Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang


Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang
yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya
terhadap agama. 
Sikap agama tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap
agama sebagai unsure kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsure konatif.
Jadi sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan
agama, perasaan serta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini
menunjukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan
gejala kejiwaan.  
1.2.       Rumusan Masalah
Dari pembahasan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1.      Bagaimana sikap keagamaan dan pola tingkah laku diperoleh ?
2.      Bagaimana sikap keagamaan yang menyimpang ?
3.      Factor apa saja yang mempengaruhi sikap keagamaan yang menyimpang.?
1.3.       Tujuan
Dari Rumusan masalah di atas maka dapat dicapai tujuan pokok yaitu:
1.      Untuk mengetahui sikap keagamaan dan pola tingkah laku diperoleh
2.      Untuk mengetahui sikap keagamaan yang menyimpang
3.      Untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi sikap keagamaan yang
menyimpang
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Problema dan Jiwa Kegamaan  


Masalah atau problem keagamaan yang dihadapi seseorang berkaitan erat
dengan perubahan sikap. Mengenai perubahan sikap, sebagaimana pendapat
Mar’at dikutip Bambang Syamsul arifin ada beberapa teori psikologis diantaranya
: teori stimulus-respon, teori pertimbangan sosial, teori konsistensi, dan teori
fungsi. (Arifin,2008:225).
a) Teori stimulus-respon, menurut teori ini ada tiga variable yang
mempengaruhi terjadinya perubahan sikap yaitu perhatian, pengertian, dan
penerimaan. Misal,dalam suatu masyarakat muncul aliran-aliran keagamaan
tertentu yang berbeda dengan tradisi yang berjalan, kemudian menarik
perhatian dan mendorong seseorang untuk ingin mengetahuinya secara lebih
jauh. Dari proses tersebut kemungkinan data memberi pngertian baru kepada
piahak yang terlibat. Apabila si terlibat merasakan ada manfaat bagi dirinya,
mereka akan menerima. Sedangkan yang menganggap tidak ada manfaat,
merek akan menolak. Pada pihak ynag menerima , akan terjadi perubahan
sikap. Dilihat dari tradisi yang berjalan, sikap mereka dikelompokkkan
sebagai sikap keagamaan yang menyimpang.
b) Teori perkembangan sosial, menurut eori ini perubahan sikap ditentukan oleh
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi
perubahan sikap diantaranya ; persepsi sosial, posisi sosial dan proses belajar
sosial. Adapun faktor eksternalnya adalah faktor penguat (reinforcement),
komunikasi persusif dan harapan yang diinginkan.
c) Teori konsistensi, bahwa perubahan sikap lebih ditentukan oleh faktor intern,
yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan. Proses
terjadinya perubahan sikap ada beberapa fase yaitu ;
1) Munculnya persolan yang dihadapi,
2) Munculnya beberapa pengerian yang haru dipilih,
3) Mengamil kepuusan berdasarkan salah satu dipilih,
4) Terjadi keseimbangan
d) teori fungsi, perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan
seseorang. Katz berpendapat bahwa sikap mempunyai beberapa fungsi yaitu,
fungsi instrumental, fungsi pertahanan, fungsi penerimaan dan pemberi arti,
serta fungsi nilai ekspresif.
Perubahan sikap yang negatif akan mengarah pada sikap keagamaan yang
menyimpang. Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang
terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami
perubahan (jalaluddin, 1997 :231). Jadi, perubahan sikap itu muncul sebagai
repon dari timulus yang dihadapi oleh manusia.
DR. Zakiyah Daradja berpendapat bahwa pada diri manusia itu terdapat
kebutuhan pokok, beliau mengemukakan selain dari kebtuhan jasmani dan rohan,
manusia mempunyai suatu kebutuhan akan adanya keseimbangan dalam
kehidupan jiwanya untuk tidak mengalami tekanan.
Adanya tekanan-tekanan pada sisi kehidupan manusia disertai tidak
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidupnya akan menimbulkan berbagai
problema, konflik atau masalah yang mengganggu jiwanya.
Ada beberapa problema yang di hadapi manusia, contohnya :
1) Pemilihan pekerjaan dan kesempatan belajar
2) Masalah sekolah
3) Problema kesehatan
4) Problema keuangan
5) Problema persiapan untuk berkeluarga
6) Problema keluarga
7) Problema emosi
8) Problema peertumbuhan pribadi dan sosial
9) Problema agama dan akhlak, dsb.
Masalah atau problem diatas terjadi karena adanya kesenjangan antara apa
yang dicita-citakan manusia dengan keadaan nyata yang dihadapinya. Trjadilah
konflik dalam diri manusia itu.
Dari sisi lain G.M Starton mengemukakan bahwa adanya konflik dalam
kejiwaan manusia adalah sebagai sumber kejiwaan agama seseorang. Dimana
ketika konflik itu sudah mencekam dan mempengaruhi kehidupan kejiwaaannya,
maka manusia akan mencari pertolongan kepada suatu kekuasaan yang tinggi
(Tuhan).
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu kesadaran
agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin
dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sacral dan dunia gaib.
Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap
keagamaan yang ditampilkan seseorang.
Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan
berasal dari factor intern dan factor interen manusia
Pendapat pertama menyatakan bahwa  manusia adalah : Homo Kelegius
(makhluk agama) karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama.
Potensi tersebut bersumber dari factor interen manusia yang termuat dalam aspek
kejiwaan manusia seperti naluri, akal, perasaan maupun kehendak.
Teori kedua menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia bersumber dari
factor ekstern manusia terdorong untuk beragama karena factor luar darinya
seperti rasa takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah. (Sense of guilty)
factor-faktor inilah yang menurut pendukung  teori tersebut mendorong manusia
menciptkan suatu tata cara pemujaan yang kemudian di kenal dengan agama.
2.2.       Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Mengawali pembahasan mengenai sikap keagamaan maka terlebih dahulu
akan dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri. Dalam pengertian
umum, sikap dipandang sebagai seoerangkat. Reaksi-reaksi afektif terhadap objek
tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu
(Mar'at, 1982: 19). Dengan demikian, sikap terbentuk dari hasil belajar dan
pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan (faktor intern)
seseorang, serta tergantung kepada objek tertentu. Objek sikap oleh Edwards
disebut sebagai psychological object (Mar'at. 1982: 21).
Menurut Prof. Dr. Mar'at. meskipun belum lengkap Allport telah
menghimpun sebanyak 13 pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu
dapat dirangkum menjadi 11 rumusan mengenai sikap. Rumusan umum tersebut
adalah bahwa:
1. Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan
interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2. Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan,
peristiwa ataupun ide (attitudes bare referenl).

3. Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah,


sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan
atau percakapan (attitudes are social learnings).

4. Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara


tertentu terhadap objek (attitudes have readiness to respond).

5. Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif, seperti yang
tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu
(attitudes are affective).

6. Sikap merniliki tingkat intensitas terhadap objek tertentu yakni kuat atau
lemah (attitudes are very intensive).

7. Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi cocok
(attitudes have a time dimension).

8. Sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu


(attitudes have duration factor).

9. Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu


(attitudes are complex).

10. Sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin rnernpunyai


konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attitudes are
evaluations).
11. Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi
indikator yang sempurna atau bahkan tidak memadai (attitudes are
infened).

Rumusan tersebut menunjukkan bahwa sikap merapakan predisposisi untuk


bertindak senang atau tidak senang terhadap objek tertentu yang mencakup
komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan
interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks.
Merujuk kepada rumusan di atas, terlihat bagaimana hubungan sikap
dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen psikologis yaitu kognisi,
afeksi dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang
menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu objek, baik yang berbentuk konkret
maupun objek yang abstrak. Komponen kognisi akan menjawab tentang apa yang
dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek. Komponen afeksi dikaitkan dengan
apa yang dirasakan terhadap objek (senang atau tidak senang). Sedangkan,
komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak
terhadap objek (Mar'at. 1982: 21). Dengan demikian, sikap yang ditampilkan
seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa dan pemilihan motif-motif
tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu objek.
Bagaimana bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh
keterkaitan komponen kognisi, afeksi, dan konasi seseorang dengan masalah-
masalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak ditentukan
oleh hubungan sesaat, melainkan sebagai huBungan proses, sebab pembentukan
sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman. Dan pembentukan sikap
itu sendiri ternyata tidak semata-mata tergantung sepenuhnya kepada faktor
eksternal melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang.
Reaksi yang timbul dari sikap tertentu terhadap objek ditentukan oleh
pengaruh kepribadian dan faktor eksternal: situasi, pengalaman dan harnbatan
(Mar'at, 1982: 22). Hal ini mengisyaratkan ketiga faktor tersebut, yaitu pengaruh
kepribadian, dan faktor eksternal. Dalam kaitan ini sikap didasarkan atas konsep
evaluasi berkenaan dengan objek tertentu, menggugah motif untuk bertingkah
laku. Sedangkan rnenurut pandangan psikologi, sikap mengandung unsur
penilaian dan reaksi afektif sehingga menghasilkan motif. Motif menentukan
tingkah laku nyata (overt behaviour) sedangkan, reaksi afektif bersifat tertutup /
cover tulis Mar'at (Mar'at, 1982:17).
Mata rantai hubungan antara sikap dan tingkah laku terjalin dengan
hubungan faktor penentu, yaitu motif yang mendasari sikap. Motif sebagai tenaga
pendorong arah sikap negatif atau positif akan terlihat dalam tingkah laku nyata
(oven behaviour) pada diri seseorang atau kelompok Sedanngkan motif yang
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dapai diperkuat oleh komponen
afeksi biasanya akan menjadi lebih stabil. Pada tingkat tertentu motif akan
berperan sebagai central attitude vang akhimya akan membentuk predisposisi.
Proses ini terjadi dalam diri seseonng terutama pada tingkat usia dini. Predisposisi
menurut Mar'at merupakan sesuatu yang telah dimiiiki seseorang semenjak kecil
sebagai hasil rembentukan dirinya sendiri (Mar'at, 1982:18). Dalam hubungan ini
tergambar bagaimana hubungan pembentukan sikap keagamaan sehingga dapat
menghasilkan bentuk pola tingkah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.
Telaah psikologi dan psikologi agama tampaknya sudah mulai menyadari
potensi-potensi dan daya psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan
spiritual. Kemudian menempatkan potensi dan daya psikis tersebut sebagai
sesuatu yang penting dalarn kehidupan manusia. Selain itu, mulai tumbuh suatu
kesadaran mengenai hubungan antara potensi dan daya psikis tersebut dengan
sikap dan pola tingkah Iaku manusia.
Berangkat dari telaah dan pandangan tersebut akan membawa pada
kesimpulan bahwa jiwa keagamaan sebenarnya merupakan bagian dari komponen
intern psikis manusia. Pembentukan kesadaran agama pada diri seseorang pada
hakikatnya tak lebih dari usaha untuk menumbuh dan mengembangkan potensi
dan daya psikis. Namun yang menjadi permasalahan krusial adaiah bagaimana
usaha yang dilakukan agar bimbingan yang diberikan sejalan dengan hakikat
potensi yang luhur tersebut.
Menurut Gordon Allport. bahwa memang manusia memiliki sifat-sifat dasar
atau tabiat yang sarna. Sifat-sifat dasar ini ditampilkan dalam sikap yang secara
totalitas ternhat sebsgai ciri-ciri kepribadian individu dan kemudian terangkum
dalam sikap kelompok. Adanya perbedaan individu pada dasarnya disebabkan
oleh adanya perbedaan situasi ling-kungan yang dihadapi masing-masing (Philip
G. Zimbardo.l979:296).
Merujuk kepada temuan ini, pemahaman sifat-sifat dasar yang merupakan
ciri khas yang ada pada manusia dapat dikaitkan dengan konsep fitrah dalam
pandangan Islam, jika hal ini dapat diterima, maka pembentukan sikap dan
tingkah laku keagamaan dapat dilakukan sejalan dengan fitrah tersebut bila situasi
lingkungan dibentuk sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang prinsipil, yaitu
ketauhidan.
2.3.       Sikap Keagamaan yang Menyimpang
Dalam pandangan psikologi agama, ajaran agama memuat norma norma
yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku.
Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur yang
mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam
upaya memenuhi ketaatan kepada Zat Yang Supernatural. Dengan demikian. sikap
keagamaan merupakan kecenderungan untuk memenuhi tuntutan dimaksud.
Tetapi, dalam kenyataan hidup sehari-hari tak jarang dijumpai adanya
penyimpangan yang terjadi.
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap
kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami
perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada. orang per orang (dalam
diri individu) dan- juga pada kelompok atau masyarakat. Sedangkan perubahan
sikap itu memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang mungkin berbeda dan
bergerak secara kontinyu dari positif melalui areal netral ke arah negatif (Mar'at,
1982:17). Dengan demikian, sikap keagamaan yang menyimpang, sehubungan
dengan perubahan sikap tidak selalu berkonotasi buruk Sikap keagamaan yang
menyimpang dan tradisi keagamaan yang cenderung keliru mungkin akan
menimbulkan suatu pemikiran dan gerakan pembaruan. seperti halnya Martin
Luther. Demikian pula, Sidharta Gautama yang meninggalkan agama Hindu
kemudian menjadi pelopor lahimya agama Budha. Keduanya merupakan contoh
dari sekian banyak kasus sikap keagamaan yang menyimpang, namun yang
positif.
Selain itu, tak kurang pula kasus-kasus negatif yang bersumber dari adanya
sikap keagamaan yang menyimpang ini, Sikap kurang toleran, fanatisme,
fundamentals maupun sikap menentang merupakan sikap keagamaan yang
rnenyimpang / seseorang  atau sekelompok penganut suatu agama mungkin saja
bersikap kurang toleran terhadap agama lain ataupun aliran lain yang berbeda dari
aliran agama yang dianutnya. Demikian pula, misalnya, terjadi sikap fanatik yang
menyebabkan seseorang atau kelompok beranggapan bahwa hanya agama yang di
peluknya sebagai yang paling benar. Selain itu, dapat pula terjadi satu sikap yang
fundamentals berupa sikap menentang terhadap agama yang berbeda dengan
agama yang mereka anut.
Sikap keagamaan yang menyimpang seperti itu merupakan masalah yang
pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan yang negatif dari tingkat yang
terendah hingga ke tingkat yang paling tinggi, seperti sikap regresif (menarik diri)
hingga ke sikap yang demonsiratif (unjuk rasa). Sikap menyimpang seperti itu
umumnya berpeluang untuk terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada
setiap agama. Perseteruan antar agama yang teriadi seperti peristiwa Perang Salib,
munculnya gerakan IRA di Inggris (Iriandia Utara), hingga ke aliran-aliran
keagamaan yang dianggap menyimpang misalnya, Children of God di Amerika
maupun sekte kiamat di Jepang yang menamakan kelompoknya Awn Sbimikyd
(Kebenaran Tertinggi).
Selain dalam bentuk kelompok, sikap keagamaan yang menyimpang juga
dapat rerjadi pada orang per orang. Dan biasanya sikap keagamaan yang
menyimpang dalam bentuk kelompok aliran ataupun sekte berawal dari pengaruh
sikap seorang tokoh. Seorang yang mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan
dan keyakinan orang lain, sebagai bagian dan tingkat pikir yang transendental
Religius (Kasmiran Wuryo, 1982: 104).
Masalah yang menyangkut sikap keagamaan ini umumnya tergantung
hubungan persepsi seseorang mengenal kepercayaan dan keyakinan. Kepercayaan
adalah tingkat pikir manusia dalam mengalami proses berpikir yang telah dapat
membebaskan manusia dari segaia unsur-unsur yang terdapat di luar pikirannya.
Sedangkan keyakinan adaiah suatu tingkat pikir yang dalam proses berpikir
manusia telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai
penyempurnaan proses, pencapaian kebenaran, dan kenyataan yang terdapat di
luar jangkauan pikir manusia. (Kasmiran Wuryo, 1982: 104). Kepercayaan dan
keyakinan merupakan hal yang abstrak sehingga secara empirik sulit dibuktikan
secara nyata mengenai kebenarannya. Oleh karena itu, pengaruh yang ditimbulkan
terhadap seseorang cenderung berwujud pengaruh psikologis. Pengaruh tingkat
pikir ini memang memiliki variasi yang luas misalnya aliran seperti sekularisme,
liberalisme, sosialisme, fasisme, materialisme, dan sebagainya. Tetapi di luar itu,
ada juga pengaruh terhadap tingkat pikir yang lain seperti totemisme, magico,
mistisisme, animism, cinamisme, politeisme maupun monoteisme. Tingkat pikir
yang kedua ini disebut dengan tingkat pikir atau tingkat berpikir transendental
religius (Kasmiran Vuiyo, 1982: 105).
Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi, bila terjadi
penyimpangan pada kedua tingkat pikir dimaksud, sehingga dapat memberi
kepercayaan dan keyakinan baru pada seseorang atau kelompok. Apabila tingkat
pikir tersebut mencapai tingkat kepercayaan serta keyakinan yang tidak sejalan
dengan ajaran agama tertentu maka akan terjadi sikap keagamaan yang
menyimpang, baik dalam diri orang per orang (individu) kelompok atau pun
masyarakat. Sebab, sikap mcmiliki sasaran tertentu baik konkret maupun abstrak
(Mar`at, 1982:18). Sikap keagamaan yang menyimpang boleh dikatakan dapat
terjadi.
Pada hampir semua bidang kehidupan manusia dan kaitannya dengan nilai-
nilai ajaran agama. Penyimpangan tersebut mungkin menyangkut bidang
keyakinan, ritual, doktrin. ataupun perangkat keagamaan. Kehadiran aliran
ataupun sekte baru, dan ke luar dari nilai-nilai dasar ajaran agama formal, dapat
dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan sepeni ini lazimnya akan
berkembang ke bentuk gerakan keagamaan.
Di luar itu, sikap keagamaan yang menyimpang juga bisa termanifestasikan
dalam pelanggaran terhadap nilai-nilai moral ataupun norma-norma agama.
Perilaku penyimpangan ini disebut sebagai tindakan amoral. Bahkan bisa
meningkat ke tindakan yang mengarah pada "per-mainan moral" (moralgames),
yang di dalamnya batas baik-buruk, benar-salah, pantas tidak pantas dibuat-jadi
samar. Kecenderungan ini akan menggiring pada situasi imoralitas (Yasrif Amir
Piliang. Kompas. 21 November 2005). Yasrif menyebutnya sebagai moralitas
minimalis". Indikatornya, yang pertama, berupa tindakan melanggar atau
melawan moral (a-morality). dengan melakukan aneka tindakan yang jahat, tak
pantas atau tak arif. Kedua, tindakan "mempermainkan" prinsip atau nilai-nilai
moral itu sendiri (immorality, dengan cara memutarbalikkan atau mempermainkan
batas-batas moral antara baik/jahat, benar/salah, atau pantas/tak pantas.
Berangkat dari pemahaman ini sepertinya pelaku tindak korupsi dapat
digolongkan sebagai pribadi yang terjangkit moralitas minimalis. Secara harfiah
korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan diri kesucian (jut: Audi Hamzab, 2005:4). Korupsi
didefinisikan sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara, perusahaan
dan sebagainva) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (KBBI, 1990:462).
Dilihat dari pendekatan normatif, tindak korupsi bukan saja menyangkut
pelanggaran norma hukum, tetapi juga norma-norma agama, kebiasaan dan
kesusilaan (Jur. Andi Hamzab-.23). Sebagai fenomena social, korupsi bisa
didekati dalam berbagai kajian ilmu-ilmu sosial sepeni sosiologi. antropologi,
politik, psikologi dan ekonomi (AliefAulia Rezza. Kompas. 11 November 2005).
termasuk psikologi agama.
Tindak korupsi merupakan perbuatan yang akan menimbulkan dampak
negatit bersifat ganda. Dalam Islam perbuatan ini tergolong sebagai fabsy (keji),
yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri pelakunya, tetapi juga orang
lain (Alqur`an dan Terjemabannya. 1990: 98). Pada hakikatnya, pelaku korupsi
telah melakukan perbuatan nista yang menganiaya dirinya sendiri dan sekaligus
menimpakan petaka bagi orang lain. Disebut menganiaya diri sendiri karena
pelaku tindak korupsi adalah sosok yang telah kehilangan jati dirinya sebagai
manusia yang beradab. Sistem nilai yang ada dalam dirinya (moral, hukum, adat
istiadat. maupun agama:) dihancurkan oleh keserakahan yang bersumber dari
dorongan nafsunya.
Dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis, pelaku tindak korupsi
adalah pribadi yang egonya dikalahkan oleh Id. Kesadaran dirinya ditundukkan
oleh dorongan naluriah. Hanya karena ingin memenuhi kenikmatan hidup dan
kesenangan (pleasure principle). pelakunya bersedia mengorbankan unsur moral
dan keadilan yang ada.
Menurut Murtadha Muthahhari, dalam diri manusia tersembunyi dorongan
untuk berpegang kepada nilai-nilai moral. Dorongan yang termasuk nilai-nilai
utama (sinnmum bonum) ini biasa disebut sebagai akhlak yang baik. Dengan
adanya dorongan ini maka manusia sejatinya memiliki kecenderungan untuk
memanifestasikan nilai-nilai yang dimaksud dalam kehidupannya. Wujud
konkritnya antara lain berupa kejujuran, amanah, ketakwaan, kesucian dan
kehajikan lainnya (Murtadha Muthahhari, 1998: 52). Nilai-nilai utama ini
merupakan bagian dari fitrah manusia. Dengan demikian tindak korupsi hanya
mungkin terjadi, bila nilai-nilai utama yang dimaksud dimanipulasi dengan
mendesekralisasikannva.
Terlepas dari bagaimana bentuk dan caranya (modus operandi), tindak
korupsi dilakukan secara sadar. Mungkin saja ada pengaruh luar (motif
ekstririsik). Namun yang jelas dorongan intern pelaku (motif intrinsik) terkesan
lebih dominan. Sumbernya adalah ada semacam perasaan ''tidak puas" terhadap
kondisi yang ada ingin memiliki sesuatu yang belum dimiliki. Dorongan seperti
ini akan "membenih." sifat rakus yang apabila tidak dapat dibendung lazimnya
akan mendorong seseorang untuk melakukan tindak korupsi.
Agama sebagai sistem nilai sebenarnya berisi khasanah yang cukup lengkap
untuk mengantisipasi munculnya gejolak sifat rakus itu. Dalam nilai-nilai ajaran
Islam tindakan antisipasi itu termuat antara lain ibadah puasa. Setidaknya ada dua
target utama yang terangkum di dalamnya, yakni imsak bi dan imsak 'an. Imsak bi
berkaitan dengan upaya untuk menahan diri agar tidak melanggar ketentuan puasa
itu sendiri. Atas dasar keyakinan, tetap berpegang teguh Berusa tegak di atas
keyakinan itu, serta akan tetap mempertahankannya dengan seluruh hidupnya
(Jalaiuddin Rahmat, 1991:142).
Dijelaskan selanjutnya, bahwa imsak 'an (menahan.diri) dari pengaruh luar
sebagai latihan dalarn rembentuk sikap lahir dan batin. Mewujudkan sosok pribadi
takwa yang sejalan dengan capaian akhir dari ibadah puasa itu sendiri. Meminjan
konsep imam Ghazali, Jalaluddin Rahmat menyebut enam tahapan dalam imsak
'an . Mulai dari menahan pandangan, menjaga lidah (ucapan), menahan
pendengaran, menahan selera, menahan suasana hati antara harap dan cemas
terhadap ganjaran Allah.
Di balik itu semua, sifat rakus dapat diantisipasi dengan bersukur.
Mewujudkan rasa syukur teihadap nikmat Allah. "Di antara nikmat-nikmat itu ada
yang binal bagaikan hewan-bewan hutan yang liar. Oleb sebab itu maka ikatlah
nikmat itu dengan bersyukur kepada Allah. "Hindarilah sifat rakus, karena rakus
itu merupakan kemiskinan yang nyata (Abdullah bin Nuh. 1986: 353). Pesan
Rasul Saw. ini mengindikasikan adanya tindakan koruptif dengan kondisi
psikologis pelakunya. Kufur nikmat (tidak bersyukur) dan sifat rakus (tak pernah
merasa cukup.
2.4.       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang
Menyimpang
Sikap berfungsi menggugah motif untuk  bertingkah laku. baik dalam
bentuk tingkah laku nyata (overt behavior), maupun tingkah laku tertutup (coier
behavior). Dengan demikian, sikap mempengaruhi dua bentuk reaksi seseorang
terhadap objek, yaitu dalam bentuk nyata dan terselubung. Karena sikap diperoleh
dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan maka sikap dapat diubah, walaupun
sulit (Mar'at, 1982: IS).
Terjadinya sikap keagamaan yang menyimpang berkaitan erat dengan
perubahan sikap. Beberapa teori psikologis mengungkapkan mengenai perubahan
sikap tersebut, antara lain: teori stimulus dan respons. teori pertimbangan sosial,
teori konsistensi dan teori fungsi (Mar'at, 19S2: 26-27). Masing-masing teori
didasarkan atas pendekatan aliran psikologis tersebut.
Teori stimulus dan repon yang memandang manusia sebagai organisme
menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar. Menurut teori ini ada tiga
variabel yang-mempengaruhi terjadinya perubahan sikap, yaitu pengertian dan
penerimaan (Mar`at, 1982: 27).
Mengacu kepada teori ini, jika seseorang atau sekelompok memiliki
perhatian terhadap sesuatu objek dan memahami objek dimaksud serta
menerimanya. maka akan terjadi perubahan sikap. Objek itu sendiri menurut teori
ini harus difungsikan sebagai stimulus agar dapat merespons perhatian, pengertian
serta penerimaan oleh seseorang atau kelompok. Jadi, perubahan sikap
sepenuhnya bergantung pada kemampuan lingkungan untuk mendapatkan
stimulus yang dapat menimbulkan reaksi dalam bentuk respons. Hal ini
menun.jukkan untuk mengubah sikap diperlukan kemampuan untuk merekayasa
objek sedemikian rupa hingga menarik perhatian memberi pengertian hingga
dapat diterima.
Dalam kaitannya dengan sikap keagamaan yang menyimpang maka
pengaruh stimulus yang relevan adalah segala bentuk objek yang berhubungan
dengan keagamaan. Misalnya saja di dalam suatu masyarakat muncul aliran-aliran
keagamaan tertentu yang berbeda dengan tradisi keagamaan yang berjalan.
Kehadiran aliran tersebut kemudian menarik perhatian. sehingga terdorong untuk
mengetahuinya lebih jauh. Hasil dari proses itu kemungkinan dapat memberi
pengertian baru bagi mereka yang terlibat. Bila ada di antara yang ikut terlibat
mcmpelajari aliran tersebut maka ada manfaat bagi dirinya, mereka akan
menerimanya, sedangkan bagi yang menganggapnya tidak bermanfaat akan
rnenolaknya. Kelompok yang pertama biasanya akan melangkah ke tingkat
penerimaan dan dengan demikian akan terjadi perubahan pada diri mereka dalam
menyikapi aliran baru yang mereka terima itu. Dilihat dari sudut tradisi
keagamaan yang berlaku, sikap mereka ini dapat dikelompokkan sebagai sikap
keagamaan yang menyimpang.
Selanjutnya, teori kedua yaitu teor pertimbangan sosial melihat - perubahan
sikap dari pendekatan psikologi sosial. Menurut teori ini perubahan sikap
ditentukan oleh faktor internal dari faktor eksternal faktor internal yang
mempengaruhi perubahan sikap adalah: 1) persepsi sosial 2) posisi sosial dan
proses belajar sosial. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas 1) faktor penguatan
(ret iforcement); 2) komunikasi persuasif; dan 3) harapan yang di inginkan.
Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan sosiai
sebagai hasil interaksi faktor internal dan eksternal (Mar'at, 1982: 35-36)
Perubahan sikap dalam kaitannya dengan sikap keagamaan yang
menyimpang merujuk kepada teori pertimbangan sosial ini tampaknya
menyangkut faktor status sosial seseorang dalam masyarakat. Penyimpangan
sikap keagamaan yang dipengaruhi oleh status sosial ini cenderung dilatar
belakangi harapan untuk mengembalikan kedudukan di dalam masyarakat.
Misalnva seseorang yang semula dihormati dalam rnasyarakat kemudian
mendapat saingan dari tokoh lain. Karena kalah dalam persaingan tersebut
pandangan masyarakat beralih kepada tokoh pendatang baru. Maka untuk
mengembalikan status yang pernah diperolehnya kemungkinan besar ia cenderung
untuk melakukan suatu yang menyimpang guna menarik kembali perhatian
masyarakat, yaitu untuk mengisi kekosongan wibawa yang hilang.
Di lain pihak kemungkinan pula sikap keagamaan yang menyimpang
ditampilkan seseorang tokoh dalam masyarabt daiam bentuk positif, atas dasar
pertimbangan untuk kepentingan masyarakat banyak. Sikap keagamaan yang
menyimpang seperti ini terlihat daiam kasus pembaharuan pemikiran keagamaan.
Para tokoh reformer (mujaddid) umumnya menampilkan sikap keagamaan yang
menyimpang dari tradisi keagamaan yang berjalan di masyarakat. Sikap
keagamaan vang menyimpang seperti ini dalam sejarah keagamaan umumnya
diakhiri dengan munculnya kelompok baru yang mampu mengubah tatanan tradisi
keagamaan yang ada. Beberapa contoh yang mengacu kepada kasus ini antara lain
seperti yang dilakubn oleh Sidharta Gautama. Martin Luther, Kaisar Konstamin,
dan sejumlah tokoh pembaharuan dalam pemikiran keagamaan lainnya.
Teori yang ketiga, yaitu teori konsistensi. Menurut teori ini perubahan sikap
lebih ditentukan oleh faktor intern yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara
sikap dan perbuatan. Oleh karena itu teori konsistensi ini oleh Fritz Heider disebut
balance theory (Mar'at, 1982:37), Osgood dan Tannenbaum menamakan conguity
(keharmonisan), Festinger menyebutkan cognitive dissonance, serta Brohm
menamakannya reactance (Mar'at, 1982:37-47). Walaupun berbeda dalam
penamaan, namun intisari dari teori konsistensi ini adalah bahwa perubanan sikap
merupakan proses yang terjadi pada diri seseorang dalam upaya untuk
mendapatkan keseimbangan antara sikap dan perbuatan. Berdasarkan berbagai
pertimbangan, maka seseorang kemudian memilih sikap tertentu sebagai dasar
untuk bereaksi atau bertingkah laku.
Dalam kehidupan keagamaan barangkali perubahan sikap ini berhubungan
dengan konversi agama. Seseorang yang merasa bahwa apa yang dilakukan
sebelumnya adalah keliru. berupaya untuk mcmpertimbangkan sikapnya.
Pertimbangan tersebut melalui proses dari munculnya persoalan hingga
tercapainya suatu keseimbangan. Keempat fase dalam proses terjadinya perubahan
sikap itu adalah.:
1.      Munculnya persoalan yang dihadapi.
2.      Munculnya beberapa pengertian yang harus dipilih
3.      Mengambil keputusan berdasarkan salah satu pengertian yang dipilih.
4.      Terjadi keseimbangan.
Pcrubahan sikap seperti ini. Menurut  Heider dilatarbelakangi oleh perasaan
senang dan tidak senang. sedangkan Osgood dan Tannenbaum menekankan pada
penyamaan persepsi. Festinger lebih menekankan pada peran kognitif seperti
halnya Brohm. Mengacu kepada teori ini perubahan sikap yang menyangkut
kehidupan beragama dapat terjadi oleh karena adanya pengaruh dalam diri
seseorang. Pengaruh tersebut menimbulkan persoalan hingga terjadi
ketidakseimbangan dalam batin-nya. Untuk mengembalikan agar terjadi
keseimbangan seperti semula, maka dilakukan pemilihan dari berbagai alternatif
yang memungkinkan. Pemilihan alternatif dapat didasarkan atas pertimbangan
aspek efektif maupun kognitif. Pilihan yang terbaik biasanya adalah yang paling
cocok dan dapat memberi kestabilan pada diri seseorang. Kondisi tersebut dapat
menimbulkan keharmonisan dan keseimbangan.
Perubahan sikap yang dihubungkan dengan sikap keagamaan yang
menyimpang menurut teori konsistensi ini terdapat dalam kasus-kasus konversi
agama. Konversi pada dasarnya bersumber dari konflik yang terjadi dalam diri
seseorang. Konflik tadi pada tingkat tertentu menimbulkan semacam kegelisahan
batin sebagai persoalan yang harus mendapat pemecahan. Selanjutnya timbul
beberapa kemungkinan untuk dijadikan pertimbangan dalam menemukan jalan ke
luar. Pemilihan jalan ke luar yang cocok dan tepat biasanva adalah yang paling
dapat memberikan ketenangan batin bagi yang bersangkutan.
Menurut teori fungsi perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh
kebutuhan seseorang. siap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar
agar individu senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan menurut kebutuhannya
(Mar'at, 1982: 49). Katz berpendapat bahwa sikap memiliki empat fungsi yaitu, 1)
fungsi instrumental; 2) fungsi penahanan diri; 3) fungsi penerima dan peniberi
arti; dan 4) fungsi nilai ekspresif.
Berdasarkan fungsi instrumental, manusia dapat membentuk sikap positif
maupun negatif terhadap objek yang dihadapinya. Adapun fungsi pertahanan diri
berperan untuk melindungi diri dari ancaman luar. Kemudian fungsi penerima dan
memberi arti berperan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selanjutnya,
fungsi nilai ekspresif terlihat dalam pernyataan sikap sehingga tergambar
bagaimana sikap seseorang atau kelompok terhadap sesuatu (Mar'at, 1982: 48).
Teori fungsi ini mengungkapkan bahwa terjadinya perubahan sikap tidak
berlangsung secara serta merta. melainkan melalui suatu proses penyeimbangan
diri dengan lingkungan. Keseimbangan tersebut merupakan penyesuaian diri
dengan kebutuhan.
BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
Sikap keagamaan dan interen diperoleh dari dari faktor interen dan
externmanusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah Homo
Religius (maklhuk agama) karena manusia sudah memiliki potensi untuk
beragama. Potensi tersebut bersumber dari factor interen manusia yang termuat
dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal, perasaan maupun kehendak.
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap
kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami
perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada. orang per orang (dalam
diri individu) dan- juga pada kelompok atau masyarakat.
Selain itu, tak kurang pula kasus-kasus negatif yang bersumber dari adanya
sikap keagamaan yang menyimpang ini, Sikap kurang toleran, fanatisme,
fundamentals maupun sikap mcnentang merupakan sikap keagamaan yang
rnenyimpang
Faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan yang menyimpang adalah
faaktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang mempengaruhi perubahan sikap;  persepsi sosial,
posisi sosial danproses belajar sosial. Sedangkan penguatan komunikasi persuasif
harapan yang diinginkan
3.2.       Saran
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa
dipahami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan kami sangat berterima kasih
apabila ada kritik dan saran yang bersifat membangun seebagai penyempurna.

DAFTAR PUSATAKA

Al – Maliky, Muhammad, Alawy. Paham-Paham Yang Perlu Diluruskan.


Terj: Indri Mahally Fikry. Jakarta; Fikahati Aneska.1994.
Al-Syaibany. Omar. Mohammad Al- Toomy. Falsafah Pendidikan Islam
Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang .

Anda mungkin juga menyukai