Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Magasid Syariah Menurut Pemikiran Imam Al Ghazali

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1
RAHMAN RIFANDI
SANIA FITRI
SARWAN
WAN ROBITA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


STAIN BENGKALIS
TP. 1441 H/ 2020 M
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayahnya kepada penyusun. Sehingga  penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
sangat sederhana ini. Dalam kesempatan ini penyusun mengambil judul “Magasid Syariah
MenurutPemikiran Imam Al Ghazali”.

Adapun tujuan Penyusun menyusun makalah ini sebagai tugas mata pelajaran. Selama
pembuatan makalah ini penyusun telah mendapatkan bantuan berupa bimbingan ataupun
petunjuk dari beberapa pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penyusun ingin
mengucapkan terimakasih kepada Dosen selaku pembimbing Penyusun sehingga Penyusun
dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Semoga isi makalah ini menambah pengetahuan atau pengalaman bagi para pembaca
dan bagi penyusun khususnya, Amin.

Bengkalis, Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................
A. Maqashid Syariah.................................................................................... 3
B. Pemikiran Imam Al-Ghazali Tentang Maqashid Syariah....................... 4

BAB III PENUTUP.............................................................................................


A. Kesimpulan.............................................................................................. 8
B. Saran........................................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum kita mengetahui karunia Allah yang terkandung dalam perintah dan larangan-
NYA, mari kita menilik posisi manusia disbanding dengan mahkluk-mahkluk lainnya
malaikat tercipta dari cahaya, mereka tidak makan, tidak berketurunan, dan tidak berselisih.
Dalam hidup mereka hanyalah untuk beribadah, mereka tidak membutuhkan penjelasan
mengenai hak wajib dan haram untuk mereka. Disisi lain manusia adalah campuran antara
roh dan jasad maka harus ada batasan-batasan yang menjelaskan antara yang boleh dan yang
tidak boleh di lakukan. Sejatinya manusia lebih mulia dibanding dengan malaikat apabila dia
mengetahui bagaimana meninvestasikannya dalam lingkup pancaran hidayah religious.
Manusia memiliki kemampuan spiritual yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Sehingga
manusia memiliki tanggung jawab agama untuk membedakan mana yang benar dan mana
yang salah.
Manusia memiliki kewajiban untuk taat kepada Allah karena itulah Allah mengutus
para Rasul dan mengirimkan kitab agar bisa memberikan petunjuk kepada manusia. Kita tahu
bahwa Allah tidak lah membuat perundang-undangan atau syariat tanpa tujuan. Namun Allah
mensyariatkan peraturan islam dengan tujuan kemahslahatan dunia dan akhirat kembali
kepada para hamba sehingg kesejahteraan akan merata dan rasa aman akan mendominasi.
Kemaslahatan dunia dikategorikan menjadi dua baik yang pencapaian dengan cara
menarik kemanfaatan atau dengan cara menolak kemudharatan. Kemaslahatan ada dua yaitu:
1. Kemaslahatan dharuriyyah (inti/pokok); kemaslahatan maqashid syariah yang
berada dalam urutan paling atas.
2. Kemaslahatan ghairu dharuriyyah (bukan kemaslahatan pokok); namun
kemaslahatan ini tergolong penting dan tidak bias dipisahkan.
Dari dua kemaslahatan inilah kita akan membahas salah satunya yaitu Kemaslahatan
dharuriyyah (inti/pokok); kemaslahatan maqashid syariah yang berada dalam urutan paling
atas. Kemaslahatan yang menurut pemikiran Imam Al-Ghazali dibagi menjadi lima yaitu :
menjaga agama(hifdz ad din)menjaga jiwa (hifdz an-nafs), Menjaga akal (hifdz al- aql),
menjaga keturunan (hifdz an-nasl) dan harta benda (maal). Dari pemikiran Imam Al-Ghazali
membuat kita harus berfikir dan membahasa bagaimana pemikiran dari beliau.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Apa itu Maqashid Syariah?
2. Bagaimana Pemikiran Imam Al-Ghazali Tentang Maqashid Syariah?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat diambil tujuan pembahasan makalah ini sebagai
berikut:
1. Dapat memahami apa yang dimaksut dengan maqashid syariah
2. Mengetahui pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Maqashid Syariah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dari Maqashid Syariah


Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah.
Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud
yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan,
Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara
bahasa berarti ‫المواضع تحدر الي الماء‬ artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air
dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Didalam Alqur’an Allah Swt menyebutkan beberapa kata Syari’ah diantaranya sebagai
mana yang terdapat dalam surat al-Jassiyah dan al-Syura:
َ‫ك َعلَ ٰى َش ِري َع ٍة ِمنَ اأْل َ ْم ِر فَاتَّبِ ْعهَا َواَل تَتَّبِ ْع أَ ْه َوا َء الَّ ِذينَ اَل يَ ْعلَ ُمون‬
َ ‫ثُ َّم َج َع ْلنَا‬
Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-
orang yang tidak mengetahui.( Q:S, 45 : 18)
‫ص ْينَا بِ ِه إِ ْب َرا ِهي َم َو ُمو َس ٰى َو ِعي َس ٰى ۖ أَ ْن أَقِي ُموا ال ِّدينَ َواَل‬ َ ‫ِّين َما َوص َّٰى بِ ِه نُوحًا َوالَّ ِذي أَوْ َح ْينَا إِلَ ْي‬
َّ ‫ك َو َما َو‬ ِ ‫َش َر َع لَ ُك ْم ِمنَ الد‬
‫تَتَفَ َّرقُوا فِي ِه‬
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agam dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13)
Dari dua ayat diatas bisa disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama, namun
dalam perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya, tidak
masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang
dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-
Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT
untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia
baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.
Selain itu Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang
dimaksudkan oleh allah dalam setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan
syariah adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudorotan,
sedangkan mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai dasar islam. Seperti
keadilan persamaan, dan kemerdekaan.

3
B. Pemikiran Imam Al-Ghazali
Menurut Imam Al-Ghazali kemaslahatan inti atau pokok mencakup lima hal yang
tertuang dalam syair :
Ketahuilah hal itu telah dijaga
Oleh setiap agama yang sudah lalu
Menjaga lima perkara dalam semua syariat
Ialah agama, jiwa dan akal urutan ketiga
Juga keturunan dan harta
Maka kumpulkanlah dalam pendengaran
1. Menjaga agama ( hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihat
jika ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2. Menaga jiwa ( hifdz an-Nafs); illat (alas an) diwajibkan hukum qishaash diantaranya
dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya
3. Menjaga akal ( hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang
memabukan atau narkotika dan sejenisnya.
4. Menjaga harta ( hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk para pencuri,
illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta orng lain dengan
cara bathil yang lain.
5. Menjga keturunan ( hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan menuduh
orang berbuat zina.
Maqashid syariah atau mashlahat dharuriyyah merupakan sesuatu yang penting  demi
terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal tersebut tidak terwujud maka akan
menimbulkan kerusakan bahkan maqashid syariah atau mashlahat yaitu menjaga agama(hifdz
ad din)menjaga jiwa (hifdz an-nafs), Menjaga akal (hifdz al- aql), menjaga keturunan (hifdz
an-nasl) dan harta benda (maal)  
Menurut imam al-ghazali” tujuan utama syariah adalah mendorong kesejahteraan
manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap agama mereka (diin), dari (nafs), akal,
keturunan (nasl), harta benda (maal)   apa sak. Apa saja yang menjamin terlindungnya lima
perkara ini berarti melindungi kepentingan umum dan dikehendaki. Implikasi lima perkara ini
dalam ilmu ekonomi akan dikaji belakangan, hanya saja disini perlu disadari bahwa tujuan
suatu masyarakat muslim adalam untuk berjuang mencapai cita-cita ideal. Kata melindungi
tidak perlu diartikan melindungi status quo, tetapi mengandung arti perlunya mendorong
pengayaan perkara-perkara ini secara terus menerus sehingga keadaan makin mendekat
kepada kondisi ideal dan membantu umat manusia meningkatkan kesejahteraan secara

4
kontinu. Banyak usaha dilakukan oleh sebagian fuqaha untuk menambahkan lima perkara dan
mengubah urutannya, namun usaha-usaha ini tampaknya tidak memuaskan para fuqaha
lainnya. Imam asy-syatibi menulis kira-kira tiga abad setelah imam al-gazali, menyetujui
daftar dan urutan imam ghazali yang menunjukkan bahwa gagasan itu dianggap sebagai yang
paling cocok dengan esensi syariah.
Dalam  membahas masalah maqashid, pengayaan agama, diri akal, keturunan, dan
harta benda sebenarnya telah menjadi focus utama usaha semua manusia. Manusia itu sendiri
menjadi tujuan sekaligus alat. Tujuan dan alat dalam pandangan al-gazali dan juga para
fuqaha lainnya, saling berhubungan satu sama lain dan berada dalam satu proses perputaran
sebab-akibat. Realisasi tujuan memperkuat alat dan lebih jauh akan mengintensifkan realisasi
tujuan.
Diri,akal, keturunan dan harta. Harta benda ditempatkan pada urutan terakhir. Hal ini
tidak disebabkan ia adalah perkara yang tidak penting, namun karena harta itu tidak dengan
sendirinya membantu mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang dalam suatu pola yang
adil kecuali jika factor manusia itu sendiri telah direformasi untuk menjamin beroperasinya
pasar secara fair. Jika harta benda ditempatkan pada urutan pertama dan menjadi tujuan
sendiri, akan menimbulkan ketidak adilan yang kian buruk, ketidak seimbangan, dan akses-
akses yang lain pada gilirannya akan mengurngi kesejhteraan mayoritas generasi sekarang
maupun yang akan datang. Oleh karena itu, keimanan dan harta benda keduanya memang
diperlukn bagi kehidupan manusia tetapi imanlah yang membantu menyuktikan suatu disiplin
dan makna dalam memperoleh penghidupan dan melakukan pembelajaran sehingga
memungkinkan harta itu memenuhi tujuannya seraca lebih efektif.
Selain itu maslahat menurut al-Ghâzalî adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi al-Ghâzalî berada pada skala prioritas dan
urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan
tersier. Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqâshid al-syarî‘ah sudah mulai tampak
bentuknya. Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas
maqâshid al-syarî‘ah adalah Izz al-Dîn ibn Abd. al-Salam dari kalangan Syâfî’iyah. Ia lebih
banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk
menolak mafsadat dan menarik manfaat.Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat
dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: dharûriyât, hâjiyat, dan takmîlat atau
tatimmat.Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklîfharus bermuara pada terwujudnya
maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Pembahasan tentang maqâshid al-
syarî‘ah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syâtibî dari kalangan Mâlikiyah

5
Al-Gazali menyebutkan macam-macam maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan
tidaknya oleh dalil syarak terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Maslahat yang dibenarkan oleh syarak, dapat dijadikan hujjah dan kesimpulannya
kembali kepada qiyas, yaitu mengambil hukum dari
jiwa/semangat nas  dan  ijma’. Contoh: menghukumi bahwa setiap minuman dan
makanan yang mema-bukkan adalah haram diqiyaskan kepada khamar.
2. Maslahat yang dibatalkan oleh syarak. Contoh: pendapat sebagian ulama kepada
salah seorang raja ketika melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan,
hen-daklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketika pendapat itu disang-gah,
mengapa ia tidak memerintah-kan Raja itu untuk memerdekakan budak, padahal ia
kaya, ulama itu berkata, kalau raja itu saya suruh memerdekakan hamba sahaya,
sangatlah mudah baginya, dan ia dengan ringan akan memerdekakan hamba sahaya
untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya. Oleh karena itu, maslahatnya, ia wajib
berpuasa dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Ini adalah pendapat yang batal dan
menyalahi nas dengan maslahat. Membuka pintu ini akan merobah semua
ketentuan-ketentuan hukum Islam dan nas-nasnya disebabkan perubahan kondisi
dan situasi.
3. Maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syarak.
Ketiga hal tersebut di atas dijadi-kan landasan oleh imam al-Ghazali dalam membuat
batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam penetapan
hukum Islam:
1. Maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan.
2. Maslahat tersebut tidak boleh ber-tentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’.
3. Maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang
setingkat dengan daruriyah.
4. Kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zanny  yang mendekati qat’i.
5. Dalam kasus-kasus tertentu diperlu-kan persyaratan, harus bersifat qat’iyah,
daruriyah,dan kulliyah.
Berdasarkan persyaratan operasi-onal yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat
bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri
sendiri, terlepas dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-Ghazali
memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/
penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam.

6
Sedangkan ruang lingkup opera-sional maslahah-mursalah tidak di-sebutkan oleh
Imam al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil peneli-tian yang dilakukan oleh
Ahmad Munif Suratma Putra terhadap contoh-contoh kasus maslahah mursalah yang di-
kemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam buku-bukunya (al-Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa
al-Galil, al-Mustafa) dapat disimpulkan bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup
operasional maslahah-mursalah yaitu hanya di bidang muamalah saja.
Implementasi maslahah-mursalah tersebut, para ulama memakai istilah yang berbeda-
beda, bahkan Imam al-Ghazali memakai beberapa istilah untuk menyebut maslahah-
mursalah, sehingga berimplikasi kepada ketidak-sempurnaan pemahaman generasi beri-
kutnya mengenai pendapat ulama ter-dahulu tentang masalah ini.
Dalam kitab al-Mankul, Imam al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan
istilah istidlal sahih  (bukan istidlal mursal), dalam kitab Asas al-Qiyas dia memakai
istilah istislah,  dan dalam kitab Shifa al-Galil disebutnya dengan istilah munasib
mula’im,  sedangkan dalam kitab al-Mustasfa, Imam al-Ghazali tetap menyebutnya dengan
istilah maslahah-mursalah. Karena Imam al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan
beberapa istilah, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam al-Ghazali tidak
konsisten menjadikan maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam.
Penggunaan terma yang berbeda-beda tersebut juga berimplikasi pada terjadinya distorsi
pemahaman pada generasi selanjutnya mengenai teori maslahah-mursalah.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan
oleh allah dalam setiap hukum dari keseluruan hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah
merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudorotan, sedangkan
mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-nilai dasar islam. Seperti keadilan
persamaan, dan kemerdekaan.
Dalam pemikirannya Imam Al-Ghazali membagi maslahat menjadi lima yaitu
1. Menjaga agama ( hifdz ad-Din); illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihat
jika ditunjukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2. Menaga jiwa ( hifdz an-Nafs); illat (alas an) diwajibkan hukum qishaash diantaranya
dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya
3. Menjaga akal ( hifdz al-aql); illat (alasan) diharamkan semua benda yang
memabukan atau narkotika dan sejenisnya.
4. Menjaga harta ( hifdz al-Mal); illat (alasan); pemotongan tangan untuk para pencuri,
illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta orng lain dengan
cara bathil yang lain.
5. Menjga keturunan ( hifdz an-Nasl); illat (alasan); diharamkannya zina dan menuduh
orang berbuat zina.
  

8
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali: Maslahah Mursalah


dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam
Jauhar ,Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah, Jakarta:Amzah,2010.
Jaya, Asafri. Konsep Maqashid, h. 62.bisa dilihat: Mahmud Syaltout, Islam: ‘Aqidah
wa Syari’ah, Kairo: Dar al-Qalam,1966.
M.Umer Chapra. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam.Tazkia Cendekia. 2001
Qorib, Ahmad. Ushul Fikih 2, Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997, Cet, II.
Rahman, Fazlur. Islam, Alih Bahasa: Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1994.

iii

Anda mungkin juga menyukai