Anda di halaman 1dari 66

Penegakan Hukum Pidana

Lingkungan Hidup

Wahyu Yun Santoso


Fakultas Hukum UGM
Hp. 081328605445
Email: wahyu.yuns@ugm.ac.id
Outline

I. Penyidik
II. Pelaku
III. Teori Pemidanaan Korporasi dalam Pidana
Lingkungan
IV. Karakteristik Tindak Pidana Lingkungan
V. Macam Tindak Pidana Menurut UU Lingkungan
Indonesia
VI. Pidana sebagai ultimum remidium

2
PENYIDIK
Bagian I

3
Penyidik Berdasarkan UU PPLH

Pasal 94 (1):
1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
(POLRI)
2. Pejabat Pegawai Sipil (PPNS)
STATUS PPNS & PPLHD
PPNS-LH (Penyidik Pegawai Negeri Sipil)
• Non-fungsional
• Telah mengikuti diklat: 554 orang; Mutasi-pindah-meninggal : 156
• Tercatat: 398 orang (di atas kertas).
PPLH & PPLHD (Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup)
• Fungsional
• Telah mengikuti diklat 1.570 orang; Mutasi-pindah-meninggal: 922
• Tercatat: 648 orang (di atas kertas).

Banyak PPLH maupun PPNS tidak lagi menjalankan


tugasnya karena beralih profesi ataupun
mutasi / promosi ke bidang yang lain.

Sumber: KLHK, 2017


Wewenang PPNS (pasal 94 ayat 2):
1. Pemeriksaan kebenaran laporan
2. Pemeriksaan orang yang diduga melakukan tindak
pidana
3. Pemeriksaan keterangan dan bahan bukti
4. Pemeriksaan pembukuan, catatan, dan dokumen
5. Pemeriksaan di tempat yang diduga terdapat bahan
bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen
6. Penyitaan
7. Meminta bantuan ahli
8. Menghentikan penyidikan
9. Memasuki tempat tertentu, memotret, membuat
rekaman audio visual
10. Melakukan penggeledahan
11. Menangkap dan menahan
Wewenang PPNS Penyidik
(lanjutan) Koor-
POLRI

din-
asi

PPNS PENYIDIKAN Jaksa


LH Penuntut
Umum

Menangkap dan menahan

pemeriksaan
Kewenangan
lainnya penyitaan

penggeledahan

Menghentikan penyidikan
Koordinasi PPNS, Polri, dan Kejaksaan
• Pada waktu penangkapan dan penahanan: PPNS berkordinasi dengan Polri
(ps. 94 ayat 3)
 Koordinasi = berkonsultasi guna mendapatkan bantuan personil,
sarana, dan prasarana

• Pada saat penyidikan: memberitahukan kepada Polri dalam rangka


koordinasi (ps. 94 ayat 4)

• Pada saat dimulainya penyidikan: PPNS memberitahukan kepada Penuntut


Umum, dengan tembusan kepada Polri (ps 94 ayat 5) –> SPDP

• Kejaksaan akan menerbitkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut


Umum (JPU) mengikuti perkembangan terdakwa ( P-16).

• Nantinya Penyidik PPNS KLH akan berkoordinasi dengan JPU yang ditunjuk.
Koordinasi PPNS, Polri, dan Kejaksaan
• Bila perkembangan perkara LH menunjukan kemajuan maka Kejaksaan akan menerbitkan
Surat Perintah Penunjukan JPUuntuk penyelesaiakan perkara Pidana. (P-16A)

• Kejaksaan dapat meminta Penyidik PPNS KLH untuk melaporkan hasil penyidikan (P-17)

• Bila hasil penyidikan belum lengkap maka JPU dapat menerbitkan pemberitahuan kepada
penyidik KLH bahwa hasil penyidikan belum lengkap. (P-18)

• JPU meminta agar penyidik KLH untuk melengkapi (P-19)

• Bila berkas sudah lengkap maka JPU menerbitkan pemberitahuan bahwa berkas dinyatakan
lengkap dan siap dilimpahkan ke Pengadilan (P-21)

Catatan:
Kode-kode P16 dan seterusnya merupakan kode sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung RI No.
518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI
No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.
Pembuktian
• Alat bukti yang sah (ps. 96):
• Keterangan saksi
• Keterangan ahli
• Surat
• Petunjuk
• Keterangan terdakwa
• Alat bukti lain:
• Informasi yg diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik,
magnetik, optik
• Alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang
dapat dikeluarkan dengan/tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik selain kertas, atau terekam secara elektronik
• Hasil penelitian ahli mengenai kerusakan lingkungan. Contohnya hasil analisa
laboratorium dalam menentukan proses pencemaran dan atau perusakan yang sedang
terjadi, kerugian/dampak yang timbul serta modus operandinya apakah dilakukan
secara sengaja atau tidak
• Informasi elektronik, dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya (Pasal 5 UU ITE)
Pelaku pidana
Bagian II
Pelaku Pidana Berdasarkan UU PPLH

1. Orang
Pemberi Perintah

2. Korporasi Badan Hukum

Pemimpin korporasi
Orang: “Barang siapa” menurut UUPPLH ditambah
dengan:

“Pelaku Pidana” dalam KUHP:


“Barangsiapa”: orang + Pasal 55 KUHP:
a. Yang melakukan
b. Yang menyuruh melakukan (doen pleger)
c. Yang turut melakukan (medepleger) Pasal 55
d. Yang membujuk (uitloker)
e. Yang membantu melakukan  Pasal 56
• Pasal 116 ayat 1 UUPPLH: apabila tindak pidana
dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan hukum,
maka tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada
a. Badan usaha
b. – Pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana
- Pemimpin kegiatan tindak pidana
• Pasal 116 ayat 2 UUPPLH: Apabila tindak pidana
dilakukan oleh orang yang bertindak dalam lingkup
kerja badan usaha, dengan berdasarkan pada
hubungan kerja atau hubungan lain, maka sanksi
dijatuhkan kepada pemberi perintah atau pemimpin
dalam tindak pidana
• Pasal 117 UUPPLH: jika tindak pidana diajukan kepada pemberi
perintah atau pemimpin (pasal 116 ayat 1 b), maka ancaman
diperberat sepertiga
• Pasal 118 UUPPLH: untuk tindak pidana pasal 116 ayat (1) huruf
a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili
oleh pengurus selaku pelaku fungsional
• Penjelasan pasal 118 UUPPLH: sanksi dijatuhkan kepada mereka yang
memiliki wewenang dan menerima
KONDISI/SYARAT UNTUK MEMIDANAKAN

a. Power (de jure/de facto)

b. Acceptance
1) Merupakan kebijakan perusahaan. Misalnya: kebakaran hutan
2) Kurang pengawasan (manajemen yang buruk)
3) Dilakukan tidak hanya sekali
Corporate Crime Responsibility
(Prof. Dr. Muladi, 2012)

Pengurus perusahaan dapat dijatuhi hukuman


apabila:
a. Kewenangan pengambilan putusan;
b. Kewenangan merepresentasikan perusahaan;
c. Kemampuan untuk
mengontrol/mengendalikan termasuk
mencegah suatu perbuatan;
d. Untuk keuntungan korporasi.
Konstruksi Tindak Pidana Korporasi menurut UUPPLH
Konstruksi I:
Kriteria SLAVENBURG
“Pemimpin fungsional/Pemberi Perintah dapat
dianggap memenuhi syarat untuk dipidanakan
apabila ia -yang mempunyai kewenangan dan
harus melakukan perbuatan sesuai dengan
kewenangannya tersebut- telah lalai untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan
guna mencegah terjadinya perbuatan pidana
tersebut dan secara sadar menerima bahwa ada
perbuatan pidana yang kemungkinan akan
terjadi. Dalam keadaan ini maka
Pengurus/Fungsionaris tersebut dianggap telah
sengaja mendorong terjadinya perbuatan pidana
tersebut
Kriteria Slavenburg
Prasyarat Pemidanaan Pemimpin Korporasi

1. Pemimpin organisasi/ korporasi merupakan


fungsionaris yang dapat menghentikan atau
mencegah perilaku pidana (kedudukannya de jure
maupun de facto powerful)

2. Pemimpin tersebut memahami bahwa terdapat


kemungkinan yang cukup bahwa pelanggaran sangat
mungkin terjadi

KESIMPULANNYA, FUNGSIONARIS/ PEMIMPIN


PERUSAHAAN YANG BERSANGKUTAN SECARA SADAR
MENDUKUNG / MEMPROMOSIKAN “Illegal Behavior”
Konstruksi Tindak Pidana Korporasi menurut UUPPLH
(lanjutan)

Konstruksi II:
Pidana Tambahan
• Pasal 119: Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan
atau tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha
dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling
lama 3 (tiga) tahun.
• Pertanyaan:
• Pasal 119: pidana untuk korporasi adalah pidana yang
dikenal dalam UUPPLH + tambahan. Apakah “pidana
yang dikenal dalam UUPPLH” ini secara teori dapat
diterapkan kepada korporasi?
• Dapatkah pemimpin korporasi dipidana bersama-sama
(bukan sebagai wakil) dengan korporasi?
• Bagaimana caranya memidanakan pemimpin
korporasi?
• Siapa pemimpin?
• Pasal 118 UUPPLH dan Penjelasannya
• Apakah pelaku langsung dapat dipidana bersama2
korporasi? (Pasal 116 ayat (1))
Teori-teori pemidanaan korporasi
Bagian III
Teori-teori Pemidaan Korporasi

1. Respondeat Superior (doctrine of Vicarious Liability)


2. Direct Liability (doctrine of identification)
3. Delegation principle
4. Aggregation Model
5. Organizational/corporate culture model
1. Vicarious Liability
• RESPONDEAT SUPERIOR: Allows imposition of corp. liability for criminal
acts performed by officers and agents in the course of their employment,
without regard to their status in the corp. hierarchy or if there was an
absence of management complicity.
• LIMITATION: Agent who commits the crime must be acting within the
scope of his or her authority and on behalf of the corp.
• "Scope of Authority"= agent must perform acts on behalf of the
corp. and that the acts must be directly related to the performance
of the type of duties the employee has general authority to
perform.
• Tidak berarti bahwa tindakan agent dilakukan atas dasar
instruksi atau persetujuan atasan. Tetapi cukup merupakan
tindakan yang dilakukan di dalam rangka menjalankan tugas
yang diberikan (within the area of operations that has been
assigned)
• "acting on behalf of corp" = acting with the purpose of forwarding
corp. business (an intent to benefit the corp).
2. Direct Liability (doctrine of identification)
• Lord Reid dalam Tesco Supermarkets Ltd v. Nattrass:
“A living person has a mind which can have knowledge or
intention or be negligent and he has hands to carry out his
intentions. A corporation has none of these...Then the
person who acts is not speaking or acting for the company.
He is speaking as the company and his mind...is the mind of
the company...”
• Yang diuji adalah apakah Seseorang merepresentasikan “the
directing mind and will of the company”
• Lord Reid dalam Tesco Supermarkets menyatakan:
• “normally the board of directors, the managing director, and
perhaps other superior officers of company carry out the
function of management and speak and act as the company”
• “But the directors may delegate some part of their functions
of management giving to their delegate full discretion to act
independently of instructions from them [the directors]”
• Di Australia dan New Zealand, “directing mind of company” ini
disebut sebagai “controlling officers”, yaitu seseorang yang
berpartisipasi di dalam pengawasan korporasi dalam kapasitasnya
sebagai direktur, manager, sekretaris, atau pegawai lain yang
setingkat
• Little dan Savoline, sebagaimana dikutip oleh Sjahdeni, menjelaskan
bahwa salah satu syarat di dalam identification doctrine ini adalah:
• Perbuatan pegawai yang menjadi “directing mind” korporasi
haruslah termasuk dalam kegiatan (operation) yang ditugaskan
kepadanya
• Tindak pidana yang dilakukan bukan merupakan kecurangan
terhadap korporasi
• Tindak pidana tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan
manfaat bagi korporasi
• Korporasi bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri (direct
liability)
• Kritik: terbatas pada tindak pidana yang dilakukan oleh para pejabat
korporasi.
3. Delegation Principle
• Allen v. whitehead:
• Seorang pemilik café mendelegasikan kekuasaannya kepada seorang
manager untuk mengelola café tersebut. Kepada manager tersebut,
pemilik café menginstruksikan agar tidak mengizinkan café tersebut
digunakan sebagai tempak berkumpulnya prostisusi sesuai dengan
Metropolitan Police Act 1839 (melarang prostisusi)
• Manager melanggar instruksi tersebut, tetapi pemilik tetap dianggap
bertanggung jawab melanggar Metropolitan Police Act, karena dianggap
telah memberikan delegasi kepada manager
• Menurut Pinto dan Evans, dalam prinsip pendelegasian, “an
offence can only be committed by the office holder, but he
cannot avoid his statutory obligations by delegating to
another”
perhatikan bahwa ada kewajiban hukum yg dipikul oleh the office holder
• Menurut Pinto dan Evans, pemidanaan berdasarkan prinsip pendelegasian
“can arise when a statute imposes a duty on a particular category of
person [i.e. license holder] and makes breach of the duty an offence”
• Baik tindakan maupun mens rea pelaku, dapat dikenakan kepada
pemegang izin, sebagai konsekuensi dari delegasi yang
dilakukannya
 Delegasi berarti mempercayakan kepada orang lain,
sehingga akibat dari perbuatan orang lain ini menjadi
tanggung jawab si pemberi delegasi (mirip mandat pada
konsep HAN)
• Lord Parker: prinsip delegasi digunakan hanya jika diperlukan
pembuktian mengenai mens rea
• Mirip dengan Vicarious Liability (sama2 diperlukan mens rea
pada orang pelaku). Bedanya adalah bahwa dalam vicarious
liability tidak terjadi pelanggaran atas perintah atasan.
• Menurut Pinto dan Evans, pemidanaan berdasarkan prinsip
pendelagasian bersifat personal (bukan vicarious), karena yang
dianggap melanggar kewajiban adalah pemilik izin (yg
mendelegasikan)
4. Aggregation Model
• Pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada penjumlahan
(aggregation) dari “state of mind” atau “culpability” dari tiap individu
yang mewakili korporasi (representatives)
• Agregasi ini tidak berarti benar2 menjumlahkan semua pikiran,
tetapi adalah membandingkan pikiran satu orang dengan orang
lainnya.
• Misalnya dalam US v. Bank of New England:
• Ada aturan bahwa terdapat kewajiban dari bank untuk
memberikan laporan apabila bank melakukan transaksi mata
uang melebihi batas tertentu
• Seorang pegawai mengetahui aturan ini, tetapi tidak
mempedulikannya (karena tidak tahu ada transaksi yang melebihi
batas).
• Pegawai lain mengetahui ada transaksi ini, tetapi tidak tahu
adanya aturan tentang pelaporan
• Bank (perusahaan) dianggap tahu semuanya, karenanya dianggap
bertanggungjawab atas kegagalan melakukan pelaporan
• Ajaran agregasi mengindikasikan adanya pengetahuan
kolektif dari korporasi
• Ajaran ini mulai mengarah pada lahirnya pertanggung
jawaban korporasi yang bersifat organisasional (dalam
ajaran sebelumnya, pertanggungjawaban lahir dari
pertanggungjawaban atas tindakan individual)
5. Organizational/corporate culture model
• Diterima di Australia
• Sjahdeni:
• pendekatan ini memfokuskan pada kebijakan korporasi yang
mempengaruhi cara korporasi menjalankan usahanya
• Korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana pegawai,
apabila pegawai ini meyakini bahwa orang yang memiliki
kekuasaan di dalam korporasi telah memberinya wewenang
atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut
• Colvin:
• If recklessness is a required fault element of an offense, that fault
element may be established by proof that the culture of a
corporation caused or encouraged noncompliance with the
relevant provision
• If purpose is a required fault element of an offence, that fault
element may be established by proof that it was the policy of a
corporation not to comply with the relevant provision
• A policy may be attributed to a corporation where it provides
the most reasonable explanation of the conduct of that
corporation
• If knowledge is a required fault element of an offence, that fault
may be established by proof that the relevant knowledge was
possessed by a corporation
• Knowledge may be attributed to a corporation where it was
possessed within the corporation and the culture of the
corporation caused or encouraged knowing noncompliance
with the relevant provision
DAPATKAH KORPORASI DAN DIREKTUR SAMA-SAMA
BERTANGGUNG JAWAB?

Di Inggris, atasan dapat bertanggungjawab bersama-sama


dengan (bukan sebagai wakil) korporasi
• jika perbuatan pidana dilakukan dengan “consent” atau
“connivance”, atau “attributable neglect” dari atasan
• Trades Description Act 1968 (s.20): “where an offence
under this Act which has been committed by a body
corporate is proved to have been committed with the
consent or connivance of, or to be attributable to any
neglect on the part of, any director, manager, secretary
or other similar officer ot the body corporate or any
person who was purpoting to act in any such capacity, he
as well as the body corporate shall be guilty of that
offence”
• Pinto & Evans:
• Consent tidak selalu memerlukan pengetahuan aktual (actual
knowledge), sedangkan connivance perlu
• Connivance mengindikasikan adanya tingkat keterlibatan
atasan yang lebih dalam dibandingkan dengan consent
• Neglect: kegagalan untuk melakukan suatu kewajiban yang
seharusnya sudah diketahui
• Untuk menjelaskan “attributable neglect”, Judge Rubin dalam
kasus R. McMillan Aviation Ltd mengatakan bahwa seseorang
atasan bertanggung jawab jika:
a. He knew the trade description was false, in which case he
had a duty to prevent the offence; or
b. He had reasonable cause to suspect that the company was
applying a false trade description, in which case he would
have a duty to take steps to see if it was false or not
 Jika a dan b tidak dilakukan, maka ia dianggap bertanggung
jawab
• Di AS, berdasarkan Model Penal Code 2.07:
• Corp. officers and agents are personally accountable for crimes
committed in the name of the corp.
• Sherman Act imposes criminal sanctions for individually responsible
officers/director/agent as well as the corp. even if agent was acting only
for corp and not as an individual.
• Corp officer acting solely for corp. and not as an
individual, held criminally liable for violating the
Sherman Act.
• Bagaimana di Indonesia?
Tindak pidana korporasi pada UU Indonesia
1. Pasal 20 ayat (1)UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No.
20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi:
“Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”
2. Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang:
“Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasla 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan
terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi”
3. Pasal 116 UU PPLH
UU No. 23/1997 UU N0. 32/2009
DEFINISI TINDAK PID KORPORASI : -DEFINISI
TINDAK KORPORASI:
apabila tindak pidana dilakukan Idem dengan pengaturan di UU 23/1997
untuk, oleh atau atas nama korporasi

PIHAK YANG DIMINTAKAN PTGJWB PIDANA : PIHAK YANG DAPAT DIMINTAKAN


-Korporasi PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
-Pemberi Perintah/Pemimpin dlm melakukan
pidana Idem dengan peraturan di UU 23/1997
- No. 1 dan 2

KRITERIA PEMIDANAAN KORPORASI


Tdk ada kriteria pemidanaan konrporasi -Power
-Acceptance

HUKUMAN : idem
-Terhadap Pemberi Perintah:
penjaran/denda diperberat 1/3
-Terhadap Korporasi EKSEKUSI HUKUMAN berupa Tindakan Tata
- Tindakan Tata Tertib Tertib: Jaksa berkordinasi dengan KLH
Karakteristik tindak pidana
Bagian IV
Karakteristik Tindak Pidana Berdasarkan UU PPLH
1. Abstract Endangerment (contoh pada UU 32/2009)
• Administratively-dependent crimes
• Yg dipidana bukanlah pencemaran, tapi pelanggaran ketentuan administratif
• UU PPLH Pasal 109:
• Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah).

2. Concrete endangerment (contoh pada UU 32/2009)


• Administratively-dependent crimes  illegal emissions
• Ada ancaman pencemaran/kerusakan lingkungan
• UU PPLH Pasal 108:
• Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan
denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,-
(sepuluh miliar rupiah).
• Art. 2 (1b) of 1998 Council of Europe Convention on the Protection of the
Environment through Criminal Law:
• “The unlawful discharge, emission, or introduction of a quantity of substances or
ionising radiation into air, soil or water, which causes or is likely to cause their lasting
deterioration or death or serious injury to any person or substantial damage to
protected monuments, other protected objects, property, animals or plants…”
3. Serious environmental Pollution
• Administrative Independent crimes: Yang dipidana
adalah pencemaran (akibat perbuatan), tanpa
memperhatikan ada/tidaknya pelanggaran syarat
administratisi oleh terdakwa
• Perbuatan mengakibatkan atau menimbulkan resiko (=
ancaman) munculnya pencemaran/kerusakan
lingkungan yang sangat serius
• Pidana dapat dijatuhkan meskipun tidak ada ketentuan
administratif yang dilanggar tidak ada syarat
melanggar hukum
• Art. 2(1a) of 1998 Council of Europe Convention on the
Protection of the Environment through Criminal Law:
• “the discharge, emission or introduction of a quantity of
substances or ionising radiation into air, soil, or water, which:
• Causes death or serious injury to any person, or
• Creates a significant risk of causing death or serious injury to any person”
4. Vague norms
– Pelanggaran terhadap duty of care (zorgvuldigheid): “if one knows
or could reasonably be expected to know that by one’s actions the
environment could be harmed, one should take all the measures
that can reasonably be demanded in order to prevent danger or to
limit or to eliminate its consequences” (M. Faure & M. Visser,
1995: 347)
karena “duty of care” bersifat umum (kewajibannya tidak
ditentukan secara detail di dalam UU), maka tindak pidana ini
terjadi karena adanya perbuatan melawan hukum secara materil
Macam Tindak Pidana Menurut UU
Lingkungan Indonesia
Secara garis besar, perbedaan dengan UUPLH adalah:

Jenis Sanksi UUPLH UUPPLH

MINIMUM Tidak Ada 1 tahun


Pidana
MAKSIMUM 15 tahun 15 tahun

MINIMUM Tidak Ada 500 juta rupiah


Denda
MAKSIMUM 750.000.000 15 miliar rupiah
Pasal-pasal pidana dalam UU No. 23/1997
1. Kejahatan Umum
• Pasal 41 (sengaja) dan 42 (alpa)
41: - Barangsiapa yang
- secara melawan hukum
- dengan sengaja
- melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup, …
42: Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan
yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup,
Ciri-ciri Kejahatan Umum:
• Delik Material: yang diperhatikan adalah akibat
• Aktual/Kongkrit: mengakibatkan pencemaran
• Akibat Serius/Berat/Kematian
• Sanksi berat:
• Sengaja: penjara 10 tahun dan denda 500 juta
• Jika perbuatan menyebabkan orang meninggal atau luka berat: penjara 15 tahun dan
denda 750 juta
• Alpa: penjara 3 tahun dan denda 100 juta
• Jika perbuatan menyebabkan orang meninggal atau luka berat: penjara 5 tahun dan denda 150
juta

• Administratively independent crimes?


• Beberapa ahli menyatakan ya.
• Bagaimana dengan syarat “melawan hukum”?
• Perbuatan melawan hukum secara materil dan formil
• Pompe:
• PMH dapat diartikan sebagai PMH formil dan materil
• Pompe berpendapat bahwa PMH bukan unsur konstitutif/mutlak dari
tiap delik (bandingkan dengan pendapat Vos dan Jonkers yang
menyatakan bahwa PMH adalah unsur mutlak atau “stilzwijgen
element”
• Alasan Pompe:
• Analogi dengan PMH perdata, yaitu:
• Pelanggaran hak
• Bertentangan dengan kewajiban
• Bertentangan dengan kesusilaan ataupun asas pergaulan dalam masyarakat ttg
penghormatan thd orang lain atau barang miliki orang lain
• MvT menggunakan kata “wederrechtelijk” sama dengan tanpa hak
• Hazewinkel-Suringa: PMH secara materil hanya berlaku negatifsebagai
dasar pembelaan jika sebuah perbuatan merupakan PMH formil, tapi
bukan merupakan PMH materil maka perbuatan tersebut bukan delik.
Tapi PMH materil tidak bisa dijadikan dasar penghukuman jika tidak ada
PMH formil, berdasarkan asas nullum delictum
2. Kejahatan Khusus (spesifik)
• Pasal 43 (sengaja) dan 44 (alpa)
43: - Barangsiapa yang dengan
- melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
- sengaja
- melepaskan atau membuang zat…
- padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga
bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran …
44: Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan
perbuatan menurut pasal 43
Ciri2 Kejahatan khusus
• Delik Formal: yang diperhatikan adalah tata cara
perbuatan pidana dilakukan
• Faktual/Potensial: tidak harus akibatnya (yaitu
pencemaran) telah terjadi
• Sanksi Lebih ringan
• Sengaja: penjara 6 tahun dan denda 300 juta
• Jika perbuatan menyebabkan orang meninggal atau luka berat: penjara 9 tahun dan
denda 450 juta
• Alpa: penjara 3 tahun dan denda 100 juta
• Jika perbuatan menyebabkan orang meninggal atau luka berat: penjara 5 tahun dan
denda 150 juta

• Administratively dependent crimes


Pasal-pasal pidana
dalam UU No. 32 Tahun 2009
UNSUR-UNSUR DELIK TINDAK PIDANA UU PPLH

Unsur Delik Uraian


Barang siapa • Orang
• Pemberi izin
• Badan usaha
• Pemberi perintah atau Pemimpin tindak pidana
Kesalahan • Sengaja
• Kelalaian
Melakukan Mengakibatkan dilampauinya Baku Kerusakan LH (Pasal 99)
Perbuatan Contoh:
Usaha Perkebunan/Pertambangan/Kehutanan yang merusak tanah
Akibat Melampaui baku kerusakan LH, misalnya Baku Kerusakan Lahan
Kering/Basah (PP 150/2000)
Sanksi Pidana Pokok Pidana Tambahan
Terhadap orang: Pasal 119:
• Pidana penjara Terhadap korporasi akan terkena
• Denda tindakan tata tertib/penertiban
Terhadap korporasi:
• Denda: ditambah 1/3
DELIK MATERIL
Pasal 98 (sengaja) dan pasal 99 (lalai)
Pidana Denda (rupiah)
Jenis
Akibat Minimum Maksimum Minimum Maksimum
Pelanggaran

> BM 3 tahun 10 tahun 3 millir 10 miliar


Sengaja Orang Luka 4 tahun 12 tahun 4 miliar 12 miliar
Orang Mati 5 tahun 15 tahun 5 miliar 15 miliar
> BM 1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar
Lalai Orang Luka 2 tahun 6 tahun 2 miliar 6 miliar
Orang Mati 3 tahun 9 tahun 3 miliar 9 miliar

Pasal ini merupakan tindak pidana berupa perbuatan yang menyebabkan


dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut,
kriteria baku kerusakan
terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan
tidak mencantumkan unsur “melawan hukum”
•Makna tidak dicantumkannya “melawan
hukum”:
•Melawan hukum tidak perlu dibuktikan
• administratively independent crimes
•Melawan hukum tetap harus dibuktikan
•Vos dan Jonkers yang menyatakan bahwa
PMH adalah unsur mutlak atau “stilzwijgen
element”
•Pencemaran sebagai PMH
• Pasal 67 s.d 69
• Baku mutu air laut:
• PP No. 19/1999 ttg Pengendalian pencemaran dan/atau
perusakan laut
• Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun
2004 ttg Baku Mutu Air Laut
• Baku Mutu Udara Ambien
• PP No. 41/1999 ttg Pengendalian Pencemaran Udara
• Baku mutu kerusakan?
• Bagaimana dengan pencemaran tanah (mis. Tanah
terkontaminasi limbah B3)?
• Baku mutu air:
• PP No 82 th 2001 ttg pengendalian kualitas air dan
pencegahan pencemaran air Pasal 8 (1) tentang Kelas Air
• Lampiran PP No. 82/2001: kriteria mutu air tiap kelas air
• Baku mutu air ditetapkan lebih lanjut dalam Kep MenLH
atau Perda
Kutipan dari Lampiran PP. No. 82/2001
DELIK FORMIL
Pasal 100
Melanggar baku mutu effluent (BM emisi, BM air limbah,
dan BM gangguan)
 pidana maks 3 tahun dan denda maks 3 miliar rupiah

Tindak pidana dijatuhkan bila:


* Sanksi administrasi tidak dilaksanakan, atau
* Perbuatan dilakukan lebih dari 1 (satu) kali

•Asas Ultimum Remedium


•administratively-dependent crimes
•Kaitkan dengan pasal 114 UUPPLH:
•Hanya tidak melaksanakan sanksi Adm.
•Tidak Melaksanakan sanksi adm + pelanggaran baku efluen kedua
• Baku mutu emisi
• Sumber bergerak: KEP MENLH NO. 141/2003 ttg ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi
• Sumber tidak bergerak: KepMenLH No. 13/MENLLH/3/1995 ttg
baku mutu emisi sumber tidak bergerak
• Baku mutu gangguan?
• Baku mutu air limbah: Misalnya PERMEN LH No. 04 thn2007 tentang
Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan MIGAS & Panas Bumi

58
Delik formil lainnya (pasal 101-115)
Pelanggaran Pidana Denda (rupiah)
Minimum Maksimum Minimum Maksimum
Melepaskan/mengedarka
n produk rekayasa
genetika tidak sesuai dgn 1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar
peraturan per-uu-an (ps.
101)
Mengelola limbah B3
1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar
tanpa izin (ps. 102)
Tidak mengelola limbah
B3 yang dihasilkannya (ps. 1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar
103)
Dumping (ps. 104) - 3 tahun - 3 miliar
Memasukkan limbah (ps.
4 tahun 12 tahun 4 miliar 12 miliar
105)
Memasukkan limbah B3
5 tahun 15 tahun 5 miliar 15 miliar
(ps. 106)
lanjut
an
Pelanggaran Pidana Denda (rupiah)
Minimum Maksimum Minimum Maksimum
Memasukkan B3 (ps. 107)
5 tahun 15 tahun 5 miliar 15 miliar

Membakar lahan (ps. 108)


3 tahun 10 tahun 3 miliar 10 miliar

Melakukan usaha
dan/atau kegiatan tanpa
1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar
izin lingkungan (ps. 109)

Menyusun AMDAL tanpa


memiliki sertifikat
- 3 tahun - 3 miliar
kompetensi penyusun
AMDAL (ps. 110)
Menerbitkan izin
lingkungan tanpa
dilengkapi AMDAL atau - 3 tahun - 3 miliar
UKL-UPL (ps. 111 ayat 1)
lanjut
an
Pelanggaran Pidana Denda (rupiah)
Minimum Maksimum Minimum Maksimum
Menerbitkan izin usaha
tanpa dilengkapi izin
- 3 tahun - 3 miliar
lingkungan (ps. 111 ayat 2
)
Tidak melakukan
- 1 tahun - 500 juta
pengawasan (ps. 112)
Memberikan informasi
- 1 tahun - 1 miliar
palsu (ps. 113)
Tidak melaksanakan
perintah paksaan - 1 tahun - 1 miliar
pemerintah (ps. 114)
Menghalang-halangi
pejabat pengawas - 1 tahun - 500 juta
dan/atau PPNS (ps. 115)
Perubahan dalam UU 32/2009
1. Definisi “pencemaran/kerusakan” diganti dengan
pelampauan baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu air laut, baku kerusakan
2. Ada sanksi minimum
3. Ultimum Remedium terbatas hanya untuk pasal 100
(pelanggaran baku mutu effluent)
4. Ps. 101 s.d 109 = concrete endangerment?
5. Ada tambahan beberapa tindak pidana baru (seperti
pembakaran lahan, pengedaran produk hasil rekayasa
genetika)
6. Pemidanaan untuk Pejabat TUN yang:
• Menerbitkan izin lingkunan tanpa dilengkapi Amdal atau UKL/UPL (pasal 111
ayat 1)
• Menerbitkan izin usaha tanpa adanya izin lingkungan (pasal 111 ayat 2)
• Tidak melakukan pengawasan shg menyebabkan pencemaran (pasal 112)
Penegakan Hukum Pidana sebagai
Ultimum Remedium

Bagian V
Ultimum Remedium Menurut UU No. 23/1997
• Ultimum Remedium (subsidiaritas) Secara terbatas
• Mengapa?
• Penegakan Hukum Pidana dapat merupakan upaya
terakhir, yaitu apabila penegakan hukum administrasi,
perdata dan ADR tidak efektif. Akan tetapi penegakan
hukum pidana dapat persifat premium remedium, apabila
salah satu diantara tiga hal ini terjadi:
1. Apabila tingkat kesalahan pelaku relatif berat
2. Apabila akibat perbuatannya relatif besar
3. Perbuatannya menimbulkan keresahan masyarkat
• Persoalan: argumen ttg ultimum remedium dianggap terkait
dengan kompetensi pengadilan, sehingga merupakan hal
yang harus diputus pada putusan sela, perumusan asas
subsidiaritas dlm UU 23/1997 justru meminta hakim untuk
menilai juga hal2 yg terkait materi perkara
Ultimum Remedium Menurut UU No. 32/2009
PENEGAKAN HUKUM PIDANA •Tindak pidana lingkungan adalah kejahatan
•Sanksi dan denda maksimum dan minimum
•korporasi

•Tindak pidana formil (effluent, emisi dan ganguan)


•Sanksi administrasi
Ultimum remidium •Pelanggaran dilakukan lebih dr satu kali

•Pencemaran dan perusakan LH


•Sanksi administrasi tidak dipatuhi
•Pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali
•Memasukkan B3 yg dilarang
•Memasukkan LB3 di NKRI
•Memasukkan limbah di NKRI
PREMIUM REMIDIUM •Membuang limbah
•Membuang B3 dan LB3
•Melepas rekayasa genetik (sesuai UU dan izin lh)
•Melakukan pembukaan lahan dengan membakar
•Menyusun Amdal tanpa sertifikasi kompetensi
•Memberikan informasi palsu,menyesatkan
•menghilangkan, merusak, dan ket tidak benar
Contoh Latihan

B, baku
mutu A,
Baku
ambien mutu
effluent

• A > baku mutu, B > baku mutu


Apa yang terjadi, dan pasal berapa yang dipakai?
• A > baku mutu, B < baku mutu
Apa yang terjadi, dan pasal berapa yang dipakai?
• A < baku mutu, B > baku mutu
Apa yang terjadi, dan pasal berapa yang dipakai?

Anda mungkin juga menyukai