Anda di halaman 1dari 92

40

BAB III
METODA PENELITIAN

3.1 Pendekatan Studi


Pendekatan studi dilakukan dengan maksud agar sistematika penelitian ini
dapat dengan jelas diketahui dan dipahami, sehingga dapat meminimalkan
kesalahan dalam pengkajian permasalahan yang diteliti. Pendekatan yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan kualitatif meliputi :
• Identifikasi secara umum kondisi pemanfataan ruang Sub DAS Babura
Kota Medan;
• Identifikasi secara umum kondisi Sub DAS Babura Kota Medan;
• Identifikasi secara umum kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi
masyarakat di Sub DAS Babura.
2. Pendekatan kuantitatif meliputi :
• Penilaian terhadap kemampuan, daya dukung dan kesesuaian lahan di Sub
DAS Babura;
• Penilaian terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Sub DAS
Babura;

3.2 Organisasi Data


Organisasi data merupakan sistematika penulis di dalam mendapatkan
sumber-sumber data dan informasi yang dibutuhkan di dalam penelitian ini.
Dalam rangka mempermudah penyelesaian penelitian ini, maka penulis
membagi 2 (dua) katagori di dalam mendapatkan data dan informasi yaitu sebagai
berikut :
1. Pengumpulan data primer yaitu dengan melakukan survey ke lokasi penelitian
untuk melihat secara langsung kondisi penggunaan lahan/pemanfaatan ruang,
kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat, Sub DAS Babura.
Data primer ini dilakukan melalui kegiatan observasi untuk melihat secara
langsung pemanfaatan lahan di Sub DAS Babura.

Universitas Sumatera Utara


41

2. Pengumpulan data sekunder yaitu dengan melakukan kunjungan ke


instansi/dinas/lembaga terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan serta
perencanaan Sub DAS Babura Kota Medan.

3.3 Model Analisa


3.3.1 Analisis Fisik Sub DAS Babura
A. Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL)
Model analisis ini dipergunakan untuk pemilahan bentuk bentang
alam/morfologi pada wilayah kajian untuk mengetahui kawasan yang mampu
untuk dikembangkan sesuai dengan fungsi dan daya dukung lahannya.

Model analisis ini akan menghasilkan peta-peta yang menginformasikan


tentang kondisi fisik dan lingkungan daerah kajian yaitu berupa peta sebagai
beikut :

a) Peta SKL morfologi;


b) Peta SKL kemudahan untuk dikerjakan;
c) Peta SKL kestabilan lereng;
d) Peta SKL ketersediaan air;
e) Peta SKL untuk drainase;
f) Peta SKL terhadap erosi;
g) Peta SKL pembuangan limbah;
h) Peta SKL terhadap bencana alam.

Model analisis ini dilakukan dengan menggunakan teknik tumpang susun


(superimpose) peta fisik daerah perencanaan, kemudian hasilnya akan dinilai
melalui teknik pembobotan untuk menentukan nilai kemampuan setiap tingkatan
pada masing-masing satuan kemampuan lahan, dengan penilaian 3 (tiga) untuk
nilai tertinggi (lahan yang memiliki daya dukung tinggi), 2 untuk daya dukung
sedang, dan 1 (satu) untuk daya dukung rendah). Setelah menentukan nilai, maka
langkah selanjunya adalah mengkalikan dengan bobot masing-masing satuan
kemampuan lahan yang telah ditetapkan. Kemudian masukkan nilai yang telah
dikalikan dengan bobot yang telah ditentukan di masing-masing kemampuan
lahan tersebut ke dalam sebuah peta, sehingga mendapatkan peta

Universitas Sumatera Utara


42

wilayah/kawasan yang memiliki kisaran nilai yang menunjukkan kemampuan


lahan di lokasi penelitian.

a) Kemampuan Lahan dan Lingkungan berdasarkan Kemudahan


Dikerjakan

Bertujuan untuk mengetahui tingkat kemudahan lahan di wilayah dan/atau


kawasan untuk digali/dimatangkan dalam proses pembangunan/pengembangan
kawasan.

Tabel 3.1 Pembobotan Satuan Kemampuan Lahan


No Satuan Kemampuan Lahan Bobot
1 SKL Morfologi 5
2 SKL Kemudahan Dikerjakan 1
3 SKL Kestabilan Pondasi 5
4 SKL Kestabilan Lereng 3
5 SKL Ketersediaan Air 5
6 SKL Terhadap Erosi 3
7 SKL untuk Drainase 5
8 SKL Pembuangan Limbah 1
9 SKL terhadap Bencana Alam 5

Sumber : Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial
Budaya dalam Penyususnan Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum,
Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Tahun 2007.

1). Sasaran

• Memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan untuk digali, ditimbun,


ataupun dimatangkan dalam proses pembangunan untuk pengembangan
kawasan,
• Mengetahui potensi dan kendala dalam pengerjaan masing-masing
tingkatan kemampuan lahan kemudahan dikerjakan,
• Mengetahui metode pengerjaan yang sesuai untuk masing-masing
tingkatan kemampuan lahan.
2). Masukan:

• Peta Topografi,
• Peta Morfologi,

Universitas Sumatera Utara


43

• Peta Kemiringan Lereng,


• Peta Geologi,
• Peta Penggunaan Lahan yang ada saat ini.

3). Keluaran

• Peta Satuan Kemampuan Lahan Kemudahan Dikerjakan,

• Deskripsi masing-masing tingkatan kemudahan dikerjakan.

b) Kestabilan Lereng

Guna mengetahui tingkat kemantapan lereng di wilayah dan/atau kawasan


dalam menerima beban pada pengembangan wilayah dan/atau kawasan.

1). Sasaran

• Memperoleh gambaran tingkat kestabilan lereng untuk pengembangan


wilayah dan/atau kawasan.
• Mengetahui daerah-daerah yang berlereng cukup aman untuk
dikembangkan sesuai dengan fungsi kawasan.
• Mengetahui batasan-batasan pengembangan pada masing-masing
tingkatan kestabilan lereng.

2). Masukan

• Peta Topografi,
• Peta Morfologi,
• Peta Kemiringan Lereng,
• Peta Geologi,
• Karakteristik Air Tanah Dangkal,
• Besar Curah Hujan,
• Penggunaan Lahan yang ada saat ini,
• Bencana Alam.

3). Keluaran

• Peta Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Lereng,

Universitas Sumatera Utara


44

• Deskripsi masing-masing tingkatan kestabilan lereng.

c) Kestabilan Pondasi

Bergunan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam mendukung


bangunan berat dalam pengembangan perkotaan, serta jenis-jenis pondasi yang
sesuai untuk masing-masing tingkatan.

1). Sasaran

• Mengetahui gambaran daya dukung tanah secara umum,


• Memperoleh gambaran tingkat kestabilan pondasi di wilayah dan/atau
kawasan,
• Mengetahui perkiraan jenis pondasi dari masing-masing tingkatan
kestabilan pondasi.

2). Masukan

• Peta Kestabilan Lereng,


• Peta Geologi,
• Karakteristik Air Tanah Dangkal,
• Penggunaan Lahan yang ada saat ini.

3). Keluaran

• Peta SKL Kestabilan Pondasi,


• Deskripsi masing-masing tingkatan kestabilan pondasi, yang memuat juga
perkiraan jenis pondasi untuk masing-masing tingkatan kestabilan pondasi.

d) Ketersediaan Air

Berguna untuk mengetahui tingkat ketersediaan air guna pengembangan


kawasan, dan kemampuan penyediaan air masing-masing tingkatan.

1). Sasaran

• Mengetahui kapasitas air untuk pengembangan kawasan,

Universitas Sumatera Utara


45

• Mengetahui sumber-sumber air yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan


pengembangan kawasan, dengan tidak mengganggu keseimbangan tata air,
• Memperoleh gambaran penyediaan air untuk tiap tingkatan ketersediaan
air, dan pengolahan secara umum untuk air dengan mutu kurang
memenuhi persyaratan kesehatan.

2). Masukan

• Peta Hidrologi dan Klimatologi,


• Peta Morfologi,
• Peta Kemiringan Lereng,
• Peta Geologi
• Penggunaan Lahan yang ada saat ini.

3). Keluaran

• Peta SKL Ketersediaan Air.


• Deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan ketersediaan air.
• Perkiraan kapasitas air permukaan dan air tanah.
• Metode pengolahan sederhana untuk air yang mutunya tidak memenuhi
persyaratan kesehatan.
• Sumber-sumber air yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih.

e) Untuk Drainase

Guna mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam mematuskan air hujan


secara alami, sehingga kemungkinan genangan baik bersifat lokal ataupun meluas
dapat dihindari.

1) Sasaran
• Mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam proses pematusan.
• Memperoleh gambaran karakteristik drainase alamiah masing-masing
tingkatan kemampuan drainase.
• Mengetahui daerah-daerah yang cenderung tergenang di musim
penghujan.

2) Masukan

Universitas Sumatera Utara


46

• Peta Morfologi,
• Peta Kemiringan Lereng,
• Peta Topografi,
• Peta Geologi,
• Peta Hidrologi dan Klimatologi,
• Penggunaan Lahan yang ada saat ini.

3) Keluaran

• Peta SKL Drainase.

• Deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan drainase.

f) Erosi
1) Sasaran
• Mengetahui tingkat keterkikisan tanah di wilayah dan/atau kawasan
perencanaan.
• Mengetahui tingkat ketahanan lahan terhadap erosi.
• Memperoleh gambaran batasan pada masing-masing tingkatan
kemampuan terhadap erosi.
• Mengetahui daerah yang peka terhadap erosi dan perkiraan arah
pengendapan hasil erosi tersebut pada bagian hilirnya.
2) Masukan
• Peta Permukaan,
• Peta Geologi,
• Peta Morfologi,
• Peta Kemiringan Lereng,
• Peta Hidrologi dan Klimatologi,
• Penggunaan Lahan yang ada saat ini.
3) Keluaran
• Peta SKL Terhadap Erosi.
• Deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan lahan terhadap erosi
tersebut.

Universitas Sumatera Utara


47

g) Pembuangan Limbah

Guna mengetahui daerah-daerah yang mampu untuk ditempati sebagai lokasi


penampungan akhir dan pengolahan limbah, baik limbah padat maupun limbah
cair.

1) Sasaran
• Mengetahui daerah-daerah yang mampu untuk ditempati sebagai lokasi
penampungan akhir dan pengolahan limbah padat atau sampah.
• Mengetahui daerah yang mampu untuk ditempati lokasi penampungan
akhir dan pengolahan limbah cair.
• Mempersiapkan daerah-daerah tersebut dan pengamanannya sebagai lokasi
pembuangan akhir limbah.
2) Masukan
• Peta Morfologi, Kemiringan Lereng dan Topografi,
• Peta Geologi dan Geologi Permukaan,
• Peta Hidrologi dan Klimatologi,
• Penggunaan Lahan yang ada saat ini.
3) Keluaran
• Peta SKL Pembuangan Limbah
• Perkiraan prioritas lokasi pembuangan sampah dan daya tampung lokasi.

Berdasarkan hasil satuan kemampuan lahan di atas dikembangkan metoda


penjumlahan kemampuan lahan terbobot untuk memperoleh gambaran tingkat
kemampuan lahan untuk dikembangkan sebagai perkotaan yang dilakukan dalam
peta klasifikasi kemampuan lahan. Peta klasifikasi ini dipergunakan sebagai
arahan-arahan kesesuaian lahan pada tahap analisa berikutnya.

Nilai bobot sebesar 3 (tiga) untuk nilai tertinggi dan 1 (satu) untuk nilai
terendah, kemudian dikalikan nilai-nilai tersebut dengan bobot dari masing-
masing satuan kemampuan lahan. Bobot ini didasarkan pada seberapa jauh
pengaruh satuan kemampuan lahan tersebut pada pengembangan perkotaan.
Dengan men-superimpose-kan semua satuan-satuan kemampuan lahan
tersebut,dengan cara menjumlahkan hasil perkalian nilai kali bobot dari seluruh

Universitas Sumatera Utara


48

satuan-satuan kemampuan lahan dalam satu peta, sehingga diperoleh kisaran nilai
yang menunjukkan nilai kemampuan lahan di wilayah dan/atau kawasan
perencanaan. Diperoleh zona-zona kemampuan lahan dengan nilai tertentu yang
menunjukkan tingkatan kemampuan lahan di wilayah ini, dan digambarkan dalam
satu peta klasifikasi kemampuan lahan untuk perencanaan pemanfaatan ruang.

B. Analisa Daya Dukung Lahan


Analisis kemampuan lahan ini diperoleh dari hasil overlay terhadap semua
SKL yang dihasilkan melalui proses pembobotan dengan bobot. Berdasarkan
proses pembobotan diperoleh 3 (tiga) kelas kemampuan lahan, meliputi
kemampuan pengembangan rendah, kemampuan pengembangan sedang,
kemampuan pengembangan tinggi.

Kemampuan lahan tinggi menunjukkan bahwa karakteristik lahannya sesuai


untuk pengembangan kegiatan perkotaan seperti industri, permukiman,
perdagangan dan jasa, dan lain sebagainya. Kemampuan lahan sedang
menunjukkan bahwa untuk pengembangan kegiatan perkotaan, karakteristik
lahannya memungkinkan untuk dikembangkan hanya saja di beberapa bagian
membutuhkan suatu rekayasa teknologi, sedangkan kemampuan lahan rendah
tidak memungkinkan untuk pengembangan kawasan perkotaan lebih lanjut.

C. Analisa Kesesuaian Lahan

Analisa kesesuaian lahan diperuntukkan bagi menyusun pola pemanfaatan


ruang untuk kawasan lindung dan budidaya di lokasi penelitian, sehingga dapat
dengan jelas batasan (dalam peta) kawasan-kawasan yang harus dilindungi
(non terbangun) di wilayah Sub DAS Babura. Kawasan lindung adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup
yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya
adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas
dasar kondisi dan potensi seumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan
sumberdaya buatan (Modul Terapan : Pedoman Kriteria Teknis Kawasan
Budidaya, 17).

Universitas Sumatera Utara


49

Tabel 3.2 Kriteria Peruntukan Lahan Berdasarkan Kemiringan


Dan Ketinggian Lahan
Kemiringan Peruntukan Lahan Berdasarkan Ketinggian
Lereng (%) Bentuk Lahan 0 - 500 M 500 - 1000 M
- Daerah terbangun - Daerah terbangun

(Sampai bangunan
bertingkat) - Tanaman pangan

0–8 Datar - Tanaman pangan - Perkebunan

- Perkebunan - Peternakan

- Perikanan - Perikanan

- Rekreasi

- Tanaman pangan - Tanaman pangan

- Peternakan - Peternakan

8 -15 Berombak - Perkebunan - Perkebunan

- Penghijauan - Hutan Produktif

-Daerah terbangun terbatas - Daerah terbangun terbatas

- Tanaman pangan terbatas - Tanaman pangan

- Perkebunan - Perkebunan

- Peternakan - Peternakan

15 – 25 Bergelombang - Penghijauan - Konservasi lahan

- Daerah terbangun terbatas


- Hutan Produktif
- Daerah terbangun terbatas

- Reboisasi

- Hutan produksi - Hutan produksi terbatas

25 – 40 Curam - Reboisasi - Reboisasi

- Konservasi lahan - Konservasi lahan

Diatas 40 Terjal - Reboisasi - Hutan lindung

Universitas Sumatera Utara


50

Kemiringan Peruntukan Lahan Berdasarkan Ketinggian


Lereng (%) Bentuk Lahan 0 - 500 M 500 - 1000 M
- Konservasi lahan - Rekreasi

Sumber : Modul Terapan : Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, Kementerian Pekerjaan
Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Tahun 2007.

Analisis kesesuaian lahan ini juga dilakukan untuk memperoleh gambaran


mengenai tingkat kesesuaian, tingkat kemampuan, dan tingkat ketersediaan lahan
untuk kawasan lindung dan budidaya. Proses analisa ini akan menggunakan peta-
peta yang kemudian ditumpangsusun melalui alat bantu program arc atau map
info, sehingga teridentifikasi kondisi kesesuaian lahan menurut klasifikasi yang
telah ditentukan. Dalam analisis ini juga menggunakan model kriteria fisik untuk
lingkungan kawasan budidaya dan lindung yang ditetapkan berdasarkan Keppres
No.32 Tahun 1990 tentang penetapan kawasan lindung, penetapan kriteria dan
pola pengelolaan kawasan budidaya (BAPPENAS, 1995), FAO (1976) tentang
Kerangka Kerja Evaluasi Kesesuaian Lahan, PPTA (1993).

Tabel 3.3 Kriteria Fisik Lingkungan Kawasan Budidaya

dan Kawasan Lindung

Karakteristik/Tematik Kriteria Kawasan Lindung Kriteria Kawasan


Budidaya
Ketinggian (m dpl) >2000 <2000
Bentuk Wilayah Bergunung Datar s/d berbukit
Kemiringan lereng (%) >40 ,40
Singkapan Batuan (%) >50 50
Bahaya Banjir ≥ 1 x/thn -
Bahaya Longsor/Erosi Labil Stabil
Sphagnofibrist, Tropofibrist, Tropofolist, Halaquepts,
Jenis Tanah Natrobolis, Natraquall, Lithic, Natrustolis, Lainnya
Natraqualfs, natruslalfs, Hudraquents, Psamments
Sumber : Modul Terapan : Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, Kementerian Pekerjaan
Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Tahun 2007.

3.3.2 Analisa Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat


Penilaian terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat menggunakan
pembobotan berdasarkan asumsi peneliti dan ketentuan pembobotan mengacu

Universitas Sumatera Utara


51

pada ketentuan Kementerian Kehutanan yang termuat di dalam buku penelitian


tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Penilaian terhadap kondisi sosial masyarakat berkaitan dengan prilaku
masyarakat terhadap pemanfaatan lahan di wilayah Sub DAS Babura dengan
bentuk penilaian dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Penilaian Perilaku Masyarakat Dalam Penggunaan Lahan


No Parameter Tindakan Katagori Skor
1 Tanpa Sanksi Rendah 1

2 Hukum Sanksi Administrasi Sedang 2

3 Sanksi Pidana Tinggi 3


Sumber : Asumsi Peneliti, Tahun 2014

Sedangkan penilaian terhadap kondisi ekonomi masyarakat melihat aspek


tingkat pendapatan, dengan penilaian dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tingkat
pendapatan > 1,5 SK, memiliki katagori sangat rendah terhadap kesalahan dalam
pemanfaatan lahan, sedangkan pada tingkat pendapatan < 0,67 SK, sangat rentan
terhadap kesalahan dalam pemanfaatan lahan.
Tabel 3.5 Interval Besaran Tingkat Pendapatan Masyarakat
berdasarkan Katagori dan Nilai Skor
Besaran
No Parameter (Standard Kerentanan Skor
Kemiskinan (SK))
1 > 1,5 Sangat Rendah 1

2 1,26 – 1,5 SK Rendah 2


Tingkat
3 Pendapatan 1,1 – 1,25 SK Sedang 3
Masyarakat
4 0,67 – 1 SK Tinggi 4
5 < 0,67 SK Sangat Tinggi 5
Sumber : Asumsi Peneliti, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


52

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 KEBIJAKSANAAN PENATAAN RUANG KOTA MEDAN


4.1.1 Rencana Kawasan Lindung

Berdasarkan Dokumen Rencana Tata Ruang Kota Medan, kawasan lindung


yang ditetapkan di wilayah penelitian berupa sempadan sungai yaitu Sungai Deli
dan Sungai Babura dengan sempadan sungai sebesar 15 meter yang diukur dari
tepi kanan dan kiri sungai. Penetapan garis sempadan sungai ini dimaksudkan
agar kawasan bantaran sungai selebar 15 meter tersebut dapat dilindungi sebagai
daerah resapan air/terbuka, sehingga dapat menjaga kelestrarian fungsi sungai,
dan dapat mengurangi bahaya banjir.

4.1.2 Kawasan Budidaya

Daerah penelitian merupakan bagian wilayah Kota Medan bagian Selatan.


Arahan pemanfaatan lahan Kota Medan bagian Selatan berupa permukiman
dengan berbagai tingkatan kepadatan yaitu tinggi, sedang dan rendah.

Permukiman dengan tingkat kepadatan tinggi ditetapkan di Kecamatan


Kecamatan Medan Maimum (Kelurahan Hamdani, Kelurahan Sei Mati), tingkat
kepadatan sedang adalah Kecamatan Medan Petisah yaitu di Kelurahan Sei Barat,
Kelurahan Sei Putih Tengah, dan Kelurahan Sekip, sedangkan yang ditetapkan
sebagai permukiman kepadatan rendah yaitu Kecamatan Medan Polonia, Medan
Baru, Johor, Selayang dan Tuntungan.

4.2 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN


4.2.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Sub DAS Babura

Letak geografis Wilayah Sub DAS Babura berada pada kisaran koordinat
3o35’39” – 3o39’20” Lintang Utara dan 98o41’0” – 96o37’10” Bujur Barat.

Berdasarkan digitasi peta citra, luas wilayah Sub DAS Babura adalah sebesar
2.761.94 Ha. Wilayah Sub DAS Babura merupakan sebuah kawasan dengan batas

Universitas Sumatera Utara


53

wilayah tidak berdasarkan batas administrasi kecamatan, melainkan deliniasi dari


kawasan yang merupakan wilayah Sub DAS Babura yang penentuan dealiniasinya
telah ditentukan oleh Pemerintahan Kota Medan. Wilayah kecamatan yang
termasuk ke dalam Sub DAS Babura adalah sebagai berikut :

1. Sebagian Kecamatan Medan Baru;


2. Sebagian Kecamatan Medan Petisah;
3. Sebagian Kecamatan Medan Polonia;
4. Sebagian Kecamatan Medan Maimun;
5. Sebagian Kecamatan Medan Selayang;
6. Sebagian Kecamatan Medan Johor; dan
7. Sebagian Kecamatan Medan Tuntungan.

4.2.2 Ketinggian dan Kemiringan Lereng Sub DAS Babura

Sub DAS Babura memiliki ketinggian lahan yang bervariasi yaitu antara 23 –
77 meter di atas permukaan laut (dpl). Ketinggian wilayah yang paling rendah
(23-35 mdpl) berada di daerah bagian tengah sampai ke arah Utara Sub DAS
Babura, yaitu Kecamatan Medan Johor, Medan Polonia, Medan Baru, Medan
Maimun, Medan Petisah, dan Medan Baru. Ketinggian lahan di atas 35 mdpl
berada di sebelah Selatan Sub DAS Babura yaitu Kecamatan Medan Johor dan
Medan Tuntungan.

Kemiringan lereng Sub DAS Babura berkisar antara 2 – 45 %, dengan


katagori kemiringan ≤ 8%, dapat dikatagorikan datar, sedangkan kemiringan di
atas 45%, dikatagorikan terjal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.7
dan Gambar 4.1.

4.2.3 Fisiografi, Tanah dan Bentuk Wilayah DAS Babura

Fisiografi menunjukkan bentuk permukaan lahan dipandang dari faktor dan


proses pembentukan tanah, sehingga fisiografi memberikan pengaruh terhadap
perkembangan tanah. Secara umum fisiografi kawasan Sub DAS Babura dan
sekitarnya dapat dikelompokan dalam beberapa grup antara lain: 1) grup Aluvial,
2) grup marin 3) grup volkan 4) grup tufa masam beserta satuan lahan/unit lahan

Universitas Sumatera Utara


54

Tabel 4.1 Luas dan Klasifikasi Kemiringan Lereng Sub DAS Babura

Kemiringan Lereng
No Katagori Luas (Ha)
(%)

1 <8 Datar 1.129,91

2 8- >15 Berombak 798,15

3 15 - >25 Bergelombang 439,11

4 25 - >45 Curam 323,54

5 >45 Terjal 71,23

Luas Total : 2.761.94

Sumber : Hasil Digitasi Peta Citra, Tahun 2011

Universitas Sumatera Utara


55

Gambar 4.1 Peta Ketinggian Lahan dan Kemingan Lereng


Sub DAS Babura

sesuai dengan proses geomorfologinya, susunan geologi dan keadaan iklim


dominan.

a. Grup Aluvial

Grup Aluvial umumnya terbentuk dari endapan kasar dan halus yang
berumur Quarter (Qal dan Qh), yang umumnya berasal dari endapan sungai, Grup
Aluvial ini meliputi dataran banjir disekitar jalur aliran Sungai Deli), dan dataran
Aluvial. Dataran banjir umumnya menyebar disekitar aliran sungai besar dekat
muara berbatasan dengan pantai. Dataran Aluvial merupakan peralihan dari grup

Universitas Sumatera Utara


56

Marin, relatif datar airnya bersifat tawar sampai payau dan bagian besar telah
dimanfaatkan sebagai areal persawahan dan perkebunan negara. Secara rinci
satuan lahan/unit lahan yang termasuk dalam grup Aluvial disajikan uraiannya di
bawah ini:

• Dataran Aluvial Peralihan ke Marin

Satuan lahan ini merupakan dataran Aluvial peralihan ke Marin, dengan


bahan sedimen halus dan kasar masam, bentuk wilayah datar (lereng 3%). Jenis
tanah dominan adalah Troquents, Fluvaquents dan setempat yang agak kering di
dominasi oleh Eutropepts. Satuan lahan ini tersebar secara luas dibagian agak
hilir sebelah kanan dan kiri dari Sungai Deli.

b. Grup Volkan

Grup volkan ini umumnya berasal dari volkan muda berumur kuarter dari
Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung di sebelah Utara Berastagi, dengan bahan
utama berupa tufa masam dan intermedier. Hasil erupsi kedua gunung tersebut
mengisi bagian dataran sebelah Utara di sekitar Medan dan Binjai, sedangkan
bagian yang berlereng terisi bahan tufa toba masam. Ketebalan abu volkan
Sibanyak dan Sinabung makin tebal ke arah pusat erupsi (Brastagi) serta menipis
ke daerah berbukit dan jauh dari pusat erupsi (Medan/Binjai). Penyebaran grup
volkan ini mendominasi kawasan Medan dan sekitarnya, meliputi kawasan
Medan dan Binjai memanjang ke arah Kabanjahe.

c. Grup Tufa Masam

Grup ini terbentuk dari aliran abu volkan hasil erupsi volkan toba pada masa
tersier. Aliran abu masam (dasit dan liparit) ini membentuk endapan sangat tebal
dan kadang-kadang melebur (welded) terutama di dekat Danau Toba. Di dataran
rendah membentuk endapan volkan masam yang sangat luas sebelum pada mas
kwarter. Fisiografi ini mempunyai penyebaran luas di sebelah Selatan Medan
termasuk Sub DAS Babura sampai Danau Toba.

Universitas Sumatera Utara


57

4.2.4 Klimatologi
Kondisi klimatologi di Sub DAS Babura sama dengan kondisi klimatologi
Kota Medan karena Sub DAS Babura merupakan bagaian wilayah Kota Medan.
Menurut Stasiun BMG Sampali suhu minimum berkisar antara 23,0° C – 24,1° C
dan suhu maksimum berkisar antara 30,6° C – 33,1 ° C, dengan kelembaban
udara untuk rata-rata berkisar antara 78 –82%. Kecepatan angin rata-rata sebesar
0,42 m/sec sedangkan rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 100,6 mm.
Hari hujan rata-rata perbulan 19 hari dengan rata-rata curah hujan per bulannya
berkisar antara 211,67 mm – 230,3 mm (Gambar 4.3)

4.2.5 Penggunaan Lahan Sub DAS Babura


Secara umum, penggunaan lahan di Sub DAS Babura Kota Medan di
dominasi oleh perumahan mencapai 1.402,1 Ha yang terdiri dari perumahan
kepadatan rendah seluas 649,6 Ha, perumahan kepadatan sedang seluas 315,4 Ha,
dan perumahan kepadatan tinggi seluas 315,4 Ha. Selain itu, penggunaan lahan
berupa penggunaan lain seperti kebun campuran dan lahan belum termanfaatkan
seluas 473,1 Ha, kegiatan perdagangan seluas 224,5 Ha, jasa komersial seluas 142
Ha, fasilitas umum dan sosial seluas 143,4 Ha, kolam seluas 17,7 Ha, serta sungai
seluas 26 Ha. Total luas Sub DAS Babura dalam kajian ini adalah seluas 2.761,94
Ha. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.4.

Universitas Sumatera Utara


58

Gambar 4.2 Peta Jenis Tanah Sub DAS Babura

Universitas Sumatera Utara


59

Gambar 4.3 Peta Jenis Batuan Sub DAS Babura

Universitas Sumatera Utara


60

Gambar 4.4 Peta Klimatologi Sub DAS Babura

Universitas Sumatera Utara


61

Tabel 4.2 Jenis Penggunaan Lahan Sub DAS Babura


No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)

1 Kolam 17,7

2 Perdagangan 224,5

3 Fasilitas Umum dan Sosial 143,4

4 Jasa Komersial 142

5 Kawasan sempadan sungai 62,9

6 Perumahan Kepadatan Rendah 649,6

7 Perumahan Kepadatan Sedang 437,1

8 Perumahan Kepadatan Tinggi 315,4

9 Lahan campuran 473,1

10 Infrastruktur 296,64

Jumlah Total : 2.761,94

Sumber : Hasil Digitasi Peta Citra, Tahun 2012


Berikut ini beberapa jenis penggunaan lahan di Sub DAS Babura berdasarkan
hasil observasi peneliti yang didokumentasikan dalam bentuk gambar.

Gambar Kegiatan Perdagangan berupa Gambar kegiatan permukiman di Kel.


Pasar Tradisional di Jalan Jamin Ginting Beringin Kecamatan Medan Selayang

Gambar Kegiatan pendidikan di Medan Gambar Kegiatan jasa dan kegiatan


Baru perkotaan lainnya di Medan Johor

Universitas Sumatera Utara


62

Gambar 4.5 Peta Citra Sub DAS Babura

Universitas Sumatera Utara


63

Gambar 4.6 Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Babura

4.2.6 Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat


A. Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk daerah penelitian mengacu pada jumlah penduduk masing-
masing kecamatan yang termasuk dalam daerah penelitian ini yaitu Kecamatan

Universitas Sumatera Utara


64

Medan Maimun, Medan Polonia, Medan Baru, Medan Petisah, Medan Johor,
Medan Selayang dan Medan Tuntungan. Kecamatan yang paling tinggi jumlah
penduduknya berada di Kecamatan Medan Johor yaitu sebesar 125.456 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk paling rendah berada di Kecamatan Medan Maimun.

Bila dilihat dari tingkat kepadatan, kecamatan yang memiliki kepadatan


penduduk lebih tinggi bila dibanding dengan kecamatan lainnya adalah
Kecamatan Maimun yaitu sebasar 133 jiwa/Ha, sedangkan yang paling rendah
adalah Kecamatan Medan Tuntungan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 4.3

Tabel 4.3 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Daerah Penelitian Tahun 2012

Jumlah Kapadatan
No Kecamatan Luas (Ha)
(Jiwa) (Jiwa/Ha)

1 Medan Tuntungan 2.068 40


81.798
2 Medan Johor 1.458
125.456 86
3 Medan Maimun 298
39.646 133
4 Medan Polonia 901
53.384 59
5 Medan Baru 584
39.564 68
6 Medan Selayang 1.281
99.982 78
7 Medan Petisah 533
61.832 91
Jumlah/Total 7.123 501.662

Sumber : Kota Medan Dalam Angka Tahun 2012

B. Kondisi Sosial Masyarakat


Berdasarkan hasil pengamatan di daerah penelitian, kondisi sosial masyarakat
di daerah penelitian sangat beragam. Berdasarkan tingkat pendidikan, jenjang
pendidikan masyarakat sangat bervariasi, ada yang hanya lulusan Sekolah Dasar
(SD), ada yang hanya lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), ada
yang lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU), dan ada juga yang sudah lulusan
dari tingakt Akademik (D3) dan Universitas/Sekolah Tinggi (S1).

Universitas Sumatera Utara


65

Berdasarkan jenjang pendidikan tersebut, pola pikir yang dimiliki sangat


bervariasi tentang pola pemanfaatan lahan sebagai tempat tinggal dan sebagai
tempat beraktifitas. Ada yang faham tentang bagaimana sebaiknya tentang
memanfaatkan lahan sesuai dengan kondisi lahan, dan ada juga yang tidak perduli
sama sekali dengan kondisi lahan yang mereka tempati untuk tempat tinggal dan
beraktifitas karena alasan ekonomi. Umumnya, masyarakat dengan pendapatan
relatif rendah menempati lahan-lahan yang secara peraturan tidak dibenarkan
untuk dimanfaatkan seperti daerah sempadan/bantaran sungai yang rawan akan
bahaya banjir. Rata-rata umumnya yang bertempat tinggal di bantaran sungai
tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan dan tingkat pendidikan hanya sebagai
SMU. Umumnya memiliki tingkat pengetahuan lingkungan yang kurang baik,
karena lingkungan tempat tinggal mereka kurang terawat dengan baik, sehingga
kualitas lingkungan sangat buruk. Suasana kekerabatan masih sangat baik, karena
ketergantungan satu dengan lainnya sangat tinggi. Tingkat hunian cukup tinggi.
Hal ini ditandai dengan kerapatan bangunan yang cukup tinggi, dengan tidak
memiliki jarak antar bangunan, hanya dibatasi oleh jalan lingkungan yang berkisar
antara 1 - 1,5 m. Hal ini sangat rawan terhadap bahaya kebakaran, dan kurang
baik untuk kesehatan dan mental generasi muda yang ada.

C. Kondisi Sosial Ekonomi


Berdasarkan hasil pengamatan peneliti di lapangan, kondisi sosial ekonomi
masyarakat di daerah penelitian sangat beragam. Ada yang memiliki tingkat
ekonomi yang tinggi, ada juga yang menengah dan juga masyarakat dengan
kondisi ekonomi kelas bawah. Tingkat pendapatan yang berbeda tersebut
merupakan faktor terbesar masyarakat untuk memilih tempat tinggal dan
beraktifitas. Pada daerah permukiman dengan kepadatan tinggi, umumnya kondisi
ekonomi masyarakat berada diantara kelas menengah ke bawah, sedangkan
masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas lebih memilih
memanfaatkan lahan-lahan yang bernilai strategis dan dengan tingkat kepadatan
menengah dan rendah. Namun ada juga masyarakat yang tingakt ekonominya
mengenah ke bawah menempati lahan-lahan di permukiman kepadatan rendah
seperti di Kecamatan Medan Johor dan Kecamatan Medan Tuntungan, karena
mereka berdekatan dengan lahan-lahan pertanian sebagai sumber mata

Universitas Sumatera Utara


66

pencaharian mereka. Masyarakat yang menempati lahan dengan fungsi sebagai


permukiman kepadatan sedang dan tinggi, umumnya bekerja di daerah-daerah
pusat Kota Medan, seperti di Kecamatan Medan Baru, Kecamatan Medan Petisah,
Kecamatan Medan Polonia, dan Kecamatan Medan Maimun. Namun ada juga
yang bekerja di Kecamatan Medan Johor dan Kecamatan Medan Tuntungan.
Tingkat pendapatan masyarakat di daerah penelitian sangat bervariasi yaitu
ada yang di bawah Rp 1.500.000/bulan (pedagang asongan dan penarik becak
dayung) ada juga yang lebih dari Rp. 3.000.000 /bulan (pegawai dengan posisi
staf dan pedagang menengah), dan bahkan ada yang memiliki tingkat pendapatan
di atas Rp 5.000.000/bulan (umumnya memiliki usaha sendiri dan pegawai yang
memiliki posisi kepala bagian di sebuah instansi atau perusahaan).

4.3 LAHAN CADANGAN PENGEMBANGAN SAAT INI


Pengembangan pemanfaatan lahan di Kawasan Sub DAS Babura di masa
yang akan datang akan bergantung pada ketersediaan lahan-lahan yang ada saat
ini. Berdasarkan hasil digitasi peta citra, penggunaan lahan terbesar di kawasan
Sub DAS Babura saat ini adalah jenis pemanfaatan lahan untuk permukiman
penduduk sebesar 1.401,9 Ha atau 61 % dari total luas kawasan Sub DAS Babura,
kemudian lahan yang dimanfaatakan untuk fasilitas umum dan sosial serta
perdagangan dan jasa sebesar 509,9 Ha atau 19 %. Sedangkan pemanfaatan
lainnya berupa kolam, lahan campuran dan sempadan sungai sebesar 553,7 Ha
atau 20%.
Ketersediaan lahan pengembangan untuk kawasan perkotaan saat ini di
kawasan Sub DAS Babura dapat dihitung dengan menggunakan persamaan seperti
di bawah ini :
LP = X – (Y + Z)
Keterangan :
LP = Lahan pengembangan;
X = Total luas lahan;
Y = Lahan terbangun;
Z = Lahan dengan fungsi lindung.

Universitas Sumatera Utara


67

Berdasarkan persamaan di atas, ketersediaan lahan pengembangan di Sub


DAS saat ini sebesar 2.761,94 – (1.992,4 + 80,4) = 689,14 Ha.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, lahan cadangan untuk pengembangan
kawasan perkotaan di Sub DAS Babura adalah sebesar 689,14 atau 25% dari total
luas lahan Sub DAS Babura. Luas lahan tersebut merupakan lahan yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan perkotaan seperti permukiman, perdagangan dan
jasa, kebutuhan sarana dan prasarana, ruang terbuka hijau dan lain sebagainya.

4.4 ANALISA DAYA DUKUNG POTENSIAL

Daya dukung lahan adalah tingkat kemampuan lahan untuk mendukung


segala aktivitas manusia yang ada di wilayahnya (Riyadi dan Bratakusumah,
2003). Penilaian terhadap daya dukung lahan potensial dapat dilakukan dengan
menggunakan model satuan kemampuan lahan (SKL). SKL merupakan suatu
studi yang dilakukan untuk melihat kemampuan fisik geografis suatu wilayah
untuk dapat dikembangkan dari segi aspek fisik dan kegeologian.

Model analisis ini dipergunakan untuk pemilahan bentuk bentang


alam/morfologi pada wilayah kajian untuk mengetahui kawasan yang mampu
untuk dikembangkan sesuai dengan fungsi dan daya dukung lahannya.
Pemanfaatan lahan di Sub DAS Babura akan ditentukan dari kondisi fisik
lahan yang ada. Kondisi fisik tersebut akan dianalisis dengan menggunakan model
analisa SKL. Analisa tersebut meliputi :
1) Analisa SKL untuk morfologi;
2) Analisa SKL untuk kemudahan untuk dikerjakan;
3) Analisa SKL untuk kestabilan lereng;
4) Analisa SKL untuk ketersediaan air;
5) Aanlisa SKL untuk drainase;
6) Analisa SKL terhadap erosi;
7) Analisa SKL untuk pembuangan limbah;
8) Analisa SKL untuk bencana alam.

4.4.1 SKL Morfologi


Penilaian terhadap morfologi Sub DAS Babura dimaksudkan untuk melihat
daya dukung lahan berdasarkan kemiringan lereng. Kemiringan Lereng di Sub

Universitas Sumatera Utara


68

DAS Babura berkisar antara 2 – 45 %. Berdasarkan kriteria kelas lereng yang


dikeluarkan dari Kementerian Pekerjaan Umum yang menetapkan bahwa
kemiringan lereng 0 -< 15% merupakan bentuk lahan datar-landai, kemiringan
lereng 15-<25 % dikatagorikan sebagai bentuk lahan agak curam, dan kemiringan
lereng di atas 25 % dikatagorikan sebagai bentuk lahan curam. Mengacu ke
kriteria tersebut, maka dilakukan penilaian terhadap morfologi Sub DAS Babura
(lihat Tabel 4.4).

Tabel 4.4 SKL Morfologi


Kemiringan NILAI
SKL BOBOT SKOR
(%) KEMAMPUAN

< 15 3 15

MORFOLOGI 15 - <25 5 2 10

> 25 1 5

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

Skor yang paling tinggi, merupakan bentuk lahan yang paling baik untuk
kegiatan perkotaan dan budidaya lainnya. Dengan demikian, kemiringan lereng
kurang dari 15 %, merupakan lahan dengan kemiringan yang baik untuk
dikembangkan kegiatan tersebut, dan lahan dengan kemiringan di atas 15 %, baik
untuk dikembangkan kegiatan budidaya pertanian dan perkebunan, lahan
konservasi dan hutan lindung, dan kegiatan perkotaan dapat dikembangkan secara
terbatas (15-<25%).
Sebagian besar wilayah Sub DAS Babura di dominasi oleh SKL Morfologi
rendah dengan luas 1.928,06 Ha atau 69,8% (lihat Tabel 4.5). Dengan demikian
bahwa sebagian besar wilayah Sub DAS Babura merupakan daerah potensi untuk
kegiatan pengembangan perkotaan, pertanian, dan kegiatan budidaya lainnya yang
memiliki persyaratan kemiringan lereng di bawah 15%.

Universitas Sumatera Utara


69

Tabel 4.5 Luas dan Persentase Kemiringan Lereng Wilayah


Berdasarkan SKL Morfologi Wilayah Sub DAS Babura
Kemiringan Lereng Luas Persentase
No. SKL Morfologi
(%) (Ha) (%)

1 Kemampuan Lahan Tinggi > 25 394.77 14.3

2 Kemampuan Lahan Sedang 15 - < 25 439.11 15.9

3 Kemampuan Lahan Rendah < 15 1,928.06 69,8

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


70

Gambar 4.7 Peta SKL Morfologi

Universitas Sumatera Utara


71

4.4.2 SKL Kemudahan Di Kerjakan


Sebagian besar wilayah Sub DAS Babura merupakan daerah dengan SKL
Kemudahan Dikerjakan Tinggi. Hal ini di sebabkan oleh morfologi wilayah
sebagian besar daerah datar dan bergelombang dengan tingkat kecuraman rendah
sampai sedang. Dengan demikian wilayah Sub DAS Babura merupakan daerah
yang tidak memiliki kendala yang berarti dalam pengembangan perkotaan. Hal ini
juga didukung oleh jenis tanah berupa Qpme (bongkahan kerikil, pasir, lanau,
lempung), dan sebagian berjenis tanah Qvbs (andesit, dasit, piroklastika).
Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan melalui teknik
pembobotan (lihat Tabel 4.6), luas lahan yang memiliki katagori tinggi untuk
kemudahan dikerjakan sebesar 1,481 Ha, atau seluas 53,5%, sedangkan untuk
katagori sedang sebesar 602 Ha atau 21,8%, dan katagori rendah sebesar 678,9 Ha
atau 25,4% (lihat Tabel 4.7). Hasil perhitungan ini selanjutnya dipetakan
sehingga dapat dengan jelas gambaran wilayah yang memiliki kemampuan tinggi,
sedang dan rendah. Untuk wilayah Utara Sub DAS Babura, memiliki nilai
kemampuan tinggi untuk kemudahan dikerjakan sedangkan bagian Selatan
merupakan wilayah yang kurang mendukung untuk pengembangan karena
memiliki nilai rendah untuk kemudahan dikerjakan (lihat Gambar 4.8).

Universitas Sumatera Utara


72

Tabel 4.6 SKL Kemudahan Untuk Dikerjakan


NILAI
SKL PARAMETER SATUAN BOBOT SKOR
KEMAMPUAN

<15 3 3
Kemiringan
15 - <25 2 2
Lereng
>25 1 1

Loam, sandy clay loam,


3 3
sandy, clay, silt, silt loam
KEMUDAHAN
Jenis
Clay loam, silty clay loam 1 2 2
DIKERJAKAN Tanah/Batuan
Sand, lomy sand, silty clay,
1 1
sandy loam, clay

Hutan 3 3
Penggunaan
Pertanian 2 2
Lahan
Perkotaan 1 1

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

Tabel 4.7 Luas dan Persentase Lahan Berdasarkan SKL Kemudahan


Untuk Dikerjakan
No. SKL Kemudahan Dikerjakan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Kemudahan Dikerjakan Tinggi 1.481 53,5

2 Kemudahan Dikerjakan Sedang 602 21,8

3 Kemudahan Dikerjakan Rendah 678,9 24,5

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


73

Gambar 4.8 Peta SKL Kemudahan di Kerjakan

Universitas Sumatera Utara


74

4.4.3 SKL Kestabilan Lereng

Kestabilan lereng merupakan salah satu faktor penting dalam pemanfaatan


lahan Sub DAS Babura di masa yang akan datang. Kondisi kelerengan akan
mempengeruhi pengembangan pemanfaatan lahan di suatu wilayah.

Penilaian terhadap kestabilan lereng akan melihat karakter dari kemiringan


lereng, jenis tanah, dan penggunaan lahan di Sub DAS Babura. Berdasarkan
penilaian yang dilakukan (lihat Tabel 4.8), menghasilkan luasan lahan yang dapat
menggambarkan potensial lahan pengembangan berdasarkan kestabilan lereng di
Sub DAS Babura. Berdasrkan hasil perhitungan, lahan yang memiliki kestabilan
lereng tinggi seluas 1.609,7 Ha atau 58,1%, lahan yang memiliki kestabilan lereng
sedang sebesar 1.150,8 Ha atau 41,8 %, dan kestabilan lereng rendah sebesar 1,4
Ha atau 0,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Sub DAS Babura memiliki
potensial lahan pengembangan yang cukup besar. Pengembangan potensial tinggi
tersebut berada di sebeleh Utara Wilayah Sub DAS Babura (lihat Gambar 4.9).

Tabel 4.8 SKL Kestabilan Lereng


NILAI
SKL PARAMETER SATUAN BOBOT SKOR
KEMAMPUAN

<15 3 9
Kemiringan
15 - <25 2 6
Lereng
>25 1 3

Sand, lomy sand, silty


3 9
clay, sandy loam, clay

KESTABILAN Jenis Clay loam, silty clay


3 2 6
LERENG Tanah/Batuan loam

Loam, sandy clay loam,


1 3
sandy, clay, silt, silt loam

Hutan 3 9
Penggunaan
Pertanian 2 6
Lahan
Keg.Perkotaan 1 3

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


75

Tabel 4.9 Luas dan Persentase Lahan Berdasarkan SKL Kestabilan Lereng
No. SKL Kestabilan Lereng Luas (Ha) Persentase (%)

1 Kestabilan Lereng Tinggi 1.609,7 58,1

2 Kestabilan Lereng Sedang 1.150,8 41,8

3 Kestabilan Lereng Rendah 1,4 0,1

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


76

Gambar 4.9 Peta SKL Kestabilan Lereng

Universitas Sumatera Utara


77

4.4.4 SKL Kestabilan Pondasi

Pondasi merupakan bagian penting dari struktur bangunan sebagai penopang


bangunan agar kokoh berdiri. Kestabilan pondasi merupakan faktor penting dari
sebuah bangunan. Pengembangan daerah terbangun di wilayah Sub DAS Babura
di masa yang akan datang, sangat perlu memperhatikan kestabilan pondasi.
Variabel yang mendukung penilaian tersebut terhadap kestabilan pondasi adalah
kemiringan lereng dan jenis batuan/tanah.

Berdasarkan hasil analisa, sebagian besar wilayah Sub DAS Babura


merupakan daerah dengan SKL Kestabilan Pondasi Tinggi. Hal ini di sebabkan
oleh morfologi wilayah yang datar dan bergelombang dengan tingkat kecuraman
rendah sampai menengah., dan jenis batuan/tanah yang cukup baik untuk
menopang bangunan yang berada diatasnya. Dari hasil perhitungan yang
dilakukan, luas lahan untuk kestabilan pondasi tinggi sebesar 2.112,7 Ha atau
76,1%, sedangkan kestabilan pondasi sedang sebesar 650,6 Ha atau 23,6%, dan
kestabilan pondasi rendah sebesar 8,6 Ha atau 0,3%. Hal ini menunjukkan bahwa
Wilayah Sub DAS Babura dapat mendukung pengembangan perkotaan sebagai
wadah aktifitas masyarakat Kota Medan. Wilayah Utara dan Selatan Sub DAS
Babura merupakan wilayah yang memiliki kestabilan pondasi tinggi untuk
menopang bangunan yang berada diatasnya (lihat Gambar 4.10).

Tabel 4.10 SKL Kestabilan Pondasi


NILAI
SKL PARAMETER SATUAN BOBOT SKOR
KEMAMPUAN

<15 3 15
Kemiringan
15 - <25 2 10
Lereng
>25 1 5

KESTABILAN Sand, lomy sand, silty


5 3 15
PONDASI clay, sandy loam, clay

Jenis Clay loam, silty clay


2 10
Tanah/Batuan loam

Loam, sandy clay loam,


1 5
sandy, clay, silt, silt loam

Universitas Sumatera Utara


78

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Tabel 4.11 Luas dan Persentase Lahan Berdasarkan SKL Kestabilan Pondasi
Luas Persentase
No. SKL Kestabilan Pondasi
(Ha) (%)

1 Daya Dukung dan Kestabilan Pondasi Tinggi 2.112,7 76,1

2 Daya Dukung dan Kestabilan Pondasi Sedang 650,6 23,6

3 Daya Dukung dan Kestabilan Pondasi Rendah 8,6 0,3

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


79

Gambar 4.10 Peta SKL Kestabilan Pondasi

Universitas Sumatera Utara


80

4.4.5 SKL Ketersediaan Air

Ketersediaan air untuk daerah pengembangan merupakan suatu keharusan


demi keberlangsungan masyarakat di suatu wilayah. Analisa terhadap
ketersediaan air di wilayah Sub DAS Babura mempertimbangkan aspek
kemiringan lereng, jenis batuan, curah hujan, dan penggunaan lahan.

Berdasarkan kondisi eksisting wilayah penelitian, kemiringan lereng wilayah


Sub DAS Babura berkisar antara 2 – 45%, dengan jenis batuan/tanah berupa
lempung, kerikil, alluvial, andesit dan lain-lain. Sedangkan penggunaan lahan
dominan adalah kawasan terbangun 1.912 Ha atau 69 % dari luas lahan Sub DAS
Babura. Curah hujan rata-rata berkisar antara 211,67 mm – 230,3 mm.

Dari hasil penilaian yang dilakukan menggunakan model pembobotan pada


SKL ketersediaan air, maka didapatkan luas lahan Sub DAS Babura yang
mendukung pengembangan dari sisi ketersediaan air yaitu sebagai berikut :

1. Luas lahan dengan katagori ketersediaan air tinggi sebesar 937,5 Ha (34%),
bagian Utara;
2. Luas lahan dengan katagori ketersediaan air sedang sebesar 754,8 Ha (27%),
bagian tengah;
3. Luas lahan dengan katagori ketersediaan air rendah sebesar 1.070,6 Ha
(39%), bagian Selatan (lihat Gambar 4.12);

Universitas Sumatera Utara


81

Tabel 4.12 SKL Ketersediaan Air


NILAI
SKL PARAMETER SATUAN BOBOT SKOR
KEMAMPUAN

>25 3 15
Kemiringan
15 - <25 2 10
Lereng
<15 1 5

Sand, lomy sand, silty clay,


3 15
sandy loam, clay
Jenis
Clay loam, silty clay loam 2 10
Tanah/Batuan
Loam, sandy clay loam,
KETERSEDIAAN 1 5
sandy, clay, silt, silt loam 5
AIR
1501-2000 3 15

Curah Hujan 1001-1500 2 10

< 1000 1 5

Hutan 3 15
Penggunaan
Pertanian 2 10
Lahan
Perkotaan 1 5

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Luas lahan dengan katagori ketersediaan rendah merupakan luas dominan di


wilayah Sub DAS Babura. Dengan demikian perlu dilakukan sebuah upaya
pembuatan kantong-kantong air untuk ketersediaan air bagi masyarakat di Sub
DAS Babura.
Tabel 4.13 Luas dan Presentase Lahan Berdasarkan SKL Ketersediaan Air
No. SKL Ketersediaan Air Luas (Ha) Persentase (%)

1 Ketersediaan Air Tinggi 937,5 34

2 Ketersediaan Air Sedang 754,8 27

3 Ketersediaan Air Rendah 1.070,6 39

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


82

4.4.6 SKL Drainase

Penilaian terhadap kondisi drainase di wilayah Sub DAS Babura, akan


memperhatikan faktor kemiringan lereng, kondisi geologi, kerapatan sungai dan
penggunaan lahan.

Kerapatan sungai di wilayah Sub DAS Babura tergolong jarang karena


wilayah Sub DAS Babura memiliki sedikit anak-anak sungai sebagai, dan berada
di daerah Hilir dari DAS Deli.

Berdasarkan hasil penilaian dengan model analisa SKL terhadap drainase


(lihat Tabel 4.14), selanjutnya dilakukan perhitungan berdasarkan teknis
superimpose peta-peta yang dipakai di dalam analisa SKL ini. Hasil yang
diperoleh adalah sebagai berikut :

1. Luas lahan dengan kemampuan drainase tinggi sebesar 385,3 Ha (14%);


2. Luas lahan dengan kemampuan drainase sedang sebesar 2.373,2 Ha (85,9%);
3. Luas lahan dengan kemampuan drainase tinggi sebesar 3,4 Ha (0,1%);
Wilayah dengan kemampuan drainase sedang merupakan wilayah yang
dominan di Sub DAS Babura. Terbentang dari wilayah Utara sampai ke wilayah
Selatan Sub DAS Babura. Hal ini disebabkan karena wilayah Sub DAS Babura
memiliki bentuk wilayah datar – landai. Dengan demikian wilayah Sub DAS
Babura rawan terhadap bencana banjir.

Universitas Sumatera Utara


83

Gambar 4.11 Peta SKL Ketersediaan Air

Universitas Sumatera Utara


84

Tabel 4.14 SKL Drainase


NILAI
SKL PARAMETER SATUAN BOBOT SKOR
KEMAMPUAN

>25 3 15
Kemiringan
15 - <25 2 10
Lereng
<15 1 5

Sand, lomy sand, silty


3 15
clay, sandy loam, clay

Jenis Clay loam, silty clay


2 10
Tanah/Batuan loam

Loam, sandy clay loam,


DRAINASE 5 1 5
sandy, clay, silt, silt loam

Sangat Rapat/Rapat 3 15

Kerapatan Sungai Sedang 2 10

Jarang 1 5

Hutan 3 15
Penggunaan
Pertanian 2 10
Lahan
Perkotaan 1 5

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Tabel 4.15 Luas dan Presentase Lahan Berdasarkan SKL Drainase


Luas Persentase
No. SKL Drainase
(Ha) (%)

1 Kemampuan Drainase Tinggi 385,3 14

2 Kemampuan Drainase Sedang 2.373,2 85,9

3 Kemampuan Drainase Rendah 3,4 0,1

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


85

4.4.7 SKL Terhadap Erosi

Faktor lainnya yang sangat diperhatikan di dalam hal pengembangan wilayah


adalah erosi. Erosi merupakan proses pengikisan tanah yang disebabkan oleh air.
Erosi dapat menyebabkan timbulnya lahan kritis dan bencana longsor.

Untuk mencegah terjadinya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan daya
dukung lahan di Sub DAS Babura, maka penilaian SKL terhadap erosi sangat
penting untuk dilakukan. Variabel yang akan dinilai pada SKL ini adalah
kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan dan penggunaan lahan.

Berdasarkan analisa tersebut, wilayah Sub DAS Babura dibagi ke dalam 3


(tiga) katagori lahan yaitu kerentanan tinggi, sedang dan rendah.

Universitas Sumatera Utara


86

Gambar 4.12 Peta SKL Drainase

Universitas Sumatera Utara


87

Tabel 4.16 SKL Terhadap Erosi


NILAI
SKL PARAMETER SATUAN BOBOT SKOR
KEMAMPUAN

>25 3 9
Kemiringan
15 - <25 2 6
Lereng
<15 1 3

Loam, sandy clay loam,


3 9
sandy, clay, silt, silt loam

Jenis Clay loam, silty clay


2 6
Tanah/Batuan loam

Sand, lomy sand, silty


EROSI 3 1 3
clay, sandy loam, clay

1501-2000 3 9

Curah Hujan 1001-1500 2 6

< 1000 1 3

Perkotaan 3 9
Penggunaan
Pertanian 2 6
Lahan
Hutan 1 3

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

Lahan dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap erosi berada di wilayah


Selatan Sub DAS Babura dengan luas lahan mencapai 1.756,7 Ha atau 67%,
sedangkan wilayah dengan tingkat kerentanan sedang sebesar 905,2 atau 32,9%
yang tersebar di wilayah bagian Utara, sedangkan tingkat erosi rendah sebesar
0,003 Ha atau 0,0001%.

Universitas Sumatera Utara


88

Tabel 4.17 Luas dan Persentase Lahan Berdasarkan SKL Terhadap Erosi
Luas Persentase
No. SKL Terhadap Erosi
(Ha) (%)

1 Kemampuan Terhadap Erosi Tinggi 1.756,7 67

2 Kemampuan Terhadap Erosi Sedang 905,2 32,9

3 Kemampuan Terhadap Erosi Rendah 0,003 0,0001

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


89

Gambar 4.13 Peta SKL Terhadap Erosi

Universitas Sumatera Utara


90

4.4.8 SKL Pembuangan Limbah

Limbah merupakan salah satu faktor penghambat perkembangan suatu


wilayah. Penanganan limbah di wilayah perkotaan sangat penting untuk
dilakukan, karena limbah dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Dengan
demikian, perencanaan sistem pembuangan limbah harus dibuat sebaik mungkin
dengan memperhatikan faktor daya dukung lahan.
Penilaian terhadap daya dukung lahan untuk pemanfaatan ruang pembuangan
limbah di Sub DAS Babura, dilakukan melalui penilaian beberapa variabel terkait
yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, dan penggunaan lahan.
Berdasarkan hasil penilaian (lihat Tabel 4.18), yang selanjutnya dilakukan
penialain secara spatial dengan metoda tumpang susun peta-peta terkait,
menghasilkan luas lahan dengan berbagai katagori yaitu tinggi, sedang, dan
rendah.

Luas lahan dengan daya dukung tinggi untuk pembuangan sampah berada di
sebelah Utara Sub DAS Babura yaitu sebesar 1.617,6 Ha atau 58,1%, sedangkan
luas lahan dengan daya dukung sedang berada di sebelah Selatan dengan luas
sebesar 1.144 Ha, atau 41,89%, dan daya dukung lahan rendah sebesar 0,3 Ha,
atau 0,01%.

Universitas Sumatera Utara


91

Tabel 4.18 SKL Pembuangan Limbah


NILAI
SKL PARAMETER SATUAN BOBOT SKOR
KEMAMPUAN

<15 3 3
Kemiringan
15 - <25 2 2
Lereng
>25 1 1

Sand, lomy sand, silty


3 3
clay, sandy loam, clay

Jenis Clay loam, silty clay


2 2
Tanah/Batuan loam

Loam, sandy clay loam,


LIMBAH 1 1 1
sandy, clay, silt, silt loam

< 1000 3 3

Curah Hujan 1001-1500 2 2

1501-2000 1 1

Perkotaan 3 3
Penggunaan
Pertanian 2 2
Lahan
Hutan 1 1

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


92

Tabel 4.19 Luas dan Presentase Lahan Berdasarkan SKL


Pembuangan Limbah
Luas Persentase
No. SKL Pembuangan Limbah
(Ha) (%)

Kemampuan Lahan Untuk Pembuangan


1 1.617,6 58,1
Limbah Tinggi

Kemampuan Lahan Untuk Pembuangan


2 1.144 41,89
Limbah Sedang

Kemampuan Lahan Untuk Pembuangan


3 0,3 0,01
Limbah Rendah

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

4.4.9 SKL Bencana Alam

Peluang terjadinya banjir di wilayah Sub DAS Babura cukup besar khususnya
di wilayah hilir seperti Kecamatan Medan Baru, Petisah dan Medan Polonia. Hal
ini karena kondisi morfologi yang datar dengan tingkat kelerengan yang landai.

Berdasarkan hasil penilaian terhadap SKL bencana alam dengan variabel


yang dinilai adalah kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, kerapatan sungai,
dan penggunaan lahan (lihat Tabel 4.20), menghasilkan luasan dan wilayah yang
rawan terhadap bencana alam.

Wilayah Sub DAS Babura yang memiliki kerawanan tinggi terhadap bencana
alam (banjir) yaitu wilayah sebelah Utara dengan luas mencapai 184,6 Ha atau
7%. Wilayah dengan tingkat kerawanan sedang berada pada wilayah Selatan
dengan luas lahan sebesar 2.372,9 Ha atau sebesar 85%, sedangkan tingkat
kerawanan rendah sebesar 205,4 Ha atau 8% dari total wilayah Sub DAS Babura.

Universitas Sumatera Utara


93

Gambar 4.14 Peta SKL Pembuangan Limbah

Universitas Sumatera Utara


94

Tabel 4.20 SKL Bencana Alam


NILAI
SKL PARAMETER SATUAN BOBOT SKOR
KEMAMPUAN

>25 3 15
Kemiringan
15 - <25 2 10
Lereng
<15 1 5

Loam, sandy clay loam,


3 15
sandy, clay, silt, silt loam

Clay loam, silty clay


Jenis Tanah 2 10
loam

Sand, lomy sand, silty


1 5
clay, sandy loam, clay

BENCANA 1501-2000 3 15
5
ALAM
Curah Hujan 1001-1500 2 10

< 1000 1 5

Jarang 3 15

Kerapatan Sungai Sedang 2 10

Sangat Rapat/Rapat 1 5

Perkotaan 3 15
Penggunaan
Pertanian 2 10
Lahan
Hutan 1 5

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


95

Tabel 4.21 Luas dan Presentase Lahan Berdasarkan SKL Bencana Alam
Luas Persentase
No. SKL Rawan Bencana
(Ha) (%)

1 Kemampuan Lahan Bencana Tinggi 184,6 7

2 Kemampuan Lahan Bencana Sedang 2.372,9 85

3 Kemampuan Lahan Bencana Rendah 205,4 8

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

4.5 Analisa Daya Dukung Lahan

Analisis daya dukung lahan di gunakan untuk mengetahui tingkat


kemampuan lahan dan kesesuaian lahan, sehingga arah peruntukan lahan tidak
menimbulkan berbagai persoalan sebagai berikut :

1) Kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya,


terutama yang terkait dengan aspek geologi.
2) Kegiatan pembangunan dengan skala yang tidak sesuai dengan daya dukung
lingkungan (lingkungan geologi), sehingga sumber daya akan tereksploitasi
secara berlebihan.

Universitas Sumatera Utara


96

Gambar 4.15 Peta SKL Terhadap Bencana Alam

Universitas Sumatera Utara


97

3) Kegiatan pembangunan yang lokasinya terletak pada daerah rawan


bencana alam (geologi)
4) Kegiatan pembangunan yang lokasinya rentan tehadap pencemaran dan
degradasi lingkungan.
Analisis kemampuan lahan ini diperoleh dari hasil overlay terhadap semua
SKL yang dihasilkan melalui proses pembobotan yang akan diperoleh 3 (tiga)
kelas kemampuan lahan, meliputi kemampuan pengembangan rendah,
kemampuan pengembangan sedang, kemampuan pengembangan tinggi.

Kemampuan lahan tinggi menunjukkan bahwa karakteristik lahannya sesuai


untuk pengembangan kegiatan perkotaan seperti industri, permukiman,
perdagangan dan jasa, dan lain sebagainya. Kemampuan lahan sedang
menunjukkan bahwa untuk pengembangan kegiatan perkotaan, karakteristik
lahannya memungkinkan untuk dikembangkan hanya saja di beberapa bagian
membutuhkan suatu rekayasa teknologi, sedangkan kemampuan lahan rendah
tidak memungkinkan untuk pengembangan kawasan perkotaan lebih lanjut.

1. Untuk daya dukung pengembangan lahan dengan katagori tinggi, nilai setiap
SKL-nya adalah sebagai berikut :
a) SKL Morfologi, harus memiliki nilai tertinggi yang menggambarkan
kemiringan lereng yang baik untuk dikembangkan kegiatan perkotaan,
yaitu < 15%;
b) SKL Kemudahan Dikerjakan, harus memiliki nilai tertinggi yang
menggambarkan kemudahan lahan untuk digali/dimatangkan dalam
proses pembangunan/pengembangan kawasan;
c) SKL Kestabilan Lereng, harus memiliki nilai tertinggi yang
menggambarkan tingkat kemantapan lereng dalam menerima beban pada
pengembangan wilayah dan kawasan;
d) SKL Kestabilan Pondasi, harus memiliki nilai tertinggi yang
menggambarkan tingkat kemampuan lahan dalam mendukung bangunan
berat dalam pengembangan perkotaan, serta jenis-jenis pondasi yang
sesuai untuk masing-masing tingkatan;

Universitas Sumatera Utara


98

e) SKL Ketersediaan Air, harus memiliki nilai tertinggi yang


menggambarkan mengetahui tingkat ketersediaan air guna
pengembangan kawasan, dan kemampuan penyediaan air masing-masing
tingkatan;
f) SKL Drainase, harus memiliki nilai sedang-rendah yang menggambarkan
tingkat kemampuan lahan dalam mematuskan air hujan secara alami,
sehingga kemungkinan genangan baik bersifat lokal maupun meluas
dapat dihindari;
g) SKL terhadap Erosi, memiliki nilai sedang-rendah yang menggambarkan
tingkat keterkikisan tanah, tingkat ketahanan lahan terhadap erosi,
gambaran batasan pada masing-masing tingkatan kemampuan terhadap
erosi, daerah yang peka terhadap erosi dan perkiraan arah pengendapan
hasil erosi tersebut pada bagian hilirnya;
h) SKL Pembuangan Limbah, memiliki nilai sedang-rendah yang
menggambarkan daerah-daerah yang mampu untuk dialokasikan sebagai
tempat penampungan akhir dan pengolahan limbah, baik limbah padat
maupun limbah cair ;
i) SKL Bencana Alam, memiliki nilai sedang-rendah yang menggambarkan
tingkat kemampuan lahan dalam meminimalkan dampak bencana alam
yang mungkin terjadi.

Universitas Sumatera Utara


99

Tabel 4.22 Perhitungan SKL untuk Pengembangan Lahan


dengan Daya Dukung Tinggi
Parameter
Total
No Jenis SKL Kemiringan Curah Kerapatan Penggunaan
Jenis tanah Skor
Lereng (%) Hujan Sungai Lahan
1 Morfologi < 15 - - - - 15
Kemudahan Loam, sandy clay loam, - Hutan
2
Dikerjakan
< 15 - /Pertanian
9
sandy, clay, silt, silt loam
Kestabilan Sand, lomy sand, silty clay, -
3
Lereng
< 15 < 1000 Perkotaan 36
sandy loam, clay
Kestabilan Sand, lomy sand, silty clay, -
4
Pondasi
< 15 < 1000 Perkotaan 45
sandy loam, clay
Ketersediaan Sand, lomy sand, silty clay, - Hutan
5
Air
<25 1501-2000 /Pertanian
60
sandy loam, clay
Sand, lomy sand, silty clay, Hutan
6 Drainase <25 - Rapat 60
sandy loam, clay /Pertanian
Loam, sandy clay loam, Pertanian
7 Erosi <15 < 1000 -
/Hutan
12
sandy, clay, silt, silt loam
Pembuangan Sand, lomy sand, silty clay, Pertanian
8
Limbah
<15 < 1000 -
/Perkotaan
12
sandy loam, clay
Bencana Sand, lomy sand, silty clay, Pertanian
9
Alam
< 15 < 1000 Rapat
/Perkotaan
25
sandy loam, clay
Sumber : Hasil Analisa Tahun 2014

2. Untuk daya dukung pengembangan lahan dengan katagori sedang, nilai setiap
SKL-nya adalah sebagai berikut :
a) SKL Morfologi, memiliki nilai sedang;
b) SKL Kemudahan Dikerjakan, memiliki nilai sedang;
c) SKL Kestabilan Lereng, memiliki nilai sedang;
d) SKL Kestabilan Pondasi, memiliki nilai sedang;
e) SKL Ketersediaan Air, memiliki nilai sedang;
f) SKL Drainase, memiliki nilai sedang;
g) SKL terhadap Erosi, memiliki nilai sedang;
h) SKL Pembuangan Limbah, memiliki nilai sedang;
i) SKL Bencana Alam, memiliki nilai sedang.

Universitas Sumatera Utara


100

Tabel 4.23 Perhitungan SKL untuk Pengembangan Lahan

dengan Daya Dukung Sedang

Parameter
Total
No Jenis SKL Kemiringan Curah Kerapatan Penggunaan
Jenis tanah Skor
Lereng (%) Hujan Sungai Lahan
1 Morfologi 15 - <25 - - - - 10
Kemudahan 15 - <25 Clay loam, silty clay Pertanian
2
Dikerjakan
- -
/Perkotaan
6
loam
15 - <25 Clay loam, silty clay 1001- Pertanian
3 Kestabilan Lereng - 24
loam 1500 /Perkotaan
15 - <25 Clay loam, silty clay 1001- Pertanian
4 Kestabilan Pondasi - 30
loam 1500 /Perkotaan
15 - <25 Clay loam, silty clay 1001-
5 Ketersediaan Air - Pertanian 40
loam 1500
15 - <25 Clay loam, silty clay 1001- Pertanian
6 Drainase - 40
loam 1500 /Perkotaan
15 - <25 Clay loam, silty clay 1001- Pertanian
7 Erosi - 24
loam 1500 /Perkotaan
Pembuangan 15 - <25 Clay loam, silty clay 1001- Pertanian
8 - 8
Limbah loam 1500 /Perkotaan
15 - <25 Clay loam, silty clay 1001- Pertanian
9 Bencana Alam Sedang 50
loam 1500 /Perkotaan
Sumber : Hasil Analisa Tahun 2014

3. Untuk daya dukung pengembangan lahan dengan katagori rendah, nilai setiap
SKL-nya adalah sebagai berikut :
a) SKL Morfologi, memiliki nilai rendah;
b) SKL Kemudahan Dikerjakan, memiliki nilai rendah;
c) SKL Kestabilan Lereng, memiliki nilai rendah;
d) SKL Kestabilan Pondasi, memiliki nilai rendah;
e) SKL Ketersediaan Air, memiliki nilai rendah;
f) SKL Drainase, memiliki nilai tinggi;
g) SKL terhadap Erosi, memiliki nilai tinggi;
h) SKL Pembuangan Limbah, memiliki nilai rendah;
i) SKL Bencana Alam, memiliki nilai tinggi.

Universitas Sumatera Utara


101

Tabel 4.24 Perhitungan SKL untuk Pengembangan Lahan

dengan Daya Dukung Rendah


Parameter
Total
No Jenis SKL Kemiringan Curah Kerapatan Penggunaan
Jenis tanah Skor
Lereng (%) Hujan Sungai Lahan
1 Morfologi > 25 - - - - 5
Kemudahan Sand, lomy sand, silty
2
Dikerjakan
> 25 - - Perkotaan 3
clay, sandy loam, clay
Loam, sandy clay
1501-
3 Kestabilan Lereng > 25 loam, sandy, clay, silt, - Perkotaan 12
2000
silt loam
Loam, sandy clay
Kestabilan Hutan
4
Pondasi
> 25 loam, sandy, clay, silt, - -
/Pertanian
15
silt loam
Loam, sandy clay
5 Ketersediaan Air < 15 loam, sandy, clay, silt, < 1000 - Perkotaan 20
silt loam
Loam, sandy clay
1501-
6 Drainase < 15 loam, sandy, clay, silt, Jarang Perkotaan 20
2000
silt loam
Loam, sandy clay
1501- Hutan
7 Erosi > 25 loam, sandy, clay, silt, -
/pertanian
36
2000
silt loam
Loam, sandy clay
Pembuangan 1501-
8
Limbah
> 25 loam, sandy, clay, silt, - Perkotaan 4
2000
silt loam
Sand, lomy sand, silty 1501-
9 Bencana Alam > 25 Jarang Perkotaan 75
clay, sandy loam, clay 2000
Sumber : Hasil Analisa Tahun 2014

Berdasarkan hasil penilaian pada tabel-tabel di atas, maka dapat dihitung


luasan lahan dengan daya dukung ke 3 (tiga) katagori tersebut dengan bantuan
teknik overlay peta-peta SKL bersangkutan, dan secara lebih jelas mengenai
luasan lahan dengan daya dukung ke tiga katagori tersebut dapat dilihat pada
Tabel 4.25.

Universitas Sumatera Utara


102

Tabel 4.25 Total Skor Analisa SKL


Total
No. Peta SKL Klasifikasi Nilai Bobot
Skor

Rendah 1 5

1 Morfologi Sedang 2 5 10

Tinggi 3 15

Rendah 1 3

2 Kemudahan Dikerjakan Sedang 2 1 6

Tinggi 3 9

Rendah 1 12

3 Kestabilan Lereng Sedang 2 5 24

Tinggi 3 36

Rendah 1 15

4 Kestabilan Pondasi Sedang 2 3 30

Tinggi 3 45

Rendah 1 20

5 Ketersediaan Air Sedang 2 5 40

Tinggi 3 60

Rendah 1 20

6 Drainase Sedang 2 5 40

Tinggi 3 60

Rendah 1 12

7 Erosi Sedang 2 3 24

Tinggi 3 36

Rendah 1 4

8 Pembuangan Limbah Sedang 2 1 8

Tinggi 3 12

9 Bencana Alam Rendah 1 5 25

Universitas Sumatera Utara


103

Sedang 2 50

Tinggi 3 75

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

Tabel 4.26 Analisis Kemampuan Daya Dukung Lahan

Daya Dukung Luas Persentase Lokasi


No.
Lahan (Ha) (%) (Kecamatan)

Pengembangan
1 902,4 32,7 Medan Tuntungan dan Medan Johor
Tinggi

Pengembangan Medan Petisah, Medan Baru, Medan


2 1.825,5 66
Sedang Polonia, Medan Johor, Medan Tuntungan

Pengembangan
3 34,01 1,2 Tuntungan, Selayang, Maimun
Rendah

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


104

Gambar 4.16 Peta Daya Dukung Lahan Pengembangan

Universitas Sumatera Utara


105

4.6 Analisis Kesesuaian Lahan/Potensi Pengembangan

Analisa kesesuain lahan diperuntukkan bagi menyusun pola pemanfaatan


ruang untuk kawasan lindung dan budidaya di lokasi penelitian, sehingga dapat
dengan jelas batasan (dalam peta) kawasan-kawasan yang harus dilindungi
(non terbangun) dan yang dapat dijadikan untuk pengembangan perdesaan dan
perkotaan di Sub DAS Babura. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan
potensi seumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (Modul
Terapan : Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, 17).

Berdasarkan hasil analisis fisik lahan di wilayah Sub DAS Babura, lahan
yang baik untuk pengembangan seluas 2.753,9 Ha atau seluas 99,7 % dari luas
total Sub DAS Babura. Lahan dengan katagori baik untuk pengembangan adalah
lahan dengan katagori kemampuan tinggi – sedang, dengan fungsi budidaya
perkotaan dan pertanian/perkotaan secara terbatas. Untuk mengetahui kesesuaian
lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. 27.

Tabel 4.27 Luas, Presentasi dan Lokasi Penggunaan Lahan Sub DAS Babura
Lokasi Luas Persentase
No. Penggunaan Lahan (%)
(Kecamatan) (Ha)

Medan Tuntungan dan Medan


1 Kawasan Perkotaan 902,4 32,7
Johor

Kawasan Medan Petisah, Medan Baru,


2 Pertanian/Perkotaan Medan Polonia, Medan Johor, 1.851,5 66
Terbatas Medan Tuntungan

3 Kawasan Lindung Tuntungan, Selayang, Maimun 34,01 1,3

Jumlah : 2.761,9 100

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


106

Dari hasil analisis kesesuaian lahan tersebut dilakukan evaluasi terhadap


kesesuaian lahan dengan guna lahan eksisting, hal ini diperlukan untuk
mengetahui perkembangan guna lahan yang ada sudah sesuai dengan kesesuaian
lahan yang seharusnya. Untuk mengetahui evaluasi kesesuaian lahan terbangun
maupun yang non terbangun dapat dilihat pada Gambar 4.17.

Berdasarkan hasil analisa tersebut, maka didapatkan penyimpangan


pemanfaatan luas lahan di Kawasan Sub DAS Babura yaitu sebagai berikut :

1. Pada pemanfaatan lahan perkotaan, luas lahan hasil kajian sebesar 902,4 Ha,
sedangkan pemanfaatan pada kondisi eksisting sebesar 1.948,5 Ha. Dengan
demikian pemanfaatan kawasan perkotaan melebihi hasil kajian yaitu sebesar
1.046,1 Ha atau 46 %;
2. Pada pemanfaatan kawasan pertanian/perkotaan terbatas, pemanfaatan pada
kondisi eksisting sebesar 490,8 Ha, sedangkan hasil kajian sebesar 1.851,5 Ha.
Dengan demikian pemanfaatan tidak melebihi hasil kajian, bahkan masih
tersisa lahan yang dapat dimanfaatakan sebesar 1.334,7 atau sebesar 73,2%;
3. Pada pemanfaatan lahan kawasan lindung, luas lahan pada kondisi eksisting
sebesar 26,01 Ha, sedangkan luas lahan hasil kajian sebesar 34,01 Ha. Dengan
demikian tidak melebihi hasil kajian bahkan masih tersisa lahan sebesar 8 Ha
yang dapat dimanfaatkan sebagai fungsi lindung.
4. Berdasarkan hasil perhitungan, lahan cadangan untuk pengembangan saat ini
sebesar 689,14 atau 25% dari total luas kawasan Sub DAS Babura. Lahan
potensial pengembangan berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan
model analisa SKL sebesar 2.753,9 Ha atau seluas 99,7 %.

Universitas Sumatera Utara


107

Tabel 4.28 Perbandingan Luas Lahan Berdasarkan Analisis


Kesesuaian Lahan
Perbandingan Luas Lahan Selisih
Lokasi Luas
(Ha) Lahan
No. Penggunaan Lahan
(Kecamatan) Hasil Kondisi (Ha)
Kajian Eksisting

Medan Tuntungan dan 902,4 1.948,5


1 Kawasan Perkotaan 1.046,1
Medan Johor (32,7%) (70,5%)

Medan Petisah, Medan


Kawasan 1.825,5 490,8
Baru, Medan Polonia,
2 Pertanian/Perkotaan 1.334,7
Medan Johor, Medan (66%) (17,7%)
Terbatas
Tuntungan

Tuntungan, Selayang, 34,01 26,01


3 Kawasan Lindung 8
Maimun (1,3%) (0,9%)

Jumlah : 2.761,9 2.761,9

Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


108

Gambar 4.17 Peta Kesesuaian Lahan

Universitas Sumatera Utara


109

Gambar 4.18 Peta Perbandingan Penggunaan Lahan Eksisting dengan


Kesesuaian Lahan Hasil Kajian di Sub DAS Babura

Universitas Sumatera Utara


110

Berdasarkan hasil penilaian terhadap kesesuaian lahan di atas yang


menghasilkan rekomendasi pemanfaatn lahan untuk kawasan perkotaan dan
kawasan perkotaan terbatas atau perdesaan/pertanian, maka dapat dirumuskan
konsep pemanfaatan lahan untuk wilayah Sub DAS Babura. Pengembangan
wilayah yang baik untuk kegiatan perkotaan berada di Kecamatan Medan
Selayang, Medan Johor dan Medan Tuntungan, sedangkan untuk pengembangan
perkotaan terbatas/pertanian/perdesaan berada di Kecamatan Medan Maimun,
Medan Polonia, Medan Baru, Medan Petisah, dan Medan Baru.

4.7 Analisa Terhadap Sosial Budaya

Berdasarkan hasil pengamatan di daerah penelitian, kondisi sosial masyarakat


di daerah penelitian sangat beragam. Berdasarkan tingkat pendidikan, jenjang
pendidikan masyarakat sangat bervariasi, ada yang hanya lulusan Sekolah Dasar
(SD), ada yang hanya lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), ada
yang lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU), dan ada juga yang sudah lulusan
dari tingakt Akademik (D3) dan Universitas/Sekolah Tinggi (S1).

Berdasarkan jenjang pendidikan tersebut, pola pikir yang dimiliki sangat


bervariasi tentang pola pemanfaatan lahan sebagai tempat tinggal dan sebagai
tempat beraktifitas. Ada yang faham tentang bagaimana sebaiknya tentang
memanfaatkan lahan sesuai dengan kondisi lahan, dan ada juga yang tidak perduli
sama sekali dengan kondisi lahan yang mereka tempati untuk tempat tinggal dan
beraktifitas karena alasan ekonomi.
Umumnya, masyarakat dengan pendapatan relatife rendah menempati lahan-
lahan yang secara peraturan tidak dibenarkan untuk dimanfaatkan seperti daerah
sempadan/bantaran sungai yang rawan akan bahaya banjir. Rata-rata umumnya
yang bertempat tinggal di bantaran sungai tidak memiliki Izin Mendirikan
Bangunan dan tingkat pendidikan hanya sebagai SMU. Umumnya memiliki
tingkat pengetahuan lingkungan yang kurang baik, karena lingkungan tempat
tinggal mereka kurang terawat dengan baik, sehingga kualitas lingkungan sangat
buruk. Suasana kekerabatan masih sangat baik, karena ketergantungan satu
dengan lainnya sangat tinggi. Tingkat hunian cukup tinggi. Hal ini ditandai
dengan kerapatan bangunan yang cukup tinggi, dengan tidak memiliki jarak antar

Universitas Sumatera Utara


111

bangunan, hanya dibatasi oleh jalan lingkungan yang berkisar antara 1 - 1,5 m.
Hal ini sangat rawah terhadap bahaya kebakaran, dan kurang baik untuk kesehatan
dan mental generasi muda yang ada.

Dalam hal penerapan sanksi terhadap kesalahan terhadap pemanfaatan lahan


yang tidak sesuai dengan peruntukan masih sangat lemah. Hal ini ditandai dengan
banyaknya bangunan untuk tempat tinggal dan usaha di bantaran Sungai Deli dan
Sungai Babura. Tabel 4.29 merupakan cara penilaian terhadap prilaku
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan pengenaan sanksi. Penyalahgunaan
pemanfaatan lahan tanpa sanksi dikatagorikan rendah, dengan skor 1, sedangkan
dengan penerapan sanksi administrasi dapat dikatagorikan sedang dengan nilai 2,
dan pengenaan sanksi pidana dikatagorikan tinggi dengan skor 3.

Tabel 4.29 Penilaian Perilaku Masyarakat Dalam Penggunaan Lahan


No Parameter Tindakan Katagori Skor
1 Tanpa Sanksi Rendah 1
2 Hukum Sanksi Administrasi Sedang 2
3 Sanksi Pidana Tinggi 3
Sumber : Analisa, Tahun 2014

Berdasarkan penilaian tersebut, penerapan sanksi terhadap masyarakat


yang melanggar peraturan/ketentuan pemanfaatan ruang sangat lemah (skor 1).
Hal ini yang menyebabkan semakin berkembangnya kawasan terbangun di daerah
daerah yang memiliki fungsi lindung seperti di bantaran sungai.

4.8 Analisa Terhadap Sosial Ekonomi

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti di lapangan, kondisi sosial ekonomi


masyarakat di daerah penelitian sangat beragam. Ada yang memiliki tingkat
ekonomi yang tinggi, ada juga yang menengah dan juga masyarakat dengan
kondisi ekonomi kelas bawah. Tingkat pendapatan yang berbeda tersebut
merupakan faktor terbesar masyarakat untuk memilih tempat tinggal dan

Universitas Sumatera Utara


112

beraktifitas. Pada daerah permukiman dengan kepadatan tinggi, umumnya kondisi


ekonomi masyarakat berada diantara kelas menengah ke bawah, sedangkan
masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas lebih memilih
memanfaatkan lahan-lahan yang bernilai strategis dan dengan tingkat kepadatan
menengah dan rendah. Namun ada juga masyarakat yang tingkat ekonominya
menengah ke bawah menempati lahan-lahan di permukiman kepadatan rendah
seperti di Kecamatan Medan Johor dan Medan Tuntungan, karena mereka
berdekatan dengan lahan-lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian
mereka. Masyarakat yang menempati lahan dengan fungsi sebagai permukiman
kepadatan sedang dan tinggi, umumnya bekerja di daerah-daerah pusat Kota
Medan, seperti di Kecamatan Medan Baru, Kecamatan Medan Petisah,
Kecamatan Medan Polonia, dan Kecamatan Medan Maimun. Namun ada juga
yang bekerja di Kecamatan Medan Johor dan Kecamatan Medan Tuntungan.
Tingkat pendapatan masyarakat di daerah penelitian sangat bervariasi yaitu
ada yang di bawah Rp 1.500.000/bulan (pedagang asongan dan penarik becak
dayung) ada juga yang lebih dari Rp. 3.000.000 /bulan (pegawai dengan posisi
staf dan pedagang menengah), dan bahkan ada yang memiliki tingkat pendapatan
di atas Rp 5.000.000/bulan (umumnya memiliki usaha sendiri dan pegawai yang
memiliki posisi kepala bagian di sebuah instansi atau perusahaan), dengan rata-
rata jumlah anggota keluarga dalam 1 rumah tangga adalah sebanyak 3-5 orang.
Berdasarkan kriteria miskin yang dikeluarkan oleh BPS Kota Medan,
bahwa garis kemiskinan masyarakat Kota Medan, adalah penghasilan masyarakat
rata-rata sebesar Rp. 420.888/orang/bulan.
Berdasarkan kriteria BPS tersebut, dapat diklasifikasikan pendapatan
masyarakat di daerah penelitian sebagai berikut :
1) Asumsi 1 kepala keluarga memiliki anggota keluarga 3 orang, maka jumlah
penghasilan minimum kelurga tersebut adalah sebesar 420.888 x 3 yaitu
sebesar RP. 1.262.664,-
2) Asumsi 1 kepala keluarga memiliki anggota keluarga 5 orang, maka jumlah
penghasilan minimum kelurga tersebut adalah sebesar 420.888 x 5 yaitu
sebesar RP. 2.104.440,-

Universitas Sumatera Utara


113

Dari hasil perhitungan di atas, pendapatan minimum masyarakat yang


beranggotakan 3 orang dalam 1 keluarga adalah sebesar Rp. 1.262.664, dan yang
beranggotakan 5 orang sebesar Rp. 2.104.440,-. Bila mengacu ke daerah
penelitian, maka pendapatan masyarakat sebesar Rp. 1.500.000 bila
beranggotakan 3 orang, masih di atas batas garis kemiskinan yang ditetapkan Kota
Medan. Namun jika dengan pendapatan sebesar Rp.1.500.000,- dengan anggota
keluarga 5 orang, masih di bawah standar penghasilan minimal yaitu Rp.
2.104.440.

Bila mengacu kepada Studi Kementerian Kehutanan mengenai Sistem


Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tahun 2012, penilaian terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan masyarakat
menggunakan cara penilaian melalui skoring dengan katagori tingkat kerentanan
tinggi, sedang dan rendah, dengan besaran interval pendapatan sebagai berikut :
1) Tingkat pendapatan >1,5 SK, tingkat kerentanan sangat rendah, skor 1;
2) Tingakt pendapatan 1,26 – 1,5 SK, tingkat kerentanan rendah, skor 2;
3) Tingkat pendapatan 1,1 – 1,25 SK, tingkat kerentanan sedang, skor 3;
4) Tingkat pendapatan 0,67 – 1 SK, tingkat kerentanan tinggi, skor 4;
5) Tingkat pendapatan < 0,67 SK, tingkat kerentanan sangat tinggi, skor 5.

Tabel 4.30 Interval Besaran Tingkat Pendapatan Masyarakat


Berdasarkan Katagori dan Nilai Skor
Besaran
Tingkat
No Parameter (Standard Skor
Kerentanan
Kemiskinan (SK))
1 > 1,5 Sangat Rendah 1

2 1,26 – 1,5 SK Rendah 2


Tingkat
3 Pendapatan 1,1 – 1,25 SK Sedang 3
Masyarakat
4 0,67 – 1 SK Tinggi 4
5 < 0,67 SK Sangat Tinggi 5
Sumber : Asumsi Peneliti, Tahun 2014

Tabel 4.31 Interval Besaran Tingkat Pendapatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara


114

Berdasarkan Katagori dan Nilai Skor


Besaran
Besaran Tingkat
No Parameter (Standard Skor
(Rp) Kerentanan
Kemiskinan (SK))
1 > 1,5 > 631.332 Sangat Rendah 1

2 1,26 – 1,5 SK 530.318 - 631.332 Rendah 2


Tingkat
3 Pendapatan 1,1 – 1,25 SK 462.976 – 530.318 Sedang 3
Masyarakat
4 0,67 – 1 SK 281.994 – 420.888 Tinggi 4
5 < 0,67 SK < 281.994 Sangat Tinggi 5
Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014
Bila mengacu pada pertimbangan asumsi jumlah anggota keluarga 3-5,
maka dapat diketahui jumlah pendapatan per orang dalam sebuah keluarga yaitu
sebagai berikut :

1) Asumsi jumlah anggota 3 di dalam sebuah keluarga dengan penghasilan


sebesar Rp. 1.500.000 yaitu sebesar Rp 500.000 per orang/bulan;
2) Asumsi jumlah anggota 5 di dalam sebuah keluarga dengan penghasilan
sebesar Rp. 1.500.000 yaitu sebesar Rp 300.000 per orang/bulan;
3) Asumsi jumlah anggota 3 di dalam sebuah keluarga dengan penghasilan
sebesar Rp. 3.000.000 yaitu sebesar Rp 1.000.000 per orang/bulan;
4) Asumsi jumlah anggota 5 di dalam sebuah keluarga dengan penghasilan
sebesar Rp. 3.000.000 yaitu sebesar Rp. 600.000 per orang/bulan;
5) Asumsi jumlah anggota 3 di dalam sebuah keluarga dengan penghasilan
sebesar Rp. 5.000.000 yaitu sebesar Rp. 1.666.666 per orang/bulan;
6) Asumsi jumlah anggota 5 di dalam sebuah keluarga dengan penghasilan
sebesar Rp. 5.000.000 yaitu sebesar Rp. 1.000.000 per orang/bulan;
Berdasarakan hasil perhitungan di atas, dengan mengacu pada standar
pendapatan dari kementerian kehutanan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendapatan masyarakat di daerah penelitian berkisar antara Rp. 300.000 –
1.666.666 per orang/bulan. Tingkat pendapatan masyarakat tersebut masuk pada
katagori tingkat kerentanan tinggi sampai sangat rendah, dengan nilai skor 1-4.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesalahan dalam penggunaan lahan sangat
variatif yaitu sangat rendah sampai tinggi.

Universitas Sumatera Utara


115

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 PEMANFAATAN LAHAN SUB DAS BABURA SAAT INI


Berdasarkan hasil penelitian, pemanfaatan lahan di Sub DAS Babura saat ini
di dominasi oleh kegiatan perkotaan sebesar 2.209,14 Ha atau 80% dari total luas
kawasan Sub DAS Babura, dengan jenis pemanfaatan berupa perumahan dan
permukiman sebesar 1.402,1 Ha, perdagangan seluas 224,5 Ha, jasa komersial
seluas 142 Ha, fasilitas umum dan sosial seluas 143,4 Ha, dan infrastruktur
sebesar 296,64 Ha. Selain itu, pemanfaatan lainnya berupa lahan kebun campuran
sebesar 473,1 Ha, kolam seluas 17,7 Ha, serta kawasan sempadan sungai seluas
62,9 Ha.
Dominasi pemanfaatan lahan untuk kegiatan perkotaan tersebut telah merata
di kawasan Sub DAS Babura baik hulu, tengah maupun hilir. Pemanfaatan lahan
perkotaan yang cukup tinggi terdapat di wilayah tengah dan hilir Sub DAS Babura
meliputi Kecamatan Medan Petisah, Medan Maimun, Medan Baru, dan Medan
Polonia. Wilayah hulu Sub DAS Babura yaitu Kecamatan Medan Johor,
Selayang, dan Tuntungan masih memiliki lahan dengan pemanfaatan sebagai
kebun campuran.
Perkembangan kegiatan perkotaan yang merupakan lahan terbangun dengan
berbagai jenis pemanfaatan lahan di sebelah tengah sampai hilir Sub DAS Babura,
akan menimbulkan dampak negative terhadap masyarakat di kawasan Sub DAS
Babura itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh morfologi wilayah tengah sampai hilir
berupa dataran, sehingga rawan bencana banjir bila sistem darinase perkotaan
yang dibangun tidak baik. Berdasarkan data kemiringan lereng (Gambar 4.1),
wilayah tengah sampai ke hilir Sub DAS Babura memiliki kemiringan lereng di
bawah 8%. Jenis tanah di wilayah tersebut umumnya adalah alluvial dengan
bentuk penggunaan lahan berupa rawa. Lahan rawa memiliki kerentanan banjir
cukup tinggi. Dengan demikian, wilayah tengah sampai hilir Sub DAS Babura
merupakan wilayah rawan banjir, sehingga cocok untuk wilayah pertanian atau
pengembangan perkotaan secara terbatas dengan memperhatikan daerah

Universitas Sumatera Utara


116

sempadan sungai dan cekungan sebagai kawasan tampungan air. Sistem drainase
harus dibangun sesuai dengan kebutuhan dengan memperhatikan air limpasan dan
sistem pengaliran yang tepat dengan memperhatikan arah kemiringan dan bentuk
pemanfaatan lahan.

5.2 POTENSI PENGEMBANGAN SUB DAS BABURA


Mengacu pada Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, Kementerian
Pekerjaan Umum-Dirjen Penataan Ruang Tahun 2010, dan berdasarkan hasil
analisa kesesuaian lahan dengan menggunakan model analisa satuan kemampuan
lahan (SKL), maka didapatkan 3 (tiga) katagori potensi pengembangan lahan di
Sub DAS Babura Kota Medan yaitu sebagai berikut :
1. Potensi pengembangan tinggi, yaitu kawasan dengan fungsi untuk kegiatan
perkotaan, dengan luas 902,4 Ha meliputi wilayah Kecamatan Medan
Tuntungan dan Medan Johor;
Potensi pengembangan tinggi, sangat baik untuk kegiatan perkotaan seperti
permukiman, perkantoran, perdagangan, jasa, pariwisata, transportasi,
industri dan lain sebagainya. Pada kawasan ini memiliki potensi bebas banjir
karena berada pada daerah yang relatif tinggi. Kegiatan-kegiatan tersebut
umumnya memiliki persyaratan fisik yang khusus untuk mendukung
pengembangan aktifitas masing-masing.
Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman,
perdagangan, jasa dan pariwisata adalah sebagai berikut:
a) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%);
b) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh
penyelenggara dengan jumlah yang cukup.
c) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi);
d) Drainase baik sampai sedang;
e) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata
air/saluran pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan;
f) Tidak berada pada kawasan lindung;
g) Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga;
h) Menghindari sawah irigasi teknis.

Universitas Sumatera Utara


117

Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan kawasan peruntukan industri adalah


sebagai berikut :
a) Kemiringan lereng yang sesuai untuk kegiatan industri berkisar 0% - 25%,
pada kemiringan >25% - 45% dapat dikembangkan kegiatan industri
dengan perbaikan kontur, serta ketinggian tidak lebih dari 1.000 meter dpl;
b) Bebas genangan, dekat dengan sumber air, drainase baik sampai sedang;
c) Geologi dapat menunjang konstruksi bangunan, tidak berada di daerah
rawan bencana longsor;
d) lahan : area cukup luas minimal 20 Ha; karakteristik tanah bertekstur
sedang sampai kasar, berada pada tanah marginal untuk pertanian.
2. Potensi pengembangan sedang, yaitu kawasan dengan fungsi untuk kegiatan
pertanian atau perkotaan terbatas (pedesaan), dengan luas 1.825,5 Ha,
meliputi wilayah Kecamatan Medan Petisah, Medan Baru, Medan Selayang,
sebagaian Medan Johor dan sebagian Medan Tuntungan;
Pada kawasan ini, kegiatan yang paling baik adalah pertanian atau
permukiman pedesaan, dengan pengembangan daerah terbangun dibatasi oleh
kondisi dan daya dukung lingkungan. Kawasan ini berada pada daerah
dengan morfologi bergelombang hingga datar sehingga memiliki resiko
longsor dan banjir.
Pada kawasan ini, daerah yang berada pada bentang alam dataran adalah
Kecamatan Medan Baru dan Medan Petisah. Daerah tersebut baik
dimanfaatkan untuk kawasan pertanian lahan basah dan kering, atau
permukiman pedesaan dengan pengembangan rendah karena potensial
genangan dan banjir. Kecamatan Medan Selayang, Medan Johor, dan Medan
Tuntungan baik dimanfaatkan untuk pertanian dengan jenis tanaman tahunan,
sebagai upaya pelestarian bagian hulu Sub DAS Babura.
3. Potensi pengembangan rendah, yaitu kawasan dengan fungsi lindung, dengan
luas 34,01 Ha, meliputi Kecamatan Medan Tuntungan, dan Medan Maimun.
Kawasan ini merupakan kawasan sempadan sungai dengan batas sempadan
minimal 15 meter dari kanan dan kiri yang dihitung dari bibir sungai.
Ketetapan batas sempadan sungai tersebut mengacu pada ketentuan yang
telah di tetapkan di dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Universitas Sumatera Utara


118

Medan. Pada kawasan sempadan sungai tersebut dapat dimanfaatkan sebagai


ruang terbuka hijau dengan fungsi ekologis (resapan air). Kawasan tersebut
dapat ditanami dengan berbagai macam jenis tanaman yang memiliki
perakaran kuat untuk menopang tanah agar tidak mudah longsor karena
tergerus air seperti Pohon Beringin, Pulai, Kelor, Bambu, Gayam dan lain-
lain.
Pada kawasan sempadan Sungai Babura telah tumbuh dan berkembang
aktifitas masyarakat. Permukiman tak terencana telah banyak berkembang
dan umumnya tidak memiliki ijin dari pemerintahan Kota Medan.
Berdasarkan hasil analisa, penegakan sanksi terhadap masyarakat yang tidak
patuh terhadap peraturan daerah tentang sempadan sungai yang telah
ditetapkan di dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Kota Medan sangat
lemah. Hal ini berdampak terhadap semakin maraknya pembangunan
permukiman di kawasan sempadan Sungai Babura. Lemahnya penegakan
sanksi bukan merupakan satu satunya penyebab berkembangnya permukiman
di bantaran Sungai Babura. Kondisi ekonomi masyarakat yang tinggal di
daerah bantaran sungai umumnya masyarakat ekonomi lemah. Keterbatasan
pendapatan masyarakat menimbulkan aksi pemanfaatan daerah lindung
(sempadan sungai) menjadi lahan tempat tinggal masyarakat. Dengan
demikian, perlu suatu upaya penertiban secara bertahap dengan penegakan
hukum/sanksi bagi masyarakat melanggar peraturan yang telah ditetapkan di
dalan Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan yang telah
diperdakan tersebut.

5.3 KONSEP PEMANFAATAN LAHAN SUB DAS BABURA


Secara konseptual, pengelolaan DAS/Sub DAS dipandang sebagai suatu
sistem perencanaan terhadap beberapa hal (Chay Asdak, 541) yaitu sebagai
berikut :
4. Aktifitas pengelolaan sumberdaya termasuk tata guna lahan, praktek
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya setempat, dan praktek pengelolaan
sumberdaya di luar daerah kegiatan program atau proyek;

Universitas Sumatera Utara


119

5. Alat implementasi untuk menempatkan usaha-usaha pengelolaan DAS


seefektif mungkin melalui elemen-elemen masyarakat dan perseorangan;
6. Pengaturan organisasi dan kelembagaan di wilayah perencanaan
dilaksanakan.

Konsep yang sesuai dengan pengelolaan daerah aliran sungai adalah konsep
kolaborasi yang dapat dilihat dari dua perspektif ; 1) konsep pemecahan konflik
dari perspektif organisasi dan 2) konsep kerjasama antar stakeholders (Sam’un
J.R, 223).

Konsep pemanfatan lahan Sub DAS Babura sangat memperhatikan


kelestarian dan keberlanjutan ekosistem yang ada, sehingga sangat
mempertimbangkan daya dukung dan kesesuaian lahan, serta pengaturan
pelaksanaan pembangunan yang melibatkan segenap unsur pemerintahan Kota
Medan, masyarakat dan swasta.

Konsep pemanfaatan lahan Sub DAS Babura sangat berkaitan erat dengan
hasil kajian yang telah dilakukan pada penelitian ini. Pemanfaatan lahan Sub DAS
Babura akan mempertimbangkan faktor fisik berupa daya dukung lahan, sosial,
dan ekonomi.

I. Konsep Pemanfaatan Lahan Sub DAS Babura

Berdasarkan penilaian dengan menggunakan model analisa Satuan


kemampuan Lahan (SKL), daya dukung lahan di Sub DAS Babura dikatagorikan
ke dalam 3 (tiga) katagori, yaitu lahan dengan daya dukung pengembangan tinggi,
sedang, dan rendah. Daya dukung tinggi baik untuk kawasan perkotaan, daya
dukung sedang untuk kegiatan pertanian atau permukiman perdesaan, dan daya
dukung rendah akan dimanfaatkan untuk kawasan lindung (Gambar 5.1).

Universitas Sumatera Utara


120

Gambar 5.1 Peta Konsep Pemanfaatan Lahan Sub DAS Babura

Universitas Sumatera Utara


121

Merujuk hasil analisa tersebut, pendekatan yang dipakai di dalam menetapkan


konsep pemanfaatan lahan Sub DAS Babura dengan menggunakan model zonasi.
Zonasi merupakan alat pengendalian pemanfaatan ruang yang akan mengatur
fungsi-fungsi lahan pada kawasan-kawasan yang memiliki karakteristik khusus

A. Konsep Pengembangan Zona Perkotaan

Tingkat pertumbuhan suatu wilayah/kota secara umum dapat dilihat dari


pertumbuhan ekonomi wilayah atau kota tersebut. Hal ini merupakan gambaran
perkembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakatnya. Pertumbuhan ekonomi
wilayah sering kali tidak dibarengi dengan aspek pemerataan pendapatan dan
pelestarian lingkungan. Masalah kemiskinan, distribusi dan pemerataan
pendapatan, dan dampak kerusakan lingkungan masih kurang mendapat perhatian
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, padahal sebaliknya, sebenarnya
aspek jasa lingkungan dapat memberikan manfaat ekonomi (Ruchyat D.D, 19).

Masalah kemiskinan yang tidak dapat teratasi, dan pemerataan pendapatan


serta pertumbuhan yang terlupakan, akan membawa masalah sosial yang cukup
berat dan pada gilirannya akan mengeluarkan ongkos sosial yang mahal.

Selain itu, pembangunan fisik dengan pertimbangan ekonomi semata seperti


pembangunan perkebunan, industri, perumahan, pertambangan, dan prasarana
transportasi wilayah/kota tanpa memperhatikan aspek lingkungan hidup, selalu
akan memberi dampak kerusakan lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan
akibat pembangunan yang tidak direncanakan sesuai tata ruang ini, biasanya akan
membawa bencana yang merugikan, tidak hanya aspek finansial, sarana
prasarana, bahkan juga jiwa manusia. Solusi terhadap permasalahan tersebut
adalah pembangunan yang dilakukan harus berwawasan lingkungan, yang dikenal
dengan sebutan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Pembangunan berkelanjutan memiliki arti pembangunan yang dilakukan saat


ini dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang, tanpa mengurangi kemampuan
dari generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya (Budiharjo, 141). Dalam
rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan, salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah pelestarian lingkungan perkotaan/wilayah melalui penataan
ruang.

Universitas Sumatera Utara


122

Upaya mewujudkan pelestarian Sub DAS Babura Kota Medan, maka konsep
pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah solusi bagi pemecahan
permasalahan penyimpangan pemanfaatan lahan yang saat ini telah terjadi.
Pembangunan yang tidak dilandasi dengan kemampuan dan daya dukung lahan
yang sesuai untuk kawasan perkotaan, akan berdampak negatif terhadap
keberlangsungan ekosistem di wilayah Sub DAS Babura di masa yang akan
datang. Upaya yang dapat untuk mendukung pengembangan kawasan perkotaan
di Sub DAS Babura adalah sebagai berikut :

1. Pengembangan dengan pertimbangan kondisi fisik kawasan :


• Pengembangan kawasan perkotaan pada wilayah Sub DAS Babura harus
memperhatikan daya dukung lingkungan terutama faktor kemiringan,
geologi, ketersediaan air, dan daerah rawan bencana;
• Pengembangan kawasan perkotaan pada wilayah Sub DAS Babura harus
memperhatikan keberlangsungan kawasan lindung seperti sempadan
sungai, ruang terbuka hijau berupa taman-taman kota, kolam-kolam
retensi, dan lain sebagainya;
2. Pengembangan dengan pertimbangan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
kawasan perkotaan meliputi sebagai berikut :
a. Adat istiadat masyarakat;
b. Pola pikir dan jenjang pendidikan masyarakat;
c. Partisipasi masyarakat di dalam pembangunan;
d. Mata pencaharian dan pendapatan masyarakat;
e. Kesempatan kerja yang ada di wilayah perkotaan.
3. Pengembangan dengan pertimbangan kondisi kelembagaan meliputi sebagai
berikut :
a. Kinerja kelembagaan pengelolaan pembangunan;
b. Sumberdaya manusia dalam mengelola pembangunan;
c. Sistem manajemen pengelolaan pembangunan;

Universitas Sumatera Utara


123

Dari ke 3 (tiga) unsur tersebut di atas, maka konsep yang dapat dipakai untuk
pengembangan kawasan perkotaan di wilayah Sub DAS Babura adalah sebagai
berikut ;
1. Pengembangan kawasan perkotaan di Sub DAS Babura Kota Medan
memanfaatkan lahan dengan daya dukung tinggi. Lahan dengan daya dukung
tinggi terdapat di Kecamatan Johor dan Tuntungan. Pemanfaatan lahan pada
kecamatan tersebut baik untuk fungsi lahan perumahan dan permukiman, dan
kegiatan perkotaan lainnya seperti perdagangan, jasa, pusat transportasi,
industri dan lain-lainnya.
2. Pengembangan kawasan perkotaan harus didukung dengan pengembangan
lahan dengan fungsi lindung seperti taman-taman kota yang dapat
dimanfaatakan pada daerah sempadan sungai, daerah bahu jalan, median
jalan, pemakaman, sempadan jaringan listrik yaitu pada jaringan Saluran
Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) atau Saluran Udara Tegangan
Tinggi (SUTT), sempadan rel kereta api, lapangan olah raga terbuka seperti
lapangan sepak bola, gazebo/alun-alun. Selain itu, pengembangan ruang
terbuka hijau kepemilikan pribadi berupa perkarangan rumah, perkarangan
kantor/tempat usaha, perkarangan fasilitas umum dan sosial.
3. Pemanfaatan kawasan perkotaan di daerah-daerah yang berbatasan dengan
kawasan lindung, harus memperhatikan kelestarian lingkungan agar tidak
merusak kondisi lingkungan kawasan lindung tersebut, sehingga dapat terjaga
keseimbangan lingkungan antara kawasan terbangun dan non terbangun;
4. Pengembangan perkotaan harus didukung dengan perencanaan yang matang
melalui pembuatan rencana tata ruang wilayah perkotaan. Rencana tata ruang
tidak hanya merencanakan pemanfaatan fisik lahan dalam bentuk fungsi-
fungsi kawasan, melainkan juga menetapkan ketentuan pengendalian
pemanfaatan ruang/lahan melalui perangkat peaturan zonasi, perijinan,
insentif dan disinsentif, serta sangsi terhadap pelanggar pemanfaatan
ruang/lahan. Penataan ruang juga mengatur tentang ketentuan intensitas
pemanfaatan ruang dan tata bangunan. Intensitas pemanfaatan ruang akan
mengatur mengenai koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai
bangunan (KLB), koefisien dasar hijau (KDH). Tata bangunan akan mengatur

Universitas Sumatera Utara


124

mengenai garis sempadan muka, samping, dan belakang bangunan, dan


ketinggian bangunan. Kedua perangkat pengaturan ruang tersebut sangat baik
untuk menjamin keteraturan, ketertiban, kenyamanan dan keamanan, serta
keindahan lingkungan perkotaan.
5. Pada kawasan sempadan jalan atau ruang terbuka lainnya seperti taman
dengan fungsi estetika dan ekologi (resapan air) pada daerah perkotaan, baik
ditanami jenis-jenis pepohonan yang banyak menyerap CO2 dan
menghasilkan banyak O2, serta memiliki perakaran yang dapat menyerap air
lebih banyak, seperti Pohon Mahoni, Bambu, Angsana, Akasia, Beringin,
Asam Jawa, Cemara Bundel, Johar, Bungur, Matoa, Dadap, dan lain
sebagainya.
6. Pada areal perkarangan rumah, dapat ditanami dengan jenis tanaman seperti
Pohon Kiara Payung, Palem Raja, Palem Putri, Pohon Tanjung, dan lain
sebagainya.
7. Pada kawasan permukiman, teknologi pemanfaatan lahan yang dapat
dilakukan berupa sebagai berikut (Kementerian Kehutanan RI, 2011):
a. Pembuatan lubang biopori;
b. Pembuatan sumur resapan untuk menampung air hujan;
c. Pembuatan tangki penampung air hujan dari atap rumah, dengan prinsip
sama dengan sumur resapan;
d. Pembuatan bak penampung air hujan yang dibuat di bawah teritisan atap
bangunan (ujung atap bangunan tempat air hujan jatuh ke permukaan
tanah);
e. Pembuatan tapak permeable pada halaman rumah, trotoar dan badan jalan
lingkungan permukiman dan perumahan.
f. Pembuatan taman intersepsi, yaitu taman dengan sebagian komponennya
berupa pepohonan yang dapat diberdayakan untuk menampung air hujan,
selain memberikan keindahan dan kesejukan.
g. Membuat green leaf , yaitu penanaman pohon di dalam pot besar atau
drum besar yang ditempatkan di lantai atap rumah/bangunan atau
penghijauan di lantai atap bangunan (green leaf).

Universitas Sumatera Utara


125

B. Konsep Pengembangan Lahan Pertanian/Perdesaan

Pengembangan lahan Sub DAS Babura untuk fungsi pertanian atau


permukiman pedesaan akan memanfaatkan lahan dengan daya dukung sedang,
meliputi Kecamatan Medan Petisah, Medan Polonia, Medan Baru, Medan
Selayang, sebagaian Medan Johor dan sebagian Medan Tuntungan.
Pengembangan kawasan tersebut dilakukan dengan pendekatan konsep lahan
pertanian berkelanjutan.

Pembangunan pertanian berkelanjutan memiliki tiga tujuan (Saptana, 127),


yaitu tujuan ekonomi (efisiensi dan pertumbuhan), tujuan sosial
(kepemilikan/keadilan), dan tujuan ekologi (kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan). Tiga tujuan tersebut saling terkait seperti disajikan pada Gambar 5.1
Pembangunan pertanian berkelanjutan dapat terwujud bila tiga tujuan
pembangunan tersebut tercapai.

Gambar 5.1 Hubungan Antara Tiga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Sumber : Saptana, 2007

Berdasarkan ke tiga tujuan tersebut di atas, maka konsep pemanfaatan dan


pengembangan lahan pertanian atau permukiman pedesaan di wilayah Sub DAS
Babura berupa pemanfaatan lahan untuk kawasan perdesaan dan pertanian lahan
basah di Kecamatan Medan Baru, Medan Polonia, dan Medan Petisah.

Universitas Sumatera Utara


126

Pemanfaatan lainnya berupa lahan tanaman tahunan meliputi Kecamatan Medan


Tuntungan dan Medan Johor. Dasar pertimbangan penentuan pemanfaatan lahan
tersebut adalah berdasarkan ketinggian dan kemiringan lereng. Kecamatan Medan
Tuntungan dan Medan Johor terletak di wilayah yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan Kecamatan Medan Baru, Medan Polonia, dan Medan
Petisah. Dengan demikian, wilayah yang lebih tinggi merupakan hulu dari Sub
DAS Babura, dan sangat baik untuk daerah dengan jenis tanaman tahunan.
Tanaman tahunan dapat mengurangi tingkat erosi yang disebabkan oleh hujan.
Wilayah lebih rendah merupakan daerah hilir yang baik untuk tanaman padi
sawah.

Secara teoritis, konsep ideal untuk pemanfaatan lahan dengan daya dukung
sedang adalah kawasan pertanian atau permukiman perdesaan, namun pada
kenyataannya kawasan tersebut sudah dimanfaatkan sebagai lahan aktifitas
perkotaan. Untuk dapat mencapai tujuan pelestarian lingkungan di Sub DAS
Babura, maka ada beberapa tindakan yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut
(Kementerian Kehutanan RI, 2011) :

1. Untuk kawasan permukiman dan kegiatan lainnya dapat dilakukan teknik


pemanfaatan lahan sebagai berikut :
a) Pembuatan lubang biopori;
b) Pembuatan sumur resapan untuk menampung air hujan;
c) Pembuatan tangki penampung air hujan dari atap rumah, dengan prinsip
sama dengan sumur resapan;
d) Pembuatan bak penampung air hujan yang dibuat di bawah teritisan atap
bangunan (ujung atap bangunan tempat air hujan jatuh ke permukaan
tanah);
e) Pembuatan tapak permeable pada halaman rumah, trotoar dan badan jalan
lingkungan permukiman dan perumahan.
f) Pembuatan taman intersepsi, yaitu taman dengan sebagian komponennya
berupa pepohonan yang dapat diberdayakan untuk menampung air hujan,
selain memberikan keindahan dan kesejukan.

Universitas Sumatera Utara


127

g) Membuatn green leaf , yaitu penanaman pohon di dalam pot besar atau
drum besar yang ditempatkan di lantai atap rumah/bangunan atau
penghijauan di lantai atap bangunan (green leaf).
2. Teknologi pemanfaatan lahan pada kawasan hulu Sub DAS Babura yaitu
sebagai berikut :
a) Pembuatan piringan pada lahan kawasan tanaman tahunan (perkebunan
dan industri). Bentuk piringan dibuat dengan cara membuat bibir piringan
dibagian samping lahan tanaman dan cekungan pada tengah lahan
tanaman. Bentuk piringan bertujuan untuk menampung air hujan dan
mencegah hilangnya pupuk akibat erosi.
b) Pembuatan bumbunan pada tanaman pohon dengan tujuan sebagai
tambahan untuk unsur hara bagi tanaman, juga dapat menjadi penampung
air hujan.
c) Pembuatan embung atau kolam-kolam kecil yang bertujuan sebagai
penampung air hujan pada lahan pertanian terutama pada lokasi yang sulit
mendapatkan sumber air.
d) Pembuatan sistem tanaman hole in hole yaitu pembuatan lubang tanaman
ganda yang bertujuan untuk menampung air hujan, terutama untuk
tanaman reboisasi.
e) Pembuatan rorak, merupakan bangunan konservasi berupa parit yang
dibuat memotong lereng. Hal ini dapat diterapkan pada lahan budidaya
yang miring seperti disekitar kaki perbukitan.
f) Pembuatan mulsa vertikal. Teknik ini dilakukan dengan pemberian bahan
organik sisa tanaman atau pupuk kandang, atau kombinasi keduanya
dengan cara membenamkan ke dalam parit atau rorak yang telah
disiapkan. Tujuan teknik ini adalah agar air hujan dapat tertahan pada
lubang-lubang rorak yang berisi sisa tanaman tersebut, sehingga dapat
mengurangi tingkat erosi pada kawasan yang memiliki morfologi
berbukit.
g) Pembuatan mulsa insitu, yaitu pemberian mulsa organik sebanyak
mungkin menutupi permukaan tanah dari sisa tanaman setempat (insitu).
Teknik tersebut bertujuan untuk penyerapan air hujan lebih banyak karena

Universitas Sumatera Utara


128

tumbuhan akan berkembang sangat cepat akibat kesuburan tanah menjadi


meningkat.
h) Pembuatan bangunan penyadapan air berupa gubung atau saung. Air
hujan yang jatuh pada atap saung akan dialirkan pada kolam-kolam ikan.
3. Pemanfaatan lahan untuk daerah hulu Sub DAS Babura dapat juga
menggunakan teknik sebagai berikut :
a. Agroforestry – tanaman pertanian, hutan dan buah-buahan;
b. Agrosilvopastur – tanaman pertanian, hutan dan rumput;
c. Agrosilvofishery – tanaman pertanian, hutan dan ikan
d. Penanaman dalam sistim strip (tanaman semusim/rumput);
e. Penanaman dalam sistim kontur (// kontur, / kontur);
f. Alley cropping – multiple cropping;
g. Pengaturan pola tanam tanaman semusim/tahunan;
h. Tanaman penutup tanah (cover crop) – jenis-jenis leguminosa;
i. Penyempurnaan teras (teraserring yang dilengkapi dengan SPA).

C. Konsep Pengembangan Kawasan Lindung

Pemanfaatan kawasan lindung di Sub DAS Babura dialokasikan pada lahan


dengan daya dukung rendah, meliputi Kecamatan Medan Selayang, Medan
Tuntungan dan Medan Maimun. Pada kawasan ini baik dikembangkan untuk zona
lindung berupa ruang terbuka hijau dengan jenis tanaman antara lain Pohon
Beringin, Pulai, Kelor, Bambu, Gayam dan jenis tanaman hias untuk wilayah
perkotaan seperti Trembesi, Mahoni, Angsana, Akasia, Beringin, Asam Jawa,
Cemara Bundel, Johar dan Bungur. Selain itu juga, dapat dikembangkan situ-situ
sebagai wadah penampung air hujan.

Kawasan lindung tersebut dapat dimanfaatkan sebagai hutan kota, taman


kota, lapangan olah raga, dan lain sebagainya. Kawasan lindung berupa sempadan
Sungai Babura (15 meter kanan dan kiri) akan dimanfaatakan sebagai lahan
dengan fungsi ruang terbuka hijau. Pada lahan sempadan sungai tersebut, dapat
ditanami dengan jenis tanaman seperti pada zona lindung yaitu Pohon Beringin,
Pulai, Kelor, Bambu, Gayam, Trembesi, Jabon, dan lain-sebagainya.

Universitas Sumatera Utara


129

II. Konsep Pengembangan Aspek Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan


Konsep yang direkomendasikan untuk diterapkan pada aspek sosial,
ekonomi, dan kelembagaan dalam rangka pemanfaatan ruang yang baik di
wilayah Sub DAS Babura adalah sebagai berikut :
a) Aspek Sosial
• Penyediaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah
(kususnya di sempadan sungai) yang dilakukan oleh Pemerintah Kota
Medan atau lembaga (developer) yang ditunjuk dan diawasi oleh
pemerintah Kota Medan.
b) Peningkatan ekonomi/kesejahteraan masyarakat
• Perbaikan infrastruktur;
• Pengembangan dan penyediaan air minum/air bersih pada daerah rawan
air;
• Peningkatan keterampilan masyarakat melalu pelatihan kewirausahaan,
dan peningkatan pendidikan masyarakat;
• Bantuan pengadaan bibit-bibit unggul untuk kegiatan pertanian
masyarakat.
c) Kelembagaan
• Peningkatan kinerja lembaga pengelola Sub DAS Babura.
• Peningkatan kualitas sumber daya aparatur pengelola Sub DAS Babura.
• Peningkatan sistem manajemen pengelolaan Sub DAS Babura;
• Penegakan peraturan penataan ruang.
• Memperketat izin pemanfaatan ruang untuk kegiatan perkotaan;
• Penegakan sanksi terhadap pelanggar pemanfaatan ruang baik yang
dilakukan oleh masyarakat maupun oleh aparatur pemerintahan;
• Pemantauan oleh aparatur pemerintahan secara priodik mengenai
pemanfaatan ruang sebagai upaya pencegahan tindakan masyarakat yang
kurang memperhatikan daya dukung dan kelestarian lingkungan hidup;

Universitas Sumatera Utara


130

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisa yang telah dilakukan di wilayah
Sub DAS Babura dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1. Kondisi pemanfaatan lahan di wilayah Sub DAS Babura pada saat ini di
dominasi dengan pemanfaatan lahan untuk fungsi perkotaan. Pemanfaatan
lahan perkotaan berupa permukiman dengan luas sebesar 1.402,1 Ha,
perdagangan dan jasa sebesar 224,5 Ha, jasa komersial seluas 142 Ha,
fasilitas sosial dan umum sebesar 143,4 Ha. Selain fungsi perkotaan, ada
beberapa pemanfaatan dengan fungsi lainnya seperti kebun campuran seluas
535,9 Ha dan kolam seluas 17,3 Ha;
2. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model analisa Satuan
Kemampuan Lahan (SKL), dapat terpetakan kesesuaian pemanfaatan lahan di
wilayah Sub DAS Babura sesuai dengan daya dukung lahan yang ada. Lahan
dengan daya dukung tinggi, baik untuk lahan dengan fungsi perkotaan,
memiliki luas lahan sebesar 902,4 Ha atau 32,7 % dari total luas lahan Sub
DAS Babura. Lahan dengan daya dukung sedang, baik untuk lahan dengan
fungsi non perkotaan (pertanian) atau perkotaan pengembangan terbatas
(memperhatikan kebencanaan), memiliki luas lahan sebesar 1.851,5 Ha atau
67 %. Lahan dengan daya dukung rendah, baik untuk lahan dengan fungsi
lindung memiliki luas lahan sebesar 8 Ha atau 0,3 % dari total luas lahan Sub
DAS Babura;
3. Penyimpangan pemanfaatan lahan di Sub DAS Babura untuk jenis
pemanfaatan lahan dengan daya dukung tinggi sebesar 46% atau sebesar
1.046,1 Ha. Pemanfaatan lahan dengan daya dukung sedang, sebesar 73,2%,
atau sebesar 1.334,7.
4. Konsep pemanfaatan lahan di Sub DAS Babura berupa konsep
pengembangan wilayah berbasis tata ruang yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan, dengan memperhatikan beberapa aspek yaitu aspek

Universitas Sumatera Utara


131

sosial budaya, ekonomi, kelembagaan, dan lingkungan. Konsep wilayah


dalam proses penataan ruang yang harus diterapkan berupa konsep ruang
sebagai ruang ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi,
dan ruang wilayah politik.

6.2 Saran
Berdasarkan hasil pengamatan dan penilaian peneliti terhadap daerah
penelitian, maka ada beberapa saran peneliti sebagai rekomendasi/masukan yaitu
sebagai berikut :
1. Pemanfaatan lahan harus mempertimbangkan faktor daya dukung lahan,
sehingga dapat meminimalkan penyimpangan pemanfaatan lahan. Selain itu,
meningkatkan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang dengan menerapkan
peraturan zonasi yang mengatur mengenai ketentuan pemanfaatan ruang
(intensitas pemanfaatan ruang dan tata bangunan), perijinan, insentif dan
disinsentif, dan pengenaan sanksi terhadap pelanggar pemanfaatan ruang, baik
berupa sanksi administrasi maupun sanksi badan.
2. Peningkatan koordinasi antar dinas/lembaga yang memiliki kewenangan di
dalam penataan dan pemanfaatan ruang di wilayah Sub DAS Babura Kota
Medan khususnya, dan wilayah Kota Medan secara keseluruhan umumnya,
serta peningkatan koordinasi mengenai pemanfaatan ruang yang lebih luas,
yaitu pemanfaatan lahan DAS Deli yang meliputi beberapa wilayah
administrasi antara lain Kabupaten Karo, Kabupaten Deliserdang, dan Kota
Medan.
3. Peningkatan partisipasi masyarakat di dalam pembangunan melalui pelibatan
masyarakat dari proses perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan evaluasi
pemanfaatan ruang di Kota Medan.
4. Kemitraan melalui peningkatan kerjasama antar lembaga kemasyarakatan
untuk menjaring informasi, penambahan keterampilan dan wawasan.
5. Peningkatan kinerja kelembagaan yang memiliki wewenang dalam penataan
dan pemanfaatan ruang, melalui upaya peningkatan program-program
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, dan evaluasi pemanfaatan ruang,
serta peningkatan kelembagaan untuk mempertahankan kearifan lokal.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai