Anda di halaman 1dari 21

©2003 Digitized by USU digital library 1 PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN DISPEPSIA FUNGSIONAL

DAN DISPEPSIA ORGANIK CITRA JULITA TARIGAN Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Kejadian dispepsia cukup sering
ditemui dokter dalam menjalankan profesinya sehari-hari (1,2,3). Kejadian dispepsia juga bervariasi dari
berbagai tulisan, hal ini disebabkan karena ketidaksamaan terminologi dari berbagai sentra (2) .
Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas
yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh saat makan, cepat kenyang,
kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah, nyeri belakang sternum (heart burn), regurgitasi (1,4) .
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka dispepsia dibagi atas dispepsia organik
dan dispepsia fungsional. Dikatakan dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya
adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, kholelithiasis, yang bisa ditemukan secara mudah. Dan
dikatakan dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada
pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan
penyakit-penyakit sistemik (1,2,4). Heyse (1994) memperkirakan di United Kingdom, dispepsia yang
ditemui dokter umum sampai 25 % sementara oleh gastroenterohepatologist sampai 70 %. Kejadian
dispepsia fungsional 6 – 10 kali kejadian tukak peptik dan ini merupakan beban bagi
gastroenterohepatologist (2) . Penelitian yang dilakukan Mudjadid dan Manan mendapatkan 40 % kasus
dispepsia disertai dengan gangguan kejiwaan dalam bentuk anxietas, depresi atau kombinasi keduanya
(4) . Dispepsia mungkin merupakan gejala awal dari penyakit gawat, misalnya tukak peptik, kholelitiasis
atau karsinoma lambung, tetapi sering juga pada penderita tidak ditemukan kerusakan organ (5) . Akibat
gangguan pikiran, kelelahan karena terlalu banyak bekerja dan problem keuangan juga bisa
menimbulkan keluhan dispepsia (5) . Sudah sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi, para ahli
Socrates dan Hypocrates, yang menyebutkannya melancholi dan mengakui bahwa faktor psikis berperan
penting pada kejadian dan perjalanan penyakit seseorang (6,10,11) . Walaupun kemudian mengalami
perkembangan (sesuai alam fikiran pada zamannya), namun akhirnya para ahli yakin bahwa patologi
suatu penyakit tidak hanya terletak pada sel atau jaringan saja, tetapi terletak pada organisme yang
hidup dan kehidupan, tidak ditentukan oleh faktor biologis semata, tetapi erat sekali hubungannya
dengan faktor-faktor lingkungan yaitu lingkungan bio-sosio-kultural dan agama (6) . Faktor faktor
biologis (somatis), psikis dan lingkungan masing-masing mempunyai interrelasi dan interaksi yang
dinamis dan terus menerus, yang dalam keadaan normal atau sehat keduanya dalam keadaan seimbang.
Jika ada gangguan dalam satu segi, maka akan mempengaruhi pada segi atau lingkungan yang lainnya
dan sebaliknya (6) . Jadi jelaslah bahwa setiap penyakit memiliki aspek somatis, ©2003 Digitized by USU
digital library 2 psikis dan lingkungan bio-sosio-kulturil dan bahkan agama. Dengan demikian konsep
monokausal dari suatu penyakit sudah tidak dianut lagi (6) . Pengetahuan tentang hubungan antara jiwa
dan badan terus berkembang sampai akhir abad ke dua puluh ini, baik melalui pendekatan psikoanalisa
maupun bukti-bukti yang didapat dengan hasil penelitian modern (6) . Inilah sebabnya keadaan depresi
walaupun hal tersebut merupakan gangguan emosi, akan tetapi terdapat pula gangguan somatik (7) .
Pasien-pasien ini sering datang menghubungi dokter-dokter non psychiatrist dengan keluhan
somatiknya, yang paling sering mempengaruhi saraf pusat, saluran pencernaan, kardiovaskuler, atau
sistem muskuloskeletal (8) . Wright mengatakan bahwa lebih dari 40 % pasien depresi, pada awalnya
muncul dengan ke luhan somatik dari pada simtom psikologi dan selalu tidak bertingkah laku seperti
pasien depresi (9) . Pasien-pasien depresi yang tidak diketahui ini, dikatakan kurang mengeluhkan
keadaan depresinya, tetapi dengan keluhan penyakit-penyakit fisik akan memperberat depresinya (9).
Whilist mengatakan mereka menutupi depresinya dengan banyaknya keluhan-keluhan somatiknya (9).
Yang harus kita pikirkan pada pasien-pasien dengan keluhan tersebut adalah : a. Masalah mungkin
murni psikis yang diekspresikannya. a. Mungkin ada sedikit kelainan organik yang bertumpang tindih
dengan faktor psikis. a. Beberapa pasien yang jelas ada kelainan organik, mungkin memiliki sedikit
masalah psikis (15) . Diagnosis depresi dibuat dengan menegakkan tidak dijumpainya gangguan organik
yang menjelaskan keluhan fisik dan didapatinya tanda-tanda vegetatif yang selalu dijumpai pada pasien
depresi (8) . B. IDENTIFIKASI MASALAH Pada praktek kedokteran umum sering ditemukan kasus depresi
dengan berbagai manisfestasi (3). Tidak jarang mereka datang denga n berbagai keluhan fisik (somatis),
seperti sakit kepala, nafsu makan hilang, letih, lesu, tidak bersemangat, konstipasi, nausea, jantung
berdebar-debar, kurang konsentrasi, sukar tidur dan sebagainya (10,12,14). Bila diadakan pemeriksaan
lebih lanjut, biasanya keluhan tersebut jarang sekali disertai penemuan kelainan organik (3,12). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Johnsen R, dan kawan-kawan terhadap pasien dispepsia non ulkus dan
ulkus peptik melaporkan bahwa ulkus peptik dan dispepsia non ulkus sangat berbeda hubungannya
dengan psikologi, sosial, kebiasaan hidup dan diet. Ulkus peptik berhubungan dengan usia, riwayat
keluarga menderita ulkus dan merokok (16,18). Kebalikannya pada dispepsia non ulkus menunjukkan
hubungan dengan faktor psikologi dan kondisi-kondisi sosial. Perbedaan diantara dispepsia ulkus dan
dispepsia non ulkus, mungkin pada etiologi, oleh karena itu secara klinis yang bermakna, disebutkan
pengobatan pada pasien dispepsia nonulkus berbeda dari pengobatan dispepsia dengan ulkus yang
tradisional (16) . Demikian juga Haug TT, dan kawan-kawannya yang membandingkan peristiwa-
peristiwa dalam kehidupan dan stress pada pasien dispepsia fungsional dan pasien ulkus yang diteliti
dimana sebelumnya pasien-pasien tersebut mengalamiperistiwa-peristiwa ketegangan (stress) dalam
kehidupan selama 6 bulan sebelumnya. Ditemukan pasien-pasien dengan dispepsia fungsional
mempunyai tingkat yang lebih tinggi keadaan kecemasannya, psikopathologi, depresi dan keluhan
somatik yang berbeda-beda ( lebih somatisas i) daripada pasien dispepsia dengan ulkus (16,17,18). Dan
mereka juga merasa kurang puas terhadap pelayanan ©2003 Digitized by USU digital library 3
kesehatan, dan gangguan ini sangat mempengaruhinya secara negatif terhadap kualitas hidup dan pada
pengukuran kesehatannya secara global adalah buruk (19) . Dari uraian diatas dapat dilakukan
identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Apakah dispepsia fungsional dan dispepsia ulkus dalam
perjalanan penyakit maupun terjadinya mempunyai perbedaan depresi ? 2. Berapa besar keparahan
depresi yang terjadi ? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui jumlah pasien yang depresi, baik
pada penderita dispepsia fungsional maupun dispepsia organik. 2. Untuk mengetahui perbedaan depresi
pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik 3. Untuk mengetahui efek pengobatan
konvensional dengan antasida dan antagonis reseptor H2 pada penderita dispepsia fungsional dan
dispepsia organik. D. MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat yang diperoleh bila penelitian memberikan
hasil sesuai dengan yang diharapkan, untuk masyarakat dapat memberikan pemahaman bahwa pasien-
pasien penderita dispepsia fungsional maupun dispepsia organik, mempunyai hubungan dengan
depresi. Namun pada dispepsia fungsional lebih dari pada pasien dispepsia organik. Sehingga
penatalaksanaan pasien dispepsia fungsional selain pemberian terapi konvensional diperlukan
memperhatikan faktor psikologi dan kondisi-kondisi sosial interrelasi dan interaksi terhadap lingkungan.
Penanganan secara multi dimensi dan dengan memperhatikan multifaktorial tersebut melibatkan
kerjasama unsur pelaksana kesehatan terutama sub bagian gastroenterohepatologi dan bagian psikiatri,
yang memungkinkan berperannya liaison psikiatri di rumah-rumah sakit. Agar penanganan pasien-
pasien terutama dispepsia fungsional dilakukan secara menyeluruh baik fisik dan psikologi. E. KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Dispepsia merupakan perasaan tidak enak diperut bagian atas yang bersifat
persisten atau berulang, dapat berhubungan atau tanpa berhubungan dengan makanan dan bersifat
kronik bila berlangsung lebih dari tiga bulan (1-3) . Kejadian dispepsia cukup sering dijumpai dokter
dalam menjalankan profesinya sehari-hari (1-3). Dispepsia mungkin merupakan gejala dari penyakit
gawat, misalnya tukak peptik, kholelitiasis atau karsinoma lambung, juga sering pada penderia tidak
ditemukan kerusakan organ (5). Akibat dari gangguan pikiran, kelelahan karena terlalu banyak bekerja
dan problem keuangan juga bisa menimbulkan keluhan dispepsia (5) . Dahulu banyak pengertian
dispepsia yang sangat bervariasi, tetapi dewasa ini ada dua macam pengertian dispepsia yang sudah
diterima secara luas adalah : (1- 3,21) . A. Dispepsia organik, yang disebabkan kelainan organik yang jelas
misalnya ulkus peptikum, karsinoma lambung, serta gastritis, pankreatitis, beberapa penyakit metabolik
misalnya diabetes mellitus, dan beberapa macam obat - obatan. B. Dispepsia non organik (dispepsia
fungsional) ialah dispepsia yang tidak jelas penyebabnya. ©2003 Digitized by USU digital library 4
Kejadian dispepsia fungsional 6-10 x kejadian tukak peptik, yang merupakan beban bagi
gastroenterohepatologist (2). Penelitian yang dilakukan Mudjadid dan Manan mendapatkan 40 % kasus
dispepsia disertai dengan gangguan kejiwaan seperti anxietas, depresi atau kombinasi (6) . Seperti
diketahui manusia bereaksi antara badan, jiwa dan lingkungan. Dengan sendiri setiap gangguan, tekanan
pada jiwa seseorang mendapat reaksi juga dari badan dan lingkungan orang tersebut. Begitu juga
adanya gangguan pada lingkungan, badan dan jiwa orang tersebut akan bereaksi . Inilah sebabnya
keadaan depresi walaupun itu adalah ganggua n emosi akan terdapat pula gangguan somatik (6). Pasien-
pasien ini sering datang menghubungi dokter-dokter non psychiatrist dengan keluhan somatiknya, yang
paling sering mempengaruhi susunan saraf pusat, saluran pencernaan, kardiovaskuler, dan sistim
muskuloskeletal (8) . Dasar patofisiologi dispepsia fungsional adalah sangat kompleks dan belum dapat
dipastikan. Beberapa hal yang dianggap menyebabkan antara lain : dismotilitas lambung, asam lambung,
helikobakter pylori, psikis, dan penggunaan obat -obatan (2,3,20,21). Gangguan psikis, dan faktor
lingkungan dapat menimbulkan dispepsia fungsional (3,20,21). Stress dapat mengubah sekresi asam
lambung, motilitas dan vaskularisasi saluran pencernaan (20). Pada dispepsia organik (ulkus) peranan
stress dan tipe personal masih kontroversial, meskipun beberapa penelitian dapat menghubungkan
pepsinogen serum yang tinggi dan ulkus peptikum (22). Pada pandangan klasik dari patogenesis ulkus,
dimana terdapat faktor-faktor yang meningkatkan pengeluaran asam, hal-hal yang menurunkan
pertahanan mukosa, stress psikologi dan helikobakter pylori yang memperlemah pertahanan mukosa
(23). Dan pada beberapa peneliti menunjukkan bahwa pasien-pasien dispepsia fungsional lebih cemas
atau depresi (19,20). Demikian juga Haug T.T. dan kawankawan meneliti hubungan stress, peritiwa-
peristiwa kehidupan pada pasien dispepsia fungsional dan ulkus, mendapatkan bahwa pasien-pasien
dispepsia fungsional mempunyai tingkat kecemasan, depresi dan psikopatologi yang lebih tinggi dari
pada ulkus (17). Oleh karenanya penelitian ini ingin melihat perbandingan gambaran depresi pada
dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Penulis menurunkan hipotesis nul dan hipotesis alternatif.
Dikatakan hipotesis nul diterima apabila tidak ada perbedaan depresi pada pasien dispepsia fungsional
dan dispepsia organik. Dan dikatakan hipotesis alternatif diterima bila ada perbedaan depresi pada
dispepsia fungsional dan dispepsia organik. ©2003 Digitized by USU digital library 5 F. KERANGKA KERJA
Poliklinik Sub Bagian Gastroenterologi RSU H.Adam Malik Medan Dispepsia Endoskopi Dispepsia
Fungsional (DF) Dispepsia Organik (Ulkus) /DU Penderita DF yang datang Penderita DU yang datang
Berobat jalan I sekali Berobat jalan I sekali Lama gangguan > 1 bulan Lama gangguan > 1 bulan
Memenuhi kriteria penelitain Memenuhi kriteria penelitain Diambil sebagai sampel Diambil sebagai
sampel PPDGJ III PPDGJ III Depresi (-) Depresi (+) Depresi (-) Depresi (+) Skala HDRS Skala HDRS Hasil
Score / penilaian HSDRS 1 Hasil Score/penilaian HSDRS 1 Terapi konvensional 2 minggu Terapi
konvensional 2 minggu Skala HDRS Skala HDRS Hasil Score / penilaian HSDRS 2 Hasil Score / penilaian
HSDRS 2 Catatan : Terapi konvensional ialah terapi dengan obat antasida dan antagonis resptor H2 (ARH
2) ©2003 Digitized by USU digital library 6 G. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode deskriptif bertujuan membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenal fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki (24) . Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik. H. LOKASI DAN JADWAL
PENELITIAN Penelitian dilakukan dipoliklinik Penyakit Dalam sub. bagian Gastroenterologhepatologi
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dimulai 1 Pebruari sampai dengan 30 Juni 2001. BAB
II TINJAUAN KEPUSTAKAAN Secara historis kata dispepsia berasal dari kata dus (=bad) dan peption (=to
digest). Gabungan kedua kata tersebut ialah dispepsia (= indigestion; berarti gangguan pencernaan)
(1,2,4). Defenisi yang sampai saat ini disepakati para pakar di bidang gastroenterohepatologi ialah
sebagai berikut : Dispepsia merupakan kumpulan keluhan / gejala klinis (sindrom) yang terdiri ; rasa
tidak enak / sakit perut di bagian atas yang disertai dengan keluhan lain, perasaan panas di dada, daerah
jantung (heart burn), regurgitasi, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia,
mual, muntah, dan beberapa ke luhan lain (1,2,,24) . Dispepsia berdasarkan atas ada tidaknya penyebab
dibagi menjadi : dispepsia organik dan dispepsia fungsional (1,2,4,5) . Suatu penyakit tidak hanya
terletak pada sel atau jaringan saja tetapi terletak pada organisme yang hidup dan kehidupan tidak
ditentukan oleh faktor biologis semata tetapi erat sekali hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan
yaitu lingkungan bio-sosio-kulturil dan agama (6,7). Faktor-faktor biologis (somatis), psikis dan
lingkungan masing- masing mempunyai interrelasi dan interaksi yang dinamis dan terus menerus, yang
dalam keadaan normal atau sehat ketiganya dalam keadaan seimbang. Jika ada gangguan dalam satu
segi saja akan mempengaruhi pada segi yang lain demikian pula sebaliknya (6,7). Inilah sebabnya depresi
walaupun sebagai gangguan emosi, terdapat pula gangguan somatik (6,7) . A. DISPEPSIA 1. Definisi
Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang tidak jelas penyebabnya atau dispepsia yang tidak
didapatkan kelainan pada pemeriksaan gastroenterohepatologi konvensional. (1,2,4,5). Ulkus peptikum
adalah merupakan diskontinuitas permukaan dari mukosa gastrointestinal yang terbatas, yang
disebabkan ketidak seimbangan tekanan asam lambung dan pepsin. (23) 2. Epidemiologi Pada dispepsia
fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan, oleh karena 45 tahun ke atas sering ditemukan
kasus keganasan, sedangkan dispepsia fungsional diatas 20 tahun (3,5). Begitu pula wanita lebih sering
dari pada laki-laki (5) . ©2003 Digitized by USU digital library 7 Pada ulkus peptik perbandingan laki-laki
dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan (22). Penyakit ulkus memperlihatkan
interaksi kompleks dari berbagai faktor lingkungan dan genetik yang menghasilkan penyakit ; a. Genetik
dan faktor yang berhubungan dengan penyakit. Insiden akan meningkat pada keadaan : ÿ Sanak
keluarga tingkat pertama dari penderita, peningkatannya 3 kali lebih besar. ÿ Penderita ulkus yang
kembar meningkat 3 kali lebih besar. ÿ Golongan darah O, meningkat 30 % b. Perokok : Merokok
berkaitan dengan peninggian frekuensi ulkus 33-110 % dibandingkan dengan yang tidak merokok. c .
Aspirin : Penggunaan yang kronis meningkatkan insiden ulkus d. Obat anti peradangan non steroid :
Obat -obat seperti indometasin, ibuprofen dan lain-lain, menyebabkan perubahan mekanisme
pertahanan lambung. e. Kopi dan alkohol Kafein yang terkandung dalam kopi merupakan stimulan kuat
dari sekresi asam, seperti susu, bir dan minuman ringan. f. Kortikosteroid : Sifat ulserogenik dari
kortikosteroid secara umum masih kontroversial G. Stress Peran stress dan tipe personal masih
kontroversial, meskipun beberapa penelitian menghubungkan pepsinogen serum yang tinggi. Dasar
patofisiologi dispepsia fungsional adalah sangat kompleks dan belum dapat dipastikan. Beberapa hal
yang dianggap menyebabkan antara lain : a. Dismotilitas lambung : perlambatan dari masa pengosongan
lambung dan gangguan motilitas lain, seperti abnormalitas kontraksi, abnormalitas mioelektrik lambung,
refluks gastroduodenal. (1,2,3,21,22) b. Asam lambung : dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal atau
hyposekresi. (1,2,21) c . Helikobakter pylori : peran helikobakter pylori dalam menimbulkan berbagai
patologis saluran cerna bagian atas sudah banyak diteliti. Akan tetapi dari beberapa penelitian yang
dilakukan, bahwa keberadaan helikobakter pylori pada pasien non dispepsia dengan dispepsia
fungsional tidak berbeda. (2,3) d. Psikis : gangguan psikis, stress, dan faktor lingkungan dapat
menimbulkan dispepsia fungsional. Stress mengubah sekresi asam lambung, motilitas, dan vaskularisasi
saluran pencernaan.(21) Pada beberapa penelitian me nunjukkan bahwa pasien-pasien dispepsia
fungsional lebih cemas atau depresi dibandingkan dengan kontrol. (2,21,22) e. Penggunaan obat -obatan
secara menetap seperti : aspirin, steroid, obat anti inflamasi, makanan tertentu, kopi dan merokok
dikatakan berhubungan dengan dispepsia fungsional. Akan tetapi bukti secara ilmiah masih kurang.
(2,3,21) Patofisiologi ulkus peptik diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL
dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa
lambung, barier mukus lambung, sekresi HCO3 ) (23) A. Diagnosis Dispepsia melalui simtom simtomnya
saaja tidak dapat membedakan antara dispepsia fungsional dan dispepsia organik (3,5,21,22). Diagnosis
dispepsia fungsional adalah diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan
organik atau struktural harus disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang ©2003 Digitized by
USU digital library 8 pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena
dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum. (2,5,22) Diikuti
dengan USG (Ultra Sono Graphy) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran bilier, hepar, pankreas,
dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan anatomis (2,5,22) Pemeriksaan hematologi dan
kimia darah akan dapat mengungkapkan penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan
gangguan saluran bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor (2,22) . B.
DEPRESI Depresi telah lama dikenal, sejak zaman Hippocrates, yang menyebutkannya melancholi
(10,11). Gejala-gejala depresi yang dikemukakan sejak zaman Hippocrates sampai sekarang tidak atau
sedikit sekali perubahan dari gambaran klinisnya (10) . Sering sekali yang menonjol adalah gejala
somatiknya, misalnya sakit kepala. Keluhan somatik lainnya pada penderita depresi dapat
mempengaruhi seluruh tubuh, misalnya pada saluran pencernaan, mulut kering, perut tersa kembung,
dan nyeri ulu hati, perut terasa kejang. (9,10,13,15) 1. Definisi. Depresi adalah suatu perasaan kesedihan
yang psikopatologis. Yang disertai perasaan yang sedih, kehilangan minat dan kegembiraan,
berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata
sesudah bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas (10,12,26). Depresi dapat merupakan suatu
gejala, atau kumpulan gejala (sindroma), dan dapat pula suatu kesatuan penyakit nosologik. (10,12) 2.
Epidemiologi. Depresi adalah satu dari penyakit yang sering dijumpai tidak hanya oleh psikiater, tetapi
juga oleh dokter-dokter umum (11). Diperkirakan prevalensi seumur hidup kira-kira 15 %, dan
kemungkinan wanita sekitar 25 %. (12) 3. Etiologi. Dasar penyebab yang pasti tidak diketahui, banyak
usaha untuk mengetahui penyebab dari gangguan ini (12). Faktor-faktor yang dihubungkan dengan
penyebab dapat dibagi atas : faktor biologi, faktor genetik dan faktor psiko sosial. Dimana ketiga faktor
tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (12). a. Faktor biologi : 1). Faktor
neurotransmitter : Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter
yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. (12,25). a). Norepinefrin : hubungan yang
dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor b-adrenergik dan respon
antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi (12,25).
Bukti-bukti lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik a2 dalam depresi, sejak
reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan.
Presipnatik reseptor adrenergik a2 juga berlokasi di neuron serotonergik dan mengatur jumlah serotin
yang dilepaskan. (11,12,25) b). Serotonin : dengan diketahui banyaknya efek spesifik serotin re uptake
inhibator (SSRI), contoh; fluoxetin dalam pengobatan depresi, menjadikan serotonin neurotransmitter
biogenik amin yang paling sering dihubungkan dengan depresi. (11,12,25) C). Dopamine : walaupun
norepinefrin dan serotonin adalah biogenik amin. Dopamine juga sering berhubungan dengan
patofisiologi depresi. (11,12,25) ©2003 Digitized by USU digital library 9 d). Faktor neurokimia lainnya :
GABA dan neuroaktif peptida (terutama vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan dalam
patofisiologi gangguan mood . (11,25). 2). Faktor neuroendokrin : Hipothalamus adalah pusat regulasi
neuroendokrin dan menerima rangsangan neuronal yang menggunakan neurotransmitter biogenik
amin. Bermacam-macam disregulasi endokrin dijumpai pada pasien gangguan mood. (11,12,25) 3).
Faktor Neuroanatomi : Beberapa peneliti menyatakan hipotesisnya, bahwa gangguan mood melibatkan
patologik dan sistem limbik, ganglia basalis dan hypothalamus. (12) b. Faktor Genetik : Data genetik
menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik. Pada
penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50 %,
sedangkan dizigot 10 – 25 %. (12,14) c. Faktor Psikososial. 1). Peristiwa kehidupan dan stress
lingkungan : suatu pengamatan klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang
penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Satu teori menjelaskan bahwa stress
yang menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan fungsional neurotransmitter dan sistem
pemberi tanda intra neuronal yang akhirnya perubahan tersebut menyebabkan seseorang mempunyai
resiko yang tinggi untuk menderita gangguan mood selanjutnya. (12) 2). Faktor kepribadian Premorbid :
Tidak ada satu kepribadian atau bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi.
Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipetipe
kepribadian seperti oral dependen, obsesi kompulsif, histerik mempunyai risiko yang besar mengalami
depresi dibandingkan dengan lainnya. (12) 3). Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud (1917)
menyatakan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan
pasien depresi diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang.
Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk melepaskan diri terhadap objek yang
hilang. E.Bibring menekankan pada kehilangan harga diri . Bibring mengatakan depresi sebagai suatu
efek yang dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam dirinya. (12) Apabila pasien
depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan
mengakibatkan mereka putus asa. (12) 4). Ketidakberdayaan yang dipelajari : Didalam percobaan,
dimana binatang secara berulang-ulang dihadapkan dengan kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya,
binatang tersebut akhirnya menyerah dan tidak mencoba sama sekali untuk menghindari kejutan
selanjutnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada penderita depresi, kita dapat
menemukan hal yang sama dari keadaan ketidak berdayaan tersebut. (12,14) 5). Teori Kognitif : Beck
menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada depresi (14). Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif
utama pada depresi yang disebut sebagai triad kognitif, yaitu (14) : a). Pandangan negatif terhadap masa
depan. b). Pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh,
pemalas, tidak berharga. c). Pandangan negatif terhadap pengalaman hidup. Meyer berpendapat bahwa
depresi adalah reaksi seseorang terhadap pengalaman hidup ©2003 Digitized by USU digital library 10
yang menyedihkan misalnya, kehilangan orang yang dicintai, kemunduran finansial, kehilangan
pekerjaan, atau penyakit fisik yang serius. Meyer mengatakan pada depresi, harus dicari hubungan
antara pengalaman hidup pasien dengan peristiwa yang menjadi penyebab. (12,14) 4. Gambaran Klinis.
Gejala utama dari depresi adalah mood yang depresi dan kehilangan minat untuk kesenangan. Pasien
pasien mungkin mengatakan bahwa mereka merasa murung (blue), putus asa, dalam kesedihan, dan
merasa tidak berguna. (14) Kira-kira dua pertiga dari pasien pasien depresi mempunyai pikiran bunuh
diri, dan 10 – 15 % melakukannya. Hampir semua pasien pasien depresi (97 %) mengeluh berkurangnya
energi yang menyebabkan kesulitan menyelesaikan tugas sekolah dan pekerjaan, dan penurunan
motivasi untuk melakukan rencana yang baru. (12) Kira kira 80 % pasien depresi mengeluh ganguan
tidur, terutama bangun terlalu dini, dan sering terbangun malam hari. Kebanyakan pasien depresi nafsu
makannya berkurang dan kehilangan berat badan. Pada beberapa pasien, nafsu makan dapat
bertambah, peningkatan berat badan, dan tidur yang bertambah. Keadaan depresi yang atipikal ini
disebut disforia histeroid. (12) Keluhan somatik lainnya dapat menyangkut seluruh sistem organ tubuh.
Pasien pasien depresi dengan keluhan somatik, dikatakan kurang menderita depresi, karena me reka
menutupinya dengan keluhan keluhan somatik tersebut. Pasien yang datang dengan keluhan keluhan
somatik sering dilebih-lebihkan, namun sukar untuk digambarkan sebagai ssuatu penyakit tertentu. (10)
Gangguan psikomotor, dapat dijumpai berupa kelambatan dalam pembicaraan, daya pikir dan
konsentrasi yang lambat. 5. Diagnosis Kriteria diagnosis episode depresi berdasarkan Pedoman
Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III) tahun 1993 (F 32), dapat dilihat pada
lampiran 2. (26) C. HUBUNGAN DEPRESI PADA DISPEPSIA Morrel (1991) menyimpulkan keluhan
dispepsia, merupakan keluhan yang berarti dari pasien-pasien dengan adanya gangguan psikiatri,
terutama anxietas, depresi atau ciri kepribadian. (28) Walaupun patofisiologi timbulnya keluhan fisik
yang berhubungan dengan gangguan psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan, namun sudah
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. (28) Talley dan
kawan-kawan melakukan “case control study” terhadap pasien dispepsia fungsional dan dispepsia
organik, menyimpulkan dijumpainya pasien pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang lebih
neurotik, depresi dari pada kelompok kontrolnya. Gangguan psikis atau konflik emosi yang menimbulkan
gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan perubahan fisiologis dan biokemis seseorang.
(12) Perubahan fisiologis ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada sistem saraf otonom
vegetatif, sistem endokrin dan sistem imun. (6) 1. Interaksi otak dan saluran pencernaan Dengan
memperhatikan secara keseluruhan dan lebih menekankan gabungan pengertian kombinasi dari
motorik, sensorik dan aktifitas axis sistem saraf pusat – otak – saluran pencernaan dalam menimbulkan
penyakit. Faktor – faktor dari luar / “extrinsic” (contoh penglihatan, pengecapan) atau enteroceptive
(emosi, pikiran) ©2003 Digitized by USU digital library 11 memiliki informasi dengan hubungan “neural”
dari pusat yang lebih tinggi, dalam mempengaruhi sensasi gastrointestinal, pergerakan, sekresi dan
peradangan. Sebaliknya efek viscerotropik ( contoh noieception) mempengaruhi balik persepsi rasa sakit
pusat, mood, dan tingkah laku. (28) Gangguan yang timbul sebagai akibat pengaruh luar (infeksi,
intoksikasi, trauma, konflik psikis) akan mempengaruhi sistem saraf vegetatif otonomik dalam
mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap perubahan perubahan yang disebabkan
oleh gangguan tersebut. (29) Anatomi sistem saraf otonomi vegetative terdiri dari : sentra vegetatif di
cortex ® Mesensefalon dan diensefalon ® inti vegetative di Medula oblongata ® Medula spinalis ®
ganglion ® simpatis dan parasimpatis ® organ ferifer di seluruh badan. (31) Cortex Cerebri Farmatio
Retikularis Limbik Extrinsic Hipofise / Hypothalamus emosi pikiran Simpatik Pituitary S.S. Otonom
Parasimpatik Adrenal Organ perifer Organ (30) Perifer Organ viscera menerima dua macam suplai
otonom. Pada sebahagian kasus, dimana terdapat dua macam suplai saraf, kerja kedua bagian
(simpatetik dan parasimpatetik) mungkin tidak bersifat antagonist. Klasifikasi neuron-neuron
postganglionik otonom sebagai adrenergik atau cholinergik lebih berguna secara klinik dan fungsional
daripada klasifikasi sebagai simpatetik atau parasimpatetik. Kebanyakan (namun tidak semuanya)
elemen postganglionik simpatetik ialah ©2003 Digitized by USU digital library 12 adrenergik.
Kebanyakan (tetapi mungkin tidak seluruhnya) elemen postganglionik parasimpatetik merupakan
cholinergik. (31) Acetylcholin dan norepinephrin merupakan agen-agen transmitter utama yang terlibat
di dalam transmisi pada hubungan sinaptik antara neuron neuron pre dan postganglionik serta antara
neuron neuron postganglionik dan efektor-efektor otonom. (31) Norepinephrin (levarterenol)
merupakan transmitter kimiawi pada sebagian besar ujung postganglionik simpatetik. Kendati banyak
viscera mengandung norepinephrin dan epinephrin, kandungan epinephrin dapat dihubungkan dengan
jumlah ujung saraf simpetetik. (31) Schildkraud (1965) pertama sekali menghipotese hubungan
katekolamine dengan gangguan mood. Pada sebagian besar kasus depresi berhubungan dengan
penurunan katekolamine, terutama norepinephrin. Sesuai dengan hipotesis ini dilakukan pengamatan
pada 3 kelompok obat ; reserpin, trisiklik dan monoamine inhibitors. Reserpin selalu mengakibatkan
depresi, jika digunakan pada pasien hipertensi. Reserpin menyebabkan penurunan katekolamine.
Trisiklik anti depresan dan “mono amine oxidase inhibitor“ digunakan dalam pengobatan depresi, kedua
obat ini meningkatkan aktifitas katekolamine. Pada hipotesa yang kedua yang memperhatikan biokimia
depresi dengan hipotesa indolamine ; dimana penurunan aktifitas indolamine terutama serotonin dapat
menyebabkan depresi. (11) Sama halnya dengan hipotesa katekolamine, pada hipotesa indolamine
dibuktikan juga reserpine menurunkan serotonin otak. (11) Mekanisme kolinergik juga terlibat pada
gangguan mood. Berdasarkan hipotesa kolinergik, peningkatan acethylcholin otak berhubungan dengan
depresi. Hal ini dilihat dari kerja trisiklik anti depressan terhadap efeknya sebagai anti cholinergik. (11)
Hipersimpatotonik sistem gastrointestinal akan menimbulkan pengurangan peristaltik yang
menyebabkan obstipasi dan berkurangnya sekresi asam lambung/hipoasiditas. (31) Pada pasien depresi
terjadi peningkatan acetylcholine mengakibatkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan
menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas
lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan ulkus peptik. (11,30,31) Hal ini
menolong kita untuk mengetahui peran sistem saraf pusat dalam mengatur nyeri visceral dan
pergerakannya. Stress yang terus menerus mungkin memudahkan CNS terhadap pandangan melalui
gangguan “ Hipothalamic -pituitariadrenal-cytokine stress pathway “ (29) . Sistem saraf otonom
vegetative biasanya berfungsi untuk penyesuaian terhadap perubahan perubahan dalam jangka waktu
pendek, sedangkan dalam jangka waktu panjang yang berperan sistem hipofisis - kelenjar endokrin yang
mensekresi hormon hormon. (30) Peningkatan peradangan pada mukosa enterik atau plexus neural
menimbulkan simtom dispepsia, hal ini dapat terjadi oleh karena peningkatan sensitisasi periferal dan
aktifitas hipermotilitas oleh inflamasi cytokinine. (29) Penelitian ini dapat membantu untuk mengerti
peran CNS dalam mengatur nyeri visceral dan pergerakan saluran pencernaan. Juga sebagai penilaian
dalam penelitian respon pengobatan psikologi dan psikofarmakologi dalam penelitian gangguan
gangguan psikiatri. (29) Hal ini dilaporkan bahwa pasien depresi dengan aktifitas gyrus anterior pada
imaging PET mempunyai respon terhadap antidepresan. (29) 2. Konseptualisasi Biopsikososial dari
patogenesis dan gambaran klinis dari gangguan fungsi saluran pencernaan. Konsep ini menjelaskan
keterikatan psikososial dan faktor psikologi yang merupakan sifat mekanisme dasar dari gangguan fungsi
gastrointestinal. (29) ©2003 Digitized by USU digital library 13 Kehidupan awal, yang dipengaruhi
genetik dan lingkungan (contoh : perlakuan “toilet training” terhadap si anak, penyakit, riwayat
kehilangan dan penyalah gunaan / “abuse” atau pemaparan terhadap infeksi) akan mempengaruhi
perkembangan psikososial (yakni kerentanan terhadap stress kehidupan, status psikologi, kemampuan
mengatasi masalah / “coping skill”, perkembangan dalam dukungan sosial) yang akan mempengaruhi
perkembangan disfungsi saluran pencernaan (gangguan pergerakan dan hipersensitifitas visceral). (29)
Dengan perkataan lain interaksi faktor psikososial akan mengubah fisiologi saluran pencernaan (melalui
axis otak dan saluran pencernaan (“barain-gut axis”). (29) 3. Hypersensitifitas visceral. Nyeri abnomen
pada penelitian akhir-akhir ini dijelaskan berhubungan dengan sensasi visceral yang abnormal (=
hypersensitifitas visceral). (29) Pasien mungkin mempunyai ambang nyeri yang rendah, yang dibuktikan
dengan percobaan peregangan balon pada saluran pencernaan (hyperalgesia visceral) (29) . Peningkatan
gangguan somatik yang menyebab kan nyeri visceral pada gangguan fungsional berhubungan dengan : a.
Perubahan sensitifitas pada viscus b. Peningkatan perangsangan spinal cord dorsal neuron. c .
Perubahan modulasi sensasi sentra Namun masih belum jelas hubungan hipersensitifitas visceral dengan
gangguan fungsional gastrointestinal (29) 4. Nyeri abnormal. Nyeri abdominal sering dijumpai
bergabung dengan gangguan pencernaan. Pasien tersebut sering melaporkan sedang menghadapi
ketegangan-ketegangan dalam kehidupan terlebih dahulu sebelum timbul simt om-simtomnya, dan
sering mendapatkan prevalensi yang tinggi dan berulang-ulangnya penyakit psikiatri terutama depresi
dan cemas (28,29,32). Kejadian-kejadian ketegangan dalam kehidupan dan simptom psikiatrik, terutama
depresi, akan mempengaruhi pasienpasien nyeri abdomen untuk mendapatkan pengobatan (28,32) .
Depresi akan mengubah pergerakan usus yang akan menimbulkan perasaan nyeri yang berlebihan, lagi
pula depresi memperkuat perasaan nyeri dan meningkatkan usaha untuk mencari pengobatan
mengurangi rasa nyeri (32) . Pada pertengahan abad 20, penelitian oleh Stewart Wolf dan Harold Wolf,
Sidey Margolin dan Gerge engel yang meneliti mukosa lambung, dengan memperhatikan pada fungsi
lambung terhadap emosional dan prilaku dalam periode yang lama. Dengan mudah dijumpai penurunan
sekresi lambung dan motilitas (pergerakan) lambung mukosa menjadi pucat yang berhubungan dengan
rasa takut, cemas serta depresi. (37) D. PENATALAKSANAAN. 1. Penatalaksanaan Secara Umum Secara
umum, aspek yang terpenting dalam pengobatan adalah hubungan yang baik antara dokter dan pasien
(“patient - physician - relationship). (3). Simtomsimtom cendrung menjadi kronis dan ditandai dengan
periode yang berulang-ulang dan remisi. (3) Dengan menenangkan pasien (“re assurance”) dan
memberikan penjelasan adalah sangat penting (3), dimana patogenesis dispepsia fungsional maupun
dispepsia organik harus diterangkan pada pasien (3,21) . ©2003 Digitized by USU digital library 14 2.
Merubah Kebiasaan Hidup Diet dan obat -obatan harus ditinjau untuk faktor-faktor yang akan
menimbulkan kemb ali simtom dispepsia. (3) 3. Obat-obatan Obat-obatan yang sering dipakai antara lain
: a. Antasida : Golongan ini banyak jenisnya dan mudah didapat, pemakaian obat ini cendrung ke arah
simptomatik. Pemakaian obat ini jangan terus menerus dan harus diperhatikan efek sampingnya serta
penyakit lain yang diderita oleh pasien. (3-5,21,22) b. Anti Kolinergik : Pemakaian obat ini harus
diperhatikan sebab kerja obat ini tidak begitu selektif. (4,22) c. Antagonis reseptor H2 : Golongan obat
ini antara lain : simetidin, ranitidine; famotidin, roksatidin, nizatidin, dan lain-lain. Pemakaiannya lebih
banyak ke arah kausal disamping bersifat simtomatik. Sebaiknya diberikan pada organik dan ulkus. (3-
5,22) d. Penghambat pompa asam : Obat ini sangat bermanfaat pada kasus kelainan saluran cerna
bagian atas yang berhubungan dengan asam lambung. Dengan berkembangnya penemuan etiologi ulkus
peptikum khususnya ulkus duodeni yaitu didapatkan helikobakter pylori, penggunaan obat penghambat
pompa ini dengan kombinasi antibiotik dan metronidazol memberikan hasil yang cukup memuaskan.
(4,22) e. Prokinetik : Golongan obat ini sangat baik dalam mengobati pasien dispepsia yang disertai
disebabkan gangguan motilitas. Jenis obat ini antara lain metoklopamid, dompreridon, dan cisapride.
( 4,21,22) f. Golongan lain : Yaitu obat-obat seperti sukraflat, bismuth subsitrat. Golongan ini
mempunyai efek melenyapkan helikobakter pylori . (4,5,21,22) g. Psikofarmakoterapi : Terapi ini
khususnya pada pasien dengan sindrom dispepsia fungsional, memberi hasil yang cukup memuaskan
terutama untuk mengurangi atau menghilangkan gejala / keluhan. Pada kasus ini terapi dengan anti
depresan atau anti anxietas dapat membantu mengurangi gejala klinis . (4,21) Preparat dan dosis
antidepresan : a. Siklik antidepresan : Antidepresan trisiklik yang pertama ditemukan adalah impramine
dan memiliki sedikit kegunaan sejak tahun 1950. Trisiklik seperti : amitriptiline, imipramine,
trimipramine dan dispramine, dengan dosis 150 –300 mg/hari (8,35). Amoxapine dan trazodone dosis
efektif secara klinis : 150 – 600 mg/hari (32). Efek amping yang sering dijumpai : sedasi, mulut kering,
konstipasi dan hipotensi postural. (8,35) b. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs) MAOI memiliki
kekurangan, dimana pasien harus melakukan diet bebas tiramine, untuk menghindari krisis hipertensi,
yang disebut reaksi keju (“chese – rection”). (8,35) Moclobemide (Reversible MAOI =RIMA) dapat
menghindari beberapa masalah yang dimiliki MAOI yang lainnya (8,35) . C. Selective Serotonin re
-uptake inhibitors (SSRI) Yang termasuk SSRI adalah : fluoxetin, fluvoxamine, sentraline, citalopram dan
paraxetine. (13,34) Dosis fluoxetin 20-80 mg/hari, sentraline 50-200mg/hari. (35) ©2003 Digitized by
USU digital library 15 4. Psikoterapi Tiga jenis psikoterapi jangka pendek : terapi kognitif, terapi
interpersonal, dan terapi perilaku yang telah diteliti manfaatnya dalam pengobatan gangguan depresi
mayor. (12) Harold G.K, dan kawan-kawan dalam penelitiannya memperoleh kesimpulan, bahwa
psikoterapi psikoreligius dapat mempersingkat masa remisi pada pasien pasien depres i dengan
penyakit-penyakit medis yang dirawat di rumah sakit (36) . E. LIAISON PSIKIATRI Liaison psikiatri
merupakan bidang keahlian khusus, yang bekerja sebagai bagian dari team multidisipliner di rumah
sakit, termasuk staff perawat, pekerja - pekerja sosial, terapis dalam pekerjaan, dan psikolog. (37)
Walaupun rumah sakit umum tertuju pada penyakit-penyakit fisik, namun hampir semua penyakit pada
umumnya mempunyai aspek psikologi dan sosial. Diatas 40 % pasien memiliki kecemasan atau gangguan
depresi, yang mengganggu kualitas hidup, memperlambat penyembuhan, dan peningkatan perubahan
problema perilaku sakit. (37,38) Konsultasi Psikiatri adalah mengajukan opini diagnosis dan saran
penanganan sehubungan dengan keadaan mental pasien dan tingkah lakunya untuk memenuhi
permintaan dari profesi kesehatan lain. (37,38) Liaison merujuk kepada membantu perkembangan suatu
hubungan antar kelompok untuk tujuan kerjasama yang efektif. Untuk psikiatri, konsultasi liaison ini
berarti menjadi media antara pasien dengan team klinisi, antara kesehatan jiwa dengan psofesi
kesehatan lain, menjelaskan sikap dari pasien, mempersiapkan tenaga kesehatan dalam usaha menjaga
komunikasi dan kerjasama untuk menghilangkan konflik. (37) Alat bantu yang dimiliki konsultasi Liaison
untuk membuat diagnosis adalah wawancara dan observasi klinik secara serial. (37,38) Tujuan diagnosis
adalah mengenal gangguan mental dan respon psikologis terhadap penyakit fisik, mengenal gambaran
kepribadian pasien dan mengetahui tehnik mengatasi masalah yang khas dari pasien dalam membuat
rekomendasi intervensi pengobatan yang paling sesuai dengan keinginan pasien. (37,38) Prinsip
konsultasi Liaison psikiatri dalam pengobatan medical adalah analisa secara lengkap dari respon pasien
terhadap penyakit psikiatri jika ada. Tantangan bagi dokter dan Liaison psikiatri adalah menemukan jalan
yang lebih efektif untuk menyingkirkan penyebab organik dengan sedikit pemeriksaan dan
penanganannya. (37) Dengan perkataan lain, keuntungan liaison psikiatri dalam penganganan pasien-
pasien secara menyeluruh baik fisik dan psikologi adalah : 1. memerlukan waktu yang sedikit untuk
pemeriksaan 2. memperpendek lamanya pasien dirawat 3. memperbaiki kualitas hidup 4. mengurangi
ketegangan, termasuk anxietas dan depresi 5. mengurangi hal-hal yang merugikan diri sendiri. (37) F.
KESIMPULAN Dispepsia merupakan perasaan tidak enak diperut bagian atas yang bersifat menetap atau
berulang, dapat berhubungan atau tanpa berhubungan dengan makanan, dan bersifat kronik bila
berlangsung lebih dari tiga bulan. Dispepsia merupakan kumpulan gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang disertai keluhan lain, perasaan panas didada daerah jantung
(heart burn), regurgitasi, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual,
muntah dan beberapa keluhan lainnya. ©2003 Digitized by USU digital library 16 Dispepsia berdasarkan
ada tidaknya penyebab, dibagi menjadi dispepsia organik bila dijumpai kelainan organik, baik dari
saluran cerna itu sendiri maupun dari luar saluran cerna, dan dispepsia fungsional bila penyebabnya
tidak diketahui dan tidak dijumpai kelainan organik, pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional.
Dispepsia ini merupakan kondisi yang paling sering dijumpai baik oleh dokter umum maupun
gastroenterohepatologist. Dan dispepsia fungsional diperkirakan 6 – 10 kali lebih sering dari tukak
peptik. Suatu pengamatan klinik, menyatakan peristiwa ataupun kejadian-kejadian dalam kehidupan
yang penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Pasien-pasien gangguan mood
(depresi) pada awalnya dapat muncul dengan keluhan somatik yang mempengaruhi seluruh organ
tubuh. Oleh karenanya kita harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan, antara lain : 1. Apakah
keluhan-keluhan itu murni suatu proses psikis 2. Atau suatu kelainan organik yang sedikit dan
bertumpang tindih dengan psikis 3. Atau jelas ada suatu kelainan organik dan kelainan psikis Nyerin
abdomen fungsional yang diteliti oleh Stewart Wolf dan kawan-kawan menjumpai adanya penurunan
sekresi asam lambung, gangguan pergerakannya (dismotility) dan mukosa yang pucat yang berhubungan
dengan rasa sakit dan mood yang depresi. Seperti diketahui manusi bereaksi antara badan, jiwa dan
lingkungan. Setiap gangguan / tekanan jiwa seseorang akan menimbulkan reaksi pada badan dan
lingkungan orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, apabila gangguan pada lingkungan akan
menimbulkan reaksi pada badan atau jiwa orang tersebut. Inilah sebabnya keadaan depresi walaupun
merupakan gangguan emosi akan terdapat pula gangguan somatik. Penatalaksanaan pasien-pasien
depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik meliputi penatalaksanaan secara umum dengan
memperhatikan hubungan pasien dan dokter, merubah kebiasaan hidup seperti diet, kopi, obat -
obatan, pemberian farmakoterapi baik untuk dispepsia maupun psikofarmakoterapi anti depresan
terutama pasien-pasien dispepsia fungsional serta psikoterapi antara lain; terapi kognitif, interpersonal,
perilaku dan psikoreligius psikoterapi. Peranan liaison psikiatri di rumah sakit sangat diperlukan dalam
penanganan pasien-pasien secara menyeluruh baik fisik serta psikis, sehingga dapat memperpendek
lamanya pasien dirawat, lebih efektif dan mengurangi waktu bermacam- macam pemeriksaan yang akan
merugikan diri sendiri, mengurangi ketegangan, termasuk anxietas dan depresi, sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup kembali. BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif untuk melihat perbedaan depresi
pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik dalam hal ini ulkus. Selanjutnya, penelitian ini
juga ingin mengetahui seberapa besar derajat keparahan depresi yang terjadi. Cara pelaksanaannya
yakni : Subjek yang diambil secara random dan dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
dispepsia fungsional dan dispepsia organik. ©2003 Digitized by USU digital library 17 Pasien dispepsia
fungsional dan dispepsia organik tersebut ditegakkan depresinya dengan menggunakan PPDGJ III, dan
digambarkan perbedaan depresinya masingmasing. 1. Pemilihan Lokasi. Tempat penelitian adalah
poliklinik penyakit dalam sub bagian gastroenterohepatologi R.S.U.P.H. Adam Malik Medan. 2.
Pengambilan Sampel. 2.1. Populasi : Semua pasien dispepsia yang berobat jalan di poliklinik penyakit
dalam sub bagian gastroenterohepatologi R.S.U.P.H. Adam Malik Medan. 2.2. Sampel : Pengambilan
sampel dilakukan dengan cara random, dimana pasien yang telah diagnosa menderita dispepsia,
dilakukan pemeriksaan endoscopy oleh gastroenterohepatologist, ditetapkan dispepsia fungsional dan
dispepsia organik merupakan sampel dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, yang diteliti adalah
setiap sampel penderita dispepsia, yang datang berobat jalan ke poliklinik penyakit dalam sub bagian
gastroenterohepatologi setiap hari selasa dan jum’at antara pukul 09.00 sampai 12.00 WIB. Kelompok
penderita dispepsia fungsional dan penderita dispepsia organik (ulkus) yang memenuhi persyaratan
diambil sejak 1 Pebruari sampai 30 Juni 2001. 3. Alat ukur yang digunakan. Semua pasien yang ikut
dalam penelitian yang telah didiagnosis menderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik (ulkus)
yang memenuhi persyaratan, dilakukan wawancara dengan mengunakan status psikiatri, untuk
mendapatkan data demografi pasien dan mengetahui ada tidaknya gangguan jiwa sebelumnya. Kriteria
diagnosis berdasarkan PPDGJ III, digunakan untuk mengetahui depresinya. Dan untuk tingkat keparahan
depresi digunakan Hamilton Depression Rating Scale = HDRS. 4. Penjelasan alat ukur. 4.1. Status psikiatri
: telah lama dipakai di bagian psikiatri FK USU / RSUP H.Adam Malik Medan dan keabsahan nya tidak
diragukan lagi. 4.2. PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III)
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI dan telah diakui dan sering digunakan di Indonesia. 4.3.
Skala Hamilton untuk depresi (Hamilton Depresion Rating Scale) untuk mengukur derajat depresi telah
diadaptasi di Indonesia dan telah diuji validasinya. 5. Pengumpulan data. 5.1. Persiapan. Menyediakan
Status dan PPDGJ III serta skala pengukuran derajat depresi menurut Hamilton (HDRS). 5.2. Pelaksanaan.
Pelaksanaan dimulai untuk setiap penderita yang datang berobat ke poliklinik penyakit dalam sub bagian
gastroenterohepatologi oleh dokter gastroenterohepatologist yang memenuhi persyaratan diambil dan
yang tidak memenuhi persyaratan tidak diambil. Penelitian dilakukan dengan wawancara dan penelitian
dilakukan antara pukul 09.00 sampai 12.00 WIB. 6. Variabel Penelitian. 6.1. Variabel tergantung : depresi
6.2. Variabel bebas : Dispepsia fungsional dan dispepsia organik. 7. Pengolahan data. ©2003 Digitized by
USU digital library 18 7.1. Data dasar yang didapat dalam formulir tiap penderita dikelompokkan dan
ditabulasi kedalam tabel-tabel menurut jenisnya. 7.2. Dari sampel yang ada yakni penderita dispepsia
fungsional dan dispepsia organik ditegakkan depresinya berdasarkan PPDGJ III, dan dihitung tingkatan
depresinya dengan menggunakan HDRS, dan dilakukan perhitungan perbedaan depresi pada pasien
dispepsia fungsional dan dispepsia organik dengan menggunakan uji statistik Chi-square. Hipotesa nul
yaitu tidak ada perbedaan depresi pada kelompok penderit a dispepsia fungsional dan dispepsia organik
(ulkus). Hipotesa alternatif yaitu ada perbedaan depresi pada kelompok penderita dispepsia fungsional
dan kelompok dispepsia organik (ulkus). 7.3. Pada setiap penderita dispepsia fungsional dan dispepsia
organik yang depresi diberikan pengobatan yakni pemberian antasida dan antagonis reseptor H2 selama
2 minggu. 7.4. Pasien depresi yang diberikan pengobatan selama dua minggu, dihitung kembali HDRS
nya. 7.5. Analisa Data. a. Untuk melihat perbedaan depresi pada pende rita dispepsia digunakan uji chi-
square dengan rumus (40) N (ad – cb)2 X 2 = (a+b) (c+d)(a+c)(b+d) b. Pada uji chi-square jika didapat sel
dalam tabel ada nilai yang lebih kecil dari 5 harus digunakan “Yates correction” (40) {[(ad-cb)-N/2}]2 N X
2 = (a+b) (c+d)(a+c)(b+d) BAB IV HASIL PENELITAIN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Data-data
dari hasil penelitian yang didapat ini, kemudian dideskripsikan. Dan beberapa dari data-data itu
dikumpulkan menurut jenisnya yang kemudian ditabulasikan menurut karakteristiknya dan disesuaikan
dengan batasan masalah yang telah dikemukakan. Berikut ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian.
Kelompok penderita dispepsia fungsional yang diteliti selama 1 Februari sampai 30 Juni 2001, yang
memenuhi persyaratan didalam penelitian sebanyak 22 orang, terdiri dari laki-laki 9 orang dan
perempuan 13 orang. Pada kelompok penderita dispepsia organik (ulkus) 22 orang terdiri dari laki-laki
15 orang dan perempuan 7 orang. ©2003 Digitized by USU digital library 19 Tabel 1. Distribusi jenis
kelamin pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (ulkus). Jenis Dispepsia
Fungsional Dispepsia Organik Kelamin N % N % Laki-laki 9 40.9 15 68,2 Perempuan 13 59,1 7 31,8 Total
22 100 22 100 Pada tabel 1, distribusi jenis kelamin penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik
(ulkus). Didapatkan penderita dispepsia fungsional laki-laki sebanyak : 9 orang (40,9 %), wanita sebanyak
: 13 orang (59,1 %). Sedangkan penderita dispepsia organik (ulkus), laki-laki sebanyak 15 orang (68,2%),
perempuan sebanyak 7 orang (31,8%). Tabel 2. Karakteristik umur pada kelompok dispepsia fungsional
dan kelompok dispepsia organik (ulkus). NO Umur Dispepsia Fungsional Dispepsia Organik (tahun) N % N
% 1 -25 2 9,2 1 4,1 2 26 – 35 11 50,0 8 36,4 3 36 – 45 9 40,9 8 36,4 4 m 46 - - 5 22,7 Total 22 100 22 100
Pada tabel 2 diatas dapat dilihat pada kelompok dispepsia fiungsional pada umur 25 tahun 2 orang (9,1
%), 26 – 35 tahun 11 orang (50 %), 36 – 45 tahun 9 orang (40,9 %) diatas 46 tahun tidak dujumpai. Pada
kelompok dispepsia organik, pada umur 25 tahun 1 orang (4,1 %), 26 – 35 tahun 8 orang (36,4 %), 36 –
45 tahun 8 orang (36,4 %), diatas 45 tahun 5 orang (22,7 %). Tebel 3. Karakteristik Status Perkawinan
pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (ulkus) NO Dispepsia Fungsional
Dispepsia Organik Status N % N % 1 Belum Kawin 1 4,5 2 9,1 2 Kawin 21 95,5 20 90,9 Total 22 100 22 100
Pada tabel 3, karakteristik status perkawinan pada kelompok dispepsia fungsional, penderita yang belum
kawin 1 orang (4,5 %) yang kawin 21 orang (95,5 %). Pada kelompok dispepsia organik, penderita belum
kawin 2 orang (9,1 %) yang kawin 20 orang (90,9 %). ©2003 Digitized by USU digital library 20 Tabel 4.
Karakteristik distribusi agama pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik
(Ulkus) NO Dispepsia Fungsional Dispepsia Organik Agama N % N % 1 Islam 10 45,5 3 13,6 2 Kristen 12
54,5 18 81,8 3 Budha 0 0 1 4,5 Total 22 100 22 100 Pada tabel 4 dapat dilihat karakteristik distribusi
agama. Pada kelompok dispepsia fungsional Islam 10 orang (45,5 %) dan Kristen 12 orang (54,5 %). Pada
kelompok dispepsia organik, Islam 3 orang (13,6 %), Kristen 18 orang (81,8 %) dan Budha 1 orang (4,5
%). Tabel 5. Karakteristik distribusi suku bangsa pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok
dispepsia organik (Ulkus) NO Dispepsia Fungsional Dispepsia Organik Suku N % N % 1 Batak 10 45,5 16
72,7 2 Karo 6 27,3 3 13,6 3 Nias - - 1 4,5 4 Jawa 4 18,2 1 4,5 5 Mandailing 1 4,5 - - 6 Melayu 1 4,5 - - 7
Cina - - 1 4,5 Total 22 100 22 100 Pada tabel 5, dapat dilihat karakteristik distribusi suku bangsa pada
kelompok dispepsia fungsional suku Batak 10 orang (45.5 %) dan suku Karo 6 orang (27,3 %) suku Jawa 4
orang (18,2 %) suku Mandailing 1 orang (4,5 %) dan Melayu 1 orang (4,5 %). Pada kelompok dispepsia
organik, suku Batak 16 orang (72,7 %) dan suku Karo 3 orang ( 13,6 %) suku Nias 1 orang (4,5 %) suku
Jawa 1 orang (4,5 %) dan Cina 1 orang (4,5 %). ©2003 Digitized by USU digital library 21 Tabel 6.
Karakteristik distrib usi jenis pekerjaan pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia
organik (Ulkus) NO Dispepsia Fungsional Dispepsia Organik Pekerjaan N % N % 1 Ibu rumah tangga 9
40,9 4 18,2 2 PNS 6 27,3 10 45,5 3 Wiraswasta 6 27,3 7 31,8, 4 Bertani - - 1 4,5 5 Mahasiswa 1 4,5 - -
Total 22 100 22 100 Pada tabel 6, dapat dilihat karakteristik distribusi jenis pekerjaan pada kelompok
dispepsia fungsional, ibu rumah tangga 9 orang (40,9 %) dan PNS 6 orang (27,3 %), Wiraswasta 6 orang
(27,3 %), mahasiswa 1 orang (4,5 %). Pada kelompok dispepsia organik, ibu rumah tangga 4 orang (18,2
%) dan PNS 10 orang (45,5 %), Wiraswastawa 7 orang (31,8 %), bertani 1 orang (4,5 %). Tabel 7.
Karakteristik tingkat pendidikan pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik
(Ulkus) NO Dispepsia Fungsional Dispepsia Organik Pendidikan N % N % 1 SD 2 9,1 2 9,1 2 SLTP 6 27,3 5
22,7 3 SLTA 5 27,7 10 45,5 4 Akademi 1 4,5 - - 5 Sarjana 8 36,4 5 22,7 Total 22 100 22 100 Pada tabel 7,
dapat karakteristik distribusi tingkat pendidikan pada kelompok dispepsia fungsional, SD 2 orang (9,1 %),
SLTP 6 orang (27,3 %), SLTA 6 orang (27.7 %), akademi 1 orang (4,5 %) dan sarjana 8 orang (36,4 %).
Pada kelompok dispepsia organik SD 2 orang (9,1 %), SLTP 5 orang (22,7 %), SLTA 10 orang (45.5 %), dan
sarjana 5 orang (22,7 %). ©2003 Digitized by USU digital library 22 Tabel 8. Karakteristik depresi pada
kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (Ulkus) sebelum dan sesudah
pengobatan. Dispepsia Fungsional Dispeps ia Organik NO Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Depesi N
% N % N % N % 1 Depresi 14 63,6 14 63,6 8 36,4 1 4,6 2 Tidak 8 36,4 8 36,4 14 63,6 21 95,4 Total 22 100
22 100 22 100 22 100 Pada tabel 8, dapat dilihat karakteristik distribusi penderita depresi dispepsia
fungsional sebelum dan sesudah pengobatan sama 14 orang (63,6 %), dan yang tidak depresi sebelum
dan sesudah pengobatan sama 8 orang (36,4 %). Pada kelompok dispepsia organik yang mengalami
depresi sebelum pengobatan 8 orang (36,4%). Dan sesudah pengobatan 1 orang (4,6 %), dan yang tidak
depresi sebelum pengobatan 14 orang (63,6 %), dan sesudah pengobatan 21 orang (95,4 %). Tabel 9.
Perubahan depresi pada pada penderita dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia organik (Ulkus)
sebelum dan sesudah pengobatan. Tingkatan Depresi NO Sesudah Pengobatan Depesi Sebelum
Pengobatan Tidak Ringan Sedang Berat 5 - 5 - - 4 - 2 2 - 1 Dispepsia Fungsional Ringan Sedang Berat 5 - -
3 2 3 3 - - - 4 4 - - - 2 Dispepsia Organik Ringan Sedang Berat 1 - - 1 - Pada tabel 9, dapat dilihat
perubahan depresi sebelum dan sesudah pengobatan pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik.
Pada dispepsia fungsional, perubahan depresi sebelum dan sesudah pengobatan adalah sebagai
berikut : 1. Depresi berat 5 orang, menjadi sedang 3 orang dan tetap berat 2 orang. 2. Depresi sedang 4
orang, menjadi ringan 2 orang dan tetap sedang 2 orang. 3. Depresi ringan 5 orang, tetap ringan 5 orang.
Pada dispepsia organik adalah : 1. Depresi berat 1 orang menjadi sedang. 2. Depresi sedang 4 orang
menjadi tidak depresi. ©2003 Digitized by USU digital library 23 3. Depresi ringan 3 orang menjadi tidak
depresi. Tabel 10. Karakteristik depresi pada kelompok dispepsia fungsional dan kelompok dispepsia
organik (Ulkus) . No Depresi Dispepsis fungsional Dispepsia organik Total 1. Depresi 14 8 22 2. Tidak
Depresi 8 14 22 Total 22 22 44 Keterangan : df = 1 X 2 tabel = 3,841 Tingkat kemaknaan p [ 0,05 X 2
hitungan = 0,025 X 2 tabel n X2 Hitungan Maka H0 diterima; tidak ada perubahan depresi pada dispepsia
fungsional dan dispepsia organik. Tabel 11. Perbedaan pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik
setelah pengobatan No Depresi Dispepsis fungsional Dispepsia organik Total 1. Depresi 14 1 15 2. Tidak
Depresi 8 21 29 Total 22 22 44 Keterangan df = 1 X 2 tabel = 3,841 Tingkat Kemaknaan p [ 0,05 Dengan
uji statistik “Yates correction”. Dijumpai X2 Hitungan = 14,56 Berarti X2 tabel \ X2 Hitungan Ho ditolak,
sehingga Ha diterima. Bilamana Ha diterima, maka dijumpai adanya perbedaan bermakna depresi pada
dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan, yaitu terutama pada dispepsia organik.
B. PEMBAHASAN Tujuan penelitian ini seperti disebutkan dalam bab pendahuluan adalah untuk melihat
jumlah pasien depresi pada penderita dispepsia fungsional dan organik (ulkus), dan melihat perbedaan
depresi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Juga melihat pengaruh pengobatan
konvensional pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik,dimana pada dispepsia
fungsional sedikit atau tidak mempengaruhi tingkat depresi, sehingga pada penderita dispepsia
fungsional memerlukan pendekatan psikopatologinya. Pada tabel 1 dapat dilihat dari 22 orang pasien
dispepsia fungsional yang ikut dalam penelitian ini, ternyata sebahagian besar adalah perempuan 13
orang (59,1 ©2003 Digitized by USU digital library 24 %) dan laki-laki 9 orang (40,9 %). Hal ini sesuai
dengan literatur, perempuan lebih sering menderita dispepsia fungsional dari pada laki-laki. (5) Dan dari
22 orang dispepsia organik (ulkus) didapati 15 orang (68,2 %)laki-laki dan 7 orang (31,8 %) perempuan.
Dan berdasarkan literatur dinyatakan perbandingan laki-laki dan perempuan pada ulkus 2 : 1. (22) Pada
tabel 2 dapat dilihat bahwa pada pasien dispepsia fungsional, kelompok umur 26 – 35 tahun lebih
banyak (50,0 %). Dan pada pasien dispepsia organik (ulkus) kelompok umur 26 – 35 dan 36 – 45 tahun
rata rata sebanyak 36,4 %. Pada tabel 3 dapat dilihat pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia
organik sering diderita pada kelompok yang sudah kawin yaitu pada dispepsia fungsional 95,5 % dan
pada dispepsia organik (ulkus) 90,9 %. Pada tabel 4 dapat dilihat distribusi agama pada pasien dispepsia
fungsional, Islam 45,5 %, Kristen 54,5 %. Dan pada pasien dispepsia organik (ulkus) Islam 13,6 %, Kristen
81,8 %, dan Budha 4,5 %. Pada tabel 5 dapat dilihat berdasarkan suku, pasien dispepsia fungsional
terdapat pada kelompok suku Batak (45,5 %), suku Karo 27,3 %, suku Jawa 18,2 %, suku Mandailing dan
suku Melayu masing-masing 4,5 %. Pada pasien dispepsia organik (ulkus) suku Batak (72,8 %), suku Karo
13,7 %, suku Nias 18,2 %, suku Jawa dan Cina masing- masing 4,5 %. Pada tabel 6 dapat dilihat
berdasarkan jenis pekerjaan pada dispepsia fungsional dijumpai ibu rumah tangga sebanyak 40,9 %, dan
Pegawai Negeri, Wiraswasta sebanyak 27,3 %, dan mahasiswa sebanyak 4,5 %. Dan pada dispepsia
organik (ulkus) dijumpai Pegawai Negeri sebanyak 45,5 %, Wiraswasta sebanyak 31,8%, ibu rumah
tangga sebanyak 18,2% dan petani sebanyak 4,5%. Pada tabel 7 dapat dilihat berdasarkan tingkat
pendidikan pada penderita dispepsia fungsional, tingkat pendidikan sarjana terbanyak yakni 36,4 %,
setelah itu SLTP 27,3 %, dan SD 9,1 %, dan Akademi sebanyak 4,5 %. Pada penderita dispepsia organik
(ulkus) tingkat pendidikan SLTA terbanyak yakni 45,5 %, setelah itu SLTP dan sarjana masing- masing
22,7 %, dan SD 9,1 %. Pada tabel 8 dapat dilihat penderita dispepsia fungsional yang depresi sebelum
pengobatan dan sesudah pengobatan 63,3 %, dan yang tidak depresi sebelum dan sesudah pengobatan
36,4 %. Pada penderita dispepsia organik (ulkus) sebelum pengobatan yang depresi sebanyak 36,4 %,
yang tidak depresi sebanyak 63,6 %. Dan setelah pengobatan sebanyak 95,4 %. Dari tabel ini dapat
disimpulkan bahwa jumlah pasien dispepsia fungsional yang depresi sebelum dan sesudah pengobatan
lebih banyak dari pasien dispepsia organik (ulkus). Dan jumlah penderita dispepsia organik yang depresi
sesudah pengobatan mengalami penurunan jumlah dari 36,4 % menjadi 4,6 %. Dari tabel ini dapat kita
lihat bahwa dispepsia fungsional jumlahnya lebih banyak dari dispepsia organik (ulkus). Hal ini sesuai
dengan literatur dispepsia fungsional lebih depresi (2,20,21). Dan juga dapat dilihat pengobatan pada
pasien dispepsia fungsional tidak mempengaruhi jumlah penderita depresi, sedangkan pada pasien
dispepsia organik (ulkus) terdapat penurunan jumlah yang depresi setelah pengobatan. Pada tabel 9
dapat dilihat perubahan tingkat depresi pada pasien dispepsia fungsional sebelum dan setelah
pengobatan, dari tingkat berat (5 orang). Setelah pengobatan menjadi sedang (3 orang) dan tetap pada
tingkatan berat (2 orang). Dari tingkat sedang (4 orang) berubah menjadi tingkat ringan (2 orang) dan
tetap pada tingkat sedang (2 orang). Dari tingkat depresi berat (5 orang) setelah pengobatan tetap pada
tingkat berat. Sedangkan dispepsia organik (ulkus), pada tingkatan depresi ringan (3 orang) tingkat
sedang (4 orang) setelah mendapat pengobatan menjadi tidak depresi. Dan dari tingkat berat (1 orang)
setelah pengobatan berubah menjadi tingkat sedang. ©2003 Digitized by USU digital library 25 Pada
tabel 9 dapat dilihat perbedaan depresi sebelum pengobatan pada penderita dispepsia fungsional dan
dispepsia organik dimana dengan uji statistik chisquare, didapati X2 Hitungan < X2 Tabel dengan tingkat
kemaknaan p < 0,05. Bila mana Ho diterima, dikatakan tidak dijumpai adanya perbedaan depresi pada
penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan
bahwa depresi dapat dijumpai pada dispepsia fungsional maupun dispepsia organik. Serta tingkat
keparahannya dapat dijumpai pada dispepsia fungsional lebih depresi dari pada dispepsia organik, hal ini
dapat kita lihat seperti yang digambarkan pada tabel 9. Pada tabel 11 dapat dilihat perbedaan depresi
pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan, yang diuji dengan uji
statistik “Yates correction”, dijumpai X2 Hitungan > X2 Tabel, dengan tingkat kemaknaan p < 0,05, df = 1,
X2 Tabel 3,841. Maka dikatakan Ho ditolak sehingga Ha diterima. Bilamana Ha diterima, dikatakan
dijumpai perbedaan depresi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah
pengobatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan oleh Haug TT dan kawan-kawan dijumpainya perbedaan
depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik, dimana dispepsia fungsional lebih depresi dari
pada dispepsia organik. (17,18) Dan bila dilihat dari tabel 8 dan 9 gambaran depresi pada dispepsia
fungsional lebih banyak jumlahnya dan lebih tinggi tingkat depresinya dari dispepsia organik.
Berdasarkan penelitian JOHNSEN R, yang menyimpulkan perbedaan diantara dispepsia ulkus dan
dispepsia non ulkus, mungkin pada etiologi, oleh karena itu secara klinis yang bermakna, disebutkan
pengobatan pada pasien dispepsia non ulkus berbeda dari pengobatan dispepsia ulkus yang tradisional.
(16) Hal ini juga memerlukan penelitian yang lebih lanjut untuk melihat dan menggambarkan sejauh
mana faktor lingkungan yaitu bio-sosio kulturil dan agama yang mempengaruhi patologinya suatu
penyakit dalam hal ini dispepsia fungsional dan dispepsia organik. BAB V PENGUJIAN HIPOTESIS A.
HIPOTESIS 1. Hipotesis Nul a. Tidak ada perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia
organik. b. Ada perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik. 2. Hipotesis
alternatif Ada perbedaan depresi pada dispepsia fungsional dan dispepsia organik. B. PENUNJANG
Jumlah penderita dispepsia fungsional yang ikut dalam penelitian : 22 orang. Dan penderita dispepsia
organik : 22 orang. Penderita dispepsia fungsional yang depresi: 14 orang (63,6 %) dan yang tidak
depresi 8 orang (36,4 %). Penderita dispepsia organik yang depresi 8 orang (36,4 %) dan yang tidak
depresi 14 orang (63,6 %). Penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang depresi diberi
pengobatan. Dan dengan perhitungan statistik test uji chi-square ditemukan adanya perbedaan depresi
setelah pengobatan pada dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Data-data dari hasil penelitian
yang didapat ini, kemudian dideskripsikan. Dan beberapa dari data-data itu dikumpulkan menurut
jenisnya yang kemudian ditabulasi ©2003 Digitized by USU digital library 26 menurut karakteristiknya
dan disesuaikan dengan batasan masalah yang telah dikemukakan. Berikut ini diuraikan mengenai hasil
penelitian. C. KESIMPULAN Hipotesa nul ditolak sehingga hipotesa alternatif diterima. BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN Dari pembahasan masing- masing penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan
kaitan keseluruhan dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. A. KESIMPULAN
UMUM 1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi : 14 orang (63,6 %),
dan pada kelompok dispepsia organik : 8 orang (36,4 %). 2. Dari hasil penelitian pada penderita
dispepsia fungsional dan dispepsia organik mengalami perubahan depresi setelah pengobatan. B.
KESIMPULAN KHUSUS 1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi
sebanyak 14 orang, terdapat 5 orang yang mengalami depresi ringan, 4 orang mengalami depresi sedang
dan 5 orang depresi berat sebelum pengobatan. Pada dispepsia organik yang mengalami depresi
sebanyak 8 orang, 3 orang mengalami depresi ringan, 4 orang depresi sedang dan 1 orang depresi berat
sebelum pengobatan. 2. Penurunan tingkat depresi pada penderita dispepsia fungsional (sebelum
pengobatan dan sesudah pengobatan) dijumpai sebagai berikut . a. Dari tingkat depresi ringan = 5
orang . Tetap b. Dari tingkat depresi sedang = 4 orang menjadi depresi ringan 2 orang dan tetap 2 orang
c . Dari tingkat depresi berat = 5 orang menjadi depresi sedang = 3 orang dan tetap = 2 orang Pada
penderita dispepsia organik . a. Dari tingkat depresi ringan (3 orang ) menjadi tidak depresi. b. Dari
tingkat depresi sedang (4 orang ) menjadi tidak depresi. c . Dari tingkat depresi berat (1 orang ) menjadi
depresi sedang. C. SARAN Pada penelitian ini dapat dilihat baik pada penderita dispepsia fungsional
maupun dispepsia organik ada yang mengalami depresi dengan tingkatan yang bervariasi ringan, sedang
dan berat. Penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi lebih banyak dari pada dispepsia
organik. Hal ini menjadi perhatian yang khusus bagi gastroenterohepatologis untuk lebih
memperhatikan adanya hubungan gangguan somatik, psikis dan lingkungan bio-sosio-kulturil dan
agama. Sehingga perlu kerja sama dengan disiplin ilmu yang terkait dalam penanganan kasus-kasus
dispepsia baik organik maupun fungsional. Pengobatan konvensional yang diberi pada penderita
dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang mengalami depresi dapat merubah tingkatan
depresinya. Namun pada dispepsia fungsional perubahan tingkat depresi ma sih belum maksimal.
©2003 Digitized by USU digital library 27 Penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk mencari
keterkaitan faktor lingkungan baik bio-sosio-kulturil dan agama sebagai salah satu faktor patofisiologi
dispepsia fungsional perlu mendapatkan perhatian dalam penanganan dispepsia untuk menghasilkan
nilai pengobatan yang lebih baik yaitu dengan meningkatkan peran konsultasi Liaison psikiatri dalam
penanganan dispepsia terutama dispepsia fungsional secara menyeluruh. BAB VII RINGKASAN Telah
dilakukan penelitian melalui pendekatan ilmu jiwa dan penyakit dalam sub bagian gastroenterologi,
yang dilakukan terhadap 22 orang penderita dispepsia fungsional dan 22 orang penderita dispepsia
organik yang berobat jalan di poliklinik sub bagian gastroenterologi RS H. Adam Malik Medan. Penderita
dispepsia fungsional yang mengalami depresi sebanyak 14 orang (depresi ringan 5 orang, depresi sedang
4 orang, depresi berat 5 orang) dan dispepsia organik mengalami depresi sebanyak 8 orang (depresi
ringan 3 orang, depresi sedang 4 orang, dan depresi berat 1 orang) dilakukan pengobatan. Dan setelah
pengobatan di lihat kembali gambaran depresinya. Metode penelitian yang dipakai adalah metode
deskriptif. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik
yang mengalami depresi serta perubahan depresi pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia
organik setelah pengobatan. Alat ukur yang digunakan adalah status psikiatri, kriteria diagnosis
dispepsia baik fungsional maupun organik, dan PPDGJ III untuk mendiagnosis depresi dan Hamilton
Depression Rating Scale untuk mengukur skor depresi. Manfaat kegunaan penelitian ini adalah melihat
seberapa besar penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang mengalami depresi. Dan
melihat perubahan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah pengobatan.
Didalam penelitian ini didapatkan hasil sebagai berikut : A. KESIMPULAN UMUM 1. Pada kelompok
penderita dispepsia fungsional yang mengalami depresi : 14 orang (63,6 %) sebelum pengobatan dan
setelah pengobatan dan pada kelompok penderita dispepsia organik : 8 orang (36,4 %), sebelum
pengobatan dan 1 orang (36,4 %) setelah pengobatan. 2. Pengobatan yang diberikan baik pada
penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik memberikan manfaat, terutama pada dispepsia
organik. B. KESIMPULAN KHUSUS 1. Pada kelompok penderita dispepsia fungsional yang mengalami
depresi sebanyak 14 orang, terdapat 5 orang yang mengalami depresi ringan, 4 orang mengalami
depresi sedang, dan 5 orang depresi berat. 2. Pada dispepsia organik yang mengalami depresi sebanyak
8 orang, 3 orang mengalami depresi ringan dan 1 orang depresi berat. 3. Perubahan tingkat depresi :
Pada penderita dispepsia fungsional (sebelum pengobatan dan setelah pengobatan) dijumpai sebagai
berikut. a. Dari tingkat depresi ringan = 5 orang b. Dari tingkat depresi sedang = 4 orang menjadi depresi
ringan 2 orang dan tetap 2 orang. ©2003 Digitized by USU digital library 28 c . Dari tingkat depresi berat
= 5 orang menjadi depresi sedang = 3 orang dan tetap 2 orang. Pada penderita dispepsia organik a. Dari
tingkat depresi ringan (3 orang) menjadi tidak depresi. b. Dari tingkat depresi sedang (4 orang) menjadi
tidak depresi. c . Dari tingkat depresi berat (1 orang) menjadi depresi sedang. C. SARAN Pada penelitian
ini dapat dilihat baik penderita dispepsia fungsional mupun dispepsia organik pernah ada yang
mengalami depresi dengan tingkatan yang bervariasi ringan, sedang dan berat. Penderita dispepsia
fungsional yang mengalami depresi lebih banyak dari pada dispepsia organik. Pengobatan yang diberi
pada penderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang mengalami depresi dapat merubah
tingkatan depresinya. Namun pada dispepsia fungsional perubahan tingkat depresi masih belum
maksimal. Keterkaitan faktor lingkungan bio-sosio-kulturil dan agama sebagai salah satu faktor
patofisiologi dispepsia fungsional memerlukan penelitian lebih lanjut dan perlu diperhatikan dalam
penanganan dispepsia , terutama dispepsia fungsional dan untuk menghasilkan nilai pengobatan yang
lebih baik. Dengan meningkatkan peran konsultasi Liaison psikiatri dalam penanganan dispepsia, baik
dispepsia organik dan terutama dispepsia fungsional untuk mendapatkan hasil pengobatan yang
sempurna. BAB VIII EXTENSIVE SUMMARY A. THE SCOPE OF THE RESEARCH The world dispepsia is a
medical term that refers to a vague constellation of upper abdominal symptoms. Patients more
commonly refer to this symptom, as indigestion, which is used synonymously. Dispepsia is an extremely
common condition. Dispepsia is the fourth most common medical diagnosis. Defined dispepsia as
episodic or persistent abdominal discomfort that is located in upper abdomen or epigastria. Other
symptoms, such as bloating, early satiety, distention, and nausea, are commonly present. Dyspepsia may
be divided into two main groups : organic and functional. Organic dyspepsia denotes dyspepsia for
which a responsible disease process has been identified. Common causes of Organic dyspepsia include
peptic ulcer, gastric cancer, and gallbladder disease. In many patients which dyspepsia, clinical
assessment and investigation fail to identify any abnormality to account for symptoms, and a diagnosis
of functional dyspepsia is made. In making this distinction, the clinician is confronted with a number of
potential diagnostic tests. The patho physiological basis of symptoms is complex and unresolved. Over
one-half of patients with dyspepsia have either normal exams or nonspecific findings. The majority of
these are labeled as having no ulcer dyspepsia or functional dyspepsia. Thus, the primary use of
endoscopies in patients with dyspepsia is to diagnose peptic ulcer disease or atypical reflux esophagitis
and to exclude malignancy. Upper endoscopies have become the study of first choice in the evaluation
of most patients with dyspepsia. ©2003 Digitized by USU digital library 29 The coexistence of treatable
psychiatric disorder is commonly missed by primary physicians treating gastrointestinal problems.
Unrecognized co morbid psychiatric disorder such as depression, and anxiety typically are associated
with alteration in functioning of autonomic system. Also, most of those psychiatric disorder leave the
patient with considerable distress, possibly amplifying the discomfort and disability cause by the
gastrointestinal symptoms. B. THE FRAME OF THOUGHT AND HYPOTESIS. A number of information and
opinions from researches have been gathered through theoretical and empirical approaches. We can
see the depression that happens for functional dyspepsia and organic dyspepsia. Functional dyspepsia is
more depressed than organic dyspepsia. From some discussion above, we make postulate an hypothesis
that: There was differentiated degree of depression with functional dyspepsia and organic dyspepsia. C.
THE METHODOLOGY OF RESEARCH The type of research is medical research, specially psychiatry and
gastroenterology. The research method that use is descriptive research method. The research has been
performed on 22 dyspepsia patients and 22 organic dyspepsia (peptic ulcer) patients who came to clinic
of gastroenterohepatology departme nt in Haji Adam Malik General Hospital in Medan from February 1s
t 2001 up to June 30th, 2001. Among the 22 functional dyspepsia patients Research is called the Medical
Research, especially in psychiatry and participated in the research, the research found 18 patients were
experienced depression, and 4 patients did not experienced depression. Before and after the treatment
the depressed patients were 18 and non-depression patients were 4. In the organic dyspepsia (ulcer)
criteria. Before treatment fund 4 depression patients, and 18 non-depression patients, and after the
treatment 1 depression patient, 21 did not experience depression. Grouping the samples was made
based on the questionnaire on the Hamilton Rating Scale. The data tested by Chi-square statistical
analysized. D. THE ESSENCE OF THE RESEARCH. The aim of research is to verify the different of
depression at the time before and after the treatment taken to the functional dyspepsia patient and
organic dyspepsia patients. E. TESTING OF THE HYPOTESIS. The statistic verification, the data of this
research prove the alternative hypothesis as accepted. The detail of hypothesis described on Chapter V
Testing of the Hypothesis. CONCLUSION AND RECOMMENDATION 1. General a. The functional dyspepsia
group influenced depression is 14 patients (63,6 %) counted before and after the treatment. At the
organic dyspepsia group influenced depression is 8 persons (36,4 %), and depression before and after
the treatment is 1 patient (4,6 %). b. The result of the research of functional dyspepsia and organic
dyspepsia had discriminated degree depression before and after the treatment. The treatment to the
functional dyspepsia group and organic dyspepsia group are accepted. 2. Special. ©2003 Digitized by
USU digital library 30 a. The functional dyspepsia group influenced depression is 14 patients, consisted
by 5 patients experienced mild depression, 4 patients 14 patients severe depression that counted before
the treatment. At the organic dyspepsia patients group influenced depression is 8 persons, consisted 3
patients experience mild depression, 4 patients influenced moderate depression, and 1 patient
influenced severe depression. b. The discriminated degree of depression assessment for functional
dyspepsia before and after treatment: 1. The treatment to 5 patients of mild depression, presented that
all the 5 patients is still in the same mild depression. 2. The treatment to 4 patients of moderate
depression, presented 2 patients of mild depression, and the rest 2 persons were still in mild depression.
3. The treatment to 5 patients of severe depression, presented 3 patients of moderate depression, and 2
patients were still in the same severe depression. In Organic dyspepsia it is describe as the following. 1.
Treatment to 3 patients of mild depression, presented that they were found not depression anymore. 2.
Treatment to 4 patients of moderate depression presented was found not depression anymore. 3.
Treatment to 1 patient of severe depression resulted that the patient became to moderate depression.
3. Recommendation. The date of this research shows the patients with functional and organic dyspepsia
had depression with mild, moderate, and severe degree of depression. Functional dyspepsia had
significant different degree of depression than organic dyspepsia. The treatment that should give to
functional dyspepsia and organic dyspepsia changed degree of depression. Compared to the patients
with functional dyspepsia, with organic dyspepsia (ulcer) patient with functional dyspepsia had more
depression. The study suggest that psychosocial factor would associated with functional dyspepsia, this
may be causally related to the higher levels of depression degree due to the difference between organic
dyspepsia and functional dyspepsia. In this situation, clinical improvement might require referral for
consultation and treatment, in order to gastroenterohepatologist refer a patient to a mental health
professional. In girding the gap between physical and psychosocial medicine, Liaison psychiatrist have an
important diplomatic role. This includes a ability to communicate effectively with non psychiatric. In
comprehensive physical and psychological care benefits of Liaison psychiatry include less disturb
(example : anxiety and depression decreased rate deliberate self -harm and better quality of life).
©2003 Digitized by USU digital library 31 DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. Tandean N, Wenas. : Defenisi dan
Patofisiologi Dispepsia, Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional VII PPHI dan Kongres Nasional VII
PGI, PEGI, Ujung Pandang : Yayasan Masa Depan, 1995 : 135 – 140 2. Zain L.H. : Klassifikasi dan Diagnosis
Dispepsia, Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional VII PPHI dan Kongres Nasional VII PGI, PEGI,
Ujung Pandang : Yayasan Masa Depan, 1995 : 141 – 150. 3. Mc. Quarid K.R.< : Dispepsia, Non Dispepsia
in Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology, USA, Appleton and Lange, 1996 : 308 - 318. 4.
Ali H.I. : Dispepsia dan Penatalaksanaannya, Bunga Rampai Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, Gaya Baru,
1996 : 26 – 30. 5. Adenan H. : Penatalaksanaan Dispepsia, Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional
VII PPHI dan Kongres Nasional VII PGI, PEGI, Ujung Pandang : Yayasan Masa Depan, 1995: 151 – 164. 6.
Mudjadid E. : Permasalahan Gangguan psikomatik Dalam Ruang Lingkup Penyakit Dalam, Simposium
Gangguan Psikomatik di Bidang Penyakit dalam, Medan, Juni 2001, : 1 – 8. 7. Kumen I., Soemaryanto
M, : Depresi Terselubung, Simposium depresi, Surabaya, 1984 : 23 – 31. 8. Gaviria M., Flaherty J.A. :
Diagnostic Assessment of Depression in Psychiatry Diagnosis and Therapy, 2nd Edition, USA, Appleton
and Lange, 1992 : 46 – 73. 9. West R. : Depression in Office of Health Economics, London, 1992 : 3 – 20.
10. Kusumanto R. Iskandar Y. : Depresi, Suatu problema Diagnosa dan Terapi pada praktek umum,
Jakarta: Yayasan Dharma Graha, 1981: 9 – 16. 11. Taska R.J. : Depression in Signs and Symptom in
Psychiatry, Philadelphia, J.B.Lippincott, 1983: 201 – 2112. 12. Kaplan H.I., Sadock B.J., Grebb J.A. : Mood
disorder in synopsis of Psychiatry, VIIth Edition, Baltimore, Williams and Wilkins, 1995 : 516 – 55 13.
Stahl M.S. : Depression in Essential Psychopharmacology, Australia, Cambridge University Press, 1996:
99 – 108. 14. Asikal H.S. : Clinical Feature in Comprehensive Text Book of Psychiatry, Vith edition, Vol I,
Baltimore, Williams and Wilkins, 1995 : 1123–1137, 1149 – 1151. 15. Syarif N. : Gambaran Klinik Depresi
Terselubung, majalah Jiwa, Jakarta, yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa, Maret No.1 Tahun XIX,
1986: 9 – 16. 16. R.Johnsen, B.Straceme, O.H.Forde,: peptik Ulcer and Non-ulcer Dispepsia a disease and
a disorder, Scandinavia Journal Primary Health Care, No.6(4), Nov 1998: 239 – 243. 17. T.T. Haug, et all.:
Live events and stress in patient with Functional Dispepsia compare with patients with Duodenal Ulcer
and Healthy Control, Scand. Journal Gastroenterology no.30(6), 1995: 524 – 430. 18. ……………….……..:
Discriminate Analysis of Faktor Distinguishing Patient with Functional Dispepsia from Patients with
Duodenal Ulcer Significance of Somatisation, Digestive Disorder Science No. 40 (5), May, 1995 : 1105 –
111. 19. Talley et all : Impact of functional dispepsia on quality of life, Medicine, National Library of
Medicine, Mar; 40 (3), 1995 : 584 – 589. 20. …………………….: Functional Dispepsia in GUT, BMJ
Journals,Com,Suppl 2, 2001 : 2 – 6. 21. …………………….: Seong Ng. H. : Functional Dispepsia in
Management of Common Gastroenterologi Problems, Australia, Medimedia Asia, 1995: 38 – 46. ©2003
Digitized by USU digital library 32 22. Hadi S.: Sindroma Dispepsia, Gastroenterologi,Jakarta : Alumni
1995: 153 – 173. 23. Chapman M.L. : Dispepsia dan Penyakit Ulkus Peptikum (terjemahan) Buku Saku
Gastroenterologi, Cetakan , Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997: 6–73. 24. Lavenstein S. :
Stress and Peptik Ulcer: Life Beyond Helicobacter in British Medical Journal, Volume 316, 538 – 541. 25.
Talley N.J. : Defenition and Clinical Presentation of Patients with Dispepsia, Functional Dispepsia and
Related Functional Gastrointestinal Co mplain in Clinicians Manual on managing Dispepsia, Life Science
Communication, Italy, 2002: 1 – 6 26. Departemen Kesehatan R.I. : Pedoman Penggolongan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia, Jakarta, 1993 : 140 – 153. 27. Talley NJ, Piper P.W. : Major Life event stress
and dispepsia of unknow cause : a case control study, GUT, BMJ Publishing Group, Vol 27, 1986; 127 –
134. 28. Llyod G.G. : Depression and Gastrointestinal and Liver Disorders in Depression and physical
Illness, Vol.6, John Wiley & Sons, England, 1997 : 293 – 302. 29. Drossman : The Functional
Gastrointestinal Disorder and The Rome II Process, GUT, Suplement II, 45, USA, 1999 : 111 – 115. 30.
Budihalim S., Sukatman D., : Ketidaakseimbangan Vegetatif, Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Balai
Penerbit UI, 1990 : 595 – 598. 31. Chusid J.G., : Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional,
BagianSatu : Gadjah Mada Universiti Press, 1983: 262 – 2269. 32. Drossman. : Psycosocial Asspect of the
Functional Gastrointestinal Disorder GUT, Suplement II, 45, USA, 1999 : 1125 – 1129. 33. Gelenberg A.J.,
Schoonover S.C., : Depression in Practitioners Guide to psychoactive Drugs, Thirt Edition, Plenum
Publishing Corp, USA, 191 : 23 – 72. 34. Thomson C. : Mood Disorders in Medicine Intyernational, No.33,
Vol. 10,U.K., Medicine Groups, 1996: 1 – 5. 35. Flaherty J.A., Davis J.M., Janicak P.G. : Psychiatry
Diagnosis and Therapy, Second edition, Prentice Hall International Inc., 1993 : 39 – 41. 36. Halold G.K.,
George L.K., Peterson B.L. : Religiosity and remission of depression in medically III older patients in
American Journal of Psychiatry 155, American Psychiatric Association, April 1998 : 536 – 542. 37. Bolton
J. : Liaison psychiatry in British Medical Journal February 2001, 322 : S2-7282. 38. Kaplan H.I. Sadock B.J.,
Grebb J.A. : Consultation Liaison psychiatry in Synopsis of Psychiatry, VIIth Ed, Williams and Wilkins,
Baltimore, 1994 : 771 – 778. 39. Nazir M. : Metode Penelitian : Beberapa tehnik smping, Ghalla
Indonesia, Jakarta : 325 – 345. 40. Universitas Indonesia : Uji statistik, Biostatistik untuk ilmu-ilmu
kesehatan, Jakarta, juli, 1984 : 140 – 150.

Anda mungkin juga menyukai