Anda di halaman 1dari 17

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKALAH SYARIAH
“SYARIAH DAN SUMBER-SUMBER SYARIAH”

OLEH:
NAMA : FITRIANI DAMAYANTI
STAMBUK : 150 2019 0131
KELAS : C7

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas individu dari mata kuliah Syariah dengan judul “Syariah dan
Sumber-Sumber Syariah”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

22 Maret 2019

Fitriani Damayanti
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Makalah

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Syariah
B. Pengertian Hukum
C. Pengertian Fiqh
D. Pengetian Sumber dan Dalil
E. Sumber Syariah Pertama Primer Al-Qur’an
F. Sumber Syariah Kedua Primer Haidits
G. Sumber Syariah Sekunder yang Lahir dari Itjihad
H. Yang Dilahirkan Itjihad Sebagai Sumber Syariah Sekunder

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengalaman agama yang amat penting
dalam kehidupan orang muslim, sampai-sampai seorang pengkaji mengatakan “Hukum Islam
adalah ikhtishar pemikiran Islam, manifestasi paling tipikal dari cara hidup muslim, dan
merupakan inti dan saripati Islam itu sendiri”.
Sebagaimana telah disepakati oleh ulama, meskipun mereka berlainan mazhab, bahwa
segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik berupa ibadah, muamalah, pidana,
perdata, atau berbagai macam perjanjian, atau pembelajaran, maka semua itu mempunyai hukum
di dalam syari’at Islam. Hukum-hukum ini sebagian telah dijelaskan oleh berbagai nash yang ada
didalam Al-Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi syari’at telah menegakkan dalil dan mendirikan
tanda-tanda bagi hukum itu, di mana dengan perantaran dalil dan tanda itu seorang mujtahid
mampu mencapai hukum itu dan menjelaskannya.
Dari kumpulan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan ucapan dan per buatan
yang timbul dari manusia, baik yang diambil dari nash dalam berbagai kasus yang ada nashnya,
maupun yang dinisbathkan dari berbagai dalil syar’I lainnya dalam kasus-kasus yang tidak ada
nashnya, terbentuklah fiqh. Adapun sumber-sumber yang telah disepakati adalah Al-Qur’an,
Sunnah/hadits, ijtihad dan qiyas karena hal ini tidak bertentangan dengan Surah an-Nisa ayat 59.
Karena syariah itu adalah hokum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh
Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti dan dilaksanakan dalam
kehidupannya, maka perlu untuk mengetahui apa pengertian dan sumber-sumber syariah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1. Apa Pengertian Syariah?
2. Apa Pengertian Hukum?
3. Apa Pengertian Fiqh?
4. Apa Pengertian Sumber dan Dalil?
5. Apa Sumber Syariah Pertama Primer Al-Qur’an?
6. Apa Sumber Syariah Kedua Primer Hadits?
7. Apa Sumber Syariah Sekunder yang Lahir dari Itjihad?
8. Yang Dilahirkan Itjihad Sebagai Sumber Syariah Sekunder?

C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan makalah ini yaitu:
1. Untuk Mengetahui Pengertian Syariah.
2. Untuk Mengetahui Pengertian Hukum.
3. Untuk Mengetahui Pengertian Fiqh.
4. Untuk Mengetahui Sumber dan Dalil.
5. Untuk Mengetahui Sumber Syariah Pertama Primer Al-Qur’an.
6. Untuk Mengetahui Sumber Syariah Kedua Primer Hadits.
7. Untuk Mengetahui Sumber Syariah Sekunder yang Lahir dari Itjihad.
8. Untuk Mengetahui Yang Dilahirkan Itjihad Sebagai Sumber Syariah Sekunder.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syariah
Secara etimologis (lughawi) syariah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau
“jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan
orang Arab sampai sekarang.
Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti pada surah al-Maidah
(5): 48; asy-Syura (42):13; al-Jatsiyah (45):18, yang mengandung arti “jalan yang jelas
yang membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama yang ditetapkan Allah untuk
manusia disebut syariah, dalam artian lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya
dalam kehidupannya di dunia. Kesamaan syariah Islam dengan jalan air adalah dari segi
bahwa siapa yang mengikuti syariah ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah
menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana
Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa insani.
Menurut para ahli, definisi syariah adalah “Segala titah Allah yang berhubungan
dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian, syariah
itu adalah nama bagi hokum-hukum yang bersifat amaliah.
Di antara ulama ada yang lebih mengkhususkan lagi pemakaian kata syariah itu
dengan “Apa-apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada
mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”.
Adapun pengertian syariah secara harfiyah adalah “sumber air” atau “sumber
kehidupan” sedangkan pengertian syariah di kalangan ahli hokum islam mempunyai
pengertian umum dan khusus. Syariah dalam pengertian umum ialah tata kehidupan
dalam islam, termasuk pengetahuan tentang ketuhanan. Syariah dalam pengertian ini
sering kali disebut fiqh akbar, sedangkan syariah dalam arti khusus berkonotasi fiqh atau
sering kali disebut fiqh asgar, yakni ketetapan hokum yang dihasilkan dari pemahaman
seorang Muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang Al-Qu’an dan as sunah dengan
menggunakan metode tertentu (ushul fiqh). Berdasarkan pengertian syariah itulah
terbentuk istilah tasy’ri atau tasyri’ islamy yang berarti peraturan perundang-undangan
yang disusun sesuai dengan landasan dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-
Qur’an dan as sunah.
Menurut Istilah, perkataan “syariah” pada mulanya mempunyai arti yang luas,
tidak hanya berarti fiqh dan hokum, tetapi mencakup pula aqidah dan segala yang di
perintahkan oleh Allah SWT. Dengan demikian syariah berarti “meng Esakan Allah,
Mentaati Allah, Beriman Kepada Rasul-Rasul Nya, Kitab-Kitab Nya, dan Hari
Pembalasan. Pendek kata, bahwa syariah mencakup “segala sesuatu yang membawa
seseorang menjadi muslim”.

B. Pengertian Hukum
Perkataan hokum dari sisi Bahasa berasal dari akar kata “hakama” yang berarti
mencegah, atau menolak. Mencegah ketidakadilan, kedzaliman dan penganiayaan disebut
hokum. Sehubungan dengan itu maka para ulama ushul memandang bahwa segenap
firman Allah yang berkenan dengan perbuatan manusia (orang-orang mukallaf), baik
dalam bentuk tuntutan atau berupa pilihan, maupun dalam bentuk wadh’iy (hubungan
antara satu perbuatan dengan perbuatan lain) semuanya disebut hokum.
Hokum sebagai bahagian dari syariat jika syariat dipahami dalam artian yang luas,
oleh Muhammad Husain al-Dzahabiy dibagi ke dalam dua bahagian pokok yaitu :
1. Hokum-hukum i’tiqadiyah yakni segala hal yang berkenan dengan aqidah dan
rukun iman yang ke enam.
2. Hokum-hukum ‘amaliyah yang mencakup ibadah seperti : salat, puasa, zakat,
haji dan muamalah seperti: jual beli, perkawinan, kewarisan dan sebagainya.

C. Pengertian Fiqh
Dari segi Bahasa, perkataan fiqh (al-Fiqh) berasal dari akar kata Fa, qa dan ha
(faqaha) yang berarti faham atau pengetahuan tentang sesuatu. Dari sini dapat di
tegaskan bahwa perkataan fiqh itu menunjuk kepada pengetahuan tentang hokum-hukum
agama, hokum-hukum syariah. Salah satu doa menyebutkan “Wahai Tuhan Ajarkanlah
padanya pengetahuan agama dan jadikanlah dia memahami ta’wil). Perkataan fiqh juga
di jumpai dalam Al-Qur’an dengan kata jadian nafqah, tafqahun, yafqahun, yatafaqqahu,
yang disebut dalam Al-Qur’an tidak kurang dari dua puluh kali.
Pengertian fiqh dari segi istilah tidak jauh dari pengertian di atas, hanya saja
mempunyai cakupan yang lebih sempit,sebab fiqh tidak mencakup semua ilmu-ilmu
agama. Oleh ulama fiqh sendiri, perkataan fiqh dipakai dengan pengertian; “Ilmu
tentang hokum-hukum syariah yang bersifat amaliah, yang diambil dari dalil-
dalinya yang terperinci”. Dengan demikian objek kajian fiqh pada dasarnya ada 2 yaitu:
1. Hokum-hukum amaliah (perbuatan Jasmaniah).\
2. Dalil-dalil tentang hokum memperteguh pandangan yang membedakan antara
hokum amaliyah (jasmaniyah) dengan hokum I’tiqadiyah (hati dan rohani).
Kata “fiqh” secara etimologis berarti “paham yang mendalam”. Bila “paham”
dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang
menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-Tirmidzi menyebutkan
“fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamnya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa “fiqhuí” atau paham tidak sama dengan
“ilmu” walaupun wazan (timbangan) lafaz-nya dari segi kesiapannya menangkap apa
yang dituntut. Ilmu bukanlah dalam bentuk zhanni seperti paham atau fiqh yang
merupakan ilmu tentang hokum yang zhanni dalam dirinya. Secara definitive, fiqh
diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu
tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan di atas, fiqh itu bersifat zhanni. Fiqh adalah
apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhan-nya, sedangkan ilmu tidak bersifat
zhanni seperti fiqh. Namun karena zhan dalam fiqh ini kuat, maka ia mendekati kepada
ilmu; karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.

D. Pengertian Sumber dan Dalil


Dalam bahasa Arab yang disebut dengan “sumber” adalah “mashdar”, yaitu ashal
dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam Ushul Fiqhi kata mashadir
al-Ahkam al-Syariyah berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam yaitu
Alqur’an dan Sunnah. Sedangkan “dalil” daari bahasa Arab, secara etimologi berarti
petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material. Secara
terminologi berarti suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam
memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’i (pasti)
maupun dzanni (relatif). Dalil hukum Islam dilihat dari segi petunjuknya kepada hukum
ada dua macam, yaitu :
1. Qath’i artinya sudah pasti benar petunjuknya kepada hukum, karena nashnya cukup
jelas/kongkrit maksudnya. Misalnya ayat-ayat Alqur’an yang menunjukkan
kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji dan juga hadits Nabi yang menunjukkan
kewajiban menuntut ilmu bagi orang Islam.
2. Dzanni artinya diduga keras benar petunjuknya kepada hukum, karena nashnya
mengandung beberapa tafsir/interpretasi. Misalnnya :Qs.Al-Baqarah (2) ayat 228
yang berbunyi “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru”.
Quru mempunyai dua arti, ialah suci dan haid, sehingga timbul perbedaan pendapat
dikalangan ulama tentang iddah wanita yang ditalaq. Ada ulama yang berpendapat tiga
kali suci iddahnya, dan ada pula yang berpendapat tiga kali haidnya. Sumber syariah
dibagi kepada dua kelompok, yaitu:
1. Al-Qur’an dan hadits/Sunnah sebagai sumber primer syariah artinya sumber yang
pokok dalam ajaran Islam yang berasal dari Allah dan Rasulnya.
2. Ijtihad ( Ijma’ dan qiyas) sebagai sumber sekunder syariah artinya sumber
tambahan dalam ajaran Islam yang berasal dari para mujtahid yang penggaliannya
dari sumber pokok.

E. Sumber Syariah Pertama Primer Al-Qur’an


1. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an dari segi Bahasa berasal dari Bahasa Arab yang asal katanya ‫ ا قر‬berarti
bacaan dana pa yang tertulis padanya. Sedangkan, pengertian Al-Qur’an dari segi istilah
ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam Bahasa Arab
dengan perantaraan Malaikat Jibril, diturunkan secara mutawatir, membacanya adalah
ibadah dimulai dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.

2. Kedudukan Al-Qur’an
Tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin tentang al-Qur’an itu
sebagai hujjah yang pertama dan utama serta hukum-hukumnya yang wajib ditaati itu
datang dari sisi Allah swt. Sebagai bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari sisi Allah ialah
ketidak sanggupan (kelemahan) orang-orang membuat tandingannya, biar mereka itu
adalah sastrawan sekalipun. Bukti diambil sebagai sumber utama dan pertama,
sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa (4) ayat 59 yang berbunyi “Hai orang-
orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
QS. Al-Hijr (15) ayat 9 yang berbunyi “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
al-Qur’an, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”[793].
[793] Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Qur’an
selama-lamanya.
QS. Al-Isra’ (17) ayat 88 yang berbunyi katakanlah "Sesungguhnya jika manusia dan
jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu
bagi sebagian yang lain".
QS. Yunus (10) ayat 38 yang berbunyi katakanlah "Sesungguhnya jika manusia dan
jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu
bagi sebagian yang lain".
QS. Hud (11) ayat 13 yang berbunyi bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah
membuat-buat al-Qur’an itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah
sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang
yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang
benar".
QS. Al-Baqarah (2) ayat 23 yang berbunyi “dan jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31]
satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.
[31] Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran
al-Qur’an itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan
Bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.

3. Fungsi Al-Qur’an Sebagai Al-Hudan dan Al-Bayan


Fungsi al-Qur’an sebagai Al-Hudan, sebagaimana dalam al-Qur’an dinyatakan
bahwa al-Qur’an itu berfungsi sebagai Hudan Linnas (petunjuk bagi manusia) tetapi yang
menggunakan sebagai petunjuk hanyalah orang yang bertaqwa, sebagaimana dalam al-
Qur’an QS. Al-Baqarah (2) ayat 2 yang berbunyi “Kitab[11] (al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”[12]
[11] Tuhan menamakan al-Qur’an dengan Al kitab yang di sini berarti yang ditulis,
sebagai isyarat bahwa al-Qur’an diperintahkan untuk ditulis.
[12] Takwa Yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala
perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup
diartikan dengan takut saja.
Fungsi al-Qur’an sebagai Al-Bayan (penjelas) sebagaimana al-Qur’an mempunyai
nama-nama yang besar ada empat macam yang diberikan langsung oleh Allah swt, yaitu:

1. Al-Qur’an dinamai al-Qur’an karena berfungsi sebagai bacaan sebagaimana


dalam QS. Yusuf (12) ayat 2-3 yang berbunyi “2. Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya. 3. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan
mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami
mewahyukan) nya adalah Termasuk orang-orang yang belum mengetahui”.

2. Al-Qur’an sebagai Al-Kitab berfungsi sebagai pedoman dan dia tidak


mengadakan kebengkokan di dalamnya sebagaimana dalam QS. Al-Kahfi (18),
ayat 1 yang berbunyi “segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada
hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan[871] di
dalamnya”;
[871] Tidak ada dalam al-Qur’an itu makna-makna yang berlawananan dan tak
ada penyimpangan dari kebenaran.

3. Al-Qur’an dinamai Al-Furqan berfungsi sebagai pembeda mana yang haq dan
mana yang bathil sebagaimana dalam QS. Al-Furqon (25) ayat 1 yang berbunyi
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al-Qur’an) kepada
hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam[1052]”.
[1052] Maksudnya jin dan manusia.

4. Al-Qur’an dinamai Adz-Zikir berfungsi sebagai peringatan sebagaimana dalam


QS. Al-Hijr (15), ayat 9 yang berbunyi “Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan al-Qur’an, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya[793]”.
[793] Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Qur’an
selama-lamanya.

F. Sumber Syariah Primer Kedua Al-Hadits


1. Pengertian Hadits
Dari segi bahasa berarti al-Jadid (yang baru), al-Qarib (yang dekat), al-Khabar
(berita/kabar). Dari segi istilah hadits ialah segala ucapan Nabi, segala perbuatan Nabi,
segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau.

2. Kedudukan dan Fungsi Hadits Sebagai Syariah Islam Kedua


Para ulama telah sepakat mengatakan bahwa hadits/Sunnah Rasul dalam tiga
bentuk (fi’liyah, qauliyah, taqririyah) merupakan sumber asli/pokok dari hukum-hukum
syara’ dan menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Ada beberapa alasan yang
dikemukakan oleh para ulama Ushul Fiqhi untuk mendukung pernyataan itu, di antaranya
firman Allah: QS. Ali Imran (3) ayat 31 yang berbunyi Katakanlah: "Jika kamu (benar-
benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS. Al-Ahzab (33) ayat 21 yang berbunyi “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
QS. Al-Hasyr (59) ayat 7 yang berbunyi “apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-
kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar
di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu,
Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”.
QS. An-Nisa (4) ayat 59 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Berdasarkan logika, bahwa al-Qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta sedang hadits
berasal dari hamba dan utusannya, maka sudah selayaknya bahwa yang berasal dari sang
pencipta itu lebih tinggi kedudukannya daripada yang berasal dari hamba atau utusannya.

3. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an


Kandungan al-Qur’an ada yang bersifat ijmaly (global) dan umu, ada yang
bersifat tafsily (detail). Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu
menghajatkan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai
petunjuk dan kaedah hidup manusia. Muhammad sebagai Rasul, telah diberikan tugas
dan otoritas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an itu, bahkan untuk hal-hal yang
bersifat teknik ritus, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan, tetapi juga langsung
amalan praktis, misalnya tentang pelaksanaan shalat, puasa, dan haji, dan sebagainya.
Dr. Musthafa As-Sibai menjelaskan, bahwa fungsi hadits/sunnah terhadap al-
Qur’an ada tiga macam, yakni:
1. Memperkuat hukum yang terkandung dalam al-Qur’an baik yang global
maupun yang detail.
2. Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, yakni
mentaqyidkan yang mutlaq, mentafshilkan yang mujmal dan mentahsishkan
yang am.
3. Menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an.

G. Sumber Syariah Sekunder yang Lahir dari Ijtihad


1. Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa ialah meluangkan kesempatan dan mencerahkan kesungguhan.
Pengertian ijtihad dari segi istilah ialah meluangkan kesempatan dalam usaha untuk
mengetahui ketentuan-ketentuan hukum dari dalil-dalil syariah, tegasnya mencurahkan
hikmah dan kesungguhan untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumber-
sumbernya yang pokok.

2. Ruang Lingkup Ijtihad


A. Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nash yang dzanniyul warud (hadits-hadits
ahad), dzanniyul dalalah (nash al-Qur’an dan al-Hadits yang masih dapat
ditafsirkan dan dita’wilkan). Tugas seorang mujtahid dalam menghadapi dalil
yang dzanniyul warud ini ialah mengadakan penelitian terhadap sanadnya, jalan
kedatangannya kepada kita dari Rasul, dan sifat-sifat perawi yang menyampaikan
kepada kita, baik mengenai keadilannya, kejujuran maupun hafalannya.Sedang
tugas para mujtahid dalam menghadapi dalil yang dzanniyud dalalah, ialah baik
dari Al-Qur’an maupun dari Al-Qur’an maupun dari hadits ia mengadakan
penelitian dalam menafsirkannya, menakwilkannya, mencari dalalahnya yang
kuat dalam penunjukannya kepada makna yang dikehendaki, menyelamatkannya
dari adanya perlawanan, menetapkan kekhususannya atau keumumannya,
kemutlakannya, menentukan apakah perintahnya itu menunjukkan kepada wajib
atau selainnya, apakah larangannya itu memberi petunjuk keharamannya atau
lainnya, memahami maksud-maksud syar’i dalam menetapkan syari’at dan
mengetahui dasar-dasar umum ditetapkan suatu syari’at. Sehingga dengan
demikian dapat menerapkan nash tersebut kepada pristiwa yang hendak
ditetapkan hukumnya atau tidak.
B. Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya sama sekali, peristiwa-peristiwa
semacam ini dapat diijtihadkan dengan leluasa, lantaran seorang mujtahid dalam
menghadapinya bertujuan untuk menetapkan hukumnya dengan perantaraan
qiyas, istihsan, istishab, adat kebiasaan dan maslahah mursalah.

3. Syarat-Syarat Bagi Mujtahid


Agar seorang mujtahid dapat berijtihad harus memenuhi empat syarat, yaitu :
a) Menguasai ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya.
b) Mengetahui nash-nash Alqur’an perihal hukum-hukum syari’at yang
dikandungnya, ayat-ayat hukum dan cara mengistimathkan hukum dari
padanya, juga harus mengetahui asbabun nuzul, nasikh-mansukh, ta’wil dan
tafsir dari ayat-ayat yang hendak diistimbathkan.
c) Mengetahui nash-nash hadits, yakni mengetahui hukum-hukum syari’at yang
dijalankan al-Hadits dan mampu mengeluarkan (istimbathkan) hukum
perbuatan orang mukallaf dari padanya. Disamping itu ia harus mengetahui
derajad dan nilainya, seperti :mutawatir, ahad, shahih, hasan dan dhaif, juga
harus mengetahui keadaan perawinya, mana yang terpercaya hingga dapat
digunakan hujjah haditsnya dan mana yang ditolak haditsnya.
d) Mengetahui Maqasidusy-Syari’ah, tingkah laku dan adat kebeiasaan manusia
yang mengandung maslahat dan kemudharatan, dan sanggup mengetahui illat
hukum serta bisa menganalogi peristiwa dengan peristiwa yang lain. Hal ini
diperlukan agar ia mampu memahami peristiwa-peristiwa dan akhirnya
menetapkan hukumnya sesuai dengan Maqasidusy-Syari’ah dan kemaslahatan
umum.

H. Yang Dilahirkan Ijtihad Sebagai Sumber Syariah Sekunder


1. Ijma’
A. Pengertian Ijma’
Ijma’ dari segi Bahasa artinya kesepakatan atau consensus. Sedangkan,
menurut istilah ialah persepakatan para Mujtahid dalam suatu masa sepeninggal
Rasulullah saw. Terhadap suatu hokum syar’I mengenai suatu peristiwa.

B. Rukun dan Syarat Ijma’


Jumhur ulama ushul fiqhi mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima, yaitu :
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum sysra’ melalui ijma tersebut adalah
seluruh mujtahid, apabila ada diantara para mujtahid yang tidak setuju,
sekalipun jumlahnya kecil, maka hokum yang dihasilkan itu tidak dinamakan
hukum ijma’.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hokum itu adalah seluruh mujtahid
yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia islam.
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pandangannya.
4. Hukum disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat actual dan tidak ada
hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
5. Sandaran hukum ijma tersebut haruslah al-Qur’an dan atau hadits Rasulullah
Saw.
Disamping kelima rukun itu, jumhur Ulama’ Ushul fiqhi, mengemukakan pula syarat-
syarat ijma’,yaitu :
1. Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijthad.
2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat
agamanya).
3. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan
atau perbuatan bid’ah.

C. Kedudukan dan Fungsi Ijma sebagai Sumber Syariah


Jumhur ulama ulama ushul fiqhi berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah
terpenuhi, maka ijma tersebut menjadi hujjah yang Qath’i (pasti) wajib diamalkan dan
tidak boleh mengingkarinya. Bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir.
Disamping itu permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut
para ulama ushul fiqhi, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama berikutnya,
karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara yang qath’i
yang menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah al-Qur’an dan sunnah.

2. Qiyas
A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut Bahasa berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu,
membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedangkan,
menurut istilah artinya menyamakan sesuatu kejadian yang tidak ada nashnya
kepada kejadian yang lain, yang ada nashnya mengenai hokum yang nash telah
menetapkan; antaranya adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.

B. Rukun Qiyas ada empat yaitu:


1. Ashl (pokok), ialah masalah yang telah ada nashnya mengenai hukumnya,
ashl juga disebut maqis alaih (yang disamai), dan masyabbah bih (yang
diserupai).
2. Far’ (cabang), ialah masalah yang tidak ada nashnya mengenai hukumnya,
far’ juga disebut maqis (yang disamakan), dan musyabbah (yang
diserupakan).
3. Hukum Ashl (hukum pokok), ialah hukum syara’ yang telah ditetapkan
nashnya untuk pokok, dan dikehendaki hukumnya berlaku juga untuk cabang.
4. Illat Hukum, ialah yang menjadi motif (alasan) adanya ketentuan hukum pada
ashl dan ingin dicapai apakah illat hukum pada pokok itu juga terdapat pada
cabang.

C. Syarat-Syarat Diterimanya Qiyas Menurut Ulama Antara Lain:


1. Qiyas hanya dapat digunakan apabila tidak ada pemecahan masalahnya di
dalam Alqur’an atau alhadits.
2. Qiyas itu tidak boleh bertentangan dengan perinsip-perinsip ajaran Islam.
3. Qiyas juga tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Qur’an, juga
tidak dibolehkan adanya pertentangan dengan hadits Nabi Saw.
4. Qiyas itu harus benar-benar didasarkan pada Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Ijma’,
secara ketat.

D. Kedudukan dan Fungsi Qiyas Sebagai Sumber Syariah


Jumhur ulama berpendapat bahwa qiyas itu menjadi hujjah syar’iyah (sumber
hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia. Dan berada pada
tingkatan keempat dari dalil-dalil syari’ah. Yang demikian itu apabila suatu peristiwa
tidak ada ketetapan hukumnya dari suatu nash atau ijma’ dan mempunyai persamaan
illat dengan peristiwa yang mempunyai nash. Golongan ini oleh para ahli ushul
dinamai mutsabitul qiyas (golongan yang menetapkan kehujjahan qiyas). Alasan yang
dikemukakan oleh jumhur ulama dalam menetapkan kehujjahan qiyas terdiri atas
Qur’an, Sunnah, pendapat, dan perbuatan para sahabat dan logika.

E. Dalil-Dalil tentang Qiyas


1. Dalil dari Al-Qur’an yaitu QS. An-Nisa (4) ayat 59 yang berbunyi “Hai orang-
orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
2. Dalil Assunah antara lain adalah sabda Rasulullah tentang pengangkatan
Muadz bin Jabal sebagai Walikota di Yaman sekaligus sebagai hakim.
3. Perbuatan Sahabat misalnya: dalam peristiwa pembaitan mereka terhadap Abu
Bakar ra. Untuk menjadi khalifah, diqiyaskan kepada Nabi Muhammad Saw
yang menyuruh Abu bakar ra. Mengimani shalat sebagai ganti pada beliau
sakit: Mereka berkata : Rasulullah Saw telah meridhai untuk urusan agama,
maka kenapa kita tidak meridhai urusan keduniaan kita.
4. Pendapat para sahabat, Umar bin Khattab pernah berkata kepada Abu Musa
Al-Asy’ari : “Kemudian pahamilah hal-hal yang dikemukakan kepadamu
yang tidak ada nashnya baik dari al-Qur’an maupun Assunnah, kemudian
qiyaskanlah antara perkara-perkara yang terdapat pada saat itu dan ketehuilah
mana yang memadai illatnya lalu pegangilah apa yang saudara lihat lebih
disukai oleh Allah dan mendekati kebenaran”.
5. Dalil logika ; Analisis logis yang mereka pergunakan untuk menetapkan
kehujjahan qiyas adalah sebagai berikut :
 Allah taala tidak menetapkan hukum bagi hambanya sekiranya tidak
untuk kemaslahatan hamba itu. Kemaslahatan itulah menjadi tujuan
akhir diciptakan suatu perundang-undangan, karena itu apabila ada
suatu peristiwa yang tidak ada nashnya, akan tetapi illatnya sesuai
benar dengan illat suatu peristiwa yang sudah ada nashnya dan diduga
keras pula dapat memberikan kemaslahatan kepada hamba, maka
adillah kiranya jika ia disamakan hukumnya dengan peristiwa yang
sudah ada nashnya itu demi merealisir kemaslahatan yang dicita-
citakan oleh syar’i.
 Nash-nash al-Qur’an dan Sunnah itu adalah terbatas. Sedang kejadian-
kejadian pada manusia itu tidak terbatas dan tidak berakhir. Oleh
karena itu tidak mungkin nash-nash yang terbatas itu dijadikan sebagai
sumber terhadap kejadian-kejadian yang tidak terbatas. Dengan
demikian qiyas merupakan sumber syari’ah yang dapat mengikuti
kejadian-kejadian baru dan dapat menyesuaikan dengan kemaslahatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Syariah merupakan isi yang sebenarnya dari wahyu (Al-Qur’an dan Al-Sunnah).
Sedangkan fiqh ialah ilmu yang menerangkan hokum-hukum syariat islam yang diambil
dari dalil-dalilnya yang terperinci. Hokum islam adalah aturan-aturan yang datang dari
Allah SWT melalui perantara para rasul-Nya yang berupa hokum-hukum yang syariah
dan juha bersifat dzanni yaitu fiqh.
2. Hokum islam lebih umum dari kedua kata lainnya, karena apabila nerupa hokum-hukum
qath’I dinamakan dengan syariah. Sedangkan bila berupa hokum yang dzanni maka
dinamakan dengan fiqh
3. Ulama’ sepakat bahwa sumber-sumber hokum islam yang bisa dijadikan hujjah adalah
Al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Alasannya karena Al-Qur’an dan Hadits yang
menjadi sumber hokum islam yang utama tidak ada lagi setelah Rasullullah saw. wafat
padahal sejalan dengan periodesasi manusia yang semakin berkembang maka,
permasalahan barupun ikut berkembang sehingga ulama’ melakukan ijtihad yang
disepakati oleh sahabat sebagai sumber hokum sehingga menjadi ijma’ dan mengiklaskan
hokum yang tidak ada dalam Al-Qur’an, hadits dan ijma’ untuk menyelesaikan hokum
permasalahan baru.

B. Saran
Diharapkan para pembaca juga melihat dari beberapa referensi lain yang menyangkut
dengan makalah ini, agar dapat memberikan pengetahuan yang lebih baik. Adapun
kekurangan dari makalah ini dapat di kritik ataupun saran demi perkembangan ke
depannya.
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas dan Lukman.2017.Syariah.Makassar:Universitas Muslim Indonesia.

Imaniyati, Neni Sri.2010.Aspek-Aspek Hukum BMT (Baitul Maal wat Tamwil).Jakarta:Citra


Aditya Bakti.

Syarifuddin, Amir.2011.Ushul Fiqih Jilid 1.Jakarta:Kencana.

Anda mungkin juga menyukai