budaya daerah
melalui literasi digital. (2) Minat peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran berbasis
etnosains berkorelasi positif terhadap kemampuan literasi digital peserta didik.
Kata Kunci: Model Pembelajaran Etnosains, Pembelajaran Kimia Literasi Digital.

Pendahuluan
Pancasila merupakan landasan statis bangsa Indonesia yang merupakan jati diri,
kepribadian, moralitas, serta haluan keselamatan bangsa, hal tersebut membuktikan bahwa
Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang visioner dan jelas (Rizki,
2016:74). Secara administratif menurut UU RI Nomor 20 Tahun 2012 Indonesia tentang
pembentukan provinsi Kalimantan Utara yang menjadikan Indonesia terdiri dari 34
Provinsi. 34 Propinsi tersebut menunjukkan pluralitas dan heterogenitas yang tercermin
pada masyarakat Indonesia diikat dalam prinsip persatuan dan keasatuan bangsa yang kita
kenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang bermakna walaupun Indonesia
mempunyai kebhinekaan tapi tetap terkait dalam satu kesatuan. Hal tersebut merupakan ciri
khas bagi bangsa Indonesia yang menunjukkan kesatuan dalam kekuatan, kerukunan dalam
beragama, berbangsa dan bernegara yang harus benar – benar dipatuhi warga nya dengan
penuh kesadaran (Lestari, 2015: 31). Hal tersebut berdampak pada perbedaan kebudayaan
dalam aspek pendidikan dan tentunya akan mempengaruhi perubahan kurikulum.
Mata pelajaran Kimia merupakan mata pelajaran yang tergolong ke dalam mata
pelajaran eksakta. Ilmu kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang mempelajari
gejala-gejala alam dengan mengambil materi sebagai objek, ilmu ini mengkhususkan
pembahasannya pada struktur, komposisi zat, perubahan materi, dan energi yang menyertai
perubahan tersebut (Junaina, 2013: 13). Terkait dengan kharakteristik dari kelilmuan kimia
tersebut, klo kita kaitkan dengan struktur geografis negara Indonesia, Kepala Pusat
Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Agus Subandriyo menyampaikan bahwa
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terbesar di dunia yang terdiri dari 17.499
pulau mulai dari Sabang sampai Merauke, dengan luas total wilayah Indonesia sebesar 7,81
juta km2 yang terdiri dari 2,01 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan dan 2,55 juta km2

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (BPHN, 2017). Tentunya setiap pulau memiliki
perbedaan gejala – gejala alam berdasarkan kondisi geografis wilayahnya yang sudah pasti
nantinya akan mempengaruhi struktur, komposisi zat, perubahan materi, dan energi setiap
daerah tersebut. Hal tersebut melatarbelakangi pentingnya mempelajari ilmu kimia yang
terkait dengan kebudayaan daerah.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat mengkaitkan antara ilmu kimia
dengan budaya adalah pendekatan etnosains. Etnosains adalah sistem pengetahuan dan
kognisi (gagasan/pikiran) khas suatu budaya tertetntu. Pembelajaran bependekatan
etnosains lebih menekankan tercapainya pemahaman yang terpadu daripada sekedar
pemahaman mendalam (Kraciker dalam Ariningtyas, 2017). Peserta didik belajar untuk
menghubungkan materi yang dipelajari di kelas dengan konteks dalam kehidupannya serta
kaitan antara ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga pembelajaran di sekolah bukan
hanya bersifat informatif tetapi juga bersifat praktis dan bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari. Sehingga selain literasi sains, peserta didik dapat mengembangkan litersi
digitalnya dalam proses pembelajaran.
Hal tersebut melatarbelakangi pentingnya kebudayaan dalam pendidikan khususnya
pembelajaran kimia. Pembelajaran kimia hendaknya menuntun siswa untuk melek ilmu
pengetahuan dan teknologi. Untuk lebih memperkenalkan kebudayaan daerah dalam
pembelajaran kimia maka diperlukan kemampuan literasi digital peserta didik sesuai dengan
perkembangan abad Millenial.

Metode
Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis beberapa jurnal pembelajaran
etnosains dan jurnal literasi digital dalam pembelajaran sains khusunya kimia sebagai
literature (study literature). Dalam studi literature ini dilakukan beberapa analisa proses
pembelajaran yang menggunakan pembelajaran etnosains, menganalisa pengaruh minat
pembelajaran etnosains terhadap hasil belajar peserta didik, dan pengaruh implementasi
pembelajaran etnosains berbasis literasi digital dalam pembelajaran kimia terhadap
pemahaman peserta didik. Dari hasil studi literatur dapat diketahui pengaruh minat
pembelajaran etnosains terhadap hasil belajar dan pengaruh proses pembelajaran etnosains
berbasis literasi digital terhadap pemahaman peserta didik.

Pembahasan
1. Implementasi Digita-Aged Literasi dalam Pendidikan Indonesia
Menurut studi literatur yang dilakukan oleh Afan dkk (2016) mengenai
implementasi literasi digital di Indonesia bahwa terjadi perubahan paradigma pendidikan.
Pendidikan di abad 21 harus senantiasa adaptif seiring dengan perkembangan zaman dan
teknologi. Dengan demikian, sistem pendidikan pun harus mengalami transformasi. Berikut
perubahan-perubahan yang terjadi dalam paradigma pendidikan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

127
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 1. Perubahan Paradigma Pendidikan


Literasi digital mencakup beberapa komponen yaitu (1) Literasi dasar –
kemampuan dalam berbahasa dan kemampuan matematis; (2) Literasi sains – pengetahuan
dan pemahaman tentang konsep dan proses sains; (3) Literasi teknologi – pengetahuan
tentang apa itu teknologi, bagaimana cara kerjanya dan bagaimana cara menggunakannya
secara efektif dan efisiens; (4) Literasi ekonomi pengetahuan tentang masalah, situasi dan
perkembangan ekonomi; (5) Literasi visual – pengetahuan tentang cara menggunakan,
menginterpretasikan dan menghasilkan gambar dan video menggunakan media; (6) Literasi
informasi – kemampuan untuk memperoleh, menggunakan dan mengevaluasi informasi
secara efektif dan efisien dari berbagai sumber; (7) Literasi multikultural – kemampuan untk
mengapresiasi perbedaan nilai, keyakinan dan budaya; (8) Kesadaran global – kemampuan
untuk memahami dan permasalahan di tingkat global. Dalam implementasinya, untuk
memudahkan dalam mencapai kompetensi literasi digital perlu dirumuskan indikator
pembelajaran yang terkait dengan aspek-aspek literasi digital sesuai dengan materi.
Kompetensi-kompetensi tersebut diturukan ke dalam tingkat dimensi kognitif dan dimensi
proses yang dirumuskan oleh Anderson dan Krathwohl.

2. Pengaruh pembelajaran etnosains berbasis video untuk meningkatkan pemahaman siswa


Adhi dkk (2018:37-44) melakukan penelitian mengenai penggunaan media
pembelajaran berupa video berbasis etnosains untuk meningkatkan pemahaman peserta
didik. Penelitian ini dilakukan di kelas VIII pada materi zat aditif. Video pembelajaran yang
digunakan berisikan tentang pembuatan terasi dan bandeng presto dari Juwana, Pati. Video

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

128
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

ini bertujuan untuk membuat peserta didik menghargai dan melestarikan kearifan lokal.
Selain itu memberikan pemahaman sains kepada peserta didik.
Video menunjukkan produksi metode tradisional dengan alat-alat yang
konvensional dan ramah lingkungan. Dalam video tersebut terdapat teks dan audio, sehingga
siswa mampu menghubungkan proses ilmiah pembuatannya dengan etnosains. Dalam
penelitian tersebut, peserta didik diminta untuk berdiskusi, mewawancarai produsen terasi
dan bandeng presto. Peserta didik juga diminta untuk mengidentifikasi zat aditif dalam
makanan sebagai bahan penambah warna, rasa dan bahan pengawet dari bahan-bahan lokal.
Tabel 1. Rekapitulasi Respon Peserta Didik Terhadap Video
Persentase
No Aspek Skala Skala Rata-rata Kriteria
Kecil Besar
1 Ketertarikan dalam 71.1 82.5 76.8 Baik
pembelajaran
2 Relevansi dengan materi 66.7 84.2 75.4 Baik
3 Mudah mengoperasikan video 68.9 83.8 76.5 Baik
4 Mudah memahami zat additif 71.1 81.8 76.1 Baik
5 Gambar yang menarik 77.8 84.8 81.3 Baik
6 Informasi baru 68.9 87.9 78.4 Baik
7 Motivati untuk belajar 71.7 81.8 76.1 Baik
8 Pembelajaran efektif 66.7 84.8 75.6 Baik
9 Tertarik dengan video 80 86.9 83.5 Sangat Baik

Berdasarkan Tabel 1 diatas, dapat dilihat bahwa penggunaan media sangan tepat
untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap kimia. Peningkatan pembelajaran peserta
didik dapat terlihat dari pretes dan postes. Pretes dari pembelajaran diperoleh nilai rata-rata
54, sedangkan nilai rata-rata postes 78. Ini memperoleh gain 0,52 atau dalam kategori
sedang. Ini menunjukkan bahwa video tersebut efektif untuk meningkatkan pemahaman
siswa.

3. Penggunaan media pembelajaran berbasis komputer pada Kompetensi Teknik Dasar


pekerjaan Laboratorium SMK.
Darwis dkk (2015:12) melakukan penelitian dengan mengembangkan media
pembelajaran produktif kimia berbasis komputer pada kompetensi teknik dasar pekerjaan
laboratorium di SMK Negeri 3 Medan. Berdasarkan hasil wawancara dengan 12 orang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

129
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Bapak/Ibu guru yang melakukan kunjungan industri terhadap siswa prakerin selama tiga
tahun terakhir, didapatkan data ketidakpuasan stake holder. Penyebabnya adalah karena
proses pembelajaran yang tidak berhasil memenuhi target. Faktor yang menyebabkan adalah
keterbatasan materi atau bahan ajar, kepasifan siswa, penggunaan media pembelajaran yang
kurang terfasilitasi, teori dan praktek kejuruan yang tidak berkaitan serta strategi kurang
tepat dalam proses pembelajaran. Kendala2 tersebut berdampak terhadap kemampuan siswa
dimana dengan pernyataan 76% siswa, yaitu:
a) Peralatan laboratorium kimia sulit dikenali,
b) Kesulitan dalam mengingat cara penggunaan peralatan laboratorium kimia
Penelitian pengembangan media pembelajaran produktif kimia berbasis komputer
pada kompetensi teknik dasar pekerjaan laboratorium SMK dilakukan untuk menyelesaikan
masalah tersebut, dan penelitian itu memberikan hasil bahwa penggunaan media
pembelajaran berbasis computer lebih efektif sekitar 77% bila dibandingkan pembelajaran
menggunakan media buku teks yang sebesar 63,65%.

4. Pengembangan Modul IPA Berbasis Etnosains Zat Adiptif Dalam Bahan Makanan
Penelitian dilakukan oleh Rosyidah dkk (2013:137-138) dengan
mengembangkan modul IPA berbasis etnosains pada materi keilmuan kimia yaitu zat aditif
dalam bahan makanan serta hasil belajar kognitif peserta didik SMP Negeri 1 Pegandon.
Modul ini berhasil mengaitkan makanan tradisional daerah Pedagon dengan makanan khas
Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan modul menunjukkan hasil
belajar peserta didik tuntas secara klasikal dengan persentase sebesar 93,75% artinya > 85%
peserta didik tuntas. Dengan jumlah peserta didik sebanyak 32 yang diteliti, data peserta
didik yang aktif adalah 27 dengan persentase 84,37% dan 5 peserta didik termasuk dalam
kategori sangat aktif dengan persentase 15,63%. Dalam proses pembelajaran peserta didik
dituntut untuk menggali sumber lainnya seperti buku dan internet, sehingga mereka lebih
aktif dan antusias dalam belajar, dengan demikian kecakapan berfikir rasional mereka lebih
meningkat, karena termotivasi untuk melakukan penggalian, penemuan dan pengolahan
informasi materi yang disampaikan.

5. Pengembangan Buku Ajar Biologi Berbasis Blended Learning Sebagai Bekal Hidup Di
Abad 21 Untuk Mahasiswa Kimia
Subjek dalam penelitian ini adalah pada mahasiswa semester 1 S1 kimia off H
angkatan tahun 2014/2015 FMIPA UM. Buku ajar biologi berbasis blended learning ini
dibatasi pada 5 materi saja, yaitu: 1) sistem koordinasi & alat indra; 2) sistem gerak; 3)
sistem pernapasan; 4) sistem pencernaan; 5) sistem reproduksi. Berdasarkaan hasil validasi
oleh ahli materi dan media didapatkan bahwa buku ajar biologi berbasis blended learning ini
layak digunakan. Hasil uji coba pada mahasiswa S1 kimia off H semester 1 angkatan tahun
2014/2015 FMIPA UM juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan digital
literacy dan communication mahasiswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa buku ajar biologi
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

130
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berbasis blended learning ini layak digunakan dan dapat meningkatkan kemampuan digital
literacy serta communication mahasiswa. Dalam penelitian ini terdapat 3 kemampuan yang
digital literation yang diukur, yakni: (1) Pemilihan sumber, (2) Pengevaluasian terhadap
informasi, dan (3) keaktifan dalam pencarian sumber informasi. Hasil penelitian
menunjukkan kemampuan memilih yaitu : a. 15% teladan, b. 70% mahir, c. 10% sedang,
dan d. 5% kurang, melakukan evaluasi yaitu: a. 30% teladan, b. 55% mahir, c. 10% sedang,
dan d. 5% kurang), serta keaktifan dalam pencarian sumber yaitu: a. 50% teladan, b. 40%
mahir, c. 10% sedang, dan d. 0% kurang, data tersebut menunjukan bahwa keterampilan
digital literation mereka sudah baik. Data tersebut menunjukkan bahwa peneliti sudah
berhasil menjadi seorang literat pendidikan sains, dimana dia berhasil melakukan proses
inkuiri kepada mahasiswa dengan mempertimbangkan dan berusaha mengintegrasikan
keterampilan abad 21 ke dalam proses belajar mengajar sains yang tepat untuk mahasiswa
yang hidup di era millennial.

Penutup
Berdasarkan kajian literatur yang didapat dari beberapa jurnal ilmiah baik nasional,
internasional yang terindeks dan tidak yang sudah dipaparkan sebelumnya didapatkan
kesimpulan bahwa:
1. Proses pembelajaran etnosains dapat memperkenalkan budaya daerah melalui literasi
digital.
2. Pembelajaran etnosains berbasis literasi digital dalam pembelajaran kimia dapat
meningkatkan pemahaman siswa dan kemampuan literasi digital peserta didik.

Daftar Pustaka
Adhi, Danang Triasmoro., Sudarmin., Linuwih, Suharto. (2018). The Influence of
Ethnoscience-Based Learning Video to Improve Students’ Understanding of Green
Chemistry in Integrated Science Subject. Journal of Innovative Science Education, 7
(1):37-44.
Afandi., Junanto, Tulis., Afriani, Rachmi. (2016). Implementasi Digital-Age Literasi Dalam
Pendidikan Abad 21 Di Indonesia. Journal of Innovative Science Education,
4(2):113-119.
Ariningtyas, Agnes., Wardani, Sri., Mahatmanti, Widhi. (2017). Efektivitas Lembar Kerja
Siswa Bermuatan Etnosains Materi Hidrolisis Garam untuk Meningkatkan Literasi
Sains Siswa SMA. Journal of Innovative Science Education, 6 (2), hlm. 186-196
Darwis dan Mursyid (2015). Pengembangan Media Pembelajaran Produktif Kimia Berbasis
Komputer Pada Kompetensi Teknik Dasar pekerjaan Laboratorium SMK. Jurnal
Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan. 2 (1) : 7-12.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

131
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Junaina, (2013). Pengaruh Pembelajaran Kerangka Ifso Terhadap Peningkatkan Model


Mental Dan Penguasaan Konsep Ikatan Kimia Siswa Sma Negeri 1 Way
Lima. Lampung: Tesis Universitas Lampung Tidak Diterbitkan.
Lestari Ghina. (2015). Bhinneka Tunggal Ika: Hasanah Multikultural Indonesia di Tengah
Kehidupan SARA. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan , Th 28 (1).
Yogyakarta:UGM.
Permana Hardian Fendi, (2015). Pengembangan Buku Ajar Biologi Berbasis Blended
Learning Sebagai Bekal Hidup Di Abad 21 Untuk Mahasiswa S1 Kimia FMIPA
UM. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi 2015.
Rizki, Mamur (2017). Konsepsi Negara Kesejahteraan Dalam Pancasila dan Undang –
Undang Dasar 1945. Jakarta : Skripsi UIN Tidak Diterbitkan.
Rosyidah N., R., Sudarmin, Siadi K., (2013). Pengembangan Modul IPA Berbasis
Etnosains Zat Adiptif Dalam Bahan Makanan Untuk Kelas VIII SMP Negeri 1
Pegandon Kendal. Unnes Science Education Journal (USEJ). 2(1): 132-139.
Tersedia di http://journal.unnes.ac.id/ [diakses tanggal 07-04-2018].
UU RI Nomor 20 Tahun 2012 Indonesia tentang pembentukan provinsi Kalimantan
Utara.
http://bphn.go.id/news/2015102805455371/INDONESIA-MERUPAKAN-
NEGARA-KEPULAUAN-YANG-TERBESAR-DI-DUNIA

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

132
KREATIVASI LITERASI DIGITAL DALAM PENDIDIKAN LINGKUNGAN
BERBASIS PESANTREN: DIGITREND ENVIROTION (DIGITAL PESANTREN-
BASED ENVIRONMENTAL EDUCATION)

Dian Elvira Nanda Isnaini, Izzatul Mardhiah, Rihlah Nur Aulia


Universitas Negeri Jakarta
e-mail: dianelvirani_iai15@mahasiswa.unj.ac.id, izzatul-mardhiah@unj.ac.id,
rihlah-nuraulia@unj.ac.id

Abstract. The focus of this article is the design of digital literacy innovation in the form of a website
or site by the name of Digitrend envirotion which is an acronym of pesantren-based environmental
education. Digitrend envirotion is a digital literacy creativity in the form of dynamic websites that
can be accessed globally and contains pesantren-based educational information content. Content that
is published is the concept of theory and practice of environmental education. Digitrend envirotion
also has various features to support the publication of pesantren-based environmental education.
These features consist of up-to-date information on environmental education and pondok pesantren,
e-book rooms, educational model rooms, environmental management model rooms, environmental
extracurricular model rooms, chat rooms between account owners and awards to “ecopesantren”.
The method in this research consists of the stages of web engineering starting from the stage of
problem formulation and planning of the analysis phase, design stage, implementation phase, and
testing phase. This digital literacy creativity aims to, firstly, introduce a model of pesantren-based
environmental education to the global community quickly and easily. Second, it provides solutions
to problem solving on environmental education. Third, provide solutions to environmental
management models.

Keywords: Digitrend envirotion, creativity, digital, pesantren, environment.

Abstrak. Fokus artikel ini adalah rancangan pembuatan inovasi literasi digital berbentuk website atau
situs dengan nama Digitrend envirotion yang merupakan akronim dari pesantren-based
environmental education. Digitrend envirotion adalah sebuah kreativasi literasi digital dalam bentuk
website dinamis yang dapat diakses secara global dan memuat konten informasi pendidikan
lingkungan berbasis pesantren. Konten yang dimuat adalah konsep teori serta praktek pendidikan
lingkungan. Digitrend envirotion juga memiliki berbagai fitur untuk menunjang publikasi
pendidikan lingkungan berbasis pesantren. Fitur tersebut terdiri dari informasi terkini mengenai
pendidikan lingkungan dan pondok pesantren, ruang e-book, ruang model pendidikan, ruang model
pengelolaan lingkungan, ruang model ekstrakulikuler lingkungan, ruang chat antar pemilik akun
hingga penghargaan terhadap ecopesantren. Metode dalam penelitian ini terdiri dari tahapan-tahapan
rekayasa web yang dimulai dari tahapan perumusan masalah dan perencanaan tahap analisa, tahap
disain, tahap implementasi, dan tahap pengujian. Kreativasi literasi digital ini bertujuan untuk,
pertama, mengenalkan model pendidikan lingkungan berbasis pesantren kepada masyarakat global
dengan cepat dan mudah diakses. Kedua, memberikan solusi pemecahan masalah mengenai
pendidikan lingkungan. Ketiga, memberikan solusi model pengelolaan lingkungan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kata Kunci: Digitrend envirotion, kreativasi, digital, pesantren, lingkungan.


Pendahuluan
Perkembangan zaman dewasa ini telah bergeser cukup signifikan menjadi lebih maju dan
cepat. Manusia pada zaman ini memasuki era yang dinamakan era digital. Dimana pada era
ini, terjadi perkembangan pesat dalam bidang teknologi dan digital. Segala sesuatu kebutuhan
dalam era ini disediakan dengan lebih mudah dan cepat serta berbasis digital. Manusia saat ini
lebih sering bersinggungan dengan dunia digital saat membutuhkan sesuatu seperti
pemesanan kebutuhan berbasis online, informasi berbasis online dan lain sebagainya. Hal ini
berdampak pada banyak perubahan terutama perubahan cara pandang seseorang dalam
menjalani kehidupan. Contohnya adalah pandangan bahwa informasi cenderung dipandang
sebagai sesuatu yang harus dapat mudah diakses dan cepat.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan pada era ini
juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ilmu pengetahuan pada era ini telah
menjadi kebutuhan utama sebagai sumber kehidupan manusia. Segala sesuatu di dunia ini
hampir semuanya telah diatur didalam sebuah ilmu pengetahuan yang telah dirancang
sistematis baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Ilmu pengetahuan dan kehidupan
manusia telah menjadi satu kesatuan yang sekarang sangat sulit untuk dipisahkan. Sebagai
contoh, untuk menemukan teknologi yang menunjang kehidupan manusia maka diperlukan
ilmu pengetahuan sebagai rancangan atau pedoman pembuatan teknologi tersebut.
Perubahan sudut pandang dalam era digital dan ilmu pengetahuan menuntut adanya
pembaruan dalam penyampaian ilmu pengetahuan diberbagai bidang, termasuk dalam bidang
pendidikan lingkungan. Pendidikan lingkungan merupakan program pendidikan yang
bertujuan untuk mengubah sikap dan prilaku manusia agar bereproduksi secara rasional,
memelihara lingkungan hidup, serta bertanggung jawab terhadap kualitas kehidupan saat ini
dan masa yang akan datang melalui proses pendidikan (Fachruddin, 2016). Dapat
disimpulkan bahwa misi dari pendidikan lingkungan adalah mewujudkan sikap dan perilaku
manusia yang peduli lingkungan dan menemukan solusi dari permasalahan lingkungan global.
Salah satu solusi dari permasalah lingkungan global adalah model pendidikan lingkungan
yang dilakukan oleh pondok pesantren. Model pendidikan lingkungan dalam pesantren
berbentuk pendidikan yang dapat mentransformasikan nilai-nilai moral keagamaan dalam
berinteraksi dengan lingkungan, dimana proses pendidikan berorentasi pada pembentukan
manusia secara utuh, baik lahiriah maupun batiniah dalam totalitasnya sebagai khalifah;
pengatur dan pemeliharaan alam dan lingkungan (Fua, 2013). Selain itu, pendidikan
lingkungan yang dilakukan oleh pondok pesantren bersinggungan langsung dengan
kehidupan masyarakat sekitar dan sekaligus menjadi simpul perjumpaan budaya dan pialang
budaya (Aulia, Isnaini, & Khumairoh, 2017)
Pembaruan dalam sosialisasi pendidikan lingkungan berbasis pesantren merupakan sebuah
tuntutan agar dapat menyediakan informasi solusi permasalahan lingkungan dengan cepat dan
mudah diakses oleh global. Salah satunya dengan dilakukannya kreativisasi literasi digital
dalam bentuk sebuah situs atau website. Kreativasi literasi digital dalam pendidikan
lingkungan setidaknya harus mencangkup dua aspek penting, yaitu; pertama, memuat konten
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

134
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

solusi pemecahan masalah terhadap isu lingkungan dalam bentuk model pendidikan dan
model pengelolan lingkungan. Kedua, dapat menjadi media pengenalan solusi tersebut pada
masyarakat global secara cepat dan mudah.
Kreativasi literasi digital berbasis situs atau website dinilai dapat meningkatkan minat
seseorang dalam bidang literasi. Beberapa faktor seperti kemudahan akses terhadap materi
pembelajaran, pengguna, pengajar, kontrol terhadap waktu, dan biaya dapat mempengaruhi
persepsi individu terhadap pendidikan berbasis web (distance learning) (Jati, 2006). Dengan
kata lain, pendidikan lingkungan akan lebih diminati jika dikemas dalam inovasi kretivasi
digital berbasis situs atau website yang kemudian dalam artikel ini diberi nama ”Digitrend
Envirotion” yang merupakan akronim dari digital pesantren-based environmental education.
Kreativasi literasi digital berbasis situs atau website ini menggunakan sistem website
dinamis. Dengan menggunakan sistem web dinamis, maka konten permasalahan lingkungan
yang dimuat dalam web dapat diperbarui secara berkala atau dengan kata lain up-to-date.
Kreativasi literasi digital ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya yaitu; pertama,
mengenalkan model pendidikan lingkungan berbasis pesantren kepada masyarakat global
dengan cepat dan mudah diakses. Kedua, memberikan solusi pemecahan masalah mengenai
pendidikan lingkungan. Ketiga, memberikan solusi model pengelolaan lingkungan.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka diperlukan fitu penunjang dalam website. Fitur
tersebut terdiri dari informasi terkini mengenai pendidikan lingkungan dan pesantren, ruang
e-book, ruang model pendidikan, ruang model pengelolaan lingkungan, ruang model
ekstrakulikuler lingkungan, ruang chat antar pemilik akun hingga penghargaan terhadap
pesantren alam.
Secara umum dalam suatu pembuatan suatu perangkat lunak khususnya suatu sistem
berbasis web harus mengikuti kaidah yang diterapkan supaya menghasilkan suatu perangkat
lunak yang memiliki kualitas yang tinggi. Terdapat tiga aspek penting dalam suatu produk
perangkat lunak, yaitu : karakteristik operasional, kemampuan untuk melakukan perubahan,
dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru (Jati, 2006).

METODE
Penelitian ini dilakukan melalui tahapan-tahapan rekayasa web (web engineering) yang
dimulai dari tahapan perumusan masalah dan perencanaan tahap analisa, tahap disain, tahap
implementasi, dan tahap pengujian (Jati, 2006).
Tahapan perumusan masalah dan perencanaan dilakukan dengan mengumpulkan data
mengenai permasalahan lingkungan serta solusi penyelesaian masalah oleh pendidikan
lingkungan hidup berbasis pesantren dengan studi literatur, penyebaran angket, observasi
serta wawancara. Setelah data primer dan sukender tersebut terkumpul, kemudian dilakukan
perencanaan mengenai konten yang akan dimuat dalam situs.
Tahap analisa dalam penelitian ini yaitu menganalisa konten yang telah direncanakan
dengan keadaan saat ini. Tahap ini menganalisa apakah konten yang akan dimasukan telah
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

135
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

memenuhi kebutuhan global dalam memberikan solusi permasalahan lingkungan. Selain itu,
pada tahap ini juga menganalisa fitur-fitur yang akan dimuculkan dalam website dinamis yang
sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Tahap disain dilakukan dengan membuat website dinamis dengan konten dan fitur yang
sesuai dengan keinginan dan tujuan dalam penelitian ini. Perangkat lunak yang umunya
digunakan dalam pembuatan web dinamis adalah PHP, MySQL, Apache. Sedangkan untuk
perangkat pengetikan menggunakan Microsoft Word, Excel, dan Visio.
Setelah web dinamis selesai dibuat kemudian dilakukan tahap implementasi dan tahap
pengujian. Pada kedua tahap ini, web dinamis telah dapat diakses secara global kemudian
diamati penggunaannya. Hal yang diamati adalah pengaruh informasi pendidkan lingkungan
berbasis pesantren terhadap perubahan pola pikir dan perilaku pengguna web dalam
pemeliharaan lingkungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pendidikan Lingkungan Berbasis Pesantren dalam Menjawab Degradasi Lingkungan
Isu lingkungan atau degradasi lingkungan dapat diartikan sebagai penurunan kualitas
lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan yang dicirikan oleh tidak
berfungsinya secara baik komponen-komponen lingkungan sebagaimana mestinya (Aulia,
Firdaus, Gunawan, & Elvira, 2017).
Menjawab degradasi lingkungan diperlukan adanya konsep ekologi yang mampu
menyelesaikan masalah degradasi lingkungan dengan konsep dasarnya adalah mengubah pola
pikir manusia terhadap lingkungannya (Aulia, Firdaus, Gunawan, & Elvira, 2017).
Pendidikan lingkungan dalam pondok pesantren merupakan solusi yang tepat dalam
menjawab degradasi lingkungan. Pendidikan lingkungan yang diberikan oleh pesantren
terhadap santrinya berdampak langsung dalam mengubah pola pikir dan perilaku santri
secara langsung. Hal ini dikarenakan pendidikan lingkungan yang dilakukan oleh pesantren
diterapkan secara teori dan praktik dilapangan serta bersifat kontinyu. Santri akan terbiasa
dengan kehidupan pesantren yang mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan sekitar.
Pendidikan yang dilakukan dalam pesantren merupakan pendidikan yang akan tertanam
secara matang dalam pola santri karena diajarkan kepada santri sejak usia dini.
Dengan demikian, pendidikan lingkungan berbasis pesantren yang dapat merubah pola
pikir seseorang (santri) dalam berperilaku terhadap lingkungan harus diberitakan secara
menyeluruh dan global. Dengan melakukan hal tersebut, maka dapat memberikan sebuah
solusi besar kepada dunia mengenai pendidikan lingkungan yang berdampak besar dalam
pola pikir dan perilaku sesorang. Selain itu, dapat memberikan bagaimana cara melestarikan
dan merawat lingkungan secara teori dan praktik nyata yang bersifat kontinyu.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

136
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Praktik Pendidikan Lingkungan Berbasis Pesantren


Praktik pendidikan lingkungan berbasis pesantren atau biasanya lebih sering disebut
dengan pengelolaan lingkungan berbasis pesantren. Pada dasarnya, pengelolaan lingkungan
berbasis pesantren memiliki variasi yang berbeda sesuai dengan kondisi geografis dan
kebutuhan masing-masing pondok pesantren.
Variasi pengelolaan lingkungan tersebut dapat memberikan ide pengelolaan yang dapat
diadaptasikan oleh masyarakat global yang kemudian disesuaikan dengan lingkungan
sekitarnya.
Beberapa penelitian mengenai ecopesantren yang dilakukan oleh Rihlah Nur Aulia dkk
mengemukakan bahwa pondok pesantren secara aktif melakukan pengelolaan lingkungan
yang disesuaikan dengan keadaan sekitar (Aulia, Firdaus, Gunawan, & Elvira, 2017). Seperti
model pengelolaan lingkungan dengan pendekatan alam buatan seperti danau buatan dan
danau lindung yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan . Pesantren
tersebut membangun danau buatan dan hutan lindung untuk membantu masyarakat sekitar
dalam persediaan air saat musim kemarau dan penghijauan. Hal tersebut sesuai dengan area
pesantren yang berada di khatulistiwa yang sering terjadi kemarau panjang.
Contoh lainnya adalah Pondok Pesantren Nurul Hakim yang membuat penangkaran
rusa didalam area pesantren untuk melindungi rusa tersebut. Selain itu, melakukan
pengolahan kebun dan penghijauan untuk menghijaukan lingkungan sekitar Lombok Barat
(Aulia, Isnaini, & Khumairoh, 2017)
Pondok Pesantren Darunnajah Cipining Bogor yang melakukan pembagian bibit pohon
setiap tahun kepada warga sekitar untuk membantu penghijauan di lingkungan sekitar yang
mulai tandus (Firdaus, 2017).
Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
pondok pesantren akan melakukan pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan keadaan
sekitar pondok pesantren. Dengan kata lain, praktik pendidikan lingkungan berbasis
pesantren dapat menjadi contoh maysrakat global untuk mengelola lingkungan yang
disesuaikan dengan keadaan sekitarnya.

Digitrend Envirotion (Digital Pesantren-based Environmental Education)


Digitrend envirotion (digital pesantren-based environmental education) merupakan
nama dari sebuah website dinamis yang dapat diakses secara global yang memuat konten
informasi pendidikan lingkungan berbasis pesantren.
Dalam pembuatan digitrend envirotion perangkat lunak yang digunakan adalah PHP,
MySQL, Apache. Sedangkan untuk perangkat pengetikan menggunakan Microsoft Word,
Excel, dan Visio.
Digitrend envirotion direncanakan memiliki fitur yang menunjang kelengkapan
informasi pendidikan lingkungan yang disediakan kepada masyarakat global. Fitur tersebut

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

137
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

terdiri dari informasi terkini mengenai pendidikan lingkungan dan pesantren, ruang e-book,
ruang model pendidikan, ruang model pengelolaan lingkungan, ruang model ekstrakulikuler
lingkungan, ruang chat antar pemilik akun hingga penghargaan terhadap pesantren alam.
Melalui situs yang direncanakan ini, masyarakat global dapat mengakses pengetahuan
pendidikan lingkungan berbasis pesantren melalui e-book yang dapat diakses secara bebas.
Selain e-book, masyarakat global juga dapat mengakses contoh model pendidikan dan
pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan keadaan lingkungan masing-masing.
Selain itu, masyarakat global dapat membuat akun dalam situs ini dengan mudah.
Kemudian para pengguna akun dapat melakukan diskusi secara online mengenai pengalaman
mereka tentang lingkungan.
Dalam situs ini juga bersifat up-to-date yaitu pembaruan secara berkala mengenai
informasi terkini isu lingkungan. Seperti berita kerusakan lingkungan, penghargaan
lingkungan dan lain sebagainya.

Penutup
Simpulan
Digitrend envirotion (digital pesantren-based environmental education) merupakan
sebuah kreativasi literasi digital berbentuk website dinamis yang dapat diakses secara global
dan memuat konten informasi pendidikan lingkungan berbasis pesantren. Konten yang
dimuat adalah konsep teori serta praktek pendidikan lingkungan. Selain itu, terdapat
informasi isu lingkungan terkini. Fitur yang direncanakan adalah informasi terkini mengenai
pendidikan lingkungan dan pesantren, ruang e-book, ruang model pendidikan, ruang model
pengelolaan lingkungan, ruang model ekstrakulikuler lingkungan, ruang chat antar pemilik
akun hingga penghargaan terhadap pesantren alam. Kreativasi literasi digital ini bertujuan
untuk, pertama, mengenalkan model pendidikan lingkungan berbasis pesantren kepada
masyarakat global dengan cepat dan mudah diakses. Kedua, memberikan solusi pemecahan
masalah mengenai pendidikan lingkungan. Ketiga, memberikan solusi model pengelolaan
lingkungan.

Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menganalisis peran kreativasi literasi digital
mengenai pendidikan lingkungan dengan perubahan pola pikir dan perilaku msayarakat yang
telah mengakses literasi digital tersebut.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

138
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka
Aulia, R. N., Firdaus, M., Gunawan, A., & Elvira, D. (2017). Konsep Ecopesantren dalam
Menjawab Degradasi Lingkungan. Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis
ke-53 UNJ (hal. 551-560). Jakarta : Laboratorium Sosial Politik Press UNJ.
Aulia, R. N., Isnaini, D. E., & Khumairoh, U. (2017). Pengelolaan Lingkungan Berbasis
Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Nurul Hakim Lombok NTB).
Hayula: Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies , 119-134.
Fachruddin, S. (2016). Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup. Bogor: IPB Press.
Firdaus, M. (2017). Skripsi: Pengolaan Lingkungan di Pondok Pesantren Darunnajah 2
Cipining Kabupaten Bogor. Jakarta: UNJ.
Fua, J. L. (2013). Eco-Pesantren; Model Pendidikan Berbasis Lingkungan. Al-Ta'dib, 113-
125.
Jati, H. (2006). Penerapan Web Dinamis untuk Media pembelajaran Distance Learning.
Jurnal Penelitian Saintek, 151-169.
Sahabuddin, E. S. (2015). Modul Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup Berbasis
Educational Portofolio Suatu Tinjauan. Seminar Nasional 2015 Lembaga
Penelitian UNM (hal. 95-114). Makassar: UNM.
Sardjono, W. (2011). Model Pelestarian Lingkungan Hidup Berbasis Teknologi Informasi
pada Aktivitas Sosialisasi Berbasis Masyarakat Sebagai Sentra Partisipan. Comtech,
368-372.
Shoheh, M. (2017). Teknologi dan Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jurnal
Penelitian dan Pemikiran Keislaman, 17-27.
Sudjoko. (2014). Modul 1: Perkembangan dan Konsep Dasar Pendidikan Lingkungan
Hidup. Jakarta: Universitas Terbuka.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

139
Effiatul Fajriyah
Universitas Negeri Semarang
e-mail: effiatul@gmail.com

Abstract. Motivation plays an important role in student learning outcomes, because students who
have high motivation in learning reveal interest and attention and learning tasks. One way to
improve learning motivation is to use e-comics. E-comic is the embodiment of learning blended
learning to take advantage of technological developments in the era of globalization. E-comic is
downloaded in Moodle which is one of the LMS (Learning Management System) applications used
to deliver online learning materials and web-based multimedia resources, manage learning activities
and results, facilitate interaction, communication, cooperation between teachers and students
Surjono, 2013). This study presents the use of Moodle-based e-comics that help students to
improve their motivation and conceptual understanding by using some published literature. The use
of e-comic in learning can increase learning motivation and concept comprehension because the logic
contained in the comic makes learning easy and fun, in addition simple language use allows students
to more easily understand.

Keywords: e-comic, moodle, motivation, conceptual understanding.

Abstrak. Motivasi berperan penting pada hasil belajar siswa, karena siswa yang memiliki motivasi
yang tinggi dalam belajar menampakkan minat dan perhatian dan tugas-tugas belajar. Salah satu cara
meningkatkan motivasi belajar adalah dengan menggunakan e-comik. E-comic merupakan
perwujudan dari pembelajaran blended learning untuk memanfaatkan perkembangan teknologi pada
era globalisasi. E-comic diunduh dalam Moodle yang merupakan salah satu aplikasi LMS (Learning
Management System) yang digunakan untuk menyampaikan materi pembelajaran dan resources
multimedia secara online berbasis web, mengelola kegiatan pembelajaran serta hasil-hasilnya,
memfasilitasi interaksi, komunikasi, kerjasama antar pengajar dan siswa (Surjono, 2013). Studi ini
menyajikan tentang penggunaan e-comic berbasis Moodle yang membantu siswa untuk
meningkatkan motivasi dan pemahaman konsep dengan menggunakan beberapa literatur yang telah
dipublikasikan. Penggunaan e-comic dalam pembelajaran dapat meningkatkan motivasi belajar dan
pemahaman konsep karena ilistrasi yang terdapat dalam komik membuat pembelajaran menjadi
mudah dan menyenangkan, selain itu penggunaan bahasa yang sederhana memungkinkan siswa untuk
lebih mudah memahami.

Kata Kunci: e-comic, moodle, motivasi, pemahaman konsep.

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan tahap persiapan untuk mencetak sumber daya yang
mempunyai kualitas mumpuni dan dapat menghadapi tantangan perubahan zaman pada

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

abad 21. Terdapat 3 (tiga) tantangan yang dihadapi oleh Indonesia pada abad 21, yaitu: (1)
hasil pembangunan yang telah ada harus dipertahankan; (2) pendidikan dapat
mempersiapkan siswa bersaing dalam era globalisasi; (3) sistem Pendidikan disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing daerah (Sudarsana, 2016). Siswa dididik untuk
memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan sesuai bakat dan
minat yang dimiliki oleh siswa yang diperoleh melalui lingkungan belajar.
Lingkungan belajar adalah struktur, alat, dan komunitas yang menginspirasi siswa
dan pendidik mencapai pengetahuan dan keterampilan tuntutan abad 21 (Mahajan, 2017).
Lingkungan belajar pada abad 21 harus mencakup berbagai perangkat media, beragam
budaya, yang dapat digunakan untuk mengembangkan pengetahuan akan perkembangan
sains dan teknologi. Wijaya dkk (2016) menyatakan bahwa pada abad 21 ini, pendidikan
penting untuk memerpersiapkan siswa agar memiliki keterampilan belajar untuk
menghasilkan banyak inovasi baru, penguasaan terhadap teknologi dan media informasi,
dapat bekerja dan bertahan yang dibekali oleh keterampilan untuk hidup. Pendidikan
mempersiapkan siswa agar dapat mengikuti tuntutan perkembangan zaman agar dapat
bersaing sebagai sumber daya manusia yang mumpuni.
Pada pasal 24 Permendikbud Nomor 17 tahun 2017, jumlah siswa SMP dalam
satu kelas berjumlah paling sedikit 20 (dua puluh) siswa dan paling banyak 32 (tiga puluh
dua) siswa. Dalam satu kelas, jangkauan guru akan terbatas hanya beberapa siswa saja,
perhatian guru tidak akan merata pada setiap individu dalam kelas. Apabila dalam satu kelas,
jumlah siswa melebihi 32 (tiga puluh dua) siswa, proses pelaksanaan pembelajaran, proses
pembelajaran tidak akan berlangsung efektif, karena jangkauan guru dan pengendalian kelas
akan terbatas. Hal ini berakibat pada konsentrasi belajar dan motivasi belajar siswa untuk
mengikuti pembelajaran.
Motivasi siswa berhubungan erat dengan pemahaman konsep dan hasil belajar siswa.
Kebanyakan siswa Indonesia menghapalkan materi, bukan memahami konsep yang diajarkan.
Pada saat akan menghadapi ujian, siswa akan menghapalkan materi, namun sedikit yang
berusaha memahami konsep yang telah diajarkan. Hal ini berakibat pada materi yang telah
diajarkan tidak akan bertahan lama. Berbeda jika siswa telah memahami konsep, maka
pengetahuan tersebut akan bertahan lama.
Motivasi adalah faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan,
mengerahkan perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu. Motivasi sangat berpengaruh
dalam hasil belajar siswa, karena siswa yang memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar
menampakkan minat dan perhatian yang besar pada tugas-tugas belajar. (Tine dkk., 2017).
Dengan minat yang bersar terhadap tugas belajar, peningkatan hasil belajar dapat terjadi
karena siswa telah memahami konsep yang telah diajarkan.
Konsep mewakili sekumpulan ide yang dapat dijelaskan dalam beberapa kata. Siswa
dikatakan telah memahami konsep ilmiah apabila siswa bisa menjelaskan fenomena sehari-
hari dengan menghubungkannya dengan berbagai potongan informasi, atau menerapkan
informasi yang telah dipelajari ke kehidupan sehari-hari (Buchori dan Setyawati, 2015).
Siswa dapat menjelaskan konsep abstrak ke dalam bahasa sehari-hari tanpa terjadi
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

141
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

miskonsepsi. Miskonsepsi (kesalahpahaman) pada siswa akan mempengaruhi kemampuan


mereka untuk memahami materi dan konsep yang diajarkan. (Susilaningsih dkk., 2017)
Miskonsepsi akan menyebakan siswa kesulitan dalam mempelajari materi lainnya, karena
antara satu konsep dengan konsep lainnya saling berkaitan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemahaman konsep siswa akan kurang
maksimal jika hanya menggunakan metode konvensional. Maka dari itu, guru harus
melakukan inovasi saat pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran yang
menarik dan kreatif. Sebuah media adalah segala alat fisik yang digunakan untuk
menyampaikan isi materi pengajaran. (Taufiq dkk., 2014). Salah satu jenis media yang dapat
meningkatkan motivasi dan pemahaman proses siswa adalah e-comic.
Hartley (2006) menyatakan bahwa E-comic adalah sebuah bahan ajar yang
memungkinkan untuk menggunakan media online pada internet, intranet, atau media
jaringan komputer lainnya. E-comic dapat digunakan dalam pemlajaran karena gambar
komik selalu diintegrasikan ke dalam kisah nyata, dengan beberapa karakter yang
memperdepatkan situasi atau fenomena tertentu. Hal ini sangat berguna untuk
menyampaikan situasi nyata, menyarankan solusi dan memotivasi siswa untuk berpikir kritis
tentang situasi atau fenomena tersebut.
Percakapan dalam komik berdasarkan materi yang disajikan dalam komik tidak
hanya menyampaikan dengan kata-kata, namun juga menyederhanakan suatu materi ke
dalam sejumlah gambar dan teks singkat tidak berarti pengurangan terhadap suatu fenomena
alam, namun justru siswa diberikan kesempatan untuk melakukan diskusi dengan orang lain
untuk memahami gambar tersebut (Awiegerova dan Navratilova, 2017). Penggunaan komik
dengan bahasa yang sederhana memudahkan siswa untuk memahami konsep yang diajarkan.
Selain itu dengan menggunakan komik, siswa dapat mengaitkan suatu komik dengan
kejadian sehari-hari yang dialami oleh siswa secara langsung. Maka dari itu, e-comic dapat
digunakan sebagai suplemen dalam pembelajaran.
Suplemen bahan ajar berisi tambahan materi yang menjadi pendamping materi
utama berisi fakta-fakta yang menarik, bervariasi, dan masih berhubungan dengan materi
utama. Media e-comic ini dimuat dalam portal Moodle. Moodle merupakan salah satu
aplikasi LMS (Learning Management System) yang digunakan untuk menyampaikan materi
pembelajaran dan resources multimedia secara online berbasis web, mengelola kegiatan
pembelajaran serta hasil-hasilnya, memfasilitasi interaksi, komunikasi, kerjasama antar
pengajar dan siswa (Surjono, 2013). Moodle memudahkan guru untuk mengoptimalkan
aspek multimedia, tugas-tugas, kuis, dan pengumuman, serta tautan untuk pengayaan.

Kajian Pustaka
E-comic
Perkembangan teknologi yang semakin pesat, membuat kebutuhan dan mekanisme
pembelajaran ICT (Information and Communication) tidak dapat dihindari. Konsep
pembelajaran ini kemudian dikenal dengan e-learning (Taufiq dkk, 2016). ICT sangat
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

142
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berpengaruh terhadap cara belajar siswa sehingga guru harus menyesuaikan cara
penyampaian pembelajaran yang sesuai dengan perkembangann ICT dengan media yang
inovatif. Selain itu, media yang digunakan dalam proses pembelajaran harus menghasilkan
minat dan minat baru, meningkatkan motivasi dan kegiatan belajar, dan membawa efek
psikologis pada siswa (Buchori dan Setyawati, 2015)
E-comic merupakan salah satu aplikasi untuk mengelola sistem pembelajaran yang
sesuai dengan perkembangan ICT. E-comic merupakan serangkain gambar maupun simbol
yang dirangkai menjadi satu rangkaian cerita yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-
hari yang dapat diakses secara online. Salah satu aplikasi pengajaran yang digunakan untuk
mengunggah e-comic yaitu moodle. Moodle memudahkan akses pembelajaran sehingga
pembelajaran menjadi efektif dan inovatif. Dengan menggunakan moodle, guru dapat
melakukan pembelajaran secara mandiri tanpa adanya tatap muka antara guru dan siswa.
Guru dapat menentukan jumlah pertemuan dan mengunggah berbagai format bahan ajar
(pdf, gambar maupun video) pada halaman mata pelajaran yang telah dibuat.

Gambar 1. Tampilan Laman Mata Pelajaran dalam Moodle

Pada tampilan halaman depan mata pelajaran (course) terdapat informasi biodata
dari guru pengajar mata pelajaran. Dalam halaman itu, siswa dapat mengetahui guru mata
pelajaran tersebut. Selain itu, terdapat bahan ajar yang dapat bahan ajar yang diunggah oleh
guru yang dapat diakses oleh siswa untuk belajar.

E-comic untuk Meningkatkan Motivasi Siswa


Faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar adalah motivasi belajar, kecerdasan,
kondisi fisik, dan sebagainya, sedangkan faktor eksternal terdiri dari lingkungan tinggal,
keluarga, dan komunitas (Yussi dkk, 2016) Cara penyampaian materi dan penggunaan
media pembelajaran sangat mempengaruhi penyerapan materi yang berpengaruh pada
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

143
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

motivasi dan hasil belajar siswa. Skaalvik dkk (2015) mengemukakan bahwa terdapat 4
(empat) indikator motivasi belajar, yaitu: (1) Motivasi intrinsik; (2) Usaha dalam belajar; (3)
Ketekunan; (4) Upaya mencari bantuan.
Komik dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi siswa, karena menggunakan
komik, indikator motivasi dapat terpenuhi, yaitu: (1) Motivasi intrinsik, diartikan dengan
minat dan kepuasan yang dialami siswa ketika belajar. Komik merupakan alat pengajaran
yang ideal digunakan untuk meningkatkan motivasi karena dengan menggunakan komik
siswa akan terlibat aktif dalam pembelajaran, sehingga minat dari siswa akan meningkat
(Shamuganathan dkk, 2016); (2) Usaha dalam belajar. Dengan menggunakan komik, siswa
akan lebih tertarik untuk mempelajari materi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil belajar
yang baik dan memuaskan; (3) Ketekunan. Jika siswa sudah mempunyai minat dalam
belajar, maka siswa akan berusaha dengan tekun dengan durasi yang lebih lama dalam belajar.
Pada komik, materi yang disajikan tidak hanya dalam bentuk teks, namun juga gambar, hal
ini membuat siswa tidak bosan dan akan belajar dalama durasi yang lama; (4) Upaya
mencari bantuan, merupakan usaha untuk menguasai tugas yang diberikan oleh guru.
Apabila siswa mengalami kesulitan sehingga mereka membutuhkan bantuan dan bimbingan,
mereka akan bertanya dan berusaha untuk menyelesaikan tugas tersebut. Penggunaan gambar
maupun simbol dalam komik memungkinkan siswa saling berdiskusi terkait gambar dan
teks singkat tentang materi yang terdapat dalam komik.

Gambar 2. E-comik tema Pemanasan Global

Media komik untuk pembelajaran membuat siswa merasa senang, santai, dan merasa
tidak tegang. Ilustrasi dalam komik membuat siswa lebih tertarik untuk mempelajari materi
dengan ilustrasi di setiap bagian yang membuat siswa lebih mudah memahami (Buchori dan
Setyawati, 2015). Apabila dalam belajar siswa merasa senang, maka hasil belajar yang akan
didapatkana akan lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian dari Puspitorini dkk (2014)

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

144
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

komik dapat meningkatkan motivasi belajar dengan nilai gain sebesar 0,55 (sedang), yang
berarti komik dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa.

E-comic untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa


Terdapat 7 (tujuh) proses kognitif yang digunakan sebagi indikator pemahaman
konsep yang dikenal dengan taksonomi Bloom revisi, atau dikenal dengan taksonomi
Anderson (Slamet dkk, 2013), yaitu: (1) menafisrkan; (2) memberikan contoh; (3)
mengklasifikasikan; (4) menarik inferensi; (5) menggeneralisasikan; (6) menjelaskan; (7)
membandingkan.
Berdasarkan indikator di atas, belajar media e-comic dapat membantu siswa
meningkatkan pemahaman konsep, karena: (1) menafsirkan, apabila dalam komik terdapat
simbol atau gambar dengan sedikit teks, siswa dapat menafsirkan maksud dan tujuan dari
simbol maupun gambar tersebut dan menyederhanakan maksud dari simbol maupun gambar
tersebut; (2) memberikan contoh. Dengan menggunakan komik, siswa dapat menyebutkan
contoh dalam kehidupan nyata; (3) mengklasifikasikan. Media komik dapat menyajikan
data yang menarik dan dapat diandalkan, memfasilitasi interpretasi data, dan memadatkan
informasi yang sangat berguna dalam pembelajaran sains (Buchori dan Setyawati, 2015); (4)
menarik inferensi, dengan menarik kesimpulan dari data-data atau informasi yang telah
dijabarkan oleh e-comic. Penggunaan komik dalam pembelajaran dapat membangun
kemampuan siswa untuk memanipulasi dan mengendalikan konsep ilmiah, memanipulasi
tingkat pemikiran kognitif, strategi pengajaran dan penggunaan keterampilan proses sains,
dan juga untuk mendapatkan minat belajar siswa (Krishnan and Othman, 2016); (5)
menggeneralisasikan, mengabstrakkan tema umum, Komik menggunakan teks yang
disederhanakan di mana seseorang menggunakan grafik untuk mudah memahami konten.
(Krishnan dan Othman, 2016); (6) menjelaskan sebab akibat, dengan runtutan waku yang
tertentu, e-comik dapat menjelaskan bagaimana asal usul suatu sebab akibat ; (7)
membandingkan dengan mencari hubungan anatara dua ide, objek, atau hal surupa untuk
dibandingkan.
Selain untuk meningkatkan minat dan daya pikir, media Komik IPA ini diharapkan
dapat meningkatkan daya visual siswa karena Komik IPA berisi cerita dengan gambar
sekaligus sebagai media hiburan, dan dapat diambil manfaatnya untuk membentuk karakter
siswa (Azizi dan Prasetyo, 2017). Piramida Dale menyatakan bahwa 30% pengetahuan
dapat diserap melalui visual. Penggunaan komik dalam pembelajaran setara dengan ketika
melihat demonstrasi oleh guru. Senada dengan hasil penelitian yang dikemukaan oleh
Psikolog Albert Mehrabian dalam studinya bahwa 55% dari komunikasi adalah komunikasi
visual. Komunikasi visual Bisa mengatasi hambatan bahasa dan memungkinkan siswa
berpikir tanpa kata-kata (Krishnan and Othman, 2016). Science comic mempunyai
kemampuan dalam memudahkan pembaca untuk memahami dan mengingat isi dari cerita
sebagaimana sebuah tampilan video.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

145
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Fatimah dan Widiyatmoko (2014) mengemukaan bahwa penggunaan komik dapat


meningkatkan pemahaman konsep dengan nilai gain 0,62 (sedang), yang berarti, komik
dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa. Kenaikan ini disebabkan oleh unsur-unsur
humor yang disuntikkan ke dalam proses belajar mengajar, yang dibuat belajar
menyenangkan.
Media E-comic memiliki berbagai keunggulan diantaranya, tidak lapuk, mudah
didistribusikan dan interaktif. Keunggulan-keunggulan ini cukup menarik apabila e-komik
bisa dikembangkan di dunia pendidikan dan dijadikan salah satu terobosan dalam pemilihan
media pembelajaran di sekolah (Irawati dan Rokhmani, 2016). Walaupun komik
mempunyai banyak keunggulan dan mampu menjadi sarana penyampai informasi berupa
materi pelajaran kepada siswa, tetapi peran seorang guru dalam mengajarkan ilmu kepada
siswa tidak bisa digantikan oleh komik. Guru tetap berperan sebagai pembimbing dan
penyampai materi pelajaran kepada siswa sementara komik berperan dalam memperjelas
materi yang disampaikan oleh guru (Aslamiyah dkk, 2016). Peran guru sangat besar untuk
membentuk pengetahuan awal maupun menjelaskan pengertahuan yang telah diperoleh siswa.

Penutup
Simpulan
E-comic dapat digunakan sebagai sumber belajar untuk meningkatkan motivasi dan
pemahaman konsep siswa. Dengan komik, motivasi dapat dicapai karena ilistrasi yang
terdapat dalam komik membuat pembelajaran menjadi mudah dan menyenangkan, selain itu
penggunaan bahasa yang sederhana memungkinkan siswa untuk lebih mudah memahami.

Saran
Penggunaan moodle sebagai aplikasi pengajaran diharapkan semakin berkembang
agar pembelajaran menjadi lebih invatif dan mengikuti perkembangan zaman. Selain itu,
pembuatan e-comic diharapkan lebih luas dengan mencakup semua materi yang diajarkan.

Daftar Pustaka
Achmad Buchori dan Rina Dwi Setyawati. 2015. Development learning model of character
education through e-comic in elementary school. International Journal of Education
and Research 3(9):369-386
Andriana Awiegerova, Hana Navratilova. 2017. Let’s not be scared of comics (researching
possibilities of using conceptual comics in teaching nature study in kindergarden).
Procedia (Social and Behavioral Sciences) 237: 1576-1581

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

146
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Chun-Ju Huang, Joachim Allgaier.2015. What science are you singing? A study of the
science image in the mainstream music of Taiwan. Public Understanding of Science
21(1):112-125
Einar M. Skaalvik, Roger A. Federici, Robert M. 2015. Klassen Mathematics achievement
and self-efficacy: Relations with motivation for mathematics. International Journal of
Educational Research 72:129-136
Endang Susilaningsih, C Wulandari, Supartono, Kasmui and D Alighiri. 2017. The use of
multi representative learning materials: definitive, macroscopic, microscopic, symbolic,
and practice in analyzing students’ concept understanding. International Conference
on Mathematics, Science and Education 2017 (ICMSE2017): 1-7
Wijaya EY, Dwi Agus Sudjimat, Amat Nyoto. 2016. Transformasi Pendidikan Abad 21
sebagai Tuntutan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Era Global. Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan Matematika 1:263-278
Fatimah. F, A. Widiyatmoko. 2014.Pengembangan Science Comic Berbasis PBL sebagai
Media Pembelajaran pada Tema Bunyi dan Pendengaran untuk Siswa SMP. Jurnal
Pendidikan IPA Indonesia 3(2):146-153
Hartley DE. 2006. Selling E-learning. American Society for Training and Development .
Irawati, Lisa Rokhmani. 2016. Pengembangan E-comic sebagai Media Pembelajaran
Ekonomi Kelas X di SMAN 7 Malang Pokok Pembahasan Sistem Pembayaran dan
Alat Pembayaran. Jurnal Pendidikan Ekonomi 9(1):31-40
Lailatul Aslamiyah, Masturi, Sunyoto Eko Nugroho. 2017. Pengembangan Media
Pembelajaran Komik Fisika Berbasis Integrasi-Interkoneksi Nilai-Nilai Al-Qur’an.
Unnes Physics Education Journal 6(3) :44-52
Mukhlas Azizi, Sigit Prasetyo. 2017. Kontribusi Pengembangan Media Komik IPA
Bermuatan Karakter pada Materi Sumber Daya Alam untuk Siswa MI/SD. Jurnal
Pendidikan Dasar Islam 9(2):75-83
M. Taufiq, AV Amalia, Parmin, A. Leviana. 2016. Design of science mobile learning of
eclipse phenomena with conservation insight android-based app inventor 2. Jurnal
Pendidikan IPA Indonesia 5(2):291-298
M. Taufiq, N.R. Dewi, A. Widiatmoko. 2014. Pengembangan media pembelajaran IPA
Terpadu berkarakter peduli lingkungan tema “Konservasi” berpendekatan Science-
Edutaiment. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia 3(2):140-145
Nurhayati Tine, Raihan Idrus Ibrahim, Abdul Rahmat. 2017. Penggunaan model
pembelajaran tipe bamboo dancing dalam meningkatkan motivasi belajar siswa pada
mata pelajaran Pkn di kelas V SDN 03 Mananggu Kabupaten Boalemo. Jurnal
Pendidikan, Sosial, dan Budaya 3(4):515-522
Permendikbud Nomor 17 tahun 2017

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

147
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Radhika Mahajan. 2017. Importance of Informal Learning over Formal Learning in 21 st


Century. International Journal of Advance Research and Innovation 5 (2):152-154
Retno Puspitorini, A.K. Prodjosantoso, Bambang Subali, dan Jumadi. 2014. Penggunaan
Media Komik dalam Pembelajaran IPA untuk Meningkatkan Motivasi, Hasil Belajar
Kognitif, dan Afektif. Jurnal Cakrawala Pendidikan 3:413-420
Shamini Krishnan and Kamisah Othman. 2016. The Effectiveness Of Using Comic To
Increase Pupil’s Achievement And Higher Order Thinking Skills In Science.
International Journal of English and Education 5(3):281-293
Sheila Shamuganathan, Gilbeth Andrew John, Mageswary Karpudewan. 2016. Effectiveness
of Green Chemestry with Science Writing in Enhancing Understanding Chemestry
Consepts. The Eurasia Proceedings of Educational & Social Sciences (EPESS) 5:20-
25
Slamet, K dkk. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Konseptual React terhadap
Pemahaman Konsep Fisika dan Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas VIII SMP. E-
Journal PPs Universitas Pendidikan Ganesha, 3.
Sudarsana IK. 2016. Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah dalam Upaya
Pembangunan Sumber Daya Manusia. Jurnal Penjaminan Mutu
Surjono, HD. 2013. Membangun Course E-Learning Berbasis Moodle. Yogyakarta: UNY
Press
Yussi, Syaad, Purnomo. 2016. The contribution of vacation students learning discipline,
motivation, and learning results. International Journal of Environmental and Science
Education 12(5):965-970

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

148
Eka Ariyati, Icha Monika, Kartono
Universitas Tanjungpura
e-mail: eka.ariyati@fkip.untan.ac.id, ichamonikaa@gmail.com,
tonopjjfkipuntan@gmail.com

Abstrak. Pembelajaran IPA berdasarkan kurikulum 2013 menuntut guru lebih kreatif dan inovatif
dalam menyampaikan materi, sedangkan siswa juga dituntut aktif dalam mencari dan memperoleh
informasi. Kenyataannya, pembelajaran IPA masih disampaikan secara monoton sehingga siswa pasif
dan pembelajaran menjadi membosankan. Salah satu cara untuk mengaktifkan siswa dan membantu
guru dalam menyampaikan materi adalah dengan menggunakan media berbasis adobe flash. Adobe
flash merupakan program yang digunakan untuk mengembangkan multimedia interaktif karena
mendukung dalam pembuatan animasi, gambar, maupun teks. Media animasi berbasis adobe flash ini
menarik dan dapat diterapkan pada materi sistem pencernaan. Adanya media ini dapat mengaktifkan
siswa dan meningkatkan pemahaman konseptual yang berdampak pada peningkatan hasil belajar.
Oleh karena itu pengembangan media animasi berbasis adobe flash diperlukan pada materi sistem
pencernaan.

Kata Kunci: adobe flash, animasi, media, sistem pencernaan.

PENDAHULUAN
Pembelajaran merupakan salah satu tahap yang menentukan keberhasilan proses
pendidikan. Pembelajaran sesuai kurikulum 2013 menganjurkan diterapkannya pendekatan
saintifik/ilmiah yang menekankan pada 3 ranah pembelajaran yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor. Penggunaan pendekatan saintifik dalam menyampaikan materi bertujuan untuk
memberikan pemahaman kepada siswa untuk memahami materi melalui pendekatan ilmiah.
Kegiatan ini tentunya bisa diperoleh kapan saja, dari mana saja agar siswa memiliki rasa
keingintahuan yang tinggi dalam mencari informasi. Oleh karena itu, guru dituntut kreatif
dalam menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, menarik, serta menyenangkan agar
membuat siswa aktif.
Kenyataan yang terjadi di lapangan, pembelajaran khususnya pembelajaran IPA masih
terkesan monoton sehingga siswa menjadi pasif dan pembelajaran menjadi membosankan.
Hal ini disebabkan dalam menyampaikan materi guru masih mengandalkan metode
konvensional seperti ceramah dan minim penggunaan media. Hal ini berakibat masih
rendahnya kualitas pendidikan IPA. Pendapat ini sejalan dengan Widyawati dan
Prodjosantoso (2015) yang mengungkapkan bahwa kualitas pendidikan IPA di Indonesia
masih perlu diperbaiki, seperti pengembangan kurikulum, pengembangan metode
penyampaian materi, serta pengembangan media pembelajaran.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hasil observasi awal melalui pemberian angket di SMPN 1 Sungai Raya, SMPN 3
Sungai Raya, dan SMPN 1 Sungai Kakap menunjukkan bahwa media yang sering digunakan
antara lain papan tulis, gambar print-out, power point, dan charta. Salah satu materi yang
dalam penyampaiannya membutuhkan media adalah sistem pencernaan. Dari hasil
wawancara dengan guru SMPN 3 Sungai Raya, selama ini beliau menggunakan power point
dan gambar namun hasil belajar siswa masih dibawah nilai KKM. Dampak kurang
maksimalnya pemanfaatan media dalam pembelajaran adalah belum optimalnya aktivitas dan
hasil belajar, seperti yang diungkapkan oleh Istiani (2015) dalam penelitian yang
dilakukannya di SMPN 1 Petanahan.
Media memiliki peran penting dalam proses pembelajaran agar pembelajaran menjadi
lebih kontekstual. Ibrahim & Syaodih (2010) menyatakan bahwa media adalah segala
sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran sehingga mampu
merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa. Sedangkan Nurseto (2011)
menjelaskan bahwa media pembelajaran berfungsi untuk: (1) menciptakan situasi
pembelajaran yang efektif dan kondusif, (2) menghubungkan komponen satu dengan
komponen yang lain, (3) membuat proses pembelajaran menjadi berkualitas, (4)
menciptakan pembelajaran menjadi lebih menarik dan interaktif, dan (5) menghemat waktu.
Adobe flash merupakan salah satu program yang dapat digunakan untuk membuat
media pembelajaran pada materi sistem pencernaan. Adobe flash menurut Nurtantio dan
Syarif (2013) adalah program yang digunakan untuk mengembangkan multimedia
pembelajaran interaktif karena mendukung dalam proses pembuatan animasi, gambar, serta
teks. Sedangkan menurut Ramadianto (2008), flash adalah sebuah program multimedia dan
animasi interaktif yang memiliki fasilitas optimal dalam menggambar. Berdasarkan
penelitian Herlinda (2018), penggunaan adobe flash dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Astutik (2012) juga mengungkapkan bahwa media berbasis adobe flash meningkatkan
motivasi belajar siswa, selain itu siswa cenderung lebih tertarik dan antusias dalam belajar.
Media animasi adobe flash memiliki kelebihan dalam memaparkan sesuatu yang rumit
atau kompleks dibandingkan pemaparan hanya dengan kata-kata atau gambar. Pada materi
sistem pencernaan, adobe flash diharapkan dapat menggambarkan organ-organ pencernaan
dan bagaimana mekanisme pencernaan terjadi dalam tubuh manusia sehingga siswa dapat
memperoleh pemahaman secara konseptual melalui kegiatan saintifik/ilmiah. Dengan
adanya media ini guru tidak akan kesulitan menyampaikan mekanisme pencernaan yang
sifatnya abstrak sehingga siswa dapat memahami materi dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas perlu dikembangkan media pembelajaran dengan animasi
berbasis adobe flash yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konseptual siswa dan
membantu guru mempermudah penyampaian materi pada materi sistem pencernaan. Selain
itu diharapkan dapat membuat siswa lebih senang, tertarik terhadap pelajaran IPA. Adapun
tujuan yang ingin dicapai atas pengembangan media ini adalah menghasilkan media
pembelajaran sistem pencernaan berbasis adobe flash untuk siswa kelas VIII SMP.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

150
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengembangan 4D dari
Thiagarajan (1974) yang meliputi: 1) pendefisinian (define), 2) perancangan (design), 3)
pengembangan (develop), dan 4) penyebaran (disseminate). Dalam penelitian ini baru
berlangsung sampai tahap ketiga. Pada tahap define dilakukan identifikasi media
pembelajaran sistem pencernaan yang digunakan di sekolah kemudian menganalisis konsep
yang nantinya akan ditampilkan pada media. Sedangkan pada tahap design dan develop
adalah merancang media pembelajaran (blueprint) kemudian membuat produk yang akan
divalidasi oleh ahli media dan materi.
Media pembelajaran ini dibuat di laboratorium pendidikan biologi FKIP Universitas
Tanjungpura pada bulan Maret 2018. Media pembelajaran ini dibuat dengan komputer
menggunakan program Adobe Flash, video editor sony vegas, dan Microsoft power point
2010.

Hasil dan Pembahasan


Hasil pengembangan ini berupa media pembelajaran berbasis adobe flash untuk materi
sistem pencernaan kelas VIII SMP. Media pembelajaran ini berbentuk audiovisual, media
audiovisul yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur
gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara, dan lain
sebagainya. Sanjaya (2006) mengungkapkan bahwa kemampuan media ini dianggap lebih
baik dan lebih menarik, sebab mengandung kedua unsur jenis media auditif dan visual.
Produk media pembelajaran ini dapat digunakan pada PC atau laptop. Media ini terdiri
dari beberapa bagian sebagai berikut:
a. Cover, tampilan ini berisi judul media, tombol navigasi/menu, dan nama kreator.
b. Materi, materi yang dimuat dalam media ini terdiri dari topik:

Gambar 1. Tampilan menu topik/materi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

151
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

1. Zat makanan,
Pada sub materi ini dijelaskan tentang definisi zat makanan, macam-macam zat
makanan dan contohnya.
Contoh tampilan sub materi zat makanan dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 2. Tampilan untuk sub materi zat makanan: karbohidrat

2. Uji zat makanan,


Pada sub materi ini ditayangkan video siswa yang sedang melakukan uji beberapa zat
makanan. Mulai dari bahan yang digunakan hingga hasil yang diperoleh setelah diberi
reagen tertentu.

Gambar 3. Tampilan untuk sub materi uji zat makanan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

152
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

3. Organ pencernaan,
Pada sub materi ini, diawal muncul gambar sistem pencernaan dengan ikon/menu
organ pencernaan yang bisa di klik berisi keterangan serta gambar untuk masing-
masing organ.

Gambar 4. Tampilan untuk sub materi


organ pencernaan

4. mekanisme pencernaan, dan


Mekanisme pencernaan ditayangkan melalui video singkat dan penjelasan.

5. kelainan & penyakit.

Gambar 5. Tampilan untuk sub materi kelainan & penyakit sistem pencernaan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

153
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pada bagian ini di tampilkan contoh beberapa jenis kelainan dan penyakit pada sistem
pencernaan yang dilengkapi dengan nama penyakit, keterangan serta gambar dari
bagian/organ yang terkena penyakit atau kelainan tersebut.

Media pembelajaran merupakan bagian dari komponen pembelajaran yang bisa membantu
menciptakan suasana menarik dan menyenangkan bagi siswa. Selain itu, penggunaan media
yang tepat akan membantu pencapaian tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat
Rusman (2011) bahwa dalam proses pembelajaran, media memegang peranan penting untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Sementara Daryanto (2010) menegaskan bahwa dalam
kegiatan pemrbelajaran, media berperan penting sebagai alat bantu mengajar.
Proses validasi dari ahli materi dan ahli media masih berlangsung. Sementara, komentar
dari validator adalah menyempurnakan sajian animasi dan video pada sub materi mekanisme
pencernaan agar lebih mudah dipahami oleh siswa.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran untuk materi
sistem pencernaan dapat dibuat dengan adobe flash dan media dapat digunakan dengan PC
atau laptop.
Saran
Penyajian animasi atau sejenisnya dalam media harus mempertimbangkan
karakteristik siswa.
Ucapan Terima Kasih
Terimakasih kepada DRPM Ristekdikti atas pendanaan penelitian, LPPKM Untan
yang memfasilitasi kegiatan penelitan dan pihak yang membantu terlaksananya kegiatan
penelitian.

Daftar Pustaka
Astutik, R.D. 2012. Pengembangan Media Pembelajaran Membaca Aksara Jawa Berbasis
Macromedia Flash untuk Siswa Kelas VII SMP. Jurnal-online. um.ac.id.
Daryanto, 2010. Media Pembelajaran. Bandung: Satu Nusa.
Herlinda, Hardigaluh, B., Ariyati, E. Pengaruh Media Animasi Berbasis Adobe Flash
Terhadap Hasil Belajar Materi Plantae. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. Vol 7
(2).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

154
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Ibrahim, R. dan Syaodih. N. 2010. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.


Istiani, R.M. dan Retnoningsih, A. 2015. Pemanfaatan Lingkugan Sekolah sebagai Sumber
Belajar Menggunakan Metode Post to Post pada Materi Klasifikasi Makhluk Hidup.
Unnes Journal of Biology Education. Vol. 4 (1): hal 70-80.
Nurseto, Tejo. 2011. Membuat Media Pembelajaran yang Baik. Jurnal Ekonomi &
Pendidikan, Vol.8 (1): hal 19-35.
Nurtantio dan Syarif, A.M. 2013. Kreasikan Animasimu dengan Adobe Flash dalam
Membuat. Sistem Multimedia Interaktif. Yogyakarta : Andi.
Ramadianto. 2008. Membuat Gambar Vektor dan Animasi. Atraktif dengan Flash
Professional 8. Bandung: CV. YramaWidya.
Rusman, D. K., dan Cepi R. 2011. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi: Mengembangkan Profesionalitas Guru. Jakara: Rajawali Pers.
Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Thiagarajan, S. (1974). Instructional Development for Training Teachers of Exceptional
children: A Sourcebook. Indiana: Indiana University.
Widyawati, Ani dan Kolonial Prodjosantoso. 2015. Pengembangan Media Komik IPA
untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Karakter Peserta Didik SMP. Jurnal
Inovasi Pendidikan IPA. Vol. 1 (1): hal. 27-35.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

155
Fery Muhamad Firdaus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: fery.firdaus@uinjkt.ac.id

Abstrak. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh media autoplay terhadap literasi
matematis siswa sekolah dasar. Penelitian dilakukan pada siswa kelas V di Sekolah Dasar Negeri
(SDN) Cipaku 03 sebagai kelompok eksperimen, dan di SDN Cipaku 02 sebagai kelompok
kontrol. Sampel penelitian yaitu 30 siswa dari masing-masing kelompok. Selama proses penelitian,
kelompok eksperimen diberikan pembelajaran menggunakan media autoplay, sedangkan kelompok
kontrol diberikan pembelajaran menggunakan media gambar. Pendekatan penelitian yang digunakan
yaitu pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen kuasi desain nonequivalent groups pretest-
posttests. Analisis data dilakukan dengan uji-t. Tingkat signifikansi 0,05. Hasil penelitian
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara skor literasi matematis siswa dari kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini juga menemukan bahwa media autoplay lebih efektif
dalam meningkatkan literasi matematis siswa dibandingkan dengan pembelajaran dengan
menggunakan media gambar, sehingga media autoplay dapat menjadi alternatif pembelajaran yang
dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan literasi matematis siswa sekolah dasar.

Kata Kunci: Media Autoplay, Literasi Matematis, Sekolah Dasar

Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu perkembangan suatu bangsa,
sehingga setiap bangsa hendaknya lebih intensif dalam mengembangkan pendidikan sumber
daya manusia yang berkualitas. Karena dengan sumber daya manusia yang berkualitas, maka
mampu berkompetisi dengan bangsa lain. Dalam pengembangan pendidikan, hendaknya
pemerintah memperhatikan proses pelaksanaan pendidikan dari sejak dini, yaitu pendidikan
dasar yang ditempuh pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP).
Akhir-akhir ini pemerintah giat melaksanakan program kegiatan literasi di sekolah-
sekolah sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan. Tentu harapannya supaya kompetensi
siswa Indonesia dapat berkembang dengan baik sebagaimana yang diamanatkan dalam
tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi siswa untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Literasi yang dikembangkan PISA (Programme for International Student Assessment )
terdiri dari literasi Bahasa, literasi sains, dan literasi matematis. Hasil terbaru dari
Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 menunjukkan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

semakin menurunnya prestasi siswa Indonesia dimana sebagian besar siswa Indonesia belum
mencapai level 2 (75%) dan 42 % siswa bahkan belum mencapai level terendah (level 1),
padahal PISA matematika tahun 2009, hampir semua siswa Indonesia mencapai level 3 dan
hanya 0,1% siswa Indonesia yang mampu mencapai level 5 dan 6. Dari hasil gabungan tes
matematika, sains, dan membaca, pada PISA 2012 Indonesia menempati peringkat 64 dari
65 negara yang berpartisipasi (OECD, 2013). Begitupula dalam hal literasi, hasil studi
Progress in International Reading and Literacy Study (PIRLS) yang ditujukan untuk kelas
V SD juga menunjukkan hasil bahwa lebih dari 95% peserta didik Indonesia di SD kelas
V hanya mampu mencapai level menengah, sementara lebih dari 50% siswa Taiwan mampu
mencapai level tinggi dan advance (Kemendikbud, 2014). Selain itu, UNDP (2000) dan
International of Education Evaluation in Achievement (2000) melaporkan bahwa
rendahnya kualitas kemampuan bersaing siswa Indonesia di era globalisasi, khususnya
dibidang matematika dan sains (Dewanto & Sumarno, 2013).
Berdasarkan pemaparan tersebut, salah satu masalah yang dialami siswa Indonesia
yaitu rendahnya literasi matematis siswa. Permasalahan literasi matematis siswa SD ini
sebaiknya segera diselesaikan supaya dapat meminimalisir permasalahan-permasalahan
literasi matematis siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pengembangan literasi
matematis ini dimulai di dalam rumah dan dalam kelas, didukung oleh keluarga dan
masyarakat. Cara pengajaran yang disajikan dapat mempengaruhi kemampuan anak-anak
dalam matematika. Pengajaran sebaiknya dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga
pemahaman konseptual diperoleh oleh siswa. Ini adalah salah satu cara mereka agar mampu
menerapkan belajar matematika dalam kehidupan nyata sebagai orang dewasa. Selain itu,
konten matematika yang diajarkan di sekolah harus mencerminkan relevansi dengan
masyarakat (Ojose, 2011).
Salah satu alternatif yang dapat digunakan guru dalam mengatasi masalah literasi
siswa, khususnya literasi matematis yaitu dengan menggunakan media teknologi yang
mampu membantu siswa mengembangkan kemampuannya sesuai zamannya. The
Association for Educational Communication and Technology (AECT) menyatakan bahwa
media adalah apa saja yang digunakan untuk menyalurkan informasi (Sadiman, 1990).
Dalam pengembangan media, terdapat tiga jenis media, yaitu media audio, media visual dan
media audio visual. Kini, banyak para praktisi pendidikan mulai melirik media audio visual
dalam pelaksanaan pembelajaran. Arsyad (2009:30) mengungkapkan bahwa media audio
visual merupakan teknologi yang digunakan untuk menyampaikan materi pengajaran dengan
menggunkan mesin-mesin mekanisme dan elektronik untuk menyajikan pesan-pesan audio
dan visual.
Salah satu media audio visual yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran yaitu
media autoplay. Media auto play ini menampilkan gambar, tulisan, suara, musik, video,
komik digital, evaluasi dan simulasi pembelajaran. Pemanfaatan media autoplay ini
diharapkan dapat membantu siswa dalam belajar matematika dengan mengalami langsung
proses belajar, sehingga mereka akan lebih mudah mengingat dengan adanya audio dan
visual terkait materi yang dibahas, sehingga literasi matematis siswapun akan berkembang
dengan baik.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

157
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif, hal tersebut
dikarenakan penelitian ini mengontrol bagaimana kelompok subjek penelitian diperlakukan
dan kemudian mengukur bagaimana tindakan mempengaruhi setiap kelompok, sehingga
diperlukan penelitian kuantitatif.

Metode dan Desain Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen kuasi, hal ini
dikarenakan penelitian dilaksanakan dengan maksud untuk mempelajari sesuatu dengan
mengubah suatu kondisi dan mengamati pengaruhnya terhadap hal lain. Penelitian
eksperimen kuasi yang akan dilaksanakan yaitu dengan bentuk nonequivalent groups pretest-
posttets design yang mengacu kepada pendapat Fraenkel dan Wallen (2007:278).

Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SDN Cipaku 02 dan SDN
Cipaku 03 Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung. Sebagian dari jumlah populasi yang
dipilih untuk sumber data disebut sampel. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan
sampling purposive, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Penentuan sampel dilakukan dengan memilih dua kelas yang memiliki kesamaan karakter,
baik dari aspek kognitif, afektif, ataupun psikomotorik. Peneliti menentukan kelas yang
terpilih sebagai kelompok eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan media autoplay,
sedangkan kelas yang terpilih sebagai kelompok kontrol diajarkan dengan menggunakan
media gambar.

Instrumen
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa lembar tes kemampuan literasi
matematis siswa. Tes ini berupa tes subyektif dalam bentuk uraian. Instrumen terlebih
dahulu diujicobakan sebelum digunakan untuk memperoleh data. Uji coba ini dimaksudkan
untuk memperoleh validitas dan reliabilitas instrumen. Pengembangan instrumen dilakukan
dengan cara pengujian validitas dan pengujian reliabilitas. Hasil pengujian validitas empiris
dengan menggunakan rumus korelasi product moment dari pearson memperoleh hasil
bahwa soal nomor 1,3,4,6,8 dan 10 memiliki tingkat signifikansi dengan kriteria sangat
signifikan, sedangkan soal nomor 2,5,7,9 memiliki tingkat signifikansi dengan kriteria
signifikan, sehingga semua soal dapat digunakan untuk mengukur literasi matematis siswa.
Hasil Perhitungan Reliabilitas yang Menggunakan Rumus Alpha-Cronbach menghasilkan
sebesar 0,82, hal ini menunjukkan bahwa hasil uji coba instrumen memiliki reliabilitas yang
tinggi.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

158
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Analisis Data
Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh media autoplay
terhadap literasi matematis siswa sekolah dasar. Teknik analisis data yang digunakan pada
penelitian ini yaitu teknik statistik inferensial parameter, di mana teknik ini dilaksanakan
dengan menggunakan uji t, taraf signifikansi 0,05.

Prosedur Penelitian
Penelitian dengan menggunakan metode quasi experimental design bentuk
nonequivalent groups pretest-posttets design ini dilaksanakan dengan prosedur pelaksanaan
penelitian sebagai berikut: Pertama, perencanaan dan persiapan penelitian, dimana pada
proses ini dimulai dengan mendefinisikan masalah penelitian, mencari bahan rujukan, dan
membuat hipotesis penelitian, menentukan desain penelitian, kemudian memilih sampel dari
populasi tertentu sesuai dengan desain penelitian yang telah dipilih, serta membuat media
autoplay, membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), bahan ajar dan instrumen-
instrumen yang digunakan ketika penelitian. Kedua, pelaksanaan penelitian, di mana
pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan penempatan sampel pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol, memberi pretes masing-masing kelompok, didasarkan pada variabel
dependent, mengatur kondisi perlakuan terhadap kelompok eksperimen bukan kepada
kelompok kontrol, dan melakukan perlakuan atau treatment pelaksanaan pembelajaran
menggunakan media autoplay terhadap kelompok eksperimen, dan pembelajaran
menggunakan media gambar terhadap kelompok kontrol, serta masing-masing kelompok
diberi posttes sesuai dengan variabel dependent. Ketiga, pengumpulan data dan analisis data
yang telah diperoleh. Keempat, membuat laporan penelitian.

Hasil Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti merancang dan mengembangkan sendiri media autoplay
yang bertujuan untuk mengembangkan literasi matematis siwa. Hasil uji-t literasi matematis
pada saat pretes yaitu bahwa nilai signifikansi (P-value) untuk faktor pembelajaran sebesar
0,136 > 0,05 maka H0 diterima. Dengan kata lain, tidak terdapat perbedaan rerata skor
pretes literasi matematis siswa antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen
berdasarkan faktor pembelajaran. Akan tetapi, hasil uji perbedaan rerata posttes literasi
matematis siswa yaitu bahwa nilai signifikansi (P-value) untuk faktor pembelajaran sebesar
0,000 < 0,05 maka H0 ditolak. Dengan kata lain, terdapat perbedaan rerata skor posttes
literasi matematis siswa antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen. Adapun
hasil perhitungan uji perbedaan rerata dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

159
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 1. Tabel Hasil Pengujian Perbedaan Literasi Matematis Siswa


Tes Pembelajaran Perbedaan Df Sig. H0
Pretes Eksperimen-Kontrol 5,75 < 5,83 28 0,136 Diterima
Posttes Eksperimen-Kontrol 9,08 > 7,72 28 0,000 Ditolak

Jika dilihat dari tabel 1 di atas, rata-rata skor pretes kemampuan literasi matematis
siswa kelompok eksperimen dan kontrol masing-masing adalah 5,75 dan 5,83. Berdasarkan
hasil uji perbedaan rata-rata diperoleh bahwa rata-rata kedua kelompok tersebut tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan
awal literasi matematis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah sama.
Setelah dilakukan treatment (perlakuan) terhadap kelompok eksperimen dengan
menggunakan media autoplay dan kelompok kontrol dengan menggunakan media gambar
sebanyak tujuh treatment pada masing-masing kelas, maka diperoleh rata-rata skor postes
kelompok eksperimen adalah 9,08 dan kelompok kontrol adalah 7,72. Dengan
memperhatikan rata-rata skor posttes antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
dapat disimpulkan bahwa kemampuan literasi matematis kelompok eksperimen lebih baik
daripada kelompok kontrol secara signifikan.
Rerata skor pretes siswa kelompok eksperimen (5,75) dan kelompok kontrol (5,83)
relatif sama. Hal tersebut ditunjukkan oleh perbedaan rerata yang hanya 0,08. Namun rerata
skor posttes siswa kelompok eksperimen (9,08) dan kelompok kontrol (7,72) berbeda
sebesar 1,36. Kenaikan rerata skor posttes dari skor pretes kelompok eksperimen 3,33, dan
kenaikan rerata skor posttes dari skor pretes kelompok kontrol hanya 1,89.
Hal tersebut memberikan asumsi bahwa kualitas peningkatan literasi matematis siswa
kelompok eksperimen lebih baik. Untuk lebih jelasnya, berikut diagram yang menunjukkan
perbandingan literasi matematis kedua kelompok dilihat dari rata-rata hasil pretes-posttes.
Hasil Uji signifikansi terhadap perbedaan rerata skor postes kelompok eksperimen
dengan rerata skor postes kelompok kontrol diperoleh bahwa, dalam tingkat keberartian α
= 0,05 secara meyakinkan terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor postes
kelompok eksperimen dengan rerata skor posttes kelompok kontrol. Peningkatan rerata
hasil literasi matematis siswa kelas ekperimen lebih besar daripada rerata hasil literasi
matematis siswa kelompok kontrol, sehingga dapat diketahui bahwa media autoplay lebih
berpengaruh secara signifikan daripada media gambar dalam meningkatkan literasi
matematis siswa sekolah dasar.

Diskusi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media autoplay berpengaruh
terhadap literasi matematis siswa. Penggunaan media autoplay berpengaruh literasi
matematis siswa karena media autplay ini dapat menyajikan konsep matematika melalui
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

160
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

perangkat lunak multimedia yang mengintegrasikan berbagai tipe media misalnya gambar,
suara, video, teks, flash kedalam presentasi yang di buat (Hernawati, 2015). Sehingga
dengan penggunaan media yang dapat mencangkup berabagai cara penyajian konsep, maka
sumber belajar siswa lebih kaya dan mampu menfasilitasi gaya belajar serta motivasi belajar
matematika siswa. Mereka tertarik belajar menggunakan gambar, video, komik digital,
simulasi musik, suara dan lain sebagainya yang bias dikembangkan sebagai bahan
pembelajaran yang disajikan melalui karya teknologi digital.
Pembelajaran matematika menggunakan media autoplay ini dapat meningkatkan
komunikasi siswa. Siswa dapat berkomunikasi dengan guru, siswa lain ataupun sumber
belajar secara interaktif. Hal tersebut didukung oleh Sucipto (2010) yang menyatakan
bahwa penggunaan media autoplay bersifat interaktif dan mandiri: (1) interaktif, dalam
pengertian memiliki kemampuan untuk mengakomodasi respon siswa, dan (2) mandiri,
dalam artian memberi kemudahan dan kelengkapan isi sedemikian rupa sehingga siswa bias
menggunakan tanpa bimbingan orang lain. Oleh karena itu, melalui penggunaan media
autoplay dalam pembelajaran matematika di SD dapat meningkatkan interaktif dan
kemandirian siswa, sehingga kemampuan literasi matematis siswa dapat berkembang dengan
baik pula.
Konten yang dikembangkan dalam media autoplay yaitu konten-konten matematika
yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Konten matematika disajikan dalam bentuk
gambar, musik, video, komik digital atau pun model simulasi yang menyajikan konsep
matematika sesuai kenyataan di kehidupan sehari-hari, sehingga literasi matematis siswa
dapat berkembang dengan bak. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya literasi matematis yaitu
kemampuan untuk mempermudah siswa dalam menyelesaikan masalah di kehidupan nyata
yang berkaitan dengan konsep-konsep matematika (Garfunkel, 2013). Hal ini senada
dengan pendapat Johar (2012) yang mengungkapkan bahwa kemampuan yang penting
dalam literasi matematis yaitu kemampuan mengajukan, merumuskan dan menyelesaikan
didalam atau diluar masalah matematika dalam berbagai macam bidang dan konteks.
Kemampuan tersebut mencakup semua hal, mulai dari matematika murni sampai pada hal
dimana tidak ada struktur matematika, sudah diberikan sejak awal tetapi terlebih dahulu
diperkenalkan dengan baik melalui problem poser, problem solver, ataupun keduanya.
Berdasarkan pendapat Garfunkel (2013) dan Johar (2012) tersebut, maka pada
dasarnya literasi matematis yaitu kemampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan
dengan cara pengembangan kemampuan mengajukan, merumuskan dan menyelesaikan
didalam atau diluar masalah matematika dalam setiap konteks melalu kegiatan pemecahan
masalah. Hal tersebut sangatlah sesuai manakan pembelajaran dikemas melalui penggunaan
media autoplay yang menyajikan gambar, musik, video, komik digital atau pun model
simulasi yang menyajikan konsep matematika sesuai kenyataan di kehidupan sehari-hari.
Sehingga siswa mampu terfasilitasi dalam pengembangan kemampuan literasinya melalui
media autoplay tersebut.
Adanya perkembangan teknologi saat ini, keberadaan media sangat membantu
proses pembelajaran agar berjalan dengan baik. Media audio visual dapat memberikan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

161
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

contoh serta gambaran nyata mengenai materi yang disampaikan guru. Melalui
penggambaran yang jelas dalam media autoplay tersebut, maka kemampuan-kemampuan
matematis siswa terkait literasi matematis dapat berkembang dengan baik. Kong (Tai, et al.,
2014) menjelaskan bahwa siswa yang memiliki literasi matematis, memiliki kemampuan-
kemampuan sebagai berikut: (1) pengetahuan matematika dasar dan keterampilan yang
dibutuhkan dari seorang warga negara yang modern dan inti dasar praktis dari pengetahuan
matematika; (2) tingkat kemampuan komputasi tertentu, penalaran logis, dan pemahaman
konsep spasial (atau pada tingkat pemula, imajinasi spasial); (3) minat dalam menerapkan
matematika, memahami angka dan simbol, dan pemahaman dasar konsep-konsep
matematika; dan (4) ciri-ciri karakter yang penting untuk belajar matematika.
Proses pembelajaran menggunakan media autoplay yang notabene salah satu media
audio visual dapat efektif dalam pembelajaran dibandingkan dengan media gambar yang
notabene media visual semata. Sehingga media autoplay dapa efektif dalam mengembangkan
literasi matematis siswa dalam belajar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian menunjukkan
bahwa kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif dan mudah bila dibantu dengan sarana
visual, dimana 11% dari yang dipelajari terjadi lewat indera pendengaran, sedangkan 83%
lewat indera penglihatan. Di samping itu dikemukakan bahwa kita hanya dapat mengingat
20% dari apa yang kita dengar, namun dapat mengingat 50% dari apa yang dilihat dan
didengar. Sehingga menghadirkan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar
merupakan salah satu komponen pembelajaran yang harus diperhatikan oleh para guru
(Rosidi, 2009).
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka diharapkan guru dapat memanfaatan media
autoplay dalam pembelajaran matematika siswa SD, supaya kemampuan literasi matematis
siswa dapat berkembang dengan baik sesuai harapan, dan ssuai tujuan pembelajaran.

Penutup
Sejalan dengan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, studi ini memperoleh
kesimpulan yang berkenaan dengan hasil studi empirik tentang eksperimen pengaruh
penggunaan media autoplay terhadap literasi matematis siswa sekolah dasar. Berdasarkan
hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan bahwa media autoplay
tlebih efektif dalam meningkatkan penalaran matematis siswa dibandingkan pembelajaran
menggunakan media gambar, hal ini ditandai dengan terdapatnya perbedaan rerata skor
posttes literasi matematis siswa antara kelompok eksperimen yang menggunakan media
autoplay dengan kelompok kontrol yang menggunakan pembelajaran gambar. Kemampuan
literasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan media autoplay tlebih
baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran gambar. Selain itu, siswa pada
kelompok eksperimen memberikan respon yang baik dan merasa senang terhadap
pembelajaran menggunakan media autoplay. Sehingga media autoplay tdapat dijadikan
alternatif yang efektif dalam meningkatkan kemampuan literasi matematis siswa sekolah
dasar.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

162
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka
Arsyad, A. (2009). Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Dewanto, S. P. & Sumarmo, U. (2013). Improving The ability Mathematical Higher Order
Thiking Through Inductive-deductive Learning Approach. A Study in Third Year
University’s Student. In Kumpulan Makalah berpikir dan Disposisi Matematika serta
Pembelajarannya. Utari Sumarno, Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas
Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.UPI. Bandung.
Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. (2007). How to Design and Evaluate Research in
Education. New York: Mcgraw hill.
Garfunkel, S. (2013). For All Practical Purposes Mathematical Literacy in Today’s World .
New York: W. H. Freeman and Company.
Hernawati, K. (2015). Modul Pelatihan, disampaikan dalam kegiatan PPM dengan judul
Pelatihan Pembuatan Media Pembelajaran Interaktif dengan Perangkat Lunak
Autoplay Media Studio bagi Guru Sekolah Menengah di Laboraturium Komputer
Jurdik Matematika MIPA UNY.
Johar, R. (2012). Domain Soal PISA untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang. 1, (1),
hlm. 30-41.
Kemendikbud. (2014). Materi Pelatihan Guru Implementasi kurikulum 2013. Jakarta:
Kemendikbud.
OECD. (2013). PISA 2012 Assessment and Analytical Framework Mathematics, Reading,
Science, Problem Solving And Financial Literacy. OECD Publishing.
Ojose, B. (2011). Mathematics Literacy: Are We Able To Put The Mathematics We Learn
Into Everyday Use?. Journal of Mathematics Education. Vol. 4, (1), 89-100.
Rosidi, A. W. 2009. Media Pembelajaran Bahasa Arab. Malang: UIN Malang Press.
Sadiman, A.S, dkk. (2010). Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan
Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Pers.
Sucipto. (2010). Penulisan Naskah Pembelajaran Mutimedia Interaktif Berbantuan
Komputer (Multimedia). Makalah. Yogyakarta: Badan Teknologi Komunikasi
Pendidikan (BTKP).
Tai, C. H, Leou, S., & Hung, J. F. (2014). Mathematical Literacy of Indigenous Students in
Taiwan. International Research Journal Of Sustainable Science & Engineering . Vol 2,
(3), 1-5.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

163
Fidrayani, Intan Sriayu Wulandari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: Fidrayani7276@injkt.ac.id, Intan.Sriayu14@Mhs.uinjkt.ac.id

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan media pembelajaran dalam
pendidikan di masa kini dan masa yang akan datang dalam Digital class room di SD Islam Al Azhar
1 Kebayoran Baru. Penelitian di laksanakan dengan subjek penelitian siswa di kelas 4 Arafah SD
Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru dengan jumlah murid 26 siswa yang terdiri dari 15 siswa
perempuan dan 11 siswa laki-laki. Setiap kegiatan yang dilakukan guru berusaha untuk selalu
mengaitkan perkembangan teknologi terkini dalam kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan masa
kini dan pendidikan di masa yang akan datang.
Kata kunci: Media Pembelajaran, Digital Class Room, digital classroom

Pendahuluan
Pada zaman milenia sekarang ini kehidupan manusia tidak dapat terpisahkan dengan yang
namanya Teknologi. Perkembangan teknologi sangat berkembang pesat pada era globalisasi saat ini.
Perkembangan teknologi sangat membawa dampak dan memberikan banyak manfaat dalam
kemajuan berbagai aspek sosial. Penggunaan teknologi dalam bidang pendidikan merupakaan sesuatu
yang lumrah. Kegiataan belajarengajar selalu berdampingan dengan kemajuan teknologi. Manusia
sebagai pengguna teknologi harus mampu memanfaatkan teknologi dengan sebaik mungkin. Apalagi
kita sebagai pengajar, hasus selalu berinovasi dengan berbagai media pembelajaran yang menarik
untuk pendidikan masa kini dan masa yang akan datang. Dengan begitu, teknologi dan pendidikan
mampu berkembang bersama seiring dengan adanya generasi baru sebagai penerus generasi lama.
Pendidikan merupakan sarana efektif dalam mendukung perkembangan serta peningkatan sumber
daya manusia menuju arah yang lebih positif. Kemajuan pendidikan di masa kini dan masa yang akan
datang bergantung dengan sumber daya manusia yang berkualitas, dimana semua itu berjalan dengan
baik atas dasar pendidikan yang berkualitas.
Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional, dinyatakan bahwa pendidikan anak usia
dini adalah suatu upaya pembinaan yang di tunjukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia
enam tahun yang di lakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut (UU No. 20 Tahun 2003)
Seperti yang tertulis dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional, yang salah satu isinya membahas mengenai pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan agama.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kajian Pustaka
Media adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi
instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar (Setiadarma, 2006;4).
Media termasuk alat peraga yang memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan
proses belajar mengajar yang efektig )Sudjana, 2005:99).
(Jatu Pramesti, 2016: 5) Peranan media dalam proses pembelajaran sangatlah penting. Adanya media
dapat mendukung proses pembelajaran, mempermudah siswa dalam memahami materi pembelajaran,
serta meningkatkan kualitas guru yang akan berdampak pada hasil belajar.
Dari berbagai kajian yang ada media pembelajaran adalah sebuah alat bantu yang di gunakan oleh
komunikator untuk menyampaikan pesan kepada komunikan. Media merupakan alat bantu yang
memudahkan komunikator menyampaikan pesan, dan memudahkan komunikan menerima pesan
dari komunikan.
(Azhar Arsyad. 2017:6) Media pembelajaran selalu terdiri dari dua unsur penting, yaotu unsur
peralatan atau perangkat keras(Hardware) dan perangkat lunak (software).

Metodologi
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif yang menggunakan teknik deskriptif
yaitu mengambarkan data yang diperoleh secara apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti
serta menguraikan fenomena terhadap pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan di sekolah
dasar secara cermat dan teliti berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Hal ini dimaksudkan agar
penelitian ini dapat menjelaskan dan mengambarkan atau mendeskripsikan tentang Penerapan Media
Pembelajaran dalam pendidikan anak di masa kini dan masa yang akan datang dalam digital class
room di SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru. .

Fokus Penelitian
Dari penulisan penelitian ini maka penulis ingin memfokuskan penelitian pada :
 Bagaimana Penerapan Media Pembelajaran dalam pendidikan anak di masa kini dan masa yang
akan datang dalam digital class room di SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru?
 Bagaimana dampak dari Penggunaan media pembelajaran pada pendidikan anak di masa kini dan
masa yang akan datang dalam digital class room?

Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang bersifat deskriptif dan
mendalam mengenai Penerapan Media Pembelajaran dalam pendidikan anak di masa kini dan masa
yang akan datang dalam digital class room di SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru.

Teknik pengumpulan data

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

165
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Hal-hal


yang di observasi mencangkup tentang perilaku siswa saat kegiatan belajar mengajar, pemahaman
siswa dalam pembelajaran menggunakan Device, dan respon siswa setelah kegiatan belajar
menggunakan media Device. Sedangkan wawancara di tunjukan kepada Ibu Siti Halijah, M.Pd
selaku wali kelas 4 Arafah SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru. Wawancara selanjutnya dengan
wakil kepala SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru yaitu Bapak Tanjih Martopo, S.Pd. dan juga Ibu
Elsi Mutiara Murni, S.Pd selaku koordinator kelas 4 Digital Class Room. Tujuannya untuk
mengetahui tanggapan maupun penilaian wali kelas, koordinator kelas dan wakil kepala sekolah
terhadap media pendidikan Digital Class Room. Dan dokumentasi sebagai salah satu sumber data
berupa Photo maupun video yang berhubungan dengan materi penelitian.
Beberapa dokumentasi tersebut berupa photo-photo kegiatan siswa di kelas dalam
penggunaan media pembelajaran dalam digital class room, kondisi tempat penelitian, profil lokasi
penelitian. Dalam penelitian ini juga terdapat beberapa instrumen pengumpulan data yaitu lembar
angket validasi asli, lembar angket respon siswa dan lembar observasi keterlaksanaan RPP.

Hasil dan Diskusi


Penerapan Media Pembelajaran dalam pendidikan anak di masa kini dan masa yang akan
datang di SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru . Terkait dengan proses pelaksanaan Penerapan
media pembelajaran yang berkesinambungan dengan pendidikan masa kini dan pendidikan yang akan
datang. SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru Khusus nya untuk rombongan belajar kelas 4, mulai
dari 4a sampai dengan 4e merupakan kelas spesial yaitu Digital Class Room. Digital class room
adalah kelas yang menggunakan teknologi terkini dalam proses kegiatan belajar mengajar. SD Islman
Al Azhar 1 kebayoran baru merupakan sekolah pertama yang menyediakan fasilitas, sarana dan
pprasana yang mendukung Digital Class Room. Dimana program ini adalah program uji coba yang
berlangsung untuk rombongan belajar kelas 4. Sekolah dan orang tua sangat mendukung proses
belajar mengajar untuk pendidikan masa kini dan masa yang akan datang. Program Digital Class
Room ini merupakan program tahun pertama yang menyediakan fasilitas secanggih ini dalam
pendidikan dasar.
Hal ini bisa dilihat dari observasi dikelas saat pembelajaran berlangsung bahwa Penggunaan Device
saat kegiatan belajar mengajar merupakan hal yang biasa di lakukan siswa siswi dalam perkembangan
zaman yang semakin pesat. Jika di bandingkan dengan sekolah dasar lainnya. Siswa kelas 4 lebih
unggul dalam penggunaan teknologi. Karena siswa siswi ini di persiapkan sebagai bibit –bibit sumber
daya manusia yang sangat berkualitas dalam pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Sehingga siswa siswi Digital class room sudah terbiasa menggunakan device sebagai media
pembelajaran mereka. Mulai dari mengetik, menyalin dan menempel hingga membuat power point.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

166
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 1.
Penggunaan Ebook dengan penyedia Ebook : Pesona edu.

Gambar 2.
Penggunaan Kuis interaktif dalam pembelajaran sains.

Gambar 3.
Net Support di gunakan guru untuk memantau siswa siswi dalam penggunaan device di kelas.

Gmbar 4.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

167
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pembelajaran menggunakan Ebook yang tersedia dalam device masing-masing siswa.

Gambar 5.
Pembelajaran menggunakan Ebook yang tersedia dalam device masing-masing siswa.

Gambar 6.
Ibu Siti Halijah, M.Pd sedang mengintruksikan siswa siswi untuk merangkum materi yang ada di
Ebook Kedalam Word.

Gambar 7.
Siswa siswi menjalankan instruksi Ibu Siti Halijah, M.Pd untuk merangkum materi yang ada di
Ebook Kedalam Word.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

168
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 8.
Siswa siswi kelas 4 SD islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru sudah terbiasa menggunakan alat teknogi
dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar 9.
Siswa siswi kelas 4 SD islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru sudah terbiasa menggunakan alat teknogi
dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar 10.
Kuis Interaktif dalam Ebook yang di buka dalam Personal Computer Admin.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

169
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 11.
Mengkaitkan tugas yang di berikan guru dengan materi yang ada di device siswa masing-masing.

Gambar 12.
Foto bersama setelah pembelajaran selesai.
Penutup
Setelah melakukan analisis sebagaimana yang telah diuraikan, maka penulis menarik kesimpulan dari
penelitian tentang Penerapan Media Pembelajaran dalam pendidikan anak di masa kini dan masa
yang akan datang dalam digital class room di SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru.
SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru adalah sekolah yang menggukan teknologi dalam setiap
kegiatannya. Setiap kegiatan yang dilakukan guru berusaha untuk selalu mengaitkan perkembangan
teknologi terkini dalam kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan masa kini dan pendidikan di
masa yang akan datang. Menanamkan teknologi dalam setiap kegiatan pembelajaran agar
mewujudkan bibit bibit unggul dalam sumber daya manusia yang baik. Contohnya dalam kegiatan
belajar mengajar menggunakan Device di SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru. Macam-macam
kegiatan yang membuat siswa-siswi tidak ketinggalan zaman dan selalu up to date.
Setelah dilakukannya penelitian tentang Penerapan Media Pembelajaran dalam pendidikan anak di
masa kini dan masa yang akan datang dalam digital class room di SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran
Baru, terdapat beberapa poin saran untuk penelitian selanjutnya yang lebih baik. Berikut poin
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

170
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

penjelasannya. Penelitian ini dilakukan hanya pada satu tempat, maka untuk penelitian kedepannya
agar cakupan penelitian yang lebih luas dengan adanya perbandingan antara sekolah. Dengan catatan
jika sudah ada sekolah lain yang mengadakan program Digital Class Room di sekolahnya. Namun,
hingga artikel ini di buat hanya SD Islam Al Azhar 1 kebayoran Baru lah sekolah yang mengadakan
Program Digital Class Room. Tujuannya agar dapat membedakan kedua sekolah tersebut terhadap
Penerapan Media Pembelajaran dalam pendidikan anak di masa kini dan masa yang akan datang
dalam digital class room di SD Islam Al Azhar 1 Kebayoran Baru.
Dan untuk penyempurnaan hasil penelitian yang lebih baik maka perlu dilakukan penelitian lagi
dengan melibatkan beberapa faktor lainnya, seperti penambahan materi yang lebih bervariasi, metode
mengajar yang bisa di kaitkan dengan Digital Class Room yang dapat memberikan pengaruh yang
lebih besar dalam setiap proses belajar mengajar dan terhadap peningkatan motivasi belajar siswa
dalam belajar dan berkarya kreatif menggunakan teknologi yang modern.

Daftar Pustaka
Abu Yazid Abu Bakar. 2016 “Digital Classroom”: An Innovative Teaching and Learning Technique
for Gifted Learners Using ICT. . Faculty of Education, Universiti Kebangsaan Malaysia,
Bangi, Malaysia.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Aqib, Z. (2013). Model-model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif). Bandung:
Yrama Widya.
Digital Learning. http://www.eptec.co.id/education. di akses 24 Desember 2017
Pembelajaran digital. http://www.depokpos.com/arsip/2017/12/digital-class-smart-room-dalam-
pembelajaran-bahasa-indonesia-di-sma-muhammadiyah-3-jakarta/ di akses 24 Desember
2017.
Hamalik, Oemar. 2004. Psikologi belajar dan mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Paul Lam and Aiden. Digital Devices in Classroom – Hesitations of Teachers-to-be Tong Centre
for Learning Enhancement and Research, The Chinese University of Hong Kong, Hong
Kong, China
Santrock, J.W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Kencana.
Sudjana, Nana.2005. Dasar-dasar Proses belajar mengajar. Bandung: Sinar baru algesindo.
Setiadarma, Wayan.2006. Produksi Media Pembelajaran. Surabaya: Unesa University press.
Sejarah YPI Al-Azhar, http://www.al-azhar.or.id/index.php/tentang-kami
Sejarah Berdiri YPI Al-Azhar,https://sdialazhar14.wordpress.com/profil-sekolah/sejarah-
berdirinya/
Muhammad Fatchul. 2014. Penerapan Media dalam bentuk Pop Up Book pada pembelajaran
unsur-unsur rupa untuk siswa kelas 2 SDNU Kanjeng Sepuh sidayu gresik . FBS, UNESA:
Volume 2 Nomor 3.
Nila Rahmawati. 2014. Pengaruh Media Pop Up Book Terhadap penguasaan kosakata anak usia 5-
6 tahun di TK PUTERA HARAPAN SURABAYA. FIP, UNESA.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

171
Firdaus Wajdi
Universitas Negeri Jakarta
e-mail: firdaus.wajdi@unj.ac.id
Abstract. The ability and implementation of skilled digital literacy, especially in the field of Islamic
studies can be one way to maintain the conception of Islam as a religion of grace and avoid religious-
based conflicts. This paper describes the analysis of the digital literacy implementation process in
Islam-based content at the State University of Jakarta. This research was conducted with qualitative
approach with data collection method in the form of observation, interview, and focused group
discussion (FGD). Digital applications of digital literacy products comprising of fage-flip booklets,
digital maps, and android based applications that cover the peace values based on Sufism based peace
were used as samples in this study to understand what the background is and how the process of
implementing digital literacy skills. Moreover, what are the future of implementation of general
literacy in Indonesian Islam context. In general, the development of digital literacy in the form of
digital applications promises to increase the growth of a culture of peace. This is the promising topic
for study in the future.
Keywords: Implementation of digital literacy, the peace values, Sufism.

Pendahuluan
Globalisasi adalah sebuah konsep yang menandakan hubungan yang sangat kuat antara satu
wilayah dengan wilayah yang lain di dunia ini, sehingga hubungan yang erat itu seakan meniadakan
batas antara negara dan antar waktu. Perkembangan globalisasi yang diawali dengan bermunculannya
perusahaan penerbangan yang menawarkan tiket murah yang memungkinkan orang melakukan
perjalanan antara wilayah dan antar negara dengan sangat mudah. Hal lain yang juga memicu
munculnya globalisasi adalah kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi. Komunikasi daring saat
ini terasa sebagai hal yang biasa saja dan menjadi alat standar untuk mengubungkan satu orang
dengan orang yang lain di bahkan benua yang berbeda. Sesuatu yang di masa lalu merupakan hal
yang sangat sulit di masa lalu (Al-Rodhan & Stoudmann, 2006; Beckford, 2000; Chakravartty &
Zhao, 2008).
Aplikasi agama Islam, juga seperti banyak hal lain yang dipengaruhi oleh globalisasi,
mendapatkan banyak perubahan. Dahulu praktik agama mungkin lebih bersifat lokal dinamikanya,
maka dengan tren globalisasi ini agama Islam dan dinamikanya juga bisa bersifat global. Hal yang
terjadi di satu wilayah bisa berkembang ke wilayah yang lain. Ada banyak contoh misalnya dengan
fenomena the Arab Sping, atau labelisasi imej Islam yang keras dengan bermunculannya kelompok
Islam radikal, tidak di satu tempat saja, namun juga di berbagai tempat dengan pola hubungannya
yang menarik untuk diteliti. (Adamson, 2004; Hasan, 2006, 2009).
Dalam paper ini, secara khusus penulis ingin mengungkapkan salah satu isu global, yakni
pentingnya Budaya Damai (Azra, 2005; Barwick & Barwick, 2000; Boulding, 2000, 2001) yang
berasal dari khazanah keislaman sepeti misalnya Tasawuf yang dapat digunakan untuk menangkal
konflik berlatar belakang agama, baik di Indonesia, maupun di dunia global. Menurut penulis,
bidang kajian ini tidak banyak dikaji oleh para peneliti, dan membutuhkan lebih banyak penelitian
yang aplikatif.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Header halaman gasal: Judul Artikel Jurnal

Dalam kerangka aplikatif tersebut, maka pada paper ini akan dibahas tentang bagaimana
menggunakan khazanah keislaman dalam hal ini adalah nilai nilai damai yang ada dalam khazanah
Tasawuf, digabungkan dengan konsep literasi digital (Sarroub, 2008) dan diimplementasikan dalam
bentuk aplikasi yang mendukung implementasi skill dalam konsep literacy digital. Aplikasi digital
produk literasi digital yang terdiri atas fageflip booklet, peta digital, dan aplikasi hikmah berbasis
android yang memiliki konten nilai nilai perdamaian berbasis Tasawuf digunakan sebagai sampel
dalam penelitian ini untuk memahami apa latar belakang dan bagaimana proses implementasi skill
literasi digital.

Metode
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif sebagai “sebuah proses study untuk memahami masalah
sosial atau manusia berdasarkan pada gambaran holistik yang kompleks yang dibentuk dengan kata-
kata atau narasi untuk melaporkan pandangan rinci tentang informasi dan dilakukan dalam
lingkungan alami” (Creswell, 2013). Dalam hal ini peneliti berusaha untuk menjelaskan kebutuhan
akan adanya Implementasi Budaya Damai Berbasis Tasawuf untuk mencegah konflik agama di
tengah masyarakat. Untuk melakukan sintesa Aplikasi untuk Budaya Damai yang mendukung
budaya literasi digital yang baik untuk bidang Pendidikan Agama Islam ini, peneliti menggunakan
pendekatan „Penelitian Pengembangan‟ (Research and Development) untuk bidang agama (Clarke,
2014). Pendekatan ini dinilai paling baik untuk membantu mensintesa pengembangan budaya damai
dalam bentuk produk seperti Aplikasi digital produk literasi digital yang terdiri atas fageflip booklet,
peta digital, dan aplikasi hikmah berbasis android. Sebagaimana diungkapkan oleh Borg and Gall
dalam Educational Research: An Introduction, bahwa penelitian research and development adalah
sebuah “a process used develop and validate educational product” (Borg & Gall, 1989).
Dalam penelitian ini Research and Development sebagai sebuah pendekatan penelitian
dimanfaatkan untuk menghasilkan Model Aplikasi yang mendukung Budaya Literasi Digital yang
dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi
Umum Negeri, sehingga mahasiswa PAI dapat menghasilkan menjadi manusia yang memahami
pentingnya mengedepankan konsep perbedaan latar belakang dapat menjadi modal untuk
perdamaian, dapat menghargai perbedaan dalam pemahaman agama dan tentunya dapat menjadi
agent of change dalam rangka mencegah terjadinya konflik agama.

Hasil Dan Pembahasan


Bagian ini akan menjelaskan bagaimana nilai nilai damai berbasis Tasawuf disintesa bentuknya
menjadi beberapa aplikasi digital untuk mendukung budaya digital literacy yang dinilai lebih cocok
untuk kalangan muda (Griffith, 2008). Bila peneliti dapat mengubah bentuk laporan penelitian dari
format narasi teks yang terkadang tidak cukup menarik bagi kalangan muda, menjadi bentuk aplikasi
digital yang lebih menarik untuk mereka, maka kemanfaatan dari penelitian tersebut dinilai lebih
tinggi. Hal ini tentu menjadi, tidak hanya pembuktian dari hipotesi bahwa kalangan muda lebih
tertarik pada aplikasi dunia digital, namun juga membuktikan bahwa bahkan penelitian dalam ranah
agama dan tema humaniora sekalipun dapat menghasilkan sebuah produk ( product based research
outcome) dan dapat memiliki Tingkat Kesiapan Teknologi yang cukup tinggi. Sebagaimana kita
dapat paham bahwa Tahap Kesiapan Teknologi atau Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) adalah
sebuah ukuran tingkat kesiapan teknologi yang diwujudkan dalam sebuah sistem indikator tertentu
yang menunjukkan seberapa siap atau matang suatu teknologi dapat diterapkan dan diadopsi oleh
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

173
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

user atau calon user (https://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_kesiapan_teknologi). Dalam banyak


tipe penelitian yang didanai oleh Kemenristekdikti saat ini, Tingkat Kesiapan Teknologi merupakan
suatu indikator yang harus diisi dan ditentukan untuk menggambarkan bagaimana implementasi
hasil penelitian nantinya. Tentu saja, tingkat TKT yang lebih tinggi bernilai lebih baik dan ini adalah
tantangan tersendiri dalam kajian Islam atau tema-tema humaniora secara umum.
Dalam paper ini, peneliti ingin menjelaskan bahwa suatu hasil penelitian dalam bidang Agama
Islam dapat ditingkatkan TKT nya menjadi lebih tinggi dengan cara mensintesa aplikasi digital.
Dalam paper ini ada tiga macam aplikasi digital yang akan dibahas sebagai bentuk implementasi dari
pengenalan nilai nilai perdamaian yang dikembangkan oleh dosen dan mahasiswa Universitas Negeri
Jakarta. Ketiga aplikasi tersebut adalah Fageflip Booklet, Peta Digital, dan Aplikasi Hikmah Berbasis
Android. Ketiganya akan dijelaskan berikut ini.

Fageflip Booklet
Fageflip adalah efek Graphic User Interface (GUI) dari sebuah software yang secara visual
menunjukkan tampilan secara visual seperti buku atau surat kabar, atau booklet. Tampilannya mirip
seperti penggunaan buku pada umumnya. Secara sejarah software, efek pageflip ini awalnya
diperkenalkan sebagai efek flipping book dalam aplikasi Macromedia Flash pada akhir 1990-an dan
sejak saat itu, tren teknologi ini berkembang dengan sangat cepat.
Salah satu kelebihan efek pageflip adalah bahwa efek ini dapat digunakan secara offline ataupun
daring (online). Selain itu, pageflip memiliki beberapa efek yang beragam di antaranya FlippingBook,
ePageView, dan ePaperFlip. Dalam penelitian yang dilakukan di UNJ ini, peneliti mensintesa ragam
informasi dari makan dan masjid yang ada di Jakarta dengan efek pageflip professional. Ini menjadi
produk tersendiri dari penelitian yang ditunjukkan kepada generasi muda dan hal ini terbukti
mendapat response yang baik dari generasi muda untuk mengemari alternatif tempat dan kegiatan
yang dapat menumbuhkan budaya damai di kalangan masyarakat.

Peta Digital
Peta digital merupakan peta non-konvesional yang dapat memaksimalkan fitur dan menu
(Zhongyuan, 2012). Peta digital merupakan salah satu produk penelitian yang dikembangkan oleh
para peneliti di UNJ untuk memetakan ragam masjid dan makam yang diteliti untuk
mengembangkan alternatif tempat para remaja beraktivitas untuk membentuk budaya damai di
kalangan komunitas Muslim di Jakarta dan sekitarnya.
Peta digital yang disintesa oleh tim peneliti ini menggunakan fitur barcode model baru yang
dikenal sebagai QR Code. Barcode model baru ini dapat menyimpan informasi tentang info lokasi
dan kegiatan yang ada di tiap venue (masjid atau makam) dan penunjuk jalan yang terkoneksi dengan
Google Map untuk memberi petunjuk arah dari lokasi pengguna menuju ke lokasi makam atau
masjid tempat kegiatan.

Aplikasi Kutipan Hikmah Berbasis Android

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

174
Header halaman gasal: Judul Artikel Jurnal

Aplikasi produk implementasi digital literasi yang ketiga yang dikembangkan adalah aplikasi
kutipan hikmah dari buku Tasawuf dalam bentuk aplikasi android yang dikembangkan dengan
software android studio (Burton, 2015).
Android Studio adalah software standar untuk pengembangan aplikasi dalam system operasi
Android yang dapat berjalan di System operasi Windows, MacOS dan sistem operasi berbasis Linux.
Android Studio versi stabil saat ini adalah versi 3.1 yang dirilis pada Maret 2018.
Peneliti mensintesa aplikasi kutipan hikmah seperti aplikasi „quote of the day‟ yang memberikan
informasi hikmah penuh perdamaian yang disarikan dari Kitab Tasawuf.

Penutup
Demikianlah paparan bagaimana kajian tentang budaya damai yang ditumbuhkan memalui
pengenalan nilai perdamaian berbasis tasawuf dan budaya alternatif untuk menumbuhkan sikap
damai di kalangan Muslim.
Penelitian ini ingin juga menekankan bahwa syarat luaran penelitian berupa produk yang
memenuhi unsur Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) di jenjang 1-9 telah menginisiasi suatu budaya
literasi digital dalam hal ini mengubah format luaran penelitian yang bisanya dalam bentuk laporan
natarif menjadi bentuk produk dengan Kesiapan Teknologi.
Penelitian ini menyarankan supaya pengembangan aplikasi dan software sebagai salah satu cara
implementasi dan pengembangan literasi digital di dalam subjek penelitian agama dan humaniora
perlu semakin ditumbuhkembangkan. Dalam hal ini Program Pengabdian kepada Masyarakat dapat
diajukan untuk membekali penelitian bidang agama dengan skil yang dibutuhkan untuk mensintesa
software dan aplikasi yang sifatnya Islami untuk mendukung pembelajaran Pendidikan Agama Islam
secara umum dan berlatar belakang multikulturalisme.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang
telah mendanai penelitian dan pengembangan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Negeri Jakarta
berserta staf nya yang telah memberikan dukungan dalam proses pengajuan dan pelaksanaan
penelitian ini. Kemudian penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Koordinator Program Studi
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta dan rekan rekan dosen
atas dukungan dan bantuan dalam proses pengajuan dan pelaksanaan penelitian ini, termasuk dalam
proses diseminasi hasilnya dalam Seminar Nasional Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk
Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21 di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada
segenap Panitia Seminar Nasional ini.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

175
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka
Adamson, C. (2004). Globalization, Islam and the idea of "woman" in post-new order Java.
(3147982 Ph.D.), The George Washington University, Ann Arbor. ProQuest
Dissertations & Theses Global database.
Al-Rodhan, N. R. F., & Stoudmann, G. (2006) Definitions of Globalization: A Comprehensive
Overview and a Proposed Definition. In. Geneva: Geneva Centre for Security Policy
(GCSP).
Azra, A. (2005). Teaching Tolerance through Education in Indonesia: Reflections on the Keynote
Address and Symposium Theme of International Symposium on Educating for a Culture of
Peace through Values, Virtues, and Spirituality of Diverse Cultures, Faiths, and
Civilizations. Paper presented at the International Symposium on Educating for a Culture
of Peace through Values, Virtues, and Spirituality of Diverse Cultures, Faiths, and
Civilizations, Multi-Faith Centre, Griffith University.
Barwick, J., & Barwick, J. (2000). A Culture of Peace. Port Melbourne, Vic.;: Echidna Books;.
Beckford, J. A. (2000). Religious Movements and Globalization. In R. Cohen & S. M. Rai (Eds.),
Global Social Movements. London: The Athlone Press.
Borg, W. R., & Gall, M. D. (1989). Educational research : an introduction.
Boulding, E. (2000). Cultures of Peace: The Hidden Side of History. Syracuse, N.Y.: Syracuse
University Press.
Boulding, E. (2001). Peace Culture and Social Action. Peace Review, 13(4), 567-570.
Burton, M. a. (2015). Android application development for dummies (3rd ed. ed.): Hoboken, New
Jersey : John Wiley &amp; Sons, Inc., 2015.
Chakravartty, P., & Zhao, Y. (2008). Global communications: Toward a transcultural political
economy. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Clarke, M. (2014). Handbook of research on development and religion.
Creswell, J. W. (2013). Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing among Five Approaches .
Thousand Oaks, Calif: SAGE.
Griffith, P. L. (2008). Literacy for young children : a guide for early childhood educators.
Hasan, N. (2006). Laskar Jihad. New York: Cornell University.
Hasan, N. (2009). Transnational Islam in Indonesia. In P. G. Mandaville (Ed.), Transnational Islam
in South and Southeast Asia: Movements, Networks, and Conflict Dynamics . Seattle,
Washington: The National Bureau of Asian Research.
Sarroub, L. K. (2008). Living “Glocally” With Literacy Success in the Midwest. Theory Into
Practice, 47(1), 59-66. doi:10.1080/00405840701764789
Zhongyuan, Z. (2012). Research on 3D Digital Map System and Key Technology. Procedia
Environmental Sciences, 12, 514-520. doi:10.1016/j.proenv.2012.01.311

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

176
Gelar Dwirahayu, Lava Himawan, Dedek Kustiawati
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: gelar.dwirahayu@uinjkt.ac.id, lavahimawan@yahoo.co.id, dedek.kustiawati@uinjkt.ac.id

Abstract. There are a lot of beneficial of geometry in the daily life, therefore geometry becomes one
of the five content standards in mathematics according to NCTM besides numbers, algebra,
proportion, and statistics and probability. The low of students ability on solving geometry problems
caused by low of students’ visualization and spatial in geometry. Often students only use a single
point of view to image an object geometry. Visualization can not be taught by using any strategy,
but students’ visualization will be good if they trained, because the quality of students' knowledge in
geometry is not determined by the accumulated knowledge, but more determined by level of
thinking process on geometry. The purpose of this research is develop students’ visual representation
using Software Wingeom. The research was conducted on 2nd semester of academic year 2016/2017
in Public Senior High School 10 South Tangerang. The sample of the research are Class X- as
experiment class and Class X-7 as control class. The research method used is quasi experiment with
randomized subjects posttest only control group design. The instrument used in this study is a test.
The test consists of two categories of questions, 10 questions are multiple choices and 6 question
are essay. The conclusion that the students’ visual representation who was tought using software
Wingeom is higher than students’visual representation who was taught using manual props, besides
that, using of software Wingeom, students can seeing, recognizing, and making various forms of
geometry build more effective, besides the students were able to transform the previously abstract
object into more concrete and meaningful with the various functions contained in software
Wingeom.
Keywords: Wingeom, Visual Representation, Geometry

Pendahuluan
Perkembangan yang terjadi di dunia semakin hari semakin pesat, memasuki era globalisasi yang
menuntut manusia untuk memiliki skill dan kompetensi yang sesuai dengan bidang profesinya.
Apalagi di masa sekarang, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kebutuhan manusia agar dapat
bertahan dalam kelangsungan hidupnya (Hudojo, 2005). Kebergantungan terhadap teknologi juga
dirasakan dalam bidang pendidikan khususnya dalam pelajaran matematika, sebagaimana
diungkapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2006), bahwa penguasaan matematika yang
kuat sejak usia dini akan membantu manusia untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa
depan.
Geometri menjadi cabang ilmu matematika yang penting karena pada dasarnya geometri
menjadi satu dari lima standar isi yang dipelajari dalam matematika menurut NCTM selain bilangan,
aljabar, perbandingan, serta statistika dan peluang (Walle, 2013). Namun, masih banyak siswa
Indonesia yang masih kesulitan dalam memecahkan permasalahan geometri. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa hasil survei yang dikeluarkan oleh TIMSS (Trends in International Mathematics and
Science Study) yang melakukan studi prestasi matematika di beberapa negara, salah satunya
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Indonesia. Geometri menjadi salah satu dari empat domain konten yang diujikan dalam uji TIMSS
pada siswa kelas VIII, selain bilangan, aljabar, serta data dan peluang (Mullis, 2012). Geometri wajib
dikuasai oleh siswa seperti halnya materi yang lainnya. Geometri memiliki karakteristik khusus dalam
matematika karena mempelajari geometri tidak dapat dilakukan dengan cara cepat, perlu proses
berkelanjutan untuk memahami geometri secara komprehensif. Selanjutnya, menurut Dwirahayu
(2013) mengajar dan belajar geometri tidaklah mudah, perlu ditemukan suatu strategi pembelajaran
atau cara mempelajari geometri agar bisa difahami oleh siswa.
Rendahnya kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan permasalahan geometri menurut
Pitriani (2014) disebabkan karena masih rendahnya daya visualisasi dan kemampuan spasial siswa
untuk dapat memahami keabstrakan geometri. Siswa sulit untuk memvisualisasikan suatu objek
geometri dengan baik. Siswa mengalami keterbatasan dalam daya pandangnya terhadap suatu objek
sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman. Seringkali siswa hanya dapat menggunakan satu sudut
pandang saja dalam melihat suatu objek geometri sehingga persepsi siswa tidak sesuai dengan objek
yang sebenarnya ada.
Kemampuan visualisasi menurut Dwirahayu (2012) tidak dapat diajarkan dengan
menggunakan strategi apapun, akan tetapi kemampuan visualisasi siswa menjadi baik jika selalu
dilatih, karena kualitas pengetahuan siswa dalam geometri tidak ditentukan oleh akumulasi
pengetahuan yang diperoleh, akan tetapi lebih ditentukan pada tingkat proses berpikir geometri yang
digunakan.
Selanjutnya, Surya (2013) menambahkan bahwa siswa kesulitan dalam merepresentasikan
pemikiran visualnya dalam penyelesaian masalah. Kesulitan tersebut diantaranya siswa bingung dalam
menggambarkan permasalahan, siswa tidak suka menggambar, apa yang siswa abstraksikan dengan
yang mereka representasikan berbeda/tidak tepat, serta siswa sulit menemukan ide untuk memulai
representasi.
Berikut disajikan soal geometri dalam TIMSS 2011 (2013) yang diselesaikan dengan
menggunakan kemampuan visualnya.

Gambar berikut merupakan


bangun ruang yang dibuat dari
kubus kecil berukuran sama,
di sepanjang tengah-tengah
bangun ruang terdapat lubang
berapakah banyak kubus yang
diperlukan untuk menutup
lubang tersebut?

Berdasarkan pertanyaan tersebut, sebanyak 24% siswa dari Indonesia bisa menjawab dengan
benar. Untuk menjawab pertanyaan tersbut, siswa tidak perlu menggunakan rumus, siswa hanya
menggunakan kemampuan visualisasinya untuk memperoleh jawaban tersebut. Hasil jawaban siswa
mengindikasikan bahwa kemampuan visualisasinya masih rendah.
Di tengah padatnya materi ajar matematika dan sedikitnya waktu ajar yang tersedia, membuat
guru harus bekerja keras mencari solusi yang tepat dan efektif agar materi ajar dapat tersampaikan
dengan baik khususnya dalam materi ajar geometri yang pada dasarnya bersifat abstrak. Mengajar
materi geometri yang abstrak tentunya akan menambah tugas bagi guru untuk menjadikan
pembelajaran tetap efektif dan tidak menghilangkan peran guru sebagai fasilitator dalam kegiatan
belajar mengajar. Disinilah, peran alat bantu berupa media pembelajaran menjadi penting.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

178
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Menurut Hidayati (Pitriani, 2014) objek geometri masih banyak direpresentasikan dalam
media alat peraga tidak membantu siswa untuk dapat membayangkan objek geometri dengan baik.
Siswa tidak mempunyai banyak sudut pandang terkait suatu bentuk bangun geometri sehingga siswa
dikhawatirkan menemui kesulitan dalam memindahkan konsep abstrak tentang bangun ruang ke
dalam bentuk yang lebih kongkrit. Terlebih saat ini siswa dihadapkan dengan kemajuan teknologi
yang membuat siswa lebih cepat bosan dengan media-media ajar konvensional. Motivasi siswa dalam
belajar pun dipengaruhi oleh perkembangan media pembelajaran.
Saat ini muncul variasi media pembelajaran, terutama media pembelajaran yang menggunakan
teknologi modern seperti komputer. Menurut prediksi biro penelitian Forrester Reasearch pada
tahun 2008 (Kristo, 2015), jumlah penggunaan komputer di seluruh dunia akan mencapai angka 1
miliar komputer dan akan mencapai 2 miliar komputer pada tahun 2015. Sebagian jumlah tersebut
berada di Indonesia yang tersebar di berbagai bidang salah satunya di sekolah. Berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (2011), diperoleh hasil bahwa 98%
sekolah di Indonesia telah memiliki komputer. Selanjutnya Swan dan Daxon (2006) mengatakan,
“As technology rapidly advances, it must become an integral part of school curriculum .” Sebagai
dampak kemajuan teknologi, teknologi harus terintegrasi dalam kurikulum sekolah. Apalagi dengan
persentase kepemilikan teknologi seperti komputer di setiap sekolah sudah seharusnya
penggunaannya dalam mata pelajaran lebih dioptimalkan lagi, termasuk dalam matematika. Terlebih
lagi, hingga saat ini terdapat cukup banyak software matematika yang tersedia untuk mendukung
proses kegiatan pembelajaran. Penggunaan software komputer untuk kegiatan pembelajaran sangat
tidak terbatas, software yang dibuat khusus untuk membantu pembelajaran matematika, diantaranya
Maple, Matlab, Winplot, Wingeom, Cabri, Geogebra.
Wingeom merupakan suatu paket software yang memungkinkan pengguna untuk
memvisualisasikan bentuk geometri dimensi dua dan dimensi tiga yang abstrak menjadi kongkrit
menggunakan computer (Arcat, 2014). Fasilitas penggambaran bangun dimensi tiga yang terdapat
dalam wingeom akan sangat memudahkan siswa dalam memvisualisasikan objek bangun ruang serta
memungkinkan untuk melihatnya dari berbagai sudut pandang.

Kajian Teori
Kemampuan Representasi Visual
Dalam psikologi pendidikan, kita dapat menemukan istilah kecerdasan visual spasial.
Kecerdasan visual adalah kecerdasan seseorang untuk dapat memahami secara lebih mendalam
hubungan antara objek dan ruang. Menurut Iskandar (2012) Anak-anak memiliki kemampuan
untuk membayangkan dan mengimajinasikan sesuatu dalam pikirannya. Ketika lahir, anak-anak mulai
dikenalkan dengan benda-benda yang ada di sekitarnya. Ingatan tentang benda-benda tersebut
digunakan secara informal ketika anak tersebut mulai memasuki dunia sekolah dan belajar tentang
matematika. Di Taman Kanak-kanak misalnya, anak diajarkan untuk menulis berbagai angka, salah
satunya angka empat yang diibaratkan seperti kursi terbalik angka satu dimana anak
mengimajinasikannya sebagai tongkat, dan lain sebagainya.
Istilah visual juga dijelaskan oleh Surya (2013) yang menafsirkan pendapat dari Arcavi
tentang visual thinking. Visual thinking merupakan kemampuan, proses, dan produk dari penciptaan,
interpretasi, penggunaan, dan refleksi atas gambar, image, diagram dalam pikiran yang
direpresentasikan pada kertas atau dengan alat teknologi, dengan tujuan menggambarkan dan
menceritakan informasi, memikirkan dan mengembangkan ide-ide yang sebelumnya tidak diketahui.
Zimmerman dan Cunningham (Guler 2011) menyatakan bahwa visualisasi adalah sebuah
kemampuan, sebuah produk, sebuah cara yang kreatif untuk menginterpretasikan sebuah konsep
abstrak ke dalam diagram, depiction, maupun gambar dalam pikiran (proses mental). Sedangkan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

179
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Arcavi (1999) menyatakan bahwa visualisasi merupakan hal yang gaib. Matematika sebagai dunia
yang abstrak berbeda dari dunia fisik dan membutuhkan pemikiran berbeda yang bergantung pada
visualisasi dengan tingkat yang berbeda pula. Matematika dipenuhi dengan ide-ide yang tidak mudah
untuk dijelaskan kepada orang awam. Banyak konsep-konsep dan materi ajar matematika yang lebih
mudah untuk hanya dipikirkan daripada dijelaskan kepada orang lain. Selanjutnya, Dwirahayu
(2012) menyebutkan ciri-ciri atau karakteristik berfikir visual antara lain: (1) dapat mengidentifikasi
dengan cepat dari bentuk tersebut meskipun letaknya tidak sama; (2) dapat menggambarkan kembali
bangun tersebut dan menyebutkan namanya; (3) dapat membandingkan dua bentuk berdasarkan
penglihatannya; (4) menyelesaikan masalah dengan cara menggerakkan bangun datar tersebut
menggeser, memutar, menarik dari pada menggunakan sifat-sifat yang dimiliki; (5) dapat
mengidentifikasi gambar, tetapi tidak dapat menganalisis komponen-komponennya.
Berdasarkan pendapat tersebut, kemampuan visual diartikan sebagai proses pencitraan atau
representasi suatu konsep matematika yang mengandalkan aktivitas mental yang terjadi di dalam
pikiran. Pada materi ajar yang abstrak dalam standar isi matematika, ide dan gagasan siswa
memainkan peran penting dalam pikiran sehingga permasalahan dapat diuraikan dan kemudian
disusun langkah penyelesaiannya.
Geometri menjadi salah satu materi ajar yang berkaitan erat dengan kemampuan berpikir
visual siswa dikarenakan di dalam geometri memuat dua struktur yang salah satunya adalah
pemahaman keruangan. Untuk mendapatkan pemahaman keruangan yang baik, siswa dituntut
memiliki kemampuan penggambaran objek dalam pikiran, memutar benda-benda dalam pikiran,
serta melakukan aktivitas lain menggunakan pikirannya untuk memodifikasi benda sedemikian rupa
(Walle, 2008). Hal itu sejalan dengan kemampuan berpikir visual yang mengandalkan dimensi
pikiran sebagai pusat aktivitas pembelajaran siswa.
Visualisasi menjadi tingkat yang paling dasar dikarenakan visualisasi merupakan akar dari
pemikiran rasional. Banyak hal yang dapat dicari kesimpulannya hanya dengan melihat tanpa perlu
dipikirkan dan dicari definisi maupun sifat-sifatnya (Pierre, 1999). Kita bisa mengenal seseorang
hanya dengan melihat dan menggunakan daya visualisasi kita. Kita melihat dan membedakan
seseorang dengan orang lainnya tanpa harus terlebih dahulu mengelompokan ciri-ciri maupun sifat
dari orang tersebut. Oleh karena itu, visualisasi merupakan pondasi dari tingkat pemahaman
geometri lainnya. Visualisasi merupakan gerbang awal untuk menuju ke pemahaman geometri yang
selanjutnya. Tanpa daya visualisasi yang baik, seseorang tidak akan disebut mempunyai daya analisis
(kemampuan tingkat 1) yang baik.
Lavy (Surya, 2013) mengatakan bahwa visualisasi memainkan peran penting dalam
kemampuan berpikir serta dalam transisi berpikir konkret menuju berpikir abstrak dan dapat
digunakan untuk pemecahan masalah. Roska dan Rolka (Surya, 2013) mengatakan bahwa visualisasi
dalam pembelajaran matematika dapat berfungsi sebagai sebuah alat untuk memecahkan masalah
serta memberi pemahaman konsep matematika yang baik. Namun, terkadang berpikir visual saja
tidak cukup. Berpikir visual hanya ada dalam ide dan gagasan pikiran seseorang yang kemudian
disebut oleh Arcavi sebagai hal yang gaib. Lingkungan di luar siswa tersebut akan sulit menerka apa
yang divisualisasikan oleh siswa tersebut, oleh karena itu berpikir visual masih bersifat abstrak. Hal
tersebut dapat ditunjukkan melalui soal berikut:1

1
Matematika Study Center, Bank Soal UN Matematika SMP Unsur Bangun Ruang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

180
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Yang merupakan jaring-jaring balok adalah…


Siswa dimungkinkan memilih jaring-jaring balok dengan berbagai cara, misalkan dengan
mengabstraksikan bangun balok terlebih dahulu, barulah kemudian balok tersebut dibuka dari salah
satu sisinya sehingga terbentuklah jaring-jaring balok yang tepat. Siswa lainnya dimungkinkan
menggunakan cara yang berbeda, misalkan dengan mencoba satu per satu pilihan gambar jaring-
jaring yang ada untuk kemudian dibentuk dengan cara melipat perpotongan sisinya hingga
terbentuklah sebuah bangun balok. Tentunya hal tersebut membuat masing-masing siswa akan sulit
mengetahui dari mana siswa lainnya menjawab permasalahan tersebut. Penjelasan di atas
menunjukkan bahwa seorang siswa yang mengandalkan kemampuan berpikir visual belum tentu
dapat menjelaskan apa yang dia lihat dan dia olah di dalam pikirannya kepada orang lain dikarenakan
orang lain memiliki visualisasinya masing-masing. Materi ajar matematika yang abstrak perlu diubah
agar nampak konkret sehingga tidak menimbulkan kesalahan pemahaman diantara siswa maupun
guru. Gombrich (Uno, 2006) memandang bahwa diperlukan sebuah gambar untuk menyampaikan
sebuah pesan menjadi lebih berarti. Brunelleschi (Uno, 2006) mengatakan bahwa pemahaman pesan
didasarkan pada kemampuan pandangan seseorang untuk menangkap kesamaan gambar dengan
dunia nyata. Peggunaan gambar tersebut merupakan salah satu dari apa yang disebut dengan
kemampuan representasi seperti yang dijelaskan oleh Jones dan Kruth (Sabirin, 2014) yang
mengatakan bahwa representasi adalah model atau bentuk pengganti berupa gambar, kata-kata, atau
simbol matematika yang digunakan untuk menemukan solusi dari suatu permasalahan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali mendengar, bahkan menggunakan istilah
representasi. NCTM menyebutkan bahwa representasi merupakan cara yang digunakan seseorang
untuk mengkomunikasikan jawaban atau gagasan matematika yang bersangkutan. Representasi yang
dimunculkan siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan atau ide matematika yang
ditampilkan siswa dalam upayanya mencari solusi dari masalah yang dihadapinya (Sabirin, 2014).
Bruner (Laelasari, 2014) membagi representasi menjadi tiga, yaitu representasi enaktif yang
dibentuk melalui aksi, representasi ikonik yang dibentuk melalui gambaran atau persepsi, dan
representasi simbolik yang berkaitan dengan simbol-simbol. Di sisi lain, beberapa ahli
mengembangkan pandangan tentang pembagian representasi menurut Bruner. Lesh, Post, dan Behr
(Hwang, 2007) menyebutkan bahwa terdapat lima macam representasi yang digunakan dalam
pembelajaran matematika, yaitu representasi pengalaman nyata, representasi konkret, representasi
simbol, representasi kata-kata bahasa, representasi gambar.
Adanya representasi menjadi sangat penting untuk melengkapi kemampuan berpikir visual
siswa yang masih abstrak. Montague mengatakan bahwa representasi adalah jalan utama untuk dapat
memahami permasalahan matematika serta membuat rencana untuk menyelesaikan permasalahan
matematika. Surya (2013) menjelaskan, “matematika merupakan hal abstrak, maka untuk
mempermudah dan memperjelas dalam penyelesaian masalah matematika, representasi sangat
berperan, yaitu mengubah ide abstrak menjadi konsep yang nyata, misalnya dengan gambar, simbol,
kata-kata, grafik, tabel, dan lain-lain.” Representasi dapat mengubah konsep matematika yang semula
abstrak, menjadi bentuk yang lebih konkret sehingga semua siswa memiliki persepsi dan pemahaman
yang sama terhadap konsep yang dimaksud.
Dengan berpikir visual, permasalahan geometri yang abstrak akan terlebih dahulu masuk ke
dalam pikiran siswa dan melalui proses mental. Siswa akan mengubah objek matematika ke dalam
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

181
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berbagai bentuk dalam pikiran. Siswa akan merotasi, mentranslasi, dan memodifikasi sedemikian
rupa objek geometri sehingga mendapatkan bentuk yang sesuai untuk kemudian objek yang masih
berbentuk ide tersebut akan disajikan dalam bentuk yang mudah untuk dilihat maupun dipahami
oleh orang lain. Seperti yang dijelaskan oleh Thohiruddin dkk (2017) bahwa kemampuan
representasi siswa dapat dilatih dengan cara menggerakkan objek matematika (titik, garis dan bidang)
melalui aktivitas translasi, refleksi, rotasi dan dilatasi. Selain itu, penyajian objek-objek dalam
geometri juga dapat membantu siswa dalam memecahkan permasalahan geometri dimana siswa
dituntut untuk dapat menghubungkan konsep-konsep maupun sifat-sifat dari sebuah objek geometri
dengan objek geometri lainnya. Oleh karena itu, representasi dan berpikir visual merupakan sebuah
kemampuan yang tak dapat dipisahkan. Representasi berpikir visual merupakan sebuah alur dalam
berpikir guna memecahkan permasalahan matematika yang abstrak.
Kemampuan representasi visual dalam artikel ini diartikan sebagai penyajian objek geometri
yang merupakan hasil dari proses mental dalam pikiran seseorang yang semula abstrak ke dalam
bentuk visual, teks, maupun simbol matematika guna memudahkan siswa dalam memecahkan
masalah geometri.
Indikator kemampuan representasi visual (Vojkuvkova, 2012; Surya, 2013) dalam penelitian
ini dibatasi pada yaitu:
a. Menggunakan visualisasi untuk menentukan kedudukan objek geometri,
b. Merepresentasikan permasalahan dalam bentuk visual berupa gambar,
c. Menyelesaikan permasalahan menggunakan simbol/persamaan matematis.

Media Pembelajaran
Media pembelajaran merupakan sebuah komponen yang mampu membangkitkan keinginan
dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan
membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Akan menjadi percuma ketika suatu
informasi sudah disajikan dengan baik namun siswa tidak mau dan tidak tertarik untuk menerima
informasi tersebut. Oleh karena itu, media pembelajaran menjadi sangat penting perannya karena
selama ini masalah dalam pembelajaran bukan hanya terdapat pada guru, tetapi juga pada kondisi
psikologis siswa.
Selain dua fungsi diatas, dalam kegiatan pembelajaran media pembelajaran memiliki beberapa
manfaat, Kemp dan Dayton (Yamin, 2013) mengidentifikasi delapan manfaat media pembelajaran,
yaitu:
a. Penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan
b. Proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan interaktif
c. Jumlah waktu belajar-mengajar dapat dikurangi
d. Kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan
e. Proses belajar dapat terjadi dimana saja dan kapan saja
f. Sikap positif siswa terhadap bahan pelajaran maupun terhadap proses belajar itu sendiri dapat
ditingkatkan
g. Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif.
Berdasarkan hal di atas, media pembelajaran sangat membantu guru dalam perannya sebagai
fasilitator dalam proses pembelajaran. Namun, tidak semua manfaat media itu dapat dirasakan dalam
proses belajar mengajar. Manfaat media akan maksimal jika memang digunakan dengan baik dan
benar oleh guru. Guru yang tidak mengerti bagaimana cara menggunakan atau mengoperasikan
sebuah media tentunya akan membuat penyampaian informasi menjadi terhambat atau bahkan
memungkinkan terjadinya miskonsepsi. Media yang digunakan pada saat situasi yang kurang tepat
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

182
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dalam proses pembelajaran, juga dapat menyebabkan penyampaian informasi menjadi tidak
maksimal.
Ely (Sadiman, 2005) menyatakan bahwa dalam menggunakan media perlu memperhatikan
beberapa faktor lain seperti karakteristik siswa, strategi belajar-mengajar, alokasi waktu dan sumber
belajar, serta prosedur penilaian. Tidak semua media pembelajaran akan cocok atau relevan
digunakan setiap saat. Di saat durasi pelajaran tidak terlalu banyak, penggunaan media perlu
diperhatikan karena dalam mempersiapkan sebuah media untuk dapat digunakan menghabiskan
waktu yang tidak sedikit. Apakah nantinya penggunaan media akan berhasil menyampaikan materi
ajar secara efektif ke siswa atau justru ada beberapa materi yang tidak tersampaikan karena
terbatasnya alokasi waktu. Artinya, guru harus juga cermat dalam menggunakan media pembelajaran.
Jangan sampai penggunaan media pembelajaran justru membuat tujuan pembelajaran tidak tepat
sasaran.
Media pembelajaran hadir untuk dapat membantu guru sebagai fasilitator dalam kegiatan
belajar. Bukan berarti media menjadi sumber belajar utama dalam proses pembelajaran di kelas.
Media hanyalah berfungsi sebagai jembatan penghubung, bukan tempat lahirnya sebuah informasi.
Oleh karena itu, guru tetaplah yang memegang kendali utama dalam proses pembelajaran, karena
berhasil atau tidaknya penggunaan sebuah media pembelajaran ditentukan oleh guru. Jangan sampai
kenyataannya terbalik, guru yang perannya seolah-olah tergantikan oleh media pembelajaran.

Wingeom
Perkembangan teknologi yang semakin hari kian pesat mengakibatkan pendidikan juga mau
tidak mau harus mengikuti arus perkembangan teknologi. Baik dari sisi pendidikan sebagai subyek
yang bertujuan untuk menciptakan sebuah teknologi baru, maupun dari sisi teknologi sebagai subyek
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di setiap negara. Dalam bidang matematika
teknologi turur hadir dalam membantu siswa untuk memahami konsep matematika. Teknologi dapat
menjadi alat untuk meningkatkan kemampuan matematika (Hatfield, 2007). Komputer serta
berbagai perangkat lunak yang bekerja di dalamnya merupakan beberapa teknologi yang telah banyak
digunakan oleh sekolah-sekolah dalam kegiatan pembelajaran terutama matematika.
Wingeom merupakan salah satu perangkat lunak geometri dinamis yang dapat digunakan
dalam kegiatan pembelajaran matematika, selain perangkat lunak lainnya seperti Cabri, Ciderella,
GeoGebra, Geometer’s SketchPad, Geometry Inventor, dan lain-lain. Sesuai dengan namanya,
perangkat lunak geometri dinamis, Wingeom merupakan media yang fokus digunakan untuk
membantu pembelajaran matematika topik geometri. Program ini sangat mudah didapatkan karena
sifatnya yang totally freeware dengan mengunduhnya dari website
http://www.exeter.edu/public/peanut.html. Program yang dibuat oleh Richard Parris ini dijalankan
under windows, sehingga hampir setiap orang yang memiliki komputer dapat menjalankan program
ini. Untuk mengunduhnya juga sangat mudah dikarenakan file ini berkapasitas cukup kecil, yaitu 968
KB (Rudhito, 2008).
Wingeom beserta perangkat lunak geometri lainnya telah sukses digunakan dalam kegiatan
pembelajaran geometri. Wingeom sangat interaktif dalam memanipulasi berbagai bentuk dari objek-
objek geometri (Christou, 2011). Hal ini menyebabkan penggunaan Wingeom dalam pembelajaran
matematika sangat penting dengan tujuan membantu siswa dalam pemecahan masalah geometri.
Wingeom memungkinkan siswa membuat geometri dimensi dua dengan menu Wingeom 2-
dim dan geometri dimensi tiga menggunakan menu Wingeom 3-dim. Selain itu, wingeom
memungkinkan siswa untuk membuat bangun hiperbolis dan bola. Semua bangun geometri yang

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

183
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dibentuk dapat diperbesar maupun diperkecil serta diputar sehingga membantu visualisasi siswa.
Fasilitas-fasilitas tersebut disajikan dalam dua fasilitas utama dalam jendela Wingeom. Fasilitas utama
yang terdapat dalam Wingeom adalah Window dan Help. Dalam fasilitas utama tersebut terdapat
berbagai menu-menu penting yang sering digunakan dalam pembelajaran matematika. Menu-menu
tersebut diantaranya adalah menu File, Point, Linear, Unit, Transf, Edit, Btns, Meas, View, dan Anim.
Menu-menu tersebut digunakan agar siswa memiliki daya visualisasi yang lebih baik. Wingeom
mampu menghadirkan objek geometri yang semula hanya ada di pikiran/imajinasi siswa ke dalam
bentuk yang lebih konkret. Siswa mampu membentuk objek geometri dimensi tiga seperti kubus,
balok, dan limas dengan menggunakan menu Unit. Selain itu dengan menu Point, Linear, serta Edit
siswa mampu membentuk objek geometri tambahan dalam objek geometri yang telah terbentuk
sebelumnya. Dengan adanya menu Transf siswa mampu memanipulasi bentuk dari objek geometri
yang telah terbentuk sebelumnya dengan melakukan rotasi objek geometri. Wingeom memungkinkan
siswa tidak kesulitan dalam memandang kedudukan sebuah objek geometri karena siswa memiliki
sudut pandang yang lebih luas.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2016/2017 dimulai dari tanggal
24 April sampai 24 Mei 2017 di SMA Negeri 10 Tangerang Selatan yang beralamat di Jalan Raya
Tegal Rotan Bintaro Sektor 9, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Metode penelitian yang
digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain randomized subjects posttest only control group
design. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas X-4 sebagai kelas eksperimen dan kelas X-7 sebagai
kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes. Tes terdiri dari dua kategori
soal yaitu soal PG sebanyak 10 soal dan soal uraian sebanyak 6 buah.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Berikut ini disajikan analisis data hasil tes kemampuan representasi berpikir visual setelah
pembelajaran dilaksanakan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Deskripsi Kemampuan Representasi Visual Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, terdapat perbedaan antara hasil tes kemampuan
representasi berpikir visual siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Perbedaan tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 1. Deskripsi Kemampuan Representasi Visual Siswa
Statistik Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
N 35 34
Minimum 50 38
Maximum 92 77
Mean 70,83 56,18
Median 69 58
Variance 115,793 136,756

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

184
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Std. Deviation 10,761 11,694

Tabel 1 menunjukkan perbedaan statistik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Nilai
tertinggi yang diperoleh siswa kelas eksperimen dibandingkan nilai siswa pada kelas kontrol, dan
terjadi perbedaan pada varians dan standar deviasi antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Perbedaan kemampuan representasi berpikir visual siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
turut disebabkan karena perbedaan penyebaran data pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Perbedaan penyebaran data pada kedua kelas tersebut dapat disajikan dalam bentuk yang berbeda
menggunakan kurva. Secara visual perbedaan penyebaran data kelas eksperimen yang
pembelajarannya menggunakan media Wingeom dengan kelas kontrol yang pembelajarannya
menggunakan alat peraga dapat dilihat pada gambar berikut:

10

0
0 20 40 60 80 100

Kontrol Eksperimen

Gambar 1. Kurva Penyebaran Data Tes Kemampuan Representasi Visual

Pengujian Hipotesis
Setelah data siswa dikumpulkan, selanjutnya dilakukan analisis uji hipotesis untuk menguji
hipotesis dalam penelitian ini yaitu siswa yang belajar dengan menggunakan media Wingeom
memiliki kemampuan representasi visual yang lebih tinggi dari pada siswa yang belajar dengan
menggunakan alat peraga. Untuk mendapatkan simpulan atas hipotesis yang tersebut, maka
dilakukan dengan menggunakan uji t, namun uji prasyarat yang meliputi uji normalitas, uji
homogenitas, dan uji hipotesis dilakukan terlebih dahulu.
Hasil uji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk pada taraf signifikansi 𝛼 = 0,05
menunjukkan bahwa data berdistribusi normal. Hal tersebut diperoleh dengan membandingkan nilai
signifikansi hasil perhitungan uji Shapiro-Wilk dengan nilai signifikansi (𝛼 = 0,05) yang telah
ditetapkan sebelumnya. Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai Sig. data kelas eksperimen dan kelas
kontrol berturut-turut sebesar 0,445 dan 0,116. Nilai signifikansi tersebut lebih besar daripada nilai
𝛼 = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa data hasil tes representasi berpikir visual kelas
eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal.
Uji homogenitas yang digunakan dalam penelitian menggunakan uji Levene pada taraf
signifikansi 𝛼 = 0,05 menunjukkan bahwa data memiliki varians yang sama (homogen). Hal
tersebut diperoleh dengan membandingkan nilai signifikansi hasil perhitungan uji Levene dengan
nilai signifikansi (𝛼 = 0,05) yang telah ditetapkan sebelumnya. Tabel 4.6 menunjukkan bahwa nilai
Sig. dari data sebesar 0,648. Nilai Sig. tersebut lebih besar daripada nilai 𝛼 = 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa data hasil Tes representasi berpikir visual kelas eksperimen dan kelas kontrol
memiliki varian yang sama (homogen).
Karena kedua data memenuhi syarat normalitas dan homogenitas, maka analisis dilanjutkan
dengan menggunakan uji t, sebagai berikut:
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

185
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 4. Uji-t Kemampuan Representasi Visual Siswa

Hasil uji hipotesis menggunakan analisis independent sample T test menunjukkan bahwa hasil
uji perbedaan dua rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk kemampuan representasi
berpikir visual menunjukkan 𝐻0 ditolak dan 𝐻1 diterima. Hal tersebut diperoleh berdasarkan hasil
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 data baris Equal variances assumed yang menunjukkan nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 sebesar 5,418 serta
nilai Sig.(2-tailed) sebesar 0,000. Nilai Sig.(2-tailed) sebesar 0,000 membuat nilai Sig.(1-tailed) juga
𝑆𝑖𝑔.(2−𝑡𝑎𝑖𝑙𝑒𝑑) 0,000
sebesar 0,000 dikarenakan = = 0,000. Nilai tersebut apabila dibandingkan
2 2
dengan nilai signifikansi yang telah ditetapkan sebelumnya (𝛼 = 0,05) menunjukkan bahwa nilai
Sig.(1-tailed) lebih kecil dari nilai signifikansi 𝛼, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang
digunakan adalah rata-rata kemampuan representasi berpikir visual kelas eksperimen lebih tinggi
daripada rata-rata kemampuan representasi berpikir visual kelas kontrol.

Pembahasan Hasil Penelitian


Proses Pembelajaran Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Proses pembelajaran pada kelas eksperimen yang menggunakan media Wingeom berlangsung
dalam laboratorium komputer. Berbeda dengan siswa kelas kontrol yang mengikuti proses
pembelajaran dalam kelas konvensional. Hal tersebut dikarenakan untuk menjalankan Wingeom
dibutuhkan perangkat keras berupa komputer yang dapat digunakan secara mandiri oleh siswa.
Berbeda dengan siswa kelas kontrol yang menggunakan media konvensional berupa alat peraga.

Gambar 2 Tampilan Media Wingeom dan Alat Peraga Dimensi Tiga


Sesuai dengan kurikulum yang berlaku di sekolah tempat penelitian dilaksanakan, tentunya
penggunaan serta pengoperasian media Wingeom serta alat peraga dalam pembelajaran juga harus
disesuaikan kurikulum sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang masih
digunakan oleh sekolah membuat pengoperasian Wingeom serta penggunaan alat peraga dalam
pembelajaran matematika mengharuskan siswa berperan aktif dalam pembelajaran dengan tetap
difasilitasi oleh guru melalui kegiatan Eksplorasi, Elaborasi, dan Konfirmasi
a. Eksplorasi
Pada tahap eksplorasi, kelas eksperimen yang menggunakan media Wingeom dalam proses
pembelajarannya diinstruksikan untuk mengamati kegiatan guru pada setiap awal pembelajaran. Siswa
diminta mengamati proses percobaan pembentukan objek geometri menggunakan Wingeom yang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

186
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

ditampilkan oleh guru menggunakan proyektor. Berbeda dengan kelas kontrol, pada tahap awal
pembelajaran tidak meminta siswa untuk mengamati aktivitas guru, siswa berkelompok untuk
membuat alat peraga dari bahan yang disediakan guru. Siswa bekerjasama dengan siswa lainnya untuk
membuat sebuah alat peraga.
Dari beberapa perbedaan-perbedaan proses pembelajaran tersebut, turut membuat
kemampuan siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda pula dalam menggunakan daya
visualisasinya. Dengan segala kemudahan yang diberikan oleh Wingeom membuat visualisasi siswa
kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Hal tersebut dapat dilihat pada persentase nilai rata-
rata kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk indikator pertama kemampuan representasi berpikir
visual yang menghendaki siswa menggunakan visualisasinya dengan baik.
b. Elaborasi
Dengan beberapa keterbatasan yang terdapat pada proses pembelajaran, siswa tidak hanya
diperbolehkan mampu memvisualisasikan objek geometri menggunakan media ajar. Oleh karena itu,
pada tahap elaborasi, siswa kelas eksperimen perlu diarahkan untuk mampu memvisualisasikan objek
geometri tanpa menggunakan media ajar yang perlu dipersiapkan sebelumnya. Untuk
memvisualisasikan objek geometri tanpa menggunakan media, siswa harus mampu melakukan
representasi visual dalam bentuk gambar. Siswa perlu memindahkan gambar yang muncul pada layar
monitor ke kolom yang diberikan pada Lembar Kerja Siswa (LKS). Pemindahan gambar yang
terdapat dalam jendela Wingeom ke dalam kolom LKS dilakukan dengan tidak merubah bentuk
gambar yang dibuat dan tertera pada jendela program Wingeom.
Selain penggambaran objek geometri, siswa kelas eksperimen difokuskan pada pembuatan
serta pembuktian hipotesis terkait sebuah konsep geometri dimensi tiga. Pembuatan hipotesis
dilakukan dengan memanfaatkan menu Meas pada program Wingeom. Hipotesis tersebut selanjutnya
harus dibuktikan dengan menggunakan rumus. Apabila terdapat kesesuaian antara hipotesis dengan
hasil jawaban menggunakan rumus, maka hipotesis yang dihasilkan oleh program Wingeom terbukti.
Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada gambar di bawah yang menunjukkan kesesuaian
antara hipotesis siswa dengan jawaban yang dikerjakan siswa menggunakan rumus berupa persamaan
atau simbol matematis.
c. Konfirmasi
Tahap konfirmasi merupakan tahap akhir pada proses pembelajaran siswa kelas eksperimen
dan siswa kelas kontrol. Namun kegiatan yang dilakukan siswa kelas eksperimen dan siswa kelas
kontrol berbeda. Siswa kelas eksperimen diinstruksikan untuk dapat menarik kesimpulan dalam
setiap pertemuannya, sedangkan siswa kelas kontrol tidak. Proses penarikan kesimpulan sangat
penting agar pemahaman siswa tidak keluar dari konteks permasalahan yang ada. Selain itu proses
penarikan kesimpulan juga berguna agar proses pembelajaran dari awal hingga akhir tetap terkontrol
meskipun siswa belajar secara mandiri menggunakan media Wingeom. Hal tersebut bertujuan agar
siswa mampu mencapai setiap indikator kemampuan representasi berpikir visual dapat tercapai.
Sementara pada siswa kelas kontrol, siswa diinstruksikan untuk menggambar objek geometri dari alat
peraga yang telah dibuat oleh masing-masing kelompok. Penggambaran objek geometri tersebut
dilakukan secara individu, tidak dalam kelompok.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

187
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penutup
Berdasarkan temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan representasi visual
siswa yang menggunakan media Wingeom lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan menggunakan
alat peraga, dengan menggunakan Wingeom siswa lebih efektif dalam melihat, mengenali, dan
membuat berbagai bentuk bangun geometri, selain itu siswa mampu mengubah objek yang semula
abstrak menjadi lebih kongkret dan bermakna dengan berbagai fungsi yang terdapat dalam Wingeom.

Daftar Pustaka
……… Badan Standar Nasional Pendidikan, (2006) Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMP/MTs , Jakarta: Kementrian
Pendidikan Nasional
……… Kementrian Komunikasi dan Informatika, (2011) Indikator TIK Indonesia, Jakarta:
Puslitbang-PPI Kominfo
……… TIMSS 2011 Assesment, (2013) Released Mathematics Items, MA: TIMSS & PIRLS
International Study Center
Arcat, (2014) Peningkatan Kemampuan Spasial Siswa SMP melalui Model Kooperatif STAD
Berbantuan Wingeom, Jurnal Ilmiah Edu Research, 3(1), 2014
Arcavi, A., (1999) “The Role of Visual Representations in the Learning of Mathematics”,
Proceedings of the XXI Conference on the Psychology of Mathematics Education, North
American Chapter, Mexico, 1999,
Christou, C., et.al., (2011) Developing the 3Dmath Dynamic Geometry Software: Theoritical
Perspectives on Design, International Journal for Technology in Mathematics Education, 13(4),
2011
Dwirahayu, G., Wahyudin, Suryadi, D., Bana K., (2012) Pengaruh Strategi Pembelajaran Eksploratif
terhadap Peningkatan Kemampuan Visualisasi, Pemahaman Konsep Geometri, dan Karakter
Siswa. Disertasi. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak
dipublikasikan.
Dwirahayu, G., et.al, (2013) The Effect of Explorative Learning Strategy Toward Enhancement of
students’ Conceptual Understanding on Geometry. Wudpecker Journal of Educational Resesarch.
Vol 2(4) pp.049-056. April, 2013.
Guler G., dan Ciltas, A., (2011) “The Visual Representation Usage Levels of Mathematics Teachers
and Students in Solving Verbal Problems”, International Journal of Humanities and Social
Science, 1(11), 2011
Hatfield, M., (2007) et.al., Mathematics Methods for Elementary and Middle School Teachers 6th
ed, USA: Wiley
Hudojo, H., (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika , Malang: UM Press
Hwang, Wu-Yuin et.al., (2007) Multiple Representation Skills and Creativity Effects on
Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System, Educational Technology
and Society, 10(2), 2007

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

188
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Iskandar, (2012) Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru), Jakarta: Referensi


Kristo, F.Y., (2015), Jumlah Komputer Dunia Capai 2 Miliar, 2007, tersedia pada:
http://www.detik.com/inet/read/2007/06/12/121942/792580/317/tahun-2015-jumlah-
komputer-dunia-capai-2-miliar)
Laelasari, Subroto, T., dan Nurul I.K., (2014) “Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E
dalam Kemampuan Representasi Matematis Mahasiswa”, Jurnal Euclid, 1(2), 2014
Mullis, Ina V.S., et.al., (2012) TIMSS 2011 International Results in Mathematics, MA: TIMSS &
PIRLS International Study Center
Pierre M. van Hiele, (1999) “Developing Geometric Thinking through Activities That Begin with
Play” dalam NCTM (ed.), Teaching Children Mathematics, Reston VA: NCTM
Pitriani, (2014) Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Program Komputer Cabri 3D untuk
Meningkatkan Kemampuan Visual-Spatial Thinking dan Habit of Thinking Flexibly Siswa SMA,
Tesis. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Rudhito, M.A. (2008) Geometri dengan Wingeom: Panduan dan Ide Belajar Geometri dengan
Komputer, Yogyakarta: t.p
Sabirin, M., (2014) Representasi dalam Pembelajaran Matematika, JPM IAIN Antasari, 1(2), 2014
Surya, E., (2013) “Peningkatan Kemampuan Representasi Visual Thinking pada Pemecahan Masalah
Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual”, Disertasi
Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. tidak dipublikasikan.
Swan B., dan Dixon, J., (2006) The Effects of Mentor-Supported Technology Proffesional
Development on Middle School Mathematics Teachers’ Attitudes and Practice, Contemporary
Issues in Technology and Teacher Education Journal, 6(1), tahun 2006
Thohiruddin, M., Maryati, T.M., Dwirahayu, G; (2016) Visualization Ability of Senior High
School Students With Using Geogebra and Transparent Mica. IOP. Conf. Series; Journal of
Physics: conf. series 824 (2017) 012043
Uno, H. B., (2006) Perencanaan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara
Walle, V.A., (2008) Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Jilid 2 Edisi 6, Jakarta: Erlangga
Walle, V.A., Karp, K., Bay-Williams, J.M., (2013). Elementary and Middle School Mathematics
Teaching Developmentally Eighth Edition, New Jersey: Pearson
Vojkuvkova, (2012) The van Hiele Model of Geometric Thinking. Makalah disampaikan dalam
21th Annual Conference of Doctoral Students 2012 (WDS 2012), Praha, Republik Ceko
Yamin, M., (2013) Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Referensi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

189
Habsi Frasidik, Iwan Permana Suwarna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: hfrasidik@mhs.uinjkt.ac.id, Iwan.permana.suwarna@uinjkt.ac.id

Abstract. Research development of hypermedia learning media is a research conducted to overcome


student difficulties in improving high order thinking skill. This research is important for students to
have deep thinking ability with smart, balanced and accountable approach. The study aims to
develop a physics learning media that is valid, effective and practical to use. Research on hypermedia
learning media is a development of previous research with the development on improving students'
high order thinking skills. The research method used in this research is development research from
Jan Van De Akker with formative evaluation from Martin Tessmer. The research phase consists of
four stages: preliminary research stage, prototype stage, summative evaluation, as well as systematic
reflection and documentation. Subjects in this study were XI class students taken from three schools:
XI MIPA 5 and 6 (SMAN 1 Karawang), XI MIPA 4 and 6 (SMAN 1 Tangerang Selatan), and XI
MIPA 3 (SMAN 29 Jakarta). The sampling technique was done by purposive sampling.
Instruments used in the form of cognitive tests C4 to C6 and non-test (questionnaires and
interviews) that have been validated. Test instruments were given to 54 students and an assessment
questionnaire was given to: nine experts, 57 students (one-to-one evaluation, small group evaluation,
field test and sumative evaluation) and three teachers. Research shows that hypermedia learning
media declared valid (84,5%), effective (83,5%), and practical (85%) use with increase of student
N-Gain value equal to 0,64 (medium). Hypermedia learning media can improve students’ high order
thinking skill and assist teachers to achieve learning aim.
Keywords: learning media, hypermedia, development research, high order thinking skill, valid,
effective and practical

Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu cara yang dibutuhkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.
Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter, mental dan potensi manusia. Melalui
pendidikan, siswa diharapkan dapat menjadi manusia yang lebih baik dan berkompeten.
Permendikbud No.21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah
menyebutkan bahwa kebutuhan kompetensi pada abad 21 ialah siswa yang dapat memiliki
kemampuan berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking Skills (Kemendikbud, 2016). Namun
siswa masih kurang didorong untuk dapat menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi (Handayani
dan Priatmoko, 2013).
Siswa kesulitan dalam menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini didasarkan peneltian
Trends in International Mathematic and Science Study (TIMSS) dan The Programme for
International Student Assessment (PISA). TIMSS menunjukkan persentase jawaban benar siswa pada
soal pemahaman (C2) selalu lebih tinggi dibandingkan pada soal penerapan (C3) dan penalaran (C4)
(Rofiah dkk., 2013). PISA menunjukkan siswa Indonesia hanya mendapat peringkat ke-64 dari 72
negara (OECD, 2016). Hal ini juga mengindikasikan kesulitan siswa dalam menguasai kemampuan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berpikir tingkat tinggi mengingat soal-soal PISA tidak hanya menuntut kemampuan dalam penerapan
konsep saja, tetapi juga kemampuan analisis, evaluasi, dan kreasi dalam pengerjaannya (Kurniati dkk.,
2016). Salah satu penyebab rendahnya prestasi dan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada
taraf internasional ini adalah kurang dilibatkannya siswa dalam pembelajaran fisika (Fitriani dkk.,
2017). Peran siswa yang tidak terlibat dalam proses pencarian informasi akan membuat siswa bosan
(Arum, dkk., 2012). Hal ini tentunya akan menghambat motivasi siswa dalam belajar sehingga siswa
kesulitan dalam memperoleh kemampuan berpikir yang lebih tinggi.
Siswa perlu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tingginya. Jika tidak, maka hal ini akan
berdampak negatif bagi siswa. Siswa akan memiliki memori jangka pendek saat belajar, artinya siswa
akan mudah hafal tetapi cepat lupa terhadap materi yang dipelajarinya (Julistiawati dan Yonata,
2013). Hal ini juga akan berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Pada saat
ini Indonesia terpuruk di peringkat paling bawah pada hampir semua jenis kompetensi yang
diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat (OECD, 2016).
Solusi untuk mengatasi kesulitan siswa dalam menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi
adalah dengan menggunakan media pembelajaran hypermedia. Menurut Sesemane, media
pembelajaran hypermedia memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi berbagai macam informasi
dengan cara mereka sendiri (Mardiah, 2015). Media pembelajaran hypermedia juga dapat menjadikan
pembelajaran menyenangkan, siswa mendapat kesempatan untuk melibatkan minatnya lebih jauh
(Lukitaningsih, 2010). Media pembelajaran hypermedia juga efektif dalam meningkatkan kemampuan
berpikir. Siswa yang menggunakan media pembelajaran hypermedia memberikan rata-rata prestasi
belajar pada ranah kognitif yang lebih baik daripada media riil (Montu, dkk, 2012). Siswa yang
menggunakan media pembelajaran hypermedia memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
pemecahan masalah dibandingkan dengan siswa yang menggunakan power point (Amin dkk, 2016).
Siswa yang menggunakan media pembelajaran hypermedia mengalami peningkatan dalam berpikir
kreatif (Yuda dkk, 2014).
Media pembelajaran hypermedia yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa perlu diterapkan pada materi alat optik. Materi alat optik yang bersifat abstrak menjadikan
siswa kesulitan dalam memvisualisasikan materi tersebut sehingga siswa kurang dapat menyelesaikan
soal yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi (Nugraha dan Tatang, 2016). Waktu yang
tersedia di kelas juga tidak cukup bagi siswa untuk dapat menangkap pemahaman yang benar tentang
kinerja alat optik (Lestari, 2016). Siswa juga mengalami kesulitan dalam menguasai beberapa materi
yang berkaitan dengan cahaya, misalnya membedakan antara bayangan maya dan bayangan nyata baik
pada cermin maupun pada lensa (Arisanto,2015). Materi alat optik merupakan salah satu materi yang
dapat menstimulus kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Kurikulum 2013 revisi menyatakan
kompetensi dasar yang harus dicapai siswa pada materi alat optik adalah menganalisis cara kerja alat
optik menggunakan sifat pemantulan dan pembiasan cahaya oleh cermin dan lensa. Kemampuan
menganalisis tersebut termasuk kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam taksonomi Bloom
revisi. Untuk itu diperlukan media pembelajaran hypermedia pada materi alat optik.
Pengembangan media pembelajaran hypermedia yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi siswa sangat penting. Melalui penggunaan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam
konteks yang benar akan mengajarkan kepada siswa kebiasaan berpikir secara mendalam, kebiasaan
menjalani hidup dengan pendekatan yang cerdas, seimbang, dan dapat dipertanggung jawabkan
(Lambertus, 2009).
Media pembelajaran hypermedia yang dikembangkan memiliki nilai tambah dibandingkan
penelitian sebelumnya. Media pembelajaran hypermedia yang dikembangkan dapat efektif dalam
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

191
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Media pembelajaran tersebut memiliki
karakteristik: menggunakan pendekatan saintifik, memberi soal-soal latihan berpikir tingkat tinggi,
dan menciptakan pembelajaran yang bermakna. Melalui media pembelajaran hypermedia yang
menggunakan pendekatan saintifik, siswa dapat melatih kemampuan berpikir tingkat tingginya
(Wahyuni, dan Arief, 2015). Melalui pelatihan soal-soal yang mengukur kemampuan berpikir tingkat
tinggi, siswa akan terbiasa berpikir secara mendalam untuk memecahkan persoalan yang
membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Rofiah dkk., 2013). Melalui pembelajaran yang
bermakna, siswa dapat mengingat lebih lama materi yang dipelajarinya (Fitriani dkk., 2013).
Karakteristik hypermedia tersebut dapat membantu siswa dalam memperoleh kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Peneliti melihat bahwa perlu adanya pengembangan media pembelajaran hypermedia
untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan mengembangan media pembelajaran Hypermedia yang dapat layak, efektif dan praktis
digunakan untuk meningkatkan High Order Thinking Skill siswa pada Materi Alat Optik SMA.

METODE
Terdapat dua model dalam penelitian pengembangan, yaitu validation studies, dan development
studies. Validation studies merupakan model penelitian pengembangan yang bertujuan untuk
menyangkal teori-teori belajar, sedangkan development studies merupakan model penelitian
pengembangan yang bertujuan untuk memecahkan masalah pendidikan menggunakan teori
pengetahuan yang relevan (Akker, 2006). Penelitian ini menggunakan model development studies
karena peneliti bertujuan untuk menghasilkan suatu produk yang dapat memecahkan masalah yang
terdapat di sekolah dengan menggunakan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
Tahapan atau prosedur pengembangan media pembelajaran hypermedia pada penelitian
pengembangan ini menggunakan model penelitian development studies menurut Akker terdiri dari 4
tahap, yaitu: preliminary research, prototyping stage, summative evaluation, dan systematic reflection
and documentation.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

192
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 1 Model Pengembangan Development Research Akker

Tahap Pertama merupakan tahap Preliminary research. Tahap ini melingkupi studi literatur dalam
bentuk analisis jurnal dan survei lapangan. Studi literatur bertujuan untuk mengetahui permasalahan
yang terjadi di sekolah, sedangkan survei bertujuan untuk mencari informasi lebih mendalam tentang
permasalahan yang ditemukan. Survei yang dilakukan mencakup wawancara guru dan memberikan
angket kepada siswa. Peneliti melakukan survei di dua Sekolah Menengah Atas (SMA) di Karawang.
Pada tahap survei ini, peneliti juga melakukan wawancara kepada dua orang guru dari kedua sekolah
tersebut, serta menyebar angket kepada 120 orang siswa dari dua sekolah.
Tahap kedua merupakan tahap prototyping stage. Tahap ini merupakan tahap pembuatan dan
penyempuranaan prototipe produk yang akan digunakan untuk memecahkan masalah yang
ditemukan. Tahap prototipe ini terdiri dari perancangan pedoman desain, pengoptimalan prototipe,
evaluasi formatif (formative evaluation) dan revisi. Pada tahap ini terdapat evaluasi formatif yang
bertujuan untuk mengevaluasi prototipe produk yang telah dibuat. Berikut ini bagan tahapan evaluasi
formatif:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

193
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 2. Tahap Evaluasi Formatif pada Prototyping Stage (Martin Tessmer, 1993)

Tahap ketiga merupakan tahap summative evaluation. Pada tahap ini, hasil prototipe media
pembelajaran hypermedia dievaluasi keefektivan dan kepraktisannya. Untuk mengetahui keefektivan
produk, siswa diberikan soal pretest-posttest. Untuk mengetahui kepraktisan produk, siswa diminta
untuk mengisi angket respon mengenai kepraktisan media pembelajaran yang sudah digunakan . Uji
keefektivan dan kepraktisan media pembelajaran hypermedia juga dilakukan kepada guru berupa
angket. Selanjutnya data angket respon siswa, angket respon guru dan hasil pretest-posttest siswa akan
diolah untuk mengetahui keefektivan dan kepraktisan dari media pembelajaran hypermedia.
Tahap keempat merupakan tahap systematic reflection and documentation. Tahap ini merupakan
tahap akhir dari prosedur pengembangan ini. Tahap ini meliputi penggambaran seluruh tahapan
penelitian untuk dianalisis dan didokumentasikan.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes dan non tes.
Instrumen ini bertujuan untuk melihat kriteria kevalidan, keefektivan, dan kepraktisan dari media
pembelajaran hypermedia yang dikembangkan.
Subjek uji coba produk media ini terdiri siswa dan tiga guru dari tiga SMA yang berbeda, yaitu
SMAN 1 Karawang, SMAN 1 Tangerang Selatan, dan SMAN 29 Jakarta. Populasi yang digunakan
adalah seluruh siswa SMA dari ketiga sekolah tersebut. Sampel diambil secara purposive. Purposive
sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012).
Pertimbangan peneliti memilih sekolah tersebut karena sekolah tersebut memiliki akreditasi yang sama
(A), menggunakan kurikulum 2013 revisi, adanya fasilitas yang sudah cukup lengkap seperti
tersedianya komputer/laptop di sekolah, dan terdapat siswa yang memiliki komputer/laptop pribadi.
Pada evaluasi formatif, prototipe media diuji coba oleh sampel. Subjek uji coba pada evaluasi
formatif terdiri dari evaluasi satu-satu (one-to-one evaluation), evaluasi kelompok kecil (small group
evaluation), dan uji lapangan (field test). Pada evaluasi satu-satu melibatkan tiga orang siswa kelas 11
MIPA 5 dari SMAN 1 Karawang yang terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang
dan rendah. Pada evaluasi kelompok kecil melibatkan 12 siswa kelas 11 MIPA 6 dari SMAN 1
Karawang yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Pada uji lapangan (field test),
subjeknya adalah 30 siswa (15 siswa XI MIPA 4 dan 15 siswa XI MIPA 5) dari SMAN 1 Tangerang
Selatan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

194
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 1. Tahapan evaluasi formatif dan Instrumen yang digunakan

Tahap evaluasi sumatif melibatkan 12 siswa kelas XI MIPA 3 SMAN 29 Jakarta. Untuk
mengetahui tentang keefektivan dan kepraktisan produk dari sudut pandang guru, peneliti
memberikan angket pada guru fisika dari SMAN 1 Karawang, SMAN 1 Tangsel, dan SMAN 29
Jakarta.
Data diperoleh dari hasil instrumen tes dan non tes. Instrumen tes digunakan untuk melihat
keefektivan media dan peningkatan hasil belajar siswa. Uji efektivitas yang dilakukan peneliti adalah
melihat seberapa banyak siswa yang mendapatkan hasil tes ≥ KKM setelah belajar menggunakan
media pembelajaran hypermedia. Kriteria efektivitas berdasarkan hasil belajar kognitif dapat dilihat
pada tabel berikut (Suwarna, 2016):

Tabel 2 Kriteria efektivitas berdasarkan hasil belajar kognitif


Persentase Kriteria
≥ 80% Sangat efektif
70% - 79% Efektif
60% - 69 % Cukup efektif
50% - 59% Kurang efektif
< 50% Tidak efektif

Untuk menganalisis peningkatan hasil belajar siswa dapat menggunakan Uji Normal Gain.
Menurut Herlanti dalam Ariyani, Gain adalah selisih antara nilai posttest dan pretest, gain
menunjukkan peningkatan hasil belajar siswa setelah pembelajaran dilakukan guru. Rumus normal
gain menurut Meltzer dalam Ariyani (2010), yaitu:
skor posttest  skor pretest
N  gain 
skor ideal  skor pretest

Adapun untuk kriteria rendah, sedang, dan tinggi mengacu pada kriteria yang diungkapkan Hake
dalam Jannah (2014), yaitu sebagai berikut:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

195
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 3 Kriteria N-Gain


G Keterangan
g > 0,7 Tinggi
0,3 < g ≤ 0,7 Sedang
g ≤ 0,3 Rendah

Instrumen non tes terdiri dari data hasil pendahuluan (wawancara dan angket siswa), angket uji
ahli (validitas), angket respon siswa dan guru. Data yang diperoleh dari wawancara akan diolah secara
kualitatif sedangkan data yang diperoleh dari angket dengan pertanyaan menggunakan skala Likert
dan rating scale.

Hasil dan Pembahasan


Media dinilai kelayakannya oleh sembilan orang ahli yang terdiri dari ahli media, ahli desain
pembelajaran, dan ahli materi. Ahli media yang terlibat dalam tahap expert review sebanyak tiga orang.
Ahli yang pertama merupakan penulis buku mengenai “Media Pembelajaran” dan juga dosen ahli
media FITK UIN Jakarta, ahli yang kedua merupakan dosen TI UIN Jakarta dan yang ketiga
merupakan dosen Departemen Pendidikan Fisika UPI (Universitas Pendidikan Indonesia).
Ahli media menilai media pembelajaran hypermedia dari aspek rekayasa perangkat lunak dan
aspek komunikasi, visual, media. Ahli media menyatakan hypermedia ini layak untuk digunakan atau
valid. Media pembelajaran hypermedia dinyatakan layak dengan skor 237 dari 264 (89,7%).
Media pembelajaran hypermedia juga dinilai layak digunakan berdasarkan penilaian dari aspek
desain pembelajaran oleh tiga ahli desain pembelajaran. Ahli yang pertama dan kedua merupakan
dosen pendidikan fisika UIN Jakarta, sedangkan ahli ketiga merupakan Guru SMA PGRI 56 Ciputat.
Ahli desain pembelajaran menyatakan hypermedia ini layak untuk digunakan atau valid. Media
pembelajaran hypermedia dinyatakan layak dengan skor 157 dari 180 (87,2%).
Media pembelajaran hypermedia juga dinilai layak digunakan berdasarkan penilaian dari aspek
materi ajar oleh tiga ahli materi ajar. Ketiga ahli tersebut merupakan dosen pendidikan fisika UIN
Jakarta. Ahli materi ajar menyatakan hypermedia ini layak untuk digunakan atau valid. Media
pembelajaran hypermedia dinyatakan layak dengan skor 276 dari 360 (76,7%).
Media pembelajaran hypermedia efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Hasil uji efektivitas pada guru dan siswa menunjukkan bahwa media pembelajaran
hypermedia sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan persentase
83,5%. Persentase tersebut merupakan persentase gabungan dari persentase guru dan siswa.
Berdasarkan penilaian guru melalui angket, media pembelajaran hypermedia sangat efektif 92%.
Sedangkan hasil posttest siswa menunjukkan media pembelajaran hypermedia sangat efektif dengan
persentase 75%. Efektivitas siswa tersebut didapat dari banyaknya siswa yang mendapat nilai ≥ KKM.
Menurut Sesemane dalam Mardiah (2015) media pembelajaran hypermedia membuat siswa-siswa
memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kognitif mereka yang kompleks, seperti
memecah sebuah topik ke dalam subtopik-subtopik. Media pembelajaran hypermedia yang bersifat

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

196
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

individual memungkinkan siswa untuk mencari informasi sendiri dan membangun pengetahuan
berdasarkan eksplorasinya (Lukitaningsih, 2010). Selain itu, media ini juga menggunakan pendekatan
saintifik. Pendekatan saintifik dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa (Majid,
2015). Siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tingginya setelah sering dilatihkan
untuk menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui pendekatan saintifik (Wahyuni, 2015).
Kemudian, media pembelajaran hypermedia juga dapat menjadi solusi bagi siswa yang lambat dalam
memahami materi pelajaran (Suwarna, 2013). Dengan demikian, siswa yang lambat dan cepat dalam
belajar dapat memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai materi alat optik yang sudah
dibahas. Oleh karena itu, media pembelajaran hypermedia dapat menjadi media yang efektif untuk
digunakan siswa.
Media pembelajaran hypermedia dinyatakan praktis digunakan oleh guru dan siswa dengan
persentase kepraktisan sebesar 86,5%. Media pembelajaran hypermedia praktis digunakan dimana
saja. Media pembelajaran hypermedia dapat digunakan di kelas, lab komputer, ataupun di rumah.
Media pembelajaran hypermedia juga dinilai praktis dalam penggunaan dibandingkan harus membawa
media rill kemana-mana dan membeli media rill alat optik. Melalui penggunaan Media pembelajaran
hypermedia, guru dan siswa tidak harus membawa peralatan alat optik yang cukup banyak dan besar
dikarenakan pembahasan alat optik pada media pembelajaran Hypermedia ini sudah dilengkapi
dengan gambar, animasi, dan video penjelasan. Kemudian biaya pengadaan alat optik pun seperti
mikroskop, teropong dsb cukup mahal sehingga sekolah kesulitan dalam pengadaannya. Media
pembelajaran hypermedia dapat dibuka kapan saja. Hal ini membuat siswa dapat belajar sesuai waktu
yang diinginkan (pagi, siang, sore, malam) sehingga dapat dikatakan praktis dalam penggunaannya.

Penutup
Simpulan
Media pembelajaran hypermedia yang dikembangkan dinyatakan layak (84,5%). Ahli media
menyatakan media pembelajaran hypermedia sangat baik dan layak untuk digunakan (89,7%).
Ahli desain pembelajaran menyatakan media pembelajaran hypermedia sangat baik dan layak untuk
digunakan (87,2%). Ahli materi menyatakan media pembelajaran hypermedia baik dan layak untuk
digunakan (76,7%).
Media pembelajaran hypermedia yang dikembangkan sangat efektif (83,5%) dalam meningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Penilaian tiga orang guru menyatakan media pembelajaran
hypermedia sangat efektif (92%). Kemudian dari hasil posttest siswa dapat dilihat bahwa media
pembelajaran hypermedia sangat efektif (75%). Nilai N-gain yang diperoleh siswa pada
penelitian ini sebesar 0,64 (kategori sedang).
Media pembelajaran hypermedia juga dinyatakan praktis (85%). Guru menyatakan media
pembelajaran hypermedia sangat praktis digunakan (90%) sedangkan siswa menyatakan media
pembelajaran hypermedia praktis digunakan (83%).
Saran
Media pembelajaran hypermedia dikatakan efektif dalam pembelajaran, namun penelitian ini tidak
bisa menjelaskan pengaruh media hypermedia terhadap hasil belajar siswa. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut dan dalam jangka waktu lama untuk mengukur pengaruh hypermedia
yang dikembangkan dalam skala lebih besar.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

197
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Media pembelajaran hypermedia dapat dikembangkan lebih lanjut lagi pada materi fisika yang lain
seperti dinamika rotasi dan materi lainnya yang membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Hal ini didasarkan hasil masukkan dari guru untuk membuat media pembelajaran hypermedia
pada materi dinamika rotasi.
Media pembelajaran hypermedia dikatakan baik oleh para ahli dan siswa, namun untuk
pengembangan selanjutnya perlu dicoba dalam versi android atau iOS agar lebih mudah secara teknis
dalam mempelajarinya.
Untuk tahap pelaksanaan penelitian, diperlukan proses perjanjian antara peneliti dan siswa
maupun peneliti dan guru agar penelitian berlangsung dengan lancar sesuai kesepakatan
bersama.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang sudah mau membantu dalam
penelitian kali ini diantaranya: dosen pembimbing Bapak Iwan Permana S., M.Pd. ; para ahli para ahli
yang sudah mau untuk menilai kelayakan media; Kepala SMA 1 Karawang beserta guru dan staff TU,
Kepala SMA 3 Karawang beserta guru dan staff TU, Kepala SMA 1 Tangerang Selatan beserta guru
dan staff TU, Kepala SMA 29 Jakarta beserta guru dan staff TU; Guru yang terlibat pak Ava
Nugraha, S.Pd., Pak Tatang S.Pd., Pak Hartono, M.Pd, Ibu Ita, S.Pd; youtuber dan blogger yang
sudah membagikan ilmunya.

Daftar Pustaka
Akker, Jan van den, et al., Educational Design Research. New York: Routledge, 2006.
Amin, Bunga Dara, Alimuddin Mahmud, dan Muris. “The Development of Physics Learning
Instrument Based n Hypermedia and Its Influence on The Student Problem Solving Skill”,
Journal of Education and Practice. 2016.
Anderson, L.W. (Ed.), Krathwohl, D.R.,.Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan
Asesmen. New York: Addison Valley, 2015.
Arisanto, Iwan, Agus Suyudi, dan Lia Yuliati. “Pengembangan Bahan Ajar Integratif Untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Pada Mata Pelajaran Fisika
Kelas X SMA Materi Optik”, Universitas Negeri Malang.
Ariyani, Fina “Pengaruh Pembelajaran Berbantukan Media Online Facebook terhadap Hasil
Belajar Fisika pada Konsep Termodinamika”, Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika UIN
Jakarta, 2010.
Arum, Wahyuni Fajar, Trapsilo Prihandono, dan Yushardi, “Penerapan Model Pembelajaran Clis
(Children Learning In Science) dengan Metode Eksperimen dalam Pembelajaran Fisika di Kelas
VIII SMP”, Jurnal Pembelajaran Fisika. 1, 2012.
Erlin Montu, dkk., “Pembelajaran Fisika dengan Inkuiri Terbimbing Menggunakan
Fitriani, Subaer, dan Nurhayati, “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Higher Order of
Thinking Skills (HOTS) Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa SMA Menyelesaikan Soal
Fisika”, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan, 2013. 124

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

198
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Fitriani, Wulandari, Fauzi Bakri, dan Sunaryo, “Pengembangan Lembar Kerja Siswa (Lks) Fisika
Untuk Melatih Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (High Order Thinking Skill) Siswa SMA”,
Jurnal Wahana Pendidikan Fisika. 2, 2017.
Handayani, Ririn dan Sigit Priatmoko, “Pengaruh Pembelajaran Problem Solving Berorientasi
HOTS (Higher Order Thinking Skills) terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas X”. Jurnal
Inovasi Pendidikan Kimia. 7, 2013.
Hayatul Mardiah “Pengaruh Hypermedia terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas XI Pada
Konsep Gerak Lurus”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2015. Tidak
dipublikasikan.
Jannah, Miftachul, Wahono Widodo, dan Martini. “Penerapan Pembelajaran IPA Terpadu dengan
Pendekatan Sets-Edutainment Tema Baterai Alami untuk Meningkatkan Keterampilan
Proses Sains Dan Hasil Belajar di SMPN 1 Gondang”, Jurnal Pendidikan Sains e-Pensa. 2,
2014.
Julistiawati, Rini dan Bertha Yonata,”Keterampilan Berpikir Level C4, C5, & C6 Revisi
Taksonomi Bloom Siswa Kelas X-3 SMAN 1 Sumenep Pada Penerapan Model
Pembelajaran Inkuiri Pokok Bahasan Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit”, UNESA.
Journal of Chemical Education. 2, 2013.
Kanginan, Marthen. FISIKA: untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Erlangga, 2013.
Kemendikbud, ”Permendikbud No.21 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan”. 2016.
Kurniati, Dian, Romi Harimukti, dan Nur Asiyah Jamil, “Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
Siswa SMP di Kabupaten Jember Dalam Menyelesaikan Soal Berstandar PISA”, Jurnal Penelitian
dan Evaluasi Pendidikan. 20, 2016.
Lambertus, “Pentingnya Melatih Keterampilan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika di
SD”. 28, 2009.
Lestari, Wiji, “Multimedia Pembelajaran Alat-Alat Optik untuk Meningkatkan Prestasi dan Minat
Siswa dalam Mata Pelajaran Fisika Kelas X SMA”. 2016, h.2
Lukitaningsih, Tri “Pembelajaran Biologi dengan Jigsaw melalui Hipermedia dan Modul Ditinjau
dari Kemampuan Memori dan Interaksi Sosial Siswa terhadap Prestasi Belajar”, Tesis pada
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta: 2010.
Majid, Ahmad Nurkholis ”Efektivitas Pendekatan Saintifik terhadap High Order Thinking Skills
(HOTS) Siswa Kelas X MAN Wonokromo Bantul pada Materi Pokok Konsep Mol”,
Skripsi pada Program Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta: 2015.
Nugraha, Ava dan Tatang, Guru SMA, Wawancara, Karawang, November, 2016.
OECD, “Program for International Student Assesment (PISA) 2015”, 2016
OECD, “Skills Matter : Further Results From The Survey of Adult Skill”, Laporan Hasil PIAAC,
2016.
Purnama, Bambang Eka. Konsep Dasar Multimedia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

199
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Penidikan. Bandung: Fajar
Interprtama Mandiri, 2006.
Sugiyono, Statistik untuk Penelitian, (Bandung: ALFABETA, 2012), h. 68
Suwarna, Iwan Permana “Menggagas sebuah software pembelajaran mandiri yang konstruktivistik
melalui macromedia flash”, Jurnal UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: 2013.
Suwarna, Iwan Permana “Pengembangan Instrumen Ujian Komprehensif Mahasiswa melalui
Computer Based Test pada Program Studi Pendidikan Fisika”, Laporan Penelitian UIN Jakarta,
2016
Suwarna, Iwan Permana. Model pembelajaran Fisika Interaktif Melalui Program Macromedia
Flash (Computer Based Instruction) Suatu Alternatif dalam pembelajaran Fisika. 2015.
(http://iwanpermana.blogspot.nl/2007/02/).
Tessmer, Martin. Planning and Conducting Formative Evaluations. London: Routledge, 1993
Tri Lukitaningsih, “Pembelajaran Biologi dengan Jigsaw melalui Hipermedia dan Modul Ditinjau
dari Kemampuan Memori dan Interaksi Sosial Siswa terhadap Prestasi Belajar”, Tesis pada
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta: 2010.
Wahyuni, Desy Eka, dan Alimufi Arief, “Implementasi pembelajaran scientific approach dengan soal
higher order thinking skill pada materi alat-alat optik kelas x di SMA Nahdlatul Ulama’1
Gresik”. Jurnal inovasi pendidikan fisika.4, 2015.
Yuda, I.G.Ngr.Hari, Ketut Suma, dan I Made Candiasa. “Pengembangan E-Learning Fisika dalam
Bentuk Website Berorientasi Sains Teknologi Masyarakat untuk Meningkatkan Penguasaan
Konsep dan Kreativitas Siswa Kelas XI IPA”, E-Jurnal Program Pasca Sarjana Universitas
Pendidikan Ganesha. 2014.
Rofiah, Emi, Nonoh Siti Aminah, dan Elvin Yusliana Ekawati, “Penyusunan Instrumen Tes
Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika pada Siswa SMP”. Jurnal Pendidikan Fisika.1,
2013.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

200
Hanna Ramadhana Widuri, Gelar Dwirahayu, Eva Musyrifah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: hanna.ramadhana13@mhs.uinjkt.ac.id, gelar.dwirahayu@uinjkt.ac.id,
eva.musyrifah@uinjkt.ac.id
Abstract. The aim of this research is to analyze the effect of Challenge Based Learning model towards
Student’s Mathematical Creative Reasoning. This research was conducted at MTs Negeri 1 Tangerang Selatan
on academic year of 2017/2018. The indicators of mathematical creative reasoning that measured are, (a)
creativity, (b) plausibility and (c) anchoring. A quasi experiment with randomized post-test only control group
design method was used. Sample consisted of two groups with experiment group of 32 students and control
group of 29 students selected by cluster random sampling technique. The findings showed the significant
effect of challenge based learning model on creative reasoning as measured by essay test. Based on result
hypothesis testing with t-test at significant level of 5%, it was obtained that the significant level is 0,005 <
0,05 (specified significant level). It indicated that student’s mathematical creative reasoning which were taught
by challenge based learning is higher than student’s mathematical creative reasoning of those which were taught
by conventional model of learning.

Keywords: challenge based learning, mathematical creative reasoning

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Model Challenge Based Learning terhadap
kemampuan penalaran kreatif matematis siswa. Penelitian dilakukan di MTs Negeri 1 Tangerang Selatan
tahun ajaran 2017/2018. Indikator kemampuan penalaran kreatif matematis yang diukur dalam penelitian ini
yaitu: (a) creativity, (b) plausibility dan (c) anchoring. Metode yang digunakan adalah quasi eksperimen
dengan desain randomized control group posttest only. Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster
random sampling. Sampel terdiri dari dua kelas yaitu 32 siswa kelas eksperimen dan 29 siswa kelas kontrol.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan uji-t pada taraf nyata 5% diperoleh nilai signifikasi
0,005 yang bernilai kurang dari = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran kreatif
matematis siswa yang diterapkan dengan Model Challenge Based Learning lebih tinggi dibandingkan dengan
kemampuan penalaran kreatif matematis siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran konvensional.

Kata Kunci: challenge based learning, kemampuan penalaran kreatif matematis

Pendahuluan
Pendidikan selalu mengalami perubahan, perkembangan dan perbaikan, sama halnya
dengan kehidupan. Perubahan dan perbaikan dalam bidang pendidikan meliputi berbagai
komponen yang terlibat didalamnya, salah satu diantaranya adalah mutu pendidikan itu
sendiri. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika menurut Kurikulum 2013
yang menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pendekatan scientific (ilmiah) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik (Kemendikbud,


2013). Kemudian, menurut NCTM (National Council of Teacher of Mathematics)
pembelajaran matematika mengacu pada 5 standar proses, salah satunya yaitu penalaran
(NCTM, 2000). Selain itu, berpikir matematik dapat diklasifikasikan ke dalam lima
kompetensi standar matematik dengan indikator salah satunya adalah penalaran matematik.
Utari mengatakan, berfikir matematik dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu tingkat
rendah dan tinggi (Utari, 2012).
Lithner (2012) menjelaskan terdapat dua penalaran yaitu penalaran kreatif ( creative
reasoning) dan penalaran imitative (imitative reasoning). Lithner mendefinisikan penalaran
yang bersifat kreatif ke dalam beberapa kriteria, yaitu kreativitas ( creativity), logis
(plausibility) dan anchoring. Kemampuan penalaran kreatif bagi siswa di Indonesia
merupakan hal yang jarang dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Ketika
berkompetisi, siswa di Indoesia selalu memperoleh hasil akhir yang rendah. Hal ini
ditunjukkan berdasarkan beberapa hasil tes diantaranya PISA dengan nilai rata-rata dibawah
10% (PISA, 2016), INAP sebesar 42,68% (INAP, 2016), penelitian sebelumnya dilakukan
oleh Ani Qumil Laila sebesar 58,69 (Ani, 2017) dan hasil pra penelitian oleh peneliti sebesar
37,52%.
Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti menggunakan salah satu cara untu
mengatasi rendahnya kemampuan penalaran kreatif, yaitu dengan menggunakan model
pembelajaran Challenge Based Learning (Johnson, 2009). Hal yang perlu diperhatikan dalam
pembelajaran berbasis tantangan adalah pemilihan tantangan yang akan dihadirkan.

Metode
Penelitian ini dilaksanakan di MTsN 1 Kota Tangerang Selatan pada semester genap
tahun ajaran 2017/2018. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen
dengan desain penelitian Randomized Control Group Post Test Only. Sampel penelitian
yang digunakan adalah kelas VIII-5 sebagai kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional
sedangkan kelas VIII-6 sebagai kelas eksperimen dengan pembelajaran Challenge Based
Learning.
Pada pertemuan terakhir seluruh siswa diberikan post-test untuk mengetahui
kemampuan penalaran kreatif siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tes kemampuan penalaran kreatif matematis pada pokok bahasan lingkaran yang terdapat
dalam 3 indikator sebagai berikut.

Tabel 1. Instrumen Penalaran Kreatif Matematis Siswa


No. Indikator Penalaran Kreatif Matematis
Butir Soal
1. kemampuan menghasilkan solusi dari pemecahan masalah yang
4
bersifat baru atau orisinil. (Creativity)

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

202
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2. Kemampuan memberikan argumen dengan benar dan masuk akal.


2,5
(Plausibility)
3. kemampuan untuk memilih strategi yang didasarskan pada intrinsik
1,3
matematika. (Anchoring)
Asil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Hasil kemampuan penalaran kreatif matematis siswa di kelas eksperimen dengan
pembelajaran Challenge Based Learning dan kelas control dengan pembelajaran konvensional
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2.Statistik Deskriptif Kemampuan Penalaran Kreatif Matematis Siswa
Statistik Kelas Kelas
Eksperimen Kontrol
Jumlah siswa 32 29
Skor ideal 100 100
Rata-rata 74,17 65,06
Standar Deviasi 10,67 13,52

Dari Tabel 2 terlihat bahwa siswa kelas eksperimen berjumlah 32 orang dan kelas
kontrol berjumlah 29 orang. Skor maksimum yang diperoleh siswa jika menjawab seluruh
soal dengan benar yaitu 100. Hasil rata-rata posttest menunjukan bahwa kelas eksperimen
memiliki nilai yang lebih besar yaitu 74,17 dengan simpangan baku sebesar 10,67
dibandingkan dengan kelas kontrol sebesar 65,06 dengan simpangan baku sebesar 13,52.
Selanjutnya untuk mengetahui apakah perbedaan kedua kelas tersebut signifikan pada
saat uji kesamaan 2 rata-rata dengan menggunakan uji-t. Hasil uji perbedaan rata-rata
sebagaimana dimaksud disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Uji Kesamaan Rata-rata Skor Kemampuan Penalaran Kreatif


Matematis

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

203
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hipotesis Statistik :
H0 : μ 1 ≤ μ 2
H1 : μ 1 > μ 2
Dari tabel 3 terlihat bahwa hasil uji kesamaan dua rata-rata kelas eksperimen dan
kontrol menunjukkan nilai t = 2,933 dan sig. (2-tailed) = 0,005 < 0,05. Hal ini
menunjukkan penolakan H0. H1 menyatakan bahwa rata-rata kemampuan penalaran kreatif
matematis siswa kelas eksperimen dalam model pembelajaran Challenge Based Learning lebih
tinggi daripada rata-rata kemampuan penalaran kreatif matematis siswa kelas kontrol yang
diajarkan dengan pembelajaran konvensional.

Pembahasan Penelitian
Hasil uji hipotesis penelitian menunjukkan bahwa kemampuan penalaran kreatif
matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Challenge Based Learning lebih
tinggi dibandingkan siswa yang diajarkan menggunakan pembelajaran konvensional. Hal ini
menunjukkan bahwa model pembelajaran Challenge Based Learning berpengaruh dalam
meningkatkan kemampuan penalaran kreatif matematis siswa. Mengacu pada teori Mark
Nichols, pembelajaran dengan model Challenge Based Learning menjadikan siswa lebih aktif
dalam memunculkan pertanyaan dan memberikan gagasan-gagasan kreatif dari masalah yang
diberikan, siswa juga terbiasa untuk mengidentifikasi setiap tantangan. Berbeda dengan
tahapan pembelajaran Challenge Based Learning oleh Mark Nichols, peneliti menggunakan
Lembar Kerja Siswa pada proses pembelajarannya.
Hal ini dapat dilihat dari perhitungan nilai rata-rata kelas eksperimen yang diperoleh
siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Challenge Based Learning lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas kontrol yang diperoleh siswa yang diajarkan dengan
pembelajaran konvensional, baik dilihat secara keseluruhan maupun berdasarkan tiap
indikatornya. Kemampuan ini sangat sesuai dengan tahapan-tahapan dalam model Challenge
Based Learning, yaitu engage, investigate dan act.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa dengan menggunakan pembelajaran
Challenge Based Learning, siswa menggunakan masalah dalam kehidupan nyata sebagai
tantangan dimana siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya dalam
memecahkan tantangan tersebut. tantangan di desain secara efektif untuk belajar dan
membantu siswa meningkatkan keterampilannya dalam mengaplikasikan konsep dan
pengetahuan. Pembelajaran ini membuat siswa mampu bekerja sama dengan siswa lain serta
guru mereka (Chris, 2013).
Keberhasilan pembelajaran dengan pembelajaran Challenge Based Learning
dipengaruhi oleh beberapa tahapan diantaranya: (Mark Nichols, 2016)
1. Engage. Diawali menghadirkan gagasan utama (big idea). Dilanjutkan dengan siswa
membangun pertanyaan penting (essential questions) terkait gagasan utama dan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

204
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tantangan diberikan agar siswa dapat mengembangkan masalah sampai memperoleh


jawaban (challenge)
2. Investigate. Dilanjutkan dengan guru memberikan pertanyaan pemandu ( guiding
questions) dan kegiatan pemandu (guiding resources). Melalui kegiatan tersebut, siswa
berkolaborasi dengan guru untuk menganalisis jawaban (analysis).
3. Act. Siswa melaksanakan strategi yang telah ditetapkan dan menentukan solusi akhir
dari tantangan.

Berbeda dengan pembelajaran Challenge Based Learning, kelas kontrol menggunakan


model pembelajaran konvensional kurikulum 2013, yaitu pendekatan saintifik sebagai proses
pembelajarannya. Tahapan pembelajaran saintifik diantaranya, mengamati, menanya, menalar,
mencoba dan mengkomunikasi.
1. Mengamati. Dilakukan siswa dengan cara menentukan jelas apa yang akan di observasi
2. Menanya. Siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan terkait informasi
yang kurang dipahami dari pengamatan yang dilakukan.
3. Menalar. Siswa dilatih menghubungkan tiap informasi yang diperoleh.
4. Mencoba. Siswa mencoba berbagai cara yang tepat utuk menyelesaikan masalah.
Dengan percobaan, dapat menyimpulkan solusi yang tepat dalam menyelesaikan
masalah.
Pada kelas eksperimen, pembelajaran dengan model Challenge Based Learning di kelas
menunjukkan bahwa siswa kesulitan pada tahap investigate sedangkan pada kelas kontrol,
siswa merasa kesulitan pada tahap menalar dan menanya, karena dalam tahap tersebut siswa
dituntut untuk aktif menyelidiki dan memperoleh hasil jawaban sendiri pada proses
pembelajarannya
Melalui model pembelajaran Challenge Based Learning, kemampuan penalaran kreatif
dapat meningkat terutama dalam tahap engage, karena pada tahap ini dibutuhkan ide-ide
kreatif yang muncul untuk dijadikan masalah. Tahap ini membangun kemampuan penalaran
kreatif siswa, karena pertanyaan yang mereka ajukan, dibuat dengan mempertimbangkan
berbagai sumber yang relevan terkait tantangan yang diberikan. Tahapan dalam proses
pembelajaran dengan menggunakan Challenge Based Learning diharapkan mampu
mengembangkan penalaran kreatif matematis siswa.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, model pembelajaran Challenge Based Learning dapat
meningkatkan kemampuan penalaran kreatif siswa.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

205
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Saran
Model Challenge Based Learning ditampilkan dalam pembelajaran matematik
khususnya materi Lingkaran dan diharapkan dapat mendesain pembelajaran dengan lebih
baik khususnya pada saat tahap Investigate.

Daftar Pustaka

…..Laporan Indonesia National Assessment Programme (INAP). 2016.


file:///C:/Users/User/Downloads/e8e92d111ccaec76c1e515dd735382ce.pdf.
…..Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Bidang Pendidikan (Konsep dan
Implementasi Kurikulum 2013), Jakarta: Kemendikbud.
F, Johnson Laurence, dkk. 2009. Challenge Based Learning An Approach for Our Time, California:
A Research Report from The New Media Consortium.
Laila, Ani Qumil. 2017. “Pengaruh Model Pembelajaran Reflektif Terhadap Kemampuan Penalaran
Kreatif Matematis Siswa”, Skripsi pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hdiayatullah Jakarta, Jakarta.
Lithner, Johan. 2012. Learning Mathematics by Creative or Imitative Reasoning , 12thInternational
Congress on Mathematical Education.
Nichols, Mark., Cator, K., and Torres, M. 2016. Challenge Based Learning Guide. Redwood City,
CA: Digital Promise, http://cbl.digitalpromise.org/wp-
content/uploads/sites/7/2016/10/CBL_Guide2016.pdf.
PISA. 2016. PISA 2015 Result. PISA: OECD Publishing.
Sumarmo, Utari. 2012. Pendidikan Karakter Serta Pengembangan Berfikir dan Disposisi Matematik
dalam Pembelajaran Matematika. http://utari-
sumarmo.dosen.stkipsiliwangi.ac.id/files/2015/09/Makalah-Univ-di-NTT-Februari-
2012.pdf.
Swiden, Chris, L. 2013. Effects Of Challenge Based Learning On Student Motivation And
Achievement, Bozeman: Montana State University.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

206
Haryati, Rosyanti, Suningsih
MTsN 6 Jakarta Timur, Kementerian Agama
e-mail: haryati@madrasah.id, rosyanti@madrasah.id, suningsih@madrasah.id

Abstrak. Penelitian bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Metode Pembelajaran dan Kreativitas
Belajar Siswa Terhadap Penguasaan Konsep IPA di Madrasah Tsanawiyah Negeri Kotamadya
Jakarta Timur. Hipotesis Penelitian yang diuji : (1) Pengaruh metode pembelajaran terhadap
penguasaan konsep IPA, (2) Pengaruh kreativitas belajar siswa terhadap penguasaan konsep IPA, (3)
Pengaruh interaksi metode pembelajaran dan kreativitas belajar terhadap penguasaan konsep IPA.
Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode eksperimen. Besar sampel sebanyak 80
siswa yang dipilih secara random dari seluruh kelas yang ada. Instrumen penelitian yang digunakan
pilihan ganda 30 soal yang telah diuji validitasnya dengan koefisien reliabilitas = 0,921. Analisa data
menggunakan analisis of varians (ANOVA) dua jalur/arah. Hasil pengujian hipotesis disimpulkan
sebagai berikut: (1). Tidak terdapat pengaruh Metode pembelajaran terhadap penguasaan konsep
IPA, karena Fhitung = 0, 257 dan sig 0,614 > 0,05 maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan
terhadap penguasaan konsep IPA siswa pada penerapan metode pembelajaran inkuiri terbimbing dan
inkuiri mandiri. (2). Terdapat pengaruh kreativitas belajar siswa terhadap penguasaan konsep IPA,
karena Fhitung = 6.428 dan Sig 0,013 < 0,05, maka terdapat perbedaan yang signifikan penguasaan
konsep IPA antara siswa kreativitas belajar tinggi dengan siswa dengan kreativitas belajar rendah. (3).
Tidak terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara penggunaan metode pembelajaran dan
kreativitas siswa terhadap penguasaan konsep IPA, karena Fhitung = 0,359 dan Sig 0,55 maka tidak
terdapat perbedaan signifikan faktor interaksi metode pembelajaran IPA dengan kreativitas belajar
(tinggi-rendah). Dapat diimplikasikan dalam rangka meningkatkan penguasaan konsep IPA yaitu:
(1). Perlu mencari metode pembelajaran lain karena penerapan metode pembelajaran inkuiri
terbimbing dan metode pembelajaran inkuiri mandiri tidak memberi pengaruh terhadap penguasaan
konsep IPA. (2). Meningkatkan kreativitas belajar siswa karena ternyata terdapat perbedaan
kreativitas tinggi dengan kreativitas belajar rendah, siswa yang memiliki kreativitas tinggi penguasaan
konsep IPA lebih baik dibanding dengan kreativitas rendah.

Kata Kunci : Metode Pembelajaran, Kreativitas Belajar, Penguasaan Konsep IPA

Pendahuluan
Pendidikan memiliki arti penting bagi setiap bangsa di dunia dalam upaya memelihara dan
menjaga eksistensi bangsa tersebut sepanjang masa. Pendidikan adalah bagian yang sangat penting
dalam menentukan maju atau mundurnya suatu bangsa di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa di
dunia dalam menghadapi era globalisasi. Bangsa Indonesia saat ini tengah menghadapi era globalisasi
dan era informasi, dimana kemajuan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni sangat pesat. Bangsa
Indonesia dituntut untuk dapat mencapai keunggulan menuju tingkat produktivitas nasional. Oleh

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

karena itu, seluruh rakyat harus memenangkan persaingan ini, yakni dengan jalan menguasai berbagai
bidang ilmu teknologi, keterampilan dan keahlian professional.
Penguasaan Konsep IPA merupakan sikap yang seharusnya dimiliki oleh siswa untuk
mengetahui pemahaman dalam belajar IPA. Untuk dapat melalui proses penelitian yang baik dan
hasil yang baik pula, siswa dalam belajar harus memiliki konsep ilmiah IPA. Dengan menguasai
suatu konsep, pengembangan pengetahuan yang dimiliki semakin luas. Penguasaan konsep IPA
merupakan kemampuan siswa dalam memahami konsep-konsep setelah kegiatan pembelajaran.
Untuk peserta didik sekolah menengah atau Madrasah Tsanawiyah dalam konteks
melakukan penyelidikan atau investigasi sederhana, peserta didik seharusnya sudah dilatih bagaimana
ia harus mengorganisasi data untuk menjawab pertanyaan, atau bagaimana ia dapat mengorganisasi
kejadian-kejadian untuk dijadikan alasan pembenar yang paling kuat. Pendidikan yang diterima anak
di lingkungan manapun harus disesuaikan dengan usia dan tingkat perkembangannya, sehingga
tercapai perubahan tingkah laku yang optimal. Perubahan tingkah laku menggambarkan hasil belajar
anak melalui proses pembelajaran yang benar. Apabila anak tidak mengalami perubahan berarti
pembelajaran dianggap tidak berhasil. Mungkin proses pembelajaran tetap berlangsung namun tidak
membawa anak pada perubahan sesuai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
IPA terdiri banyak konsep, mulai yang paling dasar sampai yang tingkat tinggi.
Penyampaian konsep IPA yang keliru menyebabkan kesulitan mengubah konsep itu ke arah
kebenaran di jenjang yang lebih tinggi. Penguasaan konsep sains yang sedang belajar merupakan
kemampuan dari seseorang untuk mengembangkan fakta yang satu dengan fakta yang lain. Dalam
menguasai konsep perlu bagi siswa untuk memperoleh dan mengombinasikan pengetahuan yang
dimiliki. Pradina (2010: 11) mengungkapkan bahwa penguasaan konsep konsep IPA diperoleh dari
proses belajar, sedangkan belajar merupakan proses kognitif yang melibatkan tiga proses yang
hampir bersamaan yaitu memperoleh informasi yang baru, transformasi informasi, dan menguji
relevansi ketetapan pengetahuan. Seseorang dikatakan menguasai konsep IPA apabila orang tersebut
mengerti benar konsep yang dipelajarinya sehingga mampu menjelaskan pengetahuan yang
dimilikinya.
Metode Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara
maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau
peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri
penemuannya dengan penuh percaya diri. Hal yang terkait dengan kondisi-kondisi umum yang
merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas
dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus pada
hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam
proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam
pengujian hipotesis. Salah satu inovasi pembelajaran IPA adalah mengimplementasikan model
pembelajaran berorientasi inkuiri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh University of Philipine
(dalam Putrayasa, 2005) menunjukkan model inkuiri merupakan model mengajar yang berusaha
meletakkan dasar dan mengembangkan cara berpikir ilmiah. Dengan model inkuiri ini juga dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam penalaran formal. Hal ini seperti diungkapkan Dahar
(1988;126) bahwa, salah satu kebaikan pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan adalah
meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan berpikir secara bebas. Jadi, dengan melakukan
pembelajaran model inkuiri dan kreativitas akan dapat meningkatkan sikap ilmiah belajar IPA.
Kreativitas adalah sebuah proses atau kemampuan yang mencerminkan kelancaran,
keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

208
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

(mengembangkan, memperkaya, memperinci), suatu gagasan. Hal ini yang mendorong penulis untuk
mengadakan penelitian tentang bagaimana pengaruh metode pembelajaran inkuiri dan kreativitas
belajar siswa terhadap Penguasaan Konsep IPA di MTs Negeri wilayah Kotamadya Jakarta Timur,
metode pembelajaran Kooperatif sudah dilaksanakan sebagian guru IPA namun belum secara
optimal, sedangkan metode pembelajaran Inkuiri masih banyak yang belum melaksanakan.
Kreativitas belajar IPA di MTs Negeri Kotamadya Jakarta Timur masih tergolong rendah, siswa
masih terpaku pada contoh jawaban soal yang di berikan guru dalam menjawab soal IPA dan belum
terbiasa mencari sendiri alternatif jawaban yang bervariasi.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan studi penelitian yang
dituangkan dalam berjudul Pengaruh Metode Pembelajaran dan Kreativitas belajar siswa terhadap
Penguasaan Konsep IPA di MTs Negeri Kotamadya Jakarta Timur.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mengidentifikasikan permasalahan penelitian ini
sebagai berikut:
1. Mengapa masih banyak siswa di MTs Negeri Kotamadya Jakarta Timur yang mempunyai
penguasaan konsep IPA pada umumnya rendah ?
2. Apakah ada perbedaan penguasaan konsep IPA antara siswa yang diajar menggunakan
metode pembelajaran inkuiri terbimbing dan siswa yang diajar dengan metode inkuiri
mandiri ?
3. Bagaimana pengaruh kreativitas siswa terhadap penguasaan konsep IPA siswa MTs Negeri
Kotamadya Jakarta Timur ?
4. Apakah terdapat perbedaan tingkat kreativitas belajar IPA siswa yang kreativitas belajar
tinggi dengan siswa yang kreativitas belajar rendah ?
5. Apakah ada interaksi antara metode pembelajaran inkuiri terbimbing dengan kreativitas
berpikir mempengaruhi penguasaan konsep IPA ?
6. Pada siswa yang berkreativitas tinggi, manakah yang lebih baik penguasaan konsep IPA
antara yang belajar dengan metode pembelajaran Inkuiri terbimbing dan dengan metode
inkuiri mandiri ?
7. Pada siswa yang berkreativitas rendah, apakah penguasaan konsep IPA lebih baik jika
belajar dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing daripada metode pembelajaran
inkuiri mandiri ?
Pembatasan masalah merupakan upaya untuk menetapkan batas-batas permasalahan dengan
jelas, yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk ke dalam
ruang lingkup permasalahan, dan faktor mana saja yang tidak. Mengingat begitu banyak
permasalahan yang dapat diidentifikasi dan guna terarahnya penelitian yang akan dilakukan, maka
perlu ada pembatasan masalah terlebih dahulu. Penguasaan Konsep IPA merupakan hasil dari
berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Dalam penelitian ini masalahnya dibatasi
yaitu pada pengaruh metode pembelajaran dan kreativitas belajar siswa terhadap penguasaan konsep
IPA di MTs Negeri Kotamadya Jakarta Timur.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap penguasaan konsep IPA ?
2. Apakah terdapat pengaruh kreativitas belajar siswa terhadap penguasaan konsep IPA ?
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

209
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

3. Apakah terdapat pengaruh interaksi metode pembelajaran dan kreativitas belajar siswa
terhadap penguasaan konsep IPA ?
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran terhadap penguasaan konsep IPA.
2. Untuk mengetahui pengaruh kreativitas belajar siswa terhadap penguasaan konsep IPA.
3. Untuk mengetahui pengaruh interaksi metode pembelajaran dan kreativitas belajar siswa
terhadap penguasaan konsep IPA.

Penelitian ini bertujuan agar dapat memberi manfaat secara teoritis dan praktis.
1. Manfaat teoritis agar dapat memberi dukungan terhadap pengetahuan sebelumnya yang sesuai
dengan variable yang menjadi objek penelitian yaitu metode pembelajaran, kreativitas belajar
siswa dan penguasaan konsep IPA.
2. Manfaat praktis diharapkan agar dari temuan penelitian ini dapat menjadi acuan bagi guru,
kepala sekolah, instansi berwenang maupun siswa, bahwa keberhasilan dalam mengembangkan
penguasaan konsep salah satunya adalah kemampuan guru dalam mengajar yang senantiasa
mampu membangkitkan metode pembelajaran dan didukung oleh kreativitas belajar siswa dalam
meningkatkan penguasaan konsep IPA.

Hakikat Penguasaan Konsep IPA


Konsep IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains sebagai disiplin ilmu terdiri atas Physical science
dan life science. Termasuk physical science adalah ilmu-ilmu astronomi, kimia, geologi, minerologi,
meteorologi dan fisika, sedangkan life science meliputi biologi, zoologi, dan fisiologi. Kata IPA
merupakan singkatan dari Ilmu Pengetahuan Alam yang berasal dari kata ” Nature Science ” nature
artinya alamiah atau yang berhubungan dengan alam, sedangkan science artinya ilmu pengetahuan.
Jadi secara harafiah dapat dikatakan ilmu pengetahuan tentang alam atau yang mempelajari alam atau
yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.
IPA merupakan kumpulan pengetahuan yang mengungkap gejala alam yang tidak hanya
menyangkut makhluk hidup namun juga menyangkut proses, konsep dan prinsip yang tidak dapat
dipisahkan dari lingkungannya. IPA juga merupakan pengetahuan manusia tentang alam semesta
yang benar dalam arti rasional dan obyektif. Pengertian ini menunjukkan bahwa IPA adalah suatu
kumpulan pengetahuan atau body of knowledge. Sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang ilmiah
IPA memiliki sifat-sifat yang khusus yaitu :
a. Obyektif artinya pengetahuan itu dapat diuji kebenarannya secara empiris melalui penginderaan
atau eksperimentasi.
b. Metodik artinya pengetahuan diperoleh melalui cara-cara tertentu yang teratur dan terkontrol.
c. Sistematik artinya pengetahuan itu tersusun dalam suatu sistem, tidak berdiri sendiri-sendiri. Satu
konsep ilmiah yang satu terkait dengan konsep ilmiah yang lain sehingga secara keseluruhan
merupakan satu kesatuan yang utuh.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

210
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

d. Universal artinya berlaku umum. Konsep IPA tidak hanya berlaku di negara tertentu tetapi
berlaku di manapun di alam ini.
Harlen mendefinisikan IPA dari karakteristik yang dimiliki dan menyimpulkan bahwa IPA
adalah ultimate authority, understanding, tentatif and human endeavour . Ultimate authority
memandang bahwa setiap orang mempunyai kewenangan untuk menguji validitas prinsip dan teori
ilmiah. Understanding memberi pengertian bahwa IPA adalah hubungan antara fakta-fakta yang
diobservasi yang memungkinkan penyusunan prediksi, sedangkan tentatif memberi makna bahwa
teori IPA bukanlah kebenaran akhir tetapi akan berubah atas dasar perangkat pendukung teori
tersebut. Dan IPA sebagai human endeavour berarti memberi penekanan pada kreativitas dan
gagasan tentang perubahan yang telah lalu dan kemungkinan perubahan di masa depan.
IPA atau sains mengandung berbagai teori yang berdasarkan pengamatan. Hukum yang
bersifat ilmiah dilakukan melalui pendekatan induksi dari informasi yang didapatkan dari berbagai
data. Driver dalam “The pupil as scientist” menyatakan bahwa sains adalah pembentukan pemikiran
manusia yang berhubungan dengan dunia pengalaman yang datang lewat berbagai proses yang
menguji dan mengevaluasi hasil pemikiran mereka. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang digunakan manusia untuk
mempelajari fenomena alam dan sekitarnya dengan menggunakan langkah-langkah metode ilmiah.
Adanya metode ilmiah dapat menghasilkan suatu eksperimen dan observasi yang berguna untuk
manusia.

Penguasaan Konsep IPA


Penguasaan Konsep IPA sangat dibutuhkan oleh siswa ketika mengikuti proses pembelajaran
dengan menggunakan inkuri terbimbing dan inkuiri mandiri. Pengertian penguasaan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dalam Pradina (2010: 9) diartikan sebagai pemahaman atau kesanggupan
untuk menggunakan pengetahuan, kepandaian dan sebagainya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
dinyatakan bahwa penguasaan adalah pemahaman. Pemahaman bukan saja berarti mengetahui yang
sifatnya mengingat (hafalan) saja tetapi mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain atau
dengan kata-kata sendiri sehingga mudah mengerti makna bahan yang dipelajari, tetapi tidak
mengubah arti yang ada di dalamnya.
Nana Sudjana (2010:14) mengarti konsep adalah serangkaian perangsang dengan sifat–sifat
yang sama, konsep yang sederhana dapat didefinisikan sebagai pola unsur bersama di antara anggota
kumpulan atau rangkaian. IPA terdiri banyak konsep, mulai yang paling dasar sampai yang tingkat
tinggi. Penyampaian konsep IPA yang keliru menyebabkan kesulitan mengubah konsep itu ke arah
kebenaran di jenjang yang lebih tinggi. Jika siswa telah mengerti hakikat konsep dan kemampuan
untuk memproses informasi, kondisi untuk mempelajari konsep yang diperlukan kiranya menjadi
jelas.
Penguasaan konsep IPA merupakan kemampuan siswa dalam memahami konsep-konsep
setelah kegiatan pembelajaran. Mengingat dari perkembangan mental peserta didik SMP/MTs
menurut Piaget (Carin dan Sund, 1989) sebagian besar pada taraf transisi dari fase konkrit ke fase
operasi formal, maka diharapkan sudah mulai dilatih untuk mulai mampu berpikir abstrak. Oleh
karena itu, pembelajaran IPA di SMP/MTs terutama di kelas VII hendaknya sudah mengenalkan
peserta didik kepada kemampuan untuk mulai melakukan investigasi/ penyelidikan walaupun
sifatnya masih sangat sederhana dapat dikategorikan sebagai penguasaan konsep IPA. Selain itu,
penguasaan konsep IPA juga mencakup kemampuan untuk mengkomunikasikan baik secara tertulis
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

211
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berupa pembuatan tulisan/karangan, pemberian label, menggambar, melengkapi peta konsep,


mengembangkan/ melengkapi petunjuk kerja, membuat grafik dan mengkomunikasikan secara lesan
kepada orang lain. Kesimpulannya siswa dikatakan menguasai konsep IPA apabila siswa tersebut
mengerti benar konsep yang dipelajarinya sehingga mampu menjelaskan pengetahuan yang
dimilikinya.

Metode Pembelajaran Inkuiri


Salah satu metode mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang
sudah maju adalah metode Inkuiri, hal itu disebabkan karena metode Inkuiri ini:
1) Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif.
2) Dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan
lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa.
3) Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah
digunakan atau ditransfer dalam situasi lain.
4) Dengan menggunakan strategi penemuan, anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang
akan dapat dikembangkannya sendiri.
5) Dengan metode penemuan ini juga, anak belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan
masalah yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian diharapkan metode Inkuiri ini lebih dikenal dan digunakan di dalam berbagai
kesempatan proses belajar mengajar yang memungkinkan. Metode Inkuiri menurut Suryosubroto
(2002:192) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan,
manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai kepada generalisasi. Metode Inkuiri merupakan
komponen dari praktek pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar
aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri dan reflektif.
Suryosubroto (2002:193) mengutip pendapat Sund (1975) bahwa Inkuiri adalah proses mental
dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya
mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat
kesimpulan, dan sebagainya.
Metode Inkuiri memiliki kebaikan-kebaikan seperti diungkapkan oleh Suryosubroto (2002: 200)
yaitu:
(a) Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan
ketrampilan dan proses kognitif siswa, andaikata siswa itu dilibatkan terus dalam penemuan
terpimpin. Kekuatan dari proses penemuan datang dari usaha untuk menemukan, jadi seseorang
belajar bagaimana belajar itu,
(b) Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu
pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian retensi dan transfer
(c) Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah
penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan
(d) Metode ini memberi kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan
kemampuannya sendiri.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

212
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kelemahan metode Inquiri Suryosubroto (2002:204) adalah:


a) Dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini. Misalnya siswa yang
lamban mungkin bingung dalam usahanya mengembangkan pikirannya jika berhadapan dengan
hal-hal yang abstrak, atau menemukan saling ketergantungan antara pengertian dalam suatu
subyek, atau dalam usahanya menyusun suatu hasil penemuan dalam bentuk tertulis. Siswa yang
lebih pandai mungkin akan memonopoli penemuan dan akan menimbulkan frustasi pada siswa
yang lain
b) Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar. Misalnya sebagian besar waktu dapat
hilang karena membantu seorang siswa menemukan teori-teori, atau menemukan bagaimana
ejaan dari bentuk kata-kata tertentu.
c) Harapan yang ditumpahkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan siswa yang
sudahy biasa dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisional
d) Mengajar dengan penemuan mungkin akan dipandang sebagai terlalu mementingkan
memperoleh pengertian dan kurang memperhatikan diperolehnya sikap dan ketrampilan.
Sedangkan sikap dan ketrampilan diperlukan untuk memperoleh pengertian atau sebagai
perkembangan emosional sosial secara keseluruhan
e) Dalam beberapa ilmu, fasilitas yang dibutuhkan untuk mencoba ide-ide, mungkin tidak ada.

Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing


Pada model pembelajaran inkuiri terbimbing ini, sebagian besar perencanaan dibuat oleh
guru. Selain itu guru menyediakan kesempatan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas kepada
siswa. Dalam hal ini siswa tidak merumuskan problema, sementara petunjuk yang cukup luas tentang
bagaimana menyusun dan mencatat diberikan oleh guru. Ahmadi dalam Ismawati (2007: 35)
mengatakan bahwa inkuiri berasal dari kata inquire yang berarti menanyakan, meminta keterangan,
atau penyelidikan, dan inkuiri berarti penyelidikan. Siswa diprogramkan agar selalu aktif secara
mental maupun fisik. Materi yang disajikan guru bukan begitu saja diberikan dan diterima oleh
siswa, tetapi siswa diusahakan sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh berbagai pengalaman
dalam rangka “menemukan sendiri” konsep-konsep yang direncanakan oleh guru. Model Inkuiri
Terbimbing (Guided Inquiry) merupakan salah satu model pembelajaran yang menitikberatkan
kepada aktifitas siswa dalam proses belajar. Tujuan umum dari pembelajaran inkuiri adalah untuk
membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir intelektual dan keterampilan lainnya seperti
mengajukan pertanyaan dan keterampilan menemukan jawaban yang berawal dari keingin tahuan
mereka, sebagaimana yang diungkapkan oleh Joyce dalam Cahyono (2010: 16) menyatakan bahwa “
The general goal of inquiry training is to help students develop the intellectual discipline and skills
necessary to raise questions and search out answers stemming from their curiosity ”
Inkuiri terbimbing memiliki aspek-aspek sebagai berikut:
a. Siswa diberi petunjuk seperlunya, berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat membimbing.
b. Digunakan terutama bagi siswa yang belum berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri.
Tahap awal pengajaran diberikan bimbingan lebih banyak yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan
pengarah agar siswa mampu menemukan sendiri arah dan tindakan-tindakan yang harus
dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang disodorkan guru.
c. Untuk memecahkan permasalahan yang disodorkan guru, siswa dapat
mengerjakan sendiri atau dapat juga diatur secara kelompok.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

213
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

d. Bimbingan dan pengarahan guru lambat laun dikurangi seiring bertambahnya pengalaman siswa
dalam belajar secara inkuiri.
Menurut Sanjaya (2008: 200) pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu suatu model
pembelajaran inkuiri yang dalam pelaksanaannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk cukup
luas kepada siswa. Sebagian perencanaannya dibuat oleh guru, siswa tidak merumuskan problem atau
masalah. Dalam pembelajaran inkuiri terbimbing guru tidak melepas begitu saja kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh siswa. Guru harus memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa dalam
melakukan kegiatan-kegiatan sehingga siswa yang berfikir lambat atau siswa yang mempunyai
intelegensi rendah tetap mampu mengikuti kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan dan siswa
mempunyai kemampuan berpikir tinggi tidak memonopoli kegiatan oleh sebab itu guru harus
memiiki kemampuan mengelola kelas yang bagus. Maka dapat disimpulkan inkuiri terbimbing
adalah siswa terlibat aktif dalam pembelajaran tentang konsep atau suatu gejala melalui pengamatan,
pengukuran, pengumpulan data untuk ditarik kesimpulan. Inkuiri terbimbing merupakan proses
pembelajaran dimana guru menyediakan unsur-unsur asas dalam satu pelajaran dan kemudian
meminta siswa membuat generalisasi.

Metode Pembelajaran Inkuiri Mandiri


Menurut Garton dalam hermawati 2005:112, pada pembelajaran dengan metode inquiry
memiliki 5 komponen yang umum yaitu Question, Student Engangement, Cooperative Interaction,
Performance Evaluation, dan Variety of Resources.
Ke lima komponen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Question. Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing
rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu fenomena. Siswa diberi kesempatan
untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang akan dipecahkan
oleh siswa. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang harus
dipecahkan oleh siswa. Untuk menjawab pertanyaan ini – sesuai dengan Taxonomy Bloom –
siswa dituntut untuk melakukan beberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis. Jawaban
dari pertanyaan inti tidak dapat ditemukan misalnya di dalam buku teks, melainkan harus dibuat
atau dikonstruksi.
2. Student Engangement. Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif siswa merupakan suatu
keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator. Siswa bukan secara pasif menuliskan
jawaban pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku,
melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan pemahaman
siswa terhadap konsep yang dipelajari atau dalam melakukan sebuah investigasi.
3. Cooperative Interaction. Siswa diminta untuk berkomunikasi, bekerja berpasangan atau dalam
kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan. Dalam hal ini, siswa bukan sedang
berkompetisi. Jawaban dari permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai
bentuk, dan mungkin saja semua jawaban benar.
4. Performance Evaluation. Dalam menjawab permasalahan, biasanya siswa diminta untuk membuat
sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang
dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide presentasi, grafik, poster, karangan, dan lain-
lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

214
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

5. Variety of Resources. Siswa dapat menggunakan bermacam-macam sumber belajar, misalnya buku
teks, website, televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
Menurut Bonnstetter dalam hermawati 2005:11 dapat dikategorikan sebagai inkuiri mandiri
jika siswa difasilitasi untuk dapat mengidentifikasi masalah dan merancang proses penyelidikan.
Siswa dimotivasi untuk mengemukakan gagasannya dan merancang cara untuk menguji gagasan
tersebut. Untuk itu siswa diberi motivasi untuk melatih keterampilan berpikir kritis seperti mencari
informasi, menganalisis argumen dan data, membangun dan mensintesis ide-ide baru, memanfaatkan
ide-ide awalnya untuk memecahkan masalah serta menggeneralisasikan data. Guru berperan dalam
mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan tentatif yang menjadikan kegiatan belajar lebih
menyerupai kegiatan penelitian seperti yang biasa dilakukan oleh para ahli.
Pendekatan inkuiri mandiri adalah pendekatan di mana siswa merumuskan masalah,
mendesain eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data sampai mengambil keputusan
sendiri.Pendekatan inkuiri mandiri harus memenuhi empat kriteria ialah kejelasan, kesesuaian
ketepatan dan kerumitannya.

Kreativitas Belajar
Kreativitas adalah kemampuan untuk mencipta atau berkreasi, dan ada juga yang berpendapat
kreativitas adalah proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau konsep baru, atau
hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada. Menurut Slameto (1995:145), “secara
tradisional kreativitas dibatasi sebagai mewujudkan sesuatu yang baru dalam kenyataan. Sesuatu yang
baru itu mungkin berupa perbuatan atau tingkah laku”. Menurut Utami Munandar (2009 : 12) “
kreativitas adalah hasil dariinteraksi antara individu dan lingkungannya saling mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada , dengan demikian baik perubahan di dalam individu
maupun di dalam lingkungan dapat menunjang atau dapat menghambat upaya kreatif”.
Menurut Eko 2008 “Kreativitas adalah proses konstruksi ide yang orisinil (asli), bermanfaat,
variatif (bernilai seni) dan inovatif (berbeda/lebih baik)”. Berdasarkan rumusan itu, maka seseorang
yang dikategorikan dalam kreativitas adalah yang memiliki kemampuan kapasitas tersebut
(pemahaman, sensitivitas dan apresiasi) dapat dikatakan melebihi dari seseorang yang tergolong
intelegen.
Di dalam buku yang berjudul Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah
mengatakan bahwa kreativitas sebagai suatu persoalan atau masalah, sebagai proses bermain dengan
gagasan-gagasan atau unsur- unsur dalam pikiran. Dan kreativitas merupakan proses berfikir dimana
siswa berusaha untuk menemukan hubungan hubungan baru, mendapatkan jawaban, metoda atau
cara baru dalam memecahkan suatu nasalah. Ciri – ciri kreativitas:
1. Dorongan ingin tahu besar
2. Sering mengajukan pertanyaan yang baik
3. Memberikan banyak gagasan atau usul terhadap suatu masalah
4. Bebas dalam menyatakan pendapat
5. Daya imajinasi kuat
6. Mempunyai pendapat sendiri dan dapat mengungkapkannya

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

215
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

7. Dapat bekerja sendiri dan senang mencoba hal- hal yang baru
Dari pandangan tersebut diatas pada dasarnya sependapat bahwa kreativitas adalah suatu
pemikiran, ide atau gagasan yang dapat diungkapkan oleh seseorang dalam memecahkan suatu
masalah.

Kreativitas Belajar Tinggi


Kreativitas belajar tinggi biasanya dapat dilihat dari hasil belajar siswa serta aktivitas siswa
dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau menyelesaikan suatu tugas. Adapun cirri-ciri siswa yang
memiliki kreativitas belajar tinggi adalah : aktif, inovatif, dan kreatif, senang mengerjakan sebuah
tantangan baru, lebih suka tampil beda dengan teman-temannya, serta lebih senang menemukan hal
baru dalam penyelesaian atau memecahkan masalah. Kreativitas berpikir tinggi menuntut siswa untuk
selalu berpikir lebih maju jika dibandingkan dengan teman-teman yang selalu berpikir prosedural,
sehingga dalam kehidupan keseharian kadang siswa terlihat aneh.
Untuk itu siswa yang kreativitas berpikirnya tinggi sebaiknya disekolah diberikan ruang dan
waktu untuk berekspresi sehungga potensi yang ada dapat berkembang.

Kreativitas Belajar Rendah


Kreativitas belajar rendah biasanya sangat prosedural dalam menyelesaikan masalah atau
mengerjakan tugas. Adapun ciri-cirinya sebagai berikut : belajar sesuai petunjuk guru, lebih senang
mengikuti prosedur yang ada, tidak berani mengambil resiko, tidak berkembang pemikiranya,
cenderung pasif dalam kelas. Siswa yang memiliki kreativitas belajar rendah akan diketahui dengan
menunjukkan tingkat kreativitasnya dalam berbagai kegiatan. Mereka kurang dalam memecahkan
persolan-persoalan, kurang berani menanggung resiko yang sulit sekalipun, kadang-kadang destruktif
di samping konstruktif, lebih senang bekerja sendiri dan kadang kurang percaya pada diri sendiri.

Metodologi
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di wilayah Kotamadya
Jakarta Timur, yakni di MTs Negeri 6, yang beralamat di Jalan Inerbang Batu Ampar Kecamatan
Kramat Jati Jakarta Timur, MTs Negeri 7 yang beralamat di Jalan Penganten Ali Ciracas Kecamatan
Pasar Rebo Jakarta Timur, MTs Negeri 33 yang beralamat di Jalan Cijantung Kecamatan Pasar
Rebo Jakarta Timur terhadap peserta didik kelas VII tahun pembelajaran 2013/2014. Penelitian
ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Agustus 2014.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Analisis of Varians (Anova) dua jalur untuk eksperimen
dua faktor (2 treatment) yaitu dengam memberikan dua jenis perlakuan yang berbeda pada dua
kelompok belajar siswa.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

216
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Analisis of Anova Varians (Anova) dua jalur digunakan jika suatu penelitian atau expose facto
terdiri atas dua variabel bebas, baik untuk eksperimentan dua faktor (2treatment) maupun
eksperimen by level ( 1tretment dan satu variabel atribut) (Supardi, 2012 : 340). Dengan perlakuan
terhadap dua kelompok siswa, yang satu diajar dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri
mandiri, sedangkan kelompok lain diajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri
terbimbing dan hasilnya berupa data penelitian yang diambil setelah penelitian selesai. Penelitian ini
melibatkan dua variabel bebas yang terdiri dari : (1) Variabel bebas yang dimanipulasi dan (2)
Variabel bebas yang diperlakukan sebagai kontrol serta satu variabel terikat
(factorial design) 2 x 2, seperti yang tampak pada Tabel 3.2 berikut ini :

Tabel 3.1 Desain Penelitian


Perlakuan Kreativitas Belajar

Kreativitas Kreativitas B
Metode Pembelajaran Tinggi (B1) Rendah (B2)

Inkuiri Terbimbing (A1) N = A1B1 N = A2B1  B1

Inkuiri Mandiri (A2) N = A1B2 N = A2B2  B2



K K 1 K 2
total
Keterangan :
A1B1 : Penguasaan Konsep IPA kelompok yang memiliki kreativitas tinggi yang diberi
metode pembelajaran inkuiri terbimbing
A1B2 : Penguasaan Konsep IPA kelompok yang memiliki kreativitas rendah yang
diberi metode pembelajaran inkuiri terbimbing
A2B1 : Penguasaan Konsep IPA kelompok yang memiliki kreativitas tinggi yang diberi
metode pembelajaran inkuiri Mandiri
A2B2 : Penguasaan Konsep IPA kelompok yang memiliki kreativitas rendah yang
diberi metode pembelajaran inkuiri Mandiri

Populasi dan Sampel


Populasi Penelitian

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

217
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda,
tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai-nilai tes, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang
memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 2001: 141). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi MTs Negeri
Kotamadya Jakarta Timur. Dengan ketentuan bahwa siswa tersebut telah mengikuti pembelajaran
IPA dan mengisi kuisioner. Pemilihan populasi ini pun dipertimbangkan pada terpenuhinya variabel
yang diperlukan dalam penelitian.
Dari seluruh siswa tersebut yang dijadikan populasi target hanya kelas Populasi penelitiannya
adalah seluruh siswa-siswi kelas VII MTs Negeri 6, MTs Negeri 7 dan MTs Negeri 33 tahun
pembelajaran 2013/2014. Dari populasi tersebut yang diambil hanya terdiri atas 6 kelas yaitu -
MTs N 6 kelas VII-7 ( eksperimen ) dan VII-8 ( kontrol ), MTs N 7 kelas VII-1 ( eksperimen
) dan VII-2 ( kontrol ), - MTs N 33 kelas VII-3 ( eksperimen ) dan VII-5 ( kontrol ), populasi
yang dapat dikelola oleh peneliti dalam pelaksanaan penelitian.

Tabel 3. Sampel Penelitian


Kelas Sampel Penelitian
VII-1 20
VII-2 20
VII-4 20
VII-6 20
VII-7 20
VII-8 20
Jumlah 80

Sampel Penelitian
Menurut Nana Sudjana (2000:6) “sampel adalah sebagian dari yang diambil populasi ”. Dalam
penelitian ini sampel sebanyak 33% kelompok Kreatifitas tinggi dan 33% kelompok kreatifitas
rendah dari masing-masing kelas eksperimen dan kontrol yang diambil secara acak dari 6 kelas, dari
siswa di kelas VII MTsN di kotamadya Jakarta Timur tahun pelajaran 2013/2014. Dalam
penelitian ini terdapat empat kelompok eksperimen dengan tingkat dan jenis metode belajar yang
berbeda. Pembagian kelompoknya seperti terlihat pada Tabel 3.4

Tabel 3: Pengelompokan Sampel Eksperimen


Kelompok Karakter subyek dan Jenis Perlakuan Jumlah
I Kelompok kreativitas tinggi yang diberi metode pembelajaran Inkuiri 20
mandiri
II Kelompok kreativitas tinggi yang diberi metode pembelajaran Inkuiri 20

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

218
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

terbimbing
III Kelompok kreativitas rendah yang diberi metode pembelajaran 20
inkuiri mandiri
IV Kelompok kreativitas rendah yang diberi metode pembelajaran 20
inkuiri terbimbing

Pengujian Instrumen
Pengujian Validitas Butir Angket
Pengujian validitas butir angket menggunakan rumus korelasi product moment oleh Karl
Pearson sebagai berikut :
n XY   X  Y 

r xy
n X 2
  X 
2
n Y 2
  Y 
2

Keterangan :
rxy : validitas
n : banyaknya data
ΣXY : jumlah perkalian variabel X dengan variabel Y
ΣX : jumlah variabel X
ΣY : jumlah variabel Y
ΣX² : jumlah kuadrat variabel X
ΣY² : jumlah kuadrat variabel Y
Dalam interpretasi untuk menentukan butir angket valid atau tidak, selanjutnya nilai r
hitung di atas dikonsultasikan dengan nilai t tabel pada ά = 5% dengan ketentuan : butir angket
dikatakan valid jika nilai rhitung lebih besar dari r tabel (rhitung > rtabel) dan tidak valid jika nilai r
hitung lebih kecil dari rtabel (r hitung < r tabel). Hasil dari penghitungan reliabilitas dari 30 butir
soal yang valid kemudian dihitung reliabilitasnya dengan rumus koefisien alpha, terdapat pada
lampiran. Setelah nilai validitas (rxy) diperoleh, kemudian dibandingkan terhadap nilai tabel r
product moment pada taraf signifikan 0,05 (5%). Dengan syarat sebagai berikut :
a) Jika r hitung ≥ r tabel, maka instrumen dinyatakan valid,
b) Jika r hitung ≤ r tabel, maka instrumen dinyatakan tidak valid.
Dengan jumlah responden sebanyak 50 orang, maka r tabel sebagai pedoman untuk
penerimaan atau menolak butir soal (tidak valid) dengan taraf signifikan 0,05 yaitu sebesar 0,444
yaitu nomor soal 4, 5, 10, 13, 15 Insrumen-instrumen yang dinyatakan valid dapat digunakan
untuk penelitian. Analisa ini dikerjakan dengan program Microsoft Excel.

Pengujian Reliabilitas

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

219
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Untuk pengujian reliabilitas angket kreatifitas berpikir digunakan reliabilitas internal


consistency dengan rumus koefisien alpha seperti yang dikemukakan oleh Surapranata yaitu :

 k  s 
1   2 
t
r 11 =  
 k  1  st 
Keterangan :
r 11 = Koefisien reliabilitas internal seluruh item
k = jumlah butir angket
Si² = jumlah varians dari skor tiap butir angket
St2= varian dari skor total
Untuk menentukan apakah koefisien reliabilitas yang diperoleh memenuhi syarat atau tidak,
mengacu pada pendapat berikut “Sebenarnya tidak terdapat suatu ukuran yang pasti mengenai
berapa tinggi koefisien reliabilitas pada umumnya bergerak dari seratus hingga nol persen atau dari
satu hingga nol. Hasil dari penghitungan reliabilitas sebagai berikut : Dari 30 butir soal yang valid
kemudian dihitung reliabilitasnya dengan rumus koefisien alpha. Selanjutnya dalam interpretasi
terhadap koefisien reliabilitas tes (r11) pada umumnya digunakan patokan sebagai berikut :
a. Jika r11 ≥ 0,70 berarti tes tersebut reliabel
b. Jika r11 < 0,70 berarti tes tersebut tidak reliable

Hipotesis
Untuk keperluan analisis dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut:
1) Hipotesis pengaruh faktor A:
Ho :  01   02 (Tidak terdapat pengaruh antara metode pembelajaran terhadap Penguasaan
Konsep IPA)
H1 :  01   02
(Terdapat pengaruh antara metode pembelajaran terhadap Penguasaan Konsep
IPA)
2) Hipotesis faktor utama B:
Ho : 10   20
( Tidak terdapat pengaruh kreativitas belajar terhadap Penguasaan Konsep IPA )

H1 : 10 ≠  20
( Terdapat terdapat pengaruh kreativitas belajar terhadap Penguasaan Konsep
IPA
3) Hipotesis ketiga (Interaksi):
Ho: Int A x B = 0 (Tidak interaksi antara metode pembelajaran dan kreativitas belajar siswa
terhadap
Penguasaan Konsep IPA )
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

220
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

H1: Int A x B  0 ( Terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan kreativitas belajar siswa
terhadap
Penguasaan Konsep IPA )

Pembahasan
Deskripsi Data Penelitian
Data hasil penelitian berupa Penguasaan Konsep IPA (Y) sebagai akibat dari perlakukan
penelitian (X1), yaitu penggunaan metode pembelajaran IPA (A), berupa metode Inkuiri Terbimbing
(A1) dan metode Inkuiri Mandiri (A2), serta kreativitas belajar siswa (X2), dibedakan menjadi
Kreativitas belajar tinggi (B1) dan Kreativitas belajar rendah (B2). Data hasil penelitian dianalisis
dengan teknik statistik deskriptif, untuk mengukur tendensi sentral dan tendensi penyebaran data
dari setiap kelompok perlakuan. Perhitungan data hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan
program olah data yaitu SPSS. Rekapitulasi hasil perhitungan deskripsi statistik skor konsep
penguasaan IPA siswa dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Deskripsi Statistik
A
B Stat Total
A1 A2

n 20 20 40

B1 ̅ 21,95 21,90 21,93

s 2,417 1,804 2,105

n 20 20 40

B2 ̅ 20,25 20,85 20,55

s 2,807 2,560 2,669

n 40 40 80

Total ̅ 21,10 21,38 21,24


s 2,725 2,250 2,487

Keterangan:
A1 : Kelas eksperimen dengan metode belajar Inkuiri terbimbing
A2: Kelas kontrol dengan metode belajar Inkuiri mandiri
B1: Pembelajaran siswa yang kreativitas belajar tinggi
B2: Pembelajaran siswa yang kreativitas belajar rendah
n : Jumlah siswa
̅ : Rata- rata
s : Standar Deviasi
Dari tabel 4.1 ditemukan bahwa kelas eksperimen (A1) memiliki total nilai rata-rata
sebesar 21,10 sedangkan kelas kontrol (A2) memiliki total nilai rata-rata sebesar 21,38. Dari
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

221
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

total nilai rata-rata ini dapat ditemukan bahwa kelas Eksperimen memiliki nilai lebih rendah
dibandingkan kelas kontrol. Ini menunjukan bahwa metode belajar inkuiri terbimbing tidak
memberikan pengaruh positif terhadap Penguasaan Konsep IPA. Pada pembelajar siswa yang
memiliki kretivitas tinggi total rata-rata sebesar 21,63 dan pada pembelajaran siswa yang
memiliki kreativitas rendah total rata-rata sebesar 20,55. Ini menunjukan bahwa kreativitas
siswa yang tinggi memberikan pengaruh positif terhadap penguasaan konsep IPA.
Hasil perbandingan dari setiap sel penelitian penguasaan konsep IPA berdasarkan
sublevel atau matrik 2x2 atau (A1, A2) X ( B1, B2 ) dapat pula dilihat di tabel 4.1.
Berdasarkan tabel 4.1, dapat terlihat bahwa jumlah yang berada di kelas eksperimen adalah 40
siswa, sedangkan jumlah pada kelas kontrol adalah 40 siswa, pada kelas eksperimen, 20 siswa
dilakukan perlakuan (treatment) dalam pembelajarannya dengan menggunakan metode belajar
inkuiri terbimbing dengan kreativitas siswa tinggi. Sementara dikelas kontrol 20 siswa
dilakukan perlakuan (treatment) dengan metode belajar inkuiri mandiri dengan siswa yang
memiliki kreativitas rendah.
Pada kelas eksperimen, siswa dengan pembelajar dengan menggunakan metode belajar
inkuiri terbimbing dan kreativitas tinggi memiliki nilai rata-rata 21,95 sedangkan siswa dengan
pembelajaran dengan menggunakan metode belajar inkuiri terbimbing dan kreativitas rendah
memiliki rata-rata 20,25. Sedangkan untuk kelas kontrol, siswa dengan pembelajar dengan
menggunakaan metode belajar inkuiri mandiri dan kreativitas tinggi memiliki nilai rata-rata
21,90 sedangkan siswa dengan pembelajaran dengan menggunakan metode belajar inkuiri
mandiri dan kreativitas rendah memiliki rata-rata 20,85. Sedangkan nilai rata-rata komulatif
pada kelas eksperimen adalah 21,10 lebih rendah dibanding kelas kontrol 21,38.

Uji Normalitas
Pengujian normalitas data penelitian dilakukan terhadap empat kelompok data, yaitu (1)
Penguasaan Konsep IPA dengan dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing kelompok
kreativitas belajar tinggi, (2) Penguasaan Konsep IPA dengan metode pembelajaran Inkuiri
Terbimbing kelompok Kreativitas belajar rendah, (3) Penguasaan Konsep IPA dengan metode
pembelajaran Inkuiri Mandiri kelompok Kreativitas belajar tinggi, (4) Penguasaan Konsep IPA
dengan metode pembelajaran Inkuiri Mandiri kelompok Kreativitas belajar rendah. Uji
normalitas data dilakukan dengan uji kolmogorov-Smirnov dengan taraf signifikansi  = 0,05.
Rangkuman hasil uji normalitas disajikan pada tabel berikut ini :
Tabel 4.2. Hasil Penghitungan Uji Normalitas Data Menggunakan Kolmogorov-Smirnov Pada
Taraf Signifikansi  = 0.05
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
N 20 20 20 20

Normal Mean 21.95 20.25 21.90 20.85


Parametersa,b Std. Deviation 2.417 2.807 1.804 2.560

Most Extreme Absolute .158 .185 .222 .170


Differences Positive .103 .185 .121 .101

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

222
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Negative -.158 -.128 -.222 -.170


Kolmogorov-Smirnov Z .708 .829 .993 .760
Asymp. Sig. (2-tailed) .698 .497 .277 .610
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Dari tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa semua kelompok data yang diuji normalitasnya
dengan uji Kolmogorv-Smirnov dengan SPSS memberikan nilai signifikansi 0,698 untuk A1B1,
0,497 untuk A1B2, 0,277 untuk A2B1 dan 0,610 untuk A2B2 yang berarti > 0,05.
Dengan demikian disimpulkan bahwa delapan kelompok data dalam penelitian ini berasal
dari populasi yang berdistribusi normal. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu prasyarat uji F
dalam penelitian telah terpenuhi.

Pengujian Homogenitas
Pengujian homogenitas varians menggunakan uji levenu’s yaitu untuk mengetahui apakah data
penelitian yang telah dikumpulkan berasal dari populasi yang homogen dengan taraf signifikasi  =
0,05.Kriterianya adalah jika didapat signifikan hitung > signifikan tabel maka disimpulkan data
homogen atau sebaliknya. Hasil uji homogenitas variansi selengkapnya disajikan dalam tabel 4.3
berikut ini.

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Variansi Populasi Menggunakan Uji Levene’s
dengan Taraf Signifikansi  = 0.05
Levene's Test of Equality of Error Variancesa
Dependent Variable: Penguasaan Konsep IPA
F df1 df2 Sig.
.605 3 76 .614
Tests the null hypothesis that the error variance of the
dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + A + B + A * B

Persyaratan bahwa data homogenitas nilai signifikan hitung > nilai signifikan
(0,05), maka hipotesis nol (Ho) diterima sesuai persyaratan. Hasil uji homogenitas terhadap
tiga kelompok data diperoleh nilai sig 0,614 yang berarti nilai sig > 0,05. Maka dapat
disimpulkan bahwa data Penguasaan Konsep IPA siswa dari tiga kelompok data memiliki
variansi populasi yang sama atau dengan kata lain data seluruh kelompok perlakuan berasal dari
populasi yang homogen.
Berikut ini rekapitulasi hasil perhitungan skor Penguasaan Konsep IPA yang dapat
dilihat pada tabel 4.4
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

223
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 4.4 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Skor Penguasaan Konsep IPA


Statistics

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2


Valid 20 20 20 20
N
Missing 0 0 0 0
Mean 21.95 20.25 21.90 20.85
Median 22.00 20.00 22.00 21.00
Mode 22 a
20 22 20a
Std. Deviation 2.417 2.807 1.804 2.560
Variance 5.839 7.882 3.253 6.555
Range 9 13 7 12
Minimum 16 14 18 13
Maximum 25 27 25 25
Sum 439 405 438 417
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

Keterangan:
A1B1 : Skor Penguasaan Konsep IPA pada siswa yang mempunyai kreativitas
belajar Tinggi dengan metode pembelajaran Inkuiri terbimbing
A2B1 : Skor Penguasaan Konsep IPA pada siswa yang mempunyai kreativitas
belajar rendah dengan metode pembelajaran Inkuiri terbimbing
A1B2 : Skor Penguasaan Konsep IPA pada siswa yang mempunyai kreativitas belajar tinggi
dengan metode pembelajaran Inkuiri mandiri
A2B2 : Skor Penguasaan Konsep IPA pada siswa yang mempunyai kreativitas belajar rendah
dengan metode Inkuiri mandiri

Pembahasan Hasil Penelitian


Tabel Between-Subject Factors menjelaskan tentang banyaknya responden per kategori
pemberian metode pembelajaran dan kreativitas belajar.
Hasil analisis deksriptif pada Tabel Descriptive Statistic, menggambarkan rata-rata dan
simpangan baku hasil belajar pada pemberian metode pembelajaran IPA berdasarkan metode
pembelajaran Inkuiri terbimbing dan Inkuiri Mandiri dan kreativitas belajar kategori tinggi dan
rendah. Untuk kategori pemberian metode pembelajaran Inkuiri terbimbing dengan kreativitas
belajar tinggi memiliki nilai rata-rata penguasaan konsep IPA lebih tinggi dibandingkan kategori
pemberian metode Inkuiri Mandiri dengan Kreativitas belajar rendah. Sedangkan untuk kategori
pemberian metode pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan kreativitas belajar tinggi memiliki rata-
rata penguasaan konsep IPA lebih kecil dibandingkan dengan pemberian metode pembelajaran
inkuiri Mandiri dengan Kreativitas belajar rendah..
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

224
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dari tabel Levenu;s Test, nilai p-value sebesar 0,614 (> 0,05), maka kesimpulannya asumsi
homogenitas varians yang merupakan asumsi dalam analisis terpenuhi. Hal tersebut berarti tidak ada
perbedaan signifikan variasi yang signifikan diantara kelompok data.
Tabel test of Between-Subject Effects merupakan tabel utama yang mempresentasikan hasil
hipotesis yang diajukan peneliti. Dari tabel tersebut, diketahui nilai p-value untuk kategori metode
adalah 0,614 (> 0,05), maka kesimpulannya tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap
penguasaan konsep IPA siswa pada penerapan metode pembelajaran inkuiri terbimbing dan
pembelajaran Inkuiri Mandiri. Sedangkan untuk kategori frekuensi kreativitas belajar tinggi dan
rendah memiliki nilai sig 0,013 (< 0,05) yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan.
Selanjutnya dari tabel test of Between-Subject Effects tersebut juga diketahui nilai p-value
untuk interaksi metode dan kreativitas belajar (metode*kreativitas belajar) adalah 0,898 (> 0,05),
maka kesimpulannya tidak terdapat perbedaan signifikan faktor interaksi kategori metode
pembelajaran IPA dengan kreativitas belajar.
Penelitian ini mendukung teori bahwa kreativitas belajar siswa sangat mempengaruhi
penguasaan konsep IPA. Berdasarkan teori pembelajaran Inkuiri Mandiri bertujuan untuk
mengembangkan keterampilan berpikir. Pada pembelajaran Inkuiri terbimbing tujuannya untuk
mengembangkan pemikiran kritis, dalam usaha meningkatkan Penguasaan Konsep IPA. Hal serupa
ditemukan pada pembelajaran Inkuiri Mandiri yang juga bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan koginitif dengan cara mengembangkan daya nalar dan daya analisis. Siswa dengan
kreativitas belajar tinggi terlihat dalam penelitian ini memiliki daya analisis dan daya nalar yang
tinggi pula. Sehingga apapun yang diterapkan kepada siswa dengan kreativitas belajar tinggi tidak
mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran.
Temuan penelitian ini menunjukan bahwa kreativitas belajar berpengaruh pada pencapaian
Penguasaan Konsep IPA. Sehingga pembelajaran IPA bagi siswa seharusnya diupayakan untuk
mempertimbangkan dan meningkatkan kreativitas belajar siswa pada mata pelajaran IPA.

Penutup
Simpulan dan saran penelitian yang berkaitan dengan pengaruh metode pembelajaran dan
kreativitas belajar terhadap penguasaan konsep IPA.
Berdasarkan data yang diperoleh, hasil pengujian hipotesis dan pembahasan hasil penelitian,
maka dapat disimpulkan :
1. Terdapat pengaruh yang tidak signifikan Metode pembelajaran terhadap penguasaan konsep
IPA, karena Fo = 0, 257 dan sig 0,614 > 0,05, maka hipotesis nol (Ho) diterima dan hipotesis
alternatif (H1) ditolak. Maka kesimpulannya tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap
penguasaan konsep IPA siswa pada penerapan metode pembelajaran inkuiri terbimbing dan
metode pembelajaran inkuiri mandiri.
2. Terdapat pengaruh yang signifikan kreativitas belajar siswa terhadap penguasaan konsep IPA,
karena Fo = 6.428 dan Sig 0,013 < 0,05, sehingga hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis
alternatif (H1) diterima. Maka kesimpulannya adalah terdapat perbedaan yang signifikan antara
penguasaan konsep IPA siswa kreativitas belajar tinggi dengan penguasaan konsep IPA siswa
dengan kreativitas belajar rendah..

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

225
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

3. Terdapat pengaruh interaksi yang tidak signifikan antara penggunaan metode pembelajaran dan
kreativitas siswa terhadap penguasaan konsep IPA, karena Fo = 0,359 dan Sig 0,55 diterima
dan hipotesis alternatif (H1) ditolak. Kesimpulannya tidak terdapat perbedaan signifikan
interaksi metode pembelajaran IPA (inkuiri terbimbing dan inkuiri mandiri) dengan kreativitas
belajar (tinggi-rendah).
Berdasarkan Simpulan dan implikasi penelitian, maka beberapa saran dari hasil penelitian
ini pada Penguasaan Konsep IPA tingkat Madrasah Tsanawiyah Negeri di Kotamadya Jakarta
Timur sebagai adalah sebagai berikut :
1. Bagi manajemen sekolah, dalam upaya perbaikan kualitas pembelajaran yang semakin meningkat,
maka sebaiknya manajemen sekolah memberikan pelatihan berupa pelatihan, diklat, seminar
dan workshop untuk mendorong guru lebih meningkatkan metode pembelajaran.
2. Bagi guru IPA, peningkatan hasil belajar dan penguasaan konsep IPA adalah yang tujuan yang
akan dicapai. Terlebih pelajaran IPA masih dianggap sebagai mata pelajaran sulit dan
menantang. Penggunaan metode yang menarik dan kreatif dapat memotivasi siswa untuk
meningkatkan hasil belajar IPA dan penguasaan konsep IPA.

Daftar Pustaka
Anny Winarsih, 2008. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Arikunto, Suharsini . 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan .Jakarta:
Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Reneka Cipta
Dimyati & Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta
Hamalik Oemar . 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hudoyo Herman. 2000. Strategi mengajar IPA .Malang : IKIP Malang
Majid, Abdul.2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
M. Cholik Adinawan ,2006. IPA VII Semester 2 .Jakarta: Erlangga
Nawawi, Hadari. 2000. Guru dalam era reformasi pendidikan. Jakarta. Bina Aksara
Purwanto, M. Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Priyatno, Duwi. 2010. Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data Penelitian dengan SPSS.
Yogyakarta. Gava Media.
S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: PT.
Gramedia
Widia Sarana Indonesia.
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Sumaryoto,dkk. 2012. Buku Pedoman Penulisan Tesis. Jakarta :Universitas Indraprasta PGRI.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

226
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Suriasumantri, Juun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Surya, Yohanes.2008. Metode Belajar yang Menarik dan Menyenangkan. Gema no 12/th XIII
Syah, Muhidin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sugiyarto, Teguh. 2008 Ilmu Pengetahuan Alam 1 : untuk SMP/MTs/ kelas VII, Jakarta : Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Supardi US. 2012. Aplikasi Statistika Dalam Penelitian. Jakarta. PT. Ufuk Publishing House
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004
Winkel, W. S. 2000. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar.
Jakarta: PT Gramedia.
Wasis, Sugeng Irlianto. 2008 Ilmu Pengetahuan Alam 1 : untuk SMP/MTs/ kelas VII, Jakarta :
Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

227
KONSUMSI TANDA PADA KOMUNITAS AKSARA MUDA MELALUI MEDIA
SOSIAL WHATSAAP
, Ignes Novirensi
Universitas Gadjah Mada
e-mail: herza_zul@yahoo.co.id, ignesnovirensi@gmail.com

Abstract. Recently, WhatsApp (WA) becomes a favorite chatting media in Indonesia, and it even
beats other social media such as Line and BBM (Blackberry Messenger) that were previously more
popular (the result of observation on id.technesia.com, 2017). The use of WA is not only for
personal chat but also to make groups that become “media” to share knowledge or learning about
many things, one of them is literacy, as what has been done by KomunitasAksaraMuda Bangka
Belitung (Kosada Babel). The function of WA as literacy learning raises various issues. The issues
are: First, minimum participation. Second, the members tend to be not interactive and the presenter
feels hard to stimulate the members to be more interactive. Third, WA is considered as the only
medium to support learning process. This research used netnograph method aimed to reveal how
and why those issues happened in Kosada Babel. The results show that behind the issues there was a
phenomenon that the administrators of Kosada Babel tended to “worship the technology” of
communication and it was considered as a medium to facilitate everything correctly, including to
change direct literacy learning pattern (conventional). On the other hand, from the analysis results,
the researcher concluded that most Kosada Babel members did not merely want to actively get
involved in literacy activity, but to get the “sign” as literacy activists when they joined the
community.

Keywords: WhatsApp, Literacy Learning, Sign, Kosada Babe

Pendahuluan
Sejak hadirnya era telekomunikasi pada pertengahan abad ke 19 yang ditandai dengan kemunculan
telegraf oleh Samuel Morse (1884) dan kemudian telepon oleh Alexander Graham Bell (1876),
teknologi telekomunikasi berkembang dengan pesat dari waktu ke waktu (Nugroho, 2010). Bermula
dari terkenal dan merebaknya persebaran telepon yang berfungsi untuk berkomunikasi jarak jauh via
suara, kemudian berkembang menjadi handphone yang memiliki tambahan fitur, yaitu dapat
mengirimkan pesan teks. Kini semakin dikembangkan dengan diciptakannya berbagai aplikasi berbasis
pesan teks seperti Line, WhatsApp, BBM, Kakao Talk, hingga liteBig. Berbagai macam aplikasi
messenger tersebut tidak hanya sekadar dapat mengirimkan pesan teks, namun juga dapat
melakukan panggilan dan video call, bahkan dapat mengirimkan berbagai macam file seperti gambar,
video, suara dan dokumen (Sukrillah, Mulyani, dan Dinata, 2017: 96). Selain aplikasi berbasis pesan
teks tersebut, saat ini pun ada beberapa aplikasi chatting atau yang lebih familiar dengan penyebutan
media sosial yang banyak digunakan orang-orang melalui telepon pintar atau komputer, yakni
facebook, instagram dan twitter.
Dari beberapa media sosial atau aplikasi chatting yang ada, saat ini WhatsApp menjadi media
paling populer atau yang paling banyak digunakan, baik dalam lingkup Internasional maupun
nasional (Info yang didapat dari Playstore terbaru; Jumiatmoko, 2016). Aplikasi chatting yang
muncul sejak tahun 2008 ini memiliki sistem kerja layaknya SMS dengan berbantuan data internet

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berfitur pendukung yang lebih menarik, dan sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai alat
pembelajaran (Jumiatmoko, 2016: 52).
WA tidak hanya dimanfaatkan oleh para pemakainya menjadi media chatting yang sifatnya antar
orang, melainkan kerap digunakan untuk membuat grup-grup tertentu yang tujuannya meliputi
berbagai hal. Mulai dari grup bercanda dengan teman-teman, untuk berbagi informasi mengenai
pekerjaan atau jadwal kuliah (jika itu meliputi mahasiswa atau dosen), hingga melakukan
pembelajaran secara online, seperti halnya yang dipraktikkan oleh Komunitas Aksara Muda Bangka
Belitung (Kosada Babel).
Kosada Babel merupakan komunitas yang berdiri pada tanggal 19 Mei 2017 di Pangkalpinang,
Bangka Belitung. Komunitas ini pada dasarnya hadir sebagai wadah penampung para pegiat literasi
terkhusus pada pemuda yang sudah menjadi penulis dan yang ingin belajar bersama menjadi penulis.
Tujuan didirikan komunitas ini, yakni memebina pemuda-pemudi dalam bidang literasi demi
mewujudkan wawasan kebangsaan (Dokumen Kosada Babel, 2017). Kosada Babel sejauh ini memiliki
berbagai rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas tulis menulis, pendiseminasian budaya
baca seperti halnya menggelar lapak baca buku gratis, pelatihan jurnalistik dan tentu kegiatan atau
aktivitas yang menjadi objek dalam penelitian ini, yakni pembelajaran literasi secara online melalui
media WA. Sejauh ini ada dua jenis pembelajaran literasi online yang terus atau aktif diterapkan, yaitu
pembelajaran mengenai artikel opini dan Essai, serta pembelajaran mengenai Puisi. Secara sederhana,
pola pembelajarannya dimulai dengan satu sampai dua orang pemateri (berasal dari internal
komunitas) menjelaskan secara substansial mengenai keseluruhan tulisan, baik itu artikel opini, essai
ataupun puisi, kemudian sampai kepada penjelasan secara teknis mengenai langkah-langkah yang tepat
untuk memulai penulisan, hingga tahap pengiriman ke media cetak ataupun online, misalnya dalam
hal ini opini atau essai.
Pertanyaan yang kemudian bisa ditujukan, apakah WA sebagai teknologi komunikasi ataupun
sebagai sebuah medium, benar-benar memberikan ihwal positif bagi pembelajaran literasi tersebut ?
Di satu sisi bisa diasumsikan bahwa dengan adanya WA proses pembelajaran bisa lebih mudah,
karena baik pemateri maupun para anggota Kosada Babel yang ingin belajar tidak harus bertemu
secara langsung yang tentunya mengorbankan banyak waktu, biaya dan memiliki pelbagai resiko
lainnya. Dalam konteks ini, belajar literasi online melalui WA dapat disimpulkan lebih efektif dan
efisien jika dibandingkan dengan pembelajran dengan format pertemuan langsung ( face to face).
Namun di lain sisi, berdasarkan observasi online peneliti, terdapat berbagai persoalan yang
muncul pada Kosada Babel, baik ketika mulai menerapkan pembelajaran online tersebut maupun
ketika dalam proses pembelajarannya. Ketika Kosada memulai kegiatan belajar secara online, banyak
anggotanya yang tidak terlibat atau tidak ingin melibatkan diri dalam kegiatan tersebut. Padahal
ketika sudah bergabung dengan grup yang memang bertujuan berbagi ilmu atau belajar tentang tulis
menullis baik itu artikel, puisi, cerpen novel dan sebagainya, idealnya para anggota harus
berpartisipasi. Namun ironisnya, dari semua anggota grup tersebut cukup banyak yang nihil
partisipasi, baik dalam pembelajaran online puisi maupun artikel dan essai.
Masalah lainnya yang muncul ketika proses pembelajaran online berlangsung adalah para anggota
terlihat tidak interaktif, dan ketika mereka tidak interaktif, sang pemateri atau pemateri sulit untuk
menstimulus agar bisa menjadi interaktif, serta sulit memastikan apakah anggota sudah benar-benar
paham dengan materi yang disampaikan oleh para pemateri. Kerap kali yang merespon materi tidak
sampai setengah dari seluruh jumlah anggota yang tergabung dalam grup. Bahkan sesekali, pernah
pemateri tidak mendapat respon sama sekali dari para anggota yang “katanya” ingin belajar bersama

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

229
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tersebut. Berikut screenshoot percakapan di grup pembelajaran online Kosada Babel yang
menunjukkan persoalan di atas:

Gambar 1: Screenshoot grup belajar artikel, yang hanya diikuti 4 orang (dari 20 peserta)

Gambar 2: Screenshoot yang menunjukkan ketika pemateri tidak direspon peserta kelas belajr artikel
(bisa dilihat jarak waktu yang dilingkari tersebut)

Menjadi sebuah pertanyaan baru ketika sudah ada persoalan-persoalan tersebut, Kosada tetap
terus melanjutkan pembelajaran dengan pola yang sama, yakni tetap mengandalkan WA sebagai
medium pembelajaran
Beberapa penelitian sebelumnya telah mengemukakan bahwa pembelajaran melalui literasi digital
adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan masyarakat kontemporer dalam memaknai perkembangan
teknologi dan informasi. Kurnianingsih dkk. (2017) dalam penelitiannya mengenai pelatihan literasi
informasi pada era digital bagi tenaga perpustakaan sekolah dan guru di Jakarta Pusat memberikan
manfaat yang signifikan bagi peningkatan keterampilan literasi informasi guru dan tenaga
perpustakaan sekolah serta anggota didik di lingkungan sekolah.
Selanjutnya Rianto (2017) dalam penelitiannya mengenai Media Baru, Visi Khalayak Aktif dan
Urgensi Literasi Media menjelaskan bahwa alumni Asrama Cemara Lima Universitas Gadjah Mada

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

230
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

yang tergabung dalam grup WA terlibat aktif dalam berkomunikasi dengan anggota partisipan lain,
sangat aktif dan selektif dalam mencari dan berbagi informasi dan memahami literasi digital sebagai
pembelajaran yang tidak hanya memberikan informasi saja namun juga berlandaskan pada telaah
kritis.
Berbeda halnya dengan penelitian terdahulu, penelitian ini beranjak dari data yang ditemukan
bahwa adanya persoalan dibalik pembelajaran literasi melalui media sosial WA pada Kosada Babel.
Maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu Mengapa terjadi persoalan dibalik pembelajaran
literasi melalui media sosial WA pada Kosada Babel ? Bagaimana konsumsi tanda pada pada Kosada
Babel melalui media sosial WA ? pemikiran Jean Baudrillard tentang Masyarakat Konsumsi, Tanda
dan Simulasi akan digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini.

Metode
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode netnografi. Netnografi
adalah sebuah sebutan lain dari etnografi yang mengkhususkan kajiannya pada budaya dan komunitas
online. Kozinets (2010) mengatakan bahwa netnografi merupakan sebuah penelitian observasional-
partisipan dalam ranah online dengan menggunakan komputer sebagai alat komunikasi untuk
memahami dan merepresentasikan sebuah budaya maupun fenomena suatu komunitas. Lebih lanjut
dia mengatakan netnografi mengadopsi prosedur etnografi (khususnya observasi berpartisipasi) ke
dalam kontinjensi-kontinjensi yang unik dari interaksi sosial yang dimediasi komputer: alterasi,
aksesibilitas, anonimitas, dan pengarsipan.
Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini antara lain observasi
partisipatoris online, dan wawancara melalui media online (direct message melalui media sosial
maupun aplikasi chating dan via telvon) dengan pengurus aktif dan beberapa anggota Kosada Babel.

Hasil dan Pembahasan


Pada bab ini, pembahasannya akan dibagi menjadi dua sub judul besar. Pertama, peneliti akan
memaparkan penjelasan dari hasil observasi dan wawancara terkait mengapa terjadi persoalan pada
pembelarajan literasi secara online (WA) pada Kosada Babel. Kedua, akan diuraikan hasil analisis
peneliti mengenai temuan penelitian dan diskusi teoritik dengan menggunakan pemikiran Jean
Baudrillard mengenai masyarakat konsumsi, tanda dan simulasi.

Persoalan Dibalik Pembelajaran Literasi Melalui Media Sosial WA Pada Kosada Babel
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap Kosada Babel, terdapat
beberapa hal yang menjadi penyumbang persoalan yang terjadi pada proses pembelajran online.
Diantaranya, pertama persoalan dimulai sejak proses perekrutan sebagian besar anggota komunitas.
Kedua, anggota grup yang semula terlihat ingin belajar bersama secara online ternyata secara tendensial
tujuannya tidaklah demikian, melainkan hanya ingin memiliki “nama” sebagai anggota Kosada Babel.
Ketiga, pembelajaran melalui WA yang notabenenya termasuk ke dalam ruang virtual, nyatanya tidak
membuat keterikatan atau rasa kebersamaan yang kuat ketika proses belajar berlangsung, baik antar
sesama anggota maupun antara anggota dan pemateri, sehingga terciptalah pembelajaran yang tidak
interaktif dan sulit disimpulkan apakah materi-materi yang disampaikan diterima dengan baik oleh
para anggota. Keempat, terdapat kecenderungan bahwa pengurus Kosada Babel tidak mau bersusah
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

231
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

payah mengadakan pembelajran secara langsung karena ruang virtual (WA) dianggap bisa
menggantikan sepenuhnya ruang pertemuan langsung.

Pola Rekrutmen Anggota


Menurut Irawan dkk. (1997) rekrutmen adalah proses untuk mendapatkan tenaga yang
berkualitas guna bekerja atau beraktivitas di perusahaan, instansi atau organisasi tertentu. Sementara
menurut ahli lain yang disitir Yulliyanti (2009), rekrutmen dapat dimaknai sebagai proses
menemukan, mencari, mengajak dan menetapkan sejumlah orang, baik dari dalam ataupun dari luar
perusahaan atau organisasi sebagai calon perkerja ataupun anggota organisasi dengan karakteristik
tertentu seperti yang telah ditetapkan dalam perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM).
Pada sebuah komunitas atau organisasi, tentu cara dan proses rekrutmen anggota merupakan hal
yang sangat prinsipil, karena tahap tersebut menjadi salah satu penentu bagaimana jalannya suatu
organisasi ke depannya. Jika terjadi kesalahan dalam proses rekrutmen atau dengan kata lain hal-hal
yang substansial yang seharusnya diperhatikan ketika merekrut, tapi dalam prosesnya hal tersebut
diabaikan, atau hanya sekadar merekrut anggota untuk memenuhi kuantitas saja, maka besar
kemungkinan ke depannya organisasi itu akan sulit merealisasikan kegiatan ataupun visi misi yang
sebelumnya sudah termaktub.
Berkaitan dengan proses rekrutmen tersebut, berdasarlkan hasil wawancara dengan beberapa
pengurus Kosada Babel ternyata pada tahap rekrutmen saja, para pengurus komunitas ini tidak
mengutamakan kaidah-kaidah tertentu yang berhubungan dengan pengetahuan tentang
keorganisasian dan komitmen calon anggota apabila sudah bergabung ke dalam komunitas. Proses
rekrtumen anggota juga cenderung hanya melihat satu sisi, misalnya orang bisa langsung direkrtut
hanya karena sudah terdapat satu atau dua tulisan yang selesai ditulis atau dimuat di media tertentu,
tanpa berbincang lebih jauh mengenai komitmen, pengalaman organisasi, dan lain sebagainya yang
berkaitan dengan visi misi Kosada Babel. Berikut kutipan screenshoot hasil wawancara peneliti
dengan salah satu pengurus Kosada Babel mengenai mekanisme rekrutmen beberapa anggota
komunitas:

Gambar 3:
hasil wawancara dengan pengurus Kosada Babel yang menyatakan mengenai proses rekrutmen
seperti yang peneliti jelaskan sebelumnya

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

232
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pola rekrutmen seperti inilah menurut analisis peneliti pada akhirnya mempengaruhi kenapa
banyak anggota yang kurang partisipatif ketika diajak menjalankan visi misi organisasi, yang salah
satu implementasinya lewat pembelajaran online. Sebab, mereka-mereka ini besar kemungkinan
tidak banyak tahu tentang organisasi Kosada dan hanya ikut menyimak saja ketika sudah bergabung
di grup. Padahal yang diharapkan tentu terlibat aktif dalam berbagai kegiatan, khususnya ketika ada
kelas pembelajaran online via WA.

Berkontribusi dan Belajar Bukan Menjadi Tujuan


Idealnya ketika seseorang bergabung dengan organisasi ataupun komunitas tertentu, maka secara
eksplisit maupun implisit berkontribusi secara maksimal terhadap komunitas sudah harus menjadi
tujuannya. Kontribusi bisa berwujud dalam berbagai hal, seperti selalu terlibat aktif pada setiap
aktivitas yang dilakukan komunitas yang ia ikuti, berusaha untuk mewujudkan visi misi dan tujuan
komunitas dalam setiap konteks yang relevan, kendatipun tidak bisa terlibat aktif dalam kegiatan
setidaknya anggota haruslah cekatan dalam mendiseminasikan info terkait kegiatan-kegiatan
komunitas, serta berbagai bentuk kontribusi-kontribusi lainnya.
Pada konteks ini tentu salah satu bentuk kontribusi yang diharapkan Kosada Babel sebagai
komunitas pecinta literasi adalah partisipasi aktif dan langkah interaktif yang ditunjukkan para
anggota komunitas ketika dilaksanakan dan berlangsungnya pembelajaran online tentang artikel dan
puisi melalui WA. Namun yang terjadi selama ini dari hasil observasi peneliti cenderung sebaliknya.
Seperti yang peneliti singgung sebelumnya sebagian besar anggota kurang partisipatif ketika
diimplementasikannya program pembelajaran tersebut. Pun juga ketika beberapa anggota yang
semula menyatakan bersedia mengikuti kelas pembelaran artikel maupun puisi, akan tetapi setelah
pembelajran berlangsung kebanyakan dari anggota sangat tidak interaktif dan bahkan sebagian tidak
menyimak sama sekali (WA mempunyai sistem untuk melihat siapa saja yang sudah membaca pesan
seseorang).
Berdasarkan dinamika tersebut terlihat sebagaian anggota kurang tertarik belajar literasi, padahal
idealnya ketika mereka memilih masuk komunitas ini, setidaknya mereka punya keinginan dan ikut
belajar literasi. Kondisi ini mengarahkan siapapun orang yang mengamati hal ini kepada suatu
kesimpulan bahwa sebagian besar anggota Kosada masih kurang dalam hal kontribusi. Sekalagus juga
mengindikasikan bahwa mereka yang kurang partisipatif ini pada dasarnya masuk ke Kosada
tujuannya bukanlah ingin belajar literasi ataupun memberikan kontribusi pada komunitas, namun
hanya sekadar memperoleh “nama” maupun status sebagai seorang pegiat literasi.

Minim Keterikatan dan Kebersamaan ketika Belajar di Ruang Virtual


Kosada Babel bisa disebut sebagai komunitas virtual, sebab komunitas ini sangat mengandalkan
media online yakni WA dalam berkomunikasi antar sesama anggotanya dan bahkan saat melakukan
pembelajaran literasi. Komunitas virtual itu sendiri jika merujuk kepada pendapat Spaulding (Yohana
dan Wulandari, 2014) adalah sekumpulan pengguna internet yang membentuk jaringan hubungan
personal. Sementara menurut Wood dan Smith (2005), Virtual Community adalah “a shared
understanding of interrelatedness among participant in computer mediated environments.”
Nyatanya saat Kosada Babel memanfaatkan ruang virtual tersebut sebagai medium untuk
pembelajaran literasi online menimbulkan beberapa persoalan seperti yang sudah disebutkan pada sub
bab atas maupun pada bagian pendahuluan, yakni para anggota cenderung kurang interaktif, dan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

233
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

ketika hal tersebut terjadi, pemateri tidak bisa leluasa dalam menstimulus anggota. Tidak seperti
pertemuan langsung yang mana anggota pembelajaran akan lebih mudah dikontrol, diawasi dan
distimulus.
Sebagaimana Mutia dkk. (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa anggota yang tergabung
dalam sistem pembelajaran online cenderung lebih sulit untuk berpartisipasi karena anggota merasa
sangat jauh dengan pemateri. Anggota dituntut agar mampu membangun kemampuan menulis dan
berkomunikasi dengan baik agar tidak memungkinkan terjadinya salah pengertian dalam beberapa hal.

Pertemuan di WA Dinilai Sepenuhnya Mampu Menggantikan Pertemuan Langsung (Face to


Face)
Ketika adanya pelbagai persoalan pada saat belajar secara online di WA (ruang virtual), persoalan
selanjutnya adalah mengapa pola ini tetap terus dilakukan? Pengurus tidak mencoba mencari alternatif
lain untuk membuat pembelajaran literasi yang sudah diterapkan tersebut bisa berjalan lebih baik. Jika
merujuk kepada hasil wawancara dan observasi peneliti terhadap isi chatting pengurus, termasuk ketua
komunitas, ketika mempersoalkan anggotanya yang tidak partisipatif dan interaktif pada saat proses
pembelajaran online, pada dasarnya mereka sangat menyadari bahwa pola pembelajaran seperti ini
bisa dikatakan kurang tepat dan efektif. Seharusnya dengan kondisi demikian, pengurus Kosada segera
merubah pola pembelajaran, misalkan salah satu contohnya dengan merubah ke pembalajaran secara
langsung.
Jika disimpulkan mengapa tidak munculnya alternatif pada Kosada Babel untuk mengatasi
ataupun meminimalisir persoalan tersebut, yakni karena adanya kecenderungan dominasi cara pandang
bahwa ruang virtual bisa menggantikan sepenuhnya ruang nyata. Berikut ungkapan ketuanya ketika
peneliti wawancara,
“Jika ada yang lebih memudahkan (yakni dengan bantuan teknologi) untuk apa melakukan
pembelajaran dengan pola klasik, yakni pertemuan langsung”.
Adanya pandangan seperti yang dikatakan ketua Kosada Babel di atas sebenarnya tidak begitu
mengherankan, mengingat manusia di era teknologi sekarang ini memang sudah lazim memiliki cara
pandang yang seperti itu. Kendatipun, pada kenyataannya ruang virtual tidak bisa sepenuhnya
menggantikan ruang nyata.

Konsumsi Tanda Jean Baudrillard


Seperti yang telah disinggung di atas bahwa persoalan yang muncul dibalik pembelajaran literasi
melalui media sosial WA pada Kosada Babel dimaknai sebagai sebuah “tanda”. Artinya, anggota
Kosada cenderung tidak menjadikan media ini sebagai ajang pembelajaran literasi. Tanda dimaknai
sebagai sebuah bentuk capaian lain ketika para anggotanya tergabung dalam komunitas ini. Jean
Baudrillard seorang filsuf dan sosiolog asal Perancis mengemukakan tanda atau “sign” sebagai sebuah
bentuk objek yang dikomsumsi. Sementara yang dikemukakan Genesko (Ritzer, 2010), objek adalah
bagian dari sistem tanda.
“ketika kita mengkonsumsi objek, maka kita mengkonsumsi tanda ”
Objek dalam penelitian ini adalah media sosial WA, yang dimaknai sebagai alat yang digunakan
oleh Kosada dalam pembelajaran literasi. Idealnya WA dapat mengakomodir dan pengurus Kosada

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

234
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mampu memfasilitasi segala bentuk capaian yang hendak dilaksanakan, namun hal tersebut tidak
berjalan dengan semestinya karena adanya persoaalan seperti yang telah dijabarkan di atas. Minimnya
partisipasi oleh anggota Kosada dapat dimaknai bahwa kehadiran teknologi berupa media sosial WA
tidak serta merta mampu menggerakkan keinginan anggota Kosada untuk belajar literasi.
Selanjutnya menurut Baudrillard (Ritzer, 2010) dalam melihat masyarakat pada tingkatannya yang
lebih luas bahwa apa yang mereka konsumsi dan berbeda dari tipe masyarakat lain berdasarkan atas
objek konsumsi, lebih jauh dijelasakan
“sedihnya, apa yang kita konsumsi bukan banyaknya objek, tetapi tanda. Konsumsi.. merupakan
sebuah sistem aksi dari manupulasi tanda ... supaya menjadi objek konsumsi, objek harus menjadi
tanda”
Sebenarnya Baudrillard sembari menegaskan bahwa masyarakat yang hadir saat ini jauh berbeda
dengan konsep masyarakat yang pernah dikonsepkan oleh Karl Marx. Sesungguhnya masyarakat yang
dijelakaskan oleh Marx berdasarkan mode of production. Adanya perbedaan kelas berdasarkan
kepemilikan alat produksi. Kemudian Baudrillard menjelaskan bahwa masyarakat yang hadir saat ini
justeru berdasarkan pada mode of comsumption. Mengapa demikian ? hal ini tidak serta merta hadir
begitu saja, lebih lanjut Baudrillard dalam karyanya juga menjelaskan bahwa masyarakat yang
dimkasud adalah masyarakat semu yang tidak jelas lagi batasan antara yang nyata dan palsu.
Penulis kemudian memaknai pemikiran Baudrillard mengenai masyarakat semu ke dalam tatanan
komunitas literasi yang telah dibentuk di Babel sebagai sebuah bentuk komunitas semu. Tidak tampak
lagi perbedaan antara yang nyata dan yang palsu. Hal ini tercermin pada persoalan yang hadir dibalik
pembelajaran literasi yakni ruang virtual dimaknai sebagai fungsinya yang nyata oleh pengurus literasi
Kosada Babel. Berdasarkan cuplikan wawancara dengan pengurus Kosada yang menjelaskan bahwa
ruang virtual jauh lebih memudahkan pengurus dan anggota dalam menimba ilmu. Palsu seakan
“beyond” bahwa ruang virtual adalah jelas bagi Baudrillard yakni sebuah dunia yang diciptakan oleh
masyarakat sendiri dengan melebih-lebihkan, Baudrillard menyebutnya dengan hyperrealitas. Tidak
adanya batas yang jelas antara keduanya yang menegasikan terciptanya masyarakat semu dapat
dimaknai bahwa pembelajaran literasi pada Kosada Babel tidak serta merta dapat berjalan dengan
semestinya.
Sementara Azwar (2014) pada penelitiannya mengenai ruang virtual dalam kerangka berpikir
Baudrillard juga menjalaskan bahwa ruang virtual atau ruang maya adalah sebagai sebuah ruang yang
di dalamnya orang dapat menciptakan dan mengubah peran, identitas, dan konsep diri sesuai
keinginannya. Kemudian telah menjelma menjadi suatu budaya tersendiri, semua yang terdapat di
dalamnya dipenuhi dengan tanda, warna, citra, gaya, nuansa namun tanpa makna. Fungsi dan tujuan
yang semakin membuat ruang maya menjadi satu arena simulasi dan kita pun menjadi simulacrum di
dalamnya
Keikutsertaan anggota Kosada Babel secara tidak langsung dapat dimaknai bahwa pada sisi yang
lain mereka sedang mengkonsumsi tanda sebagai anggota pegiat literasi. Walaupun pada kenyataannya
bertolak belakang bahwa dalam grup yang telah tercipta tersebut mereka minim partisipasi. Namun
hal ini kemudian dimaknai sebagai tanda bahwa sebenarnya yang mereka konsumsi bukan
pengetahuan akan literasi baik itu penulisan artikel ilmiah, puisi, cerpen dan tulisan lainnya yang
terkait dengan visi yang telah dijalankan, namun lebih kepada mengkonsumsi “tanda” bahwa “saya”
adalah pegiat literasi. Ketika masyarakat luas mengetahui pemuda pegiat literasi Bangka Beliting maka
secara langsung akan terafiliasi dengan pegiat literasi Kosada Babel.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

235
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sangat disayangkan ketika komunitas Kosada yang tergabung dalam grup WA tidak
mengkonsumsi ilmu pengetahuan literasi seperti yang telah tertuang dalam visi misi grup tersebut.
Pada akhirnya menjadikan WA dalam hal ini objek sebagai tanda untuk mendapatkan label yang tidak
tercermin nyata dalam makna yang sesungguhnya.

Penutup
Persoalan yang terdapat pada komunitas Aksara Muda dalam pembelajaran literasi melalui media
sosial diantaranya pada pola perekrutan anggota, tidak mengutamakan kaidah-kaidah tertentu yang
berhubungan dengan pengetahuan tentang keorganisasian dan komitmen calon anggota apabila telah
bergabung ke dalam komunitas. Anggota tidak menjadikan belajar sebagai tujuan utama sehingga
minim partisipasi. Oleh karenanya, ruang virtual menciptakan rendahnya kolektifitas dalam hal tatap
muka karena menganggap belajar melalui media sosial WA adalah hal yang penting dan utama.
Mengurai persoalan tersebut di atas dengan pemikiran Jean Baudrillard bahwa masyarakat yang
tercipta saat ini adalah masyarakat semu yang berdasarkan pada mode of consumption. Keikutsertaan
anggota dalam komunitas tersebut dimaknai sebagai sebuah “tanda” bahwa belajar yang mereka
inginkan tidak terwujud dengan semestinya. Hal ini kemudian dimaknai sebagai tanda bahwa
sebenarnya yang mereka konsumsi bukan pengetahuan akan literasi baik itu penulisan artikel ilmiah,
puisi, cerpen dan tulisan lainnya yang terkait dengan visi yang telah dijalankan, namun lebih kepada
mengkonsumsi “tanda” bahwa “saya” adalah pegiat literasi. Ketika masyarakat luas mengetahui
pemuda pegiat literasi Bangka Beliting maka secara langsung akan terafiliasi dengan pegiat literasi
Kosada Babel.

Daftar Pustaka
Azwar, M. 2014. Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan Upaya Pustakawan Mengidentifikasi
Informasi Realitas. Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, Vol. 2,
No.1, 38-48
Irawan, Prasetya, Suryani S.F.Motok, Sri Wahyu Krida Sakti. 1997. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: STIA LAN Press.
Jumiatmoko. 2016. WhatsApp Massenger dalam Tinjauan Manfaat dan Adab. Jurnal Wahana
Akademika, Vol. 3, No. 1.
Kosada Babel. 2017. Visi-Misi dan Tujuan Komunitas Aksara Muda Bangka Belitung.
Arsip/Dokumen Kosada.
Kozinets, Robert V. 2010. Netnography: Doing Ethnography Research Online. London: Sage
Publications
Kurnianingsih, Indah. Rosini. Ismayati, Nita. 2017. Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi Digital
bagi Tenaga Perpustakaan Sekolah dan Guru di Wilayah Jakarta Pusat Melalui Pelatihan Literasi
Informasi. Journal. Vvol.3 No.1 61-76
Mutia, Intan, Leonard. 2013. Kajian Penerapan E-Learning Dalam Proses Pembelajaran di
Perguruan Tinggi. Journal. 6(4): 278-289.
Nugroho, A. 2010. Teknologi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

236
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Ritzer, George. 2010. Teori Sosial Post Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana Offset
Rianto, Puji. 2016. Media Baru, Visi Khalayak Aktif dan Urgensi Literasi Media. Journal Vol. 01
(02), 90-96
Sukrillah A, Ratnamulyani , dan Kusumadinata. 2017. Pemanfaatan Media Sosial Melalui
WhatsApp Grup FEI Sebagai Sarana Komunikasi. Jurnal Komunikatio Vol. 3, No. 2
Wood, Andrew F. and Matthew J. Smith. 2005. Online Communication: Linking
Technology, Identity, and Culture, Mahwah. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Yullyanti, E. 2009. Analisis Proses Rekrutmen dan Seleksi Pada Kinerja Pegawai. Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 3.
Yohana N. dan Wulandari T. 2014. Perilaku Komunikasi Kelompok Komunitas Virtual Kaskus
Regional Riau Raya. Jurnal Penelitian Komunikasi. Vol. 17, No. 2

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

237
Hindun
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: hindun@uinjkt.ac.id

Abstrak. Membaca novel menjadi salah satu pilihan bagi sebagian pembaca yang ingin melanglang
buana dalam berimajinasi. Kebiasaan membaca yang harus didukung dengan daya baca yang tinggi,
bisa diawali dengan bacaan fiksi yang pada akhirnya membaca menjadi sebuah kebutuhan
sebagaimana layaknya kita makan. Dua novel yang ditulis pada masa kini dan cukup mendapat
respons tinggi dari para pembaca yakni berjudul “Assalammualaikum Beijing” dan “Bidadari-
Bidadari Surga” sengaja dijadikan pilihan dalam penelitian ini untuk melihat seberapa banyak atau
tingkat sering munculnya pilihan kata bidang biologi menghiasi alur cerita dan rentetan kalimat yang
terbangun dalam menyampaikan ide-ide cerita kepada pembaca. Melalui metode deskriptif kualitatif,
peneliti menghadirkan amanat yang terdapat dalam kedua novel tersebut dan dengan fokus penelitian
pada diksi atau pilihan kata bidang biologi yang sering muncul atau paling banyak digunakan oleh
penulis novel dalam karyanya. Hasil penelitian ini ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa
tanpa disadari perbendaharaan kata yang dipakai oleh pengarang novel pun lebih cenderung pada
diksi atau pilihan kata bidang biologi. Itulah data kebahasaan yang terdapat dalam kedua novel.
Kata kunci: novel, “Assalammualaikum Beijing” dan “Bidadari-Bidadari Surga”, diksi.

Latar belakang masalah


Karya sastra tidak hanya sebatas sebagai sebuah karya estetika, sebab di dalamnya memuat
data kebahasaan yang dapat dikaji sesuai dengan bidang linguistik dan terapannya. Mengkaji sebuah
novel berarti diawali dengan membacanya hingga tuntas. Selanjutnya fokus pada objek yang akan
diteliti sesuai tujuan penelitian yang diharapkan.
Pembaca tentunya tidak asing dengan nama pengarang Asma Nadia dan Tere Liye.
Produktivitas kedua pengarang ini dalam menghasilkan bacaan yang berbentuk novel menjadi buah
bibir atau cukup hits di kalangan pembaca novel. Oleh karena itu, ketertaikan membaca novel
menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk mengecek dan mengkaji lebih jauh mengenai
penggunaan diksi atau pilihan kata yang sering muncul sehingga demikian menonjol kosakata itu
dipakai oleh pengarang.

Penelitian yang relevan


Banyak peneliti sebelumnya melakukan penelitian terhadap bacaan atau karya yang
berbentuk novel. Penelitian sekarang tidak lepas dari rentetan hasil peneliti-peneliti terdahulu yang
bersemangat menjadikan novel sebagai objek sebuah penelitian. Untuk itulah perlu kiranya dalam
tulisan ini menghadirkan beberapa judul penelitian terdahulu agar jelas bahwa tulisan ini memang
baru atau belum pernah diteliti oleh para peneliti terdahulu. Judul-judul penelitian yang objeknya
adalah novel sebagai berikut:
- Analisis Setting dalam Novel “Awal Pendakian” karya Sori Siregar (ditulis oleh mahasiswa
UMM pada tahun 1995)

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

- Analisis Novel “Sepatu Emas untukmu” karya Maria A. Sardjono (Tinjauan dari segi
Tema, Alur, Penokohan, Latar dan Amanat), ditulis oleh mahasiswa PGRI Adibuana pada
tahun 2000.
- Novel “Tamu” karya Wisran Hadi; sebuah kajian strukturalisme genetik, ditulis oleh
mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang tahun 1997
- Fenomena Sosiolinguistik dalam Novel “Dian yang Tak Kunjung Padam” ditulis oleh
RHM Ali Masri dari Univ. Sriwijaya, tahun 2013
- Kode Tutur dan Pemilihan Bahasa Tokoh dalam Novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis
oleh Afi Fadlilah dari Universitas Pendidikan Indonesia, tahun 2013

Landasan Teoretis
Novel
Definisi novel
Novel tidak sama dengan cerpen ataupun roman. Frye mengemukakan bahwa kemunculan
istilah roman lebih tua daripada novel.” 1 Sebuah bacaan disebut sebagai novel manakala berisi
sepenggal kisah dari sekian babak perjalanan hidup seorang manusia. Abrams dalam (Nurgiyantoro,
2009:9) mengutarakan, bahwa “Istilah novel berasal dari bahasa Itali novella yang mengandung
makna harfiah sebuah barang baru yang kecil.” Berikutnya, Jakob Sumardjo mengungkapkan definisi
“novel yakni bentuk sastra yang sangat populer di dunia, bentuk sastra yang satu ini paling banyak
beredar dan dicetak, karena daya komunitasnya yang sangat luas di dalam masyarakat.”2 Selanjutnya,
Rostamadji memberikan definisi “novel sebagai suatu karya sastra yang memiliki dua unsur yaitu
intrinsik dan eksrinsik, keduanya saling terkait sebagai pengaruh timbal balik dalam literatur.”3
Istilah novel tidak hanya diutarakan oleh para ahli / sastrawan atau tokoh sastra Indonesia,
banyak juga para ahli dari barat yang mengungkapkan definisi atau pendapat tentang novel, di
anataranya yakni Virgina Wolf. Dalam buku Antilan Purba, Virgina berpendapat bahwa “novel
adalah eksplorasi atau suatu kronik kehidupan, merenungkan dan melukiskannya dalam bentuk
tertentu juga meliputi pengaruh ikatan, hasil, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia.4
Dapat disimpulkan dari berbagai pendapat ahli mengenai definisi novel tersebut yakni novel
adalah salah satu bentuk sastra yang populer di dunia, memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik yang
timbal balik dan daya komunitasnya sangat luas di dalam masyarakat.
Novel yang baik ialah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya
novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Dengan kata lain, yang penting
memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya.

Ciri-ciri atau karakteristik novel


Novel memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan prosa lainnya yakni :

1
Frye dalam Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogjakarta: Gajah Mada University Press,
2013), h. 18
2
Pengertian Novel Menurut Para Ahli. http://www.sumberpengertian.co/pengertian-novel-menurut-
para-ahli-beserta-ciri-ciri-dan-unsur (diunduh Senin, 16 April 2018, pkl. 10.45 wib)
3
Ibid.
4
Antilan Purba. Sastra Indonesia Kontemporer. (Yogjkarta: Graha Ilmu, 2010), h. 62

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

239
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

oJumlah kata dari Novel lebih dari 35.000 kata.


oNovel terdiri dari setidaknya 100 halaman.
oWaktu yang dibutuhkan untuk membaca novel setidaknya 2 jam atau 120 menit.
oCeritanya lebih dari satu impresi, efek, dan emosi.
oAlur cerita dalam novel cukup kompleks.
oSeleksi cerita dalam novel lebih luas.
-Cerita dalam novel lebih panjang, akan tetapi banyak kalimat yang di ulang-ulang.
-Novel ditulis dengan narasi kemudian didukung dengan deskripsi untuk menggambarkan
situasi dan kondisi yang ada di dalamnya.5
1. Unsur intrinsik Novel
Unsur yang membangun sebuah novel terdiri dari tema, plot, tokoh dan penokohan, latar/
setting, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. Pemaparan teori ini akan berfokus pada bagian
unsur intrinsik yang terakhir yakni amanat, sebagaimana sesuai dengan judul tulisan.
Amanat adalah gagasan yang mendasari sebuah karya atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca. “Karya sastra modern meletakkan amanat pada bagian tersirat,
sedangkan pada karya sastra lama umumnya amanat secara tersurat.” 6 Jadi, pengarang dapat
menyampaikan pesannya kepada khalayak / pembaca dengan cara langsung (tersurat) atau cara
tidak langsung (tersirat).

Diksi
Pilihan kata atau diksi dalam konsep tatabahasa Indonesia terdiri dari relasi makna dan kaidah
makna.
Relasi makna
Kata relasi artinya “hubungan, afiliasi, interaksi, kontak, pertalian, pertautan, sangkut paut.” 7
Cakupan dalam pembahasan relasi makna terdiri dari sinonim dan antonim, homograf dan homofon,
polisemi, superordinat dan ordinat, serta hiponimi.
Kaidah Makna
Kata “kaidah” dapat juga diartikan “ajaran, aksioma, asas, dalil, etika, ketentuan, kode etik, konvensi,
prinsip.”8 Cakupan dalam pembahasan kaidah makna meliputi kat abstrak dan akata konkret, kata
populer dan kata kajian, serta kata serapan dan kata asing.

5
Ibid.
6
Idhoofiyatul Fatin dan Mahabbatul Camalia, Big Book Bahasa Indonesia SMP Kelas 1,2,3. (Jakarta:
Cmedia Imprint Kawan Pustaka, 2015), h. 106
7
Eko Endarmoko, Tesamoko (Tesaurus Bahasa Indonesia), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
Edisi Kedua, cet. ke-1, 2016), h. 570
8
Ibid. h. 311
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

240
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Biografi Pengarang Novel

Nama lengkap: Asmarani Rosalba


Nama pena : Asma Nadia
Lahir: Jakarta, 26 Maret 1972
Pekerjaan: Penulis
Bahasa: Indonesia
Kewarganegaraan: Indonesia
Aliran sastra: Novel, cerpen
Karya terkenal:
Surga yang Tak dirindukan
Pasangan: Isa Alamsyah
Anak: Eva Maria Putri Salsabila & Adam Putra

Nama lengkap : Darwis


Nama pena : Tere Liye
Lahir : Lahat, 21 Mei 1979
Pekerjaan : Penulis dan akuntan
Bahasa : Indonesia
Kewarganegaraan : Indonesia
Aliran sastra : Novel
Karya terkenal : Pulang
Pasangan : Riski Amelia
Anak: Abdullah Pasai & Faizah Azkia

Metodologi
Novel sebagai wujud dari karya sastra yang berbentuk prosa dapat menarik perhatian
pembaca dan para peneliti karena mengisyaratkan gambaran hidup dan kehidupan manusia yang luas
dan kompleks. Dengan kata lain “karya sastra mengungkapkan realitas kehidupan masyarakat secara
kiasan.” 9 Untuk itulah sebagai peneliti yang akan mengungkap penggunaan bahasa dalam kedua
novel tersebut, maka metode deskriptif kualitatif digunakan sebagai pisau analisisnya. Seperti
dikemukakan oleh Moleong, bahwa “penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan
pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian dan pemahaman atau fenomena
dalam suatu latar yang berkonteks khusus.”10

9
Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. ke-2,
2016), h. 254
10
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h.5
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

241
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Langkah kerja dalam metodologi ini adalah diawali oleh peneliti dengan membaca
keseluruhan isi novel tersebut satu persatu. Kemudian memilah unsur intrinsik novel dan
memfokuskan pada bagian amanat atau pesan dari pengarang novel itu. Selanjutnya membaca sekali
lagi dengan memberi tanda atau menggarisbawahi kata-kata yang merupakan perbendaharaan kata di
bidang biologi. Berikutnya menghitung hasil temuan diksi itu dan mengumpulkannya dalam sebuah
hasil penelitian dengan jumlah yang tertera pada simpulan.

Pembahasan Hasil Penelitian


Pesan / amanat Novel
-Novel “Assalammualaikum Beijing”.
Novel ini berisi amanat atau memberi pesan kepada pembaca bahwa manusia tidak boleh cepat
menyerah terhadap ujian yang diberikan oleh Allah. Apalagi Allah Maha Mengetahui kondisi setiap
hambanya. Sebagaimana tertera dalam Kitab Suci Alquran (Q.S. 02;286) yakni “Allah tidak akan
membebankan seseorang di luar kemampuannya”. Sang Khaliq pun menegaskan dalam (Q.S. 94;05)
bahwa “dibalik setiap kesulitan pasti ada kemudahan”. Kita pun diingatkan melalui novel ini untuk
selalu bersyukur terhadap segala sesuatu yang telah Allah berikan kepada kita.
-Novel “Bidadari-Bidadari Surga”
Novel ini mengajarkan tentang arti cinta, pengorbanan, keikhlasan dan kerja keras. Dalam hidup ini
siapapun harus menghargai setiap kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, karena
Allah menciptakan manusia beragam, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang melekat pada
dirinya. Selain itu, pengarang mengingatkan pembaca agar selalu mencintai orang-orang terdekat
seperti keluarga, sahabat, teman juga tetangga. Kemudian pengarang menyampaikan pesan kepada
pembaca untuk menjalani hidup dengan semangat dan kerja keras, sehingga dengan kesungguhan
tekad yang kuat, kehidupan yang lebih baik pasti akan datang.

Hasil temuan penggunaan diksi bidang biologi


 Novel “Assalammualaikum Beijing”.
- 1. Halaman 1: Pipi
- 2. Halaman 2: hati, menguap, udara
- 3. Halaman 3: mulut, tubuh
- 4. Halaman 6 : wajah
- 5. Halaman 9 : angin, bibir
- 6. Halaman 10 : bibir, mata
- 7. Halaman 11 : wajah
- 8. Halaman 12 : mata, cahaya, tangan
- 9. Halaman 13 : bunga-bunga
- 10. Halaman 27 : Bunga
- 11. Halaman 30 : bahu
- 12. Halaman 40 : mata, hati, mulut
- 13. Halaman 43 : dada
- 14. Halaman 57 : bibir
- 15. Halaman 66 : hati
- 16. Halaman 87 : wajah
- 17. Halaman 96 : bibir
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

242
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

- 18. Halaman 104 : napas


- 19. Halaman 111 : tangan, dada
- 20. Halaman 118 : janin, perut
- 21. Halaman 121 : tubuh, mulut, rambut, mata
- 22. Halaman 126 : tangan, wajah
- 23. Halaman 128 : tubuh
- 24. Halaman 129 : wajah
- 25. Halaman 134 : panca indra
- 26. Halaman 140 : hidung
- 27. Halaman 141 : tubuh, bahu, darah
- 28. Halaman 158 : napas, jantung
- 29. Halaman 159 : tubuh
- 30. Halaman 162 : darah, tubuh, laboratorium, bibir
- 31. Halaman 163 : tubuh, darah, ginjal, mata, napas,
- 32. Halaman 169 : napas
- 33. Halaman 183 : tubuh, telinga, darah
- 34. Halaman 184: jantung, penyakit autoimun, faktor genetik, dehidrasi
- 35. Halaman 185 : jantung, darah , asma
- 36. Halaman 194 : wajah
- 37. Halaman 195 : tubuh
- 38. Halaman 196 : darah, janin
- 39. Halaman 210 : heparin, kulit
- 40. Halaman 214 : janin, rahim
- 41. Halaman 226 : neurologi,
- 42. Halaman 227 : jantung, plasenta
- 43. Halaman 229 : sindrom APS
- 44. Halaman 235 : tubu, bibir
- 45. Halaman 241 : trombus, darah, usus
- 46. Halaman 242 : mata
- 47. Halaman 248 : wajah, napas
- 48. Halaman 261 : tubuh, darah, lengan
- 49. Halaman 262 : mata, kepala, kaki
- 50. Halaman 267 : mata
- 51. Halaman 268 : mata
- 52. Halaman 269 : mata
- 53. Halaman 270 : bahu
- 54. Halaman 276 : bibir
- 55. Halaman 277 : mata
- 56. Halaman 283 : bibir
- 57. Halaman 285 : bahu, tangan
- 58. Halaman 286 : darah
- 59. Halaman 287 : wajah, mata
- 60. Halaman 293 : bahu
- 61. Halaman 294 : jantung

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

243
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

- 62. Halaman 295 : pinggang, kepala, bahu, tangan


- 63. Halaman 297 : wajah, kepala
- 64. Halaman 302 : mata
- 65. Halaman 303 : tangan
- 67. Halaman 304 : heparin
- 68. Halaman 305 : darah, mata
- 69. Halaman 306 : mata, tangan
- 70. Halaman 308 : tangan, dada
- 71. Halaman 315 : mata
- 72. Halaman 317 : kepala, mata
- 73. Halaman 318 : wajah, hati
- 74. Halaman 319 : bibir
- 75. Halaman 324 : tubuh
- 76. Halaman 326 : mata
- 77. Halaman 327 : jari
- 78. Halaman 328 : tangan
- 79. Halaman 330 : darah, perut, tubuh
- 80. Halaman 331 : heparin, tubu, transfusi
- 82. Halaman 332 : tulang,
- 83. Halaman 333 : tulang, pinggul, kaki
- 84. Halaman 334 : mata
- 85. Halaman 336 : mata, bibir

 Novel “Bidadari-Bidadari Surga”

- Halaman 1 : wajah, dahi, cahaya matahari, dedaunan, strawberry, air mata


- Halaman 7 : wajah
- Halaman 8 : perkebunan, strawberry
- Halaman 10: perkebunan strawberry, wajah, laboratorium
- Halaman 13 : dahi
- Halaman 16 : penelitian ilmiah,
- Halaman 19: mata, rambut, dahi
- Halaman 21: rambut,wajah
- Halaman 25: uap, angin, samudera, teropong binokuler, wajah, mata, tangan
- Halaman 27: rambut, teropong, burung, kawah, garuda, elang, rajawali, kawah, binokuler,
tubuh,alam
- Halaman 28: kuku-kuku, induk, kawah, paruh, penelitian, mamalia, endemik, penelitian,
konservasi, alam
- Halaman 29 : gunung, ekor
- Halaman 30 : gunung, mata, cadas
- Halaman 32 : perkebunan strawberry
- Halaman 38 : ion, keringat, leher, rambut, kuping, dahi, lembah
- Halaman 39 : angin, air, mata kaki, hutan, sungai, burung-burung, cahaya
- Halaman 40 : gunung, hutan, sawah, jangkrik,burung, kukang

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

244
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

- Halaman 42 : hutan, berang-berang,


- Halaman 43 : harimau, rumput, tubuh, hutan
- Halaman 44 :hutan, nyamuk, laba-laba, sungai, berang-berang, pohon
- Halaman 45 : burunh, berang-berang, ikan, sungai
- Halaman 46 : kepiting, berang-berang, air, matahari
- Halaman 48 : tangan
- Halaman 57 : sungai, bambu, rotan, wajah, cahaya matahari, cadas, air
- Halaman 58 : cadas, sungai, bambu
- Halaman 59 : sungai, kepala, hutan, dada
- Halaman 62 : air, matanya, dada,
- Halaman 64: gigi
- Halaman 65 : perkebunan strawberry, berang- berang
- Halaman 69 : angin, burung hantu, ladang, hujan
- Halaman 71 : harimau, sungai, cadas
- Halaman 72 : berang-berang
- Halaman 88 : bambu, air
- Halaman 89 : bambu
- Halaman 103 : sungai
- Halaman 130 : mata, sapi
- Halaman 131 : harimau, wajah
- Halaman 135 : kunang-kunang
- Halaman 136 : harimau, hutan ,gunung, jangkrik
- Halaman 137 : tangan, kaki, hutan, cahaya
- Halaman 154 : makhluk, perut, padi, jagung,
- Halaman 169 : dahi
- Halaman 176 : kebun, nafas, strawberry
- Halaman 177 : buah, strawberry, dada, kebun, jagung, gulma
- Halaman 178 : strawberry, air hujan
- Halaman 179 : bibir, elang, kebun
- Halaman 181 : semak, daun, belukar, rambut
- Halaman 183 : strawberry
- Halaman 189 : kebun, strawberry
- Halaman 190 : kebun, strawberry
- Halaman 215 : air, pohon
- Halaman 221 : strawberry
- Halaman 222 : hutan, semak, belukar. Sungai, sawah, monyet, tangan, wajah
- Halaman 236 : tubuh, wajah
- Halaman 251 : nafas, dada, cahaya
- Halaman 252 : Lab
- Halaman 271 : strawberry
- Halaman 284 : darah,tubuh, nafas
- Halaman 284 : lengan, darah, tubuh
- Halaman 286 : air mat, hujan, gunung, perkebunan strawberry
- Halaman 313 : virus, bakteri, hewan liar, ebola, HIV/AIDS,virus

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

245
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

- Halaman 314 : donor, fauna, virus, hewan, virus


- Halaman 315 : hewan, iklim, hewan-hewan
- Halaman 316 : penelitian, ludah, konservasi, ekologi
- Halaman 317 : wajah, konservasi, elang jawa, hati, riset
- Halaman 318 : konservasi, kepala
- Halaman 324 : gunung, landak, mata
- Halaman 325 : konservasi, strawberry
- Halaman 329 : wajah
- Halaman 341 : mata
- Halaman 357 : tangan, rambut
- Halaman 358 : bibir
- Halaman 359 : kupu-kupu

Penutup
- Jumlah kosa kata atau penggunaan diksi yang termasuk dalam klasifikasi Biologi pada novel
“Assalamu’alaikum Beijing”= 131 kata.
- Jumlah kosa kata atau penggunaan diksi yang termasuk dalam klasifikasi Biologi pada novel
“Bidadari-Bidadari Surga”= 230 kata
Peneliti sudah mendeskripsikan temuan berupa penggunaan diksi bidang biologi yang sering muncul
dalam kedua novel ini, mudah-mudahan peneliti selanjutnya meneruskan dengan temuan lainnya
dalam kedua novel yang berjudul “Assalamu’alaikum Beijing” dan “Bidadari-Bidadari Surga” serta
karya-karya Asma Nadia dan Tere Liye yang lain.

Daftar Pustaka
Eko Endarmoko, Tesamoko (Tesaurus Bahasa Indonesia), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
Edisi Kedua, cet. ke-1, 2016
Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. ke-2,
2016
Frye dalam Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogjakarta: Gajah Mada University Press,
2013
Idhoofiyatul Fatin dan Mahabbatul Camalia, Big Book Bahasa Indonesia SMP Kelas 1,2,3. Jakarta:
Cmedia Imprint Kawan Pustaka, 2015
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, h.5
Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogjakarta: Graha Ilmu, 2010.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
2004.
Pengertian Novel Menurut Para Ahli. http://www.sumberpengertian.co/pengertian-novel-menurut-
para-ahli-beserta-ciri-ciri-dan-unsur (diunduh Senin, 16 April 2018, pkl. 10.45 wib)
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo, 2008

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

246
Intan Sari Yuniati, Hilda Rahmah
Universtas Gadjah Mada
e-mail: intan.isy@gmail.com, hildara.hr@gmail.com
Abstract. Mobile legends application has been downloaded more than 100.000.000 times from Play Store. In
Indonesia, Mobile Legends is a MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) game that is so popular and played
by many people. This game is a tool to test the cooperation among players to build strategies in order to win
the game as well as an entertainment tool. On the other hand, this game surprisingly opens the access of
cyberbullying or virtual harassment practice. This cyberbullying has implicated to players’ behaviour
development. The aim of this article is to see the cyberbullying issue and its implication towards children’s
behaviour development. This study used qualitative approach and netnography method, which was an online
ethnography research method that used participant observation on online contents. Participant observation
conducted directly by involving on Mobile Legends game and became a member of the game and actively
interacted on Instagram online community called realmobilelegendsid for two months started from March to
April 2018. The results of this study show that cyberbullying or virtual harassment that often happened on
Mobile Legends game was Flaming cyberbullying type, which was one’s harassment that used rude words and
vulgar messages given to another player on online community. The practice was frequently done as the result
of disappointment towards other players’ ways of gamming in their own or opponent team. Based on the
results, the presence of cyberbullying confirmed the unbalance of understanding in game, where certain game
player dominated the game and underrated other players by giving rude and vulgar comments. The implication
of the presence of cyberbullying on Mobile Legends triggered the players’ ambition aged 6-24 years old who
were still in the school age and adolescence to upgrade their skills in many ways resulting consumptive lifestyle.

Keywords: cyberbullying, Mobile Legends, perilaku anak

Abstrak. Aplikasi Mobile Legends telah diunduh lebih dari 100.000.000 kali di Google Play Store. Di
Indonesia sendiri Mobile Legends merupakan salah satu game bergenre MOBA (Multiplayer Online Battle
Arena) yang populer dan banyak dimainkan. Permainan ini merupakan sarana untuk menguji kerjasama antar
pemain dalam membangun strategi untuk meraih kemenangan, disamping sebagai sebuah hiburan. Di sisi lain,
permainan ini justeru telah membuka akses terhadap sejumlah praktik cyberbullying atau perundung maya.
Praktik cyberbullying yang banyak dilakukan ini, kemudian berimplikasi pada perkembangan perilaku para
pemain. Artikel ini bertujuan untuk melihat isu cyberbullying dan implikasinya pada perkembangan perilaku
anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode netnografi, yaitu metode riset etnografi
online yang menggunakan observasi pertisipan pada konten-konten online. Observasi partisipan dilakukan
secara langsung dengan turut serta dalam permainan Mobile Legends dan menjadi anggota yang turut
berinteraksi aktif pada komunitas online instagram realmobilelegendsid, dalam kurun waktu dua bulan dari
bulan maret hingga april 2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik cyberbullying atau perundung
maya yang sering dipraktekan dalam permainan Mobile Legends adalah jenis Flaming cyberbullying, yaitu
praktik perundungan yang dilakukan melalui pesan bernada kasar dan vulgar oleh seseorang kepada orang lain
dalam kelompok online. Praktik tersebut sering kali dilakukan sebagai akibat dari kekecewaan terhadap
permainan pemain lain di dalam timnya maupun permainan tim lawan. Berdasarkan hal ini, keberadaan
cyberbullying menegaskan adanya ketidakseimbangan pengetahuan dalam permainan, dimana pemain tertentu
menjadi sangat mendominasi dalam permainan dan menganggap remeh yang lain dengan cara memberikan
komentar kasar dan vulgar. Implikasi keberadaan cyberbullying dalam permainan Mobile Legends memicu

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

ambisiusitas pemain berusia 6-24 tahun yang masih dalam tahap school age and adolescence untuk lebih
meningkatkan skill dengan berbagai cara, hingga berakibat pada perilaku konsumtif.
Kata Kunci: cyberbullying, Mobile Legends, perilaku anak

Pendahuluan
Seiring perkembangan pengetahuan, peradaban manusia tidak lagi dibatasi ruang dan
waktu. Teknologi yang beredar semakin canggih dari waktu ke waktu. Bukan hanya dibidang
transportasi dan komunikasi, teknologi juga menunjukkan intervensinya pada aspek hiburan.
Permainan atau game bertransformasi seiring berjalanya waktu, dari konvensional hingga
berbasis teknologi. Permainan berbasis teknologi lebih sering disebut sebagai game online,
karena untuk memainkannya dibutuhkan koneksi jaringan internet.
Game online di Indonesia muncul pertama kali pada tahun 2001 dengan
diluncurkannya Nexia Online, yaitu, sebuah permainan RPG (Role Playing Game) dimana
para pemainnya memainkan peran karakter tertentu, keluaran BolehGame dengan grafik
sederhana berbasis 2D. Permainan yang diproduksi oleh Korea ini berhasil memperkenalkan
permainan (game) dengan vitur chat pertama di Indonesia (Santoso, 2014). Setelah Nexia
Online kemudian muncul permainan-permainan lain yang beredar di Indonesia, seperti
Ragnarok, Counter Strike, Point Blank, dan lain-lain.
Salah satu genre permainan daring yang populer di Indonesia saat ini adalah MOBA
(Multiplayer Online Battle Arena). MOBA merupakan jenis permainan yang dimainkan oleh
tim (lebih dari satu pemain) di dalam sebuah arena pertarungan online. Dahulu permainan
bergenre ini hanya dapat dimainkan melalui Personal Computer (PC). Namun saat ini
MOBA sudah mampu diakses melalui smart phone yang dirasa lebih fleksibel, termasuk
mempermudah para gamers untuk bermain game ini dimanapun, selama memiliki koneksi
internet.
MOBA yang kini sukses meraih popularitas di Indonesia, menarik berbagai pihak
untuk mengadakan turnamen besar. Games Championship 2018 merupakan salah satu
contoh turnamen besar bergenre MOBA yang diadakan oleh Telkomsel. Turnamen tersebut
berlangsung pada bulan Maret dan April, sementara grand final dilaksanakan pada tanggal
20-22 April 2018 di Kartika Expo Balai Kartini, Jakarta. Permainan yang dikompetisikan
terdiri dari dua kategori, yaitu PC Game dan Mobile Games. Untuk kategori PC Game, jenis
game yang dikompetisikan adalah Dota 2. Sementara jenis game yang dikompetisikan pada
kategori Mobile Games adalah Vainglory, Mobile Legends, AOV, dan LINE Let’s Get Rich.
Kompetisi games ini memperebutkan hadiah total senilai lebih dari Rp 600 juta
(Telkomsel.com, 2018).
Salah satu permainan bergenre MOBA yang dipertandingkan dalam turnamen biasanya
merupakan game online yang sudah populer, salah satunya adalah Mobile Legend. Di Play
Store aplikasi game Mobile Legend telah diunduh lebih dari 100.000.000 kali. Kepopuleran
ini dapat terlihat dengan banyaknya orang Indonesia yang terlibat di dalam permainan,

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

248
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

komunitas-komunitas yang terbentuk di sebagian besar kota di Indonesia, dan mudahnya


ditemui pemain pada tempat umum.
Mobile Legends merupakan jenis permainan dilengkapi dengan fitur komunikasi dua
arah yang memungkinkan para pemainnya berinteraksi satu sama lain. Fitur tersebut dapat
diakses menggunakan media audio berupa suara, seperti orang berkomunikasi menggunakan
telepon. Dan dapat pula diakses secara tekstual layaknya orang mengirim pesan. Dari
keduanya, yang seringkali dipakai adalah komunikasi tekstual atau mode chat. Fitur tersebut
membuka akses bagi para pemain untuk melatih kerjasama tim dalam tim untuk mengontrol
jalannya permainan. Kerjasama merupakan kunci utama keberhasilan permainan Mobile
Legends, sesuai dengan genre nya sebagai MOBA. Namun justeru sebaliknya, kemudahan
akses komunikasi dua arah antar seluruh pemain tersebut membuka terjadinya praktik
cyberbullying dalam permainan.
Interaksi dua arah dilakukan dengan diksi yang bebas oleh masing-masing pemain.
Kebebasan diksi tersebut seringkali disalahgunakan hingga berujung pada perundungan yang
akhirnya terjadilah praktik cyberbullying. Praktik cyberbullying banyak dilakukan dengan
penggunaan kata-kata kasar, berwujud makian yang dilontarkan antar pemain pada saat
permainan berlangsung. Biasanya hal tersebut terjadi ketika terdapat anggota tim yang kurang
dapat menguasai arena pertarungan. Anggota semacam ini kerap mendapat hujatan dengan
istilah “noob”, “nob”, atau “newby”. Istilah tersebut sering digunakan dalam permainan
daring, dan banyak digunakan sebagai judge untuk pemain dengan low skill level dan pemain
pemula.
Pemain pemula biasanya belum memiliki skill yang mumpuni untuk menyerang,
bertahan, dan memahami situasi pertempuran, hal ini menjadikannya sebagai beban bagi
pemain lain. Pemain lain dalam tim akhirnya kewalahan untuk melindungi turret (tower).
Hal ini mendorong para pemain dalam tim, terutama pemain yang sudah menduduki posisi
level atas, untuk menyalahkan pemain pemula dengan berbagai komentar kasar, berisi
umpatan.
Gamers Mobile Legends memiliki batasan usia minimal 12 tahun. Padahal pada
rentang usia 12-24 tahun anak sedang mengalami masa transisi dari remaja menuju ke
dewasa, sehingga masih dalam tahap pencarian jati diri. Peran kelompok bermain dan teman
sebaya sangat berpengaruh pada tahap ini (Batra, 2013: 258). Kelompok pergaulan dari
dunia game daring yang seringkali menggunakan kata kasar dan umpatan secara sadar
maupun tidak sadar akan membentuk pribadi yang serupa. Kata-kata kasar yang acap
dikonsumsi secara berulang, semakin lama akan terinternalisasi dan menubuh (embodied).
Terlebih pengguna aplikasi Mobile Legend banyak digunakan dan dimainkan oleh anak-anak
dibawah usia 12 tahun, meskipun secara jelas permainanan ini memiliki aturan yang
mensyaratkan batas minimal pemain adalah usia 12 tahun ke atas.
Berdasarkan hal tersebut, menggambarkan bahwa anak-anak pada level school age dan
adolescence kurang mendapatkan pengawasan dari orang tua. Mengizinkan anak untuk
mengakses smartphone sama artinya dengan memberikan peluang bagi cyberbullying, dan
efeknya masuk kedalam kehidupan anak. Nazriani dan Zahreni dalam penelitiannya terhadap
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

249
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

232 siswa dari sekolah menengah yang terletak di daerah pedesaan dan perkotaan di Medan
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara waktu online dan kecenderungan untuk
terjadi cyberbullying. Pelaku dan korban cyberbullying rata-rata menghabiskan waktunya
untuk online sekitar 1-5 jam. Melihat dari sudut pandang gender, perempuan lebih rentan
menjadi korban dan pelaku pada aksi perundungan maya ini. Data menyebutkan terdapat 39
laki-laki yang menjadi pelaku, dan 54 laki-laki yang menjadi korban. Sedangkan pada
perempuan, sejumlah 41 orang menjadi pelaku dan 62 orang menjadi korban (Nazriani dan
Zahreni, 2016).
Berkaitan dengan isu cyberbullying Sonya P. Poole menambahkan dalam penelitianya
bahwa terdapat efek psikologis dan emosional pada cyberbullying yang mirip ditemukan pada
traditional bullying. Pada tahun 2005 para peneliti menemukan korban cyberbullying
mengalami berbagai masalah emosional termasuk kemarahan, kesedihan, rasa sakit, atau
bersalah, kecemasan, rasa malu, dan ketakutan. Pada tahun 2010 masalah ini berlanjut hingga
korban mengalami stres dan merasa kehilangan harga diri. Tahun 2011 cyberbullying
berdampak negatif pada kesehatan secara keseluruhan, termasuk kesehatan emosional dan
fisik. Dampak ini mengubah cara pandang individu dalam melihat diri mereka dan
menanggapi lingkungan. Tahun 2012 telah ditunjukkan bahwa cyberbullying mempengaruhi
individu di semua aspek kehidupan termasuk kehidupan pribadi, dan pekerjaan atau sekolah.
Suvei yang dilakukan disalah satu distrik di sekolah terbesar di Amerika Serikat terhadap
2000 siswa dari 30 Sekolah Menengah Atas berusia antara 11 sampai 15 tahun, mereka
memiliki pengalaman bullying dan cyberbullying hingga memiliki pemikiran untuk
melakukan bunuh diri (Poole, 2017).
Isu cyberbullying saat ini telah banyak mendapat sorotan dari berbagai disiplin ilmu
sosial. Isu ini menjadi penting dan urgent untuk dibahas mengingat teknologi menjadi faktor
utama dari tumbuh suburnya praktik cyberbullying. Teknologi kini telah menjadi bagian
dalam kehidupan manusia, tanpa bisa terelakan. Melihat fenomena cyberbullying yang saat ini
telah banyak berkembang diberbagai konten online, salah satunya pada game online dan
efeknya yang berpengaruh terhadap kehidupan anak maupun remaja, menjadikan isu tersebut
menarik untuk diteliti. Disamping itu praktik cyberbullying dalam permainan game online
populer seperti Mobile Legends merupakan isu yang belum banyak disoroti oleh beberapa
penelitian dari berbagai disiplin ilmu sosial. Penelitian ini bertujuan untuk melihat isu
cyberbullying dalam permainan Mobile Legends dan implikasinya pada perkembangan
perilaku anak. Harapannya, penelitian ini mampu memberikan new knowledge kepada para
pembaca mengenai isu cyberbullying dalam literasi digital, khususnya yang saat ini sedang
berkembang pada game online. Selain itu, penelitian ini berharap para orang tua menjadi
lebih sadar terhadap dampak dari permainan Mobile Legends maupun permainan online
lainya, sehingga mampu melakukan kontrol dengan bijak terhadap anak-anak agar mampu
melakukan literasi digital secara tepat.

Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode netnografi.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

250
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Netnografi merupakan metode riset etnografi online yang diperkenalkan oleh Robert V.
Kozinets pada tahun 1997. Metode ini dalam penerapanya mengadopsi model observasi
partisipan yang digunakan dalam etnografi, namun kegiatan observasi yang dilakukan
berfokus pada lapangan kerja atau ranah online (Konzinets, 2012). Metode netnografi dalam
penelitian ini digunakan untuk memperoleh data mengenai isu cyberbullying dalam
permainan mobile legends dan implikasiya pada perilaku anak. Data diperoleh melalui
observasi partisipan yang dilakukan selama 2 bulan (maret-april) dengan menjadi user Mobile
Legends atau turut serta dalam permainan Mobile Legends secara langsung dan keikutsertaan
menjadi anggota komunitas online dalam akun instagram realmobilelegendsid. Akun tersebut
merupakan komunitas online yang anggotanya adalah pengguna game online Mobile Legends
dari berbagai usia. Observasi partisipan dilakukan dengan cara berinteraksi dengan para
anggota dalam kolom komentar maupun melalui personal chat secara online. Data
pendukung lain diperoleh melalui pengamatan aktivitas pengguna Mobile Legends dari
sejumlah akun instagram yang menayangkan sejumlah kejadian viral terkait permainan
Mobile Legends.
Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh pengguna atau pemain game online Mobile
Legends, termasuk anggota komunitas realmobilelegendsid, sedangkan informan dalam
penelitian ini adalah pemain Mobile Legends aktif yang merupakan kategori anak berusia 6-
24 tahun. Kategorisasi umur tersebut masuk ke dalam tahap school age dan adolescence.
Anak cenderung kompetitif dan senang untuk mencoba hal-hal baru untuk mencari peran
serta identitas diri (Batra, 2013). Namun, kondisi psikis anak masih cenderung emosional
dan labil. Tahap ini dapat menunjukan kedinamisan perilaku, sehingga implikasi permainan
Mobile Legends pada perilaku anak dapat terlihat. Disamping itu, anak berusia 6-24 tahun
termasuk aktif berkomentar dan lebih sering muncul dalam setiap postingan gambar yang
dibagikan oleh komunitas online tersebut, hal ini yang kemudian mempermudah penulis
dalam proses pencarian data.
Pengecekan hasil keabsahan penelitian terhadap data dilakukan dengan cara
membandingkan atau mengkomparasi satu informasi dengan informasi yang lainya yang
beredar pada kolom komentar online yang cenderung memiliki kesesuaian dan persamaan
yang lebih dominan. Informasi hasil dari observasi partisipan dalam komunitas online
kemudian dibandingkan dengan informasi yang diperoleh dari hasil observasi partisipan yang
dilakukan penulis secara langsung dengan turut terlibat dalam permainan Mobile Legends.

Hasil dan Pembahasan


Mobile Legends adalah game bergenre Multiplayer Online Battle Arena (MOBA) yang
dimainkan secara berkelompok via mobile phone. MOBA pertama kali muncul dalam
permainan yang dibuat oleh Blizzard, Starcraft: Brood War dirilis pada tahun 1998 untuk
PC (Duniagames.co, 2016). Mobile legends merupakan permainan yang dikembangkan oleh
Shanghai Moonton Technology atau kerap disebut Moonton, yang dirilis dengan nama
Mobile Legends: 5v5 MOBA di Google Play Store. Akan tetapi perusahaan Riot kemudian
mengklaim hak cipta atas permainan tersebut, dan akhirnya Mobile Legends: 5v5 MOBA
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

251
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dicabut dari Play Store (Andri, 2017). Setelahnya, Moonton kembali mengeluarkan
permainan baru yaitu Mobile Legends: Bang Bang. Seperti kasus sebelumnya, saat ini Riot
Games melayangkan gugatan atas masalah yang sama, yaitu plagiarisme.
Terlepas dari perseteruan hak cipta, tidak dapat dipungkiri bahwa Mobile Legends:
Bang Bang atau biasa disebut Mobile Legends telah banyak diunduh dan dimainkan. Di
dalam permainan ini, pemain dapat memilih untuk memainkan salah satu karakter ( hero)
yang dikategorikan kedalam beberapa jenis, antara lain tank, fighter, assassin, mage,
marksman dan support. Mobile Legends dimainkan oleh 10 orang, yang terbagi dalam 2
kelompok, dengan masing-masing kelompok terdiri dari 5 orang. Pada setiap pertandingan
Mobile Legends, satu orang mewakili satu hero. Setiap orang bebas memilih hero apa yang
akan dimainkan untuk bertarung dalam permainan.
Permainan ini menyajikan sejumlah mode permainan antara lain classic, rank, brawl,
VS A.I dan custom. Mode Classic merupakan permainan dasar, dimana dalam arena ini
pemain bisa mengeksplorasi kemampuan tanpa perlu merasa khawatir kehilangan peringkat
apabila kalah dalam bertarung. Brawl adalah permainan singkat, karena hanya terdiri dari satu
jalur turret (para pemain acap menyebutnya sebagai tower), tidak seperti mode lainnya yang
terdapat tiga baris tower. Vs. AI yaitu permainan melawan kecerdasan buatan (Artificial
Intelligency) atau komputer. Hampir sama dengan VS. AI, dalam mode custom, pemain bisa
menentukan sendiri posisi permainan (bermain sebagai lawan dan kawan) dengan manusia
atau komputer. Mode Rank, merupakan mode yang memiliki persaingan ketat dimana para
permainan mempertaruhkan posisinya dalam kelas (peringkat) tertentu. Untuk mencapai
kelas, dalam mode ini ditentukan oleh seberapa seringnya kemenangan atau kekalahan yang
didapat. Apabila menang dalam pertandingan, peringkat akan naik, begitu pula sebaliknya.
Terdapat tujuh peringkat atau kelas, dimana tingkat kesulitanya sebanding dengan semakin
tingginya posisi kelas. Dimulai dari warior, elite, master, grandmaster, epic, legend, dan yang
teratas adalah mythic. Akun dengan peringkat 100 besar dunia akan ditampilkan pada fitur
leadeboards.
Dari keseluruhan mode permainan, semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu
melindungi altar (markas), dan menghancurkan altar musuh. Namun untuk mencapai altar,
pemain diharuskan untuk merobohkan beberapa tower yang dijaga oleh sejumlah pasukan
minion dan hero (pemain lain). Biasanya tower tersebar menjadi tiga jalur (kecuali mode
brawl), dan masing-masing jalur mempunyai enam tower (tiga tower musuh, dan tiga tower
tim).

Cyberbullying dalam Permainan Mobile Legends


Berdasarkan hasil penelitian survey terhadap siswa dalam cyberbullying research center,
Cyberbullying dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang mengunggah atau
berulang kali mengolok-olok orang lain yang tidak disukai secara online melalui e-mail, pesan
teks maupun media sosial lainya. Beberapa pengalaman menunjukan bahwa cyberbullying
merupakan bentuk penindasan maya yang meliputi perilaku seperti berkomentar
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

252
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menyakitkan, ancaman, rumor, gambar, atau video yang diunggah atau disirkulasikan secara
online. Terdapat beberapa elemen dalam cyberbullying antara lain willful (perilaku
disengaja), repeated (berulang), harm (merugikan), dan media (komputer, telepon seluler dan
perangkat elektronik lainya). Komponen inilah yang membedakan antara cyberbullying
dengan traditional bullying yang identik dengan fisik (cyberbullying.org, 2015).
Istilah Cyberbullying merujuk pada berbagai perilaku antar individu dari berbagai usia,
tidak hanya terfokus pada remaja. Saat ini cyberbullying menyebar luas seiring meningkatnya
jumlah populasi pengguna internet, khususnya di Indonesia dari tahun ke tahun.
Cyberbullying merupakan salah satu dampak negatif dari penggunaan internet yang memiliki
dua jenis implikasi, yakni secara langsung yaitu ketika pelaku mengirim pesan kepada korban
secara langsung melalui pesan pribadi melalui SMS atau e-mail, dan tidak langsung yaitu
ketika pelaku meminta bantuan orang lain untuk menyakiti korbannya, misalnya
menyebarkan hoax dan mencemarkan nama baik di konten online (Safaria, 2016).
Cyberbullying atau disebut juga perundung maya memiliki beberapa jenis antara lain: 1)
flaming, yaitu perundungan yang dilakukan melalui pesan bernada kasar dan vulgar oleh
seseorang pada kelompok online, 2) online harassment, yaitu pengiriman pesan online secara
ofensif (agresif) dan berulang, 3) cyberstalking, yaitu perundungan yang dilakukan dengan
cara pelaku memberikan ancaman untuk melukai atau mengintimidasi orang lain dalam
konten online, 4) Denigration, yaitu perundungan yang dilakukan secara online dengan
menyebarkan beberapa pesan yang merujuk pada pencemaran nama baik orang lain, 5)
Masquerade, yaitu perundungan yang dilakukan seseorang dengan cara berpura-pura atau
menyamar menjadi orang lain dan menyebarkan berbagai pesan yang menjelekan nama baik
orang lain, 6) Outing, yaitu perundungan yang dilakukan dengan meneruskan mengirim dan
mengunggah materi yang berisi tentang informasi pribadi, sensitif dan memalukan orang lain,
7) Exclusion, yaitu perundungan yang dilakukan dengan cara mengeluarkan atau
menyingkirkan seseorang secara kasar dari grup online (Afriyeni dan Sartana, 2017).
Kehadiran pelaku cyberbullying saat ini semakin bebas melancarkan perilaku
penindasan melalui ruang-ruang komentar yang tersedia dalam konten online, tak terkecuali
pada game online. Mode permainan dalam Mobile Legends yang seringkali banyak
digunakan sebagai perantara perilaku cyberbullying adalah mode classic dan rank. Classic
merupakan mode permainan yang biasanya digunakan sebagai latihan awal ataupun
percobaan bagi para pemain pemula atau ketika pemain ingin mencoba menggunakan hero
baru, sedangkan mode rank merupakan mode yang digunakan untuk menaikan level atau
peringkat pemain. Kedua mode tersebut memakan waktu permainan minimal 10 menit
hingga 30 menit. Mobile Legends merupakan salah satu game yang menyediakan ruang
komentar secara publik dan menghubungkan seluruh pemain Mobile Legends aktif di seluruh
dunia. Terdapat ruang komentar antar dan intra tim, untuk menghubungkan komunikasi
antar pemain, termasuk pemain lawan pada saat permainan berlangsung. Ruang ini yang
kemudian membuka peluang bagi para pelaku cyberbullying untuk melancarkan sederet
aksinya.
Berdasarkan pada hasil observasi partisipan yang dilakukan oleh penulis dalam

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

253
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

permainan Mobile Legends, menunjukkan bahwa terdapat perilaku cyberbullying yang lebih
sering dipraktikkan seperti berkomentar menyakitkan dan makian kepada tim maupun
pemain tertentu. Komentar tersebut banyak dilontarkan secara vulgar dan kasar pada kolom
komentar publik maupun saat permainan berlangsung. Biasanya komentar tersebut ditujukan
untuk para pemain dengan kewarganegaraan yang berbeda dan kepada pemain yang memiliki
skill permainan yang belum memadai atau berada pada peringkat bawah diantara pemain
yang lain pada saat permainan berlangsung. Cyberbullying dalam permainan Mobile Legends
merupakan bentuk pelampiasan rasa kekecewaan terhadap permainan salah seorang tim
maupun permainan lawan yang berdampak pada kekalahan tim dan menurutnya peringkat
pemain. Berikut merupakan berbagai komentar vulgar dan kasar yang sering dilontarkan oleh
pemain:

Gambar 1.komentar pemain untuk tim

Gambar 2. Komentar pemain untuk tim

Gambar 1 dan 2 menunjukkan perilaku cyberbullying yang dilakukan oleh salah


seorang pemain kepada timnya yang dianggap tidak kooperatif dalam bermain. Beberapa
pemain tidak selalu merespon komentar dari pelaku cyberbullying yang melontarkan sejumlah
kata kasar dan vulgar kepada tim nya, namun tidak jarang beberapa diantaranya merespon
dan membalas komentar tersebut dengan kata makian dan hujatan yang sama.

Gambar 3. Komentar pemain untuk pemain lain

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

254
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 4. Komentar balasan dari pemain

Gambar 3 dan 4 merupakan sebuah percakapan dalam kolom komentar yang bernada
makian dengan kondisi yang saling emosional antar pemain satu dengan yang lainya. Beberapa
pemain akhirnya terpancing dengan komentar kasar dan hujatan dari pemain lain.
Berdasarkan teks yang dikirimkan dapat dilihat nampaknya salah satu pemain hendak
membawa permasalahan tersebut lebih lanjut secara personal melalui pesan online Line dan
WhatsApp.

Gambar 5. Komentar pemain di ruang publik

Gambar 5 menggambarkan bentuk praktik c yberbullying berupa komentar yang


dilontarkan pemain Mobile Legends pada kolom komentar publik yang menghubungkan
antar pemain Mobile Legends aktif dari seluruh dunia. Gambar tersebut memperlihatkan
adanya komentar kasar dan vulgar yang dilontarkan antar pemain yang memiliki
kewarganegaraan yang berbeda.

Gambar 6. Pengalaman Cyberbullying

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

255
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 6 merupakan hasil observasi partisipan yang dilakukan pada komunitas online
via instragram realmobilelegendsid yang menunjukan bahwa komentar bullying yang berulang
dapat memicu pemain lain untuk turut serta merespon, sampai kepada menjadi bagian dari
pelaku cyberbullying. Faktor dari lingkungan permainan yang secara berulang melakukan
praktik cyberbullying, membuat hal ini diterima secara wajar meskipun pada hakikatnya
pelaku menyadari praktik cyberbullying merupakan perilaku yang menyimpang.
Berdasarkan teks dalam gambar 1,2,3, 4 dan 5 dapat diidentifikasikan bahwa perilaku
cyberbullying yang dilakukan mengarah pada jenis flaming cyberbullying, yaitu dilakukan
melalui pesan bernada kasar dan vulgar oleh seseorang pada kelompok online. Komentar ini
akan terus berkembang ke arah yang lebih luas, seiring perilaku cyberbullying yang terus
menerus di praktikan dalam permainan Mobile Legends.
Cyberbullying atau perundung maya yang telah dipaparkan pada gambar 1,2,3,4, dan 5
dalam permainan Mobile Legends merujuk pada kondisi ketidakseimbangan kekuasaan yang
memungkinkan adanya praktik penindasan. Dunia maya memiliki jenis kekuatan yang absurd
atau tidak jelas dan sangat mudah bergeser. Berbeda dengan bentuk kekuasaan dalam
traditional bullying yang cenderung bersifat fisik (postur) dan sosial (kecerdasan atau
popularitas). Kekuatan online hanya bisa tersalurkan oleh pengetahuan dan kemahiran
terhadap konten teknologi (informasi, gambar, atau video) (cyberbullying.org, 2015).
Foucault kemudian merefleksikan hal ini sebagai bentuk pengetahuan manusia yang menjelma
menjadi kekuasaan untuk menguasai orang lain (Sarup, 2003). Praktik cyberbullying
merupakan hasil dari akumulasi pengetahuan yang digunakan untuk menguasai pemain lainya,
yang memiliki level skill yang belum memadai. Konsekuensi dari siapapun yang mampu
memanfaatkan teknologi dengan cara yang mumpuni, sangat memungkinkan baginya untuk
menguasai orang lain dalam konten online dengan cara memandang rendah maupun melalui
makian dan hujatan.
Cyberbullying dalam permainan Mobile Legends menegaskan apa yang dikemukakan
oleh Foucault bahwa kekuasaan tidak terpusat, Foucault lebih lanjut menegaskan bahwa
kekuasaan akan selalu menyebar ke berbagai aspek bidang kehidupan sosial, budaya, politik,
tak terkecuali dalam ruang cyber (Sarup, 2003). Ruang cyber saat ini sangat memungkinkan
manusia untuk memproduksi wacana yang dihasilkan dari pengetahuan yang dimiliki.
Konsekuensi dari hal ini adalah kekuasaan semakin melekat dalam kehidupan manusia. Setiap
orang bisa menggunakan kekuasaan hanya dengan jari tangannya melalui perantara mobile
phone untuk menguasai orang lain.
Melihat lebih lanjut, Mobile Legends merupakan game yang memproduksi sebuah
hierarki kelas melalui mode permainan rank yang memungkinkan pemain untuk mengakses
level peringkat tertentu seperti warior, elite, master, grand master, epic dan mythic sesuai
dengan kecakapan atau skill dalam bermain. Hierarki kelas yang diproduksi dalam
permainan Mobile Legends memicu terjadinya ketidakseimbangan pengetahuan sehingga
berimplikasi pada munculnya praktik cyberbullying dalam permainan.
Menindaklanjuti adanya praktik cyberbullying yang terjadi dalam permainan Mobile
Legends. Moonton selaku pengembang dari game tersebut sudah melakukan upaya preventif,
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

256
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

melalui penerapan kebijakan untuk pemain mobile legends yang diaktualisasikan dalam
reward dan punishmen. Setiap pemain yang bermain secara teratur dengan skill yang baik dan
tidak merugikan pemain yang lain akan mendapatkan reward berupa penambahan battle
point, dimana point ini dapat diakumulasikan dan dipergunakan untuk keperluan membeli
hero (karakter pahlawan yang wajib dimiliki untuk bermain mobile legend) dan aksesoris
lainya. Sebaliknya bagi para pemain yang terbukti bermain dengan kemampuan skill rendah,
meninggalkan pertandingan pada saat pertandingan berlangsung dan penggunaan kata-kata
kasar akan ditindaklanjuti dengan memberikan punishment berupa pengurangan credit point
pada user. Pemain (user) memiliki hak untuk melaporkan pelanggaran pemain lain dari tim
nya maupun pemain lawan, ketika permainan sudah selesai. Proses pemberian punishment
kepada pemain, salah satunya mempertimbangkan berbagai laporan pelanggaran yang
dilayangkan oleh pemain lain. Identitas pelapor dalam hal ini tidak akan teridentifikasi oleh
pemain yang lainya. Punishment berupa pengurangan credit point yang signifikan akan
membuat pemain kehilangan haknya untuk bermain dalam mode tertentu, sampai waktu yang
telah ditentukan. Proses membuat laporan kepada pemain yang dirasa melanggar permainan
(report) dapat dilakukan sebagai berikut:

Gambar 6. proses report pertama

Gambar 7. Proses report kedua

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

257
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 8. Proses report ketiga

Pada gambar 6, 7 dan 8 menjelaskan bagaimana cara-cara melaporkan sejumlah


pemain yang dirasa melakukan pelanggaran pada saat permainan berlangsung. Merujuk pada
simbol panah yang ada pada gambar 6, 7 dan 8 dapat diketahui berbagai jenis pelanggaran
yang bisa dilaporkan sesuai dengan tindak pelanggaran pemain saat permainan berlangsung.
Proses report melalui simbol ( ), yang terdapat pada bagian kanan
atas, memiliki makna yang menjelaskan adanya sebuah upaya pendisplinan kepada para
pemain mobile legends agar tetap memiliki attitude permainan yang baik dan tidak
merugikan pemain lain. Foucault kemudian melihat simbol ini sebagai panoptikum, yaitu
sebuah inovasi arsitektural dalam kekuasaan disipliner yang digunakan sebagai usaha untuk
menormalkan individu (yang dianggap menyimpang) yang bertindak diluar etika permainan
yang telah ditentukan. Panoptikum menghadirkan rasa kekhawatiran dan memberikan efek
hati-hati pada para pemain untuk bertindak karena merasa adanya pengawasan yang
kontrolnya tidak dapat teridentifikasi. Foucault menyebut ini sebagai efek panoptik (Sarup,
2003).
Lebih lanjut, keberadaan panoptikum menunjukan adanya bentuk dominasi Moonton
kepada para pemain. Moonton adalah satu-satunya yang memiliki kewenangan (kekuasaan)
untuk menentukan reward maupun punishment sebagai bentuk pendisiplinan kepada para
pemain. Disisi lain upaya pendisiplinan tersebut justeru memproduksi perilaku cyberbullying
yang hingga saat ini banyak di praktikan dalam permainan Mobile Legends. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa pengetahuan dengan kekuasaanya tidak selalu mampu membebaskan
dan menjadi mode pengawasan dan pendisiplinan.

Mobile Legends dan Perilaku Anak


Praktik cyberbullying berupa kata-kata kasar dan makian seringkali muncul dalam
percakapan mode chat permainan Mobile Legends. Maraknya makian yang terjadi pada
permainan Mobile Legends secara sadar maupun tidak sadar memberikan dampak negatif
bagi para pemain. Terlebih usia pemain yang berkisar 12 tahun, dimana pada masa itu
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

258
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

merupakan masa transisi bagi anak-anak menuju dewasa. Eric Erikson menyebutnya sebagai
adolescence atau masa remaja, dimana manusia sedang mencari identitas dan mengalami
kebingungan peran. Erikson mengklasifikasi masa remaja dalam rentang usia 10-24 atau 26
tahun. Peer group merupakan model yang menjadi contoh cara remaja berperilaku. Pada masa
ini masalah yang biasanya dihadapi adalah penolakan (Batra, 2013).
Peer group atau teman sebaya dalam kaitannya dengan permainan Mobile Legends
yaitu keseluruhan pemain yang terlibat dalam game ini. Bagaimana kondisi lingkungan dalam
permainan tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi perilaku remaja. Pada gambar 6,
menunjukkan bahwa sebenarnya anak sudah mengetahui bahwa berkata kasar dan mencaci
merupakan tindakan buruk dan tidak diperbolehkan. Dorongan dari orang lain yang
melakukan cyberbullyinglah yng kemudian memicu yang bersangkutan mempraktikan
perilaku yang sama. Secara tidak langsung, hal ini menggambarkan bahwa kondisi lingkungan
permainan yang sarat akan cyberbullying akan turut mempengaruhi orang-orang yang ada
disekitarnya untuk melakukan hal serupa. Ketidakselarasan antara etika yang diserap sewaktu
kanak-kanak dengan etika yang dihadapi sewaktu remaja membuatnya dalam kondisi
kebingungan.
Remaja berada dalam tahap psikososial antara masa kanak-kanak dan dewasa muda
dimana dia akan belajar untuk membuat makna baru dari moralitas yang diperoleh selama
masa kanak-kanak dan akan mulai mengadopsi etika baru yang akan ia kembangkan dan
terapkan sebagai calon orang dewasa (Batra, 2013).

Gambar 9. Perilaku Memaki

Pada gambar 9, menunjukkan bahwa etika berbicara sopan dan santun yang telah
diajarkan pada masa kanak-kanak seolah ikut pudar setelah remaja mendapat berbagai
komentar kasar dan makian. Etika baru yang mulai dikenal kemudian menjadi sikap dan
karakter yang akan dikeluarkan ketika berhadapan dengan orang lain.
Efek lain yang ditimbulkan dari game Mobile Legends memicu sejumlah perilaku
menyimpang. Bentuk penyimpangan tampak dari adanya fenomena pemakaian uang untuk
membeli diamond (semacam mata uang premium untuk membeli hero, skin, dan aksesoris
lainya) dalam permainan Mobile Legends. Terlebih pelaku penyimpangan ini adalah anak
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

259
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dengan usia dibawah persyaratan untuk mengakses Mobile Legends (12 tahun kebawah).
Diketahui dari akun instagram @drama.olshop, seorang ayah yang mengunggah bukti
pembelian diamond yang dilakukan oleh anaknya:

Gambar 10. Unggahan Pembelian Diamond


Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata perilaku serupa pun pernah dilakukan oleh anak-
anak yang lain, hal ini dilaporkan oleh anggota keluarganya melalui kolom komentar pada
unggahan tersebut, dan komentar pada unggahan asli di facebook dengan akun seperti pada
gambar dibawah ini:

Gambar 11. Komentar dalam Facebook

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

260
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 12. Komentar dalam Instagram

Gambar 13. Usia Pemain Mobile Legends

Berdasarkan Gambar 10, dan 11 menunjukkan bahwa ada sebuah rasa kekecewaan
yang dialami oleh para orang tua, terhadap perilaku anak yang menyalahgunakan uang untuk
keperluan permainan mobile legends. Terlebih pada gambar 12 dan 13 menunjukkan bahwa
pemain Mobile Legends beberapa diantaranya berusia 12 tahun ke bawah (kelas 5 SD).
Padahal pada usia tersebut, baiknya anak-anak masih dibawah pengawasan orang tua,
khususnya dalam literasi digital.

Gambar 14. Aturan pada Mobile Legends

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

261
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 14 merupakan salah satu aturan dasar untuk seluruh user Mobile Legends
yang ditampilkan di Google Play Store. Dalam kasus ini, nampak jelas terjadi penyalahgunaan
identitas yang dilakukan oleh anak yang memiliki kategori usia dibawah 12 tahun.
Penyalahgunaan diatas dapat identifikasikan oleh dorongan anak untuk berkompetisi, karena
pada usia tersebut anak berada dalam tahap school age. Pada tahap ini kompetisi merupakan
kekuatan mendasar yang membentuk pribadi anak-anak (Batra, 2013).
Cyberbullying yang terjadi, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa anak-anak
yang menjadi korban bullying ada di pihak yang lemah dan kalah. Hingga kemudian
munculah rasa kompetitif untuk mendapatkan kemenangan, yang mendorong anak untuk
membeli diamond agar dapat memperoleh skin, emblem, dan aksesoris lainnya yang berguna
untuk meningkatkan skill bermain. Bertambahnya skill, diharapkan mampu memudahkan
pemain untuk mendapat kemenangan. Sikap kompetitf ini memunculkan ambisiusitas anak
untuk lebih lanjut pembelian diamond secara terus-menerus, hal ini kemudian berimbas pada
munculnya perilaku konsumtif pada anak. Namun perilaku konsumtif tersebut tidak
diimbangi dengan kemampuan untuk menghasilkan income. Akhirnya, seperti kasus yang
ditunjukkan pada gambar 12, anak-anak kemudian menyalahgunakan uang orang tua dengan
memakai kartu debit/kredit yang sudah terhubung melalui aplikasi google play store secara
ilegal (tanpa sepengetahuan pemilik) untuk melakukan belanja online pada aplikasi mobile
legends.

Penutup
Simpulan
Permainan Mobile Legends dikembangkan sebagai sarana hiburan dan meningkatkan
kerja sama tim. Namun disisi lain, permainan tersebut membawa dampak negatif, terutama
bagi anak dalam tahap school age dan adolescence. Kata-kata kasar, vulgar, dan makian yang
seringkali muncul pada fitur chat menjadi sumber dari perilaku flaming cyberbullying pada
permainan Mobile Legends. Bullying yang acap dikonsumsi oleh anak-anak ini dapat
membentuk perilaku untuk melakukan hal yang serupa. Perilaku tersebut akan terus tertanam
dan implementasinya akan terlihat ketika anak berhadapan dengan orang lain yang berbeda
ideologi maupun tindakannya.
Dampak lain yang ditunjukkan yaitu perilaku konsumtif yang sudah menjangkiti anak
pada tahap school age. Perilaku konsumtif tersebut berupa pembelian diamond yang berguna
untuk meningkatkan skill hero dalam permainan Mobile Legends. Perilaku konsumtif ini
kemudian menimbulkan efek lain, yaitu penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang
tua kepada anak. Penyalahgunaan terjadi ketika anak menggunakan kartu debit/kredit
anggota keluarganya tanpa izin untuk membeli diamond. Bukan hanya penyalahgunaan
kepercayaan, anak juga menyalahgunakan identitas untuk dapat mengakses aplikasi Mobile
Legends.
Mobile legends merupakan salah satu bentuk penetrasi pasar terhadap negara
berkembang untuk melancarkan tujuan kapitalis. Sasaran kapitalis saat ini salah satunya
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

262
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

adalah ruang cyber, dimana penggunaan dan kemudahan akses tengah dinikmati oleh semua
kalangan tak terbatas usia, termasuk anak-anak dan remaja. Permainan membuat sarana
hiburan sebagai komoditas, hingga akhirnya membentuk perilaku. Cyberbullying merupakan
produk perilaku yang dihasilkan oleh praktik kapitalis, yang mampu menjadi alat untuk
menghegemoni segala aspek bidang kehidupan, termasuk melemahkan kontrol orang tua dan
yang lebih luas kontrol negara.
Saran
Berdasarkan pembahasan yang sudah dipaparkan pada tulisan ini, penulis ingin
mengingatkan terutama kepada orang tua, dan anggota keluarga yang memiliki anak pada
level school age dan adolescence agar lebih dapat melakukan kontrol terhadap segala sesuatu
yang dapat diakses dan dikonsumsi oleh anak. Salah satunya adalah akses terhadap
smartphone dan game online. Karena dampak yang ditimbulkan dapat menjadi efek jangka
panjang dan akan terus-menerus diimplikasikan dalam hidupnya.

Daftar Pustaka

Afriyeni dan Sartana. 2017. Perilaku Perundungan Maya (Cyberbullying Pada Remaja Awal). Jurnal
Psikologi Insight. 1(1): 25-41.
Batra, Sunil. 2013. The Psychosocial Development of Children: Implications for Education and
Society-Erik Erikson in Context. Contemporary Education Dialogue. 10(2) 249–278.
Konzinets, Robert V. 2012. Netnography: Doing Ethnographic Research Online. London: SAGE
Publications.
Nazriani, Dina dan Zahreni, Siti. 2016. Adolescent Cyberbullying in Indonesia: Differentiation
between Bullies and Victim. Atlantis Press: Advances in Social Science, Education and
Humanities Research (ASSEHR), volume 81: 505-508
Poole, Sonya. P. 2017. The Experience of Victimization as the Result of Cyberbullying Among: A
study of Demographics, Self-Esteem, and Locus of Control. Electronic Theses and
Dissertations: Stephen F. Austin College Students State University.
Safaria, Triantoro. 2016. Prevalence and Impact of Cyberbullying in a Sample of Indonesian Junior
High School Students. Journal of Educational Technology. 15 (1): 82-91.
Santoso, M. Raka. 2014. Game Online: Sejarah dan Nama Game Online Pertama. Universitas
Surya. Serpong.
Sarup, Madan. 2003. Post-Strukturalism and Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan
oleh Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

263
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Andri, Sulis. 2017. Ini Dia Kronologi Perseteruan Riot Games dan Developer Mobile Legends!
Diakses pada April 2018. https://www.ggwp.id/2017/07/12/kronologi-moonton-
riot-games/
Cyberbullying.org. 2015. what-is-cyberbullying. Diakses pada April 2018.
https://cyberbullying.org/what-is-cyberbullying.
Duniagames.co. 2016. Sejarah Dota 2, Mulai dari Starcraft, Warcraft, Hingga Perkawinan Icefrog
dengan Valve. Diakses pada April 2018. https://duniagames.co.id/news/100-sejarah-
dota-2-mulai-dari-starcraft-warcraft-hingga-perkawinan-icefrog-dengan-valve.
Telkomsel.com. 2018. Telkomsel Gelar Indonesia Games Championship 2018. Diakses pada April
2018. https://www.telkomsel.com/about-us/news/telkomsel-gelar-indonesia-games-
championship-2018.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

264
Ismalianing Eviyuliwati, Putra Sudharma
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: ismalianing.eviyuliwati@uinjkt.ac.id

Abstract. The objective of the study is to find out whether there is a significant effect of Screencast
O-Matic Application on students’ speaking ability of English, especially in describing people. It is a
quantitative research using a quasi-experimental design. The study is conducted by taking two classes
of the Eighth Grade students of MTs YASPINA Ciputat Tangerang Selatan in the Academic Year
2016/2017 as the sample. Each class consists of 26 students. One class is assigned to be the
experimental group and the other class is the control one. The experimental group uses Screencast
O-Matic Application during their speaking class activities, while the control group does not. The
data are obtained through a pre-test and a post-test. Furthermore, the data analysis shows that the t-
count value of the data (2.678) is higher than the t-table value (1.676) in the significance level of
0.05. In addition, Sig. 2-tailed value or (p) value is 0.01, which is lower than α (0.05) or p < α. It
is stated in the Statistical Hypotheses if t-count value is higher than t-table value and p < α, Ho is
rejected or Ha is accepted. Therefore, it can be drawn a conclusion that there is a significant effect
of Screencast O-Matic Application on students’ speaking ability on describing people.
Keywords: Screencast O-Matic Application, speaking ability, describing people

Introduction
Speaking skill is an interactive process of constructing meaning that involves producing and
processing information. It involves an interactive situation which includes face-to-face conversations
to transfer information through the language use.1 It is to interact with participants and carry a
message of some sort. Some Indonesian students, like students of MTs YASPINA in Ciputat
Tangerang Selatan, have a problem with the interactive process such us having less time to use
English, having bad teacher’s classroom management, and having low ability on speaking in an
academic way.
The chances for Indonesian students to interact in English are quite low. In everyday
communication, even in English classrooms, both teachers and students use Indonesian language
more frequently than English. According to the teachers, it is not effective to use English all the time
because the students will not understand what the teachers are talking about. While from students’
point of view, using English to intimate friends is a shame. That is why most students are reluctant
to use English because they are afraid of being laughed or looked awkward, especially when they
make mistakes in speaking.
If such condition continue running, it is not impossible that Indonesian students will be left
behind by those of other countries. It has been proved by Setyadji, who conducted a survey on the
English skills of Indonesian community in facing Asean Economic Community, that 46.5% of

1
Samiya Atma, Raising Learners' Level of English Fluency Through Classroom Participation. (Constantine: The
People's Democratic Republic of Algeria Ministry of High Education and Scientific Research Mentouri University,2010)
p.19
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Indonesian were found to have two lower levels of speech under reading and listening skills. 2 Here, it
can be seen that the students’ ability in speaking are relatively low and lagging from other abilities.
While in fact, acquiring English is one of the requirement to face AEC (ASEAN Economic
Community), because English is an international language which will be used among countries
having different languages.
Furthermore, the classroom management is one of the problems which often encountered in
the education of Indonesia, especially in English classes. The classes commonly consist of 35-40
students or even more. These big size of classes make the teachers hard to control each student use
of English during the speaking class. Making an assesment on students’ speaking ability is another
problem, because it will take more time to test the students’ speaking ability one by one. At Junior
High School level like MTs YASPINA, English lesson is taught twice a week with the total amount
of time is 175 minutes and it is really not sufficient. Hall stated that the structural approaches in
class can affect the quantity and quality of the students learning the process.3 Therefore, the teacher
strategy is really needed to manage the language teaching and learning.
In addition, speaking is one skill that hard to be practiced by the students, especially in an
academic way. There is a tendency that students need more time to think what they want to say
before they speak up. It is also supported by Erben et. al. that students are hard to use the academic
sentences and they often forget what they want to use in an academic way to interact with the
speaker or teacher.4 Besides, students are easier using their English language when they talk about the
non-academic topic. Here, it can be seen that some strategies are required to cope the limitation of
the students in using English in an academic way.
Based on the identified problems of speaking above, the writers proposed the use of
Screencast O-Matic Application, one of digital applications in a laptop/notebook/netbook, to help
students overcome the speaking problems. And this study is meant to answer the question: Is there
any significant effect of Screencast O-Matic Application on Students’ Speaking Ability, especially in
describing people?

Literature Review
Speaking
Speaking is one of productive language skills which is used to express ideas, thought, and
information. Different from writing, speaking is a verbal communication which involves a speaker
and a listener in the communicating situation. It is allowing inter-relationships between the speaker
and listener so that only by speaking the speaker can know directly how the listener responds to
their thought. Hence, to make the interaction easier, the mastering of sub-skills is really needed.
McDonough and Shaws state that the sub-skills are pronunciation, fluency, gesture, etc.5 Likewise,
Harmer states that a speaker need to have a communicative competence. It refers to the grammar and

2
Market Plus, Kemampuan berbahasaInggris yang dibutuhkan dalam penilaian Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA),http://marketplus.co.id/2016/05/ini-hasil-survei-ef-soal-skill-berbahasa-inggris-masyarakat-indonesia (accessed
September 11, 2017).
3
Graham Hall, Exploring English Language Teaching Language in Action, (New York: Routledge, 2011), p.24.
4
Erben.T, Ban.R, &Castañeda.M, Teaching English Language Learners through Technology. (New York: Routledge,
2009), p.85
5
McDonough and Christoper Shaw, Materials and Methods in ELT-A Teacher’s Guide (Oxford: Blackwell, 1993),
p.133.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

266
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

how to generate the meaning.6 The knowledge of grammar refers to the ability to arrange sentences
with well-organized grammar. Furthermore, the knowledge of generating the meaning relates with
the competence to use a language based on the context.

Computer-Assisted Language Learning (CALL)


The development of language learning technology increased rapidly over time. The evidence
of technology development to the pedagogical area especially in language learning is the use of
technology as a facilitator in language learning. Technology that has been used as a facilitator of
language learning such as mobile phones, internet, and computers. Kerry states that the type of
language learning that involves technology as a computer as a learning medium is called CALL
(computer-assisted language learning). 7
The access to use the computer as the facilitator gives the student many advantages in language
learning. Some activities of language learning that facilitated by computer-based technology learning
are authentic foreign language material, online-learning, language learning tools, and game-based
learning.8 Those activities are able to facilitate language learning of the students.
In order to make the CALL process more meaningful, there are some phase in CALL which
have to be considered. Barson and Debski state that there are three phases of CALL: behavioristic
CALL, communicative CALL, and integrative CALL.9
a. Behavioristic CALL
Behavioristic phase is the first phase that starts in 1950 and implemented in 1960 and 1970.
The program of this phase entailed repetitive language drill and also referred as “drill and practice”.
This phase is based on the model of computer as a tutor. In other words, computer is a tool to
delivering the subject to the student. But this phase had been rejected in end of 1970 and early
1980.
The characteristic of behavioristic CALL:
1) Repeated exposure to the same material is beneficial or even essential to learning;
2) A computer is ideal for carrying out repeated drills since the machine does not get bored with
presenting the same material and since it can provide immediate non-judgmental feedback;
3) A computer can present such material on an individualized basis, allowing students to proceed
at their own pace and freeing up class time for other activities.
b. Communicative CALL
Communicative approach or computer as stimulus is the based of the second phase of CALL.
It started in 1970 and 1980. This approach is believed to be able to improve the previous phase that
not allow enough authentic communication to be more valuable. Some characteristics of
communicative CALL are:
1) Focuses more on using forms rather than on the forms themselves;

6
Harmer, op.cit., p.14.
7
Kerry O’sullivan, CALL: a Guide for English Language Teachers, (Australia: TASEAP, 1999), p.1.
8
David Scott and Shane Beadle, Improving the Effectiveness of Language Learning: CLIL and Computer Assissted
Language Learning (CALL), (London: ICF International, Inc, 2014), p.19.
9
Warschauer M, Computer Assisted Language Learning: an Introduction. In Fotos S. (ed.) Multimedia Language
Teaching, (Tokyo: Logos International, 1996), pp.13-20.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

267
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2) Teaches grammar implicitly rather than explicitly;


3) Allows and encourages students to generate original utterances rather than just manipulate
prefabricated language;
4) Does not judge and evaluate everything the students nor reward them with congratulatory
messages, lights, or bells;
5) Avoids telling students they are wrong and is flexible to a variety of student responses;
6) Uses the target language exclusively and creates an environment in which using the target
language feels natural, both on and off the screen; and
7) Will never try to do anything that a book can do just as well.
c. Integrative CALL
Integrative CALL based on two technological development; they are multimedia computer and
internet. In a single machine, people can access any application or media like texting, graphics,
sound, animation, and video. Multimedia that has all resources and link together so the learners can
choose their own path simply by pointing and clicking the mouse is also called hypermedia.

Screencast O-Matic Application


CALL (Computer-Assisted Language Learning) can facilitate many learning activities. One
of the activities which can be facilitated by CALL is video recording. In CALL, the use of video
recording utilized the web camera inside the computer or laptop in which it can be used to create
video recording task. According to Jewitt, he defines that “Video can be used in a number of ways
for research including participatory video, videography, the use of existing video data, video
interviews and elicitation and video-based fieldwork”.10
Furthermore, there is a tendency in using video recording through CALL in teaching
speaking. Nowadays, video recording can be done with using many Applications. One of
Applications that can be used is Screencast O-Matic. This Application is enabled the students to
create some video recordings through the webcam from their laptops/notebooks/netbooks. The use
of Screencast O-Matic in CALL is the same as that of other video recording Applications. The
differences are on the features in Screencast O-Matic that makes students easily assess their speaking
video and facilitate them in presenting their speaking materials, including their Power Point
presentations.
In this case, the video recording task can be both as the video feedback and video project
work, in which both tasks allow the students to make a communicative activity. Moreover,
communicative activity means that the students have to make a task that performs their language
skills.11 Hence, this activity can be a challenging activity for the students, because it requires the
students to perform their language skill and directly activate their language.

The procedures to operate the Screencast O-Matic, adopted from the Screencast O-Matic
Application, are as follows:
1. First, launch the Screencast O-Matic program in the laptop or notebook or netbook;

10
Carey Jewitt, An Introduction to Using Video for Research, (London: NCRM Working Paper,2012), p.3.
11
Penny Ur, A Course in Language Teaching: Practice and Theory, (Great Britain: Cambridge University Press,
1996), p.123.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

268
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2. Then find some tool that allows choosing what you want to record like just screen, face or
both (screen and face);
3. Next, allow setting the maximum time and quality of the video;
4. Make sure that the microphone is working; you can see it on the moving bar in mic icon;
5. Then click the button REC (record) to start the recording;
6. If you you are unsatisfied with the recording, click the trash icon to delete the previous video
and start again the new recording;
7. Click DONE after the project is finished and save it as a video file or upload it to youtube or
any other media you want.

This research used procedures adapted from Gromik’s study with some modifications in
implementing Video-Recorded Speaking Task.12 First, the teacher explains to the students about the
regulation for making the video. It is intended to build students’ understanding about the task. Next,
students may make some planning notes to decide which parts that they are going to do. Then, the
students make the video with a certain topic. Then, students are also able to edit their video in order
to decide which is the best. Furthermore, the video that made by the students are submitted to the
teacher. The videos can be used as the speaking exercise for the students. At the end, the teacher
gives some feedbacks on the students’ performance after the students completed the video.
Therefore, the students will know their strengths and weaknesses.

Research Method
By using quantitative method and quasi-experimental design, the study employs two classes
(52 students) of the Eighth Grade of MTs YASPINA at the Academic Year 2016/2017. One class
is assigned to be the experimental group, and the other class is the control group.
The data collection is done by giving a pre-test and a post-test to both groups. The aim of
the tests is to measure students’ ability in speaking about a descriptive text, especially in describing
people. To the experimental group, the post-test is given after 4-meeting treatments of learning
speaking by using Screencast O-Matic Application. While, to the control group, the post-test is
given after the students learn speaking in the clasrooms without using Screencast O-Matic
Application, but using the conventional method of speaking performance in front of the class. The
scoring rubric used in the tests of speaking is the one given by David P. Harris.
The technique of data analysis in this research is using a t-test, in order to know the
differences between students’ pre-test and post-test both in the experimental and control groups.
The writers also conducted preliminary data analises, such as normality and homogeneity test to
prepare it for further actual analyses. The t-test, normality and homogeneity tests of these data were
analyzed using Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 20.
Next, after obtaining the t-value, the writers test the hypotheses. With the significance
degree (α) of 0.05, Ha is accepted if the t-value of the data is higher than the t-table and the mean
score of the experimental class post-test is higher than the mean score of the control class, or p < α;
sig. 2 tailed is lower than alpha. Therefore, there is a significant effect of Screencast O-Matic on
students’ speaking ability on describing people. On the other hand, Ha is rejected if the t-value of
the data is lower than the t-table and the mean score of the experimental class post-test is lower than
12
Nicholas Gromik, “Investigation of The Cellphone Video Recording Feature by Japanese Undergraduate EFL
Learners,” Ph.D Thesis, James Cook University, 2013, p.45.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

269
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

the mean score of the control class, or p > α; sig. 2 tailed is higher than alpha. In other words, there
is no significant effect of Screencast O-Matic on students’ speaking ability on describing people.
The last step in data analysis is measuring the effect size by using Cohen’s formulation as
follows13:

d=

Pooled Standard Deviation =

they can be interpreted based on the criteria:


0 - 0.2= weak effect; 0.21 - 0.5= modest effect; 0.51 – 1.00 = moderate effect; and >1.00 =
strong effect.14

Findings
The data description is presented below in Table 1. in accordance with the instruments of
the research, i.e. pre-tests and post-tests given to both the experimental and control groups.
Table. 1 Scores of Pre-Test and Post-Test of the Experimental and Control Groups
Experimental Group Control Group
Pre-Test Post-Test Pre-Test Post-Test
N 26 26 26 26
Mean Score 59.19 68.12 62.08 64.58
Minimum Score 51 60 52 59
Maximum Score 72 80 71 73
Gained Score
8.93 2.5

Table 1 above shows that there are 26 students in each class. At first, the Mean score of the
experimental group pretest (59.19) is lower than that of the control group (62.08). However, after
given 4-meeting treatments (learning speaking using Screencast O-matic Application), the Mean
score of the experimental group post-test (68.12) becomes higher than that of the control group
(64.58). It can be seen also from the gained score obtained in the experimental group (8.93), which
is higher than the control group’s (2.5).
Moreover, the normality test is also conducted before calculating the t-test. The normality
test is conducted to know whether the data from the two classes have been normally distributed or

13
Daniel Muijs, Doing Quantitatve Research in Education, (London: Sage Publications, 2004), p.136
14
Ibid., p. 139.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

270
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

not. The Kolmogorov-Smirnov and Shapiro-Wilk in SPSS 20 are used to do the normality test. The
result can be seen in Table 2 and Table 3 below.

Table 2. Normality Test of Pre-test

If the results are higher in the significance or α = 0.05, it means that the data are normally
distributed. Based on the data above, the results show that p ≥ α (0.200 ≥ 0.05) and (0.166 ≥
0.05), meaning that the pre-test data in this study are normally distributed. The score of p can be
checked through the Sig. value in the table of Kolmogorov-Smirnov columns.
Table 3. Normality Test of Post-test

Table 3 reveals that p ≥ α (0.200 ≥ 0.05) and (0.200 ≥ 0.05). In other words, the post-
test data obtained from the research are considered normal. If the results are higher in the
significance or α = 0.05, the data are normally distributed. It can be concluded that the data are
normally distributed because both classes’ significances are above 0.05.
After doing the normality test, the homogeneity test is conducted in order to test the
similarity of the sample in both classes. The Levene Statistic was used to do the homogeneity test.
The results are presented in Table 4 and table 5.
Table 4. Homogeneity Test of Pre-test

Table 4 shows that the significance of pre-test between the experimental class and control
class is 0.713. Therefore, the data of pre-test are homogeneous because the Sig. value in the table is
higher than 0.05.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

271
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Table 5. Homogeneity Test of Post-test

Table 5 describes that the significance of post-test between the experimental class and
control class is 0.064. Therefore, the data of post-test are homogeneous because the Sig. value in the
table is higher than 0.05.
After finishing the normality and homogeneity test, the next to do is testing the hypotheses
by calculating the t-value through t-test to know the significant difference between the students’
speaking ability in the experimental group and that of the control group. Table 5 below serves the
result of the calculation.
Table 6 The Result of T-Test Calculation

In Table 6, the df (Degree of Freedom) is calculated from the total number of students
minus 2, therefore the df is 50 since the sample size is 52. Besides, the t-count value is 2.678. It is
higher than the t-table value, which is 1.676. Moreover, Sig. 2-tailed value or (p) value is 0.01. It is
stated in the Statistical Hypotheses if p < α, Ho is rejected or Ha is accepted. Table 5 shows that p
<α, which is 0.01 < 0.05. Therefore, it proves that Ho is rejected and Ha is accepted. In other
words, there is a significant effect of Screencast O-Matic Application on students’ speaking ability
on describing people.
The last is finding the Effect Size. The following formula is used:

d =
Mean score of group A (experimental class) = 68.17
Mean score of group B (control class) = 64.58
Mean score of group A - Mean score of group B = 3.59
Standard deviation of group 1 = 5.679
Standard deviation of group 2 = 3.787
Pooled standard deviation = 4.733

d =

= 0.75

Whereas the criteria of the effect size level are:


0 - 0.2 = weak effect

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

272
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

0.21 - 0.5 = modest effect


0.51 – 1.00 = moderate effect
>1.00 = strong effect.
Based on the criteria above, it can be concluded that the effect size of Screencast O-Matic
Application on the students’ speaking ability on describing people in this study is moderate.

Conclusion
Based on the findings of the study, it can be drawn a conclusion that there is a significant
effect of Screencast O-Matic Application on the speaking ability of the students of MTs
YASPINA. It has been proved by the data obtained from the experimental group, which resulted in
higher gained score compared to the control group’s. Moreover, the hypotheses testing also results in
the rejection of Ho (Null Hypothesis), in which p <α or 0.01 < 0.05. At the same time, the
rejection of the Null Hypothesis can also mean the acceptance of Ha (Alternative Hypothesis).
Therefore, the study reveals that there is a significant effect of the Screencast O-Matic Application
on the speaking ability of the students of MTs YASPINA and the size of the effect is moderate.

Implication
Through this study, it can be seen that the use of digital media in English language learning
is very influential. Therefore, teachers of other foreign languages can also take the advantage of using
the Screencast O-Matic Application in their classes. Moreover, studies on similar use of media can
be developed to enhance the students’ ability other than speaking and to comprehend materials other
than descrptive texts of describing people.

References
Atma, S. 2010. Raising learners' level of English fluency through classroom participation,
Constantine:The People's Democratic Republic of Algeria Ministry of High Education and
Scientific Research Mentouri University.
Gromik, N. 2013. Investigation of the cellphone video recording feature by Japanese undergraduate
EFL learners. Thesis. James Cook University.
Hall, G. 2011. Exploring English language teaching language in action. New York: Routledge.
Harmer, J. 1991. The practice of English language teaching. London: Longman Group UK
Limited.
Harris, D. P. 1969. Testing English as a foreign language. New York: Tata McGraw-Hill
Publishing Company Ltd.
Jewitt, C. 2012. An introduction to using video for research. London: NCRM Working Paper.
Mark,W. 1996. Computer assisted language learning: an introductio. In Fotos S. (ed.) Multimedia
language teaching, Tokyo: Logos International.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

273
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

McDonough and Shaw, C. 1993. Materials and methods in ELT- a teacher’s guide. Oxford:
Blackwell.
Muijs, D. 1999. Doing quantitative research in education. London: SAGE Publications.
O’Sullivan, K. 1999. CALL: a guide for English language teachers. Sidney: TASEAP.
Scott, D. and Beadle, Sh. 2014. Improving the effectiveness of language learning: CLIL and
Computer Assissted Language Learning (CALL). London: ICF International, Inc.
Tony, E., Ban R. and Castaneda M. 2009. Teaching English language learners through technology.
New York: Routledge.
Ur, P. 1996. A course in language teaching: practice and theory. Cambridge: Cambridge
University Press.
http://marketplus.co.id/2016/05/ini-hasil-survei-ef-soal-skill-berbahasa-inggris-masyarakat-
indonesia. Retrieved on July 23, 2017 at 09:10
https://screencast-o-matic.com/screen_recorder. Retrieved on March 13, 2017 at 15:03

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

274
Istiqoma, Retno Wahyuningtyas
Universitas Gadjah Mada
e-mail: istiqomassos@gmail.com, retnoowahyu@yahoo.com
Abstract . The intensity of human interaction with the internet is getting higher today. Internet and
internet media become a very important part in everyday life. The nature of the internet that has two
directions, positive and negative, allows a user, the child is still not able to distinguish good and bad
things in medical glasses, to receive messages and apply them. Thus, family literacy becomes
important in the practice of digital literacy involving parents, family members and children.
Therefore, this paper aims to determine the duality of the internet world in children under the age of
13 years old. This research uses a qualitative descriptive approach. The results show that: on the one
hand the internet is able to help children understand the lessons of various methods presented by
various downloadable applications such as Teacher Room, Digital Qur'an, various Children's
Education Games, and others. But on the other side of the world the internet can also give negative
side to children who have not appropriately use the internet as it should, such as the decrease of
children's learning achievement because caused by online game addiction, social media addiction,
pornography addiction, and virtual world become real world.
Key Words: Digital Literacy, Internet, Internet Dualism, Virtual World, Child Development

Pendahuluan

Globalisasi seperti tidak bisa ditolak dan dihindarkan bagi individu, masyarakat bahkan negara.
Dalam hal ini terdapat dua posisi biner (optimis dan pesimis) dalam memandang globalisasi. Pada
yang pertama globalisasi dianggap mempunyai implikasi positif bagi negara maju dan negara sedang
berkembang. Globalisasi juga akan menciptakan peluang karena akan memperluas pasar dan
mempercepat pergerakan modal, barang dan uang (World Bank, 1995). Berbeda dengan pandangan
Chang, Ha-Joon dan Grabel, Ilene (2004) yang menyatakan bahwa globalisasi hanya menguntungkan
negara yang sudah siap berkompetisi, memiliki keunggulan keterampilan dan modal. Negara-negara
yang tidak mampu bersaing akan tersingkir dan menambah sulit proses pembangunan negara karena
ada penguasaan (hegemoni) dan ketergantungan. V. Shiva dan J. Bandyopadhyay pun mengungkap
betapa proses menuju global ini adalah sebuah pengandaian yang bersifat mekanistis (F.X. Baskara T.
Wardaya dan F. Budi Hardiman, 1993)
Globalisasi adalah sebuah rentangan proses yang kompleks, yang digerakkan oleh berbagai
pengaruh politis dan ekonomis. Globalisasi mengubah kehidupan sehari-hari, terutama di negara
berkembang, dan pada saat yang sama ia menciptakan sistem-sistem dan kekuatan-kekuatan
transnasional baru. Ia lebih dari sekedar menjadi latar belakang kebijakan-kebijakan kontemporer:
globalisasi mentransformasikan institusi-institusi masyarakat di mana kita berada (Giddens, 2002:38).
Revolusi di bidang komunikasi dan penyebaran teknologi informasi sangat erat kaitannya dengan
globalisasi. Globalisasi bukan sesuatu yang di awang-awang, ia sudah ada di halaman rumah kita dan
pengaruhnya sudah kita rasakan sehari-hari (Djuraid, 2008:39).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Menguatnya trend globalisasi membuat setiap negara di belahan dunia ini berlomba-lomba dalam
menggencar-gencarkan proses menuju global ini. Sehingga dunia menganggap bangsa yang maju
adalah bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Salah satu titik masuk untuk memenuhi kualifikasi
sebagai bangsa yang maju adalah melalui kecakapan dalam menggunakan internet. Berdasarkan survei
yang dilakukan oleh APJII (2016) populasi netter tanah air mencapai 132,7 juta dari 256,2 juta atau
51,8% dari jumlah total penduduk Indonesia. Angka tersebut setidaknya membawa Indonesia kepada
peringkat ke-4 terbesar di dunia dalam hal jumlah pengguna internet. Bahkan CNBC Indonesia
(2018) memperkirakan akan ada pengguna internet mencapai angka 480 juta pada tahun 2020 di
Asia Tenggara dan 45% dari total perkiraan tersebut akan ada di Indonesia.
Internet adalah sebuah produk kebudayaan, sejatinya ia hanyalah alat yang dapat memberikan
dampak positif maupun negatif sehingga tergantung pada cara dan tujuan penggunaanya. Bak pisau
bermata dua, sudah semestinya manusia menggunakan internet untuk menghasilkan kehidupan yang
berbudaya. Untuk itu, literasi digital menjadi semakin peting untuk dilakukan di berbagai generasi.
Literasi digital menurut UNESCO adalah kemampuan meggunakan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan dan mengkomunikasikan konten
da informasi dengan kecakapan kognitif, etika, sosial, emosional dan aspek teknis atau teknologi.
International Telecommunication Union (ITU) menekankan perlunya perhatian khusus terhadap
generasi muda (digital natives) yang telah akrab dengan dunia digital. Di Indonesia, lebih kurang 50%
dari total pengguna internet adalah digital natives (Rudiantara, 31 Januari 2018).
Digital natives atau anak zaman now akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian berbagai stakeholders
di tingkat nasional maupun internasional. Betapa tidak, “generasi micin” ini menjadi ujung tombak
penetrasi internet di Indonesia. Lahir dan besar bersama derasnya era informasi dan digital sehingga
haus akan hal-hal baru. Generasi ini juga memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan
beberapa generasi sebelumnya, misalnya dalam hal penerimaan serta literasi usia muda lebih mudah
ketimbang generasi usia sebelumnya. Meminjam kutipan Partini (2017) Tapscoot mengkategorikan
manusia ke dalam empat generasi, yakni:
1. Generasi tua termasuk kategori babby Boomers yang lahir tahun 1946-1964,
2. Generasi X yang lahir tahun 1965-1976,
3. Generasi Y yang lahir tahun 1977-1994, dan
4. Generasi Z yang lahir setelah tahun 1995.
Generasi tersebut dapat diperjelas ke dalam beberapa kategori, yakni:
1. Digital immigrants adalah sebutan bagi mereka yang lahir sebelum tahun 1980,
2. Digital natives terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Digital natives generasi Y yang lahir tahun 1980-an sampai 1994,
b. Digital natives generasi Z yang lahir sekitar tahun 1995, dan
c. Digital natives generasi Alpha yang lahir setelah tahun 2010.
Generasi babby boomers belum banyak bersentuhan dengan teknologi komunikasi dan informasi.
Generasi X memiliki keterampilan teknologi yang lebih baik namun pola pikir generasi X cenderung
masih sejalan dengan pola pikir babby boomers. Generasi Y lebih mampu memanfaatkan teknologi
dan media online, generasi ini sering disebut sebagai generasi digital. Generasi Z lahir pada saat
teknologi informasi telah berkembang pesat dan telah bergeser sebagai kebutuhan primer. Kehidupan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

276
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

generasi Y dan Z sebagai generasi millenial disebut sebagai generasi digital natives. Menurut Prensky
digital native adalah generasi muda yang tumbuh dikelilingi komputer, ponsel dan perangkat lain yang
selalu terhubung secara online. Hadirnya digital natives menggeser sistem nilai budaya yang berlaku,
mengubah tatanan sosial, tatanan profesi dan etika. Generasi digital natives membentuk gaya hidup
tersendiri sebagai generasi menunduk, di mana interaksi sosial mereka bergeser menjadi interaksi yang
termediasi oleh media, realitas nyata diganti hiper-realitas maya yang menjadi acuan bertingkah lak
(Partini, 2017).
Berkaitan dengan hal di atas, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2016)
menunjukkan sebuah perbedaan pengguna internet berdasarkan kelompok umur antara tahun 2016
dan dua tahun sebelumnya. Jika pada tahun 2014 usia termuda dalam menggunakan internet adalah
18 tahun, maka pada tahun 2016 usia termuda adalah 10 tahun. Hasil survey APJII tersebut
menunjukkan bahwa ada kecenderungan usia pengguna internet semakin lama semakin muda. Di
samping data tersebut, kerap dijumpai pengguna internet di bawah usia 10 tahun tengah sibuk
bermain game atau menonton film dengan berbagai piranti seperti tablet, telpon genggam
(smartphone), laptop melalui internet. Tidak hanya di rumah, fenomena tersebut sangat mudah sekali
untuk menjumpai, misalnya di ruang publik seperti pusat perbelanjaan, restoran, dan bandara (Novi
Kurnia, 2017).
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dualisme dunia internet pada anak di
bawah usia 13 tahun dengan mengambil lokasi di Desa Rengas Kecamatan Payaraman Kabupaten
Ogan Ilir Sumatera Selatan. Adapun yang menjadi latar belakang pemilihan lokasi tersebut karena
desa tersebut merupakan salah satu wilayah rural yang ada di Sumatera Selatan akan tetapi akses
internet berupa fasiltas jaringan yang sudah cukup baik dan masyarakatnya telah akrab dengan gawai
dengan segudang kecanggihannya. Para orang tua tidak ragu lagi untuk memberikan gawai terbaru
kepada anak-anaknya yang masih di bawah usia 13 tahun tanpa mempertimbangkan dampak yang
akan diterima sang anak.
Dalam upaya menganalisis fenomena tersebut, penulis mencoba menggunakan konsep dormologi
yang pertama kali dikenalkan oleh “Paul Virilio” seorang filsuf, urbanis, dan teoritisi sosial
kebangsaan Prancis. Dalam bukunya yang berjudul Dromology, Virilio menjelaskan bahwa dromologi
merupakan proses percepatan kultural yang ditopang oleh kehadiran teknologi komputerisasi yang
semakin deras. Kecepatan menimbulkan eliminasi batas-batas spasial dan bahkan sangat sulit untuk
membedakan waktu dan ruang. Kenyataannya, menurut Virilio, kecepatan membanjiri jarak.
Kecepatan juga merupakan susunan citra yang membingungkan yang membombandir kita pada dasar
kehidupan sehari-hari yang menyebabkan krisis konseptualisasi dan representasi, sebuah krisis
terhadap hal yang dapat dimengerti (Ritzer, 2010).
Harapannya tulisan ini mampu memberikan sedikit gambaran kepada para pembaca bahwa betapa
internet mampu memberikan segudang kebaikan kepada kita dan anak-anak kita, namun selain itu
internet juga akan memberikan keburukan yang tidak bisa kita hambat kecuali dengan cara
memberikan pendampingan dan edukasi kepada anak-anak kita, sehingga dapat meminimalisir
dampak negatif yang akan diterima oleh anak-anak kita.

Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Menurut Robert K. Yin (dalam Sari
Wahyuni, 2012), qualitative research involves an in-depth understanding of human behavior and the
reasons that govern human behavior. It relies on reasons behind various aspects of behavior. Sebagai
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

277
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

suatu pendekatan penelitian, kualitatif digunakan untuk membantu peneliti dalam mendeskripsikan
dan menganalisis bagaimana dampak yang diakibatkan oleh interaksi anak usia di bawah 13 dengan
internet dengan cara mengeksplorasi situasi yang terjadi di Desa Rengas Kecamatan Payaraman
Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan.
Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak di bawah usia 13 tahun dan menggunakan internet
dari berbagai gawai. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer yang diperoleh melalui
observasi langsung dan data sekunder seperti jurnal, artikel ilmiah, majalah, koran, dan berita resmi
yang memiliki relevansi dengan isu yang diangkat dalam tulisan ini.

Hasil dan Pembahasan


Pentingnya Literasi Digital bagi Anak di bawah Usia 13 Tahun
Internet adalah sebuah sistem informasi global yang terhubung secara logika oleh address yang
unik secara global yang berbasis pada internet protocol (IP), internet mendukung komunikasi dengan
menggunakan TCP/IP, internet juga menyediakan, menggunakan dan membuatnya bisa diakses baik
secara umum maupun khusus (Greenlaw dan Hep, 2001). Turban, Rainer dan Potter (2005)
mendefinisikan internet sebagai sebuah jaringan besar yang menghubungkan jaringan komputer baik
dari organisasi bisnis, organisasi pemerintah, dan sekolah-sekolah dari seluruh dunia secara langsung
dan cepat.
Di era yang serba canggih ini berbagai sektor menganut istilah digitalisasi. Di balik manfaatnya,
dunia digital membuat orang cenderung kurang bijak dan mengabaikan tanggung jawab sebagai
pengguna internet. Oleh karena itu, setiap pengguna, muda atau tua, memerlukan pengetahuan tentang
literasi digital. Literasi digital merupakan salah satu komponen dari enam literasi dasar yang harus
dikuasai setiap orang di zaman teknologi informasi seperti sekarang ini. Literasi digital itu melengkapi
lima literasi lainnya, yakni literasi bahasa dan sastra, literasi sains, literasi finansial, literasi
kewarganegaraan, dan literasi budaya (Gln.Kemendikbud, 2017).
Istilah literasi digital pertama kali dikemukakan oleh Paul Gilster, bagi Gilster (1997) literasi
digital merupakan kemampuan seseorang menggunakan teknologi dan informasi dari piranti digital
secara efektif dan efisien dalam berbagai konteks, seperti akademik, karier, dan kehidupan sehari-hari.
Bawden (2001) memperluas pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi
komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada dekade 1980-an ketika
komputer mikro semakin luas dipergunakan, tidak hanya di lingkungan bisnis, tetapi juga masyarakat.
Sementara itu, literasi informasi menyebar luas pada dekade 1990-an manakala informasi semakin
mudah disusun, diakses, dan disebarluaskan melalui teknologi informasi berjejaring internet.
Sementara itu, Douglas A.J. Belshaw dalam tesisnya yang berjudul What is Digital Literacy?
(Kemendikbud, 2017) menyatakan bahwa ada delapan elemen esensial untuk mengembangkan literasi
digital, yaitu:
1. Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital;
2. Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten;
3. Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual;
4. Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital;
5. Kepercayaan diri yang bertanggung jawab;
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

278
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

6. Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru;


7. Kritis dalam menyikapi konten; dan
8. Bertanggung jawab secara sosial.
Menurut Belshaw, aspek kultural menjadi elemen terpenting karena memahami konteks pengguna
akan membantu aspek kognitif dalam menilai konten. Hague (dalam Indah Kurnianingsih dkk, 2017)
juga mengemukakan bahwa literasi digital merupakan kemampuan untuk membuat dan berbagi dalam
mode dan bentuk yang berbeda; untuk membuat, berkolaborasi, dan berkomunikasi lebih efektif, serta
untuk memahami bagaimana dan kapan menggunakan teknologi digital yang baik untuk mendukung
proses tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa literasi digital tidak hanya mengacu pada
keterampilan secara teknis melalui piranti saja, tetapi juga diperlukan proses “membaca” dan
“memahami” peroduk yang disajikan perangkat teknologi serta proses “konsumsi” dan “reproduksi”
menjadi sebuah pengetahuan baru.
Berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan oleh APJII pada tahun 2016, saat ini pengguna
internet dengan kelompok umur 10-18 tahun (digital natives) menjadi urutan terbesar ke-3 di
Indonesia (Novi Kurnia, 2017). Belum lagi anak-anak dengan usia di bawah 13 tahun yang bisanya
sibuk memainkan gawai mereka di ruang-ruang publik. Sebagaimana yang telah peneliti ungkapkan di
bagian awal tulisan ini, bahwa Mentri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara, menyatakan dalam
sambutannya di acara Gerakan Nasional Literasi Digital SIBERKREASI yang dilaksanakan di
FISIPOL UGM Yogyakarta bahwa International Telecommunication Union (ITU) menekankan
perlunya perhatian khusus terhadap generasi muda (digital natives) yang telah akrab dengan dunia
digital. Perhatian khusus ini dapat kita wujudkan melalui penggencaran literasi digital di berbagai lini
baik di wilayah urban maupun rural Indonesia. Selain itu, negara telah giat mengkampanyekan literasi
digital melalui kerjasama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) sejak tahun 2017 lalu.
Anak di bawah usia 13 tahun belum mampu menyaring hal-hal baik dan buruk dari berbagai
konten yang ditawarkan oleh internet. Secara administratif, anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat 1). Sedangkan World
Health Organization (WHO) memberikan batasan usia anak adalah dejak anak dalam kandungan
sampai usia 19 tahun. Berdasarkan konvensi hak-hak anak yang disetujui oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun
1990, Bagian 1 ayat 1, yang dimaksudkan anak adalah setiap individu berusia di bawah 18 tahun
(Kemenkes RI, 2014).
Sebagaimana menurut Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Valentina Ginting (Republika.co.id)
menjelaskan bahwa pada usia anak-anak terdapat yang namanya Pre Frontal Cortex (PFC) adalah
pusat kendali manusia yang memengaruhi untuk menentukan pilihan, menilai baik dan buruk, norma
dan moral. Ketika Pre Frontal Cortex rusak, dampaknya bisa mengubah keprobadian seseorang, tidak
bisa menilai mana baik dan mana yang buruk, bahkan tidak mengenali norma-norma. Seperti,
pornografi bisa merusak otak anak yang dapat menyebabkan perubahan kepribadian, gangguan emosi,
dan kerusakan moral. Sedangkan tidak ada yang mampu menolak dan membatasi penyebaran berbagai
produk internet yang memiliki dua wajah tersebut.
Masih banyaknya pengguna internet, khususnya anak-anak, yang belum mampu dan belum siap
menggunakan internet dengan cerdas dan arif. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa data yang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

279
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak Indonesia menggunakan internet dengan tidak tepat,
seperti yang dilansir BPS (2014) pada tahun 2010-2014 terdapat 80 juta anak telah mengakses
pornografi online (Endah Triastuti, 2017). Selain itu, berbagai lembaga dan media melansir beberapa
kasus yang berkenaan dengan perilaku anak dalam menggunakan internet, misalnya, dalam rentang
waktu 2014 hingga 2016 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada sekitar 1.200
laporan mengenai kasus pornografi dan cyber crime yang menjadikan anak-anak sebagai target
utamanya. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan jumlah anak yang menggunakan internet
(CNN Indonesia, 2017). Merujuk fenomena pengguna internet di atas, penulis berasumsi bahwa
literasi digital menjadi kian penting masa kini, tidak hanya sebagai sebuah komplementer saja, tetapi
sebagai prioritas bersama dalam rangka melakukan upaya edukasi kepada pengguna internet
khususnya pengguna internet di bawah usia 13 tahun.
Masih banyaknya kesenjangan antara anak yang tinggal di wilayah urban dengan anak-anak yang
tinggal di wilayah rural, misalnya dalam hal pengetahuan tentang penggunaan internet secara cerdas
dan bijak. Mengingat banyaknya konten negatif yang tersebar di internet, yang memungkinkan anak-
anak, kota maupun desa, terpapar isu-isu anak atau remaja, cyberbullying, adiksi pornografi, adiksi
online games, cybercrime, serta isu-isu lain yang terus menerus berkembang sebagai dampak dari
semakin derasnya arus perkembangan dunia digital ini.

Dualisme dunia Internet pada Anak di bawah Usia 13 Tahun di Desa Rengas
Desa Rengas merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Payaraman Kabupaten Ogan
Ilir Sumatera Selatan. Sebagaimana yang peneliti katakan bahwa Desa Rengas ini merupakan salah
satu wilayah rural yang ada di Sumatera Selatan. Fasilitas berupa jaringan internet yang ada tidak
secepat jaringan yang ada di wilayah urban setiap wilayah. Uniknya masyarakat desa ini telah akrab
dengan gawai dan internet yang semakin tak terbendung lagi kemajuannya. Berdasarkan hasil observasi
peneliti pada tahun 2017 lalu, para pengguna internet dengan kelompok usia di bawah 13 tahun,
anak-anak sekolah dasar, sangat mudah dijumpai. Anak-anak tersebut kebanyakan mengakses internet
melalui gawai miliknya (pemberian orang tua) yakni berupa telpon pintar ( smartphone) atau tablet,
selain itu ada juga anak-anak yang mengenal dan mengakses internet melalui gawai orang tua, kakak,
anggota keluarga, dan teman sepermainan.
Berdasarkan hasil observasi, anak-anak pengguna internet dengan kelompok umur di bawah 13
tahun di Desa Rengas ini cenderung mudah beradaptasi dengan teknologi informasi dan komunikasi.
Anak cenderung lebih mudah paham dalam hal mengoperasikan alat teknologi dibandingkan dengan
orang tuanya. Melalui internet anak dapat memperoleh dampak positif sekaligus dampak negatif:
pertama, anak mampu menemukan beragam variasi metode belajar yang menyenangkan, seperti
dengan adanya beberapa aplikasi yang dapat di download seperti Ruang Guru, Al-Qur’an Digital,
game-game online yang bersifat edukasi dan lain-lain. selain itu, anak juga bisa menjadi lebih melek
teknologi karena sudah bisa mengenal dan menggunakan berbagai alat teknologi yang dapat
terhubung secara global melalui jaringan internet.
Pada yang kedua, anak mengalami penurunan prestasi belajar yang disebabkan oleh adiksi game
online, adiksi media sosial dan lain-lain. Anak juga berpotensi untuk menjadi korban kekerasan di
dunia maya (cybercrime) yang berujung pada tindakan-tindakan yang negatif. Karena intensitas anak
berinteraksi dengan internet semakin hari semakin tinggi, maka anak akan mengalami penurunan
intensitas berkomunikasi bersama anggota keluarganya, intensitas bermain dengan teman sepermainan
juga akan berkurang. Anak-anak juga sudah mulai candu media sosial. Sebagaimana berdasarkan hasil

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

280
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

observasi peneliti, facebook adalah salah satu media sosial yang paling sering dan paling dekat dengan
keseharian mereka. Anak dan orang tua sama-sama belum menyadari bahwa media sosial, facebook,
merupakan salah satu media sosial yang di dalamnya tidak semua bersifat positif. Media sosial punya
beberapa sisi positif, namun belakangan media sosial kembal resah karena banyaknya peredaran ujaran
kebencian. Tidak sedikit anak-anak terpengaruh dan ikut-ikutan mengumbar kata-kata kasar dan
penuh kebencian. Akibatnya, seorang anak remaja menjadi korban persekusi. Ia didatangi sejumlah
anggota sebuah organisasi yang merasa dilecehkan oleh pernyataannya di facebook
(Gln.Kemendikbud, 2017).
Berdasarkan fenome tersebut, Virilio menyatakan bahwa globalisasi dan modernisasi terjadi di
setiap lini sehingga pada akhirnya mengantarkan manusia pada kompetisi begitu ketat. Siapa yang
cepat dialah yang dapat. Dalam perkembangannya dromologi menjadi identitas masyarakat
postmodern. Baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, hingga pada yang mendasar sekalipun,
interaksi sosial misalnya. Semakin besarnya arus digitalisasi maka disitulah dromologi akan semakin
membudaya di tengah-tengah kita. Anak-anak mulai menggeser dunia mereka, jika yang awalnya anak-
anak biasa bermain dan bercanda tawa bersama teman-teman sepermainannya, kini mereka hanya
duduk dan diam di rumah dengan memegang gawai mereka masing-masing.
Berkembangnya dromologi menjadi sebuah identitas baru bagi digital natives tak dapat dipungkiri
telah melahirkan berbagai perubahan dan pergeseran dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
Desa Rengas. Interaksi sosial antara anak dan orang tua, anak dan anggota keluarga yang lain, anak
dan teman-teman sepermainannya tidak lagi berjalan normal seperti biasa di mana yang awalnya harus
bertemu dan melakukan perjalanan panjang menuju ruang dan waktu, namun telah termediasi oleh
media, seperti melalui media sosial anak berkomunikasi dengan teman-teman sekolahnya atau
tetangganya, sehingga kehidupan sehari-hari kini menjadikan ruang dan waktu yang melebur. Jarak
menjadi lebur, hilang, lenyap. Tidak dapat dibedakan lagi anatara keduanya, semua berjalan begitu
singkat. Produk-produk tradisional yang lahir berdasarkan adat, kebudayaan, dan kolektivitas
masyarakat tersingkap oleh produk-produk modernisme.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengguna internet dengan kelompok usia di
bawah 13 tahun yang ada wilayah rural Indonesia masih belum arif dalam menghadapi internet. Di
satu sisi, mereka dapat mengakses jaringan, mengoperasikan piranti dan media digital, namun di sisi
lain, para pengguna juga belum memahami sepenuhnya fungsi dan tanggungjawab serta prosedur yang
baik dalam menggunakan internet. Terlebih lagi masih banyak pengguna internet yang belum
menggunakan internet secara produktif . oleh karena itu, literasi digital merupakan program yang
berhak diterima oleh berbagai kelompok terutama pengguna internet kelompok usia di bawah 13
tahun. Anak berhak mendapatkan keamanan baik di dunia nyata maupun di dunia digital. Belum
meratanya pemahaman anak mengenai literasi digital akan berdampak terhadap kehidupan anak di
masa depan.
Tumbuhnya identitas baru pada digital natives yang menggeser kehidupan virtual menjadi
kehidupan nyata akan selalu melahirkan dua wajah, baik dan buruk. Melalui internet anak dapat
memperoleh manfaat yang sangat besar, jika anak memiliki tujuan yang baik dan jika anak memahami
prosedur yang benar dalam menggunakan internet. Akan tetapi, akan ada dampak yang sangat besar

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

281
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tidak hanya untuk anak sebagai pengguna internet langsung, akan tetapi juga akan mempengaruhi
orang lain atau bahkan dapat merugikan orang lain.

Saran
Orang tua hendaknya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap dampak yang akan ditimbulkan
dari interaksi antara anak dan internet. Salah satu bentuk kepedulian tersebut dapat dimanifestasikan
ke dalam pendampingan terhadap anak yang sedang berinteraksi dengan internet. Oleh karena itu,
orang tua, ibu dan ayah, dituntut untuk memiliki dan meingkatkan kecakapan literasi digital agar bisa
menjadi agen literasi yang arif dalam lingkaran keluarganya.
Daftar Pustaka
Bawden, D. 2001. “Information and Digital Literacy: A Review of Concepts”. Journal of
Documentation, 57(2). Hlm. 218–259.
Chang, Ha-Joon dan Grabel, Ilene. 2004. Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali
Makna Pembangunan. Diterjemahkan oleh Muh. Gusti Zainal. Yogyakarta: Insist.
CNN Indonesia. Pemantauan Gawai Anak. 2017. Dapat diakses melalui
https://www.youtube.com/watch?v=kph8YA-d6lA Pukul 13.05 WIB
Djuraid, Dhimam Abror. 2008. Globalisasi-Modernisasi-Hibridisasi Catatan Mingguan Seorang
Wartawan. Surabaya: Pustaka Eureka.
Giddens, Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. Diterjemahkan oleh: Ketut Arya
Mahardika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gln.Kemendikbud. 2017 dapat diakses melalui http://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/wp-
content/uploads/2017/10/Majalah-Pendidikan-Keluarga-Edisi-Agustus-2017-
perhalaman.pdf Pada 07 Mei 2018 Pukul 14.43 WIB
Gilster, Paul. 1997. Digital Literacy. New York: Wiley.
Greenlaw, R., dan Hep, E. 2001. Inline/Online: Fundamentalism of the Internet and the World
Wide Web. Obsborne: McGraw.Hill.
Hague, Cassie dan Sarah Payton. 2010. “Digital Literacy Across the Curriculum: a Futurelab
Handbook. United Kingdom”. Dapat diakses melalui
https://www.nfer.ac.uk/publications/FUTL06/ FUTL06.pdf, diakses pada 06 Mei 2018
Pukul 14.08 WIB.
Hannan, Abd. 2013. Pendidikan Dromologi dan Krisis Karakter. Dapat diakses melalui
http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/55851-pendidikan-dromologi-dan-krisis-
karakter.html pada 05 Mei 2018 Pukul 11.45 WIB
Hardiman, F. Budi dan F.X. Baskara T. Wardaya. 1993. Riset Partisipatoris-Riset Pembebasan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hasibuan Lynda. 2018. Indonesia, Pengguna Internet Terbesar Asia Tenggara di 2020. CNBC
Indonesia. Dapat diakses melalui
https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20180308115722-33-6605/indonesia-pengguna-
internet-terbesar-asia-tenggara-di-2020 Pada 04 Mei 2018 Pukul 18:51 WIB

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

282
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kementrian Kesehatan RI. InfoDATIN-Anak. 2014.


Kurnianingsih, Indah, Rosini dan Nita Ismayati. 2017. Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi
Digital bagi Tenaga Perpustakaan Sekolah Guru di Wilayah Jakarta Pusat Melalui Pelatihan
Literasi Informasi. Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, Vol. 3, No. 1, 1 September 2017:
61-76
Martin, A. 2006. “Literacies for Age Digital Age” dalam Martin & D. Madigan (eds), Digital
Literacies for Learning. London: Facet.
Putra, Yudha. 2018. Pornografi Bisa Rusak Otak Anak. Republika.co.id. Dapat diakses melalui
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/18/03/16/p5op6d284-
pornografi-bisa-rusak-otak-anak Pada 06 Mei 2018 Pukul 16.37 WIB
Ritzer, George. 2010. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan oleh Muhammad Taufik. Yogyakarta:
Juxtapose Research and Publication Study Club dan KREASI WACANA.
Triastuti, Endah. 2017. Kajian Dampak Penggunaan Media Sosial Bagi Anak dan Remaja.
PUSAKOM: Fisip UI.
Turban, E., Rainer, R. K., dan Potter. 2005. Introduction to Information Technology. New Jersey:
John Wiey & Sons.
Wahyuni, Sari. 2012. Qualitative Research Method: Theory and Practice. Salemba Empat: Jakarta.
World Bank. 1995. Workers In an Integrating World. New York. Oxford University Press. Dapat
diakses melalui https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/5978 Pukul 11.09
WIB.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

283
Khairil Ikhsan Siregar
Universitas Negeri Jakarta

Abstract. The study of criticism of hadith needs to be published to strengthen the belief of the people
to have a saheeh hadith as the foundation of Islamic teaching. Criticism of study hadith one of them is
study of sanad hadis then claimed half of studying science of hadith. The science of al-Jarh wa al-
Ta'dil among the disciplines of hadith as a means of criticizing the narrators of hadith in a Hadith in
the form of lafaz-lafaz or commentary of the scholars of the hadith critics suspend the quality of the
narrators or traditions. This study aims to explore the authority of Ibn Hajar al-Asqalani in sanad
criticism which is reflected in his two books; Tahdzib-al-Tahdzib and its summaries Taqrib al-
Tahdzib claimed to be the last work in the study of al-jarh wa al-ta'dil and summarize the opinion the
scholars of Hadith critics of their commentary have established the quality of the narrators, especially
the narrators of the traditions of Kitab al-Sittah and then attempt to publicize the criticism of the
hadith by using digital literacy. The method used in this study is qualitative through the study of lust
or specific as a study of the leteration of Ibn Hajar al-Asqalani's authority research in criticizing the
narrator of hadith. So it is hoped this study will contribute to the people obtain information about
how to criticize the hadith to get the quality of saheeh, hasan and da 'if by presentation through
digital literacy.
Keywords: authority, ibn hajar, criticism of hadith, book tahdzib al-tahdzib, digital literacy

Pendahuluan
Kedudukan hadis dalam pandangan umat sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Alqur‟an. Validasi hadis banyak dibicarakan di abad ketiga Hijriah karena terjadi dalam sejarah hadis
melewati upaya-upaya pemalsuan hadis dari kelompok-kelompok yang sakit hati dengan kemajuan
umat Islam saat itu, seperti kelompok zanadiqah, qasshashin. Ulama hadis abad itu melahirkan
kaidah-kaidah kritik hadis baik sanad dan matan-nya. Tujuannya memverifikasi hadis-hadis yang
sahih dari hadis-hadis yang dha‟if atau pun hadis palsu.
Konpentensi mengkritik hadis bagi umat adalah sebuah ilmu yang utuh harus dimiliki dengan
mendalami wawasan tentang ilmu hadis yang bertujuan agar umat mendapatkan kualitas sebuah hadis
baik sanad dan matan-nya. Perlu menjadi percerahan bagi umat bahwa kedudukan hadis sama dengan
al-Qur‟an. Keduanya diwariskan kepada umat ini maka menjadi pikiran utama adalah bagamana umat
mampu mengembalikan hadis yang dikutip dari berbagai tulisan baik buku, artikel, dan lain
mengembalikan hadis kepada kitab-kitab hadis yang manjadi kitab-kitab referensi hadis Ahlussunah,
maka upaya mengkritik seperti tersebut adalah kritik sederhana ataupun kritik pemula.
Kritik sanad untuk sebuah hadis pada masa sekarang adalah wawasan tentang informasi biografi
para perawi hadis dan komentar ulama kritikus hadis yang telah dibukukan dan diwaris kepada umat
sampai sekarang ini. Komentar ulama kritikus hadis sebagai intrumen meniliti kualitas para pewari
hadis dalam sebuah sanad hadis menjadi bagian dari ilmu hadis yang disebut ilmu al-jarh wa al-ta‟dil,
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

yakni menyebutkan sifat buruk perawi hadis dan sifat baik perawi yang melekat dalam diri perawi.
Upaya ulama hadis sangat variatif dalam membukukan komentar mereka kepada para rijal hadis,
seperti khusus membukukan para rijalul hadis yang al-tsiqat saja, rijal hadis al-dhu„afa‟ saja, dan kitab
menyusun rijalul hadis tidak memisahkan al-tsiqat dan al-du„afa‟, sperti kitab tahdzib al-tahdzib dan
ringkasannya keduanya karya Ibn Hajar al-Asqalani.
Tingkatan-tingkatan komentar al-jarh wa al-ta‟dil, yang mula-mula mengurutkan ungkapan atau
lafaz-lafaz al-jarh maupun al-ta„dil adalah Abu Muhammad Abdurrahman ibn Abi Hatim al-Razi
yang wafat tahun 327 H dalam bukunya “al-Jarh wa al-Ta„dil” dengan membuat tingkatan lafaz-lafaz
kepada empat tingkatan baik untuk tingkatan al-jarh dan tingkatan al-ta„dil. Pendapat ulama kritikus
hadis berbeda dalam menetapkan jumlah tingkatan al-jarh maupun al-ta„dil, maka sebagian dari
mereka menetapkan tiga tingkatan, empat tingkatan, dan enam tingkatan. Seiring dengan perjalanan
waktu ulama kritikus hadis tidak banyak yang dirubah terhadap tingkatan al-jarh maupun al-ta„dil
masih mengikuti tingkatan yang disusun oleh Abu Hatim Al-Razi. Ibn Shalah yang diikuti Al-
Nawawi, Al-Zahabi yang diikuti Al-„Iraqi ada sedikit perobahan dan Ibn Hajar Al-Asqalani yang
diikuti muridnya Al-Sakhawi menjadikan tingkatan al-jarh maupun al-ta„dil enam tingkatan.
Tingkatan lafaz-lafaz al-ta„dil yang disepakati ulama kritikus hadis sebagai ketetapan penilaian
perawi hadis berkualitas al-tsiqat sehingga menghasilkan hadis shahih untuk dijadikan landasan
syari‟at ajaran Islam, sebaliknya tingkatan lafaz-lafaz al-jarh menentukan ketetapan kualitas perawi
hadis dalam kategori lemah sehingga hadis yang diriwayakan ditolak menjadi landasan syari‟at ajaran
Islam.
Wawasan umat apakah sudah sampai kepada sensifitas terhadap hadis dengan seharusnya melihat
hadis sama dengan melihat ayat-ayat dalam Alqur‟an yang tidak boleh keliru menyebutkannya. Untuk
Ahlussunnah terkenal dengan nama kitab-kitab referensi hadis dengan menggunakan istilah, seperti
kitab al- arba„ah, al-sittah, al-sab„ah dan kitab al-tis„ah. semua kitab tersebut mencakup dari sanad
dan matan hadis.
Ibn Hajar al-Asqalani mempunyai otoritas dalam upaya mengkritik hadis didukung oleh ulama
hadis semasa atas intektual yang dimiliki dan juga dikuatkan dengan kemampuan keilmuan yang
dimiliki dibidang hadis dan ilmunya sehingga ia memiliki karya buku tahdzib al-tahdzib dan taqrib al-
tahdzib kedua buku tersebut menjadi referensi momental dalam kajian kritik rijalul hadis. Ibn Hajar
al-Asqalani juga mendapat julukan al-hafiz atas penguasaan hapalan, ilmu hadis dan keilmuan islam
lainnya, seperti sejarah islam dan ilmu tafsir dan sebagainya.
Penyajian kritik hadis baru dilihat dari sisi sanad hadis atau jalur periwayatan sebuah hadis dengan
menggunakan literasi digital. Tujuannya menayangkan bagaimana langkah-langkah mengkritik hadis
sehingga tergambar kualitas para perawi dalam sanad suatu hadis. Istilah literasi digital mulai popular
sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw, 2011) Literasi digital bermakna kemampuan untul berhubungan
dengan informasi hipertekstual dalam arti bacaan tak berurut berbantuan komputer. Istilah literasi
digital pernah digunakan tahun 1980an, (Davis & Shaw, 2011), secara umum bermakna kemampuan
untuk berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti membaca non-sekuensial atau non
urutan berbantuan komputer (Bawden, 2001). Gilster (2007) kemudian memperluas konsep literasi
digital sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital.;
dengan kata lain kemampuan untuk membaca, menulis dan berhubungan dengan informasi dengan
menggunakan teknologi dan format yang ada pada masanya. Penulis lain menggunakan istilah literasi
digital untuk menunjukkan konsep yang luas yang menautkan bersama-sama berbagai literasi yang
relevan serta literasi berbasis kompetensi dan ketrampilan teknologi komunikasi, namun menekankan
pada kemampuan evaluasi informasi yang lebih “lunak” dan perangkaian pengetahuan bersama-sama
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

285
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pemahaman dan sikap (Bawden, 2008; Martin, 2006, 2008) . Penulis lain menggunakan istilah
literasi digital untuk menunjukkan konsep yang luas yang menautkan bersama-sama berbagai literasi
yang relevan serta literasi berbasis kompetensi dan ketrampilan teknologi komunikasi, namun
menekankan pada kemampuan evaluasi informasi yang lebih “lunak” dan perangkaian pengetahuan
bersama-sama pemahaman dan sikap (Bawden, 2008; Martin, 2006, 2008) .

Rumusan Masalah
Rumusan penelitian ini terkait dengan otoritas Ibn Hajar al-Asqalani tentang kritik sanad yang
telah dibukukannya dalam kitab tahdzib al-tahdzib dan diringkas menjadi kitab taqrib al-tahdzib,
maka rumus masalahnya sebagai berikut:
a.Bagaman Ibn Hajar mengimplementasikan kritik sanad dalam kitab tahdzib al-tahdzib
b.Bagamana mengakses kritik sanad dengan fasilitas literasi digital.

Tujuan Penelitian
Setelah dijelaskan di atas bahwa rumusan penelitian ini fakous kepada dua masalah , maka tujuan
penelitian pun dua :
a. Mengkritisi bagamana Ibn Hajar al-Asqalani mengimplementasikan kritik sanad dalam kitabnya
tahdzib al-tahdzib.
b. Mengkritisi sampai dimana cara mengakses kritik sanad dengan fasilitas litersi digital.

Landasan Teori
Kamaruddin Amin dalam bukunya metode kritik hadis bahwa para ahli hadis abad ketiga tidak secara
eksplisit mendefinisikan hadis-hadis yang dapat dianggap shahih. Mereka hanya menetapkan kreteria-
kreteria informasi yang diperoleh, misalnya: 1) Periwayatan hadis tidak dapat diterima, kecuali kalau
diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah; 2) Riwayat orang-orang yang sering berdusta, mengikuti
hawa nafsunya dan tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkannya adalah tertolak; 3) Kita
harus memperhatikan tingkah laku personal dan ibadah orang-orang yang meriwayatkan hadis; 4)
Apabila mereka terbiasa berkelakuan tidak terpuji dan tidak melakukan shalat secara teratur, maka
riwayatnya harus ditolak; 5) Riwayat orang-orang yang tidak dikenal piawai dalam ilmu-ilmu hadis
tidak dapat diterima: 6) Riwayat orang orang yang kesaksiannya ditolak, maka riwayatnya pun tidak
diterima.
Ilmu al-Jarh wa al-Ta‟dil menjadi disiplin ilmu mengeksplorasi bioragrafi dan komentar ulama
kritikus hadis sebagai dokumen menjadi dasar-dasar ketetapan kualitas para perawi hadis, sehingga
hadis yang diriwayatkan dapat diterima ataupun ditilok hadisnya.

Manfaat / Signifikansi 1.
Secara teoritis:
Bagi peneliti selanjutnya dapat dijadikan panduan untuk mengadakan penelitian selanjutnya,
terutama dalam upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan budaya penelitian ilmu hadis.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

286
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan bahan kajian untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman
khususnya bagi peminat kajian ilmu hadis sehingga dapat memotivasi masyarakat luas mendalami
pemikiran-pemikiran ulama kritikus hadis tentang komentar-komentar mereka terhadap perawi hadis.
Secara praktis:
Melihat manfa‟at dari penelitian ini ada signifikansinya, pertama: bagi masyarakat akademik
maupun non akademik, penelitian ini akan memberi kontribusi ilmiah di bidang ilmu hadis,
khususnya akan memberi pengertian tentang al-jarh wa al- ta‟dīl (kritik perawi hadis dari sisi sifat baik
dan buruk yang melekat pada dirinya) dan mengetahui otoritas Ibn Hajar al-Asqalani mengkritk
sanad Kedua, hasil karya penelitian ini menjadi salah satu menambahkan referensi bagi generasi
akademik yang mengambil konsentrasi ilmu hadis dan bagi orang-orang yang senang mengkaji ilmu
hadis.

Metode
Penelitan ini berhungan dengan literasi tentang keilmuan al-jarh wa al-ta„dil dapat dikatakan
sebuah instrumen untuk menetapkan kualitas para perawi hadis dengan mengeksplorasi komentar
ulama kritikus hadis yang telah didokumentasikan dalam kitab biografi rijalul hadis (tarikhur ruwat)
dan kitab-kitab al-jarh wa al-ta„dil. Maka penelita ini adalah penelitian kualitatif yang mengunakan
penelitian kepustakaan berhungan dengan sumber-sember kepustakaan, seperti buku, artikel, jurnal
dan lainnya.

Pendekatan
Penelitian ini mengunakan pendekatan sejarah riajalul hadis yang terdiri dari biografi dan
komentar ulama kritikus hadis untuk mendapatkan kualitas para perawi dalam suatu hadis. Maka
melalui histori para perawi hadis akan dieksplorasi bagamana kredibilitas para perawi hadis untuk
dijadikan periwayatannya diterima atau ditolak. Ilmu al-jarh wa al-ta„dil menguraikan tingakatan
kualitas para perawi hadis berefek kepada hasil dari kulitas sanad sebuah hadis.

Sumber Penelitian
. Penelitian fokus kepada seumber utama atau sember primer kepada kitab Ibn Hajar al-Asqalani
tahdzib al-tahdzib dan ia ringkas dalam dengan nama kitab taqrib al-tahdzib, kemudian tidak luput
dari sumber kedua bergai kitab-kitab ilmu hadis dan al-jarh wa al-ta„dil, artikel dan jurnal dan lainnya.

Literasi Digital
Penggunaan litirasi digital untuk memaparkan bagamana cara mengkritik sanad hadis dalam upaya
membantu mendapatkan informasi langkah-langkah mengkritik hadis lalu dapat mevaliditasi kualitas
para perawi hadis. Diantara yang dapat diakses seperti, www.lidwa.com, dan dapat masu di-
pembelajaranpai.com.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

287
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hasil dan Pembahasan


Pemabahasan ini menggunakan istilah otoritas atas upaya Ibn Hajar al-Asqalani mengkritik hadis
yang dilartabelangi oleh kualifikasi Ibn Hajar yang memiliki intektual mendapat kualitas al-hafiz di
masanya. Kemudian Ibn Hajar memiliki kitab-kitab di dalam kritik sanad dalam kajian al-jarh wa al-
ta„dil, maka dengan kemampuan intelektual yang ia miliki dapat menyempurnakan kitab-kitab al-jarh
wa al-ta„dil, seperti penyempurnaan kekurangan baik biografi perawi kurang lengkap dan komentar
kualitas perawi dan menambahkan jumlah perawi perempuan dan kunya (nama panggilan) perawi.
Dan dua karyanya tersebut di atas diklaim sebagai kitab referensi al-jarh wa al-ta„dil yang paling
tearkhir dan juga terbanyak digunakan diperguruan tinggi islam yang mengkaji ilmu hadis.

Histori Al-Jarh wa Al-Ta„dil


Ilmu ini akan tumbuh bersama – sama dengan tumbuhnya perawi dalam islam, karena untuk
mengetahui hadist – hadist shahih perlu mengetahui keadaan perawi – perawinya, secara
memungkinkan ahli-ilmu menetapkan kebenaran perawi, atau kedustaannya hingga dapatlah mereka
membedakan antara yang diterima dan dengan yang di tolak.
Karena itu para ulama menanyakan tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiah
mereka, mengetahui segala keadaan mereka, hingga mengetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat
ingatannya, dan lebih lama menyertai gurunya. Demikianlah ilmu ini tumbuh dan berkembang
bersama – sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam. Karena itu para ulama menanyakan
tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan mereka,
hingga mengetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatannya, dan lebih lama menyertai gurunya.
Demikianlah ilmu ini tumbuh dan berkembang bersama – sama dengan tumbuhnya periwayatan
dalam islam.
Tingkatan – tingkatan al-Jarh wa al-Ta‟dil Perawi hadis yang mentrasformasi hadis tidak
semuanya sama dalam satu tingkatan dalam hafalannya, ilmu dan ke-dabit-an. Ada yang hafiz lahu
mutqin yang tidak lagi diragukan kehandalannya. Ada yang lebih rendah ke-dabit-an atau hafalannya.
Ada juga yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan salah, meski memiliki sifat adil dan
jujur. Ada juga menyusupkan diri ke dalam kelompok ahli hadis secara dusta, tetapi Allah membuka
kedoknya melal tangan-tangan ulama kritikus hadis terkemuka.
Penilaian-penilaian ulama kritikus hadis itu sampai kepada kita melalui karya-karya klasik, seperti
al-du„afa‟ karya Al-Bukhari dan al-Du„afa‟ karya al-Nasa‟i. Sedangkan yang mula-mula meruntutkan
ungkapan dan lafaz-lafaz al-jarh maupun al-ta„dil adalah Abu Muhammad Abdurrahman ibn Abi
Hatim al-Razi yang wafat tahun 327 H.
Demikianlah keadaan para perawi, sebagian lebih tinggi dari sebagian yang lain. Sehingga
ungkapan dan lafaz-lafaz tokoh-tokoh al-jarh wa al-ta„dil bertingkat-bertingkat, yang masing –masing
menunjukkan posisi perawi yang disebut dengan ungkapan atau lafaz. Dan telah berbeda pendapat
ulama kritikus hadis tentang jumlah tingkatan al-jarh maupun al-ta‟dil, sebagian dari mereka tiga
tingkat, empat tingkat, dan enam tingkat, dari semua ulama kritikus hadis tidak banyak melakukan
perubahan ketika menentukan tingkatan al-jarh maupun al-ta„dil masih mengikuti tingkatan yang
disusun oleh Abu Hatim Al-Razi. Ibn Shalah yang diikuti Al-Nawawi, Al-Zahabi yang diikuti Al-
„Iraqi ada sedikit perobahan dan Ibn Hajar Al-Asqalani yang diikuti muridnya Al-Sakhawi
menjadikan tingkatan al-jarh maupun al-ta‟dil enam tingkatan.
Seperti yang diuraikan sebagai berikut, “Maratib al-Ta„dil” :
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

288
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tingkatan al-Ta„dil yang disusun oleh Abi Hatim Al-Razi:


Tingkatan pertama : tsiqah, mutqin, tsabat
Tingkatan kedua : Shaduq, mahalluhu al-shidqi, la ba‟sa bihi.
Tingkatan ketiga : shaikhun, yuktabu hadit}uhu, wa yunzaru fihi
Tingkatan keempat : shaleh,
Abu Hatim Al-Razi menyusun tingkatan al-ta„dil yang disampaikan di dalam mukadimah
bukunya “al-jarh al-ta‟dil” tiga tingkatan saja, tingkatan pertama: untuk tingkatan ulama kritikus
hadis, yang tingkat kedua, para perewi yang adil saja, yang tingkat ketiga, orang-orang yang hadisnya
dijadikan hujah dan benar riwayatnya, yang sangat hati dalam agamanya, dan yang teguh walaupun ada
wacana persangkaan tetapi sudah diterima ulama kritikus hadis.
Penjelasan dari uraian tingkatan al-ta„dil di atas bahwa Abi Hatim menginginkan yang
mendudukuki tingkatan pertama itu mereka semua ulama kritikus hadis yang perhatian mewujudkan
eksistensi dari pada ilmu ini, dan membedakan mereka dengan tingkatan para perawi hadis, seperti
lafaz yang digunakan ketika menyebutkan nama seorang ulama kritikus hadis dengan lafaz,
“hujjah”contohnya ketika ulama menanyakan Al-Ajra Aba Daud dari Sulaiman bin Binti Syarhabil
lalu berkata: apakah dia adalah seorang “ hujjah”? Abu Daud berkata: “ al-Hujjah Ahmad bin
Hambal”. Dan contoh yang lain, menyimak perkataan Ut}man bin Abi Syaibah kepada Ahmad bin
Abdullah bin Yunus : “tsiqah wa laisa bi hujjah”, dan kata-kata Ibn Main tentang Muhammad bin
Ishaq, “ tsiqah wa laisa bi hujjah”. Lalu untuk tingkatan kedua dan ketiga dimasuk kelompok perawi-
perawi yang adil lainnya. Tingkatan al-Ta„dil yang disusun oleh Ibn Shalah:
Tingkatan pertama : tsabat , atau hujjah, hafiz atau dabith
Tingkat kedua : shaduq, mahalluhu al-shidq, atau la ba‟sa bihi
Tingkatan ketiga : shaikhun.
Tingkatan keempat : shalihu al-hadits.
Tingkatan al-ta„dil yang diurutkan oleh Al-Dhahabi:
Tingkatan pertama : tsabat hujjah, tsabat hafiz, tsiqah mutqin, tsiqah tsiqah.
Tingkatan kedua : tsiqah shaduq, laa ba‟ sa bihi, laisa bihi ba‟sun.
Tingkatan ketiga : Mahalluhu al-shidq, jayyidu al-hadits, shalihu al-hadit, shaikhu wasathun,
shaikhun hasanu al-hadits, shaduq inshaallah , sawaileh .
Penjelasan dari Al-Dhahabi tentang tingkat al-ta„dil di atas dapat ditemukan dalam bukunya
“dhikrun man yu„tamad qauluhu fi al-jarh wa al-ta„dil”, maksud dari lafaz “ al-„adl al-hujjah”
dikiyaskan seperti seorang pemuda yang kuat dan paling sehat, dan lafaz “ tsiqah shaduq, ia kiaskan
dengan seorang pemuda yang baik dan kekuatan menengah, dan lafaz “ shaduq atau laa ba‟sa bihi, ia
kiaskan seperti laki yang berumur antara tiga puluh sampai lima puluh tahun yang sehat, dan lafaz “
al-shaduq al-dzi fihi lainun”, ia kiaskan seperti orang sehat tetapi di bagian dari tubuhnya ada yang
sedang sakit, gatal-gatal di kepalanya.
Tingkatan al-Ta„dil yang diurutkan oleh Al-„Iraqi:
Tingkatan pertama : tsiqah tsiqah, tsiqah tsabtun.
Tingkatan kedua : tsiqah, tsabtun, hujjah, hafizh, dhabith.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

289
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tingkatan ketiga : laisa bi ba‟sun, shaduq, ma‟munun, khayyar.


Tingkatan Keempat:Mahalluhu al-shidiq, laisa baidan „un al-shidqi, syaikhun wasath, wasath,
syaikhun, shalihul hadis, maqaribul hadis, jayyidul hadis, syikhu wasathun, syaikhun hasanul hadis,
shawaileh, shaduq insyaallah , a‟sunarju „an laa fihi ba‟sun.
Tingkatan al-Ta„dil yang diurutkan oleh Ibn Hajar Al-Asqalani:
Tingkatan pertama : Sahabat karena tingginya kedudukannya, mulia
Tingkatan kedua : Autsaqa al-nasi, tsiqah tsiqah, tsiqah hafizh,
Tingkatan ketiga : tsiqah, mutqin, tsabat, adlun,
Tingkatan Keempat: shaduq, laisa bihi ba‟sun.
Tingkatan kelima : shaduq siul hifzhi, shaduq yahim atau lahu auham atau yukhthi‟, atau
taghayyara fi akhirih dimasukkan sifat bid‟ah, seperti qadr, syi‟ah, nashab, irja‟, al-tahajjum dengan
penjelasan kondisi bid‟ah-nya
Tingkatan keenam : man laisa lahul hadis illa qalil, lainul hadis.
Untuk tingkatan al-jarh} tidak diuraikan di dalam penelitian karena fokus penelitiannya seputar
pendekatan/ metode Ibn Hajar Al-Aqalani tentang kedudukan lafaz-lafaz al-ta„adil yang diikuti
dengan lafaz golongan bid‟ah yaitu, syi‟ah di dalam kitab karyanya “tahdhi al-tahdhibi”, maupun kitab
“taqrib al-tahdhib.

Kitab Tahdzib al-Tahdzib


Pertama kali menyusun rijalul hadis yang besumber kitab al-sittah adalah Abu Muhmmad Abdul
Ghani Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisi (w. 600 H), nama kitabnya “al-Kamal fi Asma‟ al-Rijal”,
setelahnya diteruskan oleh Abul Hijaj Yusuf bin Abdurrahman bin Yusuf Al-Qudai Al-Kalbi Al-
Mizzi Al-Syafi„i (w. 742 H) menambah dan memperbaiki kitab Al-Maqdisi, nama kitabnya “
Tahdhib al-Kamal fi Asma‟i al-Rijal”, dan kemudian disempurnahkan lagi oleh Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad bin Ut}man Al-Dhahabi (w.748 H), nama kitabnya “Tahdhib Tahdhib al-
Kamal fi Asma‟i al-Rijal” Selanjudnya ditambah dan dikurangi dan diperbaiki oleh Abul Fadel
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani (w. 852 H), nama kitabnya “ Tahdhib al-Tahdhib”. Ibn Hajar
Al-Asqalani mendudukan kitab “Tahdhib al-Tahdhib” dan mesejajarkan dengan kitab-kitab al-jarh
wa al-ta„dil sebelumnya. Ibn Hajar Al-Asqalani di masa hidupnya termasuk kategori ulama kritikus
hadis di abad delapan dan sembilan ia memiliki karya tulis buku khusus di dalam ilmu al-jarh wa al-
ta„dil yaitu: kitab “tahdhib al-tahdhib” dan kitab “Taqri al-Tahdhib”. Dua kitab tersebut menjadi
buku referensi yang paling terkenal yang digunakan dikalangan pengkaji ilmu rijal hadis dalam
mengetahui kualifikasi para perawi hadis. Kitab “tahdhib al-tahdhib” menjadi objek penelitian
mengeksplorasi otoritas Ibn Hajar Al-Asqalani tentang ilmu al-jarh wa al-ta„dil.

Sampel Otoritas Ibn Hajar dalam Kritik hadis


Dari uraian di atas bahwa karya Ibn Hajar kitab “tahdhib al-tahdhib” mempunyai kedudukan
penting dan dianggap yang karya yang terakhir yang menyusun karya dibidang al-jarh wa al-ta„dil
walau pun seifatnya melengkapi karya-karya kitab al-jarh wa al-ta„dil sebelumnya. Tetapi upaya Ibn

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

290
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hajar melengkapi telah menambah kesempuraan kitab al-jarh wa al-ta„dil sebelumnya. Disamping itu
ia menyimpulkan hukum tersendiri setelah menguraikan pendapat para ulama kritikus hadisnya.
Contoh: Abana bin Taghlib Al-Kufi: beberapa komentar ulama kritikus, Yahya, Ahmad, Abu Hatim,
dan Al-Nasai‟ berkata: Abana adalah seorang perawi hadis yang tsiqah. Lalu ditambahkan Abu Hatim
ia shalihun. Al-Juzjani berkata: ia perawi melenceng bermazhab tercela terang-terang. Ibn „Addi
berkata: ia memiliki naskah hadis umumnya shahih dan orang yang meriwayatkan darinya adalah
orang tsiqah dan ia orang yang benar di dalam riwayat-riwayat hadisnya walaupun ia bermazhab syi„ah
ia shalihun dalam meriwayatkan hadis. Kemudian Ibn Hajar berkomentar tentang perkataan Al-
Juzjani, dengan mengatakan: perkataan tergesa-gesa, menujukkan tidak tahu banyak tetang syi‟ah
Kufah, ulama mutaqaddimin mendefinisikan mereka golongan syi„ah mencintai Ali bin Abi Thalib
dan memuliakannya dari Utsman bin „Affan, yang kalah dalam dan sebenarnya yang menentangnyalah
yang salah, mereka memuliakan kedua khalifah terdahulu Abu Bakar dan Umar, seandainya pun
sebagian mereka memuliakan Ali bin Abi Thalib setelah Rasulullah saw.dengan tujua menguatkan
keyakinan agama dan semangat hidupnya maka tidak riwayat hadisnya tidak akan ditolak apalagi
mereka tidak ada unsur memaksa orang mengikutinya. Tetapi, berbeda dengan ulama mutaakhirin
mendefiniskan golongan syi‟ah itu mereka golongan al-rafidhah saja, maka tidak diterima riwayat yang
datang dari al-rafidhah al-ghali dan tidak ada kemuliannya. „Ajlan berkata: Abana bin Taghlib
meriyatkan hadis kepada kami, ia berdomisili di Irak orang yang kuat beribadah juga tsiqah. Al-
Hakim berkata tentang Abana bin Taghlib setelah ia mengkritisinya dan memasukan dalam buku
“istidrak”-nya lalu berkata sesungguhnya Abana seorang perawi hadis yang tsiqah tetapi sangat fanatik
dengan syi‟ah. Ibn Sa‟ad berkata: Abana seorang tsiqahi, dan Ibn Hibban memasukan Abana dalam
para perawi hadis yang tsiqah. Al-Azdi berkata: Abana seorang yang fanatik dengan golongan syi„ah
tetapi menurut saya ia seorang perawi yang tidak ada masalah (laa ba‟sa). Ibn Hajar berpendapat
tetang perawi hadis walau dari golongan syi„ah dari Kufah tetapi hasil ia mengatakan bahwa Abana
binTaghlib seorang perawi yang tsiqah.
Artinya Ibn Hajar melakukan analis dan pertimbangan dengan kemampuan intelektual yang ia
miliki melakukan pertimbangan pencarian kesaksian-kesaksian sebelum ia menetapkan kualitas perawi
hadis.

Penutup
Ibn Hajar Al-Asqalani bila dilihat dari sejarah penyusunan kitab “Tahdzib al-Tahdzib” dicatat
sebagai karya buku yang terakhir yang mengkritik rijalul hadis dari sisi keilmuan al-jarh wa al-ta„dil
dan ia menyusun kembali kitab terbaru dari dirinya tidak keluar dari isi kitab-kitab al-jarh wa al-ta„dil
terdahulu. Dan karena kecerdasan yang ia miliki dan kemampuannya menghafal banyak kitab hadis,
maka ia telah menghapus dua pertiga dari dua karya Al-Mizi dan Mughlathaya terdahulunya karena
menurutnya banyak hal-hal yang belum dijelaskan dan kurang penting, tetapi ia dapat mengembalikan
dan menambahkan jumlah tulisan sebanyak dua pertiga kitab yang ia susun lagi. Kemudian hasil
temua tentang komentar Ibn Hajar yang menggangkat lafaz atau ungkapan seorang perawi hadis
tsiqah tetapi pengikut syi„ah bagi dirinya ada pertimbangan dalam penelitiannya tetang kekuatan
syi‟ah yang dimiliki seorang perawi maka selama perawi pengikut syi„ah tidak dari golongan rafidhah
ghalat yakni pengikut syi„ah yang berlebih-berlihan dan keluar dari ajaran agama, seperti mengakui
adanya reingkarnasi Ali, maka hadis yang diriyatkan masih bisa diterima.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

291
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka
Al-Khathib, Muhammad „Ajaj. 2007, Ushul al-Hadis Pokok-pokok Ilmu Hadis”, (Ciputat-
Tangerang Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta
Al-Abdul Lathif, Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim. 2007, “Dhawabith al-Jarh wa al-Ta„dil
ma„ dirasatin Tahliliyyatin li Tarjamati Israil bin Yunus bin Abi Ishaq al-Sabi„i”. Riyadh:
Maktab al-„Abikan
Al-Qaṭṭan, Manna. , 2009, Pengantar Studi Ilmu Hadis, traslator Mifdhol Abdurrahman, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar
Al-Asqalani, Ibn Hajar .1325 H, “Tahdzib al-Tahdzib “. India: Penerbit Majlis Al-Ma„arif Al-
Nizamiyyah.
Al-Asqalani, Ibn Hajar , “Taqrib al-Tahdzib” tahqiq oleh Abu al-Isbal Shaghi Ahmad Syaghif al-
Bakistaniy, Pakitas: Darul al-Ashimah.
Abdul Muhdi, Abu Muhammad.1987, “Thuruq al-Takhrij Hadis Rasulillah shallahu „alaihi wa
sallama”. Kairo: Dar al-I„tisham
Abi Lawi, Amin. 1997, “Ilmu Ushul al-Jarh wa al-Ta„dil” , Saudi Arabiah- al-Khaibar: Dar ibn Affan
Amin, Kamaruddin. 2009, “Mengkaji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis”,(Jakarta: PT.
Mizan Publika
Hamadah, Faruq. 2008, “ al-Manhaj al-Islami fi al-Jarh wa al-Ta‟dil”. Ribath: Dar al-Salam
„Itr, Nuruddin. 1981, “Manhaj al-Naqdi fi Ulimu al-Hadis”. Damaskus: Dar al-Fikri
Ismail, M.Syuhudi. 2005, “Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah”. Jakarta: Bulan Bintang
Iqbal Ahmad, Junaid Ashraf. 2006, al-'Adalah wa al-Dabth wa Atsaruhuma fi Qabuli al-Ahadith au
Radduha

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

292
Maria Ulfah, Iwan Permana Suwarna, Devi Solehat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: devi.sholehat@uinjkt.ac.id

Abstrak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penugasan digital terhadap hasil
belajar siswa SMA pada konsep hukum Newton tentang gerak. Penelitian dilaksanakan di SMAN
10 Kota Tanggerang Selatan, pada semester ganjil bulan November 2015. Metode penelitian yang
digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain nonequivalent control group design. Sampel
diambil berdasarkan teknik purposive sampling. Instrumen yang diberikan terdiri dari instrumen tes
(tes objektif pilihan ganda) dan instrumen nontes (angket). Penelitian ini berfokus pada pemberian
tugas digital melalui dua software yaitu socrative dan edmodo pada konsep hukum Newton tentang
gerak, yang belum pernah diteliti sebelumnya. Kelebihan dalam penelitian ini adalah penggunaan
penugasan digital untuk membantu mengatasi keterbatasan guru dalam mengoreksi tugas dan
memberikan feedback kepada siswa dengan cepat. Hasil dari penelitian ini adalah penugasan digital
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa SMA pada konsep hukum Newton tentang Gerak. Respon
siswa terhadap penggunaan penugasan digital dalam proses pembelajaran fisika pada konsep hukum
Newton tentang gerak berada dalam kategori baik. Dengan demikian penggunaan pemberian tugas
digital melalui socrative dan edmodo memberikan pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa.
Kata kunci : Penugasan digital, Socrative, Edmodo, Hasil belajar, Hukum Newton tentang Gerak.

Pendahuluan
Socrative merupakan salah satu sistem tanggapan siswa secara online yang memungkinkan
guru untuk membuat kuis dan latihan lainnya bagi siswa mereka dengan mudah dan memantau
tanggapan dan kemajuan siswa mereka secara real time.1 Selain Socrative, penelitian ini juga
menggunakan software lainnya yaitu Edmodo. Software ini merupakan layanan micro-blogging
pribadi yang tersedia di www.edmodo.com yang menyediakan platform pembelajaran yang aman dan
gratis. Software ini terlihat mirip dengan Facebook, namun jauh lebih pribadi dan aman untuk
lingkungan belajar karena guru hanya membuat dan mengelola akun, hanya siswa yang menerima
kode grup dan mendaftar di grup, kemudian dapat mengakses dan bergabung dengan grup (Majid,
2011).2 Howard L. Kinskey mengungkapkan, “Learning is the process by which behavior (in the
broader sense) is originated or changed through practice or training.”3 Jika diartikan adalah, “Belajar
merupakan proses dimana tingkah laku berubah dari sebelumnya melalui latihan dan praktik.”

1
Mohammad Awedh, dkk., Using Socrative and Smartphones for the support of collaborative learning,
International Journal on Integrating Technology in Education (IJITE) Vol.3, No.4, h.7
2
Fatimah Alkathiri, Beyond the Classroom Walls: Edmodo in Saudi Secondary School EFL Instruction, Attitudes
and Challenges, International journal of english language teaching vol. 8, No.1, h.198.
3
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 13.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Latihan yang biasa diberikan guru adalah berupa resitasi (penugasan) atau pemberian PR (Pekerjaan
Rumah) berupa soal-soal latihan yang ada di buku bahan ajar.
Proses pembelajaran fisika di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami berbagai
permasalahan. Permasalahan tersebut berdampak pada hasil belajar fisika yang rendah. Permasalahan-
permasalahan yang dialami siswa dalam pembelajaran fisika diantaranya: karakteristik pelajaran fisika
yang mempersyaratkan berbagai penguasaan seperti penguasaan konsep, kemampuan menganalisis
permasalahan dan mencari solusi dari permasalahan tersebut, serta siswa kesulitan memahami
pelajaran fisika karena materi fisika padat, menghafal dan matematis.4 Salah satu konsep fisika yang
sulit dipahami adalah konsep hukum Newton tentang gerak. Siswa memiliki hasil belajar paling
rendah pada konsep hukum Newton tentang gerak. Hal ini terbukti dengan masih banyak siswa yang
mendapatkan nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Selain itu, salah satu faktor yang
menyebabkan rendahnya hasil belajar pada konsep hukum Newton adalah kurangnya pemahaman
siswa terhadap materi dasar yang ada pada hukum Newton. Informasi tersebut diperoleh berdasarkan
hasil wawancara kepada salah satu guru fisika SMA di kawasan Tanggerang Selatan pada semester
ganjil tahun ajaran 2015-2016. Oleh karena itu, diperlukan metode yang dapat digunakan untuk
meningkatkan pemahaman dan hasil belajar siswa. Metode penugasan dalam bentuk latihan soal dan
pekerjaan rumah (PR) merupakan metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman
konsep dan hasil belajar siswa. Berikut ini adalah beberapa fakta dari kelebihan penggunaan metode
penugasan diantaranya: dapat memperdalam pengetahuan siswa pada spesialis tertentu, hasil
pelajaran lebih tahan lama dan membekas dalam ingatan siswa, dan dapat mengembangkan
kemandirian siswa di luar pengawasan guru.5 Secara umum para siswa yang mengerjakan tugas
berupa PR berada pada tingkat prestasi yang tinggi. Hasil penelitian dari Third Internasional
Mathematicsand Science Study (TIMSS) menyatakan bahwa pelajar remaja di Jepang menunjukan
prestasi matematika yang tinggi dikarenakan guru mereka lebih sering memberikan mereka PR. 6
Pemberian penugasan di Indonesia masih kurang efektif dan kurang menarik. Sehingga,
pengaruh pemberian tugas dalam meningkatkan hasil belajar masih sangat kecil.7 Permasalahan ini
disebabkan oleh: tugas yang diberikan tidak sesuai atau terlalu banyak; tidak ada umpan balik
(feedback) dari guru mengenai hasil tugas yang telah dikerjakan; siswa merasa kesulitan karena tidak
ada bantuan. Menurut Bell salah satu faktor yang menyebabkan ketidakberartian penugasan adalah
cara guru memberikan tugas.8 Guru yang bersikap kurang peduli terhadap pemberian, pengumpulan
dan penilaian tugas menyebabkan siswa tidak menghargai tugas sebagai suatu aktivitas yang berarti
dan berguna, maka mengerjakan tugas hanya dapat memberikan pengaruh yang kecil dalam
pembelajaran. Kondisi seperti ini jika dibiarkan terus menerus akan berdampak pada motivasi siswa
dalam belajar khususnya dalam mengerjakan tugas sehingga dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.
Menurut Wijayanti, siswa tidak akan termotivasi dalam proses pembelajaran jika tugas yang mereka

4
Gede Bendem Samudra, dkk., Permasalahan-Permasalahan yang dihadapi Siswa SMA di Kota Singaraja dalam
Mempelajari fisika, E-Journal Program Pasca sarjana Pendidikan Ganesha Program Studi IPA, Vol 4, 2014, h.4.
5
Syaiful Bahri Dzamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka cipta, 2010), cet.4, h.87.
6
Azmi Mindawati, Pengaruh Pemberian Tugas Berstruktur Berbasis Aktivitas pada Metode Diskusi terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa, (Bandung: Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Jurusan Pend.Matematika Universitas Pendidikan indonesia, 2011), h.3.
7
Ibid., h.4.
8
Ibid.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

294
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

kerjakan tidak terkoreksi dengan baik oleh guru.9 Siswa tidak akan mengetahui pemahaman konsep
yang ia miliki terhadap tugas yang dikerjakan tersebut benar atau tidak apabila guru tidak
mengoreksi tugas dan tidak memberikan konfirmasi mengenai jawaban yang benar. Alasan para
guru tidak dapat mengoreksi tugas dan memberikan feedback kepada siswa dengan tepat waktu
dikarenakan kurangnya waktu untuk mengoreksi hasil pekerjaan siswa, sehingga banyak tugas siswa
yang tidak dikoreksi tepat waktu.
Penugasan digital merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membantu
mengatasi keterbatasan guru dalam mengoreksi tugas dan memberikan feedback kepada siswa.
Pemberian treatment melalui penugasan digital diharapkan dapat menumbuhkan motivasi dan minat
belajar siswa sehingga dapat meningkatkan hasil belajar khususnya dalam pelajaran fisika. Software
pembelajaran yang digunakan dalam penugasan digital adalah Socrative dan Edmodo. Socrative
digunakan untuk mengerjakan latihan soal pada saat proses pembelajaran dan dikerjakan secara
berkelompok. Selain itu tampilan Socrative yang digunakan berupa permainan/game sehingga siswa
akan lebih tertarik dan termotivasi dalam mengerjakan tugas. Sedangkan, Edmodo di gunakan di luar
proses pembelajaran atau di rumah. Socrative dan Edmodo berbentuk jejaring edukasi yang mirip
Facebook dan terhubung dengan internet. Socrative dan Edmodo dapat memberikan feedback yang
cepat kepada siswa. Setelah siswa mengerjakan tugas/latihan soal yang diberikan oleh guru, siswa
akan langsung mengetahui nilai dan jawaban yang benar dari tugas yang mereka kerjakan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penugasan digital terhadap hasil belajar
siswa SMA pada konsep hukum Newton tentang gerak, mengetahui peningkatan hasil belajar siswa
pada aspek kognitif (C1-C4), dan mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran fisika yang
menggunakan penugasan digital. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan
desain nonequivalent control group design. Sampel diambil berdasarkan teknik purposive sampling.
Instrumen yang diberikan terdiri dari instrumen tes (tes objektif pilihan ganda) dan instrumen
nontes (angket). Teknik analisis data dalam penelitian ini terdiri atas 3 pengujian, yaitu uji prasyarat
(uji normalitas dan uji homogenitas), uji hipotesis, dan uji N-Gain. Penelitian ini berfokus pada
pemberian tugas digital melalui dua software yaitu socrative dan edmodo pada konsep hukum
Newton tentang gerak, yang belum pernah diteliti sebelumnya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
penugasan digital berpengaruh terhadap hasil belajar siswa SMA pada konsep hukum Newton
tentang Gerak. Respon siswa terhadap penggunaan penugasan digital dalam proses pembelajaran
fisika pada konsep hukum Newton tentang gerak berada dalam kategori baik. Penelitian ini berfokus
pada pengaruh penugasan digital terhadap hasil belajar siswa pada konsep hukum Newton tentang
gerak, peningkatan hasil belajar siswa pada aspek kognitif (C1-C4) setelah diberikan penugasan
digital, dan respon siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan penugasan digital. Penelitian ini
akan membuktikan, penugasan digital melalui socrative dan edmodo mempengaruhi hasil belajar
siswa pada konsep hukum Newton tentang gerak. Oleh karena itu, penulis memilih judul “Pengaruh
Penugasan Digital melalui Socrative dan Edmodo terhadap Hasil Belajar Siswa SMA pada Konsep
Hukum Newton tentang Gerak”. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengaruh positif
terhadap hasil belajar siswa.

9
Iwan Permana Suwarna, Pengaruh Penggunaan Social Learning Platform terhadap Pemahaman Konsep dan
Tingkat Miskonsepsi Siswa SMA pada Mata Pelajaran Fisika di Kelas X, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Penerbitan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h.12.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

295
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dasar Teori
Penugasan Digital
Komputer berperan sebagai manajer dalam proses pembelajaran yang dikenal dengan nama
Computer-Managed Instruction (CMI). 10. Komputer dapat merangsang siswa untuk mengerjakan
latihan, melakukan kegiatan laboratorium atau stimulasi karena tersedianya animasi grafik, warna,
dan musik yang dapat menambah realisme. Salah satu bentuk latihan soal menggunakan komputer
adalah penugasan digital.
Penugasan digital adalah penugasan berupa latihan soal yang diberikan melalui software
pembelajaran dan harus menggunakan internet untuk mengoprasikannya. Penugasan digital ini bisa
dikerjakan melalui komputer atau handphone berbasis android. Software pembelajaran yang
digunakan dalam penugasan digital adalah socrative dan edmodo.
a. Socrative
Socrative adalah sebuah media pembelajaran online yang berisi latihan- latihan soal yang
dapat dilakukan selama kegiatan pembelajaran. Akun socrative dapat diperoleh tanpa berbayar
dengan mengakses www.socrative.com. Siswa dapat langsung log in ke dalam akun tersebut dan
hanya mengisi nama lalu memilih warna yang telah ditentukan serta dapat langsung mengisi soal
latihan yang diberikan oleh guru. Socrative merupakan aplikasi cerdas untuk mengolah respon siswa,
aplikasi ini berbasis pada android dan iOS untuk tablet dan smartphone, sedangkan untuk perangkat
PC cukup menggunakan aplikasi browser saja.11 Socrative membutuhkan jaringan internet untuk
mengumpulkan respon siswa. Hasil dari pengumpulan respon siswa dapat diakses oleh guru dalam
bentuk google spreadsheet.
Socrative memiliki beberapa fitur seperti multiple choice yang memungkin guru untuk
menerima repon siswa dalam menjawab pertanyaan pilihan ganda melalui perangkat TIK mereka,
selain itu ada pula fitur short answer dan true or false. Ada pula fitur yang berbasis kuis, pada fitur
ini guru bisa menampilkan beberapa pertanyaan sekaligus secara berurutan melalui socrative dan
jawaban siswa akan terakumulasi pada alamat surel yang sudah diatur sebelumnya.12
b. Edmodo
Edmodo di dirikan pada tahun 2008 oleh Nicolas Brog dan Jeff O’Hara.13 Edmodo
merupakan salah satu media pembelajaran berbasis web yang dapat digunakan untuk mengontrol
aktivitas siswa baik oleh guru maupun orang tua. Edmodo diciptakan menggunakan konsep social
networking, yang mengacu pada jejaring sosial facebook, sehingga sistem ini memiliki fitur yang
mirip dengan facebook.14 Bahkan banyak yang bilang edmodo adalah facebooknya sekolah, Hal ini

10
Azhar Arsyad, Media Pembelajaran, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011), h.96.
11
Mukhammad Ryan, Profil keterampilan komunikasi siswa SMP pada pembelajaran dengan strategi readin
infusion dan penggunaan Socrative, Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Pendidikan Indonesia, 2014, h.8
12
Ibid., h.9.
13
Basori, Pemanfaatan Social Learning Networking “EDMODO”dalam Membantu
Perkuliahan Teori Bodi Otomotif di Prodi PTM JPTK FKIP UNS, JIPTEK Vol. VI No.2 2013, h.100.
14
Ari sudibjo, Pengaruh Media Pembelajaran Fisika dengan E-learning berbasis
Edmodo Blog Education pada Materi Alat Optik untuk Meningkatkan Respon Motivasi dan Hasil Belajar Siswa
di SMP Negeri 4 Surabaya, Jurnal Inovasi Pendidikan FisikaVol. 02 NO
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

296
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

terlihat jelas pada tampilan halaman awal edmodo, akan terlihat bahwa log in pengguna dibedakan
apakah user adalah guru, siswa, atau orang tua siswa.

Gambar 2.1 Tampilan Awal Edmodo

Gambar tersebut membuktikan bahwa aplikasi edmodo ini berfokus pada pelayanan
pendidikan. Ada beberapa alasan sehingga edmodo menjadi aplikasi LSM (Learning Managemnt
System) yang paling banyak digunakan saat ini, diantaranya adalah 15
1) User Interface. Mengadaptasi tampilan seperti facebook, secara sederhana edmodo relatif
mudah untuk digunakan bahkan untuk pemula sekalipun.
2) Compatibility. Edmodo mendukung preview berbagai jenis format file seperti:pdf, pptx, html,
swf dan sebagainya.
3) Aplikasi edmodo tidak hanya dapat diakses dengan menggunakan PC tetapi juga bisa diakses
dengan menggunakan gadget berbasis android OS.
4) Tidak perlu melakukan instalasi secara manual dan tidak harus mengeluarkan biaya untuk meng-
upload ke internet.
Edmodo memakai dua fungsi pengguna yang berbeda. Jika log in sebagai guru, maka guru
tersebut dapat membuat kelas virtual tersendiri dimana kode kelas hanya guru tersebut yang
mengetahuinnya.16 Guru dapat meng-upload soal, kuis, video, tutorial di dalam kelas yang dibuatnya.

15
andi Ramdani, Penggunaan Aplikasi Learning Management System (LMS) Edmodo berbasis Android terhadap
Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Kkpi, Skripsi Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Pendidikan Teknologi
dan Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia, 2014, h. 25.

Suci Rahmadika, Efektivitas Penerapan Media Jejaring Sosial Edmodo dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
16

pada Mata Diklat Sistem Komputer, Skripsi Skripsi Jurusan


Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia,
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

297
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sedangkan siswa dapat masuk ke dalam kelas dengan meminta kode kelas kepada guru bersangkutan.
Interaksi pembelajaran dapat terbangun melalui forum diskusi dan chat dalam kelas yang telah
dibuat.Fitur edmodo disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran. Edmodo mengklasifikasikan
fiturnya berdasarkan pengguna yaitu guru dan siswa.

Metode Penelitian
Penelitian ini berlangsung pada bulan November tahun ajaran 2015-2016. Penelitian
dilakukan di SMA Negeri 10 Tangerang Selatan yang beralamat di Jl. Tegal Rotan Raya No. 91,
Sawah Baru, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten. Metode penelitian yang digunakan adalah
quasi experiment dengan desain non equivalent control group design. Populasi yang diteliti adalah
seluruh siswa di SMA Negeri 10 Tangerang Selatan dengan populasi targetnya adalah seluruh kelas
X. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan purposive sampling. Sampel yang
diambil adalah siswa kelas X6 sebagai kelas eksperimen yang diberikan penugasan digital, sedangkan
kelas X7 sebagai kelas kontrol yang diberikan penugasan konvensional. Instrument yang digunakan
pada penelitian ini adalah instrument tes dan nontes. Instrument tes yang digunakan berupa tes
objeksif pilihan ganda yang mengukur aspek kognitif yang sebelumnya dilakukan uji validitas,
reabilitas, tingkat kesukaran , dan daya pembeda. Instrumen tes diberikan kepada kelas kontrol dan
kelas eksperimen. Instrument nontes yang digunakan adalah berupa angket respon siswa yang telah
divalidasi ahli. Angket respon siswa hanya diberikan kepada siswa di kelas eksperimen. Adapun
teknik analisis data tes yang digunakan pada penelitian ini adalah uji normalitas, uji homogenitas, uji
hipotesis, dan uji N-gain. Sementara, analisis data nontes berupa angket respon siswa pada penelitian
ini mengecu pada skala Likert.

Hasil Penelitian
Data Hasil Pretest dan Posttest
Data hasil pretest dan posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel 4.3
berikut:
Tabel 4.3 Rekapitulasi Data Hasil Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Pemusatan dan Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Penyebaran
Data
Pretest Posttest Pretest Posttest
Nilai 4 46 8 25
Terendah
Nilai 29 79 38 58
Tertinggi

2014, h. 11.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

298
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Mean 18,97 62,14 21,57 46,06


Modus 25 65 23 47
Median 21 62,5 21 46
Standar 6,43 8,89 9,21 8,33
Deviasi

Berdasarkan Tabel 4.3, terlihat bahwa nilai rata-rata pretest kelas eksperimen sebesar 18,97 dan kelas
kontrol sebesar 21,57. Sementara, nilai rata- rata posttest kelas eksperimen sebesar 62,14 dan kelas
kontrol sebesar 46,06. Hasil menunjukkan bahwa nilai kelas eksperimen dan kelas kontrol
mengalami peningkatan setelah diberikan perlakuan yang berbeda. Nilai rata-rata kelas eksperimen
yang diberi perlakuan berupa penugasan digital mengalami peningkatan dengan selisih nilai pretest
dan posttest sebesar 43,17, sedangkan kelas kontrol yang diberi perlakuan berupa penugasan
konvensional mengalami peningkatan dengan selisih nilai pretest dan posttest sebesar 24,49. Hasil
ini menunjukkan bahwa kelas eksperimen yang diberi perlakuan berupa penugasan digital memiliki
peningkatan hasil belajar lebih besar dibandingkan dengan kelas kontrol yang diberi perlakuan
berupa penugasan konvensional.

Hasil Uji Normalitas


Hasil perhitungan uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut:
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol
Pretest Posttest
Statistik Kelas Kelas Kelas Kelas
Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol
Asymp.sig 0,02 0,01 0,00 0,03
Taraf Signifikansi
0,05

Keputusan Data tidak Data tidak Data tidak Data tidak


terdistribusi terdistribusi terdistribusi terdistribusi
normal normal normal normal
Berdasarkan Tabel 4.4, terlihat bahwa nilai signifikansi pretest dengan menggunakan uji
Kolmonogrov-Sminrov pada kelas eksperimen sebesar 0,02 dan kelas kontrol sebesar 0,01. Nilai
signifikansi data pretest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol lebih kecil dari taraf signifikansi
(0,05), sehingga data pretest pada kedua kelas tersebut tidak terdistribusi normal. Sementara, untuk
nilai signifikansi posttest pada kelas eksperimen sebesar 0,00 dan kelas kontrol sebesar 0,03. Nilai

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

299
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

signifikansi posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol lebih kecil dari taraf signifikansi
(0,05), sehingga data posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak terdistribusi normal.

Homogenitas
Hasil perhitungan uji homogenitas dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut:
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol
Pretest Posttes
Statistik Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Asymp.sig 0,06 0,24
Taraf signifikansi 0,05
Keputusan Kedua data homogen Kedua data homogen

Berdasarkan Tabel 4.5, terlihat bahwa nilai signifikansi pretest dan posttest secara
keseluruhan dengan menggunakan uji Levene Statistic pada kelas eksperimen sebesar 0,06 dan kelas
kontrol sebesar 0,24. Nilai signifikansi pretest dan posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
lebih besar dari taraf signifikansi, sehingga data pretest dan posttest pada kedua kelas dinyatakan
memiliki varians yang sama.

Hipotesis
Hasil perhitungan uji hipotesis dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut:
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol
Pretest Posttes
Statistik Kelas Eksperimen dan Kelas Eksperimen dan
Kelas Kontrol Kelas Kontrol

Asymp.sig (2-tailed) 0,20 0,00

Taraf signifikansi 0,05


Keputusan H0 diterima H0 ditolak

Berdasarkan tabel 4.6, terlihat bahwa nilai signifikansi pretest dan posttest kelas eksperimen
dan kelas kontrol adalah 0,20 dan 0,00. Nilai signifikansi pretest (0,20) lebih besar dari taraf
signifikansi (0,05), maka dinyatakan H0 diterima. Artinya, tidak terdapat perbedaan hasil pretest
kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sementara, nilai signifikansi posttest (0,00) lebih besar dari taraf
signifikansi (0,05), maka dinyatakan H0 ditolak. Sehingga, dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan hasil posttest yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Nilai rata-rata
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

300
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

posttest kelas eksperimen sebesar 62,14 dan kelas kontrol sebesar 46,06. Karena nilai rata-rata
posttest kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol, maka dapat disimpulkan penugasan digital
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa SMA pada konsep hukum Newton tentang gerak.
Perolehan hasil aspek kognitif pada data pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol dalam
penelitian ini disajikan dalam gambar 4.3.
Berdasarkan gambar 4.3, pada kelas eksperimen dan kelas kontrol persentase siswa paling banyak
menjawab soal pretest dengan benar berada pada jenjang kognitif C2 (memahami). Sedangkan,
persentase siswa paling sedikit menjawab soal pretest dengan benar berada pada jenjang C4
(menganalisis).
Berdasarkan hasil pretest, persentase siswa di kelas eksperimen yang menjawab dengan benar
soal-soal jenjang kognitif C1 (mengingat) sebesar 24%, C2 (memahami) sebesar 30%, C3
(menerapkan) sebesar 14% dan C4 (menganalisis) sebesar 8%. Adapun hasil pretest di kelas
kontrol, persentase siswa yang menjawab benar soal-soal jenjang kognitif C1 (mengingat) sebesar
30%, C2 (memahami) sebesar 33%, C3 (menerapkan) sebesar 19% dan C4 (menganalisis) sebesar
16%.
terbesar di kelas eksperimen dan kelas kontrol berada pada jenjang kognitif C3 (menerapkan).
Sedangkan, peningkatan terkecil di kelas eksperimen berada pada jenjang kognitif C4 (menganalisis)
dan di kelas kontrol berada pada jenjang C2 (memahami) dan C4 (menganalisis). Rata-rata
peningkatan aspek kognitif C1 (mengingat) sampai C4 (menganalisis) di kelas eksperimen (0,54)
lebih besar dibandingkan dengan kelas kontrol (0,25).
Pada kelas Eksperimen jenjang kognititif C1 (mengingat) meningkat sebesar 0,61 (sedang),
C2 (memahami) meningkat sebesar 0,55 (sedang), C3 (menerapkan ) meningkat sebesar 0,63
(sedang) dan C4 (menganalisis) meningkat sebesar 0,37 (sedang). Adapun pada kelas kontrol,
jenjang kognititif C1 (mengingat) meningkat sebesar 0,34 (sedang), C2 (memahami) meningkat
sebesar 0,03 (rendah), C3 (menerapkan ) meningkat sebesar 0,61 (sedang) dan C4 (menganalisis)
meningkat sebesar 0,04 (rendah).
Persentase

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

301
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 4.3 Grafik Jenjang Kognitif Hasil Pretest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Hasil Analisis Data Angket Respon Siswa


Hasil perhitungan angket respon siswa terhadap penugasan digital dapat dilihat pada Tabel 4.7
berikut:
Tabel 4.7 Hasil Angket Respon Siswa Terhadap Penugasan Digital
Indikator Angket Persentase Kategori
Respon siswa terhadap pemberian latihan 81% Sangat baik
soal dalam bentuk penugasan digital
Motivasi siswa terhadap pemberian latihan soal dalam
bentuk penugasan
81% Sangat baik
Digital
Pemahaman konsep fisika pada siswa
setelah latihan soal dalam bentuk penugasan digital 75% Baik
Rata-rata 79% Baik
Tabel 4.7 menunjukkan persentase respon siswa terhadap penggunaan penugasan digital
dalam pembelajaran fisika pada konsep hukum Newton tentang gerak secara keseluruhan berada
pada kategori baik dengan nilai rata-rata persentase sebesar 79%. Pada indikator respon siswa
terhadap pemberian latihan soal dalam bentuk penugasan digital memiliki persentase sebesar 81%
dengan kategori sangat baik. Pada indikator motivasi siswa terhadap pemberian latihan soal dalam
bentuk penugasan digital memiliki persentase sebesar 81% dengan kategori sangat baik. Sedangkan,
pada indikator pemahaman konsep fisika pada siswa setelah latihan soal dalam bentuk penugasan
digitla memiliki persentase sebesar 75% dengan kategori baik.

Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, nilai rata-rata pretest kelas kontrol lebih tinggi dari
kelas eksperimen dengan selisih sebesar 2,6. Hal ini dikarenakan kelas kontrol merupakan kelas
unggulan dan kelas eksperimen merupakan kelas yang kemampuan siswanya rendah. Hal ini sesuai
dengan data nilai ulangan sebelumnya pada mata pelajaran fisika, kimia, matematika dan biologi
bahwa kelas kontrol memiliki nilai rata-rata lebih besar dibandingkan dengan kelas eksperimen.
Kelas eksperimen memiliki nilai rata-rata posttest lebih tinggi dari kelas kontrol dengan
selisih sebesar 16,08. Hal ini disebabkan karena pada kelas eksperimen diberikan perlakuan berupa
penugasan digital, sehingga siswa langsung mendapatkan feedback dari tugas yang diberikan oleh
guru yang menyebabkan pengetahuan mereka bertambah. Pemberian feedback secara langsung ini
merupakan sebuah stimulus yang dapat meningkatkan hasil belajar. Menurut Thorndike, sebuah
respon menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan stimulus-respon akan semakin kuat.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

302
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respon, maka semakin lemah hubungan
yang terjadi antara stimulus-respon.
Sedangkan, pada kelas kontrol hanya di berikan penugasan konvensional (cetak) sehingga
siswa tidak langsung mendapatkan feedback dari tugas yang mereka kerjakan yang menyebabkan
pengetahuan siswa kurang maksimal, bahkan dapat menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi
dikarenakan mereka tidak mengetahui jawaban yang benar dari tugas yang mereka kerjakan.
Berdasarkan hasil uji prasyarat, data pretest dan posttest pada penelitian ini tidak
terdistribusi normal dan homogen. Sehingga, pengujian hipotesisnya menggunakan statistika
nonparametrik yaitu uji Mann Whitney Test. Dari hasil uji hipotesis data posttest yang
menggunakan uji Mann Whitney Test di peroleh Asymp-sig sebesar 0,00 dan taraf signifikansi 0,05.
Artinya, nilai Asymp-sig < taraf signifikansi, maka H0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan diantara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Karena
nilai rata-rata (mean) data posttest kelas eksperimen lebih besar dari kelas kontrol, maka dapat
disimpulkan bahwa penugasan digital berpengaruh terhadap hasil belajar. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Wirda, dkk, bahwa peningkatan hasil belajar menggunakan media
pembelajaran elektronik berbasis edmodo berpengaruh sebesar 6,97% terhadap hasil belajar siswa.
Hasil belajar dengan menggunakan media pembelajaran elektronik berbasis edmodo memiliki nilai
rata-rata kelas sebesar 76,16 sedangkan siswa yang belajar langsung tanpa menggunakan edmodo
memiliki rata-rata nilai sebesar 71,20.3
Kelas eksperimen lebih unggul dari kelas kontrol dikarenakan pembelajaran dengan
menggunakan penugasan digital dapat memberikan feedback dan hasil penugasan secara langsung
kepada siswa. Selain itu, penugasan digital di buat dalam bentuk game yang membuat siswa
termotivasi dalam mengerjakan latihan soal. Sehingga, pengetahuan siswa bertambah dan dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa. Menurut Soma Salim S, Penggunaan internet sebagai media
penugasan lebih diminati siswa karena memberikan suasana baru dalam proses pembelajaran
disekolah dan merupakan salah satu. variasi dalam memberikan tugas kepada siswa. 4 Selain itu,
menurut Zenna Zwang, dengan menggunakan edmodo guru dapat memposting bahan-bahan
pelajaran, berbagi link dan video, penugasan proyek, dan pemberitahuan nilai siswa secara langsung. 5
Kelas eksperimen mengalami peningkatan jenjang kognitif C1 (mengingat) sebesar 0,61.
Pada jenjang C2 (memahami) mengalami peningkatan sebesar 0,55. Pada jenjang C3 (menerapkan)
mengalami peningkatan sebesar 0,63 dan pada jenjang C4 (menganalisis) mengalami peningkatan
sebesar 0,37. Pada kelas eksperimen peningkatan terbesar terdapat pada jenjang kognitif C3
(menerapkan) sebesar 0,63. Sedangkan, peningkatan terkecil berada pada jenjang kognitif C4
(menganalisis) sebesar 0,37. Hal ini disebabkan karena pada kelas eksperimen yang menggunakan
penugasan digital dapat memberikan feedback berupa cara atau langkah pengerjaan soal hitungan
yang merupakan jenjang kognitif C3 (menerapkan). Sehingga, siswa dapat mengetahui jawaban dan
langkah-langkah dalam menyelesaikan soal hitungan. Selain itu, latihan soal yang diberikan kepada
siswa banyak mengukur kemampuan kognitif jenjang C3 (menerapkan) dan latihan soal yang
diberikan hampir sama dengan contoh soal yang sudah diajarkan. Sehingga, pada soal-soal yang
merupakan jenjang kognitif C3 (menerapkan) mengalami peningkatan yang signifikan. Menurut
Lorin W. Anderson latihan soal pada dasarnya bertujuan melatih siswa untuk menyelesaikan
masalah-masalah terkait materi yang telah di pelajari berikut dengan tahap penyelesaiannya, karena
proses kognitif C3 (menerapkan) itu melibatkan penggunaan prosedur-prosedur tertentu untuk
mengerjakan soal latihan atau menyelesaikan masalah.6 Namun, pada jenjang kognitif C4
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

303
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

(menganalisis) mengalami peningkatan terkecil dikarenakan bentuk penugasan pilihan ganda tidak
mampu mengukur kemampuan analisis. Sehingga, penugasandigital dalam bentuk pilihan ganda
hanya sedikit meningkatkan kemampuan analisis. Agar kemampuan analisis lebih meningkat bentuk
penugasan harus dibuat dalam bentuk uraian.
Kelas kontrol mengalami peningkatan jenjang kognitif C1 (mengingat) mengalami
peningkatan sebesar 0,34. Pada jenjang C2 (memahami) mengalami peningkatan sebesar 0,03. Pada
jenjang C3 (menerapkan) mengalami peningkatan sebesar 0,61 dan pada jenjang C4 (menganalisis)
mengalami peningkatan sebesar 0,04. Pada kelas kontrol peningkatan terbesar terdapat pada jenjang
kognitif C3 (menerapkan) sebesar 0,61. Sedangkan, peningkatan terkecil berada pada jenjang
kognitif C2 (memahami) sebesar 0,03 dan C4 (menganalisis) sebesar 0,04. Hal ini disebabkan
latihan soal yang diberikan kepada siswa banyak mengukur kemampuan kognitif jenjang C3
(menerapkan) dan latihan soal yang diberikan hampir sama dengan contoh soal yang sudah
diajarkan. Sehingga, pada soal-soal yang merupakan jenjang kognitif C3 (menerapkan) mengalami
peningkatan yang signifikan. Namun, peningkatan jenjang kognitif C3 pada kelas kontrol lebih kecil
dibandingkan dengan peningkatan jenjang kognitif C3 pada kelas eksperimen. Karena pada kelas
kontrol siswa tidak langsung mendapatkan feedback dari latihan soal yang diberikan. Pada jenjang
kognitif C2 (memahami) dan C4 (menganalisis) mengalami peningkatan terkecil dikarenakan
penugasan konvensional tidak langsung memberikan feedback pada tugas yang diberikan. Sehingga
siswa tidak mengetahui jawaban yang benar dari tugas yang diberikan dan dapat menyebabkan
pemahaman konsep yang salah. Selain itu, penugasan yang di buat dalam bentuk pilihan ganda tidak
dapat mengukur kemampuan analisis. Sehingga, penugasan yang dibuat dalam bentuk pilihan ganda
hanya sedikit meningkatkan kemampuan analisis. Agar kemampuan analisis lebih meningkat, bentuk
penugasan harus dibuat dalam bentuk uraian. Tes objektif dapat digunakan untuk mengukur proses
berpikir rendah sampai dengan sedang (ingatan, pemahaman, dan penerapan).7 Menurut Purwo
Susongko, bentuk tes uraian memberikan kebebasan kepada setiap penempuh tes untuk
mengekspresikan daya nalarnya, sehingga jawaban yang diberikan oleh setiap penempuh tes akan
menunjukkan kemampuan berfikir secara kompleks.8
Kelas eksperimen memiliki peningkatan jenjang kognitif (C1-C4) lebih tinggi dari kelas
kontrol. Karena, pada penugasan digital siswa tersebut langsung mendapatkan feedback berupa
jawaban yang benar dan skor dari penugasan. Sehingga, pengetahuan dan motivasi belajar siswa
bertambah. Menurut Burgos, salah satu kelebihan dari metode evaluasi online adalah hasil evaluasi
dapat dilihat langsung oleh mahasiswa yang bersangkutan setelah selesai menjawab seluruh soal yang
diberikan.9 Selain itu, hasil angket respon siswa pada indikator pemahaman konsep fisika pada siswa
setelah latihan soal dalam bentuk penugasan digital menunjukkan persentase sebesar 75 % dengan
kategori baik. Artinya, penugasan digital dapat meningkatkan pemahaman konsep fisika pada siswa.
Sedangkan, pada kelas kontrol siswa tidak langsung mendapatkan feedback dan skor dari penugasan.
Hal tersebut membuat siswa malas untuk mengerjakan tugas. Karena mereka tidak mengetahui
jawaban yang benar akan tugas tersebut, sehingga pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tidak
maksimal. Menurut Wijayanti, siswa tidak akan termotivasi dalam proses pembelajaran jika tugas
yang mereka kerjakan tidak terkoreksi dengan baik oleh guru. 10 Siswa tidak akan mengetahui
pemahaman konsep yang ia miliki terhadap tugas yang dikerjakan itu benar atau tidak jika guru tidak
mengoreksi tugas dan tidak memberikan konfirmasi mengenai jawaban yang benar terhadap tugas
yang mereka kerjakan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

304
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Keberhasilan penugasan digital dalam pembelajaran didukung oleh angket respon siswa
dengan persentase sebesar 79% berada dalam kategori baik. Pada indikator respon dan motivasi
siswa setelah menggunakan penugasan digital berada dalam kategori sangat baik dengan persentase
sebesar 81%. Artinya, banyak siswa di kelas eksperimen yang menyukai dan termotivasi belajar fisika
setelah menggunakan penugasan digital. Salah satu faktor yang membuat siswa termotivasi dan
menyukai penugasan digital adalah penugasan digital diberikan dalam bentuk game berupa space race
antar kelompok sehingga siswa merasa lebih tertarik dalam mengerjakan tugas. Menurut
Kuswardayan, game edukasi merupakan salah satu tema permainan yang berusaha memberikan nilai
edukasi dalam sebuah permainan sehingga permainan yang awalnya berfungsi sebagai media
penghibur, akhirnya dapat digunakan sebagai media pembelajaran atau pelatihan.11
Penugasan digital memiliki beberapa kelemahan diantaranya: harus terhubung dengan
koneksi internet, ketidakstabilan jaringan internet yang digunakan dapat mempengaruhi kecepatan
antar kelompok dalam menjawab latihan soal, tidak bisa mengukur kemampuan tingkat tinggi
seperti: berpikir kreatif dan berpikir kritis.

Penutup
Simpulan
Terdapat pengaruh penugasan digital terhadap hasil belajar siswa SMA pada konsep hukum
Newton tentang gerak. Hal ini didasarkan pada uji hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney Test
dan nilai rata-rata (mean) pada data posttest. Nilai Asymp-sig data posttest sebesar 0,00 < dari taraf
signifikansi sebesar 0,05. Nilai rata-rata posttest pada kelas eksperimen sebesar 62,14 dan pada kelas
kontrol sebesar 46,06. Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata posttest kelas eksperimen lebih
tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Rata-rata nilai N-Gain pada jenjang kognitif C1
(mengingat) sampai C4 (menganalisis) di kelas eksperimen sebesar 0,54 dan di kelas kontrol sebesar
0,25. Hal ini menunjukkan bahwa kelas eksperimen mengalami peningkatan lebih tinggi
dibandingkan dengan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen, jenjang kognitif C3 mengalami
peningkatan tertinggi diantara jenjang kognitif lainnya sebesar 0,63 dengan kategori sedang. Respon
siswa terhadap penggunaan penugasan digital dalam pembelajaran fisika mempunyai rata-rata
presentase sebesar 79% dengan kategori baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa penugasan digital
diminati dan disukai oleh siswa dalam pembelajaran fisika.

Saran
Diperlukannya koneksi internet dalam jaringan LAN agar pembelajaran menggunakan
penugasan digital dapat berjalan dengan lancar. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya agar dapat
membuat penugasan digital yang dapat mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi pada siswa.

Daftar Pustaka
(1) Awedh, Mohammad. (2014). Using Socrative and Smartphones for the support of Collaborative
learning. International Journal on Integrating Technology in Education (IJITE) Vol.3, No.4, h.7

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

305
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

(2) Alkathiri, Fatimah. (2015). Beyond the Classroom Walls: Edmodo in Saudi Secondary School
EFL Instruction, Attitudes and Challenges. International journal of english language teaching
vol. 8, No.1,h.198.
(3) Bahri Djamarah saiful. (2011).Psikologi Belajar,.Jakarta: Rineka Cipta.
(4) Samudra, Gede bendem, dkk.(2014). Permasalahan-Permasalahan yang dihadapi Siswa SMA di
Kota Singaraja dalam Mempelajari Fisika . E-Journal Program Pasca Sarjana Pendidikan
Ganesha, Vol 4, h.1.
(5) Dzamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. (2010). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Rineka
cipta
(6) Suwarna, Iwan Permana. (2014). Pengaruh Penggunaan Social Learning Platform terhadap
Pemahaman Konsep dan Tingkat Miskonsepsi Siswa SMA pada Mata Pelajaran Fisika di Kelas
X. Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(LP2M). Tidak dipublikasikan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(7) Mindawati, Azmi.(2011). Pengaruh Pemberian Tugas Berstruktur Berbasis Aktivitas pada
Metode Diskusi terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Universitas Pendidikan Indonesia
(8) Masyita. (2012). Penerapan Metode Penugasan untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada
Materi Perubahan Wujud Benda dalam Pembelajaran IPA Kelas IV SDN 21 Ampana. Jurnal
Kreatif Tadaluko Online Vol. 1 No. 4 ISSN 2354-614X, h.3.
(9) Arsyad, Azhar. (2010). Media Pembelajaran. JAKARTA : Rajawali Pers
(10) Ryan, Mukhammad. (2014). Profil Keterampilan Komunikasi Siswa SMP pada
Pembelajaran dengan Strategi Readin Infusion dan Penggunaan Socrative . Skripsi. Tidak
dipublikasikan. Universitas Pendidikan Indonesia
(11) Basori. (2013). Pemanfaatan social learning networking “EDMODO”dalam membantu
perkuliahan teori bodi otomotif di prodi PTM JPTK FKIP UNS . JIPTEK Vol. VI
No.2,h.100.
(12) Sudibjo, Ari. (2013). Pengaruh Media Pembelajaran Fisika dengan E-Learning Berbasis
Edmodo Blog Education pada Materi Alat Optik untuk Meningkatkan Respon Motivasi dan
Hasil Belajar Siswa di SMP Negeri 4 Surabaya. Jurnal Inovasi Pendidikan FisikaVol. 02 NO.
03, h.188.
(13) Rahmadika, Suci. (2014). Efektivitas Penerapan Media Jejaring Sosial Edmodo dalam
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada mata Diklat Sistem Komputer . Skripsi. Tidak
dipublikasikan. Universitas Pendidikan Indonesia.
(14) Usman, Moh.Uzer. (2013). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
(15) Rusman. (2013). Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer. Bandung: Alfabeta.
(16) Sudjana, Nana. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdikarya
(17) Anderson, Lorin W. and David R. Krathwohl. (2010). Kerangka Landasan untuk

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

306
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pembelajaran, Pengajaran dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom , Terj. Agung
Prihantoro.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
(18) Arikunto, Suharsimi. (2002) Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik edisi revisi V .
Jakarta: Rineka cipta
(19) Anonim. (2015). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
(20) Budi, dkk. (2012). Pengembangan metode pembelajaran online berbasis e- learning (studi
kasus mata kuliah bahasa pemrograman). Jurnal sains terapan edisi II , vol.2 (1), h.108
(21) Cocoa, David Mendez. (2013). Software socrative and Smartphones as Tools For
Implementation of Basic Processes of Active Physics Learning in Classroom: An Initial
Feasibility Study With Prospective Teachers. European Journal of Physics Education, Vol.4
Issue 2, h.17-24.
(22) Giancoli, Douglas C. (2001). Fisika Jilid 1Edisi Kelima . Jakarta : Erlangga.
(23) Hafid, Dedi Herdiana. Keunggulan dan Kelemahan Tes Objektif. 21 Desember 2015.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/Jur._Psikologi_Pend_dan_Bimbingahan_Tes_objektif%5B
Compatibility_Mode%5D.pdf.
(24) Herlanti, Yanti. (2006). Tanya Jawab Seputar Penelitian Pendidikan Sains. Jakarta: Jurusan
Pendidikan IPA FITK UIN Jakarta.
(25) Indrajat, Dudi. (2009). Mudah dan Aktif Belajar Fisika untuk Kelas X Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
(26) Kadir. (2010). Statistika untuk penelitian ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Rosemata Sampurna.
(27) Kanginan, Marthen. (2002). Fisika untuk SMA Kelas X semester 1. Jakarta: Erlangga.
(28) Khanafi, Imam dan Djunaidi. “Socrative another e-learning”.26 Desember 2014.
https://ml.scribd.com/doc/219755510/Socrat-Ive.
(29) Kuswana, Wowo Sunaryo. (2012). Taksonomi Kognitif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
(30) Margono,S. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan (Komponen MKDK).
Jakarta:Rineka Cipta.
(31) Nurachmandani, Setya. (2010). Fisika 1 untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta : Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
(32) Ramdani, Andi. (2014). Penggunaan Aplikasi Learning Management System (LMS)
Edmodo berbasis Android terhadap Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran KKPI. Skripsi.
Tidak dipublikasikan. Universitas Pendidikan Indonesia.
(33) Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
(34) Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R&D.
Bandung: Alfabeta.
(35) Sukmadinata, Nana Syaodih. (2011). Metode Penelitian Pendidikan.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

307
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

(36) Susongko,Purwo. (2010). Perbandingan Keefektifan Bentuk Tes Uraian dan Teslet dengan
Penerapan Graded Response Model (GRM). Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan,
No.2,h.3
(37) Soma Salim, S. (2014). Blogmatika Sebagai Media Penugasan Bagi Siswa dalam
Pembelajaran Matematika pada Sekolah Berbasis Teknologi Informasi. Jurnal nalar pendidikan,
VOL 2, No 1, h.6.
(38) Syah, Muhibbin. (2001). Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
(39) Anonim. (2008). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
(40) Tadu, Salma. “Penerapan Pembelajaran dengan Teori Stimulus-Respon untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran Matematika” . 22 Desember 2015.
http://sigma09.blogspot.co.id/2011/11/penerapan-pembelajaran-denganteori.html.
(41) Tomy, dkk. (2015). Pengembangan Media Sains Berbasis Games Edukasi pada Materi
Tata Surya. Jurnal pembelajaran fisika vol 3, no.5, h.2.
(42) Wallace, Albin. (2014). Social Learning Platform and the Flipped Classroom. International
journal of information and educaation Technology Vol 4 No 4, h.295.
(43) Widyoko, Eko Putro. (2012). Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
(44) Willis Dahar, Ratna. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
(45) Wirda, dkk. (2014). Pengaruh penggunaan Media Pembelajaran Elektronik Berbasis
Edmodo terhadap Hasil Belajar Siswa pada Mata Diklat melakukan Instalasi Sound System
Kelas XI Teknik Audio Video di SMKN 1 Kinali. Jurnal Vokasional Teknik Elektronika &
Informatika Vol. 2, No. 2, h.116.
(46) Y, Setyono Evin. (2015). Pengaruh Penggunaan Media Jejaring Sosial Edmodo terhadap
Hasil Belajar Mahasiswa pada Topik Pembuatan Kurva-S Menggunakan Microsoft Excell.
Jurnal Sosial dan hukum, vol.5, no. 1, h.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

308
Merydhila Hapsari, Erina Hertanti, Ai Nurlaela
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: md.hapsa@gmail.com

Abstract: Improving Student's Cognitive Ability with STAD-Based Learning Video on Geometrical
Optics Concept. This reseach aims to determine the improvement of cognitive abilities of students
with STAD-based learning videos in the geometrical optics concept. The research was conducted in
X-4 and X-7 class at Senior High School 10 of South Tangerang. The method used was quasi
experimental with a non-equivalent control group design and sampling using purposive sampling
technique. The instrument used is a test instrument in the form of multiple choice questions and
nontes instrument in the form of a questionnaire. Based on result of hypothesis test by using t test to
posttest data obtained tcount (2,46)> ttable (2.00), so that null hypothesis (Ho) rejected and alterlative
hypothesis (Ha) accepted. That is, there is the effect of using STAD-based learning videos on
student learning outcomes in the concept of geometry optics. The average student learning outcomes
using STAD-based learning videos in the experimental class were superior to the control class. In
addition, the results of the questionnaire of students' responses to the use of STAD-based learning
videos on the concept of optical geometry are in good category with a percentage of 79.04.
Keywords: Learning Video, STAD, Learning Outcomes, Geometry Optics

Pendahuluan
Pembelajaran yang efektif akan menciptakan komunikasi dua arah, namun pada konsep
fisika dengan cakupan materi yang luas, biasanya proses pembelajaran berlangsung hanya satu arah.
Dalam hal ini, guru hanya menjelaskan tanpa memperhatikan apakah siswa memahami konsep
tersebut dan apakah konsepsi siswa sesuai dengan yang dimaksud oleh guru. Proses komunikasi
melibatkan tiga komponen pokok, yaitu komponen pengirim pesan, komponen penerima pesan, dan
komponen pesan itu sendiri yang biasanya berupa materi pelajaran (Purwanti, 2015). Pembelajaran
satu arah mengakibatkan pemahaman konsepsi siswa tidak sesuai dengan konsep ilmiah yang ada.
Ketidaktepatan konsep yang dimiliki siswa dengan konsepsi ilmiah akan menimbulkan terciptanya
miskonsepsi. Adanya miskonsepi tersebut dapat mengakibatkan tidak tercapainya peningkatan
kognitif siswa dengan maksimal, sehingga berpengaruh pada hasil belajar siswa. Untuk mengatasi
konsep fisika dengan cakupan yang sangat luas, maka dibutuhkan keahlian serta kreativitas seorang
guru dalam proses pembelajaran.
Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menggunakan suatu
alat bantu atau media. Media memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran.
Penggunaan media dalam pembelajaran dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan,
selain itu dapat menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi
pelajaran dengan dunia nyata (Imamah, 2012). Melalui media, proses pembelajaran menjadi lebih
efektif dan efisien, sehingga dapat membantu siswa dalam memahami konsep yang diajarkan
(Indriana, 2011: 15). Pemilihan jenis media harus disesuaikan dengan karakteristik konsep maupun
karakteristik siswanya (Fauziyah, 2015: 2). Media yang dianggap tepat untuk diterapkan pada
pembelajaran berdasarkan permasalahan di atas adalah video pembelajaran. Video pembelajaran
dapat membantu guru dalam menyampaikan suatu konsep, sehingga konsep yang cakupannya luas
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Selain itu, video pembelajaran
memiliki beberapa kelebihan diantaranya, dapat mengatasi keterbatasan jarak dan waktu,
memperjelas hal-hal yang abstrak dan memberikan gambaran yang lebih realistik, video dapat diulang
bila perlu menambah kejelasan, menumbuhkan minat dan motivasi belajar siswa, mengembangkan
pikiran dan pendapat siswa, serta pesan yang disampaikan cepat dan mudah diingat (Munadi,
2010:127). Artinya, dengan menggunakan media video, proses pembelajaran akan semakin sistematis
dan komunikatif, sehingga dapat memaksimalkan tujuan pembelajaran.
Konsep yang dipilih dalam penelitian ini adalah optik geometri. Pemilihan konsep ini
didasarkan karena konsep optik geometri cakupannya luas. Dalam menjelaskan teori dengan konsep
yang cakupannya luas, dibutuhkan alokasi waktu yang cukup panjang, sehingga untuk
memaksimalkan alokasi waktu yang tersedia, guru lebih mengutamakan penjelasan secara teroritis.
Akibatnya, waktu banyak terbuang hanya untuk penjelasan teori saja, sehingga tidak memungkinkan
untuk dilaksanakan praktikum. Namun, dengan menggunakan video pembelajaran, konsep optik
geometri dapat disajikan secara proporsional antara teori dan praktik.
Selama ini, banyak sekali jenis media video yang digunakan untuk memvisualisasikan
konsep fisika. Konsep video pembelajaran yang ada pada umumnya membuat siswa menjadi pasif
pada saat pembelajaran berlangsung. Video pembelajaran yang ada hanya berisikan materi yang akan
dijelaskan, sehingga siswa hanya menonton tanpa adanya aktivitas yang dapat membatu siswa dalam
memperoleh pengetahuan yang lebih banyak. Oleh karena itu, untuk membuat video pembelajaran
yang lebih menarik serta dapat memberikan aktivitas pada siswa, maka sebaiknya disisipkan suatu
metode atau model pembelajaran ke dalam suatu video pembelajaran. Dengan penyisipan model
pembelajaran ke dalam video diharapkan juga dapat mengatasi kelemahan guru dalam menerapkan
model pembelajaran tertentu (Yaniarti, 2016: 2). Guru terkadang bukan tidak menguasai konsep
yang diajarkan, namun guru terbiasa dengan model pembelajaran yang biasa diterapkannya.
Akibatnya, guru terkadang mengalami kesulitan ketika ingin menerapkan model pembelajaran baru.
Penerapan model pembelajaran ke dalam sebuah video pembelajaran diharapkan dapat menjadi solusi
dalam permasalahan ini.
Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan ke dalam video pembelajaran dengan
konsep optik geometri adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Model pembelajaran
kooperatif tipe STAD merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan adanya aktivitas dan
interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi
pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Tahapan yang terdapat pada model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dapat membuat siswa menjadi aktif dalam pembelajaran. Beberapa tahapan
yang terdapat dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD diantaranya, tahap penyajian materi,
tahap kegiatan kelompok, tahap tes individual, tahap perhitungan skor, dan tahap pemberian
penghargaan kelompok. Dengan memasukan tahapan dari model pembelajaran tersebut ke dalam
video pembelajaran, maka pembelajaran akan menjadi lebih bermakna, sehingga tujuan pembelajaran
akan terpenuhi.
Dalam penelitian ini, konsep optik geometri akan divideokan dengan mengikuti tahapan
pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Misalnya, dalam penjelasan mengenai
pembentukan bayangan pada cermin. Tahap pertama, video pembelajaran akan menginstruksikan
kepada seluruh siswa untuk membentuk kelompok kecil yang beranggotakan 4-5 siswa. Selanjutnya
pada tahap penyajian materi, video pembelajaran memaparkan proses pembentukan bayangan pada
cermin dilengkapi dengan contoh dan animasi. Kemudian pada tahap kegiatan kelompok, melalui
video pembelajaran siswa diarahkan untuk berdiskusi menjawab beberapa soal bersama
kelompoknya dengan alokasi waktu yang telah ditentukan. Namun, pada tahap latihan individual
siswa tidak diperkenankan untuk berdiskusi dalam mengerjakan soal. Ini dimaksudkan untuk

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

310
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mengetahui sejauh mana pemahaman siswa secara individual terhadap materi yang telah disajikan.
Kemudian pada tahap akhir akan dilakukan akumulasi penilaian, baik secara kelompok maupun
secara individual. Kelompok yang memperoleh skor tertinggi akan diberikan penghargaan berupa
animasi bintang yang terdapat pada video pembelajaran. Hal serupa juga diterapkan dalam
menjelaskan materi alat optik, misalnya mata, mikroskop, teropong dan lup.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul “Peningkatan Kemampuan Kognitif Siswa dengan Video Pembelajaran Berbasis STAD
pada Konsep Optik Geometri”.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 10 Kota Tangerang Selatan Penelitian
berlangsung pada semester genap bulan Februari s/d Maret tahun pelajaran 2016/2017. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi experiment) dengan
desain nonequivalent control group design. Pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok
kontrol tidak dipilih secara random (Sugiono, 2013: 144). Penelitian ini melibatkan dua kelompok,
yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok tersebut akan diberikan tes
awal (pretest) untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dasar siswa pada konsep optik geometri.
Selanjutnya, kedua kelompok diberikan perlakuan yang berbeda. Kelompok eksperimen diberikan
perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan video pembelajaran berbasis STAD, sedangkan
kelompok kontrol diberikan perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan media persentasi
power point. Setelah diberikan perlakuan yang berbeda, kedua kelompok diberikan tes akhir
(posttest) untuk mengetahui sejauh mana peningkatan kognitif siswa pada konsep optika geometri.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu
teknik penentuan sampel berdasarkan tujuan tertentu (Arikunto, 2013: 183). Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tes dan non tes. Instrumen tes berupa tes objektif pilihan
ganda yang terdiri dari lima alternatif jawaban sebanyak 20 soal, diberikan pada saat pretest dan
posttest. Instrumen nontes yang digunakan pada penelitian ini berupa angket, diberikan kepada
kelompok eksperimen setelah pembelajaran berlangsung.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Berdasarkan perhitungan statistik diperoleh beberapa nilai pemusatan dan penyebaran data
dari hasil pretest dan posttest. Rekapitulasi data hasil pretest dan posttest untuk kelas kontrol
maupun kelas eksperimen dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Rekapitulasi Data Hasil Pretest dan Posttest pada Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Pretest Posttest
Pemusatan dan
Kelas Kelas Kelas Kelas
Penyebaran Data
Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen
Nilai Terendah 20 15 55 60
Nilai Tertinggi 55 50 80 85
Rata-rata 34,85 31,44 71,85 76,41
Median 33,5 31 72,35 76,64

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

311
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Modus 32,5 29,93 76,17 74,5


Standar Deviasi 9,57 10,10 7,44 7,95
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa rata-rata pretest pada kelas kontrol (34,85) lebih
tinggi dibandingkan kelas eksperimen (31,44). Namun, setelah diberikan perlakuan yang berbeda,
terlihat bahwa rata-rata posttest pada kelas eksperimen (76,41) lebih tinggi dibandingkan kelas
kontrol (71,85).
Hasil belajar siswa pada konsep optik geometri untuk setiap jenjang kognitif dapat dilihat
pada Gambar 1 berikut: 81.62%
80.88%

82.25%
81.62%

75.00%
90%

70.59%

64.71%
80%

52.94%
51.47%

70%
49.26%

48.55%

60%
38.97%
Persentase

Pretest
31.37%

50%
28.92%
Kontrol
40% 18.63%
16.67% Posttest
30% Kontrol
20%
10%
0%
C1 C2 C3 C4
Jenjang Kognitif

Gambar 1 Diagram Hasil Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen berdasarkan
Jenjang Ranah Kognitif
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa kemampuan kognitif siswa pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol mengalami peningkatan. Peningkatan jenjang kognitif hasil pretest dan posttest
yang signifikan terjadi pada kemampuan menerapkan (C3) dan menganalisis (C4), baik di kelas
kontrol maupun kelas eksperimen. Pada jenjang kognitif C3, kelas kontrol mengalami peningkatan
dengan selisih persentase nilai posttest dan pretest sebesar 39,22, sedangkan kelas eksperimen
mengalami peningkatan dengan selisih persentase nilai posttest dan pretest sebesar 46,08.
Selanjutnya, pada jenjang kognitif C4, kelas kontrol mengalami peningkatan dengan selisih
persentase nilai posttest dan pretest sebesar 34,31, sedangkan kelas eksperimen mengalami
peningkatan dengan selisih persentase nilai posttest dan pretest sebesar 48,04.

Hasil Uji Prasyarat


Pengujian normalitas terhadap hasil pretest, posttest kelas X-7 sebagai kelas eksperimen dan
hasil pretest, posttest kelas X-4 sebagai kelas kontrol. Untuk menguji normalitas kedua data
tersebut digunakan rumus uji kai kuadrat (chi-square). Hasil perhitungan uji normalitas dapat dilihat
pada Tabel 2 berikut:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

312
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 2 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan Kelas
Eksperimen

Pretest Posttest
Statistik Kelas Kelas
Kelas Kelas
Eksperim Eksperi
Kontrol Kontrol
en men
Nilai
6,87 7,23 2,36 9,70
x2hitung
Nilai x2tabel 11,07
Data Data Data Data
terdistri terdistrib terdistri terdistri
Keputusan
busi usi busi busi
normal normal normal normal

Sama halnya seperti uji normalitas, pengujian homogenitas juga dilakukan pada kedua data
pretest dan posttest. Hasil perhitungan uji homogenitas dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:
Tabel 3 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan Kelas
Eksperimen
Pretest Posttest
Statistik Kelas Kelas Kelas Kelas
Kontrol Eksperimen Kontrol Ekperimen
Nilai
9,57 10,10 7,44 7,95
Varians
Nilai Fhitung 1,11 1,14
Nilai Ftabel 1,79
Kedua kelas
Kesimpulan Kedua kelas homogen
homogen

Berdasarkan uji prasyarat analisis statistik, diperoleh hasil kedua data terdistribusi normal,
dan memiliki varians yang sama. Oleh karena itu, pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan uji t. Hasil perhitungan uji hipotesis dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4 Rekapitulasi Hasil Uji Hipotesis Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan Eksperimen

Statistik Pretest Posttest


thitung 1,44 2,46
ttabel 2,00
Kesimpulan Ha ditolak Ha diterima

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

313
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa pada saat posttest terlihat bahwa nilai thitung>ttabel,
sehingga hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alterlatif (Ha) diterima. Dengan demikian dapat
disimpullkan bahwa terdapat pengaruh penggunaan video pembelajaran berbasis STAD terhadap
hasil belajar siswa pada konsep optik geometri.

Hasil Analisis Data Angket


Hasil perhitungan angket respon siswa terhadap video pembelajaran berbasis STAD dapat
dilihat pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5 Hasil Angket Respon Siswa terhadap video pembelajaran berbasis STAD
No. Indikator Angket Persentase Kategori
Penyajian video pembelajaran berbasis
1. 81,25% Sangat Baik
STAD
Pengaruh video pembelajaran berbasis
2. 76,84% Baik
STAD terhadap hasil belajar
Rata-rata 79,04% Baik

Pembahasan
Video pembelajaran berbasis STAD dapat menjadi perhatian dan pertimbangan guru dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran fisika, khususnya konsep optik geometri. Hal ini didasarkan,
hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t, dimana nilai t hitung(2,46) > ttabel(2,00), sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh penggunaan video pembelajaran berbasis STAD terhadap
hasil belajar siswa pada konsep optik geometri. Pada penelitian ini, hasil belajar siswa pada kelas
eksperimen memperoleh rata-rata lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Artinya, penerapan video
pembelajaran berbasis STAD mampu meningkatkan kemampuan kognitif siswa. Hasil ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Syifa, yang menunjukan bahwa rata-rata hasil belajar siswa
menggunakan video pembelajaran lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata hasil belajar siswa
tanpa menggunakan video pembelajaran (Fauziah, 2015: 72). Pengaruh video pembelajaran yang
positif tidak hanya terlihat dari hasil belajar siswa. Jika dilihat dari perolehan hasil angket respon
siswa, penggunaan video pembelajaran berbasis STAD memperoleh persentase rata-rata 79,04.
Artinya, secara keseluruhan penggunaan video pembelajaran berbasis STAD pada konsep optik
geometri memperoleh respon yang positif dari siswa.
Jika ditinjau berdasarkan jenjang kognitifnya, pada saat pretest kelas kontrol lebih unggul
dibandingkan dengan kelas eksperimen pada semua jenjang kognitif. Namun, setelah diberikan
perlakuan, kelas eksperimen lebih unggul dalam jenjang kognitif C1 (mengingat), C2 (memahami),
C3 (menerapkan) dan C4 (menganalisis). Keunggulan pada kelas eksperimen ini terjadi karena video
pembelajaran berbasis STAD menyajikan konsep optik geometri secara nyata dengan menampilkan
video prakikum serta animasi yang berkaitan dengan optik geometri, sehingga siswa lebih tertarik
dalam mempelajari optik geometri. Selain itu, disajikan juga latihan soal yang harus dikerjakan secara
berkelompok, evaluasi individual, serta penghargaan kelompok. Kegiatan tersebut dapat memicu
siswa untuk berkompetisi dengan kelompok yang lainnya dalam mengerjakan soal yang disajikan
agar memperoleh penghargaan kelompok yang maksimal.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

314
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pada jenjang kognitif C1 (mengingat), kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan kelas
kontrol. Hal ini terjadi karena pembelajaran konsep optik geometri menjadi lebih menarik ketika
disajikan melalui video pembelajaran berbasis STAD, karena penjelasan konsep disertai gambar dan
dilengkapi audio. Artinya, informasi diterima dengan melibatkan beberapa indera. Levie dan Levie
menyatakan bahwa belajar melalui stimulus gambar akan membuahkan hasil belajar yang lebih baik
untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali dan menghubungkan fakta dan
konsep (Arsyad, 2011: 9). Selanjutnya, menurut Aminudin Rasyad, bila dilihat dari intensitasnya,
maka indera yang paling membantu manusia dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman
adalah indera pendengaran dan indera penglihatan (Munadhi, 2010: 53) Semakin banyak indera
yang terlibat atau digunakan dalam menerima maupun menolah informasi, maka semakin besar
kemungkinan informasi tersebut dapat dipahami dan disimpan dalam ingatan (Rusman, 2012: 165)
Selain meningkatkan hasil belajar pada jenjang kognitif C1 (mengingat), video pembelajaran
berbasis STAD juga dapat meningkatkan hasil belajar pada jenjang kognitif C2 (memahami).
Peningkatan hasil belajar ini terjadi karena video pembelajaran berbasis STAD menampilkan
fenomena yang nyata dengan bantuan animasi yang membuat siswa lebih memahami konsep optik
geometri. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan hasil angket respon siswa pada pernyataan
“Fenomena yang ditampilkan di dalam video berbasis STAD membuat materi optika geometris
menjadi lebih nyata” yang memperoleh respon sebesar 84,56%. Fenomena yang nyata menjadikan
pembelajaran lebih efektif, guru tidak perlu menjelaskan fenomena dari konsep melalui penuturan
kalimat verbal. Proses pembelajaran yang efektif dan efisien, dapat membantu siswa dalam
memahami konsep yang diajarkan (Indriana, 2011: 15). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ardila,
bahwa penggunaan media pembelajaran berbasis komputer yang disertai dengan animasi mampu
meningkatkan kemampuan memahami siswa (Febrina, 2016: 59)
Bantuan animasi pada video pembelajaran berbasis STAD juga dapat mengoptimalkan
waktu pembelajaran, misalnya dalam proses pembentukan bayangan pada cermin, guru tidak perlu
menggambarkan jalannya sinar-sinar istimewa di papan tulis, sehingga waktu dalam pembelajaran
menjadi lebih efektif. Hal ini terbukti dari hasil angket respon siswa pada pernyataan “Pembelajaran
optik geometri terasa lambat jika menggunakan video berbasis STAD” memperoleh respon negatif
sebesar 80,88%. Artinya, siswa menganggap pembelajaran konsep optik geometri terasa lebih ringkas
ketika menggunakan video pembelajaran berbasis STAD.
Video pembelajaran berbasis STAD juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada
jenjang kognitif C3 (menerapkan). Pada jenjang ini terjadi peningkatan hasil belajar terbesar yaitu
46,08%. Peningkatan ini terjadi karena dalam video pembelajaran berbasis STAD terdapat aktifitas
siswa dalam mengerjakan latihan secara berkelompok. Kerja kelompok adalah salah satu bentuk dari
kegiatan memecahkan masalah atau memahami dan menerapkan suatu konsep yang dipelajari
(Taniredja, 2013: 61) Bekerja sama dalam kelompok membuat siswa saling membantu menerapkan
kemampuan yang dimilikinya (Pangarti, 2014: 63). Kemampuan tersebut diterapkan ketika siswa
menjawab soal yang terdapat pada video pembelajaran berbasis STAD.
Selain meningkatkan hasil belajar pada jenjang kognitif C1-C3, video pembelajaran berbasis
STAD juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada jenjang kognitif C4 (menganalisis).
Peningkatan ini terjadi karena dalam video pembelajaran berbasis STAD disajikan berbagai soal
analisis yang harus dijawab siswa. Soal analisis yang disajikan mengarahkan siswa untuk memikirkan
pemecahan masalah, artinya siswa terlatih dalam menganalisis berbagai permasalahan yang ada.
Pembelajaran kooperatif sangat membantu dalam hal analisis, karena bekerja secara kooperatif
menyediakan peluang pada siswa untuk lebih mungkin dalam memecahkan masalah kompleks yang

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

315
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

seringkali tidak dapat dicapai (Masril, 2012: 13). Salah satu cara agar siswa dapat menganalisis soal
yang disajikan, yaitu melalui diskusi bersama kelompok. Bahasa yang digunakan pada saat diskusi
kelompok biasanya lebih mudah dipahami siswa, sehingga siswa lebih mudah dalam bertukar
pendapat dalam menganalisis soal yang disajikan.
Pada penelitian ini terdapat kelemahan dari video pembelajaran berbasis STAD, yaitu tidak
terdapat timer yang ditampilkan pada latihan kelompok dan latihan individu, sehingga siswa tidak
mengetahui batasan waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal. Namun, dari uraian sebelumnya
terlihat bahwa terdapat beberapa kelebihan yang dimiliki video pembelajaran berbasis STAD,
sehingga penerapannya mendapatkan respon positif dan mampu meningkatkan hasil belajar siswa.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa video
pembelajaran berbasis STAD dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa pada konsep optik
geometri. Hal ini terlihat dari uji hipotesis dengan menggunakan uji t, dimana nilai thitung(2,46) >
ttabel(2,00). Selain itu, rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan video pembelajaran berbasis
STAD pada kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan kelas kontrol pada semua jenjang kognitif.
Hasil ini didukung juga oleh angket respon siswa yang menunjukkan bahwa pembelajaran
menggunakan video pembelajara berbasis STAD berada pada kategori baik.

Saran
Saran yang dapat diajukan terkait penyajian video pembelajaran berbasis STAD untuk
perbaikan penelitian selanjutnya, yaitu:
1. Pada saat latihan kelompok dan latihan individu, sebaiknya ditampilkan timer pada video
pembelajaran agar siswa mengetahui batas waktu yang diberikan dalam mengerjakan soal.
2. Resolusi video pembelajaran sebaiknya dipilih pada resolusi tertinggi agar kualitas video yang
ditampilkan dalam pembelajaran terlihat lebih jelas.

Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
Arsyad, Azhar. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Fauziyah, Syifa. Pengaruh Media Video terhadap Hasil Belajar Siswa SMA pada konsep Gerak
Lurus. Skripsi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta , Jakarta, 2015,
h. 2, tidak dipublikasikan.
Febrina, Ardila Ayu. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dengan Games Digital
terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Alat-Alat Optik. Skripsi Program Studi
Pendidikan Fisika UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Jakarta, 2016, tidak dipublikasikan.
Indriana, Dina. Ragam Alat Bantu Media Pengajaran. Jogjakarta: Diva Press, 2011.
Masril. Pengembangan Model Pembelajaran Fisika SMA Berbasis Graphic Organizer Melalui Belajar
Kooperatif Tipe STAD. Jurnal ISSN 0852-0151.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

316
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Munadhi, Yudhi. Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.


Pangarti, Ilusi. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Game terhadap Hasil
Belajar Siswa pada Konsep Momentum dan Impuls. Skripsi pada Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014, tidak dipublikasikan.
Rusman. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer. Bandung: Alfabeta, 2012.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendahuluan. Bandung: Alfabeta, 2013.
Taniredja, Tukiran. Model-model Pembelajaran Inovatid dan Efektif. Bandung: Alfabeta, 2013.
Yaniarti, Ary dkk. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran
Quantum Teaching. Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus
2016.
Purwanti, Budi. Pengembangan Media Video Pembelajaran Matematika dengan Model Assure.
Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Vol. 3, No. 1, Januari 2015.
Imamah, N. Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis
Konstruktivisme Dipadukan dengan Video Animasi Materi Sistem Kehhidupan
Tumbuhan. Jurnal Prodi Pendidikan IPA FMIPA UNNES Semarang, April 2012.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

317
Meta Ikke Lisnawati, Nurdiasih Pertiwi, Fidia Fibriana
Universitas Negeri Semarang
e-mail: trythaikke17@gmail.com, nurdiasih.pertiwi@gmail.com, fidiafibriana@gmail.com
Abstract. Integrated Science Learning according to the 2013 curriculum is a lesson that emphasizes
the integration of the concepts of Physics, Chemistry, and Biology. In addition to being integrated,
the 2013 curriculum also requires students to be more active in classroom learning. However, the
problem is that most schools still use conventional methods of lectures that have not yet demanded
the students' activity in the classroom. Science learning requires concrete and empirical media to
demand student activeness and can be captured by students' memories. For example by using the
media in the form of props. A visual aid is a tool that can be absorbed by the eyes and ears in order
to help the teacher to make the teaching and learning process effective and efficient. The purpose of
this article is to explain IPA "EKSIS" visual aids as an interactive media in an effort to improve
understanding of the concept of junior high school students. The "EKSIS" Ecosystems and
Hydrological cycles can be used to describe the concept of an abstract ecosystem and hydrological
cycle without having to leave the classroom. These props can be made easily by science teachers in
junior high schools using simple materials, and their use can be sustainable for classroom learning.
Keywords: Teaching aid, Interactive Media, Understanding Concepts, Ecosystems, Hydrological
Cycles

Pendahuluan
Pembelajaran IPA Terpadu menurut kurikulum 2013 merupakan suatu pembelajaran yang
menekankan pada terintegrasinya konsep Fisika, Kimia, dan Biologi. Selain terintegrasi, kurikulum
2013 juga menuntut siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran di kelas. Namun, kecenderungan
pembelajaran IPA saat ini menurut Budiharti et al (2015) adalah siswa hanya mempelajari IPA
sebagai produk, bersifat teoritis, dan masih menggunakan model konvensional yang berkesan
monoton dan belum melibatkan siswa dalam pembelajaran. Tidak jarang ditemui pembelajaran IPA
yang hanya berorientasi pada pembelajaran akhir. Sehingga hakikat IPA sebagai proses, sikap, dan
aplikasi tidak tersentuh dalam pembelajaran. Pembelajaran IPA yang baik harus mengaitkan IPA
dengan kehidupan sehari-hari siswa. Siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan,
membangkitkan ide-ide, membangun rasa ingin tahu tentang segala sesuatu yang ada di
lingkungannya, membangun keterampilan yang diperlukan, dan menimbulkan kesadaran bahwa
belajar IPA menjadi sangat diperlukan untuk dipelajari.
Salah satu indikator untuk mengetahui keberhasilan proses belajar siswa adalah dengan
mengetahui tingkat pemahaman konsep siswa terhadap materi pembelajaran yang telah dipelajari.
Pemahaman konsep memiliki arti penting dalam proses belajar mengajar dan merupakan dasar dalam
mencapai hasil belajar (Widiawati et al, 2015). Untuk menanamkan suatu konsep dalam
pembelajaran, seorang guru perlu mengaitkannya dengan lingkungan sekitar dan konteks kehidupan
sehari-hari. Hal ini mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dan meningkatkan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

kemampuan pemahaman konsep materi yang akan dipelajari. Selain itu juga untuk menghindari
miskonsepsi dari suatu materi yang bersifat abstrak.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, banyak sekolah negeri maupun swasta yang belum
menggunakan media pembelajaran yang kreatif dan interaktif dalam pembelajaran IPA. Padahal
seperti kita ketahui, untuk menunjang pembelajaran berdasarkan kurikulum 2013 diperlukan suatu
media yang memadai, contohnya adalah alat peraga. Alat peraga dalam mengajar memegang peranan
penting sebagai alat bantu untuk menciptakan proses belajar mengajar yang efektif (Sudjana, 2009).
Alat peraga akan mempermudah mempelajari materi terutama untuk materi-materi tertentu yang
bersifat abstrak.
Materi pembelajaran IPA di SMP yang masih sulit dipahami oleh siswa karena sifatnya yang
abstrak adalah bab Interaksi makhluk hidup dan lingkungan serta struktur bumi dan bencananya di
kelas VII. Struktur Bumi dan Bencananya merupakan materi IPA yang konsepnya bersifat abstrak.
Meskipun sebelumnya, submaterinya yang berupa siklus air juga sudah dipelajari di SD kelas V.
Penelitian dari Rozie (2013), menyatakan bahwa pengembangan media video pembelajaran daur air
untuk siswa kelas V SD Negeri Bintoro 02 Jember dapat meningkatkan proses dan hasil belajar IPA
siswa. Namun di jenjang SMP materi ini dibahas lebih luas. Materi Struktur Bumi dan Bencananya
menjelaskan mengenai struktur dalam bumi, lapisan atmosfer, siklus hidrologi, serta proses terjadinya
gempa bumi, tsunami, dan gunung api. Materi ini tidak bisa dilihat secara langsung, sehingga siswa
yang kurang memiliki kemampuan berpikir abstrak dan berimajinasi akan mengalami kesulitan dalam
memahaminya.
Salah satu cara untuk membantu siswa memahami materi ini yaitu dengan menggunakan suatu
media pembelajaran yang mampu memodelkan kejadian atau fenomena kebumian secara lebih nyata
dalam pembelajarannya. Penggunaan media pembelajaran akan memperbanyak pengalaman belajar
siswa, membuat siswa menjadi tidak bosan, dan memberikan pembelajaran yang menarik kepada
siswa (De Vito dalam Samatowa, 2011). Tetapi kenyataannya masih banyak guru yang
membelajarkan materi ini tanpa menggunakan bantuan media tersebut sehingga kemampuan berpikir
abstrak dan berimajinasi siswa yang tidak sama menghambat proses pemahamaan materi. Untuk
mempelajari materi tersebut, siswa harus melakukan outdoor class dan membutuhkan waktu tertentu
di luar jam efektif sekolah. Belum lagi membutuhkan biaya yang tidak murah juga. Oleh karena itu,
tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan Alat peraga IPA “EKSIS” sebagai media interaktif
dalam upaya meningkatkan pemahaman konsep siswa SMP. Dalam artikel ini juga dibahas secara
lengkap mengenai alat dan bahan, cara pembuatan, hingga cara penggunaan alat peraga IPA
“EKSIS”.
Alat peraga ini dapat digunakan untuk menjelaskan konsep ekosistem dan siklus hidrologi yang
masih abstrak tanpa harus keluar kelas dan dapat dibuat dengan mudah oleh guru IPA di SMP
dengan menggunakan bahan-bahan sederhana, serta penggunaannya bisa secara berkelanjutan untuk
pembelajaran dikelas.

Pembahasan
Media Interaktif
Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara
harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

319
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang, pikiran, perhatian, dan
minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi (Sari & Sasongko, 2018).
Dalam proses belajar mengajar, fungsi media menurut Sudjana (1991) yakni: (dalam
Fathurrohman & Sutikno (2011): a. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar bukan
merupakan fungsi tambahan, tetapi mempunyai fungsi sendiri sebagai alat bantu untuk mewujudkan
situasi belajar mengajar yang efektif; b. Penggunaan media pengajaran merupakan bagian yang
integral dari keseluruhan situasi mengajar. Ini berarti bahwa media pengajaran merupakan salah satu
unsur yang harus dikembangkan guru; c. Media dalam pengajaran, penggunaannya bersifat integral
dengan tujuan dan isi pelajaran; d. Penggunaan media dalam pengajaran bukan semata-mata sebagai
alat hiburan yang digunakan hanya sekedar melengkapi proses belajar supaya lebih menarik perhatian
siswa; e. Penggunaan media dalam pengajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses belajar
mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru; f. Penggunaan
media dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi mutu belajar mengajar.
Pada mulanya media hanya digunakan untuk alat bantu mengajar guru. Namun seiring
perkembangan zaman pada abad 20, media telah menjadi trend. Perkembangan media pembelajaran
selalu mengikuti perkembangan teknologi. Teknologi yang berkembang pesat juga dapat
menghasilkan media teknologi yang inovatif, kreatif, dan efektif. Berdasarkan perkembangan
teknologi tersebut. Rusman dan Riyana (2011: 63) mengelompokkan jenis media yang dapat
digunakan dalam pembelajaran ke dalam 5 jenis, yaitu: a. Media Visual yakni media yang hanya
dapat dilihat dengan menggunakan indera penglihatan yang terdiri atas media yang dapat
diproyeksikan dan media yang tidak dapat diproyeksikan yang biasanya berupa gambar diam atau
gambar bergerak. b. Media Audio yakni media yang mengandung pesan dalam bentuk auditif yang
dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan para peserta didik untuk mempelajari
bahan ajar. Contohnya program kaset suara dan program radio. c. Media Audio-Visual yakni media
yang merupakan kombinasi media audio dan visual atau biasa disebut media pandang-dengar.
Contohnya program video/televisi 13 pendidikan, video/televisi instruksional, dan program slide
suara (sound slide). Azhar et al (2017) menjelas bahwa media Audio Visual dapat memberikan
pengaruh positif terhadap pencapaian akademik siswa pada materi IPA di sekolah. Media ini
direkomendasikan karena harganya murah. d. Kelompok Media Penyaji dikelompokkan ke dalam
tujuh jenis, yaitu: (a) kelompok kesatu; grafis, bahan cetak, dan gambar diam, (b) kelompok kedua;
media proyeksi diam, (c) kelompok ketiga; media audio, (d) kelompok keempat; media audio, (e)
kelompok kelima; media gambar hidup/film, (f) kelompok keenam; media televisi, dan (g)
kelompok ketujuh; multimedia. e. Media objek dan media interaktif berbasis komputer. Media objek
merupakan media tiga dimensi yang menyampaikan informasi tidak dalam bentuk penyajian,
melainkan malalui ciri fisiknya sendiri, seperti ukurannya, bentuknya, beratnya, susunannya,
warnanya, fungsinya, dan sebagainya. Media ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu media
objek yang sebenarnya dan media objek pengganti. Sedangkan media interaktif berbasis komputer
adalah media yang menuntut peserta didik untuk berinteraksi selain melihat maupun mendengarkan.
Contohnya program interaktif dalam pembelajaran berbasis komputer.
Media interaktif yang dimaksud disini adalah berupa alat peraga tiga dimensi bersifat interaktif
dan dapat digunakan untuk mengakomodasi respon pengguna yakni guru dan siswa.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

320
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Alat Peraga
Menurut Sudjana (2009), alat peraga adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga
dengan tujuan membantu guru agar proses belajar mengajar menjadi efektif dan efisien. Alat peraga
dalam mengajar memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan proses belajar
mengajar yang efektif. Pembelajaran menggunakan alat peraga berarti mengoptimalkan fungsi seluruh
panca indra siswa untuk meningkatkan efektivitas siswa belajar dengan cara mendengar, melihat,
meraba, dan menggunakan pikirannya secara logis dan realistis (Budiman, A , 2016).
Beberapa fungsi / manfaat alat peraga dalam pengajaran IPA, yaitu :a. Memperjelas informasi
atau pesan pembelajaran dalam pembelajaran IPA. b. Memotivasi belajar siswa dalam pembelajaran
IPA. c. Memberi variasi dalam pengajaran IPA. d. Siswa lebih cepat dan mudah memahami pelajaran
materi pelajaran IPA.
Menurut Russeffendi, (2001) kelebihan dan kekurangan penggunaan alat peraga dalam
pengajaran antara lain sebagai berikut : 1. Kelebihan penggunaan alat peraga yaitu : Menumbuhkan
minat belajar siswa karena pelajaran menjadi lebih menarik. Memperjelas makna bahan pelajaran
sehingga siswa lebih mudah memahaminya. Metode mengajar akan lebih bervariasi sehingga siswa
tidak akan mudah bosan. Membuat siswa lebih aktif melakukan kegiatan belajar seperti: mengamati,
melakukan dan mendemonstrasikan dan sebagainya. 2. Kekurangan alat peraga yaitu : Mengajar
dengan memakai alat peraga lebih banyak menuntut guru. Banyak waktu yang diperlukan untuk
persiapan Perlu kesediaan berkorban secara materiil.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Patonah et al (2017), menjelaskan penggunaan media
berupa alat peraga untuk kelas VII SMP dengan kurikulum 2013 adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Penggunaan media alat peraga IPA kelas VII Kurikulum 2013
No. Materi Pelajaran KI KD Alat Peraga
1 Objek IPA dan 1 1.1 Alat pengukuran Caliper,
pengamatannnya 2 2.1 terbuat dari kayu berukuran besar itu bisa ditempel di
papan /dinding
3 3.1
4 4.1
2 Klasifikasi Benda 1 1.1 Tidak ada alat peraga
2 2.1,
2.2
2.3,
2.4
3 3.2,3.3
4 4.2,4.3
3 Klasifikasi Makhluk Hidup 1 1.1 Tidak ada alat peraga
2 2.1,2.2
2.3,2.4
3 3.2,3.3
4 4.2,
4.3

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

321
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

4 Sistem Organisasi 1.1 Model sel hewan


1
Kehidupan Model sel tumbuhan
2 2.1,2.2
3 3.4
4 4.5,
4.6
5 Perubahan benda di sekitar kita 1 1.1 Pemurnian air, kromatografi
2 2.2, sederhana, mikroskop sederhana
2.3
3 3.5
4 4.6,
4.7
6 Energi dan Sistem 1 1.1 Tidak ada alat peraga
Kehidupan 2 2.2,
2.3,
2.4
3 3.6
4 4.8,
4.9
7 Suhu dan Perubahannya 1 1.2 Thermistor
2 2.2
3 3.7
4 4.8,
4.9
8 Kalor dan Perpindahannya 1 1.1 Beberapa alat peraga adalah yang dikembangkan adalah:
perpindahan panas oleh konduksi, perpindahan panas
2 2.1 dalam berbagai bahan, gas konveksi.
3 3.7
4 4.10,
4,11
9 Interaksi dengan Lingkungan 1 1.1 Bagan interaksi antara organisme hidup dalam ekosistem
sekitar dan skema pemanasan global
2 2.1,
2.2
3 3.8,
3.9,
3.10
4 4.12,
4.13

Berdasarkan tabel data diatas, dapat diketahui bahwa kebanyakan materi IPA di kelas VII masih
banyak yang belum menggunakan media alat peraga.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

322
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pemahaman Konsep
Pemahaman konsep dapat diartikan sebagai proses berpikir seseorang untuk mengolah bahan
belajar yang diterima sehingga menjadi bermakna (Ainurrahman, 2012: 54). Menurut Sausan
(2016), faktor yang mempengaruhi proses belajar untuk mencapai pemahaman konsep adalah faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal contohnya adalah kemampuan memori, kemampuan
matematika, kemampuan analisis, kecerdasan intelektual, kebiasaan belajar, dan motivasi belajar).
Sedangkan faktor eksternal terdiri dari sekolah, guru, teman, dan model pembelajaran yang
digunakan guru. Model pembelajaran yang menggunaan alat peraga dapat menjadikan konsep yang
abstrak menjadi lebih nyata, sehingga siswa akan lebih mudah memahami dan mengaitkannya dengan
konsep yang lain. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Sugiyono (2011) yang mengemukakan bahwa
pemakaian media pembelajaran (alat peraga) dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru,
membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar serta membawa pengaruh-pengaruh
psikologis terhadap siswa. Media pembelajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan
pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan
memadatkan informasi.

Alat peraga IPA “EKSIS” (Ekosistem dan Siklus Hidrologi)


Penelitian sebelumnya dari Sari (2018) menunjukkan bahwa pengembangan multimedia
interaktif berupa media simulasi pada materi Struktur bumi dan bencana di SMP N 2 Bandar
Lampung menunjukkan hasil skor N-Gain sebesar 0,7 dengan kategori sedang. Oleh karena hal
tersebut, maka diperlukan alat peraga lain yang lebih efektif dan memberikan pengaruh yang tinggi
untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa SMP.
Alat peraga IPA “EKSIS” ini dikembangkan berdasarkan pada Kurikulum 2013 Revisi, yaitu
tentang Interaksi Makhluk Hidup dengan Lingkungan dan Struktur Bumi dan Bencananya. Materi
ini dibelajarkan kepada siswa di kelas VII SMP semester genap. Adapun kompetensi inti dan
kompetensi dasar mata pelajaran IPA SMP kelas VII semester genap kurikulum 2013 revisi untuk
materi Interaksi Makhluk Hidup dengan Lingkungan dapat dilihat pada tabel 2 sedangkan materi
Struktur Bumi dan Bencananya dapat dilihat pada Tabel 3 .
Tabel.2 KI dan KD Materi Interaksi Makhluk Hidup dan Lingkungan
Kompetensi Inti (KI) Kompetensi Dasar (KD)
3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, 3.7 Menganalisis interaksi antara makhluk hidup dan
dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya lingkungannya serta dinamika populasi akibat interaksi
tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya tersebut
terkait fenomena dan kejadian tampak mata
4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah 4.7 Menyajikan hasil
konkret (menggunakan, mengurai, merangkai,
pengamatan terhadap
memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan interaksi makhluk hidup dengan lingkungan sekitarnya.
mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di
sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

323
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel.3 KI dan KD Materi Struktur bumi dan Bencananya


Kompetensi Inti (KI) Kompetensi Dasar (KD)
3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, 3.10 Menjelaskan lapisan bumi, gunung api, gempa
dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya bumi, dan tindakan pengurangan resiko sebelum, pada
tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya saat, dan pasca bencana sesuai ancaman bencana di
terkait fenomena dan kejadian tampak mata daerahnya
4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah 4.10. Mengomunikasikan upaya pengurangan resiko
konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, dan dampak bencana alam serta tindakan penyelamatan
memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak diri pada saat terjadi bencana sesuai dengan jenis
(menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan ancaman bencana di daerahnya
mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di
sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori
(Kemdikbud, 2017)

Desain Alat peraga IPA “EKSIS” (Ekosistem dan Siklus Hidrologi)


Alat peraga yang dibuat berdasarkan metode penelitian dan pengembangan ( Research and
Development). Produk yang dihasilkan berupa media alat peraga tiga dimensi dengan tampilan
depan sesuai gambar 1 dan tampilan belakang sesuai gambar 2.

Gambar 1. Tampilan depan alat peraga IPA“EKSIS”

Gambar 2. Tampilan belakang alat peraga IPA “EKSIS”


Alat peraga ini dapat dibuat dengan mudah oleh guru-guru IPA di SMP. Selain menggunakan
bahan-bahan sederhana, proses pembuatannyapun tidak terlalu rumit. Alat peraga ini terdiri dari dua
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

324
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

buah papan dan beberapa tumpuk sterofoam. Selain itu juga membutuhkan alat dan bahan seperti
kertas asturo, bubur kertas, gunting, spidol, double tip, kain flanel, baterai, cat warna, kabel, kapas,
lem kayu, pewarna tekstil, stik es krim, miniatur pohon, spons, serbuk kayu, pewarna tekstil, kertas
asturo, lidi, dan miniatur hewan. Setelah alat dan bahan tersedia, langkah selanjutnya adalah
pembuatan alat peraga. 1) Menyiapkan papan kayu dan sterofoam. Papan kayu sebagai dinding
berukuran 80 x 100 cm, sedangkan papan kayu untuk alas bawah berukuran 80 cm x 50 cm. Alas
bawah dari papan kayu ditumpuk dan dilem dengan sterofoam 5-7 lapis. 2). Membuat desain
gambar diatas sterofoam. 3) Membuat miniatur siklus hidrologi, dengan bahan gunung dari bubur
keras yang di cat, awan dan laut dari kapas, gambar matahari dan tulisan dari kain flanel, tanah dari
serbuk gergaji yang dicat. 4) Membuat miniatur ekosistem alami dan buatan. Miniatur rumah dan
gedung dibuat dari sterofoam, miniatur pohon dari lidi dan spons yang di cat, miniatur jalan raya
dari kertas asturo, pagar kebun binatang dari rangkaian stik es krim dan gambar binatang yang di
print serta dilengkapi dengan properti pendukung lainnya.
Cara penggunaan alat peraga IPA “EKSIS” adalah dengan demonstrasi secara langsung di depan
kelas. Siswa atau guru dapat menjelaskan materi dengan bantuan alat peraga ini. Atau bisa juga
digunakan dalam bentuk games, sebab di bagian belakang alat peraga terdapat kantong “EKSIS”,
dimana dalam kantong ini berisi penjelasan materi agar bisa dibaca oleh siswa.
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk karena hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya. (Kemdikbud, 2017) Macam-macam ekosistem berdasarkan
dari alat peraga yang dibuat adalah ekosistem alami dan ekosistem buatan. Ekosistem alami yaitu
ekosistem yang terbentuk secara alami tanpa campur tangan manusia. Contohnya disini adalah
ekosistem hutan dan ekosistem laut. Ekosistem hutan adalah contoh ekosistem alami yang
didominasi oleh pepohonan besar dan keragaman organisme yang tinggi. Ekosistem laut adalah
contoh ekosistem alami yang didominasi oleh lingkungan perairan dengan kadar garam atau salinitas
yang tinggi. Dua per tiga luas permukaan bumi terdiri dari ekosistem ini. Ekosistem buatan yaitu
ekositem yang sengaja dibuat oleh manusia. Contoh: ekosistem kebun binatang. Ekosistem kebun
binatang digunakan sebagai sarana rekreasi dengan ciri khas berupa banyaknya hewan liar yang
dikandangkan.
Pada materi Siklus Hidrologi, pola sirkulasi air dalam ekosistem yang dimulai dengan adanya
proses pemanasan permukaan bumi oleh sinar matahari, lalu terjadi penguapan hingga akan terjadi
kondensasi uap air, yaitu proses perubahan uap air menjadi titik air (Kemdikbud, 2017). Proses
terjadinya Siklus Hidrologi antara lain adalah Evaporasi: Penguapan air menjadi uap air ke udara
karena adanya cahaya matahari. Transpirasi: Penguapan air yang berasal dari mahluk hidup (hewan
atau tumbuhan) menjadi uap air dan membawanya naik ke atas menuju atmosfer. Evapotranspirasi:
Penguapan air keseluruhan yang terjadi di seluruh permukaan bumi, baik yang terjadi pada badan air
dan tanah, maupun pada jaringan mahluk hidup. Presipitasi: Proses mencairnya awan akibat
pengaruh suhu udara yang tinggi. Pada proses inilah hujan terjadi Perkolasi: Proses mengalirnya air
ke bawah secara gravitasi dari suatu lapisan tanah ke lapisan di bawahnya, sehingga mencapai
permukaan air tanah pada lapisan jenuh air. Run off: Proses pergerakan air dari tempat yang tinggi
ke tempat yang rendah di permukaan bumi..Infiltrasi: Proses pergerakan air ke dalam pori tanah dan
secara lambat membawa air tanah kembali ke laut.
Berdasarkan perbandingan dengan media pembelajaran lain, alat peraga IPA “EKSIS” ini
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan Alat Peraga IPA “EKSIS” adalah
1). Alat peraga 3 dimensi, bersifat interaktif dan dapat digunakan untuk menjelaskan dua submateri
sekaligus, yakni ekosistem dan siklus hidrologi. 2). Selain submateri ekosistem dan siklus hidrologi,

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

325
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

alat peraga ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan materi kelistrikan dan lapisan tanah. 3).
Pembuatan alat peraga mudah dan murah dengan memanfaatkan barang bekas. 4). Bisa dijadikan
games dan media yang menarik untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep siswa. 5).
Terdapat penjelasan dari tiap submateri dibagian belakang alat peraga. Sedangkan kekurangan Alat
Peraga IPA “EKSIS” adalah ukuran yang relatif besar, sehingga sulit untuk dipindahkan.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Alat peraga IPA “EKSIS” dapat
digunakan sebagai media interaktif untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa SMP. Alat peraga
ini dapat dibuat dengan mudah oleh guru IPA di SMP dengan menggunakan bahan-bahan
sederhana, dan penggunaannya bisa secara berkelanjutan untuk pembelajaran dikelas.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diperoleh, disarankan kedepannya alat peraga ini bisa
dikembangkan lebih lanjut oleh guru, bisa diperbaiki segala kekurangannya dan bisa digunakan serta
diterapkan sebagai media pembelajaran IPA di sekolah khususnya SMP. Kemudian bagi kepala
sekolah hendaknya mengadakan pelatihan kepada guru terkait alat peraga.

Daftar Pustaka
Azhar, M., Niwaz, A., & Khan, M.A. 2017. Scientific Application of Audio Visual Aids in Teaching
Science. Haripur Journal of Educational Research, 1 (1), 22 – 31
Budiharti, R., Ekawati, E.Y., Pujayanto.,Wahyuningsih, D. & Adilah, D.N. 2015. KAJIAN
KUALITATIF EFEKTIVITAS BLENDED LEARNING IPA TERPADU BERBASIS
SETS DI SMP WILAYAH EKS KARESIDENAN SURAKARTA. Jurnal Materi dan
Pembelajaran Fisika (JMPF), 5 (1), 35 – 42
Budiman, A., Inggriani, A.S., Prasetyo, Y.A. Fauziah, N. dan Septiana, N. 2016. MODEL
PEMBELAJARAN IPA DENGAN ALAT PERAGA SEDERHANA UNTUK
MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN KREATIVITAS SISWA DI MTS
MA’ARIF CIKERUH, JATINANGOR. Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat 5 (1),
56 – 60
Fathurrohman, P., dan Sutikno, S. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Aditama.
Kemendikbud.2017. Buku Guru Ilmu Pengetahuan Alam SMP/MTs Kelas VII . Jakarta:
Kemendikbud.
Patonah, S., Duwi N, Ernawati S , Khumaedi , Ani R. 2017. The Development of Teaching Aid in
The Implementation of Natural Science in The Curriculum 2013 Junior School. Journal
of Physics: Conf. Series 824 (2017) 012023
Rozie, F., 2013. Media Video Pembelajaran Daur Air untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar
IPA Siswa SD. Jurnal Pendidikan Sains, 1 (4), 413 - 4124
Ruseffendi, E.T, 2001. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam
Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

326
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Rusman, K. D., & Riyana, C. 2011. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Samatowa, U. 2011. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: UniversitasTerbuka
Sari, L.K., & Sasongko, D. 2013. Media Pembelajaran Interaktif Bahasa Inggris untuk Siswa Sekolah
Dasar Kelas II, 2 (1)
Sausan, I., Mulyani, S., & Utami, B. 2016. FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG
BERPENGARUH TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA POKOK
BAHASAN KONSEP MOL. Jurnal Penelitian Pendidikan, 19 (1), 79 - 89
Sudjana, N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya
Sugiyono. 2011. Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika (Makalah Disampaikan pada
Pelatihan Materi Matematika KKG MI Kec. Trincing ,Secang, Jawa Tengah tanggal:20
Juli 2011) . www.staff.uny.ac.id. diakses pada 30 April 2018 pukul 21.16
Widiawati, N. P., Pudjawan, K, & Margunayaasa, I.G. 2015. ANALISIS PEMAHAMAN
KONSEP DALAM PELAJARAN IPA PADA SISWA KELAS IV SD DI GUGUS II
KECAMATAN BANJAR. E Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan
PGSD, 3 (1), 1 -11

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

327
Miratul Hayati1, Ahmad Syaikhu2
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Universitas Negeri Jakarta
e-mail: miratul.hayati@uinjkt.ac.id, ahmadsyaikhuunj@uinjkt.gmail.com
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan solusi atas krisisnya budaya literasi di
Indonesia. Terlebih game digital yang semakin pesat membuat anak tidak fokus pada usaha untuk
meningkatkan pengetahuan baik akademik maupun non akademik. Anak lebih tertarik untuk
bermain game dalam lebih banyak waktunya. Belum lagi tuntutan dari kebanyakan orang tua dan
guru di sekolah yang mewajibkan anak untuk mampu menguasai keterampilan membaca, menulis
dan berhitung (calistung) dengan cara-cara yang konvensional dan membosankan, sehingga
menyebabkan anak tidak menyukai dan merasa terbebani dengan kegiatan literasi. Penelitian ini
menggunakan metodologi pengembangan tema yang diciptakan sesuai dengan kegiatan sehari-hari
dalam aktivitas sebagai muslim. Stimulasi ini dilakukan dengan mengembangkan practical life
(keterampilan hidup) yang membantu anak untuk dapat survive dalam kehidupan selanjutnya.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kajian literasi intensif yang dapat meningkatkan
kepekaan pengetahuan anak. Produk penelitian ini adalah model stimulasi pembelajaran literasi anak
yang dilakukan melalui pendekatan kebutuhan dan perkembangan anak. Model ini didasarkan pada
argumen bahwa setiap anak adalah individu dengan bakat, kemampuan, motivasi, dan cara belajar
yang unik. Kemudian keterampilan yang dikembangkan difokuskan pada kegiatan keislaman. Hal ini
memberikan sebuah perspektif baru bahwa kegiatan-kegitan Islam terintegrasi dengan nilai-nilai
literasi.
Keyword: Stimulasi Emergent Literacy, Anak Usia Dini, Islamic Practical Life

Pendahuluan
Pada tahun-tahun awal kehidupan seorang anak, usia tiga sampai enam tahun dipandang sebagai
periode emas (goden age) Merupakan bagian yang sangat signifikan dalam proses pendidikan anak
untuk fase-fase yang akan dilalui anak seumur hidup. Periode ini menjadi "tak tergantikan" dalam
pengembangan keterampilan dan kemampuan tertentu dibandingkan dengan periode-periode
berikutnya. Periode masa kanak-kanak sebagai periode penting untuk pengembangan perilaku pro-
sosial.
Salah satu kajian penting pada abad ini adalah masalah literasi. Literasi mencakup kemampuan
untuk membaca, memahami, dan secara kritis menghargai berbagai bentuk komunikasi.
Pengembangan keterampilan literasi yang baik akan memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan
kesehatan bagi individu dan masyarakat. Ironisnya, anak-anak dari masyarakat yang secara sosial dan
ekonomi kurang beruntung secara signifikan lebih mungkin mengalami kesulitan dalam “melek
huruf”. Literasi adalah keterampilan penting untuk menguasai akademik secara umum dan hubungan
sosial yang lebih luas. Anak-anak yang gagal mendapatkan kecakapan literasi dasar yang memadai
pada tahap awal tidak mungkin mengejar ketinggalan pada tahap selanjutnya. Maka keterampilan
literasi anak harus ditumbuhkan dan dikembangkan mulai dari membangun minat untuk melek
terhadap informasi dan pengetahuan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Anak-anak tidak belajar membaca dalam semalam. Faktanya, proses belajar membaca dan menulis
adalah suatu proses yang lambat, berevolusi dan bisa berlangsung selama bertahun-tahun. Mulai di
tahun-tahun awal masa kanak-kanak, itu dimulai dengan hal-hal seperti, mengidentifikasi huruf,
angka dan bentuk, kesadaran akan suara.
Dalam praktek pendidikan anak usia dini di Indonesia terjadi beberapa penyimpangan dalam
kegiatan literasi, yaitu penerapan sistem belajar membaca, menulis, dan berhitung (calistung) dengan
cara formal dan jauh dari kondisi yang ramah anak. 35% guru PAUD mengajarkan keterampilan
akademik secara formal sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan orang tua dan prasyarat untuk
memasuki SD. Kegiatan membaca hanya ditekankan pada membaca buku dengan posisi anak duduk
manis di atas kursi dan buku yang dibacanya adalah buku teks yang penuh dengan tulisan. Begitu
juga dengan pengenalan menulis anak-anak diharuskan menulis di dalam buku tulis bergaris.
Kegiatan berhitung pun dikenalkan langsung dengan angka-angka yang abstrak dan susah dicerna
anak. Selain itu, banyak pula lembaga-lembaga PAUD yang memberikan PR (Pekerjaan Rumah)
pada anak-anak berupa menulis dan berhitung, serta ada pula PAUD yang melaksanakan les baca
tulis. Semua hal tersebut membuat anak memiliki beban dan membuat sebagian anak merasa tertekan
dan tidak menyukai kegiatan literasi.
Padahal, tentunya tidaklah demikian, literasi adalah kegiatan yang mengkondisikan anak untuk
terus mencari pengetahuan baru dalam hal apapun (melek literasi). Dalam kegiatan menulis misalnya,
bukan hanya menulis di sebuah buku tulis tetapi dengan banyaknya anak melakukan kegiatan
mencoret-coret di berbagai media dan tempat, menirukan orang lain dalam kegiatan. Hal itulah yang
akan mengantarkan anak kepada kemampuan untuk menulis. Kegiatan literasi dini selain
menggunakan teknik yang menyenangkan, lingkungan anak haruslah kaya dengan berbagai alat-
alat/media-media yang bisa membantu anak mengembangkan kemampuan literasi awalnya
(emergent literacy).

Kajian Literatur
Stimulasi Emergent Literacy
Emergent Literacy adalah istilah yang mengusulkan pandangan bahwa literasi dimulai saat lahir
dan merupakan proses berkelanjutan serta memiliki tahapan perkembangan. Emergent Literacy
berfokus pada kegiatan membaca, mendengarkan, berbicara dan menulis permulaan yang
berkembang menjadi literasi. Istilah ini telah membawa perubahan besar dalam cara kita mendekati
literasi awal. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap awal masa kanak-kanak, anak sedang dalam
proses menjadi “melek huruf”. Anak-anak yang di kelilingi oleh lingkungan yang kaya literasi dan
terlibat dalam kegiatan yang konstruktif dengan orang tua dan guru lebih mungkin mengembangkan
keterampilan literasi. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami apabila seorang anak yang
memiliki minat membaca tinggi berasal dari keluarga yang memiliki kebiasaan membaca yang baik.
(Barratt-Pugh dan Mary Rohl).1 Lingkungan rumah, sosial, dan budaya yang menyertai pertumbuhan
adalah penentu utama kemampuan literasi seorang anak.
Emergent Literacy telah mengembangkan kesadaran bahwa ada hubungan antara bahasa lisan dan
tulisan anak-anak yang berkembang dari sejak lahir hingga saat mereka mulai membaca. 2 Kress

1
Barratt-Pugh, Caroline & Mary Rohl. 2000. Literacy Learning in The Early Years. Australia: Perpetua.
2
Radka Wildová dan Jana Kropáčková, “Early Childhood Pre-reading Literacy Development,” Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 191 (2015), 878–83 <https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.04.418>.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

329
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berpendapat bahwa anak-anak membuat makna jauh sebelum mereka mampu membaca, dapat
digambarkan sebagai 'melek' huruf. Oleh karena itu, dalam belajar membaca dan menulis, anak
sebagai pembuat makna yang benar-benar berpengalaman".3 Makna yang menggunakan banyak
metode adalah konteks di mana anak-anak mulai berbicara dan menulis. Dalam pengertian ini,
dengan tidak sepenuhnya mengenali metode komunikasi lainnya, orang dewasa mungkin gagal untuk
memperhatikan kompetensi, kreativitas dan kapasitas anak-anak muda untuk membuat makna.
Sebagai contoh, anak-anak yang shalat di masjid, memiliki interpretasi tersendiri untuk
pengalaman pribadi mereka di mesjid. Bagi mereka, makna mesjid adalah tempat yang membuat
mereka ingin bermain dan bergerak lebih aktif bersama teman-teman. Jika mereka sudah remaja
mungkin akan memilih kata-kata tertulis atau lisan untuk menjelaskan ini. Namun, dalam hal ini,
mereka memilih bergerak sebagai metode utama pembuatan makna.
Konsep emergent literacy yang mengacu pada perilaku yang digunakan oleh anak-anak usia dini
ketika berinteraksi dengan buku dan bahan cetak bahkan sebelum anak benar-benar membaca dan
menulis secara konvensional. Hal itu berkaitan dengan fase awal perkembangan literasi. Periode
antara kelahiran dan waktu ketika anak-anak membaca dan menulis secara konvensional. Kemudian
hal itu membuat pembelajaran sebagai proses berkelanjutan yang dimulai saat lahir dan berlanjut
melalui bahasa lisan, pengalaman awal dengan benda cetak, buku cetak, music bergambar, dan
tulisan.
Dalam konteks itu, istilah emergent literacy menandakan suatu keyakinan bahwa dalam budaya
melek huruf kelompok masyarakat bahkan anak-anak usia 1-2 tahun sedang dalam proses menjadi
pembelajar. (Decoste dan Glennen 1997)
Literasi adalah praktik sosial Banyak penelitian kontemporer menekankan bahwa literasi adalah
serangkaian praktik-praktik sosial yang berubah, dan bukan keterampilan yang tetap. Finnegan
(2002) menyajikan visi komunikasi yang melampaui pertukaran informasi, dengan menekankan
pengaruh komunikasi manusia terhadap orang lain. Manusia saling berhubungan satu sama lain
melalui sumber daya tubuh kita dan lingkungan kita. (Finnegan, 2002: 3)
Literasi tidak hanya terpaku pada membaca dan menulis saja. Namun, kemampuan seorang anak
untuk mengidentifikasi, memahami, mengkritisi, dan menciptakan akan terstimulasi jika memiliki
motivasi membaca dan menulis yang tinggi. Oleh sebab itu, membaca dan menulis dapat dikatakan
kemampuan dasar yang harus dimiliki untuk membangun kemampun literasi yang utuh. Dalam
konteks anak usia dini, kemampuan literasi yang diajarkan dan ditanamkan pada usia dini disebut
literasi dini atau disebut emergent literacy.
Literasi dini adalah proses membaca dan menulis yang bercirikan seperti demontrasi baca-tulis,
kerja sama yang interaktif antara orang tua/guru dan anak, berbasis kepada kebutuhan sehari-hari
dan dengan cara pengajaran yang minimal tetapi langsung (Mustafa (2008: 2). Ciri khas dari literasi
dini adalah pembelajaran secara informal, yaitu anak-anak jangan merasa sedang belajar. Hal yang
diajarkan adalah hal-hal yang dekat dengan kehidupan anak.
Literasi bukan sekadar capaian kemampuan kognitif anak. Literasi adalah partisipasi anak di
dalam lingkungan sosial dan budaya yang membentuk cara pandang, pengetahuan, nilai, dan
kemampuan komunikasi mereka (Mary Rohl, 2000: 7) Berdasarkan pernyataan Barratt-Pugh dan
Mary Rohl dapat dipahami apabila seorang anak yang memiliki minat membaca tinggi berasal dari

3
Kress, G. (1997). Before Writing: Rethinking the Paths to Literacy. London: Routledge.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

330
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

keluarga yang memiliki kebiasaan membaca yang baik. Lingkungan rumah, sosial, dan budaya yang
menyertai pertumbuhan adalah penentu utama kemampuan literasi seorang anak.

Islamic Practical Life


Sebagai wanita pertama yang mempraktikkan kedokteran di Italia, Dr. Maria Montessori (1870–
1952) menghabiskan waktu bekerja dengan anak-anak di permukiman kumuh di Roma dan dengan
cepat menjadi tertarik pada perkembangan mereka. Pengamatan ilmiahnya terhadap kelompok ini
meletakkan dasar untuk pedagogi yang sangat terorganisir (Lillard, 2005) yang telah berkembang di
seluruh dunia. Metode pengajarannya didasarkan pada pengamatannya tentang bagaimana anak-anak
belajar, daripada keyakinan umum pada saat itu tentang bagaimana anak-anak harus belajar dan
berperilaku.
Dr. Maria Montessori, menemukan anak-anak biasanya memiliki periode sensitif, atau periode
kritis dalam belajar yang sesuai usia. (Windsor, 2016). Dalam setiap periode tersebut, anak-anak
menunjukkan minat khusus dalam jenis kegiatan tertentu, menyerap pengetahuan dan melalukan
keterampilan khusus. Program Montessori memberikan kesempatan kepada anak untuk terlibat
dalam kegiatan yang sesuai dengan periode sensitif yang sesuai dengan tahap perkembangannya.
Anak-anak disediakan beragam bahan dan kegiatan serta diberi kesempatan untuk memilihnya sesuai
keinginan mereka. Dalam prosesnya belajar mereka belajar membuat pilihan dan menggunakan
waktu dengan konstruktif.
Dengan menyediakan pengalaman belajar sesuai dengan keinginan dan bakat anak untuk belajar,
anak cenderung untuk memilih kegiatan dan topik yang menarik lebih jauh dari yang diperlukan
dalam pengaturan sekolah biasa. Dengan demikian, kemampuan untuk bekerja mandiri dan cinta
belajar dibudidayakan. Tujuan utama dari program practical life adalah untuk mengembangkan
pemikir independen yang mampu mengambil keputusan dan mencari pengetahuan mereka sendiri.
Ini berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup dan sangat penting dalam pengembangan calon
pemimpin masa depan.
Latihan practical life dapat digunakan untuk anak-anak prasekolah di hampir semua tempat,
kegiatan di rumah, kelas homeschooling, tempat ibadah, atau ruang kelas dari setiap orientasi
pendidikan. Alasan kegiatan practical life sangat penting adalah bahwa mereka membantu anak
mengembangkan keteraturan, konsentrasi, koordinasi, dan kemandirian. Dengan mengembangkan
kualitas itu, baik anak dan lingkungan belajar lebih tenang dan belajar lebih mudah.
Di ruang kelas Montessori, rak-rak berisi barang-barang kecil yang digunakan dalam kegiatan
sehari-hari, seperti jepitan dan sendok, dibuat dengan memperhatikan detail, mengikuti prinsip
metode Montessori. Semua materi bersih dan utuh, estetis, dan mengundang. Mereka ditempatkan
dalam perkembangan dari kiri ke kanan, bergerak dari yang sederhana ke yang rumit dalam tingkat
kesulitan. Misalnya, dimulai dengan latihan menuangkan, anak ditunjukkan dengan sangat hati-hati
bagaimana mengambil kendi di sebelah kiri, menggunakan pegangan pincernya, dan tuangkan kacang
ke dalam kendi kosong di sebelah kanan dan kemudian kembali ke kendi asli.
Dalam konteks itu, Kegiatan Practical Life biasanya terorganisasi dalam lima aspek: pertama,
hubungan sosial (juga dikenal sebagai Grace dan Courtesy). Kedua, kontrol dan koordinasi gerakan.
Ketiga, care of self Keempat, care of person. Kelima, care of environment. Anak-anak akan
mengkontruksi pengetahuan dan mendapatkan pengalaman yang baru dalam setiap kegiatan yang

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

331
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dilakukan. Aspek-aspek di atas merupakan latihan penting yang dapat ditawarkan kepada anak
sebagai aktivitas pengembangan diri.
Kemudian, Islamic Practical Life menekankan pada kegiatan-kegiatan sehari-hari anak yang
merupakan aktivitasnya sebagai muslim. Anak-anak akan belajar bagaimana berinteraksi sosial dalam
mengucapkan salam, sholat, dan bersedekah. Dalam bagian kontrol dan koordinasi gerakan anak
dapat menggerakkan anggota tubuhnya ketika shalat dengan teratur dan tertib, begitu juga saat
wudhu.
Dalam setiap kegiatan awal anak bisa membiasakan diri dengan relaksasi dan juga doa. Meyakini
bahwa Allah yang memberikan segalanya, memberikan udara sehingga mampu bernafas, memberikan
kesehatan sehingga mampu beraktivitas.
Dalam pengaturan diri (care of the person) anak akan menyadari apa saja yang menjadi tanggung
jawabnya tanpa harus dipaksa. Anak memutuskan sendiri tentang apa yang harus dilakukan untuk
memenuhi tanggung jawabnya. Sifat ini kemudian menjadi kemandirian.
Dalam pengaturan lingkungan (care of the environment), anak mampu beradaptasi dengan
lingkungannya. Mereka menjadi pribadi sosial yang perduli lingkungan dan tidak mengedepankan
ego. Mendahului kepentingan bersama atas kepentingan pribadi.
Islamic practical Life merupakan literasi yang baik bagi anak dalam upaya meningkatkan
kepekaan anak akan pengetahuan. Anak yang memiliki keterampilan hidup akan dengan sendirinya
mencari dan tumbuh keingintahuannya sehingga mampu mengatasi apa yang menjadi masalahnya.
Tidak ada masalah kecuali ada solusi.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metodologi pengembangan tema. Pengembangan tema merupakan
pengembangan pembelajaran anak usia dini yang menekankan pada empat aspek, kesederhanaan,
kedekatan, kemenarikan dan incidental. Melalui pengembangan tema dengan pendekatan emapat
aspek ini anak guru akan membuat pembelajaran lebih dekat pada anak dan lebih menarik.
Islamic practical life kemudian dikembangkan dengan mengadopsi aktivitas anak-anak sehari-hari
dengan benar benar memperhatikan secara detail kegiatan dan kebutuhan anak. Hal ini sebagaimana
yang dijelaskan dalam penelitian LiIlard Montessori, mengawasi anak-anak di kelas dan
memperhatikan kebutuhan perkembangannya, mengembangkan materi yang sesuai dengan
kebutuhan anak, memperhatikan bahan-bahan pembelajaran untuk anak-anak dan merevisi serta
menyempurnakan kegiatan pembelajaran yang memenuhi tujuan pembelajaran.
Maka, produk penelitian ini adalah model stimulasi pembelajaran literasi anak yang dilakukan
melalui pendekatan kebutuhan dan perkembangan anak. Model ini didasarkan pada premis bahwa
setiap anak adalah individu dengan bakat, kemampuan, motivasi, dan cara belajar yang unik.

Hasil dan Pembahasan


Pengembangan Model Stimulasi Literacy Islamic Practical Life dapat dilakukan dengan
menganalisis kebutuhan (need analysis) anak yang disesuaikan dengan tema pembelajaran yang akan
dikembangkan. Guru membuat tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Setelah

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

332
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

itu guru dapat menentukan praktik kegiatan yang akan dilakukan untuk melakukan stimulasi yang
disesuaikan dengan tema.
Dalam konteks ini kemudian pemilihan praktik tindakan Islamic Practical Life sangat
menentukan pengalaman belajar anak. Pengalaman belajar yang baik membuat anak lekat (engage)
dengan kegiatan bermain dan belajar. Anak mengikuti guru dengan tulus dan jiwa yang senang.
Tabel: 1
Rancangan Pengembangan Emergent Literacy Melalui Kegitan Islamic Practical Life
Tema TIU TIK Kegiatan
Memiliki Care of Self Menjaga kesehatan diri,
keterampilan hidup Melaksanakan tugas,
bertema keislaman
Wudhu
Care of the Person Membantu Teman, berbagi
Islamic kepunyaan dengan orang lain.
Practical
Life Social Relation Bersedekah, praktek jual beli dan
berkata dengan lemah lembut.
Care of the Shalat, menjaga kebersihan
environment lingkungan
Kontrol dan Doa, shalat dan wudhu.
kooardinasi gerakan

Pengembangan emergent literacy maka starategi pembelajaran yang diberikan oleh guru dapat
dimulai dengan membuat tujuan pembajaran umum (instructional goal) dan tujuan pembelajaran
khusus (instructional goals). Kemudian dijabarkan pada kegiatan yang akan dilakukan.
Dalam pembelajaran shalat anak akan mengetahui semua rukun shalat, syarat shalat, bacaan-
bacaan sholat, perangkat shalat dan semua yang berhubungan dengan ibadah shalat. Dalam
berwhudu anak akan mengetahui air yang dapat digunakan berwudhu dan tidak, syarat dan rukun
wudhu, hal yang membatalkannya dan seterusnya.
Maka ketika melakukan kegiatan itu, guru atau orang tua harus benar-benar memerhatikan
kebutuhan anak tentang shalat. Mulai dari tempat shalat yang nyaman, pakaian sholat yang baik,
sajadah shalat, dan suasana yang kondusif untuk anak melakukan shalat. Implementasi yang luas
tentang emergent literacy melalui Islamic practical life akan menambahkan kecintaan anak pada
shalat, shalat bukan menjadi beban tapi menjadi kegiatan yang dirindukan dan menyenangkan.

Penutup
Simpulan
Emergent Literacy mengembangkan kesadaran bahwa ada hubungan antara bahasa lisan dan
tulisan anak-anak yang berkembang dari sejak lahir hingga saat mereka mulai membaca. Anak-anak
membuat makna jauh sebelum mereka mampu membaca, dapat digambarkan sebagai 'melek' huruf.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

333
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Melalui Islamic Practical Life anak-anak ditekankan pada kegiatan-kegiatan sehari-hari anak yang
merupakan aktivitasnya sebagai muslim. Anak-anak akan belajar bagaimana berinteraksi sosial dalam
mengucapkan salam, shalat, dan bersedekah. Dalam bagaian kontrol dan koordinasi gerakan anak
dapat menggerakkan anggota tubuhnya ketika shalat dengan teratur dan tertib, begitu juga saat
wudhu.
Akhirnya implementasi yang luas tentang emergent literasi melalui Islamic practical life akan
menambahkan kecintaan anak pada kegiatan yang dilakukan, anak tidak menjadikan beban
pekerjaannya tapi menjadi kegiatan yang dirindukan dan menyenangkan.

Saran
Kajian pendidikan anak usia dini akan semakin berkembang seiring perkembangan zaman. Era
digital telah mamasuki pada era revolusi industry dan akan terus berkembang. Maka itu seluruh
pemerhati, penghkaji anak harus semakin fokus dan konsentrasi dalam mengembangkan
pembelajaran dan stimulasi yang tepat untuk anak. Segingga anak siap menghadapi tantangan di
masa depan.
Kepada seluruh praktisi dan ahli pendidikan anak usia dini perlu membuat rancangan kajian
litarasi yang lebih sesuai dengan kebutuhan anak dengan menekankan pada tema-tema sederhana
yang kontekstual dengan kehidupan anak.

Daftar Pustaka
Punum Bhatia, Alan Davis, dan Ellen Shamas-Brandt, “Educational gymnastics: The effectiveness of
montessori practical life activities in developing fine motor skills in kindergartners,” Early
Education and Development, 26.4 (2015).
Bowey, J.. Socioeconomic status differences in phonological sensitivity and first-grade reading
achievement. Journal of Educational Psychology, (1995).
Juel, C.. Learning to read and write: A longitudinal study of 54 children from first through fourth
grades. Journal of Educational Psychology, (1988).
Ernawulan. Model Bimbingan Perkembangan Di Taman Kanak-Kanak. Makalah Seminar
Internasional. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, (2008).
Barratt-Pugh, Caroline & Mary Rohl. Literacy Learning in The Early Years, Australia: Perpetua,
(2000).
Radka Wildová dan Jana Kropáčková, “Early Childhood Pre-reading Literacy Development,”
Procedia - Social and Behavioral Sciences, (2015).
Kress, G.. Before Writing: Rethinking the Paths to Literacy, London: Routledge, (1997).
Flewitt, R. Using video to investigate preschool classroom interaction: Education research
assumptions and methodological practices, Visual Communication, (2006).
Lilia Dibello, “Literacy in early childhood education,” Revista Contrapontos, (2009).
Finnegan, R. Communicating. The Multiple Modes of Human Interconnection, London:
Routledge. Flewitt, (2002).
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

334
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Musthafa, Bachrudin.. Dari Literasi Dini ke Literasi Teknologi, Bandung: Center of Research on
Education and Sociocultural Transformation, (2008).
Windsor Montessory School, A Guide to the Montessory Method and the Windsor Montessory
School’s Preschool and Kindergarten Curriculum, (Town of Windsor, (2016).
Abigail Hackett et al., “Movement and emerging literacy Multimodality: observing and documenting
with video in nursery Images and emergent literacy,” Early Education Journal No, 74 (2014).
By Angeline Lillard, “How Important Are the Montessori Materials?,” Montessori Life, 20.4
(2008).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

335
Mu’arif Sam dan Nurfani M.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: muarif@uinjkt.ac.id
Abstrak. Penelitian yang dilaksanakan pada Prodi MP FITK UIN Jakarta ini bertujuan
mendeskripsikan minat mahasiswa terhadap rumpun mata kuliah pembelajaran pasca ditiadakannya
program Praktik Profesi Keguruan Terpadu yang sebelumnya wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa
Prodi MP yang nota bene tidak dipersiapkan untuk menjadi calon guru. Metode yang digunakan
dalam penelitian adalah deskriptif kuantitatif dengan angket sebagai instrumen utamanya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa minat mahasiswa menunjukkan kecenderungan rendah disebabkan
mereka menganggap rumpun mata kuliah tersebut tidak menjadi tuntutan kompetensi mereka
sebagai calon tenaga kependidikan yang tidak harus memahami pembelajaran dan terampil
melaksanakannya.
Kata Kunci: Minat, rumpun mata kuliah pembelajaran, Praktik Profesi Keguruan Terpadu

Pendahuluan
Sebagai salah satu Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK), Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
memiliki kepentingan yang sangat besar dalam upaya menghasilkan lulusannya menjadi pendidik
profesional. Untuk menciptakan lulusan tenaga pendidik profesional serta siap berkecimpung di
lapangan tidak cukup hanya diberikan teori-teori mengenai metode mengajar, namun calon tenaga
pendidik juga harus diberikan kesempatan untuk menambah pengalaman-pengalaman belajar di
suatu lembaga pendidikan. Hal tersebut dimaksudkan agar mahasiswa mengetahui secara riil proses
pembelajaran dan terampil melaksanakannya di lembaga pendidikan.
Upaya yang dilakukan oleh FITK UIN Jakarta untuk menciptakan calon tenaga pendidik
yang profesional adalah dengan memberikan pengetahuan secara teoritis dan praktis. Secara teoritis,
di dalam perkuliahan mahasiswa diberikan pengetahuan tentang pengelolaan pembelajaran, kode etik
yang meliputi cara berpakaian layaknya seorang guru, dan pengetahuan lainnya yang berkaitan
dengan kegiatan belajar mengajar. Secara praktis mahasiswa dibekali pengalaman lapangan di bidang
pembelajaran dan kependidikan agar dapat mempersiapkan diri menjadi guru profesional di
bidangnya. Pengalaman lapangan ini merupakan implementasi dari teori-teori yang telah dipelajari di
dalam perkuliahan. Pengalaman lapangan ini diberikan dalam sebuah mata kuliah intrakurukuler
aplikatif dan terpadi dengan nomenklatur Praktik Profesi Keguruan Terpadu (PPKT) dengan bobot
6 sks yang dimanifestasikan dalam bentuk praktik mengajar, pengelolaan kependidikan, pengabdian
kependidikan, dan peneitian kependidikan di sekolah/madrasah (Pedoman PPKT, 2013).
Sejak tahun 2005 PPKT wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa FITK UIN Jakarta dari
jurusan/program studi apapun, tanpa kecuali mahasiswa Jurusan/Program Studi (Prodi)
Manajemen Pendidikan (MP) yang tidak diproyeksikan untuk menjadi tenaga pendidik (guru).
Dalam pelaksanaan PPKT tidak ada perbedaan antara Jurusan/Prodi MP dengan jurusan-jurusan
lain yang memang sudah dipersiapkan menjadi tenaga pendidik atau guru pengampu mata pelajaran
khusus, sehingga terjadi berbagai permasalahan dalam pelaksanaan tersebut; seperti kurangnya
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

penguasaan materi akibat tidak adanya spesialisasi mata pelajaran tertentu yang dipelajari,
ketidaksesuaian mata pelajaran yang diajarkan dengan kompetensi mahasiswa, diragukan kualitas
mengajarnya oleh pihak sekolah, kurangnya motivasi dalam mengajar, serta kurangnya pemahaman
dalam pengelolaan pembelajaran. Kondisi tersebut sangat disadari oleh pimpinan Prodi sehingga
sejak tahun akademik 2015/2016 Prodi MP tidak lagi menyertakan mahasiswanya untuk mengikuti
PPKT melainkan menggantinya dengan kegiatan Magang dan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Penghapusan PPKT dari Prodi MP tidak serta merta menghilangkan mata kuliah rumpun
pendukung kompetensi pembelajaran mengingat posisi Prodi ini yang berada di bawah naungan
FITK sehingga baik terpaksa atau sukarela mahasiswa wajib diberi berbagai mata kuliah tersebut.
Ketika PPKT masih diberlakukan, minat mempelajari mata kuliah cenderung tinggi karena
kelulusan mata kuliah tersebut menjadi prasyarat untuk dapat mengikuti PPKT. Namun ketika
PPKT dihapus dari Prodi MP maka mata kuliah berbasis pembelajaran sudah kehilangan
momentumnya dan boleh jadi akan menurunkan minat mereka baik dalam mengikuti proses
perkuliahan maupun dalam mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan berbagai referensi
pendukung.

Kajian Teori
Perkuliahan, sebagaimana pembelajaran, adalah kegiatan guru secara terprogram dalam
desain instruksional, untuk membuat belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber
belajar (Dimyati dan Mudijono, 2009). Pembelajaran adalah suatu upaya yang dilakukan oleh
seorang guru atau pendidik untuk membelajarkan siswa yang belajar (Tim Pengembang MKDK
Kurikulum dan Pembelajaran, UPI, 2016). Dengan kata lain pembelajaran atau perkuliahan adalah
segala usaha yang dilakukan guru/dosen dalam membantu/membimbing peserta didik untuk belajar
sehingga hadir suasana belajar yang akan dapat mencapai kompetensi yang diharapkan.
Perkuliahan adalah proses interaksi mahasiswa sebagai peserta didik dengan dosen sebagai
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar, sedangkan mata kuliah merupakan
rangkaian bahan kajian yang diperlukan untuk mendapatkan satu atau beberapa capaian
pembelajaran dan merupakan unsur yang penting dalam desain pembelajaran. Dengan demikian mata
kuliah berbasis pembelajaran dapat dipahami sebagai kelompok atau satuan bahan kajian yang
memiliki orientasi pembelajaran untuk mempelajari proses kegiatan belajar mengajar dari mulai
penguasaan materi, merencanakan, mengelola, memimpin dan mengevaluasi proses belajar mengajar.
Salah satu faktor psikologis yang sangat berperan dalam mewujudkan proses belajar adalah minat.
Seseorang akan mau dan tekun dalam belajar atau tidak, sangat tergantung pada minat yang ada pada
dirinya.
Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas
tanpa ada yang menyuruh (Slameto, 2010). Muhibbin Syah mendifinisikan minat sebagai
kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Muhibbin,
2010). Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib (2004) menjelaskan bahwa minat adalah suatu
kecenderungan untuk memberikan perhatian dan bertindak terhadap orang, aktivitas atau situasi
yang menjadi objek dari minat tersebut dengan disertai perasaan senang. Dengan demikian minat
terhadap rumpun mata kuliah pembelajaran adalah kecenderungan mahasiswa sebagai pelaku belajar
untuk memusatkan perhatian, rasa lebih suka dan rasa ketertarikan terhadap rumpun mata kuliah
pembelajaran. Pada dasarnya jika seorang mahasiswa menaruh minat pada suatu mata kuliah, berarti
ia akan menyambut baik dan bersikap positif dalam berhubungan dengan mata kuliah tersebut. Sikap
positif itu ditunjukkan denga rasa sungguh-sungguh dan semangat dalam mengikuti perkuliahan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

337
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

sehingga mencapai hasil yang baik. Mmenurut Wasty (2006), ada beberapa hal yang menyebabkan
seseorang dikatakan berminat terhadap sesuatu bila individu tersebut memiliki beberapa unsur yaitu:
perasaan senang, perhatian dalam belajar, ketertarikan, mengetahui manfaat dan fungsi materi
pelajaran.

Metodologi
Penelitian ini dilaksanakan di Prodi MP FITK UIN Jakarta pada April 2017, difokuskan
kepada minat belajar mahasiswa terhadap rumpun mata kuliah pembelajaran yang terdiri atas lima
mata kuliah yang selama ini harus diikuti oleh seluruh mahasiswa yaitu: Belajar dan
Pembelajaran/Kurikulum dan Pembelajaran, Perencanaan Pembelajaran, Strategi Pembelajaran,
Evaluasi Pembelajaran dan Pengajaran Mikro. Sesuai konteks, metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif yang berusaha menganalisis data berupa angka dari hasil
gambaran mengenai suatu gejala atau peristiwa dalam penelitian sehingga dapat ditarik pengertian
atau maknanya. Sumber data berasal dari Ketua Prodi MP, dosen pengampu mata kuliah berbasis
pembelajaran dan 50% (62 orang) dari jumlah mahasiswa jurusan Manajemen Pendidikan semester
VI dan VIII tahun akademik 2016/2017 yang sudah memperoleh kuliah pada mata kuliah berbasis
pembelajaran yang berjumlah 121 orang, berbagai dokumen pendukung yang berkaitan dengan
minat mahasiswa prodi Manajemen Pendidikan terhadap rumpun mata kuliah pembelajaran, yaitu:
daftar hadir, IP dan IPK, dan struktur kurikulum. Untuk mengumpulkan data penelitian digunakan
angket dengan 5 pilihan jawaban yang diberikan kepada mahasiswa dengan kisi-kisi sebagai berikut:
Tabel 1. Kisi-kisi Angket
Nomor
No Aspek Indikator Jumlah
Pernyataan
1 Perasaan Senang a. Datang tepat waktu saat 1,2 2
Terhadap Mata kuliah perkuliahan mata kuliah
berbasis pembelajaran berbasis pembelajaran
b. Mengikuti perkuliahan mata 3,4,5 3
kuliah berbasis pembelajaran
dengan senang hati
c. Nyaman berada di kelas saat 6 1
perkuliahan mata kuliah
berbasis pembelajaran
d. Giat belajar 7, 8, 9, 5
10, 11
e. Belajar karena kesadaran sendiri 12 1

f. Membaca buku yang berkaitan 13, 14 2


dengan mata kuliah berbasis
pembelajaran

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

338
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

g. Gemar mengakses materi mata 15, 16 2


kuliah berbasis pembelajaran

2 Perhatian Terhadap a. Memperhatikan saat 17 1


Mata kuliah berbasis penjelasaan dari dosen
pembelajaran b. Berusaha memahami materi 18, 19, 3
yang dikuliahkan 20
c. Tidak mau diganggu saat 21, 22 2
perkuliahan mata kuliah
berbasis pembelajaran
berlangsung
d. Aktif dalam mengikuti 23 1
perkuliahan mata kuliah
berbasis pembelajaran
e. Siap dalam belajar 24, 25 2
f. Mereview materi pelajaran 26, 27 2
3 Ketertarikan Terhadap a. Antusias dalam mengikuti 28, 29, 3
Mata kuliah berbasis perkuliahan mata kuliah 30
pembelajaran berbasis pembelajaran
b. Mengerjakan tugas mata kuliah 31 1
berbasis pembelajaran
c. Mengambil posisi duduk yang 32, 33, 3
memudahkan proses 34
perkuliahan
d. Berusaha menciptakan suasana 35 1
kelas yang kondusif
e. Menyenangi setiap dosen 36, 37 2
pengampu mata kuliah berbasis
pembelajaran
4 Pemahaman Terhadap a. Mengetahui manfaat belajar 38 1
Manfaat, Tujuan, dan mata kuliah berbasis
Fungsi Materi Mata pembelajaran
kuliah berbasis b. Mengetahui tujuan belajar mata 39, 40 2
pembelajaran kuliah berbasis pembelajaran
c. Mengetahui fungsi belajar mata 41 1
kuliah berbasis pembelajaran
Jumlah Item 41

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai
sumber yang diproses dari penyebaran angket, wawancara, dan studi dokumen. Kemudian data yang
telah terkumpul, dianalisis, diinterpretasi/ditafsirkan dan disimpulkan ke dalam bahasa yang lebih
mudah dipahami, logis dan sesuai dengan penelitian yang dibahas. Untuk menginterpretasi data
angket digunakan pedoman interprestasi menurut Suharsimi Arikunto, yaitu:
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

339
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

1. Baik, jika nilai yang diperoleh berada pada interval 81-100%.


2. Cukup, jika nilai yang diperoleh berada pada interval 61-80%.
3. Kurang, jika nilai yang diperoleh berada pada interval 41-60%.
4. Tidak baik, jika nilai yang diperoleh berada pada interval < 40%.1
Untuk menentukan prosentase, digunakan perhitungan sederhana dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Menentukan nilai harapan (NH), nilai ini dapat diketahui dengan mengalihkan jumlah item
pertanyaan dengan skor tertinggi.
b. Menghitung nilai skor (NS), nilai ini merupakan nilai rata-rata sebenarnya yang diperoleh
dari hasil penelitian.
c. Menentukan kategori, yakni dengan menggunakan rumus:
NS
P= X 100 0
0
NH

Hasil Penelitian
Perasaan Senang
Perasaan senang dapat diartikan sebagai suasana psikis dengan jalan membuka diri terhadap
suatu hal yang berbeda dengan keadaan dalam diri yang dapat timbul karena mengamati, mengingat
atau memikirkan sesuatu. Mahasiswa yang memiliki minat terhadap setiap mata kuliah yang diikuti,
maka ia akan merasa senang dalam mengikuti perkuliahan sehingga akan selalu datang tepat waktu,
mengikuti perkuliahan dengan serius dan penuh konsentrasikarena merasa nyaman berada di dalam
kelas, dan belajar atas kesadaran diri.
Tabel 2. Perasaan Senang
Nilai NSx100%
Nilai Skor Kategori
No Indikator Skor Harapan
(NS) NH Nilai
(NH)
1 Datang tepat waktu 502 2x5=10 502:62=8,09 8,09x100=80,90 Baik
saat perkuliahan
10
rumpun mata kuliah
pembelajaran
2 Konsentrasi 626 3x5=15 626:62=10,0 10.09x100=67,2 Cukup
mengikuti 9 6
perkuliahan rumpun
15
mata kuliah
pembelajaran

1
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, “Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoretis Praktik Bagi
Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan”, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2009), cet. Ke-3, hal. 35

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

340
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

3 Nyaman berada di 242 1x5=5 242:62=3,90 3,90x100=78,00 Cukup


kelas saat perkuliahan
5

4 Giat mempelajari hal- 914 5x5=25 914:62=14,7 14,74x100=58,9 Kurang


hal yang berkaitan 4 6
dengan rumpun mata
25
kuliah pembelajaran

5 Belajar karena 240 1x5=5 240:62=3,87 3,87x100=77,40 Cukup


kesadaran sendiri
5
6 Membaca buku yang 392 2x5=10 392:62=6,32 6,32x100=63,20 Cukup
berkaitan dengan
10
rumpun mata kuliah
pembelajaran
7 Gemar mengakses 402 2x5=10 402:62=6,48 6,48x100=64,80 Cukup
materi mata rumpun
10
kuliah pembelajaran
Rata-rata 70,07% Cukup

Hasil perhitungan statistik sederhana di atas menunjukkan bahwa walaupun tingkat


kehadiran dalam perkuliahan tergolong baik, namun tidak banyak mahasiswa yang merasa senang
terhadap mata kuliah berbasis pembelajaran, belum merasa nyaman berada di kelas saat perkuliahan
berlangsung, bahkan belajarpun tidak menunjukkan kesungguhan dan kesadaran diri akan kebutuhan
untuk belajar. Hal ini terbukti dari rendahnya intensitas membaca buku-buku sumber dan kegemaran
mengakses materi perkuliahan. Dengan demikian, umumnya mahasiswa mengikuti perkuliahan
sekedar untuk memenuhi kehadiran agar nanti diperkenankan mengikuti Ujian Ahir Semester,
sedangkan di dalam kelas mereka kurang merasa senang sehingga di dalam kelas banyak yang hanya
asyik dengan telepon selularnya, mengantuk, berbisik-bisik dengan teman sebelahnya dan kegiatan
lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan proses kuliah. Pemandangan ini umum terjadi dalam
perkuliahan di Prodi MP dan hal ini terjadi karena tidak ada teguran dari dosen.

Perhatian
Perhatian atau fokus merupakan salah satu hal yang penting dalam proses perkuliahan
karena tanpa adanya perhatian maka mahasiswa tidak akan dapat aktif terlibat dan berkontribusi
dalam perkuliahan sehingga kehadirannya dalam perkuliahan hanya sebatas sebagai “pelengkap
penderita” dan akan merasa bukan bagian dari komunitas kelasnya.
Sama halnya dengan aspek sebelumnya, perhatian dalam mengikuti perkuliahan juga masih
tergolong kurang bahkan rendah, padahal umumnya mereka hanya memiliki kesempatan belajar
ketika berada di ruang kuliah. Namun nampaknya kesempatan ini juga kurang digunakan secara
optimal, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

341
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 4. Perhatian
Nilai NSx100%
Nilai Skor Kategori
No Indikator Skor Harapan
(NS) NH Nilai
(NH)
1 Memperhatikan 228 1x5=5 228:62=3,67 3,67x100= 73,40 Cukup
penjelasan dari
5
dosen
2 Berusaha memahami 520 3x5=15 520:62=8,38 8,38x100=55,86 Kurang
materi yang
15
dikuliahkan
3 Tidak mau 381 2x5=10 381:62=6,14 6,14x100=61,40 Cukup
diganggu saat
10
perkuliahan mata
kuliah berbasis
pembelajaran
berlangsung
4 Aktif dalam 182 1x5=5 182:62=2,93 2,93x100=58,60 Kurang
mengikuti
5
perkuliahan mata
kuliah berbasis
pembelajaran
5 Siap dalam belajar 466 2x5=10 466:62=7,51 7,51x100=75,10 Cukup
10
6 Mereview kembali 328 2x5=10 328:62=5,29 5,29x100=52,90 Kurang
materi pelajaran
10
Rata-Rata 62,87% Cukup

Perhatian mahasiswa terhadap kegiatan perkuliahan dan penjelasan dosen masih belum optimal
bahkan mereka kurang berusaha untuk memahami materi yang dipelajari baik melalui kegiatan
diskusi, tanya jawab maupun mengeksplorasi sendiri melalui membaca buku-buku sumber atau
browsing internet, padahal di setiap kelas perkuliahan tersedia layanan internet yang cukup baik.
Akibat dari kondisi ini adalah munculnya perkuliahan yang monoton, kalaupun ada diskusi maka
hanya sedikit mahasiswa yang aktif berkontribusi karena kebanayak mereka minim wawasan akibat
dari malas membaca. Umumnya mereka juga tidak berusaha membaca ulang materi perkuliahan yang
telah dipelajari. Namun demikian, ketika ditanya tentang capaian hasil perkuliahan (prestasi
akademik), umumnya mereka merasa cukup puas dengan hasil yang telah diperoleh.

Ketertarikan
Pada satu sisi, mahasiswa Prodi MP memang tidak diproyeksikan untuk menjadi calon guru
bidang studi tertentu. Di sisi lain, mereka mengikuti pendidikan di bawah naungan FITK yang nota
bene merupakan LPTK yang mengharuskan setiap mahasiswanya mengikuti beberapa mata kuliah
terkait dengan pembelajaran. Sebagai manusia dewasa yang bertanggung jawab, seharusnya mereka
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

342
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

memberi perlakuan yang sama pada setiap mata kuliah karena hal itu sudah menjadi konsekuensi
logis dari pilihan pendidikannya sehingga tidak a da alasan untuk “menganaktirikan” mata kuliah
tertentu. Lagipula, sebagai calon tenaga kependidikan, tidak akan rugi mempelajari mata kuliah yang
berkaitan dengan pembelajaran. Mereka harus meyakini bahwa setiap mata kuliah yang ditawarkan
Prodi akan memberi manfaat untuk pengembangan karirnya di masa yang akan datang, apalagi
hingga saat ini guru merupakan profesi yang sangat terbuka sehingga sangat mungkin lulusan Prodi
Manajemen Pendidikan bisa menjadi guru, tentu saja jika memenuhi persyaratan tertentu.
Harapan tersebut nampaknya belum terwujud karena ternyata ketertarikan pada mata kuliah
pembelajaran baik dalam antusiasme mengikuti perkuliahan, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan
dosen, menciptakan suasana kondusif, menyenangi dosen pengampu mata kuliah, masih tergolong
rendah, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5. Ketertarikan
Nilai NSx100%
Nilai Skor Kategori
No Indikator Skor Harapan
(NS) NH Nilai
(NH)
1 Antusias dalam 611 3x5=15 611:62=9,58 9,85x100=65,66 Cukup
mengikuti perkuliahan
15
mata kuliah berbasis
pembelajaran
2 Mengerjakan tugas 200 1x5=5 200:62=3,22 3,22x100=64,40 Cukup
mata kuliah berbasis
5
pembelajaran
3 Mengambil posisi 597 3x5=15 597:62=9,62 9,62x100=64,10 Cukup
duduk yang
15
memudahkan proses
perkuliahan
4 Berusaha menciptakan 209 1x5=5 209:62=3,37 3,37x100=67,40 Cukup
suasana kelas yang
5
kondusif
5 Menyenangi setiap 429 2x5=10 429:62=6,91 6,91x100=69,10 Cukup
dosen pengampu mata
10
kuliah berbasis
pembelajaran
Rata-Rata 66,12% Cukup

Menurut mahasiswa, rendahnya ketertarikan dalam mengikuti perkuliahan disebabkan oleh


beberapa faktor seperti metode belajar yang digunakan oleh dosen saat perkuliahan yang kurang
menarik sehingga merasa belajar tidak menyenangkan bahkan ada yang merasa belajar sebagai sebuah
penyiksaan karena harus menunggu sekian menit untuk bebas dari penderitaan. Pemanfaatan sarana
dan prasarana dan media oleh dosen dianggap yang belum optimal juga menjadi alasan mahasiswa
kurang tertarik dalam mengikuti perkuliahan.
Pemahaman terhadap Manfaat, Tujuan, dan Fungsi Rumpun Mata Kuliah Pembelajaran
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

343
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Rumpun mata kuliah pembelajaran diberikan kepada mahasiswa Prodi MP sebagai


konsekuensi logis keberadaan Prodi tersebut di bawah naungan FITK yang merupakan Lembaga
Pendidik Tenaga Kependidikan. Walaupun lulusan Prodi MP tidak diproyeksikan menjadi calon
guru, tetapi sebagai calon tenaga kependidikan, sangat tepat jika mereka mampu memahami hal-hal
yang berkaitan dengan pembelajaran dan minimal bisa melaksanakan kegiatan pembelajaran
sederhana sebagai kompetensi pendukung yang akan memberi manfaat bagi pengembangan profesi
kependidikannya kelak. Di samping itu, realitas menunjukkan bahwa lulusan Prodi MP banyak yang
memilih menjadi guru sebagai profesi hidupnya, walapun terpaksa mereka harus mengambil program
S1 berbasis pembelajaran/mata pelajaran tertentu atau guru kelas (PGSD?PGMI).
Hasil penelitian mengungkapkan, umumnya pemahamaman mahasiswa akan manfaat,
tujuan dan fungsi rumpun mata kuliah pembelajaran masih kurang, sebagaimana dapat dilihat pada
tabel 6. Ada beberapa faktor penyebab kurangnya pemahaman terhadap manfaat, tujuan dan fungsi
rumpun mata kuliah pembelajaran, seperti; menganggap tidak penting mata kuliah tersebut karena
bukan merupakan mata kuliah keahlian manajemen pendidikan, ketidaktertarikan mahasiswa untuk
menjadi guru, kegiatan perkuliahan yang cenderung membosankan dan kurang intensifnya dosen
dalam memberi “tausiah”
Tabel 6. Pemahaman terhadap Manfaat, Tujuan dan Fungsi Rumpun Mata Kuliah Pembelajaran
Nilai NSx100%
Nilai Skor Kategori
No Indikator Skor Harapan
(NS) NH Nilai
(NH)
1 Memahami manfaat 262 1x5=5 262:62=4,22 4,22x100=84,40 Baik
belajar mata kuliah
5
berbasis pembelajaran

2 Memahami tujuan 395 2x5=10 395:62=6,37 6,37x100=63,70 Cukup


belajar mata kuliah
10
berbasis pembelajaran
3 Memahami fungsi 270 1x5=5 270:62=4,35 4,35x100=87,00 Baik
belajar mata kuliah
5
berbasis pembelajaran
Rata-Rata 78,36% Cukup

Penutup
Dari paparan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulankan bahwa secara
umum minat mahasiswa Prodi MP terhadap mata kuliah berbasis pembelajaran yang diukur
berdasarkan 4 aspek, yaitu: perasaan senang, perhatian, ketertarikan dan mengetahui manfaat, tujuan
dan fungsi belajar mata kuliah berbasis pembelajaran.masih rendah. Hal itu disebabkan karena
mereka menganggap rumpun mata kuliah tersebut tidak menjadi tuntutan kompetensi mereka
sebagai calon tenaga kependidikan yang tidak harus memahami pembelajaran dan terampil
melaksanakannya.
Berdasarkan temuan dan simpulan hasil penelitian, diharapkan agar pimpinan Prodi MP
dapat memberi pencerahan kepada mahasiswa akan urgensi rumpun mata kuliah pembelajaran.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

344
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dosen pengampu mata kuliah tersebut juga perlu intensif menyadarkan mahasiswa akan pentingnya
mata kuliah tersebut sambil terus berusaha memperbaiki kualitas perkuliahan melalui variasi
penerapan metode dan media pembelajaran sehingga mahasiswa tertarik mengikuti perkuliahan.

Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, M.Pd, “Evaluasi Program Pendidikan
Pedoman Teoretis Praktik Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan”, (Jakarta, PT Bumi
Aksara, 2009), cet. Ke-3.
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009).
Shaleh, Abdul Rahman dan Muhbib Abdul Wahab , Psikologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana,
2004).
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. (Jakarta: Rineka Cipta,2010) edisi revisi
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), Cet.V.
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D , (Bandung: Alfabeta, 2012), Cet.
VII).
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2010).
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 2016)
Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional,pendis.kemenag.go.id/pai/file/dokumen/SisdiknasUUNo.20Tahun2003.pdf –
tanggal 29-11-2016.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

345
Muhammad Reza Syachputra, Ai Nurlaela, Hasian Pohan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: rezasyachputra27@gmail.com, ai.nurlaela@uinjkt.ac.id
Abstract. This research is aimed to know the influence of scientific approach with stop motion
video on student’s cognitive in work and energy concept. This research had been done in academic
years 2017/2018, at SMK Islamiyah Ciputat, Tangerang Selatan. The method of this research is
quasi experiment by nonequivalent control group design, and the technique of taking sample is
purposive sampling. The instrument test of this research is multiple choice objektive questions and
non test is questionnaire. The result of hypothesis test by using Mann-Whitney test on posttest
score shows the significant value sig (2-tailed) 0,014, however the significant level is 0,05. The
significant value sig (2-tailed) < the significant level 0,05. This means that scientific approach
with stop motion video proven influence on student’s cognitive in work and energy concept. While
the result of questionnaire analysis, stop motion video in scientific approach get a good response
from student’s with a percentage of 80,35%.
Keyword : Scientific Approach, Stop motion Video, Student’s Cognitive, Work and Energy
Concept

Pendahuluan
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang dikembangkan untuk menyempurnakan kurikulum
sebelumnya yang belum ideal. Kurikulum 2013 bertujuan untuk mengatasi masalah dan tantangan
berupa kompetensi riil yang dibutuhkan oleh dunia kerja, globalisasi ekonomi pasar bebas,
membangun kualitas manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menjadi warga negara yang
bertanggung jawab (Imas dan Berlin, 2014). Kurikulum 2013 diharapkan mampu menjadi wadah
pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan berbasis kompetensi dan karakter (Umi dan Sri,
2014)
Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 dilaksanakan menggunakan pendekatan saintifik.
Pendekatan saintifik memungkinkan siswa untuk lebih berpartisipasi didalam pembelajaran (Umi
Fadhilah dan Sri Mulyaningsih, 2014). Pendekatan saintifik memiliki karakteristik sebagai berikut :
(1) berpusat pada siswa; (2) melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep,
hukum, atau prinsip; (3) melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang
perkembangan intelek, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa; (4) dapat
mengembangkan karakter siswa (Daryanto, 2014). Pendekatan saintifik mengharuskan siswa untuk
membangun konsep pengetahuan secara mandiri dan menyelesaikan permasalahan yang ditemukan
(Rahma, 2016)
Berdasarkan observasi di SMK Islamiyah Ciputat, implementasi kurikulum 2013 masih
mengalami banyak kendala. Guru kesulitan menerapkan pendekatan saintifik. Hal ini disebabkan
karena kurangnya monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pembelajaran dalam kurikulum 2013
oleh pihak terkait. Selain itu, guru kesulitan dalam menyiapkan objek atau fenomena yang dapat
memunculkan rasa ingin tahu dan ketertarikan siswa. Selama ini guru hanya menampilkan gambar-

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

gambar dan sesekali menjelaskan gambar tersebut. Hal ini menyebabkan siswa menjadi bosan, dan
kurang fokus dalam proses pembelajaran dan mengakibatkan siswa kurang responsif ketika disuruh
membuat pertanyaan. Ketidakmampuan guru menyiapkan objek atau fenomena yang dapat
memunculkan rasa ingin tahu dan ketertarikan siswa disebabkan karena guru kurang mendapat
pelatihan penggunaan media. Permasalahn selanjutnya, guru masih menggunakan metode ceramah
dalam menjelaskan percobaan yang akan dilakukan siswa. Hal ini membuat siswa tidak menyerap
informasi dengan baik, dan kesulitan menentukan variabel, alat dan bahan percobaan. Penerapan
pendekatan saintifik yang kurang optimal menyebabkan hasil belajar dan kemampuan kognitif siswa
masih banyak yang rendah. Hal ini dibuktikan dengan 64 siswa dari 84 siswa atau sebesar 76,2 %
siswa tidak mencapai nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), dengan nilai KKM 70.
Berdasarkan kenyataan di atas, proses pembelajaran perlu dilakukan perbaikan, agar kemampuan
kognitif siswa meningkat. Salah satu solusi dari permasalahan di atas adalah dibutuhkannya media
yang dapat membantu guru menerapkan pendekatan saintifik. Media pembelajaran yang dibutuhkan
harus dapat memvisualisasi objek atau peristiwa, menumbuhkan rasa ingin tahu siswa, menarik minat,
dan meningkatkan motivasi belajar siswa. Salah satu alternatif media yang dibutuhkan adalah video
stop motion.
Video stop motion adalah suatu teknik animasi yang terkenal dimana objek fisika muncul dan
berpindah dari bentuk awalnya seperti sulap (Sunitha, 2014) . Video stop motion meruapakan jenis
animasi 2 dimensi yang terbuat dari potongan gambar yang disusun sehingga bergerak (Purwanti dan
Natanael, 2016). Video stop motion merupakan jenis audio-visual, hal ini menyebabkan stop motion
dapat membuat konsep yang abstrak menjadi konret (Nina, 2013). Video stop motion dapat
menampilakn objek seolah-olah bergerak dan terkesan hidup (Dimi, 2017).
Video stop motion sebagai media animasi, memungkinkan pembelajaran menjadi menarik dan
dapat meningkatkan minat siswa (Nurul, 2015). Hal ini terjadi karena media audio-visual dapat
merangsang pemikiran dan meningkatkan lingkungan pembelajaran di dalam kelas (Matthew dan
Alidmat, 2013). Video stop motion sebagai media video dapat menjelaskan suatu kejadian secara jelas
dalam tiap waktu perubahan dengan hanya menggunakan gambar atau kata saja, hal ini membuat
video stop motion cocok untuk menjelaskan suatu prosedur atau praktikum dalam fisik (Dimi,
2017). Selain itu, pembuatan video stop motion tergolong mudah. Pembuatan video stop motion
hanya membutuhkan peralatan yang sederhana, yaitu kamera digital atau handphone, tripod, dan
program komputer yang digunakan untuk menggerakkan gambar-gambar (listya, 2013).
Video stop motion perlu diterapkan pada konsep fisika yang abstrak dan berkaitan dengan konsep
gerak. Hal ini terjadi karena video stop motion dapat mempercepat dan memperlambat gerakan yang
ditampilan (Rachmat, 2016). Salah satu konsep fisika yang abstrak dan berkaitan dengan gerak adalah
energi dan usaha. Konsep energi dan usaha termasuk konsep fisika yang abstrak, tidak memiliki massa,
tidak dapat diamati, dan tidak dapat diamati secara langsung, serta seringkali membuat siswa kesulitan
dalam memahami materi (Ratih, 2014). Selain itu, konsep energi dan usaha juga merupakan konsep
yang berkaitan dengan gerak dalam kehidupan sehari-hari (Zainul 2016). Hal ini membuat konsep
energi dan usaha memerlukan media yang dapat memvisualisasi konsep agar lebih mudah diamati
dengan baik.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah Pengaruh Pendekatan Saintifik
Berbantuan Video Stop motion Terhadap Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Pada Konsep Energi
dan Usaha”. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh pendekatan saintifik berbantuan video stop motion terhadap
kemampuan kognitif fisika siswa pada konsep energi dan usaha. Penelitian ini diharapkan dapat
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

347
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

memberikan manfaat untuk : (1) membantu mengatasi kesulitan siswa pada konsep energi dan usaha;
(2) alternatif bagi guru dalam pemilihan media pembelajaran efektif; (3) referensi bagi penelitian
selanjutnya dalam bidang lain.

Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu ( quasi
experiment). Desain penelitian dalam penelitian ini adalah non-equivalent control group design, yang
terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Sebelum diberikan
perlakuan, kedua kelompok diberikan pretest untuk mengetahui sejauh mana kemampuan awal siswa
pada konsep energi dan usaha. Selanjutnya kedua kelompok diberikan perlakuan berbeda, yaitu
kelompok kelas kontrol diberikan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik,
sedangkan kelas eksperimen diberikan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik
berbantuan video stop motion. Setelah diberikan perlakuan, kedua kelompok diberikan posttest untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh perlakukan terhadap kemampuan kognitif siswa pada konsep
energi dan usaha.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa SMK Islamiyah Ciputat. Aampel dalam
penelitian ini adalah kelas X TKJ-1 dan X TKJ-2 yang berjumlah 60 siswa, dengan jumlah siswa pada
masing-masing kelas 30 siswa. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini dipilih menggunakan
teknik purposive sampling.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui tes dan non tes. Instrumen tes
yang digunakan berbentuk tes objektif berupa pretest dan posttest, yang digunakan untuk mengukur
kemampuan kognitif fisika siswa. Non tes digunakan untuk mengukur respon siswa terhadap
penggunaan video stop motion. Data hasil tes dianalisis dengan menggunakan uji normalitas, uji
homogenitas, uji hipotesis dengan menggunakan uji Mann-Whitney, dan uji N-Gain. Data non tes
dianalisis dengan skala likert.

Hasil Dan Pembahasan


Tahap awal penelitian masing-masing kelas, yaitu X TKJ-1 dan X TKJ-2 diberikan pretest untuk
mengetahui sejauh mana kemampuan awal siswa, dan untuk menentukan kelas kontrol dan
eksperimen. Gambaran umum kemampuan kognitif siswa pada pretest, dapat dilihat pada gambar 1
berikut.

60%
55%
40%
43%
20% 26.67%
22.59%
50% 41% 21% 22%
0%
C1 C2 C3 C4

Pretest kontrol Pretest eksperimen

Gambar 1 hasil pretest kelas kontrol dan eksperimen


Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

348
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hasil pretest menunjukkan bahwa kelas X TKJ-1 sedikit lebih unggul dibandingkan kelas X TKJ-
2 di semua jenjang kognitif. Sehingga kelas X TKJ-1 dipilih sebagai kelas kontrol, sedangkan kelas
eksperimen adalah kelas X TKJ-2.
Selanjutnya kelas kontrol diberikan perlakuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik,
sedangkan kelas eksperimen diberikan perlakuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik
berbantuan video stop motion. Setelah itu, baik kelas kontrol maupun kelas eksperimen diberikan
posttest untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa setelah diberikan perlakuan berbeda.
Gambaran umum kemampuan kognitif siswa pada hasil posttest dapat dilihat pada gambar 2 berikut
ini.

120.00%
100.00%
80.00%
86.67% 80%
60.00%
65% 60%
40.00%
20.00% 91.67% 86.67% 71% 100%
0.00%
C1 C2 C3 C4

Posttest kontrol Posttest Eksperimen

Tabel 2 hasil posttest kelas kontrol dan eksperimen

Peningkatan kemampuan kognitif siswa dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.

100.00%
78.33%
80.00%
60.00% 50.00%
41.67% 46%
40.00%
42.41%
20.00% 21.67% 37% 33.33%
0.00%
C1 C2 C3 C4

kelas kontrol kelas eksperimen

Tabel 3 peningkatan kemampuan kognitif kelas kontrol dan eksperimen

Pada jenjang mengingat (C1), hasil kelas kontrol dan eksperimen cukup jauh berbeda, yaitu kelas
kontrol 21,67%, dan kelas eksperimen 41,67%. Hal ini terjadi karena video stop motion sebagai
media audio visual dapat lebih meningkatkan daya ingat siswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mell

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

349
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Siberman yang mengungkapkan bahwa penambahan visual dapat menaikkan ingatan siswa dari 14%
sampai 38% (Rita,2017).
Pada jenjang memahami (C2), peningkatan hasil kemampuan kognitif siswa kelas kontrol dan
eksperimen tidak jauh berbeda. Hasil kelas eksperimen lebih signifikan dibandingkan kelas kontrol,
yaitu kelas eksperimen 46%, sedangkan kelas kontrol 37%. Hal ini terjadi karena video stop motion
menyajikan materi dan langkah-langkah pendekatan saintifik secara visual dan bertahap. Visualisasi
terhadap materi dapat lebih memperjelas pengamatan siswa, sehingga lebih memudahkan siswa untuk
memahami materi. selain itu, penyajian pembelajaran secara bertahap, membuat siswa dapat
mengkonstruksi pengetahuannya. Jika siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan, maka siswa dapat
dikatakan sudah memahami materi yang disajikan (Anderson dan Krathwol, 2010).
Pada jenjang kognitif menerapkan (C3), hasil kemampuan kognitif siswa kelas eksperimen lebih
signifikan dibandingkan kelas kontrol, yaitu kelas eksperimen sebesar 50%, sedangkan kelas kontrol
42,41%. Hal ini terjadi karena video stop motion sebagai media video dapat memperjelas dan
memberikan gambaran yang lebih realistik (Yudhi,2012). Video stop motion menyajikan visualisasi
fenomena-fenomena yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, contoh dan latihan soal yang
disertai penjelasan dengan tampilan yang menarik dan ilustrasi. Hal ini menyebabkan siswa mampu
menerapkan konsep yang dipelajarinya dalam mengerjakan soal evaluasi.
Pada jenjang kognitif menganalisis (C4), peningkatan kemampuan kognitif siswa kelas eksperimen
dan kontrol cukup jauh, yaitu kelas eksperimen sebesar 78,33%, sedangkan kelas kontrol sebesar
33,33%. Pada video stop motion terdapat contoh soal bagaimana hubungan konsep energi dan usaha
dengan konsep lainnya, yang disajikan dengan visualisasi. Hal ini membuat kemampuan analisis siswa
lebih terlatih. Selain itu, video stop motion menyajikan visualisasi dari percobaan yang akan
dilakukan. Hal ini membuat siswa mendapat gambaran nyata mengenai percobaan yang akan
dilakukan dan berdampak baik bagi kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (Yudhi, 2012).
Pada semua jenjang kognitif kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan kelas kontrol. Hal ini
dikarenakan penggunaan video audio-visual akan memberikan dampak dan pengaruh signifikan
kepada siswa (Elijah, 2014).
Pengujian hipotesis pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil
uji hipotesis disajikan dalam tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Hasil uji hipotesis
Pretest Posttest
Mann-Whitney U 338,500 288,000
Asymp. Sig (2-tailed) 0,090 0,014
Keputusan Ha ditolak Ha diterima

Berdasarkan tabel 1 di atas nilai sig.(2-tailed) pretest > taraf signifikansi (0,05), maka hipotesis
nol
(Ho) diterima dan hipotesis alternatif ditolak. Hal ini terjadi karena pada saat pretest kelas kontrol
maupun eksperimen tidak diberikan perlakuan. Selanjutnya, nilai sig.(2-tailed) posttest < taraf
signifikansi (0,05), maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

350
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil uji hipotesis didapatkan nilai sig.(2-tailed) pada posttest sebesar 0,014. Dengan
dasar pengambilan keputusan, jika sig.(2-tailed) lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak dan Ha
diterima, diputuskan bahwa pendekatan saintifik berbantuan video stop motion terbukti berpengaruh
terhadap kemampuan kognitif fisika siswa pada konsep energi dan usaha.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, penulis menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk
menyempurnakan kekurangan yang ada pada penelitian ini, yaitu (1) penelitian ini juga meliputi teks,
hal ini membuat video menjadi lama dan mengakibatkan siswa menjadi bosan, untuk selanjutnya
visualisasi harus berfokus pada fenomena; (2) materi energi dan usaha termasuk konsep yang abstrak,
hanya saja tidak membutuhkan terlalu banyak visualisasi, selanjutnya konsep yang dipilih harus
konsep yang banyak membutuhkan visualisasi seperti listrik statis dan dinamis.

Daftar Pustaka
Anderson, Lorin W. 2010. Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan
Asesmen:Revisi Taksonomi Bloom. Terj. Agung Prihantoro.Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Daryanto. 2014. Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013. Yogjakarta:Gava Media.
Diani, Rahma. 2016. Pengaruh Pendekatan Saintifik Berbantuan LKSTerhadap Hasil Belajar Fisika
Siswa Kelas XI SMA Perintis 1 Bandar Lampung . Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika, h. 67
Fadhilah, Umi dan Mulyaningsih, Sri. 2014. Pengaruh Penerapan Pembelajaran dengan Pendekatan
Saintifik Pada Materi Elastisitas Terhadap Hasil BelajarSiwa Kelas X. Jurnal Inovasi Pendidikan
Fisika, h. 33
Huljannah, Rita Amalia. Pengaruh Video Pembelajaran Berbasis STM (Sains Teknologi
Masyarakat) Terhadap Kemampuan Kognitif Siswa Kelas XI pada Konsep Fluida. Skripsi pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:2017.
Isnaeni, Nina. Pengembangan Video Pembelajaran IPA Fisika Berbasis Potensi Lokal Pada Materi
Tekanan Untuk Siswa SMP/Mts. Skripsi pada UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta:2013.
Kurniasih, Imas dan Sani, Berlin. 2014. Sukses Mengimplementasikan Kurikulum 2013 : Memahami
Berbagai Aspek Dalam Kurikulum 2013.Jakarta: Kata Pena.
Lingga, Nurul Lolona. Pengaruh Pemberian Media Animasi Terhadap Perubahan Pengetahuan dan
Sikap Gizi Seimbang Pada Siswa Kelas VI SDN Tanjung Duren Utara 01 Pagi Jakarta Barat.
Skripsi pada Universitas Esa Unggul:2015.
Matthew, Nalliiveettil George and Ali Odeh Hammoud Alidmat. 2013. An Study on Usefullnes of
Audi-Visual Aids in EFL Classroom Implications for Effective Instructions. Journal of Higher
Education. Page 85-92
Munadi, Yudhi. 2012. Media Pembelajaran:Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta:Gaung Persada.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

351
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Mustofa, Zainul dkk. 2016. Pemahaman Konsep Siswa SMA Tentang Usaha dan Energi Mekanik,
h.519.
Nibrassari, Ratih. 2014. Pengembangan dan Penggunaan Multimedia Simulasi Komputer Topik
Usaha dan Energi Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa SMA. Skripsi pada
Universitas Pendidikan Indonesia:2014.
Ode, Elijah Ojowu. 2014. Impact of Audio-Visual (Avs) Resource on Teaching and Learning in
Some Selected Privar Secondary Schools in Makurdi International. Journal of Research in
Humanities, Art, and Literature. Page. 195.
Purwanti, R dan Natanael, R. 2016. Video Animasi Stop Motion Sebagai Media Pembelajaran pada
Kampanye Pengenalan Tetib Berlalu Lintas Bagi Remaja Pengendara Sepeda Motor. Jurnal
Desain Komunikasi Visual. Hal 4.
Qalbi, Dimi Nurainun. 2017. Perbandingan Hasil Belajar Fisika Melalui Pembelajaran Berbasis
Media Video Animasi Stop motion dan Media Berbasis Powerpoint Kelas XI SMAN 4
Bulukumba. Jurnal Pendidikan Fisika.hal 106-113
Rahmawati, Listya. Penggunaan Animasi Stop motion dan Pengaruhnya Terhadap Memori Jangka
Panjang Siswa SMP Pada Konsep Fotosintesis. Skripsi pada Universitas Pendidikan
Indonesia:2013.
Sunitha, Priyadharshini and Anuradha. 2014. Stop Motion Animation Using Two-Phase Keyframe
Based Capturing System. Journal International of Advanced Computational Engineering and
Net-Working. Page 19

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

352
N.Azizah, E.Hertanti , A.Nurlaela
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: azizahnurul21@yahoo.com
Abstract. This research aims to prove the effect of Creative Problem Solving (CPS) model based
video learning to student creative thinking ability in kinetic theory of gases concept. The method
used is quasi experiment with nonequivalent control group design and technique of sampling is
purposive sampling. The instrument were use in this research are test instrument which is
description (essay) questions and instruments nontes which is questionnaire. The result of this
research show that Creative Problem Solving (CPS) model based video learning proven effect on the
student creative thinking ability. The N-Gain test results showed indicator of creative thinking
ability in the class experiment was increase higher than the control class. While, the results
questionnaire response of student also show that learning using Creative Problem Solving (CPS)
model based video learning got a good category with percentage of 77.5.

Keywords: Learning Video, Creative Problem Solving (CPS) Model, Creative Thinking Ability,
Kinetic Theory of Gases

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh video pembelajaran berbasis model
Creative Problem Solving (CPS) terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa pada konsep teori
kinetik gas. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan desain nonequivalent
control group dan teknik pengambilan sampel berupa purposive sampling. Instrumen yang
digunakan yaitu instrumen tes berupa soal uraian (essay) dan instrumen nontes berupa angket. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa video pembelajaran berbasis model Creative Problem Solving (CPS)
berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. Pada hasil uji N-Gain, kelas eksperimen
mengalami peningkatan indikator kemampuan berpikir kreatif yang lebih unggul dibandingkan
dengan kelas kontrol. Sementara, dari hasil angket respon siswa menunjukkan bahwa pembelajaran
menggunakan video berbasis model Creative Problem Solving (CPS) berada dalam kategori baik
dengan persentase 77,5.

Kata Kunci: Video Pembelajaran, Model Pemecahan Masalah Kreatif (CPS), Kemampuan Berpikir
Kreatif, Teori Kinetik dari Gas

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Otak manusia secara sederhana dibagi menjadi dua bagian, yaitu otak kanan dan otak
kiri dimana otak kanan lebih dahulu berkembang dibandingkan dengan otak kiri. Otak kanan
manusia berkembang sejak anak berumur nol tahun, sedangkan otak kiri umumnya mulai
berkembang pada saat anak berumur enam tahun (Shinta, 2013). Kedua belahan otak
tersebut mempunyai fungsi yang berbeda. Otak kiri cenderung memiliki kemampuan ilmiah,
kritis, logis, rasional, sistematis dan abstrak. Misalnya matematika, bahasa, logika, dan
analisis. Sementara otak kanan cenderung mempunyai kemampuan imajinasi, artistik,
simbolis dan kreativitas. Misalnya kemampuan dalam intuisi, empati, musik, warna, simbol,
gambar, konsep, dan khayalan (Yeni, 2010). Pada proses pembelajaran, otak kiri lebih
diberikan kesempatan untuk berkembang dibandingkan dengan otak kanan. Akibatnya terjadi
penurunan pada kemampuan otak kanan siswa salah satunya, yaitu kreativitas. Berdasarkan
Global Creativity Indeks, menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi tingkat kreativitas
ke-108 dari 134 negara diseluruh dunia (Richard, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa
kreativitas kurang dikembangkan di Indonesia.
Kata kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu
yang baru dan melahirkan gagasan-gagasan yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah
(Utami Munandar, 2012). Kreativitas sangat erat hubungannya dengan berpikir kreatif,
karena kreativitas merupakan hasil dari proses berpikir kreatif. Menurut Guilford, berpikir
kreatif merupakan kemampuan untuk melihat sebuah masalah. Namun sampai saat ini,
kemampuan berpikir kreatif siswa masih kurang mendapat perhatian dalam dunia
pendidikan. Akibatnya kemampuan berpikir kreatif siswa dinilai masih rendah.
Menurut Munandar, rendahnya kemampuan berpikir kreatif siswa disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya pertama, kemampuan guru untuk menggali potensi siswa dalam
kemampuan berpikir kreatif masih kurang. Proses pembelajaran di kelas lebih melatih siswa
pada kemampuan ilmiah, kritis, logis dan sistematis tanpa mengasah kemampuan kreatif
siswa. Kedua, guru seringkali memberikan hadiah dalam kegiatan mengajar. Selama ini, guru
memberikan hadiah kepada siswa agar dapat merangsang siswa untuk memecahkan masalah
yang diberikan. Kenyataannya, pemberian hadiah kepada siswa dapat merusak kemampuan
berpikir kreatif siswa. Ketiga, evaluasi yang diberikan kebanyakan berupa tes dengan pilihan
satu jawaban yang benar (tes konvergen). Tes dengan kemungkinan beragam jawaban
terhadap suatu masalah (tes divergen) jarang dilatih. Padahal tes ini dapat mengukur sejauh
mana kemampuan berpikir kreatif siswa. Keempat, penelitian Getzels dan Jackson
menyebutkan bahwa guru lebih menyukai siswa dengan kecerdasan tinggi daripada siswa yang
kreatif (Utami Munandar, 2012). Berdasarkan permasalahan diatas, maka kemampuan
berpikir kreatif siswa perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dikembangkan
dengan cara melatih memecahkan masalah. Salah satu mata pelajaran yang menuntut siswa
untuk mampu memecahkan masalah adalah fisika. Pada mata pelajaran fisika, konsep yang
dapat mengajak siswa memecahkan masalah melalui berpikir kreatif salah satunya adalah teori
kinetik gas. Pada konsep teori kinetik gas, terdapat fenomena yang berkaitan dengan tekanan,
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

354
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

volume dan suhu. Berkaitan dengan hal tersebut dapat ditampilkan dua fenomena yang
berbeda terhadap satu sama lain. Misalnya memasak air di pantai dan di gunung. Dalam hal
ini siswa dapat diajak untuk menentukan variabel mana yang lebih berpengaruh (tekanan,
volume dan suhu) dari kedua fenomena yang disajikan. Variabel yang berpengaruh pada
kedua fenomena tersebut dapat ditentukan melalui pengamatan. Dalam pengamatan siswa
diajak untuk memecahkan masalah melalui berpikir kreatif. Namun, dalam melatih
memecahkan masalah melalui berpikir kreatif pada pengamatan terhadap suatu fenomena
tidaklah mudah. Hal tersebut dikarenakan variabel yang berkaitan dengan fenomena tersebut
tidak dapat dilihat secara kasat mata. Artinya, dibutuhkan media yang dapat mengatasi
permasalahan tersebut. Solusi dari permasalahan ini salah satunya adalah menerapkan video
berbasis model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).
Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) adalah salah satu model
pembelajaran dengan tujuan menyelesaikan suatu permasalahan secara kreatif (Hariawan,
2014). Model ini memiliki beberapa tahapan, yaitu Objective Finding, Fact Finding,
Problem Finding, Idea Finding, Solution Finding, dan Acceptance Finding (Purwati, 2015).
Video berbasis model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu media
audiovisual yang penyajiannya mengikuti tahapan model pembelajaran Creative Problem
Solving (CPS) tersebut. Pada tahap Objective Finding, video akan menampilkan dua
fenomena yang berbeda guna melatih siswa untuk berpikir kreatif. Misalnya, pada video akan
ditampilkan fenomena balon yang disimpan di tempat panas dan dingin. Pada tahap Fact
Finding, video menginstruksikan siswa untuk mendata fakta terkait dengan fenomena yang
ditampilkan pada tahap sebelumnya guna diidentifikasi lebih lanjut. Pada tahap Problem
Finding, video akan menampilkan permasalahan pada kedua fenomena tersebut. Dalam hal
ini siswa diajak untuk mengidentifikasi semua permasalahan yang disajikan. Pada tahap Idea
Finding, video akan menginstruksikan siswa untuk menemukan berbagai ide guna mengatasi
permasalahan yang disajikan. Pada tahap Solution Finding, video akan menginstruksikan
siswa untuk menentukan ide yang paling tepat sebagai solusi pada kedua fenomena yang
disajikan. Pada tahap Acceptance Finding, video akan menampilkan penjelasan dari kedua
fenomena yang disajikan. Dengan desain video tersebut, diharapkan kemampuan berpikir
kreatif siswa pada konsep teori kinetik gas akan menjadi lebih baik.

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi
experiment) dengan desain penelitian nonequivalent control grup design seperti pada Tabel
1. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMAN 9 Tangerang Selatan.
Pengambilan sampel ditentukan dengan teknik purposive sampling. Melalui teknik ini
ditentukan kelas XI MIA 4 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI MIA 5 sebagai kelas
kontrol. Sementara, teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu, pemberian tes
kemampuan berpikir kreatif berupa soal uraian dan pemberian angket.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

355
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 1. Desain Penelitian

Tes Awal Tes Akhir


Kelas Perla-kuan
(Pretest) (Posttest)
Eksperimen Y1 Xe Y2
Kontrol Y1 XK Y2

Keterangan :
Y1 : Tes awal (pretest)
Y2 : Tes akhir (posttest)
Xe : Video berbasis model Creative
Problem Solving (CPS)
XK : Pembelajaran konvensional

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian pada kelas kontrol maupun eksperimen diperoleh dari data pretest dan
posttest serta data angket dari kelas eksperimen. Hasil pretest dan posttest mendeskripsikan
kemampuan berpikir kreatif siswa pada aspek fluency, flexibility, originality dan elaboration.
Hasil tes kemampuan berpikir kreatif ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Hasil tes kemampuan berpikir kreatif
Pretest Posttest
Uraian Kelas
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Kelas Eksperimen
Kontrol
Nilai Terendah 35 31 45 39
Nilai Tertinggi 57 52 80 85
Rata-rata 46,7 38,25 61,3 72,15
Modus 44 35 80 85
Median 45 37 59 75
Standar Deviasi 7,13 5,51 9,72 12,64

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

356
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Adapun diagram kemampuan berpikir kreatif siswa di kelas kontrol dan eksperimen
dapat dilihat dari gambar 1 berikut.
Gambar 1. Diagram Tes Kemampuan Berpikir Kreatif

Berdasarkan Gambar 4.3 di atas, terlihat bahwa hasil kemampuan berpikir kreatif siswa
pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen mengalami peningkatan. Peningkatan paling
signifikan baik di kelas kontrol maupun kelas eksperimen terlihat pada indikator kemampuan
berpikir original (originality) dan merinci (elaboration). Kelas kontrol mengalami
peningkatan kemampuan berpikir original sebesar 22,7% dan merinci sebesar 22,8%.
Sementara, untuk kelas eksperimen mengalami peningkatan kemampuan berpikir original
sebesar 50,3% dan merinci sebesar 46,27%. Selain itu, diagram di atas juga menunjukkan
pada saat pretest, kemampuan berpikir kreatif siswa kelas kontrol lebih unggul dari kelas
eksperimen. Sementara untuk hasil posttest, kemampuan berpikir kreatif siswa kelas
eksperimen lebih unggul dibandingkan kelas kontrol.
Adapun uji statistik yang digunakan untuk mengetahui pengaruh video pembelajaran
berbasis model Creative Problem Solving (CPS) terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa
adalah uji nonparametrik Mann-Whitney dengan bantuan software SPSS 22. Hal ini
dikarenakan dari hasil penelitian, data pretest dan posttest kelas kontrol maupun eksperimen
memiliki varians yang sama (homogen) namun tidak terdistribusi normal. Dari perhitungan
tersebut, diketahui bahwa pada hasil posttest, nilai sig (2-tailed) < taraf signifikansi (0,05),
maka hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (H1) diterima. Dengan diterimanya
hipotesis alternatif (H1) pada pengujian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan video
berbasis model Creative Problem Solving (CPS) berpengaruh terhadap kemampuan berpikir
kreatif siswa pada konsep teori kinetik gas. Pengaruh video berbasis model Creative Problem
Solving (CPS) ini terlihat dari adanya peningkatan hasil kemampuan berpikir kreatif posttest
pada kelas eksperimen yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal ini senada
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwati yang menyatakan bahwa kemampuan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

357
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) lebih baik
daripada pembelajaran konvensional (Purwati, 2015).
Selain menggunakan uji nonparametrik Mann-Whitney, dalam penelitian ini juga
menggunakan uji N-Gain untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa
pada kelas kontrol dan eksperimen. Hasil perhitungan uji N-Gain dapat dilihat pada Tabel 3
berikut.
Tabel 3. Hasil Uji N-Gain

Kelas
Kelas Eksperimen
Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Kontrol
N-Gain Kategori N-Gain Kategori
Fluency 0,2 Rendah 0,61 Sedang
Flexibility 0,21 Rendah 0,59 Sedang
Originality 0,3 Sedang 0,62 Sedang
Elaboration 0,29 Rendah 0,54 Sedang

Berdasarkan Tabel 3, kelas eksperimen mengalami peningkatan indikator kemampuan


berpikir kreatif yang lebih unggul dibandingkan dengan kelas kontrol, yaitu pada indikator
fluency (lancar), flexibility (luwes), originality (original) dan elaboration (merinci). Kelas
eksperimen mengalami peningkatan indikator kemampuan berpikir kreatif dalam kategori
sedang. Sementara, pada kelas kontrol mengalami peningkatan indikator kemampuan berpikir
kreatif dalam rata-rata kategori rendah.
Jika dilihat lebih rinci, pada kemampuan berpikir lancar, kelas eksperimen lebih baik
dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal ini terjadi karena video berbasis model Creative
Problem Solving (CPS) mengajak siswa untuk menghasilkan banyak gagasan atau jawaban
dengan mengamati fenomena-fenomena terkait konsep teori kinetik gas. Jika biasanya
penyajian konsep teori kinetik gas hanya satu fenomena saja, namun pada video berbasis
model Creative Problem Solving (CPS) menampilkan dua fenomena yang berbeda terhadap
satu sama lain, sehingga dapat merangsang siswa untuk menghasilkan banyak gagasan atau
jawaban. Hal ini senada dengan pendapat Minarty dkk, yang menyatakan bahwa penayangan
fenomena dapat menimbulkan rasa ingin tahu siswa untuk memberikan pertanyaan dan
jawaban dari fenomena yang disajikan. Artinya, penyajian fenomena atau konsep melalui
video mampu menstimulus siswa dalam mengemukakan pendapatnya. Hal ini senada dengan
pernyataan Yudhi Munadi yang mengungkapkan bahwa konsep yang disampaikan lewat
video salah satunya dapat mengembangkan pikiran dan pendapat para siswa. Hal ini juga
didukung dari hasil angket respon siswa yang tidak setuju dengan pernyataan bahwa video
berbasis model Creative Problem Solving (CPS) tidak melatih untuk mengungkapkan
beragam gagasan atau pendapat terkait teori kinetik gas. Artinya, siswa menganggap penyajian
konsep teori kinetik gas menggunakan video berbasis model Creative Problem Solving (CPS)
dapat melatih untuk mengungkapkan beragam gagasan atau pendapat.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

358
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Video berbasis model Creative Problem Solving (CPS) juga dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif siswa pada indikator berpikir luwes.Peningkatan kemampuan
berpikir luwes ini dikarenakan dalam video terdapat visualisasi berupa animasi pergerakan
konsep teori kinetik gas yang tidak dapat dilihat secara kasat mata (misalnya, partikel).
Animasi tersebut dapat membantu siswa dalam menafsirkan masalah, sehingga siswa lebih
memahami masalah yang disajikan. Hal ini senada dengan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Indra Sakti yang menyatakan bahwa visualisasi animasi dapat memperjelas
pengamatan siswa dan meningkatkan pemahaman siswa.
Selain animasi, peningkatan kemampuan berpikir luwes ini juga dikarenakan video
berbasis model Creative Problem Solving (CPS) menyajikan penjelasan dari persoalan konsep
teori kinetik gas dengan berbagai cara, sehingga siswa mampu memecahkan masalah dengan
berbagai penyelesaian. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Aziz
Saefudin yang menyatakan siswa akan lebih mudah dalam memecahkan masalah jika siswa
terbiasa menyelesaikannya dengan berbagai penyelesaian. Hal ini juga didukung oleh hasil
angket respon siswa yang menyetujui pernyataan penjelasan konsep teori kinetik gas melalui
video berbasis model Creative Problem Solving (CPS) mempermudah dalam menghasilkan
jawaban yang bervariasi dalam menyelesaikan persoalan terkait teori kinetik gas.
Selanjutnya, pada indikator kemampuan berpikir original kelas eksperimen mengalami
peningkatan yaitu, sebesar 0,62. Peningkatan kemampuan siswa pada indikator ini
disebabkan karena pada salah satu tahapan model Creative Problem Solving (CPS) yaitu idea
finding, siswa dilatih menuangkan ide-ide kreatifnya untuk menemukan solusi dari
permasalahan yang disajikan, sehingga siswa mampu melahirkan cara-cara baru dalam
memecahkan masalah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani
yang mengungkapkan bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengemukakan ide kreatifnya
dalam menyelesaikan suatu permasalahan (Oktaviani dkk, 2015). Hal ini juga senada dengan
pendapat Miftahul Huda yang mengungkapkan bahwa model Creative Problem Solving
(CPS) lebih mengembangkan kemampuan berfikir siswa karena memberi keleluasaan kepada
siswa untuk mencari arah penyelesaiannya sendiri. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Bilal
yang mengungkapkan bahwa penerapan model Creative Problem Solving (CPS) mendorong
siswa untuk menghasilkan banyak ide-ide yang bervariasi dan kreatif.
Selain dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa pada indikator berpikir
lancer, luwes dan original, video berbasis model Creative Problem Solving (CPS) juga dapat
meningkatkan kemampuan berpikir merinci (elaboration). Kemampuan berpikir merinci ini
dapat meningkat dikarenakan video berbasis model Creative Problem Solving (CPS)
disajikan secara sistematis. Artinya, video disusun berdasarkan tahapan-tahapan model
Creative Problem Solving (CPS), yaitu objective finding, fact finding, problem finding, idea
finding, solution finding, serta acceptance finding. Pada tahap objective finding, siswa
diberikan stimulus dengan cara menayangkan fenomena-fenomena terkait konsep teori
kinetik gas melalui video. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penayangan
fenomena melalui video dapat menimbulkan rasa ingin tahu siswa, sehingga mampu

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

359
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

merangsang siswa untuk menghasilkan banyak gagasan atau jawaban.


Pada tahap fact finding, siswa diajak untuk mendata fakta-fakta yang terdapat pada
fenomena, sehingga siswa mampu mengklasifikasikan informasi-informasi terkait fenomena
tersebut. Pada tahap problem finding, siswa diberikan permasalahan baru terkait konsep
teori kinetik gas, sehingga siswa mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya. Hal ini
dikarenakan pada tahap problem finding, siswa diberikan kesempatan untuk dapat
menentukan langkah sendiri dalam memecahkan masalah. Pada tahap idea finding, siswa
diajak untuk menuangkan ide-ide kreatifnya, sehingga siswa dilatih menemukan beragam cara
dalam menyelesaikan masalah. Pada tahap solution finding, siswa diinstruksikan untuk
menentukan solusi dari permasalahan yang disajikan. Pada tahap ini, siswa dilatih untuk
mengevalusasi ide-ide yang dihasilkan pada tahap sebelumnya untuk dijadikan solusi paling
tepat dari permasalahan tersebut. Pada tahap acceptance finding, siswa diberikan penjelasan
melalui video, sehingga mempermudah siswa dalam memecahkan masalah dengan berbagai
penyelesaian. Adanya kesistematisan dalam video berbasis model Creative Problem Solving
(CPS) ini membuat siswa mudah untuk menyelesaikan permasalahan secara terperinci. Hal
ini terlihat dari hasil angket respon siswa yang tidak setuju dengan pernyataan bahwa urutan
penyajian konsep teori kinetik gas melalui video berbasis model Creative Problem Solving
(CPS) mempersulit dalam menyelesaikan permasalahan secara terperinci. Artinya, siswa
menganggap bahwa urutan penyajian konsep teori kinetik gas melalui video berbasis model
Creative Problem Solving (CPS) mempermudah dalam menyelesaikan permasalahan secara
terperinci.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa video berbasis model Creative
Problem Solving (CPS) berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa pada
konsep teori kinetik gas. Pengaruh tersebut dapat dilihat pada hasil uji hipotesis statistik data
posttest yang menyatakan bahwa Sig. (2-tailed) (0,035) < nilai taraf signifikansi (0,05).
Selain itu, pada hasil uji N-Gain, kelas eksperimen mengalami peningkatan indikator
kemampuan berpikir kreatif yang lebih unggul dibandingkan dengan kelas kontrol. Hasil ini
juga didukung dengan angket respon siswa yang menunjukan bahwa pembelajaran
menggunakan video berbasis model Creative Problem Solving (CPS) berada dalam kategori
baik.

Daftar Pustaka

Al-khatib, Adel Bilal. 2012. The Effect of Using Brainstorming Strategy in Developing
Creative Problem Solving Skills among Female Students in Princess Alia
University College. American International Journal of Contemporary Research.
Vol. 2 No.10.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

360
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hariawan, dkk. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving Terhadap
Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Pada Siswa Kelas XI SMAN 4 Palu.
Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako. Vol. 1 No.2.
Huda, Miftahul. 2012. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Munadi, Y. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta : Gaung Persada.
Munandar, U. 2012. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Oktaviani dkk. 2015. Penerapan Model Creative Problem Solving pada Pembelajaran Kalor
Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Komunikasi. Unnes
Physics Education Journal.
Purwati, 2015. Efektifitas Pendekatan Creative Problem Solving (CPS) terhadap
Pemecahan Masalah Matematika Pada Siswa SMA. Jurnal Ilmiah Edukasi
Matematika (JIEM). Vol. 1/No.1/ April 2015. ISSN: 977-2442-8780-11.
Rahmawati, Shinta. 2013. Mencetak Anak Cerdas Dan Kreatif. Jakarta : PT Kompas Media
Nusantara.
Richard, dkk. 2015. Global Creativity Indeks. Toronto : Martin Prosperity Institute
Sakti, Indra. 2013. Pengaruh Media Animasi Fisika Dalam Model Pembelajaran Langsung
(direct instruction) Terhadap Minat Belajar dan Pemahaman Konsep Fisika
Siswa di SMA Negeri Kota Bengkulu. Prosiding Semirata FMIPA Universitas
Lampung.
Saefudin, Abdul. 2012. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Dalam
Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI). Al-Bidayah. Vol 4 No. 1, Juni 2012.
Sudjana.2009. Metoda Statistika Cet.5. Bandung : Tarsito
Sugiyono.2007. Statistik Nonparametrik untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta.
Yeni dan Euis. 2010. Strategi Pengembangan Kreativitas Pada Anak Usia Taman Kanak-
Kanak. Jakarta : Prenada Media Grup.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

361
Naifatul Musyarrofah, Muhamad Firdaus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: Naifatul.musyarrofah15@mhs.uinjkt.ac.id, fery.firdaus@uinjkt.ac.id
Abstrak. Studi pustaka ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengunaan komik online sebagai media
pembelajaran abad 21. Suatu pembelajaran dikatakan berhasil saat peserta didik dapat mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Guru memiliki peran besar dalam pencapaian tujuan, karena guru
adalah orang yang merancang segala sesuatu yang akan dilakukan dalam suatu pembelajaran dikelas.
Peran guru dalam mencapai tujuan didukung pula oleh media yang digunakan saat pembelajaran.
Pemilihan media pembelajaran haruslah disesuaikan dengan karakteristik siswa dan harus mengikuti
perkembangan zaman. Pada abad ke 21 segala hal berkembangan dengan sangat pesat, begitu pun
pendidikan. Pada dunia pendidikan abad 21 banyak inovasi baru dalam pembelajaran untuk
mengembangkan intelektual peserta didik. Banyak hal yang dapat dengan mudah diakses melalui
sosial media, maka seorang pendidik pun harus dapat memanfaatkan perkembangan zaman.
Penggunaan media komik online dapat dikolaborasikan dengan beberapa startegi, model, metode
pembelajaran yang disesuaikan dengan karakter, usia, dan materi yang akan diajarkan. Dalam proses
pembelajaran media komik online dapat berfungsi sebagai sumber belajar dan soal untuk mengukur
ketercapaian pembelajaran tersebut. Penggunaan media komik online menjadi inovasi baru dalam
dunia pendidikan yang dapat meningkatkan minat belajar siswa.
Kata kunci: Komik Online, Pembelajaran Abad 21

Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan seseorang baik dari keluarga, masyarakat dan bangsa. Menurut Jhon Dewey (Jalaludin dan
Abdullah, 2018:7) “Pendidikan adalah suatu proses pembentukkan kemampuan dasar yang
fundamental, yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya rasa (emosi) manusia”. Tujuan
pendidikan nasional menurut undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Pendidikan dasar menurut peraturan pemerintah No. 47 tahun 2008 tentang wajib belajar
menyatakan bahwa “Jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS), atau bentuk lain yang sederajat”.
Pada proses pembelajaran sering kali terdapat hambatan dalam mencapai tujuan
pembelajaran, sepertinya rendahnya hasil belajar siswa yang disebebakan oleh rendahnya minat
belajar siswa. Agar siswa lebih termotivasi untuk belajar, maka diperlukan guru yang kreatif dalam

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

memilih media, metode, serta pendekatan yang tepat sesuai dengan materi dan kondisi siswa,
sehingga proses pembelajaran menjadi berkualitas, efisien, dan menyenangkan.
Dalam proses pembelajaran guru memerlukan alat bantu yang dapat memfasilitasinya dalam
menyampaikan materi. Alat bantu tersebut dapat berupa media pembelajaran. Media pembelajaran
adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana
sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses
belajar secara efisien dan efektif (Munadi, 2008: 7-8)
Menurut Hamalik (Arsyad, 2004: 16) mengemukkan bahwa pemakaian media
pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru,
membangkitkan motivasi dan menjadi stimulus kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-
pengaruh psikologi terhadap siswa. Selain itu penggunaan media pembelajaran sesuai denga karakter
anak usia sekolah dasar yang dikemukakan oleh Banet, dkk. (Haji, 2015: 56), antara lain sebagai
berikut:
1. Mereka secara alamiah memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan tertarik akan dunia sekitar yang
mengelilingi diri mereka sendiri
2. Senang bermain dan lebih suka bergembira
3. Suka mengatur dirinya untuk menangani berbagai hal, mengekplorasi suatu situasi dan mencoba
usaha-usaha baru
4. Biasanya tergetar perasaannya dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka
mengalami ketidakpuasan dan menolak kegagalan-kegagalan
5. Belajar secara efektif ketika merasa puas dengan situasi yang terjadi
6. Belajar dengan cara bekerja, mengobservasi, berinisitif dan mengajar anak-anak lainnya.
Berdasarkan uraian diatas maka penggunaan media pembelajaran sangatlah efektif, karena
sesuai dengan karakteristis peserta didik. Media pembelajaran juga dapat membantu siswa
meningkatkan pemahaman, menyajikan data yang menarik, memudahkan penafsiran data dan
memadatkan informasi. Dalam proses belajar mengajar, fungsi media menurut Sudjana
(Fathurrohman dan Sobry, 2007: 66), yakni:
1. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi
mempunyai fungsi sendiri sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang
efektif
2. Penggunaan media pengajaran merupakan bagian yang integral dari keseluruhan situasi
mengajar. Ini berarti bahwa media pengajaran merupakan salah satu unsur yang harus
dikembangkan guru
3. Media dalam pengajaran, penggunaannya bersifat integral dengan tujuan dan isi pelajaran
4. Penggunaan media dalam pengajaran bukan semata-mata sebagai alat hiburan yang digunakan
hanya sekedar melengkapi proses belajar supaya lebih menarik perhatian siswa
5. Penggunaan media dalam pengajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses belajar
mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru
6. Penggunaan media dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi mutu belajar mengajar.
Setiap peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, oleh karena itu guru harus
mengetahui gaya belajar siswanya, agar dapat memilih media pembelajaran yang sesuai. Berdasarkan
gaya belajar siswa, terbagi atas gaya visual, gaya audio, dan gaya kinestetik. Sebagian besar siswa
memiliki gaya belajar visual. Salah satu media visual yang dapat digunakan oleh guru adalah komik.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

363
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dengan menggunakan media komik dalam pembelajaran maka akan sangat efektif dan efisien, serta
menjadikan pembelajaran lebih menyenangkan bagi siswa. Selain itu komik merupakan salah satu
media visual yang cukup digemari oleh anak-anak. Gambar-gambar unik yang terdapat dalam komik
juga dapat menarik perhatian siswa untuk memahami materi pelajaran yang menjadi isi cerita komik
tersebut.
Abad 21 merupakan abad pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Segala bidang mendapatkan dampak dari pesatnya kemajuan teknologi pada abad 21, termasuk
bidang pendidikan. Oleh karena itu dalam kegiatan pembelajaran haruslah mengikuti perkembangan
zaman dengan cara memanfaatkan eknologi informasi dan komunikasi, seperti berinovasi
menggunakan komik online sebagai media pembelajaran.

Pembahasan
Komik berasal dari bahasa Perancis yaitu „comique‟, yang sebagai kata sifat artinya lucu atau
menggelikan dan sebagai kata benda artinya pelawak atau badut. Comique sendiri berasal dari bahasa
Yunani yaitu komikos (Fatra. 2008: 64). Komik adalah suatu bentuk media komunikasi visual yang
mempunyai kekuatan untuk menyampaikan informasi secara populer dan mudah dimengerti
(Waluyanto, 2005:51). Hal ini dimungkinkan karena komik memadukan kekuatan gambar dan
tulisan yang dirangkai dalam suatu alur cerita gambar membuat informasi lebih mudah diserap. Teks
membuatnya lebih dimengerti, dan alur membuatnya lebih mudah untuk diikuti dan diingat.
Komik merupakan media pembelajaran yang unik. Komik menggabungkan teks dan gambar
dalam bentuk yang kreatif. Menurut Scott Mc Cloud (Mediawati, 2011: 63) komik adalah media
yang sanggup menarik perhatian semua orang dari segala usia, karena memiliki kelebihan, yaitu
mudah dipahami. Gambar yang sederhana di tambah kata-kata dalam bahasa sehari-hari membuat
komik dapat dibaca oleh semua orang. Jadi komik merupakan media alternatif yang tepat untuk
digunakan dalam pembelajaran. Selain itu karena keterlibatan emosi saat membaca komik akan
sangat mempengaruhi memori dan daya ingat akan materi pelajaran yang didapat.
Komik merupakan suatu bentuk bacaan di mana peserta didik diharap dapat mau membaca
tanpa perasaan terpaksa/harus dibujuk. Hal ini tentunya tidak terlepas dari anggapan bahwa cerita
komik lebih mudah dicerna dengan bantuan gambar yang ada di dalamnya (Listiyani, 2012: 82).
Gambar dalam komik biasanya berbentuk atau berkarakter gambar kartun. Ia mempunyai sifat yang
sederhana dalam penyajiannya, dan memiliki unsur urutan cerita yang memuat pesan yang besar
tetapi disajikan secara ringkas dan mudah dicerna, terlebih lagi ia dilengkapi dengan bahasa verbal
yang dialogis. Dengan adanya perpaduan antara bahasa verbal dan nonverbal ini, mempercepat
peserta didik paham terhadap isi pesan dimaksud, karena peserta didik terbantu untuk tetap fokus
dan tetap dalam jalurnya
Jadi dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa media komik adalah suatu alat
atau bahan atau sumber belajar yang berisikan cerita-cerita sederhana disertai dengan gambar dan
bahasa verbal yang dialogis, yang disajikan secara singkat dan mudah dicerna serta di gemari oleh
anak-anak, yang dapat menarik minat dan perhatian siswa dalam belajar serta menyampaikan pesan
atau materi pembelajaran dari guru ke siswa.
Sebagai media visual, komik juga mempunyai kelebihan maupun kelemahan dalam
pembelajaran. Kelebihan media komik, disamping sifat-sifat komik yang khas, harus diakui

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

364
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

efektivitas media dalam pembelajaran merupakan segi yang menguntungkan dalam pendidikan.
Hurlock (Hadi, 2013: 10) menjelaskan argumen yang menguntungkan komik, yaitu:
a. Komik membekali dengan kemampuan membaca yang menyenangkan
b. Komik dapat digunakan untuk memotivasi siswa mengembangkan keterampilan membaca
c. Prestasi pendidikan yang dicapai siswa yang sering membaca komik hampir identik dengan
mereka yang jarang membacanya
d. Siswa diperkenalkan dengan kata-kata yang luas, banyak kata yang dijumpainya lagi dalam
bacaan lain
e. Buku komik menyediakan teknik bagus untuk menyebarluaskan propaganda yang menentang
prasangka
f. Komik memberi siswa sumber katarsis emosional bagi emosi yang tertahan
g. Siswa mungkin mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh buku komik yang memiliki sifat
yang dikaguminya.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa komik efektif digunakan oleh siswa, sehingga dapat
mengembangkan minat baca dan dapat melatih daya imajinasinya agar kelak menjadi manusia yang
kreatif. Media komik disamping mempunyai kelebihan juga memiliki kekurangan tertentu. Hurlock
(Hadi, 2013: 10) menjelaskan argumen yang menentang komik adalah:
a. Komik mengalihkan perhatian anak dari bacaan lain yang lebih berguna
b. Karena gambar menerangkan cerita, anak yang kurang mampu membaca tidak akan berusaha
membaca teks
c. Lukisan, cerita dan bahasa kebanyakan komik bermutu rendah
d. Komik menghambat anak melakukan bentuk permainan lainnya
e. Dengan menggambarkan perilaku anti sosial, komik mendorong tumbuhnya agresivitas dan
kenakalan remaja pada anak
f. Komik menjadikan kehidupan yang sebenarnya menjadi membosankan dan tidak menarik.
Komik dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang dapat digunakan di sekolah
dengan dibarengi oleh strategi atau metode pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan
dipelajari oleh siswa. Guru bisa memilih strategi pembelajaran yang cocok dengan materi yang akan
diajarkan dan sesuai dengan karakteristik siswa. Dengan begitu tujuan pembelajaran dapat tercapai
optimal. Berikut beberapa kelebihan penggunaan media komik dalam pembelajaran, yaitu:
1. Komik memiliki sifat yang sederhana dalam penyajiannya
2. Memiliki unsur urutan cerita yang memuat pesan yang besar tetapi disajikan secara ringkas
dan mudah dicerna
3. Dilengkapi dengan bahasa verbal yang dialogis
4. Dengan adanya perpaduan antara bahasa verbal dan non verbal, dapat mempercepat pembaca
memahami isi pesan yang dibacanya, karena pembaca terbantu untuk tetap fokus dan tetap
pada jalurnya
5. Ekspresi yang divisualisasikan membuat pembaca terlibat secara emosional, mengakibatkan
pembaca ingin terus membacanya hingga selesai
6. Selain sebagai media pembelajaran, komik juga dapat berfungsi sebagai sumber belajar
(Zulkifli, 2008:21).
Dalam pembuatan sebuah komik terdapat dua cara yang dapat digunakan, yaitu dengan cara
manual dan digital. Proses membuat komik dengan cara manual ini bisa disebut juga sebagai manual

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

365
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

production dalam pembuatan komik ini seluruhnya dilakukan secara manual. Disebut demikian
karena dalam proses pembuatannya mulai dari sket, proses penulisan teks pada balon teks, layout
sampai dengan finishing semuanya dilakukan dengan manual drawing tanpa bantuan komputer sama
sekali, sehingga bagi orang-orang yang tidak memiliki kemampuan atau bakat dalam menggambar
akan sulit berprofesi sebagai seorang komikus. Selanjutnya adalah dengan cara digital, untuk kategori
ini berarti seluruh prosesnya dilakukan secara digital, sehingga kategori ini sering disebut juga sebagai
digital production. Sehingga seluruh proses pembuatannya mulai dari sket, proses penulisan teks
pada balon teks, layout sampai dengan finishing semuanya dilakukan secara digital dengan bantuan
komputer dan perangkat penunjang dari proses digital tersebut (Maharsi, 2011: 110-119). Dalam
pembuatan komik harus memenuhi beberapa unsur-unsur (Ignas, 2014: 7-9), yaitu:
1. Panel
Panel adalah kotak yang berisi ilustrasi dan teks yang nantinya membentuk sebuah alur
cerita. Panel bisa dikatakan sebagai frame atau representasi dari kejadian-kejadian utama dari
cerita yang terdapat dalam komik tersebut. Panel ini juga berfungsi sebagai ruang tempat
diletakannya gamba-gambar sehingga akan tercipta suatu alur cerita yang ingin disampaikan
kepada pembaca.
2. Sudut pandang dan ukuran gambar dalam panel.
a. Sudut pandang
Terdapat lima macam sudut pandang dalam komik, yaitu: (1) Bird Eye View, (2) High
Angle, (3) Low Angle, (4) Eye Level, dan (5) Frog Eye.
b. Ukuran gambar dalam panel
Ukuran gambar dalam panel atau frame size dikemas berdasarkan kebutuhan adegan
yang ditampilkan, hal ini karena masing-masing gambar yang dihasilkan memiliki maksud
maupun makna tertentu. Ukuran gambar dalam panel antara lain close up, extreme close up,
medium close up, long shot, dan extreme long shot.
3. Parit atau gang
Parit adalah ruang di antara panel dan berfungsi sebagai pembatas, atau jarak yang
menjembatani antara satu panel dengan panel lainnya.
4. Balon kata
Balon kata merupakan representasi dari pembicaraan atau narasi dari peristiwa yang
sedang terjadi, atau keadaan yang sedang digambarkan dalam panel tersebut. Secara garis besar,
balon kata dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:
a. Balon ucapan
Dalam komik representasi, ucapan ini berbentuk seperti gelembung dengan penunjuk
arah yang disebut ekor yang mengarah pada tokoh yang mengucapkan kata-kata tersebut.
b. Balon pikiran
Balon ini dipakai untuk mempresentasikan pemikiran tokoh dalam komik. Pemikiran
berarti sebatas hanya kata-kata dalam batin saja. Visualisasi balon pikiran ini bentuknya
seperti rantai yang saling menyambung.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

366
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

c. Caption
Secara umum dipakai untuk pengisahan atau penjelasan naratif non-dialog. Biasanya
berupa penjelasan situasi, adegan, atau setting lokasinya.
5. Huruf bunyi
Disebut juga sound lettering. Huruf bunyi ini digunakan untuk mendramatisasi sebuah
adegan. Huruf bunyi ini juga digunakan untuk menunjukkan suara-suara yang terjadi dalam
cerita tersebut, misalnya suara angin, suara ranting patah, suara bel dan sebagainya.
6. Ilustrasi
Ilustrasi adalah seni gambar yang dipakai untuk memberi penjelasan atas suatu tujuan atau
maksud tertentu secara visual. Ilustrasi sangat dekat sekali kaitannya dengan komik, bedanya
ilustrasi hanya terdiri dari beberapa gambar yang melukiskan isi dari suatu cerita, namun komik
adalah gambar-gambar yang memvisualkan keseluruhan isi cerita. Ilustrasi juga dikatakan
sebagai gambaran pesan yang tak terbaca, namun bisa menguasai cerita.
Komik yang dibuat dengan cara digital production, biasanya lebih memudahkan setiap
kalangan untuk dapat membuat komik sesuai dengan kebutuhan dan kreativitas masing-masing.
Setelah komik selesai dibuat maka komik tersebut dapat dipublikasikan melalui media sosial atau
internet dengan jangkauan yang sangat luas dan tidak terbatas, komik ini dinamakan komik online
(Web Comic). Pada kesempatan kali ini membuat komik online menggunakan Toondoo. Toondoo
adalah sebuah aplikasi komik onlie gratis yang dapat diakses oleh semua kalangan. Cara pembuatan
komik online, yaitu :
1. Mengakses link toondoo (http://www.toondoo.com)
2. Mendaftarkan diri dengan klik “Sign Up for Free”
3. Kemudian kiln “Sign Up for Toondoo”
4. Isilah form yang tersedia. Jika sudah terisi maka silahkan cek email.
5. Kemudian login, setelaha berhasil maka saatnya untuk membuat komik
6. Klik “Toons” kemudian pilih “Creat Toon”
7. Lalu pilihlah bentuk atau layout komik yang diinginkan, kemudian klik dua kali pada
bentuk yang diinginkan
8. Selanjutnya klik “Bagrounds”, kemudian pasang dengan cara klik gambar dan tarik ke layar
9. Setelah itu memilih tokoh yang diinginkan dalam komik. Klik “ Characters” kemudian tarik
tokoh yang diinginkan ke layar
10. Kemudian klik “Texts” kemudian tarik kelayar letakkan diman ayang dikendaki, lalu
tambahkan teks percakapan sesuai dengan materi yang akan diajarkan,
11. Lalukan seperti cara diatas hingga komik selesai dibuat
12. Jika komik sudah selesai, selanjutnya klik “save”, ketik judul dan deskripsi dari komik yang
telah dibuat, lalu klik “publish”
13. Jika ingin langsung dicetak maka klik “print toon”
14. Naum jika ingin menyimpannya klik “go to page”
15. Selain itu hasil komik yang telah dibuat dapat di “ publish” ke media sosial
16. Selanjutnya publish untuk dicetak atau disimpan berupa gambar yang akan dibagikan
kepada siswa. (Yusuf, 2014)

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

367
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penggunaan komik online sebagai media pembelajaran dapat kolaborasikan dengan strategi,
metode, ataupun model pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik dan materi yang akan
disampaikan oleh guru. Komik online ini dapat berfungsi sebagai sumber belajar siswa. Guru
meminta siswa untuk membaca komik online terlebih dahulu, kemudian guru dapat menanyakan
informasi apa yang didapat oleh siswa setelah membaca komik tersebut. Setelah itu guru dapat
memberikan penguatan atas jawaban dari siswa. Selain itu komik online ini dapat berfungsi sebagai
cara untuk mengukur kemampuan siswa setelah guru menyampaikan materi, dengan cara guru
memberikan soal-soal cerita yang ditampilkan dalam bentuk komik. Sehingga siswa dapat lebih
mudah memahami dan menyelesaikan masalah yang tersedia pada komik yang diberikan oleh guru.
Komik online dapat dipilih sebagai media pembelajaran. Dengan media berbasis online ini
maka media ini menyesuaikan dengan perkembangan zaman pada abad 21 ini. Dengan penggunaan
media ini maka akan dapat meningkatkan minat belajar peserta didik. Sehingga hal tersebut dapat
meningkatkan pemahaman konsep dalam memahami setiap materi dalam pembelajaran seperti halnya
memahami soal cerita mengenai pecahan.

Penutup
Berdasarkan studi pustaka ini, dapat disimpulkan bahwa penggunaan komik online sebagai
media pembelajaran abad 21, dapat dikolaborasikan dengan beberapa startegi, model, metode
pembelajaran yang disesuaikan dengan karakter, usia, dan materi yang akan diajarkan. Dalam proses
pembelajaran media komik online dapat berfungsi sebagai sumber belajar dan soal untuk mengukur
ketercapaian pembelajaran tersebut. Penggunaan media komik online menjadi inovasi baru dalam
dunia pendidikan yang dapat meningkatkan minat belajar siswa, sehingga dapat mencapai tujuan
pendidikan nasional Indonesia.

Daftar Pustaka
Arsyad, Azhar. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Fathurrohman, Pupuh dan Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar (Strategi Mewujudkan
Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami). Bandung:
PT Refika Aditama, 2007.
Fatra, Maifalinda. Penggunaan KOMAT (Komik Matematika) pada Pembelajaran Matematika di
MI, Algoritma. Vol. 3. 2008.
Hadi, Syaiful, “Pembelajaran Konsep Pecahan Menggunakan Media Komik Dengan Strategi
Bermain Peran Pada Siswa SD Kelas IV Semen Gresik”, 2013.
Haji, Sun. Pembelajaran Tematik Yang Ideal di SD/MI. Vol. 3, 2015.
Ignas, Membuat Komik Strip Online Gratis. Yogyakarta: Andi Offset, 2014.
Jalaluddin dan Abdullah. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan . Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2012.
Listiyani ,Indriana Mei. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Pengembangan Komik Sebagai
Media Pembelajaran Akuntansi Pada Kompetensi Dasar Persamaan Dasar Akuntansi Untuk
Siswa SMA Kelas XI. Vol. X. 2012.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

368
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Maharsi, Indiria. Komik Dunia Kreatif Tanpa Batas. Yogyakarta: Kata Buku, 2011.
Mediawati, Elis. Jurnal penelitian pendidikan. Pembelajaran Akuntansi keuangan Melalui Media
Komik Untuk Meningkatkan Prestasi Mahasiswa. Vol 12, 2011.
Munadi, Yudhi, Media Pembelajaran (Sebuah Pendekatan Baru). Ciputat: Gaung Persada Press,
2008.
Peraturan pemerintah RI No. 47 tahun 2008 tentang Wajib belajar. Bandung: Citra Umbara, 2009.
Undang-undang republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bandung: Citra Umbara, 2009.
Waluyanto, Heru Dwi. Jurnal Nirmana. Komik Sebagai Media Komunikasi Visual Pembelajaran.
Vol. 7. 2005.
Yusuf, Yasin. Yuk Membuat Komik Online Sebagai Media Pembelajaran. 2014.
(http://yasinyusufblog.wordpress.com). [29 April2018].
Zulkifli. “Pengaruh Media Komik Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Konsep Reaksi
Redoks”. Skripsi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2008.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

369
Nengsih Juanengsih, Ainul Hidayati, Baiq Hana Susanti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: nengsih.juanengsih@uinjkt.ac.id, ermayaramadani@gmail.com, baiq.hana@uinjkt.ac.id

Abstract. A Media is one of the critical success factors of learning. From a variety of learning media
that can be used to convey messages, online comic media is a medium that is rarely used. The
purpose of this study is to determine the improvement of learning achievement on the concept of
Monera with the use of online comic media. The research was conducted in one of the State Senior
High Schools in Jakarta in the odd semester of 2016/2017. The research method used is pre-
experimental with the one group pre-test-post-test design. The sample is 35 students as experiment
class. The instrument used in the form of objective test of multiple choice form which has been
tested its validity and reliability and questionnaire to know the interest and opinions of students
about online comic media. The results showed there was an increase in learning achievement (N-
Gain) of 0.49 medium category. There were 58.82% of the students felt interested in using online
comic media in learning and 70.58% stated online comic media very practical to use. However 56%
of students stated the material in comic media is difficult to understand because the concept of
Monera is an abstract concept.

Keywords: online comic media, learning achievement, Monera

Pendahuluan
Konsep Monera merupakan salah satu pokok bahasan dalam mata pelajaran Biologi di
SMA/MA semester ganjil yang dianggap sulit oleh peserta didik dikarenakan banyak kata-kata
dalam bahasa Latin. Hal ini menyebabkan lebih dari 50% peserta didik memperoleh nilai di bawah
KKM (nilai 75). Pembelajaran Monera selama ini masih bersumber hanya pada buku teks yang
digunakan di sekolah. Padahal pada umumnya peserta didik cenderung tidak menyukai buku teks
apalagi yang tidak disertai gambar dan ilustrasi yang menarik, dan secara empirik peserta didik
cenderung menyukai buku gambar, penuh dengan warna, dan divisualisasikan dalam bentuk realistis
dan kartun (Puspitorini dkk, 2014). Oleh sebab itu untuk mengatasi rendahnya prestasi belajar
peserta didik pada konsep Monera diperlukan media pembelajaran yang tepat. Media dapat
membantu proses pembelajaran di kelas karena membantu guru untuk mempermudah
menyampaikan materi dan membuat pembelajaran lebih menarik sehingga peserta didik fokus
memperhatikan materi.
Media yang digunakan untuk memperlancar komunikasi belajar mengajar disebut media
instruksional edukatif (Rohani, 1997). Media instruksional edukatif seperti komik mempunyai sifat
yang sederhana, jelas, mudah, dan bersifat personal. Komik diterbitkan dalam rangka tujuan
komersial, dan edukatif (meski tidak semua komik bersifat edukatif). Komik adalah suatu kartun
yang mengungkapkan suatu karakter dan memerankan suatu cerita dalam urutan yang erat,
dihubungkan dengan gambar dan dirancang untuk memberikan hiburan kepada para pembaca.
Komik adalah suatu bentuk berita bergambar, terdiri atas berbagai situasi cerita bersambung, kadang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

bersifat humor. Perwatakan lain dari komik adalah harus dikenal agar kekuatan medium dapat
dihayati (Rohani, 1997).
Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya manfaat penggunaan media komik, Penelitian yang
dilakukan oleh Cheesman (2006) membuktikan bahwa komik dapat membuat peserta didik berfikir
tentang sains dengan pendekatan yang berbeda yang juga dapat memperkenalkan isu sains dengan
visual yang menarik. Dengan komik, sains dapat menjadi lebih menarik daripada hanya menghafal
materi untuk ujian. Hasil penelitian Yang
(2008) menjelaskan bahwa kekuatan komik dalam pendidikan adalah bahwa mereka memotivasi,
visual, permanen, populer, dan dapat bertindak sebagai jembatan perantara untuk membantu siswa
memahami konsep yang sulit melalui kombinasi gambar dan kata-kata. Puspitorini dkk (2014)
menemukan bahwa media komik mampu meningkatkan motivasi, hasil belajar kognitif, dan hasil
belajar afektif. Fatimah dan Widiyatmoko (2015) menemukan bahwa pengembangan science comic
sebagai media pembelajaran dapat membantu siswa dalam memahami materi IPA secara mudah
dengan tampilan yang menghibur. Tribull (2017) menyatakan bahwa komik sains memiliki lima
kualitas yaitu dapat memotivasi, visual, permanen, perantara, dan populer.
Penggunaan media komik online belum dimanfaatkan dalam pembelajaran konsep Monera.
Dalam penelitian ini dikembangkan media komik yang berisi materi tentang konsep Monera dan
kemudian dijadikan online. Komik online bisa dijadikan langkah awal untuk mempublikasikan
komik-komik dengan biaya yang relatif lebih murah dibanding media cetak lainnya (Haryono,
2015).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar konsep Monera dengan
penggunaan media komik online. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi guru,
yaitu memberikan masukan yang positif bagi guru dalam memilih media pembelajaran yang inovatif
dan kreatif dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Metode
Metode pengembangan media komik online terdiri dari 5 tahapan yaitu (1) Tahap Analisis,
dimulai dari menetapkan tujuan pengembangan media komik serta pemilihan materi yang akan
disajikan ke dalam media komik berdasarkan kompetensi dasar dan indikator pembelajaran. Tujuan
pengembangan media komik adalah sebagai alat bantu bagi peneliti dalam menyajikan materi konsep
Monera. (2) Tahap Desain, dilakukan perancangan alur media komik mulai dari pembuatan
storyboard. (3) Tahap Pengembangan, tahap pelaksanaan produksi pembuatan media komik. Pada
tahap ini media komik dikembangkan sesuai storyboard. Pembuatan media komik menggunakan
aplikasi adobe ilustrasi. Media komik online terdiri dari 16 halaman yang menjelaskan mengenai sub
konsep eubacteria. (4) Tahap Penilaian (Judgement) Media, merupakan tahap penilaian media
komik yang dilakukan berdasarkan aspek media dan aspek materi kepada ahli media dan materi. (5)
Tahap Implementasi, merupakan tahap ujicoba media komik setelah pada tahap penilaian
diputuskan layak untuk digunakan. Pada tahap ini, media komik digunakan pada proses
pembelajaran di kelas eksperimen sesuai dengan rancangan desain penelitian yang dibuat.
Metode dan desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-experimental
dengan the one group pre-test-post-test design (Cohen dkk, 2011). Sampel penelitian sebanyak 35
orang peserta didik sebagai kelas eksperimen. Instrumen yang digunakan berupa tes objektif bentuk

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

371
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pilihan ganda yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya dan angket untuk mengetahui ketertarikan
dan pendapat siswa mengenai media komik online.
Untuk melihat peningkatan pretest ke posttest maka dilakukan uji N-Gain (normalized gain).
Nilai N-Gain ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Hake, 1999).

Tabel 1. Kategori Nilai N-Gain


Nilai N-Gain Kategori
g > 0.7 Tinggi
0,3 ≤ g ≤ 0,7 Sedang
g < 0,3 Rendah

Untuk melihat ketertarikan dan pendapat peserta didik, data angket diolah dengan cara membuat
persentase.

Hasil dan Pembahasan


Proses pembelajaran konsep Monera dengan menggunakan media komik online dilakukan
sebanyak 2 kali pertemuan. Media komik online pada konsep Monera merupakan suatu media
pembelajaran berbentuk gambar yang diaplikasikan ke dalam gadget dengan bentuk online. Media
komik ini dapat diakses dengan cara menjadi anggota grup line media komik Monera terlebih
dahulu. Kemudian pengguna media dapat mengklik tanda note pada aplikasi line agar dapat
membaca komik tersebut.
Desain halaman pada media ini disesuaikan dengan KD dan indikator materi pembelajaran. Pada
pertemuan pertama peserta didik mulai membaca dari halaman satu sampai halaman sembilan.
Komik pada halaman ketiga sampai tujuh didesain dengan indikator ciri-ciri, struktur, fungsi dan
cara hidup Eubacteria. Halaman delapan didesain sesuai dengan indikator cara reproduksi
Eubacteria. Pada pertemuan kedua peserta didik kemudian membaca komik pada halaman sembilan
dan sepuluh dengan indikator klasifikasi Eubacteria berdasarkan ciri dan bentuknya, pada halaman
sebelas dan duabelas dengan menjelaskan indikator perananan bakteri dalam kehidupan. Visualisasi
dari komik online dapat dilihat pada Gambar 1 sampai dengan Gambar 7.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

372
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 1. Visualisasi ciri-ciri Eubacteria

Gambar 2. Visualisasi bentuk Eubacteria

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

373
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 3. Visualisasi struktur Eubacteria

Gambar 4. Visualisasi cara hidup Eubacteria

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

374
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 5. Visualisasi reproduksi Eubacteria

Gambar 6. Visualisasi klasifikasi Eubacteria

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

375
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 7. Visualisasi peranan Eubacteria


Berdasarkan hasil observasi guru dan peserta didik telah melaksanakan semua tahapan
pembelajaran dengan baik. Adapun prestasi belajar peserta didik sebelum dan sesudah pembelajaran
dapat dilihat pada gambar 8.

100
90
80
72
62
60 Nilai Minimum
44 48
Nilai Maksimum
40
Nilai Rerata
20 20

0
Pre-test Post-test

Gambar 8. Data prestasi belajar


Berdasarkan hasil dari analisis data prestasi belajar pretest sebelum mendapatkan perlakuan
termasuk kategori rendah dengan rerata 44,00. Hal ini dikarenakan pemahaman peserta didik masih
kurang tentang materi Eubacteria. Setelah belajar dengan menggunakan media komik online
diperoleh prestasi belajar dengan rerata 72. Untuk nilai N-Gain diperoleh 0,49. Dengan demikian
penggunaan media komik online dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik dengan kategori
sedang. Adapun untuk gambaran persentase siswa yang mengalami peningkatan prestasi belajar
dengan kategori rendah, sedang dan tinggi dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9,
diperoleh informasi bahwa setelah pembelajaran dengan menggunakan media komik online,
persentase jumlah peserta didik pada umumnya pada kategori sedang yaitu sebesar 71%.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

376
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

9%
20%

Rendah
Sedang
Tinggi

71%

Gambar 9. Persentase jumlah peserta didik pada setiap kategori N-Gain


Berdasarkan data hasil angket tentang ketertarikan dalam menggunakan media komik online,
diperoleh informasi bahwa 58,82% peserta didik menyatakan tertarik dalam menggunakan media
komik online. Adapun untuk pendapat peserta didik tentang media komik online diperoleh informasi
sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.
Tabel 2. Persentase jumlah peserta didik yang memberikan pendapat tentang media komik online
No Deskripsi Ya Tidak
1 Ilustrasi media komik online menarik 58, 82 41,18
2 Warna sesuai dan menarik 82,35 17,65
3 Kalimat yang digunakan mudah dipahami 64,71 35,29
4 Materi dalam media komik online mudah dimengerti 44,12 55,88
5 Media komik online efisien digunakan dalam pembelajaran 52,94 47,06
6 Media komik online meningkatkan motivasi dalam belajar 55,88 44,12
7 Media komik online meningkatkan minat dalam belajar 52,94 47,06
8 Media komik online sangat praktis untuk digunakan 70,59 29,41

Media komik online memberikan manfaat dalam pembelajaran. Menurut peserta didik, dengan
penggunaan media ini motivasi peserta didik dalam
pembelajaran biologi meningkat dan memudahkan memahami materi Monera. Hal ini diperkuat
oleh hasil pre-experimental bahwa media komik online terbukti mempengaruhi hasil belajar peserta
didik yang memiliki rerata post-test tinggi yaitu sebesar 72 dibandingkan dengan sebelum
menggunakan media komik online yaitu 44.
Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa media komik dapat
meningkatkan hasil belajar (Puspitorini dkk, 2014). Juga turut membuktikan hasil penelitian
Cheesman (2006) bahwa media komik dapat membantu memfokuskan perhatian peserta didik pada
pembelajaran dan menjadi awal untuk dimulainya diskusi. Penggunaan media komik dalam
penelitian ini sebagai media pembelajaran dapat menjadikan seluruh peserta didik lebih aktif dalam

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

377
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

proses pembelajaran (student center). Maka penggunaan media komik online dapat dijadikan sebagai
salah satu upaya dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik terutama dalam pembelajaran
biologi. Penggunaan media komik online bergambar dalam pembelajaran ini ternyata membuat
materi Eubacteria yang rumit dengan adanya komik bergambar dapat dibuat secara lebih jelas dan
menyenangkan.
Keterbatasan penelitian ini adalah Media komik online yang digunakan pada penelitian ini
terbatas pada materi Eubacteria yang hanya mampu mencakup beberapa gambar dan materi dalam
bentuk teks. Konten berupa gambar dan teks pada komik online hanya dapat digunakan secara
online, sehingga tidak dapat diakses diluar jaringan yang terhubung dengan internet . Selain itu
pengguna media juga harus bergabung dengan grup line terkait untuk dapat membaca komik
tersebut.

Penutup
Simpulan
Terdapat peningkatan prestasi belajar peserta didik pada konsep Monera setelah
penggunaan media komik online, yaitu sebesar 0,49 kategori sedang. Terdapat 58,82% peserta didik
merasa tertarik menggunakan media komik online dalam pembelajaran dan 70,58% peserta didik
menyatakan media komik online sangat praktis untuk digunakan. Namun 56% peserta didik
menyatakan materi dalam media komik sulit untuk dimengerti dikarenakan konsep Monera
merupakan materi yang abstrak.

Saran
Guru diharapkan menggunakan media komik online sebagai salah satu media dalam
pembelajaran, sebab media komik dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik, khususnya pada
sub konsep Eubacteria.

Daftar Pustaka
Cheesman, Kerry. 2006. Using Comics in the Science Classroom. Journal of College Science
Teaching. January-February: 48-51.
Cohen, Louis., Manion, Lawrence., dan Morrison, Keith. 2011. Research Methods in Education 7th
Edition. Abingdon: Routledge.
Fatimah, Fita,. Widiyatmoko. 2015. Pengembangan Science Comic Berbasis Problem Based
Learning Sebagai Media Pembelajaran Pada Tema Bunyi dan Pendengaran Untuk Siswa SMP.
Unnes Science Education Journal. 4 (1): 700-710.
Hake, Richard R. 1999. Analyzing Change/Gain Scores. Dept. of Physics, Indiana University.
Tersedia di www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf. Diakses pada 5 Juni
2017.
Haryono, Santosa. 2015. Workhshop Membuat Komik Untuk Siswa SMA. Tersedia di
http://jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/abdiseni/article/download/29/25 . Diakses pada 31
Juli 2016.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

378
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Puspitorini, Retno., Prodjosantoso, A.K., Subali, Bambang., dan Jumadi. 2014. Penggunaan Media
Komik Dalam Pembelajaran IPA untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Kognitf dan
Afektif. Cakrawala Pendidikan Jurnal Ilmiah Pendidikan. (3)413-420
Rohani, Ahmad. 1997. Media Instruksional Edukatif. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Tribull, Carly Mellisa. 2017. Sequential Science: A Guide to Communication Through Comics.
Annals of the Entomological Society of America , 110(5), 2017, 457–466
Yang, G. 2008. Graphic novels in the classroom. Language Arts 85: 185–192.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

379
Nurdiasih Pertiwi, Meta Ikke Lisnawati, Muhamad Taufiq
Universitas Negeri Semarang
e-mail: nurdiasih.pertiwi@gmail.com, trythaikke17@gmail.com, mtaufiqunnes@gmail.com
Abstract. Learning media is one component that has an important role in realizing the purpose of learning.
Especially Indonesia has entered the digital era that demands to develop digital-based discourse media that can
be accessed by student whenever and wherever they are. This learning media is needed to help students in
understanding abstract material to be concrete. One of the subjects demanding the use of instructional media is
Integrated Science lesson. Integrated Science is one of the government's learning programs that require learning
patterns that are not only theoretical but also applicative. Integrated science learning can be done through
practicum activities that can provide a learning experience directly to students so that students can explore and
understand the natural surroundings naturally. However, in reality there are still many obstacles and problems
faced by teachers in conducting practicum activities so that learning becomes less maximal. Strategies that can
be applied to resolve these obstacles is through the utilization of computer-based virtual laboratory as an
interactive media in practical activities. In this article will be discussed further about the potential of virtual
laboratory as an interactive media in improving students 'learning motivation as well as students' mastery skills
in Integrated Science subjects.

Keywords: virtual laboratory, learning media, learning motivation, mastery of student concept

Abstrak. Media pembelajaran merupakan salah satu komponen yang mempunyai peranan penting dalam
mewujudkan tujuan pembelajaran. Terlebih saat ini Indonesia telah memasuki era digital yang menuntut dunia
pendidikan untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis digital yang dapat diakses oleh peserta didik
kapanpun dan dimanapun mereka berada. Media pembelajaran ini dibutuhkan untuk membantu peserta didik
dalam memahami materi yang bersifat abstrak menjadi konkret. Salah satu mata pelajaran yang menuntut
penggunaan media pembelajaran adalah mata pelajaran IPA Terpadu. IPA terpadu ini merupakan suatu
program pembelajaran pemerintah yang menuntut pola pembelajaran yang tidak hanya tidak bersifat teoritis
tetapi juga aplikatif dan juga terintegrasi. Pembelajaran IPA terpadu ini dapat dilakukan melalui kegiatan
praktikum yang dapat memberikan pengalaman belajar secara langsung kepada siswa agar siswa dapat
menjelajahi dan memahami alam sekitar secara alamiah. Namun, pada kenyataannya masih terdapat banyak
kendala dan masalah yang dihadapi oleh guru dalam menyelenggarakan kegiatan praktikum sehingga
pembelajaran menjadi kurang maksimal. Strategi yang dapat diterapkan untuk mengatasi kendala tersebut
adalah melalui pemanfaatan laboratorium virtual berbasis komputer sebagai media interaktif dalam kegiatan
praktikum. Dalam artikel ini akan dibahas lebih lanjut mengenai potensi virtual laboratory sebagai media
pembelajaran interaktif dalam meningkatkan motivasi belajar siswa serta kemampuan penguasaan konsep siswa
pada mata pelajaran IPA Terpadu.
Kata Kunci: virtual laboratory, media pembelajaran, motivasi belajar, kemampuan penguasaan konsep siswa

Pendahuluan
Media pembelajaran merupakan salah satu komponen yang mempunyai peranan penting
dalam pembelajaran. Arsyad (2011) menyatakan bahwa media adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan. Media

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pembelajaran memiliki kegunaan praktis dalam proses belajar mengajar karena dapat
memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan
proses dan hasil belajar siswa (Sukiman, 2012). Hasil penelitian Arsyad (2011)
menunjukkan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat
membangkitkan minat dan keinginan yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan
kegiatan belajar bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Penggunaan
media pembelajaran pada tahap orientasi pengajaran sangat membantu keefektifan proses
pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Selain membangkitkan
motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan
pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data,
dan memadatkan informasi. Oleh karena itu, pemilihan dan penerapan media pembelajaran
menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan penguasaan kompetensi siswa.
Salah satu mata pelajaran yang menuntut penggunaan media pembelajaran adalah mata
pelajaran IPA Terpadu. IPA Terpadu merupakan suatu program pembelajaran dari
pemerintah yang menuntut pola pembelajaran yang tidak hanya bersifat teoritis, namun juga
aplikatif dan terintegrasi. Oleh karena itu, proses pembelajaran IPA yang ideal seharusnya
lebih menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung kepada siswa agar
siswa dapat menjelajahi dan memahami alam sekitar secara alamiah. Namun, sayangnya masih
terdapat banyak Guru yang hanya menekankan pada pembelajaran yang bersifat teoritis dan
kurang aplikatif sehingga banyak siswa mengaku kurang menguasai konsep-konsep IPA
terlebih materi yang bersifat abstrak (Safitri et al., 2014). Hasil penelitian Atriyani (2015)
menunjukkan bahwa kebanyakan siswa ketika diberikan bentuk soal penerapan persamaan
matematis, siswa relatif cepat dalam menjawabnya. Namun, ketika soal berbentuk penerapan
konsep, siswa belum mampu menerapkan persamaan matematis tersebut. Hal ini terjadi
dikarenakan kebanyakan siswa cenderung menghafalkan persamaan matematis dalam
menyelesaikan soal-soal tanpa memahami arti fisis dari persamaan tersebut. Padahal,
pemahaman konsep yang baik merupakan dasar bagi siswa untuk mengembangkan konsep
dan menghubungkan antar konsep yang satu dengan konsep yang lain sehingga mampu
memecahkan masalah dalam kehidupan. Pemahaman konsep yang baik juga akan sangat
membantu siswa untuk memahami materi pembelajaran selanjutnya. Siswa dikatakan
memahami konsep dengan baik jika ia mampu menjawab dengan benar semua pertanyaan
yang berhubungan dengan konsep yang sama (Tongchai, 2009; Kennedy et al., 2011;
Kryjevskaia et al., 2011). Dengan demikian, media pembelajaran dibutuhkan dalam
pembelajaran IPA Terpadu agar dapat membantu siswa memahami suatu materi dengan lebih
baik. Oleh karena itu, diperlukan pemanfaatan TIK sebagai media pembelajaran dalam
bentuk media virtual atau multimedia interaktif. Media virtual memungkinkan peserta didik
bisa melakukan eksperimen untuk membuktikan suatu teori dengan mudah, jelas, dan tepat
(Jaya, 2012).
Hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar serta penguasaan konsep
siswa terhadap materi adalah melalui kegiatan praktikum di laboratorium. Kegiatan
praktikum yang dilakukan di laboratorium ini akan membantu siswa membangun konsep dan
mengkomunikasikan berbagai fenomena alam yang terjadi dalam sains kepada siswa serta

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

381
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mengatasi miskonsepsi siswa karena siswa memperoleh konsep berdasarkan pengalaman


nyata. Hasil penelitian Katili, et al. (2013) menunjukkan kecenderungan bahwa semakin
besar used factor alat maka semakin besar pula rerata hasil belajar siswa, dan makin kecil used
factor alat, makin kecil pula rerata hasil belajar siswa. Ergul et.al (2011) juga menyatakan
bahwa penggunaan keterampilan proses sains, learning by doing dan hand-on activity akan
memberikan hasil belajar yang lebih permanen. Disamping itu, keterampilan proses sains juga
dapat melatih siswa siswa dalam memecahkan masalah, berpikir kritis, membuat keputusan,
memperoleh jawaban, dan memuaskan keingintahuan mereka. Oleh karena itu, kegiatan
praktikum memiliki peranan yang sangat penting sebagai proses pembelajaran Sains
khususnya bagi materi yang bersifat abstrak. Namun, pada kenyataannya masih banyak
kendala dan masalah yang dihadapi oleh guru dalam menyelenggarakan kegiatan praktikum.
Kendala tersebut antara lain kurangnya peralatan dan bahan praktikum serta kurangnya
pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengelola kegiatan praktikum. Selain itu, tidak
adanya asisten yang membantu guru dan terlalu banyaknya siswa sehingga menyulitkan
pengaturan proses kegiatan, masih terdapat ruang laboratorium yang digunakan sebagai
tempat belajar, tidak cukup waktu untuk melaksanakan praktikum dengan memanfaatkan
alat/fasilitas yang ada (Sundoro, 2013). Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian
Maulidiyah et al. (2014) mengenai persentase Standarisasi Laboratorium IPA di SMP Negeri
se-Kabupaten Pasaman yang menyatakan bahwa tata guna ruang laboratorium dikategorikan
kurang sekali dengan persentase sebesar 45,4%. Hal ini berarti ruang laboratorium IPA
belum difungsikan khusus sebagai tempat kegiatan praktikum dan digunakan sebagai ruang
kelas belajar. Selain itu, peralatan laboratorium dikategorikan kurang karena memiliki
persentase 54.9%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa peralatan laboratorium berupa mistar,
jangka sorong, stopwatch, rol meter, termometer, multimeter AC/DC, batang magnet,
garputala, dinamometer, balok kayu, dan gelas kimia 100 ml masih belum memadai.
Selanjutnya, perlengkapan lain di laboratorium hanya menghasilkan persentase sebesar
35.02% dengan kategori kurang sekali. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlengkapan lain
berupa stop kontak, alat pemadam kebakaran, dan seperangkat P3K ketersediannya belum
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Permendiknas No. 24 Tahun 2007.
Seiring dengan adanya masalah keterbatasan alat praktikum dan permasalahan-
permasahalan lain seperti yang telah disebutkan di atas, maka dibutuhkan suatu inovasi yang
mampu mengatasi permasalahan tersebut. Strategi yang dapat diterapkan adalah melalui
pemanfaatan laboratorium virtual dengan berbasis komputer sebagai media pembelajaran
interaktif dalam kegiatan praktikum khususnya pada materi IPA Terpadu. Laboratorium
virtual dapat mendukung keterlaksanaan kegiatan praktikum yang diharapkan dapat
memenuhi ketercapaian dari tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa penelitian yang
mendukung tentang pengaruh penggunaan laboratorium virtual terhadap penguasaan konsep
peserta didik. Junaidi et al. (2016) menyatakan bahwa penggunaan model pembelajaran
virtual laboratory berbasis inkuiri berpengaruh terhadap penguasaan konsep siswa mengenai
materi getaran dan gelombang. Sejalan dengan itu, Hermansyah et al. (2015) menyatakan
bahwa penggunaan laboratroium virtual berpengaruh terhadap penguasaan konsep dan
keterampilan berpikir kreatif peserta didik. Selanjutnya, dalam penelitian Tuysuz (2010) juga
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

382
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menyimpulkan bahwa laboratorium virtual memiliki karakteristik pembelajaran dengan


kontribusi positif terhadap pendidikan serta dapat meningkatkan motivasi siswa terhadap
pembelajaran karena menyenangkan dan membuat topik mudah dimengerti bagi siswa. Oleh
karena itu, laboratorium virtual (virtual laboratory) dapat menjadi salah satu alternatif yang
dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan mengenai tidak terlaksananya kegiatan
praktikum serta kurang termotivasinya siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam artikel ini akan dibahas mengenai potensi
virtual laboratory sebagai media pembelajaran interaktif untuk meningkatkan motivasi belajar
dan kemampuan penguasaan konsep siswa pada materi IPA Terpadu. Selain itu, dalam artikel
ini juga akan membahas lebih lanjut mengenai keunggulan dan kekurangan, manfaat serta
kendala virtual laboratory sebagai media pembelajaran.

Pembahasan
Virtual Laboratory
Virtual laboratory atau yang biasa disebut V-lab adalah serangkaian alat elektronik atau
laboratorium maya berbasis komputer interaktif yang mengintegrasikan berbagai komponen
media dalam bentuk teks, gambar, animasi, suara dan video untuk melakukan pembelajaran
jarak jauh dan aktivitas lainnya. Komponen tersebut merupakan penggabungan simulasi
sebuah proses percobaan yang dapat dijalankan melalui internet atau cd-rom (Nazipah,
2013). Harry & Edward (2005) juga mendefinisikan bahwa "laboratory experiment without
real laboratory with its walls and doors. It enables the learner to link between the theoretical
aspect and the practical one, without papers and pens. It is electronically programmed in
computer in order to simulate the real experiments inside the real laboratories ". Dari definisi
tersebut, laboratorium virtual dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk tiruan dari sebuah
laboratorium IPA real yang digunakan dalam aktivitas pembelajaran. Laboratorium ini
menyediakan alat dan bahan pada komputer yang memungkinkan siswa untuk melakukan
eksperimen secara individu ataupun kelompok dimanapun dan kapanpun tanpa batasan ruang
dan waktu.
Laboratorium Virtual bermula dari sebuah proyek yang bernama “Essays and Resources
on the Experimentalization of Life (1830-1930) yang berlokasi di Max Planck Institute for
the History of Science. Proyek ini bertujuan untuk meneliti sejarah tentang
experimentalization of life. Istilah experimentalization menjelaskan interaksi antara ilmu
kehidupan, seni, arsitektur, media dan teknologi dalam paradigma eksperimen. Platform dari
Laboratorium virtual tersebut tidak hanya tentang topic tersebut diatas, melainkan juga
berperan sebagai lingkungan penelitian untuk penelitian-penelitian yang baru. Pada tahun
1997, versi pertama dari laboratorium virtual yang diberi nama “ Virtual laboratory of
Physiology” mulai dipresentasikan. Pada saat itu, fokus utama ada pada pengembangan pra-
kondisi teknologis dari penellitian-penelitian fisiologis pada abad 19. Oleh karena itu, sebuah
database dengan teks dan gambar yang relevan diciptakan. Pada tahun 19988, konsep yang
masih digunakan sampai sekarang diciptakan seteleh melalui beberapa kali modifikasi, dan
diikuti oleh publikasi sebuah CD-ROM pada 1999. Pada saat itu, fokus telah diperluas dari
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

383
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

fisiologi ke ilmu pengetahuan alam secara umum. Pada tahun 2002, versi pertama
laboratorium virtual dionlinekan dan sejak tahun 2008, “the Virtual Laboratory” telah
terdata sebagai sebuah jurnal dengan nomor ISSN 1866-4784 (Nirwana R, 2011).
Menurut Suyatna (2009), virtual laboratory merupakan pendekatan yang efektif untuk
memahami percobaan dan dapat meningkatkan pengalaman belajar siswa tanpa melakukan
kegiatan langsung di laboratorium. Pembelajaran dengan virtual laboratory menjadi
penghubung antara teori dan praktik yang mampu mengubah pembelajaran pasif menuju
pembelajaran aktif dan merangsang siswa untuk berpikir tingkat tinggi. Pemilihan virtual
laboratory sebagai media pembelajaran ini mengacu pada prinsip Kerucut Pengalaman (cone
of experience) yang dikemukakan oleh Dale, sebagaimana terlihat pada Gambar 1 (Dale
1969, diacu dalam Arsyad 2009).

Gambar 1. Prinsip Kerucut Pengalaman Dale

Dimana dalam prinsip ini disebutkan bahwa pembelajaran seharusnya dimulai dari
representasi enactive menuju representasi iconic kemudian menuju representasi symbolic
(Arsyad 2009). Representasi enactive merupakan pengalaman langsung karena modus belajar
terfokus pada ingatan. Sedangkan, representasi iconic merupakan pengalaman piktorial atau
gambar dengan pola pikir tidak terbatas pada ruang dan waktu tetapi seluruh informasi
tertangkap karena adanya rangsangan. Representasi symbolic merupakan pengalaman abstrak
yang dapat dianalogikan pada masa operasi formal melalui belajar membaca, mendengar dan
lain-lain (Suherman 2010). Virtual laboratory termasuk dalam tahap enactive yaitu benda
tiruan atau pengamatan. Benda tiruan yang dimaksud berupa media berbasis komputer yang
memuat tiruan simulasi praktikum pokok bahasan tertentu yang sulit dilakukan melalui
pengalaman langsung atau konstruksi-konstruksi yang abstrak, sehingga siswa dapat
memperoleh pengalaman yang konkret. Contoh dari tampilan virtual laboratory dapat dilihat
pada gambar 2 yang menunjukkan penggunaan laboratorium berbasis virtual pada pelajaran
IPA materi pemuaian yang dikembangkan oleh Nurhayati, et al. (2015).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

384
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 2. Contoh tampilan virtual laboratory

Selanjutnya, Soni, et al. (2014) menyampaikan perbedaan antara pembelajaran berbasis


laboratorium konvensional di sekolah dengan pembelajaran berbasis virtual laboratory seperti
yang terlihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Perbedaan Laboratorium konvensional dengan virtual laboratory


No Laboratorium Konvensional Virtual Laboratory
Lingkungan belajar yang cenderung Fleksibel dan lingkungan belajar yang
1.
tertutup cenderung lebih terbuka
Buku dan guru sebagai sumber utama Pembelajaran tergantung dari sumber yang
2.
pengetahuan bervariasi
Terpisah antara teori dan praktek, dan Merupakan integral antara teori dan praktik
3. antara kenyataan dan imajinasi aspek dalam situasi virtual yang dibuat senyata
mungkin
Pendidikan formal yang telah Memungkinkan pembelajaran yang
4. terstandarisasi berkesinambungan baik secara formal maupun
informal
Pebelajaran dalam kelas besar Pembelajaran dalam kelas kecil maupun
5.
individu
Perbedaan individu tidak dianjurkan Diperbolehkan terjadinya perbedaan individu
7.
daam proses pembelajaran
8. Pasrtisipasi individu tidak dianjurkan Partisipasi positif dan aktif dari guru dan siswa
Metode lebih cenderung verbal Metode pembelajaran lebih bervariasi
9.
(ceramah)

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

385
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Keunggulan Virtual Laboratory


Laboratorium virtual menjadi solusi terbaik untuk melakukan pembelajaran berbasis
praktikum secara “real time” yang berarti bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun peserta
didik berada. Praktikum yang dilakukan secara virtual artinya melakukan percobaan
berbantuan komputer yang telah tersedia software yang siap dioperasikan (Sutrisno, 2011).
Pelaksanaan praktikum dengan menggunakan konsep virtual laboratory ini memiliki banyak
keunngulan dibandingkan dengan kegiatan praktikum pada laboratorium real. Hal ini
dikarenakan virtual laboratory terbukti lebih efektif, menarik dan lebih bermanfaat serta
dapat memungkinkan keterlibatan aktif semua peserta didik dibanding dengan kelompok
yang menggunakan laboratorium real karena tidak semua peserta didik aktif dalam proses
eksperimen di laboratorium real. Temuan ini juga didukung oleh Zaini (2009) yang
mengemukakan bahwa peserta didik akan lebih mudah mengingat pengetahuan yang
diperoleh secara mandiri lebih lama, dibandingkan dengan informasi yang dia peroleh dari
mendengarkan orang lain. Selain itu Ariani, et al. (2010) juga menyatakan bahwa virtual
laboratory mampu menciptakan model intelektual baru dalam pendidikan lebih baik
dibandingkan laboratorium yang nyata, dapat menjelaskan konsep abstrak yang tidak bisa
dijelaskan melalui penyampaian verbal, dapat menjadi tempat melakukan eksperimen yang
tidak bisa dilakukan di dalam laboratorium konvensional, mendorong motivasi belajar siswa,
mendaftar informasi siswa dan mengevaluasinya secara otomatis, memudahkan melakukan
percobaan yang sulit dilakukan di laboratorium konvensional karena bahaya dan biaya tinggi,
Lebih hemat, bersih dan aman serta dapat mengurangi waktu belajar yang dihabiskan di
laboratorium konvensional.

Manfaat Virtual Laboratory


Keberadaan virtual laboratory ini dapat memberikan manfaat bagi guru maupun siswa.
Manfaat tersebut antara lain; virtual laboratory dapat digunakan sebagai alternatif pemecahan
masalah dalam melaksanakan kegiatan praktikum sehingga siswa dapat melaksanakan
kegiatan praktikum dengan lancar dan meningkatkan motivasi belajar siswa terhadap
pelajaran fisika. Virtual laboratory juga dapat mengatasi masalah dalam pembelajatan dengan
mensimulasikan materi yang sulit untuk dipraktikumkan seperti materi dengan konsep dan
obyek yang abstrak. Virtual laboratory disusun untuk dapat menyajikan bahan pelajaran yang
tadinya bersifat abstrak menjadi konkret sehingga mudah dipahami dan dapat menghilangkan
verbalisme. Selain itu, menurut Farreira (2010), Beberapa manfaat yang dapat diperoleh
dengan menggunakan laboratorium virtual adalah:
1. Mengurangi keterbatasan waktu, jika tidak ada cukup waktu untuk mengajari seluruh
peserta didik di dalam laboratorium hingga mereka paham
2. Mengurangi hambatan geografis, jika terdapat siswa atau mahasiswa yang berlokasi jauh
dari pusat pembelajaran

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

386
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

3. Ekonomis, karena tidak membutuhkan bangunan laboratorium, alat-alat dan bahan-bahan


seperti pada laboratorium konvensional
4. Meningkatkan kualitas eksperimen, karena memungkinkan untuk diulang untuk
memperjelas keraguan dalam pengukuran di laboratorium
5. Meningkatkan efektivitas pembelajaran, karena siswa atau mahasiswa akan semakin lama
menghabiskan waktunya dalam lab virtual tersebut berulang-ulang,
6. Meningkatkan keamanan dan keselamatan, karena meminimalisir penggunaan dengan alat
dan bahan kimia berbahaya secara langsung
7. Meningkatkan kualitas pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
Meskipun virtual laboratory ini memiliki berbagai keunggulan dan manfaat, virtual
laboratory bukanlah pengganti laboratorium real, melainkan bagian dari laboratorium real
yang digunakan untuk saling melengkapi dan memperbaiki keterbatasan yang ada.

Kendala dalam Penerapan Virtual Laboratory


Meskipun memiliki banyak kelebihan dan manfaat dibandingkan laboratorium
konvensional, penerapan virtual laboratory ini juga memiliki beberapa kendala antara lain:
1. Masih terdapat sekolah yang belum memiliki fasilitas komputer yang memadai sehingga
virtual laboratory ini lebih direkomendasikan bagi sekolah yang sudah memiliki perangkat
komputer yang memadai bagi siswa.
2. Kurangnya keterampilan sosial siswa. Hal ini disebabkan ketika siswa melalukan
praktikum menggunakan program virtual laboratory, interaksi antar siswa berkurang
karena program ini lebih mendukung kegiatan praktikum mandiri bukan kelompok.
3. Rendahnya keterampilan proses siswa karena kegiatan praktikum berbasis virtual
laboratory membatasi gerak motorik siswa.
4. Masih terdapat banyak guru yang kemampuan IT-nya rendah, khususnya guru yang
berada di sekolah 3T ataupun guru yang berusia lanjut sehingga sulit dalam menggunakan
virtual laboratory sebagai kegiatan pembelajaran

Pengaruh Virtual Laboratory terhadap Motivasi Belajar siswa


Motivasi dan kegiatan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Dalam
kegiatan belajar, motivasi merupakan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar dan menjamin kelangsungan kegiatan belajar, sehingga tujuan yang
dikehendaki oleh subyek belajar dapat tercapai. Istilah motivasi berasal dari kata motif yang
dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan
individu tersebut bertindak atau berbuat. Lebih lanjut, Handhika (2012) mengungkapkan
bahwa motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diintrepestasikan dalam
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

387
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga munculnya suatu
tingkah laku tertentu. Motivasi dapat menumbuhkan gairah, merasa senang dan semangat
untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi untuk
melakukan kegiatan belajar. Motivasi dapat dirangsang oleh faktor dari luar, tetapi motivasi
itu tumbuh di dalam diri seseorang. Semakin tinggi motivasi belajar siswa, maka semakin
tinggi usaha belajar siswa. Usaha belajar yang baik memungkinkan prestasi yang baik pula.
Maka sering ditemukan siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi akan mempunyai
prestasi belajar lebih baik dari siswa yang motivasi belajar sedang, dan siswa yang motivasi
belajarnya sedang akan berprestasi lebih baik dari pada yang mempunyai motivasi belajar
rendah. Untuk merangsang motivasi belajar dapat dilakukan melalui pemberian penghargaan,
lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik. Penggunaan virtual
laboratory dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa. Hal ini dibuktikan melalui sejumlah
penelitian yang dilakukan oleh para ahli, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Adi, et al. pada tahun 2015 yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara penggunaan
virtual laboratory terhadap motivasi belajar siswa. Hasil perbandingan rata-rata motivasi
belajar siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat dalam gambar 3 berikut:

4 3.54
3.01
rata-rata motivasi

3 2.69
2.47

0
Konrol Eksperimen

Pretest Posttest

Gambar 3. Perbandingan rata-rata motivasi awal dan akhir siswa pada kelas kontrol dan
eksperimen

Berdasarkan gambar 3, dapat dilihat bahwa rata-rata motivasi akhir siswa kelas kontrol
adalah 3.01 dengan selisih rata-rata antara motivasi awal dan akhir sebesar 0.32, sedangkan
rata-rata motivasi akhir siswa kelas eksperimen adalah 3.54 dengan selisih rata-rata antara
motivasi awal dan akhir sebesar 1.07. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan
menggunakan virtual laboratory memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
motivasi belajar siswa. Siswa memiliki minat dan motivasi postif terhadap virtual laboratory,
siswa merasa senang ketika siswa dapat mengulang proses percobaan menggunakan simulasi
sebanyak yang mereka butuhkan. Harapannya ketika motivasi belajar siswa meningkat,
penguasaan konsep dan hasil belajar siswa juga akan meningkat.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

388
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pengaruh Virtual Laboratory terhadap Kemampuan Penguasaan Konsep


Penguasaan konsep sangat penting dalam proses pembelajaran karena pemahaman konsep
merupakan tahapan dalam memahami suatu informasi yang abstrak yang dalam proses
memahaminya harus menggolongkan suatu objek atau fenomena (Sari et al., 2016). Konsep
diartikan sebagai buah dari hasil pemikiran yang dapat dinyatakan berupa definisi, prinsip,
hukum dan teori yang diperoleh dari fakta, peristiwa, dan pengalaman serta kegunaan konsep
untuk menjelaskan dan meramalkan suatu kejadian (Sagala, 2013). Sedangkan, definisi
penguasaan konsep dikemukakan oleh Bloom (Astuti, 2017) yaitu suatu kemampuan
menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang
disajikan ke dalam bentuk yang lebih dipahami, mampu memberikan interpretasi dan mampu
mengaplikasikannya. Lebih lanjut, Anderson dan Krathwohl (2010) mendefinisikan
kemampuan penguasaan konsep sebagai kemampuan seseorang dalam mengolah
pengetahuannya pada dimensi proses kognitif. Indikator pemahaman konsep siswa
diantaranya yaitu Memahami (C2), memahami adalah proses membangun makna dari materi
berdasarkan apa yang diucapkan, ditulis, dan digambar oleh guru; Mengaplikasikan (C3),
mengaplikasikan adalah proses menerapkan suatu konsep dalam keadaan tertentu; serta
Menganalisis (C4), menganalisis adalah proses memecah-memecah materi menjadi bagian-
bagian penyusunnya dan menentukan hubungan antar bagian atau keseluruhan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Hikmah et al., 2017) menyatakan bahwa
terdapat pengaruh antara penggunaan virtual laboratory terhadap penguasan konsep siswa.
Hal ini dapat dilihat pada gambar 3 mengenai perbandingan presentase ketercapaian
indikator tingkat pemahaman konsep siswa saat pretest dan postest pada kelompok kontrol
dan kelompok eksperimen

100%
81.64%
80% 74.30%
presentase

60%
37.52%
40%
24.08%
20%

0%
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

pretest postest

Gambar 4. Persentase (%) Ketercapaian Indikator Tingkat Pemahaman Konsep saat pretest
dan postest pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Berdasarkan gambar 3, dapat dilihat bahwa persentase ketercapaian indikator tingkat


pemahaman konsep pada kelas eksperimen menunjukkan hasil yang lebih tinggi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

389
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dibandingkan kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan
virtual laboratory memberikan pengaruh postif terhadap kemampuan penguasaan konsep
siswa karena visualisasi konsep yang disajikan pada materi yang menyerupai bentuk real-nya.
Sedangkan pada kelompok kontrol, kegiatan pembelajaran tidak berpusat pada peserta didik,
tetapi hanya berpusat pada guru yang menjelaskan materi di depan ruangan. Sehingga hal ini
berdampak pada tingkat penguasaan konsep peserta didik menjadi lebih rendah.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Virtual laboratory adalah serangkaian alat elektronik atau laboratorium maya berbasis
komputer interaktif yang mengintegrasikan berbagai komponen media dalam bentuk
teks, gambar, animasi, suara dan video untuk melakukan pembelajaran jarak jauh dan
aktivitas lainnya.
2. Penggunan Virtual laboratory sebagai media pembelajaran selain memiliki keunggulan
dan manfaat, juga memiliki beberapa kendala.
3. Virtual laboratory memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan motivasi
belajar siswa
4. Virtual laboratory dapat meningkatkan kemampuan penguasaan konsep siswa karena
visualisasi konsep yang disajikan pada materi yang menyerupai bentuk real.

Saran
Berdasarkan pembahasan, saran yang diberikan antara lain:
1. virtual laboratory dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang digunakan untuk
melengkapi dan memperbaiki keterbatasan dari laboratorium real, tetapi bukan
menggantikan posisi laboratorium real sepenuhnya
2. Perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan lebih lanjut agar kendala dalam penerapan virtual
laboratory dapat diminimalisir

Daftar Pustaka
Adi Widi C., Suratno, M. Iqbal. 2015. Pengembangan Virtual Laboratory pada Pokok
Bahasan Sistem Ekskresi dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas XI SMA
Negeri 2 Bondowoso. Artikel Ilmiah Mahasiswa 1(1): 1-8

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

390
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Anderson, Lorin W dan David R Krathwohl. 2010. Kerangka Landasan Untuk


Pembelajaran, Pengajaran, Dan Asesmen (Penterjemah: Prihantoro, A. dari A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assesing: A Revision of Bloom‟s Taxonomy
of Educational Objectives A Bridged Eddition: Addison Wesley Longman Inc.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Arsyad Azhar. 2009. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ariani, N. dan Haryanto, D. 2010. Pembelajaran Multimedia di Sekolah. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher.
Astuti, Lin Suciani. 2017. Penguasaan Konsep IPA Ditinjau Dari Konsep Diri Dan Minat
Belajar Siswa. Jurnal Formatif 7(1): 40-48,
Atriyanti, Y, & Subiyanto. H. 2015. Penerapan Model Pembelajaran POE untuk
Meningkatkan Kompetensi Dasar Siswa. Chemistry in Education, 4(1):61-67.
Ergul, Remziye. et al. (2011). The Effect Of Inquiry-Based Science Teaching On
Elementary School Students' Science Process Skill And Science Attitudes. Bulgarian
Journal of Science and Education Policy (BJSEP) 5(1), 48-68.
Gunawan & Liliasari. 2012. Model Virtual Laboratory Fisika Modern untuk Meningkatkan
Disposisi Berpikir Kritis Calon Guru. Cakrawala Pendidikan 31(2): 185-199.
Handhika, J. 2012. Efektivitas Media Pembelajaran IM3 Ditinjau Dari Motivasi Belajar.
Jurnal Pendidikan IPA Indonesia JPII 1 (2): 109-114
Hayati, S. N., Hikmawati, H., & Wahyudi, W. 2017. Pengaruh Model Pembelajaran
Inkuiri dengan Menggunakan Media Simulasi Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa
Kelompok X MIA SMAN 1 Lingsar Lombok Barat Tahun Pelajaran 2016/2017.
Jurnal Pendidikan Fisika dan Teknologi 3(1), 48-54.
Harry E. & Edward B. 2005. Making real virtual Lab. The Science Education Review
Hermansyah, Gunawan, Lovy Herayanti. 2015. Pengaruh Penggunaan Laboratorium
Virtual Terhadap Penguasaan Konsep Dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Pada
Materi Getaran Dan Gelombang. Jurnal Pendidikan Fisika dan Teknologi 1(2): 97-
102
Hikmah Nur, Nanda Saridewi, Salamah Agung. 2017. Penerapan Laboratorium Virtual
Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa. EduChemia. Jurnal Kimia dan
Pendidikan 2(2): 186-195
Jaya, H. (2012). Pengembangan Laboratorium Virtual untuk Kegiatan Praktikum dan
Memfasilitasi Pendidikan Karakter di SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi, 2(1), 5-12.
Junaidi, Abdul Gani, dan Mursa. 2016. Model Virtual Laboratory Berbasis Inkuiri untuk
Meningkatkan Keterampilan Generik Sains Siswa MA. Jurnal Pendidikan Sains
Indonesia 4(2):130-136.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

391
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Katili N. Sumo, I Wayan Sadia, Ketut Suma. 2013. Analisis Sarana dan Intensitas
Penggunaan Laboratorium Fisika Serta Kontribusinya Terhadap Hasil Belajar Siswa
SMA Negeri di Kabupaten Jembrana. E-Journal Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha Program Studi IPA. Volume 3
Kennedy, E. M. & John R. de Bruyn. 2011. Understanding of mechanical waves
among second-year physics majors. Can. Journal Physic,89:1155—1161.
Kryjevskaia, M., Stetzer, M. R. & Heron, P. R. L.2011. Student understanding of
wave behavior at a boundary: The limiting case of reflection at fixed and free
ends. American Journal of Physics, 75 (9):508—516.
Maulidiyah, R, Ardi, dan Liza Y. Sari. 2014. Tinjauan Standarisasi Laboratorium IPA Di
SMP Negeri Se- Kabupaten Pasaman Barat. Artikel ilmiah STKIP PGRI SUMBAR
Muladi, Fahmi, A., Ahmad, A. 2011. Pengembangan Laboratorium biologi virtual berbasis
multimeia interaktif. Seminar on electrical, informatics anda education. Vol 3 (10):
a65
Nazipah. 2013. Pengaruh Penggunaan Laboratorium Virtual Terhadap Psikomotor Siswa
Pada Praktikum Larutan Penyangga Kelas XI IPA SMA Islam Al-Falah Jambi.
Artikel Ilmiah Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas KIP : Universitas Jambi.
Nirwana R. Rizqi. 2011. Pemanfaatan Laboratorium Virtual Dan E-Reference Dalam
Proses Pembelajaran Dan Penelitian Ilmu Kimia. Jurnal Phenomenon 1 (1)
Nurhayati N. dan Ijang Rohman. 2015. Rancang Bangun Virtual Laboratory Pemuaian
untuk SMP. Jurnal Penelitian & Pengembangan Pendidikan Fisika (JPPPF) 1(1): 55-
60
Safitri R. Miftah, Rini Budiharti, Elvin Yusliana Ekawati. 2014. Pengembangan Media
Pembelajaran IPA Terpadu Interaktif Dalam Bentuk Moodle Untuk Siswa SMP
Pada Tema Hujan Asam. Jurnal Pendidikan Fisika 2(1)
Sagala, S. 2013. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sari, A. L., R., Parno, & Taufiq, A. 2016. Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemahaman
Konsep Fisika Siswa SMA pada Materi Hukum Newton. Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan IPA Pascasarjana UM hlm. 88-89 Malang: Universitas Negeri
Malang
Serway, R., A. & Jewett, J.W. 2014. Fisika untuk Sains dan Teknik. Edisi 6 Buku 1. Jakarta:
Penerbit Salemba Teknika.
Soni, Shweta & Katkar, M.D. 2014. Survey Paper on Virtual Lab for E-Learners.
International Journal of Application or Innovation in Engineering et Managemen t
(IJAIEM). 3(1), 108-110
Sukiman. 2012. Pengembangan Media Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

392
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sundoro, et al. 2013. Analisi Sarana dan Intensitas Penggunaan Laboratorium Fisika Serta
Kontribusinya Terhadap Hasil Belajar Siswa SMA Negeri di Kabupaten Jembrana. E-
Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Vol. 3
Sutrisno. 2011. Pengantar Pembelajaran Inovatif Berbasis Teknologi Informasi&
Komunikasi. Jakarta : GP Press
Tongchai, A., Sharma, M.M., Johnston, I.D., Arayathanitkul, K. & Soankwan, C. 2009.
Developing, evaluating and demonstrating the use of a conceptual survey in
mechanical waves. International Journal of Science Education 31 (18): 2437-2457
Tuysuz, Cengiz. 2010. The Effect of the Virtual Laboratory on Student‟s Achievement and
Attitude in Chemistry. International Online Journal of Educational Sciences. 2(1),
37-53.
Zaini, H. 2009. Strategi Pembelajaran Aktif Implementasi Dan Kendala Di Dalam Kelas.
Makalah disajikan pada Seminar Dan Lokakarya Nasional „ Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Melalui Aktif Learning Menuju Profesionalisme Guru, Surakarta: FKIP
Universitas Sebelas Maret.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

393
Nurhasanah1, Saman2
1
Integrated Islamic Elementary School Nurul Iman I Tanah Baru Depok
2
Universitas Muhammadiyah Jakarta
e-mail: nuurhasanah.nuha@gmail.com; samanbalok@gmail.com
Abstract. This research is based on the result of observation which shows that student poetry writing
skill is low. The root of this problem is from the side of the teacher who does not understand the
importance of poetry writing skills so there is no media selection or support method. As a result,
students find it difficult to understand the material and lack of creativity and ideas in writing poetry.
Visual media literacy helps students to concretely abstract and foster ideas in writing. Therefore,
researchers try to use visual media literacy in learning to write poetry. The purpose of this researcher
to improve the ability to write poetry through visual media literacy in class III SDN 04 Ciganjur.
The method of this research is the Research Action Class (CAR). The results showed that there was
a significant increase in the ability to write poetry through the media image class III SDN 04
Ciganjur. This is evident from the results of preliminary tests with an average score of 59. After
through the utilization of visual media literacy on the first cycle with an average value of 66 and on
the second cycle there was an increase of 75 to the results of writing poetry in class III SDN 04
Ciganjur. The results of this study are expected to be useful to the relevant parties who can use it.

Keywords: Media Literacy, Writing Skills, Poetry Writing, Classroom Action Research

Abstrak. Penelitian ini dilatar belakangi oleh hasil observasi yang menunjukkan bahwa keterampilan
menulis puisi siswa rendah. Akar permasalahan ini adalah dari sisi guru yang kurang memahami
pentingnya keterampilan menulis puisi sehingga tidak ada pemilihan media atau metode yang
mendukung. Akibatnya, siswa kesulitan untuk memahami materi dan kurangnya kreativitas dan ide
dalam menulis puisi. Literasi media visual membantu siswa untuk mengkongkritkan yang abstrak
dan menumbuhkan ide dalam menulis. Oleh karena itu, peneliti mencoba menggunakan literasi
media visual dalam pembelajaran menulis puisi. Adapun Tujuan peneliti ini untuk meningkatkan
kemampuan menulis puisi melalui literasi media visual di kelas III SDN 04 Ciganjur. Metode
penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan yang signifikan dalam meningkatkan kemampuan menulis puisi melalui media gambar
kelas III SDN 04 Ciganjur. Hal ini terbukti dari hasil tes awal dengan nilai rata-rata sebesar 59.
Setelah melalui pemanfaatan literasi media visual pada siklus I dengan nilai rata-rata sebesar 66 dan
pada siklus II terjadi peningkatan sebesar 75 terhadap hasil penulisan puisi di kelas III SDN 04
Ciganjur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat kepada pihak-pihak terkait yang dapat
memanfaatkannya.

Kata Kunci: Literasi Media, Keterampilan Menulis, Menulis Puisi, Penelitian Tindakan Kelas

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Seiring dengan perubahan masyarakat yang memasuki abad ke 21, indonesia telah
disambut dengan perubahan industri media yang pesat. Pertumbuhan pesat pada saat ini
sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, sehingga muncul berbagai macam bentuk media
yang berkembang diseluruh lapisan masyarakat. Hadirnya media dapat memberikan dampak
positif dan negatif ke masyarakat. Tekonologi yang berbentuk media ini mampu membangun
interaksi sosial dan memiliki pengaruh besar dalam berbagai bidang, terutama pada
pendidikan.
Media mempunyai peran penting dalam proses kegiatan belajar dan mengajar.
Sadirman (2009:6) mengatakan bahwa media dapat digunakan untuk menyalurkan pesan
dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat
ssiwa sedemikian rupa sehingga proses belajar dapat terjadi dengan efektif. Sejalan dengan
pendapat Sadirman, Gagne (dalam Sadirman dkk, 2009) mengatakan bahwa media dapat
merangsang siswa dalam belajar. Artinya, media dapat membangkitkan semangat siswa dalam
belajar. Selain itu, siswa akan termotivasi dan mampu berkreasi untuk menghasilkan suatu
karya selama proses belajar berlangsung.
Media tidak lepas dari kata komunikasi dan bahasa yang memiliki pengaruh besar
dalam kehidupan manusia untuk berkomunikasi, mengekspresikan diri dan berinteraksi
social. Mengingat fungsi yang dimiliki bahasa sangat banyak, maka kita perlu mengadakan
pengembangan dalam keterampilan bahasa. Keterampilan berbahasa mencakup empat segi
keterampilan, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca,
dan keterampilan menulis.
Berdasarkan Badan Standar Nasional Pendidikan, menyatakan bahwa standar isi bahasa
Indonesia yaitu pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
siswa untuk berkomunikasi dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan, serta
untuk menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia (Ahmad
Susanto:2015). Menurut Tarigan (2008:3), menulis adalah keterampilan berbahasa yang
dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung dan tidak dilakukan secara tatap
muka dengan orang lain.
Kenyataannya, fungsi media yang masih belum optimal pemanfaatannya dibidang
pendidikan. Hal ini terlihat dari data kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo)
dipertengahan tahun 2014 menunjukkan bahwa 67% isi siaran adalah hiburan (yang belum
tentu positif bagi masyarakat), sedangkan fungsi informasi, pendidikan dan kontrol sosial
masing-masing hanya sekitar 10% saja. (Sumber: Tabloid Pulsa, 2015).
Selain itu, keterampilan siswa dalam menulis puisi rendah, terlihat dari hasil wawancara
dan pengamatan langsung yang dilakukan peneliti bahwa siswa masih kesulitan dalam
menentukan alur dalam puisi. Hal ini disebabkan karena pembelajaran puisi hanya
menerapkan untuk gemar menulis dan menyenangi puisi melalui lirik lagu anak sehingga
kurang mendorong kreativitas siswa dalam berimajinasi dan menuliskan ke dalam puisi.
Senada dengan hasil penelitian yang dilakukan Aida Rosdiani (2016:2) menemukan akar
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

395
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

permasalahan dari keterampilan menulis puisi rendah yang disebabkan karena siswa masih
merasa kesulitan untuk menuangkan ide atau gagasan yang dimiliki dalam bentuk puisi. Ide
atau gagasan siswa masih tidak terstruktur sehingga pengungkapannya dalam puisi kurang
runtut.
Literasi media merupakan istilah lain dari melek media. Secara sederhana, literasi
media adalah kemampuan menyaring, memilah, dan memilih pesan-pesan yang terdapat
dalam media massa, baik cetak maupun elektronik. Jane Tallim (Sri Sukasih, dkk:2015)
mendefinisikan literasi media sebagai “the ability to sift through and analyze the messages
that inform, entertain and sell to us every day. It’s the ability to bring critical thinking skills
to bear on all media”. Dari definisi tersebut, dapat diketahui kunci dalam literasi media, yaitu
kritis dalam mengevaluasi konten media. Secara sederhana, siswa mampu memahami isi
konten media.
Konteks media yang beragam baik media cetak atau media massa menjadi sarana
pendidikan yang diangkat dari budaya sendiri yang penuh kearifan lokal. Untuk memahami
isi pesan media yang kemudian dituangkan dalam puisi maka diperlukan sebuah kecakapan
yaitu literasi media. Dengan kata lain, literasi media merupakan payung untuk melindungi
masyarakar dari “guyuran” informasi di media. Literasi media dapat dijadikan sebagai kunci
terbentuknya masyarakat yang cerdas dan kritis (Inda F., 2016).
Penggunaan media dalam pembelajaran dapat mempermudah siswa dalam memahami
sesuatu yang abstrak menjadi konkrit sehingga dapat memotivasi dan mendorong keinginan
untuk belajar serta mengefektifkan proses belajar mengajar. Didasari oleh pernyataan Bruner
(1966) berpendapat bahwa siswa belajar melalui tiga tahapan yaitu enaktif, ikonik, dan
simbolik. Tahap enaktif yaitu tahap dimana siswa belajar memanipulasi benda-benda konkrit.
Tahap ikonik yaitu suatu tahap dimana siswa belajar dengan menggunakan gambar.
Sementara simbolik yaitu tahap dimana siswa belajar dengan menggunakan simbol-simbol.
Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan menulis
puisi dengan menggunakan peran literasi media pada siswa kelas III SDN 04 Ciganjur.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian tindakan kelas atau yang biasa
dikenal Classroom Action Research (CAR). Menurut Ebbut, penelitian tindakan kelas adalah
kajian sistematik dari upaya perbaikan pelaksanaan praktek pendidikan oleh sekelompok guru
dengan melakukan tindakan-tindakan dalam pembelajaran, berdasarkan refleksi mereka
mengenai hasil dari tindakan-tindakan tersebut (Wiratmadja, 2009:12). Desain penelitian
yang digunakan adalah model John Elliot. Menurut Kunandar (2013:42) menyatakan konsep
penelitian tindakan John Elliot terdiri dari beberapa langkah, yaitu tahap pendahuluan,
perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Sasaran penelitiannya adalah siswa kelas
III SDN 04 Ciganjur Kota Jakarta Selatan.
Instrumen penelitian yang digunakan yaitu lembar angket, lembar observasi dan
instrument tes kemampuan menulis puisi di kelas III sekolah dasar. Hasil penelitian yang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

396
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

diharapkan adalah dengan indikator keberhasilan hasil tes kemampuan menulis puisi dengan
menggunakan media gambar siswa sudah mencapai rata-rata skor 70 atau sesuai dengan
standar mastery learning yaitu ≥75%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pra tindakan
Pada pra tindakan, peneliti melakukan tes pra tindakan untuk mengetahui kemampuan
menulis puisi siswa sebelum tindakan, didapat rata-rata hasil tes pra tindakan sebesar 59.
Selain itu, peneliti juga melakukan observasi dan wawancara, dari hasil observasi dan
wawancara dapat dikatakan bahwa keterampilan menulis puisi siswa masih rendah dan masih
menemukan hambatan-hambatan dalam proses pembelajaran.
Untuk lebih jelas mengenai hambatan-hambatan siswa yang didapat dengan teknik
angket dapat dilihat pada tabel 1, berdasarkan tabel tersebut sebagian besar siswa dapat
dikatakan masih merasa kesulitan dalam menyusun kata-kata, kesulitan dalam menggunakan
ide dan imajinasi, belum dapat membedakan cerita dan puisi, bahkan seluruh siswa
memerlukan media untuk membantu menulis puisi.
Tabel 1. Hasil Angket Pra tindakan
Alternatif jawaban
Pertanyaan
Ya % Tidak %
Apakah kamu merasa kesulitan
menyusun kata-kata dalam membuat 27 81% 6 19%
puisi?
Apakah kamu merasa kesulitan
30 90% 3 10%
mengungkapkan ide dan imajinasi?
Apakah kamu bisa membedakan
24 73% 9 27%
cerita dan puisi?
Apakah kamu memerlukan media
33 100% 0 0%
untuk menulis puisi?

Tindakan Siklus I
Pada siklus I, peneliti membuat beberapa perencanaan pembelajaran diantaranya
sebagai berikut 1) peneliti mengembangkan perangkat pembelajaran (RPP dan LKS), literasi
media visual berupa gambar, koran, majalah, dan lain-lain. Perangkat penelitian yang
diperlukan (tes keterampilan menulis puisi siklus I, lembar pengamatan, dan alat
dokumentasi). Pembelajaran dilaksanakan selama satu bulan pada bulan Februari 2017
dengan pertemuan sebanyak lima kali pertemuan, empat kali pertemuan untuk proses
pembelajaran dan satu pertemuan untuk tes akhir siklus I dengan alokasi waktu masing-
masing tindakan dan tes adalah 2×35 menit (2 jam pembelajaran).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

397
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Peneliti melakukan analisis terhadap hasil tes keterampilan menulis puisi siswa pada
siklus I. Adapun hasil akhir tes siklus I dapat terlihat dari tabel berikut ini.
Tabel 2. Hasil Tes Akhir Siklus I
Persentase Nilai
Ketuntasan Frekuensi
(%) rata-rata
Nilai siswa ≥ 70 14 42 %
66
Nilai siswa ˂ 70 19 58 %

Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa rata-rata kemampuan representasi


matematis siswa pada siklus I masih dibawah standar mastery learning yaitu ≥75%. Hal ini
terlihat dari rata-rata hasil akhir tes siklus I yang hanya memperoleh skor sebesar 66, hanya
14 siswa yang telah tuntas pada pelajaran bahasa Indonesia materi menulis puisi dengan
persentase sebesar 42% siswa dan 19 siswa yang belum tuntas pada pelajaran bahasa
Indonesia materi menulis puisi dengan persentase sebesar 58% siswa.
Adapun hasil persentase aspek keterampilan menulis dapat disajikan pada tabel berikut
ini.
Tabel 3. Hasil Aspek Keterampilan Menulis Siklus I
No. Aspek Skor Skor Rata- Persentase
Siswa Maksimal rata (%)
1. Judul 110 165 3,3 67%
2. Imajinasi 80 165 2,4 48%
3. Diksi/kata 71 165 2,1 43%
4. Amanat 116 165 3,5 70%

Tabel 1 menunjukkan bahwa aspek keterampilan menulis yang diukur dalam


penelitian ini diantaranya kesesuaia judul, imjinasi, diksi/pemilihan kata dan amanat. Pada
siklus ini terlihat persentase tertinggi pada aspek amanat sebesar 70%, sedangkan persentase
terendah pada aspek diksi/pemilihan kata sebesar 43%. Dari hasil tersebut telah
menunjukkan bahwa pada umumnya siswa kelas III pada siklus I lebih memahami amanat,
kemudian menguasai judul, imanjinasi dan yang terakhir menguasai diksi/pemilihan kata.
Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan bahwa siswa sudah menunjukkan sikap baik,
namun masih ada siswa yang kurang aktif bertanya maupun memberikan pendapat.
Ditemukan juga beberapa hal yang harus diperbaiki di siklus selanjutnya dalam proses
pembelajaran sebagai berikut: (1) Peneliti perlu memberikan stimulus agar siswa berani
memberikan pendapat; (2) Peneliti perlu strategi baru untuk beberapa siswa yang belum
konsentrasi selama pelajaran berlangsung; dan (3) Peneliti perlu menyediakan beragam literasi
media agar menambah ide dan kreativitas siswa. Hal ini jika dilihat dari hasil intervensi
tindakan yang diharapkan, maka siklus satu ini belum berhasil.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

398
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tindakan Siklus II
Pembelajaran pada siklus II dilaksanakan sampai bulan Maret 2017 sebanyak lima kali
pertemuan, empat kali pertemuan untuk proses pembelajaran dan satu pertemuan untuk tes
akhir siklus II dengan alokasi waktu masing-masing tindakan dan tes adalah 2×35 menit (2
jam pembelajaran).
Peneliti melakukan analisis terhadap hasil tes keterampilan menulis puisi siswa pada
siklus II. Adapun hasil akhir tes siklus I dapat terlihat dari tabel berikut ini.
Tabel 4. Hasil Tes Akhir Siklus II
Persentase Nilai
Ketuntasan Frekuensi
(%) rata-rata
Nilai siswa ≥ 70 26 78 %
75
Nilai siswa ˂ 70 7 22 %

Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa rata-rata keterampilan menulis puisi siswa
pada siklus II sudah berada di atas standar mastery learning yaitu ≥75%. Hal ini terlihat dari
skor rata-rata tes akhir siklus II sebesar 75. Selanjutnya, pada tabel dapat dilihat hanya 26
siswa yang telah tuntas pada pelajaran bahasa Indonesia materi menulis puisi dengan
persentase sebesar 78% siswa dan 7 siswa yang belum tuntas pada pelajaran bahasa Indonesia
materi menulis puisi dengan persentase 22% siswa. Jika dilihat pada hasil intervensi tindakan
yang diharapkan, hal ini dapat disimpulkan bahwa tes akhir siklus II sudah mencapai hasil
yang diharapkan.
Adapun hasil persentase aspek keterampilan menulis dapat disajikan pada tabel berikut
ini.
Tabel 5. Hasil Aspek Keterampilan Menulis Siklus II
No. Aspek Skor Skor Rata- Persentase
Siswa Maksimal rata (%)
1. Judul 140 165 4,2 85%
2. Imajinasi 121 165 3,7 73%
3. Diksi/kata 114 165 3,4 69%
4. Amanat 118 165 3,5 72%

Tabel 5 menunjukkan bahwa aspek keterampilan menulis yang diukur dalam


penelitian ini diantaranya kesesuaian judul, imajinasi, pemilihan kata/diksi, amanat. Pada
siklus ini terlihat persentase tertinggi pada aspek kesesuaian judul sebesar 85%, sedangkan
persentase terendah pada aspek diksi/pemilihan kata sebesar 69%. Dari hasil tersebut telah
menunjukkan bahwa pada umumnya siswa kelas III pada siklus I lebih menguasai kesesuaian
judul, kemudian menguasai amanat, imajinasi dan yang terakhir menguasai pemilihan
kata/diksi.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

399
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan bahwa pembelajaran sudah kondusif, siswa


sudah berani berpendapat, dan rencana perbaikan-perbaikan disiklus sebelumnya sudah
diterapkan. Selain itu, di akhir tindakan peneliti juga memberikan angket pasca tindakan
seperti pada tabel 6, hal dilakukan untuk mengetahui hambatan-hambatan sebelum tindakan
dapat teratasi sesudah tindakan hasil proses pembelajaran langsung dari respon siswa. Hal ini
jika dilihat dari hasil intervensi tindakan yang diharapkan, maka siklus dua ini telah berhasil.
Tabel 6. Hasil Angket Pasca tindakan
Alternatif jawaban
Pertanyaan
Ya % Tidak %
Apakah kamu merasa kesulitan
menyusun kata-kata dalam membuat 5 15% 28 85%
puisi?
Apakah kamu merasa kesulitan
9 27% 24 73%
mengungkapkan ide dan imajinasi?
Apakah kamu bisa membedakan
28 79% 7 21%
cerita dan puisi?
Apakah kamu memerlukan media
31 94% 2 6%
untuk menulis puisi?

Peningkatan keterampilan menulis siswa dapat dilihat dari perubahan skor dari siklus I
ke siklus II. Setiap kekurangan siklus I, akan menjadi perbaikan disiklus II sehingga terjadinya
peningkatan. Peningkatan hasil tes keterampilan menulis puisi siswa sebagai gambar berikut.
Gambar 1. Grafik Hasil Tes Siklus I dan II

Dan dapat dilihat pada Gambar 2.bahwa terdapat temuan menarik pada keterampilan
menulis puisi yang diukur pada aspek diksi/pemilihan kata yang memiliki skor terendah dari
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

400
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pada aspek lain disetiap siklusnya tetapi mengalami peningkatan yang paling tinggi dari pada
indikator lainnya yaitu sebesar 26%. Hal ini disebabkan karena siswa belum terbiasa
membuat puisi dan kurangnya kosakata, sehingga kata yang digunakan kata-kata pada
umumnya didengar oleh mereka.Untuk lebih memahami lebih rincinya peningkatan aspek
keterampilan menulis siswa, maka disajikan gambar sebagai berikut.
Gambar 2. Grafik Keterampilan Menulis Siklus I dan II

Berdasarkan hasil penelitian, peran literasi media mampu meningkatkan


keterampilan menulis puisi siswa. Hasil analisis data tes menulis puisi siswa menunjukkan
adanya peningkatan skor tes menulis puisi siklus I dan skor tes menulis puisi siklus II.
Literasi media terbukti efektif dalam mengembangkan keterampilan menulis puisi siswa
dikarenakan pada hakikatnya prinsip Gagne bahwa media dapat merangsang siswa dalam
belajar (Sadirman: 2009). Artinya, siswa dapat terdorong untuk berimajinasi dengan
berbantuan media.
Penggunaan media dalam pembelajaran dapat mempermudah siswa dalam memahami
sesuatu yang abstrak menjadi konkrit. Sesuai dengan teori Piaget, yang menurutnya siswa SD
umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun yang berada pada fase
operasioal konkret (Heruman, 2012). Hal ini sejalan dengan hasil peneliti yang dapat
dikatakan siswa menulis puisi dengan bantuan literasi berbagai macam media yang disediakan
diantaranya koran, video, gambar ilustrasi, majalah dan lain-lainnya terlihat sangat membantu
siswa dalam meningkatkan aspek menulis puisi. Aspek-aspek menulis puisi yang telah
dilakukan penelitian diantaranya (1) Kesesuaian judul, dengan berbantuan media visual yang
paling mudah ditangkap oleh siswa sehingga siswa dengan mudah untuk menentukan sebuah
judul puisi; (2) Imajinasi, dengan berbantuan media bergambar siswa akan lebih mudah
berimajinasi dan memunculkan imajinasi-imajinasi baru; (3) Diksi, dengan berbantuan media
audio berupa video bersuara sehingga siswa akan mudah memilah kata-kata yang sesuai untuk
isi puisinya; (4) Amanat, dengan bantuan media tulisan ataupun lisan siswa lebih mudah
dalam menyampaikan pesan-pesan yang akan dituang ke dalam sebuah puisi.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

401
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa
pemanfaatan peran literasi media visual dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat
meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa, oleh karena itu hasil belajar meningkat.
Rata-rata skor hasil belajar dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 9. Pada
siklus I nilai rata-rata sebesar 66 dengan tingkatan ketuntasan hanya mencapai 42% dan pada
siklus II terjadi peningkatan perolehan rata-rata 75 dengan tingkat ketuntasan sebesar 78%
Sesuai dengan hasil intervensi yang diharapkan, maka pembelajaran bahasa Indonesia materi
menulis puisi sudah dikatakan berhasil.
Peran literasi media visual juga mendapat respon siswa sebelum dan sesudah tindakan
yang cukup signifikan. Pada point menyusun kata-kata dalam menulis puisi mengalami
perbedaan sebesar 66%. Hal ini menyatakan bahwa siswa sudah dapat menyusun kata-kata
dalam puisi. Pada point mengungkapkan ide dan imajinasi mengalami perbedaan sebesar
63%. Hal ini menyatakan bahwa siswa sudah dapat mengungkapkan ide dan imajinasi. Pada
point membedakan puisi dan cerita dalam menulis puisi mengalami sedikit perbedaan sebesar
6%. Hal ini menyatakan bahwa siswa sudah dapat membedakan cerita dan puisi dalam
menulis puisi. Pada point respon bantuan menggunakan media mengalami sedikit perbedaan
sebesar 6%. Hal ini menyatakan baik sebelum atau sesudah tindakan siswa merasa lebih
terbantu dengan penggunaan literasi media.

Saran
Berdasarkan temuan-temuan selama penelitian, penulis mengajukan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Rendahnya keterampilan menulis puisi dikarenakan siswa kurang memahami
masalah dikarenakan kurang beragamnya media sehingga diperlukan pengelolaan
media yang lebih beragam.
2. Pada point respon siswa membedakan cerita dan puisi sebaiknya diberikan
contoh kasusnya.

Daftar Pustaka

Kunandar. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi


Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013.
Sadirman, Arief S., dkk. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan
Pemanfaatannya. Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2005.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

402
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabloid Pulsa. Kemkominfo Bisa Punya Andil Besar Cegah Kekerasan. Edisi 306 TH XII.
11-24 Maret. 2015.
Rosdiani, Aida. Pengaruh Teknik Akrostik Terhadap Keterampilan Menulis Puisi Siswa
Kelas V SD Islam Al Amanah Tahun Pelajaran 2015/2016. Jakarta: UIN Jakarta.
2016.
Fitryarini, Inda. “Literasi Media Pada Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas
Mulawarman”. Jurnal Komunikasi. Vol. 8. No. 1. 2016.
Bruner Jerone.S. Toward a theory of Instruction. Cambridge: Havard University. 1966.
Susanto, Ahmad. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta:Prenadamedia
Grup. 2015.
Tarigan, Henry Guntur.Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa . Bandung: PT
Angkasa. 2008.
Wiratmadja, Rochiati. Metode Penelitian Tindakan kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2009.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

403
Nurlaili Irias Putri, Rahmatika Rizqi Utami, Rahman Saleh Alfarisi,
Fahrudin Bustomi, Ardian Yogi Tri Prasetyo
Universitas Negeri Semarang
e-mail: nurlailiiriasp@gmail.com
Abstrak. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan suatu kegiatan yang bersifat partisipatif
dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stake holder), yang bertujuan menumbuhkan
budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah. Salah satu yang
melatarbelakangi GLS ialah adanya hasil survei yang menyatakan rendahnya keterampilan membaca
peserta didik di Indonesia dan adanya tuntutan keterampilan membaca pada abad 21 yaitu
kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. GLS sudah mulai diterapkan
di sekolah, termasuk sampai jenjang SMA sederajat. Salah satu bentuk implementasinya ialah
membaca serentak selama 15 menit sebelum pembelajaran berlangsung pada setiap kelas. Apabila
dicermati lebih dalam, aktivitas keberaksaraan tersebut masih memiliki kelemahan, yaitu peserta
didik hanya sekadar membaca tanpa ada aktivitas lanjutan. Pengembangan aktivitas keberaksaraan
belum berkembang seiring, misalnya dengan pengembangan kompetensi literasi tulis peserta didik.
Pada era global ini teknologi memegang peranan penting, media sosial berupa aplikasi instagram
salah satunya. Pemanfaatan akun media sosial instagram oleh peserta didik, biasanya hanya
dimanfaatkan untuk menggunggah foto mengenai berbagai aktivitasnya. Padahal, media sosial yang
begitu dekat dengan keseharian peserta didik ini bisa menjadi media yang mendukung tindak lanjut
GLS, salah satunya untuk publikasi book review. Book review atau menyusun resensi merupakan
salah satu tindak lanjut yang dapat dilakukan setelah aktivitas membaca. Hasil me-review buku
tersebut kemudian dapat dipublikasikan melalui akun instagram yang dimiliki peserta didik
sehingga akan memberi manfaat lebih yaitu: (1) sebagai indikator pendalaman atau pemikiran kritis
terhadap isi buku; (2) sebagai bahan literasi (bacaan) alternatif bagi pengikut akun instagram
tersebut; dan (3) melatih keterampilan literasi tulis peserta didik, selain literasi baca. Bentuk literasi
yang implementatif dan “dekat” dengan keseharian peserta didik, maka upaya mendukung GLS pada
jenjang SMA sederajat dapat maksimal.

Kata Kunci: gerakan literasi sekolah, instagram-book review

Pendahuluan
Berdasar desain induk Gerakan Literasi Sekolah (2016), Gerakan Literasi Sekolah
(GLS) merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan
warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah,
komite sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media
massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll),
dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Faizah (2017), Tujuan GLS
ialah menumbuhkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi
sekolah yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan literasi yang implementatif.
Buku saku Gerakan Literasi Sekolah (2016) menyatakan bahwa, GLS muncul
karena: (1) adanya fakta hasil survei internasional (PIRLS 2011, PISA 2009 & 2012) yang
mengukur bahwa keterampilan membaca peserta didik Indonesia menduduki peringkat
bawah; (2) tuntutan keterampilan membaca pada abad 21 adalah kemampuan memahami
informasi secara analitis, kritis, dan reflektif; (3) pembelajaran di sekolah belum mampu
mengajarkan kompetensi abad 21; dan (4) kegiatan membaca di sekolah perlu dikuatkan
dengan pembiasaan membaca di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015
tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Salah satu hal pokok yang tertuang dalam peraturan
tersebut yaitu kewajiban membaca buku nonteks pelajaran selama 15 menit sebelum jam
pembelajaran dimulai setiap hari di sekolah (Tempo, 2017). Apabila dicermati lebih dalam,
aktivitas keberaksaraan tersebut masih memiliki kelemahan, yaitu peserta didik hanya sekadar
membaca tanpa ada aktivitas lanjutan. Selain itu, pengembangan aktivitas keberaksaraan juga
belum berkembang seiring, misalnya dengan pengembangan kompetensi literasi tulis peserta
didik. Padahal, GLS diharapkan mampu menambah wawasan peserta didik sebagai modal
untuk bersaing secara global.
Pada era global ini teknologi memegang peranan penting pada setiap sisi kehidupan,
termasuk di bidang pendidikan. Media sosial merupakan wujud teknologi yang sangat
dekat dengan remaja (termasuk peserta didik). Salah satu bentuk media sosial yang banyak
diaplikasikan ialah instagram. Pemanfaatan akun media sosial instagram oleh peserta didik,
biasanya hanya dimanfaatkan untuk menggunggah foto mengenai berbagai aktivitasnya.
Padahal, media sosial yang begitu dekat dengan keseharian peserta didik ini bisa
menjadi media yang mendukung tindak lanjut GLS, salah satunya untuk publikasi book
review.
Menyusun resensi merupakan salah satu tindak lanjut yang dapat dilakukan setelah
aktivitas membaca. Hasil me-review tersebut kemudian dapat dipublikasikan melalui akun
instagram yang dimiliki peserta didik sehingga akan memberi manfaat lebih, yaitu (1) sebagai
indikator pendalaman atau pemikiran kritis terhadap isi buku; (2) sebagai bahan literasi
(bacaan) alternatif bagi pengikut akun instagram tersebut; (3) melatih keterampilan literasi
tulis peserta didik, selain literasi baca. Kebaruan implementasi literasi baca tulis tersebut
bernama booktagram. Dengan bentuk literasi yang implementatif dan “dekat” dengan
keseharian peserta didik, maka upaya mendukung GLS secara maksimal.

Gerakan Literasi Sekolah


Penelitian mengenai gerakan literasi sekolah pernah ditulis sebelumnya oleh
Faradina (2017) dan Pradana (2017).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

405
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Faradina (2017) menulis penelitian dengan judul “Pengaruh Program Gerakan


Literasi Sekolah Terhadap Minat Baca Siswa di SD Islam Terpadu Muhammadiyah An-
Najah Jatinom Klaten”. Penelitian ini mendeskripsikan mengenai pengaruh Gerakan Literasi
Sekolah (GLS) terhadap minat baca siswa.
Pradana dkk (2017) menulis penelitian dengan judul “Pelaksanaan Gerakan Literasi
Sekolah Sebagai Upaya Membentuk Habitus Literasi Siswa di SMA Negeri 4
Magelang”. Peneliti ini mendeskripsikan mengenai dalam pelaksanaan Gerakan Literasi
Sekolah merupakan upaya membentuk habitus literasi pada peserta didik.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa Gerakan Literasi Sekolah
sangat berpengaruh terhadap peserta didik. Gerakan Literasi Sekolah sangat membantu
peserta didik jika GLS terlaksana secara maksimal di sekolahnya. Selain peserta didik
mendapatkan pengetahuan dari buku yang sudah dibaca, mereka juga mendapatkan contoh
perilaku-perilaku yang baik dan unggul.
Berdasar Desain induk Gerakan Literasi Sekolah (GLS) (2016) menyatakan bahwa
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan
berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya
literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.
Menurut Faradina (2017) menyatakan bahwa GLS adalah upaya menyeluruh yang
melibatkan semua warga sekolah (guru, peserta didik, orangtua/wali murid) dan
masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa gerakan literasi sekolah merupakan
gerakan melek baca dan tulis yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Instagram-Book Review
Penelitian mengenai instagram pernah ditulis oleh Connely (2014), Hu dkk (2014),
dan Sharma (2015).
Connely (2014) menulis penelitian dengan judul “Meaningful Literacy: How
Multimodal Literacy Engages All Learners”. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana
instagram dapat melibatkan siswa dalam membaca.
Hu dkk (2014) menulis penelitian dengan judul “What We Instagram: A Frist
Analysis of Instagram Photo Content and User Types”. Penelitian ini membahas mengenai
analisis kualitatif dan kuantitatif pada instagram. Analisis meliputi analisis konten dan
pengguna dalam instagram.
Sharma dkk (2015) menulis penelitian dengan judul “Measuring and Characterizing
Nutrional Information of Food and Ingestion Content in Instagram.” Penelitian ini
membahas mengenai penggunaan instagram sebagai media social yang populer untuk berbagi
pengalaman konsumsi dan makan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

406
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sekarang ini, media sosial tidak bisa terlepas oleh kehidupan manusia. Salah satu media
sosial yang sering digunakan oleh manusia yaitu instagram. Instagram tidak hanya untuk
mengunggah foto atau video aktivitas sehari-hari saja. Tetapi instagram mampu dijadikan
media pembelajaran sekolah menengah atas.
Menurut Wetta dalam Connely (2014), a librarian, explains how Instagram can
engage students in reading. Media sosial instagram dalam melibatkan peserta didik dalam
membaca. Ternyata melalui media social instagram dapat menjadi media membaca bagi
pembacanya. Apabila orang yang menggunggah tersebut menginfokan hal positif maka
bermanfaat bagi pembacanya. Tetapi jika orang yang mengunggah hal-hal yang negatif maka
tidak akan bermanfaat untuk pembaca.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa instagram dapat menjadi media
pembelajaran peserta didik.

Implementasi Instagram–Book Review: Upaya Pendukung Gerakan Literasi Sekolah Pada


Jenjang SMA Sederajat
Saat ini media sosial merupakan wujud teknologi yang sangat dekat dengan kehidupan
manusia. Hampir setiap manusia berkegiatan tidak lepas dari media social. Salah satu
bentuk media sosial yang banyak diaplikasikan ialah instagram. Pemanfaatan akun media
sosial instagram oleh peserta didik, biasanya hanya dimanfaatkan untuk menggunggah foto
mengenai berbagai aktivitasnya. Padahal, media sosial yang begitu dekat dengan keseharian
peserta didik ini bisa menjadi media yang mendukung tindak lanjut GLS, salah satunya untuk
publikasi book-review.
Menyusun resensi atau book-review merupakan salah satu tindak lanjut yang
dapat dilakukan setelah aktivitas membaca. Hasil me-review tersebut kemudian dapat
dipublikasikan melalui akun instagram yang dimiliki peserta didik sehingga akan memberi
manfaat lebih, yaitu (1) sebagai indikator pendalaman atau pemikiran kritis terhadap isi
buku; (2) sebagai bahan literasi (bacaan) alternatif bagi pengikut akun instagram tersebut; (3)
melatih keterampilan literasi tulis peserta didik, selain literasi baca. Kebaruan implementasi
literasi baca tulis tersebut bernama booktagram. Dengan bentuk literasi yang implementatif
dan “dekat” dengan keseharian peserta didik, maka upaya mendukung GLS dapat berjalan
dengan maksimal.
Pola pelaksanaan GLS berpedoman pada tahapan GLS. Berdasar desain induk
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) (2016) menyatakan bahwa tahapan GLS terbagi menjadi
tiga yaitu: (1) pembiasaan, (2) pengembangan, dan (3) pembelajaran. Tahap pembiasaan
yaitu penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca. Tahap pengembangan
yaitu meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan.
Tahap pembelajaran yaitu meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran.
Booktagram dihadirkan sesuai dengan tahapan GLS. Booktagram memiliki tiga
tahapan yaitu: (1) pembiasaan, (2) pengembangan, dan (3) pembelajaran. Masing-masing

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

407
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tahapan memiliki perlakuan tidak sama dengan seperti GLS tetapi memiliki makna yang
sama.
Berikut ini bagan implementasi Booktagram

Tahap pertama yaitu tahap pembiasaan. Tahap pembiasaan didalamnya terdapat


pengelolaan pojok baca. Pojok baca dikelola masing-masing kelas. Peserta didik
bertanggungjawab atas pojok baca yang terdapat di setiap kelas. Pojok baca di kelas
merupakan sarana yang digunakan dalam Gerakan Literasi Sekolah. Selain itu, terdapat
pembiasaan lima belas menit membaca sebelum pembelajaran. Hal ini dilakukan oleh peserta
didik sebelum melakukan pembelajaran. Buku yang mereka baca buku fiksi dan nonfiksi.
Tahap kedua yaitu tahap pengembangan. Tahap pengembangan terdapat lima tahapan
yaitu (1) review buku, (2) menyunting, (3) desain booktagram, dan (4) revisi desain
Review buku berarti peserta didik membuat cacatan atau mengulas buku yang telah
dibaca. Menyunting merupakan langkah yang kedua. Peserta didik menyunting secara
mandiri hasil tulisan yang berupa resensi buku. Selanjutnya, desain booktagram yaitu
membantu peserta didik untuk membantu mendesain tampilan resensi sebelum
diunggah pada instagram. Tidak hanya cukup sampai desain booktagram tetapi memiliki
kelanjutan yaitu revisi desain. Revisi desain dilakukan untuk meneliti ada kesalahan atau tidak
sebelum diunggah.
Tahap ketiga yaitu pembelajaran. Tahap ini dilakukan untuk mengunggah booktagram
yang telah dibuat oleh peserta didik. Unggah dilakukan melalui instagram peserta didik
masing-masing. Sehingga book-review yang dilakukan tidak hanya bermanfaat untuk dirinya
sendiri tetapi untuk teman-teman yang mengikuti akun instagram mereka.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

408
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berikut penjelasan dalam bentuk tabel


a. Pembiasaan

Mengelola pojok baca Menyediakan pojok baca di kelas sebagai sarana yang digunakan
dalam Gerakan Literasi Sekolah
Lima belas menit membaca Membaca buku bacaan selama lima belas menit sebelum
pembelajaran dimulai

b. Pengembangan

Review buku Peserta didik membuat catatan dan ulasan buku yang telah dibaca
Membuat resensi buku Meresensi buku bacaan yang telah dibaca
Menyunting Peserta didik menyunting secara mandiri hasil tulisan yang berupa
resensi buku

Desain booktagram Membantu peserta didik untuk mendesain tampilan resensi sebelum
diunggah pada instagram

Revisi desain Merevisi desain resensi

c. Pembelajaran
Unggah resensi pada Mengunggah hasil resensi dari peserta didik pada instagram
instagram

Buku yang dibaca oleh peserta didik buku non pelajaran tetapi buku fiksi dan nonfiksi.
Buku fiksi meliputi: (1) novel, (2) antologi cerpen, (3) antologi puisi, (4) drama, (5) mitos,
(6) fabel, (7) hikayat, dan lain-lain. Buku nonfiksi meliputi (1) biografi, (2) esai, (3) opini,
(4) pidato, (5) buku eksiklopedia, (6) buku pembelajaran, dan lain-lain.

Penutup
Booktagram merupakan salah satu wujud literasi digital di era sekarang. Memanfaatkan
media sosial instagram. Booktagram menjadi media dan resensi merupakan isi dari
booktagram. Mewujudkan booktagram dapat dilakukan dengan tiga tahapan yaitu; (1)
pembiasaan, (2) pengembangan, dan (3) pembelajaran. Marilah bijak dalam
menggunakan media sosial, salah satunya untuk menggugah hasil resensi buku atau book
review. Sehingga media social instagram dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

409
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka

Connelly, Kelly. 2017. Meaningful Literacy: How Multimodal Literacy Engages All
Learners.
http://soar.wichita.edu:8080/bitstream/handle/10057/14462/t17002_Connel
ly.pdf?sequence=1&isAllowed=y. Diakses pada tanggal 30 November 2017.
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. 2016. Buku Induk Gerakan Literasi Sekolah.
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. 2016. Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah.
Faizah, Dewi Utama. 2017. Literasi dalam Pembelajaran. Prosiding. Konferensi Bahasa
dan Sastra II. International Conference on Language, Literature, and Teaching.
Faradina. 2017. Pengaruh Program Gerakan Literasi Sekolah Terhadap Minat Baca Siswa di
SD Islam Terpadu Muhammadiyah An- Najah Jatinom Klaten. Jurnal Hanata
Widya. Volume 60 6 Nomor 8 Tahun 2017.
Hu dkk. 2014. What We Instagram: A Frist Analysis of Instagram Photo Content and
User Types.
https://www.aaai.org/ocs/index.php/ICWSM/ICWSM14/paper/viewFile/81
18/8087. Diakses pada tanggal 1 Mei 2018.
Pradana, Betha dkk. 2017. Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah Sebagai Upaya
Membentuk Habitus Literasi Siswa di SMA Negeri 4 Magelang. Jurnal
Solidarity.
Sharma dkk. 2015. Measuring and Characterizing Nutrional Information of Food and
Ingestion Content in Instagram. http://www.munmund.net/pubs/www15_1.pdf.
Diakses pukul pada tanggal 30 November 2017.
Tempo.co. 2017. Gerakan Literasi Sekolah Wujudkan Nawa Cita.
https://nasional.tempo.co/read/870509/gerakan-literasi-sekolah- wujudkan-
nawa-cita. Diakses pada tanggal 30 November 2017..

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

410
Nurochim
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: nurochim@uinjkt.ac.id
Abstrak. Artikel ini membahas secara teoretik kaitan antara media berbasis digital untuk meningkatkan
kompetensi mahasiswa jika digunakan secara sistemik. Untuk dapat diterima dan bersaing di dunia kerja dan
industri diperlukan kesuaian latar belakang pendidikan dan jenis pekerjaan. Proses pembelajaran merupakan
hal penting dalam membentuk keterampilan yang diperlukan dalam dunia kerja. Manajemen pendidikan
memiliki tujuan membentuk tenaga kerja yang mahir dalam bidang pengelolaan lingkup pendidikan. Penting
untuk memahami antara teori dan kondisi sesungguhnya dalam dunia kerja. Standar-standar dalam bidang
pengelolaan pendidikan harus dikuasai oleh tenaga kerja bidang manajemen pendidikan. Dalam proses
pembelajaran media berbasis digital berfungsi untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa program studi
manajemen pendidikan. Media digital dekat dengan mahasiswa pada saat ini, sehingga menjadi efektif sebagai
alat pembelajaran. Penggunaan media digital ini seharusnya secara masif, digunakan di semua mata kuliah,
sehingga pengalaman empiris dapat dibawa di ruang kelas melalui media digital.

Kata Kunci: media digital, pembelajaran, manajemen pendidikan, pelembagaan

Pendahuluan
Media merupakan fakta sosial yang ada di setiap kehidupan manusia. Sebab media
merupakan perantara manusia dalam berkomunikasi dalam kehidupan. Salah satu jenis media
adalah media digital. Media digital lekat dengan kondisi yang ada pada saat ini, sehingga
media digital seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, salah satunya dalam proses
pembelajaran. Pemanfaatan media digital yang efektif dan efisien seharusnya dilaksanakan
secara sistemik dan masif. Dapat dipahami bahwa pelembagaan penggunaan media digital
perlu dilaksanakan dalam proses pembelajaran.
Realita menunjukkan bahwa berbagai aktivitas manusia yang melibatkan penerapan
ilmu pengetahuan, memberikan dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam
menghadapi tantangan tersebut, maka dibutuhkan sumber daya manusia yang mampu
mengikuti pesatnya perkembangan teknologi informasi secara kreatif, produktif, partisipatif
dan kontributif kepada masyarakat serta dapat berpikir kritis dalam komunitas global abad
saat ini.
Lingkup komunitas global saat ini media digital menjadi hal yang penting dalam
interaksi manusia. Dalam landscape media digital, mengonsumsi konten media hanyalah
sebagian dari pemanfaatan media digital. Konsumen media juga menikmatinya dengan
memproduksi berbagi konten media digital. Kombinasi mengkonsumsi dan memproduksi ini

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

telah disebut „prosuming‟.1 Dosen dan mahasiswa dapat berperan sebagai konsumen dan
produsen dalam penggunaan media digital. Penting bagi semua mata kuliah melaksanakan
pembelajaran nyata dengan media digital. Penggunaan media digital secara sistemik
merupakan salah satu inovasi dalam pelaksanaan pembelajaran pada program studi
Manajemen Pendidikan. Sehingga media digital dapat memiliki manfaat manfaat kognitif,
nonkognitif, sosial, dan praktis dalam proses pembelajaran.2
Penggunaan media digital dalam pembelajaran hendaknya dipandang sebagai bagian
integral dari suatu sistem pengajaran dan tidak hanya sebagai alat bantu yang berfungsi
sebagai tambahan yang digunakan bila dianggap perlu dan hanya dimanfaatkan sewaktu-
waktu. Media digital hendaknya dipandang sebagai sumber belajar yang digunakan dalam
usaha memberikan pembelajaran nyata dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam
proses belajar-mengajar. Para pembelajar hendaknya benar-benar menguasai teknik-teknik
penggunaan media digital. Penggunaan media digital harus digunakan secara sistematis.

Media Digital di masa kini


Media digital dibuat dalam bentuk suara, gambar, cerita digital, animasi, vidio dan
kombinasi berbagai media. Kemunculan media digital membutuhkan sekumpulan
keterampilan untuk pengembangan penggunaan media digital. Dalam proses pembelajaran
guru atau dan siswa atau mahasiswa harus bersama-sama mengetahui manfaat dan
penggunaan media digital. Dibutuhkan keterampilan teknis, audiovisual, perilaku kritis
terhadap komponen sosial ang melingkupi penggunaan media digital. Media digital yang
digunakan dalam proses pembelajaran seharusnya dipertimbangkan kualitas konseptual,
fungsi, dan audiovisual. Dari sisi konseptual, media digital memiliki kesesuaian isi dan dengan
materi pembelajaran, dapat diakses dengan mudah dan jelas, sehingga dapat miliki fungsi,
serta audiovisual yang berkualitas baik sehingga tidak menimbulkan bias makna yang terlalu
menyimpang.
Komunikasi digital memiliki potensi yang imersif dan performatif. Dunia online,
yang hanya beberapa tahun lalu sebagian besar berbasis teks, sekarang menjadi media
performatif. Alat yang digunakan untuk mengembangkan konten interaktif yang biasanya
ditemukan di Web, seperti iklan dan konten pendidikan interaktif.3 Dengan menggunakan
media digital dapat meningkatkan otonomi pembelajar dalam menggunakan media digital
sebagai alat pembelajaran berbasis penemuan.4 Media digital menawarkan alat dan cara
berpikir yang membantu untuk mengenali dan menjembatani kompleksitas proses belajar

1
Sun Sun Lim and Elmie Nekmat, „Learning through “Prosuming”: Insights from Media Literacy Programmes in Asia‟, Science,
Technology and Society, 13.2 (2008), 259–78 <https://doi.org/10.1177/097172180801300205>.
2
Roxana Moreno, „Learning in High-Tech and Multimedia Environments‟, Current Directions in Psychological Science, 15.2
(2006), 63–67 <https://doi.org/10.1111/j.0963-7214.2006.00408.x>.
3
Janette Hughes, „New Media, New Literacies and the Adolescent Learner‟, E-Learning and Digital Media, 6.3 (2009), 259–71
<https://doi.org/10.2304/elea.2009.6.3.259>.
4
Mike D Bramhall and others, „The Strategic Development of Learner Autonomy through Enquiry-Based Learning: A Case Study‟,
Industry and Higher Education, 24.2 (2010), 121–25 <https://doi.org/10.5367/000000010791191010>.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

412
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mengajar.5
Penggunaan media digital berdasar pada penggunaan alat, aplikasi, dan program yang
sesuai. Penting untuk melakukan pelatihan dan pemahaman bersama mengenai penggunaan
media digital di ruang kelas. Penggunaan media digital bertujuan membentuk keterampilan
berpikir kritis dan kreatif. Melaui media digital, dosen dapat menunjukkan bagaimana
seharusnya pekerjaan administrasi, dan bagaimana kondisi sesungguhnya dari pekerjaan
tersebut.

Program Studi Manajemen Pendidikan


Pada awalnya perguruan tinggi agama Islam berperan dalam penguatan keilmuan
agama, peningkatan keberagamaan, dan pembentukan karakter, yang selanjutnya dihadapkan
dengan tuntutan mampu mencetak tenaga-tenaga professional yang dibutuhkan segala
lingkup pekerjaan.6 Hal tersebut mendasari bahwa perguruan tinggi agama Islam harus
mampu memberi kontribusi bagi kemajuan masyarakat luas, dengan menghasilkan alumni
yang memiliki kompetensi akademik, professional dan intelektual. 7 Salah satu program studi
yang terdapat dalam perguruan agama Islam adalah Program Studi Manajemen Pendidikan.
Program studi manajemen pendidikan memiliki tujuan menghasilkan lulusan yang
memiliki kemampuan kerja dalam bidang tenaga kependidikan, pengelola pelatihan, pengelola
SDM dan tenaga pendidik administrasi perkantoran dan kewirausahaan di SMK/MAK serta
tekonologi informasi dan komunikasi khususnya di lembaga pendidikan maupun
nonpendidikan.8 Mutu dan produktivitas organisasi sekolah ditentukan oleh kualitas
kepemimpinan, manajemen dan sistem lembaga. Pengaruh dan kemampuan strategic ini perlu
dimiliki dan diwujudkan dalam kualitas kinerja tenaga di bidang manajemen pendidikan 9.
Sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Bab XIV tentang Pengelolaan
Pendidikan, Pasal 51 Ayat (1) dan (2) bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan
minimal dangan prinsip manajemen berbasis sekolah; selanjutnya untuk pengelolaan satuan
pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu,
dan evaluasi yang transparan 10.
Oleh karena itu Program studi manajemen pendidikan memiliki peran untuk
memenuhi tuntutan legal perundangan dan rasa tanggungjawab untuk menyiapkan tenaga
kependidikan yang berkualitas. Pasal 3 dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor

5
Brian Hudson, „Comparing Different Traditions of Teaching and Learning: What Can We Learn about Teaching and Learning?‟,
European Educational Research Journal, 6.2 (2007), 135–46 <https://doi.org/10.2304/eerj.2007.6.2.135>.
6
Barbara Allan, „Time to Learn?: E-Learners‟ Experiences of Time in Virtual Learning Communities‟, Management Learning, 38.5
(2007), 557–72 <https://doi.org/10.1177/1350507607083207>.
7
Julian McDougall and John Potter, „Curating Media Learning: Towards a Porous Expertise‟, E-Learning and Digital Media, 12.2
(2015), 199–211 <https://doi.org/10.1177/2042753015581975>.
8
William Finlay and E James, „Headhunters: Matchmaking in the Labor Market‟, Contemporary Sociology, 33.2 (2015), 185–86.
9
Program Studi Manajemen Pendidikan, „Manajemen Pendidikan (MPD) Pascasarjana Universitas Negeri Malang‟, Universitas
Negeri Malang, 2018, pp. 1–3.
10
Fadhilah Suralaga and others, Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun Akademik 2015/2016 (Jakarta: Biro Administrasi
Akademik, Kemahasiswaa, dan Kerjasama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta, 2015).
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

413
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

24 Tahun 2008, diungkapkan bahwa penyelenggara sekolah/madrasah wajib menerapkan


standar tenaga administrasi sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam peraturan Menteri
Pendidikan Nasional 11. Tenaga administrasi sekolah/madrasah terdiri atas kepala tenaga
administrasi sekolah/madrasah, pelaksana urusan, dan petugas layanan khusus 12. Kualifikasi
kepala tenaga administrasi tingkat SD/MI minimal lulusan SMK atau sederajat program
studi yang relevan, tingkat SMP/MTs. minimal lulusan D3 Program Studi yang relevan,
tingkat SMA/MA/SMK minimal lulusan S1 program studi yang relevan dengan
pengalaman kerja sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah minimal 4 (empat) tahun,
atau D3 dan yang sederajat, program studi yang relevan, dengan pengalaman kerja sebagai
tenaga administrasi sekolah/madrasah minimal 8 (delapan) tahun 13. Sedangkan untuk
pelaksana urusan administrasi kepegawaian, urusan administrasi keuangan, urusan
administrasi sarana dan prasarana, administrasi hubungan sekolah dan masyarakat,
administrasi tata persuratan, urusan administrasi kesiswaan, urusan administrasi kurikulum,
dan adminisrasi umum tingkat SD/MI/SDLB harus berkualifikasi pendidikan minimal
SMK/MAK/SMA/MA atau yang sederajat 14.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga administrasi sekolah adalah kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi teknik, dan kompetensi manajerial 15. Kompetensi
kepribadian berkaitan dengan integritas, sikap, etos kerja, ketelitian, kedisiplinan, inovasi, dan
tanggung jawab. Kompetensi sosial berkaitan dengan dapat bekerja sama dalam tim, memiliki
layanan prima, kesadaran organisasi, mampu berkomunikasi dengan efektif, dan mampu
membangun hubungan kerja. Kompetensi teknis meliputi mampu melaksanakan administrasi
kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dengan masyarakat,
persuratan dan pengarsipan, kesiswaan, kurikulum, layanan khusus, dan teknologi informasi
dan komunikasi. Kompetensi manajerial meliputi mampu mendukung pengelolaan standar
nasional pendidikan, menyusun program dan laporan kerja, mengorganisasikan staf,
mengembangkan staf, mengambil keputusan, menciptakan iklim kerja yang kondusif,
memanfaatkan sumber daya, membina staf, mengelola konflik, dan menyusun laporan.
Berkaitan dengan kompetensi tersebut selayaknya tenaga administrasi merupakan lulusan dari
program studi Manajemen Pendidikan, sebab tidak hanya praktis namun juga teoritis. Mutu
pegawai tata usaha sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mutu sebuah
sekolah.
Peran tenaga administrasi sangatlah penting dalam mendukung kesuksesan dan
kelancaran tata administrasi. Dukungan tenaga kependidikan penting untuk menunjang
kelancaran proses perkuliahan 16. Dalam tugas tata adminstrasi sekolah dan universiras

11
Khojir, „Membangun Paradigma Ilmu Pendidikan Islam (Kajian Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi)‟, Dinamika Ilmu, 11.1
(2011), 1–13 <https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21093/di.v11i1.51>.
12
Muchammad Eka Mahmud, „Motif Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dan Implikasinya Pada Pola Manajemen Dan
Kepemimpinan‟, Dinamika Ilmu, 12.2 (2012), 1–18 <https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21093/di.v12i2.60>.
13
Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Indonesia, 2003), pp. 1–38.
14
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2008 Tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah (Indonesia, 2008), pp. 1–26.
15
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
16
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

414
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dibutuhkan suatu keahlian dan kemampuan yang cukup dalam bidang administrasi 17. Oleh
Setiap program studi di universitas membutuhkan minimal 3 (tiga) tenaga administrasi 18.
Program studi Manajemen Pendidikan perlu diorganisasikan sebagai wadah yang
menghasilkan ilmuwan dan atau tenaga profesional yang berkeahlian di bidang manajemen
pendidikan, baik sebagai ilmu maupun sebagai bekal professional. Ilmu pengetahuan yang
luas, adaptasi dan pengujian teori, konsep, dan proposisi manajemen pendidikan dalam latar
nilai dan budaya ke-Indonesiaan, dan untuk menungkatkan mutu layanan manajemen
pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan untuk jangka panjang tidak lagi dapat
diselenggarakan hanya melalui crash program, misalnya melalui penataran dan latihan.
Namun, perlu diselenggarakan sebuah program studi yang dapat membekali tenaga
kependidikan untuk mewujudkan satuan pendidikan yang dikelola secara sistemik, sistematik,
dan ilmiah. Dalam rangka penerapan manajemen strategik melalui Total Quality
Management dan kebijakan penerapan School-Based Quality Improvement Management atau
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah di Indonesia, disadari pentingnya ilmu
manajemen pendidikan pada satuan pendidikan dan di berbagai lembaga pengelola
pendidikan.

Pelembagaan Pembelajaran Berbasis Media Pada Program Studi Manajemen Pendidikan


Penggunaan media digital merupakan metafora produktif dari lingkup empiris dan
ruang pendidikan, literasi media merupakan situs pendidikan yang kaya akan pengetahuan.19
Dalam pemanfaatan media digital, perlu ada kerjasama antara pengajar dengan mahasiswa
dalam mengembangkan media digital tersebut, sehingga media digital dapat digunakan secara
efektif dan efisien.20 Dalam penggunaan media digital dalam pembelajaran seharusnya
dilaksanakan secara masif, sehingga hal tersebut terbudaya dan terinstitusionalisasi.
Penggunaan media digital perlu terstruktur dan membentuk aktivitas aktor pembelajaran. 21
Aktor pembelajaran dipandu untuk memiliki proses pengalaman, konseptualisasi, analisis, dan
penerapan kombinasi pengetahuan empiris dan teoretis. Terlebih mahasiswa mendapatkan
manfaat besar dari penggunaan media digital. Interaksi timbal balik secara terus menerus
antara mahasiswa dengan pengalaman empiris yang dimediasi oleh media digital. Selain itu
dosen dan mahasiswa memiliki keterampilan mengembangkan media digital yang semakin
meningkat.
Pelembagaan/institusionalisme mengkaji pengaruh besar institusi terhadap perilaku
manusia melalui aturan dan norma yang dibangun oleh institusi. Institusionalism
memperkaya dengan menambahkan aspek kognitif, yaitu bahwa individu dalam institusi
berperilaku tertentu bukan karena takut pada hukuman atau karena sudah menjadi

17
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
18
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
19
Kementerian Agama, Analisis Deskriptif Perguruan Tinggi Agama Islam Tahun Akademik 2011-2012 (Jakarta, 2012).
20
Ushansyah, „Pentingnya Administrasi Sekolah Untuk Kemajuan Pendidikan‟, Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan,
15.27 (2017), 13–22.
21
Jorge Reyna, Jose Hanham, and Peter Meier, „A Taxonomy of Digital Media Types for Learner-Generated Digital Media
Assignments‟, E-Learning and Digital Media, 14.6 (2017), 309–22 <https://doi.org/10.1177/2042753017752973>.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

415
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

kewajiban (duty), melainkan karena konsepsi individu tersebut mengenai norma-norma


soaial dan tatanan nilai yang ada. Paradigma institusionalisme adalah organisasi lebih
merupakan sistem nsosial yang bentuknya dipengaruhi oleh sistem simbolis, budaya dan
aspek sosial yang lebih luas dimana organisasi tersebut berada. Institusionalisme normatif
menganggap ada norma atau standar perilaku (logic of appripriateness) yang menentukan
kewajaran bertindak para aktor dalam institusi. Institusionalisme normatif menekankan pada
konteks budaya dimana organisasi menjalankan fungsinya serta tata nilai yang memberi
inspirasi para aktor. Jika penggunaan media digital dalam proses pembelajaran menjadi
budaya organisasi dan tata nilai maka para aktor akan selalu terinspirasi untuk melaksanakan
tata nilai tersebut.
Metafora produktif bagi konvergensi pembelajaran berbasis media digital menjadi
pertimbangan rasional aktor dalam institusi. Penerimaan praktik literasi digital sebagai sebuah
situs untuk pekerjaan bidang pendidikan berdasarkan pola perkembangan yang bersifat
formal.22 Institusionalisme sosiologis mengambil sikap strukturalis yang kuat di mana aktor
digambarkan sebagai agen yang dibentuk oleh skrip budaya dunia rasionalis.23

Pendidikan dan Pekerjaan: Manajemen Pendidikan dan Tenaga Administrasi


Sekolah/Tenaga Kependidikan
Koherensi dan integrasi antara pendidikan dan pekerjaan sangatlah penting.
Kesesuaian antara pendidikan dan pekeraan terdiri dari empat tipe yakni, credential matching,
performance matching, field of study matching, dan subjective matching.24 Credentai
Matching/kecocokan kualifikasi mengacu pada kualitas kesesuaian pendidikan dan pelatihan
kualifikasi yang dibawa pekerja saat memasuki sebuah lowongan. Performance
matching/kecocokan kinerja mengacu pada hubungan antara kemampuan pekerja dan apa
yang sebenarnya diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Field of study
matching/kesesuaian antara bidang studi mengacu pada sejauh mana disiplin atau bidang
studi relevan dengan kinerja pekerjaan. Subjective matching/kesesuaian subjektif mengacu
pada sejauh mana pekerjaan tersebut merasa persyaratan pekerjaan berkaitan erat dengan
kemampuan mereka sendiri.
Tenaga kependidikan memiliki peran yang penting dalam organisasi sekolah.
Seharusnya tenaga kependidikan menjadi salah satu profesi yang khas. Tenaga administrasi
sekolah membutuhkan kesesuaian antara pendidikan dan pelatihan dengan persyaratan
pekerjaan sebagai tenaga administrasi. Tenaga administrasi sekolah juga harus ada kesesuaian
antara kemampuan pekerja dengan keterampilan yang diperlukan pada saat mengerjakan tugas
keseharian. Tenaga administrasi sebaiknya memiliki kesesuaian antara bidang studi dengan
performance bekerja. Tenaga administrasi harus merasa bahwa persyaratan pekerjaan
berkaitan erat dengan kemampuan mereka sendiri. Tipe-tipe kesesuaian tersebut seharusnya

22
McDougall and Potter.
23
Pertti Alasuutari, „The Discursive Side of New Institutionalism‟, Cultural Sociology, 9.2 (2015), 162–84
<https://doi.org/10.1177/1749975514561805>.
24
Alasuutari.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

416
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dimiliki oleh tenaga administrasi. Tipe-tipe kesesuaian tersebut saling berkaitan. Salah satu
caranya adalah membudayakan literasi berbasis media dalam proses pembelajaran.
Media berbasis digital dapat memberikan pengalaman bagi pembelajar dengan
memberikan aktivitas pembelajaran virtual, pembelajar dapat memanfaatkan media tanpa
batasan ruang dan waktu .25 Selain itu penggunaan media digital dapat meningkatkan
keterampilan dalam jenis pekerjaan yang berbasis komputer atau melek teknologi. Dengan
media digital dapat mengubah bagaimana berkomunikasi, bersosialisasi, dan belajar, apalagi
dengan berbagai tipe individu auditif, visual, atau keduanya.
Tenaga Administrasi atau tenaga kependidikan merupakan salah satu jenis pekerjaan
yang membutuhkan keterampilan berbasis komputer, oleh karena itu penting untuk
meningkatkan dan mengembangkan kualitas pembelajaran berbasis digital. Selain itu dengan
menggunakan media digital, mahasiswa dan dosen mampu memberikan pengetahuan nyata
tentang tugas-tugas keadministrasian di bidang pendidikan. Penggunanan media digital
mampu meningkatkan kapasitas berpikir kritis pada lingkup administrasi pendidikan yang
erat dengan standar-standar baku yang ditetapkan oleh pemerintah, namuan dalam
empirisnya juga terdapat kondisi yang kurang maupun melebihi standar yang ditentukan oleh
pemerintah.

Penutup
Proses pembelajaran seharusnya selaras dengan konvergensi media dan teknologi
dalam budaya global. Dengan menggunakan media digital secara sistematis maka dapat
meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Kualitas hasil pembelajaran yang baik maka dapat
digunakan sebagai penanda/signaling dalam memasuki dan berperan dalam dunia kerja.
Dengan kualitas pembelajaran yang baik maka dapat dapat memahami tugas sehingga siap
berperan sesuai dengan latar belakang pendidikan. Dengan kualitas pembelajaran yang baik
maka sesuai dengan teori human capital bahwa tenaga kerja seharusnya memiliki keterampilan
yang diperoleh dari proses belajar. Penggunaan media digital dalam proses pembelajaran
dibentuk oleh lingkungan institusional yang melingkupinya. Pemanfaatan media digital dalam
proses pembelajaran menjadi aturan, norma sehingga dapat dimaksimalkan oleh individu yang
ada dalam institusi.

Daftar Pustaka

Alasuutari, Pertti, „The Discursive Side of New Institutionalism‟, Cultural Sociology, 9 (2015),
162–84 <https://doi.org/10.1177/1749975514561805>
Allan, Barbara, „Time to Learn?: E-Learners‟ Experiences of Time in Virtual Learning Communities‟,
Management Learning, 38 (2007), 557–72
<https://doi.org/10.1177/1350507607083207>
25
Ristek Dikti, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Tentang Pendirian, Perubahan,
Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, Dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta (Indonesia, 2015).
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

417
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Bramhall, Mike D, Justin Lewis, Allan Norcliffe, Keith Radley, and Jeff Waldock, „The Strategic
Development of Learner Autonomy through Enquiry-Based Learning: A Case Study‟,
Industry and Higher Education, 24 (2010), 121–25
<https://doi.org/10.5367/000000010791191010>
Finlay, William, and E James, „Headhunters: Matchmaking in the Labor Market‟, Contemporary
Sociology, 33 (2015), 185–86
Hudson, Brian, „Comparing Different Traditions of Teaching and Learning: What Can We Learn
about Teaching and Learning?‟, European Educational Research Journal, 6 (2007), 135–
46 <https://doi.org/10.2304/eerj.2007.6.2.135>
Hughes, Janette, „New Media, New Literacies and the Adolescent Learner‟, E-Learning and Digital
Media, 6 (2009), 259–71 <https://doi.org/10.2304/elea.2009.6.3.259>
Kementerian Agama, Analisis Deskriptif Perguruan Tinggi Agama Islam Tahun Akademik 2011-
2012 (Jakarta, 2012)
Khojir, „Membangun Paradigma Ilmu Pendidikan Islam (Kajian Ontologi, Epistemologi Dan
Aksiologi)‟, Dinamika Ilmu, 11 (2011), 1–13
<https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21093/di.v11i1.51>
Lim, Sun Sun, and Elmie Nekmat, „Learning through “Prosuming”: Insights from Media Literacy
Programmes in Asia‟, Science, Technology and Society, 13 (2008), 259–78
<https://doi.org/10.1177/097172180801300205>
Mahmud, Muchammad Eka, „Motif Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dan Implikasinya Pada Pola
Manajemen Dan Kepemimpinan‟, Dinamika Ilmu, 12 (2012), 1–18
<https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21093/di.v12i2.60>
McDougall, Julian, and John Potter, „Curating Media Learning: Towards a Porous Expertise‟, E-
Learning and Digital Media, 12 (2015), 199–211
<https://doi.org/10.1177/2042753015581975>
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Administrasi
Sekolah/Madrasah (Indonesia, 2008), pp. 1–26
Moreno, Roxana, „Learning in High-Tech and Multimedia Environments‟, Current Directions in
Psychological Science, 15 (2006), 63–67 <https://doi.org/10.1111/j.0963-
7214.2006.00408.x>
Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Indonesia, 2003), pp. 1–38
Program Studi Manajemen Pendidikan, „Manajemen Pendidikan (MPD) Pascasarjana Universitas
Negeri Malang‟, Universitas Negeri Malang, 2018, pp. 1–3
Reyna, Jorge, Jose Hanham, and Peter Meier, „A Taxonomy of Digital Media Types for Learner-
Generated Digital Media Assignments‟, E-Learning and Digital Media, 14 (2017), 309–
22 <https://doi.org/10.1177/2042753017752973>
Ristek Dikti, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
Tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, Dan Pendirian,
Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta (Indonesia, 2015)
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

418
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Suralaga, Fadhilah, Zaenal Arifin, Yarsi Berlianti, Abdul Hamid, Yusran Razak, and Murodi,
Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun Akademik 2015/2016 (Jakarta: Biro
Administrasi Akademik, Kemahasiswaa, dan Kerjasama Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatulah Jakarta, 2015)
Ushansyah, „Pentingnya Administrasi Sekolah Untuk Kemajuan Pendidikan‟, Ittihad Jurnal
Kopertais Wilayah XI Kalimantan, 15 (2017), 13–22

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

419
Nurul Huriyah
SDN Kelapa Dua Wetan 01 Pagi
e-mail: nurul.huriyah77@gmail.com
Abstrak. Di Era Praktis dan Instan ini sangat mudah dalam mendapatkan informasi. Hal ini
dikarenakan teknologi yang semakin maju sehingga banyaknya informasi yang tak terbendung, semua
orang bisa mendapatkan informasi dari berbagai sumber dalam hitungan detik. Adanya informasi
yang beragam serta sumber yang tidak diketahui mengakibatkan banyaknya pengguna media sosial di
Indonesia telah menciptakan semacam “budaya” literasi digital yang tentunya memiliki efek secara
langsung dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Literasi digital menuntut
penggunanya bukan sekadar cerdas tapi juga bijak dalam memilih dan memilah luapan bah
informasi. Tanpa terbentuknya kecerdasan dan emosi matang, literasi digital sebagai fenomena global
yang sangat digandrungi masyarakat Indonesia ini akan menuju pada madness society (masyarakat
gila). Olehkarena itu dibutuhkan kemampuan mengkritisi bacaan dalam literasi digital agar terhindar
dari mad society.

Kata Kunci: Literasi Digital, Kemampuan Mengkritisi

Kemampuan Mengkritisi Bacaan dalam Literasi Digital


Menurut Thoha, kemampuan merupakan salah satu unsur dalam kematangan
berkaitan dengan pengetahuan atau keterampilan yang dapat diperoleh dari pendidikan,
pelatihan dan suatu pengalaman.
Kemampuan menunjukkan potensi orang untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan.
Kemampuan itu mungkin dimanfaatkan atau mungkin juga tidak. Kemampuan berhubungan
erat dengan kemampuan fisik dan mental yang dimiliki orang untuk melaksanakan pekerjaan
dan bukan yang ingin dilakukannya ( Gibson, 1994:104).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa kemampuan seseorang
bisa diukur dari tingkat keterampilan, pengetahuan yang dimiliki seseorang berhubungan erat
dengan kemampuan fisik dan mental berdasarkan pengalaman yang diperoleh.
Kata dasar mengkritisi dalam KBBI Edisi Keempat di halaman 742 yang memiliki arti
1) bersifat tidak lekas percaya; 2) bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau
kekeliruan; 3) tajam dalam penganalisisan. Bentuk mengkritisi diturunkan dari bentuk dasar
kritis yang mendapat imbuhan me-i. Imbuhan me-i adalah afiks pembentuk verba, sehingga
kata mengkritisi memiliki arti menganalisis secara tajam; berusaha menemukan kesalahan atau
kebenaran; mencermati. Sesuai dengan kelas katanya, kritis berbentuk adjektif atau kata sifat,
sehingga dapat saya tafsirkan bahwa kritis lebih mengarah kepada sikap dan cara pandang.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Literasi yang berasal dari bahasa Inggris literacy berasal dari bahasa Latin littera
(huruf) yang pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-
konvensi yang menyertainya. Saat ini kajian literasi telah meluas tergantung bagaimana kata
itu disematkan dalam sebuah kalimat. Terdapat diantaranya literasi informasi, literasi media
dan literasi digital yang memiliki definisinya masing-masing.
Pengertian literasi sendiri menurut para ahli , Sulzby (1986) adalah kemampuan
berbahasa seseorang (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) untuk berkomunikasi
dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Jika didefinisikan secara singkat,
pengertian literasi adalah kemampuan membaca dan menulis.Graff (2006) Graff
mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis.7th Edition Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, ( 2005:898 ) Menurut Kamus Oxford, Definisi (lama)
literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. National Institute for Literacy
mendefinisikan literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara,
menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam
pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
Education Development Center (EDC) menyatakan literasi lebih dari sekedar
kemampuan baca tulis. Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap
potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Literasi mencakup kemapuan membaca kata
dan membaca dunia.
Digital sendiri berasal dari kata Digitus, dalam Bahasa Yunani yang berarti jari-jemari.
Menurut Iin Hermiyanto, literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu
yang secara menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola,
mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru,
membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam
masyarakat. Berdasarkan pengertian dia atas maka arti KEMAMPUAN MENGKRITISI
BACAAN DALAM LITERASI DIGITAL menurut penulis adalah ketertarikan, sikap dan
kemampuan individu yang secara menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk
mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi,
membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain dengan cara
menganalisis secara tajam berdasarkan pengalaman yang diperoleh bisa diukur dari tingkat
keterampilan, pengetahuan yang dimiliki seseorang berhubungan erat dengan kemampuan
fisik dan mental.

Daftar Pustaka

http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-kemampuan-menurut-definisi.html
http://www.sumberpengertian.co/pengertian-literasi
https://www.kompasiana.com/iinhermiyanto/literasi-
digital_55280e9df17e61ba098b45bc

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

421
Prima Rafika, Denisya Awaliyah
SMA IT Nurul Fikri
e-mail: prima@nurulfikri.sch.id, denisya.awaliyah@nurulfikri.sch.id
Abstrak. Literasi digital merupakan kemampuan untuk memahami dan menggunakan sumber-
sumber dalam bentuk digital. Literasi digital menjadi tema yang menarik untuk diteliti dikarenakan
penelusuran sumber kini mulai beralih ke sumber-sumber digital. Tidak jarang pula literasi digital
mengandung konten-konten negatif atau bahkan berita bohong. Salah satu kompetensi yang ada
dalam literasi digital adalah memanfaatkan teknologi secara tepat dan efisien. Terkait dengan
penggunaan literasi digital, SMA IT Nurul Fikri selama bulan bahasa, Oktober 2017 mengadakan
kegiatan penggunaan instagram. Selain untuk menyemarakkan bulan bahasa, kegiatan ini merupakan
bagian dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di SMA IT Nurul Fikri. Seluruh civitas akademika
SMA IT Nurul Fikri didorong untuk mempergunakan kosakata tertentu yang berganti tiap
pekannya. Media yang dipergunakan untuk menulis adalah instagram. Tujuan penelitian ini untuk
memberikan gambaran penggunaan media sosial dalam literasi digital dan memberikan gambaran
penerapan GLS melalui literasi digital. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif deskriptif melalui wawancara dan gambaran hasil karya siswa di instagram. Wawancara
dilakukan pada siswa yang bertugas untuk mengunggah karya yang masuk ke instagram, guru, dan
siswa yang aktif menulis. Penggunaan media sosial dalam penerapan literasi digital ini mampu
mendorong siswa untuk mulai menulis.

Kata Kunci: Literasi Digital, Kemampuan Mengkritisi

Pendahuluan
Kominfo dalam laman resminya memaparkan bahwa data pengguna internet di
Indonesia pada tahun 2014 sebanyak 83,7 juta orang. Angka tersebut diasumsikan dengan
perhitungan setiap orang mengakses internet sebanyak satu kali selama sebulan. Dengan
angka tersebut, Indonesia dinobatkan sebagai negara pengakses internet ke-6 didunia. Data
tersebut merupakan data resmi Kominfo yang didapat dari lembaga riset pasar e-marketer
(https://kominfo.go.id/). Selain data di atas, Asosiasi Penyedia Jasa Internet (APJI)
mengungkapkan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2017 diperkirakan mencapai
143,26 juta jiwa. Persentase pengguna jasa internet sebesar 54,68% dari seluruh di Indonesia
(https://ekonomi.kompas.com). Data tersebut menjadi bukti nyata bahwa internet
merupakan sesuatu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia sehari-hari.
Data survei yang dikeluarkan oleh APJI, komposisi usia pengguna internet di
Indonesia usia 13-18 tahun sebanyak 16,68%, usia 19-34 tahun sebesar 49,52%, usia 35-54
tahun sebesar 29,55%, usia diatas 54 tahun sebesar 4,24%. Berdasarkan survei tersebut,
terlihat bahwa kelompok usia 19-34 tahun merupakan pemakai internet terbanyak di

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Indonesia. Didalam survei tersebut juga diungkapkan mengenai penetrasi pengguna internet
berdasarkan usia. Penetrasi menurut KBBI diartikan sebagai penerobosan; penembusan;
perembesan –kebudayaan luar mempengaruhi kebudayaan daerah itu. Penetrasi pengguna
internet berdasarkan usia 13-18 tahun sebesar 75,50%, usia 19-34 tahun sebesar 74,23%,
usia 35-54 tahun sebesar 44,06%, usia lebih dari 54 tahun sebesar 15,72%. Meskipun data
pengguna internet pada usia 19-34 tahun, namun penetrasi pengguna internet terjadi pada
kalangan usia 13-18 tahun atau setara dengan usia sekolah menengah pertama dan atas. Usia
tersebut sesuai dengan responden pada penelitian ini.
Penggunaan internet merupakan bagian dari literasi digital. Literasi merupakan sebuah
kata yang sejak tahun 2015 digaungkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Literasi merupakan kegiatan penanaman budi pekerti yang disahkan melalui
peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2015. Salah satu kegiatan
yang termaktub dalam peraturan tersebut adalah Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Tidak
hanya literasi baca dan tulis, Kemdikbud menetapkan enam literasi dasar, yaitu literasi
numerasi, literasi sains, literasi baca tulis, literasi finansial, literasi digital, dan literasi budaya
dan kewargaan. Secara sederhana literasi digital diartikan sebagai kemampuan menggunakan
perangkat teknologi, informasi, komunikasi. Tidak hanya kemampuan teknis menjalankan
gawai, namun juga memahami dan menggunakan informasi yang ada dalam bentuk digital
secara kritis.
SMA IT Nurul Fikri merupakan sekolah menengah yang pada bulan bahasa, Oktober
2017 mengadakan peringatan bulan bahasa. Salah satu bentuk selebrasi yang dilakukan oleh
panitia adalah mengadakan kegiatan menulis melalui media instagram. Dalam kegiatan ini,
seluruh civitas Akademika SMA IT Nurul Fikri diminta untuk menulis di media instagram
mempergunakan kosakata yang telah ditentukan oleh panitia.
Selain alasan di atas, berdasarkan pengalaman peneliti selama mengajar di SMA IT
Nurul Fikri, siswa memiliki kosakata yang terbatas. Padahal kosakata merupakan salah satu
kunci seseorang untuk bisa memahami bahan bacaan yang dibaca. Ditambah lagi, minimnya
minat siswa untuk membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Membuka kamus
memiliki pengorbanan yang besar untuk membawa atau membukanya. Namun, di era digital
saat ini Badan Bahasa telah mengeluarkan KBBI daring yang bisa diunduh oleh siapa saja.
Kemudahan akses dan sarana tersebut tidak lantas menjadikan siswa untuk mengetahui
kosakata dalam Bahasa Indonesia. Peneliti berpandangan bahwa guru harus memiliki cara
untuk berinovasi dalam memperkenalkan kosakata ini. Oleh karena itu, media instagram
menjadi sarana untuk memperkenalkan kosakata tersebut.
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh
terkait kegiatan menulis di media sosial instagram selama bulan bahasa Oktober 2017 di
SMA IT Nurul Fikri. Penelitian sebelumnya mengenai literasi digital belum banyak
dilakukan oleh peneliti dalam negeri. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan mengenai
literasi digital berjudul Literasi Digital Remaja di Surabaya (Studi Deskriptif Tingkat
Kompetensi Literasi Digital pada Remaja SMP, SMA, dan Mahasiswa di Kota Surabaya).
Penelitian ini meneliti mengenai tingkat literasi digital yang ada pada remaja di kota
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

423
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Surabaya. Penelitian mengenai penggunaan media sosial lebih banyak dikaitkan dengan teori
media sosial, sedangkan jika dikaitkan dengan literasi digital masih sedikit yang meneliti.
Berdasarkan masalah di atas, peneliti ingin meneliti penggunaan media sosial instagram
sebagai implementasi literasi digital: Studi Kasus Deskriptif Kualitatif Penggunaan Instagram
di SMA IT Nurul Fikri.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana penerapan literasi digital dalam media instagram di SMA IT Nurul Fikri?
Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini secara khusus bertujuan untuk memaparkan pelaksanaan literasi
digital di SMA IT Nurul Fikri melalui media sosial instagram.

Tinjauan Literatur
Literasi Digital
Istilah literasi digital merupakan salah satu dari enam literasi dasar yang harus dikuasai
menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Istilah literasi digital pertama kali
diperkenalkan oleh Paul Gilster di tahun 1990 an. Dalam penelitian berjudul Literasi Digital
Remaja di Surabaya yang ditulis oleh Qory Qurotun A’yuni, literasi digital didefinisikan
sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format.
Literasi digital yang didefinisikan oleh Gilster lebih menekankan pada kemampuan kritis dan
menggunakan informasi ketimbang kemampuan teknis yang dipergunakan dalam menelusuri
informasi digital. Kemampuan yang dibutuhkan dalam literasi digital selain berpikir kritis,
yaitu kemampuan menyusun pengetahuan, dan membangun sekumpulan informasi yang
dapat dipercaya.
Di dalam penelitian Qurotun A’yuni yang mengutip dari Gilster mengungkapkan
empat kemampuan inti yang dibutuhkan dalam kegiatan literasi digital, yaitu:
1. Pencarian di internet.
Didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan berbagai aktivitas dalam
dunia digital. Kompetensi ini mencakup melakukan pencarian informasi di internet dengan
bantuan search engine, serta melakukan aktivitas lainnya.
2. Pandu Arah Hypertext
Kemampuan untuk membaca serta memahami secara dinamis panduan hypertext.
Kompetensi ini mencakup beberapa kompetensi, antara lain: pengetahuan tentang hypertext
dan hyperlink beserta cara kerjanya, pengetahuan tentang membaca buku teks dengan
berseluncur di internet, pengetahuan tentang cara kerja web meliputi http, html, url, serta
kemampuan memahami karakteristik web.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

424
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

3. Evalusi konten informasi


Kompetensi ini merupakan kompetensi untuk berpikir kritis dan memberikan
penilaian terhadap apa yang ditemukan dalam jaringan. Kemampuan ini juga disertai dengan
kemampuan untuk mengidentifikasi keabsahan dan kelengkapan informasi yang
direferensikan link hypertext. Kompetensi ini juga mencakup beberapa komponen antara lain:
kemampuan membedakan antara tampilan dengan konten informasi, kemampuan
menganalisa latar belakang informasi yang ada di internet. Kemampuan ini merupakan
kesadaran untuk menelusuri lebih jauh mengenai sumber dan pembuat informasi.
4. Penyusunan pengetahuan
Kompetensi ini didefinisikan sebagai kemampuan untuk penyusunan pengetahuan,
membangun sekumpulan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber. Pada kompetensi ini
pengguna juga diharapkan dapat mengumpulkan dan mengevaluasi fakta dan opini dengan
baik tanpa prasangka. Kompetensi ini mencakup beberapa kompetensi, yaitu: mengumpulkan
informasi di internet, kemampuan untuk membuat informasi newsfeed atau membuat
pemberitaan terbaru berdasarkan informasi yang didapatkan dari bergabung dengan mailing
list, newsgroup, ataupun diskusi lainnya. kemampuan memeriksa ulang informasi yang
didapat, kemampuan untuk menggunakan semua jenis media untuk membuktikan kebenaran
informasi, kemampuan untuk menyusun sumber informasi yang didapat diinternet.
Terkait dengan penelitian ini, peneliti hanya melihat kompetensi penyusunan
pengetahuan. Berbeda dengan penelitian di atas yang mengukur keempat kompetensi yang
dipaparkan oleh Gilster.
Dalam Materi Pendukung Literasi Digital yang dikeluarkan oleh Kemdikbud
dipaparkan definisi literasi digital menurut Bawden (2001) yang merupakan penyempurnaan
definisi literasi digital Gilster. Bawden mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan
teknis mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi.
Selain Bawden, Belshaw juga mengungkapkan delapan elemen yang dikembangkan
terkait pengembangan literasi digital, yaitu:
1. kultural, yaitu pemahaman konteks pengguna dunia digital
2. kognitif, daya pikir dalam menilai konten
3. kontruktif, reka cipta sesuatu yang ahli dan actual
4. komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital
5. kepercayaan diri yang bertanggungjawab
6. kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru
7. kritis dalam menyikapi konten, dan
8. bertanggung jawab secara sosial
Berdasarkan definisi di atas, literasi digital didefinikan sebagai kemampuan menelusuri,

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

425
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mencari informasi, mengevalusi, kritis, cerdas, dan bertanggungjawab dalam menggunakan


informasi digital.
Selain definisi di atas, literasi digital menurut Mayes dan Fowler yang dikutip oleh
Kemdikbud bersifat berjenjang. Jenjang yang dimaksud digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1 Jenjang Literasi Digital


Berdasarkan gambar di atas, Mayes dan Fowler yang dikutip oleh Kemdikbud
menyatakan bahwa literasi digital dibagi atas tiga level. Pada level pertama didefinisikan
sebagai kemampuan, pendekatan, dan konsep. Pada tingkat kedua penggunaan literasi digital
untuk aplikasi profesional. Sedangkan pada tingkat teratas, yaitu tingkat ketiga penggunaan
literasi digtal yang bersifat inovasi dan kreatifitas. Pada penelitian ini, literasi digital
ditekankan pada aspek ketiga, inovasi atau kreatifitas. Literasi digital dipergunakan sebagai
sarana untuk pembelajaran siswa.
Dalam penelitian berjudul Urgensi Literasi Digital Untuk Pelajar SMA (Penelitian
Survei Tingkat Literasi Digital Sekolah Menengah Atas-Negeri di Daerah Istimewa
Yogyakarta) yang ditulis oleh Rezha Rosita Amalia mengungkapkan kompetensi literasi
digital menurut European Commission dalam literasi digital dibutuhkan kemampuan
individu yang menyangkut kemampuan teknis, pemahaman kritis, dan kemampuan
berkomunikasi serta berpartisipasi. Jadi, dalam berpartisipasi di dunia literasi digital tidak
hanya kemampuan teknis yang diperlukan namun juga kemampuan berpikir kritis dalam
menerima berbagai informasi yang ada.
Masih dalam tulisan yang sama, penulis mengungkapkan definisi literasi digital
menurut University of Illinois Urbana Campaign, yaitu:
1. Literasi digital merupakan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh pribadi agar
dapat menggunakan beragam teknologi digital (komputer), peralatan komunikasi
dan jaringan komputer (hardware dan software) untuk mempermudah mereka
dalam membuat, menempatkan, dan mengevaluasi informasi.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

426
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2. Literasi digital merupakan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh pribadi


untuk memahami dan menggunakan informasi (yang berasal dari beragam sumber)
ke dalam format file yang kemudian disajikan, ditampilkan, ataupun
direpresentasikan melalui komputer dan perangkat komputer lainnya.
3. Literasi digital merupakan kemampuan pribadi (yang diharapkan) dapat dimiliki
agar dapat mengerjakan segala pekerjaan dengan efektif (pada lingkungan digital
berbasis computer dan teknologi lainnya), menghasilkan data mengolah data
menjadi informasi, memperoleh pengetahuan dari teknologi yang digunakan, serta
turut aktif dalam proses perkembangan teknologi terkini.
Berdasarkan uraian teori dan konsep para ahli serta mengacu pada European
Commision, peneliti menarik kesimpulan mengenai literasi digital, yakni kemampuan yang
dimiliki oleh pengguna internet (sebagai bagian dari media digital) terdiri dari (1)
kemampuan menggunakan perangkat teknologi untuk mengakses internet, (2) pemahaman
kritis menganalisis dan mengevaluasi pesan yang ditampilkan lewat internet, dan (3)
kemampuan berkomunikasi serta berpartisipasi dalam masyarakat melalui internet. Dalam
penelitian ini, peneliti hanya menitikberatkan pada aspek ketiga, yaitu kemampuan
berkomunikasi serta berpartisipasi dalam masyarakat melalui internet. Kemampuan tersebut
dilihat dari membuat tulisan dengan menggunakan media sosial instagram.

Instagram
Sejak kemunculannya pada Oktober 2010, instagram tercatat memiliki sebanyak 150
juta pengguna aktif, dengan rata-rata 55 juta foto diunggah perharinya. Seiring waktu berlalu,
pada 2013 lebih dari 16 miliar foto telah dibagikan oleh pengguna instagram.
Goldbeck dalam bukunya Introducing Instagram menjelaskan instagram merupakan
aplikasi berbagi foto dengan menggunakan telepon genggam. Setelah mengambil foto,
pengguna dapat mengedit foto dan mengunggahnya. Mengedit foto bisa berupa mengganti
warna, fokus, kontras, dan bingkai. Foto yang diunggah berbentuk persegi. Saat pengguna
mengunggah foto, maka bisa ditambahkan caption (tulisan di bawah gambar) dan hashtag.
(Goldbeck, 2015:159).
Selain berbagi foto, Instagram memungkinkan pengguna untuk mengunggah foto
dengan cara yang unik, yaitu dengan menggunakan 16 filters yang dimiliki. Instagram
memungkinkan pengguna untuk mengunggah foto dan video di akun pribadi, membuat
tulisan di bawah gambar (caption), membuat hashtag dengan menambahkan symbol # untuk
menjelaskan gambar dan video, melakukan tagging dengan menambahkan simbol @ sebelum
memposting status. Sama halnya dengan twitter, instagram juga membuat interaksi sosial
didalamnya melalui pertemanan “friends” yang bisa diikuti “follow”. Jika ada orang yang
telah mengikuti salah satu akun pengguna, maka akan dinyatakan sebagai pengikut
“follower”. Pengguna bisa mengatur siapa saja yang bisa melihat video dan foto yang
diunggahnya.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

427
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu merupakan suatu penelitian yang
bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan situasi objek penelitian seperti apa
adanya. Jenis penelitian deskriptif memungkinkan peneliti bisa membahas masalah secara
lebih mendalam(Irawan: 2004,60). Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif yaitu jenis penelitian yang tidak diperoleh angka-
angka dalam menganalisis datanya. Dua teknik yang biasa dikaitkan dengan metode kualitatif
yaitu instrumen pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan pengamatan atau
observasi (Irawan: 2004, 77).
Informan
Informan yaitu orang yang diwawancarai dan dijadikan sebagai narasumber untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan bagi peniliti. Dalam penelitian ini informan adalah
siswa dan guru SMAIT Nurul Fikri Depok. Pemilihan informan dilakukan dengan cara
purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan dan kriteria
tertentu. Hal ini karena agar informasi yang diberikan bisa dipercaya (Sugiyono: 2008, 122).
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini disesuaikan dalam menunjang data kegiatan
penelitian yang diperoleh guna menjawab masalah yang diungkapkan. Teknik pengumpulan
data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
Studi Kepustakaan
Dalam penelitian ini peneliti melakukannya dengan mempelajari dokumen-dokumen,
buku-buku, literatur-literatur, artikel-artikel atau catatan-catatan yang menunjang penelitian
yang sedang dilakukan. Dengan maksud untuk mendapatkan gambaran teoritis sesuai dengan
masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data
penelitian terhadap objek yang ditelti melalui pengamatan (Bungin: 2007, 7). Observasi yang
dilakukan peneliti yaitu dengan melakukan pengamatan secara langsung untuk mendapatkan
data dari lapangan. Obesrvasi ini merupakan pendukung dari hasil wawancara yang peneliti
lakukan terhadap penggunaan instagram sebagai sarana penerapan literasi digital di SMAIT
Nurul Fikri.
Wawancara
Wawancara adalah suatu metode pengumpulan data atau informasi dengan cara
mewawancarai informan, dikerjakan secara tidak terstuktur dan bersifat terbuka. Teknik
pengumpulan data dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan informan atau orang yang diwawancarai (Creswell: 2010, 267). Wawancara yang
dilakukan peneliti ialah dengan bertatap muka langsung dengan pihak yang ada hubungannya
dengan penelitian ini. Pihak yang terkait yaitu siswa-siswa SMAIT Nurul Fikri dan guru-
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

428
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

guru yang terlibat dalam menulis digital. Dalam hal ini teknik wawancara adalah teknik
utama yang peneliti gunakan untuk memperoleh hasil penelitian.

Teknik Analisis Data


Setelah melakukan teknik pengumpulan data, langkah selanjutnya adalah menganalisis
data hasil observasi dan wawancara. Analisis data adalah proses menyusun, mengategorikan
data, mencari pola atau tema dengan maksud untuk memahami maknanya. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan teknik analisis data kualitatif. Data-data dari hasil observasi,
wawancara, maupun dari dokumen-dokumen yang peneliti peroleh. Selanjutnya diteliti dan
dianalisis terlebih dahulu, kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk deskriptif yang
bertujuan untuk mengemukakan permasalahan dan menemukan solusi terhadap permasalahan
yang terjadi disertai dengan alasan-alasan yang mendukung. Analisis data yang dilakukan,
diantaranya :
Reduksi Data
Pada tahap ini, data yang diperoleh dalam lapangan ditulis/diketik dalam bentuk
uraian atau laporan yang terinci. Lalu dilakukan pemilihan tentang relevan tidaknya antara
data dengan tujuan penelitian. Data-data yang peneliti peroleh dari hasil observasi, wawancara
dan dokumentasi tidak semuanya peneliti gunakan. Akan tetapi, data tersebut dipilah-pilah
lagi yang relevan dengan tema penelitian.
Penyajian Data
Dalam penelitian ini, peneliti menyajikan data dalam bentuk teks yang bersifat naratif.
Penarikan Kesimpulan
Setelah data-data terangkum dan dijabarkan, peneliti akan membuat kesimpulan yang
nantinya dapat digunakan untuk menjawab rumusan masalah (Bungin: 2007, 5).
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMAIT Nurul Fikri. Yang terletak di Jl. H Sairi No 145
Tugu Cimanggis Depok. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2018.

Hasil dan Pembahasan


Kegiatan penerapan literasi digital di SMA IT Nurul Fikri yang diberi nama menulis
digital dilaksanakan selama pelaksanaan bulan bahasa, Oktober 2017. Kegiatan ini
sebagaimana waktu pelaksanaannya merupakan rangkaian dari kegiatan bulan bahasa di SMA
IT Nurul Fikri. Kegiatan ini selain bertujuan sebagai bagian dari selebrasi bulan bahasa juga
untuk memperkenalkan kosakata bahasa Indonesia kepada civitas akademika SMA IT Nurul
Fikri. Kegiatan ini juga bertujuan memperkenalkan inovasi dalam penggunaan media sosial,
yaitu menulis konten positif. Selain itu, berkenaan juga pengenalan kosakata bahasa
Indonesia.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

429
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kegiatan ini memiliki mekanisme yang dimusyawarahkan antara anggota ekskul dan
pembina melalui organisasi ektrakulikuler bernama Language and Literacy Club (LLC). Hal
pertama yang dilakukan adalah menentukan persyaratan untuk tulisan yang boleh diunggah
dalam menulis digital. Adapun persyaratannya adalah sebagai berikut; (1) Follow akun
instagram LLCNF, (2) tulisan dikirim melalui pesan instagram (direct message), (3) tulisan
tidak meninggung Suku, Agama, dan RAs (SARA), (4) tulisan tidak mengandung unsur
pornografi, (5) tulisan yang paling inspiratif akan mendapatkan apresiasi dari panitia, (6)
tulisan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, (7) tulisan harus menggunakan
salah satu atau ketiga dari kata yang ditentukan. Kata yang ditentukan berganti setiap
pekannya. Setiap pekan panitia mengeluarkan tiga kata beserta dengan definisinya menurut
KBBI. Adapun kata pekan pertama adalah gusar, gamang, dan raib. Kata pekan kedua adalah
autentik, azali, dan temaram. Kata pekan ketiga adalah semringah, autentik, dan absolut. Kata
pada pekan terakhir adalah bernas, bestari, dan integritas.
Pemilihan kata juga dilakukan melalui mekanisme musyawarah. Dasar pemilihan kata
tersebut adalah kata yang jarang didengar oleh siswa maupun kata yang penulisannya tidak
baku. Mekanisme musyawarah tersebut biasanya dilakukan pada akhir pekan. Setelah
disepakati, dihari Senin dan sepanjang pekan akan disebarkan melalui whatsapp yang
bertujuan untuk memperkenalkan kata baru dan mendorong membuat tulisan.
Selain prosedur di atas, dilakukan juga pembagian tugas untuk anggota ekskul LLCNF
yang bertugas sebagai admin. Setiap pekannya ditugaskan tiga orang siswa sebagai admin, dan
setiap orang hanya mendapat giliran selama sepekan saja. Adapun tugas admin adalah
memilih dan memilah pesan yang berisi tulisan, memilih mana tulisan yang layak atau tidak
untuk diunggah di media sosial tersebut. Selain memilih dan mengunggah, siswa juga
membuat tampilan khusus yang berbeda tiap pekannya. Untuk menyemarakkan kegiatan ini,
panitia membuat pemberitahuan melalui whatsapp kepada seluruh civitas untuk rutin
membuat tulisan dan dikirim.
Selama bulan Oktober 2017 kegiatan menulis digital, tercatat 107 unggahan tulisan
yang berasal dari siswa, guru, dan karyawan SMA IT Nurul Fikri. Pada pekan pertama
dengan menggunakan kata raib, gamang, dan gusar tercatat 63 unggahan tulisan. Pada pekan
kedua dengan menggunakan kata autentik, azali, dan temaram terunggah 21 tulisan. Pada
pekan ketiga dengan menggunakan kata semringah, autentik, dan absolut tercatat 16
unggahan di media sosial LLCNF. Pada pekan terakhir, dengan menggunakan kata bernas,
bestari, dan integritas tercatat 5 unggahana yang ada di media sosial LLCNF.
Mengenali Kebutuhan Informasi
Teknologi yang sangat canggih membuat semua orang di dunia menggunakan media
teknologi untuk melakukan hal apapun. Media komunikasi yang paling banyak digunakan
yaitu telepon genggam. Telepon genggam biasanya dilengkapi dengan media sosial. Media
sosial sebagai sebuah wadah untuk berkomunikasi dengan keluarga, sahabat, rekan kerja dan
lain sebagainya. Media sosial yang sedang banyak penggunanya adalah instagram. Instagram
merupakan aplikasi berbagi foto dengan menggunakan telepon genggam. Walaupun sedang
diluar negeri dengan adanya instagram keluarga yang terpisah oleh jarak dapat melihat
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

430
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

aktivitas sanak saudaranya. Hampir seluruh siswa SMAIT Nurul Fikri memiliki akun
instagram, meskipun pengguna tersebut belum tentu sering mengunggah foto dan video di
akunnya. Kebanyakan siswa yang memiliki akun tetapi jarang mengunggah, memiliki
instagram dengan tujuan mencari berita terbaru. Berita terbaru melalui instagram menurut
siswa jauh lebih sederhana ketimbang mengakses berita daring. Tidak hanya siswa, gurupun
melek akan teknologi yang banyak dipakai.Gurupun diharapkan tidak gagap terhadap
teknologi.
Sebagai siswa, yang kesehariannya dekat dengan ilmu pengetahuan, diharapkan
memahami informasi apa yang hendak dicari dalam media sosial. Selain itu, siswa sebagai
pengguna media sosial harus lebih teliti pada saat mencari informasi di laman instgram.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, sebagian besar siswa mencari informasi di
instagram mencari berita terkini, berita seputar selebriti, dan memuaskan hobi. Informan
juga berpendapat mengakses berita melalui instagram jauh lebih sederhana dibandingkan
berita daring. Berawal dari mengakses informasi yang baik akan mengarahkan dirinya ke hal-
hal yang positif, begitu juga sebaliknya. Jika berita yang diakses mengandung konten negatif,
maka akan mengarahkan pandangan yang negatif. Selain itu, konten positif juga membuka
wawasan dari pengguna media sosial. Manfaat lainnya, menunjang pengetahuan siswa agar
terus bertambah dan tidak tertinggal berita terkini.
Intensitas Pencarian Informasi
Informan memahami alur berita hingga menyimpulkan berita terbaru atau hal-hal yang
sedang ramai diperbincangkan. Kesimpulan ini berdasarkan intensitas informan mengakses
laman instagram, sudah berapa lama informan memiliki media sosial, dan waktu yang
dibutuhkan dalam sehari mengakses instagram. Informan yang sering membuka instagram
jauh lebih mengetahui berita terbaru. Berdasarkan hasil waancara, seluruh informan
mengakses instagram setiap hari dan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Informan,
mereka biasanya membuka instagram berkisar antara 1 jam, 2 jam, dan 4 jam perhari.
Manfaat yang mereka rasakan adalah mereka mengetahui info terbaru di sekolah mapun
diluar sekolah. Ada juga informan yang membuka instagram dalam durasi sebentar, dengan
tujuan melihat berita terbaru lalu menutupnya segera. Tujuannya sama dengan pemaparan di
atas, yaitu tidak tertinggal berita terbaru. Adapun berita yang sering mereka cari mengenai
berita selebriti nasional, internasional dan bidang olahraga yang mereka sukai. Fitur
instagram yangs sering mereka buka adalah fitur instastory. Instastory berisi mengenai
unggahan keseharian orang lain dan melihat hal-hal yang lain yang bermanfaat. Hal-hal yang
bermanfaat misalnya, ceramah, pengetahuan tentang kesehatan, dan berita terbaru.
Berdasarkan informan, mereka jarang mengunggah hal-hal yang bersifat pribadi di instagram.
Hal ini dikarenakan, menurut mereka melihat hal yang terbaru ada kepuasan tersediri.
Kemampuan Mengakses Media Sosial
Saat ini siswa masih harus diarahkan dalam meningkatkan kemampuan literasi.
University of Illinois Urbana Campaign menyatakan literasi digital merupakan kemampuan
yang diharapkan dimiliki oleh pribadi untuk memahami dan menggunakan informasi (yang
berasal dari beragam sumber) ke dalam format file yang kemudian disajikan, ditampilkan,
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

431
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

ataupun direpresentasikan melalui komputer dan perangkat komputer lainnya. Sehingga


mampu berkomunikasi serta berpartisipasi dalam masyarakat melalui internet. Salah satunya
dengan cara mengetahui kosakata baru yang dikemas dalam bentuk tulisan dan hasilnya
ditampilkan di instagram. Dengan cara ini, siswa diberikan alternatif pemanfaatan media
sosial. Informan mengetahui adanya kegiatan di menulis digital di instagram LLCNF.
Dengan adanya kegiatan ini semua termotivasi untuk membuka menulis dan mencoba hal
yang baru. Selanjutnya informan mendapatkan inspirasi menulis berawal dari pengalaman
pribadi yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Banyak manfaat yang didapatkan bagi seluruh
civitas akademika dari kegiatan ini. Pernyataan ini dikuatkan melalui penuturan informan.
Menurutnya, melalui menulis digital semua bisa melihat tulisan siswa. Selain itu, siswa pasti
memiliki ide atau gagasan. Gagasan itu bisa dituangkan ke dalam tulisan melalui instagram
yang dimiliki oleh ekskul LLCNF. Saat ini yang disebut era digital, menulis tidak lagi
menggunakan media batu, kayu, pensil, kertas dan lain sebagainya. Melalui perangkat gawai,
seperti telepon genggam, komputer pribadi maupun personal semua orang bisa menulis.
Mengganti kosakata baru perminggunya, membuat informan kesulitan mencari padanannya.
Bahkan ada informan yang menganggap kosakata tersebut membatasi tulisan yang akan
dibuat. Jika kosakata dirasakan terlalu sulit, hanya sedikit yang membuat tulisan. Tidak dapat
dipungkiri ada informan yang menggangap menulis digital ini tidak berdampak positif bagi
dirinya. Dampak positif ini dikarenakan tidak mendapatkan nilai dalam pembelajaran. Ada
informan yang menulis diawali dengan ajakan temannya, ajakan tersebut disambut baik dan
mulainya ia menulis. Menurut peneliti tidak semua kegiatan harus mendapat nilai dalam
pembelajaran, tetapi pengalaman yang jauh lebih bermakna dibanding nilai. Peneliti
menganggap bahwa kesulitan kosakata merupakan tantangan dalam menulis. Prosedur pun
dianggap informan mudah untuk diikuti.
Hambatan Menulis Digital
Pengenalan literasi digital dalam media sosial di lingkungan sekolah memang sulit
untuk diterapkan. Berawal dari pemanfaatan media sosial yang paling dekat dengan mereka,
kemudian diarahkan untuk kegiatan yang positif. Antusiasme mengakses instagram yang
biasanya melihat berita diarahkan ke menulis digital. Kegiatan ini berlangsung dengan
memilih admin untuk mengontrol dan memposting di akun instagram LLCNF, dan
pemilihan kosakata. Hanya sebagian civitas yang terlibat dalam menulis digital dikarenakan
tidak merasa penting dengan kegiatan ini. Hambatan-hambatan bisa diperbaiki dikemudian
hari.

Penutup
Simpulan
Selama bulan Oktober 2017 kegiatan menulis digital, tercatat 107 unggahan tulisan
yang berasal dari siswa, guru, dan karyawan SMA IT Nurul Fikri. Pada pekan pertama
dengan menggunakan kata raib, gamang, dan gusar tercatat 63 unggahan tulisan. Pada pekan
kedua dengan menggunakan kata autentik, azali, dan temaram terunggah 21 tulisan. Pada
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

432
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pekan ketiga dengan menggunakan kata semringah, autentik, dan absolut tercatat 16
unggahan di media sosial LLCNF. Pada pekan terakhir, dengan menggunakan kata bernas,
bestari, dan integritas tercatat 5 unggahana yang ada di media sosial LLCNF.
Berdasarkan, penelitian yang dilakukan kegiatan implementasi literasi digital melalui
media sosial instagram berjalan cukup baik. Informan memberikan tanggapan positif
terhadap kegiatan ini. Informan juga berharap kegiatan ini kembali berlangsung ditahun-
tahun berikutnya. Selain, itu kemampuan literasi digital cukup baik dilihat dari kemampuan
menulis civitas akademika SMA IT Nurul Fikri. Namun, kekurangan dalam kegiatan ini
adalah dirasakan kurangnya promosi untuk senantiasa turut serta menulis digital. Selain itu,
jumlah orang yang terlibat dalam menulis digital masih sedikit.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, berikut beberapa saran yang menjadi
masukan agar kegiatan lebih baik ditahun berikutnya, yaitu:
1. Promosi yang lebih massif dalam kegiatan menulis digital.
2. Kosakata dicari yang mudah bagi civitas akademika.
Kegiatan tidak hanya dilakukan dalam rangkaian bulan bahasa, tetapi juga dalam
bulan-bulan yang lain.

Daftar Pustaka

A’yuni, Qory Qurratun. Literasi Digital Remaja di Kota Surabaya. (Studi Deskriptif tentang
Tingkat Kompetensi Literasi Digital pada Remaja SMP, SMA dan Mahasiswa di
Kota Surabaya). Diakses 11 April 2018.
Akbar, M. Firman dan Filia Dina Anggraeni. 2017. Teknologi dalam Pendidikan: Literasi
Digital dan Self-Direct Learning Pada Mahasiswa Skripsi. Jurnal Indigeneous Vol.
2 No. 1 Tahun 2017. Diakses 11 April 2018.
Amalia, Rezha Rosita. Urgensi Literasi Digital untuk Pelajar SMA (Penelitian Survei
Tingkat Literasi Digital Pelajar Sekolah Menengah Atas-Negeri di Daerah
Istimewa Yogyakarta. 2016. Skripsi. Universitas Gajah Mada.
Bugin Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan
Ilmu Jakarta: Kencana Prenama Media Group.
Creswell, John W. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

433
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Goldbeck, Jennifer. 2015. Introducing to Social Media Investigation. USA.


Infografis Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia Survei 2017. Diakses 27
April 2018.
Kurnianingsih, Indah, dkk. September 2017. Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi
Digital Bagi Tenaga Perpustakaan Sekolah dan Guru di Wilayah Jakarta Pusat
Melalui Pelatihan Literasi Informasi. Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat , Vol.
3 No. 1 September 2017. Diakses 12 April 2018.
Materi Pendukung Literasi Digital Gerakan Literasi Nasional. 2017. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Prasetya, Irawan. 2004. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: Sekolah Tinggi
Adminitrasi Lembaga Adminitrasi Negara.
Puspito, Danang Wahyu. Implementasi Literasi Digital dalam Gerakan Literasi Sekolah.
Konferensi Bahasa dan Sastra II International Conference on Language, Literature,
and Teaching. Diakses 13 April 2018.
Setiawati, Novia Ika. Penggunaan Media Sosial sebagai Sarana Komunikasi Bagi Komunitas
(Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Twitter, Facebook, dan Blog sebagai
Sarana Komunikasi Bagi Komunitas Berbagi Surakarta). Diakses 13 April 2018.
Sugiyono. 2008. Metode penelitian pendidikan : (pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R &
D)”, Bandung: Alfabeta.
“What We Instagram: A First Analysis of Instagram Photo Content and User Types.”
Yuheng Hu Lydia Manikonda Subbarao Kambhampati. Proceedings of
the Eighth International AAAI Conference on Weblogs and Social Media.
Diakses 7 Mei 2018.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/19/161115126/tahun-2017-pengguna-
internet-di-indonesia-mencapai-14326-juta-orang. Diakses 27 April 2018.
https://kominfo.go.id/content/detail/4286/pengguna-internet-indonesia-nomor-enam-
dunia/0/sorotan_media. Diakses 27 April 2018.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

434
Qorina Nofa Fadlillah1, Fathiah Alatas1, Daryono2
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
SMA Negeri 5 Tangerang Selatan
e-mail: qorinanofa@gmail.com, fathiah.alatas@uinjkt.ac.id, dar.smail66@gmail.com
Abstract. Simple harmonic motion is an abstract concept, that is needed practical activities
dilaboratorium on the lesson. Learning in the laboratory has not been able to link to concepts, while
the activities of learning physics laboratory expected students can engage directly on the lesson
process, so that students have a long-term memory long. Therefore by using problem solving model
laboratory to support the concepts with the activities of the laboratory to cultivate science process
skills of students in physics. The form of this research is the Research Action class (PTK) consists
of two cycles. Each cycle consists of four phases of research, namely planning, excecuting,
observating and reflecting. The subject of this research is grade X-MIA 4 SMA Negeri 5 South
Tangerang. Data collection using interview techniques, process skills science observation sheets, tests
and student worksheets. The results of the analysis showed an increasing in the results of the
learning process and students science skills, after being given preferential treatment by using problem
solving model laboratory.

Keywords: model problem solving laboratory, science process skills, simple harmonic motion

Abstrak. Gerak harmonik sederhana merupakan konsep yang abstrak sehingga dibutuhkan kegiatan
praktikum dilaboratorium dalam pembelajarannya. Pembelajaran di laboratorium yang dilaksanakan
belum bisa menghubungkan konsep yang sedang dipelajari, sedangkan kegiatan pembelajaran fisika
di laboratorium diharapkan peserta didik dapat terlibat langsung dalam prosesnya sehingga peserta
didik memiliki memori jangka panjang. Oleh karena itu digunakan model Problem Solving
Laboratory untuk mendukung konsep yang sedang dipelajari dengan kegiatan laboratorium untuk
menumbuhkan keterampilan proses sains peserta didik dalam memperlajari fisika. Bentuk penelitian
ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) terdiri dari 2 siklus. Setiap siklus terdiri dari empat
tahapan penelitian yaitu perencanaan, pelaksaanaan, observasi dan refleksi. Subjek penelitian ini
adalah peserta didik kelas X-MIA 4 SMA Negeri 5 Tangerang Selatan. Pengumpulan data
mengunakan teknik wawancara, lembar observasi keterampilan proses sains, tes dan LKS
pembelajaran. Hasil analisis menunjukan adanya peningkatan hasil belajar dan keterampilan proses
sains peserta didik meningkat setelah diberikan perlakuan dengan menggunakan model Problem
Solving Laboratory.

Kata Kunci: model problem solving laboratory, keterampilan proses sains, gerak harmonik sederhana

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Gerak harmonis sederhana (GHS) merupakan salah satu konsep yang sulit dipahami
peserta didik. Hal ini disebabkan tingkat kompleksitas konsep tersebut, seperti memahami
persamaan umum GHS maupun persamaan pada pegas atau bandul (Iradat dan Alatas,
2017). Gerak harmonis sederhana adalah gerak bolak - balik benda melalui suatu titik
keseimbangan tertentu dengan banyaknya getaran benda dalam setiap detik selalu konstan
(Suwarna : 2014). GHS erat hubungannya dalam kehidupan sehari-hari dan pembelajarannya
berlangsung du laboratorium (Suryani dkk, 2015). Penguasaan konsep tersebut rendah krena
peserta didik tidak menemukan konsep melalui proses (Muzakkir, 2015). Dalam
mempelajari GHS, peserta didik merasa kebingungan dalam menganalisis hasil percobaan
(Hamidiyah dan Suliyanah, 2017).
Hasil wawancara guru mata pelajaran fisika di SMA Negeri 5 Tangerang Selatan,
kegiatan belajar mengajar, di sekolah jarang sekali dilaksanakan kegiatan laboratorium, lebih
dominan pelajaran dilaksanakan di dalam ruang kelas. Hasil belajar peserta didik berdasarkan
nilai Penilaian Tengah Semester (PTS) dan Penilaian Harian (PH) tergolong rendah. Hanya
beberapa peserta didik saja yang telah melampaui nilai 75 atau nilai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) yang sebesar 75. Disebabkan peserta didik masih sulit memahami langkah-
langkah praktikum sehingga berakibat keterampilan proses sains masih belum dilakukan
(Mufarokhah dan Arief, 2017). Kesulitan di atas karena pelaksanaan praktikum fisika seperti
resep masakan dimana praktikum sampai alat telah disediakan oleh laboran. Model yang
digunakan untuk permasalahan di atas yaitu menerapkan model Problem Solving Laboratory
(PSL) (Ellianawati dan Subali, 2010).
Model Problem Solving Laboratory merupakan suatu model pembelajaran yang
berorientasi pada keterlibatan peserta didik dalam proses belajarnya, dimana peserta didik
menggali permasalahan secara kritis lalu berusaha mencari pemecahannya oleh peserta didik
(Sujarwata, 2009). Model pembelajaran PSL merupakan elaborasi dari model pembelajaran
berbasis masalah. PSL merupakan pembelajaran konstruktivisme. Agar peserta didik lebih
aktif berpikir dan melatih keterampilan, dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah
secara sistematis melalui kegiatan eksperimen di laboratorium dilakukan secara
berkelompok (Ellianawati dan Subali, 2010). Model Problem Solving Laboratory (PSL)
bertujuan untuk mendukung pembelajaran dalam aktivitas laboratorium Heller, 2010).
Laboratorium merupakan sangat penting dalam pembelajaran karena memberikan
kesempatan peserta didik untuk melakukan berbagai kegiatan secara langsung (Demircioglu
& Mustafa, 2011).
Kegiatan pembelajaran PSL dibagi menjadi tiga, dimana tahap pertama adalah pre-
eksperimen, dimana peserta didik merumuskan tujuan dan prosedur percobaan berdasarkan
masalah, merumuskan alat dan bahan, melakukan prediksi, dan menjawab pertanyaan metode
yang berbentuk penyusunan laporan awal. Tahapan kedua adalah tahap eksperimen dan
Tahapan ketiga adalah tahap post-eksperimen, dimana peserta didik mendiskusikan data yang
diperoleh dari hasil pengukuran dalam percobaan, analisis percobaan, kesimpulan secara
umum, dan juga mendiskusikan hasil percobaan kaitannya dengan isu teknologi dan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

436
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

fenomena sains yang terjadi (Nurdianti dkk,. 2015). Hasil penelitian malik, Hariani dan
azizah, dimana model PSL dapat meningkatkan keterampilan proses sains (Malik dkk., 2015;
Hariani dkk,. 2014) serta hasil belajar (Azizah dan Edie, 2014 ; Nurbaya dkk., 2015).
Menurut Sujarwata penerapan model PSL dalam pembelajaran, ketuntasan belajar peserta
didik mencapai 75% (Sujarwata, 2009).
Keterampilan proses sains (KPS) merupakan kemampuan untuk menerapkan metode
ilmiah dalam memahami, mengembangan dan menemukan konsep (Malik dkk., 2015).
Keterampilan kerja ilmiah diantaranya merumuskan masalah, menerapkan konsep, membuat
hipotesis, membuat variabel, membuat definisi operasional, mengkomunikasikan data,
menganalisis data dan menarik kesimpulan (National Research Council, 2000). Jika
keterampilan proses sains peserta didik telah terasah, maka peserta didik akan dapat lebih
mudah menemukan dan menerapakan konsep yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-
hari (Saputri. dan Dewi, 2014). Berdasarkan permasalahan di atas, bagaimana peningkatan
hasil belajar dan sikap ilmiah peserta didik ketika mempelajari konsep GHS menggunakan
model PSL.

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) menggunakan model Kemmis & Taggart (Soesatyo dkk., 2017). Adapun komponen-
komponen pokok yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Perencanaan (plan), Tindakan
& Observasi (act & observe) dan Refleksi (reflect). Tahapan-tahapan ini berlangsung secara
berulang-ulang, sampai tujuan penelitian tercapai.
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, dimana pada siklus satu terdiri dari dua
pertemuan sedangkan siklus dua terdiri dari satu pertemuan. Hasil intervensi tindakan yang
diharapkan ialah meningkatnya hasil belajar peserta didik dengan keberhasilan mencapai 80%
dengan KKM 75 setelah peserta didik mengalami pembelajaran dengan model pembelajaran
PSL pada konsep GHS untuk meningkatkan hasil belajar dan KPS yang muncul dalam
pembelajaran.
Subjek dalam penelitian tindakan kelas ini adalah 26 orang peserta didik kelas X MIA
4 SMA Negeri 5 Tangerang Selatan. Peneliti berperan langsung sebagai guru yang berperan
dalam proses pembelajaran fisika pada konsep GHS menggunakan model pembelajaran
problem posing laboratory. Pada penelitian ini, peneliti berperan sebagai guru yang
melakukan proses pembelajaran pada konsep GHS menggunakan model pembelajaran PSL.
Observer adalah Mahasiswa pendidikan Fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan guru
SMAN 5 Tangerang Selatan serta dosen pembimbing PPKT ibu Fathiah Alatas.
Data yang diperoleh berupa wawancara guru sebagai observasi pendahuluan, lembar
observasi KPS peserta didik, keterlaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru, tes hasil
belajar peserta didik untuk mengetahui hasil belajar peserta didik setelah diberi tindakan,
serta Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) untuk memberi petunjuk peserta didik kegiatan
pembelajaran.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

437
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Analisis data tes hasil belajar menggunakan N-Gain untuk mengetahui peningkatan
hasil belajar peserta didik setelah tindakan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berupa lembar observasi guru, lembar observasi KPS peserta didik, LKPD dan tes hasil
belajar pada konsep GHS.

Hasil dan Pembahasan


Penelitian ini dilaksanakan di kelas X MIA 4 SMA Negeri 5 Kota Tangerang Selatan.
Penelitian ini dilakukan sebanyak dua siklus, dengan siklus pertama sebanyak dua pertemuan
dan siklus kedua dengan satu pertemuan.
Siklus 1
a. Tahap Perencanaan
Tahap ini dimulai dengan melakukan observasi terhadap hasil belajar peserta didik.
Hasil belajar peserta didik berdasarkan nilai Penilaian Tengah Semester (PTS) dan Penilaian
Harian (PH) tergolong rendah. Hanya beberapa peserta didik saja yang telah melampaui nilai
KKM. Lalu, dilanjutkan dengan melakukan observasi aktifitas belajar peserta didik. Hasil
observasi menunjukkan bahwa, peserta didik cenderung kurang aktif dalam proses belajar
mengajar. Maka, peneliti pun tertarik untuk merencanakan proses pembelajaran yang aktif
sehingga dapat meninngkatkan hasil belajar peserta didik. Perencanaan selanjutnya dilakukan
dengan pembuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Peserta Didik
(LKPD) yang dibuat berdasarkan langkah pembelajaran dalam model Problem Solving
Laboratory (PSL). Lembar observasi guru, lembar observasi KPS peserta didik dan instrumen
penilaian hasil belajar.
b. Tahap Tindakan
Peserta didik dibagi dalam 6 kelompok yang terdiri atas 5 – 6 anggota. Kelompok
dibenguk secara acak, sehingga kemampuan peserta didik dalam kelompok menjadi
heterogen. Setelah peserta didik duduk perkelompok, guru memberikan LKPD. Guru pun
mulai membimbing peserta didik dalam mengisi tahapan yang terdapat dalam LKPD. Dalam
pengisisan LKPD ini, peserta didik menjadi aktif berdiskusi. Pengisian LKPD dimulai pada
tahap penyelesaian masalah yang diberikan. Peserta didik menjawab permasalahan tersebut
berdasarkan materi yang akan dipelajari. Setelah menyelesaikan masalah tersebut, mereka pun
mengisi tujuan percobaan yang akan dilakukan. Tujuan percobaan dibuat berdasarkan
masalah yang telah diselesaikan sebelumnya. Setelah tujuan ditetapkan, pemilihan alat dan
bahan yang akan digunakan pada percobaan. Telah disediakan beberapa alat dan bahan yang
digunakan dalam percobaan.
Peserta didik diminta unutk memilih dengan tepat alat dan bahan yang akan
digunakan. Tahapan selanjutnya adalah membuat prediksi percobaan yang akan dilakukan.
Setelah prediksi dibuat, masing-masing kelompok menuliskan prosedur percobaan yang akan
dilakukan. Tahapan dilanjutkan dengan pengisian pertanyaan metode apa yang digunakan.
Dengan menjawab pertanyaan ini, peserta didik akan lebih mudah dalam menganalisis data
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

438
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

yang akan didapatkan. Selanjutnya, masing-masing kelompok merangkai alat dan bahan yang
telah dipilih sebelumnya. Setelah guru memeriksa bahwa alat dan bahan telah terangkai
dengan benar. Maka, pengambilan data dimulai. Data yang didapatkan ditulis pada tabel yang
telah disediakan di LKPD. Data yang didapatkan pun dianalisis dan dibuat grafiknya.
Tibalah pada tahapan akhir, yaitu membuat kesimpulan.
Setelah kesimpulan dibuat, peserta didik mempresentasikan hasil yang diperoleh dari
percobaan. Selanjutnya, guru melakukan penguatan materi. Setelah tindakan siklus I
dilaksanakan, tahap selanjutnya posttest untuk melihat peningkatan hasil belajar yang terjadi
dengan penggunaan model PSL pada konsep gerak harmonis sederhana. Hasil pretes dan
postest siklus I dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Data Statistik Pretest dan Posttest Siklus 1
Data Statistik Pretest Posttest
Rata-Rata 26,7 73
Nilai Minimum 15 55
Nilai Maksimum 40 95
Median 25 72,5
Modus 20 70
Standar Deviasi 1,29 1,52

Terlihat pada Tabel 1 bahwa pada siklus 1, rata- rata pretest bernilai 26,7 dari nilai
maksimal 100. Setelah menggunakan Problem Solving Laboratory hasil poststest meningkat
dengan rata-rata nilai yang diperoleh menjadi 73. Terdapat 11 orang peserta didik yang
berhasil mencapai nilai KKM sehingga presentase keberhasilan sebesar 42%. Terdapat 58%
peserta didik atau sebanyak 15 peserta didik yang belum mencapai nilai KKM. Hasil N-
Gain yang didapat sebesar 0,63 dengan kategori sedang.
Hasil yang belum maksimal ini dikarenakan, peserta didik merasa kesulitan dalam
mengasosiasikan permasalahan yang disajikan dengan materi GHS. Sehingga, guru
memberikan beberapa petunjuk yang dapat memudahkan peserta didik. Saat menentukan alat
dan bahan, peserta didik tidak terlalu merasa kesulitan. Tetapi, peserta didik merasa kesulitan
dalam melanjutkan tahapan selanjutnya, seperti membuat prediksi percobaan, membuat
prosedur percobaan, merangkai alat dan bahan, dan menjawab metode pertanyaan. Sehingga,
peserta didik masih sangat membutuhkan petunjuk dari guru. Saat memasukkan data dalam
tabel, peserta didik tidak merasa kesulitan. Namun saat menganalisis data, terdapat beberapa
peserta didik yang merasa kesulitan. Begitupula saat menggambarkan grafik, hanya beberapa
peserta didik yang menggambarkannya dengan baik. Beberapa kelompok membuat
kesimpulan yang tepat.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

439
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

c. Tahap Observasi
Hasil observasi guru dalam proses pembelajaran didapatkan dengan menggunakan
lembar observasi guru. Pada pertemuan pertama didapatkan presentase sebesar 35%.
Sedangkan pada pertemuan kedua sebesar 50%. Hal ini dikarenakan guru tidak dapat
menuntaskan semua tahapan dengan maksimal.
Hasil observasi keterampilan proses sains peserta didik diamati dengan menggunakan
instrumen penilaian keterampilan proses sains yang terdiri dari empat keterampilan.
Keterampilan ini, bersesuaian dengan kegiatan dalam tahapan yang ada pada PSL.
Keterampilan pertama adalah merencanakan percobaan (K1), yang dapat dilihat dari kegiatan
peserta didik dalam menentukan alat dan bahan yang terdapat dalam LKPD serta kegiatan
membuat prosedur percobaan. Keterampilan kedua adalah pelaksanaan percobaan (K2),
dapat dilihat dari kegiatan peserta didik dalam merangkai alat percobaan dan partisipasi
anggota kelompok dalam melakukan percobaan. Keterampilan ketiga yaitu observasi (K3),
dilihat dari kegiatan peserta didik dalam mengamati hal yang terjadi pada pegas atau bandul
dengan adanya perubahan beban atau panjang tali yang digunakan. Keterampilan terakhir
dalam KPS yaitu komunikasi (K4), dapat dilihat dari empat kegiatan peserta didik. Empat
kegiatan tersebut adalah mencatat hasil percobaan dimasukkan ke dalam tabel,
menggambarkan grafik percobaan, menjelaskan hasil dan kesimpulan percobaan, serta
mendiskusikan hasil percobaan. Instrumen dibuat dengan skala 4. Nilai rata-rata KPS peserta
didik pada Siklus I dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Data Nilai Rata-rata KPS Peserta Didik Pada Siklus I
KPS K1 K2 K3 K4
Pertemuan 1 74,83 74,83 68 69,00
Pertemuan 2 75 85 70,83 73,94

Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat terlihat hasil KPS yang didapatkan pada siklus I.
Nilai KPS peserta didik meningkat drastis pada K2 atau saat kegiatan merangkai percobaan
serta pastisipasi peserta didik. KPS yang lain meningkat, walaupun tidak secara signifikan.
d. Tahap Refleksi
Berdasarkan kegiatan siklus I yang telah dilakukan, terdapat beberapa kendala yang
terjadi antara lain : 1) Tidak semua tahapan pembelajaran dapat dilakukan dengan maksimal,
karena banyak waktu yang terpakai dalam tahapan-tahapan yang dilakukan, 2) Lamanya
waktu yang dibutuhkan dalam beberapa tahapan, karena kurangnya pengetahuan yang telah
dimiliki peserta didik, 3) pengaturan waktu untuk setiap tahapan, (4) Suasana kelas yang
tidak kondusif karena karakter siswa.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

440
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Siklus II
a. Tahap Perencanaan
Hasil refleksi pada siklus I, menjadi perbaikan dalam siklus II yang akan dilakukan.
Peneliti pun mempersiapan RPP dengan pengaturan waktu yang lebih baik, serta meminta
peserta didik untuk belajar dengan membaca banyak referensi mengenai materi persamaan
umum GHS serta percobaan-percobaan yang terdapat dalam GHS. Hal ini dilakukan agar
hasil belajar peserta didik pada siklus II ini, dapat lebih meningkat.
b. Tahap Tindakan
Formasi kelompok yang dibentuk masih sama dengan kelompok pada siklus I. Setelah
peserta didik duduk berkelompok, guru pun memberikan LKPD. Guru meminta siswa untuk
mnyelesaikan semua tahapan yang ada pada LKPD. Hasil pretes dan postes pada siklus II
dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3. Data Statistik Pretest dan Posttest Siklus II
Data Statistik Pretest Posttest
Rata-Rata 30 89
Nilai Minimum 0 80
Nilai Maksimum 60 100
Median 20 80
Modus 20 80
Standar Deviasi 1,14 0,50

Berdasarkan Tabel 3, dapat terlihat terdapat peningkatan pada hasil postest. Rata-rata
nilai pretest 30 sedangkan pada posttest 89. Jumlah peserta didik yang mencapai nilai KKM
adalah 26 peserta didik dengan presentase mencapai 100%. N-Gain sebesar 0,82 dengan
kategori tinggi. Sehingga, dapat terlihat bahwa penggunaan model PSL dapat meningkatkan
hasil belajar peserta didik.
Pada siklus ini, peserta didik sudah tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mengisi
LKPD yang diberikan. Mereka sudah mulai terbiasa dalam mengisi LKPD. Tetapi, mereka
masih cenderung merasa kesulitan dalam beberapa tahapan. Tahapan tersebut yaitu; tahapan
metode pertanyaan, analisis data, menggambarkan grafik, serta menarik kesimpulan.

c. Tahap Observasi
Hasil observasi guru selama proses berlangsung adalah sebesar 85% dengan kategori
tinggi. Guru telah dapat menyelesaikan tahapan dengan maksimal. Hasil KPS peserta didik
pada siklus II dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut :

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

441
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 4. Data Nilai Rata-rata KPS Peserta Didik Pada Siklus II


KPS K1 K2 K3 K4
Pertemuan 3 83 89 78 75

Berdasarkan Tabel 3 di atas, dapat terlihat adanya peningkatan pada KPS peserta
didik. Terlihat bahwa KPS peserta didik telah meningkat pada semua aspek keterampilan.
Hanya saja, keterampilan peserta didik yang terbilang rendah adalah pada K4. Empat
kegiatan pada K4 adalah mencatat hasil percobaan berupa tabel, menggambarkan grafik
percobaan, menjelaskan hasil dan kesimpulan percobaan, serta mendiskusikan hasil
percobaan. Peserta didik masih kurang dalam menggambarkan hasil percobaan, menjelaskan
hasil, dan kesimpulan percobaan. Dalam kegiatan mendiskusikan hasil percobaan,
keterampilan mereka telah baik. Hal ini karena, para peserta didik telah mengemukakan
pendapatnya masing-masing.
d. Tahap Refleksi
Pada siklus II ini, hasil interverensi yang diharapakan telah tercapai. Hasil refleksi pada
siklus I harus diperbaiki lagi di siklus II maka pada siklus II peneliti mengharuskan peserta
didik untuk membaca telebih dahulu. Hasil refleksi pada siklus II mendeskripsikan bahwa
kegiatan pembelajaran menggunakan model problem solving laboratory cukup membantu
siswa dalam proses pembelajaran, ditandai dengan: 1) Rata-rata nilai posttest siswa 89
dengan rata-rata N-Gain 0,82 dengan kategori tinggi. Maka dapat dikatakan bahwa hasil
belajar siswa mengalami peningkatan. 2) Pada siklus II presentase peningkatan jumlah siswa
yang mencapai KKM sebanyak 100% hal tersebut sudah memenuhi indikator ketuntasan
belajar yang direncanakan dalam penelitian ini yaitu sebesar 80%. 3) KPS peserta didik selalu
meningkat pada setiap pertemuan yang dilakukan. Peningkatan KPS terbesar terjadi pada K2
atau kegiatan merangkai percobaan serta partisipasi peserta didik dalam percobaan.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Terjadi peningkatan hasil belajar peserta didik kelas X MIA 4 SMA Negeri 5 Kota
Tangerang Selatan dengan menggunakan model pembelajaran Problem Solving
Laboratory. Terbukti dengan adanya peningkatan nilai N-Gain pada siklus I sebesar
0,63 menjadi 0,82 pada siklus II.
2. KPS peserta didik selalu meningkat pada setiap pertemuan yang dilakukan.
Peningkatan KPS terbesar terjadi pada K2 atau kegiatan merangkai percobaan serta
partisipasi peserta didik dalam percobaan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

442
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyarankan:
1. Pembelajaran menggunakan model Problem Solving Labolatory memerlukan
bimmbingan yang lebih dari guru, karena peserta didik diharapkan dapat mengisi
LKPD dengan benar.
2. Guru harus memastikan bahwa para peserta didik telah memiliki pengetahuan yang
cukup baik mengenai materi. Agar mempermudah proses pembelajaran berlangsung.
3. Perlu dilakukan penelitian pada konsep fisika lainnya yang sekiranya perlu
ditingkatkan hasil belajar maupun sikap ilmiah peserta didik.

Ucapan Terima Kasih


Peneliti mengucapkan terimakasih kepada sekolah SMAN 5 Kota Tangerang Selatan
yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian. Peneliti juga mengucapkan
terimakasih kepada ibu Fathiah Alatas dan pak Daryono atas bimbingannya selama penelitian
ini. Terima kasih pula terhadap teman-teman yang telah membantu dalam observasi pada
penelitian ini.

References

Azizah, N., Edie, S.S. 2014. Pendekatan Problem Solving Laboratory untuk Meningkatkan
Kreatifitas dan Hasil Belajar Peserta didik Kelas XI MA Al Asror Gunungpati
Semarang. Unnes Physics Education Journal. 3(3): 28-33.
Demircioglu, G & Mustafa, Y. 2011. The Effect of Laboratory Method om High School
Students Understanding of The Reaction Rate. Western Anatolis Journal of
Educational Science (WAJES). 509-516.
Ellianawati, dan Subali, B. 2010. Penerapan Model Praktikum Problem Solving Laboratory
Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki Kualitas Pelaksanaan Praktikum Fisika Dasar .
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. 6(2): 90-97.
Iradat, RD., Alatas, F. 2017. The Implementation of Problem-Solving Based Laboratory
Activities to Teach the Concept of Simple Harmonic Motion in Senior High
School. Journal of Physics: Conference Series, 895: 1-7
http://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/895/1/012014/meta

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

443
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hamidiyah, N., Suliyanah. 2017. Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)
untuk Melatihkan Self-efficacy Peserta didik pada Materi Getaran Harmonik
Sederhana di MAN 2 Kediri Nurul Hamidiyah, Suliyanah. Jurnal Inovasi
Pendidikan Fisika (JIPF). 6(03): 240-245.
Hariani, F., Sudarti, Astutuik, S. 2014. Pengaruh Model Problem Solving Laboratory
terhadap Keterampilan Proses Sains dan Hasil Belajar Fisika Peserta didik Kelas
XI di SMA Negeri 2 Tanggul. Jurnal Pembelajaran Fisika Universitas Jember.
Heller, P., dan Heller, K. 2010. Cooperative Group Problem in Physics. University of
Minnesota.
Malik, A., Handayani, W., Nuraini, R. 2015. Model Praktikum Problem Solving
Laboratory untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Mahapeserta didik.
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2015 (SNIPS
2015) 8 dan 9 Juni 2015. 193-196.
Mufarokhah, A., Arief, A. 2017. Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Untuk
Melatihkan Keterampilan Proses Sains Peserta didik Pada Materi Gerak
Harmonik Kelas X di SMAN 1 Babat-Lamongan. Jurnal Inovasi Pendidikan
Fisika (JIPF). 6(3) : 54-58.
Muzakkir, Halim, A., Syukri, M. 2015. Pengaruh Pelaksanaan Praktikum Inkuiri Berbasis
Laboratorium Virtual Terhadap Peningkatan Motivasi Dan Kreativitas Peserta
didik. Jurnal Pendidikan Sains Indonesia. 2(1) : 125-134.
Nurbaya, Nurjanah, dan Werdhiana, I.K. 2015. Penerapan Model Problem Solving
Laboratory Terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep Kalor Pada Peserta didik
Kelas X SMA Negeri 4 Palu”, Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako. 3(2) : 1-12.
Saputri, V.A.C., Dewi, N.R. 2014. Alat Peraga Sederhana Eye Lens Tema Mata Kelas VIII
Untuk Menumbuhkan Keterampilan Peserta Didik. Jurnal Pendidikan IPA
Indonesia. 3(2) : 109-115.
Soesatyo, Y., Subroto, W.T., Sakti, N.C., Edwar, M., Trisnawati, N. 2017. Pelatihan
Penulisan Proposal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bagi Guru Ekonomi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

444
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Madani (JPMM). 1(2) :


162-178.
Sujarwata. 2009. Peningkatan Hasil Belajar Elektronika Dasar II Melalui Penerapan Model
Pembelajaran Problem Solving Laboratory. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. 5 :
37-41.
Suryani, Y., Suyatna, A., Wahyudi, I. 2015. Pengembangan Modul Pembelajaran
Menggunakan Learning Content Development System Materi Gerak Harmonik
Sederhana. 87-99 https://media.neliti.com/media/publications/120759-ID-
none.pdf
Suwarna, I.P. 2014. Teori dan Aplikasi Getaran dan Gelombang. Jakarta : UIN Jakarta.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

445
R. Siti Nurlela, Sari Narulita, Firdaus Wajdi
Universitas Negeri Jakarta
e-mail: sitinurlelaraden@gmail.com, sari-narulita@unj.ac.id, firdaus.wajdi@unj.ac.id
Abstract. Currently, many people do not understand correctly about the nature of religious tourism;
even with a glance of information, religious tourism, especially pilgrimage tours, is understood as an
activity that is closer to shirk, a fellowship to God. On the basis that's why the various pilgrimage
sites start deserted from visitors. This article tries to reveal an in-depth picture of the privilege of
doing religious tourism, especially the pilgrimage tours from various sources that are accurately
accompanied by the best way of doing pilgrimage tours. The conclusion obtained by describing that
through the appropriate sources and information religious tours, especially pilgrimage tour can
improve the spirituality of people who carry it out.

Keywords: digital literacy, religious tourism, pilgrimage tour

Abstrak. Saat ini, banyak masyarakat belum memahami dengan benar akan hakikat wisata religi;
bahkan dengan sekilas informasi, wisata religi, khususnya wisata ziarah, dipahami sebagai suatu
kegiatan yang lebih dekat kepada syirik, penyekutuan kepada Allah. Atas dasar itulah mengapa
berbagai situs wisata ziarah mulai sepi dari pengunjung. Artikel ini mencoba mengungkapkan
gambaran mendalam akan keistimewaan melakukan wisata religi, khususnya wisata ziarah dari
berbagai sumber yang akurat disertai dengan cara terbaik dalam melakukan wisata ziarah.
Kesimpulan yang didapat mendeskripsikan bahwa melalui sumber dan informasi yang tepat wisata
religi khususnya wisata ziarah mampu meningkatkan spiritualitas orang yang melaksanakannya.

Kata Kunci: literasi digital, wisata religi, wisata ziarah

Pendahuluan
Kemunculan masyarakat modern di Indonesia ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang; walau di sisi lain, masih di dapati
fenomena kehidupan yang bersebrangan dan sangat menarik untuk dicermati baik dalam
kehidupan beragama maupun kehidupan sosial-budaya. Salah satu corak budaya yang turut
mewarnai tradisi keislaman di Indonesia adalah tradisi ziarah ke makam para wali atau orang-
orang yang dianggap keramat.
Ziarah makam boleh dikatakan sebuah fenomena yang selalu ada pada setiap umat
manusia sepanjang sejarahnya. Budaya ziarah tidak hanya dilakukan oleh komunitas muslim;
juga dilakukan oleh umat beragama lainnya.
Ziarah kubur merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengingat kebaikan atau

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

jasa-jasa orang yang telah mati dengan berdoa memintakan ampun agar kesalahannya diterima
Allah SWT. Ziarah dilakukan di tempat yang dianggap keramat. Selain memohon doa untuk
mereka yang telah meninggal dunia, juga meyakini bahwa permohonan kepada Allah SWT
melalui perantara atau roh orang yang meninggal dunia di makam keramat tersebut dapat
memberikan keselamatan bagi mereka yang masih berada di atas di dunia dan perlindungan
dari berbagai mara bahaya, kesialan dan sebagainya.
Makam Mbah Priuk dianggap menjadi salah satu situs yang dianggap keramat oleh
sebagian masyarakat; karenanya tak heran bila makamnya selalu ramai dikunjungi baik oleh
masyarakat setempat, wisatawan nusantara dan bahkan wisatawan luar negeri. Hal ini makin
memperkuat keyakinan masyarakat akan keberadaan makam tersebut sebagai tempat mencari
keberkahan.
Fenomena ziarah makam berangkat dari pemahaman teologis, atau keyakinan yang
berasal dari ajaran tasawuf yang menggambarkan tentang sosok yang memiliki
karomah/keramat, sosok yang memiliki keberkatan dan dapat memberi syafaah
(pertolongan) bagi para peziarah. Atas dasar pemahaman tersebut, makam menjadi ramai
dikunjungi.
Wisata ziarah merupakan bagian dari wisata religi yang dimaknai sebagai kegiatan
wisata ke tempat yang memiliki makna khusus bagi umat beragama, biasanya beberapa
tempat ibadah yang memiliki kelebihan. Kelebihan ini misalnya dilihat dari sisi sejarah,
adanya mitos dan legenda mengenai tempat tersebut, ataupun keunikan dan keunggulan
arsitektur bangunannya. Wisata religi ini banyak dihubungkan dengan niat atau hasrat sang
wisatawan untuk memperoleh restu, kekuatan batin, keteguhan iman dan tidak jarang pula
untuk tujuan memperoleh berkah dan kekayaan melimpah.
Indonesia mempunyai potensi wisata yang sangat besar. Hal ini dikarenakan sejak
dahulu Indonesia dikenal sebagai negara yang religius. Banyak bangunan atau tempat
bersejarah yang memiliki arti khusus bagi umat beragama. Selain itu, besarnya jumlah umat
beragama penduduk Indonesia merupakan sebuah potensi bagi perkembangan wisata religi.
Di Jawa Tengah, wisata religi masih sangat mungkin dikembangkan. Masjid Agung Demak,
Masjid Menara Kudus, dan Masjid Agung Jawa Tengah setiap tahun selalu dikunjungi
puluhan ribu wisatawan. Keberadaan makam para Wali yang ada di Pulau Jawa juga
merupakan sebuah potensi wisata religi.
Bersebrangan dengan fenomena ziarah makam yang bersifat statis, perkembangan
teknologi yang dinamis makin mengalami peningkatan yang tinggi yang ditandai dengan
makin bervariasinya media sosial. Untuk bisa mengantisipasi dampak buruk dari media, maka
muslim pun hendaknya mampu memanfaatkan teknologi yang ada dan mengisinya dengan
konten yang bermanfaat dan sesuai dengan ajaran Islam.
Dengan terintegrasinya informasi cetak dan elektronik, konten media baru
mencerminkan suatu gabungan antara media audio, audio-visual, dan cetak sekaligus. Untuk
bisa memahami dan mengoptimalkan fungsinya, dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan
dasar, yang kemudian dikenal dikenal literasi. Terkait dengan hal pesatnya perkembangan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

447
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

teknologi, dibutuhkan beberapa literasi, yakni Pertama, literasi teknologi; hal ini dikarenakan
sebagian besar akses internet di Indonesia melalui teknologi handphone (Puji Rianto,2016),
dan ini secara jelas menuntut para penggunanya untuk melek teknologi. Kedua, literasi digital
untuk kemudahan mengakses dan menggunakan informasi yang mereka gunakan. Seseorang
tidak cukup hanya mempunyai kemampuan yang sangat elementer seperti menggunakan
media televisi namun juga harus cakap memilah konten yang diterimanya dari media digital
agar tidak mudah terjebak dalam informasi-informasi yang tidak akurat.
Dengan memahami kerja media digital, maka akan mudah dipahami akan karakteristik
pelakunya Kelompok-kelompok percakapan dalam bentuk WhatsApp, misalnya, membuka
ruang amatan yang menarik bukan hanya mampu menyingkap perilaku khalayak dalam
mencari informasi; namun juga dalam konteks pencarian informasi itu. Latar belakang
seseorang mengenai mengapa informasi tertentu yang dicari dan dibagi dalam kelompok
percakapan, dan bukan lainnya. Misalnya dalam mencari informasi terkait wisata religi.
Masyarakat Muslim tentunya terbiasa dengan istilah wisata religi, terutama wisata religi
dalam bentuk ziarah kubur. Ziarah kubur ialah salah satu tradisi yang sangat melekat dan
tentu memiliki urgensi didalamnya. Berdasarkan pengamatan langsung oleh penulis, para
peziarah umumnya mengalami peningkatan spiritual setelah melaksanakan ziarah kubur.
Namun bagaimana cara para peziarah mengetahui tempat yang harus dikunjungi dan
membuatnya kembali menimbulkan ketertarikan tersendiri.
Jika dilihat dari aktivitas ziarah dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan situs
tersebut, para peziarah datang dari berbagai latar belakang sosial, berkumpul bersama dan
memunajat di depan makam, berdzikir berjama’ah dengan suara jahar (suara keras).
Keunikan-keunikan inilah yang menjadi suatu hal yang menarik dan perlu untuk dicermati
atau diteliti motivasi dan niat yang melatarbelakanginya Artikel ini mencoba mengkaji dari
perspektif peran literasi digital dalam mengidentifikasi urgensi wisata religi khususnya ziarah
kubur. Dalam mengikuti ziarah kubur apakah masyarakat Muslim hanya sekedar ikut-ikutan
saja, mengetahui dari teman sebaya, atau bahkan mendapat informasi dari sosial media. Jika
memang hanya sekedar ikut-ikutan saja, apakah mereka mendapatkan manfaat yang sama
dengan mereka yang melakukannya dengan penuh kesadaran? Dilain sisi, bila mereka
mendapat informasi dari sosial media, informasi seperti apakah yang membuatnya tertarik
untuk melakukan wisata religi? Apakah dalam informasi tersebut tampak peran literasi digital
dalam mengidentifikasikan urgensi dalam berziarah kubur? Artikel ini diharapkan dapat
memberikan suatu gambaran mengenai bagaimana peran literasi digital dalam
mengidentifikasi urgensi wisata religi khususnya ziarah kubur. Dalam situasi semacam ini,
adalah menarik untuk kemudian mendiskusikan apa yang bisa disumbangkan literasi digital
dalam mengetahui urgensi dari ziarah kubur.

Metode
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan data penelitian
diperoleh dari jawaban para responden serta kajian pustaka yang berkaitan dengan artikel ini.
Metode dipilih untuk mengetahui bagaimana peran literasi digital dalam mengidentifikasi
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

448
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

urgensi wisata religi khususnya ziarah kubur.


Teknik pengumpulan data yang diambil dalam penelitian ini adalah wawancara
terhadap narasumber yang dibantu dengan pedoman interview berstandar dalam bentuk
pertanyaan terbuka. Langkah pertama yang dilakukan adalah informed consent, kemudian
membangun hubungan saling percaya. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan perkenalan
dalam suasana yang rileks. Wawancara ini dilakukan agar mendapat informasi mengenai
peran literasi digital dalam mengidentifikasi urgensi wisata religi khususnya ziarah kubur.
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer yang diperoleh secara langsung dari tempat penelitian dan merupakan
data yang diperoleh dari sumber utama yaitu hasil jawaban dari responden yang dikaitkan
dengan kajian pustaka yang saling berkaitan. Adapun data sekunder diperoleh dari dokumen
dan literatur yang terkait dengan peran literasi digital dalam mengidentifikasi urgensi wisata
religi khususnya ziarah kubur.
Untuk menetapkan keabsahan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi. Teknik
ini digunakan untuk membandingkan hasil wawancara dengan para peziarah dalam masalah
peran literasi digital dalam mengidentifikasi urgensi wisata religi khususnya ziarah kubur serta
disesuaikan dengan kajian pustaka.
Setelah terkumpulnya data-data tentang peran literasi digital dalam mengidentifikasi
urgensi wisata religi khususnya ziarah kubur, kemudian dilakukan tahap pengolahan data.
Tahap pengolahan data ini diawali dengan tahap reduksi data yang dilakukan dengan
merangkum, memilih hal-hal pokok dan memfokuskan hal-hal penting untuk dicari tema dan
polanya. Dalam hal ini penulis mengumpulkan keseluruhan data yang telah diperoleh melalui
wawancara dan kajian pustaka, lalu melakukan editing terhadap data-data yang kurang
lengkap dan kurang sempurna. Setelah proses reduksi data, penulis melakukan tahap
klasifikasi dari data-data yang sudah terkumpul, karena tidak semua data yang terkumpul
sesuai dengan materi yang dikaji. Selain itu, penulis menyusun dan mensistematikan data
yang ada ke dalam pola tertentu untuk mempermudah bahasan yang dilakukan. Setelah
mereduksi data dan mengklasifikasikannya, langkah selanjutnya adalah verifikasi data untuk
mengetahui keabsahan datanya apakah sudah valid dan sesuai dengan yang diharapkan atau
belum. Pada tahap ini, penulis meneliti kembali keabsahan datanya dimulai dari jawaban para
responden. Langkah selanjutnya adalah menganalisis data yang sudah terkumpul lalu
mengaitkan hasil wawancara dengan kajian pustaka yang membahas peran literasi digital
dalam mengidentifikasi urgensi wisata religi khususnya ziarah kubur. Kemudian langkah
terakhir, peneliti membuat kesimpulan dari analisis data.

Hasil dan Pembahasan


Literasi digital dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk menerapkan
keterampilan fungsional pada perangkat digital sehingga ia dapat menemukan dan memilih
informasi, berpikir kritis, berkreativitas, berkolaborasi bersama orang lain, berkomunikasi
secara efektif, dan tetap menghiraukan keamanan elektronik serta konteks sosial-budaya yang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

449
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berkembang. Literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam
menggunakan tekhnologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola,
mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru,
membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam
masyarakat.
Pendidikan, literasi digital yang baik berperan dalam mengembangkan pengetahuan
seseorang mengenai materi pelajaran tertentu dengan mendorong rasa ingin tahu dan
kreativitas yang mereka miliki. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknologi seperti
e-text dan e-library membuat peserta didik merasa lebih baik karena memungkinkan mereka
melakukan presentasi yang baik, kreatif dan up-to-date. Penelitian lain menunjukkan bahwa
peserta didik yang secara ekstensif dan intensif menggunakan teknologi, cenderung mudah
mengadopsi strategi pembelajaran dengan menggunakan berbagai alat teknologi untuk
mendukung proses belajar.
Peran Literasi digital tentunya sangat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
mengidentifikasi urgensi wisata religi khususnya ziarah kubur. Berdasarkan wawancara
responden terungkap bahwa informasi akan lokasi wisata religi umumnya diperoleh lewat
teman sebaya atau dari mulut ke mulut, sehingga peran literasi dalam masalah ini tidak
berperan dengan baik. Namun beberapa dari mereka mendapatkan informasi melalui media
sosial yang telah disebar luas. Dalam hal ini, maka peran dari literasi digital telah tercapai.
Dengan literasi digital, masyarakat tidak hanya bisa mengetahui satu lokasi ziarah; namun
banyak lokasi ziarah yang ditawarkan oleh banyak orang. Melalui peran literasi digital,
responden bisa mengetahui tempat ziarah lebih jauh lagi. Dengan peran literasi digital maka
keterkaitan para peziarah dengan teknologi akan semakin dekat dan meningkat.
Melalui pelaksanaan ziarah kubur, banyak berkah yang diperoleh para responden, salah
satunya ialah dalam peningkatan spiritual. Spiritualitas, dalam pengertian yang
luas,merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki
kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan
dengan sesuatu manusia yang bersifat duniawi dan sementara. Dalam ziarah kubur pun
terdapat kepercayaan akan kekuatan supernatural, namun lebih bersifat personal. Masyarakat
Jawa pada umumnya masih mempertahankan warisan budaya yang berupa tradisi; misalnya
budaya berziarah ke makam-makam orang yang sudah meninggal. Loyalitas masyarakat Jawa
dalam mempertahankan nilai-nilai budaya lokalnya tampak dari masih bertahannya tradisi
tersebut, yakni tradizi ziarah ke makam seseorang yang diyakini memiliki karamah,
diantaranya berziarah ke makam para Wali. Makam Sunan Muria juga menjadi salah satu
dari tujuan wisata ziarah yang wajib dikunjungi oleh sebagian masyarakat Jawa. Dalam hal ini,
kegiatan ziarah menjadi satu produk wisata yang berkaitan erat dengan sisi religius atau
keagamaan yang menjalaninya.
Argumentasi akan lokasi pemilihan wisata ziarah dengan mengunjungi makamm yang
dianggap saleh dan memiliki karamah mengacu kepada keyakinan bahwa mendekati dan
menghadap Tuhan akan lebih mudah dengan menekati orang yang dianggap dekat dengan-
Nya. Tuhan dianggap tidak terjangkau bila didekati langsung. Paham perantaraan atau
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

450
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

wasilah sangat dominan dalam pelaksanaan wisata ziarah. Hal ini mengacu kpada pemahaman
akan QS Al Baqarah 2:186, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang mendo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

Penutup
Simpulan
Keterkaitan manusia dengan teknologi masa kini memberikan peluang bagi manusia
untuk mengetahui dan mengungkap informasi lebih mudah. Salah satu informasi yang bias
didapatkan adalah informasi akan kegiatan wisata religi di masyarakat. Melalui pemilahan
informasi yang ada di berbagai media digital, seseorang akan mampu memilah lokasi yang
akan dikunjunginya dan mereview pengalaman yang dialaminya selama proses ziarah. Dengan
demikian, teknologi dengan disertai dengan kemampuan literasi digital akan mampu
membuat seorang muslim melakukan wisata ziarah dengan lebih efektif , dan efisien serta
berpotensi meningkatan spiritualitasnya.

Saran
Dengan perannya dalam membuat wisata religi lebih efektif dan efisien, maka
kemampuan literasi digital menjadi penting dipelajari. Untuk itu, mengisi konten wisata religi
mencakup lokasi dan pengalaman yang bias didapatkan serta memberikan pelatihan akan
literasi digital menjadi satu kebutuhan medesak pada masa kini untuk meminimalisir dampak
wisata ziarah yang negatif dan mengaburkan akan pentingnya wisata ziarah dalam masyarakat.
Dengn melakukan share pendapat dan pengalaman dalam berbagai teknologi, diantaranya
media siosial yang banyak di akses para kalangan muda, maka mereka pun memiliki potensi
untuk mendapatkan informasi yang lebih valid akan keberadaan wisata religi dan manfaatnya
dalam meningkatkan spiritualitas dalam diri.

Daftar Pustaka

Anggraeni, Filia Dina dan Muhammad Firman Akbar (2017) teknologi dalam pendidikan:
literasi digital dan selfdirected learning pada mahasiswa skripsi. Jurnal Indigenous
2(1) :28-38
Kurniawati,Julia dan Siti Baroroh. (2016). Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Bengkulu. Jurnal Komunikator :51-66

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

451
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Loir, Henri Chambert dan Calude Guillet. (2007) Ziarah & Wali di Dunia Islam. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta.
Rianto, Puji. (2016) Media Baru Visi Khalayak Aktif dan Urgensi Literasi Media Jurnal
Komunikasi 01(02) : 90-96
Sari, Dyah Ivana (2010),Objek Wisata Religi Makam Sunan Muria.Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Sari, N., Wajdi, F., & Narulita, S. (2018, January 1). Peningkatan Spiritualitas melalui
Wisata Religi di Makam Keramat Kwitang Jakarta. Jurnal Studi Al-Qur’an, 14(1),
44 - 58. https://doi.org/https://doi.org/10.21009/JSQ.014.1.04
Syahdan (2017) Ziarah Perspektif Kajian Budaya. Jurnal Studi Budaya dan Masyarakat
13(1) : 66-68.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

452
Rahmatika Rizqi Utami, Nurlaili Irias Putri, Cintia Nugraha
Universitas Negeri Semarang
e-mail: sitinurlelaraden@gmail.com, sari-narulita@unj.ac.id, firdaus.wajdi@unj.ac.id
Abstrak. Buku cerita anak merupakan salah satu bahan bacaan bagi peserta didik di sekolah.
Ketersediaan buku di sekolah merupakan sarana yang dibutuhkan dalam melaksanakan kegiatan
literasi. Dewasa ini literasi media sangat berpengaruh bukan hanya pada orang dewasa. Peserta didik
usia SD juga mengalami dampak positif dan dampak negatifnya. Oleh karena itu, buku bacaan dapat
menjadi sarana yang baik untuk mengatasi dampak negatif dari media yang berkembang pesat saat
ini. Peran orang dewasa dibutuhkan bagi peserta didik usia SD agar media cetak maupun elektronik
dapat bermanfaat. Buku cerita anak dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi hal tersebut.
Akan tetapi, buku cerita anak di Indonesia banyak didominasi oleh buku terjemahan yang muatannya
tidak terdapat unsur budaya Indonesia. Terjemahan buku cerita ini menggunakan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia dalam buku cerita anak berpengaruh terhadap penggunaan bahasa daerah sebagai
bahasa ibu yang mulai ditinggalkan. Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang terus
berkurang didukung oleh jumlah teknologi, informasi, dan transportasi maju pesat. Hal ini
mengakibatkan banyaknya unsur bahasa dan kebudayaan asing masuk ke dalam bahasa-bahasa daerah
di Indonesia. Oleh karena itu, tulisan ini menegaskan bahwa buku cerita anak dwibahasa bermuatan
kearifan lokal tepat sebagai bahan literasi media. Secara khusus, tulisan ini memaparkan : (1) buku
cerita anak dwibahsa bermuatan kearifan lokal sebagai bahan literasi media; (2) implementasi
kearifan lokal yang dapat menguatkan mental pembaca dalam menghadapi dampak negatif media;
(3) kearifan lokal dan bahasa daerah dapat dilestarikan dengan cara yang menyenangkan, karena
sasarannya adalah usia anak SD kelas tinggi. Tujuannya agar dapat mendukung gerakan literasi
media di sekolah agar peserta didik mampu menghadapi arus informasi cepat dan perlu dikonfirmasi
kebenarannya.

Kata Kunci: buku cerita anak dwibahasa, kearifan lokal, dan literasi media

Pendahuluan
Literasi media merupakan salah satu kompetensi abad 21 selain keterampilan berpikir
kritis, kemampuan menyelesaikan masalah, komunikasi dan kolaborasi, dan sebagainya
(Zubaidah, 2016). Kompetensi ini diperlukan dalam mendidik generasi muda. Literasi
media berkontribusi untuk mencegah salah satu permasalahan global berupa radikalisme
(Serambinews, 2018).
Literasi yang berbasis etika informasi dan komunikasi mengharuskan kita belajar hidup
bersama (learning to life together) dalam spirit integrasi, budaya toleransi, menghormati
perbedaan dan kebhinekaan, kebebasan berekspresi dan berpendapat secara harmoni
(Sindonews, 2018). Jika ini dilakukan di sekolah, maka diperlukan sarana untuk mencapai

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tujuan tersebut. Salah satunya melalui buku bacaan siswa. Bersamaan dengan hal tersebut,
pesatnya media informasi membawa berbagai macam dampak positif dan negatif. Dampak
positifnya berupa kemudahan mengakses berbagai informasi sehingga dunia seolah ada dalam
genggaman tangan. Akan tetapi, dampak negatif berupa rusaknya moral mengiringi dampak
positif tersebut. Bagi orang dewasa, memilah informasi dapat dilakukan dengan logikanya
sendiri. Sedangkan bagi anak, hal tersebut perlu mendapat pendampingan dari orang dewasa.
Melalui literasi, secara tidak langsung penanaman nilai-nilai moral dapat dilakukan.
Literasi di Indonesia belum sepenuhnya berhasil, khususnya literasi di sekolah. Ada beberapa
hambatan dalam pekalasanaanya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2017),
kurangnya buku sumber/buku cerita menjadi kendalanya. Pendapat ini didukung dengan
beberapa contoh cerita anak berupa sastra anak yang didominasi oleh buku cerita terjemahan.
Contohnya Seri Mickey kelompok Disney, Seri Boneka Binatang karya Tony Wolf, Seri
Rose Selarose, Seri Mini Noddy, Seri Noddy, dan sebagainya. Data kecil ini menyiratkan
bahwa sedikitnya sastra anak Indonesia mengakibatkan larisnya sastra anak versi terjemahan
(Sugihastuti, 2011). Terjemahan buku cerita ini menggunakan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam buku cerita anak berpengaruh terhadap
penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang mulai ditinggalkan. Berdasarkan pemetaan
bahasa di Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, bahasa daerah yang
telah teridentifikasi dan divalidasi sebanyak 652 bahasa dari 2.452 daerah pengamatan. Data
ini diambil dari tahun 1990 sampai dengan 2017, terdapat 13 bahasa yang punah, 4 bahasa
sangat terancam, 18 bahasa terancam punah, dan 2 bahasa mengalami kemunduran (Data
Bahasa Daerah 2017). Hal ini menggambarkan bahwa bahasa daerah sudah tidak lagi
dijadikan sebagai bahasa ibu dan tergantikan oleh bahasa Indonesia serta bahasa asing.
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang terus berkurang didukung oleh
jumlah teknologi, informasi, dan transportasi maju pesat. Hal ini mengakibatkan banyaknya
unsur bahasa dan kebudayaan asing masuk ke dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Begitu pula dengan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang semakin
pesat, tentunya mempengaruhi pula perkembangan bahasa daerah (Artanti, 2010). Selain itu,
terbatasnya jumlah buku cerita berbahasa daerah pun menjadi faktor yang dominan punahnya
bahasa daerah di Indonesia (Tempo, 2015). Hal tersebut diperkuat dengan fakta bahwa rata-
rata penerbit hanya mencetak 5-10 judul buku berbahasa daerah per tahun. Untuk satu buku
dengan cetak awal sebanyak 2.000 eksemplar (Kompas, 2011).
Buku cerita berbahasa daerah secara tidak langsung juga berfungsi sebagai media untuk
membelajarkan kearifan lokal daerah tersebut. Penanaman nilai-nilai dapat dilakukan melalui
upaya komunikasi melalui kegiatan membaca. Kegiatan membaca buku cerita anak
merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjalin komunikasi. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Phelan (2010:218) bahwa cerita anak dapat memotivasi peserta
didik melalui kegiatan membaca dan mengapresiasi.
Potensi kearifan lokal yang unik salah satunya dimiliki daerah Semarang. Semarang
adalah salah ibu kota profinsi di Jawa Tengah yang juga memiliki kearifan lokal yang kaya
dan cukup unik. Hal itu dikarenakan dalam perkembangan kearifan lokal Semarang sangat
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

454
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dipengaruhi oleh bentuk kearifan lokal pembauran yang berasal dari Jawa, Arab, dan Cina.
Pembauran ini terjadi karena Semarang merupakan daerah pusat perekonomian yang
mempertemukan tiga suku tersebut. Asimilasi itu secara otomatis membentuk kearifan lokal
tersendiri yang dapat berupa kearifan lokal asli maupun gabungan.
Relevan dengan situasi tersebut, pemahaman terhadap kearifan lokal Semarang bagi
peserta didik atau anak-anak rupanya dapat diajarkan melalui pengintegrasian dalam muatan
buku cerita anak. Hal ini senada dengan kebutuhan buku cerita anak yang sesuai dengan
konteks sosial yang ada yakni buku yang berbahasa daerah. Hal-hal tersebut menggambarkan
bahwa perlu adanya pengembangan buku cerita anak dwibahasa (bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa) yang disesuaikan dengan karakteristik anak dan bermuatan kearifan lokal Semarang.
Pengintegrasian tersebut bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai yang dianut sebagai
landasan untuk menghadapi arus informasi yang pesat bersama dengan dampak yang
ditimbulkannya.

Buku Cerita Anak Dwibahasa


Penelitian mengenai kearifan lokal pernah ditulis sebelumnya oleh Untari (2012),
Suryanto dkk (2013), dan Nugroho (2016).
Pertama, Untari (2012) melakukan penelitian pengembangan dengan judul
“Pengembangan Cerita Anak Berwawasan Budi Pekerti bagi Pendidikan Karakter.” Dalam
penelitian ini mendeskripikan pengembangan materi ajar cerita anak berwawasan budi pekerti
untuk untuk pendidikan karakter siswa SD.
Kedua, penelitian Suryanto dkk (2013) melakukan penelitian berjudul “Model
Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Cerita Anak untuk Penanaman Nilai Etis-Spiritual.”
Penelitian ini mendeskripsikan mengenai analisis kebutuhan pembelajaran budi pekerti yang
diperoleh dari visi dan misi sekolah serta langkah-langkah pendidikan budi pekerti berbasis
cerita anak yang diterapkan di sekolah.
Ketiga, Nugroho (2016) melakukan penelitan mengenai cerita anak. Penelitian ini
berjudul “Pengembangan Buku Cerita untuk Menanamkan Karakter Mandiri dan Peduli
Lingkungan Siswa Sekolah Dasar Kelas Rendah”. Dari penelitian ini diketahui bahwa
menanamkan karakter pada siswa sekolah dasar dapat tertuang dalam buku cerita.
Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita anak merupakan
sebuah sarana yang dapat digunakan dalam pengembangan karakter dan budi pekerti anak.
Hal ini dapat diimplementasikan dalam sistem pembelajaran. Penyampaian hal positif dalam
cerita anak tidak dapat membebani anak karena pesan yang disampaikan tidak menekan anak.
Kajian pustaka di atas menerangkan mengengenai cerita anak yang berkaitan dengan
kehidupan nyata. Sebenarnya, cerita anak dapat pula disebut dengan cerita fiksi anak.
Nurgiyantoro (2013) menyatakan bahwa cerita fiksi anak mesti menampilkan cerita, dan
cerita tentang misteri kehidupan tersebut dapat dipandang dari aspek isi. Artinya, sesuatu
yang menjadi isi ungkapan dan yang ingin disampaikan kepada pihak lain (pembaca). Untari
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

455
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

(2012) menjelaskan lebih lanjut, bahwa cerita anak adalah karya fiksi yang ditulis oleh
dan/atau untuk anak, mengkisahkan kehidupan anak, dan berkaitan dengan anak. Sesuai
dengan dua konsep tersebut, maka buku cerita anak merupakan buku yang berisi cerita fiksi
yang unsur ceritanya berkaitan dengan anak.
Berdasarkan pengertian di atas, Nurgiyantoro (2013) menjelaskan jika karakteristik
cerita fiksi anak memiliki citra kehidupan yang dapat dipahami sebagai penggambaran secara
konkret tentang model-model kehidupan yang sesungguhnya di dunia sehingga mudah
diimajinasikan oleh pembaca anak. Artinya, unsur cerita dalam buku cerita anak dapat
bermanfaat bagi pembaca anak agar bisa mencontoh hal baik yang disampaikan dalam cerita.
Unsur cerita perlu menampilkan suatu konsep yang mudah dipahami oleh pembaca anak
melaui cara penceritaan dan tampilan buku.
Karakteristik cerita fiksi anak tersebut kemudian memiliki beberapa macam jenis.
Jenis-jenisnya yaitu fiksi realistik (realistic fiction), fiksi fantasi (fantasy), fiksi formula
(formula fiction), fiksi sejarah (historical fiction), fiksi sains (scientific fiction), dan fiksi
biografis (biographical fiction) (Lukens 2003, dalam Nurgiyantoro 2013). Berbagai jenis
cerita fiksi anak di atas, ilustrasi menjadi salah satu ciri khasnya. Ilustrasi menyertai tulisan
yang membuat daya tarik bagi anak. Ilustrasi tidak muncul pada tiap halaman dan hanya
ditampilkan untuk melukiskan adegan-adegan tertentu yang fungsional.
Selain ilustrasi, bahasa juga menjadi hal yang penting dalam buku cerita anak. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa dialek Semarang. Penggunaan
bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dialek Semarang menjadi kekuatan untuk dapat
menguatkan penguasaan bahasa daerah anak. Tujuannya agar anak tidak hanya mahir
berbahasa Indonesia saja. Buku cerita anak dwibahasa ini dapat dijadikan salah satu upaya
pelestarian bahasa daerah. Apabila pembaca bukan penutur asli, maka penggunaan bahasa
daerah menjadi sarana pengenalan bahasa Jawa dialek Semarang.

Kearifan Lokal
Penelitian mengenai kearifan lokal pernah ditulis sebelumnya oleh Pattinama (2009),
Suastra (2010), dan Zuriah (2011).
Pertama, Pattinama (2009) melakukan penelitian berjudul “Pengentasan Kemiskinan
dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus Di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat).”
Penelitian ini membahas mengenai strategi kearifan lokal berupa sistem nilai yang dianut
suatu masyarakat memiliki peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Kearifan lokal
dapat dijadikan muatan dalam implementasi suatu kebijakan.
Kedua, Suastra (2010) melakukan penelitian bertajuk “Model Pembelajaran Sains
Berbasis Budaya Lokal untuk Mengembangkan Kompetensi Dasar Sains dan Nilai Kearifan
Lokal Di SMP.” Penelitian ini mengahasilkan beberapa model pengembangan kompetensi
dasar sains dan nilai kearifan. Terdapat sebelas kompetensi dasar yang dapat memuat nilai
kearifan lokal.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

456
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Ketiga, Zuriah (2011) melakukan penelitian tentang muatan kearifan lokal dalam
pendidikan dengan judul “Model Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural
Berbasis Kearifan Lokal dalam Fenomena Sosial Pasca Reformasi Di Perguruan Tinggi.”
Penelitian ini menghasilkan substansi materi atau isi pembelajaran yang berupa materi ajar
Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berba-sis kearifan lokal di perguruan tinggi yang
cocok dan aplikatif bagi dosen adalah materi Identitas Nasional (Nilai-nilai multicultural
berbasis kearifan lokal sebagai perwujudan dari identitas nasional).
Berdasarkan kajian pustaka di atas, kearifan lokal merupakan suatu hal yang menarik
untuk diintegrasikan dalam berbagai bidang keilmuan. Menurut Fajarini (2014), kearifan
lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan yang
sudah mentradisi, menjadi milik kolektif, dan bersifat fungsional untuk memecahkan
masalah, setelah melewati pengalaman dalam dimensi ruang dan waktu secara berkelanjutan
(Dewi, 2014). Oleh karena itu, kearifan lokal sangat dekat dengan kehidupan suatu
masyarakat tertentu. Keberadaanya menjadi sebuah identitas yang melekat dan menjadi ciri
khas yang dimiliki.
Kearifan lokal sama sekali tidak bisa diperoleh melalui suatu pendidikan formal dan
informal tetapi hanya bisa dipahami dari suatu pengalaman yang panjang melalui suatu
pengamatan langsung. Kearifan lokal lahir dari learning by experience yang tetap
dipertahankan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kegunaan utama kearifan lokal
adalah menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan sosial, budaya dan
kelestarian sumber daya alam (Pattinama, 2009).
Bentuk kearifan lokal yang terwujud nyata meliputi beberapa aspek seperti sistem nilai,
tata cara ketentuan khusus yang yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti
yang ditemui dalam kitab tradisional, dan seperti bangunan/arsitektur tradisional yang
merupakan cerminan dari bentuk kearifan lokal (Sedyawati, 2007 dalam Suaib, 2017).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka unsur kearifan lokal menjadi muatan dalam buku cerita
anak agar dapat menanamkan nilai-nilai luhur suatu daerah yang digambarkan dalam sebuah
cerita. Cerita tersebut mengkisahkan tentang kearifan lokal yang berkembang disuatu daerah
tertentu.

Literasi Media
Penelitian mengenai literasi media pernah dilakukan oleh Fitryarini (2014), Adiarsi
(2015), dan Darmastuti (2018).
Pertama, Fitryarini (2014) melakukan penelitian dengan judul “Model Literasi Media
Berbasis Kearifan Lokal pada Suku Dayak Tunjungan dan Dayak Benuaq di Kutai Barat.”
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, kesadaran masyarakat melalui kearifan lokal
dalam literasi media belum mampu memaksimalkan potensinya sendiri disebabkan
masyarakat masih menjadi pengguna media yang pasif serta kurangnya dukungan dari
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

457
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pemerintah dalam membentuk masyarakat cerdas bermedia. Kedua, model literasi media yang
digunakan kedua suku adalah Protectionist Model berbasis kearifan lokal meliputi 4 elemen
yaitu kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan memproduksi pesan.
Kedua, Adiarsi (2015) melakukan penelitian tentang literasi media dengan judul
“Literasi Media Internet Di Kalangan Mahasiswa.” Penelitian ini menunjukkan bahwa literasi
media diperlukan untuk menangkal efek negatif fari pesan diseminasi pesan melalui media
massa.
Ketiga, Darmastuti (2018) melakukan penelitian berjudul “Model Literasi Media
dengan Menggunakan Multimedia Interaktif Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Salatiga.”
Penelitian ini berkaitan dengan literasi media berdasarkan kearifan lokal dapat digunakan
sebagai filter dalam menghadapi terpaan media, khususnya televisi.
Kajian pustaka di atas menjadi landasan dalam penulisan artikel ini yang berkaitan
dengan literasi media. Literasi media adalah pemahaman sumber, teknologi komunikasi, kode
yang digunakan, pesan yang dihasilkan, seleksi, interpretasi, dan dampak dari pesan tersebut
(Adiarsi, 2015). Secara sederhana, literasi media merupakan kemampuan menyaring,
memilah, dan memilih pesan-pesan yang terdapat dalam media, baik cetak maupun elektronik
(Darmastuti, 2018). Hal ini berkaitan dengan arus informasi yang disampaikan media berupa
dampak positif dan negatif. Oleh karena itu, perlu ada sebuah sistem yang mampu
menyeimbangkan dua dampak tersebut.
Berkaitan dengan permasalah di atas, maka kearifan lokal merupakan salah satu
penyaring yang dapat diterapkan dalam menangkal dampak negatif media. Hal ini karena
kearifan lokal merupakan suatu unsur tatanan kehidupan yang dimiliki oleh suatu masyarakat
tertentu yang dapat mengukuhkan pribadi seseorang. Sesuai dengan pendapat Darmastuti
(2018) yang menjelaskan bahwa difilter yang dapat digunakan adalah kearifan lokal yang
dimiliki oleh masyarakat sebagai sumber pemberdayaan diri mereka dan menciptakan makna
identitas dan bentuk kehidupan mereka sendiri.

Implementasi Buku Cerita Anak Dwibahasa yang Bermuatan Kearifan Lokal


Implementasi kearifan lokal dalam buku cerita anak dwibahsa ini disajikan dalam
cerita. Jenis cerita yang ditampilkan dalam buku cerita anak adalah jenis cerita realisme. Cerita
realisme biasanya bercerita tentang masalah-masalah sosial dengan menampilkan tokoh-tokoh
protagonis sebagai pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2013). Sedangkan sajian buku cerita anak
dwibahasa didasarkan pada prinsip kelayakan buku (Puskurbuk, 2008). Adapun uraian
prinsip-prinsip tersebut dijabarkan dalam empat ciri khusus yakni : isi, penyajian, bahasa dan
keterbacaan, dan grafika. Berikut ini adalah uraiannya.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

458
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Aspek Substansi/Isi
Implementasi kearifan lokal terdapat dalam cerita yang berisi nilai-nilai, perilaku, dan
artefak. Lebih khusus, kearifan lokal di Semarang terdiri atas bahasa, tembang, gambang
semarangan, batik Semarangan, dan lain sebagainya. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik
tempat tinggal pembaca. Selain itu, muatam kearifan lokal menjadi salah satu bentuk
pelestarian kearifan lokal setempat. Berbagai kearifan lokal di atas dimuat dalam cerita yang
dapat berupa tema, setting, tokoh, maupun konflik.
Kisi-kisi implementasi kearifan lokal
Judul Cerita Bentuk Kearifan Lokal Pesan Moral
Dugderan a. Nilai keagamaan : penanda Mempererat tali silaturahmi dan
Bersama Kawan awal bulan Ramadhan yang menumbuhkan cinta terhadap
merupakan bulan suci umat muslim agama. Harapannya agar
b. Nilai kebudayaan : nilai generasi muda dapat
kebudayaan terlihat dari pengiring menghargai tradisi dan
upacara berupa budaya dan kesenian menghindarkan dari unsur
jawa seperti gamelan radikalisme yang terselubung
Nilai sosial : sebagai sarana silaturahmi dari media massa.
antarwarga, serta silaturahmi antara warga
dengan Pemerintah
Sedekah Bumi a. Nilai : ungkapan rasa Menanamkan rasa toleransi
Desaku syukur terhadap Tuhan Yang Maha terhadap sesama dan
Kuasa mengalihkan kegiatan pembaca
c. Perilaku : gotong royong agar dapat beraktivitas di luar
dalam pelakasanaan upacara rumah.
Tugu Muda a. Nilai perjuangan : Menumbuhkan rasa cinta tanah
pertempuran lima hari Semarang air melalui cerita yang memiliki
b. Artefak : monumen Tugu unsur perjuangan bangsa.
Muda

Aspek Penyajian
Pada aspek penyajian ditentukan sesuai dengan usia pembaca, yaitu peserta didik SD
kelas tinggi. Melalui pemilihan tokoh, alur, dan bentuk penyajian bahasa yang menarik.
Karater tokoh yang ditampilkan merupakan karakter yang membawa dampak baik bagi
pembaca. Tujuannya agar pembaca dapat mencontoh hal baikn dan menghindari hal buruk
yang digambarkan oleh tokoh dan cerita. Alur yang ada dalam cerita adalah alur maju agar
mudah dipahami oleh pembaca. Lalu, penyajian bahasa yang digunakan adalah kombinasi
dialog dan paragraf. Kombinasi penyajian bahasa tersebut bermaksud agar cerita lebih
komunikatif dan tidak monoton.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

459
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Aspek Bahasa dan Keterbacaan


Bahasa merupakan sarana dalam bercerita. Terdapat diksi dan kalimat di dalamnya.
Diksi dan kalimat disampaikan secara sederhana agar pembaca (peserta didik SD kelas tinggi)
mudah memahami cerita. Bahasa yang digunakan adalah dwibahasa, bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa. Penggunaan bahasa daerah dimaksudkan untuk melestarikan bahasa daerah.
Sedangkan bahasa Indonesia digunakan untuk mempermudah pembaca dalam memahami
cerita.

Aspek Grafika
Aspek ini murupakan aspek yang paling menonjol. Aspek grafika yang ditentukan
harus menarik dan menyenangkan bagi pembaca. Terutama pembaca anak. pemilihan warna
buku, cover, ukuran buku, jenis huruf, dan ukuran huruf cerita menjadi hal yang perlu
dipertimbangkan. Pemilihan warna dalam buku yaitu dengan kombinasi warna-warna cerah.
Cover yang ditampilkan yaitu dibuat ilustrasi yang menggambarkan isi buku. Ukuran buku
yang sesuai dengan usia pembaca yaitu B5 (176×250mm). Ukuran ini tidak terlalu besar dan
terlalu kecil. Jenis dan ukuran huruf adalah Times New Roman dengan ukuran 12pt.

Penutup
Buku cerita anak merupakan buku yang berisi cerita fiksi yang unsur ceritanya
berkaitan dengan anak. Cerita anak dwibahasa bermuatan kearifan lokal ini menjadi sarana
yang dapat digunakan dalam menampik dampak negatif media massa bagi anak. Kearifan
lokal menjadi penyaring dampak negatif media massa. Juga menjadi sarana untuk
melakasanakan gerakan literasi media. Bahasa yang digunakan dalam buku cerita anak
dwibahasa adalah bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa Semarang. Penggunaan bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa menjadi kekuatan untuk dapat menguatkan penguasaan bahasa daerah
pembaca. Tujuannya agar dapat mendukung gerakan literasi media di sekolah agar peserta
didik mampu menghadapi arus informasi cepat dan perlu dikonfirmasi kebenarannya.

Daftar Pustaka

Akbar, Aulia. 2017. Membudayakan Literasi dengan Program 6M Di Sekolah Dasar. JPSD,
Maret 2017, 42-52.
Artanti, Artanti (2010) Pembinaan Kesantunan Berbahasa Daerah Sebagai Upaya
Pemertahanan Bahasa. In: Seminar Nasional Pemertahanan Bahasa Nusantara, 6
Mei 2010, Hotel Pandanaran Semarang.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2017. Data Bahasa Daerah 2017. Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

460
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kompas.com. 2011. Minat Baca Buku Daerah Rendah.


http://nasional.kompas.com/read/2011/02/14/04354818/.minat.baca.buku.d
aerah.rendah. Diakses pada tanggal 26 Maret 2018.
Nugroho, Deta Dian. 2016. Penegmbangan Buku Cerita untuk Menanamkan Karakter
Mandiri dan Peduli LingkunganSiswa Sekolah Dasar Kelas Rendah. Skripsi.
Yogyakarta: Universitas Sanata Darma.
Phelan, James. 2010. “Teaching Narrative as Rhetoric: The Example of Time’s Arrow.” In
Pedagogy, Volume 10, Issue 1, Winter 2010, pp. 217-228 (Article). Published by
Duke University Press.
Puskurbuk. 2008. Pedoman Penulisan Buku Nonteks: Buku Pengayaan, Referensi, dan
Panduan Pendidik. Jakarta: Depdiknas.
Serambinews.co. 2018. http://aceh.tribunnews.com/2018/03/22/pakar-komunikasi-
unsyiah-literasi-media-penting-cegah-radikalisme. Diakses pada tanggal 26 Maret
2018.
Sindonews.com. 2018. https://nasional.sindonews.com/read/1292630/18/literasi-
digital-dan-etika-informasi-1522001449. Diakses pada tanggal 26 Maret 2018 -
08:45 WIB.
Sugihastuti. 2011. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryanto, Edi dkk. 2013. Model Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Cerita Anak untuk
Penanaman Nilai Etis-Spiritual. LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013.
Tempo.co. 2015. Perpustakaan Daerah Madura Minim Buku Berbahasa Madura .
https://nasional.tempo.co/read/666748/perpustakaan-daerah-madura-minim-
buku-berbahasa-madura. Diakses pada tanggal 26 Maret 2018.
Untari, Mei Fita Asri dkk. 2012. Pengembangan Cerita Anak Berwawasan Budi Pekerti bagi
Pendidikan Karakter. Journal of Elementary Education 1 (1) (2012).
Zubaidah, Siti. 2016. Keterampilan Abad Ke-21: Keterampilan yang Diajarkan Melalui
Pembelajaran. Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan dengan tema “Isu-
isu Strategis Pembelajaran MIPA Abad 21, tanggal 10 Desember 2016 di
Program Studi Pendidikan Biologi STKIP Persada Khatulistiwa Sintang –
Kalimantan Barat.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

461
Reni Marlina1, Dian Miranda1, Marmawi1, Chindi Yadhystha2
1
Universitas Tanjungpura
2
Sekolah PAUD Khulafaur Rasyidin
e-mail: reni.marlina@fkip.untan.ac.id
Abstract. This research is based on National Education Standard stated that education in early
childhood accordance with a children psychological development (PP on National Education
Standards, 2005). Every teacher in early childhood can make a fun learning strategy for children in
the classroom, one of the strategies is lesson study. Method in this research used is descriptive
method with qualitative approach. Subjects in this study consisted of 1 model teacher, 5 observers,
and 25 children PAUD Khulafaur Rashidin. There are 2 cycle in Lesson study. Each cycle includes
3 stages: Planning, Plan, and Reflection (See). Material in the first cycle tells about "My Body
Organs" and in the second cycle is "Take Care of My Body". Learning process in cycle 1 and cycle
2 show that very strong criteria with the percentage of 80% and 100%.

Kata Kunci: lesson study, body organs, kindergarden

Abstrak. Penelitian ini didasarkan pada peraturan pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan
pasal 19 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan yang disampaikan sebaiknya sesuai dengan
perkembangan psikologis anak (PP tentang Standar Nasional Pendidikan, 2005). Dengan demikian
setiap guru di PAUD dapat merancang strategi pembelajaran yang menyenangkan bagi anak usia dini
di kelas. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Subjek
penelitian dalam penelitian ini terdiri dari 1 orang guru model, 5 orang Pengamat (Observer), dan
25 anak PAUD Khulafaur Rasyidin. Kegiatan lesson study yang dilaksanakan terdiri dari 2 siklus.
Setiap siklus meliputi 3 tahap yaitu Tahap Perencanaan (Plan), Pelaksanaan (Do), dan Refleksi
(See). Pada siklus I materi yang disepakati adalah tentang “Organ Tubuhku”. Materi ini
menceritakan kesehatan diri dan bagaimana cara merawat organ tubuh. Materi pada siklus II adalah
“Merawat Tubuhku”. Proses pelaksanaan pembelajaran pada siklus I maupun siklus II berada pada
kriteria sangat kuat dengan persentase 80% dan 100%.

Kata Kunci: Lesson Study, Organ Tubuh, PAUD

Pendahuluan
Lesson Study awalnya berasal dari Negara Jepang (Lewis, 2002) yang merupakan salah
satu model yang dapat membina dan mengkaji pembelajaran secara bersama-sama atau secara
berkolaborasi dan berkelanjutan. Dengan demikian lesson study bukan hanya sebagai metode
maupun strategi pembelajaran, namun lesson study merupakan suatu langkah pembaharuan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pembelajaran yang didasarkan pada situasi, kondisi, dan permasalahan yang real terjadi di
kelas atau di lingkungan belajar lainnya. Oleh karena pentingnya kegiatan lesson study ini
untuk diterapkan oleh guru di sekolah, sebaiknya siswa semenjak usia dini telah memperoleh
kegiatan ini. Disamping dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, lesson study juga dapat
membelajarkan siswa agar memiliki kemampuan untuk mengemukakan pendapat sedini
mungkin, inspiratif, dan menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan
(Winataputra, 2001; Dahar, 1998).
Penerapan Lesson Study di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-
Kanak (TK) memang tidak semudah di Sekolah Dasar (SD) dan menengah (SMP dan
SMA). Hal ini disebabkan karena guru PAUD dalam mendesain pembelajaran harus
mengutamakan permainan. Konsep bermain sambil belajar merupakan hal yang diutamakan
di setiap materi termasuk tentang materi “Aku dan Tubuhku”. Berdasarkan hasil observasi
kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan pada Tanggal 12 Desember 2017 di PAUD
Khulafaur Rasyidin Kabupaten Kubu Raya diperoleh informasi bahwa guru menggunakan
metode ceramah dengan media gambar organ tubuh. Siswa begitu antusias dengan
penggunaan media dalam pembelajaran, hanya saja dari 24 siswa, terdapat 7 siswa yang
mengantuk, 3 siswa yang bermain dengan alat tulisnya, 2 siswa yang menggambar, dan 9
siswa yang masih bermain dengan permainan yang dibawa dari rumahnya. Terdapat 3 siswa
yang benar-benar mengikuti dan mendengarkan penjelasan dari guru walaupun hanya sekitar
10 sd. 15 menit. Hal ini disebabkan karena duduk di urutan paling depan dari 3 baris kursi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru yang mengajar (13 Desember 2017), diperoleh
informasi bahwa keterbatasan guru adalah mengkondisikan seluruh siswa dan memusatkan
perhatian siswa dalam belajar. disadari bahwa seluruh siswa memiliki hak belajar yang sama
artinya seluruh siswa harus mendapatkan perhatian yang sama walaupun posisi duduknya
berada di pojok atau paling belakang. Berdasrkan hal tersebut, dirasakan perlu untuk
melakukan lesson study karena salah satu kelebihan dari pelaksanaan open class dalam lesson
study ini adalah proses pembelajaran akan diamati oleh banyak orang (observer) dalam waktu
yang relatif panjang yaitu 3 sd. 5 siklus (Susilo, 1999).
Proses pembelajaran yang dapat diterapkan dengan lesson study di PAUD adalah
tentang Kesadaran Merawat Organ Tubuh yang merupakan sub materi dari Aku dan
Tubuhku. Materi ini merupakan materi utama yang diajarkan ke siswa. Disadari bahwa
kebiasaan dari rumah akan diperlihatkan di sekolah, sehingga merupakan salah satu kewajiban
guru untuk selalu menunjukkan bahwa kebiasaan yang bersifat positif akan
diimplementasikan dalam proses pembelajaran di sekolah. proses pembelajaran dengan
memberikan contoh dan mempraktekkan hal yang positif sedini mungkin memerlukan
persiapan yang matang. Hal ini dapat dilakukan dengan lesson study, karena proses
perencanaan pembelajaran dalam lesson study tidak dilakukan secara mandiri namun
dilakukan secara kolaboratif dan kooperatif. Menurut Suprijono (2010), untuk
merencanakan proses pembelajaran yang maksimal, terdapat lima unsur dalam model
pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan yaitu menumbuhkan saling ketergantungan
yang positif (positive interdependence), menumbuhkan rasa tanggungjawab setiap siswa
(personal responsibility), saling berinteraksi (face to face promotive intraction), saling
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

463
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berkomunikasi dalam kelompok (interpersonal skill), dan kerja kelompok (group


processing).
Proses perencanaan pembelajaran dalam lesson study sering diistilahkan dengan
penyusunan lesson plan. Penyusunan lesson plan merupakan langkah awal untuk menciptakan
pproses pembelajaran yang memperhatikan seluruh hak siswa dalam belajar, Karena dasar
penyusunan lesson plan ini adalah permasalahan yang dialami tiap siswa di kelas dan latar
belakang siswa. Proses penyusunan lesson plan ini merupakan proses kolaboratif seluruh guru
untuk mengidentifikasi masalah dalam pembelajaran, mengevaluasi dan juga merevisi skenario
pembelajaran setelah dilakukan open class (Sparks, 1999). Berdasarkan hal yang telah
dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelaitian tentang penerapan
lesson study untuk anak usia dini sebagai penunjang merawat organ tubuh sedini mungkin.
Tujuan dari peneltian ini adalah membentuk generasi cinta sehat sedini mungkin melalui
pembelajaran yang bermakna dengan menerapkan lesson study di sekolah.
Materi yang dibahas adalah tentang merawat organ tubuh, salah satunya adalah
merawat gigi. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (MenKes RI, 2011)
menunjukkan masih tingginya penyakit gigi dan mulut pada masyarakat Indonesia. Tercatat
lebih dari 50% gigi anak-anak di bawah umur 10 tahun berlubang, sedangkan yang berumur
10 tahun ke atas mempunyai karies yang belum ditangani dan lebih dari 60% telah
mempunyai gigi yang karies. Indeks DMFT (Decay, Missing, Filling Teeth) anak di
Indonesia sebesar5%. Hal ini menjadi permasalahan yang harus cepat ditangani dengan
memberikan kesadaran tentang pentingnya merawat gigi sedini mungkin.

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan tahapan lesson study yang
digunakan yaitu Plan, Do, dan See. Objek dalam penelitian ini terdiri dari 25 anak usia dini
(9 laki-laki dan 16 perempuan), 5 observer, dan 1 guru model. Lokasi penelitian yaitu di
PAUD Khulafaur Rasyidin Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Pelaksanaan lesson
study terdiri dari 2 siklus dengan guru model yang sama. Pada siklus I materi yang disepakati
adalah tentang “Organ Tubuhku”. Materi ini menceritakan kesehatan diri dan bagaimana
cara merawat organ tubuh. Materi pada siklus II adalah “Merawat Tubuhku”. Pada setiap
siklus dilakukan Plan, Do, dan See/ refleksi. Instrumen yang digunakan adalah lembar
observasi proses pembelajaran dan angket merawat diri. Sebelum lembar observasi
pembelajaran digunakan, dilakukan validasi kepada 2 dosen ahli pembelajaran yaitu dosen
pendidikan guru PAUD dan dosen Pendidikan Biologi di FKIP Universitas Tanjungpura
Pontianak. Hal ini dilakukan untuk mengukur apakah lembar pengamatan yang digunakan
mempunyai validitas internal dan layak digunakan sebagai instrumen. Data yang diperoleh
berupa deskripsi pelaksanaan lesson study setiap siklus dari siklus I hingga siklus II. Merujuk
pada Susianna & Suhandi (2014), terdapat 8 indikator yang diukur dalam pelaksanaan lesson
study oleh guru model yaitu:
1. memahami prinsip-prinsip merancang kegiatan pembelajaran yang mendidik dan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

464
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menyenangkan
2. mengembangkan hal-hal yang diperlukan dalam merancang kegiatan
pembelajaran yang mendidik dan menyenangkan
3. menyusun rancangan kegiatan pengembangan yang mendidik yang lengkap, baik
untuk kegiatan di dalam ruang kelas maupun untuk di luar kelas.
4. Implementasi kegiatan bermain sambil belajar yang bermakna
5. Mendesain proses pembelajaran yang dapat menarik motivasi belajar siswa
6. Memanfaatkan media dan sumber belajar yang sesuai dengan pendekatan
bermain sambil belajar
7. Menerapkan tahapan bermain anak dalam kegiatan pengembangan di PAUD
atau TK
8. Memutuskan proses pembelajaran yang terbaik untuk diajarkan ke siswa.
Pada Gambar 1 ditampilkan proses pelaksanaan lesson study di sekolah yang
diadaptasi dari JICA (2009).

Gambar 1. Proses Pelaksanaan Lesson Study

Data hasil observasi dianalisis dengan cara menghitung rata-rata (mean) kegiatan
pembelajaran dalam penerapan lesson study oleh observer. Pengkategorian data sesuai dengan
pendapat Riduwan (2010) yaitu:
Rentang Kriteria
0%-20% Sangat Lemah
21%-40% Lemah
41%-60% Sedang

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

465
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

61%-80% Kuat
81%-100% Sangat Kuat
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan catatan dari 5 observer diketahui bahwa proses pembelajaran dengan
lesson study menjadi lebih menarik dan lebih menyenangkan. Hal ini disebabkan karena
semua guru di sekolah turut serta dalam perencanaan dan open class sehingga semua guru
memiliki tanggung jawab yang sama dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan
bagi semua siswa. karena Nilai rata-rata (mean) dari 5 observer tiap siklus dirangkum dalam
Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Proses Pembelajaran Tiap Siklus

Siklus I Siklus II
No Indikator
Nilai Kri-teria Nilai Kri-
teria
1 memahami prinsip-prinsip perancangan kegiatan 60 Se-dang 100 Sa-
pengembangan yang mendidik dan menyenangkan ngat
Kuat
2 mengembangkan hal-hal yang diperlukan dalam 80 Kuat 100 Sa-
merancang kegiatan pembelajaran yang mendidik dan ngat
menyenangkan Kuat
3 menyusun rancangan kegiatan pengembangan yang 100 Sa-ngat 100 Sa-
mendidik yang lengkap, baik untuk kegiatan di dalam Kuat ngat
ruang kelas maupun untuk di luar kelas. Kuat
4 Implementasi kegiatan bermain sambil belajar yang 60 Se-dang 100 Sa-
bermakna ngat
Kuat
5 Mendesain proses pembelajaran yang dapat menarik 100 Sa-ngat 100 Sa-
motivasi belajar siswa Kuat ngat
Kuat
6 Memanfaatkan media dan sumber belajar yang sesuai 100 Sa-ngat 100 Sa-
dengan pendekatan bermain sambil belajar Kuat ngat
Kuat
7 Menerapkan tahapan bermain anak dalam kegiatan 60 Sedang 100 Sa-
pengembangan di PAUD atau TK ngat
Kuat
8 Memutuskan proses pembelajaran yang terbaik untuk 80 Kuat 100 Sa-
diajarkan ke siswa ngat
Kuat
Rata-rata 80 Kuat 100 Sa-
ngat
Kuat

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

466
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan Tabel 1 di atas diperoleh informasi bahwa 7 dari 8 indikator mengalami


peningkatan dari siklus I hingga siklus II. Sesuai dengan pernyataan Herman (2012) bahwa
keberhasilan dari proses lesson study bukanlah dalam waktu sesaat namun merupakan
pencapaian hasil dari proses kolaborasi beberapa pihak yaitu guru, kepala sekolah, dan pihak-
pihak yang memiliki kepentingan yang sama. Kepentingan yang dimaksud adalah
meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah secara berkelanjutan. Berdasarkan Tabel 1
diketahui bahwa kegiatan lesson study yang dilaksanakan telah sesuai dengan tahapan namun
memang dalam pertemuan atau siklus I guru model, siswa, dan bahkan observer masih
terlihat canggung dengan peran masing-masing. Kegiatan pembelajaran atau open class
berjalan dengan baik karena guru model banyak melibatkan aktivitas siswa yang
menumbuhkan rasa ingin tahu siswa dan menyebabkan mereka tertarik untuk belajar. pada
tahap selanjutnya yaitu tahap refleksi, hal yang diutarakan salah satunya adalah tentang
aktivitas siswa lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran sebelum dilaksanakan lesson
study. Siswa lebih aktif bereksplorasi dalam belajar dan menyebabkan pembelajaran menjadi
lebih bermakna dan menyenangkan.
Kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan lesson study tahap I ini adalah adanya
perubahan rutinitas yang selama ini menggunakan metode ceramah dan bersifat teacher center
menjadi student center. Guru harus mempercayai dan membiarkan siswa untuk belajar
bereksplorasi secara mendalam tentang materi yang dipelajari. Permasalahan yang perlu
diperbaiki untuk tahap II adalah masih ada 8 siswa yang masih belum memperoleh
kesempatan untuk mencoba dan terlibat aktif dalam pembelajaran. Disarankan pada Open
Class ke 2 untuk menemukan pendekatan yang dapat mendukung setiap siswa untuk dapat
belajar secara mandiri atau bersifat konstruktif, pembelajaran yang bersifat kontekstual. Pada
Plan 2 diperoleh keputusan untuk menerapkan pembelajaran dengan metode kontekstual
dengan menggunakan media animasi tentang perawatan diri dan gambar tentang tubuh yang
dirawat dan yang tidak dirawat.
Pelaksanaan Open Class 2 dilaksanakan di ruang kelas B2 dalam durasi waktu 45
menit. Kegiatan pembelajaran terlihat lebih natural dibanding open class I. Hal ini
disebabkan siswa telah terbiasa dengan adanya observer di kelas mereka. Selain itu, siswa juga
telah duduk dalam kelompok belajar tanpa diminta. Pada Tabel 1 ditampilkan data tentang 8
indikator keterlaksanaan lesson study telah berjalan baik dan mengalami peningkatan
dibanding siklus I. Peningkatan yang paling besar adalah pada indikator pertama yaitu
memahami prinsip-prinsip perancangan kegiatan pengembangan yang mendidik dan
menyenangkan. Hal ini berdasarkan temuan pada refleksi I yang menuntut guru model dan
seluruh observer untuk menemukan cara agar pembelajaran untuk pertemuan ke 2 (siklus II)
dapat lebih menyenangkan dibanding siklus I. Materi tentang merawat diri merupakan materi
yang sangat menarik untuk dipelajari karena materi ini berkaitan dengan kehidupan sehari-
hari siswa (daily life) sehingga tentu akan lebih bermakna bagi siswa jika guru model dapat
lebih inovatif dalam menampilkan pembelajaran tersebut. Inovasi yang ditampilkan oleh guru
model pada siklus II ini tidak luput dari peran kolaborasi sesame guru yang terlibat menjadi
observer. Kepala sekolah yang juga terlibat dalam kegiatan lesson study ini semakin
memahami dan mengerti permaslaahan nyata yang dialami guru di kelas tentang aktivitas
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

467
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

belajar siswa dan kemampuan guru dalam hal mempersiapkan materi yang telah, sedang, dan
yang akan diajarkan. Selain itu, kepala sekolah juga dapat mengenal guru di bawah
pimpinannya secara profesional.
Pengukuran pengetahuan anak usia dini terhadap kesehatan merawat organ tubuhnya
khususnya tentang kesehatan gigi, rambut, dan kuku dilakukan sebelum pembelajaran dan
setelah pembelajaran. Pada Gambar 1 ditampilkan persentase jawaban siswa.

150
100 100
100 80 80
50
50 30

0
kesehatan gigi kesehatan kesehatan
rambut kuku

sebelum pembelajaran
sesudah pembelajaran

Gambar 2. Persentase Pengetahuan Anak Usia Dini Terhadap Kesehatan Merawat


Organ Tubuh

Terdapat 2 Siklus dalam pelaksanaan lesson study ini. Pada siklus I materi yang
disepakati adalah tentang “Organ Tubuhku”. Materi ini menceritakan kesehatan diri dan
bagaimana cara merawat organ tubuh. Materi pada siklus II adalah “Merawat Tubuhku”.
Proses pelaksanaan pembelajaran pada siklus I maupun siklus II berada pada kriteria kuat dan
sangat kuat dengan persentase 80% dan 100% (Tabel 1). Pada awal pembelajaran siswa
diberikan contoh-contoh gigi yang rusak dan gigi yang sehat melalui media gambar. Setelah
itu ditayangkan video tentang cara merawat gigi, rambut, dan kuku. Setelah itu siswa diminta
mendemonstrasikan sesuai dengan video yang telah ditonton. Setiap akhir siklus, siswa
diberikan angket sikap siswa terhadap materi yang telah disampaikan. Deskripsi statistik
siswa dan hasil analisis angket tentang sikap siswa terhadap materi ditampilkan pada Tabel 2
di bawah ini.
Tabel 2. Sikap sebelum dan Setelah Pembelajaran
Sikap Sebelum pembelajaran Setelah pembelajaran
Baik 56.6 100
Sedang 38.8 0
Buruk 4.6 0
Total 100 100

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

468
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa siswa mengalami peningkatan sikap setelah


diberikan pendidikan tentang merawat organ tubuh. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Deb (2010) bahwa pemberian pendidikan tentang kesehatan berpengaruh terhadap
perubahan sikap siswa. Penanaman kesadaran untuk merawat organ tubuh khususnya gigi
dikenal dengan istilah Quality Self care (Welbury, 1997). Merawat kesehatan gigi anak sejak
dini adalah hal yang baik dilakukan agar gigi tetap sehat dan tidak terjadi kerusakan atau
penyakit mulut lainnya setelah dewasa (Mulyati & Amita, 2013). Berdasarkan hasil observasi
yang dilakukan 25 siswa diperoleh informasi bahwa terdapat 13 dari 25 siswa telah memiliki
kebiasaan yang baik dalam menggosok gigi yaitu senang menggosok gigi sebelum tidur,
sehabis makan dan setelah sarapan. Sedangkan 9 siswa hanya menggosok gigi saat akan
berangkat sekolah. Sebanyak 3 siswa tidak suka gosok gigi dan menggosok gigi dalam waktu
yang tidak beraturan. Berdasarkan hasil demonstrasi perawatan gigi yang baik, tontonan
video, dan media gambar yang diberikan, diperoleh informasi bahwa siswa memiliki rasa
takut jika tidak menggosok gigi dimalam hari. Sebanyak 100% siswa bersedia menggosok
gigi di malam hari, di siang hari setelah sarapan dan setelah makan yang manis-manis. 100%
siswa telah dapat mempraktekkan cara menggosok gigi yang baik dan benar. Secara
keseluruhan perbedaan pengetahuan dan sikap siswa tentang pentingnya merawat organ
tubuh berdasarkan frekuensi laki-laki dan perempuan dalam bentuk persentase ditampilkan
pada Gambar 3 di bawah ini.

80 67
52 48
60
33
40
20
0
sikap pengetahuan
laki-laki
perempuan

Gambar 3. Persentase Perbandingan sikap dan


Pengetahuan Siswa Merawat Organ Tubuh

Pada Gambar 3 diperoleh informasi bahwa sikap siswa laki-laki dalam merawat organ
tubuh lebih tinggi 15% dibandingkan perempuan sedangkan pada pengetahuan perempuan
lebih tinggi 15% diabnding laki-laki. Hal ini sesuai dengan pemdapat bahwa anak laki-laki
memiliki sikap yang lebih menonjol dibanding perempuan (Azwar, 2007).
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

469
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Selain merawat kesehatan gigi, kesehatan rambut juga diajarkan dalam pelaksanaan
lesson study ini. 100% siswa berpendapat bahwa masalah kesehatan rambut termasuk dalam
materi home care, yang berarti tanggung jawab orang tua di rumah, bukan pribadi anak. 80%
anak gemar menggunakan sampo orang tua dan kakaknya dibanding sampo miliknya karena
wangi dan segar. Hal yang baru dilakukan oleh guru model adalah memberikan pemahaman
tentang kebersihan kulit kepala dengan sangat detail misalnya dengan mengenalkan tentang
ektoparasit obligat yang ditemukan pada kulit kepala yang biasa dikenal dengan Pediculus
humanus capitis (kutu kepala). Guru model juga menegaskan bahwa seluruh anggota keluarga
dan teman bermain sebaiknya kepalanya berih dari kutu karena kutu dapat berpindah jika
rambut saling bersentuhan. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Yousefi (2012), Sembel
(2009), dan Soedarto (2011) bahwa kutu kepala dapat ditularkan melalui kontak fisik.
100% siswa menjadi terpacu untuk sering membersihkan rambut dari kutu karena memang
frekuensi kepala yang berkutu rentan pada usia 4 – 12 tahun (Salih, 2002). Diharapkan
dengan adanya pemaparan tentang parasit pada kepala menambah frekuensi keramas pada
anak sehingga terhindar dari kutu kepala.
Materi tentang kebersihan kuku disampaikan selama 15 menit. Sebanyak 100% siswa
menyukai kuku yang pendek dan rapi. 50% siswa berpendapat bahwa senang berteman
dengan teman yang kukunya pendek karena tidak sakit jika bermain dan bercengkeraman.
50% siswa menyatakan bahwa kuku yang panjang menjadi tempat kotoran bersembunyi. Hal
ini sesuai dengan pendapat Soetatmo (1979) yang menyataan bahwa kuku yang panjang
dapat melukai kulit saat menggaruk atau melukai teman disekitarnya dan juga dapat menjadi
tempat bersarangnya kotoran. Secara keseluruhan terdapat peningkatan yang signifikan
tentang pengetahuan anak usia dini dalam menjaga organ tubuhnya khususnya tentang
kesehatan gigi, rambut, dan kuku setelah dilaksanakan pembelajaran dengan lesson study.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa
kegiatan lesson study dapat menjadi wahana untuk meningkatkan profesionalisme guru
karena menjadi salah satu solusi yang dapat mengatasi permasalahan di kelas secara nyata.
Pada proses pelaksanaan kegiatan lesson study, siklus I maupun siklus II berada pada kriteria
kuat dan sangat kuat dengan persentase 80% dan 100%. Sikap siswa laki-laki dalam merawat
organ tubuh lebih tinggi 15% dibandingkan perempuan sedangkan pada pengetahuan
perempuan lebih tinggi 15% dibanding laki-laki.
Saran
Disarankan kepada sekolah dan guru dapat terus berkolaborasi dalam mengatasi
permasalahan di kelas. Kepada kepala sekolah diharapkan dapat mendampingi dan
membimbing pelaksanaan lesson study di sekolah sehingga kegiatan Lesson Study for
Learning Community (LSLC) dapat terus berlanjut.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

470
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih kepada Kemenristekdikti yang telah membiayai penelitian ini. Kepada
program studi pendidikan Guru PAUD dan Program Studi Pendidikan Biologi di instansi
FKIP Universitas Tanjungpura dan juga kepada sekolah dan guru PAUD Khulafaur
Rasyidin. Kepada dosen di FKIP Untan dan guru di PAUD Pembina dan Perintis 2 Kubu
Raya yang telah bersedia menjadi validator. Kepada mahasiswa program studi pendidikan
biologi dan Pendidikan Guru PAUD FKIP Universitas Tanjungpura yang telah membantu
dalam pengambilan data observasi di lapangan

Daftar Pustaka

Azwar, S. 2007. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya edisi 2. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Dahar, R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Depdikbud Ditjen Dikti Proyek Pengembangan
LPTK: Jakarta.
Deb, S, et al. 2010. Relationship of Personal Hygiene With Nutrition and Morbidity
Profile: AStudy Among Primary School Children in South Kolkata. Indian Journal
of Community Medicine, 35 (2).
Herman, T. 2012. Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar Melalui
Lesson Study. Jurnal Pendidikan. 13 (1). 56 – 63.
JICA. 2009. Panduan Lesson Study Berbasis Kelompok MGMP dan Lesson Study Berbasis
Sekolah. Japan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (MenKes RI). 2011. Profil Kesehatan
Indonesia 2010. http://www.depkes.go.id. Diakses 28 Maret 2018.
Mulyati, S. & Amita, N. 2013. Praktek Merawat GIgi Pada Anak. Jurnal Inovasi dan
Kewirausahaan, 2 (2), 130 -135.
Riduwan. 2010. Dasar-Dasar Statistika. Bandung: CV. Alfabeta.
Salih, S.M. 2002.Incidence Pediculus Humanus Capitis Among Children At Al-Alam.
Jurnal of Kirkuk University Scintific Studies, 1 (1). 35 – 42.
Sembel, D.T. 2009.Entomologi Kedokteran Edisi 1. Percetakan Andi: Yogyakarta.
Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. CV. Sagung Seto: Jakarta.
Soetatmo, D. 1979. Kesehatan Pribadi Untuk SGO. Rora Karya: Jakarta.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

471
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Yousefi, S., Shamsipor, F., & Salim, A.Y. 2012. Epidemiological Study Head Louse
Infestation Among in Primary School Students of Sirjan, South of Iran .
Dissertation.
Sparks, D. 1999. Using Lesson Study To Improve Teaching. http://www.learning.org/
diakses 16 April 2018.
Suprijono, A. 2010. Cooperative Learning (Teori dan Aplikasi PAIKEM) . Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Susianna, N. dan Suhandi,F. 2014. Program Lesson Study Untuk Meningkatkan
Kompetensi Pedagogi dan Profesional Guru PAUD Di Sekolah XYZ Jakarta.
Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 21 (1). 41 – 47.
Susilo, H., dkk. 2009. Lesson Study Berbasis Sekolah (Guru Konservatif Menuju Guru
Inovatif). Banyumedia: Malang.
Welbury, R. 1997. Pediatric Dentistry. Oxford University Press: Inggris.
Winataputra, U.S. 2001. Model-model Pembelajaran Inovatif. Ditjen Dikti Depdiknas:
Jakarta.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

472
Retno Wahyuningtyas, Istiqoma
Universitas Gadjah Mada
e-mail: retnoowahyu@yahoo.com, istiqomassos@gmail.com
Abstract. The Convention on the Rights of the Child (CRC) states that every child is entitled to a
guarantee of respect, protection and fulfillment of the rights of the child. Implementation of CRC in
Indonesia has not been done comprehensively due to various factors. One of the important rights for
children is the fulfillment of the right to education which is realized with the principle of fair and
equal for all children in Indonesia, is no exception for children facing the law in The Institute for
Special Education for Children (ISEC). This paper seeks to analyze the potential in realizing the
idea of digital literacy as an alternative education for Children in Conflict with the Law (CCL) in
ISEC. The introduction of digital literacy can be an alternative medium to provide access to
information, education, and communication for CCL. So that when it has completed the sentence
then CCL can continue to live side by side with the community. Researchers use data obtained from
interviews and observations at one of the ISECs in Bengkulu. The results of the analysis obtained
from the data is the importance of digital literacy in ISEC as the fulfillment of the need for
education for Children in Conflict with the Law (CCL).

Keywords: digital literacy, children in conflict with the law, the institute for special education for
children

Abstrak. Konvensi Hak Anak (KHA) menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapat jaminan
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak anak. Implementasi KHA di Indonesia masih
belum dilakukan secara komprehensif disebabkan karena berbagai faktor. Salah satu hak yang
penting bagi anak adalah pemenuhan hak pendidikan yang diwujudkan dengan prinsip adil dan
setara bagi seluruh anak di Indonesia, tidak terkecuali bagi anak berhadapan dengan hukum di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Tulisan ini berupaya untuk menganalisis potensi dalam
mewujudkan gagasan literasi digital sebagai pendidikan alternatif bagi Anak Berhadapan dengan
Hukum (ABH) di LPKA. Pengenalan literasi digital dapat menjadi media alternatif untuk
menyediakan akses informasi, edukasi, dan komunikasi bagi anak berhadapan dengan hukum.
Sehingga saat telah menyelesaikan masa hukuman maka ABH dapat tetap melanjutkan hidup
berdampingan dengan masyarakat. Peneliti menggunakan data yang didapatkan dari hasil wawancara
dan observasi di salah satu LPKA Bengkulu. Hasil analisis yang diperoleh dari data tersebut adalah
pentingnya literasi digital di LPKA sebagai pemenuhan kebutuhan akan pendidikan bagi Anak
Berhadapan dengan Hukum (ABH).

Kata Kunci: literasi digital, anak berhadapan dengan hukum, lembaga pembinaan khusus anak

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, maka negara memiliki
kewajiban dalam melindungi dan mewujudkan hak bagi seluruh anak. Anak merupakan
bagian dari warga negara yang wajib dilindungi. Menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak
merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk juga anak yang
berada dalam kandungan. Dalam mengimplementasikan kebijakan yang ramah anak
sepatutnya negara menerapkan prinsip keadilan dan kesetaraan, tidak terkecuali bagi
kelompok Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mendefinisikan
bahwa Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) merupakan anak yang berkonflik secara
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi pidana.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada Mei 2018 melaporkan bahwa jumlah tahanan anak
yakni sebanyak 971 anak, sementara jumlah narapidana anak yakni sebanyak 2683 anak.
Maraknya anak terlibat dalam perilaku menyimpang dan kriminal menyebabkan jumlah ABH
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam menjalani masa hukuman, ABH dibina di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II yang tersebar di 33 kantor wilayah
pemasyarakatan di seluruh Indonesia.
Setiap anak yang menjadi bagian dari negara Indonesia memiliki hak dasar, termasuk
juga bagi ABH. Hak yang dimaksud tertuang dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor
11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menguraikan tentang tanggung
jawab negara dalam menjamin dan melindungi ABH dalam mendapatkan hak dasar untuk
hidup, tumbuh, dan berkembang. Salah satu hak yang penting bagi ABH yakni memperoleh
hak pendidikan baik dalam bentuk melanjutkan pendidikan formal maupun pembinaan yang
mendukung proses pemulihan diri bagi ABH. Sebab di dalam institusi sosial, ABH masih
mendapatkan stigma negatif seperti “pelaku kriminal”, “anak nakal”, “anak liar”, “tidak bisa
diatur”, dan pandangan negatif lainnya. Stigma ini secara tidak langsung berpengaruh
terhadap cara pandang dalam pembentukan program-program negara maupun implemetasi
kebijakan yang cenderung meminggirkan hak kelompok ABH. Beban ganda yang dihadapi
oleh ABH sebenarnya tidak sejalan dengan gagasan mengenai Indonesia yang layak bagi anak.
ABH semestinya mendapatkan perlindungan, pembinaan, penanganan hukum yang ramah
anak sehingga proses rehabilitasi diri ABH menjadi semakin kuat dan lebih baik ketika
kembali dalam lingkungan masyarakat.
Proses pembinaan tidak lepas dari keterbatasan dari lembaga pemasyarakatan yang ada
di berbagai daerah. Secara Sosiologis, lokasi keberadaan lembaga pemasyarakatan menentukan
ketersediaan sumber daya manusia, kemampuan, hingga sarana dan prasarana. Sementara, hak
pendidikan bagi ABH sangat urgen diberikan sebagai wujud transformasi ABH yang tinggal
di LPKA. Saat ini proses pembinaan bagi ABH di LPKA adalah dilakukan secara manual,
cenderung pasif, dan berorientasi pada pemulihan psikis, nilai-nilai religi, pengembangan
melalui seni dan budaya. Gagasan mengenai literasi digital sedang menjadi perbincangan
dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, literasi digital merupakan kemampuan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

474
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital (Paul Gilster, 1997).
Literasi digital banyak digunakan oleh remaja Indonesia saat ini sehingga muncul juga istilah
digital native. Literasi digital dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran yang aktual.
Dengan menggunakan media digital tidak hanya dapat memudahkan, tetapi juga memberikan
informasi dan gambaran lain tentang media digital (O’Brein & Scharber, 2008). Keterbatasan
ABH dalam menjangkau sarana pendidikan dan informasi yang terbatas dapat dijembatani
dengan diperkenalkannya literasi digital di lingkungan LPKA. Berdasarkan realitas di atas,
tulisan ini berupaya untuk mengetahui potensi dalam mewujudkan gagasan literasi digital
sebagai pendidikan alternatif bagi ABH di LPKA melalui pandangan teori struktural
fungsional.

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif
yang membantu peneliti untuk menganalisis gagasan pengembangan model pendidikan
berbasis literasi digital bagi ABH di LPKA. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
berupa wawancara, observasi serta mengumpulkan dokumen-dokumen terkait.
Berdasarkan data yang diperoleh, peneliti berupaya membangun argumen yang
kemudian memberikan analisis yang komprehensif dengan mereduksi, memilah, serta
mengkategorisasi data. Kemudian, peneliti berupaya memberikan kesimpulan serta
rekomendasi terkait pengadaan literasi digital di LPKA untuk Anak Berhadapan dengan
Hukum (ABH).

Hasil dan Pembahasan


Proses Pembinaan ABH di Lembaga Pendidikan Khusus Anak
Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada
tahun 1962. Istilah pemasyarakatan diperkenalkan oleh Sahardjo yang pada saat itu menjabat
sebagai Menteri Kehakiman. Pemasyarakatan didefinisikan sebagai tujuan dari penjara.
Namun pada 27 april 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan istilah Pemasyarakatan
dibakukan. Pemasyarakatan didefiniskan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para
pelanggar hukum yang bertujuan untuk reintegrasi sosial atau pemulihan kesatuan hubungan
hidup, kehidupan dan penghidupan narapidana yang dibina di lembaga pemasyarakatan.
Pemasyarakatan meliputi sistem, kebijakan, kelembagaan, pembinaan, petugas
pemasyarakatan, dan narapidana, semuanya saling berelasi satu dengan yang lain sebagai
upaya penegakan hukum dan pemulihan dari subyek yang melakukan tindakan pelanggaran
hukum.
Istilah Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS Anak) tidak lagi relevan digunakan
dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Istilah LAPAS
Anak bertransformasi menjasi Lembaga Pembinaan Khusus Anak atau disingkat dengan
LPKA. Perubahan ini juga meliputi perubahan dalam sistem kelembagaan dan implementasi
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

475
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

yang bersifat melakukan pembinaan bagi ABH, bukan lagi menerapkan bias pandangan atau
praktek pemberian hukuman (punishment) terhadap ABH di LPKA. Pada Pasal 60 Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur ketentuan bahwa
penempatan Narapidana anak yang harus dipisahkan dari narapidana dewasa.
Lembaga Pemasyarakatan dan LPKA merupakan bagian dari sistem peradilan pidana,
merupakan wadah bagi narapidana dan ABH untuk menjalani masa pidananya dengan tetap
memperoleh hak dalam bentuk pembinaan dan keterampilan. Melalui pembinaan dan
keterampilan ini diharapkan dapat mempercepat proses resosialisasi bagi narapidana. Proses
pembinaan narapidana dan ABH di Indonesia merujuk kepada Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Anak yang berhadapan dengan hukum yang
ditempatkan di LPKA berhak memperoleh pendidikan dan latihan baik formal maupun
informal sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta memperoleh hak-hak dasar lainnya.
Dalam Lampiran Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak
yang Berhadapan dengan Hukum memuat pengaturan khusus mengenai kepentingan sekolah
anak bagi ABH (meliputi yang berada di rumah tahanan maupun yang sedang dibina di
LPKA). Salah satu ketentuannya adalah tentang kewajiban Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan untuk memfasilitasi, penyediaan dukungan sarana/prasarana pendidikan sesuai
kebutuhan anak yang berhadapan dengan hukum yang dilakukan di LPKA. Dapat
disimpulkan bahwa hak pendidikan ini bersifat prioritas untuk dipenuhi oleh negara. Sebab,
dalam percepatan dunia melalui globalisasi setiap anak berhak berkembang dalam
mendapatkan informasi secara luas meskipun ABH memiliki keterbatasan bahwa tubuhnya
secara fisik harus ditempatkan dalam lembaga pembinaan untuk melewati masa pemulihan
dalam jangka waktu tertentu. Secara Sosiologis, dalam mewujudkan hak pendidikan bagi
ABH juga tidak hanya menunggu implementasi dari pemerintah pusat, namun lembaga
pemasyarakatan dalam hal konteks ini LPKA semestinya melakukan kerja sama dengan pihak
yang lainnya seperti pemerintah daerah, PKBM, NGO, orang tua ABH, maupun berbagai
pihak lain yang saling mendukung terhadap pemenuhan hak ABH di LPKA.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Direktorat Jenderal pemasyarakatan pada tahun
2014 menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem Pemasyarakatan, pelaksanaan proses bisnis
pemasyarakatan belum sesuai dengan yang diharapkan. Kesenjangan informasi, perbedaan
persepsi dan pola pikir, serta perbedaan penafsiran aparat pelaksana pidana mengakibatkan
gerak maju pelaksanaan sistem pemasyarakatan, dan proses bisnis pemasyarakatan, serta
proses perlakuan menjadi terkendala, dan terganggu. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan
sistem perlakuan dan proses pembinaan anak, maka dalam proses pembinaan dan
pembimbingan harus diarahkan untuk kepentingan terbaik bagi anak, menjamin
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

476
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Diskusi
Pada tahun 1997, Paul Gilster mengemukakan istilah literasi digital. Literasi digital
didefinisikan sebagai suatu kemampuan dalam memahami dan menggunakan informasi dalam
berbagai bentuk yang diperoleh dari berbagai sumber yang sangat luas, dan diakses melalui
perangkat komputer dan jaringan internet. Berdasarkan definisi dari literasi digital di atas,
dapat diketahui bahwa literasi digital bukan hanya sekedar kemampuan dalam menyediakan
sarana dan prasarana tetapi juga meliputi kemampuan dalam memahami dan mempraktekkan
nilai-nilai dalam literasi digital menjadi sesuatu yang lebih produktif.

Pentingnya Literasi Digital sebagai Model Pembinaan Alternatif di LPKA


Pada era globalisasi, perkembangan teknologi melaju pesat melampaui perkembangan
masyarakat. Globalisasi tidak mengenal batas wilayah, semua masyarakat telah menjadi bagian
dari masyarakat digital yang menjadi pengguna teknologi. Dalam masyarakat digital, semua
hal berpotensi untuk mengalami perkembangan termasuk juga pola literasi. Budaya literasi
yang semula dilakukan secara manual bertransformasi ke literasi digital. Setiap orang dengan
mudah mendapatkan informasi dari alat teknologi yang terhubung dengan jaringan internet.
Gagasan literasi digital sewajarnya perlu diperkenalkan kepada ABH di LPKA. Tidak
hanya untuk mendapatkan informasi, bahwa literasi digital dapat menjadi model pembinaan
alternatif yang melengkapi pola pembinaan yang saat ini masih berbasis manual.
Transformasi sistem pendidikan Indonesia yang menuju pada pendidikan berbasis digital
membuat ABH kesulitan ketika berhadapan dengan proses melanjutkan pendidikan seperti
ujian paket A, B, dan C. Keterampilan yang diterapkan di LPKA saat ini masih berorientasi
kepada pendidikan informal melalui pengembangan minat dan bakat ABH. Sementara hak
pendidikan formal bagi ABH juga wajib dipenuhi sebagai komitmen negara dalam
mengimplementasikan wajib belajar 12 tahun.
Gagasan literasi digital ini tidak hanya terhambat pada pemenuhan sarana dan
prasarana, tetapi bagaimana literasi digital ini dapat mendukung upaya penguatan dan
pemulihan diri bagi ABH selama ABH berada di LPKA maupun pasca pembinaan. Secara
Sosiologis, stigma negatif yang melekat pada ABH juga berpengaruh dalam proses
diterimanya mereka kembali ke masyarakat. Tanpa disadari kondisi minimnya penerimaan
sosial dapat berpengaruh pada aspek psikis dan aspek ekonomi. ABH yang tidak memiliki
persiapan dalam hal kecakapan (soft skill) ketika telah berada di lingkungan sosial, maka hal
ini juga membuka peluang bagi ABH untuk kembali menjadi pelaku penyimpangan sosial dan
kembali berurusan dengan hukum.
Implementasi program pembinaan tidak sepenuhnya mengalami keberhasilan.
Keterlibatan peneliti dalam proses pendampingan yang dilakukan ada di LPKA Kelas II
Malabero Bengkulu pada tahun 2017 menunjukkan bahwa :
- ABH memiliki latar belakang pendidikan putus sekolah sehingga kemampuan
kognitif terbatas khususnya dalam kemampuan baca, tulis, hitung.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

477
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

- Upaya pemenuhan hak pendidikan menjadi semakin terkendala karena keterbatasan


akses dan sumber daya yang tersedia di LPKA.
- Minim sinergi antara lembaga pemasyarakatan kepada jaringan di luar yang fokus
pada peduli pada keberadaan ABH

Analisis
Talcott Parsons merupakan penggagas teori struktural fungsional. Talcott Parsons
mengemukakan bahwa dalam mempertahakan suatu sistem maka perlu mengaktualisasikan
empat hal yakni Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency atau dikenal dengan
teori AGIL. Adaptation (adaptasi) adalah suatu upaya bagaimana sistem dapat menyesuaikan
diri dengan kondisi di sekitarnya. Meliputi kondisi fisik maupun sosial. Goal Attainment
(mencapai tujuan) mengemukakan tentang bagaimana suatu sistem senantiasa berupaya
mencapai tujuan. Integration (Integrasi) yakni bagaimana suatu sistem terdiri dari kesatuan
antar komponen, tidak berdiri tunggal. Latency (pemeliharaan pola) yakni suatu sistem harus
memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola
yang menciptakan dan menopang motivasi. Salah satu asumsi dasar teori ini adalah semua
elemen dalam suatu sistem harus berfungsi atau fungsional sehingga komponen atau bagian
dari sistem dalam menjalankan fungsi dengan baik.
Untuk mencapai keamanan sosial, maka LPKA berfungsi sebagai ruang pemulihan
bagi ABH yang terlibat dalam tindak pidana hukum. Tidak hanya berfungsi sebagai ruang
hukuman namun LPKA menjadi ruang pemulihan bagi anak yang berhadapan dengan
hukum. Terdapat transformasi tujuan dalam LPKA yakni memberikan pembinaan dan
pendampingan.
Keberadaan program pembinaan tidak hanya hadir sebagai program yang serta-merta
tanpa memberikan manfaat bagi ABH. Program pembinaan perlu disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan ABH. Misalnya memperhatikan kondisi kesesuaian secara fisik seperti sarana,
pra-sarana, kurikulum pembinaan, orientasi pembinaan, dan aspek sosial yang senantiasa
mengalami perkembangan. Literasi manual telah mengalami perubahan menuju literasi yang
berbasis digital, maka gagasan ini relevan digunakan sebagai model pembelajaran alternatif
yang melengkapi model pendidikan yang sebelumnya.
Dalam melakukan pembinaan yang efektif bagi ABH juga dibutuhkan keterlibatan dari
berbagai pihak yang peduli terhadap keberadaan ABH. Misalnya keterlibatan peran negara
yang diwakili pengelola LPKA, masyarakat, orang tua, pihak swasta, organisasi non-
pemerintah, dan lainnya. Literasi digital dapat melengkapi kebutuhan ABH dalam
pemenuhan hak pendidikan. Literasi dapat menjadi :
- Penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung implementasi literasi digital
- Memperkenalkan nilai-nilai universal terhadap pemulihan diri ABH melalui media
belajar yang menarik dalam bentuk teks, audio, dan visual

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

478
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

- Mengimplementasikan konsep pembinaan yang interaktif dan menarik, bukan


pembinaan bersifat kaku atau semakin membebani ABH di LPKA.

Penutup
Dalam implementasi program pembinaan bagi anak berhadapan dengan hukum perlu
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Perlu ada pengembangan model pembinaan dan
pendidikan yang lebih transformatif dan lebih relevan di era globalisasi, salah satunya dengan
memperkenalkan literasi digital kepada ABH. Literasi digital bukan hanya fokus pada
mengupayakan sarana dan prasarana tetapi melibatkan berbagai pihak yang peduli terhadap
ABH dan melibatkan berbagai komponen yang mendukung tujuan pembinaan.
Adanya literasi digital untuk mendukung pendidikan anak berhadapan dengan hukum
di LPKA sangat mendukung mereka agar dapat menjadi bagian dari masyarakat. Lebih jauh
lagi, literasi digital dapat membantu anak berhadapan dengan hukum dalam mengejar
pendidikannya dan memberikan keterampilan khusus agar mereka tidak kembali ke lembaga
pemasyarakat setelah mereka keluar dari LPKA.

Daftar Pustaka
Bernard Raho, SVD,Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007 ) halaman
48
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada Mei 2018 diakses pada 7 Mei 2018 dalam website
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/year/2018/
George Ritzer dan Goodman J. Douglas, Teori
O'Brien, D. & Scharber, C. 2008, "Digital Literacies Go to School: Potholes and
Possibilities", Journal of Adolescent & Adult Literacy, vol. 52, no. 1, pp. 66-68.
Paul Gilster, Digital Literacy, (New York: Wiley, 1997).
Pedoman Perlakuan Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) diakses pada 2 Mei 2018,
dalam website : https://bimkemasditjenpas.files.wordpress.com
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 15 Tahun
2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
Pidana di Indonesia (edisi ketiga), Bandung: PT Refika Aditama, 2003, hal 181
Sosiologi Modern, terjemahan Alimandan (Jakarta: Prenada, 2004), h. 121
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 60 tentang Pengadilan Anak
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

479
Rini, Lia Kurniawati, Afidah Mas’ud
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: rini.rini13@mhs.uinjkt.ac.id, lia.kurniawati@uinjkt.ac.id, afidah@uinjkt.ac.id
Abstract. Mathematical intuitive thinking was indispensable in solving the divergent problems of math.
Divergent problems can be developed and applied with the Open-Ended approach. Open-Ended approach is a
learning approach using open-ended problems that distinguished to the problem whose end was open, the
problem that produces multiple correct solutions, or the problem that produces multiple problems. The
purpose of this research was to know students’ mathematical intuitive thinking ability between students taught
with Open-Ended approach and those taught using a Scientific Approach. The research was conducted at
SMA Muhammadiyah 25 Pamulang on 2017/2018 academic year. The method of research used quasi
experiment method with posttest-only control group design. The samples are 64 students, they are 32 students
in experimental group and 32 students in control group by cluster random sampling technique. The data were
collected after treatment using the test instrument. The result of this research shows that the value of sig.=
0,000 on hypothesis test. This indicates that the average of students’ mathematical intuitive thinking ability on
teaching sequences and series taught using Open-Ended Approach is higher than those taught with Scientific
Approach. This research concludes that learning mathematics using Open-Ended Approach has an effect on
students’ mathematical intuitive thinking ability.

Keywords: Mathematical Intuitive Thinking, Open-Ended Approach, quasi experiment

Abstrak. Berpikir intuitif matematis sangat diperlukan dalam memecahkan masalah matematika yang bersifat
divergen. Masalah divergen dapat dikembangkan dan diterapkan dengan pendekatan Open-Ended. Pendekatan
Open-Ended adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan permasalahan open-ended yang dibedakan
menjadi masalah dengan jawaban akhir yang terbuka, masalah yang menghasilkan beberapa solusi, atau masalah
yang menimbulkan beberapa masalah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan kemampuan berpikir
intuitif matematis siswa yang diajarkan dengan pendekatan Open-Ended dan yang diajarkan dengan
pendekatan Saintifik. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 25 Pamulang tahun ajaran
2017/2018. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitian posttest-
only control design. Sampel penelitian sebanyak 64 siswa yang terdiri dari 32 siswa kelas eksperimen dan 32
siswa kelas kontrol dengan teknik cluster random sampling. Pengumpulan data dilakukan setelah perlakuan
menggunakan instrumen tes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai sig.= 0,000 pada uji hipotesis. Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan berpikir intuitif matematis siswa pada pokok bahasan Barisan dan
Deret yang diajarkan dengan pendekatan Open-Ended lebih tinggi daripada siswa yang diajarkan dengan
pendekatan Saintifik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pembelajaran matematika menggunakan pendekatan
Open-Ended berpengaruh terhadap kemampuan berpikir intuitif matematis siswa

Kata Kunci: berpikir intuitif matematis, pendekatan open-ended, kuasi eksperimen

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Matematika adalah mata pelajaran yang diwajibkan bagi tiap siswa dari sekolah dasar
hingga sekolah menengah. Hal ini dikarenakan matematika mempunyai peranan yang sangat
penting bagi siswa. Adams dan Hamm memandang bahwa matematika sebagai suatu cara
untuk berpikir dan sebagai alat berkomunikasi (Wijaya, 2012). Hasil penelitian Wahyudin
menggambarkan proses pembelajaran matematika yaitu siswa sangat jarang mengajukan
pertanyaan kepada gurunya. Akibatnya, siswa hanya mencontoh apa yang dikerjakan guru dan
mengingat rumus atau aturan matematika tanpa makna dan pemahaman (Satriawati, 2007).
Hal ini diperkuat oleh Prastowo yang menyataan bahwa kemampuan siswa dalam menjawab
soal-soal yang menuntut kemampuan berpikir tinggi masih rendah (Prastowo, 2015). Ini
menunjukkan bahwa pembelajaran matematika yang dilaksanakan belum sepenuhnya
mendukung perkembangan kemampuan berpikir matematis siswa.
Berpikir intuitif diperlukan dalam memecahkan masalah matematika yang
membutuhkan banyak solusi agar memperoleh hasil yg diinginkan (Sa’o, 2016). Saat
menyelesaikan permasalahan matematika, tidak jarang kita merasa tidak tahu bagaimana cara
menyelesaikannya. Ketika dihadapkan pada situasi tersebut, banyak siswa yang memilih untuk
menghindarinya sehingga masalah tidak dapat terpecahkan. Berpikir secara intuitif hadir
untuk membantu menjembatani informasi yang hilang antara satu dengan yang lainnya.
Pemikiran yang muncul secara tiba-tiba adalah harapan satu-satunya agar masalah dapat
terpecahkan.
Sama halnya seperti di atas, Abidin mengatakan bahwa dalam memecahkan masalah
matematika yang bersifat divergen, berpikir intuitif matematis sangat diperlukan dan sangat
berperan (Abidin, 2015). Kemampuan berpikir intuitif matematis erat kaitannya dengan
ketangkasan individu dalam memahami dan memecahkan masalah masalah. Para ahli
terdahulu juga telah menyadari betapa pentingnya peranan intuisi dalam proses menciptakan
penemuan. Poincaré, matematikawan penemu fungsi Fuchsian, mengatakan: “It is by logic
that we prove. It is by intuition that we invent” dan “logic remains barren unless fertilized by
intuitition”. Hal ini dipaparkan dalam bukunya bagaimana intuisi hadir ketika ia sedang
mengalami kebuntuan dalam memecahkan sebuah masalah mengenai fungsi Fuchsian
(Sukmana, 2011). Para matematikawan menganggap intuisi sebagai cara untuk memahami
masalah matematika dan bukti mengkonseptualisasikan masalah matematika (Ben-Zeev dan
Star, 2001). Maka dari itu, kemampuan berpikir intuitif sangat diperlukan dalam
menyelesaikan suatu masalah matematika.
Pengertian kemampuan berpikir intuitif matematis adalah kemampuan memahami dan
menyelesaikan masalah matematika dengan kognitif individu yang bersifat segera dalam
sebuah pernyataan. Kemampuan berpikir intuitif matematis didasarkan pada tiga indikator,
yaitu kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat secara masuk akal, kemampuan
menyelesaikan masalah dengan cepat menggunakan kombinasi rumus dan algoritma yang
dimiliki, dan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat berdasarkan generalisasi dari
contoh atau konsep.
Berdasarkan hasil tes Programme for International Student Assesment (PISA) di
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

481
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

bawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) tahun 2015,


kemampuan berpikir intuitif matematis teridentifikasi dalam kemampuan siswa Indonesia
menyelesaikan soal level 5-6. Siswa Indonesia mendapat nilai 0,8 dari rata-rata 15,3 (PISA,
2016). Ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir intuitif matematis siswa masih
tergolong rendah.
Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti di
salah satu sekolah di Tangerang Selatan, yaitu SMA Muhammadiyah 25 Pamulang. Peneliti
mengajukan instrumen tes kemampuan berpikir intuitif matematis kepada 33 siswa. Hasil
yang didapat yaitu kemampuan berpikir intuitif matematis siswa tergolong rendah yakni
dengan persentase 31,1%.
Fischbein berpendapat bahwa melalui proses pelatihan, seseorang dapat
mengembangkan intuisi baru. Dengan demikian, pandangan ini menyiratkan bahwa intuisi
bisa dipelajari, diperoleh, dan dikembangkan (Torff dan Sternberg, 2000). Proses pelatihan
harus dilakukan secara optimal agar pengembangan intuisi maksimal. Pengajuan masalah
matematika dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan intuitif matematis. Menerka
penyelesaian matematika dan menuangkannya ke dalam pembuktian logis mampu
meningkatkan kemampuan berpikir intuitif matematis.
Implementasi kurikulum 2013 di sekolah yang sudah dimulai di sejumlah sekolah dari
sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, secara terbatas, merupakan salah satu bentuk
inovasi pendidikan yang dilakukan pemerintah (Prastowo, 2015). Pembelajaran yang
diterapkan dalam kurikulum ini lebih menekankan kepada student-centered, yaitu
pembelajaran terpusat kepada siswa. Untuk mewujudkan tujuan dalam mengembangkan
kemampuan berpikir intuitif siswa, maka proses pembelajaran harus melibatkan siswa secara
aktif untuk membangun pemahamannya sendiri terhadap pokok bahasan yang diajarkan dan
memunculkan intuisi siswa. Sejalan dengan kedua hal tersebut, maka penerapan pembelajaran
Pendekatan Open-Ended sangat dianjurkan.
Pendekatan Open-Ended merupakan pembelajaran berbasis student-centered dengan
pengajuan masalah. Masalah yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah masalah open-
ended yang bersifat divergen yang dibedakan menjadi masalah dengan jawaban akhir yang
terbuka, masalah yang menghasilkan beberapa solusi, atau masalah yang menimbulkan
beberapa masalah. Hal ini dikarenakan masalah matematika yang bersifat divergen sangat
erat kaitannya dengan masalah terbuka yang senantiasa memerlukan gagasan yang berbeda-
beda sehingga dibutuhkan kemampuan berpikir intuitif matematis.
Penerapan pendekatan Open-Ended di kelas cenderung memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengekspresikan pemikiran matematika melalui intuisi mereka sendiri
dalam rangka untuk menemukan aturan matematika, rumus atau prinsip-prinsip sendiri
(Panbanlame dkk., 2015). Berikut ini tahapan yang terdapat dalam pendekatan Open-Ended
yang digunakan pada penelitian ini.
(1) Pengajuan Masalah Open-Ended
Guru membagi siswa ke dalam kelompok. Guru membagikan LKS kepada siswa
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

482
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dengan pengajuan masalah open-ended yang dapat dijumpai dalam kehidupan. Siswa
diberikan kesempatan untuk memahami masalah tersebut secara berkelompok.
(2) Belajar Mandiri
Siswa mengidentifikasi informasi yang ada dalam permasalahan open-ended. Siswa
mencari cara dengan berbagai metode untuk memecahkan permasalahan yang diberikan guru.
Cara yang digunakan siswa bebas berdasarkan pemikirannya yang masuk akal. Guru
mengarahkan siswa jika mengalami kesulitan.
(3) Diskusi Kelas dan Perbandingan Konsep
Siswa mendiskusikan penyelesaian dalam kelompok dan menyajikannya di kelas.
Setelah presentasi, siswa membandingkan hasil penyelesaian kelompok lain. Keberagaman
algoritma dan rumus yang digunakan tiap siswa dapat terlhat di tahap ini. Tugas guru di sini
adalah mengasosiasikan ide yang muncul dari siswa terhadap permasalahan yang diberikan.
(4) Kesimpulan Berdasarkan Hubungan Ide Siswa di Kelas
Siswa menghubungkan semua ide yang dipresentasikan di kelas untuk memperoleh
generalisasi.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin mengetahui pengaruh pendekatan Open-
Ended terhadap kemampuan berpikir intuitif matematis siswa. Peneliti juga ingin
mengidentifikasi perbedaan kemampuan berpikir intuitif matematis siswa yang memperoleh
pendekatan Open-Ended dengan pendekatan Saintifik.

Metode
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 25 Pamulang kelas XI pada
semester ganjil tahun ajaran 2017/2018 yaitu pada bulan November 2017. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan randomized post-test only
control design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di SMA Muhammadiyah
25 Pamulang. Sampel berasal dari seluruh siswa kelas XI dengan teknik cluster random
sampling sebanyak 64 siswa dari dua kelas. Kelompok eksperimen adalah kelas XI IPA 1
sebanyak 32 siswa dengan perlakuan pendekatan Open-Ended, sedangkan kelompok kontrol
adalah kelas XI IPA 2 sebanyak 32 siswa dengan perlakuan pendekatan Saintifik. Perlakuan
pendekatan Open-Ended dan pendekatan Saintifik di kedua kelas berlangsung selama 7 kali
pertemuan.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Instrumen tes yang digunakan yaitu tes
kemampuan berpikir intuitif matematis pada pokok bahasan barisan dan deret sebanyak 5
butir soal. Pengaruh pendekatan Open-Ended terhadap kemampuan berpikir intuitif
matematis siswa diukur dengan menggunakan uji-t, karena kedua sampel memiliki anggota
yang berbeda.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

483
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil post-test yang diperoleh, perbandingan data hasil tes kemampuan
berpikir intuitif matematis siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada
Tabel 1 sebagai berikut.
Tabel 1. Statistik Deskriptif Kemampuan Berpikir Intuitif Matematis Siswa
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelas Kelas Kontrol
Eksperimen
Minimum 50 32,5
Maksimum 92,5 90
Rata-rata (Mean) 73,75 59,30
Standar Deviasi 12,6523 14,5944
Tingkat -0,420 0,265
Kemiringan

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi
dibandingkan dengan kelas kontrol dengan nilai rata-rata 73,75 pada kelas eksperimen dan
59,30 pada kelas kontrol. Nilai siswa yang paling maksimal terdapat pada kelas eksperimen
yaitu 92,5 sedangkan nilai yang paling minimum berada pada kelas kontrol yaitu 32,5.
Standar deviasi kelas eksperimen lebih rendah daripada kelas kontrol. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir intuitif matematis siswa kelas kontrol lebih
beragam dibanding kelas eksperimen. Jika dilihat dari tingkat kemiringan, kelas eksperimen
bernilai negatif yang artinya sebagian besar data kelas eksperimen berada di atas rata-rata.
Tingkat kemiringan kelas kontrol bernilai positif yang artinya data kelas kontrol berada di
bawah rata-rata.
Setelah dilakukan uji prasayarat analisis yang menghasilkan kesimpulan data
berditribusi normal dan memiliki varians yang homogen, maka uji hipotesis akan dilakukan
dengan uji-t. Pengujian kesamaan dua rata-rata diolah menggunakan analisis Independent
Samples T-Test. Data hasil uji kesamaan dua rata-rata kelas eksperimen dan kontrol
menunjukkan nilai t = 4,233 dan sig. (2-tailed) = 0,000. Nilai signifikansi satu arah dari
penelitian ini yaitu 0,000 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan berpikir
intuitif matematis kelas eksperimen yang diajarkan dengan pendekatan Open-Ended lebih
tinggi daripada rata-rata kemampuan berpikir intuitif matematis kelas kontrol yang diajarkan
dengan pendekatan Saintifik.
Rata-rata kemampuan berpikir intuitif matematis pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol ditinjau berdasarkan indikator disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

484
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

75,39 76,17
80,00 70,51
66,02
56,05
52,34
60,00

40,00

20,00

0,00
Indikator 1 Indikator 2 Indikator 3

Eksperimen Kontrol

Gambar 1. Diagram Batang Rata-rata Kemampuan Berpikir Intuitif Matematis Siswa


Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Berdasarkan Gambar 1, pada indikator 1, yaitu kemampuan menyelesaikan masalah


dengan cepat secara masuk akal, capaian kelas eksperimen lebih unggul dibanding kelas
kontrol. Pada indikator 2, yaitu kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat
menggunakan kombinasi rumus dan algoritma yang dimiliki, capaian kelas eksperimen jauh
lebih unggul dibanding kelas kontrol. Selanjutnya, pada indikator 3, yaitu kemampuan
menyelesaikan masalah dengan cepat berdasarkan generalisasi dari contoh atau konsep,
capaian kelas eksperimen lebih unggul dibanding kelas kontrol. Dilihat dari ketiga indikator
tersebut, kelas eksperimen selalu unggul daripada kelas kontrol di setiap indikator
kemampuan berpikir intutif matematis.
Penulis mengidentifikasi kemampuan berpikir intuitif matematis siswa dapat
meningkat di tahap pengajuan masalah open-ended, belajar mandiri, serta tahap diskusi kelas
dan perbandingan konsep. Pada tahap pengajuan masalah open-ended, siswa dilatih terlebih
dahulu untuk dapat memahami permasalahan yang diberikan. Siswa menggunakan cara
menerka-nerka solusi apa yang paling tepat. Terkaan yang dilakukan dilakukan secara
spontan. Siswa memilih alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal.
Di tahap belajar mandiri, siswa mencari cara dengan berbagai metode untuk
memecahkan permasalahan yang diberikan guru. Berbagai cara siswa lakukan untuk
memecahkan sendiri permasalahan tersebut dengan kemampuannya. Bisa saja siswa
memecahkannya secara langsung dan memberikan penjelasan yang logis, secara langsung
karena mengacu kepada kemampuan mengkombinasikan rumus yang dimiliki atau
berdasarkan generalisasi dari contoh atau konsep dalam mengerjakan permasalahan yang
hampir serupa.
Pada tahap diskusi kelas dan perbandingan konsep, siswa menggunakan kemampuan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

485
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

generalisasinya ketika belajar secara mandiri. Setelah itu siswa membahas di dalam kelas dan
mendiskusikannya. Munculah berbagai macam ide yang dapat digeneralisasikan oleh siswa.
Sehingga peneliti melihat bahwa di ketiga tahap tersebut yang terdapat dalam pendekatan
Open-Ended, kemampuan berpikir intuitif matematis siswa dapat meningkat.
Berikut disajikan contoh soal kemampuan berpikir intuitif matematis.

Gambar 2. Soal Kemampuan Berpikir Intuitif Matematis

Berikut adalah jawaban dari soal di atas yang diberikan siswa kelas eksperimen dan
kontrol dengan kategori jawaban yang sering muncul di dua kelas tersebut.

Gambar 3. Jawaban Siswa Kelas Eksperimen

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

486
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 4. Jawaban Siswa Kelas Kontrol

Berdasarkan Gambar 3 dan 4, hasil jawaban siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
berbeda. Peneliti mengambil jawaban yang sering muncul karena peneliti ingin menyoroti
kemampuan siswa dalam memahami masalah secara cepat dan tepat. Jika dilihat pada jawaban
siswa kelas eksperimen dan kontrol, jawaban siswa kelas eksperimen terlihat dapat memahami
soal dan menggunakan kombinasi rumus yang tepat, sedangkan untuk jawaban siswa kelas
kontrol terlihat masih kurang memahami soal yang diberikan. Penggunaan kombinasi rumus
sudah benar, namun pemahaman soal yang salah membuat jawaban akhir siswa menjadi tidak
tepat. Waktu yang diberikan siswa dalam mengerjakan soal tersebut sama, sehingga peneliti
dapat mengambil kesimpulan bahwa kecepatan siswa kelas eksperimen lebih cepat dalam
memahami soal dibandingkan dengan kelas kontrol.
Berdasarkan pembahasan di atas, terlihat bahwa pendekatan Open-Ended memberikan
pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir intuitif matematis siswa yang diterapkan
selama proses pembelajaran. Selain itu, temuan penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Panbanlame, Sangaroon dan Inprasitha (2015) yang tertuang dalam jurnal
internasional berjudul Students’ Intuition in Mathematics Class Using Lesson Study and
Open Approach juga menyimpulkan bahwa intuisi siswa dapat dikembangkan menggunakan
Lesson Study dan Open Approach.
Rata-rata tiap indikator kemampuan berpikir intuitif matematis kelas eksperimen di
atas 70, sedangkan kelas kontrol di atas 50. Walaupun rata-rata kelas kontrol yang diajarkan
dengan pendekatan Saintifik lebih rendah daripada kelas eksperimen, bukan berarti
pendekatan ini tidak memberikan pengaruh positif bagi kemampuan berpikir intuitif
matematis. Penggabungan antara kedua pendekatan ini tentu dapat dijadikan alternatif
pilihan saat pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir intuitif
matematis siswa.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

487
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penutup
Simpulan
Berdasarkan nilai sig.=0,000 yang lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 pada uji
hipotesis, menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan berpikir intuitif matematis siswa kelas
eksperimen yang diajarkan dengan pendekatan Open-Ended lebih tinggi daripada rata-rata
kemampuan berpikir intuitif matematis siswa kelas kontrol yang diajarkan dengan
pendekatan Saintifik. Ini menunjukkan bahwa pendekatan Open-Ended lebih efektif
dibandingkan dengan pendekatan Saintifik dalam mengembangkan kemampuan berpikir
intuitif matematis siswa.
Saran
Penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan. Oleh karena itu, disarankan
kepada peneliti selanjutnya untuk menggunakan sampel penelitian yang lebih besar agar hasil
penelitian yang diperoleh lebih optimal. Peneliti juga menyarankan agar penelitian selanjutnya
juga dilakukan pada pokok bahasan materi matematika yang lain. Penelitian ini hanya melihat
pengaruh penerapan pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended terhadap kemampuan
berpikir intuitif matematis pada pokok bahasan barisan dan deret.

Daftar Pustaka

Abidin, Zainal. 2015. Intuisi dalam Pembelajaran Matematika. Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia.
Ben-Zeev, Talia, and Jon Star. 2001. Intuitive Mathematics: Theoretical and Educational
Implications. Article of Department of Cognitive and Lingustic Sciences, Box 1978,
Brown University.
Panbanlame, Kwanta, et.al. 2014. Students’ Intuition in Mathematics Class Using Lesson Study and
Open Approach. Journal International of Psychology, 5, 1503-1516; Khon Kaen
University, Thailand.
PISA. 2016. PISA 2015 Result. PISA: OECD Publishing.
Prastowo, Andi. 2015. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Tematik Terpadu:
Implementasi Kurikulum 2013 untuk SD/MI. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sa’o, Sofia. 2016. Berpikir Intuitif sebagai Solusi Mengatasi Rendahnya Prestasi Belajar Matematika.
Jurnal Review Pembelajaran Matematika Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya.
Satriawati, Gusni. 2007. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-Ended pada Pokok
Bahasan Dalil Pythagoras di Kelas II SMP. Dalam Gelar Dwirahayu, Pendekatan Baru

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

488
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dalam Pembelajaran Sains dan Matematika Dasar: Sebuah Antologi. (Jakarta: PIC UIN
Jakarta).
Sukmana, Agus, dan Wahyudin. 2011. A Teaching Material Development for Developing Students’
Intuitive Thinking through REACT Contextual Teaching Approach. Jurnal Mat Stat
Vol. 11 No. 2.
Sukmana, Agus. 2011. Laporan Penelitian: Profil Berpikir Intuitif Matematik. LPPM Universitas
Katholik Parahiyangan Bandung.
Torff, B., and Robert J. Sternberg. 2000. Understanding and teaching the intuitive mind: student
and teacher learning. (Mahwa, N.J.: Lawrence Erlbaum Associates).
Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran
Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

489
Santi Pratiwi Tri Utami, Qurrota Ayu Neina, Rahmatika Rizqy Utami
Universitas Negeri Semarang
e-mail: adegunawan_iai15@mahasiswa.unj.ac.id; rihlah-nuraulia@unj.ac.id
Abstrak. Umumnya, akun media sosial mensyaratkan penggunanya berusia di atas 13 tahun. Namun dalam
praktiknya, banyak anak yang berusia di bawahnya yang telah aktif menggunakan media sosial. Anak-anak usia
praremaja (9-12 tahun) dan remaja (12-16 tahun) merupakan pengguna yang paling riskan terkena dampak
negatif penyalahgunaan media sosial. Perilaku negatif akibat mengindahkan etika bermedia sosial akhir-akhir
ini banyak ditemukan, antara lain perundungan (cyberbullying), ujaran kebencian, penyebaran informasi
bohong (hoax), radikalisme, dan sexting (mengirim, menerima, dan meneruskan pesan dan gambar berkonten
seksual). Dampak-dampak negatif itulah yang dikhawatirkan oleh para orang tua akhir-akhir ini. Sekitar 80%
anak dan remaja mengalokasikan waktu untuk aktivitas bermedia sosial setiap hari. Mencermati kompleksnya
dampak negatif aktivitas bermedia sosial, maka perlu inisiatif penyuluhan konsep literasi digital bagi anak usia
praremaja dan remaja. Literasi digital merupakan salah satu komponen yang harus dikuasai setiap orang di
zaman teknologi informasi ini karena bertujuan agar masyarakat menggunakan media sosial secara benar dan
bermartabat.

Kata Kunci: literasi digital, media sosial, teknologi informasi

Pendahuluan
Teknologi informasi (TI) merupakan bagian dari kehidupan masyarakat di era
milenial ini. Bahkan pada beberapa sektor kehidupan, bidang TI merupakan hal yang sangat
vital, salah satunya dalam lingkup komunikasi. Oleh karena itu, penguasaan terhadap TI
mutlak diperlukan mengingat banyak mode komunikasi yang berbasis digital. Perangkat
komunikasi digital pun mulai beralih pada gawai (gadget) dengan segala fitur yang
disodorkan.
Kemudahan mengakses internet dan daya guna gawai yang tinggi makin memberi
terpaan konten-konten hiburan yang langsung bisa dinikmati, terutama aktivitas bermedia
sosial yang meningkat secara signifikan. Umumnya, akun media sosial mensyaratkan
penggunanya berusia di atas 13 tahun. Namun dalam praktiknya, banyak anak yang berusia
di bawahnya yang telah aktif menggunakan media sosial. Dampaknya beragam, akan tetapi
yang perlu diperhatikan tentu dampak negatifnya. Menurut Santosa (2017:11) anak-anak
usia praremaja (9-12 tahun) dan remaja (12-16 tahun) merupakan pengguna yang paling
riskan terkena dampak negatif penyalahgunaan media sosial.
Perilaku negatif akibat mengindahkan etika bermedia sosial akhir-akhir ini banyak
ditemukan dan bahkan diikuti oleh anak-anak dan remaja. Perilaku tersebut antara lain
perundungan (cyberbullying), ujaran kebencian, penyebaran informasi bohong (hoax),
radikalisme, dan sexting (mengirim, menerima, dan meneruskan pesan dan gambar berkonten
seksual). Dampak-dampak negatif itu pula yang dikhawatirkan oleh masyarakat, terutama

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

orang tua yang memiliki anak usia praremaja dan remaja.


Literasi digital mulai digalakkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sejak tahun 2014. Literasi digital merupakan salah satu komponen yang harus
dikuasai setiap orang di zaman teknologi informasi ini, selain literasi bahasa dan sastra,
literasi finansial, literasi kewarganegaraan, literasi budaya, dan literasi sains. Literasi dasar
tersebut difungsikan sebagai dasar literasi kecakapan hidup.

Literasi Digital
Mencermati perkembangan saat ini, pemahaman mengenai keberaksaraan digital
sangat penting untuk segera ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat, utamanya anak
usia praremaja dan remaja. Literasi digital adalah ketertarikan, sikap, dan kemampuan
individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses,
mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun
pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi
secara efektif dalam masyarakat (Hermiyanto 2015).
Menurut Gilster dalam Lee (2014) literasi digital adalah kemampuan untuk
memahami dan menggunakan informasi dalam banyak format dari berbagai sumber ketika
disajikan melalui komputer. Diperjelas dalam Deakin University’s Graduate Learning
Outcome 3 (DU GLO3), literasi digital adalah pemanfaatan teknologi untuk menemukan,
menggunakan, dan menyebarluaskan informasi dalam dunia digital. Literasi digital juga
didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, menilai, mengatur, dan
mengevaluasi informasi dengan menggunakan teknologi digital. Ini artinya mengetahui
tentang berbagai teknologi dan memahami bagaimana menggunakannya, serta memiliki
kesadaran dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Literasi digital memberdayakan
individu untuk berkomunikasi dengan orang lain, bekerja lebih efektif, dan peningkatan
produktivitas seseorang, terutama dengan orang-orang yang memiliki keterampilan dan
tingkat kemampuan yang sama (Martin dalam Mohammadyari dan Singh 2015).
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil simpulan bahwa dalam literasi
digital bukan sekadar kemampuan mencari, menggunakan, dan menyebarkan informasi akan
tetapi diperlukan kemampuan dalam membuat informasi dan evaluasi kritis, ketepatan
aplikasi yang digunakan dan pemahaman mendalam dari isi informasi yang terkandung dalam
konten digital tersebut. Di sisi lain literasi digital mencakup tanggung jawab dari setiap
penyebaran informasi yang dilakukannya karena menyangkut dampaknya terhadap
masyarakat.
Perkembangan teknologi informasi saat ini yang begitu pesat, seolah-olah telah
menggantikan peran hubungan manusia dengan manusia yang dalam berkomunikasi. Interaksi
tergantikan oleh aplikasi-aplikasi yang ada pada gawai. Dulu, hubungan antarmanusia yang
biasanya bercengkerama dan bersosialisasi dengan langsung bertemu atau bertatap muka, saat
ini cukup dilakukan berinteraksi lewat aplikasi.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

491
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Media sosial yang sering digunakan antara lain Facebook, Path, Instagram, Twitter,
dan lain-lain. Media sosial ini berkembang pesat karena bermanfaat mempertemukan pribadi
dengan saudara, teman, dan orang lain dimana pun berada tanpa ada batasan tempat/lokasi,
waktu, dan keadaan sehingga menjelma sebagai hal yang seolah tidak bisa lepas dari tangan
kita.
Efeknya setiap orang makin bergantung dan tidak bisa lepas dengan gawai. Hal ini
membuktikan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang selalu ingin berinteraksi dengan
banyak orang tanpa ada batasan waktu dan tempat. Kemana dan dimana pun kita jumpai
orang yang sedang membawa gawai, sebagian besar sesekali melihat sosial medianya. Entah
hanya mengubah “status”, berbagi pengetahuan, maupun berkomentar di akun sosial
medianya.
Namun, kadang tanpa disadari saat berinteraksi di sosial media, netizen kerap
mengindahkan etika sehingga merugikan orang lain terutama kerugian imateriel. Banyak
contoh kasus pidana yang terkait dengan adanya komentar yang menyinggung orang lain,
mencemarkan nama baik, atau dianggap menyudutkan seseorang/kelompok tertentu sehingga
mendapat sanksi hukum berdasar pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat 3 UU
ITE menyatakan “setiap orang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik akan mendapatkan sanksi.”
Pengguna media sosial tentu tidak ingin bersinggungan dengan kasus pidana. Untuk
itulah saat bersosial media hendaknya kita menyikapinya dengan bijak dan santun. Salah satu
langkah yang perlu diterapkan ialah menerima komentar atau argumen dengan tetap berpikir
positif. Media sosial dapat kemudian digunakan sebagai sarana informatif, inovatif, aktual,
faktual, dan motivasi perbaikan diri apabila ada komentar negatif.

Pola Penguatan Literasi Digital Bagi Praremaja Dan Remaja


Lingkup pendidikan utama dan pertama ialah keluarga. Sebagai lingkungan terdekat,
keluarga yang dalam hal ini ialah orang tua atau orang dewasa di sekitar anak memiliki peran
yang vital dalam menumbuhkan pengetahuan untuk “melek” literasi. Mengenai literasi digital,
tentu diharapkan anak tidak sekadar tahu, namun juga mengimplementasikan dengan baik.
Pola penguatan literasi digital perlu dilakukan seiring dengan perkembangan usia
dengan memperhatikan tingkat “kedekatan” anak dengan media sosial. Beberapa pola yang
dapat dilakukan, antara lain.

Memberikan informasi (pemahaman) mengenai hakikat etika bermedia sosial, dampak


negatif pelanggaran etika bermedia sosial, tindakan preventif terhadap dampak negatif
aktivitas bermedia sosial.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

492
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Seperti halnya bentuk komunikasi lain, dalam bermedia sosial pengguna perlu
memahami benar aturan yang ada. Apalagi aturan-aturan tersebut sudah tercantum dalam
produk undang-undang yang sudah terlegalisasi. Etika dalam bermedia sosial, antara lain 1.
memakai bahasa yang tepat (sesuai konteks komunikasi), 2. menghargai privasi orang lain, 3.
menghindari SARA dan Pornografi, 4. tidak mengunggah hal yang bersifat privasi, serta 5.
tidak menghasut orang dan tidak menebarkan kebencian.
Dampak negatif apabila melanggar etika yang telah ditetapkan antara lain kerugian
imateriel. Jenis kerugian ini justru merupakan kerugian terbesar, mengingat tidak serta merta
dapat dikendalikan dan pupus dengan segera. Salah satu wujudnya ialah rasa traumatis yang
menghinggapi korban pelanggaran etika. Bila kasus berlanjut seperti banyak kasus
pelanggaran etika, maka delik aduan bisa saja diajukan berdasar Undang-undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Bentuk lain yang sering ditemui ialah kesalahpahaman,
yang menjadi pemicu adanya bentrok antarkubu yang berbeda pandangan. Ujaran-ujaran
kebencian muncul tanpa sensor di beranda-beranda media sosial, yang menyulut perpecahan,
bahkan pertikaian. Kemudahan mengakses berita-berita tanpa sumber yang jelas atau bahkan
bohong semata (hoax), yang celakanya dengan mudah disepakati, bahkan dijadikan referensi,
dan lain sebagainya.
Tindakan preventif terhadap dampak negatif pelanggaran yang harus dilakukan, salah
satuya melalui penguatan literasi digital. Anak-anak harus dibekali sikap peka, wawasan yang
luas, dan kemauan untuk mengkonfirmasi pemahaman terhadap konten-konten yang
didapatkan dari internet. Sikap peka dimungkinkan melalui pembiasaan secara terbimbing.
Wawasan luas akan memungkinkan anak memilah dan memilih konten-konten yang akan
“dikonsumsi”. Adapun kemauan mengkonfirmasi kepada orang tua atau orang dewasa di
sekitar anak, atau mengkomparasi dengan lama-laman lain dimaksudkan untuk menyaring
dan kemudian mengenyahkan “sampah-sampah” (spam) elektronik.

Melakukan pendampingan dan evaluasi terhadap proses penguatan literasi digital.


Pendampingan dan evaluasi merupakan tindak lanjut dari proses penguatan literasi
digital pada anak usia praremaja dan remaja. Pendampingan dapat berbentuk pola asuh yang
sifatnya konstan, bukan sekadar instan. Oleh karena itu perlu rancangan matang ( by design)
orang tua atau orang dewasa di sekitar anak untuk memastikan pola asuh terimplementasi
dengan efektif. Bila perlu, ajak anak untuk mendiskusikan dan menyepakati beberapa hal
terkait batasan apa yang boleh dilakukan dan apa yang mesti ditinggalkan. Berikutnya, pada
fase pendampingan, ketegasan dan kedisiplinan dalam menegakkan kesepakatan pola asuh
tersebut perlu berjalan seiring dengan implementasi.
Merujuk pada hasil akhir, tentu diperlukan evaluasi terhadap penguatan literasi
digital pada anak. Evaluasi dapat bersifat individual atau kerja sama antara kedua orang tua.
Menjadi evaluator bagi diri sendiri tentu dapat bersifat subjektif. Namun, penekanan pada
daya guna evaluasi perlu diilhami benar oleh diri. Pun evaluasi yang sifatnya saling koreksi,
dapat menjadi alternatif. Keluwesan dengan mengedepankan aspek komunikasi 2 (dua) arah
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

493
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dapat dijadikan solusi. Namun, kelapangan diri untuk menerima kritik, saran, tanggapan juga
perlu dipersiapkan sedari awal.

Daftar Pustaka

Deakin Learning Futures. 2013. Communication Skills.


http://www.deakin.edu.au/__data/assets/pdf_ file/0017/38006/digital-literacy.pdf
diakses tanggal 21 Februari 2018.
Effendy, Muhadjir. 2017. Literasi Digital untuk Kemajuan Bangsa. Majalah Pendidikan Keluarga
Edisi Agustus: Diterbitkan Dinas Pembinaan Pendidikan Keluarga Dirjen PAUD dan
DIKMAS Kemdikbud.
Hermiyanto, Iin. 2015. Literasi Digital. https://www.kompasiana.com/iinhermiyanto/literasi-
digital_55280e9df17e61ba098b45bc diakses tanggal 21 Februari 2018.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. 2018. Jumlah Pengguna Internet 2017 Meningkat,
Kominfo Terus Lakukan Percepatan Pembangunan
Broadband.https://kominfo.go.id/content/detail/12640/siaran-pers-no-
53hmkominfo022018-tentang-jumlah-pengguna-internet-2017-meningkat-kominfo-
terus-lakukan-percepatan-pembangunan-broadband/0/siaran_pers diakses tanggal 21
Februari 2018.
Lee, S. 2014. Digital Literacy Education for the Development of Digital
Literacy. http://doi.org/10.4018/ijdldc.2014070103 diakses tanggal 21 Februari 2018.
Mohammadyari, S dan Singh, H. 2015. Computers & Education Understanding the effect of e-
learning on individual performance : The role of digital literacy. Computers and
Education Journal, 82, 11–25.
Santosa, Elizabeth. 2017. Anak dan Media Sosial: Orang Tua Bijak, Kendalikan Konten Anak .
Majalah Pendidikan Keluarga Edisi Agustus: Diterbitkan Dinas Pembinaan Pendidikan
Keluarga Dirjen PAUD dan DIKMAS Kemdikbud.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

494
Siti Masyithoh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: siti.masyithoh@uinjkt.ac.id
Abstract. This study aims to improve the learning process and improve the beginning writing skill of
Arabic through the application of taulifiyyah methods in the 4th grade in Bekasi Madani Primary
School. The research method used is a classroom action research consists of two cycles, each cycle
consisting of four stages, planning, action, observation, and reflection. Data collection is done
through observation of the learning process and test to measure the writing skill level of the
beginning of arabic language. The results indicated that the implementation of learning has been in
line with the implementation plan of learning. The results also indicated that in the second cycle, the
students' writing skill level has been achieved as determined. Thus it can be concluded, that the
application of methods taulifiyyah can improve the skills of writing Arabic grade IV students in
Insan Madani Model Schoolof Bekasi.

Keywords: taulifiyyah method; writing skill; arabic learning

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan
keterampilan menulis permulaan bahasa Arab siswa melalui penerapan metode taulifiyyah di kelas
IV Sekolah Dasar Model Insan Madani Bekasi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
tindakan kelas yang terdiri dari dua siklus, yang masing-masing siklus terdiri dari empat tahap, yaitu
perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Pengumpulan data dilakukan melalui
pengamatan proses pembelajaran dan tes untuk mengukur tingkat keterampilan menulis permulaan
bahasa arab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlaksanaan pembelajaran telah sejalan dengan
rencana pelaksanaan pembelajaran. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa di siklus kedua, tingkat
keterampilan menulis arab siswa telah tercapai sebagaimana yang ditetapkan. Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa penerapan metode taulifiyyah dapat meningkatkan keterampilan menulis arab
siswa kelas IV di Ssekolah Dasar Model Insan Madani Bekasi

Kata Kunci: Metode Taulifiyyah, Keterampilan Menulis, Pembelajaran Bahasa Arab

Pendahuluan
Tidak ada seorangpun di kalangan umat Islam yang memperdebatkan tentang
pentingnya bahasa Arab. Tidak saja karena bahasa Arab merupakan bahasa kedua di dunia,
tapi lebih dari itu karena bahasa Arab adalah bahasa agama yang dengannya al-Quran
diturunkan. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran dalam bahasa

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Arab, semoga kalian termasuk orang-orang yang bertakwa.” (QS: Yusuf: 2). Demikian juga
syekh Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata: “ Bahasa Arab adalah bagian dari agama, dan
memahaminya adalah fardlu wajib karena memahami al-Quran dan Sunnah adalah fardlu,
dan tidak bisa memahaminya kecuali dengan bahasa Arab, sesuatu yang dengannya suatu
kewajiban dapat sempurna, maka hukumnya juga wajib (Al Khalifah, 2004:1). Berdasarkan
hal itulah maka sekolah - sekolah Islam menerapkan kurikulum bahasa Arab. Demikian juga
dengan sekolah dasar model Insan Madani yang merupakan sekolah dasar Islam terpadu.
Sebagai sebuah Sekolah yang tergabung dalam jaringan sekolah Islam terpadu,
SDMIM memasukkan bahasa Arab sebagai muatan lokal sekolah selain bahasa Inggris dan
bahasa Sunda. Mata pelajaran bahasa Arab diajarkan secara berkesinambungan mulai kelas III
hingga kelas VI. Dengan diajarkannya bahasa Arab di tingkat sekolah dasar, diharapkan siswa
memiliki kemampuan dasar berbahasa Arab yang dapat dilanjutkan ke tingkat yang lebih
tinggi di sekolah lanjutan Islam secara berkesinambungan sehingga diharapkan kelak siswa
mampu memahami agamanya dengan baik tanpa tertinggal di bidang pengetahuan umum dan
teknologi.
Sebagai mata pelajaran yang termasuk dalam muatan lokal sekolah, guru pada mata
pelajaran ini merancang sendiri kurikulum yang digunakannya mengacu pada kurikulum
bahasa Arab madrasah Ibtidaiyyah yang berada di bawah naungan departemen agama yang
disesuaikan sendiri oleh guru yang bersangkutan dengan memperhatikan kondisi siswa.
Bahasa Arab sebagai bahasa asing, memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan
bahasa ibu kita yaitu bahasa Indonesia. Perbedaan itu tidak saja meliputi sistem suara bahasa
(fonem), sintaksis maupun semantiknya tapi juga termasuk simbol-simbol gambar (huruf -
huruf) yang berbeda sama sekali dengan simbol bahasa Indonesia dan tata cara penulisannya.
Oleh karena itu bagi siswa kelas III SD Model Insan Madani Bekasi, kegiatan menulis kata
bahasa Arab sama sulitnya seperti ketika mereka belajar menulis permulaan bahasa Indonesia
di kelas - kelas awal atau TK bahkan mungkin lebih sulit mengingat simbol - simbol atau
lambang - lambang tulis Arab sangat berbeda dengan lambang-lambang tertulis yang berupa
huruf - huruf alfabet.
Perbedaaan-perbedaan karakteristik bahasa yang ada antara bahasa Indonesia dan
bahasa Arab yang tajam membuat siswa merasa kesulitan dalam mempelajari aspek-aspek
berbahasa Arab terutama pada bagaimana cara merangkai huruf - huruf Arab sehingga
menjadi kata yang dapat dipahami. Karena huruf - huruf Arab baru bermakna ketika huruf
perhurufnya disambungkan sesuai aturan bahasa Arab itu sendiri.
Bagi sabagian besar siswa yang di sekolahnya mempelajari bahasa Arab, bahasa Arab
adalah sebuah momok. Mempelajari bahasa Arab lebih sulit daripada mempelajari deretan
angka dalam ilmu matematika. Bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, tidak saja pada tata
cara penulisan hurufnya yang merupakan simbol - simbol heroglief tapi juga pada fonetik,
susunan atau pola kalimat (sintaksis) dan makna kalimat (semantik)-nya. Maka, jika
pembelajaran bahasa Arab tidak dirancang sedemikian rupa dengan strategi dan metode yang
menyenangkan tapi efektif, yang timbul adalah kebosanan dan kejenuhan. Sebagian siswa
menjadi apatis dan menyerah. Disinilah kemampuan dan kreatifitas guru dipertaruhkan. Guru
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

496
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

sebagai fasilitator harus mencari metode dan media yang tepat agar siswa merasa tertarik dan
tertantang untuk dapat mempelajari bahasa Arab dengan antusias.
Kenyataan yang terjadi khususnya di SD Model Insan Madani menunjukkan bahwa
pembelajaran bahasa Arab tidak lebih dari menghafal deretan kosa kata. Meskipun mungkin
guru di sini telah berusaha membuat pembelajaran yang bervariasi, baik dengan penggunaan
kartu - kartu, game dan model pembelajaran yang disesuaikan, ternyata hasil belajar siswa
kelas III pada mata pelajaran ini sangat memprihatinkan. Ini ditunjukkan dengan tidak
tercapainya KKM pada pembelajaran bahasa Arab (CD. 01, 2010). Setelah ditelusuri
ternyata faktor yang menyebabkannya adalah kurangnnya kemampuan siswa dalam
mengodekan kembali simbol - simbol bahasa Arab yang ada dalam pikiran mereka kedalam
rangkaian huruf yang benar, misalnya ‫ معمل‬ditulis ‫مع مل‬.
Membaca dan menulis adalah dua aspek keterampilan berbahasa dari beberapa aspek
berbahasa yang sangat penting. Dengan membaca dan menulis seseorang dapat menerima
dan menyampaikan ide, gagasan, informasi, pesan dari dan kepada orang lain secara tidak
langsung. Maka menulis kata bahasa Arab yang berupa rangkaian huruf dengan aturan
tertentu merupakan pondasi dasar dalam mempelajari bahasa Arab seharusnya diajarkan
bersamaan dengan diajarkannya membaca kata bahasa Arab. Di sinilah mungkin letak
kekeliruan yang terjadi di SD Model Insan Madani. Siswa diajarkan membaca Arab jauh
lebih awal tanpa diberikan pembelajaran menulis Arab. Padahal kemampuan menulis hanya
bisa menjadi terampil dengan latihan dan pembelajaran yang berkesinambungan.
Melihat data empiris yang terjadi, maka perlu dilakukan sebuah penelitian tindakan
kelas yang diharapkan mampu memperbaiki proses pembelajaran sehingga meningkatkan
keterampilan menulis permulaan pada mata pelajaran bahasa Arab siswa kelas III SD Model
Insan Madani. Karena hal ini merupakan salah satu pondasi bagi siswa dalam mempelajari
bahasa Arab pada tingkat selanjutnya. Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba memilih
metode struktural analitis sintesis atau dalam bahasa Arab dikenal dengan metode tahliliyyah
tarkibiyyah atau metode taulifiyyah dalam rangka meningkatkan keterampilan menulis
permulaan pada mata pelajaran bahasa Arab pada siswa kelas III SD Model Insan Madani
Bekasi.

Landasan Teori
Keterampilan Menulis Arab Permulaan
Keterampilan menulis permulaan merupakan keterampilan yang harus dikuasai siswa
dalam mempelajari suatu bahasa sebelum menuju pada keterampilan menulis lanjut.
Pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh siswa pada pembelajaran menulis permulaan
tersebut akan menjadi dasar dalam peningkatan dan pengembangan kemampuan siswa pada
jenjang selanjutnya. Apabila pembelajaran menulis permulaan yang dikatakan sebagai acuan
dasar tersebut baik dan kuat, maka diharapkan hasil pengembangan keterampilan menulis
sampai tingkat selanjutnya akan menjadi baik pula.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

497
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Jamaris (2009:202), mengemukakan bahwa menulis adalah alat yang digunakan dalam
melakukan komunikasi mengekspresikan diri. Menurutnya menulis merupakan suatu proses
yang bersifat kompleks karena kemampuan menulis merupakan integrasi dari berbagai
kemampuan seperti: persepsi visual - motor dan kemampuan konseptual yang sangat
dipengaruhi oleh kemampuan kognitif.
Lerner (1985) dalam Abdurrahman (2003:224) mengemukakan bahwa menulis
adalah menuangkan ide - ide ke dalam suatu bentuk visual. Masih dalam Abdurrahman,
Soemarmo Markam (1989) menjelaskan bahwa menulis adalah mengungkapkan bahasa
dalam bentuk simbol gambar. Menulis adalah suatu aktivitas kompleks, yang mencakup
gerakan lengan, tangan, jari, dan mata secara terintegrasi. Tarigan dalam Abdurrahman
mendefinisikan menulis sebagai melukiskan lambang-lambang grafis dari bahasa yang
dipahami oleh penulisnya maupun orang lain yang menggunakan bahasa yang sama dengan
penulis tersebut.
Menurut Poteet (1984) dalam Abdurrahman (2003:224) mengemukakan bahwa
menulis merupakan penggambaran visual tentang pikiran, perasaan, dan ide dengan
menggunakan simbol - simbol sistem bahasa penulisnya untuk keperluan komunikasi.
Masih dalam Abdurrahman (2003:226), Lovitt, (1989) menyatakan bahwa pelajaran
menulis mencakup (1) menulis dengan tangan, (2) mengeja dan (3) menulis ekspresif.
Menulis dengan tangan dan mengeja disebut juga menulis permulaan. Dalam menulis
permulaan, anak menuliskan dengan tangan simbol - simbol bahasa dengan cara menuliskan
satu persatu huruf dari bahasa yang dipelajari (mengeja).
Di dalam menulis dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang phonem,
baik bentuk dan suara dari phonem - phonem yang ditampilkan dalam bentuk huruf hijaiyah,
kemampuan dalam membedakan berbagai bentuk huruf hijaiyah, kemampuan dalam
menentukan tanda baca, kemampuan dalam menyambungkan huruf - huruf hijaiyah dan lain-
lain. Pada tahap menulis Arab permulaan, siswa berusaha menemukan ejaan dan membuat
kata dari huruf - huruf yang diejanya. Kegiatan ini dilanjutkan dengan kegiatan menulis, yaitu
menuliskan huruf yang diejanya menjadi berbagai kata yang diinginkan anak.
Untuk dapat menulis huruf Arab, maka perlu menguasai huruf - huruf Arab,
karakteristik dan bunyinya. Beberapa karakteristik dari huruf Arab tersebut meliputi:
1. Penulisan huruf Arab dimulai dari kanan ke kiri.
2. Jumlah huruf Arab (disebut dengan huruf Hijaiyyah) ada 28 huruf.
3. Terdapat perbedaan penulisan huruf. Huruf - huruf itu ada yang dapat menyambung
dan disambung, ada yang bisa disambung tetapi tidak bisa menyambung. Masing-
masing mempunyai bentuk huruf sesuai posisinya (di depan, tengah, belakang atau
terpisah). Di antara huruf - huruf itu terdapat beberapa huruf yang dapat disambung
dan menyambung dan beberapa huruf yang hanya dapat disambung.
4. Semua huruf Arab adalah konsonan, termasuk alif, wawu dan ya (sering disebut
huruf illat), maka mereka memerlukan tanda vokal (sakal).
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

498
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Di antara 28 huruf hijaiyyah terdapat huruf yang dapat disambung dan menyambung,
ada yang dapat disambung tetapi tak dapat menyambung.
Di bawah ini adalah huruf - huruf yang dapat disambung tetapi tak dapat
menyambung., yaitu:
‫و‬ ‫ز‬ ‫ر‬ ‫ذ‬ ‫د‬ ‫ا‬
Selain enam huruf di atas, semua huruf dapat menyambung dan disambung.
Selain dari hal - hal di muka, terdapat karakteristik lain yang menjadi ciri bahasa Arab,
seperti: (1) adanya tanda syakal sebagai bentuk dari bunyi vokal, (2) adanya tanda syiddah,
mad dan tanwin, (3) banyak huruf yang mirip antara satu dengan yang lainnya, (4) adanya ta
marbuthah (‫ )ة‬dan ta maftuhah (‫)ت‬, (5) terdapat huruf - huruf yang tertulis tapi tidak
dilafalkan (Al Khalifah, 2004:94-95).
Al Khatib (2003:116) mengemukakan bahwa tahap - tahap menulis dalam bahasa
Arab adalah sebagai berikut:
1. Tadarruj (step by step)
2. Proses menulis huruf, baik yang dapat disambung maupun yang terpisah
(tidak dapat disambung)
3. Menulis Naskh.
4. Menulis imla‟
5. Menulis terbatas (muqayyadah) seperti menyempurnakan kalimat
6. Menulis bebas
Dari teori - teori diatas, maka menulis permulaan pada mata pelajaran bahasa Arab
dapat diartikan sebagai kegiatan menuliskan dengan tangan pikiran, dan ide melalui simbol -
simbol huruf Arab dengan cara mengeja yang padanya memiliki aturan sambung
menyambung antar huruf sehingga diperoleh makna yang dimaksud. Jadi aspek yang
diperhatikan pada penelitian ini adalah perangkaian huruf - huruf Arab yang membentuk kata
secara tepat.

Pembelajaran Bahasa Arab pada Siswa kelas III Sekolah Dasar


Pembelajaran Bahasa Arab Sekolah Dasar
Siswa sekolah dasar dalam psikologi perkembangan dikategorikan sebagai masa kanak-
kanak tengah dan akhir. Masa ini berlangsung sekitar usia 6 hingga 11 tahun. Individu pada
masa ini di sebut dengan anak - anak.
Banyak sekali kelebihan yang didapat jika sejak dini anak-anak diberikan pembelajaran
bahasa asing termasuk di dalamnya bahasa Arab, karena pada usia ini anak - anak
mempunyai kemampuan untuk menyamai kemampuan penutur asli. Hal ini dapat terjadi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

499
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

karena anak kecil lebih mudah mengubah bahasa asal mereka. Di titik ini maka anak-anak
memiliki tingkat penguasaan yang lebih tinggi dalam mempelajari bahasa asing (Sternberg,
2008:334).
Pendapat senada diungkapkan McLaughlin, 1978 yang dikutip oleh Beardsmore
(1982:140):
“The young child acquires a language more quickly and more easily than an adult
because the child is biologically programmed to acquire language, whereas the adult is not.”
Demikian juga yang diungkapkan oleh Grosjean (1982:192) mengutip dari Genesee
(1978) berikut ini:
“Young children acquire languages more quickly and with less effort than older
children and adolescents.”
Lebih lanjut Grosjean mengemukakan seperti yang dikutip dari Oyama (1978) bahwa
orang tua lebih sulit mengucapkan pronunciation sebagaimana penutur asli dibandingkan
dengan anak kecil.
Oleh karena masa anak - anak merupakan masa yang ideal dalam mempelajari bahasa
asing, maka pembelajaran bahasa asing harus dirancang sedemikian rupa oleh guru dengan
menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan santai tetapi tetap efektif (tercapai target
pembelajaran) sehingga siswa merasa tertantang dan terpacu untuk mempelajari bahasa asing,
seperti yang diungkapkan oleh Schimach dan Prochazka (1985:23-39):
“Primary foreign language teachers should present the second language in an enjoyable
and relaxed atmosphere, give the children a sense of joy in learning language, and this creates
a positive attitude toward the foreign language.”
Dari paparan di atas, secara umum dapat dipahami bahwa untuk memperoleh tingkat
penguasaan bahasa yang tinggi maka pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing lebih
ideal diajarkan pada usia anak-anak. Hasil ini dapat dicapai ketika anak - anak termotivasi
untuk mempelajari bahasa tersebut. Untuk itu diperlukan proses pembelajaran yang
menyenangkan bagi mereka tanpa keluar dari target yang hendak dicapai melalui penggunaan
metode dan pendekatan yang tepat.

Karakteristik Anak Kelas III Sekolah Dasar


Usia siswa kelas III sekolah dasar biasanya berkisar antara 8 sampai dengan 9 tahun.
Anak - anak pada usia ini menurut Piaget berada pada tahapan operasional konkret, yang
berlangsung kira - kira usia 7 hingga 11 tahun. Pada tahapan ini, pemikiran logis
menggantikan pemikiran intuitif asalkan pemikiran tersebut dapat diaplikasikan menjadi
contoh - contoh yang konkret dan spesifik (Santrock, 2007:255).
Sedangkan dalam pandangan psikologi Gestalt dalam Sternberg (2008:8),
dikemukakan bahwa kita bisa memahami fenomena psikologi saat kita memandang mereka

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

500
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

sebagai sebuah keseluruhan yang terorganisasikan dan terstruktur. Oleh karena itu menurut
pandangan ini, individu terutama anak - anak pada usia dini memandang sesuatu secara
holistik (menyeluruh).
Sementara itu Jones dalam Santrock (2004:295), mengatakan bahwa tugas anak-anak
adalah bermain - main dan bereksperimen. Senada dengan itu, Semiawan (2008:21-22),
menyatakan bahwa kegiatan bermain menjadi kebutuhan bagi anak bahkan untuk anak pada
fase operasional konkret. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, Semiawan berpendapat
bahwa akan ada satu tahapan perkembangan yang berfungsi kurang baik. Ini tidak akan
terlihat secara nyata segera, melainkan baru kelak bila ia sudah remaja. Menurutnya ada 2
(dua) hal yang terkait dengan masalah ini:
1. Perkembangan kognitif anak pada umur ini menunjukkan bahwa ia berada pada
taraf praoperasional sampai pada taraf operasional konkret. Ciri-ciri dari tahap
perkembangan yang ditandai oleh childhood education, adalah perkembangan
bahasa dan kemampuan berpikir memecahkan persoalan dengan menggunakan
lambang tertentu. Makin ia memasuki tahap perkembangan operasi konkret, maka
makin mampu ia berpikir logis, meskipun segala sesuatu pelajaran yang bersifat
formal belum menjadi suasana yang diakrabi secara alamiah. Makin lama maka usai
fase operasional konkret, secara bertahap ia memasuki fase operasi formal.
2. Hal kedua terkait yang dikatakan di muka, berkaitan dengan fungsi otak kita.
Seperti diketahui, bahwa belahan otak kita , kiri dan kanan, memiliki fungsi yang
berbeda - beda. Belahan otak kiri memiliki fungsi, ciri dan respon untuk berpikir
logis, teratur dan linear. Sebaliknya, belahan fungsi otak kanan terutama
dikembangkan untuk mampu berpikir holistik, imaginatif dan kreatif. Bila anak
belajar formal (seperti hafal menghafal) pada umur muda, maka belahan otak kiri
yang berfungsi linear, logis dan teratur amat dipentingkan dalam perkembangannya
dan ini sering berakibat bahwa fungsi belahan otak kanan yang banyak digunakan
dalam berbagai permainan terabaikan. Akibatnya menurut penelitian (Clarck,
1986), kelak akan timbul sering dengan memiliki sikap yang cenderung
bermusuhan terhadap sesama kawan atau orang lain. Jadi belajar sambil bermain
bagi anak umur 4 - 7 tahun bahkan sampai dengan umur 13 atau 14 tahun adalah
sangat penting.
Hal lain yang berkaitan dengan karakteristik anak pada usia 8 – 9 tahun atau siswa
kelas III Sekolah Dasar adalah kecenderungannya dalam mengingat gambar daripada
informasi verbal. Para peneliti menemukan bahwa anak SD yang lebih muda (grade satu
sampai dengan tiga) dapat menggunakan imaji untuk mengingat gambar secara lebih baik
ketimbang jika mereka diminta mengingat materi verbal, seperti kalimat (Santrock,
2004:253).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

501
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan karakteristik anak kelas III SD sebagai berikut:
1.Berpikir konkret.
2.Berpikir secara global (holistik)
3.Masanya bermain
4.Lebih mudah mengingat gambar dari pada informasi verbal.

Metode Taulifiyyah
Kata metode berasal dari kata Yunani: “Meteradon,” yang berarti jalan atau cara. Cara
dalam hal ini berarti cara berbuat, cara bertingkah atau cara kerja (Siahaan dan Ruwiyantoro,
1986:215). Al Khalifah (2004:17), mengatakan bahwa metode adalah hal yang penting yang
harus dilakukan oleh pelaksana pembelajaran. Karena keberhasilan pembelajaran sangat
tergantung dari metode yang digunakan. Lebih lanjut Al Khalifah mengemukakan bahwa
dalam melaksanakan proses pembelajaran seorang guru harus piawai menentukan metode
yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik siswa, isi materi dan tujuan yang ingin
direalisasikan.
Metode taulifiyah adalah metode pembelajaran menulis dan membaca yang di
Indonesia dikenal dengan metode SAS (Struktural Analitis Sintesis). Dalam kamus linguistik
(Kridalaksana, 2008:153), dikemukakan bahwa metode analitis sintesis adalah metode yang
mengajarkan membaca dan menulis permulaan dengan menyajikan unsur-unsur dari satuan -
satuan bahasa dan diikuti oleh satuan - satuan itu secara utuh, kemudian unsur - unsur itu
lagi, menyalinnya secara bertahap mulai dari unsur - unsurnya, lalu satuan itu secara utuh dan
kemudian unsur - unsurnya lagi. Menurut Al Khalifah (2004: 133), metode taulifiyyah
dimulai dengan mengenalkan unsur - unsur bahasa kepada siswa secara utuh terlebih dahulu
kemudian mengenalkan komposisi huruf dan pelafalannya. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa metode taulifiyyah adalah metode struktral analitis sintesis.
Sebagaimana Al Khalifah, Al Khathib (2003:94-97), berpendapat bahwa terdapat
empat tahapan dalam pelaksanaan metode ini yaitu:
1. Tahap persiapan, siswa melafalkan kata dari gambar dengan pelafalan yang
benar.
2. Tahap mengenalkan kata dan kalimat
3. Tahap menguraikan kalimat menjadi kata, selanjutnya kata menjadi bagian-
bagian huruf termasuk harakat dan bunyinya.
4. Tahap menyusun atau mensintesis bagian - bagian huruf dan bunyinya
menjadi kata, kemudian kata menjadi kalimat.
Siahaan dan Ruwiyantoro (1986) mengemukakan bahwa pengertian umum metode
struktural analitis sintesis mengandung arti:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

502
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

a. Pengenalan dan pengamatan sepintas (struktural), maksudnya adalah


pengenalan dan pengamatan secara struktural atau melihat dan mengenal
dari luarnya saja.
b. Pengenalan dan pengamatan lebih jauh (analitis), artinya pengenalan dan
pengamatan dengan cara menganalisis yaitu melihat bagian - bagian.
c. Pengenalan dan pengamatan secara mendalan (sintesis), yaitu mengenal
fungsi atau kegunaan bagian - bagian dalam hubungannya dengan bentuk
keseluruhan, dapat merangkai, memasang atau menyatukan.
Beberapa kelebihan dalam penggunaan metode taulifiyyah menurut Al Khalifah
(2004:134) adalah:
a. Materi menulis berhubungan dengan lingkungan sekitar anak.
b. Menolong siswa untuk lekas berhasil dalam menulis.
c. Sangat memperhatikan pembelajaran bentuk huruf, bunyi huruf dan harakat
sehingga memungkinkan siswa untuk terampil menulis khat dan imla‟.
d. Melatih siswa membaca dengan melafalkan dan membentuk siswa menjadi
percaya diri.
e. Sangat memperhatikan keterampilan berbahasa yang lain seperti membaca,
memahami, mencari makna. Selain itu siswa mampu melafalkan huruf
dengan benar.
f. Jika dihadapkan pada kata yang belum diajarkan, siswa mampu menulis dan
melafalkannya dengan baik karena siswa memahami huruf dan bunyinya
dengan baik.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif berbentuk action resaerch" yang bertujuan
meningkan keterampilan menulis permulaan bahasa Arab permulaan melalui penerapan
metode taulifiyyah pada siswa kelas III SD Model Insan Madani Bekasi. Subjek penelitian
adalah siswa kelas III SD Model Insan Madani dengan jumlah 28 siswa yaitu 13 siswa
perempuan dan 15 siswa laki-laki.
Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk siklus dengan menggunakan model siklus
yang mengacu pada model Kemmis dan MC. Taggart. Masing - masing siklus mempunyai
langkah-langkah meliputi: observasi awal, perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan
interpretasi,dan refleksi.
Peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai peneliti, perencana, pelaksana
tindakan sekaligus sebagai pembuat laporan penelitian. Sebagai pelaksana tindakan dalam
penelitian ini, peneliti dibantu oleh teman sejawat yang berperan sebagai kolaborator
(pengamat). Peneliti langsung melakukan kegiatan pembelajaran dan berusaha sebanyak
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

503
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mungkin mengumpulkan data sesuai fokus penelitian. Dengan perannya tersebut, diharapkan
data yang akan diperoleh merupakan data yang akurat.
Pencapaian keberhasilan dari setiap tindakan yang dilaksanakan adalah dilihat dari:
1. Hasil pengamatan terhadap pembelajaran guru mencapai 100% yang artinya
bahwa pembelajaran tuntas dilaksanakan (mastery learning).
2. Peningkatan keterampilan menulis permulaan siswa kelas III Sekolah Dasar
tentang merangkai huruf - huruf yang membentuk kata dalam bahasa Arab, yang
ditandai dengan perolehan data dalam proses pembelajaran dengan menggunakan
metode taulifiyyah.
3. Perubahan hasil belajar dimana ketuntasan belajar dikatakan berhasil jika nilai
yang diperoleh siswa meningkat. Jika mencapai 80% siswa yang memperoleh nilai
minimal 80, maka tindakan dinyatakan berhasil.
Sumber data dalam penelitian ini adalah: (1) Sumber data pemantau tindakan atau
lembar pengamatan terhadap seluruh kegiatan pembelajaran, (2) Catatan lapangan dan (3)
Data yang diperoleh langsung dari penelitian hasil pembelajaran keterampilan menulis
permulaan tentang merangkai huruf pada pembelajaran bahasa Arab siswa kelas III SD
Model Insan Madani Bekasi.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Setelah dilakukan tindakan pada siklus I, dari hasil Tes Akhir I diperoleh data bahwa
13 siswa atau 47% siswa mampu mendapatkan nilai antara 8.1 s/d 10, 8 orang siswa atau
28% mendapat nilai antara 6.1 s/d 8, 2 orang siswa atau 8% siswa mendapat nilai antara
3.1 s/d 6. Dan 17% atau 4 siswa yang mendapat nilai antara 0 s/d 3. Hal ini menunjukkan
bahwa metode taulifiyyah dapat dinyatakan berhasil meningkatkan keterampilan menulis
permulaan bahasa Arab. Hanya saja pada siklus ini belum tercapai target yang diharapkan
yaitu 80% siswa mendapatkan nilai antara 8.1 s/d 10. Hasil penelitian pada Siklus I
menunjukkan peningkatan jumlah nilai rata-rata sebesar x = 2,19 dibandingkan sebelum
dilakukan tindakan sebesar x = 1,68.
Sementara itu keterlaksanaan langkah – langkah pembelajaran menggunakan metode
taulifiyyah pada siklus I belum tercapai 100% karena masih adanya siswa yang mengobrol
dan tidak mau menulis.
Berdasarkan hasil penilaian kolaborator dan peneliti baik melalui hasil tes maupun
catatan lapangan terhadap keterampilan menulis permulaan bahasa Arab telah mengalami
peningkatan, tapi belum maksimal karena masih belum tercapai hasil yang ditargetkan
peneliti. Hal ini disebabkan karena durasi waktu yang relatif singkat yakni 60
menit/pertemuan dan pertemuan yang hanya dilakukan selama dua kali sehingga tindakan
dalam peningkatan menulis permulaan bahasa Arab dianggap belum cukup.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

504
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Beberapa temuan yang diperoleh melalui catatan lapangan pada siklus I diantaranya
sebagai berikut:
(1) Pembelajaran sempat terhambat karena persiapan infokus sehingga waktu yang
digunakan untuk pembelajaran berkurang.
(2) Masih terdapat anak yang kurang semangat dan belum mau menulis.
(3) Guru tidak menulis di papan tulis.
Oleh karena itu sesuai dengan perencanaan tindakan dan kesepakatan antara peneliti
dan kolaborator agar tercapai hasil yang telah ditargetkan maka penelitian dilanjutkan ke
siklus berikutnya yaitu siklus II.
Selanjutnya setelah dilakukan tindakan pada siklus II, hasil Tes akhir pada siklus II
diperoleh data bahwa 23 orang atau 82% siswa mampu mendapat nilai antara 8.1 s/d 10, 4
orang siswa atau 14% mendapat nilai antara 6.1 s/d 8, 1 siswa atau 3 % siswa mendapat
nilai antara 3.1 s/d 6. 0% yang mendapat nilai antara 0 s/d 3. Hal ini menunjukkan bahwa
metode taulifiyyah dapat dinyatakan berhasil meningkatkan keterampilan menulis permulaan
bahasa Arab.
Sementara itu keterlaksanaan langkah – langkah pembelajaran menggunakan metode
taulifiyyah pada siklus II telah tercapai 100% karena pada siklus ini seluruh siswa
memperhatikan penjelasan guru dan menyalin tulisan ke dalam buku tulis.
Berdasarkan penghitungan statistik deskriptif yang dilakukan penulis diperoleh nilai
rata-rata keterampilan menulis permulaan bahasa Arab sebelum diadakan penelitian melalui
metode taulifiyyah sebesar 1.68; dan rata-rata kemampuan menulis permulaan bahasa Arab
sesudah dilakukan tindakan melalui metode taulifiyyah pada Siklus II sebesar 2.79. Pada
Siklus II telah diperoleh hasil yang diharapkan sebagaimana yang ditargetkan peneliti dimana
80% siswa dapat mencapai nilai 8.1 s/d 10 atau skala 3. Pada siklus II, siswa yang
memperoleh nilai 8.1 – 10 telah mencapai 82 %.
Beberapa temuan yang diperoleh melalui catatan lapangan pada siklus II diantaranya
sebagai berikut:
(1) Pembelajaran pada seluruh tindakan di siklus II dilaksanakan tepat pada waktunya.
(2) Seluruh siswa terlihat antusias dan bersemangat dalam belajar.
(3) Seluruh siswa melakukan kegiatan menulis yang dicontohkan guru di papan tulis
dan terlibat dalam kegiatan evaluasi
Merujuk pada analisis data pada siklus II, telah tercapai kriteria keberhasilan yang
ditentukan yaitu 80% siswa memperoleh nilai antara 8.1 s/d 10. Dengan indikasi demikian
maka penelitian ini dihentikan pada siklus II dan tidak dilanjutkan pada siklus berikutnya
karena penelitian dianggap telah berhasil.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

505
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kesimpulan
Keterampilan menulis permulaan merupakan keterampilan yang harus dikuasai siswa
dalam mempelajari suatu bahasa sebelum menuju pada keterampilan menulis lanjut.
Pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh siswa pada pembelajaran menulis permulaan
tersebut akan menjadi dasar dalam peningkatan dan pengembangan kemampuan siswa pada
jenjang selanjutnya. Apabila pembelajaran menulis permulaan yang dikatakan sebagai acuan
dasar tersebut baik dan kuat, maka diharapkan hasil pengembangan keterampilan menulis
sampai tingkat selanjutnya akan menjadi baik pula. Salah satu cara agar siswa mampu menulis
suatu bahasa dengan terampil adalah dengan dilatihkan secara terus menerus dan penuh
kesabaran. Sebab menulis bukanlah suatu proses yang mudah dan spontan, apalagi bagi anak -
anak yang baru mempelajari suatu bahasa yang simbol hurufnya sangat berbeda dengan
bahasa ibunya seperti halnya mempelajari bahasa Arab.
Di samping berlatih secara terus menerus, agar tercapai hasil yang maksimal maka
diperlukan metode yang tepat dalam bagaimana mengajarkan menulis. Di sinilah kepiawaian
guru dipertaruhkan. Guru harus pandai memilah metode yang tepat untuk digunakan pada
proses pembelajaran yang sesuai dengan materi dan karakteristik anak.
Pemberian metode taulifiyyah dalam pembelajaran menulis permulaan bahasa Arab
dapat dikombinasikan dengan tehnik permainan yang sesuai dengan perkembangan anak
sehingga pembelajaran tidak membosankan dan menjenuhkan bagi siswa. Demikian juga,
diperlukan media dan alat peraga yang tepat guna sehingga metode taulifiyyah dapat menjadi
alternatif dalam meningkatkan keterampilan menulis permulaan bahasa Arab.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa metode taulifiyyah
dapat digunakan dalam meningkatkan keterampilan menulis permulaan bahasa Arab siswa.
Hal ini dapat dibuktikan melalui analisis data secara statistik dimana ada perbedaan yang
signifikan terhadap kegiatan peningkatan keterampilan menulis permulaan bahasa Arab pada
siklus I dan siklus II di kelas III SD Model Insan Madani Bekasi.
Selanjutnya, implikasi yang diharapkan dari penelitian tindakan ini adalah:
1. Guru dapat memahami bahwa metode taulifiyyah adalah metode yang tepat dalam
pembelajaran menulis permulaan karena dengan menggunakan metode ini siswa tidak hanya
mampu menulis kata bahasa Arab tapi juga mampu menganalis kata tersebut menjadi huruf
perhuruf sehingga ketika siswa diminta menulis kata yang belum diajarkannya, siswa mampu
menuliskannya dengan baik karena siswa memahami huruf dan bunyinya dengan baik.
2. Dalam penggunaan metode ini, diperlukan kemampuan guru dalam merancang pembelajaran
dengan tehnik yang tepat dan media yang tepat guna.
3. Pengelola sekolah perlu menyediakan alat - alat, sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
pembelajaran khususnya pada pembelajaran menulis bahasa Arab.
4. Guru berusaha selalu meng-up date metode - metode pembelajaran yang berkembang sehingga
tidak terjebak pada metode yang seharusnya tidak layak lagi digunakan dalam pembelajaran
khususnya pada pembelajaran bahasa Arab.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

506
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Mulyono., Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Al Khalifah, Hasan Ja‟far, Fushul fi at-Tadriis al-Lughah al-„Arabiyyah. Riyadh : Maktabah Rusyd,
2004.
Al Khathib, Muhammad bin Ibrahim, Tharaiq Ta‟limu Al-Lughah Al –„Arabiyyah. Riyadh: At-
Taubah, 2003.
Beardsmore, Hugo Baetens, Bilingualism: Basic Principles. England: TIETO LTD, 1982.
CD. 01, Dokumen Guru Mata Pelajaran Bahasa Arab kelas 3 SMIM Insan Madani Bekasi, 2010.
Grosjean, Francois, Life With Two Language. Cambridge: Harvard University Press, 1982.
Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Jamaris, Martini, Kesulitan Belajar: Perspektif, Assesment Dan Penanggulangannya. Jakarta: Yayasan
Penamas, 2009.
Santrock, John W., Educational Psychology, Second Edition. New York: Mc Graw-Hill, 2004.
Santrock, John W., Perkembangan Anak, terjemahan Mila Rachmawati. Jakarta: Erlangga, 2007.
Semiawan, Conny R., Belajar dan Pembelajaran Pra Sekolah dan Sekolah Dasar . Jakarta: Indeks,
2008.
Schimach, Franz and Prochazka, Anton, English in Primary School (English Teaching Forum,
23:39, july, 1985).
Siahaan, Bistok A. dan Ruwiyantoro, Perencanaan Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Karunika
UT, 1986.
Sternberg, Robert J., Cognitive Psichology, terjemahan Yudi Santoso . Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

507
Sujiyo Miranto, Sa’datul Ummah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: sujiyo@uinjkt.ac.id, usadaummah@gmail.com
Abstract. This study aims to determine the profile of environmental learning in South Tangerang
Senior High School. The study was conducted in January and February 2018.Research subject is
biology teacher as many as 12 people. This research uses descriptive method with survey technique.
Data were collected using questionnaire with direct interview technique to the respondent. The
result of the research shows that: (1) The learning model used by the teacher in environmental
learning are problem base learning model (66.66%), discovery model (9%), projeck base learning
model 8%, environmental learning model (8% ) and case study model (8%); (2) The learning
media used by teachers in environmental learning are picture media (36,84%), film media (26,32%),
school environment media (26,32%), props (5,26%) and goods traces (5.26%); (3) Types of
evaluations used by teachers in environmental learning are performance tests (14%), portfolios
(27%), making projects (27%), formative tests (23%), summative tests (4%) and questionnaire
about attitude (5%).

Keywords: model, media and evaluation of environmental learning

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pembelajaran lingkungan di Sekolah
Menengah Umum Negeri Se-Kota Tangerang Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari dan
Februari 2018. Subjek penelitian adalah guru biologi kelas IX sebanyak 12 orang. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dengan teknik survei. Data diambil menggunakan kuesioner dengan
teknik wawancara langsung terhadap responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Model
pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran lingkungan adalah model problem base
learning (66,66%), model discovery (9%), model project base learning (8%), model
environmental learning (8%) dan model studi kasus (8%); (2) Media pembelajaran yang
digunakan guru dalam pembelajaran lingkungan adalah media gambar (36,84%), media film
(26,32%), media lingkungan sekolah (26,32%), alat peraga (5,26%) dan barang bekas (5,26%);
(3) Jenis evaluasi yang digunakan guru dalam pembelajaran lingkungan adalah tes performance
(14%), portofolio (27%), membuat proyek (27%), tes formatif (23%), tes sumatif (4%) dan
angket tentang sikap (5%).

Kata Kunci: model, media dan evaluasi pembelajaran lingkungan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Pendidikan lingkungan hidup adalah upaya mengubah perilaku dan sikap yang
dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai lingkungan yang
pada akhirnya dapat menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya
kelestarian dan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan
datang. (Pratomo dan Barlia, 2006: 5).
Pembelajaran berbasis lingkungan adalah pembelajaran yang menekankan lingkungan
sebagai media atau sumber belajar. Pembelajaran berbasis lingkungan merupakan
implementasi dari pendidikan lingkungan yang dilakukan secara formal
Evaluasi yang dilakukan Kementrian Negara Lingkungan Hidup Tahun (2008),
pendidikan lingkungan hidup di Indonesia kurang berkembang disebabkan oleh: (1)
kebijakan pendidikan nasional yang lemah ; (2) lemahnya kebijakan pendidikan daerah; (3)
lemahnya unit pendidikan (sekolah-sekolah) untuk mengadopsi dan menjalankan perubahan
sistem pendidikan yang dijalankan menuju pendidikan lingkungan hidup; (4) lemahnya
masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan dewan perwakilan rakyat untuk mengerti
dan ikut mendorong terwujudnya pendidikan lingkungan hidup; (5) lemahnya proses-proses
komunikasi dan diskusi intensif yang memungkinkan terjadinya transfer nilai dan
pengetahuan guna pembaruan kebijakan pendidikan yang ada.
Pelaksanaan pembelajaran pendidikan lingkungan hidup mengalami hambatan yang
bervariasi, antara lain keterbatasan perangkat pembelajaran, materi belum sesuai dengan
kurikulum, keterbatasan sumber belajar dan media pembelajaran yang relevan, struktur
pembelajaran belum terorganisasi dengan baik, terjadi kesalahan konsep pada materi
pembelajaran serta belum diintegrasikannya teknologi di dalam pembelajaran (Lismianingsih,
2010).
Menurut Muniandy (2007) efektivitas proses pembelajaran dan hasil pembelajaran
tidak dapat terwujud hanya dengan inovasi dalam teori belajar, metode, atau teknologi secara
terpisah-pisah. Pembelajaran lingkungan berbeda dengan pembelajaran biologi pada
umumnya karena pembelajaran lingkungan memerlukan keberanian untuk mencari metode
dan membangun paradigma baru. Fenomena yang selalu terjadi dalam dunia pendidikan di
era global ialah selalu tertinggalnya perkembangan dunia pendidikan itu sendiri jika
dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi, dan dunia bisnis yang
mengiringinya (Lisminingsih, 2010)
Pemerintah sendiri sesungguhnya telah memberikan perhatian yang cukup besar
terhadap pendidikan lingkungan dengan membuat kebijakan khusus tentang sekolah
Adiwiyata. Program Adiwiyata ini berusaha mengembangkan sekolah peduli dan berbudaya
lingkungan (Menteri Lingkungan Hidup, 2013:5). Program Adiwiyata mengemban misi
men- dorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian
lingkungan hidup (Menteri Lingkungan Hidup, 2011). Pelaksanaan program didasarkan
pada empat standar implementasi, yaitu (1) kebijakan sekolah berbasis lingkungan; (2)
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

509
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

kurikulum berbasis lingkungan; (3) kegiatan lingkungan bersifat partisipatif; dan (4)
pengelolaan sarana dan prasarana ramah lingkungan.
Progran adiwiyata ini sudah diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan sampai
sekarang masih dilanjutkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang
bertujuan agar dapat mewujudkan sekolah yang memiliki rasa peduli terhadap lingkungan,
menciptakan kondisi yang lebih baik bagi sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan
penyadaran dalam upaya pelestarian lingkungan hidup, mendorong sekolah agar ikut
berperan dalam pelestarian lingkungan hidup jangka panjang begitupun dalam menumbuhkan
rasa tanggung jawab dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup yang berkelanjutan
dan memiliki budaya lingkungan hidup melalui kegiatan pembinaan, penilaian dan
pemeberian pengharagaan adiwiyata kepada sekolah. Pedoman pelaksanaan program
Adiwiyata diatur dalam peraturan Menteri LH Nomor 5 Tahun 2013.
Pendidikan lingkungan hidup menjadi komitmen global dalam mengatasi masalah
lingkungan. Sebagaimana yang disampaikan Muhaimin (2014: 5), United Nation Conference
on Environment and Development men- definisikan pendidikan lingkungan hidup sebagai.
a proses aimed at developing a world population that is aware of and concerned about
the total envi- ronment and its associated problems, and which has the knowledge, attitudes,
motivations, commitments, and skills to work individually and collectively to- ward solutions
of current problems and the preven- tion of new ones.
Definisi tersebut merupakan penjabaran dari visi pendidikan lingkungan hidup dan
komitmen global dalam menghadapi permasalahan lingkungan hidup. Indonesia
memposisikan program Adiwiyata sebagai perwujudan pendidikan lingkungan hidup.
Implementasi dari standar terkait kualitas pendidik adalah: (1) Menerangkan
pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara
aktif dalam pembelajaran; (2) Mengembangkan isu lokal dan/ atau isu global sebagai materi
pembelajaran lingkungan hidup sesuai dengan jenjang pendidikan; (3) Mengembangkan
indikator dan instrumen penilaian pembelajaran lingkungan hidup; (4) Menyusun rancangan
pembelajaran yang lengkap, baik untuk kegiatan di dalam kelas, laboratorium, maupun di luar
kelas; (5) Mengikutsertakan orangtua peserta didik dan masyarakat dalam program
pembelajaran lingkungan hidup; (6) Mengkomunikasikan hasil inovasi pembelajaran
lingkungan hidup; (7) Mengkaitkan pengetahuan konseptual dan prosedural dalam
pemecahan masalah lingkungan hidup, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan standar 2 terkait dengan kualitas hasil pembelajaran berbasis lingkungan dengan
indikator: (1) Menghasilkan karya nyata yang berkaitan dengan pelestarian fungsi lingkungan
hidup, mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup; (2) Menerapkan
pengetahuan lingkungan hidup yang diperoleh untuk memecahkan masalah lingkungan hidup
dalam kehidupan seharihari; (3) Mengkomunikasikan hasil pembelajaran lingkungan hidup
dengan berbagai cara dan media.
Menurut Trianto (2010) model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola
yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

510
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pembelajaran tutorial Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang


akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan
pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Lieberman (1998) berpendapat bahwa pendidikan lingkungan memiliki strategi
sebagai berikut; 1) memberikan pengalaman belajar hands-on melalui kegiatan berbasis
proyek, 2) mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi terhadap lingkungan
hidup.
Neal (1995) menyatakan untuk meningkatkan kesada- ran siswa terhadap lingkungan
maka siswa perlu dimotivasi untuk tertarik, kemudian dibimbing un- tuk melakukan
observasi.
Kenyataannya, meskipun pembelajaran lingkungan yang terintegrasi dalam
pembelajaran biologi sudah diberikan sejak Sekolah Dasar, tetapi belum mampu membekali
siswa dengan pengetahuan dan sikap peduli terhadap lingkungan (Risda Amini dan A.
Munandar, 2010). Untuk dapat mengajarkan pendidikan lingkungan dan menanamkan sikap
peduli lingkungan kepada siswa, guru perlu meningkatkan pengetahuannya tentang
pendidikan lingkungan dan cara menanamkan sikap peduli lingkungan, termasuk memahami
dan mengaplikasi model, media dan evaluasi yang sesuai dengan pembelajaran lingkungan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pembelajaran lingkungan di Sekolah
Menengah Umum Negeri Se-Kota Tangerang Selatan sehingga fokus penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut: (1) Model pembelajaran apakah yang digunakan guru dalam
pembelajaran lingkungan di SMUN Kota Tangerang Selatan? (2) Media pembelajaran
apakah yang sering digunakan guru dalam pembelajaran lingkungan di SMUN Kota
Tangerang Selatan? (3) Jenis evaluasi pembelajaran apakah yang digunakan guru dalam
pembelajaran lingkungan di SMUN Kota Tangerang Selatan?
Pembelajaran lingkungan di SMUN Kota Tangerang Selatan perlu dianalisis,
diidentifikasi hambatannya, dan diperkirakan upaya yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran lingkungan tersebut

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi pembelajaran lingkungan hidup di SMUN
Kota Tangerang Selatan berjumlah 12 sekolah.
Data dijaring dari partisipan dengan menggunakan teknik survei dengan cara
melakukan wawancara kepada guru biologi dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum.
Wawancara terhadap partisipan dilakukan hingga mendapatkan informasi yang memadai
untuk dianalisis. Teknik pengumpulan data menggunakan triangulasi yang terdiri dari
gabungan observasi partisipan, angket, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Analisis data dilakukan selama dan setelah data terkumpul. Data kualitatif dan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

511
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

kuantitatif yang diperoleh dari berbagai sumber dengan menggunakan teknik triangulasi
kemudian dianalisis. Hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif digabungkan untuk
memperoleh hasil penelitian. Tahap-tahap penelitian terdiri dari kegiatan pendahuluan,
penyusunan kisi-kisi butir yang akan dianalisis, pengembangan instrument pengumpul data,
menetapkan partisipan sementara, perekaman informasi, reduksi data, pemolaan, pemilihan
data penting, pembuatan kategori, dan pembuatan kesimpulan atau verifikasi untuk
selanjutnya dibuat pelaporannya

Hasil dan Pembahasan


Temuan Berdasarkan Latar Belakang Guru
Guru Biologi di Kota Tangerang Selatan memiliki latar belakang pendidikan yang
berbeda. Jika dilihat dari guru-guru biologi yang terdapat pada 12 SMUN ditemukan bahwa
tidak seluruh guru berlatar belakang sarjana pendidikan biologi. Terdapat 9 guru atau 75 %
berlatar belakang sarjana pendidikan biologi dan terdapat 3 guru atau 25 % guru berlatar
belakang sarjana nonpendidikan Biologi. Visualisasi data latar belakang pendidikan guru
tersaji pada gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Latar belakang pendidikan guru

Berdasarkan data pada gambar 1 di atas, guru yang tidak memiliki latar belakang
pendidikan, harus lebih memperbaiki kemampuan kompetensinya terutama kompetensi
profesionalisme yang dapat dilakukan melalui pendidikan ataupun pelatihan-pelatihan
khusus yang diadakan oleh pemerintah. Sehingga diharapkan guru tersebut dapat memenuhi
kompetensi profisionalnya sebagai seorang guru meskipun tidak memiliki latar belakang
pendidikan.
Dari dua belas guru biologi kelas sepuluh di SMAN Se-Tangerang Selatan, didapatkan
dua guru atau sekitar 16,67% guru yang memiliki latar belakang nonkependidikan, namun
kedua guru tersebut telah mengikuti (PLPG), sehingga kompetensi perofesionalisme sebagai
seorang guru dapat dipenuhi dengan baik.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

512
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berkenaan dengan latar belakang pendidikan terdapat satu sekolah dimana guru biologi
yang mengajar kelas sepuluh mengajar tidak sesuai bidangnya, dengan kata lain guru tersebut
bukanlah berlatar belakang sarjana Pendidikan Biologi melainkan sarjana Pendidikan Ilmu
Komputer. Hasil wawancara menunjukkan bahwa guru tersebut kurang menguasai model,
media, dan evaluasi pembelajaran konsep lingkungan. Sedangkan untuk materi pembelajaran
biologi guru tersebut cukup menguasai karena telah mengajar selama 23 tahun. Materi
tentang lingkungan didapatkan dengan membaca dan mempelajari dari sumber lain.
Sementara itu berkenaan dengan latar belakang status sekolah adiwiyata dan non
adiwiyata, tersaji pada gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Latar belakang sekolah berdasarkan status adiwiyata

Berdasarkan latar belakang sekolah jika dilihat dari satu adiwiyata dan nonadiwiyata,
terdapat dua sekolah (16.67%) berstatus adiwiyata mandiri, satu sekolah (8.33%) berstatus
adiwiyata nasional mendiri, empat sekolah (32.78%) berstatus adiwiyata propinsi dan lima
sekolah (41.66%) berstatus non adiwiyata.
Jika dicermati lebih mendalam tentang kapan pencapaian status sekolah Adiwiyata
diperoleh, dapat dijelaskan sebagai berikut. SMUN Negeri 9 Tangerang Selatan meraih
status sebagai Sekolah Adiwiyata Tingkat Nasional pada tahun 2011, sekolah ini adalah
sekolah pertama di Tangerang Selatan yang meraih status sebagai sekolah Adiwiyata. Pada
tahun 2013 kembali meraih status nasional dan dalam tingkatan yang lebih baik yaitu
sebagai sekolah Adiwiyata Nasional Mandiri, dengan usia sekolah yang tergolong muda pada
saat itu karena SMUN 9 Tangerang Selatan adalah sekolah yang berdiri pada tahun 2005.
SMUN 2 Tangerang Selatan mendapatkan penghargaan sebagai Sekolah Adiwiyata
Nasional Mandiri pada tahun 2014. Sekolah ini meraih sekolah terbaik dari segi kurikulum,
sarana prasarana, prestasi akademik dan nonakademik yang ada di wilayah Kota Tangerang
Selatan.
SMUN 7 Kota Tangerang Selatan berhasil mendapatkan penghargaan sebagai Sekolah
Adiwiyata Nasional pada tahun 2016. Sekolah Adiwiyata Nasional Mandiri lebih tinggi
tingkatannya dengan sekolah Adiwiyata Nasional meskipun keduanya sama dalam
penghargaan tingkat nasional dan diselenggarakan oleh Mentri Lingkungan Hidup dan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

513
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kehutanan.
SMUN di Kota Tangerang Selatan lainnya yang mendapatkan penghargaan Adiwiyata
di tingkat Provinsi adalah SMA Negeri 4 Kota Tangerang Selatan, SMA Negeri 3 Kota
Tangerang Selatan, SMA Negeri 12 Kota Tangerang Selatan, dan SMA Negeri 1 Kota
Tangerang Selatan.
Temuan penelitian bekenaan dengan keikutsertaan guru biologi dalam pelatihan
khusus tetntang materi pembelajaran lingkungan diperoleh data terdapat 4 guru (33,33%)
belum pernah mendapatkan pelatihan khusus tentang materi pembelajaran lingkungan dan
terdapat 8 guru atau (66,66%) belum pernah mendapatkan pelatihan khusus tentang materi
pembelajaran lingkungan

Gambar 3. Keterlibatan guru dalam pelatihan pembelajaran lingkungan

Data pada tabel di atas selaras dengan hasil penelitian Muniandy (2007) bahwa
efektivitas proses pembelajaran dan hasil pembelajaran tidak dapat terwujud hanya dengan
inovasi dalam teori belajar, metode, atau teknologi secara terpisah-pisah. Hal ini karena
pembelajaran lingkungan berbeda dengan pembelajaran biologi pada umumnya. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa guru biologi yang pernah mendapatkan pelatihan khusus
tentang model pembelajaran lingkungan lebih sedikit dibanding dengan yang belum pernah
mendapatkan pelatihan model pembelajaran lingkungan.
Hasil penelitian tentang keikutsertaan guru dalam pelatihan tentang model-model
pembelajaran khusus tentang lingkungan diperoleh data terdapat 2 guru (16.7%) pernah
mendapatkan pelatihan khusus tentang model pembelajaran lingkungan dan 10 guru
(83.3%) belum pernah mendapatkan pelatihan khusus tentang model pembelajaran
lingkungan seperti tercantum dalam gambar berikut.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

514
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 4. Keikutsertaan guru dalam pelatihan model pembelajaran lingkungan

Guru biologi yang mengajar pendidikan lingkungan di sekolah sangat berperan


langsung kepada siswanya. Pendidikan lingkungan harus semaksimal mungkin diberikan agar
generasi kedepan memiliki kesadaran akan pentingnya lingkungan yang baik dan sehat untuk
kelangsungan hidupnya, salah satu bekal yang mendasar agar guru dapat memberikan
pendidikan lingkungan kepada siswanya adalah materi lingkungan yang memadai dimiliki
guru tersebut. Materi dan pelatihan khusus mengenai lingkungan yang diperoleh guru dari
lembaga pemerintah yang lebih memahami lingkungan secara mendalam dapat dijadikan
bekal yang cukup bagi guru untuk memeberikan pendidikan lingkungan kepada siswanya.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa guru Biologi yang mengajar di SMUN Se-
kota Tangerang sebagian besar guru belum pernah mendapatkan pelatihan khusus tentang
materi pembelajaran lingkungan dibandingkan dengan guru yang pernah mendapatkan
pelatihan khusus tentang materi pembelajaran lingkungan. Padahal lebih dari 50% sekolah
SMAN yag berada di wilayah Kota Tangerang Selatan merupakan sekolah yang menyandang
gelar Adiwiyata. Dengan demikian perlunya diberikan pelatihan khusus tentang materi
pembelajaran lingkungan bagi semua guru yang memberikan pembelajaran dan pendidikan
lingkungan disekolah agar pembelajaran pendidikan lingkungan di sekolah berjalan maksimal
dan tersampaikan dengan baik kepada siswa. Siswa yang mendapat pembelajaran
lingkungan yang baik, maka siswa tersebut akan memiliki ilmu dan keterampilan yang
kemudian siswa ini dapat menerapkannya di keluarga dan lingkungan masyarakatnya maka
tidak menutup kemungkinan lingkungan di masa yang akan datang akan lebih terjaga karena
memiliki manusia-manusia yang sadar lingkungan.

Temuan Model Pembelajaran Lingkungan


Data penelitian tentang model pembelajaran yang banyak digunakan dalam
pembelajaran lingkungan di SMUN Tangsel terdapat pada gambar 5 berikut ini.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

515
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 5. Model pembelajaran yang sering digunakan dalam pembelajaran lingkungan

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa model-model pembelajaran lingkungan yang
digunakan guru di SMUN sekota Tangsel adalah model problem base learning (66.67%),
model pembelajaran discovery (8.33%), model pembelajaran projeck base learning (8.33%),
model pembelajaran enviromental leaarning (8.33%), model pembelajaran studi kasus
(8.33%) Data ini mendukung penelitian Neliana (2016).
Model pembelajaran PBL memiliki hubungan yang erat dengan konsep pembelajaran
lingkungan, langkah-langkah model pembelajaran PBL mampu menggali sikap siswa terhadap
kepedulian lingkungan dan membuat siswa berfikir untuk menemukan solusi terhadap
permasalah lingkungannya, dengan ini akan tumbuh dan meningkatnya sikap siswa terhadap
lingkungan.
Penggunaan model PBL memudahkan siswa mempelajari konsep lingkungan dari
masalah yang ada dalam kehidupan nyata, karena siswa mengalami secara langsung apa yang
mereka pelajari sehingga akan menimbulkan ingatan jangka panjang dalam diri siswa. Siswa
belajar dari mulai melakukan pengamatan terhadap masalah lingkungan, kemudian
menemukan masalah, berhipotesis, bereksperimen, mengumpulkan data-data hingga akhirnya
mampu menemukan solusi dan menarik kesimpulan dari hasil yang didapatkan, dimana PBL
adalah pembelajaran Inquiry yang langkah-langkahnya seperti seorang ilmuan dalam
melakukan eksperimen.

Temuan Media Pembelajaran Lingkungan


Hasil penelitian tentang media yang sering digunakan guru dalam pembelajaran
lingkungan di SMUN se Tangerang Selatan adalah media bahan sisa habis pakai 5.26 %,
media alat peraga 5.26 %, media videa atau film 26.32 %, media gambar atau berita 36.84
%, media taman garden 26.32 %. Data selengkapnya tersaji pada gambar 6 berikut ini.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

516
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

36.84%
26.32% 26.32%

5.26% 5.26%

Gambar 6. Media yang sering digunakan dalam pembelajaran lingkungan

Dalam pemilihan model-model pembelajaran yang akan diterapkan dalam


pembelajaran, sebaiknya seorang guru mempertimbangkan dengan dasar pertimbangan
pemilihan model pembelajaran terlebih dahulu agar konsep lingkungan yang disampaikan
kepada siswa dengan model pembelajaran sesuai sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai
dengan baik.
Dengan satu konsep yang sama guru dapat menggunakan model pembelajaran yang
berbeda-beda, tergantung situasi lingkungan sekolah, kemampuan guru, kemampuan siswa,
tujuan yang hendak dicapai, bahan atau materi yang tersedia disekolah dan lain sebagainya.
Dalam penelitian kali ini peneliti mengumpulkan data mengenai model-model
pembelajaran yang digunakan oleh guru-guru biologi kelas sepuluh di SMA Negeri Se-Kota
Tangerang Selatan, didapatkan hasil banyak guru yang menggunakan model pembelajaran
yang sama dalam satu konsep yaitu pencemaran lingkungan.
Ditemukan 5 model pembelajaran yang diterapkan oleh guru biologi kelas X SMA
Negeri se-Kota Tangerang Selatan yaitu: Discovery, Problem Based Learning, Project Based
Learning, Enviromental Learning, dan Studi Kasus.
Didapatkan sebanyak 66,66% guru yang menerapkan model pembelajaran PBL dalam
konsep lingkungan, jumlah ini menunjukan jumlah yang cukup besar karena berarti 8 dari 12
guru menggunakan model pembelajaran PBL dalam menerapkan pembelajaran konsep
lingkungan. Jika seorang guru dapat memahami secara baik model pembelajaran PBL, model
ini memang paling sesuai dengan konsep lingkungan dan sangat membantu dalam mencapai
tujuan pembelajaran lingkungan dibandingkan dengan model pembelajaran lannya, karena
inti dari pembelajaran konsep perubahan lingkungan adalah memecahkan masalah yang
terjadi dalam lingkungan nyata. Namun tidak menutup kemungkinan juga guru berhasil
mencapai tujuan pembelajaran konsep lingkungan dengan model pembelajaran selain PBL,
karena bukan hanya saja model pembelajaran yang menunjang keberhasilan guru dalam
mencapai tujuan pembelajaran melainkan masih banyak faktor lain yang mempengaruhinya,
namun model pembelajaran memiliki porsi yang cukup besar tehadap berhasil atau tidaknya
proses pembelajaran.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

517
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Jika guru kurang tepat memilih model pembelajaran yang akan diterapkan dalam
konsep lingkungan maka kemungkinan pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik karena
ketidakserasian antara konsep lingkungan dan model pembelajaran yang digunakan, bahkan
kemungkinan besar tujuan dari pembelajaran lingkungan sendiri tidak akan tercapai dengan
baik.
Hasil penelitian tentang sumber media sering digunakan guru dalam pembelajaran
lingkungan untuk konsep perubahan lingkungan, diperoleh data 50% guru memilih
mengembangkan sendiri media yang akan digunakan dalam pembelajaran konsep lingkungan,
41,66% guru mengambil media pembelajaran dari internet, dan sisanya 8,33% guru memilih
sumber yang lain seperti mesin pencacah daun, bor biopori. Dari data tersebut digambarkan
dalam sebuah diagram sebagai berikut:

Gambar 7. Sumber media yang sering digunakan dalam pembelajaran lingkungan

Jika data di atas dihubungkan dengan keaktifan guru dalam mengembangkan media
pembelajaran, diperoleh informasi bahwa terdapat 66.67% guru pernah mengembangkan
media pembelajaran lingkungan sedangkan sisanya sebanyakj 33,33% guru belum pernah
mengembangkan media pembelajaran lingkungan. Informasi ini tentunya sangan
mengkhawatirkan karena masih terdapat sebagian guru (33.33%) yang menggunakan media
yang sudah jadi yang diambil dari berbagai sumber. Tentunya ini bukanlah informasi yang
menggembirakan, karena seharusnya seorang guru terus aktif untuk mengembangkan media
untuk mendukung proses pembelajaran yang dilakukannya.

Temuan Evaluasi Pembelajaran Lingkungan


Hasil penelitian tentang jenis-jenis evaluasi yang digunakan guru dalam pembelajaran
di SMUN Se-Kota Tangerang Selatan terdapat 5 jenis alat evaluasi dengan rincian sebagai
berikut: guru yang menggunakan alat evaluasi berupa kegiatan praktek sebanyak 13.63%,
menggunakan alat evaluasi berupa portofolio sebanyak 27.27%, menggunakan alat evaluasi
berupa laporan ilmiah 22.27%, menggunakan alat evaluasi berupa tes formatif sebanyak
22.72%, menggunakan alat evaluasi berupa tes sumatif 4.54% dan menggunakan alat
evaluasi berupa angket sikap sebanyak 4.54%.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

518
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dari data tersebut diketahui bahwa alat evaluasi yang diperlukan guru dalam mengukur
keberhasilan pembelajaran lingkungan sudah sangat bervariasi. Visualisasi dalam bentuk
gambar seperti tersaji pada gambar 8 berikut.

Gambar 8. Alat evaluasi yang sering digunakan dalam pembelajaran lingkungan

Jika data di atas dikaitkan dengan alasan guru dalam menggunakan alat evaluasi karena
media yang dipilih sangat praktis dan mudah diimplementasikan 42%, karena media sudah
biasa/rutin digunakan, 25%, karena media paling sesuai dengan tuntutan kurikulum 25%
dan sebesar 8% memilih media dengan alasan agar pada diri peserta didik bisa terbentuk
karakter mencintai lingkungan dan melestarikan lingkungan.

Penutup
Simpulan
Model pembelajaran yang sering digunakan dalam pembelajaran lingkungan adalah
model Problem Base learning sebesar 66,66%. Media yang digunakan dalam pembelajaran
lingkungan adalah Taman/Green House/Lingkungan Sekolah, Gambar/berita, Video/film,
Alat peraga berupa bor biopori dan pencacah daun dan bahan-bahan sisa yang masih dapat
diolah. Jenis evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran lingkungan adalah
Praktik/Performance, Portofolio/Laporan ilmiah, Produk/Proyek, Tes
tulis/Pengetahuan/Formatif, Sumatif, Sikap/Angket.
Saran
Disarankan agar kualifikasi guru yang berkenaan dengan model-model pembelajaran,
media pembelajaran dan alat evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran lingkungan masih
perlu ditingkatkan. Hal ini berdasarkan temuan penelitian bahwa sebagain besar guru belum
mendapat pelatihan tentang model dan materi berkenaan dengan pembelajaran lingkungan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

519
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka

Barlia, dkk (2006), Basic Pendidikan Lingkungan Hidup, Bandung : UPI


Press.http://skobrufiles.wordpress.com

Creswell, J.W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. New Delhi: Sage
Publica- tions.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2005. Sejarah Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia.
Tersedia: www. menlh.go.id
Krebs, C.J. 1989. Experimental Analysis of Distribution and Abundanc. Third Edition. New
York.
Lieberman & Hoody. 1998. Closing the Achievement Gap. Using the Environment as an Integrating
Context for Learning. State Edu. And Envi. Roundtable.
Muhaimin. 2014. Pengembangan Model Problem Based Learning dalam Ecopedagogy untuk
Peningkatan Kompetensi Ekologis Mata Pelajaran IPS. (Diser- tasi Doktor yang tidak
dipublikasikan), Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Diunduh dari http://
respitory.upi.edu Online (diakses 26-02-2016).
Muhamad Afandi, Evi Chamalah, Oktarina Puspita Wardani. 2013. Model Dan Metode
Pembelajaran Di Sekolah. Semarang: Unissula Press
Neal, L. H. O. 1995. Using Wetlands to Teach Ecology and Environmental Awareness in General
Biology. The American Biology Teacher. New York: The National Association of
Biology Teachers Vol 57 No 3.
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. EdisiKetiga.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ratna Djuniwati Lisminingsih (2010), Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup Berorientasi
Kecakapan Hidup Di Sekolah Dasar Dan Madrasah Ibtidaiyah Kota Batu, Prosiding
Seminar Nasional Biologi FKIP UNS 2010. Hal 257-265. Vol 7 Noomor 1 2010.
Risda Amini dan A. Munandar.2010. Pengaruh Model Pembelajaran Pendidikan Lingkungan
Berbasis Outdoor Terhadap Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan Bagi Calon
Guru Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol. 11 (1): 14-21
Trianto. 2007. Model–Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

520
Wati Susiawati
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: sujiyo@uinjkt.ac.id, usadaummah@gmail.com
Abstrak. Internet merupakan media sekaligus sebagai gudang informasi yang banyak membantu
kegiatan manusia pada zaman modern ini. Diharapkan dengan bantuan media internet ini
pembelajaran bahasa Arab bisa berjalan efektif dan efisien. Menyadari dan menghadapi kenyataan di
atas, penulis bermaksud mengembangkan dan berupaya mengoptimalkan sistem pembelajaran bahasa
Arab memanfaatkan pesatnya perkembangan teknologi internet dalam hal ini adalah menggunakan
program (software) Dokeos, yaitu suatu program yang dirancang untuk membuat sebuah sistem
belajar secara online (e-learning) baik itu sekolah online, kampus online maupun kursus online dan
sebagainya. Dokeos merupakan salah satu perusahaan yang terbesar dan paling dikenal yang
didedikasikan untuk open source Learning Management Systems. Setelah penulis melakukan
penulusuran (browsing) keberbagai macam situs e-learning, penulis menemukan satu situs yang
menyediakan pembelajaran online, yakni www.kursus.arabic.web.id yang merupakan satu-satunya
situs yang menyediakan layanan kursus pembelajaran bahasa Arab secara online menggunakan
software Dokeos.

Kata Kunci: bahasa arab, on-line, DOKEOS

Pendahuluan
Ada banyak sekali kendala yang dialami oleh semua pihak dalam proses pembelajaran
bahasa asing, terutama bahasa Arab. Melihat realita seperti ini, penulis merasa melihat celah
untuk mencoba melakukan penelitian bagaimana pembelajaran bahasa Arab ini bisa lebih
dioptimalkan lagi. Salah satunya adalah memanfaatkan kemajuan teknologi
informasi/internet.
Kita dapat menyebarkan (publish) informasi yang bisa di akses dari mana saja di
seluruh dunia dalam waktu singkat sekali. Kita dapat berkomunikasi secara langsung (real
time) melalui telepon dan unit video processing. Kita bisa melakukan "chat" melalui jaringan
gratis "chat" yang sangat luas yaitu mIRC.2

Pembahasan
Association for Education and Communication Technology
(AECT)mendefinisikan media yaitu segala bentuk yang dipergunakan untuk suatu proses
informasi1. Sedangkan Education Association (NEA) mendefinis sebagai benda yang dapat
dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrument yang dipergunakan

1
Azhar Arsyad, Media Pengajaran (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1997),3.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dengan baik dalam kegiatan belajar mengajar, dapat mempengaruhi efektifitas program
instruksional2.
Menurut Oemar Hamalik media pembelajaran adalah Alat, metode, dan teknik yang
digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan
siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Kemajuan ICT, proses ini
dimungkinkan dengan menyediakan sarana pembelajaran online melalui internet dan media
elektronik. Konsep pembelajaran berbasis ICT seperti ini lebih dikenal dengan e-learning.
Pada makalah ini, permasalahan difokuskan pada salah satu program e- learning yaitu
DOKEOS.
E-Learning atau electronic learning kini semakin merupakan salah satu cara untuk
mengatasi masalah pendidikan, baik di negara-negara maju maupun di negara yang sedang
berkembang3.
Sedangkan menurut Learn Frame bahwa e-learning, disebut juga Tb- Learning
(Technology-based Learning) adalah sistem pendidikan yang menggunakan semua aplikasi
elektronik untuk mendukung belajar mengajar termasuk jaringan Komputer (Internet,
Intranet, Satelit), media elektronik (audio, tv, CD-ROM4).

Pengertian E-Learning
E-Learning merupakan dasar dan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi. Beberapa ahli mencoba menguraikan pengertian e-learning
menurut versinya masing-masing5, diantaranya :
a. Jaya Kumar
E-Learning sebagai sembarang pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan
rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran,
interaksi, atau bimbingan.
b. Dong
E-Learning sebagai kegiatan belajar asynchronous melalui perangkat elektronik
Komputer yang memperoleh bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya.
c. Rosenberg
Menekankan bahwa e-learning merujuk pada penggunaan teknologi Internet
untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan.

2
http://www.scribd.com/doc/8090651/internet-sebagai-alternatif-media-pembelajaran
3
Basyiruddin Usman, Asnawir, Media Pembelajaran (Jakarta:Ciputat Pers,Juni 2002),11
4
Oemar Hamalik, Media Pendidikan (Bandung : Citra Aditya, 1989), 12
5
Mahfud Shalahuddin, Media Pendidikan Agama (Bandung : Bina Islam, 1986), 4
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

522
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

d. Darin E. Hartley
E-Learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan
tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau
media jaringan Komputer lain.
e. Learn Frame
E-Learning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk
mendukung belajar mengajar dengan media Internet, jaringan Komputer, maupun Komputer
standalone6.
Untuk bisa menggunakan media ini tidak dibutuhkan kemampuan teknologi yang
tinggi, tapi yang terpenting adalah kemaun keras yang akan mengantar seseorang untuk bisa
menggunakannya.

Gambar Pola Pembelajaran Bahasa Arab Online (e-Learning)

Pengajaran Bahasa Arab melalui DOKEOS


Dokeos adalah e-learning tools untuk aplikasi berbasis web. Dokeos merupakan free
software yang direlease oleh GNU GPL dan pengembangannya didukung oleh dunia
internasional. Sistem operasinya bersertifikasi yang bisa digunakan sebagai konten dari sistem
managemen untuk pendidikan7. Kontennya meliputi distribusi bahan pelajaran, kalender,
progres pembelajaran, percakapan melalui teks/audio maupun video, administrasi tes, dan
menyimpan catatan8.
Sistem pembelajaran bahasa Arab melalui media Internet menggunakan Dokeos di
situs www.kursus.arabic.web.id dalam penelitian ini menggunakan model pengembangan
berdasarkan model Alessi dan Trollip yang terdiri dari 10 tahapan pengembangan yang
meliputi tahap menentukan kebutuhan dan tujuan, mengumpulkan sumber, mempelajari

6
http://www.damandiri.or.id/file/ahmadsuyutiunairbab2.pdf, diakses 2 Juli 2018
7
http://yogapw.wordpress.com/2009/05/14/efektifitas-e-learning-bagi-mutu-pendidikan- sekolah-indonesia
8
http://www.dokeos.com
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

523
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

materi, menghasilkan gagasan, mendesain pembelajaran, membuat bagan alur pelajaran,


memajang storyboard secara tertulis, memprogram pelajaran, membuat materi yang
mendukung, dan mengevaluasi dan meninjau kembali. Hasil penelitian sesuai dengan tujuan
penelitian yaitu untuk mengetahui langkah-langkah penggunaan sistem pembelajaran bahasa
Arab dengan media Internet menggunakan Dokeos. Berikut adalah hasil temuan penulis:

Langkah-langkah Penggunaan Sistem Pembelajaran Bahasa Arab melaui Dokeos


Pendaftaran
Setelah membuka halaman depan, pendaftaran secara otomatis dapat dilakukan dengan
cara :
a. Pilih (klik) Registration
b. Masukkan data pribadi kita (password dua kali harus sama dan alamat e- mail
dibutuhkan)
c. Pilih „Create course websites‟ untuk „Status‟
d. Klik „Ok‟
e. Jika registrasi berhasil, maka akan muncul sebuah tampilan seperti pada tabel
1.
f. Selanjutnya kita dapat mengklik tombol „Next‟ untuk membuat
g. website pembelajaran.

Membuat Website Pembelajaran


Setelah melakukan registrasi, kita dapat melanjutkan dengan membuat website
pembelajaran dengan cara :
a. Ketik judul pembelajaran
b. Pilih kategori (Sekolah) dari menu
c. Ketik kode mata pelajaran, misalnya UNU101
d. Ketik nama dari gurunya pada bagian ‟Guru‟
e. Pilih bahasa yang diinginkan, misalnya Indonesian.
f. Klik ‟Ok‟.
Jika pembuatan website mata pelajaran berhasil, maka akan muncul tampilan seperti
tabel 2.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

524
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Selanjutnya ikuti link yang muncul untuk kembali ke halaman „My courses‟ dengan
cara:
a. Mengklik „back to my courses list‟
b. Untuk melihat halaman depan dari mata pelajaran yang baru dibuat.
c. Klik judul mata pelajaran.
Kita dapat membuat website mata pelajaran yang lain sesuai yang diinginkan dengan
cara mengklik „Create a course area‟ pada bingkai sebelah kanan. Penjelasan tentang
pengelolaan mata pelajaran yang sudah dibuat akan disajikan di bagian „Administrasi Mata
pelajaran.

Login / Logout
Setiap kita mengunjungi website e-learning, kita perlu memasukkan username dan
password yang terletak pada bingkai kanan, kemudian klik „Enter‟. Setelah selesai
mengunjungi mata pelajaran, kita harus keluar dengan cara mengklik „Logout‟ yang terletak di
bagian atas. Perhatikan tabel 3.

Pengelolaan Pembelajaran
Setelah login pada sistem dan sudah membuat website sekolah, kita dapat mengelola
pembelajaran yang dimulai dengan mengklik judul mata pelajaran yang ingin dikelola,
sehingga muncul daftar menu-menu seperti tampilan pada tabel 4 sebagaimana terlampir.
Halaman depan pembelajaran berisi semua fitur yang bisa dilihat oleh siswa, tetapi ada
beberapa pilihan lagi yang tersedia, dan dua bagian tambahan pada layar ini. Jika kita melihat
pembelajaran dari sisi siswa (yaitu kita bisa melihat homepage pembelajaran tetapi tidak
bisa mengedit, mengubah, menon-aktifkan atau menghapus isinya), maka login yang
kita masukkan tidak valid untuk login guru. Solusinya adalah mendaftar lagi dan
informasikan pada administrator sistem agar username atau password sebelum dihapus).

Melihat Pembelajaran dari sisi Siswa/Guru


Kita harus tahu seperti apa yang kita kerjakan jika siswa mengaksesnya. Pada pojok
kanan atas, kita dapat mengubah antara profil untuk guru dan siswa dalam melihat website
pembelajaran ini.
1) Jika kita sebagai guru, ubah ke profil untuk siswa dengan cara mengklik
“Student view”.
2) Kembali ke profil untuk guru dengan cara mengklik "Guru view".

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

525
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Teks Pengantar Pembelajaran


Pada bagian atas layar adalah kata pengantar dari pembelajaran:
a. Klik „Modify‟ (gambar pensil) untuk mengubah teks yang akan ditampilkan Ubah
atau tambahkan teks, kemudian klik „Ok‟ untuk mengupdate kata pengantar.
b. Link diawali dengan „http://‟ dan alamat email mengandung „@‟
c. secara otomasis bisa diklik.
d. Klik „Delete‟ (tanda silang) untuk menghapus teks pengantar dari
e. website pembelajaran.

Mengarsip, Mengembalikan dan Menghapus


Guru dapat membuat backup dari website mata pelajaran yang sudah online. Setelah
dibackup, kita dapat mendownload file backup tersebut ke komputer lokal. Hal ini sangat
bagus dan aman serta memudahkankan proses pemindahan file dari komputer (server) yang
satu ke yang lain (lokal). Namun demikian guru tidak dapat mengembalikan mata
pelajaran yang sudah dibackup ke server sendiri, tetapi harus melalui administrator.

Membuat arsip (backup)


Untuk membuat arsip website mata pelajaran:
a. Klik "Course settings" atau "Seting Pelajaran".
b. Klik "Arsipkan pelajaran ini" atau "Archive this course area" untuk
mengarsip.
c. Konfirmasi bahwa kita ingin mengarsip.
d. Sistem akan memberikan feedback tentang proses pengarsipan dan meminta
kita untuk men-download file yang sudah diarsip ke komputer lokal.
e. Download file arsip jika diperlukan.
f. Setelah diarsip, sistem akan memberikan informasi tentang proses dan lokasi
dari file.
Menghapus mata pelajaran
Untuk menghapus website mata pelajaran, lakukan langkah- langkah berikut :
a. Klik "Course settings" atau "Seting Pelajaran".
b. Klik "Hapus situs pelajaran" atau "Delete the whole course"
c. Konfirmasi bahwa kita betul-betul ingin menghapusnya.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

526
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Chat/Diskusi
Chat/Diskusi memungkinkan kita untuk berdiskusi secara realtime dengan peserta
sekolah dan guru. Fasilitas Chat ini tidak sama dengan yang biasa kita temui, seperti di
MSN® atau di Yahoo Messenger® dikarenakan fasilitas ini web based. Kekurangannya
adalah bahwa chat di sini akan hanya direfresh setelah 10 detik dan tidak seketika.
Keuntungannya adalah bahwa chat ini terintegrasi dengan sekolah kita, ia akan mengarsip
diskusi kita pada Dokumen. Jika user memasukkan foto di „My Profile‟, maka foto ini akan
muncul pada diskusi untuk membantu mengidentifikasi peserta diskusi. Hanya guru
yang diperbolehkan untuk menghapus ini.
Menggunakan Chat/Diskusi
Ajak peserta sekolah untuk melakukan sesi Chat, pada waktu yang sudah ditentukan,
masuklah ke Chat area
a. Tulislah pesan singkat pada bagian penulisan pesan.
b. Klik tanda >>.
c. Tunggu sampai ada jawaban.
d. Kirim pesan lagi, tunggu dan kirim lagi.
e. Guru harus menutup sesi diskusi dan mengirim concluding remark (misalnya:
sesuatu yang mengingatkan bahwa hasil diskusi ini dapat dilihat di dokumen
area).

Deskripsi Mata Pelajaran


Deskripsi mata pelajaran akan membantu kita mendiskripsikan mata Sekolah kita. Ini
akan membantu peserta Sekolah mendapatkan gambaran tentang apa yang akan mereka
dapatkan pada mata Sekolah ini.
Untuk membuat deskripisi mata pelajaran, pilih „Create and edit course
description‟, pilih item menu, isi form, validasikan. Kita selalu dapat merubah atau
menghapus isi dari setiap item dengan meng-klik gambar pencil atau tanda silang.

Pengumuman
Pengumuman memungkinkan kita untuk mengirimkan e-mail ke semua peserta
atau pada beberapa dari mereka atau ke beberapa group. Hal ini adalah cara yang efisien
untuk membuat peserta kembali mengunjungi website ini.
Untuk menambah pengumuman, lakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Masukkan teks ke dalam kotak.
b. Beri tanda kotak „Send this announcement by email to registered students‟
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

527
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

jika diperlukan. c. Klik „Ok‟.


Mengubah Pengumuman
1) Klik Modify yang ada di bawah pengumuman yang akan diubah.
2) Betulkan teks pengumuman.
3) Klik „Ok‟.
Menghapus Pengumuman
1) Klik Delete yang ada dibawah pengumuman.
2) Kita akan diminta konfirmasi.

Tugas
Tool tugas ini sangat sederhana. Tool ini memungkinkan peserta kita untuk meng-
upload dokumen ke dalam pembelajaran. Kita dapat membuat dokumen yang di-upload
seorang peserta dapat dilihat oleh peserta lain atau tidak.
Tool ini memiliki teks pengantar yang dapat digunakan untuk menulis pertanyaan atau
panduan, atau batas akhir pengumpulan tugas, dan lain-lain.
Menambahkan file ke tugas (Guru)
a. Masuk halaman tugas dari halaman utama mata pelajaran.
b. Klik pencil untuk memberikan atau mengubah penjelasan.
c. Pilih „default setting‟ agar posted files dapat terlihat, Validasikan.
d. Pilih dokumen yang akan di-upload.
e. Beri judul (title).
f. Author (penulis yang meng-upload dokumen tersebut).
g. Berikan deskripsi file.
h. Validasi dengan klik ‟Ok‟.
File kelihatan atau tidak
a. Masuk halaman tugas dari dari halaman utama mata pelajaran.
b. Klik ikon mata untuk memilih antara kelihatan (visible) atau tidak kelihatan
(invisible) untuk sebuah dokumen.
Menambahkan file pada halaman tugas (Siswa)
a. Masuk halaman tugas dari dari halaman utama mata pelajaran.
b. Pilih dokumen yang akan di-upload.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

528
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

c. Beri judul.
d. Author (penulis yang meng-upload dokumen tersebut).
e. Berikan deskripsi file.
f. Validasi dengan klik „Ok‟.

User
Bagian ini digunakan untuk mengontrol pemakai yang terdaftar dalam pelajaran kita.
Kita dapat menambah siswa (tetapi lebih mudah bagi setiap orang untuk mendaftar sendiri,
jika tidak kita akan menginformasikan username/password mereka satu per satu dan ada
resiko terjadi registrasi ganda pada orang yang sama).
Menambah Nama Anggota
a. Klik „Add student‟. Isi data pribadi dengan e-mail yang benar sehingga
dia dapat menerima username / password.
b. Klik Ok. Untuk menghapus siswa, klik „Unregister‟. Nama siswa tersebut
masih ada dalam database utama, tetapi dia tidak akan berhubungan
dengan pelajaran kita lagi. Kita tidak dapat mengubah setting siswa seperti
nama atau password sebab hal itu tergantung pada mereka untuk mengetahui
siapa mereka dan membetulkan profil mereka sendiri.
Memasukkan Tutors Pada Pelajaran Kita
Cara paling mudah adalah meminta tutor kita untuk mendaftar sebagai siswa dan
kemudian klik „Make Tutor‟ disamping namanya. Kita juga dapat mendaftarkan tutor melalui
„Add a user‟, tetapi beresiko karena kita tidak tahu apakah mereka sudah terdaftar dalam
sistem untuk pelajaran yang lain. Menjadi seorang tutor tidak mempunyai hak sebagai
administrator di website tetapi memungkinkan untuk menjadi anggota lebih dari satu
group (sedangkan siswa hanya menjadi anggota dari satu group saja). Hal ini berguna jika
kita membagi group, terutama jika kita menggunakan manual editing dari group untuk tutor
yang berhubungan dengan group itu.

Latihan
Bagian ini pembuat soal latihan. Memungkinkan membuat soal pilihan ganda. Namun
demikian sifatnya formatif karena sistem ini tidak cukup aman untuk memastikan bahwa
yang mengerjakan latihan adalah orang yang sebenarnya.
Membuat Latihan
a. Masukkan nama dari latihan pada kotak.
b. Klik Ok.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

529
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

c. Masukkan subjudul apabila perlu.


d. Masukkan soal yang kita ingin tanyakan.
e. Masukkan penjelasannya.
f. Normalnya kita hanya diberi dua pilihan jawaban (benar atau salah).
b. Jika kita ingin memiliki jumlah kemungkinan jawaban yang lebih maka:
a. Tekan +Answ (+jawaban) untuk setiap jawaban tambahan yang kita perlukan.
Mengurangi Kemungkinan Jawaban
a. Tekan –Answ (+jawaban) untuk setiap jawaban yang dihapus.
b. Beri tanda pada kotak untuk jawaban yang benar.
c. Pada kolom jawaban, masukkan teks kemungkinan jawaban dari pertanyaan.
d. Pada kolom komentar, masukkan umpan balik yang diberikan jika siswa salah
memilih jawaban.
e. Klik „Save Exercise‟ (jika kita selesai membuat latihan) atau Save
f. Question.

Conference
Dokeos online conferencing system memungkinkan kita untuk mengajar, memberikan
informasi atau berkumpul bersama 500 orang dengan cara yang mudah dan sederhana.
a. Live audio : Suara trainer disiarkan secara live pada peserta.
b. Slides : peserta dapat melihat the Power Point or PDF presentasi.
c. Interaction : peserta bertanya jawab melalui percakapan.
Untuk membuat online conference kita harus menayakannya pada administrator untuk
dapat menambahkan elemen yang dapat memungkinkan audio dan video streaming. Penting
juga untuk membahas isu teknis yang lain sebelum melakukan conference (file format, video
equipment, microphone).
Buatlah sebuah Dokeos course > Masuk > Masuk ke Conference tool > Edit (pencil
icon di kiri atas) settings > upload slides kita (PDF, PowerPoint atau apa saja) > ketik
sebuah introduction teks > ketik URL untuk live streaming.

Setting Pelajaran
Fitur ini memungkinkan kita untuk mengubah detail dari pelajaran, menghapus dan
mengatur akses ke pelajaran. Kita dapat mengubah kode mata pelajaran, guru (guru pembina),
nama mata pelajaran, sekolah, dan bahasa.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

530
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Untuk mengubah web pembelajaran, maka langkah yang harus dilakukan adalah:
a. Public access : Semua orang dapat mengunjungi pelajaran kita tanpa
mendaftar atau login.
b. Private access, registration open: Orang harus registrasi untuk masuk ke
c. site, tapi semua orang dapat mendaftar sendiri.
d. Private access, registration closed: Hanya yang didaftarkan saja yang
dapat masuk.

Penutup
Pada media pembelajaran berbasis online, kemandirian dan kedisiplinan dari kedua
belah pihak haruslah tetap terjaga dan sangat diperlukan, baik dari para tutor maupun para
peserta selain itu juga kemampuan tutor dalam memotivasi peserta didiknya untuk lebih
semangat belajar juga sangat diperlukan. Tentu saja dengan adanya penelitian ini diharapakan
munculnya berbagai ragam, macam dan fariasi dalam proses pembelajaran bahasa asing,
terutama bahasa Arab. Sekaligus memotifasi kedua belah pihak agar mampu menciptakan
pembelajaran bahasa Arab menjadi lebih baik, efektif dan efisien.

Daftar Pustaka

Arsyad, Azhar, Media Pengajaran, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997


Hamalik, Oemar, Media Pendidikan Bandung : Citra Aditya, 1989
http://www.damandiri.or.id/file/ahmadsuyutiunairbab2.pdf, diakses 2 Juli 2018
http://yogapw.wordpress.com/2009/05/14/efektifitas-e-learning-bagi-mutu-pendidikan-
sekolah-indonesia
http://www.dokeos.com
http://www.scribd.com/doc/8090651/internet-sebagai-alternatif-media-pembelajaran
Shalahuddin, Mahfud, Media Pendidikan Agama Bandung : Bina Islam, 1986
Usman, Basyiruddin, Asnawir, Media Pembelajaran Jakarta: Ciputat Pers,Juni 2002.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

531
Winda Dwi Hudhana, Ariyana
Universitas Muhammadiyah Tangerang
e-mail: windhana89@gmail.com
Abstrak. Pendidikan karakter masih menjadi isu hangat. Semakin canggih teknologi, namun karakter
siswa semakin mengalami degradasi. Kriminalitas dikalangan anak-anak semakin marak terjadi
misalnya bulliying yang berujung pembunuhan atau penganiayaan terhadap teman sebaya. Kasus
tersebut banyak terjadi salah satunya akabit dari kecemburuan sosial. Oleh karena, kecanggihan
teknologi membuat masyarakat semakin terlena yang mengakibatkan kurangnya kepedulian baik
secara individu maupun sosial bagi masyarakat. Kecanggihan alat teknologi misalnya gadget
membuat masyarakat khususnya anak-anak terlena sehingga membuat masyarakat tubuh menjadi
masyarakat yang individualis. Para orang tua dengan rasa kebanggaan memberikan gadget pada
anaknya di usia yang masih dini. Bertolak belakang kehidupan masyarakat di masa lampau yang
mana teknologi belum berkembang pesat seperti saat ini. Mereka menjunjung tinggi nilai sosial,
anak-anak diajarkan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya. Para orang tua saat itu juga
mengajarkan nilai-nilai edukatif melalui dongeng. Namun kegiatan dongeng saat ini telah
ditinggalkan para orang tua mengingat mobilitas yang tinggi. Berkait dengan hal tersebut, peneliti
mengembangkan media video scribe sebagai media para orang tua dalam membangkitkan kembali
tradisi mendongeng. Penggunaan media ini sangat efektif untuk para orang tua yang memiliki
mobilitas tinggi, namun tetap mampu mengajarkan nilai-nilai edukatif kepada anak-anaknya. Para
orang tua dapat memilih atau memodifikasi dongeng dan mengkreasikan dongeng melalui media
video scribe.

Kata Kunci: edukatif, anak, dongeng, video scribe

Pendahuluan
Salah satu karya sastra warisan budaya dari nenek moyang bangsa Indonesia adalah
dongeng. Sama halnya dengan karya sastra yang lain, dongeng mengandung nilai-nilai moral
kehidupan. Dongeng digunakan oleh nenek moyang sebagai media untuk mengajarkan nilai-
nilai moral kehidupan. Selaras dengan pendapat Wakhyudi (2015:100) bahwa tujuan dalam
pendidikan moral dalam cerita anak yaitu untuk menanamkan karakter anak menjadi lebih
baik. Kegiatan mendongeng dilakukan oleh nenek moyang ketika bersantai di rumah atau
ketika menjelang anak-anaknya akan tidur.
Namun, kebiasaan tersebut mulai memudar karena semakin canggihnya teknologi.
Perkembangan teknologi yang sangat dekat dengan dunia anak yaitu gadget dan handphone.
Olek karena, gadget dan handphone mereka sudah bisa menjelajahi dunia dengan hitungan
menit sehingga kepedulian terhadap kehidupan sosial menjadi kurang. Nilai moral, etika, dan
kreativitas anak-anak saat ini kian mengalami degradasi akibat teknologi tersebut. Anak-anak

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

lebih senang membaca melalui handphone dari pada buku, lebih senang bertanya dan mencari
informasi melalui internet daripada di perpustakaan sehingga kemampuan berkomunikasi pun
terhambat. Keprihatinan terhadap hal tersebut menjadi tanggung jawab semua lapisan
masyarakat terutama pendidik. Pendidikan harus ditanamkan kepribadian dasar kepada anak
dalam rangka membangkitkan kreativitas pada anak. hal ini dikarenakan kurangnya perhatian
orang tua yang sibuk bekerja sehingga anak-anak tidak mempunyai filter dalam hal bertindak
maupun bertutur. Menumbuhkan karakter pada anak usia dini bukan tanggung jawab guru di
sekolah melainkan orang tua karena pendidikan yang utama adalah di rumah.
Anak merupakan seseorang yang memerlukan fasilitas, perhatian, dorongan dan
kekuatan sehingga membuatnya tumbuh dan berkembang menjadi sesorang yang mandiri dan
dewasa (Sarumpaet, 2010:4). Maka, penanaman nilai-nilai moral kehidupan sangat penting
dilakukan pada anak. Pada masa ini perkembangan anak mengalami masa keemasan yaitu
pada masa ini anak masih menggunakan ingatan jangka panjang sehingga ia akan teringat
sampai dewasa. Selain itu, masa anak-anak memiliki daya keingintahuan yang tinggi, mereka
cenderung mengimitasi apa yang dilihat dan didengarnya. Maka pada masa ini, penanaman
pendidikan karakter sangat cocok sehingga anak ketika tumbuh dewasa akan selalu ingat dan
terbiasa mengenai pengamalan nilai moral.
Pendidikan mengenai nilai moral melalui dongeng pada masa ini sesuai dengan
pekermebangan teknologi dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan membuat
tayangan di televisi atau radio, melalui buku elektronik, dan sebagainya. Salah satu yang dapat
dilakukan yaitu dengan menggunakan video scribe. Media video ini sangat praktis dan mudah
digunakan oleh para orang tua dan guru. Oleh karena, orang tua dan guru mampu
mengkreasikan dongeng dengan berbagai variasi melalui video ini. Media video scribe dapat
dibuat dengan sangat menarik sehingga menumbuhkan minat dan imajinasi anak.

Kajian Pustaka
Dongeng merupakan salah satu prosa anak yang sangat diminati oleh anak. Dongeng
merupakan salah satu jenis cerita anak yang bercirikan fiktif-imajinatif (Kurniawan, 2016:4).
Ciri ini dapat diidentifikasikan melalui tokoh, peristiwa dan setting. Tokoh dalam dongeng
biasanya bersifat fiktif imajinatif misalnya pangeran, putri, peri, kurcaci dan lain-lain.
Peristiwa yang menunjukkan sifat fiktif imajinatif misalnya peri yang terbang, pangeran yang
tidak mati tenggelam dan sebagainya. Sedangkan setting yang menunjukkan adanya sifat fiktif
imajinatif yaitu istana, hutan ajaib dan sebagainya.
Mendongeng merupakan kegiatan yang menyenangkan karena di dalam dongeng
terdapat hal-hal yang dapat ditemukan yang bersifat lucu, menegangkan, menyenangkan,
menyedihkan dan sebagainya. Dongeng mampu membawa perasaan pembaca terhanyut
dalam cerita. Selain itu, dongeng mampu membawa pembaca untuk merenungkan amanat dan
pesan dongeng. Sehingga dapat menjadi pedoman dalam berperilaku dengan mengambil nilai-
nilai karakter yang terdapat dalam dongeng (Kurniawan, 2016:8).
Berkaitan dengan hal tersebut, dongeng diharapkan mengandung nilai-nilai karakter.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

533
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Para orang tua harus mampu menciptakan dongeng yang mengandung pendidikan karakter.
Pendidikan karakter berkaitan dengan empat nilai yang ditanamkan yaitu nilai kerukunan; 2)
nilai ketakwaan dan keimanan; 3) nilai toleransi; 4) nilai hidup sehat (Muslich, 2011: 95).
Keempat nilai tersebut dapat menjadi pedoman dasar untuk membina karakter anak di rumah
sebelum di sekolah agar anak terbiasa menciptakan suasana yang kondusif dalam
pembelajaran.
Karakter merupakan nilai yang diwujudkan dalam perilaku anak. Dalam kehidupan
manusia sejak Nabi Adam hingga saat ini begitu banyak kehidupan mengenai karakter
manusia. Pada akhirnya dalam referensi Islam Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan
untuk berahlak mulia melalui sifat beliau yaitu : 1) sidik, mengajarkan untuk selalu bersikap
dan berbuat benar; 2) amanah, mengajarkan untuk selalu dapat dipercaya kapan pun dan
bagaimanapun, 3) fatonah, mengajarkan untuk selalu cerdas dalam berwawasan, 4) tabligh,
mengajarkan bagaiman cara berkomunikasi agar orang memahami apa yang dimaksud.
Sebenarnya pendidikan karakter itu sudah ada berabad-abad yang lalu hanya saja banyak yang
belum memahami hal tersebut.
Mendongeng selain dapat diajarkan di rumah, seorang guru di sekolah juga harus
mampu mengajarkan dongeng. Oleh karena, dongeng mengandung nilai pendidikan karakter.
Berikut ini Sembilan pilar nilai-nilai pendidikan karakter menurut Muslich (2011, 204-205)
yaitu:
a. Cinta Tuhan dan segenap CiptaaNya (love Allah, trust, reverence, loyality)
b. Tanggung jawab, kedisplian dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance,
discipline, orderliness)
c. Kejujuran/amanah dan arif (trustworthiness, honesty, and tactful)
d. Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience)
e. Dermawan, suka menolong dan gotong royong /kerjasama (love, compassion, caring,
empathy, generousity, moderation, cooperation)
f. Percaya diri, kreatif dan pekerja keras (comfidence, assertiveness, creativity,
resourcelness, courage, determination, enthusiasm)
g. Kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mecy, leadership)
h. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
i. Toleransi, kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity).
Sembilan pilar tersebut yang menjadi pedoman bagi guru untuk membina karakter
anak sehingga mampu mengimplemantasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan emosi
peserta didik ditentukan juga dari faktor lingkungan, baik faktor intern maupun ektern.
Berdasarkan hal tersebut segala bentuk tindak tutur seorang pendidik sangatlah berperan
terhadap anak. Komunikasi berbahasa atau penggunaan bahasa dalam membentuk karakter
menjadi faktor utama dalam sebuah proses pembelajaran maka seharusnya guru memiliki

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

534
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berbagai kompetensi. Kompetensi yang perlu dikuasai mencakup kompetensi pedagogik,


kepribadian, sosial dan profesional.
Pendidikan karakter dalam dongeng pada zaman globalisasi saat ini sangatlah penting.
Oleh karena, kegiatan mendongeng telah banyak ditinggalkan padahal kegiatan ini membawa
manfaat sangat banyak khususnya pada pendidikan karakter. Untuk itu, diperlukan teknologi
yang mendukung kegiatan mendongeng, misalnya dengan menggunakan media video scribe.
Media video scribe merupakan sebuah aplikasi yang berupa gambar -gambar yang dapat
disusun menjadi sebuah video yang utuh. Media video ini merupakan aplikasi video yang
unik karena menggabungkan gambar, suara dan desain yang dapat menarik para audien.
Pemakaian media ini sangat mudah dan praktis dalam pembuatan maupun penggunaannya.
Media video scribe merupakan video yang menampilkan layar putih sebagai latar yang
dapat disisipkan gambar, suara dan desain yang dapat dimodifikasi. Video scribe dapat
disesuaikan dengan kebutuhakn siswa sehingga mampu menjadi media pembelajaran yang
menarik dan efektif. Di dalam Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/VideoScribe)
disebutkan bahwa “It was launched in 2012 by UK company Sparkol. Video Scribe is
developed in Adobe Flash and produces QuickTime movies and Flash videos. Video scribe
merupakan aplikasi yang ditemuakan oleh perusahaan bernama Sparkol di Inggris pada tahun
2012 yang dikembangkan dalam adobe flash dan diproduksi menjadi quick time movies dan
flash video. Menurut Khoiruddin (2017) bahwa video scribe menggabungkan beberapa unsur
yaitu teks, audio, dan gambar secara daring, mampu menstimulus kepada siswa, mampu
memusatkan perhatian siswa dalam kegiatan pembelajaran sehingga pesan pembelajaran dapat
tersampaikan dengan efektif.

Pembahasan
Dongeng merupakan jenis prosa klasik yang diciptakan oleh nenek moyang kepada
anak-anak sebagai media pendidikan mengenai nilai-nilai moral. Dalam membuat dongeng
menggunakan media video scribe perlu memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Tentukan ide cerita dalam membuat sebuah dongeng agar dongeng yang dibuat
mengandung cerita yang menarik dan menarik perhatian anak,
2. Tentukan tokoh, dan setting cerita yang akrab dengan kehidupan anak,
3. Gaya penulisan dongeng sesuai dengan usia dan minat anak-anak,
4. Pastikan dongeng yang dibuat mengandung nilai-nilai moral yang sesuai dengan
perkembangan anak sehingga anak dapat mengambil pembelajaran mengenai
nilai moral,
5. Kembangkan dongeng sekreatif mungkin agar anak tidak merasa bosan dengan
jalan cerita yang monoton dan membosankan.
Apabila konsep dongeng telah dibuat, maka pembuatan video scribe dapat dilakukan
dengan langkah-langkah berikut ini:
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

535
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

1. Buka aplikasi video scribe

Gambar 4.1 aplikasi video scribe


2. Klik tombol login

Gambar 4.2 menu login


3. Kemudian akan muncul gambar berikut

Gambar 4.3 menu tampilan setelah login


4. Buat video klik pada kotak pojok kiri

Gambar 4.4 tampilan awal video scribe baru

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

536
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

5. Kemudian terdapat tampilan berikut

Gambar 4.5 tampilan awal video scribe


6. Buatlah tulisan dongeng yang telah disiapkan sebelumnya dengan cara klik
tombol yang terdapat pada toolsbar yang bersimbol huruf T, dan ketiklah isi
dongeng dalam kolom tersebut.

Gambar 4.6 tampilan kolom tulisan dongeng


7. Tampilan tulisan menjadi seperti ini

Gambar 4.7 tampilan dengan tulisan dongeng


.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

537
Mufida Awalia Putri, Syifa Alinda Muthia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: mufida.awalia@uinjkt.ac.id, syifa.alinda14@mhs.uinjkt.ac.id
Abstract. This research aims to determine the influence of active learning strategy of giving question
and getting answer to the result IPA learning outcomes of fourth grade students of MI / SD. This
research was conducted at MI Tarbiyatul Islamiyah academic year 2017/2018. The research
method used is Quasi Eksperimen with Pretest-Posttest Control Group Design research design.
Sampling using technique sampling random. The sample of 23 students experiment class and 17
students control class. Instruments used in this research a test instrument of multiple choice of 20
questions and non test instruments of observation in the implementation of learning activities of
teachers and students. Data analysis techniques use of SPSS 17.0 program. Based on the result
of posttest that the average score of IPA learning outcomes of students taught by active learning
strategy of giving question and getting answer type is higher than the average score of IPA learning
outcomes of students taught by conventional method. The value of the pretest significance obtained
is the same. This is evidenced by different test.Aafter the treatment is given in the experimental class,
the average score posttest the experimental class is 86.08 while the average score posttest the control
class is 73.53. Hypothesis examination using Independent Simple T-test is obtained from posttest
result of experiment class and control class known significance equal to 0,003 at significance level
0,05 where 0,003 <0,05. It can be concluded that H1 is accepted and H0 is rejected, so it can be
said that there is a influence of using active learning strategy of Giving Question and Getting Answer
type of IPA learning.

Keywords: active learning strategies giving question and getting answer, IPA learning outcomes

Introduction
In the progress of this modern era is also required good education and quality.
Although in Indonesia there are still many children who haven't received decent education,
because many factors one of them is the human resources that are still not comprehensive and
also the quality should be improved to provide teaching to students.
Science is one of knowledge that is directly related to human life to nature. Science
or abbreviated as IPA is one of the subjects in elementary school in the basic education
curiculum. In the process of learning Science class IV term II science learning discusses
various materials about the environment around one of energy and energy benefits in
everyday life.
The purpose in studying energy so that students know the various kinds of energy

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

and its benefits in the environment. The science learning process requires students to search
and find their own answers to a question that is asked and to give students an opportunity to
develop their knowledge.
Based on the observations found the problems related to science learning, on this
energy material students still find it difficult to understand alternative energy how to
application and how to process it. in addition, the use of less-varied learning strategies.
Teachers are less creative using strategies while teaching science. Another problem, there is in
the low spirit of students in following the science lesson so that students become passive at
the time of learning. Low spirit experienced by students because according to students
learning science is a difficult learning so that students are tired and eventually less memorable
learning.
The problem is evidenced by the low learning results in science learning because not all
students who achieved KKM, about 80% of students who have achieved KKM in science
learning. In this case, the teacher must be creative using a variety of strategies to make more
active learning. Learning strategy used by teachers not only makes active learning but also
makes learning more fun and more memorable so students can not easy to forget the learning
process.
The researchers doing the experiments by testing the active learning strategies of giving
questions and getting answer type to help students in learning and to see the cognitive
learning results (C1 to C3) of students on science learning of energy materials.
Quality education gained through school, at school will gets education through
learning. Learning is a process of changing activity and reaction to the environment. Change
can’t be called learning when it is caused by growth or circumstance but activity changes can
called learn if include knowledge, skills, and behavior (Suprihatiningrum, 2016:13-14).
Education a very important role in efforts to improve the quality of human resources.
Related to the importance of education to improve the quality of human resources, the
atmosphere of learning in schools needs to be planned in such a way using appropriate
learning.
Active learning strategy was first introduced by Mel Silberman. According to Maslow,
William Craim, the Character value of this strategy is "active" or in the language of
humanistic psychology called self-actualization. “This strategy is very well used to involve
students in repeating the subject matter that has been delivered”(Zaini, 2008:69).
One of the strategies in active learning is an active learning strategy giving question
and getting answer. Learning strategy giving question and getting answer is one effort that
makes learning science becomes more active and not to easy forget by students. This learning
strategy centers on student centered activities, teachers only as facilitators who help direct
student activities. In this strategy students are given the opportunity to ask questions about
materials that haven't been understand at the time of learning and provide opinions on the
material that has been understand at the time of learning.
The learning strategy of giving question and getting answer is do by the teacher after
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

539
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

the delivery of learning materials is finished, because this learning strategy aims to find out
where the level of students' understanding of the material presented by the teacher during the
learning. “A review strategy one sure way to keep learning in mind is to allocate time to
review what has been learned”(Silberman, 2006:249). In this learning technique, students are
asked to be active in creating quizzes and test materials that teachers will use, either partially
or completely. The quiz question was written on sheet of paper. In this way the teacher
encourages students to think more deeply about the teaching materials they have learned by
using high-level thinking processes. As a variation, in the implementation of collaborative
learning, students can discuss answers to their own questions (Warsono, 2012:45).
According to Silberman (2006:254-255) Procedures in using the Giving Question
and Getting answer strategy:
1. The teacher gives two index cards to each student and the teacher commands each
student to complete the 1st card which is filled with questions about what hasn't
been understand during the lesson and 2nd card is filled with a statement about the
material has been understand, to be explained to other groups
2. The teacher creates a small group of 4-5 students and instructs each group to select
the most relevant questions to ask and the most interesting questions to answer from
their group members' cards.
3. Next, each group to report a question to be asked that has been selected during the
discussion.
4. Make sure there are students who can answer the question, otherwise the teacher
should answer it.
5. And the last of each group to report a question to answer that he chose. Instruct
members of the group to share answers with other students.
So, in this Giving Question and Getting Answer strategy, it is not only teachers who
can explain a learning material but also students can explain it with their own language that
they have understand.
before. And not only teachers who can give conclusions from the material that has
been studied but the students can also give a conclusion. The advantages of active learning
strategies are as follows:
1. Students can learn in a way that is so fun that the material as difficult as anything
doesn't have time to frown their forehead.
2. Activity arising in active learning can improve the memory of students, because
movement can "bind" memory on long-term memory.
3. Active Learning can motivate students maximally so as to prevent learners from lazy,
drowsiness and other.
Learning results are basically the process of behavioral change from being ignorant to

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

540
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

know, from a bad attitude to being better, from being unskilled to being skilled to learners.
Cognitive domain is a process of knowledge based more on the development of perception,
introspection or memory of students. The aim of cognitive learning was developed by Bloom,
et al. Bloom's taxonomy in 1956 (Kusuma, 2016:102). Knowledge obtained through
activities of "remembering, understanding, applying or applying, analyzing, evaluating,
creating (Permendikbud No 22, 2016: 13).
The cognitive domain is applied in learning in accordance with the learning strategy
used is Giving Question and Getting Answer. The cognitive domains used in the research are
C1, C2, and C3.
1. Remembering (C1) means taking certain knowledge from long-term memory. If the
goal of learning is to grow the ability to retain the subject matter, then the
appropriate category of cognitive process is remembered. This cognitive process
involves recognizing and remembering.
2. Understanding (C2) is constructing the meaning of the material of instructional
messages including what is spoken, written, and drawn or graphically by the teacher.
Growing transfer ability. Cognitive processes include: interpreting, modeling,
classifying, summarizing, summarizing, comparing and explaining.
3. Apply (C3) which involves the use of certain procedures to work on practice
problems or problem solving. The cognitive process consists of executing (when task
is just a matter of practice) and implanting (when task is an unfamiliar problem).
To understand the so-called "learning" activities, an analysis is needed to find out
what issues are involved in the learning activities. In advance it has been said that learning is a
process. As a process there must be some processed (input or input), and the result of
processing (output or output). So in this case we can analyze the learning activities with
system analysis approach. With the approach of this system at once we can see the existence
of various factors that can effect the process and learning results (Purwanto, 2007:106).
By using active learning strategy that is giving question and getting answer strategy,
students can be more active so as to give opportunity to the students to develop their
potential and courage in expressing the idea and that will be able to produce the final result
in science learning more and better than before using the strategy.

Methods
The method of research is the means of applying the logical principles to the
discovery, validation and explanation of truth or scientific way to achieve the truth of science
to solve problems (Siregar, 2010:107).
In this research using method is quantitative method. The type of experimental
research used in this study is quasi experiment. According to Sugiyono (2011:77) this design
has a control group, but it can not function fully to control the outside variables that affect

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

541
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

the implementation of the experimen. The experimental design used in this research is
Pretest-Posttest Control Group Design.
In this design there are two groups, the first group is treated (X) and the other group
is not treated (X). The treated group is called the experimental group and the untreated
group is called the control group. Then both groups were given pretest (O1) and postest
(O2). Population in this research is class IV MI Tarbiyatul Islamiyah year lesson
2017/2018 in 2 class IV with amount of 70 students. The placement of students in MI
Tarbiyatul Islamiyah is done the same in their ability, there is no superior class and vice versa,
the characteristics between the classes can be said to be homogeneous.
Samples taken in this study are 2 classes, namely:
1. Experimental class is class B that is treated, the class which is in science learning
using giving question and getting anwer learning strategy.
2. Control class is class A which is not given treatment, class which in science study do
not use give question and getting anwer strategy just use conventional metho
The sampling technique used in this study is Simple Random Sampling. Simple
Random Sampling is the collection of sample members from the population randomly
without regard to the strata in the population. The sampling technique used in this study is
Simple Random Sampling. “Simple Random Sampling is the collection of sample members
from the population randomly without regard to the strata in the population” (Yudhanegara,
2015:110). The sample taken in this research is 29 students of class IV B and 26 student of
class IV A MI Tarbiyatul Islamiyah. From the sample is seen his presence during 5 meetings,
if present from the first meeting to the last then the student will be sampled for assessment.
So the final sample after the students follow the 5 meetings are 23 students of class IVB
(experimental class) and 17 students of class IVA (control class).
Data collection techniques used are test and non test. The test is a set of questions
used to collect data about students' cognitive abilities before or after learning process.
Various test forms, such as multiple choice questions, essay questions, matching questions,
and so on (Yudhanegara, 2015:153).
The test in this study is used to measure student learning result after giving give
question and getting answer strategy whether there is enhancement or not. The test used in
the multiple choice of 20 validated questions. Non-test techniques are used to support the
achievement of the research. The non-test techniques used are interview and observation.
Interviews were conducted in this study as a preliminary study to find out the science lessons
that have been taking place in schools and observed pre-research and the implementation of
teacher and student learning during the learning.
Testing of test instruments is do to find out which the quality of research instruments
to be used in the research. After doing an instrument test, the next step is to process the test
data by searching for validity, reliability, difficulty index, and differentiator power.
Instrument test can be done with the opinion of the experts (judgment expert) that is lecturer

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

542
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

and students outside the experimental class and control class that is class V of 46 students.
The tested instrument consists of 40 question of multiple choice. To measure the validity of
test questions that will be used in research, the researchers do the validity of the question by
using software ANATES.
Data Analysis Techniques in this study is the result of pretest and posttest, the data is
then analyzed using three techniques of data analysis that is using the parametric test for data
that is normal distributed and non parametric for data that is not normally distributed. After
obtaining the first data the researcher do prerequisite test that is using normality test and
homogeneity test then in hypothesis test, but if the data is not normally distributed then
hypothesis test is are not done then it's done non parametric test using Mann Withney U
test. Testing of data is do with the help of SPSS program.
The normality test is said to be normality or normal if significance > 0.05. This data
analysis was conducted using SPSS program using Kolmogorov Smirnov technique. The data
can be said to be homogeneous or have similarity if significance > 0.05. Analysis of this data
using SPSS 17 program that is One Way Anova. After test of normality and homogeneity
test fulfilled, next to hypothesis test by using SPSS program that is t test (Independent
Simple t-Test) at significant α = 0,05.

Result and Discussion


The research was done five times each class, that is one meeting to be given pretest,
three meetings to be given the implementation of learning in each class and one meeting is
given posttest.
Pretes is done to knowing the students initial ability before the students get the
treatment during the learning. Pretes were done in both classes that were used as research
place, the experimental class and control class. The pretest result is calculated by the
researcher. The results showed that the results of science learning energy of class IV A has
the ability almost the same as the students class IV B, only 2.43. After being given pretest,
both classes were given teaching. the experimental class uses giving questions and getting
answer learning strategies and control classes using the usual learning methods with
conventional methode. During the learning of students are given exercises to know cognitive
ability in every meeting. At the first meeting in the experimental class as well as the control
class discusses the matter of heat energy, the second meeting discusses the sound energy
material and the third meeting discusses alternative energy materials. After three meetings of
learning in both classes, then done posttest. Prosttest done to know result of student learning
after student get treatment during learning. Prosttest is done in both class which is used as
research place that is experiment class and control class. Posttest in the experimental class is
intended to see the achievement of learning results by using the active learning Giving
Question and Getting Answer strategy. While in the control class is intended to see the
achievement of learning results by using conventional methods.
The following is a graph of average pretest-posttest results of experiment class and
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

543
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

control class.

Figure 4.1. Graph Histogram Average Score Pretest-Posttest Experiment Class and
Class Control

Based on the research results obtained, then the data would be processed by the
hypothesis test. Before doing the hypothesis test, the first test will be tested the normality test
and homogeneity test.
The data to be normality test is pretest data of the experimental class and control class.
The decision-making criterion is if significance> 0.05 means H0 is accepted. It’s known that
the pretest result of the experimental class obtains a significance of 0.141 > 0.05 indicating
that the experiment class data is normally distributed. While the pretest result of the control
class obtains significance of 0.049 < 0.05 indicates that the control class data is not normally
distributed. It can be concluded that the normality test on the pretest results is not normally
distributed, it will be tested non parametric by using Mann Whitney U test.
The data to be homogeneity test is pretest data of the experimental class and control
class. The decision-making criterion is if significance > 0.05 means H0 is accepted. Pretest
homogeneity test results obtained significance 0.160 > 0.05. Therefore the pretest results of
experimental classes and control classes have a diversity of same or homogeneous score.
The Mann Whitney U test was used for statistical analysis of two independent
samples with not normally distributed. This test is used because it can't meet the assumption
of T test (independent t test) because there is data from one of the pretest result class that is
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

544
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

not normally distributed. Obtained by Asymp. Sig (2-tailed) of 0.429 > 0.05 then H0 is
accepted. It can be concluded in Mann Whitney U test that there is no score difference
between experiment and control class.
The data to be normality test is posttest data of the experimental class and control
class. The decision-making criterion is if significance > 0.05 means H0 is accepted. The
posttest result of the experimental class obtains a significance of 0.200 > 0.05. While
posttest result of control class obtains a significance equal to 0,151 > 0,05. This shows that
the data of the both classes are normally distributed.
The data to be homogeneity test is posttest data of the experimental class and control
class. The decision-making criterion is if significance > 0.05 means H0 is accepted. Posttest
homogeneity test results obtained significance 0.081> 0.05. Therefore the posttest results
of experiment class and control classes have a diversity of same equal or homogeneous score.
Because of posttest result of experiment class and control class is normal distributed and
homogeneous then can be doing t test by using independent t test with help of SPSS
program. from calculation of posttest score of science learning result with the materials of
Energy in experiment class and control class, can be seen if significance > 0.05, meet the
significance criterion (2-tailed) that is 0,025 then H0 accepted.
Visible on the significance value (2-tailed) is 0.003, Therefore H1 is accepted while
H0 is rejected because 0.003 < 0.05. there is a significant difference in the average score of
the experimental class with the average score of the control class.Conclusion
Based on the results research obtained data can be concluded that there is influence in
using the active learning strategy type giving question and getting answer to the results of
science class IV on the material Energy in MI Tarbiyatul Islamiyah. It can be proved from
the result of posttest average value of science experimental class learning result of 86,09 and
average value of posttest of control class result of 73,53.
The result is reinforced by hypothesis test using SPSS program that is Independent
Sample T-Test. Based on the result of t-test from data of posttest result of experiment class
and control class known significance sebsar 0,003 <0,05. It can be concluded that H 1 is
accepted and H0 is rejected, so it can be said that there is a significant influence of the use of
active learning strategy of giving question and getting answer of learning of science.

Refrences
Kusuma, Mochtar. Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta: Parama Ilmu, 2016.
Lestari, Karunia Eka dan Yudhanegara, Mokhammad Ridwan. Penelitian
Pendidikan Matematika. Bandung: PT Refika Aditama, 2015.
Permendikbud No 22. Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah. 2016.
Purwanto, M. Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

545
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2007.
Silbermen, Melvin L. Active learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif,
Diterjemahkan oleh: Raisul Muttaqien.
Jakarta: Penerbit Nusamedia, Cet 3, 2006.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D,. Bandung: Alfabeta,
Cet 14, 2011.
Suprihatiningrum, Jamil. Strategi Pembelajaran: Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: PT AR-RUZZ MEDIA, Cet. 3, 2016.
Warsono dan Hariyanto. Pembelajaran Aktif. Bandung PT Remaja
Rosdakarya, 2012.
Zaini, Hisyam., Munthe, Bermawy., dan Ayu Aryani, Sekar. Strategi
Pembelajaran Aktif. Yogakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

546
Amilda
UIN Raden Fatah Palembang
e-mail: amilda_tarbiyah_uin@radenfatah.co.id
Abstract. Adolescence is a time of self-discovery, they strive to understand, accept the circumstances and reality
that is in him and others. Problems that occur in adolescent life, not a few teens who use the media with
improper. This is because teenagers tend to have a high curiosity about something. So that media becomes the
fastest tool for them to get the required information. Unlimited information is what can trigger a negative
stimulus for most teenagers, so it will create a negative response as well. Therefore, the media has a strategic
role in shaping the character of the nation's children. If adolescents use the media as it should then it will
bring positive benefits for himself and his life. And conversely, if teens use the media with or for inappropriate
things, it will obviously affect the formation of characters that are not good for his personality. What we read,
hear, and see, it affects our brains, our characters, and our minds. Therefore the filter must be very clever to
address the information and do not take it for granted. The ability to utilize media wisely can not be separated
from one's ability in understanding, processing, analyzing, and producing all information properly and
correctly so that teen media behavior can contribute positively to the development of his personality in
accordance with the noble values of the nation and religion. The media literacy ability of each individual will
have a much clearer perspective to see and differentiate the real world and the world of media production.
When the individual is equipped with media literacy he will have a clear map to guide himself in the media
world without being subject to any unsecured media information, so su'udzhan, blind taqlid, slander, and other
bad attitudes can be avoided. media literacy is a shield in the wake and anticipate a variety of sporadic and
massive threats in degrading thoughts and hearts and adolescent behavior.
Keywords: media literacy, character, adolescent

Abstrak. Secara psikologis, masa remaja merupakan masa pencarian jati diri, mereka berupaya untuk
memahami, menerima keadaan dan kenyataan yang ada dalam dirinya dan orang lain. Permasalahan yang
terjadi dalam kehidupan remaja, tidak sedikit remaja yang menggunakan media dengan tidak semestinya. Hal
ini dikarenakan remaja cenderung memiliki rasa keingintahuan yang tinggi tentang sesuatu hal. Sehingga
medialah yang menjadi alat tercepat bagi mereka untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Informasi
tanpa batas inilah yang dapat memicu stimulus negatif bagi kebanyakan remaja, sehingga akan menciptakan
respon yang negatif pula. Karena itu media memiliki peran yang cukup strategis dalam membentuk karakter
anak bangsa. Dengan demikian, jika remaja menggunakan media sebagaimana semestinya maka itu akan
mendatangkan manfaat yang positif bagi dirinya dan kehidupannya. Dan sebaliknya, jika remaja menggunakan
media dengan atau untuk hal yang tidak semestinya, maka jelas akan berpengaruh terhadap pembentukan
karakter yang tidak baik bagi kepribadiannya. Apa yang kita baca, dengar, dan lihat, semua itu akan
mempengaruhi otak, karakter, dan juga pikiran kita. Karena itu filternya harus pandai-pandai menyikapi
informasi dan tidak menerima begitu saja. Kemampuan dalam memanfaatkan media secara bijak tentu tidak
terlepas dari kemampuan seseorang dalam memahami, mengolah, menganalisis, dan memproduksi segala
informasi secara baik dan benar agar prilaku bermedia remaja berkontribusi positif bagi perkembangan
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Karena itu, kemampuan literasi media tiap
individu akan memiliki perspektif yang jauh lebih jelas untuk melihat dan membedakan dunia nyata dan dunia
hasil produksi media. Ketika individu sudah dibekali dengan literasi media ia akan memiliki peta yang jelas
untuk menuntun dirinya di dunia media tanpa tunduk pada segala informasi media yang belum terjamin
kebenarannya, sehingga sikap su’udzhan, taqlid buta, memfitnah, dan sifat buruk lainnya dapat dihindari.
literasi media inilah yang menjadi tameng dalam mewaspadai dan mengantisipasi berbagai ancaman sporadis
dan masif dalam mendegradasi pikiran dan hati serta perilaku remaja.
Kata Kunci: literasi media, karakter, remaja

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Media merupakan dampak dari globalisasi. Sehingga media dijadikan sebagai sumber
untuk memberikan pengetahuan terhadap seseorang. Khususnya remaja, remaja menggunakan
media untuk berbagai keperluan, sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Tetapi terkadang media
memberikan tayangan-tanyangan yang tidak sesuai dengan karakter anak bangsa yang
sebenarnya. Secara psikologis, masa remaja merupakan masa pencarian jati diri, mereka
berupaya untuk memahami dan menerima keadaan dan kenyataan yang ada dalam dirinya dan
orang lain. Bahkan lingkungan sosial yang selalu ikut serta dalam membentuk kepribadian
anak dan remaja. Jika remaja tersebut hidup di dalam lingkungan sosial yang kurang baik,
maka karakter yang terbentuk kurang baik, sebaliknya jika remaja itu
menjalani kehidupannya yang baik maka juga akan sangat berpengaruh terhadap
kepribadiannya. Artinya, lingkungan sosial inilah yang berpotensi memberikan pengaruh
besar bagi pembentukan karakter remaja.
Terkait dengan hal itu, jika kita berbicara mengenai remaja dan literasi media, maka
akan memicu timbulnya isu agar kita terus mengikuti perkembangannya, bahkan menarik
untuk dilihat secara nyata. Jaman sekarang remaja, jika mereka tidak dapat memanfaatkan
media sosial yang ada, maka akan dianggap sebagai remaja yang ketinggalan jaman. Sehingga
akan muncul dorongan, bagamana caranya agar mereka bisa memainkan program yang ada
dalam media sosial. Dan untuk mewujudkan itu semua sangatlah gampang. Hal ini terbukti
dengan adanya smart phone, internet, majalah remaja, dan televisi yang dapat menunjang apa
yang menjadi kemauan mereka saat ini. Hal ini juga terkadang remaja merasa gengsi dan
merasa tidak gaul jika mereka tidak mampu bergabung dalam media sosial seperti facebook,
BBM-an, instagram dan lain sebagainya yang akan membuat mereka terhubung dengan
kehidupan global. Dampak dari hal tersebut, manakala remaja-remaja ini terlena dengan
kegiatan individual mereka di depan media-media sosial maka yang akan terjadi mereka akan
kurang berintraksi dengan orang tua, keluarga, kerabat bahkan teman-teman yang berada di
lingkungan sendiri. Remaja akan asyik dengan teman-teman yang ada di dunia maya. Teman
yang terkadang kita tidak pernah melihatnya secara nyata. Sehingga tanpa disadari, intraksi
dengan teman sebaya yang selalu berada di sekitarnya, lambat laun akan dilupakan.
Selain hal tersebut, lebih jauh dapat dijelaskan bahwa pada umumnya remaja saat ini
kebanyakan kehilangan kepribadian diri, yang ditunjukan dalam kehidupan sehari-hari dalam
bergaul. Adanya fenomena tren berpakaian ala-ala korea, ala barat, dan lain-lain membuktikan
fakta bahwa remaja jaman sekarang menutupi bahkan kehilangan identitas dirinya. Bahkan
mirisnya lagi, kebanyakan remaja, mereka hanya mengenal nama bintang idolanya, dibanding
dengan nama-nama pahlawan negeri ini. Tidak hanya itu, banyak sekali tindakan-tindakan
remaja yang merusak moral. Misalnya banyaknya terjadi tawuran antar pelajar, merokok di
lingkungan formal, bolos sekolah, free sex, narkoba dan perbuatan kriminal. Hal inilah yang
sedang berkembang pesat dalam kehidupan sehari-hari kita. Sebagai contoh, kepala BNN
Komjen Budi Waseso menyampaikan (Rabu, 27/12/17 ) bahwa sepanjang tahun 2017,
BNN telah mengungkap 46.537 kasus narkoba di seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu,
data KPAI menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2016 tentang kasus pengaduan anak

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

548
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berdasarkan klaster perlindungan anak terdapat 33 kasus anak korban tawuran pelajar dan 52
kasus anak pelaku tawuran pelajar serta 168 kasus korban fornografi dari media online.
Terkait dengan hal ini tentu ada banyak faktor penyebabnya. Namun salah satu faktor yang
mempengaruhi perkembangan pergaulan dan karakter remaja yaitu peran media sosial yang
memberikan informasi tanpa ada batasan yang akan berpengaruh positif atau negatif bagi
pengguana media.
Permasalahan yang terjadi dalam kehidupan remaja, tidak sedikit remaja yang
menggunakan media dengan tidak semestinya. Hal ini dikarenakan remaja cenderung
memiliki rasa keingintahuan yang tinggi tentang sesuatu hal. Sehingga medialah yang menjadi
alat tercepat bagi mereka untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Informasi tanpa
batas inilah yang dapat memicu stimulus negatif bagi kebanyakan remaja, sehingga akan
menciptakan respon yang negatif pula. Maka dari itulah peran media dalam pembentukan
karakter anak bangsa sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan pergaulan remaja saat
ini. Oleh karena itu, jika remaja menggunakan media dengan semestinya maka itu akan
mendatangkan manfaat yang positif bagi dirinya dan kehidupannya. Dan sebaliknya, jika
remaja menggunakan media dengan atau untuk hal yang tidak semestinya,maka jelas akan
berpengaruh terhadap pembentukan karakter yang tidak baik bagi kepribadiannya.
Terkait dengan peran literasi media dalam membentuk karakter remaja, Social
Learning Theory yang dikembangkan oleh Albert Bandura pada tahun 1960an menjelaskan
bahwa manusia dapat belajar dari berbagai observasi yang mereka lakukan (Bandura &
Walters dalam Signorielli, 2001). Karena itu kemampuan dalam memanfaatkan media secara
bijak tentu tidak terlepas dari kemampuan seseorang dalam memahami, mengolah dan
menganalisis segala informasi secara baik dan benar agar prilaku bermedia remaja
berkontribusi positif bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai luhur
bangsa.

Pembahasan
Literasi Media dalam Konteks Globalisasi dan Urgensinya
National Leadership Conference on Media Literacy, menyatakan bahwa literasi media
merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi isi
pesan media (Aufderheide, 2993: v). Akses berarti kemampuan untuk mencari informasi atau
menemukan pesan dan untuk dapat memahami dan menafsirkan makna pesan itu.
Analisis mengacu pada proses mengenali dan memeriksa tujuan pembuat pesan media,
khalayak media, teknik konstruksi yang digunakan, system simbol, dan teknologi yang
digunakan untuk membangun pesan. Konsep analisis juga mencakup kemampuan untuk
mengenali konteks politik, ekonomi, sosial, dan sejarah dimana pesan media yang diproduksi
dan diedarkan sebagai bagian dari sistem budaya. Evaluasi mengacu pada proses menilai
kebenaran, keaslian, kreativitas, atau kualitas lain dari pesan media, membuat penilaian
tentang nilai dari pesan media. Literasi media juga mencakup kemampuan untuk
mengkomunikasikan pesan dalam berbagai macam bentuk (menggunakan teks bahasa, foto,
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

549
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

video, media online, dll).


Selanjutnya, era globalisasi memberikan perubahan signifikan ke segala bidang. Ini
artinya, pada masyarakat pun terjadi pergesaran, dari masyarakat tradisional menuju
masyarakat modern. Menurut Nurudin (2009:33), tentunya dalam cara berkomunikasi,
peralatan yang digunakan, dan tantangan yang dihadapi masyarakat modern sangat berbeda
dengan masyarakat tradisional. Perbedaan tersebut merupakan konsekuensi dari
berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat. Marshall McLuhan
mengemukakan sebuah konsep, yakni pada masa perkembangan teknologi komunikasi akan
memicu dunia ini menjadi sebuah global village (desa global). Konsep yang dijelaskan oleh
Marshall McLuhan memaparkan bahwa tidak ada lagi pembatasan, baik dari sisi waktu
maupun tempat dalam komunikasi . Senada dengan Marshal McLuhan, William Paisley
(dalam Agoeng Nugroho,2010:5) menyatakan perubahan teknologi telah menempatkan
komunikasi di lini terdepan pada revolusi sosial. Pesatnya aspek tersebut, tidak dapat
melupakan sejarah panjang perkembangan komunikasi massa manusia.
Dasar pijakan untuk melihat sejarah perkembangan komunikasi massa dapat terbagi
menjadi lima era menurut Melvin Defleur dan Sandra J.Ball Rokeach (dalam Nurudin,
2009:40), yakni : Pertama, zaman penggunaan tanda dan isyarat (the age of sign and signal);
kedua, zaman digunakannya percakapan dan bahasa ( the age of speech and language); ketiga,
zaman tulisan (the age of writing); keempat, zaman media etak (the age of print); dan kelima
zaman media massa sebagai alat komunikasi (the age of mass communication). Menurut
Rogers (dalam Agoeng Nugroho, 2010:9) hanya ada empat era evolusi komunikasi manusia,
yakni era writing, era printing, era telecommunication dan era komunikasi interaktif. Kendati
terdapat perbedaan, kenyataan yang tidak dapat terbantahkan dan sangat memengaruhi proses
komunikasi dalam masyarakat modern sekarang ini adalah keberadaan media massa. Media
massa merupakan alat komunikasi massa yang menjadi fenomena, dan merujuk pada hasil
produk teknologi modern. Media massa membuat pola komunikasi berubah dan memiliki
arti penting dalam kehidupan masyarakat. Pada mulanya media massa hanya mengenal media
tradisional, seperti media cetak (koran, majalah tabloid), dan media elektronik yang hanya
terdiri dari- televisi, radio, buku dan film. Seiring dengan perkembangan zaman media massa
elektronik tersebut menghadirkan internet (media online) sebagai wadah baru bagi
masyarakat dunia. Media massa intenet dapat mengatasi hambatan, berupa pembatasan yang
diadakan oleh waktu, tempat dan kondisi geografis. Bill Gates, pendiri Microsoft (dalam
observasi kajian komunikasi dan informatika, 2008: 48), menegaskan bahwa penemuan dan
revolusi internet merupakan tonggak penting, setara dengan penemuan mesin cetak
Gutenberg. Internet ini pula membuat revolusi dunia komputer, dan komunikasi
berkolaborasi, dan tidak pernah diduga sebelumnya.
Internet dapat juga dikatakan sebagai media baru (new media). Menurut chun (dalam
Romel, 2012:31) new media merupakan penyederhanan istilah terhadap bentuk media di
luar lima media massa konvensional-televisi, radio, majalah, koran, dan film. Sifat new media
adalah cair (fluids), konektivitas individual, dan menjadi sarana untuk membagi peran
kontrol dan kebebasan. Jadi dapat disimpulkan internet memiliki kemampuan penyiaran ke

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

550
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

seluruh dunia, dan memberikan kesempatan pada pemakai untuk mempergunakannya secara
bersama-sama. Maka dari itu tidak heran, pengguna internet sendiri setiap tahunnya
mengalami perkembangan signifikan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), populasi penduduk Indonesia saat ini
mencapai 262 juta orang. Lebih dari 50 persen atau sekitar 143 juta orang telah terhubung
jaringan internet sepanjang 2017).1
Internet menjadi media penting yang perlu dikonsumsi oleh pemakainya. Senjata khas
yang diluncurkan internet yakni menghadirkan fitur yang berorientasi untuk manusia, seperti
adanya search engine, email, sosial media, game online, dan lainnya mempunyai tujuan
memenuhi kebutuhan pengguna, dari kebutuhan pengetahuan hingga hiburan semata. Seperti
yang diungkapkan salah satu ahli, Lani Sidharta (1996), internet adalah suatu interkoneksi
sebuah jaringan komputer yang dapat memberikan layanan informasi secara lengkap, dan
terbukti bahwa internet dilihat sebagai media maya yang dapat menjadi rekan bisnis, politik
sampai hiburan, semuanya tersaji lengkap di media ini. Sajian terlengkap dari sebuah internet
pun penting bagi dunia pendidikan. Media internet ini mengarahkan pendidikan ke arah alur
yang baru, yakni pendidikan secara online. Internet menunjang proses pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan yang efektif dan efisien. Sebagai media tutorial, internet
memiliki keunggulan dalam hal interaksi, menumbuhkan minat belajar mandiri serta dapat
disesuaikan dengan kebutuhan. Internet memungkinkan mengambil dan mengolah ilmu
pengetahuan ataupun informasi dari situs-situs yang dikunjunginya tanpa adanya batasan
jarak dan waktu.
Pentingnya pendidikan lewat internet ini dapat dilihat dari konteks pelajar misalkan,
internet ini memberikan manfaat positif bagi pembelajaran mereka. Tahapan proses
pendidikan contohnya, seperti: pendaftaran, test masuk, pembayaran, hingga tugas sekolah,
dan ujian dapat dilaksanakan. Internet bagi pelajar pun dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mereka. Mereka dapat mencari dengan mudah, cepat, dan murah segala bentuk
informasi relevan, baik yang berkaitan dengan akademik maupun sesuai dengan kebutuhan
masing-masing. Melalui blog, e-paper, e-journal, bahkan situs berita online dapat dijadikan
sumber informasi yang dapat dikunjungi. Fenomena umum lain dari perkembangan internet
ini yakni hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama
dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), menyebutkan pola
penggunaan internet, disposisi pertama hampir 95,75% memanfaatkan internet untuk surat
elektronik. Pada peringkat selanjutnya, pemanfaatan internet untuk mencari berita/informasi
(78,49%) sisanya untuk berniaga, dan hiburan sosial media. Hasil pencatatan tersebut
tertuang dalam sebuah laporan berjudul Profil Terkini Internet Industri Indonesia, yang
dipublikasikan di Jakarta, Jumat (17/1).2

1
(https://tekno.kompas.com/read/2018/02/22/16453177/berapa-jumlah-pengguna-internet-
indonesia
2
Press release “Profil terkini internet industry Indonesia” diakses melalui
http://www.apjii.or.id/v2/read/content/info-terkini/213/press-release-profil-terkini-internet-
industriind.html pada tanggal 9 April pukul 09:00
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

551
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dalam konteks ini dapat dianalogikan bahwa teknologi media telah mengambil bagian
dari peran-peran tertentu di masyarakat. Seiring dengan berkembangnya teknologi
komunikasi tentu ada beberapa konsekuensi, baik yang berkonotasi positif maupun negatif
atas pengaruh penggunaan teknologi media komunikasi itu. Menurut Baran (2010:23), media
berpengaruh terhadap budaya khalayak dengan ragam cara. Maka tidak heran jika kehidupan
masyarakat kita saat ini tidak bisa terpisahkan oleh kehadiran teknologi media komunikasi.
Tekanan itu semakin inten ketika “media saling berlomba-lomba” dalam memberikan
layanan informasi kepada konsumennya. Tingginya penetrasi media komunikasi itu
dampaknya semakin sulit terkontrol. Kini konsumen tidak sekedar mendapatkan informasi,
pengetahuan, dan hiburan, tetapi bisa berinteraktif langsung. Pada saat yang sama media
menanamkan nilai ideologi baru berupa gaya hidup, budaya konsumtif dan model peniruan
sikap dan perilaku para artis/aktor tertentu yang dipopulerkan media. Selaras dengan Steger
(2002) mengatakan:
“…dalam globalisasi…masyarakat di berbagai belahan dunia terkena
pengaruh besar dari perubahan transformasi struktur sosial dan lingkungan kultur. Globalisa
si telahmemberikan kekayaan dan kesempatan besar bagi sekelompok kecil masyarakat,
sementara itu memerosokkan sangat banyak orang ke dalam keterhinaan sebagai orang miskin
dan tanpa harapan apa-apa…”.
Maka dari itu sudah waktunya penetrasi media yang semakin gencar dan bebas harus
diimbangi dengan literasi media sebagai budaya tangkal atas dampak negatif media.
Disamping itu literasi media juga bertujuan untuk melindungi konsumen yang rentan dan
lemah terhadap dampak media penetrasi budaya media baru. Bisa jadi progres literasi media
didasarkan pada semakin pesatnya gempuran informasi media yang tidak diimbangi dengan
kecakapan mengkonsumsinya. Maka dibutuhkanlah budaya baru dalam mengkonsumsi media
secara sehat. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka literasi
media juga berlaku pada konsumen media online, atau media baru yang tersebar melalui
jejaring internet. Literasi media tentu tidak bisa berjalan dengan baik tanpa peran serta
masyarakat. Peran itu dapat berupa individu, komunitas, kelompok, dan budaya lokal
setempat. Peran individu lebih di fokuskan pada bimbingan orang tua sebagai kepala keluarga
atas konsumsi media di lingkungannya.
Demikian juga pengawasan di komunitas, kelompok masyarakat tertentu yang peduli
terhadap perkembangan konvergensi media serta pemberdayaan kearifan lokal yang
berkembang di komunitas masyarakat dapat menimbulkan prilaku bermedia secara bijak.
Dalam hal inilah diperlukan literasi informasi untuk menghadapi mainstream dari globalisasi
informasi di era informasi. Di tengah hegemoni kapitalisme, globalisasi informasi adalah
suatu keniscayaan,yang tidak mungkin ditolak, tetapi dapat kita waspadai dan antisipasi.
Peran Literasi Media dalam Membentuk Karakter Remaja
Mulanya literasi merupakan kemampuan membaca dan menulis. Dalam
perkembangannya, istilah tersebut longgar dan meluas. Menurut Varis (dalam Iriantara
2009:6-7) menyatakan, keterampilan membaca dan menulis merupakan dasar untuk melek
media. Artinya, apa yang dinamakan sebagai literasi baru atau neoliterasi itu memerlukan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

552
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dasar kemampuan membaca dan menulis. Orang yang mahir menggunakan internet, tidak
akan bisa berkomunikasi dengan salah satu fasilitas internet jika tidak dapat membaca dan
menulis.
Terkait dengan hal ini, internet memang dijadikan sumber pencarian informasi bagi
masyarakat dan mengindikasikan bahwa kalangan pelajar pun mengakses untuk memenuhi
hasrat atau kepentingan lainnya. Di balik manfaat positif yang dihasilkan media massa
internet, masyarakat termasuk pelajar/remaja tidak bisa mengabaikan sisi negatif dari internet
dan konten yang terdapat didalamnya, seperti misalnya: pornografi, penipuan, perjudian,
kekerasan dan lain-lain. Hal itu merupakan sisi gelap dunia virtual yang tidak bisa
dihindarkan. Masyarakat termasuk remaja menyaksikan bagaimana media massa menyatu
dalam kehidupan manusia, memiliki fungsi untuk mendidik, menghibur, menginformasikan
dan memengaruhi. Dalam praktiknya, media massa ternyata mengajarkan gaya hidup yang
diyakini benar dan dijual secara komersial. Selaras dengan Subiakto (2012) yang menjelaskan
bahwa media massa mendorong khalayaknya untuk menikmati dirinya sendiri dan membeli
produk, sehingga media massa menyajikan apa yang laku atau popular di masyarakat tanpa
mempedulikan apakah hal tersebut melecehkan logika, mengacak-mengacak budaya,
menumpulkan hati nurani atau mengabaikan kepentingan publik.
Munculnya kebiasaan sikap remaja yang langsung percaya pada informasi hoax yang
bersumber dari opini satu orang ataupun berita viral yang tidak diketahui kredibilitas maupun
darimana berita bersumber, mengindikasikan bagaimana mental generasi remaja seperti ini
yang cenderung malas untuk memvalidasi informasi berita yang mereka terima. Pentingnya
sikap memvalidasi setiap informasi yang diterima ini juga diisyaratkan dalam firman Allah
SWT yang menyeru kita untuk tabayyun: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujarat: 6). Dalam agama
(Islam) tentang pentingnya sikap tabayyun ini dimaksudkan untuk memastikan setiap
informasi yang kita keluarkan atau informasi yang kita terima telah memenuhi kriteria
“penyampaian-penerimaan” informasi yang ditegaskan Islam. Selain sikap waspada dan tidak
mudah percaya begitu saja terhadap sebuah informasi yang datang dari seorang fasik, Allah
juga mengingatkan agar tidak menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya tersebut
sebelum jelas kedudukannya. Allah swt berfirman, “Tiada suatu ucapan pun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaaf: 18).
Efek negatif lain yang muncul dari fakta di atas, yakni sikap konsumtivisme, gaya
hidup remaja yang menekankan kultur barat yang menganut nilai-nilai kebebasan, perilaku
agresif akibat banyaknya isi media yang mengandung kekerasan, perilaku seksual anak akibat
mengonsumsi pornografi, penggunaan tembakau atau rokok, narkoba dan obat-obatan
terlarang, minuman alkohol, obesitas, menurunnya prestasi akademik, dan ADHD atau
Attention Deficit Hyperactivity Disorder sampai dengan menurunnya kualitas kesehatan
fisik maupun psikis anak dan remaja. Dampak lain menunjukkan bahwa tingginya jumlah
waktu yang digunakan dalam mengakses media digital menyebabkan menurunnya waktu

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

553
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain, menurunnya jumlah jam untuk
belajar atau membaca buku, dan meningkatnya depresi serta kesendirian (Hughes, Ebata, &
Dollahite, 1999)
Oleh karena itu, masyarakat termasuk remaja sebagai pengguna media tidak hanya
sekedar mengakses, diperlukan kemampuan untuk berpikir kritis terhadap media dan konten
yang ada di dalamnya. Perlu ada usaha untuk meningkatkan pendidikan tentang pentingnya
memanfaatkan internet secara positif termasuk dalam mengakses segala informasi yang
disediakan online. Masyarakat terkhusus remaja harus mampu mengembangkan kemampuan
pola berpikirnya mengenai perkembangan komunikasi massa dengan hadirnya internet.
Pendidikan media yang wajib dipelajari oleh pelajar terutama yaitu literasi media (melek
media). Iriantara (2009) menjelaskan, literasi media ini merupakan gerakan yang dipandang
realistis dalam menghadapi serbuan media baru. Literasi media pun dianggap sebagai upaya
dalam membangun kompetensi khalayak pengguna media, sehingga khalayak memiliki
kemampuan mengendalikan media. Selanjutnya Subiakto (2012) pun mengatakan,
pentingnya pendidikan literasi media ini dalam hubungannya dengan upaya peningkatan
kualitas media. Melalui literasi media, masyarakat akan selalu kritis terhadap media massa
sehingga masyarakat memiliki bargaining position yang kuat yang pada gilirannya akan
meningkatkan pengawasan masyarakat terhadap media. Disisi lain, literasi media hadir guna
memberikan wawasan, pengetahuan sekaligus skill (keterampilan) kepada pengguna media
untuk mampu memilah dan menilai isi media massa yang dapat sekaligus juga berpikir secara
kritis. Literasi media dimaksudkan agar remaja yang berada dalam masa “gamang” mampu
bersikap kritis dan kreatif, tidak tunduk begitu saja dengan eksploitasi media tetapi membuat
mereka berekplorasi secara terampil bermedia.
Saat ini merupakan era pascamodern, dimana ditandai dengan melunaknya garis-garis
batas antar nilai (relativitas nilai) dan memudarnya grand narrations (narasi-narasi besar)
yang salah satunya ditandai dengan melemahnya adalah kepercayaan terhadap nilai agama.
Bagi sebagian generasi muda, agama tidak lebih dianggap sebagai “nilai-nilai lama” yang tidak
relevan lagi bagi kehidupan mereka. Heterogenitas atau kemajemukan agama, budaya, nilai-
nilai, suku bangsa dan ras dalam peradaban manusia bukanlah menjadi ancaman
sesungguhnya dalam proses melahirkan manusia-manusia berakhlak mulia. Namun ancaman
sesungguhnya berasal dari transfer nilai yang sesungguhnya kontradiktif dengan nilai-nilai
ideal yang seharusnya seorang manusia sempurna. Dan nilai-nilai kontradiktif itu
dikhawatirkan datang secara besar-besaran dari media kita yang semakin canggih dan tampak
menarik untuk dikonsumsi.
Oleh karena itulah kemampuan literasi media sangat dibutuhkan dalam rangka
melahirkan manusia-manusia mulia, manusia teladan. Anak-anak di berbagai jenjang
pendidikan perlu dibekali dengan pemahaman tentang realitas media. Dengannya, mereka
tahu bahwa apa yang ditonton adalah hasil rekonstruksi belaka, dan bahwa mereka perlu
memilih nilai-nilai yang baik untuk diresapi dan nilai-nilai yang buruk dari media untuk
ditolak. Lebih dari itu, nilai-nilai agama perlu terus dikuatkan mengingat bahwa kita tengah
memasuki gelombang pascamodern (postmodern).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

554
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dari hasil penelitian tentang Konsep dan Implementasi Literasi Media dalam
Kumpulan Makalah Workshop Nasional Konsep & Implementasi Media Literacy di
Indonesia,3 diperoleh gambaran bahwa tujuan literasi media adalah menghasilkan skill antara
lain: 1) mampu menggunakan media dengan efektif untuk memenuhi kebutuhan diri dan
masyarakat; 2) mampu memilih dan mengakses informasi dari berbagai bentuk media dan
konten dari berbagai sumber budaya dan institusi yang berbeda; 3) mampu menganalisis
secara kritis terkait konten media: pesan, penggunaan bahasa dan lainnya; 4) mampu
menggunakan media secara kreatif untuk mengekspresikan ide dan pendapat; dan 5) mampu
menjadi manusia kreatif, menciptakan konten media sehat dalam rangka menjalankan hak
demokratis dan tanggung jawab sebagai warga negara.
Bila dikritisi dari kelima skill di atas dapat pula dikemukakan bahwa ada dua aspek
lain yang dapat dipertimbangkan sebagai sasaran outcome program literasi media tersebut,
yaitu aspek pengetahuan (knowledge) dan nilai (value). Dalam aspek pengetahuan, literasi
media diharapkan mampu memberikan wacana memadai tentang media literasi sehingga
mengetahui proses produksi hingga pada hasilnya serta dapat memilih, mengakses,
menyimpan, mengambil, berbagi konten sehingga manjadi
manusia cerdas dan kritis. Menurut Elaine Johnson (2002: 183) berpikir kritis merupakan
sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti
memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan
melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis bukanlah berpikir lebih keras, melainkan berpikir
lebih baik. Seseorang yang mengasah kemampuan berpikir kritisnya biasanya memiliki tingkat
keingintahuan intelektual (intellectual curiosity) yang tinggi. Dengan kata lain, mereka rela
menginvestasikan waktu dan tenaganya untuk mempelajari segala fenomena yang ada di
sekitarnya. Apa yang kita baca, dengar, dan lihat, semua itu akan mempengaruhi otak,
karakter, dan juga pikiran kita. Karena itu filternya harus pandai-pandai menyikapi informasi
dan tidak menerima begitu saja. Untuk memverifikasi berita tersebut, ada beberapa langkah
yang dapat dilakukan. Diawali dengan langkah mencari kebenaran berita tersebut, kemudian
dicari dasar dan sumber-sumber beritanya setelah itu harus diketahui siapa penulisnya, apakah
ada tendensi dibalik berita itu serta tak kalah penting dipastikan pula apakah berita tersebut
bersifat provokasi atau propaganda.
Sedangkan dari aspek nilai, literasi media diharapkan mampu meningkatkan sikap
positif dalam bermedia sehingga menjadi manusia beriman dan berakhlak mulia. Bila
mencermati tujuan pendidikan di Indonesia sesuai UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3
menyebutkan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Dari Undang-undang
tersebut kita sudah dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya target utama tujuan pendidikan
Indonesia adalah ”meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Nampaknya

3
Tim peneliti YPMA. 2011. Konsep dan Implementasi Literasi Media dalam Kumpulan Makalah
Workshop Nasional Konsep & Implementasi Media Literacy di Indonesia. Jakarta: Departemen Ilmu
Komunikasi FISIP UI.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

555
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

hal ini relevan dengan peran literasi media dalam membentuk karakter remaja.
Bila dianalisis dari aspek nilai (value) yaitu manusia beriman dan berakhlak mulia,
nampaknya inilah yang menjadi main point dalam konteks peran literasi media dalam
membentuk karakter remaja dimana kedua indikator tersebut tercermin dalam konsep Islam
tentang Insan Kamil. Insan kamil merupakan sebuah konsep ideal dalam pencapaian kualitas
terbaik manusia dalam segala dimensinya dan ini ter-representasi pada diri Rasulullah SAW.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dengan kemampuan literasi media tiap individu
akan memiliki perspektif yang jauh lebih jelas untuk melihat dan membedakan dunia nyata
dan dunia hasil produksi media. Ketika individu sudah dibekali dengan literasi media ia akan
memiliki peta yang jelas untuk menuntun dirinya di dunia media tanpa tunduk pada
kebenaran media, sehingga sikap su’udzhan, taqlid buta, memfitnah, dan sifat buruk lainnya
dapat dihindari. literasi media inilah yang menjadi tameng dalam mewaspadai dan
mengantisipasi berbagai ancaman sporadis dan masif dalam mendegradasi pikiran dan hati
serta perilaku remaja.

Penutup
Literasi media merupakan gerakan yang dipandang realistis dalam menghadapi serbuan
media baru. Literasi media pun dianggap sebagai upaya dalam membangun kompetensi
khalayak pengguna media, sehingga khalayak memiliki kemampuan mengendalikan media.
Peran media bagi remaja yang secara psikologis berada dalam masa pencarian jati diri tentu
diperlukan kemampuan untuk memahami, mengolah, menganalisis dan memproduksi setiap
informasi yang diterima. Ini menjadi penting karena apa yang dibaca, didengar, dan dilihat,
semua itu akan mempengaruhi otak, karakter, dan juga pikiran. Artinya ketika bijak dalam
memanfaatkan dan menyikapi informasi media maka akan mendatangkan manfaat yang
positif bagi dirinya dan kehidupannya. Dan sebaliknya, jika remaja menggunakan media
dengan atau untuk hal yang tidak semestinya,maka jelas akan berpengaruh terhadap
pembentukan karakter yang tidak baik bagi kepribadiannya.
Ketika individu sudah dibekali dengan literasi media ia akan memiliki peta yang jelas
untuk menuntun dirinya di dunia media tanpa tunduk pada kebenaran media, sehingga sikap
su’udzhan, taqlid buta, memfitnah, dan sifat buruk lainnya dapat dihindari. literasi media
inilah yang menjadi tameng dalam mewaspadai dan mengantisipasi berbagai ancaman
sporadis dan masif dalam mendegradasi pikiran dan hati serta perilaku remaja.

Daftar Pustaka

(https://tekno.kompas.com/read/2018/02/22/16453177/berapa-jumlah-pengguna-internet-
indonesia).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

556
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

A.L., Hughes. (1999), Psikologi Anak (Children, Play, and Development), Jakarta, Penerbit
Gramedia.
Aufderheide, P., ed. (1993). Media Literacy: A Report of The National Leadership Cenference on
MediaLiteracy. Aspen, CO: Aspen Institut
Baran, Stanley J. 2010. Pengantar Komunikasi Massa: Literasi Media dan Budaya. Jakarta: Salemba
Humanika
Iriantara, Yosal (2009). Literasi (Apa, Mengapa, Bagaimana). Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Johnson Elaine B. (2002). Contextual Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar
Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MLC
Nugroho, A., Rekayasa Perangkat Lunak Berorientasi Objek Dengan Metode USDP. Andi.
Yogyakarta, 2010.
Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali Pers.
Sidharta Lani, 1996, Sistem Informasi Bisnis: Analisa dan Desain Sistem Informasi Bisnis, Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Steger, M.B. (2002), Globalism: The new Market Ideology, New York: Rowman & Littlefield
Tim peneliti YPMA, Konsep dan Implementasi Literasi Media dalam Kumpulan Makalah
Workshop Nasional Konsep & Implementasi Media Literacy di Indonesia. Jakarta:
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

557
Nafia Wafiqni, Siti Nurani
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: amilda_tarbiyah_uin@radenfatah.co.id
Abstrak. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) Perkembangan emosional dan sosial anak;
(2) Karakteristik perkembangan emosional dan sosial terkait peran literasi digital; (3) Literasi
digital/media dalam lingkup perkembangan emosional dan sosial anak; (4) Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kemampuan literasi digital terhadap anak; serta (5) Peran literasi
digital/media dalam proses perkembangan emosional dan sosial anak. Artikel ini merupakan
penelitian analisis konten yang dilaksanakan melalui lima tahap, yaitu: (1) Pengumpulan data; (2)
Penentuan sampel; (3) Pencatatan data; (4) Reduksi; dan (5) Penarikan kesimpulan. Sumber
data dalam artikel ini adalah jurnal dan buku yang berkaitan dengan proses perkembangan emosional
dan sosial anak dan literasi digital/media. Sebagai objek penelitian adalah proses adaptasi dan
kaitannya dengan perkembangan emosional dan sosial anak dalam menghadapi era digital.
Kesimpulan artikel menunjukkan bahwa: (1) Proses perkembangan emosional dan sosial anak pada
dasarnya adalah proses adaptasi anak dalam menyingkapi lingkungannya; (2) Karakteristik
perkembangan anak pada umumnya aktif, rasa ingin tahu tinggi, egosentris, bersifat fluktuatif dan
temporal, serta mulai memasuki masa pubertas; (3) Literasi digital/media adalah kemampuan
pemaknaan terhadap teks/informasi agar dapat berkomunikasi dan berpartisipasi secara aktif dan
efektif dalam masyarakat; (4) Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi literasi digital anak
diantaranya genre, pertumbuhan dan perkembangan fisik anak, pekerjaan orang tua serta keterlibatan
orang tua; (5) Peran penting kemampuan literasi digital salah satunya turut berpartisipasi dalam
menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis, komunikatif, dan
reaktif terhadap sosial.

Kata Kunci: perkembangan emosional dan sosial, peran literasi digital, anak usia sekolah dasar

Pendahuluan
Secara psikologis, anak usia MI/SD dipandang sebagai individu yang berada dalam
usia perkembangan emas (golden age). Pada masa ini, petumbuhan dan perkembangan anak
dalam berbagai aspek sedang mengalami pekembangan yang pesat. Hal ini sejalan dengan
pendapat Sujiono yang mengemukakan bahwa anak usia dini adalah sosok individu yang
sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan
selanjutnya.1 Salah satu aspek yang berkembang pesat tersebut adalah aspek perkembangan
sosial emosional. Perkembangan sosial pada masa anak-anak ditandai dengan sikap anak yang
merasa kurang puas hanya bergaul dengan keluarga saja, sehingga ia mulai memperluasnya
dengan anggota masyarakat terdekat. Ia mulai mencari-cari teman sebaya untuk berkelompok
dalam permainan bersama, dan semakin lama ruang lingkup pergaulannya semakin meluas.2

1
Nizar Rabbi, dkk, Pengaruh Penggunaan Gawai Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini , Jurnal Paud
Agapedia, Vol.1 No. 1, 2017, Hal. 1-2
2
Nafia Wafiqni dan Asep Ediana L, Psikologi Perkembangan Anak Usia MI/SD, Jakarta: UIN Press, 2015, hal. 141

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Di samping itu, pada anak usia dini perkembangan sosial emosional sangat penting
untuk dikembangkan karena kemampuan anak dalam mengelola emosi dan berinteraksi sosial
dengan orang lain sangat dibutuhkan, tanpa kemampuan tersebut anak akan kesulitan untuk
beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Interaksi sosial tersebut sejatinya dapat berguna
bagi siswa dalam mengembangkan pemikiran sosial, yang berkenaan dengan pengetahuan dan
keyakinan mereka tentang masalah hubungan dan keterampilan sosial.3 Di dalam
perkembangan sosial, lingkungan turut mempengaruhi anak dalam berbegai hal. Antara lain
akan berpengaruh terhadap bagaimana seorang anak berkembang dan belajar dari
lingkungan.4 Lingkungan sendiri terdiri dari lingkup lingkungan keluarga, lingkungan teman
sebaya, lingkungan sekolah, dan lingkungan teknologi. Lebih lanjut dapat dikatakan saat ini,
pengaruh yang terbesar terhadap perkembangan sosial anak yaitu melalui lingkungan
teknologi. Karena, pada abad ini teknologi sangat dekat dengan lingkungan anak. Banyak
ditemukannya anak usia MI/SD sudah pandai menggunakan perangkat teknologi mulai dari
gadget, internet, laptop, dan sebagainya.
Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerjasama dengan Pusat Kajian
Komunikasi FISIP UI telah melakukan survei dengan hasil yang menunjukkan adanya
peningkatan penggunaan internet di Indonesia hingga mencapai angka 88,1 juta jiwa pada
Tahun 2014. 85% serta laporan tahunan tentang pengguna teknologi digital yang
dikeluarkan oleh We Are Social, sebuah agensi marketing sosial menunjukkan bahwa pada
Tahun 2015 di Indonesia terdapat 72 juta pengguna aktif media sosial dan sekitar 80% anak
dan remaja menurut data tersebut aktif menjadi pengguna internet, dan hampir setiap hari
sebagian besar diantaranya melakukan aktivitas online.5
Kemajuan teknologi informasi melalui internet mengakibatkan sumber daya informasi
digital sangat melimpah. Setiap orang bebas memasukkan ataupun mendapatkan informasi di
dunia maya tanpa batasan. Istilah digital native mengandung pengertian bahwa generasi muda
saat ini hidup pada era digital, yakni internet menjadi bagian dari keseharian dalam
hidupnya.6 Lebih lanjut, terdapat banyak dampak dari perkembangan teknologi informasi,
baik dampak positif maupun negatif terhadap proses perkembangan anak pada usia sekolah
dasar. Terlebih lagi pada dampak yang membuat perubahan pada sosial anak. Diantaranya,
perkembangan teknologi ini, memungkinkan peserta didik untuk bisa mengakses semua
informasi dari dalam negeri maupun luar negeri, yang bertaraf nasional ataupun internasional.
Semakin banyak sumber belajar yang dimiliki peserta didik, maka semakin membantu proses
kelancaran belajarnya.7
Sedangkan di sisi lain, perkembangan internet serta mudahnya mengakses informasi

3
Doni Harfiyanto, dkk, Pola Interaksi Sosial Siswa Pengguna Gadget di SMAN 1 Semarang , Journal of Educational Social
Studies 4, 2015, hal. 2
4
Emi Mabruroh, Meminimalisir Ketergantungan Gadget Sejak Usia Dini Dengan Memperkenalkan Permainan Tradisional
Yang Menarik, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan, 2015, Hal. 346
5
Wiwin Hendriani, Menumbuhkan Online Resilience Pada Anak di Era Teknologi Digital , Prosiding Temu Ilmiah X Ikatan
Psikologi Perkembangan Indonesia, Semarang, 2017, Hal. 53
6
Indah K, dkk, Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi Digital bagi Tenaga Perpustakaan Sekolah dan Guru di Wilayah
Jakarta Pusat Melalui Pelatihan Literasi Informasi , Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 3, No. 1, 2017, hal. 62
7
M. Firman, dkk, Teknologi Dalam Pendidikan : Literasi Digital Dan Selfdirected Learning Pada Mahasiswa Skripsi , Jurnal
Indigenous Vol. 2 No. 1, 2017, hal. 30
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

559
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menjadi tantangan tersendiri bagi para orang tua, belum lagi dengan banyaknya informasi-
informasi yang bersifat hoax yang banyak bertebaran di dunia maya. Seperti yang dilansir di
laman BBC Indonesia, bahwa telah terbongkarnya salah satu sindikat penyebar hoax yaitu
saracen. Dan dari hasil penyelidikan forensik digital, terungkap sindikat ini menggunakan
grup Facebook - di antaranya Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracennews.com
untuk menggalang lebih dari 800.000 akun.8 Kemunculan teknologi juga dapat menimbulkan
perubahan sosial baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat keluarga. Misalnya saja
dengan adanya teknologi, komunikasi orangtua dan anak secara tetap muka mulai berkurang
intensitasnya. Selain itu, anak juga lebih mudah terpapar oleh nilai-nilai luar yang bersifat
merusak tanpa dapat diketahui langsung oleh orangtua.9 Menurut Istiyanto di dalam hasil
karya teknologi komunikasi dan informasi, sosial media dapat membuat seorang anak
menjadi “orang asing” serta adanya globalisasi yang telah menjadi begitu leluasa hadir di
tengah-tengah keluarga, mengajari penggunanya apa saja setiap saat, mengubah pola hidup,
mendatangkan kebiasaan-kebiasaan baru, bahkan dikatakan bahwa kebutuhan akan teknologi
sebagai bentuk hipnotis canggih yang mampu mengubah perilaku dan cara mereka
berkomunikasi dengan orang lain.10
Namun, sejatinya permasalahan ini sudah mendapatkan perhatian dari aparatur
pemerintahan. Seperti yang termuat di dalam media kompas, pemerintah lewat Kominfo serta
berbagai pihak dari luar, seperti Facebook dan Google. Melakukan kerja sama untuk
menyaring konten dan beragam informasi. Sedangkan, Terkait regulasi, peredaran informasi
agar tidak "liar" dapat dilakukan sesuai koridor Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers (UU Pers) bagi media massa. Pemerintah juga bukan hanya melakukan
pembatasan atau pemblokiran, melainkan mendorong masyarakat untuk mengenal lebih jauh
mengenai literasi digital.11
Bila mana kita berbicara mengenai literasi, maka sering kali yang ada di dalam benak
kita adalah literasi membaca dan menulis. Pada awalnya memang kemampuan berliterasi
peserta didik berkaitan erat dengan tuntutan keterampilan membaca yang berujung pada
kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan reflektif.12 Namun seiring
berjalannya waktu, kemajuan teknologi mengakibatkan bertambahnya kebutuhan peserta
didik untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan yang semakin maju. Hingga literasi kini
bukan hanya sekedar membaca, menulis, sains ataupun matematika, melainkan literasi
berkaitan dengan situasi dan praktik sosial. Selanjutnya, literasi diperluas kembali menjadi
literasi teknologi informasi dan multimedia.13
Literasi digital sendiri sering disebut sebagai media yang dikembangkan berbantuan

8
https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/amp/trensosial-41022914
9
Putri Limilia, dkk, Pelatihan Literasi Media Digital sebagai Penanggulangan Dampak Negatif Internet pada Ketahanan
Keluarga, Jurnal Abdi MOESTOPO ISSN: 2599-249X - Vol. 01, No. 01, 2017, hal. 2
10
Sulidar Fitri, Dampak Positif dan Negatif Sosial Media Terhadap Perubahan Sosial Anak , Jurnal Kajian Penelitian Pendidikan
dan Pembelajaran 1, 2017, hal. 112
11
https://nasional.kompas.com/read/2017/02/14/09055481/media.sosial.penyebaran.hoax.
12
Hamid M, dkk, Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar , Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, 2016, hal.
1
13
Nani Pratiwi, dkk, Pengaruh Literasi Digital terhadap Psikologis Anak dan Remaja , Jurnal Ilmiah, 2016, hal. 16
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

560
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

teknologi informasi. Istilah digital yang dimaksud adalah upaya untuk menjadikan suatu
bahan (bacaan, gambar, aktivitas, dll) yang disajikan dalam bentuk multimodaltexts.14 Potter
dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” mengatakan bahwa media Literacy adalah
sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan
untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media.15 Hal ini senada dengan pendapat Paul
Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy, literasi digital diartikan sebagai
kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari
berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer.16 Dengan kata lain,
literasi digital adalah kemampuan mencari dan menggunakan informasi dengan kritis serta
pemahaman mendalam dari isi informasi yang terkandung dalam konten digital tersebut.
Disatu sisi, arti penting literasi digital tidak hanya dikarenakan tingginya terpaan media
saja, melainkan adanya beberapa faktor lainnya. Pertama, peran penting informasi dalam
proses demokrasi. Kedua, peran penting partisipasi budaya dan kewarganegaraan. Ketiga,
berkembangnya budaya popular membuat anak dan remaja semakin banyak mengakses media
digital.17 Selanjutnya, literasi digital ini juga mempunyai banyak sekali peran dalam proses
perkembangan anak. Terutama dalam hal perkembangan emosional dan sosial anak. Dengan
mempelajari dan menanamkan konsep literasi digital, anak dilatih untuk lebih berhati-hati
terhadap informasi yang diterimanya dan juga anak ditanamkan untuk lebih memahami
secara mendalam isi formasi yang mereka dapatkan tersebut.
Kemampuan literasi anak prasekolah yang baik juga membantu anak untuk lebih
mudah belajar membaca, beradaptasi dengan lingkungan dan meningkatkan tingkat
kesuksesan anak di sekolah.18 Kemampuan literasi atau kemampuan berkomunikasi pada anak
juga akan mempengaruhi perkembangan sosial, emosi dan perkembangan kognitifnya.
Sehingga, anak akan mampu berkomunikasi dengan lingkungan sekitar serta mampu
bersosialisasi atau bisa diterima di lingkungannya.19 Menjadi literat digital anak berarti dapat
memproses berbagai informasi, memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang
lain dalam berbagai bentuk media. Dari paparan tersebut, maka dengan kata lain literasi
digital memiliki peran yang besar teradap proses perkembangan anak, terkhusus proses emosi
dan sosialnya.

14
Danang Wahyu P, Implementasi Literasi Digital Dalam Gerakan Literasi Sekolah , Konferensi Bahasa dan Sastra II
International Conference On Language, Literature, And Teaching, Hal. 306
15
Juliana dkk, Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu , Jurnal Komunikator, Vol. 8 , No. 2,
2016, Hal. 53
16
Rulli Nasrullah, dkk, Materi Pendukung Literasi Digital, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 2017, hal.
7
17
Novi K Dan Santi I.A, Peta Gerakan Literasi Digital Di Indonesia: Studi Tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran
dan Mitra, Jurnal: Ilmu Komunikasi, Vol. 47, No. 2, 2017, Hal. 153
18
Lisnawati R, Model Multisensori: Solusi Stimulasi Literasi Anak Prasekolah , Jurnal Psikologi Volume 42, No. 1, 2015, Hal.
48
19
Iis Basyiroh, Program Pengembangan Kemampuan Literasi Anak Usia Dini (Studi Kasus Best Practice Pembelajaran Literasi di
TK Negeri Centeh Kota Bandung), Jurnal Pendidikan, Vol.3, No.2, 2017, hal. 121

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

561
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pembahasan
Perkembangan Emosional dan Sosial Anak
Seperti yang kita ketahui, anak-anak usia dini berada pada masa keemasan ( golden
age). Masa ini disebut masa keemasan sebab pada usia ini terjadi perkembangan yang sangat
pesat dan merupakan masa terbaik sepanjang hidup untuk mengembangkan seluruh potensi
yang ada pada dirinya. Lebih lanjut, sedikitnya ada dua alasan yang mendasari mengapa kita
harus mempelajari literasi digital terkait aspek perkembangan anak usia dini. Pertama, pada
usia ini embrio kreativitas, produktivitas, intelektualitas, moralitas, spiritualitas, dan lain
sebagainya juga mulai menunjukkan tanda-tanda perkembangannya termasuk perkembangan
emosional dan sosialnya.
Terkhusus pada perkembangan emosional anak, sering kali kita mengkaitkannya
dengan perasaan. Perasaan sendiri pada dasarnya bersifat general dan fluktuatif and never flat
(kadang meningkat dan kadang menurun). Misalnya seorang anak dalam suatu kondisi
bermuka masam, kemudian menangis dan selang beberapa waktu tertawa bahagia. Kondisi
tersebut menjelaskan bahwa pada masa usia dini, perkembangan emosi anak masih dalam
tahapan labil atau sering disebut dengan moody.
Hal senada juga dikemukakan oleh Erickson yaitu, dalam perkembangan personalitas
dan emosional bahwa proses “becoming” terkait dengan periode kritis dalam perkembangan
kemanusiaan. Ia mengidentifikasikan adanya delapan tahap dalam perkembangan personalitas
dan emosional dan sekaligus dengan perkiraan usia. Kedelapan tahapan yang dimaksud
adalah: (a) Kepercayaan versus ketidak percayaan (tahun pertama), (b)
Kemandirian versus rasa malu dan ragu (tahun ketiga), (c) prakarsa versus kesalahan (usia
prasekolah, 3-6 tahun), (d) Kerajinan dan kepandaian versus perasaan rendah diri ( 6-12
tahun), (e) Identitas versus kebingungan (usia remaja awal), (f) Keintiman versus isolasi
(awal dewasa), (g) Generativitas versus stagnasi (dewasa), (h) integritas versus keputusasaan
(dewasa, tua).20
Fakta emosional tersebut sebenarnya terjadi pada semua tingkatan usia, baik anak,
remaja, maupun dewasa. Jadi sebenarnya yang mengalamai perkembangan bukanlah emosinya,
melainkan tingkat pengendalian dirinya yang mengalami proses perkembangan.21 Selanjutnya
proses perkembangan sosial anak pada dasarnya adalah proses pencapaian anak dalam
hubungan sosialnya. Perkembangan sosial juga dapat diartikan sebagai proses belajar untuk
menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan dapat meleburkan diri
menjadi suatu kesatuan yang saling membantu, berkomunikasi, dan bekerjasama.22
Sehingga pada masa ini dapat dikatakan anak sedang belajar beradaptasi baik dengan
dirinya/pengendalian emosi, maupun dengan lingkungannya. Untuk itu peran literasi digital
pada tahapan ini sangat penting. Karna dengan pengenalan dan penanaman konsep literasi

20
Burhan Nurgiantoro, Tahapan Perkembangan Anak Dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak, Cakrawala Pendidikan, No. 2 ,
2005, Hal. 206
21
Nafia Wafiqni dan Asep Ediana L, Op.Cit, hal. 122
22
Ibid, hal. 139
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

562
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

digital, orang tua dan pendidik jauh lebih mudah mengarahkan anak terhadap aktivitas-
aktivitas yang dapat menunjang tumbuh kembangnya. Diantaranya, anak terbiasa
berkomunikasi secara efektif di dalam keluarga yang mana akan berdampak pada hubungan
yang baik antar anggota keluarga, membantu anak untuk lebih bersikap kritis terhadap
informasi yang ia terima dan anak juga dilatih untuk lebih bijak dalam menyebarkan
informasi yang di dapatkannya.
Kedua, pada masa ini anak akan belajar banyak hal dari apa yang dia lihat dan dia
dengar (proses emosional dan sosial). Sehingga jika masa ini, orang tua dan pendidik tidak
bisa memaksimalkan kemampuan tersebut, anak akan mengalami kesulitan untuk
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Selanjutnya, anak juga akan kesulitan
dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan.23 Untuk itu pengenalan dan
penanaman konsep literasi digital begitu penting. karena sejatinya dengan literasi, anak
menjadi memahami maksud dari informasi yang ia baca, seingga ia mampu lebih selektif
dalam memilih. Dengan demikian, kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung
aman dan kondusif.

Karakteristik Perkembangan Anak


Setiap anak memiliki kekhasan masing-masing, karena sejatinya manusia itu unik. Kita
juga sering kali menyaksikan karakter dalam suatu keluarga berbeda-beda, meski mereka
memiliki darah yang sama. Oleh karena itu mempelajari karakteristik anak khususnya para
orang tua dan pendidik, merupakan perkara yang penting. Hal tersebut berguna, untuk lebih
mengenal mengenai kepribadian seorang anak dan bagaimana cara menyikapi setiap anak.
Maka secara umum, karakteristik perkembangan emosi anak diantaranya: (1) Bersifat
fluktuatif, (2) Temporal, (3) Incidental, (4) Longitudinal, (5) Cultural, dan (6) Individual.24
Selanjutnya karakteristik perkembangan sosial anak diantaranya: (1)
Pembangkangan/Negativisme, (2) Agresi/Agression, (3) Berselisih/Guarreling, (4)
Menggoda/Teasing, (5) Persaingan/Rivaly, (6) Kerja sama/Cooperation, (7) Tingkah laku
berkuasa/Asendant behavior, (8) Mementingkan diri sendiri/Selffishness, dan (9)
Simpati/Sympathy.25
Lebih lanjut, karakteristik umum anak sekolah dasar antara lain: (1) Senang bermain
terutama mereka yang di kelas-kelas awal; (2) Aktif bergerak (masih belum bisa duduk diam
pada waktu yang lama); (3) Mempunyai rasa ingin tahu yang besar; (4) Masih lebih mudah
memahami hal-hal yang bersifat konkret; (5) Mulai berpikir logis dan bisa memecahkan
masalah sederhana; (6) Mulai mencari sendiri hal-hal yang mereka ingin ketahui; (7) Mulai
memasuki masa pubertas; (8) Senang bekerja dalam kelompok dan mulai tidak bergantung
pada kehadiran orang dewasa.26

23
https://kelasin.com/
24
Nafia Wafiqni dan Asep Ediana L, Op.Cit, hal. 125-128
25
Ibid, hal. 148-152
26
Sukiman, dkk, Menjadi Orang Tua Hebat Untuk Keluarga dengan Anak Usia Sekolah Dasar , Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2016, hal. 4-5
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

563
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak pada


umumnya aktif bergerak, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mementingkan diri sendiri,
bersifat fluktuatif dan temporal, serta mulai memasuki masa pubertas dengan ditandai senang
bekerja dalam suatu kelompok. Dengan demikian, pada masa ini orang tua dan pendidikan
sangat berperan dalam mengarahkan peserta didik agar mampu membedakan mana yang baik
dan yang tidak, serta mana informasi yang relevan untuk dirinya dan mana yang belum sesuai
untuk dirinya.
Untuk itu, dari karakteristik tersebut, baik orang tua ataupun pendidik pentingnya
mengetahui penggunaan media digital sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan anak:
(1) Usia 1-3 tahun: Memanfaatkan progam untuk meningkatkan perilaku prososial pada
anak, (2) Usia 4-6 tahun: Memanfaatkan progam yang mendidik terkait dengan kesiapan
sekolah, (3) Usia 8-12 tahun: Memanfaatkan progam atau video yang menunjukkan berbagai
pengalaman positif yang menstimulus imajinasi, (4) Usia 12-18 tahun: Mengajak anak
berpikir kritis atas tayangan informasi dengan cara mengajukan pertanyan seperti: “Menurut
kamu apa yang paling menarik dari video ini?”. 27
Literasi Digital/Media
Echols & Shadily mengemukakan bahwa secara harfiah literasi berasal dari kata literacy
yang berarti melek huruf. Selanjutnya Kuder & Hasit mengemukakan literasi merupakan
semua proses pembelajaran baca tulis yang dipelajari seseorang termasuk di dalamnya empat
keterampilan berbahasa (mendengar, berbicara, membaca, dan menulis).28 Hal tersebut senada
dengan pendapat yang mengatakan bahwa literasi berurusan dengan pemaknaan teks.
Pemaknaan teks begitu penting dalam kegiatan literasi karena pemaknaan seseorang akan
membentuk sistem nilai dan sistem nilai akan menentukan tindakan seseorang dalam
memahami kehidupan beserta aspeknya.29 Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas,
sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti
(multi literacies). Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, misalnya computer
literacy, media literacy, technology literacy, economy literacy, information literacy, bahkan
ada moral literacy.30
Lebih lanjut, istilah literasi digital sendiri kemampuan untuk membuat dan berbagi
dalam mode dan bentuk yang berbeda; untuk membuat, berkolaborasi, dan berkomunikasi
lebih efektif, serta untuk memahami bagaimana dan kapan menggunakan teknologi digital
yang baik untuk mendukung proses tersebut.31 Senada dengan pendapat lain yang
mengatakan bahwa literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam
menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola,

27
Palupi Raraswati, dkk, Seri Pendidikan Orang Tua: Mendidik Anak di Era Digital, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2016, hal. 27-34
28
Muhammad Kharizmi, Kesulitan Siswa Sekolah Dasar Dalam Meningkatkan Kemampuan Literasi, Jupendas, Issn 2355-
3650, Vol. 2, No. 2, 2015, Hal. 13
29
Endah Tri P, dkk, Membaca Kritis dan Literasi Kritis, Tanggerang: Tira Smart, 2017, hal. 158
30
Ane Permatasari, Membangun Kualitas Bangsa Dengan Budaya Literasi , Jurnal pada Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa
Unib, 2015, Hal. 148
31
Indah Kurnianingsih, dkk, Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi Digital bagi Tenaga Perpustakaan Sekolah dan Guru di
Wilayah Jakarta Pusat Melalui Pelatihan Literasi Informasi, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 3, No. 1, 2017, hal. 62
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

564
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru,


membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam
masyarakat.32 Sementara itu, Douglas A.J. Belshaw mengatakan bahwa ada delapan elemen
esensial untuk mengembangkan literasi digital, yaitu sebagai berikut: (1) Kultural, yaitu
pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital; (2) Kognitif, yaitu daya pikir dalam
menilai konten; (3) Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual; (4)
Komunikatif; (5) Kepercayaan diri yang bertanggung jawab; (6) Kreatif; (7) Kritis dalam
menyikapi konten; dan (8) Bertanggung jawab secara sosial.33
Dengan demikian, literasi digital adalah kemampuan mencari dan menggunakan
informasi dengan kritis serta pemahaman mendalam/pemaknaan terhadap teks/informasi
yang diterimanya guna membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan
orang lain agar dapat berpartisipasi secara aktif dan efektif dalam masyarakat.

Faktor yang Dapat Mempengaruhi Kemampuan Literasi


Menurut Snow, anak usia 2 sampai 5 tahun sudah dapat menunjukan kemampuan
literasinya dengan cukup pesat.34 Oleh karena itu pada tahapan ini, orang tua berperan
penting dalam hal mengoptimalkan kemampuan literasi tersebut. Orang tua juga sebaiknya
mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kemampuan literasi pada anak,
agar kemampuan literasi anak berkembang dengan baik tampa hambatan yang berarti.
Fadriyani menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kemampuan literasi, yaitu intelegensi, jenis kelamin, perkembangan motorik, kondisi fisik,
kesehatan fisik, lingkungan perbedaan status sosial dan keluarga, termasuk di dalamnya
adalah keterlibatan orang tua.35 Di sisi lain, Hasil penelitian Lusardi menyatakan bahwa
“Parent education, parental wealth, and sophistication of the family finances significantly
influence the financial literacy of children.” Lebih lanjut, Fowdar dalam penelitiannya
menyatakan bahwa tingkat literasi seseorang dipengaruhi oleh tingkat pekerjaan orang tua.36
Dengan paparan tersebut, maka dapat disimpulkan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi literasi digital anak diantaranya: (1) Jenis kelamin/genre, (2)
Pertumbuhan dan perkembangan fisik anak, (3) Latar belakang pekerjaan orang tua serta (4)
Keterlibatan orang tua dalam aspek kegiatan anak.
Selanjutnya, American Library Association Office for Information Technology
Policy’s Digital Literacy Task Force menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan memiliki
keterampilan literasi digital apabila (1) Memiliki beragam keterampilan kognitif dan

32
Juliana dkk, Op.Cit, hal. 44
33
Rulli Nasrullah, Op.Cit, Hal. 7
34
Widyaning Hapsari, dkk , Peningkatan Kemampuan Literasi Awal Anak Prasekolah melalui Program Stimulasi , Jurnal
Psikologi Volume 44, Nomor 3, 2017, hal. 178
35
Ainin Amariana, Keterlibatan Orangtua Dalam Perkembangan Literasi Anak Usia Dini, Skripsi Pada Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012, Hal. 7
36
Irin Widayati, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Literasi Finansial Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya, Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, Vol. 1, No. 1, 2012, Hal. 92
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

565
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

teknis yang diperlukan untuk menemukan, memahami, mengevaluasi membuat dan


mengkomunikasikan informasi digital dalam berbagai format; (2) Mampu menggunakan
beragam teknologi secara tepat dan efektif; (3) Memahami hubungan antara teknologi,
pembelajaran sepanjang hayat, privasi pribadi, dan penata layanan informasi yang tepat; (4)
Menggunakan keterampilan dan teknologi tepat guna dalam berkomunikasi dan
berkolaborasi dengan lingkungan; serta mampu menggunakan seluruh keterampilan tersebut
untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat dan komunitas.37
Lebih lanjut, dengan mengetahui kriteria tersebut diharapkan sebagai orang tua
maupun pendidik mampu mengevaluasi kembali apakah anak ataupun peserta didik kita telah
memiliki kemampuan literasi. Karena sejatinya kemampuan literasi memiliki peranan penting
dalam kehidupan anak, terutama pada era digital ini. Yang mana dengan literasi, anak akan
mampu me-filter segala informasi yang didapatkannya dan memahami kapan dan bagaimana
teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan dan jika generasi muda kurang
menguasai kompetensi digital, hal ini sangat berisiko bagi mereka untuk tersisih dalam
interaksi sosial di lingkungannya.

Peran Penting Kemampuan Literasi Digital


Setiap individu sejatinya perlu memahami bahwa literasi digital merupakan hal penting
yang dibutuhkan untuk dapat berpartisipasi di era moderen sekarang ini. Generasi yang
tumbuh dengan dukungan falisitas teknologi digital mempunyai pola berpikir yang jauh
berbeda dengan generasi yang tidak mengenal teknologi. Hal tersebut diperkuat dengan
pendapat yang mengatakan bahwa “Digital literacy it’s important for educators, policy
makers, and the public to understand what advanced literacy is. Assessments designed to tap
the skills that are directly relevant to academic success and to workplace demands require
students to assess the credibility of sources of information—skills that we will call “deep
comprehension.”38
Until recently digital technology recent work has challenged people and make a daily
activities. Digital technology can make a information proses very fast and to expanding
science easier connection from other place. This situation support high productivity and
society welfare. However, literacy is a requirement accepted in digital community. Skill
literacy the result of literate literacy process began from childhood then determine
stimulation processed from the parents at home and teachers at school environment. Skill
literacy very important in develop school age proses. Especially in modern era, literacy
becomes a very important skill. Skill Literacy can alert stabile school performance, behavior
problems, and drop out rate. Thus literacy is further asset potential children development.39

37
Ervina Nurjanah, dkk, Hubungan Literasi Digital Dengan Kualitas Penggunaan E-Resources, Jurnal Pendidikan, 2017 , Hal.
128
38
Sara Mc Lanahan, dkk, Literacy Challenges for the Twenty-First Century, jurnal internasional, ISSN: 1054-8289, ISBN: 978-
0-9814705-9-7, Vol. 22, No. 2, 2012, hal. 7
39
Lisnawati Ruhaena, Stimulation Literacy Children Preschool: Problem And Solution, Jurnal Pendidikan pada Seanconference
2nd Psychology & Humanity, 2016, Hal 828
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

566
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dengan kata lain, peran penting literasi digital adalah dapat memacu individu untuk
beralih dari konsumen informasi yang pasif menjadi produsen aktif. Karna di dalam literasi
digital, peserta didik dilatih untuk terbiasa melakukan pemaknaan terhadap informasi baik
pada saat menerimanya, maupun pada saat ingin menyebarkannya. Literasi digital juga turut
berpartisipasi dalam menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang
kritis, komunikatif, dan reaktif terhadap sosial. Dengan penanaman konsep literasi digital,
anak-anak juga tidak akan dengan mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi
korban informasi hoaks, atau penyalahgunaan media yang berbasis digital.
Salah satu contoh pertama peran literasi digital adalah dengan adanya e-book/
electronic book. E-book ini memiliki banyak manfaat, di samping mengurangi jumlah
penggunaan kertas, keberadaan e-book juga dapat mengatasi permasalahan malas membaca
pada anak-anak. Senada dengan pendapat Amelia “One effective means by which to boost
literacy achievements for children at risk for reading difficulties is through the use of
storybook. Although studied less often than traditional paper formats, the digital version of a
storybook is a way funny reading. One of the most important ways that e-books can benefit
young children is through the inclusion of print referencing strategies. Print referencing
strategies refer to the techniques that can be used during storybook reading to draw children’s
attention to the meaning and function of print using either nonverbal or verbal cues.”40.
Selanjutnya, contoh kedua adalah penggunaan komputer dan internet. Metode atau
cara mendidik anak pada usia dini, memerlukan penyajikan materi yang menarik dan
menyenangkan, salah satunya dengan penggunaan komputer dan fasilitas internet. Dengan
komputer dan internet, proses pembelajaran akan terasa menyenangkan dan tidak monoton.
Hal tersebut dikarenakan, dengan komputer dan internet kita dapat memasukkan program-
program edukasi yang cocok untuk pendidikan anak pada usia dini. Adanya tampilan gambar
warna-warni yang dapat bergerak serta didukung dengan suara atau nyanyian yang riang
gembira juga dapat merangsang anak untuk tertarik mengikuti kegiatan pembelajaran. Dan
hal tersebut tentunya sesuai dengan karakteristik usia anak didik yaitu metode bermain sambil
belajar.
Terakhir, contoh ketiga adalah “Hence, this shows that to successfully promote
language development in young children, language learning via television should only be
introduced to children older then 24 months old, as most programs are produced for
children at this age and older, and also probably due to the readiness of these very young
children to perceive such level of information.”41 Televisi merupakan media digital yang
sangat dekat dengan anak. Oleh karena itu, sangat disayangkan bila mana televisi tidak
dimanfaatkan sebaik mungkin dalam menunjang kemampuan literasi siswa. Namun perlu
diingat, bahwa dalam pengunaannya orang tua diharapkan mampu melindungi anak-anak dari

40
Amelia Moody, dkk, Use of Electronic Storybooks to Promote Print Awareness in Preschoolers who are Living in Poverty ,
Journal of Literacy and Technology, Vol. 15, No. 3, 2014, hal. 5-6
41
Kamaruzaman Jusoff, Television and Media Literacy in Young Children: Issues and Effects in Early Childhood , Jurnal
Internasional Education Studies, Vol. 2, No. 3, 2009, hal. 153
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

567
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dampak negatif penyalagunaan media digital, tetapi juga tidak menghalangi potensi manfaat
yang bisa ditawarkannya.
Peran lainnya dari literasi digital adalah (1) Sebagai sumber informasi, (2)
Membangun kreativitas anak, (3) Ranah/media komunikasi, (4) Sarana pembelajaran jarak
jauh, (5) Menjaring sosial dengan lingkup yang lebih luas, (6) Mendorong pertumbuhan
usaha, dan (7) Memperbaiki pelayanan publik.42 Selanjutnya, peran literasi digital terhadap
perkembangan emosional dan sosial anak selain pemaknaan terhadap informasi adalah
komunikasi dan representasi.43 Dan masih banyak lagi peran-peran dari literasi digital baik
dari segi pendidikan, sistem pemerintahan maupun proses perkembangan anak. Terakhir,
yang perlu diingat adalah keberhasilan membangun literasi digital merupakan salah satu
indikator pencapaian dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Oleh karena itu dibutuhkan
keterlibatan secara aktif baik orang tua maupun pendidik untuk mengoptimalkan
kemampuan literasi digital anak, mengingat besarnya peran literasi itu sendiri.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan paparan teori di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
a) Proses perkembangan emosional dan sosial anak pada dasarnya adalah proses
adaptasi anak dalam menyingkapi lingkungannya. Di dalam perkembangan
emosional, yang berkembang bukanlah emosi, melainkan tingkat pengendalian
diri anak terhadap situasi yang dihadapinya. Selanjutnya proses perkembangan
sosial anak adalah proses membangun hubungan interaksi sosial yang baik, guna
menjadi bagian dalam suatu anggota masyarakat.
b) Karakteristik perkembangan anak pada umumnya aktif bergerak, memiliki rasa
ingin tahu yang tinggi, mementingkan diri sendiri, bersifat fluktuatif dan
temporal, serta mulai memasuki masa pubertas dengan ditandai senang bekerja
dalam suatu kelompok.
c) Literasi digital/media adalah kemampuan mencari dan menggunakan informasi
dengan kritis serta pemahaman mendalam/pemaknaan terhadap teks/informasi
yang diterimanya guna membangun pengetahuan baru, membuat dan
berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara aktif dan
efektif dalam masyarakat.
d) Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi literasi digital anak diantaranya: (1)
Jenis kelamin/genre, (2) Pertumbuhan dan perkembangan fisik anak, (3) Latar
belakang pekerjaan orang tua serta (4) Keterlibatan orang tua dalam aspek
kegiatan anak. Maka dengan mengetahui faktor yang dapat mempengaruhi

42
Palupi Laraswati, dkk, Op.Cit, hal. 7-8
43
Enda Tri P, dkk, Op.Cit, hal. 158
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

568
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

literasi diharapkan kemampuan literasi anak dapat berkembang dengan baik


tampa hambatan yang berarti.
e) Peran penting kemampuan literasi digital diantaranya: (1) Memacu individu
untuk beralih dari konsumen informasi yang pasif menjadi produsen aktif; (2)
Turut berpartisipasi dalam menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir
dan pandangan yang kritis, komunikatif, dan reaktif terhadap sosial (3) Tidak
mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau
penyalahgunaan media yang berbasis digital dan (4) Selain memiliki kemampuan
pemaknaan terhadap informasi. Anak juga memiliki kemampuan komunikatif
dan representasi.
Saran
Satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa membangun budaya literasi digital perlu
melibatkan peran aktif masyarakat. Oleh karena itu diperlukan tekad yang kuat untuk saling
membahu satu sama lain baik orang tua maupun pendidik untuk mengenalkan dan
menanamkan konsep secara mendalam mengenai kemampuan literasi digital pada anak.

Daftar Pustaka

Amariana Ainin. 2012. Keterlibatan Orangtua Dalam Perkembangan Literasi Anak Usia Dini.
Skripsi Pada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Basyiroh Iis. 2017. Program Pengembangan Kemampuan Literasi Anak Usia Dini (Studi Kasus Best
Practice Pembelajaran Literasi di TK Negeri Centeh Kota Bandung ). Jurnal Pendidikan.
Vol.3. No.2
Firman M, dkk. 2017. Teknologi Dalam Pendidikan : Literasi Digital Dan Selfdirected Learning
Pada Mahasiswa Skripsi. Jurnal Indigenous. Vol. 2. No. 1
Fitri Sulidar. 2017. Dampak Positif dan Negatif Sosial Media Terhadap Perubahan Sosial Anak .
Jurnal Kajian Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran 1
Harfiyanto, Doni dkk. 2015. Pola Interaksi Sosial Siswa Pengguna Gadget di SMAN 1 Semarang.
Journal of Educational Social Studies 4
Hapsari Widyaning, dkk. 2017. Peningkatan Kemampuan Literasi Awal Anak Prasekolah melalui
Program Stimulasi. Jurnal Psikologi. Vol. 44. No. 3
Hendriani, Wiwin. 2017. Menumbuhkan Online Resilience Pada Anak di Era Teknologi Digital.
Prosiding Temu Ilmiah X Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia. Semarang.
https://kelasin.com/

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

569
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

https://nasional.kompas.com/read/2017/02/14/09055481/media.sosial.penyebaran.hoax
https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/amp/trensosial-41022914
Juliana dkk. 2016. Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu . Jurnal
Komunikator. Vol. 8. No. 2
Jusoff Kamaruzaman. 2009. Television and Media Literacy in Young Children: Issues and Effects in
Early Childhood. Jurnal Internasional Education Studies. Vol. 2. No. 3
Kharizmi Muhammad. 2015. Kesulitan Siswa Sekolah Dasar Dalam Meningkatkan Kemampuan
Literasi. Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 2. No. 2
K, Indah dkk. 2017. Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi Digital bagi Tenaga Perpustakaan
Sekolah dan Guru di Wilayah Jakarta Pusat Melalui Pelatihan Literasi Informasi . Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat. Vol. 3. No. 1
K Novi dan Santi I.A. 2017. Peta Gerakan Literasi Digital Di Indonesia: Studi Tentang Pelaku,
Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran dan Mitra. Jurnal: Ilmu Komunikasi. Vol. 47. No. 2
Kurnianingsih Indah, dkk. 2017. Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi Digital bagi Tenaga
Perpustakaan Sekolah dan Guru di Wilayah Jakarta Pusat Melalui Pelatihan Literasi
Informasi. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. Vol. 3. No. 1
Limilia Putri, dkk. 2017. Pelatihan Literasi Media Digital sebagai Penanggulangan Dampak Negatif
Internet pada Ketahanan Keluarga. Jurnal Abdi Moestopo. Vol. 01. No. 01
Mabruroh, Emi. 2015. Meminimalisir Ketergantungan Gadget Sejak Usia Dini Dengan
Memperkenalkan Permainan Tradisional Yang Menarik. Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan
Mc Sara Lanahan, dkk. 2012. Literacy Challenges for the Twenty-First Century. Jurnal
internasional. Vol. 22. No. 2
M Hamid, dkk. 2016. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Dasar
Moody Amelia, dkk. 2014. Use of Electronic Storybooks to Promote Print Awareness in
Preschoolers who are Living in Poverty. Journal of Literacy and Technology. Vol. 15.
No. 3
Nasrullah Rulli, dkk. 2017. Materi Pendukung Literasi Digital. Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Jakarta

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

570
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Nurgiantoro Burhan. 2005. Tahapan Perkembangan Anak Dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak .
Jurnal Cakrawala Pendidikan. No. 2
Nurjanah Ervina, dkk. 2017. Hubungan Literasi Digital Dengan Kualitas Penggunaan E-Resources.
Jurnal Pendidikan
Pratiwi Nani, dkk. 2016. Pengaruh Literasi Digital terhadap Psikologis Anak dan Remaja . Jurnal
Ilmiah
Permatasari Ane. 2015. Membangun Kualitas Bangsa Dengan Budaya Literasi. Jurnal pada Prosiding
Seminar Nasional Bulan Bahasa Unib
Rabbi, Nizar dkk. 2017. Pengaruh Penggunaan Gawai Terhadap Perkembangan Sosial Emosional
Anak Usia Dini, Jurnal Paud Agapedia. Vol.1 No. 1.
Raraswati Palupi, dkk. 2016. Seri Pendidikan Orang Tua: Mendidik Anak di Era Digital. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
R Lisnawati, 2015. Model Multisensori: Solusi Stimulasi Literasi Anak Prasekolah . Jurnal Psikologi.
Vol. 42. No. 1
Ruhaena Lisnawati. 2016. Stimulation Literacy Children Preschool: Problem And Solution. Jurnal
Pendidikan pada Seanconference 2nd Psychology & Humanity
Sukiman, dkk. 2016. Menjadi Orang Tua Hebat Untuk Keluarga dengan Anak Usia Sekolah Dasar .
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tri Endah P, dkk. 2017. Membaca Kritis dan Literasi Kritis. Tanggerang: Tira Smart
Wafiqni Nafia dan Asep Ediana L. 2015. Psikologi Perkembangan Anak Usia MI/SD. Jakarta:
UIN Press
Wahyu Danang P. 2016. Implementasi Literasi Digital Dalam Gerakan Literasi Sekolah. Jurnal pada
Konferensi Bahasa dan Sastra II International Conference On Language, Literature, and
Teaching.
Widayati Irin. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Literasi Finansial Mahasiswa Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Jurnal Akuntansi dan Pendidikan. Vol. 1. No.
1

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

571
Darto Wahidin
Ketahanan Nasional SPs UGM
e-mail: dartowahidin2@gmail.com
Abstract. The literacy problem in Indonesia is still very low, indicated by the data in 2012 from a
study conducted by the Program for International Student Assessment (PISA) which shows that
Indonesia is ranked 60th out of 65 countries in the literacy category. Recent data related to
Indonesia's literacy rate in 2016, delivered by Central Connecticut State University, USA titled
World's Most Literate Nations of the Strip, put Indonesia 60th position out of a total of 61
research countries. The low ranking of Indonesian literacy has had an impact on the low quality of
education in Indonesia. So in this case the importance (urgency) to do various strategies, especially
done by the activists of literacy to realize the movement of literacy. The purpose of this research is
to know the strategy of reading house of community to realize literacy movement in digital literacy
era. This research is analyzed by using strategy theory. The method used in this research is
qualitative. The results of this study indicate that the strategies undertaken by the home read
community by holding activities, such as: book sharing, iqro movement tadarus, national book
grants, community learning house (CLH), de jure or afternoon book review, reboan, street library,
reading movement campaigns, magazine publishing, book publishing, and ecoliteration. Basically, the
strategy undertaken to realize the literacy movement in the era of digital literacy, especially in the
Province of Yogyakarta Special Region.

Keywords: strategy, literacy, digital literacy

Abstrak. Permasalahan literasi di Indonesia masih sangat rendah, hal ditunjukkan dengan data pada
tahun 2012 dari penelitian yang telah dilakukan oleh Programme for International Student
Assessment (PISA) yang menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 60 dari 65 negara
untuk kategori literasi (reading). Data terbaru terkait dengan tingkat literasi Indonesia pada tahun
2016, yang disampaikan oleh Central Connecticut State University, Amerika Serikat yang bertajuk
World’s Most Literate Nations Ranked, menempatkan Indonesia posisi 60 dari total 61 negara yang
dilakukan penelitian. Rendahnya peringkat literasi Indonesia berdampak pada rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia. Maka dalam hal ini pentingnya (urgensi) melakukan berbagai macam
strategi terutama yang dilakukan oleh para penggiat literasi untuk mewujudkan gerakan literasi.
Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui strategi rumah baca komunitas untuk mewujudkan
gerakan literasi di era digital literacy. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori strategi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
strategi yang dilakukan oleh rumah baca komunitas dengan mengadakan kegiatan, seperti: sharing
book, tadarus gerakan iqro, hibah buku nasional, community learning house (CLH), de jure atau
bedah buku Jum’at sore, reboan, perpustakaan jalanan, kampanye gerakan membaca, penerbitan
majalah, penerbitan buku, dan ekoliterasi. Pada dasarnya strategi yang dilakukan tersebut untuk
mewujudkan gerakan literasi di era digital literacy, khususnya di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Kata Kunci: strategi, literasi, digital literacy

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Permasalahan literasi di Indonesia masih sangat rendah, hal ditunjukkan dengan data
pada tahun 2012 dari penelitian yang telah dilakukan oleh Programme for International
Student Assessment (PISA) yang menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 60
dari 65 negara untuk kategori literasi atau reading (PISA, 2012, 1-44). Data terbaru terkait
dengan tingkat literasi Indonesia pada tahun 2016, yang disampaikan oleh Central
Connecticut State University, Amerika Serikat yang bertajuk World’s Most Literate Nations
Ranked, menempatkan Indonesia posisi 60 dari total 61 negara yang dilakukan penelitian
(CCSU, 2016). Beberapa data tersebut menunjukkan sebuah keprihatinan terhadap dunia
literasi yang ada di Indonesia.
Rendahnya peringkat literasi Indonesia berdampak pada rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia (Raharjo, 2017:177). Wajar saja jika kualitas pendidikan di
Indonesia masih sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Bukan hanya
bersaing dengan negara-negara lainnya dalam persoalan pendidikan. Namun, di Indonesia
sendiri terjadi sebuah kesenjangan ilmu dan pengatahuan. Hal ini bisa dilihat dari proses
distribusi buku yang terjadi di Indonesia, padahal ilmu dan pengatahuan diakses malalui buku
yang menjadi sebuah jendela dunia. Buku-buku yang ada di Indonesia bagian Barat jauh lebih
banyak khususnya Tanah Jawa, sedangkan di Indonesia bagian Timur sendiri sangat sedikit.
Bahkan semakin wilayahnya pelosok, maka harga sebuah buku pun semakin mahal.
Keprihatinan tersebut yang coba dipecahkan persoalannya oleh sebuah komunitas yang
bernama Rumah Baca Komunitas (RBK) yang ada di Kota Yogyakarta. Bagi Rumah Baca
Komunitas bukan hanya di pelosok Indonesia bagian Timur yang mengalami krisis literasi
parah, tapi justru di bagian Barat pun mengalami hal yang sama pula. Hal ini di karenakan
kurangnya sebuah gerakan literasi itu sendiri dan juga akses yang tersedia untuk masyarakat
luas. Bahkan saat ini generasi muda lebih senang untuk bermain media sosial dengan
handphonenya yang mengarah pada fitnah, berita bohong, hoax, dan lain sebagainya, daripada
memanfaatkan handphone tersebut untuk tujuan-tujuan yang positif seperti mencari
informasi ilmu pengetahuan. Atas dasar keprihatinan tersebut Rumah Baca Komunitas
melakukan berbagai macam strategi, agar dapat mewujudkan gerakan literasi di eras digital
literacy.
Maka dalam hal ini pentingnya (urgensi) melakukan berbagai macam strategi terutama
yang dilakukan oleh para pengiat literasi khususnya Rumah Baca Komunitas untuk
mewujudkan gerakan literasi. Sehingga gerakan literasi ini harus mempunyai dampak positif
bagi masyarakat, bangsa, dan negara ini, agar terwujudnya digital literacy. Berdasarkan
permasalahan dan pentingnya gerakan literasi di atas, sesungguhnya ada pertanyaan menarik,
yakni bagaimana strategi rumah baca komunitas untuk mewujudkan gerakan literasi di era
digital literacy?. Dari rumusan masalah tersebut penulisan makalah yang berbasis dari hasil
penelitian ini mempunyai tujuan yakni untuk mengetahui strategi Rumah Baca Komunitas
untuk mewujudkan gerakan literasi di era digital literacy. Manfaat yang bisa diambil dari
penelitian ini, untuk memberikan informasi tentang gerakan literasi di era digital literacy di
kalangan akademis sehingga penelitian ini dapat dijadikan referensi atau bahan masukan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

573
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

penelitian yang lain dengan tema senada.


Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori strategi dari Pierre Bourdie.
Dalam sebuah pertarungan, strategi memegang peranan yang sangat penting. Konsep tentang
strategi yang diperkenalkan oleh Bourdieu (Sjaf, 2014:75). Konflik yang terjadi di dalam
sebuah arena, menjadi hal yang sangat lumrah. Dalam sebuah arena akan selalu ada saja pihak,
baik individu, maupun kelompok, yang akan mendominasi dengan kekuatan modal yang
dimilikinya. Mereka yang bukan kelompok mendominasi, harus berusaha keras agar modal
yang dimiliki bisa bertahan, berkembang, dan kemudian bisa dilestarikan (Calhoun,
1993:72).
Ada beberapa bentuk strategi dari Bourdieu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sjaf
(2014:75-76), yaitu: (1) Strategi investasi biologis, strategi ini memiliki kaitan erat dengan
pelestarian keturunan dan jaminan atas pewarisan modal bagi generasi yang selanjutnya
dengan tujuan mempersiapkan generasi berikutnya yang lebih baik lagi; (2) Strategi suksesif,
yaitu usaha mewariskan harta bagi generasi berikutnya, pewarisan harta ini biasanya terkait
dengan pewarisan modal ekonomi dan modal budaya; (3) Strategi edukatif, yaitu usaha yang
dilakukan aktor untuk menghasilkan pelaku-pelaku sosial baru yang bisa dengan cakap
mewarisi modal yang dimiliki oleh aktor tersebut; (4) Strategi invasi ekonomi atau disebut
juga strategi kapital ekonomi bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan modal
ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya; dan (5) Strategi investasi simbolik, strategi ini
berkaitan dengan semua tindakan pelestarian kapital simbolik. Strategi ini bertujuan agar
seorang individu atau kelompok sosial mendapatkan pengesahan dalam kehidupan sosialnya.
Strategi ini menjadi hal penting karena menyangkut pengakuan seseorang terhadap posisinya.
Semakin besar kapital simbolik yang dimilikinya, maka semakin besar pengaruhnya pada
kelompok sosial yang lain.

Metode
Dalam Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell (2013:4),
penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna
yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau
kemanusiaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk deskriptif yang merupakan
pencarian fakta dengan menggunakan interpretasi yang tepat. Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini yakni sumber data primer yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data dari berbagai sumber seperti wawancara dan dokumentasi. Lokasi penelitian
yang dijadikan untuk penelitian ini di Jalan Ibu Ruswo Nomor 17, Sebelah Timur Alun-
Alun Utara Keraton Yogyakarta Asrama Putra Bangka Kota Yogyakarta Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Alasan pemilihan di Rumah Baca Komunitas karena RBK begitu
disingkatnya dikenal sebagai komunitas yang sangat intens terhadap gerakan literasi di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan oleh kalangan anak muda dan masih
mengenyam pendidikan dibangku perkuliahan. Rumah Baca Komunitas sangat strategis
lokasinya karena berada di kawasan Keraton Yogyakarta. Adapun informan dalam penelitian
ini, diantaranya: Mas Rifqi, Mas Aris, Mbak Mia, Mas Luthfi, Mas Fauzan, dan Mas Agam.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

574
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penentuan informan penelitian dilakukan secara purposive sampling yang dipilih dengan
pertimbangan dan tujuan tertentu dalam penelitian ini.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara dan
dokumentasi. Dalam teknik pengumpulan data wawancara digunakan untuk menggali data
yang diperlukan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian mengenai strategi
Rumah Baca Komunitas untuk mewujudkan gerakan literasi di era digital literacy.
Wawancara dilakukan secara directive dalam artian peneliti berusaha mengarahkan
pembicaraan sesuai dengan fokus permasalahan yang akan dipecahkan. Sedangkan
dokumentasi diperlukan sebagai upaya untuk menunjang data-data yang telah diperoleh
melalui wawancara.
Teknik analisis data dengan memilih data secara selektif serta disesuaikan dengan
permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini
diperlukan langkah-langkah seperti reduksi data, penyajian data, penarikan simpulan, dan
verifikasi. Reduksi data dalam penelitian ini diperoleh dari teknik pengumpulan data berupa
wawancara dan dokumentasi, kemudian dipilih data yang pokok dan difokuskan pada hal-hal
yang penting sehingga data menjadi jelas dan sistematis. Setelah dilakukan reduksi, maka data
tersebut disajikan dalam bentuk naratif yang mendeskripsikan mengenai subjek penelitian
dalam mewujudkan digital literacy dan dihubungkan dengan teori strategi dari Pierre Bourdie.
Kemudian setelah data disajikan dilakukan penarikan simpulan, simpulan harus dapat
menghubungkan data dengan teori strategi dari Pierre Bourdie. Agar simpulan penelitian yang
disajikan dalam makalah menjadi lebih bisa dipercaya maka dilakukan verifikasi data.

Hasil dan Pembahasan


Rumah Baca Komunitas ini mempunyai visi, yaitu menggerakkan arah perjuangan
literasi melalui komunitas terwujudnya manusia berdaya emansipatif dalam membangun
kehidupan yang lebih baik. Sedangkan misi dari Rumah Baca Komunitas itu sendiri, yaitu
menyediakan ruang literasi sebagai ruang hidup, mempromosikan nilai-nilai yang emansipatif
bagi pembentukan komunitas yang lebih menusiawi melalui spirit literasi, dan memperkuat
kehidupan komunitas melalui paradigam organik. Rumah Baca Komunitas mempunyai
prinsip dan nilai-nilai yang terus dijunjung tinggi hingga saat ini, prinsip dan nilai-nilai
tersebut diantaranya: keadilan dan emansipasi, anti-diskriminasi, nir-kekerasan, pemberdayaan
diri, volunterisme dan gerakan mikroba, kepercayaan, dan apresiasi.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

575
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 1. Logo Rumah Baca Komunitas


Logo di atas mengistilahkan sebuah logo yang berbentuk buku yang menaungi nama
komunitas dengan arti bahwa buku dapat mempersatukan dan menjadi payung untuk semua
golongan. Pada dasarnya sifat komunitas Rumah Baca Komunitas ini bersifat independen,
non-profit, dan tidak terikat oleh organisasi, ideologi, dan kepentingan politik organisasi
tertentu. Rumah Baca Komunitas ini bersifat independen maka pendanaannya berasal dari
swadaya, bantuan masyarakat, dan iuran anggota. Di era digital literacy sekarang ini Rumah
Baca Komunitas masih terus melakukan gerakan literasi. Namun, gerakan literasi yang
dilakukannya tersebut dengan berbagai macam strategi. Strategi Rumah Baca Komunitas
untuk mewujudkan gerakan literasi di era digital literacy, akan dijelaskan secara detail di
bawah ini yang langsung dielaborasikan dengan teori strategi.

Sharing Book
Rumah Baca Komunitas selalu menyakini bahwa ketika berbagi bacaan untuk orang
lain itu sangatlah menyehatkan. Hal ini juga yang menjadi latar belakang dari gerakan
membaca buku bergilir atau yang disingkatnya mabulir yang dirintis oleh Rumah Baca
Komunitas. Berbagi bacaan adalah kekuatan besar bagi setiap individu. Selain koleksi diri
sendiri, setiap komunitas, instansi, intitusi maupun yang lainnya dapat menitipkan buku-
bukunya di Rumah Baca Komunitas, sehingga dapat dipinjam oleh semua kalangan
masyarakat luas. Buku yang dititipkan dan dipinjamkan akan di data dan dilakukan
pemantauan oleh pengelola Rumah Baca Komunitas. Di Rumah Baca Komunitas penitipan
dan peminjaman buku dilayani 24 jam dengan ragam bacaan segala usia dan profesi.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

576
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 2. Sharing Book


Jika melihat proses perjalanan kegiatan sharing book merupakan bagian dari
membangun relasi dengan intitusi, instansi, maupun komunitas lainnya terkait dengan proses
penitipan maupun peminjaman yang terjadi di Rumah Baca Komunitas. Strategi yang
dilakukan tersebut berbentuk investasi simbolik, dengan tujuannya agar Rumah Baca
Komunitas mendapatkan pengesahan dan pengakuan dari intitusi, instansi, maupun
komunitas lainnya. Strategi ini menjadi hal yang sangat penting saat ini karena ini
menyangkut terhadap eksistensi dari posisi Rumah Baca Komunitas terhadap komunitas
lainnya yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada posisi itu pula Rumah
Baca Komunitas dapat melebarkan sayapnya sebagai sebuah penggiat gerakan literasi yang
masih ada saat ini.

Tadarus Gerakan Iqro


Sebagaiman dijelaskan pada saat wawancara bahwa tadarus gerakan iqro bukanlah
gerakan membaca Al-Qur’an, karena tadarus dan iqro berkaitan dengan kitab suci yang ada
dalam umat Islam. Melainkan diskusi bulanan dengan kegiatan gerakan membaca,
perpustakaan komunitas, karya sastra, motivasi menulis, keterampilan menulis, presentasi
penelitian, dan lain sebagainya. Strategi tadarus kegiatan iqro ini dilaksanakan setiap minggu
ketiga dengan menghadirkan pembicara para pegiat gerakan membaca baik lokal maupun
nasional. Selama itu kegiatan ini berjalan dengan baik dan mendapat antusiasme, dengan
melihat tolok ukur banyaknya peserta yang hadir baik dari kalangan pegiat gerakan literasi
yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini sendiri maupun dari luar Provinsi.
Strategi gerakan literasi yang dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas melalui kegiatan
tadarus gerakan iqro, merupakan strategi investasi simbolik jika merujuk pada teori Pierre
Bourdieu. Bahwa tindakan yang dilakukan tersebut pada dasarnya dengan mendapat
banyaknya antusiasme dari pengiat literasi yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

577
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

maupun dari luar Provinsi, ini merupakan tindakan pelestarian kapital simbolik. Kegiatan
tersebut diadakan untuk mendapat pengesahan dari para penggerak literasi lainnya. Karena
sebuah komunitas haruslah mendapat pengakuan terhadap posisinya dari komunitas-
komunitas lainnya yang sama-sama pengiat gerakan literasi. Semakin besar sebuah kapital
simbolik yang dimiliki oleh Rumah Baca Komunitas, maka akan semakin besar pula
pengaruhnya pada komunitas pengiat gerakan literasi lainnya khususnya di wilayah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hibah Buku Nasional


Kegiatan hibah buku nasional yang digagas oleh Rumah Baca Komunitas merupakan
bentuk dari keprihatinan atas tidak meratanya distribusi buku, misalnya saja buku-buku di
Indonesia bagian Barat khususnya Tanah Jawa jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang
ada di Indonesia bagian Timur. Semakin ke daerah tertinggal maka buku akan semakin mahal
dan semakin jarang ditemui. Ini mengakibatkan terjadinya kesenjangan ilmu dan pengetahuan
di Republik Indonesia ini. Dengan adanya proses pengiriman buku gratis setiap bulannya
tepatnya tanggal 17 via Kantor Pos, yang digalakkan oleh Presiden Joko Widodo. Ini
menandakan bahwa ada sedikit kepedulian dari pihak pemerintah. Rumah Baca Komunitas
setiap bulannya tepatnya tanggal 17 selalu mengirimkan buku-buku gratis via Kantor Pos ke
pelosok-pelosok negeri.
Sumbangan buku-buku yang diberikan oleh massyarakat yang masuk akan disalurkan
ke perpustakaan komunitas Taman Baca Masyarakat (TBM) diberbagai daerah jaringan
Rumah Baca Komunitas, serta sebagian akan menjadi koleksi Rumah Baca Komunitas.
Strategi edukatif yang dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas merupakan usaha yang
dilakukan Rumah Baca Komunitas untuk menghasilkan pelaku-pelaku sosial baru yang bisa
dengan cakap mewarisi modal yang dimiliki oleh aktor tersebut. Proses edukatif ini bukan
hanya untuk mewarisi modal yang dimiliki oleh Rumah Baca Komunitas, tetapi lebih pada
bentuk kepedulian juga terhadap proses persebaran buku yang terjadi di Republik Indonesia
ini yang tidak merata.

Community Learning House (CLH)


Kegiatan Community Learning House (CLH) merupakan bagian dari strategi Rumah
Baca Komunitas untuk mewujudkan gerakan literasi, yang mempunyai tujuan sebagai
pendampingan belajar untuk para pelajar yang ada di sekitar Rumah Baca Komunitas dan
tujuan lainnya dalam rangka memfasilitasi pelajar untuk meraih kesuksesan dalam belajar.
Kegiatan CLH juga merupakan salah satu upaya meningkatkan minat baca di kalangan
pelajar, khususnya anak-anak. Anak-anak yang ikut tidak dipungut biaya apapun. Sedangkan
pengajar bersifat sukarela dan terbuka bagi umum yang memiliki minat dan kompetensi
untuk mengajar. CLH diadakan setiap hari Minggu sampai dengan Jum’at dari pukul 18.00-
19.30 di Rumah Baca Komunitas.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

578
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Diantara lima bentuk strategi yang diungkapkan teoritikus Pierre Bourdieu,


sebagaimana yang dikutip oleh Sjaf (2014:75-76), jika diamati kegiatan Community
Learning House (CLH) merupakan bagian dari strategi investasi biologis, strategi suksesif,
dan strategi edukatif. Pada dasarnya dengan diadakannya kegiatan Community Learning
House (CLH) dalam rangka untuk meningkatkan minat baca di kalangan pelajar, khususnya
anak-anak. Pelestarian minat baca ini dilakukan melalui sasarannya langsung anak-anak,
karena bagi Rumah Baca Komunitas anak-anak dunianya bermain dan belajar, dengan
mudahnya agar bisa ditanamkan minat bacanya sejak masa anak-anak. Hal ini pula dilakukan
untuk mempersiapkan agar anak-anak menjadi pengiat literasi yang jauh lebih baik dibanding
pendahulunya.

De Jure atau Bedah Buku Jum’at Sore


Dalam rangka mengapresiasi terhadap karya tulis yang dilakukan oleh para penulis dari
berbagai macam genre, diselenggarakan bedah buku Jum’at sore (De Jure) setiap Jum’at sore
pukul 15.30-17.00 di Rumah Baca Komunitas. Acara yang sudah terselenggara ini gratis dan
sangat terbuka untuk umum. Apresiasi terhadap penulis buku masih sangat rendah di
Indonesia, hal ini terlihat dari banyaknya buku yang di foto copy oleh kalangan pelajar
daripada membeli buku aslinya, mungkin dalam hal ini berkaitan juga dengan harga sebuah
buku di Indonesia yang sangat mahal.
Strategi yang dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas dalam rangka bedah buku Jum’at
sore merupakan bagian dari strategi suksesif. Sebagaimana yang ungkapkan oleh Sjaf
(2014:76), strategi suksesif merupakan pewarisan harta bagi generasi berikutnya yang terkait
dengan modal ekonomi dan modal budaya. Modal budaya dalam bentuk bedah buku
diwariskan dari Rumah Baca Komunitas terhadap generasi selanjutnya melalui sebuah contoh
dan pelaksanaan, agar bisa lebih menghargai dan mengapresiasi terhadap berbagai macam
bentuk buku yang ditulis oleh penulisnya. Bedah buku dalam hal ini bisa menjadi sebuah
kebiasaan yang akan terus menerus dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas, dalam rangka
untuk mewujudkan gerakan literasi di era digital literacy yang semakin terpinggirkan peran
buku cetak karena pengaruh dari teknologi, yang saat ini lebih banyak buku berbasis
elektronik.

Reboan
Reboan merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk melakukan diskusi tematik
mingguan lebih tepatnya setiap hari rabu sore yang keluar dari arus utama sehingga nuansa
ekplorasi dan emansipasinya lebih terasa bagi Rumah Baca Komunitas. Pembicara atau
narasumber pada reboan sangat beragam latar belakang, pendidikan, maupun jabatan
sturuktural. Setiap diskusi reboan selalu direkam secara audio yang terkadang audio visual
tersebut dijadikan sebagai arsip untuk sebuah kegiatan atau hanya sebagai dokumenter.
Sampai dengan tahun 2018 saat ini ada ratusan file audio visual, bahkan berdasarkan
penuturan informan audio visual tersebut sedang ditranskip menjadi teks yang dapat
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

579
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dikonsumsi khalayak ramai. Dengan tujuan dapat dikonsumsi oleh khalayak ramai, untuk
menghargai ilmu pengetahuan yang telah dilakukan setiap acara reboan.
Audio visual yang dibuat tiap acara diskusi reboan bahkan akan dikonsumsi khalayak
ramai melalui media sosial tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari strategi Rumah
Baca Komunitas untuk melakukan tindakan pelestarian akan kegiatan diskusi. Proses
perekaman melalui media audio visual yang akan disebarkan melalui media sosial agar Rumah
Baca Komunitas mendapatkan pengesahan dalam kehidupan sosialnya dengan komunitas
lainnya yang sama-sama penggiat literasi. Strategi ini merupakan hal yang sangat penting
mengingat saat ini media sosial menjadi hal tak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang
individu atau kelompok masyarakat. Wajar saja jikalau proses ini diamati juga oleh Rumah
Baca Komunitas untuk mempromosikan dirinya yang memposisikan sebagai komunitas
penggiat gerakan literasi di Indonesia khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Perpustakaan Jalanan

Gambar 3. Perpustakaan Jalanan di Alun-Alun Kidul Kota Yogyakarta


Salah satu keinginan dari para penggiat gerakan literasi di Rumah Baca Komunitas
adalah dengan membawa buku ke ruang publik itu merupakan gagasan utamanya. Rumah
Baca Komunitas selama ini menganggap bahwa perpusatakaan yang ada di Kota, Kabupaten,
ataupun Kampus sangat ribet dalam proses peminjamannya. Terlebih lagi harus menjadi
anggota di perpustakaan tersebut, bahkan ada batas proses peminjamannya, jika melewati
batas pinjaman akan dikenakan denda. Sehingga sudah seharusnya perpustakaan dapat
dilakukan oleh siapa saja secara mudah dan menyenangkan. Hal ini pula yang diinisiasi oleh
Rumah Baca Komunitas untuk mengadakan perpustakaan jalanan, yang dilakukan setiap hari
Minggu di Alun-Alun Kidul dari pukul 06.00-12.00. Proses peminjaman tanpa
menggunakan kartu dan tidak ada batas waktu harus mengembalikan buku yang telah
dipinjam tersebut. Hal ini dilakukan dengan bentuk kepercayaan (trust).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

580
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Perpustakaan jalanan di Alun-Alun Kidul Keraton Yogyakarta yang dilakukan Rumah


Baca Komunitas merupakan bagian dari tindakan untuk melestarikan dan menunjukkan
kapital simbolik. Ini dilakukan dalam rangka untuk menunjukkan eksistensi dan pengakuan
sebuah komunitasnya, agar mendapatkan pengesahan dari masyarakat luas yang sedang
melakukan olahraga pagi di Alun-Alun Kidul Keraton Yogyakarta. Eksistensi dan keinginan
diakui oleh masyarakat luas dibalutkan dengan sebuah pernyataan bahwa buku menjadi alat
yang dapat memajukan diri untuk masyarakat dimanapun berada, buku tidak boleh di
monopoli oleh seseorang atau segelintir manusia saja atau terpusat di kota-kota besar saja,
karena membaca merupakan hak dari setiap individu.

Kampanye Gerakan Membaca


Rumah Baca Komunitas melakukan berbagai macam upaya untuk mewujudkan
gerakan literasi di era digital literacy ini, salah satunya melalui minat baca masyarakat,
kegiatan ini yang diberi nama kampanye gerakan membaca. Selain melalui pendampingan
kepada masyarakat luas dan berbagai diskusi maupun pelatihan terhadap berbagai macam
bentuk penulisan. Rumah Baca Komunitas juga menerbitkan berbagai macam bentuk
kampanye gerakan membaca melalui media elektronik, media massa, maupun media sosial
untuk mewujudkan gerakan membaca. Pesan kampanye gerakan membaca lebih banyak
disampikan melalui poster, leaflet, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan selain sebagai
promosi juga, untuk mengajak masyarakat luas khususnya wilayah Kota Yogyakarta agar
terjadi proses gerakan membaca menjadi sebuah kebiasaan.
Kampanye gerakan membaca merupakan strategi suksesif dimana usaha yang dilakukan
oleh Rumah Baca Komunitas tersebut sebagai usaha untuk mewariskan suatu gerakan
membaca kepada masyarakat luas, mewariskan gerakan membaca tersebut berkaitan erat
dengan mewariskan sebuah modal budaya. Budaya merupakan sebuah kebiasaan yang terjadi
dalam masyarakat. Kebiasaan membaca tersebut disadarkan oleh Rumah Baca Komunitas
melalui kampanye gerakan membaca. Strategi edukatif juga terjadi dalam hal ini, dimana
usaha yang dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas tersebut akan menghasilkan pelaku-
pelaku sosial yang baru dan bisa dengan cakapnya dapat mewarisi sebuah modal yang akan
dimiliki oleh pelaku sosial yang baru. Tentunya pelaku sosial yang baru tersebut haruslah
dapat lebih baik lagi dari yang pendahulunya.

Penerbitan Majalah
Lahirnya penerbitan majalah yang dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas merupakan
semangat kreatifitas dalam sebuah komunitas kreatif yang ada di Kota Yogyakarta.
Penerbitan majalah merupakan bagian dari sebuah kreativitas dari anak muda, untuk
menggelorakan semangat dalam kepenulisan. Semangat penerbitan majalah tersebut dibawa
untuk mempromosikan gerakan literasi, cinta buku, cinta ilmu dalam semangat gerakan
membaca. Penerbitan majalah ini dikelola oleh personal yang telah lama bergelut dalam dunia
penerbitan majalah, dengan harapan agar keberlangsungan media dapat berjalan secara
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

581
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

professional.
Di balik penerbitan majalah yang dikelola secara personal, sesungguhnya bagian dari
strategi invasi ekonomi yang yang sering disebut juga sebagai strategi kepital ekonomi yang
mempunyai tujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang sudah
dimiliki sebelumnya. Dengan melakukan penerbitan majalah akan diperoleh keuntungan,
bukan hanya keuntungan dalam mempromosikan gerakan literasi, cinta buku, dan cinta buku.
Namun, dibalik itu semua terjadi ada keuntungan uang yang diperoleh dari proses penjualan.
Dalam hal ini terjadinya penerbitan majalah merupakan proses yang banyak menguntungkan
Rumah Baca Komunitas. Tanpa disadari ini bisa membawa kokohnya sebuah komunitas
karena adanya pemasukan dari penerbitan majalah tersebut.

Penerbitan Buku
Bagi penggiat gerakan literasi khususnya Rumah Baca Komunitas buku memiliki
peranan yang sangat vital dalam memberikan ilmu dan perkembangan pengetahuan kepada
masyarakat luas. Walaupun saat ini telah mengalami pergeseran ( shifting), dengan banyak
buku-buku yang berbasis elektronik. Namun, bagi Rumah Baca Komunitas buku akan tetap
selalu ada, karena buku bagian dari kehidupan yang akan memberikan ilmu dan pengetahuan
pada masyarakat. Sehingga buku yang berkualitas merupakan sesuatu yang mutlak, untuk
terus di cetak, di adakan, dan di pasarkan pada masyarakat luas. Atas dasar itu melalui
Rumah Baca Publishing, Rumah Baca Komunitas berkomitmen untuk menyediakan bacaan
yang berkualitas bagi masyarakat luas. Rumah Baca Publishing merupakan penerbitan buku
yang digagas oleh penggiat gerakan literasi yakni Rumah Baca Komunitas.
Rumah Baca Publishing yang merupakan penerbitan buku yang di gagas oleh Rumah
Baca Komunitas sebagai sebuah strategi untuk mewariskan buku bagi generasi berikutnya,
proses pewarisan buku ini biasanya akan selalu berkaitan dengan terjadinya pewarisan modal
ekonomi dan modal budaya, keduanya akan selalu terjadi beriringan. Proses penerbitan buku
tersebut juga merupakan invasi ekonomi atau kapital ekonomi yang merupakan strategi untuk
mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya.
Dengan adanya penerbitan buku terjadi pula pemasukan bagi Rumah Baca Komunitas untuk
terus mempertahankan dirinya ditengah era digital literacy.

Ekoliterasi
Rumah Baca Komunitas secara umum dan spesifik membuat strategi dalam
membangun kesadaran dan perilaku ekologis terhadap lingkungan yang ada disekitarnya.
Strategi tersebut di kampanyekan melalui media sosial yang merupakan ekspresi bahwa isu
ekologi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari universalitas manusia itu sendiri.
Ekoliterasi yang digalakkan melalui kegiatan ini telah berjalan dengan baik selama ini, untuk
lingkungan hidup yang secara spesifik anak-anak yang tinggal di kampung, digalakkan
kegiatan ramah lingkungan bersama anak-anak dan volunteer. Di kampung anak-anak

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

582
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tersebut dibuat kegiatan yang beragam mulai dari menanam, membuat kompos, membuat
karya dari daur ulang, mendongeng, menggambar kampungnya sendiri, dan sebagainya.
Strategi gerakan literasi melalui kegiatan ekoliterasi merupakan strategi investasi
biologis dan strategi edukatif. Secara investasi biologis dengan diadakannya kegiatan di
kampung anak-anak, sesungguhnya menandakan bahwa pada dasarnya Rumah Baca
Komunitas ingin melestarikan, mewarisi, dan mempersiapkan bagi generasi selanjutnya agar
lebih baik lagi dalam gerakan literasi. Bahkan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Rumah
Baca Komunitas di kampung anak-anak dapat menghasilkan pengiat-pengiat literasi baru
yang lebih baik dari para aktor Rumah Baca Komunitas yang telah ada. Inilah yang secara
strategi edukatif terus menerus dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas untuk bisa
menghasilkan pelaku-pelaku yang lebih baik dan cakap.

Penutup
Simpulan
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh Rumah Baca
Komunitas untuk mewujudkan gerakan literasi di era digital literacy, dengan berbagai macam
strategi, diantara strategi-strategi yang dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas diantaranya:
sharing book, tadarus gerakan iqro, hibah buku nasional, community learning house (CLH),
de jure atau bedah buku Jum’at sore, reboan, perpustakaan jalanan, kampanye gerakan
membaca, penerbitan majalah, penerbitan buku, dan ekoliterasi. Elaborasi yang dilakukan
ternyata membutikkan dengan bentuk strategi dari Boudieu, yang menunjukkan bahwa
mempunyai keterkaitan dengan strategi investasi biologis, strategi suksesif, strategi edukatif,
startegi invasi ekonomi, dan juga strategi investasi simbolik. Semua strategi tersebut pada
dasarnya untuk mewujudkan gerakan literasi di era digital literacy, khususnya di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saran
Dari berbagai pembahasan di atas, dapat dilakukan beberapa tindakan untuk
menjadikan gerakan literasi di era digital literacy menjadi lebih baik lagi, yaitu: (1)
Pemerintah, terutama Kementerian terkait dalam hal ini harus terus menerus mewujudkan
gerakan literasi terutama di era digital literacy ini; (2) Masyarakat, perlu berperan aktif dalam
mewujudkan gerakan literasi di lingkungannya; (3) Sekolah, sebagai institusi pendidikan
mempunyai peran penting untuk mewujudkan gerakan literasi di kalangan siswa siswinya.

Ucapan Terima Kasih


Dalam penelitian ini tentunya banyak pihak yang telah terlibat, sehingga dalam
kesempatan ini izinkanlah saya mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya pada
Mbak Wadhifatul Mushoffa yang telah bersedia untuk mencarikan contact person penggiat
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

583
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

literasi di Kota Yogyakarta. Dan yang telah bersedia untuk diwawancarai terkait Rumah Baca
Komunitas, diantaranya: Mas Rifqi, Mas Aris, Mbak Mia, Mas Luthfi, Mas Fauzan, dan Mas
Agam, serta seluruh rekan-rekan di Rumah Baca Komunitas. Terima kasih atas kesempatan
yang diberikan tersebut sangat bermanfaat bagi saya untuk menyelesaikan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Calhoun, Craig. 1993. Habitus, Field, and Capital: The Question of Historical Specifity.
Creswell, John W. 2013. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Raharjo. 2017. Penguatan Civic Literacy dalam Pembentukan Warga Negara yang Baik (Good
Citizen) dan Implikasinya terhadap Ketahanan Pribadi Warga Negara Muda (Studi
Tentang Peran Pemuda HMP PPKn Demokratia pada Dusun Binaan Mutiara Ilmu di
Jebres, Surakarta, Jawa Tengah). Jurnal Ketahanan Nasional 23(2):175-198.
Sjaf, Sofyan. 2014. Politik Etnik: Dinamika Politik Lokal di Kendari. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
www.oecd.org./pisa diakses 15 April 2018 pukul 22.17
www.ccsu.edu. diakses tanggal 15 April 2018 pukul 23.09
.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

584
Meri Oktaviani, Rihlah Nur Aulia, Sari Narulita
Universitas Negeri Jakarta
e-mail: merioktaviani97@gmail.com, rihlah-nuraulia@unj.ac.id, sari-narulita@unj.ac.id
Abstract. Based on a survey conducted by the Association of Internet Network Providers Indonesia
(APJII) in 2016, reveals that 132.7 million people of Indonesia have connected to the internet and
97.4% of them access social media. Information obtained by the public through the internet is
straightforward including finding information related religious tourism in Jakarta, but not all people
have the interest to seek information. Jakarta as a metropolitan city is known for its luxurious tourist
destination one of the religious tourism destinations that offer attractions with Islamic nuances both
history, buildings, and pilgrimage tours. Although access to information related to religious tourism
is broad enough, but not many people, who are interested in this religious tourism object. To that
end, this study will examine the understanding of religious tourism related people and how much
interest. In this study, data obtained from direct interviews and filling questionnaire.

Keywords: literacy, interest, religious tourism

Abstrak. Berdasarkan survey yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia
(APJII) pada tahun 2016, telah diketahui bahwa 132,7 juta penduduk Indonesia telah terhubung ke
internet dan 97,4% diantaranya mengakses media sosial.Informasi yang didapat masyarakat melalui
internet sangat mudah termasuk mencari informasi terkait wisata religi di Jakarta, namun tak semua
masyarakat memiliki minat untuk mencari informasi tersebut. Jakarta sebagai kota metropolitan
dikenal dengan destinasi wisatanya yang kaya salah satunya destinasi wisata religi yang menawarkan
daya tarik objek wisata dengan nuansa islami baik itu sejarahnya, bangunannya, maupun wisata
ziarahnya. Walaupun akses informasi terkait wisata religi cukup luas akan tetapi tak banyak
masyarakat yang tertarik dengan objek wisata religi ini. Untuk itu, penelitian ini akan menelaah
pemahaman masyarakat terkait wisata religi serta seberapa besar minatnya.Dalam penelitian ini data
diperoleh dari wawancara langsung dan pengisisan kuisioner.

Kata Kunci: literasi, minat, wisata religi

Pendahuluan
Wisata berasal dari bahasa sansekerta VIS yang berarti tempat tinggal masuk dan
duduk. Kemudian kata tersebut berkembang menjadi Vicata dalam bahasa Jawa Kawi kuno
disebut dengan wisata yang berarti bepergian. Kata wisata kemudian memperoleh
perkembangan pemaknaan sebagai perjalanan atau sebagian perjalanan yang dilakukan secara
sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata.
Wisata religi merupakan kegiatan yang sudah melekat dan bahkan menjadi tradisi
dimasyarakat Indonesia. Kegiatan wisata religi adalah salah satu cara untuk memupuk dentitas
diri atau meningkatkan spiritual sesorang agar lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Wisata religi juga dilakukan dalam rangka mengambil ibrah atau pelajaran dan ciptaan Allah
atau sejarah peradaban manusia untuk membuka hati sehingga menumbuhkan kesadaran
bahwa hidup di dunia ini tidak kekal.
Adapun wisata religi dimaknai sebagai kegiatan wisata ke tempat yang memiliki makna
khusus, seperti:
1. Masjid sebagai tempat pusat keagamaan dimana masjid digunakan untuk beribadah
sholat, i’tikaf, adzan dan iqomah.
2. Makam para wali atau orang yang memiliki kharamah, ataupun tempat yang
mengandung kesakralan. Kunjungan ke makam-makan ini dinamakan dengan ziarah.
Secara etimologi ziarah berasal dari bahasa Arab yaitu zaaru, yazuuru, Ziyarotan.
Ziarah dapat berarti kunjungan, baik kepada orang yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal, namun dalam aktivitas pemahaman masyarakat, kunjungan kepada
orang yang telah meninggal melalui kuburannya. Kegiatannya pun lazim disebut
dengan ziarah kubur. Dalam Islam, ziarah kubur dianggap sebagai perbuatan sunah
yaitu apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Praktik ziarah sebenarnya telah ada sebelum Islam, namun dilebih-lebihkan sehingga
Rasulullah sempat melarangnya. Tradisi ini pun dihidupkan kembali bahkan
dianjurkan untuk mengingat kematian.
Wisata ziarah ini dapat dilakukan diberbagai tempat yang memiliki sejarah islam yang
kental atau pun makam-makam para waliyullah yang ada didaerah Indonesia salah satunya
yaitu Jakarta.
Jakarta merupakan salah satu kota yang memiliki destinasi wisata religi yang cukup
banyak seperti Masjid istiqlal, Masjid At-Tin, dan juga makam-makam waliyullah. Namun,
seiring berkembangnya zaman sebagian masyarakat kurang meminati wisata religi karena
banyaknya wisata yang ditawarkan di era modern saat ini seperti wisata alam dengan nuansa
yang lebih canggih. Sehingga masyarakat cenderung memilih menghabiskan waktu liburnya
dengan berkunjung ketempat-tempat wisata yang lebih modern.
Era Modern yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan komunikasi serta
inforrmasi yang dapat memudahkan segala aktivitas manusia di dunia termasuk di Indonesia.
Terbukti dengan mudahnya akses informasi baik itu di media elektronik, cetak maupun
digital. Transformasi teknologi yang semakin berkembang pesat melahirkan media sosial yang
dapat memudahkan penggunanya untuk mendapatkan informasi secara cepat contohnya
WhatsApp, Instagram, dan juga Facebook. Namun hal ini juga memiiki dampak buruk jika
tidak diimbangi dengan pemahaman, analisis, ataupun mengolah informasi secara benar dan
menyeluruh yang dalam hal ini dinamakan dengan literasi digital.
Literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu yang secara
menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola,
mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru,
membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara optimal. Hal
ini diperlukan agar masyarakat Indonesia tidak terjebak dengan informasi palsu dan berhati-
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

586
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

hati dalam menganalisis informasi yang didapat. Seperti halnya dalam mencari informasi
tentang wisata religi, masyarakat harus menganalisis terlebih dahulu agar informasi yang
diteima akurat. Selain dari pada itu permasalahan yang kini muncul yaitu apakah masyarakat
telah memanfaatkan media informasi yang ada dengan benar? Pernahkah mereka
menggunakan media informasi untuk mencari keberadaan wisata religi? Dan pernahkan
mereka berminat untuk melakukan kegiatan wisata religi?. Dalam hal ini peneliti akan
mencoba menelaah peranan literasi digital dalam mengidentifikasi minat masyarakat terhadap
wisata religi khususnya yang ada di Jakarta.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana penulis mengekplorasi
kedalaman data yang diperoleh dari wawancara dan kuisioner sehingga data yang diperoleh
valid untuk dianalisis. Data penelitian ini meliputi data primer, data sekunder. Setelah data
diperoleh, selanjutnya akan dianalisis dengan teknik analisis deskriptif-kualitatif. Analisis
deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan pandangan responden tentang wisata religi yang
kemudian diuraikan sebagai sebuah narasi, kemudian diperhatikan sisi-sisi data yang harus
atau memang memerlukan analisa lebih lanjut.

Hasil dan Pembahasan


Istilah literasi digital dikemukakan pertama kali oleh Paul Gilster sebagai kemampuan
memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital. Ia mengemukakan
bahwa literasi digital merupakan kemampuan menggunakan teknologi dan informasi dari
piranti digital secara efektif dan efisien dalam berbagai konteks, seperti akademik, karier, dan
kehidupan sehari-hari.
Bawden memperluas pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada
literasi komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada dekade 1980-an
ketika komputer mikro semakin luas dipergunakan, tidak hanya di lingkungan bisnis, tetapi
juga masyarakat. Sementara itu, literasi informasi menyebar luas pada dekade 1990-an
manakala informasi semakin mudah disusun, diakses, dan disebarluaskan melalui teknologi
informasi berjejaring.
Era digital harus ada konversi makna dari manual ke digital. Literasi tidak sekadar
kemampuan elementer membaca, menulis dan berhitung. Literasi dalam pengertian modern
mencakup kemampuan berbahasa, berhitung, memaknai gambar, melek komputer, dan
berbagai upaya mendapatkan ilmu pengetahuan.
Peran literasi digital ini memiliki pengaruh yang besar dalam mengidentifikasi minat
masyakat terhadap wisata religi saat ini. Karena tranformasi teknologi informasi yang semakin
mudah seharusnya menjadikan masyarakat lebih kritis dalam menganalisis informasi yang ada
termasuk dalam mencari informasi wisata religi yang sudah melekat dikalangan umat islam.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

587
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan hasil wawancara minat masyarakat terhadap wisata religi cukup tinggi; hal
ini dibuktikan dengan tingginya kecenderungan responden dalam melakukan kunjungan
wisata religi. Namun pelaksanaannya, masih belum banyak yangs secara nyata melakukan
kunjungan tersebut. Kunjungan ke beberapa masjid pun, seperti ke Masjid Istiqlal, Masjid
At-Tin dan sejenisnya karena adanya kajian Islam yang menarik perhatian, yang informasinya
didapatkan dari teman sejawat dan juga media sosial. Hasil kuisioner yang disebar
menunjukkan bahwa 80% responden berminat untuk mengenal dan mengetahui lokasi wisata
religi. Namun yang mencarinya melalui media sosial atau pun gadget hanya 50% dari mereka
yang berminat. Selebihnya, tertarik karena pengalaman yang didapatkan dari teman sebayanya
saat mengunjungi lokasi wisata religi..
Hal tersebut membuktikan bahwa minat melakukan kunjungan wisata religi belum
sepenuhnya didukung oleh informasi yang didapatkan dari media sosial sebagaimana
diperkuat melalui hasil wawancara dan kuisioner. Untuk itu perlu adanya informasi yang
tersistematis terkait wisata religi dan pengalaman yang didapatkan pengunjungnya agar
masyarakat dapat mengakses informasi yang berkaitan dengan wisata religi secara akurat dan
mampu meningkatkan minat masyarakat terhadap wisata religi. Bahkan, diharapkan, bukan
hanya sekedar minat melakukan kunjungan saja, namun juga melakukannya secara real dan
nyata sehingga mendapatkan manfaat yang optimal, diantaranya adalah pengalaman spiritual
sebagaimana yang didapatkan oleh para pencari berkah.
Hal ini dikarenakan pada hakikatnya wisata adalah perjalanan untuk menyaksikan
tanda-tanda kekuasaan Allah; yang tidak akan bisa dinikmati dengan hanya minat, namun
juga dengan aksi langsung dengan melakukan kunjungan. Wisata religi dilakukan dalam
rangka mengambil ibrah atau pelajaran dan ciptaan Allah atau sejarah peradaban manusia
untuk membuka hati sehingga menumbuhkan kesadaran bahwa hidup di dunia ini tidak
kekal.

Penutup
Simpulan dan Saran
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa mudahnya akses informasi dan
pesatnya perkembangan teknologi belum membuat masyarakat kritis dan menganalisis
informasi secara menyeluruh termasuk dalam mencari informasi terkait wisata religi yang
seharusnya sudah tak asing lagi. Hal ini dikarenakan pemerataan literasi digital di masyarakat
masih kurang. Untuk itu perlu adanya sistematika informasi terkait wisata religi.
Perlunya pemerataan literasi digital terhadap informasi terkait wisata religi agar
masyarakat dapat dengan mudah mengakses tempat-tempat wisata religi khususnya yang ada
di Jakarta.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

588
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka

Ibda,Hamidullah.https://beritagar.id/artikel/telatah/literasi-digital 12:33 WIB senin 18 september


2017
Khodiyat, Ramaini. 1992. Kamus Pariwisata dan Perhotelan. Jakarta : Gramedia Widiasarana
Indonesia
Ruslan, Arifin. 2007. Ziarah Wali Spiritual Sepanjang Masa. Yogyakarta: Pustaka Timur.
Sari Narulita, Rihlah Nur Aulia, Firdaus Wajdi & Umi Khumaeroh. 2017. Pembentukan Karakter
Religius Melalui Wisata Religi . Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Medan Vol. 1 No. 1, 166.
Sari, N., Wajdi, F., & Narulita, S. 2018. Peningkatan Spiritualitas melalui Wisata Religi di Makam
Keramat Kwitang Jakarta. Jurnal Studi Al-Qur’an, 14(1), 44 - 58.
https://doi.org/https://doi.org/10.21009/JSQ.014.1.04
Suryono, Agus. 2004. Paket Wisata Ziarah Umat Islam. Semarang: Kerjasama Dinas Pariwisata
Jawa Tengah dan Stiepari Semarang.
Umi Khumaeroh, Sari Narulita & Rihlah Nur Aulia. 2017. The Improvement of Intrapersonal
Communication Through Religious Tourism. UUM Malaysia: Proceedings International
Conference on Media Studies, 419 – 425
Widagdo, Ridwan. 2017. Dampak Keberadaan Pariwisata Religi terhadap Perkembangan Ekonomi
Masyarakat Cirebon. Journal of Al-Amwal 9(1).
.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

589
Maisyaroh1, Zulfi Asyhari2
1
AMIK BSI Tasikmalaya
2
STMIK Nusa Mandiri Jakarta
e-mail: maysaroh.msy@bsi.ac.id, ijulasyhari@gmail.com
Abstract. Vehicles in a company is an important role in running their business, especially in the field
of logistics. Logistics is an activity that can not be separated from the progress of a company.
PT.Trans Coffe is a logistics company engaged in food and beverage. In conducting current logistics
activities, PT.Trans Coffee still can not detect the location of vehicles that are running logistics
tasks, and also frequent errors in recording vehicle operating costs, so it can hamper logistics
activities and impact on corporate losses. Google Maps API is a service provided by Google to users
to take advantage of Google Map for build or develop an application. The Google Maps API
provides several features for manipulating maps, and adding content through different types of
services owned, and allowing users to build enterprise applications on their websites. The result of
this research is the application that can be used to know the data of logistics vehicle location at
PT.Trans Coffe Jakarta and can know the operational cost of logistics by calculating the distance of
travel in Maps by utilizing Google Maps API. The research method used is the Rapid Application
Development (RAD) method.

Keywords: Logistics, GMAPS API, Web Application, RAD

Abstrak. Kendaraan pada sebuah perusahaan sangat berperan penting dalam menjalankan usahanya,
terutama dalam bidang logistik. Logistik merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari
kemajuan sebuah perusahaan. PT.Trans Coffe merupakan perusahaan logistik yang bergerak di
bidang food and beverage (makanan dan minuman). Dalam melakukan kegiatan logistik saat ini,
PT.Trans Coffee masih belum bisa mendeteksi lokasi kendaraan yang sedang menjalankan tugas
logistik, dan juga sering terjadi kesalahan dalam merekap biaya operasional kendaraan, sehingga
dapat menghambat kegiatan logistik dan berdampak pada kerugian perusahaan. Google Maps API
adalah sebuah layanan (service) yang diberikan oleh Google kepada para pengguna untuk
memanfaatkan Google Map dalam mengembangkan sebuah aplikasi. Google Maps API menyediakan
beberapa fitur untuk memanipulasi peta, dan menambah konten melalui berbagai jenis services yang
dimiliki, serta mengijinkan kepada pengguna untuk membangun aplikasi enterprise di dalam
websitenya. Hasil dari penelitian ini adalah aplikasi yang dapat digunakan untuk mengetahui data
lokasi kendaraan logistik pada PT.Trans Coffe Jakarta dan dapat mengetahui biaya operasional
logistik dengan memperhitungkan jarak perjalanan pada Maps dengan memanfaatkan Google Maps
API. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Rapid Application Development (RAD)..

Kata Kunci: Logistik, GMAPS API, Aplikasi Web, RAD

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Logistik merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kemajuan
perkembangan perusahaan yang sangat pesat saat ini dan tidak lepas dari kegiatan manusia
sehari-hari. Hampir setiap perusahaan di seluruh Indonesia berhubungan dengan kegiatan
logistik, mulai dari logistik bahan kebutuhan pokok hingga bahan-bahan pelengkap lainnya,
bahkan bisa pula hanya sekedar jasa pengiriman. Indonesia diketahui merupakan negara yang
terdiri dari banyak kepulauan sehingga cakupan logistiknya tidak hanya berlaku di darat
tetapi juga berlaku di laut dan udara. Era globalisasi teknologi saat ini mampu mendampingi
logistik untuk menghasilkan kegiatan logistik yang berjalan dengan efektif dan efisien.
Menurut Mahdia dan Noviyanto (2013:164) Logistik adalah segala sesuatu yang
berwujud dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia yang terdiri
atas sandang, pangan dan papan atau turunannya. Sedangkan pendapat tersebut diperkuat
dengan pendapat Christopher dalam Koeswardani, Budiwati, Suryan, Putro dan Risnandar
(2010:2) yang menyebutkan Logistik adalah suatu proses yang strategis dalam mengola
pengadaan, perpindahan dan penyimpanan bahan baku, perangkat dan inventaris (serta arus
informasi yang terkait) dalam sebuah organisasi dan pemasaran yang merupakan keuntungan
saat ini dan masa depan yang dapat dimaksimalkan melalui cara pemenuhan permintaan
berdasarkan biaya yang efektif.
Menurut Mahdia dan Noviyanto (2013:164) Google Map Service adalah sebuah jasa
peta global virtual gratis dan online yang disediakan oleh perusahaan Google. Google Maps
yang dapat ditemukan di alamat http://maps.google.com. Google Maps menawarkan peta
yang dapat diseret dan gambar satelit untuk seluruh dunia. Google Maps juga menawarkan
pencarian suatu tempat dan rute perjalanan.
Google Maps API adalah sebuah layanan (service) yang diberikan oleh Google kepada
para pengguna untuk memanfaatkan Google Mapdalam mengembangkan aplikasi. Google
MapsAPI menyediakan beberapa fitur untuk memanipulasi peta, dan menambah konten
melalui berbagai jenis services yang dimiliki, serta mengijinkan kepada pengguna untuk
membangun aplikasi enterprise didalam websitenya.
Salah satu perusahaan logistik di Indonesia ialah PT. Trans Coffee. PT.Trans Coffee
merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang food and beverage (makanan dan
minuman). Perusahan tersebut memproduksi makanan dan minuman khususnya kopi dan
teh. Pengolahannya dilakukan di sebuah dapur produksi yang berpusat di Jl.Duren Tiga Raya
Jakarta Selatan. Jenis-jenis makanannya seperti Roti, Cake, Lasagna, Pastry dan jenis-jenis
minumannya seperti apple juice, orange juice, ekstrak coffee dan lain sebagainya tersebut
kemudian di distribusikan ke Outlet-outlet PT.Trans Coffee yang bermerk dagang Coffee
Bean and Tea Leaf yang berada di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok
dan Bekasi) dan juga luar kota salah satunya yaitu Kota Bnadung, Jawa Barat yang masuk
dalam area logistik PT. Trans Coffee. Dalam proses pengiriman bahan makanan dan
minuman ke Outlet-outlet Coffee Bean and Tea Leaf yaitu dengan menggunakan sebuah
kendaraan Truck Chiller. Untuk menjalankan tugas logistik maka perusahaan memberikan
surat perintah jalan dan laporan penggunaan kendaraan operasional yang saat ini masih belum
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

591
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tersistem pada komputer dan waktu penyerahan laporannya dilakukan pada tiap seminggu
sekali. Dalam hal ini sering terjadi kesalahan yang dilakukan oleh para pengemudi berkaitan
dengan biaya operasional seperti biaya bahan bakar kendaraan, biaya perawatan kendaraan,
absensi pengemudi dan absensi kenek. Salah satu contoh kesalahan tersebut adalah
memanipulasi struk bahan bakar dengan jumlah harga yang tidak sesuai dengan pada saat
pengisian bahan bakar sesungguhnya. Dengan adanya hal tersebut mengakibatkan jumlah
kilometer yang ditempuh kendaraan melebihi dari jumlah yang sesungguhnya, sehingga
menghasilkan jarak perjalanan yang bukan aslinya dan menyebabkan biaya operasional yang
tidak sesuai dengan jarak asli yang terdapat pada kilometer kendaraan. Hal itu terjadi karena
kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak perusahaan divisi logistik dan akan
berdampak pada kerugian perusahaan.
Dari latar belakang masalah yang ada pada PT.Trans Coffee maka dapat
diidentifikasikan permasalahannya sebagai berikut:
1. Sistem penginputan penggunaan kendaraan masih tidak efektif karena masih
menggunakan manual dengan formulir kertas, sehingga memungkinkan staff
logistik untuk memanipulasi data bahan bakar kendaraan.
2. Penginputan data staff logistik dapat dimanipulasi karena masih menggunakan
formulir kertas, belum terkomputerisasi.
3. Penggunaan kendaraan tidak teratur karena pembuatan jadwal pemakaian
kendaraan belum terkomputerisasi, sehingga data yang di buat menggunakan
lembar formulir masih bisa di manipulasi oleh staff logistik.
Rumusan masalah yang akan dipecahkan melalui aplikasi ini pada dasarnya tidak lepas
dari ruang lingkup permasalahan di atas, yaitu:
1. Apa faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan oleh staff logistik?
2. Apa saja dampak dari adanya tindak kesalahan oleh staff logistik?
3. Bagaimana cara mengatasi dan mencegah kesalahan yang dilakukan oleh saff
logistik?

Metode
Rapid Application Development menurut Komarudin (2017: 59) adalah sebuah
model proses perkembangan software sekuensial linier yang menekankan siklus
perkembangan yang sangat pendek.
Menurut Noertjahyana dalam Maisyaroh (2017:2) Rapid Application Development
(RAD) adalah salah satu metode pengembangan suatu sistem informasi dengan waktu yang
relatif singkat. Untuk pengembangan suatu sistem informasi yang normal membutuhkan
waktu minimal 180 hari, akan tetapi dengan menggunakan metode RAD suatu sistem dapat
diselesaikan hanya dalam waktu 30-90 hari.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

592
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Menurut James Martin dalam Muharom, cahyani, dan Bunyamin (2013:2) “Rapid
Application Development (RAD)”yaitu pengembangan siklus yang dirancang yang dapat
memberikan pengembangan yang jauh lebih cepat dan hasil yang lebih berkualitas tinggi
daripada yang dicapai dengan siklus hidup tradisional. Metode pengembangan aplikasi
perangkat lunak ini terdiri dari 4 tahapan yaitu Requirements Planning Phase, User Design
Phase, Construction Phase dan Cotuver Phase.
Metode RAD memiliki fase-fase melakukan perencanaan syarat-syarat kebutuhan
sistem, melibatkan pengguna untuk merancang sistem dan membangun sistem (kegiatan ini
dilakukan secara berulang-ulang hingga mencapai kesepakatan bersama), dan terakhir tahap
implementasi.

Sumber : Kendall (2006:164)

Gambar 1. RAD Design

Menurut Supriyatna (2016:3), Tahapan dalam metode RAD :


1. Requirements phase
Fase Kebutuhan Sistem, pada tahapan ini merupakan gabungan unsur perencanaan
sistem dan analisis sistem. Proses pengumpulan kebutuhan dilakukan secara intensif dengan
menganalisa kelemahan proses kerja yang berjalan pada PT. TRANS COFFEE khususnya
divisi warehouse logistik untuk menspesifikasikan kebutuhan perangkat lunak agar dapat
dipahami perangkat lunak seperti apa yang dibutuhkan oleh user.
2. User Design
Selama fase ini, pengguna berinteraksi dengan sistem analis dan mengembangkan
model dan prototipe yang mewakili semua sistem proses, input, dan output. Desain
perangkat lunak pada program menggunakan software text editor yaitu Dreamweaver CS.6
dimana fungsinya selain untuk proses CRUD (Creat, Read, Update and Delete) juga dapat
digunakan untuk mendesain website dan database. Untuk tampilan user interface nya penulis
menggunakan template yang diperoleh dari situs getbootstrep.com. Sedangkan software
database yang digunakan yaitu menggunakan PhpMySQL. Desain harus ditranslasikan ke
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

593
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dalam program perangkat lunak. Program perangkat lunak (software) text editor yang penulis
gunakan yaitu Dreamweaver CS.6.
3. Construction
Berfokus pada program dan pengembangan aplikasi tugas mirip dengan SDLC. Dalam
RAD, namun, pengguna terus berpartisipasi dan masih dapat menyarankan perubahan atau
perbaikan sebagai layar atau laporan yang sebenarnya dikembangkan. Tugasnya adalah
pengembangan program dan aplikasi, coding, unit-integrasi dan pengujian sistem. Pengujian
pada perangkat lunak secara dari segi logic dan fungsional dari program dibuat. Pengujian ini
dilakukan untuk meminimalisir kesalahan (error) dan memastikan keluaran yang dihasilkan
sesuai dengan yang diinginkan.
4. Cutover.
Menyerupai tahapan akhir dalam tahap implementasi SDLC, termasuk konversi
data, pengujian, beralih ke sistem baru, dan pelatihan pengguna. Dibandingkan dengan
metode tradisional, seluruh proses dikompresi. Akibatnya, sistem baru dibangun,
disampaikan, dan ditempatkan dalam operasi lebih cepat.

Hasil dan Pembahasan


Hasil dari penelitian ini adalah aplikasi yang dapat digunakan untuk mengetahui data
lokasi kendaraan logistik pada PT.Trans Coffe Jakarta dan dapat mengetahui biaya
operasional logistik dengan memperhitungkan jarak perjalanan pada Maps dengan
memanfaatkan Google Maps API.
1. Analisa Kebutuhan Software
A. Halaman Staff Logistik:
A.1. Staff Logistik dapat melihat jadwal
logistik atau surat perintah jalan.
A.2. Staff Logistik dapat membuat data
perjalanan logistik.
A.3. Staff Logistik dapat melihat biaya hasil
perjalanan logistik.
A.4. Staff Logistik dapat melihat proFile
perusahaan dan gallery perusahaan.
A.5. Staff Logistik dapat melihat informasi
terbaru tentang perusahaan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

594
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

B. Halaman Reimbursment:
B.1. Reimbursment dapat melihat total
keseluruhan aktifitas web.
B.2. Reimbursment dapat menambah,
merubah dan menghapus menu web.
B.3. Reimbursment dapat mengedit jadwal
Staff Logistik.
B.4. Reimbursment dapat melihat kehadiran
Staff Logistik.
B.5. Reimbursment dapat membuat data biaya
hasil perjalanan Staff Logistik.
2. Use Case Diagram
1. Use Case Diagram Staff Logistik

Sumber : Hasil Penelitian


Gambar 2. Use Case Diagram Staff Logistik

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

595
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2.Use Case Diagram Reimbursment

Sumber : Hasil Penelitian

Gambar 3. Use Case Diagram Staff Reimbursment


3. Entity Relationship Diagram

Sumber : Hasil Penelitian


Gambar 4.Entity Relationship Diagram
4. Logical Record Structure

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

596
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sumber : Hasil Penelitian


Gambar 5. Logical Record Structure
5. Activity Diagram
A. Activity Diagram Staff Logistik

Sumber : Hasil Penelitian


Gambar 6. Activity Diagram Staff Logistik
B. Activity Diagram Reimbursment

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

597
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sumber : Hasil Penelitian


Gambar 7.Activity Diagram Reimbursment
6. User Interface

Sumber : Hasil Penelitian


Gambar 8. User Interface Home

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

598
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sumber : Hasil Penelitian


Gambar 9. Halaman Index Staff Logistik

Sumber : Hasil Penelitian

Gambar 10 . Menu Staff Logistik Input Data

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

599
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sumber : Hasil Penelitian


Gambar 11. User Interface Halaman Reimbursment

Penutup
Simpulan
Kesimpulan dalam penelitian Pemanfaatan Google Maps API Dalam Rancangan
Sistem Aplikasi Kendaraan Logistik Berbasis Web pada PT.Trans Coffee adalah sebagai
berikut :
1. Mempermudah penjadwalan Staff logistik dalam proses pengiriman ke outlet-outlet
Coffee Bean and Tea Leaf yang ditentukan, tanpa harus menunggu hasil jadwal atau
Daily Load Sheet berbentuk print out dari Reimbursment.
2. Mempermudah dalam perhitungan biaya operasional kendaraan logistik khususnya
pada biaya Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga mampu mencagah terjadinya
kecurangan yang dilakukan oleh Staff logistik dengan cara membuat Struck bbm
palsu.
3. Sistem Informasi ini sangat bermanfaat bagi PT. Trans Coffee divisi Warehouse
logistik terutama untuk Reimbursment dan Staff logistik (Driver and Helper) dalam
proses pengiriman logistik yang beroperasional setiap hari mulai dari informasi
absensi Staff logistik, sistem penunjang keputusan ketika ada kendala dalam proses
penjadwalan atau pengiriman dan juga dalam menentukan biaya operasional yang
dilakukan setiap ada proses pengiriman tersebut.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

600
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Saran
Saran dalam penelitian ini adalah :
1. Sistem informasi yang sudah dibuat bisa dikembangkan ke penambahan menu-
menu aplikasi yang lebih lengkap lagi seperti cetak laporan (print out) detail
perjalanan staff Logistik, cetak Biaya Operasional dan masih banyak yang lainnya.
2. Sistem informasi yang sudah dibuat ini bisa dikembangkan dengan penambahan
sistem informasi yang tidak hanya untuk proses Logistik tetapi juga untuk proses
Warehouse.

Daftar Pustaka

Faya Mahdia dan Fiftin Noviyanto, 2013. Pemanfaatan Google Maps Api Untuk Pembangunan
Sistem Informasi Manajemen Bantuan Logistik Pasca Bencana Alam Berbasis Mobile
Web, Yogyakarta: Vol. 1, No. 1, Juni 2013.
Heidi Apriyanti Koeswardani, Sari Dewi Budiwati, Ahmad Suryan, Budi Laksono Putro, Risnandar
2010. Sistem Informasi Manajemen Logistik Pemesanan Ruang Dan Kendaraan,
Surabaya: Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII ISBN: 978-602-
97491-1-3.
Kendall dan Kendall. 2006. Analisa dan Perancangan Sistem Edisi kelima jilid 1. PT.Indeks
Kelompok Gramedia.
Komarudin, Rachman.2017.Penerapan Sistem E-learning Dalam Proses Pembelajaran Siswa. ISSN :
2338-8145, E-ISSN : 2338-9761. Jurnal Bianglala Informatika Vol 5 No.2 Tahun
2017.
Maisyaroh.2017.Rancang Bangun Aplikasi Pembelajaran Tabel Periodik Unsur Kimia Berbasis
Android. ISSN : 2338-8145, E-ISSN : 2338-9761. Jurnal Bianglala Informatika Vol 5
No.2 Tahun 2017.
Muharom, Arzan, Rinda Cahyani MT dan H.Bunyamin M.Kom. 2013. Pengembangan Aplikasi
Sunda Berbasis Android Menggunakan Metode Rapid Application Development (RAD).
ISSN : 2302-7339. Jurnal Algoritma Sekolah Tinggi Teknologi Garut Vol.10 No.01.
2013.
Supriyatna, Adi. 2016. Sistem Informasi Pengajuan Klaim Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat Berbasis Web. Jurnal Paradigma Vol. XVIII. No.2 September 2016.
.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

601
Zahruddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: zahruddin@uinjkt.ac.id
Abstract. The use of information technology can’t be avoided by an organization. Information
technology is all integrated ways or tools used to collect, process and send data or present them
electronically to become information in all kinds of format that is useful for a user. Information
technology can help an organization implement and reach the strategy of organization wholly. With
information technology, an organization can use it for the objectives of operation, supervision and
control, planning and decision-taking, communication, and inter-organization that will have an
impact to the rise of organization efficiency, effectiveness, and productivity till it gets an excellence.

Keywords: information technology, organization

Abstrak. Pemanfaatan teknologi informasi tidak dapat dihindarkan oleh organisasi. Teknologi
informasi adalah segala cara atau alat yang terintegrasi yang digunakan untuk menjaring data,
mengolah dan mengirimkan atau menyajikan secara elektronik menjadi informasi dalam berbagai
format yang bermanfaat bagi pemakainya. Teknologi informasi dapat membantu organisasi dalam
melaksanakan dan mencapai strategi organisasi secara keseluruhan. Dengan teknologi informasi,
organisasi dapat memanfaatkannya dan berfungsi untuk tujuan operasional, pengawasan dan control,
perencanaan dan pengambilan keputusan, komunikasi dan interorganisasi yang akan berdampak pada
peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas organisasi sehingga pada akhirnya organisasi
mencapai keunggulan.

Kata Kunci: teknologi informasi, organisasi

Pendahuluan
Pada masa kini, sebagian besar masyarakat semakin merasakan informasi sebagai salah
satu kebutuhan pokok disamping kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Seiring
dengan hal itu, informasi telah berubah bentuk menjadi suatu komoditi yang dapat
diperdagangkan. Keadaan ini terbukti dengan semakin berkembangnya bisnis pelayanan
informasi, seperti stasiun televisi, surat kabar, radio dan internet yang telah memasuki sendi-
sendi kehidupan manusia. Perubahan lingkungan yang pesat, dinamis dan luas tersebut
didukung oleh kemajuan teknologi informasi di segala bidang. Hal ini telah mendorong

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat informasi. Perkembangan teknologi


informasi telah membawa dampak dalam kehidupan masyarakat. Sejak diketemukannya
komputer pada tahun 1955, peradaban dunia telah memasuki era informasi dan digunakan
orang sebagai alat pengolah data untuk menghasilkan informasi. Manajemen organisasi juga
harus sensitif terhadap pengaruh perkembangan teknologi yang mencakup informasi,
peralatan teknik dan proses dalam mengubah input menjadi output. Selain itu, manajemen
harus dapat memahami dengan baik peran sistem informasi dalam organisasi. Teknologi
informasi muncul sebagai akibat semakin merebaknya globalisasi dalam kehidupan organisasi,
semakin kerasnya persaingan bisnis, semakin singkatnya siklus hidup barang dan jasa yang
ditawarkan, serta meningkatnya tuntutan selera konsumen terhadap produk dan jasa yang
ditawarkan. Untuk mengantisipasi semua ini, organisasi mencari terobosan baru dengan
memanfaatkan teknologi. Teknologi diharapkan dapat menjadi fasilitator dan interpreter,
(Slamet, 2013).
Peranan teknologi informasi pada aktivitas manusia pada saat ini memang begitu besar.
Teknologi informasi telah menjadi fasilitator utama bagi kegiatan-kegiatan bisnis,
memberikan andil besar terhadap perubahan-perubahan yang mendasar pada struktur,
operasi, dan manajemen organisasi. Berkat teknologi ini, berbagai kemudahan dapat dirasakan
oleh manusia. Pengambilan uang melalui ATM, kartu kredit, transaksi melalui internet yang
dikenal dengan e-commerce atau perdagangan elektronik, transfer uang melalui fasilitas e-
banking yang dapat dilakukan dari rumah, merupakan sejumlah contoh hasil penerapan
teknologi informasi (Sutabri, 2014:17).

Pengertian Teknologi Informasi


Ada beberapa pengertian yang dikemukakkan oleh para ahli terkait dengan teknologi
informasi. Sutarman (2012) yang mengutip Asosiasi Teknologi Informasi Amerika
(Information Technology Association of America) bahwa yang dimaksud dengan teknologi
informasi adalah suatu studi, perancangan, pengembangan, implementasi, dukungan atau
manajemen sistem informasi berbasis komputer, khususnya aplikasi perangkat lunak dan
perangkat keras komputer. Menurut Slamet (2013) teknologi informasi dapat definisikan
sebagai perpaduan antara teknologi komputer dan telekomunikasi dengan teknologi lainnya
seperti perangkat keras, perangkat lunak, database, teknologi jaringan, dan peralatan
telekomunikasi lainnya.
Sedangkan menurut Rahmawati (2009), teknologi informasi adalah segala cara atau
alat yang terintegrasi yang digunakan untuk menjaring data, mengolah dan mengirimkan atau
menyajikan secara elektronik menjadi informasi dalam berbagai format yang bermanfaat bagi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

603
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pemakainya. Berbeda lagi apa yang dikemukakan oleh Kosasih (2002) yang menyatakan
bahwa teknologi informasi pada dasarnya adalah merupakan sinergi dari suatu sistem
pengolahan data dan sistem teiekomunikasi secara elektronik atau sering juga disebut sebagai
perpaduan antara komputer dan komunikasi.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa teknologi informasi terkait
dengan sistem pengelolaan data dengan menggunakan computer dengan tujuan untuk
mempermudah bagi pemakai atau yang membutuhkannya.

Teknologi Informasi dan Organisasi


Teknologi informasi secara sempit dapat didefinisikan sebagai perpaduan antara
teknologi komputer dan telekomunikasi yang meliputi perangkat keras, perangkat lunak,
database, teknologi jaringan dan peralatan teknologi lainnya. Teknologi informasi merupakan
salah satu penyebab adanya tekanan bisnis pada setiap organisasi yang ada pada saat ini,
sebaliknya juga kebutuhan perusahaan dapat menyebabkan perkembangan teknologi
informasi itu sendiri. Perkernbangan teknologi ini tidak hanya terfokus pada kebutuhan
dalam sistem pemrosesan data saja, tetapi juga mencakup semua aktivitas yang terdapat dalam
sebuah organisasi termasuk industri manufaktur. Harus diyakini bahwa setiap organisasi yang
ada adalah merupakan salah satu komunitas terbesar yang menikmati dan menerima implikasi
dari perkembangan teknologi informasi itu sendiri. Pada tahap awal, pemanfaatan komputer
hanya digunakan pada sebatas aspek pengolahan data saja dan aplikasinya lebih ditujukan
untuk kegiatan akuntansi dan klerikal. Pada saat itu, sistem pengolahan data yang masih
dilakukan secara manual mulai dimbah ke sistem elektronis dengan melaiui pemanfaatan
media komputer, dan yang sering disebut sebagai EDP (Electronic Data Processing),
(Kosasih, 2002).
Lebih lanjut Kosasih (2002) yang mengutip pendapat Monger menyatakan bahwa
perkembangan teknologi dan khususnya teknologi informasi telah membawa tiga dampak
utama yang berpengaruh terhadap struktur organisasi dan struktur industri, yaitu : (a)
otomasi, (b) disintermediasi, dan (c) integrasi. Otomasi dapat ditunjukkan dengan melalui
penggunaan mesin-mesin otomatis, yang selama revolusi industri secara bertahap telah
mengambil alih kekuatan, pengalaman dan keterampilan manusia. Dewasa ini otomasi
ditunjukkan dengan penggunaan komputer untuk mengambil alih pengetahuan manusia dan
bahkan sedang dalam proses pengambil alihan kecerdasan manusia. Disintermediasi adalah
peniadaan proses antara yang merupakan "non value added activities", sehingga "throughput
time" dapat dipercepat. Sedang integrasi adalah meliputi perpaduan berbagai bidang antara
lain mulai dari integrasi komputer, input, proses, output sampai ke integrasi komunikasi.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

604
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Ketiga dampak tersebut adalah merupakan wujud nyata dari pada perkembangan sistem
pendukung pengambilan keputusan berbasis jaringan terpadu (Networked Decision Support
- NDS).
Pemanfaatan teknologi informasi merupakan sarana penunjang/pendorong bagi
organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. Romney menyatakan bahwa pemanfaatan
teknologi informasi didalam organisasi akan mempengaruhi aktivitas-aktivitas/proses bisnis
yang terdapat dalam organisasi tersebut. Adapun pengaruh pemanfaatan teknologi informasi
dalam organisasi dapat dilihat dari dampak pemanfaatan teknologi informasi pada rantai nilai
organisasi (value chain). Pemanfaatan teknologi informasi dalam organisasi dapat
meningkatkan akses atas informasi yang akurat dan tepat waktu mengenai status pengiriman;
memungkinakan organisasi untuk mengurangi jumlah persedian penyangga (inventory
buffer); meningkatkan efisiensi operasi internal perusahaan, khususnya perusahaan-
perusahaan berteknologi tinggi (misalnya industri perakitan mobil, komputer, elektronik dan
lain-lain); dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari kegiatan penjualan dan
pemasaran, pembelian, sumber daya manusia serta dukungan layanan purna jual, (Rahmawati,
2009).
Lebih lanjut menurut Kosasih (2002) bahwa Penerapan Teknologi ini dapat
memberikan berbagai manfaat bagi pemakainya, baik manfaat kualitatif dan kuantitatif.
Manfaat kuantitatif atau tangible benefits terdiri dari pengurangan biaya operasi dan
perbaikan produk dan jasa yang ditawarkan. Sedangkan manfaat kualitatif atau intangible
benefits dapat berupa : analisis data dapat lebih cepat, penyajian laporan manajemen iebih
baik, beberapa pekerjaan dapat dilakukan oleh individu yang sama, penghematan waktu, akses
data dapat lebih tepat waktu, data yang disajikan lebih akurat dan perbaikan dalam
pengambilan keputusan. Di samping beberapa manfaat yang ada dengan adanya kemajuan
dan peluang dari pemanfaatan teknologi informasi tersebut, seorang manajer juga harus
menyadari bahwa terdapat beberapa ancaman kerugian yang mungkin terjadi, diantaranya
adalah : biaya set up yang tinggi, penguasaan teknologi yang lambat, perkembangan teknologi
yang sangat cepat, hambatan penolakan dari para staf pekerja, dan kurang siapnya organisasi
dalam melakukan manaj emen perubahan.
Husein dan Wibowo menyatakan bahwa teknologi informasi berpengaruh terhadap
struktur organisasi, cara berbisnis, cakupan organisasi, pekerjaan dan karir dari manajer
organisasi. Teknologi informasi berdampak pada berbagai aktivitas manajemen yang
berhubungan dengan data dimana elemen utamanya meliputi input/perolehan data,
pemrosesan data, penyimpanan data dan perolehan kembali data yang menjadi hal yang
sangat penting bagi organisasi. Begitu juga pernyataan King et al (1991), dalam Ashton
(1991) menyatakan bahwa kemajuan teknologi informasi memungkinkan lebih banyak data

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

605
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dapat dikumpulkan dengan cepat dalam lokasi yang jauh sekalipun, memungkinkan
peningkatan jumlah data yang disimpan siap diakses, menyebabkan data yang dapat diproses,
dimodifikasi dan ditampilkan kembali secara cepat serta memungkin manajemen memperoleh
kembali data dari lokasi yang jauh dengan cepat tanpa adanya perantara, (Rahmawati, 2009).
Teknologi informasi dewasa ini menjadi hal yang sangat penting karena sudah banyak
organisasi yang menerapkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan organisasi.
Sutarman (2012) menyatakan bahwa teknologi informasi diterapkan untuk pengelolaaan
informasi yang dewasa ini menjadi salah satu bagian penting karena:
1. Meningkatnya kompleksitas dari tugas manajemen
2. Pengaruh ekonomi internasional (globalisasi)
3. Perlunya waktu tanggap (response time) yang lebih cepat
4. Tekanan akibat dari persaingan bisnis

Manfaat dan Peranan Teknologi Informasi bagi Organisasi


Pemanfaatan teknologi dalam kegiatan operasional organisasi akan memberikan dampak
yang cukup signifikan bukan hanya dari efisiensi kerja, namun juga terhadap budaya kerja,
baik secara personal, antarunit, maupun keseluruhan institusi. Pemanfaatan teknologi
informasi di organisasi diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Ruliana, 2014), yaitu:
1. Perbaikan efisiensi; pemanfaatan teknologi informasi untuk perbaikan efisiensi
diterapkan pada tingkat operasional organisasi. Pada kategori ini, pemanfaatan
teknologi informasi diukur dengan penurunan waktu dan biaya operasi.
2. Perbaikan efektifitas; pemanfaatan teknologi informasi untuk perbaikan efektifitas
diterapkan pada tingkat manajerial organisasi. Pada kategori ini, pemanfaatan
teknologi informasi diukur dengan kemudahan dan kecepatan memperoleh status
pencapaian target organisasi.
3. Peningkatan strategi; pemanfaatan teknologi informasi untuk peningkatan strategi
(daya saing) diterapkan pada tingkat eksekutif organisasi. Pada kategori ini,
pemanfaatan teknologi informasi diukur dengan kemudahan dan ketepatan
pengambilan keputusan eksekutif.
Sementara itu, menurut Indrajit (2014) ada lima peranan mendasar teknologi informasi
di sebuah organisasi/perusahaan, yaitu :

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

606
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

1. Fungsi Operasional
Fungsi Operasional akan membuat struktur organisasi menjadi lebih ramping dan jauh dari
sifat birokratis karena sejumlah aspek administratif yang ketat dan teratur telah diambil alih
fungsinya oleh teknologi informasi. Karena sifat penggunaannya yang menyebar di seluruh
fungsi organisasi, maka unit terkait dengan manajemen teknologi informasi akan menjalankan
fungsinya sebagai “supporting agency” dimana teknologi informasi dianggap sebagai sebuah
“firm infrastructure”
2. Fungsi Pengawasan dan Kontrol
Keberadaan teknologi informasi akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan aktivitas
di level manajerial melekat di dalam setiap fungsi manajer sehingga struktur organisasi unit
terkait dengannya harus dapat memiliki “span of control” atau “peer relationship” yang
memungkinkan terjadinya interaksi efektif dengan para manajer di perusahaan terkait.
3. Fungsi Perencanaan dan Pengambilan Keputusan
Mengangkat teknologi informasi ke tataran peran yang lebih strategis lagi karena
keberadaannya sebagai enabler dari rencana bisnis perusahaan dan merupakan sebuah
“knowledge generator” bagi para pimpinan perusahaan yang dihadapkan pada realitas untuk
mengambil sejumlah keputusan penting sehari-harinya. Tidak jarang perusahaan yang pada
akhirnya memilih menempatkan unit teknologi informasi sebagai bagian dari fungsi
perencanaan dan/atau pengembangan korporat karena fungsi strategis tersebut di atas.
4. Fungsi Komunikasi
Secara prinsip termasuk ke dalam “firm infrastructure” dalam era organisasi moderen dimana
teknologi informasi ditempatkan posisinya sebagai sarana atau media individu perusahaan
dalam berkomunikasi, berkolaborasi, berkooperasi, dan berinteraksi. Seperti halnya pada
fungsi operational, unit teknologi informasi akan menempatkan dirinya sebagai penunjang
aktivitas sehari-hari perusahaan.
5. Fungsi Interorganisasi
Merupakan sebuah peranan yang cukup unik karena dipicu belakangan ini oleh semangat
globalisasi yang memaksa perusahaan untuk melakukan kolaborasi atau menjalin kemitraan
dengan sejumlah perusahaan lain. Konsep kemitraan strategis atau partnerships berbasis
teknologi informasi seperti pada implementasi Supply Chain Management atau Enterprise
Resource Planning membuat perusahaan melakukan sejumlah terobosan penting dalam
mendesain struktur organisasi unit teknologi informasinya. Bahkan tidak jarang ditemui
perusahaan yang cenderung melakukan kegiatan pengalihdayaan atau outsourcing sejumlah

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

607
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

proses bisnis terkait dengan manajemen teknologi informasinya ke pihak lain demi kelancaran
bisnisnya.

Implementasi Tekonolgi Informasi di Perguruan Tinggi


Dalam bagian ini, sumber yang dijadikan rujukan adalah buku yang berjudul Manajemen
Perguruan Tinggi Modern yang dikarang oleh Indrajit dan Djokopranoto (2014) yang
membahas cukup komprehensif. Penggunaan tekologi informasi di dalam dunia pendidikan
sudah menjadi keharusan dan menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar lagi yang harus
dimiliki dan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh perguruan tinggi dalam menggapai
penyelenggaran pendidikan yang berkualitas. Perguruan Tinggi kelas dunia seperti Harvrad
University, UC-Berkeley, Oxford University, dan Cambridge University, dan lain sebagainya
telah menerapkan teknologi untuk keperluan administrasi manajemen pendidikan dan juga
dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar, riset dan pengembangan serta pelayanan
kepada masyarakat. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai manajemen perguruan tinggi
tidak dapat lepas dari pembahasan tekologi informasi dan peranannya dalam perguruan
tinggi. Pembahasan memaparkan secara ringkas perkembangan tekologi informasi dan
pemanfaatnnya dalam meningkatkan kualitas penyelnggaran pendidikan di perguruan tinggi.

Proses Inti Perguruan Tinggi


Secara prinsip terdapat tiga proses inti pendidikan yang terjadi di perguruan tinggi, yaitu
pengajaran, penelitian, pelayanan. Dilihat dari sisi ilmu manajemen, ketiga proses tersebut
merupakan produk dan jasa yang ditawarkan institusi kepada pelanggannya. Agar dapat
secara efektif menyelenggarakan ketiganya, perguruan tinggi perlu ditunjang oleh sejumah
aktivitas pedukung yang terkait dengan hal-hal semacam; adminstrasi akademis, keuangan dan
akuntansi, SDM, infrastruktur kampus dan lain sebagainya. Tujuan dikenali dan
dikategorikannya proses dan aktivitas di dalam perguruan tinggi adalah membantu
manajemen dalam mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya agar dapat menunjang visi
dan misi yang dicanangkan. Karena dilihat dari prinsip pertukaran barang dan jasa, proses inti
merupakan aktivitas perguruan tinggi yang terkait langsung dengan sumber pendapatan
institusi.
Pada saat inilah, peranan teknologi informasi yang pertama muncul, yaitu sebagai enabler
atau alat yang memungkinkan perguruan tinggi dapat mencapai proses pendidikan yang
cheaper-better-faster. Ada dua jenis fungsi teknologi informasi yang dikenal terkait dengan
hal ini, yaitu fungsi back office dan front office. Fungsi back office adalah penggunaan
teknologi informasi untuk mendukung proses administrasi penyelenggaran perguruan tinggi
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

608
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

atau yang kerap dikatakan aktivitas operasional. Adapun nilai yang ditawarkan oleh teknologi
informasi antara lain:
a. Pendafraran secara online menggunakan website, sehingga calon mahasiswa di
seluruh dunia dapat melakukannya tanpa harus secara fisik datang ke perguruan
tinggi yang bersangkutan,
b. FRS online yang memungkinkan administrasi pengambilan matakuliah dilakukan di
mana pun dengan menggunakan perangkat digital seperti computer, PDA, tablet PC
dan lain sebagainya,
c. Peserta didik dapat melihat nilai ujian maupun hasil akhir studi melalui internet atau
perangkat telepon gengggam yang dimilkinya,
d. Manajemen kelas mulai dari pengalokasian mata kuliah dan pengajar sampai dengan
absensi mahasiswa dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan aplikasi
khusus,
e. Sistem dokumentasi dan kearsipan yang tersimpan dalam format elektronik secara
rapi dengan menggunakan perangkat aplikasi berbasis EDMS (Electronic Document
Management System),
f. Pengelolaan sumber daya manusia yang terintegrasi menyangkut rekam data dan
informasi mahsiswa, dosen dan alumni,
g. Pustaka buku dan jurnal ilmiah yang dapat diakses darimana pun dan kapan pun, (24
jam sehari, tujuh hari seminggu),
h. Sistem informasi terpadu yang terkait dengan fungsi pemasaran, administrasi,
sumberdaya manusia, keuangan dan akuntansi, pengelolaan asset, dan lain sebagainya,
i. Adminstrasi terpadu antarperguruan tinggi agar mahasiswa dapat mengambil
matakuliah antarfakultas maupun antarperguruan tinggi yang berbeda,
j. Aplikasi pelaksanaan riset dan pelayanan masyarakat yang dimulai dari proses
pengajuan proposal sampai dengan evaluasi hasil kajian maupun pelaksanaan
program terkait,
k. Perangkat lunak untuk mengatur sisetm perjenjangan karir karyawan maupun
kepangkatan dosen,
l. Portal mahasiwa yang memudahkan para civitas akademik perguruan tinggi mencari
berbagai data dan informasi penting di perguruan tinggi maupun pada institusi mitra
lainnya,

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

609
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

m. Alat penunjang mahasiwa dalam membuat dan mengevaluasi rencana studinya dan
lain sebagainya.

Teknologi Informasi untuk Menunjang Proses Belajar Mengajar


Ada berbagai jenis konsep penggunaan teknologi informasi yang secara langsung dan
tidak langsung memberikan pengaruh pada cara penyelenggaran pendidikan yang mengarah
pada peningkatan kualitas.
a. Media simulasi: penggunaan ICT sebagai media untuk membantu dosen
menyelenggarakan perkuliahan, terutama dipergunakan sebagai alat penggambaran
atau ilustrasi agar mahasiswa mendapatkan gambaran dengan lebih mudah mengenai
teori yang diajarkan di kelas, terutama dalam kaitannya dengan implementasi di
dunia nyata. Media simulasi mencakup aplikasi semacam CAD/CAM, simulation
game, multimedia presentation, interactive study case, dan lain sebagainya. Dewasa
ini banyak sekali perangkat aplikasi simulasi yang mudah didapatkan secara gratis
melalui internet dengan mendownloadnya. Contohnya adalah program extend untuk
membantu dosen mengajarkan konsep analisis dan perancangan business process
dalam perusahaan. Contoh lainnya adalah permainan (game) yang menggambarkan
cara bekerja sebuah peusahaan di industri sehingga memudahkan mahasiswa-
terutama yang belum pernah terjun ke dalam dunia kerja- memahami beberapa
pokok bahasan yang diperbincangkan dalam teori manajemen. Kita perlu
memperhatikan bahwa media simulasi tidak hanya dipergunakan sebagai ilustrasi,
tetapi banyak yang dipakai sebagai bahan tugas atau pekerjaan, bahkan sebagai bagian
penting penilai tugas ujian tengah semester atau akhir.
b. Course management: konsep penggunaan teknologi informasi kedua adalah
membnatu pengajar maupun peserta didik melakukan interaksi, kerjasama, dan
komunikasi dalam menyelenggarakan sebuah kelas dengan mata kulaih tertentu.
Dengan dibantu aplikasi berbasis web, maka materi, bahan ajar, administrasi
program, pekerjaan rumah, dan lain-lain dapat didownload oleh peserta didik lewat
internet. Selain media untuk membantu mengelola sumber daya yang dipergunakan
di dalam penyelenggaraan sebuah mata kulaih, internet dapat pula dipergunakan
untuk meningkatkan intensitas dan kualitas interaksi antara pengajar dan peserta
didik maupun antar peserta didik. Mislanya dengan mempergunakan fasilitas
komunikasi seperti electronic email, discussion, chatting, teleconference dan lain
sebagainya. Aplikasi semacam WebCT dan Backbond merupaka dua software yang
saling bersaing dan dipergunakan oleh sejumlah perguruan tinggi terkemuka di dunia.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

610
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

c. Virtual class : konsep selanjutnya adalah dimungkinkannya menyelenggarakan kelas


maya atau virtual class dengan memanfatkan teknologi informasi. Implementasi
konsep berjalan seceara evolusioner, dengan kata lain dikembangkan secara perlahan-
lahan menuju virtual class yang sesungguhnya. Contothnya adalah pemberian tugas
dan peyelenggraan kuis secara online dimana peserta didik dapat mengikuti UTS
atau UAS secara realtime dalam format soal multiple. Sesuai dengan waktu yang
telah disepakati, peserta didik dapat melakukan login ke sistem dari lokasi berbeda
untuk melakukan tes dan kuis. Bahkan dalam waktu singkat-setelah tes selesai-
peserta didik dapat langsung melihat hasilnya dan setiap jawaban yang keliru akan
mendapatkan penjelasan mengenai jawaban benar serta materi pendukungnya.

Teknologi Informasi sebagai Performance Information Dashboard :


Sebagai sebuah institusi pendidikan, setiap perguruan tinggi memiliki visi dan misinya
masing-masing yang memperjelas proses pencapaiannya melalui pencanangan sejumlah
sasaran, obyektif, atau indikator kinerja yang disepakati. Dalam aktivitasnya sehari-hari, setiap
stakeholder dalam perguruan tinggi membutuhkan sejumlah data dan informasi yang lengkap,
detail, dan akurat terkait dengan pekerjaannya masing-masing. Pada saat inilah, teknologi
informasi kembali menawarkan kemudaahn bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan data
dan informasi berkualitas.
a. Yayasan dan Pimpinan Perguruan Tinggi
Hubungan antara yayasan dengan manajemen puncak atau pimpinan perguruan itnggi
seperti layaknya dewan komisaris dan dewan direksi pada perusahaan. Selain akan sangat
menentukan arah perkembangan perguruan tinggi, keduanya sangat perlu menerapkan prinsip
good governace, yaitu selalu memperhatikan aspek seperti transparency, accountabity,
responsibility, independency dan fairness. Oleh karena itu keduanya harus memiliki cukup
akses terhadap sejumlah data dan informasi penting yang terkait dnegnan indikator kinerja
atau performa perguruan tinggi ditinjau dari berbagai sisi. Ada banyak cara menentukan
indikator kinerja yang tepat dan perlu dipantau oleh yayasan maupun manajemen. Contohnya
adalah menggunakan metode balanced scorecard yang diperkenalkan oleh Robert Kaplan.
Karena setiap kegiatan penyelenggaran perkuliahan telah menggunakan teknologi informasi,
maka perguruan tinggi mudah mengembangkan aplikasi untuk menghasilkan beragam
laporan atau indikator kinerja yang diinginkan.
b. Dekan Fakultas dan Ketua Program Studi
Dekan dan Ketua Program Studi membutuhkan data yang jauh lebih rinci, melalui
teknologi informasi. Data dan informasi dapat ditampilkan yang meliputi:
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

611
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

1) jumlah dan profil masing-masing dosen atau faculty member yang dimiliki, lengkap
dengan catatan prestasi, hasil kerja, dan track record terkait lainnya,
2) kinerja dan rasio keuangan yang diperlihatkan dalam laporan finansial berkala seperti
neraca, arus kas, dan income statement,
3) kecenderungan calon peminat dan penerimaaan mahasiswa dari dari tahun ke tahun
serta profil detail mereka,
4) peningkatan kualitas sumber daya dan penyelenggaraan pendidikan melalui
pengawasan terhadap sejumlah indikator rasio penting seperti rasio dosen tetap
dibandingkan dengan jumlah mahasiswa, komposisi pengajar berdasarkan bidang
keahlian dan jenjang kepangkatan akademik yang dimilikinya, rata-rata proporsi
alokasi pekerjaan yang berhasil dihimpun, banyaknya jurnal ilmiah yang berhasil
diterbitkan, jumlah paten yang diperoleh, jumlah judul buku di perpustakaan, luas
bangunan dan gedung dan lain sebagainya,
5) rata-rata indeks prestasi mahasiswa per program studi, jumlah mahasiswa yang
diwisuda setiap tahunnya,
6) total nilai beasiwa yang diberikan kepada para mahasiswa,
7) komposisi mahasiswa sarjana, magister dan doktoral
c. Dosen dan Tenaga Akademis
Dosen maupun tenaga akademis dapat dianggap tulang punggung kegiatan belajar
mengajar karena bertanggungjawab langsung pada mata kuliah yang diajarkan. Oleh karena
itu mereka sangat membutuhkan tool untuk membantu tidak hanya dalam pengelolaan
content sebuah mata kulaih, tetapi terkadang juga mengelola para peserta ajar dan mengawasi
kemajuannya dari hari ke hari.
Belum lagi jika yang bersangkutan memiliki fungsi pula sebagai pembimbing akademik
mahasiswa; pembimbing skripsi, tesis, dan disertasi; kordinator mata kuliah; peneliti aktif;
dan lain sebagainya. Keberadaan teknologi informasi sangat krusial dalam kerangka keadaan
seperti ini.

Penutup
Kebutuhan organisasi terhadap teknologi informasi sudah tidak dapat ditawar lagi.
Teknologi informasi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan
organisasi. Pemanfaatan teknologi informasi sangat ditentukan oleh kemampuan yang
dimiliki oleh SDM organisasi dan ketersediaan teknologi informasi yang dimiliki oleh
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

612
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

organisasi. Untuk itu, institusi pendidikan seperti sekolah atau madrasah, pesantren,
perguruan tinggi dan lain-lain perlu memperhatikan kedua faktor tersebut agar kehadiran
teknologi informasi di era globalisasi ini benar-benar membawa dampak positif, seperti
meningkatkan reputasi, go internasional, berdaya saing tinggi dan lain-lain, bukan sebaliknya

Daftar Pustaka

Indrajit, Richardus E. & Djokopranoto R., 2004. Manajemen Perguruan Tinggi Modern.
Yogyakarta: ANDI.
Indrajit, Richardus E., 2014. Manajemen Organisasi dan Tata Kelola Teknologi Informasi .
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kosasih, Sandy. Peran Teknologi Informasi dalam Pengembangan Organisasi . Dalam Jurnal
Teknologi Informasi DINAMIKA, Edisi Januari 2002, Volume VII, No. 1.
Rahmawati, Diana. Peran Teknologi Informasi Dalam Hubungan Struktur Organisasi Dengan
Lingkungan (Suatu Kajian Teori). Dalam Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, 2009,
7 (2).
Ruliana, Poppy., 2014. Komunikasi Organisasi: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Rajawali Press.
Slamet, Giarti, Peran Tehnologi Informasi Dalam Pengolahan Dan Penyajian Informasi Bagi
Organisasi. Dalam Jurnal Mimbar Bumi Bengawan, 2013, 3 (6).
Sutabri, Tata., 2014. Pengantar Teknologi Informasi. Yogyakarta: ANDI.
Sutarman., 2012. Pengantar Teknologi Informasi. Jakarta: Bumi Aksara..
.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

613
Sumarjo, Sinta Maysila
Universitas Gadjah Mada
e-mail: Sumarjo284@gmail.com, sintamaysilala@gmail.com
Abstract. In this globalization era, the uncontrolled development of technology has forced people to be similar.
Technology has entered in all aspects of life that characterized by the increasing number of internet users in
Indonesia. In fact, increasing number of the internet users is also followed by the increasing of spreading hoax and a
considerable percentage of society’s trustworthiness toward news on social media or internet. Regarding to that fact,
have Indonesian people optimized the internet wisely? The aim of this study is to reveal the position of technology
users in Indonesia in line with government’s program of digital literacy awareness. This research used qualitative
approach with literature studies. The data collection was from general reference resources that was theoretical books
and special reference resources such as journals of previous studies, news observation about technology on printed
and online media, internet and digital literacies. The theory related arena and habitus based on Pierre Bourdieu was
used as the mind map to analyse the position of technology users in digital literacy era. The results show that the
adaptation process of technology was quickly accepted by Indonesian people. The adaptation process followed by
the government effort to enhance people’s understandings about digital literacy through Gerakan Literasi Nasional
(National Literacy Movement) given to families, schools and society. However, the effort could not give literacy
understanding vividly. This situation occurred because the society was still on the arena and perspective of truth
based on their own logic. Whereas the lack of understanding on digital literacy could potentially increase the chance
of irresponsible dissemination of information. Position of technology users was also based on logic that headed to
the production of digital literacy and click-and-share habitus. They mapped the technology users’ understanding
about digital literacy.

Keywords: technology users, digital literacy, arena, habitus

Abstrak. Di era globalisasi, perkembangan teknologi yang sulit dikontrol telah mendikte masyarakat untuk menjadi
seragam atau serupa. Teknologi telah masuk dalam semua dimensi kehidupan yang ditandai dengan meningkatnya
jumlah pengguna internet di Indonesia. Faktanya, peningkatan jumlah pengguna internet juga dibarengi dengan
meningkatnya penyebaran hoax dan persentase kepercayaan masyarakat pada berita di media sosial atau internet yang
cukup besar. Berdasarkan realitas tersebut, apakah masyarakat indonesia telah memanfaatkan internet dengan bijak?
Tujuan dari penelitian ini yaitu mengungkap posisi pengguna teknologi di Indonesia di tengah deklarasi pemerintah
untuk melek literasi digital. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka.
Pengumpulan data diperoleh melalui sumber acuan umum yaitu buku teori dan sumber acuan khusus yaitu jurnal
hasil penelitian terdahulu, observasi berita di media cetak maupun online tentang teknologi, internet dan literasi
digital. Teori terkait arena dan habitus menurut Pierre Bourdieu digunakan sebagai kerangka berpikir dalam
menganalisis posisi pengguna teknologi di era literasi digital. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses adaptasi
teknologi begitu cepat diterima oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Proses adaptasi tersebut diikuti oleh
upaya pemerintah dalam meningkatkan pemahaman literasi digital melalui Gerakan Literasi Nasional yang menyasar
keluarga, sekolah dan masyarakat. Namun, upaya tersebut belum memberikan pemahaman literasi secara maksimal.
Hal ini dikarenakan masyarakat berada pada arena dan perspektif kebenaran sesuai logic-nya masing-masing.
Padahal, ketidakpahaman tentang literasi digital berpotensi meningkatkan peluang penyebaran informasi yang tidak
bisa dipertanggung jawabkan. Posisi pengguna teknologi juga berpijak pada logic yang bermuara pada produksi
habitus berupa habitus literasi digital dan habitus click and share. Kedua habitus tersebut memetakan pemahaman
pengguna teknologi tentang literasi digital.

Kata Kunci: pengguna teknologi, literasi digital, arena, habitus

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Perkembangan teknologi di era globalisasi sulit untuk dipisahkan dari kehidupan
masyarakat. Pada tahap ini, masyarakat bergerak sesuai ritme teknologi yang berkembang di
setiap priode perkembangan zaman. Tren perkembangan teknologi membuat masyarakat
seragam dalam artian seluruh masyarakat dunia di dekte oleh tren teknologi akibat dari
perkembangan globalisasi yang kian masif. Menurut Ritzer (2012) Globalisasi adalah
penyebaran praktik, relasi, kesadaran, dan organisasi di seluruh penjuru dunia. Hampir setiap
bangsa dan hidup jutaan orang di seluruh dunia mengalami transformasi, sering kali secara
dramatis, yang disebabkan globalisasi. Dalam konteks ini, kesadaran masyarakat digiring oleh
logika globalisasi berupa hadirnya teknologi terkhusus gadget (leptop dan smarphone) yang
mempermudah kehidupan masyarakat. Pada tahap selanjutnya, tren penggunaan teknologi
yang kian masif turun direspons dengan meningkatnya penggunaan internet di Indonesia.
Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun
2017 tentang hasil survei dari komposisi pengguna internet berdasarkan usia, rentang usia
19-34 tahun menjadi kontributor utama dengan persentase 49,52%, 35-54 tahun (29,55%),
13-18 tahun (16,68%), dan lebih dari 54 tahun (4,24%). Merujuk pada data tersebut, jika
dikalkulasi maka laporan teranyar dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII)
menyatakan bahwa lebih dari 50 persen atau sekitar 143 juta orang telah terhubung internet
selama 2017. Fakta ini menegaskan bahwa, sebagian besar masyarakat indonesia telah
memanfaatkan teknologi melalui sambungan internet. Hal ini menandai bahwa, sebagian
besar masyarakat mudah menerima dan beradaptasi ketika teknologi dan internet hadir di
kehidupanya. Namun, kehadiran teknologi belum diimbangi oleh kecakapan masyarakat
dalam memanfaatkan teknologi dengan baik. Hal ini didasarkan atas fakta bahwa data dari
Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan ada sebanyak 800 ribu situs di
Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian ( hate speech).
Saluran terbanyak penyebar berita bohong atau hoax dijumpai di media sosial. Permasalahan-
permasalahan yang terjadi ketika menggunakan teknologi didasarkan atas kurangnya
pengatahuan dan pemahaman mengenai literasi digital (Subrahmanyam dan Smahel, 2011).
Persentasenya mencapai 92,40%, disusul aplikasi percakapan (chating) 62,80%, lalu situs
web 34,90%. Sementara pada televisi hanya 8,70%, media cetak 5%, email 3,10%, dan radio
1,20% (www.gatra.com).
Tapscott (2009) menyebutnya sebagai generasi Net, yaitu generasi yang tumbuh
dengan perkembangan media, internet merupakan bagian kehidupan sehari-hari mahasiswa
dan mereka tumbuh dengan komputer dan internet. Kebutuhan-kebutuhan remaja saat ini
dapat dipenuhi melalui internet. Perkembangan teknologi membentuk sebuah konteks sosial
baru pada perkembangan remaja dalam berhubungan dengan keluarga dan teman sebaya

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

615
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

(Subrahmanyam dan Lin, 2007). Kondisi demikian membuka fakta bahwa teknologi telah
masuk dalam semua dimensi kehidupan manusia bahkan sampai mampu merubah habbit
masyarakat. Dalam konteks ini, pengguna teknologi merupakan aktor utama yang akan
merasakan hadirnya teknologi membawa dampak positif atau negatif. Dilansir dari
Kemeninfo, Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah
pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar
itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di
dunia setelah Cina, India, dan Amerika. Berdasarkan data tersebut, Indonesia merupakan
pasar yang besar bagi ekspansi pasar smartphone yang seiring perkembangnya semakin
bertumbuh dengan pesat.
Ekspansi pasar yang besar idealnya mampu menunjang program Kemendikbud dalam
menerapkan gerakan literasi di keluarga, sekolah dan masyarakat. Upaya mencapai
pemahaman holistik tentang literasi digital maka diperlukan elemen yang memuat
pemahaman tentang konsep literasi digital. Menurut Douglas A.J Belshaw (dalam
Kemendikbud, 2017) elemen-elemen yang harus termuat dalam konsep literasi digital yaitu
kultural, kognitif, konstruktif, komunikatif, kepercayaan diri yang bertanggung jawab, kreatif,
kritis, dan bertanggung jawab secara sosial. Seluruh pengguna gadget idelalnya mampu
memiliki semua elemen tersebut. Disisi lain, konsep literasi digital, sejalan dengan terminologi
yang dikembangkan oleh UNESCO pada tahun 2011, yaitu merujuk pada serta tidak bisa
dilepaskan dari kegiatan literasi, seperti membaca dan menulis, serta matematika yang
berkaitan dengan pendidikan (dalam Kemendikbud, 2017). Oleh karena itu, literasi digital
merupakan kecakapan (life skills) yang tidak hanya melibatkan kemampuan menggunakan
perangkat teknologi, informasi, dan komunikasi, tetapi juga kemampuan bersosialisasi,
kemampuan dalam pembelajaran, dan memiliki sikap, berpikir kritis, kreatif, serta inspiratif
sebagai kompetensi digital. Pada proses selanjutnya, ekspansi pasar teknologi yang kian luas
sejalan dengan meningkatnya jumlah penggua internet di Indoensia apakah diikuti
peningkatan penggunaan internet dengan bijak. Berdasarkan hal tersebut, bagaimana posisi
pengguna teknologi di Indonesia di tengah pemerintah mendeklarasikan untuk melek literasi
digital.

Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode studi
kepustakaan untuk mendiskripsikan posisi pengguna teknologi di era literasi digital dengan
melakukan analisis secara sosiologis terhadap pemanfaatan teknologi dalam perspektif Pierre
Bourdieu. Studi kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

616
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

elektronik (Moleong, 2007: 54). Selain itu, sumber data yang digunakan berupa sumber
acuan umum yaitu buku teori dan sumber acuan khusus yaitu jurnal hasil penelitian, survei,
berita dan referensi yang relevan lainnya melalui akses internet yang dapat mendukung isi
penulisan, serta situs-situs melalui jaringan internet yang berkaitan dengan pembahasan
(Harahap, 2014). Triangulasi sumber data dilakukan melalui pemilihan sumber data yang
kredibel. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis isi atau metode melalui analisis
dokumen yaitu pengujian teoritis untuk meningkatkan pemahaman tentang data untuk
menyaring informasi ke dalam kategori terkait (Elo dan Kyngas, 2008). Teori terkait arena
dan habitus menurut Pierre Bourdieu digunakan sebagai kerangka berpikir dalam
menganalisis posisi pengguna teknologi di era literasi digital. Selanjutnya menarik kesimpulan
akhir berdasarkan data yang telah ditampilkan.

Hasil dan Pembahasan


Gerakan Literasi Digital di Indonesia
Literasi digital merupakan sebuah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Paul
Gilster (dalam Kemendikbud, 2017) pada tahun 1997 dalam bukunya yang berjudul Digital
Literacy diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam
berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer.
Bawden (2001) memberikan pemahaman baru terkait literai digital yang berakar dari literasi
komputer dan literasi informasi. Literasi komputer terus mengalami perkembangan seiring
meluasnya penggunaan komputer yaitu dari lingkungan bisnis ke lingkungan masyarakat.
Perkembangan literasi komputer juga dibarengi dengan berkembangnya literasi informasi
yang semakin mudah diakses dan disebarkuaskan melalui jejearing teknologi informasi yang
ada. Martin (2005: 135-136) mendefinisikan literasi digital diartikan sebagai berikut.
Digital literacy is the awareness, attitude and ability of individuals to appropriately
use digital tools and facilities to identify, access, manage, integrate, evaluate, analyse and
synthesize digital resources, construct new knowledge, create media expressions, and
communicate with others, in the context of specific life situations, in order to enable
constructive social action; and to reflect upon this process.
Konsep literasi digital memiliki beberapa elemen kunci seperti yang dikemukakan
oleh Martin (2005:135) antara lain sebagai berikut:
 Literasi digital melibatkan kemampuan untuk melakukan tindakan digital yang
sukses tertanam dalam situasi kehidupan antara lain dalam hal pekerjaan,
pembelajaran, rekreasi, dan aspek lain dari kehidupan sehari-hari;

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

617
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

 Literasi digital individu memiliki variasi sesuai dengan situasi kehidupan serta
menjadi proses perkembangan berkelanjutan sesuai dinamika kehidupan individu
seumur hidup;
 Literasi digital lebih luas dari pada kemampuan TIK dan akan mencakup elemen-
elemen yang diambil dari beberapa “literasi” terkait, seperti literasi informasi, literasi
media dan literasi visual;
 Literasi digital berkaitan dengan bagaimana perolehan dan penggunaan pengetahuan,
teknik, sikap, dan kualitas pribadi yang mencakup kemampuan untuk merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi digital actions dalam mencari solusi kehidupan,
serta kemampuan untuk merefleksikan perkembangan literasi digital seseorang.
Dalam konteks literasi digital di Indonesia, gerakan literasi digital mulai dilaksanakan
sejak adanya mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang tercantum
dalam kurikulum pendidikan. Meskipun pada akhirnya terjadi pro dan kontra atas kebijakan
penghapusan TIK dari kurikulum, gerakan literasi digital di Indoensia tetap berlangsung
secara terus menerus walaupun mengalami pergeseran mekanisme dimana pada awalnya
literasi digital sebagai bagian dari kurikulum yang bersifat wajib bagi setiap akademisi
pendidikan kini sebagai bagian dari inisiatif dan kesadaran individu yang bersifat
kerelawanan. Saat ini, gerakan literasi digital nasional terus diupayakan oleh pemerintah
melalui Kemenkominfo dengan menyasar tiga elemen atau agen utama dalam kehidupan yaitu
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Masing-masing agen memiliki sasaran, indikator, target
capaian dan strategi yang berbeda sehingga tujuan utama dari gerakan literasi digital sebagai
bagian dari pembelajaran sepanjang hayat dapat terealisasi.

Gerakan Literasi Digital di Keluarga


Keluarga merupakan tempat pertama dalam proses sosialisasi dimana terjadi
penanaman karakter diri yang paling mendasar bagi individu sebelum melangkah ke lingkup
sosialisasi yang lebih luas. Perannya yang primer diharapkan mampu menjadi pendorong
terinternalisasikannya berbagai nilai termasuk budaya literasi digital. Keluarga sebagai salah
satu agen penguatan budaya literasi digital memegang peranan penting dalam upaya
peningkatan kemampuan anak untuk berpikir kritis, kreatif, dan positif dalam menggunakan
media digital. Orang tua menjadi tumpuan utama dalam proses penguatan budaya literasi
digital di keluarga dengan berbagai sasaran literasi digital antara lain peningkatan jumlah dan
variasi bahan bacaan, peningkatan frekuensi akses internet dan budaya membaca bahan yang
terliterasi, serta peningkatan pemanfaatan dan jumlah pelatihan literasi digital.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

618
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Dalam lingkup ini, orang tua sebagai teladan yang harus mampu menciptakan iklim
keluarga yang komunikatif melalui diskusi dan sharing terkait materi dasar literasi digital.
Berbagai upaya dicanangkan untuk memberikan penguatan bagi orang tua sebagai fasilitator
antara lain melalui penyuluhan, seminar, dan pelatihan penggunaan internet yang sehat. Selain
itu, terdapat pula upaya peningkatan jumlah dan sumber belajar bermutu mulai dari
penyediaan bahan bacaan, pemilihan bahan bacaan dan acara televisi, serta pemilihan situs
dan aplikasi edukatif. Upaya-upaya tersebut dirasa belum cukup untuk menguatkan budaya
literasi digital di keluarga sehingga perlu adanya keterlibatan pihak eksternal misalnya sharing
session dengan pakar, praktisi, maupun NGO’s terkait pengembangan literasi digital dalam
keluarga. Kemudian secara eksklusif, orang tua membuat konsensus keluarga serta melakukan
pendampingan dalam menggunakan media digital.

Gerakan Literasi Digital di Sekolah


Gerakan literasi digital di sekolah memiliki sasaran mulai dari berbasis kelas, budaya
sekolah, hingga masyarakat. Sasaran dari literasi digital berbasis kelas menekankan pada
kuantitas pelatihan serta pemahaman terhadap literasi digital seluruh warga sekolah.
Kemudian, sasaran literasi digital berbasis budaya sekolah menekankan pada variasi dan
peningkatan jumlah bahan bacaan, penyajian informasi, serta pemanfaatan teknologi
informasi dalam kegiatan pelayanan sekolah. Sasaran literasi digital berbasis masyarakat
menekankan pada jumlah sarana dan prasaran pendukung serta partisipasi pihak-pihak diluar
sekolah dalam pengembangan literasi digital.
Strategi dalam gerakan literasi digital di lingkungan sekolah fokus pada integrasi
peran antara siswa, guru, dan kepala sekolah dengan meningkatkan keterampilan,
pengetahuan, dan kreativitas terkait literasi digital. Selain itu, terdapat beberapa upaya
penguatan yang melibatkan penguatan kapasitas fasilitator, peningkatan jumlah dan ragam
sumber belajar bermutu, perluasan akses sumber belajar bermutu dan cakupan peserta belajar,
dan penguatan tata kelola melalui kegiatan administratif sekolah dan penerapan kebijakan
sekolah tentang literasi digital.

Gerakan Literasi Digital di Masyarakat


Urgensi gerakan literasi digital di lingkungan masyarakat menjadi hal yang perlu
diperhatikan di tengah pertumbuhan dan keterbukaan media digital yang harus dibarengi
dengan kecerdasan bermedia. Gerakan literasi digital di lingkungan msyarakat bertujuan
mengedukasi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi dan komunikasi khususnya terkait
kegiatan menemukan, menggunakan, mengelola, dan menciptakan informasi secara bijak dan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

619
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

kreatif. Secara spesifik, terdapat beberapa sasaran dalam gerakan literasi digital di masyarakat
antara lain meningkatnya jumlah dan variasi bahan bacaan literasi digital, meningkatnya
frekuensi membaca bahan bacaan literasi digital, meningkatnya fasilitas pendukung dan
partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan literasi digital, meningkatkan pemanfaatan dan
pemahaman terkait media digital dan internet, dan lain-lain.
Strategi gerakan literasi digital di masyarakat memiliki beberapa tahapan mulai dari
pelatihan penggunaan aplikasi dan penulisan, sosialisasi tentang hukum dan etika bermedia,
penyediaan fasilitas pendukung dan distribusi informasi melalui media sosial, pengadaan
kegiatan sharing dan kolaborasi dengan berbagai pihak eksternal, konsensus masyarakat
dalam bermedia, serta penglokasian anggaran khusus untuk pendampingan dan penyediaan
fasilitas agar tercipta iklim desa melek internet.
Terkait dengan kemampuan literasi digital di keluarga, berdasarkan hasil Survei
Penggunaan TIK Tahun 2017 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Aplikasi
Informatika dan Informasi dan Komunikasi Publik, Badan Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
dapat diketahui berdasarkan data penggunaan TIK dalam rumah tangga yaitu 72,13% adalah
pengguna TIK sedangkan 27,87% sisanya bukan pengguna TIK. Selain itu, literasi digital di
keluarga dapat dilihat dari aturan penggunaan TIK dalam rumah tangga yang menunjukkan
bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan dengan aturan penggunaan internet yaitu
semakin tinggi tingkat pendidikan Kepala Keluarga maka semakin terdapat pula aturan dalam
penggunaan internet (waktu dan kuota).
Literasi digital di sekolah secara makro dapat diketahui dari hasil studi internasional
sebagai instrumen untuk menguji kompetensi global. Misalnya PIRLS (Progress in
International Reading Literacy Study) dan PISA (Programme for International Student
Assessment). PIRLS adalah studi literasi membaca yang dirancang untuk mengetahui
kemampuan anak sekolah dasar dalam membaca karya sastra ( literary reading) dan membaca
untuk memperoleh dan menggunakan informasi (information reading). Dari dua tujuan
tersebut, terdapat empat indikator proses memahami bahan bacaan antara lain mencari
informasi yang dinyatakan secara eksplisit; menarik kesimpulan secara langsung;
menginterpretasikan dan mengintegrasikan gagasan dan informasi; dan menilai dan menelaah
isi bacaan, penggunaan bahasa, dan unsur-unsur teks. Hasil PIRLS, menempatkan Indonesia
pada peringkat ke 41 dari 45 negara (dalam Musfiroh, 2013). Kemudian, PISA adalah studi
literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun
(kelas III SMP dan Kelas I SMA) dalam membaca (reading literacy), matematika
(mathematics literacy), dan sains (scientific literacy) yang memuat pengetahuan dalam
kurikulum dan pengetahuan lintas kurikulum. Untuk membaca, aspek literasi yang diukur

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

620
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

adalah memahami, menggunakan, dan merefleksikan dalam bentuk tulisan. Program ini
digagas oleh the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Hasil
PISA terhadap kemampuan literasi bahasa siswa dari berbagai dunia dilakukan setiap tiga
tahun sekali yang dimulai pada tahun 2003. Tahun 2003 prestasi literasi membaca siswa
Indonesia berada pada peringkat ke-39 dari 40 negara, tahun 2006 pada peringkat ke-48 dari
56 negara, tahun 2009 pada peringkat ke-57 dari 65 negara, dan tahun 2012 pada peringkat
ke-64 dari 65 negara, dan tahun 2015 hasil menunjukkan Indonesia menduduki peringkat 69
dari 76 negara.
Kemudian berkaitan dengan literasi digital di masyarakat, dapat dilihat dari
bagaimana information literacy, digital literacy dan internet literacy yang dilakukan.
Berdasarkan hasil Survei Penggunaan TIK Tahun 2017 oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Aplikasi Informatika dan Informasi dan Komunikasi Publik, Badan Penelitian
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia menunjukkan bahwa 45% masyarakat Indonesia menggunakan internet
dengan aktivitas browsing (74,69%), email atau chatting (42,63%), unggah atau unduh file
(37,80%), streaming (31,53%), menggunakan aplikasi online (24,42%), bermain game
(24,13%), konfigurasi software (22,41%), mengunduh atau membaca e-book (19,79%),
transaksi online (9,71%), serta membuat program komputer (5,58%). Jika dilihat dari
penggunaan media sosial oleh individu, menunjukkan angka 92,82% sebagai pengguna media
sosial sedangkan 7,18% sisanya bukan pengguna media sosial. Sedangkan jika dilihat dari
penggunaan instant messaging oleh individu, menunjukkan angka 84,76% sebagai pengguna
instant messaging dan 15,24% bukan pengguna.

Posisi Pengguna Teknologi dan Internet di era Literasi Digital


Kemajuan teknologi informasi komunikasi membuat sumber daya informasi digital
sangat melimpah. Setiap orang bebas memasukkan dan mengakses informasi di dunia maya
tanpa ada batasan. Istilah digital native mengandung pengertian bahwa generasi muda saat ini
hidup pada era digital, yakni internet menjadi bagian dari keseharian dalam hidupnya
(Kurnianingsih Indah, dkk, 2017). Gadget yang terkoneksi dengan internet telah menjadi
kebutuhan primer bagi tiap pengguna teknologi. Tindakan mengkonsumsi gadget dan
internet tidak terlepas dari ruang atau arena pengguna teknologi itu sendiri yaitu sebagai tren
yang berkembang di era globalisasi. Dalam pemahaman Bourdieu (2011: 176) ruang sosial
merupakan keseluruhan tempat atau terjadinya proses interaksi sosial yang mana ruang
tersebut menghadirkan diri dalam bentuk agen-agen yang dilengkapi dengan berbagai ciri
berbeda namun secara sistematis terkait satu sama lain. Pemahaman Bourdieu telah
memposisikan aktor-aktor pengguna gadget berada pada arena yang sama dan memiliki logic
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

621
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

yang sama dalam komunitasnya. Arena ini menghadirkan ruang untuk proses interaksi sosial
dari agen-agen pengguna gadget berdasarkan kelompok mereka masing-masing. Pada tahap
ini, pengguna gadget memiliki kecenderungan mengakses informasi berdasarkan pengaruh
dari lingkungan. Pada proses selanjutnya, arena menentukan posisi setiap aktor dalam
memanfaatkan teknologi. Aktor-aktor yang berada pada posisi atau lingkungan yang
memiliki keterbatasan pengetahuan tentang literasi digital menggiring seorang individu
tersebut berada pada posisi yang serupa. Hal demikian, juga disebabkan oleh tersedianya
mesin pencaharian seperti google (mesin pencari) yang memberikan ruang begitu luas
terhadap ketersediaan informasi sehingga bajir informasi yang melimpah membuat dilematis
untuk membedakan konten yang bersifat hoax dan terpercaya.
Merujuk pada konsep arena, menurut Bourdieu posisi pengguna gadget tidak berada
pada garis horizontal. Artinya, setiap pengguna gadget memiliki logic sekaligus kepentingan
dan motif penggunaan gadget yang berbeda. Pada point ini arena menentukan posisi aktor
pengguna gadget yang memahami konsep literasi digital maupun yang hanya menggunakan
gadget sebagai tren mengikuti perkembangan teknologi terkini berdasarkan logic dari aktor
pengguna gadget. Sehingga logic ini membawa pada kebermanfaatan hadirnya teknologi bagi
pengguna gadget. Pada tahap ini, berdasarkan hasil penelitian dari Kurnia dan Astuti (2017)
menyimpulkan bahwa perguruan tinggi adalah pelaku utama atau motor penggerak dalam
gerakan literasi digital melalui kegiatan sosialisasi dengan kaum muda sebagai kelompok
sasaran dominan dan sekolah sebagai mitra yang paling sering menerima sosialisasi. Dari
penelitian ini muncul rekomendasi literasi digital harus diberikan dalam level keluarga,
sekolah, dan negara. Hal ini sejalan dengan program Kemendikbud yang ditujukan kepada
keluarga, sekolah dan masyarakat.
Pada prakteknya, program tersebut belum sepenuhnya menyentuh seluruh elemen.
Hal ini dikarenakan sosialisasi literasi digital hanya gencar dilakukan di sekolah dan menyasar
kaum muda. Padahal, jika mejuruk pada laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) Tahun 2017 tentang hasil survei dari komposisi pengguna internet
berdasarkan usia, rentang usia 19-34 tahun menjadi kontributor utama pengguna jasa
internet. Jika dipahami lebih lanjut, aktor yang berada pada rentang usia tersebut berada pada
posisi pendidikan tinggi (universitas) dan atau berada pada lingkungan kerja. Jika individu
tersebut berada pada tingkat universitas, berpotensi memiliki pemahaman tentang literasi
digital. Namun, jika seorang individu (masyarakat) berada pada diluar akademik dan tidak
mendapatkan edukasi tentang literasi digital membuat informasi yang didapatkan melalui
berbagai media sebagai keberanan. Sehingga kegiatan literasi digital yang diperuntukkan di
sekolah, seakan mengabaikan pengguna terbesar jasa internet yaitu rentang usia dari 19-34
tahun. Kemudahan akses mendapatkan gadget serta melimpahnya informasi seolah

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

622
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menempatkan semua pengguna jasa internet berada pada posisi yang benar berdasarkan
rasionalitas. Hal ini membuat setiap pengguna teknologi memiliki kebebasan dalam mencari,
mendapatkan, dan menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Hamburger (2009) menggambarkan perkembangan dan dampak teknologi terhadap
individu seperti Yin dan Yang yang merepresentasikan bahwa teknologi dapat memberikan
dampak positif dan negatif. Dalam konteks ini, kehadiran teknologi yang dapat diakses setiap
individu membuat ruang penyebaran informasi semakin luas. Merujuk pada data pengguna
jasa internet berdasarkan rentang usia, menandai bahwa tiap pengguna memiliki otoritas
mengakses internet dan menyebarkan informasi yang didapatkannya tanpa mengetahui
kebenarannya. Kondisi demikian diperkuat dengan laporan Direktur Jenderal Aplikasi
Informatika Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengungkapkan,
masyarakat Indonesia masih rentan mempercayai berita bohong (hoax) yang disebar di
internet maupun media social dengan tingkat kepercayaan cukup besar yaitu 65 persen.
Point ini memperjelas diferensiasi posisi pengguna teknologi terhadap konsep literasi
digital. Menurut Bourdieu, dunia sosial tidak lagi bersifat holistik namun telah terdiferensiasi
ke dalam arena dengan logic masing-masing namun rasional pada arena yang lain sesuai role
of the game. Posisi pengetahuan dan pemahaman literasi digital pengguna teknologi juga
dipengaruhi oleh arena dimana pengguna teknologi berpijak. Pada tahap selanjutnya, pijakan
ini memiliki kecenderungan membawa seorang pengguna berada pada posisi menggunakan
teknologi sesuai dengan kebutuhan tanpa mempertimbangkan literasi digital. Dunia sosial
pengguna teknologi terdiferensiasi oleh rasionalitas dan logika yang merepresentasikan
kebenaran setiap pengguna teknologi.

Habitus Pengguna Teknologi di Era Literasi Digital


Jika menilik realitas yang ada, meskipun terjadi peningkatan penetrasi pengguna
internet di Indonesia dari tahun ke tahun, tidak serta-merta menjamin pengguna memiliki
kesadaran untuk menggunakan dan memanfaatkan teknologi dan internet secara bijak. Selain
itu, masih marak terjadi penyalahgunaan internet antara internet fraud, internet addicted,
pelanggaran privasi, hingga yang masih terus terjadi yaitu meluasnya hoax. Lebih jauh lagi,
munculnya sejumlah permasalahan tersebut berakar pada satu hal, yaitu rendahnya kesadaran
literasi digital masyarakat Indonesia.
Kesadaran literasi digital berkaitan dengan kebiasaan atau habit individu dalam
menggunakan informasi yang ada. Kebiasaan diidentikkan dengan tindakan atau perbuatan
yang dilakukan secara berulang-ulang atau tindakan yang lazim/umum dilakukan. Dalam
Sosiologi, konsep terkait kabiasaan individu dikemukakan oleh Pierre Bourdieu yang sering
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

623
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

disebut sebagai habitus. Namun Bourdieu tidak serta merta mengartikan habitus secara
sederhana sebagai kebiasan seseorang atau tabiat yang melekat pada diri seseorang. Lebih
dalam lagi, Bourdieu menjelaskan habitus merupakan “a dialectic of internalization of
externality and the externalization of internality” (Ritzer dan Goodman, 2010:582). Selain
itu, habitus juga didefinisikan oleh Bourdieu sebagai berikut.
Habitus is systems of durable, transposable dispositions, structured structures
predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and
organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes
without presupposing a conscious aiming at ends (Bourdieu, 1977: 53).
Habitus berangkat dari proses internalisasi yang dalam diri sesorang, kemudian
tereksternalisasi ulang dalam ruang yang memungkinkan untuk mengimprovisasi. Bersifat
dinamis dan terserap dalam diri individu, terdisposisi, dan menjadi bagian dari agensi.
Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Disatu sisi habitus adalah
struktur yang menstruktur artinya habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur
kehidupan sosial (structuring sctructure). Di sisi lain, habitus adalah struktur yang
terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur oleh dunia sosial ( structured
structure). Sejalan dengan pendapat Bourdieu bahwa habitus is not only a structuring
structure, which organizes practices and the perception of practices, but also a structured
structure (dalam Papacharissi dan Emely, 2018)
Di era modern ini, maraknya teknologi dengan berbagai fasilitas seperti chatting,
social media, search engine, downloader, dan lain-lain memberikan akses bagi penyebaran
informasi. Saat ini, penyebaran informasi yang bebas menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu
untuk mengkonstruksi informasi dengan kepentingan atau tujuan tertentu. Hoax atau berita
palsu mendorong masyarakat lebih senang dan percaya pada sesuatu yang belum tentu benar.
Kondisi ini sejalan dengan pendapat dikenal dengan Post-Truth yang dalam Kamus Oxford
didefinisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk
opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (White, 2017:77).
Secara historis, keberadaan hoax di Indonesia sudah terjadi sejak dulu. Pada awalnya,
hoax masih terhitung jarang namun saat ini hoax bertebaran dimana-mana ditengah
perkembangan teknologi yang semakin maju sehingga penyebaran hoax dengan mudah dan
cepat. Kondisi ini disebabkan oleh habitus masyarakat khususnya sebagai pengguna teknologi.
Jika diuraikan, habitus pengguna teknologi saat ini tidak lepas dari beberapa kebiasaan yang
terkonstruksi di dalam masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat seperti taken
for granted terhadap berbagai informasi serta minat baca yang rendah, terinternalisasi dalam
diri pengguna teknologi mendorong terbentuknya habitus click and share.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

624
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Habitus click and share pengguna teknologi yang terbentuk karena kebiasaan taken
for granted terhadap berbagai informasi dapat dilihat perilaku pengguna teknologi di
Indonesia yang memiliki kecenderungan berlomba-lomba dan ingin dianggap yang pertama
menyebarkan isu atau informasi terkini. Pengguna teknologi tidak lepas dari pola pikir dan
karakter sebagian masyarakat yang mengedepankan hasrat mereka untuk selalu up-to-date
dalam mendapatkan suatu informasi. Hal ini nampak dari aktivitas pengguna teknologi dalam
menggunakan media sosial dan aplikasi pengiriman pesan seperti WhatsApp, Facebook,
Twitter, dan sebagainya. Pengguna teknologi senang berbagi informasi, dibarengi dengan
perkembangan teknologi digital yang penggunaannya cukup tinggi dan menjangkau hingga
berbagai kalangan. Ini sejalan dengan pendapat Papacharissi (2013:11) bahwa terdapat
shareability atau kecenderungan individu dalam struktur jaringan digital untuk berbagi
informasi dalam jaringannya. Kebiasaan berbagi secara cepat juga mempengaruhi pola baca
masyarakat dimana bahan bacaan yang disediakan media online cenderung mendorong
pengguna teknologi untuk membaca secara cepat. Misalnya format penyajian berita online
dengan portal yang cenderung menampilkan isi (konten) berita yang hanya terdiri dari
beberapa alinea, bahkan penyajiannya cenderung tak lengkap dalam satu berita.
Kemudian, habitus click and share terbentuk karena kebiasaan yang disebabkan oleh
minat membaca yang rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu oleh Saleh dkk
(dalam Rahman, 2016: 44) bahwa sebagian besar orang lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk nonton TV dibandingkan dengan membaca. Sebagian besar hanya membaca
koran dan majalah dan tidak terlalu banyak orang yang membaca buku. Kebiasaan membaca
yang dipengaruhi oleh minat baca, terserap dalam diri pengguna teknologi berakar dari
berbagai faktor seperti yang dikemukakan oleh Bunanta (2004: 112) bahwa minat baca
sangat ditentukan oleh faktor lingkungan keluarga misalnya kebiasaan membaca keluarga di
lingkungan rumah, pendidikan dan kurikulum di sekolah yang kurang kondusif, infrastruktur
dalam masyarakat yang kurang mendukung peningkatan minat baca masyarakat, hingga
keberadaan dan keterjangkauan bahan bacaan.
Habitus click and share tanpa melakukan verifikasi dan tinjauan data di era digital
ini, menunjukkan bahwa habitus click and share merupakan habitus structured structures atau
”menstrukturkan struktur”. Artinya bahwa habitus click and share sebagai struktur yang
menstrukturkan atau membangun struktur sosial masyarakat. Habitus pengguna teknologi ini
mengalami embodiment atau menubuh dalam diri individu sebagai sebuah product of history
yang merupakan wujud reproduksi sosial dalam bentuk yang statis. Artinya bahwa habitus
click and share berpotensi tetap eksis pada bentuknya jika tidak terjadi improvisasi maupun
perubahan kebiasaan-kebiasaan pengguna teknologi di era literasi digital.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

625
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Namun di era globalisasi, terjadi kontestasi habitus dimana terdapat upaya


pembentukan habitus literasi digital untuk meredam habitus click and share. Habitus literasi
digital dibangun oleh Kemendikbud melalui Gerakan Literasi Nasional yang terdiri atas enam
literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi
digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. Pada konsep literasi digital,
habitus yang coba dibangun adalah menciptakan, mengolaborasi, mengomunikasikan, bekerja
sesuai dengan aturan etika, kesadaran dan berpikir kritis terhadap informasi dan penggunaan
teknologi kehidupan. Habitus ini diupayakan embodied dalam diri pengguna teknologi
sehingga terjadi pergeseran dari pengguna teknologi yang pasif konsumtif menjadi aktif
produktif.
Lebih jauh lagi, literasi digital dibangun sebagai sebuah habitus yang
diinternalisasikan dalam diri pengguna teknologi untuk menciptakan tatanan masyarakat
dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif. Tidak mudah trusted terhadap
informasi maupun isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoax, dan tindakan negatif
berbasis digital. Proses embodiment literasi digital pada pengguna teknologi dilakukan
melalui berbagai indikator literasi digital di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Habitus ini
dibangun dengan melakukan pemaksimalan peran keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai
agent of socialization yang membiasakan pengguna teknologi dan mayarakat pada umumnya
untuk aktif membaca, memvariasikan bahan bacaan literasi digital, meningkatkan jumlah
bacaan literasi digital, akses penggunaan internet secara bijak, intensitas pemanfaatan media
digital dan didorong dengan pelatihan literasi digital.
Dalam hal ini, habitus literasi digital yang dibangun merupakan habitus structuring
structure atau “struktur yang terstrukturkan”. Artinya habitus literasi digital adalah habitus
yang distrukturkan oleh dunia sosial melalui pemerintah dan agen-agen sosial sebagai
penggerak. Habitus literasi digital sebagai sesuatu yang dinamis dan improvisasional. Dimana
pengguna teknologi diberi ruang untuk create and innovate bahkan berimprovisasi namun
tetap dalam terminologi aturan main atau role play literasi digital sesuai dengan aturan atau
indikator yang ditetapkan oleh Kemendikbud. Ini sejalan dengan prinsip pengembangan
literasi digital menurut Mayes dan Fowler (dalam Kemendikbud, 2017) yang bersifat
berjenjang yaitu pertama, kompetensi digital yang meliputi keterampilan, konsep, pendekatan,
dan perilaku. Kedua, penggunaan digital yang merujuk pada pengaplikasian kompetensi
digital yang berhubungan dengan konteks tertentu. Ketiga, transformasi digital yang
membutuhkan kreativitas dan inovasi pada dunia digital.
Saat ini, kontestasi dua habitus pengguna teknologi bergulir dengan posisi habitus
click and share masih mendominasi di masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan data dari
Kemeninfo yang menyebutkan ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

626
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech). Saluran terbanyak penyebar
berita bohong atau hoax dijumpai di media sosial. Persentasenya mencapai 92,40%, disusul
aplikasi percakapan (chating) 62,80%, lalu situs web 34,90% (www.gatra.com).
Selain itu, berdasarkan data Kemkominfo, masyarakat Indonesia masih rentan
mempercayai berita bohong (hoax) yang disebar di internet maupun media sosial dengan
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap berita di media sosial atau internet ini cukup besar
yaitu 65 persen.

Penutup
Di era globalisasi hadirnya teknologi telah mendikte masyarakat untuk menjadi
seragam atau serupa. Teknologi telah masuk dalam semua dimensi kehidupan bahkan mampu
merubah habbit masyarakat. Kehadiran teknologi juga diikuti oleh peningkatan jumlah
pengguna internet di Indonesia. Upaya untuk mengikuti gerak perkembangan teknologi dan
internet yang kian masif dilakukan melalui meningkatkan pemahaman literasi digital melalui
gerakan literasi digital yang ditujukan pada keluarga, sekolah dan masyarakat.
Pada prakteknya, upaya tersebut belum sepenuhnya memberikan urgensi literasi bagi
masyatakat secara luas. Dimana terdapat kecenderungan masyarakat dalam memanfaatkan
teknologi sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan berdasarkan logic-nya masing-masing.
Logic yang berbeda berpotensi meningkatkan peluang terhadap penyebaran informasi yang
tidak bisa dipertanggung jawabkan. Posisi pengguna teknologi juga berpijak pada arena yang
bermuara pada produksi habitus berupa habitus literasi digital dan habitus click and share.
Kedua habitus tersebut memetakan pemahaman seorang tentang literasi digital ditengah
perkembangan teknologi yang kian massif.

Daftar Pustaka

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. 2017. Hasil Survei Penetrasi dan Perilaku Pengguna
Internet Indonesia 2017. APJII. Tersedia di https://www.apjii.or.id/
Badan Penelitian dan Pengembangan SDM dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2018.
Survey Pengguna TIK 2017 Serta Implikasinya terhadap Aspek Sosial Budaya
Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Informatika dan Informasi dan
Komunikasi Publik. Tersedia di https://www.slideshare.net/literasidigital/survey-
penggunaan-tik

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

627
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Bawden, D. 2001. “Information and Digital Literacies: A Review of Concepts“ in Journal of


Documentation, 57(2), 218-259.
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice, London: Cambridge University Press.
Bourdieu, Pierre. 2011. Choses Dites: Uraian dan Pemikiran. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Bunanta, Murti. 2004. Buku, mendongeng dan minat membaca. Pustaka Tangga. Jakarta
Didi Kurniawa. 9 Februari 2018. Persentase Hoax Terbanyak Hadir dari Media Sosial. Gatra.
Tersedia di https://www.gatra.com/rubrik/nasional/pemerintahan-pusat/307668-
persentase-hoax-terbanyak-hadir-dari-media-sosial
Elo, S. dan Kyngas, H. 2008. The Qualitative Content Analysis Process. Advanced Nusring, Vol. 62
No. 1. Hal 107-115
Hamburger, F., Y. (2009). Technology and Psychological Well-Being. New York: Cambridge
University Press.
Harahap, N. (2014). Penelitian Kepustakaan. Iqra’, 08 No. 1, 68-73.
Kemendikbud. 2017. Materi Pendukung Literasi Digital. Jakarta. Tersedia di gln.kemendikbud.go.id
Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Tersedia di
https://www.kominfo.go.id/
Kurnia, Novi & Astuti, Santi Indra. 2017. Peta gerakan literasi digital di Indonesia: Studi tentang
pelaku, ragam kegiatan, kelompok sasaran dan mitra. Kajian Ilmu komunikasi, Vol. 47
No.2
Kurnianingsih, Indah Dkk. 2017. Upaya Peningkatan Literasi Digital bagi Tenaga Perpustakaan
Dan Guru Di Wilayah Jakarta Pusat Melalui Pelatihan Literasi Informasi. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat. Vol. 3 No. 1
Martin, Allan. 2005. DigEuLit – a European Framework for Digital Literacy: a Progress Report.
Journal of eLiteracy, Vol 2. Page 130-136
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset
Papacharissi, Zizi dan Emily Easton. 2013. In the Habitus of the New Structure, Agency and The
Social Media Habitus. Tersedia di
https://zizi.people.uic.edu/Site/Research_files/HabitusofNewZPEE.pdf
Rahman, Abdul Saleh. 2016. Peranan Teknologi Informasi dalam Meningkatkan Kegemaran
Membaca dan Menulis Masyarakat. Jurnal Pustakawan Indonesia Vo. 6 No. 1 Hal. 45-
49

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

628
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi). 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan terakhir
Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Subragmanyam, K., & Smahel, D. 2011. Digital Youth The Role Of Media In Development. New
York: Springer
Subrahmanyam, K., & Lin, G. 2007. Adolescents On The Net: Internet Use And Well-Being.
Adolescence, 659-677
Tapscott, D. 2009. Grown Up Digital: How The Net Generation Is Changing Your World. New
York: McCraw Hill
White, Adian. 2017. Etika Media di Era Post-Truth. Jurnal Komunikasi Indonesia. Jakarta. Vol. V
No. 1 Hal. 75-79

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

629
Ali Fikri Abdillah, Iwan Permana Suwarna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: Sumarjo284@gmail.com, sintamaysilala@gmail.com
Abstrak. Hypermedia 3D flipbook berbasis pendekatan saintifik untuk meningkatkan high order
thinking skill (HOTS) atau kemampuan berpikir pada orde lebih tinggi siswa SMA ini
dikembangkan melalui software 3D pageflip professional. Software 3D pageflip professional
memiliki keunggulan dari segi tampilan dengan efek 3D sehingga sudut pandang pengguna dapat
diputar dan disesuaikan dengan keinginan. Media dikembangkan dengan melibatkan siswa kelas X
yang diambil dari tiga sekolah di SMA Negeri Tangerang Selatan. Pemilihan siswa diambil secara
purposive sampling. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi keefektivan media diukur berupa
tes (tes kognitif) yang telah divalidasi dan non tes (angket dan wawancara). Instrumen tes diberikan
kepada 60 siswa dan angket penilaian diberikan kepada: 15 ahli (media, desain pembelajaran dan
materi), 63 siswa dan tiga orang guru. Hasil penelitian menunjukkan hypermedia 3D flipbook yang
dihasilkan dinyatakan sangat layak (87%) dan efektif dalam membantu proses pembelajaran (73%)
siswa mendapatkan nilai KKM dan rerata-rerata N-Gain sebesar 0,62 (sedang). Hypermedia 3D
flipbook juga dinyatakan sangat praktis (86,9%) untuk digunakan guru dan siswa di dalam maupun
di luar kelas. Pembelajaran melalui Hypermedia 3D flipbook berbasis pendekatan saintifik ini
diperlukan dalam mewujudkan kecakapan hidup di abad 21.

Kata Kunci: hypermedia 3D flipbook, high order thinking skill, abad 21

Pendahuluan
Kemampuan berpikir sangat penting dalam belajar fisika. Kemampuan berpikir akan
memudahkan dalam mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena fisika. Kemampuan berpikir
seperti pada kemampuan menganalisis, kemampuan mengevaluasi, dan kemampuan mencipta
dalam memecahkan masalah dibutuhkan dalam kehidupan, baik dilingkungan pekerjaan,
maupun masyarakat terutama pada abad ke 21 (Suwarna, 2016: 2). Kemampuan tersebut
merupakan kemampuan berpikir pada orde lebih tinggi. Permendikbud No.21 Tahun 2016
tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah menyebutkan bahwa kebutuhan
kompetensi masa depan siswa Indonesia memerlukan kemampuan berpikir pada orde lebih
tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS) (Kemendikbud, 2016: 2).
Kemampuan HOTS siswa Indonesia masih rendah. Indikasi rendahnya siswa dalam
menguasai kemampuan HOTS salah satunya terlihat pada hasil penelitian The Programme
for International Student Assessment (PISA). Peringkat kemampuan kognitif siswa Indonesia
berada pada peringkat 62 dari 70 negara yang ikut serta (OECD, 2016: 5). Kurang dari 1%

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tuk meningkatkan HOTS dengan menggunakan media pembelajaran hypermedia. Penelitian


pertama, siswa yang menggunakan media pembelajaran hypermedia mampu memecahkan
masalah dibandingkan siswa yang menggunakan power point (Dara, 2016: 27). Penelitian
kedua, menunjukkan bahwa media pembelajaran hypermedia sangat efektif dalam
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Habsi, 2017: 122). Penelitian ketiga,
siswa yang menggunakan media pembelajaran hypermedia mengalami peningkatan dalam
kemampuan berpikir kreatif (Sarintan, 2015: 1). Namun dari hasil penelitian tersebut masih
terdapat beberapa kelemahan, baik dalam proses pembuatan (penguasaan script), ukuran file
terlalu besar, dan tidak dapat secara otomatis dapat langsung dibuka pada komputer, perlu
tahapan terlebih dahulu untuk membukanya.Oleh karena itu diperlukan media yang mampu
dibuat oleh siapa saja dan mudah dalam menjalankan diberbagai komputer maupun laptop
tanpa harus memiliki softwarenya terlebih dahulu.
Media pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook merupakan satu solusi untuk
mengatasi permasalahan pembelajaran fisika melalui hypermedia. Melalui software 3D
Pageflip atau flipbook, guru dapat membuat media pembelajaran hypermedia dengan mudah,
dikarenakan dengan software 3D Pageflip tidak menggunakan action script dalam proses
pembuatannya, selain itu hasil media pembelajaran melalui software ini dapat dijalankan di
berbagai komputer maupun laptop walaupun sebelumnya tidak terdapat software 3D
Pageflip. Tidak hanya mudah dalam proses pembuatan dan mengoperasikannya, media
pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook efektif dalam meningkatkan kemampuan
HOTS (Sony, 2014: 7).
Pengembangan media pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook yang telah
dilakukan memiliki nilai tambah dibandingkan media / software yang dikembangkan
pengembang lain sebelumnya. Media pembelajaran yang dikembangkan pengembang lain
memiliki karakteristik: menggunakan pendekatan saintifik, memberikan soal-soal kemampuan
berpikir tingkat tinggi, dan membuat pembelajaran yang bermakna. Melalui pembelajaran
dengan diterapkan pendekatan saintifik, dapat melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi
(Desy, 2015: 37). Melalui pelatihan soal-soal kemampuan berpikir tingkat tinggi, siswa akan
mampu berpikir logis yang tinggi dalam menjawab pertanyaan (Emi, 2013: 8). Melalui
pembelajaran yang bermakna, akan menjadikan siswa mengingat lebih lama konsep yang
dipelajarinya (Fitriani, 2013: 130). Karakteristik tersebut dapat membantu proses
pembelajaran siswa dalam memperoleh kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Berdasarkan informasi latar belakang yang sudah disebutkan, penting bagi seorang
guru atau pihak lain yang berkaitan dengan pembelajaran fisika di sekolah untuk bisa
mengembangkan media dalam bentuk “Hypermedia 3D Flipbook berbasis Pendekatan
Saintifik untuk Meningkatkan High Order Thinking Skill Siswa SMA”.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

631
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Isi
Pengembangan media pembelajaran hypermedia 3D flipbook berbasis pendekatan
saintifik menggunakan metode development/design research dengan model development
studies menurut Akker. Prosedur pengembangan pada development studies yaitu preliminary
research, prototyping stage, summative evaluation, reflection and documentation (Akker,
2006).

Studi Literatur
Preliminary
Research
Survei Lapangan

Prototyping Stage Perancangan Pedoman


Desain

Pengoptimalan
prototipe

Evaluasi Formatif (uji ahli,


evaluasi satu-satu, evaluasi
kelompok kecil, uji lapangan)

Revisi

Summative Evaluasi Sumatif


Evaluatif

Uji Efektivitas Uji Praktibilitas

Systematic reflection Pelaporan


and documentation

Gambar. Model Pengembangan Development Research

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian menggunakan instrumen non-


tes dan tes bertujuan untuk melihat kriteria kevalidan, keefektifan, dan kepraktisan. Berikut
ini merupakan instrumen yang digunakan dalam penelitian pada tiap tahapan:
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

632
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 1. Penggunaan Instrumen dalam Penelitian


Tahapan Penelitian Instrumen Penelitian
Preliminary Research - Wawancara kepada guru
- Instrumen angket penelitian pendahuluan bagi siswa
Prototyping Stage - Instrumen skala bertingkat / ratting scale bagi: ahli
media, ahli materi, ahli desain pembelajaran, respon siswa dan
guru SMA
Summative Evaluation - Angket bagi: siswa dan guru SMA

Analisis yang dilakukan terhadap kelayakan, dan kepraktisan menggunakan metode


dalam sugiyono. Analisis keefektifan dilakukan mengumpulkan seberapa banyak siswa yang
mendapatkan hasil tes ≥ KKM setelah belajar menggunakan media pembelajaran hypermedia.
Kriteria efektivitas berdasarkan hasil belajar kognitif dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Kriteria efektivitas berdasarkan hasil belajar kognitif
Persentase Kriteria Skor
≥ 80% Sangat efektif 5
70% - 79% Efektif 4
60% - 69 % Cukup efektif 3
50% - 59% Kurang efektif 2
< 50% Tidak efektif 1
Analisis validitas instrumen tes dilakukan dengan menggunakan content validity ratio
(CVR). Berikut ini rumus yang digunakan Lawshe untuk menghitung cilai CVR:

Setelah butir yang valid teridentifikasi selanjutnya mencari nilai indeks validitas
konten (CVI). Secara sederhana CVI merupakan rata-rata dari nilai CVR

Tabel 3. Kategori hasil perhitungan CVI


Rentang Nilai Kategori
0,00 – 0,33 Tidak sesuai
0,34 – 0,67 Sesuai
0,68 – 1,00 Sangat sesuai

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

633
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tahap pertama diawali dengan tahap preliminary research, yaitu dengan melakukan
analisis pada studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur dilakukan dengan mencari
penelitian-penelitan yang relevan baik berupa jurnal yang telah dipublikasikan ataupun artikel
yang terdapat kaitannya dengan penelitian yang akan dikembangkan. Studi lapangan
dilakukan dengan proses wawancara kepada dua orang guru fisika SMA yaitu SMAN 3
Tangerang Selatan dan SMAN 6 Tangerang Selatan, kemudian menyebar angket kepada 223
responden (siswa) dari delapan sekolah SMA Negeri di Tangerang Selatan untuk mengetahui
kemampuan HOTS siswa dan media yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran.
Tahap kedua yaitu tahap protptyping stage (pembuatan prototip), pada tahap ini
dilakukan pembuatan rancangan desain media pembelajaran untuk memecahkan masalah
yang ditemukan. Tahap prototipe ini terdiri dari perancangan pedoman desain yaitu
melakukan analisis kurikulum yang digunakan untuk menentukan materi, menyusun tampilan
dan konten pada hypermedia 3D flipbook. Perancangan desain hypermedia melalui 3D
flipbook merujuk pada dua komponen, yaitu: tampilan (display) dan konten (content).
Apersepsi

Tampilan
Teks, dilengkapi gambar 3D, animasi
dan video
Media Pembelajaran
hypermedia melalui 3D
flipbook Materi disajikan dengan pendekatan
saintifik

Konten Soal evaluasi untuk mengukur HOTS

Pembelajaran bermakna

Gambar 1. Pedoman desain hypermedia 3D flipbook


Perancangan desain hypermedia melalui 3D flipbook dapat dilihat pada tabel
berikut:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

634
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 2. Hasil perancangan desain pada hypermedia 3D flipbook


Kemudian mengoptimalkan prototipe (prototype) yaitu menentukan software yang
digunakan pada hypermedia 3D flipbook, desain software media yang peneliti buat memiliki
karakteristik tertentu. Hasil pemilihan software dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil pemilihan software
Nama Software Fungsi Waktu
Microsoft Word Membuat konten pada hypermedia melalui Awal sampai akhir pembuatan
3D flipbook dalam format .pdf media
Corel Draw X7 Membuat tamplate utama, seperti cover, Awal sampai akhir pembuatan
background, dan gambar-gambar yang media
menunjang dalam hypermedia melalui 3D
flipbook
Wondershare Filmora mengedit suara dalam format .mp3 dan setelah suara dan seluruh
mengedit video dari sumber lain dalam video didapatkan
format .mp4
Macromedia flash 8 Membuat animasi cover, kolom bertanya, Awal sampai akhir pembuatan
contoh soal, dan soal evaluasi dalam format media
.swf
Camtasia recorder Merekam penjelasan pada animasi phet Setelah animasi phet di
dapatkan
Camtasia Studio Mengedit video hasil rekaman camtasia Setelah rekaman video
recorder penjelasan di dapatkan
3D Pageflip Professional Software yang digunakan untuk Awal sampai akhir pembuatan
1.7.7 menggabungkan semua komponen dalam media
pembuatan hypermedia sekaligus
penyelesaian akhir pembuatan hypermedia.

Selanjutnya evaluasi formatif (formative evaluation) yang dilakukan bertujuan untuk


menilai kelayakan hypermedia 3D flipbook. Tahapan pada evaluasi formatif dilakukan
menurut tahapan marthin tessmer, yaitu sebagai berikut:

Expert
review
Revisi Small Revisi
group Field Test
evaluation
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
One-to-one Martin Tessmer, 1993
evaluation
635
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 3. Diagram tahap evaluasi formatif

Adapun desain uji coba produk pada evaluasi formatif sebagai berikut:
Tabel 5. Desain uji coba produk
Tahap Subjek Instrumen
Uji validitas ahli (expert lima orang ahli media, lima orang ahli desain Angket uji ahli
review) pembelajaran, dan lima orang ahli materi
Evaluasi satu-satu (one-to- tiga orang siswa kelas X MIPA 1 SMA Negeri 3 Angket respon siswa
one evaluation) Tangerang Selatan yang terdiri dari satu orang
siswa berkemampuan tinggi, satu orang siswa
berkemampuan sedang dan satu orang siswa
berkemampuan rendah
Evaluasi kelompok kecil 15 orang siswa kelas X MIPA 3 SMA Negeri 6 Tes dan angket respon
(small group evaluation) Tangerang Selatan yang terdiri dari lima orang siswa
siswa berkemampuan tinggi, lima orang siswa
berkemampuan sedang, dan lima orang siswa
berkemampuan rendah.
Uji lapangan (field test) 30 orang siswa kelas X MIPA 2 dan MIPA 3 Tes dan angket respon
SMA Negeri 12 Tangerang Selatan. 10 orang siswa
siswa berkemampuan tinggi, 10 orang siswa
berkemampuan sedang dan 10 orang siswa yang
berkemampuan rendah.

Hasil kelayakan media dilihat dari penilaian ahli media pembelajaran, desain
pembelajaran dan ahli materi. Berdasarkan hasil uji pada ahli media diperoleh presentase dari
keseluruhan indikator yaitu 87,6% dengan kategori sangat baik. Hal ini menunjukan bahwa
hypermedia 3D flipbook berbasis pendekatan saintifik yang dibuat layak digunakan dan
dapat diujicobakan pada pengguna. Hasil analisis ahli untuk keseluruhan indikator media
dapat dilihat pada gambar berikut:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

636
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 4. Grafik penilaian keseluruhan indikator oleh ahli media

Rincian penilaian ahli untuk setiap indikator dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6. Hasil kriteria keseluruhan indikator oleh ahli media
No. Indikator Nilai Penilaian Ahli
1. Efisiensi 18 Sangat Baik
2. Efektivitas 18 Sangat Baik
3. Reliable 18 Sangat Baik
4. Maintainable 18 Sangat Baik
5. Usability 17 Baik
6. Ketepatan pemilihan software 16 Baik
7. Compability 12 Cukup Baik
8. Pemaketan program 18 Sangat Baik
9. Dokumentasi program 19 Sangat Baik
10. Reusable 18 Sangat Baik
11. Komunikatif 17 Baik
12. Kreatif 18 Sangat Baik
13. Sederhana dan memikat 16 Baik
14. Visual 19 Sangat Baik
15. Layout interactive 18 Sangat Baik
16. Ketepatan pemilihan font dan ukuran teks 18 Sangat Baik
17. Ketepatan pemilihan audio 17 Baik
18. Kualitas audio 19 Sangat Baik
19. Kualitas gambar 19 Sangat Baik
20. Kualitas animasi 17 Baik
21. Kualitas audio dan video pada video pengamatan 18 Sangat Baik
22. kualitas audio dan video pada video penjelasan 17 Baik
23. Kualitas audio dan video praktikum 17 Baik
Jumlah 403 Sangat Baik
Skor maksimum per indikator = 20

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

637
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Skor maksimum keseluruhan indikator = 460


Saran dan kritik dari ahli digunakan untuk merevisi hypermedia 3D flipbook yang
sudah dibuat hingga dinyatakan layak. Saran yang diutarakan oleh ahli sebagai berikut:
Tabel 7. Saran terhadap hypermedia 3D flipbook menurut ahli media
No Ahli Media Saran
Media ini dapat bermanfaat untuk pembelajaran terkait
topik materi yang diajarkan oleh guru namun tambahan
1 PUSTEKKOM pada menu evaluasi yaitu tes akhir materi dengan
menampilkan di akhir pengerjaan hasil/nilai dari tes yang
sudah dikerjakan
- Setelah mengisi kolom pertanyaan
sebaiknya terdapat feedback
2 Dosen Universitas Indonesia
- Perbaiki pada jenis-jenis gerak
parabola
Secara keseluruhan pekerjaan ini sudah baik, sangat
membantu siswa dalam menyerap konsep dasar tentang
3 Dosen Universitas Indonesia
gerak parabola, tetapi lebih baik diberikan lebih banyak
contoh-contoh peristwa gerak parabola
diminta untuk membuat percobaan atau alat pemanfaatan
4 Dosen UIN Jakarta
gera parabola
dalam segi tampilan sudah bagus, tetapi pada kolom
5 Dosen Universitas Pamulang
bertanya harus ada feedback

Hasil uji pada ahli desain pembelajaran diperoleh presentase dari keseluruhan
indikator yaitu 86% dengan kategori sangat baik. Hal ini menunjukan bahwa hypermedia 3D
flipbook berbasis pendekatan saintifik yang dibuat layak digunakan dan dapat diujicobakan
pada pengguna. Hasil analisis ahli untuk keseluruhan indikator media dapat dilihat pada
gambar berikut:

Gambar 5. Grafik penilaian keseluruhan indikator oleh ahli desain pembelajaran

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

638
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Rincian penilaian ahli untuk setiap indikator dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 8. Hasil kriteria keseluruhan indikator oleh ahli desain pembelajaran
Jumlah
No Indikator
Nilai
1 Ketepatan tujuan pembelajaran 18
2 Relevansi tujuan pembelajaran dengan KD/Kurikulum 19
3 Cakupan dan kedalaman tujuan pembelajaran 16
4 Kesesuaian materi dengan tujuan pembelajaran 18
5 Keterlihatan aspek pendekatan saintifik 5 M 18
Kesesuaian materi dan pembahasan contoh soal dengan tingkat
18
6 perkembangan berpikir siswa
7 Ketepatan penggunaan strategi penyajian 15,5
8 Interaktivitas melalui tombol dan animasi 14
Pemberian motivasi belajar melalui apersepsi dan feed back pada soal
16
9 evaluasi
10 Kontekstualitas dan aktualitas melalui video dan animasi 18
Kelengkapan bahan bantuan belajar (audio, gambar, animasi, dan
18
11 video)
Kemudahan materi untuk dipahami (Sistematis, runut, alur logika
17
12 jelas)
13 Kesesuaian evaluasi dengan tujuan pembelajaran 18,5
Keterlihatan stimulus untuk dapat meningkatkan kemampuan
17
14 berpikir tingkat tinggi melalui soal evaluasi
15 Potensi keaktifan siswa dalam proses pembelajaran 17
Jumlah 258
Sangat
Kategori
Baik
Saran dan kritik dari ahli digunakan untuk merevisi hypermedia 3D flipbook yang
sudah dibuat hingga dinyatakan layak. Saran yang diutarakan oleh ahli sebagai berikut:
Tabel 9. Saran terhadap hypermedia 3D flipbook menurut ahli desain pembelajaran
No Ahli Media Saran
1 Dosen UIN Jakarta sudah memadai untuk dipergunakan peserta didik
- Susun ulang menu preview (halaman
utama)
- Menu petunjuk dibuat satu siklus
2 Dosen UIN Jakarta - Peta konsep di awal menu tidak perlu
di hyperlink
- Interaksi stimulus perlu diperjelas
- Aspek menanya perlu diperhatikan
3 Dosen UIN Jakarta diberikan feedback pada tahap menanya
4 Dosen UIN Bandung - Pada bagian jenis-jenis gerak
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

639
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

No Ahli Media Saran


parabola, tunjukkan yang benar dan salahnya
disertai alasan. Pertimbangkan pula kompetensi
yang diharapkan
medianya sudah dapat layak dijadikan sebagai media
5 Guru MAN 2 Kota Sukabumi pembelajaran di sekolah, tetapi ada kekurangan dalam
interaktif pada animasi

Hasil uji pada ahli materi diperoleh presentase dari keseluruhan indikator yaitu
93,7% dengan kategori sangat baik. Hal ini menunjukan bahwa hypermedia 3D flipbook
berbasis pendekatan saintifik yang dibuat layak digunakan dan dapat diujicobakan pada
pengguna. Hasil analisis ahli untuk keseluruhan indikator materi dapat dilihat pada gambar
berikut:

Gambar 6. Grafik penilaian keseluruhan indikator oleh ahli materi


Hasil analisis ahli terhadap aspek materi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 10. Hasil penilaian hypermedia 3D flipbook menurut ahli materi
No Aspek Jumlah Nilai Kesimpulan
Kesesuaian gambar, animasi, video pengamatan, dan video
1. 204 Sangat Baik
penjelasan dengan materi
Kejelasan dalam menjelaskan persamaan fisika melalui teks,
2. 213 Sangat Baik
audio, atau video penjelasan
3. Kejelasan contoh soal 38 Sangat Baik
4. Ketepatan jawaban soal evaluasi 37 Sangat Baik
5. Ketepatan penyajian secara runtut 207 Sangat Baik
6. Cakupan dan kedalaman materi 201 Sangat Baik
Jumlah 900 Sangat Baik
Skor maksimum untuk aspek 1,2,5,6 = 220
Skor maksimum untuk aspek 3,4 = 40
Skor maksimum keseluruhan indikator = 96
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

640
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Saran dan kritik dari ahli digunakan untuk merevisi hypermedia 3D flipbook yang
sudah dibuat hingga dinyatakan layak. Saran yang diutarakan oleh ahli sebagai berikut:
Tabel 11. Saran terhadap hypermedia 3D flipbook menurut ahli materi
No Ahli Media Saran
sudah cukup baik dan sangat membantu siswa.
1 Dosen Universitas Indonesia Lebih banyak lagi membaca referensi sehingga
memperkaya isi media pembelajaran ini
- revisi bagian pada aspek materi
(hilangkan subbab gerak jatuh bebas)
2 Dosen UIN Jakarta dikarenakan sudah terdapat pada materi
yang diajarkan sebelumnya
- revisi bagian cerita pada apersepsi
materi sudah sesuai dengan Kompetensi Dasar 3.9
3 Dosen UIN Jakarta
pada kurikulum 2013 revisi
- cerita pada apersepsi diperbaiki
“gerakan bola”
- dibuatkan warning pada
4 Guru SMAN 2 Kota Sukabumi
penayangan video pada pertemuan 2 :
“Hanya dilakukan oleh orang yang
professional
Guru SMAN 12 Kota Tangerang
5 sudah cukup baik dan layak digunakan
Selatan

Hasil evaluasi satu-satu pada media pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook


dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 12. Hasil penilaian kelayakan setiap aspek media pada evaluasi satu-satu (one-
to-one evaluation)
No Aspek Jumlah Kriteria
1 Materi 58 Sangat Baik
2 Desain Pembelajaran 45 Sangat Baik
3 Implementasi 34 Sangat Baik
4 Kualitas Teknis 34 Sangat Baik
Jumlah 171 Sangat Baik
Jumlah skor masimum aspek 1 = 60
Jumlah skor masimum aspek 2 = 48
Jumlah skor masimum aspek 3 = 36
Jumlah skor masimum aspek 4 = 36

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

641
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Skor media secara keseluruhan pada berbagai aspek dalam bentuk persentase dapat
dilihat pada gambar berikut:

Gambar 7. Grafik hasil penilaian keseluruhan aspek pada evaluasi satu-satu


Hasil evaluasi kelompok kecil pada media pembelajaran hypermedia melalui 3D
flipbook dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 13. Hasil penilaian kelayakan setiap aspek media pada evaluasi kelompok kecil (small
group evaluation)
No Aspek Jumlah Kriteria
1 Materi 253 Baik
2 Desain Pembelajaran 189 Baik
3 Implementasi 144 Baik
4 Efisiensi 86 Baik
Jumlah 672 Baik
Jumlah nilai masimum aspek 1 = 300
Jumlah nilai masimum aspek 1 = 240
Jumlah nilai masimum aspek 1 = 180
Jumlah nilai masimum aspek 1 = 120
Hasil penilaian keseluruhan aspek dalam bentuk presentase dapat dilihat pada
gambar berikut:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

642
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 8. Grafik hasil penilaian keseluruhan aspek dalam evaluasi kelompok kecil
Aspek efektivitas dapat dilihat nilai efektif siswa dari hasil posttest pada tahap
evaluasi kelompok kecil. Hasil posttest diperoleh 60% siswa memperoleh nilai KKM. Hal
ini menunjukkan bahwa media pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook dapat
dikatakan cukup efektif.
Hasil uji lapangan pada media pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook dsajan
pada tabel berikut:

Tabel 14. Hasil penilaian kelayakan setiap aspek media pada uji lapangan (field test)
Jumlah
No Aspek Kriteria
Nilai
1 kemampuan untuk dapat dilaksanakan 282 Baik
2 kesinambungan 292 Baik
3 kecocokan dengan lingkungan 198 Baik
4 penerimaan dan kemenarikan 376 Baik
Jumlah 1148 Baik

Jumlah skor masimum aspek 1 dan 2 = 360


Jumlah skor masimum aspek 3 = 240
Jumlah skor masimum aspek 4 = 480
Tabel di atas memperlihatkan bahwa setiap aspek pada kategori baik. Hasil penilaian
keseluruhan aspek dalam presentase dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 9. Grafik penilaian keseluruhan setiap aspek pada uji lapangan


Aspek efektivitas dapat dilihat nilai efektif siswa dari hasil posttest pada tahap uji
lapangan. Hasil posttest diperoleh 73% siswa memperoleh nilai di atas KKM. Hal ini

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

643
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menunjukkan bahwa media pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook dapat dikatakan


efektif.
Tahap ketiga yaitu tahap summative evaluation (evaluasi sumatif) yang dilakukan
kepada 15 siswa SMAN 12 Tangerang Selatan, pada tahap ini siswa mengevaluasi
hypermedia 3D flipbook untuk mengetahui seberapa efektif hypermedia 3D flipbook yang
sudah dibuat praktis dalam penggunaannya. Aspek efektivitas dapat dilihat nilai efektif siswa
dari hasil posttest pada tahap evaluasi sumatif. Hasil posttest diperoleh 73% siswa
memperoleh nilai KKM. Berdasarkan perhitungan pretest dan posttest pada tahap evaluasi
sumatif diperoleh nilai gain sebesar 0,62 menurut kriteria gain ternormalisai berkategori
sedang. Hal ini menunjukkan hypermedia 3D flipbook yang dikembangkan efektif
meningkatkan kemampuan high order thinking skill dan layak digunakan dalam
pembelajaran. Hasil penilaan angket guru berdasarkan indikator aspek efektivitas media
pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 15. Hasil penilaian aspek efektivitas oleh guru pada evaluasi sumatif
No Indikator Jumlah Kategori
1. Ketercapaian tujuan pembelajaran 10 Baik
2. Waktu belajar siswa lebih efektif 10 Baik
3. Kemudahan dalam menjelaskan materi ajar 11 Sangat Baik
4. Kemampuan meningkatkan berpikir tingkat tinggi 9 Baik
Jumlah 40 Baik
Jumlah nilai maksimum setiap indikator = 12
Jumlah nilai maksimum keseluruhan aspek = 48
Hasil kepraktisan hypermedia 3D flipbook oleh siswa dan guru diperoleh rata-rata
persentase sebesar 86,9%. Hasil penilaian angket siswa berdasarkan indikator aspek
kepraktisan media pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 16. Hasil penilaian aspek kepraktisan oleh siswa pada evaluasi sumatif
No Indikator Jumlah Kategori
1. Kemudahan penggunaan petunjuk 50 Baik
2. Teknis pengoperasian hypermedia melalui 3D flipbook 54 Sangat Baik
3. Pengoperasian hypermedia melalui 3D flipbook di
berbagai variasi lingkungan (kelas, lab komputer, rumah, 49 Baik
dll)
Jumlah 153 Baik
Jumlah nilai maksimum setiap indikator = 12
Jumlah nilai maksimum keseluruhan indikator = 180

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

644
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hasil penilaian angket guru berdasarkan indikator aspek kepraktisan media


pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 17. Hasil penilaian aspek kepraktisan oleh guru pada evaluasi sumatif
No Indikator Jumlah Kategori
1. Kemudahan penggunaan petunjuk 11 Sangat Baik
2. Teknis pengoperasian hypermedia melalui 3D flipbook 11 Sangat Baik
3. Pengoperasian hypermedia melalui 3D flipbook di
berbagai variasi lingkungan (kelas, lab komputer, rumah, 10 Baik
dll)
Jumlah 32 Sangat Baik
Jumlah nilai maksimum setiap indikator = 12
Jumlah nilai maksimum keseluruhan indikator = 36
Tahap terakhir yaitu tahap refleksi sistematika dan dokumentasi, merupakan tahap
penyusunan deskripsi proses pengembangan hypermedia 3D flipbook mulai dari rancangan
sampai hypermedia 3D flipbook yang layak, efektif, dan praktis.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
penggunaan bahan ajar multimedia dengan 3D Pageflip Professional efektif dalam
meningkatkan proses pemecahan masalah pada proses pembelajaran (Sonya, 2014). Selain
itu, melalui pendekatan saintifik dapat meningkatkan kemampuan high order thinking skill
(Nurkholis, 2015: 85). Pendekatan saintifik yang digunakan dalam hypermedia 3D flipbook
dikemas secara berurutan, menjadi (1) mengamati, (2) menanya, (3) mengumpulkan
informasi, (4) mengasosiasi, (5) mengkomunikasikan.
Berdasarkan hasil penelitian pengembangan yang telah dipaparkan, bahwa
hypermedia 3D flipbook dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kemampuan high order
thinking skill bagi siswa dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan bahwa media pembelajaran
berbasis komputer mampu menjembatani alur pikiran siswa dan guru, sehingga terjadi
kesinkronan dalam belajar (Yuda, 2014: 8).

Penutup
Berdasarkan hasil validasi kelayakan media diperoleh hasil persentase validitas
hypermedia 3D flipbook adalah sebagai berikut: aspek media memperoleh persentase sebesar
87,6%, aspek desain pembelajaran memperoleh persentase sebesar 86%, dan aspek materi
memperoleh persentase sebesar 93,7%. Dari ketiga aspek tersebut dapat diambil nilai rata-
rata validitas kelayakan media pembelajaran sebesar 87%. Berdasarkan tabel kriteria penilaian
dapat dinyatakan bahwa hypermedia 3D flipbook dikategorikan sangat valid atau sangata
layak.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

645
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan hasil keefektifan media diperoleh dari hasil penilaian guru dan hasil
posttest siswa pada tahap evaluasi sumatif. Hasil persentase keefektifan hypermedia 3D
flipbook adalah sebagai berikut: penilaian guru terhadap keefektifan media memperoleh
persentase sebesar 83,3%, dan hasil posttest siswa memperoleh persentase KKM sebesar
73%. Dari kedua penilaian tersebut dapat diambil nilai rata-rata keefektifan media
pembelajaran sebesar 78,1%. Berdasarkan tabel kriteria penilaian dapat dinyatakan bahwa
hypermedia 3D flipbook dikategorikan efektif.
Berdasarkan hasil penilaian kepraktisan media diperoleh dari penilaian siswa dan
guru dengan hasil penilaian sebagai berikut: hasil penilaian siswa memperoleh persentase
sebesar 85%, dan hasil penilaian guuru memperoleh persentase sebesar 88,9%. Dari kedua
penilaian tersebut dapat diambil nilai rata-rata kepraktisan media pembelajaran sebesar
86,9%. Berdasarkan tabel kriteria penilaian dapat dinyatakan bahwa hypermedia 3D flipbook
dikategorikan sangat praktis.
Saran untuk pengembangan lebih lanjut sebagai berikut: (1) Media pembelajaran
hypermedia melalui 3D flipbook untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
dapat dikembagkan lebih lanjut pada materi fisika lain. (2) Penelitian selanjutnya dapat
dikembangkan dari segi konten yang lebih kontesktual dari segi tampilannya. (3) Media
pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook dapat dikembangkan melalui versi android
atau iOS agar lebih mudah secara teknis dalam mempelajarinya. (4) Pemanfaatan media
pembelajaran hypermedia melalui 3D flipbook dalam proses pembelajaran, guru harus
memperhatikan beberapa hal seperti perencanaan, pengkondisian siswa, dan persiapan
komputer ataupun sejenisnya yang memadai sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Daftar Pustaka

Akker, Jan Va den, et al. “Educational Design Reserch”. New York: Routledge. 2006.
Amin, Bunga Dara, Alimuddin Mahmud, dan Muris. “The Development of Physics Learning
Instrument Based on Hypermedia and Its Influence on the Student Problem Solving
Skill” Journal of Education and Practice. 2016.
Fitriani, Subaer, dan Nurhayati “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Higher Order of
Thinking Skills (HOTS) Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa SMA Menyelesaikan
Soal Fisika”, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan. 2013.
Frasidik, Habsi. “Pengembangan Media Pembelajaran Hypermedia untuk Meningkatkan High
Order Thinking Skill Pada Materi Alat Optik SMA”, Skripsi Program Studi Pendidikan
Fisika UIN Jakarta. 2017.
Julistiawati, Rini dan Bertha Yonata, “Keterampilan Berpikir Level C4, C5 & C6 Revisi Taksonomi
Bloom Siswa Kelas X-3 SMAN 1 Sumenep Pada Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

646
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pokok Bahasan Larutan Elektrolit dan Ion Elektrolit”, UNESA Journal of Chemical
Education. 2013.
Kaharu, Sarintan, “Pengaruh Hypermedia Terhadap Peningkatan Kemampuan Berfikir Kreatif
Mahasiswa dalam Pembelajaran Rangkaian Listrik Arus Searah”. Jurnal JESIK. 2015.
Kemendikbud, “Permendikbud No.21 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah”.
Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016.
Majid, Ahmad Nurkholis. “Efektivitas pendekatan Saintifik terhadap High Order Thinking SkillS
(HOTS) Siswa Kelas X MAN Wonokromo Bantul Pada Materi Pokok Konsep Mol”.
Skripsi pada Program Sarjan UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2015.
OECD, “Program for International Student Assesment (PISA) 2015”. 2016.
Putri, Sonya Fiskha Dwi. “Pengembangan Bahan Ajar Multimedia untuk Model Pembelajaran
Berbasis Masalah Menggunakan 3D Pageflip Professional Pada Materi Geometri Kelas X
SMAN 5 Kota Jambi”, Artikel Universitas Jambi. 2014.
Rofiah, Emi, dkk, “Penyusunan Instrumen Tes Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi Fisika Pada Siswa SMP”, Jurnal Pendidikan Fisika. 2013
Saniaga N, Tarida. “Pengembangan Soal Model PISA Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
Terpadu Konten Fisika untuk Mengetahui Penalaran Siswa Kelas IX”. Jurnal Inovasi dan
Pembelajaran Fisika. 2015.
Suwarna, Iwan Permana. “Pengembangan Instrumen Ujian Komprehensif Mahasiswa melalui
Computer Based Test pada Program Studi Pendidikan Fisika”. Jakarta: UIN Jakarta.
2016.
Wahyuni, Desy Eka dan Alimatufi Arief. “Implementasi Pembelajaran Scientiifc Approach Dengan
Soal Higher Order Thinking Skill Pada Materi Alat-Alat Optik Kelas X di SMA
Nahdlatul Ulam’ 0 Gresik” Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika. 2015.
Yuda, I.G.Ngr. Hari, Ketut Suma, dan I Made Candiasa. “Pengembangan E-Learning Fisika dalam
Bentuk Website Berorientasi Sains Teknologi Masyarakat Untuk Meningkatkan
Penguasaan Konsep dan Kreativitas Siswa Kelas XI IPA”. E-Jurnal Program Pasca Sarjana
Universitas Pendidikan Ganesha. 4. 2014.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

647
Atika Khanifah, Fellia Febriyanti
Universitas Negeri Semarang
e-mail: atikakhanifah@gmail.com, fellia386@gmail.com
Abstract. Natural Science is a science that can be obtained through the process of collecting data about natural
events around us. Science learning in schools refers to product skills, processes, and attitudes. Currently,
science learning used still tend to be conventional, whereas in science subjects especially the material of
vibration and wave if applied conventional method hence the purpose of learning will be difficult to achieve.
The application of conventional methods also causes the participation of students less than the maximum
which causes the learning outcomes are also less than the maximum. In addition, the use of technology in
learning in junior high school students is still lacking. Students have not been taught learning using e-learning
so that the utilization of internet access is still limited only to access the material only. This article aims to
overcome these problems by applying the inquiry-based blended learning method with the help of LKS to
overcome student learning outcomes. There is a need for an improved learning in accordance with science
subjects and utilization of internet access to help students improve their learning outcomes so that science
learning will be more meaningful and learning objectives can be achieved. Therefore, the inquiry-based blended
learning method based on LKS can be applied to vibration and wave materials to overcome student learning
outcomes.

Keywords: blended learning, inquiry, LKS, learning outcomes

Abstrak. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan suatu ilmu yang dapat diperoleh melalui proses mengumpulkan
data mengenai peristiwa alam di sekitar kita. Pembelajaran IPA di sekolah mengacu pada keterampilan produk,
proses, dan sikap. Saat ini, pembelajaran IPA yang digunakan masih cenderung konvensional, padahal pada
mata pelajaran IPA khususnya materi getaran dan gelombang jika diterapkan metode konvensional maka
tujuan pembelajaran akan sulit dicapai. Penerapan metode konvensional juga menyebabkan partisipasi siswa
kurang maksimal yang menyebabkan hasil belajarnya juga kurang maksimal. Selain itu, pemanfaatan teknologi
dalam pembelajaran pada siswa SMP masih kurang. Siswa belum diajarkan pembelajaran menggunakan e-
learning sehingga pemanfaatan akses internet masih terbatas hanya untuk mengakses materi saja. Artikel ini
bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut dengan menerapkan metode blended learning berbasis inkuiri
dengan bantuan LKS untuk mengatasi hasil belajar siswa. Diperlukan suatu perbaikan pembelajaran yang sesuai
dengan mata pelajaran IPA dan pemanfaatan akses internet untuk membantu siswa meningkatkan hasil
belajarnya sehingga pembelajaran IPA akan lebih bermakna dan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Oleh
karena itu, metode blended learning berbasis inkuiri berbantuan LKS dapat diterapkan pada materi getaran dan
gelombang untuk mengatasi hasil belajar siswa.

Kata Kunci: blended learning, inkuiri, LKS, hasil belajar

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Pendidikan memiliki peranan penting untuk menunjang kemajuan dan masa depan
bangsa, dengan baiknya kualitas pendidikan maka suatu bangsa akan maju. Keberhasilan
suatu kegiatan pendidikan tidak terlepas dari peran guru. Guru memiliki peranan penting
dalam pendidikan guna memajukan masa depan bangsa, sehingga berbagai upaya dilakukan
oleh guru agar pendidikan dapat berjalan dengan baik untuk menuju tercapainya tujuan
pendidikan (Saputra dkk., 2016). Pendidikan berkaitan erat dengan proses pembelajaran
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 ayat 1, bahwa kegiatan
pembelajaran dalam suatu unit pendidikan dilaksanakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi secara aktif (Serfanda
dkk., 2015).
Proses belajar mengajar merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa.
Maulidiawati (2014) menjelaskan bahwa belajar mengajar yakni suatu kegiatan yang memiliki
nilai edukatif. Nilai edukatif menjadikan interaksi yang terjadi antara guru dan siswa lebih
bermakna. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menjelaskan, pembelajaran merupakan proses interaksi antara siwa yang satu dengan yang
lainnya, antara siswa dengan pendidik serta sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar.
Asy’syakurni (2015) menyatakan bahwa proses pembelajaran merupakan tahapan-tahapan
yang dilakukan untuk mengoptimalkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotork
seseorang. Proses pembelajaran dilaksanakan untuk menuju tercapainya tujuan pendidikan
dari berbagai kompetensi yang harus dimiliki siswa, meliputi: aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Ilmu Pengetahuan Alam merupakan salah satu mata pelajaran wajib di sekolah tingkat
SMP atau sederajat. Mata pelajaran IPA erat kaitannya dengan fenomena yang terjadi di alam
sekitar kita. Secara umum IPA meliputi tiga bidang ilmu dasar, yaitu biologi, fisika, dan
kimia. Pada tingkatan SMP atau sederajat ketiga bidang ilmu dasar tersebut dikemas dalam
satu mata pelajaran yaitu IPA. Pembelajaran IPA bertujuan agar siswa memiliki kemampuan
untuk merumuskan masalah, merancang dan menguji hipotesis melalui kegiatan praktikum,
merancang percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menyampaikan hasil
percobaan baik secara tertulis maupun lisan. Pembelajaran IPA di sekolah mengacu pada
keterampilan produk, proses, dan sikap. IPA sebagai produk berarti di dalam pembelajaran
IPA mencakup fakta, hukum, prinsip, dan teori yang sudah jelas kebenarannya. IPA sebagai
proses memiliki arti bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui proses atau metode IPA.
Keterampilan sikap dalam pembelajaran IPA merupakan sikap ilmiah yang mendasari siswa
dalam memperoleh serangkaian proses penemuan ilmiah melalui metode ilmiah yang
dilakukan (Saputra dkk., 2016).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

649
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kurikulum terbaru di Indonesia saat ini adalah kurikulum 2013. Pembelajaran


kurikulum 2013 merujuk pada suatu proses pengembangan potensi dan pembangunan
karakter siswa, sehingga diharapkan dapat meningkatkan keaktifan siswa, memotivasi siswa
untuk meningkatan kemampuan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan hasil
belajarnya (Uqba dan Wiryanto, 2015). Salah satu tujuan pembelajaran IPA di sekolah
adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir menggunakan konsep dan prinsip
IPA untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Sumber, metode, dan strategi belajar yang digunakan
hendaknya mendukung kegiatan siswa agar terlibat langsung dalam pembelajaran sehingga
pembelajaran berpusat pada siswa.
Pendekatan saintifik (ilmiah) digunakan dalam pembelajaran kurikulum 2013 agar
kompetensi yang harus dimiliki siswa dapat tercapai. Pendekatan saintifik merupakan
pendekatan yang mencakup berbagai kegiatan, seperti pengamatan, penalaran, penemuan, dan
penjelasan mengenai suatu kebenaran. Komponen yang biasa dilakukan dalam kegiatan
pembelajaran berpendekatan saintifik, diantaranya: mengamati, menanya, mencoba, mengolah,
menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Siswa dibimbing untuk mengkonstruksi
pengetahuannnya sendiri melalui pendekatan ilmiah, hal ini dilakukan agar siswa dapat
memahami dan menerapkan ilmunya (Asy’syakurni dkk., 2015).
Pesatnya perkembangan teknologi di era abad 21 menuntut guru dan lembaga
pendidikan untuk mempersiapkan siswa agar memiliki keterampilan, diantaranya:
keterampilan pemecahan masalah, komunikasi efektif, mengambil keputusan, berkolaborasi,
literasi informasi, literasi teknologi informasi dan komunikasi. Salah satu keterampilan
tersebut yaitu teknologi komunikasi dan informasi, sehingga diperlukan integrasi antara
pembelajaran dengan keterampilan teknologi informasi dan komunikasi. E-leraning menjadi
salah satu bentuk integrasi antara pembelajaran dengan kompetensi TIK. Metode yang
digunakan dalam pembelajaran tersebut yaitu metode blended learning. Blended learning
merupakan model pembelajaran yang menggabungkan dua lingkungan belajar yang berbeda,
yaitu pertemuan tatap muka dan pembelajaran online (Suana dkk., 2017).
Inkuiri merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh informasi dengan melakukan
observasi atau percobaan untuk mencari jawaban atau untuk menyelesaikan masalah dengan
menggunakan kemampuan siswa. Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran
berbasis penyelidikan, sehingga siswa mencari jawaban sendiri dari permasalahan yang
dihadapi. Dengan demikian pembelajaran inkuiri sesuai dengan pendekatan dalam
pembelajaran kurikulum 2013 yaitu pendekatan saintifik (Kusdiastuti dkk., 2016)
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan bahwa pembelajaran IPA khususnya di
SMP Negeri 41 Semarang masih cenderung berpusat pada guru. Pembelajaran pada
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

650
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

kurikulum 2013 juga diterapkan pendekatan saintifik, siswa secara mandiri akan menemukan
suatu konsep IPA diakhir pembelajaran. Kendala lain yang dirasakan oleh guru yaitu dengan
seringnya praktik sangat menyita waktu sehingga materi tidak selesai sesuai program. Hasil
belajar siswa di SMP Negeri 41 Semarang juga belum maksimal, dibuktikan dengan banyak
siswa yang nilai ulangan hariannya dibawah KKM. Sehingga diperlukan model pembelajaran
yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Akses internet yang mudah di SMP Negeri 41 Semarang pemanfaatannya belum
maksimal. Siswa belum diajarkan pembelajaran menggunakan e-learning. Pemanfaatan akses
internet di sekolah hanya terbatas untuk mengakses materi pembelajaran saja. Selain itu,
mayoritas siswa diera sekarang ini sudah memiliki smartphone yang dilengkapi dengan akses
internet untuk berkomunikasi antar siswa sehingga pemanfaatannya di rumah pun masih
terbatas hanya sebagai alat komunikasi serta untuk mengakses media sosial dan materi saja.
Oleh karena itu, diperlukan suatu perbaikan pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran
IPA dan pemanfaatan akses internet secara maksimal untuk membantu peserta didik
meningkatkan hasil belajarnya sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Hasil dan Pembahasan


Blended Learning
Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi menjadikan pendidikan lebih
fleksibel, misalnya yaitu penggunaan metode blended learning. Metode pembelajaran tersebut
mengintegrasikan pembelajaran berbasis teknologi informasi dengan pembelajaran berbasis
tatap muka. Kelebihan dari blended learning, diantaranya: memiliki berbagai pendekatan
pembelajaran, mudah mengakses pengetahuan, interaksi sosial, menghemat biaya, dan lebih
mudah melakukan revisi. Siswa mungkin saja dapat mengkombinasikan metode yang berbeda,
misalnya media sumber belajar dan lingkungan belajar yang relevan berdasarkan gaya belajar
dan keinginan mereka masing-masing (Aprita, 2014).
Metode pembelajaran dapat dikembangan dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi sehingga pembelajaran dapat berpusat pada siswa, salah satunya yaitu metode
blended learning. Blended learning merupakan pembelajaran yang memadukan antara
pembelajaran konvensional dengan pembelajaran berbasis elektronik. Blended learning
menggabungkan antara pembelajaran berbasis internet dengan pembelajaran tatap muka.
Blended learning adalah variasi metode belajar yang menggabungkan antara pertemuan tatap
muka di kelas dan pembelajaran online untuk menuju tercapainya tujuan pembelajaran
(Astriyanti dkk., 2017).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

651
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa implementasi blended learning dapat


meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian Kazu & Demirkol (2014) menjelaskan bahwa
siswa yang menggunakan metode blended learning memiliki nilai yang lebih tinggi daripada
siswa yang menggunakan pembelajaran tradisional. Hasil yang sama ditunjukkan oleh
penelitian Poon (2013) yaitu suatu kelas yang menggunakan metode blended learning
memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kelas yang menggunakan metode pembelajaran
tradisional. Hasil penelitian Luo dkk., (2017) menjelaskan bahwa metode blended learning
dapat meningkatkan hasil belajar siswa baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotorik, sehingga blended learning dapat diimplementasikan dikurikulum yang lainnya.

Inkuiri
Pada pembelajaran IPA, siswa dituntut untuk menemukan sendiri dan mengkonstruksi
informasi yang kompleks secara kritis dan logis sesuai kemampuannya. Salah satu model
pembelajaran yang sesuai dengan kriteria tersebut yaitu pembelajaran inkuiri. Pembelajaran
inkuiri melatih siswa belajar seperti ilmuwan. Siswa menjadi lebih termotivasi untuk menjadi
seorang yang pemikir, memiliki rasa ingin tahu, kooperatif, dan dapat memecahkan masalah
(Widowati dkk., 2017).
Keterlibatan siswa dalam kegiatan penyelidikan pada pembelajaran IPA merupakan hal
yang penting, karena dalam pembelajaran IPA lebih mengutamakan keterampilan proses.
Pembelajaran IPA dan inkuiri juga tidak dapat dipisahkan mengacu pada kurikulum 2013
yang menekankan pada keterlbatan siswa secara langsung dalam menemukan suatu konsep
sehingga kompetensi siswa dapat berkembang (Harida, 2016).
Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri dapat
meningkatkan hasil belajar siswa yaitu penelitian Rohmah (2018) menjelaskan bahwa
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terjadi peningkatan hasil belajar yang signifikan
dengan diterapkannya metode pembelajaran inkuiri. Aprillia dkk., (2015) menyatakan dalam
penelitiannya bahwa media flash berbasis pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.

Blended Learning Berbasis Inkuiri


Berbagai penjelasan mengenai blended learning dan inkuiri tersebut menujukkan bahwa
pembelajaran inkuiri sesuai jika diterapkan dalam pembelajaran IPA, khususnya pada saat ini
yaitu implementasinya dalam kurikulum 2013. Sedangkan pembelajaran blended learning
sesuai dengan kondisi perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi diera sekarang ini.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

652
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan beberapa penelitian mengenai blended learing dan pembelajaran inkuiri,


keduanya mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Penggunaan metode blended learning
hanya dapat diimplementasikan menggunakan model pembelajaran inkuiri, discovery,
problem based learning, dan project based learning. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
hasil belajar siswa dapat diterapkan metode blended learning berbasis inkuiri dalam
pembelajaran IPA di sekolah.

LKS
Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan instrumen yang membantu dalam proses
pembelajaran di kelas yang sudah sejak lama digunakan oleh guru. LKS memiliki peran dalam
melengkapi materi yang ada dan sebagai latihan untuk meningkatkan pemahaman terhadap
materi yang telah disampaikan guru oleh siswa. Model pemeblajaran yang dapat diterapkan
dalam LKS yaitu model inkuiri. Model inkuiri sesuai untuk mengembangkan kemampuan
siswa, baik kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penerapan model inkuiri juga
sesuai jika diterapkan dalam pembelajaran IPA (Riyani dkk., 2017).

Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hasil yang dicapai siswa setelah mengalami kegiatan
pembelajaran sehingga hasil tersebut merupkakan gambaran pencapaian pengetahuan dan
keterampilan siswa. Hasil belajar merupaka tujuan dari terlaksananya proses kegiatan
pembelajaran (Saputra dkk., 2016). Secara umum, hasil belajar meliputi tiga aspek, yaitu:
aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. Ketiganya akan diperoleh siswa setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran. Tercapainya hasil belajar siswa dapat dilihat jika memenuhi
indikator-indikator hasil belajar. Adapun indikator-indikator hasil belajar tersebut,
diantaranya:
Tabel 1. Indikator Hasil Belajar
No. Ranah Indikator
1. Kognitif
a. Pengetahuan Mengidentifikasi, mendefinisikan, mendaftar, mencocokkan,
menetapkan, menyebutkan, melabel, menggambar, memilih.
Menerjemahkan, merubah, menyamarkan, menguraikan dengan
kata-kata sendiri, menulis kembali, merangkum, membedakan,
menduga, mengambil kesimpulan, menjelaskan
Menggunakan, mengoperasikan, menciptakan/membuat
perubahan, menyelesaikan, memperhitungkan, menyiapkan,
menentukan.
b. Pemahaman Membedakan, memilih, membedakan, memisahkan, membagi,
mengidentifikasi, merinci, menganalisis, membandingkan.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

653
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Membuat pola, merencanakan, menyusun, mengubah, mengatur,


menyimpulkan, menyusun, membangun, merencanakan.
Menilai, membandingkan, membenarkan, mengkritik, menjelaskan,
menafsirkan, merangkum, mengevaluasi.
c. Penerapan
d. Analisis
e. Mencipta
f. Evaluasi
2. Afektif
a. Penerimaan Mengikuti, memilih, mempercayai, memutuskan, bertanya,
memegang, memberi, menemukan, mengikuti.
Membaca, mencocokkan, membantu, menjawab, mempraktekkan,
memberi, melaporkan, menyambut, menceritakan, melakukan,
membantu.
b. Menjawab/ Memprakarsai, meminta, mengundang, membagikan, bergabung,
menanggapi mengikuti, mengemukakan, membaca, belajar, bekerja, menerima,
melakukan, mendebat.
Mempertahankan, mengubah, menggabungkan, mempersatukan,
mendengarkan, mempengaruhi, mengikuti, memodifikasi,
menghubungkan, menyatukan.
Mengikuti, menghubungkan, memutuskan, menyajikan,
menggunakan, menguji, menanyai, menegaskan, mengemukakan,
memecahkan, mempengaruhi, menunjukkan.

c. Penilaian
d. Organisasi
e. Menentukan
ciri-ciri nilai
3. Psikomotorik
a. Gerakan pokok Membawa, mendengar, memberi reaksi, memindahkan, mengerti,
berjalan, memanjat, melompat, memegang, berdiri, berlari.
Melatih, membangun, membongkar, merubah, melompat,
merapikan, memainkan, mengikuti, menggunakan, menggerakkan.
Bermain, menghubungkan, mengaitkan, menerima, menguraikan,
mempertimbangkan, membungkus, menggerakkan, berenang,
b. Gerakan umum memperbaiki, menulis.
Menciptakan, menemukan, membangun, menggunakan,
memainkan, menunjukkan, melakukan, membuat, menyusun.
c. Gerakan ordinat
d. Gerakan kreatif

(Kenneth, 2005)

Getaran dan Gelombang


Materi getaran dan gelombang merupakan salah satu materi pelajaran IPA pada kelas
VIII semester dua. Pada materi ini biasanya siswa diajari oleh guru dengan metode ceramah,
sehingga siswa kurang terlibat secara langsung di dalamnya. Pembelajaran menggunakan
model inkuiri sesuai dengan materi getaran dan gelombang. Siswa dibimbing untuk
merumuskan masalah, merancang hipotesis, dan menemukan jawaban secara mandiri dengan
bantuan guru sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, pembelajaran
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

654
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

berbasis praktikum biasanya membutuhkan waktu yang lama. Pemanfaatan metode blended
learning bertujuan untuk mempersingkat waktu sehingga pembelajaran akan selesai sesuai
program serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunkasi menjadi maksimal. Oleh
karena itu, diterapkan metode blended learning berbasis inkuiri berbantuan LKS materi
getaran dan gelombang untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

Penutup
Simpulan
Metode blended learning berbasis inkuiri berbantuan LKS materi getaran dan
gelombang dapat diterapkan untuk siswa SMP sehingga dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Hal ini didukung dengan penelitian Mufidah (2014) bahwa implementasi metode
blended learning berbasis inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan
dengan kelas yang menggunakan metode tradisional.

Saran
Artikel ini merupakan artikel konseptual. Saran untuk penulis dan para pembaca
artikel ini yaitu dapat diterapkan metode blended learning berbasis inkuiri berbantuan LKS
materi getaran dan gelombang untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan
memperhatikan beberapa hal berikut, seperti: kecepatan akses internet di sekolah serta
manajemen waktu yang baik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai..

Daftar Pustaka

Aprita, Yessica Mega dan Annisa Ratna Sari. 2014. Improving Students’ Motivation of Learning
Using Blended Learning Strategy Facilitated With Vark Learning Style Model. Jurnal
Pendidikan Akuntansi Indonesia 12 (1): 35-40
Astriyanti, Garnis, Endang Susilaningsih dan Supartono. 2017. Model Blended Learning Berbasis
Task dengan Penilaian Jurnal Belajar Terkait Pencapaian Kompetensi Dasar. Chemistry in
Education 6 (1): 14-19
Asy’syakurni, Nurul Afdhilla, Arif Widiyatmoko dan Parmin. 2015. Efektivitas Penggunaan
Petunjuk Praktikum IPA Berbasis Inkuiri pada Tema Kalor dan Perpindahannya
Terhadap Keterampilan Proses Sains Peserta Didik. Unnes Science Education Journal 4
(3): 952-958
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

655
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kazu, I. Y., dan Demirkol, M. 2014. Effect of blended learning environment model on high school
students’ academic achievement. TOJET: The Turkish Online Journal of Educational
Technology 13(1): 78-87
Kenneth D. Moore. 2005. Effective Instructional Strategies From Theory to Practice. London: Sage
Publications, Inc
Kusdiastuti, Mahesti, Ahmad Harjono, Hairunnisyah Sahidu, Gunawan. 2016. Pengaruh Model
Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Laboratorium Virtual Terhadap Penguasaan Konsep
Fisika Peserta Didik. Jurnal Pendidikan Fisika dan Teknologi 2 (3): 116-122
Luo, Li, Xiaohua Cheng, Shiyuan Wang, Junxue Zhang, Wenbo Zhu, Jiaying Yang and Pei Liu.
2017. Blended learning with Moodle in medical statistics: an assessment of knowledge,
attitudes and practices relating to e-learning. BMC Medical Education 17 (170): 1-8
Saputra, Teguh Budi Raharjo Eko, Mohamad Nur, dan Tarzan Purnomo. 2016. Desain Riset
Perangkat Pembelajaran Menggunakan Media KIT Listrik yang Dilengkapi PhET
Berbasis Inkuiri untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains. Unnes Science Education
Journal 5 (3): 1331-1342
Serfanda, Febilia Dhita, Sri Mantini RS dan Sri Nurhayati. 2015. Komparasi Hasil Belajar dengan
Model Problem Based Learning dan Inquiry. Chemistry in Education 4 (2): 57-62
Poon, J. 2013. Blended learning: An institutional approach for enhancing students’ learning
experiences. Journal of online learning and teaching 9 (2): 271-289
Rohmah, Nur. 2018. Penerapan Metode Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Aktifitas dan
Hasil Belajar IPA Materi Sistem Transportasi. Jurnal Pendidikan MIPA Pancasakti 2 (1):
54-60
Uqba, Naela Zulfiyatul dan Wiyanto. 2015. Pengembangan Alat Peraga Tema Penglihatan Berbasis
Guided Inquiry Guna Meningkatkan Hasil Belajar dan Berpikir Logis Siswa. Unnes
Science Education Journal 4 (2): 858-864
W. Suana, N. Maharta, ID.P. Nyeneng, S. Wahyuni. 2017. Design and Implementation of
Schoology-Based Blended Learning Media for Basic Physics I Course. Jurnal Pendidikan
IPA Indonesia 6 (1): 170-178
.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

656
Ika Shepti Indriani1, Fathiah Alatas1, Rias Fitria2
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
SMA Negeri 9 Tangerang Selatan
e-mail: fathiah.alatas@uinjkt.ac.id, ikasheptiindriani@gmail.com
rias.fitria@gmail.com
Abstract. Optical instruments is a concept that is very much all formulas, making it difficult to understand the
concept while the student-oriented problems in everyday life. A learning model of problem posing type post
solution can improve the learning results of optical tools where students find a complex concept with the
submission of the question or problem formulation by students and accompanied the answer of the problem.
The form of this research is the Research Action class (PTK) consists of two cycles. Each cycle consists of
four phases of research i.e. planning, execution, observation and reflection. This is the subject of XI-MIPA 4
SMA Negeri 9 South Tangerang. Using data collection techniques interviews, observation sheets, tests and
CATEGORIZED learning. The results of the analysis show an increase in student learning outcomes and to
familiarize students in formulating, confront and resolve the problem to achieve mastery of a concept. This
proves that the problem posing type post solution can improve the learning results of optical instruments .

Keywords: problem posing type post solution, optical devices, learning outcomes

Abstrak. Alat-alat optik merupakan konsep yang sangat banyak sekali rumus-rumus sehingga sulit dimengerti
siswa sedangkan konsep tersebut berorientasi pada masalah dalam kehidupan sehari-hari. Model pembelajaran
problem posing tipe post solution dapat meningkatkan hasil belajar alat-alat optic dimana siswa menemukan
konsep yang kompleks dengan pengajuan soal atau perumusan masalah oleh siswa dan disertai jawaban dari
permasalahan yang dibuatnya. Bentuk penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) terdiri dari 2
siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahapan penelitian yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi.
Subjek penelitian ini adalah XI MIPA 3 SMA Negeri 9 Tangerang Selatan. Pengumpulan data menggunakan
teknik wawancara, lembar observasi, tes dan LKS pembelajaran. Hasil analisis menunjukkan adanya
peningkatan hasil belajar siswa dan membiasakan siswa dalam merumuskan, menghadapi dan menyelesaikan
soal untuk mencapai penguasaan suatu konsep. Hal ini membuktikan bahwa problem posing tipe post solution
dapat meningkatkan hasil belajar alat-alat optic.

Kata Kunci: problem posing type post solution, alat-alat optik, hasil belajar

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Alat optik merupakan salah satu konsep fisika dimana fenomena dapat ditemui dalam
kehidupan sehari-hari terutama dalam peristiwa pemantulan dan pembiasan cahaya (wirda
dkk, 2015). Materi ini siswa memahami bagian-bagian dan juga sifat bayangan alat optik
(wahyuni dan Arief, 2015). Kendalanya konsep ini, siswa selalu menggunakan daya khayal
untuk dapat lebih memperdalam pengetahuannya, contohnya untuk melihat jalannya cahaya
dalam proses pembentukan bayangan (Pratiwi dkk., 2013). Materi alat optik merupakan
materi yang abstrak terutama pada proses terjadinya bayangan pada mata (Fatikhah Rahmah
dkk, 2017). Dalam pembelajaran fisika siswa sering dituntut untuk menghafal rumus fisika
yang sedemikian banyak untuk dapat menyelesaikan soal-soal yang diberikan (Wahyuni dan
Arief, 2015). Alat Optika sulit dipahami karena siswa menghafalkan konsep
(Trisnaningsih, 2011).
Hasil pengamatan di SMA Negeri 9 Tangerang selatan, pembelajaran masih didominasi
dengan metode ceramah atau teacher centered sehingga siswa masih pasif. Ketika
diberlakukan drill soal dalam pembelajaran, ini menyebabkan siswa sulit menyelesaikan jika
diberi soal yang sedikit berubah. Penyelesaian soal yang dilakukan guru hanya memasukan
rumus yang diberikan dan ini kurang berarti dalam membiasakan berpikir analisis. Hal ini
ditunjukkan hasil belajar sebagian besar siswa belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) sebesar 75. Penyelesaian soal-soal fisika terpenting kerangka berpikir
penyelesaiannya dan bukan matematisnya (Astra dkk,. 2012).
Untuk itu perlu dirancang pembelajaran yang memberikan siswa agar dapat menjelaskan
hasil interaksi dengan materi yang diberikan menggunakan model problem posing dimana
siswa dapat membuat soal setelah kegiatan pembelajaran dilakukan (Nakato, 2002).
Beberapa peneliti istilah sepadan kata problem posing yakni pembentukan, pembuatan dan
pengajuan soal (Fakhruddin dan Oktaviani, 2009). Problem posing mempunyai arti yaitu
perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan
agar lebih sederhana dan dapat dikuasai (Pittalis dkk,. 2004). Strategi pembelajaran problem
posing menekankan siswa untuk mengajukan masalah terkait materi yang dipelajari sekaligus
mendesain langkah penyelesaiannya (Lutfi, 2016).
Model pembelajaran problem posing menuntut siswa membuat pertanyaan sendiri
berdasarkan stimulus guru dalam pembelajaran membuat siswa dapat aktif berpikir selama
proses pembelajaran sehingga siswa lebih memahami konsep fisika (Indah dkk,. 2015).
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

658
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Guru mata pelajaran fisika harus mampu merancang dan mernerapkan kegiatan problem
posing, agar siswa dapat merumuskan permasalahan dan penyelesainnya sendiri (Isik dkk,.
2011). Ketika siswa terlibat dalam proses belajar dengan menghasilkan masalah baru dan
reformulasi (Ghasempour dkk., 2013). Membiasakan siswa dalam merumuskan,
menghadapi dan menyelesaikan soal merupakan salah satu cara untuk mencapai penguasaan
suatu konsep (Rahmad dkk, 2009).
Hasil penelitian ditemukan bahwa kegiatan pembelajaran model problem posing tipe
post solution posing membuat siswa aktif dalam belajar sehingga hasil belajar siswa
meningkat karena siswa dituntut memahami suatu pernyataan (mengajukan soal) yang
dibuat secara mandiri (Jafri, 2015). Model pembelajaran problem posing hasil belajar
meningkat dalam pembelajaran fisika (Fakhruddin dan Oktaviani, 2009; Hasfanudin dkk,.
2014).
Model problem posing sendiri mempunyai 3 bentuk aktivitas kognitif yaitu: presolution
posing, within-solution posing, dan post solution posing. Pada penelitian ini peneliti
memilih model problem posing tipe post solution posing dimana pada tipe ini siswa
membuat soal yang sejenis, seperti yang dibuat oleh guru (Siswono, 2004). Siswa
memodifikasi soal yang sudah diselesaikan kemudian siswa membuat soal baru yang sejenis
(Asriningsih, 2014).
Pendekatan problem posing, guru menjelaskan materi pelajaran, latihan soal-soal
diberikan oleh guru dan siswa membentuk kelompok belajar heterogen oleh guru kemudian
siswa membuat soal serta menjelaskan soal yang dibuatnya di depan kelas, sehingga siswa
dengan siswa dapat saling berinteraksi dan membantu (Kelen, 2016)
Tahapan pembelajaran model pembelajaran problem posing tipe post solution yakni :
membagi siswa dalam kelompok kecil, setiap kelompok merangkum materi, siswa
memodifikasi sial di lembar problem posing I dan menulis jawabannya, tugas dikumpulakan
kemudian kelompok lain mengerjakan soal yang dibuat kelompok lain serta
mempresentasikan (suryosubroto, 2013) .

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) menggunakan model Kemmis & Taggart (Soesatyo dkk., 2017). Adapun komponen-
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

659
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

komponen pokok yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Perencanaan (plan), Tindakan
& Observasi (act & observe) dan Refleksi (reflect). Tahapan-tahapan ini berlangsung secara
berulang-ulang, sampai tujuan penelitian tercapai.
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, dimana pada siklus satu terdiri dari dua
pertemuan sedangkan siklus dua terdiri dari satu pertemuan. Hasil intervensi tindakan yang
diharapkan ialah meningkatnya hasil belajar siswa dengan keberhasilan mencapai 80% dengan
KKM 79 setelah siswa mengalami pembelajaran dengan model pembelajaran problem posing
tipe post solution pada konsep alat-alat optik.
Subjek dalam penelitian tindakan kelas ini adalah 35 orang peserta didik kelas XI MIPA
3 SMA Negeri 9 Tangerang Selatan, yang terdiri dari 19 laki-laki dan 16 perempuan.
Peneliti berperan langsung sebagai guru yang berperan dalam proses pembelajaran fisika pada
konsep Alat-alat optik menggunakan model pembelajaran problem posing tipe post solution .
Pada penelitian ini, peneliti berperan sebagai guru yang melakukan proses pembelajaran
pada konsep alat-alat optik menggunakan model pembelajaran problem posing tipe post
solution. Sedangkan yang bertindak sebagai observer adalah mahasiswa pendidikan Fisika
UIN Syarif Hidayatullah Jakartadan guru SMAN 9 Tangerang Selatan.
Data yang diperoleh berupa wawancara guru sebagai observasi pendahuluan, lembar
observasi aktivitas mengajar guru dan lembar observasi siswa sebagai penilaian terhadap
keterlaksanaannya pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa, tes hasil belajar siswa untuk
mengetahui hasil belajar siswa setelah diberi tindakan, serta Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk
memberi petunjuk siswa kegiatan pembelajaran.
Analisis data tes hasil belajar menggunakan N-Gain untuk mengetahui peningkatan hasil
belajar siswa setelah tindakan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa
lembar observasi guru dan tes hasil belajar pada konsep Alat-alat optik.

Hasil dan Pembahasan


Hasil
Penelitian dilaksanakan di kelas XI MIPA 3 yang berjumlah 35 siswa, yang terdiri dari 19
laki-laki dan 16 perempuan. Ada dua siklus dalam penelitian ini dimana siklus pertama
dilakukan dua kali pertemuan dan siklus kedua dilakukan satu kali pertemuan. Tiap
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

660
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pertemuan dilaksanakan selama 2 × 45 menit yaitu dilaksanakan pada tanggal 16 dan 17


April 2018.
Indikator pembelajaran pada konsep alat-alat optik pada siklus I diantaranya (1)
Menyebutkan bagian-bagian mata dan kelainan pada mata, (2) Membedakan pemakaian lup
untuk mata berakomodasi maksimum dan tak berakomodasi, (3) Menjelaskan cara kerja
mata dan pembentukan bayangan pada mata, (4) Menjelaskan cara kerja lup dan
pembentukan bayangan pada lup, (5) Menganalisis besaran-besaran terkait mata dan lup
dalam kasus pada kehidupan sehari-hari, (6) Membedakan pemakaian mikroskop dalam
keadaan mata tak berakomodasi dan mata berakomodasi maksimum, (7) Menjelaskan cara
kerja mikroskop serta pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari, (8) Menganalisis
besaran-besaran terkait mikroskop dalam kasus kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran siklus II dilakukan sebanyak satu kali pertemuan yang berdurasi 2 × 45
menit pada hari Rabu tanggal 18 April 2018. Indikator pembelajaran pada siklus II
diantaranya (1) Membedakan pemakaian teropong dan kamera dalam keadaan mata tak
berakomodasi dan mata berakomodasi maksimum, (2) Menjelaskan cara kerja teropong dan
kamera serta pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari, (3) Menganalisis besaran-besaran
terkait teropong dan kamera dalam kasus kehidupan sehari-hari.

Siklus I
a. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan pada siklus I dimulai dengan mempersiapkan semua rancangan
desain pembelajaran yang akan diterapkan dalam penelitian ini. Rancangan desain
pembelajaran yang dapat meningkatkan penguasaan konsep alat-alat optik dengan
menerapkan model pembelajaran problem posing tipe post solution. Tahap perencanaan
tersebut meliputi: 1) Menentukan tema (standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator
pembelajaran yang akan disampaikan dengan menerapkan model pembelajaran problem
posing tipe post solution, 2) Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), 3)
Membuat modul pembelajaran, 4) Membuat Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan menerapkan
model pembelajaran problem posing tipe post solution pada sub konsep alat-alat optik,5)
Membuat instrument tes yang digunakan untuk pretest dan posttest. Pada siklus I ini soal tes
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

661
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

adalah berupa tes pilihan ganda, 6) pembuatan lembar observasi tindakan guru dan aktivitas
siswa.

b. Tahap Tindakan
Siswa dibagi menjadi 6 kelompok yang terdiri dari 5-6 orang anggota. Guru membuat
kelompok secara heterogen. Seluruh kelompok mendapatkan modul dan LKS. Setiap siswa
harus merangkum dan setiap kelompoknya harus membuat soal dan jawaban yang sesuai
dengan aturan pada LKS. Setelah itu soal diberikan kepada kelompok lain untuk dijawab
oleh kelompok lain. Kemudian jawaban dipresentasikan ke depan dan dikoreksi oleh
pembuat soal. Selanjutnya guru meminta siswa untuk menyimpulkan materi diakhir
pembelajaran.
Hasil pretest dan posttest siklus I pada konsep alat-alat optik dengan menggunakan model
pembelajaran problem posing tipe post solution disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Statistika Pretest-Posttest Siklus I

Data Statistik Pretest Posttest


Rata-rata 50.28 81.71
Nilai minimum 20 60
Nilai maksimum 80 100
Median 40 80
Modus 40 80

Tabel 1 terlihat bahwa nilai rata-rata posttest lebih besar dari pada nilai pretest. Hal
tersebut berarti terdapat peningkatan hasil belajar siswa pada siklus tersebut, namun pada
siklus I ada 26 siswa yang mencapai nilai KKM dengan presentase keberhasilan 74,2% dan
ada 9 siswa dengan presentase 25,8% yang belum mencapai nilai KKM. Hasil nilai rata-rata
N-Gain pada siklus I sebesar 0,55 dengan kategori sedang. Siswa yang memperoleh N-Gain
dengan kategori tinggi adalah 34,2% sedangkan siswa yang memperoleh N-Gain dengan
kateori sedang adalah 45,7% dan siswa yang memperoleh N-Gain dengan kategori rendah

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

662
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

adalah 20,1. Hasil perhitungan nilai rangkuman pada siklus I pertemuan pertama 81,5 dan
pertemuan kedua 83,2. Hasil perhitungan nilai LKS pada siklus I petemuan kedua 87 dan
pertemuan kedua 87,7.

c. Tahap Observasi
Hasil observasi kegiatan guru selama proses pembelajaran diamati dengan menggunakan
pedoman observasi. Hasil observasi kegiatan guru pada siklus I pada pertemuan I memiliki
presentase sebesa 69% kategorinya cukup. dan pertemuan II memiliki presentase sebesar
76,9% dengan kategori baik.
Hasil observasi kegiatan siswa selama proses pembelajaran diamati dengan menggunakan
pedoman observasi. Hasil observasi kegiatan siswa pada pertemuan I memiliki presentase
sebesar 66,6% dengan kategori cukup dan pada pertemuan II memiliki presentase sebesar
73,7% dengan kategori baik. Selain itu, berdasarkan catatan observer diperoleh kekurangan-
kekurangan dalam kelas diantaranya adalah sebagai berikut: a) Susasana di kelas masih
terdengar sangat gaduh ketika proses pemnelajaran dilakukan; b) Siswa masih belum paham
dengan langkah-langkah melakukan pembelajaran problem posing tipe post solution; c)
Waktu mengerjakan LKS terlalu lama karena kelompok terlalu besar; d) Siswa masih belum
bekerjasama secara optimal untuk mengerjakan LKS.

d. Tahap Refleksi
Refleksi didapatkan berdasarkan pada kajial hasil observasi serta kendala yang dihadapi
selama tindakan siklus I berlangsung, adapun beberapa kekurangan yang harus di perbaiki
dalam kegiatan pembelajaran antara lain: 1) Perlu diperhatikan suasana kelas agar lebih
kondusif; 2) Perlu dijelaskan kembali langkah-langkah LKS pembelajaran problem posing
tipe post solution; 3) Perlu diatur secara proposional pembagian waktu dalam mengerjakan
LKS dan kelompok perlu dibagi lagi kedalam kelompok kecil; 4) Perlu diperhatikan kondisi
siswa dalam setiap kelompok.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

663
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Siklus II
a. Tahap Perencanaan
Berdasarkan hasil refleksi I, terdapat beberapa perbaikan yang dilakukan pada siklus II.
Pada siklus II ini siswa menggunakan model pembelajaran problem posing tipe post solution
yang sama seperti pertemuan sebelumnya yaitu mikroskop.

b. Tahap Tindakan
Hasil pretest dan posttest siklus II pada konsep alat-alat optik dengan menggunakan
model pembelajaran problem posing tipe post solution disajikan pada Tabel 2 .
Tabel 2. Data Statistika Pretest-Posttest Siklus II

Data Statistik Pretest Posttest


Rata-rata 70,28 97,14
Nilai minimum 40 60
Nilai maksimum 100 100
Median 80 100
Modus 80 100

Tabel 1 terlihat bahwa nilai rata-rata posttest lebih besar dari pada nilai pretest. Hal
tersebut berarti terdapat peningkatan hasil belajar siswa pada siklus tersebut, namun pada
siklus II ada 33 siswa yang mencapai nilai KKM dengan presentase keberhasilan 94,2% dan
ada 2 siswa dengan presentase 6,8% yang belum mencapai nilai KKM. Hasil nilai rata-rata
N-Gain pada siklus II sebesar 0,87 dengan kategori tinggi. Hasil perhitungan nilai
rangkuman pada siklus II pertemuan pertama 83,2 dan LKS pada siklus II petemuan pertama
85,4.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

664
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

c. Tahap Observasi
Hasil observasi kegiatan guru selama proses pembelajaran diamati dengan menggunakan
pedoman observasi. Hasil observasi kegiatan guru pada siklus II pada pertemuan I memiliki
presentase sebesar 84,6% kategorinya sangat baik.
Hasil observasi kegiatan siswa selama proses pembelajaran diamati dengan menggunakan
pedoman observasi. Hasil observasi kegiatan siswa pada pertemuan I memiliki presentase
sebesar 81,4% dengan kategori sangat baik. Selain itu, berdasarkan catatan observer diperoleh
dalam kelass diantaranya adalah: a) Suasana kelas sudah terlihat kondusif; b) Siswa sudah
paham dengan langkah-langkah pembelajaran; c) Ketepatan waktu dalam merangkum,
mengerjakan LKS, presentasi sudah sangat baik; d) Siswa sudah baik dalam bekerjasama
untukk mengerjakan LKS.
d. Tahap Refleksi
Hasil refleksi pada siklus II mendeskripsikan bahwa kegiatan pembelajaran menggunakan
model pembelajaran problem posing tipe post solution cukup membantu siswa dan membuat
siswa aktif dalam proses pembelajaran, hal ini ditandai dengan: a) Rata-rata skor pretest
sebesar 70,28 dan rata-rata skor posttest sebesar 97,14 dengan nilai N-Gain sebesar 0,87
dengan kategori tinggi. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa telah
mengalami peningkatan; b) Pada siklus II terjadi peningkatan jumlah siswa yang mencapai
nilai KKM yaitu sebanyak 33 siswa dengan presentase mencapai 94,2% dan ini sudah
memenuhi indikator ketuntasan belajar yang direncanakan dalam penelitian ini yaitu sebesar
80%.

Pembahasan
Berdasarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada siklus I dan siklus II dengan
menggunakan model pembelajaran problem posing tipe post solution dari setiap sikus
menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar. Hal ini berdasarkan dari hasil pretest dan
posttest begitu pula dari hasil lembar observasi. Peningkatan juga terlihat pada kompetensi
guru dalam proses pembelajaran.
Tes hasil belajar siswa kelas XI MIPA 3 yang berjumlah 35 siswa pada siklus I memiliki
rata-rata nilai pretest sebesar 50,28 dan rata-rata nilai posttest sebesar 81,7 dengan nilai N-

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

665
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gain sebesar 0,55 dengan kategori sedang. Pada siklus I sebanyak 26 siswa yang mencapai
nilai KKM dengan presentase keberhasilan 74,2% dan ada 9 siswa dengan presentase 25,8%
yang belum mencapai nilai KKM. Hal ini menunjukkan ketuntasan belajar pada sikus I
belum memenuhi kriteria ketuntasan yang diharapkan, yaitu 80%.
Lembar observasi kegiatan guru selama proses pembelajaran diamati dengan menggunakan
pedoman observasi. Maka hasil observasi kegiatan guru pada siklus I pada pertemuan I
memiliki presentase sebesa 69% kategorinya cukup. dan pertemuan II memiliki presentase
sebesar 76,9% dengan kategori baik. Selain itu, lembar observasi kegiatan siswa selama proses
pembelajaran diamati dengan menggunakan pedoman observasi. Hasil observasi kegiatan
siswa pada pertemuan I memiliki presentase sebesar 66,6% dengan kategori cukup dan pada
pertemuan II memiliki presentase sebesar 73,7% dengan kategori baik. Pada siklus I ini
observer memberikan catatan kecil kepada peneliti bahwa susasana di kelas masih terdengar
sangat gaduh ketika proses pembelajaran dilakukan, siswa masih belum paham dengan
langkah-langkah melakukan pembelajaran problem posing tipe post solution, waktu
mengerjakan LKS terlalu lama karena kelompok terlalu besar, siswa masih belum bekerjasama
secara optimal untuk mengerjakan LKS.
Untuk mengatasi dan memperbaiki hal tersebut, peneliti lebih perhatian terhadap suasana
kelas, perlu menjelaskan kembali langkah-langkah LKS pembelajaran problem posing tipe
post solution, mengatur pembagian waktu dan perlu membagi kelompok kecil agar lebih
kondusif dan optimal.
Perbaikan siklus I telah dilakukan untuk siklus II, diperoleh peningkatan hasil belajar
dengan rata-rata skor pretest sebesar 70,28 dan rata-rata skor posttest sebesar 97,14 dengan
nilai N-Gain sebesar 0,87 dengan kategori tinggi. Sebanyak siswa telah memenuhi indikator
pencapain KKM dengan presentase 94,2%. Hal ini menunjukkan ketuntasan belajar pada
siklus II sudah memenuhi kriteria ketuntasan yang diharapkan, yaitu 80%. Berdasarkan nilai
N-Gain pada siklus I sebesar 0,55 dengan kategori sedang dan siklus II sebesar 0,87 dengan
kategori tinggi dengan kategori tinggi selisih sebesar 0,32, hal ini menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan antara dari siklus I ke siklus II. Hal ini sejalan dengan penelitian Jafri
(2015), Fakhrudin (2009) serta Hasfanudin (2014) dimana model problem posing tipe post
solution posing membuat siswa aktif dalam belajar sehingga hasil belajar siswa meningkat.
Peningkatan dan keberhasilan yang terjadi pada siklus II disebabkan oleh tindakan peneliti
untuk memaksimalkan semua aspek. Berdasarkan lembar observasi siklus II, aktivitas kegiatan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

666
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pembelajaran yang dilakukan oleh guru tergolong sangat baik dengan presentase 81,4%. Hal
tersebut sejalan dengan hasil penelitian Jafri (2015) bahwa aktivitas siswa dalam
pembelajaran problem posing tipe pest solution posing cenderung meningkat tiap
pertemuannya. Model problem posing menekankan siswa untuk mengajukan masalah serta
membuat langkah penyelesainnya (Lutfi, 2016).

PENUTUP
Simpulan
Peningkatan hasil belajar kognitif siswa kelas XI MIPA 3 SMAN 9 Tangerang Selatan
menyatakan bahwa pembelajaran menggunakan model pembelajaran problem posing tipe pest
solution posing meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep materi alat-alat optik. Terbukti
dengan adanya peningkatan nilai N-Gain pada siklus I sebesar 0,55 berubah menjadi 0,87.

Saran
Beberapa saran antara lain 1) Perlu dilakukan penelitian pada materi fisika lainnya yang
berpotensi dapat meningkatkan hasil belajar siswa; 2) Proses pembelajaran dengan model
pembelajaran problem posing tipe pest solution posing, hendaknya perlu bimbingan yang
lebih oleh guru agar kerja kelompok ketika mengerjakan LKS atau membuat soal lebih
terarah pembelajarannya agar dapat terlaksana dengan baik.

Daftar Pustaka
Astra, I. M., Umiatin, Jannah, M. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Problem Posing
Tipe Pre-Solution Posing terhadap Hasil Belajar Fisika Dan Karakter Siswa SMA”,
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. 8 (2) : 135-143.
Asriningsih,T. M. 2014. Pembelajaran Problem Posing Untuk Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kreatif Siswa. Gamatika, 5 (1): 19 – 28.
Ghasempour, Z., Bakar, Md.N., and Jahanshahloo, G.R. 2013. Innovation in Teaching and
Learning through Problem Posing Tasks and Metacognitive Strategies. International
Journal of Pedagogical Innovations, 1 (1): 57-66.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

667
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hasfanudin, I., Abdurrahman, Putu, I. Dewa. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Problem
Posing Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Hasil Belajar. Jurnal Pembelajaran
Fisika. 2 (6): 39 – 50.
Indah, R., Masjkur, K., Parno. 2015. Pengaruh Model Problem Posing Learning (PPL)
Terhadap Kemampuan Berpikir Analisis dan Pemahaman Konsep Fisika Siswa Kelas X
MAN 1 Malang. Skripsi Universitas Negeri Malang Program Studi Pendidikan Fisika.
Isik, C., Kar, T., Yalcin, T., dan Zehir, K. 2011. Prospective teachers’ skills in problem
posing with regard to different problem posing models. Procedia Social and Behavioral
Sciences. 15 : 485-489
Jafri, F. 2015. Penerapan Model Problem Posing Tipe Post Solution Posing Dalam
Pembelajaran Matematika Pada Siswa Kelas X SMAN 2 PARIAMAN. Jurnal Program
Studi Pendidikan Matematika. 4(1): 1-9.
Kelen, Y. P. K. 2016. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Posing untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa (Mathematics Learning With
Problem Posing Approach to Improve Creative Thinking Ability of Students ). Jurnal
Matematika dan Pendidikan Matematika. 1(1): 55-64.
Lutfi, A. 2016. Problem Posing dan Berpikir Kreatif. Prosiding Seminar Matematika dan
Pendidikan Matematika FKIP UNS. 88-98.
Nakano, A., Hirashima, T., dan Takeuchi, A. 2002. A learning Environment for Problem
Posing in Simple Arithmetical Word Problem. Japan: Kyushu Institute of Technology
Department of Artifical Intelligence.
https://pdfs.semanticscholar.org/2275/8df1fbc12c02cb7e3746947817809011c644.p
df?_ga=2.210068245.1664989655.1525779926-816973815.1525779926
Pittalis, M., Christou, C., & Mousoulides, N. 2004. A structural model for problem posing.
Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of
Mathematics Education. 4: 49-56.
Pratiwi, E., Suyatna, A., dan Suyanto, E. 2013. Pengembangan Multimedia Interaktif (Mmi)
Tutorial Dalam Pembelajaran Materi Optika Geometri. Jurnal Pendidikan Fisika.
1(6):1-10.
Siswono, T.Y.E. 2004. Mendorong Berfikir Kreatif Siswa melalui Pengajuan Masalah
(Problem Posing)”. Makalah Konferensi Nasional Matematika XII Universitas Udayana.
Denpasar, Bali
https://tatagyes.files.wordpress.com/2009/11/paper04_berpikirkreatif2.pdf

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

668
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Suryosubroto. 2013. Proses Belajar Mengajar di Sekolah Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Trisnaningsih, T.W. 2011. Upaya Peningkatan Aktivitas Dan Hasil Belajar Alat Optik
Siswa Kelas X Semester II SMAN 1 Semarang Dengan Menerapkan Perangkat
Pembelajaran Bervisi Sets. Jurnal Penelitian Pembelajaran Fisika (JP2F). 2(1): 45-56.
Wahyuni, D.E., Arief, A. 2015. Implementasi Pembelajaran Scientific Approach dengan
Soal Higher Order Thinking Skill pada Materi Alat-Alat Optik Kleas X di SMA
Nahdatul Ulama’1 Gersik. Jurnal Inovasi Penidikan Fisika (JIPF). 4(3):32-37.
Wirda, Haji, A.G., dan Khaldun, I. 2015. Penerapan Pembelajaran Model Problem Based
Learning (PBL) untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Motivasi Belajar
Siswa Pada Materi Alat-Alat Optik. Jurnal Pendidikan Sains Indonesia. 3(2) : 131-142.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

669
Prayoga Hadi Putra, Dedi Irwandi, Salamah Agung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: prayogahp93@gmail.com, dedi.irwandi.yuskar@uinjkt.ac.id,
sal_agung@yahoo.com
Abstract. This study aims to develop learning media mobile game android on the concept of chemical
bonding. Model Design and Development (DnD) is used to develop the media with three stages, planning,
design and development. The planning stage to prepare planning media production. The planning stage be
produced material of learning media is a chemical bond, the learner is students Senior High School Class X,
Media has limitations of hardware, software and timeline, Media has a style manual, as well as determined the
source of assets for the media. At the design stage of designing learning media in paper. The design phase
developed the idea of the original content, obtained plot, concepts and approaches of learning, flowchart and
storyboard. At development stage of do media production and media testing to get a final learning media.
Media testing process that determines whether or not to use, do twice testing performed are alpha test and
beta test. Alpha test is done to get an assessment of 100% or until medium of learning there is no need to
revised and alpha test showed that this media is good and can be used as a media of learning. Beta test
conducted on students are selecting, observe, interview and conduct a pre-test and post test. Obtained from the
beta test that learning media had a significant impact on students and student gave positive response against
the media.

Keywords: instructional media, media development, mobile game android, chemical bonds

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan media pembelajaran mobile game android pada
konsep ikatan kimia. Model Desain and Development (DnD) digunakan untuk mengembangkan media
pembelajaran dengan tiga tahap, yaitu tahap perencanaan ( planning), perancangan (design) dan tahap
pengembangan (development). Pada tahap perencanaan menyiapkan rencana berkaitan dengan produksi media.
Pada tahap perancanaan dihasilkan cakupan materi media yaitu konsep ikatan kimia, pengguna media adalah
siswa kelas X SMA, media mempunyai batasan hardware, software dan timeline, media mempunyai panduan
gaya (style manual), serta ditentukan sumber dari asset untuk media. Pada tahap perancangan mendesain media
pembelajaran secara tertulis. Tahap perancangan dikembangkan ide konten awal, didapatkan alur, konsep dan
pendekatan pembelajaran, flowchart serta storyboard. Pada tahap pengembangan dilakukan produksi media
serta testing media sampai mendapatkan media pembelajaran final. Proses testing media yang menentukan
apakah media layak atau tidak digunakan dilakukan dua kali testing yaitu tes alfa dan tes beta. Tes alfa
dilakukan sampai mendapatkan penilaian 100% atau sampai media pembelajaran tidak ada yang perlu direvisi
dan dalam tes alfa ini didapatkan bahwa media ini dikatakan baik dan dapat digunakan sebagai media
pembelajaran. Tes beta dilakukan terhadap siswa yaitu menyeleksi, mengamati, mewawancarai dan melakukan
pre test dan post test. Didapatkan dari tes beta bahwa media pembelajaran memberikan dampak yang baik
terhadap siswa siswa memberikan tanggapan yang positif terhadap media ini.

Kata Kunci: media pembelajaran, pengembangan media, mobile game android, ikatan kimia

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pendahuluan
Pada abad ke-21 ini, revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan masyarakat,
pemahaman cara belajar anak, kemajuan media komunikasi dan informasi dan lain sebagainya
memberikan arti tersendiri bagi kegiatan pendidikan. Tantangan inilah yang menjadi salah
satu dasar pentingnya pendekatan teknologis dalam pengelolaan pendidikan dan
pembelajaran (Munadi, 2012).
Menurut UU RI No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah guru yang
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni yang memiliki
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional (Munadi, 2012). Dalam pelaksanaannya guru dituntut memiliki kemampuan
secara metodologis dalam hal perancangan dan pelaksanaan pembelajaran termasuk di
dalamnya penguasaan dalam penggunaan media pembelajaran (Munadi, 2012).
Hamalik dalam buku Arsyad (2014,) menyatakan bahwa penggunaan media
pembelajaran dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan keinginan dan minat,
meningkatkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan memberikan pengaruh
psikologis yang baik terhadap siswa. Selain itu media pembelajaran juga dapat meningkatkan
pemahaman, menyajikan data, dan memadatkan informasi sehingga mempermudah siswa
dalam peroses pembelajaran.
Adanya kondisi nyata, kendala, pemikiran inovasi, dan berbagai terobosan nyata yang
bisa dikembangkan oleh praktisi pendidikan dan teknolog dalam bidang teknologi informasi
dan komunikasi dewasa ini dengan melalui telepon seluler, ternyata telah menjadi landasan
yang kuat sehingga revolusi pembelajaran memungkinkan untuk dilakukan (Darmawan,
2011). Beberapa kondisi nyata yang dapat dijadikan landasan latar belakang oprasional
kemunculan mobile learning, yaitu : penetrasi perangkat mobile sangat cepat, lebih banyak
daripada PC, lebih mudah dioperasikan daripada PC, dan perangkat mobile dapat dipakai
sebagai media belajar (Darmawan, 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Budi Kurniawan (2016) penggunaan smartphone oleh siswa dikategorikan sangat tinggi yaitu
80% siswa menggunakan smartphone karena kebutuhan. Menurut Budi Kurniawan (2016)
smartphone dibutuhkan oleh siswa untuk mencari informasi berkaitan dengan pembelajaran
kimia dan untuk mengerjakan tugas. Namun, sebagian siswa mengaku tidak memiliki aplikasi
yang berhubungan dengan mata pembelajaran kimia. Selain itu menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Osman, dkk (2012) biasanya penggunaan smartphone ditujukkan untuk
internet browsing, email, blogging dan games. Hasil penelitian Osman, dkk (2012,) juga
menunjukkan juga bahwa Mobile games menjadi tujuan penggunaan tertinggi.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

671
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Adapun untuk memaksimalkan aktivitas belajar mengajar secara berkesinambungan


dalam bentuk interaksi antara peserta didik dan materi pelajaran adalah dalam bentuk
permainan (games) dan efek games ini dapat memberikan kondisi yang lebih rileks yang
dapat dirasakan siswa ketika belajar (Darmawan, 2011). Dengan kondisi ini, siswa tidak akan
mengalami kelelahan belajar karena materi yang disajikan dalam model games ini adalah
betul-betul bentuk permainan seperti halnya games yang banyak ditemui (Darmawan, 2011).
Media pembelajaran berbasis android sudah mulai dikembangkan misalnya saja mobile game
“Brainchemist Sebagai Media Pembelajaran Kimia SMA/MA Pada Materi Asam Basa,
Larutan Penyangga, Dan Hidrolisis Garam” , namun game ini hanya berupa game kuis yang
berbentuk dua dimensi (2D) sehingga tidak terdapat gambar bergerak (Prasetyo, 2012).
Siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep ikatan kimia, terutama dalam hal
menentukan senyawa yang memiliki ikatan ion, menentukan rumus senyawa yang terbentuk
dan jenis ikatannya, menentukan senyawa yang tidak memenuhi kaidah oktet, menentukan
senyawa kovalen polar, menentukan kemampuan suatu unsur yang diketahui nomor atomnya,
menentukan pasangan unsur yang dapat membentuk ikatan ion dan pasangan golongan unsur
yang dapat membentuk ikatan kovalen. (Haris, dkk, 2013).
Penggunaan media pembelajaran yang dapat membuat guru inovatif dalam mengajar
dan mendidik, dan juga siswa dapat tertarik dan tidak merasa bosan dengan pembelajaran
yang terkesan abstrak. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru dan siswa SMA negeri di
Jakarta didapatkan bahwa penggunaan media pembelajaran khususnya dalam bentuk mobile
game belum dapat ditemui. Kebanyakan dari mereka mengaku bahwa keterbatasan waktu
yang ada di sekolah menghambat pemahaman terhadap materi yang disampaikan, dan mereka
merasa dengan adanya media pembelajaran dalam bentuk mobile game ini dapat mengatasi
hal tersebut, karena memang penggunaan media ini dapat digunakan dimanapun dan
kapanpun. Mereka sangat mengharapkan adanya pengembangan media pembelajaran untuk
menunjang proses pembelajaran di sekolah terutama dalam bentuk mobile games.

Metode
Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Design and
Development. Model ini biasanya digunakan untuk menghasilkan produk media berbasis
komputer yang sederhana (Alessi dan Trolip, 2001). Penelitian dengan model ini memiliki
tiga tahap yaitu: Planning, Design, dan Development. Penelitian ini dapat dihentikan sampai
menghasilkan draf final dan tidak dilanjutkan dengan tahapan pengujian model
(Sukmadinata, 2012) atau dalam model DnD penelitian dilakukan sampai revisi final (Alessi
dan Trollip, 2001).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

672
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 1. Alur Analisis Tugas


Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2015 - Januari 2016. Dilakukan tes alfa oleh
ahli dan tes beta oleh siswa di SMAN 90 Jakarta, yang beralamat Jalan Sabar, Kecamatan
Petukangan Selatan, Kota administrasi Jakarta Barat, kode pos 12270. Sumber data penelitian
ini didapatkan dari tes alfa yaitu : validasi media oleh 2 orang ahli media, 2 orang ahli materi
dan 1 orang praktisi pendidikan. Selain itu data juga didapatkan dari tes beta dimana media
pembelajaran diuji dengan mengobservasi, mewawancara, serta menilai pembelajaran siswa
melalui pre test dan post test.

Hasil dan Pembahasan


Penelitian dilakukan berorientasi pada langkah-langkah model desain dan
pengembangan multimedia untuk menghasilkan produk media pembelajaran. Proses
pengembangan model ini meliputi tahap perencanaan (planning), tahap perancangan (design)
dan tahap pengembangan (development) (Alessi dan Trollip, 2001).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

673
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tahap Perencanaan
Pada tahap perencanaan ini dilakukan penetapan cakupan materi yang akan
dimasukkan kedalam media. Dibawah ini merupakan beberapa kutipan wawancara yang
dilakukan terhadap 3 guru dari tiga sekolah di Jakarta tentang penting dan perlu
dikembangkannya media pembelajaran mobile game android pada konsep ikatan kimia:
“perlu, dikembangkan, ditingkatkan,…” (FI, Baris 93)
“iyaaa perlu, perlu banget gitu” (NA, Baris 66)
“Perlu banget, kalo ibu bilang perlu banget, karena menurut ibu itu jamannya”
(RH, Baris 76)
Dari ketiga guru yang diwawancarai mengaku mereka tertarik dengan media dengan
model permainan karena dapat mengatasi keterbatasan waktu dan materi yang bersifat abstrak
seperti konsep ikatan kimia. Materi yang bersifat abstrak ini dapat diatasi dengan salah satu
manfaat media yaitu mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu (Arsyad A, 2014).
Setelah itu juga dilakukan wawancara terhadap siswa dan menghasilkan bahwa siswa
sering menggunakan smartphone. Oleh karena itu sesuai dengan fungsi media sebagai alat
bantu belajar yang memungkinkan siswa belajar secara mandiri sesuai dengan bakat
kemampuan visual, audiotori dan kinestetiknya ini dapat menjadi peluang yang baik jika
pembelajaran dapat dilakukan dengan media pembelajaran menggunakan metode permainan
(Rusman, 2013). Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Osman, dkk (2012)
biasanya penggunaan smartphone ditujukkan untuk internet browsing, email, blogging dan
games. Hasil penelitian tersebut menunjukkan juga bahwa Mobile games menjadi tujuan
penggunaan tertinggi. Konsep ikatan kimia adalah materi yang perlu dan penting untuk
dibuat permainan karena kesulitan dan faktor kelupaan siswa dalam konsep ikatan kimia
diharapkan dapat diatasi dengan penggunaan media permainan yang dapat digunakan
dimanapun dan kapanpun. Selain itu menurut penelitian yang dilakukan oleh Haris, dkk
(2013) siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep ikatan kimia, terutama dalam
hal, menentukan senyawa yang memiliki ikatan ion, menentukan rumus senyawa yang
terbentuk dan jenis ikatannya, menentukan kemampuan suatu unsur yang diketahui nomor
atomnya, menentukan pasangan unsur yang dapat membentuk ikatan ion dan pasangan
golongan unsur yang dapat membentuk ikatan kovalen. Seringnya siswa yang menggunakan
Smartphone yang menandakan kemajuan teknologi menjadikan siswa awal SMA cocok
sebagai pengguna media pembelajaran berbasis game android.
Hal yang penting dalam persiapan pembuatan media adalah bagaimana mengatur
batasan hardware dan software yang merupakan batasan minimal dari suatu media dapat
dijalankan pada suatu sistem komputer ataupun smartphone. Sebagai contoh dalam segi
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

674
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

hardware RAM minimal pada media ini adalah 500 Mb sehingga aplikasi ini tidak bisa
digunakan atau mengalami hambatan jika digunakan di smartphone dengan rame dibawah ini,
selain itu dalam segi software sistem operasi android minimal adalah android 4.0 (ICS) maka
hanya bisa digunakan pada smartphone dengan sistem operasi android 4.0 (ICS), android 4.2
(Jelly Bean), android 4.4 (Kitkat) dan sistem android diatasnya.
Selanjutnya panduan gaya dalam sebuah media juga diperlukan, seperti menulis skripsi
ini dibutuhkan suatu aturan yang mengatur jenis font, ukuran font, jarak margin kiri, kanan,
atas bawah, dan seterusnya. Pada media juga sama yaitu dibutuhkan suatu aturan standar yang
mengatur media agar dapat dilihat dan dibaca secara jelas oleh pengguna media. Panduan
gaya pada media ini misalnya adalah menggunakan jenis font Arial Rounded MT Bold,
warna didominasi warna kuning dan putih, sedikit warna oranye, dan background warna
hijau. Penggunaan font berjenis arial ini menyesuaikan dengan jenis huruf yang tak berkait
yang mempunyai sifat sederhana dan akrab yang memiliki keuntungan sangat mudah dibaca
(Hendratman, 2014). Penggunaan warna hijau background berwarna hijau ini sesuai dengan
psikologi warna hijau yang menjelaskan bahwa warna hijau mewakili warna alami yang
menenangkan pikiran, menetralisir mata dan merangsang kreatifitas (Hendratman, 2014).
Oleh karena itu penggunaan warna dan font disesuaikan agar berguna untuk menarik
perhatian siswa dan memfokuskan siswa.
Diperlukan beberapa persiapan sebelum merancang media pembelajaran yaitu mencari
animasi, gambar, dan audio dari sumber-sumber yang relevan. Sumber materi pada media ini
menggunakan dua sumber buku universitas dan 1 sumber buku sekolah SMA. Sumber visual
baik gambar dan animasi didapatkan dari sumber gratis ( free) dari internet dan bukan dari
hasil mencuri dari website yang berbayar. Hal ini dilakukan untuk menghindari dari plagiasi.
Adapun untuk sumber animasi selain didapat dari internet, juga dibuat dngan menggunakan
aplikasi Adobe Flash CS3. Aplikasi ini memungkinkan untuk menghasilkan animasi dengan
berbagai teknik dan untuk menghasilkan animasi pada media ini menggunakan teknik motion
tween dan motion guide (Maulana, 2014). Audio yang didapat dalam media ini berasal dari
sumber http://freesound yang bersifat gratis untuk mempermudah pengerjaan media karena
tidak mungkin audio diproduksi sendiri. Produksi audio sendiri dapat memerlukan waktu
yang lama dan biaya yang mahal.

Tahap Perancangan
Tujuan dari media pembelajaran ini tertuang dalam indikator pembelajaran. Indikator
pembelajaran dikembangkan menjadi konsep-konsep yang dimasukkan kedalam media
permainan. Tujuan ini dapat tercapai jika siswa memperoleh skor tertinggi (Rusman, 2013).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

675
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Selanjutnya dilakukan analisis tugas dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang


langkah-langkah yang ditempuh siswa untuk memahami konsep ikatan kimia secara utuh.
Alur dari analisis tugas dimulai dari siswa memahami konsep tentang konfigurasi elektron,
elektron valensi, struktur lewis, dan logam dan nonlogam. Selanjutnya siswa dihadapkan
dengan kosnsep ikatan kimia yang terdiri dari konsep ikatan ion, kovalen logam beserta soal-
soal yang disertakan, sehingga diharapkan siswa memahami konsep ikatan kimia secara
keseluruhan dengan urutan yang jelas.

Gambar 2. Alur Analisis Tugas


Analisis konsep adalah langkah selanjutnya setelah analisis tugas (task analysis) yang
berfungsi menjabarkan penjelasan dari analisis tugas. Analisis juga berisi tentang contoh dan
non contoh dari konsep yang dijabarkan. Dan diakhir dilakukan analisis intruksional yang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

676
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

bertujuan untuk mendapatkan pendekatan yang tepat bagi siswa mencapai tujuan dari
kompetensi dasar yang diinginkan.
Ikatan kimia adalah daya tarik-menarik antara atom yang menyebabkan suatu senyawa
kimia dapat bersatu (Brady, 1999). Konsep ikatan kimia dapat dirancang menjadi permainan
dengan memperhatikan urutan dari proses pembentukan ikatan kimia, sebagai contoh :
Buatlah senyawa dari unsur 11Na dan unsur 17Cl? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka siswa
membutuhkan beberapa data sebelum membentuk ikatan NaCl yaitu : konfigurasi elektron
dari Na : 2 8 1 dan Cl : 2 8 7, lalu didapat elektron valensi dari Na : 1 dan Cl : 7 lalu
digambarkan dengan struktur lewis Na : dan Cl : . Setelah itu ditentukan sifat
logam dan nonlogam dari unsur tersebut yang berhubungan dengan kemampuan atom untuk
melepas atau menerima elektron. Ketiga konsep dasar ini dijadikan awal permainan dalam
media ini yang bertujuan untuk membiasakan pengguna sebelum membentuk ikatan kimia.

Gambar 3. Analisis Konsep

Permainan biasanya mengharuskan siswa atau pemelajar untuk menggunakan


keterampilan menyelesaikan masalah, kemampuan memberi solusi atau memperlihatkan
penguasaan atas konten spesifik yang mengharuskan tingkat akurasi dan efisiensi tinggi
(Smaldino, 2011). Oleh karena itu, pada proses selanjutnya siswa dihadapkan dengan
bagaimana terbentuknya ikatan ion dan ikatan kovalen, pada tahap ini siswa dapat melihat
instruksi yang sudah ada dalam permainan dan membandingkan perbedaan antara ikatan ion
dan ikatan kovalen. Perbedaan inilah yang menghasilkan pola yang akan dimanfaatkan untuk
menyelesaikan soal-soal berikutnya yang berhubungan dengan ikatan ion dan ikatan kovalen.
Moursund mengatakan bahwa dengan melakukan permainan siswa akan mulai mengenali
pola yang ada pada situasi tertentu (Smaldino, 2011). Pola dari perbedaan antara ikatan ion
dan kovalen adalah dalam bentuk interaksi dengan media, misalnya NaCl mempunyai pola
sentuh pada elektron Na yang cenderung melepas lalu sentuh pada elektron Cl yang
cenderung menarik elektron sedangkan pada ikatan kovalen pola yang disentuh adalah nama
unsurnya.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

677
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Media permainan ini berbeda dengan permainan pada komputer dan smartphone
umumnya, media permainan ini tidak memiliki karakter yang dapat dimainkan namun si
pengguna atau siswa langsung sebagai karatkternya. Media permainan ini merupakan
pendamping guru dalam melakukan proses pembelajaran terutama untuk mengevaluasi siswa
pada konsep ikatan kimia.
Aturan permainan dalam media ini adalah menjawab pertanyaan dengan memberi
respon, mencari pasangan dan membentuk sebuah senyawa (Darmawan, 2011). Jika respon
siswa benar atau berhasil menuntaskan tiap tahap permainan yang disediakan, maka program
akan menuju pada proses pembelajaran berikutnya, namun apabila respon siswa salah atau
gagal maka akan kembali ke menu permainan dimana siswa bisa mengulang dan atau memilih
proses pembelajaran berikutnya (Darmawan, 2011)
Media permainan kimia ini memiliki sifat kompetitif yaitu mengharuskan siswa
menjawab pertanyaan-pertanyaan melalui respon terhadap media dengan memperhatikan
kesempatan atau waktu yang telah ditetapkan (Rusman, 2013) . Siswa hanya mempunyai tiga
kesempatan dan waktu sesuai dengan tingkat kesulitan pertanyaan yang diberikan.
Pembelajaran konsep ikatan kimia diatas terintegrasi dengan simulasi proses
pembentukan ikatan kimia, dan ini merupakan ciri tersendiri yang membedakan media ini
dengan media permainan lain. Simulasi dalam media ini ditujukan agar siswa selain bermain
namun juga melihat proses terbentuknya ikatan kimia. Permainan, simulasi dan pengajaran
merupakan konsep yang terpisah. Tetapi, mereka bisa di baurkan menjadi satu yaitu
permainan, pengajaran dan simulasi (ISG) (Smaldino, 2011).
Keuntungan media permainan dapat menciptakan suasana belajar yang efektif karena
siswa dapat menggunakan media permainan ini dimanapun dan kapanpun, keterlibatan siswa
dalam belajar lebih cepat dengan permainan, permainan disederhanakan agar sesuai dengan
tujuan belajar, dan permainan ini bisa menjadi cara efektif mendapatkan perhatian siswa
(Smaldino, 2011).
Media permainan ini menggabungkan dari beberapa media seperti grafis dan audio.
Gambar-gambar pendukung maupun gambar dari konsep ikatan kimia dalam media
permainan yang termasuk salah satu media grafis bertujuan untuk menarik perhatian siswa,
memperjelas sajian ide, mengilustrasikan atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat
dilupakan atau diabaikan bila hanya berupa kata-kata saja (Sadiman, 1996). Misalnya saja
gambar pendukung berupa professor bertujuan memperkuat sajian grafis agar siswa tidak
merasa bosan dengan judul ataupun isi materi dari media permainan, animasi berupa kartun
menarik dan cepat dibaca bagi anak-anak dari berbagai usia (Smaldino, 2011). Gambar

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

678
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

utama juga berupa animasi yang dapat memperjelas fakta tentang proses pembentukan ikatan
kimia .
Karena media permainan ini terintegrasi dengan simulasi maka penggunaan warna yang
sesuai akan menarik perhatian dan memfokuskan siswa (Rusman, 2013). Siswa menanggapi
bahwa media ini sudah memunyai warna yang sesuai. Warna yang sesuai dengan media harus
memperhatikan kekontrasan (antara gambar atau font yang digunakan) keharmonisan dan
keserasian warna.
Langkah terakhir dari tahap perancangan adalah membuat flowchart dan storyboard.
Jika flowchart menggambarkan alur dari jalannya program, maka storyboard menggambarkan
antarmuka dari sebuah media yang akan dibuat. Selama perancangan storyboard biasanya
terdapat beberapa kesalahan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu perlu adanya revisi
storyboard yang dapat membantu proses produksi media pembelajaran.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

679
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 4. Flowchart dan Storyboard

Tahap Pengembangan Media


Media diproduksi dengan memadukan beberapa langkah pembuatan dengan
menggunakan tiga aplikasi, yaitu : Adobe Photoshop CS3 untuk membuat gambar yang di-
eksport menjadi format .png, Adobe Flash Player CS3 untuk membuat beberapa animasi,
dan Unity untuk menyatukan semua komponen gambar, audio, animasi dan membuat
sebagian besar pergerakan animasi pada babak 2. Pengoperasian ketiga aplikasi ini
dilaksanakan secara bersama seiring dengan pembuatan game yang nantinya akan di-
build/dijadikan aplikasi berformat .apk untuk android.
Proses pengembangan setelah produksi media adalah tes alpa dan tes beta, tes ini akan
memberikan hasil final dari sebuah media yang dikembangkan. Tes alpa terhadap media
dilakukan oleh 4 orang expert dan 1 orang guru SMA. Instrumen tes dari tes alpa mengikuti
lembar evaluasi model desain dan pengembangan dari Alessi & Trollip lalu dipisahkan
menjadi dua lembar alpha test yaitu berkaitan dengan materi dan media. Lembar alpha test
berkaitan dengan materi diberikan kepada expert materi dan lembar alpha test yang berkaitan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

680
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dengan media diberikan kepada expert media. Ada dua pilihan dalam lembar alpha test yang
harus dipilih, apabila materi atau media dapat diterima maka kolom komentar dikosongkan,
namun apabila materi atau media perlu perubahan maka kolom komentar diisi dengan
masukkan untuk perubahan (Alessi, 2001). Tes ini dilakukan sebagai upaya untuk
mendapatkan informasi tentang kelemahan yang terdapat dalam media yang sedang
dikembangkan dengan meminta pendapat para ahli. (Warsita, 2008)
Empat orang expert memberikan hasil tes alpa pertama yang bervariasi yaitu 78,94%,
84,21%, 87,50% dan 50% dan menghasilkan perubahan yang dapat dilihat pada hasil revisi
hal . Berbagai kelemahan inilah yang akan dijadikan dasar untuk melakukan revisi (Warsita,
2008). Tes alpa selanjutnya dilakukan oleh guru yang menghasilkan 100%. Selanjutnya
setelah dilakukan revisi dilakukan tes alpa yang kedua untuk mendapatkan hasil valid dari
materi dan media dan didapatkan hasil 100% yang berarti media sudah dapat digunakan.
Dari tes tersebut ditemukan beberapa saran dan komentar dari kelima validator yang bersifat
membangun dan saling melengkapi.

Gambar 5. Revisi Media


Setelah revisi dilaksanakan maka dilakukan tes beta yang ditujukkan kepada pengguna
media yaitu 3 orang siswa yang sebelumnya sudah dipilih, yang terdiri dari siswa di bawah
rata-rata, siswa di atas rata-rata dan siswa rata-rata. Kegiatan yang dilakukan terhadap ketiga
siswa tersebut yang pertama adalah dilakukan pre test yang bertujuan untuk memastikan
pengetahuan awal dari konsep ikatan kimia (Alessi, 2001). Pre test ini mendapatkan hasil
yang sesuai dengan prasyarat dan ketiganya adalah siswa yang bagus untuk tes beta karena
tidak begitu familiar dengan media pembelajaran permainan berbasis android (Alessi, 2001).
Kegiatan observasi dilakukan dengan merekam siswa saat memainkan media dan dibuat
catatan tentang apa yang terjadi di kondisi nyata (Alessi, 2001).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

681
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 1. Hasil Observasi


Hasil observasi
1. Siswa selalu memperhatikan media
2. Siswa berinteraksi terhadap media
3. Siswa merasa rileks dan tidak bosan

Pada saat diberikan media permainan yang sudah diproduksi dapat diamati bahwa
siswa selalu memperhatikan media yang sedang dimainkan, bahkan jarang sekali fokus siswa
teralihkan dengan yang lain. Hal ini berarti siswa secara tidak sengaja dituntut untuk
memberikan perhatian terhadap semua rangkaian yang mengarah ke arah pencapaian tujuan
belajar (Rusman, 2013). Siswa berinteraksi terhadap media, ini dapat dilihat dengan siswa
memberikan feedback terhadap media dan diberikan balikan oleh media berupa skor apabila
siswa menjawab dengan benar. Prilaku siswa yang seperti ini dapat diharapkan mewujudkan
keaktifan siswa untuk belajar (Rusman, 2013) dan yang ketiga siswa merasa rileks dan tidak
merasa bosan belajar dengan menggunakan media permainan, ini terlihat saat siswa tersenyum
di beberapa kesempatan. Dengan kondisi ini, siswa tidak akan mengalami kelelahan dalam
belajar karena materi yang disampaikan dengan media permainan ini seperti main games pada
umumnya (Darmawan, 2011).
Selain dari observasi dilakukan wawancara terhadap siswa untuk menanyakan tentang
kekurangan yang masih terdapat dalam media permainan ini.
a) memotivasi belajar, karena permainannya bagus (FA)
b) gaya bahasa cukup bagus dan mudah dimengerti (LH)
c) gambarnya menarik dan tidak membosankan (MAB)
d) mudah memahami isi/materi (LH)
Dari hasil yang dikemukakan tersebut siswa mengatakan hal yang positif terhadap
media permainan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam wawancara disesuaikan
dengan item pada lembar tes alpa yang bertujuan untuk menilai media yang diarahkan kepada
permasalahan yang sudah diperbaiki pada tes alpa saja. Jika item yang digunakan untuk
wawancara bersifat luas atau menggali dari pendapat siswa maka akan mempersulit dalam hal
mendesain dan memprogram karena harus menampung banyak masukan atau pendapat.
(Alessi, 2001).
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dapat dilihat bahwa terdapat empat faktor
psikologis dalam belajar yang disadar maupun tidak disadari oleh siswa. Pertama, adanya
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

682
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

motivasi untuk belajar yaitu keinginan atau dorongan untuk belajar setelah menggunakan
media permainan (A.M, Sardiman, 2003). Kedua, siswa konsentrasi belajar yaitu memusatkan
segenap perhatian pada suatu situasi belajar, dalam hal ini siswa jarang sekali terlihat
memalingkan perhatiannya ke sesuatu yang lain selain media permainan yang digunakan
(A.M, Sardiman, 2003). Ketiga, adanya reaksi yaitu siswa aktif terlibat dalam baik unsur
fisik dan mental, ini terlihat siswa memberikan respon terhadap media dengan menggunakan
kedua tangannya dan sesekali siswa tersenyum saat menggunakan media (A.M, Sardiman,
2003). Keempat, siswa memahami materi pembelajaran melalui media permainan dan
ditunjukkan dengan peningkatan nilai siswa (A.M, Sardiman, 2003).
Pada akhir pertemuan dilakukan pos tes untuk melihat pengaruh setelah menggunakan
media dan dihasilkan nilai siswa dibawah rata-rata meningkat menjadi 60, nilai siswa rata-rata
meningkat menjadi 55 dan nilai siswa di atas rata-rata meningkat menjadi 80. Hal ini
menunjukkan secara umum bahwa media ini berpengaruh positif terhadap nilai siswa. Hasil
ini sejalan dengan tanggapan siswa saat wawancara yang menjadikan media permainan ini
bernilai. Media permainan ini membiasakan siswa terlibat dalam situasi menang atau kalah
yang meminta memperaktikkan kemampuan untuk mengetahui atau dalam proses
perkembangan (Darmawan, 2011). Keterikatan siswa seperti ini yang membuat siswa
termotivasi untuk belajar. Motivasi belajar siswa dapat timbul beberapa diantaranya karena
media mempunyai bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di
sekolah, yaitu memberi angka atau skor setiap siswa menjawab soal-soal yang terdapat dalam
media, mempunyai sistem kompetisi yang dapat mendorong belajar siswa, memberikan
ulangan-ulangan yang membuat siswa dapat mengingat kembali saat lupa konsep, langsung
memberikan hasil angka atau skor apabila siswa selesai menjawab soal-soal dan mempunyai
tujuan yang diakui berupa indikator pembelajaran (A.M, Sardiman, 2003).

Penutup
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan media pembelajaran mobile game
android pada konsep ikatan kimia. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai
pengembangan media pembelajaran mobile game Android pada konsep ikatan kimia, dapat
disimpulkan bahwa media pembelajaran mobile game Android pada konsep ikatan kimia
dapat dikembangkan dengan tiga tahap Design and Development (DnD), yaitu tahap
perencanaan (Planning), perancangan (Design) dan pengembangan (Development) sehingga
dihasilkan media pembelajaran mobile game android pada konsep ikatan kimia dapat
membantu dan mengevaluasi siswa dengan sepesifikasi menggunakan smartphone android
dengan sistem operasi minimal Android 4.0 (Ice Cream Sandwich), memory space minimal
100 Mb, RAM minimal 500 Mb Processor minimal 1 Ghz, layar 4 sampai 5 inches,
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

683
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

terintegrasi dengan simulasi terbentuknya ikatan kimia dengan pendekatan media yang
mengkonstruk pemikiran siswa.

Daftar Pustaka

A.M, Sardiman. (2003). Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Alessi & Trollip. (2001). Multimedia for Learning : Methods and Development. Massachusetts : A
Pearson Education Company
Arsyad Azhar. (2014). Media Pembaelajaran. Depok : PT Rajafindo Persada
Brady, James E. (1999). Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta : Binarupa Aksara
Darmawan, Deni. (2011). Teknologi Pembelajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Haris, Muntari & Loka. (2013) Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kimia Dengan Model
Pembelajaran Kooperatif Terpadu Numberd Head Together Dan Two Stay Two Stray
Dalam Upaya Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Kelas X Sma Memahami Konsep-
Konsep Kimia. Jurnal Pijar MIPA, 9(1)
Hendratman, Hendi. (2014). Computer Graphic Design. Bandung : Informatika Bandung
Kurniawan, Budi. (2015). Pengembangan Media Pembelajaran Kimia Berbasis Mobile Learning pada
materi Reaksi Reduksi Oksidasi. (Skripsi). Jakarta : UIN JKT
Munadi, Yudhi. (2012). Media Pembelajaran. Jakarta : Gaung Persada (GP) Press
Osman, dkk. (2012). A Study of the Trend of Smartphone and its Usage Behavior in Malaysia .
Jurnal IJNCAA, 2(1), hlm. 283-284
Prasetyo, Yogo Dwi. (2012). Pengembangan Mobile Game “Brainchemist” Sebagai Media
Pembelajaran Kimia SMA/MA Pada Materi Asam Basa, Larutan Penyangga, Dan
Hidrolisis Garam. (Skripsi). UNY, Yogyakarta, hlm. 6
Rusman. (2013). Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komuter. Bandung : Alfabeta
Smaldino, Lowther & Russell. (2012) Instructional Technology & Media For Learning : Teknologi
Pembelajaran dan media Untuk Belajar. Jakarta : Kencana
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
Warsita, Bambang. (2008). Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasinya. Jakarta : PT
Rineka Cipta.
.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

684
Suhar Janti, Muhamad Fadillah
AMIK BSI Jakarta
e-mail: suharjanti@bsi.ac.id, justfadhil0505@gmail.com
Abstract. Protection of employment opportunities for persons with disabilities (difable) is recognized in Law
no.13 Th.2003 Article 5 of the Manpower Act stipulates that "Employers shall employ at least 1 (one) person
with a disability who meets the requirements and qualifications of employment of the enterprise for every 100
(one hundred) workers on his company ". This is the basis for creating a web-based application program that
can be a forum for job seekers with disabilities, but it can also be a bridge of communication between
employers and job seekers in this case the difable society. The application of LOKERDIFA (Job Vacancy
Difable) uses waterfall method and business design tool using UML (Unifed Modeling language) which
include usecase diagram, activity diagram, user interface, ERD (Entity Relational Diagram), LRS (Logical
Relational Diagram) and tools web design with PHP, design view with CSS, for database using MSql (My
Structure Query Language).

Keywords: LOKERDIFA, web, waterfall, UML

Abstrak. Perlindungan kesempatan bekerja bagi penyandang disabilitas (difable) diakui dalam UU No. 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yaitu dalam pasal 5 dan secara tegas dalam pasal 28 UU ketenagakerjaan
yang menyatakan “Pengusaha harus mempekerjakan sekurang – kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat
yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan pada perusahaan untuk setiap 100 (seratus) orang
pekerja pada perusahaannya ”. Hal ini menjadi landasan untuk mebuat sebuah aplikasi program berbasis web
yang dapat menjadi wadah para pencari kerja penyandang disabilitas, selain itu juga dapat menjadi jembatan
komunikasi antara penyedia kerja dan para pencari kerja dalam hal ini para kaum difable. Pembuatan aplikasi
LOKERDIFA (Lowongan Kerja Difable) ini menggunakan metode waterfall dan alat perancangan bisnisnya
menggunakan UML (Unifed Modelling language) yang diantaranya meliputi usecase diagram, activity
diagram, user interface, ERD (Entity Relational Diagram), LRS (Logical Relational Diagram) dan alat
perancangan web dengan PHP, desain tampilan dengan CSS, untuk basis data menggunakan MSql ( My
Structure Query Language).

Kata Kunci: LOKERDIFA, web, waterfall, UML

Pendahuluan
Di dunia ini tidak ada seorangpun yang menginginkan terlahir sebagai seorang
penyandang disabilitas (difable), entah itu dikarenakan kecelakaan, penyakit, atau takdir dari
Allah SWT yang mengharuskan seseorang menjalani hidup dengan ketidaksempurnaan.
Sayangnya sebagian masyarakat masih memandang sebelah mata terhadap penyandang
disabilitas (difable) yang dinilai tidak mampu bekerja, sehingga tidak mengherankan tidak
sedikit penduduk Indonesia penyandang disabilitas ( difable) yang kesulitan mendapatkan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pekerjaan di perusahaan–perusahaan. Mereka memiliki kesempatan yang sangat terbatas


untuk dipekerjakan dibandingkan dengan warga Negara Indonesia non disabilitas.
Namun pada kenyataannya sudah banyak komunitas disabilitas yang mengadakan
berbagai pelatihan untuk meningkatkan keahlian kerja di segala bidang untuk mendapatkan
hak pekerjaan yang sama dengan pekerjan non–disabilitas. Pada dasarnya perlindungan
kesempatan kerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas (difable) diakui dalam UU No. 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yaitu dalam pasal 5 dan secara tegas dalam pasal 28
UU ketenagakerjaan yang menyatakan “Pengusaha harus mempekerjakan sekurang–
kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi
pekerjaan pada perusahaan untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja pada perusahaannya ”.
Atas dasar identifikasi masalah yang telah dipaparkan diatas, maka penulis mencoba
mengimplementasikan solusi dari masalah yang dijabarkan dalam bentuk website yang
bertujuan untuk memfasilitasi mereka(difable) dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan
kondisi mereka(difable). Tentunya fasilitas pencarian kerja juga melibatkan perusahaan-
perusahaan yang merupakan penyedia lapangan pekerjaan yang dapat mendaftarkan dan
menginformasikan lapangan pekerjaan yang disediakan.
Dengan adanya wadah yang menjembatani antara pencari kerja disabilitas dengan
perusahaan yang mendaftarkan dirinya kemudian akan terjadi pertukaran informasi pada
website yang akan penulis buat diharapkan dapat membantu memperbesar peluang
mereka(difable) memperoleh pekerjaan dan pada sisi perusahaan dapat mendapatkan calon
pekerja yang sesuai spesifikasi.
Untuk mewujudkan rencana pengimplementasian lowongan kerja untuk kaum
disabilitas (LOKERDIFA) maka penelitian ini menggunakan sebuah metode waterfall yang
secara umum digunakan untuk merancang sebuah sistem yang khususnya meliputi analisa,
desain dan pengujian. Sedang alat proses bisnis yang digunakan adalah Unified Modeling
Language (UML) diantaranya memakai usecase diagram, activity diagram, user interface,
ERD (Entity Relational Diagram), LRS (Logical Relational Diagram).
Dengan adanya penelitian mengenai pembangunan sistem LOKERDIFA ini
diharapkan bisa dijadikan wawasan baru dengan semangat baru untuk dapat merealisasikan
sistem ini dan dapat digunakan untuk memudahkan para disabilitas untuk mencari lowongan
pekerjaan yang sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Dan juga bagi para penyedia pekerjaan
dapat dengan mudah mendapat para calon penerima kerja khususnya para disabilitas yang
akan membantu perusahaan tersebut untuk merealisasikan kewajiban para perusahaan yang
harus memperkerjakan para disabilitas di perusahaan mereka.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

686
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Metode
Waterfall model
“Model waterfall menyediakan pendekatan alur hidup perangkat lunak secara
sekuensial atau terurut mulai dari analisis kebutuhan, perancangan sistem dan perangkat
lunak, serta implementasi dan pengujian unit.”( Sommerville, 2011)
Metode yang digunakan pada pengembangan perangkat lunak ini menggunakan model
waterfall, yaitu (Winahyu dkk,2017):
1. Analisis Kebutuhan dan Definisi (Requirement Analysis and Definition),
mengumpulkan apa yang dibutuhkan secara lengkap untuk kemudian dianalisis
guna mendifinisikan kebutuhan pengguna yang harus dipenuhi oleh program
yang akan dibangun. Tahapan ini harus dikerjakan dengan lengkap untuk
menghasilkan desain yang lengkap.
2. Sistem dan Desain Perangkat Lunak (System and Software Design), apa yang
dibutuhkan telah selesai dikumpulkan dan sudah lengkap maka desain kemudian
dikerjakan.
3. Implementasi dan Pengujian Unit (Implementation and Unit Testing), desain
program diterjemahkan dalam kode-kode dengan menggunakan bahasa
pemrograman yang sudah ditentukan. Program yang dibangun langsung diuji
secara unit, apakah sudah bekerja dengan baik.
4. Integrasi dan Pemgujian System (Integration and System Unit), penyatuan unit-
unit program untuk kemudian diuji secara keseluruhan.
5. Operasi dan Pemeliharaan (Operating and Maintenance), program
dilingkungannya dan melakukan pemerliharaan, seperti penyesuaian atau
perubahan untuk adaptasi dengan situasi yang sebenarnya.

Sumber: Sommerville (2011)

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

687 Water Fall


Gambar 1. Model
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Untuk pembahasan yang diambil dalam prosedur yang ada pada waterfall yakni analisa
kebutuhan, dan desain sistem serta purwarupa(prototype) dari rancangan antar muka (user
interface).

UML (Unified Modeling Language)


Dalam perancangan bisnis teknik UML ini sudah dikenal sebagai himpunan struktuk
dan teknik untuk pemodelan desain program untuk mendukung pengembangan
sistem(Kroenke,2005)
Use case adalah cara formal yang menggambarkan bagaimana sebuah sistem bisnis
berinteraksi dengan lingkungannya (Dennis, 2005).
Activity Diagram adalah Alur bisnis yang dirancang dalam bentuk diagram, dapat
dilihat dari segi prosedur bisnis yang harus dilakukan dan dapat dilihat dari masing-masing
pengguna program aplikasi (Janti, 2017).
Entity Relationship Diagram (ERD) atau Diagram E-R digunakan untuk
menggambarkan secara sistematis hubungan antar entity-entity yang ada dalam suatu system
database menggunakan symbol –simbol sehingga lebih mudah dipahami (Yuhefizar, 2008).
LRS (Logical Record Structure) adalah representasi dari struktur record-record pada
tabel-tabel yang terbentuk dari hasil antar himpunan entitas (Dhanta, 2009) .Dibentuk
dengan nomor dari tipe record. Beberapa tipe record digambarkan oleh kotak empat persegi
panjang dan dengan nama yang unik. Perbedaan LRS dan ERD adalah nama dan tipe record
berada diluar field tipe record di tempatkan. LRS terdiri dari link-link diantara tipe record.
Link ini menunjukkan arah dari satu tipe record lainnya. Banyak link dari LRS yang diberi
tanda field-field yang kelihatan pada kedua link tipe record. Penggambaran LRS mulai
dengan menggunakan model yang dimengerti. Dua metode yang digunakan, dimulai dengan
hubungan kedua model yang dapat dikonversikan ke LRS. Metode lain yang di mulai dengan
ERD dan langsung dikonversikan ke LRS.
Testing adalah sebuah proses yang diejawantahkan sebagai siklus hidup dan
merupakan bagian dari proses rekayasaperangkat lunak secara terintegrasi demi memastikan
kualitas dari perangkatlunak serta memenuhi kebutuhan teknis yang telah disepakati dari
awal. Pada penelitian ini jenis pengujian web yang dilakukan dengan menggunakan Black Box
Testing.
Black Box Testing adalah tipe testing yang memperlakukan perangkat lunak yang tidak
diketahui kinerja internalnya. Sehingga para tester memandang perangkat lunak seperti

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

688
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

layaknya sebuah “kotak hitam” yang tidak penting dilihat isinya, tapi cukup dikenai proses
testing di bagian luar (Rizky, 2011).
“Jenis testing ini hanya memandang perangkat lunak dari sisi spesifikasi dan kebutuhan
yang telah didefinisikan pada saatawal perancangan. Sebagai contoh, jika terdapat sebuah
perangkat lunak yang merupakan sebuah sistem informasi inventory di sebuah perusahaan.
Maka pada jenis White Box Testing, perangkat lunak tersebut akan berusaha dibongkar
listing programnya untuk kemudian dites menggunakan teknik-teknik yang telah dijelaskan
sebelumnya. Sedangkan pada jenis Black Box Testing, perangkat lunak tersebut akan
dieksekusi kemudian berusaha dites apakah telah memenuhi kebutuhan pengguna yang
didefinisikan pada saat awal tanpa harus membongkar listing programnya” (Winahyu dkk,
2017).

Hasil dan Pembahasan


Pada bagian pembahasan ini akan di bahas rancang bangun dari proses program bisnis
dari penerapan LOKERDIFA yakni:
Analisa Kebutuhan
Dalam pembuatan website dibutuhkan suatu perancangan untuk mempermudah
urutan dalam pembuatan website. Berikut penjelasan analisa kebutuhan dalam pembuatan
website ini.
1. Kebutuhan Pengunjung
Dalam website ini terdapat 3 pengguna yang saling berinteraksi dalam lingkungan
sistem, yaitu: user, member, dan admin. Ketiga pengguna tersebut memiliki karakteristik
interaksi dengan sistem yang berbeda – beda dan memiliki kebutuhan informasi yang juga
berbeda – beda seperti berikut:
a. Skenario Kebutuhan User (Perusahaan)
1) Diarahkan menuju halaman beranda user.
2) Dapat melihat halaman daftar lowongan yang aktif.
3) Dapat mendaftar jika ingin menjadi member.
4) Dapat melihat halaman penyedia kerja, yang ditujukan untuk user sebagai
pihak perusahaan yang mencari informasi untuk dapat memposting
lowongannya.
5) Dapat melihat halaman tentang kami yang berisikan maksud dan tujuan
website ini dibuat.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

689
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

b. Skenario Kebutuhan Member


1) Setelah berhasil login member diarahkan menuju halaman beranda member.
2) Member dapat melihat lowongan aktif, melihat detail lowongan, dan melamar
lowongan jika sudah melengkapi profil member.
3) Dapat mengakses halaman profil untuk melengkapi data diri member dan
meng-upload foto dan cv yang bersifat wajib.
4) Dapat merasakan fasilitas halaman rekomendasi loker dimana sistem akan
memilih lowongan yang aktif berdasarkan lokasi member dan menyajikannya
untuk member pilih.
5) Dapat melihat halaman tentang kami yang berisikan maksud dan tujuan
website ini dibuat.
c. Skenario Kebutuhan Admin
1) Setelah admin berhasil login admin akan diarahkan ke beranda admin.
2) Terdapat dua tipe admin yaitu; super admin dan admin, dimana perbedaannya
tampak setelah berhasil login hanya admin yang bertipe super admin yang
dapat mengakses halaman manajemen admin.
3) Admin dapat menambah, mengedit, mengupdate, menghapus, mengaktifkan,
dan nonaktifkan data admin pada halaman manajemen admin.
4) Admin dapat mengedit, mengupdate, menghapus, mengaktifkan, dan
nonaktifkan datamember pada halaman manajemen member.
5) Admin dapat menambah, mengedit, mengupdate, dan menghapus data
perusahaan pada halaman manajemen perusahaan.
6) Admin dapat menambah, mengedit, mengupdate, dan menghapus data
lowongan pada halaman manajemen lowongan.
7) Admin dapat menambah, mengedit, mengupdate, dan menghapus data
kategori pada halaman manajemen kategori.
8) Admin dapat mencetak laporan data admin, data member, data perusahaan,
data lowongan aktif, data kategori, dan data lamaran yang masuk berdasarkan
periode.
9) Admin dapat mendownload cv pelamar dan dapat mengirimkan kumpulan
lamaran yang masuk ke perusahaan terkait berdasarkan kategori lowongan.
2. Kebutuhan Sistem
a. User yang ingin menjadi member diharuskan melakukan pendaftatran pada
halaman daftar.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

690
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

b. Sebelum member melamar lowongan yang aktif diwajibkan untuk melengkapi


data diri pada halaman profil.
c. Sistem akan menghapus lowongan aktif yg masa tayangnya telah habis.
d. Member diharuskan logout setelah menggunakan website ini

Usecase Diagram
Berikut usecase diagram dari masing-masing pengguna:
1. Usecase diagram untuk member

Login
Lihat detail loker

Data loker
Isi profil
member
Dokumen
Lamar loker

Lamar loker
Logout

Gambar 2. Usecase Diagram Member

2. Usecase diagram untuk admin


Login lihat

edit
Manajemen
admin lihat
tambah
Manajemen
edit
member

unggah tambah
lihat

Manajemen edit
admin loker
lihat
tambah

Manajemen edit
perusahaan

lihat tambah

Manajemen edit
kategori
tambah

Laporan
Logout
admin

Laporan
member
Lihat & Cetak
laporan
Laporan
perusahaan

Laporan
Loker aktif

Gambar 3. Usecase diagram Admin

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

691
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2. Usecase diagram untuk penyedia loker

Login
Lihat detail loker

Data loker
Isi data loker
penyedia loker
Dokumen
pelamar loker

Lamar loker
Logout

Gambar 4. Usecase Diagram Penyedia Loker

Activity Diagram
Alur bisnis dapat dilihat dari rancangan activity diagram berikut:
1. Activity diagram pengelolaan member

LOGIN

Belum daftar
Pendaftaran Member

Sudah daftar

Rekomen loker
Isi biodata diri

Lihat Detail Lowongan

Simpan data

Pilih Lowongan

Simpan Data lamar

Gambar 5. Activity Diagram Pengelolaan Member

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

692
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2. Activity Diagram Pengelolaan Laman Admin

LOGIN

Belum
terdaftar
Input admin baru
Sudah
terdaftar

manaj data member


Isi biodata admin

Edit data

Tambah data

manaj perusahaan

edit data

tambah data
manaj lowongan
Simpan data

edit data

tambah data

manaj kategori

edit data

tambah data

Laporan admin
manaj laporan

Laporan member Cetak

Pilih laporan Laporan perusahaan

Laporan lowongan

Laporan kategori

Gambar 6. Activity Diagram Pengelolaan Laman Admin

3. Activity diagram pengelolaan perusahaan

Login

Belum daftar
Pendaftaran perusahaan

Sudah daftar

Isi Info lowongan


Isi profil perusahaan

Tarik data pelamar

simpan data

Gambar 7. Activity Diagram Pengelolaan Perusahaan

Desain Data Base


Dalam perancangan database yang digunakan terdiri dari Entity Relationship Diagram
(ERD) data model dan Logical Record Structure (LRS), seperti yang tercantum pada
gambar berikut:
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

693
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

1. ERD Lokerdifa

Gambar 8. ERD lokerdifa

2. LRS lokerdifa

Gambar 9. LRS Lokerdifa

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

694
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

User Interface
Implementasi user interface pada sistem inventory meliputi:
1. Laman Beranda

Gambar 10. Laman Beranda

2. Laman Member

Gamba 11. Laman Member

3. Laman Admin

Gambar 12. Laman Admin


Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

695
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

4. Laman Manajemen Admin

Gambar 13. Laman manajemen Admin

5. Laman Manajemen Perusahaan

Gambar 14. Laman Manajemen Perusahaan

6. Laman Manajemen Lowongan

Gambar 15. Laman Manajemen Lowongan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

696
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

7. Laman Manajemen Kategori

Gambar 16. Laman Manajemen Kategori

8. Laman Manajemen Laporan

Gambar 17. Laman manajemen Laporan

Penutup
Simpulan
Sistem informasi lowongan kerja berbasis web bagi kaum disalibilitas (LOKERDIFA)
ini merupakan salah satu wujud solusi untuk memudahkan para pencari pekerjaan tersebut.
Dengan adanya fasilitas ini memungkinkan banyaknya informasi yang didapat untuk
menentukan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian para kaum disabilitas dalam bersaing
dalam dunia pekerjaan dalam suatu perusahaan. Dan juga memudahkan bagi perusahaan
untuk memenuhi kewajiban mereka terhadap kaum disabilitas untuk dapat bekerja di
perusahaan mereka kepada Negara sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan yang
berlaku. Metode waterfall sangat berguna dan sesuai dengan perancangan sistem bisnis baik
program desktop maupun berbasis web, sehingga jelas apa yang menjadi kebutuhan para

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

697
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pengguna aplikasi web ini dan memenuhi semua informasi yang dibutuhkan baik para pencari
maupun penyedia pekerjaan.
Saran
Untuk aplikasi Lokerdifa ini membutuhkan realisasi yang nyata untuk berjalannya
sistem yang telah di rancang, hal ini membutuhkan kerjasama antara banyak pihak, mulai dari
kaum disabilitas yang bergabung dengan suatu komunitas, pihak perusahaan yang terbuka
dengan daya saing para calon pelamar pekerjaan yang ada serta pemerintah yang harus
menanggapi secara serius masa depan dari kaum disabilitas tersebut. Pembahasan penelitian
yang telah dilakukan untuk kedepannya dibutuhkan penelitian yang dapat mendeteksi
keberhasilan dari rancang bangun aplikasi web lokerdifa ini.

Daftar Pustaka

David M.Kroenke. 2005. Database Processing Jilid 1 edisi 9. Erlangga.


Dennis, A., Wixom, B. H., & Tegarden, D., (2005). System Analysis and Design with UML
Version 2.0 An Object-Oriented Approach (2nd ed). USA: John Wiley & Sons, Inc.
Dhanta, Rizky. 2009. Pengantar Ilmu Komputer. Surabaya: INDAH.
Janti, Suhar dan Susanti, Melan. 2017. Penerapan Sistem Inventory Sebagai Pemenuhan Kebutuhan
Informasi Antar Bagian Berbasis Web Dengan Incremental Model. Jurnal Bianglala
Informatika:50-56
Rizky, Soetam.2011. Konsep Dasar Rekayasa Perangkat Lunak. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sommerville, Ian. 2011. Software Engineering (Rekayasa Perangkat Lunak). Jakarta: Erlangga.
UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.: 01.KP.01.15.2002 tentang Penempatan
Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan
Yuhefizar. 2008. 10 Jam Menguasai Internet: Teknologi dan Aplikasinya. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

698
Intan Irawati
MAN 15 Jakarta
e-mail: Intan.irawati@yahoo.co.id

Abstrak. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kualitas item instrumen Ulangan Harian (UH) fisika
mengenai Usaha dan Energi sebelum digunakan lebih luas. Penelitian dilakukan pada 7 item UH yang
diberikan pada 25 siswa kelas XI MAN 15 Jakarta. Analisis dilakukan dengan bantuan perangkat lunak
ITEMAN. Hasil analisis memberikan rata-rata skor 5.8, median 6, dengan skor terendah 3 dan skor tertinggi
7. Adapun reliabilitas dan validitas instrumen ditunjukkan dengan nilai alpha 0,597 dan mean item total
0,620. Ukuran ini bermakna bahwa instrumen ini cukup valid dan reliabel untuk digunakan sebagai instrumen
yang mengukur kompetensi fisika siswa pada pokok bahasan Usaha dan Energi.

Kata Kunci: analisis item, fisika, instrumen, mutu

Pendahuluan
Penilaian, pengukuran dan evaluasi terhadap proses belajar mengajar merupakan hal
tak terpisahkan dalam dunia pendidikan. Kemampuan melakukan penilaian pembelajaran
harus dimiliki seorang guru untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar
siswa atau ketercapaian kompetensi siswa. Proses belajar mengajar yang di lakukan oleh guru
juga perlu senatiasa diperbaiki agar hasil yang diinginkan menjadi lebih baik. Komponen
proses yang perlu diperbaiki biasanya menyangkut kurikulum, metode, cara penilaian, media,
sistem administrasi, guru dan sebagainya. Penilaian biasa menjawab pertanyaan tentang sebaik
apa hasil atau prestasi belajar seorang siswa. Berbeda dengan pengukuran (measurement),
yang merupakan proses pemberian angka dari suatu tingkatan dimana seorang siswa telah
mencapai karakteristik tertentu maka pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau
penentuan nilai kuantitatif tersebut. Salah satu bentuk pengukuran yang dilakukan guru
adalah ulangan harian (UH). Biasanya guru mengukur ketercapaian kompetensi yang dikuasai
siswa per-KD (Kompetensi Dasar) sehingga siswa mengalami beberapa kali UH untuk setiap
mata pelajaran di setiap semesternya.
UH atau tes prestasi belajar lainnya merupakan salah satu alat pengukuran di bidang
pendidikan yang digunakan sebagai sumber informasi guna pengambilan keputusan. Tes
prestasi belajar berupa tes yang disusun secara terencana untuk mengungkap performansi
maksimal subyek dalam menguasai bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan (Azwar,
2005). Dalam kegiatan pendidikan formal di kelas, tes prestasi belajar dapat berbentuk

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

ulangan-ulangan harian, tes formatif, tes sumatif, dan ujian-ujian masuk perguruan tinggi.
Banyak sekali keputusan pendidikan yang diambil berdasarkan hasil tes prestasi belajar.
Alasan ini menempatkan tes prestasi belajar dalam beberapa fungsi dalam fungsi placement,
formatif, diagnostik dan sumatif. Wahyuningsih (2013) dalam makalahnya mengemukakan
tentang hasil tes diagnostik dapat digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pengajaran yang
lebih sesuai dengan kemampuan siswa sebenarnya, termasuk dalam mendeteksi kesulitan-
kesulitan belajarnya. Tes ini dilakukan apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar
peserta didik gagal dalam mengikuti proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu. Tes
semacam ini biasanya berisi materi yang dirasa sulit oleh siswa, namun tingkat kesulitan tes
ini cenderung rendah.
Suatu tes baru dapat dikatakan menjalankan fungsinya sebagai alat ukur bila mampu
memberikan hasil ukur yang cermat dan akurat. Akurasi suatu alat ukur tergantung pada
kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat.
Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan yang
sekecil-kecilnya di antara subjek yang satu dengan yang lain. Tes yang dipercaya valid dan
reliabel, harus fair atau adil bagi semua peserta tes. Tes yang adil akan memberikan
kesempatan yang sama pada semua peserta tes dalam menunjukkan kemampuannya. Item-
item penyusun tes tidak memperbesar peluang satu kelompok untuk menjawab benar dan
memperkecil peluang kelompok yang lain. Suatu instrument UH yang baik dapat mengukur
peningkatan atau kemajuan belajar siswa. Tes juga dapat mengarahkan dan memotivasi siswa
dalam belajar. Oleh sebab itu penyusunan instrument UH yang valid dan reliable mutlak
diperlukan untuk semua pelajaran di semua jenjang pendidikan.
Murniati (2013) meneliti 40 item Ujian Sekolah mata pelajaran bahasa Jepang kelas
XII SMA Negeri 5 Magelang menemukan 29 item memiliki daya pembeda dengan kriteria
jelek, 18 item dengan kriteria cukup dan 3 item kriteria baik. Dia menyimpulkan berdasarkan
daya pembeda pada soal Ujian Sekolah tersebut mengalami kesulitan untuk membedakan
antara siswa pandai dan siswa kurang pandai. Pengembangan tes formatif Fisika SMA kelas
XI tengah semester genap oleh Sari (2013) menghasilkan soal yang memenuhi semua kriteria
instrumen tes yang baik dengan rincian sebagai berikut: Untuk paket soal I dihasilkan 10 soal
yang memenuhi kriteria soal yang baik, untuk paket soal II dihasilkan 15 soal yang
memenuhi kriteria soal yang baik, untuk paket soal III 15 soal yang memenuhi kriteria soal
yang baik dan sudah mencakup semua indikator.
Tujuan utama analisis butir soal (item) dalam sebuah tes buatan guru menurut Safari
(2005) adalah untuk mengidentifikasi kekurangan-kekurangan dalam tes atau dalam
pembelajaran. Kegiatan analisis item itu sendiri berguna untuk menentukan soal-soal yang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

700
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

cacat atau tidak berfungsi penggunaannya serta untuk meningkatkan kualitas butir soal yang
meliputi tingkat kesukaran, daya pembeda dan pengecoh soal. Peneliti berusaha menyusun
instrument UH dengan topik Usaha dan Energi dengan melakukan tahapan analisis tujuan
pembelajaran, pembuatan kisi-kisi, penulisan item, tes dan analisis item. Kegiatan ini
diupayakan untuk meningkatkan mutu instrumen UH yang digunakan dalam pembelajaran.
Permasalahan yang akan dikaji adalah: Bagaimana daya pembeda instrumen UH Fisika Kelas
XI di MAN 15 Jakarta? Bagaimana tingkat kesukaran instrumen UH Fisika Kelas XI di
MAN 15 Jakarta? Bagaimanakah kualitas item instrumen UH Fisika Kelas XI di MAN 15
Jakarta. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas item instrumen UH fisika
mengenai Usaha dan Energi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
bagi guru mata pelajaran fisika dan sekolah dalam penyusunan butir soal fisika yang
berkualitas dalam melaksanakan penilaian proses belajar mengajar di masa mendatang.

Metode
Sampel penelitian adalah 7 item pilihan ganda instrument UH fisika kelas XI dengan
topik Usaha dan Energi. Data berupa pola respon 25 siswa pada instrumen yang diberikan.
Instrumen ini disusun berdasarkan standar isi kurikulum 2006 dan dirumuskan sesuai tujuan
pembelajaran.
Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen
Standar Kompetensi Dasar Indikator No
Kompetensi Item
Menganalisis Menganalisi hubungan Diberikan data benda yang
gejala alam antara usaha, bergerak lurus berubah
dan perubahan energi beraturan, siswa dapat
3, 5
keteraturannya dengan hukum menganalisi usaha yang
dalam kekekalan energi dilakukan benda
cakupan mekanik
mekanika
Menerapkan hukum Diberikan data benda yang
benda titik
kekekalan energi mengalami perubahan energy
mekanik untuk mekanik dari ketinggian 1,7
menganalisis gerak tertentu, siswa dapat
dalam kehidupan menentukan besar energi kinetik

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

701
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Standar Kompetensi Dasar Indikator No


Kompetensi Item
sehari-hari benda ketika menyentuh tanah
Diberikan data benda yang
mengalami perubahan energi
mekanik dari ketinggian
2,6
tertentu, siswa dapat
menentukan besar kecepatan
benda pada ketinggian tertentu
Diberikan data benda yang
mengalami perubahan energi
mekanik dari ketinggian
4
tertentu, siswa dapat
menentukan besar energi
potensial pada saat tertentu

Analisa data menggunakan perangkat lunak ITEMAN. Ini dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui aspek psikometri setiap item dan tes secara keseluruhan. Aspek-aspek item
yang ditampilkan, diantaranya: prop. correct, biser, point biser, prop. endorsing. Sedangkan
aspek tes adalah mean, variance, kurtosis, minimum dan maksimum, median dan alpha.
Analisis dengan ITEMAN digunakan untuk menguji reliabilitas tes yaitu kehandalan
tes yang ditunjukkan dengan nilai internal consistency reliability (konsistensi internal) dengan
menggunakan nilai Alpha Cronbach’s. Sebagai acuan dalam analisis ini adalah bahwa nilai
Alpha Cronbach’s yang baik adalah mendekati nilai 1 (satu). Remmers (dalam Surapranata,
2005) menyatakan bahwa koefisien reliabilitas 0,5 dapat dipakai untuk tujuan penelitian.

n  Sb 2
r  (1  )
n 1 St 2

Pada analisis menggunakan ITEMAN, tingkat kesukaran item ditentukan oleh nilai
Prop. Correct yang menunjukkan proporsi peserta tes yang dapat menjawab benar butir item.
Persamaan yang digunakan untuk menentukan tingkat kesukaran item (p) adalah:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

702
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

X
p= N

dimana: p = proporsi menjawab benar atau tingkat kesukaran

X = banyaknya peserta tes yang menjawab benar


N = jumlah peserta tes
Parameter Daya beda dalam ITEMAN menggunakan persamaan :

A B
D = nA nB

dimana:
D = indeks daya beda

A = jumlah peserta tes yang menjawab benar pada kelompok atas (kemampuan tinggi)

B = jumlah peserta tes yang menjawab benar pada kelompok bawah (kemampuan
rendah)
nA = jumlah peserta tes kelompok atas
nB = jumlah peserta tes kelompok bawah.

Hasil dan Pembahasan


Kualitas instrumen UH pada penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Secara kuantitatif, analisis dilakukan melalui analisis validitas instrumen. Yang dimaksud
validitas soal pada instrumen ini meliputi tingkat kesukaran, daya beda, dan efektifitas
pengecoh.
Tingkat kesukaran
Tingkat kesukaran merupakan rasio antara penjawab item soal benar dan banyaknya
penjawab item (Azwar, 1999). Secara teoritik, tingkat kesukaran merupakan probabilitas
empirik untuk lulus item tertentu bagi kelompok subyek tertentu. Tingkat kesukaran
sebenarnya merupakan rata-rata dari suatu distribusi skor kelompok dari soal. Ciri tingkat
kesukaran :

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

703
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

1. merupakan ukuran soal, tidak merupakan karakteristik soal. Dalam hal ini
didefinisikan sebagai frekuensi relatif terhadap pengambil tes
2. merupakan karakteristik soal itu sendiri maupun pengambil tes. Tingkat kesukaran
ini sebenrnya merupakan ukuran kemudahan soal dan tidak berhubungan linier
dengan skala kesukaran soal
3. Besarnya tingkat kesukaran yang dikehendaki dalam suatu tes sangat bergantung pada
kebutuhan. Umumnya tingkat kesukaran yang berada disekitar 0,50 dianggap yang
terbaik. Item yang terlalu mudah atau terlalu sulit biasanya tidak akan banyak
berguna dalam membedakan antara peserta tes yang mampu dan yang tidak.

Daya Pembeda
Indeks diskriminasi atau daya beda digunakan dalam membedakan antara peserta tes
yang berkemampuan rendah dengan peserta tes yang berkemampuan tinggi (Safari, 2005).
Indeks daya pembeda didefinisikan sebagai selisih antara proporsi jawaban benar pada
kelompok atas dengan proporsi jawaban benar pada kelompok bawah. Indeks ini
menunjukkan kesesuaian antara fungsi soal dengan fungsi tes secara keseluruhan. Indeks
diskriminasi yang tinggi sebenarnya menunjukkan kesesuaian atau konsistensi antara fungsi
item soal dengan tes. Konsistensi ini diuji secara empirik dengan korelasi biserial atau korelasi
point biserial antara distribusi skor suatu item soal dan distribusi skor tes. Koefisien korelasi
yang positif dan tinggi saja yang diinginkan dalam analisis item. Umumnya koefisien korelasi
biserial diatas 0,30 sudah dianggap mengindikasikan daya diskriminasi yang baik. Dalam
seleksi item, setiap item soal yang memiliki indeks lebih besar dari 0,50 dapat langsung
dianggap sebagai item berdaya diskriminasi baik, sedang item dengan indeks kurang dari 0,20
dapat langsung dibuang.
Tabel 2. Kriteria Pemilihan Soal Pilihan Ganda
Kriteria Koefisien Keputusan
Tingkat kesukaran 0,30 - 0,70 Diterima
0,10 – 0,29 atau 0,70 – 0,90 Direvisi
< 0,10 dan > 0,90 Ditolak
Daya pembeda > 0,30 Diterima
> 0,10 – 0,29 Direvisi

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

704
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

> 0,10 Ditolak


Proporsi jawaban > 0,05

Alternatif jawaban
Pengecoh berfungsi sebagai pengidentifikasi peserta tes yang berkemampuan tinggi.
Pengecoh dikatakan berfungsi efektif apabila banyak dipilih oleh peserta tes yang berasal dari
kelompok bawah. Bila pengecoh banyak dipilih peserta tes dari kelompok atas maka
pengecoh menyesatkan. Salah satu tujuan analisis soal adalah untuk mengetahui distribusi
jawaban subyek dalam alternatif jawaban yang tersedia. Melalui distribusi jawaban ini dapat
diketahui banyaknya peserta tes yang menjawab betul, pengecoh yang bagi peserta tes terlalu
mencolok kesalahannya sehingga tidak ada yang memilih, pengecoh yang menyesatkan dan
pengecoh yang mempunyai daya tarik bagi peserta tes yang berkemampuan rendah.

Validitas
Validitas merupakan konsep yang berkaitan dengan sejauh mana tes telah mengukur
apa yang seharusnya diukur. Macam-macam validitas adalah validitas isi, konstruk, prediktif
dan konkurent. Validitas soal dalam hal ini sama dengan daya pembeda soal. Angka yang
menunjukkan besarnya daya pembeda berkisar antara -1 sampai dengan 1. Tanda negatif
menunjukkan bahwa peserta tes yang berkemampuan rendah dapat menjawab benar
sedangkan peserta tes yang berkemampuan tinggi menjawab salah. Indeks daya pembeda
negatif menunjukkan terbaliknya kualitas peserta tes. Validitas adalah suatu konsep yang
berkaitan dengan sejauh mana item telah mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu validitas logis dan validitas empiris (Surapranata,
2005). Validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauh mana item telah
mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
validitas logis dan validitas empiris (Surapranata, 2005).Validitas item dapat dihitung dengan
menggunakan koefisien korelasi biserial yang menggunakan persamaan umum:

Mp  Mt p

rbis = SD . q

dimana: rbis = koefisien korelasi biserial


Mp = rata-rata skor pada tes dari peserta tes yang menjawab benar

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

705
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Mt = rata-rata skor total.


SD = standar deviasi skor total
p = proporsi peserta tes yang jawabannya benar
q = 1-p
a. Reliabililitas
Reliabilitas suatu skor merupakan hal penting untuk menentukan apakah tes telah
menyajikan suatu pengukuran yang baik. Salah satu metode untuk menentukan reliabilitas
adalah internal consistency. Konsistensi internal didasarkan pada homogenitas atau korelasi
antara skor jawaban pada setiap butir tes. Koefisien alpha merupakan formula dasar dalam
pendekatan konsistensi internal dan merupakan estimasi yang baik terhadap reliabilitas pada
berbagai pengukuran. Konsep dasar koefisien alpha adalah jika sebuah tes cukup panjang,
maka soal-soalnya tidak memiliki interkorelasi yang cukup tinggi. Internal keajegan
merupakan fungsi dari jumlah soal dan rata-rata interkorelasi diantara soal. Koefisien alpha
dan formula-formula Kuder-Richardson merupakan batas bawah reliabilitas dan merupakan
under estimasi terhadap reliabilitas murni. Koefisien alpha yang cukup tinggi membuat kita
lebih yakin bahwa reliabilitas yang sesungguhnya memang tinggi.
Keterpercayaan hasil ukur suatu tes ditentukan tidak hanya dari koefisien reliabilitas
tetapi juga dari besarnya error standar dalam pengukuran. Tes yang reliabel adalah yang
memiliki varians error yang kecil dalam pengukuran. Besarnya varians error merefleksikan
proporsi varians skor tampak yang dicemari oleh error pengukuran dan hal ini menunjukkan
kecilnya varians skor murni yang dapat diungkap oleh varians skor tampak.
Reliabilitas adalah kestabilan skor yang diperoleh peserta tes yang sama ketika diuji
ulang dengan tes yang sama pada situasi yang berbeda atau dari satu pengukuran ke
pengukuran lainnya (Puspendik, 2003). Persamaan umum koefisien reliabilitas diturunkan
dari perbandingan antara varian true score dengan varian observed score, yaitu sebagai
berikut:
 T2
rxx =  X
2

dimana: rxx = koefisien reliabilitas


 T2 = varian true score

 X2 = varian observed score

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

706
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pembahasan dalam artikel bertujuan untuk: (1) menjawab rumusan masalah dan
pertanyaan-pertanyaan penelitian; (2) menunjukkan bagaimana temuan-temuan itu diperoleh;
(3) menginterpretasi/menafsirkan temuan-temuan; (4) mengaitkan hasil temuan penelitian
dengan struktur pengetahuan yang telah mapan; dan (5) memunculkan teori-teori baru atau
modifikasi teori yang telah ada.
Hasil analisis beberapa item sebagai berikut:
1. Dua buah benda A dan B yang bermassa masing-masing m, jatuh bebas dari
ketinggian h meter dan 2h meter. Jika A menyentuh tanah dengan kecepatan v m/s,
maka benda B akan menyentuh tanah dengan energi kinetik sebesar…
A. ½ mv2
B. mv2
C. ¼ mv2
D. ¾ mv2
E. 3/2 mv2
Analisis tingkat kesukaran item ini dilihat dari nilai prop. Correct sebesar 0,440, nilai
biser 0,839, point biser 0,667. Alternatif jawaban A memiliki nilai prop. endorsing. 0,440,
jawaban B 0,440, jawaban C 0,080, jawaban D dan E 0,0 dan jawaban lain 0,04.

4. Sebuah benda jatuh bebas dari ketinggian h. tinggi benda pada saat energi kinetiknya
tiga kali energi potensialnya adalah…
A. 3 h
B. 2 h
C. ½ h
D. 1/3 h
E. ¼ h
Analisis tingkat kesukaran item ini dilihat dari nilai prop. Correct sebesar 0,720, nilai
biser 1,00, point biser 0,744. Alternatif jawaban A dan B memiliki nilai prop. endorsing.
0,00, jawaban C 0,760, jawaban D 0,00 , jawaban E 0,720 dan jawaban lain 0,04.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

707
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

7. Perhatikan lintasan yang ditempuh bola (m = 1 kg) yang awalnya bergerak


mendatar dengan laju tetap 5 m/s berikut ini

4m
1.5 m

Energi kinetik benda saat mencapai ketinggian 1,5 m adalah…


A. 52,5 J
B. 42,5 J
C. 37,5 J
D. 32,5 J
E. 25,0 J

Analisis tingkat kesukaran item ini dilihat dari nilai prop. Correct sebesar 0,760, nilai
biser 1,00, point biser 0,838. Alternatif jawaban A memiliki nilai prop. endorsing. 0,120,
jawaban B 0,00, jawaban C 0,080, jawaban D 0,040 , jawaban E 0,080 dan jawaban lain
0,16.
Tabel 3. Hasil Analisis Item Tes
Kriteria Koefisien No item Keputusan
0,30 - 0,70 1, 4, 7 Diterima
Tingkat 0,10 – 0,29 atau 0,70 – - Direvisi
kesukaran 0,90
2,3,5,6 Ditolak
< 0,10 dan > 0,90
Daya pembeda > 0,30 1, 4, 5, 6, 7 Diterima

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

708
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

0,10 – 0,29 - Direvisi


< 0,10 2, 3 Ditolak

Dari tabel 3, maka analisis item yang ditolak adalah item nomor 2 dan 3 karena
tergolong item yang sangat mudah. Hasil analisis daya pembeda soal, instrument UH Usaha
dan Energi ini memiliki 2 item ditolak dan 5 item diterima. Sedangkan aspek tes adalah
mean, variance, kurtosis, minimum dan maksimum, median dan alpha diperoleh hasil sebagai
berikut :
N of Items 7
N of Examinees 25
Mean 5.800
Variance 1.520
Std. Dev. 1.233
Skew -0.640
Kurtosis -0.821
Minimum 3.000
Maximum 7.000
Median 6.000
Alpha 0.597
SEM 0.783
Mean P 0.829
Mean Item-Tot. 0.620
Mean Biserial 0.903

Analisis di atas menunjukkan rata-rata jumlah skor benar instrumen adalah 5,800
dengan penyebaran skor 1.520 (distribusi varians) dan standar deviasi 1,233. Nilai
kemiringin (skew) yang -0,640 menunjukkan rata-rata peserta tes memperoleh skor tinggi.
Negative kurtosisi -0,821 menunjukkan distribusi yang lebih landai terhadap distribusi
normal. Nilai terendah adalah 3,00 dan tertinggi 7,00. Dengan nilai tengah 6,00. Reliabilitas
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

709
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tes diberikan dengan nilai alpha 0,597 dan validitas tes dengan nilai mean item-tot 0,620
menyatakan bahwa instrument ini valid dan reliabel digunakan sebagai alat ukur. Walaupun
dari jumlah item yang diterima hanya 71 % item yaitu 5 dari 7 item yang termasuk kategori
baik, namun secara keseluruhan instrumen UH Usaha dan Energi ini tergolong valid dan
reliabel.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Hasil analisis daya pembeda soal, instrumen UH Usaha dan Energi ini memiliki
2 item ditolak dan 5 item diterima (71%).
2. Hasil analisis tingkat kesukaran instrumen, diperoleh 1 item termasuk kategori
sedang dan 6 item kategori mudah.
3. Kualitas instrumen termasuk baik dilihat dari validitas dan reliabilitasnya dengan
nilai 0.620 dan 0.597.

Saran
Berdasarkan penelitian ini penulis menyarankan:
1. Perlu adanya kerja sama antara sekolah dan dinas terkait untuk mengadakan
pelatihan atau workshop untuk meningkatkan skill keterampilan guru dalam
membuat soal maupun dalam menganalisis soal.
Perlunya para guru melakukan analisis instrument UH untuk meningkatkan mutu
pengukuran dan penilaian pembelajaran.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

710
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka

Azwar, Saifuddin, 2005. Tes Prestasi Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, Saifudin, 1999. Validitas dan Reliabilitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rahayu, Murniati, 2013. Analisis Butir Soal Ujian Sekolah Bahasa Jepang Kelas XII Di SMA Negeri
5 Magelang, Skripsi, Prodi Pendidikan Bahasa Jepang Jurusan Bahasa Dan Sastra Asing,
Fakultas Bahasa Dan Seni, Semarang : Universitas Negeri Semarang.
Sari, Indah Arsita, 2013. Pengembangan instrumen tes formatif fisika SMA kelas XI semester
genap, Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Surakarta: UNS.
Safari, 2005. Analisis Butir Soal Instrumen Tes dan Non-Tes dengan Manual, Kalkulator dan
komputer, Jakarta : Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia Departemen Pendidikan
Nasional.
Surapranata, Sumarna, 2004. Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Tes
Implementasi Kurikulum 2004, Bandung :Remaja Rosdakarya.
Wahyuningsih, Tri, Trustho Raharjo, Dyah Fitriana Masithoh, 2013. pembuatan instrumen tes
diagnostik fisika sma kelas xi, Jurnal Pendidikan Fisika , Vol.1 No.1 halaman 111.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

711
Murtono
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
e-mail: hasnamur@yahoo.co.id

Abstrak. Perubahan kurikulum KTSP menjadi kurikulum 2013 menuntut para guru Kurikulum 2013 yang
telah diberlakukan, menekankan pembelajaran dengan pendekatan saintifik diharapkan akan meningkatkan
kemampuan siswa Indonesia dalam bidang sains, walaupun kurikulum itu sementara tidak diberlakukan di
semua sekolah. Pebelajar banyak mengalami kesulitan belajar fisika yang ditandai dengan nilai yang rendah dan
penguasaan konsep yang kurang. Ilmu Fisika adalah suatu cabang ilmu pengetahuan, dimana kita menyeliadiki
sifat-sifat dan kelakuan alam dengan observasi dalam eksperimen-eksperimen, dengan pengukuran-pengukuran
dan analisa, sehingga dapat ditemukan sifat-sifat fundamental dari pada alam itu. Sifat dan kelakuan alam ini
biasanya dinamakan hukum alam dan dirumuskan secara matematis, karena hubungan antara besaran-besaran
fisis yang terukur kuantitasnya dalam eksperimen itu hanya dapat dinyatakan dengan tegas dalam perumusan
tersebut. Sifat dan kelakuan alam ini biasanya dinamakan hukum alam dan dirumuskan secara matematis,
karena hubungan antara besaran-besaran fisis yang terukur kuantitasnya dalam eksperimen itu hanya dapat
dinyatakan dengan tegas dalam perumusan tersebut. Dengan sifat dasar ilmu fisika ini maka penguasaan konsep
fisika akan tepat jika diases dengan soal multi representasi. penggunaan multi representasi berperan penting
dalam membantu siswa membangun penguasaan dengan lebih mudah dan lebih baik, karena konsep yang
kompleks dan luas dapat disajikan lebih sederhana dan holistik.

Kata Kunci: Penilaian autentik, tes multirepresentasi, fisika

Pendahuluan
Kurikulum 2013 yang telah diberlakukan, menekankan pembelajaran dengan
pendekatan saintifik diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa Indonesia dalam
bidang sains, walaupun kurikulum itu sementara tidak diberlakukan di semua sekolah.
Pebelajar banyak mengalami kesulitan belajar fisika yang ditandai dengan nilai yang rendah
dan penguasaan konsep yang kurang. Kesulitan belajar ini disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya metode pembelajaran yang cenderung membosankan atau kurang mendukung
proses belajar mengajar, sarana dan prasarana yang kurang, dan model penilaian yang tidak
mendukung hasil belajar siswa. Sistem pendidikan mempunyai tujuan agar dihasilkannya
manusia terdidik yang dewasa secara intelektual, moral, kepribadian, dan kemampuan. Tetapi
dapat kita lihat bahwa dimensi penguasaan pengetahuan pebelajar belum berdampak kepada
pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, kematangan moral dan karakter.
Banyak para ahli pendidikan melakukan upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa
dengan berbagai cara, baik melalui pendekatan dan metode pembelajaran yang cocok dengan
karakter materi maupun perkembangan berpikir siswa, peningkatan sarana dan prasarana,
menggunakan berbagai model penilaian yang sesuai dengan siswa. Penilaian pendidikan yang

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

selama ini dilakukan oleh sebagian para pendidik tidak dapat diharapkan dapat berdampak
terhadap efektifitas tercapainya tujuan pendidikan atau tujuan dari pembelajaran itu sendiri.
Sesuai dengan hasil penelitian Benyamin Bloom bahwa perkiraan peserta didik tentang apa
yang akan diujikan berpengaruh terhadap tingkah laku belajar peserta didik (Soedijarto,
2004). Agar peserta didik secara intensif dan terus menerus melakukan proses pembelajaran
yang bermakna sejak memasuki suatu jenjang pendidikan, perlu dikembangkan dan
dilaksanakan penilaian secara komprehensif, terus menerus dan obyektif sehingga membantu
tercapainya berbagai tujuan pendidikan. Penilaian komprehensif dapat dilakukan dengan
melibatkan seluruh ruang lingkup penilaian, teknik, ranah (kognitif, psikomotor, afektif)
dengan memperhatiakn kelemahan dan kelebihan pebelajar yang hasil keputusannya dapat
digunakan untuk memperbaiki pembelajaran. Berkaitan dengan pendidikan fisika, Bascones
(dalam Mansyur, 2010) menyatakan bahwa belajar fisika sama dengan pengembangan
kemampuan problem solving dan pencapaian diukur dengan sejumlah masalah yang pebelajar
dapat pecahkan secara tepat.
Di sekolah dasar, menengah, atau diperguruan tinggi untuk mengukur penguasaan
konsep fisika lebih banyak digunakan penilaian yang bersifat kuantitatif. Sinaradi (2003)
menguungkapkan seorang siswa banyak yang tidak memahami arti fisis dari persamaan
matematis suatu hukum Fisika. Asumsi yang digunakan bahwa siswa atau mahasiswa yang
sudah dapat mengerjakan soal yang bersifat hitungan berarti sudah memahami konsep-konsep
yang diajarkan. Mahasiswa di Departemen Pendidikan Fisika Seoul National University pada
tahun pertama mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal mekanika dasar, padahal
telah banyak melakukan latihan soal yang bersifat hitungan ketika akan masuk ke perguruan
tinggi (Kim & Pak, 2002).
Penguasaan konsep merupakan bagian yang sangat penting yang harus dimiliki oleh
peserta didik ketika mempelajari fisika dan untuk memecahkan masalah-masalah fisika.
Tujuan dari pembelajaran fisika adalah agar pebelajar memperoleh sejumlah konsep (a
modust amount) dan menerapkan atau mengaplikasikan secara fleksibel (Reif, 1995).
Mereka harus mengetahui tentang apa masalah tersebut, relevan dengan masalah fisika apa
dan bagaimana menginterpretasikan hasilnya. Fisika adalah bagian dari ilmu pengetahuan
alam yang mempunyai karakteristik tertentu. Menurut Wospakrik (1993) bahwa Fisika
merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang bertujuan untuk mempelajari dan
memberi pemahaman kuantitatif terhadap berbagai gejala atau proses alam dan sifat zat serta
penerapannya. Fisika merupakan sains kuantitatif yang menggunakan matematika dalam
mengungkapkan gagasan-gagasannya (Alonso & Finn, 2000). Baiquni (t.t) menyatakan Ilmu
Fisika adalan suatu cabang ilmu pengetahuan, dimana kita menyeliadiki sifat-sifat dan
kelakuan alam dengan observasi dalam eksperimen-eksperimen, dengan pengukuran-

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

713
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pengukuran dan analisa, sehingga dapat ditemukan sifat-sifat fundamental dari pada alam itu.
Sifat dan kelakuan alam ini biasanya dinamakan hukum alam dan dirumuskan secara
matematis, karena hubungan antara besaran-besaran fisis yang terukur kuantiatasnya dalam
eksperimen itu hanya dapat dinyatakan dengan tegas dalam perumusan tersebut. Dengan sifat
dasar ilmu fisika ini maka penguasaan konsep fisika akan tepat jika diases dengan soal multi
representasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Peter C. Gega dalam Sumaji dkk. (1998) bahwa
diantara keterampilan IPA adalah keterampilan menemukan keteraturan hubungan antar
ubahan, keterampilan menyajikan data dalam bentuk tabel dan grafik, keterampilan
menafsirkan data, dan keterampilan berkomunikasi.
Penilaian dengan multirepresentasi merupakan salah satu teknik menggali kemampuan
siswa yang sesungguhnya (penilaian autentik). Keterampilan representasi adalah kemampuan
yang harus dimiliki untuk menginterprestasi dan menerapkan berbagai konsep dalam
memecahkan masalah-masalah secara tepat (Kohl & Noah, 2005). Bagaimana siswa
menggunakan berbagai representasi ketika memecahkan permasalahan dan bagaimana format
representasi yang berbeda mempengaruhi kinerja siswa dalam pemecahan masalah
(Rosengrant, et al., 2007). Model representasi yang digunakan sebagai penilaian dapat
membantu penguasaan dan berkaitan dengan kesiapan seseorang. Selain membantu
penguasaan, penilaian multi representasi seseorang menunjukkan kemampuannya dalam
memecahkan masalah fisika secara akurat.
Berbagai macam representasi penilaian dalam pembelajaran akan memberikan dampak
yang berbeda terhadap penguasaan konsep, respon, yang pada akhirnya bermuara pada hasil
belajar pebelajar. Multi representasi sangat terkait dan diperlukan untuk membangun
kemampuan mengembangkan konsep dan metode ilmiah (Ainsworth, 1999). Keterampilan
representasi adalah kemampuan yang harus dimiliki untuk menginterprestasi dan menerapkan
berbagai konsep dalam memecahkan masalah-masalah secara tepat (Kohl & Noah, 2005).
Selanjutnya Kohl dan Noah (2005) juga menenemukan bahwa keberhasilan mahasiswa dalam
memecahkan masalah dipengaruhi representasi soal yang diberikan. Beberapa penelitian
sebelumnya telah menemukan bahwa penggunaan multi representasi berperan penting dalam
membantu siswa membangun penguasaan dengan lebih mudah dan lebih baik, karena konsep
yang kompleks dan luas dapat disajikan lebih sederhana dan holistik (Ainsworth, 2006).
Mahasiswa umumnya mengalami kesulitan menggunakan representasi khusus dalam
membangun deskripsi verbal dan visual dari suatu masalah untuk dikonversikan menjadi
representasi matematis (Kohl dan Noah, 2007). Dari hasil penelitian terdahulu dapat
dikatakan bahwa instrumen penilaian multi representasi menawarkan sebuah penilaian yang
dapat mengukur penguasaan konsep mahasiswa yang lebih lengkap, karena satu konsep

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

714
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

diukur dengan beberapa penilaian representasi, sehingga informasi penguasaan konsep


mahasiswa diperoleh lebih akurat.
Sejak dilahirkan manusia telah mempunyai bekal berupa bakat maupun kecerdasan
yang unik untuk setiap manusia. Menurut Gardner (1983) ada tujuh macam kecerdasan yang
dimiliki manusia, yang kemudian dikenal sebagai kecerdasan majemuk (Multiple
Intelligence). Ketujuh jenis kecerdasan tersebut adalah : 1) Kecerdasan bahasa (Verbal-
Linguistik Intelegence), 2) Kecerdasan matematik logis (logical-mathematical intelligence), 3)
Kecerdasan spasial (visual/spatial intelligence), 4) kecerdasan kinestetik (bodily/kinesthetic
intelligence), merupakan kecakapan untuk melakukan gerakan dan ketrampilan, kecakapan
fisik seperti menari, olah raga, 5) kecerdasan musikal (musical/rhythmic intelligence),
kecerdasan untuk menghasilkan dan mengapresiasi musik, 6) kecerdasan interpersonal
(interpersonal intelligence), 7) kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence),
merupakan kecakapan untuk memahami kehidupan emosional dan membedakan emosi
orang-orang. Gardner menolak asumsi bahwa kognisi manusia merupakan satu kesatuan dan
individu hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Setiap individu memiliki beberapa kecerdasan
dan bergabung menjadi satu kesatuan membentuk kemampuan pribadi yang cukup tinggi.
Bagi kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam
kemampuan memecahkan masalah. Kecerdasan merupakan keadaan majemuk yang muncul di
bagian-bagian yang berbeda pada sistem otak atau pikiran manusia yang dapat digunakan
sebagai sarana untuk memecahkan masalah yang relevan antara masalah dan jenis kecerdasan
yang dimiliki individu. Kesesuaian antara format representasi dengan kecerdasan yang
dimiliki pebelajar akan memudahkan dalam memecahkan permasalahan fisika. Seseorang yang
mempunyai kecerdasan matematik tinggi akan lebih mudah menyelesaikan permasalahan
fisika dengan format representasi matematik. Demikian juga seseorang yang mempunyai
kecerdasan spasial yang tinggi lebih mudah memahami konsep-konsep dalam bentuk gambar
atau visual yang lainnya.

Hasil dan Pembahasan


Pebelajar perlu mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar dalam
pembelajarannya. Dalam pengembangan kemampuan berpikir ilmu fisika, pebelajar
diharapkan mampu menguasai konsep fisika yang dipelajari dan dapat mengaplikasikan
dalam segala situasi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan model pembelajaran dan model
penilaian hasil belajar agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Representasi merupakan
sesuatu yang mewakili, menggambarkan atau menyimbulkan obyek dan atau proses
(Rosengrat, dkk, 2007).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

715
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pebelajar diharapkan selalu mengingat dan memahami informasi yang disampaikan


oleh guru, sehingga dapat dengan mudah merepresentasikannya kembali. Fisika sebagai
sebuah mata pelajaran, dalam menguasai dibutuhkan pemahaman dan kemampuan cara
merepresentasikan yang berbeda-beda untuk satu konsep atau tema yang sama. Multi
representasi dapat diartikan sebagai merepresentasikan suatu konsep yang sama dalam bentuk
yang berbeda secara verbal, gambar, grafik dan matematik (Prain & Waldrip, 2006).
Kompetensi siswa dalam format representasi yang berbeda merupakan topik yang populer
dalam pendidikan sains dan matematika moderen. Dengan format representasi akan banyak
mengungkapkan suatu konsep atau masalah tertentu (Kohl & Noah, 2006). Multi
representasi mempunyai tiga fungsi utama yaitu sebagai pelengkap, pembatas interpretasi, dan
pembentuk pengetahuan (Ainswort, 1999). Multi representasi sebagai pelengkap dalam
proses berfikir dan kognitif siswa dalam mendapatkan konsep-konsep yang lebih sempurna.
Selain itu dengan multi representasi dapat digunakan untuk membatasi kemungkinan-
kemungkinan kesalahan dalam meginterpretasikan sebuah konsep, prinsip, dan hukum-
hukum fisika. Yang ketiga, multi representasi digunakan untuk mendorong siswa
membangun pemahaman terhadap situasi secara lebih mendalam.
Keterampilan representasi adalah kemampuan yang harus dimiliki untuk
menginterprestasi dan menerapkan berbagai konsep dalam memecahkan masalah-masalah
secara tepat (Kohl & Noah, 2005). Multi representasi adalah kemampuan untuk
merepresentasikan kembali konsep-konsep yang sama dalam bentuk yang berbeda sehingga
mudah dipahami. Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan berpikir tingkat
tinggi menggunakan bernagai mode representasi ke bentuk representasi yang lain (Prain &
Waldrip, 2006). Dengan kata lain kemampuan pemahaman konsep seorang pebelajar dapat
diukur dengan melihat bagaimana seorang pebelajar menyelesaikan permasalahan fisika dalam
bentuk multi representasi. Keberhasilan siswa dalam menyelesaikan masalah fisika
dipengaruhi oleh format representasi dalam masalah fisika (Kohl & Noah, 2006). Siswa
dalam menyelesaikan masalah fisika dengan menggabungkan berbagai representasi. Multi
representasi menentukan keberhasilan siswa dalam menyelesaikan masalah fisika. (Kohl &
Noah, 2008). Multi representasi sangat berhubungan dan diperlukan untuk membangun
kemampuan mengembangkan konsep dan metode ilmiah (Ainsworth, 1999). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa representasi mampu membantu siswa dalam memahami soal sebelum
mereka menggunakan persamaan-persamaan matematik untuk meyelesaikan soal secara
kuantitatif maupun kualitatif. Menurut Melzer (2005) ilmu fisika dapat dijabarkan menjadi
empat representasi diantaranya; representasi verbal, representasi diagram atau dapat berupa
gambar, representasi, matematik atau simbul-simbul matematik, dan representasi grafik.
Berikut contoh representasi konsep gerak parabola.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

716
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gerak parabola merupakan perbaduan antara dua gerak yaitu gerak lurus beraturan
(GLB) dengan gerak lurus berubah beraturan (GLBB). Sebagai contoh sebuah pesawat yang
melepaskan benda atau bom pada ketinggian tertentu merupakan perpaduan antara gerak
horisontal yang searah dengan sumbu X yang mempunyai kecepatan tetap dengan gerak
vertikal yang searah dengan sumbu Y dengan kecepatan berubah setiap saat. Selama gerakan,
partikel mengalami perubahan posisi terhadap waktu, sehingga hubungan antar ubahan ini
dapat digambarkan pada representasi grafik. Perubahan kearah x dinyatakan dengan

(GLB) sedangkan yang ke arah y adalah (GLBB). Ketinggian berkurang

secara kuadratik sebesar sampai pada titik C. Pada kasus tersebut dapat di peroleh
persamaan kecepatan dimana (vo merupakan kecepatan pesawat saat melepaskan
benda) dan . Untuk membuat satu konsep menjadi beberapa format representasi
diperlukan penguasaan konsep dan kemampuan multi representasi yang baik. Pola
Multirepresentasi Konsep GLB dapt dilihat pada Gambar 1.
Penilaian merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pembelajaran dan tidak
bisa lepas dari kegiatan pembelajaran itu sendiri. Sesungguhnya tujuan penilaian adalah untuk
meningkatkan kompetensi dan kualitas belajar siswa, dan tidak sekedar untuk menentukan
rangking atau skor siswa yang pada akhirnya justru dapat menjadi penghalang bagi
peningkatan kualitas belajar. Selain itu penilaian bukan akhir dari pembelajaran tapi yang
paling utama adalah balikan dari proses belajar yang telah berlangsung.
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai informasi yang dapat memberikan
gambaran sebenarnya tentang perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar
siswa ini perlu diketahui oleh guru agar bisa menentukan tindakan selanjutnya disamping
memastikan bahwa siswa telah mengalami pembelajaran dengan benar.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

717
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Verbal Gambar Matematik Grafik


y Di titik tertinggi (A) Grafik
Sebuah partikel jika
A x  x0 hubungan x vs t
dilepaskan dari
pesawat yang y  yo
bergerak lurus
mendatar dengan
kecepatan tetap, maka
partikel akan t
mempunyai dua
gerakan. Yang
B x  v o .t
Grafik
pertama adalah 1
gerakan mendatar y  yo  gt2 hubungan y vs t
y
yang sama dengan 2
gerak pesawat saat yo
partikel dijatuhkan.
Gerakan kedua adalah
gerakan pengaruh Di titik terendah (C)
t
gravitasi bumi.
C x x  v o .t
y0
Gambar 1 Pola Multirepresentasi Konsep GLB

Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan menggunakan beragam


sumber, pada saat atau setelah kegiatan pembelajaran berlangsung, dan menjadi bagian tak
terpisahkan dari pembelajaran. Autentik dalam kamus bahasa Indonesia diartiken dapat
dipercaya, asli, tulen, sah, sehingga penilaian autentik adalah penilaian yang dapat dipercaya,
asli atau sah. Secara istilah penilaian autentik (authentic assesment) adalah suatu proses
pengumpulan pelaporan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan
menerapkan prinsip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti autentik,
akurat, dan konsisten sebagai akuntabilitas publik (Pusat Kurikulum, 2009). Penilaian
autentik menekankan kemampuan pebelajar untuk mendemonstrasikan pengetahuan yang
dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak sekedar menanyakan atau
menyadap pengetahuan yang telah diketahui pebelajar, melainkan kinerja secara nyata dari
pengetahuan yang telah dikuasai.
Penilaian autentik lebih sering dinyatakan sebagai penilaian berbasis kerja (performant
based assessment). Penilaian kinerja adalah penilaian yang mengharuskan peserta didik
mempertunjukkan kinerja bukan menjawab atau memilih jawaban dari alternatif jawaban
yang telah disediakan. Secara prinsip penilaian kinerja terdiri dari dua bagian, yaitu tugas
(taks) dan kriteria atau rubrik. Tugas-tugas kinerja dapat berupa suatu proyek, pameran,
portofolio atau tugas-tugas yang mengharuskan peserta didik memperlihatkan kemampuan
kinerja. Tugas-tugas penilaian kinerja dapat diwujudkan dengan bentuk: computer adaptive
testing, tes pilihan ganda yang diperluas, extended-response atau open ended question, group

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

718
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

performance assessment, individual performance assessment, interview, observasi, portofolio,


project, exhibition, short answer dan lain sebagainya.
Berikut contoh penilaian autentik dengan multirepresentasi untuk konsep gaya gesek pada
bidang miring:
1. Soal open-ended
Kompetensi: siswa memahami konsep gaya gesek pada bidang miring. Tugas: seorang guru
memberikan sebuah kasus benda yang ditaruh pada bidang miring yang ditarik ke atas. Gaya
yang bekerja pada benda akan mengakibatkan benda mengalami perubahan kecepatan atau
mengalami percepatan. Besarnya percepatan yang ditimbulkan oleh gaya besarnya
sebanding dengan gaya tersebut dan berbanding terbalik dengan massa (m) benda. Secara
matematis dapat dinyatakan . Gaya neto harus merupakan jumlah vektor dari
semua gaya yang bekerja pada benda. Secara umum dapat dikatakan bahwa komponen
percepatan pada sumbu tertentu hanya disebabkan oleh jumlah komponen gaya pada
sepanjang sumbu yang sama pula, dan tidak disebabkan oleh komponen gaya sepanjang
sumbu yang lain.
Sebuah balok massanya m berada pada bidang miring yang mempunyai sudut kemiringan ,
koefisien gesekan statis , dan koefisien gesekan kinetis . Kemudian balok ditarik dengan
gaya tertentu sebesar mengarah ke atas.
Pertanyaan dalam bentuk multi representasi yang dapat disusun dalam tes tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Repersentasi verbal : jelaskan kasus benda tersebut kemungkinan-kemungkinan
gerakannya.
b. Representasi gambar : gambarkan gaya-gaya yang bekerja pada benda tersebut dengan
segala kemungkinan gerakannya
c. Representasi matematik: tuliskan persamaan gerakan secara matematis dengan
kemungkinan gerakannya.
d. Representasi grafik: gambarkan grafik hubungan antara gaya F vs koefisien gesekan
statis sampai benda tepat akan bergerak.
Kemungkinan jawaban pertanyaan multirepresentasi tersebut adalah sebagai berikut:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

719
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Verbal Gambar Matematik Grafik


N Gafik hubungan antara
F
gaya F dengan gaya
F  mg sin   f smaks  0 gesekan saat benda
 ditarik dengan gaya F
.sin
Benda tetap diam jika
m.g ks
. c os sampai tepat akan
f sm a m.g
resultan gaya sama bergerak naik
dengan nol. Benda F
akan naik jika Benda tepat akan
komponen gaya ke bergerak naik
atas lebih besar dari
komponen gaya ke N mgsin
bawah, dan sebaliknya. F
Gaya gesek selalu
berlawanan dengan  F  mg sin   f k  ma fsmaks
fs
.sin
m.g
arah gerak benda
. cos
fk m.g

Bergerak naik

N F
fk
s
. co  mg sin   F  f k  ma
m.g .sin
m.g

Bergerak turun

Gambar 2 Pola Multirepresentasi Konsep Gaya Gesek Bidang Miring


2. Soal pilihan ganda multirepresentasi yang diperluas

Sebuah balok massanya m berada pada bidang miring yang mempunyai sudut
kemiringan , koefisien gesekan statis , dan koefisien gesekan kinetis . Kemudian
balok ditarik dengan gaya sebesar F ke arah atas.
A. Manakah pernyataan yang paling tepat? C. Jika balok tepat akan bergerak
keatas maka persamaan gerak dari
a. Balok pasti bergerak ke atas
balok tersebut dapat dinyatakan
b. Besarnya gaya gesekan statis selalu sebagai berikut:
tetap
a.
c. Balok dapat bergerak turun atau naik
b.
d. Balok turun jika arah gesekan ke atas
c.
e. Balok akan diam atau bergerak turun.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

720
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

d.
Alasan:........................................................................ e.
.....................................................................
Alasan:..........................................................
..................................................

B. Gambar manakah yang paling tepat berikut D. Grafik manakah yang paling tepat
ini jika balok hampir bergerak ke atas ? menyatakan hubungan antara gaya F
a. N d. dengan gaya gesekan saat benda
F N F
ditarik dengan gaya F sampai tepat
m.g
.sin

s .g.
cos

.sin
 akan bergerak?
ks . co m ks
m.g
f sm a m.g f sm a
F F F
a. b. c.
b. F e. F
N N mgsin
ks ks
f sm a f sm a
 s
. cos  . co  fs
m.g .sin m.g
m.g m.g
.sin
fsmaks
fs
fsmaks mgsin fsmaks fs

c. d. F e. F
N
F
ks
f sm a mgsin

.sin
m.g s
. co
m.g fs
mgsin fsmaks fsmaks fs

Alasan:........................................................................
.................................................................. Alasan:..........................................................
................................................................

Selanjutnya dikembangkan patokan pemberian skor yang menggambarkan sejauhmana


pemahaman dan kemampuan pebelajar dalam mempertunjukkan kinerjanya, atau yang sering
disebut rubrik.
Penutup
Simpulan
Penilaian autentik merupakan penilaian yang bertujuan mendapatkan informasi
kemampuan siswa/pebelajar yang sebenarnya, valid, dan akurat. Penilaian dengan multi
representasi akan memberikan informasi penguasaan konsep siswa secara lebih lengkap
dengan berbagai representasi, dan informasi yang diperoleh menunjukkan kamampuan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

721
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

penguasaan konsep secara akurat, karena satu konsep diukur dengan empat penilaian
representasi yang berbeda. Sesuai dengan teori kecerdasan majemuk bahwa manusia
mempunyai beberapa kecerdasan, sehingga ada kesesuaian antara mode representasi dengan
jenis kecerdasan yang dimiliki oleh siswa dan akan memberikan hasil belajar yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Astawa, I Wayan Puja. 2007. Model Pembinaan Olimpiade Matematika Sekolah Dasar di Propinsi
Bali. Jurnal Ainsworth, S. (1999). The Functions of Multiple Representations.
Computers & Education, 33, 131-152.
Alonso & Finn. 2000. Dasar-dasar Fisika Universitas (alih bahasa: Lea Prasetyo dan Kusnul Hadi).
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Baiquni A. (t.t). Pengetahuan Tentang Struktur Materi Sebagai Pendorong Kemadjuan Masjarakat
Modern. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. [Online] Tersedia:
http://mgb.ugm.ac.id/media/download/pidato-
pengukuhan?download=78%3Aachmad-baiquni
Gardner H. 2003. Multiple Intellegencies Kecerdasan Majemuk Teori dalam. Praktik. Terjemahan
Alexander Sindoro. Judul Asli:Multiple Intelligences. Jakarta: Interaksara
Kohl B. P. and Noah F.D. 2005. Student Representational Competence and Self-Assessment when
Solving Physics Problems. Physical Review Special Topics-Physics Education Research,
1, 010104
Kohl B. P. and Noah F.D. 2006. Effects of Representation on Students Solving Physics Problem: A
fine-Grained Characterization. Physical Review Special Topics-Physics Education
Research, 2, (010106)
Mansyur, J. 2010. Kajian Fenomenografi Aspek-aspek Model Mental Subyek Lintas Akademik
dalam Problem Solving Konsep Dasar Mekanika. Disertasi: Tidak dipublikasikan
Meltzer E. D. 2005. Relation Between Students’ Problem-Solving Performance and
Representational Format. American Journal Physics 73 (5),
Reif, F. 1995. Millikan Lecture 1994: “Understunding and Teaching Important Scientific Thought
Processes”. American Journal Physics. 63, (1), 17-32
Rosengrant, D., Etkina, E., & Van Heuvelen, A. 2007. An Overview of Recent Research on
Multiple Representations. New Jersey: The State University of New Jersey.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

722
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Sinaradi, F. 2003. Menguji Kualitas Barang: Suatu Alternatif Model Pengajaran Sains. Dalam
Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisius.
Soedijarto 2004. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam
Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional, Jurnal Pendidikan Penabur, 03 hlm. 89-
107
Sumaji, Soehakso, Mangunwijaya, Wilardjo, L., Suparno, P., Susilo, F., Marpaung, Sularto, Budi, K.,
Sinaradi, Sarkim, dan, Rohandi. 1998. Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta:
Kanisius
Waldrip, B., Prain, V., & Carolan, J. 2006. Learning Junior Secondary Science through Multi-modal
Representations. ElectronicJournal of Science Education,11 (1), 87-107
Wospakrik, H.J. dan Hendrajaya, L. 1993. Dasar-dasar Matematika untuk Fisika. Jakarta : Ditjen
Dikti Depdikbud RI Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi.
Zainul, A. 1997. Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan
Pengembangan Aktivitas Instruksional, Dirjen Dikti, Depdikbud.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

723
Siti Sopiyah, Iwan Permana Suwarna, Erina Hertanti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: she.shopie@gmail.com, iwan.permana.suwarna@gmail.com,
erina.hertanti@uinjkt.ac.id

Abstract. Protection of employment opportunities for persons with disabilities (difable) is recognized in Law
no.13 Th.2003 Article 5 of the Manpower Act stipulates that "Employers shall employ at least 1 (one) person
with a disability who meets the requirements and qualifications of employment of the enterprise for every 100
(one hundred) workers on his company ". This is the basis for creating a web-based application program that
can be a forum for job seekers with disabilities, but it can also be a bridge of communication between
employers and job seekers in this case the difable society. The application of LOKERDIFA (Job Vacancy
Difable) uses waterfall method and business design tool using UML (Unifed Modeling language) which
include usecase diagram, activity diagram, user interface, ERD (Entity Relational Diagram), LRS (Logical
Relational Diagram) and tools web design with PHP, design view with CSS, for database using MSql (My
Structure Query Language).

Keywords: LOKERDIFA, web, waterfall, UML

Abstrak. Berbantuan komputer terhadap hasil belajar fisika siswa pada konsep suhu dan kalor. Penelitian
dilaksanakan di SMA AL-HASRA. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas X MIA 1 sebagai kelas
eksperimen dan X MIA 3 sebagai kelas kontrol. Sampel tersebut ditentukan berdasarkan teknik purposive
sampling. Penelitian berlangsung pada bulan April sampai bulan Mei 2015. Instrumen penelitian yang
digunakan adalah instrumen tes berupa pilihan ganda dan nontes berupa angket. Data hasil instrumen tes
dianalisis secara kuantitatif menggunakan uji analisis statistik dengan uji t, sedangkan data hasil instrumen
nontes dianalisis secara kuantitatif, menghasilkan data berupa persentase, kemudian dikonversi menjadi data
kualitatif. Berdasarkan analisis data tes, diperoleh bahwa thitung > ttabel. Artinya, terdapat pengaruh media
kuis interaktif berbantuan komputer terhadap hasil belajar fisika siswa pada konsep suhu dan kalor. Selain itu,
pembelajaran menggunakan media kuis interaktif juga unggul dalam meningkatkan ranah kognitif C1
(mengingat), C2 (memahami), C3 (menerapkan) dan C4 (menganalisis). Hasil analisis data nontes
menunjukkan respon siswa terhadap media kuis interaktif berbantuan komputer dalam proses pembelajaran
suhu dan kalor secara keseluruhan memperoleh hasil dengan kategori baik.

Kata Kunci: Kuis Interaktif, Hasil Belajar Fisika, Pembelajaran Berbantuan Komputer (CAI), Suhu dan Kalor

Pendahuluan
Fisika merupakan salah satu pelajaran yang memuat banyak konsep yang bersifat
abstrak. Untuk belajar fisika bukan hanya sekedar tahu matematika, tetapi lebih jauh peserta
didik diharapkan mampu memahami konsep yang terkandung di dalamnya, menuliskannya

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

ke dalam simbol-simbol fisis, memahami permasalahan serta menyelesaikannya secara


matematis.
Salah satu konsep fisika yang bersifat abstrak adalah konsep suhu dan kalor. Konsep
yang bersifat abstrak ini menimbulkan berbagai pemikiran yang berbeda pada siswa ketika
mempelajarinya. Butuh visualisasi agar siswa lebih mudah memahami konsep yang ada.
Misalnya, konsep kalor yang merupakan energi yang mengalir, dipahami siswa sebagai materi
atau zat yang terbentuk seperti fluida (Khristiani, 2013). Padahal kalor merupakan energi
yang mengalir karena adanya perbedaan suhu dan bukan merupakan zat atau partikel seperti
yang kebanyakan siswa bayangkan. Miskonsepsi yang ada mengakibatkan pemerolehan hasil
belajar fisika pada konsep suhu dan kalor menjadi rendah.
Selain konsep fisika yang bersifat abstrak, kebanyakan guru dalam pembelajaran fisika
di kelas masih menggunakan metode konvensional dan tidak bervariasi. Hal ini menyebabkan
siswa menjadi bosan dan kurang tertarik untuk belajar. Selain metode yang konvensional,
guru jarang sekali menggunakan media pembelajaran yang menarik dan mengaktifkan siswa,
sehingga pembelajaran menjadi kurang interaktif.
Kemajuan teknologi yang ada saat ini telah mampu menciptakan media pembelajaran
baru yang dapat menunjang proses pembelajaran, salah satunya adalah media berbentuk
aplikasi untuk membuat kuis. Kuis yang ada saat ini masih bersifat tradisional, biasanya
berupa teks tertulis saja dan umpan balik yang di dapat oleh siswa cenderung lama. Kuis juga
biasanya digunakan sebagai alat evaluasi saja, tidak digunakan selama kegiatan pembelajaran.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, maka diperlukan variasi
metode pembelajaran dan media pembelajaran yang menarik, yang dapat meningkatkan
semangat belajar siswa. Media yang menarik akan meminimalisir rasa jenuh siswa dalam
belajar serta dapat mengaktifkan siswa, sehingga kegiatan belajar mengajar menjadi lebih
interaktif. Salah satu media yang dapat digunakan untuk menunjang proses pembelajaran
adalah kuis interaktif. Kuis interaktif adalah media pembelajaran yang terdiri dari latihan soal.
Kuis interaktif digolongkan menjadi media berbantuan komputer karena untuk
menjalankannya diperlukan komputer.
Konsep yang akan diterapkan dengan kuis interaktif ini adalah suhu dan kalor. Konsep
suhu dan kalor akan disajikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berupa kuis. Kuis yang
dimaksud berisi soal yang didalamnya disajikan dua pilihan jawaban. Selain itu, disajikan pula
pembahasan secara terperinci dari dua pilihan jawaban tersebut. Dari pembahasan yang
disajikan itu, siswa akan mengetahui informasi-informasi bermakna yang berkaitan dengan
konsep suhu dan kalor. Dengan kuis ini siswa tidak merasa bahwa dirinya sedang
mengerjakan soal, sehingga membuat siswa menjadi betah belajar. Betah belajar inilah yang

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

725
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

membuat siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik, sehingga dapat meningkatkan hasil
belajar siswa, khususnya pada konsep suhu dan kalor. Pembelajaran berbantuan komputer
(PBK) merupakan program pembelajaran yang menggunakan software komputer berupa
program komputer yang berisi tentang muatan pembelajaran meliputi: judul, tujuan, materi
pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran (Rusman dkk., 2013).
Menurut Aniqotunnisa (2013) Kuis interaktif dapat digolongkan menjadi media
berbantuan komputer karena dalam proses penggunaannya dibutuhkan komputer. Kuis
interaktif merupakan sebuah aplikasi yang berisi materi pelajaran dalam bentuk soal atau
pertanyaan mengenai materi pembelajaran secara mandiri. Kuis interaktif bertujuan untuk
menguji seseorang yang mencakup dimensi pengetahuan, keterampilan, dan pendidikan yang
disertai dengan kecerdasan, kecermatan, ketepatan waktu, dan jawaban. Kuis dapat
menambah wawasan dan meningkatkan kemampuan siswa tentang materi pelajaran yang saat
itu sedang dipelajarinya. Kuis juga dapat merangsang siswa untuk belajar. Menurut
Hermawan (2012) Kuis memiliki tiga kelebihan yaitu: 1) pengetahuan yang diperoleh siswa
dari hasil belajar akan dapat diingat lebih lama; 2) Siswa berkesempatan memupuk
perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif, bertanggung jawab, kreatif, tekun, giat,
rajin belajar, dan berdiri sendiri; 3) siswa terbiasa mengisi waktu senggang dengan hal-hal
yang konstruktif.
Metode
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Al-Hasra yang berlokasi di Jl. Raya Ciputat
Parung KM. 24, Bojongsari - Depok. Pengambilan data dilakukan pada semester genap
bulan April - Mei 2015 Tahun Ajaran 2014/2015. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen. Desain penelitian yang digunakan adalah
Non-equivalent control group design. Desain ini dilakukan pada dua kelompok, yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang tidak dipilih secara random. Sebelum
diberikan perlakuan, pada kedua kelompok dilakukan pretest untuk mengetahui sejauh mana
kemampuan dasar siswa pada konsep yang bersangkutan yaitu konsep suhu dan kalor.
Selanjutnya, keduanya diberikan perlakuan yang berbeda, yaitu kelompok eksperimen akan
diberikan perlakuan pembelajaran menggunakan media kuis interaktif berbantuan komputer,
dan kelompok kontrol diberikan perlakuan pembelajaran secara konvensional. Setelah
diberikan perlakuan, pada kedua kelompok akan dilakukan posttest untuk mengetahui sejauh
mana hasil belajar siswa pada konsep suhu dan kalor. Desain penelitian ini dapat dilihat
dalam rancangan sebagai berikut:

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

726
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 1 Desain Penelitian


Kelom Pre Perlak Post
pok Eksperi test O1uan Xe test O2
men kontrol O1 Xk O2
Keterangan:
O1 : Tes awal (pretest) sebelum perlakuan O2 : Tes akhir (posttest) setelah perlakuan
Xe : Perlakuan dengan menggunakan media kuis interaktif berbantuan komputer
Xk : Perlakuan dengan cara konvensional
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini berupa instrumen tes berupa
soal tes objektif tipe pilihan ganda, dan instrumen nontes berupa angket. Tes digunakan
untuk mengukur hasil belajar siswa pada ranah kognitif. Instrumen tes ini mencakup ranah
kognitif pada aspek pengetahuan (C1) sampai analisis (C4). Penelitian ini menggunakan
angket untuk mengetahui respon siswa mengenai penggunaan media kuis interaktif
berbantuan komputer dalam pembelajaran fisika konsep suhu dan kalor. Angket yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model angket skala Likert. Data hasil instrumen tes
dianalisis secara kuantitatif menggunakan uji analisis statistik dengan uji t, sedangkan data
hasil instrumen nontes dianalisis secara kuantitatif, menghasilkan data berupa persentase,
kemudian dikonversi menjadi data kualitatif.

Hasil dan Pembahasan


Data hasil pretets dan posttest kelas kontrol dan eksperimen dapat terlihat pada Tabel
2 berikut
Tabel 2 Data Hasil Pretest dan Posttest
Pemusatan dan Kelas Kontrol Kelas
Penyebaran Data Pretest Posttest Eksperimen
Pre Postt
Nilai Terendah 32,00 48,00 test 12, est 60,0
Nilai Tertinggi 64,00 84,00 00 44, 0 92,0
Mean 41,70 65,23 00 30, 0 76,1
Modus 31,50 60,86 90 27, 0 74,9
Median 40,50 63,60 29 29, 3 75,6
Standar Deviasi 7,78 8,52 50 6,6 5 8,33
7

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

727
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan Tabel 2 di atas, terlihat bahwa nilai rata-rata (mean) pretest kelas kontrol
lebih tinggi daripada kelas eksperimen. Nilai rata-rata pretest untuk kelas kontrol adalah
41,70, sedangkan kelas eksperimen sebesar 30,90. Sementara itu, nilai rata-rata posttest kelas
eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Nilai rata-rata posttest kelas kontrol adalah
65,23, sedangkan kelas eksperimen adalah 76,10. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua kelas
mengalami peningkatan setelah diberikan perlakuan yang berbeda. Kelas kontrol yang diberi
perlakuan pembelajaran konvensional mengalami peningkatan sebesar 23,53, sedangkan kelas
eksperimen yang diberi perlakuan pembelajaran menggunakan media kuis interaktif
mengalami peningkatan sebesar 45,20. Artinya, kelas eksperimen memiliki peningkatan hasil
belajar lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol.
Hasil belajar siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen berdasarkan ranah kognitif
dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

24
25 22 22 22 22 23
Pretest Kontrol
18 18
20
Jumlah Siswa

15
Posttest Kontrol
15 12 12 12
11
10 9
10 Pretest Eksperimen
6
5 Posttest

0 Eksperimen
C1 C2 C3 C4
Ranah Kognitif
Gambar 2 Hasil Belajar Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Berdasarkan Ranah
Kognitif

Diagram pada Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan, pada saat
pretest kelas kontrol lebih unggul daripada kelas eksperimen di setiap ranah kognitif. Namun,
pada saat posttest kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan dengan kelas kontrol.
Pada saat pretest, jumlah siswa yang menjawab benar di kelas kontrol pada ranah
kognitif C1 sebanyak 15 orang, sementara pada saat posttest sebanyak 22 orang. Pada ranah
kognitif C2 sebanyak 12 orang, sementara pada saat posttest sebanyak 22 orang. Jumlah
siswa yang menjawab benar pada ranah kognitif C3 sebanyak 11 orang, sementara pada saat
posttest sebanyak 18 orang. Selanjutnya, pada ranah kognitif C4 sebanyak 12 orang,
sementara pada saat posttest sebanyak 18 orang.
Pada saat pretest, jumlah siswa yang menjawab benar di kelas eksperimen pada ranah
kognitif C1 sebanyak 12 orang, sementara pada saat posttest sebanyak 24 orang. Pada ranah
kognitif C2 sebanyak 10 orang, sementara pada saat posttest sebanyak 22 orang. Jumlah
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

728
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

siswa yang menjawab benar pada ranah kognitif C3 sebanyak 9 orang, sementara pada saat
posttest sebanyak 22 orang. Selanjutnya, jumlah siswa yang menjawab benar di kelas
eksperimen pada ranah kognitif C4 sebanyak 6 orang, sementara pada saat posttest sebanyak
23 orang.
Hasil pretest menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) kelas kontrol maupun kelas
eksperimen tidak jauh berbeda. Dari hasil pretest diketahui bahwa hasil belajar siswa baik
kelas kontrol maupun kelas eksperimen sangat rendah. Hal tersebut dikarenakan baik kelas
kontrol maupun kelas eksperimen belum diberikan perlakuan. Namun, setelah diberikan
perlakuan yang berbeda, didapatkan perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata kelas
kontrol dengan nilai rata-rata kelas eksperimen. Jika dilihat berdasarkan nilai rata-rata
posttest, maka kelas eksperimen yang menggunakan media kuis interaktif nilai rata-ratanya
lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Terdapat selisih sebesar 10,87 antara nilai
rata-rata kelas eksperimen dengan nilai rata-rata kelas kontrol. Hal ini senada dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Haryosso dan Supriyadi (2013), didapatkan hasil bahwa siswa
yang menggunakan media kuis interaktif menghasilkan nilai rata-rata (mean) lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa yang tidak menggunakan media kuis interaktif.
Untuk melihat peningkatan pretest dan posttest pada kelas kontrol dan eksperimen
maka dilakukan uji N-Gain. Hasil uji N-Gain dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.

1,00
0,66 0,63 0,69
0,48 0,53 0,60
N-Gain

0,50 0,35 0,34

0,00
C1 C2 C3 C4
Ranah Koggnitif

kontrol eksperimen

Gambar 3 Peningkatan Hasil Belajar Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Berdasarkan
Ranah Kognitif
Diagram pada Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa setelah diberikan perlakuan yang
berbeda terhadap kelas kontrol dan eksperimen, hasil belajar siswa pada ranah kognitif C1
(mengingat), C2 (memahami), C3 (menerapkan), dan C4 (menganalisis) baik kelas kontrol
maupun kelas eksperimen mengalami peningkatan. Secara keseluruhan, kelas ekperimen lebih
unggul dibandingkan dengan kelas kontrol. Kelas eksperimen unggul dalam meningkatkan
ranah kognitif C1 (mengingat) dengan nilai N- Gain sebesar 0,66, C2 (memahami) dengan
nilai N-Gain sebesar 0,60, C3 (menerapkan) dengan nilai N- Gain sebesar 0,63, dan C4

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

729
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

(menganalisis) dengan nilai N-Gain sebesar 0,65. Berdasarkan nilai N-Gain yang diperoleh di
setiap ranah kognitif, maka didapatkan rata-rata N-Gain ranah kognitif C1 sampai C4
sebesar 0,64 dengan kategori sedang.
Berdasarkan ranah kognitif, hasil belajar siswa pada kelas eksperimen maupun kelas
kontrol mengalami peningkatan. Namun kelas eksperimen lebih unggul dibandingkan dengan
kelas kontrol dalam meningkatkan setiap ranah kognitif. Beberapa keunggulan pada media
kuis interaktif berpengaruh terhadap peningkatan hasil posttest kelas eksperimen pada ranah
kognitif C1 (mengingat), C2 (memahami), C3 (menerapkan) dan C4 (menganalisis).
Pada ranah kognitif C1 (mengingat), kelas eksperimen mengalami peningkatan lebih
tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini terjadi karena pada media kuis interaktif disajikan
pembahasan materi yang jelas, serta gambar dan animasi yang dapat membantu siswa untuk
mengingat materi yang telah dipelajari, sehingga pada saat siswa menemukan permasalahan
terkait konsep suhu dan kalor, siswa dapat dengan mudah mengingat informasi yang telah
didapatkannya dengan mengingat kembali beberapa gambar dan animasi yang ada pada media
kuis interaktif. Arsyad (2011) menyatakan bahwa media gambar dan animasi dapat
memperkuat ingatan. Selain itu, adanya interaksi antara siswa dengan media kuis interaktif
membuat siswa cepat menangkap apa yang telah disajikan. Hal ini didukung dengan hasil
angket, dimana pada indikator penggunaan media kuis interaktif dalam proses pembelajaran
memperoleh kategori baik dengan persentase 80%.
Media kuis interaktif juga meningkatkan kemampuan memahami (C2) siswa pada
kelas eksperimen. Kemampuan memahami meningkat karena di dalam media kuis interaktif
disajikan beberapa animasi dan visualisasi terkait dengan konsep suhu dan kalor. Dengan
visualisasi tersebut, siswa dengan mudah dapat membedakan perubahan suhu dan
perubahan wujud serta memahami berbagai jenis pemuaian melalui beberapa animasi pada
media kuis interaktif. Siswa juga dapat melihat perbedaan berbagai macam cara perpindahan
kalor melalui tampilan animasi yang ada pada media kuis interaktif. Gambar dan animasi
tersebut dapat membantu siswa memahami konsep suhu dan kalor dengan mudah, serta
membuat pemahaman siswa terhadap konsep tersebut terkonstruk. Menurut Arsyad, media
gambar dan animasi dapat memperlancar pemahaman (Arsyad, 2011). Hal ini juga didukung
dengan hasil angket, dimana pada indikator penggunaan animasi pada media kuis interaktif
memperoleh kategori baik sekali, dengan persentase 82%.
Kemampuan menerapkan (C3) juga dapat ditingkatkan dengan menggunakan media
kuis interaktif. Selain gambar dan animasi, pada media kuis interaktif disajikan juga soal-soal
hitungan. Pada soal hitungan tersebut disajikan pembahasan yang sistematis guna membantu
siswa memahami dan mengatasi masalah yang disajikan. Pada pembahasan ini juga
ditampilkan rumus rumus atau persamaan-persamaan fisika. Menurut Anderson (2010), soal
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

730
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

latihan yang menggunakan persamaan- persamaan fisika melatih siswa dalam menerapkan
persamaan tersebut ketika mengerjakan soal. Ketika soal kuis disertai dengan
pembahasannya sudah tersaji dalam media kuis interaktif, maka tidak banyak waktu yang
diperlukan oleh guru untuk menjelaskan soal dan pembahasan tersebut, sehingga
pembelajaran menjadi lebih efisien. Media kuis interaktif ini mendorong siswa untuk
menerapkan pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan diterapkan ketika siswa
menyelesaikan soal pada bagian evaluasi dengan menggunakan rumus atau persamaan yang
ada pada media kuis interaktif. Penjelasan terkait simbol yang ada di rumus dapat dilihat
langsung oleh siswa ketika siswa mengarahkan kursor pada rumus yang disajikan, membuat
rumus-rumus pada media kuis interaktif mudah untuk dipahami. Hal ini didukung dengan
hasil angket respon siswa yang memperoleh kategori baik pada indikator penjelasan rumus
pada media kuis interaktif dengan persentase 79%.
Pada ranah kognitif C4 (menganalisis), kelas eksperimen juga mengalami peningkatan
lebih tinggi dari pada kelas kontrol. Keunggulan ini dikarenakan pada kuis interaktif, siswa
dilatih untuk menganalisis keterkaitan antara rumus-rumus yang digunakan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang disajikan pada soal kuis selanjutnya. Menurut Anderson (2010),
menganalisis melibatkan proses menguraikan materi soal menjadi bagian-bagian kecil dan
menentukan bagaimana hubungan antara bagian dan antara setiap bagian soal. Jadi, dengan
menguraikan materi soal tersebut maka kemampuan siswa dalam menganalisis akan
terkonstruk. Hal ini didukung dengan hasil angket respon siswa yang memperoleh kategori
baik pada indikator penyajian materi suhu dan kalor pada pembahasan kuis interaktif dengan
persentase 80%. Sementara pada kelas kontrol guru hanya membahas soal-soal analisis (C4)
secara konvensional di papan tulis, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk
mengerjakan soal. Waktu yang dibutuhkan akan lebih lama lagi ketika terdapat siswa yang
belum paham dengan apa yang dijelaskan oleh guru, sehingga guru harus menjelaskannya
kembali. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan
berdistribusi normal atau tidak, dengan melihat ketentuan bahwa data terdistribusi normal
jika memenuhi Lhitung ≤ Ltabel diukur pada taraf signifikan 5%.
Tabel 3 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Liliefors Pretest dan Posttest Kelas Kontrol
dan Kelas Eksperimen
Pretest Posttest
Statistik Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Lhitung 0,156 0,134 0,135 0,133


Ltabel 0,161 0,161 0,161 0,161
Keputusan Normal Normal Normal Normal

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

731
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa hasil uji normalitas nilai pretest dan posttest
menunjukkan bahwa Lhitung ≤ Ltabel, artinya keempat data terdistribusi normal.
Tabel 4 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan
Kelas Eksperimen
Pretest Posttest
Statistik Kelas Kelas Kelas Kelas
Kontrol Eksperimen Kontrol Eksperimen
Nilai varians 60,58 44,52 72,60 69,35

Fhitung 1,36 1,05


Ftabel 1,85
keputusan Kedua data homogen Kedua data homogen

Nilai Ftabel diperoleh dari F statistik pada taraf signifikansi 5%. Keputusan diambil
berdasarkan pada ketentuan pengujian hipotesis homogenitas, yaitu Fhitung ≤ Ftabel, maka
data dinyatakan homogen. Tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa nilai Fhitung data pretest
sebesar 1,36 dan data posttest sebesar 1,05. Artinya, kedua data lebih kecil dari Ftabel,
sehingga dinyatakan bahwa kelas kontrol dan kelas eksperimen memiliki kemampuan yang
sama, baik pada saat pretest maupun posttest. Pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan rumus uji t analisis tes statistik parametrik. Hasil perhitungan dapat dilihat
pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan Kelas
Eksperimen
Statistik Pretest Posttest
Nilai -5,77 4,99
Nilai
thitung 1,67
tTabelKeputus Ha Ha
an ditolak diterima
Berdasarkan analisis data tes, diperoleh bahwa thitung > ttabel. Artinya, terdapat
pengaruh media kuis interaktif berbantuan komputer terhadap hasil belajar fisika siswa pada
konsep suhu dan kalor. Berdasarkan hasil uji hipotesis dengan menggunakan perhitungan uji t
test pada taraf signifikansi α = 0.05 terhadap data posttest, diketahui bahwa nilai thitung
sebesar 4,99 dan nilai ttabel sebesar 1,67. Artinya, nilai thitung lebih besar dibandingkan
nilai ttabel, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap
penggunaan media kuis interaktif pada konsep suhu dan kalor. Hasil ini senada dengan hasil
penelitian Gilang dan Sutiman yang menunjukkan bahwa terdapat dampak positif dan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

732
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

signifikan antara pemanfaatan media pembelajaran berbasis komputer dan metode mengajar
guru terhadap prestasi belajar siswa kelas X AP di SMK Muhammadiyah 2 Yogyakarta
(Gilang & Sutiman, 2013).
Pembelajaran fisika menjadi lebih menarik dengan menggunakan media kuis interaktif
pada konsep suhu dan kalor. Hasil ini diperoleh dari hasil angket respon siswa terhadap
media kuis interaktif. Berdasarkan hasil angket, keseluruhan penggunaan media kuis
interaktif dalam pembelajaran fisika pada konsep suhu dan kalor mendapatkan respon yang
baik. Hal ini dikarenakan dalam media kuis interaktif ditampilkan pertanyaan yang disajikan
dengan beberapa gambar dan animasi serta pembahasan mengenai konsep suhu dan kalor.
Gambar dan animasi tersebut disajikan untuk memvisualisasikan konsep yang akan
disampaikan kepada siswa, sehingga siswa menjadi lebih tertarik untuk mempelajari konsep
tersebut. Pal dan Sana (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pembelajaran
menggunakan multimedia interaktif berbasis komputer dalam proses pembelajaran dapat
membuat pembelajaran lebih menarik, menstimulus, dan interaktif dari pada pembelajaran
tradisional dengan hanya menggunakan media kapur tulis dan metode ceramah. Selanjutnya,
Kadek dan Sukoco (2013) mengungkapkan bahwa pelajaran yang dibuat visualisasi ke dalam
bentuk gambar animasi lebih bermakna dan menarik, lebih mudah diterima, dipahami dan
lebih dapat memotivasi siswa.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran dengan media kuis interaktif dilakukan secara
individu oleh masing-masing siswa di laboratorium komputer. Prinsip media kuis interaktif
mengacu pada pembelajaran berbantuan komputer. Interaksi dalam pembelajaran berbantuan
komputer pada umumnya mengikuti tiga unsur, yaitu (1) urutan-urutan instruksional yang
dapat disesuaikan, (2) jawaban/respons pekerjaan siswa, dan (3) umpan balik yang dapat
disesuaikan (Arsyad, 2011). Sesuai dengan prinsip tersebut, siswa berperan aktif dalam
pembelajaran karena menggunakan komputer secara mandiri. Kendali berada di tangan siswa,
sehingga tingkat kecepatan belajar siswa dapat disesuaikan dengan tingkat penguasaannya.
Disamping itu, menurut Rusman (2012) komputer juga dapat diprogram untuk memberikan
umpan balik, memeriksa dan memberikan skor hasil belajar secara otomatis. Siswa dituntut
untuk berinteraksi secara langsung dengan komputer. Siswa harus menyelesaikan semua
pengalaman belajarnya dengan media kuis interaktif. Bila siswa salah dalam menjawab
pertanyaan pada kuis, maka komputer akan memberikn feedback, bahwa jawaban salah dan
memberikan pembahasan mengenai jawaban yang benar. Pada akhir program selalu
ditampilkan skor atau nilai akhir, bila belum mencapai KKM maka siswa harus mengulang
kuis dari awal dengan menekan tombol “ulang” pada media kuis interaktif.
Salah satu kelemahan media kuis interaktif dalam proses pembelajaran adalah terdapat
beberapa siswa yang belum memahami prosedur penggunaan media kuis interaktif. Hal ini

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

733
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menjadi sebuah kendala bagi guru ketika meminta siswa mengklik tombol yang ada pada
media kuis interaktif. Namun secara keseluruhan hasil angket respon siswa menunjukkan
bahwa sebesar 81% siswa setuju dengan pernyataan media kuis interaktif dapat menjadikan
pembelajaran lebih aktif karena menggunakan komputer secara mandiri. Hal ini
menunjukkan bahwa secara keseluruhan penggunaan media kuis interaktif dalam proses
pembelajaran memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar siswa.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh media kuis
interaktif berbantuan komputer terhadap hasil belajar fisika siswa pada konsep suhu dan
kalor di SMA AL- Hasra. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari hasil uji hipotesis yang
menyatakan bahwa thitung > ttabel. Pembelajaran menggunakan media kuis interaktif juga
dapat meningkatkan ranah kognitif C1 (mengingat), C2 (memahami), C3 (menerapkan), dan
C4 (menganalisis). Selain itu, hasil analisis angket respon siswa terhadap media kuis interaktif
berbantuan komputer juga menunjukkan bahwa penggunaan media kuis interaktif berbantuan
komputer dalam proses pembelajaran fisika pada konsep suhu dan kalor secara keseluruhan
memperoleh hasil dengan kategori baik.
Saran
Program komputer biasanya menggunakan perangkat keras (hardware) dengan
spesifikasi yang sesuai. Namun perangkat lunak (software) seringkali tidak dapat digunakan
pada komputer yang spesifikasinya tidak sesuai. Untuk itu pemilihan jenis software yang
digunakan dalam pembelajaran harus benar-benar diperhatikan. Selain itu, diperlukan
pengetahuan untuk mengoperasikan program pada komputer. Jika penelitian ini akan
dilanjutkan, maka sebaiknya guru menyediakan waktu yang lebih banyak untuk menjelaskan
pengoperasian program komputer, sehingga tidak ada siswa yang mengalami kesulitan ketika
menggunakan media kuis interaktif selama kegiatan pembelajaran.

Daftar Pustaka

Anderson Lorin W. and Krathwohl, David R. 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran,
Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom, Terj. dari A Taxonomy
for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy Educational
Objectives oleh Agung Prihantoro cet. I,. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

734
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Aniqotunnisa, Siti. 2013. Pengembangan Media Pembelajaran Kuis Interaktif Nahwu Berbasis
Macromedia Flash 8 Sebagai Sumber Belajar Mandiri di Madrasah Tsanawiyah Ibnul
Qoyyim Putra Kelas VII. Skripsi Universitas Islam Negeri Kalijaga, Yogyakarta
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Haryosso, Tri dan Supriyadi. 2013. “Pengembangan Media Kuis Interaktif Menggunakan
Macromedia Flash Ditinjau Dari Pemahaman Konsep Fisika Pada Pokok Bahasan
Cahaya”. Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta, Vol. 2.
Hermawan. 2012. “Penggunaan Pemberian Kuis Sebelum Kegiatan Pembelajaran Sebagai Upaya
Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas VI SDN Ngabean Kecamatan Secang
Kabupaten Magelang Tahun Ajaran 2011/2012”. Skripsi Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga.
Khristiani, Yenny. 2013. “Analisis Ragam Perubahan Konsepsi Kalor Siswa SMA Negeri 5
Malang”. Skripsi Universitas Negeri Malang, Malang.
Pal, Sujit dan Sana, Sibananda. 2012. Influence of Interactive Multimedia Courseware: a Case Study
among the Students of Physical Science of Class VIII. Bhatter College Journal of
Multidisciplinary Studies,Vol. II.
Rusman. 2012. Belajar dan Pembelajaran Berbantuan Komputer. Bandung: Alfabeta.
Rusman, Kurniawan, Deni, dan Riyana, Cepi. 2013. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi
Dan Komunikasi : Mengembangkan Profesionalitas Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Sukiyasa, Kadek dan Sukoco. 2013. Pengaruh Media Animasi Terhadap Hasil Belajar dan Motivasi
Belajar Siswa Materi Sistem Kelistrikan Otomotif. Jurnal Pendidikan Vokasi, Vol 3, No.
1.
Sunu A.P, Gilang., dan Sutirman. 2013. Dampak Pemanfaatan Media Pembelajaran Berbasis
Komputer Dan Metode Mengajar Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa. Jurnal P. ADP
Universitas Negeri Yogyakarta , Vol. 2.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

735
Prita Rabbani Suherman, Iwan Permana Suwarna, Dwi Nanto
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: prita.rabbani@gmail.com, iwan.permana.suwarna@gmail.com,
m_dwiner@yahoo.co.id

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh game digital Rescue Robotics terhadap hasil
belajar siswa dan mengetahui respon siswa terhadap penggunaan game digital Rescue Robotics pada konsep
fluida dinamis. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 4 Tangerang Selatan pada kelas XI IPA 5 sebagai kelas
eksperimen dan kelas XI IPA 3 sebagai kelas kontrol. Metode penelitian yang digunakan, yaitu kuasi
eksperimen dengan desain nonequivalent control group design dan teknik pengambilan sampel purposive
sampling. Instrumen yang digunakan, yaitu instrumen tes berupa tes objektif tipe pilihan ganda dan instrumen
non tes berupa angket. Berdasarkan analisis data tes, diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh game digital
Rescue Robotics terhadap hasil belajar siswa pada konsep fluida dinamis. Hal tersebut berdasarkan pada hasil
uji hipotesis dengan menggunakan uji t terhadap data posttest. Hasilnya, yaitu nilai thitung sebesar 8,44 dan nilai
ttabel sebesar 2,00. Terlihat bahwa nilai thitung > ttabel. Selain itu, hasil belajar siswa kelas eksperimen yang
menggunakan game digital Rescue Robotics unggul pada semua ranah kognitif yang diteliti, yaitu C1
(mengingat), C2 (memahami), C3 (menerapkan) dan C4 (menganalisis). Analisis data nontes, yaitu secara
keseluruhan penggunaan game digital Rescue Robotics dalam pembelajaran fisika pada konsep fluida dinamis
memperoleh respon pada kategori baik sekali.

Kata Kunci: game digital Rescue Robotics, hasil belajar, angket, fluida dinamis

Pendahuluan
Fluida dinamis merupakan satu diantara beberapa konsep yang dipelajari dalam fisika.
Konsep fluida dinamis bersifat aplikatif karena berkaitan erat dengan fenomena dalam
kehidupan sehari-hari. Konsep fluida dinamis memiliki peranan penting dan bermanfaat
dalam kehidupan. Konsep tersebut banyak menjelaskan tentang penerapan hukum dan rumus
pada prinsip pembuatan alat-alat sederhana maupun teknologi tingkat tinggi. Penerapan yang
dikaji dalam fluida dinamis diantaranya tentang aplikasi hukum Bernoulli pada tabung pitot.
Tabung pitot dapat diaplikasikan diantaranya dalam bidang teknik sipil. Tabung pitot
berfungsi untuk mengukur kelajuan aliran udara. Kelajuan aliran udara yang telah diketahui
dapat digunakan untuk menghitung tekanan angin pada dinding persatuan luas. Data tekanan
angin tersebut dapat dijadikan sebagai standar perhitungan beban akibat angin yang berguna
dalam mendesain struktur suatu bangunan.
Mengingat peranan penting konsep fluida dinamis dalam kehidupan, maka dasar-dasar
konsep fluida dinamis perlu dipelajari dengan baik oleh siswa. Namun, pembahasan fluida
dinamis dalam pembelajaran di sekolah banyak menggunakan objek/gambar dalam bentuk
2D seperti yang terdapat pada buku paket. Tampilan objek/gambar seperti ini belum dapat

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

membuat siswa memahami secara jelas alur suatu proses dari penerapan alat-alat tersebut.
Selain itu, latihan-latihan soal yang diberikan untuk mengasah kemampuan siswa sering
dianggap beban oleh siswa. Keadaan seperti ini menjadikan suasana pembelajaran cenderung
membosankan (Purnomo, 2011). Jika hambatan-hambatan tersebut terus berlanjut, maka
ketercapaian tujuan pembelajaran tidak akan maksimal. Hal ini akan berdampak pada hasil
belajar siswa yang rendah.
Mengatasi hambatan-hambatan dalam pembelajaran fluida dinamis seperti yang telah
dijelaskan, maka solusi yang dapat diterapkan diantaranya dengan menggunakan multimedia
interaktif berupa game digital. Pemilihan game didasarkan karena menurut hasil survei
Lembaga Survei Global IDC mencatat bahwa 20% pengguna internet di Indonesia, yaitu
para pemain online game. Selain itu, Indonesia memiliki jumlah pelanggan internet sudah
mencapai 69,2 juta orang dan berpotensi untuk dikembangkan. Pengguna internet terbesar
berusia antara 12-34 tahun (64,2%) dan yang paling meningkat tajam, yaitu usia muda
antara 10-20 tahun. Jika dihitung, pengguna internet usia muda sebesar 64,2% dari 69,2 juta
atau sekitar 44 juta orang dan 20% dari 69,2 juta pengguna internet atau sekitar 13,84 juta
orang Indonesia bermain game. Data tersebut menunjukkan bahwa anak muda usia sekolah
memiliki ketertarikan yang sangat tinggi terhadap game (Prastika, 2013). Keadaan tersebut
dapat dimanfaatkan untuk menjadikan game sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran
yang dikemas sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Game yang diterapkan dalam pembelajaran memiliki beberapa kelebihan diantaranya:
menyenangkan untuk dilakukan, menarik perhatian siswa, membuat belajar menjadi lebih
mudah, dan membuat siswa lebih bekerja keras karena ingin memenangkan game (Koptelov
dan Taube, 2015). Game juga dianggap dapat menjadi alat bantu belajar untuk suatu mata
pelajaran yang sulit dipahami (Munir, 2012). Selain itu, berdasarkan dari segi motivasi game
komputer dianggap sebagai alat yang sempurna untuk tujuan pendidikan (Gokdal, 2008).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibuat sebuah game digital dengan judul Rescue
Robotics.
Game digital Rescue Robotics bercerita tentang seorang robot yang memiliki misi atau
tantangan untuk menyelamatkan orang-orang yang sedang mengalami kesulitan. Kesulitan
atau permasalahan yang akan dihadapi pada setiap levelnya berkaitan tentang penerapan atau
aplikasi dari konsep fluida dinamis. Misalnya, untuk menjelaskan persamaan kontinuitas.
Siswa yang berperan sebagai robot penyelamat memiliki misi untuk menyelamatkan suatu
tempat dari kebakaran. Siswa harus memilih diameter ukuran pipa yang tepat untuk
mengalirkan air agar api dapat dipadamkan. Hal ini dimaksudkan agar siswa memahami
persamaan kontinuitas terkait luas penampang dan kecepatan air. Pada game ini siswa
diminta untuk meyelesaikan soal-soal dalam alur cerita yang bertujuan untuk mengasah

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

737
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

kemampuan siswa. Latihan soal yang diberikan dalam bentuk game dan disajikan dalam suatu
alur cerita membuat siswa tidak merasa terbebani dengan pengerjaan soal-soal dan
menjadikan suasana pembelajaran lebih menyenangkan.
Game digital Rescue Robotics juga didesain dalam bentuk tampilan 3D. Pemilihan
desain game dalam bentuk tampilan 3D dikarenakan seseorang cenderung lebih fokus melihat
tampilan animasi 3D dibandingkan 2D (Dian dan Michel, 2010). Tampilan 3D juga
memiliki beberapa kelebihan diantaranya dapat menunjukkan objek secara utuh, baik cara
kerja maupun alur suatu proses secara jelas (Daryanto, 2010). Game digital dapat diartikan
sebagai sebuah sistem permainan yang memiliki aturan dan tujuan (goal) tertentu yang
didesain dan dikembangkan melalui program elektronik. Tujuan yang dapat dicapai dengan
menerapakan game digital dalam pembelajaran (Qteefan, 2012), diantaranya: 1) sarana
belajar yang mampu membantu anak untuk menemukan dan menjelajahi dunia sekitarnya; 2)
alat untuk mengembangkan kompetensi kognitif; 3) meningkatkan sosial dan aspek afektif
pada anak; 4) alat pemenuhan/pelengkap untuk membantu anak menghilangkan stres dan
perasaan tertekan; dan 5) alat ekspresi karena dapat menjadi alat komunikasi yang melampaui
bahasa.
Game digital Rescue Robotics merupakan sebuah sistem permainan yang didesain dan
dikembangkan dengan menggunakan piranti komputer melalui program Unity 3D. Game ini
termasuk kedalam jenis game edukasi karena bertujuan untuk menyampaikan suatu materi
kepada penggunanya. Fitur-fitur yang terdapat dalam game digital ini, diantaranya tampilan
animasi dalam bentuk 3D, latar musik sebagai pengiring jalannya permainan, pemberian
waktu, dan pemberian nyawa.

Metode
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 4 Tangerang Selatan yang berlokasi di
jalan WR. Supratman Komp. Pertamina Pondok Ranji Tangerang Selatan. Waktu penelitian
dilakukan pada bulan Mei semester genap tahun ajaran 2014/2015. Metode penelitian yang
digunakan, yaitu metode kuasi eksperimen. Desain penelitian yang digunakan, yaitu
nonequivalent control group design. Desain penelitian ini terdiri dari dua kelompok, yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dan tidak dipilih secara random. Kelompok
eksperimen akan diberikan perlakuan pembelajaran menggunakan game digital Rescue
Robotics, sedangkan kelompok kontrol diberikan perlakuan pembelajaran secara
konvensional dengan menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS). Sampel yang digunakan pada
penelitian ini, yaitu kelas XI IPA 5 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 3 sebagai kelas
kontrol. Kedua sampel tersebut ditentukan dengan mengggunakan teknik sampling. Teknik

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

738
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

sampling yang digunakan, yaitu purposive sampling. Penentuan sampel sebagai kelas
eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan pada hasil pretest. Hasil pretest yang lebih rendah
akan dijadikan sebagai kelas eksperimen, sedangkan hasil pretest yang lebih tinggi akan
dijadikan sebagai kelas kontrol.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan tes dan nontes.
Tes digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa pada ranah kognitif. Ranah kognitif yang
diteliti meliputi kemampuan C1 (mengingat), C2 (memahami), C3 (menerapkan), dan C4
(menganalisis). Nontes yang digunakan, yaitu angket dengan tujuan untuk mengetahui
tanggapan atau respon siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan game digital Rescue
Robotics. Data hasil tes di analisis dengan menggunakan uji t yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh dari game digital Rescue Robotics terhadap hasil belajar siswa pada
konsep fluida dinamis. Data hasil angket dianalisis secara kuantitatif dengan cara
menjumlahkan masing-masing skor pada setiap indikator dan dihitung persentasenya. Setelah
itu, data tersebut dikonversi menjadi data kualitatif.

Hasil dan Pembahasan


Data hasil perhitungan prestest dan posttest pada kelas ekperimen dan kelas kontrol
dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:
Analisa Kebutuhan
Tabel 1 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Pretest dan Posttest
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Pemusatan dan
No (XI IPA 5) (XI IPA 3)
Penyebaran Data
Pretest Posttest Pretest Posttest
1 Nilai Terendah 8,00 63,00 13,00 58,00
2 Nilai Tertinggi 33,00 88,00 42,00 79,00
3 Median 21,88 80,50 26,50 66,17
4 Modus 18,50 81,25 29.50 63,79
5 Rata-rata 23,00 79,83 26,17 66,83
6 Standar Deviasi 7,14 6,50 8,17 5,36

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

739
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa hasil pretest kedua kelas tergolong rendah. Setelah
diberikan perlakuan terhadap kelas eksperimen berupa pembelajaran menggunakan game
digital Rescue Robotics dan kelas kontrol berupa LKS, terlihat terjadi peningkatan hasil
belajar pada kedua kelas. Peningkatan pada kedua kelas dapat terlihat dari perolehan nilai
pretest dan posttest. Pada saat pretest nilai tertinggi kelas eksperimen dan kelas kontrol hanya
memperoleh hasil 33 dan 42. Selanjutnya, pada saat posttest nilai tertinggi yang diperoleh
oleh kelas eksperimen dan kelas kontrol mencapai nilai 88 dan 79. Secara keseluruhan kelas
eksperimen memiliki jumlah siswa yang mendapatkan nilai tinggi lebih banyak daripada kelas
kontrol, sehingga nilai rata-rata kelas ekperimen (79,83) lebih besar daripada kelas kontrol
(66,83).
Hasil belajar siswa untuk setiap ranah kognitif dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah
ini:

Gambar 1 Hasil Belajar Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Berdasarkan Ranah
Kognitif
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa pada saat pretest persentase terbesar dari kedua
kelas terdapat di kelas kontrol dengan persentase 30,8% pada jenjang ranah kognitif
menganalisis (C4). Persentase terkecil dari kedua kelas terdapat di kelas eksperimen dengan
persentase 19,2% pada jenjang ranah kognitif mengingat (C1). Pada saat posttest, terlihat
bahwa secara keseluruhan persentase yang diperoleh kelas eksperimen unggul daripada kelas
kontrol untuk setiap jenjang kognitif mengingat (C1), memahami (C2), menerapkan (C3),
dan menganalisis (C4).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

740
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Peningkatan pada setiap jenjang kognitif dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2 Peningkatan Hasil Belajar Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Berdasarkan
Ranah Kognitif
Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa kemampuan kognitif siswa kelas eksperimen
dan kelas kontrol pada jenjang ranah kognitif mengingat (C1), memahami (C2), menerapkan
(C3), dan menganalisis (C4) mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar baik kelas
ekperimen maupun kelas kontrol terdapat pada jenjang ranah kognitif menerapkan (C3),
yaitu 72,4% dan 63,8%. Secara keseluruhan peningkatan hasil belajar kelas ekperimen
unggul dibandingkan kelas kontrol pada semua jenjang ranah kognitif mengingat (C1),
memahami (C2), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4).

Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji pada taraf signifikansi 5%. Hasil
perhitungan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Uji Hipotesis Pretest-Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Pretest Posttest
Statistik
Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol
N 30 30 30 30
23,00 26,17 79,83 66,83
S 7,14 8,17 6,50 5,36
1,60 8,44
2,00
Kesimpulan Tidak Terdapat Pengaruh Terdapat Pengaruh

Berdasarkan Tabel 2, hasil pretest siswa sebelum diberikan perlakuan menunjukkan


bahwa , yaitu 1,60 < 2,00 sehingga hipotesis nol (H0) diterima dan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

741
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

hipotesis alternatif (Ha) ditolak. Artinya, bahwa tidak terdapat pengaruh game digital Rescue
Robotics terhadap hasil belajar siswa pada konsep fluida dinamis sebelum diberi perlakuan.
Pada hasil uji hipotesis nilai posttest antara kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh
, yaitu 8,44 > 2,00 sehingga hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis
alternatif (Ha) diterima. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh game digital
Rescue Robotics terhadap hasil belajar siswa pada konsep fluida dinamis setelah diberi
perlakuan.
Selain itu, berdasarkan data angket yang telah dihitung secara kuantitatif dengan cara
menjumlahkan masing-masing skor pada setiap indikator kemudian dihitung persentasenya
dan dikonversi menjadi data kualitatif diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 3 Hasil Angket Penggunaan Game Digital Rescue Robotics
Kelas Eksperimen
Indikator Angket
Persentase Keterangan
Penggunaan game digital Rescue Robotics dalam
83,33% Sekali
proses pembelajaran
Desain game digital Rescue Robotics 76,53% Baik
Penyajian konsep materi 83,75% Baik Sekali
Penyajian animasi 77,92% Baik
Penyajian latihan soal 83,96% Baik Sekali
Rata-rata 81,10% Baik Sekali

Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa secara keseluruhan penggunaan game digital


Rescue Robotics pada konsep fluida dinamis mendapatkan rata-rata persentase sebesar
81,10%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan game digital Rescue Robotics mendapat
respon dari siswa dengan kategori baik sekali. Berdasarkan hasil pretest, diketahui bahwa hasil
belajar siswa tergolong rendah. Hal tersebut terjadi karena kelas eksperimen dan kelas kontrol
sama-sama belum diberikan perlakuan. Selanjutnya, setelah kedua kelas diberikan perlakuan,
terdapat perbedaan di antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil uji
hipotesis dengan menggunakan perhitungan uji t test pada taraf signifikansi α = 0.05
terhadap data posttest, diperoleh nilai sebesar 8,44 dan nilai sebesar 2,00.
Terlihat bahwa nilai lebih besar dibandingkan nilai , artinya terdapat pengaruh
game digital Rescue Robotics terhadap hasil belajar siswa pada konsep fluida dinamis.
Hasil di atas sejalan dengan pernyataan sebuah buku yang berjudul digital games in
schools bahwa game digital memiliki beberapa kelebihan diantaranya game mampu
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

742
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

mengembangkan kemampuan kognitif, kemampuan spatial, dan keterampilan motorik serta


membantu meningkatkan keterampilan ICT (information and communications technology)
(Felicia, 2009). Game komputer menjadi sebuah pendekatan yang efektif untuk
meningkatkan pembelajaran siswa. Tiga hasil belajar utamanya telah ditunjukkan, yaitu
perubahan secara konseptual, pengembangan keterampilan, dan bidang pengetahuan (Tjandra
dkk., 2013). Selain itu, berdasarkan hasil angket respon siswa tentang penggunaan game
digital Rescue Robotics dalam proses pembelajaran mendapatkan respon yang baik dengan
persentase 83,33%. Hasil tersebut diantaranya menyatakan bahwa game digital Rescue
Robotics menjadikan pembelajaran lebih menyenangkan dan siswa merasa latihan soal yang
terdapat dalam game digital Rescue Robotics dapat menambah minat dan motivasi mereka
untuk mengerjakan soal.
Pada jenjang kognitif mengingat (C1), kelas eksperimen mengalami peningkatan lebih
tinggi daripada kelas kontrol. Hal tersebut terjadi karena dalam pembelajaran dengan
menggunakan game, siswa diberikan misi/tantangan yang menjadikan mereka termotivasi
dalam mempelajari dan berusaha mengingat ringkasan materi yang diberikan dalam game.
Hal ini sesuai dengan fungsi dari game digital yang dapat digunakan untuk mengajarkan
fakta-fakta, misalnya pengetahuan, hafalan, prinsip belajar atau ingatan (Felicia, 2009).
Penggunaan game digital merupakan cara yang efisien untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam mengidentifikasi dan mengingat (Lin dkk., 2013). Selain itu, berdasarkan hasil angket
sebanyak 85,83% siswa merasa ringkasan materi yang terdapat dalam game digital Rescue
Robotics memudahkan mereka untuk mengingat konsep fluida dinamis. Sebanyak 83,33%
siswa juga menyatakan bahwa latihan soal yang terdapat dalam game digital Rescue Robotics
mampu membantu mereka dalam mengingat konsep fluida dinamis.
Pada jenjang kognitif memahami (C2), kelas eksperimen juga mengalami peningkatan
lebih tinggi daripada kelas kontrol. Pada kelas ekperimen game yang diberikan berisi soal-soal
yang dikemas dalam bentuk gambar dan animasi. Media gambar dan animasi (media visual)
dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan (Arsyad, 2011). Game juga
mampu membantu siswa untuk memahami suatu materi dengan cara yang lebih mereka sukai
tanpa merasakan tekanan dari sekitarnya, seperti dari teman-teman atau guru (Ibrahim dkk.,
2011). Selain itu, game dapat mendukung pembelajaran pada beberapa proses ranah kognitif
memahami (Sung dkk., 2008). Berdasarkan hasil angket menunjukkan bahwa 81,67% siswa
menyatakan ringkasan materi yang terdapat dalam game digital Rescue Robotics
memudahkan mereka untuk memahami konsep fluida dinamis. Selain itu, 85% siswa merasa
latihan soal yang terdapat dalam game digital Rescue Robotics mampu membantu mereka
dalam memahami konsep fluida dinamis.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

743
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pada jenjang kognitif menerapkan (C3), baik kelas ekperimen maupun kelas kontrol
sama-sama mengalami peningkatan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena soal latihan yang
dikerjakan kelas eksperimen dan kelas kontrol menggunakan persamaan-persamaan fisika
yang sudah dipelajari, sehingga siswa terlatih dalam menerapkan persamaan tersebut ketika
mengerjakan soal (Anderson dan Krathwohl, 2010). Meskipun kelas eksperimen dan kelas
kontrol sama-sama mengalami peningkatan, tetapi peningkatan pada kelas eksperimen lebih
tinggi daripada kelas kontrol. Hal tersebut karena pada kelas eksperimen siswa yang
mengerjakan soal dengan menggunakan game digital Rescue Robotics mendapatkan umpan
balik secara langsung pada jawaban yang dipilih. Umpan balik yang terdapat dalam game
akan membantu siswa memperoleh pengetahuan mengenai cara agar mereka lebih maju
sehingga dapat mencapai tujuan (Shute dkk., 2009). Pembelajaran dengan cara seperti ini
membuat siswa dapat mengetahui kesalahan pada jawabannya dan dapat segera memperbaiki
kesalahan tersebut, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Selain itu, lebih dari sebagian
besar siswa (67%) menyatakan mereka lebih menyukai menjawab pertanyaan dengan
menggunakan game dibandingkan dengan menggunakan buku atau kertas (Ibrahim dkk.,
2011). Hasil angket respon siswa juga menyatakan bahwa 86,67% siswa merasa latihan soal
yang terdapat pada game digital Rescue Robotics mampu membantu mereka dalam
menerapkan konsep fluida dinamis.
Pada jenjang kognitif menganalisis (C4), kelas eksperimen mengalami peningkatan
hasil belajar lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini karena game digital dapat memenuhi
tujuan pembelajaran dan membantu peserta didik untuk menerapkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi, diantaranya kemampuan memecahkan masalah (Shih dkk., 2010). Selain itu,
pada kelas ekperimen pembelajaran dengan menggunakan game digital Rescue Robotics
menyediakan misi/tantangan yang mencakup soal-soal latihan pada setiap jenjang ranah
kognitif termasuk C4. Keadaan tersebut menjadikan siswa termotivasi untuk menyelesaikan
misi, sehingga siswa berusaha dalam mengerjakan seluruh soal. Soal yang disajikan
diantaranya dalam bentuk animasi yang dapat membantu siswa untuk merinci bagian-bagian
dari suatu materi hingga struktur keseluruhan dapat dipahami. Hal ini sesuai dengan
pendapat Anderson dan Krathwohl (2010) yang menyatakan bahwa menganalisis melibatkan
proses memecah-mecah materi menjadi bagian-bagian kecil dan menentukan bagaimana
hubungan antar bagian dan antara setiap bagian dengan struktur keseluruhan. Hasil angket
respon siswa juga menunjukkan bahwa 77,50% siswa merasa penyajian animasi pada game
digital Rescue Robotics memudahkan mereka untuk menganalisis konsep fluida dinamis.
Selain itu, sebanyak 80,83% siswa merasa bahwa latihan-latihan soal yang disajikan dalam
game digital Rescue Robotics dianggap mampu membantu mereka dalam menganalisis
konsep fluida dinamis.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

744
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Secara keseluruhan game digital Rescue Robotics dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Hal ini berarti game digital Rescue Robotics memiliki beberapa keunggulan apabila
diterapkan dalam pembelajaran. Pertama, dalam game disajikan misi/tantangan yang
menjadikan siswa termotivasi untuk menyelesaikan misi tersebut. Artinya, siswa diharuskan
untuk mampu memahami materi dan menyelesaikan seluruh soal yang diberikan agar game
dapat dimenangkan. Kedua, pemberian waktu dalam setiap misi/tantangan pada game
menjadikan situasi belajar lebih kondusif dan efektif. Ketiga, umpan balik (feedback) yang
langsung diberikan ketika siswa menjawab suatu soal. Hal ini membuat siswa mengetahui
kesalahan yang dilakukan, sehingga siswa dapat segera memperbaiki kesalahan tersebut.
Game digital Rescue Robotics selain memiliki beberapa keunggulan juga memiliki
kelemahan. Kelemahan tersebut, yaitu game ini tidak memiliki program untuk memberikan
latihan-latihan soal secara acak (random). Hal ini menyebabkan siswa mudah mengingat soal
beserta kunci jawaban yang ditampilkan. Terlepas dari kelemahan pengoperasian game dalam
pembelajaran, secara keseluruhan game digital Rescue Robotics mampu memberikan
pengaruh positif dengan meningkatnya hasil belajar siswa dalam konsep fluida dinamis.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat pengaruh game digital Rescue Robotics terhadap hasil belajar siswa pada
konsep fluida dinamis. Pembelajaran dengan menggunakan game digital Rescue
Robotics unggul dalam meningkatkan semua aspek kemampuan kognitif yang diteliti
(C1-C4).
2. Penggunaan game digital Rescue Robotics dalam pembelajaran konsep fluida
dinamis, memperoleh respon positif dengan kategori baik sekali.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian game digital Rescue Robotics masih memiliki kelemahan,
untuk pengembangan game lebih lanjut saran yang dapat diberikan diantaranya:
1. Menambah program agar game dapat memberikan soal secara acak (random). Hal ini
dimaksudkan agar siswa tidak mudah mengingat soal beserta jawaban yang
ditampilkan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

745
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Menjadikan desain game lebih menarik, diantaranya dengan mengubah tampilan layar
pada game yang semula hanya bisa mengikuti di belakang pemain/robot dan memperbaiki
tampilan animasi serta gerak robot agar memiliki tampilan lebih baik.

Daftar Pustaka

Anderson, Lorin W. and Krathwohl, David R. 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran,
Pengajaran dan Asesmen Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Terj. Agung Prihantoro.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet. XIV.
Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Bandung: Satu Nusa, Cet. I.
Dian dan Jean-Michel. 2010. Animasi 2D dan 3D dalam Pembelajaran Sistem Mekanisme
Kompleks Berdasarkan Analisis Eye Traking, Jurnal Ilmiah Psikologi, 4.
Felicia, Patrick. 2009. Digital Games in Schools a Handbook for Teachers, Belgium: European
Schoolnet.
Gokdal, Gokcer, 2008. “Developing and Using a Computer Game for Engineering Education a Case
Study”, Thesis in the Department of Computer Engineering Atilim University Ankar.
tidak dipublikasikan.
Ibrahim, Roslina., et al., 2011. Students Perceptions of Using Educational Games to Learn
Introductory Programming. Journal Computer and Information Science, 4.
Koptelov, Andrey., and Taube, Sylvia. 2015. Learning Mathematics and Critical Thinking via
Computer Games Design. Journal of Mathematical Sciences, 2.
Lin, Chien-Heng., dkk., 2013. Developing Spatial Orientation and Spatial Memory with a Treasure
Hunting Game. Journal Educational Technology & Society, 17.
Munir. 2012. Multimedia Konsep & Aplikasi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta, Cet. I.
Prastika, Lintang R., 2013. “Pengaruh Penggunaan Multimedia Interaktif Berbasis Komputer Model
Instructional Games Terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran
Fisika”, Skripsi pada Sekolah Sarjana UPI Bandung. tidak dipublikasikan.
Purnomo, T. H., dkk. 2011. Educational Computer Game Materi Listrik Dinamis sebagai Media
Pembelajaran Fisika untuk siswa SMA. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

746
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Qteefan, Ghosoon Nafeth. 2012.“The Effectiveness of Using Educational Computer Games on


Developing Palestinian Fifth Graders' Achievement in English Language in Gaza
Governorate,” Thesis in the Islamic University of Gaza. tidak dipublikasikan.
Shih, Ju-Ling., et al., 2010. The Influence of Collaboration Styles to Children’s Cognitive
Performance in Digital Problem-Solving Game“William Adventure”: A Comparative
Case Study. Journal Computers & Education, 55.
Shute, Valerie J., et al., 2009. Melding the Power of Serious Games and Embedded Assessment to
Monitor and Foster Learning: Flow and Grow. New Jersey: Taylor and Fancis.
Tjandra, Christianto.,dkk., 2013. Pembuatan Game Edukasi Interaktif untuk Mendukung
Pemahaman Percentage pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Infra, 1.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

747
Raden Manzilah Mubarokah Fahra, Iwan Permana Suwarna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: manzilahf@ymail.com, iwan.permana.suwarna@gmail.com

Abstrak. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar dan tanggapan
siswa terhadap pembelajaran menggunakan learning platform pada konsep optik dan alat optik. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif. Data penelitian dikumpulkan melalui 20 soal tes pilihan
ganda dan angket, pemberian tes bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal dan akhir siswa pada konsep
optik dan alat optik, selanjutnya dilakukan penyebaran angket untuk mendapatkan informasi mengenai
tanggapan siswa terhadap penggunaan learning platform dalam memahami konsep optik dan alat optik.
Analisis data menggunakan bantuan SPSS.22. Berdasarkan hasil dan analisis data maka dapat diambil
kesimpulan, yaitu: terdapat peningkatan hasil belajar pada konsep teori optik dan alat optik. Peningkatan hasil
belajar siswa yang signifikan ditemukan pada semua subkonsep optik dan alat optik yang meliputi: cermin
datar, cermin cekung, cermin cembung, lensa cembung, lensa cekung, pembiasan, dan alat-alat optik.
Peningkatan hasil belajar dialami oleh kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan N-Gain 0,45 untuk kelas
eksperimen dan N-Gain sebesar 0,311 untuk kelas kontrol. perolehan hasil angket yang disebarkan yaitu
sebanyak 79,3% tanggapan siswa dari kelas kontrol dan 73,6% tanggapan siswa dari kelas eksperimen
menyatakan bahwa siswa setuju menggunakan learning platform dalam pembelajaran. Jumlah sampel dalam
penelitian ini terdiri dari 29 siswa pada kelas eksperimen dan 29 siswa pada kelas kontrol.

Kata Kunci: Learning Platform, Hasil Belajar, Optik

Pendahuluan
Rendahnya hasil belajar fisika di kelas X pada beberapa SMA di Kota Tangerang
Selatan menunjukkan tingkat pemahaman yang rendah. Rendahnya pemahaman konsep
tersebut salah satunya terdapat pada konsep optik dan alat optik. Rendahnya pemahaman
konsep ini terlihat dari persentase tingkat ketuntasan belajar siswa yang rendah. Pada konsep
optik dan alat optik hanya 18% siswa yang tuntas dalam pembelajaran, dan sisanya 82%
tidak tuntas (Komariah, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa materi optik dan alat optik
dianggap sulit oleh siswa. Dampak dari rendahnya pemahaman siswa terhadap suatu konsep
adalah ketuntasan belajar siswa tidak akan tercapai. Hal ini tentunya akan sangat mengganggu
kinerja guru dalam proses pembelajaran selanjutnya karena akan menyita waktu untuk
menuntaskannya.
Rendahnya hasil belajar siswa disebabkan oleh banyak hal diantaranya diakibatkan
oleh kurangnya guru memberikan latihan pemahaman konsep kepada siswanya. Guru
cenderung memberikan ceramah atau konsep saja tanpa memberikan latihan, oleh karena itu
pemberian tugas berupa latihan soal di dalam maupun diluar kelas menjadi sangat penting.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Ketika hal ini dicoba diatasi oleh para guru dengan banyak melakukan latihan soal di dalam
kelas, maka akan muncul permasalahan yang lain yaitu dalam memberikan feedback bagi para
siswa. Demikian juga dengan pemberian tugas pekerjaan rumah jika jumlah siswa terlalu
banyak, guru akan kekurangan waktu untuk mengoreksi hasil pekerjaan siswanya.
Dampaknya banyak tugas siswa yang tidak dikoreksi dan jika dibiarkan terus menerus hal ini
akan berdampak pada menurunnya motivasi siswa dalam belajar fisika. Siswa tidak akan
termotivasi dalam belajarnya dengan tugas yang tidak terkoreksi baik oleh guru (Wijayanti,
2010). Guru akan mengalami kesulitan dalam menganalisis atau membedakan konsep-konsep
yang dianggap bermasalah oleh para siswa. Siswanya sendiri tidak dapat mengetahui
pemahaman konsep yang dimiliki siswa sudah benar atau belum, jika guru tidak mengoreksi
tugas yang diberikan.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk membantu mengatasi keterbatasan guru
dalam mengoreksi tugas siswa adalah dengan memanfatakan penggunaan learning platform.
Learning platform adalah sebuah media online yang digunakan sebagai perantara dalam
melakukan interaksi pada dunia maya. Learning platfrom telah banyak dimanfaatkan
berbagai kepentingan hal yang sangat membantu masyarakat untuk interaksi belajar pada
kalangan pendidikan atau dapat disebut dengan Learning Managemen System (LMS).
LMS merupakan perangkat lunak aplikasi pembelajaran berbasis web yang dirancang untuk
mengatasi kendala ruang dan waktu pada proses pembelajaran.
Pemanfaatan Leaning Platform dapat membantu dalam malakukan akses materi
belajar dimana dan kapan saja dengan menggunakan peralatan elektronik seperti komputer
yang telah terkoneksi dengan jaringan internet (I Nyoman Yoga S, 2013). Learning
Platform yang digunakan dalam penelitian ini berupa digital test yang digunakan sebagai alat
evaluasi untuk mengukur tingkat pemahaman siswa dan juga bisa membangun pengetahuan
siswa tanpa unsur subyektifias. Learning platform pada penelitian ini menggunakan edmodo
dan socrative.
Edmodo adalah platform microblogging pribadi yang dikembangkan untuk guru dan
siswa. Guru dan siswa dapat berbagi catatan, tautan, dan dokumen. Guru juga memiliki
kemampuan untuk mengirimkan peringatan, acara, dan tugas untuk siswa dan dapat
memutuskan untuk mengirimkan sesuatu dalam kerangka waktu yang dapat dilihat publik.
Edmodo adalah platform media sosial yang sering digambarkan sebagai Facebook untuk
sekolah dan dapat berfungsi lebih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan (y. falah,
https://www.edmodo.com/file/view-crocodoc-new-window?uuid=de949a0b-0b9a-43c7-
9fca-85447ce6036f, akses 10 november 2015). Edmodo merupakan aplikasi yang menarik
bagi guru dan siswa dengan elemen sosial yang menyerupai Facebook , tapi sesungguhnya ada
nilai lebih besar dalam aplikasi edukasi berbasis jejaring sosial ini edmodo dapat

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

749
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dimanfaatkan oleh guru untuk memberikan penugasan berupa latihan soal secara online
diluar jam pelajaran di dalam kelas.

Gambar 1. Tampilan Edmodo


Socrative adalah sebuah student response system yang memungkinkan Guru untuk
membuat kuis atau permainan interaktif dan melibabtkan siswa secara langsung atau real
time. Dengan Socrative, guru dapat membuat kuis dengan model pilihan ganda, benar atau
salah, dan isian singkat. Atau jika ingin membuat kuis lebih menyenangkan dan menantang,
Guru juga dapat memilih format permainan, yaitu Space Race. Dalam permainan ini, siswa
dibagi ke dalam beberapa tim dan berkompetisi dengan menjawab pertanyaan jawaban siswa
akan dihitung secara otomatis dan disajikan dalam bentuk Excel atau Google Spreadsheet.
(ekalailatussofa, http://5302414006.blogspot.co.id/2014/12/tutorial-socrative.html).
Penggunaan jenis jenis platform di atas banyak disukai oleh para pengajar karena
platform tersebut tidak menuntut kemampuan dalam membangun dan mengembangkannya.
Semua fitur yang didukung oleh platform tersebut telah siap digunakan, dan para pengajar
hanya perlu memahami dan menyesuaikan sistem yang ada di dalamnya. (I Nyoman Yoga S,
2013).

Gambar 2. Tampilan Socrative


Metode
Subyek dalam penelitian ini adalah kelas X MIA 1 dan X MIA 2 Madrasah
Pembanguna UIN Jakarta. Metode penelitian ini adalah quasi eksperiment dengan desain
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

750
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

penelitian Non-equivalen control group design. Data hasil belajar siswa diperoleh melalui 20
soal pre tes dan post tes, sedangkan tanggapan siswa mengenai pembelajaran dengan learning
platform diperoleh melalui angket. Penelitian dilakukan selama 3 pertemuan menggunakan
platform jenis Edmodo dan Socrative.

Hasil dan Pembahasan


1. Hasil Pre test
Berdasarkan hasil perhitungan data pretest sebelum pemberian perlakuan dengan
menggunakan learning platform pada siswa kelas eksperimen dan kontrol sekolah MA
Pembangunan UIN Jakarta diperoleh ukuran pemusatan dan penyebaran seperti yang
ditunjukkan pada tabel 1 berikut dari 20 soal tes yang diujikan.
Tabel 1. Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Pretest Kelas Eksperimen dan
Kelas Kontrol

Kelas
No Pemusatan dan Penyebaran Data
Eksperimen Kontrol
1 Skor Minimum 5 5
2 Skor Maksimum 55 50
3 Mean 16,37 22,93
4 Median 15 20

Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa skor minimum yang diperoleh kelas eksperimen
dan kelas kontrol adalah 5. Skor maksimum yang diperoleh kelas eksperimen adalah 55 ,
sedangkan kelas kontrol adalah 50. Nilai rata-rata (mean) pada kelas ekperimen adalah
16,37 sedangkan kelaskontrol bernilai 22,93. Nilai tengah (median) yang diperoleh kelas
ekperimen adalah sebesar 15 sedangkan kelas kontrol perolehan yang didapat sebesar 20.
2. Hasil Posstest
Berdasarkan hasil penelitian dan perhitungan data posttest setelah pemberian perlakuan
dengan menggunakan learning platform pada siswa kelas eksperimen dan kontrol diperoleh
ukuran pemusatan dan penyebaran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

751
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 2. Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Post test Kelas Eksperimen dan
Kelas Kontrol

No Pemusatan dan Penyebaran Kelas Kelas


Data Eksperimen Kontrol
1 Skor Minimum 40 35
2 Skor Maksimum 85 80

3 Mean 54.31 47,41

4 Median 45 50

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa skor minimum yang diperoleh kelas eksperimen
adalah sebesar 40, sedangkan kelas kontrol adalah 35. Skor maksimum yang diperoleh kelas
eksperimen adalah sebesar 85, sedangkan kelas kontrol adalah 80. Nilai rata-rata (mean)
pada kelas ekperimen dan kontrol tidak berbeda jauh yaitu 54,31 dan kelas kontrol adalah
47,41. Nilai tengah (median) yang diperoleh kelas ekperimen adalah sebesar 45, sedangkan
kelas kontrol perolehan yang didapat sebesar 50.
Tabel 3. Rekap Kemampuan Post Test Kemampuan Kognitif CI
Presentase yang Presentase yang
Kemampuan
No soal menjawab benar kelas menjawab benar kelas
kognitif
eksperimen kontrol
6 96,5% 93,1%
7 93,1% 48,3%
C1 15 37,9% 27,6%
16 48.30% 20.70%
19 34,5% 93,1%
20 27,6% 50%
Rata- Rata 48,3% 35,35%

Tabel 4. Rekap Kemampuan Post Test Kemampuan Kognitif C2

Presentase yang
Kemampuan No Presentase yang
menjawab benar
kognitif soal menjawab benar
kelas eksperimen
1 82,8 % 48,3 %
C2
2 79,3% 68,96%
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

752
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Presentase yang
Kemampuan No Presentase yang
menjawab benar
kognitif soal menjawab benar
kelas eksperimen
3 96,6% 65,92%
5 34,5% 86,2%
8 82.80% 44.80%
9 37,9% 68,96%
10 44,8 % 68,96%
17 58,6% 13,8%
18 41,4% 17,2%
Rata- Rata 82,8% 44,8%

Tabel 5. Rekap Kemampuan Post Test Kemampuan Kognitif C3


Presentase yang Presentase yang
Kemampuan No
menjawab benar menjawab benar
kognitif soal
kelas eksperimen kelas kontrol
4 79,3% 65,5%
11 96,6% 96,6%
C3 12 55,2% 34,5%
13 37.93% 17.24%
14 34,48% 49%
Rata- Rata 37,9% 33,1%

3. Hasil Analisis
Untuk mengetahui hasil penelitian yang dilakukan maka perlu diadakan perbandingan
hasil pretest dan posttest dari kedua kelas dengan membandingkan N-gain kedua kelas
tersebut. Berikut ini adalah tabel 6 yang menyajikan perhitungan N-Gain kelas eksperimen
dan kontrol antara pretest dan postest.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

753
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 6. Data N-Gain Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol


Kelompok Rata-Rata Katagori N-Gain N-Gain
Sampel N-Gain Tingkat Terendah Tertinggi
Pemahaman
Ekperimen 0.45 Sedang 0,00 0.769231

Kontrol 0,311 Sedang 0.071429 0.666667

Berdasarkan Tabel 6, perhitungan nilai rata-rata N-gain pada kelas kontrol adalah
0,311 sedangkan N-gain kelas eksperimen lebih tinggi yaitu 0,45. Berdasarkan kategori
perolehan skor gain ternormalisasi menunjukan bahwa N-gain pada kelas kontrol maupun
kelas eksperimen memiliki kategori sedang.
Tabel 7. Tanggapan Siswa Kelas Eksperimen Terhadap Penggunaan Learning
Platform

Kategori Presentase (%)


Setuju dengan learning platform 73,6
Setuju dengan media cetak 56,2

Tabel 8.Tanggapan Siswa Kelas Kontrol Terhadap Penggunaan Learning Platform

Kategori Presentase (%)


Setuju dengan learning platform 79,3
Setuju dengan media cetak 24,1

Dari hasil angket yang disebar pada kelas eksperimen dan kelas kontrol didapatkan
hasil bahwa sebanyak 79,3% tanggapan siswa setuju dengan learning platform untuk kelas
kontrol dan 73,6% setuju dengan learning platform untuk kelas eksperimen, sedangkan
24,1% tidak setuju menggunakan learning platform dari kelas kontrol dan 56,2% tidak
setuju menggunakan learning platform dari kelas eksperimen.
Berdasarkan hasil perolehan N-Gain kelas eksperimen dan kontrol diperoleh rata-rata
N-Gain kelas eksperimen 0,45 sedangkan kelas kontrol 0,311. Hal ini menunjukkan bahwa
nilai rata-rata N-Gain siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan learning

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

754
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

platform lebih tinggi dari pada nilai rata-rata N-Gain siswa yang tidak menggunakan learning
platform dalam pembelajaran. Perbedaan tersebut signifikan jika dilihat dari perolehan uji
Mann-Whitney N-Gain pada taraf signifikansi 5% (α = 0,05) dan tingkat kepercayaan
95%. Berdasarkan analisis tersebut, nilai Sig. adalah 0,001, nilai tersebut < 0,05, artinya
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata hasil belajar antara siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan learning platform dengan siswa yang tidak
menggunakan learning platform.
Nilai rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan learning platform lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil belajar siswa tanpa menggunakan learning platform, pengaruh
tersebut telah memberikan konstribusi yang maksimal terhadap hasil belajar siswa. Pengaruh
yang positif terlihat pada kemampuan kognitif C2 hasil posttest siswa, banyak siswa yang
mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat terjadi karena selama proses pembelajaran siswa
banyak mengerjakan latihan soal, sehingga siswa lebih paham terhadap konsep yang
diajarkan. Dengan learning platform juga setiap tugas yang terkoreksi tepat waktu membuat
siswa lebh termotivasi karena siswa langsung mengetahui letak kesalahannya dan segera
membenarkan kesalahannya, learning platform sebagai sarana pemberian tugas yang
digunakan adalah edmodo. Hal tersebut terbukti dengan perolehan hasil angket yang
disebarkan yaitu sebanyak 79,3% tanggapan siswa dari kelas kontrol dan 73,6% tanggapan
siswa dari kelas eksperimen menyatakan bahwa siswa setuju menggunakan learning platform
dalam pembelajaran.
Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada penelitian ini, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat Peningkatan hasil belajar pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan N-
Gain 0,45 untuk kelas eksperimen dan N-Gain sebesar 0,311 untuk kelas kontrol pada
konsep optik dan alat optik
2. Siswa memberikan tanggapan positif terhadap learning platform. Tanggapan siswa
dalam kategori baik sebesar 73,6%.dari kelas eksperimen dan 79,3% dari kelas kontrol.
Saran
Perlu dilanjutkan pembelajaran serupa dengan penyempurnaan yang lebih baik
meliputi koneksi internet yang cepat dan kondisi kelas yang kondusif.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

755
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka

Ekalailatussofa, “Tutorial Socrative”. http://5302414006.blogspot.co.id/2014/12/tutorial-


socrative.html. (akses 10 november 2015)
I Nyoman Yoga S. 2013. Media Sosial Network Edmodo Sebagai Media Pembelajaran Yang
Menarik Dalam Pendidikan Jarak Jauh. Skripsi pada Institut Teknologi Bandung.
Komariah. 2013. Daftar nilai siswa SMA Negeri 87 Jakarta Selatan Tahun Pelajaran 2012/2013 .
SMA Negeri 87 Jakarta Selatan.
Wijayanti, Wahyu. 2010. Usaha Guru dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Matematika Siswa
SMA Negeri 1 Godean. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan
Pendidikan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Negeri Yogyakarta tersedia: http://eprints.uny.ac.id/2265/1/
Wahyu_Wijayanti_06301244078.pdf. [ 18 Februari 2015]
Y. Falah, “edmodo untuk aplikasi pembelajaran kolaboratif”. https://www.edmodo.com/file/view-
crocodoc-new-window?uuid=de949a0b-0b9a-43c7-9fca-85447ce6036f.( akses 10
november 2015).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

756
Faramudita Dwi Iriyani, Diah Mulhayatiah1, Yesma Aini2
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Guru Fisika SMA Muhammadiyah 8 Ciputat
e-mail: faramudita@gmail.com, diahmfis@gmail.com, riskyess@yahoo.co.id

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat refresentasi keterampilan generik sains (KGS)
pada bahan ajar fisika kelas XI yang digunakan di SMA Muhammadiyah 8 Ciputat. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode content analysis. Pengambilan sample dilakukan dengan
teknik purposive sampling, dengan hasil modul fisika karya Yuni Suprianti. Analisis data dilakukan dengan
metode statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan tingkat refresentasi KGS pada bagian evaluasi bahan
ajar tersebut sebesar 7.65% pertanyaan yang mengembangkan pengamatan tak langsung, 12.6% kesadaran
tentang skala, 11% bahasa simbolik, 19.7% kerangka logika, 14.75% Konsistensi logis, 2.18% hukum sebab-
akibat, 7.65% pemodelan matematika dan 24.6% pertanyaan yang membangun konsep. Kesimpulam
penelitian ini menunjukan tingkat refresentasi aspek KGS dalam bagian evaluasi pada bahan ajar fisika kelas XI
adalah kurang.

Kata Kunci: bahan ajar, keterampilan generik sains (KGS)

Pendahuluan
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menyebabkan tuntutan
keterampilan lulusan semakin meningkat. Pendidikan dewasa ini mengarah pada dua profil
lulusan sesuai dengan tuntutan hidup masyarakatnya yaitu lulusan yang vokasional dan
lulusan dengan kemampuan pola pikir. Kedua profil ini mengarah pada satu tujuan yang sama
yaitu untuk membekali para lulusan dengan suatu keterampilan khusus sehingga mereka
dapat bersaing dalam dunia kerja baik secara regional maupun global.
Mempersiapkan lulusan memasuki era globalisai yang penuh tantangan dan
ketidakpastian, diperlukan pendidikan yang dirancang berdasarkan kebutuhan nyata di
lapangan. Untuk kepentingan tersebut pemerintah memprogramkan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP) dengan tujuan khusus untuk satuan pendidikan menengah yaitu
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Serta dengan cakupan yang diminta
dalam KTSP untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SMA/MA adalah untuk memperoleh kompetensi lanjutan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif, dan mandiri. Tujuan dan cakupan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

di atas menjadikan salah satu keterampilan berpikir yang sesuai untuk dikembangkan dalam
KTSP merupakan keterampilan generik sains (KGS).
Keterampilan generik merupakan keterampilan yang digunakan secara umum dalam
berbagai kerja ilmiah. Menurut Kamsah dalam Widodo (2009), keterampilan generik
merupakan keterampilan employability yang digunakan untuk menerapkan pengetahuan.
Keterampilan yang dimaksud bukanlah keterampilan yang hanya terikat pada satu bidang
pekerjaan tertentu, namun keterampilan lintas bidang. Masih dalam Widodo (2009), Yeung
et al. menyatakan bahwa keterampilan generik sangat berguna untuk melanjutkan pendidikan
dan kesuksesan karir.
Fisika dinilai sebagai salah satu bentuk ilmu pengetahuan yang dipandang sebagai
disiplin kerja. Peranan itu bertransparansi dalam kerangka tubuh fisika itu sendiri yang
mampu melatihkan keterampilan, khususnya keterampilan generik sains untuk bekal
melanjutkan pendidikan dan bekerja dalam berbagai profesi yang luas di masyarakat.
Menurut Brotosiswoyo (2001) keterampilan generik sains dalam pembelajaran Fisika
dapat dikatagorikan menjadi 9 macam keterampilan, semua keterampilan itu dapat digunakan
oleh siswa nantinya sebagai bekal untuk memahami konsep fisika yang lebih tinggi.
Keterampilan berfikir generik penting bagi siswa karena keterampilan generik merupakan
suatu kemampuan dasar yang bersifat fleksibel, multi tugas, dan berorientasi pada kreativitas
yang lebih luas. Sayangnya keterampilan generik sains siswa Indonesia masih cenderung
rendah. Faktor-faktor yang dianggap penting dan termasuk penentu kinerja sekolah yang juga
berdampak pada kualitas lulusan diantaranya: kurikulum, proses belajar mengajar, lingkungan
sekolah, SDM dan sumber lain, serta standarisasi pengajaran dan evaluasi. Salah satu faktor
yang secara langsung bersinggungan dengan kegiatan pembelajaran siswa dan dianggap
mempengaruhi rendahnya keterampilan generik sains siswa adalah keberadaan sumber belajar
dalam hal ini bahan ajar seperti buku teks, modul, dan lembar kerja siswa.
Penggunaan bahan ajar yang tepat dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) memiliki
peran penting sebagai sumber pengetahuan. Pengembangan keterampilan berfikir siswa dapat
dimulai dari penggunaan buku, modul, dan lembar kerja siswa. Namun, kualitas bahan ajar
yang digunakan siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir masih belum banyak
diketahui, salah satunya untuk keterampilan generik sains (KGS). Sebagai keterampilan dasar,
pengembangan keterampilan generik sains perlu diterapkan baik untuk kelas X/XI/XII
SMA/MA/SMK/sederajat. Mengingat pentingnya peranan bahan ajar dalam pembelajaran,
maka perlu dikembangkan penelitian-penelitian tentang bahan ajar yang saat ini masih sangat
terbatas. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah bahan ajar fisika yang
digunakan di SMA Muhammadiyah 8 Ciputat sudah merepresentasikan aspek-aspek KGS.
Dengan tujuan untuk menganalisis refresentasi aspek-aspek KGS dalam bahan ajar tersebut.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

758
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di SMA
Muhammadiyah 8 ciputat. Populasi pada penelitian ini adalah semua materi pada bahan ajar
Fisika SMA kelas XI yang tersedia di sekolah tersebut. Adapun sampel yang terpilih adalah
pokok bahasan fluida pada modul fisika SMA kelas XI dengan penulis Yuni Suprianti, S.Si,
sampel ini diambil dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan sebagai alat
untuk membantu menjaring data yang diperlukan yaitu rubrik analisis yang berisi aspek
keterampilan generik sains yang diadopsi dari Prof. Dr. B. Suprapto Brotosiswoyo. Data yang
dianalisis lebih lanjut adalah materi yang dibahas dalam modul Fisika SMA kelas XI pada
konsep fluida. Pengolahan data dilakukan dengan analisis kualitatif. Data yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan permasalahan
penelitian dan diterjemahkan dengan kata-kata. Selain itu, untuk mengetahui persentase
kemunculan aspek-aspek KGS dalam bahan ajar Fisika, dilakukan juga teknik analisis data
sebagai berikut :
1. Menjumlahkan kemunculan indikator KGS untuk setiap aspek pada bahan ajar yang
dianalisis.
2. Menghitung persentase kemunculan indikator KGS untuk setiap aspek pada buku
yang dianalisis

Persentase kategori literasi sains =


3. Pembahasan, menarik kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan


Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah bagian evaluasi (pertanyaan) yang
terdapat pada bahan ajar penerbit yang digunakan di SMA Muhammadiyah 8 Ciputat mata
pelajaran Fisika SMA kelas XI kurikulum KTSP berdasarkan hasil diskusi dengan dosen
pembimbing dan guru pamong mengenai konsep yang dianggap perlu untuk diterapkan
keterampilan generik sains (KGS) yaitu konsep fluida. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
dianalisis berdasarkan keterampilan generik sains (KGS) menurut Brotosiswoyo. Pada modul
penerbit untuk mata pelajaran Fisika kelas XI yang digunakan terdapat 56 pertanyaan yang
terdiri dari 20 pertanyaan pilihan ganda dan 36 pertanyaan essai.
Data hasil penelitian yang diperoleh adalah berupa frekuensi dan persentase pertanyaan
yang dikembangkan berdasarkan keterampilan generik sains menurut Brotosiswoyo pada
modul Fisika kelas XI pada konsep fluida. Frekuensi dan persentase pertanyaan disajikan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

759
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dalam bentuk tabel dan diagram. Selain frekuensi dan persentase pertanyaan, dihitung pula
koefisien kesepakatan (KK) antara pengamat untuk mengetahui tingkat reliabilitas hasil
penelitian. Koefisien kesepakatan diperoleh dari hasil analisis peneliti yang dianalisis ulang
oleh penguji ahli, dalam hal ini guru mata pelajaran Fisika yang mengajar nama kelas XI.
Rekapitulasi tingkat kesepakatan ini merupakan hasil perhitungan menggunakan
rumus Indeks Kesesuaian Kasar (Crude Index Agreement). Rekapitulasi indeks kesesuaian
kasar tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Koefisien Kesepakatan (KK) Untuk Setiap Buku yang Dianalisis
Tingkat Kesepakatan
No. Buku Teks Mata Pelajaran Fisika
Indeks Kesesuaian Kasar Kategori
Modul Penerbit yang digunakan
1 di SMA Muhammadiyah 8 0.78 Sangat baik
Ciputat

Dari data di atas diketahui bahwa koefisien untuk analisis pertanyaan pada bahan ajar
yang digunakan di SMA Muhammadiyah 8 Ciputat pada mata pelajaran Fisika kelas XI
menunjukan angka lebih dari 0.75, ini berarti reabilitas pengamatan antara pengamat I
(peneliti) dan II (penguji ahli) sangat baik. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan pada bahan ajar mata pelajaran fisika kelas XI
dalam konsep fluida berdasarkan keterampilan generik sains (KGS) menurut Brotosiswoyo
terdapat perbedaan dalam penyebaran pertanyaan pada bahan ajar yang digunakan. Berikut
disajikan keterampilan generik sains (KGS) yang dikembangkan dalam penyebaran
pertanyaan-pertanyaan yang disajikan dalam bahan ajar berupa modul penerbit yang
digunakan di SMA Muh. 8 Ciputat pada mata pelajaran fisika kelas XI pada konsep fluida.
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa pertanyaan yang banyak dikembangkan
dalam bahan ajar yang dianalisis adalah pertanyaan yang mengembangkan keterampilan dasar
mengenai membangun konsep. Untuk mempermudah mempelajari tabel di atas mengenai
frekuensi dan persentase pertanyaan yang dikembangkan dalam bahan ajar tersebut, maka
disajikan Gambar 1
Tabel 2. Aspek Keterampilan Generik Sains (KGS) yang dikembangkan dalam
pertanyaan pada Bahan Ajar Mata pelajaran Fisika SMA Kelas XI dalam Konsep Fluida

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

760
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Modul Fisika
Aspek Keterampilan Generik Sains
No. Karangan Yuni Suprianti, S.Si
(KGS)
f %
1 Pengamatan langsung 0 0
2 Pengamatan tak langsung 14 7.65
3 Kesadaran tentang skala 23 12.6
4 Bahasa simbolis 20 11
5 Kerangka logika 36 19.7
6 Konsistensi logis 27 14.75
7 Hukum sebab akibat 4 2.18
8 Pemodelan matematika 14 7.65
9 Membangun konsep 45 24.6
Total 183 100

Berdasarkan Tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa pertanyaan yang banyak
dikembangkan dalam bahan ajar yang dianalisis adalah pertanyaan yang mengembangkan
keterampilan dasar mengenai membangun konsep. Untuk mempermudah mempelajari tabel
di atas mengenai frekuensi dan persentase pertanyaan yang dikembangkan dalam bahan ajar
tersebut, maka disajikan Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Persentase Keterampilan Generik Sains yang Dikembangkan dalam Bahan Ajar
Fisika Kelas XI di SMA Muhammadiyah 8 Ciputat

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

761
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 1 di atas, aspek keterampilan generik sains yang paling banyak dikembangkan
dalam 56 pertanyaan yang dianalisis pada bahan ajar mata pelajaran Fisika kelas XI karangan
Yuni Suprianti, S.Si berjumlah 189 aspek, pada satu pertanyaan yang diberikan, beberapa
pertanyaan mengembangkan keterampilan generik sains siswa lebih dari satu aspek. Pada
aspek KGS pertama yaitu pengamatan langsung terdapat dalam 0 pertanyaan dari 56
pertanyaan yang dianalisis dengan total aspek KGS yang ada dalam evaluasi bahan ajar ini
sebanyak 183 aspek maka persentase untuk pengamatan langsung sebesar 0%, sedangkan
pengamatan tak langsung 7.65%, pada pengembangan tentang skala dengan persentase
12.6%, bahasa simbolis 11%, pada kerangka logika sebesar 19.7%, konsistensi logis
14.75%, pengembangan hukum sebab-akibat hanya sebesar 2.18%, pemodelan matematika
7.65% dan terakhir persentase aspek KGS dalam membangun konsep yang terdapat pada 45
pertanyaan dari total 56 pertanyaan yang dianalisis dengan total aspek yang ditemukan 183
aspek adalah 24.6%.
Berdasarkan hasil penelitian dalam menganalisis pertanyaan-pertanyaan dalam konsep
fluida pada bahan ajar yang digunakan kelas XI IPA di SMA Muhammadiyah 8 Ciputat
dengan kurikulum KTSP pada tahun ajaran 2014/2015, maka dapat dijelaskan beberapa hal,
yaitu pertanyaan yang dianalisis berdasarkan keterampilan generik sains menurut
Brotosiswoyo menunjukan bahwa pertanyaan yang membangun aspek-aspek keterampilan
generik sains siswa masih kuranng terdistribusi dengan baik, pembagian pengembangan antar
aspek yang ada pun belum merata. Dengan tidak adanya pertanyaan yang mengembangkan
aspek pengamatan langsung, dan hanya 7.65% pertanyaan yang mengembangkan aspek
pengamatan tak langsung dan itu pun masih terbatas pada pengamatan gambar dan diagram,
serta hanya 2,18% pertanyaan yang mengembangkan pemahaman siswa mengenai hukum
sebab-akibat, hal-hal tersebut menunjukan masih kurang meratanya pembuatan soal-soal yang
disajikan dalam bajan ajar ini dalam mengembangkan aspek-aspek keterampilan generik sains.
Indikator untuk pengamatan langsung terdiri dari 3 indikator, yaitu menggunakan sebanyak
mungkin indera dalam mengamati percobaan/fenomena alam, mengumpulkan fakta-fakta
hasil percobaan atau fenomena alam dan mencari perbedaan atau persamaan. Dari beberapa
indikator itu tidak ditemukan yang sesuai dengan apa yang disajikan dalam pertanyaan-
pertanyaan yang ada dalam bahan ajar yang dianalisis.
Untuk menganalisis aspek kedua dari keterampilan generik sains dalam bahan ajar yang
dianalisis digunakan 3 indikator, yaitu menggunakan alat ukur sebagai alat bantu indera
dalam mengamati percobaan atau gejala alam, mengumpulkan fakta-fakta hasil percobaan
fisika atau fenomena alam, serta mencar persamaan dan perbedaan. Hasil dari pengamat I dan
II menyepakati hanya ada 14 soal dai 56 soal yang dianalisis yang memenuhi beberapa
indikator diatas. Namun pengamatan tak langsung ini pengembangannya masih cukup

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

762
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

terbatas dalam soal-soal yang ada. Dalam menganalisis aspek KGS untuk hukum sebab akibat
digunakan dua indikator, yaitu menyatakan hubungan antara dua variable atau lebih dalam
suatu gejala alam tertentu dan memperkirakan penyebab gejala alam. Dengan menggunakan
kedua indikator tersebut saat menganalisis pertanyaan-pertanyaan dalam bahan ajar ini
diketahui hanya terdapat 4 pertanyaan yang mengembangkan aspek KGS ini.
Menurut Taufik rahman salah satu fungsi dari pertanyaan dalam proses belajar
mengajar adalah memberikan dorongan atau mengajak siswa ntuk berpikir dan memecahkan
suatu masalah dengan kemampuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan aspek lain dari KGS
yaitu membangun konsep dan pemodelan matematika, dimana siswa dituntut dapat
memahami konsep fisika yang dikaji dan mengubahnya dalam model matematika agar
mempermudah proses pemecahannya. Dalam menganalisis aspek KGS membangun konsep
digunakan satu indikator yaitu dapat menambah konsep baru pada siswa, dengan indikator
ini diketahui terdapat 45 soal yang mengembangkan aspek ini. Aspek membangun konsep ini
menjadi salah satu aspek dengan persentase tertinggi. Sedangkan untuk mengetahui berapa
pertanyaan yang mengembangkan keterampilan pemodelan matematika digunakan 3
indikator, yaitu mengungkaapkan fenomena atau masalah dalam bentuk sketsa atau grafik,
mengungkapkan fenomena dalam bentuk rumusan, mengajukan alternative penyelesaian
masalah. Hasilnya terdapat 14 pertanyaan yang mengembangkan aspek pemodelan matematik
ini.
Dari hasil analisis yang dilakukan terdapat 4 aspek dengan persentase yang tidak jauh
berbeda satu dengan lainnya, keempat aspek ini dianggap memiliki persebaran yang baik
dalam pertanyaan-pertanyaan yang disajikan. Pertama adalah mengenai kesadaran tentang
skala, dengan menggunakan satu indikator utama yaitu menyadari obyek-obyek alam dan
kepekaan yang tinggi terhadap skala numeric sebagai besaran atau ukuan skala makroskopis
ataupun mikroskopis. Dengan menggunakan indikator tersebut, diketahui terdapat 23
pertanyaan yang mengembangkan aspek KGS ini. Kedua, mengenai bahasa simbolis, dengan
hasil terdapat 20 pertanyaan yang mengembangkan aspek ini yang diketahui berdasarkan 4
indikator, yaitu memahami symbol, lambing dan istilah; memahami makna kuantitatif satuan
dan besaran dari persamaan; serta menggunakan aturan matematis untuk memecahkan
masalah/fenomena gejala alam, serta membaca suatu grafik/diagram, tabel, serta tanda
matematis.
Ketiga, kerangka logika, dalam menganalisis kerangka logika diketahui terdapat 36
pertanyaan yang mengembangkan kerangka logika siswa yang diukur berdasarkan satu
indikator yaitu dapat membuat siswa mencari hubungan logis antara dua aturan. Selanjutnya
aspek terakhir dalam keterampilan generik sains adalah konsistensi logis, yaitu terdapat 27
pertanyaan yang mengembangkan konsistensi logis yang didapatkan berdasarkan 4 indikator

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

763
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

yaitu, memahami aturan-aturan, berargumentasi berdasarkan aturan, menjelaskan masalah


berdasarkan aturan, dan menarik kesimpulan dari suatu gejala berdasarkan aturan/hukum-
hukum terdahulu.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab IV, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
1. Pertanyaan yang dikembangkan pada bahan ajar mata pelajaran Fisika kelas XI
karangan Yuni Suprianti, S.Si terdiri dari 7.65% pertanyaan yang mengembangkan
pengamatan tak langsung, 12.6% kesadaran tentang skala, 11% bahasa simbolik,
19.7% kerangka logika, 14.75% Konsistensi logis, 2.18% hukum sebab-akibat,
7.65% pemodelan matematika dan 24.6% pertanyaan yang membangun konsep.
2. Kesesuaian aspek keterampilan generik sains yang dikembangkan dalam pertanyaan
dengan tuntutan kurikulum pada bahan ajar ini terdiri dai pertanyaan yang masih
belum mengembangan kemampuan pengamatan langsung; membangun keterampilan
pengamatan tak langsung masih cukup minim; cukup membangun kesadaran tentang
skala, bahasa simbolis, kerangka logika, pemodelan matematika dan konsistensi logis;
masih kurang dalam mengembangkan keterampilan mengenai hukum sebab-akibat;
dan sudah baik dalam mengembangkan keterampilan membangun konsep.
3. Penyebaran pertanyaan pada bahan ajar fisika yang dianalisis terdiri dari empat
bagian yaitu bagian bacaan, bagian contoh soal, bagian diskusi dan bagian evaluasi.
Saran
Sejalan dengan penelitian ini, terdapat beberapa hal yang dapat disarankan kepada
beberapa pihak yang terkait antara lain.
1. Bagi penulis yang berminat menulis bahan ajar, hendaknya membuat pertanyaan yang
membangun keterampilan generik sains siswa dan distribusi pertanyaannya sesuai
dengan kurikulum yang berlaku
2. Bagi guru yang menggunakan bahan ajar, sebaiknya mempertimbangkan dalam
menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam bahan ajar tersebut sesuai
dengan aspek keterampilan generik sains dan tuntutan kurikulum.
Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian pada konsep lain yang sesuai dengan
indikator untuk pertanyaan keterampilan generik sains.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

764
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Daftar Pustaka

Brotosiswoyo, B. S. 2001. PEKERTI MIPA/Hakikat Pembelajaran Fisika di Perguruan Tinggi.


Jakarta: PAU-PPAI Universitas Terbuka.
Widodo, Wahono. 2009. Tinjauan Tentang Keterampilan Generik. Sumber Online
http://vahonov.files.wordpress.com/2009/07/tinjauan-tentang-keterampilan-
generik.pdf. (Diakses pada tanggal 19 Desember 2014 pukul 19.45

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

765
Dendy Siti Kamilah, Rovi Afriana, Fathiah Alatas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: detikamila@gmail.com, afrianarovi@gmail.com, fathiahalatas@gmail.com

Abstrak. Telah dilakukan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentfikasi miskonsepsi siswa pada
konsep teori kinetik gas menggunakan three-tier test. Penelitian dilakukan pada dua sekolah, yaitu SMAN 87
Jakarta dan SMAN 7 Tangerang Selatan dengan sample sebanyak seratus siswa. Instrumen yang digunakan
pada penelitian berupa soal-soal pilihan ganda three-tier tes yang dikembangkan jawaban siswa salah namun
siswa yakin atas jawabannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa siswa mengikuti tahap pengembangan two-
tier test Treagust dengan penambahan CRI (Certainty of Respon Index). Pada tahap pengembangan instrumen
dihasilkan soal valid sebanyak 10 soal. Melalui instrumen ini siswa diminta memberikan alasan atas
jawabannya dan juga memberikan tingkat keyakinan dalam menjawab soal-soal tersebut. Siswa dinyatakan
mengalami miskonsepsi jika mengalami miskonsepsi pada konsep teori kinetik gas sebanyak 24,53% pada
SMAN 87 Jakarta dan sebanyak 58,75% pada SMAN 7 Tangerang Selatan.

Kata Kunci: miskonsepsi, teori kinetik gas, instrumen three-tier test

Pendahuluan
Fisika adalah ilmu yang mengacu pada fenomena alam. Baik yang dapat diamati secara
langsung maupun tidak langsung. Fisika juga terdiri dari konsep-konsep yang sederhana
hingga konsep yang lebih kompleks. Konsep adalah dasar untuk berpikir dan melakukan
proses-proses mental yang lebih tinggi agar dapat merumuskan prinsip-prinsip dan
generalisasi (Ratna wilis dahar, 1989). Oleh karena itu sangat penting bagi siswa untuk
memahami konsep fisika agar dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam fisika.
Menurut teori kontruksivisme siswa datang ke kelas tidak dengan kepala kosong
melainkan memiliki pemahaman dan pengalaman yang berhubungan dengan materi yang akan
dipelajari. Hal ini mempengaruhi konsep yang akan dikonstruksi siswa. Sehingga setiap siswa
memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain walaupun belajar materi yang sama, dengan
sumber yang sama. Oleh karena itu sangat memungkinkan untuk terjadinya kesalahan konsep
atau disebut juga miskonsepsi.
Miskonsepsi yang terjadi tidak hanya berdampak pada konsep yang sedang dipelajari,
tetapi juga dapat mempengaruhi konsep-konsep yang akan dipelajari setelahnya. Karena
konsep-konsep pada fisika saling terkait satu sama lain. Jika miskonsepsi tidak segera
diidentifikasi sesegera mungkin, maka miskonsepsi itu akan terus berlajut hingga tingkat
pendidikan yang lebih tinggi dan akan semakin sulit untuk mengatasinya. Dari hasil
penelitian-penelian yang telah dilakukan didapatkan bahwa miskonsepsi banyak sekali terjadi
pada konsep-konsep abstrak. Salah satu konsep abstrak pada matapelajaran Fisika adalah

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

teori kinetik gas. Selain itu masih jarang penelitian miskonsepsi pada konsep ini, sehinga
peneliti mengambil konsep teori kinetik gas.
Untuk mengidentifikasi miskonsepsi pada konsep tertentu digunakan instrumen tes
diagnostik yang terdiri dari wawancara, peta konsep, tes esai, praktikum dengan tanya jawab,
diskusi di kelas, dan tes pilihan ganda dengan alasan (Two-tier test) (Paul suparno, 2013).
Namun tes-tes diagnostik ini masih terdapat kekurangan. Tes diagnostik dengan wawancara
dapat menggali pemikiran siswa secara mendalam, namun membutuhkan waktu yang lama
untuk mewawancarai banyak siswa (Yasin Kutluay, 2005). Berkebalikan dengan mengunakan
multiple choice yang dapat mengidentifikasi banyak siswa dalam waktu singkat, tetapi konsep
yang dimiliki siswa tidak dapat terungkap secara mendetail dan jawaban siswa bisa saja
hanyalah sekedar tebakan (Derya Kaltakci dan Ali Eryilmaz, 2010). Jika menggunakan tes
essai siswa mendapatkan waktu yang lebih banyak untuk berpikir dan menuliskan
pemahamannya secara detail, tetapi peneliti sulit untuk interpretasi dan analisis hasil tes essap
sehingga memakan banyak waktu dalam proses menganalisisnya. Diskusi kelas hanya dapat
mengidentifikasi pemahaman sebagian siswa saja, karena tidak semua siswa berani
mengemukakan pendapatnya secara langsung.
Instumen yang saat ini banyak dikembangkan oleh para peneliti untuk
mengidentifikasi miskonsepsi pada berbagai macam bidang studi terutama IPA adalah two-
tier test. Karena two-tier test dinilai dapat mengidentifikasi miskonsepsi secara mendalam
seperti halnya wawancara, namun pelaksanaannya lebih singkat, maka banyak siswa yang
dapat diidentifikasi miskonsepsinya. Kekurangan dari tes ini adalah hasil yang terlalu tinggi
(overestimate) untuk miskonsepsi. karena semua jawaban yang salah dianggap miskonsepsi
(Yasin Kutluay, 2005).
Telah dikembangkan oleh Eryilmaz dan Surmeli instrumen tes diagnostik Three-tier
test yang merupakan penggabungan dari Two-tier test yang dikombinasikan dengan
Certainty Response Index (CRI) (Haki Pesman, 2005). Menurut Pesman instrumen
diagnostik Three-tier test merupakan instrumen tes yang paling valid, reliabel, dan akurat
untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa (Haki Pesman& Ali Eryilmaz, 2010). Instrumen
Three-tier test memiliki kelebihan dapat membedakan antara miskonsepsi dengan kurang
memahami konsep atau tidak tahu konsep melalui tingkat keyakinan dari jawaban siswa.

Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan non-
eksperimen. Sample penelitian ini adalah 53 siwa SMA Negeri 87 dan 40 siswa SMA
Negeri 7 Tangerang Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian adalah pada semester genap
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

767
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

tahun pelajaran 2014/2015. Instrumen yang digunakan berupa 10 soal three-tier test dan
lembar observasi pembelajaran.

Hasil dan Pembahasan


Instrumen ini diberikan sebagai ulangan harian bab teori kinetik gas. Tes ini
dilaksanakan secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya. Pada penelitian di SMAN
87 Jakarta, setiap kelas diberikan ulangan dalam dua tipe soal A & B perbedaan terletak pada
pengacakan nomor soal. Sample yang dianalisis adalah tipe soal A. Jumlah sample adalah 53
siswa yang dipilih secara acak dari kelas XI MIA SMA Negeri 87 Jakarta, yaitu 18 siswa XI
MIA 1, 17 siswa XI MIA 2, dan 18 siswa XI MIA 3. Sedangkan di SMAN 7 Tangerang
Selatan, diberikan satu tipe soal dengan sampel sebanyak 40 orang dari kelas XI IPA 3.
Berdasarkan Tabel 1 didapatkan bahwa rata-rata miskonsepsi pada konsep teori
kinetik gas sebesar 26,73%. Siswa yang telah memahami konsep hanya sebesar 25,09%.
Sebanyak 41,89% siswa kurang paham konsep. Saat siswa memberikan jawaban yang salah
namun alasan yang diberikan benar dan mereka yakin, maka dikategorikan sebagai eror. Rata-
rata eror yang terjadi sebesar 6,42%. Adapun garafik miskonsepsi yang terjadi pada setiap
sub konsep yang diujikan adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik gas ideal (44,34 %)
2. Energi kinetik dan kecepatan rata-rata partikel gas (28,30%)
3. Penerapan persamaan gas ideal (23,90%)
4. Teorema ekipartisi energi (18,87%)
5. Hukum Boyle-Gay Lussac (18,24%)
Miskonsepsi pada Subkonsep Karakteristik Gas Ideal
Sub konsep ini diwakilkan nomor 1 dan 5 mengenai karakteristik gas ideal. Soal yang
akan dibahas pada subkonsep ini adalah soal yang memiliki presentase miskonsepsi terbesar
yaitu soal nomor 5 yang mencari tahu pemahaman siswa mengenai karakteristik gas dalam
ruangan terbuka dan tertutup. Terdapat 47,17% siswa yang teridentifikasi mengalami
miskonsepsi pada sub konsep ini, sebagian besar siswa menganggap bahwa gas pada ruang
terbuka akan langsung keluar dan menuju lubang, karena partikel gas menekan ke segala arah
dan ketika terdapat lubang akan menekan ke satu lubang.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

768
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 1 Presentase Jawaban Siswa SMAN 87 Jakarta


Misko
Paham nsepsi
Lack of Eror Miskon-
Sub konsep No. Soal konsep per
knowledge (%) (%) sepsi (%)
(%) indikat
or (%)
5 20,75 32,07 0 47,17 44.3
Karakteristik gas ideal
1 18,87 35,84 3,77 41,51 4
2 39,62 35,84 5,66 16,98
Hukum Boyle-Gay 18.2
3 56,60 16,98 1,88 24,53
Lussac 4
4 41,50 42,28 0 13,21
Persamaan keadaan gas 6 9,43 56,60 1,88 32,08
23.9
ideal dalam kehidupan 7 20,75 20,75 33,96 24,53
0
sehari-hari
8 18,87 49,05 16,98 15,09
Energi kinetik dan
28.3
kecepatan rata-rata 28,30 0
partikel gas
9 11.32 58,49 0
Teorema ekipartisi 18.8
energy 18,87 7
10 13,20 67,92 0
Rata-rata 25,09 41,89 6,42 24,53

Miskonsepsi pada Subkonsep Hukum Boyle-Gay Lussac


Pemahaman konsep pada subkonsep ini memiliki presentase tertinggi. Ini menandakan
bahwa siswa telah paham hubungan tekanan, suhu, dan volume pada pembelajaran yang
menggunakan virtual lab. Melalui demonstrasi siswa diminta menyelidiki hubungan volume,
tekanan, dan suhu jika salah satu dari variabel tersebut konstan. Tetapi masih terdapat
18,24% miskonsepsi yang terjadi. Dengan presentase terbesar pada nomor 3 yaitu sebesar
24,53%. Siswa menganggap bahwa volume berbanding terbalik dengan suhu
Miskonsepsi pada Subkonsep Persamaan Keadaan Gas Ideal
Persentase miskonsepsi pada subkonsep ini sebesar 23,90%, siswa menganggap suhu
berbanding lurus dengan volume partikel gas bukan volume wadah gas. Siswa menganggap
bahwa suhu yang tinggi akan membuat partikel gas memuai.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

769
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Miskonsepsi pada Energi Kinetik dan Kecepatan rata-rata partikel gas ideal
Subkonsep energi kinetik dan kecepatan rata-rata partikel gas memiliki miskonsepsi
sebesar 28,30%. Subkonsep ini diwakili oleh nomor 9. Konsepsi siswa tentang hubungan
energi kinetik dan volume adalah berbanding lurus pada suhu konstan, mereka terkecoh pada

persamaan . Namun siswa tidak tahu bahwa hubungan itu tidak berlaku jika
suhu konstan. Karena saat suhu konstan dan jumlah molekul gas sama maka berlaku hukum
Boyle , sehingga energi kinetik yang dimiliki akan sama pada suhu konstan (Ek2
= Ek1).
Miskonsepsi pada Teorema Ekipartisi Energi
Subkonsep ini memiliki miskonsepsi sebesar 18,87%. Siswa masih belum bisa
membedakan mana gas yang monoatomik dan diatomik. Dan siswa pun mengalami
miskonsepsi bahwa derajat kebebasan dipengaruhi oleh massa molekul relatif. Bahkan ada
juga yang memiliki konsepsi bahwa kecepatan molekul gas berpengaruh dengan derajat
kebebasan, sehingga semakin cepat molekul gas maka derajat kebebasannya bertambah.
Pada penelitian ini juga dilakukan observasi pembelajaran sebagai informasi tambahan
untuk menganalisis miskonsepsi yang dimiliki sisiwa. Pembelajarran yang dilakukan di
SMAN 87 Jakarta menggunakan virtual lab PHET universitas Colorado.
Berdasarkan Tabel 2 didapatkan bahwa rata-rata miskonsepsi pada konsep teori
kinetik gas sebesar 58,75%. Siswa yang telah memahami konsep hanya sebesar 36,8%.
Sebanyak 30,2% siswa kurang paham konsep. Saat siswa memberikan jawaban yang salah
namun alasan yang diberikan benar dan mereka yakin, maka dikategorikan sebagai eror. Rata-
rata eror yang terjadi sebesar 10,85%. Adapun garafik miskonsepsi yang terjadi pada setiap
sub konsep yang diujikan adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik gas ideal (46,25 %)
2. Energi kinetik dan kecepatan rata-rata partikel gas (15%)
3. Penerapan persamaan gas ideal (60%)
4. Teorema ekipartisi energi (75%)
5. Hukum Boyle-Gay Lussac (77,5%)

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

770
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 2 Presentase Jawaban Siswa SMAN 7 Tangerang Selatan

Kurang
Paham
No. Eror Paham Miskon- Miskonsepsi Per
Indikator Konsep
Soal (%) Konsep Sepsi (%) Indikator (%)
(%)
(%)
Karakteristik gas 1 0 5 15 80
46.25
ideal 2 5 62.5 20 12.5
Hukum Boyle- 3 0 12.5 7.5 80
77.5
Gay Lussac 4 7.5 5 12.5 75
5 5 32.5 27.5 35
Persamaan 6 0 22.5 20 57.5
keadaan gas ideal
60
dalam kehidupan 7 0 2.5 10 87.5
sehari-hari
8 12.5 2.5 15 70
Energi kinetik
dan kecepatan
9 27.5 42.5 15 15 15
rata-rata partikel
gas
Teorema
10 0 7.5 17.5 75 75
ekipartisi energy
Rata-rata 10.85 36.8 30.2 58.75

Miskonsepsi pada Subkonsep Karakteristik Gas Ideal.


Sub konsep ini diwakilkan nomor 1 dan 2 mengenai karakteristik gas ideal. Soal yang
akan dibahas pada subkonsep ini adalah soal yang memiliki presentase miskonsepsi terbesar
yaitu soal nomor 1 yang mencari tahu pemahaman siswa mengenai karakteristik gas dalam
ruangan terbuka dan tertutup. Terdapat 80 % siswa yang teridentifikasi mengalami
miskonsepsi pada sub konsep ini, sebagian besar siswa masih belum memahami konsep secara
baik karena alasan pada tier dua tidak dijawab dengan tepat. Pada tier kedua mereka tidak
menjawab alasan dari tier satu tetapi hanya menjelaskan kembali yang dialami partikel ketika
berada di wadah terbuka dan tertutup.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

771
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Miskonsepsi pada Subkonsep Hukum Boyle-Gay Lussac.


Rerata miskonsepsi pada subkonsep ini adalah sebesar 77.5% dan merupakan
subkonsep yang memiliki persentase miskonsepsi tertinggi. 20 orang siswa menjawab tekanan
berbanding lurus dengan suhu, ini bukan merupakan alasan dari tier pertama. Seharusnya
yang menyebabkan perubahan tekanan menjadi lebih besar dari tekanan awal adalah adanya
pertambahan suhu yang mengakibatkan partikel bergerak lebih cepat. Banyak siswa yang
terkecoh dengan alasan pada tier kedua, siswa hanya menjawab secara umum alasan dari
jawaban tier pertama. Tampaknya siswa tidak mengetahui konsep yang sesungguhnya.
Miskonsepsi pada Subkonsep Persamaan Keadaan Gas Ideal
Kebanyakan siswa terkecoh dengan opsi C dan D, dimana penggunaan kosa kata pada
opsi tersebut mirip sehingga membuat siswa kesulitan dalam menentukan jawaban yang tepat.
Alasan pada tier dua seharusnya yang menyebabkan balon meletus adalah adanya tekanan
yang berasal dari pergerakan partikel yang semakin cepat dan mendesak permukaan balon,
lama kelamaan balon akan meletus.
Miskonsepsi pada Energi Kinetik dan Kecepatan rata-rata partikel gas ideal.
Persentase miskonsepsi pada butir soal nomor 9 adalah yang paling terendah
dibanding semua subkonsep yang diujikan dalam tes ini, yaitu sebesar 15%. Setelah dianalisis
sebanyak 21 siswa menjawab soal pada tier satu dengan benar dan sebanyak 34 siswa
menjawab tier dua dengan benar. Lebih dari setengah dari keseluruhan sampel menjawab
alasan dengan benar.
Miskonsepsi pada Teorema Ekipartisi Energi.
Persentase miskonsepsi pada subkonsep teorema ekipartisi energi adalah sebesar 75%.
Sebanyak 13 siswa menjawab benar pada tier satu dan hanya 4 orang yang menjawab alasan
pada tier dua dengan benar. Kebanyakan siswa tidak mengetahui derajat kebebasan dari suatu
gas. Alasan yang diberikan pada tier dua juga mengecoh para siswa karena kata yang
digunakan hampir mirip.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian yang diperoleh menggunakan tes
three-tier multiple choice terhadap siswa kelas XI IPA 3 SMAN 7 Tangerang Selatan, dapat
disimpulkan bahwa miskonsepsi pada konsep teori kinetik gas teridentifikasi pada setiap
indikator dengan rerata sebesar 54.75 %. Urutan indikator yang memiliki nilai persentase
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

772
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

miskonsepsi tertinggi adalah sebagai berikut: hukum Boyle-Gay Lussac (77,5%), teorema
ekipartisi energi (75%), persamaan keadaan gas ideal dalam kehidupan sehari-hari (60%),
karakteristik gas ideal (46,25%), dan energi kinetik dan kecepatan rata-rata partikel gas
(15%). Dari penelitian di SMAN 87 Jakarta, didapatkan bahwa rata-rata miskonsepsi pada
konsep teori kinetik gas sebesar 26,73%. Dengan urutan indikator yang memiliki
miskonsepsi terbesar adalah karakteristik gas ideal (44,34 %), energi kinetik dan kecepatan
rata-rata partikel gas (28,30%), penerapan persamaan gas ideal (23,90%), teorema ekipartisi
energi (18,87%), dan hukum Boyle-Gay Lussac (18,24%).
Saran
Setelah melakukan penelitian, penulis menyarankan hal sebagai berikut:
1. Dalam pembelajaran diperlukan strategi belajar yang sesuai dengan karakteristik
siswa, oleh karena itu bagi guru diharapkan bisa mengembangkan strategi
mengajarnya agar lebih variatif.
2. Jika menemukan miskonsepsi yang terjadi pada siswa, akan lebih baik jika guru
bersangkutan dengan segera meremidiasi siswa tersebut agar miskonsepsi yang
dialami tidak mengganggu pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran.
3. Guru bisa menggunakan tes diagnostik three-tier multiple choice secara berkala
untuk mengecek pemahaman konsep siswa.
4. Bagi peneliti lain bisa menggunakan tes diagnostik three-tier multiple choice untuk
mengidentifikasi miskonsepsi pada konsep-konsep fisika lainnya.

Daftar Pustaka

Daryanto. 2013. Menyusun Modul Bahan Ajar untuk Persiapan Guru dalam Mengajar. Yogyakarta:
GavaMedia. Cet. I.
Fitriani, Dwi, dkk. 2013. Penerapan Modul Ekosistem Berbasis Konstruktivisme Di SMP YPE
Semarang. Unnes Journal of Biology Education.
Jonias, Hendri. 2014. Pengembangan Media Pembelajaan E-module Terhadap Prestasi Belajar Siswa
dalam Mata Pelajaran Muatan Lokal Elektronika di SMPN 6 Surabaya. Jurnal
Pendidikan Teknik Elektro. Vol. 3.
Junaedi, Edi. 2013. Pengaruh Modul Elaktronik Berbasis Mobile Learning terhadap Peningkatan
Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (Kuasi
Eksperimen terhadap Siswa Kelas X SMA Laboratorium Percontohan UPI Bandung).
Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak dipublikasikan.
Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstual dan Aplikasi. Bandung: Rafika Aditama. Cet.
III.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

773
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Kuswandari, Meta, dkk. 2013. Pengembangan Bahan Ajar Fisika SMA dengan Pendekatan
Kontekstual pada Materi Pengukuran Besaran Fisika. Jurnal Pendidikan Fisika. Vol. 1.
Prastowo, Andi. 2013. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: DIVA Press. Cet.
V.
Rauda Ramdania, Diena. 2013. Penggunaan Media Flash Flip Book dalam Pembelajaran Teknologi
Informasi dan Komunikasi untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa (Studi Eksperimen
Kuasi terhadap Siswa Kelas XII di Madrasah Aliyah Al-Hidayah Cikancung). Skripsi pada
Universitas Pendidikan Indonesia. Tanpa tahun. Tidak dipublikasikan.
Rosiana Dewi, Shinta dkk. 2015. Pembuatan Komik Tentang Mikroskop sebagai Media
Pembelajaran. Skripsi pada Universitas Kristen Satya Wacana: Tanpa tahun. Tidak
dipublikasikan..
Sugianto, Dony, dkk. 2013. Modul Virtual: Multimedia Flipbook Dasar Teknik Digital, Jurnal
INVOTEC. Vol. 9.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D) .
Bandung : Alfabeta. Cet. XIX.
Sujana. 2001. Metode Statistika. Bandung: Tarasito. Cet. VI.
Suparno, Paul. 2013. Miskonsepsi & Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta: PT
Grasindo. Cet. II.
W. Anderson, Lorin (eds). 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan
Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Cet. I.
Wahyuni, Sri. 2013. Pengembangan Modul Elektronik Fisika Sebagai Media Instruksional
Pokok Bahasan Hukum Newton pada Pembelajaran Fisika Di SMA. Jurnal
Pembelajaran Fisika.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

774
Anugrah Azhar, Iwan Permana Suwarna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: azhar92.anugrah92@gmail.com, iwan.permana.suwarna@uinjkt.ac.id

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh hypermedia terhadap hasil belajar siswa SMA
pada konsep dualisme gelombang-partikel. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Jasinga. Dalam
penelitian ini yang menjadi kelas eksperimen adalah kelas XII IPA 3, sedangkan yang menjadi kelas kontrol
adalah kelas XII IPA 4. Penentuan sampel dalam penelitian ini berdasarkan teknik purpossive sampling.
Penelitian berlangsung pada bulan November sampai Desember 2014. Instrumen yang digunakan adalah
instrumen tes berupa tes objektif pilihan ganda dan instrumen nontes berupa angket. Data hasil instrumen tes
dianalisis secara kuantitatif, sedangkan data hasil instrumen nontes dianalisis secara kuantitatif, menghasilkan
data berupa persentase yang kemudian dikonversi menjadi data kualitatif. Berdasarkan analisis data tes,
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh hypermedia terhadap hasil belajar siswa SMA pada konsep dualisme
gelombang-partikel. Hal tersebut didasarkan pada hasil uji hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney
terhadap data posttest. Nilai Sig.(2-tailed) sebesar 0.041, sedangkan nilai taraf signifikansi sebesar 0.05 atau
Sig.(2-tailed) < 0.05. Pembelajaran menggunakan hypermedia unggul dalam meningkatkan jenjang kognitif
C1 (mengingat), C3 (menerapkan), dan C4 (menganalisis). Respon siswa terhadap penggunaan hypermedia
dalam proses pembelajaran fisika pada konsep dualisme gelombang-partikel berada dalam kategori baik.

Kata Kunci: Hypermedia, Puspossive Sampling, Hasil Belajar, Angket, Dualisme Gelombang Partikel

Pendahuluan
Fisika adalah cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari fenomena-fenomena
pada benda di alam semesta mulai dari yang dapat diamati oleh panca indra seperti panas,
sampai yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra seperti interaksi antar atom. Dalam
pembelajarannya, fisika lebih menekankan pada pengamatan langsung terhadap pada suatu
benda. Hal ini dilakukan agar siswa lebih memahami konsep fisika yang sedang dipelajari.
Namun pada kenyataanya, tidak semua fenomena fisika dapat diamati dan dihadirkan
langsung di kelas (Hikmah, 2014), seperti konsep dualisme gelombang-partikel.
Dualisme gelombang-partikel merupakan konsep fisika yang cukup membingungkan,
karena muncul perbedaan dari konsep sebelumnya terkait cahaya. Pada konsep sebelumnya,
cahaya dikenal sebagai gelombang karena memiliki sifat-sifat gelombang, salah satunya yaitu
dapat mengalami interferensi. Interferensi merupakan peristiwa bertemunya dua buah
gelombang yang memiliki frekuensi dan beda fase yang sama (Supiyanto, 2007). Jika pada
konsep sebelumnya cahaya dipandang sebagai gelombang, lain halnya dengan konsep
dualisme partikel-gelombang. Pada konsep ini, selain sebagai gelombang, cahaya dipandang
pula sebagai partikel dengan salah satu pembuktian adalah melalui percobaan efek fotolistrik.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pada efek fotolistrik, elektron pada permukaan logam akan terlepas ketika dijatuhi cahaya.
Energi yang diperoleh elektron untuk melepaskan diri dari permukaan logam pada peristiwa
ini diduga berasal dari foton-foton yang ada pada cahaya tersebut. Melalui percobaan efek
fotolistrik ini, foton diartikan sebagai partikel pembawa energi cahaya (Supiyanto, 2007).
Percobaan terkait konsep dualisme gelombang-partikel ini pada dasarnya sulit diamati
karena hanya dapat terdeteksi dalam skala kecil, seperti atom. Karena gejala ini sulit diamati,
maka besar kemungkinan bahwa informasi yang siswa terima akan berbeda-beda. Perbedaan
informasi ini dapat menyebabkan miskonsepsi. Miskonsepsi merujuk pada suatu konsep yang
tidak sesuai dengan pengertian ilmiah (Suparno, 2005). Siswa yang mengalami miskonsepsi
biasanya akan cenderung untuk mempertahankan informasi yang ia miliki, terutama jika
miskonsepsi tersebut dapat membantu memecahkan persoalan-persoalan tertentu, seperti
halnya kesalahan pengertian antara massa dan berat. Hal ini tentu cukup sulit untuk
diluruskan karena pengertian yang salah tersebut selalu digunakan dalam kehidupan sehari-
hari. Jika miskonsepsi ini terus dibiarkan, ketika siswa mempelajari konsep baru yang
berkaitan dengan konsep sebelumnya, maka informasi yang mereka terima akan semakin
berbeda dari informasi yang sebenarnya. Hal ini tentunya berakibat pada tidak maksimalnya
pencapaian tujuan pembelajaran yang berakibat pada rendahnya hasil belajar siswa (Hikmah,
2014). Oleh karena itu, diperlukan suatu alat yang dapat membantu guru dalam
menyeragamkan pengamatan siswa agar informasi yang siswa terima sama seperti informasi
yang guru sampaikan, salah satunya adalah dengan menggunakan media pembelajaran.
Kata media tentunya tidak asing lagi bagi kita, namun pemahaman orang terhadap kata
tersebut berbeda-beda. Dalam pembelajaran, media dapat diartikan sebagai alat bantu selain
guru yang dapat berfungsi sebagai penyalur pesan atau informasi. Dengan demikian, media
pembelajaran dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan
menyalurkan pesan dari sumber secara terencana, sehingga tercipta lingkungan belajar yang
kondusif di mana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efektif dan efisen
(Munadi, 2012).
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang
semakin cepat, hal ini ternyata memberikan dampak positif pada dunia pendidikan terutama
pada perkembangan media pembelajaran (Arsyad, 2011). Media pembelajaran yang
dimaksud adalah media pembelajaran berbantuan komputer. Dengan media pembelajaran
berbantuan komputer, suatu materi pembelajaran dapat disajikan dalam bentuk yang menarik
dan interaktif bagi siswa (Arsyad, 2011). Selain itu, media pembelajaran berbantuan
komputer merupakan terobosan baru dalam dunia pendidikan yang pada awalnya
mengandalkan tatap muka, dapat beralih menjadi sistem pembelajaran yang dapat dilakukan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

776
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

dimana saja dan kapan saja yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, selama media komputer
tersebut dapat dioperasikan.
Jika dilihat dari pemaparan di atas, pembelajaran berbantuan komputer sesungguhnya
dapat menunjang proses pencapaian tujuan pembelajaran. Namun, pemanfaatan komputer di
sekolah-sekolah masih belum optimal. Selain itu, lemahnya kemampuan guru dalam membuat
media pembelajaran ini berdampak pada semakin menjamurnya metode ceramah. Padahal,
fakta menyatakan bahwa saat ini banyak siswa yang sudah tidak asing lagi dengan istilah
komputer. Banyak sekali jenis aplikasi teknologi berbantuan komputer sudah mulai
digunakan dalam proses pembelajaran, salah satunya yaitu hypermedia.
Hypermedia adalah perluasan dari hypertext. Hypertext adalah suatu tulisan yang tak
berurutuan (nonsekuensial) dengan suatu sistem authoring (pengarang) yang mampu
menghubungkan infromasi dari bagian manapun dalam paket pelajaran dan meciptakan jalur-
jalur materi yang saling berkaitan. Karena hypermedia merupakan perluasan dari hypertext,
maka hypermedia tidak hanya berisi tulisan, namun dapat menggabungkan media lain ke
dalam teks seperti grafik, gambar animasi, bunyi, video, musik dan lain-lain yang saling
berkaitan (Arsyad, 2011).
Beberapa hasil penelitian terkait penggunaan hypermedia dalam pembelajaran, salah
satunya dikemukakan oleh Montu, dkk., yang menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan
penggunaan hypermedia dan media riil terhadap prestasi belajar siswa pada materi pokok
hukum newton dan gesekan. Hypermedia memiliki pengaruh yang lebih baik daripada media
riil dalam pembelajaran. Terdapat interaksi yang signifikan antara hypermedia dan media riil
dengan gaya belajar siswa kategori visual, auditorial dan kinestetik terhadap prestasi belajar
siswa. Selain itu, terdapat interaksi yang signifikan pula antara hypermedia dan media riil
dengan tingkat kemampuan awal kategori tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar siswa
(Montu, 2012).
Dalam penelitian ini, konsep dualisme gelombang-partikel disajikan dalam bentuk
hypermedia yang berisi teks, gambar, animasi, simulasi, video, contoh sol, soal latihan dan
tombol-tombol navigasi yang memudahkan siswa untuk mengoperasikannya. Selain itu,
hypermedia memiliki kemampuan untuk membuat dan menyajikan simulasi dari gejala-gajala
fisika yang sulit untuk digambarkan. Dengan kata lain, hypermedia dapat menyajikan simulasi
apapun sesuai kebutuhan. Sebagai contohnya, dalam penelitian ini akan dihadirkan simulasi
tentang percobaan efek fotolistrik tanpa perlu membawa alat yang sesungguhnya ke dalam
kelas sehingga keterbatasan ruang dan waktu dapat teratasi. Untuk sistem navigasinya,
tombol-tombol dalam hypermedia dapat dibuat sesuai keinginan peneliti. Hal ini bertujuan
agar penyampaian informasi pada saat pembelajaran dapat terarah. Hypermedia dirasa cocok

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

777
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

untuk digunakan dalam pembelajaran fisika terutama pada konsep-konsep fisika yang sulit
diamati seperti dualisme gelombang-partikel.
Penggunaan hypermedia ini tentunya dapat menciptakan suasana baru dalam
pembelajaran fisika yang diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan
pemaparan di atas, maka timbul gagasan penulis untuk melakukan penelitian yang berjudul:
"Pengaruh Hypermedia Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Dualisme Gelombang-
Partikel”.

Metode
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Jasinga yang berlokasi di Jalan
Sukamanah No. 3 Desa Setu Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan
pada semester ganjil bulan November tahun pelajaran 2014/2015. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Metode ini mempunyai kelompok kontrol,
tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang
mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Kuasi eksperimen digunakan karena pada
kenyataannya sulit mendapatkan kelompok kontrol yang digunakan untuk penelitian.
Populasi dalam penelitian ini seluruh siswa di SMA Negeri 1 Jasinga dengan populasi
targetnya adalah seluruh siswa kelas XII di sekolah tersebut. Sampel yang diambil dalam
penelitian ini adalah siswa kelas XII-IPA semester ganjil, dengan satu kelas sebagai kelas
kontrol dan satu kelas sebagai kelas eksperimen. Teknik sampling yang dalam penelitian ini
adalah purpossive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu
(Sugiono, 2010). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes
dan non tes. Tes yang digunakan adalah pretest dan posttest yang bertujuan untuk
mengetahui hasil belajar fisika siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Non tes yang
digunakan adalah kuisioner/angket yang bertujuan untuk mengetahui persepsi siswa terhadap
hypermedia yang telah diterapkan. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan
stastik nonparametrik yaitu uji Mann-Whitney.

Hasil dan Pembahasan


Hasil belajar siswa di kelas kontrol dan Eksperimen dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa, hasil belajar siswa untuk setiap jenjang kognitif di
kelas kontrol maupun eksperimen mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil pretest,
persentase siswa di kelas kontrol yang menjawab dengan benar soal-soal jenjang kognitif C1
(mengingat) sebesar 28%, C2 (memahami) sebesar 23%, C3 (menerapkan) sebesar 54%,
dan C4 (menganalisis) sebesar 47%. Pada saat posttest, persentase siswa di kelas kontrol yang
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

778
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menjawab dengan benar soal-soal jenjang kognitif C1 (mengingat) sebesar 78%, C2


(memahami) 55%, C3 (menerapkan) sebesar 63%, dan C4 (menganalisis) sebesar 57%.
Adapun hasil pretest di kelas eksperimen, persentase siswa yang menjawab benar soal-soal
jenjang kognitif C1 (mengingat) sebesar 11%, C2 (memahami) sebesar 22%, C3
(menerapkan) sebesar 55%, dan C4 (menganalisis) sebesar 54%. Pada saat posttest,
persentase siswa di kelas eksperimen yang menjawab dengan benar soal-soal jenjang kognitif
C1 (mengingat) sebesar 89%, C2 (memahami) sebesar 48%, C3 (menerapkan) sebesar 66%,
dan C4 (menganalisis) sebesar 77%.

Gambar 1. Grafik Jenjang Kognitif Hasil Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan Kelas
Eksperimen

Gambar 1 menunjukkan bahwa, hasil belajar siswa untuk setiap jenjang kognitif di
kelas kontrol maupun eksperimen mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil pretest,
persentase siswa di kelas kontrol yang menjawab dengan benar soal-soal jenjang kognitif C1
(mengingat) sebesar 28%, C2 (memahami) sebesar 23%, C3 (menerapkan) sebesar 54%,
dan C4 (menganalisis) sebesar 47%. Pada saat posttest, persentase siswa di kelas kontrol yang
menjawab dengan benar soal-soal jenjang kognitif C1 (mengingat) sebesar 78%, C2
(memahami) 55%, C3 (menerapkan) sebesar 63%, dan C4 (menganalisis) sebesar 57%.
Adapun hasil pretest di kelas eksperimen, persentase siswa yang menjawab benar soal-soal
jenjang kognitif C1 (mengingat) sebesar 11%, C2 (memahami) sebesar 22%, C3
(menerapkan) sebesar 55%, dan C4 (menganalisis) sebesar 54%. Pada saat posttest,
persentase siswa di kelas eksperimen yang menjawab dengan benar soal-soal jenjang kognitif
C1 (mengingat) sebesar 89%, C2 (memahami) sebesar 48%, C3 (menerapkan) sebesar 66%,
dan C4 (menganalisis) sebesar 77%.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

779
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 2. Grafik Peningkatan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas Kontrol dan Kelas
Eksperimen
Gambar 2 menunjukkan bahwa hasil belajar kelas kontrol pada jenjang kognitif C1
(mengingat) meningkat sebesar 0,69 (sedang), C2 (memahami) meningkat sebesar 0,41
(sedang), C3 (menerapkan) meningkat sebesar 0,20 (rendah), dan C4 (menganalisis)
meningkat sebesar 0,19 (rendah). Adapun peningkatan hasil belajar di kelas eksperimen, yaitu
jenjang kognitif C1 (mengingat) meningkat sebesar 0,88 (tinggi), C2 (memahami) meningkat
sebesar 0,34 (sedang), C3 (menerapkan) meningkat sebesar 0,24 (rendah), dan C4
(menganalisis) meningkat sebesar 0,50 (sedang). Jika dilihat dari segi peningkatan hasil
belajarnya, hasil belajar di kelas eksperimen lebih unggul daripada kelas kontrol pada
kemampuan mengingat (C1), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4). Sementara itu, kelas
kontrol hanya unggul pada kemampuan memahami (C2).
Tabel 1. Hasil Uji Hipotesis Pretest dan Posttest Kelas Kontrol dan Eksperimen
Pretest Posttest
Statistik Kelas Kelas
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
Kontrol Eksperimen
Sig.(2-tailed) 0,857 0,041
Taraf signifikansi 0,05
Keputusan H1 ditolak H1 diterima

Tabel 2. Hasil Angket Respon Siswa Terhadap Software Hypermedia


Indikator Angket Persentase Kategori
Penggunaan hypermedia dalam proses pembelajaran 79,74% Baik
Penyajian konsep materi 77,16% Baik
Peyajian gambar dan animasi 82,11% Baik Sekali
Kesesuaian suara/audio dan warna hypermedia 76,29% Baik
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

780
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Penjelasan rumus dalam hypermedia 75,43% Baik


Rata-rata 78,16% Baik
Berdasarkan hasil uji hipotesis data posttest pada Tabel 1, diperoleh nilai Sig.(2-tailed)
sebesar 0,041 dan nilai taraf signifikansi sebesar 0,05. Artinya, nilai Sig.(2-tailed) < nilai
taraf signifikansi, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh penggunaan
hypermedia pada pembelajaran fisika konsep dualisme gelombang-partikel. Jika ditinjau
berdasarkan nilai rata-rata (mean) posttest, kelas eksperimen memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan kelas kontrol dengan selisih nilai sebesar 5,32. Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Montu, dkk, yang menunjukkan bahwa rata-rata nilai
siswa yang menggunakan hypermedia lebih tinggi dibandingkan siswa yang menggunakan
media riil dkk (Montu, 2012). Selain itu, karena pembelajaran dengan hypermedia
melibatkan indera visual, auditif dan kinestetik secara bersamaan, maka penggunaan
hypermedia dalam pembelajaran mampu memfasilitasi gaya belajar siswa yang beragam,
karena pada saat-saat tertentu siswa akan menggunakan salah satu saja dari ketiga gaya belajar
tersebut. Siswa yang memiliki gaya belajar visual (visual learner) akan lebih mengutamakan
peran penting mata sebagai penglihatan. Siswa yang memiliki gaya gaya belajar auditif
(auditory learner) lebih mengutamakan peran penting telinga sebagai pendengaran, sementara
siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik (tactual learner) akan lebih mengutamakan gerak
dan sentuhan (Rusman, 2013). Pencapaian hasil belajar fisika tersebut didukung pula dengan
hasil angket respon siswa terhadap software hypermedia memperoleh persentase rata-rata
sebesar 78,16% atau berada pada kategori baik.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa penggunaan hypermedia mampu memberikan
hasil yang lebih baik. Jika dilihat berdasarkan jenjang kognitifnya, terlihat bahwa kelas
eksperimen lebih unggul dibandingkan kelas kontrol dalam meningkatkan jenjang kognitif
C1 (mengingat), C3 (menerapkan), dan C4 (menganalisis). Keunggulan ini dikarenakan
hypermedia yang digunakan dalam penelitian ini berisi perpaduan antara materi ajar, gambar,
animasi, glosarium, contoh soal dan latihan soal.
Pada jenjang kognitif C1 (mengingat), kelas eksperimen memperoleh peningkatan hasil
belajar yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan hypermedia mampu
memberikan visualisasi berupa gambar dan animasi, sehingga mempermudah siswa untuk
mengingat materi pelajaran. Hasil ini didukung oleh hasil angket respon siswa pada indikator
penyajian gambar dan animasi yang memperoleh persentase rata-rata sebesar 82,11% atau
berada pada kategori baik sekali. Selain itu, perolehan hasil ini sejalan dengan pernyataan
yang dikemukakan oleh Levie & Levie, yang menyatakan bahwa belajar melalui stimulus
gambar akan membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat,
mengenali, mengingat kembali, dan menghubungkan fakta dengan konsep (Arsyad, 2011).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

781
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Selain meningkatkan hasil belajar pada jenjang kognitif C1 (mengingat), hypermedia


juga dapat meningkatkan hasil belajar pada jenjang kognitif C3 (menerapkan). Peningkatan
hasil belajar ini dikarenakan hypermedia dilengkapi dengan contoh soal dan latihan soal.
Contoh soal dalam hypermedia ini diprogram agar tidak memberikan jawaban secara
langsung, namun siswa dituntut untuk menjawabnya terlebih dahulu. Apabila siswa telah
menjawab contoh soal tersebut, maka akan tampil tombol navigasi yang berisi cara
penyelesaian soal tersebut. Pemrograman seperti ini dimaksudkan agar siswa dapat
mempelajari tahapan-tahapan untuk menyelesaikan soal-soal terkait materi yang sedang
dipelajari. Selain contoh soal, disajikan juga latihan soal yang bertujuan untuk melatih siswa
menerapkan rumus-rumus fisika yang telah dipelajari. Latihan-latihan soal dalam hypermedia
ini telah dilengkapi dengan kunci jawaban dan dilengkapi dengan sistem pemberian skor.
Pemberian kunci jawaban bertujuan agar siswa bisa mengetahui jawaban yang benar dari soal-
soal yang telah dikerjakan, sedangkan pemberian skor bertujuan agar siswa dapat mengetahui
nilai latihan soal yang telah ia kerjakan. Berdasarkan penjelasan di atas, contoh soal dan
latihan soal pada dasarnya bertujuan melatih siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah
terkait materi yang telah dipelajari berikut dengan tahapan penyelesaiannya, karena proses
kognitif menerapkan itu sendiri melibatkan penggunaan prosedur-prosedur tertentu untuk
mengerjakan soal latihan atau menyelesaikan masalah (Anderson, 2010).
Walaupun pembelajaran dengan hypermedia dapat meningkatkan hasil belajar siswa
pada jenjang kognitif C3, namun persentase peningkatan yang diperoleh kelas eksperimen
tidak terlalu tinggi, dan hanya memiliki selisih sebesar 4% dengan kelas kontrol. Hal ini
disebabkan oleh timer latihan soal yang diberikan kepada kelas eksperimen memiliki waktu
jawab yang terlalu singkat, sehingga berakibat pada banyaknya siswa yang belum sempat
mengerjakan semua soal. Selain itu, hal ini diakibatkan pula oleh adaptasi siswa yang cukup
lama untuk menyesuaikan diri dengan penggunaan hypermedia, karena pengerjaan soal secara
langsung di depan komputer merupakan suatu hal baru bagi siswa.
Selain meningkatkan hasil belajar pada jenjang kognitif C1 dan C3, hypermedia dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada jenjang kognitif C4 (menganalisis). Hal ini
dikarenakan hypermedia memiliki perpaduan materi, animasi dan simulasi yang mampu
memberikan gambaran yang lebih konkret tentang sebuah konsep. Gambaran konkret ini
tentunya akan membantu siswa untuk menganalisis hubungan antara materi, rumus, simulasi,
terkait materi yang sedang dipelajari. Struktur hypermedia yang memfasilitasi pendekatan
konstruktivis dan latihan-latihan soal yang menantang juga mendukung pencapaian hasil
belajar tersebut. Keadaan-keadaan tersebut tentunya akan mendukung dan merangsang siswa
untuk memecahkan permasalahan-permasalahan pada jenjang kognitif yang lebih tinggi,
karena proses kognitif menganalisis itu sendiri merupakan kecakapan yang kompleks, yang

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

782
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

memanfaatkan ketiga kemampuan jenjang kognitif sebelumnya (mengingat, memahami, dan


menerapkan) (Sudjana, 2012). Pencapaian ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa jenjang
kognitif C4 di kelas eksperimen yang memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan
kelas kontrol dengan selisih sebesar 31%.
Walaupun hasil belajar di kelas eksperimen unggul pada jenjang kognitif C1, C3, dan
C4, namun pada jenjang kognitif C2, hasil belajar kelas kontrol masih lebih tinggi daripada
kelas eksperimen. Hal ini dikarenakan penjelasan konsep pada semua pertemuan di kelas
kontrol dilakukan oleh guru, maka perhatian mereka terfokus pada penjelasan guru.
Sementara, perhatian siswa di kelas eksperimen pada pertemuan pertama terfokus pada cara
pengoperasian hypermedia itu sendiri. Fokusnya perhatian siswa pada hypermedia ini
dikarenakan pergantian materi melalui instruksi dengan cara mengklik tombol navigasi. Hal
ini merupakan sesuatu yang baru siswa. Akibatnya, pemahaman siswa pada materi yang
sedang dipelajari menjadi tidak maksimal. Kendala tersebut tentunya berakibat pada tidak
maksimalnya pemahaman siswa pada konsep dualisme gelombang-partikel secara
keseluruhan.
Dari beberapa kelebihan yang telah dikemukakan di atas, terdapat juga beberapa
kelemahan hypermedia yang peneliti temukan selama proses pembelajaran. Pertama, siswa
memerlukan adaptasi yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dengan penggunaan
komputer, karena pergantian materi melalui instruksi dengan cara mengklik tombol navigasi
merupakan suatu hal baru bagi siswa sehingga pemahaman materi pelajaran berkurang.
Kedua, pemberian waktu yang terlalu singkat untuk menjawab soal latihan pada hypermedia
membuat siswa tidak dapat mengerjakan latihan soal dengan bebas. Ketiga, hypermedia
belum mampu mempermudah siswa untuk memahami rumus-rumus dalam materi pelajaran.
Hal ini dapat dilihat dari rendahnya persentase hasil angket respon siswa pada indikator
penjelasan rumus dalam hypermedia (75,43%) dibandingkan dengan perolehan persentase
indikator lainnya.
Meskipun pembelajaran dengan hypermedia memiliki beberapa kelemahan, namun
penggunaan hypermedia dalam proses pembelajaran telah mampu meningkatkan hasil belajar
dan mendapatkan respon yang baik dari siswa. Artinya, secara keseluruhan penggunaan
hypermedia dalam proses pembelajaran memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil
belajar siswa khususnya pada konsep dualisme gelombang-partikel.

Penutup
Simpulan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

783
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka kesimpulan
yang dapat diambil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh penggunaan hypermedia
terhadap hasil belajar fisika siswa kelas XII pada konsep dualisme gelombang-partikel. Hal
ini didasarkan pada hasil uji hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney terhadap data
posttest. Nilai Sig.(2-tailed) sebesar 0,041, sedangkan nilai taraf signifikansi sebesar 0,05
atau Sig.(2-tailed) < 0,05. Nilai rata-rata hasil belajar siswa di kelas eksperimen yang diberi
perlakuan berupa pembelajaran menggunakan hypermedia lebih tinggi dibandingkan nilai
rata-rata hasil belajar siswa di kelas kontrol. Hasil belajar siswa di kelas eksperimen
mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol pada jenjang kognitif C1
(mengingat), C3 (menerapkan), dan C4 (menganalisis), sedangkan pada jenjang kognitif C2
(memahami), kelas kontrol mengalami peningkatan hasil belajar yang lebih tinggi
dibandingkan kelas eksperimen. Respon siswa terhadap penggunaan hypermedia dalam
pembelajaran berada pada kategori baik.

Saran
Hypermedia secara keseluruhan telah mampu meningkatkan hasil belajar siswa, namun
masih terdapat beberapa kelemahan. Oleh karena itu, peneliti menyarankan beberapa gagasan
untuk penelitian semacam ini kedepannya, yaitu:
1. Sebelum menerapkan pembelajaran menggunakan hypermedia, sebaiknya guru
memberikan pengarahan mengenai cara pengoperasian hypermedia. Berdasarkan
rendahnya perolehan hasil angket respon siswa terkait penyajian rumus dalam
hypermedia, maka rumus dalam hypermedia harus dibuat lebih sederhana agar mudah
dipahami siswa.
2. Jika soal latihan dalam hypermedia dilengkapi timer, maka waktu pada timer tersebut
harus disesuaikan dengan jumlah pertanyaan, sehingga siswa memiliki kesempatan untuk
menjawab semua soal tersebut.

Daftar Pustaka

Anderson, Lorin. W., & David R. Krathowhl. 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran,
Pengajaran, dan Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Hikmah, Nurul. 2014. Pengaruh Hypermedia Terhadap Hasil Belajar Siswa SMA pada Konsep
Momentum dan Impuls. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

784
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Montu, Erlin., Widha Sunarno, dan Suparmi. 2012. Pembelajaran Fisika dengan Inkuiri Terbimbing
Menggunakan Hypermedia dan Media Riil Ditinjau Gaya Belajar dan Kemampuan Awal.
Jurnal Inkuiri, Vol. 1, 10-16.
Munadi, Yudhi. 2012. Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Gaung Persada.
Rusman. 2013. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer. Bandung: Alfabeta..
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Dalam Pendidikan Fisika. Jakarta:
Gramedia.
Supiyanto. 2007. Fisika untuk SMA Kelas XII. Jakarta: Phibeta.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

785
Nur Noviana, Umi Sultra, Fathiah Alatas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: nurnoviana72@gmail.com, fathiahalatas@gmail.com

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui persentase miskonsepsi siswa kelas X
MIA di SMAN 7 dan SMAN 9 Kota Tangerang Selatan pada konsep Suhu, Kalor dan Perpindahan Kalor.
Penelitian ini dilaksanakan pada April 2015 – Mei 2015. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif.
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan yaitu tahap pembuatan instrumen dan tahap pelaksanaan
penelitian. Instrumen yang digunakan adalah Three-Tier Test. Hasil pembuatan soal diperoleh 21 soal valid
dengan validitas sebesar 0,70 dan reliabilitas sebesar 0,537. Hasil analisis menunjukkan di SMAN 7, pada sub
konsep memahami pengertian suhu dan skala termometer banyaknya siswa yang mengalami miskonsepsi yang
tinggi yaitu sebesar 92,5 %. Pada sub konsep menganalisis pemuaian zat padat, zat cair, dan gas memiliki
persentase miskonsepsi yang tinggi yaitu sebesar 85 %. Persentase sebesar 97,5% miskonsepsi yang tinggi pada
sub konsep menyelidiki perpindahan kalor secara konduksi, konveksi dan radiasi. Sedangkan, hasil analisis di
SMAN 9 mengalami miskonsepsi sebesar 32,5% mengenai menentukan titik didih dan titik beku air,
menuliskan besar suhu dalam skala termometer, memahami kejadian akibat pengaruh kalor, memahami proses
menyerap dan melepas kalor, dan menentukan kapasitas kalor suatu zat dan sebesar 2,69% mengenai
memahami pengertian suhu, dan menyelidiki perpindahan kalor secara konveksi pada kehidupan sehari-hari
dan 7,9% siswa tidak paham konsep mengenai mendefinisikan kalor dan menentukan suhu akhir campuran.
Berdasarkan analisis data yang diperoleh menunjukkan bahwa Three-Tier Test efektif digunakan untuk
mengetahui dan membedakan siswa paham, miskonsepsi dan tidak paham melalui tier ketiga berupa tingkat
keyakinan.

Kata Kunci: Miskonsepsi, Suhu, Kalor dan Perpindahan Kalor, Three-Tier Test

Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam perkembangan
manusia. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia yang berkualitas pula.
Pendidikan yang berkualitas dipengaruhi oleh lima ranah yaitu pemahaman konsep,
keterampilan proses, kreativitas, pengembangan sikap dan penggunaan konsep dalam
kehidupan sehari-hari (Iriyanti Nur Permata, 2012). Salah satu ranah yang sangat berarti dan
penting adalah pemahaman konsep, yaitu suatu cara untuk mengorganisir atau menyusun
pengetahuan dan merupakan dasar untuk membangun pemikiran menuju pada tingkat
berpikir yang lebih tinggi (Fuji, 2013).
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam dokumen Perangkat
Pembelajaran KTSP SMA menyatakan konsep adalah segala sesuatu yang berwujud
pengertian-pengertian baru yang dapat timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi,

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pengertian, ciri khusus, hakikat dan sebagainya (Suyono dan Hariyanto, 2011). Ilmu fisika
memiliki konsep yang luas, konsep-konsep tersebut ada yang bersifat abstrak maupun
konkrit. Faktor-faktor seperti guru, buku teks, alat peraga, dan sebagainya dibutuhkan untuk
memperlancar jalannya proses pengajaran konsep-konsep abstrak tersebut. Arons menyatakan
bahwa guru yang tidak menguasai atau mengerti materi fisika secara tidak benar akan
menyebabkan siswa memperoleh konsep yang salah atau miskonsepsi (Paul Suparno, 2013).
Salah satu materi fisika yang mempunyai konsep-konsep bersifat abstrak adalah materi suhu,
kalor dan perpindahan kalor.
Osbome, Bell, dan Gilbert menyebutkan bahwa siswa sering mengalami, memodifikasi,
atau menolak anggapan ilmiah yang digunakan sebagai dasar pemikiran mengenai bagaimana
dan mengapa sesuatu terjadi. Bahkan sebagian guru mengalami kendala bagaimana cara
menanamkan konsep secara tepat dalam diri siswa, karena sebenarnya dalam benak siswa
sudah terdapat pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya tentang gejala fisika yang
dianggap sama persis dengan konsep yang ada dalam kajian teoretis fisika (Tuysuz, 2010).
Konsepsi siswa yang berbeda dari konsep ilmiah yang diterima secara umum inilah yang
disebut dengan miskonsepsi (Eko Setyadi, 2012). Miskonsepsi merupakan suatu konsep yang
dipercaya orang walaupun konsep tersebut salah. Konsep yang dimiliki siswa dan diyakini
kebenarannya tetapi tidak sesuai dengan kebenaran universal (Eko Setyadi, 2012). Penyebab
miskonsepsi utamanya berasal dari (1) siswa, (2) pengajar, (3) buku teks, (4) konteks dan (5)
cara mengajar (Paul Suparno, 2013).
Salah satu contohnya yaitu siswa terkadang sulit mengerti jika gas dan zat cair itu
adalah suatu materi, keadaan ini menyulitkan siswa dalam memahami perubahan wujud zat.
Selain perubahan wujud zat, terdapat konsep-konsep lain dalam materi suhu dan kalor yang
bersifat abstrak. Kenyataan di lapangan bahwa masih banyak siswa yang mengalami
kesalahan konsep sehingga siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan persoalan yang
berhubungan dengan materi suhu dan kalor (Fithri, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian Van den Berg masih banyak ditemukan adanya
miskonsepsi siswa pada konsep suhu dan kalor, diantaranya : 1) suhu dan kalor tidak bisa
dibedakan, 2) suhu dan kalor dibedakan menjadi dua macam yaitu suhu panas dan suhu
dingin serta kalor panas dan kalor dingin, masing-masing dianggap mengalir sendiri-sendiri,
3) suhu dianggap berpindah dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah,
4) siswa mengalami salah konsep kesetimbangan termal, 5) kalor jenis dan kapasitor kalor
dianggap berbanding lurus dengan kenaikan suhu dan berbanding terbalik pada penurunan
suhu dan 6) suhu dianggap selalu naik jika suatu benda dipanaskan dan selalu turun jika
suatu benda didinginkan (Rosiatul Mahmudah, 2013).

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

787
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan hasil pengamatan PPKT, peneliti menemukan bahwa siswa masih sulit
memahami konsep suhu dan kalor, siswa menyatakan bahwa suhu merupakan temperatur,
panas, dan tidak menjelaskan secara definitif apa sebenarnya suhu itu. Siswa menyatakan
bahwa satuan besaran suhu adalah celcius, kemudian siswa tidak dapat membedakan antara
pemuaian panjang, pemuaian luas dan pemuaian volume. Bahkan menyebutkan contoh
perpindahan kalor secara konduksi, konveksi dan radiasi, siswa masih mengalami kekeliruan.
Kekeliruan ini jika diteruskan akan mempengaruhi pemahaman siswa pada konsep-
konsep selanjutnya, seperti konsep teori kinetik gas, termodinamika dan konsep lainnya yang
berhubungan dengan konsep suhu dan kalor. Menurut peneliti, adanya miskonsepsi yang
dialami siswa merupakan hal yang menarik untuk diteliti, jika miskonsepsi tidak diidentifikasi
sedini mungkin, maka bukan hal yang tidak mungkin miskonsepsi tersebut akan bertahan
hingga siswa lulus perguruan tinggi atau bahkan hingga tua. Identifikasi miskonsepsi dapat
dilakukan dengan beberapa macam cara di antaranya peta konsep, tes pilihan ganda dengan
alasan terbuka, tes esai tertulis, wawancara diagnosis, melalui diskusi dalam kelas dan melalui
praktikum dengan tanya jawab. Salah satu cara yang dapat mengidentifikasi miskonsepsi
siswa adalah Three-tier Test yang dikembangkan oleh Hasan, Bagayoko dan Kelley, alat tes
ini merupakan pengembangan dari Two-tier Test yang dikombinasikan dengan Certainty
Responce Index (CRI). Hasan, Bagayoko dan Kelley menggunakan cara yang sederhana dan
mudah untuk mengidentifikasi miskonsepsi dan membedakannya dengan kurangnya
pengetahuan (lack of konwladge) atau kurangnya konsep (lack of concept), yaitu dengan
Certainty Responce Index. Siswa yang menjawab dengan benar dan yakin atas jawabannya
pada Two-tier Test menunjukkan bahwa ia memang paham terhadap konsep tertentu, siswa
yang yakin dengan jawabannya walaupun jawaban tersebut salah menunjukkan bahwa ia
mengalami miskonsepsi, sedangkan siswa yang menjawab salah dan tidak yakin atas
jawabannya bukan berarti ia mengalami miskonsepsi, tetapi ia mengalami lack of knowladge
(Haki dan Ali, 2010). Miskonsepsi pada materi suhu, kalor dan perpindahan kalor ini
diidentifikasi dengan menggunakan Three-tier Test karena alat tes ini dapat membedakan
siswa yang benar-benar memahami konsep dengan siswa yang mengalami miskonsepsi.
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengetahui
miskonsepsi siswa pada konsep suhu, kalor dan perpindahan kalor yang terungkap dengan
instrumen Three-tier Test dan mengetahui persentase siswa yang mengalami miskonsepsi
pada konsep suhu, kalor dan perpindahan kalor.

Metode

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

788
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang terdiri dari empat tahapan, yaitu
penyusunan instrumen Three-tier Test, Three-tier Test, analisis miskonsepsi siswa, dan
kesimpulan. Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X Mia 1 dan X Mia 2 SMAN 7
dan X Mia 1 dan X Mia 5 SMAN 9 Kota Tangsel. Alasan subjek penelitian pada kelas
tersebut adalah berdasarkan telah selesai mempelajari konsep suhu, kalor dan perpindahan
kalor dan memiliki pemahaman konsep yang cukup baik. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian adalah tes diagnostik Three-tier Test yang berfungsi untuk mengevaluasi
kemampuan memahami dan mengidentifikasi miskonsepsi siswa, lembar observasi aktivitas
belajar fisika siswa dan lembar observasi aktivitas guru. Tes diagnostik Three-tier Test terdiri
dari tiga tahapan utama, tingkat pertama adalah pilihan ganda dengan lima pilihan jawaban
(a, b, c, d dan e) pertanyaan mengenai konsep materi, tingkat kedua adalah soal penalaran
mengenai alasan jawaban terhadap langkah pertama terdiri dari lima pilihan alasan tersedia
terhadap langkah pertama (a, b, c, d dan e), dan tingkat ketiga adalah confeidence level atau
pertanyaan keyakinan terhadap langkah pertama dan kedua terdiri dari dua pernyataan yaitu
yakin atau tidak yakin. Data dari hasil Three-tier Test dianalisis secara deskriptif, penilaian
dari tingkat pertama, kedua dan ketiga selanjutnya dianalisis dalam tiga tahapan. Istilah
penilaian yang diberikan adalah skor, yang digunakan untuk menghitung kalibrasi instrumen.
Setiap jawaban benar pada tingkat satu dan dua diberi nilai 1, sedangkan salah diberikan nilai
0. Pada tingkat ketiga jika siswa yakin diberi nilai 1 dan tidak yakin 0.

Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil data tes objektif soal Three-Tier Test menunjukan perbedaan
persentase antara SMAN 7 dan SMAN 9 yaitu pada SMAN 7 mengalami miskonsepsi yang
cukup tinggi sedangkan pada SMAN 9 pemahaman konsep yang cukup tinggi dibandingkan
dengan miskonsepsi dan tidak paham konsep. Siswa menjawab benar dan yakin lebih banyak
dibandingkan siswa menjawab salah dan yakin terhadap jawaban yang diberikan. Hal
tersebut dapat diartikan siswa mengalami paham konsep pada konsep Suhu, Kalor dan
Perpindahan Kalor, tetapi masih ada beberapa yang mengalami miskonsepsi. Dapat dilihat
pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

789
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 1. Persentase Siswa berdasarkan Kategori Tingkat Pemahaman dengan Menggunakan


Three-tier Test pada Siswa Kelas X Mia di SMAN 7
Presentase (%)
Lack
No Memaha
No Subkonsep Indikator of
soal mi Miskonsepsi Error
Knowl
Konsep
edge
Memahami alat
1 5 92,5 7,5 - -
pengukur suhu

Memahami Menentukan titik


2 pengertian didih dan titik 7 82,5 2,5 - 15
suhu dan skala beku air
termometer
3 Menuliskan besar 8 82,5 - 7,5 10
suhu dalam skala
celcius, reamur,
4 fahrenheit, kelvin 9 - 92,5 5 2,5
Rata – rata 64,2375 25,625 2,5 6,875
Menganalisi
s pemuaian
zat padat, Menganalisis
5 12 - 85 5 10
zat cair, dan pemuaian zat padat
gas

Mendefinisikan
6 17 92,5 - 2,5 5
kalor
Memahami
7 kejadian akibat 19 5 7,5 87,5 -
pengaruh kalor

8 Menganalisi 20 97,5 - - 2,5


s hubungan
Memahami proses
kalor
menyerap dan
dengan suhu
melepas kalor
9 benda dan 21 - 2,5 92,5 2,5
wujudnya

Membedakan kalor
10 jenis dan kapasitas 23 2,5 5 17,5 75
kalor
Membedakan kalor
11 jenis dan kapasitas 25 2,5 7,5 17,5 67,5
kalor
Rata – rata 33,3 2,5 36,25 25,4
Menganalisi Memahami
12 s adanya perbedaan 28 97,5 2,5 - -
perubahan perubahan wujud

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

790
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Presentase (%)
Lack
No Memaha
No Subkonsep Indikator of
soal mi Miskonsepsi Error
Knowl
Konsep
edge
wujud zat zat munguap dan
dan mendidih
penerapanny
13 a dalam 29 85 5 10 -
kehidupan
sehari-hari

Rata – rata 91 3,75 5

Menentukan suhu
14 31 100 - - -
mula-mula
Menyelidiki
azas Black
dengan
15 eksperimen 32 100 - - -
Menentukan suhu
akhir campuran
16 33 90 2,5 7,5 -

Rata – rata 96,6 0.83 2,5

Membedakan
perpindahan kalor
17 secara konduksi, 34 2,5 10 30 57,5
konveksi dan
radiasi
Menyelidiki
perpindahan
kalor secara
konduksi, Menyelidiki
konveksi perpindahan kalor
18 35 - 5 30 65
dan radiasi secara konduksi
pada kehidupan
sehari-hari
19 36 2,5 97,5 - -
Menyelidiki
perpindahan kalor
20 secara konveksi 37 87,5 7,5 - 5
pada kehidupan
sehari-hari
21 38 75 12,5 2,5 10
Rata – rata 33,5 26,5 12,5 27,5

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

791
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tabel 2. Persentase Siswa berdasarkan Kategori Tingkat Pemahaman dengan Menggunakan Three-
tier Test pada Siswa Kelas X Mia di SMAN 9
Presentase (%)
Mema
Subkonse No Lack of
No Indikator hami Miskons
p soal Knowladg Eror
Konse epsi
e
p

Memahami alat
1 5 92,5 7,5 - -
pengukur suhu

Menentukan titik
2 didih dan titik 7 82,5 2,5 - 15
beku air

Suhu dan
Pemuaian
3 Menuliskan 8 82,5 - 7,5 10
besar suhu dalam
skala celcius,
reamur,
fahrenheit,
4 kelvin 9 - 92,5 5 2,5

Menganalisis
5 pemuaian zat 12 - 85 5 10
padat
Rata - rata 51,5 37,5 3,5 7,5
Mendefinisikan
6 17 92,5 - 2,5 5
kalor
Memahami
7 kejadian akibat 19 5 7,5 87,5 -
pengaruh kalor
Hubungan
8 kalor 20 97,5 - - 2,5
dengan
suhu Memahami
benda dan proses menyerap
wujudnya dan melepas
9 kalor 21 - 2,5 92,5 2,5

Membedakan
10 kalor jenis dan 23 2,5 5 17,5 75
kapasitas kalor
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

792
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Membedakan
11 kalor jenis dan 25 2,5 7,5 17,5 67,5
kapasitas kalor
Memahami
12 perbedaan 28 97,5 2,5 - -
perubahan wujud
zat munguap dan
13 mendidih 29 85 5 10 -
Rata – rata 47,1 3,7 28,4 19

Menentukan
14 31 100 - - -
suhu mula-mula

Asas
Black
15 32 100 - - -
Menentukan
suhu akhir
16 campuran 33 90 2,5 7,5 -

Rata – rata 96,6 0.8 2,5 0

Membedakan
perpindahan
kalor secara
17 34 2,5 10 30 57,5
konduksi,
konveksi dan
radiasi
Perpindah
an kalor
secara Menyelidiki
konduksi, perpindahan
18 konveksi kalor secara 35 - 5 30 65
dan radiasi konduksi pada
kehidupan
sehari-hari
19 36 2,5 97,5 - -
Menyelidiki
perpindahan
20 kalor secara 37 87,5 7,5 - 5
konveksi pada
kehidupan
21 sehari-hari 38 75 12,5 2,5 10

Rata – rata 33,5 26,5 12,5 27,5

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

793
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Berdasarkan Tabel 2 di atas, diperoleh informasi bahwa persentase jawaban benar


dengan alasan yang salah disertai kepercayaan yang tinggi terdapat pada soal nomor 2, 4, 7, 9
dan 11. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yakin dengan alasan yang tidak sesuai dengan
konsep Suhu, Kalor dan Perpindahan Kalor mengenai menentukan titik didih dan titik beku
air, menuliskan besar suhu dalam skala celcius, reamur, fahrenheit, kelvin, memahami kejadian
akibat pengaruh kalor, memahami proses menyerap dan melepas kalor, dan menentukan
kapasitas kalor suatu zat. Persentase kriteria siswa memberikan jawaban yang rendah pada
tingkat pertama dan alasan pernyataan tinggi pada tingkat kedua serta keyakinan yang tinggi
terjadi pada soal nomor 8 dan 19. Persentase dengan kriteria dimana siswa memberikan
jawaban yang tinggi pada tingkat pertama dan pernyataan rendah pada tingkat kedua serta
keyakinan yang rendah terjadi pada soal nomor 6.

60
40
20
0
miskonsepsi tidak paham paham

Gambar 1. Diagram Persentase Miskonsepsi, Tidak Paham dan Paham

Paham konsep memiliki tingkat persentase lebih tinggi dibandingkan miskonsepsi dan
ketidakpahaman terhadap konsep Suhu, Kalor dan Perpindahan Kalor (Gambar 1).
Tingginya persentase miskonsepsi yang terjadi pada dua kelas X MIA di SMAN 9 Kota
Tangsel menunjukkan siswa paham, sedangkan tingginya persentase yang terjadi pada dua
kelas X MIA di SMAN 7 Kota Tangsel menunjukan siswa miskonsepsi dengan informasi
mengenai konsep Suhu, Kalor dan Perpindahan Kalor yang disampaikan oleh guru.
Siswa belum dapat mengembangkan kemampuan berpikir analisis, induktif dan
deduktif menggunakan konsep dan prinsip fisika khususnya pada konsep Suhu, Kalor dan
Perpindahan Kalor. Hal ini disebabkan karena pemahaman siswa yang kurang dan sedikitnya
informasi yang diperoleh. Miskonsepsi pada konsep ini perlu diketahui, walaupun penelitian
ini sudah membuktikan bahwa tingkat pemahaman konsep lebih besar persentasenya daripada
miskonsepsi, sehingga dapat diperbaiki atau bahkan dihilangkan, mengingat pentingnya
konsep Suhu, Kalor dan Perpindahan Kalor karena konsep ini berhubungan dengan konsep
pada materi di kelas XI SMA dan XII SMA. Penjelasan di atas membuktikan Three-tier Test

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

794
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

efektif dalam mengungkapkan miskonsepsi dan tidak paham konsep Suhu, Kalor dan
Perpindahan Kalor.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh siswa mengalami miskonsepsi pada
konsep Suhu, Kalor dan Perpindahan Kalor. Miskonsepsi yang terjadi sebesar 35,19%
dengan false positive sebesar 32,5% dan false negative sebesar 2,69%. Siswa mengalami
miskonsepsi ditemukan pada konsep suhu dan kalor yang meliputi sub konsep memahami
pengertian suhu dan skala termometer banyaknya siswa yang mengalami miskonsepsi yang
tinggi. Pada sub konsep menganalisis pemuaian zat padat, zat cair, dan gas. Dan pada sub
konsep menyelidiki perpindahan kalor secara konduksi, konveksi dan radiasi. Kelebihan
Three-tier Test adalah dapat mempersentasikan siswa yang paham dan tidak paham konsep,
siswa yang paham 54%, sedangkan yang tidak paham konsep sebesar 7,9%. Siswa tidak
paham mengenai mendefinisikan kalor dan menentukan suhu akhir campuran.
Saran
1. Bagi guru dapat melakukan apersepsi yang berkaitan dengan konsep pembelajaran pada
saat awal pembelajaran. Sehingga siswa mendapatkan gambaran konsep awal yang benar
untuk mempelajari konsep-konsep selanjutnya. Selain itu, apabila ditemukan miskonsepsi
pada siswa, hendaknya guru memperbaiki miskonsepsi tersebut dengan cara menjelaskan
konsep yang benar kepada siswa.
2. Bagi peneliti hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan sebagai remediasi dalam
menanggulangi miskonsepsi pada konsep Suhu, Kalor dan Perpindahan Kalor.

Daftar Pustaka

Fithri, I. 2013. Pengembangan Instrumen Three-Tier Test Untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi


Pada Materi Fisika Suhu Dan Kalor Pada Siswa Sma Kelas X. Yogyakarta.
Fuji, H. K. 2013. Diagnosis Miskonsepsi Siswa pada Materi Kalor dengan Menggunakan Three-tier
Test, Skripsi pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Bandung. Diterbitkan.
Haki, P. & Ali, E. 2010. Development of a Three-Tier Test to Asses Misconception about Simple
Electric Circuit. The Journal of Education Research.
Mahmudah, Rosiatul. 2013. Identifikasi Miskonsepsi Peserta Didik pada Konsep Suhu dan Kalor
dengan Menggunakan Peta Konsep dan Wawancara. Skripsi. Yogyakarta : Diterbitkan.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

795
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Suparno, Paul. 2013. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta : PT
Grasindo.
Permata, Iriyanti Nur. 2012. Identifikasi Miskonsepsi pada Materi Pokok Wujud Zat Siswa Kelas
VII SMP Negeri 1 Bawang Tahun Ajaran 2009/2010. Jurnal Pendidikan Kimia.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret. (Diakses: Selasa, 24 Februari 2015 Pukul 06.31
WIB)
Setyadi, Eko. 2012. Miskonsepsi tentang Suhu dan Kalor pada Siswa Kelas I di SMA
Muhammadiyah Purworejo, Jawa Tengah. Purworejo : Berkali Fisika Indonesia. (Diakses:
Selasa, 24 Februari 2015 Pukul 06.31 WIB)
Tuysuz, C. 2011. Development of Two-tier Diagnostic Instrument an Asses Studens Understanding
in Chemistry. Scientific Research and Essay.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

796
Teguh Gumilar1 , Endah Kurnia Yuningsih1, Vita Oktaviani1, Diah Mulhayatiah2
1
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: endahkurniauinsgd@gmail.com, oktavianivita2@gmail.com,
alhapidzteguhgumilar@gmail.com, diahmfis@gmail.com

Abstrak. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan antara kualitas pembinaan
siswa untuk Kompetisi Sains Madrasah (KSM) bidang fisika terhadap kesiapan siswa dan prestasi yang diraih.
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif kualitatif. Data kualitas pembinaan, kesiapan siswa
dalam menghadapi KSM, dan prestasi siswa dalam KSM dijaring dengan metode pengumpulan data angket
(questionnaire) dengan jenis instrument gabungan dari angket terbuka (angket tidak berstruktur) serta angket
tertutup (angket berstruktur) pada angket guru (AG) dan angket siswa (AS). Jenis nonprobability sampling
dengan teknik sampling purposive sampling digunakan dalam penelitian ini. Sebanyak 12 siswa (3 siswa setiap
madrasah) dan 4 guru fisika (1 guru setiap madrasah) yang tersebar di 4 madrasah negeri Kota Bandung
menjadi sampel penelitian. Data yang diperoleh dianalisis melalui metode analisis deskriptif kualitatif dengan
model tahapan induktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas pembinaan siswa madrasah
mempengaruhi kesiapan dan prestasi siswa dalam KSM. Jika kualitas pembinaan yang dilakukan baik, maka
akan membuat siswa menjadi lebih siap dan lebih memungkinkan untuk memperoleh juara di KSM. Indikator
kualitas pembinaan KSM yang baik antara lain intensitas pembinaan yang tinggi, jumlah pembina yang
memadai, metode pembinaan yang struktural, jumlah materi fisika yang banyak (meliputi konsep fisika, rumus
fisika dasar, dan matematika fisika), serta ketersediaan bahan ajar.

Kata Kunci: KSM, Kualitas Pembinaan, Kesiapan Siswa, Prestasi Siswa.

Pendahuluan
Banyak cara yang bisa dilakukan dalam memajukan sektor pendidikan bagi masyarakat
Indonesia. Salah satunya yaitu mendorong siswa-siswi untuk berkompetisi dan berinovasi.
Untuk memacu motivasi siswa dalam kompetisi dan inovasi banyak kegiatan yang bisa
dilakukan yang bisa mendidik siswa untuk berkompetensi dengan baik dan benar. Era
persaingan di dunia pendidikan sesungguhnya telah berlangsung sejak lama. Setiap lembaga
pendidikan dan pelaku pendidikan memiliki motivasi tersendiri dalam melakukan persaingan
secara sehat dalam dunia pendidikan khususnya untuk berkompetisi. Persaingan yang wajar di
dunia pendidikan sudah barang tentu merupakan hal yang lumrah karena dengan persaingan
akan timbul usaha untuk terus memperbaiki dan bercermin diri terhadap diri sendiri atas
prestasi yang diperoleh. Salah satu cara agar terjadi persaingan di dunia pendidikan yaitu
dengan mangadakan kompetisi baik antar sekolah, antar pemangku pendidikan, dan atau
antar siswa.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Ada banyak kompetisi yang diperuntukan bagi siswa-siswi. Diantara banyak kompetisi
bagi siswa, kompetisi yang paling terkenal di kalangan siswa pecinta sains yaitu Olimpiade
Sains Nasional (OSN) yang diselenggarakan oleh kementrian pendidikan sejak tahun 2002.
Selain OSN, kompetisi yang terbilang baru yaitu Kompetisi Sains Madrasah (KSM) yang
diselenggarakan oleh kementrian agama sejak tahun 2012. OSN bidang fisika merupakan
kompetisi bidang fisika yang diperuntukan untuk siswa/siswi SMP dan SMA yang
merupakan lembaga pendidikan di bawah kementrian pendidikan serta KSM bidang fisika
untuk MTs dan MA yang merupakan lembaga pendidikan di bawah kementrian agama.
Sudah barang tentu kedua kompetisi ini lahir atas inisiatif para pemimpin bangsa yang ingin
memajukan pendidikan pada segi kualitas pendidikan sains dan kompetisi sains di Indonesia.
Dengan adanya dua kompetisi sains ini siswa-siswi dari kedua kementrian akan berusaha
untuk melakukan yang terbaik dalam hal persaingan yang sehat.
OSN fisika yang dicetuskan oleh kemendikbud usia penyelanggaraanya lebih tua dari
pada kompetisi serupa yang diselenggarakan kementrian agama untuk siswa/siswi MTs dan
MA. OSN diadakan setiap tahun di kota yang berbeda-beda. Kegiatan ini merupakan salah
satu bagian dari rangkaian seleksi untuk mendapatkan siswa-siswa terbaik di seluruh
Indonesia yang akan dibimbing dan diikutsertakan pada olimpiade-olimpiade tingkat
internasional (Sigiro, 2009). OSN pertama kali dilaksanakan tahun 2002 sedangkan KSM
baru dilaksanakan tahun 2012. Walaupun berbeda pihak penyelenggara namun esensi
kegiatannya sama yaitu sama-sama ingin menumbuhkan dan menyediakan wahana bagi
siswa/siswi sekolah menengah dan madrasah untuk mengembangkan minat siswa di bidang
sains serta menumbuhkan budaya kompetitif yang sehat.
Menurut data pemenang OSN tahun 2015 diketahui bahwa Sekolah Menengah Atas
(SMA) di bawah kementrian pendidikan lebih banyak untuk ikut serta serta bisa bersaing di
banding dengan madrasah di bawah kementrian agama. Tercatat dari 31 peraih medali OSN
fisika, hanya 2 Madrasah Aliyah (MA) yang memperoleh medali. Sisanya sebanyak 29 SMA
mendominasi dalam peraihan medali. Data lain yang mendukung yaitu jumlah peserta OSN
Sains tingkat nasional tahun 2015 dimana total peserta SMA sebanyak 73 sedangkan MA
hanya sebanyak 2 sekolah yaitu MAN Insan Cendikia Serpong dan MAN Insan Cendikia
Gorontalo.
Banyaknya pengalaman sekolah dalam memfasilitasi siswanya untuk ikut serta
sebenarnya turut menunjang banyak atau tidaknya prestasi kompetisi di bidang fisika. Selain
itu faktor kompetisi profesionalitas guru juga mempengaruhi kualitas proses pembinaan dan
siswa peserta kompetisi fisika. Guru fisika merupakan faktor utama lahirnya para juara
olimpiade fisika. Tanpa campur tangan yang hebat dari seorang guru fisika, sangat sulit anak
didiknya untuk bisa bersaing secara baik di ajang kompetisi fisika. Selain faktor guru fisika, I

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

798
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Wayan Puja Astawa (2007) menjelaskan bahwa keberhasilan seorang peserta lomba pada
jenjang komptisi sains juga ditentukan oleh faktor lain. Salah satunya adalah kesiapan peserta.
Kesiapan ini meliputi kesiapan fisik dan kesiapan mental, termasuk di dalamnya adalah
kesiapan dalam hal kemampuan akademik. Oleh karena itu, mempersiapkan siswa mengikuti
ajang lomba tentu sangat perlu untuk dilakukan. Untuk keberhasilan suatu pembinaan
kompetisi khususnya fisika perlu adanya perencanaan yang baik atau manajeman pembinaan
yang berkualitas. Selain pembinaan diperlukan juga pembinaan teknis perlombaan,
pembinaan ini berisi pembinaan tentang bagaimana teknis penyelenggaraan kompetisi dari
mulai penjaringan sampai ajang pelaksaannya, bagaimana bentuk soal tes atau materi tes,
bagaimana trik dan tip cara-cara mengerjakan soal baik itu soal teori soal eksperimen,
misalnya ketika menjawab soal yang sulit diungkapkan dengan kata-kata bisa digunakan
dalam bentuk bagan, gambar atau diagram. Selain itu peraturan-aturan tentang kompetisi juga
penting untuk menjadi bahan persiapan menuju kompetisi. Mulyasa, E. (2006) dalam
Widiantoro (2010) mengungkapkan bahwa dalam manajemen diperlukan empat fungsi yaitu
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan.
Namun begitu tidak semua madrasah khusunya menerapkan pola atau manajemen
pembinaan yang sama sehingga kita melihat bahwa setiap tahun para juara lahir dari madrasah
yang berbeda-beda. Masih banyak madrasaha atau sekolah yang belum berhasil dalam
kegiatan kompetisi atau olimpiade. Kegagalan ini menurut Darta (2007) disebabkan oleh
beberapa hal antara lain penggalian bibit unggul, strategi pembinaan, sumber dana, dan
sumber belajar. Oleh karenanya perlu diselidiki pola pembinaan olimpiade fisika yang
dilakukan setiap madrasah. Selain itu diselidiki pula hubungan kualitas pembinaan di setiap
madrasah dengan kesiapan siswa-siswinya untuk ikut di KSM bidang fisika serta prestasi
siswa-siswi di KSM bidang fisika. Dilakukannya penelitian ini secara umum bertujuan untuk
mencari hubungan asosiatif (timbal balik) antara kualitas pembinaan, kesiapan siswa, dan
prestasi siswa untuk KSM bidang fisika. Arah penyimpulan hasil penelitian ini nantinya tidak
membandingkan hubungan asosiatif (timbal balik) itu pada setiap madrasah tetapi lebih
kepada hubungan asosiatif (timbal balik) ketiga variabel sehingga teori sederhana mengenai
pembinaan KSM bidang fisika bisa kita bentuk.
Hasil dari penelitian sederhana ini diharapkan memiliki banyak manfaat diantaranya
yaitu: 1) Penelitian ini berguna untuk pengembangan pelaksanaan pembinaan kompetisi
fisika di madrasah atau pun sekolah menengah; 2) Penelitian ini berguna untuk memecahkan
masalah di tingkat madrasah atau sekolah mana kala ada suatu permasalahan berkenaan
dengan proses bimbingan siswa-siswi yang akan mengikuti kompetisi fisika semisal OSN atau
KSM; 3) Penelitian ini berguna sebagai rujukan penelitian serupa khususnya di berbagai

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

799
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) karena penelitian mengenai Kompetisi Sains
Madrasah (KSM) sangat jarang dilakukan.

Metode
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif kualitatif. Data pada
penelitian ini diambil atas tangan pertama yaitu dengan pemberian angket langsung kepada
sampel penelitian, maka sumber data yang diperoleh termasuk sumber data primer. Data yang
diperoleh dianalisis melalui metode analisis deskriptif kualitatif dengan model tahapan
induktif. Data kualitas pembinaan, kesiapan siswa dalam menghadapi KSM, dan prestasi
siswa dalam KSM dijaring dengan metode pengumpulan data angket (questionnaire) dengan
jenis instrumen gabungan dari angket terbuka (angket tidak berstruktur) serta angket tertutup
(angket berstruktur) pada angket guru (kode: AG) dan angket siswa (kode: AS). Terdapat 17
indikator dan deskriptor pada angket guru (AG) dari pengembangan ketiga variabel terkait
serta terdapat 5 indikator dan deskriptor pada angket siswa (AS) dari pengembangan ketiga
variabel terkait. Semua indikator dan deskriptor dikembangkan menjadi pertanyaan terbuka
dan tertutup untuk guru dan siswa.
Jenis nonprobability sampling dengan teknik sampling purposive sampling digunakan
dalam penelitian ini. Maksud dari teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan
sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2009). Dalam penelitian ini
sebanyak 12 siswa (3 siswa setiap madrasah) dan 4 guru fisika (1 guru setiap madrasah) yang
tersebar di 4 madrasah negeri yang ada di Kota Bandung dengan inisial yaitu MTsN “A”
Kota Bandung, MTsN “B” Kota Bandung, MAN “C” Kota Bandung, dan MAN “D” Kota
Bandung menjadi sampel penelitian dengan pertimbangann yaitu peneliti ingin melihat
hubungan asosiatif (timbal balik) antara kualitas pembinaan, kesiapan pembinaan, dan
prestasi KSM bidang fisika di madrasah-madrasah negeri Kota Bandung serta keempat
madrasah negeri ini pernah mengikuti KSM pada tahun-tahun sebelumnya. Model langkah
induktif dapat dilihat pada Gambar 1.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

800
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Pada penelitian ini digunakan model langkah analisis induktif yang prosesnya dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Tahap 1: Melakukan pengaatan, identifikasi, dan re-check terhadap data
Data diperoleh dari masing-masing madrasah sampel berupa 1 angket guru (AG) dan
3 angket siswa (AS) dengan variasi jawaban tiap siswanya. Data yang diperoleh kemudian
dilakukan pengecekan terhadap kesesuaian dengan petunjuk pengisian angket. Selanjutnya
dilakukan penyesuaian data apabila beberapa data tidak memiliki jawaban. Penyesuaian
dilakukan terhadap wawancara tak terencana yang dilakukan selama peneliti melakukan
komunikasi verbal dengan guru responden. Selain itu pengecekan terhadap angket yang tidak
memiliki identitas responden juga dilakukan serta pengecekan terhadap beberapa tulisan yang
dianggap kurang jelas terbaca pun dilakukan.
Tahap 2: Melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperoleh
Selanjutnya dilakukan kategorisasi data sebagai berikut. Data terbagi menjadi dua
bagian jenjang yaitu jenjag MTs dan MA. Setiap jenjang memiliki dua madrasah responden
yaitu MTsN “A” Kota Bandung dan MTsN “B” Kota Bandung untuk jenjang MTs dan
MAN “C” Kota Bandung dan MAN “D” Kota Bandung untuk jenjang MA. Selanjutnya
dilakukan kategorisasi/klasifikasi data penelitian. Data dari tiap madrasah terbagi menjadi 3
kategorisasi/klasifikasi. Kategori pertama yaitu kategori kualitas pembinaan yang terdapat
pada angket guru (AG) nomor item 3 s.d. 15. Kategori kedua yaitu kategori kesiapan dalam
menghadapi KSM yang terdapat pada angket guru (AG) nomor item 1 s.d. 2 serta angket
siswa (AS) nomor item 1 s.d. 5. Kategori ketiga yaitu kategori prestasi KSM di bidang fisika
yang terdapat pada angket guru (AG) nomor item 16 s.d. 17. Pola kategorisasi/klasifikasi ini
dilakukan dengan pertimbangan kerangka pemikiran awal serta kesesuai dan jalur analisis
induktif dengan arah penyusunan kesimpulan khusus dan umum.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

801
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Tahap 3: Menelusuri dan menjelaskan/menganalisis kategorisasi


Selanjutnya dilakukan deskripsi data dan analisis data terhadap setiap kategori dan
dilakukan penyimpulan khusus dari masing-masing kategori dan masing-masing madrasah.
Kategori pertama yang dideskripsikan yaitu kategori kualitas pembinaan dimana
dideskripsikan jawaban dari angket guru (AG) terbuka dan tertutup pada nomor item 3 s.d.
15. Kategori kedua yang dideskripsikan yaitu kategori kesiapan dalam menghadapi KSM
dimana dideskripsikan jawaban dari angket guru (AG) tertutup dan terbuka yang terdapat
pada nomor item 1 s.d. 2 serta angket siswa (AS) tertutup dan terbuka nomor item 1 s.d. 5.
Kategori ketiga yang dideskripsikan yaitu kategori prestasi KSM di bidang fisika dimana
dideskripsikan jawaban dari angket guru (AG) tertutup dan terbuka pada nomor item 16 dan
17.
Tahap 4: Menjelaskan hubungan-hubungan kategorisasi
Pada tahap ini dideskripsikan hubungan antar kategorisasi yang telah diklasifikasi dan
ditabulasi. Pendeskripsian dan analisis dilakukan setiap madrasah yang terbagi menjadi tiga
kategori yang akan dianalisis. Penjelasan dan analisis didasarkan pada data dari kategori dari
beberapa pertanyaan dari angket terbuka dan tertutup. Analisis dilakukan dengan
mendeskripsikan hubungan antar jawaban dari nomor yang berbeda.
Tahap 5: Menarik kesimpulan-kesimpulan khusus dan umum
Pada tahap ini dilkakukan penerikan kesimpulan khusus dari seriap kategorinya. Setiap
kategori yang telah dijelaskan dan dianalisis kemudian diambil kesimpulan secara khusus.
Kesimpulan khusus ini berdasarkan kecenderungan jawaban responden dari masing-masing
butir soal pada kategori tertentu serta hubungannya dengan teori yang ada.
Tahap 6: Membangun atau menjelaskan teori dari hasil analisis data
Pada tahap ini tinjauan terhadap teori akan dilakukan dan dihubungkan dengan
analisis data yang diperoleh. Teori baru atau modifikasi teori mungkin dilakukan, karena
dengan model induktif dalam penelitian ini memungkinkan membangun sebuah teori yang
sebelumnya belum ada (Bungin, 2011). Hal ini tergantung dukungan data dan analisis data
yang dilakukan. Ringkasan tahapan analisis induktif dapat dilihat pada Gambar 2.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

802
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Gambar 2 Tahapan Analisis Hasil Penelitian

Hasil dan Pembahasan


Data dan Analisis Data Setiap Kategori Pada Setiap Madrasah
1. MAN “C” Kota Bandung
a. Kategori 1: Kualitas Pembinaan
Diawali dari pembentukan tim KSM dengan diadakannya seleksi pemilihan siswa yang
akan dibina untuk mengikuti KSM. Proses seleksi diawali dengan pendataan minat bakat
siswa untuk penempatan pemilihan mata pelajaran lomba. kemudian diseleksi dengan tes.
Selain itu dibentuk pula tim khusus guru yang terdiri dari guru-guru fisika, yang jumlahnya
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

803
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

sudah cukup memadai yaitu sebanyak 4 guru (2 guru sebagai pembina inti, 2 guru sebagai
pembina pembantu). Jadwal rutin pembinaan pun dibentuk menyesuaikan jadwal kosong
guru-guru pembina. Intensitas pembinaan dilakukan sebanyak 2 kali dalam seminggu.
Metode yang dilakukan yaitu dengan pemberian konsep dasar dan pemberian latihan soal.
Materi yang diajarkan pada pembinaan KSM tergolong banyak (>13 BAB) dengan
kualitas materi yang diajarkan mencakup konsep fisika & rumus fisika dasar saja. Tidak ada
bahan ajar khusus untuk pembinaan, cukup menggunakan buku yang ada. Sebanyak 70%
siswa yang dibina cenderung cepat memahami materi yang diajarkan. Seiring jalannya
pembinaan, kemampuan siswa dalam menjawab soal semakin meningkat, karena siswa mulai
banyak memahami konsep dasar fisika sehingga memudahkan mereka mengerjakan soal-soal
fisika. Selama pembinaan guru pembina senantiasa memberikan punishment dan reward.
Punishment bagi siswa yang tidak menunjukkan perkembangan yaitu berupa tidak diikutkan
lomba selain KSM. Sedangkan untuk reward yaitu siswa diikutkan lomba selain KSM.
Hambatan yang ada selama pembinaan menurut guru responden antara lain siswa yang
mengikuti pembinaan adalah siswa terbaik di kelas sehingga terkadang pikirannya bercabang
dengan pelajaran yang lain. Selain itu terkadang jadwal pembinaan yang bentrok dengan
jadwal ekstrakurikuler.
Secara khusus dapat disimpulkan dari adanya seleksi/pemilihan siswa di tingkat
madrasah, dibentuknya tim khusus KSM Fisika, jadwal pembinaan yang teratur, jumlah
Pembina yang memadai, metode/pola pembinaan yang baik, banyaknya materi yang
diberikan, tingkat pemahaman siswa yang baik, serta adanya reward dan punishment, kualitas
pembinaan KSM di MAN “C” Kota Bandung bisa dikatakan tergolong sangat baik.
b. Kategori 2: Kesiapan Siswa
Sebagai kompetisi tahunan, KSM merupakan ajang yang perlu dihadapi dengan
kesiapan yang matang. Dari segi pengetahuan informasi mengenai KSM, siswa responden
telah mengetahui KSM, hal ini dilihat dari kecenderungan siswa responden yang memilih
jawaban a (ya, 100%). Informasi KSM ini diketahui berasal dari guru fisika. Setelah adanya
pembinaan KSM semangat belajar fisika siswa diketahui menjadi sangat semangat (66,7%)
dan cukup semangat (33,3%). Siswa responden yang menjawab sangat semangat beralasan
karena dengan adanya pembinaan KSM memacu semangat untuk lebih menggali fisika,
sedangkan alasan siswa responden yang menjawab cukup semangat karena dengan adanya
pembinaan membuat konsep fisika lebih dipahami.
Materi fisika yang diberikan selama pembinaan KSM sudah banyak/mencukupi. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban siswa responden yang memilih jawaban c (materi sudah
banyak/mencukupi, 100%). Pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan selama
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

804
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pembinaan dilihat dari jawaban siswa, sebanyak 2 siswa responden (66,7%) menjawab
memahami materi dengan baik dan 1 siswa responden (33,3%) menjawab kurang memahami
materi. Siswa responden yang menjawab memahami materi yang disampaikan beralasan
bahwa sistem pembelajaran yang dilakukan sudah sangat terjadwal dan penyampaian
materinya sangat baik, sedangkan siswa responden yang menjawab kurang memahami materi
beralasan karena materi yang disampaikannya banyak sedangkan waktu yang tersedia terbatas
sehingga tidak semua materi dapat dipahami.
Sikap optimisme siswa dapat dilihat dari besarnya harapan dan keyakinan untuk
menjuarai KSM. Sebanyak 2 siswa responden (66,7%) menjawab sangat berharap dan yakin
bisa lolos semua seleksi KSM sampai mendapat medali, dan 1 siswa responden (33,3%)
menjawab kurang berharap bisa lolos seleksi KSM karena masih banyak materi fisika yang
belum dipelajari. Siswa responden mendeskripsikan harapannya agar dapat terus mengkaji
fisika baik dalam berkompetisi maupun dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa berusaha
semaksimal mungkin dalam kompetisi, serta dapat membanggakan sekolah.
Secara khusus dapat disimpulkan dari pengetahuan siswa responden tentang informasi
KSM, semangat belajar fisika yang cenderung sangat semangat, pemberian materi fisika yang
sudah banyak/mencukupi dan cenderung dapat dipahami dengan baik serta sikap optimisme
siswa yang cenderung yakin untuk dapat menjuarai KSM menunjukkan bahwa kesiapan siswa
responden MAN “C” Kota Bandung dalam menghadapi KSM dapat dikatakan siap.
c. Kategori 2: Kesiapan Guru (dari segi pengetahuan informasi KSM)
Dari hasil penelitian, dapat dianalisis bahwa guru responden banyak mengetahui
informasi KSM, ditandai dengan uraian yang cukup mendetail menjelaskan apa itu KSM,
mata pelajaran yang dilombakan, dan bagaimana KSM dilaksanakan. Kemudian mengenai
tenggat waktu surat edaran KSM, pihak sekolah biasanya menerima surat edaran 1 bulan
sebelum pelaksaan KSM. Sehingga kesiapan guru responden MAN “C” Kota Bandung dari
segi pengetahuan informasi KSM dapat dinyatakan sangat baik.
d. Kategori 3: Prestasi siswa di KSM
Dari hasil penelitian di dapat bahwa prestasi siswa pada KSM bidang fisika cukup
memuaskan dengan adanya siswa yang meraih peringkat II tingkat provinsi. Selain itu
terdapat 3 siswa yang masuk ke peringkat 5 besar KSM tingkat Kota Bandung. Prestasi yang
diperoleh sangat wajar bila dilihat dari segi analisis kategori 1 dan 2 bahwa pola pembinaan
yang berkualitas dan kesiapan siswa yang baik. Hal tersebut sangat mendukung Secara khusus
dapat disimpulkan bahwa prestasi KSM bidang fisika siswa MAN “C” Kota Bandung sangat
baik.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

805
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2. MAN “D” Kota Bandung


a. Kategori 1: Kualitas Pembinaan
Diawali dari pembentukan tim KSM dengan diadakannya seleksi pemilihan siswa yang
akan dibina untuk mengikuti KSM. Proses seleksi diawali dengan pendelegasian 1 siswa dari
setiap kelas IPA kemudian dilakukan seleksi untuk pemilihan tiga siswa terbaik yang akan
diikutkan KSM fisika. Selain itu dibentuk pula tim khusus guru yang terdiri dari guru-guru
fisika, yang jumlahnya sudah cukup memadai yaitu sebanyak 3 guru. Intensitas pembinaan
dilakukan sebanyak 1 kali dalam seminggu. Metode yang dilakukan yaitu dengan pemberian
latihan soal olimpiade tingkat kabupaten hingga provinsi serta pembahasan soal KSM tahun
sebelumnya.
Materi yang diajarkan pada pembinaan KSM tergolong banyak (>13 BAB) dengan
kualitas materi yang diajarkan mencakup konsep fisika & rumus fisika dasar saja. Adanya
bahan ajar khusus untuk pembinaan melengkapi kegitaan pembinaan. Bahan ajar dibuat oleh
tim MGPM fisika dimana guru khusus ditunjuk untuk membuatnya. Seiring jalannya
pembinaan dengan latihan dan pemberian konsep, kemampuan siswa dalam menjawab soal
semakin meningkat pada aspek berfikir cepat. Selama pembinaan guru pembina tidak
memberikan punishment dan reward. Hambatan yang ada selama pembinaan menurut guru
responden antara lain siswa yang mengikuti pembinaan adalah kemampuan siswa yang
terbatas dan kegiatan siswa yang padat sehingga menghambat jalannya kegiatan pembinaan
KSM fisika.
Secara khusus dapat disimpulkan dari adanya seleksi/pemilihan siswa di tingkat
madrasah, dibentuknya tim khusus KSM Fisika, jadwal pembinaan yang teratur, jumlah
pembina yang memadai, metode/pola pembinaan yang baik, banyaknya materi yang
diberikan, tingkat pemahaman siswa yang baik, serta walaupun tidak adanya reward dan
punishment, kualitas pembinaan KSM di MAN “D” Kota Bandung bisa dikatakan tergolong
cukup baik.
b. Kategori 2: Kesiapan Siswa
Sebagai kompetisi tahunan, KSM merupakan ajang yang perlu dihadapi dengan
kesiapan yang matang. Dari segi pengetahuan informasi mengenai KSM, siswa responden
telah mengetahui KSM, hal ini dilihat dari kecenderungan siswa responden yang memilih
jawaban a (ya, 100%). Informasi KSM ini diketahui berasal dari guru fisika.
Setelah adanya pembinaan KSM semangat belajar fisika siswa diketahui menjadi cukup
semangat (66,7%) dan sangat semangat (33,3%). Siswa responden yang menjawab cukup
semangat beralasan karena dengan adanya pembinaan KSM memicu diri sendiri untuk
semangat belajar fisika dan dapat mengerjakan soal yang sulit, sedangkan alasan siswa
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

806
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

responden yang menjawab sangat semangat karena dengan adanya pembinaan membuat
konsep fisika lebih dipahami.
Materi fisika yang diberikan selama pembinaan KSM masih kurang/sedikit. Hal ini
dapat dilihat dari jawaban siswa responden yang memilih jawaban b (materi yang diberikan
kurang/sedikit, 100%). Siswa responden menjelaskan bahwa materi yang diberikan selama
pembinaan belum memenuhi materi yang ada di KSM. Pemahaman siswa responden terhadap
materi yang disampaikan selama pembinaan masih kurang. Hal ini dilihat dari jawaban
responden siswa yang memilih b (kurang memahami materinya, 100%). Alasan kekurang
pahaman ini karena baru memahami rumus sedangkan konsep fisika masih yang belum
dipahami.
Sikap optimisme siswa dapat dilihat dari besarnya harapan dan keyakinan untuk
menjuarai KSM. Sebanyak 3 siswa responden (100%) kurang berharap bisa lolos seleksi
KSM karena masih banyak materi fisika yang belum dipelajari. Siswa responden
mendeskripsikan harapannya agar materi yang disampaikan pembimbing bisa dipahami dan
bisa menjadi juara.
Secara khusus dapat disimpulkan dari pengetahuan siswa responden tentang informasi
KSM, semangat belajar fisika yang cenderung cukup semangat, pemberian materi fisika yang
masih kurang/sedikit dan cenderung kurang dipahami dengan baik serta sikap optimisme
siswa yang cenderung kurang yakin untuk dapat menjuarai KSM menunjukkan bahwa
kesiapan siswa responden MAN “D” Kota Bandung dalam menghadapi KSM dapat
dinyatakan kurang siap.
c. Kategori 2: Kesiapan Guru (dari segi pengetahuan informasi KSM)
Dari hasil penelitian, dapat dianalisis bahwa guru responden tidak mengetahui banyak
hal mengenai KSM. Guru responden beralasan bahwa guru hanya sebagai pembimbing siswa
tanpa dilibatkan langsung di lapangan. Maksud dari pernyataan ini guru hanya sebagai
pelaksana teknis pembinaan tanpa banyak andil di informasi mengenai KSM. Guru
responden tidak secara detail menyebutkan teknis pelaksanaan atau pun mata pelajaran pada
KSM. Hal ini bisa menunjukkan bahwa kesiapan guru responden MAN “D” Kota Bandung
dari segi pengetahuan informasi KSM dinyatakan belum siap.
d. Kategori 3: Prestasi siswa di KSM
Dari hasil penelitian di dapat bahwa prestasi siswa pada KSM bidang fisika tidak
memuaskan. Selain itu tidak terdapat siswa yang masuk ke peringkat 5 besar. Hal ini
dimungkinkan pola pembinaan yang kurang baik dan kesiapan siswa yang kurang siap. Secara
khusus dapat disimpulkan bahwa prestasi KSM bidang fisika siswa MAN “D” Kota
Bandung kurang baik.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

807
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

3. MTsN “A” Kota Bandung


a. Kategori 1: Kualitas Pembinaan
Diawali dari pembentukan tim KSM dengan diadakannya seleksi pemilihan siswa yang
akan dibina untuk mengikuti KSM. Proses seleksi diawali dengan penyeleksian terhadap 3
siswa dari masing-masing kelas untuk mewakili sekolah pada KSM fisika. Sayangnya tidak
dibentuk tim khusus guru-guru yang khusus menangani pembinaan untuk KSM fisika. Jadwal
rutin pembinaan pun dibentuk menyesuaikan jadwal kosong guru-guru pembina. Intensitas
pembinaan dilakukan sebanyak 5 kali dalam seminggu. Hal ini diprediksi karena surat edaran
KSM yang masuk ke madrasah 1 minggu sebelum pelaksanaan sehingga intensitas pembinaan
sangat tinggi. Metode yang dilakukan yaitu dengan pemberian latihan soal dari bank soal
olimpiade.
Materi yang diajarkan pada pembinaan KSM tergolong banyak (>6 BAB) dengan
kualitas materi yang diajarkan mencakup konsep fisika & rumus fisika dasar saja. Terdapat
bahan ajar khusus untuk pembinaan. Sebanyak 2 siswa yang dibina cenderung cepat
memahami materi yang diajarkan namun kecenderungan siswa-siswi lain tidak cepat
memahami materi baru yang diajarkan. Seiring jalannya pembinaan, kemampuan siswa dalam
menjawab soal semakin meningkat karena siswa dapat menjawab soal-soal fisika pada saat
pembinaan. Selama pembinaan guru pembina senantiasa memberikan punishment dan
reward. Hanya reward yang diberikan yaitu pemberian konsumsi dan nilai.
Hambatan yang ada selama pembinaan menurut guru responden antara lain jam
pembelajaran (KBM) yang cukup padat; siswa merasa lelah; dan kurang sesuainya materi
(soal-soal) untuk latihan dengan soal pada saat kompetisi.
Secara khusus dapat disimpulkan dari adanya seleksi/pemilihan siswa di tingkat
madrasah, dibentuknya tim khusus KSM Fisika, jadwal pembinaan yang hanya intensif
menjelang pelaksanaan KSM, jumlah pembina yang tidak memadai, metode/pola pembinaan
yang baik, banyaknya materi yang diberikan, tingkat pemahaman pada hanya beberapa siswa
yang cukup baik, serta hanya adanya reward, kualitas pembinaan KSM di MTsN “A” Kota
Bandung bisa dikatakan tergolong kurang baik.
b. Kategori 2: Kesiapan Siswa
Sebagai kompetisi tahunan, KSM merupakan ajang yang perlu dihadapi dengan
kesiapan yang matang. Dari segi pengetahuan informasi mengenai KSM, siswa responden
telah mengetahui KSM, hal ini dilihat dari kecenderungan siswa responden yang memilih
jawaban a (ya, 100%). Informasi KSM ini diketahui berasal dari guru fisika.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

808
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Setelah adanya pembinaan KSM semangat belajar fisika siswa diketahui menjadi cukup
semangat (100%). Siswa responden menjawab cukup semangat karena dengan adanya
pembinaan menambah pengetahuan fisika yang cukup luas dan juga melatih belajar dengan
disiplin.
Dilihat dari banyaknya materi fisika yang diberikan selama pembinaan KSM sebanyak
2 siswa responden (66,7%) menjawab b (materi yang diberikan kurang/sedikit) dan 1 siswa
responden (33,3%) menjawab a (materi yang diberikan tidak banyak). Kecenderungan
jawaban siswa responden ini beralasan karena kurangnya waktu yang disediakan untuk
pembinaan dan kurangnya fasilitas penunjang pembinaan. Pemahaman siswa terhadap materi
yang disampaikan selama pembinaan dilihat dari jawaban siswa sebanyak 3 siswa responden
(100%) menjawab kurang memahami materi. Siswa responden beralasan bahwa banyak
materi pelajaran lain di kelas yang harus dipahami sehingga tidak bisa benar-benar fokus di
pembinaan KSM fisika.

Sikap optimisme siswa dapat dilihat dari besarnya harapan dan keyakinan untuk
menjuarai KSM. Sebanyak 2 siswa responden (66,7%) menjawab sangat berharap dan yakin
bisa lolos semua seleksi KSM sampai mendapat medali, dan 1 siswa responden (33,3%)
menjawab kurang berharap bisa lolos seleksi KSM karena masih banyak materi fisika yang
belum dipelajari. Siswa responden mendeskripsikan harapannya agar dapat dapat
mengharumkan nama baik sekolah serta dapat membuktikan bahwa kualitas pendidikan
madarasah tsanawiyah pun bisa unggul dan dan bermutu.
Dari pengetahuan siswa responden tentang informasi KSM, semangat belajar fisika
yang cenderung cukup semangat, pemberian materi fisika yang masih kurang/sedikit dan
cenderung kurang dipahami dengan baik namun sikap optimisme siswa yang cenderung yakin
untuk dapat menjuarai KSM menunjukkan bahwa kesiapan siswa responden MTsN “A”
Kota Bandung dalam menghadapi KSM dapat dinyatakan kurang siap.
c. Kategori 2: Kesiapan Guru (dari segi pengetahuan informasi KSM)
Dari hasil penelitian, dapat dianalisis bahwa guru responden kurang mengetahui
informasi KSM, ditandai dengan penyebutan yang kurang tepat tentang bidang studi yang
dilombakan, yaitu menyebutkan bidang Agama, Seni, dan Olahraga yang mana tidak terdapat
pada petunjuk teknis pelaksanaan KSM tahun 2015. Kemudian mengenai tenggat waktu
surat edaran KSM, pihak sekolah biasanya menerima surat edaran 1 minggu sebelum
pelaksaan KSM. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kesiapan guru responden MTsN “A”
Kota Bandung dari segi pengetahuan informasi KSM dapat dinyatakan kurang siap untuk
menghadapi KSM.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

809
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

d. Kategori 3: Prestasi siswa di KSM


Dari hasil penelitian di dapat bahwa prestasi siswa pada KSM bidang fisika tidak
memuaskan. Hal ini dimungkinkan pola pembinaan yang kurang baik dan kesiapan siswa
yang kurang siap. Secara khusus dapat disimpulkan bahwa prestasi KSM bidang fisika siswa
MTsN “A” Kota Bandung kurang baik.

4. MTsN “B” Kota Bandung


a. Kategori 1: Kualitas Pembinaan
Diawali dari pembentukan tim KSM dengan diadakannya seleksi pemilihan siswa yang
akan dibina untuk mengikuti KSM. Proses seleksi diawali dengan pemilihan siswa-siswi
terbaik dalam bidang fisika serta dilanjutkan dengan pemilihan 3 siswa terbaik dari yang
terbaik pada bidang fisika. Jadwal pembinaan yang dilakukan cenderung singkat tiap
pertemuannya dikarenakan beban belajar siswa MTs yang cukup tinggi. Pembinaan yang
cukup intensif dilakukan selama 6 hari dalam satu minggu dengan jumlah pembina sebanyak
2 orang. Metode pembinaan yang dilakukan yaitu dengan pendalaman materi/konsep,
latihan soal dengan soal setingkat KSM, dan praktikum sederhana.
Materi yang diajarkan pada pembinaan KSM tergolong banyak (>6 BAB) dengan
kualitas materi yang diajarkan mencakup konsep fisika, rumus fisika dasar, dan matematika
fisika. Adanya bahan ajar khusus untuk pembinaan terbilang sangat baik bahan ajar terdiri
dari konsep-konsep dan latihan-latihan soal OSN dan KSM. Sebanyak 75% siswa yang
dibina cenderung cepat memahami materi yang diajarkan. Seiring jalannya pembinaan,
kemampuan siswa dalam menjawab soal semakin meningkat. Siswa lebih pragmatis dan
struktural dalam mengerjakan soal-soal fisika. Selama pembinaan guru pembina senantiasa
memberikan reward. Reward bagi siswa yaitu memberikan pujian/penghargaan dalam bentuk
verbal dan nonverbal.
Hambatan yang ada selama pembinaan menurut guru responden antara lain jadwal
KBM yang sangat padat serta kelelahan siswa pada saat melaksanakan pembinaan karena
pembinaan dilaksanakan sepulang sekolah.
Secara khusus dapat disimpulkan dari adanya seleksi/pemilihan siswa di tingkat
madrasah, dibentuknya tim khusus KSM Fisika, jadwal pembinaan yang teratur, jumlah
pembina yang memadai, metode/pola pembinaan yang baik, banyaknya materi yang
diberikan, tingkat pemahaman siswa yang baik, serta adanya reward, kualitas pembinaan
KSM di MTsN “B” Kota Bandung bisa dikatakan tergolong sangat baik.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

810
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

b. Kategori 2: Kesiapan Siswa


Sebagai kompetisi tahunan, KSM merupakan ajang yang perlu dihadapi dengan
kesiapan yang matang. Dari segi pengetahuan informasi mengenai KSM, siswa responden
telah mengetahui KSM, hal ini dilihat dari kecenderungan siswa responden yang memilih
jawaban a (ya, 100%). Informasi KSM ini diketahui berasal dari guru fisika.
Setelah adanya pembinaan KSM semangat belajar fisika siswa diketahui menjadi cukup
semangat (100%). Siswa responden menjawab cukup semangat karena dengan adanya
pembinaan menambah ilmu, wawasan, keterampilan dan pengalaman.
Dilihat dari banyaknya materi fisika yang diberikan selama pembinaan KSM sebanyak
3 siswa responden (100%) memilih jawaban c (materi yang diberikan sudah
banyak/mencukupi). Pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan selama pembinaan
dilihat dari jawaban siswa sebanyak 3 siswa responden (100%) menjawab kurang memahami
materi. Siswa responden beralasan bahwa waktu terlalu sempit dengan materi yang terlalu
banyak serta waktu pembinaan yang kurang tepat yakni sepulang sekolah dimana kondisi
tubuh siswa yang sudah lelah.
Sikap optimisme siswa dapat dilihat dari besarnya harapan dan keyakinan untuk
menjuarai KSM. Sebanyak 3 siswa responden (100%) menjawab sangat berharap dan yakin
bisa lolos semua seleksi KSM sampai mendapat medali. Siswa responden mendeskripsikan
harapannya ingin meraih prestasi yang lebih tinggi, lebih banyak belajar, lebih banyak
pengalaMAN “D”an dapat mengahrumkan nama baik sekolah serta membahagiakan orang
tua.
Dari pengetahuan siswa responden tentang informasi KSM, semangat belajar fisika
yang cukup semangat, pemberian materi fisika yang sudah banyak/mencukupi namun
cenderung kurang dipahami dengan baik serta sikap optimisme siswa yang yakin untuk dapat
menjuarai KSM menunjukkan bahwa kesiapan siswa responden MTsN “B” Kota Bandung
dalam menghadapi KSM dapat dinyatakan cukup baik.
c. Kategori 2: Kesiapan Guru (dari segi pengetahuan informasi KSM)
Dari hasil penelitian, dapat dianalisis bahwa guru responden tidak banyak mengetahui
informasi KSM. Kemudian mengenai tenggat waktu surat edaran KSM, pihak sekolah
biasanya menerima surat edaran 1 minggu sebelum pelaksaan KSM. Sehingga kesiapan guru
responden dari segi pengetahuan informasi KSM dapat dinyatakan kurang siap untuk
menghadapi KSM.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

811
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

d. Kategori 3: Prestasi siswa di KSM


Dari hasil penelitian di dapat bahwa prestasi siswa pada KSM bidang fisika cukup
memuaskan karena siswa sering menjuarai KSM tingkat Kota Bandung. Selain itu terdapat 3
siswa yang masuk ke peringkat 5 besar KSM tingkat Kota Bandung. Prestasi yang diperoleh
sangat wajar bila dilihat dari segi analisis kategori 1 dan 2 bahwa pola pembinaan yang
berkualitas dan kesiapan siswa yang baik. Hal tersebut sangat mendukung. Secara khusus
dapat disimpulkan bahwa prestasi KSM bidang fisika siswa MTsN “B” Kota Bandung sangat
baik.

Pembahasan dan analisis akhir


Hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas pembinaan yang baik akan mempengaruhi
kesiapan siswa baik dari segi banyaknya materi yang sudah diterima siswa atau pun dari segi
mental juara. Hasil lain menunjukkan bahwa ketergantungan siswa kepada proses pembinaan
dari guru sangat tinggi. Guru yang memberikan proporsi materi pembinaan yang sedikit akan
membuat siswa kurang memahami materi yang diajarkan serta kurang memiliki motivasi
positif di KSM bidang fisika. Hal ini sangat jelas terlihat pada isian ketiga angket siswa
MAN “D” Kota bandung yang 100 % respondennya menjawab kurang berharap lolos
seleksi KSM bidang fisika. Sebaliknya pada madrasah yang gurunya memberikan proporsi
materi yang cukup atau banyak akan membuat pemahaMAN “D”an motivasi siswa tinggi.
Hal ini sangat jelas terlihat pada isian ketiga angket siswa MAN “C” Kota Bandung yang
66,7% respondennya cenderung sangat berharap lolos tahapan seleksi KSM hingga
mendapatkan medali serta pada ketiga angket siswa MTsN “B” Kota Bandung yang 100%
respondennya sangat berharap lolos seleksi dan mendapat medali pada KSM.
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa ada beberapa indikator bahwa kegiatan
pembinaan KSM dikatakan baik atau berkualitas. Indikator kualitas pembinaan KSM yang
baik antara lain 1) intensitas pembinaan yang tinggi, 2) jumlah pembina yang memadai, 3)
metode pembinaan yang struktural, 4) jumlah materi fisika yang banyak (meliputi konsep
fisika, rumus fisika dasar, dan matematika fisika), dan 5) ketersediaan bahan ajar untuk
pembinaan siswa-siswi. Hal ini berhubungan langsung dengan kecenderungan dua madrasah
yang memiliki kualitas pembinaan yang baik atau berkualitas untuk menjawab indikator yang
dimaksud. Indikator-indikator ini sangat berhubungan langsung dengan kesiapan siswa dalam
mengahdapi KSM. Siswa di dua madrasah (MTsN “B” dan MAN “C”) yang memiliki
indicator-indikator ini cenderung sangat siap menghadapi KSM.
Widiantoro (2010) menjelaskan bahwa terdapat empat tahap perencanaan pembinaan
kompetisi sains madrasah. Diantaranya yaitu 1) pembentukan tim pembina, 2) penyediaan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

812
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

sarana dan prasarana, 3) persiapan materi pembinaan, dan 4) seleksi siswa. Lima indikator
hasil dari penelitian ini dimungkinkan sangat mendukung apa yang disampaikan Widiantoro
khususnya pada tahap 1, 2, dan 3. Jumlah pembina yang banyak dan terstruktur dalam
pembagian tugasnya akan membentuk tim pembina yang handal. Hal ini didukung dari isian
angket guru di MAN “C” yang kualitas pembinaannya tergolong baik dimana tim pembina
dibagi menjadi dua bagian yaitu pembina inti dan pembina pembantu. Ketersediaan bahan
ajar juga merupakan indikator perencanaan yang baik.
Dari hasil analisis, kelengkapan perencanaan yang baik ditunjukan oleh MTsN “B”
dan MAN “C” walaupun tahapannya tidak disebutkan secara struktural seperti yang
disebutkan Widiantoro. Kedua madrasah ini memiliki tim pembina (poin 1), sarana berupa
bahan ajar dan buku latihan soal olimpiade (poin 2), materi olimpiade yang banyak
disampaikan (poin 3), dan penjelasan tahapan seleksi siswa (poin 4). Hal ini wajar bila kedua
madrasah ini dianggap sangat baik dalam kualitas pembinaan, kesiapan siswa, dan prestasinya.

Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan data, serta analisis dapat disumpulkan bahwa
kualitas pembinaan siswa madrasah mempengaruhi kesiapan dan prestasi siswa dalam KSM.
Jika kualitas pembinaan yang dilakukan baik, maka akan membuat siswa menjadi lebih siap
dan lebih memungkinkan untuk memperoleh juara di KSM. Indikator kualitas pembinaan
KSM yang baik antara lain 1) intensitas pembinaan yang tinggi, 2) jumlah pembina yang
memadai, 3) metode pembinaan yang struktural, 4) jumlah materi fisika yang banyak
(meliputi konsep fisika, rumus fisika dasar, dan matematika fisika), dan 5) ketersediaan
bahan ajar untuk pembinaan siswa-siswi.
Saran
Berdasarkan hasil peenlitian yang diperoleh dan kekurangan-kekurangan dlaam
penelitian ini, peneliti memberikan saran sebagai berikut: (1) Diharapkan guru fisika di
madrasah bisa mengembangkan pola pembinaan KSM, (2) dapat meningkatkan kualitas
sistem pembinaan KSM bidang fisika dari segi intensitas pembinaan, jumlah pembina,
metode pembinaan, jumlah materi fisika yang diajarkan, serta pengembangan bahan ajar, (3)
peneliti yang tertarik dengan penelitian KSM bidang fisika bisa mengembangkan penelitian
terhadap model pembinaan yang dilakukan seperti penggunaan model pembinaan blok-
diskrit dan blok-kontinyu pada pembinaan siswa madrasah dan siswa sekolah umum, dan (4)
peneliti yang tertarik dengan penelitian KSM bidang fisika bisa mengembangkan dan
memperbaiki instrument penelitian kuantitatif untuk mengetahui lebih rinci hubungan

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

813
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

asosiatif (timbal balik) antara kualitas pembinaan, kesiapan siswa, dan prestasi siswa pada
KSM bidang fisika.

Daftar Pustaka

Astawa, I Wayan Puja. 2007. Model Pembinaan Olimpiade Matematika Sekolah Dasar di Propinsi
Bali. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA (2): 270-286
Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Bungin, Burhan. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatitf. Jakarta: Rajawali Pers.
Darta, I Nyoman. 2007. Upaya Menuju Olimpiade Sains dan Informatika Melalui Pembentukan
Kelompok Siswa penggemar Mata Pelajaran (KSPM) dan Pemanfaatan Undiksha
Singaraja sebagai Sumber Belajar (Sebuah Inovasi Pengelolaan Sekolah) .
www.goo.gl/RLoMRo 4 Maret 2016 1:00 WIB
Sigiro, Mula. 2009. Peran Olimpiade Sains (Fisika) Terhadap Kemajuan Pendidikan di Indonesia.
www.goo.gl/cV5SJq 4 Maret 2016 6:28 WIB
Sugiono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Widiantoro, Slamet. 2010. Pola Pembinaan Olimpiade Sains Bidang IPA di Sekolah Dasar Menuju
Olimpiade Sains Nasional. http://goo.gl/N8Wqwh 24 Juli 2015 23:45 WIB.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

814
Devi Solehat, Asria Mawarda, Hasian Pohan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e-mail: asriamawarda92@gmail.com

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model learning cycle 7E terhadap hasil belajar
siswa pada konsep elastisitas. Penelitian ini dilakukan di MAN 13 Jakarta pada tahun ajaran 2014/2015.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen semu dengan nonequivalent control group
design dan teknik pengambilan sampel purpossive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini berupa instrumen tes berupa pilihan ganda dan nontes berupa angket. Data instrumen tes
dianalisis menggunakan uji statistik uji-t, sedangkan data instrumen nontes dianalisis menggunakan analisis
secara kualitatif dan dikonversi ke dalam bentuk kuantitatif. Hasil uji hipotesis dengan N= 28 terhadap data
posttest menunjukkan nilai thitung = 2,4 dan nilai ttabel = 2,00. Nilai thitung > ttabel, sehingga Ho ditolak. Rata-rata
hasil belajar siswa yang menggunakan model learning cycle 7E lebih tinggi dibandingkan rata-rata hasil belajar
siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih unggul pada
jenjang kognitif C1, C2, C3 dan C4. Pembelajaran menggunakan model learning cycle 7E ini memiliki daya
dukung terhadap proses pembelajaran pada kategori sangat baik dengan persentase sebesar 84%.

Kata Kunci: model learning cycle 7E, hasil belajar, elastisitas.

Pendahuluan
Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mengkaji tentang berbagai fenomena
alam dan memegang peranan penting dalam perkembangan sains dan teknologi. Fisika
sebagai salah satu disiplin ilmu merupakan bagian dari sains yang bertujuan untuk
mempelajari fenomena-fenomena yang berhubungan dengan materi. Oleh karena itu, hakikat
fisika sama dengan hakikat sains yakni terdiri dari produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap
ilmiah. Fisika dipandang sebagai dasar bagi pembangunan ilmu dan teknologi karena melalui
belajar fisika dapat dibentuk pola berpikir ilmiah sehingga mata pelajaran fisika sangat
diperlukan untuk dipelajari disekolah.
Pembelajaran fisika bertujuan untuk memperhatikan keteraturan alam semesta dan
menekankan pada pemberian pengalaman langsung yang membantu peserta didik untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Pembelajaran fisika
diharapkan dapat membantu siswa bukan hanya menguasai dan memahami konsep, fakta,
prinsip, atau fenomena alam saja tetapi juga menuntut siswa untuk terlibat langsung dalam
suatu proses penemuan pengetahuan. Oleh karena itu pembelajaran fisika harus dirancang
sedemikian rupa sehingga siswa terlibat dalam penemuan pengetahuan yang akan
dipelajarinya. Jadi dalam pembelajaran, guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada
siswa tetapi juga membantu siswa memperoleh pengetahuannya sendiri dengan cara

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

menemukan dan menganalisis setiap informasi yang diterimanya. Selain itu guru juga harus
membekali siswa agar mampu menghadapi tantangan era globalisasi dalam memecahkan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar memahami dan dapat
menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat, memecahkan masalah dan menemukan ide-ide.
Studi pendahuluan telah dilakukan di salah satu Madrasah Aliyah Negeri di wilayah
Jakarta Selatan melalui wawancara dan observasi kelas untuk mengetahui kegiatan
pembelajaran fisika di sekolah. Berdasarkan hasil wawancara guru diketahui bahwa kriteria
ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan di sekolah tersebut sebesar 75 untuk mata
pelajaran fisika. Namun, hasil ulangan harian fisika siswa menunjukkan bahwa pencapaian
rata-rata hasil belajar siswa masih jauh dibawah KKM yaitu hanya sebesar 57,9.
Rendahnya pencapaian hasil belajar ini sejalan dengan wawancara siswa yang
menyatakan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam pembelajaran fisika. Kesulitan yang
sering dihadapi siswa pada mata pelajaran fisika antara lain kesulitan dalam memahami
konsep fisika yang abstrak, kesulitan dalam hitungan fisika karena kurang berlatih soal-soal,
serta kesulitan dalam mengkaitkan suatu konsep fisika dengan konsep lainnya. Kesulitan
tersebut yang memberikan pengaruh pada hasil belajar yang didapatkan siswa.
Sejalan dengan kesulitan yang dialami siswa, observasi kelas yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pembelajaran fisika di sekolah masih menggunakan pendekatan transfer
of knowledge. Dalam hal ini, metode yang digunakan guru adalah metode ceramah.
Pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah ini kurang menarik perhatian dan minat
siswa. Penerapan metode ini dianggap monoton dan membosankan serta membuat siswa
kurang antusias dalam pembelajaran. Terlihat dari rendahnya respon umpan balik siswa dan
hasil observasi kelas menunjukkan hanya sekitar 33% siswa yang memperhatikan penjelasan
guru selama pembelajaran berlangsung.
Rendahnya respon umpan balik siswa terhadap pertanyaan dan penjelasan guru serta
pemusatan perhatian yang kurang disebabkan karena guru kurang merangsang rasa ingin tahu
siswa dan siswa hanya dibiarkan duduk, mendengarkan, mencatat dan menghafal materi
pelajaran. Pembelajaran dengan metode ceramah membuat siswa hanya dijejali oleh materi-
materi tanpa diberi kesempatan untuk membangun pemahamannya sendiri melalui
pengalaman langsung. Tidak mengherankan apabila konsep yang tertanam tidak bertahan
lama dan akan mudah hilang.
Berdasarkan paparan di atas, maka diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat
dan lebih bermakna bagi siswa, yaitu model yang dapat memberikan pengalaman langsung
kepada siswa serta dapat menghubungkan konsep pembelajaran yang akan dipelajari dengan
pengetahuan siswa sebelumnya serta melibatkan siswa secara aktif dalam membangun

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

816
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

pemahamannya. Salah satu model yang dapat digunakan adalah model learning cycle 7E.
Pada model learning cycle 7E terdapat tahap elicit atau tahap awal pembelajaran. Pada tahap
ini guru memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan rasa ingin tahu siswa sehingga
dapat memperoleh perhatian siswa dan merangsang siswa untuk berpikir.
Dalam model learning cycle 7E ini siswa juga diajak langsung untuk menggali
informasi dengan melakukan penyelidikan dan percobaan untuk menemukan konsep tentang
materi yang mereka pelajari, yaitu pada tahap explore. Hal tersebut membuat siswa terlibat
secara aktif dalam pembelajaran sehingga dapat membangun pemahaman siswa mengenai
konsep yang dipelajari. Melalui tahap extend pada model ini, siswa diajak untuk melakukan
transfer belajar. Transfer belajar ini dilakukan dengan menghubungkan konsep fisika yang
mereka pelajari dengan konsep lain serta mengkaitkannya dalam kehidupan sehari-hari
sehingga konsep didapat tertanam lebih lama.
Penerapan model learning cycle 7E ini didasarkan pada pendapat Piaget yang
menyatakan bahwa, setiap individu memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya
sendiri. Pengetahuan yang dibangun sendiri oleh anak sebagai subyek akan menjadi
pengetahuan yang bermakna. Sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses
pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakana. Pengetahuan tersebut hanya
untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.1
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Zulfiani Aziz dalam penggunaan
model pembelajaran learning cycle 7E untuk meningkatkan hasil belajar siswa SMP pada
pokok bahasan usaha energi menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada
hasil belajar siswa baik pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.2
Salah satu konsep yang memiliki karakteristik menekankan pada percobaan dan
penyelidikan adalah konsep elastisitas. Pemilihan konsep elastisitas dalam penelitian ini
berdasarkan pada kompetensi dasarnya yaitu agar siswa mampu menganalisis sifat elastisitas
bahan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep elastisitas juga merupakan salah satu konsep
dengan hasil belajar yang rendah di sekolah. Sehingga dengan menerapkan model learning
cycle 7E ini, siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep fisika, khususnya pada
konsep elastisitas.

1
Wina Sanjaya, Stretegi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 124.
2
Zulfiani Aziz dkk, Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7e untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP Pada Pokok Bahasan Usaha dan Energi, (Jurnal: Unnes
Physics Education Journal), hal. 1.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

817
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014, semester ganjil tahun ajaran
2014/2015. Adapun tempat penelitiannya di MAN 13 Jakarta yang terletak di Jalan Syukur,
Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi
experiment). Metode ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi
sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan
eksperimen.3 Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah nonequivalent
control group design. Pengambilan kelompok tidak dilakukan secara acak, namun dipilih
dengan pertimbangan tertentu agar memiliki homogenitas yang relatif sama. Sampel
penelitian ditentukan dengan teknik purpossive sampling. Penentuan kelas eksperimen dan
kelas kontrol, didasarkan pada hasil pretest yang dilakukan di kelas X MIA 1 dan X MIA 2.
Kelas yang mendapatkan hasil pretest lebih rendah dijadikan kelas eksperimen, sedangkan
kelas yang mendapatkan hasil pretest lebih tinggi dijadikan kelas kontrol.
Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah tes dan nontes. Tes diberikan
untuk mengukur hasil belajar siswa sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) dilakukan
pembelajaran pada materi elastisitas dengan menggunakan tes objektif. Sedangkan nontes
digunakan berupa angket yang berfungsi untuk mengukur respon siswa terhadap metode
pembelajaran yang diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar. Sebelum instrumen tes
digunakan dalam penelitian, instrumen penelitian terlebih dahulu dianalisis setiap butir
soalnya menggunakan uji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya pembeda. Sedangkan
pengujian kelayakan instrumen nontes dilakukan dengan pertimbangan ahli. Pertimbangan
ahli ini berhubungan dengan validitas isi yang bekaitan dengan butir-butir pernyataan yang
terdapat pada lembar angket.
Analisis data tes pada penelitian ini, dilakukan dua tahapan, yaitu uji prasyarat analisis
dan uji hipotesis. Uji prasyarat analisis terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji
normalitas yang digunakan adalah dengan uji kai kuadrat (chi square test), yaitu:4
k
 fo  fh 2
 2 
i 1 fh
Uji homogenitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Fisher, yaitu:5

3
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung : Alfabeta,
2013), Cet. 18, hlm. 77.
4
Sugiyono, Statistika untuk Penelitian, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 107.
5
Sudjana, Metoda Statistika, (Bandung: Tarsito, 2001), h. 249.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

818
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

F= =
Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh penerapan model learning
cycle 7E terhadap hasil belajar siswa. Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah uji “t”.

Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil perhitungan data pretest dan posttest kelas kontrol dan eksperimen,
diperoleh rekapitulasi data yang ditunjukkan oleh Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Ukuran pemusatan dan penyebaran data pretest dan posttest
No. Pemusatan dan Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
Penyebaran Data
Pretest Posttest Pretest Posttest
1. Nilai tertinggi 50 85 50 85
2. Nilai Terendah 10 40 15 45
3. Rata-rata 29,30 63,20 28,60 70,30
4. Median 29,10 61,40 28,50 72,50
5. Modus 21,20 60,50 28,80 76,70
6. Standar Deviasi 10,44 12,60 8,60 10,62

Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat bahwa hasil pretest pada kelas kontrol lebih tinggi
dibandingkan dengan kelas eksperimen, baik itu nilai terendah, nilai tertinggi, rata-rata,
median dan modus. Setelah diberikan perlakuan terhadap kelas eksperimen berupa
pembelajaran menggunakan model learning cycle 7E dan kelas kontrol dengan pembelajaran
konvensional, hasil posttest menunjukkan bahwa terjadi perubahan hasil belajar pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Perubahan terbesar terjadi pada rata-rata hasil belajar kelas
eksperimen yaitu 28,60 menjadi 70,30. Pada kelas kontrol perubahan rata-rata hasil belajar
yaitu 29,30 menjadi 63,20. Rata-rata hasil belajar siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi
dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kelas eksperimen lebih
unggul dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

819
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Hasil belajar siswa untuk setiap ranah kognitif dapat dilihat pada Gambar 1 dan
gambar 2 di bawah ini:

Gambar 1 Diagram hasil pretest kelas kontrol dan kelas eksperimen pada jenjang
kognitif

Gambar 2 Diagram hasil posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen pada jenjang
kognitif

Berdasarkan diagram di atas, terlihat bahwa hasil posttest kelas kontrol dan kelas
eksperimen mengalami peningkatan dari hasil pretest.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

820
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Jika ditinjau dari segi peningkatan, hasil peningkatan dari masing-masing ranah
kognitif dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:

Gambar 3 Diagram Peningkatan Berdasarkan Jenjang Kognitif

Gambar 3 menunjukkan bahwa perolehan peningkatan hasil belajar pada kelas


eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan perolehan peningkatan hasil belajar pada kelas
kontrol. Diagram berikut menggambarkan peningkatan jenjang kognitif kelas eksperimen
lebih tinggi pada semua jenjang kognitif pada tingkat C1, C2, C3 dan C4. Namun,
peningkatan hasil belajar yang diperoleh kedua kelas tersebut rata-rata berada pada kategori
sedang.
Sementara itu, berdasarkan perhitungan secara kuantitatif terhadap hasil data angket
yang telah diperoleh, menghasilkan data berupa persentase kemudian dikonversi menjadi data
kualitatif. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Hasil Angket Penerapan Model Learning Cycle 7E
Indikator Angket Kelas Eksperimen
Persentase Kesimpulan
Keterampilan Bertanya 83% Baik Sekali
Keterampilan memberi penguatan 86% Baik Sekali
Keterampilan memberi variasi 83% Baik Sekali
Keterampilan menjelaskan 88% Baik Sekali
Kegiatan pembelajaran dengan model learning cycle 7E 82% Baik Sekali
Rata-rata 84% Baik Sekali

Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa keseluruhan penerapan model learning cycle 7E


dalam pembelajaran pada konsep elastisitas mendapatkan respon baik dari para siswa dengan
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

821
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

rata-rata persentase keseluruhan indikator sebesar 84% degan kategori baik sekali. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dengan menggunakan model learning cycle 7E dalam
pembelajaran dapat membuat siswa aktif, antusias dan lebih memahami materi elastisitas yang
diajarkan.
Keadaan ini menggambarkan bahwa hasil belajar siswa lebih baik dengan menerapkan
model learning cycle 7E dibandingkan dengan hasill belajar pada kelas yang hanya
menerapkan pembelajaran konvensional. Penerapan model learning cycle 7E juga
mendapatkan respon yang sangat baik dari siswa seperti ditunjukkan pada hasil analisis
angket pada tabel 4.9 dengan rata-rata persentase sebesar 84%. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran menjadikan siswa lebih terlibat aktif dan memiliki pemahaman yang baik
terhadap materi yang diajarkan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Zulfiani Aziz dkk yang berjudul “Penggunaan
Model Learning Cycle 7E untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP pada Pokok
Bahasan Usaha dan Energi”, yang menyatakan bahwa penggunaan model learning cycle 7E
dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan baik aspek kognitif, afektif maupun
psikomotorik.6
Pada persentase kemampuan kognitif posttest terlihat bahwa terdapat peningkatan
pada setiap jenjang kognitif baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Untuk melihat
peningkatan nilai hasil belajar siswa sebelum dan setelah pembelajaran dibuat persentase
peningkatan kemampuan kognitif. Kelas eksperimen mengalami peningkatan kemampuan
kognitif lebih tinggi dari kelas kontrol pada semua tingkatan ranah kognitif dengan C1
sebesar 36%, C2 sebesar 52,9%, C3 sebesar 39% dan C4 sebesar 34,3%. Peningkatan di
setiap jenjang kognitif pada kelas eksperimen dikarenakan pembelajaran dengan model
learning cycle 7E, siswa dilibatkan langsung secara aktif dalam pembelajaran. Siswa aktif
dalam membangun pemahaman terhadap konsep yang dipelajari melalui percobaan secara
langsung, hal ini membuat pembelajaran lebih bermakna sehingga memudahkan siswa dalam
mengingat dan memahami konsep.Hal ini sejalan dengan pendapat Piaget yang menyatakan
bahwa pengetahuan yang dibangun oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi
pengetahuan yang bermakna. Sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses
pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya
untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.7 Peningkatan hasil belajar siswa kelas
eksperimen pada jenjang kognitif C3, dikarenakan pada model learning cycle 7E ini
6
Zulfiani Aziz dkk, Penggunaan Model Learning Cycle 7E untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa SMP pada Pokok Bahasan Usaha dan Energi, Unnes Physics Education Journal,
2013, h. 1-9.
7
Wina Sanjaya, Stretegi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h.124.
Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

822
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

memberikan kesempatan pada siswa untuk menerapkan konsep, rumus dan definisi-definisi
yang mereka dapatkan kedalam situasi baru. Penerapan konsep ini siswa dapatkan pada
tahapan elaborate. Dengan pemahaman konsep yang baik, siswa dapat menerapkan konsep
dan menganalisis suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman konsep yang baik pada kelas eksperimen, dikarenakan pada model
learning cycle 7E memiliki tahapan-tahapan yang berkaitan satu sama lain. Pada tahap elicit
dan engage, guru menggali pengetahuan awal siswa dengan pertanyaan yang berkaitan dengan
kejadian sehari-hari. Pada tahap ini siswa sangat antusias untuk saling bertukar informasi
dengan menyebutkan contoh-contoh konsep elastisitas dalam kehidupan sehari-hari. Kedua
tahap ini menimbulkan rasa ingin tahu dan membuka pengetahuan siswa.
Pada tahap explore, siswa melakukan percobaan langsung yang membuat siswa terllibat
aktif dalam membangun pemahaman terhadap konsep yang mereka pelajari. Berdasarkan
pengamatan selama proses pembelajaran, terlihat suasana belajar menjadi hidup sebab siswa
ikut aktif dalam pembelajaran. Dalam hal ini guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan
mediator, dengan merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan pembelajaran dengan
mengutamakan membangun pengetahuan siswa.
Pada tahap explain, elaborate, evaluate dan extend siswa diberi kesempatan untuk
menjelaskan hasil percobaannya dan berlatih memecahkan suatu permasalahan. Melaui
tahapan-tahapan tersebut siswa dapat menerapkan pengetahuannya pada keadaan yang baru
dengan menerapkan rumus dan definisi-definisi yang didapatkannya. Hal ini membuat
pemahaman siswa terhadap materi lebih melekat dan memperluas pemahaman siswa dengan
mengkaitkannya dalam kejadian sehari-hari.
Berdasarkan pembahasan diatas menunjukkan bahwa secara teori maupun empiris
pembelajaran dengan menggunakan model learning cycle 7E ini dapat meningkatkan hasil
belajar fisika siswa khususnya pada konsep elastisitas.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh model learning cycle 7E terhadap hasil belajar siswa pada konsep elastisitas. Hal
tersebut dapat dilihat berdasarkan:
1. Rata-rata hasil posttest kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol dan pada uji-
t didapatkan thitung pada taraf signifikansi 5% sebesar 16,19 sedangkan ttabel sebesar
2,00. Hal ini menunjukkan bahwa thitung > ttabel , artinya terdapat pengaruh model
learning cycle 7E terhadap hasil belajar siswa yang signifikan pada konsep elastisitas.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

823
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

2. Hasil angket menunjukkan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran dengan


menerapkan model learning learning cycle 7E berada pada kategori baik sekali
dengan rata-rata persentase keseluruhan indikator sebesar 84%.
3. Peningkatan hasil belajar siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan
dengan kelas kontrol tiap masing-masing jenjang kognitif, yaitu pada C1 sebesar
36%, C2 sebesar 52,9%, C3 sebesar 39% dan C4 sebesar 34,3%.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I, 2012.
Arikunto, Suharsimi. Prosedu Peneitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. XII,
2002.
Aziz, Zulfani, dkk. Penggunaan Model Pembelajaran Learning cycle 7e untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa SMP pada Pokok Bahasan Usaha Energi. Unnes Physics Educational
Journal, 2013.
Bans , Demirdag dkk. Developing Instructional Activities Based on Consturctivist 7E Model :
Chemistry Teacher’s Perspective. Journal of Turkish Science Education, 2011.
Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. III, 2006.
Dwiyoko, Eko. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Eisenkraft, Expanding the 5E Model Purposed 7E model Emphasizes “Transfer of Learning” and
Importance of Eliciting Prior Understanding. National Science Teacher Association,
2003.
Febriana, Erni dkk. Efektivitas Model Pembelajaran Learning Cycle 7E disertai Resitasi Terhadao
Mootivasi dan Prestasi Belajar Siswa Kelas XI MAN 4 Malang. Jurnal Universitas Negeri
Malang.
Hergenhahn dan Matthew. Teori Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010.
Lorin dan Karthwohl. Kerangka untuk Landasan Pembelajaran, Pengajaran dan Asesmen: Revisi
Taksonomi Pendidikan Bloom. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Madu, dkk. Effect of Five Step Learning Cycle Model on Student’s Understanding of Concepts
Related to Elasticity. Journal of Education Practice Vol. 3 2012.
Ni’matul, Binti dkk. Pengaruh Model Pembelajaran Learning cycle Terhadap Prestasi Belajar Fisika
dan Sikap Ilmiah Siswa Kelas X SMAN 7 Malang. Jurnal FMIPA Universitas Negeri
Malang.
Qarareh, Ahmed. The Effect of Using the Learning Cycle Method in Teaching Science on the
Educational Achievement of the Sixth Graders. Journal IJES Tafila Technical University,
2012.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Group, 2006.
Slavin, Robert. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Indeks, 2011.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

824
Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 9 Mei 2018
“Literasi Digital dalam Agama dan Sains untuk Mewujudkan Kecakapan Hidup Abad 21”

Soeprodjo, dkk. Pengaruh Model Learning Cycle 7E terhadap Hasil Belajar Materi Kelarutan dan
Hasil kali Kelarutan. Junal FMIPA Universitas Negeri Semarang, 2008
Sornsakda, Sutee, dkk. Effect of Learning Environmental Education Using the 7E-Learning Cycle
with Metacognitive Techniques and the Teacher’s Hanbook Approaches on Learning
Achivement, Integrated Science Process Skills and Critical Thinking of Mathayomsuksa 5
Student with Different Learning Achievement. Pakistan Journal of Social Science, 2009.
Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. XIV,
2009.
Sudjana. Metode Statistika. Bandung: Tarsito, Cet. I, 2005.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2008.
Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Supiyanto, FISIKA Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Phibeta, 2006.
Susety, Budi. Statistika untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: Refika Aditama, 2010.
Sutrisno , Wawan dkk. Pengaruh Model Learning cycle 7E Terhadap Motivasi Belajar Siswa Dalam
Pembelajaran Biologi. Jurnal FKIP Universitas Sebelas Maret, 2012.
Suyono dan Haryanto. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.

Copyright © 2018| Seminar Nasional Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

825

Anda mungkin juga menyukai